BAB VI FAKTOR PENDORONG PERJUANGAN IDENTITAS KOMUNITAS SEDULUR SIKEP DI KABUPATEN PATI Konstruksi perjuangan identitas komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati tidak terjadi begitu saja. Identitas yang dimiliki komunitas Sedulur Sikep telah disadari menyebabkan komunitas Sedulur Sikep termarginalisasikan. Posisi komunitas Sedulur Sikep yang diletakkan lebih rendah daripada kelompok masyarakat lainnya, dapat dilihat pada praktik keseharian komunitas Sedulur Sikep. Oleh karena itu, komunitas Sedulur Sikep memperjuangkan identitasnya sebagai upaya untuk membela dirinya sebagai reaksi atas apa yang dialaminya. Bab ini merupakan analisis lanjutan untuk menjawab keingintahuan faktor-faktor apakah yang mendorong komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah memperjuangkan identitasnya. Dari hasil analisis perjuangan identitas komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah, diketahui terdapat faktor eksternal dan internal yang mendorong komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati melakukan perjuangan identitasnya. Faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar komunitas Sedulur Sikep yang mendorong komunitas Sedulur Sikep memperjuangkan identitasnya, terdiri atas kebijakan politik dan kebijakan ekonomi. Adapun faktor internal, yaitu faktor pendorong yang berasal dari dalam komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati dalam memperjuangkan identitasnya. Faktor internal tersebut terdiri atas aspek sosial budaya dan aspek keteladanan pemimpin (botoh). Secara keseluruhan kedua 210 211 faktor tersebut dianalisis dengan teori hegemoni yang didukung dengan teori eklektik lainnya. 6.1 Faktor Eksternal Perjuangan Identitas Komunitas Sedulur Sikep 6.1.1 Kebijakan Politik Pada 4 Oktober 1965, rakyat Indonesia dikejutkan oleh serangkaian berita Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta tentang pergolakan pada tingkat tertinggi pemerintahan di ibu kota Jakarta. Pada tanggal tersebut diketahuilah untuk pertama kalinya kejelasan mengenai ”Gerakan 30 September” yang dikaitkan dengan organisasi politik bernama Partai Komunis Indonesia (PKI). Pengungkapan peranan PKI dalam sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) telah menimbulkan reaksi yang hebat di dalam masyarakat Indonesia, yang berujung dengan ditetapkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, Nomor TAP-XXV/MPRS/1966, 5 Juli 1966, tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia; pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Negera Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia; dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme (Anonim, 1994: 3). Pascatragedi Gerakan 30 September 1965, semua aktivitas yang mewarisi gerakan yang dilakukan oleh PKI dilarang oleh Pemerintahan Orde Baru. Pada masa inilah semua anggota dan simpatisan PKI ditangkap, dipenjara, bahkan dibunuh tanpa berita oleh militer dan masyarakat antikomunis. Dekade Orde Baru dimulai pascapelantikan Soeharto oleh Majelis Permusyaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada tahun 1968. Masa Orde Baru merupakan karakteristik 212 kepemimpinan Soeharto yang memiliki misi pembangunan dan keseragaman. Perpolitikan membelenggu rakyat untuk tetap patuh kepada penguasa dan peraturan. Perlakuan diskriminasi yang cukup traumatik terjadi pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 dialami oleh PKI dan pengikutnya (Cholil, 2008: xii). Belenggu kebebasan budaya dan agama lokal yang dilakukan oleh komunitas Sedulur Sikep, tidak luput dari tantangan dan rongrongan perpolitikan dalam perkembangannya. Komunitas Sedulur Sikep mendapat perlakuan oleh penguasa dan komunitas non-Sedulur Sikep dalam bentuk stereotipe negatif, seperti tidak beragama, kumpul kebo, dan pembangkang pada umumnya mendapat cap sebagai PKI melakukan peralihan keagamaan. Tuduhan yang ditujukan kepada komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati oleh komunitas non-Sedulur Sikep bahwa komunitas Sedulur Sikep berhaluan komunis, diawali adanya hubungan erat antara Ki Engkrek (leluhur komunitas Sedulur Sikep di Dukuh Karangpace, Desa Klopoduwur, Banjarejo Kabupaten Blora) dengan Presiden Sukarno. Hubungan tersebut diwujudkan ketika Ki Engkrek memiliki dua cincin yang berwarna merah-putih. Cincin tersebut diduga oleh komunitas Sedulur Sikep mengilhami Presiden Sukarno menentukan warna bendera kebangsaan. Situasi ini juga dibuktikan dengan menghadiri acara orasi terbuka Presiden Soekarno tahun 1945an di alun-alun Kabupaten Pati. Presiden Sukarno mengajak masyarakat dan komunitas Sedulur Sikep untuk pantang menyerah melawan penjajah. Ajakan tersebut diterima tokoh Sedulur Sikep dan dipublikasikan pada komunitas nonSedulur Sikep di Kabupaten Pati yang ’direkam’ oleh publik. Imbas kehadiran 213 tersebut komunitas Sedulur Sikep dianggap oleh publik sebagai komunitas berhaluan nasionalis-komunis (Rosyid, 2012: 219). Bagi masyarakat di Kabupaten Pati bagian selatan, yang semula dituduh sebagai PKI terpaksa memilih Islam sebagai agama mereka. Islamisasi atau dakwah oleh para kiai dan ustadz berlangsung ramai. Kebanyakan penyebar Islamisasi ini dari wilayah Pati bagian utara atau setidak-tidaknya alumni dari salah satu pondok pesantren dari Pati bagian utara. Di dalam melakukan dakwahnya, mereka ini merasa mendapatkan amanah menyampaikan “misi suci” untuk menebar pesan-pesan Tuhan. Orang-orang PKI kini perlu disadarkan dan diarahkan menuju jalan “keagamaan”. Sebaliknya, kelompok-kelompok yang “diPKI-kan” lebih memilih jalan “damai”. Stereotipe negatif yang diberikan oleh komunitas non-Sedulur Sikep berupa anggapan sebagai pengikut PKI kepada komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati, ternyata tidak diikuti oleh penangkapan, bahkan pembunuhan terhadap komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati. Hal ini dibenarkan oleh informan Sedulur Sikep berikut ini. “Ketika ada peristiwa 30 September 1965, kami di Sukolilo sempat ada kekhawatiran terjadi pembunuhan. Namun, Sedulur Sikep berusaha tenang dan bekerja ke sawah, melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasanya. Masalah pandangan komunitas non-Sedulur Sikep yang stereotipe itu biasa, dan kami Sedulur Sikep sudah terbiasa mendapat perlakuan itu. Untungnya, di sini (tempat Sedulur Sikep, pen.) mereka tidak menangkap dan membunuh kami, seperti berita-berita di luar tentang pembunuhan anggota PKI (wawancara dengan Juri, 13 September 2012). 214 Penuturan informan Sedulur Sikep di atas memperlihatkan bahwa akibat peristiwa 30 September 1965, suasana di lingkungan Sedulur Sikep tetap aman. Meskipun wilayah Kecamatan Sukolilo termasuk basis PKI, peristiwa penangkapan dan pembunuhan anggota PKI tidak terjadi di wilayah komunitas Sedulur Sikep. Pengakuan informan Sedulur Sikep tersebut dibenarkan oleh Purwadi, salah seorang informan dari komunitas non-Sedulur Sikep, sebagai berikut. “Pada saat peristiwa Gerakan 30 September 1965 memang tidak terjadi pembunuhan terhadap komunitas Sedulur Sikep. Walaupun pada umumnya komunitas non-Sedulur Sikep mengganggap bahwa komunitas Sedulur Sikep sebagai simpatisan PKI atas dasar ketidakberagamaan mereka, tetapi penangkapan dan pembunuhan terhadap komunitas Sedulur Sikep tidak dilakukan karena komunitas Sedulur Sikep selama ini mempunyai sikap yang baik, yaitu polos dan jujur” (wawancara, 18 September 2012). Dari penuturan Purwadi, dapat diketahui bahwa sikap polos, lugu, dan jujur yang dimiliki oleh komunitas Sedulur Sikep menjadi alasan utama bagi massa anti PKI untuk tidak melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap komunitas Sedulur Sikep. Upaya komunitas Sedulur Sikep agar terhindar dari stigma PKI dilakukan dengan cara memeluk salah satu agama resmi, yaitu agama Budha. Secara massal, pada tahun 1985 Pemerintah Pusat melalui Pemerintah Daerah Kabupaten Pati memaksa komunitas Sedulur Sikep untuk memeluk agama Budha dengan cara mendatangkan Biksu untuk memberikan pelajaran tentang keberagamaan. Pemerintah Kabupaten Pati mengganggap ada kemiripan antara agama yang dipeluk oleh komunitas Sedulur Sikep dengan agama Budha. Pemilihan agama Budha menjadi agama sah dari komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati sesungguhnya merupakan bentuk pemaksaan dari Pemerintah 215 Orde Baru. Di samping itu, Pemerintah Kabupaten Pati juga mengharuskan komunitas Sedulur Sikep untuk mengurus surat-surat kependudukan berupa kartu tanda penduduk (KTP), mencatatkan perkawinan mereka. Pemerintah Kabupaten Pati melalui Pemerintah Kecamatan Sukolilo tidak mempertimbangkan keberatan komunitas Sedulur Sikep. Kebijakan Politik Orde Baru saat itu, oleh komunitas Sedulur Sikep dipenuhi hanya sekadar upaya untuk menghindari konflik. Mereka terpaksa melaksanakan program pemerintah, sepanjang tidak melanggar normanorma yang berlaku dalam kehidupan komunitas Sedulur Sikep, sebagaimana penuturan informan Sedulur Sikep berikut ini. ”Pada masa Orde Baru, banyak kebijakan politik yang dipaksakan kepada komunitas Sedulur Sikep, misalnya harus memeluk agama negara, membuat KTP, dan sebagainya. Sepanjang itu tidak bertentangan dengan ajaran Sikep ya tidak apa-apa. Misalnya, saat disuruh masuk agama Budha, kami menerimanya, yang penting tidak melaksanakan ajaran tersebut” (wawancara dengan Juri, 13 September 2012). Penuturan informan Sedulur Sikep di atas menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah Orde Baru sangat merugikan kehidupan komunitas Sedulur Sikep. Agama yang dianut oleh komunitas Sedulur Sikep dan telah lebih dulu ada, yaitu agama Adam, dipaksa digerus oleh munculnya agama-agama resmi negara. Realitas ini memunculkan sikap diskriminatif pemerintah terhadap budaya dan agama komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati. Masa Orde Baru dengan sistem kekuasaannya tidak pernah memihak komunitas Sedulur Sikep yang mempunyai budaya Sikep dan kepercayaan Adam. Secara politik, perkembangan agama Adam dikontrol oleh pemerintah untuk mengantisipasi berakarnya kembali komunis. Oleh karena itu, pengembangan agama Adam yang dianut komunitas 216 Sedulur Sikep bersifat sembunyi-sembunyi (tertutup). Sebagaimana pendapat Kartodirdjo (1977: 44) bahwa perlawanan yang dilakukan oleh Sedulur Sikep berbentuk pasif. Gerakan perlawanan Sedulur Sikep ini menjadi unik karena berbeda dengan gerakan sosial petani di Indonesia yang umumnya bersifat radikal. Pada masa Orde Baru telah ditetapkan lima agama resmi yang wajib dipilih untuk menunjukkan sikap anti komunis. Kebijakan politik tersebut kemudian mewajibkan setiap warga negara memiliki KTP dan mengisi kolom agama pada form yang ada di dalam KTP. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi komunitas Sedulur Sikep karena agama Adam yang dipercaya oleh komunitas Sedulur Sikep belum diakui sebagai agama resmi negara. Di dalam konteks tersebut, Dwipayana (2005: 92) berpendapat bahwa cara berpikir Orde Baru bersifat monolitik, serba tunggal, dan serba diatur. Pada tahun 1998, Presiden Soeharto dilengserkan dan menandai runtuhnya rezim Orde Baru. Hal ini menjadi titik tonggak Orde Reformasi yang memberikan ruang kepada rakyat untuk kebebasan menyampaikan pendapatnya. Salah satu wujud dari kebebasan tersebut adalah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22, Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai wujud politik yang secara teoretis membentuk otonomi daerah. Otonomi terbatas pada provinsi dan otonomi luas pada daerah kota atau kabupaten sehingga konsekuensinya kewenangan pusat menjadi terbatas. Era Reformasi ingin membangun Indonesia Baru yang memungkinkan keterlibatan rakyat di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, landasan utama masyarakat majemuk adalah 217 multikultural dengan mengakui perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individu, kelompok, maupun kebudayaan (Cholil, 2008: 141). Salah satu geliat politik di Indonesia pasca-Orde Baru adalah bergulirnya isu kedaerahan yang diformulasikan ke berbagai ragam tuntutan. Politik daerah ini menandai fase arus balik ketika politik sentralisme diruntuhkan. Desentralisasi tidak sekadar suatu tuntutan elite-elite politik daerah yang menuntut alokasi anggaran dan kebebasan politik di dalam mengelola suatu wilayah teritorial, tetapi juga menjadi perangkat lunak baru untuk menyuarakan emansipasi komunitas marginal, kelompok tersisih, dan kelompok-kelompok yang sebelumnya tidak beruntung karena tidak pernah mendapat akses terhadap alokasi sumber-sumber ekonomi dan wewenang politik (Idhom, 2009: 189). Tidak mengherankan kata yang mulai lazim banyak didiskusikan kalangan pemerhati persoalan kedaerahan adalah lokal atau lokalitas. Setidaknya di lingkungan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), reproduksi istilah kebudayaan lokal, indigenous people, masyarakat adat, menjadi isu yang terus-menerus digemakan (Saptaningrum, 2007: 239). Makna lokalitas tidak selalu identik dengan batas teritorial daerah, sebagaimana yang terdapat di dalam peta-peta resmi yang ada. Lokalitas disuarakan demi membela eksistensi budaya bersama komunitas tertentu. Di tengah perubahan zaman yang terus bergerak, budaya bersama ini menjadi tali pengikat atau sumber penghubung dari apa yang pernah diibaratkan Bennedict Anderson (dalam Dwipayana, 2007: 9) sebagai imagined communities (komunitas-komunitas terbayang). Meskipun lukisan Ben lebih cenderung 218 ditujukan kepada komunitas bangsa nasional, semangat sebagai ”komunitaskomunitas terbayang” itu tampaknya mulai merambah beberapa komunitas yang memiliki sumber-sumber nilai spesifik yang berbeda dengan komunitas lain. Seolah-olah mereka memiliki budaya bersama, yang di dalamnya terbentang asal usul, keyakinan, ritual, sistem kekerabatan, dan perjalanan historis sebagai suatu komunitas. Pembayangan seperti ini, mendorong suatu perjuangan demi pengakuan perbedaan-perbedaan itu yang melahirkan berbagai politik identitas dari beragam komunitas lokal di Indonesia, bahkan sejak masa kolonial menjadi objek kolonisasi budaya dan tersisih secara sosial dan politik (Nurkhoiron, 2007: 20). Pada tahun 1999, untuk pertama kalinya digelar kongres masyarakat adat se-Indonesia di Hotel Indonesia, Jakarta. Hal ini menjadi momentum awal pergerakan masyarakat adat dalam skala nasional untuk menuntut pengembalian hak-hak adat dalam segala aspek kehidupan mereka. Kongres tersebut dihadiri ratusan kelompok masyarakat adat yang umumnya merasa dimarginalisasikan oleh pemerintah sehingga tidak dapat hidup secara layak, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Salah satu kasus yang paling menonjol adalah ketika kelompok adat dibatasi akses penguasaan terhadap pengelolaan sumber daya alam yang secara nyata berada di sekitarnya. Pemerintah mewakili negara mengeluarkan aturan bahwa semua sumber daya alam adalah milik negara. Aturan tersebut sesungguhnya merupakan warisan kolonial karena seluruh perangkat hukum yang diperlukan untuk mengklaim sumber daya alam adalah produk hukum kolonial. 219 Era Reformasi harusnya menjadi kebebasan di dalam segala bidang kehidupan masyarakat, termasuk di bidang politik. Namun, kebijakan politik pemerintah tidak menunjukkan perubahan sesuai dengan amanah reformasi. Penetrasi pemerintah terhadap komunitas Sedulur Sikep dilakukan lewat pelaksanaan program pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT). Demi alasan untuk menyejahterakan masyarakat terpencil dan tertinggal, pemberdayaan KAT mendapat payung hukum berdasarkan Keputusan Presiden No. 111/1999. Adapun target yang diinginkan adalah Provinsi Jawa Tengah akan terbebas dari KAT pada akhir 2009. Di Provinsi Jawa Tengah, pemerintah mengidentifikasi ada lima KAT. Komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati merupakan satu-satunya KAT di Jawa Tengah yang dinilai tertinggal karena adat istiadatnya. Di dalam praktiknya, program pemberdayaan KAT bagi komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati menemukan ambivalensinya dari segi konsepnya sendiri. Pandangan hidup komunitas Sedulur Sikep yang menolak bersekolah dan pemberian dari orang lain, berbenturan dengan praktik pemberdayaan KAT yang mendorong komunitas Sedulur Sikep untuk sekolah dan menerima berbagai program bantuan pembangunan. Oleh karena itu, program pemberdayaan KAT justru mempertajam gejala marginalisasi yang selama ini muncul dalam pertemuan antara pemerintah dengan komunitas Sedulur Sikep. Program tersebut justru terkesan mendorong komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati untuk melepaskan keterikatan mereka dengan budaya dan pandangan hidup yang mendasari eksistensi Sedulur Sikep (Idhom, 2009: 115 -- 116). 220 Salah satu cara untuk memperjuangkan hak masyarakat adat adalah mengampanyekan pengakuan atas identitas masing-masing yang kemudian dipublikasikan secara luas. Kasus yang cukup menghebohkan dan dikemas dalam wacana politik identitas secara menarik sehingga secara khusus menjadi agenda pembicaraan khusus, baik pada tingkat nasional maupun internasional adalah penolakan suku-suku di Provinsi Papua terhadap eksploitasi tambang oleh perusahaan asing di Provinsi Papua. Realitas ini menjadi jalan bagi wakil-wakil kelompok masyarakat adat untuk melakukan cara yang sama untuk mendapatkan simpati dan pengakuan identitas. Salah satu di antaranya komunitas Kajang di Bulukumba Sulawesi Selatan yang mengalami konflik terhadap pengelolaan sumber daya alam selama bertahun-tahun dengan salah satu perusahaan perkebunan swasta nasional (Indriani, 2009: 246 -- 247). Perjuangan masyarakat adat untuk mendapatkan pengakuan identitas dan mempertahankan sebagian tanah adat yang dikuasai pemerintah tersebut juga dilakukan oleh komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah. Berbeda dengan komunitas adat lainnya di Indonesia yang mempertahankan sebagian tanah adatnya, komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati tidak mempunyai kawasan adat yang dikuasai pemerintah, tetapi melakukan perlawanan dengan perusahaan semen nasional yang akan membuka pabriknya di kawasan Pegunungan Kendeng Kabupaten Pati pada tahun 2006. 221 Perubahan peta politik nasional membuka celah kebebasan untuk mengeluarkan pendapat mendorong gerakan-gerakan untuk menuntut hak-hak komunitas Sedulur Sikep menjadi lebih terbuka dan sistematis. Sejak runtuhnya Orde Baru, ada keterbukaan di dalam berkomunikasi dengan masyarakat di luar komunitas non-Sedulur Sikep. Ada semacam rasa memiliki bersama, baik komunitas Sedulur Sikep maupun non-Sedulur Sikep, untuk memperjuangkan hak-hak atas pengelolaan Pegunungan Kendeng. Runtuhnya Orde Baru telah membuka jalan bagi kebebasan perjuangan komunitas Sedulur Sikep yang menuntut hak atas pengelolaan sumber daya alam sebagai bagian gerakan perjuangan identitasnya. Selama ini, komunitas Sedulur Sikep memeroleh pencitraan yang kuat dari masyarakat sekitar bahwa mereka sangat serius menjaga kelestarian lingkungan alam. Hal ini bisa dipahami karena sumber pencaharian komunitas Sedulur Sikep adalah petani yang sangat tergantung pada potensi sumber daya alam yang dimiliki. Sesuai dengan amanat UUD 1945, komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati menyerukan agar pemerintah berlaku adil dan bijaksana. Walaupun pengelolaan seluruh sumber daya alam di Indonesia berada di dalam kendali negara, tetapi harus digunakan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan masyarakat. Perjuangan yang dilakukan oleh komunitas Sedulur Sikep merupakan upaya mendobrak hegemoni. Hal yang menarik adalah terjadinya koalisi antara komunitas Sedulur Sikep dan komunitas non-Sedulur Sikep, khususnya petani, seperti penuturan informan Sedulur Sikep, berikut ini. 222 ”Perjuangan mempertahankan Pegunungan Kendeng awalnya hanya dilakukan oleh Sedulur Sikep saat melawan rencana pembangunan Semen Gresik di Kecamatan Sukolilo, tetapi ketika PT Indocement mencoba membangun pabriknya di Kecamatan Tambakromo, sedulur (komunitas non-Sedulur Sikep) Tambakromo meminta bantuan Sedulur Sikep untuk bersama-sama menentang rencana pembangunan pabrik tersebut. Kita semua sadar bahwa Gunung Kendeng itu milik semua yang mau melestarikannya karena kehidupan petani Kabupaten Pati sangat bergantung pada Gunung Kendeng tersebut” (wawancara dengan Tarjo, 12 Agustus 2012). Dari penuturan informan di atas, dapat diketahui bahwa upaya komunitas Sedulur Sikep untuk mempertahankan kelestarian alam Pegunungan Kendeng mendapat simpati dan dukungan dari komunitas non-Sedulur Sikep. Gerakan perlawanan yang dilakukan oleh komunitas Sedulur Sikep merupakan upaya untuk mendobrak hegemoni. Upaya tersebut mendapat simpati dari komunitas non-Sedulur Sikep. Hal ini sejalan dengan pandangan Gramsci (Simon, 2004: 36) yang memaparkan bahwa di dalam merebut hegemoni, sebuah kelas penguasa harus memperluas hubungan dengan kelas lain sehingga memeroleh dukungan yang signifikan. Perluasan hubungan dengan kelas lain tersebut, ditujukan untuk mengembangkan kesadaran politik, yaitu kesadaran yang dibangun untuk menyatukan kepentingan berbagai kelompok. Ide ini dijalankan oleh komunitas Sedulur Sikep dan aliansi petani yang berjuang untuk memeroleh hak pengelolaan Pegunungan Kendeng. 6.1.2 Kebijakan Ekonomi Indonesia adalah negara agraris. Hal ini dibuktikan dengan keadaan sumber daya alam yang subur dengan mayoritas penduduknya bertani. Di dalam konteks keagrarisan tersebut, tanah merupakan sesuatu yang sangat bernilai tinggi, 223 tidak hanya dalam konteks ekonomi, tetapi juga dalam bidang yang lain, sebagaimana ungkapan budaya Jawa bahwa sadumuk bathuk sanyari bumi, ditohi pecahing dodo wutahing ludiro, mengisyaratkan tanah sekecil apa pun tetap bernilai dan akan dipertahankan sebagai sebuah kepemilikan yang luhur. Ditinjau dari aspek sosiologis, tanah juga dapat mencerminkan status sosial di dalam masyarakat, di mana seseorang yang memiliki tanah luas (tuan tanah) mendapat kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang hanya memiliki tanah sempit, bahkan tidak memiliki sama sekali (buruh tani). Komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati, di dalam kehidupan sehari-hari bertumpu pada sektor pertanian. Pertanian dan lahan pertanian bagi komunitas Sedulur Sikep adalah fondasi kehidupannya. Hal ini tercermin dalam filosofinya bahwa opo wae demununge dadi tani, macul, minongko sumber kauripane wong urip yoiku pari (apa pun profesinya tetap jadi petani, mencangkul, sebagai sumber kehidupan orang hidup berupa padi). Oleh karena itu, pertanian dan lahan pertanian adalah persolan hidup dan mati bagi komunitas Sedulur Sikep. Hal ini sejalan dengan pernyataan Bung Karno di dalam pidatonya saat peletakan batu pertama pada Gedung Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, 27 April 1952, yang menyatakan bahwa tanah adalah milik petani. Hak milik tanah tersebut, berfungsi sosial, negara, dan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kekuasaan lebih tinggi daripada hak perseorangan (Media Indonesia, 27 April 2012: 11). Pada bagian ini diulas kebijakan ekonomi pemerintah pada masa kolonial Belanda dan masa Pemerintahan Republik Indonesia. Kebijakan ekonomi yang diterapkan, baik oleh pemerintah kolonial 224 maupun pemerintah Republik Indonesia, telah menimbulkan aksi-aksi perjuangan identitas komunitas Sedulur Sikep. Selama abad ke-19 dan awal abad ke-20 di Indonesia terus-menerus timbul pemberontakan, kerusuhan, kegaduhan, berandalan, dan sebagainya, yang semuanya cukup mengguncangkan masyarakat dan pemerintah kolonial. Peristiwa-peristiwa tersebut banyak terjadi di daerah pedesaan. Boleh dikatakan bahwa hampir setiap tahun di salah satu daerah pedesaaan terjadi pergolakan dan kerusuhan, yang sering diwujudkan sebagai tindakan-tindakan yang bersifat agresif dan radikal. Gerakan perlawanan tersebut merupakan kekuatan sosial yang besar untuk daerah pedesaan. Munculnya gerakan itu dapat dianggap sebagai suatu ledakan dari ketegangan-ketegangan, permusuhan, atau pertentangan yang terdapat di dalam masyarakat pedesaan. Sebagai aktivitas kolektif, gerakan sosial yang didukung petani bertujuan untuk mewujudkan ataupun sebaliknya menolak suatu perubahan dari susunan masyarakat. Di dalam usaha untuk melaksanakan tujuan itu, sering kali ditempuh dengan jalan radikal dan revolusioner (Poesponegoro, 1990: 79). Di antara pergolakan sosial pedesaan di Jawa, maka gerakan yang dipimpin Ki Samin Surosentiko (sehingga kemudian dikenal dengan gerakan Samin) dapat dianggap sebagai gerakan sosial tradisional yang pasif (Kartodirdjo, 1977: 44). Gerakan Samin ini dapat dikatakan unik dalam sejarah Jawa karena ada beberapa aspek dari sikap pengikut Samin yang berbeda dari gerakan-gerakan petani lainnya di Indonesia, antara lain tanpa kekerasan, rajin, jujur, berhasil 225 sebagai petani, serta menghargai sesamanya sederajat, termasuk kaum wanita (Poesponegoro, 1990: 323). Para sarjana dan peneliti pada masa kini pun tertarik pada gejala masyarakat pedesaan pada akhir abad ke-19 ini. Dari hasil penelitian dan analisis mereka, pada umumnya, mereka berpendapat bahwa munculnya gerakan Samin disebabkan oleh faktor sosial ekonomi, yaitu sebagai berikut. Pertama, kebijakankebijakan Pemerintah Kolonial Belanda yang menjadikan hutan sebagai perusahaan negara (houtvesterijen) menyebabkan komunitas Sedulur Sikep di sekitar hutan tidak lagi memiliki akses untuk memanfaatkan hutan sebagai sumber kehidupannya. Segala bentuk kegiatan ekonomi masyarakat yang berkaitan dengan hutan dilarang dan diawasi oleh para polisi hutan dengan cara intensif berpatroli. Pemerintah Kolonial Belanda mengatur hak atas lahan dan kehutanan, melalui aparat kehutanan, mereka memberikan sanksi hukum bagi siapa saja yang memanfaatkan hutan tanpa seizin Pemerintah Kolonial Belanda. Para polisi hutan Pemerintahan Kolonial Belanda, secara sepihak membuat ketentuan-ketentuan yang mengatur di mana batas lahan masyarakat harus berakhir dan di mana sebuah kawasan hutan akan berawal. Mereka melakukan ploting, menandainya, dan menggambarkannya dalam bentuk peta-peta yang makna dan tujuannya hanya diketahui oleh kalangan elite pemerintah kolonial (Santoso, 2004: 79; Widodo, 1997: 268). Kedua, memasuki abad ke-20, Pemerintah Kolonial Belanda mulai memperkenalkan sistem perekonomian modern yang menggunakan mata uang sebagai alat tukar ke seluruh pedesaan Jawa, tanpa ada pengecualian telah memperparah kehidupan para petani di pedesaan Jawa, termasuk komunitas 226 Sedulur Sikep (Korver, 1976: 256). Sistem perekonomian modern tersebut dimulai sejak zaman Gubernur Jenderal Raffles dan berkembang pesat saat Pemerintah Kolonial Belanda menerapkan Politik Etis (Onghokham, 2002: 43). Akibat dari kebijakan ekonomi oleh Pemerintah Kolonial Belanda tersebut kalangan masyarakat pedesaan, termasuk komunitas Sedulur Sikep dikenai pungutan-pungutan lain, selain pajak tanah, misalnya saja kewajiban membayar sejumlah uang ketika mereka memotong hewan ternak, menggunakan air untuk kepentingan irigasi, menyenggarakan perkawinan, dan memutuskan perceraian. Agar dapat mengambil kayu bakar dari hutan, komunitas Sedulur Sikep juga harus membeli “kupon” (surat izin) dari polisi atau mandor hutan. Bahkan, upah para polisi atau mandor hutan tersebut diambilkan dari alokasi lahan-lahan yang seharusnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sehingga terjadi ketimpangan sosial masyarakat pada saat itu. Bagi pemerintah kolonial Belanda, kebijakan ekonomi tersebut tidak dimaksudkan untuk eksploitasi, peminggiran, ataupun apa pun namanya. Proses itu dimaksudkan sebagai bagian dari strategi Pemerintah Kolonial Belanda untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Santoso, 2004: 79 -- 80). Komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah, secara turun temurun beranggapan bahwa alam beserta segala isinya adalah ciptaan Tuhan sehingga setiap manusia boleh memanfaatkannya. Oleh karena itu, ketika Ki Samin Surosentiko mengajarkan prinsip-prinsip kesetaraan dan menolak segala macam intervensi dari luar yang dianggap merugikan, komunitas Sedulur Sikep menyambut dengan antusias. Mereka umumnya adalah petani-petani miskin 227 yang menjadi pendiri desa hutan, seperti penuturan informan Sedulur Sikep berikut ini. “Sejak dulu, Pegunungan Kendeng itu milik semua orang, tidak hanya milik orang Pati, tetapi juga milik orang Jakarta, orang Jawa, pokoknya milik semua orang. Begitu pula dengan alam beserta isinya di tempat lain, adalah milik kami (Sedulur Sikep, pen.). Jadi, kami wajib menjaganya untuk kelestarian alam. Ketika kami memelihara hewan ternak, tidak ada larangan untuk memasukkan di dalam kandang, biarkan mereka mencari makan karena tidak mungkin merusak hutan. Keputusan pemerintah kolonial yang meminta Ki Samin dan warga Sedulur Sikep saat itu untuk mengandangkan hewan ternaknya karena pemerintah kolonial khawatir akan merusak tanaman-tanaman kehutanan. Padahal, keputusan sepihak tersebut bisa memperburuk pertumbuhan ternak-ternak tersebut (wawancara dengan Gunretno, 12 Agustus 2012). Dari penuturan informan di atas, diketahui bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial di bidang ekonomi sangat merugikan kehidupan komunitas Sedulur Sikep. Oleh karena itu, menjadi wajar jika kemudian akibat kebijakan kolonial tersebut memunculkan aksi-aksi simbolis nonkekerasan yang dilakukan oleh komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati dalam rangka menolak ataupun mengajukan klaim kepada para elite kolonial Belanda. Aksi simbolis nonkekerasan tersebut, misalnya komunitas Sedulur Sikep menolak berbicara dengan bahasa Jawa krama inggil (bahasa Jawa tingkatan tertinggi) sebagai bentuk perlawanan kepada para petinggi (priayi yang pada umumnya menjadi kaki tangan pemerintah kolonial Belanda). Akan tetapi, mereka menggunakan bahasa Jawa ngoko sebagai bahasa percakapan dengan siapa pun sebagai bentuk kesetaraan. Komunitas Sedulur Sikep juga menolak membayar pajak, menolak berbagai bentuk kerja wajib, menolak larangan berladang, serta mengambil kayu dari hutan, menolak denda, menolak hadir dalam acara apa pun yang dihadiri oleh 228 kalangan elite. Penolakan tersebut terkadang dilakukan dengan cara ganjil, misalnya ketika komunitas Sedulur Sikep diwajibkan mengumpulkan batu untuk kepentingan pembangunan jalan, mereka hanya melempar kerikil-kerikil kecil ke tengah jalan. Jadi, ada banyak strategi yang dilakukan komunitas Sedulur Sikep untuk melakukan perlawanan terhadap kebijakan kolonial Belanda (Santoso, 2004: 81). Hal tersebut sejalan dengan pandangan James C. Scoot (2000) bahwa kaum lemah di pedesaan pada dasarnya tidak pernah berhenti menentang ketidakadilan yang menimpa diri mereka sebagai akibat dari tindakan dan perilaku yang dilakukan segolongan manusia, baik yang berasal dari dalam masyarakat mereka sendiri maupun kekuatan-kekuatan dari luar masyarakat mereka, termasuk di dalam hal ini pemerintah dan aparatnya, yang memperlakukan mereka secara tidak adil. Perasaan diperlakukan tidak adil inilah yang memicu timbulnya konflik antara pihak petani gurem/miskin dengan kelompok-kelompok mapan yang dianggap sebagai sumber ketidakadilan tersebut. Fenomena pemberontakan petani “gaya Asia” meliputi organisasi anonim yang nonformal dengan koordinasi tahu sama tahu, perlawanan kecil-kecil setiap hari yang penuh kesabaran dan kehatihatian, mencuri sedikit-sedikit, memperlambat kerja, pura-pura sakit, pura-pura bodoh, di depan bilang “ya”, tetapi di belakang mengumpat, menghindari konfrontasi langsung, dan sejenisnya. Pada masa Orde Lama, pemerintah berusaha memerhatikan kesejahteraan petani. Program bagi peningkatan kesejahteraan petani dilakukan Pemerintah Orde Lama dengan membentuk Badan Perusahaan Produksi Bahan 229 Makanan dan Pembukaan Tanah melalui program intensifikasi pertanian yang dinamakan padi sentra untuk meningkatkan produksi beras dengan intensifikasi dan produksi bahan makanan pada lahan kering dan lahan pasang surut (Media Indonesia, 27 April 2012: 11). Mengingat pentingnya program tersebut, pemerintah Orde Lama mengatur tata kelola tanah, khususnya tanah pertanian dengan membuat program landreform. Program landreform yang dilakukan pada masa Orde Lama, sebagai bukti bahwa pada masa Bung Karno, telah terjadi ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah di Indonesia, sebagaimana halnya ketimpangan ekonomi atau tingkat pendapatan penduduknya. Di satu sisi banyak orang kaya yang memiliki tanah dan menjadikannya sebagai aset atau investasi, tetapi di sisi lain lebih banyak petani yang hanya mempunyai sebidang tanah yang tidak cukup untuk menghidupi keluarganya, bahkan tidak mempunyai satu meter pun tanah untuk digarapnya. Pembuatan produk hukum agraria nasional berupa Rancangan UndangUndang Pokok Agraria diawali tahun 1948 dengan dibentuknya Panitia Agraria di Yogyakarta. Seiring dengan berpindahnya ibu kota negara ke Jakarta, maka Panitia Agraria di Yogyakarta dibubarkan dan dibentuklah Panitia Agraria di Jakarta tahun 1951 dengan ketua yang sama, yakni Sarimin Reksodihardjo. Rancangan UUPA yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong akhirnya disahkan oleh Presiden Sukarno pada 24 September 1960. UUPA memiliki anatomi sebagai berikut: Pertama, konversi, artinya mengubah tata kuasa, tata kelola, dan tata guna tanah sesuai dengan hukum agraria yang baru (UUPA). Konversi lebih ditekankan pada tanah yang dulu di atasnya terdapat hak 230 swasta asing. Kedua, pendaftaran tanah dengan tujuan untuk pengukuran, pemetaan, dan pemberian tanda bukti hak. Pendaftaran tanah dimaksudkan sebagai pendataan untuk selanjutnya sebagai pijakan data dalam pelaksanaan landreform. Ketiga, landreform meliputi pembatasan luas maksimal kepemilikan tanah, objek landreform, subjek landreform, UU Perjanjian Bagi Hasil, dan Organisasi Pelaksana (http://selamisejarah.blogspot.com/2008/07/quo-vadis-landreform, 14 Desember 2012). Panitia landreform nasional telah mulai bekerja sejak tahun 1961 sebagai tahap awal persiapan. Di dalam masa itu, telah dibentuk alat negara sebagai pelaksana landreform, berjenjang secara hierarkis mulai dari Menteri Agraria, Panitia Agraria Nasional, hingga Panitia Agraria Tingkat Desa. Guna menyelesaikan urusan peradilan, maka dibentuk juga peradilan landreform. Tiga kegiatan yang direncanakan dalam konteks landreform adalah (a) pendaftaran tanah, (b) penentuan tanah lebih dan pembagiannya kepada sebanyak mungkin petani tidak bertanah, dan (c) pelaksanaan UUPBH. Pelaksanaan landreform masa pemerintahan Presiden Sukarno dimulai tahun 1962 hingga 1965. Pendaftaran tanah dimulai dengan dasar hukum PP No. 10/1961. Dari hasil pendaftaran dan pengukuran inilah tanah-tanah objek landreform ditetapkan, sesuai dengan PP No. 224/1961. Pembagian tanah kelebihan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama, meliputi wilayah Jawa, Madura, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Tahap ini dijadwalkan selesai akhir tahun 1963. Tahap kedua, meliputi wilayah Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan pulau lain (http://selamisejarah.blogspot.com/2008/07/quo-vadis-land-reform, 14 Desember 231 2012). Kebijakan Pemerintah Orde Lama di bidang landreform dipatuhi oleh komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati dengan melakukan pendaftaran tanah yang dimilikinya karena esensi landreform petani Indonesia diharapkan memiliki hak atas kepemilikan tanah untuk kehidupannya, tidak sekadar milik tuan tanah (land lord) (Safrodin, 2011: 12). Di dalam Undang-Undang Nomor 5, Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria tidak membenarkan penguasaan tanah yang melampaui batas. Pengaturan batas minimum kepemilikan tanah dimaksudkan agar setiap petani mencapai skala usaha ekonomi di dalam produksi pertanian. Batas maksimum dimaksudkan supaya setiap orang mengerjakan tanah berdasarkan kemampuannya. Program pemerintah dalam bentuk landreform juga berlaku pada komunitas Sedulur Sikep di beberapa tempat. Misalnya, program landreform yang dialami oleh Radiwongso karena memiliki tanah dalam jumlah yang sangat luas di Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus. Kepemilikan tanah yang luas itu karena Radiwongso membabat ilalang. Ketika tanah tersebut akan dibagi kepada warga, maka Radiwongso menyertifikatkan tanah yang kepemilikannya dibagi kepada anak cucunya. Pemindahan hak milik tanah Radiwongso kepada ahli warisnya tersebut dilakukan dengan biaya bersumber dari penjualan lahan sawah dan pekarangannya yang lain. Respons dari komunitas non-Sedulur Sikep di Kabupaten Kudus terhadap tindakan Radiwongso dengan melimpahkan hak milik tanah kepada anak cucunya adalah permisif karena kiprah Radiwongso sebagai seorang yang ringan tangan dalam memberikan bantuan, 232 terutama sebagai dukun tradisional terhadap komunitas non Sedulur Sikep di sekitar lingkungannya (Rosyid, 2012: 113 -- 114). Pelaksanaan landreform dalam komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati dialami oleh Kasman. Menurut informan Sedulur Sikep, sekitar tahun 1958, di Dukuh Wotan Kecamatan Sukolilo terdapat keluarga Sedulur Sikep. Mereka adalah keturunan dari Kasman. Pada saat pelaksanaan landreform, tanah Kasman yang cukup luas dibagi-bagikan kepada warga. Ada pula sebagian tanah yang dipaksa oleh aparat desa (saat itu bernama Lurah Suyat) untuk di-tukar guling dengan tanah lain karena di atas lahan milik Kasman tersebut akan didirikan Sekolah Dasar Wotan 1 Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati. Adapun tanah tukar guling yang diberikan kepada Kasman berupa tanah sawah. Sebenarnya, Kasman dengan senang hati menerima tanah sawah tersebut, tetapi setelah satu tahun dikerjakan diketahui bahwa tanah sawah tersebut merupakan tanah potongan (retulan) hasil landreform, maka Kasman tidak mau mengerjakan tanah tersebut. Bagi Kasman, cara tersebut dianggap tidak benar sehingga sawah tersebut ditelantarkan (wawancara dengan Tarjo, 12 Agustus 2012). Pada tahun 2000, Kepala SDN Wotan 1 Kecamatan Sukolilo menemukan arsip mengenai kepemilikan tanah SDN Wotan 1 Kecamatan Sukolilo. Selanjutnya, ia memberitahukan kepada keturunan Kasman. Hal ini dilakukan agar di kemudian hari tidak terjadi gugatan atas tanah SDN Wotan 1 Kecamatan Sukolilo. Selama lebih kurang satu tahun, terjadi perdebatan seru mulai dari tingkat desa hingga kabupaten. Ada permainan dari pihak-pihak terkait untuk mencoret buku leter C (tentang kepemilikan tanah tersebut bahwa tanah itu 233 menjadi milik desa). Intimidasi terhadap keturunan Kasman juga dilakukan aparat desa melalui adu domba dengan wali murid SDN Wotan 1 Kecamatan Sukolilo. Mereka menakut-nakuti bahwa jika tanah SDN Wotan 1 Kecamatan Sukolilo diambil kembali oleh keturunan Kasman, maka seluruh wali murid SDN Wotan 1 Kecamatan Sukolilo akan melakukan perlawanan. Adapun yang menjadi masalah adalah keturunan Kasman masih membayar pajak atas tanah tersebut, sedangkan pemerintah membuat bukti tertulis bahwa tanah yang pernah ditukar telah dibeli orang lain, berikut harganya, dan lain-lain. Beruntung, keturunan Kasman dibantu oleh Gunretno berhasil menemukan kejanggalan bukti tertulis atas kepemilikan tanah tersebut. Kejanggalan tersebut ada pada tanggal akta jual beli dan akta sertifikat tanah, di mana tanggal sertifikat tanah lebih dulu jika dibandingkan dengan tanggal akta jual beli. Padahal, semestinya tanggal akta jual beli lebih dulu baru kemudian tanggal sertifikat tanahnya. Akhirnya, pemerintah bersedia memberikan ganti rugi berupa uang senilai 63 juta rupiah, padahal harga tanah berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) saat itu sekitar 4 juta rupiah dengan harga tanah di pasaran sekitar 25 juta rupiah. (wawancara dengan Tarjo, 12 Agustus 2012). Program pemerintah pada masa Orde Baru di bidang ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani adalah revolusi hijau. Munculnya program revolusi hijau didasari adanya masalah pertambahan jumlah penduduk yang pesat dan mengupayakan peningkatan hasil produksi pertanian. Oleh karena itu, peningkatan jumlah penduduk harus diimbangi dengan peningkatan produksi hasil pertanian. Konsep revolusi hijau di Indonesia dikenal 234 sebagai gerakan Bimas (bimbingan masyarakat) adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras. Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis, baik ditinjau dari segi ekonomi, politik, maupun sosial. Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu Pertama, penggunaan teknologi yang sering disabut Panca Usaha Tani, Kedua, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi, Ketiga, adanya dukungan kredit dan infrastruktur. Revolusi hijau mendasarkan diri pada empat pilar penting, yaitu: penyediaan air melalui sistem irigasi, pemakaian pupuk kimia secara optimal, penerapan pestisida sesuai dengan tingkat serangan organisme pengganggu, dan penggunaan varietas unggul sebagai bahan tanam berkualitas. Melalui penerapan teknologi nontradisional ini, terjadi peningkatan hasil tanaman pangan berlipat ganda dan memungkinkan penanaman tiga kali dalam setahun untuk padi pada tempat-tempat tertentu, suatu hal yang sebelumnya tidak mungkin terjadi (http://id.wikipedia.org, 14 Desember 2012). Program pokok pertanian oleh Pemerintah Orde Baru di dalam mengejar swasembada pangan awalnya mendapat dukungan positif dari komunitas Sedulur Sikep yang kehidupannya bertumpu pada sektor pertanian. Komunitas Sedulur Sikep yakin bahwa program pemerintah akan meningkatkan kualitas pertanian. Mereka banyak mendapat penyuluhan dari petugas Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dibantu oleh Balai Penyuluh Pertanian (BPP) dan Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS) yang berkedudukan di kabupaten atau provinsi. Para PPL melakukan sosialisasi dengan sistem penyuluhan latihan dan 235 kunjungan (LAKU). PPL tersebut membina kelompok tani tentang cara pemakaian bibit unggul, pemupukan, perbaikan pengairan, pemberantasan hama dan penyakit, dan perbaikan cara bercocok tanam. Peningkatan kualitas dan kuantitas pertanian memang dialami oleh komunitas Sedulur Sikep. Di dalam setahun, mereka berhasil memanen padi tiga kali. Hal ini berbeda dengan beberapa daerah pertanian lainnya di Kabupaten Pati. Oleh karena itu, padi hasil pertanian komunitas Sedulur Sikep banyak diminati oleh para tengkulak untuk dibeli dengan cara nebas (dibeli tunai) agar segera mendapatkan uang. Kebijakan pertanian tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan komunitas Sedulur Sikep di dalam tata kelola pertanian. Sebelum adanya program revolusi hijau, komunitas Sedulur Sikep hidup bergotong royong dengan memanfaatkan tenaga petani yang berasal dari saudarasaudara mereka (Sedulur Sikep) untuk mengerjakan sawahnya dengan upah berupa padi. Namun, kehadiran teknologi pertanian dan pupuk kimia telah menyebabkan merosotnya nilai-nilai tradisional berupa gotong royong (guyub) karena banyak pekerjaan pertanian telah diambil alih oleh teknologi pertanian sehingga jasa mereka dinilai dengan uang serta ketergantungan para petani pada pupuk kimia yang disediakan pemerintah. Pada Era Reformasi, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah bersama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Pati berupaya meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakatnya. Upaya tersebut dilakukan melalui kebijakan ekonomi dengan cara menarik para investor untuk menanamkan modalnya di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah. Salah satu investor yang tertarik untuk menanamkan 236 modalnya di Kabupaten Pati adalah PT Semen Gresik. Rencana investasi senilai 3,5 triliun rupiah tersebut, muncul sejak masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Sonny Keraf yang pada masa Pemerintahan Presiden Gus Dur menjadi Menteri Lingkungan Hidup, ternyata kemudian menolak proposal PT. Semen Gresik untuk membangun pabriknya di kawasan Pegunungan Kendeng. Ada dua alasan penolakan dari Menteri Lingkungan Hidup. Pertama, kawasan Pegunungan Kendeng adalah daerah kars kelas satu yang wajib dijaga kelestariannya. Pegunungan Kendeng adalah pegunungan karst (kapur) yang membentang dari barat ke timur dimulai dari wilayah Kabupaten Kudus Provinsi Jawa Tengah sampai dengan Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur. Pegunungan Kendeng memiliki sumber air yang mengairi sekitar 15.873,9 hektare pertanian di sekitarnya. Selain itu, lahan di Pegunungan Kendeng menjadi lapangan pekerjaan bagi ribuan peladang yang menanam berbagai palawija di sela-sela pepohonan jati milik Perhutani (Tempo, 2009). Kedua, Menteri Lingkungan Hidup beranggapan bahwa di daerah Pulau Jawa tidak lagi layak untuk didirikan lokasi pertambangan karena lingkungannya sudah banyak yang rusak (wawancara dengan Gunretno, 12 September 2012). Menurut rencana, pembangunan pabrik semen oleh PT Semen Gresik di Pegunungan Kendeng Kabupaten Pati akan memiliki kapasitas produksi 2,5 juta ton/tahun dan akan memerlukan lahan sekitar 1.560 hektare. Lahan seluas itu nantinya digunakan untuk keperluan penambangan batu kapur terletak di Desa Baturejo, Desa Gadudero, Desa Kedumulyo, Desa Kasiyan, dan Desa Sukolilo. Adapun lokasi pabrik semen terletak di Desa Kedumulo. Secara administratif, 237 lokasi-lokasi yang direncanakan tercakup di dalam empat wilayah kecamatan di Kabupaten Pati, yaitu Kecamatan Sukolilo, Kecamatan Kayen, Kecamatan Tambakromo, dan Kecamatan Gabus. Gambar 6.1 berikut menunjukkan penolakan pendirian pabrik semen Gresik di tugu masuk Desa Sukolilo. Gambar: 6.1 Tugu Masuk Desa Sukolilo Kabupaten Pati (Sumber: http://lists.indymedia.org/, 23 Mei 2012) Gambar 6.1 menunjukkan nada penolakan komunitas Sedulur Sikep terhadap rencana investasi pembangunan pabrik semen oleh PT Semen Gresik di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati. Komunitas Sedulur Sikep beranggapan sebagai berikut. Pertama, rencana pembangunan pabrik semen oleh PT Semen Gresik dianggap akan mengancam sendi-sendi paling pokok dari tata cara kehidupan komunitas Sedulur Sikep yang mengandalkan aktivitas pertanian sebagai fondasi konstruksi identitas kelompoknya. Kedua, rencana itu dianggap menjadi ancaman paling jelas akan kemunculan berbagai kerusakan lingkungan 238 dan hilangnya banyak sumber air yang menjadi sandaran hidup komunitas Sedulur Sikep. Jika hal tersebut terjadi, maka gelombang migrasi warga Kecamatan Sukolilo, khususnya komunitas Sedulur Sikep ke wilayah lain akan terjadi. Migrasi secara langsung akan memperlemah posisi komunitas Sedulur Sikep sebagai kelompok minoritas (wawancara dengan Gunretno, 12 September 2012; Idhom, 2009: 116). Kehadiran PT Semen Gresik telah memicu konflik antara komunitas Sedulur Sikep dengan pemerintah, baik daerah maupun pusat. Hal ini terjadi karena pemerintah telah memberikan persetujuan kepada PT Semen Gresik untuk membangun pabriknya di Pegunungan Kendeng. Perjuangan komunitas Sedulur Sikep di dalam mempertahankan kelestarian lingkungan alam kawasan Pegunungan Kendeng merupakan upaya untuk mendobrak hegemoni pemerintah. Aparat pemerintah, baik pusat maupun daerah, telah menggunakan kekuasaannya untuk menekan komunitas Sedulur Sikep. Di dalam hal ini, pemerintah secara sadar telah memberikan pengelolaan kawasan Pegunungan Kendeng kepada kaum kapitalis. Hubungan antara pemerintah dan kelas pengusaha inilah yang dikhawatirkan menimbulkan praktik monopoli. Praktik monopoli atas sumber daya Pegunungan Kendeng menyebabkan komunitas Sedulur Sikep merasa bahwa apa yang selama ini dimilikinya (pengelolaan kawasan Kendeng) menjadi terampas. Hegemoni menurut Gramsci (Simon, 2004: 37 -- 47), ada suatu blok historis dari fraksi kelas penguasa yang menerapkan otoritas sosial dan kepemimpinan terhadap kelas subordinat dengan cara merebut persetujuan. Hegemoni pemerintah tersebut mengakibatkan posisi komunitas Sedulur Sikep yang berada di subordinat, yaitu 239 kelompok-kelompok di dalam masyarakat yang menjadi subjek hegemoni kelaskelas yang berkuasa. Oleh karena itu, ketika komunitas Sedulur Sikep berada pada posisi yang tertekan, terpinggirkan, maka komunitas Sedulur Sikep berupaya untuk menolak marginalisasi tersebut. Secara politik, hal ini juga menguatkan posisi tawar komunitas Sedulur Sikep karena dapat menunjukkan bahwa ternyata komunitas Sedulur Sikep mempunyai keberanian untuk melawan hegemoni pemerintah. 6.2 Faktor Internal Perjuangan Identitas Komunitas Sedulur Sikep 6.2.1 Aspek Sosial Budaya Aspek sosial budaya berupa rangkaian adat istiadat yang secara tradisional dipegang teguh oleh komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu faktor internal yang menyebabkan komunitas Sedulur Sikep melakukan perjuangan identitasnya. Komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati sangat memegang teguh tradisi nenek moyangnya sehingga berusaha menjaga semua warisan nenek moyangnya. Gambaran ideologi komunitas Sedulur Sikep tercermin dalam prinsip hidupnya. Salah satu tindakan nyata adalah menjaga sumber daya alam. Semangat mempertahankan kepemilikan sumber daya ekonomi berupa lahan pertanian menjadi pemicu semangat perjuangan. Tanah menurut perspektif komunitas Sedulur sikep merupakan sumber produksi dan kekayaan utama, di mana kepemilikannya membawa prestise yang tinggi. Menurut Wilardjo dan Perdana (2001: 1), kepemilikan tanah merupakan salah satu unsur dari status sosial masyarakat desa, di samping jabatan sosial dan keagamaan. 240 Sengketa pengelolaan Pegunungan Kendeng antara komunitas Sedulur Sikep dengan PT Semen Gresik dapat membawa implikasi negatif terhadap tatanan sosial budaya komunitas Sedulur Sikep. Selama ini, seluruh kehidupan ekonomi komunitas Sedulur Sikep di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati masih bertumpu pada sektor pertanian. Sejak lama komunitas Sedulur Sikep bersandar pada sumber mata air dari Pegunungan Kendeng untuk mengaliri sawahnya. Oleh karena itu, komunitas Sedulur Sikep sangat menjaga kelestariannya. Kondisi alam di lingkungan komunitas Sedulur Sikep yang gemah ripah loh jinawi (subur dan makmur) telah dirasakan oleh komunitas Sedulur Sikep sejak dulu. Bagi petani di sekitar Pegunungan Kendeng, memiliki sawah dengan hasil pertanian yang melimpah adalah kekayaan. Ukuran kekayaan tidak seperti orang kota, yang menilai kekayaan dengan kepemilikan barang-barang elektronik, mobil, rumah mewah, dan sebagainya. Oleh karena itu, kelestarian Pegunungan Kendeng selalu dipertahankan oleh komunitas Sedulur Sikep. Komunitas Sedulur Sikep telah mencitrakan dirinya sebagai penjaga tradisi nenek moyang melalui pelestarian alam. Hal ini diberlakukan terhadap Pegunungan Kendeng yang telah menjadi sandaran hidup komunitas Sedulur Sikep. Rencana pendirian pabrik Semen Gresik dianggap membahayakan keberadaan Pegunungan Kendeng. Kerusakan atas Pegunungan Kendeng, sama halnya dengan membunuh komunitas Sedulur Sikep. Usaha untuk melestarikan Pegunungan Kendeng telah dibayar mahal dengan penangkapan sembilan orang komunitas Sedulur Sikep pada 22 Januari 2009 karena dianggap sebagai provokator tolak Pabrik Semen Gresik di Kabupaten Pati. Suasana di lingkungan 241 komunitas Sedulur Sikep Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati sempat mencekam karena banyak aparat kepolisian yang mondar-mandir di wilayah komunitas Sedulur Sikep. Ada sekitar seratus orang brimob datang dan mengambil mobil PT Semen Gresik yang disandera Sedulur Sikep. Proses advokasi menjadi cara yang dilakukan oleh komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati untuk menuntut pembebasan sembilan orang anggota komunitas Sedulur Sikep yang ditangkap aparat dalam demo tolak pabrik Semen Gresik. Proses advokasi menuntut pembebasan anggota komunitas Sedulur Sikep tersebut, sebagai bukti solidaritas komunitas Sedulur Sikep dan bentuk eksistensinya di dalam memperjuangkan identitasnya. Komunitas Sedulur Sikep seharusnya diakui keberadaannya di Indonesia sehingga hak-haknya dapat dilindungi oleh pemerintah dan diakui sejajar dengan kelompok masyarakat lainnya. Di dalam konteks poskolonial, warisan kolonial pada masa lampau tidak selalu harus dihilangkan karena kekejaman yang menimbulkan dendam berkepanjangan. Selama bertahun-tahun, bahkan berabad-abad telah menimbulkan pandangan negatif bahwa komunitas Sedulur Sikep bukanlah kelompok masyarakat yang normal karena kolot (berpegang teguh pada aturannya sendiri) dan tidak mau berkumpul dengan kelompok lain. Namun, hal ini perlu ditempatkan sebagai bagian yang telah membentuk identitas komunitas Sedulur Sikep dewasa ini. Komunitas Sedulur Sikep telah berhasil membangun identitas baru yang sangat fleksibel, baik sebagai tanda pembeda maupun penyama antara diri komunitas Sedulur Sikep dengan komunitas non-Sedulur Sikep. Identitas baru 242 tersebut, tampaknya cukup efektif pada saat ini karena berfungsi sebagai alat aktualisasi diri komunitas Sedulur Sikep secara politis di tengah komunitas lainnya, terutama suku Jawa, di samping sebagai upaya membentengi komunitas Sedulur Sikep dari pengaruh luar yang dapat merusak adat istiadat komunitas Sedulur Sikep. 6.2.2 Keteladanan Pemimpin (Botoh) Di dalam komunitas Sedulur Sikep, selain faktor politik, ekonomi, dan sosial budaya, maka faktor keteladanan pemimpin (botoh) juga menjadi salah satu faktor penting yang mendorong komunitas Sedulur Sikep memperjuangkan identitasnya. Kiprah suatu komunitas tentunya tidak dapat dilepaskan dengan peran botoh Sedulur Sikep. Kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan seseorang memengaruhi orang lain (yang dipimpin atau pengikutnya). Oleh karena itu, sebagai suatu proses sosial, kepemimpinan berfungsi ing ngarso sung tulodho ing madyo bangun karso tutwuri handayani. Menurut Santosa (2006: 46), ada beberapa macam kepemimpinan, yaitu otokrasi (otoriter), demokratis, dan liberal. Pemimpin harus memenuhi syarat berupa ketajaman menghadapi situasi (social perception), kecakapan, dan tidak mudah terpengaruh (emotional stability). Di dalam perspektif sosiologi, kepemimpinan tidak dapat dipisahkan dari struktur sosial yang bersifat vertikal (parameter gradual) yang dikategorikan pemimpin dan massa. Pemimpin selalu mendominasi proses pengambilan keputusan krusial, sedangkan massa adalah kelompok masyarakat yang mengikuti keputusan. Pada masyarakat pedesaan, fenomena kepemimpinan dapat dilihat dalam tiga dimensi, yaitu dimensi 243 legitimasi (posisi pemimpin dalam organisasi sosial), visibilitas (tingkat kepemimpinan), dan pengaruh (dimensi yang melihat bidang yang menjadi ajang kepemimpinannya) (Usman, 2006: 60). Kehadiran pemimpin di dalam suatu komunitas dianggap mewakili aspirasi, memperjuangkan kepentingan kelompok, dan mewujudkan harapan kelompok. Pemimpin harus memiliki kecerdasan dan wawasan yang lebih luas dibandingkan dengan anggota sehingga kehadiran pemimpin dirindukan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi kelompok. Pemimpin dimanfaatkan potensi dan kemampuannya untuk menggerakkan, mengarahkan, dan memengaruhi anggota sebagai upaya mencapai tujuan (Wahyudi, 2008: 117). Oleh karena itu, keberadaan botoh Sedulur Sikep sebagai komando gerakan, menjadi sosok yang diteladani, serta menjadi tempat mendapat jawaban terhadap permasalahan kehidupan komunitasnya. Hal itu sejalan dengan pandangan Gramsci (Simon, 2004: 139) yang menyebutkan bahwa peran pemimpin pada masyarakat sipil sangat penting di dalam transisi menuju sosialisme. Oleh karena itu, intelektual dianggap dapat melahirkan ide atau pandangan persuasif yang akan diikuti oleh orang lain. Di samping itu, peran intelektual dirasakan akan penting ketika menebar ide-ide menuju tataran masyarakat. Sosok botoh Sedulur Sikep sangat dihormati di dalam komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah karena keteladanannya. Di dalam perspektif hukum adat, peran pemimpin adat adalah sebagai bapak, hakim, dan pemimpin. Peran bapak diharapkan menyelesaikan permasalahan, petunjuk, nasihat jika ada permasalahan. Adapun peran hakim mengadili jika terjadi 244 pelanggaran norma adat secara adil. Selanjutnya, di dalam peran sebagai pemimpin mengupayakan jalan damai jika ada konflik dengan komunitas lain (Ardinarto, 2008: 61). Ketiga peran dipraktikkan oleh botoh komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati. Botoh komunitas Sedulur Sikep dianggap sebagai orang yang bijaksana dan adil. Mereka umumnya beranggapan bahwa segala masalah yang dihadapi oleh setiap anggota komunitas Sedulur Sikep dapat diselesaikan oleh botoh mereka. Sebagai sosok yang karismatik, tugas botoh komunitas Sedulur Sikep adalah melindungi seluruh anggota komunitas Sedulur Sikep agar hidup sesuai dengan adat istiadat yang berlaku. Aturan-aturan yang diterapkan oleh botoh komunitas Sedulur Sikep, antara lain terus-menerus mengingatkan untuk selalu memberikan pewarisan kebudayaan internal (pembelajaran norma budaya Sedulur Sikep), khususnya kepada para generasi muda komunitas Sedulur Sikep, hidup di dalam satu lingkungan, dan menikahkan generasinya dengan sesama pengikut ajaran Sikep. Aturan-aturan yang diterapkan oleh botoh komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati selalu dipatuh oleh seluruh anggota komunitas Sedulur Sikep. Mereka beranggapan bahwa semua aturan yang berlaku sudah berlangsung sejak turun-temurun dan harus dilaksanakan oleh semua anggota komunitas Sedulur Sikep agar dapat menghadapi perubahan zaman dan penghormatan terhadap leluhur. Sosok botoh akan menjadi panutan bagi komunitas Sedulur Sikep. Ia juga dianggap sebagai orang tua dan guru bagi komunitasnya. Oleh karena itu, botoh berkedudukan sebagai guru kehidupan yang dicontoh lewat perkataan dan 245 perbuatannya. Segala sesuatu permasalahan yang dihadapi oleh komunitas Sedulur Sikep akan disampaikan kepada botoh untuk meminta pertimbangan saran. Pada tiap bulan sekali, botoh komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati mengumpulkan para orang tua di lingkungan komunitas Sedulur Sikep untuk membahas permasalahan di komunitas mereka. Adapun tempat pertemuan dilakukan secara bergiliran di rumah anggota. Pada kesempatan tersebut, botoh Sedulur Sikep selalu mengingatkan agar para orang tua mentradisikan anak keturunannya sejak dini dengan materi kepribadian dan ajaran kebajikan yang universal, terkait dengan etika hidup yang harus dijalani oleh komunitas Sedulur Sikep atau nguri-uri prinsip leluhur lan ngregengake kerukunan (melestarikan ajaran nenek moyang dan merukunkan persaudaraan). Acara tersebut tidak selalu terlaksana karena aktivitas rutin sebagai petani, terutama musim tanam dan panen. Hal tersebut merupakan bentuk hegemoni yang diterima dengan persetujuan oleh komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah. Kekuatan hegemoni botoh Sedulur Sikep mengkristal di dalam setiap benak komunitas Sedulur Sikep sehingga mendorong komunitas Sedulur Sikep selalu menunjukkan identitasnya berlandaskan nilai-nilai sosial budaya yang berbeda dengan komunitas lainnya (suku Jawa) yang selama ini menggagap kedudukan komunitas Sedulur Sikep lebih rendah dibandingkan suku Jawa. Komunitas Sedulur Sikep di dalam merespons kebijakan pemerintah masa kini dimotori oleh pemimpinnya yang responsif dan akomodatif. Sebagaimana doktrin yang ditanamkan salah satu nenek moyangnya, yaitu 246 Surokidin pada generasinya ketika di Gunung Gede, Hutan Cemoro Sewu, Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah dengan pernyataan bahwa Belanda akan diusir oleh Jepang. Bahkan, prediksi leluhur komunitas Sedulur Sikep sebelum kemerdekaan yang terbukti sekarang ini, yakni mbesok negoro iku negarane rakyat, dadi putusan neng rakyat, tukul deso otonom. Pernyataan tersebut mengingatkan kepada generasinya bahwa setelah penjajahan Belanda, wilayah pribumi akan dijajah Jepang, yang selanjutnya dipimpin putra negeri (Soekarno). Gerakan yang dilakukannya adalah mbanyu suket nggeni brambut, mapah gedang, yakni gerakan samar (non-konfrontatif, menyokong kepemimpinan anak negeri sehingga perlu taat terhadap Pemerintah Republik Indonesia (Rosyid, 2012: 222 -- 224). Konteks masa kini, sebagian komunitas Sedulur Sikep melawan segala aktivitas sebagaimana aktivitas yang dilakukan semasa penjajahan Belanda dalam hal instruksi dan perilaku pada masa kini, kaitannya dengan kebijakan pemerintahan, seperti sekolah formal, perkawinan, kepemilikan kartu tanda penduduk (KTP) meskipun ketaatan dalam hal instruksi ini sangat didominasi oleh diri komunitas Sedulur Sikep. Maksudnya, ada kalanya anggota komunitas Sedulur Sikep tidak melaksanakan seluruh bentuk instruksi tersebut. Namun, ada pula yang sebagian dilaksanakan dan sebagian lainnya tidak dilaksanakan. Adapun dalam hal berperilaku sebagaimana ketaatan atau ketidaktaatannya dalam melaksanakan instruksi. 247 Sosok botoh Sedulur Sikep harus cerdas dalam mengatasi berbagai persoalan. Dewasa ini, sosok botoh Sedulur Sikep dianggap sebagai tokoh yang peduli pada lingkungan dan hak asasi manusia. Ia telah berhasil mengajak komunitas Sedulur Sikep, bahkan di luar komunitasnya untuk peduli terhadap kelestarian sumber daya alam. Kedudukan botoh komunitas Sedulur Sikep sebagai ketua di dalam wadah alinasi petani, seperti Serikat Petani Pati (SPP) dan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) dalam usaha menolak rencana pembangunan pabrik semen di kawasan Pegunungan Kendeng menjadi bukti nyata peran penting botoh Sedulur Sikep dalam kelestarian lingkungan. Hal ini sebagai bentuk penghargaan yang diterima botoh Sedulur Sikep atas apa yang dilakukannya. Upaya pelestarian lingkungan bagi komunitas Sedulur Sikep menjadi bagian penting di dalam kehidupannya karena itu merupakan bentuk tunduk dan patuh pada salah satu ajaran nenek moyang. Peran botoh Sedulur Sikep menjadi kunci keberhasilan memaksa komunitas Sedulur Sikep untuk memperjuangkan identitasnya sehingga setiap anggota komunitas Sedulur Sikep merasa bangga mewarisi tradisi nenek moyangnya dan bersedia menaati semua ajaran nenek moyang untuk kelangsungan hidup komunitas Sedulur Sikep. Kiat dan strategi yang dilakukan oleh botoh komunitas Sedulur Sikep dalam mempertahankan tradisi dengan selalu mempertahankan dan memperjuangkan identitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah menjadi teladan di kalangan komunitas Sedulur Sikep.