1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanaman selasih (Ocimum basilicum L. forma violaceum Back.) merupakan
salah satu tanaman yang dapat tumbuh di daerah subtropis hingga tropis, termasuk
Indonesia dengan iklim tropisnya. Selasih dapat ditemukan di tempat lembab dan
teduh di dataran rendah sampai ketinggian 450 mdpl. (van Steenis dkk., 1975).
Selasih tersebar di seluruh kepulauan di Indonesia (terutama Sumbawa), bahkan
di Asia, Eropa dan Amerika Selatan (Backer & van den Brink, 1965).
Jenis tanaman ini telah banyak digunakan dalam pengobatan tradisional. Biji
selasih dapat digunakan untuk pengobatan ambeien, radang lambung, perut nyeri,
sariawan, malaria, dan kencing nanah. Daun selasih dapat digunakan untuk
mengobati encok, demam, sakit kepala, peluruh haid, peluruh air susu ibu, obat
nyeri lambung, obat gangguan pencernaan, dan obat reumatik (Wijayakusuma
dkk., 1993). Selain itu, oleh masyarakat khususnya di Indonesia, bunga selasih
seringkali digunakan sebagai bunga ziarah makam (Pitojo, 1996). Seluruh bagian
tanaman yang berada di atas permukaan tanah mengandung minyak atsiri,
flavonoid dan saponin (Wijayakusuma dkk., 1993).
Penggunaan selasih sebagai tanaman obat semakin meningkat, tetapi selama
ini tidak disertai dengan budidaya yang baik. Persebaran tanaman selasih yang
luas menyebabkan variasi kandungan senyawa dalam tiap wilayah tergantung
letak geografis dan iklim (Colegate & Molyneux, 1993). Budidaya tanaman
1
2
selasih secara konvensional dapat dilakukan dengan menanam biji, tetapi hal
tersebut memerlukan waktu yang cukup lama dan dapat menghasilkan metabolit
sekunder yang belum tentu seragam. Oleh karena itu perlu dilakukan teknik
budidaya in vitro dengan metode kultur jaringan tanaman (KJT). Dengan metode
tersebut, waktu yang dibutuhkan untuk budidaya dapat dilakukan lebih singkat
dan pengaruh eksternal dari lingkungan seperti iklim, hama dan penyakit tanaman
terhadap metabolit sekunder dalam tanaman dapat diminimalisasi. Selain itu, hasil
metabolit tersebut dapat ditingkatkan dengan memanipulasi media yang
digunakan (Soeryowinoto, 1985).
Salah satu metode budidaya in vitro dengan KJT adalah melalui kultur
kalus. Kalus merupakan massa sel yang aktivitas pembelahannya tidak terkendali
dan belum terdiferensiasi sebagai akibat proses pelukaan. Dalam hal ini, tujuan
kultur kalus untuk menghasilkan metabolit sekunder yang diinginkan dalam
waktu singkat dan uji aktivitas senyawa bioaktifnya (Santoso & Nursandi, 2002).
Penelitian yang dilakukan oleh Astuti (2004) tentang kultur kalus daun kemangi
(Ocimum basilicum L.), Garluci (2010) dan Rahmawati (2010) tentang kultur
kalus daun Ocimum gratissimum forma caryophyllatum Back. menyebutkan
bahwa penggunaan zat pengatur tumbuh 2,4 D sebanyak 1 ppm dapat
menghasilkan kalus yang baik.
Keberhasilan kultur kalus dalam upaya peningkatan produksi metabolit
sekunder dapat ditunjang dengan penambahan elisitor. Metil jasmonat (MeJA) di
dalam sel tumbuhan merupakan salah satu senyawa yang berperan dalam
pembentukan metabolit sekunder. Penambahan MeJA dalam kultur kalus dapat
3
meningkatkan berbagai hasil metabolit, seperti terpenoid, flavonoid, alkaloid dan
fenilpropanoid serta berbagai metabolit sekunder yang lainnya (Zhao dkk., 2005).
Penggunaan MeJA di dalam penelitian Kim dkk. (2006), kadar eugenol dan
linalool pada daun Ocimum basilicum L dapat ditingkatkan sebesar 56 dan 43%
setelah disemprot MeJA sebanyak 0,5 mM, selain itu aktivitas antioksidan
senyawa fenolik total (asam rosmarinat, asam kafeat dan eugenol) meningkat
sebesar 2,3 kali dibandingkan dengan BHT sebagai kontrol setelah perlakuan
selama 4 hari dan. Mizukami dkk. (1993) telah melakukan studi tentang elisitasi
MeJA dengan hasil penambahan MeJA sebesar 100 µmol/L terhadap kultur
suspensi sel kalus Lithospermum erythrorhizon dapat meningkatkan kadar asam
rosmarinat sebesar 0,22% setelah inkubasi selama 48-72 jam (2-3 hari).
Menurut Arnida (2005), ekstrak etanol herba selasih dapat menghambat
pertumbuhan bakteri Escherichia Coli dan Staphylococcus aureus dengan KBM
berturut- turut 32% b/v dan 16% b/v. Salah satu metode untuk menguji aktivitas
antibakteri suatu senyawa dalam ekstrak dapat dilakukan dengan metode
bioautografi. Adanya aktivitas antibakteri ditunjukkan dengan daerah yang jernih
di sekitar bercak pada pelat Kromatografi Lapis Tipis (KLT) sehingga dapat
diketahui secara kualitatif golongan senyawa yang memiliki aktivitas antibakteri.
Berdasarkan metode ini, nantinya dapat dilakukan isolasi terhadap senyawa yang
memiliki aktivitas antibakteri (Pratiwi, 2008).
4
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka dirumuskan 3 masalah, yaitu:
1. Bagaimana pengaruh penambahan MeJA terhadap kalus daun selasih?
2. Bagaimana pengaruh penambahan MeJA terhadap profil KLT ekstrak etanol
kalus daun selasih?
3. Bagaimana aktivitas antibakteri ekstrak etanol kalus daun selasih yang
diinduksi dengan MeJA terhadap bakteri E. coli dan S. aureus dengan metode
bioautografi?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini, yaitu:
1. Mengetahui pengaruh penambahan MeJA terhadap kalus daun selasih.
2. Mengetahui pengaruh penambahan MeJA terhadap profil KLT ekstrak etanol
kalus daun selasih.
3. Mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak etanol kalus daun selasih yang
diinduksi MeJA terhadap bakteri Eschericia coli dan Staphylococcus aureus
dengan metode bioautografi.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk menghasilkan kalus daun selasih dan
diharapkan dapat menjadi salah satu upaya pembentukan metabolit sekundernya
dengan penambahan MeJA dalam kultur terkait aktivitas antibakteri dengan
5
metode bioautografi. Dalam jangka panjang diharapkan hasil penelitian ini dapat
dikembangkan untuk menghasilkan bibit unggul selasih.
E. Tinjauan Pustaka
1. Uraian tentang tanaman
a. Nama daerah
Sumatera: selaseh, selasi (Melayu); Jawa: solasih (Sunda), selasih, telasih
(Jawa); Sulawesi: amping, kukuru (Minahasa) (Syamsuhidayat & Hutapea,
1991; Anonim, 1986)
b. Kedudukan taksa selasih dalam sistematika tumbuhan:
divisi
: Spermatophyta
anak divisi
: Angiospermae
kelas
: Dicotyledonae
bangsa
: Solanales
suku
: Lamiaceae
marga
: Ocimum
jenis
: Ocimum basilicum L. forma violaceum Back.
Gambar 1. Tanaman selasih
(Backer & van den Brink, 1965)
c. Deskripsi tanaman
Selasih merupakan jenis tanaman berbatang basah, tegak dan baunya
sangat harum, tinggi tanaman mencapai 0,6 m, batang seringkali berwarna
keunguan. Helaian daun tunggal letak berhadapan, bentuk helaian daun
bulat telur, bulat telur memanjang atau elips, pangkal runcing, tepi
6
bergerigi, ujung runcing, panjang daun 3,5-7,5 cm, lebar 1,5-2,5 cm,
tulang daun menyirip, helaian daun berbintik-bintik mirip dengan kelenjar
pada permukaan bawah, warna hijau tua dengan semburat ungu, panjang
tangkai daun 0,5-2 cm. Bunga majemuk vertisilaster (berkarang),
berbunga 6 yang tersusun dalam tandan, kelopak berbentuk tabung, ujung
tabung terbagi menjadi 5 lobus (gigi), sisi luar berambut, sisi dalam bagian
bawah berambut rapat, lebih kurang 0,5 cm panjangnya, gigi belakang
jorong sampai bulat telur terbalik, dengan tepi mengecil sepanjang tabung.
Tangkai bunga pendek, dasar bunga tegak kemudian tertekan sumbu
karangan bunga, ujung kelopak melingkar membentuk kait, posisi tabung
kelopak miring ke bawah, warna kelopak ungu. Mahkota bunga berwarna
putih, panjang 6-9 mm, berbentuk tabung. Buah sejati pecah, berbelah
empat (tetrachenium), biji banyak, keras, cokelat tua, gundul, bila
dimasukkan dalam air akan membengkak (Backer & van den Brink, 1965;
van Steenis dkk., 1975).
d. Kandungan kimia
Seluruh herba selasih, termasuk daun, mengandung minyak atsiri,
flavonoid dan saponin. Bau adas yang dihasilkan oleh selasih merupakan
minyak atsiri yang sebagian besar terdiri atas metil kavikol (Heyne, 1987).
Menurut Maryati dkk. (2007), tanaman jenis Ocimum basilicum L.
memiliki kandungan minyak atsiri yang terdiri atas hidrokarbon, alkohol,
ester, fenol (eugenol 1-19 %, iso-eugenol), eter fenolat (metil kavikol 331%, metil eugenol 1-9%), oksida, dan keton. Wijayakusuma dkk. (1993)
7
juga menyebutkan kandungan minyak atsiri tanaman jenis Ocimum
basilicum L. terdiri atas osimen, α-pinen, 1,8-sineol, eukaliptol, linalool,
geraniol, limonen, metil kavikol, eugenol, metil eugenol, anetol, metil
sinamat, dan furfural.
e. Kegunaan tanaman
Secara empirik daun selasih digunakan untuk mengobati demam, sakit
kepala, nyeri lambung, gangguan pencernaan, diare, radang usus, haid
tidak teratur (peluruh haid), luka terpukul, dan reumatik. Biji selasih
digunakan untuk mengobati radang mata, bercak putih pada selaput bening
mata. Pemakaian luar biji selasih digunakan untuk gigitan ular dan
serangga dan koreng (Wijayakusuma, 1993). Selain itu, biji selasih
memiliki khasiat sebagai penyegar, mengobati kencing berdarah dan
bernanah (Heyne, 1987).
Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Istimuyasaroh dkk.
(2009), minyak hasil destilasi selasih dapat digunakan sebagai larvasida
terhadap larva nyamuk Anopheles aconitus yang menyebabkan mortalitas
dengan konsentrasi 5,01% v/v dan konsentrasi 0,9% v/v efektif menurunkan
pertumbuhan larva. Ekstrak kental hasil infundasi tanaman selasih dapat
menghambat pertumbuhan bakteri Pseudomonas aeruginosa (ATCC
15692) dengan KHM sebesar 348 g/ml (Huerta dkk., 2008).
2. Kultur jaringan tanaman
Kultur jaringan tanaman (KJT) merupakan metode ilmiah yang
digunakan untuk menumbuhkan sel, jaringan atau organ tanaman asal dalam
8
media yang sesuai (George, 2008). Kultur jaringan atau budidaya in vitro
merupakan suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti
protoplasma, sel, jaringan atau organ yang berada dalam kondisi steril,
ditumbuhkan pada media pertumbuhan buatan yang steril, dalam botol kultur
yang steril dan dengan teknik penanaman aseptik.
Teori totipotensi sel menjadi dasar dalam pengembangan teknik kultur
jaringan tanaman, teori tersebut menyebutkan bahwa setiap sel maupun
jaringan dapat berkembang biak dan regenerasi menjadi tanaman lengkap
apabila dikulturkan pada media yang sesuai (George, 1993). Berdasarkan teori
tersebut, maka sel atau jaringan yang diinokulasikan dalam media akan
memiliki kemampuan untuk meregenerasi bagian- bagian tertentu hingga
dapat membentuk tumbuhan yang utuh (Wetherell, 1982).
Kultur jaringan tanaman dapat digunakan untuk menghasilkan tanaman
baru dalam jumlah banyak dalam waktu yang relatif singkat (Hendaryono &
Wijayani, 1994). Selain sebagai upaya mikropropagasi, KJT juga bertujuan
untuk memperoleh metabolit sekunder dalam waktu relatif singkat atau untuk
uji aktivitas senyawa bioaktif (Santoso & Nursandi, 2002). Staba (1980)
menyebutkan bahwa dengan kultur jaringan tanaman, faktor lingkungan yang
mempengaruhi pertumbuhan tanaman dapat dikendalikan termasuk faktor
cahaya, suhu, pH dan nutrisi, organisme pengganggu seperti: jamur,
ganggang, bakteri dan serangga dapat dihindari bahkan dihilangkan
pengaruhnya, serta produksi metabolit sekunder dapat diatur dengan
memanipulasi gen atau perbaikan gen tanaman tersebut. Teknik KJT dibagi
9
menjadi lima kelas berdasarkan jenis bahan awal yang digunakan, yaitu:
kultur kalus, kultur sel, kultur organ, kultur meristem dan kultur protoplas
(Gamborg & Shyluk, 1981).
Kultur kalus merupakan salah satu metode dalam kultur jaringan
tanaman untuk menumbuhkan dan mengelola massa sel yang tidak beraturan.
Tumbuhnya massa sel tersebut akibat pertumbuhan jaringan tanaman yang
dilukai menjadi sel yang terus membelah dan membesar. Kalus dapat
diinduksi dengan pelukaan terhadap jaringan tanaman yang kemudian
diinokulasikan pada media pertumbuhan yang sesuai. Sel kemudian menjadi
aktif membelah dengan adanya rangsangan dari fitohormon maupun zat
pengatur tumbuh yang ditambahkan dalam media pertumbuhan. Diferensiasi
dan spesialisasi sel yang biasa terjadi dalam tumbuhan dapat terjadi kembali
dan eksplan dapat tumbuh menjadi suatu jaringan baru yang tersusun atas selsel yang bersifat meristematik (selalu membelah) dan tidak terspesialisasi
(George, 2008).
Terbentuknya kalus dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
a. Media
Media yang umum digunakan dalam kultur jaringa tanaman adalah
Media Murashige-Skoog (MS). Media MS mengandung persenyawaan
garam amonium dan nitrat dalam jumlah yang tinggi, keduanya
dibutuhkan dalam proses regenerasi. Selain itu, media MS juga banyak
mengandung unsur kalium (Dixon, 1985; George, 1993).
10
Menurut Dixon (1985), terdapat 6 kelompok komponen media yang
digunakan untuk kultur kalus, yaitu: unsur anorganik makro, unsur
anorganik mikro, sumber besi, suplemen organik (vitamin), sumber
karbon, dan zat pengatur tumbuh. Unsur anorganik makro merupakan
unsur yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang banyak, antara lain: N,
K, S yang merupakan anion dan P, Ca, Mg yang merupakan kation.
Sedangkan unsur anorganik mikro merupakan unsur yang dibutuhkan
dalam jumlah yang sedikit. Unsur anorganik mikro meliputi: Fe, Mn, Zn,
B, Cu dan Mo (Santosa & Nursandi, 2002).
Unsur mineral anorganik terutama unsur anorganik makro sangat
dibutuhkan oleh tanaman dengan masing- masing fungsinya untuk
kehidupan tanaman tersebut. Sebagai contoh Ca (kalsium) dibutuhkan
tanaman sebagai komponen pembentuk dinding sel, N (nitrogen)
merupakan komponen utama dari asam amino, protein, asam nukleat serta
vitamin dan magnesium sebagai bagian dari molekul klorofil (Chawla,
2002). Kalium (K) dibutuhkan tanaman dalam pengaturan potensial
osmotik, fosfor (P) berperan dalam proses transfer energi, penyusun asam
nukleat, berperan dalam proses respirasi dan fotosintesis. Sedangkan sulfur
merupakan komponen dari asam amino metionin dan sistein serta
beberapa kofaktor enzim (Slater dkk., 2008).
Sebagai unsur anorganik mikro, Fe (besi) diberikan dalam bentuk
sulfat. Bentuk sitrat dari besi juga dapat digunakan. Dalam besi sulfat
biasanya digunakan etilen diamin tetra asetat (EDTA) sebagai pembentuk
11
komplek. Terdapat agen pembentuk komplek selain EDTA, yaitu: EGTA
(etilen glikol-bis(2-amino etil eter) tetra asetat), EDDHA (etilen diamindi(o-hidroksi fenil) asetat, DTPA (dietilen triamin penta asetat) dan DHPT
(1,3-diamino-2-hidroksi propan tetra asetat) (George & de Klerk, 2008).
Pembentukan komplek bertujuan untuk pelepasan lambat dan
berkesinambungan dari unsur besi dalam media. Sumber besi yang tidak
dibuat dalam bentuk komplek akan megendap sebagai feri oksida (Slater
dkk. 2008). Sumber besi berperan untuk menjaga kestabilan pH dalam
media. Mn (Mangaan) merupakan metalloprotein yang berperan dalam
proses respirasi dan fotosintesis. Mn dibutuhkan dalam aktivitas berbagai
enzim seperti dekarboksilase, dehidrogenase, kinase dan oksigenase serta
superoksida dismutase. Mn dibutuhkan dalam pembentukan kloroplas dan
berperan penting dalam reaksi redoks. Akan tetapi Mn dalam jumlah yang
besar dapat menjadi toksik bagi tanaman (George & de Klerk, 2008).
Kekurangan seng (Zn) dalam tanaman menyebabkan penurunan
aktivitas enzim, terhambatnya pembentukan protein serta penurunan
sintesis asam nukleat dan klorofil. Pembentukan klorofil terhambat apabila
terjadi defisiensi Zn dan Mo (Molybdenum) sehingga hanya sedikit
klorofil yang disintesis. Cu (Copper) atau tembaga merupakan unsur
anorganik mikro yang terdapat dalam enzim, berperan dalam pengikatan
maupun reaksi dengan oksigen. Seperti dalam sistem enzim sitokrom
oksidase, Cu bertanggung jawab dalam respirasi oksidatif dan dismutase
superoksida. Cu juga berperan dalam pembentukan warna pada tanaman.
12
Komponen yang lainnya dari unsur anorganik mikro adalah Bo (Boron).
Boron terlibat dalam integritas membran yang berkaitan dengan keutuhan
dinding sel dan pembentukan protein membran (George & de Klerk,
2008).
Penggunaan tiamin sebagai sumber vitamin dan myo-inositol diketahui
dapat meningkatkan pertumbuhan yang lebih baik. Asam amino seperti
glisin, arginin, asam aspartat, alanin, asam glutamat dan prolin merupakan
viatmin yang dapat digunakan selain tiamin (Slater dkk., 2008). Myoinositol yang digunakan bersamaan dengan auksin, kinetin dan vitamin
dapat mendorong pertumbuhan jaringan kalus (Hendaryono & Wijayani,
1994). Jenis vitamin lain yang dapat digunakan dalam media kultur antara
lain p-amino-benzeic acid, folat, choline, chloride, riboflavin dan asam
askorbat (Santosa & Nursandi, 2002).
Sumber karbon yang sering digunakan dalam media adalah sukrosa
atau glukosa. Fruktosa sebenarnya dapat digunakan akan tetapi
efektifitasnya dianggap kurang dibandingkan sukrosa atau glukosa.
Sukrosa atau glukosa yang digunakan umumnya sebanyak 2-3 %. Sumber
karbon yang lain yang pernah dicoba adalah laktosa, maltosa, pati dan
galaktosa. Akan tetapi hasilnya tetap dianggap tidak lebih baik daripada
sukrosa atau glukosa (Santoso & Nursandi, 2002).
Zat pengatur tumbuh yang digunakan umumnya merupakan hormon
tumbuhan atau bentuk sintetiknya. Zat pengatur tumbuh diperlukan dalam
proses pertumbuhan dan perkembangan sel tanaman dalam kultur jaringan
13
tanaman
sebagai
zat
tambahan
yang
berperan
sebagai
hormon
pertumbuhan. Zat pengatur tumbuh dibagi menjadi lima, yaitu: auksin,
sitokinin, giberelin, asam absisat, dan etilen. Dalam pembuatan kalus
dapat digunakan zat pengatur tumbuh tunggal dengan auksin.
Auksin berperan dalam proses pmbelahan dan pertumbuhan sel. IAA
merupakan bentuk auksin alami tetapi sangat jarang digunakan pada media
kultur jaringan tanaman karena sifatnya yang sangat tidak stabil terhadap
cahaya dan suhu. Auksin sintetik yang sering digunakan dalam media
kultur jaringan tanaman adalah 2,4-D (asam diklorofenoksiasetat) (Slater
dkk., 2008). Penambahan 2,4-D dengan konsentrasi 0,2-2 mg/ L
merupakan
konsentrasi
yang
paling
efektif
untuk
menginduksi
pembelahan sel dan pembentukan kalus (Dodds & Roberts, 1982).
Media padat merupakan media cair yang ditambahakan bahan
pemadat. Bahan pemadat yang sering digunakan adalah Agar. Keuntungan
penggunaan Agar dalam pembuatan media padat antara lain:
1.) Agar dapat membentuk gel dengan air yang dapat mencair pada suhu ±
100oC dan memadat pada suhu ± 45oC.
2.) Stabil dalam penyimpanan.
3.) Agar tidak bereaksi kuat dengan komponen- komponen lain dalam
media.
4.) Gel yang terbentuk tidak dapat diuraikan oleh enzim dalam eksplan
yang ditanam.
14
Penambahan Agar dalam media secara umum dengan konsentrasi 0,51,0 %. Kepadatan media yang dihasilkan dipengaruhi oleh pH. Selain itu,
pH mempengaruhi kelarutan ketersediaan dari ion- ion mineral dan juga
mempengaruhi sifat gel (kemampuan membentuk gel) dari agar
(Wetherell, 1982). Sel- sel tanaman dalam budidaya kultur jaringan
tanaman membutuhkan pH yang cenderung asam dengan kisaran pH
optimumnya adalah 5,5-5,9 (Santoso & Nursandi, 2002).
b. Elisitor
Upaya peningkatan pembentukan senyawa metabolit dalam kultur
jaringan tanaman dapat dilakukan dengan berbagai cara. Herdaryono &
Wijayani (1994) menyebutkan terdapat 3 cara yang dapat dilakukan,
antara lain:
1. Menggunakan media lain yang sesuai,
2. Mengubah salah satu konsentrasi komponen penyusun media,
3. Penggunaan zat tambahan tertentu ke dalam media, misalnya dengan
menggunakan zat pengatur tumbuh auksin ataupun sitokinin.
Zat tambahan yang dapat digunakan selain zat pengatur tumbuh adalah
elisitor. Elisitor merupakan senyawa kimia atau biofaktor yang dapat
menginduksi perubahan fisiologis suatu organisme. Secara umum elisitor
merupakan senyawa yang dapat memicu respon fisiologis dan morfologis
pada tanaman dan peningkatan produksi fitoaleksin atau metabolit
sekunder (Zhao dkk., 2005).
15
Elisitor dibagi menjadi dua yaitu elisitor biotik dan elisitor abiotik.
Elisitor abiotik meliputi logam dan komponen anorganik. Sedangkan
elisitor biotik meliputi jamur, bakteri, virus atau herbivora, komponen
dinding sel tumbuhan, maupun senyawa yang dihasilkan tanaman akibat
adanya stress dari patogen atau herbivora (Zhao dkk., 2005). Elisitor
abiotik yang sering digunakan dalam kegiatan KJT antara lain: asam
salisilat, nitrat oksida, tembaga (II) sulfat, asam jasmonat dan metil
jasmonat (Zhao dkk., 2005; Abd El-Mawla, 2012). Elisitor abiotik yang
lainnya, yaitu vanadil sulfat, natrium ortovanadat, serta berbagai stress
lingkungan eksternal kultur seperti suhu, tekanan osmosis, radiasi UV, dan
pelukaan (Vasconsuelo & Boland, 2007). Berbagai contoh elisitor biotik,
antara lain: kitosan, alginat, pektin, kitin, elisitin, jamur homogenat, spora
jamur, dan ekstrak yeast (Vasconsuelo & Boland, 2007).
Metil asam jasmonat atau yang lebih sering disebut metil jasmonat
(MeJA) yang diberikan secara eksogen dalam kultur jaringan tanaman
merupakan salah satu contoh elisitor abiotik. Asam jasmonat maupun
MeJA merupakan senyawa endogen dalam tanaman yang banyak
diproduksi dalam kondisi stress. Adanya stress yang disebabkan oleh
lingkungan eksternal tanaman menyebabkan terjadinya mekanisme
pertahanan tanaman salah satunya dengan pembentukan metabolit
sekunder (Muryanti & Anggarwulan, 2005). Tanaman secara alami akan
memberikan respon terhadap patogen, serangga dan herbivora ataupun
cekaman biotik dan abiotik (stress) dengan mekanisme perlindungan
16
termasuk pembentukan metabolit sekunder seperti fitoaleksin, respon
hipersensitif dan pertahan struktural (Vasconsuelo & Boland, 2007).
Gambar 2. Strukur metil jasmonat (MeJA) (Abd El-Mawla, 2012)
MeJA merupakan derivat asam jasmonat yang terbentuk akibat adanya
proses metilasi asam jasmonat oleh enzim karboksil metil transferase
dalam jalur asam α-linolenat (Zhao dkk., 2005). Menurut Rudus dkk.
(2001), MeJA memiliki sifat yang mirip dengan asam absisat. Asam
absisat atau ABA diproduksi dalam jumlah banyak apabila tanaman
berada dalam keadaan stress seperti halnya MeJA. ABA termasuk dalam
hormon yang mekanisme kerjanya berlawanan dengan auksin, sitokinin
dan giberelin karena ABA tergolong dalam zat penghambat pertumbuhan
tanaman (Santoso & Nursandi, 2002). Menurut Mukkun (2002),
penggunaan MeJA juga dapat meningkatkan produksi etilen pada buah.
Pengaruh etilen terhadap kalus, morfogenesis dan pembentukan akar tidak
begitu spesifik. Etilen dapat bersifat mendorong pertumbuhan atau bahkan
menghambat tergantung dari jenis tanaman dan konsentrasi etilen (Santoso
& Nursandi, 2002). Berikut merupakan jalur pembentukan asam jasmonat
dan meti jasmonat terkait pembentukan metabolit sekunder pada tanaman.
17
Gambar 3. Jalur biosintesis asam jasmonat dan senyawa oksilipin lainnya sebagai
elisitor transduksi sinyal dalam pembentukan metabolit sekunder (Zhao dkk., 2005)
Gambar tersebut menunjukkan adanya stress dari lingkungan luar
tanaman seperti pelukaan menimbulkan upaya pertahanan tanaman dengan
membentuk fitoaleksin atau metabolit sekunder. Hal tersebut memicu
sistemin dan prekursornya, prosistemin, untuk berikatan dengan protein
kinase pada membran sel tanaman kemudian menginisiasi jalur transduksi
sinyal
oktadekanoid.
Peristiwa
pelukaan
tersebut
menyebabkan
peningkatan Ca2+ dalam sitosol, depolarisasi membran, penghambatan
proton ATPase pada membran plasma, dan aktivasi MAPK. Selanjutnya
peristiwa tersebut diikuti pelepasan asam linolenat dari membran
fosfolipid oleh fosfolipase. Asam linolenat tersebut kemudian dikonversi
menjadi asam 12-oksofitodienoat yang kemudian membentuk asam
jasmonat dan meti jasmonat (Kachroo & Kachroo, 2007).
Induksi pembentukan metabolit sekunder melalui jalur asam jasmonat
tidak spesifik pada metabolit tertentu saja, tetapi dapat meningkatkan
18
senyawa
metabolit
seperti
terpenoid,
flavonoid,
alkaloid,
dan
fenilpropanoid serta berbagai metabolit sekunder yang lainnya (Zhao dkk.,
2005).
c. Eksplan
Keberhasilan
mikropropagasi
dalam
kultur
jaringan
tanaman
dipengaruhi oleh pemilihan eksplan yang tepat (George, 2008). Eksplan
yang digunakan dalam kultur kalus harus diperhatikan kemampuan
regenerasi, tingkat fisiologi dan kesehatan tanaman asal. Hal tersebut
berpengaruh pada proses pertumbuhan kultur kalus. Tanaman dengan
kemampuan regenerasi yang kuat, potongan tangkai, daun atau akarnya
dapat digunakan sebagai eksplan. Sedangkan tanaman yang memiliki
kemampuan regenerasi yang lemah atau tidak cukup kuat, dapat digunakan
bagian pucuk- pucuk tangkai utama atau cabang.
Eksplan yang digunakan dalam kultur sebaiknya tidak terlalu besar
karena eksplan yang ukurannya besar lebih berpotensi membawa
kontaminasi yang lebih banyak, sterilisasi juga akan lebih sulit dilakukan
pada eksplan yang besar serta membutuhkan media dan ruang yang lebih
besar. Meskipun demikian, eksplan yang berukuran terlalu kecil juga tidak
baik karena pertumbuhannya lebih lambat daripada eksplan yang lebih
besar (Hendaryono & Wijayani, 1994).
Sterilisasi eksplan dapat dilakukan dengan berbagai bahan sterilan.
Menurut Santoso dan Nursandi (2002), bahan dan lamanya waktu yang
dapat digunakan untuk sterilisasi eksplan dapat dilihat pada tabel berikut:
19
Tabel I. Beberapa jenis senyawa untuk sterilisasi eksplan
Nama Senyawa
Konsentrasi
Waktu (menit)
Alkohol
70 %
½-1
Kalsium hipoklorit
1-10 %
5-30
Natrium hipoklorit
1-2 %
7-15
Hidrogen peroksida
3-10%
5-15
Merkuri klorida
0,1-0,2 %
10-20
Fungisida
Catatan di bawah
Bakterisida
Catatan di bawah
Betadine
Catatan di bawah
Bayclin
1 -2%
5-15
Catatan: Konsentrasi fungisida dan bakterisida yang digunakan tergantung jenisnya dan
tanaman yang digunakan. Misalnya pada anggrek Vanda menggunakan fungisida
Benomyl (5-25 ppm), Quintozene (25-50 ppm), Amphoterisin B (1-10 ppm); sedangkan
bila bakterisida Gentamicine (5-50 ppm), Penicillin (25-100 ppm), Vancomycine (5-50
ppm). Betadine umumnya digunakan untuk bahan tanam dari botol kultur (sudah steril)
pada kegiatan subkultur. Cukup digunakan 5-10 tetes dicampur dengan aquadest steril.
Penggunaan alkohol ditujukan untuk kontaminan berupa bakteri dan
jamur yang biasanya mati dalam etanol 70%. Etanol murni (95%) tidak
memiliki aktivitas antimikroba yang lebih baik daripada etanol 70%, oleh
karena itu dibutuhkan pengenceran hingga konsentrasi 70% karena air
diperlukan dalam proses denaturasi protein (Pratiwi, 2008).
Kalsium hipoklorit (Ca(ClO2)) masuk ke dalam jaringan tanaman
secara perlahan dibandingkan dengan natirum hipoklorit (Na(ClO 2)).
Sehingga proses sterilisasi eksplan dengan kalsium hipoklorit (5-30 menit)
biasanya dapat dilakukan lebih lama daripada natrium hipoklorit (7-15
menit). Merkuri klorida (HgCl2) atau yang sering disebut sublimat
merupakan senyawa yang sangat toksik terhadap tanaman sehingga dalam
penggunaannya, serbuk sublimat harus benar- benar terlarut sempurna
dalam aquadest steril.
Pemilihan senyawa untuk sterilisasi eksplan, meliputi senyawa yang
digunakan, konsentrasi sterilan dan waktu sterilisasi, tergantung pada jenis
tanaman maupun bagian tanaman yang disterilkan. Hal tersebut berkaitan
20
dengan ketahanan bahan terhadap sterilan dan beratnya kontaminasi
bagian tanaman yang digunakan (Dixon, 1985). Proses sterilisasi yang
terlalu lama dapat berdampak pada rusaknya jaringan tanaman, selain
membunuh mikroorganisme yang terdapat pada eksplan. Menurut Santosa
& Nursandi (2002), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
kemampuan eksplan untuk membentuk kalus, yaitu:
1.) Umur fisiologi eksplan ketika diisolasi. Bahan tanaman yang juvenil
(remaja) lebih baik daripada umur yang mendekati mature (dewasa/
tua). Akan tetapi penggunaan bahan yang muda berkendala pada
ketahan terhadap sterilan. Musim isolasi mempengaruhi mudah
tidaknya eksplan menghasilkan kalus. Pengambilan pada musim
kemarau lebih sulit tumbuh tetapi risiko kontaminasi lebih kecil,
sebaliknya dengan saat musim penghujan.
2.) Jenis tanaman berkayu lebih sulit menghasilkan kalus daripada
herbaseus, monokotil lebih mudah daripada dikotil, tetapi faktor
tersebut juga dipengaruhi oleh sifat fisiologi dan biokimiawi eksplan,
adanya kandungan tertentu dalam eksplan dapat menyebabkan inisiasi
kalus terhambat/ lama. Bagian tanaman yang meristematik lebih cepat
dalam pembentukan kalus dibandingkan bagian yang sedang tidak
tumbuh.
3.) Faktor luar seperti ketersediaan oksigen yang diperlukan dalam jumlah
lebih tinggi, akumulasi CO2, perlunya ketersediaan unsur hara yang
21
lebih banyak, zat pengatur tumbuh yang tepat, cahaya, suhu, dan lain
sebagainya.
3. Sterilisasi
Kondisi aseptik diperlukan dalam kegiatan kultur jaringan tanaman
maupun kegiatan mikrobiologi. Sterilisasi harus dilakukan agar tercapai
kondisi aseptik yang diinginkan, bebas dari bakteri, alga, jamur, dan
mikroorganisme kontaminan lainnya. Bila pertumbuhan mikroorganisme tidak
dicegah maka pertumbuhannya dapat melampaui pertumbuhan sel tanaman
dalam proses kultur jaringan tanaman. Kontaminasi tersebut dapat
menghambat pertumbuhan dan akan mengganggu sistem fisiologi dan
biokimia dari kultur tanaman yang kemungkinan disebabkan oleh metabolit
tertentu oleh mikroorganisme tersebut (Biondi & Thorpe, 1981).
Metode sterilisasi yang dapat dilakukan adalah pemanasan basah dan
pemanasan kering. Metode tersebut termasuk dalam metode sterilisasi secara
fisis (Schlegel, 1993). Pemanasan kering dapat dilakukan untuk sterilisasi alatalat gelas, logam dan alat- alat lain yang tahan terhadap pemanasan tinggi
dengan menggunakan oven. Pemanasan dilakukan dalam suhu 60o C sselama
4 jam. Sedangkan pemanasan basah dilakukan dengan menggunakan otoklaf.
Otoklaf bekerja dengan prinsip tekanan tinggi yaitu 15 psi/ 1 atm dengan suhu
121o C. Sterilisasi berlangsung selama 15-40 menit tergantung banyaknya
bahan atau alat yang disterilkan. Thorpe (1981) menyebutkan bahwa lamanya
waktu sterilisasi menggunakan otoklaf tergantung volume cairan yang
disterilisasi, sebagai berikut:
22
Tabel II. Lama waktu sterilisasi berdasarkan banyaknya bahan
Waktu yang diperlukan
Volume media (mL)
(menit)
20-50
15
75
20
250-500
25
1000
30
1500
35
2000
40
Dalam kultur jaringan tanaman, untuk bahan yang tidak tahan terhadap
pemanasan, proses sterilisasi dilakukan dengan cara ultrafiltrasi. Ultrafiltrasi
dilakukan dengan alat penyaring bakteri berukuran tertentu pada suhu kamar
(Wetherell, 1982). Metode ultafiltrasi merupakan salah satu contoh metode
sterilisasi secara mekanis (Schlegel, 1993).
Selain metode sterilisasi dengan pemanasan basah dan pemanasan kering
serta ultrafiltrasi, sterilisasi lain yang dilakukan adalah sterilisasi secara kimia
(Schlegel, 1993). Metode sterilisasi ini digunakan untuk mensterilkan ruangan
kerja kultur, alat maupun eksplan. Dalam proses sterilisasi secara kimia,
digunakan bahan kimia seperti deterjen, alkohol dan formalin (dalam proses
kerja mikrobiologi) serta etanol 70% dan isopropanol 70% (dalam proses kerja
kultur jaringan tanaman). Bahan lain yang dapat digunakan untuk sterilisasi
eksplan dalam kegiatan kultur jaringan tanaman adalah sublimat dan hidrogen
peroksida (Wetherell, 1982).
4. Maserasi
Maserasi merupakan metode penyarian yang umum dilakukan pada
senyawa aktif suatu simplisia karena dianggap sebagai metode penyarian yang
paling mudah dilakukan. Maserasi dilakukan dengan merendam serbuk
simplisia ke dalam pelarut yang dapat melarutkan senyawa aktif. Prinsip dasar
23
dari penyarian adalah melarutkan zat yang dapat larut dalam pelarut dan
dipisahkan dari bahan yang tidak dapat larut. Serbuk simplisia direndam
dalam larutan penyari hingga meresap dan melunakkan sel sehingga senyawa
yang larut dapat mudah terlarut (Ansel, 1989). Cairan penyari akan menembus
dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang merupakan tempat
penyimpanan zat aktif. Zat aktif akan larut karena adanya perbedaan
konsentrasi antara sel dan pelarut, maka larutan dalam sel yang lebih pekat
didesak keluar sel dan larut dalam pelarut (Anonim, 1986).
Proses
maserasi
perlu
dilakukan
pengadukan
sesekali
karena
kemungkinan terjadinya kejenuhan pelarut dapat terjadi sehingga gradien
konsentrasi pada pelarut dapat dihindari. Pada proses maserasi perlu dilakukan
remaserasi yaitu pengulangan proses maserasi setelah dilakukan penyaringan
maserat pertama dan seterusnya (Anonim, 2000). Maserasi merupakan cara
ekstraksi yang sederhana namun proses pengerjaannya membutuhkan waktu
yang lama dan penyarian simplisia kurang sempurna (Anonim, 1986).
5. Uraian tentang mikrobiologi
a. Bakteri
Bakteri merupakan sel prokariot uniseluler yang tidak memiliki
membran inti. Sel-selnya berbentuk bola, batang ataupun spiral. Bakteri
merupakan organisme yang memiliki ukuran kecil antara 0,5- 5 µm
dengan panjang 1,5- 2,5 µm (Pelczar & Chan, 1986). Di dunia terdapat 2
golongan bakteri, yaitu bakteri Gram positif dan Gram negatif. Perbedaan
keduanya terdapat dalam penyusun dinding sel bakteri. Dinding sel bakteri
24
Gram positif mengandung banyak lapisan peptidoglikan yang membentuk
lapisan tebal dan kaku, serta asam teikoat yang mengandung alkohol dan
fosfat. Dinding sel bakteri Gram negatif hanya mengandung satu atau
beberapa lapisan peptidoglikan yang terikat pada lipoprotein membran luar
dan tidak memiliki asam teikoat sehingga dinding sel bakteri Gram negatif
lebih tahan terhadap kerusakan mekanis (Pratiwi, 2008). Sebagai contoh
bakteri Gram positif dan Gram negatif adalah Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli.
1.) Staphylococcus aureus
Kedudukan taksa Staphylococcus aureus dalam sistematika bakteri
sebagai berikut:
divisi
: Schizomycota
kelas
: Schizomycetes
bangsa
: Eubacteriales
suku
: Micrococcaceae
marga
: Staphylococcus
jenis
: Staphylococcus aureus (Salle, 1961)
Staphylococcus berasal dari kata staphyle yang berarti kelompok
buah anggur dan coccus yang berarti benih bulat. Staphylococcus
aureus merupakan bakteri Gram positif, memiliki bentuk bola sampai
lonjong, diameter 0,5-1,5 µm, tunggal atau berpasangan dan membelah
diri pada lebih dari satu bidang, sehingga membentuk gerombol yang
tidak teratur. S. aureus merupakan bakteri patogen bagi manusia.
25
Infeksi yang ditimbulkan oleh S. aureus antara lain keracunan
makanan, infeksi kulit, hingga infeksi kulit yang tidak dapat
disembuhkan. S. aureus yang patogen dan invasif menghasilkan
koagulase dan cenderung menghasilkan pigmen kuning yang
kemudian menyebabkan hemolitik (Jawetz dkk., 2001). Dinding selnya
memiliki komponen utama peptidoglikan dan asam teikoat. S. aureus
merupakan bakteri anaerob fakultatif, tetapi tumbuh lebih cepat dan
lebih banyak dalam keadaan anaerobik (Pelczar & Chan, 1986).
2.) Escherichia coli
Kedudukan taksa Escherichia coli dalam sistematika bakteri sebagai
berikut:
divisi
: Proteobacteria
kelas
: Schizcomycetes
bangsa
: Enterobacteriales
suku
: Enterobacteriaceae
marga
: Escherichia
jenis
: Escherichia coli (Salle, 1961)
Escherichia coli berbentuk batang pendek kadang- kadang berderet
seperti rantai, berukuran 0,5-3 µm, tidak membentuk spora (Dzen dkk.,
2003), merupakan bakteri usus yang dahulu dianggap tidak patogen.
Bakteri ini merupakan salah satu contoh dari bakteri Gram negatif. E.
coli pada umumnya tidak berkapsul dan dapat bergerak aktif (Jawetz
dkk., 1986).
26
Infeksi oleh E. coli yang ditimbulkan di dalam tubuh tergantung
tempat infeksi E. coli tersebut. Walaupun di dalam tubuh E. coli
merupakan flora normal, akan tetapi apabila E. coli tersebut mencapai
jaringan di luar intestinal normal atau berada di tempat yang tidak
umum maka E. coli tersebut menjadi bersifat patogen. Kebanyakan
infeksi E. coli terjadi pada saluran air kemih. Jawezt dkk. (2001)
menyatakan bahwa penyebab diare secara umum adalah E. coli.
b. Media pertumbuhan bakteri
Pertumbuhan suatu mikroorganisme dalam suatu kutur dipengaruhi
dipengaruhi oleh faktor kimia, yaitu: nutrisi dan jenis media kultur
(Pratiwi, 2008). Berdasarkan kebutuhannya, nutrisi dibedakan menjadi dua
yakni makroelemen yang dibutuhkan dalam jumlah yang banyak (gram)
dan mikroelemen (trace element) yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit
(takaran mg hingga ppm).
Makroelemen meliputi karbon (C), oksigen (O), hidrogen (H), nitrogen
(N), sulfur (S), fosfor (P), kalium (K), magnesium (Mg), kalsium (Ca) dan
besi. Unsur CHONSP diperlukan untuk pembentukan karbohidrat, protein,
lemak dan asam nukleat, sehingga digunakan dalam jumlah besar (gram).
Sedangkan K, Ca, P dan Mg berperan dalam kation dalam sel, lebih sedikit
penggunaannya daripada CHONSP. Mikroelemen meliputi mangaan (Mn),
zinc (Zn), kobalt (Co), molibdenum (Mo), nikel (Ni) dan tembaga (Cu).
Mikroelemen kebanyakan merupakan bagian enzim atau kofaktor yang
membantu katalisis dan membentuk protein. Selain kedua elemen di atas,
27
terdapat pula growth factor yang dikenal sebagai accessory nutrient.
Meliputi vitamin, asam amino serta purin dan pirimidin.
Berdasarkan konsistensinya, seperti media pada kultur jaringan
tanaman, dibedakan menjadi dua, yaitu media cair dan media padat. Media
cair yang mengandung ekstrak kompleks maka disebut rich media atau
broth. Perbedaan keduanya ada pada bahan pembeku pada media padat,
dapat digunakan Agar.
Menurut kandungan nutrisinya, media kultur mikroorganisme dibagi
menjadi: 1.) Defined media (synthetic media) merupakan media yang
komponen penyusunnya sudah diketahui. Biasa digunakan dalam
penelitian; 2.) Media kompleks (complex media) merupakan media yang
tersusun dari komponen yang secara kimia tidak diketahui dengan pasti
kandungannya karena kebutuhan nutrisi mikroorganisme tertentu tidak
diketahui. Contoh: Nutrient Broth/ Agar, Tryptic Soya Broth (TSB)/
Tryptic Soya Agar (TSA), MacKoney Agar; 3.) Media umum (general
media) merupakan media pendukung untuk pertumbuhan banyak
mikroorganisme. Contoh: TSB, TSA; 4.) Media penyubur (enrichment
media) berguna untuk mempercepat pertumbuhan mikroorganisme
tertentu. Media ini menggunakan bahan atau zat yang serupa dengan
habitat tempat isolasi mikroorganisme tersebut; 5.) Media selektif
(selective media) merupakan media yang mendukung pertumbuhan
mikroorganisme
tertentu
saja
dan
menghambat
pertumbuhan
mikroorganisme yang lain. Pada media ini ditambahkan bahan
28
penghambat pertumbuhan mikroorganisme lain yang tidak diinginkan; 6.)
Media diferensial (differential media) digunakan untuk membedakan
kelompok mikroorganisme tertentu bahkan dapat digunakan untuk
identifikasi. Contohnya adalah media Agar Darah yang dapat digunakan
untuk membedakan bakteri hemolitik dan nonhemolitik; 7.) Media khusus.
Salah satu contoh media khusus adalah media untuk bakteri anaerob,
biasanya dalam media tersebut ditambahkan bahan yang dapat mereduksi
O2 dengan cara pengikatan secara kimiawi. Contoh bahan tersebut adalah
natioglikolat, sistein dan asam askorbat (Pratiwi, 2008).
c. Antibakteri
Suatu senyawa dapat memiliki sifat antibiotik/ antibakteri dengan lima
macam mekanisme aksi, yaitu: penghambatan sintesis dinding sel,
perusakan
membran
plasma,
penghambatan
sintesis
protein,
penghambatan sintesis asam nukleat dan penghambatan sintesis metabolit
esensial (Pratiwi, 2008).
Obat antibakteri sampai saat ini masih banyak digunakan dalam
pengobatan konvensional. Tidak jarang penggunaan obat antibakteri
tersebut menyebabkan resistensi terhadap bakteri akibat pemakaian yang
tidak teratur. Oleh karena itu, penemuan obat antibakteri dengan efek
samping yang lebih rendah perlu dilakukan salah satunya dengan
menggunakan pengobatan dengan bahan herbal.
29
d. Metode bioautografi
Uji aktivitas antibakteri suatu senyawa tertentu dalam ekstrak dapat
dilakukan dengan metode bioautografi. Metode bioautografi merupakan
metode spesifik untuk mendeteksi bercak kromatogram hasil KLT yang
memiliki aktivitas antibakteri, antifungi dan antivirus (Pratiwi, 2008).
Metode bioautografi merupakan metode yang efisien untuk mendeteksi
adanya senyawa antimikroba karena letak bercak dapat ditentukan
walaupun berada dalam campuran yang kompleks. Akan tetapi, metode
tersebut tidak dapat digunakan untuk menentukan KHM (kadar hambat
minimum) dan KBM (kadar bunuh minimum) (Pratiwi, 2008).
Terdapat 2 macam metode bioautografi menurut Pratiwi (2008), yaitu:
1. Bioautografi langsung
Metode
ini
dilakukan
dengan
menyemprotkan
suspensi
mikroorganisme pada pelat KLT atau dengan menyentuhkan pelat
KLT pada permukaan media Agar yang telah disuspensi dengan
mikroorganisme. Media tersebut kemudian diinkubasi dalam waktu
tertentu, letak senyawa yang memiliki aktivitas antimikroba dapat
terlihat sebagai area yang jernih.
2. Bioautografi overlay/ kontak (Djide, 2005)
Metode ini dilakukan dengan menuangkan media Agar yang telah
disuspensikan dengan mikroorganisme di atas permukaan pelat KLT,
media ditunggu hingga padat kemudian diinkubasi. Area hambatan
dapat dideteksi dengan menyemprotkan tetrazolium klorida. Senyawa
30
yang memiliki aktivitas antimikroba akan tampak sebagai area jernih
yang berlatar belakang warna ungu.
Sedangkan menurut Djide dkk. (2005), metode bioautografi dibagi
menjadi tiga kelompok, dua diantaranya sama dengan definisi yang
disebutkan Pratiwi (2008). Metode bioautografi yang lainnya adalah
metode
bioautografi
menuangkan
media
pencelupan.
Agar
Metode
yang
telah
ini
dilakukan
dengan
disuspensikan
dengan
mikroorganisme ke atas pelat KLT yang selanjutnya diinkubasi pada suhu
dan waktu tertentu.
6. Uraian tentang Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu metode pemisahan
fisikokimia dari senyawa campuran. Senyawa campuran yang akan dipisahkan
ditotolkan dalam bentuk totolan (bercak) maupun pita pada lapisan penjerap
(fase diam) yang telah diletakkan di atas pelat gelas, logam, atau lapisan yang
cocok. Larutan pengembang (fase gerak) dalam bejana dibiarkan hingga jenuh
dan fase diam yang telah ditotolkan dimasukkan hingga jarak elusi yang
diinginkan (Stahl, 1985). Deteksi senyawa yang dipisahkan dapat dilakukan
dengan 2 cara, yaitu:
a. Secara kimia
Dilakukan dengan penyemprotan pereaksi semprot penampak bercak.
Penyemprotan pereaksi semprot dilakukan di dalam lemari semprot atau
lemari
asam
dan harus
dipastikan butiran-butiran penyemprotan
merupakan butiran yang halus. Pemanasan setelah disemprot seringkali
31
dilakukan untuk menampakkan bercak yang membutuhkan suhu dan
waktu tertentu.
b. Secara biologi
Digunakan untuk mendeteksi komponen yang memiliki aktivitas
fisiologi tertentu seperti haemolisis oleh senyawa golongan saponin.
Senyawa yang diduga mengandung saponin dapat dideteksi dengan
suspensi darah gelatin dan diamati area bening yang terjadi.
Penjerap yang sering digunakan sebagai fase diam adalah silika gel dan
aluminium oksida. Silika gel seringkali ditambahkan kalsium sulfat untuk
meningkatkan daya lekatnya. Silika gel dikenal sebagai fase diam yang
universal karena dapat digunakan untuk pemisahan senyawa asam, basa
maupun netral. Aluminium oksida memiliki kemampuan koordinasi sehingga
sering digunakan untuk pemisahan senyawa dengan gugus fungdi yang
berbeda. Selain silika gel dan aluminiun oksida, dapat digunakan penjerap lain
yang memiliki daya jerap yang kurang aktif yaitu kieselgur. Untuk pemisahan
tertentu dapat digunakan poliamida, selulosa, kalsium, dan magnesium silikat
(Roth & Blaschke, 1998). Sering kali fase diam dalam KLT juga mengandung
substansi yang dapat berpendar dalam sinar UV (Gandjar & Rohman, 2007).
Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan
dalam bentuk Rf
(Retardation factor/ Retention facrtor). Harga Rf
didefinisikan sebagai berikut:
Harga Rf 
jarak yang ditempuh oleh senyawa dari titik awal
jarak yang ditempuh pelarut dari titik awal
32
Identifikasi senyawa tersebut dapat juga dilakukan dengan menghitung
harga hRf (hundred Retardation factor) yang merupakan 100 kali nilai Rf
sebagai pembulatan dua angka di belakang koma yang terdapat pada harga Rf.
Harga hRf dinyatakan dalam bentuk bulat bukan pecahan yang merupakan
bilangan utuh 1-99 (Roth & Blaschke, 1998).
Selain harga hRf, dapat pula diketahui pebandingan bercak senyawa
dengan bercak pembanding (Rst). Niali Rst tidak tergantung dari kondisi luar
pengembangan dan harganya dapat ≥ 1. Pengukurannya dinyatakan dalam
persamaan sebagai berikut:
Harga Rst 
jarak yang ditempuh oleh senyawa yang tidak diketahui
jarak yang ditempuh oleh pembanding yang diketahui
Gerakan bercak dalam KLT berkaitan dengan harga Rf bercak tersebut
yang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
a. Struktur kimia senyawa yang dipisahkan.
b. Sifat penjerap dan derajat aktivitasnya. Perbedaan penjerap walaupun
menggunakan fase gerak yang sama dapat menghasilkan harga Rf yang
berbeda.
c. Tebal dan kerataan lapisan penjerap. Lapisan penjerap yang tidak rata
dapat menyebabkan aliran fase gerak yang tidak merata.
d. Kemurnian fase gerak. Kemurnian fase gerak merupakan faktor yang
sangat penting karena dapat mempengaruhi pergerakan bercak dan apabila
fase gerak yang digunakan merupakan campuran harus benar-benar
diperhatikan pembuatan campurannya.
33
e. Derajad kejenuhan dari bejana pengembang. Bejana harus beradda dalam
keadaan yang terjenuhi oleh fase gerak agar pengembangan yang
dilakukan berjalan merata.
f. Metode pengembangan yang dilakukan harus diperhatikan.
g. Jumlah cuplikan dalam totolan yang terlalu banyak dapat menyebabkan
tendensi penyebaran bercak dengan kemungkinan terbentuknya ekor dan
efek ketidakseimbangan lainnya yang mengakibatkan kesalahan dalam
pembacaan nilai Rf.
h. Pengembangan sebaiknya dilakukan pada suhu yang tetap untuk mencegah
terjadinya perubahan-perubahan komposisi fase gerak akibat penguapan
atau perubahan-perubahan fase.
i. Kesetimbangan bejana harus diperhatikan karena ketidaksetimbangan
dapat menyebabkan pengembangan yang melengkung (Sastrohamidjojo,
2005).
F. Keterangan Empirik yang Diharapkan
Penggunaan metil jasmonat (MeJA) pada kultur kalus daun selasih
berpengaruh dalam pembentukan metabolit kalus berdasarkan profil Kromatografi
Lapis Tipis (KLT) secara kualitatif dan meningkatkan aktivitas antibakteri
terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus aureus dengan metode uji
bioautografi.
Download