modal sosial masyarakat kawasan penyangga

advertisement
MODAL SOSIAL
MASYARAKAT KAWASAN PENYANGGA
TAMAN NASIONAL KUTAI (TNK)
DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA
POPPY OKTADIYANI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
PERNYATAAN
MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Modal Sosial Masyarakat
Kawasan Penyangga Taman Nasional Kutai (TNK) dalam Pengembangan
Ekowisata adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2010
Poppy Oktadiyani
NRP E 352080071
ABSTRACT
POPPY OKTADIYANI. Social Capital of Communities in Kutai National Park
Buffer Zone for Ecotourism Development. Under supervision of E.K.S. HARINI
MUNTASIB and ARZYANA SUNKAR.
Kutai National Park (KNP) is bordered by a coal mining company, PT.
Kaltim Prima Coal (PT. KPC). Communities living between the TNK and the
company were those living in Kabo Jaya Hamlet of Swarga Bara Village and G III
Hamlet of Singa Gembara Village, who were economically dependent on this
company. A main concern to the post-mining period in 2021 is a lost source of
livelihood which could trigger the exploitation of the national park by the
communities. Alternative sources of livelihood were natural resources available
in Prevab-KNP, Tanjung Bara Beach, and Tanjung Bara Mangrove which could
be use for ecotourism development. The objective of this research was to study
the social capital of ecotourism development in the KNP buffer zone area. Data
were collected using several methods including field observation, participative
observation, in depth interview, and literature study. The social capitals were
valued using Social Capital Assessment Tools (SCAT) to assess the community’s
social capitals, Confirmatory Factor Analysis (CFA) to assess the relationships
between social capital variables, and descriptive analysis to evaluate each
stakeholder’s ecotourism development policies. Social capital adequacy value for
Kabo Jaya Hamlet of Swarga Bara Village was 173 (high) and G III Hamlet of
Singa Gembara Village was 159 (average), suggesting that ecotourism
development in Kabo Jaya Hamlet would be easier to develop than Singa
Gembara village, due to the existence of Kabo Jaya Ecotourism Group. Results
showed that the social capital inter-variables relationship’s (T-value) for Kabo
Jaya Hamlet were: trust (27.45) with coefficient of effect
( ) of 0.63;
network participation (31.75) with ( ) of 0.88; social norms (37.37) with ( ) of
1.00; proactive actions (31.98) with ( ) of 0.84; and concern for others and the
environment (25.75) with ( ) of 0.66. Every element of social capital in Kabo
Jaya Hamlet significantly affects the social capital, and the most significant
element was social norm. While T-values for G III Hamlet were: 29.00 for trust
with ( ) of 0.77; 28.66 for network participation with ( ) of 0.81; 27.72 for social
norms with ( ) of 0.81; 28.99 for proactive actions with ( ) of 0.16; and 31.88 for
concern for others and the environment with ( ) of 1.00. Every element of social
capital in G III Hamlet significantly affects the social capital with the most
significant element was concern for others and the environment.
Keywords: Community, Ecotourism, G III Hamlet, Kabo Jaya Hamlet, Social
Capital.
RINGKASAN
POPPY OKTADIYANI. Modal Sosial Masyarakat Kawasan Penyangga Taman
Nasional Kutai (TNK) dalam Pengembangan Ekowisata. Dibimbing oleh E.K.S.
HARINI MUNTASIB dan ARZYANA SUNKAR.
Letak Taman Nasional Kutai (TNK) berbatasan langsung dengan PT.
Kaltim Prima Coal (PT. KPC). Sehingga masyarakat yang menetap di wilayah
antara TNK dan PT. KPC yaitu di Dusun Kabo Jaya, Desa Swarga Bara dan
Dusun G III, Desa Singa Gembara menggantungkan hidupnya pada PT. KPC.
Memasuki masa pasca tambang PT. KPC tahun 2021, dikhawatirkan masyarakat
akan kehilangan mata pencaharian dan berpeluang merambah TNK. Sebagai
alternatif keberadaan potensi sumberdaya ekowisata Prevab-TNK, Pantai Tanjung
Bara, dan Hutan Mangrove Tanjung Bara dapat dimanfaatkan untuk kegiatan
ekowisata.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menelaah modal sosial dalam
pengembangan ekowisata di kawasan penyangga TNK melalui identifikasi unsurunsur modal sosial, penilaian unsur-unsur modal sosial, pengukuran hubungan
unsur-unsur modal sosial terhadap modal sosial yang dimiliki masyarakat, dan
memberikan arahan kebijakan pengembangan ekowisata berdasarkan modal sosial
yang ada.
Pengumpulan data dilakukan melalui observasi lapang, observasi
partisipatif, wawancara mendalam, dan studi pustaka. Penilaian modal sosial
menggunakan Social Capital Assessment Tools (SCAT), untuk melihat hubungan
pengaruh antar variabel modal sosial melalui Confirmatory Factor Analysis
(CFA), dan analisis deskriptif untuk analisis kebijakan dan dukungan
pengembangan ekowisata setiap stakeholder.
Unsur modal sosial yang ada di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III terdiri
dari: (a) kepercayaan terhadap PT. KPC paling tinggi; (b) partisipasi dalam suatu
jaringan yang ada yaitu dalam bentuk kerjasama dengan PT. KPC dalam
pengembangan Ekowisata Kabo Jaya, di Dusun Kabo Jaya; (c) ketaatan terhadap
norma agama, susila dan kesopanan lebih tinggi di Dusun Kabo Jaya; (d) tindakan
yang pro aktif secara umum masih rendah kecuali dalam berbagi pengalaman
dengan sesama di kedua dusun tinggi; serta (e) kepedulian terhadap sesama dan
lingkungan di kedua dusun cukup tinggi.
Nilai modal sosial untuk Dusun Kabo Jaya adalah 173 (tinggi) dan Dusun
G III adalah 159 (sedang) yang berarti bahwa ekowisata dapat dikembangkan di
kedua dusun tersebut namun akan lebih mudah mengembangkannya di Dusun
Kabo Jaya, terkait dengan keberadaan Kelompok Ekowisata Kabo Jaya. Unsur
modal sosial bernilai rendah yang ditemukan di kedua dusun adalah tindakan proaktif, hal ini disebabkan karena banyaknya curahan waktu yang dipergunakan
untuk bekerja. Khusus di Dusun G III jaringan sosial juga merupakan unsur modal
sosial yang bernilai rendah, hal ini disebabkan karena belum adanya jaringan
sosial yang mengarah kepada kegiatan pengembangan ekowisata.
Hasil analisis hubungan pengaruh nyata (T-Value) antar unsur modal
sosial untuk Kabo Jaya, Desa Swarga Bara mendapatkan hasil sebagai berikut:
kepercayaan (27,45) dengan estimasi koefisien pengaruh ( ) 0,63; partisipasi
dalam suatu jaringan (31,75) dengan ( ) 0,88; norma sosial (37,37) dengan ( )
1,00; tindakan yang proaktif (31,98) dengan ( ) 0,84; serta kepedulian terhadap
sesama dan lingkungan (25,75) dengan ( ) 0,66. Semua unsur modal sosial di
Dusun Kabo Jaya berpengaruh nyata terhadap modal sosial dengan unsur yang
paling berpengaruh adalah norma sosial. Sedangkan untuk Desa Singa Gembara
diperoleh nilai T-Value sebagai berikut: kepercayaan (29,00) dengan ( ) 0,77;
partisipasi dalam suatu jaringan (28,66) dengan ( ) 0,81; norma sosial (27,72)
dengan ( ) 0,81; tindakan yang proaktif (28,99) dengan ( ) 0,16; serta kepedulian
terhadap sesama dan lingkungan (31,88) dengan ( ) 1,00. Semua unsur modal
sosial di Dusun G III berpengaruh nyata terhadap modal sosial dengan unsur
modal sosial yang paling berpengaruh adalah kepedulian terhadap sesama dan
lingkungan.
Hubungan unsur-unsur modal sosial di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III
semua berpengaruh nyata terhadap modal sosial, hal ini berarti bahwa semua
unsur modal sosial berpengaruh terhadap terbentuknya modal sosial. Unsur modal
sosial yang paling kuat kontribusi pengaruhnya di Dusun Kabo Jaya adalah norma
sosial
) 1,00 dalam bentuk ketaatan terhadap norma agama, kesusilaan dan
kesopanan yang berpengaruh positif terhadap pengembangan ekowisata ke arah
pengembangan ekowisata budaya, sedangkan di Dusun G III yang paling kuat
kontribusi pengaruhnya adalah kepedulian terhadap sesama dan lingkungan )
1,00 berpengaruh positif dalam pengembangan ekowisata yang memprioritaskan
keunggulan dan kepedulian terhadap alam.
Arahan kebijakan pengembangan ekowisata untuk Dusun Kabo Jaya
adalah ekowisata ke arah pengembangan ekowisata budaya yang lebih
dimunculkan dengan didukung kondisi masyarakat yang multi-etnik dengan
dukungan kebijakan pengembangan ekowisata dari pihak PT. KPC dan TNK.
Sedangkan untuk Dusun G III ke arah pengembangan ekowisata yang
memprioritaskan keunggulan alam dengan didukung kebijakan pengembangan
ekowisata Pantai Mangrove Tanjung Bara dan Hutan Mangrove Tanjung Bara
dari PT. KPC dan Pemerintah Daerah Kutai.
Kata Kunci: Dusun G III, Dusun Kabo Jaya, Ekowisata, Masyarakat, Modal
Sosial
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan mengutip tersebut tidak merugikan kepentingan yang
wajar bagi IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
MODAL SOSIAL MASYARAKAT KAWASAN PENYANGGA
TAMAN NASIONAL KUTAI (TNK)
DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA
POPPY OKTADIYANI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Ir. Soewartono, MM.
Judul Tesis
Nama Mahasiswa
Nomor Pokok
: Modal Sosial Masyarakat Kawasan Penyangga Taman
Nasional Kutai (TNK) dalam Pengembangan Ekowisata
: Poppy Oktadiyani
: E352080071
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib, MS.
Ketua
Dr. Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc.
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Manajemen Ekowisata dan
Jasa Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib, MS.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian: 1 Juli 2010
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala KaruniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak Bulan Januari 2010 ini ialah modal sosial,
dengan judul Modal Sosial Masyarakat Kawasan Penyangga Taman Nasional
Kutai (TNK) dalam Pengembangan Ekowisata.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib,
MS. dan Ibu Dr. Ir. Arzyana Sunkar, MSc. selaku pembimbing, serta Bapak Ir.
Soewartono, MM. selaku penguji luar komisi dan Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni,
MS. selaku pimpinan sidang pada ujian tesis yang telah banyak memberi saran.
Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada masyarakat Dusun Kabo
Jaya, Desa Swarga Bara; Dusun G III, Desa Singa Gembara; dan PT. KPC atas
segala dukungan materi serta teman-teman Program Studi Manajemen Ekowisata
dan Jasa Lingkungan angkatan 2008, Pascasarjana IPB atas segala dukungannya.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga atas segala do’a dan
kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2010
Poppy Oktadiyani
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 15 Oktober 1982 dari pasangan
Yoyo Wartoyo, S.Pd. dan Euis Komariah. Penulis merupakan putri pertama dari
dua bersaudara.
Tahun 2001 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Ciamis dan pada tahun yang
sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis
memilih Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan. Pada
tahun 2008, penulis diterima di Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa
Lingkungan pada Program Pascasarjana IPB.
Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Balai Konservasi
Sumberdaya Hutan Sulawesi Tengah, Kementrian Kehutanan sejak tahun 2010.
i DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .......................................................................................................... i
DAFTAR TABEL ................................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... vii
I. PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2 Tujuan ......................................................................................................... 3
1.3 Manfaat ....................................................................................................... 3
1.4 Perumusan Masalah .................................................................................... 3
1.5 Kerangka Pemikiran .................................................................................... 4
II. KONDISI UMUM ............................................................................................ 5
2.1 PT. Kaltim Prima Coal ................................................................................ 5
2.2 Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat .................................... 6
2.3 Desa Swarga Bara ....................................................................................... 8
2.4 Desa Singa Gembara ................................................................................... 9
III. METODE PENELITIAN ............................................................................ 11
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................... 11
3.2 Peralatan dan Obyek Kajian ...................................................................... 12
3.3 Jenis Data .................................................................................................. 12
3.4 Metode Pengumpulan Data ....................................................................... 14
3.5 Analisis Data ............................................................................................. 15
3.6 Sintesis Data .............................................................................................. 18
IV. IDENTIFIKASI UNSUR MODAL SOSIAL ............................................. 19
4.1 Unsur Modal Sosial ................................................................................... 19
4.1.1
Kepercayaan (Trust) ........................................................................ 19
4.1.2
Jaringan Sosial (Social Networking) ............................................... 25
4.1.3
Norma Sosial (Social Norms) ......................................................... 32
4.1.4
Tindakan yang Pro Aktif ................................................................. 33
4.1.5
Kepedulian terhadap Sesama dan Lingkungan ............................... 35
4.1.6
Kondisi Sosial Ekonomi .................................................................. 35
ii 4.2 Potensi dan Aplikasi Modal Sosial dalam Pengembangan Ekowisata ..... 44
4.2.1
Dusun Kabo Jaya............................................................................. 44
4.2.2
Dusun G III ..................................................................................... 48
4.3 Potensi Ekowisata ..................................................................................... 49
4.3.1
Dusun Kabo Jaya............................................................................. 49
4.3.2
Dusun G III ..................................................................................... 60
V. PENILAIAN DAN PENGUKURAN HUBUNGAN UNSUR-UNSUR
MODAL SOSIAL TERHADAP MODAL SOSIAL ................................. 67
5.1 Penilaian Unsur Modal Sosial ................................................................... 67
5.1.1
Kepercayaan (Trust) ........................................................................ 69
5.1.2
Jaringan Sosial (Social Networking) ............................................... 70
5.1.3
Norma Sosial (Social Norm) ........................................................... 72
5.1.4
Tindakan yang Pro Aktif ................................................................. 73
5.1.5
Kepeduliaan terhadap Sesama dan Lingkungan ............................. 74
5.1.6
Kondisi Sosial Ekonomi .................................................................. 74
5.1.7
Ketercukupan Modal Sosial dalam Pengembangan Ekowisata ...... 78
5.2 Hubungan Pengaruh Unsur-unsur Modal Sosial terhadap Modal Sosial .. 79
5.2.1
Hubungan Pengaruh Unsur-unsur Modal Sosial Dusun Kabo Jaya80
5.5.2
Hubungan Pengaruh Unsur-unsur Modal Sosial Dusun G III ........ 80
VI. KEBIJAKAN DAN DUKUNGAN PENGEMBANGAN EKOWISATA 81
6.1 Kebijakan Pengembangan Ekowisata ....................................................... 81
6.1.1
Taman Nasional Kutai (TNK)......................................................... 81
6.1.2
PT. Kaltim Prima Coal (PT. KPC) .................................................. 82
6.1.3
Pemerintah Daerah Kutai Timur ..................................................... 82
6.2 Dukungan Pengembangan Ekowisata ....................................................... 83
6.2.1
Pemerintah Desa/Kepala Desa ........................................................ 83
6.2.2
Tokoh Adat/Tokoh Masyarakat ...................................................... 83
6.2.3
Masyarakat ...................................................................................... 84
6.2.4
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ........................................... 84
6.3 Arah Kebijakan Pengembangan Ekowisata .............................................. 85
6.3.1
Dusun Kabo Jaya............................................................................. 85
6.3.2
Dusun G III ..................................................................................... 85
iii VII. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 87
7.1 Kesimpulan ............................................................................................... 87
7.2 Saran.......................................................................................................... 88
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 91
iv DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Agama dan sarana peribadatan di Kecamatan Sangatta Utara tahun
2008 ..................................................................................................... 7
Tabel 2.2 Kondisi pendidikan di Kecamatan Sangatta Utara tahun 2008 .............. 7
Tabel 2.3 Persentase penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha utama dan
jenis kelamin di Kabupaten Kutai Timur tahun 2008.......................... 7
Tabel 2.4 Agama yang dipeluk dan sarana agama yang ada di Desa Swarga Bara 8
Tabel 2.5 Tingkat pendidikan penduduk Desa Swarga Bara ................................. 9
Tabel 2.6 Mata Pencaharian penduduk Desa Swarga Bara .................................... 9
Tabel 2.7 Kondisi penduduk Desa Singa Gembara .............................................. 10
Tabel 3.1 Jenis data yang diambil ........................................................................ 12
Tabel 3.2 Selang nilai terendah – tertinggi setiap unsur modal sosial ................. 15
Tabel 3.3 Peubah, indikator dan parameter penelitian ......................................... 17
Tabel 4.1 Beberapa bentuk program CSR PT. KPC untuk masyarakat Kecamatan
Sangatta Utara (Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III termasuk di
dalamnya) yang telah dilaksanakan ................................................... 20
Tabel 4.2 Laporan pelaksanaan kegiatan belanja langsung Badan Pemberdayaan
Masyarakat Kabupaten Kutai Timur tahun anggaran 2008 ............... 21
Tabel 4.3 Data kriminal dari Polisi Kampung di Kabupaten Kutai Timur .......... 23
Tabel 4.4 Peristiwa kejahatan dan pelanggaran di Kabupaten Kutai Timur ........ 23
Tabel 4.5 Pertumbuhan penduduk Desa Swarga Bara dan Desa Singa Gembara 36
Tabel 4.6 Sarana komunikas dan transportasi di Desa Swarga Bara dan Desa
Singa Gembara .................................................................................. 37
Tabel 4.7 Kondisi pembangunan di Desa Singa Gembara ................................... 38
Tabel 4.8 Penetapan penerimaan bantuan perbaikan perumahan penduduk miskin
perbaikan sarana dan prasarana umum lingkungan pedesaan
(swakelola) tahun anggaran 2009 di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G
III ....................................................................................................... 38
Tabel 4.9 Mata pencaharian masyarakat di Desa Swarga Bara dan Desa Singa
Gembara............................................................................................. 39
Tabel 4.10 Kondisi keamanan Desa Singa Gembara ........................................... 40
v Tabel 4.11 Kemampuan kelembagaan di Kabupaten Kutai Timur ...................... 40
Tabel 4.12 Tingkat pendidikan masyarakat Desa Swarga Bara dan Desa Singa
Gembara............................................................................................. 41
Tabel 4.13 Sarana pendidikan di Desa Swarga Bara dan Desa Singa Gembara .. 42
Tabel 4.14 Fasilitas kesehatan di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III ................. 43
Tabel 4.15 Kelompok Minat (Pokmin) Ekowisata Kabo Jaya ............................. 46
Tabel 4.16 Harga paket Ekowisata Kabo Jaya ..................................................... 46
Tabel 4.17 Menu makanan wisata kuliner Ekowisata Kabo Jaya ........................ 47
Tabel 5.1 Nilai kepercayaan masyarakat Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III ..... 70
Tabel 5.2 Nilai jaringan sosial masyarakat Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III .. 71
Tabel 5.3 Nilai norma sosial masyarakat Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III ..... 72
Tabel 5.4 Nilai tindakan yang pro aktif masyarakat Dusun Kabo Jaya dan Dusun
G III ................................................................................................... 73
Tabel 5.5 Nilai kepedulian terhadap sesama dan lingkungan masyarakat Dusun
Kabo Jaya dan Desa G III .................................................................. 74
Tabel 5.6 Nilai karakteristik masyarakat Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III ..... 74
Tabel 5.7 Ketercukupun modal sosial dalam pengembangan ekowisata di Dusun
Kabo Jaya dan Dusun G III ............................................................... 78 vi DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian .................................................................. 4
Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian ....................................................................... 11
Gambar 4.1 Jaringan sosial umum Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III .............. 26
Gambar 4.2 Interaksi antar individu dalam satu kelompok ................................. 27
Gambar 4.3 Interaksi antar individu beda kelompok .......................................... 28
Gambar 4.4 Interaksi antar individu dengan kelompok ...................................... 28
Gambar 4.5 Interaksi antar kelompok ................................................................. 29
Gambar 4.6 Potret anak-anak Kampung Bugis sedang bermain ......................... 30
Gambar 4.7 Struktur organisasi Ekowisata Kabo Jaya........................................ 44
Gambar 4.8 Pengunjung dalam dan luar negeri Prevab, TNK ............................ 50
Gambar 4.9 Orangutan (Pongo pygmaeus) dan habitatnya ................................. 50
Gambar 4.10 Aktivitas pengunjung di pusat penelitian Orangutan Prevab ........ 51
Gambar 4.11 Sarana dan prasarana yang ada di stasiun penelitian Orangutan
Prevab............................................................................................ 55
Gambar 4.12 Sarana dan prasarana Dusun Kabo Jaya yang dapat mendukung
kegiatan Ekowisata Kabo Jaya ...................................................... 59
Gambar 4.13 Daya tarik Pantai Tanjung Bara dan Hutan Mangrove Tanjung Bara
....................................................................................................... 62
Gambar 4.14 Beberapa aktivitas pengunjung Pantai Tanjung Bara .................... 63
Gambar 4.15 Sarana prasarana ekowisata di Pantai Tanjung Bara ..................... 66
vii DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Suku adat ………………………………………………………..,95
Lampiran 2. Jenis-jenis tumbuhan dan jamur yang ditemukan di sepanjang
looptrail menuju sarang Orangutan ……………………………..138
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Taman Nasional Kutai (TNK) merupakan taman nasional yang berbatasan
langsung dengan PT. Kaltim Prima Coal (PT. KPC) yaitu perusahaan
pertambangan batu bara terbesar di Sangatta, Kabupaten Kutai Timur. PT. KPC
yang telah beroperasi sejak tahun 1982 dan akan berakhir masa tambangnya pada
tahun 2021. Bermukim di antara TNK dan PT. KPC adalah masyarakat Dusun
Kabo Jaya, Desa Swarga Bara dan masyarakat Dusun G III, Desa Singa Gembara
yang pada umumnya bekerja di PT. KPC dan perusahaan kontraktornya (Darwono
1995). Memasuki masa pasca tambang PT. KPC, dikhawatirkan masyarakat akan
kehilangan mata pencahariannya dan akan merambah TNK, sehingga diperlukan
sebuah alternatif sumber pendapatan.
TNK memiliki pusat penelitian Orangutan (Pongo pygmaeus) di Prevab
yang berbatasan langsung dengan Dusun Kabo Jaya, Desa Swarga Bara yang
merupakan kawasan penyangga TNK. Sedangkan PT. KPC memiliki wilayah
operasi yang meliputi Pantai Tanjung Bara dan Hutan Mangrove Tanjung Bara, di
Desa Singa Gembara. Mempertimbangkan keberadaan potensi sumberdaya wisata
di Prevab TNK, Pantai Tanjung Bara, dan Hutan Mangrove Tanjung Bara, maka
ekowisata dapat dijadikan sebagai sebuah alternatif pekerjaan
melalui
pengembangan ekowisata.
Pengembangan ekowisata tidak hanya didukung oleh potensi sumberdaya
alam, tetapi juga oleh dukungan dari masyarakat sebagai penggerak lokal kegiatan
ekowisata. Coleman dalam Dharmawan (2001) menyatakan bahwa terdapat 3
unsur utama modal sosial, yaitu kepercayaan (trust), jaringan sosial (social
networking), dan norma sosial (social norms). Sebagaimana ditunjukkan oleh
hasil beberapa penelitian Rahmayulis (2008), mengidentifikasi unsur kepercayaan
masyarakat adat terhadap pimpinan adatnya, terhadap sesama anggota
komunitasnya, serta terhadap norma adat yang dijadikan landasan dalam
kehidupan sosial sebagai unsur utama dalam pengembangan ekowisata di Taman
Nasional Betung Kerihun (TNBK). Hasil ini juga diperkuat oleh Rachmawati
2 (2010) yang menemukan bahwa unsur-unsur sistem sosial yang harus
dipertimbangkan dalam pengembangan wisata alam di kawasan Gunung Salak
Endah (GSE) adalah kepercayaan antar individu, kekuasaan dan kewenangan,
status dan peran, serta norma dan sanksi sosial. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa pengetahuan mengenai modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat di
wilayah
yang
akan
dikembangankan
merupakan
bagian
integral
dari
pengembangan ekowisata. Hasbullah (2006) melengkapi, unsur pokok modal
sosial terdiri dari partisipasi dalam suatu jaringan, timbal balik (reciprocity),
kepercayaan (trust), norma sosial, nilai-nilai, dan tindakan yang proaktif. Unsur
modal sosial yang akan diamati dalam penelitian ini, yaitu kepercayaan, jaringan
sosial, norma sosial, tindakan yang proaktif, kepedulian terhadap sesama dan
lingkungan, serta kondisi sosial dan ekonomi.
Modal sosial adalah sumberdaya yang dapat dipandang sebagai investasi
untuk mendapatkan sumberdaya baru. Sumberdaya (resources) adalah sesuatu
yang dapat dipergunakan untuk dikonsumsi, disimpan, dan diinvestasikan.
Sumberdaya yang digunakan untuk investasi disebut sebagai modal. Modal sosial
lebih menekankan pada potensi kelompok dan pola-pola hubungan antar individu
dalam suatu kelompok dan antar kelompok dengan ruang perhatian pada jaringan
sosial, norma, nilai, dan kepercayaan antar sesama yang lahir dari anggota
kelompok dan menjadi norma kelompok (Hasbullah 2006).
Pentingnya mengetahui modal sosial dalam pengembangan ekowisata
karena keberhasilan pengembangan ekowisata di suatu kawasan memerlukan
adanya keseimbangan antara aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial budaya
(Goeldner et al. 2000 dan Milic et al. 2008). Menurut UNEP dan WTO (2002)
dalam Deklarasi Quebec 2002, masyarakat sebagai salah satu komponen sosial
memiliki
peran
dan
tanggung
jawab
untuk
menentukan
keberhasilan
pengembangan ekowisata melalui pembangunan modal sosial.
Penelitian modal sosial dalam bidang ekowisata masih sangat terbatas
karena pada umumnya modal sosial digunakan dalam pembangunan suatu wilayah
seperti dijelaskan dalam penelitian Fadli (2007) dan Syahra (2003) serta
Hasbullah (2006). Sehingga dalam rangka pengembangan ekowisata sebagai
3 alternatif kegiatan pasca tambang perlu diidentifikasi unsur-unsur yang
membentuk modal sosial pada masyarakat target. Selain itu, karakter multi-etnis
yang dimiliki masyarakat Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III yang sebagian besar
adalah pendatang memberikan tantangan yang unik dalam penelitian modal sosial.
1.2
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk menelaah modal sosial bagi
pengembangan ekowisata di kawasan penyangga Taman Nasional Kutai (TNK),
melalui:
a. Identifikasi unsur-unsur modal sosial.
b. Penilaian unsur modal sosial.
c. Pengukuran hubungan unsur-unsur modal sosial terhadap modal sosial
yang dimiliki komunitas masyarakat.
d. Memberikan arahan kebijakan pengembangan ekowisata di setiap lokasi
penelitian berdasarkan modal sosial yang ada di tempat tersebut.
1.3
Manfaat
1. Memberikan gambaran modal sosial masyarakat kepada para pihak
pengambil keputusan untuk pengembangan ekowisata pasca tambang PT.
KPC.
2. Menjaga kelestarian sumberdaya alam TNK dengan adanya kegiatan
ekowisata.
1.4
Perumusan Masalah
Masyarakat yang berada di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III sebagai
kawasan penyangga TNK yang kondisi mata pencahariannya saat ini bergantung
kepada PT. KPC dan perusahaan kontrkatornya sebagai perusahaan pertambangan
batu bara. Mengadapi masa pasca tambang tahun 2021, dikhawatirkan masyarakat
di kawasan penyangga TNK ini akan kehilangan mata pencahariannya dan akan
merambah TNK, sehingga diperlukan alternatif mata pencaharian lain.
4 Keberadaan Prevab TNK, Dusun Kabo Jaya, Pantai Tanjung Bara, Hutan
Mangrove Pantai Tanjung Bara serta potensi lain di sekitar PT. KPC dapat
dijadikan alternatif dalam mempersiapkan kemandirian masyarakat pada pasca
tambang, yaitu dengan pengembangan ekowisata. Pengembangan ekowisata ini
perlu dukungan modal sosial yang dimiliki masyarakat sebagai penggerak
pengembangan ekowisata. Masyarakat sekitar PT. KPC yang sebagian besar
adalah pendatang dari berbagai etnik, hal ini cukup unik untuk dikaji mengenai
kondisi modal sosial yang dimiliki dari masyarakat dengan latar belakang etnik
yang beragam dalam mendukung pengembangan ekowisata, untuk mengetahui
bagaimana kondisi dari unsur-unsur modal sosial yang terdiri dari kepercayaan,
jaringan sosial, norma sosial, tindakan yang pro aktif, kepedulian terhadap sesama
dan lingkungan, serta kondisi sosial ekonomi.
1.5
Kerangka Pemikiran
Potensi SDA Prevab,
TNK
a. Kebijakan Pengembangan
Ekowisata dari TNK, PT.
KPC, dan Pemda Kutai
Timur
b. Dukungan Pengembangan
Ekowisata dari Kepala
Desa, Tokoh Adat/Tokoh
Masyarakat, masyarkat,
dan LSM
Analisis
Deskriptif
Masyarakat
Potensi SDA Pantai dan Hutan
Mangrove Tanjung Bara
Ekowisata
Masyarakat Multi Etnik  Unsur Modal Sosial:
a. Kepercayaan
b. Jaringan Sosial
c. Norma Sosial
d. Tindakan yang Pro Aktif
e. Kepedulian
terhadap
Sesama
dan
Lingkungan
Penilaian Unsur Modal Sosial dengan Social Capital Assessment Tool (SCAT)
 Modifikasi (Krishna dan Shrader , 1999)
Pengumpulan Data:
a. Observasi lapang
b. Observasi
partisipatif
c. In depth interview
d. Studi Pustaka
Analisis Data
Tingkatan modal sosial:
a. Tinggi
b. Sedang
c. Rendah
Analisis CFA:
Hubungan pengaruh unsur-unsur
modal sosial terhadap modal sosial
Sintesis Data
MODAL SOSIAL
Arahan Kebijakan
Pengembangan Ekowisata
Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian
5 II. KONDISI UMUM
2.1
PT. Kaltim Prima Coal
PT. Kaltim Prima Coal (PT. KPC) merupakan perusahaan pertambangan
batu bara terbesar di wilayah Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi
Kalimantan Timur yang beroperasi sejak tahun 1982 yang setiap tahunnya
produksi batu baranya terus meningkat, untuk tahun 2010 ini target produksi
sebesar 70.000 ton. Ijin operasi pertambangan batu bara PT. KPC sampai tahun
2021.
Lokasi PT. KPC berada di Kecamatan Sangatta Utara dan Kecamatan
Bengalon, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Adapun batas
adminitrasi daerah operasinya, yaitu (PT. KPC 2005):
Utara : Kecamatan Kaliorang dan Sangkulirang
Timur : Selat Makassar
Selatan : Taman Nasional Kutai (TNK)
Barat : Kecamatan Bengalon dan Sangatta Utara
Pemukiman penduduk yang berbatasan dengan TNK dan daerah operasi PT. KPC,
yaitu Dusun Kabo Jaya, Desa Swarga Bara dan Dusun G III, Desa Singa
Gembara, Kecamatan Sangatta Utara.
PT. KPC sebagai perusahaan yang bergerak dalam pengekspoiltasian
Sumber Daya Alam (SDA) memiliki tanggung jawab moral terhadap lingkungan
atas SDA yang diambilnya. Tanggung jawab moral tersebut disalurkan melalui
program Corporate Social Responsibility (CSR) yang ditujukan untuk lingkungan
atau masyarakat yang berbatasan langsung dengan daerah operasi PT. KPC
maupun yang tidak berbatasan langsung yang dibagi ke dalam 3 ring wilayah
sasaran CSR PT. KPC (PT. KPC 2008), yaitu:
1. Ring 1: desa-desa yang bersentuhan langsung dengan daerah operasi PT.
KPC (Desa Swarga Bara, Desa Singa Gembara, Teluk Lingga,
Kenyamukan dan Bengalon).
2. Ring 2: kecamatan-kecamatan di luar Sangatta yang berada di Kabupaten
Kutai Timur.
6 3. Ring 3: kabupaten-kabupaten di luar Kabupaten Kutai Timur yang berada
di Provinsi Kalimantan Timur (18 kabupaten, 135 desa).
Kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) PT. Kaltim Prima Coal
(PT. KPC) difokuskan dalam 7 (tujuh) bidang program, yaitu: pengembangan
agribisnis peningkatan kesehatan masyarakat; pengembangan pendidikan dan
pelatihan;
pengembangan
koperasi,
usaha
kecil
dan
menengah;
pembangunan/peningkatan infrastruktur masyarakat; pelestarian alam dan budaya;
dan penguatan kapasitas pemerintah dan masyarakat.
2.2
Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat
Kondisi sosial budaya masyarakat Sangatta memiliki suku bangsa yang
multi etnik dari berbagai daerah dengan suku masyarakat asli adalah Suku Dayak
dan Suku Kutai. Suku Kutai merupakan suku melayu asli Kalimantan Timur,
yang awalnya mendiami wilayah pesisir Kalimantan Timur. Suku pendatang di
Sangatta antara lain Toraja, Timur (NTB dan NTT), Bugis, Jawa, dan Banjar.
Kondisi suku asli Suku Dayak dan Suku Kutai tergeserkan keberadaannya di
Sangatta. Hal ini karena banyaknya suku pendatang dari berbagai wilayah di
Indonesia yang datang ke Sangatta untuk bekerja di PT. KPC maupun
kontraktornya PT. KPC. Suku Dayak dan Suku Kutai masih banyak terdapat di
daerah pedalaman di Kecamatan Kaliorang, Sangkulirang, dan Kombeng. Namun
untuk di daerah perkotaannya, suku asli ini masih banyak terdapat di Kecamatan
Sangatta Selatan (Sangatta Lama).
Bahasa yang digunakan oleh masyarakat dalam komunikasi antar suku
menggunakan Bahasa Indonesia. Sedangkan bahasa komunikasi yang digunakan
antar sesama suku menggunakan bahasa suku masing-masing, seperti Bahasa
Dayak, Kutai, Toraja, Timur (NTB dan NTT), Bugis, Banjar, dan Jawa.
Agama yang dianut oleh masyarakat Sangatta Utara antara lain Islam,
Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan lain-lain (Tabel 2.1). Masyarakat asli
Kalimantan Timur kaya akan kebudayaan, baik dalam bentuk seni musik, seni
suara, seni berpantun, seni tari, tradisi adat istiadat maupun kearifan tradisional.
Budaya pengobatan secara tradisional, tolak bala, hajatan, perkawinan, selamatan,
7 dan upacara adat kematian dari Suku Dayak sangat terkenal. Hasil kebudayaan
masyarakat Dayak dalam bentuk senjata tradisional antara lain Mandau-Manau,
Gayang, Keris-Buritkang, Sumpit-Potaat, Perisai-Keleubet, dan Tombak–
Belokang.
Tabel 2.1 Agama dan sarana peribadatan di Kecamatan Sangatta Utara tahun
2008
No
1
2
3
4
5
6
Agama
Islam
Protestan
Katholik
Hindu
Budha
Lain-lain
Penganut (Orang)
44.126
7.812
1.739
111
53
9
Sarana Ibadat (Unit)
17
2
27
1
0
0
Sumber: Kantor Departemen Agama Kabupaten Kutai Timur dalam BPS (2009)
Kondisi pendidikan di Kecamatan Sangatta Utara cukup memadai yang
dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Kondisi pendidikan di Kecamatan Sangatta Utara tahun 2008
No
1
2
3
4
5
6
7
8
Tingkatan dan Status
Sekolah
Jumlah Sekolah
(Buah)
TK Negeri
TK Swasta
SD/MI Negeri
SD/MI Swasta
SMP/MTs Negeri
SMP/MTs Swasta
SMA/MA/SMK Negeri
SMA/MA/SMK Swasta
Jumlah
1
13
9
10
3
11
3
4
54
Jumlah
Murid
(Orang)
139
2.435
3.444
4.854
1.076
1.828
1.002
942
15.720
Jumlah
Guru
(Orang)
21
143
317
247
76
135
94
66
1.099
Sumber: Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Kutai Timur dalam BPS (2009)
Mata pencaharian penduduk di Sangatta Utara, Kabupaten Kutai Timur
beragam. Persentase penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha utama dan
jenis kelamin di Kabupaten Kutai Timur dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Persentase penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha utama
dan jenis kelamin di Kabupaten Kutai Timur tahun 2008
No
1
2
3
4
5
Lapangan Usaha Utama
Pertanian
Pertambangan dan penggalian
Industri
Listrik, air, dan gas
Konstruksi
Laki-laki
(%)
52,75
14,59
0,23
0,56
2,99
Perempuan
(%)
51,48
2,69
1,25
0,06
0,11
Laki-laki dan
Perempuan
(%)
52,46
11,86
0,47
0,45
2,33
8 Lanjutan Tabel 2.3
No
Lapangan Usaha Utama
6
7
8
9
10
Perdagangan
Transportasi dan komunikasi
Keuangan
Jasa
Lainnya
Jumlah
Laki-laki
(%)
Perempuan
(%)
5,43
0,84
1,54
13,84
7,21
100
12,73
0,06
2,21
21,72
7,70
100
Laki-laki dan
Perempuan
(%)
7,11
0,66
1,70
15,65
7,32
100
Sumber: Survei Sosial Ekonomi Nasional dalam BPS (2009)
2.3
Desa Swarga Bara
Desa Swarga Bara merupakan desa yang berbatasan langsung dengan
daerah operasi PT. KPC dan Taman Nasional Kutai (TNK) serta merupakan
daerah penyangga TNK, masuk ke dalam Kecamatan Sangatta Utara. Desa
Swarga Bara terdiri dari 6 dusun, yaitu Dusun Kabo Jaya, Bumi Etam, Senior,
Lembah Hijau, Panorama, dan Bukit Batu Bara.
Dusun yang berbatasan langsung dengan TNK dan sudah mengarah
kepada kegiatan pengembangan ekowisata dengan adanya Kelompok Ekowisata
Kabo Jaya, yaitu Dusun Kabo Jaya. Potensi ekowisata yang dimiliki di Dusun
Kabo Jaya, Desa Swarga Bara terdiri dari Prevab di TNK; agrowisata di Kampung
Jawa, dan Dusun Kabo Jaya menggambarkan kondisi multi etnik yang dapat
berpotensi sebagai wisata budaya.
Jumlah penduduk Desa Swarga Bara pada tahun 2009 menurut profil Desa
Swarga Bara, sebanyak 9.444 jiwa, terdiri dari 5.481 jiwa laki-laki dan 3.963 jiwa
perempuan dengan 1.830 KK. Agama, pendidikan, dan mata pencaharian
penduduk Desa Swarga Bara dapat dilihat pada Tabel 2.4 sampai Tabel 2.6.
Tabel 2.4 Agama yang dipeluk dan sarana agama yang ada di Desa Swarga
Bara
No
1
2
3
4
5
Agama
Islam
Kristen
Khatolik
Hindu
Budha
Sumber: Desa Swarga Bara (2009)
Penganut (Orang)
6.375
2.264
750
50
5
Sarana Ibadah (Unit)
10
7
1
9 Tabel 2.5 Tingkat pendidikan penduduk Desa Swarga Bara
No
1
2
3
4
5
6
7
Tingkat Pendidikan
Taman Kanak-kanak (TK)
Sekolah Dasar (SD)
SMP/SLTP
SMA/SLTA
D1 – D3
S1 – S3
Belum sekolah
Jumlah (Orang)
250
1.300
2.280
3.150
240
416
1.367
Sumber: Desa Swarga Bara (2009)
Tabel 2.6 Mata Pencaharian penduduk Desa Swarga Bara
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Mata Pencaharian
PNS
Karyawan swasta
Wiraswasta/pedagang
Tani
Pertukangan
Buruh tani
Pensiunan
Nelayan
Pemulung
Jumlah (Orang)
72
2.552
65
150
20
11
40
10
5
Sumber: Desa Swarga Bara (2009)
2.4
Desa Singa Gembara
Desa Singa Gembara berada di dalam daerah operasi PT. KPC, namun
untuk lokasi pemukiman masyarakat berada di luar daerah operasi PT. KPC. Di
Desa Singa Gembara memiliki potensi ekowisata Pantai Tanjung Bara dan Hutan
Mangrove Pantai Tanjung Bara yang lokasinya berada di dalam daerah operasi
PT. KPC, yaitu di Tanjung Bara, Dusun G VI, Desa Singa Gembara. Pemukiman
terdekat dengan hutan mangrove Pantai Tanjung Bara adalah Dusun G III, dusun
ini bukan merupakan daerah penyangga TNK namun secara akses memudahkan
masyarakat Dusun G III masuk ke dalam TNK sehingga termasuk ke dalam
kawasan penyangga.
Sama halnya dengan kondisi di Dusun Kabo Jaya, di Dusun G III pun
terdiri dari multi etnik dari berbagai wilayah di nusantara, seperti Suku Toraja,
Timur (NTB dan NTT), Bugis, Banjar, dan Jawa. Namun, di Dusun G III masih
terdapat suku asli Suku Kutai dan Suku Dayak. Di desa ini belum ada kegiatan
ekowisata yang digerakkan oleh masyarakat, seperti yang sudah berjalan di Dusun
Kabo Jaya. Di Dusun G III hanya baru ada aktivitas kegiatan ekowisata di Pantai
Tanjung Bara yang masih dikelola oleh PT. KPC karena lokasinya di dalam
10 daerah operasi PT. KPC, hal ini dengan pertimbangan untuk keselamatan
pengunjung.
Kondisi kependudukan di Desa Singa Gembara dapat dilihat pada Tabel
2.7 berikut ini.
Tabel 2.7 Kondisi penduduk Desa Singa Gembara
No
1
Jumlah Penduduk Berdasarkan
Jenis Kelamin
a. Laki-laki
b. Perempuan
Jumlah
2
Kepala Keluarga (KK)
3
Tingkat Pendidikan
Pendididan Umum
a. Taman Kanak-kanak (TK)
b. Sekolah Dasar (SD)
c. Sekolah Menengah Pertama (SMP)
d. Sekolah Menengah Atas (SMA)
e. Akademi/D1 – D3
f. Sarjana (S1 – S3)
Pendidikan Khusus
a. Pondok Pesantren
b. Madrasah
c. Pendidikan Keagamaan
d. Sekolah Luar Biasa
e. Kursus/Keterampilan
Belum Sekolah
Jumlah
4
Mata Pencaharian
a. Pegawai Negeri Sipil (PNS)
b. ABRI
c. Swasta
d. Wiraswasta/Pedagang
e. Tani
f. Pertukangan
g. Buruh Tani
h. Pensiunan
i. Nelayan
j. Pemulung
k. Jasa
l. Belum Bekerja (bukan usia kerja dan
usia kerja)
Jumlah
Sumber: Desa Singa Gembara (2009)
Jumlah (Orang)
9.876
7.083
16.959
4.000
894
2.040
3.036
4.011
345
234
115
84
35
10
1.644
4.511
16.959
234
15
3.028
947
628
435
76
5
32
11.559
16.959
3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di dusun kawasan penyangga TNK dan berbatasan
dengan PT. KPC serta yang memiliki potensi sumberdaya ekowisata untuk
kegiatan ekowisata, yaitu Dusun Kabo Jaya, Desa Swarga Bara dan Dusun G III,
Desa Singa Gembara (Gambar 3.1). Penelitian ini dilaksanakan selama 2 (dua)
bulan, yaitu Bulan Januari sampai Februari 2010.
KPC
Pantai dan Hutan
Mangrove
Tanjung Bara
Dusun
Kabo Jaya
Dusun G III
Mentoko
TNK
Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian
Sumber: Kabupaten Kutai Timur (2009)
Penelitian ini dirancang sebagai penelitian survei yang bersifat menggali
permasalahan dan fenomena sosial yang ada. Arah penelitian adalah menemukan
fakta atas dasar fenomena faktual tentang modal sosial masyarakat yang
merupakan unsur modal sosial yang akan dinilai sebagai pendukung
pengembangan ekowisata.
Peralatan yang digunakan adalah panduan wawancara semi terstruktur,
perekam audio, alat tulis, dan kamera digital. Obyek kajian adalah masyarakat
dusun di kawasan penyangga TNK dan yang berbatasan langsung dengan PT.
KPC serta memiiliki potensi sumberdaya untuk kegiatan ekowisata, yaitu Dusun
Kabo Jaya, Desa Swarga Bara dan Dusun G III, Desa Singa Gembara.
Responden lain yang diwawancarai adalah informan kunci yang sarat
informasi sesuai dengan fokus penelitian. Informan kunci tersebut antara lain:
1. Kepala Desa.
2. Tokoh masyarakat yaitu tetua kampung atau tokoh adat.
3. Pihak PT. KPC.
4. Pihak Taman Nasional Kutai (TNK).
5. Pemerintah setempat (Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata dan Badan
Pemberdayaan Masyarakat Desa).
3.3
Jenis Data
Data merupakan sekumpulan informasi tentang sesuatu hal yang disusun
secara sistematis sesuai dengan tujuan tertentu. Jenis data yang dikumpulkan
dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Jenis data yang
diperlukan adalah (Tabel 3.1):
Tabel 3.1 Jenis data yang diambil
No
Data
Unsur Modal Sosial
1
Kepercayaan (trust)
a. Terhadap PT. KPC
b. Terhadap tokoh masyarakat/tokoh
adat
c. Terhadap norma-norma adat
d. Terhadap sesama
e. Terhadap penyelenggaraan
upacara adat
f. Terhadap pihak luar/LSM
g. Terhadap pemerintah daerah
Sumber Data
Teknik
Kepala Desa,
Tokoh adat/Tokoh
masyarakat,
Masyarakat
setempat
In depth interview,
Observasi lapang,
Observasi
partisipasi
a. Ikatan kerjasama dengan
pemerintah daerah
b. Ikatan kerjasama dengan PT.
KPC
c. Ikatan kelembagaan
d. Jaringan kerjasama antar sesama
e. Keterbukaan dalam jaringan
sosial dengan siapapun
f. Motivasi untuk melakukan
jaringan sosial
g. Keaktifan dalam menyelesaikan
konflik
h. Keaktifan dalam memelihara dan
mengembangkan jaringan sosial
3
Norma-norma sosial (social norms)
a. Keberadaan norma sosial
b. Ketaatan terhadap norma
kesusilaan
c. Ketaatan terhadap norma
kesopanan
d. Ketaatan terhadap norma agama
e. Ketaatan terhadap norma adat
f. Ketaatan terhadap aturan
pemerintah
4
Tindakan yang proaktif
a. Membagi pengalaman terhadap
sesama
b. Frekuensi mengikuti kegiatan
organisasi sosial
c. Jumlah organisasi sosial yang
diikuti
d. Partisipasi dalam pengambilan
keputusan pada organisasi sosial
5
Kepedulian terhadap sesama dan
lingkungan
a. Tingkat kepedulian terhadap
sesama
b. Tingkat kepedulian terhadap
lingkungan
c. Kedekatan dengan orang yang
diberi perhatian
d. Motivasi untuk memperhatikan
dan membantu orang lain
e. Motivasi untuk menjaga dan
melestarikan lingkungan
Kondisi Umum Lokasi
1
Kawasan PT. KPC, Desa Swarga
Bara, dan Desa Singa Gembara
Tokoh adat/Tokoh
masyarakat,
Masyarakat
setempat
Observasi lapang,
Observasi
partisipasi
Kepala Desa,
Tokoh adat/Tokoh
masyarakat
Masyarakat
setempat,
In depth interview
Observasi lapang,
Observasi
partisipasi
Kepala Desa,
Tokoh adat/Tokoh
masyarakat
Masyarakat
setempat,
In depth interview
Observasi lapang,
Observasi
partisipasi
Kepala Desa,
Tokoh adat/Tokoh
masyarakat,
Masyarakat
setempat,
In depth interview,
Observasi lapang,
Observasi
partisipasi
PT. KPC,
Desa Swarga Bara,
Studi pustaka
1
2
Sosial:
a. Kependudukan
- Lamanya tinggal
- Banyaknya rumah tangga
- Kondisi penduduk
b. Aksesibilitas
- Kondisi aksesibilitas
- Fasilitas akses (kantor pos,
internet, telepon, dan angkutan
umum)
c. Jaminan keamanan
d. Pendidikan
- Kondisi sarana pendidikan
- Tingkatan pendidikan
- Keterbelakangan/buta huruf
e.Kesehatan
- Kondisi sarana kesehatan
- Program kesehatan (untuk
kesejahteraan)
Ekonomi:
a.Ketersediaan lapangan kerja
b. Kondisi perumahan
Kondisi Ekowisata
1
Kebijakan pengembangan ekowisata
TNK, PT. KPC, dan Pemerintah
Daerah Kutai Timur
2
Dukungan pengembangan ekowisata
Dari kepala desa, tokoh adat/tokoh
masyarakat, masyarakat, dan LSM
3.4
Metode Pengumpulan Data
Kepala Desa,
Tokoh Adat/Tokoh
Masyarakat,
Masyarakat
setempat
BPS (Badan Pusat
Statistik), BPMD
(Badan
Pemberdayaan
Masyarakat Desa),
Dinas terkait
In depth interview,
Observasi lapang,
Studi pustaka
Tokoh Adat/Tokoh
Masyarakat,
Masyarakat
setempat,
BPMD
BPS (Badan Pusat
Statistik)
In depth interview,
Observasi lapang,
Studi pustaka
TNK
PT. KPC
Dinas Pemuda
Olahraga dan
Pariwisata
Kepala Desa,
Tokoh adar/tokoh
masyarakat,
Masyarakat,
LSM
In depth interview,
Studi pustaka
In depth interview
Pengumpulan data primer diperoleh langsung dari responden melalui
observasi partisipasi yaitu pengamatan dengan melibatkan diri di dalam kegiatankegiatan masyarakat yang diteliti dan tinggal selama beberapa waktu di lokasi
penelitian.
Selain observasi dilakukan pula wawancara mendalam (indepth
interview) dengan menggunakan panduan pertanyaan semi terstruktur dan daftar
dimodifikasi sesuai dengan fokus penelitian.
Metode
pengumpulan
data
melalui
wawancara
mendalam
mensyaratkan jumlah minimal responden yang harus diwawancarai.
tidak
Hal ini
disebabkan karena melalui metode ini kedalaman data dapat diperoleh (Denzin
dan Lincoln 1997). Pemilihan lokasi penelitian, yaitu dusun yang berbatasan
langsung dengan TNK dan PT. KPC sebagai kawasan penyangga TNK serta
memiliki potensi sumberdaya ekowisata. Sedangkan jumlah responden yang
diambil adalah 200 orang yaitu 100 orang pada setiap dusunnya dengan
keterwakilan setiap suku (Suku Toraja, Timur/NTB dan NTT, Bugis, Banjar,
Jawa, Kutai, dan Dayak). Pengumpulan data sekunder diperoleh melalui studi
pustaka yaitu laporan yang berkaitan dengan topik penelitian baik yang berasal
dari PT. KPC, pemerintah setempat, dan lembaga kemasyarakatan maupun
sumber lainnya yang berhubungan dengan topik penelitian.
3.5
Analisis Data
a. Analisis Unsur Modal Sosial
Data yang diperoleh dinilai berdasarkan nilai dalam Social Capital
Assessment Tool (SCAT) (Krishna dan Shrader 1999) yang dimodifikasi sesuai
dengan kebutuhan penelitian dengan kisaran nilai tiap unsur modal sosial (Tabel
3.2).
Tabel 3.2 Selang nilai terendah – tertinggi setiap unsur modal sosial
No
1
2
3
4
5
6
Unsur Modal Sosial
Kepercayaan
Jaringan sosial
Norma sosial
Tindakan pro aktif
Kepedulian terhadap sesama dan lingkungan
Karakteristik masyarakat
Total
Selang Nilai
Terendah –
Tertinggi
(7 – 21)
(8 – 16)
(6 – 17)
(4 – 12)
(5 – 15)
(37 – 124)
(67 – 205)
Modal sosial yang dimiliki komunitas masyarakat akan dikategorikan
rendah, dengan selang nilai berdasarkan perhitungan rataan quartil statistik:
Selang Nilai = X max – X min = 205 – 67 = 46
N
3
Dimana: X max
: Nilai maksimum (205: hasil penjumlahan nilai max)
X min
: Nilai minimum (67: hasil penjumlahan nilai min)
N
: Jumlah kategori tingkatan (3: rendah, sedang, dan tinggi)
sehingga skala penilaian yang didapatkan sebagai berikut:
a. Modal sosial dalam kegiatan ekowisata tinggi, jika jumlah skor mencapai
160 – 205 (dalam arti ekowisata dapat dengan mudah dikembangkan
dilihat dari modal sosial yang dimiliki)
b. Modal sosial dalam kegiatan ekowisata sedang, jika jumlah skor mencapai
114 – 159 (dalam arti ekowisata dapat dikembangkan dilihat dari modal
sosial yang dimiliki tetapi tidak semudah pada point a dengan kriteria
modal sosial tinggi)
c. Modal sosial dalam kegiatan ekowisata rendah, jika jumlah skor mencapai
67 – 113 (dalam arti ekowisata sulit untuk dikembangkan dilihat dari
modal sosial yang dimiliki)
b. Analisis Hubungan Pengaruh Unsur-unsur Modal Sosial terhadap Modal
Sosial
Untuk menganalisis hubungan pengaruh antar unsur-unsur modal sosial
digunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA) dengan program software SPSS
18 dan LISREL 8.30 dengan modal sosial (Y) sebagai variabel laten dan unsurunsur modal sosial (X1), (X2), (X3), (X4), dan (X5) sebagai variabel teramati
(Tabel 3.3). Jika T-Value ≥ T-Tabel (1,96), maka variabel unsur modal sosial
berpengaruh nyata. Nilai estimasi koefisien pengaruh ( ) menggambarkan
semakin besar nilainya maka kontribusi pengaruhnya sangat kuat (Wijayanto
2007).
Menurut Singarimbun dan Effendi (1989), defenisi operasional adalah
suatu informasi yang ilmiah yang amat membantu peneliti.
Dari informasi
tersebut peneliti akan dapat mengetahui bagaimana cara mengukur variabel yang
dipakai.
oleh masyarakat yang dapat memperkuat jaringan sosial/kerja yang positif,
terjalinnya kerjasama yang saling menguntungkan, menumbuhkan kepedulian dan
solidaritas yang tinggi dan dapat mendorong tingkat kepercayaan antara sesama
dalam rangka tercapainya tujuan bersama dengan sejumlah parameter seperti yang
terlihat dalam Tabel 3.3.
Tabel 3.3 Peubah, indikator dan parameter penelitian
Variabel
Laten
Modal
Sosial
(y)
Parameter
(Xi)
Indikator (Xii)
1.
Kepercayaan
(trust) (X1)
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Terhadap PT. KPC (X11)
Terhadap tokoh masyarakat atau tokoh adat (X12)
Terhadap norma-norma adat (X13)
Terhadap sesama (X14)
Terhadap penyelenggaraan upacara adat (X15)
Terhadap pihak luar (X16)
Terhadap pemerintah daerah (X17)
2. Partisipasi
dalam suatu
jaringan (X2)
a.
b.
c.
d.
e.
3. Norma
sosial (X3)
a.
b.
c.
d.
e.
f.
4. Tindakan
yang proaktif
(X4)
a.
b.
c.
d.
Membagi pengalaman terhadap sesama (X41)
Frekuensi mengikuti kegiatan organisasi sosial (X42)
Jumlah organisasi sosial yang diikuti (X43)
Partisipasi dalam pengambilan keputusan pada
organisasi sosial (X44)
5. Kepedulian
terhadap
sesama dan
lingkungan
(X5)
a.
b.
c.
d.
Tingkat kepedulian terhadap sesama (X51)
Tingkat kepedulian terhadap lingkungan (X52)
Kedekatan dengan orang yang diberi perhatian (X53)
Motivasi untuk memperhatikan dan membantu orang
lain (X54)
Motivasi untuk menjaga dan melestarikan lingkungan
Kerjasama dengan pemerintah (X21)
Kerjsama dengan PT. KPC (X22)
Ikatan kelembagaan (X23)
Jaringan kerjasama antar sesama (X24)
Keterbukaan dalam jaringan sosial dengan siapapun
(X25)
f. Motivasi untuk melakukan jaingan sosial (X26)
g. Keaktifan dalam menyelesaikan konflik (X27)
h. Keaktifan dalam memelihara dan mengembangkan
jaringan sosial (X28)
e.
Keberadaan norma sosial (X31)
Ketaatan terhadap norma agama (X32)
Ketaatan terhadap norma kesusilaan (X33)
Ketaatan terhadap norma kesopanan (X34)
Ketaatan terhadap norma adat (X35)
Ketaatan terhadap aturan pemerintah (X36)
Analisis kebijakan pengembangan ekowisata dari TNK, PT. KPC, dan
Pemerintah Daerah Kutai Timur serta dukungan pengembangan ekowisata dari
kepala desa, tokoh adat/tokoh masyarakat, masyarakat, dan LSM dianalisis
menggunakan analisis deskriptif untuk disintesiskan dengan modal sosial dalam
pengembangan ekowisata.
3.6
Sintesis Data
Sintesis data dengan cara melihat kondisi modal sosial masyarakat di
Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III disintesiskan dengan kebijakan pengembangan
ekowisata dari TNK, PT. KPC, dan Pemerintah Daerah Kutai Timur serta
dukungan pengembangan ekowisata dari kepala desa, tokoh adat/tokoh
masyarakat, masyarakat Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III, serta LSM yang
sudah terlibat dalam pengembangan ekowisata untuk mendapatkan arah kebijakan
pengembangan ekowisata di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III.
4.1
Unsur Modal Sosial
Modal sosial adalah sumberdaya yang dapat dipandang sebagai investasi
untuk mendapatkan sumberdaya baru. Seperti diketahui bahwa sesuatu yang
disebut sumberdaya (resources) adalah sesuatu yang dapat dipergunakan untuk
dikonsumsi, disimpan, dan diinvestasikan. Sumberdaya yang digunakan untuk
investasi disebut sebagai modal. Dimensi modal sosial cukup luas yaitu modal
manusia (human capital), yaitu segala keahlian yang dimiliki oleh seorang
individu, sedangkan modal sosial lebih menekankan pada potensi kelompok dan
pola-pola hubungan antar individu dalam suatu kelompok dan antar kelompok
dengan ruang perhatian pada jaringan sosial, norma, nilai, dan kepercayaan antar
sesama yang lahir dari anggota kelompok dan menjadi norma kelompok
(Hasbullah 2006).
4.1.1
Kepercayaan (Trust)
Kepercayaan menurut pandangan Fukuyama (2002) dalam Hasbullah
(2006) adalah sikap saling mempercayai di masyarakat yang memungkinkan
masyarakat tersebut saling bersatu dengan yang lain dan memberikan kontribusi
pada peningkatan modal sosial. Berbagai tindakan kolektif yang didasari atas rasa
saling mempercayai yang tinggi akan meningkatkan partisipasi dalam berbagai
ragam bentuk dan dimensi terutama dalam konteks membangun kemajuan
bersama.
Masyarakat di kedua dusun pada umumnya percaya terhadap PT. KPC.
Hal ini disebabkan selama ini perusahaan banyak memberikan bantuan kepada
masyarakat dalam bidang pemberdayaan melalui program Corporate Social
Responsibility (CSR) (Tabel 4.1).
termasuk di dalamnya) yang telah dilaksanakan
No
Jenis CSR
Lokasi/Sasaran
I Pengembangan Agribisnis
1 Pendirian Balai Pelatihan dan Percontohan Usaha Sangatta
Tani Konservasi (BPPUTK)
2 Budidaya sapi di lahan reklamasi tambang
Lahan reklamasi tambang
(Dusun Kabo Jaya, Desa
Swarga Bara)
II Pendidikan dan Pelatihan
1 Peningkatan kapasitas guru
Pendidikan
a. Pelatihan Kurikulum Muatan Lokal Agribisnis Dinas
Kabupaten Kutai Timur
Kec. Sangatta Utara,
b. Pelatihan Kreatifitas dan Metode Pembelajaran Bengalon, Rantau Pulung,
Sengatta Selatan
untuk guru SD
2 Bantuan pendidikan melalui forum MSH-CSR
SMP Ma’Arif, Sangatta
Utara
III Peningkatan Kesehatan Masyarakat
1 Program pengendalian Tuberkolosis
Kec. Sangatta Utara,
Sangatta
Selatan,
dan
Bengalon
2 Penyuluhan kesehatan
Radio Gema Warna Prima
(GWP) Sangatta Utara
3 Bakti sosial dan pengobatan masal
Kec. Sangatta Utara,
Bengalon, dan Rantau
Pulung
4 Program Edukasi dan Rehabilitasi Gizi Dusun Kabo Jaya, Desa
(PERGIZI)
Swarga Bara dan Dusun
G
III,
Desa
Singa
Gembara, Kec. Sangatta
Utara; Desa Tanjung Labu,
Kec. Rantau Pulung; Desa
Sangatta Selatan, Kec.
Sangatta Selatan; Desa
Sekerat dan Desa Sepaso
Selatan Kec. Bengalon
IV Pengembangan Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah
1 Pewarnaan alami
Dusun Kabo Jaya, Desa
Swarga
Bara,
Kec.
Sangatta Utara
2 Pelatihan pembuatan kemasan
Kec. Sangatta Utara,
Sengatta Selatan, Bengalon,
dan Rantau Pulung
V Peningkatan Infrastruktur Masyarakat
1 Pembangunan sarana umum
Dusun Kabo Jaya, Desa
Swarga Bara dan Dusun
G
III,
Desa
Singa
Gembara, Kec. Sangatta
masyarakat Dusun Kabo Jaya kadang kadang mempercayai, sedangkan untuk
masyarakat Dusun G III tidak ada kepercayaan terhadap Pemda Kutai Timur. Hal
ini disebabkan karena program kegiatan dari pemda di masyarakat sangat sedikit
berbeda halnya dengan program kegiatan yang diberikan dari PT. KPC untuk
masyarakat di kedua dusun ini dan program tersebut tidak dikhususkan untuk
kedua dusun ini tetapi umum untuk Kabupaten Kutai Timur (Tabel 4.2). Kondisi
kepercayaan terhadap pemda perlu diperhatikan karena selepas pasca tambang
yang berperan adalah pemerintah daerah sehingga diharapkan PT. KPC dapat
menjembatani antara masyarakat dengan pemerintah daerah.
Tabel
No
1
2
3
4
4.2
Laporan pelaksanaan kegiatan belanja langsung Badan
Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Kutai Timur tahun
anggaran 2008
Kegiatan
Pelatihan
keterampilan/praktek
bagi anak terlantar
Lokasi
Kabupaten
kerja Kutai
Timur
(termasuk Desa
Swarga Bara
dan
Singa
Gembara)
Program
pemberdayaan Kecamatan
melalui
bantuan
biaya Sangatta Utara
pengembangan tanah kas (termasuk Desa
desa
Swarga Bara
dan
Singa
Gembara) dan
Sangatta Selatan
Program kemiskinan melalui Seluruh
bantuan keuangan perbaikan Kecamatan
perumahan penduduk miskin Kabupaten
dan perbaikan sarana umum Kutai
Timur
pedesaan lainnya
(termasuk Desa
Swarga Bara
dan
Singa
Gembara)
Bulan Bhakti Gotong Royong Kecamatan
Masyarakat Tingkat Provinsi Sangatta Utara
Kaltim Tahun 2008
(termasuk Desa
Swarga Bara
dan
Singa
Gembara)
Pelaksana
Kegiatan
Sumber
Dana
Drs.
Simon APBD II
Salombe
Husrani, S.Hut.
APBD II
Ernawaty, SE. APBD II
MSi.
Rudi Bawan, APBD II
S.Sos, MSi.
Kegiatan
6
7
8
Swarga Bara
dan
Singa
Gembara)
Pelatihan SDM Lembaga Sangatta,
luar
Adat
daerah Provinsi
Kalimantan
Timur (termasuk
Desa Swarga
Bara dan Singa
Gembara)
Gelar TTG tingkat kabupaten Sangatta
dan
dan tingkat nasional
Semarang
(termasuk Desa
Swarga Bara
dan
Singa
Gembara)
Pemberian
stimulant Sangatta
peralatan TTG
(termasuk Desa
Swarga Bara
dan
Singa
Gembara)
Dana
Drs. Abdullah APBD II
Djagat
Sitti
Syarifa, APBD II
S.Sos.
Subandi, S.Sos.
APBD II
Sumber: Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Kutai Timur (2009)
Kepercayaan masyarakat terhadap tokoh adat dan norma adat bersifat
kadang-kadang karena peranan dari tokoh adat sudah mulai tergeserkan oleh
peranan pemerintahan desa. Harmonisasi yang terdapat dalam kehidupan
masyarakatnya yang multi-etnik mengurangi peran tokoh adat. Tokoh adat diberi
kepercayaan dalam menyelsesaikan konflik antar suku, kondisi sekarang konflik
tersebut sangat jarang terjadi hanya perselisihan biasa antar warga yang terjadi.
Apabila terjadi perselisihan antar warga diselesaikan ke kantor desa, sehingga
yang banyak berperan dalam penyelesaian konflik warga adalah Pemerintah Desa.
Namun untuk hal-hal tertentu seperti masalah pengetahuan mengenai adat istiadat
warga mempercayai terhadap tokoh masyarakat atau tokoh adatnya masingmasing. Hal ini dibuktikan ketika melakukan wawancara kepada setiap warga
suku baik di Dusun Kabo Jaya maupun Dusun G III, semua responden
menganggap yang mengetahui segala hal tentang adat istiadat suku adalah tokoh
adatnya.
Kepercayaan terhadap norma adat dan penyelengaraan upacara adat
perantauan ini. Hanya yang menonjol adanya norma adat dan upacara adat, yaitu
pada Suku Toraja terutama di Dusun Kabo Jaya. Upacara adat yang masih
dilaksanakan adalah mengenai upacara kematian dan pernikahan (Lampiran 11.1. Suku Toraja).
Kepercayaan antar sesama warga baik di Dusun Kabo Jaya maupun Dusun
G III bersifat kadang-kadang, karena masih ada tindakan kejahatan (Tabel 4.3 dan
Tabel 4.4) di lingkungannya walaupun dengan tingkat yang rendah menurut
masyarakat, sehingga masyarakat tetap waspada terhadap sesama warganya.
Tabel 4.3 Data kriminal dari Polisi Kampung di Kabupaten Kutai Timur
No
Tahun
1
2
3
4
5
2004
2005
2006
2007
2008
Pencurian
Jumlah Peristiwa Kriminal
Perampokan
Pembunuhan
87
3
33
4
103
3
74
9
74
9
5
2
4
4
Sumber: Kantor Poresta Kabupaten Kutai Timur dalam Bappeda Kabupaten Kutai Timur dan BPS
Provinsi Kalimantan Timur (2009)
Tabel 4.4 Peristiwa kejahatan dan pelanggaran di Kabupaten Kutai Timur
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Jenis
Kejahatan/Pelanggaran
Pembakaran
Kebakaran
Memalsukan
materai/surat/merek
Perzinahan
Perjudian
Penculikan
Pembunuhan
Penganiayaan berat
Penganiayaan ringan
Pemcurian
dengan
pemberatan
Pencurian ringan
Pencurian dengan kekerasan
Pemerasan
Penggelapan
Penipuan
Merusak
Penadahan
Pemerkosaan
7
-
1
2
4
Tahun
2006
3
10
4
2
4
1
23
21
25
5
5
19
2
22
62
3
2
15
3
3
-
11
4
2
13
12
2
-
2004
2005
2007
2008
1
11
4
10
4
2
8
2
3
28
2
3
3
4
4
34
14
6
4
13
18
59
101
3
3
15
14
8
5
7
60
9
7
19
12
5
2
9
15
9
5
16
7
6
2
2
Sumber: Kantor Poresta Kabupaten Kutai Timur dalam Bappeda Kabupaten Kutai Timur dan BPS
bersifat kadang kadang, hasil wawancara menyatakan bahwa apabila ada
kedekatan dengan Kepala Desa peluang kerja di perusahaan akan lebih besar.
Hasil penelitian Darwono (1995), juga menyatakan sebagian besar warga
masyarakat Sangatta beranggapan semakin dekat dengan pihak perusahaan,
peluang kerja akan semakin besar, namun sebenarnya hal tersebut tidak demikian.
Kepercayaan antara individu sesama suku lebih tinggi dibandingkan dengan
kepercayaan individu antara suku, seperti contoh kasus yang diamati di lapangan,
ibu akan menitipkan anaknya lebih percaya kepada ibu sesama sukunya
dibandingkan dengan ibu yang berbeda suku.
Menurut Hasbullah (2006),
kepercayaan seperti ini akan mengarah terhadap pembentukan modal sosial terikat
(bonding sosial capital) yang cendrung ke arah ekslusif dalam sesama sukunya
(homogenitas). Hal ini disebabkan karena terfokus pada upaya menjaga nilai-nilai
yang turun menurun telah diakui dan dijalankan sebagai bagian dari tata perilaku
(code of conduct) dan perilaku moral (code of ethics) dari suku tersebut. Tetapi
hasil dari pengamatan di lapangan, walaupun kepercayaan individu dalam sesama
suku lebih tinggi setiap suku yang ada di kedua dusun ini mau menerima suku lain
dan
berakulturasi
dengan
budaya
lain
untuk
memperkaya
wawasan,
pengembangan kesempatan, dan saling membagi pengalaman.
Kepercayaan warga Dusun Kabo Jaya terhadap pihak luar, misalnya
pengunjung yang datang ke daerahnya masyarakat cukup percaya karena warga
mau terbuka dan menerima. Kedatangan pengunjung akan menjadikan Dusun
Kabo Jaya dikenal masyarakat lebuh luas. Warga yakin pengunjung yang datang
tidak akan membuat kerusuhan di kampungnya.
Kepercayaan masyarakat Dusun G III terhadap pihak luar, seperti
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tidak percaya karena banyaknya program
yang dijanjikan oleh LSM yang tidak terlaksana dan LSM bagi masyarakat Dusun
G III bukan untuk kemaslahatan dari apa yang diperjuangkan tetapi untuk sekedar
mengiklankan diri dan aktifitas guna memuaskan sponsor dana untuk kepentingan
mencapai posisi tawar yang lebih tinggi. Hal ini diperkuat pendapat Hasbullah
kepercayaan terhadap suatu lembaga kemasyarakatan yang terbentuk di
masyarakat akan kehilangan orientasi dan jati diri. Berbeda halnya dengan
masyarakat di Dusun Kabo Jaya yang masih memiliki kepercayan terhadap LSM,
terbukti
dengan
adanya
program-program
pendampingan
pengembangan
Ekowisata Kabo Jaya oleh CIFOR, PILI, dan BIKAL.
4.1.2
Jaringan Sosial (Social Networking)
Jaringan sosial menurut Calchoun et al. (1994) merupakan sebuah
hubungan sosial yang terpola atau disebut juga sebagai pengorganisasian sosial.
Rogers dan Kincaid (1980) juga menyatakan jaringan sosial juga menggambarkan
jaring-jaring hubungan antara sekumpulan orang yang saling terkait baik langsung
maupun tidak langsung. Jaringan sosial terbangun dari komunikasi antar individu
yang memfokuskan pada pertukaraan informasi sebagai sebuah proses untuk
mencapai tindakan bersama, kesepakatan bersama, dan perhatian bersama.
Modal sosial tidak dibangun hanya oleh satu individu, melainkan akan
terletak pada kecenderungan yang tumbuh dalam satu kelompok untuk
bersosialisasi sebagai bagian penting dari nilai-nilai yang melekat. Modal sosial
akan kuat tergantung pada kapasitas yang ada dalam kelompok masyarakat untuk
membangun sejumlah asosiasi berikut membangun jaringannya. Salah satu kunci
keberhasilan membangun modal sosial terletak pada kemampuan sekelompok
orang dalam suatu asosiasi atau perkumpulan dalam melibatkan diri dalam suatu
jaringan hubungan sosial.
Jaringan sosial masyarakat terjadi interaksi antara individu dalam satu
kelompok, individu beda kelompok, individu dengan kelompok, dan antar
kelompok. Gambaran jaringan sosial yang mengarah kepada pengembangan
ekowisata ada di Dusun Kabo Jaya sudah dapat tergambarkan, sedangkan di
Dusun G III belum adanya jaringan sosial yang mengarah kepada pengembangan
ekowisata, hanya ada jaringan sosial umum (Gambar 4.1).
26 Perusahaan Swasta
Lembaga Adat
Pemerintah Daerah
Individu – individu
Suku Timur
Individu – individu
Suku Toraja
Individu – individu
Suku Timur
Individu – individu
Suku Toraja
Individu – individu
Suku Dayak
Individu – individu
Suku Banjar
Lembaga
Adat
Individu – individu
Suku Banjar
Pemerintah Desa
Lembaga
Adat
Pemerintah Desa
Individu – individu
Suku Jawa
Individu – individu
Suku Bugis
Individu – individu
Suku Jawa
Individu – individu
Suku Bugis
Individu – individu
Suku Kutai
Komunitas Dusun G III
Komunitas Dusun kabo jaya
Pendatang:
1. Tamu
2. Pengunjung
3. Pedagang
Lembaga Swadaya
Masyarakat
Gambar 4.1 Jaringan sosial umum Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III
27 Ikatan kerjasama masyarakat Dusun Kabo Jaya maupun Dusun G III
dengan pemerintah bernilai rendah, sedangkan kerjasama antara masyarakat
dengan pihak swasta (PT. KPC) terutama dalam kegiatan pemberdayaan
masyarakat tinggi. Khusus Dusun Kabo Jaya ada kerjasama antara PT. KPC dan
Mitra Kutai dengan CIFOR, PILI, dan BIKAL dalam pengembangan Ekowisata
Kabo Jaya yang dikelola oleh masyarakat setempat dengan TNK. Ikatan
kerjasama ini menciptakan terjadinya beberapa bentuk interaksi yaitu antar
individu dalam satu kelompok, antar individu beda kelompok, antar individu
dengan kelompok, dan antar kelompok.
Interaksi antar individu dalam kelompok Ekowisata Kabo Jaya (Gambar
4.2). Masing-masing anggota kelompok memiliki fungsi dan peranan dalam
kelompok tersebut, sehingga terjadi interaksi antar individu tanpa adanya
persaingan karena masing-masing mempunyai fungsi, peranan, dan tujuan yang
akan dicapai untuk kepentingan bersama. Menurut Jones (2005), interaksi yang
terjalin antar individu dalam satu kelompok yang memiliki status dan peran yang
berbeda umumnya bersifat primer positif yang mengarah pada kerjasama.
Sedangkan interaksi antar individu yang memiliki status dan peranan yang sama
cenderung bersifat sekunder negatif yang mengarah persaingan. Sifat interaksi
yang positif, baik primer maupun sekunder sebenarnya bisa menjadi modal dasar
untuk membangun jaringan sosial yang dapat mendukung keberhasilan
pengembangan ekowisata. Sedangkan interaksi yang negatif, baik primer maupun
sekunder, akan menghambat terbangunnya jaringan sosial. Jaringan sosial sangat
diperlukan untuk keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan ekowisata di
suatu kawasan.
Anggota Ekowisata
Kabo Jaya A
Anggota Ekowisata
Kabo Jaya B
Anggota Ekowisata
Kabo Jaya C
Anggota Ekowisata
Kabo Jaya D
Kelompok Ekowisata Kabo Jaya
Gambar 4.2 Interaksi antar individu dalam satu kelompok
28 Interaksi antar individu beda kelompok, terjadi antara individu Kelompok
Minat (Poknat) fasilitas kelompok Ekowisata Kabo Jaya dengan individu yang
mempunyai ketingting dalam kelompok penyewa ketingting (Gambar 4.3).
Interaksi antar individu yang berbeda kelompok akan mendukung terjadinya
jaringan sosial bersifat interaksi sekunder (tidak langsung) atau bahkan bersifat
negatif yang mengarah kepada persaingan dan perpecahan. Hal ini akan
menyebabkan lemahnya jaringan sosial. Sebaiknya untuk memperkuat jaringan
sosial, kelompok ketingting ini direkrut menjadi bagian dari kelompok Ekowisata
Kabo Jaya, sehingga tidak akan ada kecurigaan mengenai hal besarnya
pembayaran dan apabila diperlukan segera ketingting untuk mengantarkan
pengunjung ke Prevab akan segera terlayani.
Anggota Poknat Sarana
dari Kelompok
Ekowisata Kabo Jaya
Anggota dari
Kelompok Penyewa
Ketingting
Gambar 4.3 Interaksi antar individu beda kelompok
Interaksi antar individu dengan kelompok adalah interaksi yang terjadi
antara ketua dengan para anggotanya (Soekanto 2009). Interaksi individu dengan
kelompok (Gambar 4.4), terjadi antara Koordinator Ekowisata Kabo Jaya dengan
Kelompok Minat (fasilitas, wisata alam, wisata agro, dan seni, budaya serta
kuliner).
Poknat Fasilitas
Koordinator
Ekowisata Kabo Jaya
Poknat Wisata
Alam
Poknat Wisata Agro
Poknat Seni, Budaya, dan
Kuliner
Gambar 4.4 Interaksi antar individu dengan kelompok
29 Kelompok mempunyai pengertian sebagai suatu kumpulan dari orangorang yang mempunyai hubungan dan berinteraksi, yang pada akhirnya dapat
mengakibatkan tumbuhnya perasaan bersama (Abdulsyani 2002). Interakasi antar
kelompok yang terjadi, yaitu antara kelompok Ekowisata Kabo Jaya, PT. KPC,
TNK, Mitra Kutai, CIFOR, PILI, BIKAL, dan Kelompok penyewa ketingting
(Gambar 4.5).
PT. KPC dan
Mitra Kutai
PILI
TNK
Ekowisata Kabo Jaya
Penyewa Ketingting
BIKAL
CIFOR
Gambar 4.5 Interaksi antar kelompok
Menurut Stone dan Hughes (2002), ukuran jaringan sosial dilihat dari
ikatan
kelembagaan
memiliki
karakteristik
adanya
kepercayaan
dalam
kelembagaan yang ada, misalnya pada ikatan dalam sistem kelembagaan dan
hubungan kekuasaan. Ikatan kelembagaan di kedua dusun tidak ada karena
kelembagaan dianggap kurang penting dan masyarakat tidak memiliki waktu
banyak
untuk
aktif
dalam
kegiatan
kelembagaan,
masyarakat
banyak
menggunakan waktu untuk bekerja sebagai karyawan PT. KPC dan perusahaan
kontraktornya.
Dari tinjauan sosial budaya, dalam masyarakat yang seperti ini akan terjadi
interaksi di antara mereka yang memiliki budaya yang berbeda. Interaksi itu dapat
berupa suatu kerjasama, pembauran, atau perselisihan. Suatu konflik sosial dapat
saja sewaktu-waktu terjadi. Konflik sosial ini diawali oleh tumbuhnya rasa curiga
bahwa kelompoknya diperlakukan secara tidak adil dalam kehidupannya, yang
antara lain adalah dalam memperoleh kesempatan kerja maupun partisipasi dalam
berbagai kegiatan bersama. Seperti yang dirasakan masyarakat di Kampung
30 Timur, Dusun Kabo Jaya mereka merasa tersisihkan dalam berbagai kegiatan
bersama dalam lingkungannya. Menurut beberapa masyarakat Kampung Timur
ini, dalam kegiatan bersama banyak dilibatkan adalah warga dari Kampung Bugis
karena menurut mereka kedekatan Kepala Dusun Kabo Jaya ke warga Kampung
Bugis, seperti dalam kegiatan kepanitian acara 17 Agustus panitian yang banyak
dilibatkan dari warga Kampung Bugis dan biasanya mereka pilih pertandingan
olahraga yang banyak dikuasai warga Kampung Bugis, seperti sepak takraw.
Dalam kehidupan sehari-hari pun terjadi gesekan yaitu antara warga Kampung
Bugis dengan Kampung Timur, sedangkan dengan warga kampung lainnya sangat
jarang terjadi perselisihan. Hal ini disebabkan karena kedua kampung ini sangat
berdekatan dan pada dasarnya masing-masing watak sangat keras. Beberapa
contoh kasus yang ditemukan selama penelitian, dalam satu lapangan sepak bola
ada 2 kelompok yang bermain sepak bola, yaitu warga Kampung Bugis dan
Kampung Timur, jadi lapang sepak bola itu dibagi menjadi 2 bagian. Mereka
tidak mau bermain bersama, yang terkena imbas dengan kondisi ini yaitu anakanak kecil dari kedua kampung ini juga bermain dengan masing-masing
kampungnya, padahal mereka sangat berdekatan kampungnya. Hal ini jelas
kurang mendukung tumbuhnya rasa persatuan dalam lingkungan. Kelompok yang
lemah merasa curiga bahwa mereka diperlakukan tidak adil, sedangkan kelompok
yang kuat kadang-kadang suka membanggakan diri. Rasa curiga dan rasa tidak
senang ini berpotensi terjadinya perpecahan (disintergrasi) dalam masyarakat.
Gambar 4.6 Potret anak-anak Kampung Bugis sedang bermain
Upaya yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah ini, yaitu tetua dari
masing-masing suku dipertemukan untuk membahas masalah tersebut yang sudah
31 berlangsung lama. Sehingga anak-anak tidak dipersalahkan dengan kondisi
tersebut karena anak-anak hanya mengikuti kondisi yang sudah ada dari orang
tuanya.
Kerelaan dalam membangun jaringan kerjasama antar sesama di Dusun
Kabo Jaya pada umumnya warga rela membangun jaringan antar sesama dalam
berbagai kegiatan seperti bergabung dengan Kelompok Ekowisata Kabo Jaya,
kegiatan Kelompok Tani, PKK, Posyandu, Karang Taruna, perkumpulan
keagamaan, dan olahraga. Berbeda dengan di Dusun G III, hal ini karena warga
Dusun G III mempunyai pandangan bahwa masyarakat di Dusun G III sebagai
besar karyawan perusahaan dengan sistem kerja 24 jam (sistem pembagian waktu
kerja siang dan malam) sehingga pada umumnya warga habis waktunya untuk
bekerja dan pada saat libur dipergunakan untuk beristirahat. Sedangkan menurut
Hasbullah (2006), kemampuan masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam
suatu pola hubungan yang sinergis akan sangat besar pengaruhnya dalam
menentukan kuat tidaknya modal sosial suatu kelompok masyarakat. Hubungan
sosial ini dilakukan diantaranya atas prinsip kesukarelaan.
Sistem komunikasi antara Pemerintah Desa, baik di Dusun Kabo Jaya dan
Dusun G III dengan masyarakat dari Rukun Tetangga (RT) kemudian
disampaikan kepada masyarakat. Dalam hal ini RT sebagai media perantara antara
Pemerintah Desa dengan masyarakat. Kegiatan perkumpulan di desa tidak rutin
dilakukan hanya menurut keperluan saja.
Proses sosialisasi antar warga di Dusun Kabo Jaya maupun di Dusun G III,
yaitu melalui kegiatan ibadah keagamaan masing-masing agama seperti pengajian
mingguan umat muslim bapak dan ibu-ibu maupun kebaktian bagi umat Kristiani,
arisan bulanan ibu-ibu per RT. Selain itu juga melalui berbagai kegiatan sosial
kemasyarakatan yang ada seperti Posyandu, PKK, kelompok olahraga, karang
taruna, dan di Dusun Kabo Jaya ada kelompok Ekowisata Kabo Jaya.
Keterbukaan dalam melakukan hubungan dengan pihak luar di Dusun
Kabo Jaya pada umumnya warga terbuka melakukan kerjasama dengan pihak luar
asalkan dapat membangun ke arah yang lebih baik. Beberapa kerjasama yang
dilakukan warga Dusun Kabo Jaya dengan pihak luar diantaranya dalam
32 pengembangan Ekowisata Kabo Jaya (PT. KPC, Mitra Kutai, PILI, CIFOR, dan
BIKAL), pelatihan-pelatihan (PT. KPC), bantuan Pembangunan Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa), bantuan
ternak untuk warga (PT. KPC), layanan pendidikan dan kesehatan (PT. KPC),
pembuatan fasilitas umum (PT. KPC). Sedangkan keterbukaan dalam melakukan
hubungan dengan pihak luar di Dusun G III lebih rendah dibandingkan dengan
Dusun Kabo Jaya karena warga tidak percaya khususnya kepada Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), tetapi Dusun G III masih tetap melakukan kerjasama
dengan pihak luar diantaranya, pelatihan pembibitan (PT. KPC), bantuan
Pembangunan Nasional Pemberdayaan Masyarakat (Badan Pemberdayaan
Masyarakat Desa), pelatihan-pelatihan keterampilan anggota PKK (Badan
Pemberdayaan Masyarakat Desa), layanan pendidikan dan kesehatan (PT. KPC),
serta pembuatan fasilitas umum (PT. KPC).
Keaktifan dalam memeliharaan dan mengembangkan jaringan sosial tidak
ada walaupun motivasi untuk menciptakan hubungan atau jaringan sosial/kerja
ada karena masyarakat berpendapat bahwa kerjasama harus dapat memberikan
manfaat dan kemajuan bagi masyarakat. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya
bantuan yang diberikan pihak PT. KPC untuk pemberdayaan masyarakat,
sehingga menyebabkan ketidakaktifan masyarakat dalam mencari peluang
kerjasama.
Jaringan kerjasama dengan sesama warga dan keaktifan dalam
penyelesaian konflik, pada masyarakat Dusun G III yang sebagian besar adalah
karyawan swasta, tidak ada karena sebagian besar waktu digunakan untuk bekerja.
Selain itu mereka berpendapat bahwa konflik di masyarakat jarang terjadi dan jika
terjadi merupakan tanggung jawab Ketua Rukun Tetangga (RT) atau Kepala Desa
untuk menyelesaikan.
4.1.3
Norma Sosial (Social Norms)
Norma sosial adalah norma yang mengatur masyarakat ada yang bersifat
formal maupun non formal. Norma formal bersumber dari lembaga masyarakat
yang formal atau resmi. Norma ini biasanya tertulis, misalnya konstitusi, surat
33 keputusan dan peraturan daerah. Norma non formal biasanya tidak tertulis dan
jumlahnya banyak dibandingkan norma yang formal, misalnya kaidah dan aturanaturan yang terdapat di masyarakat, seperti pantangan-pantangan, aturan di dalam
keluarga dan adat istiadat (Maryati dan Surjawati 2004).
Norma sosial masih tetap berlaku dalam kehidupan sehari-hari baik dalam
masyarakat Dusun Kabo Jaya maupun Dusun G III, seperti berpakaian sopan,
menjaga tidak melakukan perselingkuhan, tamu lebih dari 24 jam wajib lapor,
menghormati orang yang lebih tua, menghormati pendapat orang lain, norma
untuk hidup sehat, dan norma untuk tidak mencurangi orang lain. Begitu juga
dengan norma agama tetap mereka pegang. Masing-masing agama mempunyai
aturannya masing-masing tapi pada intinya mereka saling menghormati antar
agama yang ada. Norma adat kadang-kadang dipakai dalam kehidupan sehari-hari
karena mereka sudah berbaur dengan berbagai etnik dari berbagai daerah.
Menurut Hasbullah (2006), jika di dalam suatu komunitas, asosiasi, kelompok
atau group norma tersebut tumbuh, dipertahankan, dan kuat akan memperkuat
masyarakat dalam modal sosial. Ketaatan terhadap norma agama, kesusilaan, dan
kesopanan untuk masyarakat Dusun Kabo Jaya masih sangat dipertahankan dan di
Dusun G III bersifat kadang-kadang. Sehingga untuk Dusun Kabo Jaya, norma
sosial dapat dijadikan sebagai modal utama dalam pengembangan ekowisata ke
arah budaya dengan dukungan kondisi multi etnik di dusun ini masih terlihat.
Sedangkankan nilai ketaatan terhadap norma adat dan aturan pemerintah di
kedua dusun bersifat kadang-kadang. Aturan yang berlaku di dalam masyarakat
baik di Dusun Kabo Jaya maupun Dusun G III adalah aturan sesuai dengan
undang-undang yang berlaku dari pemerintah. Aturan adat yang dipakai sudah
tidak seketat adat aslinya, aturan yang dipakai aturan universal karena kebanyakan
adalah warga pendatang.
4.1.4 Tindakan yang Pro Aktif
Salah satu unsur penting modal sosial adalah keinginan yang kuat dari
anggota kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi senantiasa mencari jalan
bagi keterlibatan masyarakat dalam suatu kegiatan masyarakat. Menurut
34 Hasbullah (2006), masyarakat melibatkan diri dan mencari kesempatan yang
dapat memperkaya, tidak saja dari sisi material tapi juga kekayaan hubungan
sosial dan menguntungkan kelompok tanpa merugikan orang lain secara bersamasama. Tindakan yang pro aktif yaitu bahwa masyarakat cenderung tidak menyukai
bantuan-bantuan yang sifatnya dilayani, melainkan lebih memberi pilihan untuk
lebih banyak melayani secara proaktif.
Pada umumnya warga masyarakat di Dusun Kabo Jaya maupun di Dusun
G III cukup senang melakukan berbagi pengalaman, terutama dengan keluarga
intinya dan kemudian teman-temannya atas apa yang mereka alami dalam
pengalaman bekerja. Berbagi pengalaman ini akan membentuk komunikasi
dengan pihak lain, baik dalam keluarga maupun dengan lingkungan yang lebih
luas.
Sayangnya hal ini tidak diikuti oleh tindakan pro aktif yang lain, seperti
frekuensi mengikuti organisasi, jumlah organisasi yang diikuti, dan partisipasi
dalam pengambilan keputusan yang masih tergolong rendah. Frekuensi mengikuti
kegiatan organisasi sosial masyarakat Dusun Kabo Jaya sedang dibandingkan
dengan masyarakat Dusun G III yang rendah. Hal disebabkan oleh banyaknya
curahan waktu yang dipergunakan untuk bekerja, sehingga tidak dapat pro aktif
dalam
kegiatan
organisasi
kemasyarakatan.
Namun
demikian
frekuensi
keikutsertaan dalam kegiatan organisasi di Dusun Kabo Jaya bernilai sedang
karena masih berjalannya kegiatan-kegiatan organisasi kemasyarakatan. Contoh
kegiatan organisai masyarakat Dusun Kabo Jaya diantaranya kegiatan PKK
mengikuti pelatihan-pelatihan, Pos Yandu (penimbangan balita, imunisasi,
pengobatan Lanjut Usia/Lansia, pengobatan TBC dan perbaikan gizi). Pelatihan
yang dilakukan yaitu pelatihan TBC, pemberdayaan perempuan, gerakan PKK,
Musrenbang. Kegiatan rutinnya diantaranya arisan dan pengajian mingguan bagi
umat muslim sedangkan untuk agama Kristen Protestan dan Kristen Khatolik
melaksanakan kebaktian mingguan serta latian rutin paduan suara dalam
mempersiapkan upacara keagamaan, seperti Natal dan Paskah. Diadakan juga
perlombaan rumah sehat, lomba Pos Yandu (Juara 3 se-Kutim), lomba masak,
pada umumnya seluruh ibu-ibu aktif dalam PKK.
35 Jumlah organisasi yang diikuti masyarakat Dusun Kabo Jaya maupun
Dusun G III < 10 organisasi, hal ini berdasarkan survei langsung kepada
masyarakat. Hal ini karena waktu banyak dipergunakan untuk bekerja, sehingga
waktu untuk berorganisi sedikit. Begitu halnya dalam pengambilan keputusan
pada organisasi sosial pun di kedua dusun ini adalah rendah.
4.1.5 Kepedulian terhadap Sesama dan Lingkungan
Kepedulian masyarakat di Dusun Kabo Jaya maupun Dusun G III terhadap
sesama dan lingkungan cukup peduli. Mengingat mereka pada umumnya hidup
merantau sehingga semua orang mereka sudah menganggap sebagai saudaranya.
Apalagi kepedulian terhadap sesama suku akan lebih tinggi, seperti saling
membantu dalam meringankan musibah, menjenguk atau mengurus orang yang
sakit, membantu dalam kegiatan perayaan pernikahan, maupun upacara kematian.
Begitu juga dengan kepedulian terhadap lingkungan pada umumnya masyarakat
sudah memahami akan pentingnya lingkungan karena pada semua masyarakat
Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III berpendidikan cukup, yaitu sebagian besar
tamatan Sekolah Menengah Atas (SMU) (Desa Swarga Bara 2009 dan Desa Singa
Gembara 2009).
Kepedulian terhadap lingkungan untuk masyarakat Dusun G III lebih
tinggi. Hal ini dilihat adanya kegiatan pro aktif masyarakat dalam bekerja bakti
dalam membersihkan lingkungan yang dilakukan secara rutin, lingkungan tempat
tinggal pada umumnya sudah memperhatikan kesehatan, dan pada umunya
masyarakat sudah mengerti akan pentingnya lingkungan bagi kehidupan.
Sehingga dengan kondisi modal sosial ini dan didukung adanya potensi objek
ekowisata di Desa Singa Gembara yaitu Pantai Tanjung Bara dan Hutan
Mangrove Tanjung Bara, pengembangan ekowisata diarahkan ke pengembangan
ekowisata yang memprioritaskan keunggulan dan kepedulian terhadap alam.
4.1.6
Kondisi Sosial Ekonomi
Kondisi sosial ekonomi masyarakat untuk melihat modal sosial menurut Krishna
dan Shrader (1999), yaitu terdiri aspek kependudukan, aksesibilitas, perumahan,
36 pendidikan, dan kesehatan. Aspek kependudukan dilihat dari lamanya masyarakat
tinggal, banyaknya rumah dalam komunitas, pertumbuhan penduduk dalam 3
tahun terakhir, ketersediaan lapangan kerja, dan kesediaan masyarakat tetap
tinggal pasca tambang. Aspek aksesibilitas dilihat dari rute dalam menjangkau
komunitas lain dan ketersediaan serta mutu sarana komunikasi. Aspek perumahan
dilihat dari ketersediaan dan kondisi rumah dalam komunitas. Aspek sosial dilihat
dari taraf hidup dan jaminan keamanan. Aspek pendidikan dilihat dari kondisi
saran pendidikan, tingkat pendidikan komunitas, dan anggota komunitas yang
buta huruf. Aspek kesehatan dilihat dari sarana kesehatan yang dimiliki
komunitas.
Masyarakat kedua dusun pada umumnya berdasarkan hasil survey sudah
tinggal di dusun tersebut antara 10 sampai 20 tahun dan terdiri dari > 250 Kepala
Keluarga (KK). Pertumbuhan penduduk dari tahun 2006 sampai tahun 2009
Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III tidak ada data secara terperinci per dusun
sehingga pertumbuhan penduduk Desa Swarga Bara proyeksi dari Dusun Kabo
Jaya dan Desa Singa Gembara proyeksi dari Dusun G III dapat dilihat pada Tabel
4.5. Kondisi penduduk dalam 3 tahun terakhir dari kedua dusun semakin
meningkat karena faktor penyediaan lapangan pekerjaan yang menjadi faktor
utama. Sehingga kelahiran bukan merupakan penyebabkan pertambahan
penduduk, tetapi faktor urbanisasi yang merupakan penyebab pertambahan
penduduk dari kedua dusun tersebut.
Tabel 4.5 Pertumbuhan penduduk Desa Swarga Bara dan Desa Singa
Gembara
No
1
2
3
Tahun
2006
2007
2009
Desa Swarga Bara
(Orang)
9.444
6.083
9.444
Desa Singa Gembara
(Orang)
7.305
8.773
16.959
Sumber: Bappeda Kabupaten Kutai Timur dan BPS Kabupaten Kutai Timur (2008), Desa Swarga
Bara (2009), Desa Singa Gembara (2009)
Kesediaan tinggal pasca tambang berdasarkan hasil wawancara, di Dusun
Kabo Jaya sebanyak 96 % dan Dusun G III sebnayak 93 % untuk bersedia tetap
tinggal. Hal ini merupakan salah satu modal kesedian sumberdaya manusia dalam
pengembangan ekowisata.
37 Rute utama yang digunakan dalam menjangkau komunitas selama musim
penghujan dan kemarau di kedua dusun melalui jalan aspal dengan kendaraan
kebanyakan menggunakan mobil dan sepeda motor karena kondisi jalan di kedua
dusun ini sudah beraspal begitu juga untuk dusun terdekat lainnya. Sarana
komunikasi dan transportasi dapat dilihat pada Tabel 4.6, karena data yang
tersedia per desa sehingga untuk Desa Swarga Bara proyeksi Dusun Kabo Jaya
dan Desa Singa Gembara proyeksi Dusun G III.
Tabel 4.6 Sarana komunikas dan transportasi di Desa Swarga Bara dan Desa
Singa Gembara
No
A
1
2
3
B
1
2
3
4
5
6
Bidang Pembangunan
Sarana Komunikasi
Pesawat telepon
Pesawat TV
Antena parabola
Sarana Transportasi
Sepeda
Sepeda motor
Oplet/mikrolet
Mobil pribadi
Taksi
Truk
Satuan
Desa Swarga
Bara
Unit
Unit
Unit
Unit
Unit
Unit
Unit
Unit
Unit
Desa Singa
Gembara
2.078
3.025
34
200
800
30
20
20
546
1.875
30
24
16
Sumber: Desa Swarga Bara (2009) dan Desa Singa Gembara (2009)
Menurut hasil penelitian Darwono (1995), PT. Pos Indonesia sudah hadir
di Sangatta Baru (Swarga Bara) yang dapat diakses warga Dusun Kabo Jaya dan
Dusun G III sejak tahun 1992 dengan pelayanan dalam 3 tahun terakhir
berdasarkan hasil wawancara masyarakat kedua dusun meningkat dan untuk mutu
pelayanan saat ini untuk Dusun Kabo Jaya menilai baik dan untuk Dusun G III
menilai sangat baik. Kemudian pada pertengahan tahun 1995 PT. Telkom
membangun sentral telepon otomat dengan kode area tersendiri di Sangatta.
Sangatta yang semula terpencil, sekarang telah mempunyai akses yang cukup
tinggi ke dunia luar melalui jasa PT. Pos Indonesia, jasa paket lainnya seperti
TIKI dan JNE, PT. Telkom (telepon), dan internet melalui warnet maupun ponsel
sudah dapat diakses masyarakat, hal ini didukung oleh hasil survei di kedua dusun
setengah dari komunitas sudah mempergunakan akses internet.
Pelayanan sistem angkutan umum di kedua dusun tersedia setiap hari
dengan kualitas jasa angkutan umum berdasarkan hasil wawancara masyarakat
38 untuk Dusun Kabo Jaya meningkat dengan dipergunakan oleh kebanyakan
komunitas dan Dusun G III tidak berubah dengan dipergunakan oleh setengah
komunitas, hal ini dapat dilhat dalam Tabel 4.6 kondisi kepemilikan kendaraan
pribadi lebih banyak di Dusun G III, sehingga masyarakat banyak menggunakan
kendaraan pribadi.
Kondisi perumahan dari komunitas dilihat dari ketersediaan dan kondisi
perumahan dalam komunitas (Tabel 4.7). Kondisi perumahan yang tidak layak
dihuni, Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Kutai Timur
memberikan bantuan pembangunan rumah melalui Surat Keputusan Bupati Kutai
Timur No. 188.4.45/634/HK/X/2009, tanggal 9 Oktober 2009 tentang Penetapan
Penerima Bantuan Perbaikan Perumahan Penduduk Miskin dan Perbaikan Sarana
dan Prasarana Umum Lingkungan Pedesaan (Swakelola) Tahun Anggaran 2009,
adapun daftar nama-nama keluarga yang menerima bantuan perbaikan rumah dari
Desa Swarga Bara dan Desa Singa Gembara dapat dilihat pada Tabel 4.8.
Tabel 4.7 Kondisi pembangunan di Desa Singa Gembara
No
Kondisi Rumah
1 Rumah permanen
2 Rumah semi permanen
3 Rumah non permanen
Satuan
Unit
Unit
Unit
Jumlah
600
-
Sumber: Desa Singa Gembara (2009)
Tabel 4.8 Penetapan penerimaan bantuan perbaikan perumahan penduduk
miskin perbaikan sarana dan prasarana umum lingkungan
pedesaan (swakelola) tahun anggaran 2009 di Dusun Kabo Jaya
dan Dusun G III
No
Dusun
1 Dusun
Kabo 1.
Jaya
2.
3.
2
Dusun G III
4.
5.
6.
7.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Nama
Yulianto
Petrus Palungan
Wedelinus
Bernandus Nong
Pareha
Tenri A. Rahman
Anggia Murni
Arpiah
Hasniah
Fatimah Ali
Alfianto
Supiansyah
Ashari
Ani Nurhayati
Asfianor
Alamat
1. Jl. Poros Kabo Jaya RT. 06 Gg.
Bersama No. 5
2. J. Sawi RT. 4 No. 16 Kabo Jaya
3. Jl. Sawi RT. 4
4. Jl. Porodisa RT. 5 Kabo Jaya
5. Jl. Bayam No. 2 Kabo Jaya
6. Jl. Bayam No. 20 RT. 2 Kabo Jaya
7. Jl. Bayam No. 59 RT. 2 Kabo Jaya
1. RT. 10
2. RT. 15
3. RT. 7
4. RT. 3
5. RT. 3
6. RT. 3
7. Jl. Patimura Gg. Pasundan RT. 20 6/V
Sumber: Lampiran SK. Bupati Kutai Timur No: 188.4.45/634/HK/X/2009
39 Berdasarkan Tabel 4.7 dan wawancara dengan masyarakat ketersediaan
rumah di kedua dusun cukup dan dengan berdasarkan Tabel 4.8 serta wawancara
masyarakat kondisi rumah 3 tahun terakhir di Dusun Kabo Jaya meningkat dan di
Dusun G III tidak ada perubahan.
Kondisi sosial melihat dari aspek mata pencaharian karena tidak tersedia
secara terperinci data mata pencaharian per dusun sehingga menggunakan data per
desa (Tabel 4.9) dan keselamatan serta jaminan keamanan (Tabel 4.10 dan Tabel
4.11). Kehadiran PT. KPC untuk melakukan operasi penambangan batu bara di
Sangatta banyak membuka jenis lapangan pekerjaan. Aktivitas operasi PT. KPC
telah menciptakan lapangan kerja, baik secara langsung untuk memenuhi
kebutuhan operasional perusahaan maupun secara tidak langsung dalam
memenuhi kebutuhan lain bagi kehidupan karyawan beserta keluarganya. Dengan
kata lain PT. KPC ikut serta membuka lapangan kerja dalam dimensi yang lebih
luas tidak hanya sekedar bekerja secara langsung di perusahaan itu. Masyarakat
setempat memperoleh kesempatan mengisi lapangan-lapangan kerja akibat
keberadaan PT. KPC.
Tabel 4.9 Mata pencaharian masyarakat di Desa Swarga Bara dan Desa Singa
Gembara
No
Mata Pencaharian
1
Pegawai Negeri Sipil
(PNS)
ABRI
Swasta
Wiraswasta/Pedagang
Tani
Pertukangan
Buruh Tani
Pensiunan
Nelayan
Pemulung
Jasa
Jumlah
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Desa Swarga Bara
(Orang)
72
Desa Singa Gembara
(Orang)
234
2.552
65
150
20
11
40
10
5
2.925
15
3.028
947
628
435
76
5
32
5.400
Sumber: Desa Swarga Bara (2009) dan Desa Singa Gembara (2009)
Kondisi keamanan di Dusun Kabo Jaya maupun di Dusun G III sudah
dikatakan sangat aman. Di Dusun Kabo Jaya karena sudah aman sistem
Siskamling dan ronda malam bagi masyaralat sudah tidak diperlukan lagi.
Sedangkan di G III walaupun kondisi lingkungan aman namun warga tetap
40 mempergunakan Siskamling dan ronda malam, namun kebanyakan ronda malam
dibayarkan kepada orang yang bersedia melakukan ronda malam. Hal ini karena
pada umumnya warga di Dusun G III adalah karyawan perusahaan sehingga
waktunya banyak dihabiskan untuk bekerja.
Kondisi sarana dan prasarana keamanan, kentraman dan ketertiban (Tabel
4.10), dan kemampuan Lembaga Perlindungan Masyarakat (Linmas) dalam
melindungi masyarakat (rasio penduduk per Polisi) (Tabel 4.11).
Tabel 4.10 Kondisi keamanan Desa Singa Gembara
No
1
2
3
4
Uraian
Jumlah Hansip terlatih
Alat pemandam kebakaran
Ketentraman
dan
Ketertiban
a. Kejadian criminal
b. Bencana alam
c. Operasi penertiban
d. Penyuluhan
e. Pos Kamling
f. BALAKAR
g. Kenakalan remaja
h. Peronda kampung
i. Satpam
j. Posko bencana
k. Posko hutan lindung
Pembinaan dan Pengawasan
Bekas NAPI/TAPOL G. 30
S/PKI
a. NAPI
b. G. 30 S/PKI
Satuan
Orang
Unit
Jumlah
5
-
Kali
Kali
Kali
Kali
Unit
Kali
Kali
Kelompok
Orang
Unit
Unit
24
44
-
Orang
Orang
2
-
Sumber: Desa Singa Gembara (2009)
Tabel 4.11 Kemampuan kelembagaan di Kabupaten Kutai Timur
No
Tahun
1
2
3
4
5
6
7
8
9
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Jumlah
Petugas
Linmas
(Orang)
401
431
456
1.387
1.609
1.700
1.743
2.000
1.877
Jumlah
Penduduk
(Orang)
146.510
157.163
161.946
165.461
168.529
175.106
203.156
208.662
213.762
Jumlah
Polisi
383
Rasio
Penduduk
per
Linmas
365
365
355
119
105
103
117
104
114
Rasio
Penduduk
per Polisi
Sumber: Bappeda Kabupaten Kutai Timur dan BPS Provinsi Kalimantan Timur (2009)
544
41 Berdasarkan hasil wawancara masyarakat, mutu taraf hidup (ketersediaan
pekerjaan, keselamatan, dan jaminan keamanan) untuk Dusun Kabo Jaya
meningkat dan untuk Dusun G III tidak berubah dengan taraf hidup di kedua
dusun termasuk dalam rata-rata, adanya jaminan keamanan (Tabel 4.10 dan
Tabel 4.11) dan jasa kemanan disediakan oleh warga sendiri karena sudah
dianggap aman dengan mutu pelayanan keamanan dalam 3 (tiga) tahun terakhir
menurut Dusun Kabo Jaya meningkat sedangkan Dusun G III tidak berubah.
Tingkat pendidikan masyarakat Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III karena
data yang tersedia per desa sehingga untuk Desa Swarga Bara proyeksi dari
Dusun Kabo Jaya dan Desa Singa Gembara proyeksi dari Dusun G III. Dilihat
dari aspek kondisi sarana pendidikan, tingkat pendidikan masyarakat (Tabel
4.12), ketersediaan sarana pendidikan (Tabel 4.13), ketersediaan guru, dan
kondisi masyarakat yang buta huruf.
Tabel 4.12 Tingkat pendidikan masyarakat Desa Swarga Bara dan Desa Singa
Gembara
No
Tingkat Pendidikan
I
Pendididan Umum
1 Taman
Kanak-kanak
(TK)
2 Sekolah Dasar (SD)
3 Sekolah
Menengah
Pertama (SMP)
4 Sekolah Menengah Atas
(SMA)
5 Akademi/D1 – D3
6 Sarjana (S1 – S3)
II Pendidikan Khusus
1 Pondok Pesantren
2 Madrasah
3 Pendidikan Keagamaan
4 Sekolah Luar Biasa
5 Kursus/Keterampilan
6 Belum Sekolah
Jumlah
Desa Swarga Bara
Desa Singa Gembara
250
894
1.300
2.280
2.040
4.011
3.150
3.036
240
416
345
234
25
24
10
3
466
1.280
9.444
115
84
35
10
1.644
4.511
16.959
Sumber: Desa Swarga Bara (2009) dan Desa Singa Gembara (2009)
42 Tabel 4.13 Sarana pendidikan di Desa Swarga Bara dan Desa Singa Gembara
No
Sarana Pendidikan
Pendidikan Umum
Kelompok Bermain
1) Gedung
2) Guru
3) Murid
2 Taman Kanak-kanak (TK)
1) Gedung
2) Guru
3) Murid
3 Sekolah Dasar (SD)
1) Gedung
2) Guru
3) Murid
4 Sekolah Menengah Pertama (SMP)
1) Gedung
2) Guru
3) Murid
5 Sekolah Menengah Atas (SMA)
1) Gedung
2) Guru
3) Murid
6 Akademi
1) Gedung
2) Mahasiswa
3) Dosen
7 Institut/Sekolah Tinggi/Universitas
1) Gedung
2) Mahasiswa
3) Dosen
II Sekolah Khusus
1 Pondok Pesantren
2 Balai Latihan Kerja (BLK)
3 Kursus
Satuan
Desa Swarga
Bara
Desa Singa
Gembara
I
1
Unit
Orang
Orang
2
-
Unit
Orang
Orang
3
-
Unit
Orang
Orang
5
1
15
675
Unit
Orang
Orang
1
1
20
9.076
Unit
Orang
Orang
-
Unit
Orang
Orang
-
Unit
Orang
Orang
1
Unit
Unit
Unit
2
1
-
Sumber: Desa Swarga Bara (2009) dan Desa Singa Gembara (2009)
Kondisi sarana pendidikan di kedua dusun dari hasil observasi lapang dan
didukung hasil wawancara masyarakat serta data sekunder dalam kondisi baik. Tingkat
pendidikan masyarakat di kedua dusun kebanyakan tingkat SMU (Tabel 2.5 dan
Tabel 2.7). Ketersediaan pendidikan dasar umum (wajib belajar 9 tahun/tingkat
SLTP) di kedua dusun tersedia (Tabel 4.13). Jumlah komunitas yang buta huruf
di kedua dusun berdasarkan hasil wawancara masyarakat sangat sedikit.
Minat belajar masyarakat di kedua dusun ini sangat tinggi. Para orang tua
yang belum menyelesaikan pendidikan wajibnya mereka mengikuti Paket B untuk
43 SMP kemudian lanjut Paket C untuk tingkat SMA. Minat masyarakat untuk
sekolah cukup tinggi dengan banyaknya masyarakat yang sudah tua mengikuti
Paket B dan Paket C.
Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam proses
pembangunan masyarakat. Pendidikan yang lebih tinggi akan memperluas
pengetahuan masyarakat dan mempertinggi rasionalitas pemikiran mereka.
Masyarakat mampu mengambil keputusan yang lebih tepat. Selain itu dengan
pengetahuan yang lebih baik dapat menjadi bekal untuk mengadakan berbagai
pembaharuan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, salah satunya dalam
pengembangan ekowisata. Dengan demikian tingkat pendidikan yang lebih tinggi
sebagai modal masyarakat akan dapat menjamin perbaikan yang berkelanjutan.
Kondisi kesehatan masyarakat dilihat dari aspek ketersediaan fasilitas
kesehatan yang ada di dalam komunitas (Tabel 4.14).
Tabel 4.14 Fasilitas kesehatan di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III
No
1
2
3
4
5
6
7
8
Fasilitas Kesehatan
Satuan
Desa Swarga Bara
Desa Singa
Gembara
Rumah Sakit Umum
Pemerintah
Rumah Sakit Umum
Swasta
Puskesmas Pembantu
Rumah Bersalin
Posyandu
Apotek
Dokter Umum
Dokter Gigi
Unit
-
-
Unit
-
-
Unit
Unit
Unit
Unit
Orang
Orang
1
1
1
1
-
1
1
1
-
Sumber: Desa Swarga Bara (2009) dan Desa Singa Gembara (2009)
Berdasarkan hasil wawancara masyarakat dan survei lapangan mengenai
ketersediaan sarana kesehatan di kedua dusun (Tabel 4.14) dinilai cukup
memenuhi pelayanan kesehatan masyarakat. Dengan modal kesehatan yang baik,
maka masyarakat akan dapat berkarya dengan baik pula. Produktivitas individu
warga sangat bergantung kepada kondisi kesehatannya. Suatu masyarakat yang
mempunyai taraf kesehatan tinggi dengan disertai oleh pengetahuan dan
keterampilan serta motivasi yang tinggi akan memiliki produktivitas yang tinggi,
yang sangat diperlukan dalam pembangunan. Seperti dalam mengeksploitasi
44 potensi ekowisata dan mampu mengolah potensi tersebut menjadi produk
ekowisata yang ada di lingkungannya.
4.2
Potensi dan Aplikasi Modal Sosial dalam Pengembangan Ekowisata
4.2.1
Dusun Kabo Jaya
Aplikasi modal sosial masyarakat Dusun Kabo Jaya yang sudah diterapkan
mengarah dalam pengembangan ekowosata, diantaranya:
a. Kelompok Ekowisata Kabo Jaya
Masyarakat
di
Dusun
Kabo
Jaya
sudah
membentuk
kelompok
pengembangan Ekowisata Kabo Jaya sejak Bulan Oktober 2009 dengan
pendampingan dari PILI (Pusat Informasi Lingkungan Indonesia), CIFOR (Center
for International Forestry Research), dan BIKAL (Yayasan Bina Kelompok Cinta
Lingkungan) dengan dukungan materi dari PT. KPC dan Mitra Kutai. Masyarakat
yang aktif dalam pengembangan Ekowisata Kabo Jaya sebanyak 25 orang dari
berbagai suku yang ada di Dusun Kabo Jaya dengan struktur organisasinya
(Gambar 4.7).
Koordinator Umum
Juahim
Poknat Wisata Alam
Akhrah Halid
Poknat Wisata Agro
Simon
Bendahara
1. Dina
2. Fatmawati
Poknat Seni, Budaya
& Kuliner
Dina
Poknat Fasilitas
Eriyanto
Gambar 4.7 Struktur organisasi Ekowisata Kabo Jaya
Pada awalnya masyarakat Dusun Kabo Jaya belum mengerti apa yang
dinamakan dengan ekowisata. Pendamping-pendamping ini yang berperan dalam
menumbuhkan pemahaman dan gambaran tentang ekowisata. Pendekatan yang
dilakukan oleh BIKAL kepada masyarakat melalui proses Share Learning dengan
beberapa rangkaian kegiatan, yaitu Focus Group Discussion (FGD), dan training
kepada masyarakat. FGD dilakukan dalam rangka untuk menggali potensi wisata
45 di Dusun Kabo Jaya berdasarkan persepsi masyarakat. Training ekowisata kepada
masyarakat untuk memberikan pemahaman yang baik kepada masyarakat
mengenai ekowisata.
Gambaran persepsi masyarakat terkait pengambangan ekowisata di Dusun
Kabo Jaya menurut hasil wawancara dengan Awang pendamping dari BIKAL:
1. Pada awalnya masyarakat belum memahami secara memadai apa itu
ekowisata,
tetapi
sekarang
sudah
mulai
tertarik
dan
berminat
mengembangkan ekowisata.
2. Ekowisata adalah kegiatan bisnis.
3. Ekowisata memiliki dampak ikutan untuk kegiatan ekonomi masyarakat
(peluang usaha).
4. Dalam pengembangan ekowisata harus dipikirkan sarana pendukung,
terutama akses jalan menuju objek.
5. Masyarakat dari kelompok petani sudah tahu potensi Dusun Kabo Jaya
yang
dapat
dikembangkan
untuk
mendukung
ekowisata,
namun
masyarakat dari kelompok pekerja kontraktor di PT. KPC menilai tidak
ada potensi itu, namun setelah diberikan pemahaman dan pelatihan dari
pendampingan pengembangan Ekowisata Kabo Jaya, mereka sudah mulai
paham akan potensi yang ada di lingkungannya.
6. Khusus untuk objek ekowisata Prevab, masyarakat mengetahui bahwa
objek tersebut merupakan tujuan ekowisata mancanegara, namun sebagian
besar belum pernah berkunjung ke objek tersebut.
Materi training yang diberikan oleh PILI, CIFOR, dan BIKAL yaitu,
pengenalan definisi wisata dan ekowisata, pengenalan bentuk-bentuk wisata,
membangun
persepsi
dan
harapan
masyarakat
tentang
ekowisata,
dan
mengidentifikasi potensi wisata Kabo Jaya. Kendati telah diberikan materi-materi
tersebut, peserta pelatihan belum dapat memahami apa yang dimaksud ekowisata.
Proses pendampingan selanjutnya pada Bulan November 2009 dibuat satu
aktifitas (simulasi) untuk memberikan gambaran tentang ekowisata yang
bertanggungjawab, sehingga pada akhirnya masyarakat mulai mengerti tentang
ekowisata.
46 Berdasarkan potensi ekowisata yang dimiliki, diperoleh 4 Kelompok
Minat (Pokmin) (Tabel 4.15) dan harga dari setiap paket Ekowisata Kabo Jaya
dapat dilihat pada Tabel 4.16.
Tabel 4.15 Kelompok Minat (Pokmin) Ekowisata Kabo Jaya
No
Wisata Agro
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Simon Karappe
Gerson
Lusiana
Yakobus L
Vikal
Asman
Chistina
Yohanes
Wisata Alam
Buyung
Georgerius A.
Abd. Rahman
Hakra Halide
Aris
Rahman
Fatma
Aldin
Andy
Rahmad H.
Wisata Budaya
Dina Rippin
Thomas R.P.
Tenri A. Rahman
Fasilitas &
Peningkatan
Kapasitas
Eryanto
Asman
Wahyuddin
Juahim
Tabel 4.16 Harga paket Ekowisata Kabo Jaya
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Jenis Biaya
Ekowisata Prevab – Mentoko/orang
Tiket kamera/unit
Tiket handycam/unit
Transport/ketingting
Wisata kuliner/orang
Wisata agro/orang
Guide ekowisata
Guide wisata agro
Wisata budaya/pertunjukan
Homestay/malam/kamar
Harga (Rp)
15.000,3.000,12.500,150.000,25.000,10.000,100.000,50.000,1.500.000,150.000,-
Usaha dalam peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk
pengembangan Ekowisata Kabo Jaya, CIFOR mengadakan share lerning di
Bontang mengenai ekowisata, PT. KPC mengajak BIKAL dan 2 orang dari Kabo
Jaya (Pak Juahim sebagai Koordinator Ekowisata Kabo Jaya dan Pak Anton
sebagai Kepala Desa Swarga Bara) untuk mengikuti share learning tersebut.
Setelah mengikuti share learning yang diselenggarakan oleh CIFOR tersebut
peserta dari Dusun Kabo Jaya baru dapat memahami mengenai potensi yang ada
di Kabo Jaya sebagai potensi pengembangan ekowisata. Penanaman pemahaman
ekowisata merupakan hal yang sangat mendasar sebagai modal dalam
pengembangan ekowisata. Selain itu, PT. KPC pada Bulan Desember 2009
mengadakan kunjungan studi banding ke Bali dalam rangka peningkatan
47 Sumberdaya Manusia (SDM) untuk pengembangan Ekowisata Kabo Jaya. Studi
banding ini diikuti dari pihak PILI (2 orang), BIKAL (1 orang), pemuda Dusun
Kabo Jaya (3 orang), dan Kepala Desa Swarga Bara sebagai kordinator.
b. Keterampilan yang Dimiliki Masyarakat
Ibu-ibu khususnya Dusun Kabo Jaya pada umumnya aktif dalam kegiatan
PKK. Kegiatan yang dilaksanakan di PKK bermacam-macam seperti lomba
memasak, berbagai pelatihan-pelatihan, dan kegiatan Pos Pelayanan Terpadu
(Posyandu). Dari hasil kegiatan ini, muncul kreativitas-kreativitas dari
masyarakat, seperti terampil dalam memasak berbagai menu masakan daerah
masing-masing. Ibu-ibu yang minatnya bidang catering oleh pemuda Ekowista
Kabo Jaya dilibatkan dalam pengelolaan Ekowisata Kabo Jawa yaitu masuk ke
dalam Kelompok Minat Wisata Kuliner. Ibu-ibu yang terlibat dalam wisata
kuliner saat ini 5 orang terdiri dari 1 orang dari Kampung Jawa, 1 orang dari
Kampung Bugis, 2 orang dari Kampung Toraja, dan 1 orang dari Kampung
Banjar.
Tabel 4.17 Menu makanan wisata kuliner Ekowisata Kabo Jaya
No
1
2
Banjar
Bugis
Daerah
3
Toraja
4
Jawa
Menu
Soto Banjar
Coto Makasar
Rica-rica Bebek
Mayana
Burak
Mayana
Ikan Pangi
Rangi
Rawon
Gudeg
Selain itu, ibu-ibu PKK Dusun Kabo Jaya mengirimkan perwakilannya
dalam
mengikuti
pelatihan
membuat
hiasan
pasir
dalam
botol
yang
diselenggarakan oleh Dinas Perindustrian Perdagang Koperasi dan UMKM
dengan pelatih didatangkan dari Samarinda. Utusan dari PKK Dusun Kabo Jaya
sebanyak 5 orang. Hiasan lukisan pasir dalam botol dapat dijadikan souvenir
Ekowisata Kabo Jaya. Rencana ke depan ibu-ibu PKK yang mengikuti pelatihan
ini akan mengembangkan indutri ini sebagai souvenir kunjungan ke Kabo Jaya
48 dengan desain berdasarkan potensi yang ada seperti gambar Orangutan (Pongo
pygmaeus).
Pelatihan kerajinan lainnya yang diikuti warga Dusun Kabo Jaya yaitu
pewarnaan kain dari warna alami seperti dari getah-getah pohon, warna kuning
dari kunyit, daun ketapang untuk warna hijau, jati dan bakau untuk warna coklat,
warna biru dari serbuk alami serta pelatihan membuat tas-tas dari kain yang
menyelenggarakan PT. KPC. Semua hasil kerajinan ini dapat dijadikan souvenir
untuk pengunjung. PT. KPC juga dalam menyiapkan sumber daya untuk
menunjang kegiatan Ekowisata Kabo Jaya memberikan pelatihan komputer,
internet, dan desain gambar khusus untuk pengelola Ekowisata Kabo Jaya.
c. Potensi Lain yang Dimiliki Masyarakat
Potensi lain yang dimiliki dalam pengembangan Ekowisata di Dusun Kabo
Jaya, karena berlatar belakang etnik yang beragam (Lampiran 1) begitu juga
dengan bangunan rumah ada beberapa yang mengikuti bangunan daerah asalnya.
Sehingga potensi ini dapat dikembangkan sebagai homestay. Rumah warga yang
dijadikan sebagai homestay ada 4 rumah, yaitu rumah Ibu Lusiana (Kampung
Timur), rumah Fatma dan rumah Bapak Dayat (Kampung Bugis), serta rumah
Bapak Simon B. (Kampung Tortor). Warga Dusun Kabo Jaya yang memiliki
ketingting dilibatkan dalam kegiatan Ekowisata Kabo Jaya dalam hal penyediaan
sarana transportasi menuju Prevab, TNK.
4.2.2
Dusun G III
Di Dusun G III belum ada kegiatan pengembangan ekowisata walaupun
terdapat objek yang cukup menarik yaitu Pantai Tanjung Bara dan Hutan
Mangrove Tanjung Bara yang berpotensi dijadikan objek ekowisata, namun
karena lokasinya berada di dalam daerah operasional PT. KPC sehingga
pengelolaannya dipegang langsung oleh pihak PT, KPC.
Keterampilan
yang
dimiliki
masyarakat
yang
dapat
mendukung
pengembangan ekowisata, diantaranya ibu-ibu rumah tangga di Dusun G III aktif
dalam kegiatan PKK terampil menjahit salah satunya. Kegiatan menjahit ini bisa
digunakan sebagai dasar dalam membuat atau menciptakan kerajinan atau barang
49 souvenir daerah. Sedangkan modal yang dimiliki masyarakat yang khusus
mengarah ke pengembangan ekowisata belum ada, berbeda halnya dengan warga
di Dusun Kabo Jaya yang sudah melaksanakan perencanaan pengembangan
Ekowisata Kabo Jaya dan dengan adanya dukungan mulai dari warga, Kepala
Desa, tokoh adat/tokoh masyarakat serta lembaga-lembaga lainnya yang
dikombinasikan dengan potensi berlatar belakang multi etnik dan sumberdaya
alam yang mendukung.
4.3
Potensi Ekowisata
4.3.1
Dusun Kabo Jaya
Potensi ekowisata di Dusun Kabo Jaya, TNK, dan sekitarnya dapat
dikelompokkan menjadi potensi ekowisata, agrowisata, wisata budaya, dan wisata
kuliner.
4.3.1.1 Stasiun Penelitian Orangutan Prevab, TNK
Stasiun penelitian Orangutan Prevab berada di bagian sebelah utara TNK,
terletak di sebelah barat Kota Sangatta, untuk mencapai lokasi harus ditempuh
dengan ketinting (perahu motor) menyusuri Sungai Sangatta ke arah hulu. Dari
dermaga Papa Charlie, dusun terakhir yaitu Kabo Jaya sekitar 20 menit.
Sementara Mentoko berada di sebelah utara Prevab, dicapai kurang lebih 1
sampai 1,5 jam dari Prevab ke arah hulu Sungai Sangatta.
Berdasarkan data yang tercatat di pos Resort Prevab TNK, pengunjung
yang datang ke pos Prevab sangat bervariasi (Gambar 4.8). Mereka dari kalangan
peneliti, institusi pendidikan, karyawan perusahaan yang berada di Bontang
maupun Sangatta serta para wisatawan mancanegara. Keberadaan Orangutan liar
dari sub spesies Pongo pygmaeus morio (Gambar 4.9a) yang sering dijumpai di
kawasan Prevab menjadi daya tarik utama bagi para pengunjung, khususnya
pengunjung mancanegara sebagai pengunjung terbanyak. Orangutan ini
mempunyai homerange yang sudah dapat dipetakan (lokasi tidur, makan, dan
bermain) (Gambar 4.9b) dengan kelompoknya. Selain itu potensi lain yang
belum tergali, yaitu potensi keanekaragaman jenis tumbuhan tingkat tinggi,
50 tingkat rendah, dan jamur yang bisa ditemukan di sepanjang looptrail menuju
habitat Orangutan (Lampiran 2).
Gambar 4.8 Pengunjung dalam dan luar negeri Prevab, TNK
Sumber: Anggoro et al. (2009)
(a)
(b)
Keterangan: (a) Orangutan (Pongo pygmaeus) dan (b) Pohon tebu item yang dijadikan sarang
Orangutan (Pongo pygmaeus)
Gambar 4.9 Orangutan (Pongo pygmaeus) dan habitatnya
Aktivitas yang dapat dilakukan oleh pengunjung di pusat penelitian
Orangutan Prevab adalah, penelitian, pendidikan lingkungan, ekowisata
pengamatan Orangutan, birdwatching, pengamatan flora, tracking, dan fotografi
(Gambar 4.10).
51 (a)
(b)
(c)
(d)
Keterangan:
(a) Kegiatan fotografi, (b) pengamatan Orangutan dan Birdwatching, (c) dan (d) Tracking
Gambar 4.10 Aktivitas pengunjung di pusat penelitian Orangutan
Prevab
Pengunjung yang ingin ke pos Prevab dikelola langsung oleh pihak TNK
yang ada di Bontang atau di kantor Seksi Sangatta dan sekarang sudah dapat
dikelola oleh Kelompok Ekowisata Kabo Jaya. Secara profesional belum ada
operator wisata yang mengelola sebuah paket wisata ke daerah ini, sekarang
sedang dirintis pengembangan Ekowisata Kabo Jaya yang salah satu paketnya
berupa Ekowisata Prevab. Prevab ini dijadikan sebagai objek ekowisata karena
adanya objek Orangutan liar dan kegiatan penelitian.
52 Prevab dalam sejarah perkembangannya telah menjadi salah satu pusat
penelitian Orangutan yang penting. Hal ini tidak lepas dari inisiasi dan keberadaan
seorang peneliti Orangutan berkebangsaan Jepang bernama Akira Suzuki yang
telah melakukan penelitian tentang perilaku Orangutan selama kurang lebih 25
tahun dan mendirikan sebuah base camp penelitian di daerah Prevab ini yang
diberi nama Camp Kakap. Banyak mahasiswa dan peneliti baik yang berasal dari
luar negeri maupun dalam negeri yang melakukan penelitian di Prevab sampai
saat ini.
Stasiun penelitian Orangutan Prevab merupakan salah satu lokasi di TNK
yang cukup memiliki infrastruktur dan fasilitas pendukung kegiatan penelitian dan
wisata terbatas yang memadai (Gambar 4.11). Sarana dan prasarana tersebut
antara lain; pos jaga polisi hutan yang sekaligus guest house untuk tamu, Camp
Kakap khusus untuk penelitian Orangutan yang dilakukan oleh Akira Suzuki,
dermaga ketingting Papa Charlie, ketingting, guide dari pengelola Ekowisata Kabo
Jaya maupun dari TNK, jaket pelampung, boardwalk dari darmaga ketinting
menuju guest house, rute pendidikan lingkungan (rute kancil), boardwalk dalam
rute pendidikan lingkungan (rute kancil), jembatan gantung di sepanjang rute
kancil, jembatan kayu yang melintasi Sungai Leang yang merupakan anak Sungai
Sangatta, papan informasi, papan petunjuk arah, papan peringatan, kode lokasi,
shelter istirahat di sepanjang rute kancil, MCK di dalam dan di luar guest house
dan perangkat satelit sebagai penerima sinyal untuk siaran TV/radio. Keseluruhan
fasilitas ini masih dalam kondisi operasional tetapi tampak kurang adanya
perawatan rutin.
(a)
(b)
53 (c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
54 (i)
(j)
(k)
(l)
(n)
(m)
(o)
55 (p)
Keterangan:
(a) Pos jaga TNK sekaligus sebagai guest house
(b) dan (c) Camp Kakap khusus untuk penelitian Orangutan
(d) Dermaga ketingting Papa Charlie
(e) Ketingting
(f) Guide dari pengelola Ekowisata Kabo Jaya maupun dari TNK
(g) Jaket pelampung
(h) Boardwalk dari darmaga ketinting menuju guest house
(i) Rute pendidikan lingkungan (rute kancil)
(j) Boardwalk dalam rute pendidikan lingkungan (rute kancil)
(k) Jembatan gantung di sepanjang rute kancil
(l) Jembatan kayu yang melintasi Sungai Leang yang merupakan anak Sungai Sangatta
(m) Papan informasi
(n) Papan petunjuk arah
(o) Papan peringatan
(p) Kode lokasi
Gambar 4.11 Sarana dan prasarana yang ada di stasiun penelitian
Orangutan Prevab
Dalam konteks pelayanan informasi kepada para pengunjung saat ini,
pemandu dari masyarakat Dusun Kabo Jaya cenderung mengasah kemampuan
interpretasinya secara mandiri dengan bekal pengalaman di lapangan yang cukup
sering seperti yang dituturkan oleh Bapak Udin (pemandu lokal). Itupun dirasa
masih kurang optimal dalam penyediaan profesional dalam usaha wisata.
Sekarang mulai terjalin kerjasama dengan pihak pengelola Ekowisata Kabo Jaya
dalam kegiatan ekowisata ke Prevab. Setiap tamu yang berkunjung ke Prevab
harus melalui pengelola Ekowisata Kabo Jaya dalam pengurusan tiket masuk dan
pengelola Ekowisata Kabo Jaya yang menyediakan fasilitas ketingting dan guide.
56 Potensi kerjasama antar pihak masih sangat terbuka, terlebih diharapkan
dengan keterlibatan stakeholder lokal seperti Dinas Pariwisata, Pemerintah
Kabupaten, Dinas Lingkungan Hidup, beberapa perusahaan yang ada di Kutai
Timur dan lembaga swadaya masyarakat lainnya. Sekarang ini kerjasama dalam
pengembangan ekowisata Prevab melalui pengembangan Ekowisata Kabo Jaya
yang dikelola oleh masyarakat Dusun Kabo Jaya dengan pendampingan dari PILI,
BIKAL, dan CIFOR atas dukungan dari PT. KPC dan Mitra Kutai.
Stasiun penelitian Prevab termasuk daerah yang sangat terbatas untuk
aksesibilitas publik. Satu-satunya alat transportasi yang memungkinkan ialah
menggunakan perahu tradisional bermesin atau ketinting. Bagi para pengunjung,
ketinting dapat disewa dari masyarakat Dusun Kabo Jaya. Dusun Kabo Jaya
merupakan titik terakhir sebelum menuju ke kawasan Prevab. Sehingga pelibatan
masyarakat Dusun Kabo Jaya sangat diperlukan dalam pengembangan ekowisata
Prevab. Dusun Kabo Jaya ke depan dapat sebagai sebuah desa pendukung untuk
aktifitas wisata alam di dalam TNK bisa terwujud. Usaha ini secara tidak
langsung dapat meminimalisir tekanan terhadap keutuhan kawasan TNK.
4.3.1.2 Dusun Kabo Jaya
Dusun Kabo Jaya merupakan salah satu dusun yang berbatasan langsung
dengan kawasan TNK. Dari kota Sangatta dapat ditempuh kurang lebih 30 menit
menuju ke dusun ini. Di Dusun Kabo Jaya ini terdapat sebuah dermaga sungai
yang terkenal dengan sebutan ”Papa Charlie” sebagai tempat penyeberangan
menuju stasiun penelitian Orangutan Prevab di TNK. Para pengunjung yang akan
menuju ke Prevab untuk melihat Orangutan liar secara langsung pasti akan
menyinggahi dusun ini terlebih dahulu.
Masyarakat Dusun Kabo Jaya terdiri dari beragam latar belakang etnis dan
budaya yang hidup saling berdampingan secara harmonis. Sebagian besar
penduduk dusun ini bekerja pada perusahaan tambang PT. KPC dan perusahanperusahaan kontraktornya yang ada di sekitar Kota Sangatta. Di dusun ini juga
terdapat sekelompok masyarakat yang bekerja sebagai petani dengan lahan
57 pertanian yang ada di sekitar dusun ini, yaitu Kampung Jawa yang sebagian besar
berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura.
Dusun Kabo Jaya mempunyai beberapa obyek daya tarik yang bisa
dikembangkan sebagai daya tarik wisata. Hal-hal yang menarik dicermati antara
lain; segi keragaman etnis dan budaya (Lampiran 1) dari penduduk Kabo Jaya
(Jawa, Bugis, Banjar, Toraja, dan Timor/NTB dan NTT), kekhasan praktekpraktek kehidupan sosial masyarakat yang berasal dari berbagai etnis, ada
beberapa corak bangunan rumah masyarakat yang mencirikan budaya asal, adanya
beberapa penduduk yang melakukan usaha kerajinan tangan (ukiran dan bordir
kain motif lokal), usaha pembuatan kain dengan pewarnaan alami (teknik celup),
keunikan beberapa rumah penduduk yang bangunannya berasal dari kayu Ulin,
dan praktek-praktek kegiatan pertanian tradisional masyarakat.
Dari segi keanekaragaman sumberdaya alam, terdapat beberapa kegiatan
pertanian dan perkebunan yang cukup menarik yaitu; terdapat lahan-lahan yang
digunakan untuk kebun buah-buah tropis (rambutan, nangka, salak, cempedak, lai,
durian, dan jeruk) di Kampung Jawa (Lampiran 1 – 1.5. Suku Jawa).
Ditinjau dari sarana dan prasarana yang dapat mendukung untuk
pengembangan ekowisata di Dusun Kabo Jaya, dusun ini sudah mempunyai
fasilitas yang cukup memadai (Gambar 4.12), yaitu antara lain pusat informasi
Ekowisata Kabo Jaya, pendopo untuk berbagai acara pentas seni budaya, beberapa
rumah penduduk yang dapat dikembangkan menjadi homestay, kios souvenir,
instalasi pengolahan sampah terutama sampah plastik, infrastruktur jalan menuju
dusun ini yang mudah diakses dengan saran transportasi yang cukup mudah
didapat, tersedia fasilitas air bersih, listrik, telepon dan bahkan jaringan internet,
mini market dan toko untuk mendapatkan kebutuhan konsumsi, perpustakaan
desa, sarana peribadatan yang beragam, Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)
Pembantu sebagai tempat penyedia layanan kesehatan, dan Pos Keamanan
Lingkungan (Poskamling).
58 (a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(g)
(f)
(h)
59 (i)
(k)
(j)
(l)
Keterangan:
(a) Pusat informasi Ekowisata Kabo Jaya
(b) Pendopo untuk berbagai acara pentas seni budaya
(c) rumah penduduk yang dapat dikembangkan menjadi homestay
(d) Kios souvenir
(e) Instalasi pengolahan sampah terutama sampah plastik
(f) Infrastruktur jalan yang mudah diakses dengan saran transportasi
(g) Tersedia fasilitas air bersih
(h) Perpustakaan desa
(i) dan (j) Sarana peribadatan yang beragam
(k) Puskesmas Pembantu sebagai tempat penyedia layanan kesehatan
(l) Poskamling
Gambar 4.12 Sarana dan prasarana Dusun Kabo Jaya yang dapat
mendukung kegiatan Ekowisata Kabo Jaya
Dusun Kabo Jaya sebagai salah satu lokasi yang berpotensi untuk
pengembangan ekowisata dengan mengutamakan potensi multi etnik dan norma
sosial didasarkan hasil kajian lapangan yang menunjukkan bahwa Dusun Kabo
Jaya mempunyai beragam potensi baik dari segi budaya, kekhasan praktek-
60 praktek kehidupan sosial masyarakat yang berasal dari berbagai etnis, praktekpraktek kegiatan pertanian tradisional masyarakat (praktek pertanian organik dan
agrowisata) yang kesemuanya dapat dikembangkan sebagai bentuk atraksi wisata.
Melihat potensi yang ada untuk selanjutnya perlu dilakukan perencanaan bersama,
pembentukan dan penguatan kelompok usaha wisata (ekowisata) masyarakat,
pelaksanaan operasional kegiatan wisata, dan pemantauan perkembangan kegiatan
ekowisata.
4.3.2
Dusun G III
Pantai Tanjung Bara dan Hutan Mangrove Tanjung Bara
Pantai Tanjung Bara dan Hutan Mangrove Tanjung Bara berada dalam
wilayah teritori pertambangan PT. KPC sekitar 30 menit perjalanan dari Kota
Sangatta ke arah utara, tepatnya berada di Dusun 6, dengan lokasi pemukiman
terdekat berada di Dusun G III. Saat ini Pantai Tanjung Bara masih merupakan
tempat rekreasi khusus bagi anggota atau karyawan PT. KPC tetapi beberapa
masyarakat umum sering memanfaatkan untuk berwisata pantai. Kawasan Pantai
Tanjung Bara ini sepenuhnya dikelola oleh PT. KPC secara profesional,
sedangkan Hutan Mangrove Tanjung Bara belum dilakukan pengembangan
ekowisata.
Daya tarik utama dari kawasan Pantai Tanjung Bara adalah pemandangan
pantai Selat Makasar yang seringkali dipenuhi oleh kapal-kapal tanker yang akan
mengangkut muatan batu bara dari PT. KPC. Selain pemandangan pantai, lokasi
ini sering digunakan sebagai dermaga untuk memulai kegiatan diving di lokasilokasi tertentu yang lebih ke tengah laut.
Masyarakat juga sering dijumpai
melakukan kegiatan memancing di sekitar pantai ini, berenang, dan berkeliling
pantai menggunakan perahu. Di sekeliling Pantai Aquatic Tanjung Bara terdapat
ekosistem hutan bakau yang menawarkan daya tarik untuk pengamatan
keanekaragaman hayati seperti burung, binatang melata, dan primata (monyet
ekor panjang) yang hidup secara bebas. Daya tarik Hutan Mangrove Tanjung Bara
adalah terdapatnya berbagai jenis mangrove dengan berbagai bentuk profil yang
khas dan menarik.
61 (a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
62 (g)
Keterangan:
(a) Laut Selat Malaka
(b) Kapal tanker pengangkut batu bara
(c) dan (d) Hutan mangrove Tanjung Bara
(e) Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)
(f) Burung enggang
(g) Kadal
Gambar 4.13 Daya tarik Pantai Tanjung Bara dan Hutan Mangrove
Tanjung Bara
(a)
(c)
(b)
(d)
63 (e)
Keterangan:
(a) Berenang
(b) Bermain pasir
(c) Memancing di pinggir pantai
(d) Persiapan memancing ke tengah laut
(e) Menikmati panorama laut lepas
Gambar 4.14 Beberapa aktivitas pengunjung Pantai Tanjung Bara
Fasilitas yang sudah ada di Pantai Tanjung Bara seperti tempat makan,
perahu atau boat memang disediakan untuk anggota, club diving, anjungan untuk
melihat pemandangan ke laut lepas, shelter di pinggir pantai, papan peringatan,
papan informasi, toilet, shower untuk membersihkan badan setelah berenang, area
parkir, pos keamanan dari TNI AL, dan tempat sampah (Gambar 4.15). Hutan
Mangrove Tanjung Bara belum memiliki fasilitas karena belum dikembangkan.
(a)
(b)
64 (c)
(d)
(e)
(g)
(f)
(g)
(h)
65 (i)
(j)
(k)
(l)
(m)
66 Keterangan:
(a) Rumah makan
(b) Perahu boat
(c) Anjungan untuk melihat laut
(d) Shelter di pinggir pantai
(e) – (h) Papan peringatan
(i) Toilet
(j) Shower untuk membersihkan badan
(k) Area parkir
(l) Pos keamana dari TNI AL
(m) Tempat sampah
Gambar 4.15 Sarana prasarana ekowisata di Pantai Tanjung Bara
Pada saat ini, Pantai Tanjung Bara cenderung lebih banyak dikunjungi
oleh karyawan PT. KPC sebagai tempat berlibur dan bersantai. Walaupun
demikian, ada masyarakat umum yang juga memanfaatkan kawasan pantai ini
sebagai tempat berwisata dan hal ini jumlah cenderung meningkat setiap waktu.
Dikarenakan sifat lokasinya yang khusus dan dekat dengan lokasi loading batu
bara, maka pihak PT. KPC di masa datang secara pelan-pelan berencana untuk
menutup kawasan ini bagi umum selama masa operasi tambang dengan
pertimbangan keselamatan pengunjung.
67 V. PENILAIAN DAN PENGUKURAN HUBUNGAN UNSURUNSUR MODAL SOSIAL TERHADAP MODAL SOSIAL
5.1
Penilaian Unsur Modal Sosial
Modal sosial telah dicoba diukur dalam berbagai cara. Walaupun demikian
diakui bahwa untuk mendapatkan satu ukuran sebagai ukuran tunggal dan benar
akan sangat sulit. Modal sosial cakupannya demikian luas dan multidimensional,
selain itu modal sosial merupakan gambaran pada unit komunitas atau masyarakat
yang sangat kompleks.
Beragam pendekatan diperlukan berkaitan dengan tujuan penggunaan
modal sosial tersebut. Fukuyama (1999) memaparkan formula perhitungan modal
sosial, yaitu SC = ∑ (1/rn) rp cn ) 1…t, dimana n adalah besaran anggota suatu
kelompok, t banyaknya kelompok, c sebagai tingkat kohesifitas, rp sebagai radius
kepercayaan, dan rn adalah ukuran dari radius ketidakpercayaan. Formula ini
mengandung unsur modal sosial yang terdiri dari jaringan sosial tergambar oleh
banyaknya kelompok dan tingkat kohesifitas serta kepercayaan. Formula ini sudah
digunakan oleh Putnam (2002) dalam Hasbullah (2006) dalam mengukur modal
sosial dengan cara menghitung keanggotaan dan jumlah organisasi (nonpemerintahan). Namun hasil yang diperoleh masih mengundang banyak
pertanyaan, terkait dengan kesulitan menentukan derajat kohesifitas hubungan
internal dari masing-masing organisasi dan unsur modal sosial yang diperhitungan
terbatas pada anggota kelompok, jumlah kelompok serta kepercayaan sedangkan
modal sosial merupakan kondisi yang kompleks.
Krishna dan Shrader (1999) menyusun Social Capital Assessment Tool
(SCAT) yaitu merupakan seperangkat indikator dan metodologi untuk mengukur
tingkat kognitif dan struktur modal sosial dalam masyarakat yang ditunjuk sebagai
penerima proyek-proyek pembangunan atau pengembangan. SCAT mengacu pada
data kualitatif dan kuantitatif berguna untuk menentukan tingkat dasar dari modal
sosial. SCAT ini telah dipergunakan dalam 26 kegiatan penelitian di 15 negara
untuk melihat potensi pembangunan wilayah terkait bantuan yang akan diberikan
oleh Bank Dunia.
68 Komponen yang dipergunakan dalam SCAT adalah tingkat komunitas
yang mengintegrasikan metode kualitatif partisipatif dengan instrumen survei
masyarakat untuk menilai berbagai unsur modal sosial, termasuk identifikasi
profil masyarakat, tindakan kolektif yang pro aktif, solidaritas kepedulian
terahadap sesama, resolusi dan penyelesaian konflik, pro aktif dalam pengambilan
keputusan, jaringan kelembagaan, kepadatan organisasi, dan profil organisasi
yang dirancang untuk melukiskan hubungan dan jaringan yang ada di antara
lembaga formal dan informal dengan menggunakan sistem penilaian. Lenggono
(2004) melakukan penelitian modal sosial dalam pengelolaan tambak di Desa
Muara Pantau, Kabupaten Kutai Kartanegara dengan menggunakan SCAT dari
Krishna dan Shrader (1999) kemudian mengkalisfikasikannya menjadi 4 (empat)
tingkatan modal sosial sesuai dengan usulan Uphoff, yaitu minimal, rendah,
sedang, dan tinggi.
Unsur-unsur modal sosial yang digunakan dalam penelitian modal sosial
berbeda-beda. Seperti halnya menurut Hasbullah (2006), Social Capital
Community Bencmark Survey di Amerika menggunakan unsur-unsur modal sosial
yang terdiri dari sosialisasi, kepercayaan, jaringan sosial, tipe organisasi, tindakan
yang pro aktif, frekuensi kontak antar keluarga, frekuensi penggunaan internet,
dan partisipasi dalam mengunjungi tempat ibadah. Sedangkan Survey of Civic
Involment di Amerika menggunakan unsur-unsur modal sosial yang terdiri dari
keterlibatan sosial, keterkaitan dan keterikatan pada komunitas, serta keterlibatan
politik. Di Inggris pengumpulan data modal sosial yang dilakukan oleh United
Kingdom Nasional Statistics, menggunakan unsur-unsur modal sosial yang terdiri
dari kepercayaan (trust), keimbalbalikan (reciprocity), jaringan (network),
partisipasi publik, keterlibatan sipil (civil engagement), dan norma (norm).
Statistics Canada juga melakukan penelitian modal sosial dengan fokus unsur
modal sosial yaitu pemberian (giving), tugas sukarela (volunteering), dan
partisipasi (participating). Australia melalui Australian Bureau of Statistics (ABS)
melakukan survey modal sosial pada tahun 2002 dengan menggunakan unsurunsur modal sosial yang terdiri dari jaringan sosial dan struktur pemberian
dukungan, partisipasi sosial dan komunitas, keterlibatan dan pemberdayaan sipil,
tingkat rasa percaya pada sesama dan institusi, toleransi, dan pekerjaan yang
69 bersifat voluntir. Sedangkan di New South Walles, Bullen dan Jenny Onyx pada
tahun 1998 melakukan survei modal sosial dengan judul Social Capital: Family
Support Services, Neighbourhood and Community, and Community Centres in
New South Walles dengan menggunakan 8 unsur modal sosial yang terdiri dari
partisipasi di komunitas lokal, tindakan pro aktif dalam kegiatan sosial, perasaan
percaya dan aman, koneksi antar tetangga, koneksi antar teman dan keluarga,
toleransi, nilai hidup dan kehidupan, serta jaringan kerja.
Beberapa peneliti menggunakan indikator (unsur modal sosial) komposit,
yang merupakan gabungan dari beberapa unsur modal sosial. Beberapa lainnya
cenderung menggunakan sederetan indikator semata untuk membandingkan dan
mengetahui besaran dan kecenderungan masing-masing unsur-unsur modal sosial
(Hasbullah 2006).
Penelitian modal sosial masyarakat di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III
menggunakan pendekatan beberapa unsur modal sosial yang membentuk modal
sosial untuk mengetahui kontribusi pengaruh setiap unsur modal sosial terhadap
modal sosial dengan unsur-unsur dan penilaian modal sosial modifikasi dari
SCAT Krishna dan Shrader (2009) dan menggunakan unsur-unsur pembentuk
modal sosial yang mengarah kepada pengembangan ekowisata, yaitu kepercayaan,
jaringan sosial, norma sosial, tindakan yang pro aktif, kepedulian terhadap sesama
dan lingkungan, serta kondisi sosial ekonomi. Setelah modal sosial berhasil dinilai
secara kuantitatif, selanjutnya mengklasifikasikannya menjadi 3 tingkatan yaitu
rendah, sedang, dan tinggi berdasarkan perhitungan rataan quartil statistik.
Hubungan pengaruh unsur-unsur modal sosial terhadap modal sosial dilihat
dengan menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA) (Wijayanto 2007).
5.1.1
Kepercayaan (Trust)
Nilai kepercayaan masyarakat dari masing-masing dusun berdasarkan
Social Capital Assessment Tools dapat dilihat pada Tabel 5.1.
70 Tabel 5.1 Nilai kepercayaan masyarakat Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III
No
Sub Unsur Kepercayaan
1
2
Kepercayaan terhadap PT. KPC
Kepercayaan
terhadap
tokoh
masyarakat/tokoh adat
Kepercayaan terhadap norma adat
Kepercayaan terhadap sesama warga
Kepercayaan terhadap penyelenggaraan
upacara adat
Kepercayaan terhadap pihak luar/LSM
Kepercayaan
terhadap
pemerintah
daerah
Jumlah
3
4
5
6
7
Dusun Kabo Jaya
∑
RataSkor
rata
280
2,80 ≈ 3
226
2,26 ≈ 2
Dusun G III
∑
RataSkor
rata
282 2,82 ≈ 3
227 2,27 ≈ 2
248
224
248
2,48 ≈ 2
2,24 ≈ 2
2,48 ≈ 2
246
242
149
2,46 ≈ 2
2,42 ≈ 2
1,49 ≈ 1
166
198
1,66 ≈ 2
1,98 ≈ 2
139
149
1,39 ≈ 1
1,49 ≈ 1
15
12
Keterangan: masing-masing dusun 100 responden; nilai 1 (tidak ada); 2 (kadang-kadang); dan 3
(ada)
Pada umumnya masyarakat di Dusun Kabo Jaya maupun di Dusun G III
lebih percaya kepada PT. KPC dibandingkan dengan Pemerintah Daerah (Pemda)
Kutai Timur. Hal ini disebabkan keberadaan Pemda Kutai Timur bermula dari
adanya PT. KPC. Kepercayaan masyarakat terhadap tokoh adat dan norma adat
bernilai sedang karena peranan dari tokoh adat sudah mulai tergeserkan oleh
peranan pemerintahan desa. Harmonisasi yang terdapat dalam kehidupan
masyarakatnya yang multi-etnik mengurangi peran tokoh adat. Kepercayaan
terhadap Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Dusun G III bernilai rendah
karena banyaknya program yang dijanjikan oleh LSM yang tidak terlaksana.
Berbeda halnya dengan masyarakat di Dusun Kabo Jaya yang masih memiliki
kepercayan
terhadap
LSM,
terbukti
dengan
adanya
program-program
pendampingan pengembangan Ekowisata Kabo Jaya oleh CIFOR, PILI, dan
BIKAL.
5.1.2
Jaringan Sosial (Social Networking)
Nilai jaringan sosial masyarakat dari masing-masing dusun berdasarkan
Social Capital Assessment Tools dapat dilihat pada Tabel 5.2.
71 Tabel 5.2 Nilai jaringan sosial masyarakat Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III
No
Sub Unsur Jaringan Sosial
1
2
Ikatan kerjasama dengan pemerintah
Ikatan
kerjasama
dengan
swasta/perusahaan
Ikatan kelembagaan
Kerelaan dalam membangun jaringan
kerjasama antar sesama
Keterbukaan
dalam
melakukan
hubungan atau jaringan sosial/kerja
dengan siapapun
Motivasi untuk melakukan hubungan
atau jaringan sosial/kerja
Keaktifan dalam menyelesaikan konflik
Keaktifan dalam memelihara dan
mengembangkan
hubungan
atau
jaringan sosial/kerja yang lebih baik
Jumlah
3
4
5
6
7
8
Dusun Kabo
Jaya
∑
RataSkor
rata
136 1,36 ≈ 1
172 1,72 ≈ 2
Dusun G III
∑
Skor
107
174
Ratarata
1,07 ≈ 1
1,74 ≈ 2
116
162
1,16 ≈ 1
1,62 ≈ 2
103
149
1,03 ≈ 1
1,49 ≈ 1
160
1,60 ≈ 2
149
1,49 ≈ 1
160
1,60 ≈ 2
164
1,64 ≈ 2
158
134
1,58 ≈ 2
1,34 ≈ 1
125
102
1,25 ≈ 1
1,02 ≈ 1
13
10
Keterangan: masing-masing dusun 100 responden, nilai 1 (tidak ada) dan nilai 2 (ada)
Ikatan kerjasama masyarakat Dusun Kabo Jaya maupun Dusun G III
dengan pemerintah bernilai rendah, yang ditunjukkan oleh banyaknya kerjasama
antara masyarakat dengan pihak swasta (PT. KPC) terutama dalam kegiatan
pemberdayaan masyarakat. Khusus Dusun Kabo Jaya ada kerjasama antara PT.
KPC dengan CIFOR, PILI, dan BIKAL dalam pengembangan Ekowisata Kabo
Jaya yang dikelola oleh masyarakat setempat dengan TNK. Ikatan kerjasama ini
menciptakan terjadinya beberapa bentuk interaksi yaitu antar individu dalam satu
kelompok, antar individu beda kelompok, antar individu dengan kelompok, dan
antar kelompok.
Ikatan kelembagaan di kedua dusun ini rendah karena kelembagaan
dianggap kurang penting dan masyarakat tidak memiliki waktu banyak untuk aktif
dalam kegiatan kelembagaan, masyarakat banyak menggunakan waktu untuk
bekerja sebagai karyawan PT. KPC dan perusahaan kontraktornya. Keaktifan
dalam memeliharaan dan mengembangkan jaringan sosial juga rendah walaupun
motivasi untuk menciptakan hubungan atau jaringan sosial/kerja tinggi. Hal ini
dipengaruhi oleh banyaknya bantuan yang diberikan pihak PT. KPC untuk
pemberdayaan masyarakat, sehingga menyebabkan ketidakaktifan masyarakat
dalam mencari peluang kerjasama. Jaringan kerjasama dengan sesama warga dan
72 keaktifan dalam penyelesaian konflik, pada masyarakat Dusun G III yang
sebagian besar adalah karyawan swasta, tidak ada karena sebagian besar waktu
digunakan untuk bekerja. Selain itu mereka berpendapat bahwa konflik di
masyarakat jarang terjadi dan jika terjadi merupakan tanggung jawab Ketua
Rukun Tetangga (RT) atau Kepala Desa untuk menyelesaikan. Nilai motivasi
dalam melakukan jaringan kerjasama di kedua dusun ini tinggi. Masyarakat
berpendapat bahwa kerjasama harus dapat memberikan manfaat dan kemajuan
bagi masyarakat. Sedangkan untuk nilai keterbukaan masyarakat di Dusun G III
rendah dibandingkan dengan Dusun Kabo Jaya karena belajar dari pengalaman
sebelumnya beberapa LSM melakukan kerjasama tetapi tidak berhasil terlaksana.
5.1.3
Norma Sosial (Social Norm)
Nilai norma sosial masyarakat dari masing-masing desa berdasarkan
Social Capital Assessment Tools dapat dilihat pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3 Nilai norma sosial masyarakat Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III
No
Sub Unsur Norma Sosial
1
Adanya
norma
sosial
dalam
komunitas
Ketaatan terhadap norma agama
Ketaatan terhadap norma kesusilaan
yang berlaku
Ketaatan terhadap norma kesopanan
yang berlaku
Ketaatan terhadap norma adat
Ketaatan terhadap aturan pemerintah
Jumlah
2
3
4
5
6
Dusun Kabo
Jaya
∑
RataSkor
rata
196
1,96 ≈ 2
Dusun G III
∑
Skor
196
Ratarata
1,96 ≈ 2
284
284
2,84 ≈ 3
2,84 ≈ 3
248
245
2,48 ≈ 2
2,45 ≈ 2
284
2,84 ≈ 3
245
2,45 ≈ 2
240
232
2,40 ≈ 2
2,32 ≈ 2
15
213
216
2,13 ≈ 2
2,16 ≈ 2
12
Keterangan: masing-masing dusun 100 responden, nilai 1 (tidak ada/tidak taat), nilai 2
(ada/kadang-kadang), dan nilai 3 (taat)
Norma sosial, yang terdiri dari norma agama, kesusilaan, kesopanan, dan
adat dalam komunitas dapat ditemui dan diakui keberadaanya oleh masyarakat
Dusun Kabo Jaya maupun Dusun G III walaupun multi-etnik dan multi agama
tetapi mereka saling menghargai perbedaan. Tabel 5.3 menunjukkan bahwa dalam
pelaksanaannya, nilai ketaatan terhadap norma agama, kesusilaan, dan kesopanan
untuk masyarakat Dusun Kabo Jaya bernilai tinggi dan di Dusun G III adalah
73 bernilai sedang. Sedangkankan nilai ketaatan terhadap norma adat dan aturan
pemerintah di kedua dusun adalah bernilai sedang. Sehingga untuk Dusun Kabo
Jaya, norma sosial dapat dijadikan sebagai modal utama dalam pengembangan
ekowisata ke arah budaya.
5.1.4 Tindakan yang Pro Aktif
Nilai tindakan yang pro aktif masyarakat dari masing-masing desa
berdasarkan Social Capital Assessment Tools dapat dilihat pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4 Nilai tindakan yang pro aktif masyarakat Dusun Kabo Jaya dan
Dusun G III
No
Sub Unsur Tindakan yang Pro Aktif
1
Tingkat keinginan untuk menambah
dan membagi pengalaman terhadap
sesame
Frekuensi
mengikuti
kegiatan
organisasi sosial
Jumlah organisasi yang diikuti
Partisipasi
dalam
pengambilan
keputusan pada organisasi sosial
Jumlah
2
3
4
Dusun Kabo
Jaya
∑
RataSkor
rata
222
2,22 ≈ 2
Dusun G III
∑
Skor
209
Ratarata
2,09 ≈ 2
156
1,56 ≈ 2
126
1,26 ≈ 1
120
138
1,20 ≈ 1
1,38 ≈ 1
106
116
1,06 ≈ 1
1,16 ≈ 1
6
5
Keterangan: masing-masing dusun 100 responden, nilai 1 (rendah), nilai 2 (sedang), dan nilai 3
(tinggi)
Tindakan pro aktif yang sangat mencolok pada masyarakat Dusun Kabo
Jaya maupun Dusun G III adalah keinginan untuk menambah dan membagi
pengalaman terhadap sesama. Sayangnya hal ini tidak diikuti oleh tindakan pro
aktif yang lain, seperti frekuensi mengikuti organisasi, jumlah organisasi yang
diikuti, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan yang masih tergolong
rendah. Menurut masyarakat, hal ini disebabkan oleh banyaknya curahan waktu
yang dipergunakan untuk bekerja, sehingga tidak dapat pro aktif dalam kegiatan
organisasi kemasyarakatan. Namun demikian frekuensi keikutsertaan dalam
kegiatan organisasi di Dusun Kabo Jaya bernilai sedang karena masih berjalannya
kegiatan-kegiatan organisasi kemasyarakatan, seperti Kelompok Ekowisata Kabo
Jaya, Kelompok Tani Maju Makmur, PKK, Posyandu, dan LKMD.
74 5.1.5
Kepeduliaan terhadap Sesama dan Lingkungan
Nilai kepedulian terhadap sesama dan lingkungan masyarakat dari masing-
masing desa berdasarkan Social Capital Assessment Tools dapat dilihat pada
Tabel 5.5.
Tabel 5.5 Nilai kepedulian terhadap sesama dan lingkungan masyarakat
Dusun Kabo Jaya dan Desa G III
No
1
2
3
4
5
Sub Unsur Kepedulian terhadap
Sesama dan Lingkungan
Kepedulian terhadap sesama
Kepedulian terhadap lingkungan
Kedekatan dengan orang yang diberi
perhatian
Motivasi untuk memperhatikan dan
membantu orang lain
Motivasi
untuk
menjaga
dan
melestarikan lingkungan
Jumlah
Dusun Kabo Jaya
∑
RataSkor
rata
238
2,38 ≈ 2
240
2,40 ≈ 2
244
2,44 ≈ 2
Dusun G III
∑
RataSkor
rata
246
2,46 ≈ 2
252
2,52 ≈ 3
233
2,33 ≈ 2
254
2,54 ≈ 3
237
2,37 ≈ 2
260
2,60 ≈ 3
264
2,64 ≈ 3
12
12
Keterangan: masing-masing dusun 100 responden, nilai 1 (rendah), 2 (sedang), dan 3 (tinggi)
Masyarakat Dusun Kabo Jaya maupun Dusun G III cukup peduli terhadap
sesama dan lingkungan yang ditunjukkan oleh nilai untuk setiap unsurnya berkisar
antara sedang sampai tinggi. Kepedulian ini didasarkan pada perasaan senasib
karena sama-sama berada di perantauan. Pada umumnya masyarakat sudah paham
akan pentingnya lingkungan karena semua masyarakat Dusun Kabo Jaya dan
Dusun III G memiliki tingkat pendidikan yang cukup baik yaitu sebagian besar
tamatan Sekolah Menengah Atas (SMU) (Desa Swarga Bara 2009 dan Desa Singa
Gembara 2009).
5.1.6
Kondisi Sosial Ekonomi
Nilai sosial ekonomi masyarakat dari masing-masing desa berdasarkan
Social Capital Assessment Tools dapat dilihat pada Tabel 5.6.
Tabel 5.6 Nilai karakteristik masyarakat Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III
Dusun Kabo Jaya
Sub Unsur
Karakteristik
∑ Skor / Kriteria
Masyarakat
Penilaian
A. Kependudukan
1 Lama tinggal di 206
lokasi
yang
bersangkutan
2 Banyak rumah > 250 KK
No
Desa G III
Ratarata
∑ Skor
Ratarata
2,06
≈2
193
1,93
≈2
1
> 250 KK
1
75 Lanjutan Tabel 5.6
Sub Unsur
Karakteristik
Masyarakat
tangga dalam
komunitas
3 Dalam 3 tahun
terakhir jumlah
orang
yang
tinggal dalam
komunitas
4 Dalam 3 tahun
terakhir kondisi
ketersediaan
lapangan
pekerjaan
5 Kesediaan
tinggal pasca
tambang
B. Aksesibilitas
1 Rute
utama
yang digunakan
untuk
menjangkau
komunitas
selama musim
hujan
2 Rute
utama
yang digunakan
untuk
menjangkau
komunitas
selama musim
kemarau
3 Ketersediaan
sarana
komunikasi
(pesawat
telepon/hp, TV,
dan
antena
parabola)
4 Ketersediaan
kantor pos
5 Pelayanan
kantor
pos
dalam 3 tahun
terakhir
6 Pelayanan
kantor
pos
sekarang ini
7 Anggota
komunitas yang
mendapat akses
No
Dusun Kabo Jaya
∑ Skor / Kriteria
RataPenilaian
rata
Desa G III
∑ Skor
Ratarata
Meningkat
3
Meningkat
3
Meningkat
3
Meningkat
3
192 atau 96 % bersedia 1,92
tinggal pasca tambang
≈2
186 atau 93 % bersedia 1,86
tinggal pasca tambang
≈2
Jalan aspal
7
Jalan aspal
7
Jalan aspal
7
Jalan aspal
7
Tersedia
2
Tersedia
2
Ada
2
Ada
2
286
2,86
≈3
290
2,90
≈3
444
4,44
≈4
464
4,64
≈5
272
2,72
≈3
261
2,61
≈3
76 Lanjutan Tabel 5.6
Sub Unsur
Karakteristik
Masyarakat
internet
8 Pelayanan
sistem
angkutan
umum
9 Angkutan
umum
yang
tersedia
10 Pada 3 tahun
terakhir
kualitas
jasa
dari angkutan
umum
11 Penggunaan
angkutan
umum yang ada
12 Alat
transportasi
yang digunakan
menuju
komunitas lain
C. Perumahan
1 Ketersediaan
rumah
untuk
komunitas
2 Kondisi
perumahan
dalam
komunitas
dalam 3 tahun
terakhir
D. Kondisi Sosial
1 Mutu
dari
hidup
masyarakat
yang
tinggal
dalam
komunitas
(mata
pencaharian,
keselamatan
dan
jaminan
keamanan,
lingkungan,
rumah) dalam 3
tahun terhakhir
2 Taraf
hidup
komunitas
3 Jaminan
No
Dusun Kabo Jaya
∑ Skor / Kriteria
RataPenilaian
rata
Desa G III
∑ Skor
Ratarata
Ya dilayani
2
Ya dilayani
2
Setiap hari
3
Setiap hari
3
258
2,58
≈3
238
2,38
≈2
366
3,66
≈4
323
3,23
≈3
484
4,84
≈5
477
4,77
≈5
196
1,96
≈2
192
1,92
≈2
284
2,84
≈3
234
2,34
≈2
264
2,64
≈3
235
2,35
≈2
288
2,88
≈3
2
288
2,88
≈3
1,93
200
193
77 Lanjutan Tabel 5.6
Sub Unsur
Karakteristik
Masyarakat
keamanan
4 Penyediaan
jasa keamanan
5 Peruntukan
penyediaan jasa
keamanan
6 Mutu
pelayanan
keamanan
dalam 3 tahun
terakhir
E. Pendidikan
1 Kondisi sarana
pendidikan
2 Kondisi tingkat
pendidikan
komunitas
(umur belum
sekolah tidak
diperhitungkan)
3 Ketersediaan
sekolah
4 Komunitas
yang buta huruf
F. Kesehatan
1 Ketersediaan
klinik
kesehatan
2 Ketersediaan
perlengkapan
klinik
kesehatan:
a. Obat-obatan
dasar
b.
Alat
perlengkapan
c.
Kamar
perawatan
d. Ambulance
e. Dokter
f. Perawat
g.
pegawai
kesehatan
Jumlah
No
Dusun Kabo Jaya
∑ Skor / Kriteria
RataPenilaian
rata
Desa G III
∑ Skor
Ratarata
≈2
3
Warga
3
Warga
346
3,46
≈3
339
3,39
≈3
258
2,58
≈3
237
2,37
≈2
246
2,46
≈2
3
244
2,44
≈2
3
Tersedia
2
Tersedia
2
Sangat sedikit
4
Sangat sedikit
4
Tersedia
2
Tersedia
2
Cukup
3
Cukup
3
Cukup
3
Cukup
3
Cukup
3
Cukup
3
Cukup
Cukup
Cukup
Cukup
3
3
3
3
Cukup
Cukup
Cukup
Cukup
3
3
3
3
112
108
Keterangan: Masing-masing dusun 100 responden (untuk sub unsur A1, B3, B5-B7, B10-BB12,
C1-C2, D1-D3, D5-D6, dan E1). Sumber penilaian dari hasil wawancara mendalam
dengan pihak terkait dan dokumen-dokumen yang mendukung item penilaian sub
unsur karakteristik masyarakat
78 Kondisi sosial
ekonomi
masyarakat (kependudukan,
aksesibilitas,
perumahan, sosial, pendidikan, dan kesehatan) berdasarkan hasil penilaian di
Dusun Kabo Jaya maupun Dusun G III dapat dikatakan baik, dengan nilai untuk
Dusun Kabo Jaya (112) dan Dusun G III (108). Hal ini tidak terlepas dari
pengaruh keberadaan PT. KPC yang menyediakan beragam fasilitas dan layanan
umum banyak disediakan oleh perusahaan, sebagai mana diutarakan hasil
penelitian Darwono (1995).
5.1.7
Ketercukupan Modal Sosial dalam Pengembangan Ekowisata
Ketercukupan modal sosial untuk pengembangan ekowisata di Dusun
Kabo Jaya dan Dusun G III berdasarkan hasil penilaian mengunakan modifikasi
Social Capital Assessment Tools dari Krishna dan Shrader (1999) dapat dilihat
pada Tabel 5.7.
Tabel 5.7 Ketercukupun modal sosial dalam pengembangan ekowisata di
Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III
Skor
No
1
2
3
4
5
6
Unsur Modal Sosial
Kepercayaan
Jaringan sosial
Norma sosial
Tindakan pro aktif
Kepedulian terhadap sesama
lingkungan
Karakteristik masyarakat
Total
Dusun
Kabo Jaya
15
13
15
6
12
dan
Dusun G
III
12
10
12
5
12
112
108
173
159
(TINGGI) (SEDANG)
Selang
Nilai
Terendah
–
Tertinggi
(7 – 21)
(8 – 16)
(6 – 17)
(4 – 12)
(5 – 15)
(37 – 124)
(67 – 205)
Selang Nilai = X max – X min = 205 – 67 = 46
3
3
Dimana: X max : Nilai maksimum (205: hasil penjumlahan nilai max)
X min
: Nilai minimum (67: hasil penjumlahan nilai min)
N
: Jumlah kategori tingkatan (3: tidak cukup, sedang,
dan cukup)
Sehingga skala penilaian yang didapatkan sebagai berikut:
a. Modal sosial dalam kegiatan ekowisata tinggi, jika jumlah skor mencapai
160 – 205 (dalam arti ekowisata dapat dengan mudah dikembangkan
dilihat dari modal sosial yang dimiliki)
79 b. Modal sosial dalam kegiatan ekowisata sedang, jika jumlah skor mencapai
114 – 159 (dalam arti ekowisata dapat dikembangkan dilihat dari modal
sosial yang dimiliki tetapi tidak semudah pada point a dengan tingkatan
modal sosial tinggi)
c. Modal sosial dalam kegaitan ekowisata rendah, jika jumlah skor mencapai
67 – 113 (dalam arti ekowisata sulit untuk dikembangkan dilihat dari
modal sosial yang dimiliki).
Nilai modal sosial di Dusun Kabo Jaya adalah 173 (tinggi) dan di Dusun
G III adalah 159 (sedang) yang berarti bahwa ekowisata dapat dikembangkan di
kedua dusun tersebut, namun akan lebih mudah mengembangknnya di Dusun
Kabo Jaya terkait dengan sudah terbentuknya Kelompok Ekowisata Kabo Jaya
seperti halnya menurut Weiler dan Laing (2009), bahwa keterlibatan stakeholder
atau organisasi kelompok akan terbentuk jaringan sosial yang merupakan modal
sosial untuk mendukung keberhasilan dan keberlanjutan suatu pengembangan
ekowisata. Unsur modal sosial yang bernilai rendah di kedua dusun unsur
tindakan pro aktif. Sedangkan khusus untuk Dusun G III, unsur modal sosial yang
juga dinilai rendah adalah jaringan sosial.
Menurut Hasbullah (2006), angka-angka yang dihasilkan dari perhitungan
modal sosial tidak harus dipandang sebagai the end result. Melainkan harus
dipandang sebagai indikator simbolik yang memberi sinyal bahwa dimensi modal
sosial merupakan pilihan fokus kebijakan pembangunan atau pengembangan.
Maka, setelah nilai dan hubungan pengaruh unsur-unsur modal sosial diketahui
selanjutnya membuat arahan kebijakan untuk pengembangan ekowisata.
5.2
Hubungan Pengaruh Unsur-unsur Modal Sosial terhadap Modal
Sosial
Hubungan pengaruh unsur-unsur modal sosial terhadap modal sosial yang
terbentuk menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA) sesuai Wijayanto
(2007), model CFA tepat digunakan untuk pengambilan kesimpulan ilmiah dalam
ilmu sosial yang kompleks. CFA terdiri dari variabel laten (modal sosial) dan
variabel teramati (unsur-unsur modal sosial). Model pengukuran ini berusaha
untuk mengkonfirmasi apakah unsur-unsur modal sosial sebagai variabel teramati
80 merupakan refleksi dari modal sosial sebagai variabel laten. CFA menggunakan
software SPSS 18 dan LISREL 8.30.
5.2.1
Hubungan Pengaruh Unsur-unsur Modal Sosial Dusun Kabo Jaya
Hasil analisis hubungan pengaruh nyata (T-Value) antar variabel unsur
modal sosial terhadap modal sosial untuk Dusun Kabo Jaya mendapatkan hasil
sebagai berikut: (a) kepercayaan (27,45) dengan estimasi koefisien pengaruh ( )
0,63; (b) partisipasi dalam suatu jaringan (31,75) dengan ( ) 0,88 ; (c) norma
sosial (37,37) dengan (β) 1,00; (d) tindakan yang proaktif (31,98) dengan ( )
0,84; serta (e) kepedulian terhadap sesama dan lingkungan (25,75) dengan ( )
0,66.
Jika T-Value ≥ T-Tabel (1,96), maka variabel unsur modal sosial
berpengaruh nyata terhadap modal sosial. Semua unsur modal sosial di Dusun
Kabo Jaya berpengaruh nyata terhadap modal sosial. Nilai estimasi koefisien
pengaruh menggambarkan semakin besar nilainya maka semakin besar kontribusi
pengaruhnya terhadap modal sosial. Unsur modal sosial di Dusun Kabo Jaya yang
paling berpengaruh adalah norma sosial dengan ( ) 1,00.
5.5.2 Hubungan Pengaruh Unsur-unsur Modal Sosial Dusun G III
Hasil analisis hubungan pengaruh nyata (T-Value) antar variabel unsur
modal sosial terhadap modal sosial untuk Dusun G III mendapatkan hasil sebagai
berikut: (a) kepercayaan (29,00) dengan ( ) 0,77; (b) partisipasi dalam suatu
jaringan (28,66) dengan ( ) 0,81; (c) norma sosial (27,72) dengan ( ) 0,81; (d)
tindakan yang proaktif (28,99) dengan ( ) 0,16; serta (e) kepedulian terhadap
sesama dan lingkungan (31,88) dengan ( ) 1,00.
Jika T-Value ≥ T-Tabel (1,96), maka variabel unsur modal sosial
berpengaruh nyata. Unsur modal sosial di Dusun G III berpengaruh nyata semua
terhadap modal sosial. Nilai estimasi koefisien pengaruh menggambarkan
semakin besar nilainya maka semakin besar kontribusi pengaruhnya terhadap
modal sosial. Unsur modal sosial di Dusun G III adalah kepedulian terhadap
sesama dan lingkungan dengan ( ) 1,00.
81 VI. KEBIJAKAN DAN DUKUNGAN PENGEMBANGAN EKOWISATA
6.1
Kebijakan Pengembangan Ekowisata
Modal sosial adalah sebuah konsep yang menggambarkan suatu situasi
sosial. Menurut Hasbullah (2006), modal sosial sebagai suatu konsep akan
kehilangan makna pentingnya ketika konsep tersebut tidak atau kurang diterapkan
ke dalam kebijakan-kebijakan. Arah kebijakan pengembangan ekowisata Dusun
Kabo Jaya dan Dusun G III dapat dirumuskan berdasarkan kondisi modal sosial
yang dimiliki masyarakat dengan melihat kebijakan pengembangan ekowisata
yang sudah ada dari setiap stakeholder (TNK, PT. KPC, dan Pemerintah Daerah
Kutai Timur).
6.1.1
Taman Nasional Kutai (TNK)
Pengembangan pariwisata alam di kawasan TNK secara yuridis diatur
dalam UU No 5 Tahun 1990, PP No 36 Tahun 2010, dan PP No 68 Tahun 1998
menyebutkan bahwa pengembangan pariwisata alam di kawasan taman nasional
diarahkan pada tercapainya pelestarian Sumbedaya Alam Hayati dan Ekosistem
serta mendukung upaya peningkatan kesejahteraan dan mutu kehidupan
masyarakat. Berdasarkan Keppres No 32 Tahun 1990, TNK merupakan kawasan
lindung dan termasuk ke dalam kawasan suaka alam dan cagar budaya yang
mempunyai fungsi uatama sebagai kawasan pelestarian alam. Sehingga
pengembangan ekowisata dilakukan dengan pelibatan masyarakat sekitar, seperti
pelibatan Kelompok Ekowisata Kabo Jaya dalam kegiatan ekowisata Prevab.
Selain itu Undang-undang nomor 10 Tahun 2009 mengatur pengembangan
pariwisata alam di TNK sebagai bagian integral dari pembangunan kepariwisataan
daerah dan kepariwisataan nasional.
Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Taman Nasional Kutai khusus untuk
ekowisata dengan visi terwujudnya sumberdaya alam di TNK yang memberi
manfaat untuk kelestarian alam dan kesejahteraan masyarakat. Adapun misinya
yaitu mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan secara
berkelanjutan dan berkeadilan sosial
82 6.1.2
PT. Kaltim Prima Coal (PT. KPC)
PT. KPC mendukung pengembangan kepariwisataan regional atau lokal di
areal bekas atau sekitar tambang dengan mengacu pada regulasi di daerah serta
persepsi dan preferensi masyarakat sebagai bentuk realisasi paradigma baru
pengelolaan hutan untuk memperdayakan masyarakat. PT. KPC menurut Pusat
Litbang Hutan dan Konservasi Alam (2009), mempunyai desain restorasi
ekosistem lahan bekas tambang yang disinkronisasikan dengan RENSTRA
Daerah dengan mendesain zonasi wisata 10 % dari luas areal perusahaan dengan
konsep wisata antara lain ekowisata, agrowisata, wisata buru, areal wisata buatan,
taman rekresi, dan danau buatan. Kebijakan lainnya adalah menetapkan
pengembangan Ekowisata Kabo Jaya sebagai prioritas utama selama masa operasi
pertambangan untuk pengalihan wisata menuju Pantai Tanjung Bara dengan
pertimbangan keselamatan pengunjung.
6.1.3
Pemerintah Daerah Kutai Timur
Kebijakan pengembangan ekowisata Kabupaten Kutai Timur yang
tertuang dalam Masterplan Pengembangan Pariwisata Kabupaten Kutai Timur
2009 (Bappeda Kabupaten Kutai Timur 2009), diprioritaskan pada pengembangan
zona wisata Sangata dengan produk yang akan dikembangkan berupa wisata
perkotaan, wisata pantai, dan ekowisata ditempatkan pada prioritas pertama dalam
pengembangan. Faktor yang dipertimbangkan dalam tahapan pengembangan
kewilayahan ini adalah kemudahan pengembangan infrastruktur yang signifikan
dengan sistem perkotaan yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kabupaten Kutai Timur. Penetapan Kawasan Sangata sebagai
tahap pertama pengembangan adalah berdasarkan pertimbangan perlunya pusat
fasilitas dan informasi yang akan berperan sebagai gerbang atau pintu masuk bagi
pengembangan pariwisata di Kutai Timur.
Kebijakan dalam pengembangan ekowisata Prevab adalah membantu TNK
dalam kegiatan promosi. Namun Pemerintah Daerah Kutai Timur belum memiliki
kebijakan secara khusus untuk pengembangan ekowisata Dusun Kabo Jaya, Pantai
Tanjung Bara, dan Hutan Mangrove Tanjung Bara.
83 6.2
Dukungan Pengembangan Ekowisata
6.2.1
Pemerintah Desa/Kepala Desa
Menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes),
Dusun Kabo Jaya sebagai lokasi uji coba pengembangan wisata bertanggung
jawab berbasis masyarakat. Berdasarkan komposisi penduduk beranekaragam
suku yang menjadi potensi wisata budaya (PILI et al. 2010).
Kepala Desa Desa Swarga Bara sangat mendukung pengembangan
ekowisata di Dusun Kabo Jaya. Kepala Desa Swarga Bara sebagai pelindung
Ekowisata Kabo Jaya dan ikut aktif terlibat langsung dalam setiap kegiatan,
seperti mengikuti pelatihan dan studi banding pengembangan ekowisata yang
diadakan oleh PILI, dan BIKAL. Selain itu, kepala desa memberikan kebijakan
untuk sementara waktu perpustakaan desa dijadikan pusat informasi Ekowisata
Kabo Jaya.
Kepala Desa Singa Gembara pada saat ini belum mempunyai kebijakan
dalam pengembangan ekowisata di Dusun G III karena kegiatan ekowisata di
sekitar Dusun G III berupa ekowisata Pantai Tanjung Bara dan Hutan Mangrove
Tanjung Bara masih dikelola oleh PT. KPC sehingga pemerintah desa tidak
terlibat dalam kegiatan ekoiwsata tersebut. Namun memasuki pasca tambang dan
objek Pantai Tanjung Bara dan Hutan Mangrove Tanjung Bara diserahkan kepada
Pemerintah Daerah Kutai Timur, Kepala Desa Singa Gembara mendukung
pengembangan ekowisata Pantai dan Hutan Mangrove Tanjung Bara dengan
pelibatan masyarakat Dusun G III sebagai masyarakat terdekat ke objek tersebut.
6.2.2
Tokoh Adat/Tokoh Masyarakat
Tokoh adat atau tokoh masyarakat di Dusun Kabo Jaya sangat mendukung
pengembangan ekowisata yang sekarang sedang dirintis dalam kegiatan
Ekowisata Kabo Jaya, terutama ekowisata yang mengarah terhadap pengenalan
budaya masing-masing suku. Sehingga masyarakat dapat memperkenalkan dan
melestarikan budaya masing-masing sukunya di daerah perantauan.
84 Tokoh adat atau tokoh masyarakat di Dusun G III pada dasarnya
mendukung pengembangan ekowisata dengan tujuan untuk kesejahteraan
masyarakat dan tetap menjaga kelestarian lingkungan. Namun saat ini kegiatan
ekowisata di Dusun G III yang dikelola masyarakat belum ada karena masih
dikelola langsung oleh PT. KPC dengan pertimbangan keselamatan pengunjung
dan lokasi objek ekowisata berada dalam daerah objek vital nasional.
6.2.3
Masyarakat
Masyarakat Dusun Kabo Jaya mendukung pengembangan ekowisata. Hal
ini dapat dilihat berdasarkan hasil wawancara, bahwa 92 % masyarakat bersedia
tetap tinggal di dusun pasca tambang PT. KPC dan 56 % masyarakat bersedia
terlibat dalam pengembangan ekowisata.
Masyarakat Dusun G III pada saat sekarang masih kurang mendukung
pengembangan ekowisata. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat 86 %
masyarakat bersedia tetap tinggal di dusun pasca tambang PT. KPC dan 33 %
masyarakat bersedia terlibat dalam pengembangan ekowisata. Kesediaan
masyarakat terlibat dalam pengembangan ekowisata rendah karena hal ini pada
umumnya masyarakat di Dusun G III bekerja sebagai karyawan PT. KPC dan
perusahaan kontraktor PT. KPC serta kegiatan ekowisata yang ada di Pantai
Tanjung Bara dan Hutan Mangrove Tanjung Bara masih dikelola oleh PT. KPC.
6.2.4
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang sudah terlibat dalam
pengembangan ekowisata di Dusun Kabo Jaya, yaitu CIFOR, Mitra Kutai, PILI,
dan BIKAL. CIFOR yang pertama kali mengidentifikasi potensi objek ekowisata
terutama untuk di kawasan TNK (Prevab) dan untuk pendampingan masyarakat
dalam pengembangan ekowisata dilakukan oleh PILI dan BIKAL dengan
dukungan dana dari PT. KPC dan Mitra Kutai. Berdasarkan potensi ekowisata
yang dimiliki, dibagi dalam 4 kelompok minat (Pokmin), yaitu wisata alam,
85 wisata agro, wisata seni dan budaya, serta wisata kuliner. Sedangkan di Dusun G
III belum ada LSM yang terlibat dalam pengembangan ekowisata.
6.3
Arah Kebijakan Pengembangan Ekowisata
6.3.1
Dusun Kabo Jaya
Kondisi modal sosial untuk pengembangan ekowisata di Dusun Kabo Jaya
tinggi dengan unsur modal sosial yang paling kuat kontribusi pengaruhnya
terhadap modal sosial adalah unsur norma sosial dan didukung dengan kebijakan
pengembangan ekowisata dari TNK dan PT. KPC dengan pelibatan masyarakat
Dusun Kabo Jaya yaitu pengembangan ekowisata ke arah budaya yang lebih
dimunculkan.
6.3.2
Dusun G III
Kondisi modal sosial untuk pengembangan ekowisata di Dusun G III
cukup dengan unsur modal sosial yang paling kuat kontribusi pengaruhnya
terhadap modal sosial adalah unsur kepedulian terhadap sesama dan lingkungan
serta didukung dengan kebijakan pengembangan ekowisata dari PT. KPC dan
Pemerintah Daerah Kutai Timur dalam pengembangan ekowisata Pantai Tanjung
Bara dan Hutan Mangrove Tanjung Bara sebagai potensi sumberdaya ekowisata
di Desa Singa Gembara dan pemukiman terdekat dengan objek adalah Dusun G
III, yaitu melalui pengembangan ekowisata yang memprioritaskan keunggulan
dan kepedulian terhadap alam.
86 87 VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1
Kesimpulan
1. Unsur modal sosial yang ada di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III terdiri
dari: (a) kepercayaan terhadap PT. KPC paling tinggi; (b) partisipasi dalam
suatu jaringan yang ada yaitu dalam bentuk kerjasama dengan PT. KPC
dalam pengembangan Ekowisata Kabo Jaya, di Dusun Kabo Jaya; (c)
ketaatan terhadap norma agama, susila dan kesopanan lebih tinggi di
Dusun Kabo Jaya; (d) tindakan yang pro aktif secara umum masih rendah
kecuali dalam berbagi pengalaman dengan sesama di kedua dusun tinggi;
serta (e) kepedulian terhadap sesama dan lingkungan di kedua dusun
cukup tinggi.
2. Nilai modal sosial untuk Dusun Kabo Jaya adalah 173 (tinggi) dan Dusun
G III adalah 159 (sedang) yang berarti bahwa ekowisata dapat
dikembangkan di kedua dusun tersebut namun akan lebih mudah
mengembangkannya di Dusun Kabo Jaya, terkait dengan keberadaan
Kelompok Ekowisata Kabo Jaya. Unsur modal sosial bernilai rendah yang
ditemukan di kedua dusun adalah tindakan pro-aktif, hal ini disebabkan
karena banyaknya curahan waktu yang dipergunakan untuk bekerja.
Khusus di Dusun G III jaringan sosial juga merupakan unsur modal sosial
yang bernilai rendah, hal ini disebabkan karena belum adanya jaringan
sosial yang mengarah kepada kegiatan pengembangan ekowisata.
3. Hubungan unsur-unsur modal sosial di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III
semua berpengaruh nyata terhadap modal sosial, hal ini berarti bahwa
semua unsur modal sosial berpengaruh terhadap terbentuknya modal
sosial. Unsur modal sosial yang paling kuat kontribusi pengaruhnya di
Dusun Kabo Jaya adalah norma sosial
) 1,00 dalam bentuk ketaatan
terhadap norma agama, kesusilaan dan kesopanan yang berpengaruh
positif terhadap pengembangan ekowisata ke arah pengembangan
ekowisata budaya, sedangkan di Dusun G III yang paling kuat kontribusi
pengaruhnya adalah kepedulian terhadap sesama dan lingkungan
) 1,00
88 berpengaruh
positif
dalam
pengembangan
ekowisata
yang
memprioritaskan keunggulan dan kepedulian terhadap alam.
4. Arahan kebijakan pengembangan ekowisata untuk Dusun Kabo Jaya
adalah ekowisata ke arah pengembangan ekowisata budaya yang lebih
dimunculkan dengan didukung kondisi masyarakat yang multi-etnik
dengan dukungan kebijakan pengembangan ekowisata dari pihak PT. KPC
dan TNK. Sedangkan untuk Dusun G III ke arah pengembangan ekowisata
yang memprioritaskan keunggulan alam dengan didukung kebijakan
pengembangan ekowisata Pantai Mangrove Tanjung Bara dan Hutan
Mangrove Tanjung Bara dari PT. KPC dan Pemerintah Daerah Kutai.
7.2
Saran
1. Di Dusun Kabo Jaya, Desa Swarga Bara kegiatan ekowisata sudah mulai
dikembangkan sesuai dengan kebijakan pengembangan ekowisata dari
TNK dan PT. KPC, namun perlu adanya pendampingan dalam hal
pembuatan program dan pelaksanaan pengembangan ekowisata yang lebih
mengarah terhadap norma sosial sebagai unsur modal sosial yang paling
berpengaruh serta peningkatan tindakan yang pro aktif yang masih terlihat
kurang melalui cara penggerakan kegiatan dalam Kelompok Ekowisata
Kabo Jaya maupun dalam kegiatan kelompok lain yang mendukung
kegiatan Ekowisata Kabo Jaya tersebut karena dengan melihat potensi
modal sosial yang dimiliki tinggi (173) untuk pengembangan ekowisata.
2. Di Dusun G III, Desa Singa Gembara dengan kondisi modal sosial yang
sedang (159) untuk pengembangan ekowisata tetapi tetap perlu perhatian
dalam pemberdayaan masyarakatnya yang lebih mengarah kepada
kepedulian terhadap sesama dan lingkungan sebagai unsur modal sosial
yang paling berpengaruh. Di Desa Singa Gembara ada objek Pantai
Tanjung Bara dan Hutan Mangrove Pantai Tanjung Bara yang nantinya
kemungkinan selepas pasca tambang akan dikembangan menjadi objek
ekowisata, sehingga sejak dini masyarakat sudah mulai dilibatkan dalam
pengelolaan ekowisata mangrove Pantai Tanjung Bara, hal ini terkait
89 dengan unsur modal sosial yang paling berpengaruh, yaitu kepedulian
terhadap sesama dan lingkungan ke arah pengembangan ekowisata yang
memprioritaskan keunggulan dan kepedulian terhadap alam.
3. Berdasarkan nilai estimasi koefisien pengaruh ( ), unsur modal sosial di
Dusun Kabo Jaya yang paling berpengaruh adalah norma sosial (1,00) dari
masyarakat yang multi-etnik, maka pengembangan ekowisata ke arah
budaya yang lebih dimunculkan dengan didukung kondisi masyarakat
yang multi-etnik dengan keragaman bentuk rumah, masakan, kesenian,
adat istiadat, dan kampung yang mencirikan kondisi setiap etnik (Suku
Toraja, Timur/NTT dan NTB, Bugis, Banjar, dan Jawa) merupakan unsur
modal sosial yang sangat berpengaruh terhadap modal sosial dalam
pengembangan ekowisata.
4. Berdasarkan nilai estimasi koefisien pengaruh ( ), unsur modal sosial
yang sangat berpengaruh di Dusun G III adalah kepedulian terhadap
sesama dan lingkungan (1,00), maka pengembangan ekowisata dengan
memprioritaskan keunggulan dan kepedulian masyarakat terhadap alam
dan didukung keberadaan potensi Pantai Tanjung Bara dan Hutan
Mangrove Tanjung Bara di tengah-tengah areal bekas tambang dengan
adanya masyarakat terdekat adalah di Dusun G III. Hal ini dengan
pertimbangan kebijakan Pemerintah Daerah Kutai Timur prioritas
pengembangan wisata di zona Sangatta dengan salah satu produknya
berupa wisata pantai dan ekowisata serta pasca tambang kawasan ini akan
diserahkan kepada Pemerintah Daerah Kutai Timur.
5. Kepercayaan masyarakat kepada pemerintah daerah di kedua dusun lebih
rendah dibandingkan kepada PT. KPC, hal ini perlu diperhatikan karena
selepas pasca tambang yang berperan nanti adalah pemerintah daerah. PT.
KPC harus dapat menjembatani antara masyarakat dengan pemerintah
daerah.
6. Para pihak sebaiknya dapat memahami kondisi modal sosial yang dimiliki
masyarakat tersebut dalam pengembangan ekowisata sebagai dasar untuk
menentukan kebijakan dalam pengembangan ekowisata secara bersama.
90 91 DAFTAR PUSTAKA
Abdulsyani. 2002. Sosiologi: Skematik, Teori, dan Terapan. Jakarta: PT. Bumi
Aksara.
Anggoro, AD.; Firdausi, AR.; Wijaya, A.; Utomo, NA.; Jinarto, S. 2009. Objek
Daya Tarik Wisata dan Potensi Pengembangan “Responsible Tourism” di
Kawasan Taman Nasional Kutai dan Sekitarnya. Sangatta, Kutai Timur:
TNK, CIFOR, PILI, PT. Kaltim Prima Coal, dan BIKAL.
[Bapemas] Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Kutai Timur. 2009.
Laporan Realisasi Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Kutai
Timur Tahun 2008. Sangatta, Kutai Timur: Badan Pemberdayaan
Masyarakat Kabupaten Kutai Timur.
[Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kutai Timur.
2009. Masterplan Pengembangan Pariwisata Kabupaten Kutai Timur.
Sangatta, Kutai Timur: Bappeda.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kutai Timur. 2009. Kutai Timur dalam
Angka (Kutai Timur in Figure). Sangatta, Kalimantan Timur: Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kutai Timur dan Badan
Pusat Statistik Kabupaten Kutai Timur.
Calchoun, C.; Donald, L.; Suzanne, K. 1994. Sociology. New York: Mc Graw
Hill Inc.
Darwono, RW. 1995. Dampak Sosial Ekonomi dari Kehadiran PT. Kaltim Prima
Coal terhadap Ketahanan Wilayah Sangatta. Tesis. Jakarta: Program
Pascasarjana, Program Pengkajian Ketahanan Nasional, Universitas
Indonesia.
Daud, A. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar; Deskripsi dan Analisa Kebudayaan
Banjar. Jakarta: Rajawali Press.
Denzin, NK.; Lincoln, YS. 1997. Collecting and Interpretating Qualitative
Materials 3 Edition. Sage Publications.
Desa Singa Gembara. 2009. Monografi Desa Singa Gembara. Sangatta, Kutai
Timur: Pemerintah Desa Singa Gembara.
Desa Swarga Bara. 2009. Monografi Desa Swarga Bara. Sangatta, Kutai Timur:
Pemerintah Desa Swarga Bara.
Dharmawan, A. 2001. Farm Household Livelihood Strategieas and Socio
Economics Changes in Rural Indonesia.Wissenchaftsverlag Vauk Kiel
KG.
Fadli. 2007. Peran Modal Sosial dalam Percepatan Pembangunan Desa Pasca
Tsunami (Kasus Pembangunan Perumahan dan Peningkatan Pendapatan
Keluarga di Beberapa Desa di Kabupaten Aceh Besar). Tesis. Bogor:
Sekolah Pascasarjana, IPB.
92 Fukuyama, F. 1999. Social Capital and Civil Society. The Isntitute of Public
Policy, George Mason University.
Geertz, C. 1960. The Religion of Java. Glencoe, Illinois: The Free Press.
Goeldner, CR.; Ritchie, B.; McIntosh, RW. 2000. Tourism: Principle, Practice,
Philosophies. Ed ke 8. Canada: John Wiley & Sons, Inc.
Hasbullah, J. 2006. Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia
Indonesia). Jakarta: MR-United Press Jakarta.
Jones, S. 2005. Community-Based Ecotourism: The Significance of Social
Capital. Annals of Tourism research, Vol. 32, No. 2: 303-324.
Kabupaten Kutai Timur. 2009. Peta Wilayah Administrasi Kecamatan Sangatta
Utara. Kabupaten Kutai Timur. Sangatta, Kutai Timur: Kabupaten Kutai
Timur.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia – Republik Indonesia. 1990.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Kementarian
Hukum dan Hak Asasi Manusia – Republik Indonesia.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia – Republik Indonesia. 1998.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1998 tentang
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Kementarian
Hukum dan Hak Asasi Manusia – Republik Indonesia.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia – Republik Indonesia. 2009.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan. Kementarian Hukum dan Hak Asasi Manusia – Republik
Indonesia.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia – Republik Indonesia. 2010.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2010 tentang
Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional,
Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Kementarian Hukum dan
Hak Asasi Manusia – Republik Indonesia.
Kidnesia. 2010. Rumah Lamin: Rumah Adat Suku Dayak Kenyah di Kalimantan
Timur.
http://www.kidnesia.com/Kidnesia/Indonesiaku/Propinsi/KalimantanTimur/Seni-Budaya/Rumah-Lamin. [Diakses 28 Maret 2010].
Krishna, A.; Shrader, E. 1999. Social Capital Assessment Tool (Makalah pada
Conference on Social capital and Poverty Reduction). Washington DC:
The World Bank.
Lenggono, P.S. 2004. Modal Sosial dalam Pengelolaan Tambak (Studi Kasus
pada Komunitas Petambak di Desa Muara Pantuan Kecamatan Anggana
Kabupaten Kutai Kartanegara). Tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB.
Maryati, K.; Surjawati, J. 2004. Sosiologi. Jakarta: Erlangga.
Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
93 Milic, JV.; Jovanovic, S.; Krstic, B. 2008. Sustainability Performance
Management System of Tourism Enterprises. Facta Universitatis. Series:
Economis and Organization, Vol. 5, No. 2: 123 – 131.
[PILI] Pusat Informasi Lingkungan Indonesia; [BIKAL] Yayasan Bina Kelompok
Cinta Lingkungan; [PT. KPC] PT. Kaltim Prima Coal; Mitra Kutai. 2010.
Rencana Aksi Wisata Bertanggung Jawab. Bogor.
[PT. KPC] PT. Kaltim Prima Coal. 2005. Rencana Pengelolaan Lingkungan
(RPL): Studi Amdal Peningkatan Produksi Batubara Hingga 48 Juta Ton
per Tahun PT. KPC, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur.
Sangatta: PT. Kaltim Prima Coal.
[PT. KPC] PT. Kaltim Prima Coal. 2008. Laporan Implementasi Corporate Social
Responsibility Tahun 2008. Sangatta, Kalimantan Timur: PT. Kaltim
Prima Coal.
Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam.2009. Desain Restorasi Ekosistem
Lahan Bekas Tambang Batubara PT. Kaltim Prima Coal Kalimantan
Timur. Bogor: Departemen Kehutanan.
Rachmawati, E. 2010. Sistem Sosial Pengembangan Wisata Alam di Kawasan
Gunung Salak Endah. Tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB.
Rahmayulis, R. 2008. Modal Sosial dalam Pengembangan Ekowisata pada
Masyarakat Adat di Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK),
Kalimantan Barat. Skripsi. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya
Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB.
Rogers EM.; Kincaid, DL. 1980. Communication Network: Toward A New
Paradigm of Research. New York: The Free Press.
Sandiantoro. 2010. Kelembutan Gadis Bugis di Belantara Metropolis.
http://www.kelola.or.id/newskata.asp?id=109&idT=2&bhs=I. [Diakses 23
Maret 2010].
Singarimbun, M.; Effendi, S. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: Lembaga
Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.
Soekanto, S. 2009. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Stone, W.; Hughes, J. 2002. Social Capital: Empirical Meaning and Measurement
Validity. Research Paper No. 27, June 2002. Australia: Australian Institute
of Family Studies.
Sultan, A. 2007. Mantra (Magic Word): Ilmu Tradisi Suku Banjar.
http://kerajaanbanjar.wordpress.com/2007/03/10/mantra-magic-wordilmu-tradisi-suku-banjar/. [Diakses 22 Februari 2010].
Surat Keputusan Bupati Kutai Timur No: 188.4.45/634/HK/X/2009, 9 Oktober
2009 Tentang Penetapan Penerima Bantuan Perbaikan Perumahan
Penduduk Miskin dan Perbaikan Sarana dan Prasarana Umum Lingkungan
Pedesaan (Swakelola) Tahun Anggaran 2009. Sangatta, Kutai Timur:
Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur.
94 Syahra, R. 2003. Studi Diagnostik Peningkatan Keberdayaan Komunitas Melalui
Pengembangan Modal Sosial di Kota Sawahlunto. Makalah. Seminar Hasil
Penelitian di Pemerintah Kota Sawahlunto.
[UNEP] United Nations Environment Programme dan [WTO] World Tourism
Organization. 2002. Quebec Declaration on Ecotourism. Quebec City,
Canada: World Ecotourism Summit.
Weiler, B.; Laing, J. 2009. Developing Effective Partnerships for Facilitating
Sustainable Tourism Associated with Protected Areas. The Sustainable
Tourism Cooperative Research Centre, The Australian Commonwealth
Government.
Wijayanto, SH. 2007. Structural Equation Modeling dengan LISREL 8.8.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Wikipedia
Ensiklopedi
Bebas.
2010.
Kalimantan
Selatan.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Selatan. [Diakses 23 Maret
2010].
95 Lampiran 1. Suku Adat
Suku adat di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III sangat beranekaragam, namun
suku adat mayoritas yang ada bukan merupakan suku asli daerah setempat yaitu Suku
Kutai dan Suku Dayak, melainkan suku-suku pendatang seperti Suku Banjar, Suku Bugis,
Suku Toraja, Suku Timur (NTB dan NTT), dan Suku Jawa. Dusun Kabo Jaya merupakan
dusun yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Kutai (TNK) dan PT. Kaltim
Prima Coal (PT. KPC) serta Dusun G III merupakan dusun yang berbatasan langsung
dengan PT. KPC. Suku-suku pendatang ini datang ke Sangatta untuk bekerja di PT. KPC
maupun perusahaan kontraktornya PT. KPC. Sedangkan suku aslinya (Suku Kutai dan
Suku Dayak) di Dusun Kabo Jaya sudah tidak ada dan di Dusun G III masih ada namun
hanya sebagian kecil saja. Suku Kutai dan Suku Dayak banyak ditemukan di daerah
Sangatta lama (seberang Sungai Sangatta), Kecamatan Sangatta Selatan.
Adat istiadat dari masing-masing suku pendatang tidak dibawa semuanya ke
daerah perantauan ini, hanya sebagian kecil yang mereka masih terapkan hal ini karena
situasi dan kondisi yang ada, seperti keterbatasan sarana dan prasarana adat. Namun
demikian, dari setiap suku ini mempunyai identitas suku yang bisa membedakan dengan
suku yang lainnya sesama suku perantau. Setiap suku ini mempunyai tokoh yang dituakan
terutama berperan dalam menyelesaikan konflik yang terjadi antar suku, namun konflik
tersebut sekarang sudah berkurang.
1.
1.1
Suku yang Ada di Lokasi Penelitian
Suku Toraja
Masyarakat Toraja di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III ini pada umumnya
tinggal di Kampung Tortor yang berada di kedua dusun tersebut. Namun Kampung Tortor
yang pertama kali berdiri yaitu Kampung Tortor di Dusun Kabo Jaya, dengan dipimpin
oleh tokoh Suku Toraja bernama Bapak Singubungbunan yang tinggal di Kampung
Tortor Dusun Kabo Jaya, kemudian di Kampung Tortor berkembang di Dusun G III
dengan tokoh adatnya Bapak Yulianus.
Kondisi perumahan yang ada tidak sama dengan rumah tradisional Toraja
(Tongkonan) (Gambar 1), namun bentuk rumah yang dibuat masih dalam bentuk
panggung yang cukup tinggi tetapi bentuk atapnya tidak berbentuk ciri khas Toraja dan
menggunakan genting (Gambar 2). Tetapi untuk tempat ibadat yaitu Gereja Toraja
atapnya masih berciri khas Toraja seperti yang terdapat di Dusun G III (Gambar 3).
Bahasa komunikasi yang digunakan untuk sesama masyarakat Suku Toraja masih
menggunakan bahasa Toraja Sa’dan sedangkan bahasa komunikasi antar suku yang lain
menggunakan Bahasa Indonesia.
Gambar 1 Rumah tradisional Toraja (Tongkonan)
Sumber: Wikipedia Suku Toraja (2009)
96 Gambar 2 Bentuk rumah di Kampung Tortor Dusun Kabo Jaya
Gambar 3 Gereja Toraja di Kampung Tortor, Dusun G III
Pranata sosial Suku Toraja di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III tidak mengenal
strata sosial pada umumnya semua masyarakat Kampung Tortor sama strata sosialnya.
Berbeda halnya dengan di daerah asalnya yang dikenal dengan sebutan Suke Dibonga,
yaitu pranata sosial yang menyusun tata kehidupan masyarakat dalam 3 strata sosial.
Suku Toraja walaupun berada di daerah perantauan namun mereka mempunyai
perasaan persaudaraan yang kuat antar sesama sukunya. Hal ini karena mereka
mempunyai ikatan aturan dikenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari
Allo, yang secara harfiahnya berarti negeri yang bulat seperti bulan dan matahari. Aturan
ini mempunyai latar belakang yang bermakna, persekutuan negeri sebagai satu kesatuan
yang bulat dari berbagai daerah adat asal mereka. Adanya anggapan bahwa tidak ada
aturan hukum manapun yang bisa memisahkan dan membagi Toraja, Suku Toraja tetap
satu walaupun dari daerah yang berbeda dari asalnya. Suku Toraja memiliki hubungan
yang kuat secara emosional dan ekonomi antar sesamanya. Pertalian yang paling dasar
adalah Rarabuku, yang bisa diterjemahkan sebagai keluarga. Suku Toraja memandang
97 kelompok ini sebagai hubungan darah dan tulang, yang dimaksud sebagai hubungan di
antara orang tua dan anak atau keluarga inti. Sehingga walaupun di daerah perantauan
kesatuan mereka sangat kuat dalam wadah Kerukunan Kesatuan Toraja.
Upacara adat Toraja yang masih dilaksanakan di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G
III karena situasi dan kondisi hanya upacara Rambu Solo, itupun tidak sesempurna yang
biasa dilaksanakan di tanah kelahirannya dan tidak semua masyarakat Suku Toraja
mampu melaksanakan upacara kematian tersebut, hanya beberapa keluarga saja yang
melaksanakannya. Mereka hanya melaksanakan kegiatan inti upacara kematian seperti
mengadakan pesta yang berlangsung antara 1 sampai 7 malam (disesuaikan dengan
kemampuan ekonomi keluarga) sambil memotong hewan kerbau. Kerbau yang dipotong
pun bukan seperti kerbau yang biasa mereka potong untuk upacara kematian di Tana
Toraja karena dikondisikan dengan sumberdaya yang ada. Setelah melakukan pesta
kemudian jenazah diusung keliling kampung dan dimakamkan di tempat pemakaman.
Upacara pemakaman ini memperlihatkan pentingnya hubungan melalui partisipasi dan
kontribusi dari sanak saudara dalam membantu pembiayaan upacara tersebut. Sedangkan
untuk acara pernikahan sama dengan pernikahan secara nasional sesuai agama yang
dianut (Kristen Katholik dan Kristen Protestan). Hanya saja, pakaian yang digunakan
masih menggunakan pakaian adat Toraja seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Pakaian adat Toraja dalam pernikahan
Biaya yang dihabiskan untuk upacara kematian ini memakan biaya yang besar
bisa mencapai puluhan juta. Menurut keterangan dari Kepala Dusun Kabo Jaya dan hasil
observasi di lapangan, ada kecenderungan Suku Toraja yang hidup di Dusun Kabo Jaya
dan Dusun G III hidup sangat sederhana makan dengan menu seadanya hanya cukup
dengan nasi dan ikan asin. Mereka makan dengan menu demikian bukan karena mereka
tidak mampu karena pendapatan sebagai karyawan PT. KPC dan karyawan kontraktor
PT. KPC cukup tinggi. Uang pendapatan mereka ditabung untuk biaya upacara kematian
di tanah kelahirannya Tana Toraja. Ada rasa kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Suku
Toraja ini, setiap sanak saudara yang meninggal di Tana Toraja, mereka akan
mengirimkan sumbangan sejumlah uang untuk biaya perayaan upacara kematian dan
pemakaman yang dapat menghabiskan biaya yang sangat besar. Bantuan sumbangan
tersebut merupakan sebuah utang yang apabila ada sanak saudara yang pernah
memberikan sumbangan kematian tersebut wajib untuk membayarnya apabila ada yang
98 meninggal. Selain itu, tradisi ini membuktikan bahwa mereka yang memberi sumbangan
ini ingin memamerkan status sosialnya yang sekarang.
Pada umumnya masyarakat Suku Toraja yang ada di Dusun Kabo Jaya dan
Dusun G III menganut Kristen Katholik dan Kristen Protestan. Sedangkan menurut tokoh
adat Toraja, nilai tradisi dan keagamaan dalam kepercayaan asli masyarakat di Tana
Toraja disebut Aluk Todolo, kesadaran bahwa manusia hidup di bumi ini hanya untuk
sementara.
1.2
Suku Timur (Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat)
Suku yang berada di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur
(NTT) di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III digolongkan menjadi Suku Timur. Di Dusun
Kabo Jaya Suku Timur ini bertempat tinggal mengelompok yang di Kampung Timur
dengan tokoh adat bernama Bapak Takari, sedangkan keberadaan Suku Timur di Dusun
G III bertempat tinggal terpencar dengan tokoh adat bernama Bapak Saka.
Menurut keterangan tokoh masyarakat Kampung Timur Bapak Takari,
masyarakat yang berasal dari NTB di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III terdiri dari 3
etnis, yaitu Suku Sasak, Suku Bima atau Suku Mbojo, dan Suku Sumbawa. Sedangkan
masyarakat yang berasal dari NTT tinggal di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III sangat
banyak sub etnisnya, diantaranya Ende Lio, Mahamere, Sikka-Krowe, Kemak, Kedang,
Ngada, Manggarai Riung, Deing, Kemang, Kui, Abui, Flores Timur, Sumba, Rote, Pulau
Alor, Helong, Dawan, Tetun, Marae, Sabu/Rae Havu, Lamaholor, dan Labala. Adapun
menurut Melalatoa (1995) penjelasan beberapa suku-suku dari Nusa Tenggara Timur
(NTT) sebagai berikut:
1. Suku Ende Lio
Pola pemukiman masyarakat baik di Ende maupun Lio umumnya bermula dari
keluarga batih/inti baba (bapak), ine (mama), dan ana (anak-anak) kemudian
diperluas sesudah menikah maka anak laki-laki tetap bermukim di rumah induk
ataupun sekitar rumah induk. Rumah sendiri umumnya secara tradisional terbuat
dari bambu beratap daun rumbia maupun alang-alang.
Lapisan bangsawan masyarakat Lio disebut Mosalaki Ria Bewa, lapisan
bangsawan menengah disebut Mosalaki Puu dan Tuke Sani untuk masyarakat
biasa. Sedangkan masyarakat Ende bangsawan disebut Ata Nggae, turunan raja
Ata Nggae Mere, lapisan menegah disebut Ata Hoo dan Budak Dati Ata Hoo
disebut Hoo Tai Manu.
2. Suku Sikka
Pelapisan sosial dari masyarakat Sikka, lapisan atas disebut sebagai Ine Gete Ama
Gahar yang terdiri para raja dan bangsawan. Tanda umum pelapisan itu di zaman
dahulu ialah memiliki warisan pemerintahan tradisional kemasyarakatan, di
samping pemilikan harta warisan keluarga maupun nenek moyangnya. Lapisan
kedua ialah Ata Rinung dengan ciri pelapisan melaksanakan fungsi bantuan
terhadap para bangsawan dan melanjutkan semua amanat terhadap masyarakat
biasa/orang kebanyakan umumnya yang dikenal sebagai lapisan ketiga yakni
Mepu atau Maha.
3. Suku Kemak
Struktur pemerintahan menurut adat yang pernah berlaku pada masyarakat
Kemak, seperti halnya pada suku bangsa lainnya di Pulau Timor, dikuasai oleh
kelompok kerabat tertentu. Kelompok kerabat ini menganggap dirinya sebagai
keturunan pembuka pertama daerah yang didudukinya. Mitologi mereka
menggambarkan golongan itu sebagai keturunan dewa yang turun dari langit dan
kemudian mendirikan kerajaan. Penguasa adat yang tertinggi adalah loro (raja).
Stratifikasi sosial dalam masyarakat didasarkan pada dekat atau jauhnya
99 hubungan darah dengan raja, yaitu keturunan raja, kaum bangsawan, golongan
tua-tua adat, dan rakyat biasa.
4. Suku Ngada
Arti keluarga kekrabatan dalam masyarakat Ngada umumnya selain terdekat
dalam bentuk keluarga inti Sao maka keluarga yang lebih luas satu simbol dalam
pemersatu (satu Peo, satu Ngadhu, dan Bagha). Ikatan nama membawa hak-hak
dan kewajiban tertentu. Contoh setiap anggota kekerabatan dari kesatuan adat
istiadat harus taat kepada kepala suku, terutama atas tanah. Setiap masyarakat
pendukung mempunyai sebuah rumah pokok (rumah adat) dengan seorang yang
mengepalai bagian pangkal Ngadhu Ulu Sao Saka Puu.
Rumah tradisional disebut juga Sao, bahan rumah terbuat seperti di Ende/Lio
(dinding atap, dan lantai/panggungnya). Secara tradisional rumah adat ditandai
dengan Weti (ukiran). Ukiran terdiri dari tingkatan-tingkatan misalnya Keka, Sao
Keka, Sao Lipi Wisu, Sao Dawu Ngongo, Sao Weti Sagere, Sao Rika Rapo, Sao
Lia Roda.
Pelapisan sosial teratas disebut Ata Gae, lapisan menengah disebut Gae Kisa, dan
pelapisan terbawah disebut Ata Hoo. Sumber lain menyebutkan pelapisan sosial
biasa dibagi atas 3, Gae (bangsawan), Gae Kisa/ kuju, dan golongan rendah
(budak). Ada pula yang membagi atas 4 strata, Gae (bangsawan pertama), Pati
(bangsawan kedua) Baja (bangsawan ketiga), dan Bheku (bangsawan keempat).
Para istri dari setiap pelapisan terutama pelapisan atas dan menengah disebut saja
Inegae/Finegae dengan tugas utama menjadi kepala rumah yang memutuskan
segala sesuatu di rumah mulai pemasukan dan pengeluaran.
Masyarakat Nagekeo pendukung kebudayaan Paruwitu (kebudayaan berburu),
masyarakat Soa pendukung Reba (kebudayaan tahun baru, pesta panen),
Pendukung kebudayaan bertani dalam arti yang lebih luas ialah Ngadhu/Peo,
terjadi pada sebagian kesatuan adat Nagekeo, Riung, Soa dan Ngada.
5. Suku Manggarai Riung
Pembentukan keluarga batih terdiri dari bapak, mama dan anak-anak yang
disebut Cak Kilo. Perluasan Cak Kilo membentuk klen kecil Kilo, kemudian klen
sedang Panga dan klen besar Wau. Beberapa istilah yang dikenal dalam sistim
kekrabatan antara lain Wae Tua (turunan dari kakak), Wae Koe (turunan dari
adik), Ana Rona (turunan keluarga mama), Ana Wina (turunan keluarga saudara
perempuan), Amang (saudara lelaki mama), Inang (saudara perempuan bapak),
Ema Koe (adik dari bapak), Ema Tua (kakak dari bapak), Ende Koe (adik dari
mama), Ende Tua (kakak dari mama), Ema (bapak), Ende (mama), Kae (kakak),
Ase (adik), Nana (saudara lelaki), dan Enu (saudara wanita atau istri).
Strata masyarakat Manggarai terdiri atas 3 golongan, kelas pertama disebut
Kraeng (Raja/bangsawan), kelas kedua Gelarang (kelas menengah), dan
golongan ketiga Lengge (rakyat jelata). Raja mempunyai kekuasaan yang absolut,
upeti yang tidak dapat dibayar oleh rakyat diharuskan bekerja rodi. Kaum
Gelarang bertugas memungut upeti dari Lengge (rakyat jelata). Kaum Gelarang
ini merupakan penjaga tanah raja dan sebagai kaum penyambung lidah antara
golongan Kraeng dengan Lengge. Status Lengge adalah status yang selalu
terancam. Kelompok ini harus selalu bayar pajak, pekerja rodi, dan
berkemungkinan besar menjadi hamba sahaya.
6. Suku Flores Timur
Orang yang berasal dari Flores Timur sering disebut orang Lamaholot, karena
bahasa yang digunakan bahasa suku Lamaholot. Konsep rumah adat orang
Flores Timur selalu dianggap sebagai pusat kegiatan ritual suku. Rumah adat
dijadikan tempat untuk menghormati Lera Wulan Tana Ekan (wujud tertinggi
yang mengciptakan dan yang empunya bumi).
100 Pelapisan sosial masyarakat tergantung pada awal mula kedatangan penduduk
pertama, karena itu dikenal adanya tuan tanah yang memutuskan segala sesuatu,
membagi tanah kepada Suku Mehen yang tiba kemudian, disusul Suku Ketawo
yang memperoleh hak tinggal dan mengolah tanah dari Suku Mehen. Suku
Mehen mempertahankan eksistensinya yang dinilainya sebagai tuan tanah, jadilah
mereka pendekar-pendekar perang, yang dibantu Suku Ketawo.
(a)
(e)
(b)
(f)
(c)
(g)
Keterangan:
(a) Pakaian adat Rote
(e) Pakaian adat Ngada
(b) Pakian adat Flores Timur (f) Pakaian adat Manggarai
(c) Pakaian adat Sikka
(g) Rumah adat Sumba
(d) Pakaian adat Ende Lio
Gambar 5 Identitas kebudayaan Suku-suku di NTT
Sumber: Melalatoa (1995)
(d)
101 Budaya yang dibawa Suku Timur (NTB dan NTT) ke daerah perantauan Dusun
Kabo Jaya dan Dusun G III tidak sama seperti dari daerah aslinya, karena kondisi, situasi,
dan ketersediaan sarana prasarana yang ada, seperti rumah Suku Timur yang ada di
Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III pada umumnya terbuat dari bahan kayu dan bukan
bentuk panggung (Gambar 6) serta tidak mengikuti bentuk rumah adat daerah asalnya.
Hal ini dikondisikan dengan kondisi daerah setempat yaitu bahan yang banyak tersedia
bahan kayu, daerah pemukiman dekat areal operasional pertambangan PT. KPC takutnya
mudah hancur akibat dari pemboman pertambangan dan harga-harga bahan bangunan
seperti pasir sangat mahal karena pasirnya didatangkan dari Sulawesi. Selain itu
daerahnya rawa sehingga memilih menggunakan rumah panggung dari kayu.
Gambar 6 Kondisi perumahan di Suku Timur di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III
102 Masing-masing Suku Timur di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III ini memiliki
bahasa yang berbeda-beda, seperti bahasa Lio, Lio Ende, Mahamere, Handora,
Manggarai, Kupang, Melayu Kupang, Dawan Amarasi, Helong Rote, Sabu, Tetun, Bural,
Tewo Kedebang, Blagar, Lamuan Abui, Adeng, Katola, Taangla, Pui, Kolana, Kui, Pura
Kang Samila, Kule, Aluru, Kayu Kaileso, Laratuka, Lamaholot, Kedang, Krawe, Palue,
Sikka, Naga Keo, Mgada, Ramba, Ruteng, Bakjo, Komodo, Kambera, Wewewa,
Anakalang, Lamboya, Mamboro, Wanokaka, Loli, dan Kodi. Banyaknya bahasa yang
dimiki warga Suku Timur, maka komunikasi yang digunakan antara sesama sukunya
menggunakan bahasa suku masing-masing tetapi untuk komunikasi antar suku dalam
Suku Timur sendiri menggunakan Bahasa Indonesia karena walaupun sama-sama dari
Timur antar suku sangat berbeda bahasanya. Begitu juga untuk komunikasi di luar
komunita Suku Timur menggunakan Bahasa Indonesia.
Gejala kebudayaan dalam kehidupan masyarakat Suku Timur yang sangat
dominan adalah ketergantungan dan kepatuhan masyarakat terhadap tokoh adat sebagai
panutan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dibuktikan pada saat melakukan wawancara
dengan beberapa masyarakat di Suku Timur, terlihat masyarakat sangat menghargai
keberadaan tokoh adat (Bapak Takari). Mereka percaya tokoh adat ini serba tahu segala
informasi mengenai adat Suku Timur dan berkembangannya di kampung tersebut.
Agama yang dianut Suku Timur semuanya menganut Kristen Katholik. Upacara
keagamaan yang rutin dilaksanakan oleh masyarakat Suku Timur, yaitu upacara
keagamaan Paskah dan Natal. Upacara perayaan ini biasanya digelar semalam suntuk di
lapangan sepak bola dengan menampilkan berbagai macam nyanyian dan tarian daerah
seperti Tari Gawi, serta menggundang pula warga desa yang berbeda agama dan berbeda
suku untuk mengadakan perayaan. Hal ini sudah menjadi tradisi setiap tahun yang
menjadikan Suku Timur ini sebagai masyarakat yang menghargai etnis, budaya, agama,
dan ras yang lain di dalam tatanan kehidupan dan bermasyarakat. Persiapan acara
keagamaan ini biasanya dipersiapan dari jauh hari minimal 1 bulan sebelumnya. Setiap
malam mereka mengadakan latihan menyanyi lagu-lagu rohani dan daerah serta menari
tarian daerah di gereja setiap malam. Acara latihan ini merupakan sarana komunikasi dan
sosialisasi antar warga Suku Timur serta sarana rekreasi setelah seharian bekerja.
Berdasarkan hasil wawancara dari Tokoh Adat Suku Timur (Bapak Takari) dan
beberapa warga Suku Timur di Dusun Kabo Jaya maupun di Dusun G III, kerajinan khas
yang cukup terkenal dari Suku Timur (NTB dan NTT) adalah tenunan. Suku Timur yang
memiliki etnis yang beranekaragam yang tentunya memiliki bahasa, adat, budaya, dan
kesenian yang beragam pula. Hal ini yang mempengaruhi sekaligus menerangkan dan
menggambarkan begitu banyak corak atau motif kain tradisional tenun Suku Timur.
Setiap suku mempunyai ragam hias tenunan khas yang menampilkan tokoh-tokoh mitos,
binatang, tumbuhan, dan juga pengungkapan abstrak yang dijiwai oleh penghayatan yang
mendalam akan kekuatan alam ciptaan Tuhan.
Pada suku atau daerah tertentu, corak atau motif binatang atau orang-orang lebih
banyak ditonjolkan seperti Sumba Timur dengan corak motif kuda, rusa, udang, naga,
singa, orang-orangan, pohon tengkorak dan lain-lain, sedangkan Timor Tengah Selatan
banyak menonjolkan corak motif burung, cecak, dan buaya. Bagi daerah-daerah lain
corak motif bunga-bunga atau daun-daun lebih ditonjolkan sedangkan corak motif
binatang hanya sebagai pemanisnya saja. Contoh tampilan motif kain tenun per daerah
dapat dilihat pada Gambar 7.
103 (a)
(b)
(c)
(d)
104 (e)
(f)
(g)
105 (h)
(i)
(j)
106 (k)
(l)
Keterangan:
(a) Motif tenunan dari Sumba Barat (g) Motif tenunan dari Flores Timur
(b) Motif tenunan dari Sumba Timur
(h) Motif tenunan dari Sikka
(c) Motif tenunan dari Kupang
(i) Motif tenunan dari Ende
(d) Motif tenunan dari Belu
(j) Motif tenunan dari Ngada
(e) Motif tenunan dari Alor
(k) Motif tenunan dari Manggarai
(f) Motif tenunan dari Lembata
(l) Motif tenunan dari Rote Ndao
Gambar 7 Tampilan motif kain tradisional tenun NTT per daerah
Sumber: Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (2009)
Kain tenun atau tekstil tradisional secara adat dan budaya menurut hasil
wawancara beberapa warga Suku Timur memiliki banyak fungsi seperti:
1. Sebagai busana sehari-hari untuk melindungi dan menutupi tubuh.
2. Sebagai busana yang dipakai dalam tari-tarian pada pesta/upacara adat.
3. Sebagai alat penghargaan dan pemberian perkawinan (mas kawin).
107 4. Sebagai alat penghargaan dan pemberian dalam acara kematian.
5. Fungsi hukum adat sebagai denda adat untuk mengembalikan keseimbangan
sosial yang terganggu.
6. Dari segi ekonomi sebagai alat tukar.
7. Sebagai prestise dalam strata sosial masyarakat.
8. Sebagai mitos, lambang suku yang diagungkan karena menurut corak atau desain
tertentu akan melindungi mereka dari gangguan alam, bencana, roh jahat dan
lain-lain.
9. Sebagai alat penghargaan kepada tamu yang datang.
Namun penggunaan kain tenun di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III digunakan hanya
untuk kegiatan upara adat pernikahan dan keagamaan. Warga Suku Timur di kedua dusun
ini hanya sebagian kecil yang mempunyai kain tenun ini.
Dalam masyarakat tradisional Suku Timur tenunan sebagai harta milik keluarga
yang bernilai tinggi karena kerajinan tangan ini sulit dibuat oleh karena dalam proses
pembuatannya atau penuangan motif tenunan hanya berdasarkan imajinasi penenun
sehingga dari segi ekonomi memiliki harga yang cukup mahal. Tenunan sangat bernilai
dipandang dari nilai simbolis yang terkandung didalamnya, termasuk arti dari ragam hias
yang ada karena ragam hias tertentu yang terdapat pada tenunan memiliki nilai spiritual
dan mistik menurut adat.
Suku Timur yang ada di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III tidak ada yang
memproduksi sendiri kain tradisional tenun tersebut dan hanya sebagian kecil saja warga
Suku Timur yang memiliki kain tradisional tenun yang dipergunakan untuk kebutuhan
upacara keagamaan seperti Paskah dan Natal dalam kegiatan menyanyi dan menari
tradisional. Sebaiknya dalam pemberdayaan masyarakat diberikan pelatihan membuat
kain tradisional tenun, sedangkan untuk proses pewarnaan benangnya warga Dusun Kabo
Jaya dan Dusun G III sudah mendapatkan pelatihan pewarnaan kain dari bahan alami
yang diselenggarakan oleh PT. KPC. Sehingga dapat diaplikasikan dalam pewarnaan
benang untuk kain tradisional tenun. Hasil produksi kain tradisional tenun Suku Timur ini
kedepannya diharapkan dapat dijadikan sebagai souvenir pengunjung Ekowisata Kabo
Jaya yang sedang dikembangankan oleh pemuda Dusun Kabo Jaya dengan dukungan dari
PT. KPC dengan pendampingan dari Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (PILI),
Central International Forestry Research (CIFOR), dan Yayasan Bina Kelompok Cinta
Alam (BIKAL), dan tidak menutup kemungkinan juga pelatihan pembuatan kain tenun
ini untuk membuka usaha kain tenun masyarakat Dusun Kabo Jaya maupun Dusun G III.
1.3
Suku Banjar
Suku Banjar yang ada di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III sudah berakulturasi
dengan suku lainnya (bukan asli), walaupun asli keturunan Suku Banjar tetapi mereka
dilahirkan di Sangatta dan sekitarnya, sehingga warga Suku Banjar ini tidak terlalu
mengetahui adat kebudayaan dari Suku Banjar. Mereka hanya mengetahui secara umum
saja. Tokoh yang dituakan dari Suku Banjar di Dusun Kabo Jaya tinggalnya di Sangatta,
sedangkan tokoh adat Suku Banjar di Dusun G III bernama Bapak Ridwan Sulaiman.
Suku Banjar yang tinggal di Dusun Kabo Jaya tinggal mengelompok di Kampung Banjar
tetapi untuk di Dusun G III tempat tinggal mereka menyebar.
Bentuk rumah Suku Banjar di Dusun Kabo Jaya maupun di Dusun G III tidak
terlalu sama dengan rumah adat Suku Banjar yang banyak jenisnya (Wikipedia
Kalimantan Selatan, 2010), yaitu Rumah Bubungan Tinggi, Rumah Gajah Baliku, Rumah
Gajah Manyusu, Rumah Balai Laki, Rumah Balai Bini, Rumah Palimbangan, Rumah
Palimasan (Rumah Gajah), Rumah Cacak Burung, Rumah Anjung Surung, Rumah Tadah
Alas, Rumah Lanting, Rumah Joglo Gudang, dan Rumah Bangun Gudang (Gambar 8).
Bentuk rumah warga Suku Banjar sama dengan bentuk rumah suku lain pada umumnya
108 di Kalimantan Timur, yaitu bentuk panggung dan rumah berlantai dua yang terbuat dari
bahan kayu (Gambar 9).
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
109 (g)
(h)
(i)
(k)
(j)
(l)
110 Keterangan:
(a) Rumah Bungbungan Tinggi
(b) Rumah Gajah Baliku
(c) Rumah Gajah Manyusu
(d) Rumah Balai Laki
(e) Rumah Balai Bini
(f) Rumah Palimbangan
(g) Rumah Palimasan (Rumah Gajah)
(h) Rumah Cacak Burung (Rumah Anjung Surung)
(i) Rumah Tadah Alas
(j) Rumah Lanting
(k) Rumah Joglo Gudang
(l) Rumah Bangun Gudang
Gambar 8 Jenis-jenis rumah adat Suku Banjar
Sumber: Wikipedia Kalimantan Selatan (2010)
Gambar 9 Rumah di Suku Banjar, Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III
Semua warga Suku Banjar beragama Islam, seperti halnya menurut Daud (1997),
Islam menjadi ciri masyarakat Banjar sejak berabad-abad yang silam. Islam juga telah
menjadi identitas mereka yang membedakannya dengan kelompok-kelompok Dayak yang
ada di sekitarnya yang umumnya masih menganut religi sukunya. Upacara keagamaan
sama dengan apa yang dilaksanakan umat muslim di Indonesia pada umumnya
memperingati hari besar Agama Islam seperti acara Maulid Nabi Muhammad S.A.W.,
Isra Mi’raj Nabi Muhammad S.A.W., Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Idul Adha, dan
Tahun Baru Islam. Acara peringatan hari besar keagamaan ini dilaksanakan tidak hanya
umat muslim Suku Banjar saja tetapi bergabung dengan suku lainnya yang beragama
Islam.
Menurut Sultan (2007), Suku Banjar menggunakan mantra selalu didahului
ucapan Bismillah dan diakhiri la ilaha ilalah muhammad rasulullah. Berikut contoh
mantra bagi calon ibu yang susah melahirkan, mantra ini bernama mantra peluncur
melahirkan: “Bismillahirrahmanirrahim/Nun kalamun walayar turun/Insya Allah inya
ilang aritan/Inya turun/brakat La Ilaha Ilallah Muhammadurrasulullah “Mantra peluncur
melahirkan ini biasanya dimiliki oleh para bidan kampung dan selalu dibaca saat
membantu persalinan. Menjelang kelahiran, bidan akan terus menerus membaca mantra
tersebut. Mantra minimal dibaca 3 kali secara berulang-ulang ditiupkan ke dalam air putih
dalam botol atau gelas. Air yang sudah diberi mantra tadi akan diusapkan ke perut wanita
yang akan melahirkan. Sedangkan mantra untuk membantu persalinan bayi sungsang
sebagai berikut: ”Bismillahirrahmanirrahim/Bungkalang-bungkaling/Tampurung bulubulu/Takalang-tapaling/Kaluar
tadahulu/Barakat
La
Ilaha
Ilalallah
Muhammadarrasulullah“. Mantra untuk menjaga anak kecil dari gangguan roh jahat atau
apabila diyakini sakitnya seorang anak akibat gangguan roh jahat, sebagai berikut:
”Bismillahirrahmanirrahim/Wahai
parang,
bilamana
terjadi sesuatu
nang
111 kejahatan/Mangganggu kanak-kanak guring maka minta tulung pada para supaya
parang manimpasakan kajahatannya/Barakat La Ilaha Ilallah Muhammadurrasulullah“.
Dalam pelaksanaan mantra ini disiapkan sebuah parang (mandau) (Gambar 10) dibuat
tanda silang dengan kapur sirih (cacak burung). Parang tersebut diletakkan di bawah
ayunan anak yang sedang tidur. Mantra dibaca sebanyak 3 kali dan ditiupkan pada pada
parang tersebut sebanyak 3 kali pula. Demikian sekilas mengenai tradisi membaca mantra
dalam budaya Banjar, masih banyak mantra yang lain. Warga Suku Banjar yang ada di
Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III orang-orang yang tua masih menggunakan mantramantra ini tetapi sebagian besar sudah tidak menggunakan mantra ini lagi hanya berdoa
sesuai ajaran Agama Islam pada umumnya.
Gambar 10 Mandau
Upacara pernikahan warga Suku Banjar di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III
dilaksanakan seperti acara pernikahan pada umumnya. Identitas acara pernikahan dari
Suku Banjar ini terlihat dari pakaian adat pernikahan yang dikenakan masih mengenakan
pakaian adat Suku Banjar (Gambar 11). Warna pakaian adat untuk pernikahan Suku
Banjar aslinya berwarna merah tetapi karena sudah mengalami perkembangan sekarang
beranekaragam warnanya. Busana pengantin Banjar terdiri 4 macam yaitu:
1. Bagajah Gamuling Baular Lulut, yaitu suatu jenis busana pengantin klasik yang
berkembang sejak zaman kerajaan Hindu yang ada di Kalimantan Selatan
(Gambar 11a).
2. Baamar Galung Pancar Matahari, yaitu suatu jenis busana pengantin yang
berkembang sejak zaman munculnya pengaruh agama Islam dan kerajaan Islam
yang ada di Kalimantan Selatan. Amar artinya mahkota kecil yang dipakai
pengantin wanita, di Sumatera disebut sunting (Gambar 11b dan 11c).
3. Babaju Kun Galung Pacinan, yaitu suatu jenis busana pengantin yang
mencerminkan masuknya pengaruh pedagang Gujarat dan China di Kalimantan
Selatan.
4. Babaju Kubaya Panjang, yaitu suatu jenis busana pengantin yang menggunakan
kebaya panjang.
112 (a)
(b)
(c)
Keterangan: (a) Busana pengantin Bagajah Gumilang Baular Lulut; (b) dan (c) Busana pengantin
Baamar Gulung Pancar Matahari
Gambar 11 Busana Pengantin Suku Banjar
Upacara adat yang lainnya seperti syukuran kehamilan 4 bulanan, 7 bulanan,
kelahiran bayi, puputan (lepasnya tali pusar bayi), aqiqahan (pemotongan kambing
sebagai pembayar gadai anak, untuk bayi laki-laki 2 ekor kambing dan untuk bayi
perempuan 1 ekor kambing), pemotongan rambut bayi umur 40 hari, dan upacara
kematian pun sama dengan ajaran Agama Islam pada umumnya.
Menurut Daud (1997), sub Suku Banjar terdiri dari 3, yaitu Banjar Pahuluan,
Banjar Banyu, dan Banjar Kuala. Namun, Suku Banjar yang ada di Dusun Kabo Jaya
maupun Dusun G III tidak mengerti mereka berasal dari sub suku yang mana karena pada
umumnya mereka banyak yang dilahirkan di Sangatta maupun di daerah Kalimantan
Timur dan bukan asli Suku Banjar, sehingga mereka hanya tahu berasal dari Suku Banjar.
Bahasa yang digunakan untuk komunikasi antar sesama warga Suku Banjar
menggunakan Bahasa Banjar tetapi untuk komunikasi antar Suku Menggunakan Bahasa
Indonesia. Daud (1997) menjelaskan, Bahasa Banjar pada asasnya adalah Bahasa Melayu
yang di dalamnya terdapat banyak sekali kosa kata asal Dayak dan asal Jawa, karena asal
Suku Banjar ini dari Sumatera yang menetap di Kalimantan.
Makanan khas dari Suku Banjar yang terkenal adalah Soto Banjar (Gambar 12).
Makanan ini masih sering dikonsumsi Suku Banjar bahkan dikonsumsi oleh suku-suku
lainnya di Dusun Kabo Jaya maupun Dusun G III dan masakan ini dapat dengan mudah
didapatkan di rumah makan di sekitar Sangatta. Menu Soto Banjar juga sudah masuk ke
dalam daftar menu wisata kuliner Ekowisata Kabo Jaya, Dusun Kabo Jaya. Hal ini
merupakan pengenalan budaya Suku Banjar untuk masyarakat umum yang berkunjung ke
Dusun Kabo Jaya.
Gambar 12 Soto Banjar makanan khas Suku Banjar
113 1.4
Suku Bugis
Awal mula banyak Suku Bugis di Kalimantan Timur karena zaman dahulu di
Sulawesi Selatan terjadi pemberontakan, sehingga banyak penduduk Sulawesi Selatan
yang berpindah ke pulau lain termasuk diantaranya Kalimantan Timur yang paling dekat.
Suku Bugis di Sangatta menurut hasil wawancara dengan Bapak Udin (warga Suku Bugis
yang sudah lebih dari 20 tahun tinggal di Dusun G III), awalnya tinggal di Kecamatan
Sangkima, kemudian menyebar karena adanya lapangan pekerjaan. Suku Bugis di Dusun
Kabo Jaya tinggal di Kampung Bugis, sedangkan di Dusun G III tinggal secara menyebar.
Suku Bugis ini berasal dari Sulawesi Selatan dan beragama muslim seluruhnya. Suku
Bugis memiliki tokoh masyarakat yang dituakan bernama Bapak Darwis yang tinggal di
Kampung Bugis, Dusun Kabo Jaya dan Bapak Hasanuddin yang tinggal di Dusun G III.
Bahasa komunikasi yang digunakan antara sesama Suku Bugis menggunakan
Bahasa Bugis yang dinamakan Bahasa Ugi, sedangkan untuk komunikasi antar suku
menggunakan Bahasa Indonesia.
Bentuk rumah Suku Bugis di Dusun Kabo Jaya maupun di Dusun G III tidak
terlalu mirip rumah adat Suku Bugis, yaitu Rumah Lego-lego dengan bentuk biasanya
memanjang ke belakang dan tambahan di samping bangunan utama dan bagian depan
(Gambar 14). Rumah Bugis dapat berdiri bahkan tanpa perlu satu paku pun, semuanya
murni menggunakan kayu. Rumah ini memiliki keunikan, yaitu dapat di angkat atau
dipindahkan. Bentuk rumah warga Suku Bugis di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III
sama dengan bentuk rumah suku lain pada umumnya di Kalimantan Timur, yaitu rumah
dengan dinding dari kayu dan bahkan ada sebagian yang tidak berbentuk panggung
(Gambar 15).
Gambar 14 Rumah adat Suku Bugis (Lego-lego)
Sumber: Wikipedia Suku Bugis (2010)
Gambar 15 Kondisi perumahan Suku Bugis
114 Menurut hasil wawancara dengan salah satu warga Suku Bugis di Dusun G III,
bernama Bapak Udin di daerah Sangatta Lama seberang Sungai Sangatta, Kecamatan
Sangatta Selatan pembuatan rumah orang Suku Bugis masih menggunakan prinsip rumah
tradisional Bugis (Lego-lego) yaitu dengan bentuk panggung tinggi dan jarang yang
menggunakan paku hanya menggunakan pasak kayu dengan tujuan agar dinding mudah
dilepas untuk antisipasi terjadi kebakaran (dinding mudah dicopot). Maksudnya dibuat
tinggi panggungnya agar bagian bawahnya (kolong) dapat digunakan untuk menyimpan
barang-barang.
Upacara keagamaan sama dengan apa yang dilaksanakan umat muslim di
Indonesia pada umumnya memperingati hari besar Agama Islam seperti acara Maulid
Nabi Muhammad S.A.W., Isra Mi’raj Nabi Muhammad S.A.W., Hari Raya Idul Fitri,
Hari Raya Idul Adha, dan Tahun Baru Islam. Acara peringatan hari besar keagamaan ini
dilaksanakan tidak hanya umat muslim Suku Bugis saja tetapi bergabung dengan suku
lainnya yang beragama Islam. Semua warga Suku Bugis di Dusun Kabo Jaya maupun di
Dusun G III beragama Islam.
Upacara pernikahan warga Suku Bugis di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III
dilaksanakan seperti acara pernikahan pada umumnya (Gambar 16), hanya saja dalam
prosesinya ada yang dinamakan Mappacci (Malam Pacar) (Gambar 17), yaitu dikenal
suatu malam yang disebut dengan istilah Tudang Penni, dengan makna musyawarah
malam sebelum akad nikah. Dari segi istilah, maka malam pacar ini dapat disamakan
dengan istilah gladi bersih, yang diundang hadir pada acara Mappacci ini ialah kalangan
kerabat dekat calon pengantin yang datang berkumpul menyamakan persepsi dan
pendapat mereka tentang pelaksanaan acara akad nikah esok harinya. Oleh sebab itu
maka acara ini biasanya dilaksanakan malam menjelang acara akad nikah. Maknanya
bagi seorang gadis, atau seorang jejaka yang kuku-kuku jari tangannya telah ditandai
dengan warna merah dari daun pacar, harus berhati-hati dalam pergaulan. Makna warna
merah sebagi simbol warna darah ialah bahwa “dia” tidak boleh lagi digoda atau
menggoda orang lain, karena tebusannya sangat menyeramkan: merah atau darah. Itulah
sebagian makna dari warna daun pacar yang merah di kalangan Makasar dan Bugis.
Identitas lain acara pernikahan dari Suku Bugis ini terlihat dari pakaian adat pernikahan
yang dikenakan masih mengenakan pakaian adat Suku Bugis (Gambar 18).
Gambar 16 Prosesi akad pernikahan Suku Bugis
115 Gambar 17 Prosesi Mappacci dalam untaian kegiatan pernikahan Suku Bugis
Gambar 18 Busana pengantin Suku Bugis
Suku Bugis dari segi perkawinan lebih suka menjalin perkawinan dengan
keluarga terdekat dan perceraian merupakan hubungan sosial yang paling tidak disukai
karena dapat meruntuhkan hubungan kekeluargaan dengan nilai-nilai agama. Namun ada
juga warga Suku Bugis di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III yang menikah dengan
pasangannya di luar Suku Bugis, hal ini karena adanya interaksi dan komunikasi antar
suku yang ada di lokasi penelitian dengan kondisi suku yang majemuk.
Upacara adat yang lainnya seperti syukuran kehamilan 4 bulanan, 7 bulanan,
kelahiran bayi, puputan (lepasnya tali pusar bayi), aqiqahan (pemotongan kambing
sebagai pembayar gadai anak, untuk bayi laki-laki 2 ekor kambing dan untuk bayi
perempuan 1 ekor kambing), pemotongan rambut bayi umur 40 hari, dan upacara
kematian pun sama dengan ajaran Agama Islam pada umumnya.
Makanan khas Suku Bugis yaitu Burasak Bugis (Gambar 19). Makanan ini
masih dibuat oleh warga Suku Bugis terutama pada hari Idul Fitri, Idul Adha, dan acara
selamatan pernikahan atau kelahiran. Burasak Bugis ini terbuat dari bahan beras, santan,
dan garam yang dibungkus oleh daun pisang. Biasanya makan Burasak Bugis ini
dilengkapi dengan Konro Bakar atau Sop Saudara sebagai kuahnya yang merupakan khas
Bugis. Konron Bakar bahan utamanya adalah daging sapi yang masih menempel pada
tulang kemudian dibakar dan ditambahkan kuah dengan warna coklat kehitaman yang
diolah dengan rempah-rempah dan ditambah dengan sambal bumbu dan sambal untuk
kuah yaitu jeruk lemon. Sop Sodara juga sama bahan dasarnya daging sapi atau dapat
116 diganti dengan daging kerbau dengan berbagai bumbu rempah-rempah untuk bumbu
kuahnya.
(a)
(b)
(c)
Keterangan: (a) Burasak Bugis; (b) Konro Bakar, dan (c) Sop Sodara
Gambar 19 Makanan khas Suku Bugis
Makanan khas dari Suku Bugis ini merupakan potensi yang dapat disajikan dalam
menu wisata kuliner Ekowisata Kabo Jaya. Menu dalam bentuk buras akan lebih menarik
selera makan pengunjung karena umumnya kita makan makanan pokok dalam bentuk
nasi bukan buras.
Tarian dari Suku Bugis yaitu Tari Paduppa (tarian yang mengambarkan bahwa
orang Bugis jika kedatangan tamu senantiasa menghidangkan bosara, sebagai tanda
kesyukuran dan kehormatan) (Gambar 20a), Tari Mabbissu atau Tari Maggiri (tarian
yang selalu mempertontonkan kesaktian penari), Tari Pajoge (tari klasik dari Kerajaan
Bone, yang mengambarkan kecantikan perempuan Bugis yang terpancar dari wajah,
sikap, dan perilakunya) (Gambar 20b). Namun sayang warga Suku Bugis di Dusun Kabo
Jaya maupun di Dusun G III tidak pernah menampilkan tarian daerah ini, padahal kalau
mereka dilatih belajar tarian daerah akan menjadi potensi dalam pengembangan seni
budaya yang akan dikembangkan di Dusun Kabo Jaya. Pelatihan belajar tarian daerah ini
dapat bekerjasama dengan perkumpulan Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS)
yang berkedudukan di Sangatta. Kesenian lainnya seperti seni musik juga dimiliki Suku
Bugis hanya tidak ada yang dibawa dan berkembang ke daerah perantauan, seperti seni
kecapi, gendang, dan suling.
117 Sumber: Sandiantoro (2010)
(a)
(b)
Keterangan: (a) Tari Paduppa dan (b) Tari Pajoge
Gambar 20 Tari Suku Bugis
1.5
Suku Jawa (Jawa Timur, Jawa Timur, dan Madura)
Suku Jawa di Dusun Kabo Jaya tinggal mengelompok di Kampung Jawa yang
lokasinya agak jauh terpisah dengan perkampungan lainnya (Kampung Tortor, Kampung
Timur, Kampung Banjar, dan Kampung Bugis). Sedangkan Suku Jawa di Dusun G III
tinggal menyebar berbaur dengan suku yang lainnya tidak sesuai suku. Tokoh yang
dituakan di Kampung Jawa adalah ketua Rukun Tetangga (RT) karena Bapak Kasnawi ini
menetap paling lama (10 tahun), sedangkan tokoh Suku Jawa di Dusun G III bernama
Bapak Tunikum.
Suku Jawa ini meliputi orang yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan
Madura. Dalam sistem sosial Suku Jawa di Dusun Kabo Jaya maupun Dusun G III tidak
ada pembagian golongan sosial semuanya adalah sama status sosialnya. Padahal sejak
zaman dahulu Suku Jawa terkenal dengan pembagian status sosial seperti yang
diungkapkan oleh Geertz (1960), membagi masyarakat Jawa kepada 3 buah kelompok,
yaitu kaum santri, abangan, dan priyayi. Pembagian status sosial ini tidak dibawa ke
daerah perantauan, mereka menggap semua orang sesama orang Suku Jawa adalah sama
sebagai orang perantau.
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara beberapa warga Suku Jawa,
karakteristik orang Suku Jawa bermacam-macam sesuai dengan asal daerahnya. Suku
Jawa Tengah karakternya lebih halus, sedangkan untuk Suku Jawa Timur dan Madura
terkenal gaya bicaranya yang blak-blakan serta sifatnya yang keras dan mudah
tersinggung, tetapi mereka terkenal hemat, disiplin, dan rajin bekerja. Orang Madura
dikenal mempunyai tradisi Islam yang kuat.
Warga Suku Jawa di Kampung Jawa ini agak berbeda dengan Suku Jawa di
Dusun G III dan suku yang lainnya. Warga Kampung Jawa hampir semuanya bermata
pencaharian sebagai petani (mengolah ladang dan kebun), baik sebagai ladang atau kebun
milik sendiri maupun milik orang lain yang digarap oleh warga Kampung Jawa. Kebun
dan ladang yang ada di Kampung Jawa digunakan sebagai lokasi Agrowisata Kabo Jaya
(Gambar 21). Hal ini merupakan modal dalam pengembangan kegiatan agrowisata.
Kesediaan ladang dan kebun mereka dijadikan sebagai lokasi Agrowisata Kabo Jaya
sudah mempunyai nilai lebih dalam pengembangan kegiatan agrowisata. Hanya dalam hal
ini perlu desain program kegiatan agrowisata dan adanya pelatihan pelayanan pengunjung
bagi pemilik kebun dan pengelola Agrowisata Kabo Jaya.
118 (a)
(c)
(b)
(d)
(f)
(e)
(g)
119 (h)
Keterangan:
(a) Kebun rambutan
(e) dan (f) Kebun pepaya
(b) Ladang umbi-umbian (g) Kebun janggung
(c) Kebun nenas
(h) Kebun singkong
(d) Kebun pisang
Gambar 21 Kebun dan ladang di Kampung Jawa yang dijadikan lokasi Agrowisata Kabo
Jaya
Agama yang dianut oleh Suku Jawa di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III
mayoritas beragama Islam. Kegiatan keagamaan yang rutin dilakukan adalah pengajian
mingguan di mesjid terdekat dan peringatan hari besar Agama Islam dengan bergabung
dengan suku yang lainnya.
Bahasa yang digunakan antar sesama Suku Jawa menggunakan Bahasa Jawa
dengan berbagai macam dialek sesuai dengan masing-masing asal daerahnya, yaitu dialek
bahasa Jawa Tengahan (Bahasa Jawa Solo-Jogja), Bahasa Jawa Blora-Rembang (daerah
pesisiran), Bahasa Jawa dialek Banyumasan-Tegal, dan Bahasa Madura. Sedangkan
untuk komunikasi antar suku menggunakan Bahasa Indonesia.
Tradisi kebudayaan dari Suku Jawa tidak banyak dibawa ke daerah perantuan,
seperti upacara pernikahan, kelahiran, kematian, dan upacara yang lainnya menggunakan
tata cara secara nasional tidak spesifik mencirikan Suku Jawa. Kesenian tradisional
maupun permainan rakyat dari Suku Jawa pun tidak ada di daerah perantuan ini. Begitu
juga dengan bentuk bangunan rumah sama dengan bentuk rumah yang ada di daerah
setempat (Gambar 22), yaitu berbentuk panggung dengan bahan dari kayu. Begitu juga
dengan pakaian adat dalam pernikahan tidak begitu dipergunakan, acara pernikahan
dilaksanakan secara sederhana mengadakan pengajian di rumah sebagai rasa syukur
(a)
(b)
Gambar 22 Rumah Suku Jawa
120 Kesenian khas dari Suku Jawa cukup banyak seperti Ludruk (Jawa Timur), Reog
Ponorogo (Jawa Timur), Tari Remo (Jawa Timur), Ketoprak (Jawa Tengah dan Jawa
Timur), Tari Gambyong, Tari Srimpi, Tari Bondan, dan Tari Kelana (Jawa Tengah).
Potensi-potensi kekayaan budaya seperti ini dapat digali dan dikembangkan dengan
menggerakan masyarakat Suku Jawa yang didukung dari berbagai pihak untuk
pengembangan wisata seni dan budaya Kabo Jaya.
Suku Jawa sebenarnya memiliki berbagai macam upacara adat, seperti tingkepan
(upacara usia kehamilan tujuh bulan bagi anak pertama), babaran (upacara menjelang
lahiran bayi), sepasaran (upacara setelah bayi berusia lima hari), pitonan (upacara setelah
bayi berusia tujuh bulan), sunatan, dan pacangan. Tetapi upacara adat tersebut tidak
dilakukan oleh Suku Jawa baik di Dusun Kabo Jaya maupun Dusun G III. Hanya saja
cukup dengan diadakan pengajian mengundang tetangga di rumah.
Makanan khas dari Suku Jawa yang masih dimasak dan dikonsumsi oleh warga
Suku Jawa adalah Rawon. Menu Rawon ini sudah dijadikan paket menu wisata kuliner
Kabo Jaya. Sebaiknya makanan khas Suku Jawa yang begitu banyak dapat dijadikan
paket menu wisata kuliner agar lebih banyak variasinya, seperti rujak petis, rujak cingur,
rujak uleg, semanggi, lontong balap, sate kerang, lontong kupang, brem, kue bakiak, sale
pisang ambon, nasi pecel, keripik tempe, dan kerupuk udang (Jawa Timur) serta tahu
takwa, tahu pong, getuk pisang, wingko babat (Jawa Tengah). Potensi makanan khas dari
daerah inilah yang perlu digali dalam pengembangan wisata kuliner di Kabo Jaya.
2.
2.1
Suku Asli
Suku Kutai
Suku Kutai merupakan suku asli daerah Sangatta, Kutai Timur. Pada zaman
dahulu berdasarkan hasil wawancara dengan dengan Bapak Haji Kasmo (Kepala Adat
Kutai Sangatta), Suku Kutai banyak tinggal di daerah Dusun Kabo Jaya maupun Dusun G
III. Setelah berdiri perusahaan-perusahaan seperti perusahaan kayu PT. Porodisia dan
perusahaan pertambangan batu bara PT. KPC Suku Kutai ini semakin tergeserkan oleh
suku pendatang (Suku Toraja, Suku Timur/NTB dan NTT, Suku Banjar, Suku Bugis, dan
Suku Jawa) yang secara bergelombang datang ke daerah Sangatta. Namun di daerah
Sangatta Lama (seberang Sungai Sangatta), Kecamatan Sangata Selatan masih banyak
dijumpai suku asli ini.
Kutai merupakan kerajaan yang paling tua. Suku Dayak adanya di pedalaman
tetapi Suku Kutai ada di pantai atau perkotaan yang lebih moderat dan pusat Suku Kutai
adanya di Tenggarong. Sejarah terbentuknya Kota Sangatta, Sangatta artinya dari gelar
dari raja-raja “Singa Karti”, “Singa Karta”, “Singa Gembara”, dan “Singa Geweh”. Pada
tahun 1989 mau dibentuk Kecamatan dilaporkan namanya Sangatta melihat dari
Pertamina sehingga sampai sekarang terkenal dengan nama Sangatta padahal awalnya
dari kata “Seungata”.
Suku Kutai ini tergabung dalam Lembaga Adat Kutai Sangatta yang terbentuk
pada tahun 1678 tetapi karena bentuk kerajanaan itu dianggap bubar dirubah menjadi
bentuk negara, baru dibentuk atau diaktifkan kembali lembaga adat ini tahun 1999 dengan
dipimpin oleh Sultan Solehuddin II. Daftar kepala adat di Sangatta dapat dilihat pada
Tabel 1.
No
1
2
3
4
5
Tabel 1 Daftar kepala adat di Sangatta (1678 – 2010)
Nama
Sebutan
Masa Jabatan
Gembara
Kepala Adat
1678 – 1709
Djanti
Kepala Adat
1709 – 1721
Singa Tua
Kepala Adat
1721 – 1737
Singa Geweh
Kepala Adat
1737 – 1751
Singa Muda
Kepala Adat
1751 – 1781
121 No
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
Nama
Matjan
Karti
Tali
Bungul
Sampai
Bidjak
Adji Masman
Sempulan
Dachlan
Asd. Gani
Tjok
Abd. Rifay G.
M. Pital B.
Abd. Hamid K.
Ir. Sabir Nawir
Syahran S.
H.M. Jono LH
Sebutan
Kepala Adat
Kepala Adat
Kepala Adat
Kepala Adat
Kepala Adat
Petinggi
Petinggi
Petinggi
Petinggi
Kepala Kampung
Kepala Kampung
Kepala Kampung
Kepala Kampung
Kepala Kampung
Kepala Desa
Kepala Desa
Kepala Desa
Masa Jabatan
1781 – 1801
1801 – 1830
1830 – 1842
1842 – 1855
1855 – 1901
1901 – 1911
1911 - 1930
1930 – 1955
1955 – 1960
1960 – 1964
1964 – 1967
1967 – 1972
1972 – 1977
1977 – 1996
1996 – 1999
1999 – 2000
2000 -
Sumber: Hasil wawancara dengan Kepala Adat Kutai Sangatta (2010)
Adapun struktur organisasi Lembaga Adat Kutai Sangatta (Gambar
tugas dari masing-masing pengurusnya Lembaga Adat Kutai Sangatta:
1. Dewan Adat adalah orang-orang tua yang membimbing kita atau
penasehat, seperti kalau ada masalah harus meminta pertimbangan
dahulu. Dewan Adat di sini ada 5 orang (Haji Adri, Haji Tum, Johan
Muh. Jono LH. dan Haji Jalil).
2. Kepala Adat adalah sebagai pemimpin Lembaga Adat Kutai.
3. Sekretaris Adat membantu Kepala Adat.
4. Pembantu I Bidang Kesenian.
5. Pembantu II Bidang Perlindungan.
6. Pembantu III Bidang Olahraga Tradisional.
23) dan
sebagai
terlebih
R., Haji
Kepala Adat
H. Kasmo Pital
Dewan Adat
Sekretaris Adat
Erwin Baharuddin Adjir
Wakil Sekretaris Adat
Ari Suryadi
Pembantu I
Hairudin T.
Pembantu II
Suriyan Fradesa
Pembantu III
Nanang
Bendahara
Ernani
Gambar 23 Bagan struktur Lembaga Adat Kutai Sangatta
Sumber: Wawancara dengan Kepala Lembaga Adat Kutai Sangatta (2010)
122 Tugas dari masing-masing bagian dalam struktur organisasi di atas, yaitu setiap
kegiatan atau masalah yang ada harus meminta pertimbangan terhadap Dewan Adat
kemudian dibantu sesuai dengan bidang kegiatan atau masalahnya masing-masing seperti
bidang kesenian, perlindungan, dan olahraga tradisional. Bidang kesenian menangani
penyelenggaraan pentas Tari Jepen dan Tari Gambus. Bidang perlindungan menangani
kegiatan yang menyangkut terhadap perlindungan lingkungan. Bidang olahraga
tradisional menangani kegiatan olahraga tradisional, seperti pertandingan sumpit dan
gangsing.
(a)
(b)
Keterangan: (a) Lembaga Adat Kutai Sangatt dan (b) Kepala Adat Kutai Sangatta
Gambar 24 Lembaga Adat Kutai Sangatta
Namun pusatnya Himpunan Suku Kutai adanya di Tenggarong. Lembaga Adat
Kutai Sangatta berperan sebagai penyeimbang Pemerintah karena sekarang sudah dalam
bentuk pemerintahan dan adat mempunyai aturan tersendiri hanya saja di sini peran
Lembaga Adat Kutai Sangatta sebagai penerus atau menjaga kelestarian budaya Kutai.
Dalam setiap ada konflik di masyarakat Kepala Adat Kutai ini ikut andil besar dalam
menyelesaikan masalah yang ada di masyarakat, namu sekarang konflik tersebut sudah
semakin berkurang.
Setiap tahun di pusat Suku Kutai Tenggarong diadakan acara “Erau” (Peras
Tanah). “Peras Tanah” maksudnya memberi makan ke makhluk-makhluk halus. Acara
ini mementaskan tari-tarian daerah selama 1 minggu yang merupakan pesta besar “Erau”.
Keinginan kita setiap tahun dapat menampilkan seni budaya tetapi kendala dari dananya.
Di Sangatta diadakan “Plastana” yaitu acara yang menampilkan olahraga tradisional
Suku Kutai, yaitu Sumpit (Gambar 25a dan 25b) merupakan alat berburu orang Kutai
dan Dayak yang digunakan dengan cara ditiup, selain itu ada permainan Gasing (Gambar
26c), dan seni musiknya berupa Gabus (Gambar 26a).
Kapala Lembaga Adat Kutai dan masyarakat Suku Kutai sangat mendukung
pengembangan ekowisata. Masyarakat Sangatta sangat haus akan wisata karena di
Sangatta sedikit tempat untuk wisata. Masyarakat Kutai sudah siap menghadapi
pengembangan wisata tetapi Pemerintah kurang mendukung terhadap acara yang akan
diadakan oleh masyarakat Kutai serta kurang pembinaan/perhatian dari Pemerintah itulah
kendala utama bagi Suku Kutai. Dana untuk pemberdayaan dari Pemerintah ada tetapi
besarnya sedikit dan itupun harus diajukan dalam bentuk proposal kepada Pemerintah
Daerah Kutai Timur dengan besarnya dana sebesar Rp. 30.000.000,- tetapi yang disetujui
biasanya Rp. 10.000.000,-.
123 (a)
(b)
(c)
Keterangan: (a) dan (b) Sumpit serta (c) Gangsing
Gambar 25 Olahraga dan permainan tradisional Suku Kutai
Sebagian besar penduduk Suku Kutai beragama Islam. Menurut informasi dari
Kepala Adat Kutai Sangatta (Bapak Haji Kasmo), banyaknya Suku Kutai beragama Islam
karena Agama Islam ini mulai dikenal di Kerajaan Kutai Kartanegara pada awal abad ke16 dan berkembang pada awal abad ke-17, yakni pada masa pemerintahan Sultan Aji
Pangeran Sinum Panji Mendapa (sekitar tahun 1635). Hal ini terbukti dengan adanya
Undang Undang Dasar Kerajaan yang disebut Panji Selaten dan Kitab Peraturan yang
disebut Undang Undang Beraja Nanti yang bersumber kepada hukum Islam. Sejak itulah
Agama Islam berkembang dengan sangat pesat di Kutai.
Karakteristik Suku Kutai memiliki sifat yang ramah, jujur, dan memiliki
semangat gotong royong yang tinggi. Tamu atau pendatang dari luar sangat dihormati.
Masyarakatnya sangat religius dan memiliki rasa toleransi antar umat beragama yang
tinggi.
124 Bahasa yang dipergunakan masyarakat Suku Kutai di Sangatta dalam pergaulan
antar suku dan acara-acara resmi mempergunakan Bahasa Indonesia, sedangkan Bahasa
Kutai hanya dipergunakan dalam komunikasi antar anggota sukunya.
Seni suara dan seni musik Kutai banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu
dan Islam, diantaranya adalah:
1. Musik Tingkilan
Seni musik khas Suku Kutai adalah musik Tingkilan, kesenian ini memiliki
kesamaan dengan kesenian rumpun Melayu. Alat musik yang digunakan adalah
Gambus (sejenis gitar berdawai 6) (Gambar 26a), ketipung (semacam kendang
kecil) (Gambar 26b), kendang (sejenis rebana yang berkulit sebidang dan besar),
dan biola. Musik Tingkilan disertai pula dengan nyanyian yang disebut
betingkilan. Betingkilan sendiri berarti bertingkah-tingkahan atau bersahutsahutan. Dahulu sering dibawakan oleh 2 orang penyanyi pria dan wanita sambil
bersahut-sahutan dengan isi lagu berupa nasihat-nasihat, percintaan, saling
memuji, saling menyindir atau saling mengejek dengan kata-kata yang lucu.
Musik Tingkilan ini sering digunakan untuk mengiringi tari pergaulan rakyat
Kutai, yakni Tari Jepen.
(a)
(b)
Gambar 26 Alat musik Tingkilan
2. Hadrah
Kesenian ini mempergunakan alat musik terbang atau rebana. Kesenian ini
dibawakan sambil menabuh terbang tersebut disertai nyanyian dalam Bahasa
Arab yang diambil dari Kitab Barjanji. Kesenian ini umumnya ditampilkan untuk
mengarak pengantin pria menuju ke rumah mempelai wanita, selain itu juga
sering ditampilkan pada perayaan hari-hari besar Islam.
2.2
Suku Dayak
Berdasarkan keterangan dari Ibu Selvia (Staf Bagian Budaya, Dinas Pemuda
Olahraga dan Pariwisata Kabupaten Kutai Timur dan sebagai masyarakat asli Suku
Dayak di Sangatta) dan informasi dari beberapa warga Suku Dayak di Dusun G III, sukusuku asli yang ada di Kutai Timur yaitu Suku Dayak Kenyah, Dayak Modang, Dayak
Bahaw, Dayak Basap, Dayak Kayan, Dayak Wehea, dan Dayak Kapuas. Mayoritas suku
125 Dayaknya adalah Dayak Kenyah, tetapi suku-suku Dayak yang lainnya juga ada sudah
membaur di masyarakat Kutai Timur. Hal ini diperkuat dari keterangan Pak Daud (Kabag
Kebudayaan Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata Kabupaten Kutai Timur) serta
Bapak Willis (tokoh masyarakat Suku Dayak dari Sangatta Lama) yang memberikan
keterangan yang sama mengenai suku-suku yang ada di Sangatta. Namun di lokasi
penelitian Dusun Kabo Jaya tidak ada warga dari Suku Dayak dan di Dusun G III hanya
bagian dari warga minoritas saja. Suku Dayak ini banyak tinggal di Sangatta Lama
(seberang Sungai Sangatta).
Bapak Willis (tokoh masyarakat Suku Dayak dari Sangatta Lama) menambahkan
mengenai bahasa, beberapa bahasa sub Suku Dayak yang sudah tidak dipergunakan lagi
atau sudah punah adalah bahasa Umaa Wak, Umaa Palaa, Umaa Luhaat, Umma Palog,
Baang Kelo, dan Umaa Sam. Bahasa-bahasa tersebut dahulunya lazim dipergunakan oleh
masyarakat Suku Dayak. Ditambahkan juga menurut Ibu Selvi (Staf Bagian Kebudayaan
Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata Kabupaten Kutai Timur), bahasa dari suku-suku
Dayak di Kutai Timur berbeda-beda, seperti Bahau, Kayan Wahau, Dialek Kayan Sungai
Kayan, dan Modang.
Rumah adat Suku Kutai dan Dayak di Kalimantan Timur dikenal dengan nama
Rumah Lamin (Gambar 27). Lamin artinya sebagai rumah panjang kita semua. Namun
dalam keseharian, Lamin bisa diartikan sebagai rumah bersama yang dihuni banyak orang
atau keluarga. Dalam perkembangan sekarang ini, istilah Lamin menjadi lebih luas lagi,
sebagai sebuah lambang atau simbol khas daerah. Lamin, rumah adat Suku Dayak
Kalimantan Timur merupakan sebuah bangunan besar dan panjang. Bangunan umumnya
terbuat dari bahan Kayu Ulin dengan pondasi bangunan yang tinggi di atas permukaan
tanah. Kondisi ini, menurut alasan orang Kutai dan Dayak dahulu, adalah untuk
mencegah terjadinya serangan binatang buas yang banyak di sekitar bangunan. Penghuni
Lamin terdiri dari banyak kepala keluarga. Hanya terdapat 'sekat' berupa barang-barang
yang menjadi hak dan kepemilikan keluarga. Selain sebagai tempat tinggal, Lamin juga
menjadi ruang serbaguna untuk melakukan berbagai upacara keagamaan, kemasyarakatan
dan pertemuan warga.
Seiring dengan masuknya perkembangan modern dalam masyarakat suku
pedalaman, banyak warga suku yang sudah tidak lagi tinggal di Lamin. Banyaknya
perusahaan perkayuan dan pertambangan sedikit banyak sudah menggeser nilai budaya
warga pedalaman menjadi lebih mandiri dengan bangunan rumah pribadi. Lamin bukan
lagi sebagai tempat tinggal sehari-hari tapi berfungsi sosial dan keagamaan. Namun pada
beberapa daerah yang masih terpencil, masih bisa ditemui Lamin yang berfungsi sebagai
rumah tinggal sehari-hari. Begitu juga Suku Kutai dan Dayak yang ada di Dusun G III
dan Sangatta Lama bentuk rumahnya sudah mengikuti bentuk rumah yang umum ada di
masyarakat tetapi masih menggunakan bahan dari kayu. Rumah Lamin ini mulai
diperkenalkan lagi kepada pengunjung atau tamu yang datang ke Sangatta dengan
dibuatnya Rumah Lamin di tempat objek wisata Pantai Teluk Lombok oleh Dinas
Pemuda Olahraga dan Pariwisata (Gambar 28).
Gambar 27 Rumah Lamin
Sumber: Kidnesia (2010)
126 Gambar 28 Rumah Lamin di objek wisata Pantai Teluk Lombok yang dibuat oleh Dinas
Pemuda Olahraga Kabupaten Kutai Timur masih dalam proses pembuatan
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawacara dari berbagai sumber (Bu
Selvia/Staf Bagian Kebudayaan Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata Kabupaten Kutai
Timur, Bapak Haji Kasmo/Kepala Adat Kutai Sangatta, Bapak Willis/tokoh masyarakat
Dayak Sangatta Lama, dan beberapa warga Suku Kutai dan Dayak di Dusun G III),
benda-benda khas Suku Dayak dan Suku Kutai dibedakan berdasarkan fungsinya terdiri
dari benda untuk keperluan upacara adat, benda berfungsi untuk keperluan sehari-hari,
benda seni, benda hiasan, dan olahraga. Benda-benda tersebut lebih jelasnya dapat dilihat
dalam Tabel 5.2 dan Gambar 29 sampai Gambar 33.
Tabel 2 Benda-benda Identitas Suku Dayak dan Suku Kutai
No
Nama Benda
Asal
Keterangan
Benda Upacara Adat
1
Kalung dari taring babi Dayak
dipakai dalam acara “Hudog” atau acara
Wehea
pemujaan untuk mengundang roh dan
tidak sembarang dipakai
2
“Mao
Belawing” Dayak
biasanya ada penunggunya membuatnya
(patung
manusia Kenyah
harus ada ritualnya tidak sembarang
purba)
orang bisa membuatnya, patungnya
berbentuk orang telanjang hanya
memakai
celana
cawet
sambil
menombak,
kalau
malam
“Mao
Belawing” ini matanya merah menyala
menandakan ada roh di dalamnya
3
“Tapung Mao” (topi semua Suku terdiri dari bagian wajah dan “kirip”
tapung)
Dayak dan (tangan), dan bulunya dari burung
Suku Kutai
pemakan
ikan
(elang)
untuk
mengundang roh
4
Tapung dari taring babi Dayak
ada yang terbuat dari bahan bulu-bulu
dan mute-mute
Kenyah
dari
burung
(ini
menandakan
tingkatannya sudah tinggi), biasanya
dipakai saat menari menyambut raja
5
“Hudog” (topeng)
Dayak
untuk upacara adat
Wehea
127 No
Nama Benda
Asal
Benda Keperluan Sehari-hari
6
“Bening”
semua Suku
Dayak dan
Suku Kutai
mempunyai
7
“Saung”
Dayak
Kayang dan
Dayak
Kenyah
8
Kotak pinang
semua Suku
Dayak dan
Suku Kutai
9
“Belanyet/Kiba”
semua Suku
Dayak dan
Suku Kutai
10 Kantong dari mute- semua Suku
mute
Dayak dan
Suku Kutai
11 Berbagai macam guci
semua Suku
Dayak dan
Suku Kutai
12 Mangkuk keramik
semua Suku
Dayak dan
Suku Kutai
13 Berbagai macam piring semua Suku
Dayak dan
Suku Kutai
Benda Seni
14 Alat musik petik
semua Suku
Dayak dan
Suku Kutai
15 Alat musik Gambus
semua Suku
Dayak dan
Suku Kutai
16 Kendang
semua Suku
Dayak dan
Suku Kutai
17 Kain tenun
semua Suku
Dayak dan
Suku Kutai
18 Kain
batik
khas semua Suku
Kalimantan Timur
Dayak dan
Keterangan
alat untuk menggendong bayi. Bahan
dari kayu atau rotan yang berbentuk
setengah lingkaran pada bagian atas
terbuka dan bagian bawahnya ditutup
dengan menggunakan papan. Sisi luar
dihiasi dengan abhan manik dengan
ragam hias motif flora dan fauna. Bening
aban (gendongan anak) merupakan alat
yang dipakai untuk menggendong anak
bepergian baik ke kebun dank e hutan.
Cara memakainya dipakai di punggung
dengan tali pengait dipasang di bahu
(seperti menggunakan ransel).
untuk penutup kepala
untuk tempat menyimpan pinang, sirih,
dan kapur terbuat dari anyaman rotan
untuk tempat ikan
untuk kantong
untuk tempat menampung air
perlengkapan makan
tempat menyimpan makanan ada yang
terbuat dari kermaik dan kayu
mengiringi acara musik tradisional
musik Gambus
mengiringi acara musik tradisional
digunakan untuk hiasan maupun bahan
pakaian
bahan pakaian
128 No
Nama Benda
Asal
Suku Kutai
Benda Hiasan
19 Anting-anting
dari semua Suku
mute-mute dan batu
Dayak dan
Suku Kutai
20 Gelang-gelang
dari semua Suku
mute-mute dan batu
Dayak dan
Suku Kutai
21 Kalung-kalung
dari semua Suku
mute-mute dan batu- Dayak dan
batu
Suku Kutai
22 Hiasan dinding ukiran
semua Suku
Dayak dan
Suku Kutai
23 Perisai/keliau berukir
semua Suku
Dayak dan
Suku Kutai
24 Hiasan ukiran Burung semua Suku
enggang
Dayak dan
Suku Kutai
25 Hiasan patung orang semua Suku
Dayak
Dayak
26 Berbagai
macam semua Suku
ukiran
Dayak dan
Suku Kutai
Benda untuk Olahraga
27 Sumpit
semua Suku
Dayak dan
Suku Kutai
28 Gasing
semua Suku
Dayak dan
Suku Kutai
(a)
(b)
Keterangan
perhiasan wanita
perhiasan wanita
perhiasan wanita
Hiasan
Hiasan
Hiasan
Hiasan
Hiasan
untuk menyumpit keperluan berburu dan
perlombaan sumpit
Untuk permainan dan perlombaan gasing
(c)
129 (d)
(e)
(f)
Keterangan:
(a) Kalung dari taring babi
(b) “Mao Belawing” (patung masnusia purba)
(c) “Mao Belawing” (patung masnusia purba)
(d) “Tapung Mao” (topi tapung)
(e) Tapung dari taring babi dan mute-mute
(f) “Hudog” (topeng)
Gambar 29 Benda-benda upacara adat Suku Dayak dan Suku Kutai
(a)
(b)
130 (c)
(e)
(d)
(f)
(g)
(h)
131 (i)
(j)
(l)
(k)
(m)
(n)
132 (o)
(p)
(q)
(s)
(r)
(t)
133 (u)
(v)
Keterangan:
(a) “Bening” (penggendongan bayi) dari kayu ulin tampak muka
(b) “Bening” (penggendongan bayi) dari kayu ulin tampak belakang
(c) ”Bening” (penggendongan bayi) dari kain dan mute-mute tampak muka
(d) ”Bening” (penggendongan bayi) dari kain dan mute-mute tampak belakang
(e) dan (f) “saung” (topi)
(g) Kotak pinang
(h) “Belayet/Kiba”
(i) Kantung mute-mute
(j) s/d (n) Berbagai macam guci
(o) Mangkuk keramik
(p) s/d (s) Berbagai macam piring dari keramik
(t) s/d (v) Berbagai macam piring dari kayu
Gambar 30 Benda-benda keperluan sehari-hari Suku Dayak dan Suku Kutai
(a)
(b)
134 (c)
(d)
(e)
(f)
Keterangan:
(a) Alat musik petik
(b) Alat musik gambus
(c) Kendang
(d) s/d (e) Kain tenun corak khas Kalimantan Timur
(f) Kain corak batik khas Kalimantan Timur
Gambar 31 Benda-benda seni Suku Dayak dan Suku Kutai
(a)
(b)
135 (c)
(d)
(e)
(g)
(f)
(h)
136 (i)
(j)
(k)
(l)
(m)
Keterangan:
(a) Anting-anting dari mute-mute dan batu
(b) Gelang-gelang dari mute-mute dan batu
(c) Kalung-kalung dari mute-mute dan batu
(d) Hiasan dinding ukiran
(n)
(e) s/d (f) Perisai/keliau berukir
(g) s/d (j) Hiasan ukiran Burung enggang
(k) Hiasan patung orang Dayak
(l) s/d (n) Berbagai macam ukiran
Gambar 32 Benda-benda hiasan Suku Dayak dan Suku Kutai
137 (a)
(b)
(c)
Keterangan:
(a) Mata sumpit
(b) Sumpit
(c) Gasing
Gambar 33 Benda perlengkapan olahraga Suku Dayak dan Suku Kutai
138 Lampiran 2 Jenis-jenis tumbuhan dan jamur yang ditemukan sepanjang looptrail menuju
sarang Orangutan
No Jenis (Nama Lokal)
Lokasi
Keterangan
1 Bunga akar belaran
Awal
masuk Disukai Orangutan
looptrail
2 Akar bunsud
SP 3
Jenis herba, bunganya kecil-kecil
berwarna kuning, dan tidak bisa
dimakan
3 Buah limas
SP 3
Buahnya asam berwarna merah
kecil bergerombol membentuk
seperti limas, dapat dimakan
manusia dan Orangutan
4 Akar kaspo
SP 4
Bentuk akar menggantung seperti
buah lumayan besar seperti umbi
berwarna kuning, dan tidak dapat
dimakan
5 Letup
SP 4
Buah menempel pada batang
bergerombol seperti dukuh, buah
rasanya manis, dapat dimakan
manusia dan Orangutan
6 Tilam pelandak
SP 4
Perdu,
buahnya
bulat-bulat
berwarna hijau mengumpul di
tengah-tenga batang seperti buah
salak, dan tidak dapat dimakan
7 Tambu lawak
SP 4
Daun dan batangnya melilit pohon
besar yang ada di sekitranya,
buahnya bergerobol kecil-kecil
berwarna
merah,
digunakan
sebagai obat sakit perut
8 Jamur tanah
SP 4
Payungnya
berwarna
putih
biasanya tumbuh di atas tanah
9 Gendis
SP 4
Buahnya bergerombol seperti
kumpulan jarum pentul dengan
kepala yang besar dan berwarna
hijau, dapat dimakan manusia dan
Orangutan
10 Kalay
SP 4
Buahnya seperti umbi-umbian di
dalam tanah, daunnya berbentuk
khas seperti sayap kupu-kupu, dan
di bagian ruas tulang daunnya
berwarna keputihan perak
11 Jamur kayu
SP 4, SP 9
Biasanya menepel pada kayu-kayu
yang sudah lapuk berwarna
kecoklatan, dan tidak dapat
dimakan
12 Jamur cangkir
SP 4
Berwarna merah kejinggaan dan
bentuk
topinya
bergerombol
tersusun ke atas, dan biasa hidup di
atas tanah berserasah
13 Puda
SP 4
Hidup di air tergenang, daunnya
berduri tajam, dan digunakan
sebagai tempat berlindung ikan di
139 No
Jenis (Nama Lokal)
Lokasi
14
Buyu rara
TJ 00
15
Bunga jaung
SP 9
16
Jamur angat
SP 9, SL 3
17
Buah kedapat
SP 11
18
Buah
madarah
19
Temali
SL 2
20
Aka
SL 2
21
Kadaka
SL 3
22
Tebu itam
SL 3
23
Ketapa
SL 3
24
Paku rantau
SL 3
Medang SL 00
Keterangan
sungai
Daunnya
lebar-lebar,
bunga
muncul di ujung ranting pusat yang
mencuat ke atas, bentuk bunga
kecil-kecil, dapat dimakan dan
dipercaya dapat membuat suami
sayang sama istri, digunakan
dengan cara dibakar kemudian
diseduh dan diminumkan buat
suami
Dapat dimakan manusia dan
Orangutan
Warna putih gading, pada tengahtengah topinya bagian atas
berwarna kehitaman, hidup di atas
tanah, dan tidak dapat dimakan
Buahnya manis, berwarna kuning,
bulat-bulat sedang, dapat dimakan
manusia dan Orangutan
Kulit buah berwarna kuning,
daging buah berwarna putih, ada
bijinya seperti buah duku, tidak
dimakan manusia tetapi dimakan
Orangutan
dan
burung
enggang/tinggang
Sejenis herba, bentuk daun oval
dengan pinggir bergerigi, dan
bunganya bergerombol bulat kecilkecil
Sejenis
palem,
buahnya
bergerombol memanjang bulatbulat kecil berwarna hijau,
daunnya dapat digunakan untuk
membungkus gula atau ketan dan
dapat juga digunakan untuk
mengikat kerbau
Hidup menempel pada pohonpohon besar yang tinggi, dan biasa
digunakan sebagai tanaman hias
Tumbuhan
berkayu,
buahnya
berwarna hitam rasanya asam
paling disukai Orangutan dan kulit
kayunya digunakan untuk sayur
dimakan manusia
Daunnya
memanjang
seperti
tanduk dan bergelombang seperti
pakis-pakisan, dan tidak dapat
dimakan
Jenis herba (kalau di Jawa
dinamakan ceker ayam) untuk
obat-obatan
140 No
25
26
27
28
Jenis (Nama Lokal)
Bunga racun gigi
Lokasi
Keterangan
Buah bergerombol merah menyala
dan beracun
Jamur
Tudung SL 3 dan hampir di Jamur bentuk topinya mekar ke
pelanduk
sepanjang looptrail
atas (seperti payung kebalik),
berwarna merah kejinggaan, dan
tidak dapat dimakan
Rambutan hutan
Seperti rambutan biasa hanya
buahnya lebih kecil dan berbulu
lebih pendek dan dapat dimakan
seperti rambutan biasa
Bawang hutan
Bulat berkulit keras sehingga kalau
membuka harus dihancurkan, yang
biasa digunakan untuk bumbu
masak bagian dalamnya
SL 3
Sumber: Hasil observasi ke lapangan
(b)
(a)
(c)
(d)
141 (e)
(f)
(g)
(i)
(h)
(j)
142 (k)
(l)
(n)
(m)
(o)
(p)
143 (q)
(r)
(t)
(s)
(v)
(u)
144 (w)
(y)
Keterangan:
(a) Akar bunsud
(b) Buah limas
(c) Akar kaspo
(d) Letup
(e) Tilam pelanduk
(f) Tambu lawak
(g) Jamur tanah
(h) Gandis
(i) Kalay
(x)
(z)
(j) Jamur kayu
(k) Jamur cangkir
(l) Puda
(m) Buyu rara
(n) Bunga jaung
(o) Jamur angat
(p) Kedapat
(q) Buah Medang madarah
(r) Temali
(s) Aka
(t) Tebu itam
(u) Ketapa
(v) Pakau rantau
(w) Bunga racun gigi
(x) Jamur tanduk peladuk
(y) Rambutan hutan
(z) Bawang hutan
Gambar 34 Berbagai jenis tumbuhan dan jamur sepanjang looptrail menuju habitat
Orangutan
Download