MANIPULASI IDENTITAS DALAM PERKAWINAN

advertisement
MANIPULASI IDENTITAS DALAM PERKAWINAN
(Studi Kasus Pada KUA Kecamatan Kadugede, Kuningan – Jawa Barat)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
ZULKARNAIN
105044201472
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1431 H/2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “MANIPULASI IDENTITAS DALAM PERKAWINAN” (Studi
Kasus Pada KUA Kecamatan Kadugede, Kuningan – Jawa Barat) telah diujikan
dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tanggal 15 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
guna memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Ahwal AlSyakhshiyyah Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam.
Jakarta, 15 Juni 2010
Mengesahkan,
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.
NIP. 195505051982091012
PANITIA UJIAN
Ketua
: Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA.
NIP. 195003061976031001
(________________)
Sekretaris
: Kamarusdiana, S.Ag., MH.
NIP. 197202241998031003
(________________)
Pembimbing : Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi
NIP. 194008051962021001
(________________)
Penguji I
: Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA.
NIP. 195003061976031001
(________________)
Penguji II
: Dr. Jaenal Aripin, M.Ag.
NIP. 197210161998031004
(________________)
MANIPULASI IDENTITAS DALAM PERKAWINAN
(Studi Kasus Pada KUA Kecamatan Kadugede, Kuningan – Jawa Barat)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
ZULKARNAIN
NIM : 105044201472
Dibawah Bimbingan
Pembimbing
Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi
NIP. 194008051962021001
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1431 H/2010 M
KATA PENGANTAR
‫ﺒﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﺤﻤﻦ اﻟﺮﺤﻴﻢ‬
Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat
diselesaikan. Selanjutnya, shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW yang
telah berhasil memerankan fungsi-fungsi kekhalifahan dengan baik di pentas
peradaban dunia sehingga beliau dipilih oleh Allah SWT sebagai uswatun hasanah
bagi seluruh manusia.
Karya tulis ilmiah berupa skripsi ini ditujukan kepada Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy).
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit hambatan dan rintangan yang
penulis hadapi, antara lain keterbatasan ilmu dan pengetahuan serta keterbatasan
waktu yang dimiliki penulis. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini
masih jauh dari kesempurnaan. Meski demikian, diharapkan agar skripsi ini dapat
memberikan nilai manfaat khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi para
pembaca.
Selama penyusunan skripsi dan belajar di Fakultas Syariah dan Hukum,
penulis mendapatkan banyak bantuan baik berupa moril, materil, pemikiran serta
tenaga dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan
i
penghargaan yang setinggi-tingginya serta mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta beserta jajarannya.
2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, MA., selaku Ketua Program Studi Ahwal
Syakhshiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Kamarusdiana, SH, M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Ahwal
Syakhshiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Prof. Dr. H. A. Sutarmadi, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
meluangkan waktu dan pikirannya untuk menuntun penulis, sehingga terciptalah
skripsi ini.
5. Bapak Kepala KUA Kecamatan Kadugede beserta staffnya yang telah
memberikan kontribusi yang besar dan telah mengizinkan penulis untuk
melakukan penelitian ini.
6. Bapak Kepala Kandepag Kuningan beserta staffnya, khususnya Kepala Seksi
Urusan Agama Islam (URAIS) yang telah meluangkan waktunya untuk menjadi
narasumber sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
7. Pimpinan beserta Staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Perpustakaan
Utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan juga
ii
Perpustakaan Umum yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi
perpustakaan.
8. Ibu Dra. Maskufa, M.Ag, selaku dosen Pembimbing Akademik.
9. Ayahanda Mad Sirod dan Ibunda Sunirah yang selalu memberikan motivasi,
moril, materil dan do’a bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan proses belajar
di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
10. Kakanda Abi Kosim, Kakanda Cecep Sudrajat dan Adinda Rahmat yang selalu
memberikan dukungan moril demi terselesaikannya penulisan skripsi ini.
11. Bapak KH. A. Qosasih, serta KH. Sanusi, serta Ustadz Sabeni Hamid, S.Pd.I.,
yang telah memberikan ilmunya.
12. Keluarga Bapak Muin yang telah memberikan fasilitas penginapan untuk
melakukan penelitian ini.
13. Sahabat Syarif H, SHI., yang senantiasa memberikan ilmunya dan berkorban
waktu, tenaga serta pikiran dalam penulisan skripsi ini. Dan juga sahabat
Fathurrahman, SHI., Agus, S.Sos.I, Saepul, Mufid, Agung, S.Pd.I., Salaf serta
Iwonk sebagai sahabat “wonk jowo” yang baik hati tempat bertukar pikiran dan
curhat, semoga kita menjadi orang yang sukses dunia dan akhirat.
14. Semua teman-teman kelas AKI angkatan 2005 yang telah banyak mengisi
kenangan dalam hidup ini selama masa perkuliahan, dan teman-teman KKS
(Kuliah Kerja Sosial) di desa Ciangir yang penuh kenangan, semoga hubungan
silaturrahim kita tetap terjaga.
iii
15. Sahabat Indra Firdaus, Nano, Jaja, Fauzi, Diyah yang baik hati tempat bertukar
pikiran dan curhat.
16. Bang Jamhuri, S.Pd.I, Bang H. Rokib, Bang Muhyidin, Bang Ipul, dan Bang
Abib senang berdiskusi dengan kalian.
17. Kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan data dalam
penyusunan skripsi ini.
Demikian dan terima kasih kepada para semua pihak yang telah turut andil
dalam memberikan bantuan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini semoga
mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT yang setimpal.
Akhirnya, penulis dengan rasa senang hati membuka dan menerima saran dan
kritik demi kesempurnaan skripsi ini.
Jakarta, 18 Jumadil Awal 1431 H
3 Mei 2010 M
Penulis
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................ i
DAFTAR ISI ............................................................................................................. v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................................. 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 10
D. Review Studi Terdahulu .................................................................... 11
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan .......................................... 12
F. Kerangka Teori .................................................................................. 15
G. Sistematika Penulisan ........................................................................ 17
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan ........................................ 18
B. Rukun dan Syarat Perkawinan ........................................................... 24
C. Hak dan Kewajiban Suami Istri ......................................................... 30
D. Tujuan Perkawinan ............................................................................ 33
BAB III
DESKRIPSI
UMUM
KANTOR
URUSAN
AGAMA
(KUA)
KECAMATAN KADUGEDE
A. Gambaran Umum Kantor Urusan Agama Kecamatan Kadugede ..... 42
B. Dasar Hukum Pembentukan Kantor Urusan Agama ......................... 48
C. Kinerja Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan Kadugede .... 51
v
BAB IV
KINERJA
KANTOR
URUSAN
AGAMA
DALAM
UPAYA
MENCEGAH TERJADINYA MANIPULASI IDENTITAS
A. Prosedur Administrasi Perkawinan .................................................... 57
B. Manipulasi Identitas Dalam Perkawinan ........................................... 80
C. Upaya Pencegahan Terjadinya Manipulasi Identitas Dalam
Perkawinan ........................................................................................ 88
D. Analisis Penulis ................................................................................. 92
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................ 95
B. Saran .................................................................................................. 96
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 98
LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................................... 101
vi
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karena ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 3 Mei 2010
Zulkarnain
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin, menjadi rahmat (kedamaian
dan kebahagiaan) bagi segenap alam. Seluruh ajarannya dimaksudkan untuk
mewujudkan dan memelihara kemaslahatan umat manusia. Sebagai agama terakhir
yang diturunkan oleh Allah SWT, Islam tidak hanya memuat ajaran-ajaran yang
menyangkut akidah (keimanan) atau akhlak semata, tetapi juga memberikan tuntunan
dan pedoman yang mengatur seluruh aspek kehidupan umat manusia yang lazim
disebut dengan hukum. Salah satu ajaran Islam yang mengatur tentang kehidupan
adalah perkawinan.
Salah satu perhatian Islam terhadap kehidupan rumah tangga adalah
diciptakan aturan dan syariat yang luwes, adil, dan bijaksana. Kehidupan keluarga
akan berjalan damai dan sentosa. Kedamaian ini tidak saja dapat dirasakan oleh
keluarga yang bersangkutan, tetapi juga dapat dinikmati oleh anggota masyarakat
sekitarnya. 1
Manusia adalah makhluk yang mempunyai kecenderungan untuk hidup
bersama. Kehidupan manusia yang ingin hidup bersama, melakukan kontak dengan
manusia lainnya tidak dapat dibatasi karena sudah menjadi kodratnya sebagai
1
Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW (Poligami Dalam Islam VS
Monogami Barat), (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), h. 5.
1
2
makhluk sosial. Bertitik tolak dari berbagai keinginan untuk tetap selalu bersama,
tidak jarang terjadi suatu ikatan lahir dan batin yang cukup kuat diantara manusia
yaitu dengan cara suatu jalan pernikahan. Karena suatu pernikahan dimaksudkan
untuk menciptakan kehidupan pasangan suami isteri yang harmonis dalam rangka
membentuk dan membina keluarga yang sejahtera dan bahagia sepanjang masa.
Perkawinan merupakan suatu solusi yang diberikan Allah SWT untuk
menghindarkan manusia dari perbuatan zina yang secara jelas telah diharamkan-Nya.
Kebutuhan biologis manusia yang disalurkan tanpa wadah perkawinan niscaya akan
menimbulkan masalah dan kerusakan seperti garis keturunan yang tidak jelas,
rusaknya moralitas umat manusia, timbulnya berbagai penyakit fisik maupun psikis
dan banyak masalah lainnya yang pada akhirnya akan menghinakan martabat
manusia lebih rendah dari pada binatang. 2
Perkawinan merupakan suatu jalan yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan
terbaik bagi manusia untuk menjalin kasih sayang antara seorang pria dengan seorang
wanita, setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya sebagai
pasangan suami istri.
Hukum Islam juga ditetapkan untuk kesejahteraan umat, baik secara
perorangan maupun secara bermasyarakat, baik untuk hidup di dunia maupun di
akhirat. Kesejahteraan masyarakat akan tercapai dengan kesejahteraan yang sejahtera,
karena keluarga merupakan lembaga terkecil dalam masyarakat, sehingga
2
Musfir Aj-Jahrani, Poligami dari Berbagai Persepsi,(Jakarta, Gema Insani Press, 1997),
Cet. Ke-2, h. 15.
3
kesejahteraan masyarakat akan tergantung kepada kesejahteraan keluarga. Demikian
pula kesejahteraan perorangan sangat dipengaruhi oleh kesejahteraan hidup
keluarganya. Islam mengatur keluarga bukan secara garis besar, tetapi sampai
terperinci. Yang demikian ini menunjukkan perhatian yang sangat besar terhadap
kesejahteraan keluarga. Keluarga terbentuk melalui perkawinan, karena itu
perkawinan sangat dianjurkan oleh Islam bagi yang telah mempunyai kemampuan.
Tujuan itu dinyatakan baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. 3
Dalam ajaran Islam poligami memang diperbolehkan berdasarkan al-Qur’an
surat an-Nisa ayat 3, tetapi dengan syarat harus bisa berlaku adil tanpa menyebutkan
adanya izin dari istri, oleh karena hukum yang digunakan di Indonesia ini adalah
Hukum Perdata Indonesia bukan Hukum Islam saja, maka jika seseorang hendak
berpoligami selain harus bisa berlaku adil juga harus memiliki izin dari istri
kemudian permohonan poligami itu diajukan ke Pengadilan Agama untuk kemudian
apakah permohonan poligami itu disetujui atau ditolak.
Menjadi hal yang “diakui” bersama bahwa rumah tangga yang ideal itu adalah
cukup dengan seorang istri saja. Namun pada kenyataan yang terjadi, banyak suami
yang merasa tidak cukup dengan hanya memilki satu istri, entah atas landasan untuk
mengikuti hawa nafsunya atau dengan niat beribadah untuk menolong kaum wanita
(janda) dari aib kesendirian. 4 Prinsip rumah tangga dengan hanya memiliki satu istri
3
4
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Prenada Media, 2003), h. 64.
Hartono, Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, Jakarta, Pustaka
Al-Kautsar, 2007, Cet. Ke-1, h. 77.
4
kemudian lebih dikenal dengan istilah monogami dan prinsip berumah tangga dengan
memiliki lebih dari satu istri disebut dengan poligami.
Dalam
persfektif
kemasyarakatan,
prinsip
poligami
masih
bersifat
kontroversial walaupun dari segi legalitas masyarakat Indonesia yang mayoritas
beragama Islam. Sesungguhnya telah mengetahui bahwa secara agama perkawinan
poligami itu halal dan memiliki dalil yang kuat baik dari Al-Qur’an maupun Hadits.
Perkawinan poligami dipandang sebagai “bahan pergunjingan dan hujatan”.
Akibatnya banyak laki-laki yang melakukan poligami secara ‘sembunyi-sembunyi’
dalam arti tidak disebarluaskan, padahal perkawinan poligami adalah diperbolehkan,
akan tetapi pelakunya dianggap seakan-akan seperti penjahat. Sebaliknya orang yang
melakukan perzinahan dianggap melakukan hal yang wajar-wajar saja. 5
Jika berpedoman pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, maka suami yang akan melakukan perkawinannya yang kedua, wajib
memiliki surat izin yang dikeluarkan oleh pengadilan agama. Adapun pihak
pengadilan hanya akan mengeluarkan izin tersebut jika seluruh syarat-syarat yang
ditetapkan oleh Undang-Undang Perkawinan telah terpenuhi. Termasuk diantaranya
wajib mengantongi izin untuk menikah lagi dari istri tuanya, jika tidak, maka
perkawinan tersebut dapat dibatalkan.
Lebih lanjut Pengaturan poligami dapat ditentukan apabila telah memenuhi
beberapa kriteria yag disyaratkan seperti tertuang dalam pasal 4 ayat (2) UU No. 1
5
Eni Setiati, Hitam Putih Poligami (Menelaah Perkawinan Poligami Sebagai Sebuah
Fenomena), (Jakarta, Cisera Publishing, 2007), Cet. Ke-1, h. 47.
5
Tahun 1974 yaitu pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang
akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Persyaratan selanjutnya telah diatur dalam Pasal 5 ayat (1) yaitu untuk dapat
mengajukan permohonan poligami kepada pengadilan, maka syarat-syarat yang harus
dipenuhi selanjutnya ialah sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup
istri-istri dan anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak
mereka.
Idealnya, jika syarat-syarat di atas dipenuhi, maka suami dapat mengajukan
permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Namun, dalam
prakteknya, syarat-syarat yang diajukan tersebut tidak sepenuhnya ditaati oleh suami.
Sementara tidak ada bentuk kontrol dari pengadilan untuk menjamin syarat itu
dijalankan. Bahkan dalam beberapa kasus, meski belum atau tidak ada persetujuan
dari istri sebelumnya, poligami bisa dilaksanakan.
Masalah poligami merupakan permasalahan yang sangat penting dalam sudut
pandang agama maupun negara. Oleh karena itu meskipun masalah poligami telah
diatur secara komprehensif dalam agama Islam, namun pada tataran pelaksanaan
6
kehidupan bernegara perlu adanya Undang-Undang yang melindungi kebutuhan ini
supaya tidak terjadi kesalahan mekanisme dalam pelaksanaan perkawinan poligami
dan perangkat-perangkat lainnya. Seringkali dijumpai peristiwa perkawinan poligami
yang tanpa dilandasi oleh payung hukum di dalamnya, sehingga dapat merugikan
salah satu pihak. Seperti perkawinan yang dilatarbelakangi motif manipulasi
mengenai status atau keadaan si pelamar. Keadaan ini sangat memprihatinkan
mengingat pada umumnya korbannya adalah para wanita lemah dan lebih-lebih tidak
mengetahui hukum apalagi perlindungan terhadap dirinya atas kasus yang menimpa
dirinya.
Dalam prakteknya permasalahan yang muncul di KUA adalah masalah
mengenai ketidak akuratan data identitas calon pengantin. Dengan adanya manipulasi
identitas akan menyebabkan timbulnya kerugian bagi masing-masing pihak baik dari
pihak keluarga calon pengantin maupun bagi lembaga pemerintahan itu sendiri. Maka
akan ada kesan dengan adanya pemalsuan data identitas ini terjadi karena tidak
berfungsinya pengawasan baik dari pihak keluarga atau pejabat berwenang sehingga
perkawinan itu bisa terlaksana. Semestinya keaktifan PPN dan semua pegawai KUA
harus senantiasa dilakukan dalam upaya penyelidikan kebenaran mengenai data-data
calon mempelai dan wali baik mengenai kebenaran nama, usia, dan status sehingga
apa yang nantinya dituliskan dalam sebuah Akta Nikah maupun berkas-berkas
perkawinan adalah benar adanya dan dapat dipertanggungjawabkan.
Hal di atas dimaksudkan agar dalam pelaksanaan administrasi pernikahan
khususnya mengenai pencatatan harus dilaksanakan seteliti dan secermat mungkin,
7
sehingga penyimpangan-penyimpangan dalam administrasi perkawinan seperti
manipulasi data baik mengenai status maupun data diri dari mempelai tidak terjadi.
Banyak pria beristri di Indonesia yang status perkawinannya dalam Kartu
Tanda Penduduk (KTP) masih menyatakan dirinya sebagai “bujang”. Kartu Tanda
Penduduk inilah yang menjadi senjata ampuh mereka untuk menikah lagi tanpa
sepengetahuan isterinya. Perilaku mereka tersebut dapat dikatakan melanggar hukum.
Hal itu bisa dilihat dari data Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan
Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), berdasarkan laporan LBH APIK pada tahun
2003, modus pelaku poligami cukup beragam, namun hampir seluruhnya tidak
mengindahkan peraturan perundangan yang ada. 6
Hal ini menandakan bahwa maraknya pemalsuan identitas di Indonesia ini
dengan munculnya orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang berusaha untuk
berpoligami tapi tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan bahkan berusaha
melaksanakan perkawinan poligaminya walaupun tanpa izin dari Pengadilan Agama.
Pada dasarnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sangat
tegas menyatakan bahwa bagi mereka yang ingin melangsungkan poligami memenuhi
syarat-syarat untuk berpoligami sesuai aturan hukum yang berlaku, mereka tetap
masih bisa melangsungkan perkawinan dengan syarat harus meminta izin dahulu ke
Pengadilan Agama. Selain mengatur tentang syarat-syarat untuk berpoligami
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Pekawinan juga mengatur tentang
pencatatan perkawinan, yang mana pencatatan perkawinan bertujuan untuk
6
http://hukum online.com/detail.asp?id=15941&cl fokus, diakses tanggal 10 April 2010.
8
mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat dan melindungi martabat
perkawinan, khususnya lagi bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Serta
pencatatan tersebut bertujuan untuk menghindari penyimpangan-penyimpangan
dalam administrasi perkawinan, seperti manipulasi data baik mengenai status maupun
data identitas diri calon mempelai.
Penyimpangan tersebut dilakukan karena kekurangtahuan calon mempelai
mengenai Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan atau mereka
menginginkan jalan pintas, sehingga pria yang ingin melangsungkan perkawinan
poligaminya, mereka bukan meminta izin ke Pengadilan Agama, tapi mereka
melakukan manipulasi (pemalsuan) status mereka, baik yang dilakukan oleh mereka
sendiri maupun oleh pihak-pihak yang terkait.
Apabila kita lihat dari wacana di atas, penulis mempunyai hipotesa awal
bahwasanya tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang
memang belum diatur di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan maupun Peraturan Pemerintah. Dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
hanya mengatur sanksi bagi Pegawai Pencatat Nikah yang melanggar ketentuan pasal
6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah tersebut, sedangkan para pihak
yang lain (selain PPN) tidak terdapat sanksi pidananya.
Penulis menganggap bahwa permasalahan di atas cukup menarik untuk dikaji
dan diteliti karena setelah melakukan studi review penulis berkeyakinan bahwa kasus
9
yang akan diteliti oleh penulis sangatlah berbeda dengan penelitian-penelitian yang
sudah pernah dilakukan.
Oleh karena itu, penulis berkeyakinan bahwa permasalahan yang akan diteliti
layak untuk dilakukan dan penulis bermaksud mengangkat permasalahan tersebut
kedalam sebuah skripsi yang berjudul “Manipulasi Identitas Dalam Perkawinan”
(Studi Kasus Pada KUA Kecamatan Kadugede, Kuningan – Jawa Barat).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Pembahasan mengenai perkawinan sangatlah luas. Oleh karena itu, untuk
memperjelas penulisan ini penulis membatasi pembahasan hanya pada persoalan
manipulasi identitas perkawinan saja.
Kemudian untuk memudahkan penulis dalam rangka terwujudnya penelitian
ini, maka penulis memberikan batasan ruang lingkup penelitian hanya pada Kantor
Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede.
2. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang, penulis dapat merumuskan bahwa seharusnya
perkawinan poligami hanya boleh dilakukan oleh seseorang yang telah memiliki izin
poligami dari Pengadilan Agama. Apabila seseorang ingin berpoligami, maka mereka
harus meminta izin poligami dari Pengadilan Agama. Akan tetapi, pada kenyataannya
yang terjadi dalam kasus ini adalah mereka yang menghendaki poligami, namun tidak
memiliki izin poligami dari Pengadilan Agama mereka bukannya meminta izin
10
poligami dari Pengadilan Agama, melainkan mereka malah melakukan manipulasi
identitas.
Hal inilah yang menyebabkan penulis hendak menulis skripsi ini. Adapun
rumusan masalah tersebut dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai
berikut :
1. Siapakah pihak yang melakukan manipulasi identitas dalam perkawinan?
2. Apa yang menjadi sebab terjadinya manipulasi identitas dan akibat apa yang
ditimbulkan dari adanya manipulasi tersebut?
3. Apa saja upaya yang dilakukan Kantor Urusan Agama (KUA) dalam mencegah
terjadinya manipulasi identitas?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulis mengadakan penelitian ini sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pihak yang melakukan manipulasi identitas dalam perkawinan.
2. Untuk mengetahui apa yang menjadi sebab manipulasi identitas itu terjadi dan
akibat apa yang ditimbulkan dari adanya manipulasi tersebut.
3. Untuk mengetahui langkah apa yang dilakukan Kantor Urusan Agama (KUA)
dalam mencegah terjadinya pemalsuan identitas.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan penulis melalui penelitian ini adalah
sebagai berikut :
11
1. Sebagai sumbangan pemikiran bagi perkembangan Ilmu Hukum pada umumnya
dan perkembangan Ilmu Hukum Keperdataan Islam pada khususnya.
2. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai sanksi pidana tentang
pelanggaran manipulasi identitas.
3. Sebagai sumbangan pemikiran kepada pemerintah khususnya Kantor Urusan
Agama untuk lebih baik dalam kinerjanya.
D. Review Studi Terdahulu
Review kepustakaan berfungsi untuk mengetahui apakah hal yang akan diteliti
tersebut sudah pernah diteliti sebelumnya atau belum sama sekali. Oleh karena itu,
untuk menjaga ke-orisinilan penelitian ini, penulis melakukan review kepustakaan
terlebih dahulu. Adapun review kepustakaan yang telah dilakukan oleh penulis antara
lain:
“Efektivitas KUA Dalam Upaya Mencegah Terjadinya Pemalsuan Identitas Dalam
Perkawinan” (Studi Kasus di KUA Kec. Duren Sawit Jakarta Timur), yang ditulis
oleh Siti Sariah.
Skripsi ini membahas tentang pemalsuan akta nikah yang terjadi di KUA Kec. Duren
Sawit, kasus ini terkuak ketika ada sepasang suami isteri yang hendak melakukan
istbat nikah dikarenakan akta nikah miliki mereka telah terbakar, ketika akta nikah
mereka diperiksa oleh aparatur KUA ternyata di temukan tandatangan serta nama
Penghulu di akta nikah mereka, akan tetapi Penghulu yang namanya tertera di dalam
akta nikah mereka tidak pernah menjabat sebagai Kepala KUA di Kecamatan Duren
Sawit.
12
“Kebohongan (Pemalsuan Dokumen) Dapat Membatalkan Perkawinan” (Studi
Kasus Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 1472/Pdt.G/2008/PA.JS),
yang ditulis oleh M. Rizky Affandi.
Skripsi ini membahas putusan pengadilan agama Jakarta Selatan yang membatalkan
suatu perkawinan karena adanya gugatan dari pihak istri yang merasa dirugikan
karena suaminya tersebut telah menikah lagi tanpa sepengetahuan dan tanpa izin dari
istrinya. Landasan Hakim dalam memutus perkara pembatalan perkawinan ini telah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hakim membatalkan
perkawinan tersebut dikarenakan tidak memenuhi pasal 3, 4, 5, dalam UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo pasal 56 dan 58 Kompilasi Hukum
Islam dan memutus perkara berdasarkan pasal 22 dan 24 Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
1. Metode Penelitian
a. Pendekatan Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
deskriptif analitis yaitu metode yang menggambarkan dan memberikan analisa
terhadap kenyataan dilapangan, melalui pendekatan kualitatif yaitu prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan
dari orang-orang atau perilaku yang diamati.
b. Jenis Data
1) Data Primer
13
Data primer yakni data yang diperoleh secara langsung dari Kantor
Urusan Agama Kecamatan Kadugede. Data ini meliputi dengan hasil
wawancara dengan pihak Kantor Urusan Agama dan memperoleh
informasi dari pihak-pihak yang terkait.
2) Data Sekunder
Data sekunder yakni sumber data dari studi kepustakaan diambil dari
buku-buku, internet, dan beberapa hasil penelitian yang berhubungan
dengan permasalahan manipulasi identitas dalam perkawinan. Untuk
mendapatkan data, penulis mengunjungi beberapa perpustakaan.
c. Alat Pengumpul Data
Alat pengumpul data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
voice recorder dalam wawancara dengan pihak KUA dan pihak-pihak yang
terkait.
d. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data ini peneliti menggunakan metode penelitian
lapangan (field research) yaitu pengumpulan data dengan cara langsung ke
lapangan melakukan observasi, wawancara dan dokumentasi melalui teknik
pengumpulan data. Adapun teknik pengumpulan data untuk menunjang
penelitian ini, penulis menggunakan beberapa metode, diantaranya:
1) Observasi (pengamatan), yaitu dengan cara melihat dari dekat mekanisme
KUA Kadugede.
14
2) Wawancara, penulis menggunakan teknik ini karena teknik wawancara
sebagai teknik tanya jawab secara lisan yang berpedoman pada daftar
pertanyaan terbuka. Dengan demikian, dapat diperoleh dari jawaban
responden sedalam-dalamnya tanpa ada unsur keterpaksaan, dan teknik ini
penulis tujukan kepada pihak KUA Kadugede juga para pihak yang
mengetahui serta berkecimpung langsung dalam bidang perkawinan yang
dimaksud.
3) Dokumentasi, teknik ini penulis gunakan untuk melengkapi data penulis
butuhkan, yaitu dengan melihat dokumen-dokumen dan arsip-arsip yang
ada di KUA kecamatan Kadugede.
e. Analisa Data
Setelah data terkumpul, lalu dianalisa dengan analisa kualitatif lalu
diinterpretasi sedemikian rupa dengan metode deduktif. Penelitian ini
menggunakan
konten
analisis
yaitu
tehnik
analisis
yang
berusaha
menyimpulkan dengan mengambil bagian atau hal yang bersifat khusus dalam
bentuk kasus dan data menajdi kesimpulan umum yang berlaku secara
general.
2. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dalam skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatulah Jakarta”.
15
F. Kerangka Teori
Dengan lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Peraturan Pemeritah No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, antara lain mengatur tentang rukun
dan syarat-syarat perkawinan, maka terciptalah kepastian hukum dalam urusan
perkawinan pada khususnya, dan pada masalah keluarga pada umumnya.
Pada dasarnya perkawinan dapat dilangsungkan bila sudah ada sebab-sebab,
rukun dan syaratnya serta sudah tidak ada lagi hal-hal yang menghalangi terjadinya
perkawinan itu. Pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan itu sudah
mengevaluasi sendiri segala persyaratan kelangsungan perkawinan itu. Umpamanya,
saksi tidak akan mau menyaksikan suatu perkawinan bila ia yakin bahwa laki-laki
dan perempuan terlarang untuk melangsungkan perkawinan. Begitu pula wali tidak
akan melaksanakan perkawinan jika calon menantunya itu tidak seagama dengan
anaknya.
Syarat untuk berpoligami diatur dalam Undang-undang perkawinan yang
menyatakan bahwa “Suami wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di
daerah tempat tinggalnya dan pengadilan memberikan izin, apabila istri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit
yang tidak dapat disembuhkan, dan istri tidak dapat melahirkan keturunan. Syarat lain
untuk berpoligami harus adanya persetujuan dari istri, adanya kepastian bahwa suami
mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anaknya, dan adanya jaminan
bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anaknya.
16
Dengan adanya pasal-pasal yang membolehkan untuk berpoligami kendatipun
dengan alasan-alasan tertentu, jelaslah asas yang dianut oleh undang-undang
sebenarnya bukan asas monogami mutlak melainkan disebut monogami terbuka atau
monogami yang tidak bersifat mutlak. Poligami ditempatkan pada status hukum
darurat (emergency law), atau dalam keadaan yang luar biasa (extra ordinary
circumstance). Di samping itu lembaga poligami tidak semata-mata kewenangan
penuh suami akan tetapi atas dasar izin dari hakim (pengadilan). 7 Oleh sebab itu pada
pasal 3 ayat 2 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ada peryataan:
“Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.
Oleh karena itu, Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai suatu lembaga yang
bertugas untuk memberikan perlindungan, pembinaan dan pengembangan kepada
masyarakat dalam bidang keagamaan harus senantiasa optimal dalam melaksanakan
tugasnya. Pencatatan perkawinan yang telah dilakukan Kantor Urusan Agama
(KUA), selain memiliki kekuatan hukum juga harus dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya, baik itu mengenai pelaksanaannya maupun isi dari pencatatan itu
sendiri seperti data identitas diri dari kedua calon mempelai yang akan menikah benar
adanya sehingga apabila ada seseorang yang sudah menikah dan berkeinginan untuk
menikah lagi dengan cara memanipulasi identitasnya bisa dihindari dan dicegah.
Sehingga apa yang ditulis maupun yang dicatat oleh Kantor Urusan Agama (KUA)
7
25-26.
Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading Co Medan, 1975), h.
17
merupakan sebuah kebenaran bukan hanya sebagai pencatatan yang hanya
mengedepankan formalitas belaka.
G. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan skripsi ini, penulis menjadikan lima bab, pada
setiap babnya mempunyai spesifikasi dan penekanan mengenai topik-topik tertentu
yaitu :
Bab I :
Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu,
kerangka teori, metode penelitian dan teknik penulisan, dan sistematika
penulisan.
Bab II :
Tinjauan Teoritis tentang Perkawinan yang terdiri dari pengertian dan
dasar perkawinan, rukun dan syarat perkawinan, hak dan kewajiban suami
isteri, dan tujuan perkawinan.
Bab III :
Deskripsi Umum Kantor Urusan Agama Kecamatan Kadugede yang
terdiri dari gambaran umum kantor urusan agama kecamatan cibingbin,
tugas dan fungsi kantor urusan agama, dasar hukum pembentukan kantor
urusan agama, dan kinerja organisasi kantor urusan agama.
Bab IV :
Kinerja Kantor Urusan Agama Dalam Mencegah Terjadinya Pemalsuan
Identitas yang terdiri dari prosedur administrasi perkawinan, manipulasi
identitas dalam perkawinan, upaya pencegahan manipulasi identitas dalam
perkawinan, dan analisis penulis.
Bab V :
Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.
18
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN
A Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan dalam bahasa Arab disebut dengan “al-nikah” yang bermakna
“al-wath’i” dan “al-dhammu wa al-dukhul” yang artinya bersetubuh. Sedangkan
dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang artinya
membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau
bersetubuh. 8 Beranjak dari makna etimologis inilah para ulama mendefinisikan
perkawinan dalam konteks hubungan biologis.
Menurut Wahbah al-Zuhaili, seperti yang dikutip Amiur Nuruddin,
perkawinan adalah akad yang membolehkan terjadinya al-istimta’ (persetubuhan)
dengan seorang wanita atau melakukan al-wath’i dan berkumpul selama wanita
tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau persusuan.
Bahkan beliau juga memberikan definisi lain, yaitu “Akad yang telah ditetapkan oleh
syar’i agar laki-laki dapat mengambil manfaat untuk melakukan istimta’ dengan
seorang wanita atau sebaliknya”. 9 Sedang menurut Hanafiah, nikah adalah akad yang
8
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2005), Cet. ke-3, h. 518.
9
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 38. Lihat
juga Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1989), h. 29.
18
19
memberikan faedah untuk memberikan kehalalan seorang laki-laki untuk beristimta’
dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya perkawinan
tersebut secara syar’i. 10
Di Indonesia juga, para pakar hukumnya memberikan definisi perkawinan,
diantaranya: Menurut Sayuti Thalib, perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci,
kuat, kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun-menyantuni, kasih-mengasihi,
tenteram, dan bahagia. 11 Hazairin menyatakan dari sebuah perkawinan adalah
hubungan seksual, menurutnya tidak ada perkawinan bila tidak ada hubungan
seksual, 12 senada dengan Hazairin, Yunus Mahmud mendefinisikan perkawinan
sebagai hubungan seksual. sedangkan Ibrahim Hoesein mendefinisikan perkawinan
sebagai akad yang dengannya menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan
wanita. 13
Pengertian-pengertian di atas nampaknya dibuat hanya melihat dari satu segi
saja, yaitu kebolehan hukum dalam hubungan seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang semula dilarang menjadi diperbolehkan. Nampaknya yang lebih
menarik adalah definisi yang diberikan Tahir Mahmood. Beliau mendefinisikan
10
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2004), h. 45.
11
Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1989), Cet. Ke-5, h. 47.
12
Hazairin, Hukum Keluarga Nasional Indonesia, (Jakarta: Tintamas, 1961), h. 61.
13
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 41. Lihat
juga Ibrahim Hoesein, Fikih Perbandingan dalam Masalah Nikah, Talak, dan Rujuk (Jakarta: Ihya
Ulumuddin, 1971), h. 26.
20
perkawinan sebagai sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita
masing-masing menjadi suami dan isteri dalam rangka memperoleh kebahagiaan
hidup dan membangun keluarga dalam sinaran ilahi. 14 Definisi lain yang diberikan
Tahir Mahmood terkesan lebih lengkap dan bergerak dari definisi ulama
konvensional. Tidak terlalu berlebihan jika definisi tersebut senada dengan definisi
yang diberikan oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana
yang termuat pada pasal 1 ayat (2) perkawinan didefinisikan sebagai “Ikatan lahir dan
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”.
Ada beberapa hal dari rumusan tersebut di atas yang perlu diperhatikan, antara
lain:
Pertama, digunakannya kata “seorang pria dengan seorang wanita” mengandung arti
bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak
perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh beberapa negara barat.
Kedua, digunakannya ungkapan “sebagai suami-isteri” mengandung makna bahwa
perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu
rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”.
Ketiga, dalam definisi juga disebutkan tujuan perkawinan, yaitu “membentuk rumah
14
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 42.
21
tangga yang bahagia dan kekal”, yang menafikan perkawinan temporal sebagaimana
yang berlaku dalam perkawinan mut’ah dan perkawinan tahlil. 15
Keempat, disebutkannya “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menunjukkan
bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk
memenuhi perintah agama.
Di samping definisi yang diberikan oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan di atas, Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia juga
memberikan definisi lain yang tidak mengurangi arti-arti definisi yang diberikan oleh
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana yang terdapat
pada pasal 2 Kompilasi Hukum Islam dengan rumusan sebagai berikut, “Perkawinan
menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan
ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.
Ungkapan akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan merupakan
penjelasan dari ungkapan “Ikatan lahir batin” yang terdapat dalam rumusan UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengandung arti bahwa akad
perkawinan itu bukanlah semata perjanjian yang bersifat keperdataan.
Ungkapan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah, merupakan penjelasan dari ungkapan dari ungkapan berdasarkan “Ketuhanan
Yang Maha Esa” dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal
ini menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat Islam merupakan peristiwa agama, oleh
15
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 40.
22
karena itu, orang yang melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah.
2. Dasar Hukum Perkawinan
Nikah telah disyari’atkan dalam Islam berdasarkan al-Qur’an dan As-Sunnah.
Adapun ayat yang menunjukkan nikah disyari’atkan adalah firman Allah SWT dalam
surat al-Nur 24: 32 yang berbunyi:
”Dan
nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang
yang patut (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka
miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS. al-Nur :32)
Dalam firman Allah SWT yang lain dalam Surah al-Nisa 4 ayat 3 yang berbunyi:
”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. al-Nisa : 3)
Adapun dasar hukum yang lain tentang nikah adalah hadits Nabi Muhammad
SAW yang berbunyi:
23
‫ﻴﺎﻤﻌﺸراﻠﺸﺑﺎﻤﻦ اﺴﺘطﺎع ﻤﻨآﻢ اﻠﺑﺎﺀة ﻓﻠﻴﺘزﻮج ﻓﺈﻨﻪ أﻏض ﻠﻠﺑﺼﺮﻮأﺤﺼﻦ‬
‫ﻓاﻦ ﻟم ﻴﺴﺘطﻊ ﻠﻠﻓﺮج ﻮ ﻓﻌﻠﻴﻪ ﺑﺎﻠﺻﻮﻢ ﻓﺈﻨﻪ ﻠﻪ ﻮﺠﺎﺀ‬
“Wahai para pemuda, barang siapa yang mampu untuk menikah maka menikahlah,
karena sesungguhnya menikah itu dapat menundukkan pandangan dan menjaga
kemaluan (dari perbuatan zina) dan barang siapa yang tidak mampu maka
hendaknya ia berpuasa karena puasa itu adalah penawar”.(HR.Bukhari-Muslim). 16
Adapun hukum menikah bagi setiap muslim dapat di bagi kedalam empat
bagian, yaitu sebagai berikut:
a) Wajib hukumnya bagi orang yang mampu untuk menikah dan khawatir akan
melakukan perbuatan zina menurut jumhur ulama. Karena dia wajib menjaga
dirinya agar terhindar dari perbuatan haram. 17
b) Haram hukumnya bagi orang yang yakin akan menzalimi dan membawa
mudharat kepada istrinya karena ketidak mampuan dalam memberi nafkah lahir
dan batin.
c) Sunah hukumnya menurut jumhur ulama bagi orang yang apabila tidak menikah
sanggup menjaga dirinya untuk tidak melakukan perbuatan haram dan apabila ia
menikah harus yakin tidak akan menzalimi & membawa mudharat kepada istrinya
Rasulullah SAW bersabda:
‫وﻠﻜﻨﻲ أﺼوم وأﺼﻠﻲ وأﺮﻗد وأﺗﺰ وجاﻠﻨﺴﺎﺀ ﻔﻤن ﺮﻏﺐ ﻋن ﺴﻨﺗﻲ ﻔﻠﻴس ﻤﻨﻲ‬
16
Sahih al-Bukhari, Kitab al-Nikah, Jilid 6 h. 117, dan Sahih Muslim, Kitab al-Nikah hadis
no. 1400, jilid 2 h.1019.
17
Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, selanjutnya disebut Ibnu Qudamah alMughni, (Kairo: Hijr, 1413 H/1992 M) jilid 9, h. 340.
24
“Akan tetapi saya juga berpuasa, berbuka, shalat, bersenggama dan menikahi
wanita-wanita. Maka barang siapa yang tidak suka sunnahku aka tidak termasuk
dari umatku”. (HR.Bukhari-Muslim). 18
d) Makruh hukumnya menikah bagi orang yang khawatir akan berbuat nista dan
membawa
mudharat
kepada
istrinya
dan
tidak
merasa
yakin
dapat
menghindarinya jika ia menikah seperti merasa tidak mampu memberi nafkah,
perlakuan tidak baik kepada istri serta merasa tidak terlalu berminat terhadap
perempuan. 19
B. Rukun dan Syarat Perkawinan
Rukun adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan suatu pekerjaan
(ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian itu, seperti membasuh muka
untuk wudhu dan takbiratul ihram dalam shalat atau adanya calon pengantin laki-laki
atau perempuan dalam hal perkawinan. Adapun syarat adalah sesuatu yang mesti ada
yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak
termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu. Seperti menutup aurat dalam shalat atau
calon pengantin laki-laki atau perempuan itu harus beragama Islam.
Dalam hal menempatkan mana yang rukun dan syarat pada perkawinan
terdapat perbedaan di kalangan ulama, akan tetapi perbedaan tersebut tidak bersifat
substansial. Ulama Hanafiah melihat perkawinan dari segi ikatan yang berlaku antara
pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan itu. Oleh karena itu, yang menjadi
18
Sahih Bukhari, Kitab al-Nikah, hadits no. 1743, dan Sahih Muslim, Fi al-Nikah, Bab
Istihbab al-Nikah liamn taqat nafsuhu ilaih, hadits no. 1301.
19
Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Beirut : Dar al-Fikr, 1997 M/1418 H),
cet. Ke-IV, jilid 9 h. 6517.
25
rukun perkawinan oleh golongan ini hanyalah ijab dan qabul dalam akad nikah yang
dilakukan oleh pihak yang melakukan perkawinan, sedangkan yang lain seperti
kehadiran saksi dan mahar dikelompokkan kepada syarat perkawinan. 20
Menurut Ulama Syafi’iyah yang dimaksud perkawinan adalah keseluruhan
yang secara langsung berkaitan dengan perkawinan dengan segala unsurnya, bukan
hanya akad nikah. Dengan demikian rukun perkawinan menurut pendapat golongan
ini adalah calon suami-istri, wali, dua orang saksi dan ijab qabul (sighat). Adapun
menurut Malikiyah yang menjadi rukun dalam perkawinan adalah wali, mahar, calon
suami-isteri, dan sighat. 21
Dibalik perbedaan para ulama tentang penempatan rukun dan syarat dalam
perkawinan sesungguhnya ada persamaan yang sangat kompak, yaitu ketika semua
fuqaha menempatkan sighat (ijab qabul) sebagai rukun nikah yang paling mendasar. 22
Atas dasar ini maka substansi dari akad nikah pada dasarnya tidak lain ialah
pengungkapan (pernyataan) ijab qabul.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat dikatakan bahwasanya yang
menjadi rukun dalam perkawinan antara lain:
a. Calon suami
b. Calon istri
20
Amir Sayarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 60.
21
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Alih Bahasa M.A. Abdurrahman, (Semarang: CV. Asy
Syifa, 1990), h. 365.
22
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Alih Bahasa Masykur A.B., Afif
Muhammad, Idrus Al Kaff, (Jakarta: Lentera, 2006), h. 309.
26
c. Wali nikah
d. Dua orang saksi
e. Ijab dan qabul. 23
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam perkawinan adalah sebagai
berikut: 24
a. Calon suami, syarat-syaratnya:
1. Beragama Islam
2. Laki-laki
3. Jelas orangnya
4. Dapat memberikan persetujuan
5. Tidak terdapat halangan perkawinan
b. Calon istri, syarat-syaratnya:
1. Beragama Islam
2. Perempuan
3. Jelas orangnya
4. Dapat dimintai persetujuan
5. Tidak terdapat halangan perkawinan
Berbeda dengan persfektif fikih, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
23
Hal ini juga senada dengan Kompilasi Hukum Islam yang mencamtumkan rukun dalam
perkawinan, sebagaimana yang terdapat pada pasal 14 dengan rumusan sebagai berikut, “Untuk
melaksanakan perkawinan harus ada; (a) Calon suami; (b) Calon isteri; (c) Wali nikah; (d) Dua orang
saksi; dan (e) Ijab Kabul.
24
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003), cet.
Ke 6, h. 71-72.
27
Perkawinan tidak mengenal adanya rukun perkawinan. Tampaknya Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya memuat hal-hal yang berkenaan dengan
syarat-syarat perkawinan. Dalam Bab II pasal 6 dan 7 Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan ditemukan syarat-syarat perkawinan, antara lain sebagai
berikut:
1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2) Perkawinan harus sesuai dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaan
para pihak.
3) Adanya pembatasan usia perkawinan, yaitu sekurang-kurangnya berumur 19
tahun bagi pria (calon suami) dna 16 tahun bagi wanita (calon istri).
c. Wali nikah, syarat-syaratnya :
1. Laki-laki 25
2. Beragama Islam.
3. Dewasa
4. Mempunyai hak perwalian
5. Tidak terdapat halangan perwaliannya.
Para fuqaha sepakat bahwa wali nikah ada dua macam, yaitu: Pertama, wali
nasab, yaitu orang yang memiliki hak perwalian karena adanya hubungan darah. 26
Kedua, wali hakim, yaitu orang yang menjadi wali dalam kedudukannya sebagai
25
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 7, Alih Bahasa Mohammad Thalib, (Bandung: PT. Alma’arif,
1981), Cet. ke-1, h. 7.
26
A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Perkawinan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta:
Fakultas Sayariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 120.
28
hakim atau penguasa. 27 Hal ini juga sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam dalam
bagian ketiga mengenai wali nikah, sebagaimana terdapat dalam pasal 19 28 , 20 29 , dan
23 30 .
d. Saksi nikah, syarat-syaratnya :
1. Minimal dua orang saksi
2. Laki-laki
3. Beragama Islam.
4. Dewasa
5. Berakal sehat
6. Hadir pada ijab qabul
7. Dapat mengerti maksud akad
8. Dapat mendengar dan melihat
Dalam pembahasan masalah saksi dalam perkawinan, Kompilasi Hukum
Islam juga masih senada dengan fikih konvensional yang juga membahas tentang
saksi dalam perkawinan. Ketentuan saksi dalam Kompilasi Hukum Islam diatur pada
27
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 7, h. 75.
28
Kompilasi Hukum Islam pasal 19, “Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang
harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”.
29
Kompilasi Hukum Islam pasal 20 ayat (1), “Yang bertindak wali nikah ialah seorang lakilaki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, akil dan balig”; ayat (2), “Wali nikah terdiri
dari a. Wali nasab, b. Wali hakim”.
30
Kompilasi Hukum Islam pasal 23 ayat (1), “Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali
nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin mengahdirkannya atau tidak diketahui tempat
tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan”; ayat (2), “Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali
hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali
tersebut.
29
pasal 24 31 , 25 32 , dan 26 33 .
e. Ijab qabul, syarat-syaratnya : 34
1. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
2. adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria
3. Memakai kata-kata nikah, tazwij, atau terjemahan dari kedua kata tersebut.
4. Antara ijab dan qabul bersambungan
5. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya
6. Orang yang sedang dalam ijab qabul tidak sedang dalam ihram (haji atau
umrah)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur
tentang akad perkawinan bahkan tidak membicarakan akad sama sekali. Mungkin
dikarenakan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menempatkan
akad perkawinan itu sebagaimana perjanjian atau kontrak biasa dalam tindakan
perdata. 35 Namun Kompilasi Hukum Islam secara tegas mengatur akad perkawinan
31
Kompilasi Hukum Islam pasal 24 ayat (1), “Saksi dalam perkawinan merupakan rukun
pelaksanaan akad nikah”; ayat (2), “Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi”.
32
Kompilasi Hukum Islam pasal 25, “Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah
ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak tergannggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau
tuli”.
33
Kompilasi Hukum Islam pasal 26, “Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung
akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan”.
34
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta : Persada Media,
2003) hal. 91.
35
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 63.
30
dalam pasal 27 36 , 28 37 , dan 29 38 yang keseluruhannya mengikuti apa yang terdapat
dalam fiqh (fiqh minded).
C. Hak dan Kewajiban Suami Istri
Apabila dilaksanakan akad nikah yang sah, maka mulai saat itu berarti antara
kedua calon mempelai sudah terikat dalam ikatan perkawinan dan telah resmi hidup
sebagai suami istri. Dengan terbentuknya sebuah keluarga maka suami istri harus
mewujudkan tujuan perkawinan yaitu untuk membina kelurga yang bahagia, kekal,
abadi berdasakan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Terwujudnya tujuan tersebut sudah barang tentu sangat tergantung pada
maksimalisasi peran dan tanggung jawab masing-masing pihak baik istri maupun
suami. Oleh sebab itu, perkawinan tidak saja dipandang sebagai media merealisasikan
syari’at Allah SWT agar memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat, tetapi juga
merupakan sebuah kontrak perdata yang akan menimbulkan hak dan kewajiban
keduanya.
Yang dimaksud dengan hak di sini adalah apa-apa yang mesti diterima oleh
seseorang dari orang lain, sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah apa
yang mesti dilakukan seseorang terhadap orang lain. Dalam hubungan suami istri
36
Kompilasi Hukum Islam Pasal 27, “Ijab dan qabul antara wali dan calon mempelai pria
harus jelas berurutan dan tidak berselang waktu”.
37
Kompilasi Hukum Islam Pasal 28, “Nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali
nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain”.
38
Kompilasi Hukum Islam Pasal 29, (1) “Yang berhak mengucapkan qabul adalah calon
mempelai pria secara pribadi; (2) Dalam hal tertentu ucapan qabul nikah dapat diwakilkan kepada pria
lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yag tegas secara tertulis bahwa penerimaan
wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria; (3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali
keberatan calon mempelai pria diwakilkan, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan”.
31
dalam rumah tangga suami mempunyai hak dan begitu pula istri mempunyai hak.
Dibalik itu suami mempunyai beberapa kewajiban dan begitu pula istri mempunyai
beberapa kewajiban.
Penetapan hak dan kewajiban suami-istri tersebut harus dilandasi oleh prinsip
keseimbangan dan keadilan antara suami-istri agar terciptanya keluarga yang sakinah
mawaddah wa rahmah.
Adapun hak dan kewajiban suami-istri yang dilandasi oleh prinsip
keseimbangan dan keadilan adalah sebagai berikut: 39
1. Suami istri wajib saling memperlakukan pasangannya dengan baik, tidak hanya
meliputi aspek fisik, tetapi juga aspek psikis. Perlakuan baik itu, secara paralel
adalah kewajiban sekaligus hak bagi suami dan istri. Dalam bahasa fiqh,
perlakuan baik itu lebih terkenal dengan istilah mu’asyarah bi al-ma’ruf.
2. Suami istri wajib saling melayani dan memuaskan kebutuhan seksual
pasangannya.
3. Suami istri wajib saling melengkapi dan saling menjaga nama baik pasangannya.
4. Suami istri wajib saling melibatkan pasangannya untuk mengambil keputusan
yang menyangkut kepentingan keluarga.
5. Suami istri wajib saling menjaga diri dan keluarganya dari kemaksiatan.
6. Suami istri wajib saling menjaga harta masing-masing, harta bersama, dan harta
pasangannya.
39
A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Perkawinan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta:
Fakultas Sayariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 135.
32
7. Suami istri saling saling mewarisi harta peninggalan pasangannya. Apabila suami
meninggal dunia, maka istri berhak mendapatkan harta peninggalan suaminya.
Begitu pula sebaliknya, jika yang meninggal dunia adalah isteri, maka suami
berhak mendapatkan harta peninggalan isterinya.
8. Suami istri sama-sama memiliki hubungan mushaharah dengan keluarga
pasangannnya. Suami haram menikahi mertuanya dan anak perempuan isterinya,
dan begitu pula isteri haram dinikahi oleh ayah suaminya, dan seterusnya.
9. Apabila dari pernikahan itu memperoleh anak, maka suami dan isteri berhak atas
anak tersebut dengan status sebagai bapak dan ibunya. Oleh karena itu suami istri
sama-sama berkewajiban mengasuh, merawat, dan mendidik anak-anak mereka.
Tampaknya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
memberikan aturan yang jelas berkenaan hak dan kewajiban suami istri. Hak dan
kewajiban suami istri menurut UU No. 1/1974 sebagai berikut:
a. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang
menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
b. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama di dalam
masyarakat.
c. Suami istri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi
bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain. 40
40
Lihat Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 33.
33
Teranglah bahwa, kehidupan perkawinan tidak berhenti pada selesainya
upacara akad nikah, namun arti perkawinan sesungguhnya ialah tetap terbinanya
hubungan suami isteri pada kehidupan yang harmonis. Hal ini dapat terlaksana
dengan baik apabila keduanya mau memahami posisinya dalam menjalani kehidupan
berumah tangga. Dalam hal ini Islam dan perundang-undangan telah mengatur
dengan baik, dengan memberikan pedoman dalam menjalankan hak dan kewajiban
sebagai suami isteri. Sehingga hal-hal seperti ketidakharmonisan, perpecahan, dan
sampai pemutusan perkawinan dapat dihindari.
D. Tujuan Perkawinan
Nikah dalam Islam sebagai landasan pokok dalam pembentukan keluarga.
Kenapa nikah harus dilakukan, karena nikah salah satu yang harus dilakukan manusia
untuk mencapai tujuan syari’at yakni kemaslahatan dalam kehidupan. A. Basiq Djalil
membagi tujuan perkawinan ke dalam tiga segi, pertama menurut al-Qur’an, kedua
menurut hadis dan ketiga menurut akal.
a. Menurut Al-Qur’an
Menurut Al-Qur’an ada dua ayat yang menonjol tentang hal pernikahan ini,
pertama dalam surat al-A’araf : 189, menyatakan bahwa tujuan perkawinan itu
adalah untuk
bersenang-senang. 41
Dalam Firman Allah SWT dalam surat al-A’araf ayat 189 yang berbunyi:
41
A. Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman Di Tanah Gayo, (Jakarta: Qolbun Salim,
2007), Edisi Pertama, h. 86-87.
34
”Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia
menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah
dicampurinya, isterinya mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia
merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya
(suami isteri) bermohon kepada Allah, Rabbnya seraya berkata: Sesungguhnya jika
Engkau memberi anak yang sempurna tentulah kami termasuk orang-orang yang
bersyukur”. (QS. Al-A’raf : 189)
Ayat di atas menyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk bersenangsenang. Dari ayat ini tampaknya kita tidak juga dilarang bersenang-senang (tentunya
tidak sampai meninggalkan hal-hal yang lebih penting), karena memang diakui
bahwa rasa senang itu salah satu unsur untuk mendukung sehat rohani dan jasmani.
Kedua, firman Allah SWT dalam surat al-Rum : 21 yang berbunyi:
”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteriisteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (QS. AlRum : 21)
Dalam ayat tersebut terkandung tiga makna yang dituju oleh suatu
perkawinan, yakni:
35
1) Litaskunu ilaiha, artinya supaya tenang. Maksudnya, sebuah perkawinan dapat
menyebabkan ketenanan jiwa bagi pelakunya.
2) Mawaddah, membina rasa cinta, akar kata mawaddah adalah waddah yang berarti
meluap tiba-tiba, terkadang tidak terkendali, karena itulah pasangan-pasangan
muda dimana cintanya sangat tinggi,termuat kandungan cemburu, sedang
rahmat/sayangnya masih rendah, banyak terjadi benturan karena tak mampu
mengontrol rasa cinta yang memang terkadang sulit dikontrol. Karena
intensitasnya tinggi sering dan sering meluap-luap. 42
3) Rahmah, yang berarti sayang. Bagi pasangan muda, rasa sayangnya demikian
rendah, sedang yang tinggi pada mereka adalah rasa cinta/mawaddah. Dalam
perjalanan hidupnya, semakin bertambahnya usia pasangan, maka rahmahnya
semakin naik, sedang mawaddahnya semakin turun. Itulah sebabnya kita lihat
kakek-kakek dan nenek-nenek kelihatan mesra berduaan, itu bukanlah bergejolak
wujud cinta (mawaddah) dan ada pada mereka, tetapi rahmat (sayang). Dimana
rasa sayang tidak ada kandungan cemburunya, karenanya ia tidak bisa termakan
gosip, sedang cinta (mawaddah) yang syarat dengan cemburu karenanya gampang
termakan gosip. 43
b. Menurut Hadits
Menurut hadits ada dua hal yang dituju perkawinan menurut hadis,
42
43
Basiq Djalil Op.Cit., hal. 87.
Ibid
36
Pertama, untuk menundukkan pandangan dan menjaga farj (kemaluan). Itulah
makanya nabi menganjurkan berpuasa bagi yang telah sampai umur bila kemampuan
materiil belum memungkinkan. Oleh karena itu, Nabi menganjurkan bagi yang telah
sampai umur bila kemampuan materil belum memungkinkan.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
‫ﻴﺎﻤﻌﺸراﻠﺸﺑﺎﻤﻦاﺴﺘطﺎع ﻤﻨآﻢ اﻠﺑﺎ ﺀة ﻓﻠﻴﺘزﻮج ﻓﺈﻨﻪ أﻏض ﻠﻠﺑﺼﺮﻮأﺤﺼﻦ ﻠﻠﻓﺮج ﻮﻤﻦ‬
‫ﻠﻢ ﻓﻌﻠﻴﻪ ﺑﺎﻠﺻﻮﻢ ﻓﺈﻨﻪ ﻠﻪ ﻴﺴﺘطﻊ ﻮﺠﺎﺀ‬
“Wahai para pemuda, barang siapa yang mampu untuk menikah maka menikahlah,
karena sesungguhnya menikah itu dapat menundukkan pandangan dan menjaga
kemaluan (dari perbuatan zina) dan barang siapa yang tidak mampu maka
hendaknya ia berpuasa karena puasa itu adalah penawar”.(HR.Bukhari-Muslim). 44
Kedua, sebagai kebanggaan nabi dihari kiamat, yakni dengan banyaknya keturunan
umat Islam melalui perkawinan yang jelas, secara tekstual nabi menyatakan jumlah
yang banyak itulah terkandung kekuatan yang besar. Namun demikian, walau jumlah
besar jika kualitas rendah tetap saja nabi mencelanya. Disitulah kandungan makna
bahwa kualitas itu sangat diperlukan. 45
c. Menurut Akal
Menurut akal sehat tujuan perkawinan ada tiga macam, yaitu:
Pertama, bumi ini cukup luas, kelilingnya ada 40.000 km, sedang garis
tengahnya atau diameternya ada 25.500 km, wilayah yang demikian luas tentunya
44
Sahih al-Bukhari, Kitab al-Nikah, Jilid 6 h. 117, dan Sahih Muslim, Kitab al-Nikah hadis
no. 1400, jilid 2 h.1019.
45
A. Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman Di Tanah Gayo, h. 88-89.
37
harus diurus oleh orang banyak, karena bumi ini Allah SWT nyatakan dibuat untuk
kita (manusia). Bila orangnya hanya sedikit tentu banyak wilayah yang tersia-sia.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan jumlah manusia tentunya harus dengan jalan
perkawinan. 46
Kedua, bila manusia berjumlah banyak tentunya harus diwujudkan
ketertiban/keteraturan, terutama yang berkaitan dengan nasab, sebab kalau nasab
tidak tertib tentu akan terjadi kekacauan karena tidak diketahui si A anak siapa dan si
B anak siapa. Bila nasab tidak tertata rapi atau tertib, maka akan terjadi kekacauan
karena tidak diketahui si A anaknya siapa dan bapaknya siapa. 47
Ketiga, untuk ketertiban kewarisan, setiap orang yang hidup tentu akan
memiliki barang atau benda yang diperlukan manusia, walau hanya sehelai kain.
Ketika manusia itu wafat tentu harus ada ahli waris yang menerima atau menampung
harta peninggalan tersebut. Oleh karena itu, untuk tertibnya para ahli waris, tentunya
harus dilakukan prosedur yang tertib pula, yaitu dengan jalur perkawinan yang sah. 48
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga mencantumkan
tujuan dari sebuah perkawinan, yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya dijelaskan
bahwa untuk mencapai tujuan itu suami-isteri harus saling membantu dan melengkapi
agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dalam membantu dan
46
A. Basiq Djalil, h. 89.
47
Ibid, h. 89.
48
Ibid, h. 90.
38
mencapai kesejahteraan spiritual dan material. 49 Hal senada juga terdapat dalam
Kompilasi Hukum Islam pada pasal 3 yang menyatakan, “Perkawinan bertujuan
untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”. Tujuan
yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam ini merujuk kepada firman Allah SWT
dalam surat ar-Rum ayat 21.
Menurut M. Mansur bin Mashadi yang menjadi tujuan dari sebuah
perkawinan yaitu: perkawinan berguna untuk memelihara anak cucu (keturunan)
sebab bila tidak ada tali perkawinan tentulah anak tidak tentu siapa yang akan
mengurusnya dan siapa pula yang bertanggung jawab atasnya. Pernikahan juga
dipandang sebagai kemaslahtan umum, karena apabila tidak dengan pernikahan, tentu
manusia akan menentukan dengan menurutkan sifat kebinatangan untuk mencari
kepuasan, ini akan menimbulkan perselisihan, bencana dan permusuhan antar
sesamanya. 50
Demikan juga halnya yang tertulis dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 3
menyatakan bahwa tujuan dari pernikahan adalah menuju keluarga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah. Hal ini dituliskan sebagai berikut:
“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah”.
Tujuan lain dari perkawinan dalam Islam ialah untuk memenuhi tuntutan hajat
49
50
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Madav Maju, 1990), h. 11.
M. Mansur bin Mashadi, Tuntunan Perkawinan dan Keluarga Bahagia Dalam Islam,
(Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1995), h. 36.
39
tabiat kemanusiaan yaitu berhubungannya antara laki-laki dan wanita dalam rangka
mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta kasih sayang untuk
memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuanketentuan syara’. 51
Perkawinan menurut Islam bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah (tenteram, cinta, dan kasih sayang). 52
Banyak tujuan yang hendak dicapai pernikahan. Agama Islam telah
mensyariatkan tentu didalamnya terdapat tujuan yang hendak dicapai melalui
pernikahan tersebut. Diantara tujuan pernikahan tersebut adalah:
1. Melanjutkan keturunan yang merupakan sambungan hidup dan menyambung citacita, ini dimaksudkan bila seseorang telah menikah, ia akan membentuk suatu
keluarga.dalam rumah tangga itu akan dilahirkan keturunan untuk melanjutkan
apa-apa yang telah dicita-citakan oleh kedua orang tuanya. Dari keluarga itulah
akan terbentuk suatu umat, yaitu umat Nabi Muhammad, umat yang mengemban
dan berpegang teguh pada ajaran Islam. 53
2. Untuk menjaga diri dari perbuatan maksiat atau perbuatan dosa yang diharamkan
oleh Allah SWT.
51
M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Dari Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 dan KHI, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), cet. ke-1, h. 27.
52
M. Idris Ramulyo, Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: IND HLLCO, 1990), h.
47-48.
53
Kamal Muchtar, Azas-azas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1993), cet. ke-3, h. 23-25.
40
3. Untuk menimbulkan rasa cinta antar suami istri khususnya dan menimbulkan rasa
kasih sayang untuk anggota keluarga pada umumnya.
4. Untuk
menjalani
dan
menghormati
sunnah
Rasulullah.
Beliau
telah
memerintahkan kepada umatnya untuk melakukan pernikahan sesuai dengan
ajaran agama.
5. Untuk membersihkan keturunan. Di sini dimaksudkan adalah agar generasi umat
ini ada yang mengurus dan ada juga yang bertanggung jawab, karena anak
tersebut telah jelas siapa bapak dan ibunya. Apabila seorang anak lahir luar nikah
jelas sulit bagi kita untuk mempertanggungjawabkan anak tersebut. Ayah tidak
bertanggung jawab, dan ibunya pun tidak bertanggung jawab. 54 Begitulah tujuan
perkawinan untuk memperjelas status anak sehingga jelas siapa yang berhak dan
bertanggung jawab kepadanya.
Menurut M. Yunus, yang menjadi tujuan dai sebuah perkawinan adalah
menuruti perintah Allah untuk memperoleh ketentraman yang sah dalam masyarakat
dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur. 55
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 1,
dikatakan bahwa yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami istri adalah untuk
membentuk keluarga (rumah tangga yang bahagia, kekal berdasarkan ketuhanan yang
Maha Esa), selanjutnya dijelaskan bahwa untuk itu suami istri perlu saling membantu
54
Aminullah. J, Hak dan Kewajiban Suami Isteri, (Bandung: Pelajar Bandung, 1972), h. 22.
55
M. Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: CV. Alhidayah, 1964), h. 48.
41
dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya,
membantu dan mencapai kesejahteraan spritual dan material.56 Hal senada juga
terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 3 yang menyatakan, “Perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”.
Tujuan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam ini merujuk kepada firman
Allah SWT dalam surat ar-Rum ayat 21.
Menurut Imam Ghazali, seperti yang dikutip Abdurrahman Ghazaly, tujuan
perkawinan ada lima macam yaitu: 57
1) Mendapatkan dan meneruskan keturunan yang sah.
2) Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan
kasih sayang
3) Memenuhi penggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan
4) Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggungung jawab menerima hak serta
kewajiban dan bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang
halal.
5) Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tenteram
56
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Madav Maju, 1990), h.
57
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 24.
11.
42
BAB III
DESKRPSI UMUM KANTOR URUSAN AGAMA
KECAMATAN KADUGEDE
A. Gambaran Umum Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede
Adanya pergeseran dan perubahan nilai-nilai agama di lapisan masyarakat
yang diakibatkan oleh berkembangnya zaman yang menyebabkan kurangnya
pemahaman masyarakat mengenai kaidah agama Islam, sehingga kerap kali terjadi
perceraian, nikah bawah tangan maupun pembagian warisan yang tidak sesuai dengan
aturan hukum yang ada sehingga dapat meresahkan masyarakat itu sendiri. 58
Keberadaan Kantor Urusan Agama (KUA) di tengah-tengah masyarakat
sangat membantu dalam menangani hal-hal tersebut terutama di bidang perkawinan
yang merupakan tugas utama dari Kantor Urusan Agama (KUA), sehingga dengan
adanya Kantor Urusan Agama (KUA) di masyarakat akan dapat mewujudkan suatu
rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. 59
Secara struktural Kantor Urusan Agama (KUA) hanya sebagai unit terkecil
dari Departemen Agama. Walaupun demikian dalam kinerjanya Kantor Urusan
Agama (KUA) merupakan lembaga yang bersentuhan langsung dengan masyarakat,
sehingga dalam melaksanakan tugas-tugasnya Kantor Urusan Agama (KUA) harus
58
Muhammad Zain & Mukhtar Al-Shadi, Membangun Keluarga Humanis, (Jakarta : Graha
Cipta, 2005), Cet. Ke-1, h. 80.
59
Ibid, h. 82.
42
43
berusaha semaksimal mungkin dan berupaya untuk terus mengembangkan dan
menerapkan sistem pertanggungjawaban yang valid, akurat, dan realible, sehingga
tugas-tugas yang dibebankan kepada Kantor Urusan Agama (KUA) itu dapat berjalan
secara efektif, efesien, clean, dan accountable. 60
Sebagai ujung tombak dari kinerja Departemen Agama, tugas KUA
berhubungan langsung dengan masyarakat dalam pelayanannya di bidang keagamaan.
Tugas pokok KUA Kecamatan Kadugede yakni melaksanakan sebagian tugas dari
kantor Departemen Agama Kota Kuningan dalam bidang agama Islam. Pembangunan
dalam bidang agama merupakan bagian yang tidak bisa terpisahkan dari kerangka
pembangunan nasional yang bertujuan untuk membentuk sumber daya manusia yang
berkualitas yang dilandasi keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dan mampu
menciptakan keseimbangan, baik dalam hidup manusia secara pribadi maupun
hubungan dengan pencipta, masyarakat dan alam lingkungannya. 61
Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan sentral umat Islam dalam membina
rumah tangga yang sakinah serta menumbuhkan rasa keimanan dan ketaqwaan
sekaligus mempererat hubungan ukhuwah Islamiyah di antara umat Islam. 62
Tuntutan pembaharuan dan perubahan di segala bidang, merupakan suatu
bukti bahwa bergulirnya roda reformasi adalah suatu proses perubahan untuk
60
Toto Sartono, Kepala KUA Kecamatan Kadugede, Wawancara Pribadi, Kuningan, 23
Maret 2010.
61
Rohaedi, Kepala Seksi URAIS Kementerian Agama Kuningan, Wawancara Pribadi,
Kuningan 22 Maret 2010.
62
Ibid.
44
terciptanya peningkatan kualitas sumber daya manusia yang dilakukan secara sadar,
berencana, terarah, menyeluruh dan berkesinambungan menuju tercapainya cita-cita
pembangunan nasional. 63
Dengan demikian Kantor Urusan Agama Kecamatan Kadugede, tidak bisa
melepaskan diri dari ruh reformasi dan cita-cita pembangunan nasional. Dengan
dedikasi dan persamaan persepsi dalam melaksanakan program kerja yang terarah
dan terkendali. 64
Suatu organisasi akan dinilai baik apabila kinerja yang dilakukannya telah
sesuai dengan visi dan misi yang dijalankan secara efektif, sehingga tugas-tugas
pokok yang dibebankan pada KUA dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Dengan adanya tugas pokok inilah maka suatu organisasi akan menjalankan
fungsi-fungsinya sehingga dapat dirasakan efektif oleh masyarakat yang dijadikan
sebagai objek utama dari adanya KUA.
Kantor Urusan Agama (KUA) menurut KMA No. 517 Tahun 2001
merupakan lembaga pemerintah yang berkedudukan di wilayah kecamatan yang
mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas Departemen Agama
Kabupten/Kotamadya di bidang urusan Agama Islam dalam wilayah Kecamatan. 65
Kantor Urusan Agama (KUA) adalah sebuah lembaga yang berada di bawah
63
Rohaedi, Kepala Seksi URAIS Kementerian Agama Kuningan, Wawancara Pribadi,
Kuningan 22 Maret 2010.
64
Dokumen Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede.
65
KMA No. 517 Tahun 2001 ditetapkan pada tanggal 30 November 2001.
45
naungan Departemen Agama yang berkedudukan di tiap Kecamatan. Adapun tugas
pokoknya adalah untuk mengawasi, mencatat terjadinya sebuah perkawinan dan rujuk
serta mendaftar cerai talak dan cerai gugat di Kecamatan. 66
Dalam melaksanakan sebagian tugas Departemen Agama di bidang urusan
Agama Islam, berdasarkan KMA No. 517 Tahun 2001 tentang Penataan Organisasi
Kantor Urusan Agama (KUA) mempunyai tugas, yaitu :
1. Menyelenggarakan statistik dan dokumentasi
2. Menyelenggarakan surat menyurat, pengurusan surat, kearsipan, pengetikan dan
rumah tangga Kantor Urusan Agama.
3. Melaksanakan pencatatan nikah dan rujuk, mengurus dan membina masjid, zakat,
wakaf, baitul maal dan ibadah sosial, kependudukan dan pengembangan keluarga
sakinah sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyeleggaraan Haji berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, Kantor Urusan Agama (KUA) berfungsi mengerjakan tugas
Direktorat Pendidikan Agama Islam pada masyarakat dan Pemberdayaan Masjid.
Padahal sejak turunnya KMA No.1 Tahun 2001 tentang kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen, bidang pembinaan
Zakat dan Wakaf serta pembinaan masjid yang dahulunya menjadi Subdirektorat
Urusan Agama Islam menjadi Direktorat tersendiri sebagaimana yang telah
66
Muhammad Zain & Mukhtar Al-Shadi, Membangun Keluarga Humanis, (Jakarta : Graha
Cipta, 2005), Cet. Ke-1, h. 70.
46
disebutkan. Dengan demikian sejak adanya KMA No. 1 Tahun 2001 tersebut, Kantor
Urusan Agama (KUA) selain melaksanakan tugas dari Direktorat Pengembangan
Zakat dan Wakaf dan Direktorat Pendidikan Agama Islam Pada Masyarakat dan
Pemberdayaan Masjid.
Disamping itu, berdasarkan pasal 179 KMA No. 1 Tahun 2001 tersebut,
walaupun ada dua subdirekorat menjadi Direktorat tersendiri, Direktorat Urusan
Agama Islam mendapatkan tugas dan fungsi baru yaitu melaksanakan pengembangan
jalinan kemitraan dan ukhuwah islamiyah, dan melaksanakan bimbingan dan
penyuluhan di bidang pangan halal. Kedua tugas dan fungsi baru tersebut msingmasing menjadi Subdirektorat Pembinaan Pangan Halal dan Subdirektorat
Pengembangan Kemitraan Umat. Namun demikikian kedua tugas dan fungsi baru ini
berdasarkan KMA No. 517 Tahun 2001 belum dimasukkan menjadi tugas dan fungsi
Kantor Urusan Agama (KUA), padahal KMA yang terakhir ini ditetapkan setelah
KMA No. 1 Tahun 2001.
Fungsi KUA sesuai dengan peraturan yang ada meliputi sebagai berikut:
1) Pelayanan administrasi perkawinan dan rujuk
2) Pembinaan perkawinan dan keluarga sakinah
3) Pembinaan kemasjidan
4) Pembinaan zakat, wakaf, ibadah sosial dan Baitul Maal
5) Pembinaan pangan halal
a. Kondisi Geografis Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede
Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede merupakan daerah yang
47
sangat strategis bila dihubungkan dengan keadaan lalu lintasnya karena
berbatasan dengan Kota Kuningan sehingga ini mudah dijangkau walaupun hanya
dengan kendaraan umum biasa.
Letak KUA kecamatan Kadugede selanjutnya akan diuraikan di bawah ini:
-
Sebelah Utara
: Kecamatan Cigugur
-
Sebelah Selatan
: Kecamatan Nusaherang
-
Sebelah Timur
: Kecamatan Kuningan dan Ciniru
-
Sebelah Barat
: Kecamatan Darma
Kantor KUA Kecamatan Kadugede berada pada jarak:
-
Ke Kantor Bupati
:
4 Km
-
Ke Kantor Badan Koordinasi Wilayah Cirebon : 40 Km
-
Ke Ibu Kota Propinsi Jawa Barat
: 145 Km
-
Ke Ibu Kota Negara Republik Indonesia
: 286 Km
Luas wilayah Kecamatan Kadugede serta jumlah kelurahan dan yang lainnya
dengan rincian sebagai berikut: 67
1) Luas Wilayah
: 1.842.992 Ha
2) Kepala Desa
: 12 orang
3) Sekretaris Desa
: 12 orang
4) Perangkat Desa
: 93 orang
5) BPD
: 12 orang
6) LPMD
: 156 orang
67
Dokumen Kecamatan Kadugede
48
7) RW
: 44 orang
8) RT
: 142 orang
9) Penduduk
: 24.418 jiwa
10) Kepadatan
: 1.283/km2
b. Kondisi Geografi
Luas Kecamatan Kadugede adalah 1.842.992 ha dengan jumlah penduduk
sebanyak 24.418 jiwa dan kepadatan penduduknya adalah 1.283 jiwa/km2.
Berdasarkan agama yang mereka anut bila dilihat dari jumlah penduduk
adalah sebagai berikut: 68
1. Pemeluk Agama Islam
: 24.400 orang
2. Pemeluk Agama Katolik
: 16 orang
3. Pemeluk Agama Protestan
:-
4. Pemeluk Agama Hindu
: 1 orang
5. Pemeluk Agama Budha
: 1 orang
B. Dasar Hukum Pembentukan Kantor Urusan Agama (KUA)
Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan instansi pemerintah yang berada di
bawah naungan Departemen Agama yang bertugas menangani permasalahan di
bidang agama Islam seperti yang telah dikemukakan pada pembahasan sebelumnya.
Dasar hukum pembentukan Kantor Urusan Agama (KUA) yaitu: 69
1. Undang-undang No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk
68
69
Dokumen Kecamatan Kadugede
Ibid
49
Sebagaimana yang telah tertera dalam pasal 1 ayat (1) dalam Undang-undang ini
berbunyi : “Nikah yang dilakukan menurut agama Islam selanjutnya disebut
nikah, diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama
atau oleh pegawai yang ditunjuk olehnya.........dst. Ayat (2) yang berbunyi :
“Yang berhak melakukan pengawasan atau nikah dan pemberitahuan tentang
talak dan rujuk hanya pegawai yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh
pegawai yang ditunjuk olehnya”. 70
2. Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang penetapan berlakunya Undangundang No. 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di seluruh
daerah luar Jawa dan Madura.
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa Undang-undang No. 32 Tahun
1954 adalah undang-undang yang telah menetapkan berlakunya Undang-undang
No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh daerah
luar Jawa dan Madura sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 undang-undang
ini. 71
3. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Tujuan dari adanya undang-undang ini bagi warga Negara Indonesia adalah untuk
membina hukum nasional, selain itu undang-undang bersifat mengikat merupakan
70
M.Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam & Peraturan Pelaksanaan
Lainnya Di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. Ke-1, h. 433434.
71
Andi Hamzah, KUHAP & KUHP, (Jakarta, Rineka Cipta, 2004), Cet. Ke-11, h. 12.
50
sumber hukum nasional atas berdirinya Kantor Urusan Agama (KUA) yang
bertugas untuk mencatat pernikahan, rujuk dan pendaftaran talak serta gugat
cerai. Dalam pasal 2 ayat (2) undang-undang ini dinyatakan bahwa : “Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut undang-undang yang berlaku”. 72
4. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Keberadaan Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai lembaga Administrasi
Pencatatan Perkawinan telah diakui oleh undang-undang ini. Sebagaimana yang
tercantum dalam pasal 1 ayat (4) yang berbunyi: “Pegawai Pecatat Nikah ialah
Pegawai Pencatat Nikah Pada Kantor Urusan Agama”.
5. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Dengan adanya PP ini kinerja Kantor Urusan Agama (KUA) akan lebih terarah
dalam pelaksanaannya karena PP ini memberikan kelancaran pada Undangundang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam ketentuan umum pasal 1
huruf (d) jo. Pasal 1 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975 dinyatakan bahwa : “Pegawai
Pencatat ialah Pegawai Pegawai Pencatat Perkawinan dan Cerai”.
Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut
agama Islam dilakukan Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undangundang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. 73
72
Ibid, h.13.
73
Ibid, h. 88-89.
51
C. Kinerja Organisasi Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede
Suatu lembaga baik itu lembaga pemerintahan maupun lembaga swasta dalam
mencapai tujuan yang sesuai dengan visi dan misi dari lembaga itu sendiri harus
melalui sarana dalam bentuk organisasi yang digerakkan oleh sekelompok orang yang
berperan aktif sebagai pelaku (aktor) dalam upaya mencapai tujuan dari lembaga atau
organisasi yang bersangkutan.
Suatu organisasi akan dinilai baik apabila kinerja yang dilakukannya telah
sesuai dengan visi dan misi yang dijalankan secara efektif, sehingga tugas-tugas
pokok yang dibebankan pada KUA dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Adapun Visi Kantor Urusan Agama Kecamatan Kadugede yaitu “Terwujudnya ruh
agama dalam seluruh aspek kehidupan yang berkualitas”. Sedangkan Misi Kantor
Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede adalah mewujudkan ruh agama dengan
mendongkrak melalui:
1) Mengadministrasikan NTCR yang baik, tepat dan cermat.
2) Melayani masyarakat dengan baik.
3) Menumbuhkembangkan keluarga sakinah.
4) Membuka cakrawala pemikiran dan pelaksanaan peribadatan yang total.
5) Memotivasi gaya hidup yang sehat, baik dan halal.
6) Meningkatkan kemitraan umat guna membangun masyarakat yang damai.
7) Melaksanakan bimbingan ibadah haji yang baik. 74
74
Dokumen Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede
52
Adanya pembagian kinerja dalam suatu lembaga atau organisasi dimaksudkan
agar kinerja dari organisasi tersebut dapat berjalan dengan efektif. Pembagian kerja
harus didasarkan atas kualitas dan kemampuan yang dimiki masing-masing individu.
Hal ini dapat membawa kinerja suatu lembaga atau organisasi secara professional dan
proposional. 75
Pembagian kinerja harus didukung pula dengan adanya program kerja yang
telah disusun terlebih dahulu sehingga tidak ada tumpang tindih dalam
pelaksanaannya. program kerja suatu lembaga pemerintahan seperti Kantor Urusan
Agama (KUA) harus sesuai dengan tugas dan fungsi yang dibebankan pemerintah
kepada lembaga atau organisasi itu sendiri. 76
Struktur Organisasi Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede: 77
Kepala KUA
: Drs. Toto Sartono
Seksi Kepenghuluan
: Drs. Toto Sartono
Seksi Keluarga Sakinah
: N. Saonah
Seksi Ibadah Sosial
: Ukasih
Seksi Kemitraan Umat
: Beben Bahtiar
Seksi Produk Halal
: Siti Aminah
Kinerja organisasi KUA Kecamatan Kadugede ini didasarkan pada fungsi dan
tugas yang telah dibebankan oleh Departemen Agama yang mempunyai Kantor
75
76
Dokumen Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede
Ibid
53
Urusan Agama (KUA) yang kemudian disusun menjadi sebuah program kerja yang
berisikan tentang tugas pokok, tanggung jawab dan wewenang masing-masing
bagian. 78
1. Tugas dan Fungsi Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede
a. Membuat laporan bulanan, triwulan dan tahunan
b. Mencatat dan mendistribusikan
c. Menertibkan arsip/dokumen KUA
d. Membuat data file pegawai
e. Melaksanakan urusan rumah tangga KUA
f. Menyusun program kerja dan rincian tugas 79
2. Tugas dan Fungsi Seksi Kepenghuluan
a. Melaksanakan peningkatan pelayanan Nikah dan Rujuk kepada masyarakat
dengan mengutamakan prinsip:
1) Pencatatan tepat waktu
2) Penyelesaian kutipan akta nikah NR
3) Pelayanan/pengawasan yang memuaskan
b. Mengadakan pembinaan rutin pembantu penghulu
c. Melaksanakan administrasi Nikah & Rujuk
d. Mengadakan pemeriksaan dan pengawasan Nikah & Rujuk
78
79
Dokumen Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede.
Ibid.
54
e. Mensukseskan peraturan Daerah Kabupaten Kuningan 80
3. Tugas dan Fungsi Seksi Bidang Keluarga Sakinah
a. Melaksanakan bimbingan atau penataran bagi calon pengantin dalam mengisi
tenggang waktu sepuluh hari
b. Melaksanakan bimbingan terhadap masyarakat yang sedang mengalami krisis
rumah tangga
c. Melaksanakan penyuluhan kepada masyarakat tentang Pembinaan Keluarga
Sakinah sesuai dengan UU No. 1/1975 melalui pelaksanaan Nikah diluar
Balai Nikah, dan Majelis Ta’lim
d. Melaksanakan sosialisasi UU perkawinan tentang Keluarga Sakinah di
SLTP/SLTA 81
4. Tugas dan Fungsi Seksi Bidang Ibadah Sosial 82
a. Melaksanakan pembinaan kemasjidan dalam rangka memakmurkan masjid
dengan menjadikan masjid sebagai tempat ibadah dan sebagai tempat sentral
pembinaan umat.
b. Ikut serta mensukseskan menumbuh kembangkan baca tulis Al Qur’an bagi
anak-anak, remaja dan dewasa melalui:
1) Sekolah
2) Pengajian anak dan remaja di masjid atau musholla
80
81
82
Dokumen Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede
Ibid
Ibid
55
3) Majelis Ta’kim
c. Mengadakan kegiatan silaturahim/halal bi halal kerja sama dengan Kantor
Kecamatan Kadugede dan IPHI Kecamatan Kadugede
d. Sosialisasi Program Peduli Lingkungan bagi Catin dalam rangka menjaga
kelestarian alam 83
5. Tugas dan Fungsi Seksi Bidang Kemitraan Umat
Kantor Urusan Agama sebagai koordinator di bidang keagamaan di Kecamatan
Kadugede senantiasa bekerja sama dengan unsur terkait dan organisasi
kemasyarakatan seperti MUI, BAZ, IPHI, BKPRMI, Pondok Pesantren, untuk
melaksanakan kegiatan antara lain;
a. Mengadakan kunjungan jum’at keliling (Jumling) ke desa-desa dalam rangka
memantapkan kerukunan umat beragama.
b. Membantu program pembangunan masjid di desa-desa.
c. Mengikuti kunjungan Tarawih Keliling (Tarling) dalam rangka mensukseskan
optimalisasi hasil penampungan zakat fitrah dan zakat mal.
d. Membantu meningkatkan mutu baca tulis Al Qur’an di masjid, musholla,
melalui pembantu penghulu desa.
e. Mengadakan pembinaan penyertifikatan tanah wakaf dan kegiatan lain yang
menunjang program bidang kemasjidan.
f. Ikut serta dalam mensukseskan peringatan Hari Besar Islam dalam rangka
menyemarakan syi’ar Isam dalam kehidupan masyarakat.
83
Dokumen Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede.
56
g. Melaksanakan kerja sama intern dengan Penamas dan Waspenda di bidang
keagamaan. 84
6. Tugas Seksi Bidang Produk Halal
a. Mendata produksi pangan halal
b. Memberikan pembinaan keagamaan terhadap produksi pangan 85
Evaluasi terhadap kegiatan suatu program kerja, merupakan suatu keharusan
dan mutlak diperlukan adanya hal tersebut merupakan barometer untuk mengukur
hasil dari suatu kegiatan. Selain itu evaluasi merupakan salah satu tolok ukur untuk
menentukan langkah program kerja selanjutnya sehingga dalam pelaksanaan program
selanjutnya dapat berlangsung secara berkesinambungan. 86
84
85
86
Dokumen Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede.
Ibid
Toto Sartono, Kepala KUA Kecamatan Kadugede, Wawancara Pribadi, Kuningan, 23
Maret 2010.
57
BAB IV
KINERJA KANTOR URUSAN AGAMA
DALAM MENCEGAH TERJADINYA MANIPULASI IDENTITAS
A. Prosedur Administrasi Pernikahan
Pelaksanaan pernikahan harus sesuai dengan tata cara, prosedur atau
mekanisme yang ditetapkan oleh perturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia. Apabila tidak dilakukan demikian, pernikahan itu tidak akan memiliki
kekuatan hukum.
Tata cara, prosedur atau mekanisme pengurusan pernikahan yang ditetapkan
oleh
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku
di
Indonesia
meliputi
pemberitahuan kehendak nikah, pemeriksaan nikah, pembayaran biaya nikah,
pengumuman nikah, penasehatan nikah, prosesi akad nikah dan pencatatannya. 87
1. Pemberitahuan Kehendak Nikah
Dalam Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 477 Tahun
2004 disebutkan bahwa setiap orang yang akan melaksanakan pernikahan harus
memberitahukan kehendak nikah kepada Penghulu atau Pembantu Penghulu yang
mewilayahi tempat tempat pelaksanaan akad nikah.
Pemberitahuan tersebut dilakukan secara tertulis oleh calon mempelai atau
oleh wali atau wakilnya paling lambat 10 hari kerja sebelum pelaksanaan akad nikah
87
A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Perkawinan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta:
Fakultas Sayariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 16.
57
58
Namun demikian, jika ada suatu alasan yang sangat penting maka Camat atas nama
Bupati Kepala Daerah dapat memberikan dispensasi sehingga aqad nikah tetap dapat
dilangsungkan meskipun tenggang waktunya kurang dari 10 hari kerja sejak
pengumuman nikah. 88
Prosedur pemberitahuan kehendak nikah tersebut adalah sebagai berikut: 89
1. Calon pengantin pria dan wanita datang ke Kantor Kepala Desa/Kelurahan yang
mengeluarkan
Kartu
Tanda
Penduduk
masing-masingnya.
Dari
Kepala
Desa/Kelurahan atau pejabat yang setingkat masing-masing calon pengantin akan
memperoleh surat-surat yang diperlukan, seperti: Surat keterangan untuk nikah,
surat keterangan tentang orang tua, surat keterangan asal-usul, surat kematian
suami/istri, surat keterangan tidak mampu bagi calon pengantin yang tidak
sanggup membayar biaya nikah dan beberapa formluir nikah lainnya.
2. Calon pengantin wanita datang ke puskesmas/rumah sakit untuk memperoleh
suntikan Tetanus Toxoid.
3. Calon pengantin pria dan wanita datang ke Pembantu Penghulu yang mewilayah
tempat pelaksanaan aqad nikah untuk menyampaikan pemberitahuan kehendak
nikah. Pemberitahuan ini harus dilakukan secara tertulis dengan menyerahkan
formulir model N-7 (Formulir Pemberitahuan Kehendak Nikah). Formulir model
N-7 harus diserahkan dengan melampirkan semua surat/formulir lain yang telah
88
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Tata Cara
dan Mekanisme Pengurusan Perkawinan dan Rujuk di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI,
2005), h.4.
89
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, h.4-5.
59
diperoleh dari Kepala Desa/Kelurahan dan puskesmas
serta dilengkapi pula
dengan persyaratan lain yang ditentukan yaitu:
a. Surat keterangan untuk nikah (formulir model N-1);
b. Photo copy akta kelahiran atau surat keterangan asal-usul calon pengantin
(formulir model N-2);
c. Surat persetujuan mempelai (formulir model N-30;
d. Surat keterangan tentang orang tua (formulir model N-4);
e. Pas foto terbaru berwarna (dianjurkan berlatar-belakang warna biru) ukuran
2x3 sebanyak 3 (tiga) lembar;
f. Surat keterangan telah diimunisasi Tetanus Toxoid dari puskesmas/rumah
sakit; 90
Jika calon pengantin itu dalam keadaan tertentu seperti yang
disebutkan dibawah ini, maka dia harus melampirkan surat-surat lain yang
dibutuhkan, yaitu:
a) Surat izin orang tua (formulir model N-5) bagi calon pengantin yang
belum mencapai umur 21 tahun. Dalam hal tidak ada izin dari kedua orang
tua atau walinya, diperlukan izin dari Pengadilan.
b) Surat dispensasi dari pengadilan bagi calon pengantin pria yang belum
mencapai umur 19 tahun dan bagi calon pengantin wanita yang belum
90
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Tata Cara
dan Mekanisme Pengurusan Perkawinan dan Rujuk di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI,
2005), h. 5.
60
mencapai umur 16 tahun.
c) Surat izin poligami dari Pengadilan bagi calon pengantin pria yang hendak
beristri lebih dari seorang.
d) Surat izin nikah dari kesatuan/atasan bagi calon pengantin anggota
TNI/Polri atau pejabat tertentu yang kepadanya diwajibkan agar
memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang
memberikan izin.
e) Akta cerai atau kutipan buku pendaftaran talak/buku pendaftaran cerai jika
calon pengantin seoranga janda/duda karena perceraian.
f) Akta kematian atau surat keterangan kematian suami/istri yang dibuat oleh
kepala desa/lurah (formulir model N-6) jika calon pengantin seorang
janda/duda karena kematian suami/istri.
g) Surat dispensasi dari Camat, jika rencana aqad nikah akan dilangsungkan
kurang dari 10 hari kerja.
h) Surat keterangan tidak mampu (miskin) bagi calon pengantin yang tidak
sanggup membayar biaya nikah.
i) Surat rekomendasi dari KUA domisili pengantin wanita, jika aqad nikah
akan dilakukan di luar domisili calon pengantin wanita. 91
4. Jika calon pengantin berada di Jawa dan Madura, maka Pembantu Penghulu yang
91
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Tata Cara
dan Mekanisme Pengurusan Perkawinan dan Rujuk di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI,
2005), h. 5.
61
telah menerima pemberitahuan kehendak nikah mereka tadi diharuskan
mencatatnya dengan teliti dalam Buku Catatan Kehendak Nikah (formulir model
N-10) yang dipegangnya. Selanjutnya dengan diantar oleh Pembantu Penghulu,
yang bersangkutan memberitahukan kehendaknya kepada Penghulu dengan
membawa semua persyaratan di atas, lalu Penghulu yang akan melakukan
pemeriksaan kehendak nikah.
5. Jika calon pengantin berada di luar Jawa dan Madura, maka setelah
pemberitahuan kehendak nikahnya diterima dan dicatat dalam Buku Catatan
Kehendak Nikah (formulir model N-10) Pembantu Penghulu akan melakukan
pemeriksaaan kehendak nikah.
Pemberitahuan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum
perkawinan itu dilangsungkan. Kemudian dalam pemberitahuan ini harus dinyatakan
tentang nama, usia, agama, pekerjaan, tempat kediaman calon kedua mempelai serta
status apakah masih lajang atau sudah pernah menikah. 92
Setelah pegawai pencatat menerima pemberitahuan seperti yang diuraikan di
atas, ia harus mengadakan penelitian terutama tentang syarat-syarat dan halanganhalangan untuk melangsungkan perkawinan seperti yang diatur dalam UndangUndang Perkawinan. Selanjutnya setelah diadakannya penelitian, maka dalam hal ini
pegawai pencatat harus bertindak aktif, artinya tidak hanya menerima yang
dikemukakan oleh pihak yang akan melangsungkan perkawinan, melainkan juga
92
Amiur Nurudin & Azhar Tarigan, Hukum perdata Islam diIndonesia (jakarta: kencana,
2004), h. 125.
62
harus membuat catatan dari hasil penelitiannya itu. 93
2. Pemeriksaan Kehendak Nikah
Setelah memastikan bahwa semua persyaratan telah diisi lengkap dan benar
oleh calon pengantin, selanjutnya Penghulu (di Jawa dan Madura) atau Pembantu
Penghulu (di luar Jawa dan Madura) yang menerima pemberitahuan kehendak nikah
melakukan pemeriksaan yang seksama terhadap calon pengantin pria, calon
pengantin wanita dan wali nikah. Pemeriksaan kehendak nikah ini bertujuan untuk
memastian bahwa semua rukun dan syarat sah pernikahan, baik menurut ketentuan
fiqh munakahat atau pun menurut ketentuan perundang-undangan, telah terpenuhi.
Dalam Surat Edaran Dirjen BPIH No. DJ.1/1/PW.01/1478/2005 tertanggal
April 2005 tentang Petunjuk Pengisian Formuir (Bab III tentang Tekhnik
Pemeriksaan Wali dan Calon Mempelai) diuraikan bahwa: Pemeriksaan kehendak
nikah dilakukan melalui wawancara dengan mereka yang bersangkutan, meneliti
surat-surat keterangan yang ada dan di mana perlu juga melakukan pengecekan ulang.
Bahkan kalau data yang diperoleh masih diragukan kebenarannya, Penghulu atau
Pembantu Penghulu boleh saja menyuruh agar yang bersangkutan membuat surat
pernyataan di bawah sumpah.
Pemeriksaan terhadap calon pengantin pria, calon pengantin wanita dan wali
nikah ini dapat dilakukan secara bersama-sama dan dapat pula dilakukan secara satu
persatu sesuai dengan keperluan, sehingga Penghulu atau Pembantu Penghulu dapat
93
Amiur Nurudin & Azhar Tarigan, Hukum perdata Islam diIndonesia (Jakarta: kencana,
2004), h. 126.
63
memperoleh data yang benar dan meyakinkan.
Pemeriksaan terhadap wali dapat dilakukan dengan, antara lain:
1. Wali calon pengantin wanita diperiksa tersendiri dengan menanyakan silsilah
(nasab), jumlah anak lengkap dengan nama-nama mereka. Jika wali tersebut
bukan wali ayah, maka ditanyakan jumlah saudara-saudaranya dengan namanamanya, anak saudaranya, saudara bapaknya dan seterusnya, kemudian
keterangan wali ini dicocokkan dengan keterangan calon pengantin wanita. Jika
tidak cocok maka harus diteliti kembali.
2. Apabila calon pengantin wanita merupakan anak pertama dan walinya adalah wali
ayah, perlu ditanyakan tanggal nikah dan tanggal lahir anak pertamanya itu. Jika
terdapat ketidakwajaran seperti baru lima bulan menikah tetapi anak pertama
sudah lahir maka anak tersebut tidak punya hubungan nasab dengan ayahnya.
Dengan demikian, ayah tidak berhak menajdi walinya dan digantikan oleh wali
hakim.
3. Dalam hal pemeriksaan wali, hendaknya sesuai dengan tertib wali dengan
meneliti Kartu Keluarga atau Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang bersangkutan. 94
Hasil pemeriksaan terhadap semua persyaratan nikah tersebut oleh Penghulu
(di Jawa dan Madura) atau Pembantu Penghulu (di luar Jawa dan Madura) di tulis
dalam daftar pemeriksaan nikah (formulir model NB). Tata cara pengisiannya adalah:
a. Penghulu di Jawa dan Madura membuat daftar pemeriksaan nikah (formulir
94
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Tata Cara
dan Mekanisme Pengurusan Perkawinan dan Rujuk di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI,
2005), h. 118-119.
64
model NB) hanya satu rangkap saja. Sedangkan Pembantu Penghulu di luar Jawa
dan Madura membuat daftar pemeriksaan nikah (formulir model NB) rangkap
dua. Satu untuk arsip dan satu lagi dikirim ke KUA Kecamatan yang
mewilayahinya bersamaan dengan surat-surat lainnya selambat-lambatnya 15
(lima belas) hari kerja sesudah aqad nikah dilaksanakan.
b. Kolom calon suami, kolom calon istri dan kolom wali nikah pada formulir NB
diisi langsung oleh masing-masing calon suami, calon istri dan wali nikah.
Sedangkan kolom yang lain diisi oleh Penghulu di Jawa dan Madura atau
Pembantu Penghulu di luar Jawa dan Madura.
c. Apabila mereka tidak dapat menulis maka semua kolom pada formulir NB itu
diisi oleh Penghulu di Jawa dan Madura atau Pembantu Penghulu di luar Jawa
dan Madura.
d. Hasil pengisian Daftar Pemeriksaan Nikah (formulir NB) itu dibacakan dan jika
perlu diterjemahkan ke dalam bahasa yang dimengerti oleh calon pengantin dan
wali nikah.
e. Setelah dibacakan, formulir model NB ditanda tangani oleh semua pihak yang
diperiksa dan yang memeriksa. Kalau tidka bisa membubuhkan tanda tangan,
diganti dengan cap ibu jari tangan kiri.
f. Apabila pemeriksaan calon suami, calon istri dan wali nikah terpaksa dilakukan
pada hari yabg berlainan, maka kecuali pemeriksaan pada hari pertama, di bawah
kolom tanda tangan yang diperiksa ditulis tanggal hari pemeriksaan.
65
g. Untuk tertibnya administrasi dan memudahkan ingatan, Penghulu di Jawa da
Madura atau Pembantu Penghulu di luar Jawa dan Madura mencatat hasil
pemeriksaan tersebut dalam buku khusus yang diberi nama “Catatan Pemeriksaan
Nikah” dengan kolom-kolom seperti berikut: 95
Hari/Tgl
No
Tangal Nama Calon
Urut
1
2
Suami
Istri
3
4
Ketentuan
Nomor
Akad
Akta
Nikah
Nikah
5
6
Keterangan
7
h. Pada ujung formulir model NB sebelah kiri atas diberi nomor yang terdiri dari
nomor urut pemeriksaan dalam tahun itu, kode desa tempat dilangsungkan aqad
nikah dan tahun pelaksanaan pemeriksaan. Contoh: 13/02/2006. Angka 13 adalah
95
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Tata Cara
dan Mekanisme Pengurusan Perkawinan dan Rujuk di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI,
2005), h. 119.
66
nomor urut pemeriksaan yang diketahui dari nomor urut pada buku khusus
“Catatan Pemeriksan Nikah” di atas. Angka 02 adalah kode desa tempat aqad
nikah dan angka 2006 adalah tahun pemeriksaan. 96
Apabila calon suami atau wali nikah berdomisili di luar wilayah KUA
Kecamatan tempat pelaksanaan akad nikah dan tidak dapat hadir untuk diperiksa,
maka pemeriksaannya dilakukan oleh Penghulu atau Pembantu Penghulu setempat.
Selanjutnya, Penghulu atau Pembantu Penghulu yang memeriksa itu mengirimkan
daftar pemeriksaannya kepada Penghulu atau Pembantu Penghulu tempat
pelaksanaan akad nikah.
Setelah pemeriksaan kehendak nikah dilakukan terhadap pihak-pihak yang
bersangkutan, Penghulu atau Pembantu Penghulu akan menyimpulkan salah satu dari
dua kemungkinan: calon pengantin itu telah memenuhi persyaratan atau calon
pengantin itu tidak memenuhi persyaratan. Bagi calon pengantin yang telah
memenuhi persyaratan, Penghulu atau Pembantu Penghulu dapat melanjutkan
prosedur administrasi pernikahan berikutnya “Pembayaran Biaya Nikah”. Sedangkan
bagi calon pengantin yang tidak memenuhi persyaratan, Penghulu atau Pembantu
Penghulu akan melakukan “Penolakan Nikah”. 97
Dalam pemeriksaan nikah inilah Pegawai Pencatat Nikah harus sangat teliti
dalam memeriksa data-data yang diajukan, agar tidak ada data-data yang dipalsukan.
96
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Tata Cara
dan Mekanisme Pengurusan Perkawinan dan Rujuk di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI,
2005), h. 119.
97
Amiur Nuruddin & Azhar Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 129.
67
Oleh karena itu para pihak yang bersangkutan ditanya langsung mengenai kebenaran
dari data-data yang mereka lampirkan agar data tersebut benar adanya. 98
3. Pembayaran Biaya Pencatatan Nikah
Penghulu mempersilahkan kepada calon pengantin yang telah memenuhi
persyaratan nikah agar membayar biaya pencatatan nikah ke rekening kas negara
melalui bank atau kantor pos yang telah ditunjuk.
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Departemen RI. Nomor
PER-22/PB/2005 tanggal 1 Agustus 2005 dijelaskan bahwa pembayaran biaya
pencatatan nikah dilakukan dengan cara mengisi formulir SSBP (Surat Setoran Bukan
Pajak) dengan mencantumkan MAP (Mata Anggaran Penerimaan) kode 423147 yaitu
Pendapatan Jasa Kantor Urusan Agama dan menyampaikannya ke Bank/Pos. SSBP
ini merupakan syarat tanda setoran atas kewajiban pembayaran biaya nikah yang
dibuat rangkap 6 (enam). Setelah melakukan pengesahan SSBP, Bank/Pos
mendistribusikan: 99
1. Lembar ke-1, ke-5 dan ke-6 kepada calon pengantin
2. Lembar ke-2 dan ke-3 kepada KPPN (Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara),
3. Lembar ke-4 sebagai pertinggal.
Sebagai bukti pembayaran, calon pengantin menyimpan SSBP lembar ke-1
untuk diri sendiri dan menyampaikan lembar ke-5 dan ke-6 kepada Penghulu
98
99
Amiur Nuruddin & Azhar Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 129.
A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Perkawinan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta:
Fakultas Sayariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 25.
68
(Di Jawa) atau Pembantu Penghulu (di luar Jawa). 100
Besarnya biaya pencatatan nikah yang disetorkan ke kas negara melalui
Bank/Pos adalah Rp. 30.000,- (Peraturan Pemerintah Nomor tahun 2004). Selain itu,
calon pengantin membayar pula: 101
1. Honorarium Pembantu Penghulu. Honorarium ini diserahkan langsung oleh yang
bersangkutan kepada Pembantu Penghulu.
2. Transportasi Penghulu/Pembantu Penghulu apabila akad nikah dilaksanakan di
luar Balai Nikah KUA Kecamatan. Biaya transportasi ini diserahkan langsung
kepada Penghulu/Pembantu Penghulu yang menghadiri akad nikah di luar Balai
Nikah KUA Kecamatan.
Besarnya biaya honorarium dan transportasi tersebut ditetapkan oleh Kepala
Kantor Wilayah Departemen Agama propinsi dengan persetujuan terlebih dahulu dari
Kepala Daerah setempat. 102
Calon pengantin yang tidak mampu membayar biaya pencatatan nikah dengan
membawa surat keterangan tidak mampu dari Kepala Desa/Kelurahan dapat
dibebaskan dari biaya. 103
4. Pengumuman Kehendak Nikah
Setelah menerima bukti pembayaran biaya pencatatan nikah, Penghulu atau
100
A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Perkawinan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta:
Fakultas Sayariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 25.
101
Ibid, h. 26.
102
Ibid, h. 26.
103
Ibid, h. 26.
69
Pembantu Penghulu menyelenggarakan pengumuman kehendak nikah. Pengumuman
kehendak nikah ini bertujuan agar masyarakat mengetahui orang-orang yang akan
melakukan pernikahan, dan selanjutnya apabila ada pihak yang keberatan terhadap
rencana pernikahan itu maka yang bersangkutan dapat mengajukan “Pencegahan
Nikah”. 104
Tahap selanjutnya setelah dipenuhi tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan
serta tidak ada sesuatu halangan perkawinan maka tahap berikutnya adalah pegawai
pencatat nikah menyelenggarakan pengumuman. Pegawai pencatat menempelkan
surat pengumuman dalam bentuk yang telah ditetapkan pada kantor-kantor pencatatan
perkawinan yang daerah hukumnya meliputi wilayah tempat dilangsungkannya
perkawinan dan tempat kediaman masing-masing calon mempelai. Pengumuman
yang ditandatangani oleh pegawai pencatat selain membuat hal yang akan
melangsungkan perkawinan juga memuat kapan dan di mana perkawinan itu akan
dilangsungkan. 105
Surat pengumuman kehendak nikah dibuat dengan mengisi formulir model
NC dan dipasang pada papan pengumuman selama sepuluh hari. Pengumuman ini
dilakukan:
1. Oleh Penghulu di KUA Kecamatan tempat pernikahan akan dilaksanakan dan di
KUA Kecamatan tempat tinggal masing-masing calon mempelai.
104
A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Perkawinan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta:
Fakultas Sayariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 26-27.
105
Amiur Nuruddin & Azhar Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 128.
70
2. Oleh Pembantu Penghulu di tempat yang mudah diketahui oleh masyarakat
umum.
Penghulu atau Pembantu Penghulu tidak boleh melaksanakan akad nikah
sebelum lampau sepuluh hari kerja sejak pengumuman. Kecuali seperti diatur dalam
pasal 3 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 bahwa apabila terdapat
alasan yang sangat penting maka calon pengantin yang akan melangsungkan akad
nikah kurang dari tenggang waktu sepuluh hari sejak pengumuman itu harus
mendapatkan dispensasi dari Camat terlebih dahulu. 106
Dalam masa sepuluh hari kerja sejak pengumuman itu, calon pengantin
diharapkan dapat mengikuti penasehatan/penataran/kursus calon pengantin yang
dilaksanakan oleh Badan Penasehat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian (BP4)
Kecamatan. Penasehatan/penataran/kursus calon pengantin ini sangat penting bagi
pasangan yang akan menikah untuk memberikan pencerahan dan bekal-bekal untuk
membina keluarga sakinah. Agar tingkat efektifitas dan keberhasilannya sesuai
dengan yang diharapkan, sejatinya bentuk penasehatan/penataran/kursus calon
pengantin itu tidak bisa sekadar formalitas belaka. 107
5. Prosesi Akad Nikah dan Pencatatannya
Bagi calon pengantin yang berada di Jawa dan Madura, akad nikah
dilaksanakan di bawah pengawasan Penghulu. Pada dasarnya, tempat pelaksanaan
106
A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Perkawinan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta:
Fakultas Sayariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 27.
107
Ibid, h. 27-28.
71
akad nikah tersebut adalah di KUA Kecamatan. Akan tetapi, atas permintaan calon
pengantin dan dengan persetujuan Penghulu akad nikah dapat dilaksanakan di luar
KUA Kecamatan seperti: di rumah calon istri, di Masjid, atau di gedung yang
dikehendaki. Sedangkan bagi calon pengantin yang berada di luar Jawa dan Madura,
akad nikah dilaksanakan di bawah pengawasan Pembantu Penghulu. 108
Penghulu (di Jawa dan Madura) atau Pembantu Penghulu (di luar Jawa dan
Madura) harus mengatur tata cara pelaksanaan akad nikah sebagai berikut: 109
1. Penghulu/Pembantu Penghulu mengecek dan memastikan bahwa orang-orang
yang harus hadir pada waktu pelaksanaan akad nikah telah lengkap, dan sudah
berada pada tempat yang sudah disediakan. Mereka adalah:
a. Wali nikah/wakilnya,
b. Calon suami/wakilnya,
c. Dua orang saksi yang memenuhi syarat,
d. Calon istri jika tidak bertentangan dengan adat/keyakinan setempat.
2. Penghulu/Pembantu
Penghulu
memeriksa
ulang
persyaratan
nikah
dan
administrasi bagi kedua calon pengantin, wali dan dua orang saksi.
3. Penghulu/Pembantu Penghulu mengukuhkan kembali persetujuan calon istri
secara lisan. Caranya bermacam-macam: Penghulu menanyakan kepada calon
istri, apakah bersedia dinikahkan dengan calon suaminya; atau wali yang
108
A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Perkawinan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta:
Fakultas Sayariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 28.
109
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Tata Cara
dan Mekanisme Pengurusan Perkawinan dan Rujuk di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI,
2005), h. 10-11.
72
menanyakannya kepada calon istri; atau calon istri yang meminta kepada wali
agar menikahkannya.
4. Setelah memperoleh kesediaan calon istri, Penghulu/Pembantu Penghulu harus
mempersiapkan wali untuk menikahkan putrinya. Apabila wali berhalangan untuk
menikahkan maka wali harus mewakilkan kepada Penghulu/Pembantu Penghulu
atau kepada orang lain, dan wali harus mengatakan:
“Bapak, saya wakilkan kepada Bapak untuk mewalikan dan menikahkan anak
perempuan saya si Fulanah dengan si Fulan bin Fulan dengan mas kawin ... ... ....
tunai”.
Kemudian wakil yang ditunjuk wali itu menjawab:
“Saya terima untuk mewalikan dan menikahkan si Fulanah binti Fulan dengan si
Fulan bin Fulan”.
5. Sebelum pelaksanaan ijab-qabul, Penghulu/Pembantu Penghulu hendaknya
terlebih dahulu membacakan khutbah nikah, dan kemudian memandu calon
pengantin dan wali untuk mengucapkan istighfar, syahadat dan shalawat bersamasama.
6. Penghulu mengawasi pelaksanaan ijab-qabul antara wali-wakilnya dengan calon
suami/wakilnya. Contoh ijab-qabul adalah:
Wali mengatakan:
‫ ﺤﺎﻻ‬.... ‫ﻴﺎﻔﻼن ﺰﻮﺠﺘﻚ ﻮأﻧﮑﺤﺘﻚ ﻔﻼﻧﺔ إﺑﻧﺘﻰ ﺒﻤﻬﺮ‬
73
“Hai Fulan, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan anak perempuan
saya si Fulanah, dengan mas kawin ... ... ... tunai”.
Kemudian calon suami menjawab:
‫ ﺤﺎﻻ‬....‫ﻗﺒﻠﺖ ﻧﻜﺎ ﺤﻬﺎ ﻓﻼﻨﺔ ﺑﻨت ﻓﻼﻦ ﺒﻤﻬﺮ‬
“Saya terima nikahnya Fulanah binti Fulan dengan mas kawin ... ... ... tunai”.
Contoh ijab dari wali adalah:
‫ ﺤﺎﻻ‬....‫ﻴﺎﻔﻼن ﺒﻦ ﻓﻼﻦ ﺰﻮﺠﺘﻚ ﻮأﻧﮑﺤﺘﻚ ﻔﻼﻧﺔ ﺑﻨت ﻓﻼﻦ ﺑﺗﻮﻜﻴﻞ ﻮﻠﻴﻬﺎ إﻠﻲ ﺒﻤﻬﺮ‬
“Hai Fulan bin Fulan, saya nikahkan si Fulanah binti Fulan dengan engkau yang
walinya mewakilkan kepada saya, dengan membayar mas kawin ... ... ... tunai”. 110
7. Penghulu/Pembantu Penghulu menanyakan kepada dua orang saksi, apakah ijabqabul itu sah atau tidak sah. Apabila dinyatakan tidak sah, maka ijab-qabul harus
diulang. Apabila dinyatakan sah, maka dilanjutkan dengan pembacaan doa. Doa
yang lazim dibaca adalah:
‫ ﻮﺒﺮك ﻋﻠﻳك ﻮﺠﻤﻊ ﺒﻳﻨﮑﻤﺎ ﻓﻰ ﺨﻳﺮ‬،‫ﺒﺎﺮك اﷲ ﻠﻰ ﻮﻠك‬
“Semoga Allah SWT memberkahi saya dan kamu, dan Allah memberikan berkah
kepada kamu serta menyatukan kalian berdua dalam kebaikan”. 111
8. Penghulu/Pembantu
Penghulu
meminta
pengantin
pria
membaca
dan
menandatangani shighat ta’liq-thalaq yang sudah disiapkan, apabila sewaktu
110
A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Perkawinan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta:
Fakultas Sayariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 30.
111
Ibid.
74
pemeriksaan kehendak nikah terdahulu calon pengantin telah menyetujui untuk
membaca shighat ta’liq-thalaq. 112
Apabila dalam pemeriksaan nikah telah ada persetujuan ta’liq-thalaq, tetapi
setelah akad nikah suami tidak mau membaca dan menandatangani, maka istri
berhak mengajukan kepada pengadilan agar persetujuan tentang ta’liq-thalaq
ditepati. 113
Apabila waktu akad nikah suami mewakilkan qabul kepada orang lain, maka
shighat ta’liq-thalaq dibaca dan ditandatangani oleh suami pada waktu lain
dihadapan Penghulu/Pembantu Penghulu tempat akad nikah dilaksanakan. 114
9. Setelah prosesi akad nikah di atas selesai dilakukan, Penghulu/Pembantu
Penghulu melakukan pencatatan nikah dengan aturan sebagai berikut:
a. Jika akad nikah dilaksanakan di Balai Nikah KUA Kecamatan, maka nikah
dicatat dalam Akta Nikah (model N) rangkap dua. Selanjutnya, Akta Nikah
(model N) dibacakan, dan bila perlu diterjemahkan ke dalam bahasa yang
dimengerti
oleh
yang
bersangkutan
dan
saksi-saksi,
dan
akhirnya
ditandatangani oleh suami, istri, wali, dua orang saksi dan Penghulu.
Kemudian Penghulu langsung membuatkan Buku Nikah (model NA) rangkap
dua, dengan kode nomor yang sama pada Akta Nikah. Setelah Buku Nikah
112
A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Perkawinan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta:
Fakultas Sayariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 30-31.
113
Ibid, h. 31.
114
Ibid, h. 31.
75
ditandatangani oleh Penghulu, diberikan kepada masing-masing suami dan
istri. 115
b. Jika akad nikah dilaksanakan di luar Balai Nikah dan diawasi oleh Penghulu,
maka nikah dicatat pada halaman 4 formulir model NB dan ditandatangani
oleh suami, istri, wali, dua orang saksi dan Penghulu yang mengawasi, karena
Akta Nikah (model N) tidak boleh dibawa keluar Balai Nikah. Kemudian
Penghulu langsung membuatkan Buku Nikah (model NA) rangkap dua,
dengan kode nomor yang sama pada Akta Nikah. Setelah Buku Nikah
ditandatangani oleh Penghulu, diberikan kepada masing-masing suami dan
istri. Selanjutnya, Penghulu segera mencatat dalam Akta Nikah (model N)
rangkap dua dan yang menandatanganinya hanya Penghulu saja. Suami, istri,
wali dan dua orang saksi tidak ikut menandatangani Akta Nikah (model N). 116
c. Jika akad nikah dilaksanakan di luar Balai Nikah dan diawasi oleh Pembantu
Penghulu (khusus di luar
Jawa dan Madura), maka nikah dicatat pada
halaman 4 formulir model NB dan ditandatangani oleh suami, istri, wali, dua
orang saksi dan Pembantu Penghulu yang mengawasi. Karena formulir model
NB dibuat rangkap dua sewaktu pemeriksaan kehendak nikah dilakukan oleh
Pembantu Penghulu (di luar Jawa dan Madura), maka tanda tangan pun
dibubuhkan pada kedua lembar model NB tersebut. Kemudian, selambat115
A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Perkawinan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta:
Fakultas Sayariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 31.
116
Ibid, h. 31-32.
76
lambatnya 15 hari setelah akad nikah satu lembar model NB yang dilampiri
persyaratan nikah dikirimkan kepada Penghulu yang mewilayahinya.
Penghulu yang menerima model NB dari Pembantu Penghulu memeriksa
dengan teliti, dan mencatat dalam Akta Nikah (model N) rangkap dua dan
menandatanganinya. Selanjutnya, Penghulu membuat Buku Nikah (model
NA) rangkap dua, dan memberikannya kepada Pembantu Penghulu untuk
disampaikan kepada masing-masing suami dan istri. 117
10. Penghulu wajib mengirimkan satu Akta Nikah kepada Pengadilan Agama yang
mewilayahinya dan satu Akta Nikah lagi disimpan di KUA Kecamatan sebagai
arsip.
11. Jika pengantin baru itu seorang janda atau duda karena perceraian, maka
Penghulu memberitahukan kepada Pengadilan Agama yang mengeluarkan Akta
Cerai bahwa janda/duda tersebut telah menikah lagi dengan menggunakan
formulir model ND rangkap dua. Selanjutnya, Pengadilan Agama membubuhkan
stempel dan mengirimkan lembar kedua formulir model ND kepada Penghulu,
dan Penghulu menyimpannya bersama formulir model NB. 118
6. Formulir Administratif Nikah
a. Jenis Formulir
Formulir yang berkaitan dengan pencatatan pernikahan berjumlah sebanyak
117
A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Perkawinan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta:
Fakultas Sayariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 32-33.
118
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman
Penghulu, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2005), h. 44-45.
77
16 formulir. Formulir-formulir itu dapat dikategorikan menjadi tiga jenis,
yaitu:
i. Formulir pokok, yaitu formulir yang secara langsung menjadi tanggung
jawab dan dikerjakan pengisiannya oleh Penghulu. Formulir tersebut
terdiri dari:
1. Model NB
: Daftar Pemeriksaan Nikah
2. Model NC
: Pengumuman Kehendak Nikah
3. Model N
: Akta Nikah
4. Model NA
: Kutipan Akta Nikah
ii. Formulir pelengkap, yaitu formulir yang merupakan kelengkapan dari
pelaksanaan pernikahan dan disiapkan sebelum pelaksanaan pernikahan
itu sendiri. Sebagian besar formulir tersebut pengisiannya dilakukan oleh
Kepala Desa/Kelurahan. Formulir tersebut terdiri dari:
1. Model N 1
: Surat keterangan untuk nikah.
2. Model N 2
: Surat keterangan asal-usul.
3. Model N 3
: Surat persetujuan mempelai.
4. Model N 4
: Surat keterangan tentang orang tua.
5. Model N 5
: Surat izin orang tua.
6. Model N 6
: Surat keterangan kematian suami/istri.
7. Model N 7
: Surat pemberitahuan kehendak nikah.
8. Model N 8
: Surat pemberitahuan kekurangan persyaratan nikah.
9. Model N 9
: Surat penolakan pernikahan.
78
iii. Formulir mutasi, yaitu formulir yang dipergunakan untuk memberitahukan
adanya perubahan status seseorang kepada Penghulu/Pengadilan Agama
yang sebelumnya telah mencatat talak/cerainya. Formulir ini hanya terdiri
dari:
1. Model ND
: Pemberitahuan Nikah.
2. Model NE
: Pemberitahuan poligami.
b. Pengaturan Penggunaan Beberapa Formulir Nikah
1. Formulir Pokok :
Formulir model NB :
1) Dicatat penerimaan dan penggunaannya dalam buku stock.
2) Dijilid dalam satu bundel untuk setiap tahun, beserta surat-surat yang
berhubungan dengan pernikahan untuk mempermudah penyimpanan dan
pengontrolannya.
3) Penyimpanannya diurutkan sesuai dengan nomor urut Akta Nikah.
4) Merupakan informasi pertama dan sumber utama soal pernikahan, karena
itu tidak boleh ada surat-surat yang tercecer.
Formulir model N :
1) Merupakan akta dan dijilid dalam buku @50 lembar pertama dan terakhir
serta diparaf lembar-lembar lainnya oleh Pegawai Pencatat.
2) Diberi catatan pada sampulnya, ditandatangani lembar pertama dan
terakhir serta diparaf lembar-lembar lainnya oleh Pegawai Pencatat.
3) Dicatat penerimaan dan penggunaannya dalam buku stock.
79
4) Tersimpan secara tertib dan aman di kantor dan tidak boleh dibawa ke luar
kantor.
5) Dibuat rangkap dua, lembar kedua dikirim ke Pengadilan Agama di
Kabupaten tempat peristiwa akad nikah.
Formulir model NA :
1) Dicatat penerimaan dan penggunaannya dalam buku stock.
2) Dipergunakan secara berurutan sesuai dengan seri nomornya untuk
mempermudah pengontrolan.
3) Ditulis dengan huruf balok yang rapi dan jelas dengan menggunakan tinta
hitam.
4) Dibuat rangkap dua, untuk masing-masing suami dan istri.
5) Diserahkan kepada masing-masing suami istri dengan ekspedisi khusus
dengan ditandatangani penerimaan.
i. Formulir Pelengkap
1) Dicatat penerimaan dan penggunaan dalam buku stock.
2) Diawasi penggunaannya untuk tidak dipergunakan oleh mereka yang
tidak beragama Islam.
ii. Formulir Mutasi
1) Dicatat penerimaan dan penggunaannya dalam buku stock.
2) Segera dilaksanakan pengirimannya bila terjadi perubahan. Yakni
perubahan dari status Nikah (N) menjadi Talak (T), atau dari Nikah
80
(N) menjadi Cerai (C), atau dari Talak menjadi Rujuk (R), atau dari
Talak (T) atau Cerai (C) menjadi Nikah (N) lagi.
3) Merupakan salah satu sarana pengawasan dalam ketertiban pencatatan
Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk. 119
B. Manipulasi Identitas Dalam Perkawinan
1. Pengertian Manipulasi Identitas
Ada beberapa definisi tentang manipulasi dan identitas yang secara berbeda.
Manipulasi identitas terdiri dari dua suku kata yakni manipulasi dan identitas.
Manipulasi merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa Inggris yaitu
manipulation yang berarti “penyalahgunaan atau penyelewengan”. 120 Sedangkan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, manipulasi diartikan sebagai “upaya
kelompok atau perseorangan untuk mempengaruhi perilaku sikap dan pendapat orang
lain tanpa orang itu menyadarinya”. 121
Definisi identitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung arti ciriciri, keadaan khusus seseorang, jati diri. Definisi lain dari identitas yakni persamaan,
tanda-tanda, ciri-ciri. 122
119
Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Petunjuk Pelaksanaan Perkawinan Warga
Negara Indonesia di Luar Negeri, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2002), h. 21-35.
120
John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia,
2000), h. 372.
121
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005), h. 712.
122
Santoso, Ananda & A.R Al-Hanif, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya, Penerbit
Alumni, t.th), h. 157.
81
Definisi yang dikemukakan oleh Kepala KUA Kecamatan Kadugede
mengenai manipulasi identitas adalah suatu upaya yang dilakukan oleh pihak tertentu
untuk memalsukan umur, status perkawinan, dan lain sebagainya dan itu termasuk
tindakan pidana karena telah membohongi pejabat negara pada umumnya. 123
Jadi yang dimaksud dengan manipulasi identitas dalam perkawinan adalah
suatu upaya penyelewengan atau penyimpangan yang dilakukan oleh seseorang untuk
memalsukan data-data baik berupa status, tanda-tanda, ciri-ciri maupun keadaan
khusus seseorang/jati diri yang dinilai sebagai suatu tindak pidana berupa
kebohongan kepada pejabat negara yang tujuannya untuk bisa melangsungkan
perkawinan.
Manipulasi identitas terdiri dari berbagai macam diantaranya adalah
manipulasi nama, usia bahkan status. Di Kantor Urusan Agama kecamatan kadugede
terdapat manipulasi identitas seperti status terjadi karena kurang tertib dan
optimalnya pegawai KUA dalam pemeriksaan data-data dari kedua calon pengantin
berikut para walinya. Data-data yang ditulis oleh calon pengantin tidak begitu saja
dipercaya melainkan harus diperiksa ulang dengan cara menghadirkan para pihak
yang terkait untuk melakukan pemeriksaan langsung oleh pegawai KUA yang
berwenang.
Mengenai manipulasi identitas ini dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak
bertanggung jawab, seperti oknum dari kelurahan yang memberikan suatu surat
123
Maret 2010.
Toto Sartono, Kepala KUA Kecamatan Kadugede, Wawancara Pribadi, Kuningan, 23
82
pengantar atau surat keterangan yang menerangkan tentang status orang yang masih
perjaka, padahal orang tersebut sudah mempunyai seorang istri.
Ketentuan mengenai sanksi pidana dalam perkawinan termuat dalam
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal 45 yang berbunyi : 124
1. Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku maka :
a. Barang siapa yag melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 3, 10 ayat (3)
dan 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggitingginya Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah)
b. Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 6,7, 8, 9,
10, ayat (1), 11, 13, dan 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan
hukuman selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.
7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah)
2. Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) merupakan pelanggaran.
Dalam KUHP juga diatur tentang sanksi pidana di bidang perkawinan yang
termuat dalam pasal 279 yang berbunyi:
(1) Dihukum penjara selama-lamanya 5 tahun:
1e. Barangsiapa yang kawin sedang diketahuinya, bahwa perkawinan yang
sudah ada menjadi halangan yang sah baginya akan kawin lagi.
2e. Barangsiapa dari pihak yang kawin, sedang diketahuinya, bahwa perkawinan
124
Himpunan Perundang-undangan, Op.Cit., h. 99.
83
yang sudah ada dari pihak yang lain itu akan menjadi halangan yang sah bagi
pihak lain itu akan kawin lagi.
(2) Kalau orang yang bersalah karena melakukan perbuatan yang diterapkan pada
poin 1e, menyembunyikan kepada pihak yang lain, bahwa perkawinannya yang
sudah ada itu menjadi halangan yang sah akan kawin lagi, dihukum penjara
selama-lamanya 7 tahun. (KUHP 5-1, 37)
(3) Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut dalam pasal 35 No.1-5
1. Suatu syarat supaya orang dapat dihukum menurut pasal ini ialah orang itu harus
mengetahui bahwa ia pernah kawin dan perkawinan ini masih belum dilepaskan.
Menurut pasal 199 B.W. (hukum sipil) perkawinan (nikah) itu menjadi lepas.
Undang-undang di atas merupakan satu-satunya peraturan mengenai sanksi
pidana dalam bidang perkawinan tetapi pengadilan agama yang merupakan suatu
lembaga hukum di bidang perkawinan tidak memiliki wewenang untuk mengatur atau
memutuskan masalah pidana walaupun dalam bidang perkawinan ini menjadi
wewenang bagi Pengadilan Negeri.
PP No. 9 Tahun 1975 merupakan sebuah ketentuan baru yang tujuannya
adalah bersifat preventif agar pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan dan
aparat yang diberikan tugas untuk mencatat perkawinan atau pihak-pihak yang terkait
tidak melakukan pelanggaran. Karena betapa pun kecilnya pelanggaran itu timbul
akan menjadikan pelaksanaan ketentuan perundang-undangan perkawinan tidak bisa
berlaku efektif. Selain itu, sosialisasi hukum melalui pemberdayaan hukum (law
84
enforcement)
diharapkan
akan
memotivasi
munculnya
kesadaran
hukum
dimasyarakat. 125
Kemudian antara lain yang mengatur mengenai larangan Pemalsuan identitas atau
kejahatan dalam perkawinan adalah KUHP pasal 279 dan pasal 280 yang berbunyi
: 126
Pasal 279
1) Diancam dengan pidana penjara yang lama lima tahun:
a. Barangsiapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan
yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu;
b. Barangsiapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan
atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.
2) Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat (1) butir 1 menyembunyikan
kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah
untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
3) Pencabutan hak berdasarkan pasal 35 No. 1-5 dapat dinyatakan.
Pasal 280
“Barangsiapa mengadakan perkawinan, padahal sengaja tidak memberitahu kepada
pihak lain bahwa ada penghalang yang sah, diancam pidana penjara paling lama lima
125
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003), cet.
Ke 6, h. 327.
126
Andi Hamzah, KUHAP & KUHP, (Jakarta, Rineka Cipta, 2004), cet ke-11, h. 111.
85
tahun, apabila kemudian berdasarkan penghalang tersebut perkawinan lalu dinyatakan
tidak sah”.
Meskipun secara bahasa pasal tersebut tidak menyebutkan secara langsung
mengenai larangan pemalsuan identitas, tetapi bila diteliti lebih jauh pasal tersebut
menyebutkan larangan “penyembunyian perkawinan yang telah ada” artinya bahwa
seorang laki-laki maupun perempuan dilarang untuk menyembunyikan perkawinan
yang pernah ia lakukan sebelumnya ketika ia akan menikah kembali dan itu sama
halnya dengan pemalsuan status yang masuk dalam kategori pemalsuan identitas.
Selanjutnya ada juga larangan pemalsuan Akta Nikah yang merupakan Akta
Otentik yang dapat dijadikan bukti dalam mengajukan upaya hukum yang tercantum
dalam pasal 263, 264 dan 266 dalam KUHP.
Pasal 263
1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat
menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang atau yang
diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal dengan maksud untuk
menyuruh orang lain memakai surat-surat tersebut seolah isinya benar dan tidak
palsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian karena
pemalsuan surat diancam dengan pidana paling lama enam tahun.
2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat
palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat
menimbulkan kerugian.
86
Pasal 264
“Pemalsuan Akta Otentik merupakan salah satu pemalsuan surat yang dapat diancam
dengan pidana penjara paling lama delapan tahun”.
Pasal 266
1) Barangsiapa menyuruh memalsukan keterangan palsu ke dalam surat Akta
Otentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh Akta itu,
dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu
seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam jika pemakaian itu
dapat menimbulkan kerugian dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai akta
tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika karena pemakaian
tersebut dapat menimbulkan kerugian.
Pemalsuan dalam perkawinan itu tidak hanya sebatas pada pemalsuan usia
dan status saja tetapi pemalsuan Akta Nikah juga termasuk ke dalamnya. Berdasarkan
bunyi dari pasal-pasal di atas pemalsuan Akta Nikah maupun surat-surat lainnya
merupakan suatu pelanggaran yang dapat dijatuhi hukuman penjara karena hal
tersebut dapat mengakibatkan kerugian pada orang lain.
2. Sebab dan Akibat Terjadinya Manipulasi Identitas Dalam Perkawinan
Dalam hal ini yang dialami oleh KUA Kecamatan Kadugede tempat
penelitian ini dilakukan, hanya penyelewengan berbentuk manipulasi identitas saja.
Manipulasi tersebut terjadi karena ada pihak yang ingin melakukan poligami tanpa
ingin diketahui oleh istrinya dan tidak mau mengurus ke pengadilan agama untuk
87
mendapatkan izin berpoligami. Praktik manipulasi identitas ini tentu melibatkan
oknum seperti kelurahan yang membuat surat keterangan yang menerangkan bahwa
status orang tersebut masih perjaka yang tujuannya untuk mengelabui calon istrinya
dan pihak KUA supaya bisa berpoligami tanpa ingin diketahui dari istrinya dan juga
tidak adanya izin berpoligami dari pengadilan agama.
a. Sebab-sebab terjadinya kasus manipulasi identitas dalam bidang perkawinan
Ada beberapa penyebab terjadinya manipulasi idenititas dalam perkawinan
itu, yaitu:
1) Sikap mental buruk pelaku yang pada dasarnya ingin mengeruk keuntungan
sebanyak-banyaknya hanya untuk kepentingan diri sendiri.
2) Masih kurangnya pengetahuan sebagian anggota masyarakat tentang perkawinan
berikut peraturan pelaksanaannya dan peraturan perundang-undangan lainnya
yang berlaku serta hukum munakahat.
3) Masih kurangnya tertib pelaksanaan administrasi NTCR, akibat kurangnya
pengetahan dan kemampuan teknis para Petugas/Pegawai Pencatatan Nikah
(PPN) dan wakilnya.
4) Kurang mantapnya koordinasi diantara pejabat/petugas pelaksana NTCR yang
berwenang menanganinya.
5) Belum sepenuhnya diterapkan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya, termasuk hukum munakahat belum
merata di kalangan masyarakat dan instansi-instansi yang mengakibatkan
88
kurangnya hukum. 127
6) Adanya keinginan untuk berpoligami tanpa harus diketahui oleh isterinya dan
karena merasa kerepotan apabila harus mengurus segala sesuatunya ke Pengadilan
Agama.
b. Akibat yang ditimbulkan dari adanya manipulasi idenititas dalam perkawinan
Dengan terjadinya kasus manipulasi identitas sebagaimana tersebut diatas,
maka timbullah berbagai dampak negatif, antara lain :
1) Keresahan masyarakat terutama bagi anggota masyarakat yang jadi korban,
setelah diketahui bahwa mereka jadi korban pemalsuan/manipulasi yang
dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
2) Kegelisahan aparat Departemen Agama di daerah akibat semakin beraninya
oknum-oknum melaksanakan operasinya dengan sikap menantang.
3) Berkurangnya citra pemerintah pada umumnya Departemen Agama dan
khususnya KUA.
4) Akan semakin banyaknya jumlah korban dan semakin besarnya kerugian negara
apabila kasus-kasus tersebut tidak ditanggulangi secara tuntas.
C. Upaya Pencegahan Terjadinya Manipulasi Identitas Dalam Perkawinan
Ada dua syarat penting yang apabila tidak dipenuhi, perkawinan dapat
dicegah. 128 Pertama, syarat materiil adalah syarat yang berkaitan dengan pencatatan
127
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003), cet.
Ke 6, h. 111.
128
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, PT. Sinar Grafika, Cet. 1, 2006, h. 33.
89
perkawinan, akta nikah, dan larangan perkawinan seperti yang sudah diuraikan. Dan
kedua syarat administratif adalah syarat perkawinan yang melekat pada setiap rukun
perkawinan, yang meliputi calon mempelai laki-laki dan calon mempelai wanita,
saksi, wali, dan pelaksanaan akad nikahnya, juga harus diperhatikan. Selain itu, pasal
3 PP Nomor 9 Tahun 1975 menentukan:
(1) Setiap
orang
yang
akan
melangsungkan
perkawinan
memberitahukan
kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan
dilangsungkan
(2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
(3) Pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat (2) disebut sesuatu alasan yang
penting, diberikan oleh camat atas nama bupati kepala daerah.
Selain itu dapat juga dilihat pada pasal 4, 5, 6, 7, 8, dan 9 PP Nomor Tahun
1975. Sebagai contoh pasal 8 menyatakan bahwa setelah dipenuhinya tata cara dan
syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan perkawinan, pegawai
pencatat
menyelenggarakan
pengumuman
tentang
pemberitahuan
kehendak
melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut
formulir yang sudah di tentukan dan mudah dibaca oleh umum. 129
Suatu upaya penanggulangan atau pencegahan akan lebih berdaya guna jika
upaya tersebut berpangkal tolak dari asas kausalitas (sebab akibat). Artinya tidak
129
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 34.
90
hanya menitikberatkan pembahasan kepada aspek akibatnya, tetapi yang terpenting
upaya pencegahan tersebut harus menyentuh faktor-faktor penyebabnya.
Oleh karena itu, strategi pencegahan dan pengurangan kejahatan harus
dikembangkan ke arah:
1. Memperkecil faktor-faktor yang mendorong orang melakukan kejahatan
2. Memperkecil kecendrungan orang menjadi korban kejahatan.
3. Meningkatkan kemampuan pranata sistem peradilan pidana dalam menindak dan
mencegah kejahatan. 130
Untuk lebih jelasnya di bawah ini dipaparkan mengenai upaya apa saja yang
dilakukan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan Kadugede, dalam mencegah
terjadinya pemalsuan identitas dalam perkawinan, antara lain :
1. Pemeriksaan dokumen-dokumen diri calon mempelai, data orang tua yang
tercantum dalam N1, N2, dan N4 itu harus benar-benar diteliti dengan cermat
bahkan harus dinyatakan langsung kepada calon mempelai dan wali nikah
mengenai kebenarannya. Pengecekan data diri dari calon mempelai dimaksudkan
agar petugas mengetahui apakah data yang ditulis oleh kedua calon mempelai itu
benar-benar akurat dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya atau hanya
formalitas belaka.
2. Petugas KUA dalam hal ini adalah penghulu harus memeriksa syarat dan rukun
nikahnya baik menurut hukum Islam maupun Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
130
Muhammad Mustofa, “Kejahatan dan Kekerasan, Tinjauan Kriminologis”, dalam Media
Indonesia, Selasa, 18 Mei 1993, h. 4.
91
3. Apabila para pihak yang akan menikah baik itu calon mempelainya atau orang tua
mereka tidak bisa hadir untuk pemeriksaan ulang atau pengecekan data oleh
penghulu, maka sedapat mungkin penghulu atau petugas KUA datang langsung
ke rumah mereka. Pemeriksaan para pihak atau kedua calon mempelai juga
dilakukan dengan cara mendatangi rumah mereka, hal ini dilakukan dalam upaya
mencegah terjadinya pemalsuan identitas dalam perkawinan.
4. Untuk mencegah terjadinya pemalsuan identitas juga harus diadakan penyuluhan
rutin dari KUA mengenai pernikahan kepada masyarakat terutama bagi para calon
pengantin seperti kursus calon pengantin yang diadakan oleh KUA sebanyak dua
kali dalam sebulan. Penyuluhan tentang perkawinan kepada masyarakat perlu
dilakukan oleh KUA agar bisa memberikan pengetahuan mengenai tugas dan
fungsi KUA tersebut serta memberikan informasi seputar pernikahan.
5. Pemasangan pengumuman kehendak nikah, hal ini dimaksudkan agar apabila ada
pihak-pihak yang bersangkutan merasa keberatan dengan pernikahan tersebut
dapat melaporkannya ke KUA setempat. Dengan adanya pemasangan
Pengumuman Kenhendak Nikah, maka para pihak yang terkait atau masyarakat
memliki kesempatan untuk mengecek data dari calon mempelai yang akan
menikah.
6. Selain itu kedua calon mempelai atau wali mereka diharuskan untuk datang secara
langung ke KUA berkaitan dengan pendaftaran nikah. Hal ini dimaksudkan agar
calon pengantin mengetahui siapa saja penghulu yang sah dan ditunjuk oleh
92
pemerintah agar terhindar dari adanya penghulu liar yang mengatasnamakan
KUA setempat.
Demikianlah upaya-upaya yang dilakukan oleh Kantor Urusan Agama (KUA)
kecamatan Kadugede dalam mencegah terjadinya manipulasi identitas di samping
melayani masyarakat secara optimal.
D. Analisis Penulis
Pemeriksaan berkas-berkas yang dilampirkan oleh calon pengantin di KUA
Kadugede dinilai efektif. Hal ini dapat dilihat dari proses pemeriksaan berkas-berkas
tersebut yakni dengan cara memanggil kedua calon pengantin dan wali nikahnya ke
KUA untuk kemudian akan diperiksa mengenai kebenaran data-data. Hal ini
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya manipulasi identitas, apabila petugas KUA
memeriksa ulang dokumen yang dilampirkan. Dalam hal ini kinerja KUA Kecamatan
Kadugede dalam prakteknya dinilai sudah efektif dalam menjalankan tugas dan
fungsinya. Akan tetapi, tidak adanya pengawasan dan kroscek lebih lanjut dari pihak
KUA dalam hal pemeriksaan berkas-berkas calon pengantin untuk menyelidiki akan
kebenaran data-data calon pengantin, setidaknya hal ini diperkuat dari kinerja KUA
yang tidak mau turun kelapangan. Idealnya diperlukan sinergitas antara pihak
Kelurahan dan KUA untuk meneliti kebenaran data-data calon pengantin.
Keaktifan PPN dan semua pegawai KUA harus senantiasa dilakukan dalam
upaya penyelidikan kebenaran mengenai data-data calon mempelai dan wali baik
mengenai kebenaran nama, usia dan status sehingga apa yang nantinya dituliskan
93
dalam sebuah Akta Nikah maupun berkas-berkas perkawinan adalah benar adanya
dan dapat dipertanggungjawabkan.
Selain itu penerapan hukum harus pula dilaksanakan secara tegas bagi siapa
saja yang melanggar ketentuan tersebut agar tidak ada lagi orang yang merasa
dirugikan dalam sebuah perkawinan. Selama ini kita jarang mendengar kabar tentang
seseorang yang dihukum karena telah memalsukan status dirinya dari seorang yang
telah beristri menjadi duda atau bahkan lajang, termasuk orang-orang yang telah
memalsukan akta nikah.
Yang tidak kalah pentingnya dengan upaya-upaya diatas adalah kerjasama antara
KUA yang satu dengan yang lain, karena biasanya pernikahan yang kedua itu
dilakukan di KUA yang berbeda. Selain itu data-data yang nantinya diperlukan dalam
pendaftaran pernikahan seperti KTP, KK, dan Akta Kelahiran harus benar-benar
akurat. Oleh karena itu harus ada kerjasama yang baik antara KUA dengan instansi
kelurahan yang mengatur pembuatan sumber identitas tersebut.
Jika ditinjau dari segi hukum, praktik manipulasi identitas yang dilakukan
oleh pihak kelurahan termasuk ke dalam perkara pidana, karena telah melanggar
pasal 277 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bab XIII mengenai
kejahatan terhadap asal usul dan perkawinan yang menyatakan, “Barangsiapa dengan
salah satu perbuatan sengaja menggelapkan asal usul orang, diancam karena
penggelapan asal usul dengan pidana penjara paling lama enam tahun”. Jadi, apabila
dikaitkan dengan pasal ini para pihak yang terlibat dalam praktik manipulasi identitas
tersebut dapat dikenakan sanksi, yaitu penjara paling lama enam tahun.
94
Bagi pelaku poligami tanpa izin dari pengadilan agama tentunya akan ada
sanksi karena telah melanggar pasal 279 ayat 1 point (1e) yang menyatakan
“Dihukum penjara selama-lamanya 5 tahun, barangsiapa yang kawin sedang
diketahuinya, bahwa perkawinan yang sudah ada menjadi halangan yang sah baginya
akan kawin lagi.
Penyimpangan manipulasi identitas dalam perkawinan itu terungkap apabila
ada pihak yang mengadukan ke pengadilan agama dikarenakan ada kerugian berupa
kebohongan yang dilakukan oleh orang tertentu dan pihak-pihak yang terlibat akan
diproses menurut hukum yang berlaku
Jadi, apabila tidak ada pihak lain yang merasa dirugikan dan tidak
melaporkannya kepada pihak yang berwenang, maka para pihak yang melakukan
manipulasi identitas, baik yang dilakukan oeh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau
oleh pihak lain (selain PPN) tidak dapat dikenakan sanksi pidana. Dengan kata lain,
para pihak yang melakukan manipulasi identitas dalam perkawinan baru dapat
dikenakan sanksi pidana apabila adanya pengaduan kepada pihak yang berwenang
dari pihak yang merasa dirugikan atas perkawinan tersebut.
95
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah di kemukakan pada bab-bab sebelumnya dapat
diambil beberapa kesimpulan sebagai jawaban dari beberapa pertanyaan yang
dirumuskan dalam bab pertama skripsi ini yaitu :
1. Manipulasi identitas dalam perkawinan biasanya dilakukan oleh instansi
pemerintah seperti kelurahan karena adanya pihak yang ingin melakukan
poligami sehingga memanipulasi identitasnya untuk memperoleh “jalur yang
lebih cepat” dikarenakan birokrasi yang rumit untuk mendapatkan izin poligami
dari pengadilan agama. Manipulasi identitas merupakan pelanggaran hukum yang
bisa dikenakan sanksi pidana paling lama tujuh tahun penjara.
2. Penyebab dari manipulasi identitas ini terjadi karena sikap mental yang buruk
pelaku yang hanya mementingkan keuntungan pribadi. Alasan seseorang
melakukan manipulasi identitas bisanya karena ingin berpoligami yang tidak mau
diketahui oleh isterinya dan tidak mau mengurus untuk mendapatkan izin
poligami dari pengadilan agama di karenakan birokrasi yang rumit di pengadilan
agama. Dampak yang ditimbulkan dari manipulasi identitas adalah keresahan
masyarakat, kerugian negara, citra pemerintah yang menjadi hilang dan buruk
dimata masyarakat dan akan semakin banyak korban yang akan dirugikan.
95
96
3. Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya manipulasi identitas
yaitu selain menghadirkan para pihak yang bersangkutan dalam pemeriksaan,
diharapkan juga dalam pendaftaran perkawinan kedua calon mempelai datang
langsung ke KUA, kemudian juga adanya adanya pemasangan pengumuman
kehendak nikah dan tidak kalah pentingnya adalah sosialisasi seputar pernikahan
yang harus dilakukan. Pemeriksaan terhadap calon pengantin dan wali sebaiknya
dilakukan sendiri-sendiri. Dalam pemeriksaan nikah inilah PPN harus sangat teliti
dalam memeriksa data-data yang diajukan, agar tidak ada data-data yang
dipalsukan. Oleh karena itu para pihak yang bersangkutan ditanya langsung
mengenai kebenaran dari data-data yang mereka lampirkan. Kalau pemeriksaan
data-data tidak bisa dilakukan di KUA maka pegawai yang mendatangi rumah
calon pengantin tersebut. Pihak KUA juga harus lebih memantapkan kerja
pengawasan dan kroscek lebih lanjut dalam hal pemeriksaan berkas-berkas calon
pengantin. Seharusnya pihak KUA turun kelapangan untuk mengecek kebenaran
data-data calon pengantin apabila ada data-data calon pengantin yang
mencurigakan.
B. Saran
Diakhir penulisan skripsi ini penulis ingin memberikan saran yang mudahmudahan dapat bermanfaat bagi para pihak yang terkait. Adapun saran-saran yang
akan penulis kemukakan antara lain:
1. Diharapkan bagi pemerintah agar terus mengkaji mengenai kekurangankekurangan dari pelaksanaan Undang-Undang yang telah ada dan mengupayakan
97
peningkatan sosialisasi Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
kepada masyarakat.
2. Hendaknya instansi pemerintah khususnya kelurahan hendaknya menjalankan
tugas dan fungsinya sesuai kewenangannya dan tidak menyimpang dari tugas dan
fungsinya tersebut.
3. Diharapkan Kantor Urusan Agama (KUA) harus terus melakukan koordinasi dan
kerjasama yang baik dengan instansi-instansi pemerintah yang terkait untuk
menyelidiki kebenaran data-data calon pengantin.
4. Hendaknya para pegawai Kantor Urusan Agama (KUA), agar terus menjalankan
tugas dan fungsinya secara optimal dan melakukan pemeriksaan yang ketat
terhadap berkas-berkas calon pengantin dan melakukan kroscek lebih lanjut
apabila ada data-data calon pengantin yang mencurigakan serta menjalin
kerjasama dengan instansi-instansi lain yang terkait dan melakukan pengawasan
yang ketat.
5. Diharapkan masyarakat agar selalu mentaati peraturan hukum yang ada agar
terciptanya keadilan dan ketertiban di masyarakat.
6. Hendaknya orang yang ingin berpoligami hendaknya melakukan poligami sesuai
prosedur yang telah ditetapkan oleh aturan hukum yang ada supaya tidak ada
pihak yang dirugikan.
7. Perlu dibentuk Polisi khusus tentang perkawinan, yang secara terus menerus
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat
Indonesia.
98
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, selanjutnya disebut Ibnu
Qudamah al-Mughni, (Kairo: Hijr, 1413 H/1992 M).
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Prenada Media, 2003).
Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW (Poligami Dalam Islam
VS Monogami Barat), (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993).
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,
2003).
A. Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman Di Tanah Gayo, (Jakarta: Qolbun
Salim, 2007).
A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Perkawinan dan Manajemen Keluarga,
(Jakarta: Fakultas Sayariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006).
Al-Qur’an Al-Karim
Aminullah. J, Hak dan Kewajiban Suami Isteri (Nikah Talak dan Rujuk), (Bandung:
Pelajar Bandung, 1972).
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006).
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia:
Studi Kritis Perkembangan dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta:
Kencana, 2004).
Andi Hamzah, KUHAP & KUHP, (Jakarta, Rineka Cipta, 2004), Cet. Ke-11.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005).
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Tata
Cara dan Mekanisme Pengurusan Perkawinan dan Rujuk di Indonesia,
(Jakarta: Departemen Agama RI, 2005).
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji,
Pedoman Penghulu, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2005).
99
Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Petunjuk Pelaksanaan Perkawinan
Warga Negara Indonesia di Luar Negeri, (Jakarta: Departemen Agama RI,
2002).
Dokumen Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kadugede.
Eni Setiati, Hitam Putih Poligami (Menelaah Perkawinan Poligami Sebagai Sebuah
Fenomena), (Jakarta, Cisera Publishing, 2007).
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Madav Maju, 1990).
Hartono, Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, Jakarta,
Pustaka Al-Kautsar, 2007.
Hazairin, Hukum Keluarga Nasional Indonesia, (Jakarta: Tintamas, 1961).
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Alih Bahasa M.A. Abdurrahman, (Semarang: CV.
Asy Syifa, 1990).
John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia,
2000).
Kamal Muchtar, Azas-azas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1993).
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kompilasi Hukum Islam.
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta : Persada
Media, 2003).
M. Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam & Peraturan
Pelaksanaan Lainnya Di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada, 2004).
M. Mansur bin Mashadi, Tuntunan Perkawinan dan Keluarga Bahagia Dalam Islam,
(Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1995).
M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Dari Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 dan KHI, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996).
100
M. Idris Ramulyo, Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: IND HLLCO,
1990).
M. Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: CV. Alhidayah, 1964).
M. Thalib, Analisa dan Bimbingan Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1987).
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2004).
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Alih Bahasa Masykur A.B., Afif
Muhammad, Idrus Al Kaff, (Jakarta: Lentera, 2006).
Muhammad Mustofa, “Kejahatan dan Kekerasan, Tinjauan Kriminologis,” dalam
Media Indonesia, Selasa, 18 Mei 1993.
Musfir Aj-Jahrani, Poligami dari Berbagai Persepsi,(Jakarta, Gema Insani Press,
1997).
Muhammad Zain & Mukhtar Al-Shadi, Membangun Keluarga Humanis, (Jakarta :
Graha Cipta, 2005).
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Perbandingan dalam Kalangan Ahlus
Sunnah dan Negara-negara Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1983).
Sahih Bukhari, Kitab al-Nikah dan Sahih Muslim, Fi al-Nikah, Bab Istihbab al-Nikah
liamn taqat nafsuhu ilaih.
Santoso, Ananda & A.R Al-Hanif, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya,
Penerbit Alumni, t.th).
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 7, Alih Bahasa Mohammad Thalib, (Bandung: PT.
Alma’arif, 1981).
Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1989).
Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Beirut : Dar al-Fikr, 1997 M/1418
H).
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, PT. Sinar Grafika, Cet. 1, 2006.
http://hukum online.com/detail.asp?id=15941&cl fokus, diakses tanggal 10 April
2010.
Download