GAMBARAN HASIL PEMERIKSAAN DARAH RUTIN PADA PENDERITA HIV POSITIF YANG SEDANG MENJALANI PENGOBATAN DI RSUD CIAMIS TAHUN 2016 KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Ahli Madya Analis Kesehatan Pada Program Studi D3 Analis Kesehatan Oleh: ADIT APRILIYANTI 13DA277001 PROGRAM STUDI D3 ANALIS KESEHATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH CIAMIS 2016 GAMBARAN PEMERIKSAAN DARAH RUTIN PADA PENDERITA HIV POSITIF YANG SEDANG MENGALAMI PENGOBATAN DI RSUD CIAMIS TAHUN 20161 Adit Apriliyanti2 Endang Octaviana W 3 Minceu Sumirah4 INTISARI HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu retrovirus yang termasuk golongan virus RNA yaitu virus yang menggunakan RNA sebagai molekul pembawa informasi genetik. Sebagai retrovirus, HIV memiliki sifat yang khas karena memiliki enzim reverse transcriptase, yaitu enzim yang memungkinkan virus mengubah informasi genetikanya yang berada dalam RNA ke dalam bentuk DNA yang kemudian diintegrasikan ke dalam informasi genetik sel limfosit yang diserang. Pemeriksaan darah rutin penting untuk dilakukan karena dapat digunakan sebagai prosedur untuk skrining dan sangat membantu untuk menunjang diagnosis penyakit. Pemeriksaan darah rutin digunakan untuk melihat kemampuan tubuh pasien dalam melawan penyakit. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran darah rutin pada penderita HIV positif di RSUD Ciamis. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif. Data yang terkumpul kemudian diolah dan dianalisis secara manual dalam bentuk tabel dan disajikan dalam bentuk narasi. Kesimpulan dalam penelitian ini bahwa terjadi penurunan pada nilai hemoglobin, nilai hematokrit, dan jumlah eritrosit (52,6%) sedangkan pada jumlah leukosit dan trombosit normal. Kata Kunci Kepustakaan Keterangan : Darah Rutin, HIV : 14, 2004-2015 : 1 Judul , 2 nama Mahasiswa, 3 nama Pembimbing I,. 4 nama pembimbing II iv DESCRIPTION OF ROUTINE BLOOD CHECKUP OVERVIEW IN HIVPOSITIVE MEDICATION PATIENTS IN RSUD CIAMIS YEAR 20161 Adit Apriliyanti2 Endang Octaviana W 3 Minceu Sumirah4 ABSTRACT HIV (Human Immunodeficiency Virus ) is a retrovirus that belonged to the RNA virus are viruses that use RNA as a molecular carrier of genetic information . As a retrovirus , HIV has distinctive features as it has the enzyme reverse transcriptase , an enzyme that allows the virus to change its genetic information which is in the form of RNA into DNA is then integrated into the cell's genetic information lymphocytes attacked. Routine blood checkup important to do because it can be used as a procedure for screening and help to support the diagnosis of disease. Routine blood tests are used to look at the patient's body's ability to fight disease. The purpose of this study to describe routine blood on HIV- positive patients in RSUD Ciamis. The method used in this research is descriptive . The collected data is then processed and analyzed manually in tables and presented in narrative form. The conclusion of this study that there is a decrease in the value of hemoglobin, hematocrit, and red cell count (52.6 %) while the number of leukocytes and platelets are normal. Keywords : Routine Blood Checkup, HIV Library : 14, 2004-2015 Description : 1 Titlle, 2 Collage Student, 3 Adviser I, 4 Adviser II v BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Darah merupakan suspensi dari partikel dalam larutan koloid cair yang mengandung elektrolit yang merupakan medium transportasi dalam tubuh. Darah terdiri dari dua bagian utama, yaitu plasma darah terdiri dari 91-92 % air dan 7-9 % zat padat yang terdiri dari protein-protein serta unsur-unsur organik dan anorganik. Komponen sel-sel darah terdiri dari eritrosit, leukosit,dan trombosit. Sekitar 40-60 % darah terdiri atas eritrosit (Hoffbrand, 2014). Salah satu dari pemeriksaan laboratorium yang sering dilakukan adalah pemeriksaan hematologi rutin. Pemeriksaan hematologi rutin merupakan pemeriksaan yang banyak diminta oleh para dokter untuk membantu menegakkan diagnosis, menunjang diagnosis, membuat diagnosis banding memantau perjalanan penyakit,menilai beratnya penyakit dan menentukan prognosis. Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan dengan baik menurut prosedur yang telah ada, sehingga didapatkan hasil yang teliti, tepat, cepat, dan dapat dipercaya (Riadi Wirawan, 2011). Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus RNA yang termasuk dalam retrovirus dengan memiliki ciri memiliki enzim reverse transkriptase yang setelah masuk ke dalam limfosit akan merusak limfosit terutama CD4 yaitu komponen vital dari sistem kekebalan tubuh manusia sehingga dapat melemahkan atau merusak fungsinya (Menteri kesesehatan, 2012). Berdasarkan survei penderita HIV positif pada tahun 2014 di Jawa Barat ada sebanyak 32.711 orang, dan pada tahun 2015 di Ciamis ada sebanyak 31 orang dan pada tahun 2016 yang sedang menjalani 1 2 pengobatan ada sebanyak 45 orang menurut catatan rekam medis poli VCT di RSUD Ciamis. Beberapa kelompok perilaku yang beresiko tinggi terinfeksi HIV yaitu homoseksual, wanita tuna susila, remaja modern. Kita sebagai manusia harus selalu menjalankan apa yang diperintahkan oleh Alloh SWT dan menjauhi apa yang dilarang oleh Alloh SWT. Sebagaimana Alloh berfirman pada Q.S Yunus 10 : 44 yang berbunyi sebagai berikut : Artinya : “Sesungguhnya Alloh tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri” (Q.S Yunus 10 : 44). Pemeriksaan darah rutin merupakan pemeriksaan awal untuk mendiagnosis suatu penyakit. Parameter yang diukur meliputi WBC (white blood cell), RBC (red blood cell), Hb (hemoglobin), HCT (hematokrit), PLT (platelet). Parameter ini diperiksa menggunakan alat otomatis hematology analyzer (Nugraha, 2015).. Pemeriksaan darah rutin yang paling dominan untuk melihat penyakit HIV adalah pemeriksaan trombosit, Hb, dan leukosit. karena kelainan yang sering dijumpai adalah anemia, trombositopenia, neutropenia. Sehingga berdasarkan teori tersebut peneliti ingin mengetahui gambaran darah rutin penderita HIV positif (Hoffbrand, 2014). B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Gambaran Hasil Pemeriksaan Darah Rutin pada Penderita HIV Positif yang Sedang manjalani Pengobatan di RSUD Ciamis?” 3 C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui Gambaran Darah Rutin pada Penderita HIV Positif yang Sedang menjalani Pengobatan di RSUD Ciamis. D. Manfaat pada penelitian ini terdiri dari : 1. Bagi peneliti Dapat berguna untuk menambah pengetahuan dan wawasan bagi peneliti tentang Gambaran Darah Rutin penderita HIV Positif. 2. Bagi Pendidikan Hasil penelitian Darah Rutin diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah yang bermanfaat dalam pembelajaran hematologi. 3. Bagi Tenaga Kesehatan Memberikan informasi kepada analis kesehatan yang bekerja di laboratorium klinik tentang Gambaran Darah Rutin Penderita HIV positif. E. Keaslian Penelitian Penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan pemeriksaan darah rutin yang diketahui oleh penulis adalah penelitian Elisa Liliyani (2015), yang berjudul “Gambaran Hasil Pemeriksaan Darah Rutin Pada Pasien Dengue Positif di RSUD Ciamis Tahun 2015” mendapatkan hasil terdapat kelainan berupa trombositopenia, leukopeni, peningkatan hematokrit dan hemoglobin. Persamaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah pada parameter yang diperiksanya yaitu darah rutin. Perbedaannya pada pasien yang diperiksa, dalam penelitian ini pasien yang diperiksa adalah pasien HIV Positif. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. HIV (Human Immunodeficiency Virus) Terbentuknya melindungi sistem organisme imunokompeten tubuh terhadap penting invasi dari untuk luar. Karenanya setiap defisiensi pada salah satu komponen dari sistem imun itu dapat mengganggu aktivitas seluruh sistem pertahanan tubuh. Imunoderfisiensi yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan adalah AIDS, yang disebabkan oleh infeksi human immunodeficiency virus (Zulkoni, 2010). HIV adalah suatu retrovirus yang termasuk golongan virus RNA yaitu virus yang menggunakan RNA sebagai molekul pembawa informasi genetik. Sebagai retrovirus, HIV memiliki sifat yang khas karena memiliki enzim reverse transcriptase, yaitu enzim yang memungkinkan virus mengubah informasi genetikanya yang berada dalam RNA ke dalam bentuk DNA yang kemudian diintegrasikan ke dalam informasi genetik sel limfosit yang diserang. Dengan demikian, HIV dapat memanfaatkan mekanisme sel limfosit untuk mengkopi dirinya menjadi virus baru yang memiliki ciri-ciri HIV (Depkes, 2004). HIV biasanya ditularkan melalui hubungan seks dengan orang yang mengidap virus itu, dan terdapat kontak langsung dengan darah atau produk darah dan cairan tubuh lainnya. Pada wanita virus mungkin masuk melalui luka atau lecet pada mulut vagina. Begitu pula virus memasuki aliran darah pria jika pada genitalnya ada luka atau lecet. Hubungan seks melalui dubur sangat beresiko tinggi untuk terinfeksi, namun juga 4 5 melalui vagina dan oral. HIV dapat ditularkan melalui kontak langsung darah dengan darah, seperti jarum suntik, transfusi darah/produk darah, ibu hamil ke bayi pada saat melahirkan, dan sikat gigi. Tidak ada bukti penularan melalui kontak seharihari seperti berjabat tangan, gelas bekas dipakai penderita, handuk, atau melalui closet umum (Tambayong, 2009). Banyak gejala HIV yang mirip gejala penyakit biasa seperti pilek, bronkitis, dan influensa. Bedanya, ia berlangsung lebih lama, lebih parah, sukar hilang, dan sering kambuh. Rasa lelah yang berkepanjangan lamanya, diare tanpa sebab, berkepanjangan, berat demam badan berminggu menurun. Kelompok yang beresiko tinggi terhadap HIV-AIDS adalah homoseks, pecandu obat narkotika suntik, hemofilia, transfusi darah, anak dari ibu HIV (+), perawat, pegawai di laboratorium klinik,dan wanita tunasusila (WTS) (Siregar, 2009). Sistem imun manusia adalah sangat kompleks dan memiliki kaitan yang rumit antara berbagai jaringan dan sel dalam tubuh. Kerusakan pada salah satu komponen sistem imun akan mempengaruhi sistem imun secara keseluruhan terutama apabila komponen tersebut adalah komponen yang menentukan fungsi – fungsi komponen sistem lainnya (Depkes, 2011) Sistem imun melindungi tubuh dari bakteri dan virus. Saat sistem imun melemah atau rusak karena virus HIV, tubuh menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Semua komponen dari sistem imun sangat penting dalam produksi limfosit. Limfosit terdiri dari limfosit B dan limfosit T. Fungsi utama dari sel limfosit B yaitu sebagai imunitas atau antibodi humoral, sedangkan fungsi utama dari sel limfosit T yaitu menghasilkan zat kimia yang berperan sebagai perangsang pertumbuhan dan pembentukan sel-sel lain dalam sistem imun dan pembentukan antibodi (Kemenkes, 2012). 6 Ketika HIV masuk ke tubuh kadar replikasi virus dalam darah sangat tinggi sementara itu sel-sel antibodi HIV belum terbentuk. Sehingga mengakibatkan penekanan pada limfosit T yang digunakan oleh virus untuk mereplikasi diri secara progresif. Sel limfosit T penderita secara perlahan tapi pasti akan tertekan dan menurun dari waktu ke waktu. Seseorang yang terinfeksi HIV mengalami penurunan jumlah limfosit T. Cara bagaimana HIV menghancurkan sel T, yaitu : a) Sel T dan CD4 dihancurkan secara langsung ketika sejumlah besar virus diproduksi dan menembus permukaan sel, dan merusak membran sel. b) Sel terinfeksi dapat bergabung dengan sel tetangga yang tidak terinfeksi, membentuk sel raksasa seperti balon. c) Sel T dan CD4 yang terinfeksi dapat terbunuh ketika regulasi selular terganggu oleh protein HIV, yang mungkin menyebabkan penghancuran sendiri sel. d) Sel yang tidak terinfeksi dapat mati, partikel HIV dapat berkaitan dengan permukaan sel menyebabkan sel seakanakan terinfeksi sehingga sel dihancurkan oleh sel T killer. e) Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibodi yang berperan untuk mengeliminasi sel yang terinfeksi. f) Kematian sel target terjadi akibat hiperaktivitas, sehingga fungsi pengaturan protein terganggu, dan kematian sel. Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi penurunan jumlah limfosit secara dramatis dari normal yang berkisar 600-1200/mm3 menjadi 200/mm3 atau lebih rendah lagi, sehingga pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme patogen menjadi lemah dan meningkat dan meningkat resiko terjadinya infeksi sekunder dan akhirnya masuk ke stadium AIDS. Infeksi sekunder ini biasanya disebut infeksi oportunistik, 7 yang menyebabkan munculnya keluhan dan gejala klinis sesuai jenis infeksi (Subramaniam, 2014) Cara penularan HIV diantara lain : a) Kontak seksual atau hubungan seksual Penularan melalui hubungan seksual adalah cara yang paling dominan dari semua cara penularan. Kontak seksual dengan vaginal, anal, dan oral seksual antara dua individu. Resiko tinggi adalah vaginal yang tak terlindung dari individu yang terinfeksi HIV. Kontak seksual langsung (mulut ke penis atau mulut ke vagina) masuk dalam kategori risiko rendah tertular HIV. b) Pajanan oleh darah, produk darah atau transplantasi Penularan dari darah dapat terjadi jika donor tidak dilakukan uji saring untuk antibodi HIV. Pajanan HIV pada organ dapat terjadi dalam proses transplantasi jaringan. c) Penularan dari ibu ke anak Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya saat ia dikandung, dilahirkan, dan sesudah lahir. 2. Perjalanan Penyakit HIV Setelah infeksi awal, pasien mungkin tetap seronegatif (tes antibodi HIV masih menunjukan hasil negatif) walaupun virus sudah ada dalam darah dalam jumlah yang banyak. Antibodi yang terbetuk belum cukup terdeteksi melalui pemeriksaan laboratorium karena kadarnya belum memadai. Antibodi terhadap HIV biasanya muncul dalam 3 sampai 6 minggu hingga 12 minggu setelah infeksi primer. Dalam fase ini sangatlah penting karena pada fase ini pasien sudah mampu dan berpotensi menularkan virus ke orang lain disebut juga dengan “window periode”. Manifestasi klinis pada orang yang terinfeksi dapat timbul dalam waktu paling cepat 1 sampai 4 minggu. Gejala yang 8 timbul dapat berupa demam, diare, dan sariawan. Dalam periode ini limfosit T dapat terdeteksi di darah (Depkes, 2011). Pada fase akut terjadi penurunan limfosit T yang dramatis dan kemudian terjadi kenaikan limfosit T karena mulai terjadi respon imun. Jumlah limfosit T pada fase ini masih diatas 500sel/mm3 dan akan mengalami penurunan setelah6 minggu terinfeksi HIV (Depkes, 2011). Pada fase infeksi akut, akan terjadi tahap serokonversi dari status antibodi negatif menjadi positif. Dalam beberapa minggu setelah fase infeksi akut, pasien masuk ke fase asimtomatik. Pada awal fase ini jumlah limfosit T menurun hingga 500 sampai 200 sel/mm3, meskipun pemeriksaan HIV telah menunjukan positif penderita umumnya belum menunjukan gejala klinis namun pada tahun kedelapan setelah terinfeksi HIV akan muncul gejala klinis yaitu demam, sering keluar keringat dimalam hari, kehilangan berat badan kurang dari 10%, diare, dan penyakit infeksi kulit berulang (Depkes, 2011). Selanjutnya yaitu fase simtomatik. Pada fase ini respon imun tidak dapat meredam jumlah virus yang berlebihan, sehingga limfosit semakin tertekan karena HIV yang semakin banyak. Dari perjalanan penyakit, jumlah limfosit T biasanya menurun dibawah 200 sel/mm3. Penurunan limfosit T ini mengakibatan sistem imun menurun dan pasien semakin rentan terhadap berbagai penyakit infeksi sekunder seperti anemia, trombositopenia, TB paru, dll. Juga disertai dengan timbulnya gejala-gejala yang menunjukan imunosupresi yang berlanjut sampai pasien memperlihatkan penyakit-penyakit terkait AIDS (Depkes, 2011). 9 Kematian Infeksi Primer Jumlah CD4+Limfosit (Sel/mm3) Infeksi oportunistik Secara klinis tidak menampakan gejala (Periode latent/Asimtomatik) Gejala Klinis Periode Jendela Viral load = Beban Virus = Jumlah kopi HIV RNA pada setuao mL Plasma Sindrom retroviral akut Penyebaran luas virus Pembenihan pada organ limfoid Gambar 2.1 Gambar grafik perjalanan penyakit HIV/AIDS Sumber : Depkes RI, 2011 3. Sistem klasifikasi infeksi HIV menurut WHO a) Tahap pertama perjalanan Virus/Akut Pada saat virus menginfeksi tubuh kadar replikasi virus di dalam darah sangat tinggi, sementara itu sel-sel antibodi HIV belum terbentuk, sehingga mengakibatkan penekanan pada limfosit T helper (CD4) yang digunakan oleh virus untuk mereplikasi diri secara progresif. 50-70% orang yang terinfeksi HIV pada tahap awal ini biasanya menunjukan gejala seperti demam, flu, nyeri otot dan sendi. Orang yang terinfeksi dalam tahap ini adalah sangat infeksius dan umumnya tidak menyadari apalagi tes antibodi HIV menunjukan hasil negatif. b) Tahap tanpa gejala (Stadium I) / asimptomatik Tahap ini rata-rata berlangsung 2-10 tahun setelah terinfeksi HIV. Kadar virus umumnya rendah dan kekebalan tubuh 10 melalui perhitungan sel kekebalan tubuh CD4 tinggi seperti orang yang tidak terinfeksi HIV. c) Stadium II Perjalanan virus yang terlihat pada tahapan ini adalah berat badan menurun < 10% tanpa sebab, infeksi saluran napas, sariawan berulang (2 atau lebih dalam 6 bulan). d) Stadium III / simptomatik Sistem kekebalan tubuh mulai terganggu dan kadar virus mulai meningkat. Mulai muncul gejala-gejala penyakit terkait HIV, seperti : a. Berat badan menurun 10% tanpa sebab, diare kronis tanpa sebab 1 bulan b. Demam tanpa sebab 1 bulan c. TB paru d. Infeksi bakteri berat (meningitis) e. Anemia, netropenia, trombositopenia e) Stadium IV Sistem kekebalan tubuh mulai sudah berkurang sehingga mulai timbul infeksi oportunistik yang serius, seperti : a. Kanker kulit b. Infeksi paru-paru c. Infeksi usus yang menyebabkan diare berkepanjangan d. Infeksi otak yang menyebabkan ganguan mental, sakit kepala dan sariawan e. Kehilangan berat badan total f. TB ekstra paru (Kemenkes, 2012) 4. Pemeriksaan Laboratorium Terkait Penyakit HIV a) Darah rutin Darah rutin merupakan suatu jenis pemeriksaan penyaringan untuk menunjang diagnosa suatu penyakit atau untuk melihat bagaimana respon tubuh terhadap suatu 11 penyakit. Pemeriksaan ini juga sering dilakukan untuk melihat kemajuan atau respon terapi pada pasien yang menderita suatu penyakit infeksi (Bastiansyah, 2008). Pemeriksaan darah rutin terdiri dari beberapa jenis parameter, yaitu : 1) Hemoglobin (Hb) Hemoglobin adalah suatu protein yang berada didalam darah yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa karbondioksida dari jaringan tubuh ke paruparu. Kadar normal hemoglobin, yaitu bayi baru lahir 17 – 22 g/dl, umur 1 minggu 15 – 20 g/dl, umur 1 bulan 11 – 15 g/dl, anak-anak 11 – 13 g/dl, laki – laki dewasa 14 – 18 g/dl, perempuan dewasa 12 – 16 g/dl, laki – laki tua 12,4 – 14,9 g/dl, perempuan tua 11,7 – 13,8 g/dl. Penurunan kadar Hemoglobin pada penderita HIV positif terjadi pada stadium III karena kurangnya suplai oksigen ke sel. 2) Hematokrit (Ht) Hematokrit adalah perbandingan antara proporsi volume sampel darah dengan sel darah merah (eritrosit) yang diukur dalam satuan persen, pengukuran ini bisa dihubungkan dengan tingkat kekentalan darah. Semakin tinggi presentasenya maka darah semakin kental. Sebaliknya, jika semakin rendah presentasenya maka darah semakin encer. Nilai normal hematokrit untuk pria berkisar 40,7% - 50,3% sedangkan untuk wanita berkisar 36,1% - 44,3%. Hematokrit pada penderita HIV positif mengalami penurunan disebabkan sistem imun yang semakin melemah. 12 3) Leukosit (WBC/White Blood Cell) Leukosit sering disebut juga sel darah putih, leukosit merupakan komponen darah yang berperan dalam memerangi infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, ataupun proses metabolik toksin, dll. Nilai normal jumlah leukosit berkisar 4.000 – 10.000 sel/mm3. Penurunan jumlah leukosit pada penderita HIV positif terjadi pada stadium III dan IV karena sel limfosit T ditekan oleh virus HIV. 4) Trombosit (Platelet) Trombosit merupakan bagian dari sel darah yang berfungsi membantu dalam proses pembekuan darah dan menjaga intergritas vaskuler. Nilai normal trombosit berkisar antara 150.000 – 400.000 sel/mm3darah. Trombosit yang tinggi disebut trombositosis, dan trombosit yang rendah disebut trombosipenia. Penurunan jumlah trombosit pada penderita HIV positif terjadi pada stadium III karena megakariosit ditekan oleh virus HIV sehingga trombosit yang dihasilkan mengalami penurunan. 5) Eritrosit (RBC/Red blood cell) Eritrosit atau sering disebut sel darah merah adalah bagian darah dengan komposisi yang sangat banyak di dalam darah. Fungsi utamanya adalah sebagai tempat metabolisme makanan untuk dapat menghasilkan energi serta mengangkut oksigen dan karbon dioksida. Nilai normal eritrosit pada pria berkisar 4,5 juta – 6 juta sel/mm3sedangkan pada wanita 4,5 juta – 5,5 juta sel/mm3. Eritrosit penderita HIV mengalami penurunan (Nugraha, 2015). 13 b) Uji Imunologi Uji imunologi untuk menemukan respon antibody terhadap HIV-1 dan digunakan sebagai test skrining, meliputi enzyme immunoassays atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) sebaik tes serologi cepat (rapid test).Uji Western blot atau indirect immunofluorescence assay (IFA) digunakan untuk memperkuat hasil reaktif dari test krining. Uji yang menentukan perkiraan abnormalitas sistem imun meliputi jumlah dan persentase CD4+dan CD8+T-limfosit absolute. Uji ini sekarang tidak digunakan untuk diagnose HIV tetapi digunakan untuk evaluasi (Mariam, 2010). 1) Deteksi antibodi HIV Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang diduga telah terinfeksi HIV. ELISA dengan hasil reaktif (positif) harus diulang dengan sampel darah yang sama, dan hasilnya dikonfirmasikan dengan Western Blotatau IFA (Indirect Immunofluorescence Assay). Sedangkan hasil yang negatif tidak memerlukan tes konfirmasi lanjutan, walaupun pada pasien yang terinfeksi pada masa jendela (window period), tetapi harus ditindak lanjuti dengan dilakukan uji virologi pada tanggal berikutnya. Hasil negatif palsu dapat terjadi pada orang-orang yang terinfeksi HIV-1 tetapi belum mengeluarkan antibodi melawan HIV-1 (yaitu, dalam 6 (enam) minggu pertama dari infeksi, termasuk semua tanda-tanda klinik dan gejala dari sindrom retroviral yang akut. Positif palsu dapat terjadi pada individu yang telah diimunisasi atau kelainan autoimune, wanita hamil, dan transfer maternal imunoglobulin G (IgG) antibodi anak baru lahir dari ibu yang terinfeksi HIV-1. Oleh karena itu hasil positif ELISA pada seorang anak usia kurang dari 18 14 bulan harus di konfirmasi melalui uji virologi (tes virus), sebelum anak dianggap mengidap HIV-1 (Mariam, 2010). 2) Rapid test Merupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi IgG antibodi berdasarkan terhadap aglutinasi HIV-1. partikel, Prinsip pengujian imunodot (dipstik), imunofiltrasi atau imunokromatografi. ELISA tidak dapat digunakan untuk mengkonfirmasi hasil rapid tes dan semua hasil rapid tes reaktif harus dikonfirmasi dengan Western blot atau IFA (Mariam, 2010). 3) Western blot Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil serologi rapid tessebagai hasil yang benar-benar positif. Uji Western blotmenemukan keberadaan antibodi yang melawan protein HIV-1 spesifik (struktural dan enzimatik). Western blotdilakukan hanya sebagai konfirmasi pada hasil skrining berulang (ELISA atau rapid tes). Hasil negative Western blot menunjukkan bahwa hasil positif ELISA atau rapid tesdinyatakan sebagai hasil positif palsu dan pasien tidak mempunyai antibodi HIV-1. Hasil Western blotpositif menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1 pada individu dengan usia lebih dari 18 bulan (Mariam, 2010). 4) Indirect Immunofluorescence Assays (IFA) Uji ini sederhana untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dan sedikit lebih mahal dari uji Western blot. Antibodi Ig dilabel dengan penambahan fluorokrom dan akan berikatan pada antibodi HIV jika berada pada sampel. Jika slide menunjukkan fluoresen sitoplasma dianggap hasil positif (reaktif), yang menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1. (Mariam, 2010) 15 5) Penurunan sistem imun Progresi infeksi HIV ditandai dengan penurunan CD4+ T limfosit, sebagian besar sel target HIV pada manusia. Kecepatan penurunan CD4 telah terbukti dapat dipakai sebagai petunjuk perkembangan penyakit AIDS. Jumlah CD4 menurun secara bertahap selama perjalanan penyakit. Kecepatan penurunannya dari waktu ke waktu rata-rata 100 sel/tahun. c) Uji Virologi Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, tes amplifikasi asam nukleat / nucleic acid amplification test (NAAT), test untuk menemukan asam nukleat HIV-1 seperti DNA arau RNA HIV-1 dan test untuk komponen virus. 1) Kultur HIV HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus lebih tinggi dalam plasma dan sel darah tepi penderita AIDS. Pertumbuhan virus terdeteksi dengan menguji cairan supernatan biakan setelah 7-14 hari untuk aktivitas reverse transcriptasevirus atau untuk antigen spesifik virus. 2) NAAT HIV-1 (Nucleic Acid Amplification Test) Menemukan RNA virus atau DNA proviral yang banyak dilakukan untuk diagnosis pada anak usia kurang dari 18 bulan. Karena asam nuklet virus mungkin berada dalam jumlah yang sangat banyak dalam sampel. Pengujian RNA dan DNA virus dengan amplifikasi PCR, menggunakan metode enzimatik untuk mengamplifikasi RNA HIV-1. Level RNA HIV merupakan petanda prediktif penting dari progresi penyakit dan menjadi alat bantu yang bernilai untuk memantau efektivitas terapi antivirus. 16 3) Uji antigen p24 Protein virus p24 berada dalam bentuk terikat dengan antibodi p24 atau dalam keadaan bebas dalam aliran darah indivudu yang terinfeksi HIV-1. Pada umumnya uji antigen p24 jarang digunakan dibanding teknik amplifikasi RNA atau DNA HIV karena kurang sensitif. Sensitivitas pengujian meningkat dengan peningkatan teknik yang digunakan untuk memisahkan antigen p24 dari antibodi anti-p24 (Mariam 2010). Infeksi Oportunistik Penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien HIV tahap lanjut adalah infeksi oportunistik, yaitu infeksi berat yang diinduksi oleh agen-agen yang jarang menyebabkan penyakit serius pada individu dengan kemampuan imun baik. Oleh karena itu pengobatan ditujukan untuk mengatasi beberapa agen patogen oportunistik sehingga memungkinkan pasien AIDS bertahan hidup lebih lama (Mariam, 2010). B. Kerangka Konsep HIV Positif Pemeriksaan Darah Rutin Kadar Hemoglobin Jumlah leukosit Nilai hematokrit Jumlah trombosit Gambar 2.2 Kerangka konsep Keterangan : : Variabel yang diteliti Jumlah Eritrosit DAFTAR PUSTAKA Al-quran. (2014) Al Quran dan Terjemahannya. Bandung : CV Penerbit Dipenogoro. Bastiansyah, Eko. (2008). Panduan lengkap membaca hasil test kesehatan. Jakarta: Penebar plus Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku Saku Patofisiologi Edisi Revisi 3. Jakarta : EGC Depkes. (2011). Pedoman nasional perawatan, dukungan dan pengobatan bagi ODHA. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat Dinkes. (2015). Hasil Evaluasi Uji Profesiensi Anti – HIV. Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Laboratorium Kesehatan. Hoffbrand. A. V, dkk. (2012). Kapita Selekta Hematologi Edisi 4. Jakarta: EGC Mariam, Siti. (2010). Perbandingan Respon Literatur. Jakarta: FMIPA UI Menkes. (2012). Pelatihan Pemeriksaan Terkait HIV bagi petugas Laboratorium. Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jendral Pengadilan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Nugraha, Gilang. (2015). Panduan Pemeriksaan Laboratorium Hematologi Dasar. Jakarta : CV. Trans Info Media Siregar, Fazidah. (2009). Pengenalan dan Pencegahan HIV-AIDS. USU dygital Library Subramaniam, Suruthi. (2004). Hubungan Tingkat Pengetahuan dan sikap Mahasiswa Terhadap HIV/AIDS di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan : FK Universitas Sumatera utara. Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung : CV. Alfabeta 24 25 Wirawan, Riadi. (2011). Pemeriksaan Laboratorium Hematologi sederhana. Jakarta: FKUI Zulkoni, Akhsin. (2010). Parasitologi. Yogyakarta : Muha Medika