ANALISIS REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA

advertisement
ANALISIS REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH
ACEH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI, PENGANGGURAN, DAN
KEMISKINAN
Oleh:
Muhammad Ilhamsyah Siregar 1
Iqbal Mudawali 2
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh realisasi belanja daerah terhadap
pertumbuhan ekonomi, pengangguran, dan kemiskinan di daerah Aceh, karena
ketergantungan daerah Aceh pada APBD. Ruang lingkup penelitian adalah 23
kabupaten/kota di Aceh dan menggunakan data tahun 2008-2011 yang bersumber
dari publikasi Dinas Keuangan Aceh dan Badan Pusat Statistik (BPS). Model yang
digunakan adalah regresi linier sederhana menggunakan data panel dengan metode
analisis Fixed Effect Model. Hasil penelitian menunjukkan realisasi belanja daerah
berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan nilai
koefisien determinasi (Adj.R2 = 0,9646), artinya 96,46 persen dipengaruhi oleh
realisasi belanja daerah, jika realisasi belanja daerah meningkat maka pertumbuhan
ekonomi juga akan meningkat. Sedangkan realisasi belanja daerah berpengaruh
negatif serta signifikan terhadap pengangguran dengan nilai Adj.R2 = 0,8400 yang
berarti realisasi belanja daerah 84 persen mempengaruhi pengangguran dan realisasi
belanja daerah juga berpengaruh negatif serta signifikan terhadap kemiskinan dengan
nilai Adj.R2 = 0,8598 yaitu 85,98 persen kemiskinan dipengaruhi oleh realisasi
belanja daerah. Apabila realisasi belanja meningkat maka akan dapat mengurangi
tingkat pengangguran dan juga mengurangi tingkat kemiskinan. Implikasi kebijakan
dari hasil penelitian ini adalah pentingnya bagi pemerintah Aceh dan kabupaten/kota
di Aceh untuk meningkatkan optimalisasi belanja daerah, terutama belanja modal
karena dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi pengangguran
serta mengentaskan kemiskinan.
Kata Kunci : Realisasi Belanja Daerah, Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran,
Kemiskinan, Data Panel, Fixed Effect Model
1
2
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh | Email: [email protected]
Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh | Email: [email protected]
1. PENDAHULUAN
Perkembangan suatu negara untuk lebih maju dilaksanakan melalui pembangunan
nasional secara terus-menerus dan berkesinambungan dengan tujuan meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Salah satu bagian penting dari pembangunan nasional adalah
pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi pada dasarnya mengoptimalkan peranan
sumber daya dalam menciptakan kenaikan pendapatan pada sektor-sektor ekonomi dan
mengusahakan tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi untuk meningkatkan taraf
hidup dan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan nasional yang dilaksanakan
membutuhkan anggaran belanja pada setiap periode. Seiring dengan peningkatan
pembangunan nasional maka anggaran belanja yang diperlukan juga semakin meningkat.
Anggaran belanja tersebut dikumpulkan dari segenap potensi sumber daya dan pendapatan
yang dimiliki oleh suatu daerah. Anggaran pendapatan dan belanja yang dikumpulkan
dituang dalam suatu program atau rancangan pemerintah yang disebut Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD merupakan dasar pengelola keuangan
daerah dalam tahun tertentu yang berisi pendapatan dan pembiayaan dana pemerintah.
Pengelolaan keuangan daerah sangat besar pengaruhnya terhadap nasib suatu daerah.
Pengelolaan keuangan yang baik akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan
meningkatkan penerimaan daerah serta mengurangi pengangguran yang selanjutnya akan
mengurangi tingkat kemiskinan di suatu daerah.
Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) berdasarkan
Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 adalah semua penerimaan uang melalui kas umum
daerah terdiri dari PAD (Pendapatan Asli Daerah) mencakup pajak daerah, restribusi
daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, Dana perimbangan mencakup Dana Bagi Hasil
(Pajak dan Sumber Daya Alam), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus
(DAK), dan pendapatan daerah yang sah lainnya mencakup dana hibah dan dana otonomi
khusus. Belanja daerah dipergunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintah
daerah yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, subsidi, dan
belanja lain-lain. APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) Aceh dirancang dan
disusun dengan kinerja yang memuat sasaran yang diharapkan dalam pertumbuhan
ekonomi di Aceh.
Realisasi anggaran pendapatan dan belanja pemerintah Aceh dari tahun 2006
sampai 2012 terjadi peningkatan, namun mengalami penurunan pada realisasi pendapatan
tahun 2007. Menurut Alamsyah (2013) kinerja positif Pemerintah Aceh dalam
merealisasikan APBD tahun 2008 sampai tahun 2012 berdampak positif dalam
menurunkan SILPA (Sisa Lebih Penggunaan Anggaran) Aceh yang menjadi persoalan
klasik dalam manajemen pembangunan di Aceh selama ini. Belanja daerah masih menjadi
modal penting yang digunakan untuk pembangunan ekonomi di Aceh, terutama bagi 23
kabupaten/kota dalam menjalankan pemerintahannya, karena daerah Aceh belum memiliki
pendapatan lain yang besar dan hanya mengaharapkan pada belanja daerah. Oleh karena
itu, semua daerah di Aceh sangat tergantung pada belanja daerah khususnya adalah belanja
modal yang menjadi bagian dari asset daerah yang dapat meningkatkan perekonomian
dalam membangun daerah masing-masing.
Prioritas utama dalam perekonomian adalah pembangunan yang dilakukan di
semua sektor karena dapat menghasilkan pendapatan yang lebih baik di masa yang akan
datang. Optimalisasi dan prioritas belanja akan menumbuhkan perekonomian yang
berdampak secara langsung terhadap pengurangan pengangguran dan mengatasi
permasalahan kemiskinan.
Dritsakis dan Adamopoulus (2004) membuktikan bahwa belanja negara
berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dari uraian di atas dapat
dijelaskan bahwa apabila perekonomian meningkat maka daya serap angkatan kerja juga
akan meningkat sehingga jumlah pengangguran dapat berkurang dan kemungkinan besar
dapat mengatasi permasalahan kemiskinan di suatu daerah. Namun yang terjadi sekarang
adalah tingkat pertumbuhan angkatan kerja yang semakin meningkat tetapi tidak di
dukung oleh pertumbuhan lapangan kerja sehingga menyebabkan permasalahan
pengangguran semakin serius. Pertumbuhan ekonomi yang mengalami peningkatan dan
terus menunjukkan perbaikan selama beberapa tahun terakhir tidak berarti pekerjaan
pemerintah telah selesai, kegiatan di sejumlah sektor khususnya di sektor riil masih di
bawah kapasitas. Pertumbuhan ekonomi juga belum mampu menyerap pengangguran dan
mengatasi kemiskinan.
Tingkat pengangguran dan kemiskinan di Aceh masih tinggi, tetapi semakin
membaik dengan adanya penurunan jumlah pengangguran dan tingkat kemiskinan,
sedangkan pertumbuhan ekonomi Aceh terus meningkat semenjak tahun 2010. Pada tahun
2007 pertumbuhan ekonomi Aceh turun menjadi -2,36 dan turun lagi tahun 2008 sebesar 5,24, hal ini disebabkan karena krisis global yang terjadi pada saat itu. Kemerosotan yang
terjadi pada sektor riil akan mengakibatkan meningkatnya jumlah pengangguran dan tingkat
kemiskinan di daerah perkotaan maupun di pedesaan. Pemerintah dituntut untuk mengambil
inisiatif kebijakan fiskal yang tepat untuk menumbuhkan perekonomian dalam rangka
mengurangi pengangguran dan mengentaskan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang
mantap dan stabil akan mendorong berkurangnya jumlah pengangguran dan menekan
angka kemiskinan. Setiap negara akan berusaha keras untuk mencapai pertumbuhan
ekonomi yang optimal dan menurunkan angka kemiskinan. Negara-negara di dunia
menjadikan syarat utama bagi terciptanya penurunan kemiskinan adalah pertumbuhan
ekonomi. Namun, kondisi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia pertumbuhan
ekonomi yang dicapai ternyata juga diiringi dengan munculnya permasalahan
meningkatnya jumlah penduduk yang menganggur dan hidup dibawah garis kemiskinan.
Tingkat kemiskinan dapat diukur dari tingkat IPM (Indeks Pembangunan
Manusia) yang terdapat di suatu negara. IPM adalah pengukuran perbandingan dari
harapan hidup, melek huruf, pendidikan, dan standar hidup untuk seluruh negara di dunia.
IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju,
negara berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari
kebijakan ekonomi terhadap kualitas hidup. Pengukuran IPM dilakukan oleh
UNDP(United Nations Development Programme). Nilai IPM yang tinggi adalah
mendekati 1,0. Angka IPM Indonesia dan Aceh selama lima tahun terakhir mengalami
peningkatan, tahun 2012 IPM Indonesia meningkat menjadi 0,629 dari sebelumnya 0,624 ,
sedangkan wilayah Aceh memiliki IPM 0,7216 meningkat dari tahun 2011 yaitu 0,7170
seperti yang terlihat pada tabel 1.3, angka tersebut menunjukkan bahwa daerah Aceh
memiliki tingkat standar hidup, harapan hidup dan pendidikan yang termasuk kategori
menengah dan secara nasional lebih baik dibandingkan dengan Indonesia, tetapi pada
kenyataanya Aceh termasuk daerah yang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi
dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia.
Menurut Kuncoro (2004) ada tiga masalah pokok yang menjadi perhatian dalam
mengukur pembangunan suatu negara atau daerah, yaitu 1) apa yang terjadi pada tingkat
kemiskinan, 2) apa yang terjadi pada tingkat pengangguran, 3) apa yang terjadi terhadap
ketimpangan berbagai bidang.
Peneliti disini membahas tentang pengelolaan keuangan Daerah Aceh yang
mencakup 23 kabupaten/kota pada realisasi belanja daerah yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi, pengangguran, dan kemiskinan. Dari masalah yang telah
dikemukakan, maka permasalahan utama yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah
berapa besar pengaruh realisasi anggaran belanja Daerah Aceh terhadap pertumbuhan
ekonomi, pengangguran, dan kemiskinan. Berdasarkan latar belakang masalah dan
perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui pengaruh realisasi anggaran belanja Daerah Aceh terhadap pertumbuhan
ekonomi, pengangguran, dan kemiskinan.
2. LANDASAN TEORI
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah suatu rencana kerja
pemerintah daerah yang mencakup seluruh penerimaan dan belanja (pengeluaran)
pemerintah daerah, baik provinsi ataupun kabupaten dalam rangka mencapai sasaran
pembangunan dalam kurun waktu satu tahun yang dinyatakan dalam satuan uang dan
disetujui oleh DPRD. Pada dasarnya fungsi dan tujuan penyusunan APBD sama dengan
fungsi dan tujuan APBN, hanya dalam APBD ruang lingkupnya yang berbeda, APBN
berskala nasional sedangkan APBD terbatas pada wilayah daerah dan pelaksanaannya
diserahkan kepada kepala daerah atau gubernur dan bupati/walikota, serta sesuai dengan
kebijakan otonomi daerah. Sementara itu, APBD disusun oleh pemerintah daerah bersama
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) daerah untuk menjalankan pemerintahan daerahnya
masing-masing (Ismawanto, 2009:27).
Belanja Daerah
Berdasarkan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 Belanja Daerah adalah semua
kewajiban daerah yang diakui sebagia pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode
tahun anggaran yang bersangkutan. Belanja daerah adalah semua pengeluaran yang
dikeluarkan pemerintah daerah pada suatu periode anggaran yang berupa arus kas aktiva
keluar. Belanja daerah meliputi semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang
mengurangi ekuitas dana lancar, yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh
daerah dan merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran. Belanja daerah
dipergunakan dalam rangka untuk pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan pemerintah provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan
urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan. Belanja daerah
terdiri dari:
1.
Belanja Aparatur Daerah yang meliputi antara lain:
a.
Belanja Administrasi Umum
b.
Belanja Modal
c.
2.
Belanja Operasi dan Pemeliharaan
Belanja Pelayanan Publik, antara lain:
a.
Belanja Administrasi Umum
b.
Belanja Modal
c.
Belanja Operasi dan Pemeliharaan
d.
Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan
e.
Belanja Tak Tersangka
Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 telah diperbaharui dengan Permendagri Nomor 13
Tahun 2006, sehingga struktur Belanja Daerah sekarang berubah menjadi sebagai berikut:
1.
Belanja Tidak Langsung yang meliputi:

Belanja Pegawai
Belanja pegawai adalah belanja kompensasi baik adalam bentuk uang maupun
barang yang ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang diberikan
kepada pejabat negara, PNS, dan pegawai yang dipekerjakan oleh pemerintah. Contohnya
adalah gaji.

Belanja Bunga (Pembayaran Bunga Utang)
Pembayaran bunga utang adalah pengeluaran pemerintah yang dilakukan atas
kewajiban penggunaan pokok utang, baik utang dalam negeri maupun utang luar negeri
yang dihitung berdasarkan pinjaman.

Belanja Subsidi
Subsidi adalah alokasi anggaran yang diberikan pemerintah kepada perusahaan
daerah, lembaga pemerintah atau pihak ketiga yang memproduksi, menjual, mengekspor,
atau mengimpor barang dan jasa untuk memenuhi hajat hidup banyak orang agar harga
jual dapat dijangkau masyarakat.

Belanja Bantuan Sosial
Bantuan sosial adalah transfer uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat
guna melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial.

Belanja Hibah
Hibah adalah pengeluaran pemerintah berupa transfer dalam bentuk uang, barang
atau jasa, bersifat tidak wajib yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya dan
tidak mengikat serta tidak terus menerus.

Belanja Bagi Hasil kepada Provinsi/Kabupaten/Kota dan Pemerintahan Desa

Belanja Bantuan Keuangan kepada Provinsi/Kabupaten/Kota dan Pemerintahan
Desa

Belanja Tidak Terduga seperti pengeluaran untuk penanggulangan bencana alam
dan bencana sosial.
2.
Belanja Langsung antara lain:
a. Belanja Pegawai
Belanja pegawai adalah belanja kompensasi baik adalam bentuk uang maupun
barang yang ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang diberikan
kepada pejabat negara, PNS, dan pegawai yang dipekerjakan oleh pemerintah. Contoh:
tunjangan, honorium, lembur, dan lain-lain.
b. Belanja Modal
Belanja modal adalah pengeluaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau
menambahkan asset tetap dan asset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode.
c. Belanja Barang dan Jasa
Merupakan pembelian barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi
barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan serta pengadaan barang
yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakatdan belanja perjalanan.
Pertumbuhan Ekonomi Riil (GDP riil)
Pertumbuhan
ekonomi
adalah
perubahan
pendapatan
nasional
(produksi
nasional/GDP/GNP) dalam satu tahun tertentu, dan menyebabkan barang dan jasa yang
diproduksikan dalam masyarakat bertambah atau meningkat. Variabel ini diuji
menggunakan data tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai daerah dalam suatu periode
tertentu, dalam hal ini untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat
pada kenaikan Produk Reguional Domestik Bruto. Untuk mengukur pertumbuhan ekonomi
dalam penelitian ini digunakan formula sebagai berikut :
GDP riil adalah ukuran yang digunaka untuk mengukur pertumbuhan ekonomi
yaitu suatu ukuran jumlah barang dan jasa keseluruhan yang diproduksi perekonomian
yang tidak terpengaruh oleh perubahan harga barang dan jasa tersebut atau tidak
dipengaruhi oleh inflasi. GDP riil menunjukkan bagaimana produksi barang dan jasa
keseluruhan berubah seiring berjalannya waktu dengan mengevaluasi produksi pada masa
sekarang menggunakan harga-harga yang ditetapkan di masa lampau. GDP riil yaitu
produksi barang dan jasa yang dinilai dengan harga-harga tetap (mankiw: 14-15).
Ukuran yang digunakan untuk tingkat harga secara keseluruhan dalam perekonomian
digunakan Deflator GDP yang merupakan perbandingan GDP nominal dengan GDP riil.
GDP nominal merupakan output saat ini yang dinilai berdasarkan harga saat ini dan GDP
riil adalah output pada saat ini yang dinilai berdasarkan harga pada tahun pokok (harga
konstan). Deflator GDP mencerminkan tingakt harga saat ini relative terhadap tingkat
harga tahun pokok. Deflator GDP merupakan salah satu ukuran yang digunakan oleh para
ekonom untuk mengamati rata-rata tingkat harga perekonomian(mankiw: 38).
Kemiskinan
Dalam kamus ilmiah populer, kata “miskin” mengandung arti tidak berharta (harta
yang ada tidak mencukupi kebutuhan). Adapun kata “fakir” diartikan sebagai orang yang
sangat miskin dan tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Secara etimologi makna
yang terkandung yaitu kemiskinan sarat dengan masalah konsumsi. Hal ini bermula sejak
masa
neo-klasik
di
mana
kemiskinan
hanya
dilihat
dari
interaksi
negatif
(ketidakseimbangan) antara pekerja dan upah yang diperoleh. Seiring dengan
perkembangan zaman, terjadi pergeseran pengertian kemiskinan dengan tidak melihat
aspek pendapatan dan konsumsi saja, tetapi juga melihat masalah ketergantungan, harga
diri, pendapatan, kesejahteraan dan sebagainya (Hamid, 2008: 13).
Berdasarkan deskripsi BAPPENAS 2004 (BPS, 2006:11) yang dimaksud dengan
kemiskinan adalah :
“Kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, tidak mampu memenuhi hak-hak
dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hakhak dasar antara lain, (a) terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan,
pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya dan lingkungan hidup, (b)
rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan (c) hak untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik baik bagi perempuan maupun laki-laki”.
Menurut World Bank, dalam definisi kemiskinan adalah: ”the denial of choice and
opportunities most basic for human development to lead a long healthy, creative life and
enjoy a decent standard of living freedom, self esteem and the respect of other”.
Dari definisi tersebut diperoleh pengertian bahwa kemiskinan itu merupakan
kondisi yang menunjukkan seseorang tidak dapat menikmati segala macam pilihan dan
kesempatan dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya seperti tidak dapat memenuhi
kesehatan, standar hidup layak, kebebasan, harga diri, dan rasa dihormati seperti orang
lain.
SMERU Research Institute mengartikan kemiskinan dengan melihat berbagai
dimensi (Hamid, 2008: 14-15):
a)
Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan, papan);
b)
Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan,
pendidikan, sanitasi, air bersih, dan transportasi);
c)
Tidak adanya jaminan masa depan (karena tidak adanya investasi untuk
pendidikan dan keluarga);
d)
Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal;
e)
Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber daya alam;
f)
Tidak dilibatkan dalam kegiatan sosial masyarakat;
g)
Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang
berkesinambungan;
h)
Ketidakmampuan berusaha karena cacat fisik maupun mental; dan
i)
Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak-anak terlantar, wanita
korban kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil).
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2013), kemiskinan adalah suatu kondisi
seseorang yang memiliki rata-rata pengeluaran per bulan di bawah garis kemiskinan.
Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua
komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan
Makanan (GKBM). Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk
daerah perkotaan dan perdesaan. Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai
pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkalori per
kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi
(padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buahbuahan, minyak dan lemak, dll). Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) adalah
kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket
komoditi kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan
47 jenis komoditi di perdesaan.
Pengangguran
Pengangguran merupakan suatu ukuran yang dilakukan jika seseorang tidak
memiliki pekerjaan tetapi mereka sedang melakukan usaha secara aktif dalam mencari
pekerjaan. Pengangguran dapat terjadi karena disebabkan oleh ketidakseimbangan pasar
tenaga kerja, hal ini menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja yang ditawarkan melebihi
jumlah tenaga kerja yang diminta.
Pengangguran adalah suatu keadaan di mana seseorang yang tergolong dalam
angkatan kerja ingin mendapatkan pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya.
Seseorang yang tidak bekerja, tetapi tidak secara aktif mencari pekerjaan tidak tergolong
sebagai penganggur. Faktor utama yang menimbulkan pengangguran adalah kekurangan
pengeluaran agregat. Para pengusaha memproduksi barang dan jasa dengan maksud untuk
mencari keuntungan. Keuntungan tersebut hanya akan diperoleh apabila para pengusaha
dapat menjual barang yang mereka produksikan. Semakin besar permintaan, semakin besar
pula barang dan jasa yang akan mereka wujudkan. Kenaikan produksi yang dilakukan akan
menambah penggunaaan tenaga kerja. Dengan demikian, terdapat hubungan yang erat
diantara tingkat pendapatan nasional yang dicapai (PDB) dengan penggunaan tenga kerja
yang dilakukan; semakin tinggi pendapatan nasional (PDB), semakin banyak penggunaan
tenaga kerja dalam perekonomian (Sukirno, 2006:13).
Berdasarkan penyebabnya pengangguran dapat dibagi empat kelompok (Sukirno,
2006:328-329) :
a. Pengangguran Normal atau Friksional
Apabila dalam suatu ekonomi terdapat pengangguran sebanyak dua atau tiga
persen dari jumlah tenaga kerja maka ekonomi itu sudah dipandang sebagai kesempatan
kerja penuh. Pengangguran sebanyak dua atau tiga persen tersebut dinamakan
pengangguran normal atau pengangguran friksional. Para penganggur ini tidak ada
pekerjaan bukan karena tidak dapat memperoleh kerja, tetapi karena sedang mencari
pekerjaan lain yang lebih baik. Dalam perekonomian yang berkembang pesat,
pengangguran rendah dan pekerjaan mudah diperoleh. Sebaliknya pengusaha susah
memperoleh pekerja, akibatnya pengusaha menawarkan gaji yang lebih tinggi. Hal ini
akan mendorong para pekerja untuk meninggalkan pekerjaan yang lama dan mencari
pekerjaan baru yang lebih tinggi gajinya atau lebih sesuai dengan keahliannya. Dalam
proses mencari kerja baru ini untuk sementara para pekerja tersebut tergolong sebagai
penganggur dan mereka inilah yang digolongkan sebagai pengangguran normal.
b. Pengangguran Siklikal
Perekonomian tidak selalu berkembang dengan teguh, adakalanya permintaan
agregat lebih tinggi, dan ini mendorong pengusaha menaikkan produksi. Lebih banyak
pekerja baru yang digunakan dan pengangguran berkurang. Akan tetapi pada masa lainnya
permintaan agregat menurun dengan banyaknya. Misalnya, di negara-negara produsen
bahan mentah pertanian, penurunan ini mungkin disebabkan kemerosotan harga-harga
komoditas. Kemunduran ini menimbulkan efek kepada perusahaan-perusahaan lain yang
berhubungan, yang juga akan mengalami kemerosotan dalam permintaan terhadap
produksinya. Kemerosotan permintaan agregat ini mengakibatkan perusahaan-perusahaan
mengurangi pekerja atau menutup perusahaanya, sehingga pengangguran akan bertambah.
Pengangguran dengan wujud tersebut dinamakan pengangguran siklikal.
c. Pengangguran Struktural
Tidak semua industri dan perusahaan dalam perekonomian akan terus berkembang
maju, sebagian dari mereka akan mengalami kemunduran. Kemerosotan ini ditimbulkan
oleh salah satu atau beberapa faktor berikut: wujudnya barang baru yang lebih baik,
kemajuan teknologi mengurangi permintaan ke atas barang tersebut, biaya pengeluaran
sudah sangat tinggi dan tidak mampu bersaing, dan ekspor produksi industri itu sangat
menurun oleh karena persaingan yang lebih serius dari negara-negara lain. Kemerosotan
itu akan menyebabkan kegiatan produksi dalam industri tersebut menurun, dan sebagian
pekerja terpaksa diberhentikan dan menjadi penganggur. Pengangguran yang terjadi
digolongkan sebagai pengangguran struktural. Dinamakan demikian karena disebabkan
oleh perubahan struktur kegiatan ekonomi.
d. Pengangguran Teknologi
Pengangguran dapat pula ditimbulkan oleh adanya penggantian tenaga manusia
dengan mesin-mesin dan bahan kimia. Racun lalang dan rumput, misalnya, telah
mengurangi penggunaan tenaga kerja untuk membersihkan perkebunan, sawah dan lahan
pertanian lain. Begitu juga mesin telah mengurangi kebutuhan tenaga kerja untuk membuat
lubang, memotong rumput , membersihkan kawasan, dan memungut hasil, dan lainlainnya. Sedangkan di pabrik-pabrik, robot telah menggantikan kerja-kerja manusia.
Pengangguran yang ditimbulkan oleh penggunaan mesin dan kemajuan teknologi lainnya
dinamakan pengangguran teknologi.
Berdasarkan cirinya, pengangguran dibagi ke dalam empat kelompok (Sukirno,
2006:330) :
a. Pengangguran Terbuka
Pengangguran ini tercipta sebagai akibat adanya pertambahan lowongan pekerjaan
yang lebih rendah dari pertambahan tenaga kerja. Akibatnya dalam perekonomian semakin
banyak jumlah tenaga kerja yang tidak dapat memperoleh pekerjaan. Dampak dari keadaan
ini di dalam jangka masa yang cukup panjang, mereka tidak melakukan suatu pekerjaan.
Jadi mereka menganggur secara nyata dan separuh waktu, dan oleh karenanya dinamakan
pengangguran terbuka. Pengangguran terbuka dapat pula terjadi sebagai akibat dari
kegiatan ekonomi yang menurun, dari kemajuan teknologi yang mengurangi penggunaan
tenaga kerja, atau sebagai akibat dari kemunduran perkembangan sesuatu industri.
b. Pengangguran Tersembunyi
Pengangguran ini terutama terjadi di sektor pertanian atau jasa. Setiap kegiatan
ekonomi memerlukan tenaga kerja, dan jumlah tenaga kerja yang digunakan tergantung
pada banyak faktor. Faktor yang perlu dipertimbangkan adalah besar kecilnya perusahaan,
jenis kegiatan perusahaan, mesin yang digunakan (apakah intensif buruh atau intensif
modal) dan tingkat produksi yang dicapai. Banyak negara berkembang seringkali didapati
bahwa jumlah pekerja dalam suatu kegiatan ekonomi lebih banyak dari yang diperlukan
sebenarnya supaya mereka dapat menjalankan kegiatannya dengan efisien. Kelebihan
tenaga kerja yang digunakan digolongkan dalam pengangguran tersembunyi. Contohcontohnya adalah pelayan restoran yang lebih banyak dari yang diperlukan dan keluarga
petani dengan anggota keluarga yang besar mengerjakan luas tanah yang sangat kecil.
c. Pengangguran Musiman
Pengangguran ini terutama terdapat di sektor pertanian dan perikanan. Pada musim
hujan penyadap karet dan nelayan tidak dapat melakukan pekerjaan dan mereka terpaksa
menganggur. Pada musim kemarau para petani tidak dapat mengerjakan tanahnya. Di
samping itu pada umumnya para petani tidak begitu aktif di antara waktu sesudah
menanam dan sesudah panen. Apabila dalam masa tersebut para penyadap karet, nelayan
dan petani tidak melakukan pekerjaan lain maka mereka terpaksa menganggur.
Pengangguran seperti ini digolongkan sebagai pengangguran musiman.
d. Setengah Menganggur
Pada negara-negara berkembang migrasi atau penghijrahan dari desa ke kota sangat
pesat. Sebagai akibatnya tidak semua orang yang pindah ke kota dapat memperoleh
pekerjaan dengan mudah. Sebagiannya terpaksa menjadi penganggur sepenuh waktu. Di
samping itu ada pula yang tidak menganggur, tetapi tidak pula bekerja sepenuh waktu, dan
jam kerja mereka adalah jauh lebih rendah dari yang normal. Mereka mungkin hanya
bekerja satu hingga dua hari seminggu, atau satu hingga empat jam sehari. Pekerja-pekerja
yang mempunyai masa kerja seperti yang dijelaskan sebelumnya digolongkan sebagai
setengah menganggur (underemployed). Dan jenis pengangguran tersebut dinamakan
underemployment.
Pengangguran akan muncul dalam suatu perekonomian dikarenakan oleh tiga hal
antara lain (Sukirno, 2006:332):
a. Proses Mencari Kerja
Pada proses ini menyediakan penjelasan teoritis yang penting bagi tingkat
pengangguran. Munculnya angkatan kerja baru akan menimbulkan persaingan yang ketat
pada proses mencari kerja. Dalam proses ini terdapat hambatan dalam mencari kerja yaitu
disebabkan karena adanya para pekerja yang ingin pindah ke pekerjaan lain, tidak
sempurnanya informasi yang diterima pencari kerja mengenai lapangan kerja yang
tersedia, serta informasi yang tidak sempurna pada besarnya tingkat upah yang layak
mereka terima, dan sebagainya.
b. Kekakuan Upah
Besarnya pengangguran yang terjadi dipengaruhi juga oleh tingkat upah yang tidak
fleksibel dalam pasar tenaga kerja. Penurunan pada proses produksi dalam perekonomian
akan mengakibatkan pergeseran atau penurunan pada permintaan tenaga kerja. Akibatnya,
akan terjadi penurunan besarnya upah yang ditetapkan. Dengan adanya kekakuan upah,
dalam jangka pendek, tingkat upah akan mengalami kenaikan pada tingkat upah semula.
Hal ini akan menimbulkan kelebihan penawaran (excess supply) pada tenaga kerja sebagai
inflasi dari adanya tingkat pengangguran akibat kekakuan upah yang terjadi.
c. Efisiensi Upah
Besarnya pengangguran juga dipengaruhi oleh efisiensi pada teori pengupahan.
Efisiensi yang terjadi pada fungsi tingkat upah tersebut terjadi karena semakin tinggi
perusahaan membayar upah maka akan semakin keras usaha para pekerja untuk bekerja
(walaupun akan muncul juga kondisi dimana terjadi diminishing rate). Hal ini justru akan
memberikan konsekuensi yang buruk jika perusahaan memilih membayar lebih pada
tenaga kerja yang memiliki efisiensi lebih tinggi maka akan terjadi pengangguran terpaksa
akibat dari persaingan yang ketat dalam mendapatkan pekerjaan yang diinginkan.
Penelitian Sebelumnya
Beberapa penelitian sebelumnya yang dijadikan referensi
untuk penelitian ini
adalah sebagai berikut:
Rudiningtyas (2012) pada penelitian pengaruh pendapatan dan belanja terhadap
pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, dan pengangguran menunjukkan bahwa pendapatan
dan belanja tidak berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi, dan tidak
berpengaruh terhadap kemiskinan. Pendapatan dan belanja juga tidak berpengaruh
pengangguran.
Hasil penelitian Iskana (2009) pada penelitian tentang Pengaruh Belanja dan
Pendapatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan Dan Pengangguran pada
Pemerintahan Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Timur menjelaskan belanja daerah tidak
berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, belanja daerah berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kemiskinan, belanja daerah berpengaruh positif dan
signifikan terhadap pengangguran. Pendapatan daerah tidak berpengaruh signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi, pendapatan daerah berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kemiskinan, pendapatan daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap
pengangguran. Untuk Pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh signifikan terhadap
kemiskinan, pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap
pengangguran.
Penelitian yang dilakukan oleh Kamzah (2007) yang meneliti tentang Analisa
Kinerja Keuangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Kemiskinan :
Pendekatan Analisis Jalur (Studi pada 29 Kabupaten dan 9 Kota di Propinsi Jawa Timur
periode 2001 - 2006) bertujuan untuk menguji secara langsung pertumbuhan ekonomi
terhadap kemiskinan dan pengangguran serta menguji secara tidak langsung pengaruh
kinerja keuangan terhadap kemiskinan dan pengangguran. Hasil yang diperoleh dari
penelitian tersebut adalah kesenjangan kinerja keuangan berupa rasio kemandirian cukup
besar, bahkan rasio efektifitas dan efisiensi dapat dikatakan besar sekali. Pada tingkat
kemiskinan dan pengangguran juga mengalami kesenjangan yang cukup besar, sedangkan
pada pertumbuhan ekonomi kesenjangannya tidak terlalu besar. Pengujian secara langsung
antara kinerja keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan rasio kemandirian
dan rasio efisiensi berpengaruh positif secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi,
sedangkan rasio efektivitas tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi. Untuk pengujian pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap pengangguran
menunjukkan terdapat pengaruh secara positif, sedangkan pengaruh pertumbuhan ekonomi
terhadap kemiskinan berpengaruh negatif.
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Hamzah (2007) menemukan bahwa
pendapatan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan
pengangguran. Hasil penelitian yang dilakukan menemukan bahwa anggaran belanja tidak
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan pengangguran.
Menurut Setiyati (2007) dalam penelitiannya analisis pengaruh PAD, DAU, DAK, dan
belanja Pembangunan terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, dan pengangguran
menemukan hasil penelitian bahwa PAD berpengaruh positif terhadap pertumbuhan
ekonomi. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif terhadap kemiskinan dan
berpengaruh positif terhadap pengangguran. Hasil pengujian secara tidak langsung PAD
terhadap kemiskinan adalah 9,66 % dan pengangguran sebesar 16,95 %.
Hasil penelitian Jonaidi (2012) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi
berpengaruh signifikan terhadap angka kemiskinan, dan kemiskinan juga berpengaruh
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, pengangguran berpengaruh signifikan dan
negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Kerangka Pemikiran
Pembangunan yang dilakukan oleh suatu negara sangat tergantung dari modal atau
dana yang dikumpulkan dari potensi sumber daya yang dimiliki. Kemudian modal yang
dikumpulkan dikelola oleh keuangan negara di dalam APBN. Selanjutnya APBN akan
disalurkan ke daerah-daerah yang disebut APBD. APBD Aceh atau APBA dialokasikan
untuk pembangunan baik itu pembangunan ekonomi, sosial budaya, pendidikan,
kesehatan, maupun pelayanan umum lainnya.
Meningkatnya pembangunan ekonomi berarti terjadi pertumbuhan ekonomi,
seiring dengan itu tingkat pengangguran akan berkurang karena lapangan kerja yang
tersedia banyak akibat pembangunan ekonomi. Tingkat partisipasi kerja yang meningkat
maka pendapatan individu juga meningkat, akibatnya akan berpengaruh terhadap tingkat
kemiskinan yang akan berkurang dan kesejahteraan rakyat meningkat.
Penelitian ini menggunakan data kuantitatif pada realisasi belanja Daerah Aceh
tahun 2008 sampai tahun 2011 pada 5 kota dan 18 kabupaten yang ada pada kantor BPS
Aceh. Dalam penelitian ini digunakan variabel terikat (dependent variable) yaitu variabel
pertumbuhan ekonomi, variabel kemiskinan dan variabel pengangguran, sedangkan
variabel bebas (independent variable) yaitu variabel belanja daerah.
Pertumbuhan
Ekonomi
Belanja
Daerah
Pengangguran
Kemiskinan
Skema Kerangka Pemikiran
Hipotesis
Berdasarkan latar belakang dan teori yang telah dibahas sebelumnya, maka
dirumuskan hipotesis yaitu diduga bahwa realisasi belanja Daerah Aceh berpengaruh
positif terhadap pertumbuhan ekonomi, berpengaruh negatif terhadap pengangguran, dan
berpengaruh negatif terhadap kemiskinan.
3. METODOLOGI PENELITIAN
Ruang lingkup penelitian ini adalah pengaruh Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) Aceh terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, dan pengangguran.
Penelitian ini membatasi kajian pada belanja daerah 23 kabupaten/kota sebagai variabel
bebas (independent variable) untuk data tahun 2008-2011 terhadap pertumbuhan ekonomi,
pengangguran, dan kemiskinan sebagai variabel terikat (dependent variable). Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data yang digunakan yaitu berupa
data kuantitatif yang meliputi data keuangan realisasi APBD Aceh yaitu realisasi belanja
23 kabupaten/kota, pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, dan pengangguran juga pada 23
kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Data dalam penelitian ini diperoleh dari Dinas Keuangan
Aceh dan Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh. Jenis data yang digunakan adalah data Panel
yaitu gabungan dari Time Series dan Cross Section. Data Time Series yang digunakan
adalah data tahunan yaitu tahun 2008-2011, sedangkan data Cross Section adalah 23
kabupaten/kota yang ada di Provinsi Aceh.
Data Panel
Data panel (panel pooled data) adalah gabungan antara data runtun waktu (time
series) dan data silang (cross section). Dengan kata lain, data panel merupakan data dari
individu sama yang diamati dalam kurun waktu tertentu. Jikan kita memiliki T periode
waktu (t = 1,2,…,T) dan N jumlah individu (I = 1,2,…,N), maka dengan data panel kita
akan memiliki total observasi sebanyak NT. Jika jumlah unit waktu sama untuk setiap
individu, maka data disebut panel teratur/tetap (balanced panel). Jika sebaliknya, yakni
jumlah unit waktu berbeda untuk setiap individu, maka disebut panel tidak teratur
(unbalanced panel) (Gujarati, 2010:31). Keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan
data panel adalah:
1.
Data panel merupakan gabungan data time series dan cross section mampu
menyediakan data yang lebih banyak sehingga akan menghasilkan degree of freedom
(derajat bebas) yang lebih besar dan mampu meningkatkan presisis dari estimasi yang
dilakukan.
2.
Menggabungkan informasi dari data time series dan cross section dapat mengatasi
masalah yang timbul ketika ada masalah penghilangan variabel (omitted-variable).
3.
Data panel dapat digunakan untuk mempelajari kedinamisan data, yaitu dapat
digunakan untuk memperoleh informasi bagaimana kondisi individu-individu pada waktu
tertentu dibandingkan pada kondisi waktu yang lainnya.
Model regresi linier menggunakan data time series dan cross section, maka modelnya
dituliskan:
Yit = α + β Xit + εit ; i = 1,2,....,N; t = 1,2,….., T ……………………....(3.1)
Dimana :
N
= banyaknya observasi
T
= banyaknya waktu
N x T = banyaknya data panel
Regresi data panel dapat dimodelkan sebagai berikut:
………………………………………......(3.2)
Dimana:
α
= Konstanta
β
= Vektor berukuran P x 1 merupakan parameter hasil estimasi
Xit
= Observasi ke-it dari P variabel bebas
αi
= efek individu yang berbeda-beda untuk setiap individu ke-i
it
= error regresi seperti halnya pada model regresi klasik.
Untuk mengestimasi model dengan data panel, terdapat beberapa pendekatan, yaitu:
1.
Common Effect Model, model ini merupakan pendekatan data panel yang paling
sederhana. Model ini tidak memperhatikan dimensi individu maupun waktu sehingga
diasumsikan bahwa perilaku antar individu sama dalam berbagai kurun waktu. Model ini
hanya mengkombinasikan data time series dan cross section dalam bentuk pool,
mengistemasinya menggunakan pendekatan kuadrat terkecil (pooled least square).
2.
Fixed Effect Model, mengasumsikan bahwa terdapat efek yang berbeda antar
individu. Perbedaan itu dapat diakomodasi melalui perbedaan pada intersepnya, dalam
model ini setiap individu merupakan parameter yang tidak diketahui dan akan diestimasi
dengan menggunakan teknik variabel dummy.
3.
Random Effect Model, mengasumsikan efek dari masing-masing individu
diperlakukan sebagai bagian dari komponen error yang bersifat acak dan tidak berkorelasi
dengan variabel penjelas yang teramati. Model ini sering disebut juga dengan error
component model (ECM).
Ada tiga teknik analisis dalam menggunakan data panel yaitu common effect, fixed
effect model, dan random effect model. Untuk memilih model yang lebih baik atau lebih
tepat dari ketiga teknik analisis tersebut, maka diperlukan beberapa pengujian yang harus
dilakukakn, yaitu Uji F (Uji Chow), Uji Hausman, serta Uji LM (Lagrange Multiplier). Uji
LM perlu dilakukan apabila hasil Uji F menunjukkan bahwa Common Effect sebagai
model yang sesuai sementara ujii Hausman menunjukkan Random Effect sebagai model
yang sesuai, sehingga untuk membandingkan antara kedua model tersebut perlu uji LM.
Ada beberapa uji teknik untuk memilih model yang lebih baik digunakan dalam penelitian
ini:
a.
Uji Chow; untuk menentukan manakah yang lebih sesuai digunakan dalam
penelitian ini antara common (pool) dengan fixed effect. Untuk pendekatan Fixed Effects
atau common menggunakan uji F statistik.
Dengan asumsi hipotesa sebagai berikut:
H0 : metode pooled least square
H1 : metode fixed effects
Kriteria jika Fhit > Ftabel maka H0 ditolak
b.
Uji Hausman; bertujuan untuk memilih apakah menggunakan metode fixed effect
atau random effects yang paling baik untuk digunakan.
Dengan asumsi hipotesa sebagai berikut:
H0 : metode random effect
H1 : metode fixed effects
Kriteria jika X2hit > X2(p,α), dimana P= jumlah koefisien slope atau P-value < α (tingkat
kesalahan), maka tolak H0.
c.
Uji LM (lagrange Multiplier); bertujuan untuk memilih apakah menggunakan
metode random effects atau common effects yang paling baik digunakan.
Dengan asumsi hipotesa sebagai berikut:
H0 : metode common effects
H1 : metode random effects
Jika LM lebih besar dari chi-square pada table signifikan (α tertentu), maka H0
ditolak.
Pertimbangan-pertimbangan dalam memilih fixed effects atau random effects adalah
sebagai berikut (Judge dalam Manurung, 2005: 220):
1.
Jika T (banyaknya unit time series) besar sedangkan N (jumlsh unit cross section)
kecil, maka hasil fixed effects dan random effects tidak jauh berbeda sehingga dapat dipilih
pendekatan yang lebih mudah dihitung yaitu fixed effects model.
2.
Apabila T kecil dan N besar, maka hasil estimasi kedua pendekatan akan berbeda
jauh. Jadi jika kita menyakini bahwa unit cross section yang dipilih dalam penelitian
diambil secara acak (random), maka random effects model harus digunakan. Sebaliknya,
apabila diyakini bahwa unit cross section tidak diambil secara acak maka harus kita
gunakan fixed effects model.
3.
Apabila komponen error individual (εit) berkorelasi dengan variabel bebas X maka
parameter yang diperoleh dengan random effects akan bisa bias sementara parameter yang
diperoleh dengan fixed effects tidak bias.
4.
Jika T kecil dan N besar serta asumsi yang mendasari random effects dapat
terpenuhi, maka random effects lebih efisien dibandingkan fixed effects.
Model regresi linier sederhana sebagai berikut:
Y = α + βX + ε……………………………………………………….…..(3.3)
Diformulasikan menjadi :
…………………………………………….(3.4)
………………………………………..……..(3.5)
………………………………………...…….(3.6)
Dimana :
G
= Belanja Daerah kabupaten/kota
PE
= Pertumbuhan Ekonomi
U
= Pengangguran
P
= Kemiskinan
α
= Konstanta
β1, β2
= Koefisien Regresi
ε
= error term
i
= Kabupaten/Kota Provinsi Aceh
t
= Waktu (2008 – 2011)
Definisi Operasional Variabel

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Aceh dalam penelitian ini adalah
realisasi belanja daerah 23 Kabupaten/Kota Provinsi Aceh dari tahun 2008-2011yang
diukur dalam satuan rupiah (Rp).

Pertumbuhan ekonomi adalah pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan 2000
dihitung dalam satuan persen.

Pengangguran adalah persentase jumlah penduduk yang menganggur di daerah
Aceh yang dinyatakan dalam satuan persen.

Kemiskinan adalah persentase jumlah penduduk miskin pada daerah penelitian
yaitu Aceh setiap tahun dalam satuan persen.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Analisis Pengaruh Belanja Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Analisis regresi yang akan dilakukan adalah analisis pengaruh realisasi belanja
daerah terhadap pertumbuhan ekonomi pada 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Adapun
hasil analisis tersebut dipaparkan pada tabel 4.10 di bawah ini:
Tabel 4.1
Hasil Analisis Regresi untuk Pengaruh Belanja Daerah terhadap Pertumbuhan
Ekonomi dengan Metode Fixed Effect Model
Fixed Effect Model
Variabel Dependen
Variabel Independen
C
Belanja Daerah
R-square
Adjusted R-square
: Pertumbuhan ekonomi
Koefisien
Std. Error
-6.84E+12
3.22E+11
6.25E+11
2.79E+10
= 0.973568
= 0.964634
t-statistik
-21.20389
22.394909
Prob(p-value)
0.0000
0.0000
F-statistic
= 108.9651
Prob(F-statistic)
= 0.000000
Sumber : Hasil Pengolahan Eviews (2013)
Nilai konstanta sebesar -6.840.000.000.000 menjelaskan apabila diasumsikan
realisasi belanja daerah adalah tetap (tidak mengalami perubahan), maka tingkat
pertumbuhan ekonomi pada 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh akan mengalami
penurunan sejumlah 6,84 persen. Koefisien untuk belanja daerah sebesar 625.000.000.000
menjelaskan bahwa belanja daerah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi,
artinya setiap meningkat belanja daerah sebesar satu persen, maka dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi sebesar 6,25 persen dengan asumsi cateris paribus. Apabila dilihat
dari nilai Thitung variabel sebesar -21,20389 dengan probabilitas sebesar 0,0000 , artinya
probabilitas (p-value) lebih besar dari α = 5 persen (0,0000 < 0,05) sehingga dengan
tingkat keyakinan 95 persen dapat disimpulkan kita menolak hipotesis nol (H0).
Kesimpulannya adalah realisasi belanja daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi. Nilai Adj.R2 adalah 0,9646 yang artinya 96,46 persen pertumbuhan
ekonomi dipengaruhi oleh realisasi belanja daerah dan 3,54 persen dipengaruhi oleh
variabel lain.
Hasil Analisis Pengaruh Belanja Daerah terhadap Pengangguran
Analisis yang akan dilakukan adalah pengaruh belanja daerah terhadap
penganguran pada 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Adapun hasil analisisnya dapat
dilihat pada tabel 4.2.
Tabel 4.2
Hasil Analisis Regresi untuk Pengaruh Belanja Daerah terhadap Pengangguran
dengan Metode Fixed Effect Model
Fixed Effect Model
Variabel Dependen
: Pengangguran
Variabel Independen Coeffisient
Std. Error
C
5.61E+11
3.93E+10
Belanja Daerah
-1.13E+10
4.68E+09
R-squared
= 0.880474
Adjusted R-squared = 0.840046
F-statistic
= 21.77891
Prob(F-statistic)
= 0.000000
Sumber : Hasil Pengolahan Eviews (2013)
t-statistik
14.27577
-2.421202
Prob(p-value)
0.0000
0.0181
Tabel 4.2 menunjukkan nilai konstanta sebesar 561.000.000.000 menjelaskan
apabila diasumsikan realisasi belanja daerah adalah tetap (tidak mengalami perubahan),
maka tingkat pengangguran pada 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh secara konstan akan
mengalami peningkatan sejumlah 5,61 persen. Koefisien untuk realisasi belanja daerah
sebesar -1.13E+10 menjelaskan setiap meningkatnya belanja daerah sebesar satu miliar
rupiah, maka dapat menurunkan pengagguran sebesar 1,13 persen dengan asumsi cateris
paribus. Jika dilihat dari nilai Thitung variabel sebesar -2,421202 dengan probabilitas
sebesar 0,0181, artinya probabilitas (p-value) lebih kecil dari α = 5 persen (0,0181 < 0,05)
sehingga dapat diambil kesimpulan kita menolak hipotesis nol (H0) dan menerima H1.
Kesimpulannya adalah realisasi belanja daerah berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap pengangguran. Sedangkan nilai Adj.R2 sebesar 0,84 menggambarkan bahwa
variabel pengangguran dipengaruhi oleh variabel realisasi belanja daerah sebesar 84
persen, sisanya 16 persen dipengaruhi oleh variabel lainnya.
Hasil Analisis Pengaruh Belanja Daerah terhadap Kemiskinan
Analisis yang akan dilakukan adalah pengaruh realisasi belanja daerah terhadap
kemiskinan pada 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Adapun hasil analisisnya dapat
diterangkan pada tabel 4.3 berikut:
Tabel 4.3
Hasil Analisis Regresi untuk Pengaruh Belanja Daerah terhadap Kemiskinan dengan
Metode Fixed Effect Model
Fixed Effect Model
Variabel Dependen
: Kemiskinan
Variabel Independen Coeffisient
Std. Error t-statistik
Prob(p-value)
C
8.74E+11
1.01E+11 8.663059
0.0000
Belanja Daerah
-1.90E+10
4.69E+09 -4.038863
0.0001
R-squared
= 0.895289
Adjusted R-squared = 0.859872
F-statistic
= 25.27854
Prob(F-statistic)
= 0.000000
Sumber : Hasil Pengolahan Eviews (2013)
Berdasarkan tabel 4.3 nilai konstanta sebesar 874.000.000.000 menjelaskan apabila
diasumsikan realisasi belanja daerah adalah tetap (tidak mengalami perubahan), maka
tingkat kemiskinan pada 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh secara konstan akan
mengalami penurunan sejumlah 8,74 persen. Koefisien untuk realisasi belanja daerah
sebesar -19.000.000.000 menggambarkan setiap meningkatnya realisasi belanja daerah
sebesar satu miliar rupiah, maka dapat menurunkan kemiskinan sebesar 1,90 persen
dengan asumsi cateris paribus. Jika dilihat dari nilai Thitung variabel sebesar -4,038863
dengan probabilitas sebesar 0,0001 artinya probabilitas (p-value) lebih kecil dari α = 5
persen (0,0001 < 0,05) sehingga dapat disimpulkan kita menolak hipotesis nol (H0) dan
menerima H1. Kesimpulannya adalah realisasi belanja daerah berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap kemiskinan. Pada hasil Adj.R2 yaitu 0,8598 menunjukkan variabel
realisasi belanja daerah mempengaruhi variabel kemiskinan sebesar 85,98 persen,
sedangkan sisanya 14,02 persen dipengaruhi oleh variabel lainnya.
5. PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil regresi dan pembahasan pada bab IV, dapat disimpulkan:
1.
Realisasi belanja daerah secara statistik berpengaruh positif dan signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi, hal ini sesuai dengan teori, artinya jika belanja daerah meningkat
maka pertumbuhan ekonomi juga akan mengalami peningkatan. Hasil ini berbeda dengan
penelitian Iskana untuk daerah Jawa Timur. Pertumbuhan ekonomi 96,46 persen
dipengaruhi oleh belanja daerah, sedangkan sisanya 3,54 persen dipengaruhi oleh variabel
lain.
2.
Realisasi belanja daerah terhadap pengangguran berpengaruh negatif dan
signifikan, sehingga apabila belanja daerah meningkat, maka tingkat pengangguran akan
berkurang. Belanja daerah mempengaruhi pengagguran sebesar 84 persen, sisanya 16
persen dipengaruhi oleh variabel lainnya. Hasil tersebut juga berbeda dari penelitian yang
dilakukan oleh Hamzah.
3.
Realisasi belanja daerah berpengaruh negatif dan signifikan secara statistik
terhadap kemiskinan. Jika belanja daerah meningkat, maka tingkat kemiskinan akan
mengalami penurunan atau berkurang. Kemiskinan 85,98 persen dipengaruhi oleh belanja
daerah, sedangkan variabel lain yang mempengaruhi kemiskinan hanya 14,02 persen. Hasil
ini juga berbeda dari penelitian Rudiningtyas.
Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan, maka ada beberapa saran yang dapat
dikemukakan:
1.
Pemerintah daerah kabupaten/kota harus mampu mengelola belanja daerah masing-
masing sebaik mungkin dengan cara mengoptimalkan belanja modal agar pertumbuhan
ekonomi daerah dapat ditingkatkan, tingkat pengangguran serta kemiskinan dapat
diminimalisir atau dikurangi.
2.
Pemerintah daerah dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi tingkat
pengangguran dengan cara memberikan modal usaha bagi mereka yang membuka usaha
baru dan sehingga dapat menyerap sebahagian tenaga kerja yang kemudian akan dapat
mengentaskan kemiskinan di Aceh. Hasil penelitian ini sekiranya dapat menjadi acuan
bagi Pemerintah Aceh dalam pengambilan kebijakan publik secara efektif pada anggaran
belanja daerah.
3.
Pemerintah daerah diharapkan mampu memperbaiki pertumbuhan ekonomi
menjadi lebih baik dengan kebijakan-kebijakan yang mampu mendongkrak perekonomian,
seperti pemberian bibit-bibit unggul pertanian pada masyarakat agar mereka dapat
menghasilkan produksi yang besar dan memperoleh pendapatan yang besar juga.
4.
Diharapkan kepada peneliti selanjutnya dapat meneliti lebih lanjut pada anggaran
belanja yang lebih khusus, seperti belanja pendidikan, belanja pegawai, dan belanjabelanja lainnya agar lebih tepat hasil dan teori yang mempengaruhi secara langsung.
Diharapkan juga agar dapat menambah beberapa variabel lain yang lebih mendukung teori
serta memperbanyak jumlah data atau sampel yang akan diteliti, sehingga akan
memperoleh hasil yang lebih baik dan akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah. (2013). Tabloid Tabangun Aceh,maret 2013, Banda Aceh.
Badan Pusat Statistik. (2006). Statistik Indonesia 2006. Aceh.
________. (2013). Statistik Indonesia 2013, Banda Aceh. Aceh.
Boediono. (1999). Teori Pertumbuhan Ekonomi. Penerbit Badan Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Dritsakis, Nikolas dan Adamopoulus, Antonis. (2004). A Causal Relationship Between
Government
Spending
and
Economic
Development:
An
Empirical
Examination of the Greek Economy. Journal Applied Economics.
Endri,
(2011).
Model
Regresi
Panel
Data
dan
Aplikasi
Eviews.
http://programdoktorpersada.files.wordpress.com/2011/12/data-panel.pdf.
Fadly,Ferdi.(2012).Tutorial-eviews-import-data-panel.
http://ferdifadly.blogspot.com/2012/03/tutorial-eviews-import-data-panelfile.html di akses tanggal 8 oktober 2013.
Gujarati, N.Damodar. (2003). Basic Economertis, fourth edition. New York: McGrawHill
___________. (2011). Dasar-dasar Ekonometrika, edisi kelima. Jakarta: Salemba
Empat.
Hamid, Edy Suandi. (2008). Sistem Ekonomi dan Pemberantasan Kemiskinan.
Lembaga Penelitian SMERU Research Institute. Jakarta.
Hamzah, Ardi. (2007). Pengaruh Belanja Dan Pendapatan Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi, Kemiskinan, Dan Pengangguran (Studi Pada APBN 1999-2006).
Konferensi Penelitian. Akuntansi dan Keuangan Sektor Publik Pertama. Jatim;
Pasca Sarjana PNU.
Iskana, Ida. (2009). Pengaruh Belanja dan Pendapatan Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi, Kemiskinan, Dan Pengangguran. SKRIPSI, tidak dipublikasikan,
Malang, Fakultas Ekonomi Universitas Islam Malang.
Ismawanto. (2009). Ekonomi 3: Untuk SMA dan MA Kelas XII, Jakarta: Pusat
Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.
Jhingan, M.L. (2004). Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Jonaidi, Arius. (2012). Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan. Jurnal Kajian
Ekonomi, Volume 1, Nomor 1.
Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD).
Kuncoro, Mudrajad. (2004). Otonomi dan Pembangunan Daerah, Jakarta. Penerbit:
Erlangga.
___________. (2006). Ekonomika Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan,
UPP Akademi Manajemen Perusahaan YKPN.
Mankiw, N.Gregory. (2006). Principles Of Economics Pengantar Ekonomi Makro.
Edisi Ketiga. Jakarta: Salemba Empat.
Manurung, Jonni J, Adler Haymans Manurung, dan Ferdinand Dehoutman Saragih.
(2005). Ekonometrika Teori dan Aplikasi. Jakarta: Penerbit PT Elex Media
Komputindo.
Rahardja, Prathama. (2008). Teori Ekonomi Makro, Suatu Pengantar. Edisi keempat.
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Republik Indonesia. (2002). Keputusan Menteri Dlam Negeri Nomor 29 Tahun 2002
tentang Pedoman Pengurusan Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keunagan
Daerah serta Tata Cara Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan
Anggara Pendapatan dan Belanja Daerah.
___________ .2006. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Rudiningtyas
D.A.
(2012).
Pengaruh
Pendapatan
dan
Belanja
Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan, dan Pengangguran(Studi Pada APBN
2004-2008). Jurnal. Fakultas Ekonomi Universitas Islam Malang (UNISMA).
Samuelson, A.Paul. (2004). Ilmu Makro Ekonomi. Edisi Tujuh Belas. Jakarta: PT Media
Global Edukasi.
Setiyati. (2007). Analisis pengaruh PAD, DAU, DAK, dan belanja Pembangunan
terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, dan pengangguran. Fakultas
Ekonomi Trunojoyo.
Soemitro, Djojohadikusumo. (1994). Perkembangan Pemikiran Ekonomi: Dasar Teori
Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
Sukirno, Sadono. (2004). Makro Ekonomi. Cetakan ke 5, Edisi 3. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Sukirno, Sadono. (2006). Makro Ekonomi. Cetakan ke 17, Edisi 3. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Suryana, (2000). Ekonomi Pembangunan, Problematika dan Pendekatan. Jakarta:
Salemba Empat.
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
UUD 1945, Pasal 23 tentang Keuangan Negara
________, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
http://id.wikipedia.org/wiki/Indeks_Pembangunan_Manusia di akses tanggal 8 september
2013.
http://gerilyastatistik.wordpress.com/tag/david-ricardo/ di akses tanggal 8 september 2013.
Download