1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Hak asasi manusia merupakan hak fundamental yang bersifat konstitusional bagi bangsa Indonesia. Menelaah ketentuan dalam konstitusi sebagai dasar kehidupan bernegara yang mengedepankan hukum sebagai pilar utama. Hal ini merupakan jaminan atas perlindungan hak asasi manusia sebagai negara hukum. The Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, (yang dalam penelitian ini disebut dengan The UDHR) diumumkan melalui Resolusi Majelis Umum Perserikatan BangsaBangsa Nomor 217A (III) pada tanggal 10 Desember 1948. Dokumen ini merupakan cikal bakal hak asasi manusia yang berlaku secara internasional, The UDHR menjadi dasar bagi negara-negara untuk membentuk The International Covenant on The Civil and Political Rights (yang dalam penelitian ini disebut dengan The ICCPR). The ICCPR Diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi The International Covenant on The Civil and Political Rights pada 28 Oktober 2005.1 1 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119. 2 Pasal 10 The UDHR menyatakan bahwa setiap orang, dalam persamaan yang penuh, berhak atas peradilan yang adil, terbuka, bebas dan tidak memihak, dalam menetapkan hak dan kewajiban-kewajibannya serta dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan kepadanya. 2 Pasal 7 The UDHR menyatakan bahwa semua orang adalah sama di muka hukum dan tanpa diskriminasi apapun berhak atas perlindungan hukum yang sama. Semua orang berhak atas perlindungan yang sama dari diskriminasi apapun yang melanggar deklarasi ini, dan dari hasutan apapun untuk diskriminasi seperti itu. Ketentuan ini pada dasarnya merupakan suatu klausul non diskriminasi yang mencakup tiga aspek, yaitu, persamaan dimuka hukum, perlindungan hukum yang sama, dan perlindungan dari diskriminasi. 3 Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Artinya, semua orang diperlakukan sama di depan hukum. Dengan demikian konsep equality before the law telah diintrodusir dalam konstitusi, suatu pengakuan tertinggi dalam sistem peraturan perundang-undangan di tanah air.4 2 Adnan Buyung Nasution, 2001, Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Azasi Manusia, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, hlm 98. 3 Leo Zwaak, 2001, Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Azasi Manusia, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, hlm 200. 4 Yelina Rachma P, 2010, Tinjauan Tentang Pengaturan Azas Penyampingan Perkara Demi Kepentingan Umum (Azas Opportunitas) Dalam Kuhap Dan Relevansinya Dengan Azas Persamaan Kedudukan Di Muka Hukum (Equality Before The Law), Fakultas Hukum Universitas Negeri Surakarta, Surakarta, hlm xvii. 3 “Equality before the law adalah pilar utama dari bangunan negara hukum yang mengutamakan hukum di atas segalanya Pengakuan kedudukan tiap individu di muka hukum ditempatkan dalam kedudukan yang sama tanpa memandang status sosial (social stratum)”.5 Sejatinya konstitusi dibentuk untuk membatasi kekuasaan agar tidak diterapkan secara sewenang-wenang. Dengan demikian, pengaturan mengenai hak asasi manusia selalu disejajarkan dengan materi-materi lain dalam suatu konstitusi negara. Salah satu ciri dari negara hukum adalah adanya jaminan hak-hak asasi manusia, disamping pemisahan kekuasaan, legalitas pemerintahan, dan peradilan yang bebas.6 Azas equaity before the law yang terdapat dalam The UDHR dan konstitusi merupakan sebuah jaminan terhadap terselenggaranya fair trial, hak atas administrasi peradilan yang baik (right to fair trial) bagi setiap individu yang dijamin negara sebagai negara peratifikasi The ICCPR. The ICCPR diadopsi dan dibuka untuk penandatanganan ratifikasi dan aksesi oleh Resolusi Majelis Umum Nomor 2200A (XXI) pada 16 Desember 1966, dan berlaku pada 23 November 1976). Dalam mukadimah paragraf ketiga, The ICCPR menuangkan pernyataan bahwa individu yang mempunyai kewajiban terhadap individu lainnya dan terhadap komunitas yang 5 6 Ibid. hlm xlv. B. Hestu Cipto Handoyo, 2003, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan, dan Hak Azasi Manusia, Andi offset, Yogyakarta, hlm 272. 4 didalamnya, termasuk bertanggung jawab untuk berusaha keras bagi pemajuan dan penataan hak asasi manusia yang diakui didalamnya. Pasal 14 ayat (3) The ICCPR menentukan standar minimal dalam beberapa tahapan sebagai standar fair trial, antaranya, semua orang berhak untuk diinformasikan perihal tuntutan yang dikenakan kepadanya secara rinci. Semua orang berhak diberikan waktu dan fasilitas yang memadai untuk persiapannya melakukan pembelaan. Hak terdakwa untuk membela diri, baik dilakukan secara langsung atau melalui kuasa hukum (penasehat hukum) yang ditunjuknya sendiri. Dalam pemeriksaan, harus dihadirkan para saksi, tidak hanya yang memberatkan terdakwa, tetapi juga saksi yang meringankannya. Semua orang berhak mendapatkan atau menggunakan penerjemah, dalam hal ia tidak mengerti dan tidak dapat berbicara dalam bahasa resmi yang digunakan dalam pengadilan.7 Selain mengacu pada The UDHR dan konstitusi, Indonesia memiliki instrumen tentang pengaturan peradilan yakni Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (yang dalam penelitian ini disebut dengan UU Kekuasaan Kehakiman). Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa, pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Ayat (2), pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Artinya 7 Adnan Buyung Nasution, Op. Cit. hlm 99. 5 pembaharuan kekuasaan kehakiman sebagai pemegang praktek utama dalam pelaksanaan fair trial di Indonesia didasari peraturan ini. Pertimbangan UU Kekuasaan Kehakiman memuat tujuan untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih, serta berwibawa perlu dilakukan penataan sistem peradilan yang terpadu.8 Penulis berpikir bahwa hal ini merupakan cara yang positif dalam mendukung pelaksanaan fair trial dengan merujuk The UDHR dan The ICCPR sebagai sumber yang berdasar pada azas equality before the law, yang nantinya dapat dilihat bagaimana hal ini dapat menjadi perlindungan terhadap peradilan di Indonesia atas hak fair trial. Kedududkan The ICCPR dan UU Kekuasaan Kehakiman berada pada posisi yang sama yakni sebagai peraturan yang mengikat bagi Indonesia yang tentunya membebankan hak dan kewajiban bagi Indonesia untuk melaksanakannya. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia,9 memuat pernyataan definitif bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng. Oleh karena itu, hak asasi manusia harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, dirampas oleh siapapun. Bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan The UDHR yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, 8 Lihat Mukadimah bagian pertimbangan Huruf b Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 9 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165. 6 serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia.10 Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak-hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan keadaan apapun dan oleh siapapun. Perlindungan hak asasi manusia atas administrasi peradilan yang baik (fair trial) dengan dasar persamaan dimuka hukum (equality before law) telah diatur dalam beberapa instrumen, baik instrumen nasional maupun instrumen internasional, maka dari berbagai instrumen tersebut dikaji esensi dari pengaturanya, sehingga dapat dipahami standar perlindungan hak asasi di bidang peradilan. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penulisan hukum ini, adalah sebagai berikut : A. Bagaimana pengaturan azas equality before the law dalam The ICCPR dan dalam UU Kekuasaan Kehakiman terhadap praktik peradilan di Indonesia ? 10 Mukadimah bagian pertimbangan huruf b dan d Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. 7 B. Apa saja indikator yang diperlukan untuk mendukung terciptanya azas equality before the law dalam praktik peradilan di Indonesia ? C. Tujuan Tujuan penelitian dalam penulisan hukum ini, antaranya sebagai berikut : 1. Tujuan subjektif Memperoleh data dan informasi dalam rangka penulisan hukum sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 2. Tujuan objektif a. Mengetahui pengaturan azas equality before the law dalam The ICCPR dan dalam UU Kekuasaan Kehakiman terhadap praktik peradilan di Indonesia. b. Mengetahui indikator-Indikator yang diperlukan untuk mendukung terciptanya azas equality before the law dalam praktik peradilan di Indonesia. D. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang telah dilaksanakan, sepengetahuan Penulis sampai saat ini belum ada penelitian yang mengkaji mengenai komparasi The ICCPR dengan UU Kekuasaan Kehakiman, adapun 8 ditemukan penelitian-penelitian yang berkaitan dengan The ICCPR, mengangkat topik lain, sedangkan penelitian yang berkaitan dengan aspek Kekuasaan Kehakiman yakni : 1. Penulisan Hukum dengan judul “Penerapan Independensi Kekuasaan Kehakiman Pada Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Dalam Kerangka Negara Hukum Indonesia” yang ditulis oleh Bonar Cornellius Pasaribu, sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Gadjah Mada, pada tahun 2011. Dalam Penulisannya beliau meneliti pentingnya pengadilan hak asasi manusia ad hoc dalam sistem kekuasaan kehakiman Indonesia, dan penerapan prinsip independensi kekuasaan kehakiman pada pengadilan hak asasi manusia ad hoc dalam kerangka negara hukum Indonesia. Kekuasaan kehakiman dipandang sebagai suatu penegak dalam negara hukum, lalu melihat bagaimana peranan pengadilan sebagai prosesnya, dalam hal ini pengadilan hak asasi manusia ad hoc, lalu menelusuri bagaimana independensi dari pada proses ini. 11 Hasil menunjukan independensi kekuasaan kehakiman belum diterapkan dengan baik, terbukti dengan pengadilan yang membebaskan semua terdakwa, dengan kata lain tidak ada satu orang pun yang divonis bersalah, yang disayangkan juga, keluarnya putusan ini karena beberapa bentuk tekanan dari berbagai pihak selama proses persidangan, yang pada akhirnya 11 Bonar Cornellius Pasaribu, 2011, Penerapan Independensi Kekuasaan Kehakiman Pada Pengadilan Hak Azasi Manusia Ad Hoc Dalam Kerangka Negara Hukum Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. hlm 15. 9 peradilan terjadi untuk mengakhiri, bukan mengadili. 12 Penulisan hukum diatas dan penulisan hukum yang dilakukan Penulis sama-sama mengkaji tentang peradilan, hak asasi manusia di Indonesia serta kaitannya dengan pengaturan kekuasaan kehakiman. Perbedaannya adalah Penulis selain mengkaji aturan-aturan yang ada dalam pengaturan Kekuasaan kehakiman juga mengkaji aturan-aturan internasional yang telah mengikat, dan mengkomparasikannya menjadi suatu tinjauan yang standar. Namun, jika kemudian didapat ada penelitian yang serupa tanpa sepengetahuan Penulis, maka penelitian ini diharapkan dapat memperkuat dan menjadi pelengkap penelitian sebelumnya. E. Manfaat 1. Manfaat Akademis Kontribusi pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum umumnya, khususnya hukum hak asasi manusia internasional dibidang perlindungan hak atas administrasi peradilan yang baik, serta dapat dijadikan referensi yang bermanfaat bagi pembaca. 2. Manfaat Praktis Sebagai rujukan bagi setiap elemen pembaca agar dapat terimplementasinya fair trial berdasarkan equalility before the law, 12 Ibid. hlm 187. 10 mengingat butuh pemahaman yang mendalam agar hal yang mendasar dalam peradilan ini dapat terlaksana.