MENJEMBATANI FENOMENA EXPECTATION GAP: PEMAHAMAN PENGGUNA LAPORAN KEUANGAN DAN REFLEKSI DIRI AUDITOR I.A. Budhananda Munidewi1 I Dewa Ayu Eka Pertiwi2 Universitas Mahasaraswati Denpasar Email: [email protected] 2 Universitas Warmadewa Denpasar 1 Abstract The expectation gap is a serious concern to the accounting profession. The objective of this research is to get a deep understanding about expectation gap phenomena between public accountant (including auditor) and management. The research question is how to figure out expectation gap phenomena between public accountant and management. Based on the interactionalism symbolic theory of the expectation gap phenomenon as one of the social object, public accountant understood as something that is very common with regard to the implementation of the general audit. According to management, auditor is symbolised as fraud detector and reminder if management doing some mistakes in interpreting the rules and standards. Based on the reality and facts relating to the audit agreement of accounting firm, there are some assumptions that are categorised as the expectation gap, such as understading the functions of audit, miss-interpretation of auditor’s role, and lack understanding the meaning of fairly present opinion. Keywords: interactionalism symbolic theory, expectation gap I.PENDAHULUAN Memasuki MEA, akuntan publik termasuk di dalamnya auditor harus bersaing ketat dengan akuntan publik dari negara lain untuk menawarkan jasanya. Namun, tidak mudah membebaskan pemberian jasa profesi akuntan antar negara ASEAN, karena di setiap negara memiliki iklim ekonominya sendiri. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia telah menandatangani Mutual Recognition Arrangement Framework on Accountancy Services (MRA Framework) atau pengakuan kesetaraan profesi dengan negara-negara lain di ASEAN. Akuntan publik khususnya auditor di Indonesia harus memiliki kemampuan untuk lebih unggul dalam menarik perhatian pasar, sehingga bisa bertahan dan semakin 32 berkembang dalam arus liberalisasi lintas negara yang akan semakin deras ini. Keruntuhan perusahaan-perusahaan terkemuka di dunia menempatkan kepercayaan publik atau pengguna laporan keuangan sebagai hasil profesionalisme akuntan semakin memudar (Nasser dan Ayuningtyas, 2007). Kasus-kasus keruntuhan Enron, Worldcom, Kasus Bank Lippo, secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan profesi akuntan. Memudarnya kepercayaan publik terhadap profesi akuntan ditambah lagi dengan terjadinya kasus yang menimpa PT. Kimia Farma, dan ditolaknya laporan keuangan PT. Telkom sebagai perusahaan plat merah, oleh SEC. Apabila dilihat dari kasus tersebut, nama kantor akuntan internasional berskala MENJEMBATANI FENOMENA EXPECTATION GAP: PEMAHAMAN PENGGUNA LAPORAN KEUANGAN DAN REFLEKSI DIRI AUDITOR besar terseret di dalamnya, dimana publik sangat percaya bahwa akuntan akan bekerja secara profesional. Pasca terjadinya kasus-kasus tersebut, pers dan majalah bisnis menyoroti profesi akuntan dengan tajam. Kredibilitas auditor eksternal semakin banyak dipertanyakan di banyak negara di seluruh dunia, sebagaimana dibuktikan oleh kritik luas dan litigasi ditujukan terhadap auditor (Porter, 1993). Hal tersebut menyebabkan profesi akuntan mulai berbenah diri, bahkan di Amerika sebagian besar kantor akuntan melakukan koreksi diri dengan cara tidak menggabungkan jasa konsultasi dan jasa audit. Satu sisi, masih banyak kasus-kasus yang dihadapi oleh perusahaan dan untuk penyelesaiannya membutuhkan profesi akuntan, salah satunya adalah audit laporan keuangan. Eipstein dan Geiger (1994) menyatakan bahwa investor dan manajer mengakui manfaat dari laporan keuangan yang diaudit. Eipstein dan Geiger (1994) dalam penelitiannya juga menyimpulkan bahwa pengguna laporan keuangan yang memiliki pendidikan tinggi cenderung menuntut jaminan audit yang tinggi. Oleh karena itu, auditor harus melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesional akuntan publik. Berdasarkan standar yang ditetapkan, secara fakta auditor diwajibkan untuk mempertahankan independensi, objektivitas dan meningkatkan kompetensi serta kecermatan professional dalam menjalankan tugasnya di lapangan. Peran utama auditor eksternal adalah memberi keyakinan bahwa laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan adalah wajar (Rulund dan Lindblom, 1992). Sejalan dengan peningkatan kebutuhan akan jasa profesi auditor, auditor diharapkan mampu melaksanakan peran dan tanggung jawabnya, serta mampu menghadapi berbagai tekanan dari pihak manajemen maupun Vol.6 No.1,Februari 2016 pihak pengguna laporan keuangan lainnya yang dapat mempengaruhi auditor (Knapp, 1985; Carcello dan Neal, 2000). Tekanan-tekanan ini disebabkan karena adanya perbedaan persepsi antara apa yang dipercaya auditor menjadi tanggung jawabnya dan apa yang dipercaya pengguna laporan keuangan mengenai tanggung jawab auditor (expectation gap). Fenomena expectation gap ini bukanlah sebuah fenomena yang baru di dalam dunia akuntansi. Persepsi auditor di dalam melakukan peran dan tanggung jawabnya untuk memeriksa laporan keuangan bertujuan untuk menyatakan kewajaran laporan keuangan yang sesuai dengan standar akuntansi dan penyajian angka dalam laporan keuangan tidak ada kesalahan secara material (Nassar dan Ayuningtyas, 2007). Sebaliknya, harapan para pengguna laporan keuangan terhadap laporan keuangan auditan terkadang melebihi peran dan tanggung jawab auditor. Para pengguna laporan keuangan menuntut tanggung jawab auditor secara penuh atas pekerjaannya, keabsahan laporan, sampai pada aspek hukum (legal), dan pembuktian di pengadilan jika diperlukan. Kondisi ini menimbulkan kesan bahwa laporan keuangan auditan dapat dijadikan tameng (perlindungan) oleh pemakai laporan keuangan untuk kepentingannya dan mereka menganggap ini diakui sah menurut hukum (Kholis et al., 2001). Penelitian ini dilakukan dengan tema yang sama dengan menggunakan pendekatan fenomonologi yang bertujuan untuk memahami dan menganalisis bagaimana akuntan publik (auditor) dan pengguna laporan keuangan menyikapi fenomena expectation gap, serta mencari tahu apa yang sebenarnya menjadi harapan pengguna laporan keuangan dan persepsi akuntan publik mengenai peran dan tanggung jawab agar dapat menjembatani kesenjangan harapan yang terjadi (expectation gap). Sehingga rumusan Jurnal Riset Akuntansi JUARA 33 masalah dari penelitian ini: “Bagaimana menjembatani fenomena expectation gap antara akuntan publik dan manajemen?” an dalam meningkatkan kualitas dari laporan keuangan. Auditor berperan penting untuk memberikan nilai tambah untuk pelaporan keuangan yang menunII. TELAAH TEORITIS: LANGKAH jukkan adanya relevansi dan keandalan AWAL MEMAHAMI FENOMENA dalam laporan keuangan sehingga men EXPECTATION GAP gurangi masalah dari konflik kepentin2.1 Profesi Akuntan Publik dan gan yang tinggi, sehingga meningkatkan Auditor keandalan laporan keuangan (Yeganeh, Publik menghendaki adanya ko- 2005). Auditor mengacu kepada standar munikasi yang independen antara en- audit dalam memberikan opini terhadap titas ekonomi dan para stakeholders. laporan keuangan dan mengaitkannya Keinginan publik tersebut kemudian pada standar akuntansi keuangan unmelahirkan profesi akuntan publik, ter- tuk melihat kewajaran penyajian lapomasuk di dalamnya auditor eksternal. ran keuangan. Ada kemungkinan bahwa Fungsi audit eksternal merupakan ba- auditor tidak dapat memenuhi harapan gian dari mekanisme corporate gover- semua pengguna laporan keuangan, senance yang berfungsi untuk melindungi hingga menimbulkan expectation gap anpihak ketiga dari penerimaan informasi tara auditor dengan pengguna laporan keuangan yang tidak lengkap, tidak aku- keuangan terkait tanggung jawab audirat dan menyesatkan. Salah satu tugas tor (Siddiqui et. al., 2008). auditor sejalan dengan fungsi akuntansi adalah menyediakan informasi yang 2.2 Tanggung Jawab Akuntan berguna bagi pengambil keputusan ter- Publik kait dengan alokasi sumber daya. Audi- Profesi akuntan publik termasuk tor diperlukan untuk mengungkapkan auditor memiliki tanggung jawab yang pendapat atas penilaian manajemen besar dalam mengemban kepercayaan terhadap pengendalian internal perusa- yang diberikan oleh publik. Secara haan, baik berupa pelaporan keuangan umum, ada tiga bentuk tanggung jawab atau efektivitas desain dan operasi peru- yang harus dipahami akuntan publik sahaan. dan auditor di dalam melaksanakan pro Auditor merupakan fungsi akun- fesinya, yaitu: (a) Tanggung jawab mortan sebagai pihak yang independen dan al, dimana menekankan bahwa akuntan bertindak sebagai penyaksi (attest func- publik harus selalu jujur dalam memtion) terhadap penyajian manajemen berikan informasi dan selalu mengambil (Lowe dan Pany, 1993). Pekerjaan au- keputusan bijaksana dan objektif denditor memberi arti yang penting kepa- gan kemahiran profesional; (b) Tangguda masyarakat, terutama untuk meng- ng jawab profesional, yaitu bertanggung etahui tingkat kepercayaan masyarakat jawab secara profesional terhadap asoterhadap laporan keuangan tersebut. siasi profesi (IAPI); (c) Tanggung jawab Verifikasi auditor terhadap informasi hukum, yaitu akuntan publik memiliki keuangan akan menambah kredibilitas tanggung jawab di luar batas standar laporan dan mengurangi adanya risiko profesi (tanggung jawab terhadap huinformasi atau risiko bahwa informasi kum). yang dihasilkan oleh perusahaan akan salah atau menyesatkan (Messier et. al, 2.3 Kemunculan Expectation Gap 2014: 7). Profesi akuntan publik memiliki Auditor tidak hanya berperan se- peranan yang sangat penting di dalam bagai watchdog tetapi juga memiliki per- memelihara fungsi bisnis dengan me- 34 MENJEMBATANI FENOMENA EXPECTATION GAP: PEMAHAMAN PENGGUNA LAPORAN KEUANGAN DAN REFLEKSI DIRI AUDITOR nilai kewajaran laporan keuangan yang disajikan perusahaan. Namun, seiring perkembangan usaha bisnis saat ini, profesi akuntan publik menjadi sorotan di tengah masyarakat. Menurut Jusuf (1999), masyarakat masih menganggap bahwa kegagalan bisnis (business failure) sama dengan kegagalan audit (audit failure). Dalam hal inilah, kompetensi dan independesi akuntan publik akan dipertanyakan. Kepercayaan pengguna laporan keuangan sebagai pengguna jasa audit atas independen sangat penting bagi perkembangan profesi akuntan publik. Namun, seringkali yang terjadi di masyarakat (termasuk pengguna laporan keuangan) memiliki harapan berlebihan terhadap apa yang dapat diberikan dan menjadi tanggung jawab akuntan publik. Harapan yang berlebihan dari publik terhadap profesi akuntan publik dan apa sebenarnya yang dilakukan oleh profesi akuntan publik inilah yang disebut expectation gap. Istilah expectation gap muncul pada awal penggunaanya di AS pada tahun 1974, Commission on Auditor’s Responsibilities yang dibentuk oleh IACPI atau yang selanjutnya dikenal dengan nama Cohen Commission. Pembentukan Cohen Commision tersebut bertujuan untuk menanggapi kritik masyarakat terhadap kualitas kinerja auditor yang pada saat itu terdapat berbagai kasus yang memperlihatkan bahwa auditor gagal mendeteksi atau mengungkapkan kegagalan dan tindakan penyimpangan dari perusahaan-perusahaan yang dimiliki publik. Kegagalan auditor di dalam mendeteksi atau mengungkapkan kegagalan atau memberikan peringatan terhadap ketidakefisienan perusahaan publik menyebabkan auditor dianggap tidak lagi akomodatif dan kompeten. Secara sederhana, expectation gap menurut Regar (2007:20) menggambarkan situasi bahwa di kalangan masyarakat masih banyak beranggapan yang tidak tepat mengenai tujuan lapoVol.6 No.1,Februari 2016 ran akuntan. Mereka membayangkan bahwa laporan akuntan dapat dijadikan sebagai salah satu jaminan atau pengesahan mutu suatu perusahaan, dimana laporan akuntan dianggap dapat memberikan pengakuan (certification) tentang keberhasilan perusahaan yang mampu memberikan laba yang memuaskan. Perusahaan yang sudah diperiksa oleh akuntan dianggap manajemennya dapat memberikan dan menjamin dividen atau keuntungan yang melebihi dari perusahaan yang tidak diperiksa oleh akuntan. Namun, hal yang terjadi malah tidak sesuai dengan harapan perusahaan. Perusahaan mendapatkan keuntungan yang kecil atau mengalami kerugian, yang menyebabkan akuntan dipersalahkan karena dianggap tidak memberikan informasi sesuai kenyataan. Harapan pengguna laporan keuangan kepada auditor untuk melakukan lebih banyak hal yang kemudian memicu munculnya expectation gap, berkaitan dengan perubahan peran audit yang diperluas secara bertahap. Auditor memastikan bahwa entitas menggunakan prinsip-prinsip akuntansi secara tepat, serta memastikan bahwa entitas tidak melakukan kesalahan. Peran audit yang diperluas juga termasuk mengkaji penerapan sistem pengendalian internal dan pengelolaan risiko di lingkungan entitas. Intinya, auditor memiliki peran yang penting dalam memberikan informasi keuangan yang andal. Akuntan publik berpendapat bahwa salah satu penyebabnya terjadinya expectation gap adalah kegagalan para pengguna laporan keuangan di dalam menilai dan memahami sifat dan keterbatasan audit. Sebaliknya, para pengguna laporan keuangan mempunyai harapan yang sangat tinggi terhadap akuntan publik sebagai public watchdog bagi mereka. Secara prinsip, akuntan publik tidak memiliki tanggung jawab terhadap manipulasi kliennya (Suratman, 2002). Akuntan publik hanya bertanggung Jurnal Riset Akuntansi JUARA 35 jawab hanya sebatas pada pernyataan pendapat atas laporan keuangan yang telah diaudit. Menurut Humprey (1992) yang dikutip kembali oleh Mirdah, et al., (2007) expectation gap secara konsisten berpusat pada beberapa hal, yaitu tugas dan tanggung jawab auditor, lingkungan dan arti pesan laporan audit, mutu akan fungsi audit, serta struktur dan peraturan profesi. III. MENCARI JALAN PEMAHAMAN MELALUI EKSPLORASI METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan dan Jenis Peneli tian Penelitian yang dilakukan ini termasuk ke dalam metodologi penelitian kualitatif. Penelitian ini diarahkan berdasarkan paradigma interpretif yang menekankan untuk memahami realitas dunia apa adanya (Ludigdo, 2005:52). Paradigma interpretif merupakan upaya untuk mencari penjelasan tentang fenomena-fenomena sosial atau budaya yang didasarkan pada perspektif dan pengalaman orang yang diteliti. Salah satu pendekatan yang digunakan pada paradigma interpretif adalah fenomenologi. Pendekatan fenomenologi digunakan untuk memahami dan menganalisis bagaimana sikap dan persepsi akuntan publik (auditor) dan pengguna laporan keuangan menyikapi fenomena expectation gap, berdasarkan pengalaman yang dimiliki. Namun, dalam pendekatan fenomenologi, peneliti diharuskan memahami obyek penelitiannya dengan polos dan apa adanya, tanpa memasukkan pendapat, pikiran, atau pun teori yang diketahui. 3.2 Situs penelitian dan Sumber Data Penelitian ini dilakukan pada sebuah KAP yang terletak di Bali, yaitu KAP B, serta pengguna laporan keuangan, yaitu manajer sebuah perusahaan swasta yang berada di Bali (menggunakan nama samaran). Sumber data utama dalam penelitian ini berasal dari kata-kata dan tin- 36 dakan yang berasal dari narasumber yang disebut informan. Informan memberikan informasi dan pemahaman yang lebih mendalam berkaitan dengan apa yang sedang diteliti. Dalam penelitian ini, informan adalah individu-individu, bukan kelompok atau masyarakat. Alasan memilih individu sebagai unit analisis dalam penelitian ini, karena setiap individu mampu menciptakan realitas sosial, memiliki kebebasan dalam berkreasi, namun terikat dengan hukum-hukum alam serta tidak dapat lepas dari kondisi sosial di mana individu tersebut berada. Setiap informan yang dipilih memang memiliki pengalaman atau mengetahui tentang fenomena expectation gap. 3.3 Teknik Pengambilan Data Penelitian ini dilakukan pada natural setting (kondisi sesungguhnya di situs penelitian), maka teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan lebih kepada observasi partisipan (participant observation), wawancara semi terstruktur, dan dokumentasi. 3.4 Observasi Partisipan (participant observation) Observasi partisipan akan memanfaatkan sebaik mungkin hubungan antara peneliti dengan para informan, yang dilakukan dengan cara yang berbeda-beda tergantung dengan keadaannya. Peneliti melakukan observasi pastisipan dengan melibatkan diri secara langsung, karena pekerjaan peneliti sendiri adalah auditor, sehingga secara langsung berkaitan dengan peran auditor dan peneliti lebih mudah berinteraksi dengan para informan. Diharapkan dengan lebih mudahnya diterima dan menjadi bagian dari komunitas penelitian, peneliti tidak akan kesulitan memperoleh informasi apa pun yang berkaitan dengan tujuan penelitian ini. MENJEMBATANI FENOMENA EXPECTATION GAP: PEMAHAMAN PENGGUNA LAPORAN KEUANGAN DAN REFLEKSI DIRI AUDITOR 3.5 Wawancara Semi Tersruktur Wawancara semi terstruktur bersifat informal sehingga tergantung dari spontanitas pewawancara dalam mengajukan pertanyaan kepada terwawancara. Menurut Herdiansyah (2013: 66) salah satu alasan mengapa wawancara semi terstruktur lebih tepat digunakan dalam penelitian kualitatif adalah karena peneliti diberikan kebebasan sebebas-bebasnya dalam bertanya dan memiliki kebebasan dalam mengatur alur dan setting wawancara. Pedoman dalam wawancara ini hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan (tidak menyusun pertanyaan secara sistematis), malah lebih disesuaikan dengan keadaaan dan ciri unik yang dimiliki informan, menyebabkan pelaksanaan tanya jawab mengalir sendiri seperti dalam percakapan sehari-hari. Peneliti dapat dengan bebas berimprovisasi dalam mengajukan pertanyaan. Selain itu, interaksi antara pewawancara dan terwawancara terjadi secara bebas, sehingga isi wawancara bisa sangat kaya akan detail dan mampu mengungkapkan suatu informasi baru. 3.6 Dokumentasi Hasil dari observasi dan wawancara akan lebih dapat dipercaya apabila didukung dengan dokumentasi-dokumentasi yang dianggap relevan. Alat yang digunakan untuk mendokumentasikan adalah recorder, digunakan untuk mempermudah pengamatan dan proses wawancara karena hasil dari recorder dapat didengar secara berulang, sehingga apa yang diragukan dalam penafsiran data, langsung dapat dicek kembali dengan mudah. 3.7 Metode Analisis Data: Teori Interaksionalisme Simbolik Sebagai Pisau Analisis Model analisis data dalam penelitian ini menggunakan teori interaksionVol.6 No.1,Februari 2016 isme simbolik sebagai salah satu model dari pendekatan fenomenologi. Teori interaksionisme simbolik berpegang bahwa individu membentuk makna melalui proses komunikasi (interaksi). Teori ini dipilih untuk menganalisis dan menginterpretasikan persepsi dan sikap akuntan publik, serta harapan dari para pengguna laporan keuangan mengenai expectation gap. Dalam penelitian ini, interaksi simbolik berhubungan dengan komunikasi antara peneliti dengan para informan dan bagaimana cara peneliti memahami apa yang informan katakan dan lakukan. Blumer (1969: 1) menjelaskan bahwa “the term ‘symbolic interactionism’ has come into use as a label for a relatively distinctive approach to the study of human group life and human conduct.” Istilah interaksionalisme simbolik digunakan sebagai label untuk pendekatan yang agak berbeda dalam mempelajari kehidupan kelompok manusia dalam melakukan sesuatu dan merupakan pendekatan yang sederhana untuk mengetahui kehidupan kelompok manusia dan perilaku manusia. Interaksionisme simbolik yang dimaksud oleh Blumer merujuk pada suatu karakter interaksi khusus yang berlangsung antar-manusia. Manusia, sebagai aktor tidak semata-mata bereaksi terhadap tindakan lain tetapi dia menafsirkan dan mendefinisikan setiap tindakan orang lain. Respon manusia sebagai aktor selalu didasarkan atas penilaian makna tersebut. Oleh karena itu interaksi pada manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol penafsiran atau menemukan makna melalui tindakan orang lain. Menurut Blumer (1969), ada tiga premis yang di bangun dalam teori interaksionisme simbolik, yaitu: (1) Manusia bertindak terhadap manusia lain berdasarkan pemahaman makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka; (2) Pemahaman makna tersebut di dapatkan dari interaksi antar manusia; (3) PemahaJurnal Riset Akuntansi JUARA 37 man makna tersebut dimodifikasi dalam proses interpretif (disempurnakan ketika interaksi tersebut berlangsung). Ketiga premis tersebut dalam penelitian ini digunakan sebagai dasar untuk menganalisis dan menginterpretasikan persepsi dan sikap akuntan publik, serta harapan dari para pengguna laporan keuangan di dalam fenomena expectation gap, baik itu berasal pemahaman informan, pengalaman yang pernah dialami, situasi tempatnya bekerja, serta interaksi sosial yang terjadi. IV. HASIL PENELITIAN 4.1 Memahami Tanggung Jawab Akuntan Publik dan Auditor Akuntan publik (auditor) memiliki tanggung jawab di dalam pelaksanaan audit untuk memperoleh keyakinan yang memadai terhadap laporan keuangan apakah telah terbebas dari kesalahan penyajian yang material, baik kekeliruan atau pun kecurangan. Hal senada juga di sampaikan oleh salah satu informan, yaitu Pak Andi (pemilik KAP B) mengenai tanggung jawab beliau sebagai seorang akuntan publik. “Kita dari kontrak awal itu sudah menyampaikan kalau yang namanya financial audit atau general audit yang kita lakukan, tidak menjamin bahwa kita menemukan adanya kecurangan. Lagi di dalam kontrak awal, kita sebutkan bahwa tujuan kita bukan menemukan penyelewengan atau penggelapan atau sebagainya, kita hanya melihat laporan keuangan yang ada sesuai standar dan prinsip yang berlaku.” Pak Andi mengatakan bahwa dari awal beliau melakukan kerja sama dengan klien, terdapat kontrak awal yang menjelaskan bahwa tanggung jawab Pak Andi dalam pelaksanaan general audit (audit umum), hanyalah sebatas pada laporan keuangan yang diberikan oleh klien (perusahaan), serta tidak bertanggung jawab atau pun menjamin audit yang dilaksanakan akan menemukan 38 suatu kecurangan atau penggelapan. Selain itu, Pak Andi juga menambahkan: “Nah, kalau di audit umum itu kita memberikan pernyataan wajar pada laporan keuangan yang sudah di audit. Jadi, wajar yang di maksudkan itu adalah laporan keuangan itu sudah sesuai dengan standar yang berlaku dalam semua hal yang material. Tapi, kalau ada ketidakwajaran paling ya kita memberitahukan apa yang kita temukan disaat audit itu ke klien dan kalau berpeluang terjadinya penggelapan, yah kita juga beritahukan juga. Kalau ingin menelusuri penggelapan itu lagi, yah kita sarankan untuk lakukan special audit atau audit investigasi.” Berdasarkan pendapat dari Pak Andi, dapat dilihat bahwa tanggung jawab akuntan publik (auditor) dalam pelaksanaan general audit (audit umum) terletak pada pendapat tentang kewajaran laporan keuangan yang diberikan olek klien (perusahaan), apakah sudah sesuai dengan standar yang berlaku dalam semua hal yang material. Jika muncul ketidakwajaran dari hasil audit yang telah dilakukan atau adanya hal yang berpeluang menimbulkan penggelapan (kecurangan), akuntan publik (auditor) wajib memberitahukan kepada klien (perusahaan). Namun, untuk menelusuri lebih lanjut mengenai kecurangan atau penggelapan yang ditemukan, auditor lebih baik menyarankan klien untuk melakukan special audit atau audit investigasi (forensik). Pemahaman mengenai tanggung jawab akuntan publik (auditor) dalam menjalankan profesinya, peneliti peroleh dari Julian, seorang senior auditor di KAP B. “Tanggung jawab sebagai auditor itu terletak pada hasil audit dari data yang dikasi ke kita. Jadi, kita memberikan pendapat kewajaran berdasarkan tingkat keyakinan kita dari hasil pengumpulan bukti, juga dalam semua hal yang material dalam posisi keuangan klien yang MENJEMBATANI FENOMENA EXPECTATION GAP: PEMAHAMAN PENGGUNA LAPORAN KEUANGAN DAN REFLEKSI DIRI AUDITOR sudah kita periksa. Hasil audit yang kita sajikan itu sampai dengan pernyataan pendapat kewajaran yang kita keluarkan, yah sampai disana tanggung jawab kita.” Berdasarkan penjelasan dari Julian, dapat diartikan bahwa tanggung jawab akuntan publik (auditor) terletak pada hasil audit yang telah dilakukan sesuai dengan data (laporan keuangan) yang diberikan klien (perusahaan). Pendapat atas kewajaran yang diberikan berdasarkan tingkat keyakinan auditor terhadap hasil pengumpulan bukti dan segala hal yang material dalam posisi keuangan klien (perusahaan). Jadi, hasil audit yang telah dilakukan oleh auditor sampai dikeluarkannya pendapat atas kewajaran dalam segala hal yang material dalam posisi keuangan adalah tanggung jawab akuntan publik (auditor). Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab akuntan publik (auditor) sebatas pada pendapat tentang kewajaran dalam segala hal yang material dalam laporan keuangan klien (perusahaan). Akuntan publik (auditor) harus memiliki tingkat keyakinan yang memadai terhadap hasil audit yang telah dilaksanakan, apakah sudah terbebas dari salah saji material, serta sudah sesuai dengan standar dan prinsip yang berlaku umum di Indonesia. 4.2 Pemahaman Fenomena Expectation Gap dalam Teori Interaksionalisme Simbolik Fenomena expectation gap terjadi karena munculnya perbedaan antara apa yang diyakini oleh akuntan publik (auditor) sebagai tanggung jawabnya dan apa yang diinginkan oleh para pengguna laporan keuangan. Analisis dari pemahaman situasi dalam teori interaksionalisme simbolik dinamakan definisi situasi. Definisi situasi adalah bagaimana cara mendefinisikan situasi tersebut berdasarkan realitas yang ada. BagaimaVol.6 No.1,Februari 2016 na akuntan publik pada KAP B memandang fenomena expectation gap sebagai suatu pendefinisan situasi. Penulis bertanya kepada Pak Andi selaku akuntan publik di KAP B mengenai pendapat beliau tentang fenomena expectation gap. “Expectation gap itu sebelum menjawab itu kita perlu lihat definisinya dulu ya. Expectation gap itu adanya jurang pemisah antara keinginan manajemen dengan hasil audit yang di inginkan oleh akuntan publik. Keinginan kita sebagai auditor itu memberikan pendapat wajar dalam segala hal yang material dari laporan keuangan klien. Manajemen sendiri menginginkan hasil audit dari kita itu juga mampu jadi acuan untuk keberhasilan bisnisnya ke depan, dan menjamin terhindar dari kegagalan bisnis. Terkadang dua keinginan ini kan menyebabkan muncul perbedaan, pemisah gitu, dan ini di dalam audit sendiri, yah sudah biasa terjadi”. Berdasarkan penjelasan dari Pak Andi, expectation gap di dalam pelaksanaan audit adalah fenomena yang sudah biasa terjadi. Munculnya expectation gap dikarenakan adanya jurang pemisah antara keinginan manajemen dan hasil audit yang diinginkan oleh akuntan publik (auditor). Pemahaman mengenai expectation gap seperti yang diungkapkan oleh Pak Andi, tentunya berdasarkan banyak faktor seperti pengetahuan beliau atau pengalaman Pak Andi yang sudah cukup lama menjalankan profesinya sebagai akuntan publik. Selain itu, sebagaimana yang diyakini oleh Pak Andi di dalam menjalankan profesinya sebagai akuntan publik juga terdapat standar profesional dan kode etik yang harus dipatuhinya disamping pula adanya peraturan hukum yang berlaku bagi akuntan publik. Akuntan publik (auditor) menginginkan dapat memberikan pendapat wajar dalam segala hal yang material dari laporan keuangan klien berdasarkan standar audit yang berlaku. Manajemen (klien) menginginkan hasil audit Jurnal Riset Akuntansi JUARA 39 yang dilakukan akuntan publik (auditor) tidak hanya menjamin laporan keuangan perusahaan saja, tetapi dapat dijadikan acuan untuk keberhasilan bisnis perusahaan dan menjamin perusahaan akan terhindar dari kegagalan bisnis ke depannya. Pendapat Pak Andi ini juga senada dengan pernyataan dari Wandi yang merupakan supervisor di KAP B mengenai pemahamannya terhadap fenomena expectation gap. “Expectation gap itu adalah kesenjangan atau perbedaan pemahaman pengguna laporan keuangan dengan auditor di kantor akuntan. User atau pengguna laporan keuangan tidak bisa membedakan mana kegagalan bisnis, mana kegagalan audit. Kadang user menilai kegagalan bisnis merupakan kegagalan audit padahal itu dua hal yang berbeda. Kegagalan bisnis artinya perusahaan tidak mampu menjalankan bisnisnya lagi, misal tidak mampu melunasi seluruh hutangnya makanya perusahaan tersebut bangkrut, itu kalau kegagalan bisnis. Kalau kegagalan audit, auditor salah memberikan opini berdasarkan prosedur pengujian yang di lakukan.” Berdasarkan penjelasan dari Wandi, dapat diartikan bahwa expectation gap adalah kesenjangan atau perbedaan pemahaman pengguna laporan keuangan dengan auditor di kantor akuntan. Kebanyakan terjadinya karena pengguna laporan keuangan tidak bisa membedakan apa itu kegagalan bisnis, dan apa itu kegagalan audit. Kegagalan bisnis terjadi karena perusahaan tidak mampu menjalankan bisnisnya lagi sehingga perusahaan mengalami kebangkrutan. Kegagalan audit adalah kesalahan auditor di dalam memberikan opini karena adanya kesalahan pada prosedur audit yang dilakukan. Bagaimana manajer sebuah perusahaan swasta memandang expectation gap sebagai suatu pendefinisian situasi sebelum melakukan serangkaian tinda- 40 kan untuk menyikapinya, berikut adalah wawancara dengan Irwan, manajer PT. BS mengenai expectation gap. “Kalau misalnya ada gap, ekspektasi, saya rasa tidak. Apabila perusahaan saya kelola, atau departemen yang saya kelola ini sesuai dengan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan, apalagi di accounting dikelola sesuai dengan standar akuntansi. Hanya ada konfirmasi, bahwa laporan ini disajikan dengan benar. Pasti begitu hasilnya.” Pernyataan dari Irwan tersebut dapat dipahami bahwa expectation gap tidak terjadi apabila manajemen dapat mengikuti aturan-aturan dan ketentuan yang berlaku, dan untuk kebijakan akuntansi sesuai dengan standar akuntansi keuangan di Indonesia. Pemahaman Irwan terhadap objek sosial expectation gap ini berdasarkan pengalamannya yang pernah menjadi seorang auditor beberapa tahun lalu. Pengalaman ini yang kemudian diterapkannya ketika menjadi manajer di perusahaan yang ia kelola saat ini. Dapat dikatakan bahwa Irwan memiliki pandangan dari dua sisi, dari sisi manajer dan auditor. Dalam menjalankan profesinya, akuntan publik pada KAP B mengalami beberapa fakta atau realitas yang memunculkan anggapan-anggapan yang keliru sehingga dapat dimasukan ke dalam fenomena expectation gap. 1. Kurangnya pemahaman klien terhadap fungsi audit, dimana klien menganggap bahwa audit pasti bertujuan untuk mengungkap penyelewangan atau korupsi (salah satu LPD di Denpasar). 2. Anggapan klien yang keliru terhadap peran auditor dalam pelaksanaan audit (khususnya general audit) dalam hal ini, klien mengganggap bahwa auditor ikut membantu dalam menyusunkan laporan keuangan perusahaan padahal kontrak kerja yang disepakati oleh KAP dan klien MENJEMBATANI FENOMENA EXPECTATION GAP: PEMAHAMAN PENGGUNA LAPORAN KEUANGAN DAN REFLEKSI DIRI AUDITOR hanya sebatas general audit (salah satu perusahaan yang bergerak di bidang jasa perhotelan di daerah Sanur). 3.Manajemen menginginkan auditor untuk mengungkap adanya ketidakberesan secara langsung tanpa melalui komunikasi dan interaksi dengan pihak lain yang berwenang (salah satu koperasi yang terletak di kabupaten Badung). 4.Investor di salah satu perusahaan swasta yang bergerak dalam bidang kesehatan yang kurang memahami arti wajar dalam opini auditor independen, dimana opini wajar tersebut belum dianggap sebagai capaian yang tertinggi dari penilaian laporan keuangan, opini wajar tanpa pengecualianlah yang dianggap yang paling tinggi. Realitas atau fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa fenomena expectation gap timbul dari proses interaksi sosial antara akuntan publik dengan klien ataupun pihak-pihak lain yang berkaitan. Dalam perspektif interaksionalisme simbolik hasil audit merupakan sebuah simbol. Setiap pihak yang melakukan interaksi memiliki maksud, harapan, pemahaman, dan pengalaman yang berbeda mengenai simbol tersebut. Jadi, hal inilah yang menyebabkan munculnya fenomena expectation gap sehingga pemaknaan mereka terhadap hasil audit itu sendiri menjadi berbeda. 4.3 Menjembatani Fenomena Expectation Gap: Pemahaman Manajemen Terhadap Prosedur Audit dan Refleksi Diri Akuntan Publik (Auditor) Menurut UUD Republik Indonesia No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik, menjelaskan bahwa profesi akuntan publik merupakan suatu profesi yang jasa utamanya adalah jasa assurance dan hasil pekerjaannya digunakan secara luas oleh publik (para pengguna Vol.6 No.1,Februari 2016 laporan keuangan) sebagai salah satu pertimbangan penting di dalam pengambilan keputusan. Kepercayaan pengguna laporan keuangan akan profesi akuntan publik tergantung pada kualitas jasa diberikan kepada masyarakat. Kepercayaan investor merupakan hal yang sangat penting bagi perusahaan. Kepercayaan ini diperoleh jika perusahaan dapat memberikan laporan keuangan yang benar-benar sesuai dengan keadaan perusahaan secara riil. Laporan keuangan tersebut akan memberikan gambaran yang lengkap tentang bagaimana seluruh perusahaan dapat mengelola asset hingga pembiayaan yang telah dilakukan dalam jangka waktu tertentu, hingga berapa keuntungan dan kerugian yang diderita perusahaan tersebut. Untuk meningkatkan kredibilitas perusahaan, peran akuntan publik beserta auditor dengan jasa auditnya mampu memberikan penilaian atas laporan keuangan tersebut sehingga bisa menimbulkan kepercayaan dari para investor akan kelangsungan perusahaan. Manajemen diberikan kepercayaan untuk mengelola dan mengendalikan perusahaan. Konsekuensinya, manajemen memiliki tanggung jawab yang harus dilaporkan secara periodik kepada pemilik perusahaan melalui media laporan keuangan. Manajemen berkepentingan untuk melaporkan pengelolaan bisnis yang dipercayakan padanya, sedangkan pemakai laporan keuangan, khususnya pemilik berkepentingan untuk melihat hasil kinerja manajemen dalam mengelola perusahaan (Christiawan, 2002). Perbedaan ini menimbulkan konflik kepentingan antara manajemen dan pemilik perusahaan. Oleh karena itu, konflik kepentingan ini dapat ditengahi dengan audit dari pihak ketiga yang independen. Hal ini sedikit berbeda dengan apa yang dinyatakan Irwan melalui pandangannya secara umum: “Dari sisi manajemen sebenarnya kebutuhan akan jasa audit tidak terlalu ini ya, Jurnal Riset Akuntansi JUARA 41 katakanlah, secara umum dulu, di skala perusahaan seperti ini manajemen tidak mau diaudit, akan terlihat kelemahan dari cara mereka dalam mengatur.” Melalui pernyataan Irwan tersebut, secara umum ia mengungkapkan bahwa manajemen sebenarnya enggan untuk diaudit karena kelemahan-kelemahan manajemen dalam penerapan aturan-aturan dan standar yang berlaku dapat dinilai setelah audit dilaksanakan. Namun Irwan kemudian menambahkan pernyataannya secara pribadi mengenai pentingnya jasa audit bagi perusahaan yang dikelolanya. “Tetapi kalau pendapat saya secara pribadi, adanya auditor memberikan penilaian dan opini atas kewajaran laporan keuangan yang saya hasilkan. Manfaatnya ya jelas sekali, saat saya menyajikan laporan keuangan kepada shareholder mestinya juga kepada stakeholder juga ya, ada pihak independen yang bisa memberikan keyakinan juga pada mereka bahwa laporan keuangan yang saya sajikan layak, jadi sudah benar sudah disusun sesuai standar akuntansi. Dari sini dapat dilihat, apakah manajemen sudah mengelola perusahaan sesuai dengan keinginan pemilik modal. Kalau saya melihat penting sekali.” Berdasarkan pernyataan Irwan diatas, maka adanya auditor memiliki posisi yang strategis diantara manajemen dan pemilik perusahaan dan bahkan kepada stakeholder. Terdapat tujuh kualitas audit memiliki pengaruh terhadap kepuasan klien, yaitu (1) atribut pengalaman melakukan audit, (2) atribut memahami industri klien, (3) atribut responsif terhadap kebutuhan klien, (4) atribut pemeriksaan sesuai dengan standar umum audit, (5) atribut komitmen kuat terhadap kualitas audit, (6) atribut keterlibatan pimpinan audit terhadap pemeriksaan dan (7) atribut melakukan pekerjaan lapangan dengan tepat. (Widagdo, et. al, 2002). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa manajemen 42 memiliki harapan atas penilaian auditor terhadap laporan keuangan. Disisi lain, berdasarkan pernyataan Irwan selaku manajer, sebagai salah satu pengguna laporan keuangan, manajemen ternyata menaruh kepercayaan yang besar terhadap pekerjaan auditor dan akuntan publik dalam mengaudit laporan keuangan. “Ikut memberikan penilaian juga. Kadang saya membaca sebuah aturan dan melaksanaanya tentunya berdasarkan kemampuan saya. Bisa jadi apa yang saya pahami berbeda dengan pemahaman umum. Ketika pihak luar seperti pihak independen, misalnya Auditor bisa sebagai alat pendeteksi atas kesalahan yang tidak sengaja saya lakukan.” Menurut Irwan, auditor tidak hanya sekadar melaksanakan penugasan berdasarkan kontrak kerja dan bekerja berdasarkan pada prosedur audit yang ditetapkan oleh standar. Auditor dianggap sebagai pihak yang dapat memberikan penilaian terhadap pelaksanaan aturan dan standar yang dijalankan oleh manajemen, apakah telah sesuai atau tidak. Irwan berpandangan bahwa auditor sebagai alat pendeteksi atas kesalahan yang dilakukan manajemen. Ditanya peran auditor dalam mengungkap kecurangan, berikut jawaban dari Irwan. “Harus. Karena memang tugas auditor adalah mengungkap apa yang dia ditemukan. Tidak ada alasan, kalau saya sih berpikir, kalau memang sudah ditemukan kenapa tidak diungkap. Ketika ada temuan dan temuan itu memenuhi aspek materialitas dan bepengaruh terhadap kelangsungan hidup perusahaan, terutama materialitas ya, itu harus diungkap, dan saya tidak punya jawaban kenapa harus diungkap. Saya justru malah berpikir kalau sudah ditemukan kenapa tidak diungkap? Kecuali ada informasi kami tidak ungkap karena tidak material. Dan itu wajar.” Dalam SA 316.08 disebutkan bahwa karena pendapat auditor atas laporan MENJEMBATANI FENOMENA EXPECTATION GAP: PEMAHAMAN PENGGUNA LAPORAN KEUANGAN DAN REFLEKSI DIRI AUDITOR keuangan didasarkan pada konsep keyakinan memadai (reasonable assurance), maka laporan keuangan bukan suatu jaminan. Walaupun audit telah dirancang dan dilaksanakan dengan seksama, namun tidak dapat mendeteksi adanya kecurangan apabila manajemen, karyawan dan pihak ketiga melakukan penyembunyian informasi. Apabila terdapat ketidakberesan material, auditor memiliki kewajiban untuk mengkomunikasikan temuannya kepada komite audit. Pada dasarnya, auditor tidak berkewajiban untuk mengungkapkan ketidakberesan material yang ditemukan kepada pihak-pihak luar klien. Ketidakberesan tersebut diungkap apabila berpengaruh terhadap pendapatnya atas laporan keuangan yang diaudit. Kecurangan dalam perusahaan sebenarnya merupakan tanggung jawab manajemen untuk mencegah. Namun, sesuai harapan masyarakat, auditor yang dianggap memiliki tanggung jawab untuk mengungkap kecurangan atau ketidakberesan. Tanggung jawab ini masih terbatas untuk merencanakan dan melaksanakan audit untuk memperoleh keyakinan memadai tentang apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan maupun kecurangan. Apabila auditor menyimpulkan adanya ketidakberesan dan kekeliruan yang mengakibatkan salah saji, maka auditor harus mendesak manajemen untuk merevisi laporan keuangan. Jika dipatuhi oleh manajemen, auditor kemudian dapat memberikan opini tanpa modifikasian dengan pendapat wajar. Namun jika laporan keuangan tidak direvisi, maka auditor dapat memberikan pendapat wajar dengan pengecualian atau pendapat tidak wajar. Jika klien menolak untuk menerima laporan audit yang telah dimodifikasi, maka auditor harus menarik diri dari penugasan dan mengkomunikasikan alasan penarikan dirinya kepada komite audit atau dewan Vol.6 No.1,Februari 2016 komisaris serta pihak lain yang setara (Jusuf, 2001 Selanjutnya, dari sisi akuntam publik (auditor), peneliti bertanya kepada Pak Andi mengenai saran beliau untuk menjembatani terjadinya fenomena expectation gap. “Kalau dari sisi kita pribadi sebagai auditor sih, harusnya setiap auditor wajib meng-upgrade diri sendiri ya. Misalnya dengan mengikuti pelatihan, sertifikasi atau rajin baca mengenai peraturan-peraturan baru yang ada. Dari sana pemahaman auditor mengenai tanggung jawabnya akan semakin mendalam, kita juga akan makin kompeten dalam bekerja. Jangan lupa juga, kita sebagai auditor itu menjual jasa, jadi kita harus belajar komunikasi yang baik dengan orang, sehingga kalau kita memberikan penyampaian ke klien, klien jadi paham. Gak bingung dengan tujuan kita mengaudit”. Penjelasan dari Pak Andi mengenai cara menjembatani fenomena expectation gap yaitu, berasal dari pribadi akuntan publik (auditor). Akuntan publik (auditor) harus selalu berkembang dan meningkatkan (upgrade) kemampuan serta pemahaman dirinya mengenai profesinya. Akuntan publik (auditor) wajib mengikuti pelatihan dan sertifikasi untuk meningkatkan pemahaman dan menguji kemampuan auditor, agar tetap mampu menjaga kepercayaan publik. Selain itu, akuntan publik juga harus selalu mengetahui dan membaca peraturan-peraturan baru yang ada. Sebagai akuntan publik (auditor) yang menjual jasa assurance kepada perusahaan (klien) diharuskan memiliki kemampuan komunikasi yang baik terhadap orang lain (klien), sehingga ketika menyampaikan tujuan audit yang dilakukan, klien dapat memahami apa yang auditor maksud. Julian sebagai salah satu auditor senior di KAP B juga memberikan tanggapannya untuk menjembatani fenomeJurnal Riset Akuntansi JUARA 43 na expectation gap. “Sama-sama harus memiliki pemahaman saja. Dari perusahaan atau masyarakat yang melihat hasil laporan audit, mereka harus kita berikan pemahaman sampai mana batasan kita sebagai auditor bertanggung jawab. Nah disini tugas kita sebagai auditor dimana kita harus mampu menjelaskan tanggung jawab dan maksud audit kita itu seperti apa kepada mereka. Jadi, disini auditor sih lebih ditekankan untuk lebih paham akan tugas dan tanggung jawab profesinya.” Dari penjelasan yang diberikan oleh Julian, dapat diartikan bahwa akuntan publik (auditor) ditekankan harus memiliki pemahaman mendalam akan tugas dan tanggung jawab. Akuntan publik (auditor) harus bisa menjelaskan kepada perusahaan atau pun masyarakat mengenai batasan dari tanggung jawabnya, apa yang menjadi tanggung jawabnya dan apa yang bukan menjadi tanggung jawabnya di dalam pelaksanaan audit. terhadap arti wajar dalam opini auditor independen. Berdasarkan fenomena expectation gap yang sudah dijelaskan, ada dua hal yang dapat ditekankan untuk menjembatani kesenjangan pemahaman terhadap audit antara akuntan publik dengan pengguna laporan keuangan yaitu (1) refleksi diri auditor dalam konteks pemahaman akuntan publik (auditor) mengenai fungsi audit, peran dan tanggung jawabnya, dan (2) pemahaman yang berasal dari pengguna laporan keuangan terhadap prosedur audit serta peran akuntan publik (auditor). 5.2 Keterbatasan Penelitian ini tentunya memiliki keterbatasan, yaitu: 1.Jangka waktu pengamatan dan penelitian yang terbilang singkat yaitu kurang lebih hanya sebulan. 2.Situs penelitian dan informan yang hanya melibatkan satu KAP dan satu perusahaan menyebabkan tidak adanya pembanding lain menV. KESIMPULAN, KETERBATASAN genai pandangan dan pemahaman DAN SARAN berkaitan dengan fenomena expec5.1 Kesimpulan tation gap. Berdasarkan perspektif teori interaksionalisme simbolik mengenai fenom- 5.3 Saran ena expectation gap sebagai salah satu 1.Untuk penelitian selanjutnya, disobjek sosial dalam profesi akuntan pubarankan untuk melakukan penlik pada KAP B dipahami sebagai suatu gamatan dan penelitian dengan hal yang sudah biasa terjadi berkaitan jangka waktu yang lebih panjang, dengan pelaksanaan general audit. Dijumlah informan dan situs penelihat dari realitas dan fakta yang berkailitian lebih banyak dan pemilihan tan dengan pelaksanaan audit KAP B situs penelitian yang berbeda sehada beberapa anggapan yang dikategoriingga didapatkan perbandingan pekan sebagai expectation gap seperti: (a) mahaman berkaitan dengan fenompemahaman klien terhadap fungsi audit; ena expectation gap. (b) anggapan klien yang keliru terhadap 2. Memasuki Masyarakat Ekonomi peran auditor dalam pelaksanaan audit Asean (MEA) akuntan publik ser(khususnya general audit); (c) manajeta auditor dituntut untuk mampu men menginginkan auditor untuk menmenyiapkan dirinya dengan cara gungkap adanya ketidakberesan secara meningkatkan kualitas audit dan langsung tanpa melalui komunikasi dan profesionalisme agar mampu berinteraksi dengan pihak lain yang berkompetensi dengan akuntan dari wenang; (d) pemahaman yang kurang negara-negara lain. Akuntan publik 44 MENJEMBATANI FENOMENA EXPECTATION GAP: PEMAHAMAN PENGGUNA LAPORAN KEUANGAN DAN REFLEKSI DIRI AUDITOR juga dituntut untuk menjaga kepercayaan publik melalui hasil audit. 3.Untuk peneliti selanjutnya, berikaitan dengan upaya menjembatani fenomena expectation gap tidak hanya dibutuhkan pemahaman antara akuntan publik dan pengguna laporan keuangan, tetapi diharapkan mampu memunculkan suatu penelitian yang menghasilkan model peraturan yang mengakomodasi fenomena ini. DAFTAR PUSTAKA Blumer, H. 1969. Symbolic interactionism: Perspective and method. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall. Carcello, J. V., and T. L. Neal. 2000. Audit committee composition and auditor reporting, The Accounting Review 75: (453-467). Christiawan, Y. J. 2002. Kompetensi dan Independensi Akuntan Publik: Refleksi Hasil Penelitian Empiris, Jurnal Akuntansi & Keuangan 4(2): 79-92. Eipstein, M. J and Geiger, M. A. 1994. Investor views of audit assurance: Recent evidence of the expectation gap, Journal of Accountancy, (295-323). Jusuf, A. A. 1999. Persepsi Ekspektasi, Media Akuntansi (33)/Tahun VI/Maret-April: 46. Jusuf, A. H. 2001. Auditing (Pengauditan) Buku 1. STIE YKPN: Jogjakarta. Knapp, M. 1985. Audit conflicts: An empirical study of the perceived ability of auditors to resist management pressure, The Accounting Review (60): (202-211). Lowe, J and Pany. 1993. Expectation of The Audit Function, The CPA Journal, (58-59). Ludigdo, U. 2005. Pemahaman Strukturasi Atas Praktik Etika di sebuah Kantor Vol.6 No.1,Februari 2016 Akuntan Publik. Disertasi, Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya, Malang. Messier, W. F., Steven M. G., dan Douglas F. P. 2014. Jasa Audit dan Assurance: Pendekatan Sistematis. Jakarta: Salemba Empat. Mirdah, et. al. 2007. Pandangan dan Sikap Akuntan Publik terhadap Fenomena Expectation Gap dan Tanggung Jawab Hukum Auditor, Tema 8(2): 180-200 . Nasser, E. M dan Ayuningtyas, R. 2007. Expectation Gap Mahasiswa, Auditor, dan Manajer terhadap Sikap dan Kinerja Auditor, Media Riset Akuntansi, Auditing dan Informasi 7(3): (295-323). Porter, B. 1993. An Empirical Study of the Audit Expectation-Performance Gap, Accounting and Business Research 24 (93): (49-68). Regar, M. H. 2007. Mengenal Profesi Akuntan & Memahami Laporannya. Jakarta: PT Bumi Aksara. Rulund, R. G., and Lindbom C. 1992. Ethic and Disclosure: An Analysis of Conflicting Duties, Critical Perspective Accounting 3: (259-272). Siddiqui, J., Nasreen, T & Choudhury, A. 2008. The audit expectation gap and the role of audit education, the case of an emerging economy, University of Manchester, UK, pp: 57-65. Suratman, A. 2002. Mewaspadai Manipulasi Laporan Keuangan Emiten, Jurnal Investor, Edisi 59. Widagdo, R., et. al. 2002. Analisis Pengaruh Atribut-atribut Kualitan Audit Terhadap Kepuasan Klien, Makalah Simposium Nasional Akuntansi 5, Semarang 5-6 September. Yeganeh, H. Y. 2005. Auditing philosophy, first impression, Tehran Scientific and Cultural Publication. Jurnal Riset Akuntansi JUARA 45