TINGKAT KENYAMANAN KAWASAN PERMUKIMAN BERDASARKAN KAJIAN IKLIM MIKRO Makalah Disusun Oleh: A NEGE R M 0J O I 2 SM A. Faruq Hamdani, S.Pd OKER T PEMERINTAH KOTA MOJOKERTO DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UPT SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 2 Jalan Raya Ijen 09 (0321) 321505 Fax. (0321) 331116 Mojokerto 61317 Website : www.sman2mojokerto.com email : [email protected] BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cuaca dan iklim adalah proses interaktif alami (kimia, biologis, dan fisis) di alam, khususnya di atmosfer. Hal ini terjadi karena adanya sumber energi, yaitu Matahari dan gerakan rotasi Bumi pada poros (kurang 24 jam) serta revolusi Bumi mengelilingi Matahari. Peristiwa ini, pendekatan fisis lebih dominan daripada kimia dan biologis. Cuaca sebagai kondisi udara sesaat dan iklim sebagai kondisi udara rata-rata dalam kurun waktu tertentu merupakan hasil interaksi proses fisis (Ditjen Penataan Ruang, 2007). Lebih lanjut cuaca diartikan sebagai keadaan fisika udara pada suatu tempat tertentu dan dalam waktu tertentu yang realtif pendek (Utomo, 2009:1). Cuaca dan iklim merupakan dua kondisi yang hampir sama tetapi berbeda pengertian khususnya terhadap kurun waktu. Cuaca merupakan bentuk awal yang dihubungkan dengan penafsiran dan pengertian akan kondisi fisik udara sesaat pada suatu lokasi dan suatu waktu, sedangkan iklim merupakan kondisi lanjutan dan merupakan kumpulan dari kondisi cuaca yang kemudian disusun dan dihitung dalam bentuk rata-rata kondisi cuaca dalam kurun waktu tertentu (Winarso, 2003). Menurut Rafi’i (1995) Ilmu cuaca atau meteorologi adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji peristiwa-peristiwa cuaca dalam jangka waktu dan ruang terbatas, sedangkan ilmu iklim atau klimatologi adalah ilmu pengetahuan yang juga mengkaji tentang gejala-gejala cuaca tetapi sifat- sifat dan gejala-gejala tersebut mempunyai sifat umum dalam jangka waktu dan daerah yang luas di atmosfer permukaan bumi. Trewartha and Horn (1995) mengatakan bahwa iklim merupakan suatu konsep yang abstrak, dimana iklim merupakan komposit dari keadaan cuaca hari ke hari dan elemen-elemen atmosfer di dalam suatu kawasan tertentu dalam jangka waktu yang panjang. Iklim bukan hanya sekedar cuaca rata-rata, karena tidak ada konsep iklim yang cukup memadai tanpa ada apresiasi atas perubahan cuaca harian dan perubahan cuaca musiman serta suksesi episode cuaca yang ditimbulkan oleh gangguan atmosfer yang bersifat selalu berubah, meski dalam studi tentang iklim penekanan diberikan pada nilai rata-rata, namun penyimpangan, variasi dan keadaan atau nilai-nilai yang ekstrim juga mempunyai arti penting. Selain itu Glnn T. Twertha dalam Utomo (2009:1) mengemukakan bahwa iklim adalah generalisasi dari berbagai keadaan cuaca di daerah yang luas dalam waktu yang panjang. Iklim selalu berubah menurut ruang dan waktu. Berdasarkan skala waktu tertentu perubahan iklim akan membentuk pola atau siklus tertentu, baik harian, musiman, tahunan maupun siklus beberapa tahunan . Selain perubahan yang berpola siklus, aktivitas manusia menyebabkan pola iklim berubah secara berkelanjutan, baik dalam skala global maupun skala lokal. Perubahan iklim didefinisikan sebagai perubahan pada iklim yang dipengaruhi langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia yang merubah komposisi atmosfer, yang akan memperbesar keragaman iklim teramati pada periode yang cukup panjang (Trenberth, Houghton and Filho, 1995). Trenberth, Houghton and Filho (1995) dalam Hidayati (2001) mendefinisikan perubahan iklim sebagai perubahan pada iklim yang dipengaruhi langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia yang merubah komposisi atmosfer yang akan memperbesar keragaman iklim teramati pada periode yang cukup panjang. Studi tentang ciri-ciri tipikal iklim pada lapisan atmosfer bawah (<2 meter di atas permukaan tanah) disebut sebagai iklim mikro (micro climate) seperti iklim kota dan iklim hutan (Haurwitz dan Austin, dalam Utomo, 2009:2). Iklim mikro oleh Geiger didefinisikan sebagai iklim dalam ruang kecil (Geiger, dalam Utomo, 2009: 2), atau iklim dekat permukaan tanah (Miller dan Gates, dalam Utomo, 2009: 2). Iklim merupakan komposit cuaca, maka kondisi yang berkaitan dengan iklim mikro berkaitan juga dengan cuaca mikro. Secara khusus cuaca mikro (micro meteorology) mengkaji tentang gejala atmosfer skala kecil, terutama yang berhubungan dengan lapisan udara yang langsung berhubungan dengan tanah (Neiburger, dalam Utomo, 2009: 2). Cuaca suatu tempat merupakan total kondisi atmosfer (suhu, tekanan, angin, kelembapan, dan presipitasi) pada waktu pendek, sebab cuaca berbicara tentang hari ini atau minggu lalu (Trewartha, dalam Utomo, 2009:2). Iklim mikro seperti yang diungkapkan oleh Geiger didefinisikan sebagai iklim dalam ruang kecil (Geiger, dalam Dwiyono, 2009: 2). Salah satu iklim mikro seperti halnya iklim perkotaan. Pada saat ini telah diakui bahwa iklim perkotaan memiliki karakteristik yang berbeda dengan iklim kawasan di sekitarnya yang masih memiliki unsur-unsur alami cukup banyak. Perubahan unsur-unsur lingkungan dari yang alami menjadi unsur buatan menyebabkan terjadinya perubahan karakteristik iklim mikro. Berbagai aktivitas manusia di perkotaan, seperti kegiatan industri dan transportasi, mengubah komposisi atmosfer yang berdampak pada perubahan komponen siklus air, siklus karbon dan perubahan ekosistem. Selain itu, polusi udara di perkotaan menyebabkan perubahan visibilitas dan daya serap atmosfer terhadap radiasi matahari. Radiasi matahari itu sendiri merupakan salah satu faktor utama yang menentukan karakteristik iklim di suatu daerah (Susanti, 2006:2). Iklim mikro merupakan kondisi iklim pada suatu ruang yang sangat terbatas, tetapi komponen iklim ini penting artinya bagi kehidupan manusia, tumbuhan dan hewan, karena kondisi udara pada skala mikro ini yang akan berkontak langsung dengan (dan mempengaruhi secara langsung) makhlukmakhluk hidup tersebut. Makhluk hidup tanggap terhadap dinamika atau perubahan-perubahan dari unsur-unsur iklim disekitarnya. Keadaan unsurunsur iklim ini akan mempengaruhi tingkah laku dan metabolisme yang berlangsung pada tubuh makhluk hidup, sebaliknya, keberadaan makhluk hidup tersebut (terutama tumbuhan) akan pula mempengaruhi keadaan iklim mikro disekitarnya. Antara makhluk hidup dan udara disekitarnya akan terjadi saling pengaruh atau interaksi satu sama lain ((Lakitin, 2002:53). Iklim perkotaan merupakan hasil dari interaksi banyak faktor alami dan antropogenik. Polusi udara, material permukaan perkotaan, emisi panas anthropogenik, bersama-sama dengan faktor alam menyebabkan perbedaan iklim antara kota dan area non perkotaan. Iklim suatu kota dikendalikan oleh banyak faktor alam, baik pada skala makro (seperti. garis lintang) maupun pada skala meso (seperti topografi, badan air). Pada kota yang tumbuh dan berkembang, faktor-faktor baru dapat mengubah iklim lokal kota. Guna lahan, jumlah penduduk, aktivitas industri dan transportasi, serta ukuran dan struktur kota, adalah faktor-faktor yang terus berkembang dan mempengaruhi iklim perkotaan (Susanti, 2006:2). Iklim mikro merupakan kondisi iklim pada suatu ruang yang sangat terbatas, tetapi komponen iklim ini penting artinya bagi kehidupan manusia, tumbuhan dan hewan, karena kondisi udara pada skala mikro ini yang akan berkontak langsung dengan (dan mempengaruhi secara langsung) makhlukmakhluk hidup tersebut. Makhluk hidup tanggap terhadap dinamika atau perubahan-perubahan dari unsur-unsur iklim disekitarnya. Keadaan unsurunsur iklim ini akan mempengaruhi tingkah laku dan metabolisme yang berlangsung pada tubuh makhluk hidup, sebaliknya, keberadaan makhluk hidup tersebut (terutama tumbuhan) akan pula mempengaruhi keadaan iklim mikro disekitarnya. Makhluk hidup dan udara disekitarnya akan terjadi saling pengaruh atau interaksi satu sama lain (Lakitin, 2002:53). Dampak faktor antropogenik pada iklim perkotaan tergantung pada ukuran kota, struktur spasial, konsentrasi industri, dan pertumbuhan penduduk (Indah Susanti, 2006:4). Pertumbuhan penduduk perkotaan semakin pesat seiring dengan perkembangan perekonomian, pemukiman, pendidikan, dan budaya. Daya tarik kota yang sangat besar bagi penduduk desa medorong angka laju urbanisasi semakin cepat. Peningkatan jumlah penduduk daerah perkotaan menimbulkan tekanan cukup besar terhadap sumberdaya dan lingkungan perkotaan. Salah satu dampak adalah terjadinya konversi lahan. Lahan yang semula merupakan ruang tumbuh berbagai jenis tanaman atau vegetasi berubah menjadi ruang pemukiman dan sarana pendukung kegiatan di perkotaan. Pertumbuhan penduduk yang tinggi menimbulkan peningkatan kebutuhan akan kawasan pemukiman (Setyowati, 2008:126). Menurut UU no. 4 tahun 1992, Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar dari kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Satuan lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang terstruktur. Dalam UU No. 4 tahun 1992, disebutkan pula bahwa ciri–ciri utama dari permukiman adalah sebagai berikut: 1) Mayoritas peruntukan adalah hunian; 2) Fasilitas yang dikembangkan lebih pada pelayanan skala lingkungan (neighbourhood); 3) Luas kawasan yang dikembangkan lebih kecil dari 1000 Ha; 4) Kebutuhan fasilitas perkotaan bagi penduduk kawasan hunian skala besar masih tergantung atau memanfaatkan fasilitas perkotaan yang berada di pusat kota. Permukiman tidak lepas dari begrbagai masalah yang kaitannya dengan penataaan ruang. Menurut Budiman Arif, Sekretaris Jendral Penataan Ruang dan Wilayah (2005) Isu dan tantangan dalam penataan ruang yang terkait dengan pembangunan perumahan dan permukiman antara lain : 1) Pemanfaatan lahan perumahan dan permukiman belum sepenuhnya mengacupada RTRW, dan masih berorientasi pada pengembangan yang bersifat horizontal (contoh : kasus kota metropolitan dan kota besar), sehingga cenderung menciptakan urban sprawling (pembangunan yang tidak terpola dengan baik) dan inefisiensi pelayanan prasarana dan sarana; 2) Pemanfaatan ruang untuk perumahan dan permukiman belum serasi dengan pengembangan kawasan fungsional lainnya atau dengan program sektor/fasilitas pendukung lainnya; 3) Konflik penggunaan lahan, khususnya antara penggunaan permukiman dengan penggunaan kawasan lindung; 4) Kebutuhan lahan untuk permukiman semakin meningkat seiring dengan terus meningkatnya jumlah penduduk. Data menunjukkan jumlah penduduk perkotaan di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup pesat dari 32,8 juta / 22,3% dari total penduduk nasional (1980), menjadi 74 juta / 37% (1998) dan diperkirakan akan menjadi 150 juta / 60% dari total penduduk nasional pada tahun 2015, dengan laju pertumbuhan penduduk kota rata-rata 4,49% (1990 – 1995); 5)Tingginya laju pertumbuhan penduduk ini akan menimbulkan kebutuhan lahan perumahan dan permukiman yang sangat besar, sementara kemampuan Pemerintah sangat terbatas. Menurut catatan, hanya 15% kebutuhan perumahan yang mampu disediakan oleh pemerintah, sisanya sebesar 85% disediakan oleh masyarakat atau swasta. Apabila pembangunan perumahan yang dilakukan oleh masyarakat atau swasta tidak dikendalikan pengembangannya, maka akan menimbulkan masalah besar yang mengancam kawasan lindung. Pemanasan yang terjadi pada sistem iklim bumi merupakan hal yang jelas terasa, dengan banyaknya bukti dari pengamatan kenaikan temperatur udara dan laut, pencairan salju dan es di berbagai tempat, dan naiknya permukaan laut global. Selama 100 tahun terakhir, temperature permukaan bumi rata-rata naik sekitar 0,74°C. Jika konsentrasi GRK dominan di atmosfer, karbondioksida, meningkat dua kali lipat dari masa pra-industri, hal ini akan memacu pemanasan rata-rata mencapai 3°C (Kusmir, dalam Setyowari 2008). B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang dikemukakan dalam latar belakang dapat dikemukakan permasalahan, yakni bagaimanakah tingkat kenyamanan kawasan permukiman dikaji berdasarkan kondisi iklim mikronya? C. Tujuan Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah karya ini bertujuan untuk menganalisis tingkat kenyamanan kawasan permukiman dilihat dikaji berdasarkan kondisi iklim mikronya. BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Definisi Iklim Trewartha dan Horn (1995) mengatakan bahwa iklim merupakan suatu konsep yang abstrak, dimana iklim merupakan komposit dari keadaan cuaca hari ke hari dan elemen-elemen atmosfer di dalam suatu kawasan tertentu dalam jangka waktu yang panjang. Iklim bukan hanya sekedar cuaca rata-rata, karena tidak ada konsep iklim yang cukup memadai tanpa ada apresiasi atas perubahan cuaca harian dan perubahan cuaca musiman serta suksesi episode cuaca yang ditimbulkan oleh gangguan atmosfer yang bersifat selalu berubah, meski dalam studi tentang iklim penekanan diberikan pada nilai rata-rata, namun penyimpangan, variasi dan keadaan atau nilai-nilai yang ekstrim juga mempunyai arti penting. Iklim selalu berubah menurut ruang dan waktu. Skala waktu perubahan iklim akan membentuk pola atau siklus tertentu, baik harian, musiman, tahunan maupun siklus beberapa tahunan. Selain perubahan yang berpola siklus, aktivitas manusia menyebabkan pola iklim berubah secara berkelanjutan, baik dalam skala global maupun skala lokal. Perubahan iklim didefinisikan sebagai perubahan pada iklim yang dipengaruhi langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia yang merubah komposisi atmosfer, yang akan memperbesar keragaman iklim teramati pada periode yang cukup panjang (Trenberth, Houghton, dan Filho 1995). B. Unsur-Unsur Iklim Ada beberapa unsur yang mempengaruhi keadaan cuaca dan iklim suatu daerah atau wilayah, yaitu: suhu atau temperatur udara, tekanan udara, angin, kelembapan udara, dan curah hujan. 1. Suhu atau Temperatur Udara Suhu atau temperatur udara adalah derajat panas dari aktivitas molekul dalam atmosfer. Secara fisis suhu dapat didefinisikan sebagai tingkat gerakan molekul benda, makin cepat gerakan molekulnya, makin tinggi suhunya. Suhu dapat pula didefinisikan sebagai tingkat panas suatu benda. Panas bergerak dari sebuah benda yang mempunyai suhu tinggi ke benda dengan suhu rendah (Tjasjono, 1999:13). Suhu merupakan pencerminan dari energi kinetik rata-rata dari gerakan molekul di udara. Suhu juga merupakan ukuran relatif dari kondisi termal yang dimiliki oleh suatu benda. Jika dua benda bersinggungan dan tidak terjadi perpindahan panas antara kedua benda tersebut, maka kedua benda ini disebut berada dalam kondisi setara-termal (thermal equilibrimum). Postulat ini disebut hukum kesetaraan termal yang merupakan dasar dari konsep fisika tentang suhu (Lakitan, 2002:88). Suhu atau temperatur udara yang merupakan pencerminan energi kinetik rata-rata gerakan molekul-molekul, bahwasanya menunjukkan hubungan linier antara energi kinetik dengan suhu menunjukkan hubungan, hal ini berarti suhu merupakan gambaran umum keadaan energi suatu benda. Namun tidak semua bentuk energi yang dikandung sutau benda dapat diwakili oleh suhu seperti halnya energi kinetik tersebut. Kondisi ini dijumpai di atmosfer, yaitu bahwa peningkatan panas laten akibat penguapan tidak menyebabkan kenaikan suhu udara, tetapi justru menurunkan suhu udara karena proporsi panas menjadi berkurang (Utomo, 2009:22). Perpindahan panas terjadi dari tempat atau benda yang mempunyai tingkat energi lebih tinggi ke tingkat yang lebih rendah. Secara umum proses perpindahan panas terdiri dari konduksi, konveksi, dan radiasi. Konduksi merupakan perambatan panas melalui medium, pada proses ini sebagian energi kinetik molekul benda yang bersuhu tinggi dipindahkan ke molekul benda yang bersuhu lebih rendah melalui tumbukan molekulmolekul tersebut. Konveksi merupakan perambatan dari aliran panas bersama-sama dengan fluida yang bergerak. Radiasi merupakan pemindahan panas dalam bentuk gelomang elektromagnetik, yang tidak memerlukan medium (Utomo, 2009:23-24). Udara timbul karena adanya radiasi panas matahari yang diterima bumi. Tingkat penerimaan panas oleh bumi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: (Sarjani, 2004:10) Sudut datang sinar matahari, yaitu sudut yang dibentuk oleh permukaan bumi dengan arah datangnya sinar matahari. Makin kecil sudut datang sinar matahari, semakin sedikit panas yang diterima oleh bumi dibandingkan sudut yang datangnya tegak lurus. Lama waktu penyinaran matahari, makin lama matahari bersinar, semakin banyak panas yang diterima bumi. Keadaan muka bumi (daratan dan lautan), daratan cepat menerima panas dan cepat pula melepaskannya, sedangkan sifat lautan kebalikan dari sifat daratan. Banyak sedikitnya awan, ketebalan awan mempengaruhi panas yang diterima bumi. Makin banyak atau makin tebal awan, semakin sedikit panas yang diterima bumi. Persebaran suhu atau temperatur udara dapat dibedakan menjadi dua, yaitu persebaran horizontal dan vertikal. a) Persebaran suhu atau temperatur udara horizontal. Suhu atau temperatur udara di permukaan bumi untuk berbagai tempat tidak sama. Untuk mempermudah membandingkannya, maka dibuat peta isotherm. Isotherm yaitu garis khayal dalam peta yang menghubungkan tempat-tempat yang mempunyai suhu atau temperatur udara rata-rata sama. Persebaran horizontal secara tidak teratur dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya, misalnya perbedaan suhu atau temperatur udara daratan dan lautan. Ada berbagai macam isotherm, yaitu isotherm bulan Januari, isotherm bulan Juli, dan isotherm tahunan. Isotherm bulan Januari, yaitu tempat-tempat yang terdingin di belahan bumi utara karena pada waktu itu matahari berada di belahan bumi selatan. Contoh daerah yang terdingin antara lain Siberia dan Greenland, sedangkan daerah yang terpanas antara lain Afrika Selatan dan Argentina. Isotherm bulan Juli, yaitu daerah-daerah yang terdingin di belahan bumi selatan seperti Australia Utara, dan daerah terpanas di belahan bumi utara seperti Arab Persia. Isotherm tahunan, yaitu garis di peta yang menghubungkan tempat-tempat yang sama temperatur rata-ratanya dalam satu tahun. Daerah ini berada di sebelah utara dan selatan equator/khatulistiwa (22°LU/LS), yaitu dari Meksiko, Venezuela, Sahara, dan Dakan. b) Persebaran suhu atau temperatur udara vertikal Semakin naik suhu atau temperatur udara akan semakin turun. Secara umum, setiap naik 100 meter, suhu atau temperatur udara turun 0,5°C. Ketentuan ini tergantung pada letak dan ketinggian suatu tempat. Adanya perairan, seperti selat dan laut sangat besar peranannya pada pengendalian suhu atau temperatur, sehingga tidak terjadi perbedaan suhu terendah dan suhu tertinggi yang sangat besar. Dengan bervariasinya persebaran suhu atau temperatur udara baik secara horizontal maupun vertikal, maka dapat terjadi gejala-gejala cuaca, kabut, dan awan. Suhu udara berubah sesuai dengan tempat dan waktu. Pada umumnya suhu maksimum terjadi sesudah tengah hari, biasanya terjadi antara jam 12.00 dan jam 14.00, dan suhu minimum terjadi pada jam 06.00 atau sekitar matahari terbit (Tjasjono, 1999:14) Suhu udara rata-rata didefinisikan sebagai rata-rata pengamatan selama 24 jam (satu hari) yang dilakukan tiap jam, di Indonesia suhu harian rata-rata dapat dihitung dengan persamaan: T= 2𝑇7 + 𝑇13 + 𝑇18 4 dengan : T : Suhu harian rata-rata T7, T13, T18 : Pengamatan suhu udara pada jam 07.00, jam 13.00, dan jam 18.00 WIB (Tjasjono, 1999:14) Selain itu suhu udara harian rata-rata dapat dihitung dengan menjumlah suhu maksimum (Tmaks) dan suhu minimum (Tmin) lalu dibagi dua: 𝑇= 𝑇𝑚𝑎𝑘𝑠 + 𝑇𝑚𝑖𝑛 2 (Tjasjono, 1999:14) Suhu bulanan rata-rata ialah jumlah dari suhu harian rata-rata dalam 1 bulan dibagi dengan jumlah hari dalam bulan tersebut. Suhu tahunan ratarata dihitung dari jumlah suhu bulanan rata-rata dibagi dengan 12. Sebenarnya suhu tahunan rata-rata dihitung dari jumlah suhu harian rata-rata dalam 1 tahun dibagi dengan jumlah hari dalam 1 tahun (365 hari) tetapi kedua perhitungan tersebut secara praktis memberikan hasil yang sama (Tjasjono, 1999:14). Alat untuk mengukur suhu atau temperatur udara atau derajat panas disebut Thermometer. Biasanya pengukuran suhu atau temperatur udara dinyatakan dalam skala Celcius (C), Reamur (R), dan Fahrenheit (F). 2. Tekanan Udara Selain suhu atau temperatur udara, unsur cuaca dan iklim yang lain adalah tekanan udara. Tekanan udara adalah suatu gaya yang timbul akibat adanya berat dari lapisan udara. Besarnya tekanan udara di setiap tempat pada suatu saat berubah-ubah. Makin tinggi suatu tempat dari permukaan laut, makin rendah tekanan udaranya. Hal ini disebabkan karena makin berkurangnya udara yang menekan. Tekanan udara diukur berdasarkan tekanan gaya pada permukaan dengan luas tertentu, misalnya 1 cm2. Satuan yang digunakan adalah atmosfer (atm), milimiter kolom air raksa (mm Hg), atau milibar (mbar). Tekanan udara patokan (sering juga disebut tekanan udara normal) adalah tekanan kolom udara setinggi lapisan atmosfer bumi pada garis lintang 450 dan suhu 00C. besarnya tekanan udara tersebut dinyatakan sebagai 1 atm. Tekanan sebesar 1 atm ini setara dengan tekanan yang diberikan oleh kolom air raksa setinggi 760mm. Besarnya tekanan udara diukur dengan barometer (Lakitan, 2002:141). Konversi antara satuan tekanan udara tersebut adalah sebagai berikut: 1 atm= 760 mm Gh = 14,7 psi = 1.013mbar. Tekanan udara dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu: a) Tekanan udara tinggi, lebih dari 1013 mb. b) Tekanan udara rendah, kurang dari 1013 mb. c) Tekanan di permukaan laut, sama dengan 1013 mb. 3. Angin Angin merupakan salah satu unsur cuaca dan iklim. Angin adalah udara yang bergerak dari daerah bertekanan udara tinggi ke daerah bertekanan udara rendah. Angin dapat bergerak secara horizontal maupun secara vertical dengan kecepatan yang bervariasi dan berfluktuasi secara dinamis. (Lakitan, 2002:143). Menurut Sarjani (2004:13) ada beberapa hal penting yang perlu diketahui tentang angin, yaitu meliputi: a) Kecepatan Angin Kecepatan angin dapat diukur dengan suatu alat yang disebut Anemometer. Kecepatan angin dapat ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain: 1) Besar kecilnya gradien barometrik. Gradien Barometrik, yaitu angka yang menunjukkan perbedaan tekanan udara melalui dua garis isobar pada garis lurus, dihitung untuk tiap-tiap 111 km (jarak 111 km di equator 1( atau 1/360 x 40.000 km = 111 km). Menurut hukum Stevenson bahwa kecepatan angin bertiup berbanding lurus dengan gradien barometriknya. Semakin besar gradien barometriknya, semakin besar pula kecepatannya. 2) Relief Permukaan Bumi Angin bertiup kencang pada daerah yang reliefnya rata dan tidak ada rintangan. Sebaliknya bila bertiup pada daerah yang reliefnya besar dan rintangannya banyak, maka angin akan berkurang kecepatannya. 3) Ada Tidaknya Tumbuh-tumbuhan Banyaknya pohon-pohonan akan menghambat kecepatan angin dan sebaliknya, bila pohon-pohonannya jarang maka sedikit sekali memberi hambatan pada kecepatan angin. 4) Tinggi dari Permukaan Tanah Angin yang bertiup dekat dengan permukaan bumi akan mendapatkan hambatan karena bergesekan dengan muka bumi, sedangkan angin yang bertiup jauh di atas permukaan bumi bebas dari hambatan-hambatan. b) Kekuatan Angin Kekuatan angin ditentukan oleh kecepatannya, makin cepat angin bertiup maka makin tinggi/besar kekuatannya. c) Arah Angin Menurut seorang ahli meteorologi bangsa Belanda yang bernama Buys Ballot mengemukakan hukumnya yang berbunyi: Udara mengalir dari daerah maksimum ke daerah minimum. Pada belahan utara bumi, udara/angin berkelok ke kanan dan di belahan selatan berkelok ke kiri. Pembelokan arah angin terjadi karena adanya rotasi bumi dari barat ke timur dan karena bumi bulat. Dalam mempelajari cuaca, diantaranya perlu mengetahui arah angin. Arah angin dapat diketahui melalui arah baling-baling angin. d) Macam-macam Angin Angin dapat digolongkan menjadi 3 macam, yaitu: 1) Angin tetap, yaitu angin yang arah tiupnya tetap sepanjang tahun, seperti: (a) angin passat, yaitu angin yang bertiup terus menerus dari daerah maksimum subtropis utara dan selatan (30° - 40°) menuju ke minimum khatulistiwa; (b) angin barat, yaitu angin antipassat (angin yang berhembus di atas angin passat pada ketinggian (30 km dan arahnya berlawanan dengan angin passat); (c) angin timur, yaitu angin yang bertiup dari kedua daerah maksimum kutub menuju daerah minimum subpolar (lintang 66 1/2°C LU dan LS°). 2) Angin periodic, angin ini dibagi menjadi: (a) Angin periodik harian meliputi angin darat dan angin laut; angin gunung dan angin lembah; (b) Angin periodik setengah tahunan, disebut juga dengan angin muson (musim). 3) Angin lokal, yaitu angin yang bertiup pada daerah tertentu dan waktu tertentu. Misalnya : angin kumbang, angin fohn, angin brubu, angin bahorok, angin gending, dan lain-lain. 4. Kelembapan Udara Unsur keempat yang dapat berpengaruh terhadap cuaca dan iklim di suatu tempat adalah kelembapan udara. Kelembapan udara adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam massa udara pada saat dan tempat tertentu. Kelembapan udara menyatakan kandungan uap air dalam udara yang berasal dari evapotranspirasi atau penguapan. Penguapan diartikan sebagai kehilangan air melalui permukaan tanah/air (evaporasi) atau melalui permukaan tanaman (transpirasi) sehingga melalui keduanya disebut evapotrasnpirasi. Penguapan membutuhkan panas untuk mengubah wujud cair menjadi gas, sehingga pada daerah yang bersuhu tinggi akan lebih banyak menguapkan air daripada daerah yang bersuhu rendah (Utomo, 2009:69). Kelembapan udara dapat dibedakan menjadi: a) Kelembapan mutlak atau kelembapan absolut, yaitu kelembapan yang menunjukkan berapa gram berat uap air yang terkandung dalam satu meter kubik (1 m3) udara. b) Kelembapan nisbi atau kelembapan relatif, yaitu bilangan yang menunjukkan berapa persen perbandingan antara jumlah uap air yang terkandung dalam udara dan jumlah uap air maksimum yang dapat ditampung oleh udara tersebut. Alat untuk mengukur kelembapan udara disebut psychrometer atau hygrometer. Sedangkan besaran yang sering dipakai untuk menyatakan kelembapan udara adalah kelembapan nisbi. Kelembapan nisbi berubah sesuai dengan tempat dan waktu. Menjelang tengah hari kelembapan nisbi berangsur-angsur turun kemudian pada sore hari sampai menjelang pagi bertambah besar (Tjasjono, 1999:18) 5. Curah Hujan Curah hujan adalah jumlah air hujan yang turun pada suatu daerah dalam waktu tertentu. Alat untuk mengukur banyaknya curah hujan disebut Rain Gauge. Curah hujan diukur dalam harian, bulanan, dan tahunan. Curah hujan yang jatuh di wilayah Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: (Sarjani, 2004:15) a) Bentuk medan atau topografi b) Arah lereng medan c) Arah angin yang sejajar dengan garis pantai d) Jarak perjalanan angin di atas medan datar. Hujan adalah butiran-butiran air yang dicurahkan dari atmosfer turun ke permukaan bumi. Sedangkan garis yang menghubungkan tempattempat di peta yang mendapatcurah hujan yang sama disebut isohyet. Berdasarkan butiran yang dicurahkan dan asal terjadinya, hujan dapat digolongkan menjadi 2 macam, yaitu: (Sarjani, 2004:16) a) Berdasarkan butiran-butiran yang dicurahkan, hujan dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu: Hujan gerimis atau drizzle. Hujan ini mempunyai diameter butiranbutiran kurang dari 0,5 mm. Hujan salju atau snow. Hujan salju terdiri dari kristal-kristal es yang temperaturnya berada di bawah titik beku. Hujan batu es. Hujan ini berbentuk curahan es yang turun di dalam cuaca panas dari awan yang temperaturnya di bawah titik beku. Hujan deras atau rain, yaitu curahan air yang turun dari awan yang temperaturnya di atas titik beku dan butirannya sebesar 7 mm. b) Berdasarkan asal terjadinya, hujan dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu: Hujan front, yaitu terjadi karena pertemuan dua jenis udara yang berbeda temperatur, yakni udara panas/lembab dengan udara dingin sehingga berkondensasi dan turun hujan. Hujan konveksi atau hujan zenith, yaitu terjadi karena arus konveksi yang menyebabkan uap air di khatulistiwa naik secara vertikal, karena pemanasan air laut terus menerus lalu mengalami kondensasi dan turun sebagai hujan. Hujan orografi atau hujan gunung, yaitu terjadi dari udara yang mengandung uap air dipaksa oleh angin mendaki lereng pegunungan berkondensasi dan turun sebagai hujan. Hujan buatan, yaitu dibuat dengan cara menggunakan garamgaraman untuk merangsang awan hingga uap air di udara dengan ketinggian 3000 kaki lebih cepat berkondensasi menjadi air dan turun sebagai hujan. C. Klasifikasi Iklim Unsur-unsur iklim yang menunjukkan pola keragaman yang jelas merupakan dasar utama dari klasifikasi iklim yang dilakukan oleh para ahli. Unsur iklim yang sering dipakai tersebut adalah suhu dan curah hujan (Lakitan, 2002:28). Klasifikasi iklim umumnya sangat spesifik, yang didasarkan atas tujuan penggunannya, misalnya untuk kegunaan di bidang pertanian, penerbangan, atau kelautan. Klasifikasi iklim yang spesifik sesuai dengan kegunaannya ini tetap menggunakan data unsur iklim sebagai landasannya, tetapi dengan hanya memilih data tentang unsur-unsur iklim yang relevan, yang secara langsung akan mempengaruhi aktivitas atau objek dalam bidang-bidang tersebut (Lakitan, 2002:29) Berdasarkan luas wilayah sasaran, iklim dapat dipilah menjadi iklim makro, iklim meso, dan iklim mikro. Iklim makro meliputi wilayah yang sangat luas, meliputi luasan satu zona iklim, kontinen, sampai pada bumi secara keseluruhan (global). Pokok bahasan difokuskan pada fenomena iklim yang dipengaruhi oleh unit geografi yang besar, seperti lautan atau benua. Keragaman yang ditonjolkan adalah keragaman antar zona iklim. Iklim meso mengkaji tentang variasi dan dinamika iklim dalam satu – satuan zona iklim (intra-zona iklim). Iklim meso meliputi wilayah sampai beberapa kilometer persegi, misalnya variasi iklim keberadaan danau atau kumpulan bangunan fisik di perkotaan. Variasi iklim dalam skala terkecil termasuk dalam cakupan iklim mikro (Lakitan, 2002:29). D. Iklim Mikro Kajian iklim dapat secara global dan dapat pula pada skala menengah atau kecil. Iklim mikro seperti yang diungkapkan oleh Geiger didefinisikan sebagai iklim dalam ruang kecil (Geiger, dalam Utomo, 2009: 2). Unsur-unsur iklim seperti suhu, kelembapan, angin, dan curah hujan pada suatu wilayah seluas beberapa kilometer persegi dapat berbeda sangat nyata dengan unsur-unsur iklim pada wilayah sekitarnya, misalnya kondisi unsur-unsur iklim di pusat perkotaan akan berbeda dengan daerah pinggiran kota atau pedesaan disekitarnya (Lakitan, 2002:47). Studi tentang ciri-ciri tipikal iklim pada lapisan atmosfer bawah (<2 meter di atas permukaan tanah) disebut sebagai iklim mikro (micro climate) seperti iklim kota dan iklim hutan (Haurwitz dan Austin, dalam Utomo, 2009:2). Iklim mikro oleh Geiger didefinisikan sebagai iklim dalam ruang kecil atau iklim dekat permukaan tanah (Miller dan Gates, dalam Utomo, 2009: 2). Iklim merupakan komposit cuaca, maka kondisi yang berkaitan dengan iklim mikro berkaitan juga dengan cuaca mikro. Secara khusus cuaca mikro (micro meteorology) mengkaji tentang gejala atmosfer skala kecil, terutama yang berhubungan dengan lapisan udara yang langsung berhubungan dengan tanah (Neiburger, dalam Utomo, 2009: 2). Cuaca suatu tempat merupakan total kondisi atmosfer (suhu, tekanan, angin, kelembapan, dan presipitasi) pada waktu pendek, sebab cuaca berbicara tentang hari ini atau minggu lalu (Trewartha, dalam Utomo, 2009:2). Menurut Landsberg (dalam Lakitan, 2002:47), secara umum total radiasi matahari yang diterima pada bidang horizontal di perkotaan sekitar 0-21% lebih rendah dibanding wilayah pedesaan. Hal ini disebabkan terutama karena liputan awan di wilayah perkotaan 5-10% lebih tinggi dibanding wilayah pedesaan. Total presipitasi di perkotaan sekitar 5-15% lebih tinggi dibanding wilayah pedesaan disekitarnya. Suhu udara di kota juga lebih tinggi 0,5-30C, kelembapan relatif lebih rendah sekitar 6%, dan kecepatan angin lebih rendah 20-30% dibanding dengan daerah di sekitarnya. Suhu udara yang lebih tinggi di pusat perkotaan disebabkan miskinnya vegetasi dalam wilayah ini. Keberadaan vegetasi atau permukaan air dapat menurunkan suhu, karena sebagian energi matahari yang diserap energi permukaan akan dimanfaatkan untuk menguapkan air dari jaringan tumbuhan (Lakitan, 2002:48). Iklim mikro merupakan kondisi iklim pada suatu ruang yang sangat terbatas, tetapi komponen iklim ini penting artinya bagi kehidupan manusia, tumbuhan dan hewan, karena kondisi udara pada skala mikro ini yang akan berkontak langsung dengan (dan mempengaruhi secara langsung) makhlukmakhluk hidup tersebut. Makhluk hidup tanggap terhadap dinamika atau perubahan-perubahan dari unsur-unsur iklim disekitarnya. Keadaan unsurunsur iklim ini akan mempengaruhi tingkah laku dan metabolisme yang berlangsung pada tubuh makhluk hidup, sebaliknya, keberadaan makhluk hidup tersebut (terutama tumbuhan) akan pula mempengaruhi keadaan iklim mikro disekitarnya. Makhluk hidup dan udara disekitarnya akan terjadi saling pengaruh atau interaksi satu sama lain (Lakitan, 2002:53). Keberadaan bangunan fisik (buatan manusia) dan benda-benda alami pada suatu lingkungan juga mempengaruhi terhadap iklim mikro setempat, misalnya terhadap suhu udara, kecepatan dan arah angin, intensitas dan lama penyinaran yang diterima oleh suatu permukaan, dan kelembapan udara. Keragaman dari unsur-unsur iklim ini disebabkan karena perbedaan kemampuan dari bendabenda tersebut dalam menyerap radiasi matahari, menyimpan air, dan keragaman rupa fisiknya (Lakitan, 2002:53). E. Kondisi Vegetasi Vegetasi berfungsi sebagai pengendali iklim untuk kenyamanan manusia. Faktor iklim yang mempengaruhi kenyamanan manusia adalah suhu, radiasi sinar matahari, angin, kelembapan, suara dan aroma. Sebagai pengontrol radiasi sinar matahari dan suhu, vegetasi menyerap panas dari pancaran sinar matahari sehingga menurunkan suhu dan iklim mikro (Hakim dan Utomo, 2003). Proses evaporasi (proses fisis perubahan cairan menjadi uap) dari permukaan tanaman disebut transpirasi. Proses transpirasi adalah rangkaian metabolisme fisiologis yang degannya daun tumbuhan dapat tetap segar dan berfotosintesis. Apabila air tanah tersedia dalam jumlah cukup, transpirasi akan terus berlangsung. Laju transpirasi akan terus meningkat seiring peningkatan intensitas cahaya matahari. Uap air yang dilepaskan vegetasi melalui transpirasi berperan dalam mendinginkan udara sekitanya. Transpirasi akan menggunakan sebagian besar air yang berhasil diserap tumbuhan dari tanah. Setiap gram air yang diuapkan akan menggunakan energi sebesar 580 kalori. Karena besarnya energi yang digunakan untuk menguapkan air pada proses transpirasi ini, maka hanya sedikit panas yang tersisa yang akan dipancarkan ke udara sekitarnya. Hal ini yang menyebabkan suhu udara di sekitar tanaman tidak meningkat secara drastis pada siang hari. Pada kondisi kecukupan air, kehadiran pohon diperkirakan dapat menurunkan suhu udara di bawahnya kirakira 3,50C pada siang hari (Lakitan, 2002). Proses transpirasi berjalan secara silmultan dengan proses fotosintesis sebagai mekanisme lain pendinginan suhu udara. Proses fisiologis dalam tubuh tumbuhan memiliki hubungan timbal balik dengan iklim mikro. Fotosintesis adalah proses fisiologis yang ditentukan oleh energi radiasi matahari. Karena itu, reaksinya acap kali disebut reaksi fotokimia. Kelangsungan proses tersebut memerlukan dukungan radiasi matahari sebagai sumber energi. Absorbsi cahaya sebagai bagian dari proses fotosintesis terjadi dalam reaksi terang (Reaksi Hill). Radiasi matahari sebagai energi cahaya diserap dan diubah oleh tumbuhan menjadi energi kimia. Energi kimia inilah yang digunakan dalam mensintesis karbohidrat sebagai rangkaian proses fotosintesis yang disebut rekasi gelap (Siklus Calvin). Reaksi terang dan reaksi gelap terjadi secara simultan dan keduanya sebagai satu kesatuan proses fotosintesis (Tauhid, 2008:71) Peningkatan suhu udara permukaan Bumi disebabkan oleh pancaran radiasi matahari. Selain itu, berbagai permukaan benda di permukaan Bumi memantulkan sebagaian besar energi matahari yang diterimanya. Panas terdistribusi di atmosfer, khususnya ditroposfer Bumi, kecuali permukaan vegetasi (baik vegetasi daratan maupun perairan), permukaan benda memantulkan radiasi matahari yang diterimanya. Paduan pancaran langsung radiasi matahari dan pantulan panas dari berbagai permukaan adalah penyebab hangatnya suhu Bumi. Radiasi matahari yang diterima berbagai permukaan secara keseluruhan dipantulkan kembali ke luar angkasa. Namun, keberadaan lapisan gas rumah kaca (GRK) menahan pantulan tersebut. Sebagian besar radiasi pantulan tersebut tidak dapat menembus lapisan GRK, dan terperangkap di atmosfer Bumi. Fenomena ini menyebabkan terus meningkatnya suhu udara rata-rata permukaan Bumi dari tahun ke tahun, seiring peningkatan komposisi dan konsentrasi GRK. Gejala ini akrab disebut pemanasan global (global warming) (Tauhid, 2008:82). Jumlah radiasi matahari yang dipantulkan dapat direduksi oleh vegetasi. Keberadaan vegetasi sebagai komponen lingkungan biotik mampu menyerap radiasi matahari. Radiasi matahari diserap oleh vegetasi dalam suatu mekanisme fisiologis untuk kelangsungan hidupnya. Efek dari metabolisme yang memerlukan panas tersebut menyebabkan terjadinya pendinginan suhu udara di sekitar vegetasi. Meningkatnya intensitas radiasi matahari akan memacu laju fotosintesis. Eefeknya berupa pendinginan suhu udara sekitar vegetasi. Delta pendinginan suhu (Δt) kian tinggi seiring dengan bertambahnya laju proses fotosintesis sampai pada batas tertentu. Batas tertentu dimaksud bergantung pada batas maksimal suhu udara dimana matabolisme tumbuhan masih dapat berlangsung. Efek pendinginan terjadi karena adanya absorbsi panas (radiasi matahari) sehingga sering disitilahkan endothermis (menyerap panas) (Tauhid, 2008:73). Efek pendinginan vegetasi terhadap udara sekitarnya amat penting apabila dikaitkan dengan fenomena pulau panas (heat island). Penempatan vegetasi pada kawasan sumber panas sangat tepat sebagai upaya menekan terbentuknya pulau panas. Vegetasi yang dipelihara sebagai tanaman pedistrian jalan mempunyai fungsi strategis menekan timbulnya pulau panas. Fungsi ekologis ini penting untuk menjadi dasar pertimbangan penghijauan kota, selain fungsi estetik. Menurut Fandeli (dalam Tauhid, 2008:74), pulau panas dapat dikurangi dengan menanam pohon pada kawasan sumber polusi panas. Pulau panas biasanya terdapat pada areal yang tidak bervegetasi. F. Permukiman Permukiman adalah kelompok manusia berdasarkan satuan tempat tinggal atau kediaman, mencakup fasilitas-fasilitasnya seperti bangunan rumah serta jalur jalan yang melayani manusia tersebut. D. Van der zee, (1979) dalam bukunya Human Geographi of Rural Areas Settlement and Population mengatakan, The world settlemen” means : 1. The process where by people become sendentary within an areans; 2. the result of this proces”. Menurut definisi tersebut,arti kata settlement berarti : 1. Proses dengan cara apa orang bertempat tinggal menetap dalam suatu wilayah; 2. Hasil atau akibat dari proses tersebut. Berdasarkan batasan ini terlihat adanya dua arti settlement yang berbeda namun saling berkaitan, dimana arti yang pertama mengacu kepermukiman yakni proses bagaimana orang bermukim atau bertempat tinggal, sedang yang kedua mengacu kepermukiman yakni tempat tinggal yang merupakan hasil dari proses orang menempati suatu wilayah. M.T. Arifin, (dalam Nuryani,2009:6) mengemukakan pengertian istilah permukiman secara luas mempunyai arti tempat tinggal atau segala sesuatu yang berkaitan dengan tempat tinggal yang secara sempit dapat diartikan sebagai suatu daerah tempat tinggal atau bangunan tempat tinggal. Istilah permukiman mempunyai arti cara memukimkan, misalnya: upaya pemerintah memindahkan sekelompok penduduk di daerah tertentu ke daerah lain. Blaang (dalam Nuryani, 2009:6) menyebutkan permukiman adalah kawasan perumahan lengkap dengan prasarana lingkungan, prasarana umum, dan fasilitas umum dan fasilitas sosial yang mengandung keterpaduan kepentingan dan keselarasan pemanfaatan sebagai lingkungan kehidupan. Pemukiman tersebut juga memberikan ruang gerak sumber daya dan pelayanan bagi peningkatan mutu kehidupan serta kecerdasan warga penghuni, yang berfungsi sebagai ajang kegiatan kehidupan sosial, budaya dan ekonomi. Sumaatmaja (dalam Nuryani, 2009:6) menjelaskan pemukiman pada konsep ini adalah bagian dari permukaan bumi yang dihuni manusia yang meliputi pula segala prasarana dan sarana yang menunjang kehidupan penduduk yang menjadi satu kesatuan dengan tempat tinggal yang bersangkutan. Pemukiman menurut Bintarto (dalam Nuryani, 2009: 6) adalah dalam arti yang luas diartikan sebagai bangunan-bangunan, jalan-jalan, pekarangan yang menjadi salah satu penghidupan penduduk, pemukiman disini merupakan fungsi yang tidak hanya sebagi atap berteduh dan hidup dalam jangka pendek melainkan suatu ruang untuk hidup turun temurun. Menurut UU no. 4 tahun 1992, Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar dari kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Satuan lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang terstruktur. Dalam UU No. 4 tahun 1992, disebutkan pula bahwa ciri–ciri utama dari permukiman adalah sebagai berikut: 1) Mayoritas peruntukan adalah hunian; 2) Fasilitas yang dikembangkan lebih pada pelayanan skala lingkungan (neighbourhood); 3) Luas kawasan yang dikembangkan lebih kecil dari 1000 Ha; 4) Kebutuhan fasilitas perkotaan bagi penduduk kawasan hunian skala besar masih tergantung atau memanfaatkan fasilitas perkotaan yang berada di pusat kota. Kastoer (dalam Yulianti, 2010:4) menjelaskan bahwa wilayah permukiman di perkotaan memiliki keteraturan bentuk secara fisik. Sebagian besar rumah menghadap secara teratur ke arah jalan yang ada dan sebagian besar terdiri dari bangunan permanen, berdinding tembok, dan dilengkapi dengan penerangan listrik. Kerangka jalannya ditata bertingkat mulai dari jalan raya, jalan penghubung, hingga jalan lingkungan atau lokal. Simonds (dalam Yulianti, 2010:4) mengidentifikasi pemukiman terdiri dari kelompok-kelompok rumah yang memiliki ruang terbuka hijau secara bersama-sama serta merupakan kelompok yang cukup kecil untuk melibatkan keluarga dalam suatu aktivitas, tetapi cukup besar untuk menampung semua fasilitas umum seperti tempat berbelanja, lapangan bermain, serta daerah penyangga. Menurut Nurisjah dan Pramukanto (dalam Yulianti, 2010:4), bentuk kawasan permukiman dengan model park housing complex merupakan lingkungan hunian yang akan memberikan lingkungan yang baik bagi warganya dalam arti memuaskan, aman, dan menyenangkan. Lingkungan seperti ini dapat menunjang setiap individu yang bermukim di dalamnya untuk mengkreasikan seluruh aktivitas kehidupannya secara maksimum baik jasmani maupun rohani. Chiara dan Koppelman (dalam Yulianti, 2010:5) menunjukkan tujuh karakter fisik yang harus diperhatikan pada kawasan permukiman agar layak dihuni yaitu (1) kondisi tanah dan lapisan tanah; (2) air tanah dan drainase; (3) bebas tidaknya dari bahaya banjir permukaan; (4) bebas tidaknya dari bahaya topografi; (5) pemenuhan pelayanan kesehatan, keamanan, pembuangan air limbah, penyediaan air bersih, pembuangan sampah, dan jaringan utilitas; (6) potensi untuk pengembangan ruang terbuka; dan (7) bebas tidaknya dari gangguan debu, asap, dan bau busuk. Secara keruangan kepadatan permukiman juga mempegaruhi kenyamanan suatu kawasan permukiman. Kepadatan permukiman yang berbeda sehingga tingkat kenyamanan yang dihasilkan dari masing-masing kawasan juga berbeda. Kawasan permukiman rendah cenderung memiliki tingkat kenyamanan yang lebih baik daripada kawasan dengan tingkat kepadatan tinggi. G. Tingkat Kenyamanan Manusia membutuhkan lingkungan udara luar yang nyaman sebagai penunjang melakukan aktivitasnya. Keadaan cuaca atau iklim sangat mempengaruhi aktivitas manusia. Lebih spesifik lagi bahwa aktivitas metabolisme tubuh dipengaruhi oleh suhu udara. Bahkan pengaruh suhu bagi kehidupan manusia dapat secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung berkenaan dengan kenyamanan udara (Tauhid, 2008:16). Menurut Rustam Hakim (dalam Fauzi, 2010:39) mengatakan bahwa kenyamanan adalah segala sesuatu yang memperlihatkan dirinya sendiri dengan harmonis dengan penggunaan suatu ruang. Hajji (dalam Fauzi, 2010:40) mengatakan bahwa secara umum untuk kegiatan normal, batas-batas parameter di bawah ini dapat diterima sebagai kondisi nyaman, batas-batas tersebut adalah 1. Temperatur: 200C – 260C 2. Kelembapan relatif : 45-60%. Beberapa ahli telah berusaha untuk menyatakan pengaruh parameterparameter iklim terhadap kenyamanan manusia dengan bantuan persamaan yang mengandung dua atau lebih parameter iklim, misalnya indeks ketidaknyamanan (discomfort). Indeks ini sering disebut indeks suhukelembapan yang dimaksudkan untuk menunjukkan derajat perasaan ketidaknyamanan, oleh karena itu aspek radiasi dan arus angin tidak ditinjau (Tjasyono, dalam Tauhid, 2008: 16). Mather (1974:245) mengemukakan indeks ketidaknyamanan terhadap suhu dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut: 𝐼𝑇 = 0,4 𝑇 + 𝑇𝑑 + 15 atau 𝐼𝑇 = 𝑇 − 0,55 1 − 0,01 𝑅𝐻 (𝑇 − 58) Ket: IT = indeks ketidaknyamanan T = suhu udara Td = suhu titik embun RH = kelembapan nisbi Skala Discomfort Indes menurut Mather (1974:245) adalah: (1) DI < 70, berarti 100% menyatakan nyaman, (2) DI = 70 – 80, berarti 50% menyatakan nyaman sedangkan 50% -nya lagi menyatakan tidak nyaman dan sangat tidak nyaman, (3) DI > 80 berarti 100% menyatakan tidak nyaman dan sangat tidak nyaman. Parameter lain dalam mengukur tingkat kenyamanan yakni Indeks Kenyamanan. Indeks kenyamanan (IK), ditentukan dari hasil pengukuran temperatur dan kelembapan udara di setiap lokasi penelitian dengan menggunakan rumus Nievwolt (1975 dalam Setyowati, 2008): 𝐼𝐾 = 0,8 𝑇 + (𝑅𝐻 𝑥 𝑇) 500 Ket: IK= Indeks Kenyamanan T = Temperatur udara (0C ) RH= Kelembapan udara Kategori indeks kenyamanan menurut Setyowati (2008), yakni: 1. Tidak nyaman jika indeks kenyamanan < 23 atau > 29 2. Sebagian tidak nyaman jika indeks kenyamanan 23 - < 25 atau 27 - < 29 3. Nyaman jika indeks kenyamanan 25 - < 27 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Tingkat kenyamanan kawasan permukikan berdasarkan kajian iklim mikro berbeda setiap kawasan, perbedaan ini disebabkan oleh sebaran vegetasi yang berbeda antara satu kawasan yang satu dengan yang lain, kepadatan permukiman, dan variasi temperatur dan kelembapan udara yang berbeda setiap lokasi dan waktu. Setiap satuan waktu, baik pagi hari, siang hari, dan juga sore hari memiliki tingkat kenyamanan yang berbeda pula. Suhu pada pagi hari masih terasa segar, dan masih nyaman untuk melakukan aktivitas di luar rungan, tetapi pada siang hari kondisi cuaca yang mengalami kenaikan temperatur udara serta menurunnya kelembapan menyebabkan tingkat kenyamanan semakin menurun, sedangkan pada waktu sore umumnya sudah kembali relatif nyaman, dan kondisinya hampir sama dengan kondisi pada pagi hari. Tingkat kepadatan permukiman merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kenyamanan terutama dari segi iklim mikro. Semakin padat suatu kawasan maka temperatur udara yang ada disekitar kawasan ini menjadi lebih tinggi dibanding kawasan yang tingkat kepadatannya rendah, begitu pula dengan kelembapan udaranya semakin padat suatu kawasan permukiman semakin rendah kelembapan udaranya. Perbedaaan ini dikarenakan suatu kawasan permukiman yang padat tentunya tidak akan memiliki sebaran vegetasi yang baik untuk pengendali iklim mikro. Vegetasi yang ada di setiap kawasan permukiman atau seringkali disebut dengan RTH permukiman salah satu fungsinya adalah untuk menurunkan suhu pada waktu siang hari dan sebaliknya pada malam hari dapat lebih hangat karena tajuk pohon dapat menahan radiasi balik (reradiasi) dari bumi. DAFTAR RUJUKAN Fauzi, Ahmad. 2010. Pengaruh Kualitas Ventilasi Terhadap Kenyamanan Termal Ruang. Skripsi Tidak Diterbitkan. Malang: Program Studi Pendidikan Teknik Bangunan Universitas Negeri Malang. Lakitan, Benyamin. 2002. Dasar-Dasar Klimatologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Mather, John R. 1974. Climatology: Fundamental And Applications.United States of America: McGraw Hill Book Company. Neiburger, Morris. 1995. Memahami Lingkungan Atmosfer Kita. Terjemahan oleh Ardina Purbo. 1995. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Nuryani, 2009. Analisis Pola Permukiman di Kecamatan Karanganyar Kabupaten Karanganyar Tahun 2006. Skripsi Tidak Diterbitkan. Semarang: Jurusan Geografi UMS. Prawirowardoyo, Susilo. 1996. Meteorologi. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Sarjani. 2004. Cuaca dan Iklim. (Online), (http//google./cuaca dan iklim.html, diakses 1 Agustus 2010). Setyowati, Dewi Liesnoor. 2008. Iklim Mikro dan Kebutuhan RTH Kota Semarang. Semarang: Jurnal Manusia Dan Lingkungan, Vol 15, No 3. Susanti, Indah. 2006. Aspek Iklim dalam Perencanaan Tata Ruang. Jurnal PPI Edisi Vol.8/XVIII/November 2006. Tauhid. 2008. Kajian Jarak Jangkau Efek Vegetasi Pohon Terhadap Suhu Udara Pada Siang Hari Di Perkotaan (Studi Kasus: Kawasan Simpang Lima Kota Semarang). Tesis Tidak Diterbitkan. Semarang: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Tjasjono, Bayong. 1999. Klimatologi Umum. Bandung : Penerbit ITB. Utomo, Dwiyono Hari. 2009. Meteorologi Klimatologi Dalam Studi Geografi. Malang: UM Press. Winarso. 2003. Cuaca dan Iklim. (Online), (http//google./konsep cuaca dan iklim.html, diakses 1 Agustus 2010).