KRISTEN DALAM PERSPEKTIF ISLAM

advertisement
KRISTEN DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Ketika seorang Muslim menyebut nama Nabi Muhammad atau
membacanya - seperti dalam buku ini misalnya - ia menambahkan
salam damai serta berkah 1 atasnya. Demikian juga halnya bila ia
menyebut nama Yesus.
Hal ini mungkin mengejutkan bagi
para pembaca yang awam
tentang Islam. Agama ini sebenarnya bukan merupakan agama baru
setelah Kristen, melainkan sebagai penyempurnaan Agama Ibrahim
(QS. 42:13). Dengan demikian Islam dapat dipandang sebagai
agama termuda dan sekaligus merupakan agama tertua dari tiga
agama samawi. Tanpa perlu menyinggung toleransinya 2 yang
mendasar, Islam tidak menuntut hak absolut dalam pengertian
gereja Katolik. Lebih dari itu, Islam - berdasarkan kesaksian
para nabi sebelumnya 3 - merupakan inti dari wahyu-wahyu yang
datang melalui para nabi tersebut 4 ; al-Qur’an - meminjam
istilah Paul Schwarzenau - merupakan wahyu bagi seluruh umat
beragama. 5
Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang
diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim,
Isma’il, Ishak, Ya’qub dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan
kepada Musa, ‘Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak
membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan hanya kepadaNya-lah kami menyerahkan diri.“ (Q.S. 3:84)
Karena itu, keabsahan Islam bukanlah berdasarkan pada penolakan
terhadap kedua agama dunia lainnya, melainkan bedasarkan
perbandingan agama 6 . Justru Islam, Yahudi dan Kristen
merupakan agama-agama yang ‘bersaudara’ , yang perbedaannya
hanya sedikit dibanding dengan Hindu atau Budha. 7
Jadi jelas, bahwa Islam memandang Yesus sebagai nabi Islam dan
karena ia juga tunduk pada kehendak Tuhan ia juga dipandang
sebagai ‘Muslim’, tetapi tidak sebagai nabi terakhir. 8 Menurut
teologi Islam, tidak hanya dalam Perjanjian Lama saja, tetapi
Yesus sendiri juga telah menyatakan bahwa Muhammad (‘Ahmad’)
adalah nabi terakhir (QS. 33:40) yang menyempurnakan seluruh
wahyu. 9
1
„SAW: sallalahu ‘alaihi wa sallam“
Lihat Bab: Toleransi atau Kekerasan?
3
Al-Qur’an surat 2:87; surat 6:83-87
4
Al-Qur’an surat 33:7; surat 5 :46
5
Paul Schwarzenau, Korankunde für Christen, Cetakan II, Hamburg 1990
6
Bandingkan Emanuel Kellerhans, Der Islam, Cetakan II, Basel 1956, Hal. 377 dan hal. berikutnya
7
“So sieht es der Weisse Vater”, Pater Gregor Böckermann, harian Frankfurter Allgemeine Zeitung, tanggal
25.09.1989 Hal. 11
8
Bandingkan dalam Muh. Ata ur-Rahim, Jesus, A Prophet of Islam, cetakan III, London 1983; Ahmad AbdelWahab, Dialogue Transtextuel entre le Christianisme et l’Islam, Paris 1987; Kenneth. G. Robertson, Jesus or
Isa: A Comparison of Jesus of the Bible and the Jesus of the Koran, New York 1983; Nilo Geagea, Mary of the
Koran: A Meeting Point Between Christianity and Islam, New York 1984
9
Berpegang pada Yoh. 16, 13 dengan alasan Parakletos (Penolong, Penghibur) Perikytos dalam bahasa Arabnya
adalah “Ahmad”. Bandingkan David Benyamin, Muhammad in der Bibel, Muenchen 1987, Hal. 183 dan
2
22
Gambaran Islam mengenai Yesus dan Maria khususnya tertulis
dalam al-Qur’an surat 3 dan surat 19 10 , dan juga ada dalam
hadits (meskipun kurang begitu dikenal). Dalam surat tersebut
diterangkan mukjizat-mukjizat yang terjadi dalam kehidupan
mereka, sebagai pesan-pesan penting yang tersirat.
“”Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam al-Qur’an, yaitu
ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ...lalu Kami
mengutus Roh Kami kepadanya, maka ia menjelma dihadapannya
dalam bentuk manusia yang sempurna...Maryam berkata: “Bagaimana
akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah
seorang manusia pun menyentuhku...“ (Q.S. 19: 16-20)
Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril):“Demikianlah Allah
menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak
menciptakan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya:
“Jadilah“, lalu jadilah dia. Dan Allah akan mengajarkan
kepadanya al Kitab, Hikmah, Taurat dan Injil. (Q.S. 3:47 dan
seterusnya)
Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada
mereka):...aku menyembuhkan orang buta sejak dari lahirnya dan
orang yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang mati
dengan seizin Allah...
(Q:S: 3:49)
Di sini terbukti bahwa orang muslim tidak melihat Yesus sebagai
hasil dari suatu perkawinan sebagaimana umumnya (QS. 112:3;
72:3), melainkan sebagai seorang nabi di dalam tradisi Yahudi
yang diciptakan langsung oleh kuasa ilahi yang dilahirkan oleh
perawan Maria, nabi yang membawa mujizat dan diilhami oleh
Tuhan (QS. 5:110). Tetapi bukan sebagai ‘Anak Tuhan’ yang sudah
ada sebelum masa penciptaan sebagaimana dipahami oleh ajaran
Inkarnasi, melainkan sebagai pelayan/hamba-Nya.
Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: “Allah
mempunyai
anak.“
Maha
suci
Allah;
Dia-lah
yang
maha
kaya;...(Q.S. 10: 68)
Dan mereka berkata: “Tuhan yang Maha Pemurah mengambil
(mempunyai) anak.“Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu
perkara yang sangat mungkar, (Q.S. 19: 88 dan seterusnya)
Al Qur’an
dengan tegas menolak setiap pikiran tentang
ketrinitasan Tuhan.(Surat 5:72-75) termasuk penuhanan Maria
(Surat 5:116-118), yang tampak dalam pemujaan Maria yang
berlebihan (termasuk dogma naiknya Maria ke sorga). 11 Maria,seterusnya; Sahib Mustaqim Bleher, Das Zeugnis der Bibel - Kesaksian Bibel atas kebenaran al-Qur’an,
Weilerwist 1984, Hal. 18, Schwarzenau, (ibid catatan kaki nr. 5).
10
Bandingkan juga al-Qur’an surat 2:116; surat 21:26-30; A. Von Denffer, Der Islam und Yesus, München 1991
11
Dalam kehidupan Religius pada prakteknya posisi Roh Kudus telah digantikan oleh Maria menjadi nomor 4.
Para Sufi dapat terjebak dalam pemujaan Maria yang berlebihan, demikian dalam Pujian semesta alam bagi
Maria dari Charles Andre´ Gillis, Maria en Islam, Paris 1990
23
dan juga anaknya- merupakan sebuah ‘pertanda bagi semesta alam’
(QS. 21:91) dan terhitung di antara orang-orang yang taat (QS.
66:12), tak lebih dan tak kurang.
...dan
janganlah
kamu
mengatakan:
“(Tuhan
itu)
tiga“,
berhentilah (dari ucapan itu)...Sesungguhnya Allah Tuhan Yang
Maha Esa...(Q.S. 4:171)
Al Qur’an membenarkan hal kenaikan Yesus ke langit (surat
4:158), tanpa adanya kematian di kayu salib seperti yang
dipaparkan oleh para penulis Injil.
Bagaimana kita, dengan pola pikir modern, memandang penolakan
terhadap ketuhanan Yesus dan Roh Kudus sebagai oknum Tuhan,
yang berarti juga penolakan atas trinitas? Saya melihat, dalam
hal ini Islam justru mendapat banyak pengikut di kubu Kristen.
Agama Kristen tidak lagi menerima begitu saja sosok ‘Roh
Kudus’. Kian hari kian jelas, bahwa oknum Tuhan yang satu ini
merupakan suatu imajinasi akal, yang keberadaannya dipengaruhi
oleh pola pikir platonis dan gnostis sebelum Kristus, dan juga
neoplatonis yang datang kemudian. Orang lebih terbayang akan
tuhannya Platon (Tuhan/Demiurg/Logos) dan Trilogi Plotin atau
Proklus
(Eksistensi/Akal/Roh),
daripada
Isis/Osiris/Horus.
Penulis Injil Yohaneslah, siapa pun dia, yang meniupkan hal
yang spekulatif ini: “ Pada mulanya adalah Firman, Firman itu
bersama-sama dengan Allah, dan Firman itu adalah Allah...”
Figur filosofis dari oknum Tuhan ketiga itu dikukuhkan dalam
teks Perjanjian Baru dengan
terjemahan yang interpretatif.
Dari “Penghibur“, lalu “Roh“, dan kemudian - dengan huruf besar
- menjadi “Roh Kudus“ 12 .
Tetapi logos atau roh dalam Perjanjian Baru umumnya tidak
diterangkan sebagai oknum, misalnya sebagai Roh dari Tuhan (I
Kor. 2, 10-12) dan sebagai ‘Berkat’(Lukas 11,13). Bagaimana
Trinitas itu sebenarnya? Yang pasti, Yesus sendiri tidak pernah
memberikan pernyataan mengenai hal yang fundamental ini. Ia,
seperti semua Yahudi-Kristen lainnya, jelas-jelas memiliki
gambaran Tuhan seperti dalam agama Yahudi. 13
Seperti yang telah diketahui, hal ini tidaklah menghalangi
Konsili Nikea (325 M) untuk meresmikan Trinitas dengan gaya
konstitusi (tidak hanya sebagai deklarasi) - tentu saja hanya
sebagai dogma -, dan memusnahkan seluruh literatur Kristen awal
yang bertentangan dengan dogma tersebut.
Satu hal penting (atau malah tragis), manuskrip Perjanjian Baru
yang tertua yang ada sekarang ini baru disusun setelah
berlangsungnya konsili tersebut. Karena itu orang sebenarnya
tak
perlu
mengutip
buku
Karlheinz
Deschner
berjudul
12
Cocokkan Yoh. 14,16 dan 14,25; bandingkan Bleher (ibid cat. kaki nr. 9) Hal. 18-22; Benjamin, Hal. 180 dan
seterusnya.
13
Bandingkan Adolf Schlatter, Die Geschichte der ersten Christenheit, Gütersloh 1892, John Hick dan Edmund
S. Meltzer(Hrsg.), Three Faith - One God: A Jewish, Christian, Muslim Encounter, London 1986
24
“Kriminalgeschichte des Christentum“ (Aib-aib dalam sejarah
Kristen),
bukunya
yang
berjudul
“Gefälschten
Glauben“
(Kepercayaan yang Dipalsukan) sudah mewakili pandangan kaum
Muslim 14 tentang Kristen.
Demikian juga dalam hubungannya dengan eksistensi Yesus dan
juga perannya sebagai ‘Juru Selamat’
Sekarang ini, paling tidak para teolog Protestan dan Katolik
mulai sadar, bahwa bukti-bukti historis tidaklah mendukung,
belum lagi adanya sejumlah besar kontradiksi dan kekacauan
kronologis di dalam Injil dan masuknya unsur-unsur paganisme
dalam praktek. Kurangnya bukti-bukti yang ada bahkan membuat
penelitian ilmiah meragukan adanya proses pengadilan Yesus.
Hanya sedikit yang dapat diceritakan tentang kematiannya. Dan
sama sekali tak terbukti, bahwa penguburan dan kebangkitannya
disaksikan oleh para saksi mata. 15
Keadaan tersebut yang menyebabkan terjadinya “Jesus-Boom“ dalam
literatur kontemporer, yang 30 tahun belakangan ini indeksnya
saja mencapai lebih dari 500 halaman.
Lebih sulit lagi adalah pembuktian mengenai perwujudan Tuhan
dalam diri Yesus. Dalam terjemahan Perjanjian Baru yang lengkap
seorang pembaca yang obyektif tidak akan menemukan satu pun
pernyataan Yesus yang mengindikasikan ‘ketuhanannya’. Yesus dan
Tuhan tidak tampil identis, malah sebaliknya. Bukan hanya di
Bukit Golgota (ketika Yesus disalibkan), juga secara umum.
Bahkan dalam Injil Yohanes Yesus berkata:
“Aku berjalan menuju Bapaku dan kepada Bapa kalian, kepada
Tuhanku dan Tuhan kalian” (Yoh. 20,17).
Istilah ‘Bapa’ dan ‘Anak’ di sini juga tidak istimewa, karena
istilah tersebut digunakan dalam semua agama sebagai simbol
untuk untuk menggambarkan hubungan umat dengan Tuhannya.
Berdasarkan hal tersebut saya ingin membagi Kristologi dalam
lingkup gereja sekarang ini dalam 4 bagian:
a) Sebagian
besar adalah kalangan awam, khususnya di daerah
pedalaman, yang percaya pada monotheisme, di mana Yesus
kurang lebih diidentikkan sebagai Tuhan. Pandangan Tuhan
dalam wujud Manusia - bayi dalam palungan- muncul karena
adanya kebutuhan manusia untuk memuja sesuatu yang tidak
terlalu berbeda dengannya. (Tuhan inilah yang dibunuh oleh
Nietzsche!)
b) Terutama dalam Protestan, Yesus mulai tidak dipandang sebagai
Tuhan lagi, melainkan
sesamanya
dan
ringan
sebagai teladan, yang mengasihi
tangan,
terlepas
dari
sifat
14
Karlheinz Deschner, Der gefälschte Glaube, München 1988; Kisah kriminalitas Kristen, Hamburg, Jilid I
1986, Jilid II 1988
15
Bandingkan Weddig Fricke, „Standrechtlich gekreuzigt“, Person dan Proses Yesus dari Galilea, Frankfurt
1986
25
eksistensinya; bagaimanapun juga
Humanisme Kristen sebagai
Weltanschauung telah membuktikan keistimewaannya.
Dalam hal ini figur Yesus ‘direndahkan’ menjadi prototype
seorang pekerja sosial bagi kaum lemah.
c) Berlawanan
dengan hal tersebut adalah Kristologi tentang
mitos Yesus, yang akhirnya lari ke dalam misteri mistik,
disebabkan karena kesulitan-kesulitan pemahaman.
Demikianlah saya menilai Rüdiger Altmann, yang mengaku
sebagai seorang “Gnosis Kristen“ 16 dan
dalam tulisannya
tentang “Mysterium der Nacht“(Rahasia Malam), ketika Tuhan
(benar-benar)
dilahirkan.
Para
penganut
doktrin
ini
mencukupkan dirinya dengan sumber-sumber yang menampilkan
mitos-mitos Tuhan, Ibu yang suci, cahaya, kejatuhan manusia
dalam dosa (kisah Adam dan Hawa - penterjemah) sebagai titik
tolak. Mereka tanpa ragu menyatakan penjelmaan Tuhan menjadi
manusia adalah merupakan pemisahan totall dan tanpa merasa
melakukan
penghujatan
menyatakan,
“Dia,
Tuhan,
melalui
17
Inkarnasi benar-benar telah menjadi pribadi yang lain“.
d)Yang keempat - Hans Küng mendukung aliran ini- melihat
kelabilan teks-teks tua tersebut dengan lebih tenang dan
realistis, tidak bersembunyi di balik iluminasi gnostis maupun
dalam cara pandang yang terlalu membumi. Aliran ini berusaha
untuk mengatasi problem yang ada -historis dan ontologisdengan meluruskan front lewat penafsiran ulang. Dalam definisi
baru ini, Yesus adalah “yang dipilih dan diberi kuasa oleh
Tuhan.“; Trinitas menjadi „Wahyu Tuhan dalam Yesus melalui Roh
Kudus“ 18 (Roh Kudus dalam bahasa Jerman ditulis dengan huruf
besar, meskipun tidak dianggap sebagai oknum.)
Dengan ini Küng menerima konsekuensi yang timbul dari perbedaan
besar antara makna semula tentang Bapa, Anak dan Roh dengan
doktrin gereja tentang dogma Trinitas yang muncul kemudian,
juga dari beragamnya konsep-konsep Kristologi dalam Perjanjian
Baru. Küng mengakui, bahwa trinitas tidak tersurat dan tidak
tersirat dalam Perjanjian baru - bahkan yang mengarah ke sana
pun tidak ada. 19
Bila kristologi ini benar-benar mengakui, bahwa Yesus bukanlah
penjelmaan Tuhan ataupun berkonsubstansi
denganNya dan Roh
Tuhan bukanlah Tuhan, maka pandangan ini sesuai dengan
pandangan muslim dan memperkuat pendapat, bahwa “Muslim adalah
Kristen yang lebih sempurna”, sekaligus yang tertua. Hanya
dalam Al Qur’an kita dapatkan Kristologinya Kristen Yahudi
dalam bentuknya yang asli seperti yang ditemukan kembali oleh
Küng.
16
Rüdiger Altmann, Sisipan koran Frankfurter Allgemeine Zeitung,, tanggal 21.12.1985
Hans Waldensfells, koran Frankfurter Allgemeine Zeitung, tanggal 24.11.1985
18
Hans Küng/ J. Van Ess, Christentum und Weltreligionen, bagian I „Islam“ Gütersloh 1987
19
Hans Küng, Sebuah Dialog masa kini antara Kristen dan Muslim, Universitas Stuttgart 1984, Hal. 1351
17
26
Penafsiran baru (yang sebenarnya lama) tentang kodrat dan
peranan Yesus begitu luar biasa, seperti juga kenabian
merupakan sesuatu yang luar biasa. Tetapi para pendukung
penafsiran Yesus ini harus bisa menerangkan mengapa mereka
meskipun demikian masih merasa -dan mengakui- dirinya sebagai
penganut Kristen. 20
Menurut saya, perasaan tersebut ada hubungannya dengan aspek
penyelamatan dan penebusan dosa, yang latar belakangnya adalah
dosa turunan dan penekanannya pada Penderitaan Yesus.
Islam menolak pikiran mengenai Dosa Turunan, karena hal
tersebut deterministis, yang bertolak dari kegagalan dalam
ciptaan Tuhan dan bertentangan dengan pandangan al-Qur’an,
bahwa manusia tidak menanggung beban dosa sesamanya, apalagi
dosa kolektif. Pandangan-pandangan semacam ini bertentangan
dengan Gambaran Tuhan dalam Islam. 21
Islam pun tidak hanya menyangkal kebutuhan akan penebusan dosa.
Islam menilai teologi tentang pengorbanan di Kayu Salib sebagai
sebuah penghujatan, yang terformulasi demikian: dalam sekarat
di kayu salib, dimana seluruh penderitaan manusia terkumpul
jadi satu, Tuhan menyelamatkan umat manusia dengan menanggung
penderitaan mereka.“. 22 Karena Teologi seperti itu menuduh
bahwa Tuhan tidak mampu “menyelamatkan“ umat manusia tanpa
dengan menciptakan person ‘Tuhan’ kedua. Pandangan ini -Tuhan
sebagai
korban
dari
pemberontakan
umat
manusiajuga
bertentangan dengan Gambaran Tuhan dalam Islam.
Berdasarkan latar belakang tersebut - yang merupakan pandangan
Paul Schwarzenau- penolakan terhadap kematian Yesus di kayu
salib dapat dilihat sebagai bagian dari protes terhadap
pandangan Kristen tentang Penyaliban. 23 Menurut pandangan
Muslim,
orang
Yahudi
tidak
membunuh
Yesus,
meskipun
kelihatannya demikian. Yesus sama sekali tidak mati, melainkan
dipanggil kembali dan diangkat oleh Tuhan:
“(Ingatlah) ketika Allah berfirman: “Hai ‘Isa, sesungguhnya Aku
akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu
kepadaKu...”(Q.S. 3:55)
Sedangkan mengenai cara pemanggilan Yesus tersebut, tak seorang
pun dapat memastikannya meski banyak muncul spekulasi-spekulasi
apokrif 24 tentang hal tersebut.
20
Hans Kueng, Pourquoi suis-je toujours chre´tien? Paris, 1985
Dalam Fungsi dosa turunan dalam perjalanan sejarah gereja bandingkan Elaine Pagels, Adam, Eva und die
Schlange: Theologie Dosa, Reinbeck 1990
22
Karl Alfred Odin, koran Frankfurter Allgemeine - Tajuk rencana 04.04.1985; bahkan di Perancis muncul
Teologi kaum Lemah, dengan gambaran Tuhan yang penuh derita, bandingkan Jean Delumeau, Ce que je crois,
Paris 1985
23
Schwarzenau, ibid catatan kaki nr. 5
24
Bandingkan komentar itu dengan terjemahan al-Qur’an oleh Hamza Boubakeur surat 4:157, cetakan III, Paris
1985; G. Parrinder, Jesus in the Qur’an, Oxford 1977. Dia tidak merubah terhadap penekanan kata ‘tidak
dibunuh’, melainkan ‘anggapan mereka’, ini menandakan bahwa uraian kisah kejadian tersebut sesuai dengan
cerita kaum Kristen. Padahal kejadian sesungguhnya sangat berbeda.
21
27
.”..Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh
itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula)
yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah ‘Isa.
Tetapi (yang sebenarnya) Allah telah mengangkat ‘Isa kepadaNya.
Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. “(Q.S. 4:157 dan
seterusnya) 25
Karena itu legenda mengenai Hidup dan Matinya Yesus di Kashmir
tetaplah hanya sebuah legenda, tidak lebih. 26
Ini merupakan latar belakang problem yang sangat aktual, yaitu
apakah dialog Islam - Kristen dapat memberi sumbangan bagi
perdamaian dunia. 27
“Tak ada perdamaian di dunia tanpa perdamaian agama“, menurut
Hans Küng dalam ceramahnya di Aljazair, 22 November 1988,
tanpa mengira akan meletusnya perang Teluk yang terjadi dua
tahun kemudian. Ia mengharapkan suatu “Etos yang universal
bagi bangsa-bangsa“ atas dasar pendekatan dan pengertian
antar agama - bukan suatu penyatuan agama atau sinkretisme
yang menimbulkan kekacauan.”
Dari
pihak
Kristen
banyak
hal
telah
dilakukan
untuk
mempersiapkan suasana menuju dialog tersebut. 28 Termasuk di
sini yaitu pertemuan antar agama di Cordoba, pernyataanpernyataan penuh hormat dari para biarawan seperti Michel
Lelong, 29 ucapan selamat tiap tahun dari Paus kepada para
muslim dalam merayakan Idul Fitri dan undangan Paus untuk
menghadiri Doa Bersama di Assisi, 27 Oktober 1986
Namun, untuk dapat berkomunikasi, kedua belah pihak diharapkan
untuk
saling
menerima
pandangan
masing-masing.
Artinya,
meskipun monoteisme Kristen tampak kabur, kaum muslim tidak
mencela umat Kristen sebagai politeis, dan dari pihak Kristen
diminta untuk meninggalkan prinsip “extra ecclesiam nulla
salus“ (tak ada kesucian di luar gereja) bukan hanya
formulasinya -seperti yang terjadi dalam Konsili Vatikan IItetapi juga semangat pandangan tersebut.
Tetapi hal ini diragukan, selama gereja Katolik tetap berpegang
pada prinsip “extra ecclesiam nullus propheta“ (tak ada nabi di
luar Gereja), yaitu menerima Islam sebagai jalan menuju
keselamatan,
tetapi
tidak
mengakui
Muhammad
sebagai
pemimpinnya. Vatikan dalam hal ini jelas tidak konsekuen, yaitu
25
Bandingkan Muh. Assad, The Message of the Qur’an, Gibraltar 1980, catatan kaki 171 untuk Qur’an surat
4:157; Yusuf Ali, The Holy Qur’an, cetakan VIII, Brentwood 1985, catatan kaki 663 untuk surat 45:157
26
Andreas Faber- Kaiser, Yesus hidup dan mati di Kashmir, Luzern 1986
27
lihat S.M. Abdullah, Islam: Berdialog dengan Kristen, cetakan III, Altenberge 1990
28
Bandingkan Pertemuan Islam dan Kristen, Koeln 1983; Maurice Borrmans, Wege zum chrislich-islamischen
Dialog, Frankfurt 1985
29
Michel Lelong, Si Dieu l´avait voulu..., Paris 1986
28
memutuskan untuk menghormati para muslim,
menyinggung al-Qur’an dan pembawanya. 30
tetapi
menolak
Dari keadaan ini terlihat adanya batasan sempit dalam
pendekatan
teologis,
disebabkan
adanya
posisi
yang
tak
tergoyahkan dari semua pihak, yang tidak mengarah pada
disposisi, singkatnya tak bisa bernegosiasi.
Seperti yang disampaikan oleh Hans Küng di Cordoba:
„ Anak Tuhan bagi orang Kristen
„ Al Qur’an bagi umat Islam
„ Umat pilihan bagi Yahudi
Jelas terlihat perbedaannya, bahwa Kristen berpusat pada satu
orang, sedangkan Islam pada sebuah buku. Firman Tuhan dalam
Kristen telah menjadi daging, dalam Islam tertuang dalam
buku. 31
Kalau memang demikian, maka ‘perdamaian’ Teologi pun baru akan
mungkin, bila umat Kristen melihat Yesus seperti dalam
pandangan Küng dan menerima al-Qur’an sebagai Wahyu Tuhan.
Ini tidak berarti, karena ketidakmampuan masing-masing untuk
melakukan negosiasi tadi, menyebabkan dialog antar umat menjadi
tak berguna. Kita tak boleh meremehkan langkah kecil dan
manfaat
praktis
dari
sebuah
pertemuan
dengan
kelompok
masyarakat, khususnya dengan para pekerja asing, dengan catatan
tak seorang pun mempunyai maksud untuk saling mempengaruhi.
Telah diketahui umum bahwa seorang muslim sebenarnya tak bisa
merubah kepercayaannya menjadi Kristen.
30
Hans Kueng, Christentum und Islam, sebuah pertukaran Budaya, Stuttgart 1985, No.3, Hal. 311 dan
seterusnya
31
Hans Kueng, tabloid Die Welt tanggal 06.03.1989, Hal. 13
29
Download