d PENERAPAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL KAWASAN UNI EROPA TERHADAP IMPOR KAKAO DARI INDONESIA CECEP SENTAWULAN DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Penerapan Kebijakan Perdagangan Internasional Kawasan Uni Eropa Terhadap Impor Kakao dari Indonesia serta Pengaruhnya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2014 Cecep Sentawulan NIM H34090121 ABSTRAK CECEP SENTAWULAN. Penerapan Kebijakan Perdagangan Internasional Kawasan Uni Eropa Terhadap Impor Kakao dari Indonesia Dibimbing oleh BURHANUDDIN. Kakao (Theobroma cacao L) merupakan komoditi unggulan dimana Indonesia merupakan Negara produsen ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana. Oleh karena itu, Indonesia merupakan salah satu eksportir produk kakao. Salah satu kelompok Negara yang mengimpor kakao adalah Uni Eropa (Uni Eropa). Tujuan dari penelitian ini adalah identifikasi kebijakan perdagangan di UE , perbedaan tariff kakao Indonesia di UE, dan Menganalisis kebijakan Pengembangan ekspor dari Pemerintah Indonesia lalu meihat secara deskrptif pegngaruh kebjakan tersebut terhadap impor kakao Uni Eropa dari Indonesia dengan studi literature. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan analisis kebijakan kualitatif deskriptif. Berdasarkan identifikasi kebijakan di UE kita bisa menganalisis apa saja kebijakan yang berpengaruh, melihat peluang skema tariff lain Indonesia, serta kebijakan pengembangan kakao dari Pemerintah Indonesia lalu melihat pengaruhnya impor kakao dari Uni Eropa . Kata kunci: Kakao, Uni Eropa, Analisis kebijakan Kualitatif deskriptif ABSTRACT Cecep SENTAWULAN. Application of International Trade Policy and the EU Regions Influence Indonesia Cocoa Exports. Supervised by BURHANUDDIN Indonesia which country third producer after Cocoa (Theobroma cacao L) Ivory Coast and Ghana. Therefore, Indonesia is one of the exporters of cocoa products. One of the group of countries that import cocoa is the European Union (EU). The purpose of this study was the identification of trade policy in the EU, differences in EU tariff Indonesian cocoa, government policy in response to the EU's policy on the export of cocoa literature study. The method used is a qualitative method qualitative descriptive policy analysis. Based on the identification of policy in the EU we can analyze what policies are influential, saw another opportunity Indonesian tariff schemes, as well as export policies in response to international trade khusuny development policy in the European union Keywords: Cocoa, European Union policy, analysis Qualitative descriptive PENGARUH KEBIJAKAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL KAWASAN UNI EROPA TERHADAP IMPOR KAKAO DARI INDONESIA CECEP SENTAWULAN Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 Judul Skripsi : Penerapan Kebijakan Perdagangan Internasional Kawasan Uni Eropa Terhadap Impor Kakao dari Indonesia. Nama : Cecep Sentawulan NIM : H34090121 Disetujui oleh Ir Burhanuddin, MM Pembimbing Diketahui oleh Dr Ir Nunung Kusnadi, MS Ketua Departemen Tanggal Lulus: Judul Skripsi: Penerapan Kebijakan Perdagangan Intemasional Kawasan Uni Eropa Terhadap Impor Kakao dari Indonesia. Nama : Cecep Sentawulan NIM : H34090121 Disetujui oleh Ir Burhanuddin, MM Pembimbing Diketahui oleh Tanggal Lulus: o4 APR 2014 PRAKATA Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga sripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini merupakan hasil penelitian dan pengolahan data yang dilaksanakan pada bulan Mei-September 2013 dengan judul “Penerapan Kebijakan Perdagangan Internasional Uni Eropa dan Pengaruhnya Terhadap Ekspor Kakao Indonesia”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Kebijakan Perdagangan Internasional Khususnya di wilayah Uni Eropa yang terkait dengan Kakao (Theobroma Kakao L) dengan studi literature dan pengambilan data primer. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ir Burhanuddin, MM selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan saran. Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para staff dan dosen Departemen Agribisnis yang telah membantu dalam kelancaran penyelesaian skripsi, pihak Kementrian Perdagangan yang telah memberikan data yang terkait dengan perdagangan Internasional, Taufik Hidayat yang telah memberikan saran dan informasi tentang skripsi, Monalisa Arput & Euis Intan Anovani yang telah membantu dalam pembuatan skrispsi saya, sahabat tersekat saya Stefan Efendi & Anugrah Mahadhi yang saling membantu dan mendukung dalam penyelesaian skripsi ini serta teman-teman seperjuangan agribisnis 46 yang ikut membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya semoga skripsi ini bermanfaat. Bogor, April 2014 Cecep Sentawulan DAFTAR ISI PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Komoditi Kakao Indonesia dalam Perdagangan Internasional Ekspor Komoditi Kakao Indonesia ke Kawasan Uni Eropa Pengaruh Kebijakan dalam Perdagangan Internasional vii 1 5 7 7 7 8 8 8 9 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Teori Perdagangan Internasional Pola Perdagangan Internasional Kakao di Uni Eropa Kebijakan Perdagangan Analisis Kebijakan Kerangka Pemikiran Operasional 10 10 10 10 11 13 14 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Desain Penelitian Sumber Data dan Penelitian Metode Pengumpulan Data Metode Pengolahan dan Analisis Data Kualitatif 16 16 16 16 17 17 GAMBARAN UMUM EKSPOR KAKAO INDONESIA Uni Eropa Kondisi Kakao di Dunia Perdagangan Internasional Kakao Perkembangan Ekspor Kakao Indonesia 18 18 20 24 26 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Kebijakan Perdagangan Internasional Uni Eropa yang Berkaitan Dengan Komoditi Kakao Indonesia Analisis Skema Tariff Kakao Indonesia dalam Perdagangan Internasional di Uni Eropa Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Kakao serta Melihat Pengaruhnya dalam Perdagangan Uni Eropa 29 47 KESIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran 54 54 55 DAFTAR PUSTAKA 56 29 42 DAFTAR TABEL 1. PDB menurut lapangan usaha tahun 2006-2012 2. Nilai dan jumlah ekspor enam komoditi unggulan perkebunan 1 Indonesia 2008-2011 Produksi perkebunan berdasarkan pengusahaannya Produsen biji kakao Dunia Nilai ekspor di empat pasar ekspor terbesar kakao Indonesia tahun 2006-2011 Negara-negara importir terbesar kakao Indonesia di Uni Eropa Perincian Sumber data Penelitian Negara-negara anggota Uni Eropa Konsumsi kakao dunia Jenis-jenis produk kakao berdasarkan HS 4 Digit Nilai ekspor kakao dunia tahun 2010-2012(US$ ribu dolar) Nilai impor kakao dunia tahun 2010-2012 Nilai ekspor produk kakao Indonesia (HS 4 digit) Nilai ekspor importer kakao Indonesia (HS 2 digit) Presentase tariff kakao pada Uni Eropa, Amerika Serikat, Malaysia. Daftar Kebijakan Perdagangan Internasional di Uni Eropa yang terkait dengan Komoditi Kakao Fokus skema sertifikasi Presentase tariff bea masuk kakao berdasarkan skema perdagangan Internasional di Uni Eropa Kebijakan-kebijakan Indonesia yang berkaitan dengan komoditi kakao Daftar Industri kakao Indonesia 2 3 3 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 4 5 17 19 21 23 25 25 27 28 32 34 42 44 49 50 DAFTAR GAMBAR 1. Alur kerangka pemikiran operasional 2. Produksi kakao dunia pada periode 2002–2012 3. Negara-negara konsumen terbesar kakao periode 2010/2012 4. Grafik harga kakao dunia tahun 2005-2012 5. Grafik nilai ekspor-impor kakao dunia periode 2002-2012 6. Nilai ekspor kakao Indonesia, tahun 2002-2012 7. Nilai ekspor kakao Indonesia menuju UE 8. Grafik RASFF berdasarkan notifikasinya 9. Grafik RASFF berdasarkan jenis risiko relatif 10. Proses Pengambilan Permenkeu 11. Nilai Impor Kakao UE dari Indonesia 12. Volume Impor Kakao UE dari Indonesia 15 20 21 22 24 26 29 37 38 48 51 52 DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. Annex I dan II Directive 2000/36/EC Prosedur Ekspor Indonesia Alur Prosedur Ekspor Negara-negara penerima fasilitas GSP dan FTA dari Uni Eropa 57 62 64 65 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia selalu dikenal sebagai Negara agraris karena kaya akan sumberdaya alam yang melimpah di bidang sumberdaya pertanian seperti lahan, varietas, dan iklim. Berdasarkan data statistik Indonesia, sektor perkebunan memberikan kontribusi total Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian sebesar Rp 1 311 037 ribu milyar rupiah pada tahun 2013. Dengan PDB pertanian mampu memberikan share sebesar 14.5% dari PDB keseluruhan termasuk migas yang mencapai Rp 9 038 972 milyar. Selain itu, sub-sektor pertanian ini juga berkontribusi terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB). Salah satu subsektor dari sektor pertanian yang berkontribusi tehadap Produk Domestik Bruto adalah subsektor perkebunan. Pada tahun 2013 sub-sektor perkebunan memberikan kontribusi total Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp 175 248 milyar. Jumlah ini merupakan jumlah terbesar ketiga setelah sub-sektor Tanaman Pangan yang mencapai Rp 621 832 milyar dan sub-sektor Perikanan dengan nilai Rp 291 799 milyar. Secara terperinci, kontribusi subsektor perkebunan di dalam perekonomian nasional dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 PDB menurut lapangan usaha tahun 2006-2012 Kontribusi Terhadap PDBb (Milyar Rupiah) Lapangan Usaha 2007 2008 2009 2010 2011 2012c 2013d Tanaman 265 090 347 871 419 194 482 377 529 968 574 330 621 832 Pangan Perkebunan 81 595 106 186 111 378 136 048 153 709 159 753 175 248 Pertenakan 61 325 82 835 104 883 119 371 129 297 14 089 165 162 Kehutanan 35 883 39 992 45 119 48 289 51 781 54 906 56 994 Perikanan 97 607 136 435 176 620 199 383 226 691 255 332 291 799 Total PDB 541 502 713 332 580 698 985 470 1 091 447 1 190 412 1 311 037 Pertanian a b c Sumber: BPS (2012); miliar rupiah; angka sementara; angka sangat sementara Pada Tabel 1, kontribusi subsektor perkebunan menempati urutan ketiga setelah tanaman pangan dan perikanan. Sumbangan subsektor perkebunan terhadap nilai PDB menunjukan nilai yang meningkat kecuali pada tahun 2009 mengalami penurunan. Namun setelah tahun 2009 yaitu tahun 2010 mengalami peningkatan yang signifikan. Trend PDB subsektor perkebunan menunjukkan prospek yang sangat menjanjikan bagi Indonesia karena dari tiap tahun PDB pertanian selalu meningkat, termasuk sub-sektor pertanian itu sendiri. Perkebunan selama ini memegang peranan penting sebagai sumber penerimaan devisa Negara. Inilah yang menjadikan nilai neraca perdagangan subsektor perkebunan surplus dari tahun ke tahun. Walaupun terjadi penurunan nilai neraca pada tahun 2009, subsektor perkebunan menyumbang ekspor lebih besar 90% terhadap total ekspor pertanian sebesar US$ 24.58 miliar dari total ekspor pertanian. Pada tahun 2011 nilai ekspor perkebunan mencapai US$ 32.2 milyar rupiah. Hal ini membuktikan bahwa subsektor perkebunan mempunyai nilai ekspor yang cenderung meningkat. Perkebunan mempunyai peran penting dalam pemasukan devisa Negara. Hal ini dibuktikan oleh beberapa komoditi 2 perkebunan yang mempunyai jumlah dan nilai ekspor yang cukup besar. Berikut ini disajikan tabel enam komoditi perkebunan pada tahun 2006-2011 yang mempunyai jumlah dan nilai ekspor paling besar. Nilai dan jumlah ekspor tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Nilai dan jumlah ekspor enam komoditi unggulan perkebunan Indonesia 2008-2011a Komoditas 2008 2009 2010 2011 Trend 2008 2011 Kelapa Sawit -0.023. Volume 18 141 004 21 669 489 20 394 174 16 436 000 a -0.016 Nilai 14 110 229 11 728 840 15 413 639 17 261 000 Karet 0.133 Volume 2 345 457 2 067 312 2 420 716 2 283 200 0.406 Nilaia 6 152 246 3 450 497 7 470 112 1 1358 000 Kelapa 0.267 Volume 1 080 981 957 517 1 045 960 1 199 800 0.160 Nilaia 900 917 489 885 703 239 1 060 700 Kakao -0.073 Volume 515 576 559 799 552 892 410 200 a -0.006 Nilai 1 269 022 1 459 297 1 643 773 1 172 000 Kopi -0.001 Volume 468 750 507 968 433 595 346 500 0.007 Nilaia 991 458 829 261 814 311 963 400 Sumber: Dirjen Perkebunan dan Holtikultura Kementrian Pertanian (2011); aRibu US$ Kakao merupakan salah satu komoditas andalan sektor perkebunan yang peranannya penting bagi sumber penerimaan devisa Negara. Walaupun jumlah ekspor kakao lebih sedikit dibandingkan minyak sawit, karet, dan kelapa, namun nilai ekspor komoditi ini sangat tinggi. Pada tahun 2011, nilai ekspor komoditi kakao mencapai US$ 1.2 milyar terbesar ketiga setelah minyak sawit dan kelapa. Dari data tersebut dapat menunjukkan potensi kakao dan peluang kakao dalam perdagangan tradisional, penyedia devisa Negara, penyedia lapangan pekerja, dan sumber pendapatan para petani. Tabel 2 menunjukkan bahwa trend kakao pada tahun 2008 ke 2009 naik sebesar 0.09. Akan tetapi pada tahun 2009-2010 trend kakao menurun sebesar 0.01 dan tahun 2010-2011 trend kakao menurun sebesar 0.3. Pada nilai ekspor kakao juga menurun tiap tahunnya. Berdasarkan kepemilikan area, perkebunan kakao dibagi menjadi tiga yaitu perkebunan rakyat (PR), perkebunan swasta (PS), perkebunan Negara (PN). Perkebunan Rakyat (PR) merupakan perkebunan kakao yang memiliki luas areal paling besar. Pada tahun 2011 diduga Perkebunan Rakyat luas areal dan produksi mencapai 1555596 ha dan 773707 ton. Untuk perkebunan Negara (PN) luas areal dan produksi mencapai 500104 ha dan 50216 ton, sedangkan perkebunan swasta luas areal dan produksi mencapai 38068 ha dan 36769 ton. Produksi perkebunan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. 3 Tabel 3 Produksi perkebunan berdasarkan pengusahaannya Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Trend 20082011 Perkebunan Rakyat (PR) 702 207 671 370 740 681 740 986 741 981 773 707 Perkebunan Negara (PN) 33 795 34 643 31 130 32 340 34 064 36 844 0.0282 Perkebunan Swasta (PS) 33 384 33 993 31 783 32 856 32 998 34 075 0.0206 a 0.0028 b Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (diolah) 2013; angka sementara; angka dugaan Perkembangan produksi kakao memberikan hasil positif terhadap jumlah produksi komoditi kakao Indonesia di mata dunia. Jika kita lihat pada tabel trend dari tahun ke tahun relatif meningkat. Hal ini mungkin disebabkan oleh salah satu program pemerintah yang bertujuan meningkatkan produksi biji kakao yaitu Gernas yang dilakukan. Saat ini Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai penghasil kakao setelah Pantai Gading dan Ghana. Jumlah produksi kakao Indonesia diduga sebesar 450 ribu ton pada periode 2011/2012. Untuk Pantai Gading dan Ghana, jumlah produksi mencapai 1.476 juta ton dan 879 ribu ton. Pada periode yang sama pula, jumlah produksi kakao dunia diduga sebesar 4 052 ribu ton. Berikut disajikan data Negara produsen kakao di Dunia pada Tabel 4. Tabel 4 Produsen biji kakao Dunia Negara Afrika Kamerun Pantai Gading Ghana Nigeria Lainnya Amerika Brazil Ekuador Lainnya Asia & Ocenia Indonesia Lainnya Total Dunia 2002 1 952 131 1265 341 185 30 370 124 81 165 539 455 84 2861 2003 2004 2005 2006 2 232 2550 2375 2642 160 166 185 166 1352 1407 1286 1408 497 737 599 740 173 180 200 200 50 60 105 128 428 462 445 446 163 163 171 162 86 117 116 114 179 182 158 170 510 525 559 636 410 430 460 530 100 95 99 106 3170 3537 3379 3724 Produksib 2007 2391 166 1292 614 190 129 411 126 114 171 597 490 107 3399 2008 2692 185 1382 729 230 166 469 171 118 180 592 485 107 3753 2009 2010 2011c 2519 2486 3225 227 209 229 1222 1242 1511 662 632 1025 250 235 240 158 168 221 488 516 561 157 161 200 134 150 161 197 205 201 599 633 527 490 550 440 109 83 87 3606 3636 4313 2012c 2891 210 1476 879 220 107 630 220 190 220 531 450 81 4052 Sumber: International Cacao Organization 2013; bribu ton; cangka dugaan Dari data diatas, Indonesia pernah menduduki peringkat kedua produksi kakao pada periode 2001/2002. Pada periode tersebut produksi Indonesia mencapai 455 ribu ton sedangkan Ghana hanya 341 ribu ton. Namun pada periode 2002/2003 sampai saat ini Indonesia menjadi peringkat ketiga produksi kakao dunia digeser oleh Negara Ghana yang pada 2002/2003 produksi kakao mencapai 497 ribu ton naik sebesar 165 ribu ton dibandingkan dengan Indonesia sebesar 410 ribu ton dan mengalami penurunan sebesar 40 ribu ton dari periode sebelumnya. Dari angka sementara periode 2011/2012 jumlah produksi kakao Indonesia mencapai 450 ribu ton menduduki peringkat tiga setelah Pantai Gading 4 dan Ghana, kedua Negara tersebut produksi kakao sebesar 1476 ribu ton dan 871 ton. Dari jumlah produksi sebanyak itu Indonesia mampu mengekspor Komoditi kakao ke beberapa Negara. Menurut Wakil Menteri Perdagangan RI, Bayu Krisnamurti mengatakan Amerika Serikat, Belgia (Uni Eropa), dan Jepang adalah pasar potensial komoditi kakao di Indonesia. Menurutnya, sebagai Negara produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana, Indonesia dinilai memiliki peluang pasar dalam mengisi pasar dunia 1. Terdapat beberapa pasar tujuan ekspor kakao si Indonesia yaitu Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, dan Malaysia. Berikut disajikan empat pasar tujuan ekspor kakao dengan nilai ekspor tertinggi pada Tabel 5. Tabel 5 Nilai ekspor di empat pasar ekspor kakao Indonesia tahun 2006-2011 Pasar Ekspor USD $ (000) Tahun Uni Eropa Malaysia Jepang Amerika Serikat 2006 109 838.67 238 029.79 6 123.46 229 561.93 2007 129 102.11 4 575.30 4 575.30 161 440.28 2008 143 915.53 5 360.46 5 360.46 267 983.11 2009 136 763.22 11 688.05 11 688.05 372 475.39 2010 167 064.02 11 897.79 11 897.79 359 903.05 2011 180 927.27 13 299.71 18 0927.27 197 764.67 Total 867 610.81 52 944.78 2521502.33 1 589 128.435 Sumber: Comtrade 2013 Dari data tersebut Amerika Serikat mempunyai nilai ekspor lebih besar, nilai ekspor terbesar selanjutnya adalah Uni Eropa, Malaysia dan Jepang. Jumlah nilai Ekspor Amerika Serikat saja mencapai lebih dari 1.5 milyar US$. Sedangkan Uni Eropa mempunyai nilai terbesar kedua sebesar 860 juta US$ disusul Malaysia dan Jepang sebesar 520 juta US$ dan 250 juta USD$. Nilai ekspor di empat pasar ekspor kakao Indonesia cenderung fluktuatif, hal ini dikarenakan jumlah ekspor kakao selalu berubah-ubah dikarenakan kuantitas dan kualitas kakao yang diperdagangkan. Produk kakao yang banyak diekspor pada Negara-negara eksportir tersebut berupa biji kakao (HS018). Biji kakao yang diekspor biasanya diolah lagi menjadi produk kakao olahan seperti cocoa liquor, cocoa powder, cocoa butter, coklat dan produk lainnya. Produk Olahan tersebut biasanya diekspor kembali ke Negara-negara eksportir termasuk Indonesia. Salah satu tujuan pasar ekspor Indonesia adalah Negara-negara Eropa (EU27). Dari data tabel nilai ekspor kakao Indonesia mencapai 860 juta US$ terbesar kedua setelah Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan beberapa Negara Eropa adalah Negara pengolah kakao menjadi produk-produk kakao olahan lainnya. Dari data Kementrian Perdagangan Negara-negara eropa yang mengimpor kakao Indonesia adalah Georgia, Perancis, Jerman, Italia, Belgia, Inggris, dan Rusia. Berikut Ini adalah tabel beberapa negara Uni Eropa impotir kakao Indonesia yang disajikan pada tabel 6. 1 ) Ciputranews.com diunduh pada 12 Mei 2013. 5 Tabel 6 Negara-negara importir terbesar kakao Indonesia di Uni Eropa Nilai Ekspor (000 US$) Negara 2012 (Jan2007 2008 2009 2010 2011 Nov) Georgia 10 190 18 242 16 020 13 650 15 363 18 262 Perancis 4 990 11 844 12 441 9 123 8 870 14 893 Jerman 7 6 316 173 956 109 414 107 943 70 517 111 131 Italia 34 770 60 613 53 102 43 225 57 757 57 381 Belgia 8 879 70 267 48 181 30 495 49 259 37 530 Inggris 16 293 29 017 24 361 39 136 38 801 36 562 Rusia 2 648 12 517 23 302 16 999 25 243 41 506 Total 154 078 376 459 286 823 260 575 265 703 317 267 Sumber: Kementerian Perdagangan (2013) Dari tabel tersebut jumlah ekspor dari tiap tahunnya selalu meningkat. Pada tahun 2007 nilai ekspor dari tujuh Negara tersebut mencapai 154 US$ dan menjadi dua kali lipatnya pada tahun 2012 sebesar 317 juta US$. Tiga negara Eropa importir terbesar kakao Indonesia adalah Jerman, Italia dan Belgia. Nilai Ekspor yang meningkat dari tahun ke tahun ini menunjukan potensi kakao Indonesia untuk menjadikan kakao sebagai komoditi ekspor utama di perdagangan Internasional khususnya Uni Eropa yang merupakan Negara konsumen terbesar produk kakao. Rumusan Masalah Subsektor Perkebunan sebagai penyumbang PDB terbesar ketiga pertanian telah memberikan kontribusi terhadap devisa Negara, salah satu komoditas unggulan subsektor ini adalah kakao. Bagi Indonesia kakao merupakan salah satu komoditas ekspor utama terhadap perdagangan Internasional. Indonesia sebagai produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pandai Gading, dan Ghana mempunyai pasar ekspor yang potensial salah satunya adalah Uni Eropa. Selain itu kakao Indonesia diperkirakan mengalami peningkatan pada tahun 2012. Peningkatan ekspor terjadi karena adanya over supply kakao dan krisis Eropa dan Amerika yang tidak berdampak langsung terhadap kakao Indonesia. Saat ini, Indonesia memang menjadi Negara Produsen kakao terbesar ketiga di dunia mempunyai pasar ekspor potensial seperti Uni Eropa namun ekspor kakao Indonesia didominasi oleh biji kakao. Padahal beberapa Negara tujuan ekspor seperti Uni Eropa sangat membutuhkan kakao olahan seperti cocoa paste, butter, dan cocoa powder. Walaupun begitu produk olahan kakao yang masuk di Negara-negara Uni Eropa dikenakan tariff bea masuk minimal 7.7%. Hambatan teknis terhadap ekspor biji kakao dari Indonesia ke Eropa adalah syarat biji kakao yang masuk harus difermentasi terlebih dahulu. Hal ini berbeda dengan Negara seperti Amerika Serikat yang tidak mengharuskan biji kakao difermentasi. Persyaratan ini sulit dipenuhi oleh Indonesia dikarenakan harga biji kakao yang difermentasi di tingkat petani tidak jauh berbeda dengan harga kakao yang tidak difermentasi. 6 Uni Eropa menerapkan tariff ekalasi untuk kakao dan produk kakao. Tariff bea masuk untuk kakao impor ke Uni Eropa tergantung kepada jenis olahannya. Bea masuk tersebut untuk kakao di Uni Eropa juga diterapkan berdasarkan tariff yang berlaku umum yaitu Most Favour Nations (MFN) dalam skema GATT (General Agreement On Tariff and Trade dan tariff preferensi berdasarkan skema General System Preferences (GSP). Kebijakan tariff Uni Eropa yang membebaskan tariff bea masuk biji kakao sebenarnya bukanlah dimaksudkan untuk membantu Negara-negara produsen kakao yang merupakan Negara-negara berkembang, tetapi lebih banyak dimaksudkan agar harga biji kakao impor tersebut menjadi murah, sehingga industri pengolahan kakao di kawasan Uni Eropa semakin berkembang dan kompetitif. Sedangkan tariff bea masuk yang berbeda untuk kakao olahan yang dikenakan sebesar 7.7% dimaksudkan untuk melindungi industri pengolahan kakao di kawasan Negara tersebut. Beberapa kebijakan non tariff di Uni Eropa juga mempengaruhi perkembangan ekspor kakao Indonesia. Beberapa kebijakan non tariff tersebut adalah European Communities (EC) No. 178/2002 mengenai prinsip umum persyaratan pangan, Directive 93/43 mengenai higienitas, Councill Regulation untuk makanan organic dan labeling termasuk modifikasi genetic. Regulations (EC) No850/2004, Directive 94/62EC mengatur Limbah Kemasan, Directive 2001/95/EC mengenai ketentuan umum keamanan pangan. Terakhir adalah Directive 2000/36/EC kebijakan non tariff yang mengatur kakao dan produk coklat untuk konsumsi manusia. Di samping perlakuan tariff dan non tariff secara umum berdasarkan MFN dan GSP, UE juga memberikan perlakuan tariff yang berbeda kepada negaranegara yang memiliki perjanjian perdagangan bebas dan negara yang tergabung di dalam African, Carribean, Pacific (ACP) countries. Contoh perlakuan tarif yang berbeda tersebut terlihat dari adanya kerjasama perdagangan bebas Free Trade Agreements (FTA) dengan beberapa negara Eropa seperti Norwegia dan Swiss. Tariff bea masuk untuk kedua negara tersebut adalah nol persen. Beberapa Negara Eropa menerapkan kebijakan FTA dikarenakan Negara eksportir kakao tersebut telah dikuasai perusahan multi nasional dan adanya faktor bekas jajahan Negara Eropa juga mempengaruhi FTA tersebut. Hal inilah yang dialami Indonesia dalam memenuhi permintaan komoditas kakao di pasar Internasional, khususnya Uni Eropa. Setiap peraturan atau kebijakan yang ditetapkan oleh Negara tujuan ekspor perlu dikajikan dan dilakukan penelitian. Indonesia sebagai eksportir kakao juga bisa melihat posisi produk kakaonya di pasar Internasional khususnya di Uni Eropa. Dengan pengkajian, dan penempatan posisi, pemerintah juga bisa memberikan respon terhadap kebijakan tersebut. berdasarkan uraian dan fakta-fakta permasalahan kakao di pasar Uni Eropa dan juga mengacu latar belakang yang dibuat, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apa saja kebijakan perdagangan Uni Eropa yang berkaitan dengan komoditi kakao Indonesia? 2. Analisis skema tariff kakao Indonesia dengan tariff kakao Negara-negara penerima fasilitas GSP dan FTA? 3. Apa saja respon pemerintah Indonesia terkait kebijakan-kebijakan kakao dalam perdagangan Internasional khususnya Uni Eropa? 7 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi kebijakan perdagangan di Uni Eropa yang berkaitan dengan Perdagangan kakao Indonesia di Uni Eropa. 2. Menganalisis skema tariff Indonesia dalam Perdagangan Internasional di Uni Eropa. 3. Menganalisis kebijakan pemerintah Indonesia terhadap impor kakao serta di kawasan Uni Eropa. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat berupa: 1. Untuk pemerintah dan pelaku ekspor sebagai rekomendasi suatu kebijakan yang dapat meningkatkan produksi kakao baik kuantitas dan kualitas sehingga ekspor kakao Indonesia meningkat serta bisa menjadi negara eksportir utama kakao di dunia. 2. Untuk kaum akademisi hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan, masukan, dan sumber informasi untuk penelitian yang akan dilakukan selanjutnya baik untuk peningkatan produk kakao ataupun tulisan ilmiah lainnya. 3. Bagi penulis, kegiatan ini bertujuan sebagai proses pembelajaran yang baik untuk meningkatkan serta mengembangkan pengetahuan dan wawasan dalam hal perdagangan Internasional kakao Indonesia. 4. Bagi masyarakat, diharapkan penelitian ini bisa menjadi sumber informasi untuk mengetahui kondisi ekspor kakao Indonesia. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini berfokus pada komoditas Kakao Indonesia yang diekspor ke Uni Eropa. Kakao yang diperdagangkan di pasar Uni Eropa tidak membedakan produk kakao murni seperti biji kakao atau kakao olahan seperti cocoa butter, cocoa fat, cocoa powder, dan coklat dan produk turunan kakao lainnya. Banyak kebijakan yang ditetapkan dalam perdagangan kakao Indonesia ke Uni Eropa, namun dalam penelitian ini dilakukan deskripsi dan analisis kebijakan yang dinyatakan menjadi hambatan bagi Indonesia hingga tahun 2013 terhadap ekspor kakao Indonesia. Selain itu kita juga bisa melihat secara deskriptif posisi tariff kakao Indonesia terhadap Negara-negara eksportir kakao lainnya. Kebijakan dan Regulasi sebagai respon ataupun penyesuain kebijakan dengan Uni Eropa, selanjutnya dilihat pengaruh kebijakan-kebijakan tersebut terhadap perkembangan ekspor kakao Indonesia. 8 TINJAUAN PUSTAKA Komoditi Kakao Indonesia dalam Perdagangan Internasional Pasar kakao dunia membedakan antara dua kategori utama kakao yaitu “fine or flavour” dan “bulk or ordinary”. Secara umum, kakao jenis fine atau flavor diproduksi dari pohon kakao jenis Criolo atau Trinitario, sementara kakao jenis bulk berasal dari pohon kakao jenis Forastero. Nama Criollo, Forastero dan Trinitario menunjukkan tiga jenis atau kelompok utama dari populasi pohon kakao (theobroma cacao). Criollos mendominasi pasar sampai pertengahan abad ke-18 namun saat ini hanya sedikit pohon Criollo yang masih dibudidayakan. Forastero merupakan kelompok terbesar yang dibudidayakan, terutama varitas Amelonado. Sebagian besar perkebunan di Brazil dan Afrika Barat ditanami dengan Amelonado. Yang termasuk dalam varitas Amelonado adalah Comum di Brazil, Amelonado Afrika Barat di Afrika, Cacao Nacional di Ekuador dan Matina atau Ceylan di Kosta Rika dan Meksiko. Saat ini, kakao yang terbanyak dibudidayakan adalah hibrida Amazon. Populasi Trinitario dianggap merupakan kelompok yang masuk dalam jenis Forastero walaupun mereka merupakan turunan dari persilangan antara Criollo dan Forastero. Budidaya Trinitario mulai dilakukan di Trinidad dan menyebar ke Venezuela dan kemudian ke Ekuador, Cameroon, Samoa, Sri Lanka, Jawa dan PNG. Produksi dunia untuk kakao fine atau flavour di bawah 5% pertahun. Biasanya seluruh kegiatan utama pada 5 dekade sebelumnya dikaitkan hanya ke jenis kakao Bulk. Perkembangan ekspor biji kakao dari Indonesia menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Saat ini sudah ada beberapa industri pengolahan biji kakao menjadi produk setengah jadi. Kendala utama yang dihadapi komoditas kakao yang diekspor adalah kualitas kakao tersebut. Mutu biji kakao (cocoa beans) relatif rendah dibandingkan dengan negara eksportir lainnya. penghasil kakao utama di dunia berasal dari Negara di benua Afrika, Amerika Latin, dan Asia. Benua Afrika merupakan kawasan terbesar penghasil kakao di dunia, tetapi dalam kurun waktu 1991s/d1996, kawasan ini mengalami penurunan produksi, demikian juga di kawasan Amerika Latin. Sementara itu, kawasan Asia pada kurun waktu tersebut mengalami peningkatan produksi. Ekspor Komoditi Kakao Indonesia ke Kawasan Uni Eropa Eristya (2012) dalam penelitian yaitu analisis faktor-faktor yang memengaruhi ekspor komoditas kakao Indonesia ke Kawasan Uni Eropa..Kerjasama dalam bentuk hubungan dagang sangat dibutuhkan oleh setiap Negara. Pernyataan ini benar adanya karena setiap Negara tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Oleh karena itu setiap Negara melakukan Perdagangan baik menjual produk kepada Negara lain atau membeli produk Negara lain untuk diperdagangkan dalam negeri. Namun untuk memperdagangkan produk tersebut, terdapat banyak faktor-faktor yang mempengaruhi termasuk komodity kakao. Pada penelitian ini terdapat lima faktor yang mempengaruhi ekspor kakao Indonesia menuju Uni Eropa yaitu; Jarak ekonomi, GDP Negara tujjuan ekspor, GDP Negara Indonesia, Nilai tukar Rupiah, dan Populasi Negara 9 tujuan. Selain faktor-faktor yang mempengaruhi, perlu diketahui daya saing produk kakao Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing tersebut. Hasil pembahasan yang didapat dari penelitian ini adalah Faktor-faktor yang mempengaruhi dengan pendekatan Gravity Model adalah variabel GDP tujuan ekspor (GDPjt), GDP Indonesia (GDPIt), nilai tukar (ERij) dan jarak ekonomi antara Indonesia dengan Negara tujuan ekspor (DISTij). Untuk daya saing kakao Indonesia mempunyai daya saing kompetitif di Negara-negara Uni Eropa seperti Jerman, Italia, Lituania, dan Spanyol. Berada pada titik jenuh namun masih kompetitif di Negara Estonia, Perancis, Belanda, Polandia, dan Inggris. Sedangkan daya saing kakao Indonesia berada pada titik jenuh dan mengalami penurunan di pasar Negara Belgia. Ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi komoditas kakao Indonesia di Uni Eropa yaitu, kondisi permintaan, industri pendukung, peran pemerintah, dan peran kesempatan. Sedangkan yang membuat daya saing menjadi lemah adalah komponen kondisi faktor serta strategi perusahaan, struktur, dan persaingan. Pengaruh Kebijakan dalam Perdagangan Internasional Kebijakan Perdagangan merupakan aspek mikro ilmu ekonomi sebab berhubungan dengan masing-masing Negara yang diperlakukan secara tunggal. Kebijakan Perdagangan tidak hanya berupa tariff, kuota dan sebagainya, tetapi kebijakan dalam negeri sendiri yang secara tidak langsung mempengaruhi perdagangan Internasional. Namun untuk melihat pengaruh kebijakan terhadap perdagangan Internasional dibutuhkan data yang tidak sedikit dan membutuhkan analisis yang bersifat kualitatif. Penelitan Samuel (2012) membahas tentang pengaruh kebijakan perdagangan Internasional Uni Eropa terhadap komodity udang Indonesia. Dari penelitian ini, kebijakan-kebijakan perdagangan di Uni Eropa ternyata berpengaruh nyata terhadap komodity udang. Kebijakan-kebijakan tersebut bahkan menjadi hambatan tersendiri seperti hambatan tariff sebesar 12% untuk produk udang beku dan hidup, dan 20% untuk produk udang olahan serta hambatan non-tariff berupa approval number dan catch certification. Uni Eropa sendiri mempunyai pemberitahuan untuk menerapkan kebijakan-kebijakan yaitu Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) yang berlaku untuk semua produk pangan atau pakan yang berada di pasar Uni Eropa. Untuk produk udang pada tahun 2004-2008 pemberitahuan yang diterima terhadap produk udang Indonesia yaitu adanya kandungan antibiotik seperti chloramphenicol dan nitrofuran. Pada tahun 2009-2011 dimana Indonesia tidak menerima notifikasi adanya kontaminasi-kontaminasi yang berbahaya. Kebijakan luar negeri yang diterapkan Uni Eropa tentunya berpengaruh pula terhadap kebijakan di Indonesia. Hal ini dikarenakan komoditi kakao merupakan sepuluh komoditi utama ekspor Indonesia (Kemendag, 2013). Untuk komodity udang, Indonesia merespon kebijakan tersebut dengan negosiasi penurunan tariff, namun tidak berhasil. Untuk kebijakan non-tariff, Indonesia merespon dengan menetapka BKIPM (Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan) sebagai competent authority untuk melaksanakan mekanisme NRCP (National Residu Control Plan). 10 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Pembentukan kerangka pemikiran dalam penelitian ini didukung oleh teoriteori yang terkait dengan tujuan penelitian. Teori-teori tersebut meliputi teori perdagangan Internasional, kebijakan perdagangan, dan analisis kebijakan. Teori Perdagangan Internasional Setiap Negara memiliki sumberdaya alam, letak geografis, iklim, karakteristik penduduk, keahlian, tenaga kerja, tingkat harga, keadaan struktur ekonomi, dan sosial yang berbeda-beda. Perbedaan yang dimiliki oleh masingmasing Negara tersebut menghasilkan produk yang berbeda baik dari kuantitas maupun kualitas. Perbedaan tersebut secara tidak langsung mengharuskan suatu Negara untuk melakukan perdagangan, baik dengan alasan perluasan pasar, mendapatkan sumberdaya, mendapatkan keuntungan, ataupun mendapatkan teknologi yang lebih modern. Perdagangan merupakan faktor penting dalam merangsang pertumbuhan ekonomi di setiap Negara karena perdagangan akan memperbesar kapasitas konsumsi suatu Negara dan meningkatkan output dunia. Perdagangan juga cenderung meningkatkan pemerataan atas distribusi pendapatan dan kesejahteraan dalam lingkungan domestik ataupun internasional. Perdagangan dapat memabantu semua Negara dalam menjalankan usaha-usaha pembangunannya melalui promosi serta menggunakan sektor-sektor ekonomi yang mengandung keunggulan komparatif .Perdagangan internasional dianggap sebagai suatu akibat dari adanya interaksi antara permintaan dan penawaran bersaing. Pada prinsipnya, perdagangan antara dua Negara akibat adanya perbedaan permintaan dan penawaran. Perbedaan permintaan disebabkan oleh jumlah kualitas faktor serta tingkat pendapatan, sedangkan perbedaan penawaran disebabkan oleh jumlah dan kualitas faktor produksi serta tingkat teknologi. Perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama meningkatkan pendapatan nasional suatu Negara. Kebijakan yang dilakukan pemerintah juga dapat mendorong adanya perdagangan antar Negara jika dalam suatu perdagangan terdapat hambatan perdagangan walaupun seringkali kebijakan tersebut tidak ditunjukan untuk mendorong perdagangan. Kebijakan pajak dan subsidi yang dilakukan pemerintah dapat menyebab berkurangnya konsumsi domestik yang kemudian diikuti oleh berkurangnya ekspor atau bertambahnya impor. Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut dapat menyebabkan distorsi pada kesejahteraan masyarakat, dimana kebijakan pajak dapat menyebabkan berkurangnya kesejahteraan masyarakat, sehingga terjadilah perdagangan sebagai implikasinya. Pola Perdagangan Internasional Kakao di Uni Eropa Komoditi kakao adalah komoditi perdagangan Internasional mempunyai potensi besar. Sebagian besar produksi kakao Indonesia diekspor dan hanya 11 sebagian kecil yang digunakan untuk dikonsumsi di dalam negeri. Produk yang diekspor sebagian besar dalam bentuk biji kering dan hanya sebagian kecil dalam bentuk olahan. Negara tujuan ekspor terbesar yaitu Amerika Serikat, Malaysia, Singapura, Brasil dan Perancis. Komoditi yang diekspor dari Indonesia lebih banyak berupa cocoa beans, whole or broken, raw or roasted untuk diolah di Negara tujuan menjadi produk cokelat olahan salah satunya adalah Uni Eropa. Biasanya dalam perdagangan internasional kakao Uni Eropa, produk kakao yang dibutuhkan adalah biji kakao (coca beans), cocoa powder, cocoa fat. Produk kakao ini dibutuhkan di Uni Eropa karena menjadi bahan baku industri pengolahan kakao. Produk hasil olahan kakao itu kemudian diekspor kembali oleh Uni Eropa adalah coklat dan produk makanan yang mengandung cokelat. Namun demikian disamping produk olahan kakao, diantara negara UE juga terjadi perdagangan ekspor biji kakao untuk keperluan industri pengolahan yang membutuhkan kakao sebagai bahan bakunya. Kakao yang berkualitas akan sangat dicari dalam pasar, namun eksportir juga harus memperhatikan Negara tujuan ekspor seperti Negara-negara Uni Eropa. Pada awal penjajagan pembentukan kerjasama disarankan eksportir atau produsen mempersiapkan diri sebaik mungkin dalam pertemuan pertama. Eksportir/produsen harus dapat menyajikan produknya secara jelas dan baik dan apabila ada pertanyaan dari calon mitra dagang, diharapkan eksportir maupun produsen dapat menjelaskan dengan tepat dan sesuai dengan yang diharapkan. Saat ini Sekitar 80 persen biji kakao Indonesia diekspor oleh 5 perusahaam multinasional utama di Sulawesi: EDF& Man, Olam, Cargill, ADM dan Continaf termasuk ekspor menuju Uni Eropa. Eksportir berskala besar ini membeli biji curah dari pedagang yang mengirimkannya ke gudang mereka, mengurutkannya berdasarkan kualitas, dan kemudian menjualnya ke pembeli untuk diproses2. Umumnya pengusaha Eropa menyukai kegiatan formil sehingga untuk menjaring minat pengusaha Eropa berkerjasama dengan eksportir/produsen negara lain perlu dilakukan secara formil pula. Dan disarankan dalam dialog bisnis tersebut dihindari pembicaraan diluar topik yang sedang dibicarakan karena beberapa pengusaha bisnis dari Negara Eropa tidak menyukai hal tersebut. Penampilan baik sopan santun dalam berbicara maupun etika berpakaian perlu diperhatikan dengan baik karena sebagian pengusaha Eropa sangat memberi perhatian dalam hal ini. Bila calon mitra pengusaha Eropa tersebut tertarik dengan suatu perusahaan, maka pada tahap awal biasanya akan dilanjutkan dengan kerjasama trial and error, dimana apabila dalam periode ini sukses maka akan terbuka kerjasama jangka panjang 3. Kebijakan Perdagangan Dalam arti luas, kebijaksanaan ekonomi internasional adalah tindakan atau kebijaksanaan ekonomi pemerintah yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi komposisi, arah serta bentuk dari perdagangan internasional. Kebijakan ini tidak hanya berupa tarif, kuota, dan sebagainya, 2 3 ) inatrims.kemendag.go.id diunduh pada 12 Maret 2014. ) Laporan peluang ekspor komoditi kakao. 12 tetapi juga meliputi kebijaksanaan pemerintah di dalam negeri yang secara tidak langsung mempunyai pengaruh terhadap perdagangan internasional seperti misalnya kebijaksanaan moneter dan fiskal (Nopirin, 1999) diacu dalam (Rastikarany, 2008). Kebijakan perdagangan dilakukan sebagai proses proteksi terhadap produk-produk yang dianggap sebagai penghambat dalam proses perdagangan bebas. Hambatan dalam arus perdagangan ada dua macam, yaitu hambatan yang bersifat tarif (tariff barrier) dan hambatan yang bersifat nontarif (non tariff barrier). Hambatan yang bersifat tarif merupakan hambatan terhadap arus barang ke dalam suatu negara yang disebabkan oleh diberlakukannya tarif bea masuk dan tarif lainnya, sedangkan hambatan yang bersifat nontarif merupakan hambatan terhadap arus barang ke dalam suatu negara yang disebabkan oleh tindakan-tindakan selain penerapan pengenaan tarif atas suatu barang. 1. Kebijakan hambatan tariff (Tariff barrier) Tarif adalah pajak yang dikenakan atas barang yang diperdagangkan lintas batas territorial. Ditinjau dari aspek asal komoditas, ada dua macam tariff yaitu tariff ekspor (ekspor tariff) dan tariff imporr (import tariff). Tariff imporr adalah pungutan bea masuk yang dikenakan atas barang impor yang masuk untuk dipakai/dikonsumsi habis di dalam negeri. Sedangkan tariff ekspor merupakan pajak untuk suatu komoditas yang diekspor (Salvatore 1997). Kebijakan tariff barrier dalam bentuk bea masuk adalah sebagai berikut (Hady 2004): a. Pembebanan bea masuk atau tariff rendah antara nol sampai lima persen dikenakan untuk bahan kebutuhan pokok dan vital, alat-alat militer/pertahanan/keamanan, dan lainnya. b. Tarif sedang antara nol sampai dua puluh dikenakan untuk barang setengah jadi dan barang-barang lain yang sudah cukup diproduksi di dalam negeri dan bukan barang kebutuhan pokok. c. Tariff tinggi di atas dua puluh persen dikenakan untuk barang-barang mewah dan barang-barang lain yang sudah cukup diproduksi di dalam negeri dan bukan barang kebutuhan pokok. Tarif dan bea masuk pada hakekatnya merupakan diskriminatif yang digunakan untuk mencapai untuk mencapai berbagai tujuan, antara lain melindungi produk dalam negeri dari persaingan dengan produk sejenis asal impor, meningkatkan penerimaan Negara, mengendalikan konsumsi barang tertentu dan lain-lain (Rastikarany 2008). 2. Kebijakan tambatan nontariff (Non Tariff Barrier) Bentuk hambatan lain yang berbeda dengan pengenaan tarif adalah hambatan nontarif yang berarti hambatan masuk sebuah produk yang bukan disebabkan karena adanya pengenaan tarif impor, tetapi akibat adanya pelarangan yang dilakukan oleh negara/organisasi internasional yang menerima komoditas dari negara lain. Kebijakan non tariff barrier terdiri atas beberapa bagian yaitu: a. Pembatasan spesifik, terdiri dari larangan impor secara mutlak; pembatasan impor atau quota system; peraturan atau ketentuan teknis untuk impor produk tertentu; peraturan kesehatan atau karantina, peraturan pertahanan dan keamanan negara; peraturan kebudayaan, perizinan 13 impor/import licenses; embargo; dan hambatan pemasaran seperti VER (Voluntary Export Restraint), OMA (Orderly Marketing Agreement). b. Peraturan Bea Cukai (Custom Administration Rules), terdiri dari tata laksana impor tertentu; penetapan harga bea; penetapan forres rate (kurs valas) dan pengawasan devisa; consultan formalities; packaging/labelling regulation; documentation hended; quality and testing standard; pungutan administrasi (fees); dan tariff classification. c. Partisipasi pemerintah, terdiri dari kebijakan pengadaan pemerintah; subsidi dan insentif ekspor; countervailing duties; domestik assistance programs; dan trade-diverting. d. Import charges, terdiri dari import deposits; supplementary duties; dan variabel levies. Menurut Koo dan Kennedy (2005), beberapa negara menggunakan bermacam kebijakan perdagangan (tarif dan nontarif) untuk melindungi industri yang tidak efisien. Hal ini berlaku pada pertanian. Rata-rata tarif untuk produk pertanian (tiga puluh persen) lebih besar daripada untuk produk industri (enam persen). Tarif adalah pajak yang dibebankan pemerintah untuk suatu komoditas sebagai batas garis nasional. Tarif digunakan untuk melindungi ekonomi domestik dari kompetisi luar negeri. Hambatan nontarif bisa mengandung rintangan dengan angka yang besar selain tarif, seperti kebijakan, peraturan, dan prosedur yang mempengaruhi perdagangan. Hambatan nontarif yang paling banyak digunakan untuk mengontrol impor pertanian yaitu (Koo dan Kennedy 2005): (1) pembatasan kuantitatif dan pembatasan sepesifik sejenis (misalnya kuota, voluntary export restraints, dan kartel internasional); (2) beban nontarif dan kebijakan yang berhubungan mempengaruhi impor (misalnya kebijakan antidumping dan kebijakan countervailing); (3) kebijakan umum pemerintah yang membatasi (misalnya kebijakan kompetisi dan penetapan perdagangan); (4) prosedur umum dan kegiatan administrasi (misalnya prosedur evaluasi dan prosedur perizinan); dan (5) hambatan teknis (peraturan dan standar kualitas kesehatan dan sanitasi, keamanan, peraturan dan standar industrial, dan peraturan pengemasan dan pelabelan. Analisis Kebijakan Analisis kebijakan merupakan suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberikan landasan bagi pembuat kebijakan dalam mengambil keputusan (Dunn 1999) diacu dalam (Rastikarany 2008). Dunn (1999) mengatakan bahwa analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan yang ada hubungannya dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan. Analisis kebijakan diambil dari berbagai disiplin dan profesi yang tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif, dan perspektif. 14 Analisis kebijakan dapat menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif ini di rancang untuk mengumpulkan informasi tentang keadaan-keadaan nyata sekarang. Metode ini digunakan untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sedang berjalan pada saat penelitian dilakukan, dan memeriksa sebab-akibat dari suatu gejala. Deskripsi yang diberikan para ahli sejak Janis (1949), Berelson (1952) sampai Lindzey dan Aronson (1968) tentang content analysis, selalu menampilkan tiga syarat, yaitu: objektivitas, pendekatan sistematis, dan generalisasi. Analisis ini dalam Julianingsih (2003) adalah suatu teknik untuk mengambil kesimpulan dengan mengidentifikasi karakter-karakter khusus suatu pesan secara objektif dan sistematis. Teknik pengolahan data kualitatif yang umum digunakan dalam metode deskriptif adalah analisis isi (content analysis). Analisis isi (Content Analysis) adalah tekhnik penelitian untuk membuat inferensi – inferensi yang dapat ditiru (replicable), dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya. Analisis isi berhubungan dengan komunikasi atau isi komunikasi. Logika dasar dalam komunikasi, bahwa setiap komunikasi selalu berisi pesan dalam sinyal komunikasinya itu, baik berupa verbal maupun nonverbal. Sejauh ini, makna komuniaksi menjadi amat dominan dalam setiap peristiwa komunikasi. Terdapat banyak turunan dari content analysis, salah satu analisis pembingkaian (Framing Analysis). Analisa Framing adalah analisis yang digunakan untuk mengetahui bagaimana realitas (aktor, kelompok, atau kebijakan) dikonstruksi oleh media. Analisa framing memiliki dua konsep yakni konsep pskiologis dan sosiologis. Konsep psikologis lebih menekankan pada bagaimana seseorang memproses informasi pada dirinya sedangkan konsep sosiologis lebih melihat pada bagaimana konstruksi sosial atas realitas. Kerangka Pemikiran Operasional Sebagai salah satu negara produsen kakao, Indonesia mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan. Adanya peraturan dan kebijakan yang ketat terhadap perdagangan kakao Internasional menjadikan tantangan tersendiri dari Negara tujuan ekspor kakao Indonesia, khususnya Uni Eropa. Kebijakan yang diberlakukan Uni Eropa sangat mempengaruhi perdagangan Internasional. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Uni Eropa bertujuan untuk melindungi konsumen Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa (EU-27) terhadap komoditas ekspor Indonesia khususnya kakao. Selain itu, kebijakan Uni Eropa terhadap Indonesia tidaklah sama dengan kebijakan perdagangan terhadap Negara-negara importir lainnya. Jika dilihat dari segi kebijakan, Perdagangan komodity kakao Indonesia menuju Uni Eropa bisa dilihat dari kebijakan tariff, non tariff, dan administrative, selain itu skema tariff yang didapat dari Indonesia masih terlalu tinggi, untuk itu perlu melihat kemungkinan-kemungkinan skema yang bisa didapat sebagai salah satu Negara importer kakao di Uni Eropa. Selanjutnya dengan kebijakan-kebijakan yang ada di Uni Eropa kita bisa melihat bagaimana Indonesia mengembangkan kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan kakao sehingga kita bisa melihat secara deskriptif bagaimana kebijakan di Indonesia yang berpengaruh. Kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1. 15 Sub sektor perkebunan sebagai PDB terbesar ketiga Pertanian Indonesia Kakao sebagai salah satu komoditi sub-sektor perkebunan Indonesia Perdagangan kakao luar negeri Uni Eropa Kebijakan perdagangan kakao UE: 1. Tariff 2. Non- Tariff. 3. Administratif Analisis skema tariff yang diterima Indonesia dari UE Kebijakan Pengembangan komoditi kakao serta melihat pengaruhnya terhadap perdagangan kakao di Uni Eropa. Keterangan: = Ruang Lingkup Penelitian Gambar 1 Alur kerangka pemikiran operasional Perdagangan kakao dalam negeri Non Uni Eropa 16 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian yang dilakukan meliputi perancangan penelitian, perumusan masalah, pengumpulan data dari berbagai instansi terkait, pengolahan data, analisis data, interpretasi data, dan penarikan kesimpulan. Penelitian ini dilakukan di Indonesia dengan menggunakan data nasional dan internasional. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive) sesuai dengan tujuan penelitian. Penelitian ini dilakukan dari bulan Mei hingga September 2013. Desain Penelitian Desain dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, metode deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya. Metode deskriptif bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta serta hubungan fenomena yang diselidiki. Penelitian ini juga sering disebut noneksperimen, karena pada penelitian ini penelitian tidak melakukan kontrol dan manipulasi variabel penelitian. Dengan metode deskriptif, penelitian memungkinkan untuk melakukan hubungan antar variabel, menguji hipotesis, mengembangkan generalisasi, dan mengembangkan teori yang memiliki validitas universal. Terdapat dua analisis yang digunakan yaitu analisis isi (content analysis) serta analysis pembingkaian (framing analysis) yang masih bagian dari analisis isi (content analysis). Dalam penelitian ini metode deskriptif dengan analisis isi digunakan untuk mengidentifikasi kebijakan perdagangan di Uni Eropa, dan mendeskripsikan kebijakan pemerintah Indonesia serta melihat pengaruhnya di Uni Eropa, sedangkan analisis pembingkaian digunakan untuk menganalisis skema tariff yang didapat Indonesia dari Uni Eropa. Sumber Data dan Penelitian Berdasarkan sumbernya, data yang diperlukan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data/informasi yang diperoleh dari hasil diskusi dan wawancara dengan pihak terkait seperti kementrian Perdagangan. Wawancara ini juga bertujuan mengkonfirmasi kebijakan tariff dan non tariff Uni Eropa terhadap Indonesia untuk komoditikomoditi kakao. Data sekunder yang digunakan adalah data teks mengenai prosedur ekspor, kondisi pasar Uni Eropa, dan data-data lain yang relevan dengan penelitian ini. Data-data tersebut diperoleh melalui Badan Pusat Statistik (BPS), Kementrian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Pertanian (Kementan), COMTRADE, European Comission (EC), International Cocoa Organization (ICCO). Selain itu, data juga diperoleh dari literature berupa skripsi, buku teks, dan website yang terkait penelitian. Rincian data tersebut bisa dilihat pada Tabel 7: 17 Tabel 7 Perincian Sumber data Penelitian No 1 2 Data yang Diperlukan Kebijakan-kebijakan Perdagangan Uni Eropa Presentase tariff 3 Skema Sertifikasi. 4 5 Nilai dan Volume Impor Kakao. Proses pengambilan keputusan PMK. 6 7 Kebijakan yang berkaitan dengan Gernas. Daftar Industri Kakao Indonesia. Sumber Data European Commision. DG Taxud (UE), USITC (USA), Malaysia Cocoa Board (MLY). Rainforest, UTZ Certification, ditjen PPHP. European Commision. Jurnal Dampak Kebijakan Bea Keluar terhadap ekspor dan Industri pengolahan kakao. Pedoman Umum Gernas. The Asian Cocoa Industri. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan sebagai langkah awal untuk pengelompokkan data yang akan dibahas. Data berupa kebijakan baik kebijakan Uni Eropa maupun kebijakan Indonesia terkait komoditi kakao diobservasi lalu dilakukan pengelompokkan berdasarkan jenisnya, waktu pelaksanaannya, dan tingkat kepentingan kebijakan tersebut. selain itu pengumpulan data melalui wawancara bertujuan untuk memberikan konfirmasi Perdagangan kakao Indonesia menuju Uni Eropa. Data-data ini nantinya akan dikelompokan untuk berdasarkan waktunya untuk melihat perkembangan kebijakan kakao itu sendiri dan jumlah produk kakao yang di impor. Metode Pengolahan dan Analisis Data Kualitatif Pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melakukan pengelompokan data dari data-data yang telah dikumpulkan. Data yang berupa gambaran umum kondisi perdagangan kakao baik biji maupun kakao olahan lainnya diolah dari berbagai sumber yang di dapat untuk disederhanakan dalam bentuk grafik ataupun tabel. Kemudian data-data tersebut dimasukkan sebagai bahan untuk dikelompokkan sesuai kebutuhan penelitian sebelum dianalisis. Selanjutnya data kebijakan terkait produk kakao dan olahan lainnya yang ditetapkan Uni Eropa dikelompokkan untuk disederhanakan sebagai bahan menghubungkan terhadap fakta ekspor kakao lainnya yang terjadi. Pengolahan selanjutnya, untuk mengkonfirmasi pengaruh kebijakan yang ditetapkan Data yang sudah dikumpulkan dari website tersebut kemudian dimasukkan sebagai input computer lalu di olah menjadi lebih sederhana dalam bentuk gambar dan grafik dengan bantuan program Microsoft Excel untuk dianalisis dengan metode kualitatif deskriptif. Analisis data kualitatif yang digunakan yaitu analisis deskriptif. Deskriptif artinya melukiskan variabel demi variabel, satu demi satu. Metode deskriptif bertujuan untuk: 1. Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada. 18 2. Mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku. 3. Membuat perbandingan atau evaluasi. 4. Menentukan apa yang dilakukan pihak lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang. Penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif, diarahkan untuk memahami suatu fenomena sosial. Fenomena sosial yang akan dipahami pada penelitian ini adalah kondisi ekspor kakao Indonesia terhadap kebijakan yang diterapkan oleh Uni Eropa. Pendekatan ini digunakan untuk melukiskan secara sistematis fakta atau keadaan yang terjadi dalam perdagangan kakao Indonesia, dalam hal ini fokus pada kebijakan. Alat analisis kualitatif yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis isi (content analysis) dan Analisis Pembingkaian (Framing Analysis). Alat analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi kebijakan-kebijakan yang berada di Uni Eropa dan terkait dengan komoditi kakao. Dengan Identifikasi tersebut, penelitian ini juga menyarankan apa saja kebijakan-kebijakan yang perlu dikaji Indonesia sebagai salah satu Negara eksportir kakao di Uni Eropa. Pada penelitian ini juga melihat kemungkinan skema tariff apa yang bisa didapat Indonesia agar presentase bea masuk kakao Indonesia di Uni Eropa menurun bahkan menjadi Free. Selain itu penelitian ini juga melihat pengatuh kebijakan yang ada di Indonesia terhadap impor kakao Uni Eropa dari Indonesia dengan melihat fluktuasi grafik produk-produk Kakao berdasarkan HS 4 digit. Penelitian ini juga bertujuan untuk melihat posisi kakao Indonesia secara kualitatif dengan melihat data, tabulasi, dan grafik. Analisis ini juga dilakukan untuk mengetahui bagaimana penanganan yang tepat untuk mengatasi permasalahan yang terjadi. GAMBARAN UMUM EKSPOR KAKAO INDONESIA Uni Eropa Menurut Delegasi Komisi Eropa untuk Indonesia (2010), Uni Eropa merupakan kelom 27 negara-negara independen yang unik dengan lebih dari 492 juta warga Negara tinggal dalam batas wilayahnya. Negara-negara anggota yang telah ditandatangani seiring perkembangannya. Semua traktat itu harus disepakati oleh masing-masing Negara anggota dan kemudian diratifikasi baik oleh parlemen nasional ataupun melalui referendum (European Union, 2010). Nama Uni Eropa muncul pada tahun 1992 menggantikan nama komunitas masyarakat Eropa bersamaan dengan ditandatanganinya Traktat Maastricht (Traktat Uni Eropa) pada tanggal 07 Februari 1992. Urutan masuknya Negara-negara dalam keanggotaan Uni Eropa dapat dilihat pada Tabel 8. 19 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 Tabel 8 Negara-negara anggota Uni Eropa Negara Tahun Bergabungnya dengan Uni Eropa Jerman 1950 Belanda 1950 Belgia 1950 Luksemburg 1950 Perancis 1950 Italia 1950 Inggris Raya 1973 Denmark 1973 Irlandia 1973 Yunani 1981 Portugal 1986 Spanyol 1986 Austria 1995 Swedia 1995 Finlandia 2004 Estonia` 2004 Hongaria 2004 Latvia 2004 Lituania 2004 Malta 2004 Polandia 2004 Republik Ceko 2004 Siprus Selatan 2004 Slovenia 2004 Slovakia 2004 Bulgaria 2007 Rumania 2007 Sumber: European Union (2010) Uni Eropa bukanlah sebuah Negara federal atau organisasi internasional dalam pengertian tradisional, akan tetapi merupakan sebuah badan otonom diantara keduanya. Uni Eropa bersifat unik karena Negara-negara anggotanya tetap menjadi Negara berdaulat yang independen, akan tetapi Negara-negara tersebut menggabungkan kedaulatannya dan dengan demikian memperoleh kekuatan dan pengaruh kolektif yang lebih besar. Dalam praktiknya, penggabungan kedaulatan berarti bahwa Negara-negara anggota mendelegasikan kuasa dalam hal pengambilan keputusan kepada lembaga yang telah didirikan bersama sehingga keputusan-keputusan mengenai masalahmasalah tertentu yang melibatkan kepentingan bersama dapat diambil secara demokratis pada tingkat Eropa. Uni Eropa memiliki tiga lembaga utama, yaitu: 1. Parlemen Eropa, memiliki warga Negara anggota Uni Eropa. 2. Dewan Uni Eropa, memiliki masing-masing tingkat Negara anggota. 3. Komisi Eropa, berupaya untuk menegakkan kepentingan Uni Eropa. Segitiga kelembagaan tersebut menghasilkan kebijakan dan undangundang yang berlaku di seluruh Uni Eropa. Ketiga lembaga utama tersebut didukung oleh Badan Pemeriksa Keuangan Eropa yang mengawasi penggunaan 20 anggaran Uni Eropa dan Mahkamah Eropa yang membantu memastikan bahwa Negara-negara anggota mematuhi undang-undang Uni Eropa yang telah dibuat. Kondisi Kakao di Dunia Selama lebih dari 10 tahun terakhir produksi kakao dunia cenderung meningkat. Berdasarkan data International Cocoa Organizations (ICCO), jumlah produksi biji kakao dunia berada diantara 3 sampai 4 juta ton setiap tahun. Produksi kakao dunia dalam 10 tahun terkahir berhasil mencapai angka lebih dari 3 juta ton terjadi pada tahun 2003. Pada tahun berikutnya produksi kakao terus meningkat bahkan pada tahun 2006 produksi biji kakao lebih dari 3,5 juta ton. meskipun tahun 2007 produksi kakao mengalami penurunan namun setelah tahun tersebut produksi kakao terus meningkat bahkan mencapai lebih dari 4 juta ton pada tahun 2011 dan 2012. Secara lebih jelas grafik produksi kakao dalam selama satu dasawarsa terkahir yang disajikan pada Gambar 2. (Ribu Ton) 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 Gambar 2 Produksi kakao dunia pada periode 2002–2012 Sumber: International Cocoa Organizations; (2013 *angka sementara Pada gambar 2 bisa kita simpulkan bahwa produksi kakao cenderung meningkat namun rata-rata produksi biji kakao tersebut berkisar pada 3 sampai dengan 4 juta ton per tahun. Pada tahun 2002 produksi kakao masih di bawah 3 juta ton namun mulai mencapai angka diatas 3 juta ton. Penurunan produksi terjadi pada tahun 2007 dan tahun 2009 dibandingkan dengan tahun sebelumnya, sedangkan pada tahun 2009 dan 2010 produksi kakao terlihat tetap pada gambar tersebut. Produksi kakao tertinggi pada periode tersebut terjadi pada tahun 2011 yang mencapai angka lebih dari 4 juta ton tepatnya 4,313 juta ton. Produksi kakao menurun kembali pada tahun 2012 namun masih mencapai angka 4 juta ton. Dari 21 data tersebut secara kualitatif pada tahun yang akan datang jumlah produksi kakao akan terus meningkat. Sejalan dengan produksi, konsumsi kakao juga mengalami peningkatan. Dari data international Cocoa Organizations, rata-rata pertumbuhan konsumsi dunia sebesar 2.74%. Pertumbuhan konsumsi kakao (grindings) kakao mengalami penurunan sebesar -6.3% dari periode sebelumnya terjadi pada periode 2008/2009, hal ini dikarenakan terjadinya krisis ekonomi Uni Eropa yang merupakan konsumen terbesar kakao di dunia. Namun setelah periode tersebut konsumsi serta pertumbuhan konsumsi kakao dunia terus mengalami peningkatan bahkan pada periode 2012/2013 konsumsi kakao dunia mencapai 4000 ton. dengan jumlah konsumsi tersebut, Negara-negara Uni Eropa mempunyai andil yang paling besar dalam jumlah konsumsi kakao di dunia yaitu sebesar 28.8% dari konsumsi kakao dunia diikuti belanda (10.5%), jerman (8.7%) , dan perancis (3%). Berikut ini disajikan tabel konsumsi kakao dunia serta Negara-negara konsumen terbesar kakao dunia pada Tabel 9 dan Gambar 3. Tabel 9 Konsumsi kakao dunia Jumlah Konsumsib 3 237 3 382 3 522 3 675 3 775 3 537 3 737 3 938 4 008 3 281 Periode 2003/2004 2004/2005 2005/2006 2006/2007 2008/2009 2009/2010 2010/2011 2011/2012 2012/2013a Jumlah rata-rata Pertumbuhan tiap tahun 5.2 4.5 4.1 2.7 -6.3 5.7 5.4 0.3 1.5 2.7 Sumber: International Cocoa Organization (ICCO); aangka sementara; bribu ton Indonesia, 3.40% Lain-lain, 14% Ghana, 4.30% Uni Eropa belum termasuk belanda dan jerman, United Kingdom, dan Perancis 28.80% Brazil, 4.70% Malaysia, 6.00% Belanda, 10.50% Jerman, 8.70% Amerika Serikat, 7.00% Pantai Gading, 7.10% United Kingdom, 1.40% Perancis, 3.10% Gambar 3 Negara-negara konsumen terbesar kakao periode 2010/2011 Sumber: International Cocoa Organizations 22 Dari Gambar di atas bisa kita lihat konsumsi kakao (grindings) dari periode ke periode cenderung meningkat. Namun jumlah konsumsi menurun pada periode 2009/2010 dikarenakan krisis ekonomi yang melanda di Uni Eropa yang merupakan konsumen terbesar kakao dunia. Krisis ekonomi yang melanda Uni Eropa menyebabkan daya beli kakao menurun. Namun setelah periode tersebut konsumsi kakao kembali meningkat dikarenakan konsumsi di wilayah Asia semakin meningkat. Minimnya pengaruh krisis ekonomi Eropa secara kesuluruhan serta semakin banyaknya promosi produk berbahan dasar kakao, wilayah Asia berpotensial mengalami peningkatan jumlah konsumen kakao. Meskipun begitu pada periode 2010/2011 wilayah Uni Eropa masih merupakan konsumen terbesar kakao dunia. Hal ini dikarenakan pabrik pengolahan yang banyak di wilayah tersebut. Uni Eropa mempunyai nilai konsumsi sebesar 28,8% dari jumlah konsumsi kakao dunia. Share konsumsi Uni Eropa itu pun belum termasuk Negara Belanda dan Jerman yang merupakan dua Negara konsumen terbesar dunia. Belanda serta Jerman pada periode ini merupakan konsumen kakao terbesar dengan Belanda 10.5% dan Jerman 8.70% dari presntase kakao dunia. Negara-negara yang mempunyai nilai konsumsi terbesar selain wilayah Eropa adalah Pantai Gading dan Amerika Serikat yang masing-masing sebesar 7.10% dan 7%. Untuk Indonesia, sebagai produsen kakao nomor 3 di dunia hanya mempunyai nilai konsumsi 4.3% dari jumlah konsumsi kakao dunia. Hal ini dikarenakan masih minimnya pabrik pengolahan kakao di Indonesia. Dari data ICCO harga kakao dunia saat ini mengalami penurunan dikarenakan produksi kakao dari Negara produsen yang melimpah menyebabkan harga International menurun. Sempat tertahan pada kisaran U$D 1400/ton - U$D 1600/ton pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2007 harga kakao mengalami peningkatan pada yang signifikan pada tahun 2008 yaitu berkisar U$D2500/ ton pada tahun 2008. Pergerakan harga kakao dunia sangat dipengaruhi oleh rasio stock serta pengolahan kakao. Untuk lebih jelasnya mari kita lihat pergerakan harga kakao dunia pada tahun 2005-2012 pada Gambar 4. 3500 3000 2500 2888.74 3132.98 2980.04 2580.77 2000 2390.86 1500 1000 1538.08 1590.71 1498.85 500 0 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Gambar 4 Grafik harga kakao dunia tahun 2005-2012 Sumber: International Cocoa Organization (ICCO) Dari grafik tersebut kita ketahui harga kakao pada tahun 2005 sampai dengan 2007 berkisar pada US$1500/ton namun pada tahun 2008 harga kakao 23 dunia terus menaik bahkan pada tahun 2010 pada grafik harga kakao berada pada titik tertinggi dengan nilai US$ 3132.98/ton. Kenaikan harga terpicu adanya defisit pasokan biji kakao di pasar dunia sekitar 100.000 ton. Produksi biji kakao dunia yang hanya sekitar 3.5 juta ton, tak mampu memenuhi permintaan dunia yang pada saat itu jumlah konsumsi dunia mencapai 3.6 juta ton. bahkan pada tahun 2010 defisit kakao bisa melonjak pada jumlah 200.000 ton karena Uni Eropa dan Amerika Serikat yang menguasai 85% pasar kakao dunia perekonomiannya mulai pulih. Namun setelah tahun 2010 harga kakao terus anjlok, pada tahun 2011 dari grafik harga kakao dunia terus dibawah US$ 3000/ton. Menurut Askindo, perkembangan ekonomi dunia serta melimpahnya produksi kakao di pantai Gading menyebabkan harga terus menurun. Bahkan dari informasi terakhir, dii bursa berjangka NYSE LIFFE, London, Inggris pada bulan Juli 2013 harga kakao di bursa berjangka komoditi tersebut sebesarUS$ 2.430 per metrik ton. Harga-harga kakao tersebut sudah termasuk harga kakao baik produk awal berupa biji-bijian maupun produk jadi kakao itu. Berdasarkan International Trade Center (intracen) terdapat enam produk kakao dengan HS 4 digit. Jenis-jenis produk tersebut antara lain produk awal kakao berupa biji serta kulit-kulitnya, produk setengah jadi seperti lemak kakao, kakao pasta ataupun produk jadi kakao seperti coklat ataupun produk berbahan dasar kakao yang sudah siap dikonsumsi. Untuk lebih jelasnya mari kita lihat pada Tabel 10. Tabel 10 Jenis-jenis produk kakao berdasarkan HS 4 Digit a HS 1800 1801 1802 1803 1804 1805 1806 Deskripsi Produk Cocoa and cocoa preparations Cocoa beans, whole or broken, raw or roasted Cocoa shells, husks, skins, and other cocoa waste Cocoa paste, whether or not defatted Cocoa Butter, Fat, and oil Cocoa powder not containing added sugar Chocolate and other food preparations containing cocoa Sumber: : Intracen Dari tabel tersebut bisa kita lihat berbagai jenis produk kakao baik mentah, setengah jadi ataupu produk jadi. Selain itu limbah kakao hasil dari pengolahan kakao pun menjadi barang yang diperdagangkan, limbah kakao seperti kulit, shells bisa menjadi pupuk, biogas, pakan ternak hingga produk lainnya. Produk kakao mentah seperti biji, lemak, minyak, bubuk ataupun produk lainnya biasanya diproduksi oleh Negara-negara asia dan afrika serta wilayah amerika bagian selatan seperti Pantai Gading, Ghana, Malaysia, Indonesia, dan Brazil. Hal ini karena Negara tersebut mempunyai lahan yang luas serta iklim yang cocok dengan tanaman kakao. Produk mentah atau setengah jadi itu kemudian di ekspor ke berbagai Negara-negara seperti Jerman, Perancis, Belgia, Amerika Serikat. Kebanyakan Negara-negara yang mengimpor kakao mentah atau setengah jadi tersebut berasal dari Eropa. Produk tersebut nantinya tidak dikonsumsi langsung melainkan diolah di industri pengolahan menjadi produk-produk kakao seperti coklat, perasa kakao, cake, pasta atau pun produk jadi lainnya yang siap dikonsumsi. Produk kakao jadi ini tentunya mempunyai nilai jual yang lebih tinggi dari produk kakao mentah ataupun setengah jadi. Dengan pengolahan 24 tersebut produk kakao jadi inipun diperdagangkan kembali ke berbagai Negara yang memang mempunyai pasar untuk produk jadi kakao termasuk Negara-negara produsen kakao. Perdagangan Internasional Kakao Berdasarkan data yang didapat pada periode 2002-2012 data ekspor-impor kakao yang didapat mengalami peningkatan nilai. Semakin tinggi nilai ekspor kakao dunia maka akan meningkatkan pula impor kakao dunia. Pada periode tersebut nilai tertinggi ekspor-impor Dunia mencapai lebih dari US$ 40 milyar. Namun pada tahun 2012 nilai ekspor-impor mengalami penurunan dengan kisaran nilai US$ 30 milyar dolar. Untuk lebih jelasnya mari kita lihat grafik nilai eksporimpor kakao dunia pada Gambar 5. 50000000 45000000 45000000 40000000 40000000 35000000 35000000 30000000 30000000 25000000 25000000 20000000 20000000 15000000 15000000 10000000 10000000 5000000 5000000 Ekspor ribu US$ 0 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 0 Impor ribu US$ Gambar 5 Grafik nilai ekspor-impor kakao dunia periode 2002-2012 Sumber: Comtrade Dari gambar tersebut kita bisa lihat bahwa grafik ekspor-impor kakao mengalami peningkatan kecuali dari tahun 2011 ke 2012 yang mengalami penurunan US$ 10 milyar dari US$ 40 milyar menjadi US$ 30 milyar. Meskipun mengalami penurunan nilai ekspor sebelumnya dari nilai total ekspor mencapai US$ 40 milyar pada tahun 2011, nilai total ekspor tersebut masih terbilang tinggi. Secara terperinci data nilai ekspor kakao dapat kita lihat pada Tabel 11. 25 Tabel 11 Nilai ekspor kakao dunia tahun 2010-2012 (US$ ribu dolar) Negara Eksportir Kakao 2010 2011 Jerman 4 240 546 5 079 715 Belanda 4 567 730 5 017 859 Pantai Gading 3 826 923 4 158 530 Belgia 2 674 439 2 994 116 Perancis 2 029 604 2 353 762 Ghana 975 927 2 294 370 Amerika Serikat 1 386 631 1 591 796 Italia 1 346 409 1 559 735 Malaysia 1 302 521 1 377 751 Polandia 936 627 1 169 958 Canada 941 508 1 009 901 Indonesia 1 643 649 1 345 278 Lain-lain 12 301 794 13 555 975 Totalb 38 174 308 43 508 746 Sumber: intracen.org; bUS$ ribu dolar 2012 4 754 518 4 552 166 4 269 836 2 926 584 2 244 028 2 040 928 1 714 422 1 673 110 1 194 560 1 175 541 1 058 890 1 053 447 12 568 537 41 226,567 Share ekspor 2012 (%) 11.53 11.04 10.357 7.09 5.44 4.95 4.15 4.05 2.89 2.85 2.56 2.55 30.48 1 Berdasarkan Tabel 10 Jerman sebesar US$ 4.7 milyar dengan kontribusi sebesar 11.5% pada tahun 2010. Rata-rata ekspor terbesar dikuasai oleh Negaranegara eropa dengan total kontribusi 41.97% dari nilai ekspor total dunia pada tahun 2012. Negara-negara produsen kakao terbesar di dunia seperti Pantai Gading dan Ghana mempunyai kontribusi ekspor sebesar 15.2% dari total share ekspor dengan total nilai ekspor mencapai lebih dari US$ 6 milyar. Nilai kontribusi ekspor Amerika Serikat dan Kanada pada tahun terakhir mencapai US$ 1.7 milyar dan US$ 1 milyar dengan share ekspor masing-masing sebesar 4.1% dan 2.5%. Indonesia sendiri pada tahun 2012 berada pada peringkat 12 eksportir kakao dunia dengan nilai ekspor sebesar US$ 1 milyar dollar dan share ekspor sebesar 2.5%. Nilai impor kakao dunia ada pada Tabel 12. Tabel 12 Nilai impor kakao dunia tahun 2010-2012 Negara Amerika Serikat Jerman Belanda Perancis United Kingdom Belgia Rusia Kanada Malaysia Italia Lain-lain Total Sumber: intracen.org 2010 2011 2012 4 415 104 4 136 407 2 911 125 2 178 110 1 735 502 1 280 796 1 200 166 1 145 680 1 095 283 909 275 17 913 942 38 921 390 4 807 051 4 696 946 3 319 193 2 346 584 2 040 341 1 445 386 1 390 023 1 298 435 1,254 448 1 009 144 22 806 137 46 413 688 4 216 557 4 088 202 2 902,675 2 254 913 1 729 420 1 394 275 1 280, 914 1 164 812 1 142 283 1 008 671 19 505 189 40 687 911 Share impor 2012( %) 10.36 10.04 7.13 5.54 4.25 3.42 3.14 2.86 2.80 2.47 47.93 100 Sejalan dengan ekspor, nilai impor pun juga mengalami fluktuasi yang nilai yang sama. Nilai impor naik dari tahun ke tahun namun pada tahun 2012 mengalami penurunan sebesar US$ 6 milyar. Untuk lebih jelas, nilai impor dunia disajikan pada Tabel 11. Dari tabel tersebut bisa kita lihat bahwa Amerika Serikat 26 merupakan importer terbesar kakao dunia dengan nilai impor dan share impor pada tahun terakhir sebesar US$ 4.2 milyar dan 10.3% . Setelah itu Negara-negara di Eropa juga banyak mengimpor kakao dengan total share pada tahun 2012 impor mencapai 32.8%. Kanada merupakan importir kakao terbesar di benua Amerika setelah Amerika Serikat, nilai ekspor pada tahun 2012 mencapai US$ 1.164 milyar dan memberikan kontribusi impor sebesar 2.82%. Sementara Malaysia merupakan importer terbesar kakao di wilayah Asia dengan nilai impor US$ 1.142 milyar dan memberikan share impor sebesar 2.47% dunia. Perkembangan Ekspor Kakao Indonesia Perkembangan Ekspor Kakao Indonesia di Pasar Internasional Berdasarkan data International Trade Centre (intracen) selama 10 tahun (2002-2012) nilai ekspor Indonesia terus meningkat dengan nilai ekspor tertinggi terjadi pada tahun 2010. Namun setelah tahun 2010 nilai ekspor menurun. Hal ini disebabkan harga kakao dunia yang turun serta peningkatan konsumsi kakao di dalam negeri karena sudah mulai banyak pabrik pengolahan. Untuk lebih jelas data nilai ekspor kakao Indonesia ada pada Gambar 6. US$ ribu 1,800,000 1,643,649 1,600,000 1,413,441 1,345,278 1,268,947 1,400,000 1,200,000 1,000,000 800,000 600,000 1,053,447 924,159 855,047 701,034 667,993 623,934 549,348 400,000 200,000 0 Gambar 6 Nilai ekspor kakao Indonesia 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Gambar 6 Nilai ekspor kakao Indonesia, tahun 2002-2012 Sumber: intracen.org Berdasarkan Gambar 6, total nilai kakao menunjukkan pertumbuhan yang baik. Mengalami fluktuasi dari tahun 2002-2004, pertumbuhan nilai kakao terus meningkat. Nilai ekspor tertinggi terjadi pada tahun 2010 dengan nilai mencapai US$ 1.6 milyar. Namun pada dua tahun berikutnya yaitu pada tahun 2011 dan 2012 nilai ekspor kakao mengalami dengan nilai US$ `1,3 milyar tahun 2011 dan US$ 1.05 milyar. Walaupun mengalami nilai ekspor kakao Indonesia masih 27 berada pada kisaran US$ 1 milyar selain itu nilai ekspor yang turun karena permintaan kakao dalam negeri sedang meningkat. Walaupun Indonesia merupakan produsen tanaman kakao ketiga dunia serta nilai ekspor kakao mencapai lebih dari US$ 1 milyar, namun Indonesia masih berada di peringkat 12 dunia. Hal ini disebabkan karena Indonesia lebih banyak mengekspor produk kakao mentah atau setengah jadi. Produk-produk kakao yang sering diekspor Indonesia adalah produk biji kakao sehingga nilai ekspor yang didapat masih sedikit. Jika Indonesia bisa mengekspor produk kakao seperti coklat, kakao lemak pasta, kakao bubuk maka otomatis nilai ekspor yang didapat semakin meningkat. Namun untuk masuk ke pasar Internasional tentunya memiliki kebijakan-kebijakan baik berupa tariff ataupun non-tariff terutama pasar Uni Eropa kebijakan proteksi komoditi kakao sangat tinggi. Dalam perdagangan Internasional tiap-tiap produk mempunyai kode masing-masing dengan nama Harmonyzed System (HS) termasuk kakao. Berikut adalah kode perdagangan Internasional kakao berdasarkan HS 4 digit pada Tabel 13. Tabel 13 Nilai ekspor produk kakao Indonesia (HS 4 digit) HS Produk Kakao serta produk olahan 1800 lainnya Cocoa beans, whole or broken, 1801 raw or roasted Cocoa shells, husks, skins and 1802 other cocoa waste Cocoa paste, whether or not 1803 defatted 1804 Cocoa butter, fat and oil Cocoa powder, without added 1805 sugar Chocolate and other food 1806 preparations containing cocoa Sumber: intracen.org 2009 1 413 441 1 087 485 2010 2011 1 345 278 2012 1 053 447 1 190 740 614 496 384 830 652 727 2,594 3,506 20 311 66 093 214 321 208 668 230 056 236 808 304 581 236 138 45 208 103 183 157 998 165 177 29 731 46 098 51 287 55 129 1 643 649 Dari tabel 13 di atas bisa kita lihat bahwa nilai ekspor produk kakao Indonesia didominasi oleh biji kakao. Nilai ekspor biji kakao sendiri pernah mencapai US$ 1.1 milyar tahun 2010. Namun pada tahun 2012 nilai ekspor kakao menurun mencapai US$ 384 juta. Nilai ekspor kakao terendah terdapat pada kakao limbah seperti sekam, kulit dan lain-lain dengan nilai US$ 3.5 juta. Meskipun setengah nilai ekspor kakao serta produk ekspor kakao utama menurun, namun produk kakao jadi hingga produk jadi mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Produk-produk kakao itu seperti kakao pasta, lemak dan minyak kakao, pasta kakao bahkan coklat dan produk siap konsumsi berbahan dasar kakao. Indonesia yang merupakan produsen kakao terbesar ketiga di dunia dan mempunyai nilai ekspor tahun 2012 mencapai US$ 1.3 milyar mempunyai beberapa pasar ekspor utama. Rata-rata importer kakao merupakan Negara-negara pengolah kakao seperti Amerika Serikat serta Negara-negara Uni Eropa. Selain itu Negara-negara asean juga mengimpor kakao Indonesia seperti Singapura dan Malaysia. Untuk lebih jelasnya bisa kita lihat pada tabel 14. 28 Tabel 14 Nilai ekspor importer kakao Indonesia (HS 2 digit) Nilai Ekspor Kakao Indonesia (US$) Tahun Uni Eropa Amerika Serikat Malaysia Singapura 2010 167 064 018 359 903 054 568 331 714 158 997 231 2011 180 927 270 197 764 667 473 888 830 108 660 037 2012 163 933 344 145 578 442 273 841 958 103 545 706 Sumber: Comtrade (2013) Pada Tabel tersebut bisa kita lihat nilai ekspor Indonesia terhadap empat pasar utama Indonesia yaitu Malaysia, Singapura, Amerika Serikat, dan Uni Eropa tahun 2010-2012. Diantara empat pasar tersebut Malaysia merupakan importir utama kakao dari Indonesia dengan nilai impor sebesar US$ 273 juta pada tahun 2012 disusul Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Singapura sebesar US$ 163 juta, US$ 145 juta, dan US$ 103 juta pada tahun yang sama. Dari empat pasar ekspor utama tersebut mempunyai kesamaan yaitu Negara-negara tersebut merupakan Negara Industri kakao dunia. Perkembangan menarik bisa kita lihat di pasar Uni Eropa dimana Indonesia masih belum mampu menguasai pasar di Uni Eropa yang merupakan Negara-negara importer terbesar kakao dunia. Indonesia sendiri hanya mampu mengekspor kakao sebesar US$ 163 juta. Uni Eropa sendiri mengimpor kakao mentah seperti biji kakao kebanyakan dari Pantai Gading dan Ghana. Hal ini dikarenakan biji kakao tersebut sudah difermentasi sehingga mempunyai nilai tinggi dan sesuai dengan standar biji kakao di Uni Eropa 4. Perkembangan Ekspor Kakao Indonesia ke Uni Eropa Uni Eropa (EU27) merupakan Negara-negara industri kakao terbesar di dunia dengan nilai ekspor kakao mencapai US$ 41 milyar. Karena itu Negaranegara Uni Eropa merupakan pasar potensial untuk Negara-negara produsen kakao salah satunya Indonesia. Uni Eropa sendiri merupakan pasar utama kedua kakao Indonesia setelah Malaysia. Berikut ini disajikan data grafik nilai ekspor kakao Indonesia ke Uni Eropa dalam kurun waktu 10 tahun. Dari gambar diatas bisa kita lihat nilai ekspor kakao selalu naik dalam kurun waktu 2004-2011. Walaupun sempat mengalami penurunan sebesar US$ 7.1 juta dollar pada tahun 2010 dari tahun sebelumnya namun nilai ekspor tersebut meningkat kembali bahkan mencapai nilai tertinggi sebesar US$ 180 juta dollar. Namun pada tahun 2012 nilai ekspor kakao Indonesia yang dipasarkan di Uni Eropa mengalami penurunan sebesar US$ 1.39 juta dengan nilai ekspor pada tahun 2012 sebesar US$ 163 juta. 4 Analisis Daya Saing Komoditas Kakao Indonesia (Ragimun, 2012) 29 (US$ ribu) 200,000 180 926 167,063 143 910 163 934 136 764 129 103 109 838 150,000 100,000 75 744 91 707 70 695 50,000 0 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Gambar 7 Nilai Ekspor Kakao Indonesia ke Uni Eropa (US$ ribu) Sumber: intracen.org Menurut Direktur Eksekutif Askindo, Firman Bakri, menyatakan, target ekspor kakao memang cenderung menurun tiap tahun. Penurunan ekspor itu karena industri hilir kakao di Tanah Air memperlihatkan pertumbuhan dari tahun ke tahun dengan produksi biji kakao yang tidak bertambah5. Selain itu Produk biji kakao Indonesia dikenal memiliki kualitas rendah karena bentuknya kecil dan meninggalkan banyak sampah sehingga harganya rendah. Selain itu biji kakao Indonesia tidak difermentasi terlebih dahulu sedangkan Negara-negara Uni Eropa membutuhkan biji kakao fermentasi6. Berikut nilai ekspor kakao Indonesia ke Uni Eropa disajikan pada Pada tahun 2012 nilai ekspor mencapai 163 ribu US$ menurun dari tahun 2011 yang mencapai 180 ribu US$ namun nilai tersebut masih sangat tinggi karena trend nilai ekspor dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2012 cenderung meningkat. Dengan trend bisa dijadikan indikasi bahwa Uni Eropa bisa menjadi pasar potensial ekspor Uni Eropa. Gambar 7. Meskipun begitu nilai ekspor kakao Indonesia menuju Uni Eropa cenderung meningkat dari tahun ke tahun. HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Kebijakan Perdagangan Internasional Uni Eropa yang Berkaitan Dengan Komoditi Kakao Indonesia Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan penduduk Negara dengan penduduk Negara lain. Penduduk yang dimaksud adalah perorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah Negara lain atau pemerintah suatu Negara dengan pemerintah Negara lain. Di banyak Negara perdagangan Internasional menjadi salah satu faktor utama untuk 5 (www.industri.kontan.go.id) ekspor kakao akan turun tiap tahun. Diakses tanggal 28 Juli 2013 (www.deptan.go.id) ekspor biji kakao diperkirakan turun 29 persen. Diakses tanggal 28 Juli 2013 6 30 meningkatkan GDP. Meskipun perdagangan telah terjadi selama ribuan tahun dampaknya terhadap kepentingan sosial, ekonomi, dan politik baru dirasakan beberapa abad belakangan. Perdagangan internasional pun turut mendorong industrialisasi, kemajuan, transportasi, globalisasi, dan kehadiran perusahaan multinasional. Dengan semakin berkembangnya perdagangan Internasional maka diperlukan kebijakan perdagangan Internasional sebagai regulasi perdagangan yang saat ini melibatkan banyak Negara. Pada dasarnya, suatu kebijakan yang ditetapkan merupakan suatu proteksi terhadap pihak-pihak tertentu dalam perdagangan. Koo dan Kenedy (2005) juga mengatakan bahwa beberapa Negara yang menggunakan bermacam-macam kebijakan perdagangan adalah untuk melindungi industri yang tidak efisien. Suatu kebijakan yang ditetapkan oleh organisasi tertentu akan menjadi hambatan bagi pihak lain jika tidak dapat memenuhi kebijakan tersebut. Dalam bidang perdagangan internasional dikenal adanya hambatan-hambatan perdagangan atau trade barriers yang digolongkan menjadi tiga bidang yaitu hambatan tariff, hambatan non tariff, hambatan administrasi. Hambatan tariff (tariff barriers) adalah merupakan pajak dan kuota yang dikenakan atas barang impor. Pajak dan kuota terhadap barang impor biasanya ditetapkan dalam sebuah surat keputusan (SK) atau undang-undang yang mengatur regulasi secara jelas. Nilai pajak dan jumlah kuota sendiri tergantung dari produk yang diimpor. Hambatan non-tariff (non-tariff barriers) adalah hambatan masuk produk yang bukan disebabkan tariff dan kuota impor melainkan adanya standar mutu yang ditetapkan yang biasanya dikaitkan dengan persyaratan lingkungan kesehatan, keamanan, perburuhan dan etika bisnis. Secara umum yang termasuk hambatan non tariff antara lain; Costums Clearance, Customs Valuation, Customs Classification, Import Licensing. Sedangkan hambatan administari (administrasi barriers) berupa Kontrol Devisa, Lisensi Impor, dan Consular Formalities. Uni Eropa menerapkan hambatan tariff (tariff barriers) dengan tariff berlaku umum atau Most Favour Nations (MFN) serta tariff preferensi berdasarkan skema General System of Preferences (GSP) dimana Indonesia merupakan Negara penerima fasilitas GSP dari UE. Selain itu Uni Eropa menerapkan tariff yang berbeda terhadap Negara yang tergabung dalan ACP countries (Africa, Carribean, Pacific) dengan menerapkan FTA (Free Trade Agreements) atau pembebasan tariff bea masuk melalui skema EBA (Everytihing But Arms). Untuk hambatan non-tariff (non-tariff barriers) Uni Eropa sendiri menerapkan peraturan-peraturan sebagaimana dirumuskan Coddex Alimentarius Commisions yaitu suatu badan internasional antar Negara yang salah satunya mengatur persyaratan pangan. Selain itu terdapat Regulasi European Communities (EC) No.178/2002 mengenai prinsip umum dan persyaratan pangan, persyaratan yang penting lainnya adalah Hazard Analysis Critical Point (HACCP) yang merupakan acuan perusahaan dalam melakukan setiap aktivitas produksinya, Technical barriers yang merupakan bagian non-tariff barriers yang mengatur spesifikasi teknis produksi. Sementara yang termasuk hambatan administrasi atau administrative barriers berupa cocoa certficate, packaging dan ecolabelling. 31 Identifikasi Kebijakan Tariff di Uni Eropa Penetapan bea masuk merupakan salah satu kebijakan tariff yang ditetapkan oleh Uni Eropa. Ketentuan tariff khususnya produk kakao di Uni Eropa telah ditetapkan berdasarkan Persetujuan Umum Tariff dan Transaksi atau General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang saat ini digantikan oleh World Trade Organization (WTO). Tujuan GATT/WTO adalah: 1. Terjadinya perdagangan dunia yang bebas, tanpa diskriminasi. 2. Menempuh disiplin di antar anggotanya supaya tidak mengambil langkah yang merugikan anggota yang lain. 3. Mencegah terjadinya perang dagang antar semua pihak. Penetapan bea masuk kakao yang ditetapkan oleh Negara importer kakao dunia perlu diketahui untuk melihat dan membandingkan penerapan tariff kakao yang dilakukan oleh Uni Eropa dengan Negara lainnya. Malaysia dan Amerika Serikat merupakan Negara importer terbesar di dunia dan juga pasar utama kakao Indonesia sehingga cocok untuk melihat dan membandingkan tarrif bea masuknya dengan tariff bea masuk di Uni Eropa. Amerika menerapkan tariff melalui Dewan Transaksi Internasional Amerika Serikat atau United States International Trade Commision (USITC) dengan skema Harmonized Tariff Scheduled of the United States. Amerika Serikat menerapkan tariff free terhadap biji kakao dan produk mentah lainnya, untuk kakao olahan sendiri Amerika Serikat menerapkan tariff free pada kebanyakan kakao dan produk lainnya. Namun tarrif berbeda diterapkan pada kakao dengan kualitas yang lebih baik atau spesial. Malaysia yang merupakan importer kakao terbesar di kawasan Asia menerima tarrif free untuk biji kakao dan produk mentah lainnya namun menetapkan tariff sebesar 10-15 persen untuk produk kakao lainnya. Indonesia sendiri mendapatkan pembebasan tarrif sebagai sesama Negara Asean melalui Asian Free Trade Area (AFTA) dengan skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT) sehingga nilai pajak yang dikeluarkan para importer kakao Indonesia kepada pemerintah Malaysia tidak ada. Uni Eropa sendiri menerapkan pembebesan tarrif untuk biji kakao dan produk kakao mentah lainnya namun menerapkan tarrif yang lebih tinggi untuk produk kakao lainnya meskipun begitu Indonesia menerima fasilitas General System of Preferences (GSP) tarrif bea masuk berkurang dengan kisaran 3.5-5.2 persen tergantung jenis produk. Presentase tariff kakao pada Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Malaysia dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 menunjukkan penetapan tariff yang dilakukan Uni Eropa lebih tinggi dibandingkan Amerika Serikat dan Malaysia. Uni Eropa menerapkan tariff kakao olahan sebesar 9.6-7.7 persen, sedangkan untuk kakao mentah seperti biji, kulit, sekam, dan lain-lain tidak dikenakan bea masuk. Oleh karena itu, Uni Eropa sebagai kelompok Negara maju memberikan skema khusus pada Negara berkembang termasuk Indonesia, yaitu berupa Generalized System of Preferences (GSP) dari Uni Eropa guna memperluas akses pasar ke Negara-negara Uni Eropa. Generalized System of Preferences (GSP) adalah satu bentuk bantuan fasilitas dari Negara industri maju kepada Negara-negara berkembang. Bentuk fasilitas tersebut berupa penurunan atau pembebasan bea masuk atas produk-produk tertentu. 32 Tabel 15 Presentase tariff kakao pada Uni Eropa, Amerika Serikat, Malaysia. Kode Produk (HS) 18010 Produk Uni Eropa MFN GSP Free Free Amerika Serikat Free Biji Kakao Kulit, Bibit, 18020 Free Free Free Serabut kakao 18030 Kakao Pasta 180310 -) Tanpa Lemak 9.60% 6.1% Free -)Lemak 180320 seluruhnya atau 9.60% 6.1% 0.2¢/kg sebagian Lemak, mentega 18040 dan minyak 7.70% 4.2% Free kakao Kakao bubuk tanpa gula dan 18050 8% 2.8% 0.52¢/kg bahan pemanis lainnya Coklat dan produk makanan 18060 lain berbahan kakao Kakao bubuk dengan gula dan 180610 8.3% 4.1% Free bahan pemanis lainnya Produk lainnya 180620 8.3% etc 4.1% 0.52¢/kg etc dari HS 1806 Sumber: DG Taxud (2013), USITC (2013), Malaysia Cocoa Board (2013) Malaysia Free Free Free Free Free Free Free Free Masyarakat Uni Eropa menerapkan skema GSP pada tahun 1971. Peraturan yang tercantum dalam GSP terus mengalami perkembangan. Pada tahun 2002, dikeluarkan skema GSP, yaitu Council Regulation (EC) 2211/2002. Pemberlakuan skema tersebut dimulai pada tanggal 1 Januari 2002 – 31 Desember 2005. Pada tahun 2005 dikeluarkan Council Regulation (EC) 980/2005 yang dilaksanakan mulai tanggal 1 Januari 2006 hingga 31 Desember 2008. Pada tahun 2008 juga dikeluarkan Council Regulation (EC) 732/2008 yang dilaksanakan periode 1 Januari 2009 sampai 31 Desember 2011. Penetapan skema GSP sejak tahun 2006-2008 telah ditetapkan berlaku sampai tahun 2015 mendatang dengan maksud memberikan kontinuitas dan stabilitas bagi Negara-negara penerima GSP (Europen Commision, 2010). Selama periode 1 januari 2009 sampai 31 Desember 2011, berdasarkan Council Regulation (EC) 732/2008, terdapat tiga skema peraturan yang ditetapkan dalam GSP yaitu, GSP umum, GSP+,EBA. Dalam penerapannya, untuk mendapatkan fasilitas GSP setiap Negaranegara eksportir harus memenuhi aturan rules of origin dimana produk-produk tersebut benar-berasal dari Negara tersebut dengan kriteria-kriteria tertentu dari tiap produk. Indonesia sendiri merupakan Negara penerima fasilitas yang dibagi dalam grup region 1 yang anggotanya adalah Negara-negara Asia Tenggara (Asean). Meskipun aturan dalam rules of origin lebih terkait dengan hambatan non tariff namun criteria ini sangat menentukan bea ekspor guna mendapatkan fasilitas GSP dari UE. Setiap produk mempunyai criteria tertentu dan spesifik, khusus untuk kakao criteria-kriteria dalam rules of origin itu sendiri, meliputi: 33 1. 2. Berat dari gula serta bahan laiinnya dan produk kakao dengan HS 4 digit tidak melebihi 40% dari berat produk akhir, dan Berat total gabungan gula (bahan-bahan lain) dan produk kakao dengan HS 4 digit tidak melebihi 60% dari berat produk akhir. Identifikasi Kebijakan Non-Tariff di Uni Eropa Kebijakan ekspor yang tidak berkaitan dengan pengenaan pajak atau pungutan impor dan menjadi hambatan bagi eksportir dapat dimasukkan ke dalam hambatan non tariff yang ternyata menjadi hambatan yang paling dominan (Purnomo, 2007 b). Eksportir kakao yang ingin memasuki pasar UE harus memperhatikan berbagai persyaratan yang ditetapkan oleh mitra dagang dan pemerintah Uni Eropa. Persyaratan tersebut meliputi standar mutu yang dikaitkan dengan persyaratan lingkungan, kesehatan, keamanan, perburuhan, dan etika bisnis7. Menerapkan persyaratan mutu bagi produk yang diimpor sudah menjadi hak importer dalam menjamin dan melindungi konsumen. Selain itu hambatan non tariff yang diberlakukan juga merupakan upaya proteksi Uni Eropa dalam perkembangan industri dalam negeri khususnya industri kakao. Ketentuanketentuan dari kelompok Negara di Uni Eropa yang dapat diidentifikasikan sebagai hambatan nontariff khususnya komoditi kakao adalah sebagai berikut: 1. Prinsip umum persyaratan pangan dan higienitas serta ketentuan keamanan pangan dengan menerapkan Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF). 2. Ketentuan keamanan, kesehatan, serta kebersihan pangan dimana dalam pelaksanaanya aktivitas perusahaan yang diatur dalam system Hazard Analysis Critcal Point (HACCP). 3. Peraturan-peraturan maksimal kontaminasi dan campuran makanan makanan terutama kakao yang tercantum dalam Directive (EC) 2000/36. Kebijakan terkait nontariff yang diterapkan Uni Eropa terhadap produk kakao sebagian besar masih sama dengan produk tanaman lainnya dengan peraturan seperti perlindungan produk tanaman, higienitas, residu pestisida, dan lain-lain. Selain itu UE juga menerapkan kebijakan non teknis seperti insentif khusus untuk Negara yang melaksanakan HAM dan lingkungan. Dewasa ini, perhatian publik di Negara maju terhadap sanitary dan hygene produk pangan telah meningkat (Ahmed, 2006). Karena itu Negara-negara pengimpor khususnya Negara maju seperti Negara-negara UE melakukan pengetatan atas aturan keamanan produk yang diimpor. Indonesia sebagai Negara eksportir kakao sering mengeluhkan aturan-aturan „non-tariff‟ yang dikeluarkan oleh UE. Daftar kebijakan non tariff yang berpengaruh terhadap produk eskpor kakao Indonesia dapat dilihat pada Tabel 16. 7 laporan peluang ekspor komoditi kakao di UE, 2004 34 Tabel 16 Daftar Kebijakan Perdagangan Internasional di Uni Eropa yang terkait dengan Komoditi Kakao. No 1 Regulasi Regulasi European Communities (EC) No.178/2002 2 Directive 2000/36/EC 3 Regulasi (EC) No 1107/2009 4 Regulasi (EC) No 396/2005 5 Regulation (EC) No 852/2004 Deskripsi Kebijakan Regulasi European Communities (EC) No. 178/2002 dimana Negara ketiga harus menyesuaikan persyaratan pangan yang ditetapkan UE agar dapat memasuki pasar. Walaupun bukan sebuah Undang-undang hanya regulasi, peraturan ini menjadi acuan perlindungan tinggi terhadap konsumen di Negara-negara UE dari berbagai macam pangan termasuk penerapannya dalam produk kakao. Regulasi ini juga berisikan tentang pemenuhan aturan pangan, Pelacakan produk pangan (Tracebility), Aturan tanggung jawab (Responsibiliteies), dan pemenuhan (compliance) pelaku bisnis pangan dan/atau pakan. Directive 2000/36/EC mengaplikasikan kebijakan produk kakao dan coklat yang dikonsumsi oleh masyarakat dimana setiap Negara-negara UE harus menerapkan peraturan ini. Kebijakan Directive 2000/36/EC mendefinisikan produk kakao dan coklat yang dikonsumsi untuk manusia sebagaimana yang dicantumkan dalam Annex 1 serta Annex 2 (lampiran) yang memberikan criteria jenis-jenis serta batas maksimum “vegetabels fat” untuk produk kakao dan coklat. Regulasi berisi tentang penempatan produk dari tanaman yang dilindungi di dalam pasar (Uni Eropa). Regulasi ini juga membatalkan regulasi yang lama yaitu Council Directives 79/117/EEC and 91/414/EEC. Mengatur batas residu maksimum pestisida dalam makanan dan pakan. Dari regulasi dijelaskan batas residu maksimum tanaman yang dikonsumsi termasuk kakao khususnya biji kakao yang merupakan sebagian besar dasar pengolahan produk kakao sebesar 0.02s/d0.1 mg/kg untuk semua jenis pupuk. Batas maksimum residu pestisida yang sangat ketat bertujuan untuk melindungi konsumen-konsumen di negara-negara UE, dengan batas residu yang sangat kecil ini mengurangi resiko kesehatan masyarakat UE dalam mengkonsumsi produk kakao dan coklat. Regulation (EC) No 852/2004 merupakan amandemen dari Directive 93/43/EEC yang berlaku mulai 1 Januari 1996 dimana peraturan ini mengharuskan tiap operator bisnis (pengolah, eksportir) di Negara ketiga mematuhi aturan higienitas pangan serta aktivitas produksi perusahaan yang sesuai dengan Hazard Analytical Critical Control Point (HACCP). Masalah higienitas produk makanan merupakan masalah serius dimana terkait dengan masalah kesehatan manusia dalam mengonsumsi produk makanan termasuk kakao. Regulation (EC) No 35 6 Regulation (EC) No 1829/2003 7 Council Regulation (EC) No 834/2007 8 852/2004 menjelaskan setiap perusahaan makanan (petani, produsen, pengolah, eksportir, pemerintah) terikat pada peraturan HACCP dimana seluruh kegiatan produksi dari budidaya hingga produk sudah jatuh ke tangan konsumen merupakan tanggung jawab dari perusahaan makanan tersebut. Menjelaskan Produk Pangan dan Pakan yang di modifikasi secara genetic. Dimana tujuan Regulasi dibuat untuk memberikan perlindungan terhadap hidup & kesehatan manusia, kesehatan hewan, lingkungan serta minat konsumen yang ingin mengkonsumsi produk pangan/pakan yang di modifikasi secara genetic tersebut. Regulasi ini berisikan tentang produk organic dan pelabellan produk organic sekaligus membatalkan Regulation (EEC) No 2092/91. Menuliskan kembali secara spesifik implementasi dari kebijakan CR (EC) No 834/2007. COMMISSION REGULATION (EC) No 889/2008 Sumber: European Comision (My Export, 2013) Regulasi yang dikeluarkan oleh Komisi Eropa (European Commission) pada Tabel 16 secara umum diberlakukan dua puluh hari setelah diterbitkan dalam Official Journal (OJ). European Commision adalah lembaga eksekutif pemerintah Uni Eropa yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan peraturan Uni Eropa kepada dewan dan parlemen Eropa, termasuk di dalamnya peraturan mengenai pengawasan mutu dan keamaan pangan 8 . Diantara semua kebijakan tersebut, Kebijakan Regulasi European Communities (EC) No.178/2002, Directive 2000/36/EC, Regulation (EC) No 852/2004 perlu dikaji lebih lanjut jika eksportir Indonesia ingin mengekspor produk kakao selain biji kakao (HS 1801). Pada dasarnya kebijakan non tariff merupakan salah satu bentuk kebijakan proteksi yang tidak menggunakan tariff, dimana instrumennya antara lain; larangan impor, pembatasan impor dengan penerapan kuota, pemberian subsidi, ketentuan teknis terutama yang berkaitan dengan kesehatan, pertahanan dan keamanan, kebudayaan dan lingkungan, regulasi packaging dan labeling serta instrument lainnya. Walaupun belum ada suatu studi komperehensif tentang biaya yang muncul dari penerapan kebijakan Non tariff terutama bagi eksportir, namun dalam hipotesis dapat diduga bahwa biaya ekonomi tersebut sangatlah besar 9 . Biasanya kebijakan non tariff bertujuan untuk menerapkan persyaratan produk yang masuk di Negara importer guna melindungi industri di Negara importer serta keamanan konsumen dalam mengkonsumsi produk tersebut. Kebijakan non-tariff yang diterapkan tiap-tiap Negara importer memang berbeda, salah satu importer yang menerapkan kebijakan non-tariff yang tinggi adalah Uni Eropa. Uni Eropa memang menerapkan kebijakan non tariff yang tinggi dimana ketentuan kebijakan ini diterapkan dalam Regulasi (EC) No 178/2002. Regulasi (EC) No 178/2002 merupakan dasar dari system manajemen mutu dan pengawasan keamanan pangan dimana dalam regulasi juga diatur pembentukan otoritas keamanan pangan serta ketentuan prosedur dalam hal keamanan pangan. 8 9 EU, 2010 disadur dari Samuel, 2012 Globalisasi dan Perdagangan Internasional 36 Berdasarkan penelitian Rastykarany (2008) dan juga Samuel (2012) Regulasi ini berisikan tentang Tracebility, Responsibilities, Compliance bagi pelaku bisnis pangan/pakan yang memperdagangkan produknya di kawasan Uni Eropa, selain itu dijelaskan juga penerapan dari Rapid Alert Systems for Food and Feeds (RASFF) dimana hal ini cukup mempengaruhi peredaran produk Negara eksportir di UE termasuk Indonesia. Untuk Tracebility, Responsibilities, dan Compliance intinya adalah setiap pelaku bisnis (produsen, eksportir, distributor, pemerintah) yang mengekspor produknya menuju UE harus harus mengetahui bahan dan asal muasal produk pangan yang diekspor di UE serta bertanggung jawab bila produknya tidak memenuhi persyaratan pangan yang ada di kawasan UE. Sedangkan RASFF merupakan jejaring kerja dalam system siaga cepat untuk pemberitahuan langsung atau tak langsung pada kesehatan manusia yang berasal dari pangan/pakan. Dalam RASFF untuk produk yang teridentifikasi bahaya akan menerima tiga notification yaitu alert notification, information notification, dan border rejection notification. Alert notification merupakan sebuah “pemberitahuan peringatan” atau peringatan yang dikirim melalui RASFF ke negara anggota apabila pangan atau pakan memiliki risiko serius di pasar atau ketika tindakan cepat diperlukan, sedangkan information notification merupakan sebuah “pemberitahuan informasi” menyangkut suatu pangan atau pakan di pasar negara yang memberitahukan dimana risiko telah diidentifikasi dan tidak memerlukan tindakan cepat. Border rejection notification merupakan notification untuk produk pangan yang teridentifikasi membahayakan sebelum masuk ke pasar Eropa atau mengalami penolakan di Eropa (Samuel, 2012). Selain itu terdapat peraturan Regulation (EC) 852/2004 yang mengatur kebersihan pangan umum serta penerapan aturan yang harus ditaati dalam oleh pelaku usaha dalam tahapan yang berbeda di tiap rantai nilai. Secara spesifik regulasi ini juga mengatur untuk manajemen risiko bahaya keamanan pangan khusus berdasarkan prinsip Hazard Analysisis Critical Point (HACCP). Pada Regulasi ini memang prosedur HACCP dimana produsen yang ingin mengekspor produknya ke UE diharuskan memeriksa sendiri proses produksi, asal-muasal bahan, dan risiko produk makanan seperti jaminan keamanan, secara prinsip HACCP sendiri dijelaskan pada artikel 5 dari regulasi ini. Produk kakao yaitu coklat biasanya masuk kategori risiko rendah jika dibandingkan oleh produk lain di UE seperti produk-produk perikanan. Hal ini dikarenakan rendahnya wabah yang disebabkan karena mengkonsumsi produk kakao khususnya coklat sehingga penerapan industri HACCP belum intensif untuk dilakukan. Namun jika terjadi kontaminasi dan keberadaan salmonella pada cokelat tidak memiliki suatu pola umum kontaminasi dengan produk lainnya (inatrims.kemendag). Sementara itu ketentuan produk kakao terdapat pada Directive 2000/36 yang memang disebut sebagai “Directive Kakao”. Seperti pada tabel, Directive ini berisikan criteria produk-produk coklat seperti bahan campuran, presentase kakao yang ada dalam coklat serta definisi dari produk-produk kakao. Dalam penerapannya Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) merupakan sebuah system cepat untuk memberikan informasi, tindak lanjut bila diperlukan terhadap pangan atau pakan. Jika produk menerima suatu bahaya, maka produk tersebut akan diberikan 3 informasi yaitu alert information, notification information, dan border rejection information. Pada tahun 2012 Uni Eropa mengeluarkan 3516 pemberitahuan untuk produk pangan/pakan dalam 37 RASFF, pemberitahuan dimana 547 diklasifikasikan sebagai waspada, 521 pemberitahuan yang perlu ditindaklanjuti, 705 pemberitahuan sebagai informasi yang perlu mendapat perhatian, dan sebanyak 1743 mendapatkan pemberitahuan penolakan produk di perbatasan (border rejection notification). Dari pemberitahuan asli tersebut memunculkan 5281 notifikasi yang perlu ditindaklanjuti jumlah ini menjadi 1.5 kali lipat dari jumlah pemberitahuan asli dalam RASFF. Berikut ini disajikan grafik jumlah RASFF berdasarkan pada notifikasinya pada gambar 8. Dari Grafik tersebut, jumlah RASFF berdasarkan pada notifikasi terdiri dari sayuran dan buah, ikan dan produk ikan, kacang, produk kacang, dan benih, daging dan produk olahannya, bahan tambahan makanan, pakan. Kelompok produk pangan tersebut memang paling banyak menerima notifikasi RASFF. Alasan menerima notifikasi itu pun bermacam-macam tergantung dari komposisi jenis relatif (risks relating on composition). Dari RASFF yang berdasarkan berbagai macam jenis risiko relatif ini bisa dilihat lebih rinci jenis-jenis produk apa saja yang mendapatkan notifikasi tersebut. Berikut ini disajikan grafik RASFF berdasarkan notifikasi pada jenis risiko relatif pada Gambar 9. Gambar 8 Grafik RASFF berdasarkan notifikasinya Sumber: RASFF annual Report. 38 Gambar 9 Grafik RASFF berdasarkan jenis risiko relatif Sumber: RASFF annual Report Dari grafik tersebut bisa kita lihat RASFF berdasarkan jenis risiko relatif yang terdiri dari; unauthorized (tidak sah produk pangan) , unauthorized food additive (tidak sah pada zat adiktif pada makanan) , unauthorized colour (tidak sah pewarna makanannya), too high content (konten makanan terlalu tinggi), suspicion (adanya kecurigaan pada produk makanan tersebut) , other (lainnya), high level (level tinggi pada produk makanan), high content (konten makanan yang tinggi). Untuk produk kakao, kopi, dan tea sendiri, penyebab mendapatkan notifikasi RASFF dikarenakan tidak sahnya produk tersebut untuk dipasarkan di Uni Eropa. Walaupun tidak ada regulasi di Uni Eropa ketidaksahan produk kakao, kopi, dan tea, tiap-tiap Negara member Uni Eropa punya regulasi yang mengatur tentang „ketidaksahan’ produk tersebut. untuk kakao dari Indonesia sendiri belum 39 ada data yang menunjukkan jumlah pasti produk kakao yang ditolak oleh Uni Eropa, namun dari Inatrims Kemendag di tahun 2012 terjadi penolakan perbatasan atas kakao bubuk dikarenakan tingginya kandungan timbal (ref.2012.BLX). Berdasarkan identifikasi dari beberapa kebijakan tersebut bisa dilakukan analisis secara deskriptif bagaimana yang harus dilakukan para stakeholder kakao, dengan analisis yang berdasarkan kebijakan-kebijakan perdagangan Internasional ini diharapkan menjadi hipotesis yang berguna untuk pertumbuhan ekspor kakao Inndonesia yang menuju Uni Eropa. Dalam hal ini peneliti membagi kelompokkelompok pelaku perdagangan komodity kakao seperti produsen kakao (petani, pengolah, eksportir), Importir/Buyer yang ada di Uni Eropa, dan Competent authority yaitu pemerintah Indonesia. Berikut ini adalah hasil analisis deskriptif berdasarkan kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh Uni Eropa terhadap komoditi kakao, yaitu: 1. Produsen kakao (Petani, pengolah,) harus menerapkan dan melaksanakan kegiatan bedasarkan: Untuk petani dan pengolah harus menerapkan Regulation (EC) No 1107/2009 tentang produk makanan dari tanaman yang dilindungi salah satunya adalah kakao yang menghasilkan biji kakao. Secara teknis/substansi regulasi ini mencakup basis data tentang kontaminasi tanamannya. Dalam basis data pestisida Uni Eropa, kontaminasi yang masih ditolerir untuk biji kakao baik fermentasi atau kering sebesar 0.02 mg/kg – 0.1 mg/kg tergantung jenis pupuk atau senyawanya kimianya (DG Sanco, UE). Dalam operasionalnya petani ataupun pengolah di Indonesia tentu tidak bisa sendiri menerapkan kebijakan tersebut perlu: a. bantuan pemerintah, perusahaan, hingga akademisi guna mensosialisasikan serta menerapkan kebijakan tersebut. b. Untuk pengolah seperti pabrik kakao yang ingin mengekspor produk kakao setengah jadi adalah dengan memperhatikan prosedur prinsip HACCP yang tertera pada artikel 5 dari Regulasi (EC) 852/2004. c. Persyaratan Mikrobiologi pada Article 4.3 EC 852/2004 dan EC No. 2073/2005 (Samuel.2012). Kriteria mikrobiologi dalam produk kakao merupakan hal yang paling utama di Uni Eropa karena pada tahun 1970-an terdapat kasus terjadi wabah yang menjangkiti 110 0rang di Swedia, diduga bubuk kakao yang diproduksi menjadi gula dan permen terkontaminasi S.Durnham. d. Directive 2000/36 yang berisikan tentang produk kakao dan coklat yang dikonsumsi manusia. Dalam directive dijelaskan criteria produk kakao dan lemak sayur tambahan yang tercatum dalam Annex 1 dan Annex 2 dari kebijakan tersebut. 2. Food Bussines Operator dalam hal ini adalah eksportir kakao di Indonesia dan importer kakao yang berada di Uni Eropa menerapkan dan melaksanakan kegiatan. a. Melaksanakan pengawasan serta memperhatikan barang kakao yang masuk di Uni Eropa pada perbatasan. Importir juga masih memiliki tanggung jawab terhadap produk kakao yang didapat dari eksportir baik produk kakao yang langsung dipasarkan ataupun yang masih diolah kembali. Hal ini berdasarkan prinsip HACCP dan aspek Tracebility. 40 b. Melaksanakan apa saja yang tercantum di artikel 19 Regulasi (EC) no 178/2002 tentang responsibilities food bussines operator. Peraturan ini juga berlaku pada eksportir produk kakao namun importer dalam hal ini lebih mengetahui penempatan produk-produk kakao yang sudah dipasarkan di Uni Eropa. c. Memperhatikan aspek Tracebility, Responsibilities sebagai mana yang tercantum dalam Regulasi (EC) No 178/2002 artikel 17 dan 18. 3. Competent Authority dalam hal ini adalah Pemerintah yang memberikan regulasi, pengawasan dan lain-lain: a. Bersama dengan food bussines operator melakukan koordinasi guna menjalankan fungsi sebagai official control, registrasi, dan approval (memberikan persetujuan) terhadap produk-produk kakao yang akan diekspor di Uni Eropa sesuai dengan Regulasi (EC) No 852/2004 artikel 6. b. Competent Authority memberikan informasi terhadapa para calon eksportir yang ingin mengekspor produknya khususnya kakao menuju Uni Eropa. Informasi-informasi yang dibutuhkan seperti Tata cara ekspor, undangundang pangan di Uni Eropa, serta informasi produk kakao seperti karakteristik fisik dan kimia produk kakao. Indonesia sendiri telah membuat program yang bekerjasama dengan Uni Eropa dengan membuat program Indonesia Technical Regulations Information Management System (Inatrims). Identifikasi Kebijakan Administratif di Uni Eropa Selain hambatan tariff dan non-tariff hambatan untuk produk ekspor lainnya adalah masalah yang berkaitan dengan administrasi. Untuk kakao sendiri kebijakan yang berkaitan dengan administrasi adalah sertifikasi kakao, packaging, dan labeling. Untuk sertifikasi kakao Uni Eropa sebagai Negara pengimpor memang tidak mengeluarkan sertifikasi secara langsung namun UE mengeluarkan standar-standar produk kakao yang tercantum dalam Indeks European Commision Standard (ECS) yang sebenarnya mengacu pada International Commision Standards (ICS) yang diterbitkan oleh International Standard Organizations (ISO). International Commision Standard (ICS) yang mengacu pada kakao adalah ICS: 67.140.30 – Cocoa. ICS: 67.140.30 – Cocoa sendiri berisikan tentang teknis, metode, uji sampling untuk menerapkan standard produk kakao dimana standard ini menjadi acuan untuk diterbitkan sertifikasi kakao. Sertifikasi kakao itu sendiri sebuah bukti system pertanian berkelanjutan (suistainability) untuk kakao dimana dalam proses produksi memperhatikan aspek lingkungan. Keuntungan apabila produk kakao yang telah mendapatkan sertifikat adalah pemasaran yang lebih mudah, pertanian yang berkelanjutan meliputi aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi, adanya harga premium bagi produsen, adanya program pelatihan bagi petani (ditjen pphp deptan). Terdapat beberapa skema yang bisa digunakan untuk mendapatkan sertifikasi diantaranya Fair Trade, UTZ, Rain Organik dan Forest Alliance. Berikut ini disajikan Tabel 17 yang mendefinisikan fokus skema sertifikasi. Selanjutnya adalah packaging atau pengemasan, untuk pengemasan sendiri dalam perdagangan Internasional dikenal juga istilah „pre-packaged foodstufs‟ atau pra pengemasan produk makanan dimana produk-produk makanan dikemas dalam ukuran yang besar untuk diimpor ke Negara-negara Uni Eropa sebelum 41 diolah menjadi produk jadi yang dikonsumsi oleh konsumen akhir. Prapengemasan produk makanan dalam Directive 2000/13/EC adalah pengemasan produk bahan makanan yang dikemas dalam satu kemasan baik itu sebagian atau seluruhnya sebelum dijual ke pasar dimana isi produk dari kemasan tersebut diketahui oleh importer hingga konsumen akhir tanpa mengubah dimana dalam proses pengiriman isi dari kemasan tersebut tidak bisa dibuka atau diganti baik kemasan maupun konten (isi) dari produk bahan makanan tersebut. Dalam penerapannya untuk komoditi kakao umumnya dikemas dalam kantong atau plastic. Di dalam kontak penjualan yang dilakukan Federation of Cocoa Commerce (FCC) dan Cocoa Merchants Association (CMA) biasanya disebutkan bahwa kantong harus dibuat dari serat alami seperti goni dan sisal. Karung tersebut harus baru, tidak dikembalikan, bersih dan kuat. Persyaratan kemasan ini perlu diperhatikan karena terkait dengan ketentuan UE mengenai lingkungan 10. Mengenai Pelabellan, Uni Eropa, pada tahun 2000 Uni Eropa mengeluarkan Directive 2000/13/EC yang berhubungan dengan pelabelan, presentasi, dan promosi produk makanan. Dalam Directive 2000/13/EC article 1 nomor 3a, dijelaskan Pelabellan adalah ketentuan yang harus memuat kata, merek dagang, nama merek, symbol yang berkaitan dengan produk makanan dan ditempatkan pada setiap, pengemasan, dokumen , pernyataan, label, dan sebagainya untuk mempresentasikan produk makanan tersebut. Ketentuan pelabellan secara umum menurut Directive 2000/13/EC harus memuat keterangan seperti; nama produk yang dijual, daftar bahan-bahan produk makanan tersebut, berat bersih, tanggal kadaluarsa, kondisi yang harus ada untuk menjaga produk makanan tersebut, nama & alamat produsen, pengemas atau importer yang berada di Negara Uni Eropa, tempat asal produk, cara penggunaan, kadar alcohol, serta tanda dari produk tersebut (lot marking). Directive 2000/13/EC yang berisikan tentang ketentuan pelabelan menjadi bahan acuan kembali Uni Eropa untuk membuat ketentuan yang lebih spesifik terkait produk-produk makanan seperti produk kakao. Untuk kakao sendiri, ketentuan pelabellan diatur dalam Directive 2000/36/EC yang menjelaskan tentang pelabellan kakao khususnya produk coklat yang merupakan produk turunan (olahan) kakao. Dalam Directive ini dijelaskan penggunaan sampai 5% lemak sayur bukan kakao sebagai pengganti cocoa butter dalam cokelat diijinkan menggunakan label cokelat. 4 Namun demikian harus dituliskan kandungan lemak sayur yang ditambahkan pada cocoa butter tersebut (LPKK UE, 2004). Untuk produk kakao dan coklat ketentuan pelabellan dijelaskan dalam Directive 2000/13/EC artikel 3 nomor 3 dimana ketentuan pelabellan produk kakao dan coklat bisa diliat dalam Annex I(A), (2)(c), (2)(d), (3), (4), (5), (8), dan (9). Berdasarkan Laporan Peluang Ekspor Komoditi Kakao di Uni Eropa (2005), Kakao yang diekspor umumnya dikemas dalam kantong atau plastik. Di dalam kontrak penjualan yang dilakukan Federation of Cocoa Commerce (FCC) dan Cocoa Merchants Association (CMA) biasanya disebutkan bahwa kantong harus dibuat dari serat alami seperti goni dan sisal. Karung tersebut harus baru, tidak dikembalikan, bersih dan kuat. Persyaratan kemasan ini perlu diperhatikan karena terkait dengan ketentuan UE mengenai lingkungan. 10 ) Laporan Peluang Ekspor Komoditi Kakao di UE,2004. 42 Tabel 17 Fokus skema sertifikasi. Skema Sertifikasi Keterangan Sertifikasi kakao dari Fair Trade mempunyai tujuan keberlanjutan perdagangan kakao akan terus berjalanan jika petani-petani kecil kakao berkehidupan yang cukup dan anakanak mereka bisa melihat masa depan yang bagus dari industri ini. Hal ini bukan berarti meningkatkan produksi saja, itu juga menjamin bahwa petani mempunyai peran paling besar dalam industri kakao secara keseluruhan. Dalam program Sertifikasinya, Rainforest Alliance berusaha mengembangkan sebuah hubungann bisnis jangka panjang yang berkelanjutan antara perusahaan coklat dan kakao, institusi publik, organisasi local, dan para petani serta meperhatikan kesehatan lingkungan dan kondisi kerja yang baik. UTZ sertifikasi program kakao bertujuan untuk memberikan keseimbangan dan sebuah hubungan kepercayaan antara produsen, industri kakao dan komitmen dengan memperkuat setiap komponen rantai nilai dalam perdangan kakao yang berkelanjutan. Misi dari Organic adalah membuat sistem verifikasi pertanian yang berkelanjutan yang menghasilkan makanan yang selaras dengan alam, mendukung keanekaragaman hayati dan meningkatkan kesehatan tanah salah satu produknya adalah kakao. Sistem sertifikasi ini akhirnya berkembang menjadi sistem internasional yang diakui seluruh dunia. Sumber: Raiforest Alliance, UTZ certification, ditjen PPHP. Analisis Skema Tariff Kakao Indonesia dalam Perdagangan Internasional di Uni Eropa Dalam Perdagangan Internasional terdapat beberapa aturan permainan untuk menjamin kelancaran perdagangan Internasional yang semuanya diatur dalam sebuah system yang ditentukan oleh GATT (sekarang WTO). Terdapat beberapa prinsip dalam menciptakan perdagangan Internasional yang terbuka, adil, dan tanpa diskriminasi salah satu prinsipnya adalah Most Favourite Nations (MFN). Dalam prinsip MFN dijelaskan bahwa suatu Negara anggota GATT yang memberikan konsesi (tariff, bea masuk) kepada Negara anggota lain, maka konsesi tersebut harus diberikan kepada anggota lain tanpa diskriminasi. Tentu saja nilai konsesi yang dimaksud bernilai sama dan nilai tersebut masih terbilang tinggi untuk itu terdapat beberapa skema dalam Perdagangan Internasional guna menurunkan nilai konsesi tersebut, skema tersebut antara lain: GSP (General Systerm of Preferences) dan FTA (Free Trade Agreements). General System Of Preferences (GSP) adalah system preferensial tariff dengan memberikan preferensi tariff yang lebih rendah dari aturan umum yang diberikan WTO yang dicantumkan dalam MFN. Sistem preferensi ini diwajibkan WTO terutama untuk Negara-negara yang menjadi memberi agar mendapatkan 43 presentase tariff yang lebih sedikit jika ingin mengekspor produknya menuju Uni Eropa. Preferensi tariff ini merupakan satu bentuk bantuan Negara-negara industri maju kepada negara-negara dengan bentuk fasilitas berupa penurunan atau pembebasan bea masuk atas produk-produk tertentu yang dihasilkan dan diekspor oleh Negara-negara berkembang. Sedangkan Free Trade Area atau sebelumnya adalah Region Trade Area (RTA) merupakan kesepakatan dua Negara atau lebih sehingga dapat disebut sebagai kelompok negara yang secara geografis bersebelahan. Dalam RTA (Regions Trade Area) negara-negara tersebut bersepakat untuk saling mempertukarkan preferensi dagang. Kesepakatan ini secara lengkap harus dilaporkan kepada sekretariat WTO di Jenewa, diantaranya untuk diinvestigasi agar tidak berlawanan dengan artikel XXIV WTO (ditjenkpi.kemendag). Dalam penerapannya GSP sendiri mempunyai nilai yang berbeda di setiap masing-masing Negara-negara maju bahkan menambahkan skema lain dalam GSP tersebut guna menurunkan tariff import serta pembebasan kebijakan perdagangan lain tersebut sedangkan dalam FTA penerapannya pun bisa dilakukan lintas geografis dan wilayah dengan tujuan yang sama dalam skema GSP namun kesepakatan FTA ini berlaku di lingkup Negara-negara dalam perjanjian FTA ini. Uni Eropa sebagai kelompok Negara-negara industri maju menerapkan dua skema tersebut dalam perdagangan Internasional termasuk penerapannya skema tersebut yang lebih berkembang. Uni Eropa menerapkan GSP pada tahun 1971 serta mulai membuat skema GSP tersebut pada tahun 2002 melalui Council Regulation (EC) 2211/2002. Pemberlakuan skema tersebut berlaku 3 tahun namun pada tahun 2008 melalui Council Regulation (EC) No 732/2008 skema GSP berlaku sampai 2015 guna meningkat kontinuitas serta stabilitas untuk negara-negara berkembang yang memasarkan produknya di Uni Eropa (UE-27). Terdapat tiga skema GSP yang diberlakukan Uni Eropa yaitu; GSP, GSP+, EBA (Everything But Arms) . Selain GSP tersebut Uni Eropa juga mulai memikirkan cara untuk mengurangi tariff selain ketentuan yang berlaku dalam kebijakan tariff (MFN, GSP) guna memberikan kesempatan dalam akses pasar sebesarnya. Oleh karena itu, Komisi Uni Eropa mengusulkan sebuah rancangan kerjasama perdagangan Internasional yaitu kesepakatan perdagangan bebas secara bilateral terhadap Negara atau kelompok Negara tertentu (FTA) dimana criteria ekonomi menjadi pertimbangan utama11. Dua skema perdagangan Internasional Uni Eropa tersebut tentu saja diperuntukkan untuk Negara ataupun asosiasi Negara yang ingin mengekspor produksinya menuju Negara-negara Uni Eropa. Indonesia merupakan Negara yang mendapatkan skema perdagangan Uni Eropa tersebut. Skema yang diberikan Uni Eropa terhadap Negara Indonesia adalah skema GSP umum. Sebagai penerima GSP Indonesia tentunya mendapatkan pengurangan tariff bea masuk untuk beberapa jenis produk utama ekspor Indonesia, salah satu produknya adalah kakao yang juga merupakan komoditi utama ekspor Indonesia ke dunia. Berdasarkan data Export Helpdesk Europa Union Pengurangan tariff ekspor kakao Indonesia setelah menerima GSP sebesar 3.5%-6.5% tergantung jenis produk kakao olahannya. Namun sayangnya kakao di Indonesia sampai saat ini belum menjadi komoditi ekspor utama menuju Uni Eropa. Ada banyak hal yang 11 ) European Commision. 44 menyebabkan kakao belum menjadi „primadona‟ ekspor menuju Uni Eropa salah satu penyebabnya adalah tingginya bea masuk yang dikenakan Uni Eropa terhadap Kakao Indonesia. Walaupun Indonesia menikmati fasilitas GSP namun bea masuk yang dikenakan masih terbilang tinggi untuk Indonesia yang sedang mengembangkan kakao baik dari produksi maupun industri sendiri. Sebagai Negara produsen kakao terbesar ketiga dunia, Indonesia masih mendapatkan skema GSP umum dalam mengekspor produksi kakao. Hal ini masih menjadi kendala untuk Indonesia sendiri sebagai salah satu eksportir kakao di Uni Eropa mengingat biji kakao Indonesia juga sulit masuk menuju Uni Eropa dikarenakan kualitasnya yang belum memenuhi standar dari Uni Eropa. Karena itu pada saat ini Indonesia berusaha mengembangkan produksi kakaonya dengan mengembangkan industri di dalam negeri. Namun Uni Eropa sebagai tujuan ekspor utama kakao Indonesia mengenakan bea masuk yang tinggi untuk produk industri kakao (kakao olahan) jika skema yang diterima untuk Indonesia masih berupa skema GSP umum. Seperti yang diketahui Uni Eropa menerapkan dua skema dalam pengenaan bea masuk produk-produk kakao yaitu GSP dan FTA. General System of Preferences (GSP) itu sendiri mempunyai tiga skema peraturan yaitu; GSP umum, GSP+, dan EBA dimana GSP+ dan EBA presentase bea masuknya adalah 0% atau Free. Sedangkan untuk Free Trade Agreements (FTA) sendiri dimana skema ini merupakan kerjasama bilateral Uni Eropa antara Negara, ataupun asosiasi Negara (ACP, ASEAN dan lain-lain) dengan presentase bea masuk sebesar 0%. Untuk lebih jelasnya mari kita lihat Tabel 18 yang menggambarkan presentase tariff bea masuk kakao berdasarkan skema perdagangan Internasional di Uni Eropa. Tabel 18 Presentase tariff bea masuk kakao berdasarkan skema perdagangan Internasional di Uni Eropa. Produk Kakao HS 18 1801 1802 1803 18031 18032 1804 1805 1806 180610 180620 MFN Free Free General System of Preferences (GSP) GSP GSP+ EBA umum Free Free Free Free Free Free FTA Free Free 9.60% 9.60% 7.70% 8% 6.1% 6.1% 4.2% 2.8% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 8.3% 8.3% etc 4.1% 4.1% etc 0% 0% 0% 0% 0% 0% Sumber: European Commision (Export Helpdesk), 2013 Dari tabel diatas bisa kita ketahui presentase tariff yang diberikan Uni Eropa terhadap produk kakao yang diekspor melalui beberapa skema. Dalam skema ini MFN adalah presentase tariff yang digunakan oleh Negara-negara anggota Uni Eropa. Sedangkan skema GSP dan FTA merupakan tariff preferensi yang dibuat 45 oleh Uni Eropa sebagai otoritas tunggal sehingga tiap-tiap Negara importer kakao masih bisa dikenakan presentase tariff di tiap-tiap Negara anggota Uni Eropa meskipun mendapatkan preferensi tariff Free di Uni Eropa sendiri. Berdasarkan data European Commision hampir semua Negara mendapatkan skema preferensi baik GSP atau FTA, data-data dari Negara tersebut dapat dilihat pada lampiran 4. Tariff GSP memang menurunkan presentase bea masuk produk kakao Indonesia di Uni Eropa sebagai otoritas. Namun presentase GSP umum yang didapat dari Indonesia masih terbilang tinggi. Sebagai contoh, Tarif impor biji kakao yang belum diproses adalah 0 persen di Jerman, akan tetapi Jerman mengenakan tarif 9,6 persen untuk produk kakao olahan seperti cocoa paste ditambah tariff preference 6,10 persen. Untuk Produk cacao butter dikenakan tarif impor 7,70 persen ditambah tariff preference 4,20 persen. Sedangkan untuk bubuk coklat dikenakan tariff sekitar 8,00 persen ditambah tariff preference sekitar 2,80 persen. persen untuk beberapa produk olahan lainnya mengandung kakao Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang merupakan pajak tak langsung yang paling signifikan di Jerman adalah sebesar 19%. Nilai PPN ini tidak seragam di setiap negara-negara Uni Eropa dan nilai PPN Jerman termasuk nilai yang cukup tinggi dibandingkan di negara Uni Eropa lainnya 12. Dari contoh tersebut jika kita melihat dari presentase tariff impor, maka ada kemungkinan nilai tariff impor yang dikeluarkan oleh eksportir-eksportir kakao Indonesia masih tinggi terutama di Negara Jerman yang merupakan salah satu importer terbesar kakao di Negara-negara Uni Eropa. Memang dari contoh belum bisa dijadikan generalisisasi karena presentase PPN dari Negara anggota Uni Eropa berbeda namun Negara-negara anggota Uni Eropa pasti akan menerapkan skema GSP umum dari preferensi tariff Uni Eropa serta skema presentase Most Favoured Nations. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia selaku competent authorithy berupaya untuk mendapatkan skema yang lebih baik dari GSP umum di tingkat Uni Eropa sebagai Otoritas dari Negara-negara anggotanya. Skema GSP+, EBA, dan FTA adalah skema yang paling diinginkan Negaranegara eksportir kakao termasuk Indonesia, namun untuk mendapatkan skema tersebut tidaklah mudah. Untuk GSP+ dan EBA produk kakao sendiri sudah dijelaskan dalam ketentuan rules of origin GSP dijelaskan bahwa kandungan gula dalam produk HS 4 digit yang disebutkan (cocoa and cocoa preparations) tidak boleh lebih dari 40% berat produk jadi kakao begitu juga dengan gula dan bahan tambahan lain yang jika diakumulasikan beratnya tidak boleh lebih dari 60% produk jadi. Namun ada ketentuan lain dalam GSP+ dimana untuk mendapatkan skema tersebut Negara-negara eksportir tersebut harus menerapkan standar Internasional terhadap kebebasan manusia dan buruh, perlindungan lingkungan, perlawanan terhadap obat-obatan terlarang serta pemerintahan yang bersih dimana ketentuan untuk mendapatkan skema ini diatur dalam Council Regulation (EC) No 1154/98. Negara-negara penerima GSP+ tersebut antara lain; Armenia, Azerbaijan, Bolivia, Cape Verde, Colombia, Costa Rica, El Salvador, Georgia, Guatemala, Hoduras, Mongolia, Nicaragua, Paraguay, Peru, dan Venezuela. Skema lain dari GSP adalah Everything But Arms (EBA) dimana skema ini diperuntukkan kepada Negara-negara tertinggal yang ingin mengekspor produknya terutama kakao 12 ) Market Survey Produk Kakao di Pasar Jerman (Departemen Perdagangan, 2010). 46 menuju pasar Uni Eropa. Skema EBA dibuat pada tahun 2001 dimana Negaranegara penerimanya mendapatkan akses penuh untuk bebas bea masuk serta bebas kuota. Mengenai syarat produk kakao yang ingin masuk pasar UE sama ketentuan rules of origin yang berlaku dalam GSP umum dan GSP+. Saat ini ada 49 negara yang menerima skema ini dengan rincian 33 negara dari Afrika, 10 negara dari Asia, 5 negara dari Australia & Pacific dan satu Negara dari Caribea. FTA atau Free Trade Area merupakan perjanjian bilateral Uni Eropa terhadap satu Negara atau lebih yang mencakup perjanjian Negara – Negara asosiasi. Ada beberapa bentuk kerjasama yaitu kerjasama bilateral dimana hanya UE dan satu Negara yang melakukan perjanjian perdagangan ataupun kerjasama. antara UE dengan asosiasi Negara-negara ekspor. Kerjasama bilateral dalam perdagangan sebenarnya mempunyai tujuan untuk mengurangi hambatanhambatan perdagangan, memperjelas aturan yang berlaku untuk exportir, importer, dan investors, membuat sebuah jalur perdagangan yang baru, liberalisasai investasi dan aliran modal, untuk melindungi hak kekayaan intelektual. Hal ini pula yang berlaku dalam FTA di Uni Eropa salah satu bentuk kerjasamanya adalah mengurangi bea masuk sampai 0% berbagai produk perdagangan salah satunya kakao. Sedangkan untuk kerjasama UE dengan asosiasi Negara eksportir salah satu kerjsamanya bernama EPAs (Economic Partnership Agreements). Economic Partnership Agreements (EPAs) adalah bentuk kerjasama perdagangan dan pembangunan antara Negara Africa, Karibia, dan Pasifik dimana kerjasama ini bertujuan untuk meningkatkan liberalisasi perdagangan dan mempererat hubungan dagang antar Uni Eropa dengan Negaranegara. Economic Partnership Agreements (EPAs) juga memperhatikan kondisi komoditi unggulan Negara-negara ACP dengan membentuk perjanjian-perjanjian interim secara spesifik. Pantai Gading dan Ghana merupakan salah satu contoh Negara-negara yang membentuk kerjasama Interim kembali dalam EPAs hal ini dikarenakan Pantai Gading dan Ghana mempunyai komoditi unggul yaitu kakao dimana pasar kakao sendiri yang paling utama ada di wilayah Uni Eropa. Salah satu bentuk kerjasama pembebasan bea tariff kakao yang masuk di wilayah UE apabila kakao tersebut memang memenuhi. Bentuk kerjasama itu pun diberikan berbeda pula di Negara lainnya seperti Papua Nugini yang merupakan importer ikan, Kenya dan Tanzania yang memproduksi tekstil dan lain-lain (EPAs, EC). Berdasarkan identifikasi perbedaan tariff ekspor kakao Indonesia dengan eksportir kakao Negara lain terdapat dua kemungkinan skema yang bisa didapat Indonesia dalam mendapatkan pengurangan bea masuk ekspor kakao ke UE yaitu GSP+ dan FTA. Pertama untuk GSP+ Indonesia mempunyai kelebihan di mata Uni Eropa antara lain kondisi Makro Indonesia dimana antara tahun 2004-2008 Indonesia berada dalam kisaran 5%-6% adanya keseimbangan APBN, utang Negara, inflasi dan lain-lain. Namun terdapat banyak faktor yang membuat Indonesia sulit untuk mendapatkan skeman ini yaitu infrastruktur yang tidak memadai, pemerintah yang belum bersih dan tidak transparan dimana hal itu memang tidak bisa dipenuhi untuk mendapatkan skema GSP+ yang memang mengharuskan pemerintahan dan kondisi lingkungan yang baik untuk mendapatkannya13. 13 ) Kajian kerjasama bilateral UE-Indonesia, 2012 47 Untuk FTA sendiri Indonesia masih belum melakukan kerjasama ini. Uni Eropa sendiri sedang melakukan negosiasi FTA dengan Negara ASEAN namun UE hanya melakukan kerjasama ke Negara-negara ASEAN seperti Thailand, Singapura, dan Malaysia. Saat ini terdapat kerjasama bilateral antara UEIndonesia mencakup 6 bidang dimana bentuk kerjasama itu merupakan pencarian dana sebesar €300 juta euro selama periode 2011-2014. Salah satu kerjasamanya adalah bidang ekonomi dalam bentuk Program Dukungan Perdagangan UEIndonesia. Salah satu proyek dari Program dukungan Perdagangan UE-Indonesia adalah panduan Ekspor Indonesia yaitu Informasi Peraturan Teknis Panduan Ekspor Indonesia (Inatrims) yang menyediakan informasi untuk eksportir berbagai macam produk salah satunya adalah komoditi kakao. Secara spesifik kakao Indonesia saat ini belum mampu bersaing di pasar UE karena UE sendiri lebih menyukai ekspor kakao dalam hal ini biji kakao fermentasi dibandingkan non-fermentasi. Selain itu terdapat beberapa aturan seperti rules of origin yang belum bisa dipenuhi Indonesia guna mendapatkan skema tersebut. Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Kakao serta Melihat Pengaruhnya dalam Perdagangan Uni Eropa Saat ini kebijakan pemerintah memang berfokus untuk peningkatan industri dalam negeri. Dampak dari kebijakan ini dilematis karena di satu sisi meningkatkan industri kakao dalam negeri, namun di sisi lain sangat memberatkan petani serta eksportir yang langsung mengeksportir biji kakao menuju luar negeri. Namun dari sisi industri kakao dimana pemerintah Indonesia memang berfokus untuk peningkatan industri kakao kebijakan ini dianggap tepat. Hal itu dikarenakan jika biji kakao tetap diekspor oleh petani kakao dan eksportir maka posisi tawar kita masih lemah karena kualitas biji kakao Indonesia yang masih buruk dibandingkan dengan Negara-negara eksportir kakao seperti Pantai Gading dan Ghana. Apalagi Uni Eropa menerapkan persyaratan mutu dan keamanan pangan yang ketat, salah satunya adalah khusus biji kakao UE memang lebih mengutamakan biji kakao fermentasi dibandingkan biji kakao nonfermentasi. Kebijakan Peraturan Menteri Keuangan No 67/PMK.0211/2010 saat ini merupakan kebijakan terbaru pemerintah Indonesia untuk perdagangan kakao Indonesia yang menitikberatkan pada bea keluar biji kakao Indonesia. Berdasarkan jurnal Dampak Kebijakan Bea Keluar terhadap Industri Pengolahan Kakao, diharapkan produk kakao khususnya biji kakao (HS 1801) mampu dimanfaatkan dengan optimal di dalam negeri. (ditjen PPHP). Secara umum kebijakan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) ini dibuat untuk melalui koordinasi antara Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan. Alur Proses Pengambilan Keputusan Permenkeu tersebut dapat dilihat pada gambar 10. 48 Terbitkan Draft PMK dan kajian draft Menteri Keuangan PMK Pendapat Biro Hukum Kementerian Keuangan Draft & Kajian Pendapat Pelaku Pasar Tim Tarif Koordinasi Koordinasi Kementerian Pertanian Kementerian Perindustrian Kementerian Perdagangan Gambar 10 Proses Pengambilan Keputusan Permenkeu Sumber: Syadullah, 2012 Selain itu pemerintah melalui Kementrian Pertanian sebelumnya telah melakukan Program Gerakan Kakao Nasional. Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao (Gernas) adalah upaya percepatan perbaikan budidaya tanaman kakao rakyat dalam rangka peningkatan produktivitas tanaman dan mutu hasil kakao nasional dengan memberdayakan/melibatkan secara optimal seluruh potensi pemangku kepentingan serta sumberdaya yang ada di 5 provinsi meliputi 29 kabupaten sentra kakao yang terkena serangan hama dan penyakit dengan kategori sedang dengan berat 14 . Gernas sendiri merupakan implementasi dari kebijakan; Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1643/kpts/OT.160/12/2008 tanggal 2 Desember 2008 tentang Penyelenggaraan dan Pembentukan Tim Koodinasi Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional dan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 3540/Kpts/OT.160/10/2010 tanggal 26 Oktober 2010 tentang Penyelenggaraan dan Pembentukan Tim Koordinasi Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao. Kebijakan di Indonesia yang berkaitan dengan komoditi kakao dapat dilihat pada Tabel 19. 14 ) Pedoman Umum Gernas Kakao Tahun 2012 49 Tabel 19 Kebijakan-kebijakan Indonesia yang berkaitan dengan komoditi kakao. No 1 Regulasi Undang-undang nomor 12 Tahun 1992 2 Undang-undang 18 Tahun 2004 3 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 4 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1995 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 5 6 7 Nomor Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 Keterangan Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478); Tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 85; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411); Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839; Tentang Perbenihan Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3616). Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); Tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu; Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia juncto Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005. Sumber: Pedoman Umum Gernas Tahun 2012 , 2013 Kebijakan-kebijakan yang berpengaruh terhadap kakao di Indonesia memang lebih fokus dalam pengembangan industri dalam negeri. Hal ini dikarenakan di pasar dunia, mutu kakao Indonesia dinilai rendah karena mengandung keasaman yang tinggi15. Oleh karena itu dengan kebijakan-kebijakan terbaru yaitu Kebijakan Peraturan Menteri Keuangan No 67/PMK.0211/2010 serta program Gernas dimaksudkan untuk meningkatkan produksi khususnya biji kakao dan produk (biji kakao) tidak secara langsung diperdagangkan dengan skala Internasional (ekspor). Dengan begitu, industri kakao dalam negeri akan meningkat baik dari jumlah industri maupun kapasitas. Berikut ini adalah data industri kakao di Indonesia yang didapat dari Asosiasi Industri Kakao Indonesia yang disajikan pada Tabel 20. Dari data tersebut ada empat perusahaan industri baru yang mengolah produk kakao dalam negeri. Bahkan terdapat peningkatan pengolahan kakao pada perusahaan industri dalam negeri dengan rasio peningkatan sebesar 86%. Dari data terlihat dampak dari Kebijakan Peraturan Menteri Keuangan No 67/PMK.0211/2010 . Dengan menerapkan bea keluar terhadap biji kakao, biji kakao akan berada di pasar dalam negeri sehingga bahan baku pengolahan kakao bisa diolah di dalam negeri, dengan mengubah biji kakao menjadi produk setengah jadi seperti kakao bubuk, lemak atau produk jadi seperti coklat akan membuat nilai kakao semakin bertambah. Dengan pertambahan nilai baik dari kuantitas ataupun kualitas produk kakao Indonesia akan mempunyai daya saing yang lebih baik dalam perdagangan Internasional. 15 ) Gambaran sekilas industri kakao, Departemen Perindustrian tahun 2007. 50 Tabel 20 Daftar Industri kakao Indonesia. No Perusahaan Lokasi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Total PT. General Food Industri PT. Bumitangerang M PT. Davomas Abadi PT. Industri Kakao Utama PT. Maju Bersama C PT. Kopi Jaya Kakao PT. Effem Indonesia PT. Budidaya Kakao L PT. Cacao Wangi M PT. Teja Sekawan PT. Unicorn Kakao M PT. Cocoa Ventures PT. Kakao Mas Gemilang PT. Mas Ganda PT. Poleko Cocoa I PT. Asia Cocoa Bandung Kapasitas Pengolahan (kg) 2010 2011 6 5000 8 0000 Rasio Peningkatan (%) 23 Tanggerang 37 000 65 000 75 Tanggerang Kendari 5 000 0 10 000 0 100 0 Makassar Makassar Makassar Surabaya 3 000 0 8 000 0 1 0000 3 000 10 000 5 000 230 25 - Tanggerang Surabaya Makassar 0 8 000 3 000 5 000 8 000 5 000 0 67 Medan Tanggerang 7 000 6 000 14 000 6 000 100 0 Tanggerang Makassar Batam 5 000 3 000 0 150 000 5 000 4 000 50000 280 000 0 33 0 86 Sumber: The Asian Cocoa Industri, (BT Cocoa Indonesia, 2013) Meskipun kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan kakao Indonesia fokus untuk pengembangan dalam negeri, namun secara tak langsung berdampak pula terhadap perdagangan Internasional kakao Indonesia sendiri.Untuk Uni Eropa sendiri sampai pada tahun 2012 nilai impor produk kakao Indonesia hampir mencapai US$ 12 juta. Memang pada tahun tersebut nilai ekspor mengalami penurunan, namun nilai tersebut masih cukup besar. Berikut ini adalah data nilai impor kakao Uni Eropa dari Indonesia pada Gambar 11. 51 20000000 18000000 16000000 14000000 12000000 10000000 80000000 60000000 40000000 20000000 0 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Gambar 11 Nilai Impor Kakao Uni Eropa dari Indonesia. Sumber: Euopean Commision (2013) Dari grafik tersebut, pada tahun 2003-2009 nilai impor kakao dari Indonesia berada diantara US$ 5 juta s/d US$ 10 juta dollar. Nilai impor paling tinggi berada pada tahun 2010 yang mencapai US$ 18,6 juta dollar. Namun pada tahun 2011 dan 2012 nilai impor mengalami penurunan, hal ini dikarenakan Kebijakan Peraturan Menteri Keuangan No 67/PMK.0211/2010 mulai berlaku sehingga biji kakao (HS1801) tertahan di dalam negeri (Indonesia), sehingga ekspor biji kakao juga menurun. Namun nilai impor pada dua tahun terakhir masih cukup tinggi jika dibandingkan nilai impor antara tahun 2003-2009. Memang kebijakan terbaru kakao di Indonesia saat ini berdampak tidak langsung tehadap nilai ekspor namun, kebijakan terbaru ini sangat berpengaruh terutama dalam bentuk ekspor. Sebelum tahun 2010 Uni Eropa lebih banyak menerima impor dalam bentuk biji (HS 1801), namun setelah tahun 2010 impor biji kakao mengalami penurunan, namun produk-produk kakao lainnya mengalami peningkatan. Dengan peningkatan impor ini diharapkan produkproduk kakao selain biji kakao juga meingkatkan daya saing Indonesia di perdagagan Internasional khususnya Negara-negara di Uni Eropa. Berikut ini adalah data-data volume impor kakao dalam bentuk HS 4 digit. Grafik tersebut menunjukkan fluktuasi-fluktuasi produk kakao, dimana biji kakao (HS 1801) selalu menjadi produk kakao yang cukup besar volume impornya. Namun dalam 2 tahun terakhir yaitu tahun 2011-2012 mengalami penurunan. Tahun 2010 dimana volume impor biji kakao mencapai 36 juta kg mengalami penurunan yang pada tahun 2011 dengan volume impor 11 juta kg bahkan pada tahun 2012 hanya mengimpor sebesar 5 juta kg. Menurut sekretaris Asosiasi Kakao Indonesia ekspor produk biji kakao (HS 1801) dari Indonesia akan terus menurun karena permintaan pasar local masih signifikan 16. 16 ) Ekonomi inilah.Com diunduh pada 12 September 2013. 52 Gambar 12 Volume Impor Uni Eropa dari Indonesia berdasarkan HS 4 digit. Sumber: European Commision (2013) *Dikelompokkan berdasarkan satuan volume impor. Keterangan: 1801: Biji kakao, utuh atau rusak, fermentasi atau non-fermentasi. 1802: Kulit, sekam dan produk-produk kakao lainnya. 1803: Pasta kakao dengan atau tanpa lemak. 1804: Mentega, minyak, dan lemak kakao. 1805: Kakao bubuk dengan atau tanpa gula. 1806: Coklat dan makanan lain yang terbuat dari kakao. 53 Untuk produk kakao kulit sekam, dan produk-produk lainnya (HS 1802) memang sedikit volume impor dengan jumlah 69.800 kg pada tahun 2012. Namun dari Grafik tersebut bisa kita lihat ada jumlah peningkatan yang signifikan bahkan menjadi yang tertinggi dalam waktu 10 tahun terakhir. Produk kakao ini merupakan produk-produk limbah kakao, namun produk ini masih bisa digunakan untuk keperluan lain seperti pupuk hijau, single cell protein, gas bio, pectin, alkohol, jelly, plastic filler, bahan bakar17. Walaupun biji kakao mengalami penurunan, peningkatan volume impor yang signifikan terjadi pada produk pasta kakao (HS 1803). Volume impor pasta kakao memang yang paling tinggi diantara produk kakao lainnya. Namun, dalam Harmonysed System (HS) produk pasta kakao dibagi menjadi dua yaitu; pasta kakao tanpa lemak (HS 18031) dan pasta kakao dengan lemak (HS 18032). Volume impor pasta kakao (1803) pada tahun 2011 mencapai 51 juta kg meskipun mengalami penurunan pada tahun 2012 dengan volume impor sebesar 41 juta kg, namun jumlah tersebut masih cukup besar jika dibandingkan dengan produk biji kakao. Selain itu, produk kakao lain seperti; juga mengalami peningkatan yang signifikan meskipun volume impor tidak sebesar biji kakao dan pasta kakao. Selain Pasta kakao produk yang mempunyai volume impor yang tinggi adalah Cocoa Butter (HS1804). Dari grafik tersebut impor dari Indonesia cenderung menurun namun jumlah produk yang diimpor pada tahun 2012 mencapai 26 juta kg. Cocoa Butter sendiri adalah bahan baku utama untuk membuat produk-produk coklat dan juga digunakan dalam produk perawatan kecantikan 18 . Kakao Bubuk (HS 1805) merupakan produk setengah jadi dari kakao, biasanya produk ini menjadi bahan baku industri coklat di Uni Eropa seperti. Pada tahun 2002-2009 produk ini cenderung mengalami penurunan namun mengalami peningkatan setelah periode tersebut dan berhasil mencapai volume impor 3.5 juta kg pada tahun 2012 mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yang mencapai 4.8 juta kg. Terakhir adalah Coklat (HS 1806), volume produk ini memang paling sedikit diantaranya produk lainnya dengan volume impor sekitar 800 kg. Meskipun sedikit, grafik tersebut bisa menjadi indikasi bahwa produk Coklat (HS 1806), produk jadi dari tanaman kakao bisa diterima di Uni Eropa yang notabene merupakan Negara-negara konsumen terbesar coklat dan memiliki standar yang tinggi pada produk ini. Dua kebijakan terbaru untuk komodity kakao yaitu program gernas dan Peraturan Menteri Keuangan No 67/PMK.0211/2010 di Indonesia bertujuan untuk pengembangan di dalam negeri. Memang terdapat kebijakan-kebijakan lain yang berkaitan dengan kakao, namun dua kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang penerapannya langsung terhadap komodity kakao. Dampak dari dua kebijakan itu adalah produksi biji kakao semakin meningkat sehingga bahan baku produk kakao olahan seperti kakao pasta, bubuk, hingga coklat tersedia di dalam negeri. Dengan bahan baku yang bertambah maka semakin bertambah pula industri-indusri kakao yang berada di Indonesia baik dari jumlah industri (pabrik pengolahan) dan/atau kapasitas grindings sehingga ekspor kakao diharapkan menngkatkan khususnya produk-produk selain biji kakao (HS 1801). Namun jika hanya kebijakan ini yang diterapkan maka hanya menguntungkan pihak industri pengolah kakao. Sementara untuk eksportir akan kesulitan untuk mengekspor biji 17 18 ) Gambaran Sekilas Industri Kakao, 2007. ) Market Brief Kemendag-ITPC, Lyon 2013. 54 kakao dikarenakan bea keluar yang ditetapkan melalui Permnenkeu tersebut berkisar 5%-15%. Sedangkan untuk petani, biji kakao Indonesia saat ini mutunya masih rendah jika dibandingkan dengan Negara lain karena mutu yang rendah tersebut dikarenakan biji kakao Indonesia masih belum fermentasi. Untuk harga biji kakao dalam negeri saja berkisar 20 000 s/d 25 000 tiap satu kilogramnya. Selain itu untuk mengembangkan industri kakao dalam negeri. Pada tahun 2012 impor kakao Indonesia mencapai sekitar 53 000 ton dengan nilai US$ 194 juta. Karena hal itu untuk mengembangkan industri kakao dalam negeri, Indonesia masih mengimpor kakao untuk meningkatkan kualitas produksinya. Oleh karena itu sekarang Kementrian Pertanian menyusun Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) tentang Persyaratan Mutu dan Pemasaran Biji Kakao. Perkembangan draft Permentan ini pun sudah pada tahap publik hearing yang dilaksanakan pada tanggal 23 Juli 2013. Diharapkan peraturan ini bertujuan meningkatkan daya saing dan nilai tambah biji kakao Indonesia baik di dalam maupun luar Negeri19. KESIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil pada pembahasan penelitian maka dapat disimpulkan: 1. Kebijakan Perdagangan Internasional oleh Uni Eropa yang berpengaruh terhadap ekspor kakao Indonesia yaitu: kebijakan tariff berupa tariff dengan skema GSP yang masih tergolong tinggi khususnya produk olahan kakao yang berkisar 6.1%2.8%, serta kebijakan non tariff yaitu Regulasi (EC) No 178/2002, Regulation (EC) 852/2004, Regulasi (EC) No 1107/2009, Regulasi (EC) No 396/2005, Regulasi (EC) 852/2004, Council Regulation (EC) No 834/2007, Commision Regulation (EC) No 889/2008, dan Directive 2000/36 sertifikasi kakao serta Directive 2000/13 mengenai pelabelan. Dari notifikasi RASFF berdasarkan jenis risiko relatif kelompok produk kopi, kakao, dan tea adalah ketidaksahan produk tersebut yang masuk dalam pasar Uni Eropa. Khusus produk kakao Indonesia belum ada jumlah pasti penolakan kakao yang diekspor menuju Uni Eropa namun pada tahun 2012 terjadi penolakan perbatasan atas kakao bubuk dikarenakan tingginya kandungan timbal (ref.2012.BLX). 2. Terdapat dua skema tariff di Uni Eropa yaitu GSP yang terbagi lagi dengan skema GSP, GSP+, dan EBA dan FTA contohnya adalah skema Economic Partnership Agreement (EPAs). Indonesia masih mendapatkan skema GSP umum dalam mengekspor produksi kakao. Masih ada dua kemungkinan Indonesia mendapatkan skema dengan bea masuk kakao 0% yaitu GSP+ dan FTA. 3. Untuk kakao, saat ini Indonesia menerapkan kebijakan Peraturan Menteri Keuangan No 67/PMK.0211/2010 tentang penerapan bea keluar biji kakao sebesar 5%-15% dan Gernas unuk meningkatkan produktivitas kakao.. Belum ada kebijakan yang pasti tentang kebijakan ekspor kakao menuju Uni Eropa bahkan nilai impor kakao Uni Eropa dari Indonesia mengalami penurunan karena, namun berdasarkan data European Commision, ada peningkatan volume impor kakao Uni 19 ) tempo 23 Juli 2013 diunduh 16 Sept 2013 55 Eropa selain biji kakao (HS 1801). Saat ini pemerintah Indonesia melalui Kementrian Pertanian menyusun Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) tentang Persyaratan Mutu dan Pemasaran Biji Kakao yang sudah sampai pada tahap publik hearing pada November 2013. Saran Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini yaitu: 1. Agar kakao Indonesia dapat diterima di pasar Uni Eropa , Indonesia sebagai eksportir perlu mengkaji kebijakan-kebijakan perdagagan Uni Eropa terutama Regulasi European Communities (EC) No 178/2002 tentang persyaratan pangan, tentang persyaratan pangan, Regulation (EC) No 852/2004 tentang prinsip-prinsip Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), dan kebijakan Directive 2000/36/EC yang merupakan „kebijakan kakao‟ karena dalam kebijakan ini terdapat ketentuan-ketentuan produk kakao yang dikonsumsi di Uni Eropa. 2. Dalam skema tariff komoditi kakao, Indonesia masih medapatkan skema tariff GSP. Ada dua kemungkinan skema tariff yang bisa didapatkan Indonesia yaitu GSP+ dan FTA. Dari dua kemungkinan tersebut FTA (Free Trade Agreement) merupakan opsi yang lebih baik, karena saat ini Indonesia dan Uni Eropa sudah menjalin kerjasama perdagangan di bidang informasi perdagangan dengan adanya Indonesia Trade Management System (Inatrims). Diharapkan ada kerjasama yang lebih baik salah satunya penurunan skema tariff. 3. Saat ini dua kebijakan terbaru kakao di Indonesia sudah baik karena meningkatkan industri kakao dalam negeri dan „ekspor‟ kakao Indonesia selain produk biji kakao. Untuk itu kebijakan terbaru yaitu draft Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) tentang Persyaratan dan Mutu biji Kakao segera „disahkan‟ sehingga ada aturan yang lebih kuat dan jelas untuk meningkatkan kualitas kakao khususnya biji kakao. 4. Perlu penelitian lanjut mengenai analisis kebijakan kakao tersebut dengan studi kasus terhadap pelaku-pelaku agribisnis kakao Indonesia yang mengekspor produknya menuju Uni Eropa serta pengaruh kebijakannya. 5. Penelitian untuk melihat pengaruh kebijakan Negara importer kakao Indonesia lainnya seperti Amerika Serikat, Jepang, Malaysia dan lain-lain perlu dilakukan untuk melihat daya saing kakao Indonesia di pasar Internasional. DAFTAR PUSTAKA Departemen Perdagangan. 2010. Market Survey Produk Kakao di Pasar. Jerman. Hamburg. Departemen Pertanian. 2004. Laporan Peluang Ekspor Komoditi Kakao di Uni Eropa. Dirjen Perkebunan. 2012. Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Rempah dan Penyegar. Kementerian Pertanian. 56 Dunn WN. 1998. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press Eristya. 2012. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekspor Komoditas Kakao Indonesia ke Kawasan Uni Eropa. [Skripsi]. Bogor (ID): Instititut Pertanian Bogor. [EU]. Europa Union. 2013. European Commision. Trade Export Helpdesk. http://exporthelp.europa.eu/thdapp/index.htm?newLanguageId=EN . [15 September 2013] Halwani H.2002. Ekonomi Internasional & Globalisasi Ekonomi. Jakarta. Ghalia Indonesia. Indonesiamission-Europa Union. Laporan Peluang Ekspor Komoditi Kakao di Uni Eropa. Jakarta. 2005 J.Trebilcock Michael, Howse Robert. 2005. The Regulation of International Trade. New York (US): Taylor & Francis Group. [Kemendag]. Kementerian Perdagangan. 2014. Inatrims [Internet]. [diunduh 13September 2014]. Tersedia pada: http://inatrims.kemendag.go.id/id/ product/detail/kakao_1. Kartadjoemena.H.S. 1997. GATT WTO dan Hasil Uruguay Round.Jakarta.UI Press. Kementerian Pertanian. 2012. Perkembangan volume dan nilai ekspor komoditas primer perkebunan sampai dengan triwulan III 2012. Malaysia Cocoa Board. 2013. Malaysia: Tariff Rate On Cocoa Beans and Product 2013.http://.koko.gov.my/lkm/loader.cfm?page=Industri/statistik/tarifs.cf m [23 Agustus 2013] Nababan, Samuel C. 2012. Penerapan Kebijakan Perdagangan Internasional di Uni Eropa dan Pengaruhnya Terhadap Ekspor Udang Indonesia. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Rastikarany H. 2008. Analisis Pengaruh Kebijakan Tarif dan Nontarif Uni Eropa Terhadap Ekspor Tuna Indonesia. [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Rahmita. 2009. Pengaruh posisi Persaingan [Internet]. [Diunduh 13 Maret 2014]. 15. 235-248. Tersedia pada related:lontar.ui.ac.id/file?file=digital/ 1270286682-Pengaruh%20posisi-Literatur.pdf teori perdagangan internasional Saragih B. 2000. Agribisnis Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi Indonesia Dalam Era Millenium Baru. Jurnal Studi Pembangunan, Kemasyarakat dan Lingkungan. Volume 2. Nomor 1 Tambunan.T.H. Tulus.2004. Globalisasi dan Perdagangan Internasional.Bogor. Ghalia Indonesia. 57 Lampiran 1 Annex I dan II Directive 2000/36/EC ANNEX I Nama Dagang, Definisi, dan Karakteristik Produk A. Nama Dagang dan Definisi. 1. Kakao Mentega Lemak kakao yang didapat dari biji kakao atau sebagian dengan karakteristik sebagai berikut: Kandungan asam lemak (dinyatakan sebagai asam oleat) tidak lebih dari 1.75% tidak Hal unsaponifiable lebih 0.5% ( dengan menggunakan petroleum eter) 2. Kakao bubuk, kakao a. Bubuk kakao, kakao Menunjuk produk yang diperoleh dengan mengkonversi menjadi biji kakao yang telah dibersihkan, dikupas dan panggang, menjadi bubuk kakao yang tidak kurang dari 20% cocoa butter, dihitung sesuai dengan berat kering masalah, dan tidak lebih dari 9% air. b. Kakao rendah lemak, bubuk kakao rendah lemak Menunjuk pada kakao bubuk yang mengandung kurang dari 20% lemak kakao, dihitung dari berat kering materi tersebut. c. Coklat bubuk, coklat dalam bentuk bubuk Menunjuk pada produk yang terdiri dari campuran kakao bubuk dan gula, mengandung tidak kurang dari 32% bubuk kakao. d. Minuman coklat, coklat manis, bubuk coklat manis Menunjuk pada produk yang terdiri dari campuran kakao bubuk dan gula, mengandung tidak kurang dari 25% kakao bubuk, nama produk harus dicantumkan „rendah lemak‟ jika produk tersebut merupakan rendah lemak sesuai dengan criteria bagian (b) 3. Coklat a. Menunjuk produk yang diperoleh dari produk kakao dan gula yang sesuai pada bagian (b) mengandung tidak kurang dari 35% total padatan kakao kering, termasuk tidak kurang dari 18% cocoa butter dan tidak kurang dari 14% kering tanpa lemak padatan kakao; b. Berikut adalah nama-nama produk o vermicelli‟ or „flakes‟: produk yang disajikan dalam bentuk butiran atau serpihan harus mengandung tidak kurang dari 32% total padatan kakao kering, termasuk tidak kurang dari 12% cocoa butter dan tidak kurang dari 14% kering padatan kakao non-lemak; 58 o ‘couverture‟ produk harus mengandung tidak kurang dari 35% total padatan kakao kering, termasuk tidak kurang dari 31% cocoa butter dan tidak kurang dari 2,5% dari padatan kakao non-fat kering; o 'Gianduja' (atau salah satu turunan dari kata 'gianduja') coklat kacang: produk harus diperoleh pertama dari cokelat memiliki kakao kering total padatan isi minimum dari 32% termasuk kering minimal nonlemak kakao kandungan padatan dari 8%, dan kedua dari hazelnut ditumbuk halus dalam jumlah sedemikian rupa sehingga 100 g produk mengandung tidak kurang dari 20 g dan tidak lebih dari 40 g hazelnut. Berikut dapat ditambahkan: (a) susu dan / atau padatan susu kering diperoleh dengan penguapan, dalam proporsi sedemikian rupa sehingga produk jadi tidak mengandung lebih dari 5% padatan susu kering; (b) almond, hazelnut dan varietas kacang lainnya, baik utuh atau pecah, dalam jumlah seperti itu, bersama-sama dengan hazelnut tanah, mereka tidak melebihi 60% dari berat total produk. 4. Susu Coklat a) menunjuk produk yang diperoleh dari produk kakao, gula dan susu atau produk susu, yang, tunduk pada (b) yang berisi: - Tidak kurang dari 25% total padatan kakao kering, - Tidak kurang dari padatan susu kering 14% diperoleh sebagian atau seluruhnya dehidrasi susu, atau semisusu full-skim, krim, atau dari sebagian atau seluruhnya dehidrasi krim, mentega atau lemak susu, - Tidak kurang dari 2,5% padatan kakao non-fat kering, - Tidak kurang dari 3,5% lemak susu, - Tidak kurang dari 25% total lemak (cocoa butter dan lemak susu). ( b) Namun demikian , di mana nama ini dilengkapi dengan katakata : - ' vermicelli or flakes ' : produk yang disajikan dalam bentuk butiran atau serpihan harus mengandung tidak kurang dari 20 % total padatan kakao kering , tidak kurang dari 12 % padatan susu kering yang diperoleh sebagian atau seluruhnya dehidrasi susu , susu semi skim atau penuh , krim , atau dari sebagian atau seluruhnya dehidrasi krim , mentega atau lemak susu , dan tidak kurang dari 12 % total lemak ( cocoa butter dan lemak susu ) , - ' Couverture ' : produk harus memiliki total lemak minimum ( cocoa butter dan lemak susu ) isi 31 % , - ' Gianduja ' ( atau salah satu turunan dari kata ' gianduja ' ) kacang 59 susu coklat : produk harus diperoleh pertama dari cokelat susu memiliki kandungan minimal 10 % padatan susu kering , diperoleh sebagian atau seluruhnya dehidrasi susu , semi- atau full- skim susu, krim atau dari sebagian atau seluruhnya cream dehidrasi , mentega atau lemak susu dan kedua dari halus hazelnut tanah , dalam jumlah sedemikian rupa sehingga 100 g produk mengandung tidak kurang dari 15 g dan tidak lebih dari 40 g hazelnut . almond , hazelnut dan varietas kacang lainnya juga dapat ditambahkan , baik utuh atau pecah , dalam jumlah seperti itu, bersama dengan hazelnut tanah , mereka tidak melebihi 60 % dari berat total produk . (c) Dimana dalam nama ini kata 'susu' diganti dengan: - 'Krim': produk harus memiliki kandungan lemak susu minimal 5,5%, - 'Skim susu': produk harus memiliki kandungan lemak susu tidak lebih dari 1%. (d) Inggris dan Irlandia dapat mengizinkan penggunaan di wilayah mereka dengan nama 'susu coklat' untuk menunjuk produk sebagaimana dimaksud dalam angka 5, dengan syarat bahwa istilah disertai dalam kedua kasus oleh indikasi jumlah padatan susu kering ditetapkan untuk masing-masing dari dua produk, dalam padatan susu bentuk ': ...% Minimum '. 5. Susu coklat Keluarga Menunjuk produk yang diperoleh dari produk kakao, gula dan susu atau produk susu dan yang berisi: - Tidak kurang dari 20% total padatan kakao kering, - Tidak kurang dari 20% padatan susu kering yang diperoleh sebagian atau seluruhnya dehidrasi susu, semi-atau fullskimmed susu, krim, atau dari sebagian atau seluruhnya dehidrasi krim, mentega atau lemak susu, - Tidak kurang dari 2,5% padatan kakao non-fat kering, - Tidak kurang dari 5% lemak susu, - Tidak kurang dari 25% total lemak (cocoa butter dan lemak susu). 6. Coklat Putih Menunjuk produk yang diperoleh dari mentega, susu atau produk susu coklat dan gula yang berisi tidak kurang dari 20% cocoa butter dan tidak kurang dari 14% padatan susu kering yang diperoleh sebagian atau seluruhnya dehidrasi seluruh susu, semi-atau full skim susu, krim, atau dari sebagian atau seluruhnya dehidrasi krim, mentega atau lemak susu, yang tidak kurang dari 3,5% adalah lemak susu. 7. Coklat Isi Menunjuk pada produk coklat isi, yang merupakan produk bagian luar dari salah satu produk yang dijelaskan pada nomor 3,4,5,6. Sebutan coklat isi tidak berlaku pada bagian dalam produk roti, kue, biscuit, atau es. Coklat isi dalam hal ini beratnya tidak kurang dari 25% dari total produk. 8. Coklat Panas Menunjuk produk yang diperoleh dari produk kakao, gula, dan tepung atau pati dari gandum, beras atau jagung, yang berisi tidak kurang dari 35% total padatan kering kakao, termasuk tidak kurang dari 18% cocoa butter dan tidak kurang dari 14% padatan kakao kering tanpa lemak, dan tidak lebih dari 8% tepung atau pati. 60 9. Coklat Panas Keluarga Menunjuk produk yang diperoleh dari produk kakao, gula, dan tepung atau pati dari gandum, beras atau jagung, yang berisi tidak kurang dari 30% total padatan kering kakao, termasuk tidak kurang dari 18% cocoa butter dan tidak kurang dari 12% kering padatan non-lemak kakao, dan bukan tepung atau pati lebih dari 18%. 10. Coklat atau Praline Menunjuk produk dalam satu seteguk ukuran, yang terdiri dari: - Coklat penuh, atau - Cokelat tunggal atau kombinasi atau campuran cokelat dalam arti definisi yang diberikan dalam 3, 4, 5 atau 6 dan zat lainnya yang dapat dimakan, asalkan coklat merupakan tidak kurang dari 25% dari total berat produk. B. Bahan Resmi Pilihan Penambahan zat dimakan 1. Tanpa mengurangi Pasal 2 dan Bagian B (2), zat lainnya yang dapat dimakan juga dapat ditambahkan ke cokelat produk didefinisikan dalam Bagian A (3), (4), (5), (6), (8) dan (9). Namun, penambahan tersebut: - Lemak hewan dan bahan lainnya yang tidak hanya berasal dari susu, dilarang, - Tepung, butiran atau bubuk pati sah jika penambahan tersebut sesuai dengan definisi yang ditetapkan dalam Bagian A (8) dan (9).Jumlah zatzat dimakan ditambahkan tidak boleh melebihi 40% dari total berat produk jadi. 2. Hanya bahan penambah yang tidak meniru rasa cokelat atau lemak susu dapat ditambahkan ke produk didefinisikan dalam Bagian A (2), (3), (4), (5), (6), (8) dan (9). C. Perhitungan Presentasi. Isi minimum dari produk yang ditetapkan dalam Bagian A (3), (4), (5), (6), (8) dan (9) dihitung setelah dikurangi dari berat bahan ditentukan dalam Bagian B. Dalam kasus produk dalam Bagian A (7) dan (10). isi minimum dihitung setelah dikurangi berat bahan ditentukan dalam Bagian B, serta sebagai berat mengisi. Cokelat isi produk didefinisikan dalam Bagian A (7) dan (10) dihitung dalam kaitannya dengan total berat produk jadi, termasuk mengisi nya. D. Gula Gula sebagaimana dimaksud dalam Instruksi ini tidak terbatas hanya gula sesuai oleh Dewan Directive 73/437/EEC dari 11 Desember 1973 tentang pendekatan hukum Negara Anggota mengenai gula tertentu yang ditujukan untuk konsumsi manusia (1). 61 ANNEX II Lemak Nabati yang disebut dalam pasal 2 (1) Lemak nabati dimaksud dalam Pasal 2 (1) adalah, tunggal atau campuran, kakao setara mentega dan harus sesuai dengan kriteria sebagai berikut: a. lemak nabati non-laurat, yang kaya simetris trigliserida tak jenuh tunggal dari jenis POP, POST dan StOSt (1); b. mereka larut dalam proporsi apapun dengan cocoa butter, dan kompatibel dengan sifat fisik (titik lebur dan suhu kristalisasi, laju pencairan, perlu untuk tahap temper); c. mereka diperoleh hanya dengan proses pemurnian dan / atau fraksinasi, yang tidak termasuk modifikasi enzimatik Struktur trigliserida. Sesuai dengan kriteria di atas, lemak nabati berikut, diperoleh dari tanaman yang tercantum di bawah, dapat digunakan: Nama Umum Lemak Nabati Lemak Kalimantan (Tengkawang) Minyak Palem Garam Shea Kokum Gurgi Mango kernel Nama ilmiah dari tanaman dari mana lemak terdaftar dapat diperoleh Shorea spp. Elaeis guineensis Elaeis olifera Shorea robusta Butyrospermum parkii Garcinia indica Mangifera indica Selain itu, sebagai pengecualian di atas, Negara Anggota dapat memungkinkan penggunaan minyak kelapa untuk tujuan berikut: dalam coklat yang digunakan untuk pembuatan es krim dan produk beku serupa. 62 Lampiran 2 Prosedur Ekspor Indonesia Kegiatan ekspor-impor timbul disebabkan oleh adanya perbedaan sumber daya dan kemampuan yang dimiliki oleh setiap Negara dalam menghasilkan suatu barang yang dibutuhkan. Indonesia sebagai salah satu Negara yang sedang mengembangkan juga melakukuan kegiatan ekspor ke Negara lain, dan melakukan kegiatan impor dari Negara lain. Barang ekspor Indonesia umumnya adalah produk setengah jadi untuk industri, makanan, pakaian, dan hasil pertanian. Barang ekspor Indonesia sampai saat ini masih dapat bersaing dengan produk lain di pasar Internasional. Bagaimana prosedur ekspor barang? Berikut penjelasan lebih rinici mengenai prosedur ekspor barang di Indonesia secara umum: 1. Persiapan Mental Seseorang yang ingin bergelut di bisnis ekspor haruslah memiliki mental yang kuat dan berani dalam mengambil keputusan, setelah eksportir haruslah siap dalam menerima resiko yang mungkin akan terjadi dari keputusan yang telah diambilnya. Selain itu Anda haruslah mengutamakan kejujuran dalam kegiatan jual beli antar Negara seperti ini. Karena jika selaki saja anda melakukan, nama buruk Anda akan tersebar ke seluruh importer dari berbagai Negara. Hal ini disebabkan kuatnya persatuan importer antar Negara. 2. Lakukan Negosiasi dengan Importir dari Luar Negeri. Anda dapat melakukan negosiasi menyangkut prosedur pengiriman barang ekspor, standar, kualitas, harga, kontrak, dan kespekatan lain. Proses negosiasi biasanya dilakukan melalui email, namun ada beberapa eksportir yang bernegosiasi dengan bertemu langsung. 3. Siapkan Perizinan dan Dokumen yang diperlukan. Dokumen yang diperlukan dalam melakukan kegiatan ekspor diantaranya: Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), surat ini anda dapat diurus di Kementerian Perdagangan minimal di kota anda. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) surat ini dapat dibuat di kantor Pengumpul Pajak. Surat Izin Ekspor-Impor. 4. Atur Metode Pengiriman Barang. Metode Pengiriman barang sudah disepakati oleh eksportir dan importer dari luar negeri pada tahap negosiasi. Metode pengiriman barang dalam kegiatan ekspor dapat dengan menggunakan jasa pengiriman barang atau dikendalikan sendiri oleh perusahaan pengiriman barang atau dikendalikan 63 sendrir oleh perusahaan. Selain itu buatlah standar yang bagus dalam pengemasan barang ekspor tersebut selamat sampai tujuan. 5. Pemeriksaan Barang Ekspor Sebelum barang tersebut dapat dibawa keluar dari wilayah Negara Indonesia, barang tersebut harus menjalani proses pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Kegiatan ini berfungsi untuk memastikan bahwa brang yang dikirm tersebut memang sesuai dengan dokumen yang telah dilaporkan sebelumnya. 6. Pengangkutan. Setelah pemeriksaan tersebut selesai, barang ekspor sudah dapat dikirim ke Negara tujuan. Metode pengangkutan dilakukan sesuai dengan metode yang telah disepakati sebelumya. 7. Metode Pembayaran. Prosedur ekspor selanjutnya, metode pembayaran barang ekspor yang dilakukan pada umumnya adalah dengan menggunakan Letter of Credit (LC) yang dikeluarkan oleh bank. Baik itu eksportir atau importer harus memiliki rekening LC di bank Negara masing-masing. Sebelum barang tersebut dikirim importer telah membayarkan nilai yang disepakati sebelum dikirim kepada bank tempat membuka rekening. Setelah barang tersebut sampai, barulah bank membayarkan anda sebagai importer. Hal ini berfungsi agar tidak terjadi kecurangan di antara kedua pihak tersebut. 64 Lampiran 3 Alur Prosedur Ekspor Dalam Negeri Eksportir Barang 3.Penyim panan barang PROSEDUR EKSPOR 1.Koresponden si dan Pembuatan Luar Negeri Importir 2.Pemb uatan L/C Produksi barang Korespondensi/ receiving Bank 6 Pemesan an kapal Opening Bank Pelayaran atau penerbangan 7.Pendaftaran Fiat Muat PEE/PEBT Bea & Cukai Pelabuhan Muat Instansi Penerbitan SK 8.Pemuatan Barang Pengapalan barang Pelabuhan tujuan 65 Lampiran 4 Negara-negara penerima fasilitas GSP dan FTA dari Uni Eropa GSP Algeria American Samoa Anguilla Antarctica Antigua and Barbuda Argentina Aruba Bahamas Bahrain Barbados Belarus Belize Bermuda Botswana Bouvet Island Brazil British Indian Ocean Territory British Virgin Islands BruneiDarussalam Cameroon Cayman Islands Chile China Christmas Islands Cocos Islands (or Keeling Islands) Congo Cook Islands Cote d‟Ivoire Cuba Dominica GSP GSP+ Armenia Azerbaijan Bolivia Cape Verde Colombia Costa Rica Ecuador El Salvador Georgia Guatemala Honduras Mongolia Nicaragua Paraguay Peru Sri Lanka Venezuela FTA EBA Afghanistan Angola Bangladesh Benin Bhutan Burkina Faso Burma/Myanmar Burundi Cambodia Central African Republik Chad Comoros Islands Congo, Democratic Republik of Djibouti East Timor Equatorial Guinea Eritrea Ethiopia Gambia Guinea Guinea-Bissau Haiti Kiribati Laos Lesotho Liberia Madagascar Malawi Maldives Mali Mauritania Mozambique Nepal Niger Rwanda Algeria Mesir Israel Jordan Lebanon Maroko Otorotas yang berwenang untuk Palestina Syria Tunisia Chili Meksiko Africa Selatan Kamerun Amerika Tengah Peru-Colombia Andorra Turki San Marino 66 Dominican Republik Egypt Falkland Islands Federal States of Micronesia Fiji French Polynesia French Southern Territories Gabon Ghana Gibraltar Greenland Grenada Guam Guyana Heard Island and MacDonald Island India Indonesia Iran Iraq Jamaica Jordan Kazakhstan Kenya Kuwait Kyrgyzstan Lebanon Libya Macao Malaysia Marshall Islands Mauritius Mayotte Mexico Montserrat Morocco Samoa São Tomé & Principe Senegal Sierra Leone Solomon Islands Somalia Sudan Tanzania Togo Tuvalu Uganda Vanuatu Yemen Zambia 67 Namibia Nauru Netherlands Antilles New Caledonia Nigeria Niue Island Norfolk Island Northern Mariana Islands Oman Pakistan Palau Panama Papua New Guinea Philippines Pitcairn Qatar Russia Saudi Arabia Seychelles South Africa South Georgia and South Sandwich Islands St. Helena St. Kitts and Nevis St. Lucia St. Pierre and Miquelon St. Vincent and Northern Grenadines Surinam Swaziland Syria Thailand Tokelau Islands Tonga 68 Trinidad and Tobago Tunisia Turkmenistan Turks and Caicos Islands Ukraine United Arab Emirates Uruguay US Minor Outlying Islands Uzbekistan Vietnam Virgin Islands (USA) Wallis and Futuna Zimbabwe 69 RIWAYAT HIDUP Penulis merupakan anak Tunggal yang terlahir dari pasangan Bapak Muhammad Rochmad (alm) dan Muryati pada tanggal 11 Juli 1991 di Pasar Rebo, Jakarta Pada tahun 1995 penulis diterima sebagai siswa di TK Islam Bakti VII, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan sekolah dasar di SDN Gedong 05 Pagi pada tahun 1997, tahun 2003 dilanjutkan dengan pendidikan sekolah menengah pertama di SMPN 102 Jakarta, dan tahun 2006 dilanjutkan dengan pendidikan sekolah menengah atas di SMAN 104 Jakarta. Pada tahun 2009 penulis diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia, yaitu Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Disini penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Penulis aktif dalam kegiatan UKM Futsal pada tahun 2010 dan mengikuti Organisasi Sosial Economic Sharia Student Club (SES-C) pada tahun 2011 Selama menjalani pendidikan di bangku kuliah penulis juga aktif dalam beberapa kegiatan kepanitian, seperti MPD, MPF, dan Sportakuler. 7 8 59 73 .