BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman selasih (Ocimum basilicum L. forma violaceum Back.) merupakan salah satu tanaman yang dapat tumbuh di daerah subtropis hingga tropis, termasuk Indonesia dengan iklim tropisnya. Selasih dapat ditemukan di tempat lembab dan teduh di dataran rendah sampai ketinggian 450 mdpl. (van Steenis dkk., 1975). Selasih tersebar di seluruh kepulauan di Indonesia (terutama Sumbawa), bahkan di Asia, Eropa dan Amerika Selatan (Backer & van den Brink, 1965). Jenis tanaman ini telah banyak digunakan dalam pengobatan tradisional. Biji selasih dapat digunakan untuk pengobatan ambeien, radang lambung, perut nyeri, sariawan, malaria, dan kencing nanah. Daun selasih dapat digunakan untuk mengobati encok, demam, sakit kepala, peluruh haid, peluruh air susu ibu, obat nyeri lambung, obat gangguan pencernaan, dan obat reumatik (Wijayakusuma dkk., 1993). Selain itu, oleh masyarakat khususnya di Indonesia, bunga selasih seringkali digunakan sebagai bunga ziarah makam (Pitojo, 1996). Seluruh bagian tanaman yang berada di atas permukaan tanah mengandung minyak atsiri, flavonoid dan saponin (Wijayakusuma dkk., 1993). Penggunaan selasih sebagai tanaman obat semakin meningkat, tetapi selama ini tidak disertai dengan budidaya yang baik. Persebaran tanaman selasih yang luas menyebabkan variasi kandungan senyawa dalam tiap wilayah tergantung letak geografis dan iklim (Colegate & Molyneux, 1993). Budidaya tanaman 1 2 selasih secara konvensional dapat dilakukan dengan menanam biji, tetapi hal tersebut memerlukan waktu yang cukup lama dan dapat menghasilkan metabolit sekunder yang belum tentu seragam. Oleh karena itu perlu dilakukan teknik budidaya in vitro dengan metode kultur jaringan tanaman (KJT). Dengan metode tersebut, waktu yang dibutuhkan untuk budidaya dapat dilakukan lebih singkat dan pengaruh eksternal dari lingkungan seperti iklim, hama dan penyakit tanaman terhadap metabolit sekunder dalam tanaman dapat diminimalisasi. Selain itu, hasil metabolit tersebut dapat ditingkatkan dengan memanipulasi media yang digunakan (Soeryowinoto, 1985). Salah satu metode budidaya in vitro dengan KJT adalah melalui kultur kalus. Kalus merupakan massa sel yang aktivitas pembelahannya tidak terkendali dan belum terdiferensiasi sebagai akibat proses pelukaan. Dalam hal ini, tujuan kultur kalus untuk menghasilkan metabolit sekunder yang diinginkan dalam waktu singkat dan uji aktivitas senyawa bioaktifnya (Santoso & Nursandi, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Astuti (2004) tentang kultur kalus daun kemangi (Ocimum basilicum L.), Garluci (2010) dan Rahmawati (2010) tentang kultur kalus daun Ocimum gratissimum forma caryophyllatum Back. menyebutkan bahwa penggunaan zat pengatur tumbuh 2,4 D sebanyak 1 ppm dapat menghasilkan kalus yang baik. Keberhasilan kultur kalus dalam upaya peningkatan produksi metabolit sekunder dapat ditunjang dengan penambahan elisitor. Metil jasmonat (MeJA) di dalam sel tumbuhan merupakan salah satu senyawa yang berperan dalam pembentukan metabolit sekunder. Penambahan MeJA dalam kultur kalus dapat 3 meningkatkan berbagai hasil metabolit, seperti terpenoid, flavonoid, alkaloid dan fenilpropanoid serta berbagai metabolit sekunder yang lainnya (Zhao dkk., 2005). Penggunaan MeJA di dalam penelitian Kim dkk. (2006), kadar eugenol dan linalool pada daun Ocimum basilicum L dapat ditingkatkan sebesar 56 dan 43% setelah disemprot MeJA sebanyak 0,5 mM, selain itu aktivitas antioksidan senyawa fenolik total (asam rosmarinat, asam kafeat dan eugenol) meningkat sebesar 2,3 kali dibandingkan dengan BHT sebagai kontrol setelah perlakuan selama 4 hari dan. Mizukami dkk. (1993) telah melakukan studi tentang elisitasi MeJA dengan hasil penambahan MeJA sebesar 100 µmol/L terhadap kultur suspensi sel kalus Lithospermum erythrorhizon dapat meningkatkan kadar asam rosmarinat sebesar 0,22% setelah inkubasi selama 48-72 jam (2-3 hari). Menurut Arnida (2005), ekstrak etanol herba selasih dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia Coli dan Staphylococcus aureus dengan KBM berturut- turut 32% b/v dan 16% b/v. Salah satu metode untuk menguji aktivitas antibakteri suatu senyawa dalam ekstrak dapat dilakukan dengan metode bioautografi. Adanya aktivitas antibakteri ditunjukkan dengan daerah yang jernih di sekitar bercak pada pelat Kromatografi Lapis Tipis (KLT) sehingga dapat diketahui secara kualitatif golongan senyawa yang memiliki aktivitas antibakteri. Berdasarkan metode ini, nantinya dapat dilakukan isolasi terhadap senyawa yang memiliki aktivitas antibakteri (Pratiwi, 2008). 4 B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas maka dirumuskan 3 masalah, yaitu: 1. Bagaimana pengaruh penambahan MeJA terhadap kalus daun selasih? 2. Bagaimana pengaruh penambahan MeJA terhadap profil KLT ekstrak etanol kalus daun selasih? 3. Bagaimana aktivitas antibakteri ekstrak etanol kalus daun selasih yang diinduksi dengan MeJA terhadap bakteri E. coli dan S. aureus dengan metode bioautografi? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini, yaitu: 1. Mengetahui pengaruh penambahan MeJA terhadap kalus daun selasih. 2. Mengetahui pengaruh penambahan MeJA terhadap profil KLT ekstrak etanol kalus daun selasih. 3. Mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak etanol kalus daun selasih yang diinduksi MeJA terhadap bakteri Eschericia coli dan Staphylococcus aureus dengan metode bioautografi. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk menghasilkan kalus daun selasih dan diharapkan dapat menjadi salah satu upaya pembentukan metabolit sekundernya dengan penambahan MeJA dalam kultur terkait aktivitas antibakteri dengan 5 metode bioautografi. Dalam jangka panjang diharapkan hasil penelitian ini dapat dikembangkan untuk menghasilkan bibit unggul selasih. E. Tinjauan Pustaka 1. Uraian tentang tanaman a. Nama daerah Sumatera: selaseh, selasi (Melayu); Jawa: solasih (Sunda), selasih, telasih (Jawa); Sulawesi: amping, kukuru (Minahasa) (Syamsuhidayat & Hutapea, 1991; Anonim, 1986) b. Kedudukan taksa selasih dalam sistematika tumbuhan: divisi : Spermatophyta anak divisi : Angiospermae kelas : Dicotyledonae bangsa : Solanales suku : Lamiaceae marga : Ocimum jenis : Ocimum basilicum L. forma violaceum Back. Gambar 1. Tanaman selasih (Backer & van den Brink, 1965) c. Deskripsi tanaman Selasih merupakan jenis tanaman berbatang basah, tegak dan baunya sangat harum, tinggi tanaman mencapai 0,6 m, batang seringkali berwarna keunguan. Helaian daun tunggal letak berhadapan, bentuk helaian daun bulat telur, bulat telur memanjang atau elips, pangkal runcing, tepi 6 bergerigi, ujung runcing, panjang daun 3,5-7,5 cm, lebar 1,5-2,5 cm, tulang daun menyirip, helaian daun berbintik-bintik mirip dengan kelenjar pada permukaan bawah, warna hijau tua dengan semburat ungu, panjang tangkai daun 0,5-2 cm. Bunga majemuk vertisilaster (berkarang), berbunga 6 yang tersusun dalam tandan, kelopak berbentuk tabung, ujung tabung terbagi menjadi 5 lobus (gigi), sisi luar berambut, sisi dalam bagian bawah berambut rapat, lebih kurang 0,5 cm panjangnya, gigi belakang jorong sampai bulat telur terbalik, dengan tepi mengecil sepanjang tabung. Tangkai bunga pendek, dasar bunga tegak kemudian tertekan sumbu karangan bunga, ujung kelopak melingkar membentuk kait, posisi tabung kelopak miring ke bawah, warna kelopak ungu. Mahkota bunga berwarna putih, panjang 6-9 mm, berbentuk tabung. Buah sejati pecah, berbelah empat (tetrachenium), biji banyak, keras, cokelat tua, gundul, bila dimasukkan dalam air akan membengkak (Backer & van den Brink, 1965; van Steenis dkk., 1975). d. Kandungan kimia Seluruh herba selasih, termasuk daun, mengandung minyak atsiri, flavonoid dan saponin. Bau adas yang dihasilkan oleh selasih merupakan minyak atsiri yang sebagian besar terdiri atas metil kavikol (Heyne, 1987). Menurut Maryati dkk. (2007), tanaman jenis Ocimum basilicum L. memiliki kandungan minyak atsiri yang terdiri atas hidrokarbon, alkohol, ester, fenol (eugenol 1-19 %, iso-eugenol), eter fenolat (metil kavikol 331%, metil eugenol 1-9%), oksida, dan keton. Wijayakusuma dkk. (1993) 7 juga menyebutkan kandungan minyak atsiri tanaman jenis Ocimum basilicum L. terdiri atas osimen, α-pinen, 1,8-sineol, eukaliptol, linalool, geraniol, limonen, metil kavikol, eugenol, metil eugenol, anetol, metil sinamat, dan furfural. e. Kegunaan tanaman Secara empirik daun selasih digunakan untuk mengobati demam, sakit kepala, nyeri lambung, gangguan pencernaan, diare, radang usus, haid tidak teratur (peluruh haid), luka terpukul, dan reumatik. Biji selasih digunakan untuk mengobati radang mata, bercak putih pada selaput bening mata. Pemakaian luar biji selasih digunakan untuk gigitan ular dan serangga dan koreng (Wijayakusuma, 1993). Selain itu, biji selasih memiliki khasiat sebagai penyegar, mengobati kencing berdarah dan bernanah (Heyne, 1987). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Istimuyasaroh dkk. (2009), minyak hasil destilasi selasih dapat digunakan sebagai larvasida terhadap larva nyamuk Anopheles aconitus yang menyebabkan mortalitas dengan konsentrasi 5,01% v/v dan konsentrasi 0,9% v/v efektif menurunkan pertumbuhan larva. Ekstrak kental hasil infundasi tanaman selasih dapat menghambat pertumbuhan bakteri Pseudomonas aeruginosa (ATCC 15692) dengan KHM sebesar 348 g/ml (Huerta dkk., 2008). 2. Kultur jaringan tanaman Kultur jaringan tanaman (KJT) merupakan metode ilmiah yang digunakan untuk menumbuhkan sel, jaringan atau organ tanaman asal dalam 8 media yang sesuai (George, 2008). Kultur jaringan atau budidaya in vitro merupakan suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, jaringan atau organ yang berada dalam kondisi steril, ditumbuhkan pada media pertumbuhan buatan yang steril, dalam botol kultur yang steril dan dengan teknik penanaman aseptik. Teori totipotensi sel menjadi dasar dalam pengembangan teknik kultur jaringan tanaman, teori tersebut menyebutkan bahwa setiap sel maupun jaringan dapat berkembang biak dan regenerasi menjadi tanaman lengkap apabila dikulturkan pada media yang sesuai (George, 1993). Berdasarkan teori tersebut, maka sel atau jaringan yang diinokulasikan dalam media akan memiliki kemampuan untuk meregenerasi bagian- bagian tertentu hingga dapat membentuk tumbuhan yang utuh (Wetherell, 1982). Kultur jaringan tanaman dapat digunakan untuk menghasilkan tanaman baru dalam jumlah banyak dalam waktu yang relatif singkat (Hendaryono & Wijayani, 1994). Selain sebagai upaya mikropropagasi, KJT juga bertujuan untuk memperoleh metabolit sekunder dalam waktu relatif singkat atau untuk uji aktivitas senyawa bioaktif (Santoso & Nursandi, 2002). Staba (1980) menyebutkan bahwa dengan kultur jaringan tanaman, faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman dapat dikendalikan termasuk faktor cahaya, suhu, pH dan nutrisi, organisme pengganggu seperti: jamur, ganggang, bakteri dan serangga dapat dihindari bahkan dihilangkan pengaruhnya, serta produksi metabolit sekunder dapat diatur dengan memanipulasi gen atau perbaikan gen tanaman tersebut. Teknik KJT dibagi 9 menjadi lima kelas berdasarkan jenis bahan awal yang digunakan, yaitu: kultur kalus, kultur sel, kultur organ, kultur meristem dan kultur protoplas (Gamborg & Shyluk, 1981). Kultur kalus merupakan salah satu metode dalam kultur jaringan tanaman untuk menumbuhkan dan mengelola massa sel yang tidak beraturan. Tumbuhnya massa sel tersebut akibat pertumbuhan jaringan tanaman yang dilukai menjadi sel yang terus membelah dan membesar. Kalus dapat diinduksi dengan pelukaan terhadap jaringan tanaman yang kemudian diinokulasikan pada media pertumbuhan yang sesuai. Sel kemudian menjadi aktif membelah dengan adanya rangsangan dari fitohormon maupun zat pengatur tumbuh yang ditambahkan dalam media pertumbuhan. Diferensiasi dan spesialisasi sel yang biasa terjadi dalam tumbuhan dapat terjadi kembali dan eksplan dapat tumbuh menjadi suatu jaringan baru yang tersusun atas selsel yang bersifat meristematik (selalu membelah) dan tidak terspesialisasi (George, 2008). Terbentuknya kalus dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: a. Media Media yang umum digunakan dalam kultur jaringa tanaman adalah Media Murashige-Skoog (MS). Media MS mengandung persenyawaan garam amonium dan nitrat dalam jumlah yang tinggi, keduanya dibutuhkan dalam proses regenerasi. Selain itu, media MS juga banyak mengandung unsur kalium (Dixon, 1985; George, 1993). 10 Menurut Dixon (1985), terdapat 6 kelompok komponen media yang digunakan untuk kultur kalus, yaitu: unsur anorganik makro, unsur anorganik mikro, sumber besi, suplemen organik (vitamin), sumber karbon, dan zat pengatur tumbuh. Unsur anorganik makro merupakan unsur yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang banyak, antara lain: N, K, S yang merupakan anion dan P, Ca, Mg yang merupakan kation. Sedangkan unsur anorganik mikro merupakan unsur yang dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit. Unsur anorganik mikro meliputi: Fe, Mn, Zn, B, Cu dan Mo (Santosa & Nursandi, 2002). Unsur mineral anorganik terutama unsur anorganik makro sangat dibutuhkan oleh tanaman dengan masing- masing fungsinya untuk kehidupan tanaman tersebut. Sebagai contoh Ca (kalsium) dibutuhkan tanaman sebagai komponen pembentuk dinding sel, N (nitrogen) merupakan komponen utama dari asam amino, protein, asam nukleat serta vitamin dan magnesium sebagai bagian dari molekul klorofil (Chawla, 2002). Kalium (K) dibutuhkan tanaman dalam pengaturan potensial osmotik, fosfor (P) berperan dalam proses transfer energi, penyusun asam nukleat, berperan dalam proses respirasi dan fotosintesis. Sedangkan sulfur merupakan komponen dari asam amino metionin dan sistein serta beberapa kofaktor enzim (Slater dkk., 2008). Sebagai unsur anorganik mikro, Fe (besi) diberikan dalam bentuk sulfat. Bentuk sitrat dari besi juga dapat digunakan. Dalam besi sulfat biasanya digunakan etilen diamin tetra asetat (EDTA) sebagai pembentuk 11 komplek. Terdapat agen pembentuk komplek selain EDTA, yaitu: EGTA (etilen glikol-bis(2-amino etil eter) tetra asetat), EDDHA (etilen diamindi(o-hidroksi fenil) asetat, DTPA (dietilen triamin penta asetat) dan DHPT (1,3-diamino-2-hidroksi propan tetra asetat) (George & de Klerk, 2008). Pembentukan komplek bertujuan untuk pelepasan lambat dan berkesinambungan dari unsur besi dalam media. Sumber besi yang tidak dibuat dalam bentuk komplek akan megendap sebagai feri oksida (Slater dkk. 2008). Sumber besi berperan untuk menjaga kestabilan pH dalam media. Mn (Mangaan) merupakan metalloprotein yang berperan dalam proses respirasi dan fotosintesis. Mn dibutuhkan dalam aktivitas berbagai enzim seperti dekarboksilase, dehidrogenase, kinase dan oksigenase serta superoksida dismutase. Mn dibutuhkan dalam pembentukan kloroplas dan berperan penting dalam reaksi redoks. Akan tetapi Mn dalam jumlah yang besar dapat menjadi toksik bagi tanaman (George & de Klerk, 2008). Kekurangan seng (Zn) dalam tanaman menyebabkan penurunan aktivitas enzim, terhambatnya pembentukan protein serta penurunan sintesis asam nukleat dan klorofil. Pembentukan klorofil terhambat apabila terjadi defisiensi Zn dan Mo (Molybdenum) sehingga hanya sedikit klorofil yang disintesis. Cu (Copper) atau tembaga merupakan unsur anorganik mikro yang terdapat dalam enzim, berperan dalam pengikatan maupun reaksi dengan oksigen. Seperti dalam sistem enzim sitokrom oksidase, Cu bertanggung jawab dalam respirasi oksidatif dan dismutase superoksida. Cu juga berperan dalam pembentukan warna pada tanaman. 12 Komponen yang lainnya dari unsur anorganik mikro adalah Bo (Boron). Boron terlibat dalam integritas membran yang berkaitan dengan keutuhan dinding sel dan pembentukan protein membran (George & de Klerk, 2008). Penggunaan tiamin sebagai sumber vitamin dan myo-inositol diketahui dapat meningkatkan pertumbuhan yang lebih baik. Asam amino seperti glisin, arginin, asam aspartat, alanin, asam glutamat dan prolin merupakan viatmin yang dapat digunakan selain tiamin (Slater dkk., 2008). Myoinositol yang digunakan bersamaan dengan auksin, kinetin dan vitamin dapat mendorong pertumbuhan jaringan kalus (Hendaryono & Wijayani, 1994). Jenis vitamin lain yang dapat digunakan dalam media kultur antara lain p-amino-benzeic acid, folat, choline, chloride, riboflavin dan asam askorbat (Santosa & Nursandi, 2002). Sumber karbon yang sering digunakan dalam media adalah sukrosa atau glukosa. Fruktosa sebenarnya dapat digunakan akan tetapi efektifitasnya dianggap kurang dibandingkan sukrosa atau glukosa. Sukrosa atau glukosa yang digunakan umumnya sebanyak 2-3 %. Sumber karbon yang lain yang pernah dicoba adalah laktosa, maltosa, pati dan galaktosa. Akan tetapi hasilnya tetap dianggap tidak lebih baik daripada sukrosa atau glukosa (Santoso & Nursandi, 2002). Zat pengatur tumbuh yang digunakan umumnya merupakan hormon tumbuhan atau bentuk sintetiknya. Zat pengatur tumbuh diperlukan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan sel tanaman dalam kultur jaringan 13 tanaman sebagai zat tambahan yang berperan sebagai hormon pertumbuhan. Zat pengatur tumbuh dibagi menjadi lima, yaitu: auksin, sitokinin, giberelin, asam absisat, dan etilen. Dalam pembuatan kalus dapat digunakan zat pengatur tumbuh tunggal dengan auksin. Auksin berperan dalam proses pmbelahan dan pertumbuhan sel. IAA merupakan bentuk auksin alami tetapi sangat jarang digunakan pada media kultur jaringan tanaman karena sifatnya yang sangat tidak stabil terhadap cahaya dan suhu. Auksin sintetik yang sering digunakan dalam media kultur jaringan tanaman adalah 2,4-D (asam diklorofenoksiasetat) (Slater dkk., 2008). Penambahan 2,4-D dengan konsentrasi 0,2-2 mg/ L merupakan konsentrasi yang paling efektif untuk menginduksi pembelahan sel dan pembentukan kalus (Dodds & Roberts, 1982). Media padat merupakan media cair yang ditambahakan bahan pemadat. Bahan pemadat yang sering digunakan adalah Agar. Keuntungan penggunaan Agar dalam pembuatan media padat antara lain: 1.) Agar dapat membentuk gel dengan air yang dapat mencair pada suhu ± 100oC dan memadat pada suhu ± 45oC. 2.) Stabil dalam penyimpanan. 3.) Agar tidak bereaksi kuat dengan komponen- komponen lain dalam media. 4.) Gel yang terbentuk tidak dapat diuraikan oleh enzim dalam eksplan yang ditanam. 14 Penambahan Agar dalam media secara umum dengan konsentrasi 0,51,0 %. Kepadatan media yang dihasilkan dipengaruhi oleh pH. Selain itu, pH mempengaruhi kelarutan ketersediaan dari ion- ion mineral dan juga mempengaruhi sifat gel (kemampuan membentuk gel) dari agar (Wetherell, 1982). Sel- sel tanaman dalam budidaya kultur jaringan tanaman membutuhkan pH yang cenderung asam dengan kisaran pH optimumnya adalah 5,5-5,9 (Santoso & Nursandi, 2002). b. Elisitor Upaya peningkatan pembentukan senyawa metabolit dalam kultur jaringan tanaman dapat dilakukan dengan berbagai cara. Herdaryono & Wijayani (1994) menyebutkan terdapat 3 cara yang dapat dilakukan, antara lain: 1. Menggunakan media lain yang sesuai, 2. Mengubah salah satu konsentrasi komponen penyusun media, 3. Penggunaan zat tambahan tertentu ke dalam media, misalnya dengan menggunakan zat pengatur tumbuh auksin ataupun sitokinin. Zat tambahan yang dapat digunakan selain zat pengatur tumbuh adalah elisitor. Elisitor merupakan senyawa kimia atau biofaktor yang dapat menginduksi perubahan fisiologis suatu organisme. Secara umum elisitor merupakan senyawa yang dapat memicu respon fisiologis dan morfologis pada tanaman dan peningkatan produksi fitoaleksin atau metabolit sekunder (Zhao dkk., 2005). 15 Elisitor dibagi menjadi dua yaitu elisitor biotik dan elisitor abiotik. Elisitor abiotik meliputi logam dan komponen anorganik. Sedangkan elisitor biotik meliputi jamur, bakteri, virus atau herbivora, komponen dinding sel tumbuhan, maupun senyawa yang dihasilkan tanaman akibat adanya stress dari patogen atau herbivora (Zhao dkk., 2005). Elisitor abiotik yang sering digunakan dalam kegiatan KJT antara lain: asam salisilat, nitrat oksida, tembaga (II) sulfat, asam jasmonat dan metil jasmonat (Zhao dkk., 2005; Abd El-Mawla, 2012). Elisitor abiotik yang lainnya, yaitu vanadil sulfat, natrium ortovanadat, serta berbagai stress lingkungan eksternal kultur seperti suhu, tekanan osmosis, radiasi UV, dan pelukaan (Vasconsuelo & Boland, 2007). Berbagai contoh elisitor biotik, antara lain: kitosan, alginat, pektin, kitin, elisitin, jamur homogenat, spora jamur, dan ekstrak yeast (Vasconsuelo & Boland, 2007). Metil asam jasmonat atau yang lebih sering disebut metil jasmonat (MeJA) yang diberikan secara eksogen dalam kultur jaringan tanaman merupakan salah satu contoh elisitor abiotik. Asam jasmonat maupun MeJA merupakan senyawa endogen dalam tanaman yang banyak diproduksi dalam kondisi stress. Adanya stress yang disebabkan oleh lingkungan eksternal tanaman menyebabkan terjadinya mekanisme pertahanan tanaman salah satunya dengan pembentukan metabolit sekunder (Muryanti & Anggarwulan, 2005). Tanaman secara alami akan memberikan respon terhadap patogen, serangga dan herbivora ataupun cekaman biotik dan abiotik (stress) dengan mekanisme perlindungan 16 termasuk pembentukan metabolit sekunder seperti fitoaleksin, respon hipersensitif dan pertahan struktural (Vasconsuelo & Boland, 2007). Gambar 2. Strukur metil jasmonat (MeJA) (Abd El-Mawla, 2012) MeJA merupakan derivat asam jasmonat yang terbentuk akibat adanya proses metilasi asam jasmonat oleh enzim karboksil metil transferase dalam jalur asam α-linolenat (Zhao dkk., 2005). Menurut Rudus dkk. (2001), MeJA memiliki sifat yang mirip dengan asam absisat. Asam absisat atau ABA diproduksi dalam jumlah banyak apabila tanaman berada dalam keadaan stress seperti halnya MeJA. ABA termasuk dalam hormon yang mekanisme kerjanya berlawanan dengan auksin, sitokinin dan giberelin karena ABA tergolong dalam zat penghambat pertumbuhan tanaman (Santoso & Nursandi, 2002). Menurut Mukkun (2002), penggunaan MeJA juga dapat meningkatkan produksi etilen pada buah. Pengaruh etilen terhadap kalus, morfogenesis dan pembentukan akar tidak begitu spesifik. Etilen dapat bersifat mendorong pertumbuhan atau bahkan menghambat tergantung dari jenis tanaman dan konsentrasi etilen (Santoso & Nursandi, 2002). Berikut merupakan jalur pembentukan asam jasmonat dan meti jasmonat terkait pembentukan metabolit sekunder pada tanaman. 17 Gambar 3. Jalur biosintesis asam jasmonat dan senyawa oksilipin lainnya sebagai elisitor transduksi sinyal dalam pembentukan metabolit sekunder (Zhao dkk., 2005) Gambar tersebut menunjukkan adanya stress dari lingkungan luar tanaman seperti pelukaan menimbulkan upaya pertahanan tanaman dengan membentuk fitoaleksin atau metabolit sekunder. Hal tersebut memicu sistemin dan prekursornya, prosistemin, untuk berikatan dengan protein kinase pada membran sel tanaman kemudian menginisiasi jalur transduksi sinyal oktadekanoid. Peristiwa pelukaan tersebut menyebabkan peningkatan Ca2+ dalam sitosol, depolarisasi membran, penghambatan proton ATPase pada membran plasma, dan aktivasi MAPK. Selanjutnya peristiwa tersebut diikuti pelepasan asam linolenat dari membran fosfolipid oleh fosfolipase. Asam linolenat tersebut kemudian dikonversi menjadi asam 12-oksofitodienoat yang kemudian membentuk asam jasmonat dan meti jasmonat (Kachroo & Kachroo, 2007). Induksi pembentukan metabolit sekunder melalui jalur asam jasmonat tidak spesifik pada metabolit tertentu saja, tetapi dapat meningkatkan 18 senyawa metabolit seperti terpenoid, flavonoid, alkaloid, dan fenilpropanoid serta berbagai metabolit sekunder yang lainnya (Zhao dkk., 2005). c. Eksplan Keberhasilan mikropropagasi dalam kultur jaringan tanaman dipengaruhi oleh pemilihan eksplan yang tepat (George, 2008). Eksplan yang digunakan dalam kultur kalus harus diperhatikan kemampuan regenerasi, tingkat fisiologi dan kesehatan tanaman asal. Hal tersebut berpengaruh pada proses pertumbuhan kultur kalus. Tanaman dengan kemampuan regenerasi yang kuat, potongan tangkai, daun atau akarnya dapat digunakan sebagai eksplan. Sedangkan tanaman yang memiliki kemampuan regenerasi yang lemah atau tidak cukup kuat, dapat digunakan bagian pucuk- pucuk tangkai utama atau cabang. Eksplan yang digunakan dalam kultur sebaiknya tidak terlalu besar karena eksplan yang ukurannya besar lebih berpotensi membawa kontaminasi yang lebih banyak, sterilisasi juga akan lebih sulit dilakukan pada eksplan yang besar serta membutuhkan media dan ruang yang lebih besar. Meskipun demikian, eksplan yang berukuran terlalu kecil juga tidak baik karena pertumbuhannya lebih lambat daripada eksplan yang lebih besar (Hendaryono & Wijayani, 1994). Sterilisasi eksplan dapat dilakukan dengan berbagai bahan sterilan. Menurut Santoso dan Nursandi (2002), bahan dan lamanya waktu yang dapat digunakan untuk sterilisasi eksplan dapat dilihat pada tabel berikut: 19 Tabel I. Beberapa jenis senyawa untuk sterilisasi eksplan Nama Senyawa Konsentrasi Waktu (menit) Alkohol 70 % ½-1 Kalsium hipoklorit 1-10 % 5-30 Natrium hipoklorit 1-2 % 7-15 Hidrogen peroksida 3-10% 5-15 Merkuri klorida 0,1-0,2 % 10-20 Fungisida Catatan di bawah Bakterisida Catatan di bawah Betadine Catatan di bawah Bayclin 1 -2% 5-15 Catatan: Konsentrasi fungisida dan bakterisida yang digunakan tergantung jenisnya dan tanaman yang digunakan. Misalnya pada anggrek Vanda menggunakan fungisida Benomyl (5-25 ppm), Quintozene (25-50 ppm), Amphoterisin B (1-10 ppm); sedangkan bila bakterisida Gentamicine (5-50 ppm), Penicillin (25-100 ppm), Vancomycine (5-50 ppm). Betadine umumnya digunakan untuk bahan tanam dari botol kultur (sudah steril) pada kegiatan subkultur. Cukup digunakan 5-10 tetes dicampur dengan aquadest steril. Penggunaan alkohol ditujukan untuk kontaminan berupa bakteri dan jamur yang biasanya mati dalam etanol 70%. Etanol murni (95%) tidak memiliki aktivitas antimikroba yang lebih baik daripada etanol 70%, oleh karena itu dibutuhkan pengenceran hingga konsentrasi 70% karena air diperlukan dalam proses denaturasi protein (Pratiwi, 2008). Kalsium hipoklorit (Ca(ClO2)) masuk ke dalam jaringan tanaman secara perlahan dibandingkan dengan natirum hipoklorit (Na(ClO 2)). Sehingga proses sterilisasi eksplan dengan kalsium hipoklorit (5-30 menit) biasanya dapat dilakukan lebih lama daripada natrium hipoklorit (7-15 menit). Merkuri klorida (HgCl2) atau yang sering disebut sublimat merupakan senyawa yang sangat toksik terhadap tanaman sehingga dalam penggunaannya, serbuk sublimat harus benar- benar terlarut sempurna dalam aquadest steril. Pemilihan senyawa untuk sterilisasi eksplan, meliputi senyawa yang digunakan, konsentrasi sterilan dan waktu sterilisasi, tergantung pada jenis tanaman maupun bagian tanaman yang disterilkan. Hal tersebut berkaitan 20 dengan ketahanan bahan terhadap sterilan dan beratnya kontaminasi bagian tanaman yang digunakan (Dixon, 1985). Proses sterilisasi yang terlalu lama dapat berdampak pada rusaknya jaringan tanaman, selain membunuh mikroorganisme yang terdapat pada eksplan. Menurut Santosa & Nursandi (2002), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan eksplan untuk membentuk kalus, yaitu: 1.) Umur fisiologi eksplan ketika diisolasi. Bahan tanaman yang juvenil (remaja) lebih baik daripada umur yang mendekati mature (dewasa/ tua). Akan tetapi penggunaan bahan yang muda berkendala pada ketahan terhadap sterilan. Musim isolasi mempengaruhi mudah tidaknya eksplan menghasilkan kalus. Pengambilan pada musim kemarau lebih sulit tumbuh tetapi risiko kontaminasi lebih kecil, sebaliknya dengan saat musim penghujan. 2.) Jenis tanaman berkayu lebih sulit menghasilkan kalus daripada herbaseus, monokotil lebih mudah daripada dikotil, tetapi faktor tersebut juga dipengaruhi oleh sifat fisiologi dan biokimiawi eksplan, adanya kandungan tertentu dalam eksplan dapat menyebabkan inisiasi kalus terhambat/ lama. Bagian tanaman yang meristematik lebih cepat dalam pembentukan kalus dibandingkan bagian yang sedang tidak tumbuh. 3.) Faktor luar seperti ketersediaan oksigen yang diperlukan dalam jumlah lebih tinggi, akumulasi CO2, perlunya ketersediaan unsur hara yang 21 lebih banyak, zat pengatur tumbuh yang tepat, cahaya, suhu, dan lain sebagainya. 3. Sterilisasi Kondisi aseptik diperlukan dalam kegiatan kultur jaringan tanaman maupun kegiatan mikrobiologi. Sterilisasi harus dilakukan agar tercapai kondisi aseptik yang diinginkan, bebas dari bakteri, alga, jamur, dan mikroorganisme kontaminan lainnya. Bila pertumbuhan mikroorganisme tidak dicegah maka pertumbuhannya dapat melampaui pertumbuhan sel tanaman dalam proses kultur jaringan tanaman. Kontaminasi tersebut dapat menghambat pertumbuhan dan akan mengganggu sistem fisiologi dan biokimia dari kultur tanaman yang kemungkinan disebabkan oleh metabolit tertentu oleh mikroorganisme tersebut (Biondi & Thorpe, 1981). Metode sterilisasi yang dapat dilakukan adalah pemanasan basah dan pemanasan kering. Metode tersebut termasuk dalam metode sterilisasi secara fisis (Schlegel, 1993). Pemanasan kering dapat dilakukan untuk sterilisasi alatalat gelas, logam dan alat- alat lain yang tahan terhadap pemanasan tinggi dengan menggunakan oven. Pemanasan dilakukan dalam suhu 60o C sselama 4 jam. Sedangkan pemanasan basah dilakukan dengan menggunakan otoklaf. Otoklaf bekerja dengan prinsip tekanan tinggi yaitu 15 psi/ 1 atm dengan suhu 121o C. Sterilisasi berlangsung selama 15-40 menit tergantung banyaknya bahan atau alat yang disterilkan. Thorpe (1981) menyebutkan bahwa lamanya waktu sterilisasi menggunakan otoklaf tergantung volume cairan yang disterilisasi, sebagai berikut: 22 Tabel II. Lama waktu sterilisasi berdasarkan banyaknya bahan Waktu yang diperlukan Volume media (mL) (menit) 20-50 15 75 20 250-500 25 1000 30 1500 35 2000 40 Dalam kultur jaringan tanaman, untuk bahan yang tidak tahan terhadap pemanasan, proses sterilisasi dilakukan dengan cara ultrafiltrasi. Ultrafiltrasi dilakukan dengan alat penyaring bakteri berukuran tertentu pada suhu kamar (Wetherell, 1982). Metode ultafiltrasi merupakan salah satu contoh metode sterilisasi secara mekanis (Schlegel, 1993). Selain metode sterilisasi dengan pemanasan basah dan pemanasan kering serta ultrafiltrasi, sterilisasi lain yang dilakukan adalah sterilisasi secara kimia (Schlegel, 1993). Metode sterilisasi ini digunakan untuk mensterilkan ruangan kerja kultur, alat maupun eksplan. Dalam proses sterilisasi secara kimia, digunakan bahan kimia seperti deterjen, alkohol dan formalin (dalam proses kerja mikrobiologi) serta etanol 70% dan isopropanol 70% (dalam proses kerja kultur jaringan tanaman). Bahan lain yang dapat digunakan untuk sterilisasi eksplan dalam kegiatan kultur jaringan tanaman adalah sublimat dan hidrogen peroksida (Wetherell, 1982). 4. Maserasi Maserasi merupakan metode penyarian yang umum dilakukan pada senyawa aktif suatu simplisia karena dianggap sebagai metode penyarian yang paling mudah dilakukan. Maserasi dilakukan dengan merendam serbuk simplisia ke dalam pelarut yang dapat melarutkan senyawa aktif. Prinsip dasar 23 dari penyarian adalah melarutkan zat yang dapat larut dalam pelarut dan dipisahkan dari bahan yang tidak dapat larut. Serbuk simplisia direndam dalam larutan penyari hingga meresap dan melunakkan sel sehingga senyawa yang larut dapat mudah terlarut (Ansel, 1989). Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang merupakan tempat penyimpanan zat aktif. Zat aktif akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara sel dan pelarut, maka larutan dalam sel yang lebih pekat didesak keluar sel dan larut dalam pelarut (Anonim, 1986). Proses maserasi perlu dilakukan pengadukan sesekali karena kemungkinan terjadinya kejenuhan pelarut dapat terjadi sehingga gradien konsentrasi pada pelarut dapat dihindari. Pada proses maserasi perlu dilakukan remaserasi yaitu pengulangan proses maserasi setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Anonim, 2000). Maserasi merupakan cara ekstraksi yang sederhana namun proses pengerjaannya membutuhkan waktu yang lama dan penyarian simplisia kurang sempurna (Anonim, 1986). 5. Uraian tentang mikrobiologi a. Bakteri Bakteri merupakan sel prokariot uniseluler yang tidak memiliki membran inti. Sel-selnya berbentuk bola, batang ataupun spiral. Bakteri merupakan organisme yang memiliki ukuran kecil antara 0,5- 5 µm dengan panjang 1,5- 2,5 µm (Pelczar & Chan, 1986). Di dunia terdapat 2 golongan bakteri, yaitu bakteri Gram positif dan Gram negatif. Perbedaan keduanya terdapat dalam penyusun dinding sel bakteri. Dinding sel bakteri 24 Gram positif mengandung banyak lapisan peptidoglikan yang membentuk lapisan tebal dan kaku, serta asam teikoat yang mengandung alkohol dan fosfat. Dinding sel bakteri Gram negatif hanya mengandung satu atau beberapa lapisan peptidoglikan yang terikat pada lipoprotein membran luar dan tidak memiliki asam teikoat sehingga dinding sel bakteri Gram negatif lebih tahan terhadap kerusakan mekanis (Pratiwi, 2008). Sebagai contoh bakteri Gram positif dan Gram negatif adalah Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. 1.) Staphylococcus aureus Kedudukan taksa Staphylococcus aureus dalam sistematika bakteri sebagai berikut: divisi : Schizomycota kelas : Schizomycetes bangsa : Eubacteriales suku : Micrococcaceae marga : Staphylococcus jenis : Staphylococcus aureus (Salle, 1961) Staphylococcus berasal dari kata staphyle yang berarti kelompok buah anggur dan coccus yang berarti benih bulat. Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif, memiliki bentuk bola sampai lonjong, diameter 0,5-1,5 µm, tunggal atau berpasangan dan membelah diri pada lebih dari satu bidang, sehingga membentuk gerombol yang tidak teratur. S. aureus merupakan bakteri patogen bagi manusia. 25 Infeksi yang ditimbulkan oleh S. aureus antara lain keracunan makanan, infeksi kulit, hingga infeksi kulit yang tidak dapat disembuhkan. S. aureus yang patogen dan invasif menghasilkan koagulase dan cenderung menghasilkan pigmen kuning yang kemudian menyebabkan hemolitik (Jawetz dkk., 2001). Dinding selnya memiliki komponen utama peptidoglikan dan asam teikoat. S. aureus merupakan bakteri anaerob fakultatif, tetapi tumbuh lebih cepat dan lebih banyak dalam keadaan anaerobik (Pelczar & Chan, 1986). 2.) Escherichia coli Kedudukan taksa Escherichia coli dalam sistematika bakteri sebagai berikut: divisi : Proteobacteria kelas : Schizcomycetes bangsa : Enterobacteriales suku : Enterobacteriaceae marga : Escherichia jenis : Escherichia coli (Salle, 1961) Escherichia coli berbentuk batang pendek kadang- kadang berderet seperti rantai, berukuran 0,5-3 µm, tidak membentuk spora (Dzen dkk., 2003), merupakan bakteri usus yang dahulu dianggap tidak patogen. Bakteri ini merupakan salah satu contoh dari bakteri Gram negatif. E. coli pada umumnya tidak berkapsul dan dapat bergerak aktif (Jawetz dkk., 1986). 26 Infeksi oleh E. coli yang ditimbulkan di dalam tubuh tergantung tempat infeksi E. coli tersebut. Walaupun di dalam tubuh E. coli merupakan flora normal, akan tetapi apabila E. coli tersebut mencapai jaringan di luar intestinal normal atau berada di tempat yang tidak umum maka E. coli tersebut menjadi bersifat patogen. Kebanyakan infeksi E. coli terjadi pada saluran air kemih. Jawezt dkk. (2001) menyatakan bahwa penyebab diare secara umum adalah E. coli. b. Media pertumbuhan bakteri Pertumbuhan suatu mikroorganisme dalam suatu kutur dipengaruhi dipengaruhi oleh faktor kimia, yaitu: nutrisi dan jenis media kultur (Pratiwi, 2008). Berdasarkan kebutuhannya, nutrisi dibedakan menjadi dua yakni makroelemen yang dibutuhkan dalam jumlah yang banyak (gram) dan mikroelemen (trace element) yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit (takaran mg hingga ppm). Makroelemen meliputi karbon (C), oksigen (O), hidrogen (H), nitrogen (N), sulfur (S), fosfor (P), kalium (K), magnesium (Mg), kalsium (Ca) dan besi. Unsur CHONSP diperlukan untuk pembentukan karbohidrat, protein, lemak dan asam nukleat, sehingga digunakan dalam jumlah besar (gram). Sedangkan K, Ca, P dan Mg berperan dalam kation dalam sel, lebih sedikit penggunaannya daripada CHONSP. Mikroelemen meliputi mangaan (Mn), zinc (Zn), kobalt (Co), molibdenum (Mo), nikel (Ni) dan tembaga (Cu). Mikroelemen kebanyakan merupakan bagian enzim atau kofaktor yang membantu katalisis dan membentuk protein. Selain kedua elemen di atas, 27 terdapat pula growth factor yang dikenal sebagai accessory nutrient. Meliputi vitamin, asam amino serta purin dan pirimidin. Berdasarkan konsistensinya, seperti media pada kultur jaringan tanaman, dibedakan menjadi dua, yaitu media cair dan media padat. Media cair yang mengandung ekstrak kompleks maka disebut rich media atau broth. Perbedaan keduanya ada pada bahan pembeku pada media padat, dapat digunakan Agar. Menurut kandungan nutrisinya, media kultur mikroorganisme dibagi menjadi: 1.) Defined media (synthetic media) merupakan media yang komponen penyusunnya sudah diketahui. Biasa digunakan dalam penelitian; 2.) Media kompleks (complex media) merupakan media yang tersusun dari komponen yang secara kimia tidak diketahui dengan pasti kandungannya karena kebutuhan nutrisi mikroorganisme tertentu tidak diketahui. Contoh: Nutrient Broth/ Agar, Tryptic Soya Broth (TSB)/ Tryptic Soya Agar (TSA), MacKoney Agar; 3.) Media umum (general media) merupakan media pendukung untuk pertumbuhan banyak mikroorganisme. Contoh: TSB, TSA; 4.) Media penyubur (enrichment media) berguna untuk mempercepat pertumbuhan mikroorganisme tertentu. Media ini menggunakan bahan atau zat yang serupa dengan habitat tempat isolasi mikroorganisme tersebut; 5.) Media selektif (selective media) merupakan media yang mendukung pertumbuhan mikroorganisme tertentu saja dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang lain. Pada media ini ditambahkan bahan 28 penghambat pertumbuhan mikroorganisme lain yang tidak diinginkan; 6.) Media diferensial (differential media) digunakan untuk membedakan kelompok mikroorganisme tertentu bahkan dapat digunakan untuk identifikasi. Contohnya adalah media Agar Darah yang dapat digunakan untuk membedakan bakteri hemolitik dan nonhemolitik; 7.) Media khusus. Salah satu contoh media khusus adalah media untuk bakteri anaerob, biasanya dalam media tersebut ditambahkan bahan yang dapat mereduksi O2 dengan cara pengikatan secara kimiawi. Contoh bahan tersebut adalah natioglikolat, sistein dan asam askorbat (Pratiwi, 2008). c. Antibakteri Suatu senyawa dapat memiliki sifat antibiotik/ antibakteri dengan lima macam mekanisme aksi, yaitu: penghambatan sintesis dinding sel, perusakan membran plasma, penghambatan sintesis protein, penghambatan sintesis asam nukleat dan penghambatan sintesis metabolit esensial (Pratiwi, 2008). Obat antibakteri sampai saat ini masih banyak digunakan dalam pengobatan konvensional. Tidak jarang penggunaan obat antibakteri tersebut menyebabkan resistensi terhadap bakteri akibat pemakaian yang tidak teratur. Oleh karena itu, penemuan obat antibakteri dengan efek samping yang lebih rendah perlu dilakukan salah satunya dengan menggunakan pengobatan dengan bahan herbal. 29 d. Metode bioautografi Uji aktivitas antibakteri suatu senyawa tertentu dalam ekstrak dapat dilakukan dengan metode bioautografi. Metode bioautografi merupakan metode spesifik untuk mendeteksi bercak kromatogram hasil KLT yang memiliki aktivitas antibakteri, antifungi dan antivirus (Pratiwi, 2008). Metode bioautografi merupakan metode yang efisien untuk mendeteksi adanya senyawa antimikroba karena letak bercak dapat ditentukan walaupun berada dalam campuran yang kompleks. Akan tetapi, metode tersebut tidak dapat digunakan untuk menentukan KHM (kadar hambat minimum) dan KBM (kadar bunuh minimum) (Pratiwi, 2008). Terdapat 2 macam metode bioautografi menurut Pratiwi (2008), yaitu: 1. Bioautografi langsung Metode ini dilakukan dengan menyemprotkan suspensi mikroorganisme pada pelat KLT atau dengan menyentuhkan pelat KLT pada permukaan media Agar yang telah disuspensi dengan mikroorganisme. Media tersebut kemudian diinkubasi dalam waktu tertentu, letak senyawa yang memiliki aktivitas antimikroba dapat terlihat sebagai area yang jernih. 2. Bioautografi overlay/ kontak (Djide, 2005) Metode ini dilakukan dengan menuangkan media Agar yang telah disuspensikan dengan mikroorganisme di atas permukaan pelat KLT, media ditunggu hingga padat kemudian diinkubasi. Area hambatan dapat dideteksi dengan menyemprotkan tetrazolium klorida. Senyawa 30 yang memiliki aktivitas antimikroba akan tampak sebagai area jernih yang berlatar belakang warna ungu. Sedangkan menurut Djide dkk. (2005), metode bioautografi dibagi menjadi tiga kelompok, dua diantaranya sama dengan definisi yang disebutkan Pratiwi (2008). Metode bioautografi yang lainnya adalah metode bioautografi menuangkan media pencelupan. Agar Metode yang telah ini dilakukan dengan disuspensikan dengan mikroorganisme ke atas pelat KLT yang selanjutnya diinkubasi pada suhu dan waktu tertentu. 6. Uraian tentang Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu metode pemisahan fisikokimia dari senyawa campuran. Senyawa campuran yang akan dipisahkan ditotolkan dalam bentuk totolan (bercak) maupun pita pada lapisan penjerap (fase diam) yang telah diletakkan di atas pelat gelas, logam, atau lapisan yang cocok. Larutan pengembang (fase gerak) dalam bejana dibiarkan hingga jenuh dan fase diam yang telah ditotolkan dimasukkan hingga jarak elusi yang diinginkan (Stahl, 1985). Deteksi senyawa yang dipisahkan dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu: a. Secara kimia Dilakukan dengan penyemprotan pereaksi semprot penampak bercak. Penyemprotan pereaksi semprot dilakukan di dalam lemari semprot atau lemari asam dan harus dipastikan butiran-butiran penyemprotan merupakan butiran yang halus. Pemanasan setelah disemprot seringkali 31 dilakukan untuk menampakkan bercak yang membutuhkan suhu dan waktu tertentu. b. Secara biologi Digunakan untuk mendeteksi komponen yang memiliki aktivitas fisiologi tertentu seperti haemolisis oleh senyawa golongan saponin. Senyawa yang diduga mengandung saponin dapat dideteksi dengan suspensi darah gelatin dan diamati area bening yang terjadi. Penjerap yang sering digunakan sebagai fase diam adalah silika gel dan aluminium oksida. Silika gel seringkali ditambahkan kalsium sulfat untuk meningkatkan daya lekatnya. Silika gel dikenal sebagai fase diam yang universal karena dapat digunakan untuk pemisahan senyawa asam, basa maupun netral. Aluminium oksida memiliki kemampuan koordinasi sehingga sering digunakan untuk pemisahan senyawa dengan gugus fungdi yang berbeda. Selain silika gel dan aluminiun oksida, dapat digunakan penjerap lain yang memiliki daya jerap yang kurang aktif yaitu kieselgur. Untuk pemisahan tertentu dapat digunakan poliamida, selulosa, kalsium, dan magnesium silikat (Roth & Blaschke, 1998). Sering kali fase diam dalam KLT juga mengandung substansi yang dapat berpendar dalam sinar UV (Gandjar & Rohman, 2007). Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan dalam bentuk Rf (Retardation factor/ Retention facrtor). Harga Rf didefinisikan sebagai berikut: Harga Rf jarak yang ditempuh oleh senyawa dari titik awal jarak yang ditempuh pelarut dari titik awal 32 Identifikasi senyawa tersebut dapat juga dilakukan dengan menghitung harga hRf (hundred Retardation factor) yang merupakan 100 kali nilai Rf sebagai pembulatan dua angka di belakang koma yang terdapat pada harga Rf. Harga hRf dinyatakan dalam bentuk bulat bukan pecahan yang merupakan bilangan utuh 1-99 (Roth & Blaschke, 1998). Selain harga hRf, dapat pula diketahui pebandingan bercak senyawa dengan bercak pembanding (Rst). Niali Rst tidak tergantung dari kondisi luar pengembangan dan harganya dapat ≥ 1. Pengukurannya dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut: Harga Rst jarak yang ditempuh oleh senyawa yang tidak diketahui jarak yang ditempuh oleh pembanding yang diketahui Gerakan bercak dalam KLT berkaitan dengan harga Rf bercak tersebut yang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: a. Struktur kimia senyawa yang dipisahkan. b. Sifat penjerap dan derajat aktivitasnya. Perbedaan penjerap walaupun menggunakan fase gerak yang sama dapat menghasilkan harga Rf yang berbeda. c. Tebal dan kerataan lapisan penjerap. Lapisan penjerap yang tidak rata dapat menyebabkan aliran fase gerak yang tidak merata. d. Kemurnian fase gerak. Kemurnian fase gerak merupakan faktor yang sangat penting karena dapat mempengaruhi pergerakan bercak dan apabila fase gerak yang digunakan merupakan campuran harus benar-benar diperhatikan pembuatan campurannya. 33 e. Derajad kejenuhan dari bejana pengembang. Bejana harus beradda dalam keadaan yang terjenuhi oleh fase gerak agar pengembangan yang dilakukan berjalan merata. f. Metode pengembangan yang dilakukan harus diperhatikan. g. Jumlah cuplikan dalam totolan yang terlalu banyak dapat menyebabkan tendensi penyebaran bercak dengan kemungkinan terbentuknya ekor dan efek ketidakseimbangan lainnya yang mengakibatkan kesalahan dalam pembacaan nilai Rf. h. Pengembangan sebaiknya dilakukan pada suhu yang tetap untuk mencegah terjadinya perubahan-perubahan komposisi fase gerak akibat penguapan atau perubahan-perubahan fase. i. Kesetimbangan bejana harus diperhatikan karena ketidaksetimbangan dapat menyebabkan pengembangan yang melengkung (Sastrohamidjojo, 2005). F. Keterangan Empirik yang Diharapkan Penggunaan metil jasmonat (MeJA) pada kultur kalus daun selasih berpengaruh dalam pembentukan metabolit kalus berdasarkan profil Kromatografi Lapis Tipis (KLT) secara kualitatif dan meningkatkan aktivitas antibakteri terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus aureus dengan metode uji bioautografi.