hir ARCH i - Pangkalan Data Dosen Universitas Pancasila

advertisement
h i r A R C H i
Penanggung Jawab:
Ketua Program Studi Arsitektur FTUP
(L.Edhi Prasetya, ST, MT)
Dewan Redaksi:
Agus S Sadana, ST, MM
Ashri Prawesthi D, ST, M. Si. P
L. Edhi Prasetya, ST, MT
Mitra Bestari:
Dr. Dhani Mutiasari, ST, MT
Dr. Agung Murti Nugroho, ST, MT
Editor:
Diptya Anggita, ST, MT
Cynthia Puspitasari, ST, MT
Alamat Redaksi:
Program Studi Arsitektur
Fakultas Teknik Universitas Pancasila
Jl. Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta 12640
Fax: +62–21 7270128
Email: [email protected]
[email protected]
Berlangganan hubungi redaksi
1
Pengantar hirARCHi
Puji syukur atas berkah hidup dan berkarya yang telah
diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga kami
masih bisa menampilkan sepercik idealisme dalam bidang
pengetahuan yang kami minati. Dewan redaksi beserta staf
sangat berterima kasih dan berbesar hati atas partisipasi
aktif yang diberikan rekan-rekan yang telah mengirim naskah
ilmiahnya kepada kami. Sungguh, itu merupakan tiupan
nyawa kami untuk tetap tampil pada jenjang periode
berikutnya.
Salam hormat kami berikan kepada para mitra bestari
yang rela meluangkan waktunya untuk memberi masukan
kepada tiap tulisan; tak lupa juga rasa hormat ditujukan bagi
kalangan yang telah sudi membeli jurnal hirARCHi sebagai
konsumsi adaptatif untuk selalu tetap pada jalur
perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang
arsitektur.
Secara sadar dan rendah hati kami memaklumi
bahwa terbitan hirARCHi pada edisi sebelumnya masih
banyak perbaikan. Penyusunan format tulisan, fokus
sasaran tiap tuilisan, pertanggungjawaban secara ilmiah
perlu diperdalam lagi, oleh karena itu kami juga menunggu
kritik dan saran dari para pembaca sekalian. Perbaikanperbaikan tersebut terus berjalan dan selalu diadakan
penyesuaian setiap kali kami menelurkan jurnal-jurnal
hirARCHi berikutnya. Begitu pula pada terbitan hirARCHi
yang ke tiga ini. Beberapa Himpunan Resume Architecture
Indonesia kami fokuskan sasarannya pada masalah
arsitektur perkotaan yang kajiannya selalu menarik untuk
ditelaah. Semoga beberapa tulisan dalam jurnal ini berkenan
di hati para pembaca dan dapat bermanfaat secara luas,
baik untuk tujuan informatif maupun edukatif (ilmiah).
Salam Redaksi
2
3
DAFTAR ISI
███████████████████
Editorial
1
Pengantar hirARCHi
2
Daftar Isi
4
6 – 11
12 – 24
25 – 34
35 – 42
43 – 54
55 – 65
4
KEUNIKAN ARSITEKTUR DAN LINGKUNGAN
SEBAGAI PENGGERAK PARIWISATA BUDAYA
Agus S Sadana
REKONSTRUKSI HUNIAN TRADISIONAL
PADA KAWASAN KOTAGEDE
SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN IDENTITAS
Cynthia Puspitasari
EVALUASI TINGKAT KEKUATAN BUNYI YANG
DITERIMA PADA RUANG KELAS
Diptya Anggita
PENATAAN KAWASAN WISATA PERFILMAN
INTERNASIONAL DI DAERAH REKLAMASI
PANTAI INDAH KAPUK JAKARTA UTARA
Hendri Gunawan
PENDIDIKAN DAN REKREASI TAMAN BIOTA
LAUT TERAPUNG DI KEPULAUAN SERIBU
Sandiana Haendra
PERANCANGAN RUMAH SUSUN SEDERHANA
SEWA DENGAN PENDEKATAN ARSITEKTUR
BIOMORFIK DI JAKARTA SELATAN
Agus Setiawan
Tentang Penulis
67
Petunjuk Pengiriman Naskah Jurnal
69
5
KEUNIKAN ARSITEKTUR DAN LINGKUNGAN SEBAGAI
PENGGERAK PARIWISATA BUDAYA
Oleh:
Agus S Sadana
Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Pancasila,
Abstrak:
Perkembangan pariwisata acapkali dipandang sebagai salah
satu penyebab semakin menurunnya kualitas lingkungan asli.
Adakalanya,
pertumbuhan
yang
menyertainya
memang
mengakibatkan kerusakan lingkungan, tataruang baik secara fisik
maupun non fisik. Kondisi tersebut ternyata juga secara perlahan turut
menggerus kelestarian arsitektur asli. Pengembangan kepariwisataan
yang berbasis budaya asli dengan mendayagunakan citra arsitektur
yang alsi, diharapkan dapat menjadi semacam generator guna
menjaga kelestarian arsitektur setempat.
Kata Kunci: arsitektur, pelestarian, pariwisata, budaya
PENDAHULUAN
Pariwisata merupakan aktivitas yang memiliki keterkaitan yang
dengan berbagai sistem yang kompleks. Pariwisata memberikan
pengaruh langsung ke dalam bidang perhotelan, restaurant,
kelangsungan usaha retail, dan transportasi. Pariwisata juga
mendukung tumbuhnya kegiatan industri dan berbagai profesi. Pada
intinya, pembelanjaan yang dilakukan para turis, memberikan multiplier
effect yang memutar roda ekonomi setempat. Dengan demiian,
pariwisata dapat dipandang sebagai suatu sistem yang besar, yang
mempunyai berbagai komponen, seperti ekonomi, ekologi, politik,
sosial, budaya, dan seterusnya (Pitana, 2005: 91).
Tujuan wisata merupakan tempat-tempat yang memiliki
batasan tertentu, baik yang berupa batasan fisik, politik, atau batasan
yang dibuat untuk kepentingan pemasaran (Kotler, Bowen & Makens,
1999: 648).
WISATAWAN DAN MOTIVASI MELAKUKAN PERJALANAN
Wisatawan, baik itu wisatawan domestik maupun wisatawan
dari luar negeri, terbagi ke dalam beberapa tipe, beberapa diantaranya
adalah (Kotler, Makens & Bowens, 1999; Pitana & Gayatri, 2005):
6
-
-
-
-
Organized mass tourists, yang umumnya bepergian secara
berombongan dalam bentuk paket, menikmati tempat tujuan dari
balik jendela bus dan tinggal di hotel dengan fasilitas yang setara
dengan fasilitas di tempat asalnya.
Individual mass tourists, yang agak mirip dengan organized mass
tourists, hanya saja mereka lebih bisa mengontrol tujuannya, guna
mencapai tempat tujuan wisatanya, mereka umumnya menyewa
kendaraan.
Explorers, adalah tipe yang merencanakan dan mengatur sendiri
tujuan mereka, walau kadangkala masih memenfaatkan jasa travel
agent. Mereka cenderung untuk menjadi orang yang senang
interaksi langsung dengan masyarakat di tempat tujuan wisata.
Drifters, adalat tipe backpacker yang jumlahnya tidak terlalu
banyak, dan mereka umumnya memanfaatkan fasilitas dengan
standar setempat. Tipe ini cenderung untuk berbaur dengan
masyarakat lokal yang sosial ekonominya rendah. Umumnya
mereka berusia muda.
Dalam melakukan perjalanan, pada dasarnya seorang
didorong oleh faktor. Adapun faktor-faktor yang dapat memotivasi
seseorang melakukan perjalanan diantaranya (Pitana & Gayatri, 2005):
- Motivasi yang bersifat fisik atau psikologis, seperti relaksasi,
kesehatan, kenyamanan, berpartisipasi dalam kegiatan olah raga,
bersantai, dan sebagainya.
- Motivasi budaya, yaitu keinginan untuk mengetahui budaya, adat,
dan kesenian daerah lainnya. Termasuk juga ketertarikan akan
berbagai objek tinggalan budaya.
- Motivasi yang bersifat sosial, seperti mengunjungi teman dan
keluarga, menemui mitra kerja, melakukan hal-hal yang dianggap
mendatangkan gengsi, melakukan ziarah, pelarian dari situasisituasi yang membosankan, dan seterusnya.
- Motivasi karena fantasi, yaitu adanya fantasi bahwa di daerah lain
seseorang akan bisa lepas dari rutinitas keseharian yang
menjemukan, dan ego-enhanccement yang memberikan kepuasan
psikologis.
Selain itu, adanya keinginan untuk melihat sesuatu yang baru,
mempelajari orang lain dan/atau daerah lain, atau mengetahui
kebudayaan lain, merupakan pendorong yang utama di dalam
pariwisata (Pitana dan Gayatri, 2005: 37).
7
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat dilihat, bahwa
motivasi budaya dan adanya tendensi untuk berinteraksi langsung
dengan masyarakat dan budaya setempat merupakan potensi yang
dapat digali dari seseorang untuk melakukan perjalanan ke suatu
tempat.
ARSITEKTUR DAN KEBUDAYAAN
Dalam hubungannya dengan bidang kearsitekturan, pada
hakekatnya, suatu karya arsitektur adalah upaya manusia menciptakan
lingkungan untuk menampung kebutuhan manusia bertempat tinggal,
berusaha, atau bersosial budaya (Rahmadi BS, 1997). Lebih lanjut
dikatakan bahwa jikalau dikatakan arsitektur merupakan buah budaya
dan kebudayaan, sebenarnya kita menjadi sadar bahwa dalam
pengertian ini arsitektur bukanlah upaya manusia dan masyarakat
untuk mengungkapkan kebudayaan lewat bangunan yang
diciptakannya. Dalam pengertian itu arsitektur adalah sepenuhnya
konsekuensi logis dari kebudayaan. Bila sebuah pohon pisang telah
cukup umur muncullah buah pisangnya, demikian pula pengertian dari
dalam konteks kebudayaan itu (Prijotomo, 1988: 33). Dari sini terlihat
bahwa hasil karya arsitektur yang berupa ruang, merupakan tempat
atau wadah bagi kehidupan dan interaksi bagi masyarakat. Di dalam
arsitektur, terdapat identitas, yang oleh Budihardjo (1997: 34)
dijelaskan sebagai target yang selalu berubah, sejalan dengan
perubahan waktu dan masyarakatnya, sebagai suatu proses kultural
yang tidak bisa difabrikasikan, apalagi secara massal. Hal ini
menunjukkan bahwa dari aspek arsitektur, setiap daerah atau lokasi
tetentu memiliki identitasnya masing-masing.
Pesona arsitektur, memiliki potensi mendorong seseorang
untuk datang, melihat, merasakan, berinteraksi, serta mempelajarinya.
Suasana yang khas dan berbeda dengan tempat asal, juga akan
mendorong seseorang untuk mendatangi lokasi tertentu untuk
melepaskan diri dari rutinitas kesehariannya. Pesona yang ditimbulkan
oleh lingkungan dan/atau ruang dengan arsitektur tertentu, dapat
menjadi suatu pengalaman yang mengesankan bagi seseorang yang
hadir dan berinteraksi di dalamnya.
Suatu daerah dengan arsitektur adat, atau ciri arsitektur
tertentu, umumnya dibangun dengan konsep dan filosofi yang
mendalam. Demi kepentingan pariwisata, adakalanya ’memaksa’
ekspresi kebudayaan lokal untuk dimodifikasi, agar sesuai dengan
kebutuhan pariwisata. Ekspresi budaya dimodifikasi agar dapat ’dijual’
kepada wisatawan (Pitana dan Gayatri, 2005: 37). Namun di lain pihak,
8
kesenian, kerajinan, dan berbagai aspek kebudayaan lokal bisa
mengalami revitalisasi akibat kedatangan pariwisata (De Kadt, 1997.,
dalam Pitana dan Gayatri, 2005: 137).
REVITALISASI ARSITEKTUR SETEMPAT DAN PARIWISATA
Walau belum dilakukan studi yang mendalam, namun dari
studi singkat yang sempat dilakukan penulis, dari beberapa lokasi
dapat dirasakan adanya indikasi bahwa terdapat hubungan timbal balik
antara revitalisasi lingkungan arsitektur dengan kedatangan pariwisata.
Dari studi singkat (Juli 2005) yang sempat dilakukan di dua
desa adat di bali utara: desa sembiran dan desa cempaga,
menunjukkan kondisi yang sangat bertolak belakang dengan keadaan
di daerah lain yang banyak dikunjungi wisatawan: desa tenganan dan
batuan di bali selatan.
Sebagai desa Bali Aga, desa sembiran dan cempaga nyaris
tidak lagi memiliki rumah-rumah tradisionalnya. Rumah-rumah
penduduk di kedua desa ini tidak lagi dibangun mengikuti pola asli
setempat. Namun telah mengalami perubahan, sehingga sama dengan
rumah-rumah masyarakat kebanyakan masa kini. Rumah yang masih
benar-benar asli nyaris tidak ada lagi.
Dalam kaitannya dengan kunjungan wisata, para wisatawan
datang dengan harapan akan mendapatkan suatu pengalaman dan
suasana khas adat setempat. Bila melihat kondisi di dua desa bali
utara tersebut, harapan tersebut akan sirna. Sebaliknya, disaat
wisatawan mengunjungi desa-desa seperti tenganan dan batuan, dan
mungkin juga beberapa desa lain yang telah menjadi desa wisata
utama, harapan wisatawan akan bertemu dengan kenyataan di
lapangan.
9
Arsitektur, tidak selalu berupa bangunan. Ruang juga
merupakan hasil dari arsitektur, yang terdiri dari ruang luar dan ruang
dalam. Dihidupkannya pusat jajan malam hari pada akhir pekan, di
beberapa kota belakangan ini juga dapat merevitalisasi suatu
kawasan. Perjalanan singkat yang sempat dilakukan penulis ke daerah
pecinan pada saat perayaan Ceng Ho tahun 2005 di Semarang, juga
menunjukkan bahwa citra kawasan dapat didayagunakan guna
membangkitkan pariwisata, dan sebaliknya kunjungan wisata yang
berkelajutan secara bertahap dapat merevitalisasi kembali makna dan
citra kawasan tersebut. Di lokasi ini, daerah pecinan yang semula
identik dengan perdagangan dan pergudangan yang tidak menarik,
telah disulap menjadi pusat jajan malam hari yang menarik. Kehadiran
pengunjung untuk menikmati makan malam di akhir pekan mendorong
pedagang menyediakan makanan dan suasana tempat yang
menyenangkan. Sebaliknya, keberadaan pusat jajan yang menarik
telah mendorong masyarakat untuk hadir ke lokasi dan
membelanjakan uangnya.
Perlu diingat disini, dalam hubungannya dengan bidang
pemasaran, khususnya pemasaran jasa, pembeli hanya mendapatkan
janji sebelum peristiwa / kegiatan tersebut dialaminya. Dari studi-studi
singkat di atas, tampaknya terdapat hubungan timbal balik antara
suasana adat atau suasana khas setempat dengan kepentingan
wisata. Daerah-daerah tujuan dengan menu utama keistimewaan citra
lokal / setempat, umumnya menarik minat wisatawan untuk datang.
Kedatangan mereka akan memberikan multiplier efect yang
menggerakkan ekonomi setempat. Demikian pula bagi masyarakat dan
pengelola setempat, mereka tampaknya juga memiliki alasan yang
kuat untuk mempertahankan bukan hanya adat dan tradisi semata,
namun juga citra dan pesona arsitektur lokalnya sebagai media
penarik minat wisatawan. Dari sini tampak adanya suatu perputaran
hubungan timbal balik yang tidak boleh terputus, bahkan justru
semakin kuat nuansa yang ada, akan semakin tinggi pula kedatangan
wisatawan.
PENUTUP
Dari proses-proses tersebut, dalam jangka panjang citra
kawasan dengan keunikan arsitekturnya tentu akan dapat
dikembalikan mendekati citranya aslinya. Hanya saja, seiring
perkembangan masa, kita harus dapat menerima beberapa kondisi
yang mau tidak mau akan beradaptasi sebagai akibat akulturasi
zaman. Berkaitan dengan adaptasi tersebut, Prijotomo (1988: 24)
10
menjelaskan bahwa dalam kerangka tinjauan atas tradisi, sikap
’mengadilihungkan’
tradisi
tidak
boleh
diartikan
dengan
memupusakakan, memisterikan, apalagi dipantangkan untuk
dimodifikasi dan diadaptasi; hanya dengan sikap ini maka tradisi akan
berkesinambungan. Disinilah yang menjadi tantangan bagi
masyarakat, para pakar, dan pengambil keputusan untuk secara arif
bijaksana mengelola perubahan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Budihardjo, Eko. Arsitektur Sebagai Warisan Budaya. Jakarta:
Djambatan, 1997.
Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi., & Fakultas Teknik
Universitas Gadjahmada. Laporan Pendahuluan: Penyusunan
Rencana Pengembangan Desa Wisata di Bali. Yogyakarta,
1993.
Kotler, Philip., John Bowen., & James Makens. Marketing for Hospitality
and Tourism. Upper Saddle River: Prentice-Hall, 1999.
Pitana, I. Gde., & Putu G. Gayatri. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta:
Andi, 2005.
Rahmadi B. S. Arsitektur Indonesia Sebagai Pencerminan Budaya
Bangsa. Dalam: Budihardjo, Eko, 1997, hal: 2 – 11.
Prijotomo, Joseph. Pasang Surut Arsitektur di Indonesia. Surabaya:
Ardjun, 1988.
11
REKONSTRUKSI HUNIAN TRADISIONAL
PADA KAWASAN KOTAGEDE
SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN IDENTITAS
Oleh:
Cynthia Puspitasari
Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Pancasila,
Abstrak:
Pelestarian kawasan bersejarah yang kental akan unsur historis
dan budaya, merupakan upaya yang perlu dilakukan secara
berkelanjutan dan berkesinambungan. Dinamika yang terjadi baik itu
secara fisik maupun non fisik perlu disikapi dengan adanya suatu
perencanaan kawasan secara terpadu agar pelestarian kawasan dapat
tetap terjaga. Dinamika pada kawasan Kotagede yang terjadi akibat
bencana gempa tektonik pada 27 Mei 2006, memberikan dampak yang
cukup signifikan berupa kerusakan pada beberapa bangunan pusaka
sejarah. Dalam rangka mempertahankan identitas kawasan,
rekonstruksi kawasan perlu segera dilakukan. Salah satu wujud
rekonstruksi pada kawasan Kotagede terlihat pada beberapa titik yang
salah satunya adalah hunian tradisional yang berada pada kelurahan
Purbayan, kawasan Kotagede.
Rekonstruksi hunian tradisional memerlukan beberapa kajian
yang lebih mendalam terkait sejauh mana perubahan fisik ataupun
pengembalian kondisi semula dapat dilakukan. Makalah ini
mendiskusikan tentang peran rekonstruksi yang dikhususkan pada
hunian tradisional terhadap upaya pelestarian kawasan yang
berkelanjutan. Kesimpulan dari penulisan makalah ini menghasilkan
beberapa rekomendasi peran dan perwujudan rekonstruksi demi
tercapainya pelestarian kawasan bersejarah Kotagede.
Kata Kunci: rekonstruksi, pelestarian, identitas, hunian tradisional dan
kotagede
PENDAHULUAN
Kotagede yang terletak di ujung tenggara kota Yogyakarta,
adalah suatu kawasan bersejarah yang merupakan mantan ibukota
12
Kerajaan Mataram Islam pertama. Kotagede didirikan pada abad ke-16
sebagai kabupaten tradisional tertua di kota Yogyakarta.
Perencanaan Kotagede dibuat dengan mengacu pada pola
kota ideal Jawa “Catur Gatra Tunggal” berupa 4 (empat) komponen
dalam 1 (satu) kesatuan, yang ditandai dengan keberadaan istana,
masjid, pasar, dan alun-alun. Fenomena Kotagede diperkuat dengan
adanya keragaman kegiatan industri lokal seperti perak, kerajinan
batik, tembikar, kerajinan kayu, ikat (kain handwoven), dan kerajinan
tradisional lainnya yang dipraktekkan di daerah tersebut. Hal ini
membuat Kotagede sebuah distrik warisan yang unik dan penting serta
berkontribusi dalam membentuk kehidupan kota Yogyakarta.
Nilai-nilai sejarah dan budaya warisan Kotagede yang
tercermin dalam arsitektur rumah tradisional dan kehidupan sosial
rakyatnya merupakan kekayaan yang perlu dilestarikan. Pelestarian
kawasan bersejarah Kotagede sendiri merupakan isu yang telah lama
dicanangkan oleh pemerintah setempat serta pemerhati budaya dan
sejarah. Terbukti pada tahun 2003 oleh Walikota Yogyakarta, kawasan
tersebut dideklarasikan sebagai "Museum Hidup".
Nilai-nilai sejarah dan budaya Kotagede.
Sumber: Dokumentasi Pribadi 2011
Upaya tersebut mengalami hambatan dikarenakan terjadinya
bencana gempa berkekuatan 6,3 SR pada tanggal 27 Mei 2006 yang
melanda 11 kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya.
Bencana tersebut mengakibatkan kerusakan pada perumahan dan
infrastruktur kawasan. Bencana tersebut telah memperburuk
kemiskinan di daerah bencana, di mana hampir 880.000 orang miskin
orang hidup. Kondisi tersebut semakin pelik dengan adanya fakta
bahwa 66.000 orang cenderung untuk jatuh ke dalam kemiskinan jika
kebutuhan dasar rumah tidak dipulihkan dalam beberapa tahun
mendatang.
13
Kerusakan akibat gempa.
Sumber: Safeguarding of Vernacular Traditions in Kotagede heritage district (JRF Meeting, 2008)
Desakan kebutuhan masyarakat mendorong para penghuni
rumah tradisional khususnya rumah Joglo (rumah dengan banyak
ornamen kayu Jati yang merupakan material berharga mahal) untuk
menjual asetnya atau bahkan elemen-elemen kayu Jatinya. Hal
tersebut tidak lain dikarenakan oleh: (a) ketidakmampuan dalam
membangun kembali pasca gempa, (b) kesulitan dalam pemeliharaan
atau (c) keinginan untuk membangun rumah kembali sesuai kebutuhan
gaya saat ini. Kondisi demikian bila terus terjadi dapat mengakibatkan
kepunahan karakter hunian tradisional sebagai identitas kawasan.
Akibatnya pada tahun 2008 oleh World Monument Fund, dituliskan
bahwa Kotagede termasuk ke dalam Daftar 100 Situs Paling Terancam
Punah.
Berdasarkan fakta tersebut di atas, untuk dapat memperbaiki
kondisi yang ada dan mempertahankan keberlangsungan kawasan di
masa yang akan datang perlu dilakukan rekonstruksi untuk
mempertahankan identitas kawasan Kotagede sebagai kawasan
pusaka sejarah. Makalah ini mendiskusikan pemahaman tentang
kontribusi proses rekonstruksi terhadap upaya pelestarian yang
difokuskan pada hunian tradisional Joglo yang berada pada kawasan
kelurahan Purbayan.
REKONSTRUKSI SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN
Pelestarian
Pelestarian dalam kamus bahasa indonesia berasal dari kata
“lestari” yang artinya tetap seperti keadaannya semula; tidak berubah;
bertahan; kekal (kamusbahasaindonesia.org). Kata pelestarian sendiri
dapat diartikan: (1) proses, cara, perbuatan melestarikan; (2)
perlindungan dari kemusnahan atau kerusakan; pengawetan;
konservasi: ~ sumber-sumber alam; (3) pengelolaan sumber daya
alam yang menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin
kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan
meningkatkan
kualitas
nilai
dan
keanekaragamannya
(kamusbahasaindonesia.org). Pelestarian yang dibahas pada makalah
14
ini adalah pelestarian yang berkaitan erat dengan upaya pelestarian
konservasi sejarah atau historic conservation.
Berdasarkan Piagam Burra Charter (1982) 1, conservation
(konservasi) berarti proses menjaga suatu tempat agar signifikansi
budayanya dapat tetap dipertahankan. Proses tersebut meliputi
perawatan yang terbagi ke dalam beberapa kegiatan: (a) preservasi,
(b) restorasi, (c) rekonstruksi dan (d) adaptasi. Masing-masing
kegiatan pelestarian memiliki pendekatan yang berbeda, terkait
dengan kasus yang berbeda, antara lain:
a) Preservasi merupakan upaya mempertahankan fabric/material
fisik yang ada dari sebuah tempat agar dapat menghambat
kerusakan;
b) Restorasi merupakan upaya mengembalikan fabric/material fisik
yang ada dari sebuah tempat sebelumnya, dengan menghapus
penambahan-penambahan atau pemasangan kembali komponen
yang ada tanpa pengenalan materi baru;
c) Rekonstruksi merupakan upaya untuk mengembalikan keadaan
sebuah objek, fabric, tempat yang telah hilang ataupun hancur
sebagian/rusak, kepada kondisi semula/awal, sejauh bisa
diketahui; upaya tersebut ditandai dengan penggunaan
bahan/material baru ataupun lama;
d) Adaptasi merupakan upaya memodifikasi tempat yang sesuai
dengan yang usulan penggunaan yang kompatibel.
Pada umumnya konservasi merupakan kombinasi lebih dari
satu upaya tersebut. Pelestarian pada kasus Kotagede
mengindikasikan perlunya suatu pengelolaan berkelanjutan yang dapat
diwujudkan dengan cara mempertahankan, menjaga atau memulihkan
kondisi pasca gempa agar signifikansi budaya saat ini hingga kondisi
di masa yang akan datang tetap terjaga.
1-2
The Conservation Plan. James Semple Kerr, NSW, 1982
15
Kondisi Kawasan Kotagede pasca gempa yang memerlukan penanganan
berupa perbaikan fisik dengan atau tanpa penambangan material baru.
Sumber: Dokumentasi Pribadi 2011
Upaya tersebut perlu dilakukan dengan segera dengan
pemulihan kondisi semula yang hilang atau rusak sebagian, baik
mempergunakan material baru atau lama. Kegiatan konservasi yang
paling tepat dipergunakan untuk pemulihan kondisi Kotagede adalah
dengan pendekatan rekonstruksi.
Rekonstruksi
2
Berdasarkan definisi dari Piagam Burra Charter (1982) ,
pendekatan rekonstruksi dapat dipahami sebagai berikut:
a) Rekonstruksi tepat apabila diterapkan pada suatu tempat yang
kondisinya tidak lengkap akibat kerusakan atau perubahan, dan
pada keperluan suatu tempat untuk kelangsungan hidup, atau di
mana suatu tempat memulihkan makna budaya tempat secara
keseluruhan.
b) Rekonstruksi terbatas pada penyelesaian entitas dan tidak harus
merupakan mayoritas fabric/material fisik tempat.
c) Rekonstruksi terbatas pada reproduksi fabric/material fisik, bentuk
yang diketahui dari fisik dan / atau bukti dokumenter.
d) Rekonstruksi harus diidentifikasi melalui inspeksi di mana ia dapat
mendekati suatu karya baru.
Apa yang menjadi entitas penting dalam rekonstruksi kawasan
Kotagede agar tujuan pelestarian dapat tercapai? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut diperlukan pemahaman apa yang menjadi penting
dalam signifikansi budaya yang bermakna bagi Kotagede.
2
The Conservation Plan. James Semple Kerr, NSW, 1982
16
Kualitas Visual dan Identitas
Kualitas visual merupakan imageability of places, yakni suatu
cara yang memungkinkan manusia untuk hidup harmonis dengan
lingkungan fisik mereka (Lynch, 1960). Identitas adalah aspek kolektif
dari himpunan karakteristik melalui sebuah hal yang sangatlah dikenali
atau diketahui (dictionary.com).
Salah satu aspek keberhasilan suatu perancangan kota
berdasarkan Key Aspect of Urban Design (Urban Design
Compendium, 2000), adalah sense of place yang diartikan sebagai
penciptaan bentuk pembangunan menciptakan suatu tempat yang
dikenali berbeda tetapi sekaligus memperkuat identitas lokal.
Karakteristik kota tidak terbatas pada atribut estetika lingkungan
binaan, tetapi merupakan manifestasi fisik dari antropologi dan
identitas sosial warganya, pembangun dan penjajah, budaya dan gaya
hidup mereka; evolusinya sebagai masyarakat dan kemakmuran atau
kurangnya tingkat ekonomi (Hall, 1998).
Dalam bukunya tentang konservasi dan keberlanjutan, Dennis
Rodwell (2007) mendefinisikan kota tradisional terbangun sebagai:
'keterkaitan dengan topografi dan hubungan yang seimbang dengan
wilayahnya. Sense of place dan harmoni ditingkatkan dengan
jangkauan terbatas dari material lokal dan keterampilan kerajinan yang
digunakan dalam konstruksinya, diperkuat oleh aturan standar
bangunan (building code) yang ketat. Skala dasarnya adalah manusia
dan fungsi sosio-ekonomi menurut pemahaman umum bersama
tentang apa yang merupakan kehidupan perkotaan.’
Melihat pemahaman di atas, tujuan rekonstruksi dapat menjadi
jelas, di mana yang menjadi target utama proses rekonstruksi pada
kawasan Kotagede adalah penjagaan aspek-aspek kualitas visual
yang merupakan identitas lokal kawasan. Identitas lokal itu sendiri
diwujudkan melalui karakteristik fisik dan non fisik yang bermakna bagi
masyarakat. Karakteristik fisik tergambar melalui wujud bangunan dan
ruang pelingkup yang khas, seperti halnya hunian tradisional dengan
segala komponennya.
Karakteristik kawasan Kotagede adalah kampung dengan
gang-gang sempit di antara rumah yang penduduknya yang masih
hidup dalam tradisi Jawa. Tatanan jalan kampung yang disebut jalan
rukunan berikut rumah-rumah tradisional yang berada di dalamnya,
merupakan karakter khas yang menjadi identitas Kotagede. Rumah
tradisional Jawa (Joglo, Limasan, Kampung dan Panggang pe) yang
dibangun ratusan tahun yang lalu dengan konstruksi kayu dan ukiran
17
kayu yang disebut dhanyang bahu, juga merupakan fitur unik yang
memberikan makna ruang pada Kotagede.
Karakteristik Kawasan Kotagede berupa Hunian Tradisional dan Gang Rukunan
Sumber: Safeguarding of Vernacular Traditions in Kotagede heritage district (JRF Meeting, 2008)
Hunian Tradisioanal
Hunian merupakan tempat atau ruang di mana manusia
bermukim dan berdomisili. Wujud fisik formal hunian dapat berupa
rumah yang diisi oleh seorang manusia atau lebih yang disebut
dengan keluarga. Tradisional berarti kuno atau klasik yang
menyangkut pewarisan budaya kepada generasi di bawahnya
(architect-news.com).
Dari definisi istilah tersebut didapat pengertian bahwa hunian
tradisional merupakan suatu ruang atau tempat yang digunakan
manusia untuk tinggal dan bermukim yang mana ruang tersebut
memiliki muatan budaya dari generasi sebelumnya yang dinilai perlu
untuk diwariskan pada generasi di bawahnya.
Mempertahankan Identitas Kawasan melalui Perbaikan Rumah
Joglo
Dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan,
upaya mempertahankan identitas perlu dilakukan (Hall, 1998). Pada
kawasan Kotagede, bangunan rumah Joglo sebagai puncak dari
arsitektur Jawa, merupakan artefak yang memberikan karakteristik
yang khas. Kerusakan akibat gempa dan maraknya penjualan aset
pusaka Joglo karena nilai ekonomisnya yang tinggi, mendorong
rekonstruksi yang berfokus pada Joglo untuk segera dilakukan. Joglo
sendiri merupakan tipologi rumah tradisional Jawa yang biasanya
ditinggali oleh keturunan bangsawan di masa lalu. Bagian rumah
terpisah antara 2 (dua) bagian inti yaitu dalem (rumah utama) dan
pendopo (teras besar).
18
Skema Komplek Bangunan Joglo.
Sumber: Dakung, 1981:56
Salah satu kasus rekonstruksi hunian tradisional yang
dilakukan pada kawasan Kotagede adalah pada “Omah Joko Nugroho”
(rumah tinggal milik Joko Nugroho) yang terletak di Klaster Between
Two Gates, Kelurahan Purbayan. Rekonstruksi yang dilakukan
terfokus pada perbaikan hunian tradisional joglo yang diwujudkan
melalui skema pembangunan rumah privat dan publik.
Peta kawasan Kotagede.
Sumber: Jelajah Pusaka Kotagede
19
Peta lokasi Klaster Between Two Gates dan Omah Joko Nugroho.
Sumber: Analisis Pribadi dan Penelusuran Internet 2011
Rekonstruksi hunian tradisional pada “Omah Joko Nugroho” di Klaster Between Two Gates
Keterangan(kiri-kanan-atas-bawah): (a) Gerbang Barat, (b) Gerbang Timur, (c,d) Jalan Rukunan.
Sumber: Dokumentasi Pribadi 2011
Yang dimaksud rumah privat bagian dalem dari rumah Joglo.
Di mana rumah privat tetap difungsikan bagi keperluan pribadi
keluarga Joko Nugroho. Oleh yang bersangkutan fungsi rumah dalem
dimanfaatkan untuk kegiatan komersial yakni usaha perdagangan
batik. Rekonstruksi bagian dalem dikerjakan dengan adanya partisipasi
pemilik yang bekerja sama dengan fasilitator rekonstruksi.
20
Rekonstruksi rumah privat pada bagian dalem dan pringgitan
Keterangan(kiri-kanan-atas-bawah): (a) Fasad rumah privat pasca rekonstruksi, (b) Atap joglo
dengan material yang dipertahankan, (c) Penambahan fungsi komersial pada bagian dalem, (d)
Perbaikan lingkungan hunian meliputi perkerasan pada gang rukunan.
Sumber: Dokumentasi Pribadi 2011 dan panoramio.com
Partisipasi pemilik rumah dalam berbagai aspek fisik,
lingkungan, sosial dan ekonomi diperlukan dalam strategi pencapaian
rekonstruksi (Fallahi, 2007). Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan
skema kerja sama alih fungsi lahan dengan perubahan fungsi rumah
privat menjadi rumah publik. Yang dimaksud rumah publik dalam hal
ini rekonstruksi bangunan pendopo. Proses pembangunan dan
penggunaan publik diputuskan dengan persetujuan pemilik dan warga
sekitar. Pendopo yang pada awalnya merupakan area pribadi milik
keluarga Joko Nugroho, setelah dilakukan rekonstruksi, fungsinya
dirubah menjadi bangunan publik bagi fungsi umum.
Rekonstruksi rumah publik pada bagian pendopo
Keterangan(kiri-kanan-atas-bawah): (a) Bagian utama Pendopo, (b) Halaman samping yang dirubah
menjadi ruang servis, (c) Bagian luar pendopo, (d) Bagian dalam pendopo.
Sumber: Dokumentasi Pribadi 2011 dan panoramio.com
Perbaikan fisik difokuskan pada elemen-elemen hunian yang
rusak akibat gempa. Untuk memulihan kembali ke kondisi awal,
dilakukan kategorisasi tingkat kerusakan, baru kemudian diputuskan
prioritas perbaikan serta perencanaan implementasinya. Walaupun
ada persoalan keterbatasan material bangunan, untuk menjaga
identitas lokal, material lokal yang dipergunakan, dipilih semirip
mungkin dengan material aslinya. Jadi, walaupun perubahan material
baru diperkenankan, perubahan tetap dibatasi oleh adanya faktor
pertimbangan estetika historis.
21
Proses rekonstruksi dengan pertimbangan pemanfaatan material yang serupa
dengan atau tanpa adanya perubahan material baru.
Sumber: Dokumentasi Pribadi 2011
Proses rekonstruksi pada kawasan menemuni beberapa
kendala. Di antaranya ketiadaan aturan standar bangunan (building
code) yang mendukung upaya mempertahankan identitas lokal.
Akibatnya rekonstruksi pada hunian Joglo yang dilakukan seperti
halnya titik-titik pelestarian yang bersifat menyebar dan tidak
menggubris kualitas visual bangunan tradisional lain atau bahkan
bangunan yang terlanjur dibangun dengan gaya modern.
Jenis bangunan non Joglo yang tumbuh tanpa arahan akibat tidak adanya building code.
Sumber: Dokumentasi Pribadi 2011
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Berdasarkan analisis dan pembahasan di atas dapat ditarik
beberapa kesimpulan, antara lain:
1. Rekonstruksi hunian tradisional pada kawasan Kotagede sebagai
upaya pelestarian identitas, mengandung pengertian bahwa
pembangunan kembali kawasan melalui pendekatan rekonstruksi
perlu dilakukan agar identitas budaya dan sejarah berupa
karakteristik khas kawasan dapat dipertahankan, baik di masa
sekarang maupun di masa yang akan datang;
2. Rekonstruksi hunian tradisional dapat menjaga kualitas visual
sehingga mampu mempertahankan identitas kawasan Kotagede
dengan cara menjaga atau memulihkan kembali ruang dan objek
yang menjadi karakteristik kawasan. Dalam hal ini adalah
22
3.
perbaikan hunian tradisional, seperti halnya objek rumah Joglo
dan skema penciptaan rumah publik bagi masyarakat setempat
dan umum;
Rekonstruksi hunian tradisional memberikan kontribusi terhadap
upaya pelestarian dengan adanya upaya menghidupkan kembali
lingkungan fisik kawasan hunian dengan berbagai aktivitas yang
bersifat privat dan publik.
Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan dan analisis yang telah dilakukan,
dapat diajukan beberapa rekomendasi yang dirujuk berdasarkanstudi
dari Lessons learned from the housing reconstruction following the
Bam earthquake in Iran (Fallahi, 2007). Rekonstruksi yang terfokus
3
pada hunian dapat diterapkan berdasarkan prinsip-prinsip dasar :
1. Mempertahankan identitas kota dalam desain perkotaan;
Pemahaman masyarakat akan pentingnya rekonstuksi serta
pemanfaatan dan penjagaan identitas lokal sebagai karakter
kawasan perlu lebih diperdalam.
2. Partisipasi aktif pemilik rumah dalam berbagai aspek fisik,
lingkungan, sosial dan ekonomi;
Pengawasan dan pendampingan kepada masyarakat perlu
ditambahkan dengan adanya pembekalan ilmu terkait
pemahaman historis, budaya dan aset pusaka sebagai identitas
lokal.
3. Memperkuat bangunan rumah dengan national building code.
Perlu dibuat acuan yang jelas dan landasan hukum formal
(building code) terkait sejauh mana perubahan pada setiap wujud
artefak dan lingkungan dapat dilakukan. Hal tersebut tidak hanya
berlaku bagi hunian Joglo namun juga bagi bangunan tradisional
lainnya. Berdasarkan penelitian Kiera (2011), di mana identitas
3
Lessons learned from the housing reconstruction following the Bam
earthquake in Iran. Dr. Alireza Fallahi, Sydney, 2007
23
lokal dan aturan desain dijadikan tools dalam konservasi 4,
dijelaskan bahwa identitas intrinsik dari karakter perkotaan yang
ada dan arsitektur tidak hanya dilindungi, tetapi proaktif digunakan
sebagai acuan dan panduan kota-khusus untuk pembangunan
baru. Aturan identitas lokal sering disebut sebagai ‘special code’
karena mendefinisikan rinci spasial karakteristik arsitektur urban
kota.
DAFTAR PUSTAKA
Fallahi, Alireza, 2007, Lessons learned from the housing reconstruction
following the Bam earthquake in Iran, Sydney
Hall, Peter, 1998, Cities in Civilization, London
Kerr, James Semple , 1982, The Conservation Plan, NSW
Kiera, Agnieshka, 2011, The local identity and design code as tool of
urban conservation, a core component of sustainable urban
development – the case of Fremantle, Western Australia, City &
Time
4
The local identity and design code as tool of urban conservation, a core
component of sustainable urban development – the case of Fremantle.
Agnieshka Kiera, Western Australia, City & Time, 2011
24
EVALUASI TINGKAT KEKUATAN BUNYI YANG DITERIMA
PADA RUANG KELAS
Oleh
Diptya Anggita, ST., MT
Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Pancasila
Abstrak
Ruang kelas merupakan tempat untuk belajar yang
membutuhkan tingkat kenyamanan yang cukup tinggi, karena sangat
bersangkutan dengan tingkat konsentrasi pengguna kelas. Salah satu
faktor dalam kenyamanan ruang kelas adalah kenyamanan audio.
Mengetahui kondisi kenyamanan audio dalam ruang kelas sangat
penting untuk dapat ditindak lanjuti dengan melakukan perbaikan dan
peningkatan fasilitas pembelajaran dalam ruang kelas. Dalam
penulisan ini akan membahas mengenai pengamatan, pengukuran,
dan rekomendasi perbaikan untuk meningkatkan kenyamanan
audiopada ruang kelas.
Kata Kunci: akustika,ruang kelas,bangunan,arsitektur.
PENDAHULUAN
Bunyi merupakan rangkaian perubahan tekanan yang terjadi
secara cepat dan luas. Perubahan tekanan ini disebabkan oleh adanya
objek yang bergerak cepat atau bergetar, yang kemudian disebut
sebagai bunyi. Objek sumber bunyi dapat berupa zat (benda) padat
atau udara. Baik pada objek padat maupun udara, untuk menjadi
sumber bunyi, gerakan atau geterannya harus disertai dengan gerakan
atau getaran objek lain, sehingga saling bersentuhan. (Christina, 2009)
Bunyi yang telah melampaui batas toleransi yang dapat
diterima oleh manusia disebut dengan kebisingan. Kesadaran akan
permasalahan kebisingan masih sangat rendah, karena sering
dianggap tidak penting untuk manusia. Kebisingan yang berlebihan
dapat menyebabkan
berbagai gangguan fisiologis, gangguan
psikologis, gangguan komunikasi dan ketulian.
Pada penelitian ini membahas mengenai akustika pada ruang
kelas untuk mengetahui tingkat kebisingan yang diterima dalam
ruangan. Hal tersebut sangat penting mengingat ruang kelas
merupakan fasilitas utama dalam kegiatan belajar dan mengajar,
karena tingkat konsentrasi pengguna ruang kelas sangat dipengaruhi
25
oleh kenyaman audio pada ruang kelas. Ruang kelas yang dijadikan
sebagai studi kasus dalam penelitian ini adalah salah satu ruang kelas
yang terdapat pada bangunan ELTI di Kota Baru, Yogyakarta.
Pengukuran dilakukan selama tiga hari. Pemilihan waktu
pengukuran disesuaikan dengan jadwal terpadat penggunaan ruangan
yaitu pada hari senin, selasa, rabu, dan pada jam 13.45 – 14.45 (1 jam).
Pencatatan tingkat kekuatan bunyi dilakukan setiap 15 menit.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif yaitu
metoda yang digunakan untuk pemecahan masalah melalui langkahlangkah pengumpulan data, penyusunan data, penjelasan,
penganalisaan dan pembahasan, serta kesimpulan dalam bentuk
design guideline.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah: (1) Survey literatur, yaitu proses pengumpulan data yang
berhubungan dengan pembahasan yang akan digunakan sebagai
dasar dari analisis penelitian; (2) Survey lapangan, yaitu untuk
mengetahui kondisi objek penelitian secara detail dengan pengambilan
dokumentasi bangunan dan interior ruangan, pengamatan, dan datadata mengenai bangunan; (3) Pengukuran, yaitu digunakan untuk
mengetahui tingkat kebisingan pada ruang kelas yang diakibatkan oleh
kebisingan dari luar kelas dan kebisingan pada sumber bunyi (luar
kelas) dengan menggunakan SLM (Sound Level Meter). Pengukuran
dilakukan di dalam ruang kelas dan luar kelas selama tiga hari
berturut-turut.
HASIL PENGAMATAN
Hasil survei ruang studi kasus ruang dalam kelas: (a) Ruang
kelas seluas 11,25 m2; (b) Tidak mempunyai jendela; (c) Pintu terbuat
dari kayu dan bagian bawahnya terdapat celah, bagian tengah pintu
terbuat dari kaca. (d) Lantai menggunakan tegel 30x30 cm berwarna
putih; (e) Dinding bagian depan dan samping kanan menggunakan
dinding tembok, sedangkan bagian kiri dan belakang menggunakan
papan; (f) Plafon menggunakan papan; (g) Terdapat 9 kursi yang
berada di dalam ruang kelas. Bahan kursi dengan besi dan busa yang
ditutupi plastik tebal; (h) Terdapat 1 meja tulis dan 1 meja telphone.
Bahan meja terbuat dari kayu.
Hasil survei ruang studi kasus luar ruang kelas: (a) Ruangan
terbuka dan terdapat void yang besar; (b) Terdapat tempat duduk
26
panjang kayu dengan bantalan; (c) Lantai menggunakan tegel 30x30
cm berwarna putih; (d) Dinding yang mengelilingi menggunakan
dinding tembok; (e) Plafon menggunakan gypsum.
Denah Interior Ruang Kelas
Denah Luar Ruang Kelas.
(
Letak SLM pada pengukuran hari 1,2, dan 3)
Data dalam kelas dan luar kelas pada saat melakukan
pengukuran kebisingan: (a) Ruang kelas yang digunakan untuk
pengukuran tingkat kebisingan dalam kelas
dipilih dengan
mempertimbangkan faktor : Kedekatan ruang kelas dengan sumber
bunyi, kelas kosong yang tersedia. (b) Pengukuran kebisingan ruang
dalam kelas dan luar kelas menggunakan SLM/ Sound Level Meter. (c)
SLM di letakkan di atas tripod kamera dengan di isolasi, dengan tinggi
tripod 1,2 m dari permukaan lantai. (d) Luas ruang kelas yang dijadikan
sebagai tempat pengukuran 6 m2. SLM diletakkan di tengah ruangan,
1 m dari depan dan belakang tembok dan 1.5m dari samping kanan
dan kiri tembok. Kedua SLM-A dan SLM-B mengarah ke sumber
sumber bunyi. ( e) Posisi operator berada 0,60 - 1,00 m. ( f) Suhu
ruangan 25 ̊ C, dengan menggunakan AC pada saat pengukuran
kebisingan ruangan. (g) Perhitungan kebising di dalam kelas dilakukan
saat kelas kosong. (h) Pada saat pengukuran luar ruang kelas pada
hari percobaan pengukuran dan hari ke 1, banyak anak-anak yang
bertanya dan mendekati SLM sehingga tingkat kebisingan pada SLM
lebih tinggi. Sedangkan pada hari 2 da ke 3 sudah mulai berkurang
dikarenakn sudah mulai terbiasa dengan keadaan tersebut.
27
Letak SLM pada luar kelas
Letak SLM pada dalam kelas
Perletakan SLM pada luar kelas, dalam kelas, dan situasi luar kelas
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengukuran
Sistem angka penunjuk dilambangkan dengan Lx, dimana L
menunjukan tingkat kebisingan yang tercatat dan x karakteristik
pengukuran. Pengukuran dengan sistem angka penunjuk yang paling
banyak digunakan adalah angka penunjuk equivalen (Leq), yaitu angka
kebisingan yang berubah-ubah / fluktuatif yang diukur selama waktu
tertentu, yang besarnya setara dengan tingkat kebisingan tunak/ steady.
(Christina, 2005).
28
Perhitungan hasil pengolahan data pengukuran:
Perhitungan I :
-
Perhitungan II :
29
-
Perhitungan III :
Total Leq Luar
:
Leq A + Leq B + Leq C
3
76,147 dB + 72,31 dB + 75,7 dB
3
224,157 dB = 74,72 dB
3
Total Leq Dalam
:
Leq A + Leq B + Leq C
3
57,48 dB + 57,62 dB + 56,84 dB
3
171,94 dB = 57,31 dB
3
Selisih Leq luar
dan dalam
:
Total Leq Luar - Total Leq Dalam
74,72 dB - 57,31 dB
17,41 dB
30
Hasil perhitungan pengukuran tingkat kekuatan bunyi ruang
dalam kelas dengan ruang luar kelas mendapatkan selisih 17.41 dB,
dengan tingkat kekuatan bunyi pada ruang luar sebesar 74.72 dB dan
ruang dalam sebesar 57.31 dB. Selisih angka tersebut menunjukan nilai
insulasi material pada ruang kelas tidak dapat menyerap 17.41 dB
kebisingan yang dihasilkan dari luar ruangan.
Berdasarkan peraturan MenKes (No. 718/MenKes/Per/XI/87,
dalam Lutfi, 1995) menyatakan bahwa peruntukan untuk sekolah tingkat
kebisingan yang dianjurkan adalah 45 dBA, sehingga:
Tingkat kebisingan dalam kelas - Tingat kebisingan persyaratan kelas
= 57,31 dB – 45 = 12, 31 dB
Hal tersebut menunjukan bahwa kebisingan yang diterima oleh ruang
kelas telah melebihi dari toleransi yang diperbolehkan, sehingga pada
ruang kelas membutuhkan perbaikan pola tata ruang dan material
bangunan yang digunakan.
Permasalahan Akustika Ruangan
Permasalahan yang dihadapi pada ruang kelas:
(a) Pintu merupakan bagian dinding yang sengaja ditempatkan
sebagai jalan akses masuk dan keluar pengguna ruang. Pintu
yang terdapat ruangan terbuat dari material ringan, tipis dan
terdapat celah/rongga pada bagian bawah pintu, sehingga
merusak kemampuan redam dinding. Hal tersebut mengakibatkan
meningkatnya kebisingan latar belakang di dalam ruang.
(b) Pengguna ruang kelas tidak secara otomatis menutup pintu
kembali saat keluar atau memasuki ruangan sehingga kebisingan
akan masuk kedalam ruangan tanpa penghalang.
(c) Kebisingan yang terjadi di dalam ruangan juga dikarenakan
material plafon yang tipis, sehingga kebisingan tidak dapat
diredam dan dapat masuk melalui celah plafon.
(d) Dinding pemisah antara kelas yang satu dengan yang lainnya
bermaterial tipis seperti papan partisi. Hal tersebut menyebabkan
kebisingan dari ruang sebelah dapat masuk ke ruang lainnya.
(e) Kebisingan berasal dari ruang tunggu yang berada pada depan
kelas.
(f) Lantai merupakan bukan elemen langsung penerima rambatan
gelombang bunyi dari luar ruangan, namun lantai ruangan dapat
menjadi elemen yang menerima perambatan gelombang bunyi
secara langsung. Bunyi yang timbul pada elemen mendatar ini
berupa impact sound, yaitu bunyi yang langsung terjadi di
permukaan lantai, seperti langkah kaki atau hentakan kaki. Lantai
31
pada ruangan koridor dan kelas merupakan lantai yang keras
namun ringan dan tipis yang tidak dirancang untuk memberikan
peredaman, maka sumber bunyi yang langsung mengenai lantai
akan dengan mudah dirambatkan ke dalam ruangan dibawahnya
dan disebelahnya.
Sumber kebisingan pada lt-1
Sumber kebisingan pada lt-2
(g) Lantai merupakan bukan elemen langsung penerima rambatan
gelombang bunyi dari luar ruangan, namun lantai ruangan dapat
menjadi elemen yang menerima perambatan gelombang bunyi
secara langsung. Bunyi yang timbul pada elemen mendatar ini
berupa impact sound, yaitu bunyi yang langsung terjadi di
permukaan lantai, seperti langkah kaki atau hentakan kaki. Lantai
pada ruangan koridor dan kelas merupakan lantai yang keras
namun ringan dan tipis yang tidak dirancang untuk memberikan
peredaman, maka sumber bunyi yang langsung mengenai lantai
akan dengan mudah dirambatkan ke dalam ruangan dibawahnya
dan disebelahnya.
KESIMPULAN
Pengendalian kualitas bunyi pada bangunan dilakukan dengan dua
cara, yang keduanya diterapkan secara bersama-sama untuk
mendapatkan hasil yang maksimal. Pertama adalah peredaman atau
pencegahan masuknya bunyi-bunyi dari luar ruangan yang tidak
dikehendaki. Yang kedua adalah penyebaran bunyi-bunyi yang
sengaja dimunculkan dalam ruangan secara merata dan jelas agar
dapat dinikmati dengan lebih baik. Melihat dari hasil analisa
pengukuran tingkat kebisingan sudah melebihi standar kenyamanan
32
akustika suatu ruang kelas. Oleh sebab itu perlu adanya perbaikan
dalam bidang tata ruang bangunan dan material bangunannya.
Rekomendasi Perbaikan:
(a) Tata ruang dibutuhkan untuk mengelompokan ruang sesuai
dengan kebutuhan. Ruang-ruang pada bangunan terdiri dari:
ruang kelas, ruang guru, kantor, ruang tunggu, dan toilet. Untuk
menghindari sumber kebisingan yang berasal dari ruang tunggu di
depan kelas, maka sebaiknya menjadikan satu ruang tunggu pada
satu ruangan dan meletakkannya agak jauh dari ruang kelas,
sehingga kebisingan yang akan memasuki ruang kelas akan
berkurang.
(b) Material yang dianjurkan:
Pada lantai koridor dan kelas sebaiknya menggunakan lapisan
lantai, seperti material ringan (kayu/karpet) digunakan untuk
merambatkan bunyi langkah dan hentakan kaki.
Dinding bangunan yang bermaterial beton bata bata telah
memenuhi standar peredaman, tetapi pada dinding pembatas
pada ruangan belum sehingga untuk mencegah bunyi perambatan
pada antar ruang perlu diberikan partisi tunggal atau berlapis
tanpa rongga antara.
Peredaman rambatan gelombang bunyi di dalam ruangan
akan lebih efektif bila plafon tidak secara langsung menempel
pada struktur bangunan, atau yang disebut dengan plafon
gantung. Dengan sistem plafon gantung akan tercipta
rongga/jarak, yang merupakan elemen peredam, sehingga plafon
tidak mudah mengalami resonansi karena adanya geteran pada
struktur/konstruksi. Pada plafon untuk void memerlukan
peredaman bunyi untuk membantu meredam bunyi.
Permasalahan pada pintu dapat di atasi dengan memasang
pintu dengan material dan ketebalan yang mendekati spesifikasi
dinding serta menempatkan sealant pada sambungan san titik-titik
yang memiliki celah. Dengan demikian kemampuan redam dinding
tetap terjaga. Pada saat tertentu ketenangan akan buyar ketika
pintu terbuka, oleh sebab itu pintu juga diberikan penambahan
pemberat pintu agar pintu selalu otomatis menutup kembali saat
dibuka.
33
DAFTAR PUSTAKA
Kebisingan Terhadap Kesehatan
http://putraprabu.wordpress.com/2009/01/05/dampak-kebisinganterhadap-kesehatan/
Acoustics - why acoustics are so important
http://www.rockfon.co.uk/acoustics
An acoustic case study visit
http://www.acousticbulletin.com/EN/2011/05/new_line_learning_acade
my.html#more
Christina E. Mediastika, 2009. MATERIAL AKUSTIKA – PENGENDALI
KUALITAS BUNYI PADA BANGUNAN. Penerbit: Andy,
Yogyakarta.
Christina E. Mediastika, 2005. AKUSTIKA BANGUNAN. Penerbit:
Erlangga, Jakarta.
34
35
Download