Islam dalam Warna Kebangsaan Indonesia

advertisement
Islam dalam Warna Kebangsaan Indonesia
Oleh:
Dr. Fokky Fuad, SH, M.Hum
Dosen Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia
’Katakanlah!’ Dialah Allah yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya
sgala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang
setara dengan-Nya.” (Qs. Al Ikhlash: 1-4)
Islam dalam rentang zaman telah memberikan perubahan peradaban Indonesia, tak
terkecuali bagi Bangsa Indonesia. Indonesia meraih puncak kemerdekaan melalui kekuatan dan
kekuasaan Allah Ta'ala, dan itu diakui secara tertulis dalam Konstitusi Negara. Tentunya ketika
meletakkan dasar negara, bukanlah hal yang mudah, karena dasar sebuah negara adalah basis
kerangka filosofis-ideologis yang akan menjadi paradigma berfikir bagi Bangsa ini. Untuk itulah
para pendiri negeri menunjukkan kesadaran berIslam yang cukup tinggi ketika meletakkan nilai
dasar Tauhid sebagai fondasi konstruksi sebuah rumah yang bernama Indonesia. Ketuhanan
Yang Maha Esa sebagai nilai pertama dari lima pilar fondasi bangsa Pancasila menunjukkan
sebuah pengakuan bahwa kita adalah sebuah bangsa yang mengakui Tuhan Yang Satu. Ini adalah
pengejawantahan secara nyata dan tegas dari nilai Tauhid Islam ke dalam fondasi ideologi
bangsa ini (Qs.[116]:1-4).
Lalu siapakah yang dimaksud dalam Pancasila Sila Pertama sebagai Tuhan Yang Maha
Esa? Maka kita dapat merujuk kepada Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan: Atas Berkat
Rahmat Allah...Inilah jawaban siapakah Tuhan yang dimaksud oleh Konstitusi Bangsa ini.
Dalam keadaan ini kita menyatakan bahwa hanya Dia Allah Ta'ala tempat kita menggantungkan
segala jerih usaha, hanya kepadaNya kita bermohon. Sebuah pengakuan dasar dari bangsa ini
yang hanya mengakui Tuhan Yang Maha Esa. Konsep dan nilai Ketuhanan dalam Sila 1 ini
menolak konsep atheisme. Bartuhan pada Allah Ta'ala Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi
dilambangkan dalam lambang bintang, yang mengandung makna sesuatu yang tinggi di sana,
menyinari jalan hidup manusia. Ketuhanan mencerminkan nilai-nilai Tuhan dalam pribadi serta
sikap batin manusia Indonesia. Manusia Indonesia yang mengaku ada Tuhan Yang Maha
Tunggal, Esa, dan Maha Tinggi yaitu tidak lain adalah Allah Ta'ala.
Sebagai manusia Indonesia yang menjunjung tinggi nilai Tauhid, maka diharapkan
manusia Indonesia berperilaku yang mencerminkan nilai-nilai Tuhan dalam dirinya. Manusia
Indonesia diharapkan selalu dekat dengan diriNya (Tuhan Allah Swt), dan dekat kepada Allah
Ta'ala menunjukkan sikap ketaqwaan. Bentuk dan cara manusia Indonesia mendekat pada Allah
Ta'ala dalam taqwanya adalah berperilaku adil, karena sesungguhnya berlaku adil akan
mendekatkan diri kepada taqwa (Qs.[5]:8). Sila Kedua menggambarkan sebuah nilai luhur Islam
dalam sikap perilaku manusia Indonesia: Manusia yang berlaku dan berbuat adil. Berperilaku
adil adalah kehendak Allah Ta'ala (Qs.[7]:29), dan manusia Indonesia adalah manusia yang
diperintah berbuat adil oleh Allah Ta'ala dengan melarang kita berbuat keji (Qs.[16]:90) karena
perbuatan keji adalah perbuatan tak beradab sebagai manusia. Jika kita mengaku manusia yang
menyembah Allah Ta'ala sebagai satu-satunya Tuhan Alam Semesta, maka logis jika kita tunduk
atas apa yang Dia kehendaki. Yang Dia kehendaki adalah berperilaku adil sebagai manusia
ciptaanNya serta menunjukkan perilaku manusia yang beradab. Dengan berperilaku adil, maka
kita akan didekatkan padaNya. Inilah yang tertuang dalam Sila kedua Pancasila, mengapa
keadilan dan keberadaban manusia diletakkan pada urutan kedua setelah tauhid.
Allah Ta'ala tidak hanya memerintahkan manusia untuk berbuat adil serta berperilaku
jauh dari kekejian, tetapi mengingatkan pada manusia bahwa ia hidup bersama manusia lainnya.
Rasulullah Saw mengajarkan pada kita bagaimana beliau membentuk komunitas muslim di
Madinah sebagai bentuk dari komunitas manusia beradab (Qs.[49]:11-12). Beliau
mempersaudarakan antara sesama Muslim antara Anshar dan Muhajirin. Tidak hanya
persaudaraan sesama Muslim tetapi dalam konsep Masyarakat Madinah yang beradab,
Rasulullah juga menciptakan perdamaian dengan Kaum Yahudi melaui Deklarasi Konstitusi
Madinah. Inilah konsep Islam sebagai pembawa rahmat dan perdamaian-kedamaian atas semesta
alam. Etnik, suku, bangsa bahasa yang beragam tidak membuat kita berpecah. Kita dimintaNya
untuk saling mengenal sesama manusia melalui semangat persaudaraan (Qs.[49]:13). Inilah nilai
Islam, kehendak Allah Ta'ala yang menjadikan kita bersaudara. Inilah sumbangsih besar Islam
bagi terciptanya kerukunan dan persatuan manusia Indonesia yang tertuang dalam Sila Ketiga
Pancasila.
Setelah tercipta masyarakat Madinah dengan mempersaudarakan antara kaum Anshar dan
Muhajirin, Rasulullah selalu mengumpulkan kedua kelompok sahabat baik dari Anshar dan
Muhajirin untuk bersama membincangkan dengan musyawarah segala problema kemasyarakatan
yang dihadapi (Qs.[42]:38). Inilah pertemuan dalam sebuah bentuk musyawarah dari
sekumpulan manusia yang bertauhid, beradab dan bersatu. Inilah bentuk dan cara hamba Allah
yang bertauhid dan beradab untuk membincangkan segala hal dalam bentuk musyawarah.
Sepeninggal Rasulullah Saw, sistem pemilihan khalifah juga melalui musyawarah seperti
kehendak Allah dalam Quran serta anjuran Rasulullah. Musyawarah dalam Islam adalah utama
dalam berhubungan sesama manusia untuk mengatur segala kepentingan manusia. Dengan
bermusyawarah kita tidak mementingkan diri pribadi, kelompok, dan golongan. Begitu
pentingnya untuk melakukan musyawarah, sehingga Allah Ta'ala menurunkan Surah As-Syuraa
sebagai pedoman bermuamallah. Sumbangsih besar Islam dalam bentuk musyawarah sesuai
dengan yang dikehendaki oleh Allah dan RasulNya inilah yang mewarnai kehidupan Bangsa ini
melalui Sila Keempat Pancasila.
Allah Ta'ala menghendaki terdistribusinya harta secara adil merata kepada setiap
manusia, dan hendaknya harta tidak terkumpul pada satu kekuatan pemilik ekonomi yang kuat
(Qs.[59]:7). Harta yang ada hendakjnya dapat terdistribusi pada setiap orang termasuk kaum
fakir miskin, karena setiap harta yang Allah Ta'ala turunkan terdapat harta milik kaum miskin
(Qs.[70]:24). Inilah konsep keadilan sosial dalam Islam: terdistribusinya ekonomi sehingga
menciptakan keadilan sosial bagi setiap manusia. Inilah keadilan Islam yang jauh dari
kapitalisme yang telah mampu menciptakan kemiskinan secara global. Keadilan tidak saja
tercipta diantara individu secara perorangan, tetapi Islam lebih jauh melihat keadilan dalam
bentuknya yang luas. Kita ketahui bagaimana Khalifah Umar ibn Khattab sampai memanggul
sekarung gandum ketika melihat ada seorang ibu yang kelaparan hingga menanak batu untuk
menenangkan tangis anaknya yang kelaparan. Islam begitu agung menoolak penghisapan
manusia oleh manusia yang lain, bahkan mencela orang-orang yang tidak memberi makan orang
miskin (Qs.[107]:1-3). Konsep keadilan sosial inilah yang mewarnai keadilan sosial bagi seluruh
Rakyat Indonesia yang tertuang dalam Sila Kelima Pancasila.
Begitu besarnya sumbangsih Islam terhadap fondasi Bangsa, maka disadari atau tidak
para ulama pendiri negeri ini telah berhasil meletakkan Quran sebagai fondasi dalam berbangsa
dan bernegara. Pancasila tercipta dari nilai-nilai yang terkandung dalam Quran. Konstruksi
masyarakat Islam yang tertuang dalam Quran dan Hadis Rasulullah Saw kesemuanya diletakkan
di dalam Pancasila. Dengan dapat kita nyatakan bahwa adanya Pancasila di Indonesia karena
adanya Islam. Inilah sumbangsih besar kaum ulama pejuang pendiri negeri yang menuangkan
ruh Islam dalam bingkai Pancasila.
Download