HUBUNGAN JENIS INFEKSI PRIMER DAN SEKUNDER TERHADAP DERAJAT KEPARAHAN INFEKSI DENGUE PADA PASIEN DENGUE DI RUMAH SAKIT URIP SUMOHARJO BANDAR LAMPUNG SKRIPSI Oleh : NISA ARIFAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2017 HUBUNGAN JENIS INFEKSI PRIMER DAN SEKUNDER TERHADAP DERAJAT KEPARAHAN INFEKSI DENGUE PADA PASIEN DENGUE DI RUMAH SAKIT URIP SUMOHARJO BANDAR LAMPUNG Oleh NISA ARIFAH Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA KEDOKTERAN Pada Fakultas Kedokteran Universitas Lampung PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2017 ABSTRACT THE RELATIONSHIP BETWEEN THE TYPE OF INFECTION TO SEVERITY OF DENGUE INFECTION ON DENGUE PATIENTS IN URIP SUMOHARJO HOSPITAL BANDAR LAMPUNG By Nisa Arifa Background: Dengue infection is an infectious disease caused by the dengue virus via mosquito Aedes genus especially A. aegypti and A. albopictus. Dengue infection may be a primary infection or secondary infection. The diagnosis by serology using IgM/IgG anti-dengue can help determine the type of dengue infection. Objective: To determine the relationship of the type of infection to the severity of dengue infection on dengue patients in Urip Sumoharjo Hospital Bandar Lampung. Methods : This study uses a observational analytic method with cross sectional approach. Research conducted at the Clinical Pathology Laboratory and Inpatient Room of Urip Sumoharjo Hospital in November-December 2016. Total sample of 31 people is determined by consecutive sampling technique. Serology IgM / IgG antidengue performed using immunochromatography rapid test with kit to determine the type of dengue infection. The severity of the dengue disease seen from the data records. The research data were then analyzed with chi square test. Results: The results showed that most respondents have a secondary infection (77,4%) and was diagnosed with dengue haemorrhagic fever (71%). Chi-square test results show there is a relationship type of infection to the severity of the dengue infection on dengue patients at Urip Sumoharjo Hospital Bandar Lampung in 2016 (p = 0.012). Conclusion: There is a relationship type of infection to the severity of the dengue patients. Keywords: IgG, IgM, severity of dengue infection, type of infection. ABSTRAK HUBUNGAN JENIS INFEKSI TERHADAP DERAJAT KEPARAHAN INFEKSI DENGUE PADA PASIEN DENGUE DI RUMAH SAKIT URIP SUMOHARJO BANDAR LAMPUNG Oleh Nisa Arifa Latar Belakang : Infeksi dengue merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue melalui vektor nyamuk genus Aedes terutama A. aegypti dan A. albopictus. Infeksi dengue dapat berupa infeksi primer atau infeksi sekunder. Penegakkan diagnosis secara serologi menggunakan IgM/IgG anti dengue dapat membantu mengetahui jenis infeksi dengue. Tujuan : Untuk mengetahui hubungan jenis infeksi terhadap derajat keparahan infeksi dengue pada pasien dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar Lampung. Metode : Penelitian ini menggunakan metode analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Penelitian dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik dan Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Urip Sumoharjo pada bulan NovemberDesember tahun 2016. Jumlah sampel penelitian yaitu 31 orang ditentukan dengan teknik consecutive sampling. Pemeriksaan serologi IgM/IgG anti dengue dilakukan menggunakan metode rapid immunochromatography test dengan kit untuk mengetahui jenis infeksi dengue. Derajat keparahan penyakit dengue dilihat dari data rekam medik. Data penelitian selanjutnya dianalisis dengan uji chi square. Hasil : Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar responden memiliki infeksi sekunder (77,4%) dan didiagnosa menderita demam berdarah dengue (71%). Hasil uji chi square menunjukan terdapat hubungan jenis infeksi terhadap derajat keparahan pada pasien dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar Lampung tahun 2016 (p = 0,012). Simpulan : Terdapat hubungan jenis infeksi terhadap derajat keparahan pada pasien dengue. Kata Kunci : derajat infeksi dengue, IgG, IgM, jenis infeksi. RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, 22 Agustus 1995, anak kedua dari dua bersaudara, dari Bapak Hi. Ir. Syamsu Akmal M.Si dan Ibu Hj. Dra. Yesnetti S.Pd. Penulis memiliki seorang kakak laki-laki, yaitu dr. Raihan Syafiin Syakti. Penulis menempuh pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) di TK Al-Kautsar Bandar Lampung pada tahun 2000-2001 dan di SD Al-Kautsar Bandar Lampung tahun 2001-2007. Selanjutnya, penulis menlanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Al-Kautsar Bandar Lampung tahun 2007-2010 dan selesai pada tahun 2010. Kemudian, penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA 01 Natar sampai tahun 2013. Pada tahun 2013, penulis mengikuti jalur undangan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negri (SNMPTN) dan terdaftar sebagai mahasiswi di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Selain menjadi mahasiswi, penulis aktif dalam organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) sampai dengan periode 2014-2015 dan juga tergabung dalam organisasi FSI sampai periode 2014-2015. Sebuah Persembahan untuk Ayah terhebat, Ibu terbaik, Abang tersayang Tiada hasil yang membohongi kerja keras, Tiada doa yang tak pernah didengar, dan Tiada cita-cita yang terwujud tanpa keyakinan. SANWACANA Segala puji bagi Allah SWT, Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang tiada habis memberikan kepada kita kasih dan sayang-Nya, serta hanya dengan rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi dengan judul “Hubungan Jenis Infeksi Terhadap Derajat Keparahan Infeksi Dengue Pada Pasien Dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar Lampung” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P selaku Rektor Universitas Lampung; 2. Dr. dr. Muhartono, S. Ked., M. Kes., Sp. PA selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung; 3. dr. Ety Apriliana, M. Biomed selaku Pembimbing Utama, atas kesediaanya meluangkan waktu dalam membimbing skripsi, memberikan kritik, saran dan nasihat dalam penyususan skripsi ini serta atas kesediaanya ikut serta dalam proses penelitian; 4. Drs. Hendri Busman, M. Biomed selaku Pembimbing Kedua, atas kesediaanya meluangkan waktu dalam membimbing skripsi, memberikan kritik, saran dan nasihat dalam penyusunan skripsi ini; 5. dr. Putu Ristyaning Ayu, M.kes.,Sp.PK selaku Pembahas atas kesediaanya meluangkan waktu dalam membahas, memberi kriktik, saran, dan nasihat dalam penyusunan skripsi ini; 6. dr. Dwita Oktaria, M. Pd. Ked selaku Pembimbing Akademik atas kesediannya memberikan arahan, masukan, dan motivasi selama proses pembelajaran; 7. Ayah tercinta, Bapak Hi. Ir. Syamsu Akmal M.Si, atas cinta, kasih sayang, kerja keras, doa, nasihat dan bimbingan yang terus menerus diberikan untukku serta kepercayaan dan perjuangannya dalam mewujudkan cita-cita putri tercintanya. Semoga Allah SWT selalu melindungi, memberikan kesehatan, umur yang panjang, dan rezeki yang cukup; 8. Ibunda tercinta, Ibu Hj. Dra. Yesnetti S.Pd, atas cinta, kasih sayang, kesabaran, doa, nasihat dan bimbingan yang terus menerus diberikan untukku serta air mata dan keringat dalam membesarkanku. Semoga Allah SWT selalu melindungi, memberikan kekuatan, kesehatan, umur yang panjang, dan nikmat yang cukup; 9. Abang tersayang, dr. Raihan Syafiin Syakti, atas kasih sayang, dukungan untuk adekmu , dan semangat yang diberikan semoga adekmu ini dapat meneruskan cita cita mulia ini sebagai dokter yang berkompeten di bidangnya dan semoga abang ditempatkan disurganya Allah; 10. Seluruh Staf Dosen FK Unila atas ilmu dan pengalaman yang telah diberikan untuk menambah wawasan yang menjadi landasan untuk mencapai cita-cita; 11. Seluruh Staf Akademik, TU dan Administrasi FK Unila, serta pegawai yang turut membantu dalam proses penelitian skripsi; 12. Seluruh dokter, perawat, dan petugas di RS. Urip Sumoharjo Bandar Lampung yang selalu membantu selama proses penelitian. 13. Tim skripsi, Adlia Ulfa, Anisa Wahyuni, M. Jyuldi Prayoga, Wahiddaturrohmah, terima kasih atas kerja sama dan kekompakan selama penelitian skripsi ini. 14. Teman-teman terdekat, Rika, Shesy, Lisa, Siti, Kandita dan Glenis terimakasih atas bantuan, doa, semangat dan keceriaan yang diberikan; 15. Orang-orang terkasih, Astri, Ika, Ayu, Andre, Indah Iswara, Seftia Varera, Anisa Aprilia dan Fitri terimakasih atas dukungan, semangat dan doa yang diberikan; 16. Teman-teman KKN tahun 2015 di Pekon Gunung Tiga, terimakasih atas semangat dan doa yang diberikan; 17. Teman-teman sejawat Angkatan 2013 (Cerebellum) yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terimakasih atas semangat dan keceriaan yang diberikan. Semoga kita menjadi dokter yang bermanfaat, berkualitas dan berintegritas untuk meningkakan derajat kesehatan masyarakat di Indonesia. Tak ada gading yang tak retak, Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi kita semua. Bandar Lampung, Februari 2017 Penulis Nisa Arifah DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .............................................................................................. i DAFTAR TABEL ..................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR ................................................................................. v DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ vi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian...................................................................... 1.3.1 Tujuan Umum ................................................................. 1.3.2 Tujuan Khusus ................................................................ 1.4 Manfaat penelitian .................................................................... 1.4.1 Secara Teoritis ................................................................ 1.4.2 Bagi Institusi ................................................................... 1.4.3 Bagi peneliti sendiri ........................................................ 1 6 6 6 6 6 6 7 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Demam Berdarah Dengue ........................................................ 2.1.1 Definisi ........................................................................... 2.1.2 Epidemiologi................................................................... 2.1.3 Etilogi DBD .................................................................... 2.1.4 Vektor ............................................................................. 2.1.5 Transmisi ........................................................................ 2.1.6 Patogenesis DBD ............................................................ 2.1.7 Gambaran Klinis ............................................................. 2.1.8 Diagnosis ........................................................................ 2.1.9 Pemeriksaan Laboratorium ............................................. 2.2 Kerangka Teori ......................................................................... 2.3 Kerangka Konsep ..................................................................... 2.4 Hipotesis Penelitian .................................................................. 8 8 8 10 10 12 13 17 21 27 34 35 35 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ......................................................................... 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................ 3.2.1 Tempat ............................................................................ 3.2.2 Waktu .............................................................................. 3.3 Populasi dan Sampel ................................................................ 3.3.1 Populasi........................................................................... 3.3.2 Sampel ............................................................................ 3.4 Identifikasi Variabel Penelitian ................................................ 3.5 Definisi Operasional ................................................................. 3.6 Alat dan Bahan Penelitian ........................................................ 3.6.1 Alat Penelitian ................................................................. 3.6.2 Bahan Penelitian .............................................................. 3.7 Prosedur Penelitian ................................................................... 3.7.1 Prinsip Pemeriksaan ....................................................... 3.7.2 Metode Pemeriksaan ...................................................... 3.7.3 Pengambilan dan Penyimpanan Sampel ........................ 3.7.4 Interpretasi Hasil Laboratorium ..................................... 3.7.5 Kontrol Kualitas Internal ............................................... 3.7.6 Pengumpulan Data Rekam Medis ................................. 3.8 Alur Penelitian ......................................................................... 3.9 Pengumpulan Data ................................................................... 3.9.1 Data primer .................................................................... 3.9.2 Data sekunder ................................................................. 3.10 Pengolahan dan Analisis Data .................................................. 3.10.1 Pengolahan Data ............................................................ 3.10.2 Analisis Data ................................................................. 3.11 Ethical Clearance...................................................................... 36 36 36 36 37 37 37 39 39 40 40 40 40 40 41 42 42 43 43 44 45 45 45 45 45 46 47 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ....................................................................... 4.1.1 Gambaran Umum Pasien ............................................... 4.1.2 Analisis Univariat .......................................................... 4.1.3 Analisis Bivariat ............................................................ 4.2 Pembahasan ............................................................................. 4.2.1 Karakteristik Responden ................................................ 4.2.2 Analisis Univariat ........................................................... 4.2.3 Analisis Bivariat ............................................................ 48 49 50 52 53 53 56 58 ii BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan .............................................................................. 5.2 Saran ........................................................................................ DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... LAMPIRAN 63 63 65 iii DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Derajat DBD berdasarkan klasifikasi WHO ......................................... 27 2. Definisi Operasional.............................................................................. 39 3. Karakteristik pasien berdasarkan kelompok usia pada pasien dengan infeksi dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar Lampung tahun 2016 ............................................................................................ 49 4. Karakteristik pasien berdasarkan jenis kelamin pada responden dengan infeksi dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar Lampung tahun 2016 ............................................................................ 50 5. Karakteristik pasien berdasarkan lama demam saat pemeriksaan serologi pada responden dengan infeksi dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar Lampung tahun 2016 ............................................ 51 6. Karakteristik pasien berdasarkan jenis infeksi dengue pada responden dengan infeksi dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar Lampung tahun 2016 ............................................................................ 51 7. Karakteristik pasien berdasarkan derajat penyakit dengue pada responden dengan infeksi dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar Lampung tahun 2016 ............................................................... 52 8. Hasil analisis bivariat dengan uji ficher exact hubungan jenis infeksi terhadap derajat keparahan pada pasien dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar Lampung tahun 2016 ............................................ 52 iv DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1. Prevalensi negara dengan risiko transmisi virus Dengue ...................... 9 2. Patogenesis terjadinya syok pada DBD ................................................ 14 3. Peranan mast cell terhadap terjadinya DHF/DSS ................................. 15 4. Karakteristik penyakit Demam Dengue ................................................ 20 5. Pemeriksaan laboratorium berdasarkan onset of symptoms .................. 29 6. Kerangka Teori...................................................................................... 34 7. Kerangka Konsep ................................................................................. 35 8. Alur Prosedur Penelitian ...................................................................... 44 v DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Kaji etik Lampiran 2. Surat balasan perizinan tempat penelitian Lampiran 3. Hasil data primer Lampiran 4. Hasil analisis data penelitian Lampiran 5. Lembar penjelasan dan informed consent Lampiran 6. Dokumentasi penelitian vi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi dengue saat ini merupakan salah satu masalah kesehatan utama di dunia. Selama tiga dekade terakhir, telah terjadi peningkatan global yang cukup besar dalam frekuensi dan epidemi demam dengue (DD), demam berdarah dengue (DBD), dan sindrom syok dengue (SSD) seiring bertambahnya insidensi penyakit (WHO, 2011). Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit demam akut yang disebabkan oleh infeksi virus spesies flaviviridae, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang ditularkan melalui gigitan nyamuk genus aedes terutama Aedes aegypti dan Aedes albopictus sebagai vektornya. Nyamuk tersebut mempunyai sifat anthropophilic dan multiple feeding dan kedua sifat tersebut dapat meningkatkan risiko penularan DBD di wilayah permukiman penduduk (Sukowati, 2010). Penyebaran virus dengue merupakan penyebaran virus oleh nyamuk yang tercepat di dunia. Nyamuk yang mengandung virus dengue dengan kepadatan populasi yang tinggi akan menyebabkan nyamuk kontak dengan manusia semakin banyak dan kemungkinan manusia terserang virus semakin tinggi juga. Virus dengue 2 dapat ditularkan secara horizontal dari manusia pembawa virus ke nyamuk (Sandina, 2011). Penyakit DBD banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan bahwa Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. World Health Organization (WHO) mencatat Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara terhitung sejak tahun 1968 - 2009 (WHO, 2009). Penyakit DBD masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang belum dapat ditanggulangi sampai saat ini. Penyakit ini sering kali menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) di beberapa kabupaten atau kota di Indonesia. Pada tahun 2012, kasus DBD di Indonesia dilaporkan sebanyak 90.245 orang dengan kematian 816 orang. Pada tahun 2013, Incident Rate (IR) DBD adalah 45,85/100.000 penduduk (Kemenkes, 2013). Lampung merupakan salah satu dari enam provinsi yang dilaporkan terjadi kejadian luar biasa (KLB) demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia pada tahun 2013. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Lampung pada akhir tahun 2011 sampai awal tahun 2015 terjadi wabah DBD hampir di seluruh kabupaten. Laporan penderita DBD di Kota Bandar Lampung 5 tahun berturut-turut dari tahun 2011-2015 sebanyak 413, 1608, 576, 343 dan 335 kasus sampai bulan Mei ini sehingga Kota Bandar Lampung dikategorikan sebagai daerah endemis DBD. Kasus DBD menyebar ke beberapa kelurahan diberbagai kecamatan. Pada tahun 2010 ada 86 kelurahan yang tergolong 3 endemis, kemudian pada tahun 2011 dan 2012 terdapat 77 kelurahan endemis (Dinkes Lampung, 2015). Perjalanan penyakit dengue dapat berkembang sangat cepat dalam beberapa hari, bahkan dalam hitungan jam penderita dapat masuk dalam keadaan kritis (Mariko, et al., 2014). Syok dan gangguan organ telah terbukti menjadi faktor utama penyebab kematian infeksi dengue (suhendro, 2005; Moi et al., 2013; Paranavitane e al., 2014). Infeksi dengue ditandai demam tinggi (38-400C) yang berlangsung selama 2-7 hari, dengan gejala pendarahan, berbentuk uji rumpel leed positif (RL) atau adanya petekie, purpura, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis melena, hepatomegali, nyeri otot dan persendian. Renjatan yang ditandai oleh rasa nyeri perut, mual, muntah, penurunan tekanan darah, pucat, rasa dingin yang tinggi, terkadang disertai perdarahan dalam masa inkubasi berlangsung selama 4-6 hari (Suherdo et. al., 2009). Klasifikasi diagnosis dengue menurut World Health Organization (WHO) adalah demam dengue (DD), demam berdarah dengue (DBD) dan sindrom syok dengue (SSD). Menurut WHO dan Center for Disease Control and Prevention (CDC), DBD ditandai dengan demam selama dua sampai tujuh hari, perdarahan, trombositopeni dan penumpukan cairan di rongga tubuh karena terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah kapiler (WHO, 2009). Diagnosis infeksi dengue sedini mungkin sangat penting untuk mencegah perkembangan derajat keparahan penyakit ke dalam bentuk yang lebih serius. Namun diagnosis penyakit dengue sulit ditegakkan pada beberapa hari awal 4 sakit karena gejala yang muncul tidak spesifik dan sulit dibedakan dengan penyakit infeksi lainnya sehingga dapat menyebabkan keterlambatan diagnosis. Penegakkan diagnosis penyakit dengue selain dengan menilai gejala klinis juga diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk membantu diagnosis (Shu dan Huang, 2004; Libratyet al., 2000). Pemeriksaan laboratorium sampai sekarang masih menjadi lini depan dalam penegakan diagnosis demam berdarah dengue (DBD). Diagnosis laboratorium infeksi dengue dapat ditegakan dengan mendeteksi virus spesifik, antibodi dan antibodi virus melalui pemeriksaan serologi (Shu dan Huang, 2004). Pada akhir fase akut infeksi virus dengue, metode pilihan dalam penegakan diagnosis menggunakan tes serologi. Sayangnya sampai saat ini penggunaan tes serologis pada pasien curiga DBD belum begitu luas. Harga yang cukup mahal serta perlengkapan yang tidak memadai adalah faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Padahal dengan menggunakan tes serologis antibodi IgM dan IgG kita dapat menentukan apakah seseorang terkena infeksi dengue primer atau sekunder (Guzman et al., 2004). Adanya pemeriksaan IgG dan IgM sangat bermanfaat karena dapat menentukan jenis infeksi yang terjadi pada pasien. Infeksi primer terjadi pada saat penderita mengalami infeksi akut atau pertama kali serangan. Infeksi primer biasanya tidak menunjukan gejala atau gejala ringan. Pada infeksi dengue yang terjadi berulang yaitu pada infeksi sekunder menyebabkan resiko derajat keparahan yang lebih berat. SSD merupakan infeksi sekunder yang sangat berbahaya (Guzman et al., 2004). 5 Pada proses infeksi dengue salah satu respon imun yang berperan adalah respon imun seluler yaitu limfosit T. Sel limfosit T, baik T-helper (CD4+) dan T sitotoksik (CD8+), akan teraktivasi akibat stimulus sitokin seperti interferon (IFN) atau karena adanya infeksi makrofag oleh virus. Sel T CD4+ mengaktivasi sel limfosit B untuk kemudian membentuk imunoglobulin terutama IgM dan IgG yang berasal dari sel-sel plasma limfosit B (Sutaryo, 2004). Pembentukan immunoglobulin khususnya IgM di awal saat dengue masuk ke dalam tubuh berperan untuk mengeliminasi virus. Keberadaan proses ini dapat memperingan penyakit selama kadar IgM cukup banyak. Jika kadar IgM rendah, infeksi akan berjalan lebih berat karena proses eliminasi virus tidak memadai (Guzman et al., 2004). Penelitian sebelumnya yang dilakukan di RSUP Sanglah menunjukan dari data diperoleh mayoritas pasien yaitu sebanyak 22 pasien (66,7%) menunjukkan infeksi sekunder, sedangkan sebanyak 6 pasien (18,2%) menunjukkan infeksi primer, dan sebanyak 5 pasien (15,2%) menunjukkan hasil negatif (Wangsa, 2014). Bandar Lampung dan daerah sekitarnya masih menjadi daerah endemis demam berdarah. Kejadian ini memicu terjadinya infeksi berulang yang menyebabkan berbagai gejala klinis sehingga mempengaruhi tingkat keparahan penyakit. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ingin membuktikan apakah ada hubungan jenis infeksi primer dan sekunder terhadap derajat keparahan pada pasien dengue. 6 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini yaitu “Apakah ada hubungan jenis infeksi primer dan sekunder terhadap derajat keparahan pada pasien dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar Lampung?” 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui hubungan jenis infeksi terhadap derajat keparahan pada pasien dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar Lampung. 1.3.2 Tujuan Khusus a. Mengetahui prevalensi infeksi primer pada penderita infeksi dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar Lampung. b. Mengetahui prevalensi infeksi sekunder pada penderita infeksi dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar Lampung. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat : 1.4.1 Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai hubungan jenis infeksi terhadap derajat keparahan pada pasien dengue. 7 1.4.2 Bagi Institusi Hasil penelitian diharapkan untuk dapat memperbanyak penelitian terkait infeksi dengue sebagai rujukan bacaan khususnya di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. 1.4.3 Bagi Peneliti Sendiri a. Peneliti ini mendapat wawasan, baik dalam bentuk pengalaman maupun dari segi ilmu pengetahuan tentang hubungan jenis infeksi terhadap derajat keparahan pada pasien dengue. b. Untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Umum. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Demam Berdarah Dengue 2.1.1 Definisi Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue serotipe I, II, III dan IV (Soegijanto, 2003). DBD merupakan kondisi lanjutan dari demam dengue dimana terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Kondisi paling berat dari DBD adalah SSD yaitu DBD yang ditandai oleh syok (Suhendro,et al., 2009). 2.1.2 Epidemiologi Demam berdarah dengue (DBD) menjadi perhatian di seluruh dunia terutama di Asia dikarenakan sebagai penyebab utama kesakitan dan kematian anak. Data dari WHO menunjukkan sekitar 1,8 miliar lebih dari 70% dari populasi berisiko dengue di seluruh dunia yang tinggal di negara anggota WHO wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat, menderita hampir 75% dari beban penyakit global saat ini disebabkan oleh demam berdarah dengue (WHO, 2011). Epidemi DBD adalah 9 masalah kesehatan utama masyarakat di Indonesia, Myanmar, Sri Langka, Thailand dan Timor Leste yang berada di zona hujan tropis dan katulistiwa dimana nyamuk Aedes aegypti tersebar luas di daerah perkotaan dan pedesaan, tempat beberapa serotipe virus beredar. Gambar 1. Prevalensi Negara Dengan Risiko Transmisi Virus Dengue (Sumber : WHO, 2011) Demam berdarah dengue pertama kali digunakan di Asia Tenggara tahun 1953 di Filipina. DBD di Indonesia pertama kali dicurigai pada tahun 1968 terdapat di Surabaya dan konfirmasi virologisnya diperoleh pada tahun 1970. Tahun 1972 epidemi pertama di luar Jawa dilaporkan terdapat di Sumatera Barat dan Lampung kemudian tahun 1973 disusul Riau, Sulawesi Utara dan Bali. Saat ini DBD sudah endemis di kota besar dan penyakit ini telah berjangkit di daerah pedesaan. (WHO, 2011). Berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan Indonesia tahun 2012 menyebutkan jumlah penderita DBD di Indonesia sebanyak 90.245 10 kasus dengan jumlah kematian 816 orang (Indeks Rate/IR= 37,27 per 100.000 penduduk dan Case Fatality Rate/CFR= 0,90 %). Jumlah kasus penyakit DBD terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Barat yaitu 19.663 kasus diikuti oleh Jawa Timur (8.177 kasus), Jawa Tengah (7.088 kasus) dan DKI Jakarta (6.669 kasus).Keempatnya merupakan provinsi yang memiliki jumlah penduduk terbesar dimana ini merupakan faktor risiko dari penyebaran penyakit dengue (Kemenkes, 2012). 2.1.3 Etilogi Demam berdarah dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk. Virus dengue ini termasuk kelompok B arthropod virus (Arbovirus) yang sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, famili flaviviridae dan mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Infeksi dari salah satu serotipe menimbulkan antibodi terhadap virus yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk untuk serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan terhadap serotipe lain. Seorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3/4 serotipe yang berbeda selama hidupnya. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat (CDC, 2009). 2.1.4 Vektor Virus dengue ditularkan ke tubuh host melalui gigitan nyamuk. Vektor utama demam berdarah dengue (DBD) adalah Aedes aegypti sedangkan 11 Aedes albopictus sebagai vektor potensialnya. Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil dibandingkan ukuran nyamuk rumah. Morfologinya cukup khas yaitu memiliki gambaran lira putih pada punggungnya. Nyamuk betina meletakkan telurnya di dinding tempat perindukannya 1-2 cm di atas permukaan air. Pertumbuhan dari telur hingga menjadi nyamuk dewasa memerlukan waktu kira-kira 9 hari (Departemen Parasitologi FK UI, 2008). Tempat perindukan utama Aedes aegypti adalah tempat-tempat berisi air bersih yang letaknya berdekatan letaknya dengan rumah penduduk biasanya kurang dari 500 meter. Tempat perindukan dapat berupa tempayan, bak mandi, kaleng, kelopak daun tanaman dan tempat yang berisi air lainnya (Guzman et al., 2010). Nyamuk betina mengisap darah manusia pada siang hari. Pengisapan darah dilakukan dari pagi hari sampai petang dengan dua puncak waktu yaitu setelah matahari terbit (pukul 8.00-10.00) dan sebelum matahari terbenam (pukul 15.00-17.00). Aedes aegypti beristirahat di tempat berupa semak-semak, rerumputan, atau dapat juga di benda-benda yang tergantung dalam rumah, seperti pakaian. Nyamuk ini dapat hidup selama sepuluh hari di alam bebas. Aedes aegypti mampu terbang sejauh jarak 2 kilometer, walaupun umumnya jarak terbangnya cukup pendek yaitu kurang dari 40 meter (Departemen Parasitologi FK UI, 2008) 12 2.1.5 Transmisi Nyamuk Aedes aegypti dapat mengandung virus dengue setelah menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovarian transmission), namun perannya dalam penularan virus tidak penting. Sekali virus dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (Sutaryo, 2004). Transmisi dengue biasa terjadi saat musim hujan ketika suhu dan kelembaban kondusif bagi perkembang biakan vektor pada habitat sekunder yang baik bagi kelangsungan hidup nyamuk. Selain mempercepat siklus hidup Aedes aegypti, suhu lingkungan juga mengakibatkan produksi nyamuk ukuran kecil, dan mengurangi masa inkubasi ekstrinsik virus. Nyamuk betina ukuran kecil dipaksa untuk mengambil lebih banyak makanan darah guna mendapatkan protein yang dibutuhkan untuk produksi telur. Hal tersebut menyebabkan peningkatan jumlah individu yang terinfeksi dan memungkinkan terjadinya epidemi (WHO, 2011). Saat musim kemarau, beberapa faktor berkontribusi dalam inisiasi dan mempertahankan terjadinya epidemi dengue diantaranya strain virus, perilaku, kepadatan atau jumlah dan kapasitas vektor pada populasi vektor, kerentanan populasi manusia, dan pemajanan virus terhadap 13 populasi tertentu. Jenis strain virus yang menginfeksi dapat mempengaruhi besar dan durasi viremia pada seseorang. Kerentanan populasi manusia dipengaruhi oleh faktor genetik dan status imun individu (Bhatt et al., 2013). 2.1.6 Patogenesis Patogenesis demam berdarah dengue (DBD) dan sindrom syok dengue (SSD) masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dipakai pada DBD dan SSD adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory) atau hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD atau SSD (IDAI, 2012). Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leokosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag (Sohendro et. al., 2009). 14 Secondary heterologous dengue infection Anamnestic antibody response Replikasi virus Kompleks virus-antibodi Aktivasi komplemen komplemen Anafilatoksin (C3a, C5a) Histamin dalam urin meningkat Permeabilitas kapiler meningkat >30% pada kasus syok 24-28 jam Perembesan plasma Ht meningkat Natrium menurun Hipovolemi Cairan dalam rongga serosa Syok Anoksia Asidosis Meninggal Gambar 2 Patogenesis terjadinya syok pada DBD (Sumber: WHO, 2009) Menurut hipotesis infeksi sekunder, sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan titer tinggi IgG antidengue. Proliferasi limfosit juga menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue di limfosit. Mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya mengaktifasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskular. Peningkatan permeabilitas terbukti dengan 15 peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa (Kemenkes, 2010). Gambar 3. Peranan mast cell terhadap terjadinya DBD/SSD (Sumber :Saint John, et al., 2013) Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah respons humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE) (Rena et al., 2009). Virus dengue masuk ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Aedes sp. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus dengue akan menuju organ sasaran yaitu sel kupffer hepar (Clyde et al., 2006). Siklus intraseluler virus dengue hampir serupa dengan siklus virus lain yang 16 juga tergolong dalam genus flavivirus. Infeksi virus dengue dimulai saat vektor mengambil darah host dan memasukkan virus ke dalamnya. Virus dengue berikatan dan masuk ke dalam sel host melalui proses endositosis yang dimediasi oleh reseptor afinitas rendah seperti sel dendritik (Clyde et al., 2006). Virus dengue juga dapat menginfeksi leukosit, jantung, ginjal, lambung, bahkan menembus sawar darah otak (Singhi et al., 2007). Peningkatan aktivasi kekebalan, khususnya selama infeksi sekunder, menyebabkan respon sitokin menjadi berlebihan sehingga terjadi perubahan permeabilitas vaskular. Mekanisme imunopatogenesis infeksi virus dengue melibatkan respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi, limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8), monosit dan makrofag, sitokin serta aktivasi komplemen (Clyde et al., 2006). Virus akan ditangkap, kemudian antigen virus diproses dengan cara dipecah secara proteolitik menjadi bagian yang lebih kecil oleh antigen presenting cell (APC) yaitu molekul histokompatibilitas (MHC) kelas I, atau makrofag dan sel dendritik. Setelah terpajan pada antigen yang sesuai, APC meninggalkan jaringan dan bermigrasi melalui pembuluh limfe ke kelenjar limfe, dan mengaktivasi sel T helper (CD4) dan sel T sitotoksik (CD8) yang menghasilkan limfokin dan interferon γ (Kumar et al., 2007; Clyde et al., 2006). Selanjutnya, interferon γ akan mengaktivasi makrofag yang menyebabkan sekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF α, IL-1, dan PAF (platelet activating factor), IL-6 dan histamin (Rena et al., 17 2009). Peningkatan sekresi sitokin akan mengaktivasi sistem komplemen (C3 dan C5) yang menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas plasma dinding pembuluh darah dan perembesan plasma dari ruang intravaskuler ke ekstravaskuler (plasma leakage), suatu keadaan yang berperan dalam terjadinya syok. Kenaikan kadar C3a mempunyai korelasi dengan berat ringan penyakit. Kadar C3a pada DBD dengan syok secara bermakna lebih tinggi dari pada kelompok lain yang lebih ringan (Sutaryo, 2004). 2.1.7 Gambaran Klinis Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, maupun simtomatik berupa demam tidak khas (viral syndrome), demam dengue, demam berdarah dengue dan sindrom syok dengue, bahkan expanded dengue syndrome yang disertai organopati (WHO, 2011). Infeksi oleh satu serotipe dengue memberikan imunitas seumur hidup terhadap serotipe tersebut, akan tetapi hanya terdapat cross protective jangka pendek terhadap serotipe lainnya. Manifestasi klinis yang muncul tergantung pada strain virus yang menginfeksi dan faktor host, seperti usia, dan status imunitas seseorang (WHO, 2011). World Health Organization (WHO) pada tahun 2011 mengeluarkan Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control sebagai panduan tatalaksana DBD dengan membagi demam dengue menjadi 3 fase, yaitu sebagai berikut: 18 a. Fase Demam Penderita mengalami demam akut 2-7 hari disertai muka wajah memerah, kulit memerah, nyeri seluruh badan, mialgia, atralgia dan sakit kepala. Gejala lain seperti nyeri tenggorokan, faring hiperemis, konjungtiva hiperemis. Anorexia, nausea dan muntah muntah umum terjadi. Sulit untuk membedakan dengue dengan non-dengue pada fase demam, uji torniquet positif mempertinggi kemungkinan penderita mengalami infeksi virus dengue. Monitor diperlukan untuk menilai timbulnya tanda bahaya (warning sign) yang akan membuat pasien masuk ke fase ke 2 fase kritis. Manifestasi perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan membran mukosa seperti perdarahan hidung dan gusi dapat terjadi. Perdarahan pervaginam yang masif dapat terjadi pada wanita usia muda dan perdarahan saluran cerna dapat terjadi pada fase ini tetapi jarang. Hati dapat membesar dan tegang/nyeri setelah demam beberapa hari. Tanda paling awal dari pemeriksaan darah rutin adalah menurunnya total leukosit (leukopenia) yang dapat menjadi dasar klinisi untuk menilai pasien sudah terjangkit virus dengue (WHO, 2011). b. Fase Kritis Selama fase rawatan, pada saat temperatur tubuh turun menjadi ≤ 37,5-38oC dan bertahan pada suhu tersebut, terjadi pada hari ke 3-7, meningkatnya permeabilitas kapiler bersamaan dengan meningkatnya kadar hematokrit dapat terjadi. Ini merupakan tanda awal fase kritis.Leukopenia yang progresif diikuti dengan 19 menurunnya jumlah trombosit mengiindikasikan kebocoran plasma. Efusi pleura dan asites dapat terdeteksi tergantung dari derajat kebocoran plasma dan volume dari terapi cairan. Foto thorax dan ultrasonografi abdomen dapat digunakan untuk mendiagnosa efusi pleura dan asites. Syok dapat terjadi didahului oleh timbulnya tanda bahaya (warning sign). Temperatur tubuh dapat subnormal saat syok terjadi. Syok yang memanjang, terjadi hipoperfusi organ yang dapat mengakibatkan kegagalan organ, metabolik asidosis dan disseminated intravascular coagulation (DIC). Hepatitis akut yang berat, ensefalitis, miokarditis dan atau terjadi perdarahan yang masif dapat terjadi.Pasien yang membaik dalam fase ini disebut sebagai non-severe dengue. Pasien yang memburuk akan menunjukkan tanda bahaya. Pasien ini bisa membaik dengan rehidrasi intravena atau memburuk kembali yang disebut severe dengue (WHO, 2011). Severe dengue didefinisikan bila didapati satu atau lebih hal-hal berikut ini: 1. Kebocoran plasma yang mengarah pada syok 2. Perdarahan hebat 3. Gangguan berat organ (WHO, 2011). Biasanya terjadi pada hari ke-4 atau ke-5 demam berkisar antara hari ke 3-7, ditandai dengan tanda bahaya. Kompensasi tubuh untuk mempertahankan tekanan sistolik menyebabkan takikardia dan vasokonstriksi perifer, ditandai dengan akral dingin dan peningkatan 20 capillary refill time. Akhirnya terjadi dekompensasi dan tekanan darah menghilang. Syok akibat hipotensi dan hipoksia akan menyebabkan kegagalan multiorgan (WHO,2011). c. Fase Penyembuhan Bila pasien telah melewati 24-48 jam fase kritis, reabsorpsi cairan dari kompartemen ekstravaskular terjadi dalam 48-72 jam. Keadaan umum membaik, kembalinya nafsu makan, berkurangnya gejala gastrointestinal, hemodinamik stabil dan cukup diuresis. Bradikardia dan perubahan elektrokardiogram (EKG) dapat terjadi pada fase ini. Hematokrit kembali normal atau lebih rendah karena efek dilusi cairan yang diberikan. Leukosit kembali meningkat disusul dengan meningkatnya trombosit (WHO, 2011). Gambar 4.Karakteristik penyakit Demam Dengue (Sumber :WHO, 2011) 21 2.1.8 Diagnosis World Health Organization (WHO) melalui guidelinenya tahun 2009 menyatakan bahwa pasien demam dengue dapat diklasifikasikan ke dalam 4 kriteria yaitu sebagai berikut: a. Undifferentiated Fever (Sindrom Infeksi Virus) Pada undifferentiated fever, demam sederhana yang tidak dapat dibedakan dengan penyebab virus lain. Demam disertai kemerahan berupa makulopapular, timbul saat demam reda. Gejala dari saluran pernapasan dan saluran cerna sering dijumpai. b. Demam Dengue 1. Anamnesis Pada anamnesis didapatkan keluhan demam mendadak tinggi, disertai nyeri kepala, nyeri otot, nyeri sendi dan tulang, nyeri retro-orbital, photophobia, nyeri pada punggung, facial flushed, lesu, tidak mau makan, konstipasi, nyeri perut, nyeri tenggorok, dan depresi umum. 2. Pemeriksaan fisik a) Demam didapatkan dengn suhu 39-40°C, berakhir 5-7 hari. b) Pada hari sakit ke 1-3 tampak flushing pada muka (muka kemerahan), leher, dan dada. c) Pada hari sakit ke 3-4 timbul ruam kulit makulopapular atau rubeolliform. d) Mendekati akhir dari fase demam dijumpai petekie pada kaki bagian dorsal, lengan atas, dan tangan. 22 e) Convalescent rash, berupa petekie mengelilingi daerah yang pucat pada kulit yg normal, dapat disertai rasa gatal. f) Manifestasi perdarahan 1) Uji rumple leed positif dan/atau petekie. 2) Epitaksis hebat, menstruasi yang lebih banyak, perdarahan saluran cerna (jarang terjadi, dapat terjadi pada DD dengan trombositopenia). c. Demam Berdarah Dengue Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit, meliputi fase demam, kritis, dan masa penyembuhan (convalescence/recovery). 1. Fase Demam a) Anamnesis Demam tinggi, 2-7 hari, dapat mencapai 400C, serta terjadi kejang demam. Dijumpai facial flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga kanan, dan nyeri perut. b) Pemeriksaan Fisik 1) Manifestasi perdarahan a) Uji bendung positif (>10 petekie/inch2) merupakan manifestasi perdarahan yang paling banyak pada fase demam awal b) Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan untuk jalur vena c) Petekie pada ekstremitas, ketiak, muka, palatum lunak 23 d) Epistaksis, perdarahan gusi e) Perdarahan saluran cerna f) Hematuria (jarang) g) Menorrhagia 2) Hepatomegali teraba 2-4 cm di bawah arcus costae kanan dan disertai kelainan fungsi hati (terutama transaminase) lebih sering ditemukan pada DBD. Berbeda dengan DD, pada DBD terdapat hemostasis yang tidak normal, perembesan plasma khususnya pada rongga pleura dan rongga peritoneal, hipovolemia, dan syok, karena terjadi peningkatan permeabilitas kapiler.Perembesan plasma yang mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam rongga pleura dan rongga peritoneal terjadi selama 24-48 jam. 2. Fase Kritis Fase kritis terjadi pada saat perembesan plasma yang berawal pada masa transisi dari saat demam ke bebas demam disebut fase time of fever defervescence ditandai dengan, a) Peningkatan hematokrit 10%-20% di atas nilai dasar. b) Tanda perembesan plasma seperti efusi pleura dan asites, edema pada dinding kandung empedu. Foto dada (dengan posisi right lateral decubitus = RLD) dan ultrasonografi dapat mendeteksi perembesan plasma tersebut. 24 c) Terjadi penurunan kadar albumin >0.5g/dL dari nilai dasar / <3.5 g% yang merupakan bukti tidak langsung dari tanda perembesan plasma d) Tanda-tanda syok yaitu dilihat dari anak gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis, nafas cepat, nadi teraba lembut sampai tidak teraba. Hipotensi, tekanan nadi ≤20 mmHg, dengan peningkatan tekanan diastolik. Akral dingin, capillary refill time memanjang (>3 detik). Diuresis menurun (< 1ml/kg berat badan/jam), sampai anuria. e) Komplikasi berupa asidosis metabolik, hipoksia, ketidakseimbangan elektrolit, kegagalan multipel organ, dan perdarahan hebat apabila syok tidak dapat segera diatasi. 3. Fase Penyembuhan (Convalescence, Recovery) Fase penyembuhan ditandai dengan diuresis membaik dan nafsu makan kembali merupakan indikasi untuk menghentikan cairan pengganti. Gejala umum dapat ditemukan sinus bradikardia/ aritmia dan karakteristik confluent petechial rash seperti pada DD. d. Expanded Dengue Syndrome Manifestasi berat yang tidak umum terjadi meliputi berbagai organ seperti hati, ginjal, otak dan jantung. Kelainan organ tersebut berkaitan dengan infeksi penyerta, komorbiditas, atau komplikasi dari syok yang berkepanjangan. 25 1. Diagnosis DBD atau DSS ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan laboratorium. 2. Kriteria Klinis Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari. a) Manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif, petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan/melena b) Pembesaran hati c) Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (≤20 mmHg), hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah. 3. Kriteria Laboratorium a) Trombositopenia (≤100.000/mikroliter) b) Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit c) 20% dari nilai dasar / menurut standar umur dan jenis kelamin (WHO, 2012). Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan, a. Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia hemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit >20%. b. Dijumpai hepatomegali sebelum terjadi perembesan plasma. c. Dijumpai tanda perembesan plasma 1. Efusi pleura (foto toraks/ultrasonografi) 2. Hipoalbuminemia dan 26 d. Perhatian 1. Pada kasus syok, hematokrit yang tinggi dan trombositopenia yang jelas, mendukung diagnosis DSS. 2. Nilai LED rendah (<10mm/jam) saat syok membedakan DSS dari syok sepsis (WHO,2012). Pada tahun 2011, WHO mengembangkan suatu sistem klasifikasi derajat keparahan penyakit infeksi dengue yang digunakan sebagai pedoman diagnosis dan penentuan tatalaksana infeksi dengue. Diagnosis infeksi dengue dilihat dari Gejala klinis ditambah trombositopenia ditambah hemokonsentrasi, kemudian dikonfirmasi dengan deteksi antigen virus dengue (NS1) atau dan uji serologi anti dengue positif (IgM anti dengue atau IgM/IgG anti dengue positif). Derajat keparahan infeksi dengue diklasifikasikan menjadi 4 derajat seperti yang tertera pada tabel 1 (Macedo et al., 2014). 27 Tabel 1. Derajat DBD berdasarkan klasifikasi WHO (2011) DD/DBD DD Derajat DBD I DBD II DBD III DBD IV Tanda dan gejala Demam disertai minimal dengan 2 gejala 1. Nyeri kepala 2. Nyeri retro-orbital 3. Nyeri otot 4. Nyeri sendi/ tulang 5. Ruam kulit makulopapular 6. Manifestasi perdarahan 7. Tidak ada tanda perembesan plasma Demam dan manifestasi perdarahan (uji bendung positif) dan tanda perembesan plasma Seperti derajat I ditambah perdarahan spontan Laboratorium 1. Leukopenia (jumlah leukosit ≤4000sel/mm3) 2. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000sel/ mm3) 3. Peningkatan hematokrit (5%10%) 4. Tidak ada bukti perembesan plasma Trombositopenia <100.000sel/mm3; peningkatan hematokrit ≥20% Trombositopenia <100.000sel/mm3; peningkatan hematokrit ≥20% Trombositopenia <100.000sel/mm3; peningkatan hematokrit ≥20% Seperti derajat I atau II ditambah kegagalan sirkulasi (nadi lemah, tekanan nadi ≤20mmHg, hipotensi, gelisah, diuresis menurun Syok hebat dengan Trombositopenia tekanan darah dan nadi <100.000sel/mm3; yang tidak terdeteksi peningkatan hematokrit20% 2.1.9 Pemeriksaan Laboratorium Beberapa parameter pemeriksaan laboratorium sederhana bagi pasien DD adalah : a. Leukosit Leukosit dapat normal atau menurun, Mulai hari ke 3 dapat ditemui limfositosis relative (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) >15% dari total leukosit yang pada fase syok akan meningkat. 28 b. Trombosit Umumnya terdapat trombositopenia (<100.000/mm3) pada hari ke 3-8. Trombosit akan menigkat kembali setelah memasuki fase convalescence. c. Hematokrit Kebocoran Plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan hematokrit >20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam. Metode diagnosis laboratorium lanjutan untuk mengkonfirmasikan infeksi virus dengue melibatkan deteksi virus, asam nukleat virus, antigen atau antibodi, atau kombinasi dari teknik ini. Setelah timbulnya penyakit, virus dapat dideteksi dalam serum, plasma, sirkulasi sel darah dan jaringan lain selama 4-5 hari. Selama tahap awal penyakit, isolasi virus, asam nukleat atau deteksi antigen bisa digunakan untuk mendiagnosa infeksi. Pada akhir fase akut infeksi, serologi adalah metode pilihan untuk diagnosis (WHO, 2009). Respon antibodi terhadap infeksi berbeda sesuai dengan status kekebalan dari penderita. Infeksi dengue terjadi pada orang yang sebelumnya belum pernah terinfeksi sebuah flavivirus atau diimunisasi dengan vaksin flavivirus misalnya untuk demam kuning, (Japanesse encephalitis), pasien menghasilkan respon antibodi primer yang ditandai dengan peningkatan antibodi spesifik secara perlahan. (WHO 2009). 29 Antibodi IgM adalah imunoglobulin yang pertama muncul. Antibodi ini terdeteksi pada 50% pasien selama hari ke 3-5 setelah onset penyakit, meningkat menjadi 80% pada hari ke-5 dan 99% pada hari ke 10. Tingkat IgM mencapai puncaknya sekitar dua minggu setelah timbulnya gejala dan kemudian menurun umumnya ke tingkat tidak terdeteksi selama 2-3 bulan. Serum anti dengue IgG umumnya terdeteksi pada titer rendah pada akhir minggu pertama penyakit, meningkat perlahan-lahan setelahnya dengan serum IgG masih terdeteksi setelah beberapa bulan dan mungkin bahkan seumur hidup (Guzman, 2004). Gambar 5. Pemeriksaan laboratorium berdasarkan onset of symptoms (Sumber: WHO, 2009) Selama infeksi dengue sekunder merupakan infeksi dengue pada host yang sebelumnya telah terinfeksi oleh Virus Dengue, atau kadangkadang setelah vaksinasi flavivirus non-dengue atau infeksi, titer antibodi meningkat pesat dan bereaksi secara luas terhadap banyak flavivirus. 30 IgG adalah immunoglobulin yang dominan terdeteksi pada tingkat tinggi, bahkan di fase akut, dan menetap selama periode yang berlangsung dari 10 bulan sampai seumur hidup. Tingkat IgM lebih rendah pada infeksi sekunder dibandingkan yang primary dan mungkin tidak terdeteksi dalam beberapa kasus. Untuk membedakan Infeksi dengue primer dan sekunder, rasio antibodi IgM atau IgG sekarang lebih sering digunakan dibandingkan dengan tes haemagglutinationinhibition (HI) (WHO, 2009). Antibody IgM dengue umumnya diperiksa dengan menggunakan IgM Antobody-Captured Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (MAC – ELISA) sementara IgG diperiksa dengan IgG ELISA test. Sementara itu NS1 diperiksa dengan NS1 Kit (Malavige, G.N., 2004). Sementara di Indonesia menurut Depkes RI (2011), digunakan Rapid Diagnosis Test (RDT) untuk mendeteksi NS1, IgG dan IgM sebagai uji diagnostik. Secara umum, tes dengan sensitivitas dan spesifisitas tinggi memerlukan teknologi yang lebih kompleks dan keahlian teknis, sedangkan tes cepat dapat mengganggu sensitivitas dan spesifisitas demi kemudahan kinerja dan kecepatan. Isolasi virus dan deteksi asam nukleat lebih mahal, tetapi juga lebih spesifik dari pada deteksi antibodi menggunakan metode serologi. Gambar di atas ini menunjukkan hubungan terbalik antara kemudahan menggunakan dan memperoleh uji diagnostik dengan kepercayaan pada hasil tes (WHO, 2009). 31 Hasil Analisia (Pok,et al.,2010) menunjukkan bahwa RT-PCR adalah metode diagnostik paling sensitif dan paling spesifik (100%) dalam 3 hari pertama demam. Sementara sensitifitas rata-rata dari pemeriksaan antigen NS1 dengue dalam periode yang sama adalah 81,7%, yang menunjukkan bahwa pemeriksaan ini cukup potensial sebagai pemeriksaan yang cukup terpercaya dan lebih hemat sebagai metode diagnosis alternatif deman dengue dari RT-PCR di pusat kesehatan primer. Rendahnya sensitifitas dalam mendiagnosa infeksi DBD sekunder menjadi salah satu kelemahan pemeriksaan uji antigen NS1 dengue. Tingkat sensitifitas dari pemeriksaan IgM tergantung dari alat yang kita gunakan. Pada perbandingan antara 9 buah MAC-ELISA kit yang dijual bebas didapati sensitivitasnya berkisar dari 21-99% sementara spesitifitasnya 77-98%. Ditemukan juga adanya false positive pada pasien malaria dan mantan pasien DBD (Hunsperger et al., 2009). Tingkat sekresi nonstructural protein NS1 (sNS1) bebas Virus Dengue dalam plasma berhubungan dengan tingkat viremia dan lebih tinggi pada pasien dengan DHF dibandingkan dengan DF.sNS1 yang meningkat (≥ 600 ng/mL) dalam 72 jam setelah onset penyakit mempunyai risiko yang tinggi untuk menjadi DHF (Depkes RI, 2010). Menurut Kemenkes (2010) pembagian Rapid Diagnostic Test (RDT) yang digunakan di Indonesia sebagai berikut: 32 a. Rapid Test NS1 Kit yang digunakan Dengue Dx NS1 Antigen Rapid Test. Setiap tes berisikan satu membrane strip, yang telah dilapisi dengan antidengue NS1 antigen capture pada daerah garis tes. Anti-dengue NS1 antigen-colloid gold conjugate dan serumsampel bergerak sepanjang membran menuju daerah garis tes (T) dan membentuk suatu garis yang dapat dilihat sebagai suatu bentuk kompleks antibody-antigenantibody gold particle. Dengue Dx NS1 Antigen Rapid Tes memiliki dua garis hasil, garis ”T” (garis tes) dan ”C” (garis kontrol). Kedua garis ini tidak akan terlihat sebelum sampel ditambahkan. Garis kontrol C digunakan sebagai kontrol prosedur.Garis ini selalu muncul jika prosedur tes dilakukan dengan benar dan reagen dalam kondisi baik. Interpretasi hasil pengujian adalah: 1. Hasil Negatif:Jika terbentuk garis pada area garis kontrol (C). 2. Hasil Positif: Jika terbentuk garis pada area garis (T) dan (C). 3. Hasil Invalid: jika tidak terbentuk garis pada area garis kontrol (C). Untuk hasil Invalid dilakukan tes ulang (kemekes, 2010). b. Rapid Tes IgG/IgM Kit yang digunakan adalah Dengue Dx IgG/IgM Rapid Tes. Dengue Dx IgG/IgM tes memiliki tiga garis pre-coated pada permukaan membran. Garis tes dengue IgG (G), garis tes dengue IgM (M), dan garis kontrol (C). Ketiga garis ini terletak dibagian jendela hasil dan tidak akan terlihat sebelum sebelum dilakukan penambahan sampel. Garis kontrol C digunakan sebagai kontrol prosedur. Garis ini selalu 33 muncul jika prosedur tes dilakukan dengan benar dan reagen dalam kondisi baik. Garis “G” dan “M” akan terlihat pada jendela hasil jika terdapat antobodi IgG dan IgM terhadap virus dengue dalam sampel. Jika tidak terdapat antibodi, maka tidak akan terbentuk garis “G” atau “M”. Interpretasi hasil laboratorium yaitu: 1. Negatif, hanya terlihat garis kontrol “C” pada tes. Tidak terdeteksi adanya antibodi IgG atau IgM. Ulangi tes 3-5 hari kemudian jika diduga ada infeksi dengue. 2. IgM Positif, bila terlihat garis kontrol “C” dan garis IgM (“M”) pada tes. Positif antibodi IgM terhadap virus dengue. Mengindikasikan infeksi dengue primer. 3. IgG Positif, bila terlihat garis Kontrol “C” dan garis IgG (“G”) pada tes. Positif antibodi IgG terhadap virus dengue. Mengindikasikan infeksi dengue sekunder ataupun infeksi dengue masa lalu 4. IgG dan IgM Positif,bila terlihat garis Kontrol “C”, garis IgG (“G”), dan garis IgM (“M”) pada tes. Positif pada kedua antibodi IgG dan IgM terhadap virus dengue. Mengindikasikan infeksi dengue primer akhir atau awal infeksi dengue sekunder. 5. Invalid, tidak terlihat garis Kontrol “C” pada tes. Jumlah sampel yang tidak sesuai, atau prosedur kerja yang kurang tepat dapat mengakibatkan hasil seperti ini. Ulangi pengujian dengan menggunakan tes yang baru (kemenkes, 2010). 34 2.2 Kerangka Teori Virus dengue Host Secondary heterologous dengue infection Antibody dependent enhancement Anamnestic antibody response Replikasi virus Kompleks virus antibodi Aktivasi koagulasi Agregasi trombosit Antibodi IgM/IgG Aktivasi komplemen Diagnosis infeksi dengue 1.Gejala klinik 2.Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan IgM/IgG anti-dengue Infeksi Primer Infeksi Sekunder Kererangan = Variabel yang diteliti = Variabel tidak diteliti Derajat berat dengue 1. Demam dengue 2. DBD grade I 3. DBD grade II 4. DBD grade III 5. DBD grade IV (DSS) Gambar 6.Kerangka Teori (Sumber :WHO, 2011) 35 2.3 Kerangka Konsep Secondary heterologous dengue infection Anamnestic antibody response Antibodi IgM/IgG Pemeriksaan IgM/IgG anti-dengue Infeksi Primer Infeksi Sekunder Derajat berat dengue 1. Demam dengue 2. DBD grade I 3. DBD grade II 4. DBD grade III 5. DBD grade IV (DSS) Variabel Independen Variabel Dependen Gambar 7. Kerangka Konsep 2.4 Hipotesis Penelitian Hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai berikut. Ho: Tidak terdapat hubungan jenis infeksi terhadap derajat keparahan infeksi dengue pada pasien dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar Lampung. Ha: Terdapat hubungan jenis infeksi terhadap derajat keparahan infeksi dengue pada pasien dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar Lampung. BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional yaitu jenis penelitian untuk mempelajari hubungan antara faktor risiko dengan efek meliputi variabel bebas dan variabel terikat yang diukur sekaligus dalam suatu waktu (Notoatmodjo, 2012) dimana penelitian ini mengetahui hubungan jenis infeksi terhadap derajat keparahan infeksi dengue di RS Urip Sumoharjo Bandar Lampung. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1 Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar Lampung dibagian laboratorium patologi klinik dan rawat inap rumah sakit urip sumoharjo. 3.2.2 Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan November-Desember 2016. 37 3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi Populasi dalam penelitian adalah sejumlah subjek besar yang mempunyai karakteristik tertentu. Karakteristik subjek ditentukan sesuai dengan ranah dan tujuan penelitian (Sastroasmoro, 2007). Populasi terjangkau (accessible population) suatu penelitian adalah bagian dari populasi yang dapat dijangkau oleh peneliti. Dengan perkataan lain populasi terjangkau adalah bagian populasi yang dibatasi oleh tempat dan waktu (Sastroasmoro, 2007). Populasi terjangkau untuk penelitian ini adalah pasien suspek infeksi dengue di RS Urip Sumoharjo Bandar Lampung pada bulan November – Desember 2016. 3.3.2 Sampel Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah pasien suspek infeksi dengue di RS Urip Sumoharjo Bandarlampung pada bulan NovemberDesember 2016 dengan kriteria gejala klinis demam. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah consecutive sampling. Pada consecutive sampling, semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi. Consecutive sampling ini merupakan jenis non-probability sampling yang paling baik dan merupakan cara termudah. Sebagian besar penelitian klinis (termasuk uji klinis) menggunakan teknik ini untuk pemilihan subjeknya (Sastroasmoro, 2007). 38 Adapun jumlah sampel yang akan diambil adalah menggunakan rumus (Tantra 2011). N =( )2 Keterangan N = Besar sampel Zα = 1,96 (tingkat kemaknaan α = 0,05) Zβ = 0,842 (power penelitian β = 80%) r = 0,46 (korelasi yang ditetapkan peneliti berdasarkan penelitian) (Tanra, 2011). Perhitungan : n=( )2 n = 31 Dari hasil perhitungan didapatkan besar sampel sebanyak 31 responden. Teknik pengambilan Sampel penelitian diperoleh secara consecutive sampling. Kriteria inklusi: a. Pasien mau mengikuti penelitian dengan menyetujui lembar informed consent. Kriteria eksklusi : 1. Pasien yang sedang mengkonsumsi obat – obatan yang mensupresi sumsum tulang. 39 2. Pasien yang memiliki riwayat kelainan darah. 3. Pasien dengan penyakit koinsiden lain, misalnya demam tifoid, malaria, hepatitis dan cikungunya. 4. Catatan medik tidak lengkap. 3.4 Identifikasi Variabel Penelitian Variabel bebas adalah variabel yang apabila nilainya berubah akan mempengaruhi variabel lain (Dahlan, 2013). Dalam penelitian ini, yang menjadi variabel bebas adalah jenis infeksi dengue. Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas. Dalam penelitian ini, yang menjadi variabel terikat adalah derajat penyakit dengue. 3.5 Definisi Operasional Definisi operasional menguraikan variabel dependen maupun variabel independen, alat ukur, cara ukur, hasil ukur dan skala ukur pada penelitian ini. Disini meliputi skala yaitu nominal, ordinal, interval ataupun rasio. Tabel 2. Definisi Operasional No. Variabel 1. Jenis infeksi dengue 2. Derajat keparahan infeksi dengue Definisi Cara Ukur Jenis infeksi - Ig M dengue berupa - Ig G infeksi primer atau infeksi sekunder Alat Ukur Rapid dengue Skala Ukur test 1= Infeksi primer, bila IgM positif 2= infeksi sekunder, bila IgG atau IgG dan IgM positif Jenis infeksi Anamnesa, Diagnosa 1 = demam dengan derajat pemeriksaan yang dengue keparahan fisik dan ditegakan oleh 2 = demam pasien DBD pemeriksaan dokter/ berdarah menurut laboratorium spesialis dengue kriteria WHO dalam rekam 2011 medic Hasil Ukur Ordinal Ordinal 40 3.6. Alat dan Bahan Penelitian 3.6.1 Alat Penelitian Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: perangkat tes Dengue Dx IgG/IgM Rapid Tes, disposable dropper (sekali pakai), assay diluent, lembar petunjuk penggunaan, tabung reaksi yang tidak mengandung anti koagulan, alat senrtrifugasi, spuit, torniket, rekam medis pasien suspek infeksi dengue di RS Urip Sumoharjo pada bulan November-Desember 2016, alat tulis, dan program komputer statistika. 3.6.2 Bahan Penelitian Bahan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah serum pasien suspek infeksi dengue. 3.7 Prosedur Penelitian 3.7.1 Prinsip Pemeriksaan Prinsip pemeriksaan IgM/IgG anti dengue yang berkembang pada pemeriksaan dengue cara cepat dengan menggunakan metode imunokromatografi, antara lain Dengue Rapid Test (Dengue Duo IgM and IgG Rapid Strip Test SD BIOLINE). Dari SD Standar diagnostics, INC Uji ini menggunakan protein envelop rekombinan dengue, serta digunakan untuk membedakan infeksi dengue primer dan sekunder. Uji ini dapat mendeteksi baik IgM dan IgG anti-dengue sekaligus dalam serum tunggal dalam waktu 15-30 menit. Pada Dengue Rapid Test (uji ICT) berbentuk strip ini telah distandardisasi sedemikian rupa sehingga 41 pada penderita infeksi primer IgM positif dimana IgGnya negatif, sebaliknya pada infeksi sekunder hasil IgG positif dapat disertai dengan atau tanpa hasil IgM yang positif (Aryati, 2004). Prinsip pemeriksaan yaitu fase padat nitroselulose/dipstick dengan daya kromatografi maka antibodi IgM atau IgG anti-dengue yang terdapat di dalam serum penderita akan berikatan dengan antihuman IgM atau antihuman IgG yang telah diimobilisasi pada fase padatnya membentuk garis melintang pada membran tes. Secara bersamaan antibodi monoklonal anti-dengue yang berlabel gold bereaksi dengan antigen dengue (rekombinan). Konjugat ini ( antibodi monoklonal anti-dengue yang berikatan dengan antigen dengue ) akan berikatan dengan antibodi IgM atau IgG dari serum penderita tersebut membentuk garis berwarna ungu (Aryati, 2004). Suwandono (2011) mendapatkan sensitivitas diagnostik Dengue Rapid Test 97,36% dan spesifisitas diagnostik 84,38% pada penderita demam berdarah dengue. 3.7.2 Metode Pemeriksaan Kit yang digunakan adalah Dengue Dx IgG/IgM Rapid Tes. Dengue Dx IgG/IgM tes memiliki tiga garis pre-coated pada permukaan membran. Garis tes dengue IgG (G), garis tes dengue IgM (M), dan garis kontrol (C). Ketiga garis ini terletak dibagian jendela hasil dan tidak akan terlihat sebelum sebelum dilakukan penambahan sampel. Garis kontrol C digunakan sebagai kontrol prosedur. Garis ini selalu muncul jika 42 prosedur tes dilakukan dengan benar dan reagen dalam kondisi baik. Garis “G” dan “M” akan terlihat pada jendela hasil jika terdapat antobodi IgG dan IgM terhadap virus dengue dalam sampel. Jika tidak terdapat antibodi, maka tidak akan terbentuk garis “G” atau “M” (Kemenkes, 2010). 3.7.3 Pengambilan dan Penyimpanan Sampel Sampel didapat berdasarkan kriteria inklusi yaitu pasien yang suspek infeksi virus dengue di RS Urip Sumoharjo Bandar Lampung. Sampel darah vena diambil dari vena mediana cubiti sebanyak 2 cc. Selanjutnya sampel dimasukkan ke dalam tabung dengan antikoagulan (EDTA). Secepat mungkin darah yang telah tercampur antikoagulan dihomogenkan dengan cara dikocok selama kurang lebih 1 menit. Sampel dapat stabil selama 4 jam pada suhu 18-25oC atau 24 jam pada suhu 2-8oC (Kemenkes, 2010). 3.7.4 Interpretasi Hasil Laboratorium a. Negatif, hanya terlihat garis kontrol “C” pada tes. Tidak terdeteksi adanya antibodi IgG atau IgM. Ulangi tes 3-5 hari kemudian jika diduga ada infeksi dengue. b. IgM Positif, bila terlihat garis kontrol “C” dan garis IgM (“M”) pada tes. Positip antibodi IgM terhadap virus dengue. Mengindikasikan infeksi dengue primer. 43 c. IgG Positif, bila terlihat garis Kontrol “C” dan garis IgG (“G”) pada tes. Positip antibodi IgG terhadap virus dengue. Mengindikasikan infeksi dengue sekunder ataupun infeksi dengue masa lalu. d. IgG dan IgM Positif,bila terlihat garis Kontrol “C”, garis IgG (“G”), dan garis IgM (“M”) pada tes. Positip pada kedua antibodi IgG dan IgM terhadap virus dengue. Mengindikasikan infeksi dengue primer akhir atau awal infeksi dengue sekunder. e. Invalid, tidak terlihat garis Kontrol “C” pada tes. Jumlah sampel yang tidak sesuai, atau prosedur kerja yang kurang tepat dapat mengakibatkan hasil seperti ini. Ulangi pengujian dengan menggunakan tes yang baru (Depkes, 2010). 3.7.5 Kontrol Kualitas Internal Garis kontrol (C) digunakan untuk kontrol prosedural. Garis kontrol akan selalu terbentuk apabila prosedur pengujian dilakukan dengan benar dan perangkat tes bekerja dengan baik. 3.7.6 Pengumpulan Data Rekam Medis Data rekam medis yaitu gejala klinis dan hasil laboratorium IgM dan IgG di RS Urip Sumoharjo pada bulan November –Desember 2016. 44 3.8 Alur Penelitian Tahap Persiapan Pembuatan proposal, perizinan, pengajuan kaji etik penelitian dan koordinasi Tahap Pelaksanaan Pengisian lembar informed consent pada sampel yang masuk kriteria inklusi peneltian Pengambilan sampel darah vena pasien sebanyak 3 cc untuk pemeriksaan IgG/IgM Sampel disentrifugasi dengan kecepatan 1500-2000 rpm selama 15-20 menit, sehingga didapatkan sampel serum Pemeriksaan IgG/IgM anti dengue dengan menggunakan Rapid Diagnostic Test dan interpretasi hasil Pengumpulan data melalui rekam medis sampel yang diteliti, meliputi gejala klinis dan hasil pemeriksaan serologi IgG/IgM anti dengue Tahap Analisa Data Analisis data menggunakan program komputer Gambar 8. Alur Penelitian 45 3.9 Pengumpulan Data Data pada penelitian ini menggunakan data primer berupa pemeriksaan IgM dan IgG, sedangkan data sekunder dengan catatan rekam medik pasien infeksi dengue di RS Urip Sumoharjo Bandar Lampung. Data yang dikumpulkan yaitu : 3.9.1 Data primer a. Hasil pemeriksaan IgM dan IgG antidengue 3.9.2 Data sekunder a. Identitas pasien : 1. Usia 2. Jenis kelamin b. Derajat klinik infeksi dengue 1. Demam dengue 2. Demam berdarah dengue 3.10 Pengolahan dan Analisis Data 3.10.1 Pengolahan Data Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan data akan diubah kedalam bentuk tabel–tabel kemudian data diolah menggunakan program statistik komputer. Proses pengolahan data menggunakan program ini terdiri dari beberapa langkah berikut : a. Coding, untuk mengkonversikan (menejermahkan) data yang dikumpulkan selama penelitian ke dalam simbol yang cocok untuk keperluan analisis. 46 b. Data entry, memasukkan data ke dalam komputer. c. Verifikasi, memasukkan data pemeriksaan secara visual terhadap data yang telah dimasukkan ke dalam komputer. d. Output komputer, hasil yang telah dianalisis oleh komputer kemudian dicetak. 3.10.2 Analisis Data Analisis statistik untuk mengolah data yang diperoleh akan menggunakan program computer dimana akan dilakukan analisa data, yaitu analisa bivariat. Analisa bivariat adalah analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan anatara variabel bebas dengan variabel terikat dengan menggunakan uji statististik. Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Analisa univariat Analisa univariat digunakan persentase, hasil dari setiap variabel ditampilkan dapat dalam bentuk distribusi frekuensi, jenis kelamin dan usia responden penyakit dengue RS Urip Sumoharjo tahun 2016. b. Analisa bivariat Analisis bivariat adalah analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat dengan menggunakan uji statistik. Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Uji chi square. Alasan pemilihan Uji chi square karena kedua variabel 47 yang diteliti merupakan variabel dengan data berbentuk skala kategorik. Apabila uji chi square tidak memenuhi syarat (nilai expected count yang kurang dari 5 >20%) maka dipilih uji alternatif yaitu uji fisher exact untuk tabel 2x2 (Notoatmodjo, 2012). Untuk menguji kemaknaan, digunakan batas kemaknaan sebesar 5% (α= 0,05). Hasil uji dikatakan ada hubungan yang bermakna bila nilai ρ value ≤ α (ρ value ≤ 0,05). Hasil uji dikatakan tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik apabila nilai ρ value> α (ρ value> 0,05) (Dahlan, 2011). 3.11 Ethical Clearance Penelitian ini telah mendapatkan surat keterangan lolos kaji etik dari Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung surat No. 112/UN26.8/DL/2017. BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan hubungan jenis infeksi terhadap derajat keparahan pada pasien dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar Lampung tahun 2016 dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. 1. Terdapat hubungan jenis infeksi terhadap derajat keparahan pada pasien dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar Lampung tahun 2016. 2. Karakteristik responden berdasarkan jenis infeksi dengue pada pasien dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar Lampung menunjukan bahwa sebagian besar responden memiliki infeksi sekunder (77,4%). 3. Karakteristik responden berdasarkan jenis infeksi dengue pada pasien dengue di Rumah Sakit Urip Sumoharjo Bandar Lampung menunjukan bahwa sebagian kecil responden memiliki infeksi primer (22,6%). 5.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, berikut ini adalah beberapa saran untuk menjadi bahan pertimbangan dalam penelitian selanjutnya: 64 1. Bagi institusi penelitian a. Pemeriksaan serologi IgM - IgG penting untuk dilakukan dalam mengetahui diagnosa penyakit dengue pada fase awal penyakit. b. Pemeriksaan serologi IgM - IgG penting untuk dilakukan dalam mengetahui tingkat derajat penyakit dengue yang membantu mengetahui penalaksanaan yang tepat sehingga dapat menurunkan mortalitas penyakit dengue. 2. Bagi peneliti lain Perlu dilakukan penelitian lainnya seperti pemeriksaan hematologi, NS1, tes hematoimunologi (HI Test), Nested reverse transcriptase-polymerase chain reaction Nested (NRT-PCR) sebagai prediktor untuk mengetahui tingkat keparahan penyakit infeksi dengue. DAFTAR PUSTAKA Agilatun, F. 2007. Hubungan antara jumlah leukosit dengan kejadian syok pada penderita demam berdarah dengue dewasa di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Anantapreecha S, Chanama S, A-Nuegoonpipat A, Naemkhunthot A, Sa-Ngasang A, Sawanpanyalert P, et. al. 2005. Serological and Virological Features of Dengue Fever and Dengue Haemorrhagic Fever in Thailand from 1999 to 2002. J Epidemiol Infect. Cambridge University Press. 133: 5037. Aryati. 2004. Diagnosis Laboratoris DBD Terkini. Seminar : Simposium Sehari ―Penanganan DBD Terkini―. Universitas Airlangga. 30274: 1 – 21. Bhatt S, et al. 2013. The Global Distribution and Burden of Dengue. Nature. (7446):504–7. Bashyam HS, Green S, Rothman AL. 2006. Dengue Virus-Reactive CD8+ T Cells Display Quantitative and Qualitative Differences in Their Response to Variant Epitopes of Heterologous Viral Serotypes. J Immunol. 176(5):2817–24. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15. Vol. 2. Jakarta: EGC.854-6. Changal KH, Raina AB, Raina A, Raina M, Bashir R, Latief M, et. al. 2016. Differentiating Secondary From Primary Dengue Using IgG to IgM Ratio in Early Dengue: An Observational Hospital Based Clinico-Serological Study From North India. BMC Infectious Disease. 16(715): 1-7. Clyde K, Kyle JL, Harris E. 2006. Recent advances in deciphering viral and host determinants of dengue virus replication and pathogenesis. Journal of Virology. 80(23):11418–31 Chatchen S, Sabchareon A, Sirivichayakul C. 2017. Serodiagnosis of Asymptomatic Dengue Infection. Asia Pacific Jour of Trop Med. 1-4. CDC. 2009. Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. U.S. Department of Health and Human Service Centers for Disease Control and Prevention. 66 Departemen Parasitologi FK UI. 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Badan Penerbit FK UI. 36-42. Dinkes Lampung. 2012. Profil Kesehatan Provinsi Lampung 2012. Bandar Lampung: Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. Dejnirattisai W, Jumnainsong A, Onsirisakul N, et al. 2010 Cross-Reacting Antibodies Enhance Dengue Virus Infection in Humans. Science. 2010 May 7. 328(5979):745-8. Guzman MG. and Kouri G, 2004. Dengue Diagnosis, Advances and Challenges. In: Zuckerman, Jane, Ed. International Journal of Infectious Diseases 8. Elsevier Ltd., 69—80. Guzman MG, Halstead SB, Artsob H, Buchy P, Farrar J, Nathan MB, Yoksan S. 2010. Dengue : a Continuing Global Threat Europe PMC Funders Author Manuscripts. Nat Rev Microbiol8.(120):7–16. Halstead SB. 2011. Dengue Fever and Dengue Hemorrhagic Fever. In: Kliegman RM, Stanton B, St. Geme J, Schor N, Behrman RE, eds. Nelson textbook of pediatrics. 19th ed. Philadelphia: WB Saunders. 19: 1092-4. Hunsperger EA, Yoksan S, Buchy P, Nguyen VC, Sekaran SD, Enria DA, et al. 2009. Evaluation of Commercially Available Anti– Dengue Virus Immunoglobulin M Tests. EID 15(3) : 436 – 40 Karyana IPG, Santoso H, Arhana BNP. 2006. The Value of IgG to IgM Ratio in Predicting Secondary Dengue Infection. Paediatrica Indonesiana. 46(56): 113-117. Kumar V, Ramzi SC, Stanley LR. 2007. Buku ajar patologi Robbins. Ed.7. Jakarta: EGC. 1:115-19 Kaushik A, Pineda CC, Kest H 2010. Diagnosis and Management of Fever in Children. Pediatric Rev. 31(1); 436-40.. Kemenkes 2010. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Kemenkes 2011. Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. [diunduh 20 Mei 2016]. Tersedia dari: http://pppl.depkes.go.id/berita?id=418. Kemenkes 2012. Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2012. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penyehatan Lingkungan 2013: 114-5. 67 Kemenkes 2013. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Balitbangkes Kementrian Kesehatan RI. Libraty DH, et al. 2002. High Circulating Levels of the Dengue Virus Nonstructural Protein Ns1 Early in Dengue Illness Correlate With the Development of Dengue Hemorrhagic Fever. JID. 2002:186 Malavige GN, Fernando, S, Fernando, D.J, and Seneviratne SL, 2013. Dengue viral infections. Postgrad Med J 80:588–601 Mariko R, Alkamar A, Putra AE. 2014. Uji Diagnostik Pemeriksaan Antigen Nonstruktural 1 Untuk Deteksi Dini Infeksi Virus Dengue Pada Anak. Sari Pediatri. 16(2):121–7 Moi ML, et al. 2013. Detection of dengue virus NS1 by using ELISA as a useful laboratory diagnostic method for dengue virus infection of international travelers. Journal of Travel Medicine. 20(3):185–93 Moi ML, Takasaki, T, Omatsu, T, Nakamura, S, Katakai, Y, Ami, Y, et. al. 2014. Demonstration of Marmosets (Callithrix jacchus) as a Non-Human Primate Model for Secondary Dengue Virus Infection: High Levels of Viraemia and Serotype Cross-Reactive Antibody Responses Consistent with Secondary Infection of Humans. J Gen Virol. 95(Pt 3):591–600. Ooi EE, Gubler DJ. 2008. Dengue in Southeast Asia: Epidemiological Characteristics and Strategic Challenges in Disease Prevention. Cad Saude Publica. 25: S115-S24. Paranavitane SA, et al. 2014. Dengue NS1 antigen as a marker of severe clinical disease. BMC Infectious Diseases. 14:570. Pok K, Lai Y, Sng J, and Ng L 2010. Evaluation of Nonstructural 1 Antigen Assays for the Diagnosis and Surveillance of Dengue in Singapore. Vector-Borne and Zoonotic Diseases 10(10): 1009-16 Rothman AL. 2007. Pathogenesis of dengue virus infection. Dalam: Up To Date. Boston: Elsivier. Saint John AL, Rathore APS, Raghavan B Ng ML, and Abraham SN 2013. Contributions of mast cells and vasoactive products, leukotrienes and chymase, to dengue virus-induced vascular leakage. eLife 481 : 1-18 Sandina 2011. 9 Penyakit Mematikan: Mengenal dan Tanda Pengobatannya. Yogyakarta: Smart Pustaka.9-18. Shu P, & Huang J. 2004. Current advances in dengue. American Society for Microbiology. 11(4):642-50 68 Soo K.M., Khalid B, Ching SM, Chee, HY. 2016. Meta-Analysis of Dengue Severity during Infection by Different Dengue Virus Serotypes in Primary and Secondary Infections: Research Article. Jour PLOS. 10(1371): 1-16. Suhendro Nainggolan, L, Chen, K, and Pohan, HT, 2009. Demam Berdarah Dengue. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al., penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: Internal Publishing. Sukowati S. 2010. Masalah Vektor Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Pengendalian di Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi. 2:26-30. Sutaryo 2004. Dengue. Yogyakarta: Medika Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Hal 2-15. Suwandono A, Nurhayati, Parwati I, Rudiman, PI, Wisaksana, R, Kosasih, H, Alisjahbana B. 2011. Perbandingan nilai diagnostik trombosit, leukosit, antigen NS1 dan antibodi IgM Antidengue.J Indon Med Assoc 61(8). Suzarte E, Marcos, E, Gil, L, Valdes, I, Lazo, L, Ramos, Y, et al. 2014. Generation and Characterization of Potential Dengue Vaccine Candidates Based on Domain III of the Envelope Protein and The Capsid Protein of The Four Serotypes of Dengue Virus. J Arch Virol. 159(7):1629–1640. doi: 10.1007/s00705-013- 1956-4. Singhi S Kissoon N, Bansal A. 2007. Dengue and dengue hemorrhagic fever Thai KTD, Nishiura, H, Hoang, PL. Tran, NTT, Phan, GT, Le, HQ, et. al. 2011. Age-Specificity of Clinical Dengue during Primary and Secondary Infections. Jour PLOS. 5(6): 1-9. Tanra AAM. 2011. Korelasi Antara Lama Demam dengan Kadar IgM dan IgG anak yang Menderita Demam Berdarah Dengue. [Skripsi]. Semarang: Universitas Diponegoro. Taufik AS, Yudhanto D, Wajdi F, Rohadi. 2007. Peranan Kadar Hematokrit, Jumlah Trombosit dan Serologi IgG – IgM Anti DHF dalam Memprediksi Terjadinya Syok pada pasien Demam Berdarah dengue (DBD) di Rumah Sakit Islam Siti Hajar Mataram. Jurnal Penyakit Dalam. 8(2): 105-11. Vaughn DW, Green, S, Kalayanarooj, S, Innis BL, Nimmannitya S., Suntayakorn, S, et. al. 2000. Dengue Viremia Titer, Antibody Response Pattern, and Virus Serotype Correlate with Disease Severity. Jour Infection Disease. 181: 2-9. 69 Wangsa PGH., Lestari AAW. 2014. Gambaran Serologis IgG-IgM pada pasien demam berdarah di RSUP Sanglah Periode Juli – Agustus 2014. [Skripsi]. Denpasar: Universitas Udayana. World Health Organisation (WHO). 2009. Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. WHO Library Cataloguing in Publication Data. [ WHO 2011. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue dan Dengue Haemorrhagic Fever. Revised adn Expanded Edition.