PERKEMBANGAN RUU TENTANG PENGENDALIAN DAMPAK PRODUK TEMBAKAU TERHADAP KESEHATAN Oleh: Ignatius Mulyono1 I. PENDAHULUAN Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan merupakan salah satu RUU yang telah diprogramkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2010 – 2014. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPRRI) bersama dengan pemerintah bahkan telah menyetujui RUU tersebut masuk dalam Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2011 berdasarkan Keputusan DPR-RI Nomor 02B/DPRRI/II/2010-2011 tentang Program Legislasi Nasional RUU Prioritas Tahun 2011. Penyusunan RUU ini, dilatar belakangi oleh: 1. Dari berbagai penelitian dan pengkajian tentang tembakau dan produk-produk yang berasal dari tembakau disimpulkan bahwa tembakau membahayakan kesehatan pengkonsumsi tembakau, terutama perokok dan lingkungannya. Dalam kaitannya dengan aspek kesehatan, penggunaan tembakau sebagai bahan dasar rokok menjadi masalah paling krusial. Berbagai literatur di bidang kesehatan dan kefarmasian menyatakan bahwa produk tembakau yang dibakar terdapat zat kimia yang mengandung racun berbahaya, seperti nikotin, tar dan karbonmonoksida. Zat-zat yang terkandung dalam tembakau dapat mengakibatkan berbagai penyakit, antara lain kanker, penyakit jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin. Orang yang tidak mengkonsumsi produk tembakau apabila terkena paparan asap produk tembakau secara terus menerus, akan menerima resiko lebih tinggi untuk terkena kanker paru, jantung, dan kanker lain. Bagi bayi dan anak-anak yang terkena paparan asap produk tembakau, akan terkena bronkhitis, pneumonia, infeksi telinga dan kelambatan pertumbuhan paru-paru. 2. Semua negara anggota yang tergabung dalam Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam Sidang Majelis Umum atau World Health Assembly yang ke-56 di Geneva bulan Mei 2003, secara aklamasi telah menyepakati naskah Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Konvensi Pengendalian Masalah Tembakau (KPMT). FCTC ini akan efektif sebagai instrumen hukum internasional apabila minimal 40 negara telah meratifikasinya. Sebelum meratifikasi, negara yang bersangkutan diharuskan menandatanganinya sebagai bentuk endorsement. Sampai akhir Juli 2003 sebanyak 46 negara serta Masyarakat Ekonomi Eropa telah menandatanganinya. 1 Ignatius Mulyono, Ketua Badan Legislasi DPRRI. Makalah disampaikan dalam Executive Forum Media Indonesia dengan topic Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tembakau di Indonesia di Millennium Hotel, Jakarta, 28 Juli 2011. Pemerintah Indonesia sampai batas waktu akhir penandatanganan FCTC belum menandatanganinya. Langkah yang dapat ditempuh oleh Pemerintah Indonesia untuk menjadi negara pihak dapat dilakukan melalui aksesi dan kemudian meratifikasinya dengan UU tentang Pengesahan FCTC. Pada bulan Oktober 2007, sebanyak 152 negara menjadi anggota FCTC dengan melakukan ratifikasi, termasuk Cina, India, dan Brazil. Indonesia adalah satusatunya dari 38 negara di wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat yang belum meratifikasi FCTC.2 3. Pada aspek lain, tembakau dan produk-produk yang berasal dari tembakau sudah lama menjadi masalah yang bersifat kompleks, tidak hanya menyangkut masalah di bidang kesehatan, namun ternyata juga menyangkut masalah ekonomi, tenaga kerja, politik, dan sosial budaya. Masalah-masalah yang berkaitan dengan tembakau dan produk-produk yang dihasilkan dari tembakau dalam tataran nasional menyangkut masalah kesehatan, ketenagakerjaan, petani tembakau, pajak dan cukai, perlindungan petani, yang tidak jarang berdampak panjang kepada masalah sosial ekonomi bangsa. Sedangkan dalam tataran internasional berkaitan dengan penanaman modal asing, hak cipta, dan budaya yang juga berdampak ekonomi dan bahkan politik. Dalam kehidupan nasional dan internasional sudah lama orang mengenal tembakau sebagai suatu bahan yang dipergunakan untuk membuat rokok. 4. Produk tembakau dan cengkeh sebagai sumberdaya yang unik dan memiliki potensi bagi segenap aspek ekonomis, kesehatan, lingkungan, budaya, perlu diatur agar dapat tergali dan terberdayakan secara optimal dan berkelanjutan. Pengaturan dan pengendalian yang tidak terintegrasi dan dilakukan secara serampangan bukan saja menurunkan potensi produk tembakau, wibawa pemerintah, dan permasalahan politik, namun juga menimbulkan kerugian yang tidak sederhana. II. PENYUSUNAN DAN PEMBAHASAN DI DPR RI a. Penyusunan di Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki keinginan yang kuat untuk melakukan perlindungan masyarakat dari dampak negative 8 konsumsi produk tembakau, terutama rokok. Badan Legislasi sebagai alat kelengkapan DPR kemudian melakukan penyusunan dan dan pembahasan RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan sesuai dengan mekanisme penyusunan RUU. RUU tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas RUU Tahun 2011 nomor urut 27. Naskah akademik dan draft RUU ini dipersiapkan oleh Badan Legislasi DPR. Sebagaimana diatur dalam Peraturan DPR RI Nomor 01 Tahun 2 Sarah Barber, Sri Moertiningsih Adioetomo, Abdillah Ahsan, Diahhadi Setyonaluri, 2008, Ekonomi Tembakau di Indonesia, Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2 2009 tentang Tata Tertib dalam Pasal 112 ayat (1) bahwa, “Badan Legislasi dalam mempersiapkan rancangan undang-undang terlebih dahulu menyusun naskah akademik mengenai materi yang akan diatur dalam rancangan undangundang.” Selanjutnya, Pasal 114 menyebutkan bahwa, “Dalam penyusunan rancangan undang-undang, anggota, komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi dapat meminta masukan dari masyarakat sebagai bahan bagi panitia kerja untuk menyempurnakan konsepsi rancangan undang-undang”. Untuk memperoleh masukan tersebut, Badan Legislasi telah melakukan rapat dengar pendapat (RDP), rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan seluruh stakeholder dan melakukan kunjungan kerja ke beberapa daerah. Sebagai bentuk keseriusan dalam penyusunan RUU tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan, Badan Legislasi telah melakukan RDPU dengan berbagai pihak dan stakeholder, seperti dengan ICTN (Indonesia Control Tobacco Network), Komnas Pengendalian Tembakau, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Tengah, Gabungan Pengusaha Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), dan Indonesia Berdikari. Selain itu, melakukan RDP dengan Ditjen Perkebunan (Kementerian Pertanian), Ditjen Perdagangan Dalam Negeri (Kementerian Perdagangan), Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Ditjen Bea Cukai (Kementerian Keuangan), dan Ditjen Ketenagakerjaan (Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi). Pada masa persidangan III tahun sidang 2010 – 2011, Badan Legislasi selanjutnya melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, dan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Pada ketiga daerah tersebut, DPR mendengarkan berbagai aspirasi dan masukan dalam penyusunan draft RUU tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan. Dari berbagai masukan dalam RDP, RDPU, maupun kunjungan kerja tersebut, ada keinginan yang sangat kuat agar dalam penyusunan RUU tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai aspek yang berkaitan dengan tembakau dan produk tembakau. Aspek kesehatan sangat penting, namun juga harus mempertimbangkan aspek lainnya, yaitu tenaga kerja, petani tembakau, pajak dan cukai yang pada akhirnya dapat berdampak panjang terhadap masalah sosial ekonomi bangsa. b. Perdebatan dalam Penyusunan RUU Setelah Badan Legislasi melakukan RDP, RDPU, kunjungan kerja, dan kajian yang mendalam, Badan Legislasi memiliki beberapa catatan terhadap RUU tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan. Beberapa catatan tersebut, antara lain: 1. Dalam penyusunan RUU tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan terdapat dua kepentingan yang saling bertentangan. Kepentingan pertama melihat dari aspek kesehatan, sedangkan kepentingan yang lain melihat dari aspek ekonomi, tenaga kerja, sosial dan politik, serta secara khusus kepentingan petani. 3 2. Dari kepentingan kesehatan melihat bahwa konsumsi produk tembakau terutama rokok menjadi masalah tersendiri, karena sebenarnya di dalam produk tembakau yang dibakar terdapat kurang lebih 4000 (empat ribu) zat kimia yang mengandung racun berbahaya, antara lain nikotin yang bersifat adiktif, tar yang bersifat karsinogenik, dan karbonmonoksida. Ketiga zat ini dapat mengakibatkan berbagai penyakit, antara lain kanker, penyakit jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan. Di samping itu, bagi orang yang tidak merokok apabila terkena paparan asap rokok secara terus menerus, akan menerima resiko lebih tinggi untuk terkena kanker paru, jantung, dan kanker lain. Bagi bayi dan anak-anak yang terkena paparan asap rokok, akan terkena bronkhitis, pneumonia, infeksi telinga dan kelambatan pertumbuhan paru-paru. Meskipun dampak negatif produk tembakau terhadap kesehatan sangat besar, ternyata konsumsi rokok di Indonesia terus meningkat secara persisten. 3. Meningkatnya prevalensi merokok dari tahun ke tahun, setidaknya menunjukkan bahwa perokok merasakan keuntungan dari rokok secara individual. Para perokok merasakan keuntungan yang dirasakan lebih besar jika dibandingkan dari biaya yang dikeluarkan, sehingga terdapat anggapan keliru bahwa merokok merupakan hak asasi dan larangan merokok di tempat umum dianggap melanggar hak asasi seseorang. Namun, banyak perokok tidak sepenuhnya sadar akan risiko penyakit dan kematian dini akibat merokok (private cost). Dengan demikian, rokok membahayakan kesehatan perokoknya sendiri dan lingkungannya. 4. Selain kesehatan, masalah-masalah yang berkaitan dengan tembakau dan produk-produk yang dihasilkan dari tembakau dalam tataran nasional menyangkut masalah ketenagakerjaan, petani tembakau, pajak dan cukai, perlindungan petani, yang tidak jarang berdampak panjang kepada masalah sosial ekonomi bangsa. Sedangkan dalam tataran internasional berkaitan dengan penanaman modal asing, hak cipta, dan budaya yang juga berdampak ekonomi dan bahkan politik. Dari aspek ekonomi melihat bahwa penerimaan negara dari cukai dan belanja iklan sangat besar. Sedangkan dari sisi kepentingan petani melihat bahwa keberadaan RUU ini akan mengganggu kepentingan industri yang saat ini merupakan penyerap terbesar hasil produksi tembakau dari petani. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, jumlah petani tembakau tahun 2010 mencapai 6,1 juta orang, baik di on farm maupun off farm. 3 Sedangkan menurut Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, jumlah tenaga kerja yang terlibat, baik dalam produksi maupun pengecer mencapai 7,5 juta orang.4 Pada aspek ini, ada kekhawatiran pengendalian produk tembakau terhadap kesehatan akan berpotensi mengurangi kemandirian ekonomi bangsa; mempercepat deindustrialisasi; berpotensi menimbulkan distorsi penciptaan lapangan kerja; dan menimbulkan konflik horisontal. 3 4 Disampaikan dalam RDPU dengan Baleg tanggal 8 Maret 2011. Ibid. 4 5. Perdebatan untuk mencari titik temu juga cukup rumit ketika mengkaji masukan dari para stake holder dalam draf RUU: a) Pengemasan Pada aspek pengemasan, sementara pihak menyatakan tidak perlu ada pembedaan isi kemasan rokok. Kemasan yang sama, tidak akan mematikan industri rokok kecil. Sekarang, industri rokok kecil banyak mati bukan karena peraturan. Banyak industri rokok kecil yang sudah tutup karena tergilas oleh mekanisasi, tergilas oleh kebesaran modal dan kemampuan beriklan industri rokok besar. Pendapat di atas tentu saja dicurigai pesanan asing atau pabrikan asing yang memiliki modal sangat besar, sehingga mudah untuk menggilas industri rokok dalam negeri. Pemerintah Kabupaten Temanggung, Pemprov Jawa Tengah, AMTI, dan Indonesia Berdikari memperingatkan pentingnya kehati-hatian dalam menyamaratakan kemasan produk tembakau, terutama rokok. Ada banyak aspek yang perlu diperhatikan di samping perlunya perlindungan terhadap industri kecil dalam melakukan pengemasan produknya. Beberapa alasan pentingnya kehati-hatian dalam menyamaratakan kemasan tersebut, antara lain: 1) Perubahan isi kemasan memerlukan perombakan mesin yang sudah ada dan berdampak sangat luas pada segmen sigaret linting tangan. Dapat dibayangkan bagaimana perombakan mesin dapat dilakukan oleh industri kecil dan menengah jika harus berhadapan dengan industri dan modal asing yang besar. Di samping itu, masih banyak rokok atau kretek yang diproduksi dengan tangan, yang secara nyata menyerap tenaga kerja di tengah kesulitan negara ini memperluas lapangan kerja bagi rakyatnya. 2) Berpotensi bertentangan dengan: - Peraturan bidang cukai yang mengizinkan kemasan golongan perusahaan rokok tertentu berisi 10 batang per kemasan. Selain itu, hal ini akan mengubah secara signifikan tata cara Pemerintah dalam menghitung dan menerima pembayaran cukai, membutuhkan berbagai perubahandan pertimbangan terhadap peraturan cukai yang berlaku. - Pasal 4(b) UU Perlindungan Konsumen yang memberikan perlindungan atas hak konsumen untuk memilih produk. Membatasi isi menjadi 20 batang per kemasan melanggar hak konsumen dewasa untuk memilih membeli kemasan yang berisi kurang dari 20 batang. Untuk itu, minimum isi kemasan seyogyanya mengikuti peraturan yang berlaku. b) Pengujian emisi Pada aspek tulisan yang harus ada dalam kemasan, ada keinginan agar pengaturan pengujian dan pencantuman emisi produk tembakau, 5 terutama rokok, tidak hanya tar dan nikotin saja. Padahal, pengaturan mengenai pengujian dan pencatuman kadar dan tar selama ini saja tidak ada metode standar pengujian dan ketersediaan laboratorium untuk menampung pengujian pabrikan yang berjumlah hampir 3.000 dengan ribuan merek rokok di Indonesia. Di samping itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan bahwa pencantuman informasi tar dan nikotin dapat menimbulkan persepsi yang salah yaitu lebih rendah sama dengan lebih baik. Padahal, memiliki pengaruh yang sama terhadap kesehatan. Secara lebih spesifik, Indonesia Berdikari memperingatkan keharusan berhati-hati dalam membuat pengaturan mengenai isi kemasan, jangan sampai mematikan industri kecil. Ada 3 (tiga) bentuk persaingan dalam memperebutkan pasar rokok: 1) Kompetisi antara negara berkembang dengan negara maju dalam memperebutkan pasar rokok. Negara maju membuat penghalang (barrier) melalui peraturan untuk masuknya produsen dari negara lain. 2) Kompetisi antara perusahaan tembakau dan produk olahan tembakau dengan perusahaan farmasi dalam memperebutkan pasar nikotin. 3) Kompetisi diantara perusahaan rokok besar dan pertarungan antara perusahaan rokok besar dengan perusahaan rokok kecil. c) Peringatan Kesehatan Hal pokok yang diatur adalah mengenai kewajiban mencantumkan peringatan kesehatan pada label dan bungkus produk tembakau. Peringatan kesehatan ini sangat diperlukan, di samping memberikan informasi terhadap kandungan tembakau, juga untuk mencegah peningkatan prevalensi orang merokok, khususnya agar jumlah anakanak yang merokok tidak meningkat, bahkan menurun. Peringatan kesehatan ini sangat diperlukan agar dapat memberikan informasi mengenai bahaya mengkonsumsi produk tembakau terhadap dirinya dan orang lain. Perdebatan pokoknya berkaitan dengan bentuk peringatan kesehatan berupa gambar atau dengan tulisan seperti pada mayoritas negara di dunia. Pada dunia internasional diketahui, berdasarkan data dari www.tobaccolabels.ca hanya 35 negara dari 192 negara anggota PBB yang mensyaratkan peringatan kesehatan berbentuk gambar. Tiga puluh lima negara tersebut adalah: 1) Kanada, 2) Brazil, 3) Singapura, 4) Thailand, 5) Venezuela, 6) Yordania, 7) Australia, 8) Uruguay, 9) Panama, 10) Belgia, 11) Chili, 12) Hongkong, 13) Selandia Baru, 14) Romania, 15) Inggris, 16) Mesir, 17) Brunei Darussalam, 18) Kepulauan Cook, 19) Iran, 20) Malaysia, 21) Taiwan, 22) Peru, 23) Djibouti, 24) Mauritius, 25) India, 26) Kepulauan Cayman, 27) Paraguay, 28) Latvia, 29) Pakistan, 30) Swiss, 31) Mongolia, 32) Kolombia, 33) Turki, 34) Meksiko, 35) Filipina. 6 Tidak ada satu negara pun yang termasuk empat produsen rokok terbesar di dunia (Cina, Amerika Serikat, Jepang, dan Rusia; Indonesia berada di urutan kelima), yang mensyaratkan peringatan kesehatan berbentuk gambar. Negara-negara tersebut mempunyai kepentingan terhadap industri rokok, dan terhadap petani tembakau sehingga mereka tidak mewajibkan ketentuan peringatan merokok dalam bentuk gambar.5 d) Pengaturan iklan dan promosi Pada draf sebelumnya ada pengaturan untuk pelarangan secara total terhadap iklan, promosi, dan sponsorsip. Namun, perlu dipertimbangkan pengaturan iklan dan promosi perlu dilakukan dengan cermat dan mempertimbangkan peraturan hukum lainnya. Dalam persoalan ini, maka putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-VII/2009 mengenai iklan dan promosi rokok perlu menjadi pertimbangan. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-VII/2009 mengenai iklan dan promosi disebutkan bahwa permasalahan hukum iklan rokok, tidaklah adil (unfair) apabila pertimbangan dibuat dengan hanya memfokuskan pada rokok itu sendiri dan dampak negatif dari rokok semata dengan mengabaikan pertimbangan-pertimbangan dari perspektif kehidupan para petani tembakau, petani cengkeh, pelaku industri rokok, industri iklan, industri perfilman, industri percetakan, jasa transportasi serta kehidupan budaya lainnya yang di dalamnya terkait pelaku usaha, tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya pada industri rokok dan industri-industri lain yang terkait. Di samping itu, tidaklah adil apabila pertimbangan-pertimbangan terfokus pada perspektif keberlangsungan petani tembakau, petani cengkeh, pelaku industri rokok, industri iklan, industri perfilman, industri percetakan, dan jasa transportasi belaka dengan mengabaikan dampak negatif yang ditimbulkan oleh rokok. Terhadap sikap yang tidak akan melarang pabrik rokok atau pembudidayaan tembakau tetapi menekan iklan rokok sama saja dengan sikap hipokritisme dan sifat iklan jenis apapun selalu bersifat membujuk6. Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa kegiatan beriklan dan mempromosikan produk melalui media penyiaran hanyalah mata rantai terakhir dari seluruh investasi yang dikeluarkan oleh pengusaha industri rokok, sehingga kegiatan mengkomunikasikan dan menyampaikan informasi dalam bentuk iklan promosi rokok dijamin oleh konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 28F UUD 1945 yang berbunyi bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Dengan demikian, larangan iklan rokok melanggar hak konstitusional setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi 5 6 Sumber: www.tobaccolabels.ca. diakses tanggal 16 Juni 2011. Lihat halaman 227 dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-VII/2009 7 sebagaimana dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945. Seandainya pun iklan rokok dilarang dalam iklan siaran niaga, industri rokok tetap dapat melakukan iklan produknya melalui media periklanan yang lain seperti melalui event-event olah raga, musik, internet, satelit, media cetak, ataupun media luar ruang. Oleh karena itu, melarang iklan rokok pada media penyiaran tetapi tetap memperbolehkan melalui media lain, selain tidak efektif juga merupakan pelanggaran terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. e) Pengaturan cukai Produk tembakau merupakan barang yang harus diawasi dan dikendalikan peredarannya. Untuk itu, pemerintah menggunakan instrumen cukai dengan cara menaikkan cukai pada produk tembakau. Instrumen cukai merupakan salah satu cara yang sangat efektif dalam mengendalikan peredaran tembakau. Namun upaya untuk mengendalikan cukai selalu berbenturan dengan kepentingan industri rokok yang sangat menginginkan harga rokok dapat dijangkau oleh masyarakat. Jumlah pabrik rokok di Indonesia menurut data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mempunyai sedikitnya 3.800 pabrik rokok, termasuk kelas rumahan. Sekitar 3.000 pabrik rokok ada di dua provinsi, yakni Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dua daerah itu juga termasuk sebagai penghasil tembakau terbesar di Jawa ataupun secara nasional. Menurut Dirjen Bea dan Cukai, Indonesia termasuk jumlah pabrik rokok terbesar di seluruh dunia. Saat ini pabrikan membayar cukai dan PPN riil melebihi tarif yang seharusnya, d imana harga transaksi pasar jauh lebih rendah dari harga jual eceran yang ditetapkan pemerintah.7 Tidak dapat dipungkiri bahwa penerimaan cukai pada saat ini telah menjadi tulang punggung perekonomian negara. Setiap tahunnya penerimaan cukai berada diatas target. Sebagai contoh pada tahun 2011 ini, menurut Direktur Cukai Bachtiar, penerimaan cukai di Kuartal I 2011 telah melewati target yang ditetapkan. Target yang telah ditetapkan untuk kuartal I ini adalah 24,75% dari target tahunan yang nilainya sebesar Rp 62,7 triliun, namun realisasinya saat ini sudah mencapai 27,78% atau setara dengan Rp 17,4 triliun. Bachtiar mengakui, pencapaian itu mayoritas didorong dari hasil cukai rokok. Kontribusi rokok sebesar 95,94%, sementara lainnya seperti Etil Alkohol sebesar 0,22%, dan minuman mengandung Etil Alkohol (MMEA) mencapai 3,9%. Bachtiar juga mengakui, kontribusi dari cukai rokok ini baru berpengaruh untuk penerimaan negara pada bulan ke tiga. Sedangkan pada bulanbulan sebelumnya, penerimaan negara dari cukai tidak mencapai target. Itu sudah menjadi siklus tahunan karena untuk awal tahun kontribusi dari 7 Ismanu Soemiran, ”Permasalahan Dan Tantangan Industri Rokok Keretek”, makalah disajikan dalam Lokakarya Nasional Agribisnis Tembakau, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Surabaya, 7 Juni 2007. 8 cukai rokok belum dominan. Baru pada akhir kuartal satu baru mulai meningkat. Seperti diketahui, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No 190/PMK.011/2010, Pemerintah menaikkan tarif cukai rokok 5% untuk empat jenis hasil tembakau yakni Sigaret Kretek Mesin, Sigaret Putih Mesin, Sigaret Kretek Tangan atau Sigaret Putih Tangan (SPT), dan Sigaret Kretek Tangan Filter (SKTF) atau Sigaret Putih Tangan Filter (SPTF).8 Cukai merupakan pungutan negara yang dikenakan terhadap barang tertentu yang mempunyai sifat dan karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang. Sifat atau karakteristik tersebut terdiri dari: konsumsinya perlu dibatasi; peredarannya perlu diawasi; pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.9 Studi yang dilakukan Ahsan dan Wiyono (2008) dengan menggunakan pendekatan data Input-Output 2003 memperlihatkan bahwa kontribusi industri rokok terhadap output nasional sebesar Rp 43,96 triliun atau 1 persen dari total output yang mencapai Rp 4.151,19 triliun. Sedangkan kontribusi pertanian tembakau mencapai Rp 2,24 triliun atau 0,054 persen dari total output. Apabila dibuatkan peringkat, maka industri rokok berada pada peringkat 34 dari 66 sektor, sedangkan pertanian tembakau berada pada peringkat 62 dari 66 sektor. Di antara sumber-sumber penerimaan lain dari sektor pajak, cukai tembakau terlihat sangat dominan. Laporan Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LD-UI) menyebutkan 88% penerimaan cukai tembakau dalam APBN berasal dari enam perusahaan rokok terbesar di Indonesia yang semuanya ada di Jawa.10 Jika dipisah menurut asalnya, bagian terbesar cukai tembakau dibayar oleh konsumen rokok kretek yang menyerap lebih dari 90% produksi rokok nasional. Departemen Perindustrian menyebutkan bahwa, pada tahun 2000, konsumen rokok kretek menyumbang 89,3% dari total konsumsi rokok nasional. Angka tersebut bahkan naik menjadi 93% pada tahun 2009. Cukai sebenarnya hanya berpusat pada perusahaan rokok besar yang berjumlah enam perusahaan. Keenam perusahaan tersebut menyumbang 88 persen dari total penerimaan cukai tembakau. Tabel 1 menyajikan daftar industri rokok nasional beserta produknya. Tabel 1. Industri Rokok Nasional, Produk dan Kepemilikannya 8 Sumber: http//www.detik.com//cukai-rokok-penyumbang-terbesar-penerimaan-negara.html diakses tanggal 16 Juni 2011. 9 Pusdiklat Bea dan Cukai.2008.Modul Penindakan dan Pengawasan di Bidang Cukai. 10 Sarah L. Barber, Abdillah Ahsan, Sri Moertiningsih Adioetomo, Diahhadi Setyonaluri, „Ekonomi Tembakau di Indonesia‟, Jakarta: Lembaga Demografi Universitas Indonesia, 2009. 9 Perusahaan Pemilik Mayoritas Produk Sigaret Kretek Tangan Sampoerna Philip Morris International Gudang Garam Djarum Grup Djarum Bentoel British International American Investama Tobacco Sigaret Kretek Mesin Sampoerna A Hijau, Dji Sam Soe, Panamas Kuning A Mild, U Mild, Avolution, Marlboro Mix 9, Dji Sam Soe Filter GG Merah King Size, GG Special Deluxe, GG Djaja, GG Tanda Mata, Sigaret Kretek Klobot Manis GG Filter International Merah, GG Filter Surya, GG Filter International Coklat Djarum 76, Djarum Coklat, Djarum Istimewa Djarum Super, Djarum Black, Tea and Cappucino, LA Lights Rawit, Prinsip Sejati X Mild, Club Mild, Star Mild, Bentoel Biru, One Mild, Tali Jagat Filter Rokok Putih Marlboro Country, Lucky Strike, Pall Mal, Ardath, Dunhill, Kansas, Commfil Tabel 2. Dampak Peningkatan Cukai Terhadap Harga Rokok, Permintaan Rokok dan Penerimaan Pemerintah Menurut Berbagai Skenario11 Skenario Cukai Rokok Naik (%) Harga Rokok Naik (%) Permintaan Rokok turun (%) Penerimaan dari cukai rokok naik (%) Dampak neto output (Rp. Milyar) Pesimis 30 7,77 - 2,67 24 147 Optimis 50 12,95 - 4,47 43,3 246 Naik 57 % 84 21,47 -7,41 68,99 413 Ideal 100 25,9 -8,94 82,13 492 11 Ahsan, Abdillah and Nur Hadi Wiyono, 2008, “An Analysis of the Impact of Higher Cigarette Prices on Employment in Indonesia”, SEATCA, Bangkok, Thailand. 10 Sumber: Ahsan, Abdillah and Nur Hadi Wiyono, 2008, An Analysis of the Impact of Higher Cigarette Prices on Employment in Indonesia, SEATCA, Bangkok, Thailand Studi yang dilakukan oleh Ahsan dan Wiyono (2008) menghitung bahwa kenaikan cukai 100 persen (dari tarif cukai 31 persen menjadi 62 persen) akan berdampak neto positif terhadap perekonomian, dengan kondisi: output perekonomian akan meningkat sebesar Rp 335 milyar, pendapatan masyarakat meningkat sebesar Rp 492 milyar, dan lapangan pekerjaan akan tercipta sebanyak 281.135 lapangan pekerjaan baru. Namun, fakta yang ada menunjukkan bahwa kenaikan cukai menyebabkan banyak perusahaan rokok mengalami kebangkrutan. 12 Kenaikan cukai akan menyebabkan banyak perusahaan menambah pengeluaran, sedangkan hasil produksi tidak bertambah karena hanya menggunakan tenaga kerja manusia, bukan mesin. Peningkatan jumlah tenaga kerja tidak sebanding dengan pemasukan yang diperoleh. Sementara perusahaan besar lebih fleksibel dan relatif dapat menyesuaikan diri dengan kenaikan cukai.13 f) Ekspor Impor Upaya memperebutkan pasar rokok telah melibatkan kompetisi yang kompleks. Pertama, kompetisi antara negara berkembang dengan negara maju dalam memperebutkan pasar rokok. Kedua, kompetisi antara perusahaan tembakau dan produk olahan tembakau dengan perusahaan farmasi dalam memperebutkan pasar nikotin. Ketiga, pertarungan antara perusahaan rokok besar dan kompetisi antara perusahaan rokok besar dengan perusahaan rokok kecil.14 Pengalaman Indonesia dalam melakukan perdagangan rokok dengan AS adalah salah satu bukti sulitnya negara berkembang memasuki pasar negara maju akibat aturan nasional di negara tersebut. Indonesia akhirnya menghentikan ekspor rokok kretek ke AS setelah negara tersebut mengeluarkan larangan impor rokok kretek. 15 Pelarangan tersebut dilakukan melalui Regulasi tembakau yang dikeluarkan oleh US Food and Drug Administration (FDA). Hal ini terkait adanya diskriminasi rokok kretek yang tertuang dalam Tobacco Control Act. Pada undang-undang tersebut terdapat aturan larangan penjualan rokok kretek atau aromatik di AS, karena dianggap lebih berbahaya dibandingkan rokok jenis lainnya. g) Perlindungan petani 12 Lihat: http://koranindonesia.com/2009/02/02/kenaikan-cukai-picu-phk-ribuan-pekerja-pabrik-rokok-di malang/ 13 Sumber: Indonesia Berdikari. 2011. Melawan Perampasan Kedaulatan (Analisis Ekonomi Politik Perjanjian Internasional tentang Pembatasan Tembakau dan Rokok). Hal. 46 14 Indonesia Berdikari. 2011. op cit. 15 Ibid. 11 Pada draf RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan norma yang mengatur perlindungan terhadap petani ndinilai belum cukup. Padahal, menurut berbagai pihak, termasuk saat RDP, RDPU dan kunjungan kerja, secara langsung dan tidak langsung, RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan tetap akan berpengaruh terhadap petani, terutama petani tembakau dan cengkeh. Memang hampir seluruh produksi (90%) tembakau Indonesia berasal dari tiga provinsi. Produksi tembakau terbanyak adalah di Provinsi Jawa Timur (55%) kemudian Jawa tengah (22%) dan NTB (12%) dan sisanya di Daerah Istimewa Yogyakarta, Sumatera Utara, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat dan Bali. Namun, secara keseluruhan, menurut Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, luas lahan yang ditanami tembakau mencapai 500 ribu hektar dan tersebar di 14 provinsi. 16 Selain itu, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, menyebutkan bahwa jumlah petani tembakau tahun 2010 mencapai 6,1 juta orang, baik di on farm maupun off farm. 17 Dengan jumlah petani tembakau yang mencapai 14 persen dari jumlah petani di Indonesia, dan menghadapi permasalahan, antara lain tataniaga dan budidaya, maka diperlukan perlindungan terhadap petani. Walaupun, Kementerian Pertanian telah membuat program agar petani tembakau melakukan alih budidaya tembakau, namun pengembangan komoditi alternatif selain tembakau belum memperlihatkan hasil yang memuaskan karena usahatani tembakau masih merupakan pilihan utama karena lebih menguntungkan dibandingkan komoditas lainnya.18 h) Ketentuan pidana Pada ketentuan pidana, rumusan mengenai ketentuan pidana dalam pengendalian dampak produk tembakau terhadap kesehatan perlu dilakukan dengan memenuhi asas „‟lex certa‟‟. Rumusan yang ada harus pasti (certainty); jelas (concise); dan tidak membingungkan (unambagious). 19 Pada ketentuan pidana sebaiknya bukan merupakan aturan yang terbuka atau dapat menimbulkan multitafsir, yang dapat berujung pada ketidakpastian hukum. Aturan yang ada harus bersifat tertutup atau tidak multitafsir, dengan demikian tidak akan memunculkan penafsiran sesuai dengan selera atau kepentingan mereka sendiri-sendiri. Melalui perumusan aturan secara tertutup ini, akan terjamin adanya rasa kepastian hukum bagi pencari keadilan.20 Pada sanksi pidana, maka pemidanaan yang dilakukan harus konsisten antara pidana penjara dengan pidana dendanya. Ukuran penjara dengan denda harus menunjukan kesetaraan antara pasal yang satu dengan pasal yang lain atau ada ekuivalensi antara satu norma dengan norma lainya. 16 Disampaikan dalam RDPU dengan Baleg, tanggal 8 Maret 2011. Disampaikan dalam RDPU dengan Baleg, tanggal 8 Maret 2011. 18 Lihat bahan Ditjen Perkebunan I lembar ke-4 alinea ke-2, dalam RDPU di Badan Legislasi DPR RI tanggal 8 Maret 2011. 19 Romli Atmasasamita “Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis”, Kencana, Bogor, 2003, hal. 24. 20 Didik Endro Purwoleksono, dalam Kunjungan Kerja RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan di Universitas Airlangga, Surabaya, 17-18 Februari 2011. 17 12 Pemberian sanksi dalam pengendalian produk tembakau terhadap kesehatan ini perlu memperhatikan pula bahwa pengaturan di Jepang, Singapura, Australia dan Kanada menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap pengaturan mengenai merokok di tempat umum, iklan, dan promosi dikenakan sanksi berupa denda. Karena itu, sanksi terhadap pelanggaran dalam pengendalian dampak produk tembakau terhadap kesehatan ini, perlu dilakukan dengan cermat. c. Pendapat Fraksi-Fraksi Berdasarkan pembahasan yang intens dalam rapat-rapat Panitia Kerja (Panja) RUU tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan, fraksi-fraksi partai politik di Badan Legislasi berpendapat masih memerlukan waktu yang cukup untuk mengkaji seluruh aspek dalam pengaturan pengendalian dampak produk tembakau terhadap kesehatan. Beberapa pandangan fraksi terhadap penyusunan RUU tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan, yaitu: 1. Adanya pro dan kontra terhadap RUU ini, yang mengakibatkan telah terjadinya gesekan dalam masyarakat, baik bagi masyarakat yang peduli terhadap kesehatan yang diakibatkan dari akibat produk tembakau/rokok, maupun dari kelompok masyarakat petani tembakau yang merasa dirugikan karena adanya RUU ini, pelaku usaha dan produsen produk tembakau. Penolakan terhadap RUU ini, terjadi di saat kunjungan kerja Badan Legislasi di daerah penghasil tembakau di Indonesia seperti Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Nusa Tenggara Barat. (F-PD, F-PDIP, FGerindra, F-PKB, F-PAN) 2. RUU ini, perlu dilakukan pengkajian mendalam agar tidak mengganggu produksi produk tembakau/rokok, dan bukan saja hanya mengatur tentang pengendalian dampak produk tembakau, tetapi juga harus mengatur tentang pengelolahan tembakau mulai dari hulu hingga ke hilir, sehingga jika RUU ini digunakan, tidak membahayakan kepentingan rakyat banyak atau bahayanya pada level yang terendah. (F-PD, F-PG, F-Gerindra) 3. Secara substansi RUU ini, perlu dikaji lebih mendalam tentang judul dan isi yang lebih sesuai dengan materi apa yang perlu diatur secara substansi dalam RUU ini. (F-PKS, F-Hanura) 4. Perlu peninjauan kembali aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis, termasuk konsideran pertimbangan RUU ini yang seakan-akan menjustifikasi pengendalian produk tembakau/ rokok memiliki peran strategis dalam mewujudkan lingkungan hidup yang sehat, dan bagaimana dengan polusi udara yang berasal dari kendaraan bermotor dan penyebab polusi lainnya yang member efek negatif pada lingkungan. Seharusnya ada pengaturan yang lebih berimbang terhadap semua faktor yang terkait termasuk perlindungan petani, cukai, tenaga kerja, industri, pertanian, perlindungan konsumen dan lain-lain. (F-Hanura) 13 5. Ruang lingkup RUU ini, semestinya memberikan pengaturan yang berimbang dan memperhatikan kepentingan industri kecil khususnya rokok, karena fakta yang terjadi bahwa industri kecil khususnya rokok banyak tergilas oleh mekanisasi, kebesaran modal, kemampuan beriklan, dan termasuk perizinan. Sementara RUU ini lebih banyak mengatur pembatasan pada industri rokok yang berpotensi mematikan industri kecil. (F-Hanura) 6. Perlu peninjauan kembali terhadap pengaturan tentang pemeriksaan jenis dan kadar kandungan isi dan emisi produksi rokok yang nantinya akan dilaksanakan oleh laboratorium yang terakreditasi oleh Pemerintah, disebabkan belum adanya standar pengujian dan ketersediaan laboratorium pengujian pabrik rokok yang berjumlah 3.800 pabrik rokok yang nantinya akan menjadi kendala dalam mengimplementasi RUU ini. (F-Hanura) 7. Masih diperlukan peninjauan kembali terkait dengan pengaturan mengenai isi kemasan sehingga tidak mematikan industri kecil, mengingat adanya persaingan dalam memperebutkan pasar rokok, yaitu kompetisi antar negara berkembang dengan negara maju, kompetisi antara perusahan tembakau dan produk olahan tembakau dengan perusahan farmasi, dan kompetisi antara perusahan rokok besar dan perusahan rokok kecil. (FHanura) 8. Perlu peninjauan kembali terkait pengaturan kawasan tanpa produk tembakau/ rokok yang diatur dalam RUU ini yang memenuhi kualifikasi tertentu, seperti alat penghisap udara, dan persyaratan lainnya. (F-Hanura) 9. Masih diperlukan adanya sinkronisasi RUU ini dengan peraturan perundangundangan terkait, seperti UU tentang Cukai, UU tentang Perlindungan Konsumen, UU tentang Tenaga Kerja, UU tentang Kesehatan, UU tentang Perkebunan, dan UU tentang Merek, sehingga perlu adanya kajian harmonisasi dan sinkronisasi dengan Peraturan Perundangan-undangan yang lain, agar RUU ini lebih komprehensif. (F-Hanura) 10. RUU ini, juga mengatur tentang perlindungan terhadap petani tembakau dalam hal; penelitian dan pengembangan bahan baku secara berkelanjutan, pembinaan dan budidaya, penanganan, dan pemasaran tembakau dan produknya, serta menjamin hasil panen hingga dapat dibeli oleh industryirokok, dan menjaga keseimbangan penawaran dan permintaan tembakau dalam negeri, sehingga manfaat RUU ini bisa terasa kepada petani tembakau yang menurut kementerian pertanian tercatat jumlah petani tembakau lebih dari 6,1 juta orang, atau 14% dari jumlah petani di Indonesia. Dengan luas lahan yang ditanam tembakau lebih dari 500.000 Hektar lahan yang tersebar di 14 provinsi, termasuk ada lahan yang hanya cocok menanam tembakau. (F-PD, F-PDIP, F-PPP, F-PAN, F-PG, F-PKS) 11. Dalam hal cukai dan fiskal, penerimaan negara, industri rokok memberikan pemasukan yang cukup besar, sehingga memperkuat pendapatan dalam kas negara untuk program pembangunan dan kemajuan di bidang ekonomi. Penerimaan cukai di tahun 2010 mencapai sekitar 10 triliun dan penerimaan fiskal mencapai sekitar 66 triliun. (F-PD, F-PDIP, F-PPP, F-Hanura, F-PKB, F-PG) 14 12. Perlu pengaturan terhadap eksor dan impor produk tembakau. Pada era liberalisasi pasar yang merupakan ancaman terjadinya deindustrialisasi, akibat dari ekonomi nasional terancam menjadi ekonomi yang lapar impor. Sehingga terjadi persaingan pasar dalam perdagangan internasional yang tidak berimbang dalam ekspor produk tembakau ke luar negeri, serta adanya konsolidasi industi rokok global yang diwarnai oleh akuisisi perusahan multinasional (MNC), sementara pemerintah perlu ada political will untuk membatasi impor tembakau.(F-PDIP, F-PKB, F-PKS) 13. Industri berbasis tembakau merupakan industri yang mandiri, kuat dan sebagai salah satu industri kebanggaan nasional yang telah memberi kontribusi bagi kesempatan kerja/lapangan kerja. Menurut Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi ada sekitar 7,5 juta tenaga kerja bekerja di industri rokok baik dalam kegiatan produksi maupun pengecer. Serta menurut Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, bahwa jumlah pabrik rokok di Indonesia adalah sedikitnya 3.800 pabrik rokok, termasuk kelas rumahan, sehingga Indonesia termasuk jumlah pabrik rokok terbesar di seluruh dunia. Selain itu industry berbasis tembakau memberi pemasukan bagi keuangan negara, dan efek pengganda bagi industri lainnya. (F-PKB, F-PKS, F-PDIP) III. SIMPULAN Berdasarkan kajian dan pendapat Fraksi-fraksi di Badan Legislasi, maka RUU tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan perlu untuk memperhatikan pelbagai kepentingan yang ada dalam masyarakat dan negara. Karena itu, penyusunan RUU tersebut masih memerlukan penyempurnaan melalui pengkajian lebih mendalam terhadap Naskah Akademik dan materi/substansi yang akan diatur dalam RUU. Rapat Pleno Badan Legislasi DPR RI tanggal 7 Juli 2011 memutuskan penyusunan RUU tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan ditunda/diendapkan/ditangguhkan pembahasannya untuk memperoleh kajian yang lebih mendalam terhadap judul RUU dan materi/substansi yang diatur dalam RUU. Meskipun dilakukan penundaan/ pengendapan/penangguhan, seluruh Fraksi bersepakat bahwa jaminan kesehatan bagi masyarakat akibat produk tembakau/rokok sangat penting untuk diatur dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat. ------ 0 ------ 15