konsentrasi peradilan agama jakarta - UIN Repository

advertisement
SKRIPSI
PENERAPAN ASAS CONTRA LEGEM DALAM PEMBAGIAN HARTA
BERSAMA (Analisis Putusan perkara Nomor : 1048/Pdt.G/2009/PA.Bbs di
Pengadilan Agama Brebes)
Diajukan
Kepada
Fakultas
Syariah dan
Hukum Untuk
Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
AHMAD DHIAUL AKIFIN
NIM : 108044100075
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H / 2014 M
ABSTRAK
Ahmad Dhiaul Akifin/108044100075/SAS/PERADILAN AGAMA
PENERAPAN ASAS CONTRA LEGEM DALAM PEMBAGIAN HARTA
BERSAMA (Analisis Putusan perkara Nomor : 1048/Pdt.G/2009/PA.Bbs di
Pengadilan Agama Brebes)/Peradilan Agama/Hukum Keluarga/Fakultas
Syariah dan Hukum/Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2013/(i,ii) 2 Halaman/1-91 Halaman/2 lampiran.
Berlakunya asas “Contra Legem” oleh seorang hakim dalam pembagian
harta bersama pada Putusan Perkara Nomor: 1048/Pdt.G/2009/PA.Bbs. Contra
Legem yaitu yaitu wewenang seorang hakim untuk menyimpangi ketentuanketentuan hukum tertulis yang telah ada yang telah usang ketinggalan zaman
sehingga tidak lagi mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat. Penelitian yang
dilakukan penulis bertujuan antara lain:
1. Untuk mengetahui Penerapan asas “Contra Legem” dalam
pembagian harta bersama pada Putusan Perkara Nomor :
1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs.
2. Untuk mengetahui dasar hukum pertimbangan hakim dalam
memutuskan pembagian harta bersama pada Putusan Perkara
Nomor : 1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs di Pengadilan Agama Brebes
3. Untuk mengetahui pembagian harta bersama dalam perspektif
hukum Islam dan hukum positif.
Pada penyusunan skripsi ini penulis menggunakan data kualitatif , yaitu
data yang berupa nilai, artinya tidak bisa diukur secara langsung, misalnya
seperti data tentang keterampilan,aktifitas, sikap. Untuk memperoleh data yang
akan dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini, maka Penulis menggunakan
metode:
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
a). Penelitian yuridis normatif
b). Penelitian kepustakaan
c). Pendekatan perundang-undangan
d). Tipe Pendekatan Kasus
2. Sumber Bahan Hukum
a). Bahan hukum primer
b). Bahan hukum sekunder
c). Bahan hukum Tersier
3. Teknik Pengumpulan data
a). Metode Dokumentasi
b). Metode Interview wawancara
4. Teknik Analisis
a). Memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang
mengatur tentang hukum harta bersama dan tata cara
pembagiannya dalam peraturan perundang-undangan.
b). Membuat sistematik dari pasal-pasal atau kaidah-kaidah hukum
tersebut sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian tersebut yaitu bahwa
putusan hakim dalam putusan perkara nomor : 1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs di
Pengadilan Agama Brebes sudah benar dan memenuhi rasa keadilan yang
berkembang di masyarakat, Dasar hukum pertimbangan hakim dalam memutus
perkara pembagian harta bersama pada putusan perkara tersebut mengacu pada
tiga unsur yakni :

Adanya rasa keadilan

Adanya kemanfaatan dan

Adanya kepastian hukum
Di dalam KHI jelas lah sudah bahwa bahwa jika di dalam suatu perkawinan
terdapat harta bersama maka pembagiannya harus sama banyak, baik itu cerai
hidup atau mati. Dan di dalam peraturan perundang-undangan seperti pada
Undang-undang No. 1 tahun 1974 beserta juklaknya (PP.No.9 tahun 1975)
maupun dalam BW., tiada ketentuan yang mengatur berapa bagian pasangan
suami istri yang bercerai. Kata kunci: Keadilan, Kewenangan, Peraturan, dan
Petimbangan.
Pembimbing: M.YASIR, SH, MH/Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
KATA PENGANTAR
   
Alhamdulillah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan
skripsi ini dengan izin dan karunia ALLAH SWT Dzat yang selalu memberikan
kekuatan kepada penulis. Sholawat teriring salam kepada Baginda Nabi
Muhammad SAW, semoga syafaatnya senantiasa tercurah kepada kaum
muslimin.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar
Sarjana Syariah (S.Sy) pada konsentrasi Peradilan Agama, Universitas Islam
Negeri. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh banyak dukungan dan
saran dari berbagai pihak, sehingga ucapan terima kasih penulis sampaikan
dengan tulus dan sebesar-besarnya kepada :
1.
Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., Dan Ibu Dra. Hj. Rosdiana,
MA Ketua dan Sekretaris Program Studi Akhwal Syakhshiyah Fakultas
Syariah dan Hukum, serta Dosen Pembimbing Akademik Penulis
Bapak JM. Muslimin, Ph.D. Terima kasih atas bantuan, perhatian dan
arahan yang selama ini diberikan.
3.
Bapak M. Yasir, SH, MH. Dosen Pembimbing Skripsi Penulis yang
telah banyak memberikan saran dan nasehat dalam penyusunan skripsi
ini. Terima kasih banyak.
4.
Ayahanda tercinta (Alm) H. A. Turmudzie dan Ibunda tersayang
Dalilah, sujud baktiku kepada kalian atas segala do’a dan pengorbanan
kalian selama ini. “Robbighfirlii Waliwaalidayya Warhamhumaa
Kamaa Robbayaanii Shoghiiroo”. Saudara-saudariku kanda Dra.
Muthmainnah & Suami, kanda Ghufron Rusydi M.Pd & Istri, kanda
Roudhotul Jannah, S.Pd.I & Suami kanda Nana Mahsunah dan Adinda
Iie Nazhiroh serta R. Rizki Fauziatul ‘Arsy. Terima kasih untuk semua.
5.
Sahabat-sahabatku: Rusdi, Usman, Ade, Rodzy, Atho, Mawardi,
Zaenal, Syarif, Arifuddin, Seto, Ibenk, Daeroby canda tawa kalian akan
menjadi kenangan terindah dan tak terlupakan.
6.
Khususnya sobat seperjuangan dari pertama menginjakkan kaki di UIN
Jakarta : H. Mawardi,S.Sy, Machrus Ni’amillah, S.Sy, M. Zaenal
Abidin, S.Sy dan pengarah dalm pembuatan skripsiku M. Rusydiana
Nur Ridho, S.Sy, SH.
7.
Serta teman-teman Mahasiswa PA.B Angkatan 2008 lainnya.
8.
Adinda Lia Akmalia, S.Pd.I yang telah memberikan semangat serta
do’anya selama ini. Thank you botto.
9.
Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan
skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat
digunakan sebagai rujukan penyusunan skripsi lainnya di masa
mendatang. Penulis pun menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik demi
kesempurnaan skripsi ini selanjutnya.
Jakarta, 28 Januari 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
BAB I
PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................ 8
C. Tujuan Penelitian ................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian ................................................................ 10
E. Review Studi Terdahulu ....................................................... 10
F. Metode Penelitian ................................................................. 11
G. Teknik Penulisan .................................................................. 15
H. Sistematika Penulisan ........................................................... 16
BAB II
KAJIAN PEMBAGIAN HARTA BERSAMA
BERDASARKAN ASAS CONTRA LEGEM ........................... 18
A. Harta Bersama ........................................................................ 18
1. Pengertian Harta Bersama ................................................ 18
2. Perolehan Harta Bersama ................................................. 21
3. Pembagian Harta Bersama ............................................... 26
a) Menurut Fiqh .............................................................. 26
b) Menurut Perundang-undangan di Indonesia ............... 33
B. Asas Contra Legem dan Aliran Hukum ................................. 38
1. Pengertian Asas Contra Legem ......................................... 38
2. Aliran Hukum .................................................................... 45
a) Aliran Legisme ............................................................. 45
b) Freirechtbewegung ....................................................... 50
c) Rechtvinding ................................................................ 58
BAB III
PROFIL PENGADILAN AGAMA BREBES .......................... 62
A. Histori Pembentukan Pengadilan ........................................... 62
B. Struktur Organisasi Pengadilan .............................................. 65
C. Kedudukan dan Kewenangan Absolut Relatif Pengadilan
Agama Brebes ........................................................................ 66
BAB IV
PENERAPAN ASAS CONTRA LEGEM DALAM
PEMBAGIAN HARTA BERSAMA ........................................ 70
A. Penerapan Asas ”Contra Legem” dalam pembagian harta
bersama pada Putusan Perkara Nomor:
1048/Pdt.G/2009/PA.Bbs ....................................................... 70
B. Pembagian Harta Bersama menurut Kompilasi Hukum Islam
terhadap Putusan Perkara Nomor:
1048/Pdt.G/2009/PA.Bbs ....................................................... 77
C. Analisis Penulis ................................................................ 83
BAB V
PENUTUP ............................................................................. 88
A. Kesimpulan........................................................................ 88
B. Saran-saran........................................................................ 91
C. Lampiran
1) Hasil wawancara Ketua Majlis Hakim Pengadilan Agama
Jakarta Selatan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri. Tujuan Perkawinan menurut UUP No. 1 tahun 1974
adalah bahwa perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1
Pada prinsipnya suatu perkawinan ditujukan untuk selama hidup dan
kebahagiaan bagi pasangan suami istri yang bersangkutan. Keluarga yang kekal
dan bahagia, itulah yang dituju. Banyak faktor yang memicu keretakan
bangunan rumah tangga, dan perceraian menjadi jalan terakhir.
Dalam pernikahan, secara tersirat, antara suami istri telah ada kesepakatan
untuk bekerja sama membina rumah tangga, yang antara lain bekerja mencari
penghasilan untuk menunjang berdirinya rumah tangga yang sejahtera. Dalam
kaitan ini, antara suami-istri tidak lagi mempersoalkan pihak mana yang lebih
banyak bekerja menghasilkan kekayaan dan tidak pula mempersoalkan jenis
kerja masing-masingnya. Pembagian kerja dilakukan sedemikian rupa dan atas
dasar itu, penghasilan yang diperoleh selama masa perkawinan dianggap sebagai
harta bersama.
1
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis UU No. 1 Tahun 1974
dan KHI, (Bumi Aksara, Jakarta, Cet. I, 1996), h. 28.
1
2
Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak
dari suami atau istri mempunyai harta yang dibawa dan diperoleh sebelum
melakukan akad perkawinan. Suami atau istri yang telah melakukan perkawinan
mempunyai harta yang diperoleh selama perkawinan yang disebut harta
bersama. Meskipun harta bersama tersebut hanya suami yang bekerja dengan
berbagai usahanya sedangkan istri berada di rumah dengan tidak mencari nafkah
melainkan hanya mengurus rumah tangga dan anak-anaknya. 2
Suami maupun istri mempunyai hak untuk mempergunakan harta bersama
yang telah diperolehnya tersebut selagi untuk kepentingan rumah tangganya
tentunya dengan persetujaun kedua belah pihak. Hal ini berbeda dengan harta
bawaan yang keduanya mempunyai hak untuk mempergunakannya tanpa harus
ada persetujuan dari keduanya atau masing-masing berhak menguasainya
sepanjang para pihak tidak menentukan lain, sebagaimana yang diatur dalam UU
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 35.3
Harta bersama4 atau Istilah gono-gini, sudah tidak asing lagi di benak
masyarakat terutama di Jawa, karena kata tersebut berasal dari bahasa Jawa,
namun orang Sunda menyebut Guna Kaya, orang Bali menyebut Barang Gini
2
3
J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Cet. 1, 1991, h. 5
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Cet. II, h. 231-232
4
Penyebutan harta bersama suami-istri berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya.
di daerah acaeh disebut dengan heureuta sihaurekat,di Minangkabau harta bersama disebut dengan
”harta suorang”, di Kalimantan disebut ”barang perpantangan”, di Bugis disebut dengan
”cakkara”, di Bali disebut dengan ”druwe gabro”, di Jawa disebut dengan ”barang gini” atau
”gono-gini”, dan di Pasundan disebut dengan”guna kaya”, ”barang sekaya”, ”campur kaya”, dan di
Madura disebut “ghuna-ghana”. Lihat H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat
(kajian fikih nilai lengkap), (Jakarta, Rajawali Press, 2010), h. 177
3
dan lain-lainnya dan umumnya bangsa Indonesia juga telah memakluminya.
Dalam UU. No.1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam tidak tercantum
istilah Gono-gini atau istilah adat lainnya, namun di sebutlah dengan istilah
“Harta Bersama”.
Pembakuan istilah harta bersama sebagai terminus hukum yang berwawasan
nasional baru dilaksanakan pada tahun 1974 dengan berlakunya Undang-undang
No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Meskipun dalam peraturan perundangundangan dan yurisprudensi telah disebutkan dengan jelas istilah harta bersama
terhadap harta yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan, tetapi dalam
praktik masih saja disebut secara beragam sebagaimana sebelum berlakunya
Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Namun hal ini tidak
mempengaruhi keseragaman pengertian, sebab yang dimaksud harta bersama
adalah semua harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan
berlangsung.5
Menurut pasal 1 (f) Kompilasi Hukum Islam (KHI), Harta kekayaan dalam
perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau
bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan
selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama
siapapun. Mengenai aturan harta kekayaan dalam perkawinan telah diatur dalam
pasal 35 s/d 37 UU. No. 1 tahun 1974 dan pasal 85 s/d 97 KHI serta dalam
5
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2006), h. 107
4
KUHPerdata (BW) dapat di lihat dari pasal 119 s/d pasal 125. Sedangkan
menurut Pasal 35 UU. No. 1 tahun 1974 sebagai berikut:6
1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Menurut pasal 119 BW: “Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hokum
berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami istri, sekedar mengenai
itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain”.
Apabila memperhatikan peraturan-peraturan perundang-undangan seperti
pada UU.No. 1 tahun 1974 beserta juklaknya (PP.No.9 tahun 1975) maupun
dalam BW., tiada ketentuan yang mengatur berapa bagian pasangan suami istri
yang bercerai. Namun dengan berdasarkan pasal 97 KHI berbunyi sebagai
berikut: “Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta
bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.
Ketentuan ini cukup tegas dan jelas bahwa suami dan istri yang telah bercerai
pembagian harta bersamanya (gono-gini) adalah dibagi dua sama banyak
kecuali ada perjanjian tertentu.7
Pasal 96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam menentukan pembagian harta
bersama dengan cara separo atau seperdua antara suami dan istri. Pembagian
6
7
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 56
http://cakraarbas.blogspot.com/2011_09_01_archive.html, Aspek reform KHI pengaruh
adat (Harta Bersama), di akses pada tanggal 25 september 2012.
5
yang demikian terasa adil bila istri seorang ibu rumah tangga alias pekerja
“domestic”. Wajar seorang istri mendapatkan bagian seperdua dari harta
bersama karena pada hakekatnya ia juga ikut bekerja, yaitu mengurus rumah
tangga, namun bila seorang istri, di samping sebagai ibu rumah tangga, ia juga
bekerja dan mempunyai penghasilan dan penghasilannya melebihi penghasilan
suami, maka pembagian seperdua dari harta bersama terasa tidak tepat dan perlu
modifikasi, namun modifikasi terhadap hal seperti ini tidak mempunyai dasar
atau aturan yang pasti tentang perbandingan pembagian yang proporsional dalam
membagi harta bersama, kecuali seperdua, sehingga untuk menentukan secara
pasti perbandingan yang proporsional sangat sulit. 8
Menelisik beberapa persoalan menyangkut keberadaan harta bersama,
sebagaimana tergambar di depan, sebenarnya sejak dini telah diantisipasi oleh
pembuat peraturan perundang-undangan. Pada Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan dan juga pada Kompilasi Hukum Islam berdasarkan
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 ada diatur institusi yang namanya
“perjanjian perkawinan”. Perjanjian perkawinan dipandang dapat menyelesaikan
persoalan-persoalan dalam harta benda dalam perkawinan secara adil,
proporsional, efektif dan aplikatif. Pengaturannya pun sebenarnya telah
ditempatkan lebih dahulu dari pada pengaturan mengenai harta bersama, yang
8
M. Taufiq Hz, Kedudukan Harta Bersama Dalam Konteks Kewajiban Nafkah, Suara
Uldilag, Vol. II, No. 7 September 2005, h. 100-107.
6
ini mengindikasikan pendahuluan atau pengutamaan “perjanjian perkawinan”
dari pada “harta bersama” agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.9
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menitikberatkan pada persoalan
mengenai pembagian harta bersama yang mana istri lebih banyak mendapatkan
harta bersama dari pada suami. Berdasarkan pasal 97 KHI berbunyi sebagai
berikut: “Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta
bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”. Dalam
Putusan Perkara Nomor : 1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs, Putusan PA Brebes ini
hakim memutuskan bahwa istri mendapatkan 2/3 bagian sedangkan bagi suami
mendapatkan 1/3 bagian dari harta bersama.
Pada putusan ini hakim sedikit menyimpang dari aturan perundangundangan dalam arti hakim memakai atau menerapkan asas “Contra Legem”
dalam memutuskan perkara ini. Contra Legem adalah putusan Hakim pengadilan
yang mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga
Hakim
tidak menggunakan
sebagai dasar
pertimbangan atau
bahkan
bertentangan dengan pasal Undang-Undang sepanjang pasal Undang-Undang
tersebut tidak lagi sesuai dengan perkembangan dan rasa keadilan masyarakat.
Demi terciptanya suatu keadilan, terkadang hakim dapat bertindak Contra
Legem, yang mana sebagai pijakannya adalah: UU N0. 4 tahun 2004 pasal 28 (1)
yaitu : ”Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Sedang Pasal 2 ayat (1) Undang-
9
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menempatkan perjanjian perkawinan pada Bab V
sedangkan harta bersama ditempatkan pada Bab VII. Kompilasi Hukum Islam menempatkan
perjanjian perkawinan pada Bab VII sedangkan harta bersama ditempatkan pada Bab XIII.
7
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menyatakan ; ”Peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa Demikian juga pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48
tersebut sebagai UU yang baru dan merupakan perubahan UU sebelumnya,
mengenai Kekuasaan Kehakiman, yang isinya tak jauh beda dengan maksud
pasal 28(1) UU.No. 4 tahun 2004 di atas, yang pokoknya wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.
Akan tetapi jika dibandingkan dengan Asas atau Aliran Legisme sangatlah
bertentangan dengan Asas Contra Legem. Asas Legisme adalah suatu aliran yang
beranggapan bahwa hukum adalah undang-undang. Oleh karena itu aliran ini
hanya mengakui hukum yang ada di undang-undang saja, maka satu-satunya
sumber hukum adalah Undang-undang. 10
Namun jika dilihat dari aspek hukum Indonesia yang mengadopsi hukum
“civil law” maka seharusnya hakim tetap berpegang teguh pada aturan
perundang-undangan yang berlaku, karena memang hukum Indonesia tidak
menganut hukum “anglo-saxon” atau “common law”. Memang sedikit kontras
isi dari Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, menarik rasanya untuk
mengkaji lebih dalam serta menganalisis lebih tajam dengan menguraikan
permasalahan ini dalam bentuk skripsi yang berjudul” Penerapan Asas Contra
10
Hasanuddin AF dkk, Pengantar Ilmu Hukum, (jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), h.143.
8
Legem dalam Pembagian Harta Bersama (Analisis Putusan perkara Nomor
: 1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs di Pengadilan Agama Brebes).
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.
Identifikasi Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana
asas Contra Legem itu diterapkan oleh seorang hakim dalam memutus
suatu perkara khususnya dalam pembagian harta bersama. Setelah
membahas bagaimana asas Contra Legem itu terjadi tentunya tidak lupa
yaitu apa yang menjadi dasar hukum pertimbangan seorang hakim untuk
memutuskan perkara pembagian harta bersama secara proporsional, dan
barulah pembahasan mengenai pembagian harta bersama dalam perspektif
hukum yang berlaku di Indonesia.
2. Pembatasan Masalah
Persoalan mengenai pembagian harta bersama sangatlah menarik
untuk dikaji, dalam kajian analisis ini hakim menggunakan asas Contra
Legem dalam memutuskan perkara pembagian harta bersama. Agar tidak
terjadi perluasan dalam pembahasan maka dari itu penulis ingin membatasai
masalah ini seputar asas Contra Legem dalam Pembagian bersama pada
Putusan Perkara Nomor : 1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs di Pengadilan Agama
Brebes.
9
3. Perumusan Masalah
Pembagian harta bersama dalam KHI pasal 97 dijelaskan bahwa
janda dan duda mendapatkan separuh atau seperdua dari harta bersama
dalam perkawinan, akan tetapi dalam Putusan Perkara Nomor :
1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs di Pengadilan Agama Brebes, hakim memakai
asas contra legem yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan.
Rumusan permasalahan di atas, penulis rinci berbentuk persoalan
sebagai berikut:
1. Bagaimana Penerapan asas “Contra Legem” dalam pembagian harta
bersama pada Putusan Perkara Nomor : 1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs?
2. Apa dasar hukum pertimbangan hakim dalam memutuskan
pembagian harta bersama pada putusan Perkara Nomor :
1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs ?
3. Bagaimana pembagian harta bersama dalam perspektif hukum Islam
dan hukum perundang-undangan di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian yang dilakukan penulis bertujuan antara lain:
1. Untuk mengetahui Penerapan asas “Contra Legem” dalam
pembagian harta bersama pada Putusan Perkara Nomor :
1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs.
10
2. Untuk mengetahui dasar hukum pertimbangan hakim dalam
memutuskan pembagian harta bersama pada Putusan Perkara
Nomor : 1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs di Pengadilan Agama Brebes
3. Untuk mengetahui pembagian harta bersama dalam perspektif
hukum Islam dan hukum positif.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Diharapkan memberikan manfaat bagi pihak terkait, yang dalam
hal ini para pihak khususnya yang konsen mengkaji Hukum
Perkawinan, Hukum Perdata ataupun Hukum Acara Perdata.
2. Untuk menambah serta memperdalam ilmu pengetahuan penulis
akan hal hukum Hukum Perkawinan, Hukum Perdata ataupun
Hukum Acara Perdata.
3. Sebagai bahan pertimbangan untuk dijadikan acuan terhadap
pembuatan penelitian yang serupa di masa mendatang.
E. Review Studi terdahulu
Berikut anotasi dari beberapa Skripsi yang terkait dengan tema penulis
yang didapatkan dari Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
1) Penelitian pertama yaitu dilakukan oleh Jam’an Nurkhotib Mansur
(Mahasiswa Peradilan Agama UIN) yang berjudul Penyelesaian Gugatan
Harta Bersama Pasca Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Timur.
11
Penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2008 ini fokus pada penjelasan
mengenai perceraian dan harta bersama secara umum. Dari sisi metode
penelitian, penelitian yang dilakukan oleh Jam’an Nurkhotib Mansur jelas
berbeda dengan penelitian yang penulis bahas. Objek penelitian penulis
adalah Penerapan Asas Contra Legem dalam pembagian harta bersama.
2) Penelitian kedua yaitu dilakukan oleh saudari Hernasari (Mahasiswa
Peradilan Agama UIN) yang berjudul Analisis Putusan Mahkamah Agung
RI No.193 K/AG/2004 Tentang Pembagian Harta Bersama. Penelitian yang
dilaksanakan pada tahun 2009 ini fokus pada pembahasan putusan
Pengadilan Agama Yogyakarta yang dianggap tidak adil dan kemudian
melakukan kasasi ke Mahkamah Agung. Penelitian yang dilakukan oleh
saudari Hernasari jelas berbeda dengan penelitian yang penulis bahas. Objek
penelitian yang penulis bahas lebih cenderung kepada tentang kekuasaan
kehakiman.
3) Penelitian ketiga yaitu dilakukan oleh saudara Hamzah Ihwat (Mahasiswa
Peradilan Agama UIN) yang berjudul Penyelesaian Harta Bersama Akibat
Perceraian Perspektif Hukum Islam (Studi Putusan No.393/Pdt.G/2007/PA
Tng). Dari sisi metode penelitian, penelitian yang dilakukan oleh Hamzah
Ihwat pada tahun 2009 ini jelas berbeda dengan penelitian yang penulis
bahas. Objek penelitian yang penulis bahas yaitu menjelaskan dasar seorang
hakim di dalam memutus suatu perkara khususnya harta bersama.
F. Metode Penelitian
12
Pada penyusunan skripsi ini penulis menggunakan data kualitatif , yaitu
data yang berupa nilai, artinya tidak bisa diukur secara langsung, misalnya
seperti data tentang keterampilan,aktifitas, sikap.11
Untuk memperoleh data yang akan dibutuhkan untuk menyusun skripsi
ini, maka Penulis menggunakan metode:
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah:
a). Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk
mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam
hukum positif.12
b). Penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang
dilakukan dengan cara mengkaji, menganalisa serta merumuskan
buku buku, literatur dan yang lainnya yang ada relevansinya dengan
judul skripsi ini.
Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini antara
lain ialah:
a).
Pendekatan
perundang-undangan
(statute
approach)
ialah
pendekatan dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan
11
12
Afifi Fauzi Abbas, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Adelina Offset, 2010), h.158.
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2008), h. 294.
13
perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral
penelitian skripsi ini.13
b). Tipe Pendekatan Kasus (Case Approach)14 dalam hal ini adalah
pendekatan terhadap kasus pembagian harta bersama yang
dilakukan oleh Penggugat terhadap tergugat sehingga menjadi
dasar hukum pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara.
2. Sumber Bahan Hukum
Dalam penyusunan skripsi ini Penulis menggunakan dua jenis sumber
data yaitu:
a). Bahan hukum primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri atas
peraturan peruang-undangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam , dan BW.
b). Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan data yang diperoleh dari
bahan kepustakaan.15 Bahan hukum yang terdiri dari atas buku-buku
(textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de
herseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-
13
14
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, h. 295.
Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh penelti adalah ratio
decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan hakim untuk sampai kepada putusannya.
Ratio decidendi dapat diketemukakan dengan memperhatikan fakta materiil, fakta-fakta materiil
tersebut berupa orang, tempat dan waktu. Lihat Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,
(Jakarta, Kencana, 2011), cet. 7, h. 119.
15
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992), h. 51.
14
kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang
berkaitan dengan topik penelitian skripsi ini.
c). Bahan hukum Tersier
Bahan Hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan
petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder seperti kamus hukum, encyclopedia, dan lain-lain.16
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Berisi uraian logis prosedur pengumpulan bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tersier, serta bagaimana bahan hukum
tersebut diinvetarisasi dan diklasifikasi dengan menyesuaikan masalah yang
dibahas.
Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan
metode sebagai berikut:
a). Metode Dokumentasi
Metode Dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variabel berupa
catatan, transkrip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti,
notulen, rapat, agenda, dan sebagainya. 17
b). Metode Interview wawancara atau interview merupakan Tanya jawab
secara lisan dimana dua orang atau lebih berhadapan secara lansung.
Dalam proses interview ada dua pihak yang menempati kedudukan
yang berbeda. Satu pihak sebagai berfungsi sebagai pencari informasi
16
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, h. 296.
17
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, h. 201.
15
atau interviewer sedangkan pihak lain baerfungsi sebagai pemberi
informasi atau informan (responden)18 Proses wawancara ini akan di
ajukan kepada beberapa nara sumber diantaranya ahli hukum perdata,
Hakim Pengadilan Agama Brebes atau Hakim Pengadilan Agama
lainnya.
4. Teknik Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan hukum merupakan langkah-langkah yang berkaitan
dengan pengelolahan terhadap bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan
untuk menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.
Pada penelitian hukum normatif, pengelolahan bahan hukum
hakikatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap
bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi
terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan
analisis dan konstruksi.
Dalam analisis Bahan Hukum ini kegiatan yang dilakukan antara lain
a). Memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur
tentang hukum harta bersama dan tata cara pembagiannya dalam
peraturan perundang-undangan.
b). Membuat sistematik dari pasal-pasal atau kaidah-kaidah hukum
tersebut sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu.
G. Teknik Penulisan
18
Soemitro Romy H. Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), h. 71.
16
Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada
prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman
penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
H. Sistematika Penulisan
Pendahuluan terbagi dalam sub bab, yang berisikan tentang latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian, teknik dan sistematika penulisan.
Sedangkan dalam bab kedua ini menjelaskan tentang Pengertian Harta
Bersama, kemudian menjelaskan tentang Pengertian Asas“Contra Legem”,
dan yang terakhir memaparkan tentang Pembagian Harta Bersama Menurut
Hukum Islam dan menurut hukum perundang-undangan di Indonesia.
Dalam bab ketiga ini menjelaskan tentang Gambaran umum Pengadilan
Agama Brebes yaitu histori pembentukan Pengadilan Agama, kemudian
tentang strukrur organisasi Pengadilan Agama Brebes dan yang terakhir
tentang kedudukan dan kewenangan Pegadilan Agama Brebes.
Kemudian dalam bab keempat ini penulis mencoba memaparkan dan
menjelaskan tentang Analisis Penerapan asas “Contra Legem” dalam
pembagian harta bersama pada Putusan perkara Perkara Nomor :
1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs,
kemudian
tentang
Analisis dasar
hukum
pertimbangan hakim dalam memutuskan pembagian harta bersama pada
Putusan Perkara Nomor: 1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs dan yang terakhir Analisis
Penulis.
17
Dalam bab terakhir ini berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran
penulis.
18
BAB II
KAJIAN PEMBAGIAN HARTA BERSAMA BERDASARKAN ASAS
CONTRA LEGEM
A. Harta Bersama
1. Pengertian Harta Bersama
Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak
dari suami atau istri mempunyai harta yang dibawa dan diperoleh sebelum
melakukan akad perkawinan. Suami atau istri yang telah melakukan perkawinan
mempunyai harta yang diperoleh selama perkawinan yang disebut harta bersama.1
Meskipun harta bersama tersebut hanya suami yang bekerja dengan berbagai
usahanya sedangkan istri berada di rumah dengan tidak mencari nafkah melainkan
hanya mengurus rumah tangga dan anak-anaknya.2
Segala penghasilan suami istri baik keuntungan yang diperoleh
perdagangan masing-masing, perolehan masing-masing sebagai pegawai jatuh
menjadi harta bersama suami istri, sepanjang mengenai penghasilan pribadi suami
istri tidak terjadi pemisahan bahkan dengan sendirinya terjadi perhubungan
sepanjang suami tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.3
231
1
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Cet.II, Bumi Aksara, Jakarta, 1999, h.
2
J.Satrio, Hukum Harta Perkawinan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Cet. 1, 1991, h. 5
3
M.Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, h. 302-306
18
19
Dalam setiap perkawinan pada dasarnya diperlukan harta yang menjadi dasar
materil bagi kehidupan keluarga, harta tersebut dinamakan harta bersama.
Pengertian harta bersama menurut kamus besar bahasa Indonesia, adalah : “harta
perolehan bersama selama bersuami istri”.4
Menurut Sayuti thalib, harta perkawinan suami istri apabila dilihat dari sudut
asal usulnya dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu :
1.
Harta masing-masing suami istri yang dimilikinya sebelum mereka kawin
baik berasal dari warisan, hibah, harta usaha mereka sendiri-sendiri, atau
yang dapat disebut harta bawaan.
2.
Harta masing-masing suami istri yang dimiliki sesudah mereka berada
dalam hubungan perkawinan, tetapi diperoleh bukan dari usaha mereka
baik perorangan atau bersama-sama, tetapi merupakan hibah, wasiat atau
warisan untuk masing-masing.
3.
Harta yang diperoleh sesudah mereka dalam hubugan perkawinan atau
usaha mereka berdua atau salah seorang, inilah yang disebut harta
bersama.5
Di dalam al-Qur’an dan hadits tidak diatur tentang harta bersama dalam
perkawinan. Harta kekayaan istri tetap menjadi milik istri atau dikuasai penuh
olehnya demikian pula sebaliknya, harta suami tetapi menjadi milik suami dan
dikuasai sepenuhnya. Dalam kitab-kitab hukum fiqih pun tidak ada yang
4
JS Badudu dkk, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1996, h. 421
5
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986) Cet.5, h. 83
20
membicarakan. Seolah-olah masalah harta bersama kosong atau fakum dalam
hukum Islam.
Sedangkan dalam kesadaran kehidupan sehari-hari masyarakat di Indonesia
sejak dari dahulu sudah mengenal hukum adat dan diterapkan terus-menerus
sebagai hukum yang hidup. Apakah kenyataan ini dibuang dari kehidupan
masyarakat? Tentu tidak mungkin, dari pengamatan lembaga harta bersama lebih
besar maslahatnya dari mudharatnya. Atas dasar metodologi masalah mursalah
“urf” dan kaidah “al-adatu al-muhkamatu”, para ulama melakukan pendekatan
kompromistis kepada hukum adat.6
Selain pendekatan kompromistis, Prof. Ismuha dalam disertasinya telah
mengembangkan pendapat pencaharian bersama suami istri yang mestinya masuk
ru’bu muamalah tetapi ternyata secara khusus tidak dibicarakan, mungkin hal ini
disebabkan karena pada umumnya pengarang dari kitab-kitab tersebut adalah
orang Arab, sedangkan adat Arab tidak mengenal adanya adat harta bersama,
tetapi di sana ada dibicarakan mengenai masalah perkongsian yang dalam bahasa
arab disebut syirkah atau syarikah. 7
6
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Jakarta : Maktabah Al-Dakwah AlIslamiyah, 1990), h. 84
7
Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Istri, Ditinjau Dari Sudut Undang-undang
Perkawinan 1974 Dan Hukum Adat, (Jakarta : Bulan Bintang, 1986), h. 282
21
Syirkah menurut bahasa adalah percampuran harta dengan harta lain sehingga
tidak dapat debedakan lagi satu dari yang lain. Menurut istilah hukum Islam
adalah adanya hak dua orang atau lebih terhadap sesuatu.8
Di berbagai daerah di Tanah Air sebenarnya juga dikenal istilah-istilah lain
yang sepadan dengan pengertian harta gono-gini ( di Jawa ). Misalnya di Aceh,
harta gono-gini diistilahkan dengan hareuta sihareukat, di Minangkabau
dinamakan harta suarang, di Sunda digunakan istilah guna kaya, di Bali disebut
dengan druwe gabro, dan di Kalimantan digunakan istilah barang perpantangan.
Dengan berjalannya waktu, rupanya istilah “gono-gini” lebih populer dan dikenal
masyarakat,
baik
digunakan secara
akademis,
yuridis,
maupun
dalam
perbendaharaan dan kosa kata masyarakat pada umumnya agar mudah dipahami
oleh masyarakat umum.9
2. Perolehan Harta Bersama
Manusia dan segala alam lainnya diciptakan oleh Tuhan Yang Maha
Pencipta. Semua makhluk tersebut terdiri dari dua jenis yang berpasang-pasangan.
Ajaran yang penting dalam Islam adalah pernikahan (perkawinan). Begitu
pentingnya ajaran tentang pernikahan tersebut sehingga dalam Al-qur’an terdapat
sejumlah ayat baik secara langsung maupun tidak langsung berbicara mengenai
masalah pernikahan. Adapun dalil yang dijadikan dasar hukum dalam perkawinan
dapat di lihat dalam Qs.Ar-rum Ayat 21 yang berbunyi:
8
Ibid. h. 283
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-gini Saat Terjadi Perceraian, Jakarta:
visimedia 2008, Cet.Pertama, h. 3
9
22
            
        
Artinya:
”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir.”
Keluarga yang baik, bahagia lahir bathin adalah dambaan setiap insan, namun
demikian tidaklah mudah untuk menciptakan sebuah keluarga yang harmonis,
langgeng, aman dan tentram sepanjang hayatnya. Perkawinan yang sedemikian itu
tidaklah mungkin tercipta apabila diantara para pihak yang mendukung
terlaksananya perkawinan tidak saling menjaga dan berrusaha bersama-sama
dalam pembinaan rumah tangga yang kekal dan abadi. Apabila terjadi perceraian,
sudah dapat dipastikan akan menimbulkan akibat-akibat terhadap orang-orang
yang berkaitan dalam suatu rumah tangga, di mana dalam hal ini akibat
hukumyalah yang akan dititik beratkan. Akibat hukum dari perceraian ini
tentunya menyangkut pula terhadap anak dan harta kekayaan selama dalam
perkawinan.
Adapun dalil-dalil yang dijadikan dasar hukum perceraian diantaranya yaitu :
23
a. Khulu’
            , ,
Artinya :
“Apabila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak. (QS. An-nisa: 19)
b. Thalaq
,,         
Artinya:
“Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al-baqarah:
229)
c. Istri nusyuz
         ,,
 ,,      
24
Artinya:
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka
(dengan pukulan yang tidak membahayakan), kemudian jika mereka
mentaatimu,
Maka
janganlah
kamu
mencari-cari
jalan
untuk
menyusahkannya.” (QS. An-nisa: 34)
d. Suami nusyuz
             
 ,,    
Artinya:
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari
suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang
sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).” (QS. An-nisa:
128)
e. Syiqaq
           
25
Artinya:
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan.” (QS. An-nisa: 35)
Suami maupun istri mempunyai hak untuk mempergunakan harta yang telah
diperolehnya tersebut selagi untuk kepentingan rumah tangganya tentunya dengan
persetujuan dengaan kedua belah pihak. Hal ini berbeda dengan harta bawaan
yang keduanya mempunyai hak untuk mempergunakannya tanpa harus ada
persetujuan dari keduanya atau masing-masing berhak menguasainya sepanjang
para pihak tidak menentukan lain, sebagaimana yang diatur dalam UU
Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 35.10
Ikatan perkawinan mengkondisikan adanya harta gono-gini antara suami istri,
sebagaimana tertuang dalam UU Perkawinan pasal 35 ayat 1. Namun, bukan
berarti dalam perkawinan yang diakuianya harta gono-gini, sebab, berdasarkan
KHI pasal 85 dinyatakan bahwa ”Adanya harta bersama dalam perkawinan itu
tidak menutup kemungkinan adanya harta masing-masing suami atau istri”.
Sebagaimana telah dijelaskan, harta gono-gini dalam perkawinan adalah
”harta suami yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan, baik dengan cara
sendiri-sendiri maupun secara bersama tanpa mempersoalkan atas nama siapa
harta itu terdaftar. Karena itu semua harta yang diperoleh selam perkawinan
10
h. 155
Hilma Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Adat, Aditya Bakti, Bandung, Cet. IV, 1999,
26
menjadi milik bersama suami-istri. Pengelolaan harta tersebut harus memperoleh
izin dari keduanya”. 11
Pasangan calon suami istri tersebut juga diperbolehkan menentukan dalam
perjanjian perkawinan bahwa yang tidak termasuk dalam harta gono-gini adalah
harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, seperti harta
perolehan. Hal ini diatur dalam KHI pasal 49 ayat 2, ”Dengan diperjanjikan
mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa
percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan,
sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama
perkawinan atau sebaliknya ”.12
3. Pembagian Harta Bersama
a. Menurut Fiqih
Harta bersama atau gono-gini yaitu harta kekayan yang dihasilkan bersama
oleh pasangan suami istri selam terikat oleh tali perkawinan, atau harta yang
dihasilkan dari perkongsian suami istri. Untuk mengetahui hukum perkongsian
ditinjau dari sudut Hukum Islam, maka perlu membahas perkongsian yang
diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan menurut pendapat para Imam
Madzhab. Dalam kitab-kitab fiqih, perkongsian itu disebut sebagai syirkah atau
syarikah yang berasal dari bahasa Arab. Para ulama berbeda pendapat dalam
membagi macam-macam syirkah. Adapun macam-macam syirkah yaitu :
11
12
Muhammad zaid, Mukhtar al shodiq, Copyright@2005 Grahacipta All right reserved
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian, h. 13
27
1. Syirkah Milk yakni perkongsian antara dua orang atau lebih terhadap
sesuatu tanpa adanya sesuatu aqad atau perjanjian.
2. Syirkah Uquud yaitu beberapa orang mengadakan kontrak bersama untuk
mendapat sejumlah uang. Syirkah ini berjumlah 6 (enam) macam yakni :
a). Syirkah Mufawadhah bil Amwal (perkongsian antara dua orang atau
lebih tentang sesuatu macam perniagaan).
b). Syirkah ‘Inan bil Amwal ialah perkongsian antara dua orang atau lebih
tentang suatu macam perniagaan atau segala macam perniagaan.
c).
Syirkatul ‘Abdan Mufawadhah yaitu perkongsian yang bermodal
tenaga.
d). Syirkatul ‘Abdan ‘Inan ialah kalau perkongsian tenaga tadi disyaratkan
perbedaan tenaga kerja dan perbedaan tentang upah.
e). Syirkatul Wujuh Mufawadhah yaitu perkongsian yang bermodlkan
kepercayaan saja.
f). Syirkatul Wujuh ‘Inan ialah perkongsian kepercayaan tanpa syarat.
Syirkah ‘Inan disepakati oleh ulama tentang bolehnya, sedangkan syirkah
mufawadhah hukumnya boleh menurut madzhab Hanafi, Maliki, Hambali. Tetapi
menurut madzhab Syafi’i tidak boleh. Abu Hanifah mensyaratkan sama banyak
modal antara masing-masing peserta perkongsian. Untuk Syirkah Abdan boleh
menurut madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali dan tidak boleh menurut madzhab
28
Syafi’i. Bedanya Imam Malik mensyaratkan pekerjaan yang mereka kerjakan
harus sejenis dan setempat. Syirkah wujuh boleh menurut Ulama Hanafiah dan
Ulama Hanabilah dan menurut Imam Maliki dan Syafi’i tidak boleh. 13
Alasan Imam Syafi’i tidak membolehkan Syirkah mufawadhah karena nama
perkongsian itu percampuran modal. Imam Malik berpendapat, bahwa dalam
syirkah mufawadhah masing-masing kongsi telah menjualkan dari sebagian
hartanya dan juga mewakilkan kepada kongsinya yang lain. Tetapi Imam Syafi’i
menolak pendapat ini, bahwa perkongsian bukan jual beli dan bukan pula
memberikan kuasa. Alasan Imam Syafi’i tidak membolehkan syirkah abdan
karena perkongsian hanya berlaku pada harta, bukan pada tenaga. Alasan Imam
Malik membolehkan perkongsian tenaga karena orang yang berperang sabil juga
berkongsi tentang ghonimah.14
Dari macam-macam syirkah serta adanya perbedaan pendaat dari para Imam
madzhab dan melihat praktek gono-gini dalam masyarakat Indonesia dapat
disimpulkan bahwa harta gono-gini termasuk dalm syirkah abdan/mufawadhah.
Praktek gono-gini dikatakan syirkah abdan karena kenyataan bahwa sebagian
besar dari suami istri dalam masyarakat Indonesia sama-sama bekerja
membanting tulang berusaha mendapatkan nafkah hidup keluarga sehari-hari dan
sekedar harta simpanan untuk masa tua mereka, kalau keadaan memungkinkan
13
Abd.Rahman Al-Jaziry, Al-Fiqhu ‘Alal Madzaahibil Al-Arba’ah Jilid III, Darul Kutub
Al Ilmiah, Beirut, 1990 M/1410 H, h. 71
14
192
Ibnu Rusyd Al Qurtuby Al andalusy, Bidayatul Mujtahid Juz 2, Darul Fikr, Beirut, tt, h.
29
juga untuk meninggalkan kepada anak-anak mereka sesudah mereka meninggal
dunia. Suami istri di Indonesia sama-sama bekerja mencari nafkah hidup. Hanya
saja karena fisik istri berbeda dengan fisik suami maka dalam pembagian
disesuaikan dengan keadaan fisik mereka. Selanjutnya dikatakan syirkah
mufawadhah karena memang perkongsian suami istri itu tidak terbatas. Apa saja
yang mereka hasilkan selama dalam masa perkawinan mereka termasuk harta
bersama, kecuali yang mereka terima sebagai warisan atau pemberian khusus
untuk salah seorang diantara mereka berdua.15
Pada perkongsian gono-gini tidak ada penipuan, meskipun barangkali pada
perkongsian tenaga dan syirkah mufawadhah terdapat kemungkinan terjadi
penipuan. Sebab perkongsian antara suami istri, jauh berbeda sifatnya dengan
perkongsian lain. Waktu dilakukan ijab qobul akad nikah, perkawinan itu
dimaksudkan untuk selamanya. Perkongsian suami istri tidak hanya mengenai
kebendaan tetapi juga meliputi jiwa dan keturunan.16
Kitab Bidayatul Mujtahid menerangkan bahwa alasan Imam Syafi’i tidak
membolehkan perkongsian tenaga dan perkongsian kepercayaan ialah karena
pengertian syirkah menghendaki percampuran, dan percampuan itu hanya dapat
terjadi pada modal, sedang pada perkongsian tenaga dan kepercayaan tidak ada
modal. Dalam hal ini hanya madzhab Imam Syafi’i saja yang tidak membolehkan.
15
Ismuha, Pencaharian Harta Bersama Suami Istri di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta,
Cet. 11, 1978, h. 78-79
16
Ibid, h. 102-103
30
Secara logika perkongsian itu boleh karena merupakan jalan untuk mendapatkan
karunia Allah, seperti dalam fiman Allah QS. Al-Jumu’ah ayat 10 yang berbunyi :
            
  
Artinya :
“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi;
dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung.” (QS. Al-jumu’ah: 10)
Mengingat perkongsian itu banyak macamnya terjadilah selisih pendapat
tentang hukumnya. Perkongsian yang menurut ulama tidak diperbolehkan yaitu
yang mengandung penipuan. Dalam
kaitannya dengan harta
kekayaan
disyari’atkan peraturan mengenai muamalat. Karena harta bersama atau gono-gini
hanya dikenal dalam masyarakat yang adatnya mengenal percampuran harta
kekayaan maka untuk menggali hukum harta bersama digunakan qaidah kulliyyah
yang berbunyi :
‫اﻟﻌﺎ دة ﻣﺤﻜﻤﺔ‬
31
“adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum”.17
Dasar hukum dari qaidah di atas yaitu firman Allah dalam QS. Al-baqarah ayat
233 yang berbunyi :
,,        ..
Artinya :
“Dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada para ibu dengan
cara ma'ruf.” (QS. Al-baqarah: 233)
Dalam ayat itu Allah menyerahkan kepada urf penentuan jumlah sandang
pangan yang wajib diberikan oleh ayah kepada istri yang mempunyai anaknya.
Qaidah Al-‘Adatu Muhkamah dapat digunakan dengan syarat-syarat tertentu
yaitu sebagai berikut :
1. Adat kebiasaan dapat diterima oleh perasaan sehat dan diakui oleh
pendapat umum.
2. Berulang kali terjadi dan sudah umum dalam masyarakat.
3. Kebiasaan itu sudah berjalan atau sedang berjalan, tidak boleh adat yang
akan berlaku.
4. Tidak ada persetujuan lain kedua belah pihak, yang berlainan dengan
kebiasaan.
17
88
Hasbi Ash.Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, Cet. 1, 1976, h.
32
5. Tidak bertentangan dengan nash.18
Hukum Qur’an tidak ada memerintahkan dan tidak pula melarang harta
bersama itu dipisahkan atau dipersatukan. Jadi dalam hal ini hukum Qur’an
memberi kesempatan kepada masyarakat manusia itu sendiri untuk mengaturnya.
Apakah peraturan itu akan berlaku untuk seluruh masyarakat atau hanya sebagai
perjanjian saja antara dua orang bakal suami istri sebelum diadakan perkawinan.
Tentu saja isi dan maksud peraturan atau perjanjian itu tidak boleh bertentangan
dengan Qur’an dan hadits. 19
Masalah harta bersama ini merupakan masala Ijtihadiyah karena belum ada
pada saat madzhab-madzhab terbentuk. Berbagai sikap dalam menghadapi
tantangan ini telah dilontarkan. Satu pihak berpegang pada tradisi dan penafsiran
ulama mujtahid terdahulu, sedang pihak lain berpegang pada penafsiran lama
yang tidak cukup untuk menghadapi perubahan sosial yang ada. Masalah harta
bersama ini perlu dibahas dalam KHI berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1991 dan UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 agar umat Islam di Indonesia
memiliki pedoman fiqih yang seragam dan telah menjadi hukum positif yang
wajib dipatuhi.
Peradilan Agama dalam menetapkan putusan maupun fatwa tentang harta
bersama mengutip langsung ketentuan hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an
karena tidak dikenal dalam referensi syafi’iyah. Lebih jauh lagi dalam
18
Ibid, h. 477
Abdoerraoef, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum Sebuah Studi perbandingan, Jakarta, Bulan
Bintang, Cet. 11, 1986, h. 113
19
33
menetapkan porsi harta bersama untuk suami istri digunakan kebiasaan yang
berlaku setempat, sehingga terdapat penetapan yang membagi dua harta bersama
di samping terdapat pula penetapan yang membagi dengan perbandingan dua
banding satu.
b. Menurut Perundang-undangan di Indonesia
Menurut Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dalam pasal 1
mengatakan bahwa :
“Perkawinan adalah ikatan lahir bathin seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri, dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal, berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.”20
Dalam pasal tersebut tersimpul adanya asas, bahwa antara suami istri terdapat
ikatan yang erat sekali, yang meliputi tidak hanya ikatan lahir, ikatan yang
nampak dari luar atau ikatan terhadap dasar benda tertentu yang mempunyai
wujud, tetapi meliputi ikatan jiwa, bathin atau ikatan rohani. Jadi menurut asasnya
suami istri bersatu, baik dalam segi materiil maupun dalam segi spiritual. 21
Mengenai harta benda dalam perkawinan diatur dalam pasal 35 Undang-undang
No.1 Tahun 1974 yang menentukan :
a. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
20
21
185-186
UUP No 1 Tahun 1974, Penerbit Arkola Surabaya, h. 1
J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, Cet.1, 1991, h.
34
b. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Dari pasal tersebut dapat disimpulkan, bahwa menurut Undang-undang
Perkawinan, di dalam satu keluarga mungkin terdapat lebih dari satu kelompok
harta. Hal ini berlainan sekali dengan sistem yang dianut BW yaitu bahwa dalam
satu ke;uarga pada asasnya hanya ada satu kelompok harta saja yaitu harta
persatuan suami istri. Menurut UU No.1/1974 kelompok harta yang mungkin
terbentuk adalah
a. Harta bersama
Menurut pasal 35 UU No.1 tahun 1974 harta bersama suami istri, hanyalah
meliputi harta-harta yang diperoleh suami sepanjang perkawinan saja. Artinya
harta yang diperoleh selama tenggang waktu, antara saat peresmian perkawinan,
sampai seorang diantara mereka (cerai mati), maupun karena perceraian (cerai
hidup). Dengan demikian, harta yang telah dimiliki pada saat dibawa masuk ke
dalam perkawinan terletak di luar harta bersama.22 Ketentuan tersebut di atas tidak
menyebutkan dari mana atau dari siapa harta tersebut berasal, sehingga boleh kita
simpulkan, bahwa termasuk harta bersama adalah :
1) Hasil dan pendapatan suami
2) Hasil dan pendapatan istri
22
Ibid, h. 188-189
35
3) Hasil dan pendapatan dari harta pribadi suami maupun istri, sekalipun harta
pokoknya tidak termasuk dalam harta bersama, asal kesemuanya diperoleh
sepanjang perkawinan.
Dengan demikian, suatu perkawinan (paling tidak bagi mereka yang
tunduk pada hukum Adat) yang dilangsungkan sesudah berlakunya UUP tidak
mungkin mulai dengan suatu harta bersama dengan saldo yang negatif, palingpaling, kalau suami istri tidak membawa apa-apa dalam perkawinannya, maka
harta bersama mulai dengan harta yang berjumlah nihil.23
b. Harta pribadi
Harta yang sudah dimiliki suami istri pada saat perkawinan dilangsungkan
tidak masuk ke dalam harta bersama, kecuali mereka memperjanjikan lain. Harta
pribadi suami istri, menurut pasal 35 ayat 2 UUP terdiri dari :
1) Harta bawaan suami istri yang bersangkutan.
2) Harta yang diperoleh suami istri sebagai hadiah atau warisan.
Apa saja yang dimaksud dengan “harta bawaan”, dalam Undang-undang maupun
dalam penjelasan atas UU RI nomor 1/1974 tentang perkawinan tidak ada
penjelasan lebih lanjut tetapi mengingat apa yang diperoleh sepanjang perkawinan
masuk dalam kelompok harta bersama, maka dapat diartikan bahwa yang
dimaksud di sini adalah harta yang dibawa oleh suami istri. Jadi yang sudah ada
pada suami dan atau istri ke dalam perkawinan.
23
Ibid, h. 192
36
Adanya pemisahan secara otomatis (demi hukum) antara harta pribadi dengan
harta bersama, tanpa disertai dengan kewajiban untuk mengadakan pencatatan
pada saat perkawinan akan dilangsungkan (atau sebelumnya) dapat menimbulkan
banyak masalah dikemudian hari dalam segi asal usul harta atau harta-harta
tertentu pada waktu pembagian dan pemecahan baik karena perceraian maupun
kematian (perceraian). Adalah sangat menguntungkan, kalau dikemudian hari
dalam peraturan pelaksanaan diadakan ketentuan yang mewajibkan adanya
pencatatan harta bawaan masing-masing suami istri.
Walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam pasal 35 ayat 2, tetapi kalau
kita mengingat pada ketentuan pasal 35 ayat 1, maka ketentuan mengenai harta
pribadi hibahan dan warisan, kiranya hanyalah meliputi hibahan atau warisan
suami/istri yang diperoleh sepanjang perkawinan saja.24
Pasal 35 ayat 2 mengandung suatu asas yang berlainan dengan asas yang
dianut dalam BW yang menyebutkan bahwa harta yang suami atau istri peroleh
sepanjang perkawinan dengan Cuma-Cuma baik hibahan atau warisan masuk ke
dalam harta persatuan kecuali bila ada perjanjian lain.
Pasal lain dalam UU No.1 tahun 1974 yang mengatur harta bersama yaitu pasal 36
dan 37 yang berbunyi :
Pasal 36
24
Ibid, h. 193-194
37
1. Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah pihak.
2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, khususnya mengenai hukum perkawinan banyak
terjadi duplikasi dengan apa yang diatur dalam Undang-undang No.1 tahun 1974.
Dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai harta kekayaan dalam perkawinan
dibahas dalam Bab XIII.
Menurut pasal 85 adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup
kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri. Tetapi dalam pasal
86 ditegaskan pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta
istri karena perkawinan.
Dalam Bab XIII tidak disebut mengenai terjadinya harta bersama,
sebagaimana yang diatur dalam pasal 35 UU No.1 tahun 1974. Mengenai harta
bersama lebih lanjut diatur dalam pasal 85 sampai dengan pasal 97.
1. Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri
karena perkawinan.
38
2. Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian
juga harta suami menjadi hak dan dikuasai penuh olehnya.
B. Asas Contra Legem dan Aliran Hukum
1. Pengertian Asas Contra Legem
Yang dimaksud dengan Asas Contra Legem yaitu wewenang seorang hakim
untuk menyimpangi ketentuan-ketentuan hukum tertulis yang telah ada yang telah
usang ketinggalan zaman sehingga tidak lagi mampu memenuhi rasa keadilan
masyarakat.25 Lebih lanjut mengemukakan bahwa sesuai dengan tugas dan
sumpah jabatannya, maka hakim Peradilan Agama berkewajiban mengadili dan
memutuskan perkara yang menjadi wewenangnya berdasarkan hukum Islam dan
peraturan yang berlaku. Jadi, kedudukan hakim agama adalah hakim negara dan
sama dengan hakim dalam lingkungan peradilan lainnya, tidak ada perbedaan dan
tidak ada diskriminasi.
Keluarnya Instruksi Presiden RI Nomor 12 Tahun 1970 tentang Penegasan
Kedudukan Hakim, maka ada sementara pihak yang mempertanyakan apakah
hakim agama termasuk juga hakim negara? Sehubungan dengan hal ini Kepala
Kantor Urusan Pegawai dalam rapat kerja yang dilaksanakan pada bulan
September 1970 di Jakarta menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hakim
adalah hakim pada Pengadilan Negeri, Hakim Pengadilan Agama termasuk juga
25
K.Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata, Jakarta, Ghalia Indonesia, Cet.4, 1981
39
dalam ketentuan instruksi tersebut, apabila berstatus sebagai pegawai negeri dan
mendapat gaji dari kas negara.
Kedudukan tadi dipertegas lagi oleh Ketua Mahkamah Agung RI dengan
Departemen Agama RI dengan SKB Nomor KMA/00/1/1983 dan Nomor 4 Tahun
1983, di mana dikemukakan bahwa perlu adanya usaha membantu memperlancar
rekrutmen hakim pada Pengadilan Agama, sehingga pengadaan eksistensi Hakim
Peradilan Agama sebagai hakim negara tidak perlu dipersoalkan lagi.
Kedudukannya sama dengan hakim yang bekerja di lingkungan peradilan yang
lain.26
Pasca Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35
Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
menunjukan banyak peran hakim Peradilan Agama yang harus dilaksanakan
antara lain sebagai berikut :
a. Sebagai Penegak Hukum
Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan berkewajiban mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Tugas tersebut
dibebankan kepada hakim Peradilan Agama agar dapat memutuskan perkara yang
diajukan kepadanya dengan adil dan benar.
26
Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan (Suatu Kajian dalam
Sistem Peradilan Islam), Jakarta, Kencana, Cet.1, 2007, h. 176-177
40
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, seorang hakim dapat berijtihad
dengan sempurna apabila : (1) memiliki pengetahuan yang luas dalam bidang
ilmu hukum dan ilmu sosial lainnya, (2) harus mengetahui dengan baik kitab Alqur’an, As-sunnah, ijma’ para ulama, Qiyas, bahasa Arab dan tata aturan ijtihad
yang telah diterapkan oleh syariat Islam, (3) mengetahui putusan yurisprudensi,
dan peraturan perundang-undangan lain yang ada kaitannya dengan pelaksanaan
hukum di Indonesia ini. Untuk itu harus dipertimbangkan dengan betul untuk
dapatnya seseorang diangkat sebagai hakim.
Dengan demikian, hakim Peradilan Agama dalam menciptakan hukumhukum baru tidak boleh lepas dari ijtihad sebagaimana yang telah ditentukan oleh
hukum syara’ , sehingga putusan-putusan yang ditetapkan mempunyai bobot
keadilan yang dapat diandalkan. Putusan yang ditetapkan oleh hakim Peradilan
Agama itu dapat menentukan isi hukum yang hidup di Indonesia yang sesuai
dengan falsafah Pancasila.
b. Sebagai Pembentuk Undang-undang atau Penemu Hukum
Oleh karena Undang-undang sering tidak lengkap atau tidak jelas, maka
hakim harus mencari hukumnya dan menemukan makna normatif hukumnya.
Penemuan hukum (rechtsvinding) lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan
hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas
melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkret. Ini
41
merupakan konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum
dengan mengikat peristiwa konkret.27
Tidak selamanya asas Statute Law Prevail ditegakkan apabila terjadi
pertentangan antara undang-undang dengan yurisprudensi. Dalam hal-hal tertentu
secara kasuistik, yurisprudensi yang dipilih dan dimenangkan dalam pertarungan
pertentangan nilai Hukum yang terjadi.
Mekanisme yang ditempuh oleh Hakim memenangkan yurisprudensi
terhadap
suatu
peraturan
pasal
perundang-undangan
dilakukan
melalui
pendekatan. diantaranya yaitu :
1). Didasarkan pada Alasan kepatutan dan kepentingan umum
Untuk
membenarkan
suatu
sikap
dan
tindakan
bahwa
yusrisprudensi lebih tepat dan lebih unggul nilai Hukum dan keadilannya
dari
peraturan-peraturan
undang-undang,
meski
didasarkan
atas
“kepatutan” dan “perlindungan kepentingan umum”. Hakim harus menguji
dan menganalisis secara cermat, bahwa nilai-nilai Hukum yang
terkandung dalam yurisprudensi yang bersangkutan jauh potensial bobot
kepatutan dan perlindungan kepentingan umumnya dibanding dengan nilai
yang terdapat dalam rumusan undang-undang. Dalam hal ini Hakim harus
mampu secara”komparatif analisis” mengkaji antara nilai kepatutan dan
27
135-137
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suara Pengantar. (Yogyakarta: Liberty), h.
42
keadilan yurisprudensi dibanding apa yang dirumuskan
dalam pasal
undang-undang yang bersangkutan. Agar dapat melakukan komaratif
analisis yang terang dan jernih, sangat dibutuhkan antisipasi dan wawasan
profesionalisme. Tanpa modal yang seperti itu, sangat sulit seorang Hakim
berhasil menyingkirkan suatu pasal undang-undang.
2). Cara mengunggulkan yurisprudensi melalui Contra Legem.
Jika hakim benar-benar dapat mengkonstruksi secara komperatif
analisis bahwa, bobot yurisprudensi lebih potensial menegakkan kelayakan
dan perlindungan kepentingan umum, dibanding dengan suatu ketentuan
pasal undang-undang, dia dibenarkan mempertahankan yurisprudensi.
Berbarengan dengan itu Hakim langsung melakukan tindakan “Contra
Legem” terhadap pasal-pasal undang-undang yang bersangkutan.
Hakim
juga
mempunyai
kewenangan
untuk menyimpangi
ketentuan-ketentuan hukum tertulis yang telah ada yang telah usang
ketinggalan zaman sehingga tidak lagi mampu memenuhi rasa keadilan
masyarakat. Cara ini disebut “Contra Legem”. Hakim dalam menggunakan
lembaga Contra Legem, harus mencukupkan pertimbangan hukumnya
secara jelas dan tajam dengan mempertimbangkan berbagai aspek
kehidupan hukum. 28
28
K.Wantjik Saleh, . Hukum Acara Perdata, h. 21
43
Sebagai ilustrasi, bisa diambil contoh, sebelum berlaku KUHAP
(berlaku 31 Desember 1981) telah terwujud yurisprudensi yang bersifat
konstan bahwa terhadap putusan bebas dijatuhkan Pengadilan tingkat
pertama dapat diajukan banding dan kasasi, apabila pembebasan itu
sifatnya “tidak murni”. Hal itu antara lain dapat dilihat dalam putusan MA
19-10-1980, No.122 K/Kr/1979. Sehingga pasal 67 dan pasal 244 KUHAP
menutup pintu upaya banding dan kasasi terhadap putusan bebas.
Ironisnya, setelah berlakunya KUHAP, timbul gejala yang
menjurus ke arah negatif. Terjadi arus frekuensi putusan bebas yang
kurang dapat dipertanggungjawabkan. Timbul keresahan dalam kehidupan
masyarakat, karena peradilan tingkat pertama cenderung menjatuhkan
putusan bebas dalam kasus-kasus perkara tertentu, terutama yang
menyangkut tindak pidana korupsi dan tindak pidana ekonomi.
Penegakkan Hukum yang seperti itu sangat menyakiti rasa keadilan
masyarakat.
Seolah-olah
putusan-putusan
pengadilan
tidak
dapat
diharapkan sebagai katup penyelamat kepentingan perlindungan ketertiban
umum. Dengan ditutupnya upaya banding dan kasasi oleh pasal 67 dan
pasal 244 KUHAP, putusan bebas yang menimbulkan keresahan yang
bagaimanapun, tidak dapat diluruskan dan dikoreksi oleh tingkat banding
dan kasasi.
Sudah semestinya hal itu harus cepat dihentikan. Tetapi dengan
cara yang bagaimana? Satu-satunya jalan yang efektif untuk memperkecil
gejala negatif tersebut, tidak ada jalan lain, mesti dipertahankan
44
yurisprudensi lama dengan cara Contra Legem terhadap pasal 244
KUHAP. Sebagai tindakan antisipasi, MA dalam putusannya melakukan
contra legem terhadap pasal 244 KUHAP. Tindakan itu didasarkan atas
alasan pertimbangan, ketentuan yang menutup pintu upaya Hukum
terhadap putusan bebas, dianggap bertentangan dengan perlindungan
ketertiban umum. Kondisi masa sekarang belum waktunya menegakkan
ketentuan pasal 244 KUHAP. Oleh karena itu, apabila putusan
pembebasan bersifat tidak murni, dapat diajukan permohonan kasasi.
Dari ilustrasi di atas, dapat dilihat, apabila nilai bobot
yurisprudensi lebih potensial dan lebih efektif mempertahankan tegaknya
keadilan dan perlindungan kepentingan umum undang-undang yang
disuruh mundur dengan cara contra legem, sehingga yurisprudensi yang
sudah
mantap
ditegakkan
menyelesaikan perkara.29
sebagai
dasar
dan
rujukan
Hukum
Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan
mengenai apa itu contra legem
yaitu di mana seorang hakim di
dalam memutus suatu perkara tidak lagi mengacu pada Undang-undang
akan tetapi memutus dengan keyakinannya sendiri dengan menguji serta
menganalisis perkara yang hendak diputus secara cermat dan matang
sesuai dengan hukum yang berkembang dalam kehidupan masyarakat
sekarang.
29
Ahmad kamil dkk, Kaidah-kaidah Hukum Yurisprudensi, Jakarta, Kencana, Cet. 3,
2008, h. 45
45
Dalam penemuan hukum ini dikenal beberapa aliran yang masing-masing
sangat besar pengaruhnya dalam perkembangan ilmu hukum, antara lain yaitu
:
a. Aliran Legisme
Sebagai reaksi terhadap ketidaksamaan dan ketidakseragaman hukum
kebiasaan timbullah pada abad ke 19 di Eropa untuk penyeragaman hukum
dengan jalan kodifikasi dengan menuangkan semua hukum secara lengkap dan
sistematis dalam kitab Undang-undang. Hukum kebiasaan sebagai sumber hukum
mulai ditinggalkan. Di Perancis pada akhir abad ke 18 diadakan kodifikasi yang
telah dicontoh seluruh Eropa. Di Nederland kodifikasi diadakan pada tahun 1838.
Timbulnya gerakan kodifikasi ini disertai dengan lahirnya aliran Legisme. 30
Pandangan dalam abad ke 19 ini adalah bahwa satu-satunya sumber hukum
ialah undang-undang, yang dianggap cukup jelas dan lengkap, yang berisi semua
jawaban
terhadap
semua
persoalan
hukum,
sehingga
hakim
hanyalah
berkewajiban menerapkan peraturan hukum pada peristiwa konkritnya dengan
bantuan metode penafsiran terutama penafsiran gramatikal. Pemecahannya
dengan sendirinya akan diketemukan dengan subsumptie. Untuk melaksanakan
subsumptie ini ada persyaratannya, yaitu:
1). undang-undang harus bersifat umum ( berlaku bagi setiap orang )
30
Ibid, hal. 138 dan lihat juga R.Suroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Sinar
Grafika Cet.1993), h. 87
46
2). ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya harus dirumuskan secara
abstrak ( berlaku umum )
3). sistem peraturannya harus lengkap, sehingga tidak ada kekosongankekosongan ( bandingkan dengan Algra/Jansen, 1981:61 )
Aliran ini berpendapat bahwa semua hukum itu berasal dari kehendak
penguasa tertinggi, dalam hal ini kehendak pembentuk undang-undang. Jadi
semua hukum terdapat dalam undang-undang. Berdasarkan pandangan ini, maka
hanya undang-undanglah yang dapat menjadi sumber hukum, karena pengakuan
kebiasaan sebagai sumber hukum berarti mengakui kekuasaan tertinggi lain di
samping kekuasaan negara tertinggi ( pembentuk undang-undang ). Pembentuk
undang-undang pada waktu itu ingin mencegah ketidakpastian dan ketidak
seragaman hukum dengan mengabaikan hukum kebiasaan dan yurisprudensi.
Hukum dan undang-undang itu tumbuh atau identik. Usaha ke arah kodifikasi ini
hanya dapat difahami melalui ajaran tentang pembagian kekuasaan yang
mendapat pengaruh dari Montesqueiu dan harus dilihat dengan latar belakang
pandangan negara liberal. Dalam ajaran trias politica tidak ada tempat untuk
hukum kebiasaan sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri. Penciptaan atau
pembentukan hukum adalah monopoli pembentuk undang-undang. Pandangan
Montesqueiu bahwa hakim dalam pemisahan kekuasaan yang ketat hanyalah
sebagai “ bouche de la loi ” mempunyai pengaruh besar pada awal abad ke 19,
pandangan ini disebut legisme. Demikian pula dalam ajaran Kedaulatan Rakyat
dari Rousseau tidak ada tempat untuk hukum kebiasaan sebagai sumber hukum (
V.Dijk, 1985:114 ).
47
Di Eropa legisme berkuasa dalam abad ke 19 ( 1830-1880 ). Perlu diketahui
bahwa Inggris dan Amerika tidak pernah beralih ke kodifikasi. Di sini judge made
law dan hukum kebiasaan mempunyai peranan yang lebih penting dari pada di
Eropa.
Tidak dapat disangkal bahwa ada hukum kebiasaan di samping undangundang itu merupakan suatu kenyataan. Berhubung dengan itu untuk
mempertahankan teori bahwa undang-undang adalah satu-satunya sumber hukum,
dicari jalan keluar bahwa berlakunya hukum kebiasaan itu karena ditunjuk oleh
undang-undang ( baca pas 15 AB ). Apabila tidak ada penegasan mengenai
penunjukan seperti misalnya bunyi pasal 15 AB, maka hukum kebiasaan dianggap
berlaku secara diam-diam dan diciptakanlah fiksi bahwa hukum kebiasaan
mempunyai kekuatan mengikat bukan karena kebiasaan, yaitu bahwa perilaku
yang diulang mempunyai kekuatan mengikat, tetapi karena kehendak pembentuk
undang-undang, baik yang tegas maupun secara diam-diam.31
Aliran ini disebut juga wettelyk positivisme berpendapat bahwa satu-satunya
hukum adalah undang-undang, dan di luar undang-undang tidak ada hukum. Di
sini hakim hanya merupakan subsumtie authomaat dan pemutusan perkara hanya
didasarkan pada undang-undang saja. Karena itu aliran ini dianggap satu usaha
yang baik dalam menghasilkan kesatuan dan kepastian hukum, oleh karena itu
banyak yang mengikuti aliran ini. Ternyata setelah berjalan lebih kurang 40-50
tahun, aliran ini menunjukan kekurangannya, yaitu permasalahan-permasalahan
31
Sudikno Mertokusumo, PENEMUAN HUKUM, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta,
2007), h. 94-96
48
hukum yang timbul kemudian tidak dapat dipecahkan oleh undang-undang saja,
tetapi juga melibatkan hal-hal yang hidup dalam masyarakat.
Beberapa abad lampau, kalangan hukum pernah sangat mendewakan
eksistensi dan kemampuan undang-undang. Montesquieu (dalam Paul Scholten,
1934:2) contohnya yang pernah mengemukakan bahwa: “Hakim-hakim rakyat
tidak lain hanya corong yang mengucapkan teks undang-undang. Jika teks itu
tidak berjiwa dan manusiawi, maka para hakim tidak boleh mengubahnya, baik
tentang kekuatannya maupun tentang keketatannya.”
Justianus (Scholten, 1934:3) malah mengancam dengan pidana pada siapa
saja yang memberanikan diri untuk menafsirkan undang-undang. Interpretasi
menurut Justianus merupakan sesuatu yang salah (perversio). Interpretasi hanya
dimungkinkan atas dasar persetujuan kaisar.
Jadi jelas, inti padangan legisme adalah hakim tidak boleh berbuat selain dari
menerapkan undang-undang secara tegas. Oleh penganut legis, undang-undang
dianggap sudah lengkap dan jelas dalam menganut segala persoalan yang ada di
zamannya.
Tentang legisme ini, menurut Prof.Sudikno (1993:42) “Pada abad
pertengahan, timbullah aliran yang berpendapat bahwa satu-satunya sumber
hukum adalah undang-undang, sedangkan peradilan berarti semata-mata
penerapan undang-undang pada peristiwa yang konkrit (Pasal 20,21 Peraturan
Umum mengenai Perundang-undangan Untuk Indonesia /S.1847-23). Hakim
hanyalah subsumtie automaat , sedangkan metode yang dipakai adalah geometri
49
yuridis. Kebiasaannya hanya mempunyai kekuatan hukum apabila ditunjuk oleh
undang-undang adalah identik, yang dipentingkan di sini adalah kepastian
hukum.”
Legisme juga mendasarkan pandangannya bahwa tugas negara adalah
terbatas sekali, yakni sebagai satpam yang hanya bertindak jika terjadi
pelanggaran undang-undang. Oleh N.E. Algra (1977:68) disebutkan bahwa:
“Pemerintah
seolah-olah
hanya
boleh
menentukan
syarat
pinggir
(randvoorwaarden) untuk permainan bebas kekuatan masyarakat yang terjadi di
dalam negara. Syarat pinggir itu demikian persangkaan orang, dapat dituangkan
dalam bentuk suatu jumlah peraturan undang-undang yang relatif kecil, yang
harus jelas bagi setiap orang.”32
Pandangan legis semakin lama semakin ditinggalkan orang, karena semakin
disadari bahwa undang-undang tidak pernah lengkap dan tidak selamanya jelas.
Bagaimanapun undang-undang menentukan kaidah secara umum, tidak tertentu
pada suatu kasus tertentu. Sifat undang-undang yang abstrak dan umum itu
menimbulkan kesulitan dalam penerapannya secara “inconcreto” oleh para hakim
di pengadilan. Tidak mungkin hakim mampu menyelesaikan persengketaan, jika
hakim hanya berfungsi sebagai “terompet undang-undang” belaka. Hakim masih
harus melakukan penemuan hukum melalui putusannya.
32
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, Cet.II, 2008, h. 104-106
50
Jadi, sebenarnya legisme ini bersumber dari trias politica Montesquieu yang
secara tegas memisahkan antara kewenangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Kewenangan pengadilan semata-mata hanya penerapan undang-undang belaka.
c. Aliran Freirechtsbewegung
Aliran Freierechtsbewegung atau Freierechtslehre timbul pada tahun 1840,
karena ajaran Legisme dianggap tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Dengan perkembangannya serta kemajuan masyarakat, kemajuan teknologi dan
terus bertambahnya penduduk, masalah hukum yang baru timbul dan belum
tertampung dalam Undang-undang Nasional yang sudah ada.
Dengan demikian aliran Legisme yang berpandangan bahwa satu-satunya
sumber hukum adalah Undang-undang dan di luar Undang-undang tidak ada
hukum, tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi. Hal ini sebenarnya sudah
diinginkan oleh Portalis sebagai perancang Code Civil bahwa dengan adanya
Undang-undang itu bukanlah seluruh hukum telah diatur di dalamnya.33
Reaksi pertama timbul dari Jerman Barat ialah ajaran Freierechtslehre atau
hukum bebas yang diajarkan oleh:
- Herman
Kantorowicz
dengan
bukunya
Der
Kampf
um
die
Rechtswissenscahft.
- Eugen
Ehrlich
dengan
bukunya
Freierechtsfindung
Freierechtswissenscahft.
33
R.Soeroso, Pengantar Ilmu hukum, (Jakarta: PT. Sinar Grafika Cet.1993), h. 84
und
51
- Oscar Bulow dengan bukunya Gesetz und Rechteramt.
Menurut paham Freirechtslehre atau hukum bebas hukum tumbuh di dalam
masyarakat dan diciptakan oleh masyarakat berupa kebiasaan dalam kehidupan
dan hukum alam (kodrat) yang sudah merupakan tradisi sejak dahulu, baik yang
diajarkan oleh agama maupun yang merupakan adat istiadat.34
Selanjutnya aliran hukum bebas menjalar ke negara-negara lain, diantaranya
yaitu Belanda dengan penganut-penganutnya: H.J.Hamaker, H.H.Heiymans, dan
J.P.Fockema Andrae.
Sebagai negara jajahan, maka Hindia Belanda (Indonesia) terpengaruh pula
oleh Freierechtslehre Negeri Belanda.
Selanjutnya paham Freierechtslehre berkembang menjadi 2 aliran yaitu:
a. Aliran hukum bebas sosiologis yang berpendapat bahwa hukum bebas itu
adalah kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat dan berkembang secara
sosiologis.
b. Aliran hukum bebas natuurrechtelijk yang berpendapat bahwa hukum
bebas adalah hukum alam.35
Freirechtsbewegung mencoba mengarahkan perhatiannya kepada sifat-sifat
yang khusus pada peristiwa konkrit dan kepentingan yang berkaitan. Rasa hukum
34
35
Ibid, h. 88
Ibid, h. 85
52
hakim harus di pusatkan pada hal-hal ini dan juga pada tujuan yang tersirat dalam
peraturan. Kalau penyelesaian berdasarkan rasa hukum itu tidak sesuai dengan
penyelesaian menurut undang-undang, maka hakim berwenang dan wajib untuk
menyimpang dari penyelesaian menurut undang-undang. Tidak mengakui undangundang sebagai satu-satunya sumber hukum mengarah pada subyektivasi putusan
hakim. Dengan demikian disadari bahwa putusan hakim mengandung karya yang
bersifat menciptakan. Pelaksanaan hukum bergeser ke arah penemuan hukum atau
pembentukan hukum ( Franken, 1985:119 ).36
Hakim memang harus menghormati undang-undang. Tetapi ia dapat tidak
hanya sekedar tunduk dan mengikuti undang-undang, melainkan menggunakan
undang-undang, sebagai sarana untuk menemukan pemecahan peristiwa konkrit
yang dapat diterima. Dapat diterima karena pemecahan yang diketemukan dapat
menjadi pedoman bagi peristiwa konkrit serupa lainnya. Di sini hakim tidak
berperan sebagai penafsir undang-undang, tetapi sebagai pencipta hukum.
Penemuan hukum semacam itu yang tidak secara ketat terikat pada undangundang disebut penemuan hukum bebas.
Bahwa hakim harus diberi kebebasan pada umumnya disepakati. Sebaliknya
tidak dapat diterima jika hakim diberi kebebasan sedemikian, sehingga ia dapat
mengesampingkan undang-undang dengan mendasarkan semata-mata pada
iktikad baik, kepatutan atau hanya karena undang-undangnya sudah usang.
36
Sudikno Mertokusumo, PENEMUAN HUKUM, h. 102
53
Maka yang dimaksud dengan penemuan hukum bebas bukannya peradilan di
luar undang-undang. Dalam penemuan hukum bebas peran undang-undang adalah
subordinated. Undang-undang bukanlah merupakan tujuan bagi hakim, tapi suatu
sarana. Bagi hakim yang melaksanakan penemuan hukum bebas tugas utamanya
adalah bukan menerapkan undang-undang, melainkan menciptakan pemecahan
melalui atau dengan bantuan undang-undang untuk peristiwa konkrit sedemikian,
sehingga peristiwa-peristiwa serupa kemudian diselesaikan dengan memuaskan.
Maka penemuan hukum bebas berarti penemuan hukum menurut kepatutan.
Penggunaan metode penemuan hukum bebas kebanyakan dapat menuju
kepada akibat-akibat yang sama seperti dengan metode-metode penemuan hukum
yang lain. Hakim yang melakukan penemuan hukum bebas tidak akan
mengatakan “Saya harus memutuskan demikian, sebab bunyi undang-undangnya
adalah demikian”. Ia akan mendasari putusannya dengan berbagai alasan (antara
lain yang terpenting adalah undang-undang) karena diakuinya bahwa pilihan
argumentasinya (dan metode penafsirannya) menjadi tanggung jawabnya yang
tidak dapat diserahkannya kepada pembentuk undang-undang.
Yang sering dianggap khas dalam penemuan hukum bebas ialah bahwa
hakim yang melakukan penemuan hukum, “mengikuti zaman” dan mengganti
peraturan hukum lama (usang) dengan yang baru (Algra/Jansen, 1981:62).37 Akan
tetapi perlu dipertanyakan kapankah suatu peraturan itu sudah dikatakan usang
dan peraturan manakah yang harus menggantikannya. Pada asasnya selama belum
37
Ibid, h. 103
54
ada undang-undang baru, hakim tetap akan berpedoman pada undang-undang
yang lama.
Dalam hal ini ada pengecualiannya, yaitu pembentuk undang-undang sudah
membentuk undang-undang, tetapi belum mempunyai kekuatan hukum, karena
masih dalam pembicaraan di lembaga legislatif. Dalam hal ini hakim dapat
berpedoman pada undang-undang baru yang belum mempunyai kekuatan yang
berlaku itu, ini merupakan bentuk terpenting dalam penemuan hukum bebas, yang
disebut metode penemuan hukum antisipatif atau futuristis. Dengan metode ini
hakim setidaknya mempunyai pegangan pada pendirian pemerintah, sehingga
memperoleh petunjuk bagaimana pandangan pembentuk undang-undang dan
bagaimana hukumnya yang akan datang. Dengan demikian hakim memungkinkan
terjadinya peralihan yang luwes dari hukum yang lama ke hukum yang baru
(dengan anggapan bahwa rancangan undang-undang itu kemudian menjadi
undang-undang).
Hendaknya disadari bahwa Freirechtsbewegung ini tidak hendak memberi
fungsi yang bersifat menciptakan hukum yang otonom kepada hakim, tetapi
hendak menyadarkan hakim kepada kenyataan bahwa ia dalam aktivitasnya tidak
dapat menghindari mengikut sertakan unsur penilaian subyektif. Pendapat
subyektif hakim ini tidaklah seindividualistis seperti yang digambarkan oleh
lawan Freirechtsbewegung : hakim dibesarkan dalam suasana sistem hukum yang
diterapkannya, kecuali itu ia mengenal peraturan hukumnya. Oleh karena itu
putusannya sebagian besar ditetapkan oleh peraturan hukum tertulis yang berlaku
dan asas-asas hukum yang berlaku umum.
55
Freirechtsbewegung berpendapat bahwa hakim terikat pada batas-batas yang
dapat dijabarkan dari sistem : ini menuju pada pemecahan masalah yang
berdasarkan pada sistem ( gesystematiseerd probleemdenken atau berfikir
problem oriented ).
Banyak timbul keberatan terhadap penemuan hukum bebas ini. Keberatan
terpenting ialah tidak adanya pendekatan yang metodis. Kritik terhadap
Freirechtsbewegung dapat difahami karena kurangnya perhatian pada metode
yang harus digunakan dalam merealisasi pendiriannya ( Komen, 1982:87 ).38
Menurut aliran ini, Undang-undang jelas tidak lengkap. Undang-undang
bukan satu-satunya sumber hukum, sedangkan hakim dan pejabat lainnya
mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk melakukan “penemuan
hukum”. Dalam arti kata, bukan sekedar penerapan undang-undang oleh hakim,
tetapi juga memperluas juga membentuk peraturan dalam putusan hakim. Untuk
mencapai keadilan yang setingi-tingginya, hakim boleh menyimpang dari undangundang demi kemanfaatan masyarakat. Dikaitkan dengan teori tujuan hukum,
maka jelas aliran ini penganut utilitarisme. Hakim mempunyai “freies ermessen”.
Ukuran-ukuran tentang mana ketentuan undang-undang yang sesuai dengan
kesadaran hukum dan keyakinan hukum masyarakat, tergantung pada ukuran dari
keyakinan hakim (overtuiging), di mana kedudukan hakim bebas mutlak.
38
Ibid, h. 101-104
56
Bagaiman pun, aliran ini membuka peluang kesewenang-wenangan karena
hakim adalah manusia biasa yang takkan mungkin terlepas dari berbagai
kepentingan dan pengaruh sekelilingnya, termasuk pengaruh kepentingan pribadi,
keluarga, dan sebagainya. Faktor subjektif yang ada pada diri hakim sebagai
manusia biasa akan sangat mudah menciptakan kesewenang-wenangan dalam
putusan hakim.
Sehubungan dengan itu, Sudikno menuliskan bahwa “Aliran ini sangatlah
berlebih-lebihan karena berpendapat bahwa hakim tidak hanya boleh mengisi
kekosongan undang-undang saja, tetapi boleh menyimpang.”39
Namun demikian, Sudikno juga melihat hikmah dari aliran ini, seperti yang
dituliskannya bahwa: “Walau bagaimana pun juga, aliran bebas tersebut telah
menanamkan dasar bagi pandangan yang sekarang berlaku tentang undangundang dan fungsi hakim.”
Prof. Achmad Sanusi (1977:56-57) menuliskan bahwa : “Apabila pada aliran
legisme/begriffsjurisprudenz, hakim mudah menjadi abdi dari dogma dan/atau
undang-undang di sini (aliran freirechtsbewegung) hakim akan menjadi raja
terhadap undang-undang, di mana ia berkuasa sendiri menciptakan hukum bagi
semua anggota masyarakatnya. Bukankah ini jalan yang sudah mendekat sekali
pada akses kesewenang-wenangan.”40
39
40
Ibid, h. 107
Ibid, h. 109
57
Dalam teori hukum, keseluruhan pandangan yang merumuskan secara
aksplisit
kebebasan
hakim
untuk
menetapkan
putusannya
dinamakan
Freirechtsbewegung (Gerakan hukum bebas). Aliran pemikiran ini menolak
pandangan sempit tentang proses penemuan hukum, mengakui sumbangan
(kontribusi) atau masukan dari hakim yang menilai (waarderende inbreng) ke
dalam proses tersebut dan memperjuangkan pengakuan terhadap kedudukan
mandiri dari peradilan berhadapan dengan undang-undang dan sistem (hukum).
Aliran freirechtsbewegung ini banyak mendapat kritik, karena terlalu
memberi kebebasan kepada hakim dalam mengambil keputusan, sehingga dapat
mengakibatkan ketidakpastian hukum dan membuka kemungkinan (peluang) bagi
subjektifitas hakim serta menimbulkan persoalan tentang legitimasi. Di samping
itu aliran pemikiran hukum bebas ini tidak didukung oleh suatu wawasan
metodologikal yang memadai. Dengan cara bagaimanakah hakimm harus menilai
dan menimbang-nimbang berbagai kepentingan yang berhasil diungkap yang satu
terhadap yang lainnya, ukuran atau standar penilaian apakah yang menjadi
landasan pijaknya, metode interpretasi manakah yang harus dipilih? Tanpa
metode yang tegar dari netode legistik, yang berkenaan dengannya diterima
bahwa metode tersebut dapat menjamin objektifitas, bebas nilai dan rasionalitas
dari putusan, maka penemuan hukum itu mungkin saja terjerumus ke dalam
kesewenang-ewnangan hakim. Para hakim di lingkungan Mahkamah Konstitusi
Indonesia seyogyanya juga memahami isyarat ini. Ijtihad para hakim konstitusi
dalam rangka rechtsvinding hingga samapai pada putusan merupakan bagian dari
amanat Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, bahwa sebagai peradilan negara.
58
Mahkamah Konstitusi harus menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan pancasila, di samping juga wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam
masyarakatnya.41
c. Aliran Rechtsvinding
Setelah aliran hukum bebas dipergunakan oleh banyak negara, maka timbul
aliran baru yang dinamakan Rechtsvinding atau Penemuan hukum. Kalau aliran
bebas bertolak pada hukum di luar Undang-undang, maka aliran Rechtsvinding
mempergunakan Undang-undang dan hukum di luar Undang-undang.
Dalam pemutusan perkara mula-mula hakim berpegang pada Undang-undang
dan apabila ia tidak dapat menemukan hukumnya, maka ia harus menciptakan
hukum sendiri dengan berbagai cara seperti mengadakan interpretasi (penafsiran
terhadap Undang-undang) dan melakukan konstruksi hukum apabila ada
kekosongan hukum.
Aliran penemuan hukum merupakan aliran masa kini yang dipergunakan di
berbagai negara termasuk di Indonesia. 42
Dalam perkembangannya lebih lanjut pada dewasa ini pandangan-pandangan
terhadap hukum ada perubahan-perubahan karena:
41
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,
Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, h. 79
42
R.Soeroso, Pengantar Ilmu hukum, h. 86
59
1. Hukum itu harus berdasarkan asas keadilan masyarakat yang terus
berkembang.
2. Ternyata pembuat Undang-undang tidak dapat mengikuti kecepatan gerak
masyarakat atau proses perkembangan sosial, sehingga penyusunan
Undang-undang selalu ketinggalan.
3. Undang-undang tidak dapat menyelesaikan tiap masalah yang timbul.
Undang-undang tidak dapat terinci (mendetail) melainkan hanya
memberikan algemeene richtlijnen (pedoman umum) saja.
4. Undang-undang tidak dapat sempurna, kadang-kadang dipergunakan
istilah-istilah yang kabur dan hakim harus memberikan makna yang lebih
jauh dengan cara memberi penafsiran.
5. Undang-undang tidak dapat lengkap dan tidak dapat mencakup segalagalanya. Di sana sini selalu ada leemten (kekosongan dalam Undangundang) maka hakim harus menyusunnya dengan jalan mengadakan
rekonstruksi hukum, rechtsfijning atau argumentum a contrario.
6. Apa yang patut dan masuk akal dalam kasus-kasus tertentu juga berlaku
bagi kasus lain yang sama.
Menurut aliran Rechtsvinding hukum terbentuk dengan beberapa cara
ialah:
a) Karena Wetgeving (pembentukan Undang-undang)
b) Karena administrasi / tata usaha negara.
c) Karena rechtsspraak atau peradilan.
d) Karena kebiasaan / tradisi yang sudah mengikat masyarakat.
e) Karena ilmu (Wetenschap)
Bila ditinjau dari segi aliran Legisme dan freierechtslehre maka:
60
a) Aliran Rechtsvinding merupakan aliran antara Legisme dengan
Freierechtslehre.
b) Berbeda dengan aliran Legisme dan Freierechtslehre, Rechtsvinding
berpegang pada Undang-undang tetapi tak seketat seperti aliran Legisme.
Terikat tapi bebas (gebonden vrijheid) dan tidak sebebas seperti pada
freierechtslehre (vrijegebondenheid, bebas tapi terikat).
c) Tugas hakim dalam Rechtsvinding adalah menyelaraskan Undang-undang
dengan sosiale werkelijkheid (keadaan masyarakat yang nyata) dan bila
perlu menambah Undang-undang disesuaikan dengan asas keadaan
masyarakat.
d) Kebebasan yang terikat dan terkait keterikatan yang bebas dicerminkan
dalam penafsiran hukum, dan pengisian kekosongan hukum dengan
konstruksi hukum rechtsverfijning dan argumentum a contrario.
e) Bagi hakim (dalam rechtsvinding) jurisprudensi mempunyai arti yang
penting di samping undang-undang, karena dalam jurisprudensi terdapat
makna yang penting konkret yang tidak terdapat pada undang-undang.
Perbedaannya dengan Legisme dan Freierechtslehre ialah bahwa dalam
Legisme jurisprudensi adalah sekunder, sedangkan bagi Freierechtslehre adalah
primer.
Aliran Rechtsvinding atau penemuan hukum merupakan aliran di antara ke
dua aliran ekstrem tersebut (aliran legisme dan Freierechtsbewegung). Aliran
Rechtsvinding tetap berpegang pada undang-undang, tapi tidak seketat aliran
legisme, karena hakim juga mempunyai kebebasan.
61
Tetapi
kebebasan
ini
tidak
seperti
kebebasan
yang
dianut
Freierechtsbewegung. Hakim mempunyai kebebasan yang terikat (gebonden
vrijheid) dan keterikatan yang bebas (vrijegebondenheid).
Bagi aliran Rechtsvinding jurisprudentie juga mempunyai arti yang penting
di samping undang-undang, karena di dalam jurisprudensi terdapat makna hukum
yang konkret yang tidak terdapat dalam undang-undang.
Namun demikian hakim tidak mutlak terikat dengan jurispridensi seperti di
negara Anglo Saxon di mana hakim secara mutlak mengikuti juriprudensi. Di
Amerika Serikat hakim terikat pada keputusan hakim yang lebih tinggi dan
keputusan lembaga-lembaga tersendiri yang menghasilkan the binding force of
precedent.43
Dari beberapa penjelasan di atas mengenai Rechtsvinding dapat diambil
kesimpulan bahwasanya yurisprudensi itu sangatlah penting untuk dipelajari, di
samping perundang-undangan, oleh karena di dalam yurisprudensi terdapat
banyak garis-garis hukum yang berlaku dalam masyarakat , perundang-undangan
saja, tanpa mempelajari yurisprudensi, tidaklah lengkap.
Dari beberapa aliran tersebut Contra Legem termasuk aliran hukum
Freirechtbewegung,
maka
di
sinilah
wewenang
seorang
hakim
untuk
menyelesaikan suatu perkara di luar undang-undang. Di sini hakim tidak berperan
sebagai penafsir undang-undang, tetapi sebagai pencipta hukum.
43
Ibid, h.89-91
BAB III
PROFIL PENGADILAN AGAMA BREBES
A. Histori Pembentukan Pengadilan
Sejarah Brebes bermula pada pertengahan abad ke 16, ketika suatu dinasti
baru, yaitu kerajaan Mataram memerintah Jawa Tengah, dan akhirnya berhasil
menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di pesisir utara, termasuk Tegal dan
berikutnya Brebes, sangat besar perannya dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Brebes sendiri merupakan hasil pemecahan Kadipaten Tegal oleh Sri Amangkurat
II yang ada di Jepara pada tanggal 18 Januari 1678 dengan Adipati pertama yaitu
Adipati Suralaya.
Dengan timbulnya
komunitas-komunitas
masyarakat
Islam,
maka
kebutuhan akan lembaga peradilan yang memutus perkara berdasarkan hukum
Islam makin dibutuhkan. Hal ini nampak jelas dari proses pembentukan lembaga
peradilan yang berdasarkan hukum Islam tersebut yakni; 1.) Periode Tahkim,
2.)Tauliyah oleh Ahl al-Hally wa al-Aqd, 3.) Tauliyah Imamah.
Pengadilan Agama di masa kerajaan Islam diselenggarakan oleh para
penghulu, yaitu pejabat administrasi kemasjidan setempat. Sidang-sidang
pengadilan agama pada masa itu biasanya berlangsung di serambi masjid,
sehingga pengadilan agama sering pula disebut "Pengadilan Serambi". Demikian
juga di Brebes, “kantor” pertama Pengadilan Agama Brebes berada di Masjid
Agung Brebes, kemudian pindah ke gedung/ruangan yang juga sebagai Aula
62
63
Masjid Agung, selanjutnya menempati gedung yang berdiri di atas tanah milik
BKM (Badan Kesejahteraan Masjid) yang terletak di belakang Masjid Agung.
Barulah pada tahun 1977 dibeli sebidang tanah di Jl. Yos Sudarso seluas kurang
lebih 1.000 m2 yang kemudian menjadi bangunan awal kantor Pengadilan Agama
Brebes yang sampai sekarang masih ditempati.
Pembangunan gedung tahap pertama seluas 153m2 tersebut dimulai tahun
1979 dengan menggunakan dana DIP TA 1978/1979 dengan biaya sebesar Rp.
7.929.000 (tujuh juta sembilan ratus dua puluh sembilan ribu rupiah). Kemudian
pada TA. 1982/1983 diadakan perluasan gedung seluas 700m2 tahap pertama
dengan dana Rp. 9.568.000,- (sembilan juta lima ratus enam puluh delapan ribu
rupiah). Selanjutnya pada tahun 1989 dilakukan perluasan gedung seluas 77m2
dengan menggunakan DIP TA 1998/1999 yang menghabiskan biaya sejumlah Rp.
23.207.250,- (dua puluh tiga dua ratus tujuh ribu dua ratus lima puluh rupiah),
Pada 1993 PA Brebes membangun musholla seluas 75m2 dengan biaya sebesar
Rp. 16.000.000 (enam belas juta rupiah). Sejak pembangunan musholla tersebut
PA Brebes belum memiliki proyek atau belanja modal untuk memperluas
bangunan gedung Pengadilan Agama Brebes. Baru kemudian pada tahun 2010
dengan biaya Rp. Xxxx (xxx milyar) dibangun gedung baru di Jl. Ahmad Yani
dan Insya Allah tahun 2012 sudah bisa ditempati sebagai kantor yang lebih
representatif.
64
Sebagai bagian dari sejarah, Pengadilan Agama Brebes sampai sekarang
masih menyimpan putusan-putusan sebelum masa kemerdekaan, yang tertua
adalah PUTUSAN TAHUN 1904 dengan tulisan tangan arab pegon (arab
gundul).
(admin: dari berbagai sumber)
65
B. STRUKTUR ORGANISASI
PENGADILAN AGAMA BREBES KELAS I.A
66
C. Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan
Pengadilan Agama Merupakan Pengadilan Tingkat Pertama yang bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara – perkara di
tingkat pertama antara orang –orang yang beragama Islam di bidang perkawinan,
kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam serta
waqaf, zakat, infaq dan shadaqah serta ekonomi Syari’ah sebagaimana di atur
dalam Pasal 49 UU Nomor 50 Tahun 2009.
Pengadilan Agama mempunyai dua kewenangan yaitu :
1. Kewenangan relatif
Kewenangan relatif berhubungan dengan daerah hukum suatu
pengadilan, baik pengadilan tingkat pertama maupun pengadilan tingkat
banding. Artinya, cakupan dan batasan kewenangan relatif pengadilan
ialah meliputi daerah hukumnya berdasarkan peraturan perundangundangan.
Kewenangan relatif diartikan sebagai kewenangan pengadilan yang
satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kewenangan
pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya, misalnya antara
pengadilan negeri magelang dengan pengadilan negeri purworejo, antara
pengadilan agama muara enim dengan pengadilan agama baturaja.
Pengadilan negeri magelang dan pengadilan negeri purworejo satu jenis,
sama-sama lingkungan peradilan umum dan sama-sama pengadilan tingkat
pertama. Pengadilan agama muara enim dan pengadilan baturaja satu
67
jenis, yaitu sama-sama lingkungan peradilan agama dan satu tingkatan,
sama-sama tingkat pertama.1
2. Kewenangan absolut
Kewenangan absolut artinya kewenangan pengadilan agama yang
berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan
pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis
pengadilan atau tingkatan pengadilan. Dalam perbedannya dengan jenis
perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya, misalnya
: Pengadilan agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang
beragama Islam sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kewenangan
peradilan umum. Pengadilan agamalah yang berkuasa memeriksa dan
mengadili perkara dalam tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara
di pengadilan tinggi agama atau mahkamah agung. Banding dari
pengadilan agama diajukan ke pengadilan tinggi agama, tidak boleh
diajukan ke pengadilan tinggi.2
Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Pengadilan Agama mempunyai fungsi
sebagai berikut :
1
Chatib Rasyid dkk, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik Pada Peradilan
Agama, Yogyakarta : UII Press 2009 h. 26
2
Ibid, h. 27-28
68
1. Fungsi mengadili (judicial power), yakni menerima, memeriksa,
mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi kewenangan
Pengadilan Agama dalam tingkat pertama (vide : Pasal 49 Undangundang Nomor 3 Tahun 2006).
2. Fungsi pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan, dan
petunjuk kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah jajarannya,
baik menyangkut teknis yudicial, administrasi peradilan, maupun
administrasi
umum/perlengkapan,
keuangan,
kepegawaian,
dan
pembangunan. (vide : Pasal 53 ayat (3) Undang-undang Nomor No. 3
Tahun 2006 jo. KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).
3. Fungsi pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat atas
pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, Panitera
Pengganti, dan Jurusita/ Jurusita Pengganti di bawah jajarannya agar
peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya (vide : Pasal
53 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006) dan
terhadap
pelaksanaan
administrasi
umum
kesekretariatan
serta
pembangunan. (vide: KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).
4. Fungsi nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan nasehat tentang
hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila
diminta. (vide : Pasal 52 ayat (1) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun
2006).
69
5. Fungsi administratif, yakni menyelenggarakan administrasi peradilan
(teknis dan persidangan), dan administrasi umum (kepegawaian,
keuangan, dan umum/perlengakapan) (vide : KMA Nomor KMA/080/
VIII/2006).
6. Fungsi Lainnya :

Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat dengan
instansi lain yang terkait, seperti DEPAG, MUI, Ormas Islam dan lain-lain
(vide: Pasal 52 A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).

Pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian dan sebagainya
serta memberi akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam era
keterbukaan dan transparansi informasi peradilan, sepanjang diatur dalam
Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007
tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.3
3
Diakses pada tanggal 08 Juni 2013 pkl.09.35wib
BAB IV
ANALISIS PENERAPAN ASAS “CONTRA LEGEM” DALAM PEMBAGIAN
HARTA BERSAMA
A. Penerapan asas “Contra Legem” dalam pembagian harta
bersama pada
Putusan Perkara Nomor : 1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs
DUDUK PERKARA
Kasus yang terjadi yaitu :
Pemohon adalah TOIPAH binti DURMA umur 38 tahun, agama Islam, pekerjaan
swasta, bertempat tinggal di Dukuh Slatri, RT.02 RW. 04 Desa Slatri, Kecamatan
Larangan, Kabupaten Brebes, dalam hal ini dikuasakan kepada Abdul Basir Haekal,
SH., Advokat/Pengacara yang berkantor di jalan Veteran Nomor 007, Brebes, Jawa
Tengah, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 29 April 2009. Sedangkan
Termohon yaitu SUNAR bin KLIWON, umur 44 tahun, agama Islam, pekerjaan
Swasta, bertempat tinggal di Dukuh Slatri, RT.02 RW. 04 Desa Slatri, Kecamatan
Larangan, Kabupaten Brebes; dalam hal ini dikuasakan kepada 1. Edi Satrio
Sepoaryan, SH.; 2. Hascaryo Wimbo, SH.; 3. Nur Eli Eliyah, SH.; 4. Yuni Nurshobah,
SH.; keempatnya Advokat pada kantor Advokat dan Penasihat Hukum “Edi Satrio
SH., Hascaryo Wimbo & Rekan, yang berkantor di komplek Perkantoran Pasar Induk
Lt.2 Brebes, jalan Jend. Sudirman No. 47, Brebes, berdasarkan surat kuasa khusus
tertanggal 16 Mei 2009.
Adapun duduk perkara gugatan sebagai berikut :
70
71
1. Bahwa Penggugat adalah isteri sah Tergugat yang melangsungkan pernikahan pada
hari Selasa tanggal 25 Juli 1989
2. Bahwa setelah menikah, Penggugat dan Tergugat berkediaman di rumah orangtua
Penggugat dan telah dikaruniai 2 (dua) orang anak
3. Bahwa sejak tahun 1997 antara Penggugat dengan Tergugat mulai terjadi
pertengkaran akibat Tergugat tidak mau bekerja (mencari nafkah) untuk
menghidupi keluarganya
4. Bahwa sampai dengan 11 tahun usia pernikahan, Tergugat belum ada tanda-tanda
berusaha menafkahi keluarga, maka pada tahun 2000 Penggugat berangkat ke
Singapura menjadi pekerja (woman Worker)
5. Bahwa atas sikap Tergugat tersebut, sepulangnya dari Singapura Penggugat merasa
menderita dan tidak sanggup lagi untuk membina rumah tangga dengan Tergugat.
Selama perkawinan berlangsung, telah diperoleh harta bersama yakni berupa :
1. Tanah pekarangan persil 39, D I, seluas + 490 m2 letter C. 964 dan bangunan
rumah
2. Penghasilan Tergugat Rekonpensi sebagai TKW di Singapura untuk selama
masa kerja periode 2004 s.d. 2006, periode 2006 s.d. Mei 2009 setiap
bulannya sebesar Rp. 1.800.000 (satu juta delapan ratus ribu rupiah) X 57
bulan = Rp. 102.600.000.- (seratus dua juta enam ratus ribu rupiah).
Berdasarkan hal-hal terebut di atas, demi kehidupan dan masa depan
penggugat, penggugat mohon kepada pengadilan untuk didengar, diperiksa
dan diadili perkaranya dan mohon menjatuhkan putusan. Pengadilan Agama
72
Brebes memberikan putusan Nomor : 1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs Senin tanggal
28 Desember 2009 M yang amarnya sebagai berikut :
PRIMAIR
1. Mengabulkan gugatan perceraian ini
2. Menyatakan putus hubungan sebagai suami/istri antara penggugat dengan
tergugat berdasarkan hal tersebut di atas.
3. Menentukan hak-hak penggugat dalam harta bersama
4. Menghukum tergugat untuk menyerahkan bagian harta bersama kepada
penggugat
5. Menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara.
Harta Bersama yaitu Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama mulai ijab Kabul sampai dengan putusnya perkawinan (baik karena
kematian atau karena perceraia). Pemberlakuan ketentuan hukum tentang harta
bersama tersebut, tanpa harus dipermasalahkan diperoleh oleh siapa, kepemilikannya
terdaftar atas nama suami atau istri, tetap merupakan harta bersama. Harta bawaan
dari masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang
para pihak tidak menentukan lain. 1 Ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang No.
1
Bahder Johan Nasution dan Sri Warjiati, “Hukum Perdata Islam”, (Surabaya, Mandar
Maju, 1997), h. 33
73
1 Tahun 1974 pasal 35- 37 diangkat sepenuhnya dan bahkan lebih luas lagi di dalam
kompilasi hukum Islam pasal 85-97.
Bila terjadi sengketa dalam harta bersama pasal 37 Undang-Undang No. 1 tahun
1974 tentang perkawinan menyatakan: ”Bila perkawinan putus karena perceraian,
harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing” (hukum agama, hukum adat
dan hukum-hukum lainnya). Bagi umat Islam Indonesia umumnya dan khusus bagi
hakim-hakim pada Pengadilan Agama, bila terjadi sengketa mengenai harta bersama
merujuk kepada ketentuan kompilasi hukum Islam dan apabila terjadi perceraian
maka masing-masing suami atau istri berhak atas seperdua dari harta bersama
tersebut, baik cerai mati maupun cerai hidup. Bila cerai mati 1/2 dari harta bersama
hak pasangannya yang masih hidup dan 1/2 lainnya sebagai harta warisan. Harta
bersama dihitung sejak akad nikah sampai dengan meninggalnya salah satu suami
atau istri, atau apabila cerai hidup sampai dengan putusan perceraian telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Tidak boleh dilupakan kewajiban hakim yang tercantum dalam pasal 28 UndangUndang RI No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasan kehakiman, yaitu menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Hakim pengadilan agama Brebes telah lebih dewasa, punya keberanian
tidak mau menjadi corong Undang-undang. Rasa keadilan dikedepankan, dogma
agama dipegang teguh, nurani dikedepankan dan kepastian hukum juga tidak akan
74
diabaikan. Sadar akan dirinya yang memiliki tanggungjawab besar kepada sang
pencipta Allah SWT.
Hakim mengadili suatu perkara, ia melakukan aktifitas atau kegiatan yuridis
sendiri dan tidak sekedar melakukan silogisme belaka. Ia ikut serta dalam
pembentukan hukum, bukan hukum obyektifitas seperti yang diciptakan oleh
pembentuk Undang-undang, yang sifatnya abstrak, melainkan hukum yang konkret
yang diciptakan dengan putusannya (judge made law). Putusan hakim adalah hukum,
maka haruslah sesuai dan dapat diterima oleh atau di dalam masyarakat.2 Dan di
samping itu juga Tujuan peradilan bukan hanya untuk menegakkan perundangundangan saja akan tetapi, lebih ditujukan untuk menegakkan rasa keadilan dan
kebenaran. Oleh karena itu, seorang hakim harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
a. Tidak menegakkan Undang-undang dalam arti sempit
b. Tidak sekedar sebagai corong dari perundang-undangan
c. Hakim tidak boleh selalu mengidentikaan kebenaran dan keadilan
sama dengan rumusan Undang-undang (tidak semua wetmatig adalah
recht vaardig, tidak semua Legal itu Justice, dan juga tidak selamanya
Lawfull itu justice.3
2
3
Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1984), h. 16
Wawancara dengan Ibu Hj. Athiroh Muchtar, SH, MH pada tanggal 16 Mei 2013
75
Secara tegas dan seksama hakim Pengadilan Agama Brebes dan penulis yakin
hakim-hakim pengadilan lainnya memiliki komitmen dan nurani yang sama, yaitu
akan menilai peraturan perundang-undangan yang akan dijadikan pijakan hukum
dalam mengambil keputusan disesuaikan dengan ajaran dogmatik agama,
mengedepankan keadilan, tidak akan mengorbankan keadilan hanya demi kepastian
hukum. Sikap hakim tersebut secara hukum dapat dibenarkan karena hakim memiliki
kebebasan dalam memutus dan memiliki hak otonomi dalam konsep “demi keadilan”
untuk melakukan Contra legem (menyimpang) terhadap pasal-pasal yang dirasa tidak
sesuai dengan rasa keadilan dan kebenaran.
Sebagaimana penegasan pasal 229 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan
hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya wajib
memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup di
masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan. Dan pasal ini yang
secara tegas menunjukkan suatu kemutlakan yang bersifat memaksa bagi hakim
untuk memegang teguh dan menjadikan pasal tersebut sebagai landasan moral dalam
menjatuhkan putusan. Hal ini juga sesuai dengan amanat pasal 28 ayat 1 UndangUndang No. 4 Tahun 2004: ”Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Oleh sebab itu, dasar
hukum hakim pengadilan agama Brebes dalam membagi harta bersama dalam
putusan No. 1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs adalah ”rasa keadilan” dan hal tersebut adalah
76
dibenarkan. Hal tersebut sesuai pula dengan firman Allah SWT dalam surat An-nisa’
ayat 32 yang berbunyi :
,,            ,,
Artinya:
”...... bagi pria ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi wanita ada
bagian dari apa yang mereka usahakan”
Menurut ayat tersebut jelaslah bagi laki-laki akan mendapat harta mereka
sesuai dengan jerih payahnya dan begitu pula bagi perempuan akan mendapatkan
haknya sesuai dengan jerih payahnya. Penyelesaian harta perkawinan wajib ditempuh
dengan sebaik-baiknya dengan cara yang seadil-adilnya, yakni jangan sampai antara
mantan suami dan mantan istri terdiskriminasi dengan hak hartanya. Sebagaimana
firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 90 :
,,,,     
Artinya:
”Sesungguhnya Allah telah memerintahkan keadilan dan berbuat baik”.
Juga firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 58:
77
,,         ,,
Artinya:
”Dan apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil”
Penerapan hukum melalui putusan 1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs ditempuh
dengan prosentase 1/3 untuk suami dan 2/3 untuk istri, hal tersebut berdasarkan pada
pertimbangan hakim yang menilai istri seharusnya menjadi tanggungjawab suami
justru istri yang membanting tulang mengumpulkan harta benda, sedangkan suami
yang seharusnya lebih intensif mencukupi kebutuhan rumah tangga ternyata hanya
pasif dan hanya menikmati hasil jerih payah istri.4 Berdasarkan uraian tersebut,
putusan 1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs telah benar-benar mencerminkan nilai keadilan dan
tidak bertentangan dengan nilai-nilai hukum, justru selangkah lebih maju pada nilai
hukum yang progresif, berkembang dan dinamis.
B. Pembagian harta bersama menurut Kompilasi Hukum Islam terhadap
Putusan Perkara Nomor : 1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs
4
Wawancara dengan Ibu Hj.Athiroh Muchtar, SH.MH ( Ketua majelis sidang), pada tanggal
16 Mei 2013
78
Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah merupakan ”hukum terapan” pada
lingkungan peradilan agama di Indonesia yang mulai dilaksanakan pada tahun 1991.
pelaksanaannya didasarkan pada instruksi presiden RI tanggal 10 Juni 1991 No. 1
tahun 1991 yang ditujukan kepada Menteri Agama RI untuk menyebarluaskan
Kompilasi Hukum Islam sebagaimana telah diterima baik oleh alim ulama Indonesia
dalam loka karya di Jakarta pada tanggal 2-5 Februari 1998 untuk digunakan oleh
instansi pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya.
Instruksi ini kemudian ditindaklanjuti dengan keputusan Menteri Agama RI
tanggal 22 Juli 1991 No. 154 tahun 1991 tentang pelaksanaan instruksi presiden RI
No. 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, dan semenjak itu ia mulai dipergunakan di
lingkungan peradilan agama sebagai dasar dan landasan formal dalam menyelesaikan
dan memutus berbagai sengketa tentang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan
yang terjadi dikalangan umat Islam di Indonesia. Dalam kurun waktu lebih dari satu
dasawarsa ini telah dilaksanakan sebagai hukum terapan di pengadilan agama sebagai
dasar dan landasan formal dalam menyelesaikan dan memutus berbagai sengketa,
walaupun masih ada silang pendapat mengenai status hukum kompilasi hukum Islam
dalam hukum positif Indonesia. Prof. Dr. Koesnoe menilai bahwa KHI tetap berada
di luar tatanan hukum positif Indonesia dan itu merupakan pendapat sekelompok
ulama dan pakar hukum Islam atau bisa disebut dengan ijma’ kalangan tersebut.5
5
Moh. Koesnoe, “Kedudukan Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional”,
(Varia Peradilan, 1995), h. 60
79
Dengan diterimanya kompilasi hukum Islam di lingkungan peradilan agama
sebagai riil, ia sudah dapat dikatakan termasuk dalam hukum positif Indonesia, paling
tidak dalam yurisprudensi yang juga diyakini salah satu sumber hukum yang berlaku,
kondisi ini tidak menutup kemungkinan untuk meningkatkannya sebagai sebuah
produk hukum yang bersifat formal menjadi sebuah undang-undang. Mengulas
tentang acara di Pengadilan Agama adalah hanya terbatas pada kepentingan orang
yang beragama Islam, di sinilah yang dalam ketentuan Undang-Undang No. 7 tahun
1989 yang telah diubah dan tambah menjadi Undang-Undang No. 3 tahun 2006
tentang peradilan agama, disebutkan sebagai perdata tertentu bagi umat Islam,
ketentuan tersebut mengharuskan pemberlakuan acara di Pengadilan Agama
menuntut konsekuensi materi hukum Islam yang menjadi dasar pijakan dan landasan
harus dijunjung tinggi.
Ketentuan KHI jelas menggariskan bahwa:
- Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang
hidup lebih lama.
- Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya
hilang harus ditangguhkan samapai ada kepastian matinya yang hakiki atau matinya
secara hukum atas dasar keputusan Pengadilan Agama.
- Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Jika dicemati, maka
80
pembagian harta bersama dibagi dua, masing-masing mendapatkan bagian 50:50,
pembagian harta bersama ini bisa diajukan bersama dengan gugatan cerai, tidak
harus menunggu terlebih dahulu putusan cerai dari Pengadilan Agama. Pembagian
harta bersama 1/3 untuk suami dan 2/3 untuk istri sebagaimana dalam isi putusan
dimaksud tidak sesuai dengan apa yang diatur dalam ketentuan KHI, yang mana di
dalam KHI janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta
besrama sebagaimana diatur dalam KHI pasal 97, namun dalam hal ini hakim
mempunyai pertimbangan-pertimbangan, mengapa membagi 1/3 untuk suami dan
2/3 untuk istri antara lain:
1. Suami yang seharusnya bertanggungjawab mencukupi semua kebutuhan rumah
tangga, baik pangan, sandang, tempat tinggal, dan kebutuhan rumah tangga
lainnya, justru tidak punya andil dalam menyediakan kecukupan kebutuhan
rumah tangga, akan tetapi sebaliknya semua kebutuhan pokok berupa tempat
tinggal dan kekayaan yang dipunyai semuanya hasil kerja istri.
2. Ketentuan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 32 sebagai berikut:
, ,          , , ,
Artinya:
81
”,,(karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka
usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan..”
3. Rasa Keadilan
Sebagaimana dalam Firman Allah SWT surat an-Nisa’ ayat 34:
, ,    
Artinya :
”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.... ”.
Dari ayat di atas bahwa suami sebagai pemimpin keluarga, pada kasus dalam
putusan 1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs telah mendapatkan keadilan karena meskipun
suami tidak mempunyai andil terhadap perolehan harta bersama tetapi masih
mendapat bagian 1/3 dari harta bersama dengan pertimbangan karena suami sebagai
kepala rumah tangga telah mengayomi keluarga antara lain memberikan izin istri
untuk bekerja dan suami telah mengurusi anak.
Peradilan dilakukan ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA”, rumusan berlaku untuk semua pengadilan dan semua
82
lingkungan peradilan. 6 Memang keadilan merupakan tujuan pokok Peradilan Agama,
yaitu menyelenggarakan peradilan agama, menegakkan hukum dan keadilan. Konsep
di atas sesuai dengan hasil wawancara dengan Ibu Dra. Hj. Athiroh Muchtar, SH.MH
sebagai ketua majelis yang menyidangkan perkara tersebut. Sebagaimana diketahui
tujuan hukum dalam kaidah-kaidah hukum, yaitu: 7
a. Hukum melindungi kebebasan setiap warga negaranya
b. Setiap warga negara harus diperlakukan sama dihadapan hukum
c. Hukum harus menegakkan kebenaran dan rasa keadilan dalam kehidupan
masyarakat.
Untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung terus
menerus dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat, maka peraturan-peraturan
hukum yang ada harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas-asas
keadilan. 8
21
6
Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, h. 21
7
Ahmad Kamil dkk, Kaidah-kaidah Hukum Yurisprudensi, Jakarta, Kencana, Cet. 3, 2008, h.
8
Sudarsono, “Pengantar Ilmu Hukum”, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), h. 48
83
C. Analisis Penerapan Asas
Meneliti kasus gugat cerai dan pembagian harta bersama yang menjadi kasus
penelitian dari awal pengajuan gugatan sampai dengan keputusan hakim memerlukan
sebuah pemahaman yang mendalam baik dalam sidang maupun dalam putusan
pengadilan. Setelah membaca duduk perkara pada kasus ini dapat dimengerti bahwa
masalah yag disengketakan antara pihak penggugat dan tergugat adalah tentang
jumlah harta bersama yang kurang adil dalam pembagiannya berdasarkan KHI.
Penulis sangat setuju dengan putusan Pengadilan Agama Brebes yang
menetapkan bagian istri lebih besar dari pada suami, karena berdasarkan fakta yang
ada di dalam perkara tersebut bahwa seorang istri yaitu menggantikan peran seorang
suami yang seharusnya menjadi tulang punggung dalam sebuah keluarga dan terlebih
bahwa seorang hakim itu tidak semata-mata memutus suatu perkara dengan
seenaknya tanpa memperhitungkannya. Menurut Ibu Hj. Athiroh Muchtar, SH, MH
selaku hakim yang memutus perkara tersebut yang menjadi landasan utama seorang
hakim berlaku Contra Legem yaitu : Dalam upaya mencapai kebenaran dan keadilan
yang sesungguhnya, hakim dituntut untuk:
a. Mampu menafsirkan Undang-undang secara aktual

Hukum diterapkan dengan lentur sesuai perkembangan waktu, tempat
dan keadaan

Hukum diterapkan sesuai dengan tuntutan kepentingan umum dan
kemashlahatan bagi masyarakat pada waktunya
84

Hakim tidak reaktif bersikap negatif terhadap pembaharuan dan
perkembangan yang mendatangkan kemashlahatan masyarakat.

Pada saat menafsirkan Undang-undang hakim harus berpijak pada
falsafah bangsa yaitu Common Basic Idea (Landasan Cita-cita umum).
b. Menciptakan hukum baru
c. Mampu berperan mengadili secara kasuistik, karena:

Pada prinsipnya masing-masing kasus mengandung particular reason.

Tidak ada perkara yang persis/mirip.9
Jika Pengadilan Agama melihat lebih objektif di dalam memberikan putusan,
maka akan terlihat bahwa penggugat tersebut sangat dirugikan oleh suami di dalam
menjalani rumah tangga, terutama di mana kasus perselisihan mulai terjadi.
Penggugat sebagai seorang wanita yang tidak memiliki kewajiban untuk memberikan
nafkahnya di dalam rumah tangga, yang dengan segala daya dan upaya berusaha
untuk dapat nafkah bagi kehidupan rumah tangganya, namun di masa perselisihan
terjadi tidak mendapat perlakuan yang baik dari seorang suami bahkan sikap kasar
yang diterima, apalagi mendapatkan nafkah yang seharusnya merupakan tanggung
jawab suami, baik dalam hukum agama maupun dalam hukum adat yang ada,
mendapatkan putusan harus membagi harta yang diperolehnya dengan susah payah,
sama besar dengan suami, yang di masa pernikahannya hanya bergantung hidup
kepada sang istri tanpa berusaha untuk mencoba mengambil alih kewajibannya
9
Wawancara dengan Ibu Hj. Athiroh Muchtar, SH, MH
85
sebagai suami yang harus menafkahi istrinya dan telah memperlakukan istri dengan
tidak baik, jasmani maupun rohani.
Di dalam Islam, peranan seorang istri memainkan peranan yang sangat
penting dalam kehidupan berumah tangga dan peranannya yang sangat dibutuhkan
menuntutnya untuk memilih kualitas yang baik sehingga bisa menjadi seorang istri
yang baik. Pemahamannya, perkataannya dan kecendrungannya semua ditujukan
untuk mencapai keridhoan Allah SWT.
Ketika seorang istri membahagiakan suaminya yang pada akhirnya, hal itu
adalah untuk mendapatkan keridhoan dari Allah SWT, sehingga istri berkeinginan
untuk mengupayakannya. Seorang wanita muslimah adalah seorang wanita yang
benar (dalam Aqidah), sederhana, sabar, setia, menjaga kehormatannya tatkala suami
tidak ada di rumah, mempertahankan keutuhan (rumah tangga) dalam waktu susah
dan senang serta mengajak untuk senantiasa ada dalam pujian Allah SWT. Ketika
seorang wanita muslimah menikah (menjadi seorang istri) maka dia harus mengerti
bahwa dia memiliki peranan yang khusus dan pertanggungjawaban dalam Islam
kepada pencipta-Nya, Allah SWT menjadikan wanita berbeda dengan pria
sebagaimana yang disebutkan dalam QS.Annisa 4:32
86
              
              
 
Artinya:
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada
sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang lakilaki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun)
ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian
dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Menurut analisis penulis penerapan asas Contra Legem melalui putusan
perkara nomor:1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs ditempuh dengan prosentase 1/3 untuk
suami dan 2/3 untuk istri, hal tersebut tentu sudah sangatlah adil bahkan seadiladilnya. Karena hakim di dalam memutuskan perkara tersebut bukanlah melihat pada
Undang-undang yang dianggap sudah cukup adil padahal belum tentu, di sini hakim
menilai sang istri yang seharusnya menjadi tanggungjawab suami justru istri yang
membanting tulang mengumpulkan harta benda, sedangkan suami yang seharusnya
lebih aktif mencukupi kebutuhan rumah tangga ternyata hanya pasif dan hanya
menikmati hasil jerih payah sang istri.
87
Di dalam memutuskan perkara mengenai harta bersama yaitu pada putusan
perkara
nomor:1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs
hakim
sudah
membaginya
secara
proporsional ( kurun penghasilan dalam rumah tangga ) dan hakim juga telah
menegakkan keadilan, dan penulis setuju dengan putusan tersebut.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis penulis pada bab sebelumnya, kesimpulan yang
dapat diambil yaitu :
1.
Penerapan asas Contra Legem dalam pembagian harta bersama
pada Putusan Perkara Nomor : 1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs yang
dilakukan oleh hakim itu semata-mata mengacu kepada UndangUndang No.4 tahun 2004 pasal (1) yaitu : “Hakim wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai- nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Dalam pasal 2 ayat (1)
UU No.48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yang
menyatakan : “Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa”. Bisa disimpulkan bahwa putusan
hakim dalam perkara No.1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs sudah benar
dan telah memenuhi rasa keadilan, berdasarkan fakta bahwa
harta yang diperoleh selama perkawinan lebih banyak dari hasil
kerja Tergugat Rekonpensi, serta kebutuhan rumah tangga lebih
banyak dipenuhi Tergugat Rekonpensi, menunjukkan bahwa
peranan isteri lebih besar menggantikan peranan suami, sehingga
adil apabila pembagian harta bersama ditetapkan mendapat
bagian 2/3 dari harta bersama dan bagi suami (Penggugat
Rekonpensi) mendapat bagian 1/3 dari harta bersama. Meskipun
88
89
tidak sesuai dengan yang diatur dalam KHI karena tujuan dari
hukum adalah keadilan dan keadilan adalah segala-galanya.
2.
Dasar hukum pertimbangan hakim dalam memutus perkara
pembagian
harta
bersama
No.1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs
pada
yaitu
Putusan
hakim
Perkara
harus mengacu
kepada 3 unsur sesuai dengan hasil wawancara dengan Ibu. Drs.
Hj. Athiroh Muchtar, SH. MH sebagai ketua majelis yang
menyidangkan perkara tersebut :

Adanya rasa keadilan

Adanya kemanfaatan dan

Adanya kepastian hukum
Dalam menegakkan usur-unsur tersebut diperlukan kearifan
seorang hakim, karena suatu saat nanti bisa saja bunyi pasal
dirasa tidak memenuhi rasa keadilan atau tidak ada kemanfaatan,
karena tidak sedikit peraturan yang ada pada saat dibuat terasa
memenuhi rasa keadilan dimaksud. yaitu seiring dengan
berjalannya waktu, berubahnya tempat dan keadaan. Jadi, hakim
di dalam menagani suatu perkara harus lah jeli dan teliti seperti
apa perkara yang terjadi sehingga dari ketelitian dan kejeliannya
dalam memeriksa suatu kasus hakim akan memutuskan seadiladilnya meskipun harus mengesampingkan peraturan perundangundangan selama pasal UU tersebut tidak lagi sesuai dengan rasa
keadilan yang berkembang di dalam masyarakat. Tentu kurang
90
adil jika hakim hanya megacu kepada Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 dan pasal 35 tentang harta benda yang diperoleh
selama perkawinan putus karena perceraian
3.
Pembagian harta bersama dalam perspektif hukum Islam yaitu
terdapat dalam KHI pasal 97 yang berbunyi sebagai berikut :
“Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua
dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam
perjanjian perkawinan”. Sangat jelas lah sudah bahwa jika di
dalam
suatu
perkawinan
terdapat
harta
bersama
maka
pembagiannya harus sama banyak, baik itu cerai hidup atau mati.
Dan di dalam peraturan perundang-undangan seperti pada
Undang-undang No. 1 tahun 1974 beserta juklaknya (PP.No.9
tahun 1975) maupun dalam BW., tiada ketentuan yang mengatur
berapa bagian pasangan suami istri yang bercerai. Dan juga pada
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 ada diatur institusi yang
namanya
“perjanjian
perkawinan”.
Perjanjian
perkawinan
dipandang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan dalam harta
benda dalam perkawinan secara adil, proporsional, efektif dan
aplikatif.
91
B. SARAN
1. Dalam upaya menghindari adanya konflik atau perselisihan antara suami
dan istri, janda dan duda alangkah baiknya sebelum melangsungkan
pernikahan dilakukan terlebih dahulu yaitu sebuah perjanjian perkawinan
yang berkaitan dengan pengaturan hak dan status atas harta benda masingmasing.
2. Pengkajian dan penyusunan kembali undang-undang yang berhubugan
khususnya mengenai pembagian harta bersama, karena sejak awal
berdasarkan Al-qur’an bahwa wanita adalah di pihak yang lemah tetapi di
sisi lain tidak ada laki-laki yang kuat berkuasa dan berhasil tanpa adanya
wanita di sisinya. Dan penulis sendiri menyarankan agar pembagian harta
bersama dilaksanakan secara proporsional dan membela kaum yang
lemah.
3. Seorang hakim jangan hanya menguasai pasal-pasal hukum saja, harus
ditopang dengan pengetahuan lain misalnya, sosiologi, psikologi, dan lainlain. Selain memiliki tanggungjawab moral terhadap diri sendiri dan juga
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
4. Untuk suami haruslah bersikap bijaksana dan berperanlah sebagaimana
fungsinya sebagai kepala rumah tangga yaitu mencari nafkah untuk
keluarga (Istri dan anak), memberinya perlindungan demi terciptanya
sebuah keluarga yang sakinah mawaddah warohmah.
Daftar Pustaka
At-Tabari, Tafsir at-Tabari Jaami’ul Qur’an ‘an Ta’wiili ay al-Qur’an, Arab saudi, dar
al-Hijri, Juz Ke-7,
Attamimi, A.Hamid S, Ilmu Perundang-undangan, Yogyakarta, Penerbit Kanisius,
2007
Al-Jassas, Abi Bakr Ahmad Ibn Ali ar-Rozi. Ahkam al-qur’an, Beirut: Dar al-Qutub al‘Alamiyah, Juz Ke-2, t.th.
Al-Thusiy, Muhamad Husein bin Ali. Al-mabsuth fi Fiqh al-Imamiyah, Teheran, Matba’
al-murtadawiyah, 1973
Arabi Ibnu. Ahkam al-Qur’an: Mesir, Isa al-Babiy al-Halabiy, 1967
Arifin, Busthanul, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia (Akar Sejarah, Hambatan
dan Prospeknya), Jakarta, Gema Insani Press, Cet.1, 1996
A.Rasyid, Roihan, Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama, Jakarta, CV.
Pedoman Ilmu Jaya, Cet.1, 1989
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Akademika Pressindo,
1992
Anonimus, Undang-undang Perkawinan Republik Indonesia No.7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama, Jakarta, Departemen Agama Republik Indonesia, 1991
Djazuli, A, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Islam, Bandung, Kiblat Press, 2002
Daud Ali, Muhammad, Hukum Islam Dan Peradilan Agama (Kumpulan Putusan),
Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, Ed.1, Cet.2, 2002
Effendi M.Zein, Satria, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Analisis
Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah), Jakarta, Kencana, Ed.1, Cet.1,
2004
Hasanuddin AF, dkk, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, UIN Jakarta Press, 2003
Hosen, Ibrahim, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, Jakarta, Pustaka Firdaus,
2003
Hasan, M. Ali, Masail Fiqhiyah Al Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer
Hukum Islam, Jakarta, RajaGrafindo Persada,1995
Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, Ed.2, Cet.1,
2008
Harahap, M.Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No.7
Tahun 1989), Jakarta, Pustaka Kartini, Cet.1, 1990
Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang:
Bayumedia Publishing, 2008
Idris Ramulyo, Mohd, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis UU No. 1 Tahun 1974
dan KHI, Bumi Aksara, Jakarta, Cet. I, 1996
Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Istri, Jakarta, PT. Bulan Bintang, Cet.1, 1986
Johan Nasution, Bahder, dkk, “Hukum Perdata Islam”, Surabaya, Mandar Maju, 1997
Kamil, Ahmad dkk, Kaidah-kaidah Hukum Yurisprudensi, Jakarta, Kencana, 2008, Ed.
1 . Cet. 3
Kamil, Ahmad, “Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi”, Jakarta; Prenada Media, 2005
Mahmud Marzuki, Peter, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2011
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana,
2006
Mertokusumo, Sudikno, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1984
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2006
Manan, abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Indonesia, Jakarta, Kencana,
Cet.2, 2008
Manan, Abdul, dkk, Pokok-pokok Hukum Perdata (Wewenang Peradilan Agama),
Jakarta, Ed.1, Cet.5, 2002
Manan, Abdul, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan (Suatu Kajian Dalam
Sistem Peradilan Islam), Jakarta, Kencana, Ed.1, Cet.1, 2007
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku, Peradilan dan Hukum Acara Islam,
Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, Ed.2, Cet.1, 1997
Pudjosewojo, Kusumadi, Pedoman Pembelajaran Tata Hukum Indonesia, Jakarta, Sinar
Grafika, Cet.11, 2008
PEMBINAAN BADAN PERADILAN AGAMA DEPARTEMEN AGAMA, Kompilasi
Perundang-undangan Badan Peradilan Agama, Jakarta, Badan Peradilan
Agama Departemen Agama, 1980/1981
Ramulyo, Idris, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang No.1 Tahun 1974 dari Segi
Hukum Perkawinan Islam, Jakarta, Ind.Hillco, Ed.Rev, 1990
Ramulyo Idris, Mohd, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis dari Undang-undang
No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), Jakarta, PT. Bumi Aksara,
Cet.1, 1996
Romy H, Soemitro. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990
Rahardjo, Satjipto, Masalah Penegakkan Hukum, Bandung, Sinar Baru, 1992
Roestandi, Achmad, dkk, Komentar Atas Undang-undang No.7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama dilengkapi dengn Kompilasi Hukum Islam, Bandung,
Nusantara Press, 1991
Soekanto, Soejono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992
Satrio, J., Hukum Harta Perkawinan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Cet. 1, 1991
Subekti, Dasar-dasar Hukum Dan Pengadilan, Jakarta, Soeroengan, 1955, Cet. 2
Saleh, K.Wantjik, Hukum Acara Perdata, Jakarta, Ghalia Indonesia, Cet.4, 1981
Soeroso, R, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta, Sinar Grafika, Cet.5, 2003
Salim, Arskal, dkk, Demi Keadilan dan Kesetaraan (Dokumentasi Program Sensitivitas
Jender Hakim Agama di Indonesia), Jakarta, PUSKUMHAM UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta bekerja sama dengan The Asia Foundation, Cet.1, 2009
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia(Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan), Jakarta, Kencana, Ed.1, Cet.2, 2007
Siregar, Bismar, Hukum Hakim Dan Keadilan Tuhan (Kumpulan Catatan Hukum dan
Peradilan di Indonesia), Jakarta, Gema Insani Press, Cet.1, 1995
Saleh, K.Wantjik, Kehakiman dan Pengadilan, Jakarta, Sumber Cahaya, 1976
Tihami, H.M.A. dan Sahrani, Sohari, Fikih Munakahat (kajian fikih nilai lengkap),
Jakarta, Rajawali Press, 2010
Taufiq Sanusi, Nur, Fiqh Rumah Tangga (Perspektif Al-qur’an dalam Mengelola
Konflik Menjadi Harmoni), Depok, Elsas, Cet.1, 2010
Van Apeldoorn, L.J, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, PT. Pradnya Paramita, Cet.30,
2004
Wawancara dengan Ibu Hj.Athiroh Muchtar, SH.MH pada tanggal 16 Mei 2013
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006
Artikel/Website
Taufiq Hz, M., Kedudukan Harta Bersama Dalam Konteks Kewajiban Nafkah, Suara
Uldilag, Vol. II, No. 7 September 2005
http://cakraarbas.blogspot.com/2011_09_01_archive.html, Aspek reform KHI pengaruh
adat (Harta Bersama), di akses pada tanggal 25 september 2012.
www.pa-Brebes.com
Hasil Wawancara dengan Hakim
Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Nama
: Ahmad Dhiaul Akifin
Waktu
: Pkl. 13.30 wib
Tempat
: Ruang Hakim
1. Bagaimana konsep Pembagian Harta Bersama antara suami dan istri?
Jawaban: Suami isteri masing-masing berhak mendapat ½ (seperdua) dari harta
bersama, hal ini analog dari ketentuan Pasal 97 INPRES Nomor 1 Tahun 1991 KHI.
2. Bagaimana proses ijtihad seorang hakim dalam memutuskan perkara?
Jawaban: Tujuan peradilan bukan hanya untuk menegakkan perundang-undangan saja
akan tetapi, lebih ditujukan untuk menegakkan rasa keadilan dan kebenaran. Oleh
karena itu, seorang hakim harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Tidak menegakkan Undang-undang dalam arti sempit
b. Tidak sekedar sebagai corong dari perundang-undangan
c. Hakim tidak boleh selalu mengidentikaan kebenaran dan keadilan sama dengan
rumusan Undang-undang (tidak semua wetmatig adalah recht vaardig, tidak
semua Legal itu Justice, dan juga tidak selamanya Lawfull itu justice
Hakim di dalam menegakkan kebenaran dan keadilan harus mengacu kepada 3 unsur:
 Adanya rasa keadilan
 Adanya kemanfaatan dan
 Adanya kepastian hukum
Dalam menegakkan usur-unsur tersebut diperlukan kearifan seorang hakim, karena
suatu saat nanti bisa saja bunyi pasal dirasa tidak memenuhi rasa keadilan atau tidak
ada kemanfaatan, karena tidak sedikit peraturan yang ada pada saat dibuat terasa
memenuhi rasa keadilan dimaksud. yaitu seiring dengan berjalannya waktu, berubahnya
tempat dan keadaan..
3. Menurut Ibu apakah semua hakim akan bertindak hal yang sama terhadap perkara
tersebut?
Jawaban: Ya, bisa saja melakukan hal yang sama dan bisa juga tidak, hakim akan
mengadili suatu perkara bertujuan untuk memenuhi rasa keadilan dan kebenaran serta
selalu berpijak pada Common Basic Idea (Landasan Cita-cita Umum).
4. Menurut Ibu apa yang menjadi landasan utama seorang hakim berlaku contra legem?
Jawaban: Dalam upaya mencapai kebenaran dan keadilan yang sesungguhnya, hakim
dituntut untuk:
a. Mampu menafsirkan Undang-undang secara aktual
-
Hukum diterapkan dengan lentur sesuai perkembangan waktu, tempat
dan keadaan
-
Hukum diterapkan sesuai dengan tuntutan kepentingan umum dan
kemashlahatan bagi masyarakat pada waktunya
-
Hakim tidak reaktif bersikap negatif terhadap pembaharuan dan
perkembangan yang mendatangkan kemashlahatan masyarakat.
-
Pada saat menafsirkan Undang-undang hakim harus berpijak pada
falsafah bangsa yaitu Common Basic Idea (Landasan Cita-cita umum).
b. Menciptakan hukum baru
c. Mampu berperan mengadili secara kasuistik, karena:
-
Pada prinsipnya masing-masing kasus mengandung particular reason.
-
Tidak ada perkara yang persis/mirip
5. Bagaimana pandangan hakim terhadap contra legem dengan KHI?
Jawaban: Ada beberapa rumusan KHI sebagai hasil dari Ijtihad, sehingga apabila
menurut hakim rumusan tersebut pada saat diterapkan dalam perkara in concrito dirasa
tidak adil.
6. Adakah dampak positif negatif dari sebuah putusan seorang hakim yang berlaku contra
legem?
Jawaban: Sepanjang Contra Legem dilakukan sebagai upaya menegakkan keadilan dan
kebenaran sesuai kehendak masyarakat dan dengan tetap berpijak pada Common Basic
Idea, Insya Alloh kecil kemungkinan berdampak negatif.
Download