ISPA - ETD UGM

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyebab hampir 20%
kematian pada anak usia dibawah 5 tahun, dan 90% penyebab kematian pada
anak disebabkan oleh pneumonia (WHO, 2011). ISPA adalah infeksi saluran
pernapasan yang mengenai bagian saluran pernapasan atas dan bawah secara
simultan
atau
berurutan.
Gambaran
patofisiologisnya
meliputi
infiltrate
peradangan dan edema mukosa, kongesti vaskuler, bertambahnya sekresi
mucus, dan perubahan struktur dan fungsi siliare (Nelson, 2000).
Menurut WHO (2011), ISPA dapat disebabkan oleh Virus maupun bakteri.
Bakteri yang dapat menyebabkan ISPA kebanyakan adalah Streptoccocus
pneumonia dan Haemophilus influenzae. Namun, agak sulit untuk membedakan
ISPA yang disebakan oleh virus ataupun bakteri.
Kabupaten Sleman memiliki angka prevalensi ISPA lebih tinggi dibandingkan
dengan prevalensi ISPA Provinsi, yaitu 23,5% dengan angka prevalensi ISPA
provinsi 22,6% (RISKESDAS, 2007). Masih tingginya angka kesakitan dan
penyebab kematian karena ISPA pada anak balita menunjukkan bahwa anak
balita termasuk kelompok rentan terhadap penyakit. Setiap tahun, anak – anak
balita menderita ISPA rata – rata 3-6 episode, tergantung pada daerah tempat
tinggal atau situasi ekonomi. Penyakit ini biasanya lebih banyak diderita anak –
anak di negara – negara berkembang (DCPP, 2006 cit. Fauzi, 2008).
Hasil survey yang dilakukan oleh WHO pada tahun 2008, diperkirakan kasus
baru pneumonia pada anak dengan usia dibawah 5 tahun menunjukkan angka
1
tertinggi pada wilayah Asia Tenggara sebanyak 168.74 juta kasus, sedangkan
diurutan kedua wilayah pasifik barat dengan jumlah kasus baru 133.05 juta. Hal
ini sangat menghawatirkan mengingat bayi pada masa kini adalah sebagai
penerus bangsa, sebagai pemimpin, ilmuwan, cendekiawan dimasa yang akan
datang. Selain itu, Indonesia termasuk dalam 15 besar Negara dengan estimasi
tertinggi kasus baru pneumonia klinis.
Mayoritas anak yang terkena ISPA terdapat pada kelompok usia 12 – 23
bulan, dengan anak usia 0 – 5 bulan merupakan kelompok marginal yang
mengalami ISPA. Di Indonesia, prevalensi ISPA tertinggi ada pada kelompok
anak usia 6 – 23 bulan (Fatimah, 2008). Kematian akibat ISPA paling banyak
terjadi pada 0 – 1 tahun dan diperkirakan angka kematian anak akibat ISPA
dapat meningkat pada usia anak dengan usia <5 tahun (WHO, 2008).
Air Susu Ibu (ASI) mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan serta perkembangan bayi dan anak, mencegah terjadinya gizi
salah (malnutrisi). dan juga mengandung zat – zat yang melindungi bayi dari
penyakit infeksi (Lubis, 2003). Menurut Depkes (2001), ASI mengandung zat anti
infeksi, bersih dan bebas kontaminasi. Dalam kolostrum ASI mengandung
immunoglobulin A (Ig A) yang cukup tinggi, yang dapat melumpuhkan bakteri
pathogen E. coli dan berbagai virus dalam saluran pencernaan.
Cakupan ASI eksklusif di DIY cukup rendah. Rendahnya pengetahuan ibu
menjadi pemicu masalah ini. Pada tahun 2006, cakupan ASI eksklusif di DIY
hanya mencapai 36,51% sedangkan pada tahun 2007 cakupan ASI eksklusif di
DIY hanya mencapai 33,09%. Cakupan ini masih jauh dari target nasional yang
mencapai 80%. Untuk Kabupaten Sleman sendiri, cakupan ASI eksklusif hanya
mencapai 42,4% pada tahun 2007 (Dinkes, 2010).
2
Menurut Victora et al (1999) ASI dapat mencegah terjadinya ISPA pada anak
karena komponen anti infeksi yang unik. ASI menyediakan proteksi pasif untuk
melawan pathogen (substansi antibakterial dan antiviral termasuk sekresi
Imunoglobulin A, laktoferin, oligosakarida dan sel makrophag, lymphocyte, dan
neutrophil), stimulan bagi sistem imun bayi. Karena itu, ASI merupakan makanan
tepat bagi bayi untuk menjaga agar sistem imun berfungsi dengan baik dan
menghindarkan bayi dari penyakit infeksi dan saluran cerna.
Masalah gizi utama yang masih dihadapi Indonesia sampai saat ini adalah
kekurangan energi protein (KEP). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2007 menunjukkan bahwa 18.4% balita menderita KEP dan 5.4%
diantaranya kategori KEP berat (gizi buruk).
Penyakit infeksi seperti diare dan ISPA sangat rentan terjadi pada anak
dengan gizi buruk. Kondisi perawatan anak balita pasca perawatan gizi buruk
masih tetap harus dijaga dan dilakukan pemeriksaan dengan segera jika terkena
penyakit. Anak balita yang menderita diare dan ISPA yang cukup lama dan
sering, maka berat badannya akan turun dan ini akan berpengaruh pada status
gizinya .
Berdasarkan paparan diatas, penulis ingin meneliti apakah ada hubungan
antara riwayat pemberian ASI (ASI eksklusif dan Non ASI eksklusif) terhadap
kejadian ISPA pada bayi usia 6 bulan – 2 tahun.
B. Perumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan antara riwayat pemberian ASI (ASI eksklusif dan
Non ASI eksklusif) terhadap kejadian ISPA pada bayi usia 6 bulan – 2 tahun?
3
C. Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat apakah ada hubungan antara
riwayat pemberian ASI terhadap kejadian ISPA pada bayi usia 6 bulan – 2 tahun.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1.
Manfaat bagi instansi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan referensi
dalam penanganan kasus ISPA dan pengambilan kebijakan yang berkaitan
dengan kasus tersebut maupun kasus lain yang berhubungan.
2.
Manfaat bagi masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kesehatan bagi
masyarakat khususnya mengenai ISPA pada anak balita dan pentingnya
pemberian ASI eksklusif pada balita. Selain itu, diharapkan juga dengan adanya
penelitian ini semakin meningkatkan motivasi ibu untuk memberikan ASI
eksklusif pada anak.
3.
Manfaat bagi peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menerapkan ilmu yang
telah didapat dan dapat menambah pengalaman peneliti.
4
E. Keaslian Penelitian
TABEL 1. Keaslian Penelitian
No
1.
Penelitian
Deskripsi
Perbedaan
Association
Tujuan Penelitian: membandingkan prevalensi
Tujuan Penelitian: melihat hubungan antara
between infant
diare dan ISPA pada bayi berdasarkan status
riwayat pemberian ASI dengan kejadian ISPA
feeding patterns
pemberian ASI.
pada bayi usia 6 bulan – 2 tahun.
Desain : Cohort
Desain : kohort retrospektif
Jumlah Sampel : 272 ibu
Jumlah Sampel: 36 ibu
Hasil : Bayi yang diberi ASI eksklusif selama 6
Kelebihan: kategori pemberian ASI ditentukan
(Mihrshahi et al,
bulan memiliki prevalensi ISPA dan diare lebih
berdasarkan hasil recall dari usia bayi bulan
2008)
rendah dibandingkan bayi yang tidak diberikan
pertama hingga bulan ke-enam.
and diarrheal and
respiratory illness:
a cohort study in
chittagong,
Bangladesh.
5
ASI eksklusif (p=0.03). Hasil analisis lebih lanjut
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
Kelemahan : terdapat kesalahan dalam
bermakna antara bayi yang diberikan ASI
penghitungan jumlah sampel sehingga sampel
eksklusif, predominan dan parsial terhadap
lebih sedikit dari jumlah seharusnya.
prevalensi ISPA maupun diare (p=0.17).
Kekurangan : ada kemungkinan kesalahan dalam
klasifikasi pemberian ASI dikarenakan kategori
pemberian ASI diklasifikasikan pada bulan keenam sementara outcome dilihat dari kunjungan
tiap bulan.
2.
Pengaruh
Tujuan Penelitian: mengetahui hubungan antara
Tujuan Penelitian: melihat hubungan antara
Pemberian ASI
riwayat pemberian ASI eksklusif dengan kejadian
riwayat pemberian ASI dengan kejadian ISPA
Eksklusif Terhadap
penyakit ISPA pada anak usia 6 bulan – 23 tahun
pada bayi usia 6 bulan – 2 tahun.
Kejadian ISPA
di Kabupaten Konawe.
Desain : kohort retrospektif
Pada Anak Usia 6-
6
23 Bulan Di
Desain : Cros-sectional
Jumlah Sampel: 36 ibu
Kabupaten
Konawe.
Jumlah Sampel: 177 responden
Kelebihan: Kategori pemberian ASI dibedakan
(Budi, 2009)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak usia 6-
menjadi tiga, yaitu ASI eksklusif, ASI predominan
23 bulan dengan riwayat pemberian ASI tidak
dan ASI parsial sehingga dapat dilihat perbedaan
eksklusif memiliki prevalensi ISPA 1.84 kali lebih
prevalensi ISPA dari masing-masing kategori.
banyak dibandingkan pada anak dengan riwayat
Kelemahan : terdapat kesalahan dalam
pemberian ASI eksklusif.
penghitungan jumlah sampel sehingga sampel
lebih sedikit dari jumlah seharusnya.
3.
Hubungan Antara
Tujuan Penelitian: melihat hubungan antara
Tujuan Penelitian: melihat hubungan antara
Riwayat ISPA dan
riwayat ISPA dan diare dengan tumbuh kembang
riwayat pemberian ASI dengan kejadian ISPA
Diare Dengan
anak usia 1-5 tahun.
pada bayi usia 6 bulan – 2 tahun.
Tumbuh Kembang
7
Anak Usia 1-5
Desain : Cros-sectional
Desain : kohort retrospektif
Jumlah Sampel: 69 orang
Jumlah Sampel: 36 ibu
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada
Kelebihan: selain ISPA, faktor yang dapat
hubungan antara riwayat penyakit ISPA dan diare
mempengaruhi pertumbuhan seperti status gizi,
dengan tumbuh kembang anak balita usia 1-5
status BBLR serta riwayat pemberian ASI diteliti
tahun (p= 0.01).
dalam peneltian ini.
Kelemahan : variabel pertumbuhan hanya dilihat
Kelemahan: sulit untuk menentukan apakah
dengan menggunakan perubahan berat badan.
penyakit yang terlebih dahulu mempengaruhi
Selain itu, faktor lain yang dapat mempengaruhi
status gizi atau status gizi lebih dulu yang
tumbuh kembang anak selain riwayat penyakit
menyebabkan bayi terkena ISPA.
Tahun di Posyandu
Desa Cetan
Kabupaten Klaten.
(Rina, 2008)
seperti, status gizi, riwayat pemberian ASI,
pendidikan ibu dan pendapatan keluarga tidak
8
diteliti dalam penelitian ini.
4.
Folate, But Not
Tujuan Penelitian: melihat hubungan antara
Tujuan Penelitian: melihat hubungan antara
Vitamin B-12
status folat dan kobalamin dan hubungannya
riwayat pemberian ASI dengan kejadian ISPA
Status, Predicts
terhadap sakit infeksi saluran pernapasan bagian
pada bayi usia 6 bulan – 2 tahun.
Respiratory
bawah.
Desain : kohort retrospektif
Morbidity In North
Indian Children
Desain: kohort prospektif
Jumlah Sampel: 36 ibu
(Strand et al, 2007)
Jumlah Sampel: 2482 anak usia 6 – 30 bulan.
Kelebihan: faktor-faktor selain riwayat pemberian
Hasil Penelitian: anak dengan konsentrasi folat
ASI yang dapat berhubungan dengan kejadian
pada kuartil terbawah (6.4 – 20.0 mmol/L)
ISPA diteliti dalam penelitian ini.
memiliki insiden infeksi saluran pernapasan
bagian bawah 44% lebih tinggi. Anak yang
Kelemahan: kadar nutrisi dalam darah ibu yang
diberikan ASI memiliki kadar folat plasma lebih
dapat mempengaruhi kualitas ASI tidak diteliti.
9
tinggi dibandingkan dengan anak yang tidak
Selain itu, kadar nutrisi dalam darah anak juga
diberi ASI.
tidak dilihat, sehingga tidak diketahui apakah
anak mengalami kekurangan nutrisi seperti
Kelemahan : dalam penelitian ini, tidak dilihat
vitamin.
hubungan antara kadar folat dengan faktor-faktor
lain, seperti kondisi ekonomi, jumlah anggota
keluarga, pendidikan ibu dan ayah yang mungkin
dapat menjadi penyebab rendahnya kadar folat.
Selain itu, kadar folat dalam plasma bisa jadi
berhubungan dengan nutrisi lain seperti vitamin.
5.
Infant Growth and
Tujuan Penelitian: membandingkan pertumbuhan
Tujuan Penelitian: melihat hubungan antara
Health Outcomes
dan kesehatan bayi yang diberikan ASI eksklusif
riwayat pemberian ASI dengan kejadian ISPA
Associated With 3
selama 3 bulan dengan bayi yang diberikan ASI
pada bayi usia 6 bulan – 2 tahun.
Compared With 6
eksklusif selama 6 bulan atau lebih.
Desain : kohort retrospektif
Mo of Exclusive
10
Breastfeeding
Desain: kohort
Jumlah Sampel: 36 ibu
(Kramer et al,
Jumlah Sampel: 2862 bayi yang diberi ASI
2003)
eksklusif selama 3 bulan dan 621 bayi yang
Kelebihan: melihat hubungan antara bayi yang
diberi ASI eksklusif selama 6 bulan atau lebih.
diberikan ASI esklusif selama 6 bulan atau lebih
terhadap terjadinya penyakit infeksi.
Hasil Penelitian: dari usia 3-6 bulan, pertambahan
berat badan lebih besar terdapat pada kelompok
Kelemahan: dalam penelitian ini tidak dilihat
bayi yang diberi ASI eksklusif selama 3 bulan,
perbedaan antara bayi yang diberikan ASI
sedangkan pertambahan tinggi badan lebih besar
eksklusif selama 3 bulan, 4 bulan dengan bayi
dialami pada bayi yang diberi ASI eksklusif
yang diberikan ASI eksklusif selama 6 bulan atau
selama 6 bulan atau lebih. ASI eksklusif selama 6
lebih.
bulan dapat mencegah bayi terkena infeksi
gastrointestinal.
11
Download