BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keputusan investasi merupakan proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan untuk memanfaatkan modal yang dimiliki untuk berbagai investasi jangka panjang guna menghasilkan nilai bagi perusahaan. Manajemen melakukan suatu proses capital budgeting (penganggaran modal), yaitu suatu proses yang melibatkan pembuatan proposal-proposal investasi, penilaian, pembahasan, dan pemilihan proposal investasi terbaik; kemudian pelaksanaan dan melakukan tindak-lanjut atas proposal investasi yang dipilih dengan tujuan akhir memaksimumkan nilai perusahaan (Megginson, 1997). Berbagai motif dasar dalam penganggaran modal ini diantaranya adalah untuk mengembangkan (ekspansi), mengganti, atau memperbaharui berbagai aset tetap atau untuk memperoleh manfaat intangible selama perioda jangka panjang, meluncurkan produk baru, membangun pabrik baru, mendirikan anak perusahaan baru, membuka cabang baru, mengakuisisi perusahaan lain, melakukan aliansi strategis dan sebagainya (Asri, 2013; Megginson, 1997). Langkah awal dalam penganggaran modal adalah membuat proposal-proposal investasi sesuai dengan peluang kesempatan investasi yang tersedia bagi perusahaan. Setiap ide-ide kesempatan investasi yang ada kemudian dievaluasi dan disaring untuk menetapkan peluang investasi yang relevan untuk dilaksanakan. Proses evaluasi kelayakan proposal investasi secara formal melibatkan penilaian kesesuaian proposal itu terhadap keseluruhan tujuan dan rencana umum perusahaan, dan mengevaluasi kelayakan ekonominya. Untuk menilai kelayakan ekonominya, kos 1 dan manfaat yang muncul dari proposal investasi lalu diestimasi dan dikonversikan menjadi serangkaian arus-kas relevan. Begitu pula, berbagai aspek risiko terkait masing-masing proposal investasi dimasukkan juga dalam evaluasi kelayakan ekonomi. Selanjutnya, berbagai tehnik penilaian penganggaran modal (misalnya Payback Period (PP), Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR)) dapat digunakan untuk menilai dan memeringkat proposal-proposal investasi tersebut. Tehnik-tehnik penilaian penggangaran modal tersebut tentunya membutuhkan data dari setiap proposal investasi, misalnya data rangkaian perkiraan arus kas, perkiraan tingkat biaya modal yang akan digunakan untuk mendiskonto arus kas, serta jangka waktu proyek. Setelah analisis ekonomi dilakukan, selanjutnya dibuatkan summary report untuk masing-masing proposal investasi, seringkali disertakan pula rekomendasi, yang kemudian diserahkan kepada pengambil keputusan. Tahapan selanjutnya, pengambil keputusan memutuskan investasi yang dipilih. Umumnya, di dalam perusahaan dewan direksi memegang kewenangan untuk memberikan keputusan final tentang investasi mana yang akan dilakukan, kapan pelaksanaannya, dan berapa modal yang akan disalurkan untuk investasi itu. Setelah keputusan final mengenai proposal investasi yang dipilih dan besarnya modal yang dialokasikan disetujui, serta dana disediakan, selanjutnya proses implementasi proyek investasi dimulai. Kontrol ketat dilakukan atas pengeluaran yang terjadi selama pelaksanaan proyek. Berbagai pengeluaran selama pelaksanaan proyek harus mendapat persetujuan, tergantung pada besarnya pengeluaran. Pengeluaran utama untuk proyek biasanya harus mendapat tanda persetujuan dari manajemen level atas, 2 sementara pengeluaran yang relatif rutin hanya perlu persetujuan dari manajemen level yang lebih rendah. Setelah tahapan implementasi proyek, proses selanjutnya adalah tindak lanjut (follow-up) atas pelaksanaan proyek. Proses ini melibatkan pemonitoran hasil-hasil yang dicapai selama pengoperasian proyek. Manajemen melakukan evaluasi atas outcomes aktual proyek investasi terkait kos dan manfaat dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya. Ketika outcomes aktual lebih buruk dari yang diprediksikan, maka mungkin perlu dilakukan beberapa tindakan koreksi untuk memotong beberapa kos, meningkatkan manfaat, atau mungkin juga memutuskan untuk mengakhiri (terminate) proyek tersebut. Arus kas yang ada seringkali menjadi pertimbangan dalam melakukan investasi. Jika kas yang tersedia cukup banyak maka peluang–peluang investasi yang dapat didanai juga akan semakin banyak. Dengan kata lain, investasi menjadi tergantung terhadap berapa banyak kas yang tersedia untuk diinvestasikan. Beberapa riset sebelumnya menemukan bahwa investasi dipengaruhi secara positif oleh arus kas (misalnya Agca dan Mozumdar, 2008; Alti, 2003; Fazzari et al., 1988a; Fazzari dan Athey, 1987; Hubbard, 1998; Kadapakkam et al., 1998; Malmendier dan Tate, 2005a; 2005b). Penelitian ini mencoba mengkonfirmasi pengaruh positif arus-kas terhadap investasi. Ada dua teori utama yang mencoba menjelaskan pengaruh positif arus-kas terhadap investasi (atau sensitivitas investasi-arus kas). Teori keagenan dan teori pecking order telah lama digunakan sebagai penjelas atas fenomena underinvestment, overinvestment dan sensitivitas investasi terhadap arus kas. Dalam argumen teori keagenan disebutkan bahwa karena ada ketaksejajaran kepentingan 3 antara agen (manajer) dengan prinsipal (pemegang saham), agen menjadi lebih cenderung membuat keputusan investasi untuk tujuan kepentingan dirinya, misalnya membangun kerajaan bisnis ataupun memperbesar pertumbuhan perusahaan. Tingginya biaya pendanaan eksternal cenderung membatasi tingkat investasi yang diambil manajer sedangkan keberadaan arus kas bebas memungkinkan manajer untuk investasi lebih (over-invest) atau investasi kurang (under-invest) (Jensen, 1986). Sementara itu, dalam argumen pecking order theory disebutkan bahwa demi kepentingan pemegang saham, manajer membatasi penggunaan dana eksternal untuk menghindari terjadinya dilusi nilai saham (Myers dan Majluf, 1984). Dalam keadaan informasi asimetri, keberadaan arus kas bebas ataupun financial slack dapat meningkatkan tingkat investasi dan menurunkan kemungkinan terjadinya distorsi keputusan investasi yang dibuat manajer. Baik teori keagenan maupun pecking order theory mempunyai asumsi bahwa manajer dan para investor merupakan pengambil keputusan yang rasional yang berusaha memaksimumkan utilitasnya. Namun, pengambilan keputusan di dunia bisnis nyatanya sangat sering jauh dari rerangka ekonomi rasional. Beberapa studi di bidang psikologi menemukan bahwa individu cenderung percaya bahwa kemampuannya lebih tinggi dari rata-rata (Fischhoff et al., 1977; Weinstein, 1980). Lebih jauh, kelebihan percaya diri (overconfidence) ini prevalensinya di kalangan manajer puncak sangat tinggi. Overconfidence manajer juga memengaruhi perilaku investasi perusahaan (Malmendier dan Tate, 2005a; b; 2008). Dari beberapa studi empiris terungkap bahwa bias overconfidence banyak ditemukan di kalangan manajer (Ben-David et al., 2007; 2010; Ishikawa dan Takahashi, 2010; Landier dan Thesmar, 2009; Lin et al., 2005; Malmendier dan Tate, 2005a; b; 2008; Malmendier et al., 2011). Para 4 peneliti telah memasukkan literatur psikologi kognisi ke literatur keuangan perusahaan keprilakuan dan menemukan bahwa para manajer, sebagai kalangan khusus, lebih cenderung menampakkan optimisme berlebihan dibandingkan dengan kalangan orang biasa (Cooper et al., 1988; Heaton, 2002; Landier dan Thesmar, 2009). Manajer yang overconfident tidak dapat membuat judgments atau keputusan serasional seperti yang diasumsikan. Karenanya, sangat menarik untuk meneliti bagaimana overconfidence manajer ini memengaruhi keputusan investasi yang dibuat. Penelitian ini mengujikan dampak dari CEO overconfidence (kelebihan percaya diri) terhadap investasi perusahaan. Dalam dunia investasi yang nyata, asumsi rasionalitas dalam pegambilan keputusan tidak mudah untuk dipenuhi. Ada banyak jenis bias kognisi yang mungkin turut mewarnai proses pengambilan keputusan. Menurut Asri (2013), para pembuat keputusan keuangan korporasi tidak jarang memasukkan pula pertimbanganpertimbangan yang kadangkala tidak rasional dalam keputusan yang diambilnya. Ia juga menyebutkan bahwa seseorang seringkali melakukan tindakan berdasarkan intuisi yang relatif menyimpang dari asumsi rasionalitas. Selanjutnya, ia juga mengungkapkan bahwa bias kognisi di dalam pengambilan keputusan dapat disebabkan oleh banyak variabel perilaku, yang kemudian dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar, yakni (a) kelompok perilaku penyederhanaan proses pembuatan keputusan (heuristic) yang terdiri atas availability, hindsight, dan representativeness; (b) kelompok bias reaksi terhadap informasi yang terdiri atas overreaction, conservatism, anchoring dan adjustment serta confirmation bias; dan (c) kelompok bias pemahaman informasi dan penyesuaian diri yang terdiri atas excessive optimism, overconfidence, framing effect, dan mental acounting. Bias-bias tersebut dapat saja 5 menjangkiti manajer, sehingga bisa terjadi penyimpangan persepsi, penyimpangan judgement, interpretasi yang tidak logis, atau singkatnya irrasional (Asri, 2013). Pada dasarnya, keputusan perusahaan untuk berinvestasi di sebuah proyek investasi baru harus dibuat berdasarkan pada prinsip apakah proyek tersebut meningkatkan kekayaan pemilik (shareholder wealth). Di samping itu, penentuan set peluang investasi juga melibatkan proses. Memang beberapa kriteria digunakan dalam melakukan penilaian proyek investasi, misalnya kriteria Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), ataupun Payback Period (PP). Namun kriteria-kriteria tersebut tetap saja melibatkan proses subjektif misalnya dalam menetapkan proyeksi aliran kas masa depan yang diharapkan dihasilkan dari proyek itu dan dalam menentukan berapa tingkat diskonto yang sesuai. Karena penentuan aliran kas masa depan dan tingkat diskonto yang sesuai masih merupakan proses yang sifatnya subjektif, maka behavioural traits dari CEO yang membuat keputusan investasi tersebut tentunya memengaruhi proses ini. Chief Executive Officer (CEO) 1 memegang peran penting dalam menentukan banyak kebijakan perusahaan dan cukup beralasan dikatakan sebagai representasi perusahaan dihadapan para investor. Para pemegang saham menunjuk dewan komisaris 2 dalam upaya untuk melindungi nilai investasi mereka di perusahaan 1 Di Indonesia, istilah CEO sejajar dengan direktur utama. Penelitian ini menggunakan istilah CEO, direktur utama, ataupun manajer puncak, secara bergantian yang mengacu pada orang yang menduduki jabatan tertinggi dalam struktur organisasi perusahaan. 2 Terdapat perbedaan sistem board of directors yang ada di Indonesia dengan board of directors di Amerika. Sistem governance pada perusahaan-perusahaan di Indonesia adalah two-tier system, yakni terdiri atas dewan komisaris (board of commissioner) yang mengawasi dewan direksi dan dewan direksi/eksekutif yang menjalankan manajemen perusahaan, sebagai agen pemilik. Sementara itu di Amerika, sistem yang dianut adalah sistem one-tier dimana tidak terdapat satu dewan yaitu board of directors (BOD), jadi ketua (chaiman) dari BOD dapat merangkap sebagai ketua eksekutif perusahaan (CEO). Namun, sekarang sebagian besar perusahaan Amerika sudah memisahkan antara chairman of BOD dengan ketua eksekutif (CEO). Perbedaan lainnya adalah menyangkut proses pengambilan keputusan. Di Amerika, semua keputusan perusahaan berada di tangan dewan direksi. Sementara itu 6 tersebut dan untuk memonitor para eksekutif puncak perusahaan. Para CEO diharapkan dapat membuat kebijakan-kebijakan yang meningkatkan nilai perusahaan. Namun, keberadaan bias keperilakuan yang dialami oleh para manajer puncak dapat mendistorsi keputusan-keputusan perusahaan tersebut. Penelitian ini secara lebih spesifik akan membahas bias keperilakuan overconfidence di kalangan manajer puncak dan menguji dampaknya terhadap keputusan investasi perusahaan. Dari berbagai bias keperilakuan yang ada, penelitian ini lebih mengangkat overconfidence sebagai variabel keperilakuan yang memengaruhi keputusan investasi. Asri (2013) menyebutkan bahwa bias overconfidence akan memengaruhi perilaku perkiraan akan kinerja perusahaan di masa mendatang. Lebih jauh ia mengungkapkan bahwa overconfidence memengaruhi proses pemilihan investasi dari berbagai peluang investasi yang ada dan juga memengaruhi manajer ketika hendak melakukan penilaian investasi yakni bias overconfidence akan membuat manajer membuat proyeksi kinerja yang berlebihan (yang bias ke arah yang positif), misalnya proyeksi kemampuan perusahaan menghasilkan penjualan, kemampuan mencapai pertumbuhan yang tinggi, ataupun kemampuan perusahaan menekan biaya-biaya. Selain itu, Malmandier dan Tate (2005a; 2005b; 2008) juga menemukan bahwa overconfidence memengaruhi keputusan investasi, yakni jika dibandingkan dengan investasi yang dibuat oleh CEO yang non-overconfident, investasi yang dibuat oleh CEO yang overconfident adalah lebih peka terhadap arus kas. di Indonesia, ada beberapa keputusan yang kewenangannya tidak berada di tangan dewan direksi, misalnya: keputusan dividen ditentukan dalam RUPS (rapat umum pemegang saham), pergantian direksi ditentukan dalam RUPS, sedangkan keputusan investasi dan pendanaan masih berada di tangan dewan direksi. Dengan demikian, konteks kekuasaan dalam pengambilan keputusan di perusahaan-perusahaan Indonesia akan sedikit berbeda dengan kekuasaan dalam pengambilan keputusan di perusahaan-perusahaan Amerika. Perbedaan ini mungkin akan membawa dampak yang berbeda pula pada overconfidence para CEO-nya. 7 Studi yang dilakukan Fischhoff et al. (1977) mengenai kalibrasi probabilitas subyektif menemukan bahwa individu umumnya overconfident di mana mereka cenderung menilai-lebih (over-valued) ketepatan pengetahuan dan informasi yang mereka miliki. Dari beberapa studi juga terungkap bahwa profesional di berbagai bidang juga menunjukkan overconfidence dalam penilaian mereka, termasuk di antaranya para investment bankers (Staël Von Holstein, 1972), para profesional keuangan (Törngren dan Montgomery, 2004), para entrepreneur (Cooper et al., 1988), dan para manajer (Russo dan Schoemaker, 1992). Dari berbagai bias kognisi yang ada, penelitian ini lebih mengangkat efek bias overconfidence manajer puncak terhadap investasi. Overconfidence merupakan salah satu bentuk dari bias kognisi dalam pengambilan keputusan. Ada beberapa faktor yang mungkin menjelaskan mengapa para manajer diduga juga terlalu percaya diri (overconfident), khususnya dalam konteks keputusan investasi ataupun capital budgeting. Pertama, keputusan penganggaran modal atau keputusan investasi sangatlah kompleks dan seringkali melibatkan proyeksi aliran kas yang tidak pasti. Berdasarkan temuan Lichtenstein dan Fischhoff (1977) bahwa orang cenderung menjadi overconfident dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tingkat kesulitannya moderat sampai yang sulit sekali, maka dapat dikatakan bahwa orang biasanya overconfident bila terlibat dalam permasalahan kompleks seperti dalam konteks keputusan investasi. Stotz dan Nitzsch (2010) menyebutkan bahwa overconfidence sangat erat kaitannya dengan persepsi kendali (perception of control). CEO akan berani mengambil suatu keputusan investasi ketika ia merasa yakin bahwa ia mempunyai kontrol atas imbal hasil atas proyek investasi tersebut dan yakin bahwa ia dapat 8 mengatasi risiko yang mungkin muncul. Persepsi atas kendali ini timbul karena ia merasa mempunyai pengetahuan akan perusahaannya ataupun industri yang digeluti. Lebih jauh, Larrick et al. (2007) menemukan bahwa ketika dihadapkan pada tugas yang relatif sulit, tingkat overconfidence yang ditampilkan individu sangat berkorelasi dengan pemikiran individu tersebut bahwa dirinya lebih baik dari orang lain (better than average atau BTA). Karenanya, untuk tugas seperti itu, overconfidence dapat dipandang sebagai penilaian lebih (over valuation) atas kemampuan diri seseorang. Keterkaitan antara overconfidence dan persepsi kendali sangat konsisten dengan temuan studi March dan Shapira (1987). Mereka mengungkapkan bahwa para manajer cenderung percaya munculan (outcomes) proyek sangat bisa dikontrol dan proyek-proyek yang berada di bawah pengawasan mereka menjadi kurang berisiko (less risky) daripada kenyataannya. Larwood dan Whittaker (1977) menemukan bahwa para manajer cenderung menilai-lebih (overvalued) kemampuan mereka dalam mengarahkan proyek kepada kesuksesan, mendokumentasikan ilusi kontrol yang senada. Kedua, keputusan investasi ataupun capital budgeting kurang sesuai untuk proses pembelajaran. Proses pembelajaran akan lebih mungkin ketika masalah yang dihadapi adalah serupa, berulang, dan ada umpan-balik yang cepat dan jelas. Seperti yang diungkapkan oleh Kahneman dan Lovallo (1993, p. 18) bahwa pembelajaran terjadi “when closely similar problems are frequently encountered, especially if the outcomes of decisions are quickly known and provide unequivocal feedback.” Manajer jarang menghadapi keputusan investasi (apalagi yang fiturnya serupa), dan seringkali mengalami penundaan yang lama sebelum mengetahui hasil sebuah proyek, serta biasanya menerima umpan-balik yang kurang jelas. Manajer juga 9 sering mengalami kesulitan menolak gagasan bahwa setiap situasi keputusan investasi yang dihadapi adalah baru dan berbeda, yang memungkinkan mereka untuk mengabaikan umpan balik dari keputusan masa lalu sama sekali. Belajar dari pengalaman keputusan investasi yang pernah dibuat sangat tidak mungkin dalam situasi seperti ini. Ketiga, manajer yang tidak sukses tidak mungkin dipertahankan oleh perusahaan dan dipromosikan. Manajer yang sukses saja yang akan dipromosikan dan kesuksesan akan menambah kepercayaan diri mereka. Manajer yang sukses menjadi semakin overconfident karena adanya bias atribusi diri (self-attribution bias). Kebanyakan orang menilai-lebih bahwa dirinya penyebab kesuksesannya dan menganggap kegagalan itu karena faktor dari luar dirinya (Langer, 1975; Miller dan Ross, 1975). Bias atribusi diri menyebabkan manajer yang sukses menjadi semakin overconfident (Daniel et al., 1998; Gervais dan Odean, 2001). Keempat, manajer diyakini overconfident jika dibandingkan dengan populasi umum. Hal ini dikarenakan yang melamar pekerjaan sebagai manajer umumnya adalah orang yang overconfident dan optimis akan prospek dirinya sebagai manajer. Goel dan Thakor (2008) menunjukkan bahwa perusahaan mungkin saja secara endogen memilih dan mempromosikan manajer berdasar overconfidence, karena individu yang overconfident lebih cenderung mempunyai pengalaman memperoleh kesuksesan yang mungkin sangat ekstrim di masa lalu. Lebih jauh, manajer yang overconfident lebih mudah dimotivasi dibanding yang rasional dan karenanya merekrut manajer yang overconfident menjadi lebih menarik bagi perusahaan (Gervais dan Goldstein, 2007; Gervais et al., 2011). 10 Dalam literatur psikologi, fenomena overconfidence individu nampaknya merata dan banyak ditemukan (Weinstein, 1980). Orang lebih optimistik tentang munculan yang mereka percaya dapat mereka kontrol (Langer, 1975). Konsisten dengan hal ini, hasil survey yang dilakukan oleh March dan Shapira (1987) mengindikasikan bahwa para manajer menganggap remeh inherent uncertainty, percaya kalau mereka mempunyai kontrol yang besar atas kinerja perusahaan. Orang juga lebih optimistik tentang munculan di mana mereka sangat berkomitmen (Weinstein, 1980). Jermias (2006) misalnya melalui eksperimennya mengungkapkan bagaimana komitmen pada tindakan tertentu dapat mengarahkan pencarian informasi yang bias ke arah alternatif hasil yang diinginkan. Ia menunjukkan bahwa manajer berkomitmen pada suatu tindakan tertentu yang membuatnya menjadi overconfident, dan mengabaikan alternatif. Konsisten dengan temuan eksperimental ini, para manajer secara umum tampak berkomitmen pada kesuksesan perusahaan (kadangkadang mendefinisikan kesuksesan perusahaan), mungkin dikarenakan kekayaan, reputasi profesional, dan potensi employability dirinya sebagian atau bahkan sepenuhnya sangat tergantung pada kesuksesan perusahaan (Gilson, 1989). Keputusan investasi yang dilakukan oleh CEO perusahaan selama ini sangat dipengaruhi oleh ketersediaan dana internal. Bila kita merujuk pada teori tradisional yakni teori struktur modal, seharusnya keputusan investasi tersebut independen apakah didanai dengan pendanaan internal ataukah pendanaan eksternal. Namun, dari beberapa studi (misalnya Graham dan Harvey, 2001; Hovakimian dan Hovakimian, 2009; Malmendier dan Tate, 2005a; b; Sartono, 2002) terlihat bahwa keputusan investasi bergantung pada ketersedian dana internal. Dari studi-studi empiris tersebut terlihat bahwa arus kas mempunyai dampak pada aktivitas investasi, bahkan dampak 11 arus kas pada investasi tetap ada ketika peluang investasi perusahaan dikontrol. Apa yang menyebabkan fenomena keputusan investasi ini sangat dipengaruhi oleh arus kas, masih menjadi perdebatan baik dalam tataran teori maupun dalam tataran empirisnya. Ketergantungan keputusan investasi pada ketersediaan dana internal secara implisit menunjukkan bahwa status keterkendalaan pendanaan juga sangat berperan dalam keputusan investasi. Tentunya perusahaan yang menghadapi kendala pendanaan yang tinggi akan sulit merealisasikan rencana-rencana investasinya dan sulit untuk merealisasi peluang pertumbuhan yang tersedia. Pertanyaannya kemudian adalah apakah status kendala pendanaan akan membawa dampak yang berbeda pada keputusan investasi yang dibuat oleh CEO yang overconfident dengan keputusan investasi yang dibuat oleh CEO yang non-overconfident. Malmandier dan Tate (2005a) mengungkapkan jika perusahaan memiliki dana kas yang cukup ataupun kapasitas utang yang masih belum dimanfaatkan untuk mendanai semua proyek investasi yang diinginkan CEO, maka arus-kas (cash flows) mungkin tidak akan memengaruhi tingkat investasi. Namun, jika perusahaan harus mengakses pasar pendanaan eksternal (misalnya menambah ekuitas baru), maka overconfidence membawa dampak pada sensitivitas investasi-arus kas (Malmendier dan Tate, 2005a; b). Lin et al. (2005) menemukan bahwa di perusahaan-perusahaan Taiwan yang mengalami kendala pendanaan tinggi, CEO yang overconfident menunjukkan sensitivitas investasi-arus kas yang lebih tinggi daripada CEO yang nonoverconfident. Penelitian ini juga mempertimbangkan dampak keterkendalaan pendanaan terhadap sensitivitas investasi-arus kas yang mungkin ditunjukkan oleh CEO yang overconfident. 12 Di dalam model yang dikembangkan oleh Heaton (2002), yakni model yang melihat dampak overconfidence manajer terhadap berbagai aspek dalam keuangan perusahaan tanpa melibatkan asumsi agency cost maupun asumsi asimetri informasi, ada salah satu prediksinya bahwa overconfidence para manajer akan meningkatkan kepekaan investasi terhadap arus kas di bawah kepercayaan mereka bahwa pasar underestimate proyek-proyek perusahaannya dan dengan demikian biaya pendanaan eksternal terlalu tinggi. Manajer yang overconfident juga mempunyai perkiraan arus kas yang bias ke atas dan karenanya mereka sering menilai lebih peluang-peluang investasi perusahaannya. Konsisten dengan prediksi Heaton (2002) ini, beberapa peneliti menemukan bahwa karakteristik personal manajer, khususnya overconfidence, dapat mendistorsi keputusan-keputusan investasi perusahaan dan bahwa manajer yang overconfident menunjukkan sensitivitas investasi terhadap arus kas bebas yang secara signifikan lebih tinggi, khususnya untuk perusahaan yang pendanaannya bergantung pada ekuitas (Malmendier dan Tate, 2005a; b), atau untuk perusahaan yang lebih terkendala pendanaan (Lin et al., 2005). Masih terkait dengan keputusan investasi, CEO yang overconfident sering melakukan merjer yang menghancurkan nilai perusahaan dan membayar terlalu mahal perusahaan yang diakuisisi (Brown dan Sarma, 2007; Hayward dan Hambrick, 1997; Lin et al., 2008a; Malmendier dan Tate, 2008). Beberapa studi lain mencoba mengaitkan variabel overconfidence manajerial dengan variabel selain keputusan investasi. Beberapa studi terbaru misalnya mencatat bahwa manajer yang overconfident lebih suka pendanaan internal dari pada utang dan ekuitas (Lin et al., 2008b; Malmendier et al., 2007). Beberapa studi juga mengungkapkan overconfident CFO menggunakan discount rates yang lebih rendah 13 untuk menilai arus kas dan berinvestasi lebih, menggunakan lebih banyak utang, kurang suka membayar dividen, lebih cenderung untuk melakukan pembelian kembali saham (repurchase shares) dan menggunakan lebih banyak utang berjangka panjang daripada utang berjangka pendek (Ben-David et al., 2007). Selanjutnya dari studi sebelumnya ditemukan juga bahwa perusahaan dengan CEO yang overconfident sering menurunkan dividend payout (Deshmukh et al., 2009) atau lebih sedikit membayar dividen kas (Ben-David et al., 2007). Ada juga studi yang menemukan bahwa CEO yang overconfident lebih cenderung mengalami dipecat atau forced turnover (Campbell et al., 2011), cenderung menerbitkan ramalan earnings yang berupa point forecast daripada range forecast dan terlibat dalam earnings management (Hribar dan Yang, 2010; 2011); serta cenderung menampakkan optimistic bias dan karenanya lebih mungkin terdorong melakukan misstatements laporan keuangan (Schrand dan Zechman, 2012). Beberapa studi menemukan bahwa overconfidence dapat juga memberikan efek baik. Dari studi de la Rosa (2011) tentang dampak overconfidence pada incentive contracts dalam rerangka moral-hazard, ditemukan bahwa overconfidence dapat juga membawa dampak baik yakni berupa effort yang dikeluarkan manajemen menjadi lebih tinggi. Chen dan Li (2007) melihat dampak overconfidence para manajer pada hubungan prinsipal-agen dan berpendapat bahwa ketika ada insentif bagi agen dan biaya pengawasan prinsipal, maka tingkat effort optimal para manajer akan meningkat dengan semakin meningkatnya confidence mereka. Begitu juga Fairchild (2005), dalam papernya tentang kombinasi efek overconfidence manajerial, masalah informasi asimetri dan moral hazard pada keputusan pendanaan perusahaan, mengungkapkan bahwa overconfidence tak selamanya buruk bagi perusahaan. Dalam 14 model informasi asimetri Fairchild, efek overconfidence adalah buruk bagi nilai perusahaan karena manajer yang overconfident cenderung overestimate peluang keadaan baik, dan underestimate peluang pailit; akibatnya mendorong manajer untuk menggunakan utang secara berlebihan yang dapat menaikkan tekanan finansial dan menurunkan welfare pemegang saham. Namun dalam model moral hazard Fairchild (2005), diungkapkan juga bahwa overconfidence manajer dapat mempunyai efek mendua pada nilai perusahaan—yakni di satu sisi dapat mengurangi management risk-aversion dan menurunkan agency costs; namun di sisi lain dapat mengarah pada lebih banyak debt financing dan meningkatnya financial risk. Prediksi senada juga ditawarkan oleh Hackbarth. Berfokus pada perspektif keperilakuan dan analisis masalah underinvestment, Hackbarth (2009) menemukan bahwa overconfidence manajerial dapat memberikan peran positif bagi perusahaan karena bekerjanya dua efek ekonomi yang saling menyeimbang. Pertama, manajer yang overconfident lebih memilih tingkat utang yang lebih tinggi daripada manajer yang rasional, akibatnya memperburuk masalah underinvestment. Kedua, manajer yang overconfident berinvestasi lebih awal daripada manajer yang rasional, akibatnya meringankan masalah underinvestment. Efek yang kedua akan mendominasi efek yang pertama khusus hanya bagi manajer yang mempunyai tingkat overconfidence yang ringan (mild biases). Dengan overconfidence ringan, debt overhang agency costs menurun dan kesejahteraan investor meningkat. Poin penting yang disampaikan Hackbarth adalah terkait agency-theoretic observation bahwa mildly biased managers dapat mengatasi konflik bondholder–shareholder 15 (yakni misalnya debt overhang 3, substitusi aset, ataupun asset stripping 4). Secara intuitif, overconfidence dapat bertindak sebagai alat komitmen untuk penerapan second-best strategies dari levered firm yang lebih dekat ke first-best real option exercise strategies. Dalam melaksanakan investasi, tentunya perusahaan memerlukan kapital atau dana. Kapital dapat berasal dari sumber-sumber eksternal perusahaan maupun dari sumber internal perusahaan. Sumber-sumber dana tersebut mungkin saja mudah diakses oleh perusahaan dan mungkin pula susah untuk memperolehnya. Kesulitan yang dihadapi perusahaan untuk memperoleh dana dari sumber-sumber tersebut mencerminkan kendala pendanaan yang dihadapi perusahaan. Perilaku pengambil keputusan (dalam hal ini CEO) dalam memutuskan melakukan investasi tidak hanya ditentukan oleh faktor personal pembuat keputusan (misalnya overconfidence), tetapi juga faktor situasional (misalnya keadaan kendala pendanaan yang dihadapi perusahaan). Malmendier dan Tate (2005a) mengungkapkan bahwa keputusan investasi yang dibuat oleh CEO yang overconfident adalah jauh lebih sensitif 3 Debt overhang menunjukkan beban utang yang terlalu besar yang membuat perusahaan tidak dapat mengambil tambahan utang untuk membiayai proyek-proyek di masa depan, meskipun proyek itu berNPV positif atau cukup menguntungkan dan memungkinkan perusahaan mengurangi beban utangnya dari waktu ke waktu. Debt overhang juga menghalangi investasi saat ini, karena semua earnings yang dihasilkan dari proyek baru hanya akan mengalir kepada debt holders, menyisakan sedikit insentif bagi perusahaan untuk bisa keluar dari lubang utang. 4 Asset striping merupakan proses pembelian perusahaan yang undervalued dengan maksud untuk menjualnya demi keuntungan. Aset individual dari sebuah perusahaan, seperti equipment dan property, mungkin lebih bernilai daripada perusahaan sebagai satu kesatuan – mungkin karena faktorfaktor seperti managemen yang buruk atau kondisi ekonomi yang buruk dan sebagainya. Sebagai contoh, misalkan ada satu perusahaan X dengan tiga unit bisnis yang berbeda: hotel, golf clubs dan pabrik garmen. Jika nilai perusahaan itu sekarang dinilai US$100 juta tapi perusahaan lain (Y) percaya bahwa mereka dapat menjual tiga unit bisnis tersebut masing-masing seharga USD$50 juta, maka kita dapat mengatakan ada peluang asset strippings. Perusahaan Y kemudian akan membeli ketiga unit bisnis perusahaan X seharga US$100 juta dan kemudian menjual semua masing-masing unit bisnis itu secara individual, perusahaan Y memperoleh potensi keuntungan US$50 juta. 16 terhadap arus kas daripada keputusan investasi yang buat oleh CEO yang nonoverconfident, terlebih lagi jika perusahaan yang dipimpinnya mengalami kendala pendanaan yang tinggi. 1.2. Perumusan Masalah Studi tentang distorsi keputusan investasi (secara lebih spesifik, sensitivitas investasi terhadap arus kas) dalam penelitian ini didasari pada pandangan bahwa distorsi tersebut dapat dijelaskan dari teori keperilakuan (yakni teori overconfidence manajerial). Asumsi dasarnya adalah bahwa manajer pada umumnya overconfident. Penelitian ini diarahkan untuk menguji hipotesis overconfidence bahwa bias keperilakuan manajer puncak (yakni overconfidence) dapat menyebabkan keputusan investasi perusahaan menjadi terdistorsi yakni menjadi sangat tergantung atau sensitif terhadap ketersediaan arus kas. Dari beberapa penelitian sebelumnya yang berupaya menjelaskan perdebatan sensitivitas investasi-arus kas telah ditemukan bahwa bias keperilakuan manajer dapat menyebabkan terjadinya distorsi atas keputusan investasi pada perusahaan-perusahaan di Amerika (Malmendier dan Tate, 2005a; b), di Taiwan (Lin et al., 2005), dan di Australia (Brown dan Sarma, 2007). Penelitian ini mencoba memberikan penjelasan terhadap fenomena sensitivitas investasi-arus kas yang terjadi di Indonesia dengan bersandar pada teori ataupun bukti-bukti empiris yang memandang bahwa sensitivitas itu didorong oleh adanya overconfidence manajer. Selanjutnya, berdasarkan penelitian terdahulu (misalnya Lin et al., 2005; Malmendier dan Tate, 2005a; b) diketahui bahwa kendala pendanaan juga memengaruhi keputusan investasi, penelitian ini juga mengkaji dampak faktor 17 kendala pendanaan yang dihadapi perusahaan terhadap sensitivitas investasi-arus kas yang ditunjukkan oleh CEO yang overconfident. Penelitian ini mengkaji beberapa masalah berikut: 1. Apakah arus kas berpengaruh terhadap keputusan investasi perusahaan? 2. Apakah overconfidence CEO mempunyai pengaruh terhadap investasi perusahaan? 3. Apakah overconfidence CEO mempunyai pengaruh terhadap hubungan antara arus-kas dengan investasi perusahaan? 4. Apakah terdapat perbedaan pengaruh overconfidence CEO pada sensitivitas investasi-arus kas antara perusahaan yang terkendala pendanaan tinggi dengan perusahaan yang terkendala pendanaan rendah? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, maka penelitian ini diarahkan pada beberapa tujuan berikut ini: 1. Menguji pengaruh arus kas terhadap keputusan investasi perusahaan. 2. Menguji pengaruh CEO overconfidence terhadap keputusan investasi perusahaan. 3. Menguji efek CEO overconfidence terhadap hubungan antara arus kas dengan investasi (atau sensitivitas investasi-arus kas) perusahaan. 4. Menguji perbedaan pengaruh CEO overconfidence pada sensitivitas investasiarus kas antara perusahaan yang mempunyai kendala pendanaan tinggi dengan perusahaan yang mempunyai kendala pendanaan rendah. 18 1.4. Keaslian Penelitian Ada beberapa perbedaan yang mengindikasikan keaslian ide penelitian ini, dari penelitian serupa di Indonesia. Perbedaan pertama terkait dengan tujuan dan hipotesis utama penelitian. Tidak seperti penelitian terdahulu yang hanya mendeteksi dan menguji sensitivitas investasi-arus kas dari sudut pandang asimetri informasi dan agency cost (misalnya Hermeindito, 2004), penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sensitivitas investasi terhadap arus kas pada perusahaan-perusahaan publik di Indonesia namun dengan mempertimbangkan keberadaan dan dampak bias kognitif manajer (yakni overconfidence) dan juga dengan melibatkan peran posisi keterkendalaan pendanaan yang kemungkinan mempunyai dampak terhadap efek overconfidence pada sensitivitas investasi-arus kas. Posisi keterkendalaan pendanaan diduga memoderasi efek overconfidence CEO pada sensitivitas investasi-arus kas. Meskipun studi empiris tentang peran posisi keterkendalaan pendanaan yang dihadapi perusahaan pada efek overconfidence terhadap sensitivitas investasi-arus kas sudah pernah dilakukan yakni oleh Lin et al. (2005) pada perusahaan-perusahaan di Taiwan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan bukti empiris namun untuk perusahaan di Indonesia. Dari studi empiris Hermeindito (2004) mengenai sensitivitas investasi terhadap ketersediaan modal internal diketahui bahwa posisi keterkendalaan pendanaan yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia memengaruhi perbedaan sensitivitas investasi-modal internal. Lin et al. (2005) menemukan bahwa dalam perusahaan yang lebih terkendala pendanaan, manajer yang optimistik menunjukkan sensitivitas investasi-arus kas yang lebih besar daripada manajer yang non-optimistik. 19 Perbedaan kedua, adalah terkait dengan setting penelitian. Sejauh penelusuran yang dilakukan penulis, penelitian tentang dampak bias-bias keperilakuan manajer terhadap keputusan investasi memang telah dilakukan di beberapa negara maju, seperti Amerika (Malmendier et al., 2010; Malmendier dan Tate, 2005a; b; 2008), Australia (misalnya Brown dan Sarma, 2007), serta di beberapa emerging economic seperti Taiwan (Lin et al., 2005), China (Ye dan Yuan, 2008), namun belum ada riset empiris di Indonesia yang mencoba mengkaji efek overconfidence manajer terhadap keputusan investasi perusahaan. Memang, bias overconfidence dapat menjangkiti siapa saja, baik itu seseorang yang berasal dari negara maju ataupun yang berasal dari negara berkembang. Walaupun demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti empiris tentang hipotesis overconfidence di Indonesia. Penelitian sebelumnya di Indonesia yang terkait dengan keputusan investasi adalah menguji tentang sensitivitas investasi-modal internal dan leverage (misalnya, Hermeindito, 2004) dan lebih banyak berangkat dari paradigma asimetri informasi ataupun paradigma teori keagenan. Penelitian ini lebih fokus pada paradigma keperilakuan bahwa bias-bias keperilakuan manajer dapat menjelaskan distorsi keputusan investasi perusahaan sehingga tercipta sensitivitas investasi-arus kas. 1.5. Motivasi Penelitian Penelitian tentang kepekaan keputusan investasi terhadap arus kas di Indonesia pernah dilakukan oleh beberapa peneliti, misalnya Hermeindito (2004) dan Sartono (2002). Penelitian terdahulu tersebut lebih banyak berangkat dari teori 20 asimetri informasi dan teori keagenan, sementara penelitian ini berangkat dari teori keuangan keprilakuan (khususnya bias overconfidence). Peran bias overconfidence manajer dalam keputusan investasi perusahaan belum diteliti secara mendalam di Indonesia. Penelitian empiris mengenai keputusan investasi di Indonesia lebih banyak mengangkat perdebatan informasi asimetri dan kontrol manajemen. Beberapa penelitian empiris sebelumnya tentang keputusan investasi perusahaan dalam rerangka asimetri informasi pernah dilakukan oleh Wibowo dan Erkaningrum (2002), serta Hermeindito (2003). Sartono (2001) melakukan survey mengenai persepsi manajer dalam membuat keputusan pendanaan dan menemukan bahwa perilaku manajer mengikuti konsep informasi asimetri sesuai pecking order theory. Sartono (2002) juga meneliti pengaruh aliran kas terhadap investasi dan menemukan pula bahwa teori urutan pematukan modal lebih mampu menjelaskan fenomena yang terjadi di Indonesia daripada kontrol manajemen dalam teori keagenan. Banyak riset yang sudah ada di bidang keuangan keperilakuan berfokus pada bias-bias psikologi yang memengaruhi investor dalam pasar keuangan. Khusus untuk bias overconfidence di Indonesia pernah diujikan oleh Kufepaksi (2007) namun lebih fokus pada keputusan investasi investor individu. Thaler (1999) mengharapkan ada peningkatan riset di bidang keuangan perusahaan keperilakuan (yakni peningkatan pemahaman dampak bias-bias psikologi manajerial). Sejak itu, beberapa langkah besar telah dilakukan oleh para peneliti dalam memodelkan dampak bias-bias psikologi manajerial, khususnya overconfidence manajerial, pada keputusan keuangan perusahaan. Beberapa peneliti misalnya Heaton (2002), Hackbarth (2008), dan Fairchild (2005), telah memodelkan efek bias overconfidence manajerial pada 21 berbagai keputusan keuangan perusahaan, dan mengembangkan beberapa prediksi yang dapat diujikan lebih lanjut pada studi empiris. Memang riset-riset empiris tentang keuangan perusahaan keprilakuan telah dilakukan di negara-negara maju, dan perhatian peneliti juga mulai terarah ke negara-negara di Asia seperti China dan Taiwan. Meskipun penelitian tentang efek overconfidence manajer pada keputusan investasi perusahaan baru-baru ini telah mulai dilakukan di negara berkembang seperti China (Ye dan Yuan, 2008) ataupun Taiwan (Lin et al., 2005; 2008b), penelitian serupa belum ada di Indonesia dan masih perlu dilakukan karena sejumlah alasan. Pertama, Indonesia sebagai salah satu negara di Asia merupakan tempat yang menarik untuk studi behavioral finance karena perbedaan tingkatan kapitalisasi dan pengalaman financial market dari para partisipannya. Negara-negara seperti Cina memang telah menarik perhatian banyak peneliti karena perubahan dari ekonomi sosialis ke kapitalis dan menjadi mempunyai ekonomi yang sangat besar dalam waktu yang tidak begitu lama. Sementara negara lain seperti Jepang mempunyai ekonomi dan financial market yang sangat besar untuk waktu yang lebih lama. Dengan demikian ada variasi dalam pengetahuan dan pengalaman di masing-masing negara Asia nampaknya mempunyai peran dalam menjelaskan variasi dalam pengambilan keputusan ekonomi, Asia tempat yang subur untuk riset behavioral finance. Peluang yang sama pun masih terbuka luas bagi penelitian di Indonesia. Kedua, di samping itu, ada alasan untuk percaya bahwa orang Asia (termasuk Indonesia) pada umumnya mengalami bias kognitif yang lebih besar daripada orang-orang barat. Secara teori, para pakar ilmu sosial dan psikologi berpandangan bahwa budaya dapat memupuk dan memelihara tendensi ke arah behavioral biases pada tingkatan yang berbeda-beda (Yates et al., 1989). Menurut 22 Hofstede, perbedaan budaya dapat diekspresikan dalam suatu individualism– collectivism continuum. Budaya Asia cenderung berdasarkan paradigma kolektifitas. Dipercaya bahwa masyarakat yang berorientasi kolektifitas dapat menyebabkan individu menjadi terlalu percaya diri (overconfident). Overconfidence merupakan salah satu bentuk behavioral bias. Perbedaan budaya dalam pengalaman hidup dan pendidikan bisa menyebabkan perbedaan dalam perilaku. Beberapa bukti empiris yang ada menunjukkan bahwa orang yang dibesarkan di budaya Asia menampakkan lebih banyak bias-bias keperilakuan (behavioral biases) daripada orang yang dibesarkan di budaya Amerika (Yates et al., 1998; Yates et al., 1997). 1.6. Kontribusi Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi teoritis dan empiris berupa hipotesis overconfidence manajer atas hubungan positif antara investasi dengan arus kas pada perusahaan-perusahaan di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan memberikan memberikan bukti empiris atas perbedaan pengaruh overconfidence terhadap sensitivitas investasi-arus kas antara perusahaan yang terkendala pendanaan tinggi dengan terkendala pendanaan rendah. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti tambahan bahwa pada perusahaan yang mengalami keterkendalaan pendanaan di Indonesia, manajer yang overconfident cenderung menunjukkan sensitivitas investasi-arus kas yang lebih tinggi daripada manajer yang tidak overconfident. 23