KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb. Alhamdulillah, puji

advertisement
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT atas terselesaikannya penulisan buku
pengantar sosiolinguistik ini, sebagai upaya membantu dan mempermudah mahasiswa dalam
memahami linguistik makro atau linguistik murni. Terima kasih kepada semua pihak, terutama
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Surakarta, yang telah membantu dalam berbagai hal
sehingga proses penyusunan buku ini dapat terwujud sesuai yang diharapkan.
Buku ini dimaksudkan untuk memberikan berbagai cara memandang dan memahami
hakekat bahasa bagi seluruh dosen dan mahasiswa dalam rangka membangun keutuhan dan
kedalaman pemahaman bahasa secara apa adanya, yang dipakai oleh masyarakat sehari-hari
dalam berbagai fungsinya yang berbeda. Dengan kata lain buku ini dapat menjadi referensi bagi
dosen dan mahasiswa berkenaan dengan tugas-tugas kelinguistikannya dan hal-hal lain yang
terkait dengan bahasa, masyarakat, dan analisisnya. Disamping itu buku ini juga dimaksudkan
sebagai bekal dan pendorong bagi para mahasiswa agar mereka tidak ragu-ragu dalam analisis
bahasa dan pemakaiannya terkait dengan “siapa berbicara kepada siapa dan kapan”.
Kritik dan saran yang membangun penyempurnaan buku ini sangat diharapkan dari semua
pihak. Semoga buku ini dapat memberi manfaat sesuai dengan yang diharapkan, Amin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surakarta, Juli 2013
Penyusun
Dr. Giyoto, M.Hum
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan teori linguistik berawal dan berakhir pada rumusan serta
temuan yang semakin keluar dari penggunaan bahasa secara nyata dan konkrit.
Apabila kita melihat beberapa pembahasan dan penelitian linguistik formal
terdapat analisis-analisis yang memisahkan diri dari pemakaian bahasa secara
konkrit dalam konteks sosial dan budaya, karena mendasarkan pada logikalogika relasi antarunsur internal bahasa itu sendiri, terlepas dari unsur di luar
bahasa. Terdapat pola-pola yang diskrit yang hanya memfokuskan pada
hubungan antarunsur dalam kalimat, paragraf ataupun kata dan frase, sehingga
terdapat penilaian-penilaian terhadap tuturan yang salah atau ganjil (ill-formed)
secara linguistik. Linguis formal melihat perbedaan-perbedaan itu sebagai
sesuatu yang dapat dilupakan dan tidak dapat dianalisis sehingga lebih banyak
dihindari dengan berbagai alasan linguistik logis tertentu. Temuan-temuan studi
linguistik formal dapat berupa abstraksi-abstraksi pemolaan atau pengkaidahan
bahasa yang begitu tertutup dan formal, yang dianggap relatif tetap dan tunggal.
Hasil pemolaan ini dinilai merupakan bentuk yang benar dan ideal. Apabila kita
melihat pemakaian bahasa secara langsung dan nyata kita jarang menemukan
pola-pola tuturan baku, tunggal, dan tetap (sebagai hasil abstraksi) yang dipakai
dalam komunikasi nyata, walaupun memang ada. Keidealan dan kebenaran ini
terkadang melupakan cara dan strategi penutur itu untuk menyampaikan makna.
Terdapat makna-makna tertentu yang harus diungkapkan dengan bentuk tuturan
tertentu yang mungkin dinilai tidak benar dan tidak ideal, tetapi sebetulnya
dengan cara itulah makna sosial dan kultural penutur itu dibahasakan, sehingga
akan mendapatkan respon yang benar dan bermakna dari lawan bicaranya.
Abstraksi-abatraksi ini sering melupakan hakekat yang sebenarnya
mengenai bahasa dan melupakan bentuk sumber asli dari bahasa itu sendiri,
yakni bentuk-bentuk ujaran yang secara nyata dipakai dalam berinteraksi dan
menyampaikan makna-makna sosial dan kultural. Penutur atau tuturan, dalam
1
interaksi, tidak dapat terlepas dari masuknya unsur-unsur sosial dan kultural
yang berlaku. Hal ini dilakukan penutur untuk mendapatkan keberterimaan dan
penghormatan secara personal sehingga interaksi berjalan dengan prinsip
kerjasama yang cukup dan layak.
Pemakaian bahasa secara nyata memiliki strategi yang relatif berbeda
dengan bahasa-bahasa formal yang ada pada abstraksi-abstraksi formal
kebahasaan. Sanggahan-sanggahan terhadap pemolaan dari abstraksi di atas
muncul dari berbagai disiplin ilmu seperti sosiolinguistik, pragmatik, dan
psikolinguistik atau lainnya seperti analisis wacana, dan etnolinguistik. Dalam
kaitannya dengan variasi di atas, karena masuknya makna sosial dan kultural,
diperlukan adanya pembahasan aspek sosiolinguitik dari sudut pandang latar
belakang jenis kelamin yang memunculkan tuturan dan organisasi tuturan
berdasarkan peran sosial dan budaya yang diemban oleh kedua jenis kelamin
tersebut.
Melihat variasi ujaran yang dipengaruhi oleh latar belakang penutur,
sosiolinguis, bahkan linguis formal, mendapatkan kesulitan dalam mengukur
keidealan penutur dan keidealan masyarakat bahasa, karena sebetulnya
sosiolinguis merasa bahwa mereka mendapat kesulitan dalam menemukan, dan
bahkan belum pernah ada, penutur ideal dalam masyarakat bahasa ideal yang
begitu abstrak dan bervariasi standarnya.
Pemolaan bahasa semestinya selalu berkembang sesuai dengan
kelebatan hubungan antara bahasa, pemakaian, dan pemakainya; dan tidak ada
pola yang tetap dan tunggal sebagaimana dikatakan bahwa ada satu-satu
korespondensi antara bentuk dan makna (Bloomfield, 1935). Terdapat berbagai
tuturan yang benar-benar sama tetapi memiliki makna yang berbeda karena
dipakai oleh orang, konteks, tujuan, dan waktu yang berbeda. Kelenturan dan
kepekaan pemakaian bahasa dapat diukur secara lebih akurat ketika melekat
pada konteks dan situasi yang memunculkan. Situasi merupakan pemicu bentuk
ujuran, pemilihan diksi, dan susunan ide yang kemudian disesuaikan dengan
konteks budaya yang sedang dijunjung oleh komunitas bahasa tertentu.
Pemakaian bahasa sangat dipengaruhi oleh latar belakang penutur dan
peran dalam situasi tuturan. Makna suatu tuturan itu dapat diterima secara
2
bermakna dan interaksi tuturan itu dapat berlangsung secara kooperatif apabila
petutur dan petutur telah memahami latar belakang masing-masing dan situasi
tuturan itu. Terdapat berbagai konflik yang muncul dalam berbahasa yang
disebabkan oleh lepasnya pemahaman terhadap latar belakang penutur dan
situasi tuturan, atau sering disebut dengan istilah “salah paham”. Konteks
budaya dan situasi tuturan sangat menentukan pemilihan susunan dan pemilihan
bentuk bahasa untuk menyampaikan makna peran sosial dan budaya.
Hilangnya makna-makna tertentu, seperti kedekatan, ketidakformalan
menyebabkan beberapa hasil abstraksi pengkaidahan pada linguitik murni tidak
berterima atau ganjil bagi penutur jati pada konteks dan situasi tertentu, karena
penutur dalam hal ini, harus menemukan dan memakai secara instan bentuk dan
susunan tertentu berdasarkan makna-makna tersebut. Penutur memakai dan
mengorganisasi tuturan secara instan dan terkadang keluar tanpa kesadaran
penuh mengenai apa yang seharusnya dikatakan dan bagaimana ide itu
seharusnya disusun secara formal.
Pengetahuan penutur dan petutur sangat menentukan jenis, susunan,
pemilihan bentuk tuturan karena terikat oleh makna yang akan dicapai oleh
keduanya. Pengetahuan ini juga mempengaruhi tingkat toleransi dan keakaraban
penutur dan petutur, yang akhirnya turut mempengaruhi keakuratan dan
kedalaman makna tuturan yang mereka hasilkan.
Bahasa tidak dapat terlepaskan dari aspek interaksi social, karena
bahasa adalah alat sosial dan isi dari makna-makna sosial itu sendiri, bukan
sekedar ide tuturan dan pertukaran ide secara literal. Makna suatu interaksi
ditentukan oleh berbagai variabel yang melekat pada tuturan baik dari aspek
pemakai, tuturan, tujuan, maupun situasi tempat interaksi itu berlangsung.
Terdapat berbagai jenis tuturan yang tergantung pada tuntutan
keformalan situasi, tujuan, dan tata tutur berinteraksi. Keformalan ini
menyangkut properti kode komunikasi/tuturan yang dipakai dan latar sosial
(Baugh dan Sherzer,1984:212). Rubin (dalam Baugh dan Sherzer, 1984:212)
menyampaikan bahwa keformalan diukur dengan tingkat keintiman dan
keseriusan. Latar sosial yang formal menurut Ervin-Tripp (1972:235) melibatkan
keseriusan, kesopanan, dan rasa hormat. Bentuk tuturan dalam situasi formal
3
memerlukan tuturan formal dengan struktur tertentu baik secara semantik,
fonologis, sintaktik, maupun morfologis yang memenuhi tuntutan sosial dan
kultural pemakainya. Ada kemungkinan bahwa bentuk tuturan dan makna latar
sosial memiliki makna yang berbeda menurut siapa berbicara kepada siapa dan
tentang apa, atau dengan kata lain, menurut status demografis partisipan yang
terlibat. Sebagai contoh menurut berbagai penelitian yang telah ada; bentuk
tuturan, kesopanan, rasa hormat, dan keseriusan dapat muncul secara berbeda
menurut jenis kelamin partisipannya (Lackoff, 1973; Wardhaugh, 1993:313;
Fasold, 1990:114).
Pemakaian bahasa oleh penutur asli pada komunitas bahasa yang apa
adanya dipengaruhi oleh genre dan seting penggunaan bahasa. Genre seminar
memiliki strategi interaksi yang terpola dan tersusun sesuai dengan kesempatan
dan kelebatan ide yang akan disampaikan. Sehingga penanya diharapkan
memilih strategi yang efisien dan efektif sesuai dengan tuntutan kesantunan,
ketegasan, kelugasan, dan berorientasi masalah. Peserta seminar merupakan
komunitas bahasa dalam situasi tutur yang memiliki jarak sosial dengan penyaji
seminar, keseriusan tinggi, rasa hormat dan kesopanan yang tinggi juga. Peserta
dalam bertanya kepada penyaji tidak hanya berorientasi pada dirinya sendiri dan
penyaji, tetapi juga kepada peserta lainnya. Bentuk latar sosial memberi tekanan
dan pengaruh lebih ketat kepada peserta dalam bertanya, karena peserta
merasakan adanya tuntutan gaya dan laras dalam bertanya, penampilan,
kesadaran tentang apa yang akan dikatakan, kedalaman makna, dan kekhususan
personal penanya.
Penelitian ini merupakan usaha dalam mencari bentuk dan strutktur
tuturan kalimat tanya, susunan ide dalam menyampaikan pertanyaan, pemilihan
kata oleh peserta, yang tidak dapat dirumuskan secara abstraksi dan terlepas dari
pemakaian kalimat tanya yang sesungguhnya. Walaupun di sisi lain, dalam
linguistik murni, kalimat tanya telah terumuskan secara relatif tetap dan
homogen.
Lackoff (dalam Wardhaugh, 1993) percaya bahwa perbedaan
pemakaian bahasa oleh perempuan dan laki-laki merupakan gejala masalah
budaya dan intinya bukan masalah bahasa itu sendiri, yakni lebih merefleksikan
4
bahwa laki-laki dan perempuan diharapkan memiliki kepentingan dan peran
yang berbeda, mempertahankan peran itu, melaksanakan jenis percakapan yang
berbeda, dan merespon terhadap yang lain secara berbeda. Dikatakan bahwa
semakin berbeda peran sosial yang diisi oleh kedua jenis kelamin, semakin besar
perbedaan berbahasanya. Pada masyarakat yang tidak begitu terstratifikasi
dengan tajam, peran sosial antarjenis kelamin tidak dibedakan dengan jelas.
Masyarakat bahasa Surakarta sangat erat dengan stratifikasi peran sosial
berdasarkan jenis kelamin dan dikenal sebagai pusat budaya adi luhung dan tua
dengan berbagai peninggalan kratonnya, sehingga mengakuinya sebagai the
spirit of Java. Refleksi situasi perbedaan peran sosial, sebagai peninggalan
kraton, ini dapat dilihat dari bahasa yang digunakan dan, kemungkinannya, arah
perubahannya dapat diprediksi.
Di atas disampaikan bahwa perbedaan peran sosial berdasarkan jenis
kelamin akan memunculkan perbedaan pemakaian tuturan dan sikap menerima
bentuk tuturan tersebut. Perbedaan ini akan memunculkan konflik sikap dan
makna karena perbedaan persepsi yang disebabkan oleh perbedaan peran sosial
dan budaya, khususnya berdasarkan jenis kelamin sebagaimana dikatakan oleh
Maltz dan Borker (dalam Wardhaugh, 1993:320). Untuk menghindari konflik
dan kesalahpahaman ini diusulkan
persamaan cara pandang dan persepsi
percakapan yang sama atau dengan pemahaman perbedaan peran-peran sosial
yang diemban oleh kedua jenis kelamin.
Saya mencurigai bahwa ada beberapa konflik sikap yang disebabkan
oleh persepsi peran dan cara pandang yang berbeda ini pada kedua jenis kelamin
di Surakarta. Secara historis kota ini smemiliki budaya kesantunan yang kental
di Jawa Tengah. Inilah pentingnya studi ini untuk mengungkap dan melihat
perbedaan pola peran dan makna peran dari kedua jenis kelamin itu, sehingga
terhindar dari konflik-konflik yang disebabkan oleh perbedaan peran sosial dan
persepsi tentang bagaimana cara bertanya dan menjawab pertanyaan yang
berterima secara sosial.
Dari perbedaan berbagai fakta di atas dapat disimpulkan bahwa konteks
situasi dan budaya sangat mempengaruhi pola-pola bagaimana semestinya
perempuan dan laki-laki berinteraksi dan berperilaku. Cara laki-laki dan
5
perempuan berinteraksi dan berinterpretasi terpolakan secara kultural dan pola
itu diwujudkan pada bentuk pemarkah linguitik tertentu yang membedakannya
(Fasold, 1990:114). Sebetulnya perbedaan tuturan dan cara pandang antara
kedua jenis kelamin itu merupakan hubungan pengaruh timbal balik (interplay).
Peran perempuan dibentuk oleh peran dan respon laki-laki, sebaliknya peran
laki-laki dibentuk dan direspon
oleh perempuan. Perlakuan laki-laki
mempengaruhi keberadaan perempuan dan cara berbicara menyampaikan
pesannya atau sebaliknya.
Penelitian ini memfokuskan pada tuturan yang dipakai untuk bertanya
jawab karena bahasa memiliki salah satu fungsi pokoknya untuk bertukar
pikiran, nilai, keakuan dengan menyampaikan pertanyaan dan jawaban. Pikiran
manusia berkembang dengan bertanya dan menjawab berbagai hal yang
mengganggu ketenangan hidupnya sehari-hari, baik bertanya dan menjawab
dengan diri sendiri atau orang lain. Pertanyaan dan jawaban, walaupun dengan
pokok proposisi yang sama, muncul dengan berbagai bentuk dan susunan tuturan
yang berbeda, yang salah satunya dipengaruhi oleh latar belakang jenis kelamin
penutur.
B. Kajian Teori Sosiolinguistik
Berikut ini merupakan beberapa definisi mengenai studi sosiolinguistik:
a. Halliday (1970): linguistic institutional, sosiolinguistik berkaitan dengan
pertautan bahasa dengan orang-orang yang memakai bahasa itu.
b. Pride dan Holmes (1972): studi bahasa sebagai bagian dari kebudayaan dan
masyarakat yaitu language in culture bukan language and culture.
c. Firshman (1972): memberi nama, yang pada beberapa aspek mirip bahkan
sama, yakni dengan nama sosiologi bahasa, yang berarti bahwa sosiologi
bahasa adalah keseluruan topic yang berkaitan dengan organisasi sosial dari
perilaku bahasa, bukan saja pemakaian tetapi juga sikap terhadap bahasa dan
penggunanya.
d. D.Hymes (1973): sosiolinguistik dapat mengacu kepada pemakaian data
kebahasaan dan menganalisisnya ke dalam ilmu-ilmu lain yang menyangut
kehidupan sosial atau sebaliknya mengacu pada data kemasyarakatan dan
6
menganalisisnya ke dalam linguistic. Dia melihat bahwa bahasa untuk
masyarakat dan masyarakat untuk bahasa
e. Trudgill (1974): sosiolinguistik adalah bagian dari lingustik yang
berhubungan dengan bahasa sebagai gejala sosial dan gejala budaya,
sehingga budaya masuk dalam bahasa.
f. Criper dan Windowson (1975): studi sosiolinguistik adalah studi bahasa
dalam pemakaiaanya.
Tujuannya adalah untuk menunjukkan hubungan
konvensi bahasa dengan aspek-aspek lain dari budaya.
g. Hudson(1980): studi sosiolinguistik adalah studi tentang bahasa dalam
kaitannya dengan masyarakat.
h. Nababan(1984): seperti Halliday: studi sosiolinguistik adalah studi bahasa
sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat.
Sosiolinguistik timbul berdasarkan asumsi bahwa bahasa bukanlah
monolitik dan homogen, tetapi bahasa bersifat heterogen dan bervariasi.
Keheterogenan dan kevariasian bahasa itu dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar
bahasa yang sifatnya sosial, sebagaimana dikatakan bahwa bahasa merupakan
fenomena sosial (Saussure, 1973; Halliday, 1978) dan bukanlah fenomena fisik
(Bloomfield, 1935) atau Kognitif dan mental (Chomsky, 1963). Variasi-variasi
ini berpola secara konvensional. Oleh karena itu tugas utama sosiolinguistik
adalah membuat model atau pola hubungan antara bahasa dan faktor-faktor
sosial (tatanan sosial). Struktur sosial menentukan perilaku bahasa dan keduanya
tidak dapat dipisahkan (Fishman, 1971:114).
Cakupan ilmu ini memfokuskan pada penggunaan konkrit dari bahasa
dalam konteks sosial, yakni studi bahasa tidak dapat dipisah dari bagaimana dan
di mana bahasa itu dipakai (Fishman, 1971). Sedangkan linguistik merupakan
ilmu yang melihat bahasa semata-mata, sebagai beberapa definisi sistem logika
bukan sosial dan budaya. Secara sosiolinguistik bahasa dilihat sebagai: (1)
sistem yang tertutup, yang berarti bahwa bahasa terdiri dari hubungan antarunsur
yang saling mempengaruhi, (2) sistem yang hidup, yakni bahasa merupakan
sesuatu yang bergantung dan ditentukan keberadaannya oleh lingkungan di luar
bahasa dan merupakan sistem yang berevolusi, (3) sistem yang terbuka, yakni
bahwa ada hubungan saling mempengaruhi antarelemen dan ada pengaruh dari
7
konteks penggunaannya. Untuk menganalisis bahasa, sebagai konsekuensinya
diperlukan adanya data-data sosial. Sebaliknya juga dalam menganalisis suatu
tatanan status sosial suatu masyarakat (seseorang) bisa diketahui atau dimulai
dari bahasanya dengan melihat variasi-variasi penggunaan bahasanya.
Variasi bahasa dan tatanan sosial berjalan paralel atau beriring pada
arah yang sama pada urutan yang sama. Dikatakan juga bahwa sosiolinguistik
muncul karena gagasan bahwa fenomena sosial dan linguistik berada pada
tingkat yang sama (Penalosa, 1981:61) sehingga data yang sama dapat
digunakan untuk menganalisis baik bentuk bahasa maupun kategori-kategori
sosialnya. Suatu bentuk bahasa dipilih sebetulnya semata-mata sebagai suatu
realisasi dari nilai sosial dan segala kategori-kategorinya.
Bahasa merupakan alat interaksi budaya, tidak sekadar pertukaran
informasi. Pertukaran informasi hanyalah sebagai bagian fungsi bahasa
(Bolinger, 1975:24). Walfram (1971:96) juga mengatakan bahwa ada hubungan
kausal langsung antara perbedaan variasi bahasa dan perbedaan sosial. Bahasa
dan masyarakat saling mempengaruhi dan saling menentukan dalam arti bahwa
variasi bahasa tertentu menunjukkan status sosial tertentu dan status sosial
sebaliknya juga menentukan jenis variasi bahasa.
Mengetahui dan mempelajari bahasa dalam sosiolinguistik, harus dilihat
dalam konteks yang sesungguhnya di mana bahasa dipakai serta situasi
penggunaannya, dan harus dilihat secara empiris dan aktual karena bahasa
bukanlah konsep-konsep abstraksi yang ideal tanpa melihat variabel yang
mempengaruhi dalam penggunaannya. Sosiolinguistik menggunakan konsep
ranah dalam mengklasifikasikan keteraturan-keteraturan yang ditimbulkan oleh
hubungan antara variasi bahasa, fungsi sosial, dan situasi (Fishman, 1964).
Kaidah keteraturan inilah yang perlu ditemukan oleh sosiolinguistik sebagai
kaidah bahasa yang sebenarnya dan bersifat empiris. Kaidah ini secara
konvensional diakui dan ditaati untuk dipergunakan oleh setiap penutur. Tugas
sosiolinguistik pada dasarnya adalah untuk (1) menganalisis bahasa di luar
kalimat dan menekankan pada studi penggunaan bahasa oleh kelompok sosial
(Bell, 1976:25) sehingga analisisnya melibatkan data-data sosial untuk
8
membuatnya deskriptif dan umum (2) Pike (dalam Bell, 197:28) menciptakan
teori yang integral dari perilaku manusia (3) Kjolseth (dalam Bell, 1976)
mengatakan
bahwa
sosiolinguistik
sebagai
ancangan
yang
integral,
interdisipliner, multimetode dan multitingkat terhadap studi perilaku bahasa
alami, urut, dan berada dalam situasi sosial
Di lain pihak, Fishman (1972) mengatakan bahwa sosiolinguistik
mempelajari hal-hal yang terjadi sewaktu-waktu dan mencakup eksolinguistik
sebagai bagiannya (Fishman, 1972:10). Deskripsi sosiolinguistik menggunakan
kalimat sebagai bagian atau komponennya, tidak hanya pada kalimat tertentu
pada penutur tertentu tetapi fokusnya pada interaksi penutur-penerima. Jadi titik
tolaknya adalah interaksi atau terjadinya interaksi, bukanlah abstraksi-abstraksi
bagaimana penutur yang ideal dan pendengar yang ideal sehingga melupakan
proses komunikasi (interaksi) dan penerima tuturan yang sebenarnya dan aktual.
Jadi jelas bahwa ancangan sosiolinguistik makro bukanlah pada modelmodel abstraksi yang terpisah dari penggunaan nyata, alami, serta terpisah dari
kontak budaya yang mempengaruhi, tetapi sosiolinguistik melihat suatu hal yang
empiris, nyata, faktual dan mengakui keheterogenan bahasa bukanlah
kemonolitikannya.
Motivasi awal dari sosiolinguistik dinyatakan secara jelas pada
beberapa dekade yang lalu, yakni untuk menunjukkan korelasi antar variasi
secara bersama yang sistematis antara bahasa dan susunan sosial serta hubungan
sebab akibat dalam suatu tujuan interaksi maupun yang lain (Bright, 1966:11),
karena tujuan merupakan hal yang penting. Sebagaimana yang akan kita lihat,
yakni dalam suatu pendekatan penelitian yang saling berkaitan yang
mengasumsikan bahwa susunan bahasa dan susunan sosial itu hal yang berbeda
dan merupakan suatu kesatuan yang terpisah yang sebagian didiskripsikan dalam
rumpun ilmu bahasa dan sebagian lain pada rumpun ilmu sosial. Sedikitnya ada
2 pendekatan berbeda dalam pendiskripsian situasi sosial mengenai dimana
bahasa itu digunakan. Pendekatan yang pertama adalah bahwa pada umumnya
sosiolinguistik sebagaimana tujuannya sebagai data sosial yang akan membuat
model bahasa deskriptif lebih umum dan kuat. Sebagai contoh adalah bahasa
9
dasar dan meluasnya ilmu bahasa yang melampaui level susunan grammar
dalam interaksi antara pembicara dengan pendengar. Pendekatan yang kedua
yakni sosiolinguistik bertujuan untuk mencari perluasan cabang ilmu
pengetahuan, penggabungan bahasa dan struktur sosial di dalam beberapa teori
yang akan menyatukan ilmu bahasa dengan pengetahuan manusia di mana
bahasa itu digunakan dalam konteks sosial. Seperti pandangan linguistik itu
sendiri yang diungkapan oleh De Saussure (1915:33) dalam bukunya semiologi
dan kemudian dilengkapi oleh Pike (1967) di dalam penelitiannya untuk
membuat sebuah teori penggabungan tingkah laku manusia. Sebuah definisi
yang kuat telah diungkapkan oleh Kjolsets (1972) yang mengatakan bahwa
sosiolinguistik dapat dilihat sebagai penggunaan berbagai cabang ilmu
pengetahuan, berbagai metode, dan tingkat pendekatan dalam rangka
pembelajaran bahasa secara alami serta rangkaian dan kebiasaan dan
kemampuan bahasa seseorang pada situasi sosial.
Sejauh ini kita hanya memperhatikan hubungan antara linguistik dengan
sosiolinguistik secara umum. Oleh karena itu, nampaknya penting untuk
mencoba menyatakan dua pandangan yang berbeda dari seorang ahli bahasa
yang mempelajari ilmu ini. Disini akan terlihat secara mendasar dua tujuan yang
berbeda tergantung pada kekuatan tuntutan dari bidang ilmu yang dipelajarinya:
(1). Tuntutan yang lemah yang melihat sosiolinguistik sebagai suatu mata kajian
tambahan yang terkait dan berhubungan dengan pengertian grammar dalam
syntax, semantik, dan fonologi. (2) Tuntutan yang kuat adalah yang menyangkal
kecukupan pemahaman ilmu bahasa/linguistik yang ada sekarang dan mendesak
adanya penetapan tujuan dan metode kebahasaan untuk memasukkan data sosial
pada model simiontik dari penggunaan bahasa.
Beberapa ahli bahasa seperti Fromkin, (1968) menerima usul dari
Chomsky (1965:15) untuk penggabungan data dari penggunaan bahasa secara
aktual sebagai kerangka pendiskripsian bahasa seperti halnya beberapa ahli
bahasa yang harus memperhatikan pembuatan model penggunaan bahasa
(performance). Tujuan melakukan hal ini adalah semata-mata sebagai hasil kerja
grammar secara umum. Seorang pendiskripsi harus menerima dua perbedaan
antara kompetensi dan perfomansi dan harus memiliki cara pandang bahwa teori
10
linguistik memfokuskan pada pembicara dan pendengar yang ideal, bukan
berfokus atau berkutat pada kondisi yang tidak relevan secara gramatikal yang
disebabkan oleh keterbatasan gramatikal. Sedangkan beberapa ahli bahasa yang
lain mengikuti cara kerja para filosofi seperti Austin (1962) dan Searle (1969)
yang menekankan pada fungsi tuturan dan tuturan itu sendiri. Mereka menolak
keterkaiatan status sebagaimana yang diungkapkan di atas dan akan menyangkal
adanya pemisahan dua cabang antara kompetensi dan penampilan (Langue dan
parole), khususnya pada implikasi struktur yang kurang aplikatif pada situasi
yang nyata.
Mereka berpendapat bahwa penggunaan bahasa itu membawa
‘pengetahuan bahasa’ yang merupakan bagian dari kompetensi pembicara dan
pendengar yang ideal. Untuk itu tujuan pokok dari ilmu bahasa yang akan
dikemukakan oleh pembuat tuntutan yang kuat ini adalah spesifikasi antara
kompetensi
komunikatif
antara
pembicara
dan
pendengar.
Contohnya
pengetahuannya tidak hanya pada grammar yang benar tetapi juga pada
bagaimana bahasa itu digunakan dan diterima dalam masyarakat. Searle secara
khusus, yang paling penting dalam pembuatan model kompetensi adalah
pengguanaan bahasa yang bisa diterima oleh masyarakat dan tidak hanya pada
grammar.
Seorang ahli sosiologi bahasa dalam upayanya untuk mengkorelasikan
antara ilmu bahasa dan struktur sosial mempertanyakan banyak prinsip dasar
dari bahasa. Dia mencari-cari variasi yang secara tradisional hanya memiliki
perhatian yang sedikit dari seorang ahli bahasa dan mencoba untuk
mendemonstrasikan tidak hanya pada tipe variasi yang berbeda tetapi juga
menonjolkan pada sisi yang sistematik bukan secara acak. Dia memilih sebuah
orientasi yang dalam datanya yang memasukkan pemikiran atau konsep tentang
kewajaran dan keberterimaan secara riel sehingga dengan cara demikian
ditekankan pada perealisasian model yang induktif sedangkan cara-cara deduktif
untuk tujuan ini sering dinilai tidak tepat.
Berdasarkan jangkauannya kajian sosiolinguistik dibedakan menjadi
dua yaitu sosiolinguistik makro dan sosiolinguistik mikro. Sosiolinguistik makro
melihat atau menemukan distribusi atau sebaran dari variasi bahasa dalam
11
masyarakat dengan melihat status demografis penutur seperti jenis kelamin,
umur, pendidikan, pekerjaan dan keanggotaan etnik (dalam Bell, 1976:27). Jadi
sosiolinguistik makro bukanlah pada interaksi individual tetapi mengacu pada
keanggotaan pada suatu kelas atau kategori sosial baik jenis kelamin, pekerjaan,
dan lain-lain. pada intinya sosiolinguistik makro mempelajari komunikasi atau
interaksi intergrup bukan intragrup.
Kami menyarankan bahwa salah satu dari karakteristik sosiolinguistik
yang ditekankan adalah pada studi penggunaan bahasa dari kelompok sosial
tertentu. Walaupun sangat mungkin untuk mengadopsi pandangan
yang
bermacam-macam dalam struktur kelompok, ketika dihubungkan dengan bahasa,
cenderung menghasilkan hasil yang
berbeda. Pandangan yang
mungkin diringkas dalam hubungan yang
berbeda
diambil antara individu dan
kelompok. Fitur linguistik dapat dipakai untuk melihat hubungan antarindividu
dan antarkelompok, dan fitur itu dapat dideskripsikan dalam dinamika individu
dan kelompok.
Pendekatan pertama, mengambil individu sebagai fokus perhatian,
membagi wilayah pada psikologi pada umumnya dan psikologi sosial pada
khususnya. Sedangkan pendekatan kedua lebih sosiologis dalam penekanannya
dan mengikat sosiologi itu sendiri, ekonomi, antropologi dan pengetahuan
politik, tergantung pada alam, komposisi dan ukuran kelompok.
Pada dasarnya, divisi antara dua pendekatan itu jauh dari ketepatan
tetapi sangat baik secara temporer untuk mengadopsi dan mengadaptasi pada
analogi dari sosiologi (Timasheff, 1957:269) hal mikro dan makro memasukkan
label mikro sosiolinguistik untuk menganalisis yang menekankan pada individu
dalam hubungan kelompok intra informal yang
kecil dan makro linguistik
dimana tempat investigasi adalah interaksi pada tingkat inter kelompok yang
besar.
Perbedaan sosiolinguistik mikro dengan makro, sebetulnya terletak
dalam hal filosofis yaitu pada definisi tentang “individualitas”, melihat
perbedaan
antarindividu
yaitu
sejumlah
ciri-ciri
individual
yang
membedakannya dari individu lainnya (Krech et al. dalam Bell, 1976) yaitu
12
penekanannya terletak pada cara di mana individu tidak termasuk pada beberapa
kategori sosial yang terbentuk secara mana suka, artinya jika seorang penutur
mempunyai ciri-ciri perilaku yang tidak ada pada kelompok sosial tertentu, maka
ciri-ciri ini ditangani oleh sosiolinguistik mikro. Variabel-variabel mikro
biasanya ditemukan dalam tindak tutur atau boleh dikatakan bahwa
sosiolinguistik mikro adalah studi tentang hubungan struktur bahasa dengan
struktur sosial dalam tingkat interaksi tatap muka, dengan begitu bisa dilihat dan
diketahui atau dibedakan antara perilaku bahasa dan perilaku nonbahasanya.
Tugas sosiolinguistik mikro adalah menemukan hubungan antarkedua perilaku
tersebut (Ervin Tripp dalam Penalosa, 1981:60) selanjutnya Ervin Tripp
mengatakan bahwa sosiolinguistik mikro adalah studi tentang komponenkomponen interaksi tatap muka yang berhubungan atau dipengaruhi oleh
struktur formal dari tutur. Komponen-komponen itu mencakup : personil, situasi,
fungsi, interaksi, topik, pesan dan saluran. Leech (1983) mengatakan bahwa
makna tuturan yang betul-betul bermakna adalah makna yang ditimbulkan oleh
interaksi antara bentuk tuturan, makna formal tuturan, dan konteks. Konteks
mencakup siapakah penutur dan petuturnya, situasi ujaran, tujuan, norma sosial,
dan aspek lain seperti waktu dan tempat tuturan dihasilkan. Jadi di sini
memperhatikan bukan saja pada ko-teks tetapi juga melihat pada konteks budaya
maupun pada konteks situasi. Konteks ini bersifat nonverbal, yang akan juga
menentukan isi pesan dalam interaksi.
Sosiolinguistik mikro berkenaan dengan usaha untuk menghubungkan
karakter-karakter atau variasi bahasa dengan ciri-ciri atau karakter penutur
dalam situasi komunikasi yang menyertai. Pendekatan yang digunakan dalam
analisis sosiolinguistik mikro etnometodologi yang selalu menyatakan dan
mencari sistem simbol yang tetap pada makna yang tetap yang dipakai oleh
anggota masyarakat dan dalam hal ini diklasifikasikan dalam etnografi
komunikasi
yang
memfokuskan
pada
“bagaimana
sebenarnya
orang
berinteraksi?” dan “apa saja yang terjadi dalam suatu percakapan, suatu ujaran,
humor atau peristiwa tutur lainnya?”.
13
Sosiolinguistik tidak mempelajari hal-hal yang abstrak, menciptakan
penutur-pendengar ideal dalam suatu guyup yang benar-benar harus homogen
sebagaimana dikatakan oleh Chomsky (1963), tetapi lebih pada penuturpendengar yang aktual dalam guyup tutur dan guyup sosial yang heterogen. Hal
ini tidak hanya menyangkut apa yang penutur ketahui atau potensi penutur,
tetapi juga pada apa yang sebenarnya mereka katakan atau maksud yang
didukung oleh faktor-faktor nonbahasa.
Pendekatan dalam sosiolinguistik memerlukan suatu deskripsi yang
sistematis terhadap perilaku yang komunikatif. Perilaku komunikatif ini telah
distandarisasi secara alami dalam konteks sosiokultural di mana perilaku itu
terjadi. Standarisasi itu tidak bersifat perskriptif tetapi secara tidak sadar ditaati
dan dilaksanakan dalam perilaku tutur. Pola perilaku dan interprestasinya
merupakan hal pokok dalam sosiolinguistik yang dikerjakan secara empirik dan
aktual serta deskriptif.
Sosiolinguistik menekankan pada pencarian pola hubungan antara
kedua struktur yang direaliasasikan pada perilaku berbahasa dan perilaku social
pemakai bahasa. Beberapa tipe teori bahasa dan kajian dalam hubungannya
dengan ilmu lain, interdisipliner, memperlakukan bahasa dengan melihat
hakekat bahasa itu sendiri. Sehingga untuk mengetahui perilaku bahasa itu
terlebih dahulu mengenal hakekat bahasa dalam perannya pada masyarakat atau
guyup tutur.
Sebagai awal pencarian hakekat pembicaraan tentang sosiolinguistik,
Bell (1976) memulainya, sebagaimana dengan cara yang digunakan oleh ahli
bahasa untuk meng gambarkan dan menjelaskan tentang fenomena yang dikenal
sebagai bahasa. Pencarian hakekat itu bergantung pada jawaban terhadap
pertanyaan ‘apakah bahasa itu?’, walaupun jawaban itu masih berupa asumsi
samar ataupun yang sudah dinyatakan denga jelas. Jawaban untuk pertanyaan
‘apakah bahasa itu?’ pada abad 19 yaitu didefinisikan bahwa ‘bahasa adalah
perubahan’. Ternyata jawaban itu kurang tegas dalam penyepadanan antara
penjelasan turunan yang dipakai, dengan tujuan pembangunan kembali bentuk
asli dari bahasa. Selama abad itu, ilmu bahasa yang berhubungan dengan sejarah
14
jadi kurang sesuai dengan perkembangan terakhir tetapi belum sepenuhnya
hilang. Sedikit mahasiswa Bahasa Inggris di perguruan tinggi gagal untuk
mempelajari paling tidak tentang sejarah bahasa ibu mereka, tak peduli seberapa
kuatnya jurusan itu diorientasikan pada ulasan sastra atau ilmu bahasa modern.
Selama abad itu, pada dasarnya meneruskan pengaruh De Saussure
bahwa bahasa dilihat sebagai sebuah obyek yang bisa digambarkan dengan
metode deduktif yang serupa dengan metode dalam ilmu alam. Lebih tepatnya,
bahasa dilihat sebagai sebuah sistem dengan komponen-komponennya tersendiri
dan hubungan-hubungan yang bisa digambarkan di dalam dan untuk sistem itu
sendiri bukan dalam istilah penggunaan yang menempatkan bahasa sebagaimana
adanya yang memiliki hubungan ke luar bahasa (extralinguistik). De Saussure
sangat gigih untuk menuntut otonomi ilmu bahasa – ‘la linguistique a pour
unique et véritable objet la langue envisagée en elle-même et pour elle-même’
(De Saussure, dalam Bell, 1976:18).
Singkatnya, selama lima puluh tahun pertama pada abad itu,
kebanyakan ahli bahasa berpaling dari pertimbangan aspek-aspek eksternal
bahasa, yakni tentang perubahan dan penggunaan yang mengenal bahasa sebagai
perilaku sosial manusia. Hal ini dikarenakan mereka lebih memusatkan
perhatiannya pada segi internal bahasa yaitu sebagai sistem dan struktur yang
otonom. Bukannya mengatakan kalau penelitian tentang bahasa dalam konteks
sosial telah mati bersama mahasiswa Eropa terakhir yang mempelajari retorika
pada abad 19, tetapi usaha untuk menghubungkan bentuk ilmu sosial dengan
fungsi sosial masih berlanjut. Namun, pada umumnya keberlanjutan tersebut
hanya sebagai tambahan pada penelitian-penelitian sosiologi, pendidikan, atau
psikologi. Hanya beberapa ahli antropologi bahasa seperti Firth dan Malinowski
di Inggris serta Sapir dan Whorf di AS yang masih memperhatikan aspek-aspek
eksternal penggunaan bahasa, seperti juga para ahli dialektologi. Namun, mereka
bahkan cenderung dibatasi oleh tradisi sejarah yang kuat dalam tujuannya
walaupun kebanyakan ahli dialektologi tersebut sudah terlatih. Hasilnya yaitu
bahwa survei dialek mereka, hampir tanpa pengecualian, lebih bersifat pedesaan,
diorientasikan pada ‘pemeliharaan’ cara bicara kaum tua, dan penemuan atas
15
perluasan bentuk cara bicara kaum tua yang telah bertahan dalam komunitas
yang terisolasi.
Akar permasalahan, yang dihadapi ahli bahasa dalam memilih sebuah
definisi tentang bahasa yang dipakai dalam membahas bahasa dan sebagai
metodologi untuk menghadapi dan membuat temuan-temuannya, terletak pada
sifat dasar bahasa yang aneh, komplek, dan bersifat dualitas dengan sendirinya.
Hal ini merupakan sistem yang terstruktur dengan sangat abstrak dan yang
dipakai oleh sebuah komunitas tutur, yang dapat diamati lewat perilaku
individual. System sebagai perilaku perseorangan dan pada saat yang sama
cenderung berubah-ubah. Ahli bahasa tidak sendirian dalam mengatasi dilema
semacam itu. Dalam interaksi sosial, ahli psikologi sosial melihat hal yang sama
yaitu sebagai obyek penelitian yang mempesona dan mengagumkan. Di satu sisi
terasa dekat dan akrab lalu di sisi lain terasa misterius dan tidak dapat
diungkapkan. Tampaknya tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan atau
konsep yang bisa menjelaskan.
Melihat hal semacam ini, kebanyakan mahasiswa ilmu bahasa modern
menjelaskan bahasa tersebut secara internal dan otonom -- yang berawal dari
sintaksis lalu berubah menjadi semantik. Mereka mengabaikan hal-hal yang
tidak bisa dijelaskan dengan acuan struktur bahasa itu sendiri, lebih buruk lagi,
diberi panggilan ‘variasi bebas’.
Dua asumsi kunci yang masih bisa diandalkan oleh kebanyakan ahli
bahasa deskrptif adalah kembali menuju De Saussure (1915). Hal ini, walaupun,
dinyatakan dalam bentuk yang agak ekstrim.
1. Ada sebuah dikotomi (pembagian dua ektrim) antara langue (kode yang
dipakai bersama oleh komunitas tutur) dan parole ( penggunaan bahasa yang
aktual oleh individual). Semenjak dikotomi ini dapat diterima, maka parole itu
tidak cukup terstruktur dengan baik sebagai obyek studi penelitian, tetapi langue
muncul sebagai obyek yang tepat untuk penelitian ilmu bahasa. Tetapi
bagaimanapun penelitian langue tetap akan melihat pemakaian bahasa secara
individual atau parole. Sehingga langue ditemukan melalui beberapa parole.
2. Ada sebuah dikotomi antara deskripsi sinkronis atau deskripsi kondisi-statis
dan deskripsi diakronis atau deskripsi system-dinamis. Dalam suatu pengertian,
16
pandangan De Saussure ini mengikuti dikotomi langue-parole tapi lebih
dirangsang terutama pada kasus De Saussure dengan keinginannya untuk
melepaskan diri dari orientasi sejarah ilmu bahasa abad 19. Melalui pandangan
ini, deskripsi ilmu bahasa didefinisikan sebagai deskripsi sinkronik atas
‘perumusan bahasa’ pada titik waktu yang ditetapkan daripada deskripsi
diakronik atau kronologi atas mekanisme perubahan ilmu bahasa.
Kesulitan operasional muncul ketika ahli bahasa mulai menggambarkan
langue, karena tampak jelas pada saatnya jika sebuah pendekatan empiris itu
hanya dapat diamati pada deskripsi parole. Parole mampu mengarahkan
pengamatan dengan indera manusia dan yang diwadahi oleh langue dalam
‘kesadaran bersama’ dari komunitas tutur. Dua solusi untuk mengatasi dilema
tersebut dapat dicoba: (1) induksi, generalisasi yang berdasarkan pada data yang
dihasilkan oleh satu sumber dan (2) deduksi, penggunaan introspeksi untuk
memperoleh wawasan menuju struktur bahasa itu. Keduanya akan didapati
berbeda walaupun kedua pendekatan ini muncul untuk membuat asumsi
mendasar yang sama yaitu bahwa bahasa dalam suatu hal adalah lambang dari
pengguna individual. Hal itu nyata pada kasus pertama dan pada kasus kedua itu
hanya teori semata.
C. Hubungan Sosiolinguistik dengan Studi Lainnya (dalam studi interdisipliner)
a. Ilmu Sosiologi: studi sosiolinguistik memerlukan data atau subyek lebih dari
satu orang individu, secara metodologis, keduanya menyangkut metode
kuantitatif sampling, statistik, wawancara, rekaman, dokumen, dsb.
Penggolongannya mengunakan deskriptif. Perbedaannya adalah pada objek,
yakni sosiologi menitik beratkan pada deskripsi masyarakat bukan bahasa,
sedangkan studi sosiolinguistik pada bahasa bukan masyarakatnya.
b. Linguistik umum, relatif mirip dengan linguistik dekriftif, yang memiliki ciri:
monolistik closed-system, homogen, satu atau beberapa informan pilihan.
Analisis menitik bratkan pertama pad bunyi, baru makna kedua; yang
berkisar pada mayoritas kalimat. Sedangkan studi sosiolinguistik memiliki
cirri sebagai berikut:
1) bervariasi, heterogen, open-system
17
2) fungsi dalam masyarakat, pada makna,informan banyak data
3) verbal dan non- verbal.
4) terbesardari wacana mulai dari situ.
5) pendekatan makna disiplin.
c. Dialetologi memiliki ciri pada metode komparatif, historis, diakronis, variasi
berdasarkan batas regional, alam, sedangkan studi sosiolinguistik komparatif,
deskriptif sinkronis, variasi berdasarkan bahasa, berdasarkan batas-batas
kemasyarakatan
d. Retorika (selected speech) atau dengan kata lain laras (gaya bahasa)
Retorika memiliki kecondongan ke studi tutur individual, studi sosiolinguistik
tidak hanya unsur terpilih tetapi seluruhnya, dalam studi sosiolinguistik
mencari variasi yang ada kemudian mencari factor yang memunculkan variasi
itu.
e. Psikologi Sosial, secara metodologis,
menitik beratkan pada personal-
orionted; sedangkan studi sosiolinguistik sosial-oriented. Psikologi sosial
dapat dipakai dalam studi sosiolinguistik seperti sikap.
f. Antropologi: studi tentang kebudayaan dalam arti luas seperti adat, hukum
kekerasan, lembaga sosial,dsb. Sedangkan studi sosiolinguistik meneliti
bahasa denga nilai-nilai sosialnya, yang kemungkinan sama-sama memakai
metode pengamatan berpartisipasi.
Studi sosiolinguistik memiliki dua subbagian, yakni mikro dan makro sosiolinguitik.
Mikro menangani masalah-masalah kecil atau sempit sepert pekerjaan, usia, jenis
kelamin, tempat tingal. Seperti pada situasi pesta adat yang di dalam ada peristiwa
tutur dapat dianalisis dengan melihat siapa bicara dalam bahasa apa kepada siapa,
tentang apa, situasi apa, maksud apa (yakni dengan konsep ranah). Makro menangani
interaksi yang bersifat :intergroup interaction.
D. Langue-Parole dan Kompetensi-Perfomansi
Sepanjang abad, para ahli bahasa telah berusaha untuk menemukan
bentuk yang sempurna dan ideal dari bahasa yang disembunyikan di tengahtengah masyarakat yang sesungguhnya dan penggunaan data bahasa yang
18
berubah-ubah. Bagi ahli bahasa pada abad 19, termasuk juga Plato, bentuk
‘murni’ bahasa hanya ada di masa lalu dan cara bicara masa kini dilihat sebagai
sebuah versi yang lebih buruk dari sebelumnya. Begitu juga De Saussure, bagi
seluruh bentuk bahasa baru dan ide-ide rintisannya masih berada dalam
pencarian sistem homogen yang murni dan dipercayanya ada, bukan di masa lalu
tapi di pikiran bersama dari komunitas tersebut. Bagi Chomsky, letak dari
bentuk murni itu lebih abstrak yaitu pikiran dari ‘pembicara dan pendengar yang
ideal’.
Yang paling mengejutkan yaitu kognisi umum/lazim – cara bicara yang
nyata, parole, pelaksanaan, cara bicara, kegunaan, atau apapun istilah yang
digunakan terlalu berubah-ubah untuk digambarkan. Ahli sosiolinguistik tidak
bisa kecuali mengambil masalah bersama hal ini. Tak seorangpun akan menolak
bahwa cara bicara itu berubah-ubah tetapi ahli bahasa yang mencoba untuk
menciptakan sebuah ‘ilmu bahasa sosial yang nyata’ (Labov, 1966:14). Tidak
bisa menerima bahwa pelaksanaan itu tidak lebih dari sebuah refleksi
kemampuan yang tak berarti dan terlalu menyimpang, sangat kacau jika hal itu
tidak dapat dipertanggung-jawabkan pada ganbarannya. Dia akan menunjukkan
bahwa bagian dari ‘mengetahui bahasa dengan sempurna’ (Chomsky, 1965:3)
terdiri dari mengetahui bagaimana dan kapan menunjukkan dan jika tanpa
kemampuan-kemampuan ini, pembicara-pendengar yang ‘diidealkan’ akan
menjadi ‘monster yang berbudaya’ (Hymes, 1967:639).
Seberapa jauh ahli sosiolinguistik menegaskan pendapatnya untuk
diterima tergantung pada gambarannya tentang tujuan linguistik umum dan
tentang sosiolinguistik khususnya. Dia mungkin menerima seperti Fromkin
(1968), bahwa sasaran utama sosiolingustik adalah membangun realisasi dan
penampilan sebuah teori. Sebaliknya, dia bisa membuat sanggahan yang lebih
dramatis. Searle (1969) menyatakan bahwa teori kompetensi tidak cukup dan
kenyataannya sosiolingustik adalah “ilmu bahasa” yang telah mempunyai posisi
tersendiri sehingga dikatakan sebagai “peralihan tata bahasa”.
19
E. Penggambaran singkronik dan diakronik
Ketepatan pembagian antara singkronis dan diakronis disampaikan oleh
De Saussure, pengertian ini sebagai reaksi ulang atas kekuatan diakronis
biasanya ilmu-ilmu bahasa pada abad 19, dengan meningkatnya telah terlihat
sebagai ketepatan metodologi yang menguasai tingkat kegunaannya yang lebih
tinggi. Hal ini benar, tidak hanya dalam ruang lingkup penelitian yang
berorientasi scara sosiologikal dan utamanya diman usaha- usaha yang tlah
tersusun untuk memproduksi sebuah analisa kepuasan dalam situasi yang
berkelanjutan akan tetapi dalam bekerja yang telah surut dengan jelas tanpa ada
sebuah
kedisiplinan
yang
tak
beralasan.
Contohnya,
beberapa
transformasionalisasi (Chomsky dan Halle, 1968) sekarang sanggup menerima
tanpa kerangka umum pada model singkronis, data bahasa dari sumber- sumber
terdekat dalam bahasa dan memasukkan contoh data tanpa ada jalur sistem di
awal permulaan bahasa. Terutama, keputusan untuk membuat “bentuk dasar“
dari masuknya leksIkal representasi orthograpis yang menyatakan secara tidak
langsung bahwa bagian yang ideal dari pendengaran pembicara yaitu
“pengetahuan bahasa” adalah beberapa dugaan Middle baru-baru ini dan pokokpokok leksikal yang bersumber dari awal Modern English. Namun, pemikiran
pada skala waktu lebih pendek, baru saja bekerja dalam “perkiraan-perkiraan”
yang menyatakan sebagai “pengetahuan” digunakan lebih awal dan konotasikonotasi memulai untuk membawa ke dalam realisasi bahasa yang tajam.
Bahkan, ketika pemikiran itu sebagai statik atau ketetapan, kenyataannya, sistim
dinamis itu adalah pengucapan yang lebih utama terdorong atas perubahan –
seperti De Saussure (1915:37) sendiri meletakkan itu ”enfin c’est la parole
quifait ‘evoluer la langue”
F. Data ilmu-ilmu bahasa
Ilmu
bahasa,
pada
umumnya
berhubungan
dengan
ilmu-ilmu
pengetahuan lainnya, dengan bekerja terhadap penemuan struktur data tersebut.
Model-model pembuatan, kesetaraan rangkaian konstruksi tertentu, dalam
rencana abstrak yang seharusnya perkiraan terdekat lebih atau sedikit pada
20
realita data aktual (Revzin, 1966:3). Hanya untuk model-model ini boleh
didiskusikan sesuai data bahasa natural. Sumber-sumber dari yang telah
tergambar dan abstraksi kesepakatan yang termasuk dalam penciptaan
penggambaran sasaran. Strukturalis mendekati ke bahasa penggambaran mulai
dengan asumsi operasional yang memilih satu pelapor yang berkapabilitas secara
hati-hati asal data cukup untuk penggambaran umun sebuah data bahasa.
Bagaimanapun terpilihnya, ilmu bahasa tetap berdasar pada analisisnya. Sampai
akhir–akhir ini, penggambaran ilmu bahasa telah berakhir pada sebuah kalimat.
Prosedur khas struturalis lebih baik diilustrasikan oleh sub judul pada bukunya,
A.A Hill (1958) yang berjudul “Introduction to Linguistic Structure”. Dari suara
menuju kalimat dalam bahasa Inggris, sedangkan transformasionalisasi jelas
dalam simbol identitas tata bahasa mereka – E : “kalimat”. Meskipun
petunjuknya berbeda, terutama dalam asensi sintesis dan analitis kedua, keduaduanya diadaptasi, seperti pada kalimat poin terakhir. Penggambaran
sosiolinguistik diharapkan mampu memperluas hingga melebihi struktur-struktur
kalimat yang lebih lebar, berkomponen, dan perhatiannya akan butuh terpusat
tidak saja pada kalimat individual yang diproduksi oleh pembicara-pembicara
individual (bagaimanapun idealisasinya) tetapi dalam interaksi pendengaran
pembicara dan dalam teks-teks sturktur yang lebih luas, percakapan-percakapan,
ungkapan-ungkapan, sumpah-sumpah, pertanyaan dan kebisaaan jawaban dan
lain sebagainya
G. Bidang sosiolinguistik
Hal ini telah tampak dari apa yang telah dipaparkan di atas bahwa
sosiolinguistik menolak semua yang telah berlangsung sebelum dia ada dalam
ilmu-ilmu bahasa, tetapi ini jauh dari kebenaran. Prestasi-prestasi besar pada
abad 19 di dekade hasil pemilihan para pekerja keras, meletakkan fonetik
fondasi dan fonologi serta kekuasaan mereka; De Saussure berperan penting
untuk mencari orientasi baru sebagai sasaran, orientasi ini sendiri telah bekerja
keras dan berbuah sesuatu yang berharga. Kita tahu sekarang, lebih jauh tentang
bahasa natural daripada dari apa yang kita lakukan 100 tahun yang lalu, prestasi
21
inteletual; yang tidak dapat ditolak secara gamblang dalam beberapa tingkat
pelayanan baru. Tidak. Hal itu bisa berarti mayoritas ilmu-ilmu sosial melihat
mereka sebagai ilmu-ilmu bahasan dengan tujuan dinyatakan pengusahaan untuk
menemukan korespondensi yang berurutan, antara ilmu bahasa dan stuktur sosial
serta lagipula, melihat peran mereka sebagai pemanggilan dari beberapa
pertanyaan atas asumsi-asumsi ilmu bahasa. Disamping itu, untuk mempercepat
waktu pemenuhan dan lebih memuaskan dalam bahasa penggambaran. Seperti,
Labov (1966) meletakkan ini untuk menyelelesaikan masalah ilmu-ilmu bahasa,
pemenuhan dalam pemikiran yang akhirnya masalah-masalah analisa perilaku.
Di samping itu, sosiolinguistik divariasi atas ketertarikanya dapat melihat sendiri
sebagai ahli waris ke dialektologi dan di usaha-usahanya saat ekstensi
penggambaran sebuah kalimat bahasa ternyata terlalu sulit sebagai penyegar dari
sebuah tradisi berpidato yang masih sangat kuno, sungguh sampai akhir ini yaitu
masa disiplin ilmu sejarah, bentuk serta tata bahasan dua arus utama beasiswa
ilmu bahasa. Maka dari itu, kemudian boleh digunakan untuk menemukan
mengapa sosiolinguitik berbeda dari kedua pekerjaan ini yaitu, dialektogi dan
orator.
22
BAB II
BAHASA DAN PERBEDAAN SOSIAL (STRUKTUR MASYARaKAT)
A. Bahasa, Masyarakat, dan Budaya
Masyarakat memiliki budayanya sendiri. Menguasai bahasa berarti
menguasai sebagian besar konsep-konsep budayanya, karena bahasa adalah
bagian dari budaya dan sekaligus wadah serta citra dari budaya tersebut. Para
ahli sosiologi menggunakan istilah fungsi, fungsi yang diemban oleh objek
tertentu, untuk merujuk pada konsekuensi-konsekuensi dari suatu tindakan
(fungsi sosial/fungsi makro), termasuk di dalamnya fungsi bahasa yang
digunakan dalam menghasilkan konsekuensi tindakan pada perorangan maupun
kelompok. Hewan meraung dan manusia berbicara memberikan fungsi dasar
yang didasarkan atas aktivitasnya untuk mencapai tujuan tertentu dalam rangka
pemenuhan kebutuhan.
Konsekuensi-konsekuensi yang dirasa oleh masyarakat disebut sebagai
fungsi sosial atau fungsi makro yaitu sebagai akibat-akibat dari struktur
masyarakat yang dihasilkan dari aktivitas sosial tertentu. Fungsi makro
menghasilkan pengaruh yang kuat pada para pendengar dan pembicara dari
bahasa lisan. Untuk menemukan fungsi-fungsi tersebut dapat dilakukan dengan
mengetahui pola etnografi dari komunikasi pemakaian bahasa tersebut. Hymes
(1974) memaparkan salah satu cara analisis etnografi komunikasi dengan
akronimnya SPEAKING, yang biasa dikenal dengan etnografi komunikasi.
Malinowsky (dalam Penalosa, 1981:37) menekankan pada fungsi
pragmatik dari bahasa lisan yaitu untuk mengarahkan, mengontrol, dan
menghubungkan aktivitas manusia. Fungsi dasar bahasa adalah untuk
mengontrol aktivitas manusia, sehingga fungsi utama bahasa sebagai kontrol
kerja sama sosial dan mengembangkan kerja sama pada sebuah norma. Bahasa
merupakan alat kontrol atau kendali sosial, peta sosial, personal, dan isi dari nilai
yang ada pada masyarakat atau individual tertentu.
Budaya adalah sebuah alat untuk beradaptasi agar dapat bertahan hidup,
atau dengan kata lain budaya adalah sebuah alat yang dipakai manusia untuk
penyesuaian diri sehingga manusia mampu bertahan dalam sebuah lingkungan
23
yang beraneka ragam. Bahasa pada umumnya adalah alat untuk menyampaikan
informasi, termasuk informasi tentang keadaan atau situasi dari para pembicara,
di samping bahasa juga sebagai penanda dan alat adaptasi.
Bahasa menentukan sejumlah fungsi yang berbeda-beda dalam
masyarakat: sebagai pananda identitas dan status sosial, pencipta dan
pemertahan hubungan sosial, dan alat untuk mengungkapkan kebutuhan
individual. Sehingga dikatakan bahwa bahasa bukanlah sekadar alat semata,
tetapi bahasa itu sendiri merupakan isi atau objek. Seseorang terkadang tidak
mengungkapkan isi tuturan, tetapi hanyalah memenuhi tuntutan kerjasama sosial
seperti menyapa, memberi salam, dan sebagainya. Bahasa, akhirnya, mampu
membentuk sistem integrasi, koordinasi dan hubungan sosial, dan akumulasi dan
transmisi budaya. Menurut Wolfram (dalam Penalosa, 1972) ada empat
pandangan tentang hubungan bahasa dan sosial:
1.
Struktur sosial tergantung pada bahasa.
2.
Bahasa tergantung pada struktur sosial.
3.
Keduanya saling menentukan atau bergantung.
4.
Keduanya tergantung pada faktor ketiga di luar bahasa dan sosial
yaitu: world view, organisasi otak manusia atau hakikat dasar
kemanusiaan.
Hubungan di atas sangat tergantung pada tingkat sejarah, otonomi,
vitalitas, dan standariasi dari bahasa dan masyarakat yang bersangkutan,
sehingga dimungkinkan bahwa karakter ketergantungan dari komunitas tertentu
akan berbeda dengan komunitas yang lainnya, seperti: (1) nilai kesejarahan
(bahasa koloni, etnis, lingua franca), (2) kemandirian yang mencakup
kekhususan-kekhususan bahasa, (3) vitaliatas yang berhubungan dengan daya
dan dorongan kebutuhan untuk memakai bahasa tersebut, dengan kata lain tidak
ada bahasa lain yang mampu untuk kepentingan tertentu, dan (4) standarisasi
bahasa yang mencakup kemapanan dan konsistensi bentuk dan maknanya.
Budaya memberi pola bagaimana pemakai bahasa memakainya dengan benar
sesuai dengan nilai-nilai peran sosial pemakainya, termasuk peran sosial yang
berdasarkan jenis kelamin.
24
Pemakaian
bahasa
dipengaruhi
oleh
perbedaan-perbedaan
dan
stratifikasi masyarakat bahasa. Perbedaan pemakaian bahasa ini dapat
dipengaruhi oleh jenis kelamin, pekerjaan, kelompok etnis atau kelompok
masyarakat bahasa, letak geografis, dan usia (Bolinger, 1975:233-342).
Stratifikasi sosial mencakup kedudukan seseorang dari kelompok atas berbagai
macam strata atau tingkatan status sosial pemakai bahasa (pendidikan,
pendapatan, pekerjaan, agama, kasta, dan lain-lain). Christian (dalam Penalosa,
1981:123) menyampaikan bahwa idealisme dari demokrasi bahasa, yang
menyatakan bahwa setiap warga negara diperlakukan dengan penghormatan
yang sama, dianggap sebagai hal yang paling tidak realistis dari semua idealisme
sosial, apalagi dilihat dari pemakaian bahasa. Jadi dalam pemakaian bahasa tidak
dapat dilepaskan dari susunan/stratifikasi sosial karena bahasa menjadi salah
satu aspek pemertahanan struktur prestise, hubungan sosial, status ekonomi dan
lainnya. Keberadaan tuturan adalah alat yang paling efektif dalam menjaga
hubungan sosial ekonomi, sebagai penghormatan terhadap suatu hirarki tertentu.
Beberapa variasi mungkin secara sosial bermartabat, yaitu mereka telah diadopsi
oleh sebuah ketinggian status sosial tertentu. Kita tidak berbicara pada semua
orang dengan variasi yang sama. Bagaimana kita berbicara tergantung pada
identitas seseorang yang akan diajak berbicara atau apa yang akan dibicarakan
(who to whom and when).
B. Stratifikasi Sosial
Kelas sosial adalah golongan masyarakat yang mempunyai kesamaankesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan, seperti: ekonomi, pekerjaan,
kependudukan (ras), kasta dan sebagainya. Terdapat kemungkinan bahwa
seseorang mempunyai lebih dari satu kelas sosial. Status kasta memiliki sifat
lebih tertutup dibandingkan dengan ciri sosial lainnya. Sedangkan kelas sosial
lainnya lebih terbuka, seperti pekerjaan atau tingkat ekonomi. Perbedaanperbedaan diatas menentukan jenis bahasa atau ragam yang harus dipakai. Labov
menemukan pengucapan dengan penyempitan fonem /r/dan letak ke-bawahbelakang-an fonem /o/ ini bukan variasi bebas tetapi dibimbing oleh faktor
25
sosial, pemakaian /-s/ dan /-es/ pada orang ketiga tunggal juga diteliti dan
menunjukkan pemakaian yang dipengaruhi faktor sosial.
Bernstein membagi pemakaian bahasa menjadi dua tampilan: (1) kode
terinci (elaborated code) yang memiliki ciri: formal, sebagai ciri seorang
individu mandiri, bebas konteks nonlinguistik, sifat khas seseorang (kelas
sosial), penggunaan klausa-klausa yang panjang; (2) kode terbatas (restricted
code) yang berciri: tidak formal (seperti antaranggota keluarga, antarteman),
terikat pada konteks nonlinguistik, bukan ciri individu tetapi menekankan
keanggotakan dalam kelompok. Pada kesempatan kemudian, Bernstein
mengubah pandangannya bahwa penutur bawah dan menengah hanya mungkin
berbeda dalam konteks-konteks tertentu yang mungkin kemudian menghasilkan
kode yang berbeda. Kedua kode tidak dilihat sebagai dua ragam yang berdiri
sendiri tetapi merupakan petunjuk atau indikasi jenis variasi yang berbeda yang
bisa digunakan. Struktur keluarga sebagai faktor pembeda yang sama pentingnya
dengan kelas sosial. Keluarga merupakan pembentuk bahasa ibu yang paling
menonjol disamping teman bermain. Hipothesis Sapir-Whorf menyatakan bahwa
bahasa ibu seseorang membentuk kategori-kategori yang bertindak sebagai
sejenis geruji (kisi-kisi). Melalui kisi–kisi itu si penutur melihat dunia luar dan
menerima sehingga bahasa ibu mempengarui penguasaan bahasa kedua dan
seterusnya. Sanggahan terhadap Hipothesis Sapir-Whorf menitik beratkan pada
bahasa untuk menentukan dunia konsep pemakai bahasa. Pandangan ini
disanggah dengan adanya berbagai lingkungan pemakai bahasa. Lingkungan ini
dapat berupa:
1) Lingkungan fisik dapat mempengari bahasa masyarakat bukan
kemampuan otak manusia, seperti leksikon, yang bukan berarti
bodoh.
2) Lingkungan sosial dapat juga dicerminkan dalam bahasa dan dapat
berpengaruh pada struktur kosa kata, seperti sistem kekeluargaan,
sapaan.
3) Adanya
lapisan-lapisan
masyarakat
feodal
dan
kasta
juga
mempengaruhi bahasa.
4) Nilai-nilai sosial seperti kata-kata tabu.
26
5) Ketidakmampuan bukan berarti bodoh karena pengaruh hal-hal di
atas.
Terdapat beberapa perbedaan faktor yang membentuk kelas sosial,
yakni: tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan; yang mungkin membentuk
kelas sosial ke dalam enam atau sepuluh kelas (Penalosa, 1981:134). Suatu
masyarakat memiliki lebih banyak perbedaan bahasa seiring dengan semakin
tingginya stratifikasi sosial. Di Inggris, penggunaan /-s/ untuk orang ketiga
tunggal pada kata kerja present tense dihubungkan dengan kelas sosial.
Labov (dalam Penalosa, 1981:134) menunjukkan bahwa di kota New
York secara kasual, bahasa sehari-hari hanya merupakan kelas tinggi-rendah
yang menunjukkan pelafalan /r/ di akhir kata dengan jelas, tapi dalam gaya yang
lebih formal (seperti membaca dengan keras) jumlah pelafalan untuk kelompok
yang lain muncul dengan cepat dan tidak jelas.
Labov (dalam Penalosa, 1981:135) telah menciptakan bahwa pola
ketidakamanan bahasa untuk mengindikasikan kesepakatan pada ketidak
cocokkan antara apa yang diyakini pembicara adalah merupakan bentuk yang
benar dan bentuk-bentuk yang diyakininya itu digunakannya sendiri sendiri.
Pembicaraan kode-kode yang terbatas dan rumit merupakan hasil dari sistem
hubungan sosial.
Hipotesis Bernstrein dan Sapir didasarkan pada alasan bahwa bentuk
bahasa yang berbeda menghasilkan pengalaman sosial yang berbeda. Sapir dan
Bernstein (dalam Penalosa, 1981:136) lebih menekankan pada perbedaan budaya
dan lebih pada kelas, yang menyatakan bahwa kode-kode terbatas (restricted
code) digunakan pada kelas yang lebih tinggi dibandingkan pada variasi
nonrestricted code. Ciri variasi ini adalah lebih kompleks dan susunan bahasanya
lebih terstruktur. Menurut Bernstein ada beberapa perbedaan dalam orientasi
yang relatif atau tidak tetap dari kelas kelompok sosial antarfungsi bahasa.
27
C. Kelompok Komunitas dan Bahasa
Setiap kelompok manusia memiliki bahasa, variasi, atau register mereka
sendiri. Kelompok orang tertentu biasanya memiliki terminologi khusus sebagai
penanda spesifik dari kelompok tersebut. Cara ini atau penanda ini merupkan
pencerminan dari penggunaan ilmu bahasa. Bahasa adalah fokus dari aktivitas,
misalnya bagi para interpreter, penerjemah, guru bahasa dan ilmu bahasa itu
sendiri. Beberapa kelompok agama menggunakan variasi khusus untuk
kebaktian, berdoa/upacara, untuk membaca dan mempelajari teks-teks rahasia
dalam bahasa tersebut.
Para ahli sosiologi membedakan antara kelompok primer (keluarga,
teman dan lain lain) dan kalompok sekunder (kelompok organisasi yang
mempengaruhi perkembangan individu). Kelompok primer adalah tempat
pertama kali orang belajar bahasa atau beberapa bahasa dan aturan
penggunaannya. Sedangkan kelompok sekunder merupakan bentuk bahasa yang
diperolih: sekolah, angkatan darat, pasar, spesialisasi keilmuan, profesi, dan
lainnya. Para ahli sosiolinguistik tertarik pada hubungan antara struktur dan sifat
kelompok pada satu sisi dan sifat penggunaan variasi bahasa oleh beberapa
kelompok dengan yang lain pada sisi yang lain.
Kelompok perempuan baik anak-anak atau pun dewasa menciptakan
struktur sosial mereka sendiri, dengan norma-norma mereka, konsep, batasan,
mekanisme dan kadang-kadang bahasa rahasia untuk membedakan dan
mempertahankan perbedaan peran sosialnya. Kelompok masyarakat dan variasi
bahasa ini pun dipengaruhi oleh tingkat kelebatan mobilitas pemakainya, dalam
kaitannya dengan kontak bahasa dan budaya. Seseorang mungkin akan
melaksanakan perpindahan secara bertahap atau permanen. Berubah dari bagian
negara ke bagian lainnya atau mengubah daerahnya atau afiliasi budaya. Semua
ini menunjukkan pada substansi mobilitas sosial. Disamping itu kaum minoritas
dan miskin yang tidak memiliki beberapa variasi bahasa standar akan
menemukan kesempatan atas mobilitas yang tertutup.
Sistem pendidikan menyediakan fungsi mengajar, intelektual, dan
kemampuan sosial yang sangat bermanfaat bagi mobilitas sebagai wadah yang
28
menyediakan kesempatan belajar variasi pembicaraan kelas menengah. Ketika
seseorang bercita-cita untuk memiliki status yang lebih tinggi, biasanya dia
mencoba untuk meniru cara orang yang diidolakanya yaitu referensi
kelompoknya. Semua itu dapat membawa pada fenomena pembenaran yang
tinggi. Semakin tinggi mobilitas seseorang dan kelompok orang, semakin tinggi
variasi dan perubahan bahasa dan juga semakain menerima perubahanperubahan bahasa yang ada; karena munculnya nilai dan konsep-konsep makna
yang baru.
D. Usia Pemakai Bahasa
Ketika usia dapat dipisahkan dan diakui batas-batasnya ke dalam
kanak-kanak, remaja, dewasa, maka variasi bahasapun dapat dilihat dari
kelompok-kelompok usia ini. Ketiga kelompok ini mempunyai dialek-dialek
tersendiri. Dialek itu pindah sejalan dengan usia.
Bahasa anak dalam awal perkembangannya mempunyai ciri antara lain
penyusutan (reduksi). Biasanya berdasarkan penelitian R. Brown dan Ursula
Belhgi bahwasannya kata-kata yang di hilangkan termasuk golongan kata
fungtor atau kata tugas, yang mencakup kata depan, kata sambung, dan lain-lain
karena tidak memiliki arti ketika berdiri sendiri dan hanya berfungsi gramatikal
saja. Bahasa anak hanya lebih menitik beratkan pada content word dan kata-kata
yang penuh.
Penghilangan
fungtor
dan
pemertahanan
kata-kata
kontentif
menunjukkan bahwa anak-anak itu berbahasa secara sistematis dan ini bukan
kesalahan atau ketidakmampuan anak tetapi lebih merupakan stategi anak untuk
komunikasi dan menguasai kaidah berikutnya. Hal ini dikatakan sebagai strategi
karena dengan cara ini tutur mereka dapat di pahami orang lain. Secara
fonologis, kanak-kanak memiliki bunyi-bunyi dengan bunyi yang di hasilkan
oleh gerak membuka dan menutup bibir atau bunyi-bunyi bilabial, seperti dalam
bahasa Jawa mak, mbak, mbek, meh, meong, pak, bu dan seterusnya. Mereka
sulit untuk menggunakan bunyi-bunyi /r/ dan /s/, yang biasanya mereka
mengganti bunyi /r/ dengan bunyi /l/ dan /s/ dengan bunyi /c/.
29
Secara morfologis atau leksikal, kosa kata berkisar pada yang disini dan
yang sekarang . Bagi ibu mengira bahwa ada semacam sosial presure, untuk
mengajarkan kata-kata apa saja kepada anak dengan meluluhkan dan mengambil
peran anak, dirinya seperti anak-anak di mana prestise pemakaian bahasa
diajarkannya secara tersembunyi dengan mengajarkan kromo ingil pada anak.
Ragam tutur anak bersifat sementara. Penyusutan dalam tutur dapat terjadi pada
anak-anak terhadap fungtor atau imbuhan (bahasa indonesia), pada dewasa
dalam telegram untuk tujuan ekonomi yang terjadi pada penyusutan berupa kata
fungtor. Ragam non baku muncul tidak memiliki kaidah yang pasti dan
konsisten dan muncul karena inovasi dan kreatifitas.
Cara berbicara anak seringkali dicirikan sebagai kekanak-kanakan baik
dalam fonology, sintaksis, dan kosa kata; sehingga dalam bahasa anak terdapat
bunyi-bunyi bilabial yang dominan, kata-kata yang berbeda dengan bahasa
dewasa, seperti emeh (sapi), meong (kucing), embek (kambing), mimik
(minum), dan berbagai pemendekan struktur atau kalimat tidak lengkap dan
sangat kontekstual. Anak-anak mengunakan kata-kata seperti bunny daripada
little rabit atau porty daripada bathroom.
Variasi anak remaja sebagai variasi yang bercirikan ‘kurang
ajar/melawan’ atau ‘vulgar’, dan bagi yang dewasa sebagai ‘gaya tua’ sebagai
pemarkah kemapanan. Anak remaja mencoba untuk menggunakan atau ucapan
populer yang segar, yaitu cool daripada oke. Beberapa inovasi dan kreatifitas
atau sebaliknya, pelanggaran yang tampak pada bahasa remaja adalah
munculnya berbagai hybrid atau campuran bunyi atau sistemnya. Seperti
pemakaian bahasa dalam majalah remaja “Aneka Yess” (Ashari, 2007) yang
memakai bentuk-bentuk hybrid baik pada tataran kata maupun frase. Pada
tataran kata seperti: nge-date, dimake-up, ending-nya, CD-nya, ter-influence,
nge-judge,
me-request,
fashion-nya,
nge-jam,
ber-budget,
nge-dance,
performance-nya, nge-down, chemistry-nya, fans-nya, launching-nya, di-casting,
nge-fans; sedangkan pada tataran frase dapat dicontohkan: theme song-nya,
video clip-nya, atau stage act-nya. Remaja juga sering memakai bahasa rahasia
seperti: penyisipan konsonan v + vokal, penggantian suku ahir dengan bunyi
30
/sye/. Bahasa prokem yang sebenarnya diciptakan oleh pencoleng atau anak
nakal, copet atau yang lain.dengan penyisipan bunyi /ok/ di tengah kata yang
sudah di susutkan. Semua itu adalah ciri-ciri kreativitas karena kemungkinan
mereka melihat bahwa kebakuan menimbulkan kekakuan. Variasi yang dipakai
para remaja dapat juga sebagai wujud pemberontakannya terhadap kemapanan
yang mereka hadapi, yang menunjukkan monotonitas dan homogenitas serta
ketidakkreatifan.
E. Jenis Kelamin dan Bahasa
Bolinger (1975:333) mengatakan bahwa perempuan belajar berbicara
lebih awal dan menguasai bahasa kedua lebih cepat dan baik, serta memakai
lebih banyak waktunya untuk berbahasa daripada yang dilakukan laki-laki;
sehingga dikatakan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki bawaan secara
linguistik berbeda. Bahasa yang diucapkan oleh wanita berbeda dengan bahasa
yang diucapkan oleh laki-laki.. Walaupun laki-laki lebih banyak berbicara,
wanita adalah pembicara ulung. Dalam pendidikan awal atau di awal sekolah,
anak perempuan lebih mampu dan trampil dalam bahasa daripada laki-laki.
Perbedaan antara tuturan laki-laki dan perempuan adalah pada pelafalan dan tata
bahasanya. Tuturan wanita lebih tradisional dan terevaluasi lebih baik daripada
laki-laki. Ini berlawanan dengan pola stratifikasi pada umumnya, di mana yang
lebih kuat dianggap lebih banyak berbicara dengan benar. Wanita secara
linguistik lebih inovatif dan, beberapa lainnya, tradisional. Perbedaan ini
dihubungkan antara peran wanita dengan kebutuhan bahasa, dan antara posisi
sosial wanita dalam komunitas belajar dengan apa yang diinginkan wanita dalam
bertutur dan interaksi.
Perbedaan bahasa laki-laki dan perempuan juga terdapat dalam
pembicaran yang berhati-hati, wanita suka membuat noda-noda yaitu secara
sosial diartikan sebagai bentuk yang salah daripada laki-laki (Labov dalam
Penalosa, 1981:126). Wanita juga lebih sensitif pada pola-pola kedudukan.
Secara khusus terdapat kelas wanita menengah ke bawah. Labov menyatakan
bahwa wanita lebih sensitif daripada laki-laki untuk melahirkan nilai
sosiolinguistik.
31
Robin Lakoft menyatakan bahwa bahasa bekerja juga untuk membantu
menjaga hubungan sosial, seperti jenis bahasa wanita memiliki ragam yang
berbeda atau dikatakan ragam lebih rendah yaitu dengan istilah bahasa wanita
dan bahasa tentang wanita. Pada tataran kebahasaan yaitu bahwa bahasa wanita
berbeda pada kosa kata, sintaksis, dan pelafalan. Wanita tidak menggunakan
kata-kata yang menyerang untuk mengekspresikan dirinya sendiri. Wanita lebih
suka mengunakan pertanyaan tag atau pertanyaan ekor yang tidak memerlukan
jawaban. Wanita juga lebih sering menjawab dengan nada suara meninggi yang
biasanya berhubngan dengan pertanyaan ya dan tidak. Wanita lebih banyak
menggunakan kata kerja pembantu (can, must, shall, would, dan lain-lain). Pada
bahasa wanita ada sebuah eufimisme, sebuah kata untuk menghindari
penggunaan kata-kata wanita yang mempunyai konotasi seksual. Kata
perempuan menunjukkan kesopanan dan ketidakpentingan. Makna juga
didukung oleh perbedaan hanya dalam jenis kelamin seseorang seperti tuan atau
nyonya, jejaka atau perawan, janda atau duda dan lain-lain.
Terdapat hubungan antara struktur, kosa kata, dan cara menggunakan
bahasa tertentu dengan peran sosial jenis kelamin (Wardhaugh, 1993:313).
Secara morfologis dan leksikal juga terdapat perbedaan-perbedaan pembentukan
bahasa seperti: ibu rumah tangga, ibu bumi, ibu asuh, ibu pertiwi, ibu jari, dan
sebagainya yang merefleksikan peran sosial perempuan. Sedangkan untuk peran
sosial laki-laki Indonesia memiliki sederetan pembentukan kata seperti: kepala
keluarga (bukan kepala rumah tangga), kepala suku, gagah, perkasa, dan
sebagainya. Pada bahasa Inggris, Lackoff (dalam Wardhaugh 1993:315)
mengatakan bahwa perempuan menggunakan kata-kata warna, yang tidak
dipakai laki-laki, seperti: mauve, beige, aquamarine, dan magenta. Pada katakata sifat perempuan sering memakai kata: adorable, charming, divine, lovely,
dan sweet, sedangkan kata-kata untuk memberikan efek penekanan perempuan
sering memakai kata: so good, such fun, exquisite, lovely, fantastic. Terdapat
banyak lagi contoh-contoh kata yang secara morfologis dibedakan antara lakilaki dan perempuan seperti: lady-gentlement, spinter-bachelor, girl-boy, widowwidower, actor-actress, steward-stewardess, prince-princess, office boy, room
boy, bell boy, postman, chairman.
32
Secara fonologis perempuan memiliki kualitas suara yang lebih
ditinggikan (accentuated) daripada laki-laki, mengikuti pola sosial pada
bagaimana perempuan semestinya berbicara, dan membedakannya dari laki-laki.
Dalam bahasa Indonesia perbedaan fonologis kita temukan pada kata /ih/ untuk
laki-laki dan /ah/ untuk perempuan, serta bunyi sengau atau nasal kebanyakan
bunyi-bunyi yang dihasilkan, sedangkan laki-laki menghindari penyengauan
bunyi. Perbedaan fonologis lainnya dapat dilihat pada dialek bahasa Inggris Gros
Ventre, sebuah bahasa Amerika Indian atau Amerindian di Amerika sebelah
utara. Pada dialek ini perempuan lebih mempalatalkan bunyi-bunyi velar stop
dan laki-laki mempalatalkan bunyi-bunyi dental stop, seperti kata perempuan
kjatsa ‘roti’ dan laki-laki djatsa. Pada bahasa Chukchi Siberia laki-laki, tetapi
perempuan tidak, sering menghilangkan bunyi /l/ dan /t/ ketika bunyi ini terjadi
di antara vokal, seperti kata nitvaqenat (perempuan) dan nitvaqaat (untuk lakilaki). Sedangkan pada bahasa Skotlandia gadis-gadis sekolah lebih sering
mengucapkan /t/ dental stop dengan jelas daripada laki-laki, yang menggantikan
dengan glottal stop, seperti pada kata water. Hass (dalam Wardhaugh, 1993:315)
melihat bahwa dalam bahasa Koasati, bahasa Amerindian di Lusiana, laki-laki
sering membunyikan /s/ pada akhir kata, sedangkan perempuan tidak demikian,
seperti pada lakáws ‘dia sedang mengangkatnya’ dan perempuan lakáw.
Bahkan di India, perempuan dan laki-laki Karibian memakai bahasa
yang berbeda, sebagai akibat penjajahan yang lama oleh laki-laki berbahasa
Karibian yang membunuh semua laki-laki pemakai bahasa Arawak dan
mengawini perempuan-perempuan Arawak. Sehingga keturunan pertemuan itu
membentuk dan mempengaruhi pemilihan pada bahasa apa anak laki-laki dan
perempuannya, baik struktur bahasa anak laki-laki dan perempuannya. Kedua
perbedaan ini akhirnya menjadi satu bahasa yang memiliki karakteristik yang
berbeda untuk perempuan dan laki-laki (Baron dan Taylor dalam Wardhaugh,
1993:313).
Pada aspek struktur bahasa dan cara bahasa dituturkan, oleh Bolinger
(1993: 233-342) bahwa perempuan dalam berinteraksi dan berdialog memiliki
ciri-ciri kecondongan pada: (1) mengajukan pertanyaan, (2) mempertahankan
interaksi daripada pria, (3) kecondongan memakai respon-respon positif minimal
33
seperti: mm, hmm, (4) strategi protes dengan cara ”diam’ setelah mereka
diinterupsi, (5) penggunaan pronomina you dan we yang secara eksplisit
mengakui keberadaan penutur lain.
Secara
sintaktik terdapat
perbedaan pemakaian bahasa antara
perempuan dan laki-laki, sebagaimana kata untuk ‘kita’ pada bahasa Jepang.
Untuk menunjukkan bahwa kalimat itu adalah kalimat perempuan apabila
kalimatnya diakhiri dengan partikel ne. Untuk menunjukkan dirinya sendiri
perempuan di Jepang memakai watasi atau atasi dan laki-laki dengan was I atau
ore. Brend (dalam Wardhaugh, 1993:317) mengakui bahwa bahasa Inggris
memiliki perbedaan pola intonasi antara perempuan dan laki-laki. Perempuan
lebih memiliki pola intonasi yang berbeda dalam hubungannya dengan terkejut
dan kesopanan. Sedangkan Lackoff (dalam Wardhaugh, 1993:317) melaporkan
bahwa perempuan menjawab pertanyaan dengan pernyataan yang berintonasi
meninggi atau bertanya, bukan pola intonasi turun untuk membuat pernyataan
yang meyakinkan. Menurut Lackoff perempuan memakai ini karena mereka
lebih kurang yakin tentang dirinya sendiri dan pendapatnya apabila
dibandingkan dengan laki-laki. Pada hal yang sama perempuan lebih banyak
memakai kalimat dengan kalimat ekor tanya tag question pada kalimat
pernyataan, seperti ‘They caught the robber last week, didn’t they?’.
Secara paralinguistik perempuan dan laki-laki memiliki pola gerture
dan gerakan yang berbeda. Hal ini dikatakan bahwa perempuan memiliki
kecondongan untuk tampil lebih tunduk dan patuh kepada laki-laki. Perempuan
semestinya diam ketika laki-laki sedang berbicara dan dikatakan tidak sopan
ketika memotong pembicaraan laki-laki.
Wardhaugh (1993:319) menyampaikan bahwa dalam percakapan yang
melibatkan kedua jenis kelamin laki-laki berbicara lebih banyak dibandingkan
dengan perempuan. Topik penbicaraan antara kedua jenis kelamin juga berbeda,
laki-laki berbicara dengan laki-laki biasanya berbicara mengenai hal-hal yang
bersifat kompetisi dan keusilan, yakni sekitar topik olah raga, agresi, dan
perbuatan terhadap sesuatu. Di lain pihak ketika perempuan berbicara dengan
perempuan topik pembicaran lebih terfokus pada rasa, keakuan, kebersamaan
dengan yang lain, rumah tangga, dan keluarga. Ketika kedua jenis kelamin itu
34
berinteraksi biasanya laki-laki memiliki kecondongan untuk lebih memulai atau
inisiatif, tetapi lebih akomodatif pada topik yang sedang dibicarakan dan lakilaki mengurangi kecondongannya pada kompetisi dan agresinya, sedangkan
perempuan mengurangi pembicaraannya tentang hal-hal yang berbau rumah
tangga dan keluarga.
Pada percakapan lintas jenis kelamin dikatakan, fakta lain, bahwa
perempuan lebih banyak bertanya daripada laki-laki, mendorong lainnya untuk
berbicara, seperti menggunakan lebih banyak tanda, seperti mhmmm. Di lain
pihak laki-laki lebih banyak memotong pembicaraan, menantang, mengabaikan,
mengecoh, dan berussaha mengendalikan topik yang sedang dibicarakan. Kata
mhmm
laki-laki memiliki makna yang berbeda bukan ‘saya sedang
mendengarkan’ sebagaimana perempuan tetapi bermakna ‘saya setuju’ (Maltz
dan Borker dalam Wardhaugh 1993:320). Oleh karena itu dimungkinkan akan
terjadi konflik ketika lintas jenis kelamin ini terlibat dalam percakapan.
Perempuan merasa bingung dengan laki-laki yang tidak pernah mau
mendengarkan dan laki-laki merasa bahwa perempuan selalu setuju dengannya
dan kemudian menyimpulkan bahwa itu tidak mungkin untuk mengatakan apa
yang sebenarnya dipikirkan perempuan untuk setuju atau tidak, karena laki-laki
menilai tuturan mhmm itu adalah sekaligus bermakna setuju padahal bagi
perempuan itu hanya bermakna saya sedang mendengarkan. Inilah salah satu
alasan perlunya studi sosiolinguistik yang memfokuskan pada perbedaan jenis
kelamin.
Maltz dan Borker memberi kesimpulan menarik bahwa perempuan dan
laki-laki melihat peran yang berbeda dalam percakapan atau berdialog dan
bahwa dalam percakapan lintas jenis kelamin peran itu sering menimbulkan
konflik. Kedua jenis kelamin ini memiliki pandangan yang berbeda dalam
menyampaikan pertanyaan dan melihat apa sebenarnya pertanyaan itu.
Perempuan melihat pertanyaan sebagai bagian dari pemertahanan percakapan
atau penghormatan, sedangkan laki-laki melihat pertanyaan, yang utama, sebagai
permohonan informasi. Kedua jenis kelamin memiliki cara melihat yang berbeda
tentang (1) konvensi hubungan, (2) agresif tidaknya dalam berperilaku bahasa,
dimana perempuan memandang agresivitas sebagai tanda mendekte orang,
35
negatif, mengacau/memecah belah, sedangkan laki-laki melihatnya sebagai
bagian dari cara mengorganisasi suatu percakapan; (3) perbedaan pandangan
dalam alur topik dan perpindahan topik, (4) perbedaan dalam sikap terhadap
problem sharing dan advise-giving, di mana perempuan memiliki kecondongan
untuk mendiskusikan, berbagi, dan mencari penenteraman hati; sedangkan lakilaki mencari solusi, memberi saran, dan bahkan memberi kuliah kepada
pendengarnya (lihat juga Preisler 1986). Fasold (1990) menyampaikan bahwa
dalam berinteraksi sesama laki-laki status penutur sangat penting dalam
memanipulasi bentuk dan cara interaksinya. Status yang lebih rendah
ditempatkan sebagai inferior dan ada pertandingan yang komptitif antara mereka
dan bagi yang kalah harus belajar merasakan rendahnya status dia, harus belajar
menjadi korban dalam interaksi itu. Fasold juga memberi cirri-ciri tuturan lakilaki dalam percakapan dengan tiga cara utama: (1) untuk memastikan posisi
dominasinya terhadap yang lain, (2) untuk menarik dan mempertahankan
pendengarnya, (3) untuk menegaskan dan memberi ijin bahwa yang lain
memiliki giliran bicara.
Bolinger (1993:359) menyampaikan bahwa keformalan dan keakraban
pemakaian bahasa dapat dikelompokkan ke dalam tingkatan-tingkatan sebagai
berikut: (1) bentuk-bentuk oratorikal/beku, seperti: monolog, pembicara
profesional, mantera, upacara-upacara (2) deliberatif/formal: monologue, (3)
konsultatif: dialogue yang melibatkan pemilihan kata-kata dengan hati-hati, (4)
kasual, seperti antarteman, antartetangga; di mana tidak terdapat jarak dan
penghalang sosialnya, (5) intim seperti: teman dekat, suami istri, kakak adik.
Hal yang berkembang lebih menarik dalam studi bahasa dalam
kaitannya dengan jenis kelamin adalah adanya pergerakan bebas wanita atau
dengan gender mainstreaming, yang berusaha terciptanya kesamaan dan
keadilan peran sosial dengan laki-laki. Pergerakan yang sedang berjalan ini
menuntut perubahan peran sosial wanita dalam masyarakat dalam kaitannya
dengan laki-laki. Adanya perubahan peran ini dimungkinkan, sedikit banyak,
akan memunculkan perubahan cara berbahasa.
F. Penelitian Bahasa Berdasarkan Jenis Kelamin
36
Mary Haas (1944/1964) meneliti bahasa Koasati dan menemukan
bahwa terdapat beberapa perbedaan sistematis antara versi perempuan dan lakilaki pada paradigma verbal indikatif dan imperatif.
Tuturan perempuan
Tuturan laki-laki
Glos
O:til
O:tis
I am building a fire
O:st
Osc
You building a fire
O:t
O:c
He is building a fire
Lakawawil
Lakawis
I am lifting it
Lakaw
Lakaws
He is lifting it
Ka:hal
Ka:has
I am saying
Francis Ekka (1972) menemukan bahwa dalam bahasa Kurux terdapat
berbagai bentuk morfologis yang berbeda yang hanya digunakan perempuan ketika
berbicara kepada sesama perempuan, tetapi tidak digunakan oleh laki-laki dan
perempuan ketika berbicara kepada laki-laki.
Perempuan atau laki-
Perempuan kepada
Laki-laki
laki kepada laki-laki
perempuan
kepada
Glos
perempuan
Barday
Bardin
Bardi
You come
Barckay
Barckin
Badcki
You came
Lackoff (1975) menemukan bahwa, pada banyak hal, wanita tidak dibenarkan
memakai kata-kata ekspletif yang kasar, seperti damn atau shit, tetapi diharapkan
untuk mengganti dengan yang lebih lembut seperti: oh dear atau fudge.
Pamela Fishman (dalam Fasold, 1990) menemukan fakta bahwa laki-laki
lebih memiliki kendali terhadap tuturannya daripada perempuan dalam percakapan
lintas jenis kelamin. Deborah Tannen (dalam Gumperz, 1982) menemukan bahwa
wanita menghabiskan banyak waktunya untuk berbicara, merefleksi diri, dan
berbagai pikiran. Loyalitas merupakan inti dalam berteman. Lever (dalam Gumperz,
37
1982:206) menyampaikan bahwa perempuan, untuk memperoleh rasa berteman yang
tinggi, berbagi rahasia mereka. Mengatakan rahasianya kepada orang luar merupakan
awal pecahnya hubungan bertemannya.
Goodwin (1980, dalam Fasold, 1990) menyimpulkan bahwa gadis jarang
menggunakan kalimat perintah kepada yang lain atau sebayanya. Kalimat perintah
ini menunjukkan lagak ‘bos’ yang merusak kesamaan. Perempuan tidak belajar
mendikte dalam berinteraksi.
Richard Savin-Williams (1976) menemukan bahwa laki-laki dalam
percakapan akan melakukan: (1) memberi perintah atau komando, seperti: get up,
give it to me, you go over there; (2) memanggil nama dan jenis verbal lain yang
aneh, seperti you are a dolt; (3) mengancam secara verbal untuk memperkuat
otoritasnya, seperti if you don’t shut up, I’m gonna come over your teeth in; (4)
menolak untuk mematuhi perintah, dan (5) mencari alasan-alasan verbal dari suatu
konsekuen, seperti I was here first.
38
BAB III.
MASYARAKAT KEDWIBAHASAAN
A. Hubungan Ranah dengan Sosiolinguistik Mikro dan Makro
Sosiolinguistik Mikro adalah studi tentang hubungan strukture bahasa dengan
sosial dalam tingkatan intraksi bermuka. Dalam tataran ini bisa di lihat antara
perilaku bahasa dan non bahasa tugas, tugasnya menentukan hubunganhubungan. Ervin Tripp mengatakan Sosiolinguistik Mikro adalah studi dengan
komponen-komponen intraksi bermuka yang berhubungan atau dipengaruhi oleh
struktur formal bahasa dan unsur di luar bahasa. Unsur tersebut menyangkut
personel, situasi, fungsi interaksi, topik, pesan, dan chanel. Sosiolinguistik Mikro
berkenaan dengan usaha menghubungkan ciri-ciri bahasa atau variasi bahasa
pada ciri-ciri komunikasi atau situasi komunikasi. Beberapa berpendapat bahwa
fenomena sosial dan bahasa dalam susunannya banyak yang sama sehingga data
linguistik dapat di pergunakan untuk menganalisis baik bentuk bahasa maupun
kategori-kategori sosial. Mereka menyatakan bahwa bentuk bahasa dipilih,
sebetulnya, merupakan suatu realisasi dari makna sosial dan kategori sosial.
Dalam analisis percakapan kita memperhatikan bukan hanya apa yang mereka
katakan dan mereka yang mengatakan tetapi juga
kerjakan pada waktu mereka saling bercakap-cakap.
pada apa yang mereka
Sosiolinguistik Mikro
mengunakan konsep dominan untuk mengkategorikan keteraturan yang didapat
antara variabel bahasa, fungsi sosial, dan situasi (Fishman, 1972:65). Suatu
hubungan peran menentukan hak dan kewajiban mutual yang saling diharapkan
dalam komunikasi. Penanda penting dari sifat hubungan peran dilahirkan pada
bagaimana cara orang saling berbicara, membuat humor baik dalam konteks
informal maupun formal. Interaksi bahasa dapat di katakan sebagai proses
dicision making dimana didalamnya penutur memilih suatu jenjang ekpresi yang
memungkinkan pemilihan, bukan sepenuhnya bebas dari penutur tetapi di
pengaruhi oleh tekanan-tekanan gramatikal dan sosial agar supaya saling
mengerti dan menerima dengan baik keduanya dengan konvensi–konvensi sosial
yang ada. Gumperz (1967) menekankan bahwa sifat alami hubungan sosial dan
39
organisasi sosial dari lingkungan adalah faktor sosial yang menentukan (penanda
sosial) sifat dan bentuk tuturan.
Fishman adalah seorang professor sosiologi di Universitas Yeshiva. Dia
telah menekankan dirinya pada kedwibasaan dan peran sosial bahasa selama
beberapa tahun dan telah menyelesaikan beberapa studi mengenai loyalitas
bahasa di USdan kedwibahasawan Spanyol-Inggris di Puerto Rican New York
dan sekarang aktif dalam penelitian loyalitas bahasa dan perkembangannya.
Analisis yang dilakukannya berbeda dengan Blom dan Gumperz
walaupun sama-sama berkenaan dengan situasi pemilihan bahasa. Blom dan
Gumperz memperlakukan norma dan faktor lainnya yang semuanya sebagai
dimensi dari satu sistem komunikatif yang merupakan input pada suatu
rangkaian kaidah tunggal. Fishman lebih memfokuskan pada norma perilaku
sebagaimana dalam kaidah ‘jural rule’ (bahwa kaidah itu diikuti perilaku dan
kegagalan mengikuti kaidah membentuk perilaku yang menyimpang dan
mengukur sesuatu yang ikut membentuk harus diperlakukan sebagai pengukur
yang independen). Norma perilaku didefinisikan secara sosiologis sebagai
keteraturan yang berdiri terpisah dari perilaku perseorangan. Dia lebih
menekankan pada sistem pemilihan yang ajeg atau ‘penggunaan yang wajar
(proper usage)’. Kata kunci yang dipakai Fishman adalah domain atau ranah
yang dipakai untuk menghubungkan pemilihan bahasa tertentu pada institusi
umum dan area kegiatan. Ranah menurut (Crystal, 1985:101) adalah suatu
kelompok situasi sosial yang melembaga yang secara khas ditentukan oleh
seperangkat kaidah perilaku umum.
Analisis ranah dihubungkan dengan analisis latar budaya. Fishman
melihat bahwa serangkaian ranah (jenis dan bentuknya) tidak dapat dipaksakan
pada semua kasus atau masyarakat. Analisis ranah merupakan analisis ‘siapa
berbicara apa kepada siapa dan kapan (who speaks what to whom an when)’.
B. Integrasi makro- dan mikrososilinguistik
Analisis situasi bahasa dan perilaku menunjukkan batasan antara mikro
dan makrososiolinguistik. Tujuan-tujuan analisis sulit untuk dikenali dan
40
disajikan tanpa pandangan ini dan tanpa norma umum yang menuntut situasi dan
topik tertentu untuk bahasa atau variasi tertentu daripada yang lain. Sebagai
contoh perbincangan tentang baseball menuntuk pemakaian bahasa tertentu,
demikian juga pembicaraan yang berkenaan dengan kuliah teknik elektro yang
menuntuk pemakaian bahasa tertentu juga.
Dengan semua konstruk/bangunan (yang mencakup situasi, hubungan
peran, dan peristiwa tutur), ranah mengembalikan kepada intuisi integratif
peneliti, seperti pemakaian variasi tinggi dan rendah, yang mungkin untuk
membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan sekolah memakai variasi tinggi
dalam mewadahi spesialisasi dan kepentingan teknis pendidikan. Peneliti,
dengan melihat ini, dapat mencurigai bahwa situasi kongruen ini termasuk dalam
satu ranah(ranah pendidikan).
Ranah dan situasi sosial mengungkapkan hubungan atau penyatuan
antara mikro- dan makrososiolinguistik. Penutur guyup tutur yang diglosik
memiliki pandangan tertentu yang mengenai variasi mereka karena variasi ini
berhubungan dengan (dalam perilaku dan sikap) ranah-ranah tertentu. Variasi
tinggi mencerminkan nilai-nilai dan hubungan tertentu dalam guyup tutur,
demikian juga variasi rendah juga mencerminkan hal yang lain.
Konsep yang perlu diperhatikan adalah bahwa kita tidak dapat
menganalisis relaitas kelompok yang lebih luas tanpa melalui analisis dari unsurunsur pembentuk yang lebih kecil (mikro). Dalam interaksi tidak ada hubungan
sekala lebih luas antara bahasa dan masyarakat yang tidak tergantung pada
interaksi individual sebagai relaisasinya. Gambar berikut merupakan hubungan
antarkonstruk
yang
ada
dalam
analisis
41
sosiolinguistik.
Klaster Nilai
Rangkaian nilai-nilai guyup yang
secara khas dilakukan dalam
suatu rangkaian yang sesuai dan
ditentukan secara kultural, ranah
perilaku
Tipe jaringan
Klaster hubungan peran yang
ditentukan oleh serangkaian
nilai-nilai guyup.
Ranah
Klaster situasi sosial yang
ditentukan secara khas oleh
suatu rangkaian kaidah perilaku
Situasi sosial
Pertemuan antara latar,
waktu, dan hubungan
peran
waktu
Hubungan peran
Serangkaian hak dan kewajiban
timbal balik yang ditentukan
secara kultural
Latar
Tipe interaksi
Fungsi interaksi yang ditentukan oleh tingkap
penekanan hak dan kewajiban timbal balik berdasarkan
hubungan peran dalam situasi sosial
Tuturan
(peristiwa dan tindak)
C. Diglosia
Ferguson menyatakan bahwa suatu situasi di mana dua ragam dari suatu bahasa
hidup
berdampingan
dengan
peran
masing-masing
dalam
masyarakat.
Menurutnya kalau misalnya ada kemungkinan memakai bahasa baku atau dialek
regional atau orang boleh memilih salah satu dari dua bahasa yang berbeda itu
bukan diglosia.
42
Diglosia dapat dilihat dari fungsi,
prestise,
warisan tradisi tulis menulis,
pemerolehan, pembakuan, stabilitas, tatabahasa, leksikon, dan fonologi. Fungsi
adalah kriteria yang paling penting bagi diglosia, di mana diglosia berdasarkan
pada distribusi fungsi. Fishman mengatakan bahwa diglosia mengacu pada
persebaran (distribusi) fungsi bahasa yang satu yang berbeda dari yang lain.
Sedangkan kedwibahasaan mengacu pada penguasaan atas bahasa A dan B yang
ada dalam masyarakat. Diglosia tidak mungkin ada jika tidak ada ragam tinggi
(H) dan ragam rendah, dan di situpun terdapat pilihan bahasa. Pilihan bahasa itu
selalu muncul bersama dengan adanya ragam bahasa. Dalam kajian
sosiolinguistik ada tiga jenis pilihan bahasa, yakni: (1) alih kode yang dapat
terjadi pada tataran bahasa, dialek, sosiolek, ragam bahasa; (2) kode campur yang
melibatkan pemakaian bentuk kata atau pinjaman yang masih disadari oleh
pemakai bahwa kata itu asing; (3) variasi dalam bahasa yang sama. Bisanya
menjadi focus dalam pembahasan tentang sikap bahasa seperti: ‘sar, singgih’
dalam bahasa Bali, ‘ngoko, kromo’ dalam bahasa Jawa.
Diglosia merupakan dua ragam bahasa baku dalam fungsi yang berbeda.
Ferguson mengatakan bahwa diglosia adalah sejenis pembakuan bahasa yang
khusus, di mana ada dua ragam bahasa yang berada berdampingan di dalam
keseluruan masyarakat bahasa, di mana masing-masing ragam bahasa di beri
fungsi sosial tetap dan tersendiri/diutamakan. Penyusunan fungsi-fungsi ragam
bahasa terjadi secara konvensional dan terpelihara sebagai etika interaksi.
Pemakaian ragam bukan karena topik, tetapi lebih tergantung kepada ”kepada
siapa“ berbicara. Fishman menyampaikan bahwa objek studi sosiolinguistik
diglosia mengacu kepada pendistribusian lebih dari satu ragam bahasa atau
bahasa yang melayani tugas-tugas komunikasi yang berbeda dalam satu
masyarakat: mulai dari gaya suatu bahasa sampai kepada pengunanya.
Masyarakat memiliki ragam bahasa dengan fungsi-fungsi yang berbeda atau
domain-domain yang berbeda. Masyarakat dikondisikan secara kultural untuk
memilih ragam tertentu dalam ranah atau domain tertentu. Hal ini akan
mempengarui dan ssangat berperan pada: language choice, language shift,
languga decline, language death
43
Fishman (1992) menyampaikan bahwa diglosia adalah two or more
languages or varieties for intra – sosial community. Dalam hal itu dapat
dikatakan bahwa guyup tutur diglosia merupakan guyup yang memakai dua atau
lebih bahasa/variasi untuk berkomunikasi dalam guyup tutur tersebut.
Masyarakat yang diglosia merupakan wadah dari serangkaian perilaku,
sikap, nilai-nilai yang diungapkan dalam bahasa A tetapi untuk serangkaian
perilaku, sikap, nilai yang lain diungapkan dengan B. Kedua rangkaian ini
diterima sah baik secara kultural atau komplementary (nonconflictual), yakni
konflik akan muncul ketika salah fungsi antara variasi tinggi dengan variasi
rendah. Variasi H (high) dalam agama, pendidikan, aspek-aspek budaya lain
yang dinilai tinggi. Variasi L (low) dapat berupa pekerja rendah, rumah,
kehidupan sendiri-sendiri dan lainnya.
Ferguson menyampaikan bahwa variasi H sebagai superposed karena
biasanya di pelajari kemudian dan lebih formal dari pada L. Diglosia juga terjadi
pada dialek yang berbeda, register atau variasi-variasi lainnya. Diglosia dan
Biligualisme terjadi seperti di Paraguai antara pemakaian bahasa Spanyol dan
Guarani. Bahasa Spanyol dipakai dalam ranah pendidikan, agama, pemerintah,
dan budaya tinggi di pedesaan sedangkan bahasa Guarani dipakai dalam
ranahiman, solidaritas.
Diglosia dapat dilihat dari beberapa hal berikut:
1. Fungsi, yakni fungsi bahasa A dan B berbeda
2. Prestise, yakni sikap penggunaan bahasa A lebih super dan B inferior
3. Warisan susastra yang ditulis dengan bahasa A yang masih di agungkan.
4. Pemerolehan B di peroleh waktu kecil sedangkan A diperoleh dalam sekolah
sehingga di bakukan.
5. Stabilitas selalu ada dalam pemertahanan diglosia dalam bahasa A dan B.
6. Tata bahasa, seperti bahasa Jerman A mempunyai 4 kasus nomina dua kala,
sedangkan bahasa Jerman B (Swiss) mempunyai tiga kasus nomina satu
kata.an Sehingga bahasa Jerman B memiliki tata bahasa yang lebih
sederhana.
7. Kosa kata dan
44
8. Fonologi
9. Pembakuan.
Ferguson (1959; 1972:232) sebetulnya menggunakan istilah diglosia
untuk menunjukkan hubungan antara dua variasi atau lebih dalam satu bahasa
yang
mempunyai
fungsi
sosial
berbeda
dalam
masyarakat
tutur.
Fishman (1972:102) mengatakan agak lain bahwa diglosia merupakan
karakterisasi dari alokasi fungsi sosial suatu variasi atau bahasa. Kedua pendapat
di atas menunjukkan bahwa diglosia adalah pemilihan penggunaan suatu variasi
atau bahasa berdasarkan nilai-nilai sosiokultural yang ada dan hidup.
Fishman (1972:93-106) membedakan masyarakat tutur menjadi empat
jenis berdasarkan peran dan fungsi bahasa atau variasinya.
Kedwibahasaan dengan diglosia
Kedwibahasaan tanpa diglosia
Diglosia tanpa kedwibahasaan
Tanpa diglosia dan kedwibahasaan
1. Kedwibahasaan dengan diglosia merupakan pemilihan pemakaian bahasa atau
variasinya berdasarkan fungsi sosial dari bahasa atau variasi tersebut. Hal ini bisa
dilihat dalam konteks kedwibahawaan di Indonesia secara umum. Diglosia dan
bilingualisme terjadi:
a. mana kala gugup tutur terdiri dari penutur yang terlibat dalam jarak
atau perbedaan peran, yakni peran tinggi – rendah.
b. mana kala untuk masuk dalam beberapa peran didorong atau dibantu
oleh institusi sosial yang kuat dan proses sosial yang ketat.
c. mana kala peran dibedakan dengan jelas dalam arti kapan, di mana,
dengan siapa yang sesuai.
2. Kedwibahasaan tanpa diglosia terjadi dalam guyup tutur yang mempunyai dua
bahasa yang bersaing dalam pemakaiannya dalam ranah yang sama, seperti di
Belgia di mana bahasa Belanda dan bahasa Perancis mempunyai kedudukan
yang sama dalam fungsinya sebagai bahasa resmi nasional. Jenis guyup tutur ini
memiliki dwibahasawan-dwibahasawan yang memakai variasi dan bahasa yang
45
tidak terpola dalam bentuk-bentuk fungsi-fungsi atau peran-peran berdasarkan
ranahnya. Karena biligualisme pada prinsipnya, adalah suatu karakteristik
kepandaian bahasa seseorang sedangkan diglosia adalah karakterisasi dari alokasi
fungsi sosial dari bahasa atau variasi tersebut dalam guyup tutur. Konteks di atas
adalah dua bahasa yang berbeda yang punya kedudukan yang sama, Anak pada
awalnya bilingual dalam tempat bermain atau rumah tetapi setelah sekolah atau
dewasa belajar bahasa baru, bahasa yang dipakai dalam pendidikan di sekolah yang
menggantikan bahasa rumah dan pendidikan.
3. Diglosia tanpa kedwibahasaan, Fishman (1972:93) memberi contoh diglosia secara
politis dan pemerintah yang mempunyai dua ekabahasa yang berbeda di bawah
satu atap sistem politik. Fishman (1992) mengatakan bahwa hal di atas bukan
guyup tutur karena kedua penduduk tidak berinteraksi. Tipe ini terjadi jika
beberapa gugup tutur (dua atau lebih) disalurkan secara politis, ekonomis,
aganamis ke dalam satu kesatuan fungsional. Seperti elit Eropa memakai bahasa
Perancis atau beberapa bahasa H untuk tujuan dalam kelompok (Danish, Rusia,
Wales, dan lainnya) dan masyarakat umum banyak memakai bahasa lain dalam
kelompoknya, bila berkomunikasi memakai penerjemah atau interpreter dan
apabila mereka saling memertahankan peran dan statusnya, bilingualisme sangat
sulit tercipta antarkelompok tersebut.
4. Tanpa diglosia dan tanpa kedwibahasaan terjadi dalam guyup tutur yang
kecil terisolir dan dalam guyup yang serba sama dan tidak membedakan
variasi-variasi atau register.
Fasold (1984:44-52) mencatat tiga jenis diglosia (poliglosia) dari
berbagai penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli seperti Abdulaziz Mkilifi,
J. Gumperz dan Platt.
1)
Diglosia ganda
bertindihan
(double overlapping
diglosia)
oleh
Abdulaziz Mkilifi (1978). Jenis diglosia ini terjadi di Tanzania di
mana masyarakat tutur pertama memakai bahasa ibu
yang
berkedudukan rendah (selanjutnya disebut L) sebagai alat komunikasi
dalam keluarga dan bertetangga dekat. Namun, untuk berkomunikasi
secara luas dengan etnik yang lain atau di sekolah dasar (bagi anak-
46
anak) mereka memakai bahasa Swahili sebagai bahasa ragam tinggi
selanjutnya disebut H) atau bahasa lingua franca. Bahasa ini
dipakai sebagai bahasa budaya dan komunikasi tingkat nasional.
Setelah mereka memasuki sekolah menengah atau universitas atau
kalangan elit dan dunia dagang mereka harus memakai bahasa
Inggris (H). Apabila tidak memakainya mereka (pelajar) akan diberi
hukuman. Bahasa ini sudah ditetapkan sebagai salah satu mata
pelajaran dan sebagai bahasa dalam pengajaran. Kondisi ini bisa
digambarkan dalam tabel berikut.
Diglosia ganda bertindihan di Tanzania (Mkilifi, 1978)
STATUS
RAGAM BAHASA
STATUS
Bahasa Inggris
H
H
Bahasa Swahili
L
L
Bahasa ibu (vernacular)
Dari tabel di atas terlihat bahwa di masyarakat itu terdapat satu
bahasa yang mempunyai kedudukan yang berbeda menurut orang atau
kelompok yang berbeda.
2)
Diglosia berkelompok ganda (double-nested diglosia) oleh J. Gumperz
(1964). Pola diglosia ini terjadi di Khalapur India di mana terdapat dua
bahasa utama bahasa Khalapur dan bahasa Hindi yang masing-masing
mempunyai dua ragam tinggi dan rendah dengan jenis fungsi sosialnya
sendiri. Kedua bahasa itu berbeda jauh secara tipologis. Hal ini terlihat
dalam
berbagai
hal seperti
dalam
sintaksisnya,
fonologisnya,
morfologisnya atau sistem maknanya. Di Khalapur masyarakat telah
mempunyai bahasa pertama bahasa Khalapur yang dipakai oleh setiap
orang
di
desa dan
dalam hubungan
secara
lokal.
Bahasa
Khalapur terdiri atas dua ragam yaitu ragam moti boti (L) dan ragam
saf boti (H). Moti boti (tutur biasa) digunakan dalam hubungan
informal seperti hubungan keluarga, sanak saudara, dan bertetangga
47
dekat. Saf boti (tutur halus) digunakan dalam berhubungan yang
mempunyai jarak sosial, untuk menghormati yang tua, elit atau
berstatus tinggi baik secara adat maupun sosial ekonomi lainnya.
Bahasa Hindi juga mempunyai dua ragam yaitu ragam percakapan dan
ragam
oratorik.
Ragam
percakapan
digunakan secara
luas dan
umum dalam kehidupan sehari-hari dan dalam situasi informal. Ragam
oratorik digunakan dalam situasi dan kondisi formal seperti
perkuliahan. Untuk memperjelas kedudukan dan fungsi bahasa-bahasa
ini lihat di bawah ini.
Diglosia berkelompok ganda di Khalapur oleh Gumperz (1964)
STATUS
RAGAM
H
Ragam oratorik
HINDI
L
Ragam percakapan informal
H
Saf boti
KHALAPUR
L
STATUS
H
L
Moti boti
3) Poliglosia linier (linier poliglosia) oleh Platt (1977). Distribusi jenis ini
terjadi secara linier, terdapat berbagai bahasa yang berbeda satu sama lainnya.
Jenis poliglosia kompleks ini terjadi pada orang Cina Malaysia yang terdidik
dengan bahasa Inggris di mana terdapat 8 ragam bahasa dari yang paling tinggi (H1)
sampai pada ragam subrendah (L-1). Dalam pola ini terdapat ragam bahasa model
tinggi (dummy high selanjutnya disebut DM) yang dipakai oleh orang-orang
berpengetahuan tertentu dan dalam kesempatan tertentu. Ragam DM tidak dipakai
secara ekstensif dalam berbagai ranah. Ditemukan juga ragam sedang atau menengah
(selanjutnya disebut M) di antara ragam H dan L.
48
Poliglosia linier pada guyup orang Cina Malaysia Terdidik dengan bahasa
Inggris (Platt, 1977)
RAGAM
STATUS
Bahasa Inggris Formal Malaysia
H1
Bahasa Malaysia
H2
Bahasa Mandarin
DM
Bahasa Inggris Malaysia Harian
M1
Bahasa Cina Mayoritas
M2
Bahasa Cina Asli
L1
Bahasa Cina lainnya
L1 - Ln
Bahasa Malaysia Pasar
DM
Analisis ini lebih menekankan pada dalam-kelompok atau intra
multibahasa, yakni suatu kondisi yang melibatkan pemakaian lebih dari satu
bahasa atau variasi untuk kepentingan komunikasi internal, daripada antarkelompok atau inter-multibahasa. Analisis ini dengan memfokuskan pada ‘siapa
berbicara apa kepada siapa dan kapan’. Jelas dapat dilihat bahwa kebiasaan
pemilihan bahasa dalam masyarakat tutur multibahasa atau jaringan tutur adalah
tidak terjadi secara acak, tetapi secara, salah satunya probabilitas, terpola. Pola
‘Penggunaan wajar’ menentukan bahwa hanya ada satu bahasa atau variasi yang
tersedia dan dipilih oleh kelas pembicara tertentu pada kesempatan tertentu
untuk jenis topik tertentu.
G. Suatu Contoh Hipotetik
Seorang pegawai negeri Brusel sampai di rumah setelah dari bar di
klab. Dia biasanya di kantor memakai bahasa Perancis baku, bahasa Belanda
baku di klab dan bahasa Flemis di rumah. Perbedaan pemakaian bahasa ini
dipakai untuk menunjukkan jaringan tutur yang berbeda. Hal ini dilakukan untuk
49
menunjukkan: (a) jaringan tutur yang mengikatnya, (b) jaringan tutur yang
diinginkan, dan (c) untuk keberterimaan dalam jaringan tertentu. Seandainya ada
perbedaan pemakaian bahasa yang keluar dari kaidah perilaku pemilihan bahasa
dengan orang tadi, mungkin diakibatkan oleh partisipan berbicara dengan intim
dan berlatar belakang bahasa ibu yang sama, sehingga memakai Flemis (atau
untuk menunjukan kesopanan dan model lama). Pemakaian ini juga
dimungkinkan bahwa mereka lebih menekan keintiman daripada pekerjaannya.
Perbedaan yang lain juga dapat diakibatkan oleh topik yang berbeda, seperti
masalah dunia seni, sastra, dan lainnya yang tidak dapat diungkapkan oleh
bahasa ibu sehingga pindah memakai bahasa Perancis, walaupun mereka teman,
berlatar belakang bahasa ibu yang sama dan di rumah. Sehingga ada dua
masalah yang tidak dapat dipisahkan: (1) untuk mengenal dan mendiskripsikan
keteraturan utama (higer-order regularities) dalam pemilihan bahasa yang
menentukan repetoar komunitas tutur multibahasa, (2) walaupun demikian,
untuk menyajikan tekanan hubungan interpersonal (pola sosial kedua) yang
terjadi dan dipertahankan, bahkan, pada konteks pola keteraturan utama.
H. Ranah dari perilaku bahasa
Dalam pemilihan bahasa berdasarkan ranah Schidt-Rohr (1932)
tampaknya telah mengusulkan bahwa konfigurasi dominan (dominance
configurations) perlu ditentukan terlebih dahulu untuk mengungkap keseluruhan
status dari pemilihan bahasa dalam berbagai ranah perilaku. Ranah yang
diajukan olehnya adalah: keluarga, tempat bermain dan jalan, sekolahan, gereja,
sastra, pres, militer, pengadilan, dan administrasi negara. Ada beberapa yang
menambahkan jenis ranah, seperti tempat kerja, dan ada juga masyarakat yang
memiliki ranah lebih sedikit. Ranah didefinisikan sebagai konteks institusional
atau klaster sosio-ekologis. Ranah membantu kita dalam memahami bahwa
pemilihan bahasa dan topik berhubungan dengan norma dan harapan
sosiokultural yang luas. Dengan mengenal keberadaan ranah itu, dimungkinkan
untuk membandingkan bahasa untuk individual, atau sub-populasi tertentu,
dengan bahasa untuk ranah-ranah yang melibatkan bagian yang lebih luas dari
populasi itu karena ranah terbentuk dari jenis partisipan, topik, dan situasi.
50
Perilaku bahasa atau pemilihan bahasa memiliki ranah-ranah yang berbeda
dengan yang lain. Analisis ranah perilaku bahasa dapat dibedakan berdasarkan
tingkatnya: tingkat analisis psikologis sosial dan tingkat institusi sosial. Tingkat
psikologis sosial dapat berupa: keintiman, ketidakformalan, formal dan
antarkelompok. Tingkat analisis institusi sosial dapat berbentuk topik,
partisipan(statusnya), situasi yang telah di bahas sebelumnya, yang terkadang hal
ini juga mencakup tingkat psikologi sosial oleh beberapa ahli.
Oleh karena itu ranah merupakan suatu bangunan sosiokultural yang
disarikan dari topik komunikasi, hubungan antarpartisipan, tempat terjadinya
komunikasi dalam kesesuaiannya dengan institusi sosial dan bidang aktivitas.
Penyesuaian ini dilakukan sedemikian rupa sehingga perilaku individual dan
pola sosial dapat dibedakan satu sama lainnya dan juga dicarikan hubungannya
dari satu sama lainnya.
I.
Ranah dan Topik
Topik juga menjadi penentu pada penggunakaan bahasa dalam latar
multibahasa. Implikasi dari pemilihan bahasa berdasarkan topik adalah bahwa
topik tertentu, bagaimanapun juga, lebih baik atau lebih cocok dengan bahasa
tertentu daripada yang lain. Kecocokan ini mungkin juga dipengarui oleh faktorfaktor
lain,
namun
demikian,
faktor-faktor
itu
secara
bersam-sama
mempengaruhi. Beberapa penutur dwibahasawan memperoleh kebiasaan
membicarakan tentang topik x dalam bahasa X, kemungkinan mereka telah
terlatih dengan bahasa tersebut untuk topik tertentu itu atau mereka kekurangan
istilah-istilah khusus untuk membicarakan x dengan baik dalam bahasa Y.
J.
Ranah dan Hubungan-Peran
Setiap ranah dapat dibedakan ke dalam hubungan-peran yang khas,
penting, atau tipikal pada komunitas dan waktu tertentu. Ranah dapat dibedakan
ke subbagian kepada hubungan peran, demikian juga ranah keluarga dapat
dibedakan kedalam jenis penuturnya. Dalam ranah keluarga dibedakan
hubungan peran antara: ibu, ayah, anak, domestic, pengasuh, dst., atau dapat
juga dibedakan secara lebih khusus: nenek ke kakek, kakek ke nenek, kakek ke
ayah, nenek ke ayah, dst. Ranah keluarga dalam beberapa studi perilaku
multibahasa memegang peran penting karena kebanyakan mereka mulai dari
51
ranah keluarga, untuk pendukung awal jika tidak untuk proteksi. Ranah agama
dapat berupa hubungan-peran antara: pendeta ke jemaah, pendeta –pendeta,
jemaah- pendeta, dst.
K. Ranah dan Tempat
Ervin (1964) dan Gumperz (1964) memberikan beberapa contoh bahwa
local (tempat kejadian) merupakan komponen yang menentukan dalam analisis
situasional. Jika sesorang bertemu dengan pendetanya pada arena lomba,
kemungkinan mereka akan berbicara dengan bahasa yang berbeda dengan
biasanya, sehingga pengaruh dari lokal terhadap topik dan hubungan peran yang
biasanya dilakukan agaknya perlu diperhatikan.
Ranah berhubungan dengan lokal dalam arti bahwa hampir semua
institusi sosial terhubung dengan sejumlah kecil lokal utama(tempat yang
biasanya terjadi konstelasi/kongruensi antara topik, partisipan, dan lokal).
Tuntuan lokal dan kecocokan lokal ikut dalam menentukan pemilihan bahasa.
L. Validitas Bangunan dari Ranah
Sepanjang suatu ranah adalah ranah utama dari situasi kongruen (situasi
yang sebangun), itu penting untuk mengetes secara intuitif kongruen-kongruen
yang dirasakan untuk di dapatkan. Kongruen adalah situasi yang memungkinkan
individual berinteraksi dalam hubungan peran yang sesuai, dalam lokal yang
sesuai dengan hubungan peran tersebut, dan mendiskusikan topik yang sesuai
dengan hubungan peran tersebut. Greenfield (1968) lebih dari setahun
melakukan observasi partisipan dalam menemukan jenis ranah dan menemukan
lima ranah dari berbagai situasi yang tidak dapat dihitung lagi. Sebelumnya dia
secara tentatif memberi judul ranah keluarga, berteman, agama, pendidikan, dan
pekerjaan dan dilanjutkan dengan menentukan apakah suatu situasi tipikal dapat
disajikan untuk setiap ranah sebagai suatu cara dalam mengumpulkan data
laporan-diri tentang pemilihan bahasa. Sebagaimana table berikut, setiap ranah
diwujudkan oleh orang, tempat, dan topik yang sebangun (yang pas).
52
Ranah
Partisipan Tempat/lokal Topik
Keluarga
Orang tua Rumah
Bagaimana untuk menjadi anak laki-laki
atau perempuan yang baik
Berteman
Teman
Pantai
Bagimana bermain permainan tertentu
Agama
Pendeta
Gereja
Bagaimana untuk menjadi orang Kristen
yang baik
Pendidikan Guru
Sekolah
Pekerjaan
Tempat kerja Bagaimana melaksanakan pekerjaan anda
Majikan
Bagaimana menyelessaikan masalah aljabar
secara efisien
Agar supaya dapat mengetes hipotesis awal penentuan ranah, pertamatama dia mengajukan dua komponen situasi (mungkin topik dan orang) yang
tampak sebangun kemudian dia meminta responden untuk: (1) memilih
komponen ketiga (mungkin tempatnya) untuk melengkapi situasi tertentu itu, (2)
menunjukkan kecondongannya dalam menggunakan bahasa baik spanyol atau
Inggris apabila mereka terlibat dalam situasi seperti ini dan menguasai kedua
bahasa dengan baik.
M. Analisis Latar Multibahasa
Penggunaan bahasa dalam konteks kedwibahasaan tergantung pada
ranah-ranah yang melembaga secara konvensional dalam masyarakat tutur.
Ranah (konteks sosial yang melembaga) merupakan konstelasi antara topik,
situasi, latar, dan partisipan.
Topik biasanya dibedakan menjadi dua yakni topik modern dan topik
tradisional. Topik modern berkenaan dengan sesuatu yang berorientasi pada saat
sekarang dan yang akan datang daripada waktu lampau (Inkeles, 1966:155).
Secara etimologis modern berarti masa kini, model baru dan tidak kuno.
Sedangkan topik tradisional merupakan sebaliknya, yakni sesuatu yang pada
waktu lampau, seperti cara-cara warisan nenek moyang.
Situasi juga dibedakan menjadi dua yaitu situasi formal dan nonformal.
Situasi formal berkenaan dengan situasi yang menonjolkan dan memerlukan
53
keseriusan, kesopanan dan rasa hormat (Tripp, 1972:235). Labov (1972:113)
melihat situasi dari sudut penggunaan bahasa dengan mengatakan bahwa situasi
formal adalah situasi
yang membuat penutur semakin memperhatikan
tuturannya. Situasi informal merupakan situasi yang mengijinkan atau
menunjukkan keintiman dan kesembronoan (Fishman, 1972:51), keseriusan,
kesopanan dan rasa hormat bukanlah sebagai orientasi yang pertama dan utama
untuk ditonjolkan.
Latar dapat dibedakan menjadi latar dalam rumah dan latar luar rumah.
Latar dalam rumah merupakan latar yang ada di dalam rumah yang terdiri dari
anggota keluarga. Sedangkan latar luar rumah merupakan latar yang terjadi di
luar rumah seperti di kantor, tetangga, jalan dan sebagainya.
Hubungan peran (partisipan) dibedakan menjadi hubungan yang akrab
dan hubungan tidak akrab. Hubungan akrab merupakan hubungan yang relatif
bebas,
solidaritas
tinggi,
intim, dan
biasanya
antarpartisipan
saling
mengenal lebih dalam serta terkondisi secara informal (Bell, 1976:102).
Hubungan tidak akrab merupakan hubungan yang terdapat jarak sosial,
antarpartisipan tidak begitu mengenal secara dalam, terkondisi secara formal,
dan status kekuasaan tinggi.
Secara khusus pokok kajian kuantitatif pun dalam kedwibahasaan
sering difokuskan pada analisis yang mencakup pemakaian bahasa berdasarkan
ranah yang ada di desa dan kota. Ranah yang biasa ditemukan pada kedua
tempat ini diantaranya adalah ranah adat, pertanian, keluarga, agama, berteman,
jual beli, pemerintahan, dan pendidikan. Kedelapan ranah ini dianalisis ke dalam
variabel-variabelnya, yakni topik, partisipan, latar, dan situasi. Selain pokok
kajian kuantitatif di atas juga dicari pemakaian bahasa berdasarkan variabel
status demografis masyarakat dan korelasinya dengan pemakaian bahasa.
N. Kedwibahasaan
Berdasarkan variabel-variabel sosiolinguistik kajian kedwibahasaan.
ini mengutamakan data-data lisan atau tutur (Brown dan Yule, 1983:19)
bukanlah data bahasa tulis yang sifatnya formal dan preskriptif. Dengan
kata lain, kajian ini mengutamakan perilaku berbahasa biasa; bukanlah langue
54
tetapi parole-nya (Saussure, 1983:1). Analisis kedwibahasaan ini dekat dengan
etnografi komunikasi khususnya tindak tutur (Austin, 1962; Hymes, 1968;
Searle, 1969; dan Leech, 1983) dan komunikasi lintas budaya terutama wacana
budaya (Wierzbicka, 1996). Wacana budaya dan tindak tutur digunakan untuk
menemukan norma sosial budaya yang hidup dalam masyarakat, termasuk di
dalam berbahasa.
Bahasa dilihat sebagai fenomena sosial (Saussure,1973; Halliday,
1978) bukanlah sebagai fenomena fisik Bloomfield, 1935) dan fenomena
mental kognotif
(Chomsky, 1965:3). Lingkup kajian kedwibahasaan ini
ditekankan pada penggunaan bahasa dalam konteks sosial, bukanlah bagaimana
pemerolehan bahasa, keberadaan Kedwibahasaan atau sikap terhadap bahasa
dan penggunanya. Penggunaan bahasa dilihat dari setiap ranah yang ada dalam
masyarakat. Penggunaan bahasa dalam konteks sosial tidak terlepas dari kaidahkaidah umum tentang bagaimana interaksi dan interpretasi berlangsung,
yang tercakup dalam analisis etnografi komunikasi. Kaidah-kaidah interaksi dan
interpretasi dalam berkomunikasi dibimbing oleh konvensi sosial yang hidup
dalam masyarakat.
Berdasarkan
jangkauannya
kedwibahasaan
dibedakan
menjadi
kedwibahasaan masyarakat dan individual (Fishman, 1966). Kedwibahasaan
masyarakat memfokuskan analisisnya pada peran (daya) bahasa dalam guyup
dan pada tingkat hubungan antara peran politik, ekonomi, sosial, pendidikan
dengan bahasa.
yaitu
pada
Kedwibahasaan individual menekankan pada personalnya
kemampuan atau
kompetensi (Bloomfield,
1933:56),
pemerolehan atau proses verbal/neurologi (Weinrich, 1968:9-11). Untuk
membedakan kedua hal di atas Fishman selanjutnya memberi batasan yakni
dengan menjawab pertanyaan 'Siapa berbicara dengan bahasa apa kepada siapa
dan kapan?’
Berdasarkan penggunaannya, Pohl (dalam
Beardsmore,
1982)
membedakan kedwibahasaan menjadi: 1) kedwibahasaan horisontal di mana
dua bahasa yang berbeda memiliki peran yang sama secara resmi dan kultural
dan terjadi dalam interaksi antarpenutur elite; 2) kedwibahasaan vertikal di
mana dua bahasa yang berhubungan secara genetis dipakai seseorang; 3)
55
kedwibahasaan diagonal terjadi pada penutur yang menggunakan dialek (bahasa
nonstandar) dan bahasa standar yang secara genetis keduanya berbeda.
Ricciardielli (1992) membedakan kedwibahasaan berdasarkan tingkat
bilingualitasnya ke dalam: 1) kedwibahasaan aditif di mana penutur sangat
menguasai dua bahasa atau lebih; 2) kedwibahasaan dominan di mana penutur
hanya menguasai salah satu bahasa dengan baik sebagaimana penutur asli; 3)
kedwibahasaan semi di mana penguasaan dua bahasa atau lebih sama-sama
rendahnya. Konsep inilah yang lebih banyak dipakai linguis daripada konsep
yang telah diajukan oleh Beardsmore (1982) ke dalam kedwibahasaan semi
dan imbang. Di sisi lain Beardsmore membedakan kedwibahasaan berdasarkan
kemampuan dwibahasaan menjadi kedwibahasaan produktif (aktif) dan reseptif
(pasif) dikarenakan adanya
gejala dwibahasawan
yang
hanya
mampu
menerima bahasa suatu guyup tetapi tidak bisa menghasilkan ujaran dengan
bahasa yang sama.
Lambert (1974), Malmkjaer (1991) juga membedakan kedwibahasaan
ke dalam kedwibahasaan
aditif dan substratif. Kedwibahasaan
aditif
merupakan kedwibahasaan di mana dwibahasawan merasakan nilai tambah dari
bahasa kedua baik secara sosial maupun kognitif. Sedangkan dalam
kedwibahasaan substratif, dwibahasawan merasakan
bahwa bahasa kedua
merupakan penyebab hilangnya beberapa hal positif dari pemakaian bahasa
pertama. Dalam analisis ini lebih difokuskan pada kedwibahasaan masyarakat
yang lebih kompleks dan luas dan juga akan dicari jenis kedwibahasaannya
berdasarkan penggunaannya, fungsi bahasa dalam masyarakat tutur.
Apabila pemilihan bahasa itu disebabkan oleh nilai-nilai (fungsi-fungsi)
sosiokultural dari bahasa itu maka kebahasaan masyarakat yang bersangkutan
bersifat diglosik.
Terdapat alokasi fungsi sosial yang berlainan dalam pemakaian bahasa
atau
variasinya
(Fishman,
1972:91-3;Ferguson,
1959).
Sedangkan
kedwibahasaan merupakan praktek pemilihan dan pemakaian dua bahasa atau
lebih secara
bergantian
(Weinrich,
1953:5;
Mackey,
1957:51).
Pola
diglosia dan jenis kedwibahasaan ini juga menjadi pokok kajian dalam penelitian
kedwibahasaan dan perencanaan bahasa.
56
Dalam konteks kontak aneka bahasa terjadi spesialisasi pemakaian
bahasa berdasarkan makna sosiokultural pemakaiannya. Setiap bahasa memiliki
peran dan fungsi sosialnya sendiri dalam masyarakat sehingga dalam penelitian
kedwibahasaan juga dicari makna pemakaian bahasa-bahasa yang ada. Makna
pemakaian bahasa yang dimaksud di sini merupakan makna kontekstual
pemakaian bahasa dan unsur-unsur lingual yang dipengaruhi oleh konvensi
sosial dan budaya masyarakat tutur setempat. Konteks pemakaian bahasa dapat
berupa konteks situasi saat interaksi berlangsung dan konteks social budaya.
Dalam konteks kontak aneka bahasa dan kontak pengguna terjadilah
persentuhan dan persaingan dalam penggunaan bahasa. Haugen (1981:114-5)
member istilah ekologi bahasa yang menunjukkan suatu konsep inti tentang
'pasar
bahasa' di
mana
bahasa
berada
dalam
kontak
yang bersaing
untuk memperoleh penutur yang sebanyak-banyaknya. Harga dari bahasa itu
berupa usaha dan waktu yang diperlukan dalam mempelajarinya. Nilainya
berupa manfaat yang dibawa oleh bahasa terhadap penggunanya dalam guyup
tutur tertentu. Guyup tutur merupakan guyup yang penuturnya paling tidak
memakai satu variasi bahasa secara bersama-sama dan norma penggunaannya
secara wajar (Fishman, 1972:22). Labov (1966:651) mengatakan guyup tutur
sebagai kelompok penutur yang memakai serangkaian sikap bersama terhadap
bahasa, kemudian dia (1972) menekankan lagi bahwa guyup tutur tidak
dibatasi
secara
jelas
oleh
pelibat-pelibat dengan seperangkat norma
bersama. Norma ini dapat diamati pada perilaku evaluatif yang tampak
dan dengan keseragaman pola-pola variasi yang abstrak yang beragam pada
tingkat penggunaan tertentu.
Dari persentuhan dan persaingan bahasa dalam lingkungan kebahasaan
biasanya muncul kedwibahasaan dan diglosia. Kedwibahasaan berkenaan
dengan bahasa dalam fungsinya sebagai alat interaksi sosial. Dengan kata lain
bahwa kedwibahasaan merupakan suatu fenomena penggunaan bahasa. Mackey
(1957:51) menekankan bahwa kedwibahasaan merupakan pilihan dalam
penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang. Weinrich (1953:5)
mengatakan
kedwibahasaan
adalah
praktik
penggunaan
dua
bahasa
atau lebih secara bergantian. Sedangkan batasan tentang seorang dwibahasawan
57
di sini adalah seorang penutur suatu bahasa yang mampu menghasilkan ujaran
lengkap dan bermakna ke dalam bahasa yang berbeda (Haugen, 1953:7).
Malmkjaer (1991:57) juga memberi batasan bahwa dwibahasawan adalah
orang yang mempunyai kemampuan dalam dua bahasa atau lebih yang
mendekati penutur
asli.
Konsep kedwibahasaan di atas digunakan dalam
penelitian ini dengan lebih menfokuskan pada penggunaannya secara sosial
sesuai dengan penegasan
Mackey (1968:554) bahwa kedwibahasaan bukanlah fenomena bahasa
tetapi merupakan fenomena penggunaan bahasa. Jadi yang dilihat bukanlah
keberadaannya seperti yang dilakukan oleh Aucam (1926, dalam Beardsmore,
1982:2) juga bukan kompetensinya oleh Bloomfield (1935) dan Beardsomore
(1982:9) karena kompetensi komunikatif kurang begitu mudah diukur dengan
jenis alat prosedur formal gramatika yang terpisah dari penggunaannya.
Kedwibahasaan di sini juga bukanlah dilihat dari sikapnya seperti yang
dilakukan oleh Lambert (1960), Fishman dan Agheyisi (1970).
O. Pergeseran Fungsi Bahasa Dalam Guyup Tutur
Haugen (1972:334) membuat konsep tentang terjadinya perpindahan
atau pergantian bahasa dalam suatu guyup dan seakan-akan mengisyratkan
bahwa
kedwibahasaan merupakan proses pergantian bahasa (dalam proses
interaksi verbal) yang berlangsung sejalan dengan pergantian generasi dengan
melihat fungsi bahasa dalam suatu guyub. Urutannya sebagai berikut:
monolingual bahasa A kontak dengan bahasa B yang di sini berfungsi sebagai
suplemen atau pelengkap (A: dominan, B: subordinat), karena dalam waktu
yang panjang dan pergeseran kebutuhan serta perkembangan social budaya,
bahasa B selanjutnya berfungsi komplemen yaitu berkedudukan sama dalam
penggunaannya (AB: sama), kemudian secara tidak sadar karena dalam
pergantian generasi juga, bahasa A hanya dipakai oleh orang-orang tua saja
sedangkan anak-anak muda mayoritas telah memakai bahasa B, bahasa B di
sini telah berfungsi dominan atau fungsi replasif (A: bahasa minor dan B:
bahasa yang mendominasi hampir semua fungsi-fungsi atau ranah yang penting
dan dominant dalam guyup) hingga akhirnya menjadi monolingual bahasa B.
58
Romaine (1995:19) mengatakan hampir mirip dengan Haugen bahwa apabila
bahasa pertama dan bahasa kedua digunakan seseorang sama baiknya dalam
segala konteks, maka orang tersebut akan luntur kedwibahasaannya dan
akhirnya menjadi monolingual, karena tidak ada masyarakat yang memerlukan
dua bahasa dalam serangkaian fungsi yang sama.
P. Kode Campur
Alih kode merupakan pergantian penggunaan dari satu bahasa ke
bahasa yang lain, dan pola-pola peralihan bahasa tertentu memegang fungsi
yang sangat penting dalam repertoar komunikasi dalam guyup tertentu
(Romaine,1995:12). Alih kode merupakan fenomena kedwibahasaan yang
tidak terjadi secara manasuka melainkan dibimbing oleh suatu kaedah (Bell,
1976:140-1). Kaidah ini adalah kaedah sosiolinguistik dan psikolinguistik.
Kaidah sosiolinguistik mencakup komponen tutur suatu peristiwa tutur yang
termasuk dalam konsep akronim SPEAKING (Hymes, 1972) yang meliputi
situasi latar, partisipan, end/tujuan, act/sekuensi tindak, kunci, instrumen, norma
dan genre. Dalam analisis wacana lebih difokuskan pada komponen norma
kemudian pada komponen lainnya yang mengikat. Kaidah psikolinguistik yang
melibatkan proses rancangan verbal dalam otak dwibahasawan.
Kaedah
psikolinguistik ini tidak menjadi fokus dalam penelitian ini.
Terjadinya alih kode dikarenakan setiap orang dalam guyup mempunyai
berbagai peran dalam berbagai situasi di mana setiap peran ini mempunyai
norma-norma perilaku tertentu. Salah satu norma perilaku itu adalah perilaku
pemakaian bahasa (Bell, 1976:141).
Di sisi lain alih kode dikarenakan adanya kesenjangan dalam kode yang
dipakai seorang dwibahasawan. Kesenjangan itu dibedakan menjadi tiga: 1)
kesenjangan denotasi (Elias-Olivares, 1976; Huerta, 1978; McClure, 1981); 2)
kesenjangan konotasi (Huerta, 1978; McClure, 1981); 3) kesenjangan register
(Elias-Olivares, 1976; Baker, 1980).
Alih kode sering terjadi karena tujuan-tujuan tertentu seperti untuk
menandai identitas sosial
(Kachru, 1978;Sridhar,
1978), hubungan-peran
59
(Blom dan Gumperz, 1972; McClure, 1981), dan untuk menunjukkan
solidaritas (Elias-Olivera, 1976; Gumperz, 1982).
Dari uraian di atas terlihat bahwa pembahasan alih kode tidak bisa
dipisahkan dari
faktor-faktor
nonlinguistik
sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai
karena
gejala
alih
kode
sosiokultural masyarakat penutur yang
diwahanani oleh bahasa.
Fishman (1972:42), Blom dan Gumperz (1972) membedakan alih kode
berdasarkan konteks tempat terjadinya alih kode, yakni alih kode situasional dan
alih kode metaforis.
Alih kode situasional berakar pada pembagian
aktivitas sosial dan hubungan-peran yang masing-masing secara konvensional
terikat oleh penggunaan suatu variasi atau bahasa tertentu dalam situasi tertentu.
Alih kode metaforis terjadi manakala muncul suatu variasi atau bahasa yang
tidak diharapkan secara konvensional dalam situasi tertentu. Alih kode ini tidak
terjadi secara wajar, umum, dan konvensional.
Dilihat dari pengaruh satuan bahasa
dalam
beralih kode, Bell
(1976:142-3) membedakan alih kode ke dalam dua jenis, yakni alih kode
antisipasi dan alih kode konsekuensi. Alih kode antisipasi atau anticipatory
switching terjadi manakala satuan bahasa tertentu mempengaruhi tuturan
sebelumnya. Dalam kalimat bahasa Hindi To: wo: ‘hoard of whiskey’ atau
'tumpukan wiski di rumahmu', kata whiskey merupakan satuan pinjaman dari
bahasa Inggris yang mempengaruhi penggunaan kata hoard yang semestinya
jamak 'tumpukan' dan of yang semestinya ka 'dari'. Alih kode konsekuensi atau
consequential switching terjadi apabila terdapat satuan bahasa tertentu yang
memancing tuturan berikutnya ke dalam bahasa tersebut. Kalimat bahasa Jawa
dan bahasa Indonesia Aku ora weruh komputer, kata komputer itu sukar untuk
dipelajari di mana terdapat unsur pinjaman bahasa Indonesia ‘komputer’ yang
memancing untuk beralih kode ke bahasa Indonesia.
Malmkjaer (1991:62) membedakan alih kode sebagai suatu perubahan
dari satu bahasa ke bahasa lainnya, dalam suatu ujaran atau konversasi. Kode
campur sebagai penggunaan unsur suatu bahasa, biasanya nomina, dalam suatu
ujaran yang secara mayoritas memakai bahasa yang berbeda.
60
Dalam konteks guyup aneka bahasa terjadi saling pinjam antarunsur
bahasa yang satu dengan yang lain. Haugen (1950) selanjutnya membuat
jenjang tingkat kemudahan dan kelebatan unsur pinjaman sebagai berikut :
-
Satuan Tingkat kemudahan dan kelebatan unsur pinjaman
-
Satuan leksikal Tinggi
-
Satuan morfologi-Derivasi-Infleksiz Sintaksis Rendah
Haugen (1972:85) membedakan peminjaman menjadi tiga jenis sebagai
berikut.
a. Pinjaman kata (loanwords) merupakan peminjaman secara total tanpa adanya
satu substitusi pun.
b. Pinjaman campur (loanblends) merupakan peminjaman yang bagiannya
merupakan subtitusi. Kadang kadang pinjaman ini disebut hybrid.
c. Pinjaman geser (loanshifts) merupakan substitusi secara menyeluruh
tanpa unsur pinjaman yang merupakan perluasan makna. Kadang-kadang
pinjaman ini disebut pinjaman semantik dan pinjaman terjemahan.
Berdasarkan
keberterimaannya
peminjaman
dibedakan menjadi
pinjaman yang berupa interferensi dan integrasi yang keduanya merupakan
suatu jenjang yang kontinuum (gradual), bukan berdiri sendiri secara terpisah
dan diskret (Mackey,1970; Beardsmore,1982:44). Semakin diterima
dan
semakin sering dipakai pinjaman itu semakin integral. Pinjaman itu sebagai
unsur bahasa penerima dan secara integral menjadi bagian budayanya. Integrasi
yang dimaksud di sini adalah penggunaan yang reguler terhadap unsur-unsur
suatu bahasa ke bahasa yang lain karena bahasa itu tidak mempunyai
padanannya,
tidak
diketahui
atau
jarang
digunakan
(Beardsmore,
1982:42), sedangkan interferensi merupakan pinjaman yang masih dirasa asing
oleh penutur dan belum begitu ajeg digunakan.
Tingkat penggunaan
Interferensi
Integrasi
61
Weinrich (1953 dalam Dittmar, 1976:117)
mengklasifikasikan
interferensi menjadi dua, yaitu interferensi secara linguistik yang meliputi
interferensi fonologi, gramatikal;
dan interferensi secara
Interferensi dalam tesis ini lebih ditekankan pada
sosiolinguistik.
interferensi
secara
sosiolinguistik untuk mengetahui apakah unsur pinjaman, mempunyai latar
sosiokultural tertentu, sehingga unsur itu hadir dan di pakai oleh penutur.
62
BAB IV
BAHASA DAN PEMILIHAN BAHASA
A. Bahasa dan kelompok Etnik
Bahasa sering di pakai sebagai
ciri etnik : sebagai alat identitas
kelompok etnis, seperti contoh bahasa daerah sebagai identitas suku. Bahkan ada
pandangan yang tetap dan pasti antara ciri fisik suatu kelompok dengan suatu
bahasa atau variasi tertentu. Walaupun demikian sebetulnya bahasa bukanlah
suatu pembawaan genetik tetapi lebih kepada pembawaan sosiokultural dimana
pemakain itu pernah ada dan hidup. Suatu etnik katakanlah Cina, Batak, Bali
bisa berbahasa Jawa karena hidup atau lahir di dalam lingkungan masyarakat
berbahasa Jawa. Hal ini contoh bahwa bahasa tidak selalu menunjukkan
“bangsa“ atau ’kelompok etnik“ lingkungan bangsa yang menentukan bukan
ras, warna kulit.
Dalam banyak hal bahasa mungkin merupakan faktor atau ciri-ciri
penting atau bahkan ciri esensial dari kalangan kelompok. Bahasa bertindak
sebagai inditifying characteristics. Ciri ini bisa pada tataran fonologi seperti
:orang jawa d (berat)- orang Jawa. e (pepet) –e(taling)- orang batak, bima,
medan.
Masyarakat tertentu menuntut anggota untuk menguasai dua bahasa
atau lebih untuk menjadi anggota secara penuh dalam masyarakat . Motivasi
penguasaan bahasa dapat berupa motivasi instrumental, yakni alat untuk
menciptakan sesuatu dan motivasi integrasi, yakni bahwa bahasa yang di pelajari
nantinya akan menentukan hidupnya atau bahasa yang di pelajari bisa sebagai
sarana untuk mengintegrasikan dirinya dalam masyarakat baru yang akan
dimasuki. Motivasi integrasi lebih berhasil dibanding dengan motivasi
instrumental, seperti anak yang mempunyai bahasa ibu.
Bahasa minoritas rawan punah,
negara yang banyak ragam minor
sering susut karena regenerasi dan untuk memertahankan bahasa monoritas
dengan pengajaran dwibahasa. Mempertahankan dan menghapuskan bahasa
minoritas membawa kusekuensi politik dan biaya besar.
63
Pendekatan yang dilakukan dalam menanggapi bahasa-bahasa minoritas
dapat dilakukan dengan cara pengajaran dengan dwibahasa, atau penghargaan
perbedaan dialek. Bahasa sering juga dipakai untuk penaklukan politik, seperti
Inggris melarang dipakainya bahasa Gael di Skotlandia setelah pemberontakan
1745.
Ragam substratum yaitu bahasa atau ragam bahasa yang di pakai oleh
kelompok-kelompok itu atau nenek moyang mereka sebelum mereka menjadi
penutur bahasa Inggris di kota New York. Ragam substratum orang Yahudi itu
adalah bahasa Yiddi,Italia. Itulah kemudian ada penyusupan(interverensi) bahasa
terdahulu terhadap yang baru sehinga timbul koreksi yang kadang-kadang
menimbulkan hiperkoreksi.
Teori inferiotas menyanggap bahwa ada hubungan antara bahasa yang
jelek dengan rendahnya dengan derajat pemakai. Perbedaan ini sering dikaitkan
sebagai akibat substratum.Hal di atas tidak di terima karena secara linguistik
tidak ada ragam yang lebih tinggi dan lebih rendah.
B. Pidgin dan Kreol
Pidgin sejenis lingua franca kemudian biasanya jadi Kreol, yakni
bahasa standar yang sudah mempunyai panutur asli.
Pidgin timbul karena bertemunya sejumlah penutur dengan dengan latar
belakang bahasa ibu yang berbeda-beda yang pada saat tertentu oleh kebutuhan
sesaat mereka memerlukan alat komunikasi. Tetapi Pidgin sebenarnya memiliki
suatu
dasar
bahasa,
kemudian
mengalami
penambahan,
pengurangan,
pengubahan dari bahasa-bahasa yang terlibat dan akhirnya bentuk komunikasi
itu atau bahasa itu harus punya kidah dan sistem. Pidgin tidak memiliki penutur
asli dan apabila bentuk alat komunikasi yang telah memiliki kaidah dan sistem
itu memiliki penutur asli, maka nama dan statusnya telah menjadi Kreol.
Berikut rentangan antara nasionalitas dan kelompok etnis, dan negara
multinasional dan nasion (multietnik)
64
NASIONALIS
Kelompok orang yang merasa
sebagai suatu satuan sosial
bebas konteks dan lokal
.
Nasionalitas/ multinasional
yakni bahasa yang terdiri
dari berbagai bangsa
KELOMPOK ETNIK
Organisasi sosio-kultural
sederhana, khas, dan
lokalistik
Nation/ multietnik, yakni
satuan politik teritorial di
bawah pengawasan
nasionalitas tertentu
Peranan bahasa dalam nasionisme dan nasionalisme ( yang merupakan
ikatan perasaan), Fishman (1972) mengatakan peranan bahasa dalam kaitannya
dengan nasionalisme bahwa (1) peranan bahasa bagi nasionalism (peran
sentimental), yang mungkin lebih secara emosional dikuasai, dan (2) Bahasa jadi
masalah dalam nasionalisme dalam dua bidang, yakni dalam administrasi
pemerintahan dan pendidikan. Nasionisme memilih bahasa yang murah bisa
melaksanakan tugas dengan baik sedangkan nasionalisme berkaitan dengan
agama, sejarah, budaya, sebagai komponen dari nasionalisme itu sendiri.
Fishman mengatakan bahwa bahasa bertindak sebagai rantai penghubung
dengan kejayaan masa lampau dan keotentikan (ini merupakan konsep-konsep
yang abtrak dan emosinal yang merupakan kekuatan yang hebat). Fishman juga
mengatakan bahwa bahasa ibu merupakan suatu aspek jiwa atau inti nasionalitas.
Peranan lain yang bisa dimainkan oleh bahasa dalam nasionalisme
adalah sebagaimana pendapat beberapa ahli berikut:
1) Fishman memberi nama “constrative self-identifying (identifikasi diri
kontras) atau yang oleh Garvin dan Marthiot (1956) disebut unifying and
separatist function (fungsi menyatakan dan sekaligus memisahkan). Hal ini
mengacu pada perasaan para warga masyarakat nasinalitas yang menyatukan
65
dan mengidentifikasikan diri dengan orang lain yang bicara dalam bahasa
yang serupa, dan sekaligus mengontraskan dengan dan terpisah dari mereka
yang tidak bicara dalam bahasa yang tidak serupa.
2) Pool (1972) mengatakan bahwa tidak selalu negara aneka bahasa itu selalu
tidak beruntung dan tidak makmur dan kaya, tetapi Fishman (1968)
mempunyai kesan bahwa negara yang secara linguistik homogen biasanya
secara ekonomi berkembang.
C. Beberapa Penelitian Mengenai Pemilihan Bahasa
Greenfield melakukan penelitian dengan rancangan sosiologi yaitu
dengan mengunakan analisis ranah yang pernah dikenalkan oleh Fishman (1965
dan 1964). Didefinisikan bahwa ranah adalah konstelasi dari partisipan, lokal,
dan topik. Penelitian Greenfield dilakukan pada pemilihan bahasa di kalangan
guyup spanyol Puerto Rico yang dwibahasawan antara bahasa Spanyol dan
Inggris dengan memperhatikan tiga komponen, yakni orang, tempat, dan topik.
Greenfield memakai cara dengan kuesioner. Pertama membuat suatu dialog
tentang suatu topik antara A dan B. Kemudian dia bertanya di mana cocok untuk
hal di atas. Hal di atas untuk menemukan ranah-ranah. Setelah ketemu ranah
kemudian dia mencari bahasa apa yang dipakai dengan memakai skala satu
sampai lima, dengan rentangan berikut:
1.
Spanyol dengan sepenuhnya
2.
lebih banyak spanyol dari pada Inggris.
3.
seimbang.
4.
Inggris lebih banyak
5.
sepenuhnya Inggris
Apabila hasil dari rata-rata di bawah tiga maka pemakaian bahasa
dalam ranah tersebut adalah bahasa Inggris dan sebaliknya apabila hasilnya lebih
dari rata-rata tiga maka ranah itu ditempati oleh bahasa Spanyol.
66
Parasher menggambarkan ranah dalam bentuk seperangat situasi.
Seperti contoh berikut, dia membuat angket dalam ranah kekariban, yang
meliputi pilihan-pilihan berikut:
1.
Bicara dengan teman
2.
Dengan orang-orang di klub/umum
3.
Memperkenalkan dengan orang lain
4.
Tentang masalah pribadi dengan teman
5.
Berdebat hangat
Sebenarnya situasi ini sudah menyangkut partisipan, tempat, topik.
Subjek disuruh mengisi bahasa apa yang sesuai dengan situasi di atas. Untuk
setiap bahasa subjek di suruh menentukan salah satu dari titik lima yang masingmasing diberi nilai 40,30,20,10,0. Rentangan nilai itu seperti berikut:
1.
Selalu
2.
Biasanya
3.
Sering
4.
Kadang-kadang
5.
Tidak pernah
Berikut adalah tingkatan kuesionernya terhadap pemakaian bahasa A
Contoh:
Pengguna bahasa A
Nilai
40
30
20
10
0
Ranah Keluarga
selalu biasanya sering kadang-kadang Tdk pernah
Partisipan dalam ranah ini dapat mencakup interaksi dengan istri,
dengan anak, dengan kakak, dan lain lain, yang paling besar adalah bahasa yang
dominan.
Herman (1968) meneliti pemilihan bahasa dengan proses psikologis seseorang. Dia
melihat tiga situasi psikologis ketika berbicara dengan orang lain yaitu:
67
1) kebutuhan pribadi,
2) situasi saat pembicaraan berlangsung (immediate situation),
3) (3) situasi yang melatarbelakangi pembicaraan (background
situation) yang menyangkut urusan pribadi dan situasi saat
pembicaraan berlangsung (immediate situation) dan situasi yang
melatar belakangi pembicaraan menyangkut kelompok.
Cara ini dipandang cocok bagi negara yang perbedaannya sosiokultural
tinggi seperti di Amerika Serikat.
Teori akomodasi oleh Giles melihat pemilihan bahasa yang berdasarkan
keberterimaan penutur dalam interaksi. Bentuk akomodasi ini dapat dilihat dari
dua hal:
a. Bentuk konverengsi (menyatu): penutur memilih suatu bahasa atau ragam
bahasa yang sesuai dengan kebutuhan lawan bicara.
b. Bentuk diverengsi dimana penutur ingin menekankan loyalitas atau
kesetiaannya terhadap kelompok sendiri, seperti kelompok kulit putih
Amerika dengan kulit hitam Negro.
Ujaran yang paling divergen adalah jika penutur memakai bahasanya
sendiri dengan kecepatan yang normal dan membiarkan lawan bicaranya
memahami ujarannya sedapat - dapatnya. Berikut merupakan rentangan dari
matra linguistik, konvergensi, dan divergensi situasi saat pembicaraan
berlangsung (immediate situation), dan situasi yang melatar belakangi
pembicaraan.
Staregi konvegensi dan divergensi dipakai untuk mengetahui: (1)
apabila si penutur seorang anggota kelompok sosiokultural yang dominan atau
bawahan, (2) apabila penutur itu berpikir atau tidak mengenai kemungkinan
perubahaan sosial (dalam arti memperbaiki posisi atau status kelompok
bawahan). Konverengsi menurun memiliki makna bahwa konvergensi dengan
simpati terhadap ragam yang lebih rendah. Diverengsi sering diistilahkan tindak
kekerasan.
68
Matra lingustik
- Bahasa kelompok lain dengan lafal seperti
penutur asli
- Bahasa kelompok lain dengan unsur-unsur
bahasa sendiri.
- Bahasa kelompok sendiri dengan lamban
- Bahasa kelompok sendiri dengan tempo
normal
Konvergensi
yang makin
meningkat
Divegensi
yang makin
meningkat
Penelitian Susan Gal (1979) memiliki ancangan antropologi yang
menekankan pada bagaimana seorang penutur (sebagai individu) melibatkan diri
dengan struktur masyarakatnya tetapi tidak dalam pengertian kebutuhan
psikologis dirinya sendiri, melainkan orang itu menggunakan pilihan untuk
mengungkapkan nilai-nilai budayanya. Antropologi mempunyai perhatian besar
terhadap campur kode dan ragam-ragamnya serta terhadap alih kode dalam skala
besar. Bagi pakar antropologi tiap ragam itu mempresentasikan perubahan dalam
pengungkapan nilai budaya dan nilai yang harus di pahami. Metode yang di
pakai bukanlah seperti sosiologi dan psikologi sosial yang mengandalkan pada
data lewat kuesioner dan pengamatan terhadap perilaku orang, yang melalui
kondisi percobaan yang terkontrol. Metode antropologi memakai pengamatkan
berpartisipasi seperti di pakai oleh Susan Gal meletakkan kuesioner dan
wawancara sebagai pelengkap. Data pengamatan di ambil sehari-hari dengan
tehnik rekam.
Gal melihat bahwa bahasa Hungaria di pakai dalam kelompok
taradisional yang merupakan ragam rendah sedangkan bahasa Jerman
merupakan bahasa nasional dan bahasa pendidikan, yang merupakan ragam
tinggi.
Bahasa Hungaria diasosiasikan dengan nilai-nilai petani, pedesaan,
tradisional, kerja keras. Pemilikan ternak dan pemilikan tanah sebagai sumber
status. Gal melihat bahwa jati diri sosiolinguistik seseorang terlihat kuat pada
perilakunya terhadap ekabahasawan.
Pilihan bahasa sebagai konsep seseorang terhadap keanggotaan
kelompok sangat jelas tampak pada model sajian yang dipakai Gal, yaitu tabel
skala implikasional. Tabel ini mengandung unsur penutur dengan umurnya
69
(berurut dari atas ke bawah) dan interlokutornya (horisontal). Titik temu antara
garis penutur dan garis interlakutor merupakan sel yang menunjukkan bahasa
yang dipakai oleh penutur. Jumlah sel secara teori adalah jumlah penutur
dikalikan jumlah interlokutor.
Kesahehan skala implikasional itu dapat di hitung angka skalabilitas
persentasenya.
Skalabilitas yang ideal
mencapai 100% tetapi ini langka
sehingga masih di anggap sahih jika mencapai paling sedikit 85%.
(NS – NZ) – (NP)
Rumus Skala =
x100%
(NS – NZ)
Ket:
SK:skalabilitas
NS: jumlah sel
NP: jumlah penyimpangan
NZ: jumlah sel kosong.
Pengeseran bahasa terjadi apabila jumlah penutur usia tua lebih banyak
daripada jumlah penutur usia muda. Hal itu merupakan suatu indikasi adanya
pengeseran. Cara terakhir ini memiliki beberapa kelemahan karena keadaan
semacam itu dapat di pengaruhi oleh faktor tingkat usia dan migrasi.
Paradoks Saussure memperlihatkan bahwa aspek sosial bahasa
dipelajari dengan mengamati aspek individual seseorang tetapi aspek sosial itu
di pelajari dengan mengamati bahasa dalam konteks sosial. Beberapa variasi
bahasa dapat dikarenakan oleh beberapa hal, diantaranya adalah: (1). perbedaan
atau kelas sosial (golongan sosial), (2). kelompok etnik yang memicu dan
mendorong munculnya jarak sosial (sosial distance), (3) jenis kelamin yang
merupakan perbedaan sosial (sosial difference), (4) usia, (5) kondisi atau letak
geografis. Dialek sosial di batasi oleh rintangan sosial (social business), dialek
geografis dibatasi oleh jarak geografis. Dua dialek sosial terjadi karena ada jarak
sosial (sosial distance).
70
Fishman dalam bukunya Advances of Sociolinguistics menyampaikan
bahwa penelitian sosiolinguistik dapat memakai data sensus, melihat bahasa dan
kehidupan social, antara ras seperti kulit putih dan hitam, dan juga melihat kelas
sosialnya. Berkenaan dengan pengambilan data otentik dalam penelitian, peneliti
harus hati-hati terhadap perbedaan peran sosial antara laki-laki dan perempuan.
Kurath menyampaikan bahwa responden mestinya laki-laki karena perempuan
memiliki kecenderungan lebih sadar diri dan sadar kelas. Sedangkan Orton
mengatakan bahwa di Inggris pria lebih banyak berbicara dalam bahasa aslinya,
lebih taat asas dan lebih rapi dibandingkan dengan perempuan. Wanita
cenderung mempunyai sifat hiperkorek sehingga mengaburkan situasi yang
sebenarnya yang dikehendaki oleh peneliti.
Untuk menutupi semua ini wanita memakai ragam baku yang di anggap
berkualitas, terpelajar, berstatus, kompeten, independent, dan kuat. Dalam
penggunaan ragam baku (seperti RP) wanita lebih dari sekedar aksen regional
atau setempat tetapi juga dirasakan aksen wanita mirip laki-laki dalam hal-hal
ciri dalam kepribadian tertentu dan punya lebih feminim sehingga wanita
bersifat androgini atau mendua. Pendapat tersebut diambil dari penelitian Elyan.
Di Cina laki-laki harus kawin dengan wanita luar desanya sehingga
wanita di sini bukan penutur asli bahasa suaminya. Oleh karena itu wanita di sini
tidak menyimpan khasanah kebahasaan tempat ia bermukim. Berikut beberapa
hasil penelitian yang berkenaan dengan jenis kelamin sebagai penyebab variasi
bahasa.
a. Wartburg (1925) menemukan bahwa wanita lebih konservatif daripada pria.
Mereka lebih fanatik dan menyimpan tutur warisan bahasa kita.
b. Coates
(1987)
menyimpulkan
bahwa
wanita
hampir
tidak
pernah
meninggalkan desanya maka di rumah ngobrol sesama wanita lain dan tidak
bergaul dengan orang lain, sehingga variasi bahasanya relatif konsisten dan tidak
begitu dinamis.
c. Mc Intosh menyampaikan bahwa di Skotlandia tidak ada bukti apakah wanita
atau pria yang lebih baik jadi informan.
71
Samarin menyarankan bahwa akan bijaksana kalau peneliti pertamatama bekerja dengan informan yang sejenis kelamin untuk merekam intuisi dasar
yang relatif sama, baru kemudian melihat beberapa perbedaan antarjenis.
Pop dari Perancis menyarankan jalan tengah berdasarkan pokok
bahasan, yakni pakailah wanita jika menyangkut urusan rumah tangga atau halhal yang menyangkut kewanitaan dan sebaliknya di luar urusan wanita pada
responden laki-laki.
Gestur atau bahasa tubuh yang membarengi tutur juga menjadi penanda
nilai atau daya dukung data, seperti anggukan dengan kata’ ya’ dalam bahasa
Indonesia, dan acungan jempol dengan orang Jawa. Orang laki-laki Arab lebih
banyak gerakan tangan daripada wanita. Sedangkan Wanita Indonesia lebih
banyak gestur pada muka, bibir, dan mata.
Dilihat dari intonasi dan suara diketahui bahwa wanita memiliki
kecondongan suara alto dan sopran, sedangkan pria pada bunyi tenor dan bas.
Hal ini dapat disebabkan oleh kondisi fisik alat ucap penghasil suara. Sehingga
dilihat dari nilai-nilainya tampak bahwa suara wanita lebih lembut dan berkaitan
dengan nilai-nilai tatakrama dan sopan santun. Secara fonetis, wanita memiliki
vokal lebih minggir atau menepi, ke depan, ke belakang, tinggi, dan rendah.
Yukaghir Asia Timur Laut memiliki dua fonem yang khusus untuk pria dan
wanita. Suara wanita mirip dengan kanak-kanak, yakni fonem /tz/, dz/ yang
terjadi pada wanita dewasa. Sedangkan fonem /tj/ dan /dj/ terjadi pada laki-laki
dewasa. Keduanya, kadang-kadang, dilafalkan sama oleh anak-anak.
Wanita lebih menghindari beberapa hal yang tabu. Bunyi fonem /z/ di
zulu di hindari wanita karena dinilai tabu sehingga kata ‘amanzi’ (air) berubah
menjadi ‘amadabi’. Kata ‘butuh’ di Malaysia dinilai tabu sehingga kata ‘Ali
butho’ diucapkan secara berbeda menjadi ‘Ali Bhatho’.
Wanita bersifat konvervatif dengan pergunaan ragam-ragam yang lebih
tua daripada pria, sedangkan pria bersifat lebih inovatif . Wanita menjadi
inovatif apabila suatu ragam dianggap bisa menaikkan prestise. Di Koasati
Inggris wanita lebih banyak menggunakan ragam yang baku. Wanita lebih peka
terhadap penodaan bahasa baku, lebih setia dengan gramatika yang benar.
Secara sosiologis dan berdasarkan penelitian Kurath sosiologi wanita lebih sadar
72
kedudukannya daripada pria. Pria lebih menyukai ragam non-baku atau
menyimpang sebagai penanda unsur kejantanan. Pria buruh atau bekerja
diidentikan dengan kekerasan yang dihadapinya. Hidup pekerja adalah keras,
sehingga kekerasan identik dengan kejantanan.
Pria tidak sama dengan wanita karena masyarakat menuntut atau
menekankan peranan-peranan tertentu yang berbeda bagi mereka. Wanita lebih
konservatif hanya pada lafal-lafal yang berprestise dan inovatif ketika ada ragam
atau lafal-lafal yang lebih tinggi dan berprestise. Penutur pria cenderung menjadi
inovator kecuali kalau perubahan itu ke arah norma baku. Kalau ke arah norma
baku wanita menjadi pelopornya karena sifat wanita yang harus taat, benar,
halus, rapi yang merupakan tuntutan masyarakat (social presure).
Multamina dan Basuker melakukan penelitian di Indonesia dan
menemukan bahwa wanita cenderung konservatif sifatnya dalam urusan-urusan
keluarga atau mendidik anak dan lebih konservatif terhadap bahasa ibu. Tetapi
dalam hal-hal yang berkaitan dengan dirinya sendiri, mereka cenderung
berbahasa Indonesia sehingga wanita di sini kadang-kadang androgini, berbeda
dengan Elyan.
D. Pergeseran dan pemertahanan bahasa
Pengeseran bersifat kolektif dan janka panjang. Pergeseran bahasa
hanyalah berarti manakala suatu guyup meninggalkan suatu bahasa sepenuhnya
untuk memakai bahasa yang lain. Faktor-faktor pendorong pergeseran bahasa
a) Kedwibahasaan
b) Pendidikan bahasa dalam keluarga dwibahasa
c) Migrasi
d) Perkembangan ekonomi, seperti bahasa Inggris dituntut dan dipakai dalam
hubungan interaksi ekonomi dunia dan industrialisasi.
e) Sekolah
Salah satu usaha pemertahanan bahasa Jawa yang salah satunya telah
tampak adalah pemakaian huruf Jawa sebagai simbol kebesaran dan wadah
pemertahanan seperti dalam pelajaran di sekolah dasar atau menengah dan
73
sebagai nama-nama jalan baik di Bali maupun di Surakarta. Permasalahannya
muncul ketika pemakai jalan tidak mampu secara instrumental dan praktis
membaca huruf tersebut atau siswa yang telah diajari huruf Jawa tidak mampu
dan mau memakai secara aktif maupun pasif. Ada kemungkinan tingkat yang
diatasnya, yakni mata pelajaran Bahasa Jawa dipelajari dengan huruf Latin atau
huruf Jawa yang barang tentu memerlukan kebijakan akademik dan politik di
departemen pendidikan. Ketika bahasa Jawa itu diajarkan di sekolah maka
terlebih dahulu dirumuskan dan ditetapkan bahasa atau ragam yang mana yang
harus dipakai, mungkin sama-sama bakunya, serta dalam ranah apakah ragam
tersebut harus dipakai. Seperti ragam menurut Ferguson ada Singgih (baku) dan
Madya (baku). Diyakini bahwa pada usia yang lebih dini tingkat kognisi anak
berkembang lebih cepat, sehingga Berstein memiliki istilah compensatory
education, yakni dengan memberi konpensasi-konpensasi tertentu, seperti di
Indonesia terdapat program pemberian gizi bagi anak-anak usia sekolah dasar
dalam hubungannya dengan pengembangan kognisi anak.
Bahasa anak-anak tidak sama dengan bahasa orang dewasa atau selalu
mengikuti ibunya tetapi ternyata terdapat banyak anak yang lebih setia pada
ragam peer-groupnya daripada orang tuanya.
Pergeseran ragam antargenerasi dapat digambarkan dengan peta berikut
ini, ragam tinggi (+) dan ragam rendah (-):
Pergantian generasi
I
II
III
Ragam
++
+
+-
Dari grafik di atas tampak bahwa pergeseran ragam bahasa
antargenerasi terjadi dalam proses tertentu yang akhirnya menuju pada satu
ragam dari dua ragam yang tinggi baku , seperti dalam guyup tutur bahasa Jawa,
terjadi bahwa ragam Kromo hampir punah pada guyup tutur anak-anak, dan
akhirnya satu ragam baku tersebut memunculkan ragam rendah tidak baku. Yang
di kawatirkan adalah bukan bergesernya bahasa tetapi bergesernya atau
punahnya ragam tinggi. Dengan bergesernya ragam tinggi ini sekaligus
menghilangkan budaya dan nilai-nilai yang tinggi dan luhur bagi masyarakat
74
Jawa. Nilai-nilai itu telah tidak diwadahi dan dipakai karena wadah dan
sarananya, yakni bahasa telah punah. Jadi punahnya ragam nilai/etika yang
tinggi akan bersama dengan punahnya ragam bahasa yang tinggi juga, yang
dipakai sebagai wadah atau bungkus nilai tersebut. Budaya sangat berkaitan
dengan bahasa, budaya specifik itu tampak lebih khusus lagi pada ragam bahasa
mana yang dipakai dan dipertahankan. Minoritas selalu memiliki motivasi tinggi
dalam mempertahankan berbagai atribut keberadaannya, termasuk agama,
bahasa, dan sebagainya.
Pemakaian ragam juga terkait dengan gaya hidup pemakai bahasa
tersebut karena gaya hidup termasuk budaya, apabila budaya tersebut
didefinikan mencakup kebiasaan atau custom atau habit. Penggunaan ragam
harus dipetakan menurut ranah-ranahnya (Fishman, 1972:65). Bahasa ranah
pendidikan, keluarga, kantor, berteman dsb. Harus juga diperhatikan dalam
melihat pemakaian bahasa dalam ranah secara hati-hati. Bahasa dalam ranah
pendidikan harus melihat dua hal: bahasa pendidikan dalam kelas dan bahasa di
luar kelas karena anak- anak lebih setia dengan ragam peer groupnya daripada
apa yang ada di sekolah atau dalam kelas.
Karena di sekolah ada dua jenis bahasa yang mempunyai ragam-ragam
sendiri, maka murid di sekolah mempunyai beberapa ragam baik bahasa luar
kelas maupun bahasa sekolah.
Berikut ini dicontohkan pada ragam sosial dan regional yang ada di Bali
antara ragam Tabanan, Denpasar, Buleleng.
Tabanan
S↑
Denpasar
Buleleng
M
S↓
Ket:
S↑: singgih (tinggi)
S↓: sor (rendah)
M : menegah
75
Anak mampu berinteraksi dalam lingkungan di sekolah dan lingkungan
di luar sekolah, dan kemudian pada lingkaran masyarakat. Mereka akan
beradaptasi dalam pemakaian bahasa tergantung pada jenis domain yang mana
menuntut jenis bahasa atau ragam apa, seperti disko, swalayan, tempat bermain,
dan generasi muda mungkin memiliki ranah yang berbeda baik jenis maupun
jumlahnya dari orang tua, seperti: domain rekreasi, senang-senang, bermain,
disko, berbicara rahasia, dsb. Pemerolehan ragam dan bahasa oleh anak
berlangsung secara aktif, kreatif, inovatif, dan generatif, serta dapat berubag
antargenerasi. Pemertahanan bahasa ini sangat berkaitan dengan sosiolinguitik
terapan dan yang paling menonjol dalam sosiolinguistik terapan adalah
kebijakan bahasa, perencanaan bahasa (PB) dan dunia pengajaran bahasa.
Kebijakan Bahasa Indonesia menyatu dengan PB, sebagaimana dikatakan oleh
Anton Mulyono yang perlu dibuatkan kebijaksaan adalah seluruh bahasa di
Indonesia: bahasa daerah, Bahasa Indonesia, bahasa asing.
Kebijakan ini
tercermin dalam kegiatan-kegiatan pusat pengembangan bahasa. Hal yang susah
adalah politik bahasa di tingkat daerah. Kebijakan daerah di tingkat daerah
tampak, sepertinya, tidak tahu atau terarah, sebetulnya harus seperti Bahasa
Indonesia yaitu pada tahap pengembangan, bukan tahap pemertahanan bahasa.
Sosiolinguistik terapan yang berkaitan dengan pengajaran, Wiliam. F. Mackey,
menyatakan bahwa bilingual education ternyata dalam bahasa yang besar
memiliki masalah-masalah yang besar juga, seperti Amerika Serikat, Autralia,
Perancis terdapat problem-problem besar juga; yaitu bilingual. Seperti orang di
Australia harus bisa bahasa Inggris (Melting Pot Theory) hanya karena bahasa
tidak bisa membuat asset. Pada Bilingual Education kita harus membantu anak–
anak yang bahasa ibunya bukan bahasa dominant dalam negara itu. Umpama
anak
dengan
bahasa
ibu
bahasa
Arab,
kemudian
sesuai
dengan
perkembangannya dia dimasuki bahasa Inggris dan kemudian setelah itu
akhirnya semua interaksi memakai bahasa Inggris. Inti dari bilingual education
adalah bagaimana menjembatani penggunaan bahasa di rumah dengan
penggunaan bahasa di sekolahan.
76
Berikut merupakan pemetaaan pemakaian bahasa dalam pendidikan
yang berlangsung pada konteks kewibahasaan atau bilingual education. Siswa
telah dipetakan dalam pemakaian atau distribusi pemakaian bahasa antara di
sekolah dan di rumah. Bebapa tipe tersebut adalah:
1. Tipe 1 = Unilingual (bahasa tunggal).
2. Tipe II = Unilingual home tetapi tanpa dipakai di sekolah, biasanya tipe ini
membuat siswa menjadi kaget secara cultural dan proses adaptasi yang relatif
lama, terutama dalam ranah pemakaian jenis bahasa.
3. Tipe III = salah satu dari bahasa di rumah dipakai di sekolah, seperti
kebanyakan siswa yang berasal dari pemukiman baru (perumahan) yang
memiliki repertoar lebih dari satu bahasa.
4. Tipe IV = bahasa di rumah sama sekali tidak dipakai di sekolah.
5. Tipe V = Dua-duanya di pakai di sekolah.
1: U+S Pelosok: B1,
BD di sekolah dg BI
di kelas 1
2: U-S siswa
kelabakan
Rumah
3: B+S
seperti
anak-anak
dikota
besar
Tipe IV
B+SS
Tipe V: B - S
Indonesia:
anak di kota
Medium of education (bahasa) dapat single dan dapat juga dua
lingualitas. Pembinaan bahasa daerah seakan-akan hanya pada tahap
pemertahanan. Bahasa daerah sebagai mata pelajaran sangat berperan untuk
77
pemertahanan apabila diterapkan dalam kurikulum, tetapi pemberian muatan
lokal ternyata tidak cukup untuk mempertahankan bahasa Jawa, karena bahasa
Jawa tidak dipakai dalam komunikasi riel dalam interaksi di kelas maupun di
luar kelas antarsivitas. Kita lihat bahwa anak Jawa belajar bahasa Jawa bukan
bahasa pengantar, bahasa Jawa hanya sebagai muatan lokal untuk mendapatkan
nilai dan melewati atau memenuhi persyaratan kurikuler, bukan alat interaksi
dalam kelas.
Sebagaimana pengajaran mata pelajaran lainnya yang mengukur pada
kompetensi mental sebagai prioritasnya, bukan pada pelaksanaannya, seperti
pelajaran agama diuji tesnya dengan materi ajar, bukan pelaksanaannya atau
amalannya, sedemikian juga bahasa daerah yang dinilai bukan pemakaian nyata
dalam konteks lingkungan pengguna, tetapi lebih pada pemakaian yang ideal dan
benar (usage bukan use). Aspek akulturasi terjadi ketika orang yang bukan
pembicara jati menjadi anggota masyarakat tutur bahasa di luar bahasa ibunya,
seperti orang bukan bahasa ibunya Jawa tinggal di Jawa yang tidak dapat
terlepas dari sikap terhadap fungsi bahasa komunitas tersebut. Di sekolah yang
terjadi sekarang akulturasi budaya dalam arti kognisi yang diemban setiap unsur
bahasa daerah dengan bahasa Indonesia, yang relatif menghilangkan muatanmuatan etis daerah.
Materi –materi yang diberikan hendaknya merupakan tingkat atau fase
kelanjutan dari potensi yang telah ada di anak, termasuk potensi berbahasa dan
bertata nilai kedaerahan. Sebagaimana dikatakan para ahli psikolongustik pada
teori motivasi bahwa pemberian materi dalam pengembangan potensi anak,
yakni hendaknya memberi yang di butuhkan anak karena kalau kita memberi hal
yang tidak dibutuhkan anak maka pemberian itu akan mudah hilang.
E. Kepunahan Bahasa
Kepunahan bahasa terjadi manakala guyup bergeser ke bahasa baru
secara total sehingga bahasa terdahulu tidak dipakai lagi. Dorian (1978)
mengemukakan bahwa kepunahan bahasa hanya dapat dipakai bagi pergeseran
total di dalam satu gugup saja dan bahwa pergeseran bahasa itu dari bahasa yang
78
satu ke bahasa yang lain, bukan dari ragam bahasa yang satu ke ragam yang lain
dalam satu bahasa. Bahasa ini punah karena saingan dengan bahasa lain, bukan
dikarenakan oleh persaingan prestise antara ragam bahasa dalam satu bahasa.
Tiga tipe kepunahan bahasa dari Kloss:
1. kepunahan tanpa pergeseran bahasa (gugup tuturnya lenyap)
2. kepunahan karena pergeseran
3. kepunahan bahasa melalui metamorfosis, seperti bahasa turun menjadi suatu
dialek dan penutur memakai yang lain
Terdapat beberapa unsur pemusnah bahasa yang perlu diperhatikan
dalam pemertahanan bahasa yang akan bergeser atau punah.
a. Tidak adanya (Heartland) pusat kegiatan berbahasa, seperti Irlandia yang
tidak punya gugup tutur di masyarakat perkotaan. Gaeltacht mengatakan
bahwa pedesaan merupakan sumber asal migrasi (out migration). Pergeseran
bahasa sering mencerminkan kehendak pragmatis bagi mobilitas sosial dan
bagi standar hidup yang lebih baik dan semua ini diabaikan oleh para penegak
bahasa.
b. Tidak adanya pengalihan bahasa dari orang tua kepada anak-anaknya.
c. Adanya kontak antara bahasa dan ragam bahasa, seperti terjadi di Irlandia di
mana ragam tinggi menggeser ragam yang rendah atau sebaliknya di Jawa
Indonesia ragam Ngoko (rendah) menggeser ragam Kromo Inggil (tinggi).
d. Sekolahan yang merupakan mesin pembunuh bahasa di mana di sekolahan
dilarang atau diabaikan memakai bahasa ibu dan memakai bahasa pengantar
bahasa kedua. Gaeltach merupakan sisa konsentrasi orang Irlandia, yang khas
pedesaan dan melarat menjadi sumber asal imigrasi (out imigration)
e. Revolosi industri dan agama.
f. Peran penutur bahasa pertama dan prestise bahasa kedua naik.
Upaya artificial merupakan upaya yang terpisah dari kegiatan-kegiatan
komunikasi sehari-hari sebagai kekuatan bagi masa penutur, bukan hanya
upacara, kegiatan adapt, abstraksi, budaya; tetapi pada interaksi sehari-hari.
Migrasi keluar menjadi penyebab melemahkan bahasa yang tinggal,
apalagi pada generasi muda dan orang yang berprestise/benpengaruh. Migrasi
masuk dari penutur asing juga melemahkan bahasa. Hal ini dikarenakan, kata
79
Birch, bahwa loyalitas etnik akan luntur oleh perubahan sosial dan ekonomi
penutur. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa manakala bahasa tidak memiliki
lagi monoglot maka proses kesurutan bahasa telah mulai.
F. Perkembangan Bahasa
Aneka bahasa berkembang karena aktivitas migrasi, federasi, jajahan,
tapal batas. Migran biasanya memiliki lebih banyak repertoar bahasa
dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki mobilitas tinggi. Migran juga
akan mewarnai repertoar bahasa yang dituju. Ferederasi juga dimungkinkan
terjadi kontak antara orang-orang yang memiliki latar belakang bahasa yang
berbeda, demikian juga negara-negara jajahan, seperti Singapura, Malaysia,
Hongkong, dan lainnya. Aneka bahasa juga terjadi pada orang-orang atau area
tapal batas antara komunitas yang memiliki latar belakang bahasa yang berbeda.
Mereka rentan dengan peralihan kode. Tripp menyimpulkan bahwa alih kode
dapat disebabkan oleh:
a. Personal
1) personal situasi
2) keakrapan
3) kekerasan komunikasi
4) adanya orang lain
b. Situasi
1) mengacu pada kontelasi latar: bapak pakai pengiris
2) mengacu pada hubungan status dan tempat (makan dengan
orang tua tidak boleh bercanda.)
Situasi ditentukan dengan melihat ketergantungan antara tempat (lokal)
dengan status, situasi budaya. Setiap guyup memiliki ciri dan sifat-sifat khusus
yang relatif berbeda dengan guyup yang lain. Orang jawa selalu membawa
status jabatan dalam situasi informal, seperti ada panggilan bagi para istri RT,
Lurah Camat dengan panggilan ibu RT, ibu Lurah, ibu Camat dan seterusnya.
Situasi menentukan makna, topik, pesan, tindak tutur, fungsi interaksi (fungsi
tutur), bentuk komunikasi. Hal ini juga difokuskan pada teori komunikasi
80
komunikatif interaktif yang mencakup bahasannya pada sistem gramatikal,
sistem psikolingustik, sistem sosiokultural, sistem probalitas (strategis) atau
What actually happens.
G. Perencanaan Bahasa
Perencanaan
Bahasa
pada
prinsipnya
adalah
usaha
untuk
mempengaruhi perubahan alami bahasa yang disesuaikan dan diarahkan untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu, tujuan-tujuan yang dapat bersifat primordial
dan atau instrumental. Dalam Perencanaan Bahasa terdapat dua hal yang
menjadi titik pertimbangan dan perencanaan yaitu :
1. Perencanaan yang menyangkut tentang bahasa itu sendiri maupun
lainnya.
2. Perencanaan yang menyangkut hal-hal di luar bahasa seperti:
keadaan sosial (sikap-sikap) ekonomi, politik, budaya dan lain-lainnya.
.
81
BAB V
BAHASA DAN RAGAM BAHASA
A. Beberapa definisi mengenai bahasa
Bahasa, pada jaman Yunani, didefinisikan sebagai alat manusia untuk
mengekspresikan pikiran dan perasaan. Kelemahan yang sulit untuk dijawab
adalah bahwa terdapat orang berbicara baru kemudian ada proses berpikir.
Bloomfield (1933) mendefinikan bahwa bahasa sebagai sistem lambang berupa
bunyi yang arbitrer yang digunakan anggota
masyarakat untuk interaksi.
Linguistik struktural menganggap bahasa sekedar bunyi yang bersistem. Studi
sosiolinguistik memandang bahasa sebagai tingkah laku sosial yang dipakai
dalam komunikasi. Fungsi sosial dari bahasa adalah alat komunikasi dan
identitas pemakai baik individu atau kelompok bahasa.
Dari Definisi bahasa dalam studi sosiolinguistik, dimungkinkan muncul
berbagai dialek, yang dipelajari oleh dialeklogi. Dialek yang berdasarkan letak
geografis (dialek regional). Ciri dari suatu dialek adalah: (1) kesalingmengertian
dan bernaung dalam suatu bahasa, tetapi apabila terdapat orang Jawa yang tidak
tahu dialek Jawa lainnya, kemudian mencari sifat-sifat dari ciri sejarah, yakni
hubungan sejarah dari dua dialek; (2) homoginetas yang berupa kesamaan unsurunsur bahasa; (3) dialektologi membuat batasan bahwa jika kesamaannya hanya
20% maka dua dialek tersebut berasal dari suatu bahasa, dan apabila
perbedaannya mencapai 40% sampai 60% maka dialek-dialek tersebut berasal
dari dua bahasa, dan apabila suatu variasi bahasa mencapai 90% maka hal
tersebut merupakan satu variasi. Dialek sosial (sosiolek) biasanya berdasarkan
kondisi sosial seperti: kasta, kelas sosial atau pekerjaan (demografi ), undo usuk,
ras, sek(jenis kelamin) dengan catatan bahwa mereka mempunyai ciri-ciri
pembeda atau variasi tersendiri. Fungsiolek atau variasi yang berdasarkan
fungsi-fungsi tertentu, seperti: bahasa ilmiah, kimia, bahasa biologi dll.
Kronolek adalah ragam bahasa yang berdasarkan urutan waktu misalnya Bahasa
Indonesia tahun 1945, tahun 1996 dan seterusnya.
82
B. Dialektologi dan Sosiolinguistik
Mungkin kebanyakan dari ilmu sosiolinguistik yang diharapkan
sekarang ini menyertakan ilmu dialektologi di dalamnya, pada dasarnya belajar
dialek secara tradisional dipusatkan pada kebisaaan bertutur dari kelompok
sosial yang
dibedakan dari komunitas lainnya dalam menggunakan sebuah
sistem yang dapat dibedakan secara jelas dari standarnya, keanekaragaman
bisaanya di deskripsikan oleh ahli bahasa murni. Dalam dua hal yang pokok,
bagaimanapun juga ilmu dialektologi dapat dilihat untuk membedakan dengan
sosiolinguistik modern. Pendekatannya, pada umumnya, diakronis, mencari
jawaban untuk pertanyaan seperti "bagaimana secara historikal, dialek tersebut
dihubungkan pada?, fitur apakah dari bentuk yang lebih tua dari standar bahasa
yang telah dijaga oleh bahasa tersebut. Dan selanjutnya- kecenderungan untuk
memfokuskan pada bentuk mereka sendiri dan bahasa-bahasa yang sama asalnya
dibandingkan dengan kebisaaan verbal penutur yang menggunakannya
(Gumperz, 1964:127). Sosiolinguistik, perbedaannya, telah cenderung untuk
mengadopsi sebuah pendekatan yang sinkronis, dengan mengambil contohcontoh bahasa pada beberapa poin tertentu dan mencoba untuk menghubungkan
pilihan-pilihan yang dibuat oleh penutur dengan kriteria ekstralinguistik; untuk
menciptakan deskripsi bahasa suatu negara, dibanding untuk menekankan
dinamismenya sebagai sebuah perubahan sistem. Tentunya, tidak semua ilmu
dialektologi telah mempunyai dugaan secara historis. Khususnya, Atlas
linguistik USA dan Kanada, di mulai pada tahun 1929, digabungkan dengan
kedua pendekatan tersebut (Kurath, 1939).
Pada hal yang lain, ilmu dialektologi dan sosiolinguistik adalah hal
yang berbeda: pada pilihan dari analisis unit pokok. Hal yang utama dari
bahasa dan dialek seolah-olah mereka berada struktur monolitis diantara secara
ideal menghilangkan garis yang
isogloss, sebuah garis yang
membedakan- merupakan pernyataan dari
dalam peta yang
mendefinisikan sebuah
wilayah/area yang dikarakterisasikan oleh adanya karakter linguistik tertentu
(Wakelin, 1972:7) sangat jelas tergantung pada semacam asumsi tersebut.
Sosiolinguistik, sebaliknya cenderung berpusat pada kelompok sosial dan
83
penggunaan variabel linguistik, untuk menghubungkan variabel-variabel tersebut
dengan unit demografi tradisional dalam pengetahuan sosial: usia, jenis kelamin,
keanggotaan kelas sosioekonomi, kelompok daerah, status dan lain sebagainya.
Dewasa ini, korelasi-korelasi tersebut telah digunakan dalam bentuk-bentuk
linguistik dan fungsi sosial dalam hubungan kelompok intra, dalam tingkat
mikro dan diantara pilihan-pilihan bahasa dan fungsi sosial dalam skala besar
dalam hubungan inter kelompok pada tingkat makro.
C. Pendiskripsian Variasi Bahasa
Menolak adanya konsep bahasa sebagai objek monolitis yang homogen
dan memandang bahasa sebagai sistem dinamis yang heterogen, sosiolingustik
dibuat untuk menemukan variasi dan mengembangkan model – model
pendiskripsian baru dan model - model baru tersebut digunakan dan
dikembangkan
untuk
memberi
penjelasan
mengenai
hakekat
bahasa,
pemakaiannya, dan pemakainya.
D. Tipe – Tipe Variasi
Sebelum menduga kemungkinan model yang digunakan untuk
mendiskripsikan variasi bahasa, penting untuk kita ketahui secara detail apa
yang dimaksud dengan istilah ‘variation’.
Kita akan menggunakan beberapa perbedaan dari Labov (1966 dan
1963) dalam Bell (1993), variables dan variants dan tiga tipe varibel bahasa –
indicators, markers dan strereotypes.
Pertama, secara formal, variables dapat dibedakan dari variants.
Sebuah variable adalah sebuah ketidakkonsekuenan atau ketidakcocokan dari
suatu standar yang abstrak dari sebuah bahasa, sementara sebuah variant adalah
detail nilai/wujud konkrit dari variable. Untuk contohnya, di New York, Labov
memisahkan antara variable (r) yang jelas atau tidak jelas pada akhir kata atau
preconsonantal /r/ seperti dalam kata car, card, fire, fired, etc. Dia menemukan
84
dua variasi yang terpenting : sebuah bunyi ‘r-like’ yang glide dan sebuah bunyi
‘r-less’ yang tidak glide( [∂]) atau hanya sebuah bunyi vokal yang dipanjangkan.
Sebuah kata seperti car dapat dinyatakan sebagai [kαr], [kα∂] atau [kα:].
Selain itu, untuk memperoleh nilai formal, variabel dapat dibedakan
berdasarkann hubungannya dengan nilai sosialnya. Sebuah variabel dapat
bertindak sebagai indicator yang memiliki sebuah nilai indeksikal yang
berkaitan dengan keanggotaan kelas sosioekonomi atau jenis pengguna yang
bercirikan demografik. Indikator yang dikenal masyarakat luas tidak dijadikan
sasaran untuk mengenal variasi bahasa, yakni: mereka memiliki ciri yang sama
saat berbicara pada kelompok dan individu tertentu, yang mana mereka tidak
mengubah situasi satu sama lain, contoh: penggunaan diftong central /ai/ dan /a/
oleh beberapa kelompok di Martha’s Vineyard (Labov, 1963).
Sebaliknya, sama halnya dengan indikator, Marker juga memiliki nilai
indeksikal tapi tidak seperti ketiga hal di atas yang didasarkan pada variasi
stylistik. Di New York (Labov, 1966), variabel (r) adalah contoh yang baik
untuk menujukkan tingkatan sosial, yang dapat dilihat dari penggunaan marker
atau tidak, atau karena adanya perubahan hubungan kausal dan kehati-hatian.
Stereotypes adalah gambaran dari indikator, karena mereka tidak
berhubungan dengan faktor – faktor sosial, ini berarti bahwa kita telah
menggunakan istilah di atas yang didasarkan pada perubahan sylistik. Sebuah
contoh mengenai hal tersebut adalah penggunaan uvular ‘r’ di Inggris bagian
Timur Laut. Kebanyakan pembicara dari Inggris ketika mereka menirukan kata
‘gordie’ akan menghasilkan bunyi ‘r’ dan itu dapat ditemukan juga saat mereka
bercerita cerita tradisonal atau menyanyikan sebuah lagu lokal, meskipun pada
kenyataannya [β] tidak diterima di area pedesaan. Stereotypes banyak diminati,
karena itu menggambarkan pandangan tentang norma–norma saat berbicara,
tetapi berdasarkan pengumpulan data yang telah dilakukan mengenai kebiasaan
orang berbicara, norma – norma saat berbicara itu sangat berbeda dari
kenyataan.
85
Gambar di bawah ini mungkin membantu menjelaskan membedakan antara tiga
tipe variabel di atas (Bell, 1993).
TYPE
TINGKATAN SOSIAL
PERUBAHAN GAYA
Indikator
+
-
Marker
+
+
Stereotype
-
+
Telah diketahui bahwa beberapa sumber variasi telah menjadi topik
tradisional yang sangat menarik di dalam linguistik, masalah – masalah telah
timbul seperti internal linguistik. Kita menunjuk ‘allophonic’ variasi teori
fonemik. Tetapi ada kesamaan motivasai eksternal dalam variasi linguistik yang
mana pengguna yang berkarakter dapat menggunakan variasi tersebut
sesederhana mungkin. Kembali, istilah informal seperti ‘dialect’, ‘register’,
dan‘style’ adalah bisa.
Lebih lanjut, orang yang menjelaskan variasi bahasa bertujuan tidak
hanya untuk mendata perbedaan bentuk tetapi juga harus membagi model
skematik tersebut dalam sistem linguistik. Selebihnya, jika model itu memiliki
kelebihan, orang yang menjelaskan varisi bahasa tersebut akan menunjukkan
hubungan sebab akibat internal dan eksternal, keberadaan antara variabel satu
dengan yang lain serangkai dengan tipe variasi yang telah dipilih. Oleh karena
itu, kita akan membicarakan sumber – sumber variasi di bawah ini, antara
internal dan eksternal dan menempatkan keduanya ke dalam tingkatan
taxonomik dari model variasi bahasa.
E. Sumber – Sumber Variasi Internal
Seorang nara sumber mengatakan bahwa pembatasan dan pemusatan
pada salah satu gaya bahasa tertentu itu dihindari, karena akan menimbulkan
variasi dan sebab – sebab eksternal. Seperti Martinent katakan ‘seule la
86
causalite interne intersse le lenguiste’ (1961, p.81). pokok – pokok yang
menolak pencantuman di sistemnya dan hal itu diistilahkan ‘irregularities’ atau
‘loans’ dan kode itu harus memuat penjelasan seluruh sistem yang diberi nama
sebagai ‘mixed’ dan ‘dialect’. Prosedur ini cukup disayangkan karena dalam
kasus dialectal dan pendiskripsian sylistic dimana pendiskripsian tersebut
menyembunyikan informasi yang menarik dan mungkin akan membuat
pendiskripsian ganda.
Walaupun variasi internal kebanyakan terdapat di phonology, para ahli
sosiolinguistic patut untuk membuat data-data yang diperlukan dalam
sosioliguistic. Untuk contohnya, variasi allophomic telah dimasukkan dalam
pendeskripsian bahasa secara fonemik sebagai bahan mata pelajaran, contohnya
RP mempunyai dua fonem yang dinyatakan /l/- ‘clear’ [l] dan ‘dark’ [+],
terdapat perbedaan fonetik di lingkungannya; [l] dapat di awal dan di tengahtengah sebelum vokal dalam kata tetapi tidak dapat di akhir kata dan [+] terdapat
pada posisi yang akhir dan tengah-tengah huruf konsonan tetapi tidak boleh
terdapat di awal kata. Phonologi menentukan prinsip-prinsip untuk menguasai
jenis variasi ini, dua bentuk yang secara jelas digambarkan dalam lingkungan.
Berdasarkan keterangan suatu fonem dapat direalisasikan menjadi dua fonem. Di
phonologi bahkan ada jenis-jenis variasi yang lain yang mana sosiolinguistik
kesulitan untuk memasukkan jenis variasi tersebut dalam modelnya, untuk hasil
tersebut penyebabnya dapat dilihat dalam kode eksternal yang ada. Seperti
variasi-variasi di bawah ini.
F. Sumber-Sumber Variasi Eksternal
Ada tiga tipe variasi
yang dipertimbangkan
– interpersonal,
intrapersonal, dan variasi inherent. Semua itu diambil dari luar bahasa tersebut.
1. Variasi Interpersonal
Di antara tipe-tipe variasi yang secara linguistik tradisional disebut ‘free
variation’ dideskripsi secara tetap oleh dialektologis, karena variasi itu mewakili
87
kode-kode yang berkaitan dengan pengguna yang memiliki sifat tertentu. Sebab
itu memungkinkan bagi para pengguna jenis variasi yang akan dipilih atau yang
tidak dipilih. Berdasarkan data itu pengguna dapat membuat pilihan secara terusmenerus, yang mungkin dikondisikan oleh faktor umur, jenis kelamin, geografi
atau asal usul pengguna. Telah jelas, banyak model mencoba mengkhususkan.
Idealnya, seorang pengguna yang telah diketahui karakternya secara tepat akan
berhubungan dengan apa yang telah ia pilih, tapi pada prakteknya, para ahli
sosiolinguistik khawatir untuk menyimpulkan pemakaian kata umum dalam
suatu kelompok karena kata tersebut menunjukkan norma yang agak sama
daripada pengguna kata secara individu. Oleh karena itu para ahli sosiolinguistik
membuat pernyataan ‘dialect of social class X’ atau ‘Y country’,
karena
kesemuanya itu adalah monolitik dan homogen tetapi pengguna akan mengikuti
karakteristik selanjutnya, (mungkin ada x% yang tersedia) yang mana dia akan
membuat varian a, b dan c tetapi tidak x, y dan z.
2. Intra-personal variation
Meskipun ada di dalam dialek yang sama, variasi-variasi yang tidak
bisa diprediksi, baik dari struktur internal maupun kode atau sandinya, seperti
allophon-allophon dari /I/ dalam RP, atau dari karakteristik individu
penggunanya, seperti kode /æ / dari kebanyakan orang amerika dan orang
Inggris, berbeda dengan RP / a: / dalam kata bath, dll. Variasi-variasi yang dapat
diprediksi ini nampaknya tidak dibiasakan, tidak oleh faktor linguistic, tidak
juga oleh kategori-kategori statis dari demografis, tetapi karena aspek-aspek
yang dinamis dari kondisi bahasa yang digunakan. Contoh: sejauh kriteria
internal dan interpersonal diperhatikan, tidak ada cara memprediksi perkataan
atau ungkapan apakah saya akan mengucapkan konsonan /t/ atau /?/: apakah
saya akan mengucapakan /‘fortnight’/ seperti /‘fÉ™tnait/ , /‘fÉ™:?tnait/, atau
/‘fÉ™:tnait?/. Tetapi ini tidak untuk menjelaskan bahwa pilihan /t/ atau /?/ adalah
random. Terlepas dari itu, faktor keadaan tergantung pada tingkatan:
‘keformalan’ atau ‘keinformalan’ dari situasi yang terjadi : /t/ cenderung dalam
situasi yang formal dan /?/ dalam situasi yang informal. Contoh variasi-variasi
88
jelas lebih stylistic daripada ‘dialectical’ dan menjadi tugas para sociolinguis
untuk mendeskripsikan sistem itu.
G. Sifat variasi
Bahkan asumsi bahwa semua pilihan bahasa yang digunakan para
pengguna bahasa dan semua korelasi internal dan eksternal dapat dipahami
dengan pilihan-pilihan yang telah dibuat; sebuah pilihan yang mungkin dalam
prakteknya tak bisa dilakukan sendiri. Perlu diingat bahwa masih ada variasivariasi yang tidak dapat diprediksi dan dimunculkan hanya untuk menandai sifat
variabel dalam bahasa. Seperti variasi-variasi yang merupakan ‘variasi bebas’,
contohnya: pilihan pada /i:/ atau /e/ sebagai inisial huruf konsonan dari
‘economic’ dalam RP, yang terlihat karena tidak dapat diprediksi samasekali,
bahkan dalam ucapan dari pengguna bahasa dan dalam situasi yang sama pula.
Sifat variasi-variasi itu seharusnya tidak menjadi sebuah hal untuk
diperhatikan, lebih-lebih variasi-variasi itu adalah satu dari sekian fitur-fitur
yang membuat bahasa sebagai alat yang fleksibel dan kuat. Sifat variabel
sangatlah krusial dalam perubahan bahasa. Karena tanpa variasi-variasi itu,
kebebasan individu untuk memilih akan hilang, setiap bentuk berhubungan
dengan faktor internal atau eksternalnya.
H. Tingkatan Variasi
Kita telah mendiskusikan tentang variasi-variasi bahasa mengenai
penyebab internal dan eksternal. Di sini kita tidak hanya mencoba
mengkorelasikan
bentuk-bentuk
varian
bahasa
dengan
hal-hal
yang
mendorongnya, tetapi untuk membedakan level (tingkatan) struktur dalam
variasi tersebut. Dalam hal ini, kita akan menjelaskan sebuah sistem
pengelompokan tingkatan variasi.
Selanjutnya, untuk lebih jelas hanya variasi-variasi dalam fonology
yang akan menjadi pertimbangan. Pertama, karena dalam fonology perbedaaan
variasi-variasi dalam bahasa yang sama akan lebih jelas daripada menggunakan
pertimbangan yang lain. Kedua, seperti yang akan kita jelaskan kemudian seperti
89
variasi dalam grammar atau dalam lexis dapat lebih efektif untuk dideskripsikan.
Sistem pengelompokan di bawah ini berdasarkan yang dikemukakan Kurath,
(1939) dan Wells (1970) untuk deskripsi variasi fonology dalam dialek bahasa
inggris dikelompokan menjadi empat tingkat: sistematik, distributional,
insindental, realisasional.
I.
Variasi Sistematik
Dalam konteks teori fonem secara tradisional, perbedaan yang paling
signifikan antara gaya dialek-dialek atau bahasa-bahasa di dunia menunjukkan
perbedaan secara menyeluruh dalam fonemnya masing-masing, dan dalam
penyebaran antara huruf vokal dan konsonannya. Contohnya: hawaiian hanya
mempunyai 5 huruf vokal dan 6 konsonan, Abkhaz (bahasa bangsa kulit putih)
hanya mempunyai 2 huruf vokal tetapi tidak kurang dari 68 huruf konsonan.
(Lotz, 1956). Karena itu, sebuah perbandingan variasi bahasa yang sama
menerangkan seluruh item di dalamnya, di mana ada perbedaan fonem-fonem,
kita menggunakan istilah ‘systematic variation’ (wells, 1970), persamaan
pemahaman seperti “phonetic hetrogloss” dari dialek Amerika (Kurath, 1939).
Contohnya, sejumlah variasi dalam bahasa Inggris membedakan ada atau
tidaknya /hw/ - / w / dalam beberapa kata seperti ‘which’ dan ‘witch’. Sebuah
variasi akan dinilai sistematik karena menciptakan sebuah perbedaan makna di
antara dua lexim, berbeda dengan variasi yang hanya bersifat ‘homophonous’.
J.
Distributional Variation
Variasi distributional terjadi ketika ada sebuah perbedaan dalam
keistimewaan phonetic dari fonem-fonem
dalam sistem variasi
yang
dibandingkan. Contohnya, sebuah perbedaan mempunyai indikator yang jelas
tentang asal ‘mother tongue’ (bahasa ibu) terhadap pemakai bahasa inggris,
terhadap pre-consonantal dan kata terakhir /t/, sebuah variabel yang berguna
yang mensugestikan pembagian bahasa inggris ke dalam dialek ‘r-full’ dan ‘rless’. Pada level ini, pendeskripsi akan berusaha untuk menemukan fonem mana
yang termasuk aturan-aturan, apa yang bisa disimpulkan untuk menjelaskan
90
variasi-variasi, dan apakah satu variasi lebih bersifat membatasi kombinasikombinasinya dibanding dengan yang lain.
K. Variasi incindental
Pilihan sebuah fonem yang berbeda untuk item yang berhubungan
dengan bahasa yang sama antara variasi-variasinya bisa dijelaskan dalam
beberapa hal, namun tidak secara keseluruhan variasi yang dapat diprediksi
secara internal dihubungkan dengan ‘incindental’ (kebetulan). Sebuah contoh
dalam bahasa Inggris adalah variabel (a): penggunaan beberapa variasi dari
varian /æ/ daripada /a:/ dalam beberapa item yang berhubungan dengan bahasa
seperti dalam kata ‘dance’. Banyak variasi dalam bahasa Inggris Amerika,
Inggris Bangsa Inggris Selatan, dan Inggris Australia secara konsisten
menggunakan /æ/ berbeda dengan /a:/ dari RP, dialek Afrika selatan dan
Amerika Timur. Pilihan ini dapat dijelaskan sebagian dalam hal penyebarannya,
karena /æ/ muncul sebelum bunyi sengau konsonan yang lain. Namun kejadian
pada satu varian tidak berarti 100% dapat diprediksi. RP contohnya pada
‘romance’, ‘random’ dan yang lainnya menggunakan /æ/ bukan /a:/. Belum lagi
kalau kita melihat bukti-bukti dari rangkaian kesatuan data-data linguistik yang
bersifat tidak mutlak akan cenderung menyembunyikan strukturnya.
L. Variasi realizational
Variasi realizational disebabkan oleh perbedaan cara memproduksi
suara masing-masing individu yang memang tidak dapat dielakkan, pada level
ini, bahkan idiolek seseorang akan berbeda dengan yang lain. Pendeskripsi harus
berhati-hati tentang banyaknya detail phonetic yang akan muncul dalam jangka
panjang, fakta yang mengejutkan bahwa setiap pengguna bahasa Inggris dalam
pengucapan kata-kata akan berbeda satu dengan yang lain. Kita seharusnya
mengetahui sebuah pemahaman yang proporsional dan menerima bahwa kita
harus membatasi deskripsi tentang banyaknya perbedaan variasi-variasi
mengenai cara produksi suara. Meskipun perbedaan kecil tentang artikulasi
sangat mungkin dalam logat yang lain, itu sedikit menarik perhatian para linguist
91
dalam penelitiannya tentang sistem antara data-data yang heterogeneous pada
penyelesaiannya. Kecuali sejauh ini mungkin menunjukan alasan mengadopsi
perilaku pada variasi linguistik dalam sebuah komunitas.
M. Model dan Variasi
Suatu langkah diambil untuk mendeskripsikan bahasa dengan data-data
yang diperoleh dari lebih dari satu idiolek, lebih-lebih masalah yang muncul,
yang dibutuhkan adalah model yang diidealkan diantara mereka untuk
menciptakan model yang bisa meng-handle variasi-variasi antar idiolek-idiolek
yang ada.
92
BAB VI
BAHASA SEBAGAI SISTEM
A. Bahasa Sebagai Sebuah Sistem
Kita menghubungkan antara ‘sistem’ dengan ‘model’ dalam bahasa.
Dalam hal ini kita akan mensugestikan bagaimana bahasa seharusnya dipandang
sebagai sebuah sistem yang khusus dan pendekatan seperti apakah yang akan
membawa kita pada gambaran model yang paling berguna bagi kita ( lihat, bell
1975). Kita mulai mendefinisikan ungkapan ‘sistem’
di mana beberapa
pemikiran dapat dipertimbangkan tentang sistem, dari beberapa definisi yang
ada, hampir semua menyetujui pandangan bahwa sebuah sistem sebagai bingkai
kerja ( workframe) yang independent tetapi terkait dengan bagian dan tempat,
contoh: penyusunan variabel
yang ketika diorganisir secara keseluruhan
merupakan sebuah kesatuan secara konseptual. Bahasa sebagai sistem tertutup
masih banyak dipegang dan di anut terutama pada linguistic tradisional, yang
berarti bahwa sampai saat ini bahasa masih dipelajari sebagai sistem tertutup
yang terdiri dari berbagai elemen yang saling berhubungan. Hubungan di antara
elemen elemen ini lebih terlihat pada saling-pengaruh antarunsur bahasa itu pada
masing masing elemennya daripada pengaruhnya pada sosial. Artinya, dalam
perannya sebagai sistem tertutup, bahasa dan pengaruhnya lebih cenderung pada
elemen elemen di dalamnya saja, tidak pada hal diluar elemen di dalamnya.
Dengan kata lain, sebagai sistem tertutup, bahasa berdiri secara independent atau
tidak ada pengaruh dan hubungannya pada lingkungan dimana bahasa itu
dipakai. Bahasa dapat juga dipandang sebagai suatu sistem yang terbuka dan
dinamis. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, jelas bahwa para ahli
sociolinguistik ingin menekankan 'keterbukaan" bahasa sebagai sebuah system
yang terbuka yang dipengaruhi oleh factor-faktor di luar bahasa. Sistem
kehidupan baik organisme biologi atau organisasi sosial yang bergantung pada
lingkungan luar disebut sebagai sistem terbuka.Sama halnya dengan hal
itu,berarti bahasa bisa disebut sebagai sistem terbuka karena berkaitan atau
berhubungan langsung dengan lingkungan di sekitarnya. Ada dua macam bahasa
93
sebagai sistem terbuka: (1) Sistem pattern (pola bersistem), yaitu system bahasa
yang punya kaitan erat dengan fenomena fenomena yang ada dalam system
mekanik. Dalam system ini, bahasa bisa dipolakan. Ahli sociolinguistic punya
pandangan yang sama tentang hal ini. Mereka berasumsi bahwa bahasa,
khususnya penggunaan bahasa, bisa dilihat sebagai sebuah system pola yang
terbuka. (2) Sistem evolusioner, yakni Bahasa dianggap sebagai system turunan
(genetic explanation).
Bahasa masih dianggap sebagai system tertutup selama abad ini. Tapi
hal ini berbeda dengan asumsi para ahli sejarah linguistic yang muncul pada
abad -19 yang melihat bahasa sebagai system terbuka yang evolusioner. Tapi
pendapat ini juga berbeda lagi dengan ahli sosiolinguistik yang melihat bahasa
sebagai system pola terbuka (system berpola yang terbuka). Ahli sosiolinguistik
ingin memperbaiki system penggunaan bahasa dan kesimpulan bahwa system ini
sedang berada dalam perubahan yang konstan.
B. Model bahasa
Istilah “model“ akhir-akhir ini menjadi sangat populer. Analisis kita
dimulai dengan pertanyaan yang sangat umum dan dasar ”apa itu bahasa?” (Bell,
1993). Pertanyaan ini jelas tidak diformulasikan dengan baik, karena hanya ada
satu jawaban yang bisa diterima untuk menjawab pertanyaan itu, yaitu,”bahasa
adalah ya bahasa”. Pertanyaan lain yang lebih masuk akal adalah “seperti
apakah bahasa itu?” Jika pertannyannya seperti itu, kita bisa menjawabnya
dengan “bahasa adalah seperti evolusi, bahasa adalah suatu kode, dan
sebagainya.
Secara umum, kata “model” sedikitnya punya tiga makna yang berbeda.
Sebagai kata benda, model berarti gambaran, sebagai kata sifat, model
mengimplikasikan idealisme dan kesempurnaan, dan sebagai kata kerja model
berarti untuk mendemonstrasikan sesuatu, sesuatu itu tampak seperti apa.
94
C. Model kebahasaan dan realitanya
Ada beberapa hal yang perlu diketahui dalam bahasan ini:
ï‚· Realisme yang menyatakan bahwa suatu kesatuan abstrak berdiri
secara independent dalam otak kita.Walaupun otak kita bisa mendapatkan
kesatuan itu, otak tidak bisa menciptakan kesatuan itu.
ï‚· Conceptualisme Menolak bahwa kesatuan abstrak berdiri lebih dulu
dalam kaitannya dengan penciptaan bahasa di dalam otak.
ï‚· Nominalisme termasuk dalam pertentangan terhadap realisme. Hal itu
menolak keberadaan abstrak sebelum ada karya-karyanya dengan pikiran dan
ciptaannya mereka diterima keberadaannya bahkan dalam pikiran.
Kebanyakan para ahli bahasa dalam abad ini mengasumsikan
pandangan yang nyata dalam gagasan mereka, dengan membuktikan prosedurprosedur penemuan, melalui sistem abstrak yang mendasar dalam bahasa yang
mungkin ditemukan dalam data yang berisi ungkapan-ungkapan bahasa (Lyons,
1968:157).
Dalam revolusi menghasilkan bahasa generatif transformasional pada
tahun 1960-an hal itu tidak tampak menghilangkan realisme (Chomsky, 1968
dan 1972) dan sebenarnya asumsi yang erat kaitannya antara bahasa dan
psikologi dapat menyebabkan ketelitian dalam pengimajinasian dalam model
bahasa psikologi itu merupakan proses yang tidak terjadi dalam pikiran
pengguna bahasa yaitu proses menghasilkan dan merespon bahasa tersebut.
Hubungan erat antara model bahasa dan psikologi dalam hal ini dinyatakan jelas
oleh Chomsky (op.cit. hlm.28). Berlawanan dengan nominalis, bahwa
pandangan itu merupakan karya terbaik Firth dan rekan-rekannya pada tahun
1930-an. Dengan berat hati menolak kenyataan unit-unit abstrak bahasa,
tanggapan mereka tidak lebih baik dari penyusunan skematis, penyusunan
referensi, semacam perancah untuk penguasaan event itu tidak ada ataupun
utama (Firth, 1957:181). Selain itu dia menuntut bahwa bahasa itu sendiri adalah
kelompok teknik yang berhubungan untuk penguasaan dalam event bahasa
(ibid.) tidak termasuk dalam bidang psikologi tetapi sebagian pembentukan, dan
bagian yang sangat penting, umumnya dalam ilmu sosial dan khususnya
95
antropologi. (Hal itu menarik untuk membandingkan pandangan Firth dalam
bahasa dengan pandangan Kjolseth dalam sosiologi bahasa)
D. Model Alternatif
Tiga tipe model – Struktural, transformasional, implikasional akan
dibahas di bawah ini, ada beberapa contoh pembentukan alternatif.
1.
Model Struktural
Dalam bentuk ini, teori struktural itu merupakan aktivitas bahasa secara
menyeluruh fisik dan kejelasannya dalam syarat-syarat sebab dan akibat. Karena
itu fakta dalam bahasa diasumsikan menjadi perwujudan fisik dalam bicara dan
menulis dan diperlakukan seakan-akan hal itu fakta dalam ilmu asli.
Sampai saat proses penggambaran, pembentukan model simbolis dalam
sistem mekanisme yang erat (dalam beberapa hal kita menggunakan syaratsyarat di atas : 2.3.1.2) sesuai dalam struktur dari data yang terbukti
kebenarannya.
Seperti asumsi-asumsi dan prosedur, hal itu akan diketahui, termasuk
sebuah kepastian dalam homegen bahasa yang bukan berarti dibuktikan dengan
bukti. Bahkan walaupun, dalam variabilitas pengucapan, tingkat kejelasan yang
tinggi antara perbedaab jenis bahasa ibu dalam bahasa Inggris, contohnya
tentunya tampak pada beberapa sistem dasar pembaginya, yang merupakan
realisasi bentuk pertentangan mereka, yang dilihat sebagai perwujudan individu.
Bahasa struktural ini, khusus menekankan pada dialektologi, semua menerima
pandangan ini tetapi ada beberapa yang mengusulkan bentuk alternaif dalam
penjelasannya. Hal ini akan dibahas berikut ini.
2. Pola inti umum dan seluruhnya
Pengambilan gagasan dalam kejelasan antara gaya bahasa yang utama,
Hockett (1958 pp. 332-7) mengajukan keberadaannya dalam inti umum;
penyusunan keseluruhan dalam pembagian ciri-ciri umum gaya bahasa yang
96
jelas (ibid. hlm.332). Gagasan ini mirip dengan gagasan De Saussure (1915)
dalam pendefinisian bahasa: ‘… I’ensemble des habitudes linguistiques qui
permettent a unsujet de comprendre et de se faire comprendre’ (ibid. hlm.112),
dan tentunya tampak, prima facie, untuk mendukung salah satu intuisi bahawa
aneka ragam bahasa ibu dalam bahasa Inggris, Contohnya, membagi sintaksis
secara luas, leksikal, semantic dan sistem fonologi. Walaupun ada dua masalah
penting yang meningkatkan gagasan dan kita akan menanggapi hal itu.
Pola keseluruhan, bertentangan dengan pola inti umum, diperkirakan
sebagai sistem keseluruhan bahasa – produktif dan reseptif – yang terdapat
dalam inti umumnya. Dalam inti umum kita termasuk yang mengikuti dan
menggunakan elemen bahasa dan dalam pola keseluruhan kita menggunakan
kosa kata yang terdapat dalam kamus dalam proses neologi. Hockett (1958)
meletakkan posisi yang jelas ‘pola keseluruhan’ itu semacam gudang
penyimpanan senjata, setiap gaya bahasa mewakili dari pemilihan kata itu…’
(hlm.337). Antara pengaruh De Saussure (1915) dan konsep Hockett hampir
sejajar dalam pola keseluruhan.
Dua masalah utama seperti bentuk variasi dapat di timbulkan oleh
beberapa hal. Pertama, Ketergatungan pada gagasan yang jelas itu menyulitkan
seseorang dalam penggunaan konsep dan salah satunya membuktikan alasanalasan sulitnya untuk menggunakannya – seperti Hockett (1958) dipaksa
mengakui ’kejelasan satu sama lain’ bukan hanya masalah tingkat dari jenisnya,
tetapi hal itu bahkan tidak selalu sama (hlm.327). Yang kedua, pemberian daftar
dalam pembagian ciri-ciri terdapat dalam inti dasarnya, bentuk apakah yang
mewakili dan membentuk model bahasa, bisakah berguna atau tidak khususnya
susunan ciri-ciri?
Masalah kedua mendapatkan tanggapan, dalam percobaan para ahli
bahasa untuk membuat ‘inti umum’ sistem makro dari sistem mikro individu –
menjadi logat dan gaya bahasa.
3.
Sistem Vokal Bahasa Inggris Trager – Smith
97
Bentuk ini diusulkan oleh Trager dan Smith (1951) dalam penggunaan
fonem vokal bahasa Inggris mewakili kemajuan penting sejak dicoba pertama
kalinya, membentuk sistem untuk aspek utama struktur dalam struktur fonologi
bahasa Inggris, untuk dialek yang standar bahasa Inggris Amerika. Tujuan
mereka singkat, yaitu menyatakan adanya sembilan huruf vokal ‘pendek’ seperti
sistem dasar yang stabil (lihat figure 2,2 dibawah) dan mengakomodasi huruf
vokal ‘panjang’ dan diftong dengan mempresentasikan mereka sebagai
‘semivokal’ contohnya, vokal ‘pendek’ + salah satu dari 4 ‘semivokal’ - /r/, /w/,
/y/, /h/. Kemudian
beet dan bit akan dibedakan dengan simbol /iy/ yang
pertama dan /i/ yang kedua, card dan cad dengan /ar/ atau /ah/ dan /æ/.
Pemilihan vokal ‘pendek’ susunan yang rapi 3 x 3, seperti kunci sistem
imajinatif, yang mirip menurut fakta bahwa hal itu hanya vokal saja, Berabadabad bahasa Inggris berubah, contohnya vokal pada ship dalam ucapan
kebisaaannya sedikit berbeda dari vokal kebisaaan King Alfred (Gimson 1962,
direvisi akhir 1970 hlm.102). Dan akhirnya model tersebut terdapat 36 inti
vokal.
Huruf Vokal Trager – Smith
i
Ä®
u
e
É™
o
æ
A
Namun, sejumlah kesalahan, juga tampak dalam sistem vokal bahasa
Inggris. Walaupun, model itu menunjukkan bahwa ada 36 huruf vokal dan
diftong bagi pengguna bahasa Inggris, sebenarnya bukan dialek yang membuat
36 dari itu, mungkin masalah yang lebih serius yang menyerang basis dasar
penjelasan, itu tidak mengunakan 9 dari vokal pendek. RP, misalnya, tidak dapat
ditunjukkan untuk menggunakan delapan dan bahasa Inggris Australia hanya
tujuh (Cochrane, 1959). Selain masalah yang ditimbulkan oleh ‘percampuran’
98
dialek, dalam beberapa bahasa (contoh. Fries dan Pike, 1949, lihat 2.4.1.4
bawah) akan memperdebatkan 2 sistem atau lebih yang saling berkaitan.
4.
Diaphone
Selama penelitiannya pada fonem, Jones (1962) mengusulkan sebagai
tambahan terhadap terminologi ‘fonem’ dan ‘telepon’ (suara nampak). Diaphone
untuk menjelaskan kelompok bunyi yang dapat di ganti ke lainnya tanpa
merubah arti dari kata itu (Trubetzkoy, 1969 untuk Fudge, 1973, p. 56). Satu
terjemahan dari diaphone sebagai bunyi yang digunakan para pembicara
bersama dengan bunyi lain yang menempatkannya kembali secara tetap pada
pengucapan pembicara lainnya(Jones 1964, p. 53f.)secara jelas pernyataannya
benar tentang masalah variasi phonology, batas terkecil dari kelompok, di
bawaah perlindungan dari beberapa macam ‘macrofoneme’, seperti variasi /əỤ/
dari RP /o;/ kebanyakan bahasa Inggris bagian utara dan /əỤ/ kebanyakan dari
bahasa Amerika-Inggris. Itu adalah maksud dari Jones, istilah yang mempunyai
kesamaan untuk diketahui lebih dulu pada phonology (Chomsky dan Halle,
1968) dan untuk menyediakan sarana percobaan dengan bahasa lain(Weinreich,
1952) untuk membentuk model percakapan pada bentuk diasystem (lihat
2.4.1..4)
5.
Sistem Coexistent dan Diasystem
Fries dan Pike (1949), mengangkat persoalan dengan asumsi/ anggapan
bahwa “setidaknya tidak seperti yang diberikan pembicara (speaker) yang akan
menggunakan dua atau lebih style/ gaya yang berbeda-beda dalam pemanggilan
(addressing) orang tunggal” (Bloch, 1948) dan mengakui bahwa “hubungan
secara sosial dari style/ gaya yang berbeda-beda tidak dapat diacuhkan… (tetapi)
harus ditangani dalam beberapa cara dalam fonemis, anggapan-anggapan dan
prosedur-prosedur (Fries dan Pike, 1949, hal.29, catatan 1), yang merujuk
“bahwa dua atau lebih dari system fonemis bisa berdampingan dalam tutur kata
bahasa tunggal (monolingual),….dan mulai mencoba-coba…menggaris bawahi
sebuah prosedur untuk menentukan sifat dari system-sistem coexistent ini (ibid).
Makna dari system coexistent telah sangat bermanfaat, karena telah bisa
99
membuatnya possible (bisa), dalam prinsip bahasa atau dialek, perubahan dalam
bentuk berhubungan dengan inter dan intrapersonal variable dan fenomena dari
dwi-bahasa (bilingualism) secara umum dan telah menjadi satu dari tantangan
paling awal pada konsep monolithic dari bahasa- satu dari anggapan kunci
sekarang telah ditolak oleh sosiolinguistik modern.
Weinrich, studi pertama pada dialek (1952) dan kemudian studi pada
dwibahasawan (bilingualism) (1953), mengembangkan makna dari sistem
coexistent menjadi model bahasa sebagai diasystem. Contoh hipotesis akan
diberikan dibawah ini untuk menggambarkan bagaimana ini bisa diterapkan
pada penjelasan dari 2 jenis bahasa.
Saat fonem cocok dalam satu per satu tata cara, diasystem dapat
ditunjukkan dalam cara berikut ini- menganggap system 5 huruf vokal dan 2
varietas yang ditandai 1 dan 2.
1, 2 . // i – e – a – o – u //
Saat dimana sebuah penyesuaian yang tepat tidak terjadi, sebagai
contoh dimana varietas 1 punya /a/ namun varietas 2 punya sepasang fonem /a/
dan /É‘/, gabungan (compound), satu dari kaitan-kaitan dapat ditunjukkan oleh
system pengurungan (bracketing):
1.
/a/
1 , 2 // i - e - _________ - o – u //
2.
/a/ - / É‘/
Mungkin, bagaimanapun, bahwa hubungan antara 2 varietas tidaklah
merupakan gabungan, sebagaimana pada contoh diatas, namun kompleks/ rumit;
lebih kepada hubungan “beberapa ke beberapa” (many-to-many) daripada “satu
ke beberapa” (one-to-many). Sebagai contoh, varietas 1 mungkin punya 2
fonem, katakanlah misal /É™/, /É™’/, /Æ·’/ and /i/. Seperti kumpulan dari
hubungan/keterkaitan yang bisa ditunjukkan pada cara berikut:
1.
/ É™ - 3: /
1, 2. //
_______________ //
100
2. / É™ - É™’ - 3’ – i /
Pada fakta aktualnya, hubungan berlawanan antara “huruf vocal
sentral” dari dialek Inggris “r – less” dan “ r “ bisa digambarkan oleh beragam
model.
Sejauh ini kita telah membangun model diasystem yang melibatkan
hanya 2 varietas. Namun bagaimanapun, fokus kita adalah untuk model-model
yang membolehkan perwakilan dari struktur dari beberapa system secara
simultan, sebagai contoh polisistem, sebagaimana yang telah digambarkan di
bawah oleh contoh hipotetis yang lebih jauh melibatkan 5 varietas, nomor 1
sampai 5 dan huruf-huruf a – f sebagai simbol dari fonem (dalam pengertian
abstrak secara lengkap, sebagai contoh ‘a’ tidak dimaksudkan di sini untuk
mewakili /a/ ).
1.
2.
1, 2, 3, 4, 5. // a – b -
/c – d
______________ - f .
3.
/c–d–e/
4.
5.
5 jenis polisistem ini dapat dipahami sebagai berikut:
Tiap varietas (1 – 5) mempunyai a, b and f in contrast. Varietas 1 dan 2
punya c yang kontras dengan d, dimana 3, 4 dan 5, sebagai tambahan pada
perbedaan c – d, a foneme c.
Kita harus memahami makna dari diasystem nantinya, sebagai langkah
utama terhadap diskusi dari model yang lebih kuat untuk penjelasan dari variasi
bahasa. terdapat, sebelumnya, beberapa masalah yang terlibat pada penggunaan
model ini, tidak kurang adalah ketidakpraktisannya. Jelas bahwa polisistem
menghadirkan masalah substansial dari gambaran dan lebih jauh, bahwa sebuah
penerimaan dari empat tingkat variasi dalam fonologi memaksa kita ke dalam
pernyataan ulang terpisah dari polisistem: satu dari tiap tingkat.
6.
Contoh Transformasi
101
Contoh Transformasi generatif bahasa diuraikan dari sekumpulan teori
mengenai sifat bahasa dan anggapan-anggapan dari metode-metode yang tepat
untuk menjelaskan struktur tertentu, intinya, kebalikan dari pendekatanpendekatan strukturalis. Daftar-daftar strukturalis memandang bahasa sebagai
sebuah aktivitas fisik secara esensial untuk dijelaskan oleh “induction”,
kejadian-kejadian yang telah terobservasi, hipotesis terangkum, hipotesis diuji
dengan pembuatan teori yang membuat penggunaan “parole” sebagai data
sumber yang diedit secara tepat, yang mana akses dapat dicapai pada “langue”.
Para ahli Transformalis lebih menganggap bahwa bahasa adalah aktivitas mental
daripada aktivitas fisik, akses ke struktur yang memungkinkan sebuah
instropeksi pada bagian dari penjelasan bahasa aslinya; dalam adopsi metode
“deduction”, sebagaimana telah kita lihat di awal- ilmu yang alami- sebuah pola
dirasakan pada kejadian-kejadian yang terobservasi, contoh dibuat; contoh diuji
melalui intuisi si pembicara (describer); pembuatan teori- sebuah penolakan
empiris, pendekatan orientasi data dari structuralism. Proses penjelasan untuk
transformasionalis adalah bahwa konstruksi dari contoh simbolis, sebagaimana
dalam hal strukturalis, namun dengan pengertian system “deduction” dari
pengetahuan internal si pengguna (user-describer), ketimbang “induction” dari
data eksternal.
Contoh dasar Transformasi generatif adalah kurang lebih anggapan
yang sama dari kesamaan bahasa yang kita perhatikan di atas pada garis besar
contoh-contoh strukturalis. Contoh pendengar-pembicara yang ideal dari struktur
bahasa adalah elemen “non surprise” yang kita perhatikan pada sistem
mekanikal di atas, tidak ada suatu hal yang mengherankan pada contoh
transformasi. Jika anda telah menulis aturan-aturan anda secara benar, susunan
kata (grammar) akan menghadirkan realisasi yang diharapkan. Namun, beberapa
ahli linguistik yang bekerja dalam kerangka transformasi telah mencoba untuk
menyertakan variasi-variasi pada penjelasan mereka. Kita harus mereview
beberapa dari hal tersebut, menyarankan bagaimana mereka mungkin
berimprovisasi dan mengindikasikan masalah-masalah apa yang tetap ada.
7.
Contoh-Contoh Transformasi Tradisional
102
Sebelum memikirkan bagaimana variasi mungkin disertakan dalam
sebuah contoh Transformasi, akan lebih bijaknya untuk menggaris bawahi
komponen-komponen utama dari contoh “normal”, yang mana melalui beberapa
perubahan dalam bentuk dan bidang nya sejak tahun 1957, telah dihindari
berhubungan dengan semua variasi. Di masa sekarang, kebanyakan contoh
transformasi terdiri dari empat komponen - dasar (base), transformasi
(transformational), fonologi (phonological), fonetis (phonetic) – namun ada
beberapa persoalan atau bantahan pada status dan menempatkan dalam contoh
dari komponen semantik; beberapa semantik tertentu melebur ke dalam base,
lainnya memandang hal ini sebagai tingkatan terpisah. Gambar 2.3 dibawah ini
menunjukkan, dalam cara skematis, bentuk yang agak konservatif dari contoh
esensial dari Aspects and the Sound Pattern of English dan menyimpulkan dari
Botha, 1971, diwakilkan dalam Fudge, 1973, hal. 230).
8.
Variasi Model Morfem Dari Bailey
Pertama, dalam kerangka umum yang dibuat oleh TG untuk orangorang Jamaican (B.L. Bailey, 1966) bahwa tata bahasa polylektal diusahakan
mencakup lebih luas daripada tatabahasa monolektal. Model itu didasarkan pada
Syntatic Structures (Chomsky, 1957), hal tersebut memuat optional sebagai
obligatory transformation – sebuah perbedaan yang diabaikan pada Aspects
(Chomsky, 1965), yang mana seharusnya perubahan tersebut wajib diterapkan,
tetapi pada tahun 1957 seorang Prancis mengusulkan agar semua perubahan
model tersebut dikuasai dalam bentuk satu rangkaian (poin tersebut dapat
diketahui lebih banyak pada 5.3.1),tentang pengertian variasi morfeme.
Anggapan utama menurut orang Prancis itu bahwa semua variasi itu dapat
dijelaskan dengan menyamakannya struktur frasenya (model tersebut dapat
disamakan dengan model brikutnya).dan aturan perubahan variasi terdapat
dalam stuktur morphofonemik (model itu akan disesuaikan ke dalam bagian
berikutnya. Variasi disarankan agar di data ke semua bentuk variasi morfem
yang mana pembicara menggunakan morfeme tanpa membedakannya (Bailey,
1966:138). harus diketahui disini bahwa walaupun penulis tahu baik tentang tata
bahasa tetapi paa kenyataanya orang-orang Jamaika menyembunyikan ruang
103
lingkuo kode tetap itu secara luas, dijelaskan oleh ‘state of flux yang mana
bahasa itu sedang ada sekarang (ibid;note), variasi tersebut dilihat dengan (1)
‘unmarked’ atau ‘free variation’ atau yang lainnya (2) ‘dialectal’ terdiri dari dua
tipe: variasi geografi //G dan morfem itu dipinjam oleh bahasa Inggris //E’ (ibid.,
p.138) dan tidak mencoba untuk menerangkan ‘free variants’ ke dalam macammacam istilah intrapersonal atau ‘stylistic’ variasi tersedia.
9.
Ragam Baku dan Tidak Baku
Ragam baku memiliki ciri-ciri yang relatif berbeda dengan ragam tidak standar.
Berikut merupakan ciri-ciri ragam standar (ragam tidak standar cirinya
berkebalikan) berikut ini:
a. Mengacu ragam yang bermutu yang oleh pemakainya di angap atau dihargai
lebih tinggi, seperti: bahasa keraton yang dia anggap terhormat atau bahasa
sastra yang dianggap agung (seperti pada Jaman Belanda).
b. Variasi yang dianggap baku memiliki dua ragam:ragam baku tulis seperti
contoh kata mengecek dengan mencek dan ragam baku lisan, seperti kata:
menolak, menola?, atau menOlak.
c. Jumlah lebih sedikit daripada yang non baku, juga ragam baku hanya
merupakan salah satu dialek saja.
d. Ragam baku adalah ragam yang diajarkan pada non-native speaker.
e. Ragam baku lebih menjamin bahwa bahasanya kelak dapat mudah dipahami
secara luas daripada dialek regional.
f. Ragam baku dipahami oleh kalangan terpelajar atau tinggi.
g. Ragam baku relatif lebih ajek dan konsisten.
104
BAB VII
ANALISIS TUTURAN
Peran tuturan dalam kehidupan manusia menjadi sesuatu yang sangat
penting, yang oleh karenanya, dalam kajian antropologipun tuturan manusia
merupakan tema yang penting. Boas (1911) sampai pada kesimpulan bahwa bahasa
pada umumnya merupakan salah satu fenomena etnologis, namun demikian
kehadirannya kurang mendapat pemahaman secara rasional. Beberapa antropologis
berpendapat bahwa bahasa demikian juga linguistik merupakan dasar bagi ilmu
pengetahuan kemanusiaan karena baik bahasa maupun linguistik menghubungkan
tataran sosial budaya dan biologis. Bahkan beberapa di antaranya menganggap
bahwa metode linguistik modern merupakan model untuk mengkaji struktur perilaku
manusia.
Para antropolog telah berperan dalam menjadikan disiplin ilmu linguistik
sebagai alat penelitian yang dengannya menjadikan antropologi memiliki teknik dan
konsep baru, demikian juga dengan psikologi. Pertautan antara linguistik,
antropologi dan psikologi memungkinkan munculnya fenomena keilmuan yang
semula belum ada. Fenomena tersebut adalah: 1) ilmu bahasa akan terus
berkontribusi terhadap kajian sejarah, struktur dan penggunaan bahasa; 2) aneka
konsep dan praktik dalam ilmu linguistiks akan menjadi lebih bermutu, ditafsirkan
ulang dan mungkin kadang kala digabungkan dalam bentuk yang berbeda ke dalam
linguistics; atau 3) linguistic tetap akan menjadi ilmu yang berfungsi untuk
mengkoordinasikan pengetahuan tentang perilaku verbal dari sudut pandang bahasa
itu sendiri.
Terdapat beberapa bagian keilmuan yang kurang tergali yang melibatkan
tuturan yang kepadanya antropologi dapat berperan. Karena keadaannya yang
demikian itu maka dibutuhkan pemikiran teoretis, penemuan metodologi, karyakarya empiris yang segar yang berakar di antropologi sebagai suatu kajian
perbandingan. Satu di antara bidang tersebut adalah dialektologi, suatu kajian bahasa
dalam kaitannya dengan teori evolisi kebudayaan; tipologi semantic bahasa; dan
kajian perbandingan seni verbal. Untungnya kesemua yang disebutkan tersebut telah
menarik perhatian para pengkajinya. Dalam kajian antropologi perilaku, misalnya,
105
terdapat bidang yang penting, namun agak disepelekan. Bidang tersebut adalah
etnografi berbicara.
Etnografi berbicara mengkaji tentang peranan bahasa di dalam suatu
kebudayaan dan masyarakat. Bahasa tidak dikaji dalam keterpencilannya dengan
bidang lain, tetapi ditempatkan di antara latar belakang budaya dan sosial suatu
masyarakat. Etnografi berbicara mengkaji, misalnya, bagaimana orang dalam suatu
kelompok atau masyarakat tertentu berhubungan dengan kelompok masyarakat
lainnya, bagaimana hubungan sosial antara orang- orang tersebut, bagaimana situasi
dan penggunaan, pola-pola dan fungsi berbicara sebagai suatu kegiatan sosial
mempengaruhi jenis-jenis bahasa yang mereka gunakan.
Kenapa kajian seperti itu penting? Karena pada tataran kenyataan/empiris,
terdapat gejala bahasa seperti itu, sehingga memerlukan kajian serius dan sistematis
untuk memerikan perilaku manusia disamping kajian perbandingan lainnya yang
telah lebih dahulu ada, misal, kajian pperbandingan agama, perbandingan hukum,
dan lainnya.
Diluar analisa naskah kita menemukan sejumlah pendekatan yang
diistilahkan dengan analisa percakapan ( oleh Widdowson, op.cit.) yang telah
dibahas sebelumnya, paling tidak dari kasus Hymes ( 1972) dan klasifikasi dari
pidatonya. Dua macam perbedaan dari penelitian dapat dilihat pada analisis
percakapan stylistisian pada percobaan mereka dari struktur narasi (Chatman, 1969,
Todorov, 1966, Barthes, 1996) dan walaupun dari sedikit pandangan itu dari LeviStraus (1972). Aturan kesatuan narasi seperti kisah, kejadian dan yang lainnya
berorientasi pada sosiolinguistik dan orientasi ilmu sosial secara linguistik. Disini
kita membatasi diri kita untuk meringkas skema dari setiap
penelitian yang
implikasinya tidak hanya untuk gambaran sosiolinguistik tetapi juga untuk aplikasi
dari informasi sosiolinguistik di applied linguistics, sebagaimana yang dilakukan
pada analisis percakapan di kelas (Sinclair dan Coulthard, 1975).
Sinclair dan Coulthard mengembangkan sistem dari analisisnya untuk
menggambarkan bahasa yang digunakan oleh guru dan murid yang tergantung pada
konsep dari tingkatan atau hirarki komponen percakapan, yakni transaction, turn,
exchange, move, act.
Penyampaian kesatuan dari yang terluas (pelajaran) ke
kesaatuan terkecil yang berurutan (act). Setiap kesatuan dibuat daftar dengan
106
kejadian paling sedikit satu kesatuan dari tingkatan yang terendah dan disarankan
interaksi kelas atau peningkatan permintaan dari transaksi. Banyak
karya
yang
dikerjakan dan banyak teori dengan beberapa yang penting dan tersisa untuk
dipecahkan, contohnya hal ini mungkin benar bahwa banyak bahasa yang
multifungsi, seperti ambigu.
A. Etnografi Komunikasi
Prinsip-prinsip antropologi lebih menhormati peran tutur dari perilaku
manusia, sebagaimana ditekankan oleh (Malisnowski (1935), Sapir (1933), Hymes
(1959)). Boas (1911) yang telah mengembangkan antrofologi Amerika, melihat
bahwa bahasa merupakan fenomena etnologi, yang agak menomorduakan bahasa
sebagai rasionalisasi formal. Bahasa atau ilmunya sebagai dasar pada ilmu tentang
manusia yang mampu menghubungkan antara tingkat biologis dan sosiokultural.
Ahli di atas, termasuk Bloomfield, mengembangkan dan menyumbang konsepkonsep dan teknik tertentu dan memakai ilmu bahasa sebagai alat dalam meneliti
aspek-aspek lain.
Beberapa paduan antara konsep-konsep ilmu bahasa dan teknologi computer
serta psikologi eksperimental mempercepat pengembangan studi tentang tuturan.
Paduan ini dalam linguistic modern menjadi penanda perkembangannya pada
pertengahan kedua abad 20. Terdapat tiga hal yang dapat dipertahankankan bahwa:
(1) disiplin linguistik akan secara terus menerus membantu pada studi tentang
sejarah, struktur, dan pemakaian bahasa; (2) pada disiplin lainnya, konsep dan
praktek pemakaian bahasa akan dimutukan, diinterpretasi ulang, dipadu-ulang dalam
bentuk perubahan ilmu bahasa; (3) linguistik akan tetap mempertahankan disiplinnya
yang bertanggung jawab pada pengkoordinasian pengetahuan tentang perilaku verbal
dari sudut pandang bahasa itu sendiri. Ada beberapa area studi tuturan yang masih
belum berkembang dengan baik dan memerlukan bantuan antrofolgi: seperti (a)
dialektologi dalam kajian sosiolinguitik yang menekankan pada studi bahasa dalam
teori evolusi budaya; (b) tipologi semantik bahasa; (c) dan studi komparasi dari seni
verbal.
Secara anthropologis ada area lainnya yang tampak umum, penting, dan
terlupakan, yakni Etnografi of Speaking (etnografi wicara). Pada satu aspek kajian
107
ini merupakan jembatan penyambung antara apa yang ada pada grammar dan pada
etnografi. Keduanya memakai tuturan sebagai fakta untuk pola lain. Pada aspek lain
ini merupakan pertanyaan mengenai apa yang terinternalisasi oleh anak ketika
berbicara, di luar grammar dan kamus, yang juga meruapakan anggota komunitas
tersebut atau orang asing yang yang memperlajari perilaku verbal dalam
berpartisipasi secara pas dan efektif pada aktivitasnya. Etnografi wicara berkenaan
dengan situasi dan penggunaan, pola dan fungsi, dari wicara sebagai suatu aktifitas
yang menempati tempatnya tersendiri.
Peran tuturan dalam perilaku kognitif merupakan kajian yang lama dari
antropologi, yang akhir-akhir ini mengacu pada pandangan Whorf. Pandangan ini
melihat bahwa kebiasaan tutur merupakan salah satu penanda dari perilaku nonlinguistik, dan atau sebaliknya. Permasalahan berikutnya adalah sejauhmana mode
dan jumlah kesaling-pengaruhannya. Analisis semantik merupakan bagian dari
etnografi, yakni kebiasaan semantik yang terjadi pada konteks aslinya, yakni dalam
persepsi dan interpretasinya sebagaimana telah dilakukan oleh Malinowski.
Bagaimana mengimplementasikan etnografi semantik adalah tergantung pada
bagaimana merancang metodologinya. Malinowski melihat perlunya analisis makna
dalam konteks penggunaan, tetapi metode ini melibatkan praktek narasi yang
kompleks. Analisis ini mestinya tidak sekadar refleksi narasi dari realita, yang
semestinya harus menjadi analisis seperti struktural, menggapai faktor ekonomi pola
grammar dalam menganalisis teks.
Pada
generasi
yang
lalu
Jakobson
dan
koleganya
telah
banyak
mengembangkan semantik structural, tetapi di akhir-akhir ini gelombang kajian di
Amerika telah memunculkan tulisan-tulisan ahli bahasa seperti Haugen (1957), dan
Joos (1958), dan para ethnografer seperti: Conklin (1955, 1962), Goodenough
(1956a, 1957), dan Lounsbury (1956). Dalam hal ini terdapat dua pendekatan: yakni
untuk melacak suatu satuan yang mampu ada dalam berbagai konteks dan
kemampuannya untuk ada bersama-sama dengan yang lain (co-occurance); dan di
lain pihak pada rangkaian tempat dimana suatu satuan hanya mampu ada pada
konteks tertentu, memiliki karakter subsititusi (ketergantian) oleh satuan lain dalam
rangkaian tersebut. Dengan kata lain daya co-occurance (padigmatik) dan
sintakmatik (substitusi).
108
Untuk memahami dan memprediksi perilaku, konteks memiliki peran atau
isi kognitif dalam arti bahwa penggunaan bentuk-bentuk linguistic mengidentifikasi
rangkaian makna yang didukung oleh konteks. Ketika bentuk tertentu dipakai dalam
konteks, konteks itu akan menyingkirkan makna-makna lain yang dimungkinkan
oleh bentuk itu.
Peran kognitif tuturan adalah hal yang berhubungan dengan ‘apa’, ‘dimana’
dan ‘kapan’. Pada orang atau masyarakat tertentu tuturan secara kognitif lebih
penting dalam beberapa aktivitas daripada yang lain. Tuturan dalam konteks perilaku
membantu dalam menganalisis pola-pola individual dalam situasi asli tertentu.
Deskripsi kebiasaan semantik tergantung pada konteks penggunaan untuk
menentukan kerangka yang relevan, rangkaian unsur, dan dimensi kontras. Analisis
peran tuturan dalam perilaku kognitif membantu pada analisis konteks etnografis
tuturan.
Terdapat, barang tentu, bahwa dalam aspek kognitif ada dalam perilaku
ekspresif. Demikian juga ada aspek ekspresif dalam tipe kognitif individual atau
kelompok. Semua fenomena tuturan dapat diinterpretasi oleh pendengar sebagai
ekspresif dari pembicara.
Berikut beberapa perbedaan cara memandang organisasi bahasa dan
memperlakukan bahasa dan data bahasa. Para linguis grammarian seperti Chomsky
melihat bahwa bahasa:
a. Memiliki norma tertentu yang homogen untuk semua orang, masyarakat,
konteks, topik.
b. Norma atau pola tersebut bersifat monolitik
c. Norma bahasa dan polanya harus merupakan kaidah-kaidah yang dipakai
oleh penutur-pendengar yang ideal dalam masyarakat bahasa yang ideal
d. Analisis bahasa hanya melihat factor-faktor intrinsik bahasa, tidak melihat
hal-hal ektrinsik bahasa yang mempengaruhi
e. Terdapat abstraksi-abstraksi kaidah dan bentuk yang tidak alami
f. Organisasi dan relasi bahasa terjadi secara mekanistik
g. Oleh karena factor-faktor di atas terdapat model gramatikal formal
h. Tuturan adalah sama dalam bentuk dan makna
i. Linguis memfokuskan pada “usage” yakni “what the people should say”
109
j. Makna dihasilkan secara konvensional oleh hubungan antarverbal (linguistic
formal)
Etnografi linguistik menolak pandangan para linguis dengan beberapa alasan:
a. Laras dan variasi pemakaian bahasa tidak muncul secara mekanis
b. Masyarakat bahasa terdiri dari berbagai rangkaian laras dan tipe, tidak
homogen karena laras merupakan tata cara orang bertindak
c. Laras tersebut berdasarkan pada partisipan, latar dan situasi, dan kelompok
d. Menghindari
ke-mekanisme-an
grammar
dengan
dua
hubungan:
paradikmatik (co-occurance) dan sintakmatik (alternation).
e. Kaedah pada (d) terdapat dua konsep: (a) menghindarkan laras dari
hubungan mekanis dalam situasi tertentu, (b) cara yang sistematis dalam
pemilihan dan pengelompokan ujaran yang sebenarnya terjadi dalam guyup
tutur.
f. Ervin Tripp menekankan bahwa: (a) guyup tutur lebih terfokus pada laras
daipada linguitik formal, (b) konsep laras tutur merupakan spesifikasi dan
bantuan dalam etnografi wicara, (c) laras bukan sekedar alternatif bagi
grammar tetapi mempunyai aplikasi terhadap grammar dan merupakan
suatu konstitusi social.
g. Etnografi linguistik melihat data bahasa pada “use” yakni “what the people
really say”
h. Makna merupakan hasil dari organisasi verbal dalam konteks nonlinguistik.
i. Fungsi penggunaan bahasa tergantung pada akronim Hymes SPEAKING,
yang dapat dipakai untuk melihat dan menentukan makna dan jenis
alternasinya
j. Variasi penggunaan laras tutur berhubungan dengan kelompok social secara
luas dengan ranah-ranahnya
k. Register merupakan penggunaan laras tutur yang berhubungan dengan
situasi tertentu dan sering terulang/repetitive
Pemberian nama “ways of speaking” dianalogkan dengan “ways of life” dan
Whorf memberi nama “fashion of life”. “ways” di sini merupakan budaya yang
berpola. “ways of speaking” terdiri dari dua bagian: (a) laras tutur dan konteksnya,
(2) tutur dan maknanya. Dengan kata lain tata tutur mencakup:
110
Tutur
Makna
Laras tutur
konteks
Artinya bahwa analisis bahasa harus melihat empat hal di atas.
Orang tidak akan dapat mempelajari dan menganalisis tuturan dalam totalitas
dan abstraksi tetapi harus ada atau dibuatkan satuan ukuran yang memiliki awal dan
akhir serta sesuai dengan tata urutan sosial yang terpola dan dikenal. Satuan ukuran
ini dikenal dengan “speech event” atau peristiwa tutur. Setiap masyarakat bahasa
memiliki jenis peristiwa tutur yang sangat unik dan spesifik. Oleh karena itu peneliti
harus menentukan kaidah dari: pemilihan kata, alternasi sintaktis dan fonologis,
intonasi, rima tuturan, struktur wacana, tuntutan peran dan latar, seperti pola rutinitas
membuka atau menutup peristiwa tutur. Seperti pernyataan bahwa peneliti dalam
melihat bahwa semua konversasi dibuka dengan salah satu dari enam cara berikut:
(a) meminta informasi, layanan, barang; (b) minta respon social, (c) menawarkan
informasi, (d) kekspresi emosi, (e) pernyataan stereotype: greeting, apologi, thank (f)
pergantian topik untuk antisipasi pendengar mulai bicara
Etnograper menfokuskan bagaimana sebenarnya orang bicara yaitu apa yang
terjadi dalam suatu percakapan, ujaran, berita guyon , alam peristiwa tutur lainnya.
Etnografi komunikasi menekankan pada komunikatif kompeten pengetahuan penutur
tentang kaidah-kaidah sosiolinguistik, yaitu kapan menggunakan fasilitas atau laras
tertentu, kenapa harus diam dan kenapa menggunakan bentuk-bentuk bahasa yang
cocok dengan situasi. Etnografi komunikasi tidak tertarik pada hal-hal yang abtrak
penutur pendengar ideal dalam gugup bahasa yang benar-benar homogen (seperti
Chomsky) tetapi lebih dalam penutur-penutur aktual (bukan aktual) dalam gugup
bahasa dan sosial yang heterogen. Mereka tidak hanya menyangkut apa yang mereka
tahu, tetapi dengan apa yang sebenarnya mereka lakukan.
Pendekatan ini melibatkan diskripsi sistematis dari perilaku yang
komunikatif sebagaimana yang alami terstandarisasi melihatnya dalam konteks
sosiokoltural di mana perilaku itu terjadi. Semua pola-pola perilaku seperti ini dan
intrepretasinya di anggap sebagai problem yang menarik dan harus di kerjakan
111
dengan cara-cara simposis mereka meneliti kegiatan-kegiatan komunikatif dalam
gugup tertentu alam jaringan sosial. Sehingga Hymes menyebut, peristiwa tutur
sebagai peristiwa komunikasi“ walaupun hal ini sebenarnya suatu tindak yang lebih
luas menyangkup kegiatan gestur dan juga tranmisi bahasa dengan alat-alat tulis atau
mekanis.
Paling tidak sebagai awal beranjak dari etno com.adalah deskripsi dari
tindak komunikatif tetentu dalam budaya tertentu dalam arti kerangka referensi yang
sudah ada sebagai pedoman analisis etnografi dari peristiwa komunikatif sebagai
berikut (Hymes):
a. Partisipan sebagai jenis partisipan dalam peristiwa komunikatif
b. Berbagai
saluran
(channel)
yang
memungkinkan,dan
cara
penggunaannya, bicara, tulus, gambar sensout, nyanyi gerak tubuh
dsb.
c. berbagai kode yang di pakai oleh berbagai parsipan, linguistik,
paralinguistic, kinesik, musik.
d. latar di mana komunikasi memungkinkan.
e. Bentuk pesan.
f. sikap dan isi pesan .
g. kejadian uang sendiri karakter-karakternya sebagai keseluruhan.
B. Tuturan dalam Perilaku Kognitif dan Ekspresif
Peran tuturan di dalam antropologi telah lama menjadi suatu perbincangan
serius. Jika perhatian kiata adalah kebiasaan fonologis dalam persepsi dan penafsiran
bunyi, telah terdapat banyakteori, teknik dan karya eksperimental tentangnya; namun
bila perhatian kita adalah kebiasaan semantic, maka belum banyak karya dalam hal
itu. Beberapa karya percobaan telah dibuat, namun kita tidak dapat meneliti peran
kebiasaan semantic dalam perilaku sehari-hari tanpa pengetahuan kebiasaan semantic
yang ada dalam kenyataan, dan pengetahuan tersebut hanya dapat diperoleh melalui
penjabaran dalam hhubungannya dengan konteks penggunaan yang asli. Atau dengan
kata lain kita memerlukan analisis semantic yang merupakan bagian dari etnografi.
112
Etnografi semantis yang dibutuhkan bukan yang sekedar refleksi naratif atas sebuah
realitas, namun harus yang berupa analisis struktural yang mampu mengantarkan
kepada keberhasilgunaan suatu tatabahasa dalam hubungannya dengan serangkaian
analisis teks.
Jacobson dan teman-temannya telah berkarya untuk mengembangkan
semantic structural. Kemudian mereka menyusun dua pendekatan umum untuk
mengkajinya, yaitu: 1) melacak sebuah konstituen melalui semua konteks yang di
dalamnya konstituen tersebut dapat ditempatkan, sehingga dapat member ciri-ciri
dalam hal kemampuannya untuk bersanding bersama dengan konstituen yang lain; 2)
menempatkan konstituen tersebut di dalam suatu rangkaian yang hanya dapat terjadi
didalam
konteks
tertentu,
yang
mencirikan
kemampuannya
untuk
saling
menggantikan dengan konstituen lain dalam rangkaian tersebut. Istilah lain untuk dua
pendekatan tersebut adalah sintakmatik dan paradigmatik. Yang pertama berkaitan
dengan konkordansi, sementara yang kedua berhubungan dengan kontras dalam
suatu kerangka yang gayut. Pendekatan ini tentu saja memerlukan suatu analisis
structural dari suatu masyarakat dalam hubungannya dengan tuturan yang akan
membentuk etnografi berbicara. Untuk dapat memahami dan memperkirakan
perilaku, konteks memiliki kemaknawian kognitif. Kemaknawian tersebut adalah:
“Penggunaan suatu bentuk linguistis mengidentifikasi serangkaian makna.
Sebuah konteks dapat mendukung serangkaian makna tersebut. Pada saat sebuah
bentuk linguistis digunakan di dalam suatu konteks, konteks tersebut mengurangi
makna yang mungkin terhadap bentuk linguistis tersebut selain dari makna-makna
yang dapat dihasilkan oleh bentuk tersebut. Kontek dapat mengurangi makna yang
mungkin terhadap bentuk konstituen tersebut
selain makna konstituen yang
didukung oleh konteks tersebut. Oleh karenanya, kemaknawian sebuah makna
sepenuhnya bergantung kepada hubungan dari dua hal tersebut (bentuk dan
konteks)”
Hal lain yang harus kita ketahui adalah bahwa peran kognitif suatu tuturan
adalah berkaitan dengan apa, di mana, dan kapan kita bertutur. Pada akhirnya
deskripsi tentang kebiasaan semantik sepenuhnya bergantung kepada konteks
penggunaan untuk dapat membatasi makna kerangka, seperangkat konstituen dan
113
dimensi kontras yang gayut. Terlebih lagi, sekelompok orang dapat saja berbeda
dalam perilakunya yang diperantarai oleh tuturannya. Oleh karenanya, analisis peran
tuturan di dalam perilaku kognitif mengarah pada analisis etnografis tuturan.
Hal yang sama juga berlaku dalam peran tuturan perilaku ekspresif yang
tentu saja juga terdapat aspek kognitif di dalamnya, demikian pula sebaliknya.
Umumnya semua gejala tuturan dapar ditafsirkan oleh pendengar sebagai ungkapan
ekspresif penutur. Bedanya adalah kkajian ekspresif lebih menekankan tuturan
sebagai aspek kepribadian dan mengesampingkan fitur utama dari tuturan, seperti
nada suara, jeda keragu-raguan yang merupakan fenomena yang menjadi kajian
paralinguitik.
C. Analisis Deskriptif Berbicara
Fokus deskripsi berbicara di sini adalah keefektifan tuturan suatu
masyarakat. Cakupannya meliputi semua perilaku tutur yang gayut dengan analisis
struktural (atau dalam istilah Pike disebut ‘emic’). Yang dimaksud analisis struktural
di sini adalah suatu komitmen ilmiah dan moral terhadap penemuan, kriteria, dan
pola induktif yang valid dengan sistem itu sendiri. Oleh karenanya maka bersifat
heuristik bukan a priori.
Jika beberapa dialek atau bahasa digunakan secara bersama-sama oleh suatu
masyarakat, maka fenomena itu dianggap sebagai kegiatan tutur dari masyarakat
tersebut. Meskipun demikian, toh analisis standar dari masing-masing ragam tersebut
tetap perlu, namun kerangka piker yang lebih luar akan jauh nampak lebih alami.
Struktur argument ini menyiratkan bahwa focus perhatian analisis ini adalah bukan
suatu populasi melainkan keadaan masing-masing individu.
Langkah pertama yang perlu diambil adalah menempatkan berbicara dalam
hirarki ‘keinklusifan’. Tidak semua perilaku merupakan tindak komunikasi, dari
sudut pandang partisipan; tidak semua tindak komunikasi itu linguistis (misal:
gesture, gerak tubuh); dan linguistik itu sendiri bermakna lebih dari sekedar tuturan.
114
D. Peristiwa Tutur
Salah satu teknik etnografis yang bagus untuk peristiwa tutur adalah melalui
kata-kata yang menunjukkan nama peristiwa itu sendiri, misal: pidato sambutan,
pidato pernikahan, rapat RT, rapat pagi, dll. Cara yang lain adalah dengan adanya
ungkapan harian yang menunjukkan arti peristiwa itu sendiri, misal: pembicaraan
dari hati ke hati, pembicaraan perempuan, pembicaraan bisnis, (dari) bisnis ke bisnis
(B to B), (dari) pemerintah ke pemerintah (G to G). Oleh karenanya maka bahan
peristiwa tutur tersebut penamaannya tidak hanya pada tataran kelas kata, tetapi
dapat lebih besar dari itu, misal: frase, klausa, kalimat, dll.
Speech event tidak hanya berlaku dalam transaksasional. Analisis harus
menfokuskan pada sekmen-sekmen yang tertentu dan terbatas sehingga tercapai
totalitas dan ketuntasan, seperti ini analisis peristiwa tutur. Unit ini punya awal dan
ahir mengikuti pola sekuen yang sudah di ketahui .
Peneliti tentang peristiwa tutur dalam gugup tertentu tidak hanya sematamata membuat mendaftar peristiwa-peristiwa secara detail dan secara mendiskripsi
tetapi dia harus menentukan mana yang berarti bagi anggota gugup tutur dan fungsi –
fungsi yang mereka isi untuk kategori. Hal utama menyangkut cara yang di ambil
orang dalam menginterprestasi yaitu memahami apa yang terjadi dalam percakapan.
Ada hubungan tertentu antara apa yang dikatakan dan apa yang di kerjakan dan juga,
sudah barang tentu kontak sosial. Percakapan siapa berbicara apa.apa yang telah
dikatakan sebelumnya oleh siapa dan apakah orang itu humor, guyon, serius, intim,
dan lain-lain.
Analis harus tahu atau melihat hal-hal bagaimana percakapan dimulai
dan berahir, dan juga faktor-faktor yang menentukan atau menunjukkan hak-hak atau
giliran orang untuk bicara pada titik tertentu dalam percakapan. Percakapan berawal
dengan tuturan inisiasi oleh salah satu penutur dan kemudian melebar pada
pemilihan-pemilihan ekspresi untuk menggunakan ujaran bukan hanya pesan literal
tetapi juga untuk hal-hal yang patut dan wajar secara sosial. Ferb (1974:108-109)
manyatakan bahwa percakapan dilakukan dalam salah satu dari enam cara berikut:
a) Meminta informasi, jasa atau barang
b) Meminta respon sosial
115
c) Menawarkan informasi
d) Ekspresi emosional pada rasa ketakutan, sakit, senang, yang sering
menjadi starategi untuk mendapatkan tangapan dari pendengar.
e) Pernyataan–pernyataan streotip seperti sambutan-sambutan, minta maaf,
terimakasih.
f) Pernyataan
untuk
mengabari
penutur
antsipasi
untuk
memulai
pembicaraan.
Pernyataan yang mengharapkan pendengar belum boleh memulai
pembicaraan.
E. Faktor-faktor dalam Peristiwa Tutur
Setiap peristiwa tutur perdiri dari beberapa unsur, dan analis dari masingmasing unsure tersebut menjadi bagian yang penting dalam etnografi berbicara.
Unsur-unnsur tersebut adalah: 1) Pengirim pesan; 2) Penerima pesan; 3) Bentuk
pesan; 4) Saluran; 5) Kode; 6) Topik; 7) Seting: scene dan situasi.
Susunan ke tujuh faktor tersebut merupakan kerangka pikir awal ‘etic’.
Maknanya adalah bahwa dapat saja dalam suatu peritiwa tutur jumlah faktornya
dapat berbeda-beda. Kesemuanya harus menyandarkan pada data empiris. Jadi latar
belakang masyarakat berperan untuk menentukan apakah kesemua factor tersebut
berlaku atau hanya sebagian. Bentuk pesan di sini lebih merujuk pada sisi estetis dan
stilistika dari pesan itu sendiri.
Perbedaan lintas budaya di dalam saluran peristiwa tutur tidak hanya
berkaitan dengan ada atau tidak adanya bentuk lisan atau tulisan, namun juga
berkaitan dengan jabaran lebih lanjut dari saluran itu sendiri. Kode di sini bermakna
segala macam sistem tanda yang dengannya pesan dapat disampaikan kepada pihak
yang dikehendaki. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa adanya masyarakat
yang berbicara beragam dialek dari satu bahasa ke masyarakat yang berbicara
beberapa bahasa. Karena fenomena ini memungkinkan masuknya unsur argot,
jargon, dan bentuk-bentuk tuturan tersamar lainnya.
Topik berkaitan dengan apa yang ditulis atau dibicarakan seseorang. Di
dalam komunitas tuturan yang berbeda terdapat aturan yang berbeda pula yang
116
berkaitan dengan topik yang boleh dan tidak boleh dibicarakan. Seting merupakan
factor yang mendasar sekaligus rumit. Kita sudah terlalu sering mendengar istilah
‘konteks situasi’, ‘pengertian situasi’, namun kita sangat jarang menanyakan secara
etnografis ukuran-ukuran dari sesuatu yang dapat disebut ‘situasi’.
F. Fungsi-fungsi Peristiwa Tutur
Di dalam antropologi, fungsi tuturan pada umumnya dibahas dalam
pengertian fungsi-fungsi umumnya. Namun dalam kajian ini kita akan melihat
sebaliknya. Umumnya orang bertanya: ‘apa yang bahasa sumbangkan terhadap
keberlangsungan masyarakat, budaya dan kemanusiaan?’, di sini kita menanyakan
sebaliknya: ‘apa yang masyarakat, kebudayaan dan kemanusiaan sumbangkan
terhadap keberlangsungan hidup bahasa?’
Ketika penutur suatu bahasa yang ada di dalam suatu masyarakat tinggal
beberapa saja, maka keberlangsungan hidup bahasa tersebut sepenuhnya bergantung
pada kemaujudan dan peran-peran latennya bagi kemanusiaan tersebut.
Dalam tradisi linguistik, fungsi tuturan dimaknai sebagai sesuatu yang
bermotif dan bertujuan. Kadangkala suatu fitur, suatu kategori linguistis, atau jenis
karya sastra tertentu dimaknai sebabagi sesuatu yang memiliki fungsi tertenntu pula.
Misal: kata-kata interjeksi umumnya ditafsirkan berfungsi ekspresif, karena lebih
berfokus kepada pihak pertama (pengirim pesan) dalam peristiwa tutur tersebut.
Berkaitan dengan fungsi peristiwa tutur ini, Hymes mengelompokkannya menjadi
tujuh macam; yaitu: 1) ekspresif atau emotif; 2) direktif atau konatif, pragmatic,
retorik, persuasif; 3) puitis; 4) kontak; 5) metalinguistis; 6) referensial; dan 7)
kontekstual atau situasional.
G. Tuturan dalam Sosialisasi
Menurut Hymes, merujuk kepada para peneliti Rusia, terdapat hubungan
positif antara fungsi-fungsi tuturan dengan usia kronologis seseorang dalam
kaitannya dengan kemampuan seseorang untuk memahami makna fungsi tuturan.
Seorang anak yang masih berusia di bawah empat tahun belum dapat memahami
makna tuturan direktif yang ditujukan kepadanya. Hal ini bermakna bahwa fungsi
117
tuturan direktif berbanding lurus dengan kematangan (biologis) seseorang. Secara
umun tingkat pendidikan berperan dalam pembentukan pemahaman fungsi-fungsi
tuturan. Pola umum menunjukkan bahwa kematangan pemahaman terhadap fungsi
referensial, tatabahasa dan leksikon menjadi prasyarat untuk berkomunikasi.
Peran tuturan dalam sosialisasi mungkin beragam dalam setiap aspek
pemolaan, peristiwa, factor, dan fungsi tuturan. Demikian pula penggunaan
ungkapan kebahasaan tertentu, misal: idiom, juga beragam dari satu individu ke
individu lainnya. Seorang ibu yang waktu kecil sering mendengar ungkapan tertentu
untuk maksud yang tertentu pula berkecenderungan untuk menggunakan ungkapan
serupa kepada anaknya untuk maksud yang lebih kurang sama. Hal ini menunjukkan
bahwa sosialisasi tuturan, sampai tahap tertentu, mengindikasikan adanya
perulangan.
Dalam kaitannya dengan sistem sosial suatu masyarakat, sistem nilai dan
kepercayaan masyarakat yang bersangkutan berperan dalam proses sosialisasi
tuturan. Terdapat masyarakat yang melarang anaknya untuk berbicara kepada tamu
manakala terdapat tamu di rumah.
Tuturan tidak dapat dipisahkan dari perilaku manusia atau teori tertentu
tentang perilaku kelompok tertentu pula. Apapun fokus yang kita gunakan untuk
mengkaji perilaku verbal manusia (apakah kognitif, ekspresif, ataupun direktif), kita
akan senantiasa menemukan hubungan antara tuturan tersebut dengan konteksnya.
Tuturan suatu kelompok masyarakat menyiratkan sistem nilai yang dianut
oleh masyarakat tersebut; tuturan dan bahasa secara fungsional berbeda manakala
budayanya juga tidak sama; tindakan tuturan suatu masyarakat merupakan hal
penting; tatabahasa deskriptif, di satu sisi, berkaitan dengan tindakan
tutur ini,
sementara etnografi berbicara berada di sisi yang lain; hal ini bermaknak bahwa
etnografi berbicara secara teoretis memayungi tatabahasa deskriptif; jumlah kode
linguistis yang terdapat di dalam etnografi berbicara suatu kelompok masyarakat
harus ditentukan secara empiris.
Berikut pendapat yang perlu dicamkan dalam menganalisis bahasa: (1)
Saussure bahwa bahasa (langue) harus diamati melalui tutur individual tetapi aspekaspek tutur individual hanya dapat diamati melalui bahasanya dalam konteks social,
(2) Sedangkan Labov menyampaikan bahwa apabila bahasa sebagai alat interaksi,
118
kenapa mereka melupakan hal-hal yang bersifat sosial dan hanya berbicara masalah
bunyi.
Social meaning mencakup kaidah tutur yang membimbing pada output yang
berpola. Dengan kata lain bahwa kaidah tutur di tuntun oleh social meaning dan
output di tuntun oleh kaidah tutur. Output bisa dipahami hanya dengan kaidah tutur.
Sosiolinguistik mengarahkan studinya pada model-model performance bukan modelmodel competence, jika meminjam istilah yang dipopulerkan oleh Chomsky. Social
meaning adalah suatu kesempatan social. Dalam performatif, penutur memiliki
beberapa alternative yang berpola secara social dan merupakan system kognisi
penutur dan masyarakat, atau juga disebut kaidah alternasi. Seperti kita lihat pada
kata sapaan terhadap Negro dengan ‘boy’ dituntun oleh kaidah dalam
menginterpretasikan dan cara berpikir. Alternatif-alternatif atau pilihan-pilihan itu
tergantung pada pilihan-pilihan nilai. Kaidah-kaidah ini lebih merupakan deskriptif
daripada preskriptif, yang lebih merupakan suatu tindakan kesadaran yang tidak
disadari (unconscious awareness) tetapi bukan habit/kebiasaan.
Tujuh butir ethnografi komunikasi oleh Hymes yang merupakan hal
pokok dalam analisis bahasa yang menjadi tekanan:
a. Struktur dan sistem tutur
b. Fungsi tutur daripada struktur
c. Bahasa sebagai tatanan sosial
d. Ketepatan unsur linguistik dengan pesan
e. Keanekaragaman fungsi
f. Guyup atau konteks sosial
g. Fungsi didukung oleh konteks
Apabila diringkas ketujuh hal di atas dapat diambil hal paling pokok adalah
(1) tutur daripada kode, (2) fungsi struktur, (3) ketepatan kesewenangan.
Ervin Tripp menyampaikan bahwa kaidah tutur dapat berupa: kaidah
sapaan, kaidah turn taking (alih penutur), kaidah mengundang/memanggil, fungsi
komunikasi, kaidah style dan repertoar, tindak tutur dalam kaitannya dengan topik
alih kode. Menurut dia kaidah tutur lebih mengarah kepada etnografi komunikasi.
Penelitian Grimshow mengenai tutur lebih menekankan pada pendekatan
teoritis, kedwibahasaan yakni bahasa dalam kontaknya dengan bahasa lain. Dengan
119
alasan
bahwa
secara
sosial
diketahui
bahwa
bertemunya
dua
bahasa
penutur/masyarakat yang berbeda memerlukan kebutuhan tertentu dan memunculkan
akibat tertentu.
William Labov menyarankan bahwa studi bahasa seharusnya dalam konteks
sosialnya. Labov merupakan tokoh munculnya sosiolinguistik dialektologis,
sebagaimana penelitian dia tentang penggunaan /r/ dalam bahasa Inggris yang
dihubungkan dengan kelas sosial pemakainya. Sosiolinguistik juga mempelajari
sentence that chommunitates nothing, yakni phatic function; masalah dan variasi
tutur seperti ketidakgramatikalan
tutur dan studinya merupakan pendiskripsian
bahasa. Etnografi komunikasi dan alih kode juga bisa dianalisis dengan siapa
berbicara apa dengan bahasa apa dengan siapa serta kapan(Fishman, 1972).
Tripp menyampaikan bahwa fungsi interaksi sekaligus merupakan fungsifungsi tutur. Suatu fungsi interaksi atau tutur dikatakan berhasil atau berfungsi
apabila mendapatkan respon atau tanggapan yang sesuai dengan yang diharapkan.
Tripp memaparkan bahwa komponen penting dalam tutur terdiri dari
partisipan, topik,
dan situasi, bentuk komunikasi, pesan, tindak tutur, dan fungsi
interaksi. Selain hal di atas juga terkadang bahasa di pakai sebagai cermin balik
bahwa jika si A ingin di hormati maka si A memakai bahasa halus dan hormat pada
si B.
Kopetensi komunikatif (Hymes) adalah kemampuan untuk mengunakan
bahasa secara efektif dalam konteks dan tujuan tertentu. Kemampuan ini adalah hasil
interaksi antara:
1. Kompotensi gramaktikal
2. Kompetensi sosiolinguistik
3. Kompetensi diskurs (wacana)
4. Kompetensi strategis
120
DAFTAR PUSTAKA
Abdulaziz M.M.H 1978. “Triglosia and Swahili-English Bilingualism in Tanzania”.
Dalam Fishman, J.A. (Eds.), Advances in the Study of Societal
Multilingualism (129-152), The Hague:Mouton.Adelsward et al., 1987
Adelsward, Viveka, Karin Aronsson, Linda J6nsson and Per Linell, 1987. The
unequal distribution of interactional space: Dominance and control in
courtroom interaction. Text 7(4): 313-346.
Agar, Michael. 1985. Institutional discourse. Text 5(3): 147-168.
Austin, J.L. 1962. How to Do Things with words. Cambridge: Harvard University
Press.
Baker, O.R. 1980. “Categories of Code Switching in Hispanic Communities,
Untangling the Terminology”. Working Paper No. 76. Austin, Texas:
Southwest Educational Development Laboratory.
Baratz, S.S. dan Baratz, J.C. 1970. ‘Early Childhood Intervention: The Social
Science Base of Institutionalized racism’. dalam Cashdan, A. dan
Grugeon, E. (Eds.). 1972:188-197. Harvard Education Review 40.
Barbieri, Federica. 2008. “Patterns of age-based linguistic variables in American
English.” Journal of Sociolinguistics 12 (58-88).
Baugh dan Sherzer, 1984. Language in Use. NewJersey: Prentice-Hall Inc
Bauman, R. and Sherzer, J. ed. 1974. Explorations in the Ethnography of Speaking.
Cambridge:Cambridge University Press
Beardsmore, P.B. 1982. Bilingualism; Basic Principles. Clevedon, Brussel:Tieto Ltd.
Beattie, Geoffrey W. 1981. ‘Interruption in conversational interaction, and its
relation to the sex and status of the interactants’. Linguistics 19: 15-35.
Bell, R.T. 1976. Sociolinguistics: Goals, Approaches, and Problems. New York: S.T.
Martin
Bellack, A. A. 1966. The Language of the Classroom. New York:Teachers College
Press.
Berstein, B. 1970. ‘Social Class, Language, and Socialization’. dalam Giglioli, P.P.
(Eds.), Language and Social Context (157-178). England: Penguin Books
Black, J.A, dan Champion, D.J. 1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. (Edisi
Terjemahan 1992). Bandung: Eresco Bandung.
121
Blom, J.P dan Gumperz, J.J. 1972. ‘Social Meaning in Linguistic Structure; Code
Switching’. dalam Gumperz, J.J. and Hymes, D. (Eds.),
Bloomfield, L. 1935. Language. London: George allen and Lenvin
Bolinger, 1975. Aspects of Language. 2nd edition.
Jovanovich
New York: Harcourt Brace
Bricker, V. 1974. ‘The ethnographic Context of Some Traditional Mayan Speech
Genres’. dalam Exploration in the Ethnography of Speaking. Bauman, R
dan Sherzer (Eds.). London: Cambridge University Press
Bright, W. 1966. Sociolinguistics. The Hague: Mouton
Brown, G dan Yule, G. 1983. Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge University
Press.
Brown, R. dan Gilman, D. 1960. “The Pronouns of Power and Solidarity”. Dalam
Giglioli, P.P. (Eds.). 1982. Language and Social Context. England:
Penguin Books
Budiarsa, Made. 2006. Penggunaan Bahasa dalam Ranah Pariwisata di Beberapa
Hotel di Kuta Kabupaten Badung Bali. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada.
Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. 1995. Sosiolinguistik. Jakarta: Penerbit Arcan.
Champion, D.J. dan Black, J.A,1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. (Edisi
Terjemahan 1992). Bandung: Eresco Bandung.
Chaves, M. 1999. ‘Teacher and student gender and peer group gender composition
in German foreign language classroom discourse: An exploratory study’.
ELSEVIER Journal of Pragmatics 32 (2000) 1019-1058. Madison:
Department of German, The University of Wisconsin-Madison.
Chodorow, N. 1978. “Gender Differences in Preoedipal Period” dari The
Reproduction of Mothering: Psychoanalysis and the Sociology of Gender.
Berkeley: University of California Press.
Chomsky, W. 1965. Aspects of the Theory of Syntax. Cambridge: M.I.T. Press
Coates, J. 2004. Women, Men, and Language. London:Longman.
Cook, G. 1989. Discourse. Oxford: Oxford University Press
Crystal, D.(1985). A Dictionary of Linguistics and Phonetics. New York:Basil
Blackwell Inc.
122
Dailey, A. 2010. An Analysis of Classroom Discourse: The Usefulness of Sinclair
and Coulthard’s Rank Scale in a Language Classroom. Birmingham:
University of Birmingham
De Saussure, F. 1973. Pengantar Linguistik Umum. Terjemahan, 1993. Yogyakarta:
UGM Perss
Denzin, N. K, and Lincoln, Y.S, 1994. Handbook of Qualitative Research.
California: Sage Publication Inc.
Dijk, T. A., 1989. ‘Structures of discourse and structures of power’. dalam
Anderson, J. A. (Eds.), Communication yearbook 12, 18-59. London:
Sage.
Dittmar, N. (1976/81). Sociolinguistics: A Critical Survey of Theory and Application.
London: Edward Arnold
Dittmar, N. (1976). Sociolinguistics: A Critical Survey of Theory and Application.
London: Edward Arnold
DITMAR. 1996. ‘Descriptive and Explanatory Power of Rules in Sociolinguistics’.
dalam Singh, R. (Eds.). Towards a Critical Sociolinguistics.
Amsterdam/Philadelphia:John Benjamins Publishing Company.
Dittmar, N. Descriptive and Axplanatory Power of Rules in Sociolinguistics. Dalam
Singh, R. (1996) (Eds.). Towards a Critical Sociolinguistics.
Amsterdam/Philadelphia:John Benjamins Publishing Company.
Djatmika, 1998. Spoken Interaction in The Phantom: A Discourse Analysis of A
Comic Book. Sydney: Magister Thesis of Macquarie University.
Drew, P dan Curl, T. 2008. ‘Conversational Analysis: Overview and New Direction’.
dalam Vijay K. B., Flowerdew, dan Jones. (Eds.). Advances in
Discourse Studies. London and New York: Routledge.
Eakins, B. W. dan Eakins, R.G. 1978. Sex Differences in Human Communication.
Boston: Houghton Milfflin
Eckert, P. dan Sally, McConnell-Ginet .1992. ‘Think practically and look locally:
Language and gender as community-based practice’. dalam Roman, C.,
Juhasz, S.,dan Miller, C.,(Eds.).1994. The Women and Language
Debate. USA: Rutgers University Press.
Eckert, P. dan Sally, McConnell-Ginet. 2003. Language and gender. Cambridge:
Cambridge University Press
Edvardsson, M. 2007. ‘Topic shift and initiation from a gender perspective: A study
of conversational topic shifts among second language learners of
English’. Thesis. Karlstad University. Faculty of Arts and Education.
123
(http://www.slis.indiana.edu/csi/WP/WP01-05B.html Diakses Tanggal
11 Juni 2011)
Ekka, F. 1972. ‘Men’s and Women’s Speech in Kurux’. Linguistics 81:25-31
Elias-Olivares, 1976. “Way of Speaking in a Chicano Community; Sociolinguistics
Approach”. Dalam Baugh, J. dan Shezer, J. (Eds.). Language in
Use.(1984). New Jersy:Prentice-Hall Inc.
Ervin-Tripp, S. 1972.’On rules: alternation and cooccurrence’. dalam Gumperz dan
Hymes, D. (Eds.), Direction in Sociolinguistics. Northway:Rinehart and
Winston.
Fasold, R. 1984. The Sociolinguistics of Society. Oxford: Basil Blackwell.
Fasold, R. 1990. The Sociolinguistics of Language. Oxford:Basil Blackwell
Ferguson, C. 1959. ‘Diglosia’. dalam Giglioli, P.P. (Eds.). Language and Social
Context (Hlm. 232-251). England: Penguin Books
Fishman, J.A. 1971. Advances in The Sociology of Language. Volume I. The Hague:
Mouton
Fishman, J.A. dan Agheyisi, R. 1970. ‘Language Attitude Studies’. dalam Jurnal
Anthropological Linguistics I dan II (1970:215-226)
Fishman, J.A. dan Agheyisi, R. 1970. “Language Attitude Studies”. Dalam
Fishman, J.A. 1964. “Language Maintenance and Language Shift as fields of
Inquiry”. Linguistics IX.(hlm. 32-70)
Fishman, J.A. 1966. Language Loyalty in The United States. The Hague: Mouton
Fishman, J.A. 1971. ‘The Relationship between Micro- and Macro-Sociolinguistics
in the Study of Who Speaks What Language to Whom and When’,
dalam Pride, J.B. dan Holmes, J. (Eds.). 1972. Sociolinguistics.
England:Penguin Books.
Fishman, J.A. 1971. “The Relationship between Micro- and Macro-Sociolinguistics
in the Study of Who Speaks What Language to Whom and When”.
Dalam Pride, J.B. dan Holmes, J. (Eds.). 1972. Sociolinguistics.
England:Penguin Books.
Fishman, J.A. 1972. The Sociology of Language. Cambridge: Newbury
Fishman, J.A.1968. Reading in the Sociology of Language. The Hague: Mouton
124
Fishman, P. 1983. “Interaction: the work women do”. Dalam Thorne, B., Kramarae,
C., dan Hanley, N. (Eds.) Language, Gender, and Society. Rowley,
MA:Newbury House
Foley. A.W. 1997. Anthropological Linguistics; An Introduction. Oxford: Blackwell.
Fontana, A. dan Frey, J.H. 1994. Interviewing: The Art of Science. dalam Denzin, N.
K, and Lincoln, Y.S, (Eds.). Handbook of Qualitative Research.
California: Sage Publication Inc.
Gal, S. 1991. ‘Between Speech and Silence: The Problematics of Research on
Langugae and Gender’. dalam Roman, C., Juhasz, S.,dan Miller,
C.,(Eds.).1994. The Women and Language Debate. USA: Rutgers
University Press.
Giles,H., Scherer, K.R., dan Taylor, D.M.1979. “Speech Marker in Social
Interaction”. Dalam Scherer, K.R. dan Giles, H. (eds.). Social Markers
in Speech. Cambridge: Cambridge University Press.
Greenfield, L. 1968. “Situational Measures of Normative Language Views in
Relation to Person, Place, And Topic Among Puerto Rican Bilinguals”.
Dalam Fishman, J.A. (Eds.). Advances of Sociology of Language. The
Hague: Mouton
Gumperz, J.J. 1964. “Linguistics and Social Interaction in Two Communities”.
Dalam Gumperz, J.J. dan Hymes, D. 1972. Directions in
Sociolinguistics. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Gumperz, J.J. 1971. Language in Societal Groups. Stanford CA: Satnford University
Press
Gumperz, J.J. 1982. Language and Social Identity. Cambridge: Cambridge
University Press.
Gunnarsson, B.L. 1997. “Women and men in the academic discourse community”.
Dalam Kotthoff, H. dan Wodak, R. (Eds.), Communicating gender in
context. Amsterdam: John Benjamins.
Haas, M. R. 1944. “Men’s and Women’s Speech in Koasati”. Language, 20: 142-9.
Dalam Hymes, 1964. Language in Culture and Society: A Reader in
Linguistics and Anthropology. New York: Harper & RowHass.
Halliday, J.J. 1970. “Language Structure and Language Function”. Dalam Lyons, J.
(Eds.). New Horizons in Linguistics. Harmondsworth: Penguin.
Halliday, J.J. 1978. Language as Social Semiotic. London: Edward Arnold
125
Harun Joko Prayitno (2009). Tindak Tutur dalam Peristiwa Rapat Dinas: Kajian
Sosiopragmatik Berperspektif Jender di Lingkungan Pemerintah Kota
Surakarta. Disertasi. Universitas Sebelas Maret.
Haugen, E. 1950. “The Analysis of Linguistics Borrowings”. Dalam Roger, L.
(Eds.).1969. Approaches to English Historical Linguistics. New
York:Holt, Rinehard and Winston.
Haugen, E. 1953. The Norwegian Language in America. Philadelphia: University of
Pennsylvania
Haugen, E. 1981. “Language Fragmentation in Scandinavian; Revolt of the
Minorities”. Dalam Haugen, E. dkk. (Eds.). 1981. Minority Language
Today. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Haugen, E. 1972. The Ecology of Language. California: Stanford Univ. Press.
Henly, N and Thorne, B. 1975. Language and Sex: Difference and Dominance.
Rowley, MA:Newbury House.
Henly, N. dan Kramarae, C. 1991. ‘Gender, Power, and Miscommunication’. dalam
Roman, C., Juhasz, S.,dan Miller, C.,(Eds.). 1994. The Women and
Language Debate. USA: Rutgers University Press.
Herrera, D. M. 2009. Review on Sinclair's and Coulthard's Towards An Analysis of
Discourse. dalam E. Journal. Annual Review of Education,
Communication
and
Language
Sciences.
(http://distrital0930.blogspot.com/2009/09/review-on-sinclairs-andcoulthards.html Diakses Tanggal 7 November 2012)
Hudson, R.A. 1980. Sociolinguistics. Cambridge: Cambridge University Press.
Huerta, A.G. 1978. “Code Switching among Spanish-English Bilinguals;
Sociolinguistic Perspectives”. Dalam Heller, M. (Eds.). (1988). CodeSwitching: Anthropological and Linguistics Perspectives. De
Gruter:Mouton.
Huffaker, D. A., and Calvert, S. L. (2005). Gender, identity, and language use in
teenage blogs. Journal of Computer-Mediated Communication, 10(2),
article1.
(http://jcmc.indiana.edu/vol10/issue2/huffaker.html
DiaksesTanggal 27 Mei 2011)
Hymes, D, 1974. Foundation n Sociolinguistics: An Ethnographic Approach.
Philadelphia: University of Pennsylvania Press
Hymes, D. 1968. ‘The Ethnography of Speaking’. dalam Fishman, J.A. (Eds.).
(1968:99-138). Readings in Sociology of Language. The Hague:
Mouton
126
Hymes, D. 1972. ”Models of Interaction of Language and Social Life”. Dalam
Gumperz, J.J. dan Hymes, D. (1972:268-293). Directions in
Sociolinguistics; The Ethnography of Communication. New York:
Holt, Rinehard and Winston.
Inkeles, A. 1966. Modernization: The Dynamics of Growth Voice of America Forum
Lectures. Cambridge: Cambridge University Press.
Itakura, H. 2001. “Describing conversational dominance”. Journal of Pragmatics 33.
Janesick, V.J. 1994. ‘The Dance of Qualitative Research Design: Metaphor,
Methodolatry, and Meaning’. dalam Denzin, N. K, and Lincoln, Y.S,
(Eds.). Handbook of Qualitative Research. California: Sage Publication
Inc.
Jefferson, G. 1984. ‘Transcription notation’. dalam J. Maxwell Atkinson and John
Heritage, (eds.), Structuresc of Social action: Studies in conversation
analysis, ix-xvi, Cambridge: Cambridge University Press.
Jesperson, O.1922. Language: Its Nature, Development and Origin. New York:
W.W. Norton
Joss, M. 1959. The Isolation of Styles, Monograph Series of Languages and
Linguistics. dalam Fishman, J.A. (Eds.). 1968. Reading in the Sociology
of Language. The Hague: Mouton.
Kachru, B. 1978. “Toward Structuring Code-Switching; An Indian Perspectives”.
International Journal of The Sociology of Language 16:27-47.
Krech, D. 1962. Individual in Society: a textbook of social Psychology. New York:
McGraw-Hill
Labov, W. “Field Methods of the Project on Linguistic Change and Variation”.
Dalam Baugh, J. dan Sherzer, J, (1984:28- 53). Language in Use;
Readings in Sociolinguistics. New Jersey:Prentice-Hall.
Labov, W. 1966. The Social Stratification of English in New York City. Washington:
C.A.L
Labov, W. 1972. Sociolinguistics Pattern. Philadelphia: University of Pennsylvania
Press.
Labov, W. 1972a. Language in The Inner City. Philadelphia: University of
Pennsylvania Press.
Labov.W.
1972b. Sociolinguistics
Pennsylvania Press.
Pattern.
Philadelphia:
University
of
127
Labov. W. 1984. ‘Field Methods of the Project on Linguistic Change and
Variation’. dalam Baugh, J. dan Sherzer, J (Eds.). Language in Use;
Readings in Sociolinguistics. New Jersey:Prentice-Hall.
Lakoff, R. 1973.’The Logic of Politeness; or, minding your p’s and q’s’. CLS 10:
Chicago Linguistics Society
Lakoff, R. 1975. Language and Women’s Place. New York: Harper and Row
Lambert, W.E. 1974. “Culture and Language as Factors in Learning and Education”.
Dalam Aboud, F. dan Mead, R.D. (Eds.). (1974). Cultural Factors in
Learning. Belingham:Washington State College
Lambert, W.E. et al. 1960. “Evaluational Reactions to Spoken Languages”. USA.
Journal of Abnormal and Social Psychology 60:44-51.
Leech, G. 1974. Semantics. Middlesex:Penguin Book Ltd.
Leech, G. 1983. Principles of Pragmatics. New York: Longman Group Limited.
Linell, P. and Luckmann, T. 1991. ‘Asymmetries in dialogue: Some conceptual
preliminaries’. dalam Ivana Markovi and Klaus Foppa, (Eds.).
Asymmetries in dialogue, 1-20. Hemel Hempstead: Harvester
Wheatsheaf.
Mackey, W.S. 1968. The Description of Bilingualism. Dalam Fishman,
J.(Eds.).(1988:413-432). Reading in the Sociology of Language. The
Hague: Mouton
Mackey, W.S. 1957. Bilingualism as a World Problem. Montreal: Harvard House
Mackey, W.S. 1970. Interference, integration, and Synchronic Fallacy. Quebec:
Laval. 1970:195-223
Malmkjaer, K. (Eds.). 1991. Linguistics Encyclopedia. London: Rontledge.
Maltz, D dan Borker, R. 1982.’A Cultural Approach to Male-Female
Miscommunication’. dalam Gumperz, J.J. (Eds.). Language and
Social Identity. Cambridge: Cambridge University Press.
McClure, E. 1981. ‘Formal and Functional Aspects of the Code-Switched
Discourse of Bilingual Children’. dalam Heller, M. (Eds.). CodeSwitching: Anthropological Perspectives. De Gruter:Mouton.
Mey, Jacob L. 1993. Pragmatics: An Introduction. Cambridge: Blackwell Publisher.
Mills, Sara. 2004. ‘Class, gender and politeness’. Journal of Multilungua 23: 171190.
128
Nababan, P.W.J. 1991. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta:Gramedia Pustaka
Utama
Nadar, F. X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Penalosa, F, 1981. Introduction to the Sociology of language. Cambridge: Newbury
House Publisher
Pike, K.L. 1982. Linguistics Concept.London:University of Nebraska Press.
Poedjosoedarmo, S. 1985. ‘Language Propriety in Javanese’, Journal Fenomena,
Vol. VI No. 2, March – May 2009. Yogyakarta: Lembaga Penelitian,
Sanata Dharma University
Preisler, B. 1986. Linguistic Sex Roles in Conversation. Berlin: Mouton de Gruyter.
Pride, J.B. dan Holmes, J. 1972. Sociolinguistics. England:Penguin Books.
Purnomo, Budi. 2011. ‚Politeness in Tourism-Service Register in Central Java: A
Sociopragmatic Study‘. Disertasi Program Doktor Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta.
Ricciardielli, L.A. 1992. ‘Bilingualism and Cognitive Development in Relation to
Threshold Theory’. Journal of Psycholinguistic Research 21:310-316.
Robinson, W.P. 1972. Language and Social Behavior. Harmondsworth: Penguin
Books
Roger, D. 1989. ‘Experimental studies of dyadic turn-taking behaviour’. dalam
Derek, R. dan Bull, P. (Eds.). Conversation: An interdisciplinary
perspective. Clevedon: Multilingual Matters.
Roger, D. 1989. “Experimental studies of dyadic turn-taking behaviour”. dalam
Derek, R. dan Bull, P. (Eds.). Conversation: An interdisciplinary
perspective, 75-95. Clevedon: Multilingual Matters.
Romaine, S. 1995. Bilingualism. Cambridge: Blackwell
Roman, C., Juhasz, S.,dan Miller, C.,(Eds.).1994. The Women and Language Debate.
USA: Rutgers University Press.
Sacks, Harvey, Emanuel A. Schegloff and Gail Jefferson, 1974. ‘A simplest systems
for the organization of turn-taking for conversation’. Language 50(4):
696--735
Samiati, M. Sri. 2011. Model Pembelajaran dan Materi Ajar untuk Pengembangan
Kompetensi Lintas Budaya Mahasiswa Asing di Wilayah Surakarta dan
Sekitarnya. Surakarta: LPPM Universitas Sebelas Maret
129
Sanches, M. dan Blount, B. 1975. Sociocultural Dimensions of Language Use. New
York: Academic Press
Sapir, E. 1964.“Conceptual Categories in Primitive Languages“. Dalam Hymes
(Eds.). 1964:128. Language in Culture and Society: A Reader in
Linguistics and Anthropology. New York:Harper and Row.
Saussure, De, F. 1973. Pengantar Linguistik Umum. Terjemahan, 1993. Yogyakarta:
UGM Perss
Searle, J.R. 1969. Speech Act. Cambridge: Cambridge University Press.
Sinclair, J. McH dan Coulthard, R.M. 1975. Towards an Analysis of Discourse:
English Used by Teachers and Pupils. Oxford: Oxford University Press.
Singh, R. 1996. Towards a Critical Sociolinguistics. Amsterdam/Philadelphia: John
Benjamins Publishing Company.
Sridhar, N. 1978. “On the Function of Code-Mixing in Canada”. Dalam Sociology of
Language 16:109-119
Stenstorm, A. 1994. An Introduction to Spoken Interaction. London: Longman
Sutopo, H.B. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas
Maret.
Swacker, M. 1979. “Women’s verbal behaviour at learned and professional
conferences”. Dalam Dubois, Betty-Lou and Crouch, Isobel (eds). The
Sociology of the Languages of American Women. San Antonio: Trinity
University.
Tannen, D. 1987. That’s not what I meant! How Conversational Style Makes or
Breaks Relationship. New York: Ballantine.
Tannen, D. 1994. Gender and discourse. Oxford: Oxford University Press.
ten Have, P. 1991. “Talk and institution: A reconsideration of the 'asymmetry' of
doctor-patient interaction”. Dalam Deirdre Boden and Don H.
Zimmerman, (Eds.), Talk and social structure: Studies in
ethnomethodology and conversation analysis, 138-163. Cambridge:
Polity Press.
Thomberg, J, 2006. ‘Boy and Girl Talk : A sociolinguistic study of international high
school students' turn-taking patterns from a gender perspective’:
University essay from Högskolan Halmstad/Sektionen för humaniora
(HUM) http://www.essays.se/essay/a27a593189/ (diakses 11 juni
2011).
Thorne, B. and Henly, N. 1975. Language and Sex: Difference and Dominance.
Rowley, MA:Newbury House.
Trudgill, P. 1974. Sociolinguistics: an Introduction. Harmondsworth, Middx:Penguin
130
van Dijk, T. A., 1989. “Structures of discourse and structures of power”. Dalam
Anderson, J. A. (Eds.),Communication yearbook 12, 18-59. London:
Sage.
Wardhaugh, R. 1993. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Blackwell
Publisher
Weinrich, U. 1953. Language in Context. Linguistics Circle. New York: New York
Publication No.2.
West, C. and Garcia, A. 1988. “Conversational shift work: A study of topical
transitions between women and men”. Social Problems 35(5): 551-575.
West, C. and Zimmerman, D. H. 1975. ‘Sex Roles, Interruptions and Silences in
Conversation’. dalam Singh, R. (Eds.). 1996:211-237. Towards a
Critical Sociolinguistics. Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins
Publishing Company.
West, C. and Zimmerman, D. H. 1983. “Small insults: A study of interruptions in
cross-sex conversations between unacquainted persons”. Dalam Barrie
Thome, Cheris Kramarae and Nancy Henley, (Eds.), Language, gender
and society, 102-117. Cambridge, MA: Newbury House.
West, C. dan Zimmerman, D. 1998. “Women’s place in everyday talk: reflections on
parent- child interaction”. Dalam Coates, Jennifer (Eds.). Language
and Gender: A Reader. Oxford: Blackwell
Whorf, B.L. 1956. Language, Thought, and Reality: Selected Writings of Benjamin
Lee Whorf. Cambridge, MA:The Massachusetts Institut of Technoogy
Press.
Willis, J. 1981. Spoken Discourse in the E.L.T. Classroom: A System of Analysis
and Description. A Thesis of Master Degree. E-thesis Repository of
University of Birmingham
Wolfram, W. 1971. Social Dialects: A Linguistics perspectives. dalam Shuy, R.W.
(Eds.). Sociolinguistics: Crossdiciplinary Perspective, Linguistics
Perspective. Washington DC:Center for Applied Linguistics.
Wolfson, N. 1976. ‘Speech Events and Natural Speech: Some Implications for
Sociolinguistic Methodology’. Language in Society 5:189-210.
131
Download