Cover Baru - STIKes Muhammadiyah Ciamis

advertisement
GAMBARAN HASIL PEMERIKSAAN DARAH RUTIN PADA
PENDERITA HIV POSITIF YANG SEDANG MENJALANI
PENGOBATAN DI RSUD CIAMIS TAHUN 2016
KARYA TULIS ILMIAH
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Ahli Madya Analis Kesehatan
Pada Program Studi D3 Analis Kesehatan
Oleh:
ADIT APRILIYANTI
13DA277001
PROGRAM STUDI D3 ANALIS KESEHATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
CIAMIS
2016
GAMBARAN PEMERIKSAAN DARAH RUTIN PADA PENDERITA HIV
POSITIF YANG SEDANG MENGALAMI PENGOBATAN
DI RSUD CIAMIS TAHUN 20161
Adit Apriliyanti2 Endang Octaviana W 3 Minceu Sumirah4
INTISARI
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu retrovirus yang
termasuk golongan virus RNA yaitu virus yang menggunakan RNA
sebagai molekul pembawa informasi genetik. Sebagai retrovirus, HIV
memiliki sifat yang khas karena memiliki enzim reverse transcriptase, yaitu
enzim yang memungkinkan virus mengubah informasi genetikanya yang
berada dalam RNA ke dalam bentuk DNA yang kemudian diintegrasikan
ke dalam informasi genetik sel limfosit yang diserang.
Pemeriksaan darah rutin penting untuk dilakukan karena dapat
digunakan sebagai prosedur untuk skrining dan sangat membantu untuk
menunjang diagnosis penyakit. Pemeriksaan darah rutin digunakan untuk
melihat kemampuan tubuh pasien dalam melawan penyakit.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran darah rutin pada
penderita HIV positif di RSUD Ciamis.
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah
deskriptif. Data yang terkumpul kemudian diolah dan dianalisis secara
manual dalam bentuk tabel dan disajikan dalam bentuk narasi.
Kesimpulan dalam penelitian ini bahwa terjadi penurunan pada nilai
hemoglobin, nilai hematokrit, dan jumlah eritrosit (52,6%) sedangkan pada
jumlah leukosit dan trombosit normal.
Kata Kunci
Kepustakaan
Keterangan
: Darah Rutin, HIV
: 14, 2004-2015
: 1 Judul , 2 nama Mahasiswa, 3 nama Pembimbing I,.
4 nama pembimbing II
iv
DESCRIPTION OF ROUTINE BLOOD CHECKUP OVERVIEW IN HIVPOSITIVE MEDICATION PATIENTS IN RSUD CIAMIS YEAR 20161
Adit Apriliyanti2 Endang Octaviana W 3 Minceu Sumirah4
ABSTRACT
HIV (Human Immunodeficiency Virus ) is a retrovirus that belonged
to the RNA virus are viruses that use RNA as a molecular carrier of
genetic information . As a retrovirus , HIV has distinctive features as it has
the enzyme reverse transcriptase , an enzyme that allows the virus to
change its genetic information which is in the form of RNA into DNA is
then integrated into the cell's genetic information lymphocytes attacked.
Routine blood checkup important to do because it can be used as a
procedure for screening and help to support the diagnosis of disease.
Routine blood tests are used to look at the patient's body's ability to fight
disease.
The purpose of this study to describe routine blood on HIV- positive
patients in RSUD Ciamis.
The method used in this research is descriptive . The collected data
is then processed and analyzed manually in tables and presented in
narrative form.
The conclusion of this study that there is a decrease in the value of
hemoglobin, hematocrit, and red cell count (52.6 %) while the number of
leukocytes and platelets are normal.
Keywords
: Routine Blood Checkup, HIV
Library
: 14, 2004-2015
Description : 1 Titlle, 2 Collage Student, 3 Adviser I, 4 Adviser II
v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Darah merupakan suspensi dari partikel dalam larutan koloid
cair
yang
mengandung elektrolit
yang
merupakan medium
transportasi dalam tubuh. Darah terdiri dari dua bagian utama, yaitu
plasma darah terdiri dari 91-92 % air dan 7-9 % zat padat yang
terdiri dari protein-protein serta unsur-unsur organik dan anorganik.
Komponen sel-sel darah terdiri dari eritrosit, leukosit,dan trombosit.
Sekitar 40-60 % darah terdiri atas eritrosit (Hoffbrand, 2014).
Salah satu dari pemeriksaan laboratorium yang sering
dilakukan adalah pemeriksaan hematologi rutin. Pemeriksaan
hematologi rutin merupakan pemeriksaan yang banyak diminta oleh
para dokter untuk membantu menegakkan diagnosis, menunjang
diagnosis, membuat diagnosis banding memantau perjalanan
penyakit,menilai beratnya penyakit dan menentukan prognosis.
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan dengan baik menurut
prosedur yang telah ada, sehingga didapatkan hasil yang teliti,
tepat, cepat, dan dapat dipercaya (Riadi Wirawan, 2011).
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus RNA
yang termasuk dalam retrovirus dengan memiliki ciri memiliki enzim
reverse transkriptase yang setelah masuk ke dalam limfosit akan
merusak limfosit terutama CD4 yaitu komponen vital dari sistem
kekebalan tubuh manusia sehingga dapat melemahkan atau
merusak fungsinya (Menteri kesesehatan, 2012). Berdasarkan
survei penderita HIV positif pada tahun 2014 di Jawa Barat ada
sebanyak 32.711 orang, dan pada tahun 2015 di Ciamis ada
sebanyak 31 orang dan pada tahun 2016 yang sedang menjalani
1
2
pengobatan ada sebanyak 45 orang menurut catatan rekam medis
poli VCT di RSUD Ciamis.
Beberapa kelompok perilaku yang beresiko tinggi terinfeksi
HIV yaitu homoseksual, wanita tuna susila, remaja modern. Kita
sebagai manusia harus selalu menjalankan apa yang diperintahkan
oleh Alloh SWT dan menjauhi apa yang dilarang oleh Alloh SWT.
Sebagaimana Alloh berfirman pada Q.S Yunus 10 : 44 yang
berbunyi sebagai berikut :
Artinya : “Sesungguhnya Alloh tidak berbuat zalim kepada manusia
sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada
diri mereka sendiri” (Q.S Yunus 10 : 44).
Pemeriksaan darah rutin merupakan pemeriksaan awal
untuk mendiagnosis suatu penyakit. Parameter yang diukur meliputi
WBC (white blood cell), RBC (red blood cell), Hb (hemoglobin),
HCT
(hematokrit),
PLT
(platelet).
Parameter
ini
diperiksa
menggunakan alat otomatis hematology analyzer (Nugraha, 2015)..
Pemeriksaan darah rutin yang paling dominan untuk melihat
penyakit HIV adalah pemeriksaan trombosit, Hb, dan leukosit.
karena
kelainan
yang
sering
dijumpai
adalah
anemia,
trombositopenia, neutropenia. Sehingga berdasarkan teori tersebut
peneliti ingin mengetahui gambaran darah rutin penderita HIV
positif (Hoffbrand, 2014).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Gambaran Hasil
Pemeriksaan Darah Rutin pada Penderita HIV Positif yang Sedang
manjalani Pengobatan di RSUD Ciamis?”
3
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui Gambaran Darah Rutin
pada Penderita HIV Positif yang Sedang menjalani Pengobatan di
RSUD Ciamis.
D. Manfaat pada penelitian ini terdiri dari :
1. Bagi peneliti
Dapat berguna untuk menambah pengetahuan dan wawasan
bagi peneliti tentang Gambaran Darah Rutin penderita HIV
Positif.
2. Bagi Pendidikan
Hasil penelitian Darah Rutin diharapkan dapat memberikan
informasi
ilmiah
yang
bermanfaat
dalam
pembelajaran
hematologi.
3. Bagi Tenaga Kesehatan
Memberikan informasi kepada analis kesehatan yang bekerja di
laboratorium klinik tentang Gambaran Darah Rutin Penderita
HIV positif.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan pemeriksaan darah
rutin yang diketahui oleh penulis adalah penelitian Elisa Liliyani
(2015), yang berjudul “Gambaran Hasil Pemeriksaan Darah Rutin
Pada Pasien Dengue Positif di RSUD Ciamis Tahun 2015”
mendapatkan hasil terdapat kelainan berupa trombositopenia,
leukopeni, peningkatan hematokrit dan hemoglobin.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah pada
parameter yang diperiksanya yaitu darah rutin. Perbedaannya pada
pasien yang diperiksa, dalam penelitian ini pasien yang diperiksa
adalah pasien HIV Positif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. HIV (Human Immunodeficiency Virus)
Terbentuknya
melindungi
sistem
organisme
imunokompeten
tubuh
terhadap
penting
invasi
dari
untuk
luar.
Karenanya setiap defisiensi pada salah satu komponen dari
sistem imun itu dapat mengganggu aktivitas seluruh sistem
pertahanan tubuh. Imunoderfisiensi yang akhir-akhir ini banyak
dibicarakan adalah AIDS, yang disebabkan oleh infeksi human
immunodeficiency virus (Zulkoni, 2010).
HIV adalah suatu retrovirus yang termasuk golongan virus
RNA yaitu virus yang menggunakan RNA sebagai molekul
pembawa informasi genetik. Sebagai retrovirus, HIV memiliki
sifat yang khas karena memiliki enzim reverse transcriptase,
yaitu enzim yang memungkinkan virus mengubah informasi
genetikanya yang berada dalam RNA ke dalam bentuk DNA
yang kemudian diintegrasikan ke dalam informasi genetik sel
limfosit
yang
diserang.
Dengan
demikian,
HIV
dapat
memanfaatkan mekanisme sel limfosit untuk mengkopi dirinya
menjadi virus baru yang memiliki ciri-ciri HIV (Depkes, 2004).
HIV biasanya ditularkan melalui hubungan seks dengan
orang yang mengidap virus itu, dan terdapat kontak langsung
dengan darah atau produk darah dan cairan tubuh lainnya.
Pada wanita virus mungkin masuk melalui luka atau lecet pada
mulut vagina. Begitu pula virus memasuki aliran darah pria jika
pada genitalnya ada luka atau lecet. Hubungan seks melalui
dubur sangat beresiko tinggi untuk terinfeksi, namun juga
4
5
melalui vagina dan oral. HIV dapat ditularkan melalui kontak
langsung darah dengan darah, seperti jarum suntik, transfusi
darah/produk darah, ibu hamil ke bayi pada saat melahirkan,
dan sikat gigi. Tidak ada bukti penularan melalui kontak seharihari seperti berjabat tangan, gelas bekas dipakai penderita,
handuk, atau melalui closet umum (Tambayong, 2009).
Banyak gejala HIV yang mirip gejala penyakit biasa seperti
pilek, bronkitis, dan influensa. Bedanya, ia berlangsung lebih
lama, lebih parah, sukar hilang, dan sering kambuh. Rasa lelah
yang
berkepanjangan
lamanya,
diare
tanpa
sebab,
berkepanjangan,
berat
demam
badan
berminggu
menurun.
Kelompok yang beresiko tinggi terhadap HIV-AIDS adalah
homoseks, pecandu obat narkotika suntik, hemofilia, transfusi
darah, anak dari ibu HIV (+), perawat, pegawai di laboratorium
klinik,dan wanita tunasusila (WTS) (Siregar, 2009).
Sistem imun manusia adalah sangat kompleks dan memiliki
kaitan yang rumit antara berbagai jaringan dan sel dalam tubuh.
Kerusakan pada salah satu komponen sistem imun akan
mempengaruhi sistem imun secara keseluruhan terutama
apabila komponen tersebut adalah komponen yang menentukan
fungsi – fungsi komponen sistem lainnya (Depkes, 2011)
Sistem imun melindungi tubuh dari bakteri dan virus. Saat
sistem imun melemah atau rusak karena virus HIV, tubuh
menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Semua komponen dari
sistem imun sangat penting dalam produksi limfosit. Limfosit
terdiri dari limfosit B dan limfosit T. Fungsi utama dari sel limfosit
B yaitu sebagai imunitas atau antibodi humoral, sedangkan
fungsi utama dari sel limfosit T yaitu menghasilkan zat kimia
yang
berperan
sebagai
perangsang
pertumbuhan
dan
pembentukan sel-sel lain dalam sistem imun dan pembentukan
antibodi (Kemenkes, 2012).
6
Ketika HIV masuk ke tubuh kadar replikasi virus dalam darah
sangat tinggi sementara itu sel-sel antibodi HIV belum
terbentuk. Sehingga mengakibatkan penekanan pada limfosit T
yang digunakan oleh virus untuk mereplikasi diri secara
progresif.
Sel limfosit T penderita secara perlahan tapi pasti akan
tertekan dan menurun dari waktu ke waktu. Seseorang yang
terinfeksi HIV mengalami penurunan jumlah limfosit T. Cara
bagaimana HIV menghancurkan sel T, yaitu :
a) Sel T dan CD4 dihancurkan secara langsung ketika sejumlah
besar virus diproduksi dan menembus permukaan sel, dan
merusak membran sel.
b) Sel terinfeksi dapat bergabung dengan sel tetangga yang
tidak terinfeksi, membentuk sel raksasa seperti balon.
c) Sel T dan CD4 yang terinfeksi dapat terbunuh ketika regulasi
selular
terganggu
oleh
protein
HIV,
yang
mungkin
menyebabkan penghancuran sendiri sel.
d) Sel yang tidak terinfeksi dapat mati, partikel HIV dapat
berkaitan dengan permukaan sel menyebabkan sel seakanakan terinfeksi sehingga sel dihancurkan oleh sel T killer.
e) Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibodi
yang berperan untuk mengeliminasi sel yang terinfeksi.
f) Kematian sel target terjadi akibat hiperaktivitas, sehingga
fungsi pengaturan protein terganggu, dan kematian sel.
Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi
penurunan jumlah limfosit secara dramatis dari normal yang
berkisar 600-1200/mm3 menjadi 200/mm3 atau lebih rendah
lagi, sehingga pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme
patogen menjadi lemah dan meningkat dan meningkat resiko
terjadinya infeksi sekunder dan akhirnya masuk ke stadium
AIDS. Infeksi sekunder ini biasanya disebut infeksi oportunistik,
7
yang menyebabkan munculnya keluhan dan gejala klinis sesuai
jenis infeksi (Subramaniam, 2014)
Cara penularan HIV diantara lain :
a) Kontak seksual atau hubungan seksual
Penularan melalui hubungan seksual adalah cara yang
paling dominan dari semua cara penularan. Kontak seksual
dengan vaginal, anal, dan oral seksual antara dua individu.
Resiko tinggi adalah vaginal yang tak terlindung dari
individu yang terinfeksi HIV. Kontak seksual langsung
(mulut ke penis atau mulut ke vagina) masuk dalam
kategori risiko rendah tertular HIV.
b) Pajanan oleh darah, produk darah atau transplantasi
Penularan dari darah dapat terjadi jika donor tidak
dilakukan uji saring untuk antibodi HIV. Pajanan HIV pada
organ dapat terjadi dalam proses transplantasi jaringan.
c) Penularan dari ibu ke anak
Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya saat
ia dikandung, dilahirkan, dan sesudah lahir.
2. Perjalanan Penyakit HIV
Setelah infeksi awal, pasien mungkin tetap seronegatif (tes
antibodi HIV masih menunjukan hasil negatif) walaupun virus
sudah ada dalam darah dalam jumlah yang banyak. Antibodi
yang terbetuk belum cukup terdeteksi melalui pemeriksaan
laboratorium
karena
kadarnya
belum
memadai.
Antibodi
terhadap HIV biasanya muncul dalam 3 sampai 6 minggu
hingga 12 minggu setelah infeksi primer. Dalam fase ini
sangatlah penting karena pada fase ini pasien sudah mampu
dan berpotensi menularkan virus ke orang lain disebut juga
dengan “window periode”.
Manifestasi klinis pada orang yang terinfeksi dapat timbul
dalam waktu paling cepat 1 sampai 4 minggu. Gejala yang
8
timbul dapat berupa demam, diare, dan sariawan. Dalam
periode ini limfosit T dapat terdeteksi di darah (Depkes, 2011).
Pada fase akut terjadi penurunan limfosit T yang dramatis
dan kemudian terjadi kenaikan limfosit T karena mulai terjadi
respon imun. Jumlah limfosit T pada fase ini masih diatas
500sel/mm3 dan akan mengalami penurunan setelah6 minggu
terinfeksi HIV (Depkes, 2011).
Pada fase infeksi akut, akan terjadi tahap serokonversi dari
status antibodi negatif menjadi positif. Dalam beberapa minggu
setelah fase infeksi akut, pasien masuk ke fase asimtomatik.
Pada awal fase ini jumlah limfosit T menurun hingga 500 sampai
200 sel/mm3, meskipun pemeriksaan HIV telah menunjukan
positif penderita umumnya belum menunjukan gejala klinis
namun pada tahun kedelapan setelah terinfeksi HIV akan
muncul gejala klinis yaitu demam, sering keluar keringat
dimalam hari, kehilangan berat badan kurang dari 10%, diare,
dan penyakit infeksi kulit berulang (Depkes, 2011).
Selanjutnya yaitu fase simtomatik. Pada fase ini respon imun
tidak dapat meredam jumlah virus yang berlebihan, sehingga
limfosit semakin tertekan karena HIV yang semakin banyak.
Dari perjalanan penyakit, jumlah limfosit T biasanya menurun
dibawah 200 sel/mm3. Penurunan limfosit T ini mengakibatan
sistem imun menurun dan pasien semakin rentan terhadap
berbagai
penyakit
infeksi
sekunder
seperti
anemia,
trombositopenia, TB paru, dll. Juga disertai dengan timbulnya
gejala-gejala yang menunjukan imunosupresi yang berlanjut
sampai pasien memperlihatkan penyakit-penyakit terkait AIDS
(Depkes, 2011).
9
Kematian
Infeksi Primer
Jumlah CD4+Limfosit (Sel/mm3)
Infeksi
oportunistik
Secara klinis tidak menampakan gejala
(Periode latent/Asimtomatik)
Gejala Klinis
Periode Jendela
Viral load = Beban Virus =
Jumlah kopi HIV RNA pada setuao mL Plasma
Sindrom retroviral akut
Penyebaran luas virus
Pembenihan pada organ limfoid
Gambar 2.1 Gambar grafik perjalanan penyakit HIV/AIDS
Sumber : Depkes RI, 2011
3. Sistem klasifikasi infeksi HIV menurut WHO
a) Tahap pertama perjalanan Virus/Akut
Pada saat virus menginfeksi tubuh kadar replikasi virus di
dalam darah sangat tinggi, sementara itu sel-sel antibodi HIV
belum terbentuk, sehingga mengakibatkan penekanan pada
limfosit T helper (CD4) yang digunakan oleh virus untuk
mereplikasi diri secara progresif.
50-70% orang yang terinfeksi HIV pada tahap awal ini
biasanya menunjukan gejala seperti demam, flu, nyeri otot
dan sendi. Orang yang terinfeksi dalam tahap ini adalah
sangat infeksius dan umumnya tidak menyadari apalagi tes
antibodi HIV menunjukan hasil negatif.
b) Tahap tanpa gejala (Stadium I) / asimptomatik
Tahap ini rata-rata berlangsung 2-10 tahun setelah terinfeksi
HIV. Kadar virus umumnya rendah dan kekebalan tubuh
10
melalui perhitungan sel kekebalan tubuh CD4 tinggi seperti
orang yang tidak terinfeksi HIV.
c) Stadium II
Perjalanan virus yang terlihat pada tahapan ini adalah berat
badan menurun < 10% tanpa sebab, infeksi saluran napas,
sariawan berulang (2 atau lebih dalam 6 bulan).
d) Stadium III / simptomatik
Sistem kekebalan tubuh mulai terganggu dan kadar virus
mulai meningkat. Mulai muncul gejala-gejala penyakit terkait
HIV, seperti :
a. Berat badan menurun 10% tanpa sebab, diare kronis
tanpa sebab 1 bulan
b. Demam tanpa sebab 1 bulan
c. TB paru
d. Infeksi bakteri berat (meningitis)
e. Anemia, netropenia, trombositopenia
e) Stadium IV
Sistem kekebalan tubuh mulai sudah berkurang sehingga
mulai timbul infeksi oportunistik yang serius, seperti :
a. Kanker kulit
b. Infeksi paru-paru
c. Infeksi usus yang menyebabkan diare berkepanjangan
d. Infeksi otak yang menyebabkan ganguan mental, sakit
kepala dan sariawan
e. Kehilangan berat badan total
f. TB ekstra paru (Kemenkes, 2012)
4. Pemeriksaan Laboratorium Terkait Penyakit HIV
a) Darah rutin
Darah rutin merupakan suatu jenis pemeriksaan
penyaringan untuk menunjang diagnosa suatu penyakit atau
untuk melihat bagaimana respon tubuh terhadap suatu
11
penyakit. Pemeriksaan ini juga sering dilakukan untuk
melihat kemajuan atau respon terapi pada pasien yang
menderita suatu penyakit infeksi (Bastiansyah, 2008).
Pemeriksaan
darah
rutin
terdiri
dari
beberapa
jenis
parameter, yaitu :
1) Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin adalah suatu protein yang berada
didalam darah yang berfungsi sebagai pengangkut
oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh dan
membawa karbondioksida dari jaringan tubuh ke paruparu. Kadar normal hemoglobin, yaitu bayi baru lahir 17 –
22 g/dl, umur 1 minggu 15 – 20 g/dl, umur 1 bulan 11 – 15
g/dl, anak-anak 11 – 13 g/dl, laki – laki dewasa 14 – 18
g/dl, perempuan dewasa 12 – 16 g/dl, laki – laki tua 12,4 –
14,9 g/dl, perempuan tua 11,7 – 13,8 g/dl. Penurunan
kadar Hemoglobin pada penderita HIV positif terjadi pada
stadium III karena kurangnya suplai oksigen ke sel.
2) Hematokrit (Ht)
Hematokrit adalah perbandingan antara proporsi
volume sampel darah dengan sel darah merah (eritrosit)
yang diukur dalam satuan persen, pengukuran ini bisa
dihubungkan dengan tingkat kekentalan darah. Semakin
tinggi
presentasenya
maka
darah
semakin
kental.
Sebaliknya, jika semakin rendah presentasenya maka
darah semakin encer. Nilai normal hematokrit untuk pria
berkisar 40,7% - 50,3% sedangkan untuk wanita berkisar
36,1% - 44,3%. Hematokrit pada penderita HIV positif
mengalami penurunan disebabkan sistem imun yang
semakin melemah.
12
3) Leukosit (WBC/White Blood Cell)
Leukosit sering disebut juga sel darah putih, leukosit
merupakan komponen darah yang berperan dalam
memerangi infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri,
ataupun proses metabolik toksin, dll. Nilai normal jumlah
leukosit berkisar 4.000 – 10.000 sel/mm3.
Penurunan jumlah leukosit pada penderita HIV positif
terjadi pada stadium III dan IV karena sel limfosit T ditekan
oleh virus HIV.
4) Trombosit (Platelet)
Trombosit merupakan bagian dari sel darah yang
berfungsi membantu dalam proses pembekuan darah dan
menjaga intergritas vaskuler. Nilai normal trombosit
berkisar
antara
150.000
–
400.000
sel/mm3darah.
Trombosit yang tinggi disebut trombositosis, dan trombosit
yang rendah disebut trombosipenia.
Penurunan jumlah trombosit pada penderita HIV
positif terjadi pada stadium III karena megakariosit ditekan
oleh virus HIV sehingga trombosit yang dihasilkan
mengalami penurunan.
5) Eritrosit (RBC/Red blood cell)
Eritrosit atau sering disebut sel darah merah adalah
bagian darah dengan komposisi yang sangat banyak di
dalam darah. Fungsi utamanya adalah sebagai tempat
metabolisme makanan untuk dapat menghasilkan energi
serta mengangkut oksigen dan karbon dioksida. Nilai
normal eritrosit pada pria berkisar 4,5 juta – 6 juta
sel/mm3sedangkan pada wanita 4,5 juta – 5,5 juta
sel/mm3. Eritrosit penderita HIV mengalami penurunan
(Nugraha, 2015).
13
b) Uji Imunologi
Uji imunologi untuk menemukan respon antibody
terhadap HIV-1 dan digunakan sebagai test skrining, meliputi
enzyme immunoassays atau enzyme linked immunosorbent
assay (ELISA) sebaik tes serologi cepat (rapid test).Uji
Western blot atau indirect immunofluorescence assay (IFA)
digunakan untuk memperkuat hasil reaktif dari test krining.
Uji yang menentukan perkiraan abnormalitas sistem imun
meliputi jumlah dan persentase CD4+dan CD8+T-limfosit
absolute. Uji ini sekarang tidak digunakan untuk diagnose
HIV tetapi digunakan untuk evaluasi (Mariam, 2010).
1) Deteksi antibodi HIV
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang diduga
telah terinfeksi HIV. ELISA dengan hasil reaktif (positif)
harus diulang dengan sampel darah yang sama, dan
hasilnya dikonfirmasikan dengan Western Blotatau IFA
(Indirect Immunofluorescence Assay). Sedangkan hasil
yang negatif tidak memerlukan tes konfirmasi lanjutan,
walaupun pada pasien yang terinfeksi pada masa jendela
(window period), tetapi harus ditindak lanjuti dengan
dilakukan uji virologi pada tanggal berikutnya. Hasil negatif
palsu dapat terjadi pada orang-orang yang terinfeksi HIV-1
tetapi belum mengeluarkan antibodi melawan HIV-1 (yaitu,
dalam 6 (enam) minggu pertama dari infeksi, termasuk
semua tanda-tanda klinik dan gejala dari sindrom retroviral
yang akut. Positif palsu dapat terjadi pada individu yang
telah diimunisasi atau kelainan autoimune, wanita hamil,
dan transfer maternal imunoglobulin G (IgG) antibodi anak
baru lahir dari ibu yang terinfeksi HIV-1. Oleh karena itu
hasil positif ELISA pada seorang anak usia kurang dari 18
14
bulan harus di konfirmasi melalui uji virologi (tes virus),
sebelum anak dianggap mengidap HIV-1 (Mariam, 2010).
2) Rapid test
Merupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi
IgG
antibodi
berdasarkan
terhadap
aglutinasi
HIV-1.
partikel,
Prinsip
pengujian
imunodot
(dipstik),
imunofiltrasi atau imunokromatografi. ELISA tidak dapat
digunakan untuk mengkonfirmasi hasil rapid tes dan
semua hasil rapid tes reaktif harus dikonfirmasi dengan
Western blot atau IFA (Mariam, 2010).
3) Western blot
Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau
hasil serologi rapid tessebagai hasil yang benar-benar
positif. Uji Western blotmenemukan keberadaan antibodi
yang melawan protein HIV-1 spesifik (struktural dan
enzimatik).
Western
blotdilakukan
hanya
sebagai
konfirmasi pada hasil skrining berulang (ELISA atau rapid
tes). Hasil negative Western blot menunjukkan bahwa
hasil positif ELISA atau rapid tesdinyatakan sebagai hasil
positif palsu dan pasien tidak mempunyai antibodi HIV-1.
Hasil
Western
blotpositif
menunjukkan
keberadaan
antibodi HIV-1 pada individu dengan usia lebih dari 18
bulan (Mariam, 2010).
4) Indirect Immunofluorescence Assays (IFA)
Uji ini sederhana untuk dilakukan dan waktu yang
dibutuhkan lebih sedikit dan sedikit lebih mahal dari uji
Western blot. Antibodi Ig dilabel dengan penambahan
fluorokrom dan akan berikatan pada antibodi HIV jika
berada pada sampel. Jika slide menunjukkan fluoresen
sitoplasma
dianggap
hasil
positif
(reaktif),
yang
menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1. (Mariam, 2010)
15
5) Penurunan sistem imun
Progresi infeksi HIV ditandai dengan penurunan
CD4+ T limfosit, sebagian besar sel target HIV pada
manusia. Kecepatan penurunan CD4 telah terbukti dapat
dipakai sebagai petunjuk perkembangan penyakit AIDS.
Jumlah CD4 menurun secara bertahap selama perjalanan
penyakit. Kecepatan penurunannya dari waktu ke waktu
rata-rata 100 sel/tahun.
c) Uji Virologi
Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi
kultur virus, tes amplifikasi asam nukleat / nucleic acid
amplification test (NAAT), test untuk menemukan asam
nukleat HIV-1 seperti DNA arau RNA HIV-1 dan test untuk
komponen virus.
1) Kultur HIV
HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus
lebih tinggi dalam plasma dan sel darah tepi penderita
AIDS. Pertumbuhan virus terdeteksi dengan menguji
cairan supernatan biakan setelah 7-14 hari untuk aktivitas
reverse transcriptasevirus atau untuk antigen spesifik
virus.
2) NAAT HIV-1 (Nucleic Acid Amplification Test)
Menemukan RNA virus atau DNA proviral yang
banyak dilakukan untuk diagnosis pada anak usia kurang
dari 18 bulan. Karena asam nuklet virus mungkin berada
dalam jumlah yang sangat banyak dalam sampel.
Pengujian RNA dan DNA virus dengan amplifikasi PCR,
menggunakan metode enzimatik untuk mengamplifikasi
RNA HIV-1. Level RNA HIV merupakan petanda prediktif
penting dari progresi penyakit dan menjadi alat bantu yang
bernilai untuk memantau efektivitas terapi antivirus.
16
3) Uji antigen p24
Protein virus p24 berada dalam bentuk terikat dengan
antibodi p24 atau dalam keadaan bebas dalam aliran
darah indivudu yang terinfeksi HIV-1. Pada umumnya uji
antigen p24 jarang digunakan dibanding teknik amplifikasi
RNA atau DNA HIV karena kurang sensitif. Sensitivitas
pengujian meningkat dengan peningkatan teknik yang
digunakan untuk memisahkan antigen p24 dari antibodi
anti-p24 (Mariam 2010).
Infeksi Oportunistik
Penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada
pasien HIV tahap lanjut adalah infeksi oportunistik, yaitu
infeksi berat yang diinduksi oleh agen-agen yang jarang
menyebabkan
penyakit
serius
pada
individu
dengan
kemampuan imun baik. Oleh karena itu pengobatan
ditujukan
untuk
mengatasi
beberapa
agen
patogen
oportunistik sehingga memungkinkan pasien AIDS bertahan
hidup lebih lama (Mariam, 2010).
B. Kerangka Konsep
HIV Positif
Pemeriksaan Darah
Rutin
Kadar
Hemoglobin
Jumlah
leukosit
Nilai
hematokrit
Jumlah
trombosit
Gambar 2.2 Kerangka konsep
Keterangan
:
: Variabel yang diteliti
Jumlah
Eritrosit
DAFTAR PUSTAKA
Al-quran. (2014) Al Quran dan Terjemahannya. Bandung : CV
Penerbit Dipenogoro.
Bastiansyah, Eko. (2008). Panduan lengkap membaca hasil test
kesehatan. Jakarta: Penebar plus
Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku Saku Patofisiologi Edisi Revisi 3.
Jakarta : EGC
Depkes. (2011). Pedoman nasional perawatan, dukungan dan
pengobatan bagi ODHA. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Barat
Dinkes. (2015). Hasil Evaluasi Uji Profesiensi Anti – HIV. Unit
Pelaksana Teknis Dinas Balai Laboratorium Kesehatan.
Hoffbrand. A. V, dkk. (2012). Kapita Selekta Hematologi Edisi 4.
Jakarta: EGC
Mariam, Siti. (2010). Perbandingan Respon Literatur. Jakarta:
FMIPA UI
Menkes. (2012). Pelatihan Pemeriksaan Terkait HIV bagi petugas
Laboratorium. Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jendral
Pengadilan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Nugraha, Gilang. (2015). Panduan Pemeriksaan Laboratorium
Hematologi Dasar. Jakarta : CV. Trans Info Media
Siregar, Fazidah. (2009). Pengenalan dan Pencegahan HIV-AIDS.
USU dygital Library
Subramaniam, Suruthi. (2004). Hubungan Tingkat Pengetahuan
dan sikap Mahasiswa Terhadap HIV/AIDS di Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan : FK
Universitas Sumatera utara.
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.
Bandung : CV. Alfabeta
24
25
Wirawan, Riadi. (2011). Pemeriksaan Laboratorium Hematologi
sederhana. Jakarta: FKUI
Zulkoni, Akhsin. (2010). Parasitologi. Yogyakarta : Muha Medika
Download