BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Perubahan sosial merupakan bagian kehidupan yang tak bisa dihindari
oleh masyarakat modern yang dinamis. Dalam buku Sosiologi Suatu Pengantar,
Soerjono Soekanto (1990) menjelaskan bahwa perubahan sosial merupakan gejala
wajar yang timbul akibat dari pergaulan hidup manusia.
Namun faktanya tak semua perubahan sosial merupakan perubahan yang
membawa pengaruh positif dalm artian tak semua perubahan selaras dengan
norma serta nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini yang kemudian
dimengerti sebagai masalah sosial. Jadi pada dasarnya, masalah sosial
menyangkut nilai-nilai sosial dan moral. Masalah tersebut merupakan persoalan,
karena menyangkut tata kelakuan yang immoral, berlawanan dengan hukum dan
bersifat merusak (Soekanto, 1990 : 397).
Dua hal menarik hingga saat ini masih menjadi masalah sosial yang pelik
ialah penyalahgunaan narkotika serta seks bebas yang dipahami para pelakonnya
sebagai gaya hidup. Gaya hidup menurut Weber, berarti persamaan status
kehormatan yang ditandai dengan konsumsi terhadap simbol-simbol gaya hidup
yang sama (Sunarto, 2000 : 93).
Narkotika yang dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika ditegaskan sebagai zat yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri,
dan
dapat
menimbulkan
1
ketergantungan
(http://www.negarahukum.com/hukum/pengertian-narkotika.html),
dinilai
masyarakat berbahaya bagi kondisi psikologis penggunanya. Sementara itu,
perilaku seks bebas yang berarti melakukan hubungan seks dengan tanpa ikatan
yang sah menurut agama dan hukum, dipandang sebagai perusak moral karena tak
sesuai dengan norma dan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat Indonesia.
Penggunaan narkoba dan perilaku seks bebas semakin mendapat sorotan
dari masyarakat ketika kedua masalah sosial tersebut diketahui beresiko
menyebarkan HIV AIDS, yaitu virus yang hingga saat ini tidak dapat
disembuhkan dari tubuh penderitanya.
Mengutip dari situs Aids Indonesia, HIV (Human Immunodeficiency
Virus) adalah virus yang menyebabkan rusaknya atau melemahnya sistem
kekebalan tubuh manusia. Virus tersebut membutuhkan sel-sel kekebalan tubuh
manusia untuk dapat berkembangbiak. Semakin berkurangnya daya tahan tubuh
seseorang, maka virus ini akan semakin bertambah banyak (berkembang biak) dan
merusak imunitas tubuh sesorang. Ketika jumlah virus bertambah banyak, hal ini
mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan yang terus menerus. Virus
tersebut tinggal dalam cairan tubuh manusia (darah, cairan sprema, vagina dan air
susu ibu). Sementara fase HIV menjadi AIDS (Acquired Immunodeficiency
Syndrome) ditunjukkan dengan gejala dan infeksi yang terkait dengan
menurunnya
sistem
kekebalan
tubuh
penderitanya
(http://www.aidsindonesia.or.id/dasar-hiv-aids).
Kaitan penyalahgunaan narkotika dengan menyebarnya HIV AIDS
terdapat bilamana pengguna narkotika jenis jarum suntik (heroin atau “putauw”)
mengonsumsi satu jarum suntik bersama-sama dengan pengguna lainnya.
2
Sedangkan dalam kasus perilaku seks bebas, HIV AIDS menyebar bilamana
pelakonnya mengidap Infeksi Menular Seksual (IMS) dan melakukan hubungan
seksual tanpa alat kontrasepsi (kondom). Yang jelas semua metode atau cara
penularan infeksi HIV adalah berawal dari suatu gaya hidup yang tidak benar.
Selama masyarakat memiliki gaya hidup yang benar, maka tidak ada celah atau
kekuatiran yang bermakna akan terinfeksi virus yang amat berbahaya ini
(http://internis.org/sejarah-hiv-aids).
Epidemi HIV AIDS diawali saat peneliti mengidentifikasi sejenis
simpanse sebagai sumber infeksi HIV ke manusia di Afrika Selatan. Simian
Immunodeficiency Virus (SIV) diyakini yang menularkan virus ke tubuh manusia.
Virus ini bermutasi menjadi Human Immunodeficiency Virus (HIV) saat manusia
memburu hewan ini untuk pangan. Pada keadaan ini diduga terjadi kontak dengan
darah simpanse yang telah terinfeksi virus imunodefisiensi. Perlahan namun pasti,
virus ini menyebar ke seluruh daratan Afrika dan bagian lain di seluruh dunia.
Pada tahun 1986, tipe virus HIV-2 ditemukan dan diisolasi dari penderita AIDS di
Afrika Selatan. Transmisi virus HIV-2 serupa dengan transmisi virus HIV-1 dan
mengakibatkan gejala-gejala infeksi yang tidak berbeda dengan gejala-gejala yang
diakibatkan virus HIV-1. Pada penderita yang terinfeksi virus HIV-2, perjalanan
menjadi AIDS dinyatakan lebih lambat dan lebih ringan dibandingkan penderita
yang terinfeksi virus HIV-1. Selain itu, di tahap awal, penularan virus HIV-2 lebih
rendah dibandingkan penularan virus HIV-1. Namun, pada tahap lanjut, risiko
penularan infeksi HIV-2 lebih tinggi dibandingkan penularan infeksi HIV-1.
Infeksi HIV-2 lebih sering ditemukan di daratan Afrika. Kasus pertama infeksi
virus HIV-2 ditemukan di Amerika Serikat tahun 1987 dan kemudian ditemukan
3
pula kasus-kasus infeksi HIV-2 di bagian dunia yang lain. Infeksi virus HIV
menyebar dengan cepat ke seluruh pelosok dunia, terutama akibat penularan
secara kontak atau hubungan badan. Sebesar 75% kasus terjadi akibat faktor risiko
ini, terutama hubungan badan lain jenis (http://internis.org/sejarah-hiv-aids).
Epidemi ini sendiri muncul di Indonesia dan mulai dilaporkan pertama
kali ke Kementrian Kesehatan pada tahun 1987 oleh Dinas Kesehatan Provinsi
Bali setelah kematian turis asal Belanda, Edward Hop. Hingga akhir tahun
tersebut terdapat enam pengidap HIV dan dua di antaranya sudah memasuki fase
AIDS (http://pitamerah.tripod.com/sejarahperkembangan.htm).
Prof.Dr.dr. Samsuridjal Djauzi, SpPD dalam kuliah umum “WOMAN
HEALTH AND SOCIAL PROTECTION ON PATIENT WITH HIV/AIDS”
menjelaskan bahwa penularan HIV di Indonesia pada umumnya terjadi karena;
hubungan seksual; penggunaan narkoba suntikan disertai penggunaan jarum
suntik bersama (prevalensi HIV tinggi sekitar 60%); Ibu hamil positif HIV
menularkan ke bayinya; tranfusi darah dari orang yang terjangkit HIV.
Laporan Kementerian Kesehatan triwulan III pada tahun 2012 mencatat,
dari tahun 1987 hingga September 2012, kasus HIV telah ditemukan di 341
kabupaten dari 497 kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia. Jumlah
kumulatif (1987-2012 akhir) menyatakan kasus HIV yang dilaporkan sebanyak
92.251
kasus.
Sementara
AIDS
berjumlah
39.434
kasus.
(http://www.aidsindonesia.or.id/category/data-kemenkes)
39.434 kasus tersebut tersebar 33 provinsi di Indonesia, dengan 10
provinsi yang memiliki jumlah populasi penderita HIV AIDS terbanyak, yaitu
Papua (7527 kasus), Jakarta (6.299 kasus), Jawa Timur (5.257 kasus), Jawa Barat
4
(4.098 kasus), Bali (2.939 kasus), Jawa Tengah (2.503 kasus), Kalimantan Barat
(1.699 kasus), Sulawesi Selatan (1.377 kasus), Riau (775 kasus) dan Sumatera
Barat (715 kasus) (http://www.aidsindonesia.or.id/category/data-kemenkes).
Kasus HIV AIDS masuk dan berkembang di Indonesia beriringan dengan
lahirnya istilah bagi para pengidap HIV AIDS yaitu ODHA (Orang dengan HIV
AIDS). Ironisnya, masyarakat Indonesia masih belum sepenuhnya merespon
kehadiran ODHA di tengah mereka dengan sikap yang positif dan kooperatif.
ODHA yang lekat dengan stigma bahwa ia beresiko menular menjadi penghambat
proses sosialisasi dirinya dengan masyarakat. Proses sosialisasi ODHA yang
terbatas menyebabkan terasingnya diri mereka saat melebur dengan masyarakat
hingga timbulnya sikap-sikap memojokkan seperti diskriminasi.
Beberapa kalangan merespon kehadiran ODHA dengan sikap diskriminasi
dalam bentuk pengucilan, dijauhi dan bahkan diintimidasi adalah gambaran sikap
dari masyarakat. Dalam dunia kesehatan, mungkin tak ada kelompok yang
menghadapi tekanan lebih dalam hal keterbukaan, daripada mereka yang memiliki
stigma (West dan Turner, 2010 : 169).
Cerita tentang diskriminasi ODHA pun datang dari pengakuan salah satu
staff Rumah Cemara, Donna atau yang akrab disapa Bunda. Bunda akan bercerita
tentang sikap diskriminatif yang terjadi saat ia bekerja di salah satu instansi
pemberantasan narkotika milik Pemerintah region Jawa Barat pada Febuari 2012
lalu. Selain cerita Bunda, kasus diskriminasi ODHA yang ramai diberitakan pada
Desember 2011, yakni mengenai Sekolah Dasar (SD) Don Bosco I, yang menolak
seorang calon siswa karena diketahui memiliki ayah ODHA.
5
Mengutip dari artikel kompas.com mengenai berita SD Don Bosco I yang
berjudul “Kasus Don Bosco Bukti Pengetahuan Soal HIV Masih Rendah”, Prof
Dr Zubairi Djoerban, SpPD-KHOM menjelaskan bahwa masyarakat seharusnya
memahami bahwa penularan HIV tidaklah semudah yang dibayangkan. Jalur
penularannya pun hanya melalui 4 (empat) cara yakni melalui penularan seksual,
jarum suntik narkotika (dipakai bersamaan), melalui ibu melahirkan yang
terinfeksi HIV, dan transfusi darah yang tidak diuji saring.
Menurut dr. Ekarini Aryasatiani, SpOG, Ketua Pokja HIV/AIDS, RSUD
Tarakan Jakarta Pusat, perlakuan diskriminatif masyarakat terhadap ODHA
adalah tindakan yang tidak manusiawi dan tidak adil, “"Stigma itu kan nggak
benar. Harusnya jauhi penyakitnya, bukan jauhi orangnya. Sementara kalau
misalnya dia memang positif, dia justru harus dikasih support untuk terus minum
obat."cetusnya.
(http://health.kompas.com/read/2011/12/03/11160988/www.kompas.com)
Akibat dari sikap diskriminatif masyarakat, beberapa pihak yang perduli
HIV AIDS, mencoba untuk merubah perspektif masyarakat yang negatif dan
menghapus stigma yang terlanjur melekat. Munculnya lembaga-lembaga sosial
yang melakukan kampanye-kampanye anti diskriminasi HIV AIDS adalah bentuk
kepedulian sosial dalam rangka memudarkan stigma tersebut
Pita Merah mengungkapkan ada beberapa tindakan keluarga dan
masyarakat yang dharapkan dalam membantu dan mendukung ODHA
(http://pitamerah.tripod.com/home.htm), misalnya :
6
1. Family concept, artinya lingkungan rumah atau suasana rumah
diciptakan agar pengidap HIV seperti merasa benar-benar berada di
rumah, misalnya mendapat kasih sayang, dan rasa bertanggung jawab
atas dirinya sendiri.
2. Role Model, adalah menggunakan orang yang pernah mengalami
kejadian yang serupa dengan pengidap HIV untuk menceritakan apa
yang harus dikerjakan di masa datang.
3. Positive Peer Pressure, adalah saling bertukar pikiran dalam satu
kelompok agar saling menilai dan memotivasi diri, contohnya tidak
kembali kepada ketergantungan terhadap narkotika.
4. Theurapeutic Session, yaitu konsultasi, penyuluhan dan terapi .
5. Moral and Religius Session, yaitu mensyukuri anugerah Tuhan yang
masih menyayangi dengan memberikan ujian yang berat, agar lebih
bisa mendekatkan diri dengan-Nya.
Poin pertama dari kelima poin di atas menunjukkan betapa pentingnya
peran keluarga untuk kondisi psikologi ODHA. Pandangan ini juga didukung oleh
kutipan wawancara media online, okezone.com dengan salah satu ODHA asuhan
Baby Jim Aditya. “Tak sedikit orang mengucilkan orang dengan HIV/AIDS
(ODHA). Maka untuk bisa menghadapi lingkungan sosialnya, ODHA sangat
memerlukan dukungan keluarga” ujar Mirza Revilia (33), ibu satu anak yang
sudah melalui 10 tahun hidupnya menjadi ODHA.
Evy Yunihastuti, salah satu staff Unit Pelayanan Terpadu HIV RSCM
(Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) mengunggah sebuah file berjudul “HIV dan
KELUARGA” yang menjelaskan dampak dari peran ODHA di keluarganya. Odha
7
yang sudah dewasa cenderung memiliki keinginan untuk berkeluarga. Evy
mengutip sebuah penelitian tentang HIV yang berjudul Desire To Get Married nd
Have Children In People Living With HIV Infections (PLWHIV) On
Antiretroviral Therapy (Santoso RFH, Ariyanti F, Azizi MS,Yunihastuti E : 2012)
yang menyatakan 60% ODHA tetap ingin menikah, 74% menginginkan menikah
dengan pasangan HIV negatif dan 50% ODHA tetap berkeinginan mempunyai
anak,
sudah
ataupun
belum
mempunyai
anak
sebelumnya
(www.pokdisusaids.com).
Muhammad Budyatna (2012) dalam buku Komunikasi Antarprivate
mengutip arti keluarga, yaitu sebuah kelompok manusia yang memiliki hubungan
akrab yang mengembangkan rasa berumah tangga dan identitas kelompok,
lengkap dengan ikatan yang kuat mengenai kesetiaan dan emosi, dan mengalami
sejarah dan menatap masa depan (Galvin & Brommel, 1996).
Keluarga merupakan agen sosialisasi yang paling dibutuhkan dalam
memberi perhatian para ODHA melalui dukungan-dukungan yang bertujuan
memperbaiki keadaan ODHA dari gizi, psikososial, obat agar ODHA mampu
menjalani hari-hari layaknya non ODHA. Chandra Setiawan (33), seorang
pecandu yang sejak 2006 silam mengetahui dirinya adalah ODHA yang
menyatakan kebutuhan psikologis utama para ODHA ialah dukungan keluarga
yang tetap menerima kondisi mereka. Pria yang hingga saat ini masih menjalani
program rehabilitasi di sebuah organisasi HIV AIDS kota Bandung, menjelaskan
peran keluarga yang dimaksud ialah pendampingan saat berobat. Tak hanya itu,
mencari informasi tentang HIV AIDS dan dukungan untuk hidup sehat serta untuk
beraktivitas layaknya non ODHA juga amat diperlukan.
8
Berangkat dari pentingnya keluarga untuk meningkatkan kualitas hidup
ODHA, maka komunikasi interpersonal ODHA dalam keluarga menjadi hal yang
menarik untuk diamati. Menurut DeVito (1989), komunikasi interpersonal adalah
penyampaian pesan oleh satu orang dan penerimaan pesan oleh orang lain atau
sekelompok kecil orang, dengan berbagai dampaknya dan dengan peluang unttuk
memberikan umpan balik dengan segera (Effendy, 2003 : 30).
Menurut Effendy, pada dasarnya komunikasi interpersonal adalah
komunikasi antar komunikator dengan komunikan, komunikasi jenis ini dianggap
paling efektif dalam upaya mengubah sikap, atau perilaku seseorang karena
sifatnya yang dialogia berupa percakapan.
Menurut Jackson, keluarga merupakan sebuah jaringan komunikasi yang
interaktif dimana setiap anggota keluarga tersebut akan memberikan pengaruh
terhadap keseluruhan sistem dan sebaliknya akan dipengaruhi oleh sistem tersebut
(Bigner, 1979 : 79).
Dalam penelitian ini, penulis hendak mengetahui bagaimana ODHA dan
pasangan hidupnya yang juga sekaligus merupakan anggota keluarga, dalam
mengelola private information (private information) dengan mengacu pada teori
Communication Privacy Management.
1.2
Rumusan Masalah
Bagaimana pengelolaan keterbukaan status HIV dalam hubungan
interpersonal pasangan suami (pengidap HIV) dengan istri (bukan pengidap
HIV)?
9
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengelolaan
keterbukaan staus HIV dalam hubungan interpersonal pasangan suami (pengidap
HIV) dengan istri (bukan pengidap HIV).
1.4.
Signifikansi Peneltian
1.4.1. Signifikansi Teoretis
Signifikansi akademik dari penelitian ini adalah menambah referensi
mengenai analisis atau penelitian yang berpegang pada teori Communication
Privacy Management. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
konsep dan analisis yang memungkinkan khalayak memahami apa yang harus
dilakukan seseorang kepada orang lain saat ingin membina hubungan, dalam
topik ini hubungan ODHA dengan pasangan hidup.
1.4.2. Signifikansi Sosial
Signifikansi sosial pada penelitian ini adalah menginformasikan pada
masyarakat bahwa dorongan moral yang positif pada ODHA (khususnya
keluarga) mampu meningkatkan kualitas hidup dan meningkatkan kondisi
psikologi ODHA. Sebaliknya, berbagai sikap diskriminatif terhadap ODHA akan
semakin membuat ODHA terasing dan membuat mereka kecil hati saat
bersosialisasi dengan orang lain.
10
Download