BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunikasi Sebagai Pertukaran

advertisement
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Komunikasi Sebagai Pertukaran Tanda dan Makna
Istilah komunikasi berasal dari kata Latin Communicare atau Communis
yang berarti sama atau menjadikan milik bersama. Kalau kita berkomunikasi
dengan orang lain, berarti kita berusaha agar apa yang disampaikan kepada orang
lain tersebut menjadi miliknya.
Beberapa definisi komunikasi yang dapat disimpulkan adalah:
1. Komunikasi adalah kegiatan pengoperan lambang yang mengandung
arti/makna yang perlu dipahami bersama oleh pihak yang terlibat dalam
kegiatan komunikasi.
2. Komunikasi adalah kegiatan perilaku atau kegiatan penyampaian pesan
atau informasi tentang pikiran atau perasaan.
3. Komunikasi adalah sebagai pemindahan informasi dan pengertian dari
satu orang ke orang lain.
4. Komunikasi adalah berusaha untuk mengadakan persamaan dengan orang
lain.
5. Komunikasi adalah penyampaian dan memahami pesan dari satu orang
kepada orang lain, komunikasi merupakan proses social.
2.1.1 Komunikasi Massa
13
Dalam kaitannya dengan komik yang terdapat pada surat kabar,
komunikasi digolongkan dalam beberapa bantuk, yaitu salah satunya adalah
komunikasi massa.
Komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi melalui
media massa, jelasnya merupakan singkatan dari komunikasi media massa (mass
media communication)2. Para ahli komunikasi membatasi pengertian komunikasi
massa pada komunikasi dengan menggunakan media massa, misalnya surat kabar,
majalah, radio, televisi, atau film. Mass comuunication merupakan proses
komunikasi yang berlangsung pada peringkat masyarakat luas.
Menurut Gebner3, komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang
berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang berkelanjutan serta
paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri. Joseph A. Devito4 dalam
bukunya Communicology: An Introduction to the Study of Communication
mengemukakan defenisi komunikasi dalam dua pengertian. Pertama, komunikasi
massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang
luar biasa banyaknya. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang
dipancarkan melalui pemancar-pemancar baik secara audio maupun visual.
Adapun karakteristik komunikasi massa5, pertama, berlangsung satu arah,
dimana komunikator tidak mengetahui tanggapan khalayak yang jadi sasarannya.
Tidak mengetahui, maksudnya tidak mengetahui waktu proses komunikasi itu
2
Onong Uchayana Effendy. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek.Jakarta : PT. Remaja Rosda karya.
2005 hal 20
3
Ibid hlm 22-25
4
Ibid hlm 21.
5
ArdiantoElvinaro.Komunikasi Massa ; Suatu Pengantar. Bandung : Simbiosa Rekatama Media.
2004 hal 7-13.
14
berlangsung. Kedua, komunikator pada komunikasimassa berlembaga, dimana
komunikatornya merupakan suatu lembaga atau institusi atau organisasi. Ketiga,
pesan yang disampaikan bersifat umum, karena ditujukan kepada umum dan
mengenai kepentingan umum. Media massa tidak menyiarkan pesan yang tidak
menyangkut masyarakat umum. Keempat, media komunikasi massa menimbulkan
keserempakan. Media massa mampu menimbulkan keserampakan pada pihak
khalayak dalam menerima pesan-pesan yang disebarkan.
Kelima, komunikan komunikasi massa bersifat anonym dan heterogen.
Dalam keberadaannya, komunikan dipastikan tidak bertatap muka, karena
menggunakan media atau sarana sehingga tidak diketahui nama, pendidikan,
pekerjaan, tempat tinggal dan tidak diketahui sifat, watak ataupun perilaku dari
khalayaknya. Disebut heterogen karena komunikannya berpencar-pencar, tidak
dalam satu daerah yang sama, dimana satu yang lainnya tidak saling mengenal,
terdiri dari berbagai lapisan masyarakat dan tidak memiliki kontak pribadi.
2.1.2 Media Massa
Media massa merupakan sumber kekuatan, alat kontrol, manajemen dan
inovasi dalam masyarakat yang dapat diberdayakan sebagai pengganti kekuatan
atau sumber daya lainnya. Media massa acap kali berperan menjadi wahana
pengembangan budaya, bukan saja dalam pengertikan bentuk seni dan simbol,
tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata kehidupan, mode, gaya hidup,
dan norma-norma.
Institusi media menyelenggarakan produksi, reproduksi, dan distribusi
pengetahuan dalam pengertian serangkaian simbol yang mengandung acuan
15
bermakna tentang pengalaman dalam kehidupan social.Pengetahuan tersebut
membantu
khalayak
untuk
memetik
pengetahuan
dan
pelajaran
dari
pengalaman,membentuk pandangan atau persepsi terhadap pengalaman tersebut
dan pada akhirnya menambah khasanah pengetahuan yang lebih luas. Media
massa juga mencakup pencarian pesan makna-makna dalam materinya.
Mempelajari media bisa juga diartikan dengan mempelajari makna-makna dan
dari mana asalnya, seperti apa, seberapa jauh tujuannya, bagaimana ia memasuki
materi media dan bagaimana ia berkaitan dengan pemikiran manusia.
Dibalik fungsi media massa yang tampaknya sudah komunikatif, terdapat
fungsi internal yang disadari ataupun tidak telah menentukan pemikiran, persepsi,
opini bahkan perilaku seseorang. Dalam studi media, terdapat tiga pendekatan
untuk menjelaskan media.
Pertama, pendekatan politik ekonomi media.Pendekatan ini berpendapat
bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di
luar pengelolaan media.Seperti factor pemilik media, modal dan pendapatan
media dianggap lebih menentukan bagaimana wujud isi media.Faktor-faktor inilah
yang menentukan suatu peristiwa atau berita bisa atau tidak ditampilkan di media,
dan juga ke arah mana kecendrungan sebuah pemberitaan hendak diarahkan.
Kedua, pendekatan organisasi. Dalam pendekatan organisasi, kekuatan
eksternal diluar konteks pengelola media yang menentukan apa yang seharusnya
diberitakan. Pendekatan organisasi melihat pengelola media sebagai pihak yang
aktif dalam proses pembentukan dan produksi berita. Dalam pendekatan ini, berita
dilihat sebagai hasil dari mekanisme yang ada dalam ruang redaksi.Praktik kerja,
16
profesionalisme dan tata aturan yang ada dalam ruang organisasi adalah unsur
unsur dinamik yang mempengaruhi pemberitaan.
Ketiga, pendekatan kulturalis. Pendekatan ini merupakan gabungan
pendekatan ekonomi politik media dan pendekatan organisasi. Proses produksi
berita dilihat sebagai mekanisme yang rumit yang melibatkan factor internal
media. Mekanisme yang rumit itu ditunjukkan dalam ruang pemberitaan.Media
pada dasarnya memamng mempunyai mekanisme untuk menentukan pola aturan
organisasi, tetapi berbagai pola yang dipakai untuk memaknai peristiwa tersebut
tidak dapat dilepaskan dari kekuatan politik ekonomi media di luar media itu
sendiri.
Secara teoritis media massa bertujuan menyampaikan informasi dengan
benar secara efekrif dan efesien. Pada praktiknya, apa yang disebut sebagai
kebenaran sangat ditentukan oleh jalinan banyak kepentingan. Hal yang
palingutama adalah kepentingan survival media itu sendiri, baik dalam pengertian
bisnis ataupun politis.
Realitas yang ada di media merupakan realitas semu yang telah terbentuk
oleh proses sejarah dan kekuatan-kekuatan sosial, budaya dan ekonomi politik.
Stuart Hall 6 mengungkapkan realitas secara sederhana dapat dilihat sebagai salah
satu set fakta, tapi hasil dari ideologi atau pandangan tertentu. Media bisa menjadi
subjek dalam menafsirkan dan member defenisi sendiri terhadap suatu realitas
untuk disebarkan pada khalayak. Sehingga isi dan struktur media bukan sesuatu
yang bersifat netral, melainkan sebuah konstruksi yang bersifat subjektif.Media
6
Eriyanti.Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media.Yogyakarta ; LKis. 2005 hal 34
17
pada akhirnya harus dipahami dalam keseluruhan produksi dan tahap-tahapnya
serta struktus sosial yang ada.
2.2
Surat Kabar
Pada awalnya surat kabar sering kali diidentikkan dengan pers, namun
karena pengertian pers sudah luas, dimana media elektronik sekarang ini sudah
dikategorikan dengan media juga. Untuk itu pengertian pers dalam arti sempit,
pers hanya meliputi media cetak saja, salah satunya adalah surat kabar. Menurut
Onong Uchjana Effendy 7, “Surat kabar adalah lembaran tercetak yang memuat
laporan yang terjadi di masyarakat dengan ciri-ciri terbit secara periodik, bersifat
umum, isinya termasa dan aktual mengenai apa saja dan dimana saja di seluruh
dunia untuk diketahui pembaca”.
Arti penting surat kabar terletak pada kemampuannya untuk menyajikan
berita-berita dan gagasan-gagasan tentang perkembangan masyarakat pada
umumnya, yang dapat mempengaruhi kehidupan modern seperti sekarang
ini. Selain itu surat kabar mampu menyampaikan sesuatu setiap saat kepada
pembacanya melalui surat kabar pendidikan, informasi dan interpretasi mengenai
beberapa hal, sehingga hampir sebagian besar dari masyarakat menggantungkan
dirinya kepada pers untuk memperoleh informasi.
Hal-hal yang disiarkan media cetak lainnya bisa saja mengandung
kebenaran, tetapi belum tentu mengenai sesuatu yang baru saja terjadi. Diantara
media cetak, hanyalah surat kabar yang menyiarkan hal-hal yang baru
7
Onong Uchayana Effendy. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek.Jakarta : PT. Remaja Rosda
karya. 2005 hal 241
18
terjadi. Pada kenyataannya, memang isi surat kabar beranekaragam, selain berita
juga terdapat artikel, rubrik, cerita bersambung, cerita bergambar, dan lain-lain
yang bukan merupakan laporan tercepat. Kesemuanya itu sekedar untuk
menunjang upaya membangkitkan minat agar surat kabar bersangkutan dibeli
orang.
2.3
Kartun
Kartun atau cartoon berasal dari bahasa Italia cartone yang berarti kertas.
Pada mulanya kartun adalah penamaan bagi sketsa pada kertas sebagai rancangan
atau desain untuk lukisan kanvas atau dinding. Dwi Koendoro
8
secara umum
mengungkapkan kartun merupakan sebuah potret satiris (sindiran), melalui proses
pelebih-lebihan
(exaggerated),
penekanan
(emphasized),
dan
pembelotan
(distorted). Mengangkat bagian yang paling aneh, paling spesifik, paling
karekteristik, dan bahkan paling menggelikan dari seseorang atau sesuatu.
Komunikasi periklanan, tanda-tanda nonverbal, film, komik-kartun, sastra
dan musik.Sebagai salah satu bentuk komunikasi grafis, kartun merupakan suatu
gambar interpretative yang menggunakan simbol-simbol untuk menyampaikan
suatu pesan secara cepat dan ringkas, atau sesuatu sikap terhadap orang, situasi
atau kejadian-kejadian tertentu.Kartun biasanya hanya mengungkap esensi pesan
yang harus disampaikan dan menuangkannya ke dalam gambar sederhana, tanpa
detail, dengan menggunakan simbol-simbol serta karakter yang mudah dikenal
dan dimengerti secara cepat.
8
Dwi Koendoro. Yuk, Bikin Komik.Bandung : Mizan. 2007 hal 109
19
Secara sederhana, kartun dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:
kartun verbal dan kartun non verbal. Kartun verbal adalah kartun-kartun yang
memanfaatkan unsur-unsur verbal seperti kata, frasa, kalimat, wacana, disamping
gambar-gambar jenaka untuk memancing senyum dan tawa pembacanya.
Perkembangan kartun telah ada bersamaan dengan perkembangan pers di
Indonesia.Pada saat diterapkan politik etis pada decade awal abad ke-19 di Hindia
Belanda, pers mulai berkembang dengan pesat. Pada masa itu surat kabar masih
diterbitkan oleh bangsa asing. Perkembangan kartun sebagai sebuah penyampaian
pesan dan bentuk kritik mulai berkembang pesat bersamaan lahirnya pers nasional
yang digawangi oleh bangsa Indonesia sendiri setelah masa pergerakan. Kartunis
terkenal yang karya-karyanya banyak diterbitkan antara lain Soemini dan Sibarani
dalam surat kabar Pikiran Rakyat.
Kartun-kartun pasca kemerdekaan dan pada masa revolusi tersebut banyak
mengkritisi kebijakan pemerintah Hindia Belanda serta intervensi Inggris dan
Belanda di Indonesia. Pada perkembangan selanjutnya, kartun tetap menunjukkan
eksistensinya sebagai media yang menarik, sehingga banyak pihak yang
memanfaatkan kartun sebagai media penyampaian pesan karena efektivitasnya.
Kartun di media cetak meliputi9:
1. Kartun Editorial (editorial cartoon) yang digunakan sebagai visualisasi
tajuk rencana surat kabar atau majalah. Kartun ini biasanya membicarakan
masalah politik atau peristiwa actual sehingga sering disebut kartun
politik.
9
I Dewa PutuWijaya.Katun : Studi tentang permainan Bahasa. Yogyakarta : Ombak. 2003 hal 10
20
2. Kartun Murni (gag cartoon) yang dimaksud sekadar gambar lucu atau
olok-olok tanpa bermaksud mengulas suatu permasalahan atau peristiwa
aktual.
3. Kartun Komik (comic cartoon) yang merupakan susunan gambar, biasanya
terdiri dari tiga sampai enam kotak. Isinya komentar humoristis tentang
suatu peristiwa atau masalah aktual.
Kartun Benny & Mice sendiri dikategorikan ke dalam jenis yang ketiga,
yakni kartun komik. Sebab kartun Benny & Mice dihadirkan dalam susunan
gambar yang terdiri atas dua hingga lebih kotak penyajiannya berisi komentar
yang lucu tentang suatu peristiwa yang sedang hangat dimasyarakat.
2.4
Kritik Sosial
Kritik adalah masalah penganalisaan dan pengevaluasian sesuatu dengan
tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu
memperbaiki pekerjaan.
Secara etimologis berasal dari bahasa Yunani κριτικός, kritikós – “yang
membedakan”, kata ini sendiri diturunkan dari bahasa Yunani Kuna κριτής, krités,
artinya
“orang
yang
memberikan
pendapat
beralasan”
atau “analisis”,
“pertimbangan nilai”, “interpretasi”, atau “pengamatan”. Istilah ini biasa
dipergunakan untuk menggambarkan seorang pengikut posisi yang berselisih
dengan atau menentang objek kritikan.
21
Kritik sosial adalah salah satu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang
bertujuan atau berfungsi sebagai kontrol terhadap jalannya suatu sistem sosial atau
proses bermasyarakat.
Menurut Rendra
10
, “…kritik sosial adalah sebagai masukan untuk
menyegarkan kehidupan kemasyarakatan,kebangsaan dan kenegaraan.”
Menurut Astrid 11 , “Kritik sosial adalah penilaian ilmiah ataupun
pengujian terhadap situasi masyarakat pada suatu saat.”
Menurut Jassin12 , “Kritik adalah hal-hal berupa tanggapan, komentar yang
membicarakan tanggapan, komentar yang membicarakan soal-soal manusia dan
hidup, yang dijiwai oleh subjektivitas pengarang. ”Secara tidak langsung
pengertian kritik sosial adalah tanggapan yang membicarakan tentang manusia
dan masyarakat.
Kritik tidak hanya berisi cercaan, namun juga kritik bisa berarti tanggapan
maupun pendapat. Dalam penelitian ini, kritik disini berada dalam konteks
tanggapan komik Benny & Mice terhadap permasalahan budaya konsumerisme
yang terjadi pada masyarakat Jakarta. Kritik sosial yang di sampaikan didalam
kartun Benny & Mice hendak memberi pesan moral terhadap pembacanya.
10
Rendra, W.S. 2001. Penyair Dan Kritik Sosial. Yogyakarta : KEPEL Press. Hal: 15
Suharto, Boma Bondan. 2009. Kritik Sosial Redaksi Berita Kota Mengenai Kinerja Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta yang Dikemas dalam Karikatur. Jakarta : Fakultas Ilmu Komunikasi, Institut
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Katha Cakti Jakarta. Hal: 12
12
Tjahjono, Liberatus Tengsoe. 1988. Sastra Imdonesia, Pengantar Teori dan Apresiasi. Flores :
Nusa Indah. Hal: 171
11
22
2.5
Budaya Konsumerisme
Peter N. Stearns 13 mengungkapkan bahwa kita hidup dalam dunia yang
sangat diwarnai konsumerisme. Istilah konsumerisme, menurut Stearns :
.. consumerism is best defined by seeing how it emerged.but obviously we
need some preliminary sense of what we are talking about. Consumerism
describes a society in which many people formulate their goals in life
partly through acquiring goods that they clearly do not need for
subsistence or for traditional display. They become enmeshed in the
process of acquisition shopping and take some of their identity from a
posessionof new things that they buy and exhibit. In this society , a host of
institutions both encourage and serve consumerism.. from eager
shopkeepers trying to lure customers into buying more than they need to
produce designer employed toput new twists on established models, to
advertisers seeking ti create new needs..”
Konsumerisme, pada masa sekarang telah menjadi ideologi baru kita.
Ideologi tersebut secara aktif memberi makna tentang hidup melalui
mengkonsumsi material. Bahkan ideologi tersebut mendasari rasionalitas
masyarakat kita sekarang, sehingga segala sesuatu yang dipikirkan atau dilakukan
diukur dengan perhitungan material. Ideologi tersebut jugalah yang membuat
orang tiada lelah bekerja keras mangumpulkan modal untuk bisa melakukan
konsumsi.
13
Peter N. Stearns. Consumerism in World History : the global Transformation of Desire. 2003.
New York: Routledge Hal: ix
23
Ideologi konsumerisme, pada realitasnya sekarang telah menyusupi
hampir pada segala aspek kehidupan masyarakat, mulai dari aspek politik sampai
ke sosial budaya. Menurut Trevor Norris 14 , konsumerisme terkenal bersifat
korosif dalam kehidupan politik dan bahkan menjadi suatu perombak—
pendeformasi—kesadaran manusia. Konsumerisme dalam hal ini dipandang
sebagai suatu proses dehumanisasi dan depolitisasi manusia--karena para warga
negara yang aktif dan kritis telah banyak yang berubah menjadi konsumen yang
sangat sibuk dan kritikus atau peneliti pasif.
Baudrillard sejak lebih dari dekade lalu telah menyadari fenomena
konsumsi tersebut dalam masyarakat sehingga kemudian menyatakan,
”..with the advent of consumer society,we are seemingly faced for the first
time in history by an irreversible organized attempt to swamp society with
objects and integrate it into an indispensable system designed to replace all
open interaction between natural forces,needs and techniques”
Asal Mula Konsumerisme
Beberapa disiplin ilmu telah menganalisa konsumerisme dan masyarakat
konsumen. Topik ini bahkan menjadifokus perhatian dalam studi sosiaologi sejak
tahun 1980an. Terdapat perdebatan yang luas menyangkut munculnya masyarakat
konsumen.
14
http://www.ubishops.ca/baudrillardstudies/vol2_2/norris.htm
24
Beberapa ilmuwan menyebut beberapa poin tertentu yang berkaitan
dengan munculnya kapitalisme modern seiring dengan revolusi industri. Asal
mula konsumerisme dikaitkan dengan proses industrialisasi pada awal abad ke-19.
Karl Marx menganalisa buruh dan kondisi-kondisi material dari proses produksi.
Menurutnya, kesadaran manusia ditentukan oleh kepemilikan alat-alat produksi.
Prioritas ditentukan oleh produksi sehingga aspek lain dalam hubungan antar
manusia---kesadaran, kebudayaan dan politik—dikatakan dikonstruksikan oleh
relasi ekonomi.
Kapitalisme yang dikemukakan Marx adalah suatu cara produksi yang
dipremiskan oleh kepemilikan pribadi sarana produksi. Kapitalisme bertujuan
untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya dan dia melakukannya dengan
mengisap nilai surplus dari pekerja.Tujuan kapitalisme adalah meraih keuntungan
sebesar-besarnya, terutama dengan mengeksploitasi pekerja. Realisasi nilai
surplus dalam bentuk uang diperoleh dengan menjual produk sebagai komoditas.
Komoditas adalah sesuatu yang tersedia untuk dijual di pasar. Sedangkan
komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme, diamana
objek, kualitas dan tanda berubah menjadi komoditas.
Kapitalisme adalah suatu sistem dinamis dimana mekanisme yang
didorong oleh laba mengarah pada revolusi yang terus berlanjut atas sarana
produksi dan pembentukan pasar baru.Ada indikasi ekspansi besar-besaran dalam
kapasitas produksi kaum kapitalis. Pembagian kelas yang mendasar dalam
kapitalisme adalah antara mereka yang menguasai sarana produksi, yaitu kelas
25
borjuis, dengan mereka yang karena menjadi kleas proletar tanpa menguasai hak
milik, harus menjual tenaga untuk bertahan hidup.15
Horkheimer dan Adorno 16 mengemukakan bahwa logika komoditas dan
perwujudan rasionalitas instrumental dalam lingkup produksi tampak nyata dalam
lingkup konsumsi. Pencarian waktu bersenang-senang, seni dan budaya tersalur
melalui industri budaya. Resepsi tentang realitas diarahkan oleh nilai tukar –
exchange value--karena nilai budaya yang mengalahkan logika proses produksi
dan rasionalitas pasar. Selain itu juga terjadi standarisasi produk-produk budaya
untuk memaksimalkan konsumsi dalam pemikiran Baudrillard, yaitu bahwa
konsumsi membutuhkan manipulasi simbol-simbol secara aktif. Bahkan menurut
Baudrillard, yang dikonsumsi bukan lagi use atau exchangevalue, melainkan
“symbolic value”, maksudnya orang tidak lagi mengkonsumsi objek berdasarkan
karena kegunaan atau nilai tukarnya, melainkan karena nilai simbolis yang
sifatnya abstrak dan terkonstruksi.
Konsumsi pada era ini diangap sebagai suatu respon terhadap dorongan
homogenisasi dari mekanisasi dan teknologi. Orang-orang mulai menjadikan
konsumsi sebagai upaya ekspresi diri yang penting, bahasa umum yang kita
guinakan untuk mengkomunikasikan dan menginterpretasi tanda-tanda budaya.
Ilmuwan yang lain berargumen bahwa konsumersime merupakan
fenomena abad 20 yang dihubungkan dengan munculnya komunikasi massa,
bertumbuhnya kesejahteraan dan semakin banyaknya perusahaan modern.
Konsumerisme menjadi sarana utama pengekspresian diri, partisipasi dan
15
Barker, Chris. Cultural Studies (edisi terjemahan Indonesia.2004. Yogayakarta: Kreasi
Wacana.hal 14
16
Introduction to critical theory
26
kepemilikan pada suatu masa dimana institusi komunal tradisional, seperti
keluarga, agama dan negara telah terkikis.
Konsumerisme juga terjadi seiring dengan meningkatnya ketertarikan
masyarakat terhadap perubahan dan inovasi, sebagai respon terhadap pengulangan
yang sangat cepat dari hal-hal yang lama atau pencarian terhadaphal yang baru:
produk baru, pengalaman baru dan citra baru.
Pandangan semiotika Baudrillard memberikan analisis yang original
tentang masyarakat konsumen, dan juga dapat menjelaskan bagaimana struktur
komunikasi dan sistem tanda mampu mempertahankan eksistensi masyarakat
konsumen tersebut.
Analisa Baudrillard tentang masyarakat konsumsi disarikan melalui
analisa dari disiplin semiotika, psikoanalisa dan ekonomi politik dalam produksi
tanda. Menurut Baudrillard, sistem komunikasi berperan sangat penting dalam
masyarakat konsumen, terutama menyangkut produksi tanda.
Douglas Kellner menjelaskan, bahwa menurut Baudrillard, Modernisme
berkaitan dengan proses produksi objek, sedangkan posmodernisme concern
terhadap simulasi dan produksi tanda.
”Modernity thus centered on the production of things—commodities and
products, while postmodernity is characterized by radical semiurgy, by a
proliferation of signs.
Sependapat dengan rekan-rekan pemikir posmodernisme perancis lainnya,
Baudrilard
juga mengemukakan kritik terhadap teori Marx. Kritisme paling
utama dari Baudrillar terhadap teori Marx mungkin berkenan dengan perubahan
27
dari produksi objek menjadi produksi tanda, dari alat-alat produksi menjadi latalat konsumsi atau “the simultaneous production of the commodity as sign and the
sign as commoditty”
Dominasi tidak lagi terjadi dalam bentuk kontrol terhadap alat-alat
produksi ,namun dominasi lebih banyak terjadi pada alat-alat konsumsi. Terlebih
lagi, dominasi tersebut terjadi pada tingkatan model signifikansi (dulunya model
produksi) dalam kehidupan sehari-hari.
Bahkan, menurut Baudrillard, masyartakat konsumen tidak lagi digerakkan
oleh kebutuhan dan tuntutan konsumen, melainkan oleh kapasitas produksi yang
sangat besar. Sehingga maslah-masalah yang timbul dalam sistem masyarakat
konsumen tersebut tidak lagi berkaitan dengan produksi melainkan dengan
kontradiksi antara level produktifitas yang lebih tinggi dengan kebutuhan untuk
mengatur—baca: mendistribusikan—produk. Oleh karena itu, kunci vital
dalamsistem sekarang adalah mengontrol mekanisme produksi sekaligus
permintaan konsumen sebagai bagian dari sosialisasi yang terencana melalui
kode-kode
In planned cycle of costumer demand, the new strategic forces, the new
structural elements—needs, knowledge, culture, information, sexuality—
have all their explosive force defused. In opposition to the competitive
system, the monopolistic system institutes consumption as control, as the
abolition of the contingency of demand, as planed socialization by code..
28
Needs lose their autonomy; they are coded. Consumptionno longer has a
value of enjoyment; it is placed under the constraint of theabsolutefinality
which is that of production.
Production, on the contrary, is no lonegr assigned any finality other than
itself. This total reduction of the process to a signle one of it
terms..designates more than an evolution of the capitalist mode: it is a
mutation..
17
Bagi Baudrillard, yang menandai transisi konsumsi tradisional menjadi
konsumerisme adalah pengorganisasian konsumsi ke dalam suatu sistem tanda.
Traditional symbolic goods (tools, furniture, the house itself) were the
mediatorsof the real relationshipor a directly experienced situation, and
their subject and form bore the clear imprint of theconscious or
unconscious dynamic of that relationship. They thus were not arbitrary.
.. from the time immemorial people have bought, possesed, enjoyed and
spent, but his does not mean that they were consuming. … It is… the
organizationof all these things into a signifying fabric : consumption is the
virtual totality of allobjects and messages ready constitued as a more or
less coherent discourse.. ..to become an object of consumption an object
must be a sign.
That is to say: it must become external,in a sense, object to the systematic
statusof asign implies the simultaneous transformation of the human
relationship of consumption….all desires, projects, and demands, all
17
http://www.ubishops.ca/baudrillardstudies/vol2_2/norris.htm. Diakses pada 28 Dec 2012, 18.00
29
passions and relationships, are now abstracted (or naterialized) as signs
and as objects to be bought and consumed.
Masyarakat sekarang semakin tidak mengidentifikasi diri merka mengikuti
pola-pola pengelompokan tradisional, namun cenderung mengikuti produkproduk konsumsi, pesan dan makna yang tersampaikan
Berkonsumsi, oleh karena itu, dilihat sebagai upaya pernyataan diri, suatu
cara untuk bertindak dalam dunia ini, cara pengekspresian identitas seseorang.
Konsumsi didorong oleh hasrat untuk menjadi sama dan sekaligus berbeda,
menjadi serupa dengan..dan berbeda dari.
Karena proses produksi dirasa mengalienasi, oleh karenanya kita mencari
pemenuhan diri malalui konsumsi. Lebih lanjut bahwa identitas personal sekarang
berfluktuasi dan tidak lagi sebegitunya terikat dengan tradisi-tradisi yang kaku,
konsumsi memberikan kesempatan bagi perkembangan nilai kedirian dan
pemupukan identitas diri.
2.6
Analisis Semiotika
Secara etimologis, istilah semitotika berasal dari kata Yunani semeion
yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefenisikan sebagai sesuatu yang atas
dasar konvensi sosial terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu
yang lain. Van Zoest mengartikan semiotika sebagai ilmu tanda (sign) dan segala
sesuatu yang berhubungan dengannya; cara berfungsinya, hubungan dengan kata
lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.
Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda.Ilmu ini menganggap bahwa fenomena
30
sosial/ masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda.Semiotika itu
mempelajari
sistem-sistem,
aturan-aturan,
konvensi-konvensi
yang
memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti 18.
Semiotika adalah teori analisis berbagai tanda (sign) dan pemaknaan
(signification). Tanda merupakan representasi dari gejala yang memiliki sejumlah
criteria seperti nama, peran, fungsi, tujuan, keinginan. Tanda tersebut berada pada
kehidupan manusia.Apabila tanda berada pada kehidupan manusia, maka ini
berarti tanda dapat pula berada pada kebudayaan manusia dan menjadi sistem
tanda yang digunakan sebagai pengatur kehidupan.Oleh karena itu tanda-tanda itu
(yang
berada
pada
sistem
tanda)
sangat
akrab
dan
melekat
pada
kehidupanmanusia yang penuh dengan maka (meaningful) seperti tergambar pada
bahasa, religi, seni, sejarah, dan ilmu pengetahuan.
Tanda terdapat dimana-mana, kata adalah tanda, demikian pula gerak
isyarat, lampu lalu lintas, bendera dan sebagainya. Peirce menegaskan kita hanya
bisa berpikir dengan sarana tanda, tanpa tanda, kita tidak bisa berkomunikasi,
Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan
melakukan pemilahan antara signifier (penanda) dan signified (petanda). Signifier
adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni
apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified adalah gambaran
mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa.
Istilah semiotic atau semiotika sendiri lebih mengacu pada tradisi Pierce,
sementara dalam tradisi Saussure istilah yang dipakai adalah semiology. Antara
18
Alex Sobur. Analisis Teks Media Suatu pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan
Analisis Framing.Bandung : PT. Remaja RosdaKarya.2004 hal 95-96.
31
Saussure dan pierce tidak saling mengenal. Saussure tokoh awal linguistic umum,
sementara Pierce salah satu ahli filsafat.
Latar belakang yang berbeda ini tampaknya berdampak pada perbedaan –
perbedaan penting, terutama dalam konsep semiotic, yang dijelaskan keduanya.
Perbedaan ini juga menurun pada orang –orang yang berkiblat pada keduanya.
Sebut saja Barthes, tokoh yang berjasa menjelaskan lebih dinamis konsep
semiotic Saussure, tak ayal juga memiliki perbedaan mendasar dengan Pierce
dalam menjelaskan ilmu tentang tanda ini.
Menurut Barthes, yang menggunakan istilah semiologi, semiotika pada
dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai halhal (things).Memaknai (to signify) berarti bahwa objek-objek tidak hanya
membawa informasi, dalam hal mana objek-objek tidak hanya membawa
informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga
mengkonstruksi system terstruktur dari tanda.
Dua aliran yang mempengaruhi semiotika modern yaitu, semiotika
komunikasi yang diusung Charles Sanders Pierce dan semiotika signifikasi oleh
Ferdinand de Saussure. Pierce melihat tanda (representament) sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari objek referensinya serta pemahaman subjek atas tanda
(interpretant).Peran subjek (somebody) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
pertandaan yang menjadi landasan bagi semiotika komunikasi.Sedangkan
Saussure dianggap mengabaikan subjek sebagai agen perubahan sistem bahasa.
Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang
terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), objek dan interpretan.
32
Berikut gambar elemen makna Pierce.
Sign
Interpretant
Object
Sumber: John Fiske dalam Sobur, Analisis Teks Media, 19
Bagan 2.1: Elemen Makna Peirce
Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditagkap oleh panca
indera manusa dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal
laindi luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce dari simbol (tanda yang muncul
dari kesepakatan), ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan indeks
(tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat).Sedangkan acuan tanda ini
disebut objek. Objek atau ancuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi
referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.Interpretan atau pengguna
tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan
menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak
seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.
Menurut Saussure, tanda terdiri dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut
signifier atau penanda dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut
signified atau petanda. Signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang
bermakna (aspek material) dari sebuah tanda, yakni apa yang dikatakan dan apa
19
Alex Sobur.Analisis Teks Media Suatu pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan
Analisis Framing.Bandung : PT. Remaja RosdaKarya. 2004 hal 115
33
yang ditulis atau dibaca. Signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu
dari signifier.Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut
dinamakan signification. Dengan kata lain, signification adalah upaya dalam
memberi makna terhadap dunia. Berikut gambar elemen-elemen makna Saussure:
Sign
Composed of
Signification
Referent
(External Reality)
Siginifier
Signifie
Sumber: John Fiske dalam Sobur, Analisis Teks Media, 20.
Bagan 2.2: Elemen Makna Peirce
Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim
makna tentang objek dan orang lain akan menginterprestasikan tanda tersebut.
Objek bagi Saussure disebut sebagai referent. Hampir serupa dengan Peirce yang
mengistilahkan interpretan bedanya untuk signified dan objek untuk signifier,
bedanya Saussure memaknai objek sebagai referen dan menyebutkannya sebagai
unsur tambahan dalam proses penandaan. Tanda bahasa mempunyai dua segi,
signifier atausignified, significant atau signifie. Suatu penanda tanpa petanda tidak
akan berarti apa-apa dan karena itu merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda
20
Alex Sobur.Analisis Teks Media Suatu pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan
Analisis Framing.Bandung : PT. Remaja RosdaKarya. 2004 hal 115
34
tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda. Menurut Saussure,
“signifier dan signified merupakan kesatuan, tak dapat dipisahkan, dan
seperti dua sisi dari sehelai kertas” 21.
Berkenaan dengan studi semiotika, pusat perhatian pendekatan semiotika
adalah pada tanda (sign). Menurut John Fiske 22, terdapat tiga area penting dalam
studi semiotika, yaitu:
1. Tanda itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan berbagai tanda yang berbeda,
cara-cara tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna dan cara
tanda-tanda itu terkait dengan manusia dengan hanya bisa dipahami dalam
artian manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia
dengan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.
2. Kode atau sistem yang mengorganisisr tanda. Studi ini mencakup cara
berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebetuhan suatu masyarakat
atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi untuk
mentransmisikannya.
3. Kebudayaan dimana kode dan lambang itu beroperasi. Ini pada gilirannya
bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk
keberadaan dan bentuknya sendiri.
2.7
Pendekatan Roland Barthes
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Dalam konsep
Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan, namun juga
21
Alex Sobur.Semiotika Komunikasi.Bandung : PT. Remaja Rosda karya.2004 hal 46.
John Fiske. Cultural and Communication Studies.Penerjemah : Yosal Iriantara dan Idi Subandy
Ibrahim. Bandung ; Jakarta. 1990 hal 60
22
35
mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Ini
merupakan sebuah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan
semiologi Saussure, yang terhenti pada panandaan dalam tataran denotatif 23.
Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang
tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi walaupun merupakan sifat asli
tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara
panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran
kedua, yang dibangun diatas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem kedua
ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologies-nya secara
tegas Barthes bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama24.
Fokus perhatian Barthes tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua
tahap (two order of significations). Signifikasi tahap pertama merupakan
hubungan antara signifier dan signified (makna denotasi). Pada tatanan ini
menggambarkan relasi antara penanda (objek) dan petanda (makna) di dalam
tanda, dan antara tanda dan dengan referannya dalam realitasnya eksternal. Hal ini
mengacu pada makna sebenarnya (riil) dari penanda (objek), Dan signifikasi tahap
kedua adalah interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu (makna konotasi).
Dalam istilah yang digunakan Barthes, konotasi dipakai
untuk
menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda (konotasi, mitos, dan simbol)
dalam tatanan pertanda kedua (signifikasi tahap kedua). Konotasi menggambarkan
interaksi yang berlangsung saat bertemu dengan perasaan atau emosi
23
24
Alex Sobur.Semiotika Komunikasi.Bandung : PT. Remaja Rosda karya.2004 hal 69.
Ibid hal 69.
36
penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Bagi Barthes, faktor penting dalam
konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama (4) dalam peta Ronald Barthes.
Tradisi semiotika pada awal kemunculannya cenderung berhenti sebatas
pada makna-makna denotatif alias semiotika denotasi. Sementara bagi Barthes,
terdapat makna lain yang justru bermain pada level yang lebih mendalam, yakni
pada level konotasi.
Pada tingkat inilah warisan pemikiran Saussure
dikembangkan oleh Barthes dengan membongkar praktik pertandaan di tingkat
konotasi tanda.
Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan sesuatu hal yang ia nyatakan
sebagai mitos, dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu.
Skema pemaknaan mitos itu oleh Barthes digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2
Gambar peta tanda Roland Barthes
(Sumber: Cobley and Jansz dalam Sobur25)
25
Alex Sobur.Semiotika Komunikasi.Bandung : PT. Remaja Rosda karya.2004 hal 69.
37
Dari peta Barthes diatas, akan terlihat tanda denotative (3) yang terdiri dari
penanda (1) dan petanda (2). Pada saat bersamaan juga, denotatif adalah penanda
konotatif (4). Jadi menurut konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki
makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang
melandasi keberadaanya. Bagi Barthes, semiotika bertujuan untuk memahami
sistem tanda, apapun substansi dan limitnya, sehingga seluruh fenomena sosial
yang ada dapat ditafsirkan sebagai ‘tanda’ alias layak dianggap sebagai sebuah
lingkaran linguistik.
Penanda-penanda konotasi, yang dapat disebut sebagai konotator,
terbentuk dari tanda-tanda (kesatuan penanda dan petanda) dari sistem yang
bersangkutan. Beberapa tanda boleh jadi secara berkelompok membentuk sebuah
konotator tunggal. Dalam komik, susunan tanda-tanda non verbal dapat menutupi
pesan yang ditunjukkan. Citra yang terbangun di dalamnya meninggalkan ‘pesan
lain’, yakni sesuatu yang berada di bawah citra kasar alias penanda konotasinya.
Sedangkan untuk petanda konotasi, karakternya umum, global dan tersebar
sekaligus menghasilkan fragmen ideologis.
Penanda
konotatif
menyodorkan
makna
tambahan,
namun
juga
mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.
Dibukanya medan pemaknaan konotatif dalam kajian semiotika memungkinkan
“pembaca” karikatur memaknai bahasa metaforik yang maknanya hanya dapat
dipahami pada tataran konotatif. Dalam mitos, hubungan antara penanda dan
petanda terjadi secara termotivasi. Berbeda dengan level denotasi yang tidak
38
menampilkan makna (petanda) yang termotivasi level konotasi menyediakan
ruang bagi berlangsungnya motivasi makna ideologis.
Dapat dikatakan bahwa ideologi adalah suatu form penanda-penanda
konotasi, sementara tampilan karikatur melalui ungkapan atau gaya nonverbal dan
visualisasinya merupakan elemen bentuk (form) dari konotator-konotator.
Singkatnya, konotasi merupakan aspek bentuk dari tanda, sedangkan mitos
adalah muatannya. Secara semiotis, ideologi merupakan penggunaan makna
makna konotasi tersebut di masyarakat alias makna pada makna tingkat ketiga.
Tatanan pertandaan pertama adalah landasan kerja Saussure. Tatanan ini
menggambarkan relasi antara penanda dan petanda di dalam tanda, dan antara
tanda dengan referennya dalam realitas eksternal. Barthes menyebut tatanan ini
sebagai denotasi, hal ini mengacu pada anggapan umum, makna jelaslah tentang
tanda. Sebuah foto tentang tanda keadaan jalan mendenotasi jalan tertentu; kata
“jalan” mendenotasi jalan perkotaan yang membentang di antara bangunan.
Makna denotatif suatu kata ialah makna yang biasa kita temukan dalam
kamus. Sebagai contoh, di dalam kamus, kata melati berati ‘sejenis bunga’.
Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada sebuah
kata yang secara bebas memegang peranan penting dalam ujaran. Makna denotasi
bersifat langsung, yaitu makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda dan pada
intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah petanda. Harimurti Kridalaksana26
mendefinisikan denotasi (denotations) sebagai “makna kata atau kelompok kata
26
Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2003, hal 263
39
yang didasarkan atas penunjukkan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau
yang didasarkan atas konvensi tertentu; sifatnya objektif.
Makna denotatif merupakan makna objektif (makna sesungguhnya dari
kata tersebut). Makna denotatif (denotatif meaning) disebut juga dengan beberapa
istilah lain seperti; makna denotasial, makna kognitif, makna konseptual, makna
ideasional, makna referensial atau makna proposional. Disebut makna denotasial,
referensial, konseptual atau ideasional, karena makna itu menunjuk (denote)
kepada suatu referen, konsep atau ide tertentu dari referen. Disebut makna
kognitif karena makna itu bertalian dengan kesadaran atau pengetahuan; stimulus
(dari pihak pembicara) dan respon (dari pihak pendengar) menyangkut hal-hal
yang dapat diserap pancaindra (kesadaran) dan rasio manusia. Disebut makna
proporsional karena ia bertalian dengan informasi- informasi atau pernyataanpernyataan yang bersifat faktual.
Jika kita mengucapkan sebuah kata yang mendenotasikan suatu hal
tertentu maka itu berati kata tersebut ingin menunjukkan, mengemukakan dan
menunjuk pada hal itu sendiri. Dengan pengertian tersebut kita dapat mengatakan
bahwa kata ayam mendenotasikan atau merupakan sejenis unggas tertentu yang
memiliki ukuran tertentu, berbulu, berkotek dan menghasilkan telur untuk
sarapan. Kamus umum berisikan daftar aturan yang mengaitkan katakata dengan
arti denotatifnya, dan kita dapat membaca, menulis dan mengerti berbagai kamus
karena kita sama-sama memakai pengertian yang sama tentang kata-kata yang
terdapat dalam kamus tersebut.
40
Sedangkan konotasi (connotation, evertone, evocatory) diartikan sebagai
aspek makna atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran
yang timbul atau yang ditimbulkan pada penulis dan pembaca. Misalnya kata
amplop, kata amplop bermakna sampul yang berfungsi tempat mengisi surat yang
akan disampaikan kepada orang lain atau kantor, instansi, jawatan lain. Makna ini
adalah makna denotasinya. Tetapi kalimat “Berilah ia amplop agar urusanmu
segera beres,” maka kata amplop dan uang masih ada hubungan, karena amplop
dapat saja diisi uang. Dengan kata lain, kata amplop mengacu kepada uang, dan
lebih khusus lagi uang pelancar, uang pelicin, uang semir atau uang gosok.
Konotasi
mempunyai
makna
yang
subjektif
atau
paling
tidak
intersubjektif. Dengan kata lain, konotasi bekerja dalam tingkat intersubjektif
sehingga kehadirannya tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna
konotatif sebagai fakta denotatif. Karena itu, salah satu tujuan analisis semiotika
adalah untuk menyediakan metode analisis dan kerangka berpikir dan mengatasi
terjadinya salah baca (misreading) atau salah dalam mengartikan makna suatu
tanda27.
Makna konotatif bersifat subjektif dalam pengertian bahwa ada pergeseran
dari makna umum (denotatif) karena sudah ada penambahan rasa dan nilai
tertentu. Kalau makna denotatif hampir bisa dimengerti banyak orang, maka
makna konotatif ini hanya bisa dicerna oleh mereka yang jumlahnya relatif lebih
sedikit (kecil). Jadi, sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata
itu mempunyai “nilai rasa’, baik positif maupun negatif. Jika tidak mempunyai
27
Wibowo 2011, hal 174
41
nilai rasa, maka dikatakan tidak memiliki konotasi. Tetapi dapat juga disebut
berkonotasi negatif (netral) dalam Sobur28.
Barthes menggunakan konsep connotation-nya untuk menyingkap maknamakna tersembunyi. Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna
konotasional, makna emotif atau makna evaluatif. Konsep ini menetapkan dua
cara pemunculan makna yang bersifat promotif, yakni denotatif dan konotatif.
Pada tingkatan denotatif, tanda-tanda itu mencuat terutama sebagai makna primer
yang “alamiah”. Namun pada tingkat konotatif, tahap sekunder, munculah makna
yang ideologis.
Mitos dari Barthes mempunyai makna yang berbeda dengan konsep mitos
dalam arti umum. Sebaliknya dari konsep mitos tradisional, mitos dari Barthes
memaparkan fakta. Mitos adalah murni sistem ideografis. Bagi Barthes, mitos
adalah bahasa: le mythe est une parole. Konsep parole yang diperluas oleh Barthes
dapat berbentuk verbal (lisan dan tulis) atau non verbal: n’importe quelle matière
peut être dotée arbitrairement de signification, materi apa pun dapat dimaknai
secara arbitrer‟. Seperti kita ketahui, parole adalah realisasi dari langue.
Betapa pun dominannya suatu mitos, ia selalu akan didampingi oleh suatu
mitos lain, yang merupakan kontramitos. Ini barangkali dapat dikatakan sifat yang
biasanya terdapat pada sebuah masyarakat yang telah terbuka (kepada dunia lain).
Hanya dalam masyarakat yang benar-benar tertutup akan ditemui kemutlakan
28
Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2003, hal 264
42
suatu mitos. Dengan begitu, mitos-mitos tadi akan ditentang oleh mitos-mitos lain
pula, ketika itu, yang merupakan kontramitos29.
Pada dasarnya, analisis semiotika memang sebuah ikhtiar untuk merasakan
sesuatu yang “aneh”, sesuatu yang dipertanyakan lebih lanjut ketika kita membaca
atau mendengar suatu narasi atau naskah. Analisisnya bersifat paradigmatik,
dalam arti berupaya menemukan makna termasuk dari hal-hal yang tersembunyi
di balik sebuah teks30. Teks yang dimaksud tidak hanya berarti berkaitan dengan
aspek linguistik.
Eriyanto (2001:146) menempatkan ideologi sebagai konsep sentral dalam
analisis wacana yang bersifat kritis. Hal ini menurutnya, karena teks, percakapan
dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi
tertentu. Secara etimologis ideologi berasal dari bahasa Greek, terdiri atas kata
idea dan logos, Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat, sedangkan kata
logia berasal dari kata logos yang berarti kata-kata. Dan arti kata logia berarti
science (pengetahuan) atau teori.
Makna yang dihasilkan oleh penanda konotasi seringkali menghadirkan
mitos. Mitos bekerja menaturalisasikan segala sesuatu yang ada dalam kehidupan
manusia, sehingga imaji yang muncul terasa biasa saja dan tidak mengandung
persoalan. Pada tingkat ini, mitos sesungguhnya mulai meninggalkan jejak
ideologis, karena belum tentu ”sesuatu” yang tampil alamiah lantas bisa diterima
begitu saja tanpa perlu dipertanyakan kembali derajat kebenarannya.
29
30
Alex Sobur.Semiotika Komunikasi.Bandung : PT. Remaja Rosda karya.2004 hal 131.
Ibid hal 117.
43
Dalam mengkaji mitos di dunia media dan budaya populer, perspektif
semiotika struktural tidak akan pernah menampilkan gagasan-gagasan yang
dikeluarkan Roland Barthes. Dari sudut pandang semiotik-sentris, tujuan utama
”membaca” karikatur adalah menemukan makna terselubung (latent meaning)
yang terkait dengan mitos dan muatan ideologi tertentu. Persoalannya, relativitas
kebenaran makna dalam semiotika menyebabkan sebuah tanda dapat dimaknai
beragam31.
Setiap tanda, dalam bahasa Barthes, memiliki sifat polisemi alias
berpotensi multitafsir. Hal tersebut disebabkan oleh sifat ambigu dari penanda dan
kemungkinan yang diberikan oleh penanda tersebut untuk diinterpretasikan. Oleh
karenanya, kendati tidak ada prosedur teknis baku dalam kajian semiotika,
seorang ”pembaca”, bukan sekadar penonton tetapi perlu menstrukturkan iklan
secara rapi dan konsisten. Rambu-rambu ini penting mengingat tidak terbatasnya
tanda yang ada di dalamnya dapat menyebabkan seorang pembaca iklan tersesat
dalam rimba tanda, yang menyebabkan proses penafsiran larut dalam problem
unlimited semiosis.
31
http://www.scribd.com/doc/80446342/Membaca-Iklan-TelevisiPerpektif Semiotika. Diakses
pada 10 Dec 12, 19.00
Download