Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Studi ini dipicu

advertisement
Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Studi ini dipicu oleh menggejalanya politik klan yang terlihat dari tampilnya
kekuatan Klan Qahhar Mudzakkar dalam pentas politik di Sulawesi Selatan. Nama
Qahhar Mudzakkar yang dalam wacana politik nasional diidentikkan dengan
pemberontak (DI/TII), terbukti memiliki kekuatan politik yang signifikan bagi
keturunannya untuk berkompetisi menduduki jabatan politik di Sulawesi Selatan.
Kajian ini mencoba untuk melihat bagaimana pola relasi kuasa dalam politik klan
terkait dengan sumber daya yang mereka gunakan dan implikasinya terhadap masa
depan demokrasi Indonesia. Dengan menguraikan hadirnya politik klan khususnya di
tingkat lokal, studi ini memberikan update bagi pemahaman fenomena politik lokal
dalam demokrasi yang berkembang pasca reformasi di Indonesia.
Demokratisasi dan desentralisasi telah membuka peluang bagi perubahan
dinamika politik lokal di berbagai daerah. Kajian politik lokal di Indonesia
menunjukkan bahwa transisi konstitusional tersebut telah melahirkan dominasi
kekuasaan. Hampir di semua daerah mengindikasikan hal tersebut, sehingga dengan
mudah akan kita temukan adanya orang kuat lokal maupun kembalinya entitas politik
masa lalu yang mendominasi kekuasaan (Dwipayana, 2004; Hadiz, 2005; Nordholt,
2007; Palmer, 2010; dan Luthfillah, 2012). Dalam dinamika ini, para aktor politik di
tingkat lokal menjalankan mobilisasi politik berdasarkan identitas (misalnya: klan,
suku, agama dan bahasa) dan jaringan (misalnya birokrat dan pengusaha), dimana
hasilnya menunjukkan bahwa kandidat dengan jejaring personal (personal network)
terkuat yang akan memenangkan pemilihan (Supriatma, 2009; Buehler, 2009).
Seperti misalnya oligarki politik di Sumatera Utara, keluarga politik Chasan Sochib
di Provinsi Banten, di Sulawesi Selatan dengan keluarga Yasin Limpo dan Qahhar
Mudzakkar, atau revivalitas bangsawan (misalnya keraton dan karaeng), serta
transformasi GAM di Aceh. Selain itu, masih banyak lagi di provinsi dan
kabupaten/kota lain di Nusantara.
Bab I: Pendahuluan
Fenomena munculnya sentimen kekeluargaan dalam politik lokal di
Indonesia dipahami sebagai hasil kombinasi tekanan politik sentripugal (sentralisasi)
pada masa Suharto dan tekanan politik sentripetal (desentralisasi) pasca Suharto
(Nordholt, 2005). Meskipun di awal-awal pelembagaan desentralisasi pola ini belum
terlihat, akan tetapi memasuki dekade kedua pasca reformasi, kecenderungan pada
semakin oligarkisnya kekuasaan politik lokal semakin terlihat nyata. Berbagai
kesimpulan pun telah diajukan, bahwa transisi konstitusional ini bukanlah demokrasi
(Robison & Hadiz, 2004). Kehadiran keluarga misalnya, Thomas Meyer (2002: 50)
menyebutkan bahwa kelompok kekuasaan berdasarkan keturunan adalah salah satu
musuh demokrasi yang dapat menimbulkan ancaman struktural terhadap demokrasi.
Budaya ataupun struktur sosial masyarakat adalah pemicu dalam konteks ini. Pada
akhirnya, terkait dengan proses demokratisasi di Indonesia, kini para ilmuwan politik
menemukan kritik telak terhadap demokrasi Schumpeterian, yang tidak melihat
faktor budaya dan segmentasi masyarakat sebagai sumber legitimasi politik.
Larry Diamond, Juan Linz dan Seymour Martin Lipset (1990) sebetulnya
sudah menjelaskan bekerjanya kekuatan “budaya” – misalnya kekerasan, patronase
termasuk kekerabatan – yang menghasilkan demokrasi semu (pseudo democracy).
Dalam logika tersebut, keberadaan lembaga politik demokrasi secara formal
mengakibatkan dominasi kekuasaan menjadi tidak kasat mata (Dwipayana, 2004: 6,
154).1 Akan tetapi, desakan globalisasi dan dukungan modernisasi saat ini telah
“memaksa” banyak negara mendemokratisasikan dirinya. David Held (2007)
menguraikan bahwa walaupun saat ini banyak negara menganut paham demokrasi,
tetapi sejarah politiknya mengungkapkan adanya kerapuhan dan kerawanan tatanan
demokrasi. Dengan melihat sejarah Eropa pada abad ke-20, demokrasi merupakan
sebuah sistem yang sulit untuk diwujudkan dan dijaga (Dahl, 2001: 197).
Kesimpulannya, demokrasi dalam perjalanan sejarahnya membentuk berbagai
macam varian-varian transisi yang berbeda. Mengutip istilah Huntington (1990),
1
“Juan Linz, Seymour Martin Lipset, and I term these regimes pseudo-democracies, because the
existence of formally democratic political institutions, such as multiparty electoral competition,
masks (often in part to legitimate) the reality of authoritarian domination.” Lihat Larry Diamond
(2003), “Defining and Developing Democracy” dalam R. Dahl, I. Shapiro & J. A. Cheibub (eds)
The Democracy Sourcebook, Cambridge: The MIT Press, halaman 37.
2
Bab I: Pendahuluan
demokrasi dalam kaitannya dengan budaya di berbagai negara adalah sebuah clash of
civilization.
Pada akhirnya, perdebatan ilmiah mengenai demokrasi demikian berlanjut,
dan dengan jawaban berbeda. Seymour Martin Lipset (1950), menghubungkan
demokrasi yang stabil dengan kondisi latar belakang ekonomi dan sosial tertentu,
seperti pendapatan per kapita yang tinggi. Almond dan Verba (1989) mengatakan
sistem politik yang demokratis menuntut adanya keserasian budaya politik, misalnya
sikap kewargaan. Robert A. Dahl (2001) berpendapat bahwa stabilitas demokrasi
memerlukan komitmen untuk aturan lembaga demokrasi, bukan di masyarakat
(pemilih), tetapi di antara elit politik profesional sebagai representasi politik melalui
ikatan politik yang efektif, yang sering dia sebut sebagai poliarchy. Begitu halnya
Guillermo O‟Donnell, Philippe C. Schmitter, dan Laurence Whitehead (1993) yang
cenderung pada pendekatan agensi, dimana demokrasi sangat tergantung pada peran
dan kepentingan elit politik. Akhirnya, Aurel Croissant (2004), merangkum
keseluruhan jawaban-jawaban tersebut melalui kesimpulannya tentang demokrasi di
Asia, dimana stabilitas demokrasi dipengaruhi oleh kondisi sosial dan ekonomi;
budaya politik dan sejarah kolonial; kenegaraan dan pembangunan bangsa; dan
lembaga-lembaga politik. Debat ilmiah ini memang berkelindan dengan kondisi
praktik demokrasi negara-negara global south seperti Indonesia, yang seringkali
disebut sebagai transisi demokrasi.
Dalam konteks transisi demokrasi, kecenderungan para pengkaji politik saat
ini memahami praktik dominasi dalam demokrasi, lebih pada perspektif aktor. Para
ilmuwan sampai pada kesimpulan bahwa aktor politik adalah penentu dari lahirnya
dominasi. Gagasan ini tentunya menimbulkan pertanyaan, apakah “kegagalan”
praktik demokrasi, sejatinya disebabkan oleh aktor? Agensi dianggap sosok yang
memiliki kekuatan “super” yang bisa merubah – menentukan pembukaan
kesempatan ataupun sebaliknya – bagi praktik demokrasi (O‟Donnell et.al, 1993).
Untuk itu, perlunya kita memikirkan kembali bahwa terdapat sisi lain yang juga
memberi
peluang
kuatnya
praktik
dominasi
dalam
demokrasi.
Ataupun
memungkinkan bagi kita untuk sampai pada kesimpulan besar bahwa dalam konteks
tertentu kedua hal tersebut sama sekali tidak mempengaruhi perkembangan
demokrasi.
3
Bab I: Pendahuluan
Di Indonesia, kasus-kasus pasca reformasi menjadi sebuah “laboratorium”
untuk teori demokrasi. Berbagai kesimpulan pun telah diajukan oleh ilmuwan politik
dalam mengkaji demokrasi di Indonesia. Sebagian menyebutnya sebagai masa
transisi demokrasi atau konsolidasi demokrasi, dan sebagian yang lain menolak
pendapat
tersebut.
Defective
Democracy,
Deficit
Democracy,
Politicizing
Democracy, Changing Continuities, dan Patronage-Based Democracy adalah
sebagian dari berbagai gagasan untuk menjelaskan praktik demokrasi di Indonesia,
baik dalam ranah nasional dan lokal (Croissant, 2004; Priyono et.al., 2007; Harris,
et.al., 2005; Nordholt, 2005, 2007; Palmer, 2010). Untuk itulah, sampai saat ini kasus
menguatnya oligarki politik dekade kedua reformasi khususnya dalam politik lokal,
memberikan banyak pertanyaan bagi para peneliti untuk menjawab pengaruhnya
terhadap perkembangan masa depan demokrasi Indonesia.
Ketika ditelisik lebih jauh tentang studi politik lokal yang ada dalam domain
modalitas
politik,
secara
teoritis
para
keluarga/kerabat/kelompok
politik
menggunakan berbagai modal sebagai basis legitimasi kekuasaan. Pada umumnya,
dari sekian banyak kesimpulan tersebut, mayoritas studi-studi di Indonesia lebih
melihat pada pasca keberhasilan mereka (baca: oligarki) dan proses-proses tata
kelola politik pemerintahan yang mereka lakukan – kepiawaian mengelola modal
politik – sebagai pejabat, pengusaha, ataupun bangsawan (Dwipayana, 2004;
Hidayat, 2007; Haboddin, 2010; Lutfillah 2012). Berangkat dari fenomena ini yang
kemudian melatarbelakangi studi tentang Klan Qahhar Mudzakkar. Saya mencoba
untuk melihat lebih kedepan lagi pada pertanyaan mengapa dan bagaimana mereka
hadir? Selain itu, terdapat karekteristik yang berbeda dari kasus yang diteliti dalam
studi ini dengan studi-studi yang telah dihasilkan, terkait bahwa hadirnya Klan
Qahhar Mudzakkar yang menduduki jabatan politik di tingkat pusat dan daerah,
bukan dari golongan bangsawan, pejabat, ataupun memiliki basis ekonomi yang kuat
(pengusaha). Realita inilah yang menarik untuk diteliti, apa sumber daya yang
menjadi modal politik klan tersebut dan bagaimana modal tersebut bekerja. Oleh
karena itu, dimungkinkan untuk menemukan perspektif lain dalam memahami
fenomena hadirnya oligarki politik di Indonesia.
4
Bab I: Pendahuluan
B. Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penelitian ini ditujukan untuk
menjawab pertanyaan “bagaimana relasi hadirnya politik klan dengan demokrasi
dalam kasus Klan Qahhar Mudzakkar di Sulawesi Selatan pasca reformasi?” Adapun
pertanyaan turunan adalah:
1. Apa sumber daya yang dimiliki oleh Klan Qahhar Mudzakkar?
2. Bagaimana sumber daya tersebut mereproduksi kekuasaan?
3. Bagaimana implikasi dari kehadiran mereka terhadap masa depan demokrasi
Indonesia?
Penelitian ini mengajukan beberapa misi utama. Pertama, menjelaskan
kekuatan keluarga yang memperoleh kekuasaan dalam politik lokal di Sulawesi
Selatan. Kedua, menguraikan perkembangan karakteristik terbaru dalam politik lokal
di Indonesia, terkait dengan reproduksi kekuasaan. Terakhir, sebagai perspektif lain
dalam melihat demokasi dan masa depannya di Indonesia.
C. Tinjauan Pustaka: Karakteristik Politik Lokal
Terkait dengan karakteristik politik lokal di Indonesia, berikut ini akan
diuraikan beberapa studi tentang hal tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk
menjelaskan posisi tulisan ini dengan studi-studi sebelumnya. Selain itu
dimaksudkan untuk melihat letak perbedaan dari karakteristik kekuasaan tersebut.
Dari hasil penelusuran saya, setidaknya ada beberapa karya ilmiah akademis
yang menyinggung secara langsung mengenai praktik politik lokal di beberapa
didaerah pasca reformasi. Akan tetapi, sebelumnya marilah kita sedikit melihat
kebelakang tentang studi dari John T. Sidel (2005) mengenai orang kuat lokal di
Indonesia yang dia sebut dengan Bossism atau bos lokal.
Dalam studi Sidel, secara umum bos lokal adalah local power broker yang
memperoleh posisi monopoli terhadap kekerasan dan sumber daya ekonomi dalam
wilayahnya masing-masing seperti: penguasaan atas kontrak infrastruktur, kontrak
pertambangan atau penebangan kayu, perusahaan transportasi, aktifitas ekonomi
ilegal termasuk diantaranya kemampuan untuk memobilisasi suara, dan vote buying.
Konsep boss berbeda dari patron karena tingkat monopoli diperoleh melalui koersif
sebagai pilar utama dan disisi lain otoritas bos tidak bergantung pada afeksi dan
5
Bab I: Pendahuluan
status, melainkan atas dasar hasrat untuk bertindak. Sidel menyebut demokrasi di
Indonesia merupakan mafia lokal, jaringan dan marga atau klan (2005: 85).
Walaupun studi ini dilakukan pada tahun 2004, sebelum adanya liberalisasi
politik di Indonesia dengan pelaksanaan pemilihan umum secara langsung.2 Namun,
satu hal yang menjadi ketepatan argumen Sidel bahwa dalam konteks Indonesia,
dinasti politik atau orang kuat lokal diperkirakan akan muncul bersamaan dengan
pemilihan langsung. Di lain hal yang menjadi kekurangan, seperti patrimonialisme
yang kurang mendapatkan perhatian serius dalam analisa Sidel mengenai Indonesia.
Kenyataan menunjukkan bahwa dinasti dan oligarki politik yang dibangun
berdasarkan nilai-nilai patrimonial, telah terjadi di beberapa daerah (Nordholt dan
van Klinken: 2007). Satu hal yang menjadi ide utama dalam studi Sidel adalah
adanya liberalisasi politik (demokrasi) di Indonesia dengan pelaksanaan pemilihan
umum lokal secara langsung, berkorelasi dengan hadirnya praktik politik: mafia,
jaringan dan kekerabatan di tingkat lokal.
Studi kedua mengenai politik lokal ditulis oleh Syarif Hidayat (2007). Dalam
studi Syarif Hidayat yang berjudul “Shadow State? Bisnis dan Politik di Provinsi
Banten”, secara umum tulisan ini menjelaskan bagaimana praktik oligarki melalui
pendekatan ekonomi politik. Bagaimana bekerjanya sektor informal dalam
mempengaruhi proses politik dan pemerintahan dalam hal ini diperankan oleh
kelompok Jawara yang di motori oleh TB.Chasan Sochib. Selain itu, monopoli
terhadap kekerasan dan sumber daya ekonomi seperti penguasaan atas kontrak
infrastruktur (premanisme proyek) merupakan cara-cara yang digunakan dalam
langkah awal menjalankan dominasi politik di provinsi Banten. Kekurangan tulisan
ini adalah tidak menjelaskan bagaimana kemudian keluarga Chasan Sochib
membangun dinasti politik dengan menempatkan kerabatnya sebagai elit politik di
beberapa daerah di provinsi tersebut. Informasi penting yang yang bisa dijadikan
referensi adalah modal yang digunakan dan pola-pola reproduksi kekuasaan yang
dilakukan melalui basis ekonomi dan kekerasan.
Studi yang lebih spesifik tentang keluarga politik di provinsi Banten ditulis
oleh Kiki Luthfillah (2012) dalam studinya “Demokrasi dan Kekuasaan dalam
Politik Lokal: Dominasi Kekuasaan Keluarga TB. Chasan Sochib di Provinsi Banten
2
Diterbitkan pertama kali dalam buku dengan editor John Harriss, Kristian Stokke and Olle Törnquist
(2004), “Politicising Democracy: The New Local Politics of Democratisation”, Palgrave Macmillan.
6
Bab I: Pendahuluan
pasca Reformasi.” Studi ini menjelaskan bagaimana dominasi kekuasaan yang
dilakukan oleh Chasan Sochib dengan menempatkan jaringan keluarganya pada
jabatan politik dan pemerintahan. Secara kronologis studi ini menguraikan
bagaimana kemudian keluarga Chasan Sochib menciptakan jaringan kekuasaan di
provinsi Banten. Sejalan dengan tulisan Syarif Hidayat, studi ini banyak melihat dari
perspektif ekonomi politik sebagai modal (sumberdaya) kekuasaan. Mengenai
demokrasi, studi ini menyimpulkan bahwa di era demokratisasi, dominasi kekuasaan
tersebut justru semakin kuat dan meluas. Salah satu penyebabnya adalah lemahnya
kontrol publik terhadap penyelenggara pemerintah daerah. Kesimpulannya adalah
institusi yang lemah mengakibatkan aktor dapat leluasa mendominasi kekuasaan.
Selanjutnya, studi dari Michael Buehler (2007) “Rise of the Clans: Direct
Elections in South Sulawesi”, yang nampaknya merupakan kajian yang lebih dekat
untuk menggambarkan politik kekerabatan di Sulawesi Selatan. Buehler menulis
tentang kebangkitan dari keluarga Yasin Limpo melalui pendekatan aktor. Dengan
metode etnografi, Buehler menguraikan bagaimana sistem dari negara dalam
kaitannya dengan pemilihan umum, birokrasi, dan institusionalisasi partai mampu
dimanipulasi oleh agen. Walaupun dalam tulisan Buehler menggunakankan kata
“clans”, akan tetapi, keluarga Yasin Limpo lebih tepat disebut sebagai dinasti karena
kekuasaan itu sudah ada sebelum desentralisasi politik tahun 2004. Selain itu kajian
yang luput dari studi ini adalah institusi yang tidak dilihat dalam mempengaruhi
aktor untuk menciptakan dominasi kekuasaan dan terkait juga dengan modal yang
menjadi basis kuatnya jaringan dinasti Yasin Limpo sejak orde baru. Gagasan utama
yang dapat disimpulkan mengenai sumber daya kekuasaan adalah berupa jaringan
birokrasi, partai, premanisme, dan uang sebagai modal untuk mereproduksi
kekuasaan.
Studi
ini
menyimpulkan
bahwa
demokrasi
dan
desentralisasi
mengakibatkan tidak ada “orang baru” yang memiliki kesempatan nyata untuk
memenangkan pemilihan langsung di Sulawesi Selatan. Gagasannya tentang praktik
demokrasi adalah “Old Elite, New Competition” yang menegaskan tesis Henk
Schulte Nordholt tentang Changing Continuities.
Masih berkaitan dengan Sulawesi Selatan, studi dari Muhtar Haboddin (2010)
tentang “Karaeng dalam Pusaran Politik: Studi Kasus di Kabupaten Jeneponto
Sulawesi Selatan” adalah salah satu dari studi hadirnya bangsawan dalam institusi
7
Bab I: Pendahuluan
politik lokal. Melalui pendekatan local strongmen, argumen utama yang ingin
disampaikan dalam studi ini adalah dominasi bangsawan (dinasti politik) terjadi
ketika desentralisasi dan liberalisasi politik yang berimplikasi pada aktor-aktor
politik lokal. Studi ini juga mulai menyinggung modal kultural/budaya yang menjadi
basis lahirnya kekuasaan yakni hubungan patron-klien, akan tetapi masih dalam
perspektik ekonomi. Dalam konteks demokratisasi, studi ini menolak pandangan
dominan bahwa demokratisasi dan desentralisasi telah membangkitkan sentimen
primordial. Baginya keberhasilan aristokrat dalam menguasai institusi-institusi
politik modern mestinya dibaca sebagai sebuah kreasi yang paling jitu dalam upaya
menghadirkan agensi dalam kancah politik dan kenegaraan.
Selain Haboddin, studi tentang kekuasaan bangsawan ditulis oleh Ari
Dwipayana (2004) yang menjelaskan kembalinya para bangsawan di Surakarta dan
Denpasar. Melalui pendekatan komparatif ruang dan waktu, studi ini menjabarkan
bagaimana genealogi kekuasaan para bangsawan sejak masa kolonial, revolusi
kemerdekaan, orde lama, dan orde baru serta tindakan survivalitas para bangsawan
menghadapi masa transisi demokrasi. Dengan basis ekonomi, kultural, dan partai
politik, para bangsawan di dua kota tersebut berhasil mereposisi kedudukan
politiknya sebagai bentuk revivalitas di era demokratisasi. Studi ini sampai pada
kesimpulan bahwa kekuasaan tersebut menimbulkan kemungkinan “abuse of power”.
Hadirnya para aristokrat pasca reformasi dengan kekuatan ekonomi, politik,
kenegaraan (birokrasi) dan kultural yang digenggam dalam satu tangan dapat
menjadi musibah bagi perkembangan demokrasi di Indonesia atau dalam istilah
Dwipayana, “aristokratisasi demokrasi”.
Mencermati beberapa pustaka di atas, penelitian ini merupakan kajian terbaru
yang akan fokus pada masyarakat untuk melihat bagaimana klan dapat hadir dalam
politik lokal di Indonesia dan pengaruhnya terhadap demokrasi. Berbeda dengan
studi-studi sebelumnya yang lebih cenderung fokus pada pendekatan aktor. Lokus
penelitian dalam studi ini digunakan untuk mempelajari bagaimana norma dan nilai
yang dikandung dalam struktur sosial politik membentuk perilaku individu, dan
bagaimana institusi informal atau budaya dipandang sebagai sistem aturan dan
desakan yang didalamnya individu berusaha untuk memaksimalkan kegunaan
mereka. Pendekatan dalam studi ini menggunakan paparan deduktif yang berawal
8
Bab I: Pendahuluan
dari dalil-dalil teoritis tentang cara institusi bekerja (institusionalis baru) (Mars dan
Stoker, 2011: 113). Mungkin sebaiknya studi ini dipandang kurang lebih sebagai
studi yang melengkapi fenomena kontemporer tentang demokrasi lokal. Studi ini
juga bertujuan untuk menambah khasanah politik lokal di Indonesia yang selama ini
dikenal dengan istilah bossisme, local strongmen, dan dinasti politik.
D. Kerangka Teori
Dalam upaya mengungkap sumber daya sehingga mampu menjadi basis
kekuatan Klan Qahhar Mudzakkar, ada beberapa hal yang perlu dijadikan kerangka
teori. Oleh karena itu, menggunakan beberapa konsep dari Pierre Bourdieu. Konsep
habitus, modal, dan arena digunakan karena secara internal ketiga konsep tersebut
terkait satu sama lain, dan masing-masing dapat mencapai potensi analisis yang
penuh hanya apabila digunakan bersama-sama dengan yang lain. Sedangkan doxa
merupakan bagian dari produk ketiga konsep tersebut (Wacquant, 2007: 270).
Penggunaan konsep modal dan arena, dipinjam untuk menjelaskan bagaimana kedua
konsep ini sebagai alat reproduksi kekuasaan, sedangkan untuk melihat sumber
legitimasi kekuasaan digunakan konsep habitus dan doxa. Untuk menjawab
implikasi terhadap demokrasi akan diuraikan perdebatan teoritik mengenai
demokrasi Indonesia. Selain itu, beberapa argumentasi awal untuk memahami
penggunaan konsep klan dalam studi ini.
Mendefinisikan Politik Klan
Penggunaan politik klan dalam studi ini bermaksud untuk menjelaskan politik
yang dijalankan oleh keluarga untuk memperoleh kekuasaan. Penggunaan istilah
klan disini juga menggambarkan hal yang sama dengan penggunaan istilah oligarki
politik dalam studi yang lain.
Berdasarkan hasil penelusuran saya, belum banyak studi yang menjelaskan
pengertian politik klan secara spesifik. Hal ini disebabkan oleh arti dari klan itu
sendiri yang umumnya berarti keluarga/kelompok. Klan di gambarkan sebagai suku,
yang dalam bahasa Gaelic Skotlandia dan Irlandia, clan berarti anak. Sementara itu,
istilah klan lebih banyak digunakan dalam bidang antropologi sebagai analisis sistem
kekerabatan yang didefinisikan sebagai sebuah kelompok sosial yang permanen
9
Bab I: Pendahuluan
berdasarkan keturunan langsung atau fiktif (dugaan) dari nenek moyang yang sama
(Kirchhoff, 1955; Kontjaraningrat, 1974). Para antropolog menggunakannya sebagai
analisis dalam studi masyarakat primitif. Namun, istilah ini kemudian digunakan
untuk menjelaskan masyarakat modern. Misalnya penggunaan istilah klan di negara
pasca Soviet, cukup umum untuk berbicara tentang klan mengacu pada jaringan
informal dalam bidang ekonomi dan politik (Kosals, 2007: 72). Penggunaan ini atas
asumsi bahwa anggota mereka bertindak terhadap satu sama lain dalam cara yang
sangat dekat dan saling mendukung kurang lebih sama dengan solidaritas di dalam
keluarga.
Selain itu, terdapat istilah yang biasa digunakan dalam menjelaskan
fenomena keluarga politik, misalnya politik dinasti. Pada akhirnya, para akademisi
lebih banyak menggunakan politik dinasti untuk menjelaskan bagaimana politik
dalam lingkaran keluarga karena definisinya yang mudah dipahami. Kamus Oxford,
Advanced Learner‟s Dictionary mendefinisikannya sebagai “a period of years during
which members of a particular family rule a country”. Dinasti politik didefinisikan
sebagai suatu periode tahun di mana anggota keluarga tertentu memerintah sebuah
negara. Singkatnya bahwa politik dinasti adalah bagian dari produksi kekuasaan yang
dilakukan oleh keluarga dalam struktur sosial dan politik yang kemudian berlanjut
secara turun-temurun.
Berdasarkan hal tersebut, sebagaimana tujuan studi ini yang mencoba melihat
bagaimana reproduksi kuasa – atau bagaimana keluarga dapat hadir dalam politik –
keluarga Qahhar Mudzakkar, maka penggunaan istilah politik klan akan lebih tepat
untuk menjelaskannya. Sementara itu, penggunaan istilah politik dinasti dalam
tulisan ini dianggap kurang tepat, mengingat objek yang menjadi studi adalah
keluarga Qahhar Mudzakkar yang secara historis belum dapat dikategorisasikan
sebagai penguasa (pejabat publik) sebelum era reformasi. Walaupun secara harfiah
politik dinasti dan politik klan cenderung memiliki kesamaan perspektif. Akan tetapi,
politik dinasti lebih tepat diartikan sebagai hasil dari kekuasaan keluarga dalam garis
keturunan langsung yang telah mendominasi dan dilakukan dengan turun temurun,
sedangkan politik klan lebih tepat digunakan untuk mengartikan bagaimana keluarga
menghadirkan kekuasaan.
10
Bab I: Pendahuluan
Modal dan Arena: Alat Reproduksi Kekuasaan
Pierre Bourdieu (1986) melihat dalam arena sosial selalu ada yang
mendominasi dan didominasi. Kondisi ini tidak lepas dari situasi dan sumber daya
capital (modal) yang dimiliki seseorang, dimana modal tersebut adalah sesuatu yang
langka dan berharga dalam ruang sosial tertentu. Menurutnya, modal adalah
akumulasi kerja, berupa barang baik material maupun simbolik yang apabila
dialokasikan secara privat oleh agen atau kelompok agen, memungkinkan mereka
untuk memperoleh kekuatan sosial (Bourdieu, 1986: 241).
“Capital is accumulated labor (in its materialized form or its
„incorporated,‟ embodied form) which, when appropriated on a
private, i.e., exclusive, basis by agents or groups of agents, enables
them to appropriate social energy in the form of reified or living
labor.”
“Modal adalah kerja yang terakumulasi (bentuk materi atau dalam
bentuk yang mirip „badan hukum‟) yang ketika dialokasikan secara
pribadi, yaitu, secara eksklusif, menjadi dasar oleh agen atau
kelompok agen, yang memungkinkan menyediakan energi sosial yang
sesuai dalam bentuk abstrak atau kerja kehidupan.”
Pandangannya tentang modal dimaksudkan sebagai hubungan sosial, karena
modal merupakan suatu energi sosial yang hanya ada dan membuahkan hasil dalam
arena perjuangan dimana modal memproduksi dan mereproduksi. Bourdieu
menegaskan bahwa modal adalah hasil dari sebuah proses kerja yang perlu waktu
untuk diakumulasikan, sebagai kapasitas potensi untuk menghasilkan keuntungan
dan untuk mereproduksi dirinya sendiri dalam bentuk yang sama atau diperluas.
Modal juga mengandung kecenderungan untuk bertahan dalam eksistensinya,
sebagai kekuatan yang terkandung dalam obyektivitas sesuatu, sehingga semuanya
tidak mungkin setara (Bourdieu, 1986: 241).
Pertarungan tentang modal dalam konsepsi Bourdieu, tidak lepas dari
sumbangsih pemikiran Marx dalam dialektika ketimpangan sosial (Field, 2011: 20).
Jika Marx menekankan pada basis struktur dan ekonomi, maka Bourdieu kemudian
menguraikan modal tidak sebatas pada ekonomi. Bourdieu mengatakan tidaklah
cukup melihat modal dari aspek ekonomi saja, walaupun ia berpendapat bahwa
11
Bab I: Pendahuluan
modal ekonomi adalah akar dari semua jenis modal lain. Selain aspek ekonomi,
modal budaya dan modal sosial juga merupakan aset sebagai representasi akumulasi
kerja. Bourdieu beralasan bahwa mustahil memahami dunia sosial tanpa mengetahui
peran modal dalam segala bentuknya (Field, 2011: 24). Artinya bahwa modal
memiliki energi yang penting dalam arena sosial dan politik. Adapun ciri-ciri modal
dalam pandangan Bourdieu dapat disimpulkan antara lain: (1) modal terakumulasi
melalui investasi; (2) modal bisa diberikan kepada yang lain melalui warisan dan; (3)
modal dapat memberi keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki oleh
pemiliknya untuk mengoperasikan penempatannya (Mutahir, 2011: 68).
Modal secara prinsipil dibedakan menjadi empat kategori (Bourdieu, 1989:
17): modal ekonomi (berupa uang, kekayaan, properti); modal sosial (berbagai jenis
relasi, jaringan); modal kultural (misalnya pengetahuan, kualifikasi pendidikan, gelar
akademik, bahasa); dan modal simbolik (seperti prestise, kehormatan, karisma).
Salah satu sifat yang paling penting adalah di mana memungkinkan satu bentuk
modal dapat dikonversi ke modal yang lain, misalnya, kualifikasi pendidikan tertentu
dapat diuangkan melalui pekerjaan yang menguntungkan. Modal-modal inilah yang
kemudian memiliki kekuatan-kekuatan sosial yang fundamental (Bourdieu, 1987:
152):
“…ces pouvoirs sociaux fondamentaux sont, d'apres mes recherches
empiriques, le capital economique, sous ses differentes formes, et le
capital culturel, le capital social et le capital symbolique, forme que
revetent les differentes especes de capital lorqu 'elles sont percues et
reconues comme legitimes.”
“…kekuatan-kekuatan sosial yang fundamental ini, menurut penelitian
empiris saya, pertama adalah modal ekonomi dalam berbagai
bentuknya, modal kultural, modal sosial dan modal simbolik yang
merupakan bentuk lain dari kapital-kapital tersebut ketika dianggap
dan diakui dengan sah atau terlegitimasi.”3
Bourdieu kemudian mendefinisikan modal-modal tersebut dalam pengertian
yang berbeda-beda. Menurut Bourdieu, modal ekonomi merupakan modal yang
paling cepat dan dapat langsung dikonversi menjadi uang dan dapat dilembagakan
dalam bentuk hak milik (Bourdieu, 1986: 242). Sedangkan, modal sosial adalah
jumlah sumber daya, aktual atau maya, yang bertambah pada seorang individu atau
3
Choses Dites telah diterjemahkan dalam edisi bahasa Indonesia dengan judul “Choses Dites: Uraian
dan Pemikiran”, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2011.
12
Bab I: Pendahuluan
kelompok karena memiliki jaringan tahan lama melalui hubungan timbal balik dari
perkenalan dan pengakuan yang kurang lebih terlembagakan (Bourdieu & Wacquant,
1992: 119). Dalam pandangan Bourdieu, modal sosial sederhananya merupakan
kumpulan relasi-relasi sosial yang mengatur individu atau kelompok, dapat berupa
jaringan informasi, norma-norma sosial dan kepercayaan yang melahirkan
kewajiban-kewajiban dan harapan.
Lain halnya dengan modal sosial, modal kultural merupakan konversi
budaya, seperti pengetahuan ilmiah, kualifikasi pendidikan, ataupun fasilitas verbal
(bahasa), dengan kata lain ingin menunjukkan bahwa budaya (dalam arti luas) dapat
menjadi modal (Swartz, 1997: 43). Modal kultural bisa eksis dalam tiga bentuk:
pertama, dalam keadaan diwujudkan (non-fisik), yaitu dalam bentuk disposisi tahan
lama dari pikiran dan tubuh seperti cara berbicara (bahasa), cara berjalan, atau
perilaku-perilaku lain; kedua, dalam keadaan materi, seperti dalam bentuk barang
budaya (lukisan, buku, alat elektronik, mesin-mesin, dll), yang menunjukkan status
sosial karena kepemilikan benda-benda tersebut; terakhir, dalam keadaan
terlembagakan (institusional) seperti kualifikasi akademik, gelar atau ijasah yang
berhubungan dengan kualitas intelektual (Bourdieu, 1986: 242). Modal ini berperan
dalam penentuan kedudukan sosial.
Terakhir, modal simbolik didefinisikan sebagai bentuk yang sama atau lain
dari jenis modal yang lainnya, diperoleh melalui kategorisasi persepsi yang
mengakui logika tertentu, sehingga merupakan akumulasi kehormatan yang dimiliki
oleh pelaku sosial. Modal simbolik disimpulkan sebagai sebuah pengakuan,
dilembagakan atau tidak, yang diterima dari kelompok (Bourdieu, 1991: 72). Pada
dasarnya modal simbolik adalah tidak lain dari modal lainnya ketika diketahui dan
diakui, melalui kategori persepsi yang memaksakan, hubungan kekuasaan simbolis
yang cenderung untuk mereproduksi dan memperkuat hubungan kekuasaan yang
merupakan struktur dalam ruang sosial. (Bourdieu, 1989: 21). Singkatnya, modal
simbolik adalah transformasi dari modal ekonomi, sosial, dan kultural kedalam
bentuk yang baru, dan memiliki kekuatan yang besar.
Kekuatan modal simbolik yang sangat besar pada akhirnya akan menciptakan
kuasa simbolik (symbolic power). Menurut Bourdieu, penguasaan modal simbolik
13
Bab I: Pendahuluan
adalah salah satu syarat dibangunnya kekuasan simbolik, disamping sejauh mana visi
yang ditawarkan berpijak pada realitas (Bourdieu, 1987: 164; 2011: 183).
“Premierement, ...le pouvoir symbolique doit etre fondee sur la
possession d'un capital symbolique...” “Deuxiemement, l'efficacite
symbohque depend du degre auquel vision propose est fonde dans la
realite.”
“Pertama, …kekuasaan simbolik harus didasarkan pada kepemilikan
modal simbolik…” “Kedua, efektivitas simbolik bergantung pada
sejauh mana visi yang ditawarkan dapat berpijak dalam realitas.”
Bourdieu mengambil dari gagasan Max Weber yakni karisma dan legitimasi
untuk mengembangkan teori kekuasaan simbolik (Swartz, 1996: 76).4 Seperti Weber,
Bourdieu berpendapat bahwa pelaksanaan kekuasaan membutuhkan legitimasi.5 Pada
akhirnya, Bourdieu berkata untuk kekuasan simbolik adalah kekuasaan tak terlihat
yang dapat dilaksanakan hanya dengan keterlibatan orang-orang yang tidak ingin
tahu bahwa mereka tunduk atau bahkan mereka sendiri menjalankan itu (Bourdieu,
1991: 164). Pertanyaannya kemudian apa sumber dan efek dari kuasa simbolik?
Bourdieu (1991: 168-170) menjawabnya dengan panjang lebar: sebagai instrumen
dominasi, kuasa simbolik adalah menstrukturkan (karena ia terstruktur), yang
merupakan sistem ideologis yang spesialis memproduksi kedalam dan perjuangan
atas monopoli produksi ideologis yang terlegitimasi dalam bentuk tidak dikenali
(misrecognizable), melalui perantaraan homologi antara arena produksi ideologis dan
arena kelas sosial. Efeknya, kekuatan simbolik sebagai kekuatan yang diberikan
melalui ucapan atau kata-kata (bahasa), membuat orang melihat dan percaya,
mengkonfirmasi atau mengubah visi pandangannya tentang dunia, dan dengan
demikian, tindakan pada dunia adalah dunia itu sendiri. Selain itu, merupakan
magical power yang memungkinkan seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang
4
Lihat secara lengkap di Pierre Bourdieu (1991), “Language and Symbolic Power”, Cambridge:
Polity Press, halaman 163-170.
5
Max Weber mengajukan tiga dasar legitimasi yakni rasional, tradisional dan karisma (Weber, 1947:
328). Menurut Weber, legitimasi rasional bertumpu pada kepercayaan legalitas melalui pola aturan
normatif, dan hak atas kekuasaan itu di bawah aturan tersebut untuk mengeluarkan perintah
(kewenangan hukum). Legitimasi tradisional bertumpu pada keyakinan yang didirikan pada
kesakralan tradisi yang telah lama bertahan, patron-klien misalnya. Sedangkan legitimasi karismatik
bertumpu pada pengabdian khusus, kesucian, kepahlawanan atau karakter teladan dari seorang
individu, yang kemudian menjadi nilai (otoritas karismatik). Dalam kasus otoritas karismatik,
pemimpin memenuhi syarat untuk dipatuhi berdasarkan kepercayaan pribadi yang ada dalam diri,
kepahlawanan atau kualitas teladan yang dimiliki secara individu.
14
Bab I: Pendahuluan
setara dengan apa yang diperoleh melalui force, baik fisik maupun ekonomi, dan
berdasarkan mobilisasi yang dapat dijalankan hanya jika diakui, tidak dikenali bahwa
itu sewenang-wenang (misrecognized as arbitrary).
Kesimpulannya, legitimasi dalam konsepsi Bourdieu adalah kuasa simbolik.
Lebih konkret lagi, legitimasi dunia sosial bukanlah produk dari tindakan yang
memang diorientasikan untuk propaganda atau pemaksaan simbolis, sebaliknya
legitimasi ini hadir karena agen-agen mengaplikasikannya kedalam struktur obejektif
itu sendiri, dan karenanya cenderung menggambarkan dunia itu sesuatu yang sudah
terbukti dengan sendirinya (Bourdieu, 2011: 181). Untuk itu, dalam banyak tempat di
studi ini, legitimasi akan digunakan secara bergantian dengan kuasa simbolik.
Berdasarkan konsepsi Bourdieu tentang modal tersebut memungkinkan bagi
studi ini untuk mengetahui modal apa saja yang dimiliki oleh Klan Qahhar
Mudzakkar. Ketokohan Qahhar Mudzakkar bagi masyarakat Sulawesi Selatan
memberikan pemahaman awal bahwa salah satu modal yang dimiliki adalah modal
simbolik. Disamping itu konsep modal yang dikatakan Bourdieu terakumulasi dari
proses panjang sehingga memiliki peran yang penting bagi kontestasi politik,
mengajak kita untuk mengaitkan dan mengujinya dalam arena elektoral.
Keberhasilan Klan Qahhar Mudzakkar untuk terpilih sebagai pejabat publik di pusat
dan daerah adalah langkah awal untuk mengetahui karakteristik modal yang dimiliki
klan tersebut.
Menurut Bourdieu, modal adalah setiap sumber daya yang efektif di ruang
sosial tertentu yang memungkinkan seseorang untuk memastikan adanya keuntungan
khusus yang timbul dari partisipasi dan kontestasi di dalamnya. Modal tersebut
berada dalam sebuah champ (bahasa Perancis) atau arena, dimana berbagai jenis
modal itu diperebutkan, dipertahankan dan dipertukarkan. Arena secara sederhana
dapat disimpulkan sebagai jaringan hubungan sosial, sistem terstruktur dari posisi
sosial di mana perjuangan atau manuver perebutan sumber daya, wilayah dan akses –
beberapa akan berusaha untuk mempertahankan status quo, sedangkan yang lain
berusaha untuk mengubahnya. Bourdieu mendefinisikan arena sebagai:
“A network, or configuration of objective relations between positions.
These positions are objectively defined in their existence and in the
determinations they impose upon their occupants, agents or
15
Bab I: Pendahuluan
institutions, by their present and potential situation in the structure of
the distribution of species of power (or capital) whose possession
commands access to the specific profits that are at stake in the field, as
well as by their objective relation to other positions (domination,
subordinaton, homology, etc).” (Bourdieu & Wacquant, 1992: 97).
“Suatu jaringan, atau konfigurasi hubungan antara posisi-posisi
obyektif. Posisi ini secara objektif didefinisikan dalam eksistensinya
dan dalam determinasi yang mereka paksakan atas para penghuninya,
agen atau lembaga, oleh kehadirannya dan situasi potensial dalam
struktur dari distribusi jenis kekuasaan (atau modal), yang memiliki
akses mengendalikan keuntungan tertentu yang dipertaruhkan di
arena, serta hubungan yang bertujuan untuk posisi lain (dominasi,
subordinasi, homologi, dll).”
Arena dilambangkan sebagai arena-arena produksi, sirkulasi dan perebutan
barang kebutuhan, pelayanan, pengetahuan atau status, dan posisi kompetitif yang
diperebutkan oleh agen-agen sebagai bentuk akumulasi dan monopoli jenis-jenis
kapital yang beragam (Swartz, 1997: 117). Konsep arena merupakan tempat
pertarungan kekuatan atau tempat mempertahankan dan mengubah struktur
hubungan-hubungan kekuasaan. Sebagai contoh pertama, arena adalah sebuah ruang
terstruktur dari posisi, dimana kekuatan arena menetapkan penentuan spesifik kepada
semua orang yang memasukinya. Misalnya seseorang ingin berhasil sebagai seorang
ilmuwan, maka dia tidak memiliki pilihan selain untuk mendapatkan minimal “modal
ilmiah” yang diperlukan dan untuk mematuhi adat istiadat dan peraturan yang
ditegakkan oleh lingkungan ilmiah tersebut. Dalam contoh kedua, arena merupakan
“arena of struggle” di mana agen dan institusi berusaha untuk melestarikan atau
membatalkan distribusi yang ada terhadap modal (Wacquant, 2007: 268).
Arena dapat dianggap sebagai semacam pasar atau permainan (jeu), karena
dalam arena, kita memiliki saham (enjeux), investasi (illusio), dan kita juga memiliki
kartu truf (Bourdieu & Wacquant, 1992: 98). Arena ditempati oleh yang dominan
dan yang didominasi, dua set aktor yang berusaha merebut, mengeluarkan, dan
membangun monopoli atas mekanisme reproduksi arena dan jenis kekuasaan yang
efektif di dalamnya (pp. 106). Namun, arena juga selalu relasional, mikrokosmos
sosial yang dinamis. Mereka bergantung dan terus berubah, yang berarti bahwa untuk
memikirkan arena, orang perlu untuk berpikir relasional atau secara dialektis (pp.
96).
16
Bab I: Pendahuluan
Dalam upaya perjuangan perebutan kekuasaan di dalam arena, Bourdieu
membedakan tiga jenis strategi yang dipakai oleh para agen (Swartz, 1997: 125).
Pertama, conservation, yaitu strategi yang biasa dipakai oleh pemegang posisi
dominan dalam sebuah arena. Kedua, succession, yaitu strategi yang bertujuan untuk
mendapatkan akses terhadap posisi-posisi dominan didalam arena. Posisi dominan
tersebut biasanya dikejar oleh para agen pendatang baru. Ketiga, subversion, yaitu
strategi yang dipakai oleh mereka yang mengharapkan mendapat bagian kecil dari
kelompok-kelompok dominan. Strategi ini mengambil bentuk kurang lebih
perpecahan radikal dengan kelompok dominan dengan menantang legitimasi untuk
menentukan standar arena.
Penggunaan strategi oleh agen pelaku sosial adalah untuk mempertahankan
posisi, memperbaiki posisi dan memperoleh posisi-posisi baru di dalam arena.
Strategi ini menyangkut penempatan modal dan habitus dalam arena, sehingga
individu atau kelompok kemudian memiliki posisi di bagian kelas atas, menengah
atau bawah. Semakin besar kepemilikan modal, maka semakin tinggi posisinya
dalam hirarki ruang sosial di masyarakat. Untuk mengetahui strategi dalam arena
sosial, Bourdieu (1998: 5) mengajukan matriks analisa posisi individu dalam
penempatan modal (lihat bagan 1). Hanya saja tipologi arena sosial tersebut
berdasarkan pada realita masyarakat Perancis pada saat itu.
Berdasarkan bagan tersebut, Bourdieu (1998: 6-7) mengatakan bahwa untuk
pembacaan terhadap analisis hubungan antara posisi sosial (hubungan relasional),
disposisi (habitus), dan pengambilalihan-posisi (strategi), yakni pilihan yang dibuat
oleh agen-agen sosial dalam ranah dengan berbagai macam praktik, dalam makanan
atau olahraga, musik atau politik, dan sebagainya. Selain itu, penempatan modal
sangat penting untuk melihat posisi pelaku sosial di setiap kelas, menentukan gaya
hidup dan selera (distinction). Arena dibangun sedemikian rupa sehingga agen atau
kelompok berada sesuai dengan posisi mereka dalam distribusi statistik modal secara
keseluruahan, dan didasarkan pada dua prinsip diferensiasi yakni modal ekonomi dan
modal kultural. Dalam dimensi pertama (vertikal), agen didistribusikan sesuai
dengan volume keseluruhan dari berbagai jenis modal (ekonomi, sosial, budaya dan
simbolik) yang mereka miliki, dan dalam dimensi kedua (horisontal) berdasarkan
17
Bab I: Pendahuluan
dengan struktur modal mereka, yakni sesuai dengan relativitas berbagai jenis modal
ekonomi dan budaya, dalam bobot komposisi volume modal mereka.
Bagan 1
Ruang Sosial (Arena) berdasarkan Strategi Penempatan Modal
Dengan demikian, dalam dimensi pertama, yang paling utama (kelas atas)
adalah para pemegang volume modal terbesar secara keseluruhan, seperti pengusaha,
pegawai profesional, dan profesor universitas (intelektual). Sedangkan guru,
sekretaris profesional atau teknisi berada di garis pembelah yang dikelompokkan di
dalam kelas menengah. Sementara yang terendah (kelas bawah), dalam bentuk massa
adalah mereka yang paling kekurangan modal, seperti pekerja tidak terampil dan
petani. Akan tetapi, dari sudut pandang bobot modal kultural, profesor relatif kaya
18
Bab I: Pendahuluan
modal budaya daripada modal ekonomi, sehingga berlawanan dengan pengusaha
yang relatif kaya modal ekonomi daripada modal kultural. Dimensi kedua
(horisontal), adalah sumber dari perbedaan dalam disposisi (habitus), sehingga
sebagai cara pengambilalihan posisi (strategi). Misalnya pertentangan antara
intelektual dan pengusaha atau pada tingkat yang lebih rendah dari hirarki sosial,
antara guru sekolah dasar dan pedagang kecil. Jika dimensi vertikal berdasarkan pada
distribusi modal, maka dimensi horisontal berdasarkan diferensiasi habitus, misalnya
selera.
Untuk menganalisa arena tersebut mencakup tiga hal yang diperlukan dan
secara internal saling berhubungan (Bourdieu & Wacquant, 1992: 104-5). Pertama,
kita harus menganalisis posisi-posisi arena kekuasaan yang saling berhadapan (vis-àvis). Kedua, kita harus memetakan struktur obyektif terhadap relasi antara posisi
yang diduduki oleh agen-agen sosial atau institusi yang bersaing untuk mendapatkan
bentuk-bentuk legitimasi dari otoritas tertentu atas sebuah arena. Ketiga, menganalisa
habitus agen sosial, sistem-sistem disposisi yang berbeda, yang diperoleh diperoleh
melalui internalisasi pengaruh dari kondisi ekonomi dan sosial, serta menemukan
sebuah jalan/masa depan (trajectory) yang pasti kedalam arena atas pertimbangan
kesempatan yang menguntungkan untuk dapat teraktualisasikan. Kesimpulannya,
untuk melihat strategi adalah dengan cara “mapping” posisi agen di dalam arena
berdasarkan akumulasi modal – khususnya ekonomi dan kultural – kemudian
mengelompokkan secara bersama profil individu dan institusi yang memiliki
karakteristik sama dan bertentangan – habitus – dimana sebuah peluang atau
kesempatan dalam arena sangat mempengaruhi.
Pada akhirnya, dunia sosial dengan pembagian kelas-kelasnya adalah sesuatu
yang dilakukan oleh para agen pelaku sosial untuk berkuasa – dalam artian politik.
Dilakukan secara individu dan kolektif, dalam kerjasama dan konflik, dimana posisi
yang diduduki dalam ruang sosial berdasarkan distribusi berbagai jenis modal, dan
diferensiasi habitus, yang dapat digunakan sebagai senjata, penentu representasi dari
arena, dan untuk pengambilalihan posisi, dalam upaya perjuangan untuk
melestarikan atau mengubahnya (Bourdieu, 1998: 12).
Konsep arena tersebut diatas digunakan untuk menjelaskan bagaimana
pertarungan modal yang dimiliki Klan Qahhar Mudzakkar. Seperti apa modal
19
Bab I: Pendahuluan
tersebut digunakan oleh para agen untuk memperebutkan kekuasaan dalam arena
politik. Seperti yang Bourdieu katakan, “capital does not exist and function except in
relation to a field” (Bourdieu & Wacquant, 1992: 101). Arena yang dimaksud dalam
studi ini adalah kontestasi demokrasi elektoral dalam ruang kekuasaan. Demokrasi
elektoral, sama seperti arena, adalah ruang di mana permainan berlangsung, yang
merupakan hubungan antara individu yang bersaing untuk keuntungan pribadi.
Dalam arena demokrasi elektoral terdapat aturan dan batasan-batasan yang harus
dilalui oleh para agen atau pelaku sosial (diluar dari pelaku sosial dan menjadi bagian
dari diri pelaku sosial).6
Habitus dan Doxa: Sumber Legitimasi Kekuasaan
Konsep habitus digunakan dalam studi ini bertujuan untuk melihat bagaimana
disposisi7 individu ke dalam suatu praktik tertentu. Apakah individu cenderung
mendisposisikan dirinya dalam skema praktik yang dikonstruksi oleh masyarakat
ataukah sebaliknya. Bagaimana praktik sosial dipahami sebagai agregat perilaku
individu ataukah sebagai sesuatu yang ditentukan oleh struktur supra individual.
Sedangkan konsep doxa dipinjam untuk menjelaskan bagaimana wacana dominan
yang diproduksi oleh institusi sosial dapat diterima sebagai kebenaran obyektif bagi
masyarakat Sulawei Selatan. Dengan kata lain, doxa merupakan basis bagi Klan
Qahhar Mudzakkar sebagai legitimasi wacana dominan yang diproduksi oleh
institusi masyarakat. Dalam studi ini institusi yang dimaksud adalah institusi yang
sifatnya informal.
Mengenai habitus, Bourdieu ingin keluar dari dualisme obyektivisme dan
subyektivisme, dan reaksi terhadap strukturalisme yang mereduksi agen hanya
sekedar pelaksana bagi struktur (Bourdieu: 1990a: 52). Bourdieu telah melampaui
jalan dari perdebatan dua kutub subyektivisme dan obyektivisme yang mewarnai
ilmu sosial hingga sekarang. Subyektivisme melalui eksistensialisme yang melihat
individu sebagai penentu utama dalam tindakan sosial, sedangkan obyektvisme
6
Dialectic of the internalization of externality and the externalization of internality (externality adalah
struktur dan internality adalah pelaku sosial). Lihat Bourdieu (1995), “Outline of A Theory of
Practice”, New York: Cambridge University Press, halaman 72.
7
Pengertian disposisi menurut Bourdieu memiliki tiga makna: (a) hasil dari suatu tindakan
pengorganisasian, (b) suatu keadaan habitual/kebiasaan (terutama dari tubuh); (c) tendensi, niat, atau
kecenderungan (Bourdieu, 1995: 214, no. 1; Jenkins, 2010: 110).
20
Bab I: Pendahuluan
melalui strukturalisme menempatkan struktur sosial sebagai faktor dominan yang
mempengaruhi sebuah tindakan. Bourdieu ingin mendamaikan pertentangan kedua
pendekatan tersebut yang menurutnya “absurd opposition between individual and
society”, sehingga kemudian melahirkan konsep habitus (Bourdieu, 1990b: 31).
Bourdieu kemudian mendefenisikan habitus sebagai sesuatu yang tahan lama,
disposisi yang dapat berganti, struktur yang distrukturkan, yaitu sebagai prinsip yang
mengatur praktik dan gambaran representasi/perwakilan yang dapat disesuaikan
secara objektif untuk mendapatkan hasil tanpa mensyaratkan akan tujuan akhir atau
penguasaan atas operasi-operasi yang diperlukan dalam mencapai tujuan. Secara
obyektif “teratur” dan “berkala” tanpa harus menjadi hasil dari ketaatan kepada
aturan, mereka dapat diatur secara kolektif tanpa terorganisir oleh pelaku (Bourdieu,
1990a: 53; 1995: 72).
“Systems of durable, transposable dispositions, structured structures
predisposed to function as structuring structures, that is, as principles
which generate and organize practices and representations that can be
objectively adapted to their outcomes without presupposing a
conscious aiming at ends or an express mastery of the operations
necessary in order to attain them. Objectively „regulated‟ and „regular‟
without being in any way the product of obedience to rules, they can
be collectively orchestrated without being the product of the
organizing action of a conductor.”
Habitus berdasarkan dengan apa yang diterima, nilai, dan cara bertindak di
dalam arena sosial. Bourdieu kadang menggambarkan habitus sebagai “logika
permainan” sebuah “rasa praktik” yang mendorong aktor bertindak dan bereaksi
dalam situasi spesifik dengan suatu cara yang tidak dikalkulasikan sebelumnya dan
bukan sekedar kepatuhan sadar pada peraturan-peraturan (Johnson, 2012: xvi).
Habitus sebagai sistem skema persepsi dan apresiasi dari praktik, struktur kognitif
dan evaluatif yang diperoleh melalui pengalaman abadi pada posisi sosial (Bourdieu,
1989: 19). Habitus ada dalam bentuk mental dan skema jasmani, matriks persepsi,
apresiasi, dan tindakan (Bourdieu & Wacquant, 1992: 16, 18).
Kesimpulannya bahwa habitus bukan sesuatu yang alami atau bawaan
melainkan pengalaman sosial ataupun pendidikan, dapat diubah oleh sejarah, yaitu
dengan pengalaman baru, pendidikan atau pelatihan. Disposisi yang tahan lama yang
21
Bab I: Pendahuluan
cenderung melanggengkan, untuk memperbanyak diri, tetapi tidak kekal. Setiap
dimensi habitus sangat sulit untuk mengubah, tetapi dapat diubah melalui proses
kesadaran dan usaha pedagogik (mendidik). Secara sederhana habitus dapat diartikan
sebagai hasil dari proses keterampilan berupa tindakan praktis (sadar ataupun tidak
disadari) yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial
tertentu.
Kita
dapat
memahami
pengoperasian
habitus
dengan
mengamati
diberlakukannya disposisi dalam praktik. Praktik seseorang-kelompok “corporeal
hexis” (jasmani) dan “style of expression” (mental) adalah manifestasi empiris dari
disposisi yang terletak di habitus. Ketika orang masuk ke dalam ruang sosial, maka
mereka membawa habitus dan berhubungan dengan tatanan sosial yang lebih luas,
sehingga praktik individu dalam organisasi diinformasikan (tapi tidak menentukan)
oleh habitus (terkait dengan posisi dalam tatanan sosial yang lebih luas). Oleh sebab
itu, dalam menyelesaikan tugas-tugas sosial dan politik, orang bertindak atas dasar
tidak hanya aturan institusi, tetapi juga dari habitus.
Berangkat dari konsep tiga serangkai (habitus, modal, dan arena), Bourdieu
secara sosiologis kemudian menguraikan gagasan tentang doxa. Doxa adalah
hubungan kepatuhan langsung yang didirikan dalam praktik antara habitus dan arena
yang sangat menyesuaikan diri, dan sesuatu yang diterima begitu saja dari dunia
yang mengalir dari pikiran (Bourdieu, 1990a: 68).
Doxa hadir ketika kita mempertanyakan tentang legitimasi yang tidak
muncul, ataupun perjuangan simbolik tidak bertarung. Hal ini terjadi pada
masyarakat doxic, suatu masyarakat yang menetapkan tatanan kosmologi dan politik
dianggap tidak sewenang-wenang, dan bukan urutan kemungkinan, tetapi sebagai
perintah yang sudah jelas dan alami (Bourdieu, 1995: 166). Dalam masyarakat doxic
kebutuhan subjektif dan akal sehat divalidasi oleh konsensus obyektif tentang
memahami dunia.
Gagasan doxa milik Bourdieu menunjukkan dua hal: pertama, bahwa sikap
alami dari kehidupan sehari-hari yang membawa kita menerima dunia yang di yakini
bergantung pada kesesuaian antara kategori subjektif dari habitus dan struktur tujuan
dari setting sosial di mana orang bertindak. Kedua, bahwa setiap alam semesta relatif
otonom mengembangkan doxa sendiri sebagai satu set pendapat bersama dan
22
Bab I: Pendahuluan
keyakinan yang tidak diragukan lagi yang mengikat pelaku satu sama lain
(Wacquant, 2007: 270).
Mereka yang menduduki posisi dominan dalam arena, dan mereka yang
berada dalam posisi terdominasi tunduk sebagai bentuk penerimaan di arena, sikap
mereka di dalamnya berdasarkan dari aturan keterlibatan. Bourdieu menyebut sikap
ini sebagai doxa. Bourdieu menggunakan istilah doxa untuk menunjukkan apa yang
diterima begitu saja (taken for granted) dalam setiap masyarakat tertentu. Doxa,
dalam pandangannya adalah pengalaman dimana dunia alam dan sosialnya muncul
secara alami dan terbukti dengan sendirinya (the natural and social world appears as
self-evident) (Bourdieu, 1995: 164). Bourdieu berangkat dari pandangan bahwa
setiap tatanan yang mapan cenderung menghasilkan (untuk derajat yang sangat
berbeda dan dengan cara yang sangat berbeda) naturalisasi kesewenang-wenangan
tersendiri. Disebabkan oleh korespondensi antara kelas yang obyektif dan kelas yang
diinternalisasikan, struktur sosial dan struktur mental, yang merupakan dasar dari
kepatuhan. Artinya, nilai dan wacana yang dihasilkan oleh doxa merupakan sebuah
kebenaran yang sah dan tidak perlu dipertanyakan lagi.
Bagan 2
Doxa, Heterodoxy dan Orthodoxy (Bourdieu, 1995: 168)
universe of undispute (undisputed)
doxa
opinion
heterodoxy
-
orthodoxy
+
universe of discourse (argument)
Didalam doxa ini terdapat seperangkat nilai dan wacana, sebagai prinsipprinsip fundamental bagi arena, dimana kebenaran terkandung didalamnya. Doxic
attitude (sikap) telah membuat tubuh dan ketidaksadaran menerima kondisi-kondisi
23
Bab I: Pendahuluan
yang sebenarnya tidak masuk akal dan bersifat mengikat. Doxa beroperasi seolaholah itu adalah kebenaran obyektif di ruang sosial secara keseluruhan. Praktik dan
persepsi individu (pada tingkat habitus) ke praktik dan persepsi dari negara dan
kelompok sosial (pada tingkat arena) (Bourdieu, 1995: 165-8). Dengan demikian,
doxa sesungguhnya merupakan kebenaran obyektif yang diterima dalam lintas ruang
sosial, dari praktik dan persepsi individu menjadi praktik dan persepsi yang diterima
kelompok atau institusi sosial lainnya (universe of undispute). Artinya, doxa dapat
menciptakan legitimasi bagi wacana dominan yang diproduksi dan direproduksi oleh
institusi yang ada dalam masyarakat.
Sebagaimana ruang sosial (arena) yang selalu bergerak, didalam doxa
terdapat pertarungan dunia wacana (universe of discourse) antara heterodoxy dan
orthodoxy (lihat bagan 2). Heterodoxy adalah opini (wacana) yang berusaha
memberikan penilaian negatif terhadap doxa, sedangkan orthodoxy adalah wacana
yang terus berusaha mempertahankan (semakin membenarkan) doxa (Bourdieu,
1995: 168-9).
Dalam konteks Klan Qahhar Mudzakkar ditemukan bahwa perolehan suara
terbanyak dalam Pemilu dan Pemilukada di Sulawesi Selatan, berada pada wilayah
gerakan Qahhar Mudzakkar pada masa lalu. Daerah-daerah tersebut terdapat jaringan
pengikut Qahhar Mudzakkar yang loyal. Kepercayaan bahwa Qahhar Mudzakkar
masih hidup, terpelihara dengan baik dalam pikiran dan perilaku masyarakat
setempat, serta menjadikannya sebagai mitos. Konsepsi Bourdieu tentang habitus
dan doxa digunakan untuk mengkaji fenomena tersebut, sehingga memungkinkan
untuk menjawab bagaimana individu memberikan legitimasi kekuasaan bagi Klan
Qahhar Mudzakkar, yang juga menjadikannya sebagai modal yang signifikan bagi
keberhasilan mereka dalam politik.
Demokrasi Indonesia
Diawali dari runtuhnya rezim Soeharto dan hadirnya reformasi, banyak
ilmuwan mengatakan Indonesia memasuki masa transisi demokrasi (Emmerson,
2001; Mishra, 2002; Webber, 2005). Demokrasi pluralis dan Pemilu kompetitif
kemudian diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1999. Hal ini ditandai dengan
transisi dari otokrasi terpusat ke pemilihan demokrasi dibantu oleh transformasi elit
24
Bab I: Pendahuluan
politik, langkah-langkah membangun kontrol sipil atas aparat keamanan, sejumlah
undang-undang tentang desentralisasi, pembentukan komisi independen untuk
mempromosikan transparansi dan akuntabilitas dan pencegahan korupsi, kebebasan
pers, dan pembentukan pengadilan niaga (Mishra, 2002). Salah satu bagian dari
transisi yang dimaksud, misalnya, sebagai bagian dari proses desentralisasi,
pemilihan kepala daerah secara langsung diyakini membuat tata pemerintahan
demokratis: lebih transparan (local accountability), partisipatif (political equality)
dan
meningkatkan
pembangunan
sosial
ekonomi
(local
responsiveness)
(Hasanuddin, 2003). Pada akhirnya, Indonesia disebut sebagai negara yang sedang
mengkonsolidasikan
demokrasi.
Sedangkan
ilmuwan
lain,
cenderung
menggambarkan reformasi kedalam bentuk transisi dari “orde ke dis-orde” atau
changing continuities, yakni dengan adanya penguasaan elit lama terhadap institusi
pemerintahan lokal baru (Robison & Hadiz, 2004; Slater, 2006); desentralisasi tidak
secara otomatis menghasilkan demokrasi lokal, melainkan keberlanjutan masa lalu
(Nordholt & van Klinken, 2007). Pada akhirnya mereka menyimpulkan bahwa
Indonesia bukanlah berjalan pada trek demokrasi yang sesungguhnya. Singkatnya,
reformasi telah mengundang debat akademik tentang demokrasi Indonesia dan masa
depan dari demokrasi itu sendiri.
Saya memulai perdebatan ini dari argumen sebagian ilmuwan yang
menampilkan Indonesia ke dalam sistem politik yang demokratis, setelah satu dekade
reformasi politik, administrasi dan beberapa putaran pemilihan yang dinilai
kompetitif. Mereka optimis menyebut Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi
yang paling bersemangat di dunia. Demokrasi Indonesia jika diukur terhadap negaranegara lain pada tahap perbandingan demokratisasi, Indonesia adalah contoh yang
mengesankan
dari
keberhasilan
transisi
menuju
demokrasi
pada
periode
kontemporer, dengan catatan-catatan didalamnya (Aspinall dan Mietzner, 2010: 17).
Mengenai catatan-catatan empirik yang terkandung dalam demokrasi
Indonesia yang dikemukakan oleh penganut teori konsolidasi demokrasi, mengatakan
bahwa
bagaimanapun,
konsolidasi
demokrasi
di
Indonesia
akan
terus
membingungkan karena pelembagaan yang buruk dalam hal supremasi hukum,
kekerasan dan peran militer yang tidak akan berkurang dalam waktu dekat.
Konsolidasi akan terjadi sampai elit dan pejabat pemerintah (aktor) diperkirakan
25
Bab I: Pendahuluan
dapat diandalkan untuk menegakkan lembaga-lembaga demokrasi, dan tunduk pada
hukum itu sendiri adalah jawaban untuk masa depan demokrasi di Indonesia
(Davidson, 2009; Freedman, 2007). Dari kalangan ilmuwan Indonesia sendiri,
menyimpulkan bahwa mandek atau tidaknya demokrasi Indonesia pasca reformasi
bergantung pada elit politik, sebagaimana yang telah terjadi pada demokrasi liberal
tahun 1950-an (Bakti, 2004: 206). Menurutnya, Indonesia telah berjuang dengan
demokrasi selama beberapa dekade dengan tiga jenis demokrasi, yang semuanya
gagal. Demokrasi Parlementer (1949-1957), Demokrasi Terpimpin (1957-1965), dan
Demokrasi Pancasila (1966-1998) adalah kegagalan yang dimaksud. Sebagai
kesimpulan, tidak adanya demokrasi di kalangan elit politik, dan kecenderungan
militer untuk melihat dirinya sebagai “the guardian of the state”, mengancam transisi
demokrasi di Indonesia. Akan tetapi, penjelasan tersebut dijawab oleh dua ilmuwan
Australia, Andrew MacIntyre dan Douglas E. Ramage. Mereka menjelaskan bahwa
reformasi sipil-militer cukup berhasil di terapkan di Indonesia. Keluarnya militer dari
politik telah membantu untuk memastikan konsolidasi demokrasi yang relatif stabil
dan terutama mengenai kesepakatan perdamaian yang berhasil di Aceh (Macintyre &
Ramage, 2008: 17).
Kesimpulan yang sedikit berbeda dihasilkan dalam dua survei Demos (sejak
tahun 2003-2007). Mereka menyimpulkan bahwa walaupun pada awalnya,
demokrasi Indonesia mengalami defisit, akan tetapi telah bergerak pada kemajuan
demokrasi yang mengesankan (Samadhi & Asgart, 2009: 53). Hal ini berdasarkan
indikasi adanya perkembangan relasi aturan-aturan dan perundang-undangan dengan
instrumen-instrumen operasional tata pemerintahan demokratis. Namun, disisi lain
selama dekade awal reformasi, demokrasi juga dibarengi dengan kemunduran dan
stagnasi. Demokrasi Indonesia dibayangkan sebagai bangunan yang berdiri diatas
pasir, tidak mempunyai pondasi yang kuat (Samadhi & Asgart, 2009: 55). Mereka
pada prinsipnya optimis dengan masa depan demokrasi yang telah bekerja dan
berhasil, dan relatif lebih baik dengan pengalaman negara lain seperti Thailand dan
Filipina.
Berbagai teorisasi – terdapat juga prediksi – diatas, menggunakan perspektif
prosedural demokrasi dalam menjelaskan demokrasi Indonesia. Ketersediaan tools
demokrasi beserta dengan kemandirian aktor adalah jawaban atas masa depan
26
Bab I: Pendahuluan
demokrasi. Merangkum dari keseluruhan teori diatas, bahwa pengalaman demokrasi
dekade awal telah menjadi contoh yang menjanjikan terhadap konsolidasi demokrasi
yang bertahap: sistem Pemilu, kemapanan elit politik, maupun aturan-aturan dan
kebijakan-kebijakan politik. Transisi demokrasi ataupun konsolidasi demokrasi
merupakan jawaban dari dominannya pendekatan aktor dalam memahami realita
demokrasi Indonesia. Hal yang akan selalu dikritik oleh penganut strukturalis.
Kubu yang berseberangan berpendapat bahwa demokrasi di Indonesia
bukanlah sebuah proses transisi demokrasi (Robison & Hadiz, 2004; Nordholt & van
Klinken, 2007; Boudreau, 2009; Choi 2009). Pemahaman transisi demokrasi yang
diiringi dengan proses desentralisasi, sebagai harapan untuk tata pemerintahan yang
lebih transparan dan kompetitif perlu untuk dikaji ulang. Reformasi yang ditandai
dengan runtuhnya rezim otoriter, tidak secara pasti diiringi dengan demokrasi yang
bermutu di ranah lokal. Selain itu, desentralisasi yang dipraktikkan pada dasarnya,
mengembalikan penguasa-penguasa lama dan kelompok-kelompok kepentingan
dapat mengambil peran dan bahkan menjadi raja-raja kecil di daerah.
Salah satu penggagas politik strukturalis Indonesia, Richard Robison dan
Vedi R. Hadiz (2004) menyatakan oligarki politik masa lalu masih berkuasa pasca
reformasi, meskipun pemerintahan otoriter Orde Baru telah tumbang dan digantikan
dengan lembaga-lembaga yang secara formal demokratis. Elemen oligarki tersebut,
kini telah menciptakan kembali diri mereka sendiri, dan berusaha untuk
mempertahankan posisi mereka dalam hubungannya dengan lembaga-lembaga
negara dan sumber daya dalam format baru demokratisasi dan desentralisasi
(Heryanto & Hadiz, 2005: 270). Henk Schulte Nordholt bahkan menyebut pasca
reformasi sebagai changing continuities (2005, 2007: 2). Kontinuitas perubahan yang
dimaksud adalah struktur berpikir dan tindakan masa lalu, mempengaruhi secara
terus menerus praktik politik kontemporer, dan menghambat kemungkinan terjadinya
perubahan (demokrasi).
Menurut mereka, pemahaman kontemporer yang mengatakan bahwa
Indonesia berada dalam fase transisi, dari masyarakat otoritarian tertutup menuju
masyarakat yang terbuka merupakan teori yang keliru. Kecenderungan pada basis
aktor dengan menekankan unsur-unsur kebetulan (accidents), pilihan aktor dan
dilema-dilema etis yang muncul dalam periode ketidakpastian politik yang terbatas,
27
Bab I: Pendahuluan
tidak cukup kuat sebagai dasar untuk menganalisa kesinambungan hubunganhubungan kekuasaan yang mendasarinya. Institusi-institusi baru yang terbentuk
bersamaan dengan runtuhnya otoritarian lama, tidak menghilangkan kepentingankepentingan dalam kontestasi kekuasaan para elit lama (Hadiz, 2005: 238).
Salah satu gagasan utama dari ilmuwan mazhab ini, bahwa terbentuknya
pola-pola baru dari penggunaan kekuasaan sosial, ekonomi dan politik yang terjadi
dalam politik lokal adalah cara yang dilakukan oleh kepentingan-kepentingan lama
untuk bertahan dan menguasai lembaga-lembaga demokrasi Indonesia melalui aliansi
dan kesepakatan baru (Hadiz, 2005: 237-9). Pada kesimpulannya bahwa masa depan
demokrasi Indonesia tidak akan jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh Filipina,
terkait dengan besarnya peluang rent-seeking melalui perebutan akses menuju posisi
aparatur negara untuk tujuan pribadi oleh aktor-aktor lama. Tradisi yang panjang dan
berurat akar dalam masyarakat lokal, seperti misalnya kekerasan, politik uang dan
patronase yang kemudian menyesuaikan diri dengan koalisi-koalisi dan aliansialiansi baru di dalam lembaga baru demokrasi, adalah salah satu penyebab dari
kenyataan tersebut.
Pasca transisi, praktik-praktik otoriter bertahan dan dibentuk oleh rezim
transisi dalam proses pemilihan dan kebijakan, serta pola represi menunjukkan cara
di mana otoritarianisme dapat bertahan dalam transisi rezim yang merusak janji
demokrasi (Boudreau, 2009: 233). Selain itu, perubahan-perubahan institusional
tidak mampu mengubah konfigurasi kekuasaan di daerah, dimana demokrasi dan
desentralisasi di Indonesia telah memungkinkan elit lokal yang telah mengakar untuk
meningkatkan basis kekuasaan mereka dan akses ke sumber daya, dan yang paling
penting, memberikan mereka peluang baru untuk berkontestasi dalam pemerintahan
(Choi, 2009: 162). Kesimpulannya adalah kenyataan politik dari berbagai studi diatas
menjadikan tidak adanya jalan pasti, Indonesia menuju sebuah demokrasi yang ideal.
Pengalaman Indonesia yang demikian, memerlukan cara lain untuk memahami
lintasan pasca otoriter yang berbeda dari yang ditawarkan dalam literatur tentang
teori transisi dan konsolidasi demokrasi yang tidak memuaskan (Hadiz, 2009: 536).
Masa depan demokrasi Indonesia dari teorisasi beberapa ilmuwan diatas,
dapat dilihat sebagai pijakan awal untuk menjelaskan demokrasi pasca reformasi
yang telah memasuki masa dekade kedua. Berbagai teorisasi tersebut merupakan
28
Bab I: Pendahuluan
hasil dari praktik demokrasi yang telah terjadi pada masa awal reformasi. Hal utama
yang perlu diingat dari perdebatan diatas adalah penganut agensi atau lebih dikenal
dengan penganut teori transisi demokrasi yang berfokus pada badan elit politik
(Harris et.al., 2005: 8), menyimpulkan bahwa masalah-masalah yang muncul dalam
kaitannya dengan desentralisasi dan demokrasi, didasarkan pada produk yang
dirancang dengan buruk (aturan) ataupun implementasi dari kerangka kebijakan itu
sendiri. Sedangkan kaum strukturalis menyimpulkannya sebagai produk dari jenis
kepentingan sosial yang sudah berurat akar pada masa lalu, memimpin lembagalembaga pemerintahan daerah kontemporer pasca reformasi.
Saya menyimpulkan secara lebih sederhana bahwa ada dua hal yang berbeda
dari perdebatan tersebut. Satu sisi begitu optimistik dalam menapaki masa depan
demokrasi Indonesia, sedangkan yang lainnya cenderung untuk pesimistik dengan
demokrasi yang akan terjadi. Namun pada dasarnya mereka semua sepakat bahwa
demokrasi yang terjadi di Indonesia tidaklah seperti harapan dari demokrasi yang
terjadi di Barat. Untuk itu, studi ini sebagai kesimpulan terbaru dari serangkaian
kajian yang menjelaskan seperti apa demokrasi kontemporer dan masa depannya
dalam dekade kedua reformasi dalam kasus kehadiran Klan Qahhar Mudzakkar
dalam politik lokal.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kasus (case study).
Metode studi kasus adalah metode pengumpulan informasi yang cukup secara
sistematis tentang orang tertentu, pengaturan sosial, peristiwa, atau kelompok untuk
memungkinkan peneliti memahami secara efektif bagaimana hal tersebut beroperasi
atau berfungsi (Berg, 2001: 224). Studi kasus digunakan untuk mengetahui dan
memahami kasus hadirnya Klan Qahhar Mudzakkar dalam politik lokal di Sulawesi
Selatan terkait dengan setting social yang berlangsung dan berfungsi dalam
demokrasi lokal. Studi kasus dipilih karena karakteristik kekuasaan dari hadirnya
keluarga/kerabat Qahhar Mudzakkar yang menduduki jabatan politik merupakan cara
yang berbeda. Berkaca pada studi aktor politik lokal yang ada, dimana secara teoritis
para keluarga/kerabat/kelompok politik menggunakan berbagai modal sebagai basis
legitimasi kekuasaan: sebagai pejabat; pengusaha; ataupun bangsawan. Namun
29
Bab I: Pendahuluan
berbeda dengan Klan Qahhar Mudzakkar, yang hadir bukan dari golongan tersebut.
Kesimpulannya, tampilnya aktor ini, bukanlah karena hasil pengolahan modal
tersebut.
Dalam masyarakat Sulawesi Selatan, Qahhar Mudzakkar adalah tokoh yang
dikagumi, bahkan dibeberapa daerah, Qahhar Mudzakkar telah menjadi mitos.
Keyakinan mitos (setting social) inilah yang terus terpelihara, sehingga fenomena
tersebut menjadi menarik untuk diteliti. Apa sumber daya yang menjadi modal
politik klan tersebut, sehingga dimungkinkan untuk menemukan perspektif lain
dalam memahami fenomena hadirnya klan politik di Indonesia.
Metode studi kasus ini juga digunakan untuk menggabungkan sejumlah
langkah pengumpulan data dari studi lapangan dan data pustaka. Penelitian ini ingin
mengetahui “nature” kasus hadirnya Klan Qahhar Mudzakkar secara lebih mendalam
dengan cara mendekatinya, kemudian dilanjutkan dengan menciptakan proposisi dan
model untuk memprediksi masa depan demokrasi di Indonesia. Dalam studi kasus ini
akan menggunakan jenis instrumental, dimana kasus diselidiki secara mendalam,
semua aspek dan kegiatan yang rinci, tetapi tidak hanya untuk menjelaskan kasus
semata, melainkan tujuannya adalah untuk membantu peneliti lebih memahami
beberapa pertanyaan teoritis yang lebih luas (Berg, 2001: 229). Jenis studi kasus ini
digunakan untuk mendukung/merevisi konsepsi tentang reproduksi kuasa dan
demokrasi berdasarkan kasus hadirnya Klan Qahhar Mudzakkar dalam politik lokal.
Lokasi Penelitian
Studi ini dilakukan di Provinsi Sulawesi Selatan. Lokasi penelitian akan
difokuskan pada daerah utara Sulawesi Selatan. Daerah utara secara administratif
terdiri dari Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur dan Kota Palopo. Wilayah
utara dipilih karena merupakan tanah kelahiran dan basis gerakan Qahhar
Mudzakkar, dimana para pendukungnya sangat banyak diwilayah ini. Kedua, daerah
ini memiliki kesamaan struktur sosial dan budaya. Selain itu, daerah utara merupakan
mayoritas arena kontestasi politik bagi Klan Qahhar Mudzakkar dalam pemilihan
elektoral.
30
Bab I: Pendahuluan
Teknik Pengumpulan Data
Berikut ini merupakan langkah-langkah dalam pencarian data meliputi data
lapangan dan data pustaka. Sumber datanya berupa manusia, peristiwa, tingkah laku,
benda, arsip, dan dokumen. Strategi pengumpulan data dilakukan dengan dua cara.
Pertama, melalui field study (studi lapang), peneliti berinteraksi langsung
dengan realita yang sedang ditelitinya sehingga dapat diperoleh data primer, yaitu
data yang berasal langsung dari informan berupa hasil pengamatan berperan serta
(observasi partisipatif) maupun berupa hasil wawancara mendalam (indepth
interview).
1) Pengamatan Berperan Serta (Observasi Partisipatif)
Penggunaan teknik observasi partisipatif dalam penelitian ini dimaksudkan
untuk menjaring informasi atau data mengenai konteks penelitian yang meliputi:
manusianya; kondisi sosial budaya, politik, dan lingkungan; kegiatan program dan
aktor yang terlibat, interaksi informal yang digunakan dalam masyarakat Sulawesi
Selatan. Berbagai realita tentang Qahhar Mudzakkar dalam masyarakat, dengan
melihat, mendengarkan serta merasakan apa yang terjadi, dimana, kapan, siapa yang
terlibat, dan bagaimana sesuatu bisa terjadi. Hal ini dapat berupa berperan serta
dalam kegiatan-kegiatan kampanye, pembicaraan keseharian masyarakat yang
berkaitan dengan Qahhar Mudzakkar, dan kehidupan keseharian masyarakat
Sulawesi Selatan.
2) Wawancara Mendalam
Data yang dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam,
meliputi: pengalaman, pendapat dan kepercayaan/keyakinan, pengetahuan mengenai
program, norma, nilai, sikap, harapan, orientasi pandangan dan tanggapan terhadap
berbagai hal yang berkaitan dengan Qahhar Mudzakkar dan klannya, seperti
misalnya perjalanan hidup subjek. Dalam pelaksanaan wawancara, dilakukan secara
formal dan non-formal. Untuk itu, peneliti menyusun desain penelitian sebagai
pedoman wawancara (map interview guide) agar wawancara tetap terarah pada fokus
penelitian.
Adapun informan dari studi ini dibagi dalam tiga kelompok. Pertama,
masyarakat setempat yang tinggal dibeberapa daerah di Kabupaten Luwu, Luwu
Utara, Luwu Timur dan Kota Palopo. Pengambilan populasi ini dengan dasar bahwa
31
Bab I: Pendahuluan
wilayah tersebut merupakan daerah basis Qahhar Mudzakkar dengan DI/TII. Oleh
karena itu, diharapkan dapat memberikan data terkait dengan hubungan-hubungan
yang terjadi antara individu, item sosial dan peristiwa yang terjadi di masyarakat
berupa wacana, perilaku memilih, pemilu, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan
studi ini. Kedua, tokoh masyarakat yang mengetahui budaya dan sejarah masyarakat
Sulawesi Selatan dan Qahhar Mudzakkar. Tokoh yang dimaksud antara lain,
akademisi, peneliti, budayawan, purnawirawan TNI, dan keluarga DI/TII, yang
mengetahui tentang sejarah Qahhar Mudzakkar dan Sulawesi Selatan. Hal ini
dimaksudkan untuk mendapatkan data yang lebih luas maupun sebagai perbandingan
terhadap penelitian sebelumnya. Ketiga, aktor politik yakni Klan Qahhar Mudzakkar
yang berhasil menduduki jabatan publik di Sulawesi Selatan, beserta dengan para
jaringan organisasi Klan Qahhar Mudzakkar. Hal ini dimaksudkan untuk
menghubungkan antara realita yang ada dimasyarakat terhadap pola perilaku
individu/aktor. Pandangan dan sikap mereka terhadap Qahhar Mudzakkar,
demokrasi, reformasi, dan masyarakat. Pemilihan informan ini sebagai salah satu
cara menghubungkan keterkaitan antara individu dan struktur sosial. Mengenai daftar
nama dan biodata informan dapat dilihat pada bagian lampiran.
Kedua, melalui analisis teks, yang merupakan eksplorasi dari studi-studi yang
telah dihasilkan (studi pustaka). Hal ini dipilih untuk membantu menemukan
bagaimana dinamika realitas sosial mengenai Qahhar Mudzakkar dan bagaimana
mengkerangkai realitas tersebut berdasarkan data-data pendukung yang telah ada.
Data-data pendukung tersebut merupakan data penunjang, yaitu data-data tertulis
yang terkait dengan Sulawesi Selatan dan masyarakatnya, Qahhar Mudzakkar dan
klannya, dan konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini. Dokumen yang
dimaksud berupa rekapitulasi suara pemilu, dokumen tertulis, data statistik, laporan
penelitian, tulisan-tulisan ilmiah dan liputan media yang merupakan dokumen
penting untuk memperkaya data yang dikumpulkan.
Analisis Data
Penelitian ini menggunakan proses analisis yang dilakukan bersamaan
dengan pengumpulan data (flow model of analysis) atau model analisis interaktif
(Miles dan Haberman, 1992). Dalam melakukan pengumpulan data, peneliti
32
Bab I: Pendahuluan
membuat catatan singkat dengan kata-kata kunci, misalnya mengenai mitos Qahhar
Mudzakkar yang berkembang dalam masyarakat. Selanjutnya dari deskripsi singkat
tersebut dikembangkan menjadi deskripsi lengkap, dilanjutkan dengan refleksi
(metode, teori, analisis). Deskripsi data dengan refleksinya tersebut disusun dalam
fieldnote. Setelah unit data lengkap, dilanjutkan dengan tiga komponen analisis yaitu:
(1) reduksi data, yang isinya rumusan singkat dari setiap jenis temuan fieldnote; (2)
sajian data, yang berawal dari pokok-pokok temuan dalam reduksi data, penulisan
mengenai kondisi sesuai dengan konteks yang diteliti; (3) penarikan kesimpulan,
dilakukan berdasarkan uraian yang telah dibuat dalam sajian data. Dari hasil ini
selanjutnya meneruskan dan melakukan pemantapan dengan verifikasi. Artinya, guna
meningkatkan validitas data yang diperoleh dan demi kemantapan kesimpulan dan
tafsir makna penelitian, maka penelitian ini menggunakan pengolahan data yang
bersifat triangulasi. Metode triangulasi dipakai guna memperoleh validitas data yakni
menggunakan sumber data yang berbeda untuk mengumpulkan data yang sejenis
atau sama serta digunakan untuk mengorganisir informasi yang ada.
Sistematika Penulisan
Tesis ini terdiri dari enam bagian. Bab Satu (I) seperti yang telah kita lewati,
berisi seputar penjelasan kepada pembaca tentang masalah mendasar dari penelitian,
termasuk didalamnya mengapa masalah penelitian ini penting untuk dikaji pada masa
sekarang. Bab Dua (II) akan memuat bagaimana penegasan dari bertahannya budaya
dalam masyarakat di Sulawesi Selatan. Tujuan utamanya menguraikan karakteristik
masyarakat Sulawesi Selatan yang culture oriented. Pada bab ini, alur argumentasi
akan dimulai dari menjelaskan secara singkat setting sosial politik Sulawesi Selatan,
kemudian mengkategorisasikan beberapa konsep budaya yang dijadikan sebagai
orientasi politik masyarakat Sulawesi Selatan. Pengkategorisasian ini meminjam
konsep dari Bourdieu mengenai arena, habitus dan doxa.
Bab Tiga (III) mengambil topik dengan judul klan, merupakan deskripsi halhal yang berkaitan dengan Qahhar Mudzakkar beserta dengan anggota klannya yang
ada dalam politik. Tujuan utamanya adalah menguraikan tingkah laku politik Klan
Qahhar Mudzakkar berdasarkan profil sosiologis dan jaringan-jaringan yang
mendukung kehadiran klan. Bab ini juga menampilkan modal yang dimiliki oleh
33
Bab I: Pendahuluan
klan seperti jaringan dan ketokohan Qahhar Mudzakkar dalam pandangan
masyarakat Sulawesi Selatan. Secara garis besar bab ini menguraikan modal
simbolik dan modal sosial Klan Qahhar Mudzakkar.
Bab Empat (IV) mengambil topik tentang reproduksi kuasa klan, bagaimana
keberhasilan dan kegagalan para anggota klan dalam reproduksi kuasa tersebut. Bab
ini menampilkan pertumbuhan kuasa klan yang terbentuk secara struktural maupun
kultural. Bagaimana masa reformasi menjadi titik awal reproduksi kuasa juga
diperbincangkan dalam bab ini. Selain itu, bab ini menjelaskan bagaimana budaya
politik yang terbangun sejak lama mampu menghasilkan sebuah otoritas politik,
melalui strategi yang dilakukan oleh anggota klan ataupun dari hasil legitimasi
kultural.
Bab Lima (V) mengajukan topik tentang demokrasi Indonesia dalam
kaitannya dengan oligarki politik. Pada bagian awal bab ini, mendiskusikan
bagaimana sudut pandang dalam demokrasi dilihat secara prosedural dan kultural.
Setelah itu, mencoba mengaitkan dengan hasil studi yang telah ada. Demokrasi yang
dibahas disini akan cenderung dalam perspektif kultural, dimana budaya politik lokal
kemudian berdampak pada proses demokrasi Indonesia. Setelah melihat dampak
tersebut kemudian menyimpulkan secara hipotetik masa depan demokrasi Indonesia
terkait dengan praktik demokrasi dengan kehadiran klan dalam politik lokal. Bab ini
juga mengajukan beberapa tawaran mengenai masa depan demokrasi Indonesia,
sebut saja salah satunya mengenai bagaimana menghabituasikan demokrasi.
Sedangkan pada Bab Enam (VI) adalah bab terakhir yang merupakan rekapitulasi
argumen berupa kesimpulan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitian
yang telah diajukan sebelumnya.
***
34
Download