hubungan jenis infeksi primer dan sekunder terhadap derajat

advertisement
HUBUNGAN JENIS INFEKSI PRIMER DAN SEKUNDER TERHADAP
DERAJAT KEPARAHAN INFEKSI DENGUE PADA PASIEN DENGUE
DI RUMAH SAKIT URIP SUMOHARJO BANDAR LAMPUNG
SKRIPSI
Oleh :
NISA ARIFAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017
HUBUNGAN JENIS INFEKSI PRIMER DAN SEKUNDER TERHADAP
DERAJAT KEPARAHAN INFEKSI DENGUE PADA PASIEN DENGUE
DI RUMAH SAKIT URIP SUMOHARJO BANDAR LAMPUNG
Oleh
NISA ARIFAH
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
SARJANA KEDOKTERAN
Pada
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017
ABSTRACT
THE RELATIONSHIP BETWEEN THE TYPE OF INFECTION TO
SEVERITY OF DENGUE INFECTION ON DENGUE PATIENTS IN URIP
SUMOHARJO HOSPITAL BANDAR LAMPUNG
By
Nisa Arifa
Background: Dengue infection is an infectious disease caused by the dengue virus
via mosquito Aedes genus especially A. aegypti and A. albopictus. Dengue infection
may be a primary infection or secondary infection. The diagnosis by serology using
IgM/IgG anti-dengue can help determine the type of dengue infection.
Objective: To determine the relationship of the type of infection to the severity of
dengue infection on dengue patients in Urip Sumoharjo Hospital Bandar Lampung.
Methods : This study uses a observational analytic method with cross sectional
approach. Research conducted at the Clinical Pathology Laboratory and Inpatient
Room of Urip Sumoharjo Hospital in November-December 2016. Total sample of 31
people is determined by consecutive sampling technique. Serology IgM / IgG antidengue performed using immunochromatography rapid test with kit to determine the
type of dengue infection. The severity of the dengue disease seen from the data
records. The research data were then analyzed with chi square test.
Results: The results showed that most respondents have a secondary infection
(77,4%) and was diagnosed with dengue haemorrhagic fever (71%). Chi-square test
results show there is a relationship type of infection to the severity of the dengue
infection on dengue patients at Urip Sumoharjo Hospital Bandar Lampung in 2016 (p
= 0.012).
Conclusion: There is a relationship type of infection to the severity of the dengue
patients.
Keywords: IgG, IgM, severity of dengue infection, type of infection.
ABSTRAK
HUBUNGAN JENIS INFEKSI TERHADAP DERAJAT KEPARAHAN
INFEKSI DENGUE PADA PASIEN DENGUE DI RUMAH SAKIT URIP
SUMOHARJO BANDAR LAMPUNG
Oleh
Nisa Arifa
Latar Belakang : Infeksi dengue merupakan suatu penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue melalui vektor nyamuk genus Aedes terutama A.
aegypti dan A. albopictus. Infeksi dengue dapat berupa infeksi primer atau infeksi
sekunder. Penegakkan diagnosis secara serologi menggunakan IgM/IgG anti
dengue dapat membantu mengetahui jenis infeksi dengue.
Tujuan : Untuk mengetahui hubungan jenis infeksi terhadap derajat keparahan
infeksi dengue pada pasien dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar
Lampung.
Metode : Penelitian ini menggunakan metode analitik observasional dengan
pendekatan cross sectional. Penelitian dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik
dan Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Urip Sumoharjo pada bulan NovemberDesember tahun 2016. Jumlah sampel penelitian yaitu 31 orang ditentukan dengan
teknik consecutive sampling. Pemeriksaan serologi IgM/IgG anti dengue
dilakukan menggunakan metode rapid immunochromatography test dengan kit
untuk mengetahui jenis infeksi dengue. Derajat keparahan penyakit dengue dilihat
dari data rekam medik. Data penelitian selanjutnya dianalisis dengan uji chi
square.
Hasil : Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar responden memiliki
infeksi sekunder (77,4%) dan didiagnosa menderita demam berdarah dengue
(71%). Hasil uji chi square menunjukan terdapat hubungan jenis infeksi terhadap
derajat keparahan pada pasien dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar
Lampung tahun 2016 (p = 0,012).
Simpulan : Terdapat hubungan jenis infeksi terhadap derajat keparahan pada
pasien dengue.
Kata Kunci : derajat infeksi dengue, IgG, IgM, jenis infeksi.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, 22 Agustus 1995, anak kedua dari dua
bersaudara, dari Bapak Hi. Ir. Syamsu Akmal M.Si dan Ibu Hj. Dra. Yesnetti
S.Pd. Penulis memiliki seorang kakak laki-laki, yaitu dr. Raihan Syafiin Syakti.
Penulis menempuh pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) di TK Al-Kautsar
Bandar Lampung pada tahun 2000-2001 dan di SD Al-Kautsar Bandar Lampung
tahun 2001-2007. Selanjutnya, penulis menlanjutkan pendidikan Sekolah
Menengah Pertama (SMP) di SMP Al-Kautsar Bandar Lampung tahun 2007-2010
dan selesai pada tahun 2010. Kemudian, penulis melanjutkan pendidikan Sekolah
Menengah Atas (SMA) di SMA 01 Natar sampai tahun 2013.
Pada tahun 2013, penulis mengikuti jalur undangan Seleksi Bersama Masuk
Perguruan Tinggi Negri (SNMPTN) dan terdaftar sebagai mahasiswi di Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung. Selain menjadi mahasiswi, penulis aktif dalam
organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) sampai dengan periode 2014-2015
dan juga tergabung dalam organisasi FSI sampai periode 2014-2015.
Sebuah Persembahan untuk Ayah
terhebat,
Ibu terbaik, Abang tersayang
Tiada hasil yang membohongi kerja keras,
Tiada doa yang tak pernah didengar,
dan Tiada cita-cita yang terwujud tanpa keyakinan.
SANWACANA
Segala puji bagi Allah SWT, Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang,
yang tiada habis memberikan kepada kita kasih dan sayang-Nya, serta hanya
dengan rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Skripsi dengan judul “Hubungan Jenis Infeksi Terhadap Derajat Keparahan
Infeksi Dengue Pada Pasien Dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar
Lampung” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran
di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1.
Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P selaku Rektor Universitas Lampung;
2.
Dr. dr. Muhartono, S. Ked., M. Kes., Sp. PA selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung;
3.
dr. Ety Apriliana, M. Biomed selaku Pembimbing Utama, atas kesediaanya
meluangkan waktu dalam membimbing skripsi, memberikan kritik, saran dan
nasihat dalam penyususan skripsi ini serta atas kesediaanya ikut serta dalam
proses penelitian;
4.
Drs. Hendri Busman, M. Biomed selaku Pembimbing Kedua, atas
kesediaanya meluangkan waktu dalam membimbing skripsi, memberikan
kritik, saran dan nasihat dalam penyusunan skripsi ini;
5.
dr. Putu Ristyaning Ayu, M.kes.,Sp.PK selaku Pembahas atas kesediaanya
meluangkan waktu dalam membahas, memberi kriktik, saran, dan nasihat
dalam penyusunan skripsi ini;
6.
dr. Dwita Oktaria, M. Pd. Ked selaku Pembimbing Akademik atas
kesediannya memberikan arahan, masukan, dan motivasi selama proses
pembelajaran;
7.
Ayah tercinta, Bapak Hi. Ir. Syamsu Akmal M.Si, atas cinta, kasih sayang,
kerja keras, doa, nasihat dan bimbingan yang terus menerus diberikan
untukku serta kepercayaan dan perjuangannya dalam mewujudkan cita-cita
putri tercintanya. Semoga Allah SWT selalu melindungi, memberikan
kesehatan, umur yang panjang, dan rezeki yang cukup;
8.
Ibunda tercinta, Ibu Hj. Dra. Yesnetti S.Pd, atas cinta, kasih sayang,
kesabaran, doa, nasihat dan bimbingan yang terus menerus diberikan untukku
serta air mata dan keringat dalam membesarkanku. Semoga Allah SWT selalu
melindungi, memberikan kekuatan, kesehatan, umur yang panjang, dan
nikmat yang cukup;
9.
Abang tersayang, dr. Raihan Syafiin Syakti, atas kasih sayang, dukungan
untuk adekmu , dan semangat yang diberikan semoga adekmu ini dapat
meneruskan cita cita mulia ini sebagai dokter yang berkompeten di bidangnya
dan semoga abang ditempatkan disurganya Allah;
10. Seluruh Staf Dosen FK Unila atas ilmu dan pengalaman yang telah diberikan
untuk menambah wawasan yang menjadi landasan untuk mencapai cita-cita;
11. Seluruh Staf Akademik, TU dan Administrasi FK Unila, serta pegawai yang
turut membantu dalam proses penelitian skripsi;
12. Seluruh dokter, perawat, dan petugas di RS. Urip Sumoharjo Bandar
Lampung yang selalu membantu selama proses penelitian.
13. Tim
skripsi,
Adlia
Ulfa,
Anisa
Wahyuni,
M.
Jyuldi
Prayoga,
Wahiddaturrohmah, terima kasih atas kerja sama dan kekompakan selama
penelitian skripsi ini.
14. Teman-teman terdekat, Rika, Shesy, Lisa, Siti, Kandita dan Glenis
terimakasih atas bantuan, doa, semangat dan keceriaan yang diberikan;
15. Orang-orang terkasih, Astri, Ika, Ayu, Andre, Indah Iswara, Seftia Varera,
Anisa Aprilia dan Fitri terimakasih atas dukungan, semangat dan doa yang
diberikan;
16. Teman-teman KKN tahun 2015 di Pekon Gunung Tiga, terimakasih atas
semangat dan doa yang diberikan;
17. Teman-teman sejawat Angkatan 2013 (Cerebellum) yang tidak bisa
disebutkan satu persatu, terimakasih atas semangat dan keceriaan yang
diberikan. Semoga kita menjadi dokter yang bermanfaat, berkualitas dan
berintegritas untuk meningkakan derajat kesehatan masyarakat di Indonesia.
Tak ada gading yang tak retak, Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini
masih jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi, semoga skripsi ini dapat
bermanfaat dan berguna bagi kita semua.
Bandar Lampung, Februari 2017
Penulis
Nisa Arifah
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .............................................................................................. i
DAFTAR TABEL ..................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. v
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ vi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .........................................................................
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................
1.3 Tujuan Penelitian......................................................................
1.3.1 Tujuan Umum .................................................................
1.3.2 Tujuan Khusus ................................................................
1.4 Manfaat penelitian ....................................................................
1.4.1 Secara Teoritis ................................................................
1.4.2 Bagi Institusi ...................................................................
1.4.3 Bagi peneliti sendiri ........................................................
1
6
6
6
6
6
6
7
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Demam Berdarah Dengue ........................................................
2.1.1 Definisi ...........................................................................
2.1.2 Epidemiologi...................................................................
2.1.3 Etilogi DBD ....................................................................
2.1.4 Vektor .............................................................................
2.1.5 Transmisi ........................................................................
2.1.6 Patogenesis DBD ............................................................
2.1.7 Gambaran Klinis .............................................................
2.1.8 Diagnosis ........................................................................
2.1.9 Pemeriksaan Laboratorium .............................................
2.2 Kerangka Teori .........................................................................
2.3 Kerangka Konsep .....................................................................
2.4 Hipotesis Penelitian ..................................................................
8
8
8
10
10
12
13
17
21
27
34
35
35
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian .........................................................................
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................
3.2.1 Tempat ............................................................................
3.2.2 Waktu ..............................................................................
3.3 Populasi dan Sampel ................................................................
3.3.1 Populasi...........................................................................
3.3.2 Sampel ............................................................................
3.4 Identifikasi Variabel Penelitian ................................................
3.5 Definisi Operasional .................................................................
3.6 Alat dan Bahan Penelitian ........................................................
3.6.1 Alat Penelitian .................................................................
3.6.2 Bahan Penelitian ..............................................................
3.7 Prosedur Penelitian ...................................................................
3.7.1 Prinsip Pemeriksaan .......................................................
3.7.2 Metode Pemeriksaan ......................................................
3.7.3 Pengambilan dan Penyimpanan Sampel ........................
3.7.4 Interpretasi Hasil Laboratorium .....................................
3.7.5 Kontrol Kualitas Internal ...............................................
3.7.6 Pengumpulan Data Rekam Medis .................................
3.8 Alur Penelitian .........................................................................
3.9 Pengumpulan Data ...................................................................
3.9.1 Data primer ....................................................................
3.9.2 Data sekunder .................................................................
3.10 Pengolahan dan Analisis Data ..................................................
3.10.1 Pengolahan Data ............................................................
3.10.2 Analisis Data .................................................................
3.11 Ethical Clearance......................................................................
36
36
36
36
37
37
37
39
39
40
40
40
40
40
41
42
42
43
43
44
45
45
45
45
45
46
47
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian .......................................................................
4.1.1 Gambaran Umum Pasien ...............................................
4.1.2 Analisis Univariat ..........................................................
4.1.3 Analisis Bivariat ............................................................
4.2 Pembahasan .............................................................................
4.2.1 Karakteristik Responden ................................................
4.2.2 Analisis Univariat ...........................................................
4.2.3 Analisis Bivariat ............................................................
48
49
50
52
53
53
56
58
ii
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ..............................................................................
5.2 Saran ........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
LAMPIRAN
63
63
65
iii
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1. Derajat DBD berdasarkan klasifikasi WHO .........................................
27
2. Definisi Operasional..............................................................................
39
3. Karakteristik pasien berdasarkan kelompok usia pada pasien dengan
infeksi dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar Lampung
tahun 2016 ............................................................................................
49
4. Karakteristik pasien berdasarkan jenis kelamin pada responden
dengan infeksi dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar
Lampung tahun 2016 ............................................................................
50
5. Karakteristik pasien berdasarkan lama demam saat pemeriksaan
serologi pada responden dengan infeksi dengue di Rumah Sakit Urip
Sumoharjo Bandar Lampung tahun 2016 ............................................
51
6. Karakteristik pasien berdasarkan jenis infeksi dengue pada responden
dengan infeksi dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar
Lampung tahun 2016 ............................................................................
51
7. Karakteristik pasien berdasarkan derajat penyakit dengue pada
responden dengan infeksi dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo
Bandar Lampung tahun 2016 ...............................................................
52
8. Hasil analisis bivariat dengan uji ficher exact hubungan jenis infeksi
terhadap derajat keparahan pada pasien dengue di Rumah Sakit Urip
Sumoharjo Bandar Lampung tahun 2016 ............................................
52
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1. Prevalensi negara dengan risiko transmisi virus Dengue ......................
9
2. Patogenesis terjadinya syok pada DBD ................................................
14
3. Peranan mast cell terhadap terjadinya DHF/DSS .................................
15
4. Karakteristik penyakit Demam Dengue ................................................
20
5. Pemeriksaan laboratorium berdasarkan onset of symptoms ..................
29
6. Kerangka Teori......................................................................................
34
7. Kerangka Konsep .................................................................................
35
8. Alur Prosedur Penelitian ......................................................................
44
v
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Kaji etik
Lampiran 2. Surat balasan perizinan tempat penelitian
Lampiran 3. Hasil data primer
Lampiran 4. Hasil analisis data penelitian
Lampiran 5. Lembar penjelasan dan informed consent
Lampiran 6. Dokumentasi penelitian
vi
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi dengue saat ini merupakan salah satu masalah kesehatan utama di
dunia. Selama tiga dekade terakhir, telah terjadi peningkatan global yang
cukup besar dalam frekuensi dan epidemi demam dengue (DD), demam
berdarah dengue (DBD), dan
sindrom syok dengue (SSD) seiring
bertambahnya insidensi penyakit (WHO, 2011).
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) merupakan
penyakit demam akut yang disebabkan oleh infeksi virus spesies flaviviridae,
yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang ditularkan melalui gigitan
nyamuk genus aedes terutama Aedes aegypti dan Aedes albopictus sebagai
vektornya. Nyamuk tersebut mempunyai sifat anthropophilic dan multiple
feeding dan kedua sifat tersebut dapat meningkatkan risiko penularan DBD di
wilayah permukiman penduduk (Sukowati, 2010). Penyebaran virus dengue
merupakan penyebaran virus oleh nyamuk yang tercepat di dunia. Nyamuk
yang mengandung virus dengue dengan kepadatan populasi yang tinggi akan
menyebabkan nyamuk kontak dengan manusia semakin banyak dan
kemungkinan manusia terserang virus semakin tinggi juga. Virus dengue
2
dapat ditularkan secara horizontal dari manusia pembawa virus ke nyamuk
(Sandina, 2011).
Penyakit DBD banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis. Data dari
seluruh dunia menunjukkan bahwa Asia menempati urutan pertama dalam
jumlah penderita DBD setiap tahunnya. World Health Organization (WHO)
mencatat Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia
Tenggara terhitung sejak tahun 1968 - 2009 (WHO, 2009). Penyakit DBD
masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang
belum dapat ditanggulangi sampai saat ini. Penyakit ini sering kali
menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) di beberapa kabupaten atau kota di
Indonesia. Pada tahun 2012, kasus DBD di Indonesia dilaporkan sebanyak
90.245 orang dengan kematian 816 orang. Pada tahun 2013, Incident Rate
(IR) DBD adalah 45,85/100.000 penduduk (Kemenkes, 2013).
Lampung merupakan salah satu dari enam provinsi yang dilaporkan terjadi
kejadian luar biasa (KLB) demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia pada
tahun 2013. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Lampung pada
akhir tahun 2011 sampai awal tahun 2015 terjadi wabah DBD hampir di
seluruh kabupaten. Laporan penderita DBD di Kota Bandar Lampung 5 tahun
berturut-turut dari tahun 2011-2015 sebanyak 413, 1608, 576, 343 dan 335
kasus sampai bulan Mei ini sehingga Kota Bandar Lampung dikategorikan
sebagai daerah endemis DBD. Kasus DBD menyebar ke beberapa kelurahan
diberbagai kecamatan. Pada tahun 2010 ada 86 kelurahan yang tergolong
3
endemis, kemudian pada tahun 2011 dan 2012 terdapat 77 kelurahan endemis
(Dinkes Lampung, 2015).
Perjalanan penyakit dengue dapat berkembang sangat cepat dalam beberapa
hari, bahkan dalam hitungan jam penderita dapat masuk dalam keadaan kritis
(Mariko, et al., 2014). Syok dan gangguan organ telah terbukti menjadi faktor
utama penyebab kematian infeksi dengue (suhendro, 2005; Moi et al., 2013;
Paranavitane e al., 2014). Infeksi dengue ditandai demam tinggi (38-400C)
yang berlangsung selama 2-7 hari, dengan gejala pendarahan, berbentuk uji
rumpel leed positif (RL) atau adanya petekie, purpura, epistaksis, perdarahan
gusi, hematemesis melena, hepatomegali, nyeri otot dan persendian. Renjatan
yang ditandai oleh rasa nyeri perut, mual, muntah, penurunan tekanan darah,
pucat, rasa dingin yang tinggi, terkadang disertai perdarahan dalam masa
inkubasi berlangsung selama 4-6 hari (Suherdo et. al., 2009).
Klasifikasi diagnosis dengue menurut World Health Organization (WHO)
adalah demam dengue (DD), demam berdarah dengue (DBD) dan sindrom
syok dengue (SSD). Menurut WHO dan Center for Disease Control and
Prevention (CDC), DBD ditandai dengan demam selama dua sampai tujuh
hari, perdarahan, trombositopeni dan penumpukan cairan di rongga tubuh
karena terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah kapiler (WHO,
2009).
Diagnosis infeksi dengue sedini mungkin sangat penting untuk mencegah
perkembangan derajat keparahan penyakit ke dalam bentuk yang lebih serius.
Namun diagnosis penyakit dengue sulit ditegakkan pada beberapa hari awal
4
sakit karena gejala yang muncul tidak spesifik dan sulit dibedakan dengan
penyakit infeksi lainnya sehingga dapat menyebabkan keterlambatan
diagnosis. Penegakkan diagnosis penyakit dengue selain dengan menilai
gejala klinis juga diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk membantu
diagnosis (Shu dan Huang, 2004; Libratyet al., 2000).
Pemeriksaan laboratorium sampai sekarang masih menjadi lini depan dalam
penegakan
diagnosis
demam
berdarah
dengue
(DBD).
Diagnosis
laboratorium infeksi dengue dapat ditegakan dengan mendeteksi virus
spesifik, antibodi dan antibodi virus melalui pemeriksaan serologi (Shu dan
Huang, 2004). Pada akhir fase akut infeksi virus dengue, metode pilihan
dalam penegakan diagnosis menggunakan tes serologi. Sayangnya sampai
saat ini penggunaan tes serologis pada pasien curiga DBD belum begitu luas.
Harga yang cukup mahal serta perlengkapan yang tidak memadai adalah
faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Padahal dengan menggunakan tes
serologis antibodi IgM dan IgG kita dapat menentukan apakah seseorang
terkena infeksi dengue primer atau sekunder (Guzman et al., 2004). Adanya
pemeriksaan IgG dan IgM sangat bermanfaat karena dapat menentukan jenis
infeksi yang terjadi pada pasien. Infeksi primer terjadi pada saat penderita
mengalami infeksi akut atau pertama kali serangan. Infeksi primer biasanya
tidak menunjukan gejala atau gejala ringan. Pada infeksi dengue yang terjadi
berulang yaitu pada infeksi sekunder menyebabkan resiko derajat keparahan
yang lebih berat. SSD merupakan infeksi sekunder yang sangat berbahaya
(Guzman et al., 2004).
5
Pada proses infeksi dengue salah satu respon imun yang berperan adalah
respon imun seluler yaitu limfosit T. Sel limfosit T, baik T-helper (CD4+)
dan T sitotoksik (CD8+), akan teraktivasi akibat stimulus sitokin seperti
interferon (IFN) atau karena adanya infeksi makrofag oleh virus. Sel T CD4+
mengaktivasi sel limfosit B untuk kemudian membentuk imunoglobulin
terutama IgM dan IgG yang berasal dari sel-sel plasma limfosit B (Sutaryo,
2004). Pembentukan immunoglobulin khususnya IgM di awal saat dengue
masuk ke dalam tubuh berperan untuk mengeliminasi virus. Keberadaan
proses ini dapat memperingan penyakit selama kadar IgM cukup banyak. Jika
kadar IgM rendah, infeksi akan berjalan lebih berat karena proses eliminasi
virus tidak memadai (Guzman et al., 2004).
Penelitian sebelumnya yang dilakukan di RSUP Sanglah menunjukan dari
data diperoleh mayoritas pasien yaitu sebanyak 22 pasien (66,7%)
menunjukkan infeksi sekunder, sedangkan sebanyak 6 pasien (18,2%)
menunjukkan infeksi primer, dan sebanyak 5 pasien (15,2%) menunjukkan
hasil negatif (Wangsa, 2014).
Bandar Lampung dan daerah sekitarnya masih menjadi daerah endemis
demam berdarah. Kejadian ini memicu terjadinya infeksi berulang yang
menyebabkan berbagai gejala klinis sehingga mempengaruhi tingkat
keparahan penyakit. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ingin
membuktikan apakah ada hubungan jenis infeksi primer dan sekunder
terhadap derajat keparahan pada pasien dengue.
6
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka yang
menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini yaitu “Apakah ada
hubungan jenis infeksi primer dan sekunder terhadap derajat keparahan pada
pasien dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar Lampung?”
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan jenis infeksi terhadap derajat keparahan pada
pasien dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar Lampung.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui prevalensi infeksi primer pada penderita infeksi dengue
di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar Lampung.
b. Mengetahui prevalensi infeksi sekunder pada penderita infeksi
dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar Lampung.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :
1.4.1 Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai
hubungan jenis infeksi terhadap derajat keparahan pada pasien
dengue.
7
1.4.2 Bagi Institusi
Hasil penelitian diharapkan untuk dapat memperbanyak penelitian
terkait infeksi dengue sebagai rujukan bacaan khususnya di Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung.
1.4.3 Bagi Peneliti Sendiri
a. Peneliti ini mendapat wawasan, baik dalam bentuk pengalaman
maupun dari segi ilmu pengetahuan tentang hubungan jenis infeksi
terhadap derajat keparahan pada pasien dengue.
b. Untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran
Umum.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Demam Berdarah Dengue
2.1.1 Definisi
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit yang
disebabkan oleh infeksi virus dengue serotipe I, II, III dan IV
(Soegijanto, 2003). DBD merupakan kondisi lanjutan dari demam
dengue dimana terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di
rongga tubuh. Kondisi paling berat dari DBD adalah SSD yaitu DBD
yang ditandai oleh syok (Suhendro,et al., 2009).
2.1.2 Epidemiologi
Demam berdarah dengue (DBD) menjadi perhatian di seluruh dunia
terutama di Asia dikarenakan sebagai penyebab utama kesakitan dan
kematian anak. Data dari WHO menunjukkan sekitar 1,8 miliar lebih
dari 70% dari populasi berisiko dengue di seluruh dunia yang tinggal di
negara anggota WHO wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat,
menderita hampir 75% dari beban penyakit global saat ini disebabkan
oleh demam berdarah dengue (WHO, 2011). Epidemi DBD adalah
9
masalah kesehatan utama masyarakat di Indonesia, Myanmar, Sri
Langka, Thailand dan Timor Leste yang berada di zona hujan tropis dan
katulistiwa dimana nyamuk Aedes aegypti tersebar luas di daerah
perkotaan dan pedesaan, tempat beberapa serotipe virus beredar.
Gambar 1. Prevalensi Negara Dengan Risiko Transmisi Virus Dengue
(Sumber : WHO, 2011)
Demam berdarah dengue pertama kali digunakan di Asia Tenggara
tahun 1953 di Filipina. DBD di Indonesia pertama kali dicurigai pada
tahun 1968 terdapat di Surabaya dan konfirmasi virologisnya diperoleh
pada tahun 1970. Tahun 1972 epidemi pertama di luar Jawa dilaporkan
terdapat di Sumatera Barat dan Lampung kemudian tahun 1973 disusul
Riau, Sulawesi Utara dan Bali. Saat ini DBD sudah endemis di kota
besar dan penyakit ini telah berjangkit di daerah pedesaan.
(WHO, 2011).
Berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan Indonesia tahun 2012
menyebutkan jumlah penderita DBD di Indonesia sebanyak 90.245
10
kasus dengan jumlah kematian 816 orang (Indeks Rate/IR= 37,27 per
100.000 penduduk dan Case Fatality Rate/CFR= 0,90 %). Jumlah kasus
penyakit DBD terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Barat yaitu 19.663
kasus diikuti oleh Jawa Timur (8.177 kasus), Jawa Tengah (7.088
kasus) dan DKI Jakarta (6.669 kasus).Keempatnya merupakan provinsi
yang memiliki jumlah penduduk terbesar dimana ini merupakan faktor
risiko dari penyebaran penyakit dengue (Kemenkes, 2012).
2.1.3 Etilogi
Demam berdarah dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue yang
ditularkan oleh nyamuk. Virus dengue ini termasuk kelompok B
arthropod virus (Arbovirus) yang sekarang dikenal sebagai genus
flavivirus, famili flaviviridae dan mempunyai 4 jenis serotipe yaitu
DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Infeksi dari salah satu serotipe
menimbulkan antibodi terhadap virus yang bersangkutan, sedangkan
antibodi yang terbentuk untuk serotipe lain sangat kurang, sehingga
tidak dapat memberikan perlindungan terhadap serotipe lain. Seorang
yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3/4
serotipe yang berbeda selama hidupnya. Serotipe DEN-3 merupakan
serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan
manifestasi klinik yang berat (CDC, 2009).
2.1.4 Vektor
Virus dengue ditularkan ke tubuh host melalui gigitan nyamuk. Vektor
utama demam berdarah dengue (DBD) adalah Aedes aegypti sedangkan
11
Aedes albopictus sebagai vektor potensialnya. Aedes aegypti dewasa
berukuran
lebih
kecil
dibandingkan
ukuran
nyamuk
rumah.
Morfologinya cukup khas yaitu memiliki gambaran lira putih pada
punggungnya. Nyamuk betina meletakkan telurnya di dinding tempat
perindukannya 1-2 cm di atas permukaan air. Pertumbuhan dari telur
hingga menjadi nyamuk dewasa memerlukan waktu kira-kira 9 hari
(Departemen Parasitologi FK UI, 2008).
Tempat perindukan utama Aedes aegypti adalah tempat-tempat berisi
air bersih yang letaknya berdekatan letaknya dengan rumah penduduk
biasanya kurang dari 500 meter. Tempat perindukan dapat berupa
tempayan, bak mandi, kaleng, kelopak daun tanaman dan tempat yang
berisi air lainnya (Guzman et al., 2010).
Nyamuk betina mengisap darah manusia pada siang hari. Pengisapan
darah dilakukan dari pagi hari sampai petang dengan dua puncak waktu
yaitu setelah matahari terbit (pukul 8.00-10.00) dan sebelum matahari
terbenam (pukul 15.00-17.00). Aedes aegypti beristirahat di tempat
berupa semak-semak, rerumputan, atau dapat juga di benda-benda yang
tergantung dalam rumah, seperti pakaian. Nyamuk ini dapat hidup
selama sepuluh hari di alam bebas. Aedes aegypti mampu terbang
sejauh jarak 2 kilometer, walaupun umumnya jarak terbangnya cukup
pendek yaitu kurang dari 40 meter (Departemen Parasitologi FK UI,
2008)
12
2.1.5 Transmisi
Nyamuk Aedes aegypti dapat mengandung virus dengue setelah
menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus
yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari
(extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada
manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina
dapat ditularkan kepada telurnya (transovarian transmission), namun
perannya dalam penularan virus tidak penting. Sekali virus dapat masuk
dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan
dapat menularkan virus selama hidupnya (Sutaryo, 2004).
Transmisi dengue biasa terjadi saat musim hujan ketika suhu dan
kelembaban kondusif bagi perkembang biakan vektor pada habitat
sekunder yang baik bagi kelangsungan hidup nyamuk. Selain
mempercepat siklus hidup Aedes aegypti, suhu lingkungan juga
mengakibatkan produksi nyamuk ukuran kecil, dan mengurangi masa
inkubasi ekstrinsik virus. Nyamuk betina ukuran kecil dipaksa untuk
mengambil lebih banyak makanan darah guna mendapatkan protein
yang dibutuhkan untuk produksi telur. Hal tersebut menyebabkan
peningkatan jumlah individu yang terinfeksi dan memungkinkan
terjadinya epidemi (WHO, 2011).
Saat musim kemarau, beberapa faktor berkontribusi dalam inisiasi dan
mempertahankan terjadinya epidemi dengue diantaranya strain virus,
perilaku, kepadatan atau jumlah dan kapasitas vektor pada populasi
vektor, kerentanan populasi manusia, dan pemajanan virus terhadap
13
populasi
tertentu. Jenis
strain
virus
yang menginfeksi
dapat
mempengaruhi besar dan durasi viremia pada seseorang. Kerentanan
populasi manusia dipengaruhi oleh faktor genetik dan status imun
individu (Bhatt et al., 2013).
2.1.6 Patogenesis
Patogenesis demam berdarah dengue (DBD) dan sindrom syok dengue
(SSD) masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang
banyak dipakai pada DBD dan SSD adalah hipotesis infeksi sekunder
(secondary heterologous infection theory) atau hipotesis immune
enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa
pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe
virus dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar
untuk menderita DBD atau SSD (IDAI, 2012).
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain
yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen
antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel
leokosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus
tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan
replikasi dalam sel makrofag (Sohendro et. al., 2009).
14
Secondary heterologous dengue infection
Anamnestic antibody response
Replikasi virus
Kompleks virus-antibodi
Aktivasi komplemen
komplemen
Anafilatoksin (C3a, C5a)
Histamin dalam urin
meningkat
Permeabilitas kapiler meningkat
>30% pada kasus
syok 24-28 jam
Perembesan plasma
Ht meningkat
Natrium menurun
Hipovolemi
Cairan dalam rongga
serosa
Syok
Anoksia
Asidosis
Meninggal
Gambar 2 Patogenesis terjadinya syok pada DBD
(Sumber: WHO, 2009)
Menurut hipotesis infeksi sekunder, sebagai akibat infeksi sekunder
oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik
pasien akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit
dan menghasilkan titer tinggi IgG antidengue. Proliferasi limfosit juga
menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue di limfosit.
Mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya
mengaktifasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya
cairan ke ekstravaskular. Peningkatan permeabilitas terbukti dengan
15
peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya
cairan dalam rongga serosa (Kemenkes, 2010).
Gambar 3. Peranan mast cell terhadap terjadinya DBD/SSD
(Sumber :Saint John, et al., 2013)
Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah
respons humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam
proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi antibodi. Antibodi
terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus
pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent
enhancement (ADE) (Rena et al., 2009).
Virus dengue masuk ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Aedes
sp. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus dengue akan menuju
organ sasaran yaitu sel kupffer hepar (Clyde et al., 2006). Siklus
intraseluler virus dengue hampir serupa dengan siklus virus lain yang
16
juga tergolong dalam genus flavivirus. Infeksi virus dengue dimulai saat
vektor mengambil darah host dan memasukkan virus ke dalamnya.
Virus dengue berikatan dan masuk ke dalam sel host melalui proses
endositosis yang dimediasi oleh reseptor afinitas rendah seperti sel
dendritik (Clyde et al., 2006). Virus dengue juga dapat menginfeksi
leukosit, jantung, ginjal, lambung, bahkan menembus sawar darah otak
(Singhi et al., 2007). Peningkatan aktivasi kekebalan, khususnya selama
infeksi sekunder, menyebabkan respon sitokin menjadi berlebihan
sehingga terjadi
perubahan permeabilitas
vaskular.
Mekanisme
imunopatogenesis infeksi virus dengue melibatkan respon humoral
berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi
virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang
dimediasi antibodi, limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik
(CD8), monosit dan makrofag, sitokin serta aktivasi komplemen (Clyde
et al., 2006). Virus akan ditangkap, kemudian antigen virus diproses
dengan cara dipecah secara proteolitik menjadi bagian yang lebih kecil
oleh antigen presenting cell (APC) yaitu molekul histokompatibilitas
(MHC) kelas I, atau makrofag dan sel dendritik. Setelah terpajan pada
antigen yang sesuai,
APC meninggalkan jaringan dan bermigrasi
melalui pembuluh limfe ke kelenjar limfe, dan mengaktivasi sel T
helper (CD4) dan sel T sitotoksik (CD8) yang menghasilkan limfokin
dan interferon γ (Kumar et al., 2007; Clyde et al., 2006).
Selanjutnya,
interferon
γ
akan
mengaktivasi
makrofag
yang
menyebabkan sekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF α, IL-1,
dan PAF (platelet activating factor), IL-6 dan histamin (Rena et al.,
17
2009).
Peningkatan
sekresi
sitokin
akan
mengaktivasi
sistem
komplemen (C3 dan C5) yang menyebabkan terbentuknya C3a dan
C5a. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas
plasma dinding pembuluh darah dan perembesan plasma dari ruang
intravaskuler ke ekstravaskuler (plasma leakage), suatu keadaan yang
berperan dalam terjadinya syok. Kenaikan kadar C3a mempunyai
korelasi dengan berat ringan penyakit. Kadar C3a pada DBD dengan
syok secara bermakna lebih tinggi dari pada kelompok lain yang lebih
ringan (Sutaryo, 2004).
2.1.7 Gambaran Klinis
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik,
maupun simtomatik berupa demam tidak khas (viral syndrome), demam
dengue, demam berdarah dengue dan sindrom syok dengue, bahkan
expanded dengue syndrome yang disertai organopati (WHO, 2011).
Infeksi oleh satu serotipe dengue memberikan imunitas seumur hidup
terhadap serotipe tersebut, akan tetapi hanya terdapat cross protective
jangka pendek terhadap serotipe lainnya. Manifestasi klinis yang
muncul tergantung pada strain virus yang menginfeksi dan faktor host,
seperti usia, dan status imunitas seseorang (WHO, 2011).
World Health Organization (WHO) pada tahun 2011 mengeluarkan
Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control sebagai
panduan tatalaksana DBD dengan membagi demam dengue menjadi 3
fase, yaitu sebagai berikut:
18
a. Fase Demam
Penderita mengalami demam akut 2-7 hari disertai muka wajah
memerah, kulit memerah, nyeri seluruh badan, mialgia, atralgia dan
sakit kepala. Gejala lain seperti nyeri tenggorokan, faring hiperemis,
konjungtiva hiperemis. Anorexia, nausea dan muntah muntah umum
terjadi. Sulit untuk membedakan dengue dengan non-dengue pada
fase demam, uji torniquet positif mempertinggi kemungkinan
penderita mengalami infeksi virus dengue. Monitor diperlukan untuk
menilai timbulnya tanda bahaya (warning sign) yang akan membuat
pasien masuk ke fase ke 2 fase kritis. Manifestasi perdarahan ringan
seperti petekie dan perdarahan membran mukosa seperti perdarahan
hidung dan gusi dapat terjadi. Perdarahan pervaginam yang masif
dapat terjadi pada wanita usia muda dan perdarahan saluran cerna
dapat terjadi pada fase ini tetapi jarang. Hati dapat membesar dan
tegang/nyeri setelah demam beberapa hari. Tanda paling awal dari
pemeriksaan
darah
rutin
adalah
menurunnya
total
leukosit
(leukopenia) yang dapat menjadi dasar klinisi untuk menilai pasien
sudah terjangkit virus dengue (WHO, 2011).
b. Fase Kritis
Selama fase rawatan, pada saat temperatur tubuh turun menjadi ≤
37,5-38oC dan bertahan pada suhu tersebut, terjadi pada hari ke 3-7,
meningkatnya
permeabilitas
kapiler
bersamaan
dengan
meningkatnya kadar hematokrit dapat terjadi. Ini merupakan tanda
awal
fase
kritis.Leukopenia
yang
progresif
diikuti
dengan
19
menurunnya jumlah trombosit mengiindikasikan kebocoran plasma.
Efusi pleura dan asites dapat terdeteksi tergantung dari derajat
kebocoran plasma dan volume dari terapi cairan. Foto thorax dan
ultrasonografi abdomen dapat digunakan untuk mendiagnosa efusi
pleura dan asites. Syok dapat terjadi didahului oleh timbulnya tanda
bahaya (warning sign). Temperatur tubuh dapat subnormal saat syok
terjadi. Syok yang memanjang, terjadi hipoperfusi organ yang dapat
mengakibatkan
kegagalan
organ,
metabolik
asidosis
dan
disseminated intravascular coagulation (DIC). Hepatitis akut yang
berat, ensefalitis, miokarditis dan atau terjadi perdarahan yang masif
dapat terjadi.Pasien yang membaik dalam fase ini disebut sebagai
non-severe dengue. Pasien yang memburuk akan menunjukkan tanda
bahaya. Pasien ini bisa membaik dengan rehidrasi intravena atau
memburuk kembali yang disebut severe dengue (WHO, 2011).
Severe dengue didefinisikan bila didapati satu atau lebih hal-hal
berikut ini:
1. Kebocoran plasma yang mengarah pada syok
2. Perdarahan hebat
3. Gangguan berat organ (WHO, 2011).
Biasanya terjadi pada hari ke-4 atau ke-5 demam berkisar antara hari
ke 3-7, ditandai dengan tanda bahaya. Kompensasi tubuh untuk
mempertahankan tekanan sistolik menyebabkan takikardia dan
vasokonstriksi perifer, ditandai dengan akral dingin dan peningkatan
20
capillary refill time. Akhirnya terjadi dekompensasi dan tekanan
darah menghilang. Syok akibat hipotensi dan hipoksia akan
menyebabkan kegagalan multiorgan (WHO,2011).
c. Fase Penyembuhan
Bila pasien telah melewati 24-48 jam fase kritis, reabsorpsi cairan
dari kompartemen ekstravaskular terjadi dalam 48-72 jam. Keadaan
umum membaik, kembalinya nafsu makan, berkurangnya gejala
gastrointestinal, hemodinamik stabil dan cukup diuresis. Bradikardia
dan perubahan elektrokardiogram (EKG) dapat terjadi pada fase ini.
Hematokrit kembali normal atau lebih rendah karena efek dilusi
cairan yang diberikan. Leukosit kembali meningkat disusul dengan
meningkatnya trombosit (WHO, 2011).
Gambar 4.Karakteristik penyakit Demam Dengue
(Sumber :WHO, 2011)
21
2.1.8 Diagnosis
World Health Organization (WHO) melalui guidelinenya tahun 2009
menyatakan bahwa pasien demam dengue dapat diklasifikasikan ke
dalam 4 kriteria yaitu sebagai berikut:
a. Undifferentiated Fever (Sindrom Infeksi Virus)
Pada undifferentiated fever, demam sederhana yang tidak dapat
dibedakan dengan penyebab virus lain. Demam disertai kemerahan
berupa makulopapular, timbul saat demam reda. Gejala dari saluran
pernapasan dan saluran cerna sering dijumpai.
b. Demam Dengue
1. Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan keluhan demam mendadak tinggi,
disertai nyeri kepala, nyeri otot, nyeri sendi dan tulang, nyeri
retro-orbital, photophobia, nyeri pada punggung, facial flushed,
lesu, tidak mau makan, konstipasi, nyeri perut, nyeri tenggorok,
dan depresi umum.
2. Pemeriksaan fisik
a) Demam didapatkan dengn suhu 39-40°C, berakhir 5-7 hari.
b) Pada hari sakit ke 1-3 tampak flushing pada muka (muka
kemerahan), leher, dan dada.
c) Pada hari sakit ke 3-4 timbul ruam kulit makulopapular atau
rubeolliform.
d) Mendekati akhir dari fase demam dijumpai petekie pada kaki
bagian dorsal, lengan atas, dan tangan.
22
e) Convalescent rash, berupa petekie mengelilingi daerah yang
pucat pada kulit yg normal, dapat disertai rasa gatal.
f) Manifestasi perdarahan
1) Uji rumple leed positif dan/atau petekie.
2) Epitaksis hebat, menstruasi yang lebih banyak, perdarahan
saluran cerna (jarang terjadi, dapat terjadi pada DD dengan
trombositopenia).
c. Demam Berdarah Dengue
Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit, meliputi fase demam,
kritis, dan masa penyembuhan (convalescence/recovery).
1. Fase Demam
a) Anamnesis
Demam tinggi, 2-7 hari, dapat mencapai 400C, serta terjadi
kejang demam. Dijumpai facial flush, muntah, nyeri kepala,
nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorok dengan faring hiperemis,
nyeri di bawah lengkung iga kanan, dan nyeri perut.
b) Pemeriksaan Fisik
1) Manifestasi perdarahan
a) Uji bendung positif (>10 petekie/inch2) merupakan
manifestasi perdarahan yang paling banyak pada fase
demam awal
b) Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan untuk
jalur vena
c) Petekie pada ekstremitas, ketiak, muka, palatum lunak
23
d) Epistaksis, perdarahan gusi
e) Perdarahan saluran cerna
f) Hematuria (jarang)
g) Menorrhagia
2) Hepatomegali teraba 2-4 cm di bawah arcus costae kanan
dan disertai kelainan fungsi hati (terutama transaminase)
lebih sering ditemukan pada DBD.
Berbeda dengan DD, pada DBD terdapat hemostasis yang tidak
normal, perembesan plasma khususnya pada rongga pleura dan
rongga peritoneal, hipovolemia, dan syok, karena terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler.Perembesan plasma yang
mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam rongga pleura dan
rongga peritoneal terjadi selama 24-48 jam.
2. Fase Kritis
Fase kritis terjadi pada saat perembesan plasma yang berawal
pada masa transisi dari saat demam ke bebas demam disebut fase
time of fever defervescence ditandai dengan,
a) Peningkatan hematokrit 10%-20% di atas nilai dasar.
b) Tanda perembesan plasma seperti efusi pleura dan asites,
edema pada dinding kandung empedu. Foto dada (dengan
posisi right lateral decubitus = RLD) dan ultrasonografi dapat
mendeteksi perembesan plasma tersebut.
24
c) Terjadi penurunan kadar albumin >0.5g/dL dari nilai dasar /
<3.5 g% yang merupakan bukti tidak langsung dari tanda
perembesan plasma
d) Tanda-tanda syok yaitu dilihat dari anak gelisah sampai terjadi
penurunan kesadaran, sianosis, nafas cepat, nadi teraba lembut
sampai tidak teraba. Hipotensi, tekanan nadi ≤20 mmHg,
dengan peningkatan tekanan diastolik. Akral dingin, capillary
refill time memanjang (>3 detik). Diuresis menurun (< 1ml/kg
berat badan/jam), sampai anuria.
e) Komplikasi
berupa
asidosis
metabolik,
hipoksia,
ketidakseimbangan elektrolit, kegagalan multipel organ, dan
perdarahan hebat apabila syok tidak dapat segera diatasi.
3. Fase Penyembuhan (Convalescence, Recovery)
Fase penyembuhan ditandai dengan diuresis membaik dan nafsu
makan kembali merupakan indikasi untuk menghentikan cairan
pengganti. Gejala umum dapat ditemukan sinus bradikardia/
aritmia dan karakteristik confluent petechial rash seperti pada
DD.
d. Expanded Dengue Syndrome
Manifestasi berat yang tidak umum terjadi meliputi berbagai organ
seperti hati, ginjal, otak dan jantung. Kelainan organ tersebut
berkaitan dengan infeksi penyerta, komorbiditas, atau komplikasi
dari syok yang berkepanjangan.
25
1. Diagnosis
DBD atau DSS ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan
laboratorium.
2. Kriteria Klinis
Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung
terus-menerus selama 2-7 hari.
a) Manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif, petekie,
purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis,
dan/melena
b) Pembesaran hati
c) Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan
nadi (≤20 mmHg), hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit
lembab, dan pasien tampak gelisah.
3. Kriteria Laboratorium
a) Trombositopenia (≤100.000/mikroliter)
b) Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit
c) 20% dari nilai dasar / menurut standar umur dan jenis kelamin
(WHO, 2012).
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan,
a. Dua
kriteria
klinis
pertama
ditambah
trombositopenia
hemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit >20%.
b. Dijumpai hepatomegali sebelum terjadi perembesan plasma.
c. Dijumpai tanda perembesan plasma
1. Efusi pleura (foto toraks/ultrasonografi)
2. Hipoalbuminemia
dan
26
d. Perhatian
1. Pada kasus syok, hematokrit yang tinggi dan trombositopenia
yang jelas, mendukung diagnosis DSS.
2. Nilai LED rendah (<10mm/jam) saat syok membedakan DSS dari
syok sepsis (WHO,2012).
Pada tahun 2011, WHO mengembangkan suatu sistem klasifikasi
derajat keparahan penyakit infeksi dengue yang digunakan sebagai
pedoman diagnosis dan penentuan tatalaksana infeksi dengue. Diagnosis
infeksi
dengue dilihat dari Gejala klinis ditambah trombositopenia
ditambah hemokonsentrasi, kemudian dikonfirmasi dengan deteksi
antigen virus dengue (NS1) atau dan uji serologi anti dengue positif
(IgM anti dengue atau IgM/IgG anti dengue positif). Derajat keparahan
infeksi dengue diklasifikasikan menjadi 4 derajat seperti yang tertera
pada tabel 1 (Macedo et al., 2014).
27
Tabel 1. Derajat DBD berdasarkan klasifikasi WHO (2011)
DD/DBD
DD
Derajat
DBD
I
DBD
II
DBD
III
DBD
IV
Tanda dan gejala
Demam disertai minimal
dengan 2 gejala
1. Nyeri kepala
2. Nyeri retro-orbital
3. Nyeri otot
4. Nyeri sendi/ tulang
5. Ruam kulit
makulopapular
6. Manifestasi
perdarahan
7. Tidak ada tanda
perembesan plasma
Demam dan manifestasi
perdarahan (uji bendung
positif)
dan
tanda
perembesan plasma
Seperti
derajat
I
ditambah
perdarahan
spontan
Laboratorium
1. Leukopenia (jumlah
leukosit
≤4000sel/mm3)
2. Trombositopenia
(jumlah trombosit
<100.000sel/ mm3)
3. Peningkatan
hematokrit
(5%10%)
4. Tidak ada bukti
perembesan plasma
Trombositopenia
<100.000sel/mm3;
peningkatan hematokrit
≥20%
Trombositopenia
<100.000sel/mm3;
peningkatan hematokrit
≥20%
Trombositopenia
<100.000sel/mm3;
peningkatan hematokrit
≥20%
Seperti derajat I atau II
ditambah
kegagalan
sirkulasi (nadi lemah,
tekanan nadi ≤20mmHg,
hipotensi,
gelisah,
diuresis menurun
Syok
hebat
dengan Trombositopenia
tekanan darah dan nadi <100.000sel/mm3;
yang tidak terdeteksi
peningkatan
hematokrit20%
2.1.9 Pemeriksaan Laboratorium
Beberapa parameter pemeriksaan laboratorium sederhana bagi pasien
DD adalah :
a. Leukosit
Leukosit dapat normal atau menurun, Mulai hari ke 3 dapat ditemui
limfositosis relative (>45% dari total leukosit) disertai adanya
limfosit plasma biru (LPB) >15% dari total leukosit yang pada fase
syok akan meningkat.
28
b. Trombosit
Umumnya terdapat trombositopenia (<100.000/mm3) pada hari ke
3-8. Trombosit akan menigkat kembali setelah memasuki fase
convalescence.
c. Hematokrit
Kebocoran Plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan
hematokrit >20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari
ke-3 demam.
Metode diagnosis laboratorium lanjutan untuk mengkonfirmasikan
infeksi virus dengue melibatkan deteksi virus, asam nukleat virus,
antigen atau antibodi, atau kombinasi dari teknik ini. Setelah timbulnya
penyakit, virus dapat dideteksi dalam serum, plasma, sirkulasi sel darah
dan jaringan lain selama 4-5 hari. Selama tahap awal penyakit, isolasi
virus, asam nukleat atau deteksi antigen bisa digunakan untuk
mendiagnosa infeksi. Pada akhir fase akut infeksi, serologi adalah
metode pilihan untuk diagnosis (WHO, 2009).
Respon antibodi terhadap infeksi berbeda sesuai dengan status
kekebalan dari penderita. Infeksi dengue terjadi pada orang yang
sebelumnya belum pernah terinfeksi sebuah flavivirus atau diimunisasi
dengan vaksin flavivirus misalnya untuk demam kuning, (Japanesse
encephalitis), pasien menghasilkan respon antibodi primer yang
ditandai dengan peningkatan antibodi spesifik secara perlahan.
(WHO 2009).
29
Antibodi IgM adalah imunoglobulin yang pertama muncul. Antibodi ini
terdeteksi pada 50% pasien selama hari ke 3-5 setelah onset penyakit,
meningkat menjadi 80% pada hari ke-5 dan 99% pada hari ke 10.
Tingkat IgM mencapai puncaknya sekitar dua minggu setelah
timbulnya gejala dan kemudian menurun umumnya ke tingkat tidak
terdeteksi selama 2-3 bulan. Serum anti dengue IgG umumnya
terdeteksi pada titer rendah pada akhir minggu pertama penyakit,
meningkat perlahan-lahan setelahnya dengan serum IgG masih
terdeteksi setelah beberapa bulan dan mungkin bahkan seumur hidup
(Guzman, 2004).
Gambar 5. Pemeriksaan laboratorium berdasarkan onset of symptoms
(Sumber: WHO, 2009)
Selama infeksi dengue sekunder merupakan infeksi dengue pada host
yang sebelumnya telah terinfeksi oleh Virus Dengue, atau kadangkadang setelah vaksinasi flavivirus non-dengue atau infeksi, titer
antibodi meningkat pesat dan bereaksi secara luas terhadap banyak
flavivirus.
30
IgG adalah immunoglobulin yang dominan terdeteksi pada tingkat
tinggi, bahkan di fase akut, dan menetap selama periode yang
berlangsung dari 10 bulan sampai seumur hidup. Tingkat IgM lebih
rendah pada infeksi sekunder dibandingkan yang primary dan mungkin
tidak terdeteksi dalam beberapa kasus. Untuk membedakan Infeksi
dengue primer dan sekunder, rasio antibodi IgM atau IgG sekarang
lebih sering digunakan dibandingkan dengan tes haemagglutinationinhibition (HI) (WHO, 2009).
Antibody IgM dengue umumnya diperiksa dengan menggunakan IgM
Antobody-Captured Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (MAC –
ELISA) sementara IgG diperiksa dengan IgG ELISA test. Sementara itu
NS1 diperiksa dengan NS1 Kit (Malavige, G.N., 2004). Sementara di
Indonesia menurut Depkes RI (2011), digunakan Rapid Diagnosis Test
(RDT) untuk mendeteksi NS1, IgG dan IgM sebagai uji diagnostik.
Secara umum, tes dengan sensitivitas dan spesifisitas tinggi
memerlukan teknologi yang lebih kompleks dan keahlian teknis,
sedangkan tes cepat dapat mengganggu sensitivitas dan spesifisitas
demi kemudahan kinerja dan kecepatan. Isolasi virus dan deteksi asam
nukleat lebih mahal, tetapi juga lebih spesifik dari pada deteksi antibodi
menggunakan metode serologi. Gambar di atas ini menunjukkan
hubungan terbalik antara kemudahan menggunakan dan memperoleh uji
diagnostik dengan kepercayaan pada hasil tes (WHO, 2009).
31
Hasil Analisia (Pok,et al.,2010) menunjukkan bahwa RT-PCR adalah
metode diagnostik paling sensitif dan paling spesifik (100%) dalam 3
hari pertama demam. Sementara sensitifitas rata-rata dari pemeriksaan
antigen NS1 dengue dalam periode yang sama adalah 81,7%, yang
menunjukkan bahwa pemeriksaan ini cukup potensial sebagai
pemeriksaan yang cukup terpercaya dan lebih hemat sebagai metode
diagnosis alternatif deman dengue dari RT-PCR di pusat kesehatan
primer. Rendahnya sensitifitas dalam mendiagnosa infeksi DBD
sekunder menjadi salah satu kelemahan pemeriksaan uji antigen NS1
dengue. Tingkat sensitifitas dari pemeriksaan IgM tergantung dari alat
yang kita gunakan. Pada perbandingan antara 9 buah MAC-ELISA kit
yang dijual bebas didapati sensitivitasnya berkisar dari 21-99%
sementara spesitifitasnya 77-98%. Ditemukan juga adanya false
positive pada pasien malaria dan mantan pasien DBD (Hunsperger et
al., 2009).
Tingkat sekresi nonstructural protein NS1 (sNS1) bebas Virus Dengue
dalam plasma berhubungan dengan tingkat viremia dan lebih tinggi
pada pasien dengan DHF dibandingkan dengan DF.sNS1 yang
meningkat (≥ 600 ng/mL) dalam 72 jam setelah onset penyakit
mempunyai risiko yang tinggi untuk menjadi DHF (Depkes RI, 2010).
Menurut Kemenkes (2010) pembagian Rapid Diagnostic Test (RDT)
yang digunakan di Indonesia sebagai berikut:
32
a. Rapid Test NS1
Kit yang digunakan Dengue Dx NS1 Antigen Rapid Test. Setiap tes
berisikan satu membrane strip, yang telah dilapisi dengan antidengue NS1 antigen capture pada daerah garis tes. Anti-dengue NS1
antigen-colloid gold conjugate dan serumsampel bergerak sepanjang
membran menuju daerah garis tes (T) dan membentuk suatu garis
yang dapat dilihat sebagai suatu bentuk kompleks antibody-antigenantibody gold particle. Dengue Dx NS1 Antigen Rapid Tes memiliki
dua garis hasil, garis ”T” (garis tes) dan ”C” (garis kontrol). Kedua
garis ini tidak akan terlihat sebelum sampel ditambahkan. Garis
kontrol C digunakan sebagai kontrol prosedur.Garis ini selalu
muncul jika prosedur tes dilakukan dengan benar dan reagen dalam
kondisi baik. Interpretasi hasil pengujian adalah:
1. Hasil Negatif:Jika terbentuk garis pada area garis kontrol (C).
2. Hasil Positif: Jika terbentuk garis pada area garis (T) dan (C).
3. Hasil Invalid: jika tidak terbentuk garis pada area garis kontrol
(C). Untuk hasil Invalid dilakukan tes ulang (kemekes, 2010).
b. Rapid Tes IgG/IgM
Kit yang digunakan adalah Dengue Dx IgG/IgM Rapid Tes. Dengue
Dx IgG/IgM tes memiliki tiga garis pre-coated pada permukaan
membran. Garis tes dengue IgG (G), garis tes dengue IgM (M), dan
garis kontrol (C). Ketiga garis ini terletak dibagian jendela hasil dan
tidak akan terlihat sebelum sebelum dilakukan penambahan sampel.
Garis kontrol C digunakan sebagai kontrol prosedur. Garis ini selalu
33
muncul jika prosedur tes dilakukan dengan benar dan reagen dalam
kondisi baik. Garis “G” dan “M” akan terlihat pada jendela hasil jika
terdapat antobodi IgG dan IgM terhadap virus dengue dalam sampel.
Jika tidak terdapat antibodi, maka tidak akan terbentuk garis “G”
atau “M”. Interpretasi hasil laboratorium yaitu:
1. Negatif, hanya terlihat garis kontrol “C” pada tes. Tidak
terdeteksi adanya antibodi IgG atau IgM. Ulangi tes 3-5 hari
kemudian jika diduga ada infeksi dengue.
2. IgM Positif, bila terlihat garis kontrol “C” dan garis IgM (“M”)
pada
tes.
Positif
antibodi
IgM
terhadap
virus
dengue.
Mengindikasikan infeksi dengue primer.
3. IgG Positif, bila terlihat garis Kontrol “C” dan garis IgG (“G”)
pada
tes.
Positif
antibodi
IgG
terhadap
virus
dengue.
Mengindikasikan infeksi dengue sekunder ataupun infeksi dengue
masa lalu
4. IgG dan IgM Positif,bila terlihat garis Kontrol “C”, garis IgG
(“G”), dan garis IgM (“M”) pada tes. Positif pada kedua antibodi
IgG dan IgM terhadap virus dengue. Mengindikasikan infeksi
dengue primer akhir atau awal infeksi dengue sekunder.
5. Invalid, tidak terlihat garis Kontrol “C” pada tes. Jumlah sampel
yang tidak sesuai, atau prosedur kerja yang kurang tepat dapat
mengakibatkan hasil seperti ini. Ulangi pengujian dengan
menggunakan tes yang baru (kemenkes, 2010).
34
2.2 Kerangka Teori
Virus dengue
Host
Secondary heterologous
dengue infection
Antibody dependent
enhancement
Anamnestic antibody
response
Replikasi virus
Kompleks
virus antibodi
Aktivasi
koagulasi
Agregasi
trombosit
Antibodi
IgM/IgG
Aktivasi
komplemen
Diagnosis infeksi dengue
1.Gejala klinik
2.Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan IgM/IgG anti-dengue
Infeksi
Primer
Infeksi
Sekunder
Kererangan
= Variabel yang diteliti
= Variabel tidak diteliti
Derajat berat dengue
1. Demam dengue
2. DBD grade I
3. DBD grade II
4. DBD grade III
5. DBD grade IV (DSS)
Gambar 6.Kerangka Teori
(Sumber :WHO, 2011)
35
2.3 Kerangka Konsep
Secondary heterologous
dengue infection
Anamnestic antibody
response
Antibodi
IgM/IgG
Pemeriksaan IgM/IgG
anti-dengue
Infeksi
Primer
Infeksi
Sekunder
Derajat berat dengue
1. Demam dengue
2. DBD grade I
3. DBD grade II
4. DBD grade III
5. DBD grade IV (DSS)
Variabel Independen
Variabel Dependen
Gambar 7. Kerangka Konsep
2.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
Ho: Tidak terdapat hubungan jenis infeksi terhadap derajat keparahan infeksi
dengue pada pasien dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar
Lampung.
Ha: Terdapat hubungan jenis infeksi terhadap derajat keparahan infeksi dengue
pada pasien dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar Lampung.
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan
pendekatan cross sectional yaitu jenis penelitian untuk mempelajari
hubungan antara faktor risiko dengan efek meliputi variabel bebas dan
variabel terikat yang diukur sekaligus dalam suatu waktu (Notoatmodjo,
2012) dimana penelitian ini mengetahui hubungan jenis infeksi terhadap
derajat keparahan infeksi dengue di RS Urip Sumoharjo Bandar Lampung.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
3.2.1 Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar
Lampung dibagian laboratorium patologi klinik dan rawat inap rumah
sakit urip sumoharjo.
3.2.2 Waktu
Penelitian ini dilakukan pada bulan November-Desember 2016.
37
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian adalah sejumlah subjek besar yang
mempunyai karakteristik tertentu. Karakteristik subjek ditentukan
sesuai dengan ranah dan tujuan penelitian (Sastroasmoro, 2007).
Populasi terjangkau (accessible population) suatu penelitian adalah
bagian dari populasi yang dapat dijangkau oleh peneliti. Dengan
perkataan lain populasi terjangkau adalah bagian populasi yang dibatasi
oleh tempat dan waktu (Sastroasmoro, 2007). Populasi terjangkau untuk
penelitian ini adalah pasien suspek infeksi dengue di RS Urip
Sumoharjo Bandar Lampung pada bulan November – Desember 2016.
3.3.2 Sampel
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah pasien suspek infeksi
dengue di RS Urip Sumoharjo Bandarlampung pada bulan NovemberDesember 2016 dengan kriteria gejala klinis demam.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah consecutive
sampling. Pada consecutive sampling, semua subjek yang datang dan
memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai
jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi. Consecutive sampling ini
merupakan jenis non-probability sampling yang paling baik dan
merupakan cara termudah. Sebagian besar penelitian klinis (termasuk
uji klinis) menggunakan teknik ini untuk pemilihan subjeknya
(Sastroasmoro, 2007).
38
Adapun jumlah sampel yang akan diambil adalah menggunakan rumus
(Tantra 2011).
N =(
)2
Keterangan
N = Besar sampel
Zα = 1,96 (tingkat kemaknaan α = 0,05)
Zβ = 0,842 (power penelitian β = 80%)
r = 0,46 (korelasi yang ditetapkan peneliti berdasarkan penelitian)
(Tanra, 2011).
Perhitungan :
n=(
)2
n = 31
Dari hasil perhitungan didapatkan besar sampel sebanyak 31 responden.
Teknik pengambilan Sampel penelitian diperoleh secara consecutive
sampling.
Kriteria inklusi:
a. Pasien mau mengikuti penelitian dengan menyetujui lembar
informed consent.
Kriteria eksklusi :
1. Pasien yang sedang mengkonsumsi obat – obatan yang mensupresi
sumsum tulang.
39
2. Pasien yang memiliki riwayat kelainan darah.
3. Pasien dengan penyakit koinsiden lain, misalnya demam tifoid,
malaria, hepatitis dan cikungunya.
4. Catatan medik tidak lengkap.
3.4 Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel bebas adalah variabel yang apabila nilainya berubah akan
mempengaruhi variabel lain (Dahlan, 2013). Dalam penelitian ini, yang
menjadi variabel bebas adalah jenis infeksi dengue. Variabel terikat adalah
variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas. Dalam penelitian ini, yang
menjadi variabel terikat adalah derajat penyakit dengue.
3.5 Definisi Operasional
Definisi operasional menguraikan variabel dependen maupun variabel
independen, alat ukur, cara ukur, hasil ukur dan skala ukur pada penelitian
ini. Disini meliputi skala yaitu nominal, ordinal, interval ataupun rasio.
Tabel 2. Definisi Operasional
No.
Variabel
1.
Jenis
infeksi
dengue
2.
Derajat
keparahan
infeksi
dengue
Definisi
Cara Ukur
Jenis infeksi
- Ig M
dengue berupa - Ig G
infeksi primer
atau infeksi
sekunder
Alat Ukur
Rapid
dengue
Skala Ukur
test 1= Infeksi
primer, bila
IgM positif
2= infeksi
sekunder, bila
IgG atau IgG
dan IgM positif
Jenis infeksi
Anamnesa,
Diagnosa
1 = demam
dengan derajat pemeriksaan yang
dengue
keparahan
fisik
dan ditegakan oleh 2 = demam
pasien DBD
pemeriksaan dokter/
berdarah
menurut
laboratorium spesialis
dengue
kriteria WHO
dalam rekam
2011
medic
Hasil
Ukur
Ordinal
Ordinal
40
3.6. Alat dan Bahan Penelitian
3.6.1 Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
perangkat tes Dengue Dx IgG/IgM Rapid Tes, disposable dropper
(sekali pakai), assay diluent, lembar petunjuk penggunaan, tabung
reaksi yang tidak mengandung anti koagulan, alat senrtrifugasi, spuit,
torniket,
rekam medis pasien suspek infeksi dengue di RS Urip
Sumoharjo pada bulan November-Desember 2016, alat tulis, dan
program komputer statistika.
3.6.2 Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah serum
pasien suspek infeksi dengue.
3.7 Prosedur Penelitian
3.7.1 Prinsip Pemeriksaan
Prinsip pemeriksaan IgM/IgG anti dengue yang berkembang pada
pemeriksaan dengue cara cepat dengan menggunakan metode
imunokromatografi, antara lain Dengue Rapid Test (Dengue Duo IgM
and IgG Rapid Strip Test SD BIOLINE). Dari SD Standar diagnostics,
INC Uji ini menggunakan protein envelop rekombinan dengue, serta
digunakan untuk membedakan infeksi dengue primer dan sekunder. Uji
ini dapat mendeteksi baik IgM dan IgG anti-dengue sekaligus dalam
serum tunggal dalam waktu 15-30 menit. Pada Dengue Rapid Test (uji
ICT) berbentuk strip ini telah distandardisasi sedemikian rupa sehingga
41
pada penderita infeksi primer IgM positif dimana IgGnya negatif,
sebaliknya pada infeksi sekunder hasil IgG positif dapat disertai dengan
atau tanpa hasil IgM yang positif (Aryati, 2004).
Prinsip pemeriksaan yaitu fase padat nitroselulose/dipstick dengan daya
kromatografi maka antibodi IgM atau IgG anti-dengue yang terdapat di
dalam serum penderita akan berikatan dengan antihuman IgM atau
antihuman IgG yang telah diimobilisasi pada fase padatnya membentuk
garis melintang pada membran tes. Secara bersamaan antibodi
monoklonal anti-dengue yang berlabel gold bereaksi dengan antigen
dengue (rekombinan). Konjugat ini ( antibodi monoklonal anti-dengue
yang berikatan dengan antigen dengue ) akan berikatan dengan antibodi
IgM atau IgG dari serum penderita tersebut membentuk garis berwarna
ungu (Aryati, 2004).
Suwandono (2011) mendapatkan sensitivitas diagnostik Dengue Rapid
Test 97,36% dan spesifisitas diagnostik 84,38% pada penderita demam
berdarah dengue.
3.7.2 Metode Pemeriksaan
Kit yang digunakan adalah Dengue Dx IgG/IgM Rapid Tes. Dengue Dx
IgG/IgM tes memiliki tiga garis pre-coated pada permukaan membran.
Garis tes dengue IgG (G), garis tes dengue IgM (M), dan garis kontrol
(C). Ketiga garis ini terletak dibagian jendela hasil dan tidak akan
terlihat sebelum sebelum dilakukan penambahan sampel. Garis kontrol
C digunakan sebagai kontrol prosedur. Garis ini selalu muncul jika
42
prosedur tes dilakukan dengan benar dan reagen dalam kondisi baik.
Garis “G” dan “M” akan terlihat pada jendela hasil jika terdapat
antobodi IgG dan IgM terhadap virus dengue dalam sampel. Jika tidak
terdapat antibodi, maka tidak akan terbentuk garis “G” atau “M”
(Kemenkes, 2010).
3.7.3 Pengambilan dan Penyimpanan Sampel
Sampel didapat berdasarkan kriteria inklusi yaitu pasien yang suspek
infeksi virus dengue di RS Urip Sumoharjo Bandar Lampung. Sampel
darah vena diambil dari vena mediana cubiti sebanyak 2 cc. Selanjutnya
sampel dimasukkan ke dalam tabung dengan antikoagulan (EDTA).
Secepat
mungkin
darah
yang
telah
tercampur
antikoagulan
dihomogenkan dengan cara dikocok selama kurang lebih 1 menit.
Sampel dapat stabil selama 4 jam pada suhu 18-25oC atau 24 jam pada
suhu 2-8oC (Kemenkes, 2010).
3.7.4 Interpretasi Hasil Laboratorium
a. Negatif, hanya terlihat garis kontrol “C” pada tes. Tidak terdeteksi
adanya antibodi IgG atau IgM. Ulangi tes 3-5 hari kemudian jika
diduga ada infeksi dengue.
b. IgM Positif, bila terlihat garis kontrol “C” dan garis IgM (“M”) pada
tes. Positip antibodi IgM terhadap virus dengue. Mengindikasikan
infeksi dengue primer.
43
c. IgG Positif, bila terlihat garis Kontrol “C” dan garis IgG (“G”) pada
tes. Positip antibodi IgG terhadap virus dengue. Mengindikasikan
infeksi dengue sekunder ataupun infeksi dengue masa lalu.
d. IgG dan IgM Positif,bila terlihat garis Kontrol “C”, garis IgG (“G”),
dan garis IgM (“M”) pada tes. Positip pada kedua antibodi IgG dan
IgM terhadap virus dengue. Mengindikasikan infeksi dengue primer
akhir atau awal infeksi dengue sekunder.
e. Invalid, tidak terlihat garis Kontrol “C” pada tes. Jumlah sampel
yang tidak sesuai, atau prosedur kerja yang kurang tepat dapat
mengakibatkan
hasil
seperti
ini.
Ulangi
pengujian
dengan
menggunakan tes yang baru (Depkes, 2010).
3.7.5 Kontrol Kualitas Internal
Garis kontrol (C) digunakan untuk kontrol prosedural. Garis kontrol
akan selalu terbentuk apabila prosedur pengujian dilakukan dengan
benar dan perangkat tes bekerja dengan baik.
3.7.6 Pengumpulan Data Rekam Medis
Data rekam medis yaitu gejala klinis dan hasil laboratorium IgM dan
IgG di RS Urip Sumoharjo pada bulan November –Desember 2016.
44
3.8 Alur Penelitian
Tahap Persiapan
Pembuatan proposal, perizinan,
pengajuan kaji etik penelitian
dan koordinasi
Tahap Pelaksanaan
Pengisian lembar informed
consent pada sampel yang
masuk kriteria inklusi peneltian
Pengambilan sampel darah
vena pasien sebanyak 3 cc
untuk pemeriksaan IgG/IgM
Sampel disentrifugasi dengan
kecepatan 1500-2000 rpm
selama 15-20 menit, sehingga
didapatkan sampel serum
Pemeriksaan IgG/IgM anti
dengue dengan menggunakan
Rapid Diagnostic Test dan
interpretasi hasil
Pengumpulan data melalui
rekam medis sampel yang
diteliti, meliputi gejala klinis
dan hasil pemeriksaan serologi
IgG/IgM anti dengue
Tahap Analisa Data
Analisis data menggunakan
program komputer
Gambar 8. Alur Penelitian
45
3.9 Pengumpulan Data
Data pada penelitian ini menggunakan data primer berupa pemeriksaan IgM
dan IgG, sedangkan data sekunder dengan catatan rekam medik pasien infeksi
dengue di RS Urip Sumoharjo Bandar Lampung. Data yang dikumpulkan
yaitu :
3.9.1 Data primer
a. Hasil pemeriksaan IgM dan IgG antidengue
3.9.2 Data sekunder
a. Identitas pasien :
1. Usia
2. Jenis kelamin
b. Derajat klinik infeksi dengue
1. Demam dengue
2. Demam berdarah dengue
3.10 Pengolahan dan Analisis Data
3.10.1 Pengolahan Data
Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan data akan diubah
kedalam bentuk tabel–tabel kemudian data diolah menggunakan
program statistik komputer. Proses pengolahan data menggunakan
program ini terdiri dari beberapa langkah berikut :
a. Coding, untuk mengkonversikan (menejermahkan) data yang
dikumpulkan selama penelitian ke dalam simbol yang cocok
untuk keperluan analisis.
46
b. Data entry, memasukkan data ke dalam komputer.
c. Verifikasi, memasukkan data pemeriksaan secara visual terhadap
data yang telah dimasukkan ke dalam komputer.
d. Output komputer, hasil yang telah dianalisis oleh komputer
kemudian dicetak.
3.10.2 Analisis Data
Analisis statistik untuk mengolah data yang diperoleh akan
menggunakan program computer dimana akan dilakukan analisa
data, yaitu analisa bivariat. Analisa bivariat adalah analisis yang
digunakan untuk mengetahui hubungan anatara variabel bebas
dengan variabel terikat dengan menggunakan uji statististik. Uji
statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Analisa univariat
Analisa univariat digunakan persentase, hasil dari setiap variabel
ditampilkan dapat dalam bentuk distribusi frekuensi, jenis
kelamin dan usia responden penyakit dengue RS Urip Sumoharjo
tahun 2016.
b. Analisa bivariat
Analisis
bivariat
adalah
analisis
yang
digunakan
untuk
mengetahui hubungan antara variabel bebas dengan variabel
terikat dengan menggunakan uji statistik.
Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Uji chi
square. Alasan pemilihan Uji chi square karena kedua variabel
47
yang diteliti merupakan variabel dengan data berbentuk skala
kategorik. Apabila uji chi square tidak memenuhi syarat (nilai
expected count yang kurang dari 5 >20%) maka dipilih uji
alternatif yaitu uji fisher exact untuk tabel 2x2 (Notoatmodjo,
2012).
Untuk menguji kemaknaan, digunakan batas kemaknaan sebesar
5% (α= 0,05). Hasil uji dikatakan ada hubungan yang bermakna
bila nilai ρ value ≤ α (ρ value ≤ 0,05). Hasil uji dikatakan tidak
ada hubungan yang bermakna secara statistik apabila nilai ρ
value> α (ρ value> 0,05) (Dahlan, 2011).
3.11 Ethical Clearance
Penelitian ini telah mendapatkan surat keterangan lolos kaji etik dari Komite
Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung surat
No. 112/UN26.8/DL/2017.
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan hubungan jenis infeksi terhadap
derajat keparahan pada pasien dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo
Bandar Lampung tahun 2016 dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
1. Terdapat hubungan jenis infeksi terhadap derajat keparahan pada pasien
dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar Lampung tahun 2016.
2. Karakteristik responden berdasarkan jenis infeksi dengue pada pasien
dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar Lampung menunjukan
bahwa sebagian besar responden memiliki infeksi sekunder (77,4%).
3. Karakteristik responden berdasarkan jenis infeksi dengue pada pasien
dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar Lampung menunjukan
bahwa sebagian kecil responden memiliki infeksi primer (22,6%).
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, berikut ini adalah beberapa
saran untuk menjadi bahan pertimbangan dalam penelitian selanjutnya:
64
1. Bagi institusi penelitian
a. Pemeriksaan serologi IgM - IgG penting untuk dilakukan dalam
mengetahui diagnosa penyakit dengue pada fase awal penyakit.
b. Pemeriksaan serologi IgM - IgG penting untuk dilakukan dalam
mengetahui
tingkat
derajat
penyakit
dengue
yang
membantu
mengetahui penalaksanaan yang tepat sehingga dapat menurunkan
mortalitas penyakit dengue.
2. Bagi peneliti lain
Perlu dilakukan penelitian lainnya seperti pemeriksaan hematologi, NS1,
tes hematoimunologi (HI Test), Nested reverse transcriptase-polymerase
chain reaction Nested (NRT-PCR) sebagai prediktor untuk mengetahui
tingkat keparahan penyakit infeksi dengue.
DAFTAR PUSTAKA
Agilatun, F. 2007. Hubungan antara jumlah leukosit dengan kejadian syok pada
penderita demam berdarah dengue dewasa di RSUP Dr. Kariadi
Semarang.
Anantapreecha S, Chanama S, A-Nuegoonpipat A, Naemkhunthot A, Sa-Ngasang
A, Sawanpanyalert P, et. al. 2005. Serological and Virological Features
of Dengue Fever and Dengue Haemorrhagic Fever in Thailand from
1999 to 2002. J Epidemiol Infect. Cambridge University Press. 133: 5037.
Aryati. 2004. Diagnosis Laboratoris DBD Terkini. Seminar : Simposium Sehari
―Penanganan DBD Terkini―. Universitas Airlangga. 30274: 1 – 21.
Bhatt S, et al. 2013. The Global Distribution and Burden of Dengue. Nature.
(7446):504–7.
Bashyam HS, Green S, Rothman AL. 2006. Dengue Virus-Reactive CD8+ T Cells
Display Quantitative and Qualitative Differences in Their Response to
Variant Epitopes of Heterologous Viral Serotypes. J Immunol.
176(5):2817–24.
Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson.
Edisi 15. Vol. 2. Jakarta: EGC.854-6.
Changal KH, Raina AB, Raina A, Raina M, Bashir R, Latief M, et. al. 2016.
Differentiating Secondary From Primary Dengue Using IgG to IgM Ratio
in Early Dengue: An Observational Hospital Based Clinico-Serological
Study From North India. BMC Infectious Disease. 16(715): 1-7.
Clyde K, Kyle JL, Harris E. 2006. Recent advances in deciphering viral and host
determinants of dengue virus replication and pathogenesis. Journal of
Virology. 80(23):11418–31
Chatchen S, Sabchareon A, Sirivichayakul C. 2017. Serodiagnosis of
Asymptomatic Dengue Infection. Asia Pacific Jour of Trop Med. 1-4.
CDC. 2009. Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. U.S. Department of Health
and Human Service Centers for Disease Control and Prevention.
66
Departemen Parasitologi FK UI. 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Edisi
4. Jakarta: Badan Penerbit FK UI. 36-42.
Dinkes Lampung. 2012. Profil Kesehatan Provinsi Lampung 2012. Bandar
Lampung: Dinas Kesehatan Provinsi Lampung.
Dejnirattisai W, Jumnainsong A, Onsirisakul N, et al. 2010 Cross-Reacting
Antibodies Enhance Dengue Virus Infection in Humans. Science. 2010
May 7. 328(5979):745-8.
Guzman MG. and Kouri G, 2004. Dengue Diagnosis, Advances and Challenges.
In: Zuckerman, Jane, Ed. International Journal of Infectious Diseases 8.
Elsevier Ltd., 69—80.
Guzman MG, Halstead SB, Artsob H, Buchy P, Farrar J, Nathan MB, Yoksan S.
2010. Dengue : a Continuing Global Threat Europe PMC Funders Author
Manuscripts. Nat Rev Microbiol8.(120):7–16.
Halstead SB. 2011. Dengue Fever and Dengue Hemorrhagic Fever. In: Kliegman
RM, Stanton B, St. Geme J, Schor N, Behrman RE, eds. Nelson textbook
of pediatrics. 19th ed. Philadelphia: WB Saunders. 19: 1092-4.
Hunsperger EA, Yoksan S, Buchy P, Nguyen VC, Sekaran SD, Enria DA, et al.
2009. Evaluation of Commercially Available Anti– Dengue Virus
Immunoglobulin M Tests. EID 15(3) : 436 – 40
Karyana IPG, Santoso H, Arhana BNP. 2006. The Value of IgG to IgM Ratio in
Predicting Secondary Dengue Infection. Paediatrica Indonesiana. 46(56): 113-117.
Kumar V, Ramzi SC, Stanley LR. 2007. Buku ajar patologi Robbins. Ed.7.
Jakarta: EGC. 1:115-19
Kaushik A, Pineda CC, Kest H 2010. Diagnosis and Management of Fever in
Children. Pediatric Rev. 31(1); 436-40..
Kemenkes 2010. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes 2011. Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011. Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia. [diunduh 20 Mei 2016]. Tersedia dari:
http://pppl.depkes.go.id/berita?id=418.
Kemenkes 2012. Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Tahun 2012. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penyehatan
Lingkungan 2013: 114-5.
67
Kemenkes 2013. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Balitbangkes
Kementrian Kesehatan RI.
Libraty DH, et al. 2002. High Circulating Levels of the Dengue Virus
Nonstructural Protein Ns1 Early in Dengue Illness Correlate With the
Development of Dengue Hemorrhagic Fever. JID. 2002:186
Malavige GN, Fernando, S, Fernando, D.J, and Seneviratne SL, 2013. Dengue
viral infections. Postgrad Med J 80:588–601
Mariko R, Alkamar A, Putra AE. 2014. Uji Diagnostik Pemeriksaan Antigen
Nonstruktural 1 Untuk Deteksi Dini Infeksi Virus Dengue Pada Anak.
Sari Pediatri. 16(2):121–7
Moi ML, et al. 2013. Detection of dengue virus NS1 by using ELISA as a useful
laboratory diagnostic method for dengue virus infection of international
travelers. Journal of Travel Medicine. 20(3):185–93
Moi ML, Takasaki, T, Omatsu, T, Nakamura, S, Katakai, Y, Ami, Y, et. al. 2014.
Demonstration of Marmosets (Callithrix jacchus) as a Non-Human
Primate Model for Secondary Dengue Virus Infection: High Levels of
Viraemia and Serotype Cross-Reactive Antibody Responses Consistent
with Secondary Infection of Humans. J Gen Virol. 95(Pt 3):591–600.
Ooi EE, Gubler DJ. 2008. Dengue in Southeast Asia: Epidemiological
Characteristics and Strategic Challenges in Disease Prevention. Cad
Saude Publica. 25: S115-S24.
Paranavitane SA, et al. 2014. Dengue NS1 antigen as a marker of severe clinical
disease. BMC Infectious Diseases. 14:570.
Pok K, Lai Y, Sng J, and Ng L 2010. Evaluation of Nonstructural 1 Antigen
Assays for the Diagnosis and Surveillance of Dengue in Singapore.
Vector-Borne and Zoonotic Diseases 10(10): 1009-16
Rothman AL. 2007. Pathogenesis of dengue virus infection. Dalam: Up To Date.
Boston: Elsivier.
Saint John AL, Rathore APS, Raghavan B Ng ML, and Abraham SN 2013.
Contributions of mast cells and vasoactive products, leukotrienes and
chymase, to dengue virus-induced vascular leakage. eLife 481 : 1-18
Sandina 2011. 9 Penyakit Mematikan: Mengenal dan Tanda Pengobatannya.
Yogyakarta: Smart Pustaka.9-18.
Shu P, & Huang J. 2004. Current advances in dengue. American Society for
Microbiology. 11(4):642-50
68
Soo K.M., Khalid B, Ching SM, Chee, HY. 2016. Meta-Analysis of Dengue
Severity during Infection by Different Dengue Virus Serotypes in
Primary and Secondary Infections: Research Article. Jour PLOS.
10(1371): 1-16.
Suhendro Nainggolan, L, Chen, K, and Pohan, HT, 2009. Demam Berdarah
Dengue. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al., penyunting.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: Internal Publishing.
Sukowati S. 2010. Masalah Vektor Demam Berdarah Dengue (DBD) dan
Pengendalian di Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi. 2:26-30.
Sutaryo 2004. Dengue. Yogyakarta: Medika Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada. Hal 2-15.
Suwandono A, Nurhayati, Parwati I, Rudiman, PI, Wisaksana, R, Kosasih, H,
Alisjahbana B. 2011. Perbandingan nilai diagnostik trombosit, leukosit,
antigen NS1 dan antibodi IgM Antidengue.J Indon Med Assoc 61(8).
Suzarte E, Marcos, E, Gil, L, Valdes, I, Lazo, L, Ramos, Y, et al. 2014.
Generation and Characterization of Potential Dengue Vaccine Candidates
Based on Domain III of the Envelope Protein and The Capsid Protein of
The Four Serotypes of Dengue Virus. J Arch Virol. 159(7):1629–1640.
doi: 10.1007/s00705-013- 1956-4.
Singhi S Kissoon N, Bansal A. 2007. Dengue and dengue hemorrhagic fever
Thai KTD, Nishiura, H, Hoang, PL. Tran, NTT, Phan, GT, Le, HQ, et. al. 2011.
Age-Specificity of Clinical Dengue during Primary and Secondary
Infections. Jour PLOS. 5(6): 1-9.
Tanra AAM. 2011. Korelasi Antara Lama Demam dengan Kadar IgM dan IgG
anak yang Menderita Demam Berdarah Dengue. [Skripsi]. Semarang:
Universitas Diponegoro.
Taufik AS, Yudhanto D, Wajdi F, Rohadi. 2007. Peranan Kadar Hematokrit,
Jumlah Trombosit dan Serologi IgG – IgM Anti DHF dalam
Memprediksi Terjadinya Syok pada pasien Demam Berdarah dengue
(DBD) di Rumah Sakit Islam Siti Hajar Mataram. Jurnal Penyakit
Dalam. 8(2): 105-11.
Vaughn DW, Green, S, Kalayanarooj, S, Innis BL, Nimmannitya S., Suntayakorn,
S, et. al. 2000. Dengue Viremia Titer, Antibody Response Pattern, and
Virus Serotype Correlate with Disease Severity. Jour Infection Disease.
181: 2-9.
69
Wangsa PGH., Lestari AAW. 2014. Gambaran Serologis IgG-IgM pada pasien
demam berdarah di RSUP Sanglah Periode Juli – Agustus 2014.
[Skripsi]. Denpasar: Universitas Udayana.
World Health Organisation (WHO). 2009. Guidelines For Diagnosis, Treatment,
Prevention and Control. WHO Library Cataloguing in Publication Data. [
WHO 2011. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue
dan Dengue Haemorrhagic Fever. Revised adn Expanded Edition.
Download