issn 1410-1939 kajian restorasi c-organik tanah dan

advertisement
ISSN 1410-1939
KAJIAN RESTORASI C-ORGANIK TANAH DAN HUBUNGANNYA DENGAN
KESUBURAN FISIK DI BAWAH VEGETASI SAWIT
[STUDY ON SOIL ORGANIC CARBON AND ITS RELATIONSHIP TO SOIL
PHYSICAL FERTILITY UNDER OIL PALM VEGETATION]
Ajidirman
Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Jambi
Kampus Pinang Masak, Mendalo Darat, Jambi 36361
Abstract
The ability of oil palm vegetation to restore soil organic carbon was studied. Land deforestation into oil palm
plantation have affected the soil organic carbon and soil fertility balance. The objective of this research was to
study the ability of oil palm vegetation take care of soil organic matter cycle with relationship to physical soil
fertility. The research was conducted by survey method, and soil samples consist of four homogeneous land
units (natural forested and 5, 10, 18 years old oil palm plantation) were collected at 0-30 cm depth. The result
showed that soil organic carbon content on the natural forested was the highest (5,58%), and after
deforestation into oil palm plantation, the restoration of soil organic carbon after 18 years was only 0,09%.
The high organic carbon content brought about the formation of more stable soil aggregate that directly
affected soil structure, bulk density, porosity and water content.
Kew words: organic carbon, soil fertility, oil palm, Elaeis guineensis.
PENDAHULUAN
Dewasa ini perkebunan di Propinsi Jambi meningkat sangat signifikan ke arah pembukaan kebun kelapa sawit. Kegiatan ini banyak sekali membuka areal hutan (deforestasi) dan mengkonversikannya ke dalam bentuk pertanian perkebunan sawit. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi dari
hutan menjadi perkebunan sawit berhubungan dengan lingkungan tanah dan berdimensi luas terhadap penurunan kesuburan tanah serta produktivitas
tanah. Deforestasi hutan menjadi lahan perkebunan tidak hanya berpengaruh terhadap keseimbangan C-organik tanah, tetapi juga berhubungan dengan kesuburan tanah.
Sistem vegetasi tanah dapat bertindak sebagai
sumber dan pemakai C-organik, tergantung kepada
kecepatan dekomposisi dan pembentukan C-organik tanah (Veldkamp, 1994). Bila hutan dibersihkan (dibuka), maka tanah berubah menjadi sumber
C-organik, karena tanaman hutan sudah tidak ada
yang menggunakan C-organik yang sebelumnya
juga berasal dari serasah tanaman itu sendiri.
Bahan organik tanah dalam berbagai bentuk
dapat memperbaiki kesuburan tanah melalui pengaruhnya terhadap struktur tanah, sumber energi
dalam oksidasi biologis, menyediakan atau meningkatkan ketersediaan hara tanaman, dan meniadakan efek meracun dari aluminium. Bahkan, dalam pertanian berkelanjutan, C-organik tanah me-
rupakan sifat tanah yang dijadikan indikator sumberdaya alam berkelanjutan (Agus et al., 2001).
Hasil penelitian Balagopalan (1995), terhadap
hutan alam ekaliptus dan tanaman karet, ternyata
C-organik tanah sangat nyata lebih tinggi pada hutan alam daripada perkebunan. Menurutnya, pada
hutan alam pengembalian C-organik terpelihara
dengan baik. Pengembalian C-organik dan hara tanaman ini menjaga hutan tetap di bawah kondisi
status kesuburan tinggi dengan top soil yang kaya.
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji kemampuan vegetasi sawit dalam memelihara siklus bahan organik tanah dalam hubungannya dengan kesuburan fisik tanah.
BAHAN DAN METODA
Penelitian ini terdiri atas dua tahap pekerjaan,
yakni penelitian lapangan dan analisis tanah di Laboratorium. Penelitian lapangan dilakukan pada lahan hutan dan lahan sawit di Kabupaten Muaro
Jambi. Lama penelitian lapangan dan laboratorium
lebih-kurang 6 bulan. Analisis tanah dilaksanakan
di Laboratorium Fisika-Mineralogi dan Laboratorium Kimia-Kesuburan Tanah, Program Studi Ilmu
Tanah Fakultas Pertanian Universitas Jambi.
Untuk penelitian ini digunakan tanah yang berasal dari lahan hutan alami dan lahan sawit (umur
5, 10 dan 18 tahun). Alat yang digunakan adalah
81
Jurnal Agronomi 10(2): 81-84
bor tanah mineral, sekop, cangkul, meteran, GPS,
ring sampel, kompas, soil tester, clinometer, Munsell soil color chart, tripleks dan pisau lapang.
Penelitian dilaksanakan dengan metode survei.
Untuk penetapan lokasi penelitian dan tempat
pengambilan sampel tanah pewakil, terlebih dahulu lahan dikelompokan menjadi unit satuan lahan
yang homogen, yaitu SLH hutan alami dan dan
SLH kebun sawit (umur 5, 10 dan 18 tahun). Pada
masing-masing satuan lahan diambil contoh tanah
utuh dan contoh tanah komposit sebanyak 3 ulangan. Contoh tanah pada masing-masing satuan lahan
diambil pada kedalaman 0 - 30 cm. Sifat tanah (parameter) yang diukur sebagai berikut: C-organik
tanah, berat volume tanah, kemantapan agregat tanah, total ruang pori (TRP), dan retensi air tanah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kemampuan restorasi C-organik tanah di bawah vegetasi sawit
Deforestasi hutan alam baik hutan primer ataupun sekunder menjadi lahan perkebunan monokultur, dalam hal ini kebun sawit, akan mengganggu
keseimbangan C-organik tanah. Kemampuan vegetasi sawit dalam merestorasi kandungan C-organik
akan tidak sama dengan hutan alami. Berikut ini
disajikan hasil analisis kandungan C-organik tanah
dan sifat fisika tanah.
Tabel 1. Kandungan C-organik tanah, indeks stabilitas agregat tanah, kadar air lapang tanah
lokasi penelitian.
SLH
Ulangan
Hutan
1
2
3
Rata-rata
Sawit 5
tahun
1
2
3
Rata-rata
Sawit10
tahun
1
2
3
Rata-rata
Sawit 18
tahun
Rata-rata
1
2
3
Corganik
(%)
5,40
5,49
5,86
5,58
1,47
2,10
1,48
1,68
1,78
1,32
1,24
1,44
2,37
2,18
1,34
1,96
Indeks
stabilitas
agregat
70,50
68,96
70,89
70,11
24,50
30,96
35,84
30,43
24,04
32,68
28,41
28,37
20,83
19,42
24,81
21,68
Kadar air
lapang
(% vol)
42
49
38
43
29
26
25
26,66
26
60
27
37,66
31
30
23
28
Data C-organik pada Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa kandungan C-organik tanah dalam ke-
82
adaan hutan sebelum dikonversi menjadi lahan kebun sawit adalah 5,58% (pada SLH dalam bentuk
hutan alami). Setelah dibuka (deforestasi) dan ditanami sawit pada umur 5 tahun tanah mengalami
kehilangan C-organik tanah sebesar 69,8% (atau
dari kandungan C-organik 5,58% menjadi 1,68%).
Proses kehilangan C-organik tanah tersebut masih
berlanjut sampai tanaman sawit berumur 10 tahun,
yaitu sebesar 74,19% (atau dari kandungan 5,58%
menjadi 1,44%). Fakta ini jelas menunjukkan bahwa deforestasi dan penanamannya kembali dengan
tanaman sawit sampai berumur 10 tahun tidak terjadi pengembalian bahan organik tanah untuk merestorasi C-organik yang telah dimanfaatkan oleh
sawit. Pada sawit berumur 18 tahun terjadi peningkatan kandungan C-organik tanah dari 1,44% menjadi 1,96% (atau 0,09% dari kandungan total C-organik tanah sebelum dikonversi menjadi sawit).
Penurunan kandungan C-organik tanah tergantung kepada penggunaan lahan yang ditetapkan setelah pembukaan hutan. Detwiler (1986) sebagaimana dikutip oleh Veldkamp (1994), memperkirakan bahwa penanaman tanah hutan tropik dapat
mengurangi kandungan C-nya sebesar 40%; penggunaan tanah ini untuk padang rumput dapat mengurangi kandungan C-organik sekitar 20%.
Data indeks stabilitas agregat tanah pada Tabel
1, menunjukkan bahwa tanah pada SLH dalam
bentuk hutan alam mempunyai indeks stabilitas
yang tinggi (70,11) dibanding dengan indeks stabilitas agregat tanah pada SLH dalam bentuk kebun sawit (berturut-turut 30,43; 28,37, dan 21,68
pada sawit umur 5 tahun, 10 tahun dan 18 tahun).
Fakta ini jelas menujukkan bahwa stabilitas agregat tanah sangat dipengaruhi oleh kandungan bahan organik tanah, di mana kandungan C-organik
tanah pada SLH hutan adalah 5,58%, sedangkan
pada SLH sawit berkisar 1,44%-1,96%. Semakin
tinggi kandungan C-organik tanah, semakin tinggi
indeks stabilitas agregat tanah. Berbeda halnya dengan perbedaan indeks stabilitas agregat tanah pada masing-masing SLH sawit yang umurnya berbeda. Kandungan C-organik tanah lebih tinggi pada sawit yang berumur 18 tahun, yaitu 1,96% dan
indeks stabilitas agregat tanahnya lebih rendah
(21,86) jika dibandingkan dengan kandungan Corganik dan indeks stabilitas agregat tanah pada
sawit berumur 5 tahun dan 10 tahun (1,68% dan
1,44% C-organik; 30,43 dan 28,37 indeks stabilitas
agregat) secara berturut-turut.
Tingginya indeks stabilitas agregat tanah pada
sawit berumur 5 tahun yang tidak sejalan dengan
peningkatan kandungan C-organik tanah disebabkan oleh karena kuatnya sementasi agregat oleh
bahan organik yang berlangsung sebelum defores-
Ajidirman: Restorasi C-Organik di bawah Vegetasi Kelapa Sawit.
tasi. Sementara itu, peningkatan kandungan C-organik tanah dengan bertambahnya umur tanaman
sawit belum memberikan kontribusi yang besar dalam membantu agregasi agregat tanah setelah ditanami sawit, apalagi jumlah pengembalian C-organik ke dalam tanah sampai sawit berumur 18 tahun hanya sebesar 0,09% dari kandungan total Corganik tanah sebelum dikonversi menjadi sawit.
Pada Tabel 1 terlihat bahwa kadar air lapang
tanah lebih tinggi pada SLH dalam bentuk hutan
alam (43%), dibandingkan dengan kadar air lapang
pada SLH kebun sawit (berkisar 26,66%-37,66%).
Hal ini dimungkinkan karena pengaruh bahan organik dan kemantapan agregat tanah yang jauh lebih baik pada SLH hutan dibandingkan dengan
SLH sawit. Antar umur tanaman pada SLH sawit
terdapat perbedaan kadar air lapang. Tanah di bawah sawit berumur 5 tahun mempunyai kadar air
lapang 26,66%, di bawah sawit berumur 10 tahun
kadar air lapangnya 37,66%, sedangkan di bawah
sawit berumur 18 tahun kadar air lapu 28%. Padahal kandungan C-organik tanah lebih tinggi pada
sawit yang berumur 18 tahun dan 5 tahun. Fakta
ini diduga disebabkan oleh kemampuan akar menyerap air dan kemampuan tajuk tanaman dalam
melindungi tanah dari peristiwa evaporasi, dengan
tidak mengabaikan peran bahan organik. Pada tanah di bawah vegetasi sawit berumur 5 tahun jumlah evaporasi besar karena tajuk tanaman belum
tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga dalam melindungi tanah dari peristiwa evaporasi adalah rendah (kurang rapat daya lindungnya). Sedangkan pada tanah di bawah sawit berumur 18 tahun, akar tanaman telah tumbuh dan berkembang
dengan baik, dan menyebar di dalam tanah. Oleh
sebab itu kemampuan akar dalam menyerap air tanah menjadi tinggi dan evapotranspirasi meningkat, sehingga kadar air lapang menjadi rendah.
Restorasi C-organik dan hubungannya dengan
kesuburan fsik
Kemampuan restorasi C-organik tanah setelah
pemanfaatannya sangat menentukan tingkat kesuburan fisik tanah. Pada Tabel 2 jelas terlihat bahwa
bulk density (BD) tanah pada SLH dalam bentuk
hutan primer jauh lebih rendah (1,03 g cm-3) dibandingkan dengan BD tanah pada SLH dalam
bentuk kebun sawit yang berkisar dari 1,22 g cm-3
hingga 1,29 g cm-3). Hal ini dimungkinkan karena
pada kondisi hutan alam susunan pori-pori tanah
dan keutuhan agregasi struktur tanah belum mengalami gangguan. Dugaan ini diperkuat oleh data
pori drainase, seperti yang terlihat pada Tabel 2,
yaitu persentase pori drainase cepat tanah lebih banyak jumlahnya pada SLH dalam bentuk hutan
alami (10,66% vol), dibandingkan dengan tanah
pada SLH dalam bentuk kebun sawit (4,34% 7,32% vol). Terdapatnya rongga-rongga makro
yang lebih banyak di dalam tanah, akan mempengaruhi berat volume tanah total. Semakin banyak
rongga makro di dalam tanah maka semakin kecil
nilai BD tanah, dan tanah akan menjadi gembur,
porous, dan pergerakan air, udara dan bahan-bahan
terlarut di dalam akan menjadi lebih baik.
Perubahan distribusi pori disebabkan oleh distribusi dan aktivitas akar, aktivitas makro fauna,
dan agregasi oleh bahan organik, serta koloid liat.
Jaringan akar yang luas berpengaruh terhadap stabilitas struktur remah. Akar menggunakan tekanan
untuk memadatkan dan memisahkan agregat yang
berdekatan sehingga menimbulkan rongga antar
agregat yang dipadatkan (Marshall et al., 1996).
Ruang pori tanah tidak hanya tergantung pada
tipe dan ukuran dari individu partikel penyusun tanah, juga sangat ditentukan oleh bagaimana partikel tersebut tersusun dan berikatan secara bersamasama membentuk kumpulan (agregat tanah). Bentukan agregat tanah ini sangat menentukan total
ruang prori tanah (TRP). Pada Tabel 2 terlihat bahwa TRP pada SLH dalam bentuk hutan 60%, sedangkan pada SLH dalam bentuk kebun sawit berturut-turut 53,6%, 51,3%, dan 52,6% pada sawit
umur 5 tahun, 10 tahun dan 18 tahun. Apabila data
TRP ini dipadankan dengan data bulk density pada
Tabel 2, jelas terlihat bahwa pada tanah dengan nilai BD yang lebih rendah, selalu mempunyai total
ruang pori yang lebih banyak.
Jumlah TRP tanah tidak selalu berbanding lurus dengan persentase pori air tersedia. Hal ini jelas terlihat pada Tabel 2, di mana pada SLH dalam
bentuk hutan, tanah mempunyai total ruang pori
60% dengan persentase pori air tersedia (5,78%
vol), sedangkan pada SLH dalam bentuk kebun sawit umur 20 tahun dengan total ruang pori 52,6%
mempunyai persentase pori air tersedia lebih banyak, yaitu 6,53% vol. Fakta ini memperlihatkan
bahwa total ruang pori tidak mencerminkan distribusi ukuran pori yang terbentuk.
Terjadinya perbedaan nilai bulk density, total
ruang pori, persentase pori drainase, dan pori air
tersedia antara penggunaan lahan dalam bentuk hutan dengan penggunaan dalam bentuk kebun sawit,
bahkan antar kebun sawit yang berbeda umur, adalah disebabkan oleh perubahan penggunaan dan
pengelolaan lahan. Perubahan penggunaan lahan
dan pengelolaannya dapat mengurangi produktivitas tanah melalui kemerosotan pada bahan organik
dan sifat fisika tanah. Terdapat hubungan antara
makro fauna, bahan organik tanah, sifat fisika tanah, pertumbuhan tanaman dan erosi tanah.
83
Jurnal Agronomi 10(2): 81-84
Tabel 2. Nilai bulk density (BD), total ruang pori (TRP), kadar air, pori drainase, dan pori air tersedia tanah di lokasi penelitian.
SLH
Ulangan
Hutan
1
2
3
Rata-rata
Sawit
5 th
1
2
3
Rata-rata
Sawit
10 th
1
2
3
Rata-rata
Sawit
18 th
Rata-rata
1
2
3
Kadar air (% vol)
TRP
(% vol)
pF2,0
pF2,54
pF4,2
cepat
lambat
1,05
1,01
1,04
1,03
1,31
1,18
1,18
1,22
1,25
1,25
1,38
1,29
1,25
1,21
1,29
1,25
57
62
61
60
51
55
55
53,6
53
53
48
51,3
53
54
51
52,6
50,51
48,98
46,66
48,71
40,13
51,04
44,01
45,06
48,38
50,40
46,46
48,41
43,54
44,58
40,13
42,75
43,65
44,37
39,99
42,67
28,65
44,75
39,79
37,73
42,07
40,02
42,30
41,46
26,86
27,68
28,65
27,73
36,17
40,33
34,17
36,89
21,63
41,61
32,32
31,85
37,86
36,31
37,45
37,20
19,99
21,91
21,63
21,17
5,75
12,53
13,72
10,66
6,07
4,81
11,08
7,32
8,22
2,05
4,86
5,04
4,25
2,70
6,07
4,34
6,86
4,61
6,67
6,04
11,48
6,29
5,22
7,66
6,31
10,38
4,16
6,95
16,68
16,90
11,48
15,02
Perubahan distribusi pori yang disebabkan oleh
distribusi akar dan aktivitas makro fauna akan
mempengaruhi aliran air. Aliran air ke bawah tanah melalui dua rute yaitu aliran lambat melalui
pori mikro, atau aliran yang lebih cepat melalui
pori yang lebih besar (Bouma, 1981) sebagaimana
dikutip oleh Suprayogo (1999).
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan
bahwa kandungan C-organik tanah di bawah vegetasi hutan alami sangat tinggi, yakni 5,58%. Setelah deforestasi dengan konversi dalam bentuk kebun sawit, restorrasi C-organik tanah setelah 18 tahun tanam hanya sebesar 0,09%. Kandungan Corganik tinggi menyebabkan terbentuknya agregat
tanah yang lebih mantap dan berpengaruh langsung terhadap struktur tanah, bulk density, total ruang pori, pori drainase, pori air tersedia, dan kadar
air tanah.
Berdasarkan hasil penelitian ini, dianjurkan
agar budidaya pertanian berupa perkebunan sawit,
perlu penambahan bahan organik ke dalam tanah
84
Pori drainase (% vol)
BD
(g cm-3)
pori air
tersedia
(% vol)
7,48
4,04
5,82
5,78
7,02
3,14
6,57
5,57
4,21
3,71
4,85
4,25
6,87
5,70
7,02
6,53
dari sumber lain, di samping yang dapat dikembalikan oleh tanaman sawit itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F., M. V. Noordwijk dan D. Garrity. 2001.
Technical and Institutional Innovations for Environmentally Sustainable Agriculture. International
Center For Research in Agroforestry, Bogor.
Balagopalan, M. 1995. Soil chemical characteristics in a
natural forest and adjacent exotic plantations in
Kerala, India. Journal of Tropical Forest Science 8:
161-166.
Marshall, T. J., J. W. Holmes dan C. W. Rose. 1996.
Soil Physics (3rd Ed.). Cambridge University Press,
Cambridge.
Suprayogo, D. 1999. Alteration of Interactions between
Macrofauna, Soil Structures, and Infiltration Processes for Soil Conservation of Agriculture Lands on
Slopes. Proceedings of Workshop Management of
Agrobiodiversity in Indonesia for Sustainable Land
Use and Global Environmental Benefits, Bogor.
Veldkamp, E. 1994. Organic carbon turnover in three
soils under pasture after deforestation. Soil Science
Society of America 58: 175-180.
Download