1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan sektor
pertanian sebagai sumber mata pencaharian dari mayoritas penduduknya. Dengan
demikian sebagian besar penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya pada
sektor pertanian. Laporan bulanan data sosial Badan Pusat Statistik (BPS) Mei
2012, menunjukkan penduduk Indonesia yang bekerja menurut lapangan pekerjaan
utama masih didominasi sektor pertanian. Pada Februari 2012 pekerja di sektor
pertanian berjumlah 41,20 juta jiwa. Mengikuti sektor pertanian, lapangan
pekerjaan utama lainnya adalah perdagangan, jasa kemasyarakatan, dan sektor
industri yang secara berurutan masih menjadi penyumbang terbesar penyerapan
tenaga kerja.
Data BPS (2012) menunjukkan, jika dibandingkan dengan keadaan Agustus
2011, jumlah penduduk yang bekerja mengalami kenaikan terutama di sektor
pertanian sebesar 1,9 juta orang (4,76%), sektor jasa kemasyarakatan sebesar 720
ribu orang (4,32%), serta sektor perdagangan sekitar 620 ribu orang (2,65%).
Sedangkan sektor yang mengalami penurunan adalah sektor industri sebesar 330
ribu (2,27%) dan sektor konstruksi sebesar 240 ribu orang (3,78% ). Mencermati
data tersebut, berarti sampai saat ini sektor pertanian masih menjadi tumpuan
harapan, tidak hanya dalam upaya menjaga ketahanan pangan nasional tetapi juga
dalam penyediaan lapangan kerja, penyumbang devisa bagi negara dan sumber
pendapatan masyarakat.
1
2
Di sisi lain, pembangunan pertanian merupakan salah satu
upaya
mengatasi masalah kemiskinan. Terutama pada kelompok masyarakat petani yang
termarginalkan. Arifin (2005) mengatakan bahwa pembangunan pertanian
Indonesia
mempunyai
beberapa
agenda
pokok,
yang
berkaitan
dengan
kontribusinya terhadap pengentasan kemiskinan.Terutama terhadap kelompok
petani miskin yang dengan melakukan pemberdayaan dan pengefektifan jaringan
kerja pada sentra produksi pertanian dan pusat-pusat pasar di perkotaan
dan
daerah lain. Agenda pokok yang dikemukakan tersebut mencerminkan bahwa
ketersediaan kebutuhan pangan dan gizi yang cukup di dalam negeri, serta
perbaikan kualitas hidup masyarakat pada umumnya dan petani khususnya,
merupakan pertimbangan yang sangat penting.
Selanjutnya,
tujuan
pembangunan
pertanian
yang
ingin
dicapai
Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014 adalah mewujudkan sistem pertanian
industrial unggul berkelanjutan yang berbasis sumberdaya lokal, meningkatkan dan
memantapkan swasembada berkelanjutan, menumbuh-kembangkan ketahanan
pangan dan gizi termasuk diversifikasi pangan, meningkatkan nilai tambah, daya
saing, dan ekspor produk pertanian, serta meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan petani (Kementrian Pertanian, 2014).
Namun realitas menunjukkan bahwa pembangunan pertanian dan pedesaan
yang dilaksanakan di Indonesia belum mendapat perhatian yang serius. Rizqulloh
(2012) menuliskan bahwa petani tidak lagi memegang peran sebagai penghasil
dan pencipta dalam setiap tahapan kegiatan bertani. Namun justru dimanfaatkan
tak lebih hanya sebagai pekerja dan konsumen. Hal ini diperparah dengan
kenyataan bahwa kegiatan dalam bertani justru diatur oleh pihak di luar dirinya,
seperti pemerintah, pasar ataupun perusahaan swasta. Sementara itu, para petani
3
masih diarahkan untuk menggunakan pupuk, pestisida, insektisida kimia yang
cenderung berlebihan.
Arah pembangunan yang demikian berdampak pada hal-hal berikut:
(1) secara tak langsung telah menanamkan pola pikir petani bahwa bertani adalah
dengan pupuk, pestisida, dan insektisida kimia yang semuanya perlu dibeli dari
perusahaan-perusahaan besar dengan biaya mahal; (2) melonjaknya biaya
produksi pertanian dan pada saat yang bersamaan menurunkan kualitas lahan
secara terus menerus; (3) penurunan produktivitas lahan dalam jangka panjang;
(4) masih rendahnya kesadaran para pemangku kepentingan di daerah-daerah
untuk mempertahankan lahan pertanian produksi, menjadi salah satu penyebab
kurangnya ketersediaan infrastruktur penunjang pertanian terutama sumber air;
(5) produksi tanaman pangan yang cenderung menurun dan membuat kondisi para
petani semakin sengsara atau miskin; (6) adanya kebijakan untuk mengimpor
beberapa komoditi tanaman produksi pertanian semakin meningkat; (7) keengganan generasi muda untuk berkecimpung dalam dunia pertanian; (8) kelemahan dalam sistem alih teknologi karena tidak semua teknologi dapat diadopsi
dan diterapkan. Hal ini disebabkan karakteristik dan kondisi lahan pertanian di
negara sumber teknologi berbeda dengan negara Indonesia. Teknologi tersebut
perlu dipelajari, dimodifikasi, dikembangkan, dan selanjutnya baru diterapkan ke
dalam sistem pertanian Indonesia. Dalam hal ini peran kelembagaan sangatlah
penting, baik dalam inovasi alat dan mesin pertanian yang memenuhi kebutuhan
petani maupun dalam pemberdayaan masyarakat; (9) masih panjangnya mata rantai
tata niaga pertanian, sehingga menyebabkan petani tidak dapat menikmati harga
yang lebih baik, karena pedagang telah mengambil untung terlalu besar dari hasil
penjualan; dan (10) terbatasnya akses layanan usaha terutama
permodalan.
4
Kemampuan petani untuk membiayai usaha taninya sangat terbatas sehingga
produktivitas yang dicapai masih di bawah produktivitas potensial.
Mengingat keterbatasan petani dalam permodalan dan rendahnya
aksesibilitas terhadap sumber permodalan formal, maka dilakukan pengembangan
dan mempertahankan beberapa penyerapan input produksi biaya rendah (low cost
production) yang sudah berjalan ditingkat petani. Selain itu, penanganan pasca
panen dan pemberian kredit lunak serta bantuan langsung kepada para petani
sebagai pembiayaan usaha tani cakupannya diperluas. Sebenarnya, pemerintah
telah menyediakan anggaran sampai 20 triliun untuk bisa diserap melalui tim
kredit usaha rakyat (KUR) dan Bank BRI khusus kredit bidang pangan dan energi.
Berdasarkan hal tersebut, maka hal penting yang perlu diperhatikan adalah
merubah pola pikir masyarakat mengenai potret petani Indonesia, merubah pola
pikir para petani bahwa bertani dan meningkatkan hasil pertanian tidak harus
menggunakan pupuk kimia produksi perusahaan, serta membangun sikap mental
kemandirian sebagai keseharian dalam bertani.
Konsep kelembagaan lokal yang masih minim pada pengambil kebijakan
pada hampir semua level mengakibatkan rendahnya peran serta masyarakat lokal
baik sebagai pelaku maupun sebagai pengeskploitasi hasil pembangunan. Fatah
(2010) mengemukakan bahwa salah satu penyebab kekurang-berhasilan dalam
pencapaian pembangunan pertanian dan pedesaan adalah lemahnya pelibatan
dalam pemanfaatan organisasi yang telah ada di tengah masyarakat pertanian dan
pedesaan itu sendiri. Selanjutnya, Syahyuti (2011) mengungkapkan bahwa
kelembagaan lokal dianggap tidak memiliki jiwa ekonomi yang memadai. Bahkan
Chambers (1983) mengatakan bahwa kesalahan fatal yang dilakukan oleh para
profesional adalah adanya bias sebagai outsider, di mana mereka juga tidak
5
percaya bahwa masyarakat lokal (petani) tersebut adalah sumber ilmu dan
teknologi. Oleh karena itu, pandangan yang keliru tersebut harus dihilangkan, dan
sebaliknya segala bentuk ketradisionalan seperti sosial, adat-budaya desa dan
masyarakat harus diberdayakan guna mencapai tujuan pembangunan pertanian dan
pedesaan (Elizabeth, 2010).
Widodo (2010) mengemukakan modernisasi pembangunan pedesaan
dengan prespektif modernisasi berasumsi pada dua kutub yang saling berbeda,
yaitu pemerintah dalam posisi superior (pusat) dan masyarakat pedesaan sebagai
posisi inferior (periferi). Kebijakan pembangunan selalu topdown dan didominasi
oleh pemerintah karena anggapan masyarakat desa belum mampu memberdayakan
dirinya serta adanya hambatan budaya tradisional dan nilai-nilai lokal sehingga
diganti dengan budaya modern yang lebih produktif. Konsep ini justru
mengakibatkan tergerusnya budaya dan nilai-nilai lokal yang telah ada dalam
kehidupan masyarakat desa sejak dahulu kala.
Fakta menunjukkan bahwa dalam pembangunan, modal merupakan salah
satu faktor produksi penting. Adapun modal yang dimaksud adalah modal
budaya, modal manusia, modal alam, dan modal sosial. Seperti halnya modal fisik
atau modal manusia yang dapat meningkatkan produktivitas individu dan
kelompok maka modal sosial pun demikian.
Modal sosial merupakan konsep sosiologi yang digunakan dalam beragam ilmu
seperti bisnis,
ekonomika, perilaku organisasi, politik, kesehatan masyarakat, dan
ilmu-ilmu sosial. Semua itu untuk menggambarkan adanya hubungan di dalam
dan antarjejaring sosial. Jejaring itu memiliki nilai (Hasbullah, 2006). Bourdieu
(1986) membedakan tiga bentuk modal yakni modal ekonomi, modal budaya, dan
modal sosial. Modal sosial didefinisikan sebagai keseluruhan sumber daya aktual
6
atau potensial terkait dengan kepemilikan jaringan hubungan yang tahan lama dan
dilembagakan karena saling kenal dan adanya pengakuan.
Sementara itu Coleman (1999) berpendapat modal sosial secara fungsi
adalah berbagai entitas dengan dua elemen yang sama: semua itu terdiri dari
beberapa aspek struktur sosial, dan memfasilitasi tindakan tertentu. Jadi modal
sosial memfasilitasi kegiatan individu dan kelompok yang dikembangkan oleh
jaringan, hubungan timbal balik, kepercayaan dan norma sosial. Modal sosial,
merupakan sumberdaya yang netral dan memfasilitasi setiap kegiatan di mana
masyarakat bisa menjadi lebih baik dan bergantung pada pemanfaatan modal sosial
oleh setiap individu.
Menurut Putnam (2006) modal sosial sebagai nilai kolektif dari semua
jaringan sosial dan kecenderungan untuk melakukan peningkatan hubungan satu
sama lain. Putnam percaya modal sosial dapat diukur dari besarnya kepercayaan
dan timbal balik dalam suatu masayarakat atau di antara individu-individu. Selain
itu, konsep modal sosial memiliki pendekatan yang lebih pada unsur individual.
Investasi dalam hubungan sosial dikaitkan dengan harapan diperolehnya
profit
dari pasar terutama hubungan modal sosial dengan pembangunan atau
pengembangan masyarakat. Fukuyama (1996) mengatakan modal sosial adalah
sebagai prakondisi untuk keberhasilan pembangunan. Alasannya modal sosial yang
kuat menjadi syarat pokok dalam mencapai pertumbuhan ekonomi dan politik yang
kuat. Dikupas juga tentang pentingnya modal sosial berbasis pada kepercayaan.
Dalam keseharian, masyarakat berinteraksi dengan modal sosial yang kuat yang
ditunjukkan dengan suasana saling percaya antarwarga. Bentuk modal ini memiliki
hubungan erat dengan tercapainya tingkat kesejahteraan masyarakat atau bangsa.
Pada kasus pengembangan konsep local economic development (LED)
7
agricultural sector atau pengembangan ekonomi lokal dalam sektor pertanian.
LED di Indonesia, terutama pada wilayah perdesaan yang dominasi kegiatannya
adalah pertanian, modal sosial menjadi hal yang perlu ditemukenali untuk
menopang kegiatan ekonomi lokal berbasis pertanian.
Pertanian di Kabupaten Ende memiliki sejumlah potensi dan kendala dalam
pengembangan ekonomi lokal wilayahnya terutama pada Kecamatan Maurole dan
Kecamatan Kelimutu yang menjadi fokus penelitian. Pertanian merupakan
aktivitas ekonomi dengan rentang kegiatan produksi dan pemasaran pada jangka
waktu yang relatif pendek. Hal ini tidak dapat terlepas dari karakteristik hasil
pertanian tersebut dengan usia masa penggunaan yang pendek, yakni masa
kesegaran produk pertaniannya relatif singkat setelah dipanen sehingga harus cepat
dipasarkan. Kegiatan pertanian di Kecamatan Maurole Kabupaten Ende memiliki
peluang dalam akses pemasaran karena berada pada lokasi yang strategis.
Dikatakan strategis karena lokasi aktivitas pertanian
berada
dekat pantai
yang tenang dan indah serta mudah diakses baik laut, udara dan darat. Berdasarkan
pertimbangan tersebut juga pantai Kecamatan Maurole ditetapkan sebagai salah
satu destinasi singgah wisata layar yang diikuti beberapa negara.
Selain itu,
Kecamatan Kelimutu juga memiliki karakteristik sebagai wilayah pertanian di
daerah pegunungan yang memiliki daya tarik yang ditunjang dengan keberadaan
Danau Tiga Warna Kelimutu.
Komoditas yang diusahakan dalam aktivitas pertanian mencakup tanaman
pangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan
dengan
keragaman dan keunikan bernilai tinggi serta diperkuat oleh variasi kekayaan
kultural
menjadi
daya
tarik
sebagai
agroekowisata
berbasis
pertanian.
Keseluruhannya sangat berpeluang besar menjadi andalan dalam perekonomian
8
Indonesia (Deptan, 2011). Sehubungan dengan potensi tersebut, preferensi dan
motivasi wisatawan berkembang secara dinamis. Kecenderungan
kebutuhan untuk menikmati objek-objek spesifik seperti
pemenuhan
udara yang segar,
pemandangan yang indah, pengolahan produk secara tradisional, maupun produkproduk pertanian modern dan spesifik menunjukkan peningkatan yang pesat. Hal
ini merupakan signal tingginya permintaan akan agroekowisata dan sekaligus
membuka peluang bagi pengembangan produk agribisnis baik dalam bentuk
kawasan ataupun produk yang mempunyai daya tarik spesifik (Deptan, 2011).
Salah satu usaha bisnis dibidang pertanian yang menekankan kepada
penjualan jasa kepada konsumen adalah agroekowisata. Bentuk jasa tersebut dapat
berupa keindahan, kenyamanan, ketentraman, dan pendidikan. Pengembangan
usaha agroekowisata membutuhkan manajemen yang prima diantara subsistem,
yaitu antara ketersediaan sarana dan prasarana wisata, objek yang dijual promosi
dan pelayanannya (Deptan, 2011)
Objek agroekowisata tidak hanya terbatas kepada objek dengan skala
hamparan yang luas seperti yang terdapat pada areal perkebunan, tetapi juga
dalam skala kecil karena keunikannya dapat menjadi objek wisata yang menarik.
Dengan adanya wisatawan mendatangi objek wisata telah membuka peluang pasar
tidak hanya bagi produk dan objek agroekowisata, tetapi juga pasar dan semua
keperluan yang dibutuhkan masyarakat.
Kecamatan Maurole memiliki potensi wilayah yang cukup dalam
mendukung perkembangan aktivitas wisata. Potensi-potensi itu adalah potensi
pertanian yang mencakup potensi tanaman pangan, perkebunan, kehutanan,
peternakan, dan perikanan. Tanaman pangan yang cukup menonjol yaitu padi
sawah, juga berbagai jenis sayuran dan buah-buahan (BPS, 2013). Demikianpun
9
dengan Kecamatan Kelimutu merupakan sentra pertanian hortikultura bagi
masyarakat Kabupaten Ende.
Terkait dengan penelitian ini, potensi yang diteliti di Keamatan Maurole
mencakup pertanian padi sawah, pengambilan nira enau untuk pembuatan gula
aren, dan arak, serta atraksi pantai. Atraksi padi sawah yang ditampilkan selama ini
adalah dalam bentuk aktivitas pengolahan lahan secara manual dengan tenaga
hewan atau membajak, menanam, memanen ,dan menanak dengan bambu.
Sedangkan atraksi pengambilan nira enau yang ditampilkan adalah cara menyayat
tandan enau, mengambil nira, alat yang digunakan, bahan pembuat minuman dari
nira, dan alat penampung nira. Atraksi pembuatan gula aren dengan atraksi yang
ditampilkan adalah alat, tungku memasak nira, alat cetak dan cara mencetak gula
aren, kemasan, dan menjual gula aren. Atraksi pantai adalah keadaan pantai yang
indah, tenang, bersih, dan telah menjadi destinasi singgah wisata layar dunia.
Selanjutnya potensi yang diteliti di Kecamatan Kelimutu khususnya di Desa
Waturaka, adalah yang berkaitan dengan potensi agrowisata tanaman hortikultura
dan telah menjadi tempat tujuan wisata bagi wisatawan wisata layar.
Terkait dengan berbagai potensi tersebut, hasil penelitian Gunarto (2011)
menyatakan bahwa buah markisah solok memiliki keunikan yang luar biasa yakni
rasanya sangat manis dan sangat potensial untuk dikembangkan di Solok. Karena
keunikaanya, markisah sangat disukai oleh konsumen sehingga berdampak pada
peningkatan pendapatan petani. Selanjutnya, Wihasta dan Prakoso (2012)
mengemukakan bahwa perkembangan desa wisata termasuk agrowisata seperti
desa wisata Kembang Arum berdampak pada kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Kondisi sosial di desa wisata ini berkaitan dengan tingkat pendidikan, dan kondisi
ekonomi terkait dengan kesejahteraan masyarakat.
10
Selain itu, usaha perkebunan dan peternakan dapat juga dijadikan atraksi
agrowisata. Hasil penelitian Sujono (2010) menyatakan bahwa budidaya ternak
kelinci dapat dijadikan sebagai atraksi wisata. Hal ini telah dibuktikan bahwa di
Agrowisata Kota Batu para kelompok ternak kelinci telah menjadikan kelinci yang
diolah menjadi bakso sebagai pendukung wisata. Manfaat bagi peternak yakni
terjadinya peningkatan pendapatan.
Potensi di Kecamatan Maurole yang tak kalah menariknya adalah potensi
pariwisata yakni wisata bahari. Menurut Dahuri (2009) kawasan pesisir dan laut
Indonesia merupakan tempat ideal bagi aktivitas pariwisata bahari. Dikatakannya
jika potensi wisata bahari yang tersebar di kepulauan nusantara ini dikembangkan,
maka nilai ekonominya sangat besar. Senada dengan pendapat tersebut, Gautama
dan Sunarta (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa faktor menarik dalam
melakukan kegiatan wisata bagi wisatawan adalah keramahan, pelayanan jasa,
kondisi pesisir, kualitas dan keindahannya, dan berlayar memakai jukung.
Aktivitas wisata layar merupakan salah satu bentuk wisata bahari. Wisata layar
sangat diminati dan mengalami perkembangan yang pesat. Diperkirakan setiap
tahun terdapat 10 juta jenis aktivitas wisata layar yang berkembang di dunia
(Mesima, 2013). Secara rinci kondisi yang ada pada aktivitas masyarakat
Kecamatan Maurole dapat dikemukakan sebagai berikut: pengembangan agroekowisata Kecamatan Maurole terjadi karena faktor ketidaksengajaan dan secara
tak langsung memaksa masyarakat melakukan deversifikasi usaha pertanian. Hal
ini diperkuat oleh hasil wawancara dengan pelaksana dan petugas pariwisata
Kabupaten Ende (10 Oktober 2013), dan mengatakan bahwa: “aktivitas pertanian
yang dilakukan petani adalah inisiatif mereka dan belum ada perencanaan dari
pihak manapun untuk mengembangkannya dalam bentuk lain” (Fatima,
11
Komunikasi pribadi, 2013). Namun dengan adanya kegiatan sail Indonesia,
Kecamatan Maurole dijadikan sebagai destinasi singgah. Terkait dengan itu, pihak
pemerintah Kabupaten Ende berkoordinasi dengan masyarakat setempat dalam
mempersiapkan kondisi di lokasi untuk menerima peserta sail dari berbagai negara.
Selain itu, skala usaha pertanian yang dikembangkan masih bersifat semi
komersial sehingga pendapatan atau income masih kecil. Di sisi lain, konversi
usaha dan produk pertanian di Kecamatan Maurole juga disebabkan oleh aspek
eksternal yang tidak dapat dihindari petani seperti harga pupuk yang meningkat
drastis sehingga biaya tambah meningkat, sementara produksi pertanian menurun
dan harga jual tidak mengalami kenaikan. Dengan demikian, salah satu alternatif
pertimbangan petani dalam aktivitas pertanian adalah pengembangan agroekowisata sebagai salah satu bentuk mekanisme survival masyarakat agraris.
Diasumsikan bahwa faktor penghambat lain adalah aktivitas pertanian
belum sepenuhnya secara komprehensif, serta keterbatasan sumber daya
menyebabkan partisipasi semua elemen masyarakat dalam pengembangan
agroekowisata belum dapat dilaksanakan secara optimal. Kondisi ini juga
diperkuat karena penggagas atau ide dikembangkannya aktivitas pertanian menjadi
atraksi wisata yang bermuara pada agroekowisata bukan berasal dari petani sendiri.
Ditinjau dari konteks modal sosial dalam pengembangan agroekowisata,
belum dilakukan perencanaan secara sengaja baik oleh
para petani setempat
maupun oleh pemerintah serta stakeholder lainnya. Modal sosial masyarakat dalam
aktivitas pertanian yang ditampilkan, merupakan hal yang alami sesuai dengan
kultur dan karekateristik masyarakat yang bercirikan masyarakat pedesaan. Di
samping itu, terbatasnya pengetahuan petani dalam bidang agroekowisata
menyebabkan usaha pertanian belum dapat dikelola secara baik sesuai tujuannya,
12
dengan demikian modal sosial masyarakatpun belum dapat diimplementasikan
secara baik. Berdasarkan penjabaran tersebut, maka perlu dilakukan penelitian
tentang Modal Sosial dalam Pengembangan Agroekowisata di Kabupaten Ende
Flores Provinsi Nusa Tenggara Timur.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, secara umum dapat dirumuskan
masalah dalam penelitian ini, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah pengaruh modal sosial terhadap perilaku dalam pengembangan
agroekowisata di Kabupaten Ende?
2. Bagaimanakah pengaruh modal sosial dalam pengembangan agroekowisata
di Kabupaten Ende?
3. Bagaimanakah pengaruh perilaku dalam pengembangan agroekowisata di
Kabupaten Ende?
4. Bagaimanakah
perumusan
model
modal
sosial
dalam
pengembangan
agroekowisata di Kabupaten Ende?
1.3 Tujuan Penelitian
Memperhatikan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan
penelitian ini sebagai berikut.
1. Untuk menganalisis pengaruh modal sosial terhadap perilaku dalam
pengembangan agroekowisata di Kabupaten Ende.
2. Untuk menganalisis pengaruh modal sosial dalam pengembangan agroekowisata di Kabupaten Ende.
3. Untuk menganalisis pengaruh perilaku petani dalam pengembangan
agroekowisata di Kabupaten Ende.
13
4. Untuk merumuskan model modal sosial dalam pengembangan agroekowisata
di Kabupaten Ende.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis
dan manfaat praktis yang berkaitan dengan pengembangan agroekowisata
berbasiskan modal sosial di Kabupaten Ende. Pada aspek teoritis, hasil penelitian
ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut.
1. Mampu menambah kasanah pengetahuan tentang modal sosial dalam
pengembangan agroekowisata di Kabupaten Ende.
2. Dapat digunakan sebagai bahan informasi bagi peneliti lain yang memiliki
kepedulian terhadap pengembangan agroekowisata berbasis modal sosial.
Sedangkan manfaat secara praktis yang diharapkan adalah sebagai berikut.
1. Dapat mengungkapkan pendekatan-pendekatan yang perlu diambil dalam
memberdayakan masyarakat dalam pengembangan agroekowisata dengan
memanfaatkan modal sosial.
2. Dirumuskannya model pengembangan agroekowisata berbasis modal sosial.
3. Dapat menjadi bahan masukan dan saran bagi para pelaku pengembangan
agroekowisata serta pengambil kebijakan (pemerintah), untuk memberdayakan
dan merumuskan penyesuaian kelembagaan sebagai upaya pemberdayaan
masyarakat dengan tetap memperhatikan kearifan lokal sebagai bagian dari
modal sosial.
14
Download