POLA KUMAN AEROB PENYEBAB OMSK DAN KEPEKAAN TERHADAP BEBERAPA ANTIBIOTIKA DI BAGIAN THT FK USU / RSUP.H. ADAM MALIK MEDAN Dr. SITI NURSIAH Program Pendidikan Dokter Spesialis Bidang Studi Ilmu Penyakit THT – KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Otitis media supuratif kronik ialah infeksi kronik di telinga tengah lebih dari 2 bulan dengan adanya perforasi membran timpani, sekret yang keluar dari telinga tengah dapat terus menerus atau hilang timbul. Sekret bisa encer atau kental, bening atau berupa nanah. Otitis media supuratif kronik ( OMSK) didalam masyarakat Indonesia dikenal dengan istilah congek, teleran atau telinga berair. Kebanyakan penderita OMSK menganggap penyakit ini merupakan penyakit yang biasa yang nantinya akan sembuh sendiri. Penyakit ini pada umumnya tidak memberikan rasa sakit kecuali apabila sudah terjadi komplikasi. Biasanya komplikasi didapatkan pada penderita OMSK tipe maligna seperti labirinitis, meningitis, abses otak yang dapat menyebabkan kematian. Kadangkala suatu eksaserbasi akut oleh kuman yang virulen pada OMSK tipe bening pun dapat menyebabkan suatu komplikasi. Bakteri aerob penyebab OMSK antara lain : Pseudomonas aeruginosa, Proteus mirabilis, Stafilokokus aureus, Stafilokokus epidermidis, Streptokokus βhemolitikus, Difteroid, Streptokokus viridan, Proteus dan Enterobakter sp. Bakteri anaerob yang sering dijumpai antara lain : Bakteroides fragilis, Peptokokus, Peptostreptokokus, Klosstridium sporogenes, Klosstridium perfringens dan Klostridium novyi. Para peneliti mendapat persentase yang berbeda mengenai jenis bakteri pada OMSK. Adenin Adenan (1973) mendapatkan Proteus sp sebagai kuman yang dominan (48% dan perbandingan kuman gram negatif dan positif adalah 3 : 1. 6 Brook (1979) dan Palca (1965) mengatakan bakteri aerob yang sering dijumpai pada OMSK adalah Pseudomonas aeruginosa, Proteus sp, Stafilokokus. Finegald (1981) menemukan kuman aerob yang dominan adalah Pseudomonas aeruginosa (36 dari 68 penderita) sedangkan Proteus sp hanya 7 dari 68 penderita . Pada dasarnya keberhasilan pengobatan penyakit infeksi bakteri dengan antibiotik merupakan hasil akhir dari 3 komponen, yaitu penderita, bakteri dan antibiotika. Hal ini disebabkan karena penyakit infeksi bakteri adalah manifestasi klinik dari interaksi antara penderita dan bakteri. Adapun untuk pengobatan infeksi dibutuhkan antibiotika yang tepat dan daya tahan tubuh penderita itu sendiri. Memilih antibiotika yang tepat dapat dilakukan berdasarkan sekurang- kurangnya mengetahui jenis bakteri penyebab penyakit dan akan lebih baik lagi apabila disertai dengan adanya hasil uji kepekaan pemeriksaan mikrobiologi. Ketidak patuhan penderita dalam perawatan, kuman yang resisten, bentuk anatomi telinga, adanya ©2003 Digitized by USU digital library 1 komplikasi, menyebabkan kesulitan dalam hal pengobatan dan perawatan penderita OMSK. Helmi, Mangape, Freidmann mengatakan bahwa Stafilokokus aereus telah resisten terhadap antibiotika golongan penisilin seperti amoksisilin atau ampisilin, tetapi kombinasinya dengan sulbaktam/asam klavulanat lebih baik daya bunuhnya terhadap kuman gram positif. Alasan- alasan yang tersebut diataslah yang mendorong kami untuk melakukan penelitian biakan dan uji kepekaan dari sekret telinga pada penderita OMSK. TUJUAN PENELITIAN 1.1.1. Tujuan Umum : Untuk mengetahui jenis kuman- kuman dan uji kepekaan terhadap Beberapa antibiotika pada penderita OMSK 1.1.2. Tujuan Khusus: Untuk dapat menentukan pengobatan yang tepat pada penderita OMSK. MANFAAT PENELITIAN Untuk dapat menentukan pengobatan yang tepat pada OMSK dan memberikan penyuluhan pada masyarakat sehingga dapat menghindari penyakit ini. BAB II TINJUAN KEPUSTAKAAN 2.1. ANATOMI TELINGA TENGAH Telinga tengah terdiri dari : 1. Membran timpani. 2. Kavum timpani. 3. Prosesus mastoideus. 4. Tuba eustachius 2.1.1. Membran Timpani Membran timpani dibentuk dari dinding lateral kavum timpani dan memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Membrana ini panjang vertikal rata- rata 9-10 mm dan diameter antero- posterior kira - kira 8-9 mm, ketebalannya rata- rata 0,1 mm . Letak membrana timpani tidak tegak lurus terhadap liang telinga akan tetapi miring yang arahnya dari belakang luar kemuka dalam dan membuat sudut 450 dari dataran sagital dan horizontal. Membrana timpani merupakan kerucut, dimana bagian puncak dari kerucut menonjol kearah kavum timpani, puncak ini dinamakan umbo. Dari umbo kemuka bawah tampak refleks cahaya ( none of ligt). Membran timpani mempunyai tiga lapisan yaitu : 1. Stratum kutaneum ( lapisan epitel) berasal dari liang telinga. 2. Stratum mukosum (lapisan mukosa) berasal dari kavum timpani. 3. Stratum fibrosum ( lamina propria) yang letaknya antara stratum kutaneum dan mukosum. Lamina propria yang terdiri dari dua lapisan anyaman penyabung elastis yaitu: ©2003 Digitized by USU digital library 2 1. Bagian dalam sirkuler. 2. Bagian luar radier . Secara Anatomis membrana timpani dibagi dalam 2 bagian : 1. Pars tensa Merupakan bagian terbesar dari membran timpani suatu permukaan yang tegang dan bergetar sekeliling menebal dan melekat pada anulus fibrosus pada sulkus timpanikus bagian tulang dari tulang temporal. 2. Pars flasida atau membran Shrapnell, letaknya dibagian atas muka dan lebih tipis dari pars tensa dan pars flasida dibatasi oleh 2 lipatan yaitu : 1. Plika maleolaris anterior ( lipatan muka). 2. Plika maleolaris posterior ( lipatan belakang). Membran timpani terletak dalam salura n yang dibentuk oleh tulang dinamakan sulkus timpanikus. Akan tetapi bagian atas muka tidak terdapat sulkus ini dan bagian ini disebut insisura timpanika ( Rivini). Permukaan luar dari membrana timpani disarafi oleh cabang n. aurikulo temporalis dari nervus mandibula dan nervus vagus. Permukaan dalam disarafi oleh n. timpani cabang dari nervus glosofaringeal. Aliran darah membrana timpani berasal dari permukaan luar dan dalam. Pembuluh-pembuluh epidermal berasal dari aurikula yang dalam cabang dari arteri maksilaris interna. Permukaan mukosa telinga tengah didarahi oleh timpani anterior cabang dari arteri maksilaris interna dan oleh stylomastoid cabang dari arteri aurikula posterior. 2.1.2. Kavum Timpani Kavum timpani terletak didalam pars petrosa dari tulang temporal, bentuknya bikonkaf, atau seperti kotak korek api. Diameter anteroposterior atau vertikal 15 mm, sedangkan diameter transversal 2- 6 mm. Kavum timpani mempunyai 6 dinding yaitu : bagian atap, lantai, dinding lateral, dinding medial, dinding anterior, d inding posterior. 1. Atap kavum timpani. Dibentuk oleh lempengan tulang yang tipis disebut tegmen timpani. Tegmen timpani memisahkan telinga tengah dari fosa kranial dan lobus temporalis dari otak. Bagian ini juga dibentuk oleh pars petrosa tulang temporal dan sebagian lagi oleh skuama dan garis sutura petroskuama. Dinding ini hanya dibatasi oleh tulang yang tipis atau ada kalanya tidak ada tulang sama sekali ( dehisensi). Pada anak- anak, penulangan dari sutura petroskuamosa belum terbentuk pada daerah tegmen timpani, sehingga memungkinkan terjadinya penyebaran infeksi dari kavum timpani ke meningen dari fosa kranial media. Pada orang dewasa bahkan vena- vena dari telinga tengah menembus sutura ini dan berakhir pada sinus petroskuamosa dan sinus petrosal superior dimana hal ini dapat menyebabkan penyebaran infeksi dari telinga tengah secara langsung ke sinus- sinus venosus kranial. 2. Lantai kavum timpani Dibentuk oleh tulang yang tipis memisahkan lantai kavum timpani dari bulbus jugularis, atau tidak ada tulang sama sekali hingga infeksi dari kavum timpani mudah merembet ke bulbus vena jugularis. ©2003 Digitized by USU digital library 3 3. Dinding medial. Dinding medial ini memisahkan kavum timpani dari telinga dalam, ini juga merupakan dinding lateral dari telinga dalam. Dinding ini pada mesotimpanum menonjol kearah kavum timpani, yang disebut promontorium Tonjolan ini oleh karena didalamnya terdapat koklea. Didalam promontorium terdapat beberapa saluran-saluran yang berisi saraf- saraf yang membentuk pleksus timpanikus. Dibelakang dan atas promontorium terdapat fenestra vestibuli atau foramen ovale (oval windows), bentuknya seperti ginjal dan berhubungan pada kavum timpani dengan vestibulum, dan ditutupi oleh telapak kaki stapes dan diperkuat oleh ligamentum anularis. Foramen ovale berukuran 3,25 mm x 1,75 mm. Diatas fenestra vestibuli, sebagai tempat jalannya nervus fasialis. Kanalis ini didalam kavum timpani tipis sekali atau tidak ada tulang sama sekali ( dehisensi). Fenestra koklea atau foramen rotundum ( round windows), ditutupi oleh suatu membran yang tipis yaitu membran timpani sekunder, terletak dibelakang bawah. Foramen rotundum ini berukuran 1,5 mm x 1,3 mm pada bagian anterior dan posterior 1,6 mm. Kedua lekukan dari foramen ovale dan rotundum berhubungan satu sama lain pada batas posterior mesotimpanum melalui suatu fosa yang dalam yaitu sinus timpanikus. Suatu ruang secara klinis sangat penting ialah sinus posterior atau resesus fasial yang didapat disebelah lateral kanalis fasial dan prosesus piramidal. Dibatasi sebelah lateral oleh anulus timpanikus posterosuperior, sebelah superior oleh prosesus brevis inkus yang melekat kefosa inkudis. Lebar resesus fasialis 4,01 mm dan tidak bertambah semenjak lahir. Resesus fasialis penting karena sebagai pembatas antara kavum timpani dengan kavum mastoid sehingga bila aditus as antrum tertutup karena suatu sebab maka resesus fasialis bisa dibuka untuk menghubungkan kavum timpani dengan kavum mastoid. 4. Dinding posterior Dinding posterior dekat keatap, mempunyai satu saluran disebut aditus, yang menghubungkan kavum timpani dengan atrum mastoid melalui epitimpanum. Dibawah aditus terdapat lekukan kecil yang disebut fosa inkudis yang merupakan suatu tempat prosesus brevis dari inkus dan melekat pada serat- serat ligamen. Dibawah fosa inkudis dan dimedial dari korda timpani adalah piramid, tempat terdapatnya tendon muskulus stapedius, tendon yang berjalan keatas dan masuk kedalam stapes. Diantara piramid dan anulus timpanikus adalah resesus fasialis. Dibelakang dinding posterior kavum timpani adalah fosa kranii posterior dan sinus sigmoid. Disebelah dalam dari piramid dan nervus fasialis merupakan perluasan kearah posterior dari mesotimpani adalah sinus timpani. Perluasan sel- sel udara kearah dinding posterior dapat meluas seperti yang dilaporkan Anson dan Donaldson (1981), bahwa apabila diukur dari ujung piramid, sinus dapat meluas sepanjang 9 mm kearah tulang mastoid. Dinding medial dari sinus timpani kemudian berlanjut ke bagian posterior dari dinding medial kavum timpani dimana berhubungan dengan dua fenestra dan promontorium. 5. Dinding anterior Dinding anterior kavum timpani agak sempit tempat bertemunya dinding medial dan dinding lateral kavum timpani. Dinding anterior bawah adalah lebih besar dari bagian atas dan terdiri dari lempeng tulang yang tipis menutupi arteri karotis pada saat memasuki tulang tengkorak dan sebelum berbelok ke anterior. ©2003 Digitized by USU digital library 4 Dinding ini ditembus oleh saraf timpani karotis superior dan inferior yang membawa serabut - serabut saraf simpatis kepleksus timpanikus dan oleh satu atau lebih cabang timpani dari arteri karotis interna1. Dinding anterior ini terutama berperan sebagai muara tuba eustachius. Tuba ini berhubungan dengan nasofaring dan mempunyai dua fungsi. Pertama menyeimbangkan tekanan membran timpani pada sisi sebelah dalam, kedua sebagai drainase sekresi dari telinga tengah, termasuk sel- sel udara mastoid. Diatas tuba terdapat sebeuah saluran yang berisi otot tensor timpani. Dibawah tuba, dinding anterior biasanya tipis dimana ini merupakan dinding posterior dari saluran karotis. 6. Dinding lateral Dinding lateral kavum timpani adalah bagian tulang dan membran. Bagian tulang berada diatas dan bawah membran timpani. Kavum timpani dibagi menjadi 3 bagian yaitu : a. Epitimpanum. Berada dibagian atas membran timpani. Merupakan bagian superior kavum timpani, disebut juga atik karena terletak diatas membran timpani. sebagian besar atik diisi oleh maleus inkus. Dibagian superior epitimpanum dibatasi oleh suatu penonjolan tipis os posterior. Dinding medial atik dibentuk oleh kapsul atik yang ditandai oleh penonjolan kanalis semisirkularis lateral. Pada bagian anterior terdapat ampula kanalis superior, dan lebih anterior ada ganglion genikulatum, yang merupakan tanda ujung anterior ruang atik. Dinding anterior terpisah dari maleus oleh suatu ruang yang sempit, disini dapat dijumpai muara sel- sel udara yang membuat pneumatisasi pangkal tulang pipi (zygoma). Dinding lateral atik dibentuk oleh os skuama yang berlanjut kearah lateral sebagai dinding liang telinga luar bagian tulang sebelah atas. Diposterior, atik menyempit menjadi jalan masuk ke antrum mastoid, yaitu aditus ad antrum. b. Mesotimpanum Terletak kearah medial dari membran timpani. Disebelah medial dibatasi oleh kapsul otik, yang terletaknya lebih rendah dari pada nervus fasialis pars timpani. Dinding anterior mesotimpani terdapat orifisium timpani tuba eustachius pada bagian superior dan membentuk bagian tulang dinding saluran karotis asendens pada bagian inferior. Dinding ini biasanya mengalami pneumatisasi yang baik dan dapat dijumpai bagian- bagian tulang lemah. c. Hipotimpanum atau resesus hipotimpanikus Terletak dibawah membrana timpani, berhubungan dengan bulbus jugulare. Kavum timpani terdiri dari : 1. Tulang- tulang pendengaran ( maleus, inkus, stapes). 2. Dua otot. 3. Saraf korda timpani. 4. Saraf pleksus timpanikus. ©2003 Digitized by USU digital library 5 Tulang- tulang pendengaran terdiri dari : 1. Malleus ( hammer / martil). 2. Inkus ( anvil/landasan) 3. Stapes ( stirrup / pelana) Malleus Malleus adalah tulang yang paling besar diantara semua tulang-tulang pendengaran dan terletak paling lateral, lehe r, prosesus brevis (lateral), prosesus anterior, lengan (manubrium). panjangnya kira-kira 7,5 sampai 9,0 mm. kepala terletak pada epitimpanum atau didalam rongga atik, sedangkan leher terletak dibelakang pars flaksida membran timpani. Manubrium terdapat didalam membran timpani, bertindak sebagai tempat perlekatan serabut-serabut tunika propria. Ruang antara kepala dari maleus dan membran Shrapnell dinamakan Ruang Prussak. Maleus ditahan oleh ligamentum maleus anterior yang melekat ke tegmen dan juga oleh ligamentum lateral yang terdapat diantara basis prosesus brevis dan pinggir lekuk Rivinus. Inkus Inkus terdiri dari badan inkus ( corpus) dan 2 kaki yaitu : prosesus brevis dan prosesus longus. Sudut antara prosesus brevis dan longus membentuk sudut lebih kurang 100 derajat. Inkus berukuran 4,8 mm x 5,5 mm pada pinggir dari corpus, prosesus longus panjangnya 4,3 mm- 5,5 mm. Inkus terletak pada epitimpanum, dimana prosesus brevis menuju antrum, prosesus longus jalannya sejajar dengan manubrium dan menuju ke bawah. Ujung prosesus longus membengkok kemedial merupakan suatu prosesus yaitu prosesus lentikularis. Prosesus ini berhubungan dengan kepala dari stapes. Maleus dan inkus bekerja sebagai satu unit, memberikan respon rotasi terhadap gerakan membran timpani melalui suatu aksis yang merupakan suatu garis antara ligamentum maleus anterior dan ligamentum inkus pada ujung prosesus brevis. Gerakan- gerakan tersebut tetap dipelihara berkesinambungan oleh inkudomaleus. Gerakan rotasi tersebut diubah menjadi gerakan seperti piston pada stapes melalui sendi inkudostapedius. Stapes Merupakan tulang pendengaran yang teringan, bentuknya seperti sanggurdi beratnya hanya 2,5 mg, tingginya 4mm- 4,5 mm. Stapes terdiri dari kepala, leher, krura anterior dan posterior dan telapak kaki ( foot plate), yang melekat pada foramen ovale dengan perantara ligamentum anulare. Tendon stapedius berinsersi pada suatu penonjolan kecil pada permukaan posterior dari leher stapes. Kedua krura terdapat pada bagian leher bawah yang lebar dan krura anterior lebih tipis dan kurang melengkung dari pada posterior. Kedua berhubungan dengan foot plate yang biasanya mempunyai tepi superior yang melengkung, hampir lurus pada tepi posterior dan melengkung di anterior dan ujung posterior. panjang foot plat e 3 mm dan lebarnya 1,4 mm, dan terletak pada fenestra vestibuli dimana ini melekat pada tepi tulang dari kapsul labirin oleh ligamentum anulare Tinggi stapes kira- kira 3,25 mm ©2003 Digitized by USU digital library 6 Otot-otot pada kavum timpani. Terdiri dari : otot tensor timpani ( muskulus tensor timpani) dan otot stapedius ( muskulus stapedius) Otot tensor timpani adalah otot kecil panjang yang berada 12 mm diatas tuba eustachius. Otot ini melekat pada dinding semikanal tensor timpani. Kanal ini terletak diatas liang telinga bagian tulang dan terbuka kearah liang telinga sehingga disebut semikanal. Serabut - serabut otot bergabung dan menjadi tendon pada ujung timpanisemikanal yang ditandai oleh prosesus kohleoform. Prosesus ini membuat tendon tersebut membelok kearah lateral kedalam telinga tengah. Tendon berinsersi pada bagian atas leher maleus. Muskulus tensor timpani disarafi oleh cabang saraf kranial ke 5. kerja otot ini menyebabkan membran timpani tertarik kearah dalam sehingga menjadi lebih tegang dan meningkatkan frekuensi resonansi sistem penghantar suara serta melemahkan suara dengan freksuensi rendah. Otot stapedius adalah otot yang relatif pendek. Bermula dari dalam kanalnya didalam eminensia piramid, serabut ototnya melekat ke perios kanal tersebut. Serabut- serabutnya bergabung membentuk tendon stapedius yang berinsersi pada apek posterior leher stapes. M. Stapedius disarafi oleh salah satu cabang saraf kranial ke 7 yang timbul ketika saraf tersebut melewati m. stapedius tersebut pada perputarannya yang kedua. Kerja m.stapedius me narik stapes ke posterior mengelilingi suatu pasak pada tepi posterior basis stapes. Keadaan ini stapes kaku, memperlemah transmisi suara dan meningkatkan frekuensi resonansi tulang-tulang pendengaran Saraf Korda timpani Merupakan cabang dari nervus fasialis masuk ke kavum timpani dari kanalikulus posterior yang menghubungkan dinding lateral dan posterior. Korda timpani memasuki telinga tengah bawah pinggir posterosuperior sulkus timpani dan berjalan keatas depan lateral keprosesus longus dari inkus dan kemudian ke bagian bawah leher maleus tepatnya diperlekatan tendon tensor timpani. Setelah berjalan kearah medial menuju ligamentum maleus anterior, saraf ini keluar melalui fisura petrotimpani. Korda timpani juga mengandung jaringan sekresi parasimpatetik yang berhubungan dengan kelenjar ludah sublingual dan submandibula melalui ganglion submandibular. Korda timpani memberikan serabut perasa pada 2/3 depan lidah bagian anterior. Pleksus timpanikus Adalah berasal dari n. timpani cabang dari nervus glosofaringeus dan dengan nervus karotikotimpani yang berasal dari pleksus simpatetik disekitar arteri karotis interna. Saraf dari pleksus ini dan kemudian berlanjut pada : 1. Cabang-cabang pada membrana mukosa yamg melapisi kavum timpani, tuba eustachius, antrum mastiod dan sel- sel mastoid. 2. Sebuah cabang yang berhubungan dengan nervus petrosus superfisial mayor. 3. Pada nervus petrosus superfisial minor, yang mengandung serabut- serabut parasimpatis dari N. IX. Saraf ini meninggalkan telinga tengah melalui suatu saluran yang kecil dibawah m. tensor timpani kemudian menerima serabut saraf parasimpatik dari N. VII dengan melalui cabang dari ganglion genikulatum. Secara sempurna saraf berjalan melalui tulang temporal, dilateral sampai nervus petrosus superfisial mayor, diatas dasar fosa kranial media, diluar durameter. Kemudian berjalan melalui foramen ovale dengan nervus mandibula dan arteri ©2003 Digitized by USU digital library 7 meningeal assesori sampai ganglion otik. Kadang- kadang saraf ini tidak berjalan pada foramen ovale tetapi melalui foramen yang kecil sampai foramen spinosum. Serabut post ganglion dari ganglion otik menyuplai serabut- serabut sekremotor pada kelenjar parotis melalui nervus aurikulotemporalis. Saraf fasial Meninggalkan fosa kranii posterior dan memasuki tulang temporal melalui meatus akustikus internus bersamaan dengan N. VIII. Saraf fasial terutama terdiri dari dua komponen yang berbeda, yaitu : 1. Saraf motorik untuk otot- otot yang berasal dari lengkung brankial kedua (faringeal) yaitu otot ekspresi wajah, stilohioid, posterior belly m. digastrik dan m. stapedius. 2. Saraf intermedius yang terdiri dari saraf sensori dan sekretomotor parasimpatetis preganglionik yang menuju ke semua glandula wajah kecuali parotis. Saraf kranial VII mencapai dinding medial kavum timpani melalui auditori meatus diatas vestibula labirin tulang. Kemudian membelok kearah posterior dalam tulang diatas feromen ovale terus ke dinding posterior kavum timpani. Belokan kedua terjadi dinding posterior mengarah ke tulang petrosa melewati kanal fasial keluar dari dasar tengkorak melewati foramen stilomastoidea. Pada belokan pertama di dinding medial dari kavum timpani terdapat ganglion genikulatum, yang mengandung sel unipolar palsu. Sel ini adalah bagian dari jaringan perasa dari 2/3 lidah dan palatum. Saraf petrosa superfisial yang besar bercabang dari saraf kranial VII pada ganglion genikulatum, masuk ke dinding anterior kavum timpani, terus ke fosa kranial tengah. Saraf ini mengandung jaringan perasa dari palatum dan jaringan sekremotor dari glandula atap rongga mulut, kavum nasi dan orbita. Bagian lain dari saraf kranial VII membentuk percabangan motor ke otot stapedius dan korda timpani. Korda timpani keluar ke fosa intra temporal melalui handle malleus, bergerak secara vertikal ke inkus dan terus ke fisura petrotimpanik. Korda timpani mengandung jaringan perasa dari 2/3 anterior lidah dan jaringan sekretorimotor dari ganglion submandibula. Sel jaringan perasanya terdapat di ganglion genikulatum. PERDARAHAN KAVUM TIMPANI Pembuluh- pembuluh darah yang memberikan vaskularis asi kavum timpani adalah arteri- arteri kecil yang melewati tulang yang tebal. Sebagian besar pembuluh darah yang menuju kavum timpani berasal dari cabang arteri karotis eksterna. Pada daerah anterior mendapat vaskularisasi dari a. timpanika anterior, yang merupakan cabang dari a. maksilaris interna yang masuk ke telinga tengah melalui fisura petrotimpanika. Pada daerah posterior mendapat vaskularisasi dari a. timpanika psoterior, yang merupakan cabang dari a. mastoidea yaitu a. stilomastoidea. Pada daerah superior mendapat perdarahan dari cabang a. meningea media juga a. petrosa superior, a. timpanika superior dan ramus inkudomalei. Pembuluh vena kavum timpani berjalan bersama-sama dengan pembuluh arteri menuju pleksus venosus pterigoid atau sinus petrosus superior. Pembuluh getah bening kavum timpani masuk ke dalam pembuluh getah bening retrofaring atau ke nodulus limfatikus parotis. ©2003 Digitized by USU digital library 8 2.1.3. Tuba Eustachius Tuba eustachius disebut juga tuba auditory atau tuba faringotimpani. bentuknya seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan kavum timpani dengan nasofaring. Pada orang dewasa panjang tuba sekitar 36 mm berjalan ke bawah, depan dan medial dari telinga tengah 13 dan pada anak dibawah 9 bulan adalah 17,5 mm. Tuba terdiri dari 2 bagian yaitu : 1. Bagian tulang terdapat pada bagian belakang dan pendek (1/3 bagian). 2. Bagian tulang rawan terdapat pada bagian depan dan panjang (2/3 bagian). Bagian tulang sebelah lateral berasal dari dinding depan kavum timpani, dan bagian tulang rawan medial masuk ke nasofaring. Bagian tulang rawan ini berjalan kearah posterior, superior dan medial sepanjang 2/3 bagian keseluruhan panjang tuba (4 cm), kemudian bersatu dengan bagian tulang atau timpani. Tempat pertemuan itu merupakan bagian yang sempit yang disebut ismus. Bagian tulang tetap terbuka, sedangkan bagian tulang rawan selalu tertutup dan berakhir pada dinding lateral nasofaring. Pada orang dewasa muara tuba pada bagian timpani terletak kira- kira 2- 2,5 cm, lebih tinggi dibanding dengan ujungnya nasofaring. Pada anak-anak, tuba pendek, lebar dan letaknya mendatar maka infeksi mudah menjalar dari nasofaring ke telinga tengah. Tuba dilapisi oleh mukosa saluran nafas yang berisi sel-sel goblet dan kelenjar mukus dan memiliki lapisan epitel bersilia didasarnya. Epitel tuba terdiri dari epitel selinder berlapis dengan sel selinder. Disini terdapat silia dengan pergerakannya ke arah faring. Sekitar ostium tuba terdapat jaringan limfosit yang dinamakan tonsil tuba. Otot yang berhubungan dengan tuba eustachius yaitu : 1. M. tensor veli palatini 2. M. elevator veli palatini 3. M. tensor timpani 4. M. salpingofaringeus Fungsi tuba eustachius sebagai ventilasi telinga yaitu mempertahankan keseimbangan tekanan udara didalam kavum timpani dengan tekanan udara luar, drenase sekret dari kavum timpani ke nasofaring dan menghalangi masuknya sekret dari nasofaring ke kavum timpani. 2.1.4. Prosesus Mastoideus Rongga mastoid berbentuk seperti bersisi tiga dengan puncak mengarah ke kaudal. Atap mastoid adalah fosa kranii media. Dinding medial adalah dinding lateral fosa kranii posterior. Sinus sigmoid terletak dibawah duramater pada daerah ini. Pada dinding anterior mastoid terdapat aditus ad antrum. Aditus antrum mastoid adalah suatu pintu yang besar iregular berasal dari epitisssmpanum posterior menuju rongga antrum yang berisi udara, sering disebut sebagai aditus ad antrum. Dinding medial merupakan penonjolan dari kanalis semisirkularis lateral. Dibawah dan sedikit ke medial dari promontorium terdapat kanalis bagian tulang dari n. fasialis. Prosesus brevis inkus sangat berdekatan dengan kedua struktur ini dan jarak rata- rata diantara organ : n. VII ke kanalis semisirkularis 1,77 mm; n.VII ke prosesus brevis inkus 2,36 mm : dan prosesus brevis inkus ke kanalis semisirkularis 1,25 mm. Antrum mastoid adalah sinus yang berisi udara didalam pars petrosa tulang temporal. Berhubungan dengan telinga tengah melalui aditus dan mempunyai sel- sel udara mastoid yang berasal dari dinding- dindingnya. Antrum sudah berkembang ©2003 Digitized by USU digital library 9 baik pada saat lahir dan pada dewasa mempunyai volume 1 ml, panjang dari depan kebelakang sekitar 14 mm, daria atas kebawah 9mm dan dari sisi lateral ke medial 7 mm. Dinding medial dari antrum berhubungan dengan kanalis semisirkularis posterior dan lebih ke dalam dan inferiornya terletak sakus endolimfatikus dan dura dari fosa kranii posterior. Atapnya membentuk bagian dati lantai fosa kranii media dan memisahkan antrum dengan otak lobus temporalis. Dinding posterior terutama dibentuk oleh tulang yang menutupi sinus. Dinding lateral merupakan bagian dari pars skumosa tulang temporal dan meningkat ketebalannya selama hidup dari sekitar 2 mm pada saat lahir hingga 12- 15 mm pada dewasa. Dinding lateral pada orang dewasa berhubungan dengan trigonum suprameatal ( Macewen’s) pada permukaan luar tengkorak. Lantai antrum mastoid berhubungan dengan otot digastrik dilateral dan sinus sigmoid di medial, meskipun pada aerasi tulang mastoid yang jelek, struktur ini bisa berjarak 1 cm dari dinding antrum inferior. Dinding anterior antrum memiliki aditus pada bagian atas, sedangkan bagian bawah dilalui n.fasialis dalam perjalanan menuju ke foramen stilomastoid. Prosesus mastoid sangat penting untuk sistem pneumatisasi telinga. Pneumatisasi didefinisikan sebagai suatu proses pembentukan atau perkembangan rongga-rongga udara didalam tulang temporal, dan sel-sel udara yang terdapat didalam mastoid adalah sebagian dari sistem pneumatisasi yang meliputi banyak bagian dari tulang temporal. Sel-sel prosesus mastoid yang mengandung udara berhubungan dengan udara didalam telinga tengah. Bila prosesus mastoid tetap berisi tulang- tulang kompakta dikatakan sebagai pneumatisasi jelek dan sel- sel yang berpneumatisasi terbatas pada daerah sekitar antrum. Prosesus mastoid berkembang setelah lahir sebagai tuberositas kecil yang berpneumatisasi secara sinkron dengan pertumbuhan antrum mastoid. Pada tahun pertama kehidupan prosesus ini terdiri dari tulang-tulang seperti spon sehingga mastoiditis murni tidak dapat terjadi. Diantara usia 2 dan 5 tahun pada saat terjad i pneumatisasi prosesus terdiri atas campuran tulang- tulang spon dan pneumatik. Pneumatisasi sempurna terjadi antara usia 6 – 12 tahun. Luasnya pneumatisasi tergantung faktor herediter konstitusional dan faktor peradangan pada waktu umur muda. Bila ada sifat biologis mukosa tidak baik maka daya pneumatisasi hilang atau kurang. Ini juga terjadi bila ada radang pada telinga yang tidak menyembuh. Maka nanti dapat dilihat pneumatisasi yang terhenti (pneumatisationshemung arrested pneumatisation) atau pneumatisasi yang tidak ada sama sekali (teori dari Wittmack). Menurut derajatnya, pneumatisasi prosesus mastoideus ini dapat dibagi atas : 1. Proesesus Mastoideus Kompakta ( sklerotik), diomana tidak ditemui sel- sel. 2. Prosesus Mastoideus Spongiosa, dimana terdapat sel- sel kecil saja. 3. Prosesus Mastoideus dengan pneumatisasi yang luas, dimana sel- sel disini besar. Sellulae mastoideus seluruhnya berhubungan dengan kavum timpani. Dekat antrum sel- selnya kecil tambah keperifer sel- selnya bertambah besar. Oleh karena itu bila ada radang pada sel- sel mastoid, drainase tidak begitu baik hingga mudah terjadi radang pada mastoid (mastoiditis). Menurut tempatnya sel- sel ini dapat dibedakan : 1. Terminal 5. Zygomatic 2. Perisinus 6. Facial 3. Sudut petrosal 7. Periantral 4. Sub dural 8. Perilabirinter ©2003 Digitized by USU digital library 10 2.2. FISIOLOGI PENDENGARAN Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang dialirkan keliang telinga dan mengenai membran timpani, sehingga membran timpani bergetar. Getaran ini diteruskan ke tulang- tulang pendengaran yang berhubungan satu sama lain. Selanjutnya stapes menggerakkan tingkap lonjong (foramen ovale) yang juga menggerakkan perilimf dalam skala vestibuli. Getaran diteruskan melalui membran Reissener yang mendorong endolimf dan membran basal kearah bawah, perilimf dala m skala timpani akan bergerak sehingga tingkap (forame rotundum) terdorong ke arah luar. Skala media yang menjadi cembung mendesak endolimf dan mendorong membran basal, sehingga menjadi cembung kebawah dan menggerakkan perilimf pada skala timpani. Pada waktu istirahat ujung sel rambut berkelok-kelok, dan dengan berubahnya membran basal ujung sel rambut menjadi lurus. Rangsangan fisik tadi diubah oleh adanya perbedaan ion Kalium dan ion Natrium menjadi aliran listrik yang diteruskan ke cabang- cabang n.VII, yang kemudian meneruskan rangsangan itu ke pusat sensorik pendengaran diotak ( area 39- 40) melalui saraf pusat yang ada dilobus temporalis. 2.3. OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK 2.3.1. DEFINISI Para ahli otologi beberapa tahun ini membuat kesepakatan untuk penerapan istilah dalam gambaran klinik dan patologi dari OMSK. Gambaran dasar yang sering pada semua kasus OMSK adalah dijumpai membrana timpani yang tidak intak. OMSK adalah stadium dari penyakit telinga tengah dimana terjadi peradangan kronis dari telinga tengah dan mastoid dan membran timpani tidak intak ( perforasi ) dan ditemukan sekret (otorea), purulen yang hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah dan berlangsung lebih dari 2 bulan. Perforasi sentral adalah pada pars tensa dan sekitar dari sisa membran timpani atau sekurang- kurangnya pada annulus. Lokasi perforasi sentral ditandai oleh hubungannya dengan manubrium mallei. Defek dapat ditemukan seperti pada anterior, posterior, inferior atau subtotal. Perforasi subtotal adalah suatu defek yang besar disekelilingnya dengan annulus yang masih intak. Otitis media kronis terjadi dalam beberapa bentuk melibatkan mukosa dan merusak tulang (kolesteatom). Menurut Ramalingam bahwa OMSK adalah peradangan kronis lapisan mukoperiosteum dari middle ear cleft sehingga menyebabkan terjadinya perubahan- perubahan patologis yang ireversibel. Dari definisi diatas terlihat bahwa adanya perforasi membran timpani merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk diagnosa OMSK, sedangkan sekret yang keluar bisa ada dan bisa pula tidak. 2.3.2. KLASIFIKASI OMSK dapat dibagi atas 2 tipe yaitu : 1. Tipe tubotimpani = tipe jinak = tipe aman = tipe rhinogen. Penyakit tubotimpani ditandai oleh adanya perforasi sentral atau pars tensa dan gejala klinik yang bervariasi dari luas dan keparahan penyakit. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi keadaan ini terutama patensi tuba eustachius, infeksi saluran nafas atas, pertahanan mukosa terhadap infeksi yang gagal pada pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah, disamping itu campuran bakteri aerob dan anaerob, luas dan derajat perubahan mukosa, serta migrasi sekunder dari epitel skuamous. Sekret mukoid kronis berhubungan dengan ©2003 Digitized by USU digital library 11 hiperplasia goblet sel, metaplasia dari mukosa telinga tengah pada tipe respirasi dan mukosiliar yang jelek. Secara klinis penyakit tubotimpani terbagi atas: 1.1. Penyakit aktif Pada jenis ini terdapat sekret pada telinga dan tuli. Biasanya didahului oleh perluasan infeksi saluran nafas atas melalui tuba eutachius, atau setelah berenang dimana kuman masuk melalui lia ng telinga luar. Sekret bervariasi dari mukoid sampai mukopurulen. Ukuran perforasi bervariasi dari sebesar jarum sampai perforasi subtotal pada pars tensa. Jarang ditemukan polip yang besar pada liang telinga luas. Perluasan infeksi ke sel- sel mastoid mengakibatkan penyebaran yang luas dan penyakit mukosa yang menetap harus dicurigai bila tindakan konservatif gagal untuk mengontrol infeksi, atau jika granulasi pada mesotimpanum dengan atau tanpa migrasi sekunder dari kulit, dimana kadang- kadang adanya sekret yang berpulsasi diatas kuadran posterosuperior. 1.2. Penyakit tidak aktif Pada pemeriksaan telinga dijumpai perforasi total yang kering dengan mukosa telinga tengah yang pucat. Gejala yang dijumpai berupa tuli konduktif ringan. Gejala lain yang dijumpai seperti vertigo, tinitus,atau suatu rasa penuh dalam telinga. Faktor predisposisi pada penyakit tubotimpani : 1. Infeksi saluran nafas yang berulang, alergi hidung, rhinosinusitis kronis. 2. Pembesaran adenoid pada anak, tonsilitis kronis. 3. Mandi dan berenang dikolam renang, mengkorek telinga dengan alat yang terkontaminasi. 4. Malnutrisi dan hipogammaglobulinemia. 5. Otitis media supuratif akut yang berulang. 2.2. Tipe atikoantral = tipe ganas = tipe tidak aman = tipe tulang Pada tipe ini ditemukan adanya kolesteatom dan berbahaya. Penyakit atikoantral lebih sering mengenai pars flasida dan khasnya dengan terbentuknya kantong retraksi yang mana bertumpuknya keratin sampai menghasilkan kolesteatom. Kolesteatom adalah suatu massa amorf, konsistensi seperti mentega, berwarna put ih, terdiri dari lapisan epitel bertatah yang telah nekrotis. kolesteatom dapat dibagi atas 2 tipe yaitu : a. Kongenital b. Didapat. ad a. Kolesteatom kongenital. Kriteria untuk mendiagnosa kolesteatom kongenital, menurut Derlaki dan Clemis (1965) adalah : 1. Berkembang dibelakang dari membran timpani yang masih utuh. 2. Tidak ada riwayat otitis media sebelumnya. 3. Pada mulanya dari jaringan embrional dari epitel skuamous atau dari epitel undiferential yang berubah menjadi epitel skuamous selama perkembangan. Kongenital kolesteatom lebih sering ditemukan pada telinga tengah atau tulang temporal, umumnya pada apeks petrosa. Dapat menyebabkan fasialis parese, tuli saraf berat unilateral, dan gangguan keseimbangan. ©2003 Digitized by USU digital library 12 Ad b. Kolesteatom didapat. 1. Primary acquired cholesteatoma. Koelsteatom yang terjadi pada daerah atik atau pars flasida 2. Secondary acquired cholesteatoma. Berkembang dari suatu kantong retraksi yang disebabkan peradangan kronis biasanya bagian posterosuperior dari pars tensa. Khasnya perforasi marginal pada bagian posterosuperior. Terbentuknya dari epitel kanal aurikula eksterna yang masuk ke kavum timpani melalui perforasi membran timpani atau kantong retraksi membran timpani pars tensa. Banyak teori yang diajukan sebagai penyebab kolesteatom didapat primer, tetapi sampai sekarang belum ada yang bisa menunjukan penyebab yang sebenarnya. Teori- teori itu antara lain : 1. Tekanan negatif dalam atik, menyebabkan invaginasi pars flasida dan pembentukan kista. 2. Metaplasia mukosa telinga tengah dan atik akibat infeksi 3. Hiperplasia invasif diikuti terbentuknya kista dilapisan basal epidermis pars flasida akibat iritasi oleh infeksi. 4. Sisa-sisa epidermis kongenital yang terdapat di daerah atik. 5. Hiperkeratosis invasif dari kulit liang telinga bagian dalam Ada beberapa teori yang mengatakan bagaimana epitel dapat masuk kedalam kavum timpani. Pada umumnya kolesteatom terdapat pada otitis media kronik dengan perforasi marginal. teori itu adalah : 1. Epitel dari liang telinga masuk melalui perforasi kedalam kavum timpani dan disini ia membentuk kolesteatom ( migration teori menurut Hartmann); epitel yang masuk menjadi nekrotis, terangkat keatas. Dibawahnya timbul epitel baru. Inipun terangkat hingga timbul epitel- epitel mati, merupakan lamellamel. Kolesteatom yang terjadi ini dinamakan “secondary acquired cholesteatoma”. 2. Embrional sudah ada pulau- pulau kecil dan ini yang akan menjadi kolesteatom. 3. Mukosa dari kavum timpani mengadakan metaplasia oleh karena infeksi (metaplasia teori menurut Wendt). 4. Ada pula kolesteatom yang letaknya pada pars plasida ( attic retraction cholesteatom). Oleh karena tuba tertutup terjadi retraksi dari membran plasida, akibat pada tempat ini terjadi deskuamasi epitel yang tidak lepas, akan tetapi bertumpuk disini. Lambat laun epitel ini hancur dan menjadi kista. Kista ini tambah lama tambah besar dan tumbuh terus kedalam kavum timpani dan membentuk kolesteatom. Ini dinamakan “primary acquired cholesteatom” atau genuines cholesteatom”. Mula- mula belum timbul peradangan, lambat laun dapat terjadi peradangan. Primary dan secondary acquired cholesteatom ini dinamakan juga “ pseudo cholesteatoma, oleh karena ada pula kongenital kolesteatom. Ini juga merupakan suatu lubang dalam tenggorok terutama pada os temporal. Dalam lubang ini terdapat lamel konsentris terdiri dari epitel yang dapat juga menekan tulang sekitarnya. Beda kongenital kolesteatom, ini tidak berhubungan dengan telinga dan tidak akan menimbulkan infeksi. Bentuk perforasi membran timpani adalah : 1. Perforasi sentral Lokasi pada pars tensa, bisa antero-inferior, postero- inferior dan postero-superior, kadang- kadang sub total. ©2003 Digitized by USU digital library 13 2. Perforasi marginal Terdapat pada pinggir membran timpani dengan adanya erosi dari anulus fibrosus. Perforasi marginal yang sangat besar digambarkan sebagai perforasi total. Perforasi pada pinggir postero- superior berhubungan dengan kolesteatom 3. Perforasi atik Terjadi pada pars flasida, berhubungan dengan primary acquired cholesteatoma. 2.3.3. EPIDEMIOLOGI Prevalensi OMSK pada beberapa negara antara lain disebabkan, kondisi sosial, ekonomi, suku, tempat tinggal yang padat, hygiene dan nutrisi yang jelek. Kebanyakan melaporkan prevalensi OMSK pada anak termasuk anak yang mempunyai kolesteatom, tetapi tidak mempunyai data yang tepat, apalagi insiden OMSK saja, tidak ada data yang tersedia. 2.3.4. ETIOLOGI Terjadi OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak, jarang dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring (adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis), mencapai telinga tengah melalui tuba Eustachius. Fungsi tuba Eustachius yang abnormal merupakan faktor predisposisi yang dijumpai pada anak dengan cleft palate dan Down’s syndrom. Adanya tuba patulous, menyebabkan refluk isi nasofaring yang merupakan faktor insiden OMSK yang tinggi di Amerika Serikat. Faktor Host yang berkaitan dengan insiden OMSK yang relatif tinggi adalah defisiensi immun sistemik. Kelainan humoral (seperti hipogammaglobulinemia) dan cell- mediated ( seperti infeksi HIV, sindrom kemalasan leukosit) dapat manifest sebagai sekresi telinga kronis. Penyebab OMSK antara lain: 1. Lingkungan Hubungan penderita OMSK dan faktor sosial ekonomi belum jelas, tetapi mempunyai hubungan erat antara penderita dengan OMSK dan sosioekonomi, dimana kelompok sosioekonomi rendah memi liki insiden yang lebih tinggi. Tetapi sudah hampir dipastikan hal ini berhubungan dengan kesehatan secara umum, diet, tempat tinggal yang padat. 2. Genetik Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah insiden OMSK berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai faktor genetik. Sistem sel-sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis media, tapi belum diketahui apakah hal ini primer atau sekunder. 3. Otitis media sebelumnya. Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari otitis media akut dan / atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor apa yang menyebabkan satu telinga dan bukan yang lainnya berkembang menjadi keadaan kronis 4. Infeksi Bakteri yang diisolasi dari mukopus atau mu kosa telinga tengah hampir tidak bervariasi pada otitis media kronik yang aktif menunjukan bahwa metode kultur yang digunakan adalah tepat. Organisme yang terutama dijumpai adalah Gram- negatif, flora tipe- usus, dan beberapa organisme lainnya. ©2003 Digitized by USU digital library 14 5. Infeksi saluran nafas atas Banyak penderita mengeluh sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran nafas atas. Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh terhadap organisme yang secara normal berada dalam telinga tengah, sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri. 6. Autoimun Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insiden lebih besar terhadap otitis media kronis. 7. Alergi Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi dibanding yang bukan alergi. Yang menarik adalah dijumpainya sebagian penderita yang alergi terhadap antibiotik tetes telinga atau bakteria atau toksin- toksinnya, namun hal ini belum terbukti kemungkinannya. 8. Gangguan fungsi tuba eustachius. Pada otitis kronis aktif, dimana tuba eustachius sering tersumbat oleh edema tetapi apakah hal ini merupakan fenomen primer atau sekunder masih belum diketahui. Pada telinga yang inaktif berbagai metode telah digunakan untuk mengevaluasi fungsi tuba eustachius dan umumnya menyatakan bahwa tuba tidak mungkin mengembalikan tekanan negatif menjadi normal. Beberapa faktor- faktor yang menyebabkan perforasi membran timpani menetap pada OMSK : • Infeksi yang menetap pada telinga tengah mastoid yang mengakibatkan produksi sekret telinga purulen berlanjut. • Berlanjutnya obstruksi tuba eustachius yang mengurangi penutupan spontan pada perforasi. • Beberapa perforasi yang besar mengalami penutupan spontan melalui mekanisme migrasi epitel. • Pada pinggir perforasi dari epitel skuamous dapat mengalami pertumbuhan yang cepat diatas sisi medial dari membran timpani. Proses ini juga mencegah penutupan spontan dari perforasi. Faktor- faktor yang menyebabkan penyakit infeksi telinga tengah supuratif menjadi kronis majemuk, antara lain : 1. Gangguan fungsi tuba eustachius yang kronis atau berulang. a. Infeksi hidung dan tenggorok yang kronis atau berulang. b. Obstruksi anatomik tuba Eustachius parsial atau total 2. Perforasi membran timpani yang menetap. 3. Terjadinya metaplasia skumosa atau perubahan patologik menetap lainya pada telinga tengah. 4. Obstruksi menetap terhadap aerasi telinga atau rongga mastoid. Hal ini dapat disebabkan oleh jaringan parut, penebalan mukosa, polip, jaringan granulasi atau timpanosklerosis. 5. Terdapat daerah-daerah dengan sekuester atau osteomielitis persisten di mastoid. 6. Faktor- faktor konstitusi dasar seperti alergi, kelemahan umum atau perubahan mekanisme pertahanan tubuh. 2.3.5. PATOGENESIS Patogensis OMSK belum diketahui secara lengkap, tatapi dalam hal ini merupakan stadium kronis dari otitis media akut (OMA) dengan perforasi yang sudah terbentuk diikuti dengan keluarnya sekret yang terus menerus. Perforasi sekunder ©2003 Digitized by USU digital library 15 pada OMA dapat terjadi kronis tanpa kejadian infeksi pada telinga tengah misal perforasi kering. Beberapa penulis menyatakan keadaan ini sebagai keadaan inaktif dari otitis media kronis. Suatu teori tentang patogenesis dikemukan dalam buku modern yang umumnya telah diterima sebagai fakta. Hipotesis ini menyatakan bahwa terjadinya otitis media nekrotikans, terutama pada masa anak-anak, menimbulkan perforasi yang besar pada gendang telinga. Setelah penyakit akut berlalu, gendang telinga tetap berlubang, atau sembuh dengan membran yang atrofi yang kemudian dapat kolaps kedalam telinga tengah, memberi gambaran otitis atelektasis. Hipotesis ini mengabaikan beberapa kenyataan yang menimbulkan keraguan atas kebenarannya, antara lain : 1. Hampir seluruh kasus otitis media akut sembuh dengan perbaikan lengkap membran timpani. Pembentukan jaringan parut jarang terjadi, biasanya ditandai oleh penebalan dan bukannya atrofi. 2. Otitis media nekrotikans sangat jarang ditemukan sejak digunakannya antibiotik. Penulis (DFA) hanya menemukan kurang dari selusin kasus dalam 25 tahun terakhir. Dipihak lain, kejadian penyakit telinga kronis tidak berkurang dalam periode tersebut. 3. pasien dengan penyakit telinga kronis tidak mempunyai riwayat otitis akut pada permulaannya, melainkan lebih sering berlangsung tanpa gejala dan bertambah secara bertahap, sampai diperlukan pertolongan beberapa tahun kemudian setelah pasien menyadari adanya masalah. Anak- anak tidak dibawa berobat sampai terjadi gangguan pendengaran yang ditemukan pada pemeriksaan berkala disekolah atau merasa terganggu karena sekret yang selalu keluar dari telinga. 2.3.6. PATOLOGI Otitis media supuratif kronis lebih sering merupakan penyakit kambuhan dari pada menetap. Keadaan kronis ini lebih berdasarkan keseragaman waktu dan stadium dari pada keseragaman gambaran patologi. Ketidakseragaman ini disebabkan karena proses peradangan yang menetap atau kekambuhan ini ditambah dengan efek kerusakan jaringan, penyembuhan dan pembentukan jaringan parut. Secara umum gambaran yang ditemukan adalah : 1. Terdapat perforasi membrana timpani di bagian sentral. Ukurannya dapat bervariasi mulai kurang dari 20% luas membrana timpani sampai seluruh membrana dan terkenanya bagian- bagian dari anulus. Dalam proses penyembuhannya dapat terjadi penumbuhan epitel skuamosa kedalam ketelinga tengah. Pertumbuhan kedalam ini dapat menutupi tempat perforasi saja atau dapat mengisi seluruh rongga telinga tengah. Kadang- kadang perluasan lapisan tengah ini kedaerah atik mengakibatan pembentukan kantong dan kolesteatom didapat sekunder. Kadang- kadang terjadi pembentukan membrana timpani atrifik dua lapis tanpa unsur jaringan ikat. Membrana ini cepat rusak pada periode infeksi aktif. 2. Mukosa bervariasi sesuai stadium penyakit. Dalam periode tenang, akan tampak normal kecuali bila infeksi telah menyebabkan penebalan atau metaplasia mukosa menjadi epitel transisional. Selama infeksi aktif, mukosa menjadi tebal dan hiperemis serta menghasilkan sekret mukoid atau mukopurulen. Setelah pengobatan, penebalan mukosa dan sekret mukoid menetap akibat disfungsi kronik tuba Eustachius. Faktor alergi dapat juga merupakan penyebab terjadinya perubahan mukosa menetap. ©2003 Digitized by USU digital library 16 Dalam berjalannya waktu, kristal- kristal kolesterin terkumpul dalam kantong mukus, membentuk granuloma kolesterol. Proses ini bersifat iritatif, menghasilkan granulasi pada membran mukosa dan infiltrasi sel datia pada cairan mukus kolesterin. 3. Tulang- tulang pendengaran dapat rusak atau tidak, tergantung pada beratnya infeksi sebelumnya. Biasanya prosesus longus inkus telah mengalami nekrosis karena penyakit trombotik pada pembuluh darah mukosa yang mendarahi inkus ini. Nekrosis lebih jarang mengenai maleus dan stapes, kecuali kalau terjadi pertumbuhan skuamosa secara sekunder kearah ke dalam, sehingga arkus stapes dan lengan maleus dapat rusak. Proses ini bukan disebabkan oleh osteomielitis tetapi disebabkan oleh terbentuknnya enzim osteolitik atau kolagenase dalam jaringa ikat subepitel. 4. Mastoid OMSK paling sering pada masa anak- anak. Pneumatisasi mastoid paling akhir terjadi antara 5-10 tahun. Proses pneumatisasi ini sering terhenti atau mundur oleh otitis media yang terjadi paa usia tersebut atau lebih muda. Bila infeksi kronik terus berlanjut, mastoid mengalami proses sklerotik, sehingga ukuran prosesus mastoid berkurang. Antrum menjadi lebih kecil dan pneumatisasi terbatas, hanya ada sedikit sel udara saja sekitar antrum. 2.3.7. GEJALA KLINIS 1. Telinga berair (otorrhoe) Sekret bersifat purulen ( kental, putih) atau mukoid ( seperti air dan encer) tergantung stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh aktivitas kelenjar sekretorik telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK tipe jinak, cairan yang keluar mukopus yang tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi iritasi mukosa telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan infeksi. Keluarnya sekret biasanya hilang timbul. Meningkatnya jumlah sekret dapat disebabkan infeksi saluran nafas atas atau kontaminasi dari liang telinga luar setelah mandi atau berenang. Pada OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adannya sekret telinga. Sekret yang sangat bau, berwarna kuning abu- abu kotor memberi kesan kolesteatoma dan produk degenerasinya. Dapat terlihat keping- keping kecil, berwarna putih, mengkilap. Pada OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan mukosa secara luas. Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan adanya jaringan granulasi dan polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatom yang mendasarinya. Suatu sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan tuberkulosis. 2. Gangguan pendengaran Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang- tulang pendengaran. Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat hebat, karena daerah yang sakit ataupun kolesteatom, dapat menghambat bunyi dengan efektif ke fenestra ovalis. Bila tidak dijumpai kolesteatom, tuli konduktif kurang dari 20 db ini ditandai bahwa rantai tulang pendengaran masih baik. Kerusakan dan fiksasi dari rantai tulang pendengaran menghasilkan penurunan pendengaran lebih dari 30 db. Beratnya ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah. Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat karena putusnya rantai ©2003 Digitized by USU digital library 17 tulang pendengaran, tetapi sering kali juga kolesteatom bertindak sebagai penghantar suara sehingga ambang pendengaran yang didapat harus diinterpretasikan secara hati- hati. Penurunan fungsi kohlea biasanya terjadi perlahan- lahan dengan berulangnya infeksi karena penetrasi toksin melalui jendela bulat (foramen rotundum) atau fistel labirin tanpa terjadinya labirinitis supuratif. Bila terjadinya labirinitis supuratif akan terjadi tuli saraf berat, hantaran tulang dapat menggambarkan sisa fungsi kohlea. 3. Otalgia ( nyeri telinga) Nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK, dan bila ada merupakan suatu tanda yang serius. Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya drainase pus. Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret, terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan abses otak. Nyeri telinga mungkin ada tetapi mungkin oleh adanya otitis eksterna sekunder. Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi OMSK seperti Petrositis, subperiosteal abses atau trombosis sinus lateralis. 4. Vertigo Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius lainnya. Keluhan vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi dinding labirin oleh kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya akibat perubahan tekanan udara yang mendadak atau pada panderita yang sensitif keluhan vertigo dapat terjadi hanya karena perforasi besar membran timpani yang akan menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan meyebabkan keluhan vertigo. Vertigo juga bisa terjadi akibat komplikasi serebelum. Fistula merupakan temuan yang serius, karena infeksi kemudian dapat berlanjut dari telinga tengah dan mastoid ke telinga dalam sehingga timbul labirinitis dan dari sana mungkin berlanj ut menjadi meningitis. Uji fistula perlu dilakukan pada kasus OMSK dengan riwayat vertigo. Uji ini memerlukan pemberian tekanan positif dan negatif pada membran timpani, dengan demikian dapat diteruskan melalui rongga telinga tengah. TANDA KLINIS Tanda-tanda klinis OMSK tipe maligna : 1. Adanya Abses atau fistel retroaurikular 2. Jaringan granulasi atau polip diliang telinga yang berasal dari kavum timpani. 3. Pus yang selalu aktif atau berbau busuk ( aroma kolesteatom) 4. Foto rontgen mastoid adanya gambaran kolesteatom. 2.3.8. PEMERIKSAAN KLINIK Untuk melengkapi pemeriksaan, dapat dilakukan pemeriksaan klinik sebagai berikut : 2.3.8.1. Pemeriksaan Audiometri Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya didapati tuli konduktif. Tapi dapat pula dijumpai adanya tuli sensotineural, beratnya ketulian tergantung besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistim penghantaran suara ditelinga tengah. Paparela, Brady dan Hoel (1970) melaporkan pada penderita OMSK ditemukan tuli sensorineural yang dihubungkan dengan difusi produk toksin ke dalam skala timpani melalui membran fenstra rotundum, sehingga menyebabkan penurunan ambang hantaran tulang secara temporer/permanen yang pada fase awal terbatas pada lengkung basal kohlea tapi dapat meluas kebagian apek kohlea. ©2003 Digitized by USU digital library 18 38 Gangguan pendengaran dapat dibagi dalam ketulian ringan, sedang, sedang berat, dan ketulian total, tergantung dari hasil pemeriksaan ( audiometri atau test berbisik). Derajat ketulian ditentukan dengan membandingkan rata-rata kehilangan intensitas pendengaran pada frekuensi percakapan terhadap skala ISO 1964 yang ekivalen dengan skala ANSI 1969. Derajat ketulian dan nilai ambang pendengaran menurut ISO 1964 dan ANSI 1969. Derajat ketulian Nilai ambang pendengaran Normal : -10 dB sampai 26 dB Tuli ringan : 27 dB sampai 40 dB Tuli sedang : 41 dB sampai 55 dB Tuli sedang berat : 56 dB sampai 70 dB Tuli berat : 71 dB sampai 90 dB Tuli total : lebih dari 90 dB. Evaluasi audimetri penting untuk menentukan fungsi konduktif dan fungsi kohlea. Dengan menggunakan audiometri nada murni pada hantaran udara dan tulang serta penilaian tutur, biasanya kerusakan tulang- tulang pendengaran dapat diperkirakan, dan bisa ditentukan manfaat operasi rekonstruksi telinga tengah untuk perbaikan pendengaran. Untuk melakukan evaluasi ini, observasi berikut bisa membantu : 1. Perforasi biasa umumnya menyebabkan tuli konduktif tidak lebih dari 15-20 dB 2. Kerusakan rangkaian tulang- tulang pendengaran menyebabkan tuli konduktif 30- 50 dB apabila disertai perforasi. 3. Diskontinuitas rangkaian tulang pendengaran dibelakang membran yang masih utuh menyebabkan tuli konduktif 55- 65 dB. 4. Kelemahan diskriminasi tutur yang rendah, tidak peduli bagaimanapun keadaan hantaran tulang, menunjukan kerusakan kohlea parah. Pemeriksaan audiologi pada OMSK harus dimulai oleh penilaian pendengaran dengan menggunakan garpu tala dan test Barani. Audiometri tutur dengan masking adalah dianjurkan, terutama pada tuli konduktif bilateral dan tuli campur. 2.3.8.2. Pemeriksaan Radiologi. Pemeriksaan radiografi daerah mastoid pada penyakit telinga kronis nilai diagnostiknya terbatas dibandingkan dengan manfaat otoskopi dan audiometri. Pemerikasaan radiologi biasanya mengungkapkan mastoid yang tampak sklerotik, lebih kecil dengan pneumatisasi leb ih sedikit dibandingkan mastoid yang satunya atau yang normal. Erosi tulang, terutama pada daerah atik memberi kesan kolesteatom Proyeksi radiografi yang sekarang biasa digunakan adalah : 1. Proyeksi Schuller, yang memperlihatkan luasnya pneumatisasi mastoid dari arah lateral dan atas. Foto ini berguna untuk pembedahan karena memperlihatkan posisi sinus lateral dan tegmen. Pada keadaan mastoid yang skleritik, gambaran radiografi ini sangat membantu ahli bedah untuk menghindari dura atau sinus lateral. 2. Proyeksi Mayer atau Owen, diambil dari arah dan anterior telinga tengah. Akan tampak gambaran tulang- tulang pendengaran dan atik sehingga dapat diketahui apakah kerusakan tulang telah mengenai struktur- struktur. 3. Proyeksi Stenver, memperlihatkan gambaran sepanjang piramid petrosus dan yang lebih jelas memperlihatkan kanalis auditorius interna, vestibulum dan kanalis semisirkularis. Proyeksi ini menempatkan antrum dalam potongan ©2003 Digitized by USU digital library 19 melintang sehingga dapat menunjukan adanya pembesaran akibat kolesteatom. 4. Proyeksi Chause III, memberi gambaran atik secara longitudinal sehingga dapat memperlihatkan kerusakan dini dinding lateral atik. Politomografi dan atau CT scan dapat menggambarkan kerusakan tulang oleh karena kolesteatom, ada atau tidak tulang- tulang pendengaran dan beberapa kasus terlihat fistula pada kanalis semisirkularis horizontal. Keputusan untuk melakukan operasi jarang berdasarkan hanya dengan hasil X- ray saja. Pada keadaan tertentu seperti bila dijumpai sinus lateralis terletak lebih anterior menunjukan adanya penyakit mastoid. 2.3.8.3. Bakteriologi Walapun perkembangan dari OMSK merupakan lanjutan dari mulainya infeksi akut, bakteriologi yang ditemukan pada sekret yang kronis berbeda dengan yang ditemukan pada otitis media supuratif akut. Bakteri yang sering dijumpai pada OMSK adalah Pseudomonas aeruginosa, Stafilokokus aureus dan Proteus. Sedangkan bakteri pada OMSA Streptokokus pneumonie, H. influensa, dan Morexella kataralis. Bakteri lain yang dijumpai pada OMSK E. Coli, Difteroid, Klebsiella, dan bakteri anaerob adalah Bacteriodes sp. Infeksi telinga biasanya masuk melalui tuba dan berasal dari hidung, sinus parasanal, adenoid atau faring. Dalam hal ini penyebab biasanya adalah pneumokokus, streptokokus, atau hemofilius influenza. Tetapi pada OMSK keadaan ini agak berbeda. Karena adanya perforasi membran timpani, infeksi lebih sering berasal dari luar yang masuk melalui perforasi tadi. Pengobatan penyakit infeksi ini sebaiknya berdasarkan kuman penyebab dan hasil kepekaan kuman. Bakteri penyebab OMSK dapat berupa : 2.3.8.3.1. Bakteri spesifik Misalnya Tuberkulosis. Dimana Otitis tuberkulosa sangat jarang ( kurang dari 1% menurut Shambaugh). Pada orang dewasa biasanya disebabkan oleh infeksi paru yang lanjut. Infeksi ini masuk ke telinga tengah melalui tuba. Otitis me dia tuberkulosa dapat terjadi pada anak yang relatif sehat sebagai akibat minum susu yang tidak dipateurisasi. Mycobacterium tuberkulosa pada OMSK (Munzel 1978, Jeang dan Fletcher, 1983). 2.3.8.3.2. Bakteri non spesifik baik aerob dan anaerob. Bakteri aerob yang sering dijumpai adalah Pseudomonas aeruginosa, stafilokokus aureus dan Proteus sp. Para penulis mendapat presentase yang berbeda terhadap jenis kuman OMSK. Proteus sp dan Pseudomonas aeruginosa lebih predominan ( Palva dan Hallstrom, 1965; Ojala dkk, 1981; Sugita dkk, 1981 ; Constable dan Butler, 1982; Sweeney, Picozzi dan Browning, 1982 ; Brook, 1985). Stafilokokus aureus ( Friedman, 1952; Karma dkk 1978) dan Eserikia koli ( constable dan Butler 1982; Sweeney, Picozzi dan Browning, 1982) yang juga sering diisolasi. Freidmann (1952) mengisolasi dari Stafilokokus aureus 32,7% dari 318 kasus dimana 41% resisten terhadap penisilin dan 59% sensitif, diantaranya terdapat organisma gram negatif, Proteus sp yang diisolasi 27%, Pseudomonas aeruginosa 16% dan Eserikia koli 10,7%. Dari penilaian ini dijumpai penyebaran luas dari organisma gram positif yang campuran dengan kuman aerob negatif yang predominan. ©2003 Digitized by USU digital library 20 Losin dan kawan- kawan ( 1983), melaporkan hasil penilaiannya pada OMSK dengan atau tanpa jaringan patologis, dengan urutan determinasi kuman aerob sebagai berikut : Proteus sp (34,39%), Bacillus sp. (29,44%), Pseudomonas sp. (15,90%), Stafilokokus patogen (11,36%), Klebiella sp. (4,55%)38. Vartiainen (1999), melaporkan kultur sekret telinga OMSK dengan kolesteatom, dari 201 kasus didapatkan Stafilokokus aureus (23%), Pseudomonas aeruginosa (17%), Proteus sp (8%). Bakteri yang ditemukan secara statistik tidak ada perbedaan bermakna pada anak dewasa, dimana Pseudomonas aeruginosa sedikit lebih tinggi pada anak dari pada dewasa. Dari penelitian Pseudomonas terdapat pada umur < 16 tahun 25% dan ≥ 16 tahun 18%, sedangkan Stafilokokus aureus ≥ 16 tahun adalah 20% < 16 tahun 18%. Adenin. A (1973) menemukan bakteri aerob pada OMSK yang sering dijumpai adalah: Proteus (48%), Psedomonas (11%), Klebeilla (11%), Eserikia koli (4%), Streptokokus haemolitikus (3%), Diplokokus (1%)8. Dan mendapatkan kuman anaerob pada OMSK adalah Peptokokus dan Peptostreptokokus. Dan ternyata Kanamisin sensitif terhadap Peptokokus (85%) dan Peptostreptokokus (66,67%). Karma (1978) menemukan kuman aerob Stafilokokus 36,88% (59 dari 160), gram negatif rod 22, 50% ( 36 dari 160), Difteroid basili 21,25% (34 dari 160), Pseudomonas sp 10% ( 16 dari 160). Pada penelitian dari Indudharan ( Januari 1994 - Desember 1995) diantara 500 yang diisolasi, kuman yang sering dijumpai Pseudomonas aeruginosa (27,2%), diikuti oleh Stafilokokus aureus (23,6%), Stafilokokus epidermidis (8,8%), Proteus sp (7,4%), Streptokokus beta hemolitikus (7%), Haemofilus influensa (6,4%), Enterobakter (3,6%), Klebsiella (3,2%). Antibiotik yang sensitif untuk Pseudomonas aeruginosa adalah ceftazidime (100%), gentamisin (96,3%), polimiksin B (95,4%) dan Ciprofloksasin (98,9%). Resisten pada ampisilin (97,6%) dan kloramfenikol (96,6%). Stafilokokus aureus sensitif pada kloramfenikol (87,5%), cloxacillin (97,4%), kotrimoksazol (96,5%), eritromisin (89,5%), gentamisin (90,7%) dan ciptofloksasin (98,6%), dimana resisten terhadap ampisilin (73,8%) dan polimiksin B (98,3%). Pseudomonas aeruginosa merupakan kuman tersering ditemukan pada biakan sekret OMSK tanpa kolesteatom. Hasil penelitian dibagian THT FKUI / RSCM ditemukan kuman OMSK dengan kolesteatom dari operasi radikal mastoidektomi. Di RSCM dari Januari sampai April 1996 didapat kuman aerob yang paling sering ditemukan Proteus mirabilis (58,5%), sedangkan Pseudomonas (31,5%). Sedangkan OMSK tanpa kolesteatom kuman aerob yang tersering adalah Pseudomonas aeruginosa (22,46%), Stafilokokus (16,33%). Pada penelitian OMSK benigna tipe aktif ditemukan kuman yang terbanyak adalah pseudomonas aeruginosa (27,5%), juga dijumpai antigen Clamydia trachomatis sebesar 25% Spiric dari tahun 1994- 1996 menemukan kuman yang sering dijumpai adalah Pseudomonas aeruginosa gram negatif 22%, Proteus mirabilis 20%, Stafilokokus aureus 17% dan Eserikia koli 11%. Antibiotik yang sensitif untuk Pseudomonas aeruginosa adalah ceftazidime dan ciprofloksasin, dan resisten pada penisilin, sefalosporin dan makrolid. Sedangkan Proteus mirabilis sensitif untuk antibiotik kecuali makrolid. Stafilokokus aureus resisten terhadap sulfonamid dan trimethoprim dan sensitif untuk sefalosforin generasi I dan gentamisin. Pada otitis media banyak terdapat “ mixed infection” dari kuman aerob dan kuman anaerob sedangkan “ mixed infection” antara kuman aerob hanya 60%. Oleh karena itu Oderdank menfasirkan tingginya “mixed infection” kuman aerob dan ©2003 Digitized by USU digital library 21 kuman anaerob disebabkan oleh karena itu metabolisme dari kuman aerob menyebabkan lingkungan kecil sekali untuk hidupnya kuman- kuman anaerob. Menurut Feingold kuman anaerob banyak terdapat dalam jaringan nekrotis, pada radang yang telah diberi pengobatan dengan aminoglikosida, pada pus yang busuk, pada pus yang aseptis yang ternyata steril pada pemeriksaan untuk kumankuman aerob dan pada kasus- kasus dimana pemberian kemoterapi penyakitnya tidak menyembuh. Menurut Sugita dkk (1981), bahwa kuman anaerob sering ditemukan pada otitis media yang disertai dengan kolesteatom dan granulasi. Adanya kolesteatom dan granulasi menghalang- halangi perputaran udara diantara udara luar dan ruang telinga tengah. Hal ini menyebabkan supali oksigen ke telinga berkurang dan berakibat tekanan parsiil oksigen turun dan sebaiknya tekanan parsiil CO2 naik akibat jumlah kuman aerob turun dan kuman anaerob meningkat. Pseudomonas aeruginosa termasuk kuman gram negatif, aerob dan jumlah kecil sering dijumpai sebagai flora saprofit normal pada kulit dan usus. Perubahan sifat saprofit menjadi patogen pada OMSK terjadi karena faktor- faktor predisposisi yaitu serangan otitis media akut sebelumnya, adanya perforasi membran timpani, efusi kronis telinga tengah, abnormalitas struktur epitel telinga tengah, disfungsi tuba auditiva. Stafilokokus aureus termasuk golongan gram positif, aerob dan hidup saprofit pada kulit normal manusia . Perubahan sifat saprofit menjadi apatogen terjadi pada kondisi kuman mampu memproduksi toksin dan enzim sehingga mempermudah terjadinya invasi lokal. Proteus sp. Termasuk kuman gram negatif, aerob, normal terdapat dalam saluran nafas atas, masuk kavum timpani diperkirakan sebagai kuman sekunder sewaktu terjadi otitis media akut, baru mampu menyebabkan infeksi bila pertahanan auris media lemah. Sipila (1981) melakukan penyelidikan kuman pada telinga normal. Dia telah melakukan pemeriksaan bakteriologi pada 20 telinga yang tidak meradang. Ternyata 45% telinga tengah dan 70% liang telinga mengandung kuman, walaupun jumlah koloninya kecil. Jumlah koloni pada telinga tengah umumnya lebih sedikit dibanding liang telinga. Bakteri pada telinga tengah yang tersaring adalah Stafilokokus epidermidis dan stafilokokus aureus. Sedangkan pada liang telinga adalah Stafilokokus epidermidis, stafilokokus aureus dan difteroid basil. 2.3.9. PENATALAKSANAAN Penyebab penyakit telinga kronis yang efektif harus didasarkan pada faktorfaktor penyebabnya dan pada stadium penyakitnya. Dengan demikian pada waktu pengobatan haruslah dievaluasi faktor- faktor yang menyebabkan penyakit menjadi kronis, perubahan- perubahan anatomi yang menghalangi penyembuhan serta menganggu fungsi, dan proses infeksi yang terdapat ditelinga. Bila didiagnosis kolesteatom, maka mutlak harus dilakukan operasi, tetapi obat - obatan dapat digunakan untuk mengontrol infeksi sebelum operasi. Prinsip pengobatan tergantung dari jenis penyakit dan luasnya infeksi, dimana pengobatan dapat dibagi atas : 1. Konservatif 2. Operasi ©2003 Digitized by USU digital library 22 OMSK BENIGNA TENANG Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan, dan dinasehatkan untuk jangan mengorek telinga, air jangan masuk ke telinga sewaktu mandi, dilarang berenang dan segera berobat bila menderita infeksi saluran nafas atas. Bila fasilitas memungkinkan sebaiknya dilakukan operasi rekonstruksi (miringoplasti,timpanoplasti) untuk mencegah infeksi berulang serta gangguan pendengaran. OMSK BENIGNA AKTIF Prinsip pengobatan OMSK adalah : 1.Membersihkan liang telinga dan kavum timpani. 2.Pemberian antibiotika : - topikal antibiotik ( antimikroba) - sistemik. ad 1. Pembersihan liang telinga dan kavum timpan ( toilet telinga) tujuan toilet telinga adalah membuat lingkungan yang tidak sesuai untuk perkembangan mikroorganisme, karena sekret telinga merupakan media yang baik bagi perkembangan mikroorganisme ( Fairbank, 1981). Cara pembersihan liang telinga ( toilet telinga) : 1. Toilet telinga secara kering ( dry mopping). Telinga dibersihkan dengan kapas lidi steril, setelah dibersihkan dapat di beri antibiotik berbentuk serbuk. Cara ini sebaiknya dilakukan diklinik atau dapat juga dilakukan oleh anggota keluarga. Pembersihan liang telinga dapat dilakukan setiap hari sampai telinga kering. 2. Toilet telinga secara basah ( syringing). Telinga disemprot dengan cairan untuk membuang debris dan nanah, kemudian dengan kapas lidi steril dan diberi serbuk antibiotik. Meskipun cara ini sangat efektif untuk membersihkan telinga tengah, tetapi dapat mengakibatkan penyebaran infeksi ke bagian lain dan kemastoid ( Beasles, 1979). Pemberian serbuk antibiotik dalam jangka panjang dapat menimbulkan reaksi sensitifitas pada kulit. Dalam hal ini dapat diganti dengan serbuk antiseptik, misalnya asam boric dengan Iodine. 3. Toilet telinga dengan pengisapan ( suction toilet) Pembersihan dengan suction pada nanah, dengan bantuan mikroskopis operasi adalah metode yang paling populer saat ini. Kemudian dilakukan pengangkatan mukosa yang berproliferasi dan polipoid sehingga sumber infeksi dapat dihilangkan. Akibatnya terjadi drainase yang baik dan resorbsi mukosa. Pada orang dewasa yang koperatif cara ini dilakukan tanpa anastesi tetapi pada anakanak diperlukan anastesi. Pencucian telinga dengan H2O2 3% akan mencapai sasarannya bila dilakukan dengan “ displacement methode” seperti yang dianjurkan oleh Mawson dan Ludmann. Ad 2. Pemberian antibiotik topikal Terdapat perbedaan pendapat mengenai manfaat penggunaan antibiotik topikal untuk OMSK. Pemberian antibiotik secara topikal pada telinga dan sekret yang banyak tanpa dibersihkan dulu, adalah tidak efektif. Bila sekret berkurang/tidak progresif lagi diberikan obat tetes yang mengandung antibiotik dan kortikosteroid. Rif menganjurkan irigasi dengan garam faal agar lingkungan bersifat asam dan merupakan media yang buruk untuk tumbuhnya kuman. Selain itu dikatakannya, bahwa tempat infeksi pada OMSK sulit dicapai oleh antibiotika topikal. Djaafar dan ©2003 Digitized by USU digital library 23 Gitowirjono menggunakan antibiotik topikal sesudah irigasi sekret profus dengan hasil cukup memuaskan, kecuali kasus dengan jaringan patologis yang menetap pada telinga tengah dan kavum mastoid. Mengingat pemberian obat topikal dimaksudkan agar masuk sampai telinga tengah, maka tidak dianjurkan antibiotik yang ototoksik misalnya neomisin dan lamanya tidak lebih dari 1 minggu. Cara pemilihan antibiotik yang paling baik dengan berdasarkan kultur kuman penyebab dan uji resistesni. Obat- obatan topikal dapat berupa bubuk atau tetes telinga yang biasanya dipakai setelah telinga dibersihkan dahulu. Bubuk telinga yang digunakan seperti : a. Acidum boricum dengan atau tanpa iodine b. Terramycin. c . Asidum borikum 2,5 gram dicampur dengan khloromicetin 250 mg Pengobatan antibiotik topikal dapat digunakan secara luas untuk OMSK aktif yang dikombinasi dengan pembersihan telinga, baik pada anak maupun dewasa. Neomisin dapat melawan kuman Proteus dan Stafilokokus aureus tetapi tidak aktif melawan gram negatif anaerob dan mempunyai kerja yang terbatas melawan Pseudomonas karena meningkatnya resistensi. Polimiksin efektif melawan Pseudomonas aeruginosa dan beberapa gram negatif tetapi tidak efektif melawan organisme gram positif (Fairbanks, 1984). Seperti aminoglokosida yang lain, Gentamisin dan Framisetin sulfat aktif melawan basil gram negatif dan gentamisin kerjanya “ sedang” dalam melawan Streptokokus. Tidak ada satu pun aminoglikosida yang efektif melawan kuman anaerob. Biasanya tetes telinga mengandung kombinasi neomisin, polimiksin dan hidrokortison, bila sensitif dengan obat ini dapat digunakan sulfanilaid- steroid tetes mata. Kloramfenikol tetes telinga tersedia dalam acid carrier dan telinga akan sakit bila diteteskan. Kloramfenikol aktif melawan basil gram positif dan gram negatif kecuali Pseudomonas aeruginosa, tetapi juga efektif melawan kuman anaerob, khususnya B. fragilis ( Fairbanks, 1984). Pemakaian jangka panjang lama obat tetes telinga yang mengandung aminoglikosida akan merusak foramen rotundum, yang akan menyebabkan ototoksik. Antibiotika topikal yang dapat dipakai pada ot itis media kronik adalah : 1. Polimiksin B atau polimiksin E Obat ini bersifat bakterisid terhadap kuman gram negatif, Pseudomonas, E. Koli Klebeilla, Enterobakter, tetapi resisten terhadap gram positif, Proteus, B. fragilis Toksik terhadap ginjal dan susunan saraf. 2. Neomisin Obat bakterisid pada kuma gram positif dan negatif, misalnya : Stafilokokus aureus, Proteus sp. Resisten pada semua anaerob dan Pseudomonas. Toksik terhadap ginjal dan telinga. 3. Kloramfenikol Obat ini bersifat bakterisid terhadap : Stafilokokus, koagulase positif, 99% Stafilokokus, koagulase positif, 95% Stafilokokus group A, 100% E. Koli, 96% Proteus sp, 60% Proteus mirabilis, 90% Klebsiella, 92% ©2003 Digitized by USU digital library 24 Enterobakter, 93% Pseudomonas, 5% Dari penelitian terhadap 50 penderita OMSK yang diberi obat tetes telinga dengan ofloksasin dimana didapat 88,96% sembuh, membaik 8,69% dan tidak ada perbaikan 4,53% Ad. 3. Pemberian antibiotik sistemik Pemilihan antibiotik sistemik untuk OMSK juga sebaiknya berdasarkan kultur kuman penyebab. Pemberian antibiotika tidak lebih dari 1 minggu dan harus disertai pembersihan sekret profus. Bila terjadi kegagalan pengobatan , perlu diperhatikan faktor penyebab kegagalan yang ada pada penderita tersebut. Dalam pengunaan antimikroba, sedikitnya perlu diketahui daya bunuhnya terhadap masing- masing jenis kuman penyebab, kadar hambat minimal terhadap masing- masing kuman penyebab, daya penetrasi antimikroba di masing jaringan tubuh, toksisitas obat terhadap kondisi tubuhnya . dengan melihat konsentrasi obat dan daya bunuhnya terhadap mikroba, antimikroba dapat dibagi menjadi 2 golongan. Golongan pertama daya bunuhnya tergantung kadarnya. Makin tinggi kadar obat, makin banyak kuman terbunuh, misalnya golongan aminoglikosida dengan kuinolon. Golongan kedua adalah antimikroba yang pada konsentrasi tertentu daya bunuhnya paling baik. Peninggian dosis tidak menambah daya bunuh antimikroba golongan ini, misalnya golongan beta laktam. Terapi antibiotik sistemik yang dianjurkan pada Otitis media kronik adalah. Kuman aerob Antibiotik sistemik Pseudomonas Aminoglikosida ± karbenisilin P. Mirabilis Ampisilin atau sefalosforin P. Morganii Aminoglikosida ± Karbenisilin P. Vulgaris Klebsiella Sefalosforin atau aminoglikosida E. Koli Ampisilin atau sefalosforin S. Aureus Anti-stafilikokus penisilin, sefalosforin Eritromisin,aminoglikosida Streptokokus Penisilin, sefalosforin, eritromisin Aminoglikosida B. fragilis Klindamisin Antibiotika golongan kuinolon ( siprofloksasin, dan ofloksasin) yaitu dapat derivat asam nalidiksat yang mempunyai aktifitas anti pseudomonas dan dapat diberikan peroral. Tetapi tidak dianjurkan untuk anak dengan umur dibawah 16 tahun. Golongan sefalosforin generasi III ( sefotaksim, seftazidinm dan seftriakson) juga aktif terhadap pseudomonas, tetapi harus diberikan secara parenteral. Terapi ini sangat baik untuk OMA sedangkan untuk OMSK belum pasti cukup, meskipun dapat mengatasi OMSK. Metronidazol mempunyai efek bakterisid untuk kuman anaerob. Menurut Browsing dkk metronidazol dapat diberikan dengan dan tanpa antibiotik ( sefaleksin dan kotrimoksasol) pada OMSK aktif, dosis 400 mg per 8 jam selama 2 minggu atau 200 mg per 8 jam selama 2- 4 minggu1. ©2003 Digitized by USU digital library 25 OMSK MALIGNA Pengobatan yang tepat untuk OMSK maligna adalah operasi. Pengobatan konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum dilakukan pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal, maka insisi abses sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum kemudian dilakukan mastoidektomi. Ada beberapa jenis pembedahan atau tehnik operasi yang dapat dilakukan pada OMSK dengan mastoiditis kronis, baik tipe benigna atau maligna, antara lain : 1.Mastoidektomi sederhana ( simple mastoidectomy) 2.Mastoidektomi radikal 3.Mastoidektomi radikal dengan modifikasi 4.Miringoplasti 5.Timpanoplasti 6.Pendekatan ganda timpanoplasti ( Combined approach tympanoplasty) Tujuan operasi adalah menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki membran timpani yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan pendengaran yang lebih berat, serta memperbaiki pendengaran. Pedoman umum pengobatan penderita OMSK adalah Algoritma berikut : ©2003 Digitized by USU digital library 26 MT Perforasi / OMSK OMSK Benigna Aktif Mikroresistensi AB Lini I (oral) 12 minggu H2 O 2 3% (3-5 hari) Tenang Nasehat Observasi Idealnya Tympt (> 10 th) OMSK Maligna Tenang Nasehat Observasi 2-3 bulan Idealnya operasi ( >10th ) Tetap Aktif Aktif Terapi sementara AB H 2O 2 3% Tenang Operasi Operasi Ganti AB ~ Kultur atau Ganti AB à lini 2 ( 1-2 minggu) Tenang Nasehat Idealnya Tympl (>10 th) ©2003 Digitized by USU digital library Tetap Aktif Rawat à AB intra vena ( AB dosis tinggi / AB lini 3) atau Mastoidektomi dengan atau tanpa Tympl 27 2.3.10. KOMPLIKASI Otitis media supuratif mempunyai potensi untuk menjadi serius karena komplikasinya yang sangat mengancam kesehatan dan dapat menyebabkan kematian. Tendensi otitis media mendapat komplikasi tergantung pada kelainan patologik yang menyebabkan otore. pemberian antibiotika telah menurunkan insiden komplikasi. Walaupun demikian organisme yang resisten dan kurang efektifnya pengobatan, akan menimbulkan komplikasi. biasanya komplikasi didapatkan pada pasien OMSK tipe maligna, tetapi suatu otitis media akut atau suatu eksaserbasi akut oleh kuman yang virulen pada OMSK tipe benigna pun dapat menyebabkan komplikasi. Komplikasi intra kranial yang serius lebih sering terlihat pada eksaserbasi akut dari OMSK berhubungan dengan kolesteatom. Adam dkk mengemukakan klasifikasi sebagai berikut : A. Komplikasi ditelinga tengah : 1. Perforasi persisten 2. Erosi tulang pendengaran 3. Paralisis nervus fasial B. Komplikasi telinga dalam 1. Fistel labirin 2. Labirinitis supuratif 3. Tuli saraf ( sensorineural) C. Komplikasi ekstradural 1. Abses ekstradural 2. Trombosis sinus lateralis 3. Petrositis D. Komplikasi ke susunan saraf pusat 1. Meningitis 2. Abses otak 3. Hindrosefalus otitis Paparella dan Shumrick (1980) membagi dalam : A. Komplikasi otologik 1. Mastoiditis koalesen 2. Petrositis 3. Paresis fasialis 4. Labirinitis B. Komplikasi Intrakrania l 1. Abses ekstradural 2. Trombosis sinus lateralis 3. Abses subdural 4. Meningitis 5. Abses otak 6. Hidrosefalus otitis Shambough (1980) membagi atas komplikasi meninggal dan non meninggal : A. Komplikasi meninggal 1. Abses ekstradural dan abses perisinus 2. Meningitis. 3. Trombofle bitis sinus lateral 4. Hidrosefalus otitis 5. Otore likuor serebrospinal ©2003 Digitized by USU digital library 28 B. Komplikasi non meningeal. 1. Abses otak. 2. Labirinitis. 3. Petrositis. 4. Paresis fasial. Cara penyebaran infeksi : 1. Penyebaran Hemotogen 2. Penyebaran melalui erosi tulang 3. Penyebaran melalui jalan yang sudah ada. Perjalanan komplikasi infeksi telinga tengah ke intra kranial harus melewati 3 macam lintasan : 1. Dari rongga telinga tengah ke selaput otak 2. Menembus selaput otak. 3. Masuk kejaringan otak. Ad. 1 . Penyebaran ke selaput otak dapat terjadi akibat dari beberapa faktor; Melalui jalan yang sudah ada, seperti garis fraktur tulang temporal, bagian tulang yang lemah atau defek karena pembedahan, dapat memudahkan masuknya infeksi. Labirin juga dapat dianggap sebagai jalan penyebaran yang sudah ada begitu telah terinfeksi, menyebabkan mudahnya infeksi ke fosa kranii media. Jalan lain penyebaran ialah melalui tromboflebitis vena emisaria menembus dinding mastoid ke dura dan sinus durameter. Tromboflebitis pada susunan kanal haversian merupakan osteitis atau osteomielitis dan merupakan faktor utama penyebaran menembus sawar tulang daerah mastoid dan telinga tengah. Ad 2. Penyebaran menembus selaput otak. Dimulai begitu penyakit mencapai dura, menyebabkan pakimeningitis. Dura sangat resisten terhadap penyebaran infeksi, akan menebal, hiperemi, dan lebih melekat ketulang. Jaringan granulasi terbentuk pada dura yang terbuka, dan ruang subdura yang berdekatan terobliterasi. Ad 3. Penyebaran ke jaringan otak. Pembentukan abses biasanya terjadi pada daerah diantara ventrikel dan permukaan korteks atau tengah lobus serebelum. Cara penyebaran infeksi ke jaringan otak ini dapat terjadi baik akibat tromboflebitis atau perluasan infeksi ke ruang Virchow Robin yang berakhir didaerah vaskular subkortek. ©2003 Digitized by USU digital library 29 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Disain Penelitian Penelitian ini bersifat diskriptif, dimana pengambilan data dilakukan secara Cross – Sectional. 3.2. Tempat Penelitian Pengambilan data dilakukan di Poliklinik THT RSUP. H. Adam Malik Medan. 3.3. Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan September 2000 – Februari 2001. 3.4. Sampel Penelitian Penelitian dilakukan pada setiap penderita Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) yang datang berobat ke poliklinik THT RSUP H. Adam Malik Medan. 3.5. Pemilihan Sampel Sampel dipilih dari semua penderita OMSK yang berobat ke poliklinik THT RSUP H. Adam Malik yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. 3.5.1. Kriteria Inklusi a. Pasien baru/lama yang tidak mendapat pengobatan antibiotika lokal atau sistemik selama 7 hari. b. Berumur diatas 12 tahun. c . Setiap kuman tumbuh dalam media pembiakan. d. Bersedia diikut sertakan dalam penelitian ini. 3.5.2. Kriteria Eksklusi a. Sudah pernah mendapat pengobatan antibiotika lokal atau sistemik dalam waktu 7 hari terakhir. b. Penderita berumur dibawah 12 tahun. c . Tidak ada pertumbuhan kuman. d. Tidak bersedia diikutsertakan dalam penelitian ini. 3.6. Alat yang dipakai Alat yang dipakai dalam penelitian ini : a. Lampu kepala b. Kanul suction c . Corong telinga d. Alkohol 70% e. Kapas lidi steril f. Tabung reaksi steril g. Ose h. Piring petri i. Lampu Bunsen. 3.7. Bahan yang digunakan a. Sekret telinga b. Media Stuart c . Media blood agar, Mc Conkey d. Disk antibiotika. e. Muller Hinton brood f. Pewarnaan gram 3.8. Cara Kerja Terhadap setiap penderita yang memenuhi kriteria inkusi, dilakukan : a. Pemeriksaan THT rutin ©2003 Digitized by USU digital library 30 b. Pengisapan sekret telinga secara pelan- pelan, kemudian liang telinga dibersihkan dengan alkohol 70%. c . Dengan panduan corong telinga steril sekret yang berasal dari kavum timpani diambil pada perforasi membran timpani dengan kapas lidi steril, kemudian dimasukan ke dalam tabung reaksi steril yang berisi media Stuart. Sebelumnya mulut tabung tersebut dipanaskan di lampu spiritus lalu tabung ditutup rapat dan diberi label nama. d. Selanjutnya sediaan dikirim ke laboratorium Mikrobiologi FK-USU untuk dilakukan identifikasi kuman aerob serta uji kepekaan. BAB IV HASIL PENELITIAN Jumlah penderita yang diambil sebagai sampel sebanyak 40 orang, dimana 4 orang diantaranya dikeluarkan dari penelitian ini oleh karena tidak memnuhi syarat. Data- data yang dikumpulkan dibuat dalam tabel- tabel. Tabel 4.1. Distribusi Umur Penderita OMSK No. Kelompok Umur Jumlah 1. 12 – 20 12 2. 21 – 29 8 3. 30 – 38 5 4. 39 – 47 8 5. >48 3 Jumlah 36 % 33,3 22,2 14,0 22,2 8,3 100 Dari tabel 4.1. didapatkan presentase tertinggi penderita OMSK pada umur 12 – 20 tahun (33,3%) ©2003 Digitized by USU digital library 31 Tabel 4.2. Distribusi Jenis Bakteri Aerob Yang Dapat Diisolasi Dari Sekret OMSK Stafilokokus aureus Stafilokokus albus Eserikia koli lebsiella sp Proteus sp Pseudomonas aeruginosa Streptokokus viridan Dari tabel 4.2 didapatkan bakteri aerob yang terbanyak adalah stafilokokus aureus 36,1%, diikuti Eserikia koli 27,7 % dan Proteus 19,4%, Pseudomonas aeruginosa 2,8 % BAB V PEMBAHASAN Penderita yang tercakup dalam penelitian ini berumur dua belas tahun keatas untuk memudahkan pengambilan bahan pemeriksaan. Meskipun kelompok umur penderita OMSK ini bervariasi, seperti dilaporkan peneliti sebelumnya, frekuensi yang terbanyak pada penelitian ini adalah antara umur 12-20 tahun (33,3%) seperti terlihat pada tabel 4.1. Sunarjadi dan Wisnubroto pada tahun 1976 di Surabaya menyimpulkan bahwa OMSK yang aktif maupun yang tidak aktif dipengaruhi oleh faktor umur. 53 Delfitri Munir ( 1992) di Medan mendapatkan umur termuda 6 tahun dan tertua 39 tahun, frekuensi terbanyak dijumpai antara umur 6- 15 tahun (68,18%). 45 T. Yohanita di Medan ( 1995) melakukan penelitian pada penderita dengan umur antara 10- 19 tahun (38,10%)53. Fitriah (1995) di Jakarta melakukan penelitian pada penderita antara umur 12 sampai 62 tahun dan mendapatkan umur rata- rata 22,5 tahun. 48 R. Suheryanto (1996) di Malang melakukan penelitian dengan rentang umur 5-64 tahun, frekuensi yang terbanyak pada umur 20- 29 tahun. Palloan ( 1996) di Ujung Pandang mendapatkan frekuensi terbanyak pada kelompok umur >5- 14 tahun. Ainul Mardhiah di Medan (1998) mendapatkan dari semua penderita OMSK. Frekuensi terbanyak pada kelompok umur 20- 24 tahun (25,4%). Indudharan di Malaysia (1995) mendapatkan frekuensi terbanyak pada umur dibawah 20 tahun ( 69,3%). ©2003 Digitized by USU digital library 32 Dari tabel 4.2 kuman aerob penyebab OMSK yang dominan adalah Stafilokokus aureus 36,1%, Eserikia koli 27,7% dan Proteus 19,4%. Hal ini hampir sama dengan yang diteliti oleh Friedman (1952), yaitu Stafilokokus aureus 32,7%, Proteus 27%, Eserikia koli 10,7%. Jokipii ( 1977) mendapatkan Stafilokokus aureus 19%, Proteus 8%, Eserikia koli 6,8%. Karma ( 1978) juga mendapatkan Stafilokokus 33,75, gram negatif rod 22,50%, Difterioid 21,25% serta Pseudomonas 10%. Ojala ( 1981) kuman aerob yang dijumpai adalah Stafilokokus aureus 22%, Pseudomonas aeruginosa 19%, Proteus 12,9% dan Eserikia koli 6,8%. Delfitri Munir (1992) mendapat kan Stafilokokus aureus 26,27%, Proteus dan Klebsiella 20% dan Eserikia koli 13,33%. Peneliti yang lain mendapatkan kuman Pseudomonas sp sebagai penyebab terbanyak OMSK seperti Adenin Adenan ( 1981) mendapatkan kuman aerob yang terbanyak adalah Pseudomonas 33,33%, Stafilokokus aureus 28,89%, Proteus 24,45% dan Eserikia koli 11,11%. T. Yohanita (1995) mendapatkan Pseudomonas 41,77%, Stafilokokus 20,25%, dan Proteus 12,65%. Indudharan (1995) mendapatkan Pseudomonas aeruginosa 27,2%, Stafilokokus aureus 23,6%, Stafilokokus epidermidis 8,8% dan Proteus mirabilis 20%, Stafilokokuis aureus 17% dan Eserikia koli 11%. R. Suheryanto (1996) mendapatkan Pseudomonas aeruginosa dan Stafilokokus aureus sama-sama 17,65% dan Klebsiella 9,8%. Perbedaan jenis kuman yang dominan kemungkinan disebabkan cara pengambilan bahan pemeriksaan yang berbeda dengan yang kami lakukan. Dari tabel 4.3 hasil uji kepekaan ternyata Stafilokokus aureus sensitif terhadap antibiotika golongan Siprofloksasin dan Debekasin, resisten terhadap Seftriakson. Eserikia koli sensitif pada antibiotika golongan Siprofloksasin dan Dibekasin, resiten terhadap Seftriakson dan Kloramfenikol. Proteus sensitif pada golongan Siprofloksasin dan Dibekasin, resisten terhadap Seftriakson. Seluruh kuman yang ditemuka n dalam penelitian ini sensitif terhadap Siprofloksasin dan resisten terhadap Seftriakson, sedangkan Pseudomonas hanya sensitif terhadap Siprofloksasin. Pada penelitian di UNHAS (1966) mendapatkan Stafilokokus aureus sensitif terhadap antibiotika golongan Siprofloksasin, Sefotaksin, Kloramfenikol, Trimetropim – Sulfametoksasol dan resisten terhadap Penisilin G, Ampisilin, Amoksisilin dan Streptomisin5 . Pada penelitian oleh Indudharan di Malaysia (1995) mendapatkan Stafilokokus aureus sensitif terhadap golongan Siproflokokus, Kloksasilin, Kontrimoksasol, Gentamisin dan resisten pada Ampisilin dan Polimiksin B. Fairbank (1981) mendapatkan antibiotika yang sensitif untuk Stafilokokus aureus adalah Sefalosporin, Eritromisin dan Aminoglikosida. Penelitian oleh Spiric ( 1996) di Finlandia mendapatkan Stafilokokus aureus sensitif terhadap Ceftazidim, Siprofloksasin dan Amikasin sedangkan resisten dengan Sulfonamid dan Trimetropin. ©2003 Digitized by USU digital library 33 BAB VI KESIMPULAN 1. 2. Dari penelitian ini diperoleh kuman penyebab OMSK adalah : - Stafilokokus aureus - Eserikia koli - Proteus sp. - Stafilokokus albus - Stafilokokus viridan - Klebsiella sp - Pseudomonas aeruginosa Dari hasil uji kepekaan didapatkan seluruh kuman sensitif terhadap antibiotika golongan Siprofloksasin, Dibekasin dan Amoksisilin- Klavula nat, serta resisten terhadap antibiotika Seftriakson dan Kloramfenikol. SARAN Untuk lebih tepatnya pengobatan OMSK sebaiknya tiap- tiap kasus dipilih antibiotika berdasarkan biakan dan uji kepekaan kuman. DAFTAR PUSTAKA Zainul A. Djaafar, Kelainan Telinga Tengah, dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, edisi 3, FKUI, 1997;h.54- 7 Zainul A. Djaafar, Penyakit Infeksi Telinga Tengah pada Anak dan Pengobatannya dengan Cara Operasi, Kumpulan Makalah Simposium Penatalaksanaan Gangguan Pendengaran dan Demo Operasi Timpanoplasti, h. 17- 18 Nopember 2000;h. 22- 35. Ainul M, Tesis Faktor Predisposisi yang Memepengaruhi Kejadian OMSK ditinjau dari Aspek Sosial Ekonomi, FK USU, 1998;h.1,60. Helmi, Komplikasi Otitis Media Supuratif Kronis dan Mastoiditis, Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Edisi 3, 1997;h. 62- 5 Palloan. D. B, Mangape D, Sedjawidada R, Biakan dan Uji Kepekaan Sekret Otitis Media, PIT PERHATI, Batu Malang, 27-29 Oktober 1996;h.250- 5 Zainul A. Djaafar, Konsep Penatalaksanaan Pasien OMSK Di Bagian THT/FK UI RSCM, Dalam : Simposium dan Demo Ojurasi Rhinosinusitis Otokologi, Otologi, Millenium ENT Medical Course Programme THT FK-UI RSCM, Jakarta 14- 17 Mei 2001, h. 114 Sosialisman, Zainul A. Djaafar, Kuman Aero b Di Kavum Timpani Pada Penderita OMSK tipe Maligna, Kumpulan Naskah Ilmiah KONAS VII PERHATI, Ujung Pandang, 6- 9 Juli 1986 h. 385- 95 ©2003 Digitized by USU digital library 34 Losin K. Jenis dan Uji Kuman Anaerob dan Kuman Aerob pada Penderita Otitis Media Kronik di RS. Dr. Sarjito Yogyakarta, Ko nas VII, Surabaya, 1983 ; h.85- 108 Youngs Robin ; Chronic Suppurative Otitis Media-Mucosal Disease, Dalam : Disease of the Ear, 6th ed, London, 1993, h.374- 85. Adenin A, Pemeriksaan Kuman- kuman Anaerob pada Otitis Media Perforata, Konas VII, Surabaya, 1983;h.989- 94 Helmi, Penggunaan Rasional Sefalasporin Oral Pada Infeksi Saluran Nafas Atas, Majalah Kedokteran Indonesia, vol.47, No.6, Juni 1997, h.306- 10. Shenoi. P.M, Management of Chronic Suppurative Otitis Media, In : Scott- Brown’s Otolaryngology, Otology, vol 3, 5 th ed, London, Butterworths 1987 ; h. 21527 Adenin A, Kumpulan bagian THT Telinga, Hidung dan Tenggorok, Fakultas Kedokteran USU, Medan ; h.1 – 10. Moore GF et.all, Anatomy and Embryology of the Ear, Dalam : Lee KJ, Editor Text Book of Otolaryngology and Head and Neck Surgery, New York, Elsevier, 1989 ; h.1 - 22. Roeser, RJ., Audiology Desk Reference, A Guide to the Practice of Audiology, New York, Thieme, 1996 ; h.1- 9. Berkovitz BKB, Moxham BJ., Text Book of the Head and Neck Anatomy, Wolfe Medical Publications Ltd, 1998 ; h. 362- 74 Wrigtht A., Anatomy and Ultra Structure of the Human Ear, Dalam : Scott- Brown’s Otolaryngology, 6th Ed. Vol.1, Butterworth-Heinemann Ltd, 1997 h. ; 1/1/151/1/26. Becker W, Naumann H.H.,Plaftz CR, Ear, Nose and Troat Disease, A. Pocket Reference, 2th ed, edited by Richard A Buckingham Georg. Thieme, Verlag, Sturttgart, New York, 1994 ; h. 4- 10. Hollinshead, W.H., Anatomy for Surgeons, The Head and Neck, Vo.1, New York, Harper and Raw, 1996 ; h.171- 97 Ballenger JJ, Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher, Jilid 2, Edisi 13, Alih Bahasa : Staf Ahli Bagian THT RSCM- FKUI, Jakarta, Binapura Aksara, 1997;h. 107- 18. Basmajian JV, Slonecker CE, Grandt’sMethod of Anatomy, A Clinical Problem Solving Approach, 11th Ed, Baltimore, Williams & Wilkins, 1989 ; h. 467- 75. Zainul A, Djaafar, Tympanoplastik, Skripsi, Bagian THT FKUI, 1973. ©2003 Digitized by USU digital library 35 Ballantyne, J., Anatomy of the Ear, Dalam : Ballantyne J, Groves J, Editors, ScottBrown’s Disease of the Ear, Nose andThroat, Volume I, 4th ed, London, Butterworths, 1979 ; h.1- 23. Zainul A. Djaafar, Kelainan telinga tengah, dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit, Telinga, Hidung dan Tenggorok, edisi 3, FKUI, 1997;h.49. Wright A, Anatomy and Ultra of the Human Ear, Dalam : Scott- Brown’s Otolaryngology, 5th Ed. Vol1, Butterworth- Heinemann Ltd, 1987; h. 14-25. Indro Soetirto, Hendarto. H., Gangguan Pendengaran (tuli), Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorok, edisi 3, FKUI, 1997, h.35. Bluestone CD, Klein JO ; Chronic Suppurative Otitis Media, Pediatric Otolaryngology, vol 1, 2th ed, 1990 ; h. 502-515. Chronic Suppurative Media, http//com/pubs/mm- geriatric/sec 15/ch129.htm Ramalingan KK., Chronic Suppurative Otitis otolaryngology, India, 1993 ; h.73- 81 Media, A Short practice of Zainul A. Djaafar., Diagnosis & Pengobatan OMSK, Pengobatan non operatif otitis Media supuratif, editor Helmi dkk, Balai Penerbit FK-UI, 1990 ; P47- 56 Millis R.P., Management of Chronic Suppurative Otitis Media, Dalam : Scott- Brown’s otolaryngology 6th ed, vol.3, Butterworth-Heinemann Ltd, 1997 ; h.3/10/13/10/9. G.G. Browning, Aetiopathology of Inflammantory Conditions of The External and Middle Ear, Dalam : Scott-Brown’s Otolaryngology, 6th ed, vol.3, Butterworth_Heinermann Ltd, 1997 ; h.3/3/15-3/3/20. Roland NJ et all, Chronic Suppurative Otitis Media, Key Topic in Otolaryngology and Head Neck Surgery, Bios scientific, 1995 ; h. 51- 3 Paparella MM., et all Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid, Editor Effendi H, Santoso K, Dalam : Boies Buku Ajar Penyakit THT, Alih Bahasa : Dr. Caroline Wijaya, Edisi 6, Jakarta, EGC, 1994 ; 88- 113. Kumar S, Chronic Suppurative Otitis Media, fundamenta of Ear, Nose and Throat Disease and Head Neck Surgery, Calcuta, 6th ed, 1996, h.100-7 Groves J et all., Disease of Middle Ear Cleft, A Synopsis of Otolaryngogoly, 4th ed, Wright bristol, 1985 ; h. 96-104. Adenin A., Kumpulan kuliah bagian THT, FK- USU, Medan ; h.45-50. Becker W., Naumann H.H., Pfaltz CR, Chronic Otitis Media dalam : Ear, Nose and Throat Disease, A. Pocket reference, 2nd ed, Edited by Richard A Buckingham Georg. Thieme Verlag, Sturtt, New York, 1994 ; h.94- 101. ©2003 Digitized by USU digital library 36 Arjana I.M.,S. Atmohartono., Setiawan I.A., Pola Kuman Aerob pada Otitis Media Suppuratifa Kronik Tipe Maligna ( OMSKM), Kumpulan Naskah Ilmiah KONAS XII, PERHATI, Semarang 1999 ; h.729- 36 Ballenger J.J., Penyakit Telinga Kronis, Penyakit Telinga Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher, Jilid 2, Edisi 13, Alih Bahasa, Staff Ahli Bagian THT RSCM- FKUI, Jakarta, Binapura Aksara, 1997 ; h. 392- 403. Yanagisawa E, Kmucha S, Disease of The External and Middle Ear, Dalam : Lee KJ, editor Text book of otolaryngology and Head and Neck Surgery, New York, Elsevier, 1989 ; h. 76- 1 Helmi, Perjalanan Penyakit dan Gambaran Klinik Otitis Media Suppuratif Kronik, Pengobatan Non Operatif Otitis Media Supuratif, Editor Helmi dkk, Balai Penerbit FK- UI, 1990 ; h. 17- 35. Awarudin O., Mengape D., Sedjawidada, Penderita Otitis Media Kronik Bilateral Yang mengeluh Gangguan Pendengaran, PIT, PERHATI, Batu Malang, 27- 29 Oktober 1996 ; h.307- 14. Indudharan R, Hag Ashrafulji, Alyar Subramania, Antibiotics in Chronic Suppurative Otitis Media : A, Bacteriology Study, Annals of Otology Rhinology laryngology, 108, May 1999 ; h. 440- 44. Delfitri M, Tesis Pemeriks aan Bakteriologis Sekret Mastoid Pada Mastoidektomi radikal, Di Bagian THT FK USU/RS Dr. Pirngadi, Medan, 1992, h. 29- 1. Vartiainen E. Vartiainen J., Effect of Aerobic Bacteriology on The Clinical Presentation and Treatment Results of Chronic Suppurative Otitis Media, The Journal of Laryngology and Otology, 110, April 1996, h. 315- 8. Karma P., Jokipii L., Ojalo K., Jokipii A.M.A., Bacteriological of The Chronically Discharging Middle Ear, Acta Oto-Laryngology 86, 1978 ; h.110- 114. Fitriah, Helmi, F.H. Alfian, Bacteriological Spectrum of The Benign Active Chronic Suppurative Otitis Media, ORLI, vol.27, Oktober- Desember 1996 ; h. 488- 92. Spiric S., and Spiric P., Chronic Otitis Media Microbiological Study, Sydney 97 XVI World Congress of Otorhirolaryngology Head and Neck Surgery, Sydney, Australia, 2- 7 March 1997 ; h. 1031- 36. Sugita R., et all., Studies on Anaerobic Laryngoscope 91, 1981 ; h.816- 21. Bacteria in Chronic Otitis Media, Fairbanks D.N.F., Antimicrobial Therapy for Chronic Suppurative Otitis Media, Annals of Otology Rhinology and Laryngology 90 ( supp.84), 1981 h. 58- 62. Glasscock III M.E, Shambaugh GE, Pathology and Clinical Course of inflammatory Discase of the Middle Ear, Dalam : Surgery of the Ear, 4th ed, Philadelphia, WB. Saunders Company, 1990 ; h.184- 7. ©2003 Digitized by USU digital library 37 T.Yohanita., Tesis Manfaat Obat Tetes Telinga Gentamisis 0,3% pada Otitis media Suppuratif Kronik Tipe Sentral, Fk- USU, 1995 ; h.43- 5. Yati HI, Penggunaan Antibiotika pada Otitis Media Supuratif Kronik, Dalam : Pengobatan Non Operatif Otitis Media Supuratif, Editor Helmi dkk, Balai Penerbit FKUI, 1990 ; H. 7- 16. R. Suheryanto, Efektifitas Ofloxacin Tetes Telinga pada Otitis Media Purulenta Akuta Perforata di Poliklinik THT RSUD Dr. Saiful Anwar Malang, Ujiklinis, Spektrum dan Uji Kepekaan Kuman aerob, Cermin Dunia Kedokteran, No 128, 2000 ; h. 45- 8. Ballenger J.J., Komplikasi Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher, Jilid 2, edisi 13, Alih Bahasa : Staff Ahli Bagian THT RSCM- FKUI, Jakarta, Binapura Aksara, 1997 ; h. 432- 7. ©2003 Digitized by USU digital library 38