1 gambaran status gizi dan penyakit infeksi pada

advertisement
GAMBARAN STATUS GIZI DAN PENYAKIT INFEKSI PADA ANAK BALITA
(12-59 BULAN) DI POSKO PENGUNGSIAN ERUPSI GUNUNG SINABUNG
KABUPATEN KARO TAHUN 2014
(DESCRIPTION OF NUTRITIONAL STATUS AND INFECTIOUS DISEASES OF CHILDREN
UNDER FIVE (12-59 MONTHS) ON POST EVACUATION OF SINABUNG ERUPTION KARO
DISTRICT 2014
Tasya Arida Wijaya1, Zulhaida Lubis2, Albiner Siagian,3
1
Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat, FKM USU
2,3
Staf Pengajar Gizi Kesehatan Masyarakat, FKM USU
ABSTRACT
The limited of food availability makes children under five group needs special attention
while in the evacuation in order to avoid malnutrition and infectious diseases. Purpose of this
research is to know the description nutritional status and infectious diseases to children under
five (12-59 months) and to look description of adequacy energy and protein consumption to
children under five (12-59 months) in the UKA post evacuation II eruption of Sinabung
Mountain in 2014. This is a descriptive research with cross sectional design. Sampling using
simple random sampling method and obtained sampel as many as 58 children under five. The
results of this research showed nutritional status of children under five based on weight/age
experiencing malnutrition as many as 9 children or 15.5%. Based on the lengt/age short children
's nutritional status showed as many as 18 children (31.0 %), and as many as 15 children (25.9
%) is very short. Meanwhile, according to weight-for-length there are 4 children or by 6.9 %
underweight. Good Energy sufficient level of children under five is 31 children (53,4%), average
sufficient level is 27children (46,6%). For good protein sufficient level is 33 children (56,9%).
And for average Protein sufficient level is 25 children (43,1%). All of children under five in the
evacuation exposed to infectious diseases, including 54 children (93.1 %), respiratory tract
infection , 40 children (69 %) experienced diarrhea (41.4 %) or as many as 24 children and 48
children with measles (82.2 %) experience itching. From these results it is expected to Karo’s
Government, Karo’s health department, and officer of UKA II that more attention to the
provision of a variety of types of food that can meet energy and protein needs to be processed
into the daily diet in the post evacuation especially those under five children, improvement of
sanitary facilities, SPAL, and trash.
Keywords : refugee, under five children, infectious disease, nutritional status
PENDAHULUAN
Posisi wilayah Indonesia, secara geografis
dan demografis menjadikannya
sebagai
daerah yang rawan bencana. Bencana
merupakan peristiwa atau rangkaian
peristiwa
yang
mengancam
dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan baik oleh
faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
1
lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis (BNPB, 2012). Bencana
yang disebabkan faktor alam dapat berupa
banjir, gunung meletus, longsor, tsunami,
gempa bumi, kebakaran hutan dan angin
puting beliung.
Kondisi bencana menyebabkan masyarakat
yang berada di sekitar wilayah bencana
harus mengungsi, mencari tempat yang lebih
aman. Perpindahan tersebut menjadikan
masyarakat akan tinggal di tempat yang
memiliki segala keterbatasan, baik dari segi
sandang,
pangan
maupun
papan.
Ketersediaan pangan yang terbatas sangat
berdampak kepada kondisi pertumbuhan dan
perkembangan anak balita yang merupakan
kelompok usia rentan. Kekurangan gizi
terutama pada anak balita mempengaruhi
resiko kematian, kesakitan, pertumbuhan
fisik, perkembangan mental dan kecerdasan
(Sianipar, 2001).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Departemen Kesehatan dan UNICEF
terhadap pengungsi Timor Timur di Nusa
Tenggara Timur tahun 2002 menunjukkan
bahwa 24% balita dikategorikan kurus, 8%
diantaranya sangat kurus sedangkan hasil
survei cepat yang dilakukan pada 13
kabupaten pasca tsunami di Propinsi NAD
(Februari-Maret
2005)
menunjukkan
prevalensi anak gizi kurang 41,5%, anak
kurus 11,2%, anak pendek 36,75% (Depkes
RI, 2007). Dampak kerusuhan yang
menyebabkan masyarakat mengungsi di
Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat
sebesar 17,5% anak balita pengungsi
mengalami gizi buruk (Tjuanda, 2001). Pada
penelitian yang dilakukan oleh Sianipar
(2001) di Kabupaten Belu Propinsi Nusa
Tenggara Timur dari 258 anak balita yang
menjadi sampel diperoleh proporsi KEP
26,4% menurut BB/TB dan 41,1% menurut
BB/U.
Tempat
pengungsian
juga
memiliki
lingkungan yang kotor serta keterbatasan air
bersih dan pelayanan kesehatan yang
menyebabkan tingginya angka penyakit
infeksi pada balita. Data WHO 2001
menyebutkan bahwa 51% angka kematian
balita disebabkan oleh pneumonia, diare,
campak dan malaria serta lebih separuhnya
yakni 54% erat hubungannya dengan
masalah gizi (Depkes RI, 2007).
Besar kemungkinan terjadinya masalah gizi
pada balita dikarenakan mereka sudah
berada sejak Oktober 2013 silam di kondisi
pengungsian dan apabila tidak mendapatkan
penanganan serius akan terjadi kelaparan tak
kentara atau kelaparan tersembunyi (hidden
hunger), tubuhnya tampak normal tetapi
sebenarnya sedang mengalami kekurangan
gizi mikro (vitamin dan mineral). Dampak
bencana tersebut mengakibatkan terjadinya
kedaruratan di segala bidang termasuk
kedaruratan situasi masalah kesehatan dan
gizi. Masalah gizi yang biasa terjadi adalah
kurang gizi pada bayi dan balita, bantuan
makanan
sering
terlambat,
tidak
berkesinambungan
dan
terbatasnya
ketersediaan pangan lokal juga dapat
memperburuk kondisi yang ada.
Survei awal yang dilakukan pada April 2014
bertempat di posko pengungsian UKA
(Universitas Karo) II, tempat ini merupakan
bekas Universitas Karo yang sudah tidak
dipakai karena tidak lagi menjalani proses
belajar mengajar sedangkan angka II
menunjukkan
ada
beberapa
posko
pengungsian yang bertempat di Universitas
Karo tersebut dan ini adalah posko yang
kedua di Universitas Karo. Alasan pemilihan
tempat ini dikarenakan jumlah balita
terbanyak berada di posko UKA II yakni
berjumlah 136 orang balita dan juga apabila
ditinjau dari segi lingkungan dan air bersih
tempat ini hanya memiliki 3 kamar mandi
dan 6 toilet yang masih layak digunakan
2
selebihnya sudah tidak dapat digunakan lagi,
jumlah ini tidak sebanding dengan
banyaknya pengungsi yang tinggal di sini
yakni 1.225 jiwa.
Adapun yang menjadi rumusan masalah
dalam penelitian ini yaitu bagaimana status
gizi dan penyakit infeksi pada anak balita
(12-59 bulan) yang berada di posko
pengungsian UKA II erupsi Gunung
Sinabung Kabupaten Karo tahun 2014.
Manfaat dari penelitian ini diharapkan
menjadi masukan untuk perencanaan
program perbaikan status gizi dan penyakit
infeksi pada balita (12-59 bulan) pascapengungsian kepada Dinas Kesehatan
Kabupaten Karo.
METODE
Jenis penelitian adalah deskriptif dengan
design cross sectional. Populasi penelitian
ini adalah seluruh anak balita yang berada di
posko pengungsian UKA II, yaitu sebanyak
136 balita. Sampel yaitu sebanyak 58 balita.
Data yang dikumpulkan meliputi penyakit
infeksi yang diderita balita, konsumsi energi
dan protein, serta status gizi balita yang
dianalisis secara univariat untuk melihat
distribusi frekuensi.
Pengumpulan data primer berupa status gizi
seperti berat badan dan tinggi badan yang
diperoleh melalui pengukuran langsung
menggunakan metode antropometri dengan
menggunakan dacin atau timbangan injak
dan mikrotoise atau alat pengukur panjang
badan. Data untuk mengetahui konsumsi
makanan diperoleh dengan metode food
recall 24 jam yang dilakukan sebanyak satu
kali oleh peneliti. Penentuan recall yang
hanya dilakukan satu kali disebabkan karena
tidak banyak variasi menu makanan yang
disajikan setiap harinya. Sedangkan untuk
penyakit infeksi, dilakukan wawancara
langsung dengan ibu balita mengenai
gangguan kesehatan yang dialami balita
sebulan terakhir untuk penyakit infeksi
saluran pernafasan, diare, dan gatal-gatal
serta selama tinggal di posko pengungsian
UKA II erupsi Gunung Sinabung untuk
penyakit campak melalui kuesioner.
Pengmpulan data sekunder yaitu data
geografis Kabupaten Karo, data yang
diperoleh dari catatan posko pengungsian
UKA II erupsi Gunung Sinabung yang
berupa identitas balita.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kabupaten Karo berada di antara 2o50`3o19` Lintang Utara dan 97o551-98o38`
Bujur Timur dengan luas 2127,25 Km2 atau
2,97 persen dari luas Propinsi Sumatera
Utara. Kabupaten Karo terletak pada jajaran
Bukit Barisan dan sebagian besar
wilayahnya merupakan dataran tinggi (BPS
Kabupaten Karo, 2012).
Salah satu dari gunung berapi tersebut, yaitu
Gunung Sinabung, beberapa bulan lalu
mengalami erupsi dan mengakibatkan lebih
dari 33.000 orang mengungsi. Masyarakat
yang terpaksa meninggalkan desanya untuk
mengungsi tersebar di berbagai kawasan di
atas radius 7 KM dari kaki Gunung
Sinabung dan terdapat 42 titik pengungsian
(BNPB, 2014). Sampai penelitian ini
dilakukan masih terdapat 18 titik
pengungsian dengan jumlah 7.572 jiwa
sedangkan selebihnya sudah dipulangkan ke
desa semula ataupun direlokasi ke tempat
lain (BNPB, 2014).
Posko pengungsian yang memiliki balita
terbanyak adalah Posko UKA II yakni
sebanyak 136 balita. Desa yang menetap di
posko ini berasal dari Desa Kuta Rayat,
Kuta Gugung, Sigarang-Garang, Kuta
Tengah yang terdiri dari berbagai suku
3
bangsa dan agama. Untuk suku bangsa
mayoritas adalah suku Batak Karo
sedangkan untuk agama yakni Agama
Kristen.
Pengolahan makanan di posko UKA II
dilakukan di dapur umum yang terdapat di
dalam posko, dapur umum ini hanya
menggunakan tenda dan tidak memiliki
pintu serta berlantaikan batako.
Pelayanan kesehatan di posko ini sudah
tidak ada lagi sejak Bulan Juli 2014 padahal
sebelumnya pada survei pendahuluan yang
dilakukan di Bulan April 2014 masih
terdapat posko kesehatan. Sehingga banyak
masyarakat yang tinggal di posko ini harus
mencari pelayanan kesehatan di tempat lain
misalnya ke rumah sakit, puskesmas
setempat atau ke tenaga medis seperti bidan
tetapi ada juga yang membeli obat sendiri di
warung terdekat.
Sanitasi dan higine lingkungan posko sangat
tidak memadai hal ini dapat dilihat dari
SPAL, WC, kamar mandi, dan tempat
pembuangan sampah yang ada di posko.
SPAL yang ada tidak memiliki tutup
sehingga bersifat terbuka. WC yang tersedia
sudah banyak yang tidak dapat dipakai lagi,
dari 10 WC yang tersedia hanya 6 yang
dapat digunakan hal ini dikarenakan WC
tersebut tersumbat. Kamar mandi yang bisa
digunakan hanya 4 buah, hal ini dikarenakan
di dalam kamar mandi sudah banyak
terdapat tumpukan sampah. Tempat
pembuangan sampah di posko ini terdapat 1
buah tempat sampah besar yang susah
dibesihkan dan dalam keadaan tidak tertutup
selebihnya ada beberapa yang kecil berupa
keranjang sampah, tetapi masih banyak
sampah yang berserakan di halaman posko
pengungsian.
Penyediaan air bersih dipasok melalui Dinas
Pekerjaan Umum (PU), setiap harinya
dilakukan 4-6 kali menggunakan tangki air
berkapasitas 4.000 L.
Tabel 1. Distribusi Karekteristik Ibu Berdasarkan
Variable Umur dan Pendidikan
Karekteristik
Ibu
Umur (tahun)
≤ 20
20-29
30-39
40-49
Jumlah
Pendidikan
Tidak Ada
SD
SMP
SMA/SMK
Jumlah
Frekuensi
N
%
3
27
25
3
58
5,2
46,6
43,1
5,2
100,0
22
7
14
15
58
37,9
12,1
24,1
25,9
100,0
Pada Tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa
disitribusi umur ibu yang terbanyak berada
pada kelompok 20-29 yakni sebanyak 27
orang (46,6%), sedangkan untuk pendidikan
ibu sebanyak 22 orang (37,9%) tidak
berpendidikan hal ini dikarenakan mereka
hidup di pegunungan yang memiliki akses
yang sangat sulit untuk pendidikan dan pada
umumnya bersuku bangsa Nias.
Tabel
No
2. Distribusi Karekteristik Balita
Berdasarkan Variabel Jenis Kelamin
dan Usia
Variabel
N
1
2
Jenis Kelamin
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
Usia (Bulan)
12-24
24-59
Jumlah
Frekuensi
%
24
34
58
41,4
58,6
100,0
17
41
58
29,3
70,7
100,0
Tabel 2 di atas dapat dilihat jumlah sampel
terbanyak menurut jenis kelamin yakni 34
orang
(58,6%)
adalah
perempuan.
Sedangkan jumlah sampel terbanyak
menurut usia balita yakni 41 orang (70,7%)
adalah pada usia 24-59 bulan.
4
Status Gizi Balita
Berdasarkan kegiatan pengukuran berat
badan dan tinggi badan balita, maka akan
dilihat status gizi balita pada tabel dibawah
ini.
Tabel 3. Distribusi Status Gizi Balita Berdasarkan
Berat Badan menurut Umur (BB/U)
Berat Badan Menurut
Umur
Normal
Kurang
Sangat Kurang
Jumlah
Frekuensi
N
%
49
84,5
9
15,5
0
0
58
100,0
Berdasarkan Tabel 3 di atas dapat diketahui
distribusi status gizi balita berdasarkan Berat
Badan menurut Umur (BB/U) yaitu
sebanyak 9 balita (15,5%) memiliki berat
badan kurang, hal ini sudah jelas berkaitan
dengan penyediaan makanan yang miskin
zat gizi serta penyakit infeksi yang terjadi
pada balita karena indikator penentuan status
gizi berdasarkan BB/U merupakan indikator
masalah gizi yang timbul masa kini (saat itu
juga).
Tabel 4. Distribusi Status Gizi Balita Berdasarkan
Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)
Tinggi Badan Menurut
Umur
Lebih dari Normal
Normal
Pendek
Sangat Pendek
Jumlah
Frekuensi
N
%
0
0
25
43,1
18
31,0
15
25,9
58
100,0
Dari Tabel 4 di atas dapat diketahui
distribusi status gizi balita berdasarkan
Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yaitu
balita pendek sebanyak 18 balita (31,0%),
serta sebanyak 15 balita (25,9%) sangat
pendek, indikator pengukuran TB/U
menunjukkan dampak masalah gizi dimasa
lalu, baik diakibatkan karena Berat Badan
Lahir Rendah (BBLR) atau diakibatkan
status gizi kurang sebelum adanya
pengungsian.
Tabel 5. Distribusi Status Gizi Balita Berdasarkan
Berat Badan menurut Tinggi Badan
(BB/TB)
Berat Badan menurut
Tinggi Badan
Sangat Gemuk
Gemuk
Resiko Gemuk
Normal
Kurus
Jumlah
Frekuensi
N
%
3
5,2
5
8,6
5
8,6
41
70,7
4
6,9
58
100,0
Dari Tabel 5 di atas dapat diketahui
distribusi status gizi balita berdasarkan Berat
Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)
yakni balita sangat gemuk sebanyak 3 orang
(5,2%), balita gemuk sebanyak 5 orang
(8,6%), balita yang memiliki resiko gemuk
sebanyak 5 orang (8,6%), sedangkan yang
kurus 4 orang (6,9%). Dalam keadaan
normal pertambahan berat badan dengan
tinggi badan selalu berjalan secara linier.
Kecukupan Energi dan Protein
Berdasarkan hasil pengumpulan data dari 58
balita melalui wawancara kepada ibu balita
dengan menggunakan formulir food recall
24 jam, diketahui jumlah konsumsi energi
dan protein balita.
Tabel 6. Distribusi Kecukupan Energi Balita
Kecukupan Energi
Baik
Sedang
Kurang
Defisit
Jumlah
N
31
27
0
0
58
Frekuensi
%
53,4
46,6
0
0
100,0
Dapat diketahui dari Tabel 6 di atas bahwa
tingkat kecukupan energi pada balita yang
terbanyak adalah baik yakni 31 balita
(53,4%), dengan Angka Kecukupan Gizi
(AKG) yang dianjurkan yakni anak balita
5
usia 1-3 tahun dianjurkan mengkonsumsi
energi sebasar 1125 kkal sedangkan anak
balita
usia
4-6
tahun
dianjurkan
mengkonsumsi energi sebesar 1600 kkal
perharinya. Asupan konsumsi energi
terbanyak berasal dari susu formula, biskuit,
serta jajanan yang berasal dari bantuan
pemerintah maupun sukarelawan yang
mencukupi
kebutuhan
energi
yang
dibutuhkan tubuh bukan dari pemberian
makanan yang berasal dari dapur umum.
Tabel 7. Distribusi Kecukupan Protein Balita
Kecukupan Protein
Baik
Sedang
Kurang
Defisit
Jumlah
N
33
25
0
0
58
Frekuensi
%
56,9
43,1
0
0
100,0
Pada Tabel 7, Kecukupan protein pada balita
menunjukkan tingkat kecukupan baik
sebanyak 33 balita (56,9%), sama halnya
dengan kecukupan energi, kecukupan
protein juga bersumberkan terbanyak dari
susu formula, biskuit dan jajanan. Ketentuan
konsumsi protein perharinya untuk anak
balita
usia
1-3
tahun
dianjurkan
mengkonsumsi protein sebesar 26 g
sedangkan anak balita usia 4-6 tahun
dianjurkan mengkonsumsi protein sebesar
35 g.
Penyakit Infeksi Anak Balita
Berdasarkan hasil pengumpulan data dari 58
balita melalui wawancara kepada ibu balita
dengan menggunakan formulir penyakit
infeksi, maka diketahui jenis dan rata-rata
penyakit infeksi anak balita.
Tabel 8. Distribusi Penyakit Infeksi pada Balita
Penyakit Infeksi
Infeksi Saluran Pernafasan
Ya
Tidak
Jumlah
Diare
Ya
Tidak
Jumlah
Gatal-Gatal
Ya
Tidak
Jumlah
Campak
Ya
Tidak
Jumlah
Frekuensi
N
%
54
4
58
93,1
6,9
100,0
40
18
58
69,0
31,0
100,0
48
10
58
82,2
17,2
100,0
24
34
58
41,1
58,6
100,0
Berdasarkan Tabel 8 di atas dapat diketahui
bahwa semua balita mengalami penyakit
infeksi tetapi hanya sebagian balita yang
terkena penyakit infeksi secara keseluruhan
karena pada pengukuran penyakit infeksi
diberikan ketentuan apabila balita terkena
satu saja penyakit infeksi, maka balita
tersebut dikatakan sudah terkena penyakit
infeksi. Penyakit infeksi kulit terbagi
menjadi gatal-gatal dan campak. Penyakit
infeksi yang terbanyak jumlah balitanya
adalah infeksi saluran pernafasan yakni
sebanyak 54 orang (93,1%), padatnya
jumlah penduduk yang tinggal di dalam satu
ruangan posko pengungsian menjadikan
infeksi saluran pernafasan menular dengan
cepat. Memang tidak menutup kemungkinan
untuk penyakit infeksi yang lain, tetapi juga
infeksi saluran pernafasan dipengaruhi
dengan udara Kabupaten Karo yang bersuhu
dingin.
Keterkaitan Status Gizi dengan Penyakit
Infeksi
Dalam hal ini ternyata faktor-faktor
pendukung terjadinya penyakit infeksi lebih
berperan dibandingkan dengan status gizi
balita pada saat dilakukannya penelitian ini.
Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan
6
status gizi yang tidak baik dapat
memperparah penyakit infeksi yang dialami
balita. Balita yang terkena penyakit infeksi
sebagian besar memiliki status gizi normal,
inilah yang perlu diperhatikan karena status
gizi yang normal bisa berubah menjadi
status gizi kurang atau sangat kurang apabila
balita
tersebut
tidak
mendapatkan
pengobatan terhadap penyakit infeksinya
terlebih dahulu.
Penyakit infeksi termasuk didalamnya
infeksi saluran pernafasan dan diare selalu
dapat memperburuk keadaan gizi melalui
ganguan masukan makanan dan akibat
kehilangan zat-zat esensial didalam tubuh,
dampak dari penyakit infeksi terhadap
pertumbuhan seperti menurunnya berat
badan, hal ini disebabkan karena penurunan
nafsu makan penderita infeksi hingga intake
zat gizi dan energi kurang dari kebutuhan.
Pada infeksi kulit dibagi menjadi dua yakni
gatal-gatal dan campak, untuk komplikasi
yang terjadi pada campak salah satunya
adalah diare.
Hasil penelitian ini juga didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Mustafa,
2013 di wilayah kerja Puskesmas Tilote
yakni tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara status gizi dan penyakit
infeksi.
Tabel 9. Distribusi Penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan berdasarkan Status Gizi
(BB/U)
Status
(BB/U)
Gizi
Normal
Kurang
Sangat Kurang
Penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan
Ya
Tidak
N
%
N
%
46
93,9
3
6,1
8
88,9
1
11,1
0
0
0
0
Jumlah
N
49
9
0
%
100,0
100,0
0
Berdasarkan Tabel 9 diatas, dapat diketahui
bahwa balita yang mengalami penyakit
infeksi saluran pernafasan yang terbanyak
adalah balita yang memiliki status gizi
normal bukan balita yang memiliki status
gizi kurang, hal ini membuktikan kondisi
lingkungan lebih berpengaruh
Tabel 10. Distribusi Diare berdasarkan Status Gizi
(BB/U)
Status
(BB/U)
Gizi
Diare
Ya
Normal
Kurang
Sangat Kurang
N
32
8
0
%
65,3
88,9
0
Jumlah
Tidak
N
%
17
34,7
1
11,1
0
0
N
49
9
0
%
100,0
100,0
0
Dari hasil Tabel 10 dapat dilihat bahwa
balita yang terkena diare terbanyak terdapat
pada balita yang berstatus gizi normal.
Dengan kata lain, di posko ini ternyata status
gizi tidak berperan secara keseluruhan pada
balita yang mengalami penyakit infeksi
saluran pencernaan karena masih ada faktor
pendukung lain seperti dari keadaan
lingkungan sekitar.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Rosari
(2013) tentang penyakit infeksi mengatakan
bahwa tidak ada hubungan yang bermakna
antara status gizi dengan kejadian diare di
Kelurahan Lubuk Buaya. Padahal kejadian
diare lebih banyak terdapat pada balita yang
memiliki status gizi kurang yakni sebanyak
18,9% dibandingkan balita yang memiliki
status gizi normal.
Penelitian yang dilakukan oleh Indriyasti
(2007) juga menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara status gizi
dan kejadian terjadinya diare.
Tabel 11. Distribusi Gatal-Gatal
Status Gizi (BB/U)
Status
(BB/U)
Gizi
Normal
Kurang
Sangat Kurang
Gatal-Gatal
Tidak
%
N
%
79,6
10
20,4
100,0
0
0
0
0
0
berdasarkan
Jumlah
Ya
N
39
9
0
N
49
9
0
%
100,0
100,0
0
Pada Tabel 11. diatas dapat diketahui bahwa
balita terbanyak yang terkena gatal-gatal
yang disebabkan oleh gigitan serangga dan
7
memiliki status gizi normal yakni 39 balita
(79,6%), hal ini disebabkan karena mereka
beristirahat ditempat yang seadanya dengan
beralaskan tikar ataupun kasur jika ada, serta
ruangan yang penuh dengan barang-barang
untuk tempat peristirahatan nyamuk.
Tabel 12. Distribusi Campak berdasarkan Status
Gizi (BB/U)
Status
(BB/U)
Gizi
Normal
Kurang
Sangat Kurang
Campak
Tidak
%
N
%
36,7
31
63,3
66,7
3
33,3
0
0
0
Jumlah
Ya
N
18
6
0
N
49
9
0
%
100,0
100,0
0
Dari Tabel 12 ternyata hanya 18 balita
(36,7%) yang mengalami campak selama
berada di posko, balita tersebut juga
memiliki status gizi baik. Pemberian Kapsul
Vitamin A pada saat awal pengungsian
menjadikan imunitas balita meningkat
sehingga untuk penyebaran penyakit campak
lebih banyak balita yang tidak terkena.
Penanganan Gizi Balita saat Bencana di
Posko UKA II
Penanganan gizi pada balita saat bencana di
Posko Pengungsian UKA II tergolong baik
dan sesuai prosedur, karena untuk penangan
awal saat terjadinya pengungsian, seluruh
balita sudah diberikan kapsul Vitamin A
oleh tenaga kesehatan yang berada di posko
kesehatan
yang
bertujuan
untuk
meningkatkan sistem imun balita, pemberian
ASI tetap dijalankan untuk anak yang masih
dibawah usia 2 tahun, MP-ASI yang sudah
difortifikasi dengan zat mikro juga diberikan
seperti biskuit bayi. Akan tetapi, disamping
balita tersebut diberikan ASI ternyata
diberikan pula susu formula sebagai selingan
dengan menggunakan dot susu, padahal
dalam anjurannya sebaiknya menghindari
pemberian susu dan makanan lain yang
penyajiannya menggunakan air karena dapat
dengan mudah membuat balita terkena diare
akibat dari kontaminasi air dan penyimpanan
yang tidak higienis terhadap dot susu.
Kontaminasi air juga diakibatkan karena air
yang digunakan untuk mencampur susu
formula bukan air kemasan yang dianjurkan
oleh Kemenkes RI, tetapi air masak yang
diperoleh dari dapur umum yang terdapat di
posko pengungsian. Penggunaan air tersebut
disebabkan karena tidak tersediannya air
dalam kemasan di posko ini, dapat
diasumsikan bahwa ketidaktersediaan air
kemasan dipengaruhi oleh lama tinggal
masyarakat dan minimnya bantuan untuk
pasokan air dalam kemasan.
Penyajian menu makanan untuk anak balita
bisa dikatakan minim, karena dapur umum
tidak menyiapkan menu khusus untuk anak
balita sehingga anak balita hanya
mengkonsumsi
makanan
yang
juga
dikonsumsi orang dewasa. Padahal menu
untuk orang dewasa didasari oleh
ketersediaan bantuan yang diperoleh posko
yang menyebabkan konsumsi makanan yang
tidak beragam dan terbatas seperti
kurangnya konsumsi ikan segar, buah,
daging dan sebagainya yang merupakan
sumber zat gizi guna pertumbuhan dan
perkembangan balita.
KESIMPULAN
1. Status gizi balita di posko UKA II
secara umum normal walaupun masih
ada beberapa balita yang berstatus gizi
kurang yakni 9 balita (15,5%).
2. Semua balita terkena penyakit infeksi,
diantaranya balita yang terkena infeksi
saluran pernafasan 93,1%, balita yang
terkena diare 69%, balita yang terkena
infeksi kulit berupa gatal-gatal 82,2%
sedangkan yang terkena campak 41,4%.
3. Penyakit infeksi yang menjangkit balita
di posko pengungsian ini tidak hanya
disebabkan oleh status gizi tetapi ada
beberapa faktor pendukung lain yakni
kondisi higine dan sanitasi lingkungan,
keterbatasan penyedian air bersih,
8
fasilitas MCK serta tingginya jumlah
penduduk.
4. Tingkat kecukupan energi pada balita
adalah baik 31 (53,4%) dan tingkat
kecukupan sedang 27 (46,6%)
5. Kecukupan
protein
pada
balita
menunjukkan
tingkat
kecukupan
terbanyak adalah baik yakni 33 (56,9%)
selebihnya sedang 25 (43,1%).
SARAN
1. Perhatian terhadap penyediaan jenis
pangan beragam yang dapat memenuhi
kebutuhan energi dan protein yang
akan diolah menjadi makanan seharihari di posko pengungsian terkhususnya
untuk balita.
2. Perbaikan fasilitas MCK (Mandi, Cuci,
Kakus), SPAL (Saluran Pembuangan
Air Limbah) serta pembenahan tempattempat sampah.
DAFTAR PUSTAKA
Buaya Kecamatan Koto Tangah Kota
Padang. Skripsi : FK UNAND. Padang.
Sianipar, L. 2001. Faktor-Faktor yang
Berhubungan dengan Kurang Energi
dan Protein pada Balita Pengungsi di
Kabupaten
Belu
Propinsi
Nusa
Tenggara Timur 1999 (Analisi Data
Rapid Nutritional Assesment Tahun
1999). Tesis UI, Jakarta.
Silalahi, EL. 2012. Analisis Koordinasi
Lintas
Sektor
Satuan
Tugas
Penanggulangan Bencana Terhadap
Penanggulangan
Bencana
Erupsi
Gunung Sinabung di Kabupaten Karo
2010. Program Pasca Sarjana FKM
USU, Medan.
Tjuanda, D. 2001. Analisis Pelaksanaan
Kegiatan Pemulihan Status Gizi Buruk
Balita Pengungsi Sambas di Therapeutic
Feeding Center Rumah Sakit Umum
Daerah
Dokter
Soedarso
Kota
Pontianak Kalimantan Barat Tahun
2000. Tesis UI, Jakarta.
BNPB, 2012. Kumpulan Peraturan Kepala
Badan
Nasional
Penanggulangan
Bencana.
Badan
Nasional
Penanggulangan Bencana, Jakarta.
Depkes RI. 2007. Pedoman Pemberian
Makanan Bayi dan Anak dalam Situasi
Darurat.
Direktorat
Bina
Gizi
Masyarakat, Jakarta.
Indriyasti, S. 2007. Hubungan Kejadian
Penyakit Diare Terhadap Status Gizi
Balita di Puskesmas Karawaci Baru
Kota Tangerang. Skripsi : Universitas
Indonusa Esa Unggul. Jakarta.
Mustafa, Y. 2013. Analisis Faktor
Determinan Kejadian Masalah Gizi
pada Anak Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Tilote Kecamatan Tilango
Kabupaten Gorontalo Tahun 2013.
UNHAS.
Rosary, A. 2013. Hubungan Diare dengan
Status Gizi Balita di Kelurahan Lubuk
9
Download