MANIPULASI IDENTITAS DALAM PERKAWINAN (Studi Kasus Pada KUA Kecamatan Kadugede, Kuningan – Jawa Barat) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh : ZULKARNAIN 105044201472 KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1431 H/2010 M PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “MANIPULASI IDENTITAS DALAM PERKAWINAN” (Studi Kasus Pada KUA Kecamatan Kadugede, Kuningan – Jawa Barat) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 15 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Ahwal AlSyakhshiyyah Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam. Jakarta, 15 Juni 2010 Mengesahkan, Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. NIP. 195505051982091012 PANITIA UJIAN Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. NIP. 195003061976031001 (________________) Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag., MH. NIP. 197202241998031003 (________________) Pembimbing : Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi NIP. 194008051962021001 (________________) Penguji I : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. NIP. 195003061976031001 (________________) Penguji II : Dr. Jaenal Aripin, M.Ag. NIP. 197210161998031004 (________________) MANIPULASI IDENTITAS DALAM PERKAWINAN (Studi Kasus Pada KUA Kecamatan Kadugede, Kuningan – Jawa Barat) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh: ZULKARNAIN NIM : 105044201472 Dibawah Bimbingan Pembimbing Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi NIP. 194008051962021001 KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAHSHIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1431 H/2010 M KATA PENGANTAR ﺒﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﺤﻤﻦ اﻟﺮﺤﻴﻢ Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Selanjutnya, shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW yang telah berhasil memerankan fungsi-fungsi kekhalifahan dengan baik di pentas peradaban dunia sehingga beliau dipilih oleh Allah SWT sebagai uswatun hasanah bagi seluruh manusia. Karya tulis ilmiah berupa skripsi ini ditujukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy). Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit hambatan dan rintangan yang penulis hadapi, antara lain keterbatasan ilmu dan pengetahuan serta keterbatasan waktu yang dimiliki penulis. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Meski demikian, diharapkan agar skripsi ini dapat memberikan nilai manfaat khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi para pembaca. Selama penyusunan skripsi dan belajar di Fakultas Syariah dan Hukum, penulis mendapatkan banyak bantuan baik berupa moril, materil, pemikiran serta tenaga dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan i penghargaan yang setinggi-tingginya serta mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya. 2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, MA., selaku Ketua Program Studi Ahwal Syakhshiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Kamarusdiana, SH, M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhshiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak Prof. Dr. H. A. Sutarmadi, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk menuntun penulis, sehingga terciptalah skripsi ini. 5. Bapak Kepala KUA Kecamatan Kadugede beserta staffnya yang telah memberikan kontribusi yang besar dan telah mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian ini. 6. Bapak Kepala Kandepag Kuningan beserta staffnya, khususnya Kepala Seksi Urusan Agama Islam (URAIS) yang telah meluangkan waktunya untuk menjadi narasumber sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 7. Pimpinan beserta Staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan juga ii Perpustakaan Umum yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan. 8. Ibu Dra. Maskufa, M.Ag, selaku dosen Pembimbing Akademik. 9. Ayahanda Mad Sirod dan Ibunda Sunirah yang selalu memberikan motivasi, moril, materil dan do’a bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan proses belajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 10. Kakanda Abi Kosim, Kakanda Cecep Sudrajat dan Adinda Rahmat yang selalu memberikan dukungan moril demi terselesaikannya penulisan skripsi ini. 11. Bapak KH. A. Qosasih, serta KH. Sanusi, serta Ustadz Sabeni Hamid, S.Pd.I., yang telah memberikan ilmunya. 12. Keluarga Bapak Muin yang telah memberikan fasilitas penginapan untuk melakukan penelitian ini. 13. Sahabat Syarif H, SHI., yang senantiasa memberikan ilmunya dan berkorban waktu, tenaga serta pikiran dalam penulisan skripsi ini. Dan juga sahabat Fathurrahman, SHI., Agus, S.Sos.I, Saepul, Mufid, Agung, S.Pd.I., Salaf serta Iwonk sebagai sahabat “wonk jowo” yang baik hati tempat bertukar pikiran dan curhat, semoga kita menjadi orang yang sukses dunia dan akhirat. 14. Semua teman-teman kelas AKI angkatan 2005 yang telah banyak mengisi kenangan dalam hidup ini selama masa perkuliahan, dan teman-teman KKS (Kuliah Kerja Sosial) di desa Ciangir yang penuh kenangan, semoga hubungan silaturrahim kita tetap terjaga. iii 15. Sahabat Indra Firdaus, Nano, Jaja, Fauzi, Diyah yang baik hati tempat bertukar pikiran dan curhat. 16. Bang Jamhuri, S.Pd.I, Bang H. Rokib, Bang Muhyidin, Bang Ipul, dan Bang Abib senang berdiskusi dengan kalian. 17. Kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan data dalam penyusunan skripsi ini. Demikian dan terima kasih kepada para semua pihak yang telah turut andil dalam memberikan bantuan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini semoga mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT yang setimpal. Akhirnya, penulis dengan rasa senang hati membuka dan menerima saran dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini. Jakarta, 18 Jumadil Awal 1431 H 3 Mei 2010 M Penulis iv DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................................................................ i DAFTAR ISI ............................................................................................................. v BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................................. 9 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 10 D. Review Studi Terdahulu .................................................................... 11 E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan .......................................... 12 F. Kerangka Teori .................................................................................. 15 G. Sistematika Penulisan ........................................................................ 17 BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan ........................................ 18 B. Rukun dan Syarat Perkawinan ........................................................... 24 C. Hak dan Kewajiban Suami Istri ......................................................... 30 D. Tujuan Perkawinan ............................................................................ 33 BAB III DESKRIPSI UMUM KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) KECAMATAN KADUGEDE A. Gambaran Umum Kantor Urusan Agama Kecamatan Kadugede ..... 42 B. Dasar Hukum Pembentukan Kantor Urusan Agama ......................... 48 C. Kinerja Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan Kadugede .... 51 v BAB IV KINERJA KANTOR URUSAN AGAMA DALAM UPAYA MENCEGAH TERJADINYA MANIPULASI IDENTITAS A. Prosedur Administrasi Perkawinan .................................................... 57 B. Manipulasi Identitas Dalam Perkawinan ........................................... 80 C. Upaya Pencegahan Terjadinya Manipulasi Identitas Dalam Perkawinan ........................................................................................ 88 D. Analisis Penulis ................................................................................. 92 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................................ 95 B. Saran .................................................................................................. 96 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 98 LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................................... 101 vi LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karena ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 3 Mei 2010 Zulkarnain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin, menjadi rahmat (kedamaian dan kebahagiaan) bagi segenap alam. Seluruh ajarannya dimaksudkan untuk mewujudkan dan memelihara kemaslahatan umat manusia. Sebagai agama terakhir yang diturunkan oleh Allah SWT, Islam tidak hanya memuat ajaran-ajaran yang menyangkut akidah (keimanan) atau akhlak semata, tetapi juga memberikan tuntunan dan pedoman yang mengatur seluruh aspek kehidupan umat manusia yang lazim disebut dengan hukum. Salah satu ajaran Islam yang mengatur tentang kehidupan adalah perkawinan. Salah satu perhatian Islam terhadap kehidupan rumah tangga adalah diciptakan aturan dan syariat yang luwes, adil, dan bijaksana. Kehidupan keluarga akan berjalan damai dan sentosa. Kedamaian ini tidak saja dapat dirasakan oleh keluarga yang bersangkutan, tetapi juga dapat dinikmati oleh anggota masyarakat sekitarnya. 1 Manusia adalah makhluk yang mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama. Kehidupan manusia yang ingin hidup bersama, melakukan kontak dengan manusia lainnya tidak dapat dibatasi karena sudah menjadi kodratnya sebagai 1 Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW (Poligami Dalam Islam VS Monogami Barat), (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), h. 5. 1 2 makhluk sosial. Bertitik tolak dari berbagai keinginan untuk tetap selalu bersama, tidak jarang terjadi suatu ikatan lahir dan batin yang cukup kuat diantara manusia yaitu dengan cara suatu jalan pernikahan. Karena suatu pernikahan dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan pasangan suami isteri yang harmonis dalam rangka membentuk dan membina keluarga yang sejahtera dan bahagia sepanjang masa. Perkawinan merupakan suatu solusi yang diberikan Allah SWT untuk menghindarkan manusia dari perbuatan zina yang secara jelas telah diharamkan-Nya. Kebutuhan biologis manusia yang disalurkan tanpa wadah perkawinan niscaya akan menimbulkan masalah dan kerusakan seperti garis keturunan yang tidak jelas, rusaknya moralitas umat manusia, timbulnya berbagai penyakit fisik maupun psikis dan banyak masalah lainnya yang pada akhirnya akan menghinakan martabat manusia lebih rendah dari pada binatang. 2 Perkawinan merupakan suatu jalan yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan terbaik bagi manusia untuk menjalin kasih sayang antara seorang pria dengan seorang wanita, setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya sebagai pasangan suami istri. Hukum Islam juga ditetapkan untuk kesejahteraan umat, baik secara perorangan maupun secara bermasyarakat, baik untuk hidup di dunia maupun di akhirat. Kesejahteraan masyarakat akan tercapai dengan kesejahteraan yang sejahtera, karena keluarga merupakan lembaga terkecil dalam masyarakat, sehingga 2 Musfir Aj-Jahrani, Poligami dari Berbagai Persepsi,(Jakarta, Gema Insani Press, 1997), Cet. Ke-2, h. 15. 3 kesejahteraan masyarakat akan tergantung kepada kesejahteraan keluarga. Demikian pula kesejahteraan perorangan sangat dipengaruhi oleh kesejahteraan hidup keluarganya. Islam mengatur keluarga bukan secara garis besar, tetapi sampai terperinci. Yang demikian ini menunjukkan perhatian yang sangat besar terhadap kesejahteraan keluarga. Keluarga terbentuk melalui perkawinan, karena itu perkawinan sangat dianjurkan oleh Islam bagi yang telah mempunyai kemampuan. Tujuan itu dinyatakan baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. 3 Dalam ajaran Islam poligami memang diperbolehkan berdasarkan al-Qur’an surat an-Nisa ayat 3, tetapi dengan syarat harus bisa berlaku adil tanpa menyebutkan adanya izin dari istri, oleh karena hukum yang digunakan di Indonesia ini adalah Hukum Perdata Indonesia bukan Hukum Islam saja, maka jika seseorang hendak berpoligami selain harus bisa berlaku adil juga harus memiliki izin dari istri kemudian permohonan poligami itu diajukan ke Pengadilan Agama untuk kemudian apakah permohonan poligami itu disetujui atau ditolak. Menjadi hal yang “diakui” bersama bahwa rumah tangga yang ideal itu adalah cukup dengan seorang istri saja. Namun pada kenyataan yang terjadi, banyak suami yang merasa tidak cukup dengan hanya memilki satu istri, entah atas landasan untuk mengikuti hawa nafsunya atau dengan niat beribadah untuk menolong kaum wanita (janda) dari aib kesendirian. 4 Prinsip rumah tangga dengan hanya memiliki satu istri 3 4 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Prenada Media, 2003), h. 64. Hartono, Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2007, Cet. Ke-1, h. 77. 4 kemudian lebih dikenal dengan istilah monogami dan prinsip berumah tangga dengan memiliki lebih dari satu istri disebut dengan poligami. Dalam persfektif kemasyarakatan, prinsip poligami masih bersifat kontroversial walaupun dari segi legalitas masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Sesungguhnya telah mengetahui bahwa secara agama perkawinan poligami itu halal dan memiliki dalil yang kuat baik dari Al-Qur’an maupun Hadits. Perkawinan poligami dipandang sebagai “bahan pergunjingan dan hujatan”. Akibatnya banyak laki-laki yang melakukan poligami secara ‘sembunyi-sembunyi’ dalam arti tidak disebarluaskan, padahal perkawinan poligami adalah diperbolehkan, akan tetapi pelakunya dianggap seakan-akan seperti penjahat. Sebaliknya orang yang melakukan perzinahan dianggap melakukan hal yang wajar-wajar saja. 5 Jika berpedoman pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka suami yang akan melakukan perkawinannya yang kedua, wajib memiliki surat izin yang dikeluarkan oleh pengadilan agama. Adapun pihak pengadilan hanya akan mengeluarkan izin tersebut jika seluruh syarat-syarat yang ditetapkan oleh Undang-Undang Perkawinan telah terpenuhi. Termasuk diantaranya wajib mengantongi izin untuk menikah lagi dari istri tuanya, jika tidak, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Lebih lanjut Pengaturan poligami dapat ditentukan apabila telah memenuhi beberapa kriteria yag disyaratkan seperti tertuang dalam pasal 4 ayat (2) UU No. 1 5 Eni Setiati, Hitam Putih Poligami (Menelaah Perkawinan Poligami Sebagai Sebuah Fenomena), (Jakarta, Cisera Publishing, 2007), Cet. Ke-1, h. 47. 5 Tahun 1974 yaitu pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Persyaratan selanjutnya telah diatur dalam Pasal 5 ayat (1) yaitu untuk dapat mengajukan permohonan poligami kepada pengadilan, maka syarat-syarat yang harus dipenuhi selanjutnya ialah sebagai berikut: a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri; b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka; c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Idealnya, jika syarat-syarat di atas dipenuhi, maka suami dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Namun, dalam prakteknya, syarat-syarat yang diajukan tersebut tidak sepenuhnya ditaati oleh suami. Sementara tidak ada bentuk kontrol dari pengadilan untuk menjamin syarat itu dijalankan. Bahkan dalam beberapa kasus, meski belum atau tidak ada persetujuan dari istri sebelumnya, poligami bisa dilaksanakan. Masalah poligami merupakan permasalahan yang sangat penting dalam sudut pandang agama maupun negara. Oleh karena itu meskipun masalah poligami telah diatur secara komprehensif dalam agama Islam, namun pada tataran pelaksanaan 6 kehidupan bernegara perlu adanya Undang-Undang yang melindungi kebutuhan ini supaya tidak terjadi kesalahan mekanisme dalam pelaksanaan perkawinan poligami dan perangkat-perangkat lainnya. Seringkali dijumpai peristiwa perkawinan poligami yang tanpa dilandasi oleh payung hukum di dalamnya, sehingga dapat merugikan salah satu pihak. Seperti perkawinan yang dilatarbelakangi motif manipulasi mengenai status atau keadaan si pelamar. Keadaan ini sangat memprihatinkan mengingat pada umumnya korbannya adalah para wanita lemah dan lebih-lebih tidak mengetahui hukum apalagi perlindungan terhadap dirinya atas kasus yang menimpa dirinya. Dalam prakteknya permasalahan yang muncul di KUA adalah masalah mengenai ketidak akuratan data identitas calon pengantin. Dengan adanya manipulasi identitas akan menyebabkan timbulnya kerugian bagi masing-masing pihak baik dari pihak keluarga calon pengantin maupun bagi lembaga pemerintahan itu sendiri. Maka akan ada kesan dengan adanya pemalsuan data identitas ini terjadi karena tidak berfungsinya pengawasan baik dari pihak keluarga atau pejabat berwenang sehingga perkawinan itu bisa terlaksana. Semestinya keaktifan PPN dan semua pegawai KUA harus senantiasa dilakukan dalam upaya penyelidikan kebenaran mengenai data-data calon mempelai dan wali baik mengenai kebenaran nama, usia, dan status sehingga apa yang nantinya dituliskan dalam sebuah Akta Nikah maupun berkas-berkas perkawinan adalah benar adanya dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal di atas dimaksudkan agar dalam pelaksanaan administrasi pernikahan khususnya mengenai pencatatan harus dilaksanakan seteliti dan secermat mungkin, 7 sehingga penyimpangan-penyimpangan dalam administrasi perkawinan seperti manipulasi data baik mengenai status maupun data diri dari mempelai tidak terjadi. Banyak pria beristri di Indonesia yang status perkawinannya dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) masih menyatakan dirinya sebagai “bujang”. Kartu Tanda Penduduk inilah yang menjadi senjata ampuh mereka untuk menikah lagi tanpa sepengetahuan isterinya. Perilaku mereka tersebut dapat dikatakan melanggar hukum. Hal itu bisa dilihat dari data Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), berdasarkan laporan LBH APIK pada tahun 2003, modus pelaku poligami cukup beragam, namun hampir seluruhnya tidak mengindahkan peraturan perundangan yang ada. 6 Hal ini menandakan bahwa maraknya pemalsuan identitas di Indonesia ini dengan munculnya orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang berusaha untuk berpoligami tapi tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan bahkan berusaha melaksanakan perkawinan poligaminya walaupun tanpa izin dari Pengadilan Agama. Pada dasarnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sangat tegas menyatakan bahwa bagi mereka yang ingin melangsungkan poligami memenuhi syarat-syarat untuk berpoligami sesuai aturan hukum yang berlaku, mereka tetap masih bisa melangsungkan perkawinan dengan syarat harus meminta izin dahulu ke Pengadilan Agama. Selain mengatur tentang syarat-syarat untuk berpoligami Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Pekawinan juga mengatur tentang pencatatan perkawinan, yang mana pencatatan perkawinan bertujuan untuk 6 http://hukum online.com/detail.asp?id=15941&cl fokus, diakses tanggal 10 April 2010. 8 mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat dan melindungi martabat perkawinan, khususnya lagi bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Serta pencatatan tersebut bertujuan untuk menghindari penyimpangan-penyimpangan dalam administrasi perkawinan, seperti manipulasi data baik mengenai status maupun data identitas diri calon mempelai. Penyimpangan tersebut dilakukan karena kekurangtahuan calon mempelai mengenai Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan atau mereka menginginkan jalan pintas, sehingga pria yang ingin melangsungkan perkawinan poligaminya, mereka bukan meminta izin ke Pengadilan Agama, tapi mereka melakukan manipulasi (pemalsuan) status mereka, baik yang dilakukan oleh mereka sendiri maupun oleh pihak-pihak yang terkait. Apabila kita lihat dari wacana di atas, penulis mempunyai hipotesa awal bahwasanya tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang memang belum diatur di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Peraturan Pemerintah. Dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mengatur sanksi bagi Pegawai Pencatat Nikah yang melanggar ketentuan pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah tersebut, sedangkan para pihak yang lain (selain PPN) tidak terdapat sanksi pidananya. Penulis menganggap bahwa permasalahan di atas cukup menarik untuk dikaji dan diteliti karena setelah melakukan studi review penulis berkeyakinan bahwa kasus 9 yang akan diteliti oleh penulis sangatlah berbeda dengan penelitian-penelitian yang sudah pernah dilakukan. Oleh karena itu, penulis berkeyakinan bahwa permasalahan yang akan diteliti layak untuk dilakukan dan penulis bermaksud mengangkat permasalahan tersebut kedalam sebuah skripsi yang berjudul “Manipulasi Identitas Dalam Perkawinan” (Studi Kasus Pada KUA Kecamatan Kadugede, Kuningan – Jawa Barat). B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Pembahasan mengenai perkawinan sangatlah luas. Oleh karena itu, untuk memperjelas penulisan ini penulis membatasi pembahasan hanya pada persoalan manipulasi identitas perkawinan saja. Kemudian untuk memudahkan penulis dalam rangka terwujudnya penelitian ini, maka penulis memberikan batasan ruang lingkup penelitian hanya pada Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede. 2. Perumusan Masalah Dari uraian latar belakang, penulis dapat merumuskan bahwa seharusnya perkawinan poligami hanya boleh dilakukan oleh seseorang yang telah memiliki izin poligami dari Pengadilan Agama. Apabila seseorang ingin berpoligami, maka mereka harus meminta izin poligami dari Pengadilan Agama. Akan tetapi, pada kenyataannya yang terjadi dalam kasus ini adalah mereka yang menghendaki poligami, namun tidak memiliki izin poligami dari Pengadilan Agama mereka bukannya meminta izin 10 poligami dari Pengadilan Agama, melainkan mereka malah melakukan manipulasi identitas. Hal inilah yang menyebabkan penulis hendak menulis skripsi ini. Adapun rumusan masalah tersebut dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut : 1. Siapakah pihak yang melakukan manipulasi identitas dalam perkawinan? 2. Apa yang menjadi sebab terjadinya manipulasi identitas dan akibat apa yang ditimbulkan dari adanya manipulasi tersebut? 3. Apa saja upaya yang dilakukan Kantor Urusan Agama (KUA) dalam mencegah terjadinya manipulasi identitas? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penulis mengadakan penelitian ini sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui pihak yang melakukan manipulasi identitas dalam perkawinan. 2. Untuk mengetahui apa yang menjadi sebab manipulasi identitas itu terjadi dan akibat apa yang ditimbulkan dari adanya manipulasi tersebut. 3. Untuk mengetahui langkah apa yang dilakukan Kantor Urusan Agama (KUA) dalam mencegah terjadinya pemalsuan identitas. 2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan penulis melalui penelitian ini adalah sebagai berikut : 11 1. Sebagai sumbangan pemikiran bagi perkembangan Ilmu Hukum pada umumnya dan perkembangan Ilmu Hukum Keperdataan Islam pada khususnya. 2. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai sanksi pidana tentang pelanggaran manipulasi identitas. 3. Sebagai sumbangan pemikiran kepada pemerintah khususnya Kantor Urusan Agama untuk lebih baik dalam kinerjanya. D. Review Studi Terdahulu Review kepustakaan berfungsi untuk mengetahui apakah hal yang akan diteliti tersebut sudah pernah diteliti sebelumnya atau belum sama sekali. Oleh karena itu, untuk menjaga ke-orisinilan penelitian ini, penulis melakukan review kepustakaan terlebih dahulu. Adapun review kepustakaan yang telah dilakukan oleh penulis antara lain: “Efektivitas KUA Dalam Upaya Mencegah Terjadinya Pemalsuan Identitas Dalam Perkawinan” (Studi Kasus di KUA Kec. Duren Sawit Jakarta Timur), yang ditulis oleh Siti Sariah. Skripsi ini membahas tentang pemalsuan akta nikah yang terjadi di KUA Kec. Duren Sawit, kasus ini terkuak ketika ada sepasang suami isteri yang hendak melakukan istbat nikah dikarenakan akta nikah miliki mereka telah terbakar, ketika akta nikah mereka diperiksa oleh aparatur KUA ternyata di temukan tandatangan serta nama Penghulu di akta nikah mereka, akan tetapi Penghulu yang namanya tertera di dalam akta nikah mereka tidak pernah menjabat sebagai Kepala KUA di Kecamatan Duren Sawit. 12 “Kebohongan (Pemalsuan Dokumen) Dapat Membatalkan Perkawinan” (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 1472/Pdt.G/2008/PA.JS), yang ditulis oleh M. Rizky Affandi. Skripsi ini membahas putusan pengadilan agama Jakarta Selatan yang membatalkan suatu perkawinan karena adanya gugatan dari pihak istri yang merasa dirugikan karena suaminya tersebut telah menikah lagi tanpa sepengetahuan dan tanpa izin dari istrinya. Landasan Hakim dalam memutus perkara pembatalan perkawinan ini telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hakim membatalkan perkawinan tersebut dikarenakan tidak memenuhi pasal 3, 4, 5, dalam UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo pasal 56 dan 58 Kompilasi Hukum Islam dan memutus perkara berdasarkan pasal 22 dan 24 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan 1. Metode Penelitian a. Pendekatan Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif analitis yaitu metode yang menggambarkan dan memberikan analisa terhadap kenyataan dilapangan, melalui pendekatan kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati. b. Jenis Data 1) Data Primer 13 Data primer yakni data yang diperoleh secara langsung dari Kantor Urusan Agama Kecamatan Kadugede. Data ini meliputi dengan hasil wawancara dengan pihak Kantor Urusan Agama dan memperoleh informasi dari pihak-pihak yang terkait. 2) Data Sekunder Data sekunder yakni sumber data dari studi kepustakaan diambil dari buku-buku, internet, dan beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan permasalahan manipulasi identitas dalam perkawinan. Untuk mendapatkan data, penulis mengunjungi beberapa perpustakaan. c. Alat Pengumpul Data Alat pengumpul data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah voice recorder dalam wawancara dengan pihak KUA dan pihak-pihak yang terkait. d. Teknik Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data ini peneliti menggunakan metode penelitian lapangan (field research) yaitu pengumpulan data dengan cara langsung ke lapangan melakukan observasi, wawancara dan dokumentasi melalui teknik pengumpulan data. Adapun teknik pengumpulan data untuk menunjang penelitian ini, penulis menggunakan beberapa metode, diantaranya: 1) Observasi (pengamatan), yaitu dengan cara melihat dari dekat mekanisme KUA Kadugede. 14 2) Wawancara, penulis menggunakan teknik ini karena teknik wawancara sebagai teknik tanya jawab secara lisan yang berpedoman pada daftar pertanyaan terbuka. Dengan demikian, dapat diperoleh dari jawaban responden sedalam-dalamnya tanpa ada unsur keterpaksaan, dan teknik ini penulis tujukan kepada pihak KUA Kadugede juga para pihak yang mengetahui serta berkecimpung langsung dalam bidang perkawinan yang dimaksud. 3) Dokumentasi, teknik ini penulis gunakan untuk melengkapi data penulis butuhkan, yaitu dengan melihat dokumen-dokumen dan arsip-arsip yang ada di KUA kecamatan Kadugede. e. Analisa Data Setelah data terkumpul, lalu dianalisa dengan analisa kualitatif lalu diinterpretasi sedemikian rupa dengan metode deduktif. Penelitian ini menggunakan konten analisis yaitu tehnik analisis yang berusaha menyimpulkan dengan mengambil bagian atau hal yang bersifat khusus dalam bentuk kasus dan data menajdi kesimpulan umum yang berlaku secara general. 2. Teknik Penulisan Teknik penulisan dalam skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatulah Jakarta”. 15 F. Kerangka Teori Dengan lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemeritah No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, antara lain mengatur tentang rukun dan syarat-syarat perkawinan, maka terciptalah kepastian hukum dalam urusan perkawinan pada khususnya, dan pada masalah keluarga pada umumnya. Pada dasarnya perkawinan dapat dilangsungkan bila sudah ada sebab-sebab, rukun dan syaratnya serta sudah tidak ada lagi hal-hal yang menghalangi terjadinya perkawinan itu. Pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan itu sudah mengevaluasi sendiri segala persyaratan kelangsungan perkawinan itu. Umpamanya, saksi tidak akan mau menyaksikan suatu perkawinan bila ia yakin bahwa laki-laki dan perempuan terlarang untuk melangsungkan perkawinan. Begitu pula wali tidak akan melaksanakan perkawinan jika calon menantunya itu tidak seagama dengan anaknya. Syarat untuk berpoligami diatur dalam Undang-undang perkawinan yang menyatakan bahwa “Suami wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya dan pengadilan memberikan izin, apabila istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan istri tidak dapat melahirkan keturunan. Syarat lain untuk berpoligami harus adanya persetujuan dari istri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anaknya, dan adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anaknya. 16 Dengan adanya pasal-pasal yang membolehkan untuk berpoligami kendatipun dengan alasan-alasan tertentu, jelaslah asas yang dianut oleh undang-undang sebenarnya bukan asas monogami mutlak melainkan disebut monogami terbuka atau monogami yang tidak bersifat mutlak. Poligami ditempatkan pada status hukum darurat (emergency law), atau dalam keadaan yang luar biasa (extra ordinary circumstance). Di samping itu lembaga poligami tidak semata-mata kewenangan penuh suami akan tetapi atas dasar izin dari hakim (pengadilan). 7 Oleh sebab itu pada pasal 3 ayat 2 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ada peryataan: “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Oleh karena itu, Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai suatu lembaga yang bertugas untuk memberikan perlindungan, pembinaan dan pengembangan kepada masyarakat dalam bidang keagamaan harus senantiasa optimal dalam melaksanakan tugasnya. Pencatatan perkawinan yang telah dilakukan Kantor Urusan Agama (KUA), selain memiliki kekuatan hukum juga harus dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, baik itu mengenai pelaksanaannya maupun isi dari pencatatan itu sendiri seperti data identitas diri dari kedua calon mempelai yang akan menikah benar adanya sehingga apabila ada seseorang yang sudah menikah dan berkeinginan untuk menikah lagi dengan cara memanipulasi identitasnya bisa dihindari dan dicegah. Sehingga apa yang ditulis maupun yang dicatat oleh Kantor Urusan Agama (KUA) 7 25-26. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading Co Medan, 1975), h. 17 merupakan sebuah kebenaran bukan hanya sebagai pencatatan yang hanya mengedepankan formalitas belaka. G. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan skripsi ini, penulis menjadikan lima bab, pada setiap babnya mempunyai spesifikasi dan penekanan mengenai topik-topik tertentu yaitu : Bab I : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, kerangka teori, metode penelitian dan teknik penulisan, dan sistematika penulisan. Bab II : Tinjauan Teoritis tentang Perkawinan yang terdiri dari pengertian dan dasar perkawinan, rukun dan syarat perkawinan, hak dan kewajiban suami isteri, dan tujuan perkawinan. Bab III : Deskripsi Umum Kantor Urusan Agama Kecamatan Kadugede yang terdiri dari gambaran umum kantor urusan agama kecamatan cibingbin, tugas dan fungsi kantor urusan agama, dasar hukum pembentukan kantor urusan agama, dan kinerja organisasi kantor urusan agama. Bab IV : Kinerja Kantor Urusan Agama Dalam Mencegah Terjadinya Pemalsuan Identitas yang terdiri dari prosedur administrasi perkawinan, manipulasi identitas dalam perkawinan, upaya pencegahan manipulasi identitas dalam perkawinan, dan analisis penulis. Bab V : Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran. 18 BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN A Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan Perkawinan dalam bahasa Arab disebut dengan “al-nikah” yang bermakna “al-wath’i” dan “al-dhammu wa al-dukhul” yang artinya bersetubuh. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. 8 Beranjak dari makna etimologis inilah para ulama mendefinisikan perkawinan dalam konteks hubungan biologis. Menurut Wahbah al-Zuhaili, seperti yang dikutip Amiur Nuruddin, perkawinan adalah akad yang membolehkan terjadinya al-istimta’ (persetubuhan) dengan seorang wanita atau melakukan al-wath’i dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau persusuan. Bahkan beliau juga memberikan definisi lain, yaitu “Akad yang telah ditetapkan oleh syar’i agar laki-laki dapat mengambil manfaat untuk melakukan istimta’ dengan seorang wanita atau sebaliknya”. 9 Sedang menurut Hanafiah, nikah adalah akad yang 8 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), Cet. ke-3, h. 518. 9 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 38. Lihat juga Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1989), h. 29. 18 19 memberikan faedah untuk memberikan kehalalan seorang laki-laki untuk beristimta’ dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya perkawinan tersebut secara syar’i. 10 Di Indonesia juga, para pakar hukumnya memberikan definisi perkawinan, diantaranya: Menurut Sayuti Thalib, perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci, kuat, kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun-menyantuni, kasih-mengasihi, tenteram, dan bahagia. 11 Hazairin menyatakan dari sebuah perkawinan adalah hubungan seksual, menurutnya tidak ada perkawinan bila tidak ada hubungan seksual, 12 senada dengan Hazairin, Yunus Mahmud mendefinisikan perkawinan sebagai hubungan seksual. sedangkan Ibrahim Hoesein mendefinisikan perkawinan sebagai akad yang dengannya menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita. 13 Pengertian-pengertian di atas nampaknya dibuat hanya melihat dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum dalam hubungan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang semula dilarang menjadi diperbolehkan. Nampaknya yang lebih menarik adalah definisi yang diberikan Tahir Mahmood. Beliau mendefinisikan 10 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), h. 45. 11 Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1989), Cet. Ke-5, h. 47. 12 Hazairin, Hukum Keluarga Nasional Indonesia, (Jakarta: Tintamas, 1961), h. 61. 13 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 41. Lihat juga Ibrahim Hoesein, Fikih Perbandingan dalam Masalah Nikah, Talak, dan Rujuk (Jakarta: Ihya Ulumuddin, 1971), h. 26. 20 perkawinan sebagai sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita masing-masing menjadi suami dan isteri dalam rangka memperoleh kebahagiaan hidup dan membangun keluarga dalam sinaran ilahi. 14 Definisi lain yang diberikan Tahir Mahmood terkesan lebih lengkap dan bergerak dari definisi ulama konvensional. Tidak terlalu berlebihan jika definisi tersebut senada dengan definisi yang diberikan oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana yang termuat pada pasal 1 ayat (2) perkawinan didefinisikan sebagai “Ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ada beberapa hal dari rumusan tersebut di atas yang perlu diperhatikan, antara lain: Pertama, digunakannya kata “seorang pria dengan seorang wanita” mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh beberapa negara barat. Kedua, digunakannya ungkapan “sebagai suami-isteri” mengandung makna bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”. Ketiga, dalam definisi juga disebutkan tujuan perkawinan, yaitu “membentuk rumah 14 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 42. 21 tangga yang bahagia dan kekal”, yang menafikan perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan mut’ah dan perkawinan tahlil. 15 Keempat, disebutkannya “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menunjukkan bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama. Di samping definisi yang diberikan oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di atas, Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia juga memberikan definisi lain yang tidak mengurangi arti-arti definisi yang diberikan oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana yang terdapat pada pasal 2 Kompilasi Hukum Islam dengan rumusan sebagai berikut, “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Ungkapan akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan merupakan penjelasan dari ungkapan “Ikatan lahir batin” yang terdapat dalam rumusan UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengandung arti bahwa akad perkawinan itu bukanlah semata perjanjian yang bersifat keperdataan. Ungkapan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, merupakan penjelasan dari ungkapan dari ungkapan berdasarkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat Islam merupakan peristiwa agama, oleh 15 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 40. 22 karena itu, orang yang melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah. 2. Dasar Hukum Perkawinan Nikah telah disyari’atkan dalam Islam berdasarkan al-Qur’an dan As-Sunnah. Adapun ayat yang menunjukkan nikah disyari’atkan adalah firman Allah SWT dalam surat al-Nur 24: 32 yang berbunyi: ”Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang patut (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS. al-Nur :32) Dalam firman Allah SWT yang lain dalam Surah al-Nisa 4 ayat 3 yang berbunyi: ”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. al-Nisa : 3) Adapun dasar hukum yang lain tentang nikah adalah hadits Nabi Muhammad SAW yang berbunyi: 23 ﻴﺎﻤﻌﺸراﻠﺸﺑﺎﻤﻦ اﺴﺘطﺎع ﻤﻨآﻢ اﻠﺑﺎﺀة ﻓﻠﻴﺘزﻮج ﻓﺈﻨﻪ أﻏض ﻠﻠﺑﺼﺮﻮأﺤﺼﻦ ﻓاﻦ ﻟم ﻴﺴﺘطﻊ ﻠﻠﻓﺮج ﻮ ﻓﻌﻠﻴﻪ ﺑﺎﻠﺻﻮﻢ ﻓﺈﻨﻪ ﻠﻪ ﻮﺠﺎﺀ “Wahai para pemuda, barang siapa yang mampu untuk menikah maka menikahlah, karena sesungguhnya menikah itu dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan (dari perbuatan zina) dan barang siapa yang tidak mampu maka hendaknya ia berpuasa karena puasa itu adalah penawar”.(HR.Bukhari-Muslim). 16 Adapun hukum menikah bagi setiap muslim dapat di bagi kedalam empat bagian, yaitu sebagai berikut: a) Wajib hukumnya bagi orang yang mampu untuk menikah dan khawatir akan melakukan perbuatan zina menurut jumhur ulama. Karena dia wajib menjaga dirinya agar terhindar dari perbuatan haram. 17 b) Haram hukumnya bagi orang yang yakin akan menzalimi dan membawa mudharat kepada istrinya karena ketidak mampuan dalam memberi nafkah lahir dan batin. c) Sunah hukumnya menurut jumhur ulama bagi orang yang apabila tidak menikah sanggup menjaga dirinya untuk tidak melakukan perbuatan haram dan apabila ia menikah harus yakin tidak akan menzalimi & membawa mudharat kepada istrinya Rasulullah SAW bersabda: وﻠﻜﻨﻲ أﺼوم وأﺼﻠﻲ وأﺮﻗد وأﺗﺰ وجاﻠﻨﺴﺎﺀ ﻔﻤن ﺮﻏﺐ ﻋن ﺴﻨﺗﻲ ﻔﻠﻴس ﻤﻨﻲ 16 Sahih al-Bukhari, Kitab al-Nikah, Jilid 6 h. 117, dan Sahih Muslim, Kitab al-Nikah hadis no. 1400, jilid 2 h.1019. 17 Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, selanjutnya disebut Ibnu Qudamah alMughni, (Kairo: Hijr, 1413 H/1992 M) jilid 9, h. 340. 24 “Akan tetapi saya juga berpuasa, berbuka, shalat, bersenggama dan menikahi wanita-wanita. Maka barang siapa yang tidak suka sunnahku aka tidak termasuk dari umatku”. (HR.Bukhari-Muslim). 18 d) Makruh hukumnya menikah bagi orang yang khawatir akan berbuat nista dan membawa mudharat kepada istrinya dan tidak merasa yakin dapat menghindarinya jika ia menikah seperti merasa tidak mampu memberi nafkah, perlakuan tidak baik kepada istri serta merasa tidak terlalu berminat terhadap perempuan. 19 B. Rukun dan Syarat Perkawinan Rukun adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian itu, seperti membasuh muka untuk wudhu dan takbiratul ihram dalam shalat atau adanya calon pengantin laki-laki atau perempuan dalam hal perkawinan. Adapun syarat adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu. Seperti menutup aurat dalam shalat atau calon pengantin laki-laki atau perempuan itu harus beragama Islam. Dalam hal menempatkan mana yang rukun dan syarat pada perkawinan terdapat perbedaan di kalangan ulama, akan tetapi perbedaan tersebut tidak bersifat substansial. Ulama Hanafiah melihat perkawinan dari segi ikatan yang berlaku antara pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan itu. Oleh karena itu, yang menjadi 18 Sahih Bukhari, Kitab al-Nikah, hadits no. 1743, dan Sahih Muslim, Fi al-Nikah, Bab Istihbab al-Nikah liamn taqat nafsuhu ilaih, hadits no. 1301. 19 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Beirut : Dar al-Fikr, 1997 M/1418 H), cet. Ke-IV, jilid 9 h. 6517. 25 rukun perkawinan oleh golongan ini hanyalah ijab dan qabul dalam akad nikah yang dilakukan oleh pihak yang melakukan perkawinan, sedangkan yang lain seperti kehadiran saksi dan mahar dikelompokkan kepada syarat perkawinan. 20 Menurut Ulama Syafi’iyah yang dimaksud perkawinan adalah keseluruhan yang secara langsung berkaitan dengan perkawinan dengan segala unsurnya, bukan hanya akad nikah. Dengan demikian rukun perkawinan menurut pendapat golongan ini adalah calon suami-istri, wali, dua orang saksi dan ijab qabul (sighat). Adapun menurut Malikiyah yang menjadi rukun dalam perkawinan adalah wali, mahar, calon suami-isteri, dan sighat. 21 Dibalik perbedaan para ulama tentang penempatan rukun dan syarat dalam perkawinan sesungguhnya ada persamaan yang sangat kompak, yaitu ketika semua fuqaha menempatkan sighat (ijab qabul) sebagai rukun nikah yang paling mendasar. 22 Atas dasar ini maka substansi dari akad nikah pada dasarnya tidak lain ialah pengungkapan (pernyataan) ijab qabul. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat dikatakan bahwasanya yang menjadi rukun dalam perkawinan antara lain: a. Calon suami b. Calon istri 20 Amir Sayarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 60. 21 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Alih Bahasa M.A. Abdurrahman, (Semarang: CV. Asy Syifa, 1990), h. 365. 22 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Alih Bahasa Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus Al Kaff, (Jakarta: Lentera, 2006), h. 309. 26 c. Wali nikah d. Dua orang saksi e. Ijab dan qabul. 23 Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam perkawinan adalah sebagai berikut: 24 a. Calon suami, syarat-syaratnya: 1. Beragama Islam 2. Laki-laki 3. Jelas orangnya 4. Dapat memberikan persetujuan 5. Tidak terdapat halangan perkawinan b. Calon istri, syarat-syaratnya: 1. Beragama Islam 2. Perempuan 3. Jelas orangnya 4. Dapat dimintai persetujuan 5. Tidak terdapat halangan perkawinan Berbeda dengan persfektif fikih, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang 23 Hal ini juga senada dengan Kompilasi Hukum Islam yang mencamtumkan rukun dalam perkawinan, sebagaimana yang terdapat pada pasal 14 dengan rumusan sebagai berikut, “Untuk melaksanakan perkawinan harus ada; (a) Calon suami; (b) Calon isteri; (c) Wali nikah; (d) Dua orang saksi; dan (e) Ijab Kabul. 24 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003), cet. Ke 6, h. 71-72. 27 Perkawinan tidak mengenal adanya rukun perkawinan. Tampaknya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya memuat hal-hal yang berkenaan dengan syarat-syarat perkawinan. Dalam Bab II pasal 6 dan 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditemukan syarat-syarat perkawinan, antara lain sebagai berikut: 1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 2) Perkawinan harus sesuai dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaan para pihak. 3) Adanya pembatasan usia perkawinan, yaitu sekurang-kurangnya berumur 19 tahun bagi pria (calon suami) dna 16 tahun bagi wanita (calon istri). c. Wali nikah, syarat-syaratnya : 1. Laki-laki 25 2. Beragama Islam. 3. Dewasa 4. Mempunyai hak perwalian 5. Tidak terdapat halangan perwaliannya. Para fuqaha sepakat bahwa wali nikah ada dua macam, yaitu: Pertama, wali nasab, yaitu orang yang memiliki hak perwalian karena adanya hubungan darah. 26 Kedua, wali hakim, yaitu orang yang menjadi wali dalam kedudukannya sebagai 25 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 7, Alih Bahasa Mohammad Thalib, (Bandung: PT. Alma’arif, 1981), Cet. ke-1, h. 7. 26 A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Perkawinan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta: Fakultas Sayariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 120. 28 hakim atau penguasa. 27 Hal ini juga sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam dalam bagian ketiga mengenai wali nikah, sebagaimana terdapat dalam pasal 19 28 , 20 29 , dan 23 30 . d. Saksi nikah, syarat-syaratnya : 1. Minimal dua orang saksi 2. Laki-laki 3. Beragama Islam. 4. Dewasa 5. Berakal sehat 6. Hadir pada ijab qabul 7. Dapat mengerti maksud akad 8. Dapat mendengar dan melihat Dalam pembahasan masalah saksi dalam perkawinan, Kompilasi Hukum Islam juga masih senada dengan fikih konvensional yang juga membahas tentang saksi dalam perkawinan. Ketentuan saksi dalam Kompilasi Hukum Islam diatur pada 27 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 7, h. 75. 28 Kompilasi Hukum Islam pasal 19, “Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”. 29 Kompilasi Hukum Islam pasal 20 ayat (1), “Yang bertindak wali nikah ialah seorang lakilaki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, akil dan balig”; ayat (2), “Wali nikah terdiri dari a. Wali nasab, b. Wali hakim”. 30 Kompilasi Hukum Islam pasal 23 ayat (1), “Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin mengahdirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan”; ayat (2), “Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut. 29 pasal 24 31 , 25 32 , dan 26 33 . e. Ijab qabul, syarat-syaratnya : 34 1. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali 2. adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria 3. Memakai kata-kata nikah, tazwij, atau terjemahan dari kedua kata tersebut. 4. Antara ijab dan qabul bersambungan 5. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya 6. Orang yang sedang dalam ijab qabul tidak sedang dalam ihram (haji atau umrah) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur tentang akad perkawinan bahkan tidak membicarakan akad sama sekali. Mungkin dikarenakan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menempatkan akad perkawinan itu sebagaimana perjanjian atau kontrak biasa dalam tindakan perdata. 35 Namun Kompilasi Hukum Islam secara tegas mengatur akad perkawinan 31 Kompilasi Hukum Islam pasal 24 ayat (1), “Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah”; ayat (2), “Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi”. 32 Kompilasi Hukum Islam pasal 25, “Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak tergannggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli”. 33 Kompilasi Hukum Islam pasal 26, “Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan”. 34 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta : Persada Media, 2003) hal. 91. 35 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 63. 30 dalam pasal 27 36 , 28 37 , dan 29 38 yang keseluruhannya mengikuti apa yang terdapat dalam fiqh (fiqh minded). C. Hak dan Kewajiban Suami Istri Apabila dilaksanakan akad nikah yang sah, maka mulai saat itu berarti antara kedua calon mempelai sudah terikat dalam ikatan perkawinan dan telah resmi hidup sebagai suami istri. Dengan terbentuknya sebuah keluarga maka suami istri harus mewujudkan tujuan perkawinan yaitu untuk membina kelurga yang bahagia, kekal, abadi berdasakan Ketuhanan Yang Maha Esa. Terwujudnya tujuan tersebut sudah barang tentu sangat tergantung pada maksimalisasi peran dan tanggung jawab masing-masing pihak baik istri maupun suami. Oleh sebab itu, perkawinan tidak saja dipandang sebagai media merealisasikan syari’at Allah SWT agar memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat, tetapi juga merupakan sebuah kontrak perdata yang akan menimbulkan hak dan kewajiban keduanya. Yang dimaksud dengan hak di sini adalah apa-apa yang mesti diterima oleh seseorang dari orang lain, sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah apa yang mesti dilakukan seseorang terhadap orang lain. Dalam hubungan suami istri 36 Kompilasi Hukum Islam Pasal 27, “Ijab dan qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas berurutan dan tidak berselang waktu”. 37 Kompilasi Hukum Islam Pasal 28, “Nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain”. 38 Kompilasi Hukum Islam Pasal 29, (1) “Yang berhak mengucapkan qabul adalah calon mempelai pria secara pribadi; (2) Dalam hal tertentu ucapan qabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yag tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria; (3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakilkan, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan”. 31 dalam rumah tangga suami mempunyai hak dan begitu pula istri mempunyai hak. Dibalik itu suami mempunyai beberapa kewajiban dan begitu pula istri mempunyai beberapa kewajiban. Penetapan hak dan kewajiban suami-istri tersebut harus dilandasi oleh prinsip keseimbangan dan keadilan antara suami-istri agar terciptanya keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Adapun hak dan kewajiban suami-istri yang dilandasi oleh prinsip keseimbangan dan keadilan adalah sebagai berikut: 39 1. Suami istri wajib saling memperlakukan pasangannya dengan baik, tidak hanya meliputi aspek fisik, tetapi juga aspek psikis. Perlakuan baik itu, secara paralel adalah kewajiban sekaligus hak bagi suami dan istri. Dalam bahasa fiqh, perlakuan baik itu lebih terkenal dengan istilah mu’asyarah bi al-ma’ruf. 2. Suami istri wajib saling melayani dan memuaskan kebutuhan seksual pasangannya. 3. Suami istri wajib saling melengkapi dan saling menjaga nama baik pasangannya. 4. Suami istri wajib saling melibatkan pasangannya untuk mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan keluarga. 5. Suami istri wajib saling menjaga diri dan keluarganya dari kemaksiatan. 6. Suami istri wajib saling menjaga harta masing-masing, harta bersama, dan harta pasangannya. 39 A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Perkawinan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta: Fakultas Sayariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 135. 32 7. Suami istri saling saling mewarisi harta peninggalan pasangannya. Apabila suami meninggal dunia, maka istri berhak mendapatkan harta peninggalan suaminya. Begitu pula sebaliknya, jika yang meninggal dunia adalah isteri, maka suami berhak mendapatkan harta peninggalan isterinya. 8. Suami istri sama-sama memiliki hubungan mushaharah dengan keluarga pasangannnya. Suami haram menikahi mertuanya dan anak perempuan isterinya, dan begitu pula isteri haram dinikahi oleh ayah suaminya, dan seterusnya. 9. Apabila dari pernikahan itu memperoleh anak, maka suami dan isteri berhak atas anak tersebut dengan status sebagai bapak dan ibunya. Oleh karena itu suami istri sama-sama berkewajiban mengasuh, merawat, dan mendidik anak-anak mereka. Tampaknya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan aturan yang jelas berkenaan hak dan kewajiban suami istri. Hak dan kewajiban suami istri menurut UU No. 1/1974 sebagai berikut: a. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. b. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama di dalam masyarakat. c. Suami istri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain. 40 40 Lihat Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 33. 33 Teranglah bahwa, kehidupan perkawinan tidak berhenti pada selesainya upacara akad nikah, namun arti perkawinan sesungguhnya ialah tetap terbinanya hubungan suami isteri pada kehidupan yang harmonis. Hal ini dapat terlaksana dengan baik apabila keduanya mau memahami posisinya dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Dalam hal ini Islam dan perundang-undangan telah mengatur dengan baik, dengan memberikan pedoman dalam menjalankan hak dan kewajiban sebagai suami isteri. Sehingga hal-hal seperti ketidakharmonisan, perpecahan, dan sampai pemutusan perkawinan dapat dihindari. D. Tujuan Perkawinan Nikah dalam Islam sebagai landasan pokok dalam pembentukan keluarga. Kenapa nikah harus dilakukan, karena nikah salah satu yang harus dilakukan manusia untuk mencapai tujuan syari’at yakni kemaslahatan dalam kehidupan. A. Basiq Djalil membagi tujuan perkawinan ke dalam tiga segi, pertama menurut al-Qur’an, kedua menurut hadis dan ketiga menurut akal. a. Menurut Al-Qur’an Menurut Al-Qur’an ada dua ayat yang menonjol tentang hal pernikahan ini, pertama dalam surat al-A’araf : 189, menyatakan bahwa tujuan perkawinan itu adalah untuk bersenang-senang. 41 Dalam Firman Allah SWT dalam surat al-A’araf ayat 189 yang berbunyi: 41 A. Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman Di Tanah Gayo, (Jakarta: Qolbun Salim, 2007), Edisi Pertama, h. 86-87. 34 ”Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami isteri) bermohon kepada Allah, Rabbnya seraya berkata: Sesungguhnya jika Engkau memberi anak yang sempurna tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur”. (QS. Al-A’raf : 189) Ayat di atas menyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk bersenangsenang. Dari ayat ini tampaknya kita tidak juga dilarang bersenang-senang (tentunya tidak sampai meninggalkan hal-hal yang lebih penting), karena memang diakui bahwa rasa senang itu salah satu unsur untuk mendukung sehat rohani dan jasmani. Kedua, firman Allah SWT dalam surat al-Rum : 21 yang berbunyi: ”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteriisteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (QS. AlRum : 21) Dalam ayat tersebut terkandung tiga makna yang dituju oleh suatu perkawinan, yakni: 35 1) Litaskunu ilaiha, artinya supaya tenang. Maksudnya, sebuah perkawinan dapat menyebabkan ketenanan jiwa bagi pelakunya. 2) Mawaddah, membina rasa cinta, akar kata mawaddah adalah waddah yang berarti meluap tiba-tiba, terkadang tidak terkendali, karena itulah pasangan-pasangan muda dimana cintanya sangat tinggi,termuat kandungan cemburu, sedang rahmat/sayangnya masih rendah, banyak terjadi benturan karena tak mampu mengontrol rasa cinta yang memang terkadang sulit dikontrol. Karena intensitasnya tinggi sering dan sering meluap-luap. 42 3) Rahmah, yang berarti sayang. Bagi pasangan muda, rasa sayangnya demikian rendah, sedang yang tinggi pada mereka adalah rasa cinta/mawaddah. Dalam perjalanan hidupnya, semakin bertambahnya usia pasangan, maka rahmahnya semakin naik, sedang mawaddahnya semakin turun. Itulah sebabnya kita lihat kakek-kakek dan nenek-nenek kelihatan mesra berduaan, itu bukanlah bergejolak wujud cinta (mawaddah) dan ada pada mereka, tetapi rahmat (sayang). Dimana rasa sayang tidak ada kandungan cemburunya, karenanya ia tidak bisa termakan gosip, sedang cinta (mawaddah) yang syarat dengan cemburu karenanya gampang termakan gosip. 43 b. Menurut Hadits Menurut hadits ada dua hal yang dituju perkawinan menurut hadis, 42 43 Basiq Djalil Op.Cit., hal. 87. Ibid 36 Pertama, untuk menundukkan pandangan dan menjaga farj (kemaluan). Itulah makanya nabi menganjurkan berpuasa bagi yang telah sampai umur bila kemampuan materiil belum memungkinkan. Oleh karena itu, Nabi menganjurkan bagi yang telah sampai umur bila kemampuan materil belum memungkinkan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: ﻴﺎﻤﻌﺸراﻠﺸﺑﺎﻤﻦاﺴﺘطﺎع ﻤﻨآﻢ اﻠﺑﺎ ﺀة ﻓﻠﻴﺘزﻮج ﻓﺈﻨﻪ أﻏض ﻠﻠﺑﺼﺮﻮأﺤﺼﻦ ﻠﻠﻓﺮج ﻮﻤﻦ ﻠﻢ ﻓﻌﻠﻴﻪ ﺑﺎﻠﺻﻮﻢ ﻓﺈﻨﻪ ﻠﻪ ﻴﺴﺘطﻊ ﻮﺠﺎﺀ “Wahai para pemuda, barang siapa yang mampu untuk menikah maka menikahlah, karena sesungguhnya menikah itu dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan (dari perbuatan zina) dan barang siapa yang tidak mampu maka hendaknya ia berpuasa karena puasa itu adalah penawar”.(HR.Bukhari-Muslim). 44 Kedua, sebagai kebanggaan nabi dihari kiamat, yakni dengan banyaknya keturunan umat Islam melalui perkawinan yang jelas, secara tekstual nabi menyatakan jumlah yang banyak itulah terkandung kekuatan yang besar. Namun demikian, walau jumlah besar jika kualitas rendah tetap saja nabi mencelanya. Disitulah kandungan makna bahwa kualitas itu sangat diperlukan. 45 c. Menurut Akal Menurut akal sehat tujuan perkawinan ada tiga macam, yaitu: Pertama, bumi ini cukup luas, kelilingnya ada 40.000 km, sedang garis tengahnya atau diameternya ada 25.500 km, wilayah yang demikian luas tentunya 44 Sahih al-Bukhari, Kitab al-Nikah, Jilid 6 h. 117, dan Sahih Muslim, Kitab al-Nikah hadis no. 1400, jilid 2 h.1019. 45 A. Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman Di Tanah Gayo, h. 88-89. 37 harus diurus oleh orang banyak, karena bumi ini Allah SWT nyatakan dibuat untuk kita (manusia). Bila orangnya hanya sedikit tentu banyak wilayah yang tersia-sia. Oleh karena itu, untuk meningkatkan jumlah manusia tentunya harus dengan jalan perkawinan. 46 Kedua, bila manusia berjumlah banyak tentunya harus diwujudkan ketertiban/keteraturan, terutama yang berkaitan dengan nasab, sebab kalau nasab tidak tertib tentu akan terjadi kekacauan karena tidak diketahui si A anak siapa dan si B anak siapa. Bila nasab tidak tertata rapi atau tertib, maka akan terjadi kekacauan karena tidak diketahui si A anaknya siapa dan bapaknya siapa. 47 Ketiga, untuk ketertiban kewarisan, setiap orang yang hidup tentu akan memiliki barang atau benda yang diperlukan manusia, walau hanya sehelai kain. Ketika manusia itu wafat tentu harus ada ahli waris yang menerima atau menampung harta peninggalan tersebut. Oleh karena itu, untuk tertibnya para ahli waris, tentunya harus dilakukan prosedur yang tertib pula, yaitu dengan jalur perkawinan yang sah. 48 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga mencantumkan tujuan dari sebuah perkawinan, yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk mencapai tujuan itu suami-isteri harus saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dalam membantu dan 46 A. Basiq Djalil, h. 89. 47 Ibid, h. 89. 48 Ibid, h. 90. 38 mencapai kesejahteraan spiritual dan material. 49 Hal senada juga terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 3 yang menyatakan, “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”. Tujuan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam ini merujuk kepada firman Allah SWT dalam surat ar-Rum ayat 21. Menurut M. Mansur bin Mashadi yang menjadi tujuan dari sebuah perkawinan yaitu: perkawinan berguna untuk memelihara anak cucu (keturunan) sebab bila tidak ada tali perkawinan tentulah anak tidak tentu siapa yang akan mengurusnya dan siapa pula yang bertanggung jawab atasnya. Pernikahan juga dipandang sebagai kemaslahtan umum, karena apabila tidak dengan pernikahan, tentu manusia akan menentukan dengan menurutkan sifat kebinatangan untuk mencari kepuasan, ini akan menimbulkan perselisihan, bencana dan permusuhan antar sesamanya. 50 Demikan juga halnya yang tertulis dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 3 menyatakan bahwa tujuan dari pernikahan adalah menuju keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Hal ini dituliskan sebagai berikut: “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”. Tujuan lain dari perkawinan dalam Islam ialah untuk memenuhi tuntutan hajat 49 50 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Madav Maju, 1990), h. 11. M. Mansur bin Mashadi, Tuntunan Perkawinan dan Keluarga Bahagia Dalam Islam, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1995), h. 36. 39 tabiat kemanusiaan yaitu berhubungannya antara laki-laki dan wanita dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta kasih sayang untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuanketentuan syara’. 51 Perkawinan menurut Islam bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah (tenteram, cinta, dan kasih sayang). 52 Banyak tujuan yang hendak dicapai pernikahan. Agama Islam telah mensyariatkan tentu didalamnya terdapat tujuan yang hendak dicapai melalui pernikahan tersebut. Diantara tujuan pernikahan tersebut adalah: 1. Melanjutkan keturunan yang merupakan sambungan hidup dan menyambung citacita, ini dimaksudkan bila seseorang telah menikah, ia akan membentuk suatu keluarga.dalam rumah tangga itu akan dilahirkan keturunan untuk melanjutkan apa-apa yang telah dicita-citakan oleh kedua orang tuanya. Dari keluarga itulah akan terbentuk suatu umat, yaitu umat Nabi Muhammad, umat yang mengemban dan berpegang teguh pada ajaran Islam. 53 2. Untuk menjaga diri dari perbuatan maksiat atau perbuatan dosa yang diharamkan oleh Allah SWT. 51 M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), cet. ke-1, h. 27. 52 M. Idris Ramulyo, Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: IND HLLCO, 1990), h. 47-48. 53 Kamal Muchtar, Azas-azas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), cet. ke-3, h. 23-25. 40 3. Untuk menimbulkan rasa cinta antar suami istri khususnya dan menimbulkan rasa kasih sayang untuk anggota keluarga pada umumnya. 4. Untuk menjalani dan menghormati sunnah Rasulullah. Beliau telah memerintahkan kepada umatnya untuk melakukan pernikahan sesuai dengan ajaran agama. 5. Untuk membersihkan keturunan. Di sini dimaksudkan adalah agar generasi umat ini ada yang mengurus dan ada juga yang bertanggung jawab, karena anak tersebut telah jelas siapa bapak dan ibunya. Apabila seorang anak lahir luar nikah jelas sulit bagi kita untuk mempertanggungjawabkan anak tersebut. Ayah tidak bertanggung jawab, dan ibunya pun tidak bertanggung jawab. 54 Begitulah tujuan perkawinan untuk memperjelas status anak sehingga jelas siapa yang berhak dan bertanggung jawab kepadanya. Menurut M. Yunus, yang menjadi tujuan dai sebuah perkawinan adalah menuruti perintah Allah untuk memperoleh ketentraman yang sah dalam masyarakat dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur. 55 Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 1, dikatakan bahwa yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami istri adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga yang bahagia, kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa), selanjutnya dijelaskan bahwa untuk itu suami istri perlu saling membantu 54 Aminullah. J, Hak dan Kewajiban Suami Isteri, (Bandung: Pelajar Bandung, 1972), h. 22. 55 M. Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: CV. Alhidayah, 1964), h. 48. 41 dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya, membantu dan mencapai kesejahteraan spritual dan material.56 Hal senada juga terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 3 yang menyatakan, “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”. Tujuan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam ini merujuk kepada firman Allah SWT dalam surat ar-Rum ayat 21. Menurut Imam Ghazali, seperti yang dikutip Abdurrahman Ghazaly, tujuan perkawinan ada lima macam yaitu: 57 1) Mendapatkan dan meneruskan keturunan yang sah. 2) Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayang 3) Memenuhi penggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan 4) Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggungung jawab menerima hak serta kewajiban dan bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal. 5) Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tenteram 56 Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Madav Maju, 1990), h. 57 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 24. 11. 42 BAB III DESKRPSI UMUM KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN KADUGEDE A. Gambaran Umum Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede Adanya pergeseran dan perubahan nilai-nilai agama di lapisan masyarakat yang diakibatkan oleh berkembangnya zaman yang menyebabkan kurangnya pemahaman masyarakat mengenai kaidah agama Islam, sehingga kerap kali terjadi perceraian, nikah bawah tangan maupun pembagian warisan yang tidak sesuai dengan aturan hukum yang ada sehingga dapat meresahkan masyarakat itu sendiri. 58 Keberadaan Kantor Urusan Agama (KUA) di tengah-tengah masyarakat sangat membantu dalam menangani hal-hal tersebut terutama di bidang perkawinan yang merupakan tugas utama dari Kantor Urusan Agama (KUA), sehingga dengan adanya Kantor Urusan Agama (KUA) di masyarakat akan dapat mewujudkan suatu rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. 59 Secara struktural Kantor Urusan Agama (KUA) hanya sebagai unit terkecil dari Departemen Agama. Walaupun demikian dalam kinerjanya Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan lembaga yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, sehingga dalam melaksanakan tugas-tugasnya Kantor Urusan Agama (KUA) harus 58 Muhammad Zain & Mukhtar Al-Shadi, Membangun Keluarga Humanis, (Jakarta : Graha Cipta, 2005), Cet. Ke-1, h. 80. 59 Ibid, h. 82. 42 43 berusaha semaksimal mungkin dan berupaya untuk terus mengembangkan dan menerapkan sistem pertanggungjawaban yang valid, akurat, dan realible, sehingga tugas-tugas yang dibebankan kepada Kantor Urusan Agama (KUA) itu dapat berjalan secara efektif, efesien, clean, dan accountable. 60 Sebagai ujung tombak dari kinerja Departemen Agama, tugas KUA berhubungan langsung dengan masyarakat dalam pelayanannya di bidang keagamaan. Tugas pokok KUA Kecamatan Kadugede yakni melaksanakan sebagian tugas dari kantor Departemen Agama Kota Kuningan dalam bidang agama Islam. Pembangunan dalam bidang agama merupakan bagian yang tidak bisa terpisahkan dari kerangka pembangunan nasional yang bertujuan untuk membentuk sumber daya manusia yang berkualitas yang dilandasi keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dan mampu menciptakan keseimbangan, baik dalam hidup manusia secara pribadi maupun hubungan dengan pencipta, masyarakat dan alam lingkungannya. 61 Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan sentral umat Islam dalam membina rumah tangga yang sakinah serta menumbuhkan rasa keimanan dan ketaqwaan sekaligus mempererat hubungan ukhuwah Islamiyah di antara umat Islam. 62 Tuntutan pembaharuan dan perubahan di segala bidang, merupakan suatu bukti bahwa bergulirnya roda reformasi adalah suatu proses perubahan untuk 60 Toto Sartono, Kepala KUA Kecamatan Kadugede, Wawancara Pribadi, Kuningan, 23 Maret 2010. 61 Rohaedi, Kepala Seksi URAIS Kementerian Agama Kuningan, Wawancara Pribadi, Kuningan 22 Maret 2010. 62 Ibid. 44 terciptanya peningkatan kualitas sumber daya manusia yang dilakukan secara sadar, berencana, terarah, menyeluruh dan berkesinambungan menuju tercapainya cita-cita pembangunan nasional. 63 Dengan demikian Kantor Urusan Agama Kecamatan Kadugede, tidak bisa melepaskan diri dari ruh reformasi dan cita-cita pembangunan nasional. Dengan dedikasi dan persamaan persepsi dalam melaksanakan program kerja yang terarah dan terkendali. 64 Suatu organisasi akan dinilai baik apabila kinerja yang dilakukannya telah sesuai dengan visi dan misi yang dijalankan secara efektif, sehingga tugas-tugas pokok yang dibebankan pada KUA dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Dengan adanya tugas pokok inilah maka suatu organisasi akan menjalankan fungsi-fungsinya sehingga dapat dirasakan efektif oleh masyarakat yang dijadikan sebagai objek utama dari adanya KUA. Kantor Urusan Agama (KUA) menurut KMA No. 517 Tahun 2001 merupakan lembaga pemerintah yang berkedudukan di wilayah kecamatan yang mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas Departemen Agama Kabupten/Kotamadya di bidang urusan Agama Islam dalam wilayah Kecamatan. 65 Kantor Urusan Agama (KUA) adalah sebuah lembaga yang berada di bawah 63 Rohaedi, Kepala Seksi URAIS Kementerian Agama Kuningan, Wawancara Pribadi, Kuningan 22 Maret 2010. 64 Dokumen Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede. 65 KMA No. 517 Tahun 2001 ditetapkan pada tanggal 30 November 2001. 45 naungan Departemen Agama yang berkedudukan di tiap Kecamatan. Adapun tugas pokoknya adalah untuk mengawasi, mencatat terjadinya sebuah perkawinan dan rujuk serta mendaftar cerai talak dan cerai gugat di Kecamatan. 66 Dalam melaksanakan sebagian tugas Departemen Agama di bidang urusan Agama Islam, berdasarkan KMA No. 517 Tahun 2001 tentang Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama (KUA) mempunyai tugas, yaitu : 1. Menyelenggarakan statistik dan dokumentasi 2. Menyelenggarakan surat menyurat, pengurusan surat, kearsipan, pengetikan dan rumah tangga Kantor Urusan Agama. 3. Melaksanakan pencatatan nikah dan rujuk, mengurus dan membina masjid, zakat, wakaf, baitul maal dan ibadah sosial, kependudukan dan pengembangan keluarga sakinah sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyeleggaraan Haji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, Kantor Urusan Agama (KUA) berfungsi mengerjakan tugas Direktorat Pendidikan Agama Islam pada masyarakat dan Pemberdayaan Masjid. Padahal sejak turunnya KMA No.1 Tahun 2001 tentang kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen, bidang pembinaan Zakat dan Wakaf serta pembinaan masjid yang dahulunya menjadi Subdirektorat Urusan Agama Islam menjadi Direktorat tersendiri sebagaimana yang telah 66 Muhammad Zain & Mukhtar Al-Shadi, Membangun Keluarga Humanis, (Jakarta : Graha Cipta, 2005), Cet. Ke-1, h. 70. 46 disebutkan. Dengan demikian sejak adanya KMA No. 1 Tahun 2001 tersebut, Kantor Urusan Agama (KUA) selain melaksanakan tugas dari Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf dan Direktorat Pendidikan Agama Islam Pada Masyarakat dan Pemberdayaan Masjid. Disamping itu, berdasarkan pasal 179 KMA No. 1 Tahun 2001 tersebut, walaupun ada dua subdirekorat menjadi Direktorat tersendiri, Direktorat Urusan Agama Islam mendapatkan tugas dan fungsi baru yaitu melaksanakan pengembangan jalinan kemitraan dan ukhuwah islamiyah, dan melaksanakan bimbingan dan penyuluhan di bidang pangan halal. Kedua tugas dan fungsi baru tersebut msingmasing menjadi Subdirektorat Pembinaan Pangan Halal dan Subdirektorat Pengembangan Kemitraan Umat. Namun demikikian kedua tugas dan fungsi baru ini berdasarkan KMA No. 517 Tahun 2001 belum dimasukkan menjadi tugas dan fungsi Kantor Urusan Agama (KUA), padahal KMA yang terakhir ini ditetapkan setelah KMA No. 1 Tahun 2001. Fungsi KUA sesuai dengan peraturan yang ada meliputi sebagai berikut: 1) Pelayanan administrasi perkawinan dan rujuk 2) Pembinaan perkawinan dan keluarga sakinah 3) Pembinaan kemasjidan 4) Pembinaan zakat, wakaf, ibadah sosial dan Baitul Maal 5) Pembinaan pangan halal a. Kondisi Geografis Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede merupakan daerah yang 47 sangat strategis bila dihubungkan dengan keadaan lalu lintasnya karena berbatasan dengan Kota Kuningan sehingga ini mudah dijangkau walaupun hanya dengan kendaraan umum biasa. Letak KUA kecamatan Kadugede selanjutnya akan diuraikan di bawah ini: - Sebelah Utara : Kecamatan Cigugur - Sebelah Selatan : Kecamatan Nusaherang - Sebelah Timur : Kecamatan Kuningan dan Ciniru - Sebelah Barat : Kecamatan Darma Kantor KUA Kecamatan Kadugede berada pada jarak: - Ke Kantor Bupati : 4 Km - Ke Kantor Badan Koordinasi Wilayah Cirebon : 40 Km - Ke Ibu Kota Propinsi Jawa Barat : 145 Km - Ke Ibu Kota Negara Republik Indonesia : 286 Km Luas wilayah Kecamatan Kadugede serta jumlah kelurahan dan yang lainnya dengan rincian sebagai berikut: 67 1) Luas Wilayah : 1.842.992 Ha 2) Kepala Desa : 12 orang 3) Sekretaris Desa : 12 orang 4) Perangkat Desa : 93 orang 5) BPD : 12 orang 6) LPMD : 156 orang 67 Dokumen Kecamatan Kadugede 48 7) RW : 44 orang 8) RT : 142 orang 9) Penduduk : 24.418 jiwa 10) Kepadatan : 1.283/km2 b. Kondisi Geografi Luas Kecamatan Kadugede adalah 1.842.992 ha dengan jumlah penduduk sebanyak 24.418 jiwa dan kepadatan penduduknya adalah 1.283 jiwa/km2. Berdasarkan agama yang mereka anut bila dilihat dari jumlah penduduk adalah sebagai berikut: 68 1. Pemeluk Agama Islam : 24.400 orang 2. Pemeluk Agama Katolik : 16 orang 3. Pemeluk Agama Protestan :- 4. Pemeluk Agama Hindu : 1 orang 5. Pemeluk Agama Budha : 1 orang B. Dasar Hukum Pembentukan Kantor Urusan Agama (KUA) Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan instansi pemerintah yang berada di bawah naungan Departemen Agama yang bertugas menangani permasalahan di bidang agama Islam seperti yang telah dikemukakan pada pembahasan sebelumnya. Dasar hukum pembentukan Kantor Urusan Agama (KUA) yaitu: 69 1. Undang-undang No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk 68 69 Dokumen Kecamatan Kadugede Ibid 49 Sebagaimana yang telah tertera dalam pasal 1 ayat (1) dalam Undang-undang ini berbunyi : “Nikah yang dilakukan menurut agama Islam selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk olehnya.........dst. Ayat (2) yang berbunyi : “Yang berhak melakukan pengawasan atau nikah dan pemberitahuan tentang talak dan rujuk hanya pegawai yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk olehnya”. 70 2. Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang penetapan berlakunya Undangundang No. 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di seluruh daerah luar Jawa dan Madura. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa Undang-undang No. 32 Tahun 1954 adalah undang-undang yang telah menetapkan berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh daerah luar Jawa dan Madura sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 undang-undang ini. 71 3. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Tujuan dari adanya undang-undang ini bagi warga Negara Indonesia adalah untuk membina hukum nasional, selain itu undang-undang bersifat mengikat merupakan 70 M.Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam & Peraturan Pelaksanaan Lainnya Di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. Ke-1, h. 433434. 71 Andi Hamzah, KUHAP & KUHP, (Jakarta, Rineka Cipta, 2004), Cet. Ke-11, h. 12. 50 sumber hukum nasional atas berdirinya Kantor Urusan Agama (KUA) yang bertugas untuk mencatat pernikahan, rujuk dan pendaftaran talak serta gugat cerai. Dalam pasal 2 ayat (2) undang-undang ini dinyatakan bahwa : “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut undang-undang yang berlaku”. 72 4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Keberadaan Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai lembaga Administrasi Pencatatan Perkawinan telah diakui oleh undang-undang ini. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 ayat (4) yang berbunyi: “Pegawai Pecatat Nikah ialah Pegawai Pencatat Nikah Pada Kantor Urusan Agama”. 5. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Dengan adanya PP ini kinerja Kantor Urusan Agama (KUA) akan lebih terarah dalam pelaksanaannya karena PP ini memberikan kelancaran pada Undangundang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam ketentuan umum pasal 1 huruf (d) jo. Pasal 1 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975 dinyatakan bahwa : “Pegawai Pencatat ialah Pegawai Pegawai Pencatat Perkawinan dan Cerai”. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam dilakukan Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undangundang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. 73 72 Ibid, h.13. 73 Ibid, h. 88-89. 51 C. Kinerja Organisasi Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede Suatu lembaga baik itu lembaga pemerintahan maupun lembaga swasta dalam mencapai tujuan yang sesuai dengan visi dan misi dari lembaga itu sendiri harus melalui sarana dalam bentuk organisasi yang digerakkan oleh sekelompok orang yang berperan aktif sebagai pelaku (aktor) dalam upaya mencapai tujuan dari lembaga atau organisasi yang bersangkutan. Suatu organisasi akan dinilai baik apabila kinerja yang dilakukannya telah sesuai dengan visi dan misi yang dijalankan secara efektif, sehingga tugas-tugas pokok yang dibebankan pada KUA dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Adapun Visi Kantor Urusan Agama Kecamatan Kadugede yaitu “Terwujudnya ruh agama dalam seluruh aspek kehidupan yang berkualitas”. Sedangkan Misi Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede adalah mewujudkan ruh agama dengan mendongkrak melalui: 1) Mengadministrasikan NTCR yang baik, tepat dan cermat. 2) Melayani masyarakat dengan baik. 3) Menumbuhkembangkan keluarga sakinah. 4) Membuka cakrawala pemikiran dan pelaksanaan peribadatan yang total. 5) Memotivasi gaya hidup yang sehat, baik dan halal. 6) Meningkatkan kemitraan umat guna membangun masyarakat yang damai. 7) Melaksanakan bimbingan ibadah haji yang baik. 74 74 Dokumen Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede 52 Adanya pembagian kinerja dalam suatu lembaga atau organisasi dimaksudkan agar kinerja dari organisasi tersebut dapat berjalan dengan efektif. Pembagian kerja harus didasarkan atas kualitas dan kemampuan yang dimiki masing-masing individu. Hal ini dapat membawa kinerja suatu lembaga atau organisasi secara professional dan proposional. 75 Pembagian kinerja harus didukung pula dengan adanya program kerja yang telah disusun terlebih dahulu sehingga tidak ada tumpang tindih dalam pelaksanaannya. program kerja suatu lembaga pemerintahan seperti Kantor Urusan Agama (KUA) harus sesuai dengan tugas dan fungsi yang dibebankan pemerintah kepada lembaga atau organisasi itu sendiri. 76 Struktur Organisasi Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede: 77 Kepala KUA : Drs. Toto Sartono Seksi Kepenghuluan : Drs. Toto Sartono Seksi Keluarga Sakinah : N. Saonah Seksi Ibadah Sosial : Ukasih Seksi Kemitraan Umat : Beben Bahtiar Seksi Produk Halal : Siti Aminah Kinerja organisasi KUA Kecamatan Kadugede ini didasarkan pada fungsi dan tugas yang telah dibebankan oleh Departemen Agama yang mempunyai Kantor 75 76 Dokumen Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede Ibid 53 Urusan Agama (KUA) yang kemudian disusun menjadi sebuah program kerja yang berisikan tentang tugas pokok, tanggung jawab dan wewenang masing-masing bagian. 78 1. Tugas dan Fungsi Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede a. Membuat laporan bulanan, triwulan dan tahunan b. Mencatat dan mendistribusikan c. Menertibkan arsip/dokumen KUA d. Membuat data file pegawai e. Melaksanakan urusan rumah tangga KUA f. Menyusun program kerja dan rincian tugas 79 2. Tugas dan Fungsi Seksi Kepenghuluan a. Melaksanakan peningkatan pelayanan Nikah dan Rujuk kepada masyarakat dengan mengutamakan prinsip: 1) Pencatatan tepat waktu 2) Penyelesaian kutipan akta nikah NR 3) Pelayanan/pengawasan yang memuaskan b. Mengadakan pembinaan rutin pembantu penghulu c. Melaksanakan administrasi Nikah & Rujuk d. Mengadakan pemeriksaan dan pengawasan Nikah & Rujuk 78 79 Dokumen Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede. Ibid. 54 e. Mensukseskan peraturan Daerah Kabupaten Kuningan 80 3. Tugas dan Fungsi Seksi Bidang Keluarga Sakinah a. Melaksanakan bimbingan atau penataran bagi calon pengantin dalam mengisi tenggang waktu sepuluh hari b. Melaksanakan bimbingan terhadap masyarakat yang sedang mengalami krisis rumah tangga c. Melaksanakan penyuluhan kepada masyarakat tentang Pembinaan Keluarga Sakinah sesuai dengan UU No. 1/1975 melalui pelaksanaan Nikah diluar Balai Nikah, dan Majelis Ta’lim d. Melaksanakan sosialisasi UU perkawinan tentang Keluarga Sakinah di SLTP/SLTA 81 4. Tugas dan Fungsi Seksi Bidang Ibadah Sosial 82 a. Melaksanakan pembinaan kemasjidan dalam rangka memakmurkan masjid dengan menjadikan masjid sebagai tempat ibadah dan sebagai tempat sentral pembinaan umat. b. Ikut serta mensukseskan menumbuh kembangkan baca tulis Al Qur’an bagi anak-anak, remaja dan dewasa melalui: 1) Sekolah 2) Pengajian anak dan remaja di masjid atau musholla 80 81 82 Dokumen Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede Ibid Ibid 55 3) Majelis Ta’kim c. Mengadakan kegiatan silaturahim/halal bi halal kerja sama dengan Kantor Kecamatan Kadugede dan IPHI Kecamatan Kadugede d. Sosialisasi Program Peduli Lingkungan bagi Catin dalam rangka menjaga kelestarian alam 83 5. Tugas dan Fungsi Seksi Bidang Kemitraan Umat Kantor Urusan Agama sebagai koordinator di bidang keagamaan di Kecamatan Kadugede senantiasa bekerja sama dengan unsur terkait dan organisasi kemasyarakatan seperti MUI, BAZ, IPHI, BKPRMI, Pondok Pesantren, untuk melaksanakan kegiatan antara lain; a. Mengadakan kunjungan jum’at keliling (Jumling) ke desa-desa dalam rangka memantapkan kerukunan umat beragama. b. Membantu program pembangunan masjid di desa-desa. c. Mengikuti kunjungan Tarawih Keliling (Tarling) dalam rangka mensukseskan optimalisasi hasil penampungan zakat fitrah dan zakat mal. d. Membantu meningkatkan mutu baca tulis Al Qur’an di masjid, musholla, melalui pembantu penghulu desa. e. Mengadakan pembinaan penyertifikatan tanah wakaf dan kegiatan lain yang menunjang program bidang kemasjidan. f. Ikut serta dalam mensukseskan peringatan Hari Besar Islam dalam rangka menyemarakan syi’ar Isam dalam kehidupan masyarakat. 83 Dokumen Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede. 56 g. Melaksanakan kerja sama intern dengan Penamas dan Waspenda di bidang keagamaan. 84 6. Tugas Seksi Bidang Produk Halal a. Mendata produksi pangan halal b. Memberikan pembinaan keagamaan terhadap produksi pangan 85 Evaluasi terhadap kegiatan suatu program kerja, merupakan suatu keharusan dan mutlak diperlukan adanya hal tersebut merupakan barometer untuk mengukur hasil dari suatu kegiatan. Selain itu evaluasi merupakan salah satu tolok ukur untuk menentukan langkah program kerja selanjutnya sehingga dalam pelaksanaan program selanjutnya dapat berlangsung secara berkesinambungan. 86 84 85 86 Dokumen Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede. Ibid Toto Sartono, Kepala KUA Kecamatan Kadugede, Wawancara Pribadi, Kuningan, 23 Maret 2010. 57 BAB IV KINERJA KANTOR URUSAN AGAMA DALAM MENCEGAH TERJADINYA MANIPULASI IDENTITAS A. Prosedur Administrasi Pernikahan Pelaksanaan pernikahan harus sesuai dengan tata cara, prosedur atau mekanisme yang ditetapkan oleh perturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Apabila tidak dilakukan demikian, pernikahan itu tidak akan memiliki kekuatan hukum. Tata cara, prosedur atau mekanisme pengurusan pernikahan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia meliputi pemberitahuan kehendak nikah, pemeriksaan nikah, pembayaran biaya nikah, pengumuman nikah, penasehatan nikah, prosesi akad nikah dan pencatatannya. 87 1. Pemberitahuan Kehendak Nikah Dalam Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 477 Tahun 2004 disebutkan bahwa setiap orang yang akan melaksanakan pernikahan harus memberitahukan kehendak nikah kepada Penghulu atau Pembantu Penghulu yang mewilayahi tempat tempat pelaksanaan akad nikah. Pemberitahuan tersebut dilakukan secara tertulis oleh calon mempelai atau oleh wali atau wakilnya paling lambat 10 hari kerja sebelum pelaksanaan akad nikah 87 A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Perkawinan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta: Fakultas Sayariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 16. 57 58 Namun demikian, jika ada suatu alasan yang sangat penting maka Camat atas nama Bupati Kepala Daerah dapat memberikan dispensasi sehingga aqad nikah tetap dapat dilangsungkan meskipun tenggang waktunya kurang dari 10 hari kerja sejak pengumuman nikah. 88 Prosedur pemberitahuan kehendak nikah tersebut adalah sebagai berikut: 89 1. Calon pengantin pria dan wanita datang ke Kantor Kepala Desa/Kelurahan yang mengeluarkan Kartu Tanda Penduduk masing-masingnya. Dari Kepala Desa/Kelurahan atau pejabat yang setingkat masing-masing calon pengantin akan memperoleh surat-surat yang diperlukan, seperti: Surat keterangan untuk nikah, surat keterangan tentang orang tua, surat keterangan asal-usul, surat kematian suami/istri, surat keterangan tidak mampu bagi calon pengantin yang tidak sanggup membayar biaya nikah dan beberapa formluir nikah lainnya. 2. Calon pengantin wanita datang ke puskesmas/rumah sakit untuk memperoleh suntikan Tetanus Toxoid. 3. Calon pengantin pria dan wanita datang ke Pembantu Penghulu yang mewilayah tempat pelaksanaan aqad nikah untuk menyampaikan pemberitahuan kehendak nikah. Pemberitahuan ini harus dilakukan secara tertulis dengan menyerahkan formulir model N-7 (Formulir Pemberitahuan Kehendak Nikah). Formulir model N-7 harus diserahkan dengan melampirkan semua surat/formulir lain yang telah 88 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Tata Cara dan Mekanisme Pengurusan Perkawinan dan Rujuk di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2005), h.4. 89 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, h.4-5. 59 diperoleh dari Kepala Desa/Kelurahan dan puskesmas serta dilengkapi pula dengan persyaratan lain yang ditentukan yaitu: a. Surat keterangan untuk nikah (formulir model N-1); b. Photo copy akta kelahiran atau surat keterangan asal-usul calon pengantin (formulir model N-2); c. Surat persetujuan mempelai (formulir model N-30; d. Surat keterangan tentang orang tua (formulir model N-4); e. Pas foto terbaru berwarna (dianjurkan berlatar-belakang warna biru) ukuran 2x3 sebanyak 3 (tiga) lembar; f. Surat keterangan telah diimunisasi Tetanus Toxoid dari puskesmas/rumah sakit; 90 Jika calon pengantin itu dalam keadaan tertentu seperti yang disebutkan dibawah ini, maka dia harus melampirkan surat-surat lain yang dibutuhkan, yaitu: a) Surat izin orang tua (formulir model N-5) bagi calon pengantin yang belum mencapai umur 21 tahun. Dalam hal tidak ada izin dari kedua orang tua atau walinya, diperlukan izin dari Pengadilan. b) Surat dispensasi dari pengadilan bagi calon pengantin pria yang belum mencapai umur 19 tahun dan bagi calon pengantin wanita yang belum 90 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Tata Cara dan Mekanisme Pengurusan Perkawinan dan Rujuk di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2005), h. 5. 60 mencapai umur 16 tahun. c) Surat izin poligami dari Pengadilan bagi calon pengantin pria yang hendak beristri lebih dari seorang. d) Surat izin nikah dari kesatuan/atasan bagi calon pengantin anggota TNI/Polri atau pejabat tertentu yang kepadanya diwajibkan agar memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang memberikan izin. e) Akta cerai atau kutipan buku pendaftaran talak/buku pendaftaran cerai jika calon pengantin seoranga janda/duda karena perceraian. f) Akta kematian atau surat keterangan kematian suami/istri yang dibuat oleh kepala desa/lurah (formulir model N-6) jika calon pengantin seorang janda/duda karena kematian suami/istri. g) Surat dispensasi dari Camat, jika rencana aqad nikah akan dilangsungkan kurang dari 10 hari kerja. h) Surat keterangan tidak mampu (miskin) bagi calon pengantin yang tidak sanggup membayar biaya nikah. i) Surat rekomendasi dari KUA domisili pengantin wanita, jika aqad nikah akan dilakukan di luar domisili calon pengantin wanita. 91 4. Jika calon pengantin berada di Jawa dan Madura, maka Pembantu Penghulu yang 91 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Tata Cara dan Mekanisme Pengurusan Perkawinan dan Rujuk di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2005), h. 5. 61 telah menerima pemberitahuan kehendak nikah mereka tadi diharuskan mencatatnya dengan teliti dalam Buku Catatan Kehendak Nikah (formulir model N-10) yang dipegangnya. Selanjutnya dengan diantar oleh Pembantu Penghulu, yang bersangkutan memberitahukan kehendaknya kepada Penghulu dengan membawa semua persyaratan di atas, lalu Penghulu yang akan melakukan pemeriksaan kehendak nikah. 5. Jika calon pengantin berada di luar Jawa dan Madura, maka setelah pemberitahuan kehendak nikahnya diterima dan dicatat dalam Buku Catatan Kehendak Nikah (formulir model N-10) Pembantu Penghulu akan melakukan pemeriksaaan kehendak nikah. Pemberitahuan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan itu dilangsungkan. Kemudian dalam pemberitahuan ini harus dinyatakan tentang nama, usia, agama, pekerjaan, tempat kediaman calon kedua mempelai serta status apakah masih lajang atau sudah pernah menikah. 92 Setelah pegawai pencatat menerima pemberitahuan seperti yang diuraikan di atas, ia harus mengadakan penelitian terutama tentang syarat-syarat dan halanganhalangan untuk melangsungkan perkawinan seperti yang diatur dalam UndangUndang Perkawinan. Selanjutnya setelah diadakannya penelitian, maka dalam hal ini pegawai pencatat harus bertindak aktif, artinya tidak hanya menerima yang dikemukakan oleh pihak yang akan melangsungkan perkawinan, melainkan juga 92 Amiur Nurudin & Azhar Tarigan, Hukum perdata Islam diIndonesia (jakarta: kencana, 2004), h. 125. 62 harus membuat catatan dari hasil penelitiannya itu. 93 2. Pemeriksaan Kehendak Nikah Setelah memastikan bahwa semua persyaratan telah diisi lengkap dan benar oleh calon pengantin, selanjutnya Penghulu (di Jawa dan Madura) atau Pembantu Penghulu (di luar Jawa dan Madura) yang menerima pemberitahuan kehendak nikah melakukan pemeriksaan yang seksama terhadap calon pengantin pria, calon pengantin wanita dan wali nikah. Pemeriksaan kehendak nikah ini bertujuan untuk memastian bahwa semua rukun dan syarat sah pernikahan, baik menurut ketentuan fiqh munakahat atau pun menurut ketentuan perundang-undangan, telah terpenuhi. Dalam Surat Edaran Dirjen BPIH No. DJ.1/1/PW.01/1478/2005 tertanggal April 2005 tentang Petunjuk Pengisian Formuir (Bab III tentang Tekhnik Pemeriksaan Wali dan Calon Mempelai) diuraikan bahwa: Pemeriksaan kehendak nikah dilakukan melalui wawancara dengan mereka yang bersangkutan, meneliti surat-surat keterangan yang ada dan di mana perlu juga melakukan pengecekan ulang. Bahkan kalau data yang diperoleh masih diragukan kebenarannya, Penghulu atau Pembantu Penghulu boleh saja menyuruh agar yang bersangkutan membuat surat pernyataan di bawah sumpah. Pemeriksaan terhadap calon pengantin pria, calon pengantin wanita dan wali nikah ini dapat dilakukan secara bersama-sama dan dapat pula dilakukan secara satu persatu sesuai dengan keperluan, sehingga Penghulu atau Pembantu Penghulu dapat 93 Amiur Nurudin & Azhar Tarigan, Hukum perdata Islam diIndonesia (Jakarta: kencana, 2004), h. 126. 63 memperoleh data yang benar dan meyakinkan. Pemeriksaan terhadap wali dapat dilakukan dengan, antara lain: 1. Wali calon pengantin wanita diperiksa tersendiri dengan menanyakan silsilah (nasab), jumlah anak lengkap dengan nama-nama mereka. Jika wali tersebut bukan wali ayah, maka ditanyakan jumlah saudara-saudaranya dengan namanamanya, anak saudaranya, saudara bapaknya dan seterusnya, kemudian keterangan wali ini dicocokkan dengan keterangan calon pengantin wanita. Jika tidak cocok maka harus diteliti kembali. 2. Apabila calon pengantin wanita merupakan anak pertama dan walinya adalah wali ayah, perlu ditanyakan tanggal nikah dan tanggal lahir anak pertamanya itu. Jika terdapat ketidakwajaran seperti baru lima bulan menikah tetapi anak pertama sudah lahir maka anak tersebut tidak punya hubungan nasab dengan ayahnya. Dengan demikian, ayah tidak berhak menajdi walinya dan digantikan oleh wali hakim. 3. Dalam hal pemeriksaan wali, hendaknya sesuai dengan tertib wali dengan meneliti Kartu Keluarga atau Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang bersangkutan. 94 Hasil pemeriksaan terhadap semua persyaratan nikah tersebut oleh Penghulu (di Jawa dan Madura) atau Pembantu Penghulu (di luar Jawa dan Madura) di tulis dalam daftar pemeriksaan nikah (formulir model NB). Tata cara pengisiannya adalah: a. Penghulu di Jawa dan Madura membuat daftar pemeriksaan nikah (formulir 94 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Tata Cara dan Mekanisme Pengurusan Perkawinan dan Rujuk di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2005), h. 118-119. 64 model NB) hanya satu rangkap saja. Sedangkan Pembantu Penghulu di luar Jawa dan Madura membuat daftar pemeriksaan nikah (formulir model NB) rangkap dua. Satu untuk arsip dan satu lagi dikirim ke KUA Kecamatan yang mewilayahinya bersamaan dengan surat-surat lainnya selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari kerja sesudah aqad nikah dilaksanakan. b. Kolom calon suami, kolom calon istri dan kolom wali nikah pada formulir NB diisi langsung oleh masing-masing calon suami, calon istri dan wali nikah. Sedangkan kolom yang lain diisi oleh Penghulu di Jawa dan Madura atau Pembantu Penghulu di luar Jawa dan Madura. c. Apabila mereka tidak dapat menulis maka semua kolom pada formulir NB itu diisi oleh Penghulu di Jawa dan Madura atau Pembantu Penghulu di luar Jawa dan Madura. d. Hasil pengisian Daftar Pemeriksaan Nikah (formulir NB) itu dibacakan dan jika perlu diterjemahkan ke dalam bahasa yang dimengerti oleh calon pengantin dan wali nikah. e. Setelah dibacakan, formulir model NB ditanda tangani oleh semua pihak yang diperiksa dan yang memeriksa. Kalau tidka bisa membubuhkan tanda tangan, diganti dengan cap ibu jari tangan kiri. f. Apabila pemeriksaan calon suami, calon istri dan wali nikah terpaksa dilakukan pada hari yabg berlainan, maka kecuali pemeriksaan pada hari pertama, di bawah kolom tanda tangan yang diperiksa ditulis tanggal hari pemeriksaan. 65 g. Untuk tertibnya administrasi dan memudahkan ingatan, Penghulu di Jawa da Madura atau Pembantu Penghulu di luar Jawa dan Madura mencatat hasil pemeriksaan tersebut dalam buku khusus yang diberi nama “Catatan Pemeriksaan Nikah” dengan kolom-kolom seperti berikut: 95 Hari/Tgl No Tangal Nama Calon Urut 1 2 Suami Istri 3 4 Ketentuan Nomor Akad Akta Nikah Nikah 5 6 Keterangan 7 h. Pada ujung formulir model NB sebelah kiri atas diberi nomor yang terdiri dari nomor urut pemeriksaan dalam tahun itu, kode desa tempat dilangsungkan aqad nikah dan tahun pelaksanaan pemeriksaan. Contoh: 13/02/2006. Angka 13 adalah 95 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Tata Cara dan Mekanisme Pengurusan Perkawinan dan Rujuk di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2005), h. 119. 66 nomor urut pemeriksaan yang diketahui dari nomor urut pada buku khusus “Catatan Pemeriksan Nikah” di atas. Angka 02 adalah kode desa tempat aqad nikah dan angka 2006 adalah tahun pemeriksaan. 96 Apabila calon suami atau wali nikah berdomisili di luar wilayah KUA Kecamatan tempat pelaksanaan akad nikah dan tidak dapat hadir untuk diperiksa, maka pemeriksaannya dilakukan oleh Penghulu atau Pembantu Penghulu setempat. Selanjutnya, Penghulu atau Pembantu Penghulu yang memeriksa itu mengirimkan daftar pemeriksaannya kepada Penghulu atau Pembantu Penghulu tempat pelaksanaan akad nikah. Setelah pemeriksaan kehendak nikah dilakukan terhadap pihak-pihak yang bersangkutan, Penghulu atau Pembantu Penghulu akan menyimpulkan salah satu dari dua kemungkinan: calon pengantin itu telah memenuhi persyaratan atau calon pengantin itu tidak memenuhi persyaratan. Bagi calon pengantin yang telah memenuhi persyaratan, Penghulu atau Pembantu Penghulu dapat melanjutkan prosedur administrasi pernikahan berikutnya “Pembayaran Biaya Nikah”. Sedangkan bagi calon pengantin yang tidak memenuhi persyaratan, Penghulu atau Pembantu Penghulu akan melakukan “Penolakan Nikah”. 97 Dalam pemeriksaan nikah inilah Pegawai Pencatat Nikah harus sangat teliti dalam memeriksa data-data yang diajukan, agar tidak ada data-data yang dipalsukan. 96 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Tata Cara dan Mekanisme Pengurusan Perkawinan dan Rujuk di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2005), h. 119. 97 Amiur Nuruddin & Azhar Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 129. 67 Oleh karena itu para pihak yang bersangkutan ditanya langsung mengenai kebenaran dari data-data yang mereka lampirkan agar data tersebut benar adanya. 98 3. Pembayaran Biaya Pencatatan Nikah Penghulu mempersilahkan kepada calon pengantin yang telah memenuhi persyaratan nikah agar membayar biaya pencatatan nikah ke rekening kas negara melalui bank atau kantor pos yang telah ditunjuk. Dalam Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Departemen RI. Nomor PER-22/PB/2005 tanggal 1 Agustus 2005 dijelaskan bahwa pembayaran biaya pencatatan nikah dilakukan dengan cara mengisi formulir SSBP (Surat Setoran Bukan Pajak) dengan mencantumkan MAP (Mata Anggaran Penerimaan) kode 423147 yaitu Pendapatan Jasa Kantor Urusan Agama dan menyampaikannya ke Bank/Pos. SSBP ini merupakan syarat tanda setoran atas kewajiban pembayaran biaya nikah yang dibuat rangkap 6 (enam). Setelah melakukan pengesahan SSBP, Bank/Pos mendistribusikan: 99 1. Lembar ke-1, ke-5 dan ke-6 kepada calon pengantin 2. Lembar ke-2 dan ke-3 kepada KPPN (Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara), 3. Lembar ke-4 sebagai pertinggal. Sebagai bukti pembayaran, calon pengantin menyimpan SSBP lembar ke-1 untuk diri sendiri dan menyampaikan lembar ke-5 dan ke-6 kepada Penghulu 98 99 Amiur Nuruddin & Azhar Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 129. A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Perkawinan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta: Fakultas Sayariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 25. 68 (Di Jawa) atau Pembantu Penghulu (di luar Jawa). 100 Besarnya biaya pencatatan nikah yang disetorkan ke kas negara melalui Bank/Pos adalah Rp. 30.000,- (Peraturan Pemerintah Nomor tahun 2004). Selain itu, calon pengantin membayar pula: 101 1. Honorarium Pembantu Penghulu. Honorarium ini diserahkan langsung oleh yang bersangkutan kepada Pembantu Penghulu. 2. Transportasi Penghulu/Pembantu Penghulu apabila akad nikah dilaksanakan di luar Balai Nikah KUA Kecamatan. Biaya transportasi ini diserahkan langsung kepada Penghulu/Pembantu Penghulu yang menghadiri akad nikah di luar Balai Nikah KUA Kecamatan. Besarnya biaya honorarium dan transportasi tersebut ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama propinsi dengan persetujuan terlebih dahulu dari Kepala Daerah setempat. 102 Calon pengantin yang tidak mampu membayar biaya pencatatan nikah dengan membawa surat keterangan tidak mampu dari Kepala Desa/Kelurahan dapat dibebaskan dari biaya. 103 4. Pengumuman Kehendak Nikah Setelah menerima bukti pembayaran biaya pencatatan nikah, Penghulu atau 100 A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Perkawinan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta: Fakultas Sayariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 25. 101 Ibid, h. 26. 102 Ibid, h. 26. 103 Ibid, h. 26. 69 Pembantu Penghulu menyelenggarakan pengumuman kehendak nikah. Pengumuman kehendak nikah ini bertujuan agar masyarakat mengetahui orang-orang yang akan melakukan pernikahan, dan selanjutnya apabila ada pihak yang keberatan terhadap rencana pernikahan itu maka yang bersangkutan dapat mengajukan “Pencegahan Nikah”. 104 Tahap selanjutnya setelah dipenuhi tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tidak ada sesuatu halangan perkawinan maka tahap berikutnya adalah pegawai pencatat nikah menyelenggarakan pengumuman. Pegawai pencatat menempelkan surat pengumuman dalam bentuk yang telah ditetapkan pada kantor-kantor pencatatan perkawinan yang daerah hukumnya meliputi wilayah tempat dilangsungkannya perkawinan dan tempat kediaman masing-masing calon mempelai. Pengumuman yang ditandatangani oleh pegawai pencatat selain membuat hal yang akan melangsungkan perkawinan juga memuat kapan dan di mana perkawinan itu akan dilangsungkan. 105 Surat pengumuman kehendak nikah dibuat dengan mengisi formulir model NC dan dipasang pada papan pengumuman selama sepuluh hari. Pengumuman ini dilakukan: 1. Oleh Penghulu di KUA Kecamatan tempat pernikahan akan dilaksanakan dan di KUA Kecamatan tempat tinggal masing-masing calon mempelai. 104 A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Perkawinan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta: Fakultas Sayariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 26-27. 105 Amiur Nuruddin & Azhar Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 128. 70 2. Oleh Pembantu Penghulu di tempat yang mudah diketahui oleh masyarakat umum. Penghulu atau Pembantu Penghulu tidak boleh melaksanakan akad nikah sebelum lampau sepuluh hari kerja sejak pengumuman. Kecuali seperti diatur dalam pasal 3 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 bahwa apabila terdapat alasan yang sangat penting maka calon pengantin yang akan melangsungkan akad nikah kurang dari tenggang waktu sepuluh hari sejak pengumuman itu harus mendapatkan dispensasi dari Camat terlebih dahulu. 106 Dalam masa sepuluh hari kerja sejak pengumuman itu, calon pengantin diharapkan dapat mengikuti penasehatan/penataran/kursus calon pengantin yang dilaksanakan oleh Badan Penasehat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian (BP4) Kecamatan. Penasehatan/penataran/kursus calon pengantin ini sangat penting bagi pasangan yang akan menikah untuk memberikan pencerahan dan bekal-bekal untuk membina keluarga sakinah. Agar tingkat efektifitas dan keberhasilannya sesuai dengan yang diharapkan, sejatinya bentuk penasehatan/penataran/kursus calon pengantin itu tidak bisa sekadar formalitas belaka. 107 5. Prosesi Akad Nikah dan Pencatatannya Bagi calon pengantin yang berada di Jawa dan Madura, akad nikah dilaksanakan di bawah pengawasan Penghulu. Pada dasarnya, tempat pelaksanaan 106 A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Perkawinan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta: Fakultas Sayariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 27. 107 Ibid, h. 27-28. 71 akad nikah tersebut adalah di KUA Kecamatan. Akan tetapi, atas permintaan calon pengantin dan dengan persetujuan Penghulu akad nikah dapat dilaksanakan di luar KUA Kecamatan seperti: di rumah calon istri, di Masjid, atau di gedung yang dikehendaki. Sedangkan bagi calon pengantin yang berada di luar Jawa dan Madura, akad nikah dilaksanakan di bawah pengawasan Pembantu Penghulu. 108 Penghulu (di Jawa dan Madura) atau Pembantu Penghulu (di luar Jawa dan Madura) harus mengatur tata cara pelaksanaan akad nikah sebagai berikut: 109 1. Penghulu/Pembantu Penghulu mengecek dan memastikan bahwa orang-orang yang harus hadir pada waktu pelaksanaan akad nikah telah lengkap, dan sudah berada pada tempat yang sudah disediakan. Mereka adalah: a. Wali nikah/wakilnya, b. Calon suami/wakilnya, c. Dua orang saksi yang memenuhi syarat, d. Calon istri jika tidak bertentangan dengan adat/keyakinan setempat. 2. Penghulu/Pembantu Penghulu memeriksa ulang persyaratan nikah dan administrasi bagi kedua calon pengantin, wali dan dua orang saksi. 3. Penghulu/Pembantu Penghulu mengukuhkan kembali persetujuan calon istri secara lisan. Caranya bermacam-macam: Penghulu menanyakan kepada calon istri, apakah bersedia dinikahkan dengan calon suaminya; atau wali yang 108 A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Perkawinan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta: Fakultas Sayariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 28. 109 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Tata Cara dan Mekanisme Pengurusan Perkawinan dan Rujuk di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2005), h. 10-11. 72 menanyakannya kepada calon istri; atau calon istri yang meminta kepada wali agar menikahkannya. 4. Setelah memperoleh kesediaan calon istri, Penghulu/Pembantu Penghulu harus mempersiapkan wali untuk menikahkan putrinya. Apabila wali berhalangan untuk menikahkan maka wali harus mewakilkan kepada Penghulu/Pembantu Penghulu atau kepada orang lain, dan wali harus mengatakan: “Bapak, saya wakilkan kepada Bapak untuk mewalikan dan menikahkan anak perempuan saya si Fulanah dengan si Fulan bin Fulan dengan mas kawin ... ... .... tunai”. Kemudian wakil yang ditunjuk wali itu menjawab: “Saya terima untuk mewalikan dan menikahkan si Fulanah binti Fulan dengan si Fulan bin Fulan”. 5. Sebelum pelaksanaan ijab-qabul, Penghulu/Pembantu Penghulu hendaknya terlebih dahulu membacakan khutbah nikah, dan kemudian memandu calon pengantin dan wali untuk mengucapkan istighfar, syahadat dan shalawat bersamasama. 6. Penghulu mengawasi pelaksanaan ijab-qabul antara wali-wakilnya dengan calon suami/wakilnya. Contoh ijab-qabul adalah: Wali mengatakan: ﺤﺎﻻ.... ﻴﺎﻔﻼن ﺰﻮﺠﺘﻚ ﻮأﻧﮑﺤﺘﻚ ﻔﻼﻧﺔ إﺑﻧﺘﻰ ﺒﻤﻬﺮ 73 “Hai Fulan, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan anak perempuan saya si Fulanah, dengan mas kawin ... ... ... tunai”. Kemudian calon suami menjawab: ﺤﺎﻻ....ﻗﺒﻠﺖ ﻧﻜﺎ ﺤﻬﺎ ﻓﻼﻨﺔ ﺑﻨت ﻓﻼﻦ ﺒﻤﻬﺮ “Saya terima nikahnya Fulanah binti Fulan dengan mas kawin ... ... ... tunai”. Contoh ijab dari wali adalah: ﺤﺎﻻ....ﻴﺎﻔﻼن ﺒﻦ ﻓﻼﻦ ﺰﻮﺠﺘﻚ ﻮأﻧﮑﺤﺘﻚ ﻔﻼﻧﺔ ﺑﻨت ﻓﻼﻦ ﺑﺗﻮﻜﻴﻞ ﻮﻠﻴﻬﺎ إﻠﻲ ﺒﻤﻬﺮ “Hai Fulan bin Fulan, saya nikahkan si Fulanah binti Fulan dengan engkau yang walinya mewakilkan kepada saya, dengan membayar mas kawin ... ... ... tunai”. 110 7. Penghulu/Pembantu Penghulu menanyakan kepada dua orang saksi, apakah ijabqabul itu sah atau tidak sah. Apabila dinyatakan tidak sah, maka ijab-qabul harus diulang. Apabila dinyatakan sah, maka dilanjutkan dengan pembacaan doa. Doa yang lazim dibaca adalah: ﻮﺒﺮك ﻋﻠﻳك ﻮﺠﻤﻊ ﺒﻳﻨﮑﻤﺎ ﻓﻰ ﺨﻳﺮ،ﺒﺎﺮك اﷲ ﻠﻰ ﻮﻠك “Semoga Allah SWT memberkahi saya dan kamu, dan Allah memberikan berkah kepada kamu serta menyatukan kalian berdua dalam kebaikan”. 111 8. Penghulu/Pembantu Penghulu meminta pengantin pria membaca dan menandatangani shighat ta’liq-thalaq yang sudah disiapkan, apabila sewaktu 110 A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Perkawinan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta: Fakultas Sayariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 30. 111 Ibid. 74 pemeriksaan kehendak nikah terdahulu calon pengantin telah menyetujui untuk membaca shighat ta’liq-thalaq. 112 Apabila dalam pemeriksaan nikah telah ada persetujuan ta’liq-thalaq, tetapi setelah akad nikah suami tidak mau membaca dan menandatangani, maka istri berhak mengajukan kepada pengadilan agar persetujuan tentang ta’liq-thalaq ditepati. 113 Apabila waktu akad nikah suami mewakilkan qabul kepada orang lain, maka shighat ta’liq-thalaq dibaca dan ditandatangani oleh suami pada waktu lain dihadapan Penghulu/Pembantu Penghulu tempat akad nikah dilaksanakan. 114 9. Setelah prosesi akad nikah di atas selesai dilakukan, Penghulu/Pembantu Penghulu melakukan pencatatan nikah dengan aturan sebagai berikut: a. Jika akad nikah dilaksanakan di Balai Nikah KUA Kecamatan, maka nikah dicatat dalam Akta Nikah (model N) rangkap dua. Selanjutnya, Akta Nikah (model N) dibacakan, dan bila perlu diterjemahkan ke dalam bahasa yang dimengerti oleh yang bersangkutan dan saksi-saksi, dan akhirnya ditandatangani oleh suami, istri, wali, dua orang saksi dan Penghulu. Kemudian Penghulu langsung membuatkan Buku Nikah (model NA) rangkap dua, dengan kode nomor yang sama pada Akta Nikah. Setelah Buku Nikah 112 A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Perkawinan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta: Fakultas Sayariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 30-31. 113 Ibid, h. 31. 114 Ibid, h. 31. 75 ditandatangani oleh Penghulu, diberikan kepada masing-masing suami dan istri. 115 b. Jika akad nikah dilaksanakan di luar Balai Nikah dan diawasi oleh Penghulu, maka nikah dicatat pada halaman 4 formulir model NB dan ditandatangani oleh suami, istri, wali, dua orang saksi dan Penghulu yang mengawasi, karena Akta Nikah (model N) tidak boleh dibawa keluar Balai Nikah. Kemudian Penghulu langsung membuatkan Buku Nikah (model NA) rangkap dua, dengan kode nomor yang sama pada Akta Nikah. Setelah Buku Nikah ditandatangani oleh Penghulu, diberikan kepada masing-masing suami dan istri. Selanjutnya, Penghulu segera mencatat dalam Akta Nikah (model N) rangkap dua dan yang menandatanganinya hanya Penghulu saja. Suami, istri, wali dan dua orang saksi tidak ikut menandatangani Akta Nikah (model N). 116 c. Jika akad nikah dilaksanakan di luar Balai Nikah dan diawasi oleh Pembantu Penghulu (khusus di luar Jawa dan Madura), maka nikah dicatat pada halaman 4 formulir model NB dan ditandatangani oleh suami, istri, wali, dua orang saksi dan Pembantu Penghulu yang mengawasi. Karena formulir model NB dibuat rangkap dua sewaktu pemeriksaan kehendak nikah dilakukan oleh Pembantu Penghulu (di luar Jawa dan Madura), maka tanda tangan pun dibubuhkan pada kedua lembar model NB tersebut. Kemudian, selambat115 A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Perkawinan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta: Fakultas Sayariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 31. 116 Ibid, h. 31-32. 76 lambatnya 15 hari setelah akad nikah satu lembar model NB yang dilampiri persyaratan nikah dikirimkan kepada Penghulu yang mewilayahinya. Penghulu yang menerima model NB dari Pembantu Penghulu memeriksa dengan teliti, dan mencatat dalam Akta Nikah (model N) rangkap dua dan menandatanganinya. Selanjutnya, Penghulu membuat Buku Nikah (model NA) rangkap dua, dan memberikannya kepada Pembantu Penghulu untuk disampaikan kepada masing-masing suami dan istri. 117 10. Penghulu wajib mengirimkan satu Akta Nikah kepada Pengadilan Agama yang mewilayahinya dan satu Akta Nikah lagi disimpan di KUA Kecamatan sebagai arsip. 11. Jika pengantin baru itu seorang janda atau duda karena perceraian, maka Penghulu memberitahukan kepada Pengadilan Agama yang mengeluarkan Akta Cerai bahwa janda/duda tersebut telah menikah lagi dengan menggunakan formulir model ND rangkap dua. Selanjutnya, Pengadilan Agama membubuhkan stempel dan mengirimkan lembar kedua formulir model ND kepada Penghulu, dan Penghulu menyimpannya bersama formulir model NB. 118 6. Formulir Administratif Nikah a. Jenis Formulir Formulir yang berkaitan dengan pencatatan pernikahan berjumlah sebanyak 117 A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Perkawinan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta: Fakultas Sayariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 32-33. 118 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Penghulu, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2005), h. 44-45. 77 16 formulir. Formulir-formulir itu dapat dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu: i. Formulir pokok, yaitu formulir yang secara langsung menjadi tanggung jawab dan dikerjakan pengisiannya oleh Penghulu. Formulir tersebut terdiri dari: 1. Model NB : Daftar Pemeriksaan Nikah 2. Model NC : Pengumuman Kehendak Nikah 3. Model N : Akta Nikah 4. Model NA : Kutipan Akta Nikah ii. Formulir pelengkap, yaitu formulir yang merupakan kelengkapan dari pelaksanaan pernikahan dan disiapkan sebelum pelaksanaan pernikahan itu sendiri. Sebagian besar formulir tersebut pengisiannya dilakukan oleh Kepala Desa/Kelurahan. Formulir tersebut terdiri dari: 1. Model N 1 : Surat keterangan untuk nikah. 2. Model N 2 : Surat keterangan asal-usul. 3. Model N 3 : Surat persetujuan mempelai. 4. Model N 4 : Surat keterangan tentang orang tua. 5. Model N 5 : Surat izin orang tua. 6. Model N 6 : Surat keterangan kematian suami/istri. 7. Model N 7 : Surat pemberitahuan kehendak nikah. 8. Model N 8 : Surat pemberitahuan kekurangan persyaratan nikah. 9. Model N 9 : Surat penolakan pernikahan. 78 iii. Formulir mutasi, yaitu formulir yang dipergunakan untuk memberitahukan adanya perubahan status seseorang kepada Penghulu/Pengadilan Agama yang sebelumnya telah mencatat talak/cerainya. Formulir ini hanya terdiri dari: 1. Model ND : Pemberitahuan Nikah. 2. Model NE : Pemberitahuan poligami. b. Pengaturan Penggunaan Beberapa Formulir Nikah 1. Formulir Pokok : Formulir model NB : 1) Dicatat penerimaan dan penggunaannya dalam buku stock. 2) Dijilid dalam satu bundel untuk setiap tahun, beserta surat-surat yang berhubungan dengan pernikahan untuk mempermudah penyimpanan dan pengontrolannya. 3) Penyimpanannya diurutkan sesuai dengan nomor urut Akta Nikah. 4) Merupakan informasi pertama dan sumber utama soal pernikahan, karena itu tidak boleh ada surat-surat yang tercecer. Formulir model N : 1) Merupakan akta dan dijilid dalam buku @50 lembar pertama dan terakhir serta diparaf lembar-lembar lainnya oleh Pegawai Pencatat. 2) Diberi catatan pada sampulnya, ditandatangani lembar pertama dan terakhir serta diparaf lembar-lembar lainnya oleh Pegawai Pencatat. 3) Dicatat penerimaan dan penggunaannya dalam buku stock. 79 4) Tersimpan secara tertib dan aman di kantor dan tidak boleh dibawa ke luar kantor. 5) Dibuat rangkap dua, lembar kedua dikirim ke Pengadilan Agama di Kabupaten tempat peristiwa akad nikah. Formulir model NA : 1) Dicatat penerimaan dan penggunaannya dalam buku stock. 2) Dipergunakan secara berurutan sesuai dengan seri nomornya untuk mempermudah pengontrolan. 3) Ditulis dengan huruf balok yang rapi dan jelas dengan menggunakan tinta hitam. 4) Dibuat rangkap dua, untuk masing-masing suami dan istri. 5) Diserahkan kepada masing-masing suami istri dengan ekspedisi khusus dengan ditandatangani penerimaan. i. Formulir Pelengkap 1) Dicatat penerimaan dan penggunaan dalam buku stock. 2) Diawasi penggunaannya untuk tidak dipergunakan oleh mereka yang tidak beragama Islam. ii. Formulir Mutasi 1) Dicatat penerimaan dan penggunaannya dalam buku stock. 2) Segera dilaksanakan pengirimannya bila terjadi perubahan. Yakni perubahan dari status Nikah (N) menjadi Talak (T), atau dari Nikah 80 (N) menjadi Cerai (C), atau dari Talak menjadi Rujuk (R), atau dari Talak (T) atau Cerai (C) menjadi Nikah (N) lagi. 3) Merupakan salah satu sarana pengawasan dalam ketertiban pencatatan Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk. 119 B. Manipulasi Identitas Dalam Perkawinan 1. Pengertian Manipulasi Identitas Ada beberapa definisi tentang manipulasi dan identitas yang secara berbeda. Manipulasi identitas terdiri dari dua suku kata yakni manipulasi dan identitas. Manipulasi merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa Inggris yaitu manipulation yang berarti “penyalahgunaan atau penyelewengan”. 120 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, manipulasi diartikan sebagai “upaya kelompok atau perseorangan untuk mempengaruhi perilaku sikap dan pendapat orang lain tanpa orang itu menyadarinya”. 121 Definisi identitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung arti ciriciri, keadaan khusus seseorang, jati diri. Definisi lain dari identitas yakni persamaan, tanda-tanda, ciri-ciri. 122 119 Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Petunjuk Pelaksanaan Perkawinan Warga Negara Indonesia di Luar Negeri, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2002), h. 21-35. 120 John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia, 2000), h. 372. 121 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 712. 122 Santoso, Ananda & A.R Al-Hanif, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya, Penerbit Alumni, t.th), h. 157. 81 Definisi yang dikemukakan oleh Kepala KUA Kecamatan Kadugede mengenai manipulasi identitas adalah suatu upaya yang dilakukan oleh pihak tertentu untuk memalsukan umur, status perkawinan, dan lain sebagainya dan itu termasuk tindakan pidana karena telah membohongi pejabat negara pada umumnya. 123 Jadi yang dimaksud dengan manipulasi identitas dalam perkawinan adalah suatu upaya penyelewengan atau penyimpangan yang dilakukan oleh seseorang untuk memalsukan data-data baik berupa status, tanda-tanda, ciri-ciri maupun keadaan khusus seseorang/jati diri yang dinilai sebagai suatu tindak pidana berupa kebohongan kepada pejabat negara yang tujuannya untuk bisa melangsungkan perkawinan. Manipulasi identitas terdiri dari berbagai macam diantaranya adalah manipulasi nama, usia bahkan status. Di Kantor Urusan Agama kecamatan kadugede terdapat manipulasi identitas seperti status terjadi karena kurang tertib dan optimalnya pegawai KUA dalam pemeriksaan data-data dari kedua calon pengantin berikut para walinya. Data-data yang ditulis oleh calon pengantin tidak begitu saja dipercaya melainkan harus diperiksa ulang dengan cara menghadirkan para pihak yang terkait untuk melakukan pemeriksaan langsung oleh pegawai KUA yang berwenang. Mengenai manipulasi identitas ini dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, seperti oknum dari kelurahan yang memberikan suatu surat 123 Maret 2010. Toto Sartono, Kepala KUA Kecamatan Kadugede, Wawancara Pribadi, Kuningan, 23 82 pengantar atau surat keterangan yang menerangkan tentang status orang yang masih perjaka, padahal orang tersebut sudah mempunyai seorang istri. Ketentuan mengenai sanksi pidana dalam perkawinan termuat dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal 45 yang berbunyi : 124 1. Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku maka : a. Barang siapa yag melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 3, 10 ayat (3) dan 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggitingginya Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah) b. Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 6,7, 8, 9, 10, ayat (1), 11, 13, dan 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah) 2. Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) merupakan pelanggaran. Dalam KUHP juga diatur tentang sanksi pidana di bidang perkawinan yang termuat dalam pasal 279 yang berbunyi: (1) Dihukum penjara selama-lamanya 5 tahun: 1e. Barangsiapa yang kawin sedang diketahuinya, bahwa perkawinan yang sudah ada menjadi halangan yang sah baginya akan kawin lagi. 2e. Barangsiapa dari pihak yang kawin, sedang diketahuinya, bahwa perkawinan 124 Himpunan Perundang-undangan, Op.Cit., h. 99. 83 yang sudah ada dari pihak yang lain itu akan menjadi halangan yang sah bagi pihak lain itu akan kawin lagi. (2) Kalau orang yang bersalah karena melakukan perbuatan yang diterapkan pada poin 1e, menyembunyikan kepada pihak yang lain, bahwa perkawinannya yang sudah ada itu menjadi halangan yang sah akan kawin lagi, dihukum penjara selama-lamanya 7 tahun. (KUHP 5-1, 37) (3) Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut dalam pasal 35 No.1-5 1. Suatu syarat supaya orang dapat dihukum menurut pasal ini ialah orang itu harus mengetahui bahwa ia pernah kawin dan perkawinan ini masih belum dilepaskan. Menurut pasal 199 B.W. (hukum sipil) perkawinan (nikah) itu menjadi lepas. Undang-undang di atas merupakan satu-satunya peraturan mengenai sanksi pidana dalam bidang perkawinan tetapi pengadilan agama yang merupakan suatu lembaga hukum di bidang perkawinan tidak memiliki wewenang untuk mengatur atau memutuskan masalah pidana walaupun dalam bidang perkawinan ini menjadi wewenang bagi Pengadilan Negeri. PP No. 9 Tahun 1975 merupakan sebuah ketentuan baru yang tujuannya adalah bersifat preventif agar pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan dan aparat yang diberikan tugas untuk mencatat perkawinan atau pihak-pihak yang terkait tidak melakukan pelanggaran. Karena betapa pun kecilnya pelanggaran itu timbul akan menjadikan pelaksanaan ketentuan perundang-undangan perkawinan tidak bisa berlaku efektif. Selain itu, sosialisasi hukum melalui pemberdayaan hukum (law 84 enforcement) diharapkan akan memotivasi munculnya kesadaran hukum dimasyarakat. 125 Kemudian antara lain yang mengatur mengenai larangan Pemalsuan identitas atau kejahatan dalam perkawinan adalah KUHP pasal 279 dan pasal 280 yang berbunyi : 126 Pasal 279 1) Diancam dengan pidana penjara yang lama lima tahun: a. Barangsiapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu; b. Barangsiapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu. 2) Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat (1) butir 1 menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. 3) Pencabutan hak berdasarkan pasal 35 No. 1-5 dapat dinyatakan. Pasal 280 “Barangsiapa mengadakan perkawinan, padahal sengaja tidak memberitahu kepada pihak lain bahwa ada penghalang yang sah, diancam pidana penjara paling lama lima 125 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003), cet. Ke 6, h. 327. 126 Andi Hamzah, KUHAP & KUHP, (Jakarta, Rineka Cipta, 2004), cet ke-11, h. 111. 85 tahun, apabila kemudian berdasarkan penghalang tersebut perkawinan lalu dinyatakan tidak sah”. Meskipun secara bahasa pasal tersebut tidak menyebutkan secara langsung mengenai larangan pemalsuan identitas, tetapi bila diteliti lebih jauh pasal tersebut menyebutkan larangan “penyembunyian perkawinan yang telah ada” artinya bahwa seorang laki-laki maupun perempuan dilarang untuk menyembunyikan perkawinan yang pernah ia lakukan sebelumnya ketika ia akan menikah kembali dan itu sama halnya dengan pemalsuan status yang masuk dalam kategori pemalsuan identitas. Selanjutnya ada juga larangan pemalsuan Akta Nikah yang merupakan Akta Otentik yang dapat dijadikan bukti dalam mengajukan upaya hukum yang tercantum dalam pasal 263, 264 dan 266 dalam KUHP. Pasal 263 1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal dengan maksud untuk menyuruh orang lain memakai surat-surat tersebut seolah isinya benar dan tidak palsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat diancam dengan pidana paling lama enam tahun. 2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian. 86 Pasal 264 “Pemalsuan Akta Otentik merupakan salah satu pemalsuan surat yang dapat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun”. Pasal 266 1) Barangsiapa menyuruh memalsukan keterangan palsu ke dalam surat Akta Otentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh Akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian dengan pidana penjara paling lama lima tahun. 2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika karena pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian. Pemalsuan dalam perkawinan itu tidak hanya sebatas pada pemalsuan usia dan status saja tetapi pemalsuan Akta Nikah juga termasuk ke dalamnya. Berdasarkan bunyi dari pasal-pasal di atas pemalsuan Akta Nikah maupun surat-surat lainnya merupakan suatu pelanggaran yang dapat dijatuhi hukuman penjara karena hal tersebut dapat mengakibatkan kerugian pada orang lain. 2. Sebab dan Akibat Terjadinya Manipulasi Identitas Dalam Perkawinan Dalam hal ini yang dialami oleh KUA Kecamatan Kadugede tempat penelitian ini dilakukan, hanya penyelewengan berbentuk manipulasi identitas saja. Manipulasi tersebut terjadi karena ada pihak yang ingin melakukan poligami tanpa ingin diketahui oleh istrinya dan tidak mau mengurus ke pengadilan agama untuk 87 mendapatkan izin berpoligami. Praktik manipulasi identitas ini tentu melibatkan oknum seperti kelurahan yang membuat surat keterangan yang menerangkan bahwa status orang tersebut masih perjaka yang tujuannya untuk mengelabui calon istrinya dan pihak KUA supaya bisa berpoligami tanpa ingin diketahui dari istrinya dan juga tidak adanya izin berpoligami dari pengadilan agama. a. Sebab-sebab terjadinya kasus manipulasi identitas dalam bidang perkawinan Ada beberapa penyebab terjadinya manipulasi idenititas dalam perkawinan itu, yaitu: 1) Sikap mental buruk pelaku yang pada dasarnya ingin mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya hanya untuk kepentingan diri sendiri. 2) Masih kurangnya pengetahuan sebagian anggota masyarakat tentang perkawinan berikut peraturan pelaksanaannya dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku serta hukum munakahat. 3) Masih kurangnya tertib pelaksanaan administrasi NTCR, akibat kurangnya pengetahan dan kemampuan teknis para Petugas/Pegawai Pencatatan Nikah (PPN) dan wakilnya. 4) Kurang mantapnya koordinasi diantara pejabat/petugas pelaksana NTCR yang berwenang menanganinya. 5) Belum sepenuhnya diterapkan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya, termasuk hukum munakahat belum merata di kalangan masyarakat dan instansi-instansi yang mengakibatkan 88 kurangnya hukum. 127 6) Adanya keinginan untuk berpoligami tanpa harus diketahui oleh isterinya dan karena merasa kerepotan apabila harus mengurus segala sesuatunya ke Pengadilan Agama. b. Akibat yang ditimbulkan dari adanya manipulasi idenititas dalam perkawinan Dengan terjadinya kasus manipulasi identitas sebagaimana tersebut diatas, maka timbullah berbagai dampak negatif, antara lain : 1) Keresahan masyarakat terutama bagi anggota masyarakat yang jadi korban, setelah diketahui bahwa mereka jadi korban pemalsuan/manipulasi yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. 2) Kegelisahan aparat Departemen Agama di daerah akibat semakin beraninya oknum-oknum melaksanakan operasinya dengan sikap menantang. 3) Berkurangnya citra pemerintah pada umumnya Departemen Agama dan khususnya KUA. 4) Akan semakin banyaknya jumlah korban dan semakin besarnya kerugian negara apabila kasus-kasus tersebut tidak ditanggulangi secara tuntas. C. Upaya Pencegahan Terjadinya Manipulasi Identitas Dalam Perkawinan Ada dua syarat penting yang apabila tidak dipenuhi, perkawinan dapat dicegah. 128 Pertama, syarat materiil adalah syarat yang berkaitan dengan pencatatan 127 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003), cet. Ke 6, h. 111. 128 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, PT. Sinar Grafika, Cet. 1, 2006, h. 33. 89 perkawinan, akta nikah, dan larangan perkawinan seperti yang sudah diuraikan. Dan kedua syarat administratif adalah syarat perkawinan yang melekat pada setiap rukun perkawinan, yang meliputi calon mempelai laki-laki dan calon mempelai wanita, saksi, wali, dan pelaksanaan akad nikahnya, juga harus diperhatikan. Selain itu, pasal 3 PP Nomor 9 Tahun 1975 menentukan: (1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan (2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. (3) Pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat (2) disebut sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh camat atas nama bupati kepala daerah. Selain itu dapat juga dilihat pada pasal 4, 5, 6, 7, 8, dan 9 PP Nomor Tahun 1975. Sebagai contoh pasal 8 menyatakan bahwa setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan perkawinan, pegawai pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang sudah di tentukan dan mudah dibaca oleh umum. 129 Suatu upaya penanggulangan atau pencegahan akan lebih berdaya guna jika upaya tersebut berpangkal tolak dari asas kausalitas (sebab akibat). Artinya tidak 129 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 34. 90 hanya menitikberatkan pembahasan kepada aspek akibatnya, tetapi yang terpenting upaya pencegahan tersebut harus menyentuh faktor-faktor penyebabnya. Oleh karena itu, strategi pencegahan dan pengurangan kejahatan harus dikembangkan ke arah: 1. Memperkecil faktor-faktor yang mendorong orang melakukan kejahatan 2. Memperkecil kecendrungan orang menjadi korban kejahatan. 3. Meningkatkan kemampuan pranata sistem peradilan pidana dalam menindak dan mencegah kejahatan. 130 Untuk lebih jelasnya di bawah ini dipaparkan mengenai upaya apa saja yang dilakukan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan Kadugede, dalam mencegah terjadinya pemalsuan identitas dalam perkawinan, antara lain : 1. Pemeriksaan dokumen-dokumen diri calon mempelai, data orang tua yang tercantum dalam N1, N2, dan N4 itu harus benar-benar diteliti dengan cermat bahkan harus dinyatakan langsung kepada calon mempelai dan wali nikah mengenai kebenarannya. Pengecekan data diri dari calon mempelai dimaksudkan agar petugas mengetahui apakah data yang ditulis oleh kedua calon mempelai itu benar-benar akurat dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya atau hanya formalitas belaka. 2. Petugas KUA dalam hal ini adalah penghulu harus memeriksa syarat dan rukun nikahnya baik menurut hukum Islam maupun Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. 130 Muhammad Mustofa, “Kejahatan dan Kekerasan, Tinjauan Kriminologis”, dalam Media Indonesia, Selasa, 18 Mei 1993, h. 4. 91 3. Apabila para pihak yang akan menikah baik itu calon mempelainya atau orang tua mereka tidak bisa hadir untuk pemeriksaan ulang atau pengecekan data oleh penghulu, maka sedapat mungkin penghulu atau petugas KUA datang langsung ke rumah mereka. Pemeriksaan para pihak atau kedua calon mempelai juga dilakukan dengan cara mendatangi rumah mereka, hal ini dilakukan dalam upaya mencegah terjadinya pemalsuan identitas dalam perkawinan. 4. Untuk mencegah terjadinya pemalsuan identitas juga harus diadakan penyuluhan rutin dari KUA mengenai pernikahan kepada masyarakat terutama bagi para calon pengantin seperti kursus calon pengantin yang diadakan oleh KUA sebanyak dua kali dalam sebulan. Penyuluhan tentang perkawinan kepada masyarakat perlu dilakukan oleh KUA agar bisa memberikan pengetahuan mengenai tugas dan fungsi KUA tersebut serta memberikan informasi seputar pernikahan. 5. Pemasangan pengumuman kehendak nikah, hal ini dimaksudkan agar apabila ada pihak-pihak yang bersangkutan merasa keberatan dengan pernikahan tersebut dapat melaporkannya ke KUA setempat. Dengan adanya pemasangan Pengumuman Kenhendak Nikah, maka para pihak yang terkait atau masyarakat memliki kesempatan untuk mengecek data dari calon mempelai yang akan menikah. 6. Selain itu kedua calon mempelai atau wali mereka diharuskan untuk datang secara langung ke KUA berkaitan dengan pendaftaran nikah. Hal ini dimaksudkan agar calon pengantin mengetahui siapa saja penghulu yang sah dan ditunjuk oleh 92 pemerintah agar terhindar dari adanya penghulu liar yang mengatasnamakan KUA setempat. Demikianlah upaya-upaya yang dilakukan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan Kadugede dalam mencegah terjadinya manipulasi identitas di samping melayani masyarakat secara optimal. D. Analisis Penulis Pemeriksaan berkas-berkas yang dilampirkan oleh calon pengantin di KUA Kadugede dinilai efektif. Hal ini dapat dilihat dari proses pemeriksaan berkas-berkas tersebut yakni dengan cara memanggil kedua calon pengantin dan wali nikahnya ke KUA untuk kemudian akan diperiksa mengenai kebenaran data-data. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya manipulasi identitas, apabila petugas KUA memeriksa ulang dokumen yang dilampirkan. Dalam hal ini kinerja KUA Kecamatan Kadugede dalam prakteknya dinilai sudah efektif dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Akan tetapi, tidak adanya pengawasan dan kroscek lebih lanjut dari pihak KUA dalam hal pemeriksaan berkas-berkas calon pengantin untuk menyelidiki akan kebenaran data-data calon pengantin, setidaknya hal ini diperkuat dari kinerja KUA yang tidak mau turun kelapangan. Idealnya diperlukan sinergitas antara pihak Kelurahan dan KUA untuk meneliti kebenaran data-data calon pengantin. Keaktifan PPN dan semua pegawai KUA harus senantiasa dilakukan dalam upaya penyelidikan kebenaran mengenai data-data calon mempelai dan wali baik mengenai kebenaran nama, usia dan status sehingga apa yang nantinya dituliskan 93 dalam sebuah Akta Nikah maupun berkas-berkas perkawinan adalah benar adanya dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu penerapan hukum harus pula dilaksanakan secara tegas bagi siapa saja yang melanggar ketentuan tersebut agar tidak ada lagi orang yang merasa dirugikan dalam sebuah perkawinan. Selama ini kita jarang mendengar kabar tentang seseorang yang dihukum karena telah memalsukan status dirinya dari seorang yang telah beristri menjadi duda atau bahkan lajang, termasuk orang-orang yang telah memalsukan akta nikah. Yang tidak kalah pentingnya dengan upaya-upaya diatas adalah kerjasama antara KUA yang satu dengan yang lain, karena biasanya pernikahan yang kedua itu dilakukan di KUA yang berbeda. Selain itu data-data yang nantinya diperlukan dalam pendaftaran pernikahan seperti KTP, KK, dan Akta Kelahiran harus benar-benar akurat. Oleh karena itu harus ada kerjasama yang baik antara KUA dengan instansi kelurahan yang mengatur pembuatan sumber identitas tersebut. Jika ditinjau dari segi hukum, praktik manipulasi identitas yang dilakukan oleh pihak kelurahan termasuk ke dalam perkara pidana, karena telah melanggar pasal 277 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bab XIII mengenai kejahatan terhadap asal usul dan perkawinan yang menyatakan, “Barangsiapa dengan salah satu perbuatan sengaja menggelapkan asal usul orang, diancam karena penggelapan asal usul dengan pidana penjara paling lama enam tahun”. Jadi, apabila dikaitkan dengan pasal ini para pihak yang terlibat dalam praktik manipulasi identitas tersebut dapat dikenakan sanksi, yaitu penjara paling lama enam tahun. 94 Bagi pelaku poligami tanpa izin dari pengadilan agama tentunya akan ada sanksi karena telah melanggar pasal 279 ayat 1 point (1e) yang menyatakan “Dihukum penjara selama-lamanya 5 tahun, barangsiapa yang kawin sedang diketahuinya, bahwa perkawinan yang sudah ada menjadi halangan yang sah baginya akan kawin lagi. Penyimpangan manipulasi identitas dalam perkawinan itu terungkap apabila ada pihak yang mengadukan ke pengadilan agama dikarenakan ada kerugian berupa kebohongan yang dilakukan oleh orang tertentu dan pihak-pihak yang terlibat akan diproses menurut hukum yang berlaku Jadi, apabila tidak ada pihak lain yang merasa dirugikan dan tidak melaporkannya kepada pihak yang berwenang, maka para pihak yang melakukan manipulasi identitas, baik yang dilakukan oeh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau oleh pihak lain (selain PPN) tidak dapat dikenakan sanksi pidana. Dengan kata lain, para pihak yang melakukan manipulasi identitas dalam perkawinan baru dapat dikenakan sanksi pidana apabila adanya pengaduan kepada pihak yang berwenang dari pihak yang merasa dirugikan atas perkawinan tersebut. 95 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah di kemukakan pada bab-bab sebelumnya dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai jawaban dari beberapa pertanyaan yang dirumuskan dalam bab pertama skripsi ini yaitu : 1. Manipulasi identitas dalam perkawinan biasanya dilakukan oleh instansi pemerintah seperti kelurahan karena adanya pihak yang ingin melakukan poligami sehingga memanipulasi identitasnya untuk memperoleh “jalur yang lebih cepat” dikarenakan birokrasi yang rumit untuk mendapatkan izin poligami dari pengadilan agama. Manipulasi identitas merupakan pelanggaran hukum yang bisa dikenakan sanksi pidana paling lama tujuh tahun penjara. 2. Penyebab dari manipulasi identitas ini terjadi karena sikap mental yang buruk pelaku yang hanya mementingkan keuntungan pribadi. Alasan seseorang melakukan manipulasi identitas bisanya karena ingin berpoligami yang tidak mau diketahui oleh isterinya dan tidak mau mengurus untuk mendapatkan izin poligami dari pengadilan agama di karenakan birokrasi yang rumit di pengadilan agama. Dampak yang ditimbulkan dari manipulasi identitas adalah keresahan masyarakat, kerugian negara, citra pemerintah yang menjadi hilang dan buruk dimata masyarakat dan akan semakin banyak korban yang akan dirugikan. 95 96 3. Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya manipulasi identitas yaitu selain menghadirkan para pihak yang bersangkutan dalam pemeriksaan, diharapkan juga dalam pendaftaran perkawinan kedua calon mempelai datang langsung ke KUA, kemudian juga adanya adanya pemasangan pengumuman kehendak nikah dan tidak kalah pentingnya adalah sosialisasi seputar pernikahan yang harus dilakukan. Pemeriksaan terhadap calon pengantin dan wali sebaiknya dilakukan sendiri-sendiri. Dalam pemeriksaan nikah inilah PPN harus sangat teliti dalam memeriksa data-data yang diajukan, agar tidak ada data-data yang dipalsukan. Oleh karena itu para pihak yang bersangkutan ditanya langsung mengenai kebenaran dari data-data yang mereka lampirkan. Kalau pemeriksaan data-data tidak bisa dilakukan di KUA maka pegawai yang mendatangi rumah calon pengantin tersebut. Pihak KUA juga harus lebih memantapkan kerja pengawasan dan kroscek lebih lanjut dalam hal pemeriksaan berkas-berkas calon pengantin. Seharusnya pihak KUA turun kelapangan untuk mengecek kebenaran data-data calon pengantin apabila ada data-data calon pengantin yang mencurigakan. B. Saran Diakhir penulisan skripsi ini penulis ingin memberikan saran yang mudahmudahan dapat bermanfaat bagi para pihak yang terkait. Adapun saran-saran yang akan penulis kemukakan antara lain: 1. Diharapkan bagi pemerintah agar terus mengkaji mengenai kekurangankekurangan dari pelaksanaan Undang-Undang yang telah ada dan mengupayakan 97 peningkatan sosialisasi Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kepada masyarakat. 2. Hendaknya instansi pemerintah khususnya kelurahan hendaknya menjalankan tugas dan fungsinya sesuai kewenangannya dan tidak menyimpang dari tugas dan fungsinya tersebut. 3. Diharapkan Kantor Urusan Agama (KUA) harus terus melakukan koordinasi dan kerjasama yang baik dengan instansi-instansi pemerintah yang terkait untuk menyelidiki kebenaran data-data calon pengantin. 4. Hendaknya para pegawai Kantor Urusan Agama (KUA), agar terus menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal dan melakukan pemeriksaan yang ketat terhadap berkas-berkas calon pengantin dan melakukan kroscek lebih lanjut apabila ada data-data calon pengantin yang mencurigakan serta menjalin kerjasama dengan instansi-instansi lain yang terkait dan melakukan pengawasan yang ketat. 5. Diharapkan masyarakat agar selalu mentaati peraturan hukum yang ada agar terciptanya keadilan dan ketertiban di masyarakat. 6. Hendaknya orang yang ingin berpoligami hendaknya melakukan poligami sesuai prosedur yang telah ditetapkan oleh aturan hukum yang ada supaya tidak ada pihak yang dirugikan. 7. Perlu dibentuk Polisi khusus tentang perkawinan, yang secara terus menerus melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat Indonesia. 98 DAFTAR PUSTAKA Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, selanjutnya disebut Ibnu Qudamah al-Mughni, (Kairo: Hijr, 1413 H/1992 M). Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Prenada Media, 2003). Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW (Poligami Dalam Islam VS Monogami Barat), (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993). Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003). A. Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman Di Tanah Gayo, (Jakarta: Qolbun Salim, 2007). A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Perkawinan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta: Fakultas Sayariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006). Al-Qur’an Al-Karim Aminullah. J, Hak dan Kewajiban Suami Isteri (Nikah Talak dan Rujuk), (Bandung: Pelajar Bandung, 1972). Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006). Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004). Andi Hamzah, KUHAP & KUHP, (Jakarta, Rineka Cipta, 2004), Cet. Ke-11. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005). Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Tata Cara dan Mekanisme Pengurusan Perkawinan dan Rujuk di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2005). Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Penghulu, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2005). 99 Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Petunjuk Pelaksanaan Perkawinan Warga Negara Indonesia di Luar Negeri, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2002). Dokumen Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede. Eni Setiati, Hitam Putih Poligami (Menelaah Perkawinan Poligami Sebagai Sebuah Fenomena), (Jakarta, Cisera Publishing, 2007). Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Madav Maju, 1990). Hartono, Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2007. Hazairin, Hukum Keluarga Nasional Indonesia, (Jakarta: Tintamas, 1961). Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Alih Bahasa M.A. Abdurrahman, (Semarang: CV. Asy Syifa, 1990). John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia, 2000). Kamal Muchtar, Azas-azas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kompilasi Hukum Islam. M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta : Persada Media, 2003). M. Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam & Peraturan Pelaksanaan Lainnya Di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004). M. Mansur bin Mashadi, Tuntunan Perkawinan dan Keluarga Bahagia Dalam Islam, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1995). M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996). 100 M. Idris Ramulyo, Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: IND HLLCO, 1990). M. Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: CV. Alhidayah, 1964). M. Thalib, Analisa dan Bimbingan Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1987). Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004). Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Alih Bahasa Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus Al Kaff, (Jakarta: Lentera, 2006). Muhammad Mustofa, “Kejahatan dan Kekerasan, Tinjauan Kriminologis,” dalam Media Indonesia, Selasa, 18 Mei 1993. Musfir Aj-Jahrani, Poligami dari Berbagai Persepsi,(Jakarta, Gema Insani Press, 1997). Muhammad Zain & Mukhtar Al-Shadi, Membangun Keluarga Humanis, (Jakarta : Graha Cipta, 2005). Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Perbandingan dalam Kalangan Ahlus Sunnah dan Negara-negara Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1983). Sahih Bukhari, Kitab al-Nikah dan Sahih Muslim, Fi al-Nikah, Bab Istihbab al-Nikah liamn taqat nafsuhu ilaih. Santoso, Ananda & A.R Al-Hanif, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya, Penerbit Alumni, t.th). Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 7, Alih Bahasa Mohammad Thalib, (Bandung: PT. Alma’arif, 1981). Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1989). Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Beirut : Dar al-Fikr, 1997 M/1418 H). Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, PT. Sinar Grafika, Cet. 1, 2006. http://hukum online.com/detail.asp?id=15941&cl fokus, diakses tanggal 10 April 2010.