BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bersosialisasi dengan sesamanya merupakan kebutuhan mutlak manusia yang kemudian membentuk kelompok-kelompok tertentu dengan sesamanya tersebut. Tentulah kita menyadari bahwa setiap kelompok masyarakat selalu memiliki problem sebagai akibat adanya perbedaan antara yang seharusnya atau yang diharapkan untuk dilakukan dan apa yang dalam kenyataan dilakukan. Standar dan nilai-nilai kelompok dalam masyarakat mempunyai variasi sebagai faktor yang menentukan tingkah laku. Situasi yang demikian membuat kelompok itu berhadapan dengan problem untuk menjamin ketertiban bila kelompok itu ingin mempertahankan eksistensinya.1 Inilah yang kemudian menimbulkan reaksi kelompok itu terhadap tingkah laku yang menyimpang tersebut agar dapat dikendalikan. Hukum yang diharapkan dapat menjadi “alat” untuk dapat mengendalikan tindakan-tindakan yang menyimpang dari pola kehidupan yang diharapkan.2 Kerangka Negara Indonesia pun mendudukkan hukum pada posisi yang dapat dikatakan istimewa. Ini dikarenakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang merupakan sumber hukum utama di Indonesia secara eksplisit telah dicantumkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Konsekuensinya adalah setiap warga Negara Indonesia dalam 1 Ronny Hanitijo Soemitro, 1985, Beberapa Masalah dalam Studi Hukum dan Masyarakat, Remadja Karya, Bandung, hlm. 53. 2 H. Zainuddin Ali,2005, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 24. 1 menjalankan hubungan-hubungan hukum baik secara individu maupun secara bermasyarakat dan bernegara harus senantiasa berlandaskan hukum.3 Hukum bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat itu. Hukum mempunyai tugas untuk menjaga adanya kepastian hukum dalam masyarakat, menjaga dan mencegah agar setiap orang jangan menjadi hakim atas dirinya sendiri (eigenricthing), tidak mengadili dan menjatuhkan hukuman terhadap setiap pelanggaran hukum terhadap dirinya.4 Kepastian hukum membuat masyarakat akan tahu kejelasan mengenai hak dan kewajibannya menurut hukum. Ketiadaan kepastian hukum akan membuat orang tidak tahu apa yang harus diperbuat, tidak mengetahui perbuatannya benar atau salah, dilarang atau tidak dilarang oleh hukum. Kepastian hukum ini dapat diwujudkan melalui penormaan yang baik dan jelas dalam suatu undang-undang dan akan jelas pula penerapannya. Singkat kata, kepastian hukum itu berarti tepat hukumnya, subjeknya dan objeknya serta ancaman hukumannya. Kepastian ini dapat menciptakan suatu keteraturan dalam kehidupan bermasyarakat karena setiap orang dapat mengadakan perhitungan-perhitungan tentang apa yang akan terjadi atau apa yang bisa diharapkan.5 Hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain maupun hubungan antara manusia dengan corporatie atau corporatie dengan corporatie 3 Zainal Arifin Hoesein, 2013, Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Imperium, Yogyakarta, hlm. 6. 4 C.S.T Kansil, 1984, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 40-41. 5 Mochtar Kusumaatmadja, B. Arief Sidharta, 2000, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I, Alumni, Bandung, hlm. 50. 2 ini merupakan hubungan hukum privat sehingga persoalan-persoalan ini diatur dalam hukum perdata. Salah satu asas dalam hukum acara perdata di Indonesia adalah asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Sayangnya, apabila kita merujuk pada praktiknya pada dewasa ini, dimana penyelesaian suatu perkara perdata dimulai dari tingkat pertama pada saat diajukannya gugatan ke pengadilan negeri, kemudian tingkat kedua yaitu banding pada pengadilan tinggi dan kasasi kepada Mahkamah Agung, untuk dapat diajukannya permohonan eksekusi oleh pihak yang menang dalam perkara itu biasanya memerlukan waktu yang cukup lama bahkan bertahun-tahun. Ini tentulah sangat merugikan bagi pihak yang menang dalam perkara tersebut dikarenakan harus menunggu dalam waktu yang relatif lama untuk dapat segera menikmati manfaat dari pokok perkara yang dimenangkan. Ditambah lagi dengan biaya-biaya perkara yang harus dikeluarkan selama proses perkara itu berlangsung dan beban psikologis yang dialami oleh pihak-pihak yang berperkara itu. Setelah ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewisjde) maka tujuan dari pihak yang mencari keadilan telah terpenuhi. Ini bukanlah akhir dari perkara tersebut dikarenakan pihak yang menang haruslah menjadi pihak yang menang tidak hanya diatas kertas namun juga benar-benar harus ada pelaksanaan dari putusan tersebut. Untuk dapat melaksanakan putusan ini pun sering memakan waktu yang tidak singkat karena tidak sedikit pihak yang kalah yang tidak mau melaksanakan putusan dengan sukarela sehingga harus dilakukan beberapa langkah lainnya untuk dapat menjamin kepastian hukum dari putusan tersebut. 3 Ada sebuah ketentuan yang merupakan penyimpangan dalam hal ini, yaitu terdapat dalam Pasal 180 Ayat (1) HIR/Pasal 191 Ayat (1) RBG mengenai putusan yang pelaksanaannya dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun ada banding dan kasasi. Putusan itu dapat dilaksanakan meskipun putusan itu belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Lembaga ini dikenal dengan uitvoerbaar bij voorraad.6 Memperhatikan dasar hukum dari putusan serta-merta (uitvoerbaar bij voorraad) yaitu Pasal 180 Ayat (1) HIR, Pasal 191 Ayat (1) RBg dan Pasal 355 Rv menyatakan bahwa walaupun ada perlawanan terhadap putusan pengadilan negeri, pengadilan negeri itu boleh memerintahkan supaya putusan hakim itu dijalankan lebih dahulu jika ada surat yang sah, suatu surat tulisan yang menurut peraturan tentang hal itu boleh diterima sebagai bukti atau jika ada keputusan hukuman lebih dahulu dengan putusan yang sudah menjadi tetap, demikian pula jika dikabulkan tuntutan dahulu, lagi pula di dalam perselisihan tentang hak milik. Praktik di lapangan menunjukkan, eksekusi dari putusan serta-merta sangatlah menimbulkan suasana yang dilematis. Pengadilan negeri berani mengabulkan gugatan dengan putusan serta-merta, tetapi enggan dan tidak berani untuk melaksanakan eksekusinya. Putusan serta merta yang dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi umumnya akan menimbulkan masalah baru. Ketika suatu objek milik tergugat yang dijadikan jaminan dalam hutang-piutang dilakukan lelang untuk kemudian dilaksanakannya eksekusi pembayaran sejumlah uang kepada penggugat sebagai pihak yang menang berdasarkan putusan serta merta. Kenyataannya, dalam hukum positif di Indonesia belum mengatur tentang 6 Sarwono, 2011, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 108. 4 pemulihan kembali kepada keadaan semula untuk barang yang telah dieksekusi berdasar putusan serta merta. Surat Edaran Mahkamah Agung yang memberikan arahan dan ketentuan untuk hal tersebut. Lelang dalam praktiknya mempunyai nilai limit, yaitu harga minimal barang yang akan dilelang dan dittetapkan oleh penjual/pemilik barang. Pasal 36 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013 Tahun 2013 mengatur bahwa nilai limit ditentukan oleh penjual/pemilik barang berdasarkan penilaian dari penilai atau penaksiran dari penaksir. Realitanya, harga jual dalam lelang jauh dibawah harga umum. Harga jual dari objek tidak akan dapat jauh melebihi dari harga limit (batasan harga minimal) yang ditentukan, kalau penjualan bisa melebihi dari harga limit yang ditentukan paling besar kemungkinan tidak lebih dari Rp 1.000.000,- karena dalam lelang umumnya apabila pembeli telah menawar harga dari objek yang dilelang memenuhi ketentuan dari harga limit dan atau selisihnya dari harga limit hanya terpaut Rp 1.000,- saja, maka penjualan melalui lelang dinyatakan sah dan selesai. Permasalahan yang besar akan timbul ketika tergugat yang kalah di pengadilan negeri melakukan upaya hukum banding atau kasasi dan dimenangkan. Apabila pemohon banding ini menang dan meminta objek tersebut dikembalikan kepada keadaan semula padahal objek telah berpindah tangan ke pihak ketiga melalui lelang, penggugat yang dimenangkan di pengadilan negeri akan mengalami kesulitan besar. Dimana dalam Yuriprudensi Mahkamah Agung No. 251K/Sip/1958 dan No. 1230K/Sip/1980 menegaskan bahwa pembeli yang beritikad baik harus mendapat perlindungan hukum. Dilain pihak pun hukum 5 sangat diharapkan memberikan kepastian hukum untuk pemulihan kepada keadaan semula kepada tergugat asal. Hal yang demikian ini malah menimbulkan suatu ketidakpastian hukum bagi para pencari keadilan. Sangat banyak permasalahan yang ditimbulkan oleh putusan serta merta, namun pada penulisan tesis ini, penulis membatasi hanya pada pembahasan mengenai hal-hal yang dijabarkan dalam perumusan permasalahan di bawah ini. Tinjauan yuridis yang digunakan dalam tesis ini adalah menitikberatkan pada kepastian hukum. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam memutus putusan serta merta dan dampak yuridis apa yang ditimbulkan oleh putusan serta merta tersebut? 2. Bagaimanakah kepastian hukum dalam pengembalian dan pemulihan kepada keadaan semula barang yang sudah dilelang berdasarkan putusan serta merta? C. Keaslian Penelitian Masalah yang dibahas dalam penulisan ini belum pernah dipecahkan oleh peneliti terdahulu. Ada beberapa penulisan yang membahas tentang putusan serta merta (uitvoebaar bij voorraad), namun inti dari permasalahan yang dihadapi berbeda dengan inti permasalahan yang ditulis oleh penulis. 1. Sebuah Tesis oleh Elly Kristiani Purwendah dengan judul Relevansi Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad) dan Pemulihan Keadaan Semula di Dalam Praktek pada tahun 2002. 6 Tesis ini mempunyai satu rumusan permasalahan yang dibahas yaitu masih relevankah putusan serta merta dan bagaimanakah pemulihan keadaan semula didalam praktik? Dari hasil penelitian dan pembahasan tesis ini memberikan jawaban bahwa putusan serta merta masih relevan untuk dilaksanakan sepanjang mengenai objek eksekusi benda tetap dan benda bergerak atas nama. Apabila sudah ditetapkan sita jaminan maka itu sebenarnya telah cukup dan tidak perlu dilakukan putusan serta merta. Haruslah dibuat peraturan yang mengatur mengenai pemberian jaminan yang bukan uang atau benda tertentu, namun jaminan cukup diberikan dalam bentuk surat pernyataan dari pihak pemohonan putusan serta merta dengan pernyataan sanggup untuk tidak melakukan tindakan peralihan, merubah bentuk atau wujudnya sampai adanya putusan berkekuatan hukum tetap.7 2. Sebuah Tesis oleh Kukuh Subyakto dengan judul Akibat Hukum Terhadap Pelaksanaan Putusan Yang Dapat Dijalankan Lebih Dulu pada tahun 2005. Penulisan ini membahas 2 (dua) rumusan masalah yaitu mengenai akibat hukum dibatalkannya putusan terhadap penggugat yang tidak mau secara sukarela menyerahkan objek sengketa dan mengenai akibat hukum dilaksanakan putusan yang kemudian dibatalkan, sedangkan objek sudah berpindah tangan. Dijelaskan bahwa apabila penggugat tidak bersedia secara sukarela mengembalikan objek sengketa yang dikuasainya berdasarkan putusan dijalankan terlebih dulu pada tergugat, maka pihak 7 Elly Kristiani Purwendah, 2002, Relevansi Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad) dan Pemulihan Keadaan Semula di Dalam Praktek, Tesis,Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 7 tergugat dapat mengajukan permohonan eksekusi paksa kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat agar barang yang berada ditangan penggugat dikembalikan lagi kepadanya. Dalam pembahasan menjawab permasalahan kedua, apabila barang sudah ada di tangan pihak ketiga maka cara pemulihannya adalah berdasarkan permohonan eksekusi dari tergugat kepada Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Apabila cara berpindah tangannya objek sengketa adalah cacat hukum maka itu harus dibatalkan dan melalui prosedur gugatan kembali sedangkan apabila tidak cacat hukum maka tergugat hanya dapat menuntut jaminan yang diserahkan oleh penggugat dengan jumlah yang sama.8 3. Tesis Rr Kurnia Setiawati dengan judul Implementasi Tuntutan Untuk Dilaksanakan Lebih Dahulu (Uitvoerbaar Bij Voorraad) Pada Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada tahun 2012. Dalam tesis ini penulis membahas mengenai pelaksanaan putusan dilaksanakan lebih dahulu pada pengadilan hubungan industrial dimana pihak yang bersengketa adalah pekerja dengan pengusaha dimana yang diusahakan untuk dilindungi adalah hak dari para pekerja sehingga peranan dari putusan yang dilaksanakan terlebih dahulu sangat diharapkan. Tesis ini membahas mengenai tuntutan uitvoerbaar bij voorraad dalam praktik pada Pengadilan Hubungan Industrial dimana apabila dikaitkan antara beracara di Pengadilan Hubungan Industrial dengan di Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 8 Kukuh Subyakto, 2005, Akibat Hukum Terhadap Pelaksanaan Putusan Yang Dapat Dijalankan Lebih Dulu, Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 8 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dinyatakan hukum acara yang berlaku adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini.9 Perbedaan karya tulis penulis dengan penelitian lain yang relevan yaitu 3 (tiga) tesis yang sudah penulis paparkan hasil penelitiannya di atas, perbedaannya terletak pada fokus bahasan dari penulis yang akan membahas secara spesifik mengenai pengembalian kepada keadaan semula bagi objek sengketa yang berpindahnya objek sengketa ke pihak ketiga melalui lelang berdasarkan putusan serta merta yang kemungkinan besar menimbulkan kerugian yang besar apabila harga penjualan menjadi tidak maksimal dan kemudian dikemudian hari dikeluarkan pula putusan yang membatalkan putusan serta merta tersebut. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran baik dari aspek akademis maupun dari aspek praktis, yaitu sebagai berikut: 1. Secara akademis. Dari penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam ilmu hukum perdata khususnya hukum acara perdata dan terlebih khusus lagi terkait dengan putusan serta merta dan dampaknya terhadap barang yang sudah dilakukan penjualan lelang. 9 Rr Kurnia Setiawati, 2012, Implementasi Tuntutan Untuk Dilaksanakan Lebih Dahulu (Uitvoerbaar Bij Voorraad) Pada Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 9 2. Secara praktis. Dari penelitian yang dilakukan diharapkan bermanfaat dan dapat memperkaya referensi yang dapat dijadikan masukan dan pertimbangan bagi para stakeholder, bagi para hakim, para pencari keadilan, para mahasiswa serta masyarakat pada umumnya. E. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian-uraian dalam latar belakang dan rumusan permasalahan sebagaimana tersebut diatas, maka penelitian yang dilakukan ini dimaksudkan: 1. Untuk mengkaji tentang dasar pertimbangan hakim dalam memutus putusan serta merta dan dampak yuridis yang ditimbulkan oleh putusan serta merta. 2. Untuk mengkaji tentang kepastian hukum dalam pengembalian dan pemulihan kepada keadaan semula barang yang sudah dilelang berdasarkan putusan serta merta. 10