BAB VI FAKTOR PENDORONG PERJUANGAN

advertisement
BAB VI
FAKTOR PENDORONG PERJUANGAN IDENTITAS
KOMUNITAS SEDULUR SIKEP DI KABUPATEN PATI
Konstruksi perjuangan identitas komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten
Pati tidak terjadi begitu saja. Identitas yang dimiliki komunitas Sedulur Sikep
telah disadari menyebabkan komunitas Sedulur Sikep termarginalisasikan. Posisi
komunitas Sedulur Sikep yang diletakkan lebih rendah daripada kelompok
masyarakat lainnya, dapat dilihat pada praktik keseharian komunitas Sedulur
Sikep. Oleh karena itu, komunitas Sedulur Sikep memperjuangkan identitasnya
sebagai upaya untuk membela dirinya sebagai reaksi atas apa yang dialaminya.
Bab ini merupakan analisis lanjutan untuk menjawab keingintahuan
faktor-faktor apakah yang mendorong komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati
Provinsi Jawa Tengah memperjuangkan identitasnya. Dari hasil analisis
perjuangan identitas komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa
Tengah, diketahui terdapat faktor eksternal dan internal yang mendorong
komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati melakukan perjuangan identitasnya.
Faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar komunitas Sedulur Sikep yang
mendorong komunitas Sedulur Sikep memperjuangkan identitasnya, terdiri atas
kebijakan politik dan kebijakan ekonomi. Adapun faktor internal, yaitu faktor
pendorong yang berasal dari dalam komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati
dalam memperjuangkan identitasnya. Faktor internal tersebut terdiri atas aspek
sosial budaya dan aspek keteladanan pemimpin (botoh). Secara keseluruhan kedua
210
211
faktor tersebut dianalisis dengan teori hegemoni yang didukung dengan teori
eklektik lainnya.
6.1 Faktor Eksternal Perjuangan Identitas Komunitas Sedulur Sikep
6.1.1 Kebijakan Politik
Pada 4 Oktober 1965, rakyat Indonesia dikejutkan oleh serangkaian
berita Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta tentang pergolakan pada tingkat
tertinggi pemerintahan di ibu kota Jakarta. Pada tanggal tersebut diketahuilah
untuk pertama kalinya kejelasan mengenai ”Gerakan 30 September” yang
dikaitkan dengan organisasi politik bernama Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pengungkapan peranan PKI dalam sidang Mahkamah Militer Luar Biasa
(Mahmillub) telah menimbulkan reaksi yang hebat di dalam masyarakat
Indonesia,
yang
berujung
dengan
ditetapkannya
Ketetapan
Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara, Nomor TAP-XXV/MPRS/1966, 5 Juli 1966,
tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia; pernyataan sebagai organisasi
terlarang di seluruh wilayah Negera Republik Indonesia bagi Partai Komunis
Indonesia; dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan
paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme (Anonim, 1994: 3).
Pascatragedi Gerakan 30 September 1965, semua aktivitas yang
mewarisi gerakan yang dilakukan oleh PKI dilarang oleh Pemerintahan Orde
Baru. Pada masa inilah semua anggota dan simpatisan PKI ditangkap, dipenjara,
bahkan dibunuh tanpa berita oleh militer dan masyarakat antikomunis. Dekade
Orde Baru dimulai pascapelantikan Soeharto oleh Majelis Permusyaratan Rakyat
Sementara (MPRS) pada tahun 1968. Masa Orde Baru merupakan karakteristik
212
kepemimpinan Soeharto yang memiliki misi pembangunan dan keseragaman.
Perpolitikan membelenggu rakyat untuk tetap patuh kepada penguasa dan
peraturan. Perlakuan diskriminasi yang cukup traumatik terjadi pada peristiwa
Gerakan 30 September 1965 dialami oleh PKI dan pengikutnya (Cholil, 2008:
xii). Belenggu kebebasan budaya dan agama lokal yang dilakukan oleh komunitas
Sedulur Sikep, tidak luput dari tantangan dan rongrongan perpolitikan dalam
perkembangannya.
Komunitas Sedulur Sikep mendapat perlakuan oleh penguasa dan
komunitas non-Sedulur Sikep dalam bentuk stereotipe negatif, seperti tidak
beragama, kumpul kebo, dan pembangkang pada umumnya mendapat cap sebagai
PKI melakukan peralihan keagamaan. Tuduhan yang ditujukan kepada komunitas
Sedulur Sikep di Kabupaten Pati oleh komunitas non-Sedulur Sikep bahwa
komunitas Sedulur Sikep berhaluan komunis, diawali adanya hubungan erat antara
Ki Engkrek (leluhur komunitas Sedulur Sikep di Dukuh Karangpace, Desa
Klopoduwur, Banjarejo Kabupaten Blora) dengan Presiden Sukarno. Hubungan
tersebut diwujudkan ketika Ki Engkrek memiliki dua cincin yang berwarna
merah-putih. Cincin tersebut diduga oleh komunitas Sedulur Sikep mengilhami
Presiden Sukarno menentukan warna bendera kebangsaan. Situasi ini juga
dibuktikan dengan menghadiri acara orasi terbuka Presiden Soekarno tahun 1945an di alun-alun Kabupaten Pati. Presiden Sukarno mengajak masyarakat dan
komunitas Sedulur Sikep untuk pantang menyerah melawan penjajah. Ajakan
tersebut diterima tokoh Sedulur Sikep dan dipublikasikan pada komunitas nonSedulur Sikep di Kabupaten Pati yang ’direkam’ oleh publik. Imbas kehadiran
213
tersebut komunitas Sedulur Sikep dianggap oleh publik sebagai komunitas
berhaluan nasionalis-komunis (Rosyid, 2012: 219).
Bagi masyarakat di Kabupaten Pati bagian selatan, yang semula
dituduh sebagai PKI terpaksa memilih Islam sebagai agama mereka. Islamisasi
atau dakwah oleh para kiai dan ustadz berlangsung ramai. Kebanyakan penyebar
Islamisasi ini dari wilayah Pati bagian utara atau setidak-tidaknya alumni dari
salah satu pondok pesantren dari Pati bagian utara. Di dalam melakukan
dakwahnya, mereka ini merasa mendapatkan amanah menyampaikan “misi suci”
untuk menebar pesan-pesan Tuhan. Orang-orang PKI kini perlu disadarkan dan
diarahkan menuju jalan “keagamaan”. Sebaliknya, kelompok-kelompok yang “diPKI-kan” lebih memilih jalan “damai”.
Stereotipe negatif yang diberikan oleh komunitas non-Sedulur Sikep
berupa anggapan sebagai pengikut PKI kepada komunitas Sedulur Sikep di
Kabupaten Pati, ternyata tidak diikuti oleh penangkapan, bahkan pembunuhan
terhadap komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati. Hal ini dibenarkan oleh
informan Sedulur Sikep berikut ini.
“Ketika ada peristiwa 30 September 1965, kami di Sukolilo sempat ada
kekhawatiran terjadi pembunuhan. Namun, Sedulur Sikep berusaha
tenang dan bekerja ke sawah, melakukan aktivitas sehari-hari seperti
biasanya. Masalah pandangan komunitas non-Sedulur Sikep yang
stereotipe itu biasa, dan kami Sedulur Sikep sudah terbiasa mendapat
perlakuan itu. Untungnya, di sini (tempat Sedulur Sikep, pen.) mereka
tidak menangkap dan membunuh kami, seperti berita-berita di luar
tentang pembunuhan anggota PKI (wawancara dengan Juri, 13
September 2012).
214
Penuturan informan Sedulur Sikep di atas memperlihatkan bahwa
akibat peristiwa 30 September 1965, suasana di lingkungan Sedulur Sikep tetap
aman. Meskipun wilayah Kecamatan Sukolilo termasuk basis PKI, peristiwa
penangkapan dan pembunuhan anggota PKI tidak terjadi di wilayah komunitas
Sedulur Sikep. Pengakuan informan Sedulur Sikep tersebut dibenarkan oleh
Purwadi, salah seorang informan dari komunitas non-Sedulur Sikep, sebagai
berikut.
“Pada saat peristiwa Gerakan 30 September 1965 memang tidak terjadi
pembunuhan terhadap komunitas Sedulur Sikep. Walaupun pada
umumnya komunitas non-Sedulur Sikep mengganggap bahwa
komunitas Sedulur Sikep sebagai simpatisan PKI atas dasar
ketidakberagamaan mereka, tetapi penangkapan dan pembunuhan
terhadap komunitas Sedulur Sikep tidak dilakukan karena komunitas
Sedulur Sikep selama ini mempunyai sikap yang baik, yaitu polos dan
jujur” (wawancara, 18 September 2012).
Dari penuturan Purwadi, dapat diketahui bahwa sikap polos, lugu, dan
jujur yang dimiliki oleh komunitas Sedulur Sikep menjadi alasan utama bagi
massa anti PKI untuk tidak melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap
komunitas Sedulur Sikep. Upaya komunitas Sedulur Sikep agar terhindar dari
stigma PKI dilakukan dengan cara memeluk salah satu agama resmi, yaitu agama
Budha. Secara massal, pada tahun 1985 Pemerintah Pusat melalui Pemerintah
Daerah Kabupaten Pati memaksa komunitas Sedulur Sikep untuk memeluk agama
Budha dengan cara mendatangkan Biksu untuk memberikan pelajaran tentang
keberagamaan. Pemerintah Kabupaten Pati mengganggap ada kemiripan antara
agama yang dipeluk oleh komunitas Sedulur Sikep dengan agama Budha.
Pemilihan agama Budha menjadi agama sah dari komunitas Sedulur Sikep di
Kabupaten Pati sesungguhnya merupakan bentuk pemaksaan dari Pemerintah
215
Orde Baru. Di samping itu, Pemerintah Kabupaten Pati juga mengharuskan
komunitas Sedulur Sikep untuk mengurus surat-surat kependudukan berupa kartu
tanda penduduk (KTP), mencatatkan perkawinan mereka. Pemerintah Kabupaten
Pati melalui Pemerintah Kecamatan Sukolilo tidak mempertimbangkan keberatan
komunitas Sedulur Sikep. Kebijakan Politik Orde Baru saat itu, oleh komunitas
Sedulur Sikep dipenuhi hanya sekadar upaya untuk menghindari konflik. Mereka
terpaksa melaksanakan program pemerintah, sepanjang tidak melanggar normanorma yang berlaku dalam kehidupan komunitas Sedulur Sikep, sebagaimana
penuturan informan Sedulur Sikep berikut ini.
”Pada masa Orde Baru, banyak kebijakan politik yang dipaksakan
kepada komunitas Sedulur Sikep, misalnya harus memeluk agama
negara, membuat KTP, dan sebagainya. Sepanjang itu tidak
bertentangan dengan ajaran Sikep ya tidak apa-apa. Misalnya, saat
disuruh masuk agama Budha, kami menerimanya, yang penting tidak
melaksanakan ajaran tersebut” (wawancara dengan Juri, 13 September
2012).
Penuturan informan Sedulur Sikep di atas menunjukkan bahwa
kebijakan pemerintah Orde Baru sangat merugikan kehidupan komunitas Sedulur
Sikep. Agama yang dianut oleh komunitas Sedulur Sikep dan telah lebih dulu ada,
yaitu agama Adam, dipaksa digerus oleh munculnya agama-agama resmi negara.
Realitas ini memunculkan sikap diskriminatif pemerintah terhadap budaya dan
agama komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati. Masa Orde Baru dengan
sistem kekuasaannya tidak pernah memihak komunitas Sedulur Sikep yang
mempunyai budaya Sikep dan kepercayaan Adam. Secara politik, perkembangan
agama Adam dikontrol oleh pemerintah untuk mengantisipasi berakarnya kembali
komunis. Oleh karena itu, pengembangan agama Adam yang dianut komunitas
216
Sedulur Sikep bersifat sembunyi-sembunyi (tertutup). Sebagaimana pendapat
Kartodirdjo (1977: 44) bahwa perlawanan yang dilakukan oleh Sedulur Sikep
berbentuk pasif. Gerakan perlawanan Sedulur Sikep ini menjadi unik karena
berbeda dengan gerakan sosial petani di Indonesia yang umumnya bersifat radikal.
Pada masa Orde Baru telah ditetapkan lima agama resmi yang wajib
dipilih untuk menunjukkan sikap anti komunis. Kebijakan politik tersebut
kemudian mewajibkan setiap warga negara memiliki KTP dan mengisi kolom
agama pada form yang ada di dalam KTP. Hal ini menjadi tantangan tersendiri
bagi komunitas Sedulur Sikep karena agama Adam yang dipercaya oleh
komunitas Sedulur Sikep belum diakui sebagai agama resmi negara. Di dalam
konteks tersebut, Dwipayana (2005: 92) berpendapat bahwa cara berpikir Orde
Baru bersifat monolitik, serba tunggal, dan serba diatur.
Pada tahun 1998, Presiden Soeharto dilengserkan dan menandai
runtuhnya rezim Orde Baru. Hal ini menjadi titik tonggak Orde Reformasi yang
memberikan ruang kepada rakyat untuk kebebasan menyampaikan pendapatnya.
Salah satu wujud dari kebebasan tersebut adalah dikeluarkannya Undang-Undang
Nomor 22, Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai wujud politik yang
secara teoretis membentuk otonomi daerah. Otonomi terbatas pada provinsi dan
otonomi luas pada daerah kota atau kabupaten sehingga konsekuensinya
kewenangan pusat menjadi terbatas. Era Reformasi ingin membangun Indonesia
Baru yang memungkinkan keterlibatan rakyat di dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Oleh karena itu, landasan utama masyarakat majemuk adalah
217
multikultural dengan mengakui perbedaan dalam kesederajatan, baik secara
individu, kelompok, maupun kebudayaan (Cholil, 2008: 141).
Salah satu geliat politik di Indonesia pasca-Orde Baru adalah
bergulirnya isu kedaerahan yang diformulasikan ke berbagai ragam tuntutan.
Politik daerah ini menandai fase arus balik ketika politik sentralisme diruntuhkan.
Desentralisasi tidak sekadar suatu tuntutan elite-elite politik daerah yang menuntut
alokasi anggaran dan kebebasan politik di dalam mengelola suatu wilayah
teritorial, tetapi juga menjadi perangkat lunak baru untuk menyuarakan
emansipasi komunitas marginal, kelompok tersisih, dan kelompok-kelompok yang
sebelumnya tidak beruntung karena tidak pernah mendapat akses terhadap alokasi
sumber-sumber ekonomi dan wewenang politik (Idhom, 2009: 189). Tidak
mengherankan kata yang mulai lazim banyak didiskusikan kalangan pemerhati
persoalan kedaerahan adalah lokal atau lokalitas. Setidaknya di lingkungan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), reproduksi istilah kebudayaan lokal,
indigenous people, masyarakat adat, menjadi isu yang terus-menerus digemakan
(Saptaningrum, 2007: 239).
Makna lokalitas tidak selalu identik dengan batas teritorial daerah,
sebagaimana yang terdapat di dalam peta-peta resmi yang ada. Lokalitas
disuarakan demi membela eksistensi budaya bersama komunitas tertentu. Di
tengah perubahan zaman yang terus bergerak, budaya bersama ini menjadi tali
pengikat atau sumber penghubung dari apa yang pernah diibaratkan Bennedict
Anderson (dalam Dwipayana, 2007: 9) sebagai imagined communities
(komunitas-komunitas terbayang). Meskipun lukisan Ben lebih cenderung
218
ditujukan kepada komunitas bangsa nasional, semangat sebagai ”komunitaskomunitas terbayang” itu tampaknya mulai merambah beberapa komunitas yang
memiliki sumber-sumber nilai spesifik yang berbeda dengan komunitas lain.
Seolah-olah mereka memiliki budaya bersama, yang di dalamnya terbentang asal
usul, keyakinan, ritual, sistem kekerabatan, dan perjalanan historis sebagai suatu
komunitas. Pembayangan seperti ini, mendorong suatu perjuangan demi
pengakuan perbedaan-perbedaan itu yang melahirkan berbagai politik identitas
dari beragam komunitas lokal di Indonesia, bahkan sejak masa kolonial menjadi
objek kolonisasi budaya dan tersisih secara sosial dan politik (Nurkhoiron, 2007:
20).
Pada tahun 1999, untuk pertama kalinya digelar kongres masyarakat
adat se-Indonesia di Hotel Indonesia, Jakarta. Hal ini menjadi momentum awal
pergerakan masyarakat adat dalam skala nasional untuk menuntut pengembalian
hak-hak adat dalam segala aspek kehidupan mereka. Kongres tersebut dihadiri
ratusan kelompok masyarakat adat yang umumnya merasa dimarginalisasikan
oleh pemerintah sehingga tidak dapat hidup secara layak, baik secara politik,
ekonomi, maupun sosial budaya. Salah satu kasus yang paling menonjol adalah
ketika kelompok adat dibatasi akses penguasaan terhadap pengelolaan sumber
daya alam yang secara nyata berada di sekitarnya. Pemerintah mewakili negara
mengeluarkan aturan bahwa semua sumber daya alam adalah milik negara. Aturan
tersebut sesungguhnya merupakan warisan kolonial karena seluruh perangkat
hukum yang diperlukan untuk mengklaim sumber daya alam adalah produk
hukum kolonial.
219
Era Reformasi harusnya menjadi kebebasan di dalam segala bidang
kehidupan masyarakat, termasuk di bidang politik. Namun, kebijakan politik
pemerintah tidak menunjukkan perubahan sesuai dengan amanah reformasi.
Penetrasi pemerintah terhadap komunitas Sedulur Sikep dilakukan lewat
pelaksanaan program pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT). Demi
alasan untuk menyejahterakan masyarakat terpencil dan tertinggal, pemberdayaan
KAT mendapat payung hukum berdasarkan Keputusan Presiden No. 111/1999.
Adapun target yang diinginkan adalah Provinsi Jawa Tengah akan terbebas dari
KAT pada akhir 2009. Di Provinsi Jawa Tengah, pemerintah mengidentifikasi ada
lima KAT. Komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati merupakan satu-satunya
KAT di Jawa Tengah yang dinilai tertinggal karena adat istiadatnya. Di dalam
praktiknya, program pemberdayaan KAT bagi komunitas Sedulur Sikep di
Kabupaten Pati menemukan ambivalensinya dari segi konsepnya sendiri.
Pandangan hidup komunitas Sedulur Sikep yang menolak bersekolah dan
pemberian dari orang lain, berbenturan dengan praktik pemberdayaan KAT yang
mendorong komunitas Sedulur Sikep untuk sekolah dan menerima berbagai
program bantuan pembangunan. Oleh karena itu, program pemberdayaan KAT
justru mempertajam gejala marginalisasi yang selama ini muncul dalam
pertemuan antara pemerintah dengan komunitas Sedulur Sikep. Program tersebut
justru terkesan mendorong komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati untuk
melepaskan keterikatan mereka dengan budaya dan pandangan hidup yang
mendasari eksistensi Sedulur Sikep (Idhom, 2009: 115 -- 116).
220
Salah satu cara untuk memperjuangkan hak masyarakat adat adalah
mengampanyekan pengakuan atas identitas masing-masing yang kemudian
dipublikasikan secara luas. Kasus yang cukup menghebohkan dan dikemas dalam
wacana politik identitas secara menarik sehingga secara khusus menjadi agenda
pembicaraan khusus, baik pada tingkat nasional maupun internasional adalah
penolakan suku-suku di Provinsi Papua terhadap eksploitasi tambang oleh
perusahaan asing di Provinsi Papua. Realitas ini menjadi jalan bagi wakil-wakil
kelompok masyarakat adat untuk melakukan cara yang sama untuk mendapatkan
simpati dan pengakuan identitas. Salah satu di antaranya komunitas Kajang di
Bulukumba Sulawesi Selatan yang mengalami konflik terhadap pengelolaan
sumber daya alam selama bertahun-tahun dengan salah satu perusahaan
perkebunan swasta nasional (Indriani, 2009: 246 -- 247).
Perjuangan masyarakat adat untuk mendapatkan pengakuan identitas
dan mempertahankan sebagian tanah adat yang dikuasai pemerintah tersebut juga
dilakukan oleh komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah.
Berbeda dengan komunitas adat lainnya di Indonesia yang mempertahankan
sebagian tanah adatnya, komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati tidak
mempunyai kawasan adat yang dikuasai pemerintah, tetapi melakukan perlawanan
dengan perusahaan semen nasional yang akan membuka pabriknya di kawasan
Pegunungan Kendeng Kabupaten Pati pada tahun 2006.
221
Perubahan peta politik nasional membuka celah kebebasan untuk
mengeluarkan pendapat mendorong gerakan-gerakan untuk menuntut hak-hak
komunitas Sedulur Sikep menjadi lebih terbuka dan sistematis. Sejak runtuhnya
Orde Baru, ada keterbukaan di dalam berkomunikasi dengan masyarakat di luar
komunitas non-Sedulur Sikep. Ada semacam rasa memiliki bersama, baik
komunitas Sedulur Sikep maupun non-Sedulur Sikep, untuk memperjuangkan
hak-hak atas pengelolaan Pegunungan Kendeng. Runtuhnya Orde Baru telah
membuka jalan bagi kebebasan perjuangan komunitas Sedulur Sikep yang
menuntut hak atas pengelolaan sumber daya alam sebagai bagian gerakan
perjuangan identitasnya. Selama ini, komunitas Sedulur Sikep memeroleh
pencitraan yang kuat dari masyarakat sekitar bahwa mereka sangat serius menjaga
kelestarian lingkungan alam. Hal ini bisa dipahami karena sumber pencaharian
komunitas Sedulur Sikep adalah petani yang sangat tergantung pada potensi
sumber daya alam yang dimiliki.
Sesuai dengan amanat UUD 1945, komunitas Sedulur Sikep di
Kabupaten Pati menyerukan agar pemerintah berlaku adil dan bijaksana.
Walaupun pengelolaan seluruh sumber daya alam di Indonesia berada di dalam
kendali negara, tetapi harus digunakan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan
masyarakat. Perjuangan yang dilakukan oleh komunitas Sedulur Sikep merupakan
upaya mendobrak hegemoni. Hal yang menarik adalah terjadinya koalisi antara
komunitas Sedulur Sikep dan komunitas non-Sedulur Sikep, khususnya petani,
seperti penuturan informan Sedulur Sikep, berikut ini.
222
”Perjuangan mempertahankan Pegunungan Kendeng awalnya hanya
dilakukan oleh Sedulur Sikep saat melawan rencana pembangunan
Semen Gresik di Kecamatan Sukolilo, tetapi ketika PT Indocement
mencoba membangun pabriknya di Kecamatan Tambakromo, sedulur
(komunitas non-Sedulur Sikep) Tambakromo meminta bantuan
Sedulur Sikep untuk bersama-sama menentang rencana pembangunan
pabrik tersebut. Kita semua sadar bahwa Gunung Kendeng itu milik
semua yang mau melestarikannya karena kehidupan petani Kabupaten
Pati sangat bergantung pada Gunung Kendeng tersebut” (wawancara
dengan Tarjo, 12 Agustus 2012).
Dari penuturan informan di atas, dapat diketahui bahwa upaya
komunitas Sedulur Sikep untuk mempertahankan kelestarian alam Pegunungan
Kendeng mendapat simpati dan dukungan dari komunitas non-Sedulur Sikep.
Gerakan perlawanan yang dilakukan oleh komunitas Sedulur Sikep merupakan
upaya untuk mendobrak hegemoni. Upaya tersebut mendapat simpati dari
komunitas non-Sedulur Sikep. Hal ini sejalan dengan pandangan Gramsci (Simon,
2004: 36) yang memaparkan bahwa di dalam merebut hegemoni, sebuah kelas
penguasa harus memperluas hubungan dengan kelas lain sehingga memeroleh
dukungan yang signifikan. Perluasan hubungan dengan kelas lain tersebut,
ditujukan untuk mengembangkan kesadaran politik, yaitu kesadaran yang
dibangun untuk menyatukan kepentingan berbagai kelompok. Ide ini dijalankan
oleh komunitas Sedulur Sikep dan aliansi petani yang berjuang untuk memeroleh
hak pengelolaan Pegunungan Kendeng.
6.1.2 Kebijakan Ekonomi
Indonesia adalah negara agraris. Hal ini dibuktikan dengan keadaan
sumber daya alam yang subur dengan mayoritas penduduknya bertani. Di dalam
konteks keagrarisan tersebut, tanah merupakan sesuatu yang sangat bernilai tinggi,
223
tidak hanya dalam konteks ekonomi, tetapi juga dalam bidang yang lain,
sebagaimana ungkapan budaya Jawa bahwa sadumuk bathuk sanyari bumi, ditohi
pecahing dodo wutahing ludiro, mengisyaratkan tanah sekecil apa pun tetap
bernilai dan akan dipertahankan sebagai sebuah kepemilikan yang luhur. Ditinjau
dari aspek sosiologis, tanah juga dapat mencerminkan status sosial di dalam
masyarakat, di mana seseorang yang memiliki tanah luas (tuan tanah) mendapat
kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang hanya memiliki tanah
sempit, bahkan tidak memiliki sama sekali (buruh tani).
Komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati, di dalam kehidupan
sehari-hari bertumpu pada sektor pertanian. Pertanian dan lahan pertanian bagi
komunitas Sedulur Sikep adalah fondasi kehidupannya. Hal ini tercermin dalam
filosofinya bahwa opo wae demununge dadi tani, macul, minongko sumber
kauripane wong urip yoiku pari (apa pun profesinya tetap jadi petani,
mencangkul, sebagai sumber kehidupan orang hidup berupa padi). Oleh karena
itu, pertanian dan lahan pertanian adalah persolan hidup dan mati bagi komunitas
Sedulur Sikep. Hal ini sejalan dengan pernyataan Bung Karno di dalam pidatonya
saat peletakan batu pertama pada Gedung Fakultas Pertanian Institut Pertanian
Bogor, 27 April 1952, yang menyatakan bahwa tanah adalah milik petani. Hak
milik tanah tersebut, berfungsi sosial, negara, dan kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki kekuasaan lebih tinggi daripada hak perseorangan (Media
Indonesia, 27 April 2012: 11). Pada bagian ini diulas kebijakan ekonomi
pemerintah pada masa kolonial Belanda dan masa Pemerintahan Republik
Indonesia. Kebijakan ekonomi yang diterapkan, baik oleh pemerintah kolonial
224
maupun pemerintah Republik Indonesia, telah menimbulkan aksi-aksi perjuangan
identitas komunitas Sedulur Sikep.
Selama abad ke-19 dan awal abad ke-20 di Indonesia terus-menerus
timbul pemberontakan, kerusuhan, kegaduhan, berandalan, dan sebagainya, yang
semuanya cukup mengguncangkan masyarakat dan pemerintah kolonial.
Peristiwa-peristiwa tersebut banyak terjadi di daerah pedesaan. Boleh dikatakan
bahwa hampir setiap tahun di salah satu daerah pedesaaan terjadi pergolakan dan
kerusuhan, yang sering diwujudkan sebagai tindakan-tindakan yang bersifat
agresif dan radikal. Gerakan perlawanan tersebut merupakan kekuatan sosial yang
besar untuk daerah pedesaan. Munculnya gerakan itu dapat dianggap sebagai
suatu ledakan dari ketegangan-ketegangan, permusuhan, atau pertentangan yang
terdapat di dalam masyarakat pedesaan. Sebagai aktivitas kolektif, gerakan sosial
yang didukung petani bertujuan untuk mewujudkan ataupun sebaliknya menolak
suatu perubahan dari susunan masyarakat. Di dalam usaha untuk melaksanakan
tujuan itu, sering kali ditempuh dengan jalan radikal dan revolusioner
(Poesponegoro, 1990: 79).
Di antara pergolakan sosial pedesaan di Jawa, maka gerakan yang
dipimpin Ki Samin Surosentiko (sehingga kemudian dikenal dengan gerakan
Samin) dapat dianggap sebagai gerakan sosial tradisional yang pasif (Kartodirdjo,
1977: 44). Gerakan Samin ini dapat dikatakan unik dalam sejarah Jawa karena
ada beberapa aspek dari sikap pengikut Samin yang berbeda dari gerakan-gerakan
petani lainnya di Indonesia, antara lain tanpa kekerasan, rajin, jujur, berhasil
225
sebagai petani, serta menghargai sesamanya sederajat, termasuk kaum wanita
(Poesponegoro, 1990: 323).
Para sarjana dan peneliti pada masa kini pun tertarik pada gejala
masyarakat pedesaan pada akhir abad ke-19 ini. Dari hasil penelitian dan analisis
mereka, pada umumnya, mereka berpendapat bahwa munculnya gerakan Samin
disebabkan oleh faktor sosial ekonomi, yaitu sebagai berikut. Pertama, kebijakankebijakan Pemerintah Kolonial Belanda yang menjadikan hutan sebagai
perusahaan negara (houtvesterijen) menyebabkan komunitas Sedulur Sikep di
sekitar hutan tidak lagi memiliki akses untuk memanfaatkan hutan sebagai sumber
kehidupannya. Segala bentuk kegiatan ekonomi masyarakat yang berkaitan
dengan hutan dilarang dan diawasi oleh para polisi hutan dengan cara intensif
berpatroli. Pemerintah Kolonial Belanda mengatur hak atas lahan dan kehutanan,
melalui aparat kehutanan, mereka memberikan sanksi hukum bagi siapa saja yang
memanfaatkan hutan tanpa seizin Pemerintah Kolonial Belanda. Para polisi hutan
Pemerintahan Kolonial Belanda, secara sepihak membuat ketentuan-ketentuan
yang mengatur di mana batas lahan masyarakat harus berakhir dan di mana
sebuah kawasan hutan akan berawal. Mereka melakukan ploting, menandainya,
dan menggambarkannya dalam bentuk peta-peta yang makna dan tujuannya hanya
diketahui oleh kalangan elite pemerintah kolonial (Santoso, 2004: 79; Widodo,
1997: 268). Kedua, memasuki abad ke-20, Pemerintah Kolonial Belanda mulai
memperkenalkan sistem perekonomian modern yang menggunakan mata uang
sebagai alat tukar ke seluruh pedesaan Jawa, tanpa ada pengecualian telah
memperparah kehidupan para petani di pedesaan Jawa, termasuk komunitas
226
Sedulur Sikep (Korver, 1976: 256). Sistem perekonomian modern tersebut dimulai
sejak zaman Gubernur Jenderal Raffles dan berkembang pesat saat Pemerintah
Kolonial Belanda menerapkan Politik Etis (Onghokham, 2002: 43).
Akibat dari kebijakan ekonomi oleh Pemerintah Kolonial Belanda
tersebut kalangan masyarakat pedesaan, termasuk komunitas Sedulur Sikep
dikenai pungutan-pungutan lain, selain pajak tanah, misalnya saja kewajiban
membayar sejumlah uang ketika mereka memotong hewan ternak, menggunakan
air untuk kepentingan irigasi, menyenggarakan perkawinan, dan memutuskan
perceraian. Agar dapat mengambil kayu bakar dari hutan, komunitas Sedulur
Sikep juga harus membeli “kupon” (surat izin) dari polisi atau mandor hutan.
Bahkan, upah para polisi atau mandor hutan tersebut diambilkan dari alokasi
lahan-lahan yang seharusnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sehingga terjadi
ketimpangan sosial masyarakat pada saat itu. Bagi pemerintah kolonial Belanda,
kebijakan ekonomi tersebut tidak dimaksudkan untuk eksploitasi, peminggiran,
ataupun apa pun namanya. Proses itu dimaksudkan sebagai bagian dari strategi
Pemerintah Kolonial Belanda untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
(Santoso, 2004: 79 -- 80).
Komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah,
secara turun temurun beranggapan bahwa alam beserta segala isinya adalah
ciptaan Tuhan sehingga setiap manusia boleh memanfaatkannya. Oleh karena itu,
ketika Ki Samin Surosentiko mengajarkan prinsip-prinsip kesetaraan dan menolak
segala macam intervensi dari luar yang dianggap merugikan, komunitas Sedulur
Sikep menyambut dengan antusias. Mereka umumnya adalah petani-petani miskin
227
yang menjadi pendiri desa hutan, seperti penuturan informan Sedulur Sikep
berikut ini.
“Sejak dulu, Pegunungan Kendeng itu milik semua orang, tidak hanya
milik orang Pati, tetapi juga milik orang Jakarta, orang Jawa, pokoknya
milik semua orang. Begitu pula dengan alam beserta isinya di tempat
lain, adalah milik kami (Sedulur Sikep, pen.). Jadi, kami wajib
menjaganya untuk kelestarian alam. Ketika kami memelihara hewan
ternak, tidak ada larangan untuk memasukkan di dalam kandang,
biarkan mereka mencari makan karena tidak mungkin merusak hutan.
Keputusan pemerintah kolonial yang meminta Ki Samin dan warga
Sedulur Sikep saat itu untuk mengandangkan hewan ternaknya karena
pemerintah kolonial khawatir akan merusak tanaman-tanaman
kehutanan. Padahal, keputusan sepihak tersebut bisa memperburuk
pertumbuhan ternak-ternak tersebut (wawancara dengan Gunretno, 12
Agustus 2012).
Dari penuturan informan di atas, diketahui bahwa kebijakan-kebijakan
pemerintah kolonial di bidang ekonomi sangat merugikan kehidupan komunitas
Sedulur Sikep. Oleh karena itu, menjadi wajar jika kemudian akibat kebijakan
kolonial tersebut memunculkan aksi-aksi simbolis nonkekerasan yang dilakukan
oleh komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati dalam rangka menolak ataupun
mengajukan klaim kepada para elite kolonial Belanda. Aksi simbolis
nonkekerasan tersebut, misalnya komunitas Sedulur Sikep menolak berbicara
dengan bahasa Jawa krama inggil (bahasa Jawa tingkatan tertinggi) sebagai
bentuk perlawanan kepada para petinggi (priayi yang pada umumnya menjadi
kaki tangan pemerintah kolonial Belanda). Akan tetapi, mereka menggunakan
bahasa Jawa ngoko sebagai bahasa percakapan dengan siapa pun sebagai bentuk
kesetaraan. Komunitas Sedulur Sikep juga menolak membayar pajak, menolak
berbagai bentuk kerja wajib, menolak larangan berladang, serta mengambil kayu
dari hutan, menolak denda, menolak hadir dalam acara apa pun yang dihadiri oleh
228
kalangan elite. Penolakan tersebut terkadang dilakukan dengan cara ganjil,
misalnya ketika komunitas Sedulur Sikep diwajibkan mengumpulkan batu untuk
kepentingan pembangunan jalan, mereka hanya melempar kerikil-kerikil kecil ke
tengah jalan. Jadi, ada banyak strategi yang dilakukan komunitas Sedulur Sikep
untuk melakukan perlawanan terhadap kebijakan kolonial Belanda (Santoso,
2004: 81).
Hal tersebut sejalan dengan pandangan James C. Scoot (2000) bahwa
kaum lemah di pedesaan pada dasarnya tidak pernah berhenti menentang
ketidakadilan yang menimpa diri mereka sebagai akibat dari tindakan dan perilaku
yang dilakukan segolongan manusia, baik yang berasal dari dalam masyarakat
mereka sendiri maupun kekuatan-kekuatan dari luar masyarakat mereka, termasuk
di dalam hal ini pemerintah dan aparatnya, yang memperlakukan mereka secara
tidak adil. Perasaan diperlakukan tidak adil inilah yang memicu timbulnya konflik
antara pihak petani gurem/miskin dengan kelompok-kelompok mapan yang
dianggap sebagai sumber ketidakadilan tersebut. Fenomena pemberontakan petani
“gaya Asia” meliputi organisasi anonim yang nonformal dengan koordinasi tahu
sama tahu, perlawanan kecil-kecil setiap hari yang penuh kesabaran dan kehatihatian, mencuri sedikit-sedikit, memperlambat kerja, pura-pura sakit, pura-pura
bodoh, di depan bilang “ya”, tetapi di belakang mengumpat, menghindari
konfrontasi langsung, dan sejenisnya.
Pada
masa
Orde
Lama,
pemerintah
berusaha
memerhatikan
kesejahteraan petani. Program bagi peningkatan kesejahteraan petani dilakukan
Pemerintah Orde Lama dengan membentuk Badan Perusahaan Produksi Bahan
229
Makanan dan Pembukaan Tanah melalui program intensifikasi pertanian yang
dinamakan padi sentra untuk meningkatkan produksi beras dengan intensifikasi
dan produksi bahan makanan pada lahan kering dan lahan pasang surut (Media
Indonesia, 27
April 2012: 11). Mengingat pentingnya program tersebut,
pemerintah Orde Lama mengatur tata kelola tanah, khususnya tanah pertanian
dengan membuat program landreform. Program landreform yang dilakukan pada
masa Orde Lama, sebagai bukti bahwa pada masa Bung Karno, telah terjadi
ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah di Indonesia, sebagaimana halnya
ketimpangan ekonomi atau tingkat pendapatan penduduknya. Di satu sisi banyak
orang kaya yang memiliki tanah dan menjadikannya sebagai aset atau investasi,
tetapi di sisi lain lebih banyak petani yang hanya mempunyai sebidang tanah yang
tidak cukup untuk menghidupi keluarganya, bahkan tidak mempunyai satu meter
pun tanah untuk digarapnya.
Pembuatan produk hukum agraria nasional berupa Rancangan UndangUndang Pokok Agraria diawali tahun 1948 dengan dibentuknya Panitia Agraria di
Yogyakarta. Seiring dengan berpindahnya ibu kota negara ke Jakarta, maka
Panitia Agraria di Yogyakarta dibubarkan dan dibentuklah Panitia Agraria di
Jakarta tahun 1951 dengan ketua yang sama, yakni Sarimin Reksodihardjo.
Rancangan UUPA yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
Royong akhirnya disahkan oleh Presiden Sukarno pada 24 September 1960.
UUPA memiliki anatomi sebagai berikut: Pertama, konversi, artinya mengubah
tata kuasa, tata kelola, dan tata guna tanah sesuai dengan hukum agraria yang baru
(UUPA). Konversi lebih ditekankan pada tanah yang dulu di atasnya terdapat hak
230
swasta asing. Kedua, pendaftaran tanah dengan tujuan untuk pengukuran,
pemetaan, dan pemberian tanda bukti hak. Pendaftaran tanah dimaksudkan
sebagai pendataan untuk selanjutnya sebagai pijakan data dalam pelaksanaan
landreform. Ketiga, landreform meliputi pembatasan luas maksimal kepemilikan
tanah, objek landreform, subjek landreform, UU Perjanjian Bagi Hasil, dan
Organisasi Pelaksana (http://selamisejarah.blogspot.com/2008/07/quo-vadis-landreform, 14 Desember 2012).
Panitia landreform nasional telah mulai bekerja sejak tahun 1961
sebagai tahap awal persiapan. Di dalam masa itu, telah dibentuk alat negara
sebagai pelaksana landreform, berjenjang secara hierarkis mulai dari Menteri
Agraria, Panitia Agraria Nasional, hingga Panitia Agraria Tingkat Desa. Guna
menyelesaikan urusan peradilan, maka dibentuk juga peradilan landreform. Tiga
kegiatan yang direncanakan dalam konteks landreform adalah (a) pendaftaran
tanah, (b) penentuan tanah lebih dan pembagiannya kepada sebanyak mungkin
petani tidak bertanah, dan (c) pelaksanaan UUPBH. Pelaksanaan landreform masa
pemerintahan Presiden Sukarno dimulai tahun 1962 hingga 1965.
Pendaftaran tanah dimulai dengan dasar hukum PP No. 10/1961. Dari
hasil pendaftaran dan pengukuran inilah tanah-tanah objek landreform ditetapkan,
sesuai dengan PP No. 224/1961. Pembagian tanah kelebihan dilakukan dalam dua
tahap. Tahap pertama, meliputi wilayah Jawa, Madura, Bali, dan Nusa Tenggara
Barat. Tahap ini dijadwalkan selesai akhir tahun 1963. Tahap kedua, meliputi
wilayah
Sumatra,
Kalimantan,
Sulawesi,
dan
pulau
lain
(http://selamisejarah.blogspot.com/2008/07/quo-vadis-land-reform, 14 Desember
231
2012). Kebijakan Pemerintah Orde Lama di bidang landreform dipatuhi oleh
komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati dengan melakukan pendaftaran tanah
yang dimilikinya karena esensi landreform petani Indonesia diharapkan memiliki
hak atas kepemilikan tanah untuk kehidupannya, tidak sekadar milik tuan tanah
(land lord) (Safrodin, 2011: 12).
Di dalam Undang-Undang Nomor 5, Tahun 1960, tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria tidak membenarkan penguasaan tanah yang
melampaui batas. Pengaturan batas minimum kepemilikan tanah dimaksudkan
agar setiap petani mencapai skala usaha ekonomi di dalam produksi pertanian.
Batas maksimum dimaksudkan supaya setiap orang mengerjakan tanah
berdasarkan kemampuannya. Program pemerintah dalam bentuk landreform juga
berlaku pada komunitas Sedulur Sikep di beberapa tempat. Misalnya, program
landreform yang dialami oleh Radiwongso karena memiliki tanah dalam jumlah
yang sangat luas di Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus. Kepemilikan tanah
yang luas itu karena Radiwongso membabat ilalang. Ketika tanah tersebut akan
dibagi kepada warga, maka Radiwongso menyertifikatkan tanah yang
kepemilikannya dibagi kepada anak cucunya. Pemindahan hak milik tanah
Radiwongso kepada ahli warisnya tersebut dilakukan dengan biaya bersumber
dari penjualan lahan sawah dan pekarangannya yang lain. Respons dari komunitas
non-Sedulur Sikep di Kabupaten Kudus terhadap tindakan Radiwongso dengan
melimpahkan hak milik tanah kepada anak cucunya adalah permisif karena kiprah
Radiwongso sebagai seorang yang ringan tangan dalam memberikan bantuan,
232
terutama sebagai dukun tradisional terhadap komunitas non Sedulur Sikep di
sekitar lingkungannya (Rosyid, 2012: 113 -- 114).
Pelaksanaan landreform dalam komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten
Pati dialami oleh Kasman. Menurut informan Sedulur Sikep, sekitar tahun 1958,
di Dukuh Wotan Kecamatan Sukolilo terdapat keluarga Sedulur Sikep. Mereka
adalah keturunan dari Kasman. Pada saat pelaksanaan landreform, tanah Kasman
yang cukup luas dibagi-bagikan kepada warga. Ada pula sebagian tanah yang
dipaksa oleh aparat desa (saat itu bernama Lurah Suyat) untuk di-tukar guling
dengan tanah lain karena di atas lahan milik Kasman tersebut akan didirikan
Sekolah Dasar Wotan 1 Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati. Adapun tanah tukar
guling yang diberikan kepada Kasman berupa tanah sawah. Sebenarnya, Kasman
dengan senang hati menerima tanah sawah tersebut, tetapi setelah satu tahun
dikerjakan diketahui bahwa tanah sawah tersebut merupakan tanah potongan
(retulan) hasil landreform, maka Kasman tidak mau mengerjakan tanah tersebut.
Bagi Kasman, cara tersebut dianggap tidak benar sehingga sawah tersebut
ditelantarkan (wawancara dengan Tarjo, 12 Agustus 2012).
Pada tahun 2000, Kepala SDN Wotan 1 Kecamatan Sukolilo
menemukan arsip mengenai kepemilikan
tanah SDN Wotan 1 Kecamatan
Sukolilo. Selanjutnya, ia memberitahukan kepada keturunan Kasman. Hal ini
dilakukan agar di kemudian hari tidak terjadi gugatan atas tanah SDN Wotan 1
Kecamatan Sukolilo. Selama lebih kurang satu tahun, terjadi perdebatan seru
mulai dari tingkat desa hingga kabupaten. Ada permainan dari pihak-pihak terkait
untuk mencoret buku leter C (tentang kepemilikan tanah tersebut bahwa tanah itu
233
menjadi milik desa). Intimidasi terhadap keturunan Kasman juga dilakukan aparat
desa melalui adu domba dengan wali murid SDN Wotan 1 Kecamatan Sukolilo.
Mereka menakut-nakuti bahwa jika tanah SDN Wotan 1 Kecamatan Sukolilo
diambil kembali oleh keturunan Kasman, maka seluruh wali murid SDN Wotan 1
Kecamatan Sukolilo akan melakukan perlawanan.
Adapun yang menjadi masalah adalah keturunan Kasman masih
membayar pajak atas tanah tersebut, sedangkan pemerintah membuat bukti tertulis
bahwa tanah yang pernah ditukar telah dibeli orang lain, berikut harganya, dan
lain-lain. Beruntung, keturunan Kasman dibantu oleh Gunretno berhasil
menemukan kejanggalan bukti tertulis atas kepemilikan tanah tersebut.
Kejanggalan tersebut ada pada tanggal akta jual beli dan akta sertifikat tanah, di
mana tanggal sertifikat tanah lebih dulu jika dibandingkan dengan tanggal akta
jual beli. Padahal, semestinya tanggal akta jual beli lebih dulu baru kemudian
tanggal sertifikat tanahnya. Akhirnya, pemerintah bersedia memberikan ganti rugi
berupa uang senilai 63 juta rupiah, padahal harga tanah berdasarkan Nilai Jual
Objek Pajak (NJOP) saat itu sekitar 4 juta rupiah dengan harga tanah di pasaran
sekitar 25 juta rupiah. (wawancara dengan Tarjo, 12 Agustus 2012).
Program pemerintah pada masa Orde Baru di bidang ekonomi yang
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani adalah revolusi hijau.
Munculnya program revolusi hijau didasari adanya masalah pertambahan jumlah
penduduk yang pesat dan mengupayakan peningkatan hasil produksi pertanian.
Oleh karena itu, peningkatan jumlah penduduk harus diimbangi dengan
peningkatan produksi hasil pertanian. Konsep revolusi hijau di Indonesia dikenal
234
sebagai gerakan Bimas (bimbingan masyarakat) adalah program nasional untuk
meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras. Tujuan tersebut
dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis, baik ditinjau dari
segi ekonomi, politik, maupun sosial. Gerakan Bimas berintikan tiga komponen
pokok, yaitu Pertama, penggunaan teknologi yang sering disabut Panca Usaha
Tani, Kedua, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi, Ketiga,
adanya dukungan kredit dan infrastruktur.
Revolusi hijau mendasarkan diri pada empat pilar penting, yaitu:
penyediaan air melalui sistem irigasi, pemakaian pupuk kimia secara optimal,
penerapan pestisida sesuai dengan tingkat serangan organisme pengganggu, dan
penggunaan varietas unggul sebagai bahan tanam berkualitas. Melalui penerapan
teknologi nontradisional ini, terjadi peningkatan hasil tanaman pangan berlipat
ganda dan memungkinkan penanaman tiga kali dalam setahun untuk padi pada
tempat-tempat tertentu, suatu hal yang sebelumnya tidak mungkin terjadi
(http://id.wikipedia.org, 14 Desember 2012).
Program pokok pertanian oleh Pemerintah Orde Baru di dalam
mengejar swasembada pangan awalnya mendapat dukungan positif dari
komunitas Sedulur Sikep yang kehidupannya bertumpu pada sektor pertanian.
Komunitas Sedulur Sikep yakin bahwa program pemerintah akan meningkatkan
kualitas pertanian. Mereka banyak mendapat penyuluhan dari petugas Penyuluh
Pertanian Lapangan (PPL) dibantu oleh Balai Penyuluh Pertanian (BPP) dan
Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS) yang berkedudukan di kabupaten atau
provinsi. Para PPL melakukan sosialisasi dengan sistem penyuluhan latihan dan
235
kunjungan (LAKU). PPL tersebut membina kelompok tani tentang cara
pemakaian bibit unggul, pemupukan, perbaikan pengairan, pemberantasan hama
dan penyakit, dan perbaikan cara bercocok tanam.
Peningkatan kualitas dan kuantitas pertanian memang dialami oleh
komunitas Sedulur Sikep. Di dalam setahun, mereka berhasil memanen padi tiga
kali. Hal ini berbeda dengan beberapa daerah pertanian lainnya di Kabupaten Pati.
Oleh karena itu, padi hasil pertanian komunitas Sedulur Sikep banyak diminati
oleh para tengkulak untuk dibeli dengan cara nebas (dibeli tunai) agar segera
mendapatkan uang. Kebijakan pertanian tersebut sangat besar pengaruhnya
terhadap kehidupan komunitas Sedulur Sikep di dalam tata kelola pertanian.
Sebelum adanya program revolusi hijau, komunitas Sedulur Sikep hidup
bergotong royong dengan memanfaatkan tenaga petani yang berasal dari saudarasaudara mereka (Sedulur Sikep) untuk mengerjakan sawahnya dengan upah
berupa padi. Namun, kehadiran teknologi pertanian dan pupuk kimia telah
menyebabkan merosotnya nilai-nilai tradisional berupa gotong royong (guyub)
karena banyak pekerjaan pertanian telah diambil alih oleh teknologi pertanian
sehingga jasa mereka dinilai dengan uang serta ketergantungan para petani pada
pupuk kimia yang disediakan pemerintah.
Pada Era Reformasi, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah bersama
dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Pati berupaya meningkatkan kesejahteraan
ekonomi masyarakatnya. Upaya tersebut dilakukan melalui kebijakan ekonomi
dengan cara menarik para investor untuk menanamkan modalnya di Kabupaten
Pati Provinsi Jawa Tengah. Salah satu investor yang tertarik untuk menanamkan
236
modalnya di Kabupaten Pati adalah PT Semen Gresik. Rencana investasi senilai
3,5 triliun rupiah tersebut, muncul sejak masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus
Dur). Sonny Keraf yang pada masa Pemerintahan Presiden Gus Dur menjadi
Menteri Lingkungan Hidup, ternyata kemudian menolak proposal PT. Semen
Gresik untuk membangun pabriknya di kawasan Pegunungan Kendeng. Ada dua
alasan penolakan dari Menteri Lingkungan Hidup. Pertama, kawasan Pegunungan
Kendeng adalah daerah kars kelas satu yang wajib dijaga kelestariannya.
Pegunungan Kendeng adalah pegunungan karst (kapur) yang membentang dari
barat ke timur dimulai dari wilayah Kabupaten Kudus Provinsi Jawa Tengah
sampai dengan Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur. Pegunungan Kendeng
memiliki sumber air yang mengairi sekitar 15.873,9 hektare pertanian di
sekitarnya. Selain itu, lahan di Pegunungan Kendeng menjadi lapangan pekerjaan
bagi ribuan peladang yang menanam berbagai palawija di sela-sela pepohonan jati
milik Perhutani (Tempo, 2009). Kedua, Menteri Lingkungan Hidup beranggapan
bahwa di daerah Pulau Jawa tidak lagi layak untuk didirikan lokasi pertambangan
karena lingkungannya sudah banyak yang rusak (wawancara dengan Gunretno, 12
September 2012).
Menurut rencana, pembangunan pabrik semen oleh PT Semen Gresik
di Pegunungan Kendeng Kabupaten Pati akan memiliki kapasitas produksi 2,5
juta ton/tahun dan akan memerlukan lahan sekitar 1.560 hektare. Lahan seluas itu
nantinya digunakan untuk keperluan penambangan batu kapur terletak di Desa
Baturejo, Desa Gadudero, Desa Kedumulyo, Desa Kasiyan, dan Desa Sukolilo.
Adapun lokasi pabrik semen terletak di Desa Kedumulo. Secara administratif,
237
lokasi-lokasi yang direncanakan tercakup di dalam empat wilayah kecamatan di
Kabupaten Pati, yaitu Kecamatan Sukolilo, Kecamatan Kayen, Kecamatan
Tambakromo, dan Kecamatan Gabus. Gambar 6.1 berikut menunjukkan
penolakan pendirian pabrik semen Gresik di tugu masuk Desa Sukolilo.
Gambar: 6.1 Tugu Masuk Desa Sukolilo Kabupaten Pati
(Sumber: http://lists.indymedia.org/, 23 Mei 2012)
Gambar 6.1 menunjukkan nada penolakan komunitas Sedulur Sikep
terhadap rencana investasi pembangunan pabrik semen oleh PT Semen Gresik di
Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati. Komunitas Sedulur Sikep beranggapan
sebagai berikut. Pertama, rencana pembangunan pabrik semen oleh PT Semen
Gresik dianggap akan mengancam sendi-sendi paling pokok dari tata cara
kehidupan komunitas Sedulur Sikep yang mengandalkan aktivitas pertanian
sebagai fondasi konstruksi identitas kelompoknya. Kedua, rencana itu dianggap
menjadi ancaman paling jelas akan kemunculan berbagai kerusakan lingkungan
238
dan hilangnya banyak sumber air yang menjadi sandaran hidup komunitas Sedulur
Sikep. Jika hal tersebut terjadi, maka gelombang migrasi warga Kecamatan
Sukolilo, khususnya komunitas Sedulur Sikep ke wilayah lain akan terjadi.
Migrasi secara langsung akan memperlemah posisi komunitas Sedulur Sikep
sebagai kelompok minoritas (wawancara dengan Gunretno, 12 September 2012;
Idhom, 2009: 116). Kehadiran PT Semen Gresik telah memicu konflik antara
komunitas Sedulur Sikep dengan pemerintah, baik daerah maupun pusat. Hal ini
terjadi karena pemerintah telah memberikan persetujuan kepada PT Semen Gresik
untuk membangun pabriknya di Pegunungan Kendeng.
Perjuangan komunitas Sedulur Sikep di dalam mempertahankan
kelestarian lingkungan alam kawasan Pegunungan Kendeng merupakan upaya
untuk mendobrak hegemoni pemerintah. Aparat pemerintah, baik pusat maupun
daerah, telah menggunakan kekuasaannya untuk menekan komunitas Sedulur
Sikep. Di dalam hal ini, pemerintah secara sadar telah memberikan pengelolaan
kawasan Pegunungan Kendeng kepada kaum kapitalis. Hubungan antara
pemerintah dan kelas pengusaha inilah yang dikhawatirkan menimbulkan praktik
monopoli.
Praktik
monopoli
atas
sumber
daya
Pegunungan
Kendeng
menyebabkan komunitas Sedulur Sikep merasa bahwa apa yang selama ini
dimilikinya (pengelolaan kawasan Kendeng) menjadi terampas. Hegemoni
menurut Gramsci (Simon, 2004: 37 -- 47), ada suatu blok historis dari fraksi kelas
penguasa yang menerapkan otoritas sosial dan kepemimpinan terhadap kelas
subordinat dengan cara merebut persetujuan. Hegemoni pemerintah tersebut
mengakibatkan posisi komunitas Sedulur Sikep yang berada di subordinat, yaitu
239
kelompok-kelompok di dalam masyarakat yang menjadi subjek hegemoni kelaskelas yang berkuasa. Oleh karena itu, ketika komunitas Sedulur Sikep berada pada
posisi yang tertekan, terpinggirkan, maka komunitas Sedulur Sikep berupaya
untuk menolak marginalisasi tersebut. Secara politik, hal ini juga menguatkan
posisi tawar komunitas Sedulur Sikep karena dapat menunjukkan bahwa ternyata
komunitas Sedulur Sikep mempunyai keberanian untuk melawan hegemoni
pemerintah.
6.2 Faktor Internal Perjuangan Identitas Komunitas Sedulur Sikep
6.2.1 Aspek Sosial Budaya
Aspek sosial budaya berupa rangkaian adat istiadat yang secara
tradisional dipegang teguh oleh komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati
Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu faktor internal yang menyebabkan
komunitas Sedulur Sikep melakukan perjuangan identitasnya. Komunitas Sedulur
Sikep di Kabupaten Pati sangat memegang teguh tradisi nenek moyangnya
sehingga berusaha menjaga semua warisan nenek moyangnya. Gambaran ideologi
komunitas Sedulur Sikep tercermin dalam prinsip hidupnya. Salah satu tindakan
nyata adalah menjaga sumber daya alam. Semangat mempertahankan kepemilikan
sumber daya ekonomi berupa lahan pertanian menjadi pemicu semangat
perjuangan. Tanah menurut perspektif komunitas Sedulur sikep merupakan
sumber produksi dan kekayaan utama, di mana kepemilikannya membawa
prestise yang tinggi. Menurut Wilardjo dan Perdana (2001: 1), kepemilikan tanah
merupakan salah satu unsur dari status sosial masyarakat desa, di samping jabatan
sosial dan keagamaan.
240
Sengketa pengelolaan Pegunungan Kendeng antara komunitas Sedulur
Sikep dengan PT Semen Gresik dapat membawa implikasi negatif terhadap
tatanan sosial budaya komunitas Sedulur Sikep. Selama ini, seluruh kehidupan
ekonomi komunitas Sedulur Sikep di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati masih
bertumpu pada sektor pertanian. Sejak lama komunitas Sedulur Sikep bersandar
pada sumber mata air dari Pegunungan Kendeng untuk mengaliri sawahnya. Oleh
karena itu, komunitas Sedulur Sikep sangat menjaga kelestariannya. Kondisi alam
di lingkungan komunitas Sedulur Sikep yang gemah ripah loh jinawi (subur dan
makmur) telah dirasakan oleh komunitas Sedulur Sikep sejak dulu. Bagi petani di
sekitar Pegunungan Kendeng, memiliki sawah dengan hasil pertanian yang
melimpah adalah kekayaan. Ukuran kekayaan tidak seperti orang kota, yang
menilai kekayaan dengan kepemilikan barang-barang elektronik, mobil, rumah
mewah, dan sebagainya. Oleh karena itu, kelestarian Pegunungan Kendeng selalu
dipertahankan oleh komunitas Sedulur Sikep.
Komunitas Sedulur Sikep telah mencitrakan dirinya sebagai penjaga
tradisi nenek moyang melalui pelestarian alam. Hal ini diberlakukan terhadap
Pegunungan Kendeng yang telah menjadi sandaran hidup komunitas Sedulur
Sikep. Rencana pendirian pabrik Semen Gresik dianggap membahayakan
keberadaan Pegunungan Kendeng. Kerusakan atas Pegunungan Kendeng, sama
halnya dengan membunuh komunitas Sedulur Sikep. Usaha untuk melestarikan
Pegunungan Kendeng telah dibayar mahal dengan penangkapan sembilan orang
komunitas Sedulur Sikep pada 22 Januari 2009 karena dianggap sebagai
provokator tolak Pabrik Semen Gresik di Kabupaten Pati. Suasana di lingkungan
241
komunitas Sedulur Sikep Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati sempat mencekam
karena banyak aparat kepolisian yang mondar-mandir di wilayah komunitas
Sedulur Sikep. Ada sekitar seratus orang brimob datang dan mengambil mobil PT
Semen Gresik yang disandera Sedulur Sikep.
Proses advokasi menjadi cara yang dilakukan oleh komunitas Sedulur
Sikep di Kabupaten Pati untuk menuntut pembebasan sembilan orang anggota
komunitas Sedulur Sikep yang ditangkap aparat dalam demo tolak pabrik Semen
Gresik. Proses advokasi menuntut pembebasan anggota komunitas Sedulur Sikep
tersebut, sebagai bukti solidaritas komunitas Sedulur Sikep dan bentuk
eksistensinya di dalam memperjuangkan identitasnya. Komunitas Sedulur Sikep
seharusnya diakui keberadaannya di Indonesia sehingga hak-haknya dapat
dilindungi oleh pemerintah dan diakui sejajar dengan kelompok masyarakat
lainnya.
Di dalam konteks poskolonial, warisan kolonial pada masa lampau
tidak selalu harus dihilangkan karena kekejaman yang menimbulkan dendam
berkepanjangan. Selama bertahun-tahun, bahkan berabad-abad telah menimbulkan
pandangan negatif bahwa komunitas Sedulur Sikep bukanlah kelompok
masyarakat yang normal karena kolot (berpegang teguh pada aturannya sendiri)
dan tidak mau berkumpul dengan kelompok lain. Namun, hal ini perlu
ditempatkan sebagai bagian yang telah membentuk identitas komunitas Sedulur
Sikep dewasa ini. Komunitas Sedulur Sikep telah berhasil membangun identitas
baru yang sangat fleksibel, baik sebagai tanda pembeda maupun penyama antara
diri komunitas Sedulur Sikep dengan komunitas non-Sedulur Sikep. Identitas baru
242
tersebut, tampaknya cukup efektif pada saat ini karena berfungsi sebagai alat
aktualisasi diri komunitas Sedulur Sikep secara politis di tengah komunitas
lainnya, terutama suku Jawa, di samping sebagai upaya membentengi komunitas
Sedulur Sikep dari pengaruh luar yang dapat merusak adat istiadat komunitas
Sedulur Sikep.
6.2.2 Keteladanan Pemimpin (Botoh)
Di dalam komunitas Sedulur Sikep, selain faktor politik, ekonomi, dan
sosial budaya, maka faktor keteladanan pemimpin (botoh) juga menjadi salah satu
faktor penting yang mendorong komunitas Sedulur Sikep memperjuangkan
identitasnya. Kiprah suatu komunitas tentunya tidak dapat dilepaskan dengan
peran botoh Sedulur Sikep. Kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan
seseorang memengaruhi orang lain (yang dipimpin atau pengikutnya). Oleh
karena itu, sebagai suatu proses sosial, kepemimpinan berfungsi ing ngarso sung
tulodho ing madyo bangun karso tutwuri handayani.
Menurut Santosa (2006: 46), ada beberapa macam kepemimpinan,
yaitu otokrasi (otoriter), demokratis, dan liberal. Pemimpin harus memenuhi
syarat berupa ketajaman menghadapi situasi (social perception), kecakapan, dan
tidak mudah terpengaruh (emotional stability). Di dalam perspektif sosiologi,
kepemimpinan tidak dapat dipisahkan dari struktur sosial yang bersifat vertikal
(parameter gradual) yang dikategorikan pemimpin dan massa. Pemimpin selalu
mendominasi proses pengambilan keputusan krusial, sedangkan massa adalah
kelompok masyarakat yang mengikuti keputusan. Pada masyarakat pedesaan,
fenomena kepemimpinan dapat dilihat dalam tiga dimensi, yaitu dimensi
243
legitimasi (posisi pemimpin dalam organisasi sosial), visibilitas (tingkat
kepemimpinan), dan pengaruh (dimensi yang melihat bidang yang menjadi ajang
kepemimpinannya) (Usman, 2006: 60).
Kehadiran pemimpin di dalam suatu komunitas dianggap mewakili
aspirasi, memperjuangkan kepentingan kelompok, dan mewujudkan harapan
kelompok. Pemimpin harus memiliki kecerdasan dan wawasan yang lebih luas
dibandingkan dengan anggota sehingga kehadiran pemimpin dirindukan untuk
mengatasi berbagai masalah yang dihadapi kelompok. Pemimpin dimanfaatkan
potensi
dan
kemampuannya
untuk
menggerakkan,
mengarahkan,
dan
memengaruhi anggota sebagai upaya mencapai tujuan (Wahyudi, 2008: 117).
Oleh karena itu, keberadaan botoh Sedulur Sikep sebagai komando gerakan,
menjadi sosok yang diteladani, serta menjadi tempat mendapat jawaban terhadap
permasalahan kehidupan komunitasnya. Hal itu sejalan dengan pandangan
Gramsci (Simon, 2004: 139) yang menyebutkan bahwa peran pemimpin pada
masyarakat sipil sangat penting di dalam transisi menuju sosialisme. Oleh karena
itu, intelektual dianggap dapat melahirkan ide atau pandangan persuasif yang akan
diikuti oleh orang lain. Di samping itu, peran intelektual dirasakan akan penting
ketika menebar ide-ide menuju tataran masyarakat.
Sosok botoh Sedulur Sikep sangat dihormati di dalam komunitas
Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah karena keteladanannya. Di
dalam perspektif hukum adat, peran pemimpin adat adalah sebagai bapak, hakim,
dan pemimpin. Peran bapak diharapkan menyelesaikan permasalahan, petunjuk,
nasihat jika ada permasalahan. Adapun peran hakim mengadili jika terjadi
244
pelanggaran norma adat secara adil. Selanjutnya, di dalam peran sebagai
pemimpin mengupayakan jalan damai jika ada konflik dengan komunitas lain
(Ardinarto, 2008: 61). Ketiga peran dipraktikkan oleh botoh komunitas Sedulur
Sikep di Kabupaten Pati.
Botoh komunitas Sedulur Sikep dianggap sebagai orang yang bijaksana
dan adil. Mereka umumnya beranggapan bahwa segala masalah yang dihadapi
oleh setiap anggota komunitas Sedulur Sikep dapat diselesaikan oleh botoh
mereka. Sebagai sosok yang karismatik, tugas botoh komunitas Sedulur Sikep
adalah melindungi seluruh anggota komunitas Sedulur Sikep agar hidup sesuai
dengan adat istiadat yang berlaku. Aturan-aturan yang diterapkan oleh botoh
komunitas Sedulur Sikep, antara lain terus-menerus mengingatkan untuk selalu
memberikan pewarisan kebudayaan internal (pembelajaran norma budaya Sedulur
Sikep), khususnya kepada para generasi muda komunitas Sedulur Sikep, hidup di
dalam satu lingkungan, dan menikahkan generasinya dengan sesama pengikut
ajaran Sikep.
Aturan-aturan yang diterapkan oleh botoh komunitas Sedulur Sikep di
Kabupaten Pati selalu dipatuh oleh seluruh anggota komunitas Sedulur Sikep.
Mereka beranggapan bahwa semua aturan yang berlaku sudah berlangsung sejak
turun-temurun dan harus dilaksanakan oleh semua anggota komunitas Sedulur
Sikep agar dapat menghadapi perubahan zaman dan penghormatan terhadap
leluhur. Sosok botoh akan menjadi panutan bagi komunitas Sedulur Sikep. Ia juga
dianggap sebagai orang tua dan guru bagi komunitasnya. Oleh karena itu, botoh
berkedudukan sebagai guru kehidupan yang dicontoh lewat perkataan dan
245
perbuatannya. Segala sesuatu permasalahan yang dihadapi oleh komunitas
Sedulur Sikep akan disampaikan kepada botoh untuk meminta pertimbangan
saran.
Pada tiap bulan sekali, botoh komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten
Pati mengumpulkan para orang tua di lingkungan komunitas Sedulur Sikep untuk
membahas permasalahan di komunitas mereka. Adapun tempat pertemuan
dilakukan secara bergiliran di rumah anggota. Pada kesempatan tersebut, botoh
Sedulur Sikep selalu mengingatkan agar para orang tua mentradisikan anak
keturunannya sejak dini dengan materi kepribadian dan ajaran kebajikan yang
universal, terkait dengan etika hidup yang harus dijalani oleh komunitas Sedulur
Sikep atau nguri-uri prinsip leluhur lan ngregengake kerukunan (melestarikan
ajaran nenek moyang dan merukunkan persaudaraan). Acara tersebut tidak selalu
terlaksana karena aktivitas rutin sebagai petani, terutama musim tanam dan panen.
Hal tersebut merupakan bentuk hegemoni yang diterima dengan
persetujuan oleh komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa
Tengah. Kekuatan hegemoni botoh Sedulur Sikep mengkristal di dalam setiap
benak komunitas Sedulur Sikep sehingga mendorong komunitas Sedulur Sikep
selalu menunjukkan identitasnya berlandaskan nilai-nilai sosial budaya
yang
berbeda dengan komunitas lainnya (suku Jawa) yang selama ini menggagap
kedudukan komunitas Sedulur Sikep lebih rendah dibandingkan suku Jawa.
Komunitas Sedulur Sikep di dalam merespons kebijakan pemerintah
masa kini dimotori oleh pemimpinnya yang responsif dan akomodatif.
Sebagaimana doktrin yang ditanamkan salah satu nenek moyangnya, yaitu
246
Surokidin pada generasinya ketika di Gunung Gede, Hutan Cemoro Sewu,
Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah dengan
pernyataan bahwa Belanda akan diusir oleh Jepang. Bahkan, prediksi leluhur
komunitas Sedulur Sikep sebelum kemerdekaan yang terbukti sekarang ini, yakni
mbesok negoro iku negarane rakyat, dadi putusan neng rakyat, tukul deso
otonom. Pernyataan tersebut mengingatkan kepada generasinya bahwa setelah
penjajahan Belanda, wilayah pribumi akan dijajah Jepang, yang selanjutnya
dipimpin putra negeri (Soekarno). Gerakan yang dilakukannya adalah mbanyu
suket nggeni brambut, mapah gedang, yakni gerakan samar (non-konfrontatif,
menyokong kepemimpinan anak negeri sehingga perlu taat terhadap Pemerintah
Republik Indonesia (Rosyid, 2012: 222 -- 224).
Konteks masa kini, sebagian komunitas Sedulur Sikep melawan segala
aktivitas sebagaimana aktivitas yang dilakukan semasa penjajahan Belanda dalam
hal instruksi dan perilaku pada masa kini, kaitannya dengan kebijakan
pemerintahan, seperti sekolah formal, perkawinan, kepemilikan kartu tanda
penduduk (KTP) meskipun ketaatan dalam hal instruksi ini sangat didominasi
oleh diri komunitas Sedulur Sikep. Maksudnya, ada kalanya anggota komunitas
Sedulur Sikep tidak melaksanakan seluruh bentuk instruksi tersebut. Namun, ada
pula yang sebagian dilaksanakan dan sebagian lainnya tidak dilaksanakan.
Adapun dalam hal berperilaku sebagaimana ketaatan atau ketidaktaatannya dalam
melaksanakan instruksi.
247
Sosok botoh Sedulur Sikep harus cerdas dalam mengatasi berbagai
persoalan. Dewasa ini, sosok botoh Sedulur Sikep dianggap sebagai tokoh yang
peduli pada lingkungan dan hak asasi manusia. Ia telah berhasil mengajak
komunitas Sedulur Sikep, bahkan di luar komunitasnya untuk peduli terhadap
kelestarian sumber daya alam. Kedudukan botoh komunitas Sedulur Sikep sebagai
ketua di dalam wadah alinasi petani, seperti Serikat Petani Pati (SPP) dan
Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) dalam usaha
menolak rencana pembangunan pabrik semen di kawasan Pegunungan Kendeng
menjadi bukti nyata peran penting botoh Sedulur Sikep dalam kelestarian
lingkungan. Hal ini sebagai bentuk penghargaan yang diterima botoh Sedulur
Sikep atas apa yang dilakukannya.
Upaya pelestarian lingkungan bagi komunitas Sedulur Sikep menjadi
bagian penting di dalam kehidupannya karena itu merupakan bentuk tunduk dan
patuh pada salah satu ajaran nenek moyang. Peran botoh Sedulur Sikep menjadi
kunci keberhasilan memaksa komunitas Sedulur Sikep untuk memperjuangkan
identitasnya sehingga setiap anggota komunitas Sedulur Sikep merasa bangga
mewarisi tradisi nenek moyangnya dan bersedia menaati semua ajaran nenek
moyang untuk kelangsungan hidup komunitas Sedulur Sikep. Kiat dan strategi
yang dilakukan oleh botoh komunitas Sedulur Sikep dalam mempertahankan
tradisi dengan selalu mempertahankan dan memperjuangkan identitas Sedulur
Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah menjadi teladan di kalangan
komunitas Sedulur Sikep.
Download