Templat tugas akhir S1

advertisement
d
PENERAPAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN
INTERNASIONAL KAWASAN UNI EROPA TERHADAP
IMPOR KAKAO DARI INDONESIA
CECEP SENTAWULAN
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Penerapan
Kebijakan Perdagangan Internasional Kawasan Uni Eropa Terhadap Impor
Kakao dari Indonesia serta Pengaruhnya adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, April 2014
Cecep Sentawulan
NIM H34090121
ABSTRAK
CECEP SENTAWULAN. Penerapan Kebijakan Perdagangan Internasional
Kawasan Uni Eropa Terhadap Impor Kakao dari Indonesia Dibimbing oleh
BURHANUDDIN.
Kakao (Theobroma cacao L) merupakan komoditi unggulan dimana
Indonesia merupakan Negara produsen ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana.
Oleh karena itu, Indonesia merupakan salah satu eksportir produk kakao. Salah
satu kelompok Negara yang mengimpor kakao adalah Uni Eropa (Uni Eropa).
Tujuan dari penelitian ini adalah identifikasi kebijakan perdagangan di UE ,
perbedaan tariff kakao Indonesia di UE,
dan Menganalisis kebijakan
Pengembangan ekspor dari Pemerintah Indonesia lalu meihat secara deskrptif
pegngaruh kebjakan tersebut terhadap impor kakao Uni Eropa dari Indonesia
dengan studi literature. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan
analisis kebijakan kualitatif deskriptif. Berdasarkan identifikasi kebijakan di UE
kita bisa menganalisis apa saja kebijakan yang berpengaruh, melihat peluang
skema tariff lain Indonesia, serta kebijakan pengembangan kakao dari Pemerintah
Indonesia lalu melihat pengaruhnya impor kakao dari Uni Eropa .
Kata kunci: Kakao, Uni Eropa, Analisis kebijakan Kualitatif deskriptif
ABSTRACT
Cecep SENTAWULAN. Application of International Trade Policy and the EU
Regions Influence Indonesia Cocoa Exports. Supervised by BURHANUDDIN
Indonesia which country third producer after Cocoa (Theobroma cacao L)
Ivory Coast and Ghana. Therefore, Indonesia is one of the exporters of cocoa
products. One of the group of countries that import cocoa is the European Union
(EU). The purpose of this study was the identification of trade policy in the EU,
differences in EU tariff Indonesian cocoa, government policy in response to the
EU's policy on the export of cocoa literature study. The method used is a
qualitative method qualitative descriptive policy analysis. Based on the
identification of policy in the EU we can analyze what policies are influential, saw
another opportunity Indonesian tariff schemes, as well as export policies in
response to international trade khusuny development policy in the European union
Keywords: Cocoa, European Union policy, analysis Qualitative descriptive
PENGARUH KEBIJAKAN PERDAGANGAN
INTERNASIONAL KAWASAN UNI EROPA TERHADAP
IMPOR KAKAO DARI INDONESIA
CECEP SENTAWULAN
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Penerapan Kebijakan Perdagangan Internasional Kawasan Uni
Eropa Terhadap Impor Kakao dari Indonesia.
Nama
: Cecep Sentawulan
NIM
: H34090121
Disetujui oleh
Ir Burhanuddin, MM
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Nunung Kusnadi, MS
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
Judul Skripsi: Penerapan Kebijakan Perdagangan Intemasional Kawasan Uni
Eropa Terhadap Impor Kakao dari Indonesia.
Nama
: Cecep Sentawulan
NIM
: H34090121
Disetujui oleh
Ir Burhanuddin, MM Pembimbing Diketahui oleh Tanggal Lulus:
o4 APR
2014
PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa
ta’ala atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga sripsi ini dapat
diselesaikan. Skripsi ini merupakan hasil penelitian dan pengolahan data
yang dilaksanakan pada bulan Mei-September 2013 dengan judul
“Penerapan Kebijakan Perdagangan Internasional Uni Eropa dan
Pengaruhnya Terhadap Ekspor Kakao Indonesia”. Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis Kebijakan Perdagangan Internasional Khususnya di
wilayah Uni Eropa yang terkait dengan Kakao (Theobroma Kakao L) dengan
studi literature dan pengambilan data primer.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ir Burhanuddin, MM
selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan saran. Di
samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para staff dan
dosen Departemen Agribisnis yang telah membantu dalam kelancaran
penyelesaian skripsi, pihak Kementrian Perdagangan yang telah memberikan
data yang terkait dengan perdagangan Internasional, Taufik Hidayat yang
telah memberikan saran dan informasi tentang skripsi, Monalisa Arput &
Euis Intan Anovani yang telah membantu dalam pembuatan skrispsi saya,
sahabat tersekat saya Stefan Efendi & Anugrah Mahadhi yang saling
membantu dan mendukung dalam penyelesaian skripsi ini serta teman-teman
seperjuangan agribisnis 46 yang ikut membantu dalam penyelesaian skripsi
ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh
keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya semoga skripsi ini
bermanfaat.
Bogor, April 2014
Cecep Sentawulan
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Komoditi Kakao Indonesia dalam Perdagangan Internasional
Ekspor Komoditi Kakao Indonesia ke Kawasan Uni Eropa
Pengaruh Kebijakan dalam Perdagangan Internasional
vii
1
5
7
7
7
8
8
8
9
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Teori Perdagangan Internasional
Pola Perdagangan Internasional Kakao di Uni Eropa
Kebijakan Perdagangan
Analisis Kebijakan
Kerangka Pemikiran Operasional
10
10
10
10
11
13
14
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Desain Penelitian
Sumber Data dan Penelitian
Metode Pengumpulan Data
Metode Pengolahan dan Analisis Data Kualitatif
16
16
16
16
17
17
GAMBARAN UMUM EKSPOR KAKAO INDONESIA
Uni Eropa
Kondisi Kakao di Dunia
Perdagangan Internasional Kakao
Perkembangan Ekspor Kakao Indonesia
18
18
20
24
26
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Kebijakan Perdagangan Internasional Uni Eropa yang
Berkaitan Dengan Komoditi Kakao Indonesia
Analisis Skema Tariff Kakao Indonesia dalam Perdagangan
Internasional di Uni Eropa
Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Kakao serta Melihat
Pengaruhnya dalam Perdagangan Uni Eropa
29
47
KESIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
54
54
55
DAFTAR PUSTAKA
56
29
42
DAFTAR TABEL
1. PDB menurut lapangan usaha tahun 2006-2012
2. Nilai dan jumlah ekspor enam komoditi unggulan perkebunan
1
Indonesia 2008-2011
Produksi perkebunan berdasarkan pengusahaannya
Produsen biji kakao Dunia
Nilai ekspor di empat pasar ekspor terbesar kakao Indonesia tahun
2006-2011
Negara-negara importir terbesar kakao Indonesia di Uni Eropa
Perincian Sumber data Penelitian
Negara-negara anggota Uni Eropa
Konsumsi kakao dunia
Jenis-jenis produk kakao berdasarkan HS 4 Digit
Nilai ekspor kakao dunia tahun 2010-2012(US$ ribu dolar)
Nilai impor kakao dunia tahun 2010-2012
Nilai ekspor produk kakao Indonesia (HS 4 digit)
Nilai ekspor importer kakao Indonesia (HS 2 digit)
Presentase tariff kakao pada Uni Eropa, Amerika Serikat, Malaysia.
Daftar Kebijakan Perdagangan Internasional di Uni Eropa yang
terkait dengan Komoditi Kakao
Fokus skema sertifikasi
Presentase tariff bea masuk kakao berdasarkan skema perdagangan
Internasional di Uni Eropa
Kebijakan-kebijakan Indonesia yang berkaitan dengan komoditi
kakao
Daftar Industri kakao Indonesia
2
3
3
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
4
5
17
19
21
23
25
25
27
28
32
34
42
44
49
50
DAFTAR GAMBAR
1. Alur kerangka pemikiran operasional
2. Produksi kakao dunia pada periode 2002–2012
3. Negara-negara konsumen terbesar kakao periode 2010/2012
4. Grafik harga kakao dunia tahun 2005-2012
5. Grafik nilai ekspor-impor kakao dunia periode 2002-2012
6. Nilai ekspor kakao Indonesia, tahun 2002-2012
7. Nilai ekspor kakao Indonesia menuju UE
8. Grafik RASFF berdasarkan notifikasinya
9. Grafik RASFF berdasarkan jenis risiko relatif
10. Proses Pengambilan Permenkeu
11. Nilai Impor Kakao UE dari Indonesia
12. Volume Impor Kakao UE dari Indonesia
15
20
21
22
24
26
29
37
38
48
51
52
DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
Annex I dan II Directive 2000/36/EC
Prosedur Ekspor Indonesia
Alur Prosedur Ekspor
Negara-negara penerima fasilitas GSP dan FTA dari Uni Eropa
57
62
64
65
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia selalu dikenal sebagai Negara agraris karena kaya akan
sumberdaya alam yang melimpah di bidang sumberdaya pertanian seperti lahan,
varietas, dan iklim. Berdasarkan data statistik Indonesia, sektor perkebunan
memberikan kontribusi total Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian
sebesar Rp 1 311 037 ribu milyar rupiah pada tahun 2013. Dengan PDB pertanian
mampu memberikan share sebesar 14.5% dari PDB keseluruhan termasuk migas
yang mencapai Rp 9 038 972 milyar. Selain itu, sub-sektor pertanian ini juga
berkontribusi terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB). Salah satu subsektor
dari sektor pertanian yang berkontribusi tehadap Produk Domestik Bruto adalah
subsektor perkebunan. Pada tahun 2013 sub-sektor perkebunan memberikan
kontribusi total Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp 175 248 milyar.
Jumlah ini merupakan jumlah terbesar ketiga setelah sub-sektor Tanaman Pangan
yang mencapai Rp 621 832 milyar dan sub-sektor Perikanan dengan nilai Rp 291
799 milyar. Secara terperinci, kontribusi subsektor perkebunan di dalam
perekonomian nasional dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 PDB menurut lapangan usaha tahun 2006-2012
Kontribusi Terhadap PDBb (Milyar Rupiah)
Lapangan
Usaha
2007
2008
2009
2010
2011
2012c
2013d
Tanaman
265 090 347 871 419 194 482 377 529 968
574 330 621 832
Pangan
Perkebunan
81 595 106 186 111 378 136 048 153 709
159 753 175 248
Pertenakan
61 325
82 835 104 883 119 371 129 297
14 089 165 162
Kehutanan
35 883
39 992
45 119
48 289
51 781
54 906 56 994
Perikanan
97 607 136 435 176 620 199 383
226 691
255 332 291 799
Total PDB
541 502 713 332 580 698 985 470 1 091 447
1 190 412 1 311 037
Pertanian
a
b
c
Sumber: BPS (2012); miliar rupiah; angka sementara; angka sangat sementara
Pada Tabel 1, kontribusi subsektor perkebunan menempati urutan ketiga
setelah tanaman pangan dan perikanan. Sumbangan subsektor perkebunan
terhadap nilai PDB menunjukan nilai yang meningkat kecuali pada tahun 2009
mengalami penurunan. Namun setelah tahun 2009 yaitu tahun 2010 mengalami
peningkatan yang signifikan. Trend PDB subsektor perkebunan menunjukkan
prospek yang sangat menjanjikan bagi Indonesia karena dari tiap tahun PDB
pertanian selalu meningkat, termasuk sub-sektor pertanian itu sendiri.
Perkebunan selama ini memegang peranan penting sebagai sumber
penerimaan devisa Negara. Inilah yang menjadikan nilai neraca perdagangan
subsektor perkebunan surplus dari tahun ke tahun. Walaupun terjadi penurunan
nilai neraca pada tahun 2009, subsektor perkebunan menyumbang ekspor lebih
besar 90% terhadap total ekspor pertanian sebesar US$ 24.58 miliar dari total
ekspor pertanian. Pada tahun 2011 nilai ekspor perkebunan mencapai US$ 32.2
milyar rupiah. Hal ini membuktikan bahwa subsektor perkebunan mempunyai
nilai ekspor yang cenderung meningkat. Perkebunan mempunyai peran penting
dalam pemasukan devisa Negara. Hal ini dibuktikan oleh beberapa komoditi
2
perkebunan yang mempunyai jumlah dan nilai ekspor yang cukup besar. Berikut
ini disajikan tabel enam komoditi perkebunan pada tahun 2006-2011 yang
mempunyai jumlah dan nilai ekspor paling besar. Nilai dan jumlah ekspor tersebut
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Nilai dan jumlah ekspor enam komoditi unggulan perkebunan Indonesia
2008-2011a
Komoditas
2008
2009
2010
2011
Trend 2008 2011
Kelapa Sawit
-0.023.
Volume
18 141 004
21 669 489
20 394 174
16 436 000
a
-0.016
Nilai
14 110 229
11 728 840
15 413 639
17 261 000
Karet
0.133
Volume
2 345 457
2 067 312
2 420 716
2 283 200
0.406
Nilaia
6 152 246
3 450 497
7 470 112
1 1358 000
Kelapa
0.267
Volume
1 080 981
957 517
1 045 960
1 199 800
0.160
Nilaia
900 917
489 885
703 239
1 060 700
Kakao
-0.073
Volume
515 576
559 799
552 892
410 200
a
-0.006
Nilai
1 269 022
1 459 297
1 643 773
1 172 000
Kopi
-0.001
Volume
468 750
507 968
433 595
346 500
0.007
Nilaia
991 458
829 261
814 311
963 400
Sumber: Dirjen Perkebunan dan Holtikultura Kementrian Pertanian (2011); aRibu US$
Kakao merupakan salah satu komoditas andalan sektor perkebunan yang
peranannya penting bagi sumber penerimaan devisa Negara. Walaupun jumlah
ekspor kakao lebih sedikit dibandingkan minyak sawit, karet, dan kelapa, namun
nilai ekspor komoditi ini sangat tinggi. Pada tahun 2011, nilai ekspor komoditi
kakao mencapai US$ 1.2 milyar terbesar ketiga setelah minyak sawit dan kelapa.
Dari data tersebut dapat menunjukkan potensi kakao dan peluang kakao dalam
perdagangan tradisional, penyedia devisa Negara, penyedia lapangan pekerja, dan
sumber pendapatan para petani. Tabel 2 menunjukkan bahwa trend kakao pada
tahun 2008 ke 2009 naik sebesar 0.09. Akan tetapi pada tahun 2009-2010 trend
kakao menurun sebesar 0.01 dan tahun 2010-2011 trend kakao menurun sebesar
0.3. Pada nilai ekspor kakao juga menurun tiap tahunnya.
Berdasarkan kepemilikan area, perkebunan kakao dibagi menjadi tiga yaitu
perkebunan rakyat (PR), perkebunan swasta (PS), perkebunan Negara (PN).
Perkebunan Rakyat (PR) merupakan perkebunan kakao yang memiliki luas areal
paling besar. Pada tahun 2011 diduga Perkebunan Rakyat luas areal dan produksi
mencapai 1555596 ha dan 773707 ton. Untuk perkebunan Negara (PN) luas areal
dan produksi mencapai 500104 ha dan 50216 ton, sedangkan perkebunan swasta
luas areal dan produksi mencapai 38068 ha dan 36769 ton. Produksi perkebunan
tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
3
Tabel 3 Produksi perkebunan berdasarkan pengusahaannya
Tahun
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Trend 20082011
Perkebunan Rakyat
(PR)
702 207
671 370
740 681
740 986
741 981
773 707
Perkebunan Negara
(PN)
33 795
34 643
31 130
32 340
34 064
36 844
0.0282
Perkebunan Swasta
(PS)
33 384
33 993
31 783
32 856
32 998
34 075
0.0206
a
0.0028
b
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (diolah) 2013; angka sementara; angka dugaan
Perkembangan produksi kakao memberikan hasil positif terhadap jumlah
produksi komoditi kakao Indonesia di mata dunia. Jika kita lihat pada tabel trend
dari tahun ke tahun relatif meningkat. Hal ini mungkin disebabkan oleh salah satu
program pemerintah yang bertujuan meningkatkan produksi biji kakao yaitu
Gernas yang dilakukan. Saat ini Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai
penghasil kakao setelah Pantai Gading dan Ghana. Jumlah produksi kakao
Indonesia diduga sebesar 450 ribu ton pada periode 2011/2012. Untuk Pantai
Gading dan Ghana, jumlah produksi mencapai 1.476 juta ton dan 879 ribu ton.
Pada periode yang sama pula, jumlah produksi kakao dunia diduga sebesar 4 052
ribu ton. Berikut disajikan data Negara produsen kakao di Dunia pada Tabel 4.
Tabel 4 Produsen biji kakao Dunia
Negara
Afrika
Kamerun
Pantai Gading
Ghana
Nigeria
Lainnya
Amerika
Brazil
Ekuador
Lainnya
Asia & Ocenia
Indonesia
Lainnya
Total Dunia
2002
1 952
131
1265
341
185
30
370
124
81
165
539
455
84
2861
2003 2004 2005 2006
2 232 2550 2375 2642
160
166
185
166
1352 1407 1286 1408
497
737
599
740
173
180
200
200
50
60
105
128
428
462
445
446
163
163
171
162
86
117
116
114
179
182
158
170
510
525
559
636
410
430
460
530
100
95
99
106
3170 3537 3379 3724
Produksib
2007
2391
166
1292
614
190
129
411
126
114
171
597
490
107
3399
2008
2692
185
1382
729
230
166
469
171
118
180
592
485
107
3753
2009 2010 2011c
2519 2486
3225
227
209
229
1222 1242
1511
662
632
1025
250
235
240
158
168
221
488
516
561
157
161
200
134
150
161
197
205
201
599
633
527
490
550
440
109
83
87
3606 3636
4313
2012c
2891
210
1476
879
220
107
630
220
190
220
531
450
81
4052
Sumber: International Cacao Organization 2013; bribu ton; cangka dugaan
Dari data diatas, Indonesia pernah menduduki peringkat kedua produksi
kakao pada periode 2001/2002. Pada periode tersebut produksi Indonesia
mencapai 455 ribu ton sedangkan Ghana hanya 341 ribu ton. Namun pada periode
2002/2003 sampai saat ini Indonesia menjadi peringkat ketiga produksi kakao
dunia digeser oleh Negara Ghana yang pada 2002/2003 produksi kakao mencapai
497 ribu ton naik sebesar 165 ribu ton dibandingkan dengan Indonesia sebesar
410 ribu ton dan mengalami penurunan sebesar 40 ribu ton dari periode
sebelumnya. Dari angka sementara periode 2011/2012 jumlah produksi kakao
Indonesia mencapai 450 ribu ton menduduki peringkat tiga setelah Pantai Gading
4
dan Ghana, kedua Negara tersebut produksi kakao sebesar 1476 ribu ton dan 871
ton.
Dari jumlah produksi sebanyak itu Indonesia mampu mengekspor Komoditi
kakao ke beberapa Negara. Menurut Wakil Menteri Perdagangan RI, Bayu
Krisnamurti mengatakan Amerika Serikat, Belgia (Uni Eropa), dan Jepang adalah
pasar potensial komoditi kakao di Indonesia. Menurutnya, sebagai Negara
produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana,
Indonesia dinilai memiliki peluang pasar dalam mengisi pasar dunia 1. Terdapat
beberapa pasar tujuan ekspor kakao si Indonesia yaitu Amerika Serikat, Uni
Eropa, Jepang, dan Malaysia. Berikut disajikan empat pasar tujuan ekspor kakao
dengan nilai ekspor tertinggi pada Tabel 5.
Tabel 5 Nilai ekspor di empat pasar ekspor kakao Indonesia tahun 2006-2011
Pasar Ekspor USD $ (000)
Tahun
Uni Eropa
Malaysia
Jepang
Amerika Serikat
2006
109 838.67
238 029.79
6 123.46
229 561.93
2007
129 102.11
4 575.30
4 575.30
161 440.28
2008
143 915.53
5 360.46
5 360.46
267 983.11
2009
136 763.22
11 688.05
11 688.05
372 475.39
2010
167 064.02
11 897.79
11 897.79
359 903.05
2011
180 927.27
13 299.71
18 0927.27
197 764.67
Total
867 610.81
52 944.78
2521502.33
1 589 128.435
Sumber: Comtrade 2013
Dari data tersebut Amerika Serikat mempunyai nilai ekspor lebih besar,
nilai ekspor terbesar selanjutnya adalah Uni Eropa, Malaysia dan Jepang. Jumlah
nilai Ekspor Amerika Serikat saja mencapai lebih dari 1.5 milyar US$. Sedangkan
Uni Eropa mempunyai nilai terbesar kedua sebesar 860 juta US$ disusul Malaysia
dan Jepang sebesar 520 juta US$ dan 250 juta USD$. Nilai ekspor di empat pasar
ekspor kakao Indonesia cenderung fluktuatif, hal ini dikarenakan jumlah ekspor
kakao selalu berubah-ubah dikarenakan kuantitas dan kualitas kakao yang
diperdagangkan. Produk kakao yang banyak diekspor pada Negara-negara
eksportir tersebut berupa biji kakao (HS018). Biji kakao yang diekspor biasanya
diolah lagi menjadi produk kakao olahan seperti cocoa liquor, cocoa powder,
cocoa butter, coklat dan produk lainnya. Produk Olahan tersebut biasanya
diekspor kembali ke Negara-negara eksportir termasuk Indonesia.
Salah satu tujuan pasar ekspor Indonesia adalah Negara-negara Eropa
(EU27). Dari data tabel nilai ekspor kakao Indonesia mencapai 860 juta US$
terbesar kedua setelah Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan beberapa Negara
Eropa adalah Negara pengolah kakao menjadi produk-produk kakao olahan
lainnya. Dari data Kementrian Perdagangan Negara-negara eropa yang
mengimpor kakao Indonesia adalah Georgia, Perancis, Jerman, Italia, Belgia,
Inggris, dan Rusia. Berikut Ini adalah tabel beberapa negara Uni Eropa impotir
kakao Indonesia yang disajikan pada tabel 6.
1
) Ciputranews.com diunduh pada 12 Mei 2013.
5
Tabel 6 Negara-negara importir terbesar kakao Indonesia di Uni Eropa
Nilai Ekspor (000 US$)
Negara
2012 (Jan2007
2008
2009
2010
2011
Nov)
Georgia
10 190
18 242
16 020
13 650
15 363
18 262
Perancis
4 990
11 844
12 441
9 123
8 870
14 893
Jerman
7 6 316
173 956
109 414
107 943
70 517
111 131
Italia
34 770
60 613
53 102
43 225
57 757
57 381
Belgia
8 879
70 267
48 181
30 495
49 259
37 530
Inggris
16 293
29 017
24 361
39 136
38 801
36 562
Rusia
2 648
12 517
23 302
16 999
25 243
41 506
Total
154 078
376 459
286 823
260 575
265 703
317 267
Sumber: Kementerian Perdagangan (2013)
Dari tabel tersebut jumlah ekspor dari tiap tahunnya selalu meningkat. Pada
tahun 2007 nilai ekspor dari tujuh Negara tersebut mencapai 154 US$ dan
menjadi dua kali lipatnya pada tahun 2012 sebesar 317 juta US$. Tiga negara
Eropa importir terbesar kakao Indonesia adalah Jerman, Italia dan Belgia. Nilai
Ekspor yang meningkat dari tahun ke tahun ini menunjukan potensi kakao
Indonesia untuk menjadikan kakao sebagai komoditi ekspor utama di perdagangan
Internasional khususnya Uni Eropa yang merupakan Negara konsumen terbesar
produk kakao.
Rumusan Masalah
Subsektor Perkebunan sebagai penyumbang PDB terbesar ketiga pertanian
telah memberikan kontribusi terhadap devisa Negara, salah satu komoditas
unggulan subsektor ini adalah kakao. Bagi Indonesia kakao merupakan salah satu
komoditas ekspor utama terhadap perdagangan Internasional. Indonesia sebagai
produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pandai Gading, dan Ghana
mempunyai pasar ekspor yang potensial salah satunya adalah Uni Eropa. Selain
itu kakao Indonesia diperkirakan mengalami peningkatan pada tahun 2012.
Peningkatan ekspor terjadi karena adanya over supply kakao dan krisis Eropa dan
Amerika yang tidak berdampak langsung terhadap kakao Indonesia.
Saat ini, Indonesia memang menjadi Negara Produsen kakao terbesar ketiga
di dunia mempunyai pasar ekspor potensial seperti Uni Eropa namun ekspor
kakao Indonesia didominasi oleh biji kakao. Padahal beberapa Negara tujuan
ekspor seperti Uni Eropa sangat membutuhkan kakao olahan seperti cocoa paste,
butter, dan cocoa powder. Walaupun begitu produk olahan kakao yang masuk di
Negara-negara Uni Eropa dikenakan tariff bea masuk minimal 7.7%. Hambatan
teknis terhadap ekspor biji kakao dari Indonesia ke Eropa adalah syarat biji kakao
yang masuk harus difermentasi terlebih dahulu. Hal ini berbeda dengan Negara
seperti Amerika Serikat yang tidak mengharuskan biji kakao difermentasi.
Persyaratan ini sulit dipenuhi oleh Indonesia dikarenakan harga biji kakao yang
difermentasi di tingkat petani tidak jauh berbeda dengan harga kakao yang tidak
difermentasi.
6
Uni Eropa menerapkan tariff ekalasi untuk kakao dan produk kakao. Tariff
bea masuk untuk kakao impor ke Uni Eropa tergantung kepada jenis olahannya.
Bea masuk tersebut untuk kakao di Uni Eropa juga diterapkan berdasarkan tariff
yang berlaku umum yaitu Most Favour Nations (MFN) dalam skema GATT
(General Agreement On Tariff and Trade dan tariff preferensi berdasarkan skema
General System Preferences (GSP). Kebijakan tariff Uni Eropa yang
membebaskan tariff bea masuk biji kakao sebenarnya bukanlah dimaksudkan
untuk membantu Negara-negara produsen kakao yang merupakan Negara-negara
berkembang, tetapi lebih banyak dimaksudkan agar harga biji kakao impor
tersebut menjadi murah, sehingga industri pengolahan kakao di kawasan Uni
Eropa semakin berkembang dan kompetitif. Sedangkan tariff bea masuk yang
berbeda untuk kakao olahan yang dikenakan sebesar 7.7% dimaksudkan untuk
melindungi industri pengolahan kakao di kawasan Negara tersebut.
Beberapa kebijakan non tariff di Uni Eropa juga mempengaruhi
perkembangan ekspor kakao Indonesia. Beberapa kebijakan non tariff tersebut
adalah European Communities (EC) No. 178/2002 mengenai prinsip umum
persyaratan pangan, Directive 93/43 mengenai higienitas, Councill Regulation
untuk makanan organic dan labeling termasuk modifikasi genetic. Regulations
(EC) No850/2004, Directive 94/62EC mengatur Limbah Kemasan, Directive
2001/95/EC mengenai ketentuan umum keamanan pangan. Terakhir adalah
Directive 2000/36/EC kebijakan non tariff yang mengatur kakao dan produk
coklat untuk konsumsi manusia.
Di samping perlakuan tariff dan non tariff secara umum berdasarkan MFN
dan GSP, UE juga memberikan perlakuan tariff yang berbeda kepada negaranegara yang memiliki perjanjian perdagangan bebas dan negara yang tergabung di
dalam African, Carribean, Pacific (ACP) countries. Contoh perlakuan tarif yang
berbeda tersebut terlihat dari adanya kerjasama perdagangan bebas Free Trade
Agreements (FTA) dengan beberapa negara Eropa seperti Norwegia dan Swiss.
Tariff bea masuk untuk kedua negara tersebut adalah nol persen. Beberapa Negara
Eropa menerapkan kebijakan FTA dikarenakan Negara eksportir kakao tersebut
telah dikuasai perusahan multi nasional dan adanya faktor bekas jajahan Negara
Eropa juga mempengaruhi FTA tersebut.
Hal inilah yang dialami Indonesia dalam memenuhi permintaan komoditas
kakao di pasar Internasional, khususnya Uni Eropa. Setiap peraturan atau
kebijakan yang ditetapkan oleh Negara tujuan ekspor perlu dikajikan dan
dilakukan penelitian. Indonesia sebagai eksportir kakao juga bisa melihat posisi
produk kakaonya di pasar Internasional khususnya di Uni Eropa. Dengan
pengkajian, dan penempatan posisi, pemerintah juga bisa memberikan respon
terhadap kebijakan tersebut. berdasarkan uraian dan fakta-fakta permasalahan
kakao di pasar Uni Eropa dan juga mengacu latar belakang yang dibuat, maka
dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Apa saja kebijakan perdagangan Uni Eropa yang berkaitan dengan komoditi
kakao Indonesia?
2. Analisis skema tariff kakao Indonesia dengan tariff kakao Negara-negara
penerima fasilitas GSP dan FTA?
3. Apa saja respon pemerintah Indonesia terkait kebijakan-kebijakan kakao
dalam perdagangan Internasional khususnya Uni Eropa?
7
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi kebijakan perdagangan di Uni Eropa yang berkaitan dengan
Perdagangan kakao Indonesia di Uni Eropa.
2. Menganalisis skema tariff Indonesia dalam Perdagangan Internasional di Uni
Eropa.
3. Menganalisis kebijakan pemerintah Indonesia terhadap impor kakao serta di
kawasan Uni Eropa.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat berupa:
1. Untuk pemerintah dan pelaku ekspor sebagai rekomendasi suatu kebijakan
yang dapat meningkatkan produksi kakao baik kuantitas dan kualitas sehingga
ekspor kakao Indonesia meningkat serta bisa menjadi negara eksportir utama
kakao di dunia.
2. Untuk kaum akademisi hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan, masukan, dan sumber informasi untuk penelitian yang akan
dilakukan selanjutnya baik untuk peningkatan produk kakao ataupun tulisan
ilmiah lainnya.
3. Bagi penulis, kegiatan ini bertujuan sebagai proses pembelajaran yang baik
untuk meningkatkan serta mengembangkan pengetahuan dan wawasan dalam
hal perdagangan Internasional kakao Indonesia.
4. Bagi masyarakat, diharapkan penelitian ini bisa menjadi sumber informasi
untuk mengetahui kondisi ekspor kakao Indonesia.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini berfokus pada komoditas Kakao
Indonesia yang diekspor ke Uni Eropa. Kakao yang diperdagangkan di pasar
Uni Eropa tidak membedakan produk kakao murni seperti biji kakao atau
kakao olahan seperti cocoa butter, cocoa fat, cocoa powder, dan coklat dan
produk turunan kakao lainnya. Banyak kebijakan yang ditetapkan dalam
perdagangan kakao Indonesia ke Uni Eropa, namun dalam penelitian ini
dilakukan deskripsi dan analisis kebijakan yang dinyatakan menjadi
hambatan bagi Indonesia hingga tahun 2013 terhadap ekspor kakao
Indonesia. Selain itu kita juga bisa melihat secara deskriptif posisi tariff
kakao Indonesia terhadap Negara-negara eksportir kakao lainnya. Kebijakan
dan Regulasi sebagai respon ataupun penyesuain kebijakan dengan Uni
Eropa, selanjutnya dilihat pengaruh kebijakan-kebijakan tersebut terhadap
perkembangan ekspor kakao Indonesia.
8
TINJAUAN PUSTAKA
Komoditi Kakao Indonesia dalam Perdagangan Internasional
Pasar kakao dunia membedakan antara dua kategori utama kakao yaitu “fine
or flavour” dan “bulk or ordinary”. Secara umum, kakao jenis fine atau flavor
diproduksi dari pohon kakao jenis Criolo atau Trinitario, sementara kakao jenis
bulk berasal dari pohon kakao jenis Forastero. Nama Criollo, Forastero dan
Trinitario menunjukkan tiga jenis atau kelompok utama dari populasi pohon
kakao (theobroma cacao). Criollos mendominasi pasar sampai pertengahan abad
ke-18 namun saat ini hanya sedikit pohon Criollo yang masih dibudidayakan.
Forastero merupakan kelompok terbesar yang dibudidayakan, terutama varitas
Amelonado. Sebagian besar perkebunan di Brazil dan Afrika Barat ditanami
dengan Amelonado. Yang termasuk dalam varitas Amelonado adalah Comum di
Brazil, Amelonado Afrika Barat di Afrika, Cacao Nacional di Ekuador dan Matina
atau Ceylan di Kosta Rika dan Meksiko. Saat ini, kakao yang terbanyak
dibudidayakan adalah hibrida Amazon. Populasi Trinitario dianggap merupakan
kelompok yang masuk dalam jenis Forastero walaupun mereka merupakan
turunan dari persilangan antara Criollo dan Forastero. Budidaya Trinitario mulai
dilakukan di Trinidad dan menyebar ke Venezuela dan kemudian ke Ekuador,
Cameroon, Samoa, Sri Lanka, Jawa dan PNG. Produksi dunia untuk kakao fine
atau flavour di bawah 5% pertahun. Biasanya seluruh kegiatan utama pada 5
dekade sebelumnya dikaitkan hanya ke jenis kakao Bulk.
Perkembangan ekspor biji kakao dari Indonesia menunjukkan peningkatan
dari tahun ke tahun. Saat ini sudah ada beberapa industri pengolahan biji kakao
menjadi produk setengah jadi. Kendala utama yang dihadapi komoditas kakao
yang diekspor adalah kualitas kakao tersebut. Mutu biji kakao (cocoa beans)
relatif rendah dibandingkan dengan negara eksportir lainnya. penghasil kakao
utama di dunia berasal dari Negara di benua Afrika, Amerika Latin, dan Asia.
Benua Afrika merupakan kawasan terbesar penghasil kakao di dunia, tetapi dalam
kurun waktu 1991s/d1996, kawasan ini mengalami penurunan produksi, demikian
juga di kawasan Amerika Latin. Sementara itu, kawasan Asia pada kurun waktu
tersebut mengalami peningkatan produksi.
Ekspor Komoditi Kakao Indonesia ke Kawasan Uni Eropa
Eristya (2012) dalam penelitian
yaitu analisis faktor-faktor yang
memengaruhi ekspor komoditas kakao Indonesia ke Kawasan Uni
Eropa..Kerjasama dalam bentuk hubungan dagang sangat dibutuhkan oleh setiap
Negara. Pernyataan ini benar adanya karena setiap Negara tidak mampu
memenuhi kebutuhan dalam negeri. Oleh karena itu setiap Negara melakukan
Perdagangan baik menjual produk kepada Negara lain atau membeli produk
Negara lain untuk diperdagangkan dalam negeri. Namun untuk memperdagangkan
produk tersebut, terdapat banyak faktor-faktor yang mempengaruhi termasuk
komodity kakao. Pada penelitian ini terdapat lima faktor yang mempengaruhi
ekspor kakao Indonesia menuju Uni Eropa yaitu; Jarak ekonomi, GDP Negara
tujjuan ekspor, GDP Negara Indonesia, Nilai tukar Rupiah, dan Populasi Negara
9
tujuan. Selain faktor-faktor yang mempengaruhi, perlu diketahui daya saing
produk kakao Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing
tersebut.
Hasil pembahasan yang didapat dari penelitian ini adalah Faktor-faktor
yang mempengaruhi dengan pendekatan Gravity Model adalah variabel GDP
tujuan ekspor (GDPjt), GDP Indonesia (GDPIt), nilai tukar (ERij) dan jarak
ekonomi antara Indonesia dengan Negara tujuan ekspor (DISTij). Untuk daya
saing kakao Indonesia mempunyai daya saing kompetitif di Negara-negara Uni
Eropa seperti Jerman, Italia, Lituania, dan Spanyol. Berada pada titik jenuh namun
masih kompetitif di Negara Estonia, Perancis, Belanda, Polandia, dan Inggris.
Sedangkan daya saing kakao Indonesia berada pada titik jenuh dan mengalami
penurunan di pasar Negara Belgia. Ada beberapa faktor-faktor yang
mempengaruhi komoditas kakao Indonesia
di Uni Eropa yaitu, kondisi
permintaan, industri pendukung, peran pemerintah, dan peran kesempatan.
Sedangkan yang membuat daya saing menjadi lemah adalah komponen kondisi
faktor serta strategi perusahaan, struktur, dan persaingan.
Pengaruh Kebijakan dalam Perdagangan Internasional
Kebijakan Perdagangan merupakan aspek mikro ilmu ekonomi sebab
berhubungan dengan masing-masing Negara yang diperlakukan secara tunggal.
Kebijakan Perdagangan tidak hanya berupa tariff, kuota dan sebagainya, tetapi
kebijakan dalam negeri sendiri yang secara tidak langsung mempengaruhi
perdagangan Internasional. Namun untuk melihat pengaruh kebijakan terhadap
perdagangan Internasional dibutuhkan data yang tidak sedikit dan membutuhkan
analisis yang bersifat kualitatif. Penelitan Samuel (2012) membahas tentang
pengaruh kebijakan perdagangan Internasional Uni Eropa terhadap komodity
udang Indonesia. Dari penelitian ini, kebijakan-kebijakan perdagangan di Uni
Eropa ternyata berpengaruh nyata terhadap komodity udang.
Kebijakan-kebijakan tersebut bahkan menjadi hambatan tersendiri seperti
hambatan tariff sebesar 12% untuk produk udang beku dan hidup, dan 20% untuk
produk udang olahan serta hambatan non-tariff berupa approval number dan catch
certification. Uni Eropa sendiri mempunyai pemberitahuan untuk menerapkan
kebijakan-kebijakan yaitu Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) yang
berlaku untuk semua produk pangan atau pakan yang berada di pasar Uni Eropa.
Untuk produk udang pada tahun 2004-2008 pemberitahuan yang diterima
terhadap produk udang Indonesia yaitu adanya kandungan antibiotik seperti
chloramphenicol dan nitrofuran. Pada tahun 2009-2011 dimana Indonesia tidak
menerima notifikasi adanya kontaminasi-kontaminasi yang berbahaya. Kebijakan
luar negeri yang diterapkan Uni Eropa tentunya berpengaruh pula terhadap
kebijakan di Indonesia. Hal ini dikarenakan komoditi kakao merupakan sepuluh
komoditi utama ekspor Indonesia (Kemendag, 2013). Untuk komodity udang,
Indonesia merespon kebijakan tersebut dengan negosiasi penurunan tariff, namun
tidak berhasil. Untuk kebijakan non-tariff, Indonesia merespon dengan menetapka
BKIPM (Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil
Perikanan) sebagai competent authority untuk melaksanakan mekanisme NRCP
(National Residu Control Plan).
10
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Pembentukan kerangka pemikiran dalam penelitian ini didukung oleh teoriteori yang terkait dengan tujuan penelitian. Teori-teori tersebut meliputi teori
perdagangan Internasional, kebijakan perdagangan, dan analisis kebijakan.
Teori Perdagangan Internasional
Setiap Negara memiliki sumberdaya alam, letak geografis, iklim,
karakteristik penduduk, keahlian, tenaga kerja, tingkat harga, keadaan struktur
ekonomi, dan sosial yang berbeda-beda. Perbedaan yang dimiliki oleh masingmasing Negara tersebut menghasilkan produk yang berbeda baik dari kuantitas
maupun kualitas. Perbedaan tersebut secara tidak langsung mengharuskan suatu
Negara untuk melakukan perdagangan, baik dengan alasan perluasan pasar,
mendapatkan sumberdaya, mendapatkan keuntungan, ataupun mendapatkan
teknologi yang lebih modern.
Perdagangan merupakan faktor penting dalam merangsang pertumbuhan
ekonomi di setiap Negara karena perdagangan akan memperbesar kapasitas
konsumsi suatu Negara dan meningkatkan output dunia. Perdagangan juga
cenderung meningkatkan pemerataan atas distribusi pendapatan dan kesejahteraan
dalam lingkungan domestik ataupun internasional. Perdagangan dapat memabantu
semua Negara dalam menjalankan usaha-usaha pembangunannya melalui promosi
serta menggunakan sektor-sektor ekonomi yang mengandung keunggulan
komparatif .Perdagangan internasional dianggap sebagai suatu akibat dari adanya
interaksi antara permintaan dan penawaran bersaing. Pada prinsipnya,
perdagangan antara dua Negara akibat adanya perbedaan permintaan dan
penawaran. Perbedaan permintaan disebabkan oleh jumlah kualitas faktor serta
tingkat pendapatan, sedangkan perbedaan penawaran disebabkan oleh jumlah dan
kualitas faktor produksi serta tingkat teknologi. Perdagangan internasional
menjadi salah satu faktor utama meningkatkan pendapatan nasional suatu Negara.
Kebijakan yang dilakukan pemerintah juga dapat mendorong adanya
perdagangan antar Negara jika dalam suatu perdagangan terdapat hambatan
perdagangan walaupun seringkali kebijakan tersebut tidak ditunjukan untuk
mendorong perdagangan. Kebijakan pajak dan subsidi yang dilakukan pemerintah
dapat menyebab berkurangnya konsumsi domestik yang kemudian diikuti oleh
berkurangnya ekspor atau bertambahnya impor. Kebijakan yang dilakukan oleh
pemerintah tersebut dapat menyebabkan distorsi pada kesejahteraan masyarakat,
dimana kebijakan pajak dapat menyebabkan berkurangnya kesejahteraan
masyarakat, sehingga terjadilah perdagangan sebagai implikasinya.
Pola Perdagangan Internasional Kakao di Uni Eropa
Komoditi kakao adalah komoditi perdagangan Internasional mempunyai
potensi besar. Sebagian besar produksi kakao Indonesia diekspor dan hanya
11
sebagian kecil yang digunakan untuk dikonsumsi di dalam negeri. Produk yang
diekspor sebagian besar dalam bentuk biji kering dan hanya sebagian kecil dalam
bentuk olahan. Negara tujuan ekspor terbesar yaitu Amerika Serikat, Malaysia,
Singapura, Brasil dan Perancis. Komoditi yang diekspor dari Indonesia lebih
banyak berupa cocoa beans, whole or broken, raw or roasted untuk diolah di
Negara tujuan menjadi produk cokelat olahan salah satunya adalah Uni Eropa.
Biasanya dalam perdagangan internasional kakao Uni Eropa, produk kakao yang
dibutuhkan adalah biji kakao (coca beans), cocoa powder, cocoa fat. Produk
kakao ini dibutuhkan di Uni Eropa karena menjadi bahan baku industri
pengolahan kakao. Produk hasil olahan kakao itu kemudian diekspor kembali oleh
Uni Eropa adalah coklat dan produk makanan yang mengandung cokelat. Namun
demikian disamping produk olahan kakao, diantara negara UE juga terjadi
perdagangan ekspor biji kakao untuk keperluan industri pengolahan yang
membutuhkan kakao sebagai bahan bakunya.
Kakao yang berkualitas akan sangat dicari dalam pasar, namun eksportir
juga harus memperhatikan Negara tujuan ekspor seperti Negara-negara Uni
Eropa. Pada awal penjajagan pembentukan kerjasama disarankan eksportir atau
produsen mempersiapkan diri sebaik mungkin dalam pertemuan pertama.
Eksportir/produsen harus dapat menyajikan produknya secara jelas dan baik dan
apabila ada pertanyaan dari calon mitra dagang, diharapkan eksportir maupun
produsen dapat menjelaskan dengan tepat dan sesuai dengan yang diharapkan.
Saat ini Sekitar 80 persen biji kakao Indonesia diekspor oleh 5 perusahaam
multinasional utama di Sulawesi: EDF& Man, Olam, Cargill, ADM dan Continaf
termasuk ekspor menuju Uni Eropa. Eksportir berskala besar ini membeli biji
curah dari pedagang yang mengirimkannya ke gudang mereka, mengurutkannya
berdasarkan kualitas, dan kemudian menjualnya ke pembeli untuk diproses2.
Umumnya pengusaha Eropa menyukai kegiatan formil sehingga untuk
menjaring minat pengusaha Eropa berkerjasama dengan eksportir/produsen negara
lain perlu dilakukan secara formil pula. Dan disarankan dalam dialog bisnis
tersebut dihindari pembicaraan diluar topik yang sedang dibicarakan karena
beberapa pengusaha bisnis dari Negara Eropa tidak menyukai hal tersebut.
Penampilan baik sopan santun dalam berbicara maupun etika berpakaian perlu
diperhatikan dengan baik karena sebagian pengusaha Eropa sangat memberi
perhatian dalam hal ini. Bila calon mitra pengusaha Eropa tersebut tertarik dengan
suatu perusahaan, maka pada tahap awal biasanya akan dilanjutkan dengan
kerjasama trial and error, dimana apabila dalam periode ini sukses maka akan
terbuka kerjasama jangka panjang 3.
Kebijakan Perdagangan
Dalam arti luas, kebijaksanaan ekonomi internasional adalah tindakan
atau kebijaksanaan ekonomi pemerintah yang secara langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi komposisi, arah serta bentuk dari perdagangan
internasional. Kebijakan ini tidak hanya berupa tarif, kuota, dan sebagainya,
2
3
) inatrims.kemendag.go.id diunduh pada 12 Maret 2014.
) Laporan peluang ekspor komoditi kakao.
12
tetapi juga meliputi kebijaksanaan pemerintah di dalam negeri yang secara
tidak langsung mempunyai pengaruh terhadap perdagangan internasional
seperti misalnya kebijaksanaan moneter dan fiskal (Nopirin, 1999) diacu
dalam (Rastikarany, 2008).
Kebijakan perdagangan dilakukan sebagai proses proteksi terhadap
produk-produk yang dianggap sebagai penghambat dalam proses
perdagangan bebas. Hambatan dalam arus perdagangan ada dua macam,
yaitu hambatan yang bersifat tarif (tariff barrier) dan hambatan yang bersifat
nontarif (non tariff barrier). Hambatan yang bersifat tarif merupakan
hambatan terhadap arus barang ke dalam suatu negara yang disebabkan oleh
diberlakukannya tarif bea masuk dan tarif lainnya, sedangkan hambatan yang
bersifat nontarif merupakan hambatan terhadap arus barang ke dalam suatu
negara yang disebabkan oleh tindakan-tindakan selain penerapan pengenaan
tarif atas suatu barang.
1. Kebijakan hambatan tariff (Tariff barrier)
Tarif adalah pajak yang dikenakan atas barang yang diperdagangkan lintas
batas territorial. Ditinjau dari aspek asal komoditas, ada dua macam tariff
yaitu tariff ekspor (ekspor tariff) dan tariff imporr (import tariff). Tariff
imporr adalah pungutan bea masuk yang dikenakan atas barang impor yang
masuk untuk dipakai/dikonsumsi habis di dalam negeri. Sedangkan tariff
ekspor merupakan pajak untuk suatu komoditas yang diekspor (Salvatore
1997). Kebijakan tariff barrier dalam bentuk bea masuk adalah sebagai
berikut (Hady 2004):
a. Pembebanan bea masuk atau tariff rendah antara nol sampai lima persen
dikenakan untuk bahan kebutuhan pokok dan vital, alat-alat
militer/pertahanan/keamanan, dan lainnya.
b. Tarif sedang antara nol sampai dua puluh dikenakan untuk barang
setengah jadi dan barang-barang lain yang sudah cukup diproduksi di
dalam negeri dan bukan barang kebutuhan pokok.
c. Tariff tinggi di atas dua puluh persen dikenakan untuk barang-barang
mewah dan barang-barang lain yang sudah cukup diproduksi di dalam
negeri dan bukan barang kebutuhan pokok.
Tarif dan bea masuk pada hakekatnya merupakan diskriminatif yang
digunakan untuk mencapai untuk mencapai berbagai tujuan, antara lain
melindungi produk dalam negeri dari persaingan dengan produk sejenis asal
impor, meningkatkan penerimaan Negara, mengendalikan konsumsi barang
tertentu dan lain-lain (Rastikarany 2008).
2. Kebijakan tambatan nontariff (Non Tariff Barrier)
Bentuk hambatan lain yang berbeda dengan pengenaan tarif adalah
hambatan nontarif yang berarti hambatan masuk sebuah produk yang bukan
disebabkan karena adanya pengenaan tarif impor, tetapi akibat adanya
pelarangan yang dilakukan oleh negara/organisasi internasional yang
menerima komoditas dari negara lain. Kebijakan non tariff barrier terdiri atas
beberapa bagian yaitu:
a. Pembatasan spesifik, terdiri dari larangan impor secara mutlak;
pembatasan impor atau quota system; peraturan atau ketentuan teknis
untuk impor produk tertentu; peraturan kesehatan atau karantina, peraturan
pertahanan dan keamanan negara; peraturan kebudayaan, perizinan
13
impor/import licenses; embargo; dan hambatan pemasaran seperti VER
(Voluntary Export Restraint), OMA (Orderly Marketing Agreement).
b. Peraturan Bea Cukai (Custom Administration Rules), terdiri dari tata
laksana impor tertentu; penetapan harga bea; penetapan forres rate (kurs
valas) dan pengawasan devisa; consultan formalities; packaging/labelling
regulation; documentation hended; quality and testing standard; pungutan
administrasi (fees); dan tariff classification.
c. Partisipasi pemerintah, terdiri dari kebijakan pengadaan pemerintah;
subsidi dan insentif ekspor; countervailing duties; domestik assistance
programs; dan trade-diverting.
d. Import charges, terdiri dari import deposits; supplementary duties; dan
variabel levies.
Menurut Koo dan Kennedy (2005), beberapa negara menggunakan
bermacam kebijakan perdagangan (tarif dan nontarif) untuk melindungi
industri yang tidak efisien. Hal ini berlaku pada pertanian. Rata-rata tarif
untuk produk pertanian (tiga puluh persen) lebih besar daripada untuk
produk industri (enam persen). Tarif adalah pajak yang dibebankan
pemerintah untuk suatu komoditas sebagai batas garis nasional. Tarif
digunakan untuk melindungi ekonomi domestik dari kompetisi luar negeri.
Hambatan nontarif bisa mengandung rintangan dengan angka yang
besar selain tarif, seperti kebijakan, peraturan, dan prosedur yang
mempengaruhi perdagangan. Hambatan nontarif yang paling banyak
digunakan untuk mengontrol impor pertanian yaitu (Koo dan Kennedy
2005): (1) pembatasan kuantitatif dan pembatasan sepesifik sejenis
(misalnya kuota, voluntary export restraints, dan kartel internasional); (2)
beban nontarif dan kebijakan yang berhubungan mempengaruhi impor
(misalnya kebijakan antidumping dan kebijakan countervailing); (3)
kebijakan umum pemerintah yang membatasi (misalnya kebijakan kompetisi
dan penetapan perdagangan); (4) prosedur umum dan kegiatan administrasi
(misalnya prosedur evaluasi dan prosedur perizinan); dan (5) hambatan
teknis (peraturan dan standar kualitas kesehatan dan sanitasi, keamanan,
peraturan dan standar industrial, dan peraturan pengemasan dan pelabelan.
Analisis Kebijakan
Analisis kebijakan merupakan suatu bentuk analisis yang
menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat
memberikan landasan bagi pembuat kebijakan dalam mengambil keputusan
(Dunn 1999) diacu dalam (Rastikarany 2008). Dunn (1999) mengatakan
bahwa analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu terapan yang
menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan
dan memindahkan yang ada hubungannya dengan kebijakan sehingga dapat
dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah
kebijakan. Analisis kebijakan diambil dari berbagai disiplin dan profesi yang
tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif, dan perspektif.
14
Analisis kebijakan dapat menggunakan metode deskriptif. Metode
deskriptif ini di rancang untuk mengumpulkan informasi tentang keadaan-keadaan
nyata sekarang. Metode ini digunakan untuk menggambarkan sifat suatu keadaan
yang sedang berjalan pada saat penelitian dilakukan, dan memeriksa sebab-akibat
dari suatu gejala. Deskripsi yang diberikan para ahli sejak Janis (1949), Berelson
(1952) sampai Lindzey dan Aronson (1968) tentang content analysis, selalu
menampilkan tiga syarat, yaitu: objektivitas, pendekatan sistematis, dan
generalisasi. Analisis ini dalam Julianingsih (2003) adalah suatu teknik untuk
mengambil kesimpulan dengan mengidentifikasi karakter-karakter khusus suatu
pesan secara objektif dan sistematis. Teknik pengolahan data kualitatif yang
umum digunakan dalam metode deskriptif adalah analisis isi (content analysis).
Analisis isi (Content Analysis) adalah tekhnik penelitian untuk membuat
inferensi – inferensi yang dapat ditiru (replicable), dan sahih data dengan
memperhatikan konteksnya. Analisis isi berhubungan dengan komunikasi atau isi
komunikasi. Logika dasar dalam komunikasi, bahwa setiap komunikasi selalu
berisi pesan dalam sinyal komunikasinya itu, baik berupa verbal maupun
nonverbal. Sejauh ini, makna komuniaksi menjadi amat dominan dalam setiap
peristiwa komunikasi. Terdapat banyak turunan dari content analysis, salah satu
analisis pembingkaian (Framing Analysis). Analisa Framing adalah analisis yang
digunakan untuk mengetahui bagaimana realitas (aktor, kelompok, atau
kebijakan) dikonstruksi oleh media. Analisa framing memiliki dua konsep yakni
konsep pskiologis dan sosiologis. Konsep psikologis lebih menekankan pada
bagaimana seseorang memproses informasi pada dirinya sedangkan konsep
sosiologis lebih melihat pada bagaimana konstruksi sosial atas realitas.
Kerangka Pemikiran Operasional
Sebagai salah satu negara produsen kakao, Indonesia mempunyai prospek
yang baik untuk dikembangkan. Adanya peraturan dan kebijakan yang ketat
terhadap perdagangan kakao Internasional menjadikan tantangan tersendiri dari
Negara tujuan ekspor kakao Indonesia, khususnya Uni Eropa. Kebijakan yang
diberlakukan Uni Eropa sangat mempengaruhi perdagangan Internasional.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh Uni Eropa bertujuan untuk melindungi
konsumen Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa (EU-27) terhadap
komoditas ekspor Indonesia khususnya kakao. Selain itu, kebijakan Uni Eropa
terhadap Indonesia tidaklah sama dengan kebijakan perdagangan terhadap
Negara-negara importir lainnya. Jika dilihat dari segi kebijakan, Perdagangan
komodity kakao Indonesia menuju Uni Eropa bisa dilihat dari kebijakan tariff,
non tariff, dan administrative, selain itu skema tariff yang didapat dari Indonesia
masih terlalu tinggi, untuk itu perlu melihat kemungkinan-kemungkinan skema
yang bisa didapat sebagai salah satu Negara importer kakao di Uni Eropa.
Selanjutnya dengan kebijakan-kebijakan yang ada di Uni Eropa kita bisa melihat
bagaimana Indonesia mengembangkan kebijakan-kebijakan yang berhubungan
dengan kakao sehingga kita bisa melihat secara deskriptif bagaimana kebijakan di
Indonesia yang berpengaruh. Kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.
15
Sub sektor perkebunan sebagai PDB terbesar ketiga Pertanian
Indonesia
Kakao sebagai salah satu
komoditi sub-sektor
perkebunan Indonesia
Perdagangan
kakao luar negeri
Uni Eropa
Kebijakan perdagangan kakao UE:
1. Tariff
2. Non- Tariff.
3. Administratif
Analisis
skema tariff
yang diterima
Indonesia dari
UE
Kebijakan Pengembangan komoditi kakao
serta melihat pengaruhnya terhadap
perdagangan kakao di Uni Eropa.
Keterangan:
= Ruang Lingkup Penelitian
Gambar 1 Alur kerangka pemikiran operasional
Perdagangan kakao
dalam negeri
Non Uni Eropa
16
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian yang dilakukan meliputi perancangan penelitian, perumusan
masalah, pengumpulan data dari berbagai instansi terkait, pengolahan data,
analisis data, interpretasi data, dan penarikan kesimpulan. Penelitian ini dilakukan
di Indonesia dengan menggunakan data nasional dan internasional. Pemilihan
lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive) sesuai dengan tujuan penelitian.
Penelitian ini dilakukan dari bulan Mei hingga September 2013.
Desain Penelitian
Desain dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, metode deskriptif
merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan
menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya. Metode deskriptif bertujuan
untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual, dan
akurat mengenai fakta-fakta serta hubungan fenomena yang diselidiki. Penelitian
ini juga sering disebut noneksperimen, karena pada penelitian ini penelitian tidak
melakukan kontrol dan manipulasi variabel penelitian. Dengan metode deskriptif,
penelitian memungkinkan untuk melakukan hubungan antar variabel, menguji
hipotesis, mengembangkan generalisasi, dan mengembangkan teori yang memiliki
validitas universal. Terdapat dua analisis yang digunakan yaitu analisis isi
(content analysis) serta analysis pembingkaian (framing analysis) yang masih
bagian dari analisis isi (content analysis). Dalam penelitian ini metode deskriptif
dengan analisis isi digunakan untuk mengidentifikasi kebijakan perdagangan di
Uni Eropa, dan mendeskripsikan kebijakan pemerintah Indonesia serta melihat
pengaruhnya di Uni Eropa, sedangkan analisis pembingkaian digunakan untuk
menganalisis skema tariff yang didapat Indonesia dari Uni Eropa.
Sumber Data dan Penelitian
Berdasarkan sumbernya, data yang diperlukan dalam penelitian ini berupa
data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data/informasi yang
diperoleh dari hasil diskusi dan wawancara dengan pihak terkait seperti
kementrian Perdagangan. Wawancara ini juga bertujuan mengkonfirmasi
kebijakan tariff dan non tariff Uni Eropa terhadap Indonesia untuk komoditikomoditi kakao. Data sekunder yang digunakan adalah data teks mengenai
prosedur ekspor, kondisi pasar Uni Eropa, dan data-data lain yang relevan dengan
penelitian ini. Data-data tersebut diperoleh melalui Badan Pusat Statistik (BPS),
Kementrian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Pertanian (Kementan),
COMTRADE, European Comission (EC), International Cocoa Organization
(ICCO). Selain itu, data juga diperoleh dari literature berupa skripsi, buku teks,
dan website yang terkait penelitian. Rincian data tersebut bisa dilihat pada Tabel
7:
17
Tabel 7 Perincian Sumber data Penelitian
No
1
2
Data yang Diperlukan
Kebijakan-kebijakan Perdagangan Uni Eropa
Presentase tariff
3
Skema Sertifikasi.
4
5
Nilai dan Volume Impor Kakao.
Proses pengambilan keputusan PMK.
6
7
Kebijakan yang berkaitan dengan Gernas.
Daftar Industri Kakao Indonesia.
Sumber Data
European Commision.
DG Taxud (UE), USITC
(USA), Malaysia Cocoa
Board (MLY).
Rainforest,
UTZ
Certification, ditjen PPHP.
European Commision.
Jurnal Dampak Kebijakan
Bea Keluar terhadap ekspor
dan Industri pengolahan
kakao.
Pedoman Umum Gernas.
The Asian Cocoa Industri.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan sebagai langkah awal untuk pengelompokkan
data yang akan dibahas. Data berupa kebijakan baik kebijakan Uni Eropa maupun
kebijakan Indonesia terkait komoditi kakao diobservasi lalu dilakukan
pengelompokkan berdasarkan jenisnya, waktu pelaksanaannya, dan tingkat
kepentingan kebijakan tersebut. selain itu pengumpulan data melalui wawancara
bertujuan untuk memberikan konfirmasi Perdagangan kakao Indonesia menuju
Uni Eropa. Data-data ini nantinya akan dikelompokan untuk berdasarkan
waktunya untuk melihat perkembangan kebijakan kakao itu sendiri dan jumlah
produk kakao yang di impor.
Metode Pengolahan dan Analisis Data Kualitatif
Pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melakukan
pengelompokan data dari data-data yang telah dikumpulkan. Data yang berupa
gambaran umum kondisi perdagangan kakao baik biji maupun kakao olahan
lainnya diolah dari berbagai sumber yang di dapat untuk disederhanakan dalam
bentuk grafik ataupun tabel. Kemudian data-data tersebut dimasukkan sebagai
bahan untuk dikelompokkan sesuai kebutuhan penelitian sebelum dianalisis.
Selanjutnya data kebijakan terkait produk kakao dan olahan lainnya yang
ditetapkan Uni Eropa dikelompokkan untuk disederhanakan sebagai bahan
menghubungkan terhadap fakta ekspor kakao lainnya yang terjadi. Pengolahan
selanjutnya, untuk mengkonfirmasi pengaruh kebijakan yang ditetapkan Data
yang sudah dikumpulkan dari website tersebut kemudian dimasukkan sebagai
input computer lalu di olah menjadi lebih sederhana dalam bentuk gambar dan
grafik dengan bantuan program Microsoft Excel untuk dianalisis dengan metode
kualitatif deskriptif.
Analisis data kualitatif yang digunakan yaitu analisis deskriptif. Deskriptif
artinya melukiskan variabel demi variabel, satu demi satu. Metode deskriptif
bertujuan untuk:
1. Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada.
18
2. Mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang
berlaku.
3. Membuat perbandingan atau evaluasi.
4. Menentukan apa yang dilakukan pihak lain dalam menghadapi masalah yang
sama dan
belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan
keputusan pada waktu yang akan datang.
Penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif, diarahkan untuk
memahami suatu fenomena sosial. Fenomena sosial yang akan dipahami pada
penelitian ini adalah kondisi ekspor kakao Indonesia terhadap kebijakan yang
diterapkan oleh Uni Eropa. Pendekatan ini digunakan untuk melukiskan secara
sistematis fakta atau keadaan yang terjadi dalam perdagangan kakao Indonesia,
dalam hal ini fokus pada kebijakan.
Alat analisis kualitatif yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis
isi (content analysis) dan Analisis Pembingkaian (Framing Analysis). Alat
analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi kebijakan-kebijakan yang berada di
Uni Eropa dan terkait dengan komoditi kakao. Dengan Identifikasi tersebut,
penelitian ini juga menyarankan apa saja kebijakan-kebijakan yang perlu dikaji
Indonesia sebagai salah satu Negara eksportir kakao di Uni Eropa. Pada penelitian
ini juga melihat kemungkinan skema tariff apa yang bisa didapat Indonesia agar
presentase bea masuk kakao Indonesia di Uni Eropa menurun bahkan menjadi
Free. Selain itu penelitian ini juga melihat pengatuh kebijakan yang ada di
Indonesia terhadap impor kakao Uni Eropa dari Indonesia dengan melihat
fluktuasi grafik produk-produk Kakao berdasarkan HS 4 digit. Penelitian ini juga
bertujuan untuk melihat posisi kakao Indonesia secara kualitatif dengan melihat
data, tabulasi, dan grafik. Analisis ini juga dilakukan untuk mengetahui
bagaimana penanganan yang tepat untuk mengatasi permasalahan yang terjadi.
GAMBARAN UMUM EKSPOR KAKAO INDONESIA
Uni Eropa
Menurut Delegasi Komisi Eropa untuk Indonesia (2010), Uni Eropa
merupakan kelom 27 negara-negara independen yang unik dengan lebih dari 492
juta warga Negara tinggal dalam batas wilayahnya. Negara-negara anggota yang
telah ditandatangani seiring perkembangannya. Semua traktat itu harus disepakati
oleh masing-masing Negara anggota dan kemudian diratifikasi baik oleh parlemen
nasional ataupun melalui referendum (European Union, 2010). Nama Uni Eropa
muncul pada tahun 1992 menggantikan nama komunitas masyarakat Eropa
bersamaan dengan ditandatanganinya Traktat Maastricht (Traktat Uni Eropa) pada
tanggal 07 Februari 1992. Urutan masuknya Negara-negara dalam keanggotaan
Uni Eropa dapat dilihat pada Tabel 8.
19
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
Tabel 8 Negara-negara anggota Uni Eropa
Negara
Tahun Bergabungnya dengan Uni Eropa
Jerman
1950
Belanda
1950
Belgia
1950
Luksemburg
1950
Perancis
1950
Italia
1950
Inggris Raya
1973
Denmark
1973
Irlandia
1973
Yunani
1981
Portugal
1986
Spanyol
1986
Austria
1995
Swedia
1995
Finlandia
2004
Estonia`
2004
Hongaria
2004
Latvia
2004
Lituania
2004
Malta
2004
Polandia
2004
Republik Ceko
2004
Siprus Selatan
2004
Slovenia
2004
Slovakia
2004
Bulgaria
2007
Rumania
2007
Sumber: European Union (2010)
Uni Eropa bukanlah sebuah Negara federal atau organisasi internasional
dalam pengertian tradisional, akan tetapi merupakan sebuah badan otonom
diantara keduanya. Uni Eropa bersifat unik karena Negara-negara anggotanya
tetap menjadi Negara berdaulat yang independen, akan tetapi Negara-negara
tersebut menggabungkan kedaulatannya dan dengan demikian memperoleh
kekuatan dan pengaruh kolektif yang lebih besar.
Dalam praktiknya, penggabungan kedaulatan berarti bahwa Negara-negara
anggota mendelegasikan kuasa dalam hal pengambilan keputusan kepada lembaga
yang telah didirikan bersama sehingga keputusan-keputusan mengenai masalahmasalah tertentu yang melibatkan kepentingan bersama dapat diambil secara
demokratis pada tingkat Eropa. Uni Eropa memiliki tiga lembaga utama, yaitu:
1. Parlemen Eropa, memiliki warga Negara anggota Uni Eropa.
2. Dewan Uni Eropa, memiliki masing-masing tingkat Negara anggota.
3. Komisi Eropa, berupaya untuk menegakkan kepentingan Uni Eropa.
Segitiga kelembagaan tersebut menghasilkan kebijakan dan undangundang yang berlaku di seluruh Uni Eropa. Ketiga lembaga utama tersebut
didukung oleh Badan Pemeriksa Keuangan Eropa yang mengawasi penggunaan
20
anggaran Uni Eropa dan Mahkamah Eropa yang membantu memastikan bahwa
Negara-negara anggota mematuhi undang-undang Uni Eropa yang telah dibuat.
Kondisi Kakao di Dunia
Selama lebih dari 10 tahun terakhir produksi kakao dunia cenderung
meningkat. Berdasarkan data International Cocoa Organizations (ICCO), jumlah
produksi biji kakao dunia berada diantara 3 sampai 4 juta ton setiap tahun.
Produksi kakao dunia dalam 10 tahun terkahir berhasil mencapai angka lebih dari
3 juta ton terjadi pada tahun 2003. Pada tahun berikutnya produksi kakao terus
meningkat bahkan pada tahun 2006 produksi biji kakao lebih dari 3,5 juta ton.
meskipun tahun 2007 produksi kakao mengalami penurunan namun setelah tahun
tersebut produksi kakao terus meningkat bahkan mencapai lebih dari 4 juta ton
pada tahun 2011 dan 2012. Secara lebih jelas grafik produksi kakao dalam selama
satu dasawarsa terkahir yang disajikan pada Gambar 2.
(Ribu Ton)
4500
4000
3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
0
Gambar 2 Produksi kakao dunia pada periode 2002–2012
Sumber: International Cocoa Organizations; (2013
*angka sementara
Pada gambar 2 bisa kita simpulkan bahwa produksi kakao cenderung
meningkat namun rata-rata produksi biji kakao tersebut berkisar pada 3 sampai
dengan 4 juta ton per tahun. Pada tahun 2002 produksi kakao masih di bawah 3
juta ton namun mulai mencapai angka diatas 3 juta ton. Penurunan produksi
terjadi pada tahun 2007 dan tahun 2009 dibandingkan dengan tahun sebelumnya,
sedangkan pada tahun 2009 dan 2010 produksi kakao terlihat tetap pada gambar
tersebut. Produksi kakao tertinggi pada periode tersebut terjadi pada tahun 2011
yang mencapai angka lebih dari 4 juta ton tepatnya 4,313 juta ton. Produksi kakao
menurun kembali pada tahun 2012 namun masih mencapai angka 4 juta ton. Dari
21
data tersebut secara kualitatif pada tahun yang akan datang jumlah produksi kakao
akan terus meningkat.
Sejalan dengan produksi, konsumsi kakao juga mengalami peningkatan.
Dari data international Cocoa Organizations, rata-rata pertumbuhan konsumsi
dunia sebesar 2.74%. Pertumbuhan konsumsi kakao (grindings) kakao mengalami
penurunan sebesar -6.3% dari periode sebelumnya terjadi pada periode
2008/2009, hal ini dikarenakan terjadinya krisis ekonomi Uni Eropa yang
merupakan konsumen terbesar kakao di dunia. Namun setelah periode tersebut
konsumsi serta pertumbuhan konsumsi kakao dunia terus mengalami peningkatan
bahkan pada periode 2012/2013 konsumsi kakao dunia mencapai 4000 ton.
dengan jumlah konsumsi tersebut, Negara-negara Uni Eropa mempunyai andil
yang paling besar dalam jumlah konsumsi kakao di dunia yaitu sebesar 28.8%
dari konsumsi kakao dunia diikuti belanda (10.5%), jerman (8.7%) , dan perancis
(3%). Berikut ini disajikan tabel konsumsi kakao dunia serta Negara-negara
konsumen terbesar kakao dunia pada Tabel 9 dan Gambar 3.
Tabel 9 Konsumsi kakao dunia
Jumlah Konsumsib
3 237
3 382
3 522
3 675
3 775
3 537
3 737
3 938
4 008
3 281
Periode
2003/2004
2004/2005
2005/2006
2006/2007
2008/2009
2009/2010
2010/2011
2011/2012
2012/2013a
Jumlah rata-rata
Pertumbuhan tiap tahun
5.2
4.5
4.1
2.7
-6.3
5.7
5.4
0.3
1.5
2.7
Sumber: International Cocoa Organization (ICCO); aangka sementara; bribu ton
Indonesia, 3.40%
Lain-lain, 14%
Ghana, 4.30%
Uni Eropa belum
termasuk belanda dan
jerman, United
Kingdom, dan
Perancis 28.80%
Brazil, 4.70%
Malaysia, 6.00%
Belanda, 10.50%
Jerman, 8.70%
Amerika
Serikat, 7.00%
Pantai Gading, 7.10%
United
Kingdom, 1.40%
Perancis, 3.10%
Gambar 3 Negara-negara konsumen terbesar kakao periode 2010/2011
Sumber: International Cocoa Organizations
22
Dari Gambar di atas bisa kita lihat konsumsi kakao (grindings) dari periode
ke periode cenderung meningkat. Namun jumlah konsumsi menurun pada periode
2009/2010 dikarenakan krisis ekonomi yang melanda di Uni Eropa yang
merupakan konsumen terbesar kakao dunia. Krisis ekonomi yang melanda Uni
Eropa menyebabkan daya beli kakao menurun. Namun setelah periode tersebut
konsumsi kakao kembali meningkat dikarenakan konsumsi di wilayah Asia
semakin meningkat. Minimnya pengaruh krisis ekonomi Eropa secara
kesuluruhan serta semakin banyaknya promosi produk berbahan dasar kakao,
wilayah Asia berpotensial mengalami peningkatan jumlah konsumen kakao.
Meskipun begitu pada periode 2010/2011 wilayah Uni Eropa masih
merupakan konsumen terbesar kakao dunia. Hal ini dikarenakan pabrik
pengolahan yang banyak di wilayah tersebut. Uni Eropa mempunyai nilai
konsumsi sebesar 28,8% dari jumlah konsumsi kakao dunia. Share konsumsi Uni
Eropa itu pun belum termasuk Negara Belanda dan Jerman yang merupakan dua
Negara konsumen terbesar dunia. Belanda serta Jerman pada periode ini
merupakan konsumen kakao terbesar dengan Belanda 10.5% dan Jerman 8.70%
dari presntase kakao dunia. Negara-negara yang mempunyai nilai konsumsi
terbesar selain wilayah Eropa adalah Pantai Gading dan Amerika Serikat yang
masing-masing sebesar 7.10% dan 7%. Untuk Indonesia, sebagai produsen kakao
nomor 3 di dunia hanya mempunyai nilai konsumsi 4.3% dari jumlah konsumsi
kakao dunia. Hal ini dikarenakan masih minimnya pabrik pengolahan kakao di
Indonesia.
Dari data ICCO harga kakao dunia saat ini mengalami penurunan
dikarenakan produksi kakao dari Negara produsen yang melimpah menyebabkan
harga International menurun. Sempat tertahan pada kisaran U$D 1400/ton - U$D
1600/ton pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2007 harga kakao mengalami
peningkatan pada yang signifikan pada tahun 2008 yaitu berkisar U$D2500/ ton
pada tahun 2008. Pergerakan harga kakao dunia sangat dipengaruhi oleh rasio
stock serta pengolahan kakao. Untuk lebih jelasnya mari kita lihat pergerakan
harga kakao dunia pada tahun 2005-2012 pada Gambar 4.
3500
3000
2500
2888.74
3132.98 2980.04
2580.77
2000
2390.86
1500
1000
1538.08 1590.71 1498.85
500
0
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Gambar 4 Grafik harga kakao dunia tahun 2005-2012
Sumber: International Cocoa Organization (ICCO)
Dari grafik tersebut kita ketahui harga kakao pada tahun 2005 sampai
dengan 2007 berkisar pada US$1500/ton namun pada tahun 2008 harga kakao
23
dunia terus menaik bahkan pada tahun 2010 pada grafik harga kakao berada pada
titik tertinggi dengan nilai US$ 3132.98/ton. Kenaikan harga terpicu adanya
defisit pasokan biji kakao di pasar dunia sekitar 100.000 ton. Produksi biji kakao
dunia yang hanya sekitar 3.5 juta ton, tak mampu memenuhi permintaan dunia
yang pada saat itu jumlah konsumsi dunia mencapai 3.6 juta ton. bahkan pada
tahun 2010 defisit kakao bisa melonjak pada jumlah 200.000 ton karena Uni
Eropa dan Amerika Serikat yang menguasai 85% pasar kakao dunia
perekonomiannya mulai pulih. Namun setelah tahun 2010 harga kakao terus
anjlok, pada tahun 2011 dari grafik harga kakao dunia terus dibawah US$
3000/ton. Menurut Askindo, perkembangan ekonomi dunia serta melimpahnya
produksi kakao di pantai Gading menyebabkan harga terus menurun. Bahkan dari
informasi terakhir, dii bursa berjangka NYSE LIFFE, London, Inggris pada bulan
Juli 2013 harga kakao di bursa berjangka komoditi tersebut sebesarUS$ 2.430 per
metrik ton.
Harga-harga kakao tersebut sudah termasuk harga kakao baik produk awal
berupa biji-bijian maupun produk jadi kakao itu. Berdasarkan International Trade
Center (intracen) terdapat enam produk kakao dengan HS 4 digit. Jenis-jenis
produk tersebut antara lain produk awal kakao berupa biji serta kulit-kulitnya,
produk setengah jadi seperti lemak kakao, kakao pasta ataupun produk jadi kakao
seperti coklat ataupun produk berbahan dasar kakao yang sudah siap dikonsumsi.
Untuk lebih jelasnya mari kita lihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Jenis-jenis produk kakao berdasarkan HS 4 Digit a
HS
1800
1801
1802
1803
1804
1805
1806
Deskripsi Produk
Cocoa and cocoa preparations
Cocoa beans, whole or broken, raw or roasted
Cocoa shells, husks, skins, and other cocoa waste
Cocoa paste, whether or not defatted
Cocoa Butter, Fat, and oil
Cocoa powder not containing added sugar
Chocolate and other food preparations containing cocoa
Sumber: : Intracen
Dari tabel tersebut bisa kita lihat berbagai jenis produk kakao baik mentah,
setengah jadi ataupu produk jadi. Selain itu limbah kakao hasil dari pengolahan
kakao pun menjadi barang yang diperdagangkan, limbah kakao seperti kulit,
shells bisa menjadi pupuk, biogas, pakan ternak hingga produk lainnya. Produk
kakao mentah seperti biji, lemak, minyak, bubuk ataupun produk lainnya biasanya
diproduksi oleh Negara-negara asia dan afrika serta wilayah amerika bagian
selatan seperti Pantai Gading, Ghana, Malaysia, Indonesia, dan Brazil. Hal ini
karena Negara tersebut mempunyai lahan yang luas serta iklim yang cocok
dengan tanaman kakao. Produk mentah atau setengah jadi itu kemudian di ekspor
ke berbagai Negara-negara seperti Jerman, Perancis, Belgia, Amerika Serikat.
Kebanyakan Negara-negara yang mengimpor kakao mentah atau setengah jadi
tersebut berasal dari Eropa. Produk tersebut nantinya tidak dikonsumsi langsung
melainkan diolah di industri pengolahan menjadi produk-produk kakao seperti
coklat, perasa kakao, cake, pasta atau pun produk jadi lainnya yang siap
dikonsumsi. Produk kakao jadi ini tentunya mempunyai nilai jual yang lebih
tinggi dari produk kakao mentah ataupun setengah jadi. Dengan pengolahan
24
tersebut produk kakao jadi inipun diperdagangkan kembali ke berbagai Negara
yang memang mempunyai pasar untuk produk jadi kakao termasuk Negara-negara
produsen kakao.
Perdagangan Internasional Kakao
Berdasarkan data yang didapat pada periode 2002-2012 data ekspor-impor
kakao yang didapat mengalami peningkatan nilai. Semakin tinggi nilai ekspor
kakao dunia maka akan meningkatkan pula impor kakao dunia. Pada periode
tersebut nilai tertinggi ekspor-impor Dunia mencapai lebih dari US$ 40 milyar.
Namun pada tahun 2012 nilai ekspor-impor mengalami penurunan dengan kisaran
nilai US$ 30 milyar dolar. Untuk lebih jelasnya mari kita lihat grafik nilai eksporimpor kakao dunia pada Gambar 5.
50000000
45000000
45000000
40000000
40000000
35000000
35000000
30000000
30000000
25000000
25000000
20000000
20000000
15000000
15000000
10000000
10000000
5000000
5000000
Ekspor ribu US$
0
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
0
Impor ribu US$
Gambar 5 Grafik nilai ekspor-impor kakao dunia periode 2002-2012
Sumber: Comtrade
Dari gambar tersebut kita bisa lihat bahwa grafik ekspor-impor kakao
mengalami peningkatan kecuali dari tahun 2011 ke 2012 yang mengalami
penurunan US$ 10 milyar dari US$ 40 milyar menjadi US$ 30 milyar. Meskipun
mengalami penurunan nilai ekspor sebelumnya dari nilai total ekspor mencapai
US$ 40 milyar pada tahun 2011, nilai total ekspor tersebut masih terbilang tinggi.
Secara terperinci data nilai ekspor kakao dapat kita lihat pada Tabel 11.
25
Tabel 11 Nilai ekspor kakao dunia tahun 2010-2012 (US$ ribu dolar)
Negara Eksportir Kakao
2010
2011
Jerman
4 240 546
5 079 715
Belanda
4 567 730
5 017 859
Pantai Gading
3 826 923
4 158 530
Belgia
2 674 439
2 994 116
Perancis
2 029 604
2 353 762
Ghana
975 927
2 294 370
Amerika Serikat
1 386 631
1 591 796
Italia
1 346 409
1 559 735
Malaysia
1 302 521
1 377 751
Polandia
936 627
1 169 958
Canada
941 508
1 009 901
Indonesia
1 643 649
1 345 278
Lain-lain
12 301 794
13 555 975
Totalb
38 174 308
43 508 746
Sumber: intracen.org; bUS$ ribu dolar
2012
4 754 518
4 552 166
4 269 836
2 926 584
2 244 028
2 040 928
1 714 422
1 673 110
1 194 560
1 175 541
1 058 890
1 053 447
12 568 537
41 226,567
Share ekspor 2012 (%)
11.53
11.04
10.357
7.09
5.44
4.95
4.15
4.05
2.89
2.85
2.56
2.55
30.48
1
Berdasarkan Tabel 10 Jerman sebesar US$ 4.7 milyar dengan kontribusi
sebesar 11.5% pada tahun 2010. Rata-rata ekspor terbesar dikuasai oleh Negaranegara eropa dengan total kontribusi 41.97% dari nilai ekspor total dunia pada
tahun 2012. Negara-negara produsen kakao terbesar di dunia seperti Pantai
Gading dan Ghana mempunyai kontribusi ekspor sebesar 15.2% dari total share
ekspor dengan total nilai ekspor mencapai lebih dari US$ 6 milyar. Nilai
kontribusi ekspor Amerika Serikat dan Kanada pada tahun terakhir mencapai
US$ 1.7 milyar dan US$ 1 milyar dengan share ekspor masing-masing sebesar
4.1% dan 2.5%. Indonesia sendiri pada tahun 2012 berada pada peringkat 12
eksportir kakao dunia dengan nilai ekspor sebesar US$ 1 milyar dollar dan share
ekspor sebesar 2.5%. Nilai impor kakao dunia ada pada Tabel 12.
Tabel 12 Nilai impor kakao dunia tahun 2010-2012
Negara
Amerika Serikat
Jerman
Belanda
Perancis
United Kingdom
Belgia
Rusia
Kanada
Malaysia
Italia
Lain-lain
Total
Sumber: intracen.org
2010
2011
2012
4 415 104
4 136 407
2 911 125
2 178 110
1 735 502
1 280 796
1 200 166
1 145 680
1 095 283
909 275
17 913 942
38 921 390
4 807 051
4 696 946
3 319 193
2 346 584
2 040 341
1 445 386
1 390 023
1 298 435
1,254 448
1 009 144
22 806 137
46 413 688
4 216 557
4 088 202
2 902,675
2 254 913
1 729 420
1 394 275
1 280, 914
1 164 812
1 142 283
1 008 671
19 505 189
40 687 911
Share impor 2012( %)
10.36
10.04
7.13
5.54
4.25
3.42
3.14
2.86
2.80
2.47
47.93
100
Sejalan dengan ekspor, nilai impor pun juga mengalami fluktuasi yang nilai
yang sama. Nilai impor naik dari tahun ke tahun namun pada tahun 2012
mengalami penurunan sebesar US$ 6 milyar. Untuk lebih jelas, nilai impor dunia
disajikan pada Tabel 11. Dari tabel tersebut bisa kita lihat bahwa Amerika Serikat
26
merupakan importer terbesar kakao dunia dengan nilai impor dan share impor
pada tahun terakhir sebesar US$ 4.2 milyar dan 10.3% . Setelah itu Negara-negara
di Eropa juga banyak mengimpor kakao dengan total share pada tahun 2012 impor
mencapai 32.8%. Kanada merupakan importir kakao terbesar di benua Amerika
setelah Amerika Serikat, nilai ekspor pada tahun 2012 mencapai US$ 1.164
milyar dan memberikan kontribusi impor sebesar 2.82%. Sementara Malaysia
merupakan importer terbesar kakao di wilayah Asia dengan nilai impor US$ 1.142
milyar dan memberikan share impor sebesar 2.47% dunia.
Perkembangan Ekspor Kakao Indonesia
Perkembangan Ekspor Kakao Indonesia di Pasar Internasional
Berdasarkan data International Trade Centre (intracen) selama 10 tahun
(2002-2012) nilai ekspor Indonesia terus meningkat dengan nilai ekspor tertinggi
terjadi pada tahun 2010. Namun setelah tahun 2010 nilai ekspor menurun. Hal ini
disebabkan harga kakao dunia yang turun serta peningkatan konsumsi kakao di
dalam negeri karena sudah mulai banyak pabrik pengolahan. Untuk lebih jelas
data nilai ekspor kakao Indonesia ada pada Gambar 6.
US$ ribu
1,800,000
1,643,649
1,600,000
1,413,441
1,345,278
1,268,947
1,400,000
1,200,000
1,000,000
800,000
600,000
1,053,447
924,159
855,047
701,034
667,993
623,934
549,348
400,000
200,000
0
Gambar 6 Nilai ekspor kakao Indonesia
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Gambar 6 Nilai ekspor kakao Indonesia, tahun 2002-2012
Sumber: intracen.org
Berdasarkan Gambar 6, total nilai kakao menunjukkan pertumbuhan yang
baik. Mengalami fluktuasi dari tahun 2002-2004, pertumbuhan nilai kakao terus
meningkat. Nilai ekspor tertinggi terjadi pada tahun 2010 dengan nilai mencapai
US$ 1.6 milyar. Namun pada dua tahun berikutnya yaitu pada tahun 2011 dan
2012 nilai ekspor kakao mengalami dengan nilai US$ `1,3 milyar tahun 2011 dan
US$ 1.05 milyar. Walaupun mengalami nilai ekspor kakao Indonesia masih
27
berada pada kisaran US$ 1 milyar selain itu nilai ekspor yang turun karena
permintaan kakao dalam negeri sedang meningkat.
Walaupun Indonesia merupakan produsen tanaman kakao ketiga dunia
serta nilai ekspor kakao mencapai lebih dari US$ 1 milyar, namun Indonesia
masih berada di peringkat 12 dunia. Hal ini disebabkan karena Indonesia lebih
banyak mengekspor produk kakao mentah atau setengah jadi. Produk-produk
kakao yang sering diekspor Indonesia adalah produk biji kakao sehingga nilai
ekspor yang didapat masih sedikit. Jika Indonesia bisa mengekspor produk kakao
seperti coklat, kakao lemak pasta, kakao bubuk maka otomatis nilai ekspor yang
didapat semakin meningkat. Namun untuk masuk ke pasar Internasional tentunya
memiliki kebijakan-kebijakan baik berupa tariff ataupun non-tariff terutama pasar
Uni Eropa kebijakan proteksi komoditi kakao sangat tinggi. Dalam perdagangan
Internasional tiap-tiap produk mempunyai kode masing-masing dengan nama
Harmonyzed System (HS) termasuk kakao. Berikut adalah kode perdagangan
Internasional kakao berdasarkan HS 4 digit pada Tabel 13.
Tabel 13 Nilai ekspor produk kakao Indonesia (HS 4 digit)
HS
Produk
Kakao serta produk olahan
1800
lainnya
Cocoa beans, whole or broken,
1801
raw or roasted
Cocoa shells, husks, skins and
1802
other cocoa waste
Cocoa paste, whether or not
1803
defatted
1804
Cocoa butter, fat and oil
Cocoa powder, without added
1805
sugar
Chocolate and other food
1806
preparations containing cocoa
Sumber: intracen.org
2009
1 413
441
1 087
485
2010
2011
1 345
278
2012
1 053
447
1 190 740
614 496
384 830
652
727
2,594
3,506
20 311
66 093
214 321
208 668
230 056
236 808
304 581
236 138
45 208
103 183
157 998
165 177
29 731
46 098
51 287
55 129
1 643 649
Dari tabel 13 di atas bisa kita lihat bahwa nilai ekspor produk kakao
Indonesia didominasi oleh biji kakao. Nilai ekspor biji kakao sendiri pernah
mencapai US$ 1.1 milyar tahun 2010. Namun pada tahun 2012 nilai ekspor kakao
menurun mencapai US$ 384 juta. Nilai ekspor kakao terendah terdapat pada
kakao limbah seperti sekam, kulit dan lain-lain dengan nilai US$ 3.5 juta.
Meskipun setengah nilai ekspor kakao serta produk ekspor kakao utama menurun,
namun produk kakao jadi hingga produk jadi mengalami peningkatan dari tahun
ke tahun. Produk-produk kakao itu seperti kakao pasta, lemak dan minyak kakao,
pasta kakao bahkan coklat dan produk siap konsumsi berbahan dasar kakao.
Indonesia yang merupakan produsen kakao terbesar ketiga di dunia dan
mempunyai nilai ekspor tahun 2012 mencapai US$ 1.3 milyar mempunyai
beberapa pasar ekspor utama. Rata-rata importer kakao merupakan Negara-negara
pengolah kakao seperti Amerika Serikat serta Negara-negara Uni Eropa. Selain itu
Negara-negara asean juga mengimpor kakao Indonesia seperti Singapura dan
Malaysia. Untuk lebih jelasnya bisa kita lihat pada tabel 14.
28
Tabel 14 Nilai ekspor importer kakao Indonesia (HS 2 digit)
Nilai Ekspor Kakao Indonesia (US$)
Tahun Uni Eropa
Amerika Serikat
Malaysia
Singapura
2010
167 064 018
359 903 054
568 331 714
158 997 231
2011
180 927 270
197 764 667
473 888 830
108 660 037
2012
163 933 344
145 578 442
273 841 958
103 545 706
Sumber: Comtrade (2013)
Pada Tabel tersebut bisa kita lihat nilai ekspor Indonesia terhadap empat
pasar utama Indonesia yaitu Malaysia, Singapura, Amerika Serikat, dan Uni Eropa
tahun 2010-2012. Diantara empat pasar tersebut Malaysia merupakan importir
utama kakao dari Indonesia dengan nilai impor sebesar US$ 273 juta pada tahun
2012 disusul Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Singapura sebesar US$ 163 juta,
US$ 145 juta, dan US$ 103 juta pada tahun yang sama.
Dari empat pasar ekspor utama tersebut mempunyai kesamaan yaitu
Negara-negara tersebut merupakan Negara Industri kakao dunia. Perkembangan
menarik bisa kita lihat di pasar Uni Eropa dimana Indonesia masih belum mampu
menguasai pasar di Uni Eropa yang merupakan Negara-negara importer terbesar
kakao dunia. Indonesia sendiri hanya mampu mengekspor kakao sebesar US$ 163
juta. Uni Eropa sendiri mengimpor kakao mentah seperti biji kakao kebanyakan
dari Pantai Gading dan Ghana. Hal ini dikarenakan biji kakao tersebut sudah
difermentasi sehingga mempunyai nilai tinggi dan sesuai dengan standar biji
kakao di Uni Eropa 4.
Perkembangan Ekspor Kakao Indonesia ke Uni Eropa
Uni Eropa (EU27) merupakan Negara-negara industri kakao terbesar di
dunia dengan nilai ekspor kakao mencapai US$ 41 milyar. Karena itu Negaranegara Uni Eropa merupakan pasar potensial untuk Negara-negara produsen
kakao salah satunya Indonesia. Uni Eropa sendiri merupakan pasar utama kedua
kakao Indonesia setelah Malaysia. Berikut ini disajikan data grafik nilai ekspor
kakao Indonesia ke Uni Eropa dalam kurun waktu 10 tahun.
Dari gambar diatas bisa kita lihat nilai ekspor kakao selalu naik dalam kurun
waktu 2004-2011. Walaupun sempat mengalami penurunan sebesar US$ 7.1 juta
dollar pada tahun 2010 dari tahun sebelumnya namun nilai ekspor tersebut
meningkat kembali bahkan mencapai nilai tertinggi sebesar US$ 180 juta dollar.
Namun pada tahun 2012 nilai ekspor kakao Indonesia yang dipasarkan di Uni
Eropa mengalami penurunan sebesar US$ 1.39 juta dengan nilai ekspor pada
tahun 2012 sebesar US$ 163 juta.
4
Analisis Daya Saing Komoditas Kakao Indonesia (Ragimun, 2012)
29
(US$ ribu)
200,000
180 926
167,063
143 910
163 934
136 764
129 103
109 838
150,000
100,000
75 744
91 707
70 695
50,000
0
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Gambar 7 Nilai Ekspor Kakao Indonesia ke Uni Eropa (US$ ribu)
Sumber: intracen.org
Menurut Direktur Eksekutif Askindo, Firman Bakri, menyatakan, target
ekspor kakao memang cenderung menurun tiap tahun. Penurunan ekspor itu
karena industri hilir kakao di Tanah Air memperlihatkan pertumbuhan dari tahun
ke tahun dengan produksi biji kakao yang tidak bertambah5. Selain itu Produk biji
kakao Indonesia dikenal memiliki kualitas rendah karena bentuknya kecil dan
meninggalkan banyak sampah sehingga harganya rendah. Selain itu biji kakao
Indonesia tidak difermentasi terlebih dahulu sedangkan Negara-negara Uni Eropa
membutuhkan biji kakao fermentasi6. Berikut nilai ekspor kakao Indonesia
ke Uni Eropa disajikan pada Pada tahun 2012 nilai ekspor mencapai 163 ribu US$
menurun dari tahun 2011 yang mencapai 180 ribu US$ namun nilai tersebut masih
sangat tinggi karena trend nilai ekspor dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2012
cenderung meningkat. Dengan trend bisa dijadikan indikasi bahwa Uni Eropa bisa
menjadi pasar potensial ekspor Uni Eropa. Gambar 7. Meskipun begitu nilai
ekspor kakao Indonesia menuju Uni Eropa cenderung meningkat dari tahun ke
tahun.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Kebijakan Perdagangan Internasional Uni Eropa yang
Berkaitan Dengan Komoditi Kakao Indonesia
Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan penduduk
Negara dengan penduduk Negara lain. Penduduk yang dimaksud adalah
perorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah Negara
lain atau pemerintah suatu Negara dengan pemerintah Negara lain. Di banyak
Negara perdagangan Internasional menjadi salah satu faktor utama untuk
5
(www.industri.kontan.go.id) ekspor kakao akan turun tiap tahun. Diakses tanggal 28 Juli 2013
(www.deptan.go.id) ekspor biji kakao diperkirakan turun 29 persen. Diakses tanggal 28 Juli
2013
6
30
meningkatkan GDP. Meskipun perdagangan telah terjadi selama ribuan tahun
dampaknya terhadap kepentingan sosial, ekonomi, dan politik baru dirasakan
beberapa abad belakangan. Perdagangan internasional pun turut mendorong
industrialisasi, kemajuan, transportasi, globalisasi, dan kehadiran perusahaan
multinasional. Dengan semakin berkembangnya perdagangan Internasional maka
diperlukan kebijakan perdagangan Internasional sebagai regulasi perdagangan
yang saat ini melibatkan banyak Negara.
Pada dasarnya, suatu kebijakan yang ditetapkan merupakan suatu proteksi
terhadap pihak-pihak tertentu dalam perdagangan. Koo dan Kenedy (2005) juga
mengatakan bahwa beberapa Negara yang menggunakan bermacam-macam
kebijakan perdagangan adalah untuk melindungi industri yang tidak efisien. Suatu
kebijakan yang ditetapkan oleh organisasi tertentu akan menjadi hambatan bagi
pihak lain jika tidak dapat memenuhi kebijakan tersebut. Dalam bidang
perdagangan internasional dikenal adanya hambatan-hambatan perdagangan atau
trade barriers yang digolongkan menjadi tiga bidang yaitu hambatan tariff,
hambatan non tariff, hambatan administrasi.
Hambatan tariff (tariff barriers) adalah merupakan pajak dan kuota yang
dikenakan atas barang impor. Pajak dan kuota terhadap barang impor biasanya
ditetapkan dalam sebuah surat keputusan (SK) atau undang-undang yang
mengatur regulasi secara jelas. Nilai pajak dan jumlah kuota sendiri tergantung
dari produk yang diimpor. Hambatan non-tariff (non-tariff barriers) adalah
hambatan masuk produk yang bukan disebabkan tariff dan kuota impor melainkan
adanya standar mutu yang ditetapkan yang biasanya dikaitkan dengan persyaratan
lingkungan kesehatan, keamanan, perburuhan dan etika bisnis. Secara umum yang
termasuk hambatan non tariff antara lain; Costums Clearance, Customs Valuation,
Customs Classification, Import Licensing. Sedangkan hambatan administari
(administrasi barriers) berupa Kontrol Devisa, Lisensi Impor, dan Consular
Formalities.
Uni Eropa menerapkan hambatan tariff (tariff barriers) dengan tariff
berlaku umum atau Most Favour Nations (MFN) serta tariff preferensi
berdasarkan skema General System of Preferences (GSP) dimana Indonesia
merupakan Negara penerima fasilitas GSP dari UE. Selain itu Uni Eropa
menerapkan tariff yang berbeda terhadap Negara yang tergabung dalan ACP
countries (Africa, Carribean, Pacific) dengan menerapkan FTA (Free Trade
Agreements) atau pembebasan tariff bea masuk melalui skema EBA (Everytihing
But Arms). Untuk hambatan non-tariff (non-tariff barriers) Uni Eropa sendiri
menerapkan peraturan-peraturan sebagaimana dirumuskan Coddex Alimentarius
Commisions yaitu suatu badan internasional antar Negara yang salah satunya
mengatur persyaratan pangan. Selain itu terdapat Regulasi European Communities
(EC) No.178/2002 mengenai prinsip umum dan persyaratan pangan, persyaratan
yang penting lainnya adalah Hazard Analysis Critical Point (HACCP) yang
merupakan acuan perusahaan dalam melakukan setiap aktivitas produksinya,
Technical barriers yang merupakan bagian non-tariff barriers yang mengatur
spesifikasi teknis produksi. Sementara yang termasuk hambatan administrasi atau
administrative barriers berupa cocoa certficate, packaging dan ecolabelling.
31
Identifikasi Kebijakan Tariff di Uni Eropa
Penetapan bea masuk merupakan salah satu kebijakan tariff yang ditetapkan
oleh Uni Eropa. Ketentuan tariff khususnya produk kakao di Uni Eropa telah
ditetapkan berdasarkan Persetujuan Umum Tariff dan Transaksi atau General
Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang saat ini digantikan oleh World Trade
Organization (WTO). Tujuan GATT/WTO adalah:
1. Terjadinya perdagangan dunia yang bebas, tanpa diskriminasi.
2. Menempuh disiplin di antar anggotanya supaya tidak mengambil langkah yang
merugikan anggota yang lain.
3. Mencegah terjadinya perang dagang antar semua pihak.
Penetapan bea masuk kakao yang ditetapkan oleh Negara importer kakao
dunia perlu diketahui untuk melihat dan membandingkan penerapan tariff kakao
yang dilakukan oleh Uni Eropa dengan Negara lainnya. Malaysia dan Amerika
Serikat merupakan Negara importer terbesar di dunia dan juga pasar utama kakao
Indonesia sehingga cocok untuk melihat dan membandingkan tarrif bea masuknya
dengan tariff bea masuk di Uni Eropa.
Amerika menerapkan tariff melalui Dewan Transaksi Internasional
Amerika Serikat atau United States International Trade Commision (USITC)
dengan skema Harmonized Tariff Scheduled of the United States. Amerika
Serikat menerapkan tariff free terhadap biji kakao dan produk mentah lainnya,
untuk kakao olahan sendiri Amerika Serikat menerapkan tariff free pada
kebanyakan kakao dan produk lainnya. Namun tarrif berbeda diterapkan pada
kakao dengan kualitas yang lebih baik atau spesial. Malaysia yang merupakan
importer kakao terbesar di kawasan Asia menerima tarrif free untuk biji kakao dan
produk mentah lainnya namun menetapkan tariff sebesar 10-15 persen untuk
produk kakao lainnya. Indonesia sendiri mendapatkan pembebasan tarrif sebagai
sesama Negara Asean melalui Asian Free Trade Area (AFTA) dengan skema
Common Effective Preferential Tariff (CEPT) sehingga nilai pajak yang
dikeluarkan para importer kakao Indonesia kepada pemerintah Malaysia tidak ada.
Uni Eropa sendiri menerapkan pembebesan tarrif untuk biji kakao dan produk
kakao mentah lainnya namun menerapkan tarrif yang lebih tinggi untuk produk
kakao lainnya meskipun begitu Indonesia menerima fasilitas General System of
Preferences (GSP) tarrif bea masuk berkurang dengan kisaran 3.5-5.2 persen
tergantung jenis produk. Presentase tariff kakao pada Uni Eropa, Amerika Serikat,
dan Malaysia dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15 menunjukkan penetapan tariff yang dilakukan Uni Eropa lebih
tinggi dibandingkan Amerika Serikat dan Malaysia. Uni Eropa menerapkan tariff
kakao olahan sebesar 9.6-7.7 persen, sedangkan untuk kakao mentah seperti biji,
kulit, sekam, dan lain-lain tidak dikenakan bea masuk. Oleh karena itu, Uni Eropa
sebagai kelompok Negara maju memberikan skema khusus pada Negara
berkembang termasuk Indonesia, yaitu berupa Generalized System of Preferences
(GSP) dari Uni Eropa guna memperluas akses pasar ke Negara-negara Uni Eropa.
Generalized System of Preferences (GSP) adalah satu bentuk bantuan fasilitas dari
Negara industri maju kepada Negara-negara berkembang. Bentuk fasilitas tersebut
berupa penurunan atau pembebasan bea masuk atas produk-produk tertentu.
32
Tabel 15 Presentase tariff kakao pada Uni Eropa, Amerika Serikat, Malaysia.
Kode Produk
(HS)
18010
Produk
Uni Eropa
MFN
GSP
Free
Free
Amerika
Serikat
Free
Biji Kakao
Kulit, Bibit,
18020
Free
Free
Free
Serabut kakao
18030
Kakao Pasta
180310
-) Tanpa Lemak
9.60%
6.1%
Free
-)Lemak
180320
seluruhnya atau
9.60%
6.1%
0.2¢/kg
sebagian
Lemak, mentega
18040
dan minyak
7.70%
4.2%
Free
kakao
Kakao bubuk
tanpa gula dan
18050
8%
2.8%
0.52¢/kg
bahan pemanis
lainnya
Coklat dan
produk makanan
18060
lain berbahan
kakao
Kakao bubuk
dengan gula dan
180610
8.3%
4.1%
Free
bahan pemanis
lainnya
Produk lainnya
180620
8.3% etc
4.1%
0.52¢/kg etc
dari HS 1806
Sumber: DG Taxud (2013), USITC (2013), Malaysia Cocoa Board (2013)
Malaysia
Free
Free
Free
Free
Free
Free
Free
Free
Masyarakat Uni Eropa menerapkan skema GSP pada tahun 1971. Peraturan
yang tercantum dalam GSP terus mengalami perkembangan. Pada tahun 2002,
dikeluarkan skema GSP, yaitu Council Regulation (EC) 2211/2002.
Pemberlakuan skema tersebut dimulai pada tanggal 1 Januari 2002 – 31 Desember
2005. Pada tahun 2005 dikeluarkan Council Regulation (EC) 980/2005 yang
dilaksanakan mulai tanggal 1 Januari 2006 hingga 31 Desember 2008. Pada tahun
2008 juga dikeluarkan Council Regulation (EC) 732/2008 yang dilaksanakan
periode 1 Januari 2009 sampai 31 Desember 2011. Penetapan skema GSP sejak
tahun 2006-2008 telah ditetapkan berlaku sampai tahun 2015 mendatang dengan
maksud memberikan kontinuitas dan stabilitas bagi Negara-negara penerima GSP
(Europen Commision, 2010). Selama periode 1 januari 2009 sampai 31 Desember
2011, berdasarkan Council Regulation (EC) 732/2008, terdapat tiga skema
peraturan yang ditetapkan dalam GSP yaitu, GSP umum, GSP+,EBA.
Dalam penerapannya, untuk mendapatkan fasilitas GSP setiap Negaranegara eksportir harus memenuhi aturan rules of origin dimana produk-produk
tersebut benar-berasal dari Negara tersebut dengan kriteria-kriteria tertentu dari
tiap produk. Indonesia sendiri merupakan Negara penerima fasilitas yang dibagi
dalam grup region 1 yang anggotanya adalah Negara-negara Asia Tenggara
(Asean). Meskipun aturan dalam rules of origin lebih terkait dengan hambatan
non tariff namun criteria ini sangat menentukan bea ekspor guna mendapatkan
fasilitas GSP dari UE. Setiap produk mempunyai criteria tertentu dan spesifik,
khusus untuk kakao criteria-kriteria dalam rules of origin itu sendiri, meliputi:
33
1.
2.
Berat dari gula serta bahan laiinnya dan produk kakao dengan HS 4 digit tidak
melebihi 40% dari berat produk akhir, dan
Berat total gabungan gula (bahan-bahan lain) dan produk kakao dengan HS 4
digit tidak melebihi 60% dari berat produk akhir.
Identifikasi Kebijakan Non-Tariff di Uni Eropa
Kebijakan ekspor yang tidak berkaitan dengan pengenaan pajak atau
pungutan impor dan menjadi hambatan bagi eksportir dapat dimasukkan ke dalam
hambatan non tariff yang ternyata menjadi hambatan yang paling dominan
(Purnomo, 2007 b). Eksportir kakao yang ingin memasuki pasar UE harus
memperhatikan berbagai persyaratan yang ditetapkan oleh mitra dagang dan
pemerintah Uni Eropa. Persyaratan tersebut meliputi standar mutu yang dikaitkan
dengan persyaratan lingkungan, kesehatan, keamanan, perburuhan, dan etika
bisnis7. Menerapkan persyaratan mutu bagi produk yang diimpor sudah menjadi
hak importer dalam menjamin dan melindungi konsumen. Selain itu hambatan
non tariff yang diberlakukan juga merupakan upaya proteksi Uni Eropa dalam
perkembangan industri dalam negeri khususnya industri kakao. Ketentuanketentuan dari kelompok Negara di Uni Eropa yang dapat diidentifikasikan
sebagai hambatan nontariff khususnya komoditi kakao adalah sebagai berikut:
1. Prinsip umum persyaratan pangan dan higienitas serta ketentuan keamanan
pangan dengan menerapkan Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF).
2. Ketentuan keamanan, kesehatan, serta kebersihan pangan dimana dalam
pelaksanaanya aktivitas perusahaan yang diatur dalam system Hazard
Analysis Critcal Point (HACCP).
3. Peraturan-peraturan maksimal kontaminasi dan campuran makanan makanan
terutama kakao yang tercantum dalam Directive (EC) 2000/36.
Kebijakan terkait nontariff yang diterapkan Uni Eropa terhadap produk
kakao sebagian besar masih sama dengan produk tanaman lainnya dengan
peraturan seperti perlindungan produk tanaman, higienitas, residu pestisida, dan
lain-lain. Selain itu UE juga menerapkan kebijakan non teknis seperti insentif
khusus untuk Negara yang melaksanakan HAM dan lingkungan. Dewasa ini,
perhatian publik di Negara maju terhadap sanitary dan hygene produk pangan
telah meningkat (Ahmed, 2006). Karena itu Negara-negara pengimpor khususnya
Negara maju seperti Negara-negara UE melakukan pengetatan atas aturan
keamanan produk yang diimpor. Indonesia sebagai Negara eksportir kakao sering
mengeluhkan aturan-aturan „non-tariff‟ yang dikeluarkan oleh UE. Daftar
kebijakan non tariff yang berpengaruh terhadap produk eskpor kakao Indonesia
dapat dilihat pada Tabel 16.
7
laporan peluang ekspor komoditi kakao di UE, 2004
34
Tabel 16 Daftar Kebijakan Perdagangan Internasional di Uni Eropa yang terkait
dengan Komoditi Kakao.
No
1
Regulasi
Regulasi
European
Communities
(EC)
No.178/2002
2
Directive 2000/36/EC
3
Regulasi (EC) No 1107/2009
4
Regulasi (EC) No 396/2005
5
Regulation (EC) No 852/2004
Deskripsi Kebijakan
Regulasi European Communities (EC)
No. 178/2002 dimana Negara ketiga harus
menyesuaikan
persyaratan
pangan
yang
ditetapkan UE agar dapat memasuki pasar.
Walaupun bukan sebuah Undang-undang hanya
regulasi,
peraturan
ini
menjadi
acuan
perlindungan tinggi terhadap konsumen di
Negara-negara UE dari berbagai macam pangan
termasuk penerapannya dalam produk kakao.
Regulasi ini juga berisikan tentang pemenuhan
aturan pangan, Pelacakan produk pangan
(Tracebility),
Aturan
tanggung
jawab
(Responsibiliteies), dan pemenuhan (compliance)
pelaku bisnis pangan dan/atau pakan.
Directive 2000/36/EC mengaplikasikan
kebijakan produk kakao dan coklat yang
dikonsumsi oleh masyarakat dimana setiap
Negara-negara UE harus menerapkan peraturan
ini.
Kebijakan
Directive
2000/36/EC
mendefinisikan produk kakao dan coklat yang
dikonsumsi untuk manusia sebagaimana yang
dicantumkan dalam Annex 1 serta Annex 2
(lampiran) yang memberikan criteria jenis-jenis
serta batas maksimum “vegetabels fat” untuk
produk kakao dan coklat.
Regulasi berisi tentang penempatan produk dari
tanaman yang dilindungi di dalam pasar (Uni
Eropa). Regulasi ini juga membatalkan regulasi
yang lama yaitu Council Directives 79/117/EEC
and 91/414/EEC.
Mengatur batas residu maksimum pestisida dalam
makanan dan pakan. Dari regulasi dijelaskan batas
residu maksimum tanaman yang dikonsumsi termasuk
kakao khususnya biji kakao yang merupakan sebagian
besar dasar pengolahan produk kakao sebesar 0.02s/d0.1
mg/kg untuk semua jenis pupuk. Batas maksimum
residu pestisida yang sangat ketat bertujuan untuk
melindungi konsumen-konsumen di negara-negara UE,
dengan batas residu yang sangat kecil ini mengurangi
resiko kesehatan masyarakat UE dalam mengkonsumsi
produk kakao dan coklat.
Regulation (EC) No 852/2004 merupakan
amandemen dari Directive 93/43/EEC yang
berlaku mulai 1 Januari 1996 dimana peraturan
ini mengharuskan tiap operator bisnis (pengolah,
eksportir) di Negara ketiga mematuhi aturan
higienitas pangan serta aktivitas produksi
perusahaan yang sesuai dengan Hazard
Analytical Critical Control Point (HACCP).
Masalah higienitas produk makanan merupakan
masalah serius dimana terkait dengan masalah
kesehatan manusia dalam mengonsumsi produk
makanan termasuk kakao. Regulation (EC) No
35
6
Regulation (EC) No 1829/2003
7
Council Regulation (EC) No
834/2007
8
852/2004
menjelaskan setiap perusahaan
makanan (petani, produsen, pengolah, eksportir,
pemerintah) terikat pada peraturan HACCP
dimana seluruh kegiatan produksi dari budidaya
hingga produk sudah jatuh ke tangan konsumen
merupakan tanggung jawab dari perusahaan
makanan tersebut.
Menjelaskan Produk Pangan dan Pakan yang di
modifikasi secara genetic. Dimana tujuan
Regulasi dibuat untuk memberikan perlindungan
terhadap hidup & kesehatan manusia, kesehatan
hewan, lingkungan serta minat konsumen yang
ingin mengkonsumsi produk pangan/pakan yang
di modifikasi secara genetic tersebut.
Regulasi ini berisikan tentang produk organic dan
pelabellan produk organic sekaligus membatalkan
Regulation (EEC) No 2092/91.
Menuliskan kembali secara spesifik implementasi
dari kebijakan CR (EC) No 834/2007.
COMMISSION
REGULATION
(EC)
No
889/2008
Sumber: European Comision (My Export, 2013)
Regulasi yang dikeluarkan oleh Komisi Eropa (European Commission) pada
Tabel 16 secara umum diberlakukan dua puluh hari setelah diterbitkan dalam
Official Journal (OJ). European Commision adalah lembaga eksekutif pemerintah
Uni Eropa yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan peraturan Uni Eropa
kepada dewan dan parlemen Eropa, termasuk di dalamnya peraturan mengenai
pengawasan mutu dan keamaan pangan 8 . Diantara semua kebijakan tersebut,
Kebijakan Regulasi European Communities (EC) No.178/2002, Directive
2000/36/EC, Regulation (EC) No 852/2004 perlu dikaji lebih lanjut jika eksportir
Indonesia ingin mengekspor produk kakao selain biji kakao (HS 1801).
Pada dasarnya kebijakan non tariff merupakan salah satu bentuk kebijakan
proteksi yang tidak menggunakan tariff, dimana instrumennya antara lain;
larangan impor, pembatasan impor dengan penerapan kuota, pemberian subsidi,
ketentuan teknis terutama yang berkaitan dengan kesehatan, pertahanan dan
keamanan, kebudayaan dan lingkungan, regulasi packaging dan labeling serta
instrument lainnya. Walaupun belum ada suatu studi komperehensif tentang biaya
yang muncul dari penerapan kebijakan Non tariff terutama bagi eksportir, namun
dalam hipotesis dapat diduga bahwa biaya ekonomi tersebut sangatlah besar 9 .
Biasanya kebijakan non tariff bertujuan untuk menerapkan persyaratan produk
yang masuk di Negara importer guna melindungi industri di Negara importer serta
keamanan konsumen dalam mengkonsumsi produk tersebut. Kebijakan non-tariff
yang diterapkan tiap-tiap Negara importer memang berbeda, salah satu importer
yang menerapkan kebijakan non-tariff yang tinggi adalah Uni Eropa.
Uni Eropa memang menerapkan kebijakan non tariff yang tinggi dimana
ketentuan kebijakan ini diterapkan dalam Regulasi (EC) No 178/2002. Regulasi
(EC) No 178/2002 merupakan dasar dari system manajemen mutu dan
pengawasan keamanan pangan dimana dalam regulasi juga diatur pembentukan
otoritas keamanan pangan serta ketentuan prosedur dalam hal keamanan pangan.
8
9
EU, 2010 disadur dari Samuel, 2012
Globalisasi dan Perdagangan Internasional
36
Berdasarkan penelitian Rastykarany (2008) dan juga Samuel (2012) Regulasi ini
berisikan tentang Tracebility, Responsibilities, Compliance bagi pelaku bisnis
pangan/pakan yang memperdagangkan produknya di kawasan Uni Eropa, selain
itu dijelaskan juga penerapan dari Rapid Alert Systems for Food and Feeds
(RASFF) dimana hal ini cukup mempengaruhi peredaran produk Negara eksportir
di UE termasuk Indonesia. Untuk Tracebility, Responsibilities, dan Compliance
intinya adalah setiap pelaku bisnis (produsen, eksportir, distributor, pemerintah)
yang mengekspor produknya menuju UE harus harus mengetahui bahan dan asal
muasal produk pangan yang diekspor di UE serta bertanggung jawab bila
produknya tidak memenuhi persyaratan pangan yang ada di kawasan UE.
Sedangkan RASFF merupakan jejaring kerja dalam system siaga cepat untuk
pemberitahuan langsung atau tak langsung pada kesehatan manusia yang berasal
dari pangan/pakan. Dalam RASFF untuk produk yang teridentifikasi bahaya akan
menerima tiga notification yaitu alert notification, information notification, dan
border rejection notification. Alert notification merupakan sebuah
“pemberitahuan peringatan” atau peringatan yang dikirim melalui RASFF ke
negara anggota apabila pangan atau pakan memiliki risiko serius di pasar atau
ketika tindakan cepat diperlukan, sedangkan information notification merupakan
sebuah “pemberitahuan informasi” menyangkut suatu pangan atau pakan di pasar
negara yang memberitahukan dimana risiko telah diidentifikasi dan tidak
memerlukan tindakan cepat. Border rejection notification merupakan notification
untuk produk pangan yang teridentifikasi membahayakan sebelum masuk ke pasar
Eropa atau mengalami penolakan di Eropa (Samuel, 2012).
Selain itu terdapat peraturan Regulation (EC) 852/2004 yang mengatur
kebersihan pangan umum serta penerapan aturan yang harus ditaati dalam oleh
pelaku usaha dalam tahapan yang berbeda di tiap rantai nilai. Secara spesifik
regulasi ini juga mengatur untuk manajemen risiko bahaya keamanan pangan
khusus berdasarkan prinsip Hazard Analysisis Critical Point (HACCP). Pada
Regulasi ini memang prosedur HACCP dimana produsen yang ingin mengekspor
produknya ke UE diharuskan memeriksa sendiri proses produksi, asal-muasal
bahan, dan risiko produk makanan seperti jaminan keamanan, secara prinsip
HACCP sendiri dijelaskan pada artikel 5 dari regulasi ini. Produk kakao yaitu
coklat biasanya masuk kategori risiko rendah jika dibandingkan oleh produk lain
di UE seperti produk-produk perikanan. Hal ini dikarenakan rendahnya wabah
yang disebabkan karena mengkonsumsi produk kakao khususnya coklat sehingga
penerapan industri HACCP belum intensif untuk dilakukan. Namun jika terjadi
kontaminasi dan keberadaan salmonella pada cokelat tidak memiliki suatu pola
umum kontaminasi dengan produk lainnya (inatrims.kemendag). Sementara itu
ketentuan produk kakao terdapat pada Directive 2000/36 yang memang disebut
sebagai “Directive Kakao”. Seperti pada tabel, Directive ini berisikan criteria
produk-produk coklat seperti bahan campuran, presentase kakao yang ada dalam
coklat serta definisi dari produk-produk kakao.
Dalam penerapannya Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF)
merupakan sebuah system cepat untuk memberikan informasi, tindak lanjut bila
diperlukan terhadap pangan atau pakan. Jika produk menerima suatu bahaya,
maka produk tersebut akan diberikan 3 informasi yaitu alert information,
notification information, dan border rejection information. Pada tahun 2012 Uni
Eropa mengeluarkan 3516 pemberitahuan untuk produk pangan/pakan dalam
37
RASFF, pemberitahuan dimana 547 diklasifikasikan sebagai waspada, 521
pemberitahuan yang perlu ditindaklanjuti, 705 pemberitahuan sebagai informasi
yang perlu mendapat perhatian, dan sebanyak 1743 mendapatkan pemberitahuan
penolakan produk di perbatasan (border rejection notification). Dari
pemberitahuan asli tersebut memunculkan 5281 notifikasi yang perlu
ditindaklanjuti jumlah ini menjadi 1.5 kali lipat dari jumlah pemberitahuan asli
dalam RASFF. Berikut ini disajikan grafik jumlah RASFF berdasarkan pada
notifikasinya pada gambar 8.
Dari Grafik tersebut, jumlah RASFF berdasarkan pada notifikasi terdiri
dari sayuran dan buah, ikan dan produk ikan, kacang, produk kacang, dan benih,
daging dan produk olahannya, bahan tambahan makanan, pakan. Kelompok
produk pangan tersebut memang paling banyak menerima notifikasi RASFF.
Alasan menerima notifikasi itu pun bermacam-macam tergantung dari komposisi
jenis relatif (risks relating on composition). Dari RASFF yang berdasarkan
berbagai macam jenis risiko relatif ini bisa dilihat lebih rinci jenis-jenis produk
apa saja yang mendapatkan notifikasi tersebut. Berikut ini disajikan grafik RASFF
berdasarkan notifikasi pada jenis risiko relatif pada Gambar 9.
Gambar 8 Grafik RASFF berdasarkan notifikasinya
Sumber: RASFF annual Report.
38
Gambar 9 Grafik RASFF berdasarkan jenis risiko relatif
Sumber: RASFF annual Report
Dari grafik tersebut bisa kita lihat RASFF berdasarkan jenis risiko relatif
yang terdiri dari; unauthorized (tidak sah produk pangan) , unauthorized food
additive (tidak sah pada zat adiktif pada makanan) , unauthorized colour (tidak
sah pewarna makanannya), too high content (konten makanan terlalu tinggi),
suspicion (adanya kecurigaan pada produk makanan tersebut) , other (lainnya),
high level (level tinggi pada produk makanan), high content (konten makanan
yang tinggi). Untuk produk kakao, kopi, dan tea sendiri, penyebab mendapatkan
notifikasi RASFF dikarenakan tidak sahnya produk tersebut untuk dipasarkan di
Uni Eropa. Walaupun tidak ada regulasi di Uni Eropa ketidaksahan produk kakao,
kopi, dan tea, tiap-tiap Negara member Uni Eropa punya regulasi yang mengatur
tentang „ketidaksahan’ produk tersebut. untuk kakao dari Indonesia sendiri belum
39
ada data yang menunjukkan jumlah pasti produk kakao yang ditolak oleh Uni
Eropa, namun dari Inatrims Kemendag di tahun 2012 terjadi penolakan perbatasan
atas kakao bubuk dikarenakan tingginya kandungan timbal (ref.2012.BLX).
Berdasarkan identifikasi dari beberapa kebijakan tersebut bisa dilakukan
analisis secara deskriptif bagaimana yang harus dilakukan para stakeholder kakao,
dengan analisis yang berdasarkan kebijakan-kebijakan perdagangan Internasional
ini diharapkan menjadi hipotesis yang berguna untuk pertumbuhan ekspor kakao
Inndonesia yang menuju Uni Eropa. Dalam hal ini peneliti membagi kelompokkelompok pelaku perdagangan komodity kakao seperti produsen kakao (petani,
pengolah, eksportir), Importir/Buyer yang ada di Uni Eropa, dan Competent
authority yaitu pemerintah Indonesia. Berikut ini adalah hasil analisis deskriptif
berdasarkan kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh Uni Eropa terhadap
komoditi kakao, yaitu:
1. Produsen kakao (Petani, pengolah,) harus menerapkan dan melaksanakan
kegiatan bedasarkan:
Untuk petani dan pengolah harus menerapkan Regulation (EC) No
1107/2009 tentang produk makanan dari tanaman yang dilindungi salah satunya
adalah kakao yang menghasilkan biji kakao. Secara teknis/substansi regulasi ini
mencakup basis data tentang kontaminasi tanamannya. Dalam basis data
pestisida Uni Eropa, kontaminasi yang masih ditolerir untuk biji kakao baik
fermentasi atau kering sebesar 0.02 mg/kg – 0.1 mg/kg tergantung jenis pupuk
atau senyawanya kimianya (DG Sanco, UE). Dalam operasionalnya petani
ataupun pengolah di Indonesia tentu tidak bisa sendiri menerapkan kebijakan
tersebut perlu:
a. bantuan
pemerintah,
perusahaan,
hingga
akademisi
guna
mensosialisasikan serta menerapkan kebijakan tersebut.
b. Untuk pengolah seperti pabrik kakao yang ingin mengekspor produk
kakao setengah jadi adalah dengan memperhatikan prosedur prinsip
HACCP yang tertera pada artikel 5 dari Regulasi (EC) 852/2004.
c. Persyaratan Mikrobiologi pada Article 4.3 EC 852/2004 dan EC No.
2073/2005 (Samuel.2012). Kriteria mikrobiologi dalam produk kakao
merupakan hal yang paling utama di Uni Eropa karena pada tahun 1970-an
terdapat kasus terjadi wabah yang menjangkiti 110 0rang di Swedia, diduga
bubuk kakao yang diproduksi menjadi gula dan permen terkontaminasi
S.Durnham.
d. Directive 2000/36 yang berisikan tentang produk kakao dan coklat yang
dikonsumsi manusia. Dalam directive dijelaskan criteria produk kakao dan
lemak sayur tambahan yang tercatum dalam Annex 1 dan Annex 2 dari
kebijakan tersebut.
2. Food Bussines Operator dalam hal ini adalah eksportir kakao di Indonesia dan
importer kakao yang berada di Uni Eropa menerapkan dan melaksanakan
kegiatan.
a. Melaksanakan pengawasan serta memperhatikan barang kakao yang
masuk di Uni Eropa pada perbatasan. Importir juga masih memiliki
tanggung jawab terhadap produk kakao yang didapat dari eksportir baik
produk kakao yang langsung dipasarkan ataupun yang masih diolah
kembali. Hal ini berdasarkan prinsip HACCP dan aspek Tracebility.
40
b. Melaksanakan apa saja yang tercantum di artikel 19 Regulasi (EC) no
178/2002 tentang responsibilities food bussines operator. Peraturan ini
juga berlaku pada eksportir produk kakao namun importer dalam hal ini
lebih mengetahui penempatan produk-produk kakao yang sudah
dipasarkan di Uni Eropa.
c. Memperhatikan aspek Tracebility, Responsibilities sebagai mana yang
tercantum dalam Regulasi (EC) No 178/2002 artikel 17 dan 18.
3. Competent Authority dalam hal ini adalah Pemerintah yang memberikan regulasi,
pengawasan dan lain-lain:
a. Bersama dengan food bussines operator melakukan koordinasi guna
menjalankan fungsi sebagai official control, registrasi, dan approval
(memberikan persetujuan) terhadap produk-produk kakao yang akan
diekspor di Uni Eropa sesuai dengan Regulasi (EC) No 852/2004 artikel 6.
b. Competent Authority memberikan informasi terhadapa para calon eksportir
yang ingin mengekspor produknya khususnya kakao menuju Uni Eropa.
Informasi-informasi yang dibutuhkan seperti Tata cara ekspor, undangundang pangan di Uni Eropa, serta informasi produk kakao seperti
karakteristik fisik dan kimia produk kakao. Indonesia sendiri telah
membuat program yang bekerjasama dengan Uni Eropa dengan membuat
program Indonesia Technical Regulations Information Management
System (Inatrims).
Identifikasi Kebijakan Administratif di Uni Eropa
Selain hambatan tariff dan non-tariff hambatan untuk produk ekspor lainnya
adalah masalah yang berkaitan dengan administrasi. Untuk kakao sendiri
kebijakan yang berkaitan dengan administrasi adalah sertifikasi kakao, packaging,
dan labeling. Untuk sertifikasi kakao Uni Eropa sebagai Negara pengimpor
memang tidak mengeluarkan sertifikasi secara langsung namun UE mengeluarkan
standar-standar produk kakao yang tercantum dalam Indeks European Commision
Standard (ECS) yang sebenarnya mengacu pada International Commision
Standards (ICS) yang diterbitkan oleh International Standard Organizations
(ISO). International Commision Standard (ICS) yang mengacu pada kakao
adalah ICS: 67.140.30 – Cocoa. ICS: 67.140.30 – Cocoa sendiri berisikan
tentang teknis, metode, uji sampling untuk menerapkan standard produk kakao
dimana standard ini menjadi acuan untuk diterbitkan sertifikasi kakao.
Sertifikasi kakao itu sendiri sebuah bukti system pertanian berkelanjutan
(suistainability) untuk kakao dimana dalam proses produksi memperhatikan aspek
lingkungan. Keuntungan apabila produk kakao yang telah mendapatkan sertifikat
adalah pemasaran yang lebih mudah, pertanian yang berkelanjutan meliputi aspek
sosial, lingkungan, dan ekonomi, adanya harga premium bagi produsen, adanya
program pelatihan bagi petani (ditjen pphp deptan). Terdapat beberapa skema
yang bisa digunakan untuk mendapatkan sertifikasi diantaranya Fair Trade, UTZ,
Rain Organik dan Forest Alliance. Berikut ini disajikan Tabel 17 yang
mendefinisikan fokus skema sertifikasi.
Selanjutnya adalah packaging atau pengemasan, untuk pengemasan sendiri
dalam perdagangan Internasional dikenal juga istilah „pre-packaged foodstufs‟
atau pra pengemasan produk makanan dimana produk-produk makanan dikemas
dalam ukuran yang besar untuk diimpor ke Negara-negara Uni Eropa sebelum
41
diolah menjadi produk jadi yang dikonsumsi oleh konsumen akhir. Prapengemasan produk makanan dalam Directive 2000/13/EC adalah pengemasan
produk bahan makanan yang dikemas dalam satu kemasan baik itu sebagian atau
seluruhnya sebelum dijual ke pasar dimana isi produk dari kemasan tersebut
diketahui oleh importer hingga konsumen akhir tanpa mengubah dimana dalam
proses pengiriman isi dari kemasan tersebut tidak bisa dibuka atau diganti baik
kemasan maupun konten (isi) dari produk bahan makanan tersebut. Dalam
penerapannya untuk komoditi kakao umumnya dikemas dalam kantong atau
plastic. Di dalam kontak penjualan yang dilakukan Federation of Cocoa
Commerce (FCC) dan Cocoa Merchants Association (CMA) biasanya disebutkan
bahwa kantong harus dibuat dari serat alami seperti goni dan sisal. Karung
tersebut harus baru, tidak dikembalikan, bersih dan kuat. Persyaratan kemasan ini
perlu diperhatikan karena terkait dengan ketentuan UE mengenai lingkungan 10.
Mengenai Pelabellan, Uni Eropa, pada tahun 2000 Uni Eropa mengeluarkan
Directive 2000/13/EC yang berhubungan dengan pelabelan, presentasi, dan
promosi produk makanan. Dalam Directive 2000/13/EC article 1 nomor 3a,
dijelaskan Pelabellan adalah ketentuan yang harus memuat kata, merek dagang,
nama merek, symbol yang berkaitan dengan produk makanan dan ditempatkan
pada setiap, pengemasan, dokumen , pernyataan, label, dan sebagainya untuk
mempresentasikan produk makanan tersebut. Ketentuan pelabellan secara umum
menurut Directive 2000/13/EC harus memuat keterangan seperti; nama produk
yang dijual, daftar bahan-bahan produk makanan tersebut, berat bersih, tanggal
kadaluarsa, kondisi yang harus ada untuk menjaga produk makanan tersebut,
nama & alamat produsen, pengemas atau importer yang berada di Negara Uni
Eropa, tempat asal produk, cara penggunaan, kadar alcohol, serta tanda dari
produk tersebut (lot marking).
Directive 2000/13/EC yang berisikan tentang ketentuan pelabelan menjadi
bahan acuan kembali Uni Eropa untuk membuat ketentuan yang lebih spesifik
terkait produk-produk makanan seperti produk kakao. Untuk kakao sendiri,
ketentuan pelabellan diatur dalam Directive 2000/36/EC yang menjelaskan
tentang pelabellan kakao khususnya produk coklat yang merupakan produk
turunan (olahan) kakao. Dalam Directive ini dijelaskan penggunaan sampai 5%
lemak sayur bukan kakao sebagai pengganti cocoa butter dalam cokelat diijinkan
menggunakan label cokelat. 4 Namun demikian harus dituliskan kandungan lemak
sayur yang ditambahkan pada cocoa butter tersebut (LPKK UE, 2004). Untuk
produk kakao dan coklat ketentuan pelabellan dijelaskan dalam Directive
2000/13/EC artikel 3 nomor 3 dimana ketentuan pelabellan produk kakao dan
coklat bisa diliat dalam Annex I(A), (2)(c), (2)(d), (3), (4), (5), (8), dan (9).
Berdasarkan Laporan Peluang Ekspor Komoditi Kakao di Uni Eropa (2005),
Kakao yang diekspor umumnya dikemas dalam kantong atau plastik. Di dalam
kontrak penjualan yang dilakukan Federation of Cocoa Commerce (FCC) dan
Cocoa Merchants Association (CMA) biasanya disebutkan bahwa kantong harus
dibuat dari serat alami seperti goni dan sisal. Karung tersebut harus baru, tidak
dikembalikan, bersih dan kuat. Persyaratan kemasan ini perlu diperhatikan karena
terkait dengan ketentuan UE mengenai lingkungan.
10
) Laporan Peluang Ekspor Komoditi Kakao di UE,2004.
42
Tabel 17 Fokus skema sertifikasi.
Skema Sertifikasi
Keterangan
Sertifikasi kakao dari Fair Trade mempunyai tujuan
keberlanjutan perdagangan kakao akan terus berjalanan jika
petani-petani kecil kakao berkehidupan yang cukup dan anakanak mereka bisa melihat masa depan yang bagus dari industri
ini. Hal ini bukan berarti meningkatkan produksi saja, itu juga
menjamin bahwa petani mempunyai peran paling besar dalam
industri kakao secara keseluruhan.
Dalam program Sertifikasinya, Rainforest Alliance berusaha
mengembangkan sebuah hubungann bisnis jangka panjang
yang berkelanjutan antara perusahaan coklat dan kakao,
institusi publik, organisasi local, dan para petani serta
meperhatikan kesehatan lingkungan dan kondisi kerja yang
baik.
UTZ sertifikasi program kakao bertujuan untuk memberikan
keseimbangan dan sebuah hubungan kepercayaan antara
produsen, industri kakao dan komitmen dengan memperkuat
setiap komponen rantai nilai dalam perdangan kakao yang
berkelanjutan.
Misi dari Organic adalah membuat sistem verifikasi pertanian
yang berkelanjutan yang menghasilkan makanan yang selaras
dengan alam, mendukung keanekaragaman hayati dan
meningkatkan kesehatan tanah salah satu produknya adalah
kakao. Sistem sertifikasi ini akhirnya berkembang menjadi
sistem internasional yang diakui seluruh dunia.
Sumber: Raiforest Alliance, UTZ certification, ditjen PPHP.
Analisis Skema Tariff Kakao Indonesia dalam
Perdagangan Internasional di Uni Eropa
Dalam Perdagangan Internasional terdapat beberapa aturan permainan untuk
menjamin kelancaran perdagangan Internasional yang semuanya diatur dalam
sebuah system yang ditentukan oleh GATT (sekarang WTO). Terdapat beberapa
prinsip dalam menciptakan perdagangan Internasional yang terbuka, adil, dan
tanpa diskriminasi salah satu prinsipnya adalah Most Favourite Nations (MFN).
Dalam prinsip MFN dijelaskan bahwa suatu Negara anggota GATT yang
memberikan konsesi (tariff, bea masuk) kepada Negara anggota lain, maka
konsesi tersebut harus diberikan kepada anggota lain tanpa diskriminasi. Tentu
saja nilai konsesi yang dimaksud bernilai sama dan nilai tersebut masih terbilang
tinggi untuk itu terdapat beberapa skema dalam Perdagangan Internasional guna
menurunkan nilai konsesi tersebut, skema tersebut antara lain: GSP (General
Systerm of Preferences) dan FTA (Free Trade Agreements).
General System Of Preferences (GSP) adalah system preferensial tariff
dengan memberikan preferensi tariff yang lebih rendah dari aturan umum yang
diberikan WTO yang dicantumkan dalam MFN. Sistem preferensi ini diwajibkan
WTO terutama untuk Negara-negara yang menjadi memberi agar mendapatkan
43
presentase tariff yang lebih sedikit jika ingin mengekspor produknya menuju Uni
Eropa. Preferensi tariff ini merupakan satu bentuk bantuan Negara-negara industri
maju kepada negara-negara dengan bentuk fasilitas berupa penurunan atau
pembebasan bea masuk atas produk-produk tertentu yang dihasilkan dan diekspor
oleh Negara-negara berkembang. Sedangkan Free Trade Area atau sebelumnya
adalah Region Trade Area (RTA) merupakan kesepakatan dua Negara atau lebih
sehingga dapat disebut sebagai kelompok negara yang secara geografis
bersebelahan. Dalam RTA (Regions Trade Area) negara-negara tersebut
bersepakat untuk saling mempertukarkan preferensi dagang. Kesepakatan ini
secara lengkap harus dilaporkan kepada sekretariat WTO di Jenewa, diantaranya
untuk diinvestigasi agar tidak berlawanan dengan artikel XXIV
WTO
(ditjenkpi.kemendag). Dalam penerapannya GSP sendiri mempunyai nilai yang
berbeda di setiap masing-masing Negara-negara maju bahkan menambahkan
skema lain dalam GSP tersebut guna menurunkan tariff import serta pembebasan
kebijakan perdagangan lain tersebut sedangkan dalam FTA penerapannya pun
bisa dilakukan lintas geografis dan wilayah dengan tujuan yang sama dalam
skema GSP namun kesepakatan FTA ini berlaku di lingkup Negara-negara dalam
perjanjian FTA ini. Uni Eropa sebagai kelompok Negara-negara industri maju
menerapkan dua skema tersebut dalam perdagangan Internasional termasuk
penerapannya skema tersebut yang lebih berkembang.
Uni Eropa menerapkan GSP pada tahun 1971 serta mulai membuat skema
GSP tersebut pada tahun 2002 melalui Council Regulation (EC) 2211/2002.
Pemberlakuan skema tersebut berlaku 3 tahun namun pada tahun 2008 melalui
Council Regulation (EC) No 732/2008 skema GSP berlaku sampai 2015 guna
meningkat kontinuitas serta stabilitas untuk negara-negara berkembang yang
memasarkan produknya di Uni Eropa (UE-27). Terdapat tiga skema GSP yang
diberlakukan Uni Eropa yaitu; GSP, GSP+, EBA (Everything But Arms) . Selain
GSP tersebut Uni Eropa juga mulai memikirkan cara untuk mengurangi tariff
selain ketentuan yang berlaku dalam kebijakan tariff (MFN, GSP) guna
memberikan kesempatan dalam akses pasar sebesarnya. Oleh karena itu, Komisi
Uni Eropa mengusulkan sebuah rancangan kerjasama perdagangan Internasional
yaitu kesepakatan perdagangan bebas secara bilateral terhadap Negara atau
kelompok Negara tertentu (FTA) dimana criteria ekonomi menjadi pertimbangan
utama11.
Dua skema perdagangan Internasional Uni Eropa tersebut tentu saja
diperuntukkan untuk Negara ataupun asosiasi Negara yang ingin mengekspor
produksinya menuju Negara-negara Uni Eropa. Indonesia merupakan Negara
yang mendapatkan skema perdagangan Uni Eropa tersebut. Skema yang diberikan
Uni Eropa terhadap Negara Indonesia adalah skema GSP umum. Sebagai
penerima GSP Indonesia tentunya mendapatkan pengurangan tariff bea masuk
untuk beberapa jenis produk utama ekspor Indonesia, salah satu produknya adalah
kakao yang juga merupakan komoditi utama ekspor Indonesia ke dunia.
Berdasarkan data Export Helpdesk Europa Union Pengurangan tariff ekspor
kakao Indonesia setelah menerima GSP sebesar 3.5%-6.5% tergantung jenis
produk kakao olahannya. Namun sayangnya kakao di Indonesia sampai saat ini
belum menjadi komoditi ekspor utama menuju Uni Eropa. Ada banyak hal yang
11
) European Commision.
44
menyebabkan kakao belum menjadi „primadona‟ ekspor menuju Uni Eropa salah
satu penyebabnya adalah tingginya bea masuk yang dikenakan Uni Eropa
terhadap Kakao Indonesia. Walaupun Indonesia menikmati fasilitas GSP namun
bea masuk yang dikenakan masih terbilang tinggi untuk Indonesia yang sedang
mengembangkan kakao baik dari produksi maupun industri sendiri.
Sebagai Negara produsen kakao terbesar ketiga dunia, Indonesia masih
mendapatkan skema GSP umum dalam mengekspor produksi kakao. Hal ini
masih menjadi kendala untuk Indonesia sendiri sebagai salah satu eksportir kakao
di Uni Eropa mengingat biji kakao Indonesia juga sulit masuk menuju Uni Eropa
dikarenakan kualitasnya yang belum memenuhi standar dari Uni Eropa. Karena
itu pada saat ini Indonesia berusaha mengembangkan produksi kakaonya dengan
mengembangkan industri di dalam negeri. Namun Uni Eropa sebagai tujuan
ekspor utama kakao Indonesia mengenakan bea masuk yang tinggi untuk produk
industri kakao (kakao olahan) jika skema yang diterima untuk Indonesia masih
berupa skema GSP umum.
Seperti yang diketahui Uni Eropa menerapkan dua skema dalam pengenaan
bea masuk produk-produk kakao yaitu GSP dan FTA. General System of
Preferences (GSP) itu sendiri mempunyai tiga skema peraturan yaitu; GSP umum,
GSP+, dan EBA dimana GSP+ dan EBA presentase bea masuknya adalah 0%
atau Free. Sedangkan untuk Free Trade Agreements (FTA) sendiri dimana skema
ini merupakan kerjasama bilateral Uni Eropa antara Negara, ataupun asosiasi
Negara (ACP, ASEAN dan lain-lain) dengan presentase bea masuk sebesar 0%.
Untuk lebih jelasnya mari kita lihat Tabel 18 yang menggambarkan presentase
tariff bea masuk kakao berdasarkan skema perdagangan Internasional di Uni
Eropa.
Tabel 18 Presentase tariff bea masuk kakao berdasarkan skema perdagangan
Internasional di Uni Eropa.
Produk
Kakao
HS 18
1801
1802
1803
18031
18032
1804
1805
1806
180610
180620
MFN
Free
Free
General System of Preferences
(GSP)
GSP
GSP+
EBA
umum
Free
Free
Free
Free
Free
Free
FTA
Free
Free
9.60%
9.60%
7.70%
8%
6.1%
6.1%
4.2%
2.8%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
8.3%
8.3%
etc
4.1%
4.1%
etc
0%
0%
0%
0%
0%
0%
Sumber: European Commision (Export Helpdesk), 2013
Dari tabel diatas bisa kita ketahui presentase tariff yang diberikan Uni Eropa
terhadap produk kakao yang diekspor melalui beberapa skema. Dalam skema ini
MFN adalah presentase tariff yang digunakan oleh Negara-negara anggota Uni
Eropa. Sedangkan skema GSP dan FTA merupakan tariff preferensi yang dibuat
45
oleh Uni Eropa sebagai otoritas tunggal sehingga tiap-tiap Negara importer kakao
masih bisa dikenakan presentase tariff di tiap-tiap Negara anggota Uni Eropa
meskipun mendapatkan preferensi tariff Free di Uni Eropa sendiri. Berdasarkan
data European Commision hampir semua Negara mendapatkan skema preferensi
baik GSP atau FTA, data-data dari Negara tersebut dapat dilihat pada lampiran 4.
Tariff GSP memang menurunkan presentase bea masuk produk kakao Indonesia
di Uni Eropa sebagai otoritas. Namun presentase GSP umum yang didapat dari
Indonesia masih terbilang tinggi. Sebagai contoh, Tarif impor biji kakao yang
belum diproses adalah 0 persen di Jerman, akan tetapi Jerman mengenakan tarif
9,6 persen untuk produk kakao olahan seperti cocoa paste ditambah tariff
preference 6,10 persen. Untuk Produk cacao butter dikenakan tarif impor 7,70
persen ditambah tariff preference 4,20 persen. Sedangkan untuk bubuk coklat
dikenakan tariff sekitar 8,00 persen ditambah tariff preference sekitar 2,80 persen.
persen untuk beberapa produk olahan lainnya mengandung kakao Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) yang merupakan pajak tak langsung yang paling
signifikan di Jerman adalah sebesar 19%. Nilai PPN ini tidak seragam di setiap
negara-negara Uni Eropa dan nilai PPN Jerman termasuk nilai yang cukup tinggi
dibandingkan di negara Uni Eropa lainnya 12.
Dari contoh tersebut jika kita melihat dari presentase tariff impor, maka ada
kemungkinan nilai tariff impor yang dikeluarkan oleh eksportir-eksportir kakao
Indonesia masih tinggi terutama di Negara Jerman yang merupakan salah satu
importer terbesar kakao di Negara-negara Uni Eropa. Memang dari contoh belum
bisa dijadikan generalisisasi karena presentase PPN dari Negara anggota Uni
Eropa berbeda namun Negara-negara anggota Uni Eropa pasti akan menerapkan
skema GSP umum dari preferensi tariff Uni Eropa serta skema presentase Most
Favoured Nations. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia selaku competent
authorithy berupaya untuk mendapatkan skema yang lebih baik dari GSP umum di
tingkat Uni Eropa sebagai Otoritas dari Negara-negara anggotanya.
Skema GSP+, EBA, dan FTA adalah skema yang paling diinginkan Negaranegara eksportir kakao termasuk Indonesia, namun untuk mendapatkan skema
tersebut tidaklah mudah. Untuk GSP+ dan EBA produk kakao sendiri sudah
dijelaskan dalam ketentuan rules of origin GSP dijelaskan bahwa kandungan gula
dalam produk HS 4 digit yang disebutkan (cocoa and cocoa preparations) tidak
boleh lebih dari 40% berat produk jadi kakao begitu juga dengan gula dan bahan
tambahan lain yang jika diakumulasikan beratnya tidak boleh lebih dari 60%
produk jadi. Namun ada ketentuan lain dalam GSP+ dimana untuk mendapatkan
skema tersebut Negara-negara eksportir tersebut harus menerapkan standar
Internasional terhadap kebebasan manusia dan buruh, perlindungan lingkungan,
perlawanan terhadap obat-obatan terlarang serta pemerintahan yang bersih dimana
ketentuan untuk mendapatkan skema ini diatur dalam Council Regulation (EC)
No 1154/98.
Negara-negara penerima GSP+ tersebut antara lain; Armenia, Azerbaijan,
Bolivia, Cape Verde, Colombia, Costa Rica, El Salvador, Georgia, Guatemala,
Hoduras, Mongolia, Nicaragua, Paraguay, Peru, dan Venezuela. Skema lain dari
GSP adalah Everything But Arms (EBA) dimana skema ini diperuntukkan kepada
Negara-negara tertinggal yang ingin mengekspor produknya terutama kakao
12
) Market Survey Produk Kakao di Pasar Jerman (Departemen Perdagangan, 2010).
46
menuju pasar Uni Eropa. Skema EBA dibuat pada tahun 2001 dimana Negaranegara penerimanya mendapatkan akses penuh untuk bebas bea masuk serta bebas
kuota. Mengenai syarat produk kakao yang ingin masuk pasar UE sama ketentuan
rules of origin yang berlaku dalam GSP umum dan GSP+. Saat ini ada 49 negara
yang menerima skema ini dengan rincian 33 negara dari Afrika, 10 negara dari
Asia, 5 negara dari Australia & Pacific dan satu Negara dari Caribea.
FTA atau Free Trade Area merupakan perjanjian bilateral Uni Eropa
terhadap satu Negara atau lebih yang mencakup perjanjian Negara – Negara
asosiasi. Ada beberapa bentuk kerjasama yaitu kerjasama bilateral dimana hanya
UE dan satu Negara yang melakukan perjanjian perdagangan ataupun kerjasama.
antara UE dengan asosiasi Negara-negara ekspor. Kerjasama bilateral dalam
perdagangan sebenarnya mempunyai tujuan untuk mengurangi hambatanhambatan perdagangan, memperjelas aturan yang berlaku untuk exportir,
importer, dan investors, membuat sebuah jalur perdagangan yang baru,
liberalisasai investasi dan aliran modal, untuk melindungi hak kekayaan
intelektual.
Hal ini pula yang berlaku dalam FTA di Uni Eropa salah satu bentuk
kerjasamanya adalah mengurangi bea masuk sampai 0% berbagai produk
perdagangan salah satunya kakao. Sedangkan untuk kerjasama UE dengan
asosiasi Negara eksportir salah satu kerjsamanya bernama EPAs (Economic
Partnership Agreements). Economic Partnership Agreements (EPAs) adalah
bentuk kerjasama perdagangan dan pembangunan antara Negara Africa, Karibia,
dan Pasifik dimana kerjasama ini bertujuan untuk meningkatkan liberalisasi
perdagangan dan mempererat hubungan dagang antar Uni Eropa dengan Negaranegara. Economic Partnership Agreements (EPAs) juga memperhatikan kondisi
komoditi unggulan Negara-negara ACP dengan membentuk perjanjian-perjanjian
interim secara spesifik. Pantai Gading dan Ghana merupakan salah satu contoh
Negara-negara yang membentuk kerjasama Interim kembali dalam EPAs hal ini
dikarenakan Pantai Gading dan Ghana mempunyai komoditi unggul yaitu kakao
dimana pasar kakao sendiri yang paling utama ada di wilayah Uni Eropa. Salah
satu bentuk kerjasama pembebasan bea tariff kakao yang masuk di wilayah UE
apabila kakao tersebut memang memenuhi. Bentuk kerjasama itu pun diberikan
berbeda pula di Negara lainnya seperti Papua Nugini yang merupakan importer
ikan, Kenya dan Tanzania yang memproduksi tekstil dan lain-lain (EPAs, EC).
Berdasarkan identifikasi perbedaan tariff ekspor kakao Indonesia dengan
eksportir kakao Negara lain terdapat dua kemungkinan skema yang bisa didapat
Indonesia dalam mendapatkan pengurangan bea masuk ekspor kakao ke UE yaitu
GSP+ dan FTA. Pertama untuk GSP+ Indonesia mempunyai kelebihan di mata
Uni Eropa antara lain kondisi Makro Indonesia dimana antara tahun 2004-2008
Indonesia berada dalam kisaran 5%-6% adanya keseimbangan APBN, utang
Negara, inflasi dan lain-lain. Namun terdapat banyak faktor yang membuat
Indonesia sulit untuk mendapatkan skeman ini yaitu infrastruktur yang tidak
memadai, pemerintah yang belum bersih dan tidak transparan dimana hal itu
memang tidak bisa dipenuhi untuk mendapatkan skema GSP+ yang memang
mengharuskan pemerintahan dan kondisi lingkungan yang baik untuk
mendapatkannya13.
13
) Kajian kerjasama bilateral UE-Indonesia, 2012
47
Untuk FTA sendiri Indonesia masih belum melakukan kerjasama ini. Uni
Eropa sendiri sedang melakukan negosiasi FTA dengan Negara ASEAN namun
UE hanya melakukan kerjasama ke Negara-negara ASEAN seperti Thailand,
Singapura, dan Malaysia. Saat ini terdapat kerjasama bilateral antara UEIndonesia mencakup 6 bidang dimana bentuk kerjasama itu merupakan pencarian
dana sebesar €300 juta euro selama periode 2011-2014. Salah satu kerjasamanya
adalah bidang ekonomi dalam bentuk Program Dukungan Perdagangan UEIndonesia. Salah satu proyek dari Program dukungan Perdagangan UE-Indonesia
adalah panduan Ekspor Indonesia yaitu Informasi Peraturan Teknis Panduan
Ekspor Indonesia (Inatrims) yang menyediakan informasi untuk eksportir
berbagai macam produk salah satunya adalah komoditi kakao. Secara spesifik
kakao Indonesia saat ini belum mampu bersaing di pasar UE karena UE sendiri
lebih menyukai ekspor kakao dalam hal ini biji kakao fermentasi dibandingkan
non-fermentasi. Selain itu terdapat beberapa aturan seperti rules of origin yang
belum bisa dipenuhi Indonesia guna mendapatkan skema tersebut.
Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Kakao serta Melihat
Pengaruhnya dalam Perdagangan Uni Eropa
Saat ini kebijakan pemerintah memang berfokus untuk peningkatan industri
dalam negeri. Dampak dari kebijakan ini dilematis karena di satu sisi
meningkatkan industri kakao dalam negeri, namun di sisi lain sangat
memberatkan petani serta eksportir yang langsung mengeksportir biji kakao
menuju luar negeri. Namun dari sisi industri kakao dimana pemerintah Indonesia
memang berfokus untuk peningkatan industri kakao kebijakan ini dianggap tepat.
Hal itu dikarenakan jika biji kakao tetap diekspor oleh petani kakao dan eksportir
maka posisi tawar kita masih lemah karena kualitas biji kakao Indonesia yang
masih buruk dibandingkan dengan Negara-negara eksportir kakao seperti Pantai
Gading dan Ghana. Apalagi Uni Eropa menerapkan persyaratan mutu dan
keamanan pangan yang ketat, salah satunya adalah khusus biji kakao UE memang
lebih mengutamakan biji kakao fermentasi dibandingkan biji kakao nonfermentasi.
Kebijakan Peraturan Menteri Keuangan No 67/PMK.0211/2010 saat ini
merupakan kebijakan terbaru pemerintah Indonesia untuk perdagangan kakao
Indonesia yang menitikberatkan pada bea keluar biji kakao Indonesia.
Berdasarkan jurnal Dampak Kebijakan Bea Keluar terhadap Industri Pengolahan
Kakao, diharapkan produk kakao khususnya biji kakao (HS 1801) mampu
dimanfaatkan dengan optimal di dalam negeri. (ditjen PPHP). Secara umum
kebijakan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) ini dibuat untuk melalui
koordinasi antara Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, dan
Kementerian Perdagangan. Alur Proses Pengambilan Keputusan Permenkeu
tersebut dapat dilihat pada gambar 10.
48
Terbitkan
Draft PMK dan
kajian draft
Menteri
Keuangan
PMK
Pendapat
Biro Hukum
Kementerian
Keuangan
Draft &
Kajian
Pendapat
Pelaku Pasar
Tim Tarif
Koordinasi
Koordinasi
Kementerian
Pertanian
Kementerian
Perindustrian
Kementerian
Perdagangan
Gambar 10 Proses Pengambilan Keputusan Permenkeu
Sumber: Syadullah, 2012
Selain itu pemerintah melalui Kementrian Pertanian sebelumnya telah
melakukan Program Gerakan Kakao Nasional. Gerakan Nasional Peningkatan
Produksi dan Mutu Kakao (Gernas) adalah upaya percepatan perbaikan budidaya
tanaman kakao rakyat dalam rangka peningkatan produktivitas tanaman dan mutu
hasil kakao nasional dengan memberdayakan/melibatkan secara optimal seluruh
potensi pemangku kepentingan serta sumberdaya yang ada di 5 provinsi meliputi
29 kabupaten sentra kakao yang terkena serangan hama dan penyakit dengan
kategori sedang dengan berat 14 . Gernas sendiri merupakan implementasi dari
kebijakan; Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1643/kpts/OT.160/12/2008
tanggal 2 Desember 2008 tentang Penyelenggaraan dan Pembentukan Tim
Koodinasi Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional dan
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 3540/Kpts/OT.160/10/2010 tanggal 26
Oktober 2010 tentang Penyelenggaraan dan Pembentukan Tim Koordinasi
Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao. Kebijakan di Indonesia
yang berkaitan dengan komoditi kakao dapat dilihat pada Tabel 19.
14
) Pedoman Umum Gernas Kakao Tahun 2012
49
Tabel 19 Kebijakan-kebijakan Indonesia yang berkaitan dengan komoditi kakao.
No
1
Regulasi
Undang-undang nomor
12 Tahun 1992
2
Undang-undang
18 Tahun 2004
3
Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004
4
Peraturan
Pemerintah
Nomor 44 Tahun 1995
Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun
2007
5
6
7
Nomor
Keputusan Presiden
Nomor 187/M Tahun
2004
Peraturan Presiden Nomor
9 Tahun 2005
Keterangan
Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3478);
Tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 85; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4411);
Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3839;
Tentang Perbenihan Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1995
Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3616).
Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4737);
Tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia juncto
Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005.
Sumber: Pedoman Umum Gernas Tahun 2012 , 2013
Kebijakan-kebijakan yang berpengaruh terhadap kakao di Indonesia
memang lebih fokus dalam pengembangan industri dalam negeri. Hal ini
dikarenakan di pasar dunia, mutu kakao Indonesia dinilai rendah karena
mengandung keasaman yang tinggi15. Oleh karena itu dengan kebijakan-kebijakan
terbaru yaitu Kebijakan Peraturan Menteri Keuangan No 67/PMK.0211/2010 serta
program Gernas dimaksudkan untuk meningkatkan produksi khususnya biji kakao
dan produk (biji kakao) tidak secara langsung diperdagangkan dengan skala
Internasional (ekspor). Dengan begitu, industri kakao dalam negeri akan
meningkat baik dari jumlah industri maupun kapasitas. Berikut ini adalah data
industri kakao di Indonesia yang didapat dari Asosiasi Industri Kakao Indonesia
yang disajikan pada Tabel 20.
Dari data tersebut ada empat perusahaan industri baru yang mengolah
produk kakao dalam negeri. Bahkan terdapat peningkatan pengolahan kakao pada
perusahaan industri dalam negeri dengan rasio peningkatan sebesar 86%. Dari
data terlihat dampak dari Kebijakan Peraturan Menteri Keuangan No
67/PMK.0211/2010 . Dengan menerapkan bea keluar terhadap biji kakao, biji
kakao akan berada di pasar dalam negeri sehingga bahan baku pengolahan kakao
bisa diolah di dalam negeri, dengan mengubah biji kakao menjadi produk
setengah jadi seperti kakao bubuk, lemak atau produk jadi seperti coklat akan
membuat nilai kakao semakin bertambah. Dengan pertambahan nilai baik dari
kuantitas ataupun kualitas produk kakao Indonesia akan mempunyai daya saing
yang lebih baik dalam perdagangan Internasional.
15
) Gambaran sekilas industri kakao, Departemen Perindustrian tahun 2007.
50
Tabel 20 Daftar Industri kakao Indonesia.
No Perusahaan
Lokasi
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Total
PT. General Food
Industri
PT. Bumitangerang
M
PT. Davomas Abadi
PT. Industri Kakao
Utama
PT. Maju Bersama C
PT. Kopi Jaya Kakao
PT. Effem Indonesia
PT. Budidaya Kakao
L
PT. Cacao Wangi M
PT. Teja Sekawan
PT. Unicorn Kakao
M
PT. Cocoa Ventures
PT.
Kakao
Mas
Gemilang
PT. Mas Ganda
PT. Poleko Cocoa I
PT. Asia Cocoa
Bandung
Kapasitas
Pengolahan (kg)
2010
2011
6 5000
8 0000
Rasio
Peningkatan
(%)
23
Tanggerang
37 000
65 000
75
Tanggerang
Kendari
5 000
0
10 000
0
100
0
Makassar
Makassar
Makassar
Surabaya
3 000
0
8 000
0
1 0000
3 000
10 000
5 000
230
25
-
Tanggerang
Surabaya
Makassar
0
8 000
3 000
5 000
8 000
5 000
0
67
Medan
Tanggerang
7 000
6 000
14 000
6 000
100
0
Tanggerang
Makassar
Batam
5 000
3 000
0
150 000
5 000
4 000
50000
280 000
0
33
0
86
Sumber: The Asian Cocoa Industri, (BT Cocoa Indonesia, 2013)
Meskipun kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan kakao Indonesia
fokus untuk pengembangan dalam negeri, namun secara tak langsung berdampak
pula terhadap perdagangan Internasional kakao Indonesia sendiri.Untuk Uni
Eropa sendiri sampai pada tahun 2012 nilai impor produk kakao Indonesia
hampir mencapai US$ 12 juta. Memang pada tahun tersebut nilai ekspor
mengalami penurunan, namun nilai tersebut masih cukup besar. Berikut ini adalah
data nilai impor kakao Uni Eropa dari Indonesia pada Gambar 11.
51
20000000
18000000
16000000
14000000
12000000
10000000
80000000
60000000
40000000
20000000
0
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Gambar 11 Nilai Impor Kakao Uni Eropa dari Indonesia.
Sumber: Euopean Commision (2013)
Dari grafik tersebut, pada tahun 2003-2009 nilai impor kakao dari Indonesia
berada diantara US$ 5 juta s/d US$ 10 juta dollar. Nilai impor paling tinggi
berada pada tahun 2010 yang mencapai US$ 18,6 juta dollar. Namun pada tahun
2011 dan 2012 nilai impor mengalami penurunan, hal ini dikarenakan Kebijakan
Peraturan Menteri Keuangan No 67/PMK.0211/2010 mulai berlaku sehingga biji
kakao (HS1801) tertahan di dalam negeri (Indonesia), sehingga ekspor biji kakao
juga menurun. Namun nilai impor pada dua tahun terakhir masih cukup tinggi jika
dibandingkan nilai impor antara tahun 2003-2009.
Memang kebijakan terbaru kakao di Indonesia saat ini berdampak tidak
langsung tehadap nilai ekspor namun, kebijakan terbaru ini sangat berpengaruh
terutama dalam bentuk ekspor. Sebelum tahun 2010 Uni Eropa lebih banyak
menerima impor dalam bentuk biji (HS 1801), namun setelah tahun 2010 impor
biji kakao mengalami penurunan, namun produk-produk kakao lainnya
mengalami peningkatan. Dengan peningkatan impor ini diharapkan produkproduk kakao selain biji kakao juga meingkatkan daya saing Indonesia di
perdagagan Internasional khususnya Negara-negara di Uni Eropa. Berikut ini
adalah data-data volume impor kakao dalam bentuk HS 4 digit.
Grafik tersebut menunjukkan fluktuasi-fluktuasi produk kakao, dimana biji
kakao (HS 1801) selalu menjadi produk kakao yang cukup besar volume
impornya. Namun dalam 2 tahun terakhir yaitu tahun 2011-2012 mengalami
penurunan. Tahun 2010 dimana volume impor biji kakao mencapai 36 juta kg
mengalami penurunan yang pada tahun 2011 dengan volume impor 11 juta kg
bahkan pada tahun 2012 hanya mengimpor sebesar 5 juta kg. Menurut sekretaris
Asosiasi Kakao Indonesia ekspor produk biji kakao (HS 1801) dari Indonesia
akan terus menurun karena permintaan pasar local masih signifikan 16.
16
) Ekonomi inilah.Com diunduh pada 12 September 2013.
52
Gambar 12 Volume Impor Uni Eropa dari Indonesia berdasarkan HS 4 digit.
Sumber: European Commision (2013)
*Dikelompokkan berdasarkan satuan volume impor.
Keterangan:
1801: Biji kakao, utuh atau rusak, fermentasi atau non-fermentasi.
1802: Kulit, sekam dan produk-produk kakao lainnya.
1803: Pasta kakao dengan atau tanpa lemak.
1804: Mentega, minyak, dan lemak kakao.
1805: Kakao bubuk dengan atau tanpa gula.
1806: Coklat dan makanan lain yang terbuat dari kakao.
53
Untuk produk kakao kulit sekam, dan produk-produk lainnya (HS 1802)
memang sedikit volume impor dengan jumlah 69.800 kg pada tahun 2012. Namun
dari Grafik tersebut bisa kita lihat ada jumlah peningkatan yang signifikan bahkan
menjadi yang tertinggi dalam waktu 10 tahun terakhir. Produk kakao ini
merupakan produk-produk limbah kakao, namun produk ini masih bisa digunakan
untuk keperluan lain seperti pupuk hijau, single cell protein, gas bio, pectin,
alkohol, jelly, plastic filler, bahan bakar17.
Walaupun biji kakao mengalami penurunan, peningkatan volume impor
yang signifikan terjadi pada produk pasta kakao (HS 1803). Volume impor pasta
kakao memang yang paling tinggi diantara produk kakao lainnya. Namun, dalam
Harmonysed System (HS) produk pasta kakao dibagi menjadi dua yaitu; pasta
kakao tanpa lemak (HS 18031) dan pasta kakao dengan lemak (HS 18032).
Volume impor pasta kakao (1803) pada tahun 2011 mencapai 51 juta kg meskipun
mengalami penurunan pada tahun 2012 dengan volume impor sebesar 41 juta kg,
namun jumlah tersebut masih cukup besar jika dibandingkan dengan produk biji
kakao. Selain itu, produk kakao lain seperti; juga mengalami peningkatan yang
signifikan meskipun volume impor tidak sebesar biji kakao dan pasta kakao.
Selain Pasta kakao produk yang mempunyai volume impor yang tinggi
adalah Cocoa Butter (HS1804). Dari grafik tersebut impor dari Indonesia
cenderung menurun namun jumlah produk yang diimpor pada tahun 2012
mencapai 26 juta kg. Cocoa Butter sendiri adalah bahan baku utama untuk
membuat produk-produk coklat dan juga digunakan dalam produk perawatan
kecantikan 18 . Kakao Bubuk (HS 1805) merupakan produk setengah jadi dari
kakao, biasanya produk ini menjadi bahan baku industri coklat di Uni Eropa
seperti. Pada tahun 2002-2009 produk ini cenderung mengalami penurunan
namun mengalami peningkatan setelah periode tersebut dan berhasil mencapai
volume impor 3.5 juta kg pada tahun 2012 mengalami penurunan dari tahun
sebelumnya yang mencapai 4.8 juta kg. Terakhir adalah Coklat (HS 1806),
volume produk ini memang paling sedikit diantaranya produk lainnya dengan
volume impor sekitar 800 kg. Meskipun sedikit, grafik tersebut bisa menjadi
indikasi bahwa produk Coklat (HS 1806), produk jadi dari tanaman kakao bisa
diterima di Uni Eropa yang notabene merupakan Negara-negara konsumen
terbesar coklat dan memiliki standar yang tinggi pada produk ini.
Dua kebijakan terbaru untuk komodity kakao yaitu program gernas dan
Peraturan Menteri Keuangan No 67/PMK.0211/2010 di Indonesia bertujuan
untuk pengembangan di dalam negeri. Memang terdapat kebijakan-kebijakan lain
yang berkaitan dengan kakao, namun dua kebijakan tersebut merupakan kebijakan
yang penerapannya langsung terhadap komodity kakao. Dampak dari dua
kebijakan itu adalah produksi biji kakao semakin meningkat sehingga bahan baku
produk kakao olahan seperti kakao pasta, bubuk, hingga coklat tersedia di dalam
negeri. Dengan bahan baku yang bertambah maka semakin bertambah pula
industri-indusri kakao yang berada di Indonesia baik dari jumlah industri (pabrik
pengolahan) dan/atau kapasitas grindings sehingga ekspor kakao diharapkan
menngkatkan khususnya produk-produk selain biji kakao (HS 1801). Namun jika
hanya kebijakan ini yang diterapkan maka hanya menguntungkan pihak industri
pengolah kakao. Sementara untuk eksportir akan kesulitan untuk mengekspor biji
17
18
) Gambaran Sekilas Industri Kakao, 2007.
) Market Brief Kemendag-ITPC, Lyon 2013.
54
kakao dikarenakan bea keluar yang ditetapkan melalui Permnenkeu tersebut
berkisar 5%-15%. Sedangkan untuk petani, biji kakao Indonesia saat ini mutunya
masih rendah jika dibandingkan dengan Negara lain karena mutu yang rendah
tersebut dikarenakan biji kakao Indonesia masih belum fermentasi. Untuk harga
biji kakao dalam negeri saja berkisar 20 000 s/d 25 000 tiap satu kilogramnya.
Selain itu untuk mengembangkan industri kakao dalam negeri. Pada tahun 2012
impor kakao Indonesia mencapai sekitar 53 000 ton dengan nilai US$ 194 juta.
Karena hal itu untuk mengembangkan industri kakao dalam negeri, Indonesia
masih mengimpor kakao untuk meningkatkan kualitas produksinya. Oleh karena
itu sekarang Kementrian Pertanian menyusun Peraturan Menteri Pertanian
(Permentan) tentang Persyaratan Mutu dan Pemasaran Biji Kakao. Perkembangan
draft Permentan ini pun sudah pada tahap publik hearing yang dilaksanakan pada
tanggal 23 Juli 2013. Diharapkan peraturan ini bertujuan meningkatkan daya saing
dan nilai tambah biji kakao Indonesia baik di dalam maupun luar Negeri19.
KESIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil pada pembahasan penelitian maka dapat disimpulkan:
1. Kebijakan Perdagangan Internasional oleh Uni Eropa yang berpengaruh terhadap
ekspor kakao Indonesia yaitu: kebijakan tariff berupa tariff dengan skema GSP
yang masih tergolong tinggi khususnya produk olahan kakao yang berkisar 6.1%2.8%, serta kebijakan non tariff yaitu Regulasi (EC) No 178/2002, Regulation
(EC) 852/2004, Regulasi (EC) No 1107/2009, Regulasi (EC) No 396/2005,
Regulasi (EC) 852/2004, Council Regulation (EC) No 834/2007, Commision
Regulation (EC) No 889/2008, dan Directive 2000/36 sertifikasi kakao serta
Directive 2000/13 mengenai pelabelan. Dari notifikasi RASFF berdasarkan jenis
risiko relatif kelompok produk kopi, kakao, dan tea adalah ketidaksahan produk
tersebut yang masuk dalam pasar Uni Eropa. Khusus produk kakao Indonesia
belum ada jumlah pasti penolakan kakao yang diekspor menuju Uni Eropa namun
pada tahun 2012 terjadi penolakan perbatasan atas kakao bubuk dikarenakan
tingginya kandungan timbal (ref.2012.BLX).
2. Terdapat dua skema tariff di Uni Eropa yaitu GSP yang terbagi lagi dengan skema
GSP, GSP+, dan EBA dan FTA contohnya adalah skema Economic Partnership
Agreement (EPAs). Indonesia masih mendapatkan skema GSP umum dalam
mengekspor produksi kakao.
Masih ada dua kemungkinan Indonesia
mendapatkan skema dengan bea masuk kakao 0% yaitu GSP+ dan FTA.
3. Untuk kakao, saat ini Indonesia menerapkan kebijakan Peraturan Menteri
Keuangan No 67/PMK.0211/2010 tentang penerapan bea keluar biji kakao
sebesar 5%-15% dan Gernas unuk meningkatkan produktivitas kakao.. Belum ada
kebijakan yang pasti tentang kebijakan ekspor kakao menuju Uni Eropa bahkan
nilai impor kakao Uni Eropa dari Indonesia mengalami penurunan karena, namun
berdasarkan data European Commision, ada peningkatan volume impor kakao Uni
19
) tempo 23 Juli 2013 diunduh 16 Sept 2013
55
Eropa selain biji kakao (HS 1801). Saat ini pemerintah Indonesia melalui
Kementrian Pertanian menyusun Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) tentang
Persyaratan Mutu dan Pemasaran Biji Kakao yang sudah sampai pada tahap
publik hearing pada November 2013.
Saran
Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini yaitu:
1. Agar kakao Indonesia dapat diterima di pasar Uni Eropa , Indonesia sebagai
eksportir perlu mengkaji kebijakan-kebijakan perdagagan Uni Eropa terutama
Regulasi European Communities (EC) No 178/2002 tentang persyaratan
pangan, tentang persyaratan pangan, Regulation (EC) No 852/2004 tentang
prinsip-prinsip Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), dan
kebijakan Directive 2000/36/EC yang merupakan „kebijakan kakao‟ karena
dalam kebijakan ini terdapat ketentuan-ketentuan produk kakao yang
dikonsumsi di Uni Eropa.
2. Dalam skema tariff komoditi kakao, Indonesia masih medapatkan skema tariff
GSP. Ada dua kemungkinan skema tariff yang bisa didapatkan Indonesia yaitu
GSP+ dan FTA. Dari dua kemungkinan tersebut FTA (Free Trade Agreement)
merupakan opsi yang lebih baik, karena saat ini Indonesia dan Uni Eropa
sudah menjalin kerjasama perdagangan di bidang informasi perdagangan
dengan adanya Indonesia Trade Management System (Inatrims). Diharapkan
ada kerjasama yang lebih baik salah satunya penurunan skema tariff.
3. Saat ini dua kebijakan terbaru kakao di Indonesia sudah baik karena
meningkatkan industri kakao dalam negeri dan „ekspor‟ kakao Indonesia
selain produk biji kakao. Untuk itu kebijakan terbaru yaitu draft Peraturan
Menteri Pertanian (Permentan) tentang Persyaratan dan Mutu biji Kakao
segera „disahkan‟ sehingga ada aturan yang lebih kuat dan jelas untuk
meningkatkan kualitas kakao khususnya biji kakao.
4. Perlu penelitian lanjut mengenai analisis kebijakan kakao tersebut dengan
studi kasus terhadap pelaku-pelaku agribisnis kakao Indonesia yang
mengekspor produknya menuju Uni Eropa serta pengaruh kebijakannya.
5. Penelitian untuk melihat pengaruh kebijakan Negara importer kakao Indonesia
lainnya seperti Amerika Serikat, Jepang, Malaysia dan lain-lain perlu
dilakukan untuk melihat daya saing kakao Indonesia di pasar Internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Perdagangan. 2010. Market Survey Produk Kakao di Pasar. Jerman.
Hamburg.
Departemen Pertanian. 2004. Laporan Peluang Ekspor Komoditi Kakao di Uni
Eropa.
Dirjen Perkebunan. 2012. Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu
Tanaman Rempah dan Penyegar. Kementerian Pertanian.
56
Dunn WN. 1998. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta (ID): Gadjah
Mada University Press
Eristya. 2012. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekspor Komoditas
Kakao Indonesia ke Kawasan Uni Eropa. [Skripsi]. Bogor (ID): Instititut
Pertanian Bogor.
[EU]. Europa Union. 2013. European Commision. Trade Export Helpdesk.
http://exporthelp.europa.eu/thdapp/index.htm?newLanguageId=EN . [15
September 2013]
Halwani H.2002. Ekonomi Internasional & Globalisasi Ekonomi. Jakarta. Ghalia
Indonesia.
Indonesiamission-Europa Union. Laporan Peluang Ekspor Komoditi Kakao di
Uni Eropa. Jakarta. 2005
J.Trebilcock Michael, Howse Robert. 2005. The Regulation of International Trade.
New York (US): Taylor & Francis Group.
[Kemendag]. Kementerian Perdagangan. 2014. Inatrims [Internet]. [diunduh
13September 2014]. Tersedia pada: http://inatrims.kemendag.go.id/id/
product/detail/kakao_1.
Kartadjoemena.H.S. 1997. GATT WTO dan Hasil Uruguay Round.Jakarta.UI
Press.
Kementerian Pertanian. 2012. Perkembangan volume dan nilai ekspor komoditas
primer perkebunan sampai dengan triwulan III 2012.
Malaysia Cocoa Board. 2013. Malaysia: Tariff Rate On Cocoa Beans and Product
2013.http://.koko.gov.my/lkm/loader.cfm?page=Industri/statistik/tarifs.cf
m [23 Agustus 2013]
Nababan, Samuel C. 2012. Penerapan Kebijakan Perdagangan Internasional di
Uni Eropa dan Pengaruhnya Terhadap Ekspor Udang Indonesia. [Skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Rastikarany H. 2008. Analisis Pengaruh Kebijakan Tarif dan Nontarif Uni Eropa
Terhadap Ekspor Tuna Indonesia. [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Rahmita. 2009. Pengaruh posisi Persaingan [Internet]. [Diunduh 13 Maret 2014].
15. 235-248. Tersedia pada related:lontar.ui.ac.id/file?file=digital/ 1270286682-Pengaruh%20posisi-Literatur.pdf teori perdagangan internasional
Saragih B. 2000. Agribisnis Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
Dalam Era Millenium Baru. Jurnal Studi Pembangunan, Kemasyarakat
dan Lingkungan. Volume 2. Nomor 1
Tambunan.T.H. Tulus.2004. Globalisasi dan Perdagangan Internasional.Bogor.
Ghalia Indonesia.
57
Lampiran 1 Annex I dan II Directive 2000/36/EC
ANNEX I
Nama Dagang, Definisi, dan Karakteristik Produk
A. Nama Dagang dan Definisi.
1. Kakao Mentega
Lemak kakao yang didapat dari biji kakao atau sebagian
dengan karakteristik sebagai berikut:

Kandungan asam lemak
(dinyatakan sebagai asam oleat)
tidak
lebih dari 1.75%
tidak
 Hal unsaponifiable
lebih 0.5%
( dengan menggunakan petroleum eter)
2. Kakao bubuk, kakao
a. Bubuk kakao, kakao
Menunjuk produk yang diperoleh dengan mengkonversi menjadi
biji kakao yang telah dibersihkan, dikupas dan panggang, menjadi
bubuk kakao yang tidak kurang dari 20% cocoa butter, dihitung
sesuai dengan berat kering masalah, dan tidak lebih dari 9% air.
b. Kakao rendah lemak, bubuk kakao rendah lemak
Menunjuk pada kakao bubuk yang mengandung kurang dari
20% lemak kakao, dihitung dari berat kering materi tersebut.
c. Coklat bubuk, coklat dalam bentuk bubuk
Menunjuk pada produk yang terdiri dari campuran kakao
bubuk dan gula, mengandung tidak kurang dari 32% bubuk
kakao.
d. Minuman coklat, coklat manis, bubuk coklat manis
Menunjuk pada produk yang terdiri dari campuran kakao
bubuk dan gula, mengandung tidak kurang dari 25% kakao bubuk,
nama produk harus dicantumkan „rendah lemak‟ jika produk
tersebut merupakan rendah lemak sesuai dengan criteria bagian (b)
3. Coklat
a. Menunjuk produk yang diperoleh dari produk kakao dan gula
yang sesuai pada bagian (b) mengandung tidak kurang dari
35% total padatan kakao kering, termasuk tidak kurang dari
18% cocoa butter dan tidak kurang dari 14% kering tanpa
lemak padatan kakao;
b. Berikut adalah nama-nama produk
o vermicelli‟ or „flakes‟: produk yang disajikan dalam
bentuk butiran atau serpihan harus mengandung tidak
kurang
dari
32% total padatan kakao kering, termasuk tidak kurang
dari 12% cocoa butter dan tidak kurang dari 14%
kering
padatan kakao non-lemak;
58
o
‘couverture‟
produk harus mengandung tidak kurang
dari 35% total padatan kakao kering, termasuk tidak
kurang
dari
31% cocoa butter dan tidak kurang dari 2,5% dari
padatan kakao non-fat kering;
o 'Gianduja' (atau salah satu turunan dari kata 'gianduja')
coklat kacang: produk harus diperoleh pertama dari
cokelat memiliki kakao kering total padatan isi
minimum dari 32% termasuk kering minimal nonlemak kakao kandungan padatan dari 8%, dan kedua
dari hazelnut ditumbuk halus dalam jumlah
sedemikian rupa sehingga 100 g produk mengandung
tidak kurang dari 20 g dan tidak lebih dari 40 g
hazelnut. Berikut dapat ditambahkan:
(a) susu dan / atau padatan susu kering diperoleh
dengan
penguapan,
dalam
proporsi
sedemikian rupa sehingga produk jadi
tidak mengandung lebih dari 5% padatan susu
kering;
(b) almond, hazelnut dan varietas kacang lainnya,
baik utuh atau pecah, dalam jumlah seperti itu,
bersama-sama
dengan hazelnut tanah, mereka tidak melebihi
60% dari berat total produk.
4. Susu Coklat
a) menunjuk produk yang diperoleh dari produk kakao, gula dan susu
atau produk susu, yang, tunduk pada (b) yang berisi:
- Tidak kurang dari 25% total padatan kakao kering,
- Tidak kurang dari padatan susu kering 14% diperoleh sebagian
atau seluruhnya dehidrasi susu, atau semisusu full-skim, krim, atau dari sebagian atau seluruhnya dehidrasi
krim, mentega atau lemak susu,
- Tidak kurang dari 2,5% padatan kakao non-fat kering,
- Tidak kurang dari 3,5% lemak susu,
- Tidak kurang dari 25% total lemak (cocoa butter dan lemak susu).
( b) Namun demikian , di mana nama ini dilengkapi dengan katakata
:
- ' vermicelli or flakes ' : produk yang disajikan dalam bentuk butiran
atau serpihan harus mengandung tidak kurang dari 20 % total
padatan kakao kering , tidak kurang dari 12 % padatan susu kering
yang diperoleh sebagian atau seluruhnya dehidrasi susu , susu semi
skim atau penuh , krim , atau dari sebagian atau seluruhnya dehidrasi
krim
,
mentega
atau
lemak susu , dan tidak kurang dari 12 % total lemak ( cocoa butter
dan
lemak
susu
)
,
- ' Couverture ' : produk harus memiliki total lemak minimum
( cocoa butter dan lemak susu ) isi 31 % ,
- ' Gianduja ' ( atau salah satu turunan dari kata ' gianduja ' ) kacang
59
susu coklat : produk harus diperoleh pertama dari cokelat susu
memiliki kandungan minimal 10 % padatan susu kering , diperoleh
sebagian atau seluruhnya dehidrasi susu , semi- atau full- skim susu,
krim atau dari sebagian atau seluruhnya cream dehidrasi , mentega
atau lemak susu dan kedua dari halus hazelnut tanah , dalam jumlah
sedemikian rupa sehingga 100 g produk mengandung tidak kurang
dari 15 g dan tidak lebih dari 40 g hazelnut . almond , hazelnut dan
varietas kacang lainnya juga dapat ditambahkan , baik utuh atau
pecah , dalam jumlah seperti itu, bersama dengan hazelnut tanah ,
mereka tidak melebihi 60 % dari berat total produk .
(c) Dimana dalam nama ini kata 'susu' diganti dengan:
- 'Krim': produk harus memiliki kandungan lemak susu minimal 5,5%,
- 'Skim susu': produk harus memiliki kandungan lemak susu tidak lebih
dari 1%.
(d) Inggris dan Irlandia dapat mengizinkan penggunaan di wilayah
mereka dengan nama 'susu coklat' untuk menunjuk produk
sebagaimana dimaksud dalam angka 5, dengan syarat bahwa istilah
disertai dalam kedua kasus oleh indikasi jumlah padatan susu kering
ditetapkan untuk masing-masing dari dua produk, dalam padatan susu
bentuk ': ...% Minimum '.
5. Susu coklat Keluarga
Menunjuk produk yang diperoleh dari produk kakao, gula dan susu atau
produk susu dan yang berisi:
- Tidak kurang dari 20% total padatan kakao kering,
- Tidak kurang dari 20% padatan susu kering yang diperoleh sebagian atau
seluruhnya dehidrasi susu, semi-atau fullskimmed susu, krim, atau dari
sebagian atau seluruhnya dehidrasi krim, mentega atau lemak susu,
- Tidak kurang dari 2,5% padatan kakao non-fat kering,
- Tidak kurang dari 5% lemak susu,
- Tidak kurang dari 25% total lemak (cocoa butter dan lemak susu).
6. Coklat Putih
Menunjuk produk yang diperoleh dari mentega, susu atau produk
susu coklat dan gula yang berisi tidak kurang dari 20% cocoa butter dan
tidak kurang dari 14% padatan susu kering yang diperoleh sebagian atau
seluruhnya dehidrasi seluruh susu, semi-atau full skim susu, krim, atau dari
sebagian atau seluruhnya dehidrasi krim, mentega atau lemak susu, yang
tidak kurang dari 3,5% adalah lemak susu.
7. Coklat Isi
Menunjuk pada produk coklat isi, yang merupakan produk bagian
luar dari salah satu produk yang dijelaskan pada nomor 3,4,5,6. Sebutan
coklat isi tidak berlaku pada bagian dalam produk roti, kue, biscuit, atau es.
Coklat isi dalam hal ini beratnya tidak kurang dari 25% dari total produk.
8. Coklat Panas
Menunjuk produk yang diperoleh dari produk kakao, gula, dan
tepung atau pati dari gandum, beras atau jagung, yang berisi tidak kurang
dari 35% total padatan kering kakao, termasuk tidak kurang dari 18% cocoa
butter dan tidak kurang dari 14% padatan kakao kering tanpa lemak, dan
tidak lebih dari 8% tepung atau pati.
60
9. Coklat Panas Keluarga
Menunjuk produk yang diperoleh dari produk kakao, gula, dan
tepung atau pati dari gandum, beras atau jagung, yang berisi tidak kurang
dari 30% total padatan kering kakao, termasuk tidak kurang dari 18% cocoa
butter dan tidak kurang dari 12% kering padatan non-lemak kakao, dan
bukan tepung atau pati lebih dari 18%.
10. Coklat atau Praline
Menunjuk produk dalam satu seteguk ukuran, yang terdiri dari:
- Coklat penuh, atau
- Cokelat tunggal atau kombinasi atau campuran cokelat dalam arti definisi
yang diberikan dalam 3, 4, 5 atau 6 dan zat lainnya yang dapat dimakan,
asalkan coklat merupakan tidak kurang dari 25% dari total berat produk.
B. Bahan Resmi Pilihan
Penambahan zat dimakan
1. Tanpa mengurangi Pasal 2 dan Bagian B (2), zat lainnya yang
dapat dimakan juga dapat ditambahkan ke cokelat produk
didefinisikan dalam Bagian A (3), (4), (5), (6), (8) dan (9).
Namun, penambahan tersebut:
- Lemak hewan dan bahan lainnya yang tidak hanya berasal dari
susu, dilarang,
- Tepung, butiran atau bubuk pati sah jika penambahan tersebut
sesuai dengan
definisi yang ditetapkan dalam Bagian A (8) dan (9).Jumlah zatzat dimakan ditambahkan tidak boleh melebihi 40% dari total
berat produk jadi.
2. Hanya bahan penambah yang tidak meniru rasa cokelat atau
lemak susu dapat ditambahkan ke produk didefinisikan dalam
Bagian A (2), (3), (4), (5), (6), (8) dan (9).
C. Perhitungan Presentasi.
 Isi minimum dari produk yang ditetapkan dalam Bagian A (3), (4),
(5), (6), (8) dan (9) dihitung setelah dikurangi dari berat bahan
ditentukan dalam Bagian B. Dalam kasus produk dalam Bagian A
(7) dan (10).
 isi minimum dihitung setelah dikurangi berat bahan ditentukan
dalam
Bagian
B,
serta
sebagai berat mengisi.
 Cokelat isi produk didefinisikan dalam Bagian A (7) dan (10)
dihitung dalam kaitannya dengan total berat produk jadi, termasuk
mengisi nya.
D. Gula
Gula sebagaimana dimaksud dalam Instruksi ini tidak terbatas hanya
gula sesuai oleh Dewan Directive 73/437/EEC dari 11 Desember 1973
tentang pendekatan hukum Negara Anggota mengenai gula tertentu yang
ditujukan untuk konsumsi manusia (1).
61
ANNEX II
Lemak Nabati yang disebut dalam pasal 2 (1)
Lemak nabati dimaksud dalam Pasal 2 (1) adalah, tunggal atau
campuran, kakao setara mentega dan harus sesuai dengan kriteria sebagai
berikut:
a. lemak nabati non-laurat, yang kaya simetris trigliserida tak jenuh
tunggal dari jenis POP, POST dan StOSt (1);
b. mereka larut dalam proporsi apapun dengan cocoa butter, dan
kompatibel dengan sifat fisik (titik lebur dan suhu kristalisasi,
laju pencairan, perlu untuk tahap temper);
c. mereka diperoleh hanya dengan proses pemurnian dan / atau
fraksinasi, yang tidak termasuk modifikasi enzimatik
Struktur trigliserida.
Sesuai dengan kriteria di atas, lemak nabati berikut, diperoleh
dari tanaman yang tercantum di bawah, dapat digunakan:
Nama Umum Lemak Nabati
Lemak Kalimantan
(Tengkawang)
Minyak Palem
Garam
Shea
Kokum Gurgi
Mango kernel
Nama ilmiah dari tanaman dari
mana lemak terdaftar dapat
diperoleh
Shorea spp.
Elaeis guineensis
Elaeis olifera
Shorea robusta
Butyrospermum parkii
Garcinia indica
Mangifera indica
Selain itu, sebagai pengecualian di atas, Negara Anggota dapat
memungkinkan penggunaan minyak kelapa untuk tujuan berikut: dalam
coklat yang digunakan untuk pembuatan es krim dan produk beku
serupa.
62
Lampiran 2 Prosedur Ekspor Indonesia
Kegiatan ekspor-impor timbul disebabkan oleh adanya perbedaan sumber
daya dan kemampuan yang dimiliki oleh setiap Negara dalam menghasilkan
suatu barang yang dibutuhkan. Indonesia sebagai salah satu Negara yang
sedang mengembangkan juga melakukuan kegiatan ekspor ke Negara lain,
dan melakukan kegiatan impor dari Negara lain. Barang ekspor Indonesia
umumnya adalah produk setengah jadi untuk industri, makanan, pakaian, dan
hasil pertanian. Barang ekspor Indonesia sampai saat ini masih dapat
bersaing dengan produk lain di pasar Internasional. Bagaimana prosedur
ekspor barang? Berikut penjelasan lebih rinici mengenai prosedur ekspor
barang di Indonesia secara umum:
1. Persiapan Mental
Seseorang yang ingin bergelut di bisnis ekspor haruslah memiliki
mental yang kuat dan berani dalam mengambil keputusan, setelah eksportir
haruslah siap dalam menerima resiko yang mungkin akan terjadi dari
keputusan yang telah diambilnya. Selain itu Anda haruslah mengutamakan
kejujuran dalam kegiatan jual beli antar Negara seperti ini. Karena jika selaki
saja anda melakukan, nama buruk Anda akan tersebar ke seluruh importer
dari berbagai Negara. Hal ini disebabkan kuatnya persatuan importer antar
Negara.
2.
Lakukan Negosiasi dengan Importir dari Luar Negeri.
Anda dapat melakukan negosiasi menyangkut prosedur pengiriman
barang ekspor, standar, kualitas, harga, kontrak, dan kespekatan lain. Proses
negosiasi biasanya dilakukan melalui email, namun ada beberapa eksportir
yang bernegosiasi dengan bertemu langsung.
3.
Siapkan Perizinan dan Dokumen yang diperlukan.
Dokumen yang diperlukan dalam melakukan kegiatan ekspor diantaranya:
 Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), surat ini anda dapat diurus
di Kementerian Perdagangan minimal di kota anda.
 Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) surat ini dapat dibuat di
kantor Pengumpul Pajak.
 Surat Izin Ekspor-Impor.
4. Atur Metode Pengiriman Barang.
Metode Pengiriman barang sudah disepakati oleh eksportir dan importer
dari luar negeri pada tahap negosiasi. Metode pengiriman barang dalam
kegiatan ekspor dapat dengan menggunakan jasa pengiriman barang atau
dikendalikan sendiri oleh perusahaan pengiriman barang atau dikendalikan
63
sendrir oleh perusahaan. Selain itu buatlah standar yang bagus dalam
pengemasan barang ekspor tersebut selamat sampai tujuan.
5. Pemeriksaan Barang Ekspor
Sebelum barang tersebut dapat dibawa keluar dari wilayah Negara
Indonesia, barang tersebut harus menjalani proses pemeriksaan.
Pemeriksaan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Kegiatan
ini berfungsi untuk memastikan bahwa brang yang dikirm tersebut
memang sesuai dengan dokumen yang telah dilaporkan sebelumnya.
6. Pengangkutan.
Setelah pemeriksaan tersebut selesai, barang ekspor sudah dapat dikirim
ke Negara tujuan. Metode pengangkutan dilakukan sesuai dengan metode
yang telah disepakati sebelumya.
7. Metode Pembayaran.
Prosedur ekspor selanjutnya, metode pembayaran barang ekspor yang
dilakukan pada umumnya adalah dengan menggunakan Letter of Credit
(LC) yang dikeluarkan oleh bank. Baik itu eksportir atau importer harus
memiliki rekening LC di bank Negara masing-masing. Sebelum barang
tersebut dikirim importer telah membayarkan nilai yang disepakati
sebelum dikirim kepada bank tempat membuka rekening. Setelah barang
tersebut sampai, barulah bank membayarkan anda sebagai importer. Hal
ini berfungsi agar tidak terjadi kecurangan di antara kedua pihak tersebut.
64
Lampiran 3 Alur Prosedur Ekspor
Dalam Negeri
Eksportir
Barang
3.Penyim
panan
barang
PROSEDUR
EKSPOR
1.Koresponden
si dan
Pembuatan
Luar Negeri
Importir
2.Pemb
uatan L/C
Produksi barang
Korespondensi/
receiving Bank
6
Pemesan
an kapal
Opening Bank
Pelayaran atau
penerbangan
7.Pendaftaran
Fiat Muat
PEE/PEBT
Bea & Cukai
Pelabuhan
Muat
Instansi
Penerbitan SK
8.Pemuatan Barang
Pengapalan barang
Pelabuhan tujuan
65
Lampiran 4 Negara-negara penerima fasilitas GSP dan FTA dari Uni Eropa
GSP
Algeria
American
Samoa
Anguilla
Antarctica
Antigua and
Barbuda
Argentina
Aruba
Bahamas
Bahrain
Barbados
Belarus
Belize
Bermuda
Botswana
Bouvet Island
Brazil
British Indian
Ocean
Territory
British Virgin
Islands
BruneiDarussalam
Cameroon
Cayman
Islands
Chile
China
Christmas
Islands
Cocos Islands
(or Keeling
Islands)
Congo
Cook Islands
Cote d‟Ivoire
Cuba
Dominica
GSP
GSP+
Armenia
Azerbaijan
Bolivia
Cape Verde
Colombia
Costa Rica
Ecuador
El Salvador
Georgia
Guatemala
Honduras
Mongolia
Nicaragua
Paraguay
Peru
Sri Lanka
Venezuela
FTA
EBA
Afghanistan
Angola
Bangladesh
Benin
Bhutan
Burkina Faso
Burma/Myanmar
Burundi
Cambodia
Central African
Republik
Chad
Comoros Islands
Congo,
Democratic
Republik of
Djibouti
East Timor
Equatorial
Guinea
Eritrea
Ethiopia
Gambia
Guinea
Guinea-Bissau
Haiti
Kiribati
Laos
Lesotho
Liberia
Madagascar
Malawi
Maldives
Mali
Mauritania
Mozambique
Nepal
Niger
Rwanda
Algeria
Mesir
Israel
Jordan
Lebanon
Maroko
Otorotas yang
berwenang untuk
Palestina
Syria
Tunisia
Chili
Meksiko
Africa Selatan
Kamerun
Amerika Tengah
Peru-Colombia
Andorra
Turki
San Marino
66
Dominican
Republik
Egypt
Falkland
Islands
Federal States
of Micronesia
Fiji
French
Polynesia
French
Southern
Territories
Gabon
Ghana
Gibraltar
Greenland
Grenada
Guam
Guyana
Heard Island
and
MacDonald
Island
India
Indonesia
Iran
Iraq
Jamaica
Jordan
Kazakhstan
Kenya
Kuwait
Kyrgyzstan
Lebanon
Libya
Macao
Malaysia
Marshall
Islands
Mauritius
Mayotte
Mexico
Montserrat
Morocco
Samoa
São Tomé &
Principe
Senegal
Sierra Leone
Solomon Islands
Somalia
Sudan
Tanzania
Togo
Tuvalu
Uganda
Vanuatu
Yemen
Zambia
67
Namibia
Nauru
Netherlands
Antilles
New
Caledonia
Nigeria
Niue Island
Norfolk Island
Northern
Mariana
Islands
Oman
Pakistan
Palau
Panama
Papua New
Guinea
Philippines
Pitcairn
Qatar
Russia
Saudi Arabia
Seychelles
South Africa
South Georgia
and South
Sandwich
Islands
St. Helena
St. Kitts and
Nevis
St. Lucia
St. Pierre and
Miquelon
St. Vincent
and Northern
Grenadines
Surinam
Swaziland
Syria
Thailand
Tokelau
Islands
Tonga
68
Trinidad and
Tobago
Tunisia
Turkmenistan
Turks and
Caicos Islands
Ukraine
United Arab
Emirates
Uruguay
US Minor
Outlying
Islands
Uzbekistan
Vietnam
Virgin Islands
(USA)
Wallis and
Futuna
Zimbabwe
69
RIWAYAT HIDUP
Penulis merupakan anak Tunggal yang terlahir dari pasangan Bapak
Muhammad Rochmad (alm) dan Muryati pada tanggal 11 Juli 1991 di Pasar Rebo,
Jakarta Pada tahun 1995 penulis diterima sebagai siswa di TK Islam Bakti VII,
kemudian dilanjutkan dengan pendidikan sekolah dasar di SDN Gedong 05 Pagi
pada tahun 1997, tahun 2003 dilanjutkan dengan pendidikan sekolah menengah
pertama di SMPN 102 Jakarta, dan tahun 2006 dilanjutkan dengan pendidikan
sekolah menengah atas di SMAN 104 Jakarta. Pada tahun 2009 penulis diterima
di salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia, yaitu Institut Pertanian Bogor
melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Disini penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Agribisnis, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen. Penulis aktif dalam kegiatan UKM Futsal pada tahun
2010 dan mengikuti Organisasi Sosial Economic Sharia Student Club (SES-C)
pada tahun 2011 Selama menjalani pendidikan di bangku kuliah penulis juga aktif
dalam beberapa kegiatan kepanitian, seperti MPD, MPF, dan Sportakuler.
7
8
59
73
.
Download