perkembangan ruu tentang pengendalian

advertisement
PERKEMBANGAN RUU TENTANG PENGENDALIAN
DAMPAK PRODUK TEMBAKAU TERHADAP KESEHATAN
Oleh:
Ignatius Mulyono1
I.
PENDAHULUAN
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengendalian Dampak Produk
Tembakau Terhadap Kesehatan merupakan salah satu RUU yang telah
diprogramkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2010 –
2014. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPRRI) bersama dengan
pemerintah bahkan telah menyetujui RUU tersebut masuk dalam Prolegnas
RUU Prioritas Tahun 2011 berdasarkan Keputusan DPR-RI Nomor 02B/DPRRI/II/2010-2011 tentang Program Legislasi Nasional RUU Prioritas Tahun 2011.
Penyusunan RUU ini, dilatar belakangi oleh:
1. Dari berbagai penelitian dan pengkajian tentang tembakau dan produk-produk
yang berasal dari tembakau disimpulkan bahwa tembakau membahayakan
kesehatan pengkonsumsi tembakau, terutama perokok dan lingkungannya.
Dalam kaitannya dengan aspek kesehatan, penggunaan tembakau sebagai
bahan dasar rokok menjadi masalah paling krusial. Berbagai literatur di
bidang kesehatan dan kefarmasian menyatakan bahwa produk tembakau
yang dibakar terdapat zat kimia yang mengandung racun berbahaya, seperti
nikotin, tar dan karbonmonoksida. Zat-zat yang terkandung dalam tembakau
dapat mengakibatkan berbagai penyakit, antara lain kanker, penyakit jantung,
impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin. Orang yang tidak
mengkonsumsi produk tembakau apabila terkena paparan asap produk
tembakau secara terus menerus, akan menerima resiko lebih tinggi untuk
terkena kanker paru, jantung, dan kanker lain. Bagi bayi dan anak-anak yang
terkena paparan asap produk tembakau, akan terkena bronkhitis, pneumonia,
infeksi telinga dan kelambatan pertumbuhan paru-paru.
2. Semua negara anggota yang tergabung dalam Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) dalam Sidang Majelis Umum atau World Health Assembly yang ke-56
di Geneva bulan Mei 2003, secara aklamasi telah menyepakati naskah
Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Konvensi
Pengendalian Masalah Tembakau (KPMT). FCTC ini akan efektif sebagai
instrumen hukum internasional apabila minimal 40 negara telah
meratifikasinya. Sebelum meratifikasi, negara yang bersangkutan diharuskan
menandatanganinya sebagai bentuk endorsement. Sampai akhir Juli 2003
sebanyak 46 negara serta Masyarakat Ekonomi Eropa telah
menandatanganinya.
1
Ignatius Mulyono, Ketua Badan Legislasi DPRRI. Makalah disampaikan dalam Executive Forum
Media Indonesia dengan topic Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tembakau di Indonesia
di Millennium Hotel, Jakarta, 28 Juli 2011.
Pemerintah Indonesia sampai batas waktu akhir penandatanganan FCTC
belum menandatanganinya. Langkah yang dapat ditempuh oleh Pemerintah
Indonesia untuk menjadi negara pihak dapat dilakukan melalui aksesi dan
kemudian meratifikasinya dengan UU tentang Pengesahan FCTC. Pada
bulan Oktober 2007, sebanyak 152 negara menjadi anggota FCTC dengan
melakukan ratifikasi, termasuk Cina, India, dan Brazil. Indonesia adalah satusatunya dari 38 negara di wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat yang
belum meratifikasi FCTC.2
3. Pada aspek lain, tembakau dan produk-produk yang berasal dari tembakau
sudah lama menjadi masalah yang bersifat kompleks, tidak hanya
menyangkut masalah di bidang kesehatan, namun ternyata juga menyangkut
masalah ekonomi, tenaga kerja, politik, dan sosial budaya. Masalah-masalah
yang berkaitan dengan tembakau dan produk-produk yang dihasilkan dari
tembakau dalam tataran nasional menyangkut masalah
kesehatan,
ketenagakerjaan, petani tembakau, pajak dan cukai, perlindungan petani,
yang tidak jarang berdampak panjang kepada masalah sosial ekonomi
bangsa. Sedangkan dalam tataran internasional berkaitan dengan
penanaman modal asing, hak cipta, dan budaya yang juga berdampak
ekonomi dan bahkan politik. Dalam kehidupan nasional dan internasional
sudah lama orang mengenal tembakau sebagai suatu bahan yang
dipergunakan untuk membuat rokok.
4. Produk tembakau dan cengkeh sebagai sumberdaya yang unik dan memiliki
potensi bagi segenap aspek ekonomis, kesehatan, lingkungan, budaya, perlu
diatur agar dapat tergali dan terberdayakan secara optimal dan berkelanjutan.
Pengaturan dan pengendalian yang tidak terintegrasi dan dilakukan secara
serampangan bukan saja menurunkan potensi produk tembakau, wibawa
pemerintah, dan permasalahan politik, namun juga menimbulkan kerugian
yang tidak sederhana.
II. PENYUSUNAN DAN PEMBAHASAN DI DPR RI
a. Penyusunan di Badan Legislasi
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki keinginan yang kuat untuk melakukan
perlindungan masyarakat dari dampak negative 8 konsumsi produk tembakau,
terutama rokok. Badan Legislasi sebagai alat kelengkapan DPR kemudian
melakukan penyusunan dan dan pembahasan RUU Pengendalian Dampak
Produk Tembakau Terhadap Kesehatan sesuai dengan mekanisme penyusunan
RUU.
RUU tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan
masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas RUU Tahun 2011
nomor urut 27. Naskah akademik dan draft RUU ini dipersiapkan oleh Badan
Legislasi DPR. Sebagaimana diatur dalam Peraturan DPR RI Nomor 01 Tahun
2
Sarah Barber, Sri Moertiningsih Adioetomo, Abdillah Ahsan, Diahhadi Setyonaluri, 2008, Ekonomi
Tembakau di Indonesia, Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
2
2009 tentang Tata Tertib dalam Pasal 112 ayat (1) bahwa, “Badan Legislasi
dalam mempersiapkan rancangan undang-undang terlebih dahulu menyusun
naskah akademik mengenai materi yang akan diatur dalam rancangan undangundang.” Selanjutnya, Pasal 114 menyebutkan bahwa, “Dalam penyusunan
rancangan undang-undang, anggota, komisi, gabungan komisi, atau Badan
Legislasi dapat meminta masukan dari masyarakat sebagai bahan bagi panitia
kerja untuk menyempurnakan konsepsi rancangan undang-undang”. Untuk
memperoleh masukan tersebut, Badan Legislasi telah melakukan rapat dengar
pendapat (RDP), rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan seluruh
stakeholder dan melakukan kunjungan kerja ke beberapa daerah.
Sebagai bentuk keseriusan dalam penyusunan RUU tentang Pengendalian
Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan, Badan Legislasi telah
melakukan RDPU dengan berbagai pihak dan stakeholder, seperti dengan ICTN
(Indonesia Control Tobacco Network), Komnas Pengendalian Tembakau, Ikatan
Dokter Indonesia (IDI), Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa
Tengah, Gabungan Pengusaha Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Aliansi
Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), dan Indonesia Berdikari. Selain itu,
melakukan RDP dengan Ditjen Perkebunan (Kementerian Pertanian), Ditjen
Perdagangan Dalam Negeri (Kementerian Perdagangan), Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM), Ditjen Bea Cukai (Kementerian Keuangan), dan
Ditjen Ketenagakerjaan (Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi).
Pada masa persidangan III tahun sidang 2010 – 2011, Badan Legislasi
selanjutnya melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa
Timur, dan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Pada ketiga daerah tersebut, DPR
mendengarkan berbagai aspirasi dan masukan dalam penyusunan draft RUU
tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan.
Dari berbagai masukan dalam RDP, RDPU, maupun kunjungan kerja tersebut,
ada keinginan yang sangat kuat agar dalam penyusunan RUU tentang
Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan memperhatikan
dan mempertimbangkan berbagai aspek yang berkaitan dengan tembakau dan
produk tembakau. Aspek kesehatan sangat penting, namun juga harus
mempertimbangkan aspek lainnya, yaitu tenaga kerja, petani tembakau, pajak
dan cukai yang pada akhirnya dapat berdampak panjang terhadap masalah
sosial ekonomi bangsa.
b. Perdebatan dalam Penyusunan RUU
Setelah Badan Legislasi melakukan RDP, RDPU, kunjungan kerja, dan kajian
yang mendalam, Badan Legislasi memiliki beberapa catatan terhadap RUU
tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan.
Beberapa catatan tersebut, antara lain:
1. Dalam penyusunan RUU tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau
Terhadap Kesehatan terdapat dua kepentingan yang saling bertentangan.
Kepentingan pertama melihat dari aspek kesehatan, sedangkan kepentingan
yang lain melihat dari aspek ekonomi, tenaga kerja, sosial dan politik, serta
secara khusus kepentingan petani.
3
2. Dari kepentingan kesehatan melihat bahwa konsumsi produk tembakau
terutama rokok menjadi masalah tersendiri, karena sebenarnya di dalam
produk tembakau yang dibakar terdapat kurang lebih 4000 (empat ribu) zat
kimia yang mengandung racun berbahaya, antara lain nikotin yang bersifat
adiktif, tar yang bersifat karsinogenik, dan karbonmonoksida. Ketiga zat ini
dapat mengakibatkan berbagai penyakit, antara lain kanker, penyakit jantung,
impotensi, dan gangguan kehamilan. Di samping itu, bagi orang yang tidak
merokok apabila terkena paparan asap rokok secara terus menerus, akan
menerima resiko lebih tinggi untuk terkena kanker paru, jantung, dan kanker
lain. Bagi bayi dan anak-anak yang terkena paparan asap rokok, akan
terkena bronkhitis, pneumonia, infeksi telinga dan kelambatan pertumbuhan
paru-paru. Meskipun dampak negatif produk tembakau terhadap kesehatan
sangat besar, ternyata konsumsi rokok di Indonesia terus meningkat secara
persisten.
3. Meningkatnya prevalensi merokok dari tahun ke tahun, setidaknya
menunjukkan bahwa perokok merasakan keuntungan dari rokok secara
individual. Para perokok merasakan keuntungan yang dirasakan lebih besar
jika dibandingkan dari biaya yang dikeluarkan, sehingga terdapat anggapan
keliru bahwa merokok merupakan hak asasi dan larangan merokok di tempat
umum dianggap melanggar hak asasi seseorang. Namun, banyak perokok
tidak sepenuhnya sadar akan risiko penyakit dan kematian dini akibat
merokok (private cost). Dengan demikian, rokok membahayakan kesehatan
perokoknya sendiri dan lingkungannya.
4. Selain kesehatan, masalah-masalah yang berkaitan dengan tembakau dan
produk-produk yang dihasilkan dari tembakau dalam tataran nasional
menyangkut masalah ketenagakerjaan, petani tembakau, pajak dan cukai,
perlindungan petani, yang tidak jarang berdampak panjang kepada masalah
sosial ekonomi bangsa. Sedangkan dalam tataran internasional berkaitan
dengan penanaman modal asing, hak cipta, dan budaya yang juga
berdampak ekonomi dan bahkan politik. Dari aspek ekonomi melihat bahwa
penerimaan negara dari cukai dan belanja iklan sangat besar. Sedangkan
dari sisi kepentingan petani melihat bahwa keberadaan RUU ini akan
mengganggu kepentingan industri yang saat ini merupakan penyerap
terbesar hasil produksi tembakau dari petani. Menurut Direktorat Jenderal
Perkebunan, Kementerian Pertanian, jumlah petani tembakau tahun 2010
mencapai 6,1 juta orang, baik di on farm maupun off farm. 3 Sedangkan
menurut Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, jumlah tenaga kerja
yang terlibat, baik dalam produksi maupun pengecer mencapai 7,5 juta
orang.4
Pada aspek ini, ada kekhawatiran pengendalian produk tembakau terhadap
kesehatan akan berpotensi mengurangi kemandirian ekonomi bangsa;
mempercepat deindustrialisasi; berpotensi menimbulkan distorsi penciptaan
lapangan kerja; dan menimbulkan konflik horisontal.
3
4
Disampaikan dalam RDPU dengan Baleg tanggal 8 Maret 2011.
Ibid.
4
5. Perdebatan untuk mencari titik temu juga cukup rumit ketika mengkaji
masukan dari para stake holder dalam draf RUU:
a) Pengemasan
Pada aspek pengemasan, sementara pihak menyatakan tidak perlu ada
pembedaan isi kemasan rokok. Kemasan yang sama, tidak akan
mematikan industri rokok kecil. Sekarang, industri rokok kecil banyak mati
bukan karena peraturan. Banyak industri rokok kecil yang sudah tutup
karena tergilas oleh mekanisasi, tergilas oleh kebesaran modal dan
kemampuan beriklan industri rokok besar.
Pendapat di atas tentu saja dicurigai pesanan asing atau pabrikan asing
yang memiliki modal sangat besar, sehingga mudah untuk menggilas
industri rokok dalam negeri. Pemerintah Kabupaten Temanggung,
Pemprov Jawa Tengah, AMTI, dan Indonesia Berdikari memperingatkan
pentingnya kehati-hatian dalam menyamaratakan kemasan
produk
tembakau, terutama rokok. Ada banyak aspek yang perlu diperhatikan di
samping perlunya perlindungan terhadap industri kecil dalam melakukan
pengemasan produknya.
Beberapa alasan pentingnya kehati-hatian
dalam menyamaratakan kemasan tersebut, antara lain:
1) Perubahan isi kemasan memerlukan perombakan mesin yang sudah
ada dan berdampak sangat luas pada segmen sigaret linting tangan.
Dapat dibayangkan bagaimana perombakan mesin dapat dilakukan
oleh industri kecil dan menengah jika harus berhadapan dengan
industri dan modal asing yang besar. Di samping itu, masih banyak
rokok atau kretek yang diproduksi dengan tangan, yang secara nyata
menyerap tenaga kerja di tengah kesulitan negara ini memperluas
lapangan kerja bagi rakyatnya.
2) Berpotensi bertentangan dengan:
- Peraturan bidang cukai yang mengizinkan kemasan golongan
perusahaan rokok tertentu berisi 10 batang per kemasan. Selain itu,
hal ini akan mengubah secara signifikan tata cara Pemerintah dalam
menghitung dan menerima pembayaran cukai, membutuhkan
berbagai perubahandan pertimbangan terhadap peraturan cukai yang
berlaku.
- Pasal 4(b) UU Perlindungan Konsumen yang memberikan
perlindungan atas hak konsumen untuk memilih produk. Membatasi
isi menjadi 20 batang per kemasan melanggar hak konsumen dewasa
untuk memilih membeli kemasan yang berisi kurang dari 20 batang.
Untuk itu, minimum isi kemasan seyogyanya mengikuti peraturan
yang berlaku.
b) Pengujian emisi
Pada aspek tulisan yang harus ada dalam kemasan, ada keinginan agar
pengaturan pengujian dan pencantuman emisi produk tembakau,
5
terutama rokok, tidak hanya tar dan nikotin saja. Padahal, pengaturan
mengenai pengujian dan pencatuman kadar dan tar selama ini saja tidak
ada metode standar pengujian dan ketersediaan laboratorium untuk
menampung pengujian pabrikan yang berjumlah hampir 3.000 dengan
ribuan merek rokok di Indonesia. Di samping itu, Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) memperingatkan bahwa pencantuman informasi tar dan
nikotin dapat menimbulkan persepsi yang salah yaitu lebih rendah sama
dengan lebih baik. Padahal, memiliki pengaruh yang sama terhadap
kesehatan.
Secara lebih spesifik, Indonesia Berdikari memperingatkan keharusan
berhati-hati dalam membuat pengaturan mengenai isi kemasan, jangan
sampai mematikan industri kecil. Ada 3 (tiga) bentuk persaingan dalam
memperebutkan pasar rokok:
1) Kompetisi antara negara berkembang dengan negara maju dalam
memperebutkan pasar rokok. Negara maju membuat penghalang
(barrier) melalui peraturan untuk masuknya produsen dari negara lain.
2) Kompetisi antara perusahaan tembakau dan produk olahan tembakau
dengan perusahaan farmasi dalam memperebutkan pasar nikotin.
3) Kompetisi diantara perusahaan rokok besar dan pertarungan antara
perusahaan rokok besar dengan perusahaan rokok kecil.
c) Peringatan Kesehatan
Hal pokok yang diatur adalah mengenai kewajiban mencantumkan
peringatan kesehatan pada label dan bungkus produk tembakau.
Peringatan kesehatan ini sangat diperlukan, di samping memberikan
informasi terhadap kandungan tembakau, juga untuk mencegah
peningkatan prevalensi orang merokok, khususnya agar jumlah anakanak yang merokok tidak meningkat, bahkan menurun. Peringatan
kesehatan ini sangat diperlukan agar dapat memberikan informasi
mengenai bahaya mengkonsumsi produk tembakau terhadap dirinya dan
orang lain.
Perdebatan pokoknya berkaitan dengan bentuk peringatan kesehatan
berupa gambar atau dengan tulisan seperti pada mayoritas negara di
dunia. Pada dunia internasional diketahui, berdasarkan data dari
www.tobaccolabels.ca hanya 35 negara dari 192 negara anggota PBB
yang mensyaratkan peringatan kesehatan berbentuk gambar. Tiga puluh
lima negara tersebut adalah: 1) Kanada, 2) Brazil, 3) Singapura,
4) Thailand, 5) Venezuela, 6) Yordania, 7) Australia, 8) Uruguay,
9) Panama, 10) Belgia, 11) Chili, 12) Hongkong, 13) Selandia Baru,
14) Romania,
15) Inggris,
16) Mesir,
17) Brunei
Darussalam,
18) Kepulauan Cook, 19) Iran, 20) Malaysia, 21) Taiwan, 22) Peru,
23) Djibouti, 24) Mauritius, 25) India, 26) Kepulauan Cayman,
27) Paraguay, 28) Latvia, 29) Pakistan, 30) Swiss, 31) Mongolia, 32)
Kolombia, 33) Turki, 34) Meksiko, 35) Filipina.
6
Tidak ada satu negara pun yang termasuk empat produsen rokok
terbesar di dunia (Cina, Amerika Serikat, Jepang, dan Rusia; Indonesia
berada di urutan kelima), yang mensyaratkan peringatan kesehatan
berbentuk gambar. Negara-negara tersebut mempunyai kepentingan
terhadap industri rokok, dan terhadap petani tembakau sehingga mereka
tidak mewajibkan ketentuan peringatan merokok dalam bentuk gambar.5
d) Pengaturan iklan dan promosi
Pada draf sebelumnya ada pengaturan untuk pelarangan secara total
terhadap iklan, promosi, dan sponsorsip. Namun, perlu dipertimbangkan
pengaturan iklan dan promosi perlu dilakukan dengan cermat dan
mempertimbangkan peraturan hukum lainnya. Dalam persoalan ini, maka
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-VII/2009 mengenai iklan dan
promosi rokok perlu menjadi pertimbangan.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-VII/2009 mengenai
iklan dan promosi disebutkan bahwa permasalahan hukum iklan rokok,
tidaklah adil (unfair) apabila pertimbangan dibuat dengan hanya
memfokuskan pada rokok itu sendiri dan dampak negatif dari rokok
semata dengan mengabaikan pertimbangan-pertimbangan dari perspektif
kehidupan para petani tembakau, petani cengkeh, pelaku industri rokok,
industri iklan, industri perfilman, industri percetakan, jasa transportasi
serta kehidupan budaya lainnya yang di dalamnya terkait pelaku usaha,
tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya pada industri rokok dan
industri-industri lain yang terkait. Di samping itu, tidaklah adil apabila
pertimbangan-pertimbangan terfokus pada perspektif keberlangsungan
petani tembakau, petani cengkeh, pelaku industri rokok, industri iklan,
industri perfilman, industri percetakan, dan jasa transportasi belaka
dengan mengabaikan dampak negatif yang ditimbulkan oleh rokok.
Terhadap sikap yang tidak akan melarang pabrik rokok atau
pembudidayaan tembakau tetapi menekan iklan rokok sama saja dengan
sikap hipokritisme dan sifat iklan jenis apapun selalu bersifat membujuk6.
Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa kegiatan beriklan dan
mempromosikan produk melalui media penyiaran hanyalah mata rantai
terakhir dari seluruh investasi yang dikeluarkan oleh pengusaha industri
rokok, sehingga kegiatan mengkomunikasikan dan menyampaikan
informasi dalam bentuk iklan promosi rokok dijamin oleh konstitusi
sebagaimana diatur dalam Pasal 28F UUD 1945 yang berbunyi bahwa
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia.”
Dengan demikian, larangan iklan rokok melanggar hak konstitusional
setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
5
6
Sumber: www.tobaccolabels.ca. diakses tanggal 16 Juni 2011.
Lihat halaman 227 dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-VII/2009
7
sebagaimana dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945. Seandainya pun iklan
rokok dilarang dalam iklan siaran niaga, industri rokok tetap dapat
melakukan iklan produknya melalui media periklanan yang lain seperti
melalui event-event olah raga, musik, internet, satelit, media cetak,
ataupun media luar ruang. Oleh karena itu, melarang iklan rokok pada
media penyiaran tetapi tetap memperbolehkan melalui media lain, selain
tidak efektif juga merupakan pelanggaran terhadap Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum”.
e) Pengaturan cukai
Produk tembakau merupakan barang yang harus diawasi dan
dikendalikan peredarannya. Untuk itu, pemerintah menggunakan
instrumen cukai dengan cara menaikkan cukai pada produk tembakau.
Instrumen cukai merupakan salah satu cara yang sangat efektif dalam
mengendalikan peredaran tembakau. Namun upaya untuk mengendalikan
cukai selalu berbenturan dengan kepentingan industri rokok yang sangat
menginginkan harga rokok dapat dijangkau oleh masyarakat. Jumlah
pabrik rokok di Indonesia menurut data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
mempunyai sedikitnya 3.800 pabrik rokok, termasuk kelas rumahan.
Sekitar 3.000 pabrik rokok ada di dua provinsi, yakni Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Dua daerah itu juga termasuk sebagai penghasil tembakau
terbesar di Jawa ataupun secara nasional. Menurut Dirjen Bea dan Cukai,
Indonesia termasuk jumlah pabrik rokok terbesar di seluruh dunia.
Saat ini pabrikan membayar cukai dan PPN riil melebihi tarif yang
seharusnya, d imana harga transaksi pasar jauh lebih rendah dari harga
jual eceran yang ditetapkan pemerintah.7
Tidak dapat dipungkiri bahwa penerimaan cukai pada saat ini telah
menjadi tulang punggung perekonomian negara. Setiap tahunnya
penerimaan cukai berada diatas target. Sebagai contoh pada tahun 2011
ini, menurut Direktur Cukai Bachtiar, penerimaan cukai di Kuartal I 2011
telah melewati target yang ditetapkan. Target yang telah ditetapkan untuk
kuartal I ini adalah 24,75% dari target tahunan yang nilainya sebesar Rp
62,7 triliun, namun realisasinya saat ini sudah mencapai 27,78% atau
setara dengan Rp 17,4 triliun. Bachtiar mengakui, pencapaian itu
mayoritas didorong dari hasil cukai rokok. Kontribusi rokok sebesar
95,94%, sementara lainnya seperti Etil Alkohol sebesar 0,22%, dan
minuman mengandung Etil Alkohol (MMEA) mencapai 3,9%.
Bachtiar juga mengakui, kontribusi dari cukai rokok ini baru berpengaruh
untuk penerimaan negara pada bulan ke tiga. Sedangkan pada bulanbulan sebelumnya, penerimaan negara dari cukai tidak mencapai target.
Itu sudah menjadi siklus tahunan karena untuk awal tahun kontribusi dari
7
Ismanu Soemiran, ”Permasalahan Dan Tantangan Industri Rokok Keretek”, makalah disajikan
dalam Lokakarya Nasional Agribisnis Tembakau, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan,
Surabaya, 7 Juni 2007.
8
cukai rokok belum dominan. Baru pada akhir kuartal satu baru mulai
meningkat. Seperti diketahui, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
No 190/PMK.011/2010, Pemerintah menaikkan tarif cukai rokok 5% untuk
empat jenis hasil tembakau yakni Sigaret Kretek Mesin, Sigaret Putih
Mesin, Sigaret Kretek Tangan atau Sigaret Putih Tangan (SPT), dan
Sigaret Kretek Tangan Filter (SKTF) atau Sigaret Putih Tangan Filter
(SPTF).8
Cukai merupakan pungutan negara yang dikenakan terhadap barang
tertentu yang mempunyai sifat dan karakteristik yang ditetapkan dalam
undang-undang. Sifat atau karakteristik tersebut terdiri dari: konsumsinya
perlu dibatasi; peredarannya perlu diawasi; pemakaiannya perlu
pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.9
Studi yang dilakukan Ahsan dan Wiyono (2008) dengan menggunakan
pendekatan data Input-Output 2003 memperlihatkan bahwa kontribusi
industri rokok terhadap output nasional sebesar Rp 43,96 triliun atau 1
persen dari total output yang mencapai Rp 4.151,19 triliun. Sedangkan
kontribusi pertanian tembakau mencapai Rp 2,24 triliun atau 0,054 persen
dari total output. Apabila dibuatkan peringkat, maka industri rokok berada
pada peringkat 34 dari 66 sektor, sedangkan pertanian tembakau berada
pada peringkat 62 dari 66 sektor.
Di antara sumber-sumber penerimaan lain dari sektor pajak, cukai
tembakau terlihat sangat dominan. Laporan Lembaga Demografi
Universitas Indonesia (LD-UI) menyebutkan 88% penerimaan cukai
tembakau dalam APBN berasal dari enam perusahaan rokok terbesar di
Indonesia yang semuanya ada di Jawa.10 Jika dipisah menurut asalnya,
bagian terbesar cukai tembakau dibayar oleh konsumen rokok kretek
yang menyerap lebih dari 90% produksi rokok nasional. Departemen
Perindustrian menyebutkan bahwa, pada tahun 2000, konsumen rokok
kretek menyumbang 89,3% dari total konsumsi rokok nasional. Angka
tersebut bahkan naik menjadi 93% pada tahun 2009.
Cukai sebenarnya hanya berpusat pada perusahaan rokok besar yang
berjumlah enam perusahaan. Keenam perusahaan tersebut menyumbang
88 persen dari total penerimaan cukai tembakau. Tabel 1 menyajikan
daftar industri rokok nasional beserta produknya.
Tabel 1. Industri Rokok Nasional, Produk dan Kepemilikannya
8
Sumber: http//www.detik.com//cukai-rokok-penyumbang-terbesar-penerimaan-negara.html diakses
tanggal 16 Juni 2011.
9
Pusdiklat Bea dan Cukai.2008.Modul Penindakan dan Pengawasan di Bidang Cukai.
10
Sarah L. Barber, Abdillah Ahsan, Sri Moertiningsih Adioetomo, Diahhadi Setyonaluri, „Ekonomi
Tembakau di Indonesia‟, Jakarta: Lembaga Demografi Universitas Indonesia, 2009.
9
Perusahaan
Pemilik
Mayoritas
Produk
Sigaret Kretek
Tangan
Sampoerna
Philip Morris
International
Gudang
Garam
Djarum
Grup Djarum
Bentoel
British
International American
Investama
Tobacco
Sigaret Kretek
Mesin
Sampoerna A
Hijau, Dji Sam
Soe,
Panamas
Kuning
A Mild, U Mild,
Avolution,
Marlboro Mix 9,
Dji Sam Soe
Filter
GG Merah
King Size, GG
Special
Deluxe, GG
Djaja, GG
Tanda Mata,
Sigaret Kretek
Klobot Manis
GG Filter
International
Merah, GG Filter
Surya, GG Filter
International
Coklat
Djarum 76,
Djarum
Coklat,
Djarum
Istimewa
Djarum Super,
Djarum Black,
Tea and
Cappucino, LA
Lights
Rawit, Prinsip
Sejati
X Mild, Club Mild,
Star Mild, Bentoel
Biru, One Mild,
Tali Jagat Filter
Rokok Putih
Marlboro
Country,
Lucky Strike,
Pall Mal,
Ardath,
Dunhill,
Kansas,
Commfil
Tabel 2. Dampak Peningkatan Cukai Terhadap Harga Rokok, Permintaan
Rokok dan Penerimaan Pemerintah Menurut Berbagai Skenario11
Skenario
Cukai
Rokok
Naik
(%)
Harga
Rokok
Naik
(%)
Permintaan
Rokok
turun (%)
Penerimaan
dari cukai
rokok naik
(%)
Dampak
neto output
(Rp. Milyar)
Pesimis
30
7,77
- 2,67
24
147
Optimis
50
12,95
- 4,47
43,3
246
Naik
57 %
84
21,47
-7,41
68,99
413
Ideal
100
25,9
-8,94
82,13
492
11
Ahsan, Abdillah and Nur Hadi Wiyono, 2008, “An Analysis of the Impact of Higher Cigarette Prices
on Employment in Indonesia”, SEATCA, Bangkok, Thailand.
10
Sumber: Ahsan, Abdillah and Nur Hadi Wiyono, 2008, An Analysis of the
Impact of Higher Cigarette Prices on Employment in Indonesia, SEATCA,
Bangkok, Thailand
Studi yang dilakukan oleh Ahsan dan Wiyono (2008) menghitung bahwa
kenaikan cukai 100 persen (dari tarif cukai 31 persen menjadi 62 persen)
akan berdampak neto positif terhadap perekonomian, dengan kondisi:
output perekonomian akan meningkat sebesar Rp 335 milyar, pendapatan
masyarakat meningkat sebesar Rp 492 milyar, dan lapangan pekerjaan
akan tercipta sebanyak 281.135 lapangan pekerjaan baru.
Namun, fakta yang ada menunjukkan bahwa kenaikan cukai
menyebabkan banyak perusahaan rokok mengalami kebangkrutan. 12
Kenaikan cukai akan menyebabkan banyak perusahaan menambah
pengeluaran, sedangkan hasil produksi tidak bertambah karena hanya
menggunakan tenaga kerja manusia, bukan mesin. Peningkatan jumlah
tenaga kerja tidak sebanding dengan pemasukan yang diperoleh.
Sementara perusahaan besar lebih fleksibel dan relatif dapat
menyesuaikan diri dengan kenaikan cukai.13
f) Ekspor Impor
Upaya memperebutkan pasar rokok telah melibatkan kompetisi yang
kompleks. Pertama, kompetisi antara negara berkembang dengan negara
maju dalam memperebutkan pasar rokok. Kedua, kompetisi antara
perusahaan tembakau dan produk olahan tembakau dengan perusahaan
farmasi dalam memperebutkan pasar nikotin. Ketiga, pertarungan antara
perusahaan rokok besar dan kompetisi antara perusahaan rokok besar
dengan perusahaan rokok kecil.14
Pengalaman Indonesia dalam melakukan perdagangan rokok dengan AS
adalah salah satu bukti sulitnya negara berkembang memasuki pasar
negara maju akibat aturan nasional di negara tersebut. Indonesia akhirnya
menghentikan ekspor rokok kretek ke AS setelah negara tersebut
mengeluarkan larangan impor rokok kretek. 15 Pelarangan tersebut
dilakukan melalui Regulasi tembakau yang dikeluarkan oleh US Food and
Drug Administration (FDA). Hal ini terkait adanya diskriminasi rokok kretek
yang tertuang dalam Tobacco Control Act. Pada undang-undang tersebut
terdapat aturan larangan penjualan rokok kretek atau aromatik di AS,
karena dianggap lebih berbahaya dibandingkan rokok jenis lainnya.
g) Perlindungan petani
12
Lihat: http://koranindonesia.com/2009/02/02/kenaikan-cukai-picu-phk-ribuan-pekerja-pabrik-rokok-di
malang/
13
Sumber: Indonesia Berdikari. 2011. Melawan Perampasan Kedaulatan (Analisis Ekonomi Politik
Perjanjian Internasional tentang Pembatasan Tembakau dan Rokok). Hal. 46
14
Indonesia Berdikari. 2011. op cit.
15
Ibid.
11
Pada draf RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap
Kesehatan norma yang mengatur perlindungan terhadap petani ndinilai
belum cukup. Padahal, menurut berbagai pihak, termasuk saat RDP,
RDPU dan kunjungan kerja, secara langsung dan tidak langsung, RUU
Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan tetap akan
berpengaruh terhadap petani, terutama petani tembakau dan cengkeh.
Memang hampir seluruh produksi (90%) tembakau Indonesia berasal dari
tiga provinsi. Produksi tembakau terbanyak adalah di Provinsi Jawa Timur
(55%) kemudian Jawa tengah (22%) dan NTB (12%) dan sisanya di
Daerah Istimewa Yogyakarta, Sumatera Utara, Jawa Barat, Sulawesi
Selatan, Sumatera Barat dan Bali. Namun, secara keseluruhan, menurut
Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, luas lahan yang
ditanami tembakau mencapai 500 ribu hektar dan tersebar di 14 provinsi. 16
Selain itu, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian,
menyebutkan bahwa jumlah petani tembakau tahun 2010 mencapai 6,1
juta orang, baik di on farm maupun off farm. 17 Dengan jumlah petani
tembakau yang mencapai 14 persen dari jumlah petani di Indonesia, dan
menghadapi permasalahan, antara lain tataniaga dan budidaya, maka
diperlukan perlindungan terhadap petani. Walaupun, Kementerian
Pertanian telah membuat program agar petani tembakau melakukan alih
budidaya tembakau, namun pengembangan komoditi alternatif selain
tembakau belum memperlihatkan hasil yang memuaskan karena usahatani
tembakau masih merupakan pilihan utama karena lebih menguntungkan
dibandingkan komoditas lainnya.18
h) Ketentuan pidana
Pada ketentuan pidana, rumusan mengenai ketentuan pidana dalam
pengendalian dampak produk tembakau terhadap kesehatan perlu
dilakukan dengan memenuhi asas „‟lex certa‟‟. Rumusan yang ada harus
pasti (certainty); jelas (concise); dan tidak membingungkan (unambagious).
19
Pada ketentuan pidana sebaiknya bukan merupakan aturan yang
terbuka atau dapat menimbulkan multitafsir, yang dapat berujung pada
ketidakpastian hukum. Aturan yang ada harus bersifat tertutup atau tidak
multitafsir, dengan demikian tidak akan memunculkan penafsiran sesuai
dengan selera atau kepentingan mereka sendiri-sendiri. Melalui perumusan
aturan secara tertutup ini, akan terjamin adanya rasa kepastian hukum bagi
pencari keadilan.20
Pada sanksi pidana, maka pemidanaan yang dilakukan harus konsisten
antara pidana penjara dengan pidana dendanya. Ukuran penjara dengan
denda harus menunjukan kesetaraan antara pasal yang satu dengan pasal
yang lain atau ada ekuivalensi antara satu norma dengan norma lainya.
16
Disampaikan dalam RDPU dengan Baleg, tanggal 8 Maret 2011.
Disampaikan dalam RDPU dengan Baleg, tanggal 8 Maret 2011.
18
Lihat bahan Ditjen Perkebunan I lembar ke-4 alinea ke-2, dalam RDPU di Badan Legislasi DPR RI
tanggal 8 Maret 2011.
19
Romli Atmasasamita “Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis”, Kencana, Bogor, 2003, hal. 24.
20
Didik Endro Purwoleksono, dalam Kunjungan Kerja RUU Pengendalian Dampak Produk
Tembakau terhadap Kesehatan di Universitas Airlangga, Surabaya, 17-18 Februari 2011.
17
12
Pemberian sanksi dalam pengendalian produk tembakau terhadap
kesehatan ini perlu memperhatikan pula bahwa pengaturan di Jepang,
Singapura, Australia dan Kanada menunjukkan bahwa pelanggaran
terhadap pengaturan mengenai merokok di tempat umum, iklan, dan
promosi dikenakan sanksi berupa denda. Karena itu, sanksi terhadap
pelanggaran dalam pengendalian dampak produk tembakau terhadap
kesehatan ini, perlu dilakukan dengan cermat.
c. Pendapat Fraksi-Fraksi
Berdasarkan pembahasan yang intens dalam rapat-rapat Panitia Kerja (Panja)
RUU tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan,
fraksi-fraksi partai politik di Badan Legislasi berpendapat masih memerlukan
waktu yang cukup untuk mengkaji seluruh aspek dalam pengaturan
pengendalian dampak produk tembakau terhadap kesehatan.
Beberapa
pandangan fraksi terhadap penyusunan RUU tentang Pengendalian Dampak
Produk Tembakau Terhadap Kesehatan, yaitu:
1. Adanya pro dan kontra terhadap RUU ini, yang mengakibatkan telah
terjadinya gesekan dalam masyarakat, baik bagi masyarakat yang peduli
terhadap kesehatan yang diakibatkan dari akibat produk tembakau/rokok,
maupun dari kelompok masyarakat petani tembakau yang merasa dirugikan
karena adanya RUU ini, pelaku usaha dan produsen produk tembakau.
Penolakan terhadap RUU ini, terjadi di saat kunjungan kerja Badan Legislasi
di daerah penghasil tembakau di Indonesia seperti Provinsi Jawa Tengah,
Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Nusa Tenggara Barat. (F-PD, F-PDIP, FGerindra, F-PKB, F-PAN)
2. RUU ini, perlu dilakukan pengkajian mendalam agar tidak mengganggu
produksi produk tembakau/rokok, dan bukan saja hanya mengatur tentang
pengendalian dampak produk tembakau, tetapi juga harus mengatur tentang
pengelolahan tembakau mulai dari hulu hingga ke hilir, sehingga jika RUU ini
digunakan, tidak membahayakan kepentingan rakyat banyak atau
bahayanya pada level yang terendah. (F-PD, F-PG, F-Gerindra)
3. Secara substansi RUU ini, perlu dikaji lebih mendalam tentang judul dan isi
yang lebih sesuai dengan materi apa yang perlu diatur secara substansi
dalam RUU ini. (F-PKS, F-Hanura)
4. Perlu peninjauan kembali aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis, termasuk
konsideran pertimbangan RUU ini yang seakan-akan menjustifikasi
pengendalian produk tembakau/ rokok memiliki peran strategis dalam
mewujudkan lingkungan hidup yang sehat, dan bagaimana dengan polusi
udara yang berasal dari kendaraan bermotor dan penyebab polusi lainnya
yang member efek negatif pada lingkungan. Seharusnya ada pengaturan
yang lebih berimbang terhadap semua faktor yang terkait termasuk
perlindungan petani, cukai, tenaga kerja, industri, pertanian, perlindungan
konsumen dan lain-lain. (F-Hanura)
13
5. Ruang lingkup RUU ini, semestinya memberikan pengaturan yang
berimbang dan memperhatikan kepentingan industri kecil khususnya rokok,
karena fakta yang terjadi bahwa industri kecil khususnya rokok banyak
tergilas oleh mekanisasi, kebesaran modal, kemampuan beriklan, dan
termasuk perizinan. Sementara RUU ini lebih banyak mengatur pembatasan
pada industri rokok yang berpotensi mematikan industri kecil. (F-Hanura)
6. Perlu peninjauan kembali terhadap pengaturan tentang pemeriksaan jenis
dan kadar kandungan isi dan emisi produksi rokok yang nantinya akan
dilaksanakan oleh laboratorium yang terakreditasi oleh Pemerintah,
disebabkan belum adanya standar pengujian dan ketersediaan laboratorium
pengujian pabrik rokok yang berjumlah 3.800 pabrik rokok yang nantinya
akan menjadi kendala dalam mengimplementasi RUU ini. (F-Hanura)
7. Masih diperlukan peninjauan kembali terkait dengan pengaturan mengenai
isi kemasan sehingga tidak mematikan industri kecil, mengingat adanya
persaingan dalam memperebutkan pasar rokok, yaitu kompetisi antar
negara berkembang dengan negara maju, kompetisi antara perusahan
tembakau dan produk olahan tembakau dengan perusahan farmasi, dan
kompetisi antara perusahan rokok besar dan perusahan rokok kecil. (FHanura)
8. Perlu peninjauan kembali terkait pengaturan kawasan tanpa produk
tembakau/ rokok yang diatur dalam RUU ini yang memenuhi kualifikasi
tertentu, seperti alat penghisap udara, dan persyaratan lainnya. (F-Hanura)
9. Masih diperlukan adanya sinkronisasi RUU ini dengan peraturan perundangundangan terkait, seperti UU tentang Cukai, UU tentang Perlindungan
Konsumen, UU tentang Tenaga Kerja, UU tentang Kesehatan, UU tentang
Perkebunan, dan UU tentang Merek, sehingga perlu adanya kajian
harmonisasi dan sinkronisasi dengan Peraturan Perundangan-undangan
yang lain, agar RUU ini lebih komprehensif. (F-Hanura)
10. RUU ini, juga mengatur tentang perlindungan terhadap petani tembakau
dalam hal; penelitian dan pengembangan bahan baku secara berkelanjutan,
pembinaan dan budidaya, penanganan, dan pemasaran tembakau dan
produknya, serta menjamin hasil panen hingga dapat dibeli oleh
industryirokok, dan menjaga keseimbangan penawaran dan permintaan
tembakau dalam negeri, sehingga manfaat RUU ini bisa terasa kepada
petani tembakau yang menurut kementerian pertanian tercatat jumlah petani
tembakau lebih dari 6,1 juta orang, atau 14% dari jumlah petani di Indonesia.
Dengan luas lahan yang ditanam tembakau lebih dari 500.000 Hektar lahan
yang tersebar di 14 provinsi, termasuk ada lahan yang hanya cocok
menanam tembakau. (F-PD, F-PDIP, F-PPP, F-PAN, F-PG, F-PKS)
11. Dalam hal cukai dan fiskal, penerimaan negara, industri rokok memberikan
pemasukan yang cukup besar, sehingga memperkuat pendapatan dalam
kas negara untuk program pembangunan dan kemajuan di bidang ekonomi.
Penerimaan cukai di tahun 2010 mencapai sekitar 10 triliun dan penerimaan
fiskal mencapai sekitar 66 triliun. (F-PD, F-PDIP, F-PPP, F-Hanura, F-PKB,
F-PG)
14
12. Perlu pengaturan terhadap eksor dan impor produk tembakau. Pada era
liberalisasi pasar yang merupakan ancaman terjadinya deindustrialisasi,
akibat dari ekonomi nasional terancam menjadi ekonomi yang lapar impor.
Sehingga terjadi persaingan pasar dalam perdagangan internasional yang
tidak berimbang dalam ekspor produk tembakau ke luar negeri, serta
adanya konsolidasi industi rokok global yang diwarnai oleh akuisisi
perusahan multinasional (MNC), sementara pemerintah perlu ada political
will untuk membatasi impor tembakau.(F-PDIP, F-PKB, F-PKS)
13. Industri berbasis tembakau merupakan industri yang mandiri, kuat dan
sebagai salah satu industri kebanggaan nasional yang telah memberi
kontribusi bagi kesempatan kerja/lapangan kerja. Menurut Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi ada sekitar 7,5 juta tenaga kerja bekerja di
industri rokok baik dalam kegiatan produksi maupun pengecer. Serta
menurut Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, bahwa jumlah pabrik rokok di
Indonesia adalah sedikitnya 3.800 pabrik rokok, termasuk kelas rumahan,
sehingga Indonesia termasuk jumlah pabrik rokok terbesar di seluruh dunia.
Selain itu industry berbasis tembakau memberi pemasukan bagi keuangan
negara, dan efek pengganda bagi industri lainnya. (F-PKB, F-PKS, F-PDIP)
III. SIMPULAN
Berdasarkan kajian dan pendapat Fraksi-fraksi di Badan Legislasi, maka RUU
tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan perlu
untuk memperhatikan pelbagai kepentingan yang ada dalam masyarakat dan
negara. Karena itu, penyusunan RUU tersebut masih memerlukan
penyempurnaan melalui pengkajian lebih mendalam terhadap Naskah Akademik
dan materi/substansi yang akan diatur dalam RUU.
Rapat Pleno Badan Legislasi DPR RI tanggal 7 Juli 2011 memutuskan
penyusunan RUU tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap
Kesehatan
ditunda/diendapkan/ditangguhkan
pembahasannya
untuk
memperoleh kajian yang lebih mendalam terhadap judul RUU dan
materi/substansi yang diatur dalam RUU. Meskipun dilakukan penundaan/
pengendapan/penangguhan, seluruh Fraksi bersepakat bahwa jaminan
kesehatan bagi masyarakat akibat produk tembakau/rokok sangat penting untuk
diatur dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat.
------ 0 ------
15
Download