1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian dari mayoritas penduduknya. Dengan demikian sebagian besar penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Laporan bulanan data sosial Badan Pusat Statistik (BPS) Mei 2012, menunjukkan penduduk Indonesia yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama masih didominasi sektor pertanian. Pada Februari 2012 pekerja di sektor pertanian berjumlah 41,20 juta jiwa. Mengikuti sektor pertanian, lapangan pekerjaan utama lainnya adalah perdagangan, jasa kemasyarakatan, dan sektor industri yang secara berurutan masih menjadi penyumbang terbesar penyerapan tenaga kerja. Data BPS (2012) menunjukkan, jika dibandingkan dengan keadaan Agustus 2011, jumlah penduduk yang bekerja mengalami kenaikan terutama di sektor pertanian sebesar 1,9 juta orang (4,76%), sektor jasa kemasyarakatan sebesar 720 ribu orang (4,32%), serta sektor perdagangan sekitar 620 ribu orang (2,65%). Sedangkan sektor yang mengalami penurunan adalah sektor industri sebesar 330 ribu (2,27%) dan sektor konstruksi sebesar 240 ribu orang (3,78% ). Mencermati data tersebut, berarti sampai saat ini sektor pertanian masih menjadi tumpuan harapan, tidak hanya dalam upaya menjaga ketahanan pangan nasional tetapi juga dalam penyediaan lapangan kerja, penyumbang devisa bagi negara dan sumber pendapatan masyarakat. 1 2 Di sisi lain, pembangunan pertanian merupakan salah satu upaya mengatasi masalah kemiskinan. Terutama pada kelompok masyarakat petani yang termarginalkan. Arifin (2005) mengatakan bahwa pembangunan pertanian Indonesia mempunyai beberapa agenda pokok, yang berkaitan dengan kontribusinya terhadap pengentasan kemiskinan.Terutama terhadap kelompok petani miskin yang dengan melakukan pemberdayaan dan pengefektifan jaringan kerja pada sentra produksi pertanian dan pusat-pusat pasar di perkotaan dan daerah lain. Agenda pokok yang dikemukakan tersebut mencerminkan bahwa ketersediaan kebutuhan pangan dan gizi yang cukup di dalam negeri, serta perbaikan kualitas hidup masyarakat pada umumnya dan petani khususnya, merupakan pertimbangan yang sangat penting. Selanjutnya, tujuan pembangunan pertanian yang ingin dicapai Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014 adalah mewujudkan sistem pertanian industrial unggul berkelanjutan yang berbasis sumberdaya lokal, meningkatkan dan memantapkan swasembada berkelanjutan, menumbuh-kembangkan ketahanan pangan dan gizi termasuk diversifikasi pangan, meningkatkan nilai tambah, daya saing, dan ekspor produk pertanian, serta meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani (Kementrian Pertanian, 2014). Namun realitas menunjukkan bahwa pembangunan pertanian dan pedesaan yang dilaksanakan di Indonesia belum mendapat perhatian yang serius. Rizqulloh (2012) menuliskan bahwa petani tidak lagi memegang peran sebagai penghasil dan pencipta dalam setiap tahapan kegiatan bertani. Namun justru dimanfaatkan tak lebih hanya sebagai pekerja dan konsumen. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa kegiatan dalam bertani justru diatur oleh pihak di luar dirinya, seperti pemerintah, pasar ataupun perusahaan swasta. Sementara itu, para petani 3 masih diarahkan untuk menggunakan pupuk, pestisida, insektisida kimia yang cenderung berlebihan. Arah pembangunan yang demikian berdampak pada hal-hal berikut: (1) secara tak langsung telah menanamkan pola pikir petani bahwa bertani adalah dengan pupuk, pestisida, dan insektisida kimia yang semuanya perlu dibeli dari perusahaan-perusahaan besar dengan biaya mahal; (2) melonjaknya biaya produksi pertanian dan pada saat yang bersamaan menurunkan kualitas lahan secara terus menerus; (3) penurunan produktivitas lahan dalam jangka panjang; (4) masih rendahnya kesadaran para pemangku kepentingan di daerah-daerah untuk mempertahankan lahan pertanian produksi, menjadi salah satu penyebab kurangnya ketersediaan infrastruktur penunjang pertanian terutama sumber air; (5) produksi tanaman pangan yang cenderung menurun dan membuat kondisi para petani semakin sengsara atau miskin; (6) adanya kebijakan untuk mengimpor beberapa komoditi tanaman produksi pertanian semakin meningkat; (7) keengganan generasi muda untuk berkecimpung dalam dunia pertanian; (8) kelemahan dalam sistem alih teknologi karena tidak semua teknologi dapat diadopsi dan diterapkan. Hal ini disebabkan karakteristik dan kondisi lahan pertanian di negara sumber teknologi berbeda dengan negara Indonesia. Teknologi tersebut perlu dipelajari, dimodifikasi, dikembangkan, dan selanjutnya baru diterapkan ke dalam sistem pertanian Indonesia. Dalam hal ini peran kelembagaan sangatlah penting, baik dalam inovasi alat dan mesin pertanian yang memenuhi kebutuhan petani maupun dalam pemberdayaan masyarakat; (9) masih panjangnya mata rantai tata niaga pertanian, sehingga menyebabkan petani tidak dapat menikmati harga yang lebih baik, karena pedagang telah mengambil untung terlalu besar dari hasil penjualan; dan (10) terbatasnya akses layanan usaha terutama permodalan. 4 Kemampuan petani untuk membiayai usaha taninya sangat terbatas sehingga produktivitas yang dicapai masih di bawah produktivitas potensial. Mengingat keterbatasan petani dalam permodalan dan rendahnya aksesibilitas terhadap sumber permodalan formal, maka dilakukan pengembangan dan mempertahankan beberapa penyerapan input produksi biaya rendah (low cost production) yang sudah berjalan ditingkat petani. Selain itu, penanganan pasca panen dan pemberian kredit lunak serta bantuan langsung kepada para petani sebagai pembiayaan usaha tani cakupannya diperluas. Sebenarnya, pemerintah telah menyediakan anggaran sampai 20 triliun untuk bisa diserap melalui tim kredit usaha rakyat (KUR) dan Bank BRI khusus kredit bidang pangan dan energi. Berdasarkan hal tersebut, maka hal penting yang perlu diperhatikan adalah merubah pola pikir masyarakat mengenai potret petani Indonesia, merubah pola pikir para petani bahwa bertani dan meningkatkan hasil pertanian tidak harus menggunakan pupuk kimia produksi perusahaan, serta membangun sikap mental kemandirian sebagai keseharian dalam bertani. Konsep kelembagaan lokal yang masih minim pada pengambil kebijakan pada hampir semua level mengakibatkan rendahnya peran serta masyarakat lokal baik sebagai pelaku maupun sebagai pengeskploitasi hasil pembangunan. Fatah (2010) mengemukakan bahwa salah satu penyebab kekurang-berhasilan dalam pencapaian pembangunan pertanian dan pedesaan adalah lemahnya pelibatan dalam pemanfaatan organisasi yang telah ada di tengah masyarakat pertanian dan pedesaan itu sendiri. Selanjutnya, Syahyuti (2011) mengungkapkan bahwa kelembagaan lokal dianggap tidak memiliki jiwa ekonomi yang memadai. Bahkan Chambers (1983) mengatakan bahwa kesalahan fatal yang dilakukan oleh para profesional adalah adanya bias sebagai outsider, di mana mereka juga tidak 5 percaya bahwa masyarakat lokal (petani) tersebut adalah sumber ilmu dan teknologi. Oleh karena itu, pandangan yang keliru tersebut harus dihilangkan, dan sebaliknya segala bentuk ketradisionalan seperti sosial, adat-budaya desa dan masyarakat harus diberdayakan guna mencapai tujuan pembangunan pertanian dan pedesaan (Elizabeth, 2010). Widodo (2010) mengemukakan modernisasi pembangunan pedesaan dengan prespektif modernisasi berasumsi pada dua kutub yang saling berbeda, yaitu pemerintah dalam posisi superior (pusat) dan masyarakat pedesaan sebagai posisi inferior (periferi). Kebijakan pembangunan selalu topdown dan didominasi oleh pemerintah karena anggapan masyarakat desa belum mampu memberdayakan dirinya serta adanya hambatan budaya tradisional dan nilai-nilai lokal sehingga diganti dengan budaya modern yang lebih produktif. Konsep ini justru mengakibatkan tergerusnya budaya dan nilai-nilai lokal yang telah ada dalam kehidupan masyarakat desa sejak dahulu kala. Fakta menunjukkan bahwa dalam pembangunan, modal merupakan salah satu faktor produksi penting. Adapun modal yang dimaksud adalah modal budaya, modal manusia, modal alam, dan modal sosial. Seperti halnya modal fisik atau modal manusia yang dapat meningkatkan produktivitas individu dan kelompok maka modal sosial pun demikian. Modal sosial merupakan konsep sosiologi yang digunakan dalam beragam ilmu seperti bisnis, ekonomika, perilaku organisasi, politik, kesehatan masyarakat, dan ilmu-ilmu sosial. Semua itu untuk menggambarkan adanya hubungan di dalam dan antarjejaring sosial. Jejaring itu memiliki nilai (Hasbullah, 2006). Bourdieu (1986) membedakan tiga bentuk modal yakni modal ekonomi, modal budaya, dan modal sosial. Modal sosial didefinisikan sebagai keseluruhan sumber daya aktual 6 atau potensial terkait dengan kepemilikan jaringan hubungan yang tahan lama dan dilembagakan karena saling kenal dan adanya pengakuan. Sementara itu Coleman (1999) berpendapat modal sosial secara fungsi adalah berbagai entitas dengan dua elemen yang sama: semua itu terdiri dari beberapa aspek struktur sosial, dan memfasilitasi tindakan tertentu. Jadi modal sosial memfasilitasi kegiatan individu dan kelompok yang dikembangkan oleh jaringan, hubungan timbal balik, kepercayaan dan norma sosial. Modal sosial, merupakan sumberdaya yang netral dan memfasilitasi setiap kegiatan di mana masyarakat bisa menjadi lebih baik dan bergantung pada pemanfaatan modal sosial oleh setiap individu. Menurut Putnam (2006) modal sosial sebagai nilai kolektif dari semua jaringan sosial dan kecenderungan untuk melakukan peningkatan hubungan satu sama lain. Putnam percaya modal sosial dapat diukur dari besarnya kepercayaan dan timbal balik dalam suatu masayarakat atau di antara individu-individu. Selain itu, konsep modal sosial memiliki pendekatan yang lebih pada unsur individual. Investasi dalam hubungan sosial dikaitkan dengan harapan diperolehnya profit dari pasar terutama hubungan modal sosial dengan pembangunan atau pengembangan masyarakat. Fukuyama (1996) mengatakan modal sosial adalah sebagai prakondisi untuk keberhasilan pembangunan. Alasannya modal sosial yang kuat menjadi syarat pokok dalam mencapai pertumbuhan ekonomi dan politik yang kuat. Dikupas juga tentang pentingnya modal sosial berbasis pada kepercayaan. Dalam keseharian, masyarakat berinteraksi dengan modal sosial yang kuat yang ditunjukkan dengan suasana saling percaya antarwarga. Bentuk modal ini memiliki hubungan erat dengan tercapainya tingkat kesejahteraan masyarakat atau bangsa. Pada kasus pengembangan konsep local economic development (LED) 7 agricultural sector atau pengembangan ekonomi lokal dalam sektor pertanian. LED di Indonesia, terutama pada wilayah perdesaan yang dominasi kegiatannya adalah pertanian, modal sosial menjadi hal yang perlu ditemukenali untuk menopang kegiatan ekonomi lokal berbasis pertanian. Pertanian di Kabupaten Ende memiliki sejumlah potensi dan kendala dalam pengembangan ekonomi lokal wilayahnya terutama pada Kecamatan Maurole dan Kecamatan Kelimutu yang menjadi fokus penelitian. Pertanian merupakan aktivitas ekonomi dengan rentang kegiatan produksi dan pemasaran pada jangka waktu yang relatif pendek. Hal ini tidak dapat terlepas dari karakteristik hasil pertanian tersebut dengan usia masa penggunaan yang pendek, yakni masa kesegaran produk pertaniannya relatif singkat setelah dipanen sehingga harus cepat dipasarkan. Kegiatan pertanian di Kecamatan Maurole Kabupaten Ende memiliki peluang dalam akses pemasaran karena berada pada lokasi yang strategis. Dikatakan strategis karena lokasi aktivitas pertanian berada dekat pantai yang tenang dan indah serta mudah diakses baik laut, udara dan darat. Berdasarkan pertimbangan tersebut juga pantai Kecamatan Maurole ditetapkan sebagai salah satu destinasi singgah wisata layar yang diikuti beberapa negara. Selain itu, Kecamatan Kelimutu juga memiliki karakteristik sebagai wilayah pertanian di daerah pegunungan yang memiliki daya tarik yang ditunjang dengan keberadaan Danau Tiga Warna Kelimutu. Komoditas yang diusahakan dalam aktivitas pertanian mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan dengan keragaman dan keunikan bernilai tinggi serta diperkuat oleh variasi kekayaan kultural menjadi daya tarik sebagai agroekowisata berbasis pertanian. Keseluruhannya sangat berpeluang besar menjadi andalan dalam perekonomian 8 Indonesia (Deptan, 2011). Sehubungan dengan potensi tersebut, preferensi dan motivasi wisatawan berkembang secara dinamis. Kecenderungan kebutuhan untuk menikmati objek-objek spesifik seperti pemenuhan udara yang segar, pemandangan yang indah, pengolahan produk secara tradisional, maupun produkproduk pertanian modern dan spesifik menunjukkan peningkatan yang pesat. Hal ini merupakan signal tingginya permintaan akan agroekowisata dan sekaligus membuka peluang bagi pengembangan produk agribisnis baik dalam bentuk kawasan ataupun produk yang mempunyai daya tarik spesifik (Deptan, 2011). Salah satu usaha bisnis dibidang pertanian yang menekankan kepada penjualan jasa kepada konsumen adalah agroekowisata. Bentuk jasa tersebut dapat berupa keindahan, kenyamanan, ketentraman, dan pendidikan. Pengembangan usaha agroekowisata membutuhkan manajemen yang prima diantara subsistem, yaitu antara ketersediaan sarana dan prasarana wisata, objek yang dijual promosi dan pelayanannya (Deptan, 2011) Objek agroekowisata tidak hanya terbatas kepada objek dengan skala hamparan yang luas seperti yang terdapat pada areal perkebunan, tetapi juga dalam skala kecil karena keunikannya dapat menjadi objek wisata yang menarik. Dengan adanya wisatawan mendatangi objek wisata telah membuka peluang pasar tidak hanya bagi produk dan objek agroekowisata, tetapi juga pasar dan semua keperluan yang dibutuhkan masyarakat. Kecamatan Maurole memiliki potensi wilayah yang cukup dalam mendukung perkembangan aktivitas wisata. Potensi-potensi itu adalah potensi pertanian yang mencakup potensi tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan. Tanaman pangan yang cukup menonjol yaitu padi sawah, juga berbagai jenis sayuran dan buah-buahan (BPS, 2013). Demikianpun 9 dengan Kecamatan Kelimutu merupakan sentra pertanian hortikultura bagi masyarakat Kabupaten Ende. Terkait dengan penelitian ini, potensi yang diteliti di Keamatan Maurole mencakup pertanian padi sawah, pengambilan nira enau untuk pembuatan gula aren, dan arak, serta atraksi pantai. Atraksi padi sawah yang ditampilkan selama ini adalah dalam bentuk aktivitas pengolahan lahan secara manual dengan tenaga hewan atau membajak, menanam, memanen ,dan menanak dengan bambu. Sedangkan atraksi pengambilan nira enau yang ditampilkan adalah cara menyayat tandan enau, mengambil nira, alat yang digunakan, bahan pembuat minuman dari nira, dan alat penampung nira. Atraksi pembuatan gula aren dengan atraksi yang ditampilkan adalah alat, tungku memasak nira, alat cetak dan cara mencetak gula aren, kemasan, dan menjual gula aren. Atraksi pantai adalah keadaan pantai yang indah, tenang, bersih, dan telah menjadi destinasi singgah wisata layar dunia. Selanjutnya potensi yang diteliti di Kecamatan Kelimutu khususnya di Desa Waturaka, adalah yang berkaitan dengan potensi agrowisata tanaman hortikultura dan telah menjadi tempat tujuan wisata bagi wisatawan wisata layar. Terkait dengan berbagai potensi tersebut, hasil penelitian Gunarto (2011) menyatakan bahwa buah markisah solok memiliki keunikan yang luar biasa yakni rasanya sangat manis dan sangat potensial untuk dikembangkan di Solok. Karena keunikaanya, markisah sangat disukai oleh konsumen sehingga berdampak pada peningkatan pendapatan petani. Selanjutnya, Wihasta dan Prakoso (2012) mengemukakan bahwa perkembangan desa wisata termasuk agrowisata seperti desa wisata Kembang Arum berdampak pada kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kondisi sosial di desa wisata ini berkaitan dengan tingkat pendidikan, dan kondisi ekonomi terkait dengan kesejahteraan masyarakat. 10 Selain itu, usaha perkebunan dan peternakan dapat juga dijadikan atraksi agrowisata. Hasil penelitian Sujono (2010) menyatakan bahwa budidaya ternak kelinci dapat dijadikan sebagai atraksi wisata. Hal ini telah dibuktikan bahwa di Agrowisata Kota Batu para kelompok ternak kelinci telah menjadikan kelinci yang diolah menjadi bakso sebagai pendukung wisata. Manfaat bagi peternak yakni terjadinya peningkatan pendapatan. Potensi di Kecamatan Maurole yang tak kalah menariknya adalah potensi pariwisata yakni wisata bahari. Menurut Dahuri (2009) kawasan pesisir dan laut Indonesia merupakan tempat ideal bagi aktivitas pariwisata bahari. Dikatakannya jika potensi wisata bahari yang tersebar di kepulauan nusantara ini dikembangkan, maka nilai ekonominya sangat besar. Senada dengan pendapat tersebut, Gautama dan Sunarta (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa faktor menarik dalam melakukan kegiatan wisata bagi wisatawan adalah keramahan, pelayanan jasa, kondisi pesisir, kualitas dan keindahannya, dan berlayar memakai jukung. Aktivitas wisata layar merupakan salah satu bentuk wisata bahari. Wisata layar sangat diminati dan mengalami perkembangan yang pesat. Diperkirakan setiap tahun terdapat 10 juta jenis aktivitas wisata layar yang berkembang di dunia (Mesima, 2013). Secara rinci kondisi yang ada pada aktivitas masyarakat Kecamatan Maurole dapat dikemukakan sebagai berikut: pengembangan agroekowisata Kecamatan Maurole terjadi karena faktor ketidaksengajaan dan secara tak langsung memaksa masyarakat melakukan deversifikasi usaha pertanian. Hal ini diperkuat oleh hasil wawancara dengan pelaksana dan petugas pariwisata Kabupaten Ende (10 Oktober 2013), dan mengatakan bahwa: “aktivitas pertanian yang dilakukan petani adalah inisiatif mereka dan belum ada perencanaan dari pihak manapun untuk mengembangkannya dalam bentuk lain” (Fatima, 11 Komunikasi pribadi, 2013). Namun dengan adanya kegiatan sail Indonesia, Kecamatan Maurole dijadikan sebagai destinasi singgah. Terkait dengan itu, pihak pemerintah Kabupaten Ende berkoordinasi dengan masyarakat setempat dalam mempersiapkan kondisi di lokasi untuk menerima peserta sail dari berbagai negara. Selain itu, skala usaha pertanian yang dikembangkan masih bersifat semi komersial sehingga pendapatan atau income masih kecil. Di sisi lain, konversi usaha dan produk pertanian di Kecamatan Maurole juga disebabkan oleh aspek eksternal yang tidak dapat dihindari petani seperti harga pupuk yang meningkat drastis sehingga biaya tambah meningkat, sementara produksi pertanian menurun dan harga jual tidak mengalami kenaikan. Dengan demikian, salah satu alternatif pertimbangan petani dalam aktivitas pertanian adalah pengembangan agroekowisata sebagai salah satu bentuk mekanisme survival masyarakat agraris. Diasumsikan bahwa faktor penghambat lain adalah aktivitas pertanian belum sepenuhnya secara komprehensif, serta keterbatasan sumber daya menyebabkan partisipasi semua elemen masyarakat dalam pengembangan agroekowisata belum dapat dilaksanakan secara optimal. Kondisi ini juga diperkuat karena penggagas atau ide dikembangkannya aktivitas pertanian menjadi atraksi wisata yang bermuara pada agroekowisata bukan berasal dari petani sendiri. Ditinjau dari konteks modal sosial dalam pengembangan agroekowisata, belum dilakukan perencanaan secara sengaja baik oleh para petani setempat maupun oleh pemerintah serta stakeholder lainnya. Modal sosial masyarakat dalam aktivitas pertanian yang ditampilkan, merupakan hal yang alami sesuai dengan kultur dan karekateristik masyarakat yang bercirikan masyarakat pedesaan. Di samping itu, terbatasnya pengetahuan petani dalam bidang agroekowisata menyebabkan usaha pertanian belum dapat dikelola secara baik sesuai tujuannya, 12 dengan demikian modal sosial masyarakatpun belum dapat diimplementasikan secara baik. Berdasarkan penjabaran tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang Modal Sosial dalam Pengembangan Agroekowisata di Kabupaten Ende Flores Provinsi Nusa Tenggara Timur. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, secara umum dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini, di antaranya adalah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah pengaruh modal sosial terhadap perilaku dalam pengembangan agroekowisata di Kabupaten Ende? 2. Bagaimanakah pengaruh modal sosial dalam pengembangan agroekowisata di Kabupaten Ende? 3. Bagaimanakah pengaruh perilaku dalam pengembangan agroekowisata di Kabupaten Ende? 4. Bagaimanakah perumusan model modal sosial dalam pengembangan agroekowisata di Kabupaten Ende? 1.3 Tujuan Penelitian Memperhatikan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut. 1. Untuk menganalisis pengaruh modal sosial terhadap perilaku dalam pengembangan agroekowisata di Kabupaten Ende. 2. Untuk menganalisis pengaruh modal sosial dalam pengembangan agroekowisata di Kabupaten Ende. 3. Untuk menganalisis pengaruh perilaku petani dalam pengembangan agroekowisata di Kabupaten Ende. 13 4. Untuk merumuskan model modal sosial dalam pengembangan agroekowisata di Kabupaten Ende. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan manfaat praktis yang berkaitan dengan pengembangan agroekowisata berbasiskan modal sosial di Kabupaten Ende. Pada aspek teoritis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut. 1. Mampu menambah kasanah pengetahuan tentang modal sosial dalam pengembangan agroekowisata di Kabupaten Ende. 2. Dapat digunakan sebagai bahan informasi bagi peneliti lain yang memiliki kepedulian terhadap pengembangan agroekowisata berbasis modal sosial. Sedangkan manfaat secara praktis yang diharapkan adalah sebagai berikut. 1. Dapat mengungkapkan pendekatan-pendekatan yang perlu diambil dalam memberdayakan masyarakat dalam pengembangan agroekowisata dengan memanfaatkan modal sosial. 2. Dirumuskannya model pengembangan agroekowisata berbasis modal sosial. 3. Dapat menjadi bahan masukan dan saran bagi para pelaku pengembangan agroekowisata serta pengambil kebijakan (pemerintah), untuk memberdayakan dan merumuskan penyesuaian kelembagaan sebagai upaya pemberdayaan masyarakat dengan tetap memperhatikan kearifan lokal sebagai bagian dari modal sosial. 14