Pengirim: Nama: Faisar Jihadi Alamat: Banda Aceh Thanks for sharing. Pertanyaannya siapa yang sedang jadi target investasi :-). Sepertinya yang dipromosikan adalah apa yang sudah diproduksi oleh masyarakat di lahan masyarakat. Terus diharapkan investor menanamkan investasi bagaimana? Apakah mereka diharap mau terus membeli karena produksi dijamis pasti ada? Siapa yang berani jamin? Apakah dokumen itu untuk mengundang investor yang akan mengolah bahan baku atau menjual bahan baku ke luar dari Aceh? Kalau ekspektasinya membuka pabrik, tidak ada info dimana lahan yang akan ditawarkan. Kalau datanya ada, biasanya pertanyaan investor yang pertama adalah dimana lokasi kawasan perkebunan yang mau dipromosikan? Artinya, dokumen pendukung investasi harus mengantisipasi dengan memberi info yang biasanya dalam bentuk peta, jumlah, lokasi, luas dan sebaran kawasan untuk dikelola sepenuhnya oleh swasta untuk ditawarkan selama jangka waktu maksimal keberadaan pabrik mereka diharapkan ada di Aceh. Misalnya apakah 50 tahun, 80 tahun, 100 tahun , 120 tahun bahkan di luar Aceh tidak sedikit juga yang lebih dari itu, sesuai dengan dengan komoditas perkebunan dan jumlah panen/produksi yang diharapkan agar layak mendirikan pabrik. Petanya juga seharusnya detil, karena lokasi yang dipetakan paling tidak ada di kisaran luas 5000, 15.000 hingga 20.000 hektar. Sedangkan peta di laporan terlampir itu sepertinya masih > 1:100.000 dan tidak ada informasi dimana lahan pemprov yang mau dipromosikan untuk dikelola private sector. Investor juga tidak mau buka pabrik kalau diminta bergantung dengan pasokan dari kebun milik masyarakat. Alasannya karena mereka tidak bisa kontrol produksi, mutu, harga jual akhir dan kapan akan BEP, termasuk kemungkinan masyarakat mengganti komoditas yang dibudidaya karena perusahaan tidak bisa memaksa masyarakat untuk menanam apa yang perusahaan inginkan. Kalau hanya memanfaatkan produksi masyarakat, biasanya bukan investor bonafide yang didapat, tapi justru makelar atawa agen yg ngaku investor. Ini kelemahan promosi investasi perkebunan masa Orba yang tidak perlu terulang. Mengundang mereka yang orientasinya mengekspor bahan baku, sama saja dengan mengundang lembaga yang akan mengekspor lapangan kerja ke luar aceh atau propinsi lain yang sudah memiliki lokasi yang memiliki industri pengolahan. Formatnya bisa mengembangkan format Dephut melelang izin pengelolaan kawasan hutan. Dokumen pendukung tidak harus tebal tapi sangat spesifik. Biasanya peta kawasan yang didalamnya ada attribut infrastruktur (kantor polisi, puskesmas,PLN, PDAM, dsb), permukiman masyarakat sekitar kawasan (termasuk komoditas pertanian yang dibudidayakan masyarakat), potensi fisik lahan (jenis tanah, kelerengan, kontur, jumlah hari hujan/tahun, iklim, dsb). Pada saat bersamaan, instrument MONEV yang akan digunakan juga harus disampaikan sejak awal. Ibarat KFC, kalau kita ke sana, sudah jelas paket yang dijual apa saja. Semoga strategi investasi Aceh ke depan ada perbaikan. Tidak berharap muluk-muluk, setidaknya bisa bersanding dengan propinsi dan kabupaten tetangga kita. Amiin.