h i r A R C H i Penanggung Jawab: Ketua Program Studi Arsitektur FTUP (L.Edhi Prasetya, ST, MT) Dewan Redaksi: Agus S Sadana, ST, MM Ashri Prawesthi D, ST, M. Si. P L. Edhi Prasetya, ST, MT Mitra Bestari: Dr. Dhani Mutiasari, ST, MT Dr. Agung Murti Nugroho, ST, MT Editor: Diptya Anggita, ST, MT Cynthia Puspitasari, ST, MT Alamat Redaksi: Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Pancasila Jl. Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta 12640 Fax: +62–21 7270128 Email: [email protected] [email protected] Berlangganan hubungi redaksi 1 Pengantar hirARCHi Puji syukur atas berkah hidup dan berkarya yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga kami masih bisa menampilkan sepercik idealisme dalam bidang pengetahuan yang kami minati. Dewan redaksi beserta staf sangat berterima kasih dan berbesar hati atas partisipasi aktif yang diberikan rekan-rekan yang telah mengirim naskah ilmiahnya kepada kami. Sungguh, itu merupakan tiupan nyawa kami untuk tetap tampil pada jenjang periode berikutnya. Salam hormat kami berikan kepada para mitra bestari yang rela meluangkan waktunya untuk memberi masukan kepada tiap tulisan; tak lupa juga rasa hormat ditujukan bagi kalangan yang telah sudi membeli jurnal hirARCHi sebagai konsumsi adaptatif untuk selalu tetap pada jalur perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang arsitektur. Secara sadar dan rendah hati kami memaklumi bahwa terbitan hirARCHi pada edisi sebelumnya masih banyak perbaikan. Penyusunan format tulisan, fokus sasaran tiap tuilisan, pertanggungjawaban secara ilmiah perlu diperdalam lagi, oleh karena itu kami juga menunggu kritik dan saran dari para pembaca sekalian. Perbaikanperbaikan tersebut terus berjalan dan selalu diadakan penyesuaian setiap kali kami menelurkan jurnal-jurnal hirARCHi berikutnya. Begitu pula pada terbitan hirARCHi yang ke tiga ini. Beberapa Himpunan Resume Architecture Indonesia kami fokuskan sasarannya pada masalah arsitektur perkotaan yang kajiannya selalu menarik untuk ditelaah. Semoga beberapa tulisan dalam jurnal ini berkenan di hati para pembaca dan dapat bermanfaat secara luas, baik untuk tujuan informatif maupun edukatif (ilmiah). Salam Redaksi 2 3 DAFTAR ISI ███████████████████ Editorial 1 Pengantar hirARCHi 2 Daftar Isi 4 6 – 11 12 – 24 25 – 34 35 – 42 43 – 54 55 – 65 4 KEUNIKAN ARSITEKTUR DAN LINGKUNGAN SEBAGAI PENGGERAK PARIWISATA BUDAYA Agus S Sadana REKONSTRUKSI HUNIAN TRADISIONAL PADA KAWASAN KOTAGEDE SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN IDENTITAS Cynthia Puspitasari EVALUASI TINGKAT KEKUATAN BUNYI YANG DITERIMA PADA RUANG KELAS Diptya Anggita PENATAAN KAWASAN WISATA PERFILMAN INTERNASIONAL DI DAERAH REKLAMASI PANTAI INDAH KAPUK JAKARTA UTARA Hendri Gunawan PENDIDIKAN DAN REKREASI TAMAN BIOTA LAUT TERAPUNG DI KEPULAUAN SERIBU Sandiana Haendra PERANCANGAN RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA DENGAN PENDEKATAN ARSITEKTUR BIOMORFIK DI JAKARTA SELATAN Agus Setiawan Tentang Penulis 67 Petunjuk Pengiriman Naskah Jurnal 69 5 KEUNIKAN ARSITEKTUR DAN LINGKUNGAN SEBAGAI PENGGERAK PARIWISATA BUDAYA Oleh: Agus S Sadana Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Pancasila, Abstrak: Perkembangan pariwisata acapkali dipandang sebagai salah satu penyebab semakin menurunnya kualitas lingkungan asli. Adakalanya, pertumbuhan yang menyertainya memang mengakibatkan kerusakan lingkungan, tataruang baik secara fisik maupun non fisik. Kondisi tersebut ternyata juga secara perlahan turut menggerus kelestarian arsitektur asli. Pengembangan kepariwisataan yang berbasis budaya asli dengan mendayagunakan citra arsitektur yang alsi, diharapkan dapat menjadi semacam generator guna menjaga kelestarian arsitektur setempat. Kata Kunci: arsitektur, pelestarian, pariwisata, budaya PENDAHULUAN Pariwisata merupakan aktivitas yang memiliki keterkaitan yang dengan berbagai sistem yang kompleks. Pariwisata memberikan pengaruh langsung ke dalam bidang perhotelan, restaurant, kelangsungan usaha retail, dan transportasi. Pariwisata juga mendukung tumbuhnya kegiatan industri dan berbagai profesi. Pada intinya, pembelanjaan yang dilakukan para turis, memberikan multiplier effect yang memutar roda ekonomi setempat. Dengan demiian, pariwisata dapat dipandang sebagai suatu sistem yang besar, yang mempunyai berbagai komponen, seperti ekonomi, ekologi, politik, sosial, budaya, dan seterusnya (Pitana, 2005: 91). Tujuan wisata merupakan tempat-tempat yang memiliki batasan tertentu, baik yang berupa batasan fisik, politik, atau batasan yang dibuat untuk kepentingan pemasaran (Kotler, Bowen & Makens, 1999: 648). WISATAWAN DAN MOTIVASI MELAKUKAN PERJALANAN Wisatawan, baik itu wisatawan domestik maupun wisatawan dari luar negeri, terbagi ke dalam beberapa tipe, beberapa diantaranya adalah (Kotler, Makens & Bowens, 1999; Pitana & Gayatri, 2005): 6 - - - - Organized mass tourists, yang umumnya bepergian secara berombongan dalam bentuk paket, menikmati tempat tujuan dari balik jendela bus dan tinggal di hotel dengan fasilitas yang setara dengan fasilitas di tempat asalnya. Individual mass tourists, yang agak mirip dengan organized mass tourists, hanya saja mereka lebih bisa mengontrol tujuannya, guna mencapai tempat tujuan wisatanya, mereka umumnya menyewa kendaraan. Explorers, adalah tipe yang merencanakan dan mengatur sendiri tujuan mereka, walau kadangkala masih memenfaatkan jasa travel agent. Mereka cenderung untuk menjadi orang yang senang interaksi langsung dengan masyarakat di tempat tujuan wisata. Drifters, adalat tipe backpacker yang jumlahnya tidak terlalu banyak, dan mereka umumnya memanfaatkan fasilitas dengan standar setempat. Tipe ini cenderung untuk berbaur dengan masyarakat lokal yang sosial ekonominya rendah. Umumnya mereka berusia muda. Dalam melakukan perjalanan, pada dasarnya seorang didorong oleh faktor. Adapun faktor-faktor yang dapat memotivasi seseorang melakukan perjalanan diantaranya (Pitana & Gayatri, 2005): - Motivasi yang bersifat fisik atau psikologis, seperti relaksasi, kesehatan, kenyamanan, berpartisipasi dalam kegiatan olah raga, bersantai, dan sebagainya. - Motivasi budaya, yaitu keinginan untuk mengetahui budaya, adat, dan kesenian daerah lainnya. Termasuk juga ketertarikan akan berbagai objek tinggalan budaya. - Motivasi yang bersifat sosial, seperti mengunjungi teman dan keluarga, menemui mitra kerja, melakukan hal-hal yang dianggap mendatangkan gengsi, melakukan ziarah, pelarian dari situasisituasi yang membosankan, dan seterusnya. - Motivasi karena fantasi, yaitu adanya fantasi bahwa di daerah lain seseorang akan bisa lepas dari rutinitas keseharian yang menjemukan, dan ego-enhanccement yang memberikan kepuasan psikologis. Selain itu, adanya keinginan untuk melihat sesuatu yang baru, mempelajari orang lain dan/atau daerah lain, atau mengetahui kebudayaan lain, merupakan pendorong yang utama di dalam pariwisata (Pitana dan Gayatri, 2005: 37). 7 Dari beberapa penjelasan di atas, dapat dilihat, bahwa motivasi budaya dan adanya tendensi untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat dan budaya setempat merupakan potensi yang dapat digali dari seseorang untuk melakukan perjalanan ke suatu tempat. ARSITEKTUR DAN KEBUDAYAAN Dalam hubungannya dengan bidang kearsitekturan, pada hakekatnya, suatu karya arsitektur adalah upaya manusia menciptakan lingkungan untuk menampung kebutuhan manusia bertempat tinggal, berusaha, atau bersosial budaya (Rahmadi BS, 1997). Lebih lanjut dikatakan bahwa jikalau dikatakan arsitektur merupakan buah budaya dan kebudayaan, sebenarnya kita menjadi sadar bahwa dalam pengertian ini arsitektur bukanlah upaya manusia dan masyarakat untuk mengungkapkan kebudayaan lewat bangunan yang diciptakannya. Dalam pengertian itu arsitektur adalah sepenuhnya konsekuensi logis dari kebudayaan. Bila sebuah pohon pisang telah cukup umur muncullah buah pisangnya, demikian pula pengertian dari dalam konteks kebudayaan itu (Prijotomo, 1988: 33). Dari sini terlihat bahwa hasil karya arsitektur yang berupa ruang, merupakan tempat atau wadah bagi kehidupan dan interaksi bagi masyarakat. Di dalam arsitektur, terdapat identitas, yang oleh Budihardjo (1997: 34) dijelaskan sebagai target yang selalu berubah, sejalan dengan perubahan waktu dan masyarakatnya, sebagai suatu proses kultural yang tidak bisa difabrikasikan, apalagi secara massal. Hal ini menunjukkan bahwa dari aspek arsitektur, setiap daerah atau lokasi tetentu memiliki identitasnya masing-masing. Pesona arsitektur, memiliki potensi mendorong seseorang untuk datang, melihat, merasakan, berinteraksi, serta mempelajarinya. Suasana yang khas dan berbeda dengan tempat asal, juga akan mendorong seseorang untuk mendatangi lokasi tertentu untuk melepaskan diri dari rutinitas kesehariannya. Pesona yang ditimbulkan oleh lingkungan dan/atau ruang dengan arsitektur tertentu, dapat menjadi suatu pengalaman yang mengesankan bagi seseorang yang hadir dan berinteraksi di dalamnya. Suatu daerah dengan arsitektur adat, atau ciri arsitektur tertentu, umumnya dibangun dengan konsep dan filosofi yang mendalam. Demi kepentingan pariwisata, adakalanya ’memaksa’ ekspresi kebudayaan lokal untuk dimodifikasi, agar sesuai dengan kebutuhan pariwisata. Ekspresi budaya dimodifikasi agar dapat ’dijual’ kepada wisatawan (Pitana dan Gayatri, 2005: 37). Namun di lain pihak, 8 kesenian, kerajinan, dan berbagai aspek kebudayaan lokal bisa mengalami revitalisasi akibat kedatangan pariwisata (De Kadt, 1997., dalam Pitana dan Gayatri, 2005: 137). REVITALISASI ARSITEKTUR SETEMPAT DAN PARIWISATA Walau belum dilakukan studi yang mendalam, namun dari studi singkat yang sempat dilakukan penulis, dari beberapa lokasi dapat dirasakan adanya indikasi bahwa terdapat hubungan timbal balik antara revitalisasi lingkungan arsitektur dengan kedatangan pariwisata. Dari studi singkat (Juli 2005) yang sempat dilakukan di dua desa adat di bali utara: desa sembiran dan desa cempaga, menunjukkan kondisi yang sangat bertolak belakang dengan keadaan di daerah lain yang banyak dikunjungi wisatawan: desa tenganan dan batuan di bali selatan. Sebagai desa Bali Aga, desa sembiran dan cempaga nyaris tidak lagi memiliki rumah-rumah tradisionalnya. Rumah-rumah penduduk di kedua desa ini tidak lagi dibangun mengikuti pola asli setempat. Namun telah mengalami perubahan, sehingga sama dengan rumah-rumah masyarakat kebanyakan masa kini. Rumah yang masih benar-benar asli nyaris tidak ada lagi. Dalam kaitannya dengan kunjungan wisata, para wisatawan datang dengan harapan akan mendapatkan suatu pengalaman dan suasana khas adat setempat. Bila melihat kondisi di dua desa bali utara tersebut, harapan tersebut akan sirna. Sebaliknya, disaat wisatawan mengunjungi desa-desa seperti tenganan dan batuan, dan mungkin juga beberapa desa lain yang telah menjadi desa wisata utama, harapan wisatawan akan bertemu dengan kenyataan di lapangan. 9 Arsitektur, tidak selalu berupa bangunan. Ruang juga merupakan hasil dari arsitektur, yang terdiri dari ruang luar dan ruang dalam. Dihidupkannya pusat jajan malam hari pada akhir pekan, di beberapa kota belakangan ini juga dapat merevitalisasi suatu kawasan. Perjalanan singkat yang sempat dilakukan penulis ke daerah pecinan pada saat perayaan Ceng Ho tahun 2005 di Semarang, juga menunjukkan bahwa citra kawasan dapat didayagunakan guna membangkitkan pariwisata, dan sebaliknya kunjungan wisata yang berkelajutan secara bertahap dapat merevitalisasi kembali makna dan citra kawasan tersebut. Di lokasi ini, daerah pecinan yang semula identik dengan perdagangan dan pergudangan yang tidak menarik, telah disulap menjadi pusat jajan malam hari yang menarik. Kehadiran pengunjung untuk menikmati makan malam di akhir pekan mendorong pedagang menyediakan makanan dan suasana tempat yang menyenangkan. Sebaliknya, keberadaan pusat jajan yang menarik telah mendorong masyarakat untuk hadir ke lokasi dan membelanjakan uangnya. Perlu diingat disini, dalam hubungannya dengan bidang pemasaran, khususnya pemasaran jasa, pembeli hanya mendapatkan janji sebelum peristiwa / kegiatan tersebut dialaminya. Dari studi-studi singkat di atas, tampaknya terdapat hubungan timbal balik antara suasana adat atau suasana khas setempat dengan kepentingan wisata. Daerah-daerah tujuan dengan menu utama keistimewaan citra lokal / setempat, umumnya menarik minat wisatawan untuk datang. Kedatangan mereka akan memberikan multiplier efect yang menggerakkan ekonomi setempat. Demikian pula bagi masyarakat dan pengelola setempat, mereka tampaknya juga memiliki alasan yang kuat untuk mempertahankan bukan hanya adat dan tradisi semata, namun juga citra dan pesona arsitektur lokalnya sebagai media penarik minat wisatawan. Dari sini tampak adanya suatu perputaran hubungan timbal balik yang tidak boleh terputus, bahkan justru semakin kuat nuansa yang ada, akan semakin tinggi pula kedatangan wisatawan. PENUTUP Dari proses-proses tersebut, dalam jangka panjang citra kawasan dengan keunikan arsitekturnya tentu akan dapat dikembalikan mendekati citranya aslinya. Hanya saja, seiring perkembangan masa, kita harus dapat menerima beberapa kondisi yang mau tidak mau akan beradaptasi sebagai akibat akulturasi zaman. Berkaitan dengan adaptasi tersebut, Prijotomo (1988: 24) 10 menjelaskan bahwa dalam kerangka tinjauan atas tradisi, sikap ’mengadilihungkan’ tradisi tidak boleh diartikan dengan memupusakakan, memisterikan, apalagi dipantangkan untuk dimodifikasi dan diadaptasi; hanya dengan sikap ini maka tradisi akan berkesinambungan. Disinilah yang menjadi tantangan bagi masyarakat, para pakar, dan pengambil keputusan untuk secara arif bijaksana mengelola perubahan ini. DAFTAR PUSTAKA Budihardjo, Eko. Arsitektur Sebagai Warisan Budaya. Jakarta: Djambatan, 1997. Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi., & Fakultas Teknik Universitas Gadjahmada. Laporan Pendahuluan: Penyusunan Rencana Pengembangan Desa Wisata di Bali. Yogyakarta, 1993. Kotler, Philip., John Bowen., & James Makens. Marketing for Hospitality and Tourism. Upper Saddle River: Prentice-Hall, 1999. Pitana, I. Gde., & Putu G. Gayatri. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Andi, 2005. Rahmadi B. S. Arsitektur Indonesia Sebagai Pencerminan Budaya Bangsa. Dalam: Budihardjo, Eko, 1997, hal: 2 – 11. Prijotomo, Joseph. Pasang Surut Arsitektur di Indonesia. Surabaya: Ardjun, 1988. 11 REKONSTRUKSI HUNIAN TRADISIONAL PADA KAWASAN KOTAGEDE SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN IDENTITAS Oleh: Cynthia Puspitasari Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Pancasila, Abstrak: Pelestarian kawasan bersejarah yang kental akan unsur historis dan budaya, merupakan upaya yang perlu dilakukan secara berkelanjutan dan berkesinambungan. Dinamika yang terjadi baik itu secara fisik maupun non fisik perlu disikapi dengan adanya suatu perencanaan kawasan secara terpadu agar pelestarian kawasan dapat tetap terjaga. Dinamika pada kawasan Kotagede yang terjadi akibat bencana gempa tektonik pada 27 Mei 2006, memberikan dampak yang cukup signifikan berupa kerusakan pada beberapa bangunan pusaka sejarah. Dalam rangka mempertahankan identitas kawasan, rekonstruksi kawasan perlu segera dilakukan. Salah satu wujud rekonstruksi pada kawasan Kotagede terlihat pada beberapa titik yang salah satunya adalah hunian tradisional yang berada pada kelurahan Purbayan, kawasan Kotagede. Rekonstruksi hunian tradisional memerlukan beberapa kajian yang lebih mendalam terkait sejauh mana perubahan fisik ataupun pengembalian kondisi semula dapat dilakukan. Makalah ini mendiskusikan tentang peran rekonstruksi yang dikhususkan pada hunian tradisional terhadap upaya pelestarian kawasan yang berkelanjutan. Kesimpulan dari penulisan makalah ini menghasilkan beberapa rekomendasi peran dan perwujudan rekonstruksi demi tercapainya pelestarian kawasan bersejarah Kotagede. Kata Kunci: rekonstruksi, pelestarian, identitas, hunian tradisional dan kotagede PENDAHULUAN Kotagede yang terletak di ujung tenggara kota Yogyakarta, adalah suatu kawasan bersejarah yang merupakan mantan ibukota 12 Kerajaan Mataram Islam pertama. Kotagede didirikan pada abad ke-16 sebagai kabupaten tradisional tertua di kota Yogyakarta. Perencanaan Kotagede dibuat dengan mengacu pada pola kota ideal Jawa “Catur Gatra Tunggal” berupa 4 (empat) komponen dalam 1 (satu) kesatuan, yang ditandai dengan keberadaan istana, masjid, pasar, dan alun-alun. Fenomena Kotagede diperkuat dengan adanya keragaman kegiatan industri lokal seperti perak, kerajinan batik, tembikar, kerajinan kayu, ikat (kain handwoven), dan kerajinan tradisional lainnya yang dipraktekkan di daerah tersebut. Hal ini membuat Kotagede sebuah distrik warisan yang unik dan penting serta berkontribusi dalam membentuk kehidupan kota Yogyakarta. Nilai-nilai sejarah dan budaya warisan Kotagede yang tercermin dalam arsitektur rumah tradisional dan kehidupan sosial rakyatnya merupakan kekayaan yang perlu dilestarikan. Pelestarian kawasan bersejarah Kotagede sendiri merupakan isu yang telah lama dicanangkan oleh pemerintah setempat serta pemerhati budaya dan sejarah. Terbukti pada tahun 2003 oleh Walikota Yogyakarta, kawasan tersebut dideklarasikan sebagai "Museum Hidup". Nilai-nilai sejarah dan budaya Kotagede. Sumber: Dokumentasi Pribadi 2011 Upaya tersebut mengalami hambatan dikarenakan terjadinya bencana gempa berkekuatan 6,3 SR pada tanggal 27 Mei 2006 yang melanda 11 kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya. Bencana tersebut mengakibatkan kerusakan pada perumahan dan infrastruktur kawasan. Bencana tersebut telah memperburuk kemiskinan di daerah bencana, di mana hampir 880.000 orang miskin orang hidup. Kondisi tersebut semakin pelik dengan adanya fakta bahwa 66.000 orang cenderung untuk jatuh ke dalam kemiskinan jika kebutuhan dasar rumah tidak dipulihkan dalam beberapa tahun mendatang. 13 Kerusakan akibat gempa. Sumber: Safeguarding of Vernacular Traditions in Kotagede heritage district (JRF Meeting, 2008) Desakan kebutuhan masyarakat mendorong para penghuni rumah tradisional khususnya rumah Joglo (rumah dengan banyak ornamen kayu Jati yang merupakan material berharga mahal) untuk menjual asetnya atau bahkan elemen-elemen kayu Jatinya. Hal tersebut tidak lain dikarenakan oleh: (a) ketidakmampuan dalam membangun kembali pasca gempa, (b) kesulitan dalam pemeliharaan atau (c) keinginan untuk membangun rumah kembali sesuai kebutuhan gaya saat ini. Kondisi demikian bila terus terjadi dapat mengakibatkan kepunahan karakter hunian tradisional sebagai identitas kawasan. Akibatnya pada tahun 2008 oleh World Monument Fund, dituliskan bahwa Kotagede termasuk ke dalam Daftar 100 Situs Paling Terancam Punah. Berdasarkan fakta tersebut di atas, untuk dapat memperbaiki kondisi yang ada dan mempertahankan keberlangsungan kawasan di masa yang akan datang perlu dilakukan rekonstruksi untuk mempertahankan identitas kawasan Kotagede sebagai kawasan pusaka sejarah. Makalah ini mendiskusikan pemahaman tentang kontribusi proses rekonstruksi terhadap upaya pelestarian yang difokuskan pada hunian tradisional Joglo yang berada pada kawasan kelurahan Purbayan. REKONSTRUKSI SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN Pelestarian Pelestarian dalam kamus bahasa indonesia berasal dari kata “lestari” yang artinya tetap seperti keadaannya semula; tidak berubah; bertahan; kekal (kamusbahasaindonesia.org). Kata pelestarian sendiri dapat diartikan: (1) proses, cara, perbuatan melestarikan; (2) perlindungan dari kemusnahan atau kerusakan; pengawetan; konservasi: ~ sumber-sumber alam; (3) pengelolaan sumber daya alam yang menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya (kamusbahasaindonesia.org). Pelestarian yang dibahas pada makalah 14 ini adalah pelestarian yang berkaitan erat dengan upaya pelestarian konservasi sejarah atau historic conservation. Berdasarkan Piagam Burra Charter (1982) 1, conservation (konservasi) berarti proses menjaga suatu tempat agar signifikansi budayanya dapat tetap dipertahankan. Proses tersebut meliputi perawatan yang terbagi ke dalam beberapa kegiatan: (a) preservasi, (b) restorasi, (c) rekonstruksi dan (d) adaptasi. Masing-masing kegiatan pelestarian memiliki pendekatan yang berbeda, terkait dengan kasus yang berbeda, antara lain: a) Preservasi merupakan upaya mempertahankan fabric/material fisik yang ada dari sebuah tempat agar dapat menghambat kerusakan; b) Restorasi merupakan upaya mengembalikan fabric/material fisik yang ada dari sebuah tempat sebelumnya, dengan menghapus penambahan-penambahan atau pemasangan kembali komponen yang ada tanpa pengenalan materi baru; c) Rekonstruksi merupakan upaya untuk mengembalikan keadaan sebuah objek, fabric, tempat yang telah hilang ataupun hancur sebagian/rusak, kepada kondisi semula/awal, sejauh bisa diketahui; upaya tersebut ditandai dengan penggunaan bahan/material baru ataupun lama; d) Adaptasi merupakan upaya memodifikasi tempat yang sesuai dengan yang usulan penggunaan yang kompatibel. Pada umumnya konservasi merupakan kombinasi lebih dari satu upaya tersebut. Pelestarian pada kasus Kotagede mengindikasikan perlunya suatu pengelolaan berkelanjutan yang dapat diwujudkan dengan cara mempertahankan, menjaga atau memulihkan kondisi pasca gempa agar signifikansi budaya saat ini hingga kondisi di masa yang akan datang tetap terjaga. 1-2 The Conservation Plan. James Semple Kerr, NSW, 1982 15 Kondisi Kawasan Kotagede pasca gempa yang memerlukan penanganan berupa perbaikan fisik dengan atau tanpa penambangan material baru. Sumber: Dokumentasi Pribadi 2011 Upaya tersebut perlu dilakukan dengan segera dengan pemulihan kondisi semula yang hilang atau rusak sebagian, baik mempergunakan material baru atau lama. Kegiatan konservasi yang paling tepat dipergunakan untuk pemulihan kondisi Kotagede adalah dengan pendekatan rekonstruksi. Rekonstruksi 2 Berdasarkan definisi dari Piagam Burra Charter (1982) , pendekatan rekonstruksi dapat dipahami sebagai berikut: a) Rekonstruksi tepat apabila diterapkan pada suatu tempat yang kondisinya tidak lengkap akibat kerusakan atau perubahan, dan pada keperluan suatu tempat untuk kelangsungan hidup, atau di mana suatu tempat memulihkan makna budaya tempat secara keseluruhan. b) Rekonstruksi terbatas pada penyelesaian entitas dan tidak harus merupakan mayoritas fabric/material fisik tempat. c) Rekonstruksi terbatas pada reproduksi fabric/material fisik, bentuk yang diketahui dari fisik dan / atau bukti dokumenter. d) Rekonstruksi harus diidentifikasi melalui inspeksi di mana ia dapat mendekati suatu karya baru. Apa yang menjadi entitas penting dalam rekonstruksi kawasan Kotagede agar tujuan pelestarian dapat tercapai? Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan pemahaman apa yang menjadi penting dalam signifikansi budaya yang bermakna bagi Kotagede. 2 The Conservation Plan. James Semple Kerr, NSW, 1982 16 Kualitas Visual dan Identitas Kualitas visual merupakan imageability of places, yakni suatu cara yang memungkinkan manusia untuk hidup harmonis dengan lingkungan fisik mereka (Lynch, 1960). Identitas adalah aspek kolektif dari himpunan karakteristik melalui sebuah hal yang sangatlah dikenali atau diketahui (dictionary.com). Salah satu aspek keberhasilan suatu perancangan kota berdasarkan Key Aspect of Urban Design (Urban Design Compendium, 2000), adalah sense of place yang diartikan sebagai penciptaan bentuk pembangunan menciptakan suatu tempat yang dikenali berbeda tetapi sekaligus memperkuat identitas lokal. Karakteristik kota tidak terbatas pada atribut estetika lingkungan binaan, tetapi merupakan manifestasi fisik dari antropologi dan identitas sosial warganya, pembangun dan penjajah, budaya dan gaya hidup mereka; evolusinya sebagai masyarakat dan kemakmuran atau kurangnya tingkat ekonomi (Hall, 1998). Dalam bukunya tentang konservasi dan keberlanjutan, Dennis Rodwell (2007) mendefinisikan kota tradisional terbangun sebagai: 'keterkaitan dengan topografi dan hubungan yang seimbang dengan wilayahnya. Sense of place dan harmoni ditingkatkan dengan jangkauan terbatas dari material lokal dan keterampilan kerajinan yang digunakan dalam konstruksinya, diperkuat oleh aturan standar bangunan (building code) yang ketat. Skala dasarnya adalah manusia dan fungsi sosio-ekonomi menurut pemahaman umum bersama tentang apa yang merupakan kehidupan perkotaan.’ Melihat pemahaman di atas, tujuan rekonstruksi dapat menjadi jelas, di mana yang menjadi target utama proses rekonstruksi pada kawasan Kotagede adalah penjagaan aspek-aspek kualitas visual yang merupakan identitas lokal kawasan. Identitas lokal itu sendiri diwujudkan melalui karakteristik fisik dan non fisik yang bermakna bagi masyarakat. Karakteristik fisik tergambar melalui wujud bangunan dan ruang pelingkup yang khas, seperti halnya hunian tradisional dengan segala komponennya. Karakteristik kawasan Kotagede adalah kampung dengan gang-gang sempit di antara rumah yang penduduknya yang masih hidup dalam tradisi Jawa. Tatanan jalan kampung yang disebut jalan rukunan berikut rumah-rumah tradisional yang berada di dalamnya, merupakan karakter khas yang menjadi identitas Kotagede. Rumah tradisional Jawa (Joglo, Limasan, Kampung dan Panggang pe) yang dibangun ratusan tahun yang lalu dengan konstruksi kayu dan ukiran 17 kayu yang disebut dhanyang bahu, juga merupakan fitur unik yang memberikan makna ruang pada Kotagede. Karakteristik Kawasan Kotagede berupa Hunian Tradisional dan Gang Rukunan Sumber: Safeguarding of Vernacular Traditions in Kotagede heritage district (JRF Meeting, 2008) Hunian Tradisioanal Hunian merupakan tempat atau ruang di mana manusia bermukim dan berdomisili. Wujud fisik formal hunian dapat berupa rumah yang diisi oleh seorang manusia atau lebih yang disebut dengan keluarga. Tradisional berarti kuno atau klasik yang menyangkut pewarisan budaya kepada generasi di bawahnya (architect-news.com). Dari definisi istilah tersebut didapat pengertian bahwa hunian tradisional merupakan suatu ruang atau tempat yang digunakan manusia untuk tinggal dan bermukim yang mana ruang tersebut memiliki muatan budaya dari generasi sebelumnya yang dinilai perlu untuk diwariskan pada generasi di bawahnya. Mempertahankan Identitas Kawasan melalui Perbaikan Rumah Joglo Dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan, upaya mempertahankan identitas perlu dilakukan (Hall, 1998). Pada kawasan Kotagede, bangunan rumah Joglo sebagai puncak dari arsitektur Jawa, merupakan artefak yang memberikan karakteristik yang khas. Kerusakan akibat gempa dan maraknya penjualan aset pusaka Joglo karena nilai ekonomisnya yang tinggi, mendorong rekonstruksi yang berfokus pada Joglo untuk segera dilakukan. Joglo sendiri merupakan tipologi rumah tradisional Jawa yang biasanya ditinggali oleh keturunan bangsawan di masa lalu. Bagian rumah terpisah antara 2 (dua) bagian inti yaitu dalem (rumah utama) dan pendopo (teras besar). 18 Skema Komplek Bangunan Joglo. Sumber: Dakung, 1981:56 Salah satu kasus rekonstruksi hunian tradisional yang dilakukan pada kawasan Kotagede adalah pada “Omah Joko Nugroho” (rumah tinggal milik Joko Nugroho) yang terletak di Klaster Between Two Gates, Kelurahan Purbayan. Rekonstruksi yang dilakukan terfokus pada perbaikan hunian tradisional joglo yang diwujudkan melalui skema pembangunan rumah privat dan publik. Peta kawasan Kotagede. Sumber: Jelajah Pusaka Kotagede 19 Peta lokasi Klaster Between Two Gates dan Omah Joko Nugroho. Sumber: Analisis Pribadi dan Penelusuran Internet 2011 Rekonstruksi hunian tradisional pada “Omah Joko Nugroho” di Klaster Between Two Gates Keterangan(kiri-kanan-atas-bawah): (a) Gerbang Barat, (b) Gerbang Timur, (c,d) Jalan Rukunan. Sumber: Dokumentasi Pribadi 2011 Yang dimaksud rumah privat bagian dalem dari rumah Joglo. Di mana rumah privat tetap difungsikan bagi keperluan pribadi keluarga Joko Nugroho. Oleh yang bersangkutan fungsi rumah dalem dimanfaatkan untuk kegiatan komersial yakni usaha perdagangan batik. Rekonstruksi bagian dalem dikerjakan dengan adanya partisipasi pemilik yang bekerja sama dengan fasilitator rekonstruksi. 20 Rekonstruksi rumah privat pada bagian dalem dan pringgitan Keterangan(kiri-kanan-atas-bawah): (a) Fasad rumah privat pasca rekonstruksi, (b) Atap joglo dengan material yang dipertahankan, (c) Penambahan fungsi komersial pada bagian dalem, (d) Perbaikan lingkungan hunian meliputi perkerasan pada gang rukunan. Sumber: Dokumentasi Pribadi 2011 dan panoramio.com Partisipasi pemilik rumah dalam berbagai aspek fisik, lingkungan, sosial dan ekonomi diperlukan dalam strategi pencapaian rekonstruksi (Fallahi, 2007). Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan skema kerja sama alih fungsi lahan dengan perubahan fungsi rumah privat menjadi rumah publik. Yang dimaksud rumah publik dalam hal ini rekonstruksi bangunan pendopo. Proses pembangunan dan penggunaan publik diputuskan dengan persetujuan pemilik dan warga sekitar. Pendopo yang pada awalnya merupakan area pribadi milik keluarga Joko Nugroho, setelah dilakukan rekonstruksi, fungsinya dirubah menjadi bangunan publik bagi fungsi umum. Rekonstruksi rumah publik pada bagian pendopo Keterangan(kiri-kanan-atas-bawah): (a) Bagian utama Pendopo, (b) Halaman samping yang dirubah menjadi ruang servis, (c) Bagian luar pendopo, (d) Bagian dalam pendopo. Sumber: Dokumentasi Pribadi 2011 dan panoramio.com Perbaikan fisik difokuskan pada elemen-elemen hunian yang rusak akibat gempa. Untuk memulihan kembali ke kondisi awal, dilakukan kategorisasi tingkat kerusakan, baru kemudian diputuskan prioritas perbaikan serta perencanaan implementasinya. Walaupun ada persoalan keterbatasan material bangunan, untuk menjaga identitas lokal, material lokal yang dipergunakan, dipilih semirip mungkin dengan material aslinya. Jadi, walaupun perubahan material baru diperkenankan, perubahan tetap dibatasi oleh adanya faktor pertimbangan estetika historis. 21 Proses rekonstruksi dengan pertimbangan pemanfaatan material yang serupa dengan atau tanpa adanya perubahan material baru. Sumber: Dokumentasi Pribadi 2011 Proses rekonstruksi pada kawasan menemuni beberapa kendala. Di antaranya ketiadaan aturan standar bangunan (building code) yang mendukung upaya mempertahankan identitas lokal. Akibatnya rekonstruksi pada hunian Joglo yang dilakukan seperti halnya titik-titik pelestarian yang bersifat menyebar dan tidak menggubris kualitas visual bangunan tradisional lain atau bahkan bangunan yang terlanjur dibangun dengan gaya modern. Jenis bangunan non Joglo yang tumbuh tanpa arahan akibat tidak adanya building code. Sumber: Dokumentasi Pribadi 2011 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain: 1. Rekonstruksi hunian tradisional pada kawasan Kotagede sebagai upaya pelestarian identitas, mengandung pengertian bahwa pembangunan kembali kawasan melalui pendekatan rekonstruksi perlu dilakukan agar identitas budaya dan sejarah berupa karakteristik khas kawasan dapat dipertahankan, baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang; 2. Rekonstruksi hunian tradisional dapat menjaga kualitas visual sehingga mampu mempertahankan identitas kawasan Kotagede dengan cara menjaga atau memulihkan kembali ruang dan objek yang menjadi karakteristik kawasan. Dalam hal ini adalah 22 3. perbaikan hunian tradisional, seperti halnya objek rumah Joglo dan skema penciptaan rumah publik bagi masyarakat setempat dan umum; Rekonstruksi hunian tradisional memberikan kontribusi terhadap upaya pelestarian dengan adanya upaya menghidupkan kembali lingkungan fisik kawasan hunian dengan berbagai aktivitas yang bersifat privat dan publik. Rekomendasi Berdasarkan kesimpulan dan analisis yang telah dilakukan, dapat diajukan beberapa rekomendasi yang dirujuk berdasarkanstudi dari Lessons learned from the housing reconstruction following the Bam earthquake in Iran (Fallahi, 2007). Rekonstruksi yang terfokus 3 pada hunian dapat diterapkan berdasarkan prinsip-prinsip dasar : 1. Mempertahankan identitas kota dalam desain perkotaan; Pemahaman masyarakat akan pentingnya rekonstuksi serta pemanfaatan dan penjagaan identitas lokal sebagai karakter kawasan perlu lebih diperdalam. 2. Partisipasi aktif pemilik rumah dalam berbagai aspek fisik, lingkungan, sosial dan ekonomi; Pengawasan dan pendampingan kepada masyarakat perlu ditambahkan dengan adanya pembekalan ilmu terkait pemahaman historis, budaya dan aset pusaka sebagai identitas lokal. 3. Memperkuat bangunan rumah dengan national building code. Perlu dibuat acuan yang jelas dan landasan hukum formal (building code) terkait sejauh mana perubahan pada setiap wujud artefak dan lingkungan dapat dilakukan. Hal tersebut tidak hanya berlaku bagi hunian Joglo namun juga bagi bangunan tradisional lainnya. Berdasarkan penelitian Kiera (2011), di mana identitas 3 Lessons learned from the housing reconstruction following the Bam earthquake in Iran. Dr. Alireza Fallahi, Sydney, 2007 23 lokal dan aturan desain dijadikan tools dalam konservasi 4, dijelaskan bahwa identitas intrinsik dari karakter perkotaan yang ada dan arsitektur tidak hanya dilindungi, tetapi proaktif digunakan sebagai acuan dan panduan kota-khusus untuk pembangunan baru. Aturan identitas lokal sering disebut sebagai ‘special code’ karena mendefinisikan rinci spasial karakteristik arsitektur urban kota. DAFTAR PUSTAKA Fallahi, Alireza, 2007, Lessons learned from the housing reconstruction following the Bam earthquake in Iran, Sydney Hall, Peter, 1998, Cities in Civilization, London Kerr, James Semple , 1982, The Conservation Plan, NSW Kiera, Agnieshka, 2011, The local identity and design code as tool of urban conservation, a core component of sustainable urban development – the case of Fremantle, Western Australia, City & Time 4 The local identity and design code as tool of urban conservation, a core component of sustainable urban development – the case of Fremantle. Agnieshka Kiera, Western Australia, City & Time, 2011 24 EVALUASI TINGKAT KEKUATAN BUNYI YANG DITERIMA PADA RUANG KELAS Oleh Diptya Anggita, ST., MT Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Pancasila Abstrak Ruang kelas merupakan tempat untuk belajar yang membutuhkan tingkat kenyamanan yang cukup tinggi, karena sangat bersangkutan dengan tingkat konsentrasi pengguna kelas. Salah satu faktor dalam kenyamanan ruang kelas adalah kenyamanan audio. Mengetahui kondisi kenyamanan audio dalam ruang kelas sangat penting untuk dapat ditindak lanjuti dengan melakukan perbaikan dan peningkatan fasilitas pembelajaran dalam ruang kelas. Dalam penulisan ini akan membahas mengenai pengamatan, pengukuran, dan rekomendasi perbaikan untuk meningkatkan kenyamanan audiopada ruang kelas. Kata Kunci: akustika,ruang kelas,bangunan,arsitektur. PENDAHULUAN Bunyi merupakan rangkaian perubahan tekanan yang terjadi secara cepat dan luas. Perubahan tekanan ini disebabkan oleh adanya objek yang bergerak cepat atau bergetar, yang kemudian disebut sebagai bunyi. Objek sumber bunyi dapat berupa zat (benda) padat atau udara. Baik pada objek padat maupun udara, untuk menjadi sumber bunyi, gerakan atau geterannya harus disertai dengan gerakan atau getaran objek lain, sehingga saling bersentuhan. (Christina, 2009) Bunyi yang telah melampaui batas toleransi yang dapat diterima oleh manusia disebut dengan kebisingan. Kesadaran akan permasalahan kebisingan masih sangat rendah, karena sering dianggap tidak penting untuk manusia. Kebisingan yang berlebihan dapat menyebabkan berbagai gangguan fisiologis, gangguan psikologis, gangguan komunikasi dan ketulian. Pada penelitian ini membahas mengenai akustika pada ruang kelas untuk mengetahui tingkat kebisingan yang diterima dalam ruangan. Hal tersebut sangat penting mengingat ruang kelas merupakan fasilitas utama dalam kegiatan belajar dan mengajar, karena tingkat konsentrasi pengguna ruang kelas sangat dipengaruhi 25 oleh kenyaman audio pada ruang kelas. Ruang kelas yang dijadikan sebagai studi kasus dalam penelitian ini adalah salah satu ruang kelas yang terdapat pada bangunan ELTI di Kota Baru, Yogyakarta. Pengukuran dilakukan selama tiga hari. Pemilihan waktu pengukuran disesuaikan dengan jadwal terpadat penggunaan ruangan yaitu pada hari senin, selasa, rabu, dan pada jam 13.45 – 14.45 (1 jam). Pencatatan tingkat kekuatan bunyi dilakukan setiap 15 menit. METODE PENELITIAN Metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif yaitu metoda yang digunakan untuk pemecahan masalah melalui langkahlangkah pengumpulan data, penyusunan data, penjelasan, penganalisaan dan pembahasan, serta kesimpulan dalam bentuk design guideline. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Survey literatur, yaitu proses pengumpulan data yang berhubungan dengan pembahasan yang akan digunakan sebagai dasar dari analisis penelitian; (2) Survey lapangan, yaitu untuk mengetahui kondisi objek penelitian secara detail dengan pengambilan dokumentasi bangunan dan interior ruangan, pengamatan, dan datadata mengenai bangunan; (3) Pengukuran, yaitu digunakan untuk mengetahui tingkat kebisingan pada ruang kelas yang diakibatkan oleh kebisingan dari luar kelas dan kebisingan pada sumber bunyi (luar kelas) dengan menggunakan SLM (Sound Level Meter). Pengukuran dilakukan di dalam ruang kelas dan luar kelas selama tiga hari berturut-turut. HASIL PENGAMATAN Hasil survei ruang studi kasus ruang dalam kelas: (a) Ruang kelas seluas 11,25 m2; (b) Tidak mempunyai jendela; (c) Pintu terbuat dari kayu dan bagian bawahnya terdapat celah, bagian tengah pintu terbuat dari kaca. (d) Lantai menggunakan tegel 30x30 cm berwarna putih; (e) Dinding bagian depan dan samping kanan menggunakan dinding tembok, sedangkan bagian kiri dan belakang menggunakan papan; (f) Plafon menggunakan papan; (g) Terdapat 9 kursi yang berada di dalam ruang kelas. Bahan kursi dengan besi dan busa yang ditutupi plastik tebal; (h) Terdapat 1 meja tulis dan 1 meja telphone. Bahan meja terbuat dari kayu. Hasil survei ruang studi kasus luar ruang kelas: (a) Ruangan terbuka dan terdapat void yang besar; (b) Terdapat tempat duduk 26 panjang kayu dengan bantalan; (c) Lantai menggunakan tegel 30x30 cm berwarna putih; (d) Dinding yang mengelilingi menggunakan dinding tembok; (e) Plafon menggunakan gypsum. Denah Interior Ruang Kelas Denah Luar Ruang Kelas. ( Letak SLM pada pengukuran hari 1,2, dan 3) Data dalam kelas dan luar kelas pada saat melakukan pengukuran kebisingan: (a) Ruang kelas yang digunakan untuk pengukuran tingkat kebisingan dalam kelas dipilih dengan mempertimbangkan faktor : Kedekatan ruang kelas dengan sumber bunyi, kelas kosong yang tersedia. (b) Pengukuran kebisingan ruang dalam kelas dan luar kelas menggunakan SLM/ Sound Level Meter. (c) SLM di letakkan di atas tripod kamera dengan di isolasi, dengan tinggi tripod 1,2 m dari permukaan lantai. (d) Luas ruang kelas yang dijadikan sebagai tempat pengukuran 6 m2. SLM diletakkan di tengah ruangan, 1 m dari depan dan belakang tembok dan 1.5m dari samping kanan dan kiri tembok. Kedua SLM-A dan SLM-B mengarah ke sumber sumber bunyi. ( e) Posisi operator berada 0,60 - 1,00 m. ( f) Suhu ruangan 25 ̊ C, dengan menggunakan AC pada saat pengukuran kebisingan ruangan. (g) Perhitungan kebising di dalam kelas dilakukan saat kelas kosong. (h) Pada saat pengukuran luar ruang kelas pada hari percobaan pengukuran dan hari ke 1, banyak anak-anak yang bertanya dan mendekati SLM sehingga tingkat kebisingan pada SLM lebih tinggi. Sedangkan pada hari 2 da ke 3 sudah mulai berkurang dikarenakn sudah mulai terbiasa dengan keadaan tersebut. 27 Letak SLM pada luar kelas Letak SLM pada dalam kelas Perletakan SLM pada luar kelas, dalam kelas, dan situasi luar kelas HASIL DAN PEMBAHASAN Pengukuran Sistem angka penunjuk dilambangkan dengan Lx, dimana L menunjukan tingkat kebisingan yang tercatat dan x karakteristik pengukuran. Pengukuran dengan sistem angka penunjuk yang paling banyak digunakan adalah angka penunjuk equivalen (Leq), yaitu angka kebisingan yang berubah-ubah / fluktuatif yang diukur selama waktu tertentu, yang besarnya setara dengan tingkat kebisingan tunak/ steady. (Christina, 2005). 28 Perhitungan hasil pengolahan data pengukuran: Perhitungan I : - Perhitungan II : 29 - Perhitungan III : Total Leq Luar : Leq A + Leq B + Leq C 3 76,147 dB + 72,31 dB + 75,7 dB 3 224,157 dB = 74,72 dB 3 Total Leq Dalam : Leq A + Leq B + Leq C 3 57,48 dB + 57,62 dB + 56,84 dB 3 171,94 dB = 57,31 dB 3 Selisih Leq luar dan dalam : Total Leq Luar - Total Leq Dalam 74,72 dB - 57,31 dB 17,41 dB 30 Hasil perhitungan pengukuran tingkat kekuatan bunyi ruang dalam kelas dengan ruang luar kelas mendapatkan selisih 17.41 dB, dengan tingkat kekuatan bunyi pada ruang luar sebesar 74.72 dB dan ruang dalam sebesar 57.31 dB. Selisih angka tersebut menunjukan nilai insulasi material pada ruang kelas tidak dapat menyerap 17.41 dB kebisingan yang dihasilkan dari luar ruangan. Berdasarkan peraturan MenKes (No. 718/MenKes/Per/XI/87, dalam Lutfi, 1995) menyatakan bahwa peruntukan untuk sekolah tingkat kebisingan yang dianjurkan adalah 45 dBA, sehingga: Tingkat kebisingan dalam kelas - Tingat kebisingan persyaratan kelas = 57,31 dB – 45 = 12, 31 dB Hal tersebut menunjukan bahwa kebisingan yang diterima oleh ruang kelas telah melebihi dari toleransi yang diperbolehkan, sehingga pada ruang kelas membutuhkan perbaikan pola tata ruang dan material bangunan yang digunakan. Permasalahan Akustika Ruangan Permasalahan yang dihadapi pada ruang kelas: (a) Pintu merupakan bagian dinding yang sengaja ditempatkan sebagai jalan akses masuk dan keluar pengguna ruang. Pintu yang terdapat ruangan terbuat dari material ringan, tipis dan terdapat celah/rongga pada bagian bawah pintu, sehingga merusak kemampuan redam dinding. Hal tersebut mengakibatkan meningkatnya kebisingan latar belakang di dalam ruang. (b) Pengguna ruang kelas tidak secara otomatis menutup pintu kembali saat keluar atau memasuki ruangan sehingga kebisingan akan masuk kedalam ruangan tanpa penghalang. (c) Kebisingan yang terjadi di dalam ruangan juga dikarenakan material plafon yang tipis, sehingga kebisingan tidak dapat diredam dan dapat masuk melalui celah plafon. (d) Dinding pemisah antara kelas yang satu dengan yang lainnya bermaterial tipis seperti papan partisi. Hal tersebut menyebabkan kebisingan dari ruang sebelah dapat masuk ke ruang lainnya. (e) Kebisingan berasal dari ruang tunggu yang berada pada depan kelas. (f) Lantai merupakan bukan elemen langsung penerima rambatan gelombang bunyi dari luar ruangan, namun lantai ruangan dapat menjadi elemen yang menerima perambatan gelombang bunyi secara langsung. Bunyi yang timbul pada elemen mendatar ini berupa impact sound, yaitu bunyi yang langsung terjadi di permukaan lantai, seperti langkah kaki atau hentakan kaki. Lantai 31 pada ruangan koridor dan kelas merupakan lantai yang keras namun ringan dan tipis yang tidak dirancang untuk memberikan peredaman, maka sumber bunyi yang langsung mengenai lantai akan dengan mudah dirambatkan ke dalam ruangan dibawahnya dan disebelahnya. Sumber kebisingan pada lt-1 Sumber kebisingan pada lt-2 (g) Lantai merupakan bukan elemen langsung penerima rambatan gelombang bunyi dari luar ruangan, namun lantai ruangan dapat menjadi elemen yang menerima perambatan gelombang bunyi secara langsung. Bunyi yang timbul pada elemen mendatar ini berupa impact sound, yaitu bunyi yang langsung terjadi di permukaan lantai, seperti langkah kaki atau hentakan kaki. Lantai pada ruangan koridor dan kelas merupakan lantai yang keras namun ringan dan tipis yang tidak dirancang untuk memberikan peredaman, maka sumber bunyi yang langsung mengenai lantai akan dengan mudah dirambatkan ke dalam ruangan dibawahnya dan disebelahnya. KESIMPULAN Pengendalian kualitas bunyi pada bangunan dilakukan dengan dua cara, yang keduanya diterapkan secara bersama-sama untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Pertama adalah peredaman atau pencegahan masuknya bunyi-bunyi dari luar ruangan yang tidak dikehendaki. Yang kedua adalah penyebaran bunyi-bunyi yang sengaja dimunculkan dalam ruangan secara merata dan jelas agar dapat dinikmati dengan lebih baik. Melihat dari hasil analisa pengukuran tingkat kebisingan sudah melebihi standar kenyamanan 32 akustika suatu ruang kelas. Oleh sebab itu perlu adanya perbaikan dalam bidang tata ruang bangunan dan material bangunannya. Rekomendasi Perbaikan: (a) Tata ruang dibutuhkan untuk mengelompokan ruang sesuai dengan kebutuhan. Ruang-ruang pada bangunan terdiri dari: ruang kelas, ruang guru, kantor, ruang tunggu, dan toilet. Untuk menghindari sumber kebisingan yang berasal dari ruang tunggu di depan kelas, maka sebaiknya menjadikan satu ruang tunggu pada satu ruangan dan meletakkannya agak jauh dari ruang kelas, sehingga kebisingan yang akan memasuki ruang kelas akan berkurang. (b) Material yang dianjurkan: Pada lantai koridor dan kelas sebaiknya menggunakan lapisan lantai, seperti material ringan (kayu/karpet) digunakan untuk merambatkan bunyi langkah dan hentakan kaki. Dinding bangunan yang bermaterial beton bata bata telah memenuhi standar peredaman, tetapi pada dinding pembatas pada ruangan belum sehingga untuk mencegah bunyi perambatan pada antar ruang perlu diberikan partisi tunggal atau berlapis tanpa rongga antara. Peredaman rambatan gelombang bunyi di dalam ruangan akan lebih efektif bila plafon tidak secara langsung menempel pada struktur bangunan, atau yang disebut dengan plafon gantung. Dengan sistem plafon gantung akan tercipta rongga/jarak, yang merupakan elemen peredam, sehingga plafon tidak mudah mengalami resonansi karena adanya geteran pada struktur/konstruksi. Pada plafon untuk void memerlukan peredaman bunyi untuk membantu meredam bunyi. Permasalahan pada pintu dapat di atasi dengan memasang pintu dengan material dan ketebalan yang mendekati spesifikasi dinding serta menempatkan sealant pada sambungan san titik-titik yang memiliki celah. Dengan demikian kemampuan redam dinding tetap terjaga. Pada saat tertentu ketenangan akan buyar ketika pintu terbuka, oleh sebab itu pintu juga diberikan penambahan pemberat pintu agar pintu selalu otomatis menutup kembali saat dibuka. 33 DAFTAR PUSTAKA Kebisingan Terhadap Kesehatan http://putraprabu.wordpress.com/2009/01/05/dampak-kebisinganterhadap-kesehatan/ Acoustics - why acoustics are so important http://www.rockfon.co.uk/acoustics An acoustic case study visit http://www.acousticbulletin.com/EN/2011/05/new_line_learning_acade my.html#more Christina E. Mediastika, 2009. MATERIAL AKUSTIKA – PENGENDALI KUALITAS BUNYI PADA BANGUNAN. Penerbit: Andy, Yogyakarta. Christina E. Mediastika, 2005. AKUSTIKA BANGUNAN. Penerbit: Erlangga, Jakarta. 34 35