SIFAT FISIK DAN MIKROBIOLOGI SOSIS FRANKFURTER DENGAN TAMBAHAN ROSELA DAN ANGKAK SELAMA PENYIMPANAN SKRIPSI JACOBUS GLEN DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 RINGKASAN Jacobus Glen. D14062172. 2012. Sifat Fisik dan Mikrobiologi Sosis Frankfurter dengan Tambahan Rosela dan Angkak Selama Penyimpanan. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Irma Isnafia Arief, S. Pt., M. Si. Pembimbing Anggota : Ir. Hj. Komariah, M. Si. Produk olahan daging seperti sosis yang dikonsumsi sehari-hari pada umumnya menggunakan zat pengawet dan pewarna buatan dengan tujuan untuk meningkatkan nilai jual dan daya tarik dari produk tersebut. Nitrit umumnya digunakan sebagai bahan pengawet makanan pada produk-produk olahan daging, seperti sosis, dengan fungsi untuk fiksasi mioglobin dan pengawet. Akan tetapi nitrit dapat membahayakan kesehatan manusia karena nitrit memiliki sifat karsinogenik. Bahaya dari nitrit itu sendiri sebenarnya dapat kita hindari apabila nitrit tersebut kita ganti dengan menggunakan bahan pengawet alami seperti rosela dan angkak. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan sifat fisik dan mikrobiologis dari sosis pada masa penyimpanan selama dua puluh hari (hari 0, hari ke-10, dan hari ke-20) dengan tiga ulangan dan dua faktor, yakni jenis pengawet, yaitu nitrit sebagai kontrol dengan kombinasi angkak-rosela (0,75%:1%), dan lama penyimpanan. Peubah yang diamati yaitu sifat fisik yang terdiri atas pH, daya mengikat air, stabilitas emulsi, dan keempukan, sedangkan untuk analisa mikrobiologi, peubah yang diamati ialah total populasi mikroba (TPC), total Escherischia coli dan total Bakteri Asam Laktat (BAL). Penelitian ini menggunakan metode rancangan acak lengkap faktorial dan data yang didapat dianalisa dengan ANOVA. Penelitian dilaksanakan pada periode bulan Juli hingga Agustus 2010 di Laboratorium Ruminansia Besar Departemen IPTP dan SEAFAST Center IPB. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kombinasi bubuk angkak-rosela (0,75%:1%) dapat dijadikan sebagai substitusi nitrit dalam sosis frankfurter. Analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan jenis pengawet tidak berpengaruh nyata terhadap sifat fisik dan mikrobiologis sosis frankfurter baik dengan penambahan nitrit maupun dengan penambahan kombinasi rosela-angkak selama masa penyimpanan. Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini ialah penggunaan kombinasi angkak-rosela (0,75%:1%) tidak berbeda nyata dengan penggunaan nitrit (0,0125%) pada sosis. Lama simpan merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam perubahan sifat fisik maupun mikrobiologi pada sosis frankfurter selama masa penyimpanan. Kata-kata kunci : Sosis Frankfurter, nitrit, angkak, rosela. ABSTRACT PHYSICAL AND MICROBIOLOGICAL CHARACTERISTICS CHANGES OF FRANKFURTERS SAUSAGE WITH ADDITION OF ROSELA AND ANKA DURING STORAGE Glen, J., I. I. Arief and Komariah Processed foods, in this case sausage, which can be met nowadays often use additives to preserve and color it in order to increase the value and acceptability of the foods. Nitrite is widely used for its mioglobin fixation, antibacterial, and preservatives, but nitrite could harm human’s health because of its carsinogenic characteristic. The harm can be prevented if we substitute nitrite with natural herbs such as rosella and anka. The objectives of this research were to determine physical and microbiological change during storing period. Storing period were 20 days and tested three times (day 0, day 10, and day 20) with three repetition and and the two factors were preservative type (nitrite as control and the combination of anka-rosella (0.75%:1%)) and storing duration. Observed variables are the physical characteristics (pH, water holding capacity and tenderness) and microbial characteristic such as total microbial population, total lactic acid bacteria population and quantitative population of Escherischia coli. This research used factorial randomized complete design and the data analyzed with ANOVA. The research conducted from July to August 2010 at the Processing Laboratory of Large Ruminants, Faculty of Animal Science and Seafast Center IPB. Result showed that combination of anka and rosela (0.75%:1%) could substitute nitrite function in sausage. ANOVA showed that kinds of preservatives had no difference to microbial population in sausage. In conclusion, the addition of anka and rosela (0.75%:1%) were no different to sausage with nitrite addition (0,0125%). Storage time was the most influencing factor of physical and microbiological change on sausage during storage. Keywords: Frankfurter sausage, anka and rosella powder, and nitrite SIFAT FISIK DAN MIKROBIOLOGI SOSIS FRANKFURTER DENGAN TAMBAHAN ROSELA DAN ANGKAK SELAMA PENYIMPANAN JACOBUS GLEN D14062172 Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 Judul Skripsi : Sifat Fisik dan Mikrobiologi Sosis Frankfurter dengan Tambahan Rosela dan Angkak Selama Penyimpanan Nama : Jacobus Glen NIM : D14062172 Menyetujui : Pembimbing Utama Pembimbing Anggota (Dr. Irma Isnafia Arief, S.Pt., M.Si.) NIP. 19750304 199902 2 001 (Ir. Hj. Komariah, M.Si.) NIP. 195905150 1989030 2 001 Mengetahui : Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan IPB (Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr. Sc.) NIP. 19591212 198603 1 004 Tanggal Ujian : 18 Januari 2012 Tanggal Lulus : RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 18 Juni 1988 di Jakarta. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Andreas Iswan dan Ibu Maria F. L. Ellen. Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1994 di Sekolah Dasar Mardi Yuana Cibinong dan diselesaikan pada tahun 2000. Pendidikan lanjutan tingkat pertama dimulai pada tahun 2000 dan diselesaikan pada tahun 2003 di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Mardi Waluya Cibinong. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Budi Mulia Bogor pada tahun 2003 dan diselesaikan pada tahun 2006. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan pada tahun 2007. Penulis aktif dalam organisasi Keluarga Mahasiswa Katholik IPB (KEMAKI) dan pernah menjadi ketua pada kegiatan acara KEMAKI di tahun 2008. Penulis pernah mengikuti kegiatan magang di Koperasi Peternak Babi Indonesia (KPBI) di Lembang, Bandung pada tahun 2008. Penulis juga pernah mengikuti lomba PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) bidang penelitian dengan judul Peningkatan Keamanan Pangan Sosis Frankfurter dengan Penggunaan Rosela dan Angkak sebagai Bahan Tambahan Alami Pengganti Nitrit. PKM-P tersebut lolos seleksi IPB dan dibiayai oleh DIKTI tahun 2010. KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Bapa di Surga dan Tuhan Yesus yang telah melimpahkan rahmat dan berkat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana di Fakultas Peternakan, IPB. Sudah kita ketahui secara umum bahwa pangan olahan yang biasa kita konsumsi sahari-hari tidak pernah lepas dari bahan-bahan kimia yang digunakan baik untuk mengawetkan makanan tersebut maupun untuk menambah daya tarik dari pangan itu sendiri. Hal inilah yang cukup mengkhawatirkan karena bahan kimia tersebut, khususnya nitrit yang biasa digunakan dalam produk-produk loan daging seperti sosis, memliki sifat karsinogenik yang membahayakan kesehatan konsumen apabila terakumulasi dalam tubuh sehingga perlu ditemukan jalan kerluarnya. Salah satu jalan yang dapat ditempuh ialah dengan menggantinya dengan tumbuhan herbal alami yang jelas tidak membahayakan kesehatan manusia seperti rosela dan angkak. Skripsi berjudul ”Sifat Fisik dan Mikrobiologi Sosis Frankfurter dengan Tambahan Rosela dan Angkak Selama Penyimpanan” diharapkan mampu memberikan sejumlah informasi kepada para pembaca mengenai pengaruh penambahan angkak dan rosela terhadap kualitas sosis frankfurter sehingga dapat diaplikasikan secara nyata pada berbagai produk pangan asal hewan lainnya. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini. Akan tetapi, semoga hasil penelitian mengenai penggunaan angkak dan rosela pada sosis Frankfurter dapat memberikan manfaat kepada setiap pembaca. Bogor, Februari 2012 Penulis DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ................................................................................................... ii ABSTRACT...................................................................................................... iii LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iv LEMBAR PENGESAHAAN ........................................................................... v RIWAYAT HIDUP .......................................................................................... vi KATA PENGANTAR ...................................................................................... vii DAFTAR ISI..................................................................................................... viii DAFTAR TABEL............................................................................................. x DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xi DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................... xii PENDAHULUAN ............................................................................................ 1 Latar Belakang ...................................................................................... Tujuan ................................................................................................... 1 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 3 Keamanan Pangan................................................................................. Daging .................................................................................................. Sosis ...................................................................................................... Bahan Baku Pembuatan Sosis ............................................................. Rosela.................................................................................................... Pigmen Angkak………………………………………………………. Sifat Antimikroba Pigmen Angkak…………………………. Pigmen Angkak Sebagai Bahan Pewarna Sosis…………….. Pembuatan Sosis…………………………………………………….. Umur Simpan ........................................................................................ Pengaruh Pembekuan dan Penyimpanan Dingin pada ......................... Sifat Fisik Sosis .................................................................................... Daya Serap Air (DSA) .............................................................. Derajat Keasaman (pH)………………………………………. Kekenyalan ............................................................................... Sifat Organoleptik ................................................................................. Bakteri Patogen ..................................................................................... Escherichia coli ........................................................................ Bakteri Asam Laktat ............................................................................. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroorganisme ..... Faktor Intrinsik ......................................................................... Faktor Ekstrinsik ....................................................................... 3 3 3 6 9 11 12 13 13 13 15 18 18 18 19 19 19 21 20 20 20 22 METODE PENELITIAN ................................................................................. 23 Lokasi dan Waktu ................................................................................. 23 Materi .................................................................................................... Rancangan ............................................................................................. Prosedur ................................................................................................ Nilai pH Produk Sosis............................................................... Kekenyalan ............................................................................... Daya Serap Air.......................................................................... Uji Kualitas Mikrobiologis Daging .......................................... Uji Organoleptik (Soekarto, 1990) ........................................... 23 23 24 26 26 26 26 28 HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 29 Sifat Fisik Sosis Frakfurter................................................................... Nilai pH Sosis Frakfurter ......................................................... Nilai Daya Serap Air (DSA) Sosis Frankfurter........................ Nilai Kekenyalan Sosis Frankfurter ......................................... Uji Organoleptik Sosis Frankfurter ...................................................... Penilaian Organoleptik Sosis Frankfurter Sebelum Simpan .... Penilaian Organoleptik Sosis Frankfurter Hari Penyimpanan ke-10 ......................................................................................... Penilaian Organoleptik Sosis Frankfurter Hari Penyimpanan ke-20 ......................................................................................... Kualitas Mikrobiologi Daging .............................................................. Kualitas Mikrobiologi Sosis Frankfurter Selama Masa Penyimpanan Jumlah Total Plate Count (TPC) pada Sosis Frankfurter Selama Penyimpanan ............................................................... Jumlah Escherischia coli pada Sosis Frankfurter Selama Penyimpanan ............................................................................. Jumlah Total Bakteri Asam Laktat (BAL) pada Sosis Frankfurter................................................................................ 29 29 31 33 36 36 38 39 40 42 44 48 50 KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 53 Kesimpulan ........................................................................................... Saran ..................................................................................................... 53 53 UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................ 54 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 55 LAMPIRAN...................................................................................................... 60 ix DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Komposisi Nutrisi Sosis Daging Sapi ...................................................... 5 2. Komposisi Kimia Bunga Rosela Jenis Hibiscuss Sabdariffa L dalam 100 g ........................................................................................................ 10 3. Komposisi Kimiawi Angkak ................................................................... 11 4. Pengaruh beberapa Faktor terhadap Reaksi Deteriorasi pada Pangan .... 14 5. Penyimpanan Dingin untuk Produk Segar dan Sudah Dimasak .............. 17 6. Nilai pH Sosis Frakfurter selama Periode Penyimpanan ........................ 29 7. Nilai Rataan DSA Sosis Frankfurter selama Periode Penyimpanan ....... 31 8. Nilai Rataan Kekenyalan Sosis Frankfurter selama Periode Penyimpanan ............................................................................................ 33 9. Nilai Rataan Mutu Uji Hedonik Sosis Frankfurters dengan Perlakuan Pemberian Nitrit dan Kombinasi Rosela dan Angkak pada Periode Penyimpanan yang Berbeda ........................................................ 36 10. Hasil Analisis Mikrobiologi pada Daging Segar ...................................... 41 11. Perubahan Jumlah TPC pada Sosis selama Penyimpanan ........................ 44 12. Perubahan Jumlah E. Coli pada Sosis selama Penyimpanan .................... 48 13. Perubahan Jumlah BAL pada Sosis selama Penyimpanan ....................... 51 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Kelopak Bunga Rosela ............................................................................ 9 2. Beras Merah Cina atau Angkak ............................................................... 10 3. Escherischia Coli ..................................................................................... 20 4. Skema Proses Pembuatan Sosis ............................................................... 25 5. Gambar Analisis DMA Sosis Frankfurter pada Hari ke-20 .................... 33 6. Sosis Frankfurter ..................................................................................... 37 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Hasil Analisis Ragam Nilai pH Sosis Frankfurter ................................. 61 2. Hasil Analisis Ragam Nilai DSA Sosis Frankfurter .............................. 61 3. Hasil Analisis Ragam Kekenyalan Sosis Frankfurter ….………..……. 61 4. Hasil Uji Kruskal-Wallis Parameter Warna Sosis Frankfurter H0 …..... 61 5. Hasil Uji Kruskal-Wallis Parameter Bau Sosis Frankfurter H10 …..….. 61 6. Hasil Uji Kruskal-Wallis Parameter Lendir Sosis Frankfurter H20 ........ 62 7. Hasil Uji Kruskal-Wallis Parameter Kekenyalan Sosis Frankfurter H0.. 62 8. Hasil Uji Kruskal-Wallis Parameter Tekstur Sosis Frankfurter H10 ....... 62 9. Jumlah Total Mikroba Sosis Frankfurter pada Tiap Taraf Perlakuan (H0) 62 10. Jumlah Total Mikroba Sosis Frankfurter pada Tiap Taraf Perlakuan (H10) 63 11. Jumlah Total Mikroba Sosis Frankfurter pada Tiap Taraf Perlakuan (H20) 63 12. Analisis Ragam Penambahan Jenis Bahan Tambahan terhadap Jumlah Total Mikroba (log cfu/g) pada Sosis Frankfurter .................................. 64 13. Jumlah Total E. coli Sosis Frankfurter pada Tiap Taraf Perlakuan (H0) 64 14. Jumlah Total E. coli Sosis Frankfurter pada Tiap Taraf Perlakuan (H10) 65 15. Analisis Ragam Penambahan Jenis Bahan Tambahan terhadap Jumlah Total Escherischia coli (log cfu/g) pada Sosis Frankfurter .................... 65 16. Proses Pembuatan Sosis …………………………………………..…… 65 17. Pengukuran Sifat Fisik Sosis ................................................................... 66 18. Analisa Mikrobiologi Sosis …………………………………................. 67 PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan tidak pernah lepas dari kehidupan, karena semua manusia dan mahluk hidup lainnya membutuhkan pangan untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Saat ini dapat ditemui industri-industri pangan dengan mudah. Dalam industri pangan, khususnya pangan olahan, sering dijumpai penggunaan bahan-bahan pengawet dan bahan pewarna buatan untuk makanan yang bertujuan untuk meningkatkan daya jual. Bahan pengawet ini pada umumnya dibuat dari bahanbahan kimia yang bersifat sintetis. Penggunaan bahan kimia sebagai bahan tambahan pada makanan berfungsi untuk memperlambat kerusakan makanan, baik yang disebabkan oleh mikroba pembusuk, bakteri, ragi maupun jamur dengan cara mencegah, menghambat, menghentikan proses pembusukan dan fermentasi dari bahan makanan. Penggunaan bahan pengawet dan pewarna buatan pada makanan dapat membahayakan jika terakumulasi dalam tubuh. Bahan pengawet yang umum digunakan pada produk-produk sosis serta produk olahan daging lainnya ialah nitrit. Nitrit merupakan zat kimiawi buatan yang berguna untuk mengawetkan daging dan produk olahan lainnya dengan mencegah pertumbuhan mikroba serta untuk menghasilkan produk olahan daging yang memiliki warna yang lebih baik dan menarik. Namun, penggunaan natrium nitrit sebagai pengawet untuk mempertahankan warna daging/sosis menimbulkan efek yang membahayakan kesehatan, karena nitrit dapat berikatan dengan amino dan amida yang terdapat pada protein daging membentuk turunan nitrosamin yang bersifat toksik. Nitrosamin diduga merupakan salah satu senyawa yang dapat menyebabkan kanker. Sebagai upaya untuk mencegah akibat buruk penggunaan bahan-bahan kimiawi tersebut, dapat dimanfaatkan tanaman-tanaman yang berpotensi untuk menggantikan bahan-bahan kimia tersebut. Tanaman bersifat alami, maka kemungkinan timbulnya penyakit yang dapat menganggu kesehatan lebih kecil. Tanaman-tanaman herbal dapat memberikan efek positif bagi kesehatan manusia. Salah satu tanaman yang berpotensi sebagai bahan pengawet dan pewarna alami ialah rosela dan angkak. Kelopak bunga rosela mengandung zat warna antosianin dengan kadar yang relatif tinggi, sehingga kelopak bunga rosela mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber zat warna alami untuk bahan pangan. Antosianin pada rosela mengandung zat antioksidan yang dapat memperbaiki metabolisme tubuh dengan menekan jumlah zat radikal bebas dalam tubuh. Beras merah cina atau angkak merupakan pengawet dan pewarna makanan alami dan menyehatkan yang juga dianggap sebagai obat berbagai macam penyakit. Selain keuntungan secara medis, kedua jenis tanaman herbal tersebut juga mudah ditemukan dan dibeli, sehingga ketersediaanya tidak akan menjadi kendala. Namun, kestabilan warna serta flavornya yang agak berbeda dari sosis pada umumnya mungkin dapat menjadi salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian lebih. Perlu dilakukan lagi penelitian terhadap efek yang mungkin didapat pada produk akhir di samping semua keuntungan yang mungkin didapat dari penggunaan tanaman-tanaman herbal yang telah disebutkan. Dengan mengaplikasikan tanaman herbal tersebut pada produk sosis, diharapkan manfaat tanaman herbal tersebut dapat berfungsi dengan maksimal. Perlu diteliti pula hubungannya dengan kualitas fisik dan mikrobiologi dari produk sosis tersebut selama penyimpanan. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan kualitas fisik dan mikrobiologi sosis frankfurter dengan penambahan jenis pengawet dan pewarna alami yaitu rosela dan angkak selama masa penyimpanan sampai dua puluh hari. 2 TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan Sesuai dengan Undang-undang RI N0. 7 tahun 1996, keamanan pangan adalah suatu kondisi atau upaya untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Ruang lingkup keamanan pangan adalah bahaya biologis (bahaya mikrobiologis), kimia dan fisik. Ketiga jenis bahaya ini menurut Winarno (1997) akan selalu ada dalam industri katering, karena beragamnya bahan baku yang berasal dari produk hasil peternakan dan pertanian yang berpotensi sebagai tempat pertumbuhan mikroorganisme. Pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan disesuaikan dengan penerapan sistem jaminan mutu pangan untuk setiap mata rantai dalam setiap proses. Daging Daging merupakan semua jaringan hewan beserta produk hasil pengolahannya yang dapat dimakan dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Otot hewan berubah menjadi daging setelah pemotongan karena fungsi fisiologisnya telah berhenti. Otot merupakan komponen utama penyusun daging. Daging juga tersusun atas jaringan ikat, epitel, jaringan-jaringan saraf, pembuluh darah dan lemak (Soeparno, 2005). Secara umum, kandungan gizi daging terdiri atas protein, air, lemak, karbohidrat dan mineral (Aberle et al., 2001). Berbeda dengan daging segar, daging olahan mengandung lebih sedikit protein dan air, serta lebih banyak lemak dan mineral. Kenaikan persentase mineral daging olahan disebabkan penambahan bumbu-bumbu dan garam, sedangkan kenaikan nilai kalorinya disebabkan penambahan karbohidrat dan protein yang berasal dari biji-bijian, tepung dan susu skim (Soeparno, 2005). Sosis Sosis adalah makanan yang dibuat dari daging yang digiling dan dibumbui yang umumnya dibentuk menjadi bentuk yang simetris (Kramlich, 1973). Menurut DSN (1995) sosis adalah produk makanan yang diperoleh dari campuran daging halus (tidak kurang dari 75%) dengan tepung atau pati dengan atau tanpa penambahan bumbu-bumbu dan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan dan dimasukan ke dalam selongsong sosis. Bahan baku yang digunakan untuk membuat sosis terdiri dari bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama yaitu daging, es, minyak, garam dan lemak. Sedangkan bahan tambahannya yaitu bahan pengisi, bahan pengikat, bumbu-bumbu, bahan penyedap dan bahan makanan lain yang diizinkan (bahan inovasi). Istilah sosis berasal dari kata dalam bahasa latin “salsus”, yang memiliki arti garam, sehingga sosis dapat diartikan sebagai daging giling yang diawetkan dengan garam. Sosis didefinisikan sebagai makanan yang dibuat dari daging yang dicacah serta dibungkus dalam casing menjadi bentuk silinder (Kramlich, 1973). Sosis merupakan salah satu jenis emulsi, namun emulsi sosis bukanlah emulsi sesungguhnya seperti mayonnaise atau emulsi minyak dalam air lainnya. Emulsi sosis yang secara umum dimaksud oleh industri sosis adalah campuran daging yang digiling halus, lemak, dan bumbu-bumbu. Lemak pada sosis dibungkus oleh protein daging lean dengan struktur serupa dengan emulsi, walaupun bukan emulsi minyak dalam air yang sesungguhnya. Protein larut garam, terutama myosin, diekstrak dengan garam dan selama proses pencacahan membentuk sejenis emulsi yang membungkus partikel lemak (Pearson dan Tauber, 1985). Komposisi nutrisi sosis daging sapi menurut DSN (1995) dapat dilihat pada Tabel 1. Daging yang banyak digunakan untuk membuat sosis adalah daging penutup , pendasar gandik, lemusir, pada depan, dan daging iga. Sebenarnya hampir semua jenis daging dari bagian karkas dapat digunakan, namun karena perbedaan kandungan lemak dan jaringan ikat tiap bagian daging maka penggunaannya disesuaikan dengan mutu produk yang dihasilkan (Effie, 1980). Daging digunakan sebagai bahan baku pada sosis karena memiliki daya ikat terhadap air dan memiliki daya mengemulsi lemak. Bahan utama sosis ialah jaringan daging hewan selain daging murni, juga ditambah daging berlemak untuk memberi rasa lezat. Jumlah penambahan lemak dibatasi untuk mempertahankan tekstur selama pengolahan dan penanganan (Wilson et al., 1981), yaitu tidak boleh lebih dari 30% bobot daging (Kramlich, 1973). 4 Tabel 1. Komposisi Nutrisi Sosis Daging Sapi Komposisi nutrisi Persentase (%) Air Maks 67,0 Protein Min 13,0 Abu Maks 3,0 Lemak Maks 25,0 Karbohidrat Maks 8 Sumber: Dewan Standarisasi Nasional (1995) Jumlah penambahan lemak dibatasi untuk mempertahankan tekstur selama pengolahan dan penanganan (Wilson et al., 1981), yaitu tidak boleh lebih dari 30% bobot daging (Kramlich, 1973). Proses pembutan sosis sapi dimulai dengan penggilingan daging sapi yang telah dicacah menggunakan glinder. Menurut Rust (1977), dalam proses pembuatan sosis, faktor kehalusan penggilingan menentukan jenis sosis. Tahap selanjutnya dilakukan penggilingan dan pencampuran bumbu dalam cutter. Proses pencampuran berfungsi sebagai proses homogenisasi semua bahan-bahan yang digunakan untuk membuat adonan sosis. Alat yang digunakan sebagai cutter bowl mixer. Tahap ini juga ditambahkan serpihan es atau air dingin, garam dapur, bahan pengikat, dan bahan tambahan lainnya sehingga terdistribusi merata (Kramlich, 1973). Tahap ini ditambahkan serutan es yang bertujuan untuk menjaga suhu penggilingan agar tetap dibawah 20 oC dan untuk mencegah pecahnya emulsi (Tauber, 1977). Adonan yang telah terbentuk dimasukkan ke dalam casing dengan alat filler. Penggunaan filler dimaksudkan untuk mempertahankan kestabilan emulsi dan mengurangi terbentuknya kantong-kantong udara yang akan mempengaruhi mutu sosis (Henrickson, 1978). Tahap pemasakan selain bertujuan untuk menghasilkan jenis sosis masak, juga untuk mengurangi kandungan mikroba dan membersihkan permukaan sosis (Girard, 1992). Bahan-bahan dalam pembuatan sosis memiliki fungsi agar sosis memiliki rasa yang berbeda dan lebih gurih dari yang beredar di pasaran pada umumnya. Bahan tersebut diantaranya adalah minyak merupakan salah satu faktor yang penting karena dapat menentukan aroma dan rasa selain itu juga dapat mempengaruhi palatabilitas daging. Air es berfungsi untuk meningkatkan keempukan dan juice (sari 5 minyak) daging, melarutkan protein larut air, membentuk larutan garam untuk melarutkan protein larut garam, sebagai fase kontinu dari emulsi daging, menjaga temperatur produk serta mempermudah penetrasi bahan-bahan curing (Soeparno, 2005). Lemak merupakan bahan utama dalam emulsi daging karena lemak berperan sebagai fase diskontinu pada emulsi sosis. Kadar lemak berpengaruh pada keempukan dan jus daging. Emulsi dari lemak sapi cenderung lebih stabil karena lemak sapi mengandung lebih banyak asam lemak jenuh. Sosis masak harus mengandung lemak tidak lebih dari 30 % (Kramlich, 1973). Penambahan bumbu pada pembuatan sosis terutama ditujukan untuk menambah atau meningkatkan flavour. Garam dan merica merupakan bahan penyedap utama dalam pembuatan sosis (Soeparno, 2005). Dalam beberapa hal bumbu juga bersifat sebagai bakteriostatik dan antioksidan. Garam mempunyai sifat mendehidrasi dan mampu mengubah tekanan osmotik, dengan demikian garam bisa mengurangi pertumbuhan mikroba dan menjadikan daging olahan menjadi lebih awet (Pearson dan Tauber, 1985). Garam berfungsi untuk menambah citarasa, sebagai pengawet, dan juga melarutkan protein. Bahan Baku Pembuatan Sosis Bahan baku yang digunakan untuk membuat sosis umumnya terdiri dari bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama yaitu daging, es atau air es, garam, dan lemak atau minyak, sedangkan bahan tambahan yaitu bahan pengisi, bahan pengikat, bumbu-bumbu, bahan penyedap dan bahan makanan lain yang diizinkan. Formulasi menurut Soeparno (2005) adalah menghasilkan daging proses dengan penampakan yang kompak, cita rasa dan sifat fisik yang stabil serta seragam. Penambahan bahan penyedap dan bumbu terutama ditujukan untuk menambah atau meningkatkan flavour. Bahan Pengisi Bahan pengisi adalah bahan yang mampu mengikat sejumlah air tetapi mempunyai pengaruh yang kecil terhadap emulsifikasi. Bahan pengisi berfungsi memperbaiki stabilitas emulsi, memperbaiki sifat irisan, mengurangi proses penyusutan selama proses pemasakan, peningkatan cita rasa dan mereduksi biaya produksi. Bahan pengisi ternyata dapat meningkatkan daya mengikat air karena 6 mampu menahan air selama proses pengolahan dan pemanasan. Tepung dapat mengabsorbsi air dua sampai tiga kali lipat dari berat semula. Contoh dari bahan pengisi ialah tepung gandum dan tepung terigu (Soeparno, 2005). Tapioka adalah pati yang berasal dari ekstra umbi ketela pohon yang telah mengalami pencucian dan pengeringan. Tepung berpati sebagai bahan pengisi dapat digunakan untuk meningkatkan daya mengikat air karena mempunyai kemampuan menahan air selama proses pengolahan dan pemanasan. Disamping itu, tepung berpati dapat mengabsorbsi air dua sampai tiga kali dari berat semula, sehingga adonan bakso menjadi lebih besar (Ockerman, 1983). Salah satu bahan pengisi yang biasa digunakan dalam pembuatan sosis adalah tepung tapioka. Es atau Air Es Fungsi air es adalah untuk meningkatkan keempukan dan juice (sari minyak) daging, menggantikan sebagian air yang hilang selama proses pembuatan, melarutkan protein yang mudah larut dalam air, membentuk larutan garam yang diperlukan untuk melarutkan protein larut garam, berperan sebagai fase kontinu dari emulsi daging, menjaga temperatur produk serta mempermudah penetrasi bumbu pada saat curing (Soeparno, 2005). Menurut Kramlich (1973), pada proses pembuatan sosis biasanya ditambahkan air dalam bentuk es sebanyak 20-30%. Nitrit Nitrit dan nitrat sebagai garam natrium atau kalium dipergunakan dalam daging cured dengan tujuan untuk mengembangkan warna daging menjadi warna merah muda terang, mempercepat proses curing (Soeparno, 2005). Fungsi utama nitrit dalam pembuatan sosis adalah untuk memperbaiki warna daging. Perbaikan warna daging, untuk sosis masak dianjurkan penggunaannya sebanyak 3-50 ppm (Ockerman, 1983). Jumlah maksimum nitrit yang bisa ditambahkan dalam curing daging adalah 62,8 g/100 Kg. Dosis nitrit yang lebih dari 15-20 mg/Kg berat badan akan menimbulkan kematian (Aberle et al., 2001). Penggunaan natrium nitrit sebagai pengawet untuk mempertahankan warna daging ternyata dapat menimbulkan efek yang membahayakakan kesehatan. Nitrit dapat berikatan dengan amino dan amida yang menghasilkan turunan nitrosamin yang bersifat karsinogenik (Husni et al., 2007). Penambahan nitrit tidak terlalu mempengaruhi karakteristik 7 sensori, akan tetapi nitrit mempengaruhi proses oksidatif dan pembentukan komponen volatil yang berasal dari mikroorganisme (Marco et al., 2006). Garam Garam merupakan komponen yang penting dalam pembuatan produk sosis. Garam mempunyai fungsi (1) meningkatkan citarasa, (2) pelarut protein yaitu miosin sehingga dapat menstabilkan emulsi daging, (3) sebagai pengawet, karena dapat mencegah pertumbuhan mikroba sehingga memperlambat kebusukan dan (4) untuk meningkatkan daya mengikat air yang biasanya dipadukan dengan alkali fosfat (Buckle et al., 1987). Penggunaan garam bervariasi, umumnya 2-2,5% karena penggunaan garam yang berlebihan dapat menyebabkan penyakit, salah satunya adalah penyakit darah tinggi. Sodium Tripolifosfat (STPP) Tujuan utama penambahan fosfat yaitu untuk mengurangi kehilangan lemak dan air selama pemasakan, pengalengan, atau penggorengan. Penambahan polifosfat dalam bentuk kering rata-rata sekitar 0,3% (Wilson et al., 1981). Fungsi penambahan alkali fosfat pada produk daging adalah (1) meningkatkan pH daging dan mengakibatkan meningkatnya daya mengikat air, (2) fosfat dan garam mempunyai fungsi sinergis sehingga mempengaruhi daya mengikat air, (3) dapat menurunkan penyusutan makanan karena dapat mengurangi air yang hilang selama pemasakan, (4) meningkatkan keempukan dan memudahkan pengirisan, (5) menstabilkan warna dan keseragaman, (6) menghambat ketengikan karena fosfat memiliki sifat sebagai antioksidan, dan (7) selain dapat meningkatkan mutu produk daging, harganya relatif murah (De Freitas et al., 1997; Ockerman, 1983). Lemak Lemak atau minyak pada pembuatan sosis berfungsi untuk memberikan rasa lezat, mempengaruhi keempukan dan juicenes daging dari produk yang dihasilkan. Lemak menghasilkan fase dispersi (diskontinyu) dari emulsi daging sehingga lemak merupakan komponen struktural utama. Lemak yang mengandung asam lemak jenuh lebih mudah diemulsi daripada asam lemak tak jenuh. Sosis masak harus mengandung lemak maksimum 30% (Kramlich. 1973). 8 Rosela Rosela (Hibiscus sabdariffa Linn) adalah tanaman yang berkembang biak dengan biji, bermanfaat untuk kesehatan antara lain meningkatkan stamina tubuh, mengandung vitamin C dan mineral essensial yang cukup tinggi yang mampu menangkal radikal bebas penyebab kanker (Maria dan Ramli, 2008). Wianti et al., (2008) menyebutkan bahwa kandungan senyawa kimia dalam kelopak bunga rosela untuk TBC yaitu campuran asam sitrat dan asam malat 13%, anthocianin (Hydroxyflavone) dan Hibiscin 2%, asam askorbat (vitamin C) 0,004%-0,005%, protein (6,7% BS dan 7,9% BK), flavonol glucoside hibiscritin, flavonoid gossypetine, hibiscetine dan sabdaretine, delphinidine 3-monoglucoside, cyanidin 3monoglucoside dan delphinidine. Dalam 100 g kelopak bunga rosela, mengandung unsur-unsur, seperti berikut ini: kalori 49 kal, H2O 84,5%, protein 1,9 gr, lemak 0,1 gr, 12,3 g karbohidrat, serat 1,2 gr, kalsium 0,0172 gr, phospor 0, 57 gr, logam 0,029 gr, karotene B-3 gr, asam askorbat gr 0,14, abu 6,90 gr, 0117 mg thiamine dan riboflavin 0,277 mg. Gambar kelopak bunga rosela dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Kelopak Bunga Rosela (Amanda dan Prima, 2008) Penyimpanan ekstrak rosela selama tujuh hari pada suhu kamar menyebabkan penurunan konsentrasi antosianin serta kenaikan nilai pH dari ekstrak rosela tersebut, sedangkan penyimpanan ekstrak selama tujuh hari pada suhu dingin menyebabkan kenaikan nilai pH tetapi tidak menyebabkan penurunan konsentrasi antosianin (Retno et al., 1999). Bridle dan Timberlake (1996) menambahkan, warna merah dari antosianin lebih baik atau cerah pada pH yang sangat rendah (pH<2). Pada nilai pH di atas 3,5 warna merah dari antosianin mulai memudar. Adapun komposisi kimia dari bunga Rosela jenis Hibiscuss Sabdariffa L dapat dilihat pada Tabel 2. 9 Tabel 2. Komposisi Kimia Bunga Rosela Jenis Hibiscuss Sabdariffa L dalam 100 g Komposisi Protein Lemak Serat Kalsium Fosfor Besi Karoten Tiamin Riboflavon Niasin Sumber : Amanda dan Prima (2008) Jumlah 1,14 g 2,61 g 12,0 g 1,26 mg 273,2 mg 8,98 mg 0,029 mg 0,117 mg 0,277 mg 3,76 mg Pigmen Angkak Pigmen angkak merupakan pigmen yang dihasilkan oleh kapang, yang digunakan sebagai zat pewarna makanan dan minuman di negara-negara Asia seperti Cina, Jepang, Taiwan, Filipina dan Indonesia (Sutrisno, 1987). Angkak dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Beras Merah Cina atau Angkak (Kasim et al., 2005) Pigmen angkak dapat diproduksi dengan cara fermentasi media padat maupun dengan cara menggunakan sistem fermentasi media cair (Wong dan Koehler, 1981). Secara tradisoinal, umumnya pembuatan angkak dilakukan dengan sistem fermentasi media padat, karena tekniknya lebih sederhana dan praktis. Menurut Palo et al. (1960), suhu optimum untuk memproduksi pigmen angkak adalah 27 oC dengan kisaran 20 oC-37 oC. Produksi pigmen Monascus purpureus dapat pula dihasilkan dengan menggunakan sumber karbon selain beras seperti gadung, kentang, ganyong, seweg, ubi jalar, gaplek dan tapioka. Tabel 3 berikut ini menyajikan komposisi kimiawi dari angkak. 10 Tabel 3. Komposisi Kimiawi Angkak Kandungan Air Pati Nitrogen Protein kasar Lemak kasar Abu Sumber : Steinkraus (1983) Jumlah (%) 7-0 53-60 2,4-2,6 15-16 6-7 0,9-1 Angkak dapat dijadikan pewarna makanan yang baik, tetapi sebelumnya perlu diperhatikan pula kondisi fermentasinya untuk menghasilkan pigmen angkak yang baik, serta sedikit atau tidak mengandung citrinin sama sekali (Pattanagul et al, 2007). Masalah utama dalam penggunaan zat pewarna alami adalah stabilitas pigmen. Pewarna alami sangat sensitif terhadap suhu, cahaya, keasaman, udara dan perubahan aktivitas air (Wong dan Koehler, 1981). Menurut Sutrisno (1987), pigmen angkak yang diproduksi oleh Monascus sp ini sedikit larut dalam air dan kurang stabil terhadap pengaruh-pengaruh fisika dan kimia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pigmen angkak yang dimodifikasi dengan menggunakan asam amino asetat, asam p-amino benzoat dan asam glutamat lebih stabil terhadap pengaruh fisik dan kimia serta kelarutan yang lebih baik dalam air. Sutrisno (1987) telah melakukan penelitian terhadap sifat fisik pigmen angkak. Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitiannya adalah pigmen angkak yang dipengaruhi oleh sinar matahari, sinar ultraviolet, pH, suhu dan indikator. Pengaruh suhu akan menyebabkan zat warna mengalami dekomposisi dan berubah strukturnya, sehingga dapat terjadi pemucatan. Pigmen angkak paling stabil pada pH 9,2 bila dibandingkan dengan pH 7 dan pH 3. pemanasan pada suhu 100oC selama satu jam tidak mengakibatkan kerusakan yang nyata terhadap pigmen angkak. Sifat Antimikroba Pigmen Angkak Hasil penelitian Fardiaz et al. (1996), yang melakukan serangkaian pengujian toksisitas pigmen angkak yang diproduksi dari limbah cair tapioka terhadap jenis tikus wistar, terlihat bahwa pemberian pigmen angkak sampai dosis tertinggi yaitu 3,913 g/kg selama 4 minggu tidak menyebabkan pembengkakan 11 hati, ginjal, dan pankreas. Selain itu, dari hasil pengujian imunogenisitasnya, pigmen angkak yang dihasilkan dari limbah cair tapioka tidak menyebabkan ketidakabnormalan sel limfosit, yang berarti tidak mengganggu sistem kekebalan. Jenie dan Kuswanto (1994) telah membuktikan pada penelitiannya bahwa pigmen angkak dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen, yaitu B. Cereus dan bakteri perusak Pseudomonas sp. Selanjutnya sifat antimikroba dari pigmen angkak ini diterapkan oleh Justiawan (1997) dengan kesimpulan konsentrasi pigmen angkak 7,5 g cukup efektif dalam menghambat pertumbuhan sel bakteri B. Stearothermophilus bahkan konsentrasi 40 ppm nitrit yang dimodifikasi dengan 5,0 g angkak lebih baik penghambatannya daripada konsentrasi 125 ppm nitrit. Pigmen Angkak Sebagai Bahan Pewarna Sosis Warna merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kualitas dari sosis. Intensistas warna dapat dihasilkan diantaranya dari konsentrasi larutan curing (Shehata et al., 1998). Penggunaan nitrit dalam pengolahan makanan telah lama dilakukan yaitu sebagai senyawa ”curing” terutama untuk produk-produk olahan daging. Awalnya nitrit digunakan untuk memperoleh warna merah pada daging, sebagai bahan pengawet dan sebagai bahan pembentuk faktorfaktor sensori (warna, aroma dan citarasa). Nitrit dapat berikatan dengan amino dan amida dalam protein daging dan membentuk turunan nitrosamin. Perhatian terhadap nitrosamin meningkat pada awal tahun enampuluhan, mengikuti suatu bencana penyakit hati berat pada biri-biri di Norwegia, yang menunjukkan bahwa biri-biri menjadi sakit setelah mengkonsumsi tepung ikan yang diawetkan dengan nitrit (Muchtadi, 1987). Menteri kesehatan telah mengeluarkan peraturan mengenai penggunaan nitrat dan nitrit dalam daging yang diawetkan. Menurut standar USDA (2000), batas maksimum nitrit (dalam bentuk NaNO2) yang digunakan untuk sosis masak adalah 156 ppm (Justiawan, 1997). Hasil penelitian Fabre et al. (1993) menyatakan bahwa pigmen angkak dapat mewarnai sosis. Semakin banyak pigmen angkak yang ditambahkan, maka intensitas warna merah sosis semakin tinggi. Selain itu dijelaskan lebih lanjut bahwa penambahan angkak justru memperbaiki tekstur dan flavour. 12 Pengujian angkak sebagai subtitusi nitrit pada sosis daging sapi telah dilakukan oleh Justiawan (1997). Hasil pengujian organoleptik menunjukkan dari segi warna dan penampakan penelis lebih menyukai sosis daging sapi dengan jumlah penambahan angkak 2,5 g/kg daging. Hasil penelitian Justiawan (1997) dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini untuk menentukan jumlah angkak yang ditambahkan dalam formulasi. Pembuatan Sosis Proses pembutan sosis sapi dimulai dengan penggilingan daging sapi yan telah dicacah menggunakan glinder. Dalam proses pembuatan sosis, faktor kehalusan penggilingan menentukan jenis sosis (Rust, 1977). Tahap selanjutnya dilakukan penggilingan dan pencampuran bumbu dalam cutter. Proses pencampuran berfungsi sebagai proses homogenisasi semua bahan-bahan yang digunakan untuk membuat adonan sosis. Alat yang digunakan sebagai cutter bowl mixer. Tahap ini juga ditambahkan serpihan es atau air dingin, garam dapur, bahan pengikat, dan bahan tambahan lainnya sehingga terdistribusi merata (Kramlich, 1973). Tahap ini ditambahkan serutan es yang bertujuan untuk menjaga suhu penggilingan agar tetap dibawah 20 oC dan untuk mencegah pecahnya emulsi (Tauber, 1977). Adonan yang telah terbentuk dimasukkan ke dalam casing dengan alat filler. Penggunaan filler dimaksudkan untuk mempertahankan kestabilan emulsi dan mengurangi terbentuknya kantong-kantong udara yang akan mempengaruhi mutu sosis (Henrickson, 1978). Tahap pemasakan selain bertujuan untuk menghasilkan jenis sosis masak, juga untuk mengurangi kandungan mikroba dan membersihkan permukaan sosis (Girard, 1992). Umur Simpan Umur simpan adalah rentang waktu antara produk mulai dikemas atau diproduksi sampai digunakan dengan mutu yang memenuhi syarat untuk dikonsumsi. Kerusakan pangan diukur laju degradasinya dengan menggunakan model matematis tertentu (Labuza, 1982). Penyimpangan produk dari mutu awalnya disebut deteriorasi. Produk pangan mengalami deteriorasi segera setelah diproduksi. Reaksi deteriorasi dimulai dengan persentuhan produk dengan udara, oksigen, uap air, cahaya atau akibat perubahan suhu. Reaksi ini juga dapat diawali oleh hentakan mekanis seperti vibrasi dan kompresi (Arpah, 2001). Tingkat kerusakan produk 13 dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan, sedangkan laju kerusakan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan penyimpanan. Reaksi deteriorasi pada produk pangan dapat disebabkan oleh faktor intrinsik maupun ekstrinsik yang selanjutnya akan memicu reaksi di dalam produk berupa reaksi kimia, reaksi enzimatis atau lainnya seperti proses fisika dalam bentuk penyerapan uap air atau gas dari sekeliling. Ini akan menyebabkan perubahan-perubahan terhadap produk yang meliputi: perubahan tekstur, flavor, warna, penampilan fisik, nilai gizi dan lain-lain (Arpah, 2001). Pengaruh beberapa faktor terhadap reaksi kerusakan pada produk pangan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Pengaruh Beberapa Faktor dan Efek Deterioratif Pada Pangan Faktor Utama Efek Deterioratif Oksigen Oksidasi lipida Kerusakan vitamin Kerusakan protein Oksidasi pigmen Uap air Kehilangan/kerusakan vitamin Perubahan organoleptik Oksidasi lipida Cahaya Oksidasi Pembentukan bau/perubahan flavor Kerusakan vitamin Kompresi/bantingan, vibrasi, abrasi, penanganan secara kasar Perubahan organoleptik Kebocoran pada pengemas Bahan kimia toksik/bahan kimia off-flavor Off-flavor Perubahan organoleptik Perubahan kimia Pembentukan racun Kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh otooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam lemak. Otooksidasi dimulai dengan pembentukan radikal-radikal bebas yang disebabkan oleh faktor-faktor yang dapat mempercepat reaksi seperti cahaya, panas, peroksida lemak atau hidroperoksida, logam-logam berat seperti Cu, Fe, Co dan Mn serta enzim-enzim lipooksidase (Winarno, 1997). Penyimpangan-penyimpangan ini menyebabkan produk pangan tidak menyerupai tekstur seperti aslinya pada awal produksi. Tergantung pada tingkat deteriorasi yang berlangsung. Perubahan tersebut dapat menyebabkan produk pangan 14 tidak dapat lagi digunakan untuk tujuan seperti yang seharusnya atau bahkan tidak dapat dikonsumsi sehingga dikategorikan sebagai bahan kadaluarsa (Arpah, 2001). Menurut Syarief et al. (1989), penentuan umur simpan bahan pangan dapat dilakukan dalam tiga metode yaitu metode konvensional, metode akselerasi kondisi penyimpanan dan metode nilai paruh waktu (half value point). Metode konvensional menitikberatkan pada pengaruh kadar air dan perubahan yang terjadi pada produk yang dikemas dengan RH beragam. Metode akselerasi kondisi penyimpanan dilakukan dengan pengamatan kenaikan atau penyusutan berat produk yang dikemas dengan menggunakan berbagai jenis kemasan, sedangkan metode nilai paruh waktu juga memperhitungkan kadar air yang diserap pengemas dan kadar air kritis produk. Persamaan Arrhenius menunjukkan ketergantungan laju reaksi deteriorasi terhadap suhu. Keadaan suhu ruang penyimpanan sebaiknya tetap dari waktu ke waktu, tetapi seringkali keadaan suhu penyimpanan berubah-ubah (Syarief dan Halid, 1993). Pengaruh Pembekuan dan Penyimpanan Dingin pada Pertumbuhan Mikroorganisme Perubahan kualitas daging beku sangat minimal pada temperatur penyimpanan -18 oC, sehingga temperatur pembekuan ini digunakan sebagai dasar penyimpanan beku. Penyimpanan beku pada temperatur di bawah -10 oC akan sangat menurunkan dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk (Soeparno, 2005). Pertumbuhan mikroorganisme pada makanan pada suhu di bawah kira-kira -12 oC belum dapat diketahui dengan pasti. Jadi penyimpanan makanan beku pada suhu sekitar -18 oC dan di bawahnya akan mencegah kerusakan mikrobiologis, dengan persyaratan tidak terjadi perubahan suhu yang besar. Mikroorganisme psikofilik mempunyai kemampuan untuk tumbuh pada suhu lemari es, terutama di antara 0 oC dan 5 oC. Jadi penyimpanan yang lama pada suhusuhu ini dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan oleh mikroorganisme. Walaupun jumlah mikroba biasanya menurun selama pembekuan dan penyimpanan beku (kecuali spora), makanan beku tidak steril dan seringkali cepat membusuk. Pembekuan dan penyimpanan makanan beku juga mempunyai pengaruh nyata pada kerusakan sel mikroba. Jika sel yang rusak atau luka tersebut mendapat kesempatan menyembuhkan dirinya, maka pertumbuhan yang cepat akan terjadi jika lingkungan sekitarnya memungkinkan (Buckle et al., 1987). 15 Berdasarkan temperatur maksimum dan optimum untuk pertumbuhan, mikroorganisme dibagi menjadi 3 kelompok yaitu mesophylles yang tumbuh pada suhu optimum antara 15 oC sampai 40 oC, sedangkan thermophylles tumbuh optimum pada suhu 45 oC sampai 60 oC dan psychrophillic tumbuh optimum pada suhu -1 sampai 3 oC. pertumbuhan bakteri pada dan di dalam daging dapat di bagi menjadi 4 fase, yaitu fase lag, fase pertumbuhan logaritmik, fase konstan dan fase kematian. Berdasarkan definisi pembekuan atau penyimpanan beku daging, pembekuan dilaksanakan pada suhu dimana mikroorganisme tidak dapat tumbuh dan pada suhu dimana daging dalam kondisi yang cukup keras dan tahan pada penimbunan. Dalam pelaksanaannya ialah penggunaan suhu di bawah -15 oC. Dalam tubuh hewan yang masih hidup terdapat suatu mekanisme organisme biologi tertentu yang tidak berfungsi lagi setelah hewan mati, dan yang akan mengakibatkan enzim pencernaan akan menyerang jaringan tubuh (Desroisier, 1988). Kerusakan yang menyebabkan penurunan mutu daging segar terutama disebabkan oleh mikroorganisme. Mikroorganisme yang masuk ke dalam daging hewan yang telah mati berasal dari daerah sekitarnya dan terjadi mulai dari saat pemotongan hewan serta pada proses penanganan lebih lanjut. Dalam daging, bakteri tumbuh dan berkembang biak dengan baik dan untuk itu bakteri mengambil kebutuhan pangannya dari daging yang setempat. Tingkat kerusakan daging tergantung dari tingkat kebutuhan bahan pangan (nutrisi) bakteri. Kebanyakan bakteri termasuk bakteri pembusuk daging dari genus pseudomonas, mempunyai kebutuhan energi tingkat menengah. Temperatur pembekuan dan pendinginan sebenarnya tidak jauh berbeda, suhu pembekuan yaitu -15 oC. Ini dapat mengurangi bahaya dari bakteri pathogen dan memperlambat pertumbuhan dan pembusukan yang terjadi karena mikroorganisme. Kebanyakan bakteri patogen termasuk Pseudomonas sp, adalah bakteri yang paling menonjol pada permukaan daging, pada penyimpanan dingin dan beku pada penyimpanan daging. Jika pendinginan dilakukan dengan cepat di bawah suhu 10 oC sebelum pH di otot menjadi 6, maka serat pada otot akan berkontraksi dan daging akan mengeras pada saat pemasakan (USDA, 2000). Daging seperti bahan biologis yang lain, tidak mempunyai titik beku tertentu, akan tetapi mempunyai kisaran titik beku, jumlah air yang terdapat sebagai es 16 ditentukan oleh rendahnya suhu. Jadi pada suhu 0 oC belum terdapat es, pada suhu -10 oC kira-kira 83% beku dan baru pada suhu -40 oC semua air yang ada membeku pada titik beku. Menurut Buckle et al. (1987), daging yang dibekukan mengalami kerusakan yang lambat selama penyimpanan beku, terutama yang disebabkan oleh oksida lemak, dapat mempengaruhi rasa terutama pada daging yang mengandung banyak lemak. Lama penyimpanan dingin (≤0 oC) dari produk segar dan sudah dimasak ditampilkan pada Tabel 5. Tabel 5. Penyimpanan Dingin untuk Produk Segar dan Sudah Dimasak Produk Lama Waktu Penyimpanan Unggas 1 atau 2 hari Daging sapi, daging kambing 3 sampai 5 hari Hari, otak, jantung (organ bagian dalam) Daging yang telah diasinkan, dimasak 1 atau 2 hari 5 sampai 7 hari sebelum dimakan Sosis, kalkun yang belum dimasak 1 sampai 2 hari Telur 3 sampai 5 hari Sumber: USDA (2000) Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mempertahankan keawetan daging, diantaranya adalah pendinginan. Menurunkan suhu penyimpanan dapat berdampak: (1) berkurangnya pertumbuhan mikroorganisme dan (2) melambatnya aktifitas fisiologis pada jaringan tumbuhan dan aktivitas metabolisme dari jaringan hewan post-mortem. Penyimpanan dingin biasanya dilakukan untuk mengontrol beberapa komponen seperti suhu, kelembaban (RH), kecepatan udara, komposisi udara, dll (Ramaswamy dan Marcotte, 2006). Pendinginan akan dapat mempertahankan kesegaran serta dapat memperpanjang masa simpan suatu bahan pangan (Desroisier, 1988). Heldman dan Singh (1988) menyatakan bahwa semakin rendah suhu lingkungan, aktivitas mikroorganisme serta sistem enzim menjadi semakin berkurang. Penyimpanan dengan cara pendinginan menggunakan suhu yang tidak begitu juah dibawah suhu pembekuan dan biasanya melibatkan sistem pendinginan dengan es atau refrigerasi mekanik. Cara ini digunakan sebagai pengawetan utama 17 untuk bahan pangan atau untuk pengawetan sementara sampai proses pengawetan lebih lanjut dilakukan (Frazier, 1967). Penyimpanan karkas atau daging pada suhu dingin, meskipun dalam waktu yang singkat diperlukan untuk mengurangi kontaminasi atau untuk mengendalikan kerusakan dan perkembangan mikroorganisme. Kemungkinan kerusakan daging atau karkas selama masa penyimpanan dingin dapat diperkecil dengan cara menyimpan karkas dalam bentuk yang belum dipotong-potong (Soeparno, 2005). Pada umumnya, makin besar ukuran karkas dan lemak eksternal, makin lama waktu yang dibutuhkan untuk pendinginan pada suhu kecepatan udara pendingin tertentu (Bouton et al., 1978). Suhu, kecepatan udara dan kelembaban merupakan parameter penting yang mempengaruhi kekeringan/ pengeringan produk. Semakin tinggi suhu udara semakin cepat proses pengeringan. Semakin cepat aliran angina akan memperlambat proses pengeringan. Menurut Ramaswamy dan Marcotte (2006) ukuran, bentuk dan luas permukaan produk sangat mempengaruhi kekeringan serta kecepatan kering produk. Sifat Fisik Sosis Daya Serap Air (DSA) Muchtadi dan Sugiono (1992), menyatakan bahwa daya serap air (DSA) menunjukan kemampuan daging untuk mengikat air bebas. Sifat ini sangat penting dalam pembuatan produk emulsi daging, seperti sosis dan bakso. Produk sosis dan bakso diperlukan DSA yang tinggi. Menurut Ellinger (1972), keberadaan air dalam daging mempengaruhi susut berat, sifat kekerasan dan kekenyalan. Natrium Chlorida (NaCl) mempunyai peranan untuk meningkatkan mutu, menekan susut berat dan daya mengikat air terutama pada penggunaan daging segar. Semakin tinggi konsentrasi NaCl yang digunakan terjadi peningkatan daya mengkat air. Derajat Keasaman (pH) Nilai pH merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui dalam setiap pembuatan produk olahan daging. Nilai pH dipengaruhi oleh bahan-bahan yang digunakan dalam produk tersebut terutama daging yang digunakan. Nilai pH berpengaruh terhadap sifat-sifat produk yang dihasilkan, yaitu masa simpan, DMA, tekstur, stabilitas emulsi, kekenyalan, dan warna produk (Indriyani, 2007). 18 Kekenyalan Faktor yang mempengaruhi kekenyalan daging digolongkan menjadi faktor antemortem (genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, dan umur) dan faktor postmortem (metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, dan pH daging). Bertambahnya penggunaan tapioka menjadikan sosis lebih kenyal (Gadiyaram dan Kannan, 2004). Menurut Moedjiharto (2003) pembentukan kekenyalan berkaitan dengan daya elastisitas dan berhubungan dengan kemampuan pengikatan air oleh pati dan kelarutan protein miosin, campuran dengan lemak, gula, garam, dan pati. Sifat Organoleptik Sifat mutu subjektif pangan disebut organoleptik atau indrawi karena penilaiannya menggunakan organ indra manusia. Kadang-kadang juga disebut sifat sensorik karena penilaiannya berdasarkan pada rangsangan sensorik pada organ indra. Palatabilitas panelis dapat ditujukan melalui uji organoleptik yang meliputi warna, rasa, aroma, kekenyalan, dan tekstur (Soekarto, 1990). Bakteri Patogen Bakteri yang dapat digunakan untuk menguji aktivitas antibakteri pada bahan pangan meliputi bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Mikroba-mikroba tersebut dapat digolongkan dalam mikroba bakteri perusak. Mikroba yang dapat menyebabkan keracunan dan infeksi saat ikut terkonsumsi disebut mikroba patogen. Escherichia coli E. coli tergolong dalam famili Enterobacteriaceae dan termasuk bakteri gram negatif, berbentuk batang dengan ukuran panjang 2,0-6,0 mikrometer, E. coli terdapat dalam bentuk tunggal atau berpasangan, bersifat motil atau non motil. Aktivitas air (aw) minimum yang memungkinkan pertumbuhan E. coli adalah antara 0,95 sampai 0,96 (Fraizer dan Westhoff, 1998). E. coli merupakan flora normal yang hidup dalam saluran pencernaan manusia dan hewan. Sel bakteri ini terdapat pada feses dan air yang terkontaminasi oleh feses. Bakteri ini stabil dalam medium yang mengandung glukosa, amonium 19 sulfat dan sedikit garam mineral (Salle, 1961). Gambar bakteri E. coli dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Escherichia Coli (http://www.lintasberita.com/go/226395) Bakteri Asam Laktat Bakteri asam laktat (BAL) merupakan mikroflora normal yang berada dalam daging yang dapat disebabkan oleh terdapatnya kontaminasi selama pengolahan. Bakteri asam laktat dapat memfermentasi karbohidrat menjadi asam laktat sehingga dapat menyebabkan turunnya pH daging. Turunnya pH daging dapat membantu menekan pertumbuhan bakteri patogen pembusuk yang ada (Fardiaz, 1992). Bakteri asam laktat termasuk bakteri gram positif, tidak berspora, selnya berbentuk batang atau bulat, baik tunggal, berpasangan maupun berantai dan kadang berbentuk tetrad (Banwart, 1983). Menurut Jay (1996), bakteri asam laktat bersifat mesofilik dan termofilik, beberapa dapat tumbuh pada suhu 5 oC dan suhu maksimum 45 oC, dapat bertahan pada pH 3,2 dan pada pH yang lebih tinggi 9,6 serta beberapa bakteri asam laktat dapat tumbuh pada kisaran pH yang sangat sempit (4,0-4,5). Bakteri asam laktat menghasilkan beberapa senyawa antimikroba berupa asam-asam organik berupa asetat, asam laktat dan karbondioksida (Ouwehand, 1998). Selain itu juga dihasilkan hidrogen peroksida dan senyawa diasetil serta senyawa-senyawa reuterin dan 2pirolidon-5asam karboksilat, sehingga efektif dalam menghambat bakteri. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroorganisme Faktor Intrinsik Kandungan Nutrisi. Mikroorganisme membutuhkan nutrisi untuk kehidupan dan pertumbuhannya yaitu sebagai sumber karbon, nitrogen, energi dan faktor pertumbuhan yaitu mineral dan vitamin. Nutrisi tersebut dibutuhkan untuk 20 membentuk energi dan menyusun komponen-komponen sel (Jay, 2000). Ray (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan mikroorganisme disempurnakan melalui sintesis komponen-komponen sel dan energi. Kebutuhan akan nutrisi proses tersebut berasal dari lingkungan yang dekat dengan sel-sel mikroorganisme. Sel-sel tersebut apabila tumbuh, maka akan mensuplai nutrisi. Nutrisi-nutrisi ini terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, mineral dan vitamin. Nilai pH dan TAT (Total Asam Tertitrasi). Nilai pH medium sangat mempengaruhi jenis mikroorganisme yang dapat tumbuh. Mikroorganisme umumnya dapat tumbuh pada kisaran pH 3-6. Kebanyakan bakteri memiliki pH optimum yaitu pH untuk pertumbuhan maksimum sekitar 6,5-7,5 (Fardiaz, 1992). Pengukuran TAT adalah jumlah hidrogen total (dalam bentuk terdisosiasi dan tidak terdisosiasi), sedangkan dalam pengukuran pH yang terukur adalah jumlah ion hidrogen dalam bentuk terdisosiasi. Pengontrolan terhadap nilai TAT dan pH merupakan suatu parameter yang penting, karena adanya perubahan nilai TAT dan pH pada bahan pangan akan mempengaruhi kualitas bahan pangan tersebut. Nilai pH dan TA dipengaruhi oleh produksi asam laktat dan asam organik lainnya sehingga hasil metabolisme starter terhadap karbohidrat daging. Varnam dan Sutherland (1995) menyatakan bahwa pembentukan asam laktat tergantung pada tingkat aktivitas mikroba yang digunakan. Aktivitas Air (aw). Adalah jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya (Syarief dan Halid, 1993). Kandungan air suatu bahan tidak dapat digunakan sebagai indikator nyata dalam menentukan ketahanan simpan suatu produk pangan. Ray (2004) menambahkan, bahwa aktivitas air merupakan pengukuran ketersediaan air untuk menjalankan fungsi-fungsi biologis. Aktivitas air berkaitan dengan keberadaan air dalam bahan pangan dalam bentuk bebas. Air yang terkandung dalam bahan pangan, apabila terikat kuat dengan komponen bukan air lebih sukar digunakan baik untuk aktivitas mikrobiologis maupun aktivitas kimia hidrolitik. Fardiaz (1992) menyatakan bahwa mikroorganisme memiliki aw minimal yang berbeda. Komponen Antimikroba. Bahan pangan kemungkinan dapat mengandung komponen-komponen yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. 21 Komponen antimikroba tersebut terdapat dalam bahan pangan melalui beberapa cara, yaitu: (1) terdapat secara alamiah di dalam bahan pangan, (2) ditambahkan dengan sengaja ke dalam bahan pangan dan (3) terbentuk selama pengolahan atau oleh jasad renik yang tumbuh selama fermentasi bahan pangan (Fardiaz, 1992). Bakteri asam laktat dapat menghasilkan bakteriosin yang dapat menghambat petumbuhan bakteri patogen atau pembusuk (Ray, 2004). Proliferasi mikroorganisme dapat dipenaruhi oleh komponen penghambat. Bahan-bahan yang dapat menghambat aktivitas mikroorganisme disebut bacteriostat, sedangkan yang dapat membunuh mikroorganisme disebut bactericide (Marriott, 1989). Faktor Ekstrinsik Suhu. Marriott (1989) menyatakan bahwa mikroorganisme memiliki suhu optimum, minimum dan maksimum. Suhu di bawah minimum dan di atas maksimum, aktivitas enzim akan berhenti atau bahkan terdenaturasi pada suhu yang terlalu tinggi. Menurut Fardiaz (1992) suhu tempat suatu bahan pangan disimpan berpengaruh besar terhadap mikroorganisme yang dapat tumbuh serta kecepatan pertumbuhanannya. Kelembaban Relatif (RH). Kelembaban relatif merupakan faktor ekstrinsik yang mempengaruhi pertumbuhna mikroorganisme dan dipengaruhi oleh suhu. Semua mikroorganisme memiliki kebutuhan air yang tinggi untuk mendukung pertumbuhan dan aktivitasnya. RH yang tinggi dapat menyebabkan uap air terkondensasi pada makanan, peralatan, dinding dan langit-langit ruangan. Kondensasi tersebut dapat menyebabkan permukaan menjadi lembab atau basah, sehingga kondusif bagi pertumbuhan mikroorganisme dan kerusakan (Marriott, 1989). RH optimal bagi bakteri adalah 92% atau lebih, sedangkan khamir membutuhkan 90% atau lebih, dan kapang membutuhkan RH yang lebih kecil yaitu 85%-90%. 22 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ternak Ruminansia Besar dan Laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU), Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pelaksanaan penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai Agustus 2010. Materi Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging sapi segar bagian gandik, tepung tapioka, susu skim, minyak sayur, es batu, bawang putih, STPP, lada bubuk, pala bubuk, garam, rosela bubuk dan angkak bubuk. Untuk analisa mikrobiologi, bahan yang digunakan adalah plate count agar (PCA), Eosyn Methylen Blue Agar (EMBA) dan deMan Ragosa Sharp Agar (MRSA). Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain food processor merk national, termometer, kompor, wadah plastik, timbangan digital merk mettler, pisau, label, spatula, sendok, chiller, tali kasur dan lemari pendingin. Alat untuk analisis fisik meliputi Warner Bratzler Meat Shear untuk mengukur keempukan, pH meter dan sentrifuse serta tabung eppendorf (untuk uji daya mengikat air). Alat yang digunakan untuk analisis mikrobiologi adalah tabung reaksi, pipet volumetrik, pipet 10 ml, kapas, aluminium foil, karet gelang, tabung scott, mikro pipet, tip, jarum ose, cawan Petri, autoclave, bunsen, alat sentrifuge Hettich Zentrifugen 6000 rpm, kantong plastik tahan panas (HDPE), termometer dan inkubator. Rancangan Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan dua faktor, faktor pertama yaitu perbedaan jenis pengawet dengan 2 taraf perlakuan yaitu sosis dengan kombinasi rosella : angkak = 1 %:0,75% dan kontrol (nitrit), dan faktor kedua adalah lama penyimpanan (0, 10 dan 20 hari) pada suhu dingin 4oC±1oC. Setiap perlakuan dilakukan dengan 3 kali ulangan. Model Matematika yang digunakan pada penelitian ini adalah : Yijk = μ + Si + Pj + SPij + ε ijk Keterangan : Yijk μ = variabel respon jenis bahan pengawet ke-i dan lama penyimpanan ke-j pada ulangan ke-k = nilai tengah umum Si = pengaruh jenis bahan tambahan pengawet ke-i terhadap kualitas sosis. Pj = pengaruh lama penyimpanan ke-j terhadap kualitas sosis SPij = pengaruh interaksi antara kombinasi rosella dan angkak ke-i dengan lama penyimpanan ke-j εijk = pengaruh galat percobaan pada unit percobaan ke-k dalam kombinasi perlakuan ke-ij. Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance dan dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (Steel dan Torrie, 1997). Prosedur Pembuatan Rosela Bubuk dan Angkak Bubuk Pertama-tama kelopak bunga rosela yang telah kering digerus hingga halus seperti bubuk halus. Bubuk angkak diperoleh dari beras merah Cina yang telah difermentasi oleh bakteri Monascus purpureus dalam bentuk serbuk. Perbandingan komposisi antara rosela dan angkak pada adonan sosis adalah sebesar 1% rosela bubuk dengan angkak bubuk 0,75%. Penentuan jumlah angkak bubuk pada penelitian ini berdasarkan acuan dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Justiawan (1997), yang menyatakan bahwa dari hasil pengujian organoleptik menunjukkan dari segi warna dan penampakan panelis lebih menyukai sosis daging sapi dengan jumlah penambahan 2,5g/kg. Proses Pembuatan Sosis Frankfurter dan Pengamatan selama Penyimpanan Pembuatan sosis frankfurter dimulai dari penyiapan daging sapi segar dan dilakukan pemisahan dari lemak (trimming). Daging yang telah dibersihkan dipotong kecil-kecil dan dimasukkan ke dalam grinder bersama bahan es, sehingga memudahkan dalam penghancuran daging dan menjaga suhu daging sapi sehingga stabilitas. Selengkapnya dapat di lihat pada Gambar 4. Setelah proses pembuatan sosis frankfurter selesai dilanjutkan dengan penyimpanan sosis selama tiga puluh hari pada refrigerator dengan suhu 4 oC. Proses analisis dilakukan setiap 10 hari, yaitu dimulai pada hari ke-0 (sosis yang baru selesai dibuat langsung dianalisis), lalu analisis dilakukan lagi pada hari ke 10 dan 20. 24 300 g daging dibersihkan lemak permukaannya, dipotong kecil-kecil, kemudian dimasukkan ke dalam food processor Ditambahkan 15% es batu, lemak 30% dan 0,5% STPP Penggilingan 1 selama 30 detik Ditambahkan 15% es batu,5% tepung tapioka, 10% susu skim, 0.5% bawang putih, 0.3% STPP, 2.5% garam, 0.5% ketumbar, 2% gula pasir, 0.5% merica, 0.5% jahe, 0.5%, dan pala2% Penggilingan ke 2 selama 90 detik Adonan ditambahkan dengan 1 % bubuk ekstrak Rosela dan 0,75 % bubuk angkak Adonan yang terbentuk dimasukkan dalam selongsong (cassing) Perebusan sosis (60-650C selama 45 menit) Disimpan dalam lemari es bersuhu 4 oC selama 20 hari Analisis dilakukan setiap sepuluh hari Gambar 4. Skema Proses Pembuatan Sosis (Syudhly, 2010) 25 Peubah yang Diamati Peubah yang diamati untuk mengetahui sifat fisik sosis yaitu pH, daya mengikat air, stabilitas emulsi, dan keempukan. Sifat mikrobiologi yaitu pengujian terhadap TPC, E. coli dan Salmonella. Nilai pH Produk Sosis Adonan sosis diukur dengan menggunakan pH-meter merek Corning dikalibrasi dengan larutan buffer dengan nilai pH 4 dan 7. Sampel ditimbang 5 gram, kemudian ditambah aquades 45 ml, setelah itu sampel diblender selama satu menit, sampel dipindahkan ke dalam gelas ukur, pH-meter dicelupkan ke dalam sampel kira-kira 2 – 4 cm. Nilai pH diperoleh dengan membaca skala tersebut (AOAC, 1995). Kekenyalan Kekenyalan yang diuji adalah kekenyalan produk sosis. Pengukuran menggunakan alat Instron (Warner Bratzler Shear Force) tipe 5542. Sampel sosis ditempatkan pada alat pemotong. Sampel dipotong sampai putus dengan chart speed 250 mm/menit. Parameter yang diukur dinyatakan dalam bentuk grafik dan secara otomatis terhubungkan dengan komputer. Respon dari kekenyalan yang dihasilkan diterapkan dalam grafik skala, nilai kekenyalan dinyatakan oleh grafik maksimal dengan satuan kgf/cm2. Daya Serap Air Sampel ditimbang sebanyak 1 g dan dihancurkan, dimasukkan ke dalam tabung reaksi (tabung sentrifusi). Air sebanyak 10 ml ditambahkan, dikocok dengan vortex mixer, lalu didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar, kemudian disentrifusi dengan kecepatan 3500 rpm selama 30 menit. Volume supernatan diukur dengan gelas ukur 10 ml. Air yang terserap dihitung yaitu selisih air mula-mula (10 ml) dengan volume supernatan yang dinyatakan dalam g/g dengan asumsi berat jenis air adalah 1 (g/ml) (Fardiaz et al., 1992). Uji Kualitas Mikrobiologis Daging Sebelum dilakukan analisis mikrobiologi, sample daging segar dipersiapkan terlebih dahulu dengan cara sebagai berikut : sebanyak 5 gram sampel daging 26 dimasukkan ke dalam plastic steril lalu ditambahkan 45 ml larutan pengencer steril, kemudian dikocok diremas-remas hingga diperoleh campuran yang homogen dengan konsentrasi 0,1 g/ml. Sampel ini kemudian diencerkan dengan larutan pengencer sesuai dengan kebutuhan dan siap untuk plating. Analisis Total Plate Count (Bakteriological Analytical Manual, 2001). Pengenceran dilakukan dengan mengambil 1 ml larutan sampel yang sudah homogen tersebut dengan menggunakan pipet steril kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml (NaCl) larutan pengencer sehingga terbentuk pengenceran 10-1 kemudian larutan tersebut dikocok sampai homogen. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan pipet pada pengenceran 10-4, 10-5, dan 10-6 sebanyak 1 ml larutan sampel dan dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo dengan menggunakan pipet steril. Media agar ditambahkan ke dalam cawan Petri dengan metode tuang sebanyak 15 ml dan dihomogenkan sampai merata. Cawan tersebut diinkubasi dengan posisi terbalik dalam inkubator bersuhu 37 °C selama 24 jam. Koloni mikroba yang terbentuk dihitung berdasarkan Standard Plate Count (SPC) dengan rumus sebagai berikut : CFU/g = Keterangan : ∑ N cawan (n1 + (0,1 x n2)) x d N = Jumlah koloni yang berbeda dalam kisaran hitung (TPC : 25-250 koloni). n1= Jumlah cawan pertama yang koloninya dapat dihitung pada setiap pengenceran. n2= Jumlah cawan kedua yang koloninya dapat dihitung pada setiap pengenceran. d = Tingkat pengenceran berbeda. Analisis Kuantitatif Escherichia coli (American Public Health Association, 1992) Sebanyak 1 ml dari larutan pengencer pertama yang sudah homogen dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml larutan pengencer NaCl sehingga terbentuk pengenceran 10-2 kemudian larutan tersebut dikocok sampai homogen. Pengenceran dilakukan sampai 10-3. Setelah pengenceran, dilakukan pemupukan dengan cara mengambil sebanyak 1 ml pengencer dari masing-masing tabung pengenceran (berdasarkan 3 pengenceran pertama yaitu 10-1, 10-2, dan 10-3) 27 dipindahkan ke dalam cawan Petri steril secara duplo. Media Eosyn Methylen Blue Agar (EMBA) ditambahkan ke dalam cawan Petri tersebut. Pemupukan ini dilakukan dengan metode tuang sebanyak 15 ml dan dihomogenkan membentuk angka 8. Cawan tersebut diinkubasi dengan posisi terbalik dalam inkubator bersuhu 37 oC selama 24 jam. Koloni E. coli berwarna hijau metalik jika diletakkan di bawah sinar matahari atau sinar lampu. Analisis Kuantitatif Bakteri Asam Laktat (American Public Health Association, 1992) Sebanyak 5 gram sampel sosis yang telah disiapkan diencerkan menggunakan 45 ml NaCl 0,85% steril, lalu dipipet secara aseptik sebanayak 1 ml lalu dimasukkan ke tabung yang berisi media pengencer NaCl 0,85% 9 ml yang selanjutnya disebut pengenceran 10-1, sebanyak 1 ml diambil dari tabung pengenceran 10-1 dimasukkan ke tabung ke 2 yang berisi NaCl 0,85% 9 ml yang selanjutnya disebut pengenceran 10-2, kemudian dilakukan prosedur yang sama sampai pengenceran 10-5. Media tumbuh yang digunakan adalah de Man Ragosa Sharp Agar (MRS-A) lalu pengenceran 10-3 sampai pengenceran 10-5 dipupukkan ke dalam cawan petri steril secara duplo, selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam dan dihitung populasinya. Koloni yang berwarna putih atau kekuning-kuningan merupakan koloni bakteri asam laktat. Uji Organoleptik (Soekarto, 1990) Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji mutu hedonik. Penelitian ini menggunakan 30 orang panelis yang diminta untuk menilai kualitas sampel yang disajikan. Parameter yang diuji adalah warna, bau, lendir, tekstur, dan kekenyalan. 28 HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik Sosis Frankfurter Nilai pH Sosis Frankfurter Nilai pH merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui dalam setiap pembuatan produk olahan daging. Nilai pH dipengaruhi oleh bahan-bahan yang digunakan dalam produk tersebut terutama daging yang digunakan. Nilai pH berpengaruh terhadap sifat-sifat produk yang dihasilkan, yaitu masa simpan, DMA, tekstur, stabilitas emulsi, kekenyalan, dan warna produk (Indriyani, 2007). Hasil pengukuran pH pada periode penyimpanan yang berbeda dan perubahannya dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Nilai pH Sosis Frankfurter selama Periode Penyimpanan Periode penyimpanan Perlakuan Rosela-Angkak Nitrit H0 4,873±0,02 a 5,833±0,06c H10 5,073±0,16a 5,911±0,01c H20 5,498±0,01b 6,403±0,15d Keterangan : H0 = analisis sosis hari ke-0, H10 = analisis sosis hari ke-10, H20 = analisis sosis hari ke20. Superscript yang berbeda pada perlakuan jenis pengawet dan periode penyimpanan yang berbeda menunjukkan pengaruh nyata terhadap pH sosis (P<0,05). Analisis ragam menyatakan bahwa lama simpan dan jenis pengawet berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pH sosis. Interaksi antara faktor lama simpan dengan jenis pengawet tidak terjadi. Berdasarkan Tabel 6 di atas dapat dilihat bahwa nilai pH pada produk sosis frankfurter baik yang ditambahkan rosela-angkak maupun yang ditambahkan nitrit mengalami peningkatan (P<0,05) pada periode penyimpanan hari ke-20. Peningkatan pH sosis ini dapat disebabkan oleh pH pada antosianin mengalami peningkatan. Menurut Retno et al. (1999), penyimpanan rosela selama tujuh hari pada suhu dingin menyebabkan kenaikan nilai pH, tetapi tidak menyebabkan penurunan knsentrasi antosianin. Penyebab lain ialah meningkatnya jumlah asam laktat pada sosis frankfurter yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat yang hidup pada sosis. Hal ini didasari oleh hasil analisa koloni bakteri asam laktat yang dilakukan pada penelitian ini yang menunjukkan bahwa terdapat koloni bakteri asam laktat yang hidup pada sosis frankfurter ini, baik pada sosis yang menggunakan rosela-angkak maupun pada sosis yang menggunakan nitrit. Menurut penelitian Dewanti (2009), peningkatan nilai pH diakibatkan oleh adanya reaksi antara protein dengan asam dan menghasilkan amonia yang bersifat basa. Akumulasi asam laktat akan mendegradasi protein dalam sosis dan menghasilkan amonia. Bakteri asam laktat ini juga berasal dari daging segarnya sendiri sejak sebelum diolah menjadi sosis frankfurter. Nilai kisaran pH sosis frankfurter dan suhu yang digunakan dalam penelitian ini (±5 oC) mendukung pernyataan Jay (1996) yaitu bahwa bakteri asam laktat bersifat mesofilik dan termofilik, beberapa dapat tumbuh pada suhu 5 oC dan suhu maksimum 45 oC, dapat bertahan pada pH 3,2 dan pada pH yang lebih tinggi 9,6 serta beberapa bakteri asam laktat dapat tumbuh pada kisaran pH yang sangat sempit (4,0-4,5). Kisaran nilai pH sosis rosela-angkak pada penelitian ini ialah 4,87-5,49. Nilai ini lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian Liana (2010) yang serupa dengan penelitian ini yaitu terdapat pada kisaran 5,85-5,91. Hal ini dapat dikarenakan perbedaan pH daging segar yang digunakan untuk membuat sosis. Pada penelitian Liana (2010), pH daging segar yang digunakan yaitu ±5,4, sedangkan pada penelitian ini, pH daging yang digunakan ialah ±5,1 yang mungkin disebabkan oleh jumlah asam laktat, yang dihasilkan bakteri asam laktat, pada masing-masing daging segar yang digunakan berbeda. Penelitian Syudhli (2010) menyatakan bahwa populasi total mikroba yang tinggi kemungkinan disebabkan oleh adanya bakteri asam laktat alami pada daging dan bakteri pencemar lain yang mengkontaminasi daging selama proses pemotongan ternak di RPH, distribusi dan penjualan di pasar. Dengan kisaran pH yang agak rendah, sulit untuk memasukan pH sosis ini ke dalam pH kisaran sebab menurut Rust (1977), produk olahan daging seperti sosis memiliki nilai pH berkisar antara 5,8-6,2. Berdasarkan hasil penelitian Justiawan (1997) sosis dengan 2,5 gram angkak nilai pH nya adalah 6,06. Nilai pH pada penelitian ini lebih rendah, karena sosis dalam penelitian ini tidak hanya ditambahkan dengan angkak tetapi juga ditambah rosella yang bersifat asam. Liana (2010) menyatakan bahwa kombinasi angkak dan rosela dapat menggantikan penggunaan nitrit. Nilai pH yang didapatkan berada diantara nilai kisaran pH produk olahan sosis. Hal ini dapat terjadi karena terdapat perbedaan sifat dari kedua jenis bahan tambahan alami tersebut. Rosela yang memiliki rasa asam memiliki nilai pH normal jauh di bawah 7, yaitu 24, sedangkan angkak yang berasa pahit memiliki sifat basa dan nilai pH-nya di atas 30 7, yaitu 9,2 (Sutrisno, 1987). Nilai pH yang didapatkan pada sosis yang mengalami perlakuan ini lebih cenderung pada pH asam, karena kadar penambahan rosela yang lebih banyak (1%) dibandingkan dengan kadar penambahan angkak (0,75%). Liana (2010) menambahkan, kombinasi antara dua bahan tersebut merupakan salah satu penyebab berpengaruhnya pH dalam hasil penelitian sosis frankfurter ini, karena pH keduanya saling menutupi. Nilai Daya Serap Air (DSA) Sosis Frankfurter Nilai rataan DSA sosis dan perubahannya selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 7. Muchtadi dan Sugiono (1992) menyatakan bahwa daya serap air (DSA) menunjukan kemampuan daging untuk mengikat air bebas. Sifat ini sangat penting dalam pembuatan produk emulsi daging, seperti sosis dan bakso. Produk sosis dan bakso diperlukan DSA yang tinggi. Tabel 7. Nilai Rataan DSA Sosis Frankfurter selama Periode Penyimpanan Periode Penyimpanan Perlakuan Rosela-Angkak (%) a Nitrit (%) 7,083±2,89c H0 6,667±1,91 H10 11,667±2,31b 10,333±1,61d H20 -* 13,750±2,17e Keterangan : Superscript yang berbeda pada perlakuan jenis pengawet dan periode penyimpanan yang berbeda menunjukkan pengaruh nyata terhadap DSA sosis (P<0,05). -*) tidak dapat dianalisis. Nilai rataan DSA sosis dengan campuran rosela dan angkak pada hari ke-0 penyimpanan lebih rendah (P<0,05) dibandingkan nilai DSA sosis dengan nitrit. Nilai DSA sosis dipengaruhi oleh pH sosis itu sendiri (Abadi, 2004). Nilai pH sosis hari ke-0 dengan penambahan rosela dan angkak memiliki rataan sebesar 4,873±0,02 yang berada di bawah pH isoelektrik protein daging yaitu 5,4-5,5. Pada saat pH lebih rendah dari titik isoelektrik protein daging akan terjadi kelebihan muatan positif yang mengakibatkan penolakan miofilamen dan akan memberi ruang yang lebih banyak bagi molekul-molekul air. Sosis dengan campuran nitrit memiliki nilai pH yang lebih tinggi daripada sosis dengan campuran rosela-angkak. Nilai pH yang dimiliki sosis dengan campuran nitrit berada di atas pH titik isoelektrik protein daging. Pada pH yang lebih tinggi dari pH isolektrik protein daging, sejumlah muatan positif 31 dibebaskan dan terdapat surplus muatan negatif yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul air (Soeparno, 2005). Hasil analisis DSA sosis hari ke-10 menunjukkan terjadinya kenaikan (P<0,05) pada kedua jenis sosis. Nilai DSA sosis dengan penambahan rosela-angkak mengalami kenaikan menjadi 11,667±2,31%, sedangkan nilai DSA sosis dengan nitrit menjadi 10,333±1,61%. Hal ini disebabkan oleh kandungan air yang terdapat di dalam kedua jenis sosis tersebut telah berkurang yang ditunjukkan dengan mengeringnya kedua jenis sampel sosis tersebut. Mengeringnya sampel sosis disebabkan oleh rendahnya RH pada kondisi refrigerasi sehingga air yang terdapat di dalam sosis menguap ke lingkungan sekitar. Penyebab lain ialah terjadinya retrogradasi pati. Retrogradasi pati terjadi pada pati yang terdispersi dalam air yang telah mengalami gelatinisasi. Proses retrogradasi menyebabkan air keluar dari jaringan polimer pasta pati (Manulang, 1990). Dapat dilihat pula sosis dengan nitrit pada hari penyimpanan ke-10 memiliki nilai DSA yang lebih rendah (P<0,05) dibandingkan dengan sosis dengan penambahan rosela-angkak. Kenaikan nilai DSA sosis dengan nitrit pada hari penyimpanan ke-10 lebih rendah dibanding sosis dengan penambahan rosela-angkak (selisih 3,25 untuk sosis nitrit dan 5 untuk sosis dengan campuran rosela-angkak). Artinya sosis dengan rosela-angkak lebih kering atau kehilangan lebih banyak air selama penyimpanan. Analisis DSA sosis frankfurter pada hari ke-20 menunjukkan bahwa sosis dengan penambahan rosela dan angkak tidak dapat diperoleh hasilnya karena sampel sudah kering sehingga terdapat bagian yang mengambang pada tabung eppendorf yang digunakan untuk menganalisis DSA sosis. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5. Hasil analisis DSA sosis dengan penambahan nitrit hari ke-20 mengalami kenaikan (P<0,05) dibandingkan sosis hari ke-0 dan ke-10. Peningkatan nilai DSA ini juga disertai dengan meningkatnya nilai pH sosis pada periode penyimpanan ke20. Nilai pH sosis frankfurter serta perubahannya selama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 6. Menurut Soeparno (2005), pada pH yang lebih tinggi dari pH isolektrik protein daging, sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus muatan negatif yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul air. Sampel sosis yang sangat kering juga menyebabkan 32 meningkatnya daya serap sosis. Keringnya sampel disebabkan oleh retrogradasi pati dan rendahnya kelembaban di dalam refrigerator. Peningkatan nilai pH sosis itu sendiri yakni menjadi 6,403±0,15 (Tabel 6). a b Gambar 5. Gambar Analisis DSA Sosis Frankfurters pada Hari ke-20 Keterangan: a. Sampel yang berwarna terang ialah sosis dengan penambahan nitrit dan sampel yang berwarna kemerahan ialah sosis dengan penambahan rosela 1% dan angkak 0,75% b. Bagian sampel yang mengambang dapat terlihat berada diatas permukaan air di dalam tabung eppendorf Nilai Kekenyalan Sosis Frankfurter Kekenyalan adalah sifat fisik produk dalam hal daya tahan untuk tidak pecah akibat gaya tekan. Sifat kenyal atau elastis merupakan sifat reologi pada produk pangan plastis yang bersifat deformasi (Indriyani, 2007). Nilai rataan kekenyalan sosis dan perubahannya selama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Nilai Rataan Kekenyalan Sosis Frankfurter selama Periode Penyimpanan Periode penyimpanan Perlakuan Rosela-Angkak (%) a Nitrit (%) 38,606±4,54b H0 29,871±6,54 H10 -* 15,530±5,09c H20 -* -* Keterangan: Superscript yang berbeda pada perlakuan jenis pengawet dan periode penyimpanan yang berbeda menunjukkan pengaruh nyata terhadap kekenyalan sosis (P<0,05). -*) tidak dapat dianalisis. Lama simpan dan jenis pengawet berpengaruh nyata terhadap kekenyalan sosis. Nilai kekenyalan sosis frankfurter dengan campuran rosela dan angkak pada periode penyimpanan hari ke-0 menunjukkan nilai yang lebih rendah (P<0,05) daripada nilai kekenyalan sosis dengan penambahan nitrit. Tingkat kekenyalan 33 menunjukkan tekstur yang berhubungan dengan struktur otot daging dan jumlah air dalam sosis serta dipengaruhi oleh bahan-bahan yang ditambahkan pada proses pembuatan sosis. Pada sosis dengan penambahan rosela dan angkak, sosis lebih lembek dibandingkan sosis dengan penambahan nitrit. Kekenyalan pada produk emulsi dapat dipengaruhi oleh air yang ditambahkan pada saat rehidrasi. Jika ditinjau dari jumlah bahan-bahan yang digunakan untuk membuat kedua jenis sosis ini, maka tidak akan ditemukan adanya perbedaan terutama pada jumlah STPP, es dan tepung tapioka yang merupakan bahan penentu dari tingkat kekenyalan sosis itu sendiri kecuali pada penambahan kombinasi rosellaangkak dan nitrit. Pada sosis dengan penambahan rosela dan angkak dilakukan pengenceran terhadap bubuk rosela dan angkak terlebih dahulu sebelum ditambahkan ke dalam adonan sosis. Penambahan air pada proses pengenceran bubuk rosela dan angkak ini yang dapat mengakibatkan sosis dengan penambahan rosela dan angkak ini menjadi lebih lembek daripada sosis dengan penambahan nitrit. Penambahan air yang terlalu banyak akan menghasilkan sosis yang terlalu lembek (Indriyani, 2007). Analisa nilai kekenyalan sosis dengan campuran rosela dan angkak untuk periode hari ke-10 tidak dapat dilakukan lagi. Mesin Instron tipe 5542 yang digunakan untuk mengukur kekenyalan sosis tidak dapat mengukur kekenyalan sosis lagi. Hal ini dikarenakan sosis dengan penambahan rosela dan angkak sudah terlalu keras untuk dianalisa tingkat kekenyalannya dengan alat Instron tipe 5542 tersebut sehingga diputuskan analisa terhadap kekenyalan sosis rosela-angkak pada penelitian ini tidak dilanjutkan lagi. Analisa kekenyalan sosis dengan penambahan nitrit masih dapat dilaksanakan. Hasil yang didapat dari analisa kekenyalannya ialah nilai kekenyalan sosis menurun menjadi 15,530 % (P<0,05) dibandingkan dengan analisa hari ke-0. Ini juga disebabkan oleh mengerasnya sampel sosis karena penyimpanan dingin di referigerator. Pendinginan dilakukan dengan tujuan untuk menghambat terjadinya proses kerusakan yang menyebabkan terjadinya kemunduran mutu pada bahan pangan. Akan tetapi, produk pangan pasti mengalami penyimpangan dari mutu awalnya atau yang biasa disebut dengan deteriorasi. Deteriorasi terjadi segera setelah produk pangan diproduksi. Reaksi deteriorasi dimulai dengan persentuhan produk dengan udara, oksigen, uap air, cahaya atau akibat perubahan suhu. Reaksi ini juga dapat 34 diawali oleh hentakan mekanis seperti vibrasi dan kompresi (Arpah, 2001). Tingkat deteriorasi produk dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan, sedangkan laju deteriorasi dipengaruhi oleh kondisi lingkungan penyimpanan. Reaksi deteriorasi pada produk pangan dapat disebabkan oleh faktor intrinsik maupun ekstrinsik yang selanjutnya akan memicu reaksi di dalam produk berupa reaksi kimia, reaksi enzimatis atau lainnya seperti proses fisika dalam bentuk penyerapan uap air atau gas dari sekeliling. Ini akan menyebabkan perubahanperubahan terhadap produk yang meliputi: perubahan tekstur, flavor, warna, penampilan fisik, nilai gizi dan lain-lain (Arpah, 2001). Pengaruh beberapa faktor terhadap reaksi deteriorasi pada produk pangan disajikan pada Tabel 5. Mengerasnya sosis seiring meningkatnya lama penyimpanan sosis pada penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh salah satu reaksi kimiawi dari pati yang terdapat dalam sosis frankfurter. Reaksi yang diduga terjadi pada sosis frankfurter ini ialah retrogradasi pati. Retrogradasi pati terjadi pada pati yang terdispersi dalam air yang telah mengalami gelatinisasi. Saat pati dipanaskan dan terdispersi dengan air, struktur kristal molekul amilosa dan amilopektin hancur dan terhidrasi menjadi solusi yang kental atau menjadi pasta. Molekul-molekul amilosa akan terus terdispersi apabila pasta pati tetap dalam keadaan panas. Dalam kondisi panas, pasta masih memiliki kemampuan untuk mengalir yang fleksibel. Bila pasta kemudian mendingin, energi kinetik tidak lagi cukup tinggi untuk melawan kecenderungan molekul-molekul amilosa untuk bersatu kembali. Molekul-molekul amilosa berikatan kembali satu sama lain dan berikatan dengan cabang amilopektin pada pinggirpinggir luar granula. Dengan demikian mereka menggabungkan butir-butir pati yang membengkak itu menjadi semacam jaring-jaring membentuk mikrokristal dan mengendap. Pada suhu -8oC - +8oC, reaksi ini dapat terjadi lebih cepat. Dalam penelitian ini, sosis frankfurter yang telah disimpan di lemari pendingin di atas sepuluh hari dengan suhu 4 oC menjadi keras dan ukurannya pun menjadi lebih kecil dari ukurannya pada saat hari pertama atau hari dimana sosis frankfurter tersebut dibuat. Hal ini dapat terjadi karena air keluar dari sosis frankfurter tersebut. Proses retrogradasi menyebabkan air keluar dari jaringan polimer pasta pati tersebut. Pada pati yang dipanaskan dan telah dingin kembali, sebagian airnya masih berada di bagian luar granula yang membengkak. Sebagian air pada pasta yang telah dimasak 35 berada dalam rongga-rongga jaringan yang terbentuk dari butir pati dan endapan amilosa. Bila gel disimpan selama beberapa hari, air dapat keluar dari bahan. Keluarnya atau merembesnya cairan dari suatu gel pati disebut dengan sineresis (Manulang, 1990). Uji Organoleptik Sosis Frankfurter Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji mutu hedonik terhadap sampel sosis yang terdiri dari sosis yang berumur nol, sepuluh, dan dua puluh hari penyimpanan. Uji mutu hedonik dalam penelitian ini menggunakan 30 orang panelis semi terlatih. Parameter yang dinilai adalah warna, bau, lendir, kekenyalan, dan tekstur. Hasil uji mutu hedonik sosis frankfurter dapat dilihat pada Tabel 9 untuk nilai rataannya. Tabel 9. Nilai Rataan Uji Mutu Hedonik Sosis Frankfurters dengan Perlakuan Pemberian Nitrit dan Kombinasi Rosella dan Angkak pada Periode Penyimpanan yang Berbeda H0 Parameter Perlakuan H10 RoselaNitrit angkak a 4±0,7 2,9±0,7b 3,9±0,7a Roselaangkak 3,3±0,7b H20 Warna 3,8±0,6a Roselaangkak 2,4±0,8b Bau 4,1±0,7 3,8±0,9 4±0,7 3,8±0,9 3,7±0,7a 3,1±1,1b Lendir 3,8±0,8 3,6±0,8 3,9±0,8a 3,4±0,8b 3,9±0,6a 3±1,2b Kekenyalan 3,3±0,9 3,5±0,9 3,1±1,1 3,3±0,9 3±1,1 2,7±0,9 Tekstur 3,7±0,8 3,3±0,9 3,7±0,9 3,2±0,9 3,7±0,9a 3,1±0,9b Nitrit Nitrit Keterangan: Skor nilai mutu dimulai dari nilai 1 (sangat gelap/sangat tengik/sangat berlendir/sangat tidak kenyal/sangat kasar), 2 (gelap/tengik/berlendir/tidak kenyal/kasar), 3 (agak gelap/agak tengik/agak berlendir/agak kenyal/agak halus), 4 (pucat/tidak tengik/tidak berlendir/kenyal/halus) sampai nilai 5 (sangat pucat/sangat tidak tengik/sangat tidak berlendir/sangat kenyal/sangat halus). Penilaian Organoleptik Sosis Frankfurter Sebelum Simpan Hasil penilaian uji mutu hedonik sosis frankfurter berdasarkan penilaian tiga puluh orang panelis menunjukkan angka rataan 3,8 (agak pucat) untuk sosis nitrit dan 2,4 (gelap) untuk sosis kombinasi rosela-angkak. Secara visual, kedua jenis kombinasi sosis tersebut masing-masing dapat dilihat pada tampilan Gambar 6. 36 Gambar 6 menunjukkan perbedaan warna yang dimiliki oleh masing-masing jenis sosis. Hal ini disebabkan oleh perbedaan bahan pengawet tambahan yang digunakan dalam proses pembuatannya. Gambar 6.a memliki warna merah yang jauh lebih gelap dibandingkan sosis pada gambar 6.b yang berwarna merah terang. Sosis pada gambar 6.a ditambahkan bubuk rosela dan angkak, sedangkan sosis pada gambar 6.b menggunakan nitrit. Warna gelap sosis kombinasi rosela-angkak disebabkan oleh penggunaan bahan tambahan yang digunakan untuk sosis itu sendiri yaitu rosela yang alaminya berwarna merah dan angkak yang berwarna merah gelap cenderung ke ungu. Hal ini serupa dengan penelitian Bloukas et al. (1998) dimana sosis frankfurter dengan bahan pewarna alami memiliki warna adonan yang lebih gelap dibandingkan dengan warna adonan sosis frankfurter yang menggunakan nitrit. a b Gambar 6. Sosis Frankfurter Keterangan: 6.a=Sosis Frankfurter dengan penambahan kombinasi 1% rosela : 0,75% angkak; 6.b=Sosis Frankfurter dengan penambahan nitrit. Parameter berikutnya yaitu bau tengik yang terdapat pada sosis. Hasil uji organoleptik menunjukkan angka rataan 4,1 (tidak tengik) untuk sosis nitrit dan 3,8 (tidak tengik) untuk sosis kombinasi rosela-angkak. Hal ini dikarenakan sosis belum mengalami penyimpanan sehingga kerusakan pun masih sangat kecil. Parameterparameter lain yang diujikan yaitu lendir, kekenyalan dan tekstur sosis. Uji organoleptik untuk lendir pada sosis menunjukkan angka rataan 3,8 (tidak berlendir) untuk sosis nitrit dan 3,6 (tidak berlendir) untuk sosis kombinasi rosela-angkak. Ini dikarenakan sosis belum mengalami deteriorasi yang berarti segera setelah pemasakan. Uji berikutnya yaitu uji kekenyalan sosis. Angka rataan menunjukkan 37 3,3 (agak kenyal) untuk sosis nitrit dan 3,5 (kenyal) untuk sosis kombinasi roselaangkak yang berarti sosis nitrit agak kenyal dan sosis kombinasi rosela-angkak lebih kenyal dibandingkan dengan sosis nitrit. Parameter terakhir yang termasuk dalam uji mutu hedonik untuk sosis frankfurter ini ialah tekstur sosis. Angka rataan menunjukkan 3,7 (agak halus) untuk sosis nitrit dan 3,3 (halus) untuk sosis kombinasi rosela-angkak. Ini berarti sosis nitrit memiliki tekstur yang sedikit lebih kasar jika dibandingkan dengan sosis kombinasi rosela-angkak. Hal ini disebabkan oleh sosis nitrit memiliki kandungan air yang sedikit lebih rendah dibandingkan sosis kombinasi rosela-angkak. Pada prosesnya, sosis kombinasi rosela-angkak menggunakan sedikit air untuk mengencerkan bubuk rosela dan bubuk angkak sebelum dicampurkan dengan adonan sosis sehingga kandungan air menjadi sedikit lebih banyak jika dibandingkan dengan sosis nitrit. Pada sosis nitrit, bubuk nitrit dimasukkan langsung dan tidak diencerkan terlebih dahulu sehingga tidak terjadi penambahan air pada adonan. Hal ini pula yang menyebabkan sosis nitrit agak lebih keras dibanding sosis kombinasi rosela-angkak. Penilaian Organoleptik Sosis Frankfurter Hari Penyimpanan ke-10 Hasil uji mutu hedonik sosis frankfurter dengan penambahan nitrit dan kombinasi rosela-angkak pada hari penyimpanan ke-10 menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan berarti pada semua parameter yang diujikan. Angka rataan hasil uji organoleptik untuk warna sosis menunjuk pada angka 4 (agak pucat) untuk sosis nitrit dan 2,9 (gelap) untuk sosis kombinasi rosela-angkak. Uji berikutnya yaitu bau kedua jenis sosis. Hasil uji nilai mutu hedonik menunjukkan angka rataan yang tidak jauh berbeda pula dengan hari penyimpanan sebelumnya yaitu 4 (tidak tengik) untuk sosis nitrit dan 3,8 (tidak tengik) untuk sosis kombinasi rosela-angkak. Uji yang dilakukan selanjutnya yaitu terhadap lendir, kekenyalan dan tekstur sosis frankfurter. Uji mutu hedonik terhadap lendir yang terdapat pada sosis menunjukkan angka rataan 3,9 (tidak berlendir) untuk sosis nitrit dan 3,4 (agak berlendir) untuk sosis kombinasi rosela-angkak. Lendir pada makanan dapat disebabkan oleh keberadaan mikroorganisme pada makanan tersebut, khususnya pada permukaannya saja. Hal ini didukung hasil uji mikrobiologi yang juga dilakukan pada penelitian ini yang menunjukkan masih terdapatnya mikroorganisme pada sosis dengan penambahan kombinasi bubuk rosela-angkak pada hari 38 penyimpanan di atas 10 hari. Sedangkan untuk sosis dengan penambahan nitrit tidak ditemukan lagi koloni mikroorganisme yang dapat dihitung (lihat pada Tabel 11). Parameter berikutnya yang diuji yaitu kekenyalan sosis. Hasil uji hari ke-10 menunjukkan angka rataan 3,1 (agak berlendir) untuk sosis nitrit dan 3,3 (agak berlendir) untuk sosis kombinasi rosela-angkak. Terjadi sedikit perubahan pada penilaian panelis terhadap kedua jenis sosis ini. Angka rataan yang ditunjukkan oleh kedua jenis sosis yang diujikan menunjukan sedikit penurunan nilai. Pada hari ke-0, sosis nitrit memiliki angka rataan 3,3 dan sosis kombinasi rosela-angkak memiliki angka rataan 3,5. Hal ini diduga karena sosis yang telah disimpan dalam refrigerator pada suhu ± 4 oC telah mengalami penurunan nilai kadar air dan terjadinya reaksi retrogradasi pati seperti yang telah dijelaskan dalam hasil uji fisik terhadap kekenyalan sosis. Nilai rataan kekenyalan sosis dan perubahannya selama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 8. Parameter terakhir yang diuji dalam uji mutu hedonik sosis frankfurter ini yaitu tekstur sosis. Sama halnya dengan kebanyakan hasil uji parameter-parameter lainnya, uji organoleptik untuk tekstur sosis tidak mengalami perubahan berarti. Angka rataan untuk sosis nitrit menunjukkan angka 3,7 (halus), sedangkan angka rataan hasil uji organoleptik terhadap sosis kombinasi rosela-angkak menunjukkan angka 3,2 (agak halus). Penilaian Organoleptik Sosis Frankfurter Hari Penyimpanan ke-20 Pengujian mutu hedonik terhadap warna sosis frankfurter menunjukkan angka rataan 3,9 (pucat) dan 3,3 (agak gelap). Untuk uji terhadap bau sosis, hasil uji mutu hedoniknya menunjukkan angka rataan 3,7 (tidak tengik) untuk sosis dengan penambahan nitrit dan 3,1 (agak tengik) untuk sosis dengan penambahan kombinasi bubuk rosela-angkak. Hasil rataan ini menunjukkan bahwa terdapat sedikit perubahan bau pada sosis rosela-angkak yang telah disimpan selama 20 hari tersebut. Pada sosis dengan penambahan kombinasi bubuk rosela-angkak nitrit yang berumur 10 hari, angka rataan hasil ujinya adalah 3,8 (tidak tengik). Hal ini berarti mulai tercium bau tengik dari sosis yang disimpan selama 20 hari tersebut. Menurut penelitian Dewanti (2009), semakin panjang masa simpan bahan makanan dalam refrigerator, maka semakin menurun daya terima sensori (bau dan penampilan umum) bahan makanan dengan atau tanpa perlakuan apapun. Penyimpangan dari 39 mutu awalnya atau yang biasa disebut dengan deteriorasi terjadi segera setelah produk pangan diproduksi. Reaksi deteriorasi dimulai dengan persentuhan produk dengan udara, oksigen, uap air, cahaya atau akibat perubahan suhu. Reaksi ini juga dapat diawali oleh hentakan mekanis seperti vibrasi dan kompresi (Arpah, 2001). Tingkat deteriorasi produk dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan, sedangkan laju deteriorasi dipengaruhi oleh kondisi lingkungan penyimpanan. Uji berikutnya yaitu lendir yang terdapat pada sosis. Pada sosis dengan penambahan nitrit, angka rataan uji mutu hedoniknya menunjukkan angka 3,9 (tidak berlendir), sama dengan nilai pada uji hari ke-10. Sedangkan hasil uji untuk lendir pada sosis dengan kombinasi bubuk rosela-angkak menunjukkan angka rataan 3 (agak berlendir). Untuk uji kekenyalan, hasil uji mutu hedonik angka 3 (agak kenyal), sedangkan sosis dengan penambahan rosela-angkak menunjukkan hasil rataan sebesar 2,7 (agak kenyal). Uji terakhir yaitu uji terhadap teksturnya. Hasil uji untuk tekstur ini menunjukkan angka rataan yang sama dengan uji hari ke 10 yaitu 3,7 (halus), sedangkan untuk sosis dengan penambahan kombinasi bubuk roselaangkak ialah 3,1 (agak halus). Kualitas Mikrobiologis Daging Daging sebagai bahan baku dalam pembuatan sosis daging sapi memiliki pengaruh yang besar dalam menentukan kualitas dari produk sosis itu sendiri. Besarnya pengaruh dari daging sebagai bahan baku pembuatan sosis itu sendiri ialah kemampuannya mengikat air dan mengemulsi lemak. Wilson et al. (1981) menjelaskan bahwa daging digunakan sebagai bahan baku pada pembuatan sosis karena memiliki daya ikat terhadap air dan memiliki daya mengemulsi lemak. Sifat inilah yang membuat daging perlu diwaspadai kualitasnya, khususnya dalam hal ini ialah kualitas mikrobiologinya demi menjamin keamanan dari produk sosis itu sendiri. Uji mikrobiologi pun dilakukan dalam penelitian ini untuk mengetahui populasi bakteri pada daging mentah sebelum daging itu diolah, yaitu uji Total Plate Count (TPC) dan E. Coli pada daging tersebut. Kualitas mikrobiologi daging sapi dapat dilihat pada Tabel 10. Data yang ditunjukkan pada Tabel 10 menunjukkan bahwa cemaran yang terjadi pada daging mentah segar jauh di atas standar yang diberikan oleh SNI NO 40 01-6366-2000 yaitu 1 x 104 cfu/g atau 4 log cfu/g untuk total mikroba dan 5 x 101 cfu/g atau 1,699 log cfu/g untuk E. Coli. Tabel 10. Hasil Analisis Mikrobiologi pada Daging Segar Peubah Jumlah (log cfu/gram) TPC E.coli 6,720 2,462 Penelitian Syudhli (2010), menyatakan bahwa populasi total mikroba yang tinggi kemungkinan disebabkan oleh adanya bakteri asam laktat alami pada daging dan bakteri pencemar lain yang mengkontaminasi daging selama proses pemotongan ternak di RPH, distribusi dan penjualan di pasar. Tingginya populasi E. coli yang terdapat pada daging menunjukkan bahwa tingkat sanitasi selama proses pemotongan di RPH, distribusi dan penjualan sangat rendah. Menurut Salle (1961), E. coli merupakan flora normal yang hidup dalam saluran pencernaan manusia dan hewan dan sel bakteri ini terdapat pada feses dan air yang terkontaminasi oleh feses. Escherischia coli telah dipergunakan sebagai acuan tingkat cemaran pada pangan seperti yang dinyatakan oleh Gamman dan Sherington (1990) bahwa E. coli digunakan sebagai organisme indikator, karena jika terdapat dalam jumlah yang banyak menunjukkan bahwa pangan atau air telah mengalami pencemaran. Bakteri asam laktat (BAL) merupakan mikroflora normal yang berada dalam daging yang dapat disebabkan oleh kontaminasi selama pengolahan. Bakteri asam laktat dapat memfermentasi karbohidrat menjadi asam laktat sehingga dapat menyebabkan turunnya pH daging. Turunnya pH daging dapat membantu menekan pertumbuhan bakteri patogen pembusuk yang ada (Fardiaz, 1992). Bakteri asam laktat termasuk bakteri gram positif, tidak berspora, selnya berbentuk batang atau bulat, baik tunggal, berpasangan maupun berantai dan kadang berbentuk tetrad (Banwart, 1983). Kebanyakan nilai bakteri dapat berkembang biak pada pH optimum yaitu pH netral (pH 7,0). Nilai pH daging segar pada saat pemotongan biasanya berkisar antara 5,3-6,5. Beberapa tipe mikroorganisme dapat memulai pertumbuhan pada kisaran pH tersebut, tapi telah ditunjukkan bahwa daging pada pH 6,5 akan lebih cepat membusuk dibandingkan daging pada keadaan pH 5,3 (Price dan Schweigert, 1971). 41 Kualitas Mikrobiologis Sosis Frankfurter Selama Masa Penyimpanan Sosis adalah produk makanan yang diperoleh dari campuran daging halus dengan tepung atau pati dengan atau tanpa penambahan bumbu-bumbu dan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan dan dimasukan ke dalam selongsong sosis (Dewan Standarisasi Nasional, 1995). Berdasarkan definisi tersebut juga maka sosis merupakan salah satu pangan yang dapat dengan mudah mengalami kerusakan baik mikrobiologis maupun fisik. Kerusakan sosis secara mikrobiologis disebabkan oleh mikroorganisme yang merusak daging yang dapat berasal dari infeksi dan ternak hidup serta kontaminasi daging postmortem (Soeparno, 2005). Mikroorganisme yang berasal dari para pekerja RPH, antara lain adalah Salmonella, Shigella, E. coli, Bacillus proteus, Staphylococcus albus dan Staphylococcus aureus, Clostridium walchii, Bacillus cereus dan Streptococcus dari feses (Lawrie, 2003). Clostridium botulinum yang berasal dari tanah juga dapat mengkontaminasi daging atau karkas (Soeparno, 2005). Jenis bahan pengawet yang pada umumnya digunakan pada berbagai jenis pangan olahan yang berbahan dasar daging ialah nitrit. Fungsi utama nitrit dalam pembuatan sosis adalah untuk memperbaiki warna daging. Perbaikan warna daging untuk sosis masak dianjurkan penggunaannya sebanyak 3-50 ppm (Ockerman, 1983). Nitrit bila berikatan dengan amino dan amida dapat membentuk turunan nitrosamin (Husni et al., 2007). Menurut Soeparno (2005), nitrosamin merupakan senyawa kimia yang bersifat karsinogenik. Nitrosamin dapat terbentuk di dalam bahan-bahan makanan tertentu seperti daging cured yang mengandung nitrit, bila nitrit membentuk grup nitroso (-N=O) yang secara kimiawi terikat pada atom nitrogen amonia pada senyawa organik tertentu, misalnya amonia-amonia sekunder (-NR2H). Pembentukan nitrosamin dalam produk daging proses dapat dicegah jika nitrit tidak ditambahkan di dalam campuran produk. Berdasarkan hal inilah mengapa perlu dicari bahan pengawet dan pewarna lain yang sifatnya jauh lebih aman dan alami sehingga meningkatkan keamanan pangan yang akan dikonsumsi. Penggunaan kombinasi bubuk rosela dan angkak diharapkan dapat menggantikan nitrit yang selama ini digunakan sebagai bahan pengawet pada sebagian besar bahan pangan olahan yang berbahan dasar daging. Angkak kerap kali digunakan sebagai bahan pewarna makanan seperti anggur, keju, kedelai, sayuran, 42 pasta ikan dan kecap ikan. Menurut Wong dan Koehler (1981), angkak dapat pula digunakan untuk mengawetkan daging karena mempunyai sifat antibakteri dan komponen aktif yang bertanggung jawab atas penghambatan bakteri ini adalah monaskidin. Jenie dan Kuswanto (1994) telah membuktikan pada penelitiannya bahwa pigmen angkak dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen, yaitu B. Cereus dan bakteri perusak Pseudomonas sp. Selanjutnya sifat antimikroba dari pigmen angkak ini diterapkan oleh Justiawan (1997) dengan kesimpulan konsentrasi pigmen angkak 7,5 g cukup efektif dalam menghambat pertumbuhan sel bakteri B. stearothermophilus bahkan konsentrasi 40 ppm nitrit yang dimodifikasi dengan 5,0 g angkak lebih baik penghambatannya daripada konsentrasi 125 ppm nitrit. Penambahan angkak sebesar 0,75% pada penelitian ini mengacu pada hasil penelitian Justiawan (1997) tersebut. Mekanisme penghambatan bakteri oleh monaskidin menurut Justiawan (1997), pada prinsipnya sama dengan mekanisme penghambatan oleh antimikroba lainnya, yaitu menghambat sintesa komponen penyusun dinding sel, sehingga menyebabkan dinding sel tersebut mudah mengalami lisis dikarenakan telah terbentuk suatu struktur tanpa dinding sel yang disebut protoplast. Sama halnya dengan angkak, rosela dapat memberikan warna merah pada sosis serta memiliki substrat antimikroba pada pigmennya yang dapat membantu menggantikan tugas nitrtit dalam mengawetkan pangan olahan yang berbahan dasar daging. Menurut Maryani dan Kristiana (2005), pemanfaatan tanaman rosela berkaitan dengan fungsinya sebagai antimikroba telah dibuktikan melalui penelitian bahwa kandungan senyawa kimia rosela dapat mematikan bakteri Mycobacterium tuberculosis yaitu bakteri penyebab penyakit TBC. Kandungan senyawa kimia tersebut antara lain campuran asam sitrat dan asam malat, anthocianin (Hydroxyflavone) dan hibiscin, asam askorbat, flavonol glucoside hibiscritin, flavonoid gossypetine, hibiscetine dan sabdaretine, delphinidine 3-monoglucoside, cyanidin 3-monoglucoside,serta delphinidine (Wianti et al., 2008). Antosianin merupakan pigmen alami yang memberi warna merah pada kelopak bunga rosella dan mempunyai sifat antioksidan yang kuat. Kandungan asam askorbat dan betakarotin merupakan sumber antioksidan yang sangat efektif dalam menangkal berbagai radikal bebas. Kelopak kering bunga rosella menghasilkan 1,5 % (b/b) 43 pigmen antosianin (Gradinaru et al., 2003). Antosianin sangat stabil pada pH rendah (2-4) dan berwarna merah, pada pH 4-6 antosianin berwarna ungu, pada pH 7-8 berwarna biru, dan kemudian berwarna kuning pada pH>8 (Branen et al., 2002). Jumlah Total Plate Count (TPC) pada Sosis Frankfurter Selama Penyimpanan Kualitas mikrobiologi dari sosis frankfurter pada penelitian ini dapat dilihat dari jumlah total mikroba (TPC) yang terkandung di dalamnya. Hasil analisis total populasi mikroba dari sosis serta perubahannya selama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Perubahan Jumlah TPC pada Sosis selama Penyimpanan Perlakuan Lama simpan H0 H10 H20 --------------------Log (cfu/g)-----------------Rosela-angkak 5,28±0,24a 1,51±2,61b 2,20±3,82c Nitrit 5,36±0,41a <1 <1 Keterangan: Superscript yang berbeda pada kolom periode penyimpanan yang berbeda menunjukkan pengaruh nyata terhadap TPC (P <0,05). Nitrit dan kombinasi bubuk rosela-angkak, tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap total populasi mikroba (TPC) yang terdapat di dalam sosis frankfurter tersebut. Lama simpan merupakan faktor yang berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap total populasi mikroba yang terdapat dalam sosis. Interaksi antara lama simpan dengan jenis pengawet tidak berpengaruh nyata terhadap total populasi mikroba dalam sosis. Hasil analisis Total Plate Count sosis frankfurter mencerminkan jumlah total populasi mikroba yang terdapat di dalam sosis. Tabel 11 menunjukkan perubahan rataan dari populasi total mikroba dalam sosis frankfurter yang terjadi selama proses penyimpanan sosis selama 20 hari pada suhu refrigerator yaitu 4oC ±1oC. Hasil analisis TPC untuk sosis frankfurter pada hari penyimpanan ke 0 menunjukkan angka rataan 5,277 log cfu/g untuk sosis dengan penambahan kombinasi bubuk angkak-rosela dan 5,360 log cfu/g untuk sosis dengan penambahan nitrit. Meskipun angka total mikroba pada sosis dengan penambahan bubuk angkak-rosela masih di atas batas cemaran maksimum yang telah di tetapkan oleh BSN dalam SNI NO 016366-2000 yaitu 1x104 koloni/g, namun angka TPC yang telah didapat menunjukkan 44 bahwa kombinasi dari bubuk angkak dan rosella memiliki kinerja daya hambat terhadap pertumbuhan mikroba yang hampir sama dengan nitrit dan bahkan sedikit lebih baik dari nitrit yang memiliki angka TPC sebesar 5,360 log cfu/g. Hasil penelitian Syudhly (2010) dengan topik utama yang sama dengan penelitian ini juga menunjukkan hal yang hampir serupa. Dalam penelitian Syudhly (2010), angka hasil analisis TPC menunjukan angka 5,57 log cfu/g untuk sosis dengan penambahan nitrit dan 5,24 log cfu/g untuk rataan sosis rosela-angkak. Hal ini didukung oleh hasil analisis ragam yang menunjukkan bahwa jenis bahan pengawet tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap total populasi mikroba (TPC) yang terdapat pada sosis selama periode penyimpanan. Penyebab nilai TPC kedua jenis sosis frankfurters ini lebih tinggi dari batas cemaran maksimum yang telah ditetapkan dalam SNI NO 01-6366-2000 ialah jumlah awal total mikroba yang terdapat pada daging segar yang digunakan. Hasil analisis TPC yang dilakukan pada daging menunjukkan angka 6,720 log cfu/g. Berkurangnya jumlah total populasi mikroba yang terdapat pada sosis dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah proses pemasakan pada suhu yang cukup tinggi untuk membunuh sebagian besar mikroba yang masih terdapat pada sosis, bumbu dan bahan-bahan yang juga memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan mikroba pada makanan, serta bahan pengawet dan pewarna baik yang alami maupun yang kimiawi yang memang berfungsi dan diharapkan untuk menghambat pertumbuhan dari mikroba yang terdapat dalam makanan. Sifat fisik yang juga dapat mempengaruhi total populasi mikroba pada sosis ialah pH-nya. Nilai pH dari kedua jenis sosis pada hari penyimpanan ke-0 ialah sebesar 4,873±0,02 untuk sosis dengan penambahan kombinasi bubuk angkak-rosela dan 5,833±0,06 untuk sosis dengan penambahan nitrit. Berdasarkan data tersebut maka bisa dikatakan bahwa penurunan populasi total mikroba pada sosis disebabkan karena pH yang dimiliki kedua jenis sosis, baik sosis dengan penambahan kombinasi bubuk angkak-rosela maupun sosis dengan penambahan nitrit, cukup rendah untuk menunjang daya hidup dari mikroba pada umumnya. Nilai pH medium sangat mempengaruhi jenis mikroba yang dapat tumbuh. Mikroorganisme umumnya dapat tumbuh pada kisaran pH 3-6. Kebanyakan bakteri memiliki pH optimum yaitu pH untuk pertumbuhan maksimum sekitar 6,5-7,5 (Fardiaz, 1992). Nilai pH sosis dengan 45 penambahan nitrit lebih tinggi daripada pH yang dimiliki oleh sosis dengan penambahan kombinasi bubuk angkak-rosela, yaitu 5,833. Hal ini disebabkan oleh total populasi mikroba pada sosis dengan penambahan nitrit lebih tinggi jika dibandingkan dengan total populasi mikroba pada sosis dengan penambahan kombinasi bubuk angkak-rosela. Hasil analisa Total Plate Count (TPC) kedua jenis sosis untuk hari penyimpanan ke-10 menunjukkan penurunan total populasi mikroba pada kedua jenis sosis tersebut. Angka rataan untuk sosis dengan penambahan kombinasi bubuk rosela-angkak ialah sebesar 1,510 log cfu/g dan hasil analisa TPC untuk sosis dengan penambahan nitrit tidak menunjukkan adanya populasi mikroba yang dapat dihitung (Tabel 11). Penurunan total populasi mikroba pada sosis ini dapat disebabkan oleh mengering atau mengerasnya sosis yang disimpan selama penelitian. Hal ini mengakibatkan semakin rendahnya kadar air di dalam sosis. Semua mikroorganisme memiliki kebutuhan air yang tinggi untuk mendukung pertumbuhan dan aktivitasnya (Marriott, 1989). RH optimal bagi bakteri adalah 92% atau lebih, sedangkan RH di dalam refrigerator bisa sangat rendah saat sedang dalam kondisi tertutup (dapat mencapai 10%), lebih rendah dari yang dibutuhkan oleh mikroba untuk tumbuh. Semakin lama penyimpanan maka sosis atau sampel ini akan semakin mengering. Apabila kadar air semakin rendah maka lingkungan akan semakin tidak kondusif bagi mikroba untuk tumbuh atau melakukan aktivitasnya. Mengeringnya sosis frankfurter dalam penelitian ini juga mungkin disebabkan oleh terjadinya proses retrogradasi pati seperti yang dijelaskan dalam subbab mengenai kekenyalan sosis selama proses penyimpanan di dalam skripsi ini. Hasil analisis hari penyimpanan ke-20 menunjukkan terjadinya sedikit peningkatan pada total populasi sosis dengan penambahan kombinasi bubuk roselaangkak. Angka rataan hasil analisis TPC untuk sosis dengan penambahan kombinasi bubuk rosela dan angkak menjadi 2,203 log cfu/g. Sebelumnya pada analisis TPC untuk hari ke 10, angka rataannya ialah sebesar 1,510 log cfu/g. Hal yang hampir serupa juga didapati pada penelitian Rojsuntornkitti et al. (2010). Total populasi mikroba pada sosis babi fermentasi dengan penambahan angkak pada hari ke 18 mengalami penurunan, sedangkan pada hari 24 mengalami kenaikan populasi, bahkan melebihi jumlah populasi di hari pertama penelitian. Meningkatnya jumlah 46 rataan total populasi mikroba pada sosis dengan penambahan kombinasi bubuk rosela-angkak ini mungkin disebabkan oleh terjadinya ketidakstabilan suhu saat penyimpanan. Saat refrigerator dibuka, suhu di dalamnya akan mengalami kenaikan. Meskipun suhu yang naik kemungkinan tidak terlalu besar dari suhu penyimpanan, tetapi tidak tertutup kemungkinan bahwa mikroba mendapat kesempatan untuk menyembuhkan diri. Penyimpanan dingin dapat mempunyai pengaruh nyata pada kerusakan sel mikroba. Jika sel yang rusak atau luka mendapat kesempatan untuk menyembuhkan diri, maka pertumbuhan yang cepat akan terjadi jika lingkungan sekitar memungkinkan (Buckle et al., 1987). Winarno et al. (1980), menambahkan penggunaan suhu rendah dalam pengawetan tidak dapat menyebabkan kematian bakteri secara sempurna, sehingga jika bahan pangan beku dikeluarkan dari penyimpanan dan dibiarkan sehingga mencair, maka keadaan ini masih memungkinkan terjadinya pertumbuhan bakteri pembusuk yang berjalan dengan cepat. Kemungkinan berikutnya yang menyebabkan meningkatnya angka rataan total populasi mikroba pada sosis ialah terjadinya kontaminasi saat proses analisis mikroba berlangsung oleh peneliti serta alat-alat yang digunakan dalam proses analisis. Kemungkinan lain ialah pada saat dilakukan analisis TPC, kondisi mikroba yang terdapat pada sosis sedang dalam fase logaritma dimana sel-sel bakteri sedang membelah dengan cepat (Fardiaz, 1992). Tidak dapat terhitungnya angka total populasi mikroba pada sosis dengan penambahan nitrit pada hari penyimpanan di atas 10 hari mungkin masih menunjukkan kalau zat nitrit masih memiliki kemampuan menghambat mikroba yang lebih baik daripada pigmen angkak dan rosela khususnya dalam jangka waktu penyimpanan yang lebih lama. Menurut Wong dan Koehler (1981), masalah utama dalam penggunaan zat pewarna alami adalah stabilitas pigmennya. Pewarna alami sangat sensitif terhadap suhu, cahaya, keasaman, udara dan perubahan aktivitas air. Pigmen angak yang diproduksi oleh Monascus sp ini sedikit larut dalam air dan kurang begitu stabil teradap pengaruh-pengaruh fisika dan kimia. Hasil penelitian Sutrisno (1987) menunjukkan bahwa pigmen angkak yang dimodifikasi dengan menggunakan asam amino asetat, asam p-amino benzoat dan asam glutamat lebih stabil terhadap pengaruh fisik dan kimia serta kelarutan yang lebih baik dalam air. Berdasarkan kesimpulan dalam penelitian tersebut, pigmen angkak paling stabil pada 47 pH 9,2, tetapi pemanasan pada suhu 100oC selama satu jam tidak mengakibatkan kerusakan yang nyata terhadap pigmen angkak. Nitrit memang telah terbukti dapat mengawetkan dengan baik dan banyak digunakan dalam pembuatan produk-produk olahan yang berbahan dasar daging namun nitrit dapat membentuk nitrosamin. Nitrosamin merupakan senyawa kimia kimia yang bersifat karsinogenik. Nitrosamin dapat terbentuk di dalam daging cured yang menggunakan nitrit, bila nitrit membentuk grup nitroso (-N=O) yang secara kimiawi terikat pada atom nitrogen amonia pada senyawa organik tertentu, mislanya amonia-amonia sekunder (-NR2H) (Soeparno, 2005). Oleh karena efek negatif nitrit tersebut, maka perlu dicari bahan pengawet pengganti yang sifatnya lebih alami dan lebih aman bagi kesehatan manusia. Jumlah Escherischia coli pada Sosis Frankfurter Selama Penyimpanan Bakteri E. coli merupakan indikator dari kontaminasi kotoran terhadap bahan pangan. E. coli merupakan bakteri Gram negatif, tumbuh optimal pada suhu 37 oC, tetapi dapat tumbuh optimal pada suhu 10-40 oC (Fraizer dan Westhoff, 1998). Selain itu, E. coli digunakan sebagai organisme indikator karena jika terdapat dalam jumlah yang banyak menunjukkan bahwa pangan atau air telah mengalami pencemaran. Hasil analisis bakteri E. Coli pada sosis serta perubahannya selama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Perubahan Jumlah E. coli pada Sosis selama Penyimpanan Perlakuan Lama simpan H0 H10 H20 --------------------Log (cfu/g)-----------------Rosela-angkak 2,28±2,04a 1,66±1,44b <1 Nitrit 2,73±0,19a 1,92±1,66b <1 Keterangan: Superscript yang berbeda pada kolom periode penyimpanan yang berbeda menunjukkan lama simpan berpengaruh nyata terhadap total E. coli (P<0,05). Jenis pengawet yang diujikan dalam penelitian ini tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap total populasi E. coli yang terdapat dalam sosis frankfurter tersebut. Akan tetapi, lama simpan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap total populasi E. coli yang terdapat pada sosis. Interaksi antara lama simpan dengan jenis bahan pengawet tidak berpengaruh nyata terhadap total populasi E. coli yang 48 terdapat pada sosis. Hasil uji lanjut menyatakan bahwa lama simpan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap total populasi E. coli dalam sosis frankfurter tersebut selama periode penyimpanan. Berdasarkan data yang ditampilkan pada Tabel 12, dapat dikatakan populasi E. coli yang terdapat dalam sosis frankfurter mengalami penurunan dalam setiap analisa pada periode penyimpanan yaitu setiap 10 hari. Angka rataan yang ditunjukkan hasil analisa populasi E. coli untuk hari penyimpanan ke-0 ialah sebesar 2,280 log cfu/g untuk sosis dengan penambahan kombinasi bubuk rosela-angkak dan untuk sosis dengan penambahan nitrit ialah sebesar 2,727 log cfu/g. Perbedaan jumlah populasi E. coli antara sosis frankfurter dengan penambahan kombinasi bubuk rosella-angkak dan sosis frankfurter dengan penambahan nitrit menunjukkan bahwa kombinasi bubuk rosela-angkak bekerja lebih baik dalam menekan jumlah bakteri E. coli yang terdapat dalam sosis. Membandingkan dengan jumlah populasi awal bakteri E. coli yang terdapat pada daging segar yaitu 2,462 log cfu/g, maka dapat dikatakan bahwa penggunaan kombinasi bubuk rosela-angkak maupun nitrit tidak berpengaruh besar terhadap jumlah populasi bakteri E. coli yang terdapat dalam sosis frankfurter tersebut. Hal ini disebabkan karena bakteri E. coli merupakan bakteri Gram negatif. Menurut Branen dan Davidson (1993), bakteri Gram negatif memiliki dinding sel yang kompleks atau berlapis dan terdiri atas 3 lapisan yaitu lapisan luar berupa lipoprotein, lapisan tengah lipopolisakarida dan lapisan dalam berupa peptidoglikan. Bakteri Gram negatif memiliki sistem seleksi terhadap zat-zat asing yaitu pada lapisan lipopolisakarida. Lapisan lipopolisakarida yang juga disebut endotoksin, merupakan bagian penting dari membran luar dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi bakteri Gram negatif. Pernyataan tersebut mendasari bahwa pada zat antimikroba yang ada di dalam pigmen angkak (monaskidin) dan rosela sebagai perlakuan yang diberikan pada sosis Frankfurter, belum cukup efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri Gram negatif (Syudhly, 2010). Hasil rataan analisis total populasi E. coli pada periode penyimpanan hari ke 10 menunjukkan terjadinya penurunan jumlah populasi E. coli yang terdapat dalam sosis. Hasil analisis menunjukkan angka 1,657 log cfu/g untuk sosis dengan penambahan kombinasi bubuk rosela-angkak dan 1,920 log cfu/g untuk sosis dengan penambahan nitrit. Penurunan total populasi E. coli ini dapat disebabkan oleh 49 beberapa hal, diantaranya ialah meningkatnya populasi bakteri asam laktat (BAL) selama periode penyimpanan yang terdapat dalam sosis. Menurut Ouwehand (1998), bakteri asam laktat menghasilkan beberapa senyawa antimikroba berupa asam-asam organik berupa asetat, asam laktat dan karbondioksida. Selain itu juga dihasilkan hidrogen peroksida dan senyawa diasetil serta senyawa-senyawa reuterin dan 2-pirolidon-5asam karboksilat, sehingga efektif dalam menghambat bakteri. Kondisi lingkungan di sekitar bakteri yang kurang kondusif juga dapat menjadi penyebab menurunnya total populasi E. coli dalam sosis. Mengeringnya sosis yang disertai naiknya nilai DSA pada sosis, menyebabkan berkurangnya kadar air yang terdapat di dalamnya, sedangkan kebutuhan mikroba akan air sangat penting untuk mendukung pertumbuhan dan aktivitas mikroba tersebut (Marriott, 1989). RH di dalam kulkas yang rendah juga mendukung berkurangnya aktivitas dan perkembangan mikroba karena mikroba membutuhkan RH optimum sebesar 92% untuk menunjang aktivitasnya. Hal-hal tersebut pula yang mungkin menjadi penyebab tidak terdapatnya lagi koloni E. coli yang dapat dihitung sebagai populasi E. coli yang terdapat di dalam sosis frankfurter, baik dengan penambahan kombinasi bubuk rosela-angkak maupun pada sosis dengan penambahan nitrit, pada periode penyimpanan hari ke 20. Kombinasi bubuk rosella-angkak dapat dikatakan sudah dapat menekan pertumbuhan bakteri E. coli dengan cukup baik apabila disimpulkan berdasarkan SNI NO 01-6366-2000, karena hasil analisa menunjukkan bahwa populasi E. coli yang terdapat dalam sosis frankfurters tersebut tidak melebihi batas cemaran maksimum yang telah ditentukan oleh Dewan Standarisasi Nasional (DSN). Jumlah Total Bakteri Asam Laktat (BAL) pada Sosis Frankfurter Menurut Ouwehand (1998), bakteri asam laktat menghasilkan beberapa senyawa antimikroba berupa asam-asam organik berupa asetat, asam laktat dan karbondioksida. Selain itu juga dihasilkan hidrogen peroksida dan senyawa diasetil serta senyawa-senyawa reuterin dan 2-pirolidon-5asam karboksilat, sehingga efektif dalam menghambat bakteri. Bakteri asam laktat dapat memfermentasi karbohidrat menjadi asam laktat sehingga dapat menyebabkan turunnya pH daging. Turunnya pH daging dapat membantu menekan pertumbuhan bakteri patogen pembusuk yang ada (Fardiaz, 1992). Hasil analisis bakteri asam laktat (BAL) serta perubahannya selama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 13. 50 Tabel 13. Perubahan Jumlah BAL pada Sosis selama Penyimpanan. Perlakuan Lama simpan H0 H10 H20 --------------------Log (cfu/g)-----------------Rosela-angkak 4,60 4,93 <1 Nitrit 4,98 5,10 <1 Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa bakteri asam laktat pada kedua jenis sosis frankfurter, baik dengan penambahan kombinasi bubuk rosela-angkak maupun dengan penambahan nitrit, mengalami kenaikkan total populasinya pada hari penyimpanan ke-10, lalu menghilang pada hari penyimpanan ke-20. Angka hasil analisis bakteri asam laktat untuk hari penyimpanan ke-0 ialah sebesar 4,602 log cfu/g untuk sosis dengan penambahan kombinasi bubuk rosela-angkak dan 4,978 log cfu/g untuk sosis dengan penambahan nitrit. Bakteri asam laktat merupakan bakteri Gram positif yang dinding selnya memiliki kandungan lipid lebih sedikit (1%-4%) dan struktur sel yang lebih sederhana daripada bakteri Gram negatif sehingga memudahkan senyawa angkak dan rosela melisis sel dari bakteri tersebut (Syudhly, 2010). Hal ini mendukung bukti bahwa kombinasi bubuk rosela dan angkak memiliki kemampuan menghambat aktivitas mikroba sedikit lebih baik dari pada nitrit karena berdasarkan hasil-hasil analisa yang didapat untuk analisa TPC, E. Coli dan BAL memperlihatkan angka total populasi yang lebih rendah dibandingkan dengan total populasi mikroba pada sosis dengan penambahan nitrit. Angka total populasi bakteri asam laktat untuk hari penyimpanan ke 10 menunjuk angka 4,929 log cfu/g untuk sosis dengan penambahan kombinasi bubuk rosela-angkak dan 5,097 log cfu/g untuk sosis dengan penambahan nitrit. Naiknya angka total populasi bakteri asam laktat pada sosis dengan umur simpan 10 hari tersebut dapat disebabkan karena bakteri asam laktat dapat bertahan hidup pada kisaran pH 3,2 dan pH 9,6 serta beberapa jenis bakteri asam laktat dapat tumbuh pada suhu 5oC (Jay, 1996). Menurut Buckle et al. (1987), jika sel yang rusak atau luka mendapat kesempatan menyembuhkan diri, maka pertumbuhan yang cepat akan terjadi jika lingkungan sekitar memungkinkan. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa bakteri asam laktat yang terdapat dalam 51 sosis tersebut dapat memperbaiki dirinya dan masih dapat melanjutkan aktivitasnya serta berkembang biak di dalam refrigerator selama penyimpanan. Tidak dapat terhitungnya populasi bakteri asam laktat, baik pada sosis dengan penambahan kombinasi bubuk rosela-angkak maupun sosis dengan penambahan nitrit, pada hari penyimpanan ke-20 dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan yang sudah sangat tidak kondusif bagi bakteri untuk tumbuh, seperti ketersediaan nutrisi dan air. 52 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penggunaan kombinasi rosela-angkak (1%:0,75%) berpengaruh nyata terhadap sifat fisik yang diamati. Nilai pH, DSA dan kekenyalannya lebih rendah dibandingkan sosis dengan penambahan nitrit (0,0125%). Sosis frankfurter mengalami perubahan kualitas fisik pada hari penyimpanan ke-20. Penggunaan kombinasi rosela-angkak (1%:0,75%) tidak berpengaruh nyata terhadap sifat mikrobiologis yang diamati, yaitu TPC, total E. coli dan total Bakteri Asam Laktat. Terjadi perubahan TPC, total E. coli dan total Bakteri Asam Laktat selama masa penyimpanan sosis selama 20 hari. Kombinasi rosela-angkak (1%:0,75%) dapat digunakan untuk menggantikan nitrit (0,0125%) pada produk sosis. Saran Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh penambahan zat tambahan alami antara rosela dan angkak dengan dosis yang berbeda terhadap perubahan sifat-sifat mikrobiologis dan fisik-kimia pada sosis frankfurter yang terjadi selama masa penyimpanan. UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Tuhan kami Yesus Kristus yang telah melimpahkan rahmat dan berkat-Nya yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Selama penelitian dan penulisan skripsi ini, tidak sedikit bantuan, bimbingan, serta perhatian yang diberikan oleh berbagai pihak kepada penulis. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua tercinta, saudara, dan keluarga besar di Jawa Barat atas doa, dukungan, pengorbanan dan kasih sayang yang tiada henti. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Irma Isnafia Arief , S.Pt. M.Si sebagai pembimbing utama dan Ibu Ir. Hj. Komariah M. selaku dosen pembimbing anggota, yang penuh tanggung jawab dan sabar untuk meluangkan waktu membimbing, mengarahkan dan mengoreksi penulisan proposal hingga skripsi ini, serta kepada Bapak Dr. Jakaria, S.Pt. M. Si. sebagai pembimbing akademik. Terima kasih kepada Ibu Tuti Suryati, S. Pt., M. Si., Ibu Ir. Lilis Khotijah, MS. dan Bapak Dr. Rudy Afnan, S. Pt., M. Sc.Agr., selaku dosen penguji ujian sarjana atas saran dan kritikan membangun untuk penulisan skripsi ini. Terima kasih pula kepada sahabat dan teman-teman, Ratna Budi Wulandari, Nurrul Hikmah, Arfan Afandy, Yuliana serta terutama kepada teman-teman satu tim penelitian maupun PKMP, Amalia M. T. S. dan Dwi Noviliana, serta Muhammad Sarwar Khan dan Yuni Wijayanti serta teman-teman seperjuangan IPTP 43 lainnya atas kebersamaan, bantuan, dorongan, dan perhatiannya. Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc dan civitas akademika FAPET IPB atas dorongan dan kerjasamanya. Akhirnya kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan dan kerjasamanya. Semoga segala dukungan, bantuan, saran dan nasehat yang telah diberikan mendapatkan imbalan dari Allah Bapa kami di surga. Bogor, Februari 2012 Penulis 54 DAFTAR PUSTAKA Abadi, A. 2004. Sifat fisik dan organoleptik sosis daging sapi dengan kombinasi minyak jagung dan wortel (Daucus Carota L.) yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Aberle, E. D., Forrest J. C, Gerrard D. E. & E. W. Mills. 2001. Principle of Meat Science. 4th Ed. Kendall/Hunt Pub. Company, Colorado. Amanda & Prima. 2008. Khasiat Teh Rosella. http://Amandaprima.Blogsome/2008/ 10/02/ khasiat – teh – rosella/. [25 Februari 2010]. AOAC. 1995. Official Method of Analysis. Association of Analytical Chemist, Washington D.C.Arpah. 2001. Buku & Monograf Penentuan Kadaluarsa Produk Pangan. Program Studi Ilmu Pangan. Program Pasca Sarjana IPB, Bogor. APHA (American Public Health Association). 1992. Standard Method for the Examination of Dairy Products. 16th Edition. Porth City Press, Washington DC. Arpah. 2001. Buku dan Monograf Penentuan Kadaluarsa Produk Pangan. Program Studi Ilmu Pangan. Program Pasca Sarjana IPB, Bogor. Bacteriological Analytical Manual. 2001. Aerobic count.http:/Cfsan.Fdagov/abam/bam.Html. [21 Desember 2009]. plate Banwart, G. J. 1983. Basic Food Microbiology. AVI Publishing Company, Inc., Westport Connecticut. Bloukas, J. G., I. S. Arvanitoyannis & A. A. Siopi. 1998. Effects of natural colourants and nitrite on colour attributes of frankfurters. Meat Sci. 52: 257265. Bouton, P.E., A.L. Ford, P.V. Harris & D. Ratcliff. 1978. Effect Low Voltage Stimulation on Muscle. J. Food Sci. 43, 1392. Institute of Food Technologiest, Chicago. Branen, A. L & P. M. Davidson. 1993. Antimicrobial in Foods 2nd Ed. Marcel Dekker Inc. New York. Branen, A. L., P. M. Davidson., S. Salminen & J. H. Thorngate. 2002. Food Additives 2nd Ed. Marcel Dekker Inc., New York. Bridle, P. & C. F. Timberlake. 1996. Anthocyanins as natural food colours-selected aspects. Food Chem. 58(1-2): 103-109. Buckle, K. A., R.A. Edward, G. H. Fleet & M. Wotton. 1987. Ilmu Pangan. UI-Press, Jakarta. De Freitas, Z., J. G. Sebranek, D. G. Olson & J. M. Carr. 1997. Freeze or thaw stability of cooked pork sausage as affected by salt, phosphate, pH and caragenan. J. Food Sci. 62 : 551. Desroisier, W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. UI-Press, Jakarta. Dewan Standarisasi Nasional (DSN). 1995. SNI 01-3020-1995. Sosis. Standar Nasional Indonesia, Jakarta. Dewan Standarisasi Nasional (DSN). 2000. SNI 01-6366-2000. Batas maksimum cemaran mikroba dan batas maksimum residu dalam bahan makanan asal hewan. Standar Nasional Indonesia, Jakarta. Dewanti, R. P. K. 2009. Karakteristik fisik, kimia dan organoleptik sosis sapi dengan perendaman dalam substrata antimikroba Lactobacillus sp. (1AS) pada penyimpanan suhu dingin. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Effie. 1980. Pembuatan sosis ikan cucut (Centroscymus coelolepsi). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ellinger, R.H. 1972. Phosphates in Food Processing. CRC Handbook of Food Additives. 2nd Ed. CRC Press Inc., Boca Raton, Florida. Fabre, C.E., A.L. Santerre, M.O. Loret, R. Baberian, A. Oareileux, G. Goma & P.J. Blanc. 1993. Production and food application of the red pigments of Monascus rubber. J. Food Sci. 58: 1099-1102. Fardiaz, D., N. Andarwulan, H. W. Hariantono, & N.L. Puspita. 1992. Teknik Analisis Sifat Kimia dan Fungsional Komponen Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan. PT. Gramedia Utama, Jakarta. Fardiaz, S., D. B. Fauzi & F. Zakaria. 1996. Toksisitas dan Imunogenisitas pigmen angkak yang diperoleh dari kapang Monascus Purpureus pada substrat limbah cair tapioka. Buletin Indutsri Pangan. 7(2) : 63-68. Fraizer, W.C. 1967. Food Microbiology. McGraw-Hill Book Co., New York. Frazier, W. C. & Westhoff D. C. 1998. Food Microbiology 4th ed. Mc Graw Hill Publ Co. Ltd., New York. Gadiyaram, K. M. & G. Kannan. 2004. Comparison of textural properties of low-fat chevon, beef, pork, and mixed-meat sausage. J. Ani. Sci. 34 (1) : 212-214. Gaman, P. M. & Sherington. 1990. The science of food : An Introduction to Food Science, Nutrition and Microbiology. Third Edition. Pergamon Press, New York. Girard, J. P. 1992. Technology of Meat and Meat product. Ellis Horwood Ltd., Chichester. Gradinaru, G., C. G. Biliaderis, S. Kallithraka, P. Kefalas, & C. G. Viguera. 2003. Thermal stability of Hibiscus sabdariffa L. anthocyanins in solution and solid state: effects of copigmentation and glass transition. J. Food Sci. 83: 432-436. Heldman, D.R. & R.P. Singh. 1988. Rekayasa Proses Pangan. Terjemahan. M. A. W. Kusumah, S. Hardjo & P. Haryadi. LSI-IPB, Bogor. Henrickson, R. L. 1978. Meat, Poultry and Seafood Technology. Prentice Hall Inc., New Jersey. 56 Husni, E., A. Samah & R. Ariati. 2007. Analisa zat pengawet dan protein dalam makanan siap saji sosis. J. Sains dan Tek. Far. 12(2): 108-111. Indriyani, B. 2007. Karakteristik sosis sapi dengan menggunakan bahan dasar tepung daging sapi. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jay, J. M. 2000. Modern Food Microbiology. 6th Ed. Aspen Publisher., Inc. Maryland. Jenie, B.S.L. & Kuswanto. 1994. Pengaruh pigmen angkak merah terhadap pertumbuhan beberapa mikroba patogen dan perusak makanan. Pertemuan Ilmiah Tahunan. Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia, Bogor. Justiawan, R. M. 1997. Pemanfaatan pigmen angkak untuk subtitusi nitrit dalam pembuatan sosis daging sapi dan pengaruhnya terhadap Bacillus stearothermophillus. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kasim, E., N. Suharna & N. Nurhidayat. 2005. Kandungan pigmen dan lovastatin pada angkak beras merah kultivar bah butong dan BP 1804 IF 9 yang difermentasi dengan Monascus purpureus Jmba. Biodiversitas 7(1): 7-9. Kramlich, W. E. 1973. Sausage Products. Di dalam Price and B. S. Sceiveger (ed). The Science and Meat Product. W.H. Freeman and Co., Westport, Connecticut. Labuza, T. P. 1982. Shelf Life Dating of Foods. J. Food Tech. 22 : 267-270. Lawrie, R. A. 2003. Ilmu Daging. Terjemahan Aminuddin Parakkasi. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Liana, D. N. 2010. Kualitas fisik, kimia dan organoleptik sosis frankfurters dengan penggunaan bubuk rosella dan angkak sebagai bahan tambahan alami pengganti nitrit. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Manulang, M. 1990. Karbohidrat Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Marco, A., J. L. Navarro & M. Flores. 2006. The influences of nitrite and nitrate on microbial, chemical and sensory parameters of slow dry fermented sausage. Meat Sci. 73: 660-673. Maria, E. K & S. Ramli. 2008. Pemanfaatan hasil tanaman hias rosela sebagai bahan minuman. http://lemlit.unila.ae.id/file/arsip 2009/SATEK 2008/versi PDF/bidang 8/VIII-13.pdf. [25 Februari 2010]. Marriott, N. G. 1989. Principles of Food Sanitation. Van Nostran Reinhold, New York. Maryani, H & Kristiana. 2005. Khasiat dan Manfaat Rosela. http://www.rosellatea.blogspot.com. [10 Juni 2010]. Moedjiharto, T. J. 2003. Evaluasi fisikokimia sosis tempe-dumbo. J. Tek. dan Ind. Pangan. 16 (2) : 164-168. 57 Muchtadi D. 1987. Aspek Biokimia dan Gizi Dalam Keamanan Pangan. PAU-IPB, Bogor. Muchtadi, T. R. & Sugiono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ockerman, H. W. 1983. Chemistry of Meat Tissue. 10 th Ed. Department of Animal Science The Ohio State University and The Ohio Agricultural Research and Development Center, Ohio. Ouwehand, A. C. 1998. The health effect milk production with viable and non-viable bacteria. J. of Int. Dairy. 8: 749-776 Palo, M.A., L.V. Adeve & L.M. Maceda. 1960. A Study On Anka and Its Production. Philipine J. Sci. 89 : 1-22. Pattanagul, P., R. Pinthong, A. Phianmongkhol & N. Leksawasdi. 2007. Review of angkak production (Monascus purpureus). Chiang Mai J. Sci. 34(3) : 319328. Pearson, A. M. & F. W. Tauber. 1985. Processed Meats 2nd Ed. Kluwer Academic Publisher, Dordrecht. Price, J.F & B. S. Schweigert. 1971. The Science of Meat and Meat Products. Second Edition. A Series of Books in Agricultural Animal Science. W. H. Freeman and Company., San Fransisco. Ramaswamy, H. & M. Marcotte. 2006. Food Processing: Prinsciples and Appliations. Taylor and Francis Group, Boca Raton. Ray, B. 2004. Fundamental Food Microbiology, 3rd Edit. CRC Press, London. Retno, E., Diana P., Fungki S. R., Endang N. & Tri R. 1999. Ekstraksi Zat Warna Kelopak Bunga Rosela (Hibiscussabdariffa Linn.) Sebagai Alternatif Pewarna AlamiBahan Pangan. http://www.scribd.com/paulina_margaretha/d/ 60223614-Ekstraksi-Zat-Warna-Kelopak-Bunga-Rosela. [25 Februari 2010]. Rojsuntornkitti, K., N. Jittrepotch, T. Kongbangkerd, & K. Kraboun. 2010. Substitution of nitrite by chinese red broken rice powder in Thai traditional fermented pork sausage (Nham). Thailand. Int. Food Res. J. 17: 153-16. Rust, R. E. 1977. Sausage and Processed Meat Manufacturing. AMI center for Continuing Education, Iowa. Salle, AJ. 1961. Fundamental Principles of Bacteriology Fifth ed., McGraw Hill Book Co., Inc., New York. Shehata H. A., H. J. Buckenhuskes & M.S. El-Zoghbi. 1998. Colour optimization of Egyption sausage by natural colourants. J. Fleischwirtchaft Int. (3). P : 40-44. Soekarto, S.T. 1990. Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan. Institut Pertanian Bogor Press, Bogor. Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 58 Steel, R. G. D. & J. H. Torrie. 1997. Prinsip dan Prosedur Statistik. Terjemahan. B. Sumantri. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Steinkraus K. H. 1983. Handbook of Indigenous Fermented Foods. Marcel Dekker Inc., New York. Sutrisno, A.D. 1987. Pembuatan dan peningkatan kualitas zat warna merah alami yang dihasilkan oleh Monascus purpureus sp. Di dalam: Risalah Seminar Bahan Tambahan Kimiawi, Fardiaz, S., Dewanti, R. dan Budiyanto, S. Jakarta, Indonesia. Oktober 3-4. 1986. Syarief, R. & H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Bahan Pangan. Penerbit Arcan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Syarief, R., S. Santausa & B. Isyana. 1989. Buku dan Manograf Teknologi Pengemasan Pangan. Laboratorium Rekayasa Proses Pangan, PAU IPB, Bogor. Syudhly, A. M. S. 2010. Sifat mikrobiologi sosis frankfurters dengan penggunaan angkak dan rosela sebagai bahan tambahan alami substitusi nitrit. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tauber, F. 1977. Sausage. Di dalam: Element of food Technology. Desroisier, N. W. (ed). The AVI Publishing Co, Westport Connecticut. USDA. 2000. Journal Of Science. Food Safety and Inspection Service, Washington D.C. Varnam, A. N. & J. P. Sutherland. 1995. Meat and Meat Products: Technology, Chemistry and Microbiology. Chapman and Hall, London. Wianti. A, Y. N. Sari & I. A. Harahap. 2008. Si bunga merah anti- TBC. http://radioppidunia.com/PKM ROSELLA.new.pdf. [25 Februari 2010]. Wilson, N. R. P. 1981. Meat and Meat Products: factors affecting quality control. Applied Science, London. Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit Gramedia, Jakarta. Winarno, F. G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Penerbit PT Gramedia, Jakarta. Wong, H. C. & P. E. Koehler. 1981. Mutant of Monascus pigment production. J. Food Sci. 46: 956-957. 59 LAMPIRAN Lampiran 1. Hasil Analisis Ragam Nilai pH Sosis Frankfurter SK Perlakuan Periode Interaksi Galat Total Db 1 2 2 12 17 JK 3,654 1,172 0,011 0,110 4.948 KT 3,654 0.586 0,006 0,009 F 397,35 63,77 0,61 P 0,00* 0,00* 0,562 Keterangan : * = berpengaruh sangat nyata (P <0,01) Lampiran 2. Hasil Analisis Ragam Daya Serap Air (DSA) Sosis Frankfurter SK Perlakuan Periode Interaksi Galat Total Db 1 2 2 12 17 JK 82,347 68,063 204,174 49,167 403,750 KT 82,347 34,031 102,087 4,097 Fhit 20,10 8,31 24,92 P 0,0007* 0,0054* 0,0001* Keterangan : * = berpengaruh nyata (P<0,05) Lampiran 3. Hasil Analisis Ragam Kekenyalan Sosis Frankfurter SK Perlakuan Periode Interaksi Galat Total Db 1 1 1 8 11 JK 441,59 2102,64 34,63 178,55 1,111 KT 441,59 2102,64 34,63 22,32 F 19,79 94,21 1,55 P 0,0021* 0,00* 0,2481 Keterangan: * = berpengaruh nyata (P <0,05) Lampiran 4. Hasil Uji Kruskal-Wallis Parameter Warna Sosis Frankfurter H0 Perlakuan N Median Ave Rank Z Nitrit 30 4,000 42.9 5.48 1% Rosella:0,75% Angkak 30 2,000 18.1 -5.48 DF = 1 P = 0.000 Overall 60 H = 33.28 Lampiran 5. Hasil Uji Kruskal-Wallis Parameter Bau Sosis Frankfurter H10 Perlakuan N Median Ave Rank Z Nitrit 30 4,000 31.9 0.60 1% Rosella:0,75% Angkak 30 4,000 29.1 -0.60 DF = 1 P = 0.508 Overall 60 H = 0.44 61 Lampiran 6. Hasil Uji Kruskal-Wallis Parameter Lendir Sosis Frankfurter H20 Perlakuan N Median Ave Rank Z Nitrit 30 4,000 37.2 2.99 1% Rosella:0,75% Angkak 30 3,000 23.8 -2.99 Overall 60 H = 10.31 DF = 1 P = 0.001 Lampiran 7. Hasil Uji Kruskal-Wallis Parameter Kekenyalan Sosis Frankfurter H0 Perlakuan N Median Ave Rank Z Nitrit 30 3,000 28.1 -1.04 1% Rosella:0,75% Angkak 30 4,000 32.9 1.04 DF = 1 P = 0.267 Overall 60 H = 1.23 Lampiran 8. Hasil Uji Kruskal-Wallis Parameter Tekstur Sosis Frankfurter H10 Perlakuan N Median Ave Rank Z Nitrit 30 4,000 34.4 1.71 1% Rosella:0,75% Angkak 30 3,000 26.6 -1.71 Overall 60 H = 3.22 DF = 1 P = 0.073 Lampiran 9. Jumlah Total Mikroba Sosis Frankfurter pada Tiap Taraf Perlakuan (H0) Perlakuan (cfu/g) Ulangan 1% Rosella:0,75% Angkak Nitrit 1 1,12x105 1,58x105 2 3,45x105 1,13x105 3 1,76x105 6,9x105 Rataan 1,89x105 2,29x105 ---------------------- log cfu/g ---------------------- 1 5,05 5,20 2 5,53 5,05 3 5,23 5,83 Rataan 5,28 ± 0,24 5,36 ± 0,41 62 Lampiran 10. Jumlah Total Mikroba Sosis Frankfurter pada Tiap Taraf Perlakuan (H10) Perlakuan (cfu/g) Ulangan 1% Rosella:0,75% Angkak Nitrit 1 - - 2 - - 3 3,4x104 - Rataan 3,2x101 - ---------------------- log cfu/g ---------------------1 <1 <1 2 <1 <1 3 4.53 <1 Rataan 1,51 ± 2,62 <1 Lampiran 11. Jumlah Total Mikroba Sosis Frankfurter pada Tiap Taraf Perlakuan (H20) Perlakuan (cfu/g) Ulangan 1% Rosella:0,75% Angkak Nitrit 1 - - 2 - - 3 4,05x105 - Rataan 1,59x102 - ---------------------- log cfu/g ---------------------- 1 <1 <1 2 <1 <1 3 6,61 <1 Rataan 2,203 ± 3,82 <1 63 Lampiran 12. Analisis Ragam Penambahan Jenis Bahan Tambahan terhadap Jumlah Total Mikroba (log cfu/g) pada Sosis Frankfurter. Sumber Keragaman Derajat Bebas 1 2 2 12 17 Perlakuan Kelompok Interaksi Galat Total Jumlah Kuadrat 0,143 1,769 0,077 1,887 2,88 Kuadrat Tengah 0,143 0,884 0,038 0,073 F P 1,94 0,189 11,96 0,001 0,53 0,604 Lampiran 13. Jumlah Total Escherischia coli Sosis Frankfurter pada Tiap Taraf Perlakuan (H0). Perlakuan (cfu/g) Ulangan 1% Rosella:0,75% Angkak Nitrit 1 - 4,05x102 2 7,7x102 8,9x102 3 8,9x102 4,2x102 Rataan 1,91x102 5,32x102 ---------------------- log cfu/g ---------------------- 1 <1 2.61 2 2.89 2.95 3 3.95 2.62 Rataan 2,28 ± 2,04 2,73 ± 0,19 64 Lampiran 14. Jumlah Total Escherischia coli Sosis Frankfurter pada Tiap Taraf Perlakuan (H10). Perlakuan (cfu/g) Ulangan 1% Rosella:0,75% Angkak Nitrit 1 - 7,35x102 2 3,6x102 - 3 2,6x102 7,9x102 Rataan 4,53x10 8,32x10 ---------------------- log cfu/g ---------------------1 <1 2.87 2 2.56 <1 3 2.41 2.89 Rataan 1,66 ± 1,43 1,92 ± 1,66 Lampiran 15. Analisis Ragam Penambahan Jenis Bahan Tambahan terhadap Jumlah Total Escherischia coli (log cfu/g) pada Sosis Frankfurter. Sumber Keragaman Perlakuan Kelompok Interaksi Galat Total Derajat Bebas 1 2 2 12 17 Jumlah Kuadrat 0,143 1,769 0,077 1,887 2,88 Kuadrat Tengah 0,143 0,884 0,038 0,073 F P 1,94 0,189 11,96 0,001 0,53 0,604 Lampiran 16. Proses Pembuatan Sosis 65 Lampiran 17. Pengukuran Sifat Fisik Sosis 66 Lampiran 18. Analisa Mikrobiologi Sosis 67