13 BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Teori 1

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Teori
1. Pembelajaran IPS
a. Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran merupakan terjemahan dari kata "instruction" yang dalam
bahasa Yunani disebut instructus atau "intruere" yang berarti menyampaikan
pikiran, dengan demikian arti instruksional adalah menyampaikan pikiran atau
ide yang telah diolah secara bermakna melalui pembelajaran. Pengertian ini
lebih mengarah kepada guru sebagai pelaku perubahan (Warsita, 2008: 265).
Sagala berpendapat (2013 : 61) bahwa pembelajaran ialah membelajarkan
siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar merupakan penentu
utama keberhasilan pendidikan. Pembelajaran merupakan proses komunikasi
dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan
belajar dilakukan oleh peserta didik atau murid.
Pada hakikatnya pembelajaran adalah proses interaksi antara peserta didik
dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih
baik (Mulyasa, 2007: 255). Jadi, pembelajaran merupakan interaksi antara
peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar untuk mencapai tujuan belajar
peserta didik tersebut.
Sanjaya (2014: 129) menyatakan pembelajaran pada dasarnya adalah proses
penambahan informasi dan kemampuan baru. Ketika kita berpikir informasi dan
kemampuan apa yang harus dimiliki oleh siswa, maka pada saat itu juga kita
13
14
semestinya berpikir strategi apa yang harus dilakukan agar semua itu dapat
tercapai secara efektif dan efisien. Ini sangat penting untuk dipahami, sebab apa
yang harus dicapai akan menentukan bagaimana cara mencapainya. Oleh karena
itu, sebelum menentukan strategi pembelajaran yang dapat diguakan, ada
beberapa pertimbangan apa yang harus diperhatikan.
Istilah pembelajaran sering diidentikan dengan pengajaran juga terlihat
dalam redaksi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 20 (tentang Standar Proses)
dinyatakan : “Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana
pelaksanaan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar dan
penilaian hasil belajar “ ( Suyono dan Hariyanto, 2014 : 4).
Pembelajaran membutuhkan sebuah proses yang disadari yang cenderung
bersifat permanen dan mengubah perilaku. Pada proses tersebut terjadi
pengingatan informasi yang kemudian disimpan dalam memori dan organisasi
kognitif. Selanjutnya, keterampilan tersebut diwujudkan secara praktis pada
keaktifan siswa dalam merespon dan bereaksi terhadap peristiwa-peristiwa yang
terjadi secara pada diri siswa ataupun lingkungannya (Thobroni, 2015:17).
Berdasarkan
berbagai
pendapat
diatas
dapat
disimpulkan
bahwa
pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan guru untuk membelajarkan
siswa secara aktif yang menekankan pada penyediaan sumber belajar.
Pengetahuan tidak hanya langsung ditransfer kepada siswa dengan
menganggap bahwa siswa itu seperti gelas yang masih kosong akan tetapi siswa
juga harus dihormati sebagai individu. Individu yang pada dasarnya telah
15
memiliki pengetahuan sebelumnya. Proses pembelajaran dituntut untuk dapat
mengembangkan pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa sehingga siswa
mempunyai inisiatif dan merasa bertanggung jawab atas pengalamannya dalam
belajar serta memiliki kepercayaan terhadap diri sendiri.
Menurut Sugandi, dkk dalam Poerwati (2013 : 59) Ciri – ciri pembelajaran
antara lain :
a. Pembelajaran dapat menumbuhkan perhatian dan motivasi dalam belajar.
b. Pembelajaran dapat menyediakan bahan belajar yang menarik dan
menantang bagi siswa.
c. Pembelajaran dapat menciptakan suasana yang aman dan menyenangkan
bagi siswa.
d. Pembelajaran dilakukan secara sadar dan direncanakan secara sistematis.
e. Pembelajaran dapat membuat siswa siap menerima pelajaran baik secara
fisik maupun psikologis.
b. Perencanaan Pembelajaran
Menurut Sanjaya (2010) dalam Agung dan Wahyuni (2013 : 1-6) secara
terminologi, perencanaan pembelajaran terdiri atas dua kata, yakni perencanaan
dan pembelajaran. Perencanaan berasal dari kata rencana dan berarti
pengambilan keputusan tentang hal yang harus dilakukan untuk mencapai
tujuan. Oleh karena itu, proses suatu perencanaan harus dimulai dari penetapan
tujuan yang akan dicapai melalui analisis kebutuhan kemudian menetapkan
langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Setiap
perencanaan minimal harus memiliki empat unsur yakni (1) adanya tujuan yang
16
harus dicapai; (2) adanya strategi untuk mencapai tujuan; (3) adanya sumber
daya yang dapat mendukung; dan (4) implementasi setiap keputusan.
Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP)
yang memuat identitas materi pembelajaran, kegiatan
pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi
ajar, alokasi waktu, metode pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil
belajar, dan sumber belajar (Suprihatiningrum, 2013: 114 ).
Dalam penyusunan perencanaan khususnya dalam pendidikan karakter di
sekolah harus terdapat beberapa hal sebagai berikut :
a. Perencanaan hendaknya selalu berorientasi ke depan. Itu artinya perencanaan
pendidikan karakter harus bisa meramal nilai-nilai yang akan terjadi di masa
yang akan datang, berdasarkan analisis yang akan terjadi di masa yang akan
datang, berdasarkan analisis atau kajian terhadap kondisi masa lalu, dan
masa sekarang;
b. Perencanaan itu hendaknya sengaja dilahirkan, bukan karena faktor
kebetulan, tetapi merupakan hasil pemikiran yang matang dan cerdas, serta
bersumber pada data eksplorasi sebelumnya;
c. Perencanaan hendaknya disertai tindakan nyata dari segenap warga sekolah,
seperti kepala sekolah, guru, peserta didik, dan tenaga kependidikan lainnya;
d. Perencanaan harus bermakna. Itu artinya perencanaan usaha atau tindakantindakan yang akan dilakukan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan
karakter yang sudah ditetapkan, hendaknya menjadi efektif dan efisisen.
17
Oleh karena itu sebelum menyusun perencanaan pendidikan karakter,
hendaknya dilakukan kajian yang mendalam, kritis dan komprehensif terhadap
harapan peserta didik, sekolah, guru, masyarakat pengguna (customers) dan
stakeholders. Hasil analisis internal dan eksternal itu, kemudian dijadikan
pertimbangan dalam penyususnan rencana strategis pengembangan pendidikan
karakter, serta untuk merealisasikan visi dan misi sekolah (Wibowo, 2013: 144).
Perencanaan pembelajaran yang dibuat merupakan antisipasi dan perkiraan
tentang apa yang akan dilakukan dalam pengajaran, sehingga tercipta suatu
situasi yang memungkinkan terjadinya proses belajar yang dapat mencapai
tujuan yang diharapkan. Perencanaan ini meliputi: (1) tujuan apa yang hendak
dicapai, yaitu bentuk-bentuk tingkah laku yang diinginkan dapat dicapai atau
dapat dimiliki oleh siswa setelah terjadinya proses belajar mengajar; (2) bahan
pelajaran yang dapat mengantarkan siswa mencapai tujuan; (3) bagaimana
proses belajar mengajar yang akan diciptakan oleh guru agar siswa mencapai
tujuan secara efektif dan efisien; (4) bagaimana menciptakan dan menggunakan
alat untuk mengetahui atau mengukur apakah tujuan itu tercapai atau tidak (Ali,
2010: 4-5).
c. Pembelajaran IPS di SMP/MTs
Pendekatan pembelajaran terpadu dalam IPS sering disebut dengan
pendekatan interdisipliner. Model pembelajaran terpadu pada hakikatnya
merupakan suatu sistem pembelajaran yang memungkinkan peserta didik baik
secara individual maupun kelompok aktif mencari, menggali, dan menemukan
konsep serta prinsip-prinsip secara holistik dan otentik. Salah satu diantaranya
18
adalah memadukan Kompetensi Dasar. Melalui pembelajaran terpadu peserta
didik dapat memperoleh pengalaman langsung, sehingga dapat menambah
kekuatan untuk menerima, menyimpan, dan memproduksi kesan-kesan tentang
hal-hal yang dipelajarinya. Dengan demikian, peserta didik terlatih untuk dapat
menemukan sendiri berbagai konsep yang dipelajari.
Pada pendekatan pembelajaran terpadu, program pembelajaran disusun dari
berbagai cabang ilmu dalam rumpun ilmu sosial. Pengembangan pembelajaran
terpadu, dalam hal ini, dapat mengambil suatu tema dari suatu cabang ilmu
tertentu, kemudian dilengkapi, dibahas, diperluas, dan diperdalam dengan
cabang-cabang ilmu yang lain. Tema dapat dikembangkan dari isu, peristiwa,
dan permasalahan yang berkembang. Bisa membentuk permasalahan yang dapat
dilihat dan dipecahkan dari berbagai disiplin atau sudut pandang, contohnya
banjir, pemukiman kumuh, potensi pariwisata, IPTEK, mobilitas sosial,
modernisasi, revolusi yang dibahas dari berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial
(Kemdikbud, 2014:10).
`
Konten pendidikan IPS dalam Kurikulum 2013 meliputi :
1. Pengetahuan : tentang kehidupan masyarakat di sekitarnya, bangsa, dan umat
manusia dalam berbagai aspek kehidupan dan lingkunganya.
2. Keterampilan : berfikir logis dan kritis, membaca, belajar (learning skills,
inquiry), memecahkan masalah, berkomunikasi dan bekerjasama dalam
kehidupan bermasyarakat-berbangsa.
19
3. Nilai : nilai- nilai kejujuran, kerja keras, sosial, budaya, kebangsaan, cinta
damai, dan kemanusiaan serta kepribadian yang didasarkan pada nilai-nilai
tersebut.
4. Sikap : rasa ingin tahu, mandiri,menghargai prestasi, kompetitif, kreatif dan
inovatif, dan bertanggungjawab. Konten tersebut dikemas dalam bentuk
Kompetensi Dasar. Kompetensi Dasar IPS SMP dikemas secara integratif
dengan menggunakan aspek geografis sebagai elemen pengikat (Kemdikbud,
2014:13).
d. Tujuan IPS
Pada dasarnya tujuan dari pendidikan IPS adalah untuk mengembangkan
potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di
masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala
ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi
sehari-hari, baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa
masyarakat (Trianto, 2013 : 176).
Abdu-Raheem dan Oluwagbohunmi dalam jurnalnya yang berjudul “PreService Teachers’ Problems of Improvisation of Instructional Materials in
Social Studies in Ekiti State University” menjelaskan bahwa Ilmu sosial adalah
subjek yang membantu peserta didik untuk menjadi lebih kompeten untuk
tinggal di dunia modern. Hal ini juga memungkinkan mereka untuk
mengembangkan wawasan ke dalam hubungan manusia , sikap dan nilai-nilai
sosial.
“Social Studies is a subject that assists learners to become more competent
for living in the modern world. It also enables them to develop insight into
20
human relationship, social values and attitudes. For the above aims and
goals to be achieved, teachers of Social Studies including the pre-service
teachers need to bear in mind all necessary ingredients of learning, such as
methods, techniques, devices and instructional materials that can be used
for effective teaching and learning of the subject” (Oluwagbohunmi &
Abdu-Raheem, 2015: Vol.6, No.3 hlm 207).
Tujuan Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial menurut Kemendikbud
( 2014 : 9) adalah menekankan pada pengetahuan dan pemahaman tentang
bangsanya, semangat kebangsaan, patriotisme, serta aktivitas masyarakat di
bidang ekonomi dalam ruang atau space wilayah NKRI. Sedangkan menurut
Gunawan (2013: 51) mengemukakan, mata pelajaran IPS bertujuan agar anak
didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan
lingkungannya.
2. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu.
Dengan rumusan tujuan di atas, hasil belajar IPS yang diharapkan adalah
melahirkan warga negara yang baik, yang demokratis, kreatif, kritis, memiliki
kemampuan belajar, senang membaca, rasa ingin tahu, mampu berkomunikasi
secara produktif di masyarakat, jujur, kasih sayang, bertanggung jawab, empati
dan memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungan sosial serta fisik,
toleransi dan saling menghargai, santun dan saling menghormati, kemandirian
dan kebersamaan, rasa kebangsaan dan menghargai karya budaya bangsa sendiri.
Dengan memperhatikan tujuan dan hasil belajar tersebut, pembelajaran IPS
adalah mata pelajaran yang sarat dengan pendidikan nilai atau pendidikan
21
karakter. Pembelajaran IPS senantiasa memiliki posisi dan peran yang sangat
strategis dalam pendidikan nilai atau pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Tujuan tersebut dapat dicapai manakala program-program pelajaran IPS di
SMP/MTs diorganisasikan secara baik. Ketercapaian tujuan mata pelajaran IPS
didukung oleh proses pembelajaran yang dirancang dalam Kurikulum 2013 dan
berlaku juga untuk IPS. Ada dua hal dalam pembelajaran IPS yaitu pendekatan
pengembangan materi ajar yang selau dikaitkan dengan lingkungan masyarakat
di satuan pendidikan dan model pembelajaran yang dikenal dengan istilah
pendekatan saintifik.
Duwarna (2004:55) dalam Susanto (2014 : 5) mengidentifikasi beberapa
kelemahan guru pendidikan IPS ke dalam tujuh hal serius, yaitu :
1. Guru pendidikan IPS tidak bertindak sebagai fasilitator akan tetapi lebih
banyak bertindak dan berposisi sebagai sumber belajar.
2. Guru pendidikan IPS lebih banyak cenderung tampil sebagai pendidik yang
dapat mengembangkan secara terintegrasi dimensi intelektual, emosional,
dan sosial.
3. Guru pendidikan IPS lebih cenderung bertindak sebagai pemberi bahan
pembelajaran belum bertindak pembelajar.
4. Guru pendidikan IPS belum dapat melakukan pengelolaan kelas secara
optimal lebih banyak bertindak sebagai penyaji informasi dari buku.
5. Guru pendidikan IPS belum berkiprah secara langsung terencana membentuk
kemampuan berpikir dan sistem nilai peserta didik.
22
6. Guru pendidikan IPS lebih banyak bertindak sebagai pengajar, sehingga
belum banyak bertindak sebagai panutan.
7. Guru pendidikan IPS belum secara optimal memberikan kemudahan bagi
apara peserta didik perlu bertindak sebagai motivator dalam belajar.
8. Kelemahan pembelajaran dalam pendidikan IPS sebagaimana yang
digambarkan di atas, pada intinya dapat disimpulkan adalah karena
terbatasnya aktivitas belajar peserta didik dan sangat dominannya peran guru
dalam proses pembelajaran.
e. Karakteristik IPS
Karakteristik mata pelajaran IPS di SMP/MTs menurut Kemdikbud (2014:
8) antara lain sebagai berikut :
1.
IPS dibelajarkan dengan menggunakan geografi sebagai platform.
2. IPS merupakan gabungan dari unsur-unsur geografi, sejarah, eknomi, hukum
dan plitik, kewarganegaraan, sosiologi, bahkan juga bidang humaniora,
pendidikan dan agama.
3. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar IPS berasal dari struktur keilmuan
geografi, sejarah, ekonomi dan sosiologi yang dikemas sedemikian rupa
sehingga menjadi pokok bahasan atau tema tertentu.
4. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar IPS juga menyangkut berbagai
masalah sosial yang dirumuskan dengan pendekatan interdisipliner dan
multidisipliner.
5. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar dapat menyangkut peristiwa dan
perubahan kehidupan masyarakat dengan prinsip sebab akibat, kewilayahan,
23
adaptasi dan pengelolaan lingungan, struktur, proses dan masalah sosial serta
upaya-upaya perjuangan hidup agar survive seperti pemenuhan kenutuhan,
kekuasaan, keadilan danjaminan keamanan.
6. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar IPS menggunakan tiga dimensi
dalam mengkaji dan memahami fenomena sosial serta kehidupan manusia
secara keseluruhan.
f. Nilai-nilai Karakter dalam Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
Prinsip pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan pendidikan
karakter di sekolah adalah mengusahakan agar peserta didik itu mengenal dan
menerima nilai-nilai karakter sebagai milik mereka. Siswa dapat bertanggung
jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan mengenal pilihan,
menilai pilihan, menentukan pendirian, dan selanjutnya menjadikan suatu nilai
sesuai dengan kaykinan diri (Wibowo dan Hamrin, 2012 : 85).
Kehidupan menyimpan nilai-nilai pendidikan karakter yang begitu kaya.
Begitu pula dengan agama, kebudayaan, dan adat istiadat yang memberi pesan
untuk
menjadikan
manusia
bermartabat
marupakan
sumber-sumber
pembelajaran pendidikan karakter. Pendidikan karakter menjadi wadah dalam
menghimpun nilai-nilai keluhuran umat manusia yang terhimpun dari agama,
budaya, adat istiadat, kearifan lokal dan sebagainya.
Semua mata pelajaran mengusung pendidikan karakter sebagai salah satu
substansi pengetahuan dan nilai yang ingin ditanamkan kepada siswa. Berikut
disajikan nilai-nilai pendidikan karakter dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan
24
Sosial (IPS) sebagaimana dilansir oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan berikut ini :
Tabel 1. Nilai-nilai Karakter dalam Mata Pelajaran IPS
Mata Pelajaran
Nilai Utama
Religius,
IPS
jujur,
cerdas,
tangguh,
peduli,
demokratis, nasionalis, menghargai keberagaman,
berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, peduli
sosial dan lingkungan, berjiwa wirausaha, kerja
keras.
(Sumber: Kemendikbud, 2014: 80).
Nilai dasar karakter di atas, guru (pendidik) dapat memilih nilai-nilai
karakter tertentu untuk diterapkan pada peserta didik disesuaikan dengan
muatan materi dari setiap mata pelajaran (mapel) yang ada. Guru juga dapat
mengintegrasikan karakter dalam setiap proses pembelajaran yang dirancang
(skenario
pembelajaran)
dengan
memilih
metode
yang
cocok
untuk
dikembangkannya karakter peserta didik. Seperti contoh materi IPS Sejarah
dengan materi “Pergerakan Nasional”, guru menerapkan nilai0nilai karakter
tangguh, demokrtais, nasionalis serta kerja keras.
2. Nasionalisme
a. Konsep Nilai Nasionalisme
Nilai berasal dari bahasa Latin vale’re yang artinya berguna, mampu akan,
berdaya, berlaku, sehingga nilai diartikan sebagai sesuatu yang dipandang baik,
25
bermanfaat dan paling benar menurut keyakinan seseorang atau sekelompok
orang. Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu disukai,
diinginkan, dikejar, dihargai, berguna dan dapat membuat orang yang
menghayatinya menjadi bermartabat ( Adisusilo, 2014: 56).
Di dalam Dictionary of Sosciology and Related Sciences dikemukakan
bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda
untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik
minat seseorang atau kelompok. (the believed capacity of any object to statisfy a
human desire). Jadi nilai itu hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat
pada suatu obyek, bukan objek itu sendiri (Darmadi, 2012 : 67).
Menurut Winarno (2010 :3) Nilai bersifat abstrak, artinya nilai tidak dapat
ditangkap melalui indra. Nilai juga mengandung harapan akan sesuatu yang
diinginkan. Misalnya nilai keadilan, kesederhanaan. Orang hidup mengharapkan
mendapat keadilan. Kemakmuran adalah keinginan setiap orang. Jadi, nilai
bersifat normatif, suatu keharusan yang menuntut diwujudkan dalam tingkah
laku.
Sependapat dengan itu Sjarkawi (2006: 29) mengungkapkan bahwa nilai
merupakan kualitas suatu hal yang dapat menjadi objek kepentingan. Nilai
merupakan suatu yang tidak hanya diyakini melainkan suatu yang menjiwai
tindakan seseorang. Nilai seseorang selalu diukur melalui tindakan yang telah
dilakukannya. Nilai-nilai ini merupakan bagian kenyataan yang tidak dapat
dipisahkan atau diabaikan. Setiap orang melakukan tindakan haruslah sesuai
26
dengan seperangkat nilai-nilai baik nilai yang telah tertulis di masyarakat
maupun belum.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwasanya nilai adalah hal yang
bersifat abstrak yang tidak ditangkap melalui indra dan merupakan sifat atau
kualitas yang melekat pada suatu objek. Jadi pada dasarnya niai tidak dapat
dilihat maupun dirasakan oleh indra manusia. Apabila suatu objek memiliki sifat
atau kualitas yang baik maka dapat dikatakan objek itu bernilai positif. Nilai
seseorang selalu diukur melalui tindakan yang telah dilakukannya, sehingga
segala tindakan seseorang haruslah didasari dengan nilai-nilai yang sesuai dan
telah berlaku di masyarakat.
Dalam pembelajaran sejarah, nasionalisme merupakan tujuan pembelajaran
yang sangat penting dalam rangka membangun karakter bangsa. Dalam
Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah, mata pelajaran sejarah telah diberikan pada tingkat
pendidikan dasar sebagai bagian integral dari mata pelajaran IPS, sedangkan
pada tingkat pendidikan menengah diberikan sebagai mata pelajaran tersendiri
(Aman, 2011:34).
Nasionalisme sendiri mengacu pada faham yang mementingkan perbaikan
dan kesejahteraan nasion atau bangsanya. Di Indonesia terdapat banyak suku
atau etnik. Kelompok etnik yang bersifat sangat lokal ini perlu dikoordinasi
secara kolektif untuk menuju keinginan bersama. Jadi, klimaks dari pergerakan
nasional adalah pembentukan bangsa Indonesia. E Renan menyebut bahwa
nation est le desir d etre ensemble yaitu keinginan untuk ada bersama atau
27
nation est le desir de vivre ensemble yaitu keinginan untuk hidup bersama
(Suhartono, 2001:4).
Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan
kedaulatan sebuah negara (nation) dengan mewujudkan satu konsep identitas
bersama
utuk sekelompok manusia.
Substansi
nasionalisme
Indonesia
mempunyai dua unsur. Pertama; kesadaran mengenai persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia yang terdiri atas banyak suku, etnik, dan agama. Kedua,
kesadaran bersama bangsa Indonesia dalam menghapuskan segala bentuk
penjajahan dan penindasan dari bumi Indonesia ( Susanto, 2014: 2).
Menurut Abdullah (2001: 45) nasionalisme adalah sebuah cita-cita yang
ingin memberi batas antara “kita yang sebangsa” dengan mereka dari bangsa
lain, antara “negara kita” dan negara mereka, hubungan cita-cita nasionalisme,
yang bercorak trans-etnik dan yang menginginkan terjadinya identifikasi
“bangsa” dan “negara”, bisa tersalin dalam pola perilaku, yang bahkan menuntut
pengorbanan.
Berdasarkan pengertian nasionalisme di atas, maka terdapat unsur pokok
pembentukan nasionalisme yaitu :
a. Kesetiaan tertinggi individu diserahkan kepada Negara kebangsaan.
b. Keinginan untuk hidup bersama, pendirian rohani yang diwujudkan dengan
keinginan untuk membentuk suatu Negara kedaulatan.
Kesimpulan dari unsur-unsur di atas bahwa nasionalisme adalah paham
kesadaran seseorang (individu) dalam suatu bangsa yang berkeinginan untuk
mendirikan,
mempertahankan
serta
mengisi
suatu
bangsa
untuk
28
memperjuangkan kepentingan-kepentingan nasionalnya yang didorong oleh
keinginan untuk hidup bersama, persamaan satu jiwa serta suatu kebudayaan.
Sikap nasionalisme merupakan sikap cinta akan tanah air, menurut (Aman,
2011 :141) ada 6 indikator yang menunjukkan sikap nasionalisme yaitu sebagai
berikut :
a. Cinta tanah air
Cinta tanah air atau patriotisme merupakan modal yang penting dalam
membangun suatu Negara. Suatu Negara yang dihuni oleh orang-orang yang
cinta tanah air akan membawa kearah kemajuan. Sebaiknya negara yang tidak
didukung oleh cinta tanah air dari penduduk tersebut maka negara tersebut
menunggu kehancuran.
Pergerakan nasional yang tumbuh dan berkembang pada masa kolonial,
merupakan wujud cinta tanah air yang puncaknya dengan diproklamasikan
kemerdekaan negara kesatuan republik Indonesia. Wujud negara yang cinta
tanah air ialah melestarikan budaya bangsa di era globalisasi dunia,
meningkatkan etos kerja, mempunyai disiplin dalam arti luas, penghargaan
terhadap pahlawan, peringatan hari bersejarah, mempunyai semangat kerja dan
pengabdian terhadap negara.
b. Menghargai jasa-jasa pahlawan
Meneladani sikap kepahlawanan dan patriotisme adalah bentuk nyata
penghargaan terhadap para pahlawan. Dalam kehidupan sehari-hari, dapat
melatih diri supaya memiliki sifat-sifat kepahlawanan dan semangat cinta
bangsa dengan memulainya menghargai para pahlawan bangsa dengan
29
mengingat jasa-jasa mereka. Selain itu, mencontoh beberapa sikap mereka
seperti sikap rela berkorban, bersedia meminta dan memaafkan.
c. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara
Realitas menunjukkan bahwa Tuhan Yang Maha Esa mengarahkan kepada
bangsa Indoenesia pluraritas diberbagai hal seperti suku, budaya, ras, agama,
dan sebagainya. Anugrah itu patut disyukuri dengan cara menghargai
kemajemukan tetap dipertahankan, dipelihara, dan dikembangkan demi
kemajuan dan kejayaan bangsa.
d. Mengutamakan persatuan dan kesatuan
Kata persatuan dan kesatuan berasal dari kata “satu” yaitu sesuatu yang
tidak terpisah-pisah. Nilai persatuan Indonesia mengandung usaha kearah
bersatu dalam kebulatan rakyat membina nasional dalam Negara.
Mengutamakan persatuan
dan kesatuan merupakan suatu proses
terwujudnya nasionalisme. Modal dasar persatuan suatu warga negara
Indonesia baik yang asli maupun keturunan asing dari macam-macam suku
bangsa dapat menjalin kerjasama yang erat dalam gotong royong dan
kebersamaan
e. Berjiwa pembaharu dan tidak kenal menyerah
Kesadaran bernegara dari seseorang ditentukan oleh kualitas mental
sumber daya manusia itu sendiri. Kualitas mental yang diharapkan adalah
manusia yang berkualitas tersebut maka diperlukan manusia yang berjiwa
inovatif dan tidak kenal menyerah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
30
usaha mempertahankan kelangsungan bangsa dan tanah air, giat mempelajari
sejarah bangsa.
f. Memiliki sikap tenggang rasa sesama manusia
Tenggang rasa artinya dapat menghargai dan menghormati perasaan orang
lain, dengan tenggang rasa manusia dapat merasakan atau menjaga perasaan
orang lain sehingga orang lain tidak merasa tersinggung. Pelaksanaan sikap
tenggang rasa dapt diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari misalnya sebagai
berikut:
a) Menghormati hak-hak orang lain.
b) Kerelaan membantu teman yang mengalami musibah
c) Kesediaan menjenguk teman yang sedang sakit.
d) Kemampuan mengendalikan sikap, perbuatan, dan tutur kata yang dapat
menyinggung atau melukai perasaan orang lain.
Nasionalisme siswa dapat dilihat dari tingkah lakunya. Adapun sikap atau
tingkah laku yang mencerminkan nilai-nilai nasionalisme adalah sebagai
berikut :
a) Siswa merasa senang dan bangga menjadi warga negara Indonesia
b) Siswa mampu menghargai jasa-jasa pahlawan yang telah memperjuangkan
kemerdekaan bangsa Indonesia.
c) Siswa giat belajar untuk menghadapi tantangan di era globalisasi.
d) Siswa mempunyai rasa tolong menolong kepada sesamanya yang
membutuhkan.
e) Mencintai produk dalam negeri.
31
f) Menjenguk teman yang sakit.
g) Menghormati bapak ibu guru di sekolah
h) Menghormati teman di sekolah
i) Tidak memaksakan pendapat kepada orang lain.
Sedangkan menurut Yaumi (2014 : 105) karakter cinta tanah air harus
ditanamkan sejak dini sehingga peserta didik bisa memiliki cinta yang begitu
besar kepada negara dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :
1. Menggali nilai-nilai luhur bangsa Indonesia untuk menjadi modal dasar
dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
2. Menunjukkan rasa cinta kepada budaya, suku, agama, dan bahasa
Indonesia.
3. Memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada perjuangan para
pendahulu (pendiri) bangsa dengan menghargai dan mengamalkan hasil
karya dan jerih payah yang ditinggalkan.
4. Memiliki
kepedulian
terhadap
pertumbuhan
ekonomi,
kebersihan
lingkungan, dan pemeliharaan terhadap flora dan fauna.
5. Berpartisipasi aktif untuk memberikan suara dan memilih pemimpin bangsa
yang mampu membawa kemajuan bagi bangsa dan negara Indonesia.
Sartono Kartodirjo menyatakan bahwa semangat nasionalisme dalam
negara kebangsaan dijiwai oleh lima prinsip nasionalisme, yaitu:
a. Kesatuan (unity), dalam wilayah teritorial, bangsa, bahasa, ideologi, dan
doktrin kenegaraan, sistem politik atau pemerintah, sistem perekonomian,
sistem pertahanan keamanan, dan policy kehidupan.
32
b. Kebebasan (liberty,freedom,independence), dalam beragama, berbicara dan
berpendapat lisan dan tertulis, berkelompok dan berorganisasi.
c. Kesamaan (equality), dalam keadaan hukum, hak dan kewajiban.
d. Kepribadian (personality) dan identitas (identity), yaitu memiliki harga diri
(self estreem), rasa bangga (pride) dan rasa sayang (depotion) terhadap
kepribadian dan identitas bangsanya yang tumbuh dari dan sesuai dengan
sejarah dan kebudayaan.
e.
Prestasi (achievement), yaitu cita-cita untuk mewujudkan kesejahteraan
(walfare) serta kebesaran dan manusia (the greatnees and the gloryfication)
dari bangsanya (Kartodirjo dalam Aman, 2011:41).
Dari berbagai pendapat yang terdapat pada pengertian nilai dan pengertian
nasionalisme, dapat dikaji bahwasanya nilai nasionalisme yakni rasa cinta tanah
air serta sikap untuk mempertahankan harga diri dan kehormatan bangsa,
sehingga akan muncul perasaan satu sebagai suatu bangsa, satu dengan seluruh
warga yang ada dalam masyarakat. Adapun bentuk dari nasionalisme yaitu
memiliki toleransi, memiliki kedisiplinan, memiliki tanggung jawab, memiliki
kerja keras, memiliki sopan santun, dan memiliki sikap peduli sosial.
b. Strategi Penanaman Nilai Nasionalisme
Nasionalisme berkaitan erat dengan pendidikan karakter. Karakter sepeti
juga kualitas diri yang lainnya, tidak berkembang dengan sendirinya. Sekolah
perlu memilih model penanaman nilai yang sesuai dengan kenyataan dan kondisi
sekolah masing-masing. Dari model yang dipilih, metode penyampaiannya pun
perlu diperhatikan. Metode penyampaian harus sesuai dengan model pendidikan
33
karakter dan tujuan yang akan di capai, metode adalah cara untuk
menyampaikan nilai-nilai kepada siswa (Suprihatiningrum, 2013 : 262).
Menurut Samani (2011 : 58-63) strategi penanaman nilai bisa melalui:
1. Penanaman nilai secara terpadu melalui pembelajaran
Penanaman karakter atau nilai yang terpadu dalam pembelajaran
merupakan pengenalan nilai-nilai, diperolehnya kesadaran akan pentingnya
nilai-nilai, dan internalisasi nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik
sehari-hari melalui proses pembelajaran, baik yang berlangsung di dalam
maupun luar kelas pada semua mata pelajaran.
Kegiatan pembelajaran bertujuan menjadikan peserta didik menguasai
kompetensi (materi) yang ditargetkan. Serta, dirancang untuk menjadikan
peserta didik mengenal, menyadari atau peduli, dan menginternalisasi nilainilai dalam bentuk perilaku.
2. Penanaman nilai secara terpadu melalui manajemen sekolah
Manajemen didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang memiliki
tujuan bersama dan bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah
diterapkan. Sedangkan proses yang berlangsung terus menerus, yakni
dimulai dari membuat perencanaan dan pembuatan keputusan (planning),
mengorganisasikan sumber daya yang dimiliki (organizing), menerapkan
kepemimpinan untuk menggerakkan sumber daya (actuating); hingga
melaksanakan pengendalian (controlling).
Sebagai suatu sistem pendidikan, dalam menanamakan nilai juga
terdiri atas unsur-unsur pendidikan, yang selanjutnya akan dikelola mellaui
34
bidang-bidang perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian. Unsur-unsur
penanaman nilai yang akan direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan
tersebut antara lain meliputi nilai-nilai karakter kompetensi lulusan, muatan
kurikulum nilai-nilai karakter, nilai-nilai karakter dalam pembelajaran, nilainilai karakter pendidik dan tenaga kependidikan, serta nilai-nilai karakter
pembinaan peserta didik. Manajemen yang diterapkan dalam pendidikan
karakter harus bersifat partisipatif, demokratis, eloboratif, dan eksploraif
sehingga semua pihak merasakan kemajuan secara signifikan.
3. Penanaman nilai secara terpadu melalui ekstrakulikuler
Kegiatan ekstrakulikuler adalah kegiatan pendidikan di luar mata
pelajaran dan pelayanan konseling untuk membantu pengembangan peserta
didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui
kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga
kependidikan yang berkemampuan dan berwenang di sekolah.
Ekstrakulikuler jangan hanya didesain biasa-biasa saja, tidak menarik,
monoton, menjadi beban bagi anak, tidak ada nilai rekreasi dan
refreshingnya serta memusingkan kepala dan memberatkan peserta didik. Ini
yang harus dihindari dan menjadi tantangan bagi kepala sekolah dalam
memberdayakan ekstrakulikuler ini secara maksimal, efektif, dan produktif
bagi perkembangan karakter anak.
Sependapat dengan hal tersebut, Kokom Komalasari dkk menyebutkan
dalam jurnalnya yang berjudul “Living Values Education Model in Learning
and Extracurricular Activities to Construct the Students’ Character” bahwa
35
sekolah sebagai pendidikan lingkungan merupakan suatu wadah dalam
membangun karakter generasi muda. Pembangunan karakter di sekolah
dilakukan melalui integrasi dari kegiatan belajar mengajar di dalam kelas
dan di luar kelas melalui kegiatan ekstrakurikuler.
“School as education environment is a place to construct the character
of young generation. The construction of character at school is
conducted through the integration of learning activities in the
classroom and outside the classroom through extracurricular
activities” ( Komalasari, 2014 : Vol.5, No.7 hlm 168).
Suparno (202 : 45-47) memberikan contoh metode penyampaian
penanaman nilai yang relevan :
1. Metode keteladanan
Keteladanan merupakan salah satu metode yang dapat dilakukan untuk
mengajarkan nilai-nilai. Siswa terutama di tingkat pendidikan dasar akan
meniru apa yang dilakukan oleh guru dan orang tuanya. Hal ini penting bagi
guru dan orang tua memberikan teladan yang baik. Pengalaman anak
sewaktu kecil yang terendap di memori jangka panjang akan lebih mudah
dimunculkan kembali ketika anak menjadi dewasa. Dengan demikian,
penting untuk menciptakan lingkungan yang penuh dengan keteladanan
nilai-nilai baik.
2. Metode Pembiasaan
Dalam bidang psikologi pendidikan, metode pembiasaan dikenal
dengan istilah operan conditioning, mengajarkan pesera didik untuk
membiasakan perilaku terpuji, disiplin, giat belajar, bekeraj keras, ikhlas,
jujur, dan bertanggung jawab atas setiap tugas yang telah diberikan. Metode
36
ini perlu diterapkan oleh guru dalam proses pembentukan karakter, untuk
membiasakan peserta didik dengan sifat-sifat baik dan terpuji.
3. Metode live in (Boarding School)
Metode live in memungkinkaan anak memiliki pengalaman hidup
bersama orang lain dalam situasi yang berbeda dengan situasi hidupnya
sehari-hari, metode ini diterapkan dalam pondok pesantren, panti asuhan,
atau asrama. Namun dapat juga dilaksanakan secara periodik seperti
pesantren kilat atau tinggal di panti asuhan selama beberapa hari. Pada
umumya, orang-orang yang tinggal di tempat tersebut berasal dari latar
belakang keluarga yang berbeda. Hal ini akan memberikan pengalaman
kepada anak dalam mengenal lingkungan yang berbeda. Dengan
pengalaman langsung ini anak dapat mengenal lingkungan hidup yang
berbeda dalam cara berpikir, tantangan, permasalahan dan dapat jadi tentang
nilai-nilai hidupnya.
c. Media Penanaman Nilai Nasionalisme
Media apa saja yang dapat digunakan untuk menanamkan nilai karakter
seseorang? Banyak faktor atau media yang memengaruhi penanaman nilai
karakter ini, menyebabkan pendidikan sebagai wahana penanaman karakter
bukan sebuah usaha yang mudah.
Dalam berkembangnya teknologi informasi saat ini, peran media masa
yang terdiri atas media cetak, elektronik maupun multimedia termasuk di
dalamnya internet, juga memberikan pengaruh positif terhadap penanaman
nilai karakter. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan
37
karakter dilakukan melalui berbagai media yang mencakup keluarga,
lingkungan sosial, pendidikan formal, dan media massa (Sulistyowati,
2012:38).
1. Keluarga
Keluarga adalah komunitas pertama di mana manusia, sejakn usia
dini, belajar konsep baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, benar dan
salah. Dengan kata lain, di keluargalah proses pendidikan karakter
berawal. Pendidikan di keluarga ini akan menentukan seberapa jauh
seorang anak dalam prosesnya menjadi orang yang lebih bdewasa,
memiliki komitmen terhadap nilai moral tertentu seperti kejujuran, empati,
kesederhanaan, dan menentukan bagaimana dia melihat dunia sekitarnya,
seperti memandang orang lain yang tidak sama dengan dia berbeda status
sosial, suku, agama, ras, latar belakang budaya.
Perkembangan karakter pada setiap individu dipengaruhi oleh faktor
bawaan, faktor sosialisasi dan lingukungan. Oleh karea itu, disamping
pendidikan, peran keluarga juga sangat penting terhadap berkembangnya
karakter anak. Sebagimana yang diungkapkan Istiningsih dalam jurnalnya
yang berjudul “Contribution of
Religion and Media Awareness in
Building Character Appearance in the Family, Campus, Community, and
in the Self” bahwa keluarga merupakan lingkungan strategis dalam
membentuk karakter siswa dan menekan munculnya karakter. Oleh karena
itu penting untuk memberdayakan keluarga.
“The family is the strategic environment in shaping the character of
the students and suppress the appearance of the character. Therefore
38
important to empower families” (Istianingsih, 2013 : Vol.4, No.9 hlm
72).
2. Pendidikan Formal
Pendidikan formal yang dikelola dalam berbagai lembaga pendidikan
diharapkan berperan besar dalam pembangunan karakter. Lembagalembaga pendidikan formal diharapkan dapat mewujudkan tujuan
pendidikan nasional untuk membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur
dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun demikian, pengalaman
Indonesia selama empat dekade terakhir ini menunjukkan bahwa sekolahsekolah dan perguruan tinggi dengan cara-cara pendidikan yang
dilakukannya sekarang, belum banyak berkontribusi dalam hal ini.
Dalam menjalankan pendidikan karakter, terdapat tiga elemen yang
penting untuk diperhatikan yaitu prinsip, proses dan praktiknya dalam
pengajaran. Dalam menjalankan prinsip itu, nilai-nilai yang diajarkan
harus termanifestasikan dalam kurikulum. Sehingga, semua siswa dalam
sekolah
paham
menerjemahkannya
benar
tentang
dalam
nilai-nilai
perilaku nyata.
tersebut
dan
Untuk itu,
mampu
diperlukan
pendekatan optimal untuk mengajarkan karakter secara efektif diterapkan
di seluruh sekolah.
3. Media Masa
Peran media dalam penanaman karakter siswa sangat besar. Pengaruh
media massa terdiri atas 3 varian, di antaranya :
a. Menimbulkan peniruan langsung (copy-cut)
b. Menyebabkan ketumpulan terhadap norma (desensitisation)
39
c. Terbebas dari tekanan psikis (catharsis) bagi khalayak media massa.
3. Pendidikan Karakter
a. Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter merupakan proses untuk menuntun peserta didik
menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam hati, raga, pikir, serta rasa
dan karsa. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai,
pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan
mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baikburuk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam
kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati (Samani 2011 : 45).
Menurut Jarolimek dalam Zuriah (2007: 19) pendidikan karakter sering
disamakan dengan pendidikan budi pekerti. Seseorang dapat dikatakan
berkarakter atau berwatak jika telah berhasil menyerap nilai-nilai dan keyakinan
yang dikehendaki masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam
hidupnya. Sedangkan Amri (2011: 6) menyatakan bahwa pendidikan karakter
adalah usaha-usaha yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk
membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang
berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan
kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, dan perbuatan
berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Oleh karena itu, dari pengertian pendidikan karaker diatas dapat
disimpulkan bahwa pendidikan karakter merupakan konsep dasar yang
diterapkan ke dalam pemikiran seseorang untuk menjadikan akhlak jasmani
40
rohani maupun budi pekerti agar lebih berarti dari sebelumnya sehingga dapat
mengurangi krisis moral yang menerpa negeri ini
b. Tujuan Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan
dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan
karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu dan seimbang,
sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan
peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan
pengetahuannya untuk mengkaji, menanamkan, serta memaknai nilai-nilai
karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari (Amri
2011:31).
Adapun tujuan pendidikan karakter menurut Aqib (2012 : 65) adalah :
1. Mendorong kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan
dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius.
2. Meningkatkan kemampuan untuk menghindari sifat-sifat tercela yang dapat
merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
3. Memupuk ketegaran dan kepekaan peserta didik terhadap situasi sekitarnya
sehingga tidak terjerumus ke dalam perilaku yang menyimpang baik secara
individual maupun sosial.
4. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai
penerus bangsa.
Guru merupakan aktor utama pembelajaran. Karena itu, guru sangat
menentukan berhasil atau tidaknya proses pembelajaran. Jika dikaitkan dengan
41
pendidikan karakter lebih-lebih pendidikan antikorupsi yang saat ini tengah
menjadi andalan pemerintah, maka peranan guru sangat penting. Pendek kata,
peran guru dalam keberhasilan internalisasi pendidikan karakter kepada anak
didik adalah kunci utama. Faktor lain seperti kurikulum, budaya, kegiatankegiatan spontan, hanya merupakan pendukung bagi guru (Wibowo, 2013 :125).
c. Pendidikan Karakter dalam Kurikulum 2013
Kurikulum 2013 berkaitan erat dengan penerapan pendidikan karakter di
sekolah melalui pembelajaran di kelas. Kurikulum 2013 lebih menekankan pada
model pembelajaran tematik dengan pendekatan saintifik yang berbasis pada
pendidikan karakter yang diharapkan dapat mengembangkan tiga kompetensi
penting, yakni kognisi, afeksi, dan psikomotor. Kurikulum 2013 telah
mengamanatkan
untuk
memberikan
kesempatan
pada
siswa
dalam
mengembangakan domain sikap, pengetahuan dan keterampilan yang dituangkan
dalam standar Kompetensi Lulusan (SKL) baik tingkat SD, SMP maupun
SMA/SMK yang selanjutnya di uraikan dalam Kompetensi Inti (KI) yang terdiri
dari KI sikap spiritual, KI sikap sosial, KI pengetahuan dan KI keterampilan.
Kompetensi inti ini menjadi payung bagi semua mata pelajaran yang diajarkan
pada jenjang sekolah tertentu. Kompetensi Inti ini selanjutnya dijabarkan di
masing-masing mata pelajaran dalam bentuk Kompetensi Dasar (KD) yang
meliputi KD yang berasal dari sikap spiritual, KD yang berasal dari sikap social,
KD yang berasal dari pengetahuan, dan KD dari keterampilan. Dalam proses
pembelajaran yang dilakukan guru terhadap siswa harus mencakup KD sikap
spiritual, KD sikap sosial, KD pengetahuan dan KD keterampilan sehingga
42
kompetensi yang berkembang dalam pribadi siswa tentu menyeluruh dari semua
domain sikap, pengetahuan dan keterampilan.
Hal tersebut sesuai dengan Muzamiroh (2013:54) pendidikan karakter
sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan
watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk
memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik & mewujudkan
kebaikan, kurikulum 2013 menekankan pada pembentukan sikap. Salah satu ciri
kurikulum 2013 adalah selalaui mengaitkan antar sikap, pengetahuan, dan
keterampilan dalam satu kontek pembelajaran. Guru menyampaikan materi dari
KD yang berasal dari KI 3 yaitu unsur pengetahuan, selanjutnya dikembangkan
KD yang berasal dari KI 4 yaitu unsur keterampilan, barulah di pikirkan sikap(KD
yang berasal dari KI 1 dan 2) apa yang akan dikembangkan melalaui KD 3 dan
KD 4 itu. Dengan demikian satu proses pembelajaran berlangsung siswa akan
mengembangkan aspek sikap, pengetahuan dan keterampilan secara bersamasama, artinya dengan kurikulum 2013 itu akan terbangun pendidikan karakter
secara otomatis karena penanaman nilai-nilai kehidupan (nilai-nilai karakter)
terintegrasi dalam setiap proses pembelajaran.
d. Pendidikan Karakter Kemendiknas
Grand desain yang dikembangkan Kemendiknas (2010) mengandung arti
bahwa secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri
individu meliputi fungsi dari seluruh potensi manusia yakni meliputi kognitif,
afektif, konatif, dan psikomotorik
dalam konteks interaksi sosial kultural.
Interaksi sosio kultural tersebut yakni dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat
43
yang berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas
proses psikologis dan sosial kultural tersebut dapat dikelompokkan menjadi olah
hati (spiritual and emosional development), olah pikir (intellectual development)
olah raga dan kinestetik (physical and kinesthetic development), serta olah rasa
(affective and creativity development).
Gambar 1 : Pengelompokan Konfigurasi Karakter dalam Psikologis
(Sumber : Aqib, 2012: 32)
Berdasarkan gambar di atas, pengkategorian nilai didasarkan pada
pertimbangan bahwa pada hakekatnya perilaku seseorang yang berkarakter
merupakan perwujudan fungsi totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi
individu manusia (kognitif, afektif, dan psikomotorik) dan fungsi totalitas sosialkultural dalam konteks interkasi (dalam keluarga, satuan pendidikan, dan
masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat (Wibowo, 2011: 45).
Pembangunan karakter bangsa dapat dilakukan melalui pendidikan,
pembelajaran, dan fasilitas. Melalui pendidikan, pembangunan karakter dilakukan
dalam konteks makro dan mikro. Dalam konteks makro, penyelenggaraan
44
pendidikan
karakter
mencakup
keseluruhan
kegiatan
perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan (implementasi) dan pengendalian mutu, yang
melibatkan seluruh unti utama di lingkungan pemangku kepentingan pendidikan
nasional. Sedangkan dalam konteks mikro
merupakan penyelenggaraan
pendidikan karakter pada tingkat sekolah (Sulistyowati, 2012: 9)
Alur penyelenggaraan pendidikan karakter secara makro seperti pada gambar
di bawah ini :
Gambar 2 : Desain pengembangan pendidikan secara makro (Sumber: Aqib,
2012: 72)
Berdasarkan gambar di atas, implementasi nilai-nilai pendidikan karakter
dilaksanakan melalui proses pemberdayaan dan pembudayaan sebagaimana
digariskan sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional. Proses
ini berlangsung dalam tiga pilar pendidikan, yakni dalam : 1) sekolah, 2) keluarga,
3) masyarakat.
Dalam masing-masing pilar pendidikan, akan ada dua jenis pengalaman
belajar yang akan dibangun melalui dua pendekatan yakni intervensi dan
habituasi. Dalam intervensi, dikembangkan suasana interaksi belajar dan
45
pembelajaran yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan pembentukan
karakter dengan menerapkan kegiatan yang terstruktur . Agar proses pembelajaran
tersebut berhasil, peran guru sebagai sosok panutan sangat penting dan
menentukan.
Menurut Mir Abdullah Shahneaz dalam jurnalnya yang berjudul “ The Impact
of Teacher and Technology in Class Room” guru dalam menjalankan perannya
tidak saja hanya menjadi penyampai ilmu tapi juga menjadi contoh anak didiknya
serta bisa menjadi peran apapun yang dibutuhkan anak didiknya termasuk
penasihat yang bijak.
“Teacher is responsible for many tasks in the classroom teaching. Teacher
plans and implement the instructions. He plays the role of managers,
psychologists, counselors, custodians, communicators, social ambassadors
and entertainers”. (Shahneaz, 2014 : Vol.5, No.27 hlm 84).
Sedangkan di lingkungan keluarga dan masyarakat, intervensi dilakukan
dengan memberikan contoh pembelajaran melalui perilaku terpuji dan karakter
yang baik.
Sementara itu, dalam habituasi, diciptakan situasi dan kondisi dan penguatan
yang memungkinkan siswa pada sekolah, rumah, lingkungan, membiasakan diri
berperilaku sesuai nilai dan menjadi karakter yang telah diinternalisasi melalui
proses intervensi. Proses pembudayaan dan pemberdayaan yang mencakup
pemberian
contoh,
pembelajaran,
pembiasaan,
dan
penguatan
harus
dikembangkan secara sistematik, holistik, dinamis, kuat dan pikiran yag
argumentatif. Diharapkan, melalui pilar satuan pendidikan (sekolah), keluarga dan
46
masyarakat dapat dilakukan proses pembudayaan dan pemberdayaan nilai
karakter secara efektif.
Sedangkan alur penyelenggaraan pendidikan karakter secara mikro seperti
pada gambar di bawah ini :
Gambar 3 : Desain pengembangan pendidikan karakter secara mikro
(Sumber: Aqib, 2012: 34)
Pengembangan karakter di sekolah dibagi dalam empat pilar, yakni belajarmengajar di kelas, keseharian dalam bentuk pengembangan budaya sekolah; kokurikuler dan/ atau ekstrakulikuler, serta keseharian di rumah dan masyarakat.
Implementasi pendidikan karakter di sekolah dikembangkan melalui
pengalaman belajar, dan proses pembelajaran yang bermuara pada pembentukan
karakter dalam diri siswa. Pendekatan karakter dalam kegiatan belajar mengajar di
kelas, dilaksanakan menggunakan pendekatan terintegrasi dalam semua mata
47
pelajaran. Selain itu, pendidikan karakter juga dikembangkan melalui kegiatan
ekstrakulikuler. Melalui kegiatan tersebut, siswa dapat difasilitasi untuk
mengembangkan karakter mereka, pendidikan karakter di sekolah juga harus
dilaksanakan melalui pengelolaan sekolah.
Selanjutnya implementasi pendidikan karakter bisa dilakukan dalam bentuk
budaya sekolah, perlu dikondisikan agar lingkungan fisik dan sosio kultural
sekolah, memungkinkan para siswa membangun kegiatan keseharian di sekolah
yang mencerminkan perwujudan karakter yang dituju. Pola ini ditempuh dengan
melakukan pembiasaan dengan pembudayaan aspek-aspek karakter dalam
kehidupan keseharian di sekolah dengan pendidik sebagai teladan (Aqib,
2012:35).
Pendidikan karakter, selain diterapkan di sekolah, dilingkungan keluarga dan
masyarakat, diupayakan juga agar terjadi proses penguatan dari orang tua/wali
serta tokoh-tokoh masyarakat sehingga menjadi kegiatan keseharian di rumah dan
lingkungan masing-masing. Hal ini dapat dilakukan lewat komite sekolah,
pertemuan wali murid, kunjungan/kegiatan wali murid yang berhubungan dengan
kumpulan kegiatan sekolah dan keluarga yang bertujuan menyamankan langkah
dalam membangun karakter di sekolah, rumah, dan masyarakat (Wibowo,
2011:48).
Pada tahap evaluasi hasil, dilakukan assesment program untuk perbaikan
berkelanjutan yang dirancang dan dilaksanakan untuk mendeteksi aktualisasi
karakter dalam diri siswa sebagai indikator bahwa proses pembudayaan dan
48
pemberdayaan karakter itu berhasil dengan baik, menghasilkan sikap yang kuat,
dan pikiran yang argumentatif.
Ketika semua urusan sekolah dari hari ke hari dikelola dengan dilandasi oleh
pelaksanaan nilai-nilai karakter, sekolah akan menjadi komunitas yang
berkarakter. Sekolah akan menjadi tempat di mana nilai-nilai karakter
dilaksanakan, dan sekolah akan menjadi tempat bagi setiap siswa membiasakan
perilaku berkarakter.
B. Penelitian yang Relevan
Berikut ini akan dikemukakan penelitian yang relevan dengan bahasan dalam
penelitian ini :
1. Jurnal pendidikan karakter, Tahun IV, Nomor 1, Februari 2014. Aman Dengan
judul “Aktualisasi Nilai-Nilai Kesadaran Sejarah dan Nasionalisme Dalam
Pembelajaran Sejarah di SMA”
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa (1) aktualisasi nilai-nilai kesadaran
sejarah dalam pembelajaran sejarah ditunjukkan melalui upaya a)penanaman
penghayatan arti penting, sejarah untuk masa kini dan mendatang, b)
mengenal diri sendiri dan bangsanya, c) pembudayaan sejarah bagi pembinaan
budaya bangsa, dan (d) menjaga kepentingan sejarah bangsa. (2) aktualisasi
nilai-nilai nasionalisme ditunjukkan melalui upaya penanaman (a) rasa bangga
sebagai bangsa Indonesia, (b) rasa cinta tanah air dan bangsa, (c) rela
berkorban demi bangsa, (d) menerima kemajemukan, (e) rasa bangga pada
budaya yang beraneka ragam, (f) menghargai jasa para pahlawan, dan (g)
mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.
49
2. Skripsi.Gita Enggarwati (2013) berjudul “ Penanaman Sikap Nasionalisme
Melalui Mata Pelajaran IPS Pada Siswa Kelas IV SD Negeri 2 Sumampir”
Hasil Penelitian ini menyimpulkan bahwa cara guru untuk menanamkan sikap
nasionalisme melalaui mata pelajaran IPS antara lain dengan pembiasaan,
keteladanan, pemberian contoh yang kontekstual, pembelajaran melalui cerita
dan media, seperti gambar pahlawan dan lagu nasional. Hal yang paling
efektif dilakukan oleh guru diantara cara tersebut adalah pembiasaan dan
keteladanan karena dapat dilakukan guru setiap hari. Perwujudan sikap
nasionalisme siswa antara lain perilaku rela berkorban, cinta naha air, bangga
sebagai bangsa Indonesia, persatuan dan kesatuan, patuh terhadap peraturan,
disiplin, berani, jujur, serta bekerja keras. Perilaku siswa yang paling
menonjol diantara aspek tersebut adalah kerja keras karena guru melakukan
pembiasaan kepada siswa untuk aktif ketika pembelajaran. Penyebab
terhambatnya penanaman sikap nasionalisme antara lain keterbatasan media
pembelajaran, waktu, serta kesenjangan antara lingkungan keluarga dan
masyarakat.
3. Agung, Leo.2011. Vol XII, No. 2 : “Character Education Integration in
Social Studies Learning, dalam HISTORIA: International Journal of History
Education”. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa pendidikan karakter yang
berfokus pada pengembangan identitas siswa untuk menjadi cerdas dan
berkarakter perlu dipaksa melalui pendidikan formal dan informal. Hal ini
dapat diimplementasikan dalam pendidikan formal di sekolah, khususnya
melalui pelajaran IPS, karena tujuan IPS tidak hanya tentang aspek kognitif
50
(keterampilan intelektual), tetapi juga aspek afektif (keterampilan personal).
Dengan kata lain, pembelajaran IPS umumnya diajarkan tentang sikap, nilai,
dan moral. Oleh karena itu, guru IPS harus mampu kreatif merencanakan
pelajaran dan menerapkannya. Hal yang penting dalam proses pembelajaran
adalah guru sebagai model peran.
4.
Sutrisna, Edy dan Wasino.2010. Vol 20 No.2 dalam PARAMITA hlm 178189 “Pembelajaran IPS dalam realita di era KTSP: Studi Eksplorasi
Pelaksanaan Pembelajaran IPS Pada SMP di Kabupaten Pati” menyatakan
bahwa Di tengah-tengah keterbatasan media pembelajaran dan sumber
pembelajaran IPS yang tersedia di sekolah, para guru IPS secara umum juga
jarang memanfaatkan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan
sosial sebagai media dan sumber pembelajaran. Padahal rata-rata guru telah
memahami bahwa laboratorium IPS sebagian besar justru terdapat di
lingkungan. Sejatinya, para guru IPS telah mengetahui dengan baik bahwa
lingkungan merupakan sumber dan media pembelajaran IPS. Kepedulian dan
kreativitas guru dalam merencanakan dan mengorganisasikan kegiatan
pembelajaran yang baik masih menjadi kendala.
5. Citra
Ayu
(2014)
Universitas
Negeri
Semarang,
Judul:
“Peranan
Pembelajaran Sejarah Dalam Penanaman Sikap Nasionaslisme siswa kelas XI
IPS SMA Negeri Pecangaan”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh
globalisasi, internet dikalangan siswa kelas XI IPS SMA Negeri Pecangaan
begitu mudah memasuki pikiran siswanya. Hal ini mengakibatkan siswa susah
menerima apa yang disampaikan oleh guru. Siswa seringkali menggunakan
51
intenet tidak secara bijak sehingga dampak dalam pembelajaran berlangsung,
siswa tidak konsentrasi dan penyerapan nilaipun terhambat.
6. W. O Ibukun. 2010. Vol 1, No 2. “Nigeria’s National Policy on Education
and the University Curriculum in History: Implication for Nation Building”
Penelitian ini mengkaji masalah pendidikan di Nigeria yang menekankan
pendekatan yang lebih proaktif dalam pengajaran sejarah di sekolah menengah
dan perguruan tinggi. Pendidikan di Nigeria telah mengajarkan studi sosial
karena pengajaran IPS dianggap sebagai pilihan yang tepat untuk dapat maju
dalam rangka membangun bangsa dari sekelompok etnis yang beragam.
Pemerintah Nigeria membuat strategi adanya pengajaran sejarah atau ilmu
sosial di tingkat sekolah dan perguruan tinggi disebabkan kurangnya
kesadaran historis. pengajarn sejarah sebagai pendekatan untuk mencapai
pembangunan bangsa di Nigeria hanya bisa bermakna jika teknik mengajar
yang seperti teknik berpikir kritis yang digunakan di dalam kelas.
Dalam penerapan pembelajaran sosial di sekolah menengah di Nigeria
menggunakan pendekatan yang menekankan siswa pada ketrampilan berpikir
analisis untuk memahami arti dan makna peistiwa masa lalu. Strategi tersebut
mendorong siswa lebih mengerti keadaan historis negaranya yang membuat
kecintaannya bertambah
terhadap negara dan membuat siswa lebih
menghormati kelompok-kelompok etnis lain yang ada di Negara tersebut.
C. Kerangka Pikir
Kerangka teoritis adalah kerangka pikir yang bersifat teoritis atau
konseptual mengenai masalah yang akan diteliti. Kerangka pikir tersebut
52
menggambarkan hubungan antara konsep-konsep atau variabel-variabel yang
akan diteliti.
Pendidikan dewasa ini mempunyai tantangan yang besar, terkait masalah
moral bangsa yang semakin mengkhawatirkan. Hal ini ditunjukkan dengan
adanya pergeseran moral anak bangsa, misalnya banyak siswa yang tawuran,
demo mahasiswa yang berakhir kerusuhan merusak fasilitas umum, hal ini
disebabkan karena mereka tidak menjunjung nilai nasionalis dan persatuan
bangsa. Demikian ini sudah tergerusnya nilai-nilai bangsa yang mulai luntur,
pendidikan merupakan salah satu jalan untuk menyelesaikan masalah yang
kompleks tersebut.
Konsep yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah tentang penanaman
nilai nasionalismemelalui pembelajaran IPS sehingga dapat membentuk sikap
nasionalisme peserta didik. Pengaruh arus deras budaya global yang negatif
menyebabkan kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa semakin
memudar. Hal ini tercermin dari perilaku masyarakat Indonesia yang lebih
menghargai budaya asing dibandingkan budaya bangsa sendiri. Baik dalam
cara berpakaian, bertutur kata, kurangnya penghargaan terhadap produk dalam
negeri.
Melalui Pendidikan karakter inilah penanaman nilai-nilai karakter yang
saat ini sedang gencar dideklarasikan oleh pemerintah ditujukan untuk
perbaikan moral bangsa. Guru IPS sebagai pendidik merupakan salah satu
agen perubahan yang dapat ikut andil dalam pelaksanaan pendidikan karakter
melalui proses pembelajaran IPS. Mata pelajaran IPS ini meliputi materi yang
53
telah dianalisis oleh guru sehingga didapatkan nilai-nilai karakter yang baik
yang dapat dikembangkan dari diri peserta didik. Metode penanaman nilai
yang dilakukan oleh guru IPS yaitu metode kebiasaan dan metode keteladanan
untuk menenamkan nilai nasionalisme dalam pembelajaran IPS. Dalam
penyampaian pembelajaran, metode, model, dan media (perencanaan
pembelajaran) yang digunakan pun disesuaikan dengan nilai-nilai karakter
yang akan dikembangkan melalui budaya sekolah, kegiatan ekstrakulikuler
yang dilaksanakan oleh pihak sekolah. Selain itu, faktor-faktor yang
menghambat pengembangan karakter pun perlu untuk digali agar pendidikan
karakter dalam pelaksanaannya benar-benar maksimal dan terealisasi dengan
baik sehingga pengembangan karakter peserta didik dapat berjalan sesuai
dengan tujuan dari adanya pendidikan karakter itu sendiri.
Pendidikan
Karakter
Kegiatan
Ekstrakulikuler
Penanaman Nilai
Nasionalsime
Budaya Sekolah
Pembiasaan
Pembelajaran IPS
Peneladanan
Perencanaan Pembelajaran
Guru IPS
Kendala
Gambar 4 : Kerangka Pikir Penelitian
Evaluasi
Download