KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb. Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT atas terselesaikannya penulisan buku pengantar sosiolinguistik ini, sebagai upaya membantu dan mempermudah mahasiswa dalam memahami linguistik makro atau linguistik murni. Terima kasih kepada semua pihak, terutama Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Surakarta, yang telah membantu dalam berbagai hal sehingga proses penyusunan buku ini dapat terwujud sesuai yang diharapkan. Buku ini dimaksudkan untuk memberikan berbagai cara memandang dan memahami hakekat bahasa bagi seluruh dosen dan mahasiswa dalam rangka membangun keutuhan dan kedalaman pemahaman bahasa secara apa adanya, yang dipakai oleh masyarakat sehari-hari dalam berbagai fungsinya yang berbeda. Dengan kata lain buku ini dapat menjadi referensi bagi dosen dan mahasiswa berkenaan dengan tugas-tugas kelinguistikannya dan hal-hal lain yang terkait dengan bahasa, masyarakat, dan analisisnya. Disamping itu buku ini juga dimaksudkan sebagai bekal dan pendorong bagi para mahasiswa agar mereka tidak ragu-ragu dalam analisis bahasa dan pemakaiannya terkait dengan “siapa berbicara kepada siapa dan kapan”. Kritik dan saran yang membangun penyempurnaan buku ini sangat diharapkan dari semua pihak. Semoga buku ini dapat memberi manfaat sesuai dengan yang diharapkan, Amin. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Surakarta, Juli 2013 Penyusun Dr. Giyoto, M.Hum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan teori linguistik berawal dan berakhir pada rumusan serta temuan yang semakin keluar dari penggunaan bahasa secara nyata dan konkrit. Apabila kita melihat beberapa pembahasan dan penelitian linguistik formal terdapat analisis-analisis yang memisahkan diri dari pemakaian bahasa secara konkrit dalam konteks sosial dan budaya, karena mendasarkan pada logikalogika relasi antarunsur internal bahasa itu sendiri, terlepas dari unsur di luar bahasa. Terdapat pola-pola yang diskrit yang hanya memfokuskan pada hubungan antarunsur dalam kalimat, paragraf ataupun kata dan frase, sehingga terdapat penilaian-penilaian terhadap tuturan yang salah atau ganjil (ill-formed) secara linguistik. Linguis formal melihat perbedaan-perbedaan itu sebagai sesuatu yang dapat dilupakan dan tidak dapat dianalisis sehingga lebih banyak dihindari dengan berbagai alasan linguistik logis tertentu. Temuan-temuan studi linguistik formal dapat berupa abstraksi-abstraksi pemolaan atau pengkaidahan bahasa yang begitu tertutup dan formal, yang dianggap relatif tetap dan tunggal. Hasil pemolaan ini dinilai merupakan bentuk yang benar dan ideal. Apabila kita melihat pemakaian bahasa secara langsung dan nyata kita jarang menemukan pola-pola tuturan baku, tunggal, dan tetap (sebagai hasil abstraksi) yang dipakai dalam komunikasi nyata, walaupun memang ada. Keidealan dan kebenaran ini terkadang melupakan cara dan strategi penutur itu untuk menyampaikan makna. Terdapat makna-makna tertentu yang harus diungkapkan dengan bentuk tuturan tertentu yang mungkin dinilai tidak benar dan tidak ideal, tetapi sebetulnya dengan cara itulah makna sosial dan kultural penutur itu dibahasakan, sehingga akan mendapatkan respon yang benar dan bermakna dari lawan bicaranya. Abstraksi-abatraksi ini sering melupakan hakekat yang sebenarnya mengenai bahasa dan melupakan bentuk sumber asli dari bahasa itu sendiri, yakni bentuk-bentuk ujaran yang secara nyata dipakai dalam berinteraksi dan menyampaikan makna-makna sosial dan kultural. Penutur atau tuturan, dalam 1 interaksi, tidak dapat terlepas dari masuknya unsur-unsur sosial dan kultural yang berlaku. Hal ini dilakukan penutur untuk mendapatkan keberterimaan dan penghormatan secara personal sehingga interaksi berjalan dengan prinsip kerjasama yang cukup dan layak. Pemakaian bahasa secara nyata memiliki strategi yang relatif berbeda dengan bahasa-bahasa formal yang ada pada abstraksi-abstraksi formal kebahasaan. Sanggahan-sanggahan terhadap pemolaan dari abstraksi di atas muncul dari berbagai disiplin ilmu seperti sosiolinguistik, pragmatik, dan psikolinguistik atau lainnya seperti analisis wacana, dan etnolinguistik. Dalam kaitannya dengan variasi di atas, karena masuknya makna sosial dan kultural, diperlukan adanya pembahasan aspek sosiolinguitik dari sudut pandang latar belakang jenis kelamin yang memunculkan tuturan dan organisasi tuturan berdasarkan peran sosial dan budaya yang diemban oleh kedua jenis kelamin tersebut. Melihat variasi ujaran yang dipengaruhi oleh latar belakang penutur, sosiolinguis, bahkan linguis formal, mendapatkan kesulitan dalam mengukur keidealan penutur dan keidealan masyarakat bahasa, karena sebetulnya sosiolinguis merasa bahwa mereka mendapat kesulitan dalam menemukan, dan bahkan belum pernah ada, penutur ideal dalam masyarakat bahasa ideal yang begitu abstrak dan bervariasi standarnya. Pemolaan bahasa semestinya selalu berkembang sesuai dengan kelebatan hubungan antara bahasa, pemakaian, dan pemakainya; dan tidak ada pola yang tetap dan tunggal sebagaimana dikatakan bahwa ada satu-satu korespondensi antara bentuk dan makna (Bloomfield, 1935). Terdapat berbagai tuturan yang benar-benar sama tetapi memiliki makna yang berbeda karena dipakai oleh orang, konteks, tujuan, dan waktu yang berbeda. Kelenturan dan kepekaan pemakaian bahasa dapat diukur secara lebih akurat ketika melekat pada konteks dan situasi yang memunculkan. Situasi merupakan pemicu bentuk ujuran, pemilihan diksi, dan susunan ide yang kemudian disesuaikan dengan konteks budaya yang sedang dijunjung oleh komunitas bahasa tertentu. Pemakaian bahasa sangat dipengaruhi oleh latar belakang penutur dan peran dalam situasi tuturan. Makna suatu tuturan itu dapat diterima secara 2 bermakna dan interaksi tuturan itu dapat berlangsung secara kooperatif apabila petutur dan petutur telah memahami latar belakang masing-masing dan situasi tuturan itu. Terdapat berbagai konflik yang muncul dalam berbahasa yang disebabkan oleh lepasnya pemahaman terhadap latar belakang penutur dan situasi tuturan, atau sering disebut dengan istilah “salah paham”. Konteks budaya dan situasi tuturan sangat menentukan pemilihan susunan dan pemilihan bentuk bahasa untuk menyampaikan makna peran sosial dan budaya. Hilangnya makna-makna tertentu, seperti kedekatan, ketidakformalan menyebabkan beberapa hasil abstraksi pengkaidahan pada linguitik murni tidak berterima atau ganjil bagi penutur jati pada konteks dan situasi tertentu, karena penutur dalam hal ini, harus menemukan dan memakai secara instan bentuk dan susunan tertentu berdasarkan makna-makna tersebut. Penutur memakai dan mengorganisasi tuturan secara instan dan terkadang keluar tanpa kesadaran penuh mengenai apa yang seharusnya dikatakan dan bagaimana ide itu seharusnya disusun secara formal. Pengetahuan penutur dan petutur sangat menentukan jenis, susunan, pemilihan bentuk tuturan karena terikat oleh makna yang akan dicapai oleh keduanya. Pengetahuan ini juga mempengaruhi tingkat toleransi dan keakaraban penutur dan petutur, yang akhirnya turut mempengaruhi keakuratan dan kedalaman makna tuturan yang mereka hasilkan. Bahasa tidak dapat terlepaskan dari aspek interaksi social, karena bahasa adalah alat sosial dan isi dari makna-makna sosial itu sendiri, bukan sekedar ide tuturan dan pertukaran ide secara literal. Makna suatu interaksi ditentukan oleh berbagai variabel yang melekat pada tuturan baik dari aspek pemakai, tuturan, tujuan, maupun situasi tempat interaksi itu berlangsung. Terdapat berbagai jenis tuturan yang tergantung pada tuntutan keformalan situasi, tujuan, dan tata tutur berinteraksi. Keformalan ini menyangkut properti kode komunikasi/tuturan yang dipakai dan latar sosial (Baugh dan Sherzer,1984:212). Rubin (dalam Baugh dan Sherzer, 1984:212) menyampaikan bahwa keformalan diukur dengan tingkat keintiman dan keseriusan. Latar sosial yang formal menurut Ervin-Tripp (1972:235) melibatkan keseriusan, kesopanan, dan rasa hormat. Bentuk tuturan dalam situasi formal 3 memerlukan tuturan formal dengan struktur tertentu baik secara semantik, fonologis, sintaktik, maupun morfologis yang memenuhi tuntutan sosial dan kultural pemakainya. Ada kemungkinan bahwa bentuk tuturan dan makna latar sosial memiliki makna yang berbeda menurut siapa berbicara kepada siapa dan tentang apa, atau dengan kata lain, menurut status demografis partisipan yang terlibat. Sebagai contoh menurut berbagai penelitian yang telah ada; bentuk tuturan, kesopanan, rasa hormat, dan keseriusan dapat muncul secara berbeda menurut jenis kelamin partisipannya (Lackoff, 1973; Wardhaugh, 1993:313; Fasold, 1990:114). Pemakaian bahasa oleh penutur asli pada komunitas bahasa yang apa adanya dipengaruhi oleh genre dan seting penggunaan bahasa. Genre seminar memiliki strategi interaksi yang terpola dan tersusun sesuai dengan kesempatan dan kelebatan ide yang akan disampaikan. Sehingga penanya diharapkan memilih strategi yang efisien dan efektif sesuai dengan tuntutan kesantunan, ketegasan, kelugasan, dan berorientasi masalah. Peserta seminar merupakan komunitas bahasa dalam situasi tutur yang memiliki jarak sosial dengan penyaji seminar, keseriusan tinggi, rasa hormat dan kesopanan yang tinggi juga. Peserta dalam bertanya kepada penyaji tidak hanya berorientasi pada dirinya sendiri dan penyaji, tetapi juga kepada peserta lainnya. Bentuk latar sosial memberi tekanan dan pengaruh lebih ketat kepada peserta dalam bertanya, karena peserta merasakan adanya tuntutan gaya dan laras dalam bertanya, penampilan, kesadaran tentang apa yang akan dikatakan, kedalaman makna, dan kekhususan personal penanya. Penelitian ini merupakan usaha dalam mencari bentuk dan strutktur tuturan kalimat tanya, susunan ide dalam menyampaikan pertanyaan, pemilihan kata oleh peserta, yang tidak dapat dirumuskan secara abstraksi dan terlepas dari pemakaian kalimat tanya yang sesungguhnya. Walaupun di sisi lain, dalam linguistik murni, kalimat tanya telah terumuskan secara relatif tetap dan homogen. Lackoff (dalam Wardhaugh, 1993) percaya bahwa perbedaan pemakaian bahasa oleh perempuan dan laki-laki merupakan gejala masalah budaya dan intinya bukan masalah bahasa itu sendiri, yakni lebih merefleksikan 4 bahwa laki-laki dan perempuan diharapkan memiliki kepentingan dan peran yang berbeda, mempertahankan peran itu, melaksanakan jenis percakapan yang berbeda, dan merespon terhadap yang lain secara berbeda. Dikatakan bahwa semakin berbeda peran sosial yang diisi oleh kedua jenis kelamin, semakin besar perbedaan berbahasanya. Pada masyarakat yang tidak begitu terstratifikasi dengan tajam, peran sosial antarjenis kelamin tidak dibedakan dengan jelas. Masyarakat bahasa Surakarta sangat erat dengan stratifikasi peran sosial berdasarkan jenis kelamin dan dikenal sebagai pusat budaya adi luhung dan tua dengan berbagai peninggalan kratonnya, sehingga mengakuinya sebagai the spirit of Java. Refleksi situasi perbedaan peran sosial, sebagai peninggalan kraton, ini dapat dilihat dari bahasa yang digunakan dan, kemungkinannya, arah perubahannya dapat diprediksi. Di atas disampaikan bahwa perbedaan peran sosial berdasarkan jenis kelamin akan memunculkan perbedaan pemakaian tuturan dan sikap menerima bentuk tuturan tersebut. Perbedaan ini akan memunculkan konflik sikap dan makna karena perbedaan persepsi yang disebabkan oleh perbedaan peran sosial dan budaya, khususnya berdasarkan jenis kelamin sebagaimana dikatakan oleh Maltz dan Borker (dalam Wardhaugh, 1993:320). Untuk menghindari konflik dan kesalahpahaman ini diusulkan persamaan cara pandang dan persepsi percakapan yang sama atau dengan pemahaman perbedaan peran-peran sosial yang diemban oleh kedua jenis kelamin. Saya mencurigai bahwa ada beberapa konflik sikap yang disebabkan oleh persepsi peran dan cara pandang yang berbeda ini pada kedua jenis kelamin di Surakarta. Secara historis kota ini smemiliki budaya kesantunan yang kental di Jawa Tengah. Inilah pentingnya studi ini untuk mengungkap dan melihat perbedaan pola peran dan makna peran dari kedua jenis kelamin itu, sehingga terhindar dari konflik-konflik yang disebabkan oleh perbedaan peran sosial dan persepsi tentang bagaimana cara bertanya dan menjawab pertanyaan yang berterima secara sosial. Dari perbedaan berbagai fakta di atas dapat disimpulkan bahwa konteks situasi dan budaya sangat mempengaruhi pola-pola bagaimana semestinya perempuan dan laki-laki berinteraksi dan berperilaku. Cara laki-laki dan 5 perempuan berinteraksi dan berinterpretasi terpolakan secara kultural dan pola itu diwujudkan pada bentuk pemarkah linguitik tertentu yang membedakannya (Fasold, 1990:114). Sebetulnya perbedaan tuturan dan cara pandang antara kedua jenis kelamin itu merupakan hubungan pengaruh timbal balik (interplay). Peran perempuan dibentuk oleh peran dan respon laki-laki, sebaliknya peran laki-laki dibentuk dan direspon oleh perempuan. Perlakuan laki-laki mempengaruhi keberadaan perempuan dan cara berbicara menyampaikan pesannya atau sebaliknya. Penelitian ini memfokuskan pada tuturan yang dipakai untuk bertanya jawab karena bahasa memiliki salah satu fungsi pokoknya untuk bertukar pikiran, nilai, keakuan dengan menyampaikan pertanyaan dan jawaban. Pikiran manusia berkembang dengan bertanya dan menjawab berbagai hal yang mengganggu ketenangan hidupnya sehari-hari, baik bertanya dan menjawab dengan diri sendiri atau orang lain. Pertanyaan dan jawaban, walaupun dengan pokok proposisi yang sama, muncul dengan berbagai bentuk dan susunan tuturan yang berbeda, yang salah satunya dipengaruhi oleh latar belakang jenis kelamin penutur. B. Kajian Teori Sosiolinguistik Berikut ini merupakan beberapa definisi mengenai studi sosiolinguistik: a. Halliday (1970): linguistic institutional, sosiolinguistik berkaitan dengan pertautan bahasa dengan orang-orang yang memakai bahasa itu. b. Pride dan Holmes (1972): studi bahasa sebagai bagian dari kebudayaan dan masyarakat yaitu language in culture bukan language and culture. c. Firshman (1972): memberi nama, yang pada beberapa aspek mirip bahkan sama, yakni dengan nama sosiologi bahasa, yang berarti bahwa sosiologi bahasa adalah keseluruan topic yang berkaitan dengan organisasi sosial dari perilaku bahasa, bukan saja pemakaian tetapi juga sikap terhadap bahasa dan penggunanya. d. D.Hymes (1973): sosiolinguistik dapat mengacu kepada pemakaian data kebahasaan dan menganalisisnya ke dalam ilmu-ilmu lain yang menyangut kehidupan sosial atau sebaliknya mengacu pada data kemasyarakatan dan 6 menganalisisnya ke dalam linguistic. Dia melihat bahwa bahasa untuk masyarakat dan masyarakat untuk bahasa e. Trudgill (1974): sosiolinguistik adalah bagian dari lingustik yang berhubungan dengan bahasa sebagai gejala sosial dan gejala budaya, sehingga budaya masuk dalam bahasa. f. Criper dan Windowson (1975): studi sosiolinguistik adalah studi bahasa dalam pemakaiaanya. Tujuannya adalah untuk menunjukkan hubungan konvensi bahasa dengan aspek-aspek lain dari budaya. g. Hudson(1980): studi sosiolinguistik adalah studi tentang bahasa dalam kaitannya dengan masyarakat. h. Nababan(1984): seperti Halliday: studi sosiolinguistik adalah studi bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat. Sosiolinguistik timbul berdasarkan asumsi bahwa bahasa bukanlah monolitik dan homogen, tetapi bahasa bersifat heterogen dan bervariasi. Keheterogenan dan kevariasian bahasa itu dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar bahasa yang sifatnya sosial, sebagaimana dikatakan bahwa bahasa merupakan fenomena sosial (Saussure, 1973; Halliday, 1978) dan bukanlah fenomena fisik (Bloomfield, 1935) atau Kognitif dan mental (Chomsky, 1963). Variasi-variasi ini berpola secara konvensional. Oleh karena itu tugas utama sosiolinguistik adalah membuat model atau pola hubungan antara bahasa dan faktor-faktor sosial (tatanan sosial). Struktur sosial menentukan perilaku bahasa dan keduanya tidak dapat dipisahkan (Fishman, 1971:114). Cakupan ilmu ini memfokuskan pada penggunaan konkrit dari bahasa dalam konteks sosial, yakni studi bahasa tidak dapat dipisah dari bagaimana dan di mana bahasa itu dipakai (Fishman, 1971). Sedangkan linguistik merupakan ilmu yang melihat bahasa semata-mata, sebagai beberapa definisi sistem logika bukan sosial dan budaya. Secara sosiolinguistik bahasa dilihat sebagai: (1) sistem yang tertutup, yang berarti bahwa bahasa terdiri dari hubungan antarunsur yang saling mempengaruhi, (2) sistem yang hidup, yakni bahasa merupakan sesuatu yang bergantung dan ditentukan keberadaannya oleh lingkungan di luar bahasa dan merupakan sistem yang berevolusi, (3) sistem yang terbuka, yakni bahwa ada hubungan saling mempengaruhi antarelemen dan ada pengaruh dari 7 konteks penggunaannya. Untuk menganalisis bahasa, sebagai konsekuensinya diperlukan adanya data-data sosial. Sebaliknya juga dalam menganalisis suatu tatanan status sosial suatu masyarakat (seseorang) bisa diketahui atau dimulai dari bahasanya dengan melihat variasi-variasi penggunaan bahasanya. Variasi bahasa dan tatanan sosial berjalan paralel atau beriring pada arah yang sama pada urutan yang sama. Dikatakan juga bahwa sosiolinguistik muncul karena gagasan bahwa fenomena sosial dan linguistik berada pada tingkat yang sama (Penalosa, 1981:61) sehingga data yang sama dapat digunakan untuk menganalisis baik bentuk bahasa maupun kategori-kategori sosialnya. Suatu bentuk bahasa dipilih sebetulnya semata-mata sebagai suatu realisasi dari nilai sosial dan segala kategori-kategorinya. Bahasa merupakan alat interaksi budaya, tidak sekadar pertukaran informasi. Pertukaran informasi hanyalah sebagai bagian fungsi bahasa (Bolinger, 1975:24). Walfram (1971:96) juga mengatakan bahwa ada hubungan kausal langsung antara perbedaan variasi bahasa dan perbedaan sosial. Bahasa dan masyarakat saling mempengaruhi dan saling menentukan dalam arti bahwa variasi bahasa tertentu menunjukkan status sosial tertentu dan status sosial sebaliknya juga menentukan jenis variasi bahasa. Mengetahui dan mempelajari bahasa dalam sosiolinguistik, harus dilihat dalam konteks yang sesungguhnya di mana bahasa dipakai serta situasi penggunaannya, dan harus dilihat secara empiris dan aktual karena bahasa bukanlah konsep-konsep abstraksi yang ideal tanpa melihat variabel yang mempengaruhi dalam penggunaannya. Sosiolinguistik menggunakan konsep ranah dalam mengklasifikasikan keteraturan-keteraturan yang ditimbulkan oleh hubungan antara variasi bahasa, fungsi sosial, dan situasi (Fishman, 1964). Kaidah keteraturan inilah yang perlu ditemukan oleh sosiolinguistik sebagai kaidah bahasa yang sebenarnya dan bersifat empiris. Kaidah ini secara konvensional diakui dan ditaati untuk dipergunakan oleh setiap penutur. Tugas sosiolinguistik pada dasarnya adalah untuk (1) menganalisis bahasa di luar kalimat dan menekankan pada studi penggunaan bahasa oleh kelompok sosial (Bell, 1976:25) sehingga analisisnya melibatkan data-data sosial untuk 8 membuatnya deskriptif dan umum (2) Pike (dalam Bell, 197:28) menciptakan teori yang integral dari perilaku manusia (3) Kjolseth (dalam Bell, 1976) mengatakan bahwa sosiolinguistik sebagai ancangan yang integral, interdisipliner, multimetode dan multitingkat terhadap studi perilaku bahasa alami, urut, dan berada dalam situasi sosial Di lain pihak, Fishman (1972) mengatakan bahwa sosiolinguistik mempelajari hal-hal yang terjadi sewaktu-waktu dan mencakup eksolinguistik sebagai bagiannya (Fishman, 1972:10). Deskripsi sosiolinguistik menggunakan kalimat sebagai bagian atau komponennya, tidak hanya pada kalimat tertentu pada penutur tertentu tetapi fokusnya pada interaksi penutur-penerima. Jadi titik tolaknya adalah interaksi atau terjadinya interaksi, bukanlah abstraksi-abstraksi bagaimana penutur yang ideal dan pendengar yang ideal sehingga melupakan proses komunikasi (interaksi) dan penerima tuturan yang sebenarnya dan aktual. Jadi jelas bahwa ancangan sosiolinguistik makro bukanlah pada modelmodel abstraksi yang terpisah dari penggunaan nyata, alami, serta terpisah dari kontak budaya yang mempengaruhi, tetapi sosiolinguistik melihat suatu hal yang empiris, nyata, faktual dan mengakui keheterogenan bahasa bukanlah kemonolitikannya. Motivasi awal dari sosiolinguistik dinyatakan secara jelas pada beberapa dekade yang lalu, yakni untuk menunjukkan korelasi antar variasi secara bersama yang sistematis antara bahasa dan susunan sosial serta hubungan sebab akibat dalam suatu tujuan interaksi maupun yang lain (Bright, 1966:11), karena tujuan merupakan hal yang penting. Sebagaimana yang akan kita lihat, yakni dalam suatu pendekatan penelitian yang saling berkaitan yang mengasumsikan bahwa susunan bahasa dan susunan sosial itu hal yang berbeda dan merupakan suatu kesatuan yang terpisah yang sebagian didiskripsikan dalam rumpun ilmu bahasa dan sebagian lain pada rumpun ilmu sosial. Sedikitnya ada 2 pendekatan berbeda dalam pendiskripsian situasi sosial mengenai dimana bahasa itu digunakan. Pendekatan yang pertama adalah bahwa pada umumnya sosiolinguistik sebagaimana tujuannya sebagai data sosial yang akan membuat model bahasa deskriptif lebih umum dan kuat. Sebagai contoh adalah bahasa 9 dasar dan meluasnya ilmu bahasa yang melampaui level susunan grammar dalam interaksi antara pembicara dengan pendengar. Pendekatan yang kedua yakni sosiolinguistik bertujuan untuk mencari perluasan cabang ilmu pengetahuan, penggabungan bahasa dan struktur sosial di dalam beberapa teori yang akan menyatukan ilmu bahasa dengan pengetahuan manusia di mana bahasa itu digunakan dalam konteks sosial. Seperti pandangan linguistik itu sendiri yang diungkapan oleh De Saussure (1915:33) dalam bukunya semiologi dan kemudian dilengkapi oleh Pike (1967) di dalam penelitiannya untuk membuat sebuah teori penggabungan tingkah laku manusia. Sebuah definisi yang kuat telah diungkapkan oleh Kjolsets (1972) yang mengatakan bahwa sosiolinguistik dapat dilihat sebagai penggunaan berbagai cabang ilmu pengetahuan, berbagai metode, dan tingkat pendekatan dalam rangka pembelajaran bahasa secara alami serta rangkaian dan kebiasaan dan kemampuan bahasa seseorang pada situasi sosial. Sejauh ini kita hanya memperhatikan hubungan antara linguistik dengan sosiolinguistik secara umum. Oleh karena itu, nampaknya penting untuk mencoba menyatakan dua pandangan yang berbeda dari seorang ahli bahasa yang mempelajari ilmu ini. Disini akan terlihat secara mendasar dua tujuan yang berbeda tergantung pada kekuatan tuntutan dari bidang ilmu yang dipelajarinya: (1). Tuntutan yang lemah yang melihat sosiolinguistik sebagai suatu mata kajian tambahan yang terkait dan berhubungan dengan pengertian grammar dalam syntax, semantik, dan fonologi. (2) Tuntutan yang kuat adalah yang menyangkal kecukupan pemahaman ilmu bahasa/linguistik yang ada sekarang dan mendesak adanya penetapan tujuan dan metode kebahasaan untuk memasukkan data sosial pada model simiontik dari penggunaan bahasa. Beberapa ahli bahasa seperti Fromkin, (1968) menerima usul dari Chomsky (1965:15) untuk penggabungan data dari penggunaan bahasa secara aktual sebagai kerangka pendiskripsian bahasa seperti halnya beberapa ahli bahasa yang harus memperhatikan pembuatan model penggunaan bahasa (performance). Tujuan melakukan hal ini adalah semata-mata sebagai hasil kerja grammar secara umum. Seorang pendiskripsi harus menerima dua perbedaan antara kompetensi dan perfomansi dan harus memiliki cara pandang bahwa teori 10 linguistik memfokuskan pada pembicara dan pendengar yang ideal, bukan berfokus atau berkutat pada kondisi yang tidak relevan secara gramatikal yang disebabkan oleh keterbatasan gramatikal. Sedangkan beberapa ahli bahasa yang lain mengikuti cara kerja para filosofi seperti Austin (1962) dan Searle (1969) yang menekankan pada fungsi tuturan dan tuturan itu sendiri. Mereka menolak keterkaiatan status sebagaimana yang diungkapkan di atas dan akan menyangkal adanya pemisahan dua cabang antara kompetensi dan penampilan (Langue dan parole), khususnya pada implikasi struktur yang kurang aplikatif pada situasi yang nyata. Mereka berpendapat bahwa penggunaan bahasa itu membawa ‘pengetahuan bahasa’ yang merupakan bagian dari kompetensi pembicara dan pendengar yang ideal. Untuk itu tujuan pokok dari ilmu bahasa yang akan dikemukakan oleh pembuat tuntutan yang kuat ini adalah spesifikasi antara kompetensi komunikatif antara pembicara dan pendengar. Contohnya pengetahuannya tidak hanya pada grammar yang benar tetapi juga pada bagaimana bahasa itu digunakan dan diterima dalam masyarakat. Searle secara khusus, yang paling penting dalam pembuatan model kompetensi adalah pengguanaan bahasa yang bisa diterima oleh masyarakat dan tidak hanya pada grammar. Seorang ahli sosiologi bahasa dalam upayanya untuk mengkorelasikan antara ilmu bahasa dan struktur sosial mempertanyakan banyak prinsip dasar dari bahasa. Dia mencari-cari variasi yang secara tradisional hanya memiliki perhatian yang sedikit dari seorang ahli bahasa dan mencoba untuk mendemonstrasikan tidak hanya pada tipe variasi yang berbeda tetapi juga menonjolkan pada sisi yang sistematik bukan secara acak. Dia memilih sebuah orientasi yang dalam datanya yang memasukkan pemikiran atau konsep tentang kewajaran dan keberterimaan secara riel sehingga dengan cara demikian ditekankan pada perealisasian model yang induktif sedangkan cara-cara deduktif untuk tujuan ini sering dinilai tidak tepat. Berdasarkan jangkauannya kajian sosiolinguistik dibedakan menjadi dua yaitu sosiolinguistik makro dan sosiolinguistik mikro. Sosiolinguistik makro melihat atau menemukan distribusi atau sebaran dari variasi bahasa dalam 11 masyarakat dengan melihat status demografis penutur seperti jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan dan keanggotaan etnik (dalam Bell, 1976:27). Jadi sosiolinguistik makro bukanlah pada interaksi individual tetapi mengacu pada keanggotaan pada suatu kelas atau kategori sosial baik jenis kelamin, pekerjaan, dan lain-lain. pada intinya sosiolinguistik makro mempelajari komunikasi atau interaksi intergrup bukan intragrup. Kami menyarankan bahwa salah satu dari karakteristik sosiolinguistik yang ditekankan adalah pada studi penggunaan bahasa dari kelompok sosial tertentu. Walaupun sangat mungkin untuk mengadopsi pandangan yang bermacam-macam dalam struktur kelompok, ketika dihubungkan dengan bahasa, cenderung menghasilkan hasil yang berbeda. Pandangan yang mungkin diringkas dalam hubungan yang berbeda diambil antara individu dan kelompok. Fitur linguistik dapat dipakai untuk melihat hubungan antarindividu dan antarkelompok, dan fitur itu dapat dideskripsikan dalam dinamika individu dan kelompok. Pendekatan pertama, mengambil individu sebagai fokus perhatian, membagi wilayah pada psikologi pada umumnya dan psikologi sosial pada khususnya. Sedangkan pendekatan kedua lebih sosiologis dalam penekanannya dan mengikat sosiologi itu sendiri, ekonomi, antropologi dan pengetahuan politik, tergantung pada alam, komposisi dan ukuran kelompok. Pada dasarnya, divisi antara dua pendekatan itu jauh dari ketepatan tetapi sangat baik secara temporer untuk mengadopsi dan mengadaptasi pada analogi dari sosiologi (Timasheff, 1957:269) hal mikro dan makro memasukkan label mikro sosiolinguistik untuk menganalisis yang menekankan pada individu dalam hubungan kelompok intra informal yang kecil dan makro linguistik dimana tempat investigasi adalah interaksi pada tingkat inter kelompok yang besar. Perbedaan sosiolinguistik mikro dengan makro, sebetulnya terletak dalam hal filosofis yaitu pada definisi tentang “individualitas”, melihat perbedaan antarindividu yaitu sejumlah ciri-ciri individual yang membedakannya dari individu lainnya (Krech et al. dalam Bell, 1976) yaitu 12 penekanannya terletak pada cara di mana individu tidak termasuk pada beberapa kategori sosial yang terbentuk secara mana suka, artinya jika seorang penutur mempunyai ciri-ciri perilaku yang tidak ada pada kelompok sosial tertentu, maka ciri-ciri ini ditangani oleh sosiolinguistik mikro. Variabel-variabel mikro biasanya ditemukan dalam tindak tutur atau boleh dikatakan bahwa sosiolinguistik mikro adalah studi tentang hubungan struktur bahasa dengan struktur sosial dalam tingkat interaksi tatap muka, dengan begitu bisa dilihat dan diketahui atau dibedakan antara perilaku bahasa dan perilaku nonbahasanya. Tugas sosiolinguistik mikro adalah menemukan hubungan antarkedua perilaku tersebut (Ervin Tripp dalam Penalosa, 1981:60) selanjutnya Ervin Tripp mengatakan bahwa sosiolinguistik mikro adalah studi tentang komponenkomponen interaksi tatap muka yang berhubungan atau dipengaruhi oleh struktur formal dari tutur. Komponen-komponen itu mencakup : personil, situasi, fungsi, interaksi, topik, pesan dan saluran. Leech (1983) mengatakan bahwa makna tuturan yang betul-betul bermakna adalah makna yang ditimbulkan oleh interaksi antara bentuk tuturan, makna formal tuturan, dan konteks. Konteks mencakup siapakah penutur dan petuturnya, situasi ujaran, tujuan, norma sosial, dan aspek lain seperti waktu dan tempat tuturan dihasilkan. Jadi di sini memperhatikan bukan saja pada ko-teks tetapi juga melihat pada konteks budaya maupun pada konteks situasi. Konteks ini bersifat nonverbal, yang akan juga menentukan isi pesan dalam interaksi. Sosiolinguistik mikro berkenaan dengan usaha untuk menghubungkan karakter-karakter atau variasi bahasa dengan ciri-ciri atau karakter penutur dalam situasi komunikasi yang menyertai. Pendekatan yang digunakan dalam analisis sosiolinguistik mikro etnometodologi yang selalu menyatakan dan mencari sistem simbol yang tetap pada makna yang tetap yang dipakai oleh anggota masyarakat dan dalam hal ini diklasifikasikan dalam etnografi komunikasi yang memfokuskan pada “bagaimana sebenarnya orang berinteraksi?” dan “apa saja yang terjadi dalam suatu percakapan, suatu ujaran, humor atau peristiwa tutur lainnya?”. 13 Sosiolinguistik tidak mempelajari hal-hal yang abstrak, menciptakan penutur-pendengar ideal dalam suatu guyup yang benar-benar harus homogen sebagaimana dikatakan oleh Chomsky (1963), tetapi lebih pada penuturpendengar yang aktual dalam guyup tutur dan guyup sosial yang heterogen. Hal ini tidak hanya menyangkut apa yang penutur ketahui atau potensi penutur, tetapi juga pada apa yang sebenarnya mereka katakan atau maksud yang didukung oleh faktor-faktor nonbahasa. Pendekatan dalam sosiolinguistik memerlukan suatu deskripsi yang sistematis terhadap perilaku yang komunikatif. Perilaku komunikatif ini telah distandarisasi secara alami dalam konteks sosiokultural di mana perilaku itu terjadi. Standarisasi itu tidak bersifat perskriptif tetapi secara tidak sadar ditaati dan dilaksanakan dalam perilaku tutur. Pola perilaku dan interprestasinya merupakan hal pokok dalam sosiolinguistik yang dikerjakan secara empirik dan aktual serta deskriptif. Sosiolinguistik menekankan pada pencarian pola hubungan antara kedua struktur yang direaliasasikan pada perilaku berbahasa dan perilaku social pemakai bahasa. Beberapa tipe teori bahasa dan kajian dalam hubungannya dengan ilmu lain, interdisipliner, memperlakukan bahasa dengan melihat hakekat bahasa itu sendiri. Sehingga untuk mengetahui perilaku bahasa itu terlebih dahulu mengenal hakekat bahasa dalam perannya pada masyarakat atau guyup tutur. Sebagai awal pencarian hakekat pembicaraan tentang sosiolinguistik, Bell (1976) memulainya, sebagaimana dengan cara yang digunakan oleh ahli bahasa untuk meng gambarkan dan menjelaskan tentang fenomena yang dikenal sebagai bahasa. Pencarian hakekat itu bergantung pada jawaban terhadap pertanyaan ‘apakah bahasa itu?’, walaupun jawaban itu masih berupa asumsi samar ataupun yang sudah dinyatakan denga jelas. Jawaban untuk pertanyaan ‘apakah bahasa itu?’ pada abad 19 yaitu didefinisikan bahwa ‘bahasa adalah perubahan’. Ternyata jawaban itu kurang tegas dalam penyepadanan antara penjelasan turunan yang dipakai, dengan tujuan pembangunan kembali bentuk asli dari bahasa. Selama abad itu, ilmu bahasa yang berhubungan dengan sejarah 14 jadi kurang sesuai dengan perkembangan terakhir tetapi belum sepenuhnya hilang. Sedikit mahasiswa Bahasa Inggris di perguruan tinggi gagal untuk mempelajari paling tidak tentang sejarah bahasa ibu mereka, tak peduli seberapa kuatnya jurusan itu diorientasikan pada ulasan sastra atau ilmu bahasa modern. Selama abad itu, pada dasarnya meneruskan pengaruh De Saussure bahwa bahasa dilihat sebagai sebuah obyek yang bisa digambarkan dengan metode deduktif yang serupa dengan metode dalam ilmu alam. Lebih tepatnya, bahasa dilihat sebagai sebuah sistem dengan komponen-komponennya tersendiri dan hubungan-hubungan yang bisa digambarkan di dalam dan untuk sistem itu sendiri bukan dalam istilah penggunaan yang menempatkan bahasa sebagaimana adanya yang memiliki hubungan ke luar bahasa (extralinguistik). De Saussure sangat gigih untuk menuntut otonomi ilmu bahasa – ‘la linguistique a pour unique et véritable objet la langue envisagée en elle-même et pour elle-même’ (De Saussure, dalam Bell, 1976:18). Singkatnya, selama lima puluh tahun pertama pada abad itu, kebanyakan ahli bahasa berpaling dari pertimbangan aspek-aspek eksternal bahasa, yakni tentang perubahan dan penggunaan yang mengenal bahasa sebagai perilaku sosial manusia. Hal ini dikarenakan mereka lebih memusatkan perhatiannya pada segi internal bahasa yaitu sebagai sistem dan struktur yang otonom. Bukannya mengatakan kalau penelitian tentang bahasa dalam konteks sosial telah mati bersama mahasiswa Eropa terakhir yang mempelajari retorika pada abad 19, tetapi usaha untuk menghubungkan bentuk ilmu sosial dengan fungsi sosial masih berlanjut. Namun, pada umumnya keberlanjutan tersebut hanya sebagai tambahan pada penelitian-penelitian sosiologi, pendidikan, atau psikologi. Hanya beberapa ahli antropologi bahasa seperti Firth dan Malinowski di Inggris serta Sapir dan Whorf di AS yang masih memperhatikan aspek-aspek eksternal penggunaan bahasa, seperti juga para ahli dialektologi. Namun, mereka bahkan cenderung dibatasi oleh tradisi sejarah yang kuat dalam tujuannya walaupun kebanyakan ahli dialektologi tersebut sudah terlatih. Hasilnya yaitu bahwa survei dialek mereka, hampir tanpa pengecualian, lebih bersifat pedesaan, diorientasikan pada ‘pemeliharaan’ cara bicara kaum tua, dan penemuan atas 15 perluasan bentuk cara bicara kaum tua yang telah bertahan dalam komunitas yang terisolasi. Akar permasalahan, yang dihadapi ahli bahasa dalam memilih sebuah definisi tentang bahasa yang dipakai dalam membahas bahasa dan sebagai metodologi untuk menghadapi dan membuat temuan-temuannya, terletak pada sifat dasar bahasa yang aneh, komplek, dan bersifat dualitas dengan sendirinya. Hal ini merupakan sistem yang terstruktur dengan sangat abstrak dan yang dipakai oleh sebuah komunitas tutur, yang dapat diamati lewat perilaku individual. System sebagai perilaku perseorangan dan pada saat yang sama cenderung berubah-ubah. Ahli bahasa tidak sendirian dalam mengatasi dilema semacam itu. Dalam interaksi sosial, ahli psikologi sosial melihat hal yang sama yaitu sebagai obyek penelitian yang mempesona dan mengagumkan. Di satu sisi terasa dekat dan akrab lalu di sisi lain terasa misterius dan tidak dapat diungkapkan. Tampaknya tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan atau konsep yang bisa menjelaskan. Melihat hal semacam ini, kebanyakan mahasiswa ilmu bahasa modern menjelaskan bahasa tersebut secara internal dan otonom -- yang berawal dari sintaksis lalu berubah menjadi semantik. Mereka mengabaikan hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dengan acuan struktur bahasa itu sendiri, lebih buruk lagi, diberi panggilan ‘variasi bebas’. Dua asumsi kunci yang masih bisa diandalkan oleh kebanyakan ahli bahasa deskrptif adalah kembali menuju De Saussure (1915). Hal ini, walaupun, dinyatakan dalam bentuk yang agak ekstrim. 1. Ada sebuah dikotomi (pembagian dua ektrim) antara langue (kode yang dipakai bersama oleh komunitas tutur) dan parole ( penggunaan bahasa yang aktual oleh individual). Semenjak dikotomi ini dapat diterima, maka parole itu tidak cukup terstruktur dengan baik sebagai obyek studi penelitian, tetapi langue muncul sebagai obyek yang tepat untuk penelitian ilmu bahasa. Tetapi bagaimanapun penelitian langue tetap akan melihat pemakaian bahasa secara individual atau parole. Sehingga langue ditemukan melalui beberapa parole. 2. Ada sebuah dikotomi antara deskripsi sinkronis atau deskripsi kondisi-statis dan deskripsi diakronis atau deskripsi system-dinamis. Dalam suatu pengertian, 16 pandangan De Saussure ini mengikuti dikotomi langue-parole tapi lebih dirangsang terutama pada kasus De Saussure dengan keinginannya untuk melepaskan diri dari orientasi sejarah ilmu bahasa abad 19. Melalui pandangan ini, deskripsi ilmu bahasa didefinisikan sebagai deskripsi sinkronik atas ‘perumusan bahasa’ pada titik waktu yang ditetapkan daripada deskripsi diakronik atau kronologi atas mekanisme perubahan ilmu bahasa. Kesulitan operasional muncul ketika ahli bahasa mulai menggambarkan langue, karena tampak jelas pada saatnya jika sebuah pendekatan empiris itu hanya dapat diamati pada deskripsi parole. Parole mampu mengarahkan pengamatan dengan indera manusia dan yang diwadahi oleh langue dalam ‘kesadaran bersama’ dari komunitas tutur. Dua solusi untuk mengatasi dilema tersebut dapat dicoba: (1) induksi, generalisasi yang berdasarkan pada data yang dihasilkan oleh satu sumber dan (2) deduksi, penggunaan introspeksi untuk memperoleh wawasan menuju struktur bahasa itu. Keduanya akan didapati berbeda walaupun kedua pendekatan ini muncul untuk membuat asumsi mendasar yang sama yaitu bahwa bahasa dalam suatu hal adalah lambang dari pengguna individual. Hal itu nyata pada kasus pertama dan pada kasus kedua itu hanya teori semata. C. Hubungan Sosiolinguistik dengan Studi Lainnya (dalam studi interdisipliner) a. Ilmu Sosiologi: studi sosiolinguistik memerlukan data atau subyek lebih dari satu orang individu, secara metodologis, keduanya menyangkut metode kuantitatif sampling, statistik, wawancara, rekaman, dokumen, dsb. Penggolongannya mengunakan deskriptif. Perbedaannya adalah pada objek, yakni sosiologi menitik beratkan pada deskripsi masyarakat bukan bahasa, sedangkan studi sosiolinguistik pada bahasa bukan masyarakatnya. b. Linguistik umum, relatif mirip dengan linguistik dekriftif, yang memiliki ciri: monolistik closed-system, homogen, satu atau beberapa informan pilihan. Analisis menitik bratkan pertama pad bunyi, baru makna kedua; yang berkisar pada mayoritas kalimat. Sedangkan studi sosiolinguistik memiliki cirri sebagai berikut: 1) bervariasi, heterogen, open-system 17 2) fungsi dalam masyarakat, pada makna,informan banyak data 3) verbal dan non- verbal. 4) terbesardari wacana mulai dari situ. 5) pendekatan makna disiplin. c. Dialetologi memiliki ciri pada metode komparatif, historis, diakronis, variasi berdasarkan batas regional, alam, sedangkan studi sosiolinguistik komparatif, deskriptif sinkronis, variasi berdasarkan bahasa, berdasarkan batas-batas kemasyarakatan d. Retorika (selected speech) atau dengan kata lain laras (gaya bahasa) Retorika memiliki kecondongan ke studi tutur individual, studi sosiolinguistik tidak hanya unsur terpilih tetapi seluruhnya, dalam studi sosiolinguistik mencari variasi yang ada kemudian mencari factor yang memunculkan variasi itu. e. Psikologi Sosial, secara metodologis, menitik beratkan pada personal- orionted; sedangkan studi sosiolinguistik sosial-oriented. Psikologi sosial dapat dipakai dalam studi sosiolinguistik seperti sikap. f. Antropologi: studi tentang kebudayaan dalam arti luas seperti adat, hukum kekerasan, lembaga sosial,dsb. Sedangkan studi sosiolinguistik meneliti bahasa denga nilai-nilai sosialnya, yang kemungkinan sama-sama memakai metode pengamatan berpartisipasi. Studi sosiolinguistik memiliki dua subbagian, yakni mikro dan makro sosiolinguitik. Mikro menangani masalah-masalah kecil atau sempit sepert pekerjaan, usia, jenis kelamin, tempat tingal. Seperti pada situasi pesta adat yang di dalam ada peristiwa tutur dapat dianalisis dengan melihat siapa bicara dalam bahasa apa kepada siapa, tentang apa, situasi apa, maksud apa (yakni dengan konsep ranah). Makro menangani interaksi yang bersifat :intergroup interaction. D. Langue-Parole dan Kompetensi-Perfomansi Sepanjang abad, para ahli bahasa telah berusaha untuk menemukan bentuk yang sempurna dan ideal dari bahasa yang disembunyikan di tengahtengah masyarakat yang sesungguhnya dan penggunaan data bahasa yang 18 berubah-ubah. Bagi ahli bahasa pada abad 19, termasuk juga Plato, bentuk ‘murni’ bahasa hanya ada di masa lalu dan cara bicara masa kini dilihat sebagai sebuah versi yang lebih buruk dari sebelumnya. Begitu juga De Saussure, bagi seluruh bentuk bahasa baru dan ide-ide rintisannya masih berada dalam pencarian sistem homogen yang murni dan dipercayanya ada, bukan di masa lalu tapi di pikiran bersama dari komunitas tersebut. Bagi Chomsky, letak dari bentuk murni itu lebih abstrak yaitu pikiran dari ‘pembicara dan pendengar yang ideal’. Yang paling mengejutkan yaitu kognisi umum/lazim – cara bicara yang nyata, parole, pelaksanaan, cara bicara, kegunaan, atau apapun istilah yang digunakan terlalu berubah-ubah untuk digambarkan. Ahli sosiolinguistik tidak bisa kecuali mengambil masalah bersama hal ini. Tak seorangpun akan menolak bahwa cara bicara itu berubah-ubah tetapi ahli bahasa yang mencoba untuk menciptakan sebuah ‘ilmu bahasa sosial yang nyata’ (Labov, 1966:14). Tidak bisa menerima bahwa pelaksanaan itu tidak lebih dari sebuah refleksi kemampuan yang tak berarti dan terlalu menyimpang, sangat kacau jika hal itu tidak dapat dipertanggung-jawabkan pada ganbarannya. Dia akan menunjukkan bahwa bagian dari ‘mengetahui bahasa dengan sempurna’ (Chomsky, 1965:3) terdiri dari mengetahui bagaimana dan kapan menunjukkan dan jika tanpa kemampuan-kemampuan ini, pembicara-pendengar yang ‘diidealkan’ akan menjadi ‘monster yang berbudaya’ (Hymes, 1967:639). Seberapa jauh ahli sosiolinguistik menegaskan pendapatnya untuk diterima tergantung pada gambarannya tentang tujuan linguistik umum dan tentang sosiolinguistik khususnya. Dia mungkin menerima seperti Fromkin (1968), bahwa sasaran utama sosiolingustik adalah membangun realisasi dan penampilan sebuah teori. Sebaliknya, dia bisa membuat sanggahan yang lebih dramatis. Searle (1969) menyatakan bahwa teori kompetensi tidak cukup dan kenyataannya sosiolingustik adalah “ilmu bahasa” yang telah mempunyai posisi tersendiri sehingga dikatakan sebagai “peralihan tata bahasa”. 19 E. Penggambaran singkronik dan diakronik Ketepatan pembagian antara singkronis dan diakronis disampaikan oleh De Saussure, pengertian ini sebagai reaksi ulang atas kekuatan diakronis biasanya ilmu-ilmu bahasa pada abad 19, dengan meningkatnya telah terlihat sebagai ketepatan metodologi yang menguasai tingkat kegunaannya yang lebih tinggi. Hal ini benar, tidak hanya dalam ruang lingkup penelitian yang berorientasi scara sosiologikal dan utamanya diman usaha- usaha yang tlah tersusun untuk memproduksi sebuah analisa kepuasan dalam situasi yang berkelanjutan akan tetapi dalam bekerja yang telah surut dengan jelas tanpa ada sebuah kedisiplinan yang tak beralasan. Contohnya, beberapa transformasionalisasi (Chomsky dan Halle, 1968) sekarang sanggup menerima tanpa kerangka umum pada model singkronis, data bahasa dari sumber- sumber terdekat dalam bahasa dan memasukkan contoh data tanpa ada jalur sistem di awal permulaan bahasa. Terutama, keputusan untuk membuat “bentuk dasar“ dari masuknya leksIkal representasi orthograpis yang menyatakan secara tidak langsung bahwa bagian yang ideal dari pendengaran pembicara yaitu “pengetahuan bahasa” adalah beberapa dugaan Middle baru-baru ini dan pokokpokok leksikal yang bersumber dari awal Modern English. Namun, pemikiran pada skala waktu lebih pendek, baru saja bekerja dalam “perkiraan-perkiraan” yang menyatakan sebagai “pengetahuan” digunakan lebih awal dan konotasikonotasi memulai untuk membawa ke dalam realisasi bahasa yang tajam. Bahkan, ketika pemikiran itu sebagai statik atau ketetapan, kenyataannya, sistim dinamis itu adalah pengucapan yang lebih utama terdorong atas perubahan – seperti De Saussure (1915:37) sendiri meletakkan itu ”enfin c’est la parole quifait ‘evoluer la langue” F. Data ilmu-ilmu bahasa Ilmu bahasa, pada umumnya berhubungan dengan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, dengan bekerja terhadap penemuan struktur data tersebut. Model-model pembuatan, kesetaraan rangkaian konstruksi tertentu, dalam rencana abstrak yang seharusnya perkiraan terdekat lebih atau sedikit pada 20 realita data aktual (Revzin, 1966:3). Hanya untuk model-model ini boleh didiskusikan sesuai data bahasa natural. Sumber-sumber dari yang telah tergambar dan abstraksi kesepakatan yang termasuk dalam penciptaan penggambaran sasaran. Strukturalis mendekati ke bahasa penggambaran mulai dengan asumsi operasional yang memilih satu pelapor yang berkapabilitas secara hati-hati asal data cukup untuk penggambaran umun sebuah data bahasa. Bagaimanapun terpilihnya, ilmu bahasa tetap berdasar pada analisisnya. Sampai akhir–akhir ini, penggambaran ilmu bahasa telah berakhir pada sebuah kalimat. Prosedur khas struturalis lebih baik diilustrasikan oleh sub judul pada bukunya, A.A Hill (1958) yang berjudul “Introduction to Linguistic Structure”. Dari suara menuju kalimat dalam bahasa Inggris, sedangkan transformasionalisasi jelas dalam simbol identitas tata bahasa mereka – E : “kalimat”. Meskipun petunjuknya berbeda, terutama dalam asensi sintesis dan analitis kedua, keduaduanya diadaptasi, seperti pada kalimat poin terakhir. Penggambaran sosiolinguistik diharapkan mampu memperluas hingga melebihi struktur-struktur kalimat yang lebih lebar, berkomponen, dan perhatiannya akan butuh terpusat tidak saja pada kalimat individual yang diproduksi oleh pembicara-pembicara individual (bagaimanapun idealisasinya) tetapi dalam interaksi pendengaran pembicara dan dalam teks-teks sturktur yang lebih luas, percakapan-percakapan, ungkapan-ungkapan, sumpah-sumpah, pertanyaan dan kebisaaan jawaban dan lain sebagainya G. Bidang sosiolinguistik Hal ini telah tampak dari apa yang telah dipaparkan di atas bahwa sosiolinguistik menolak semua yang telah berlangsung sebelum dia ada dalam ilmu-ilmu bahasa, tetapi ini jauh dari kebenaran. Prestasi-prestasi besar pada abad 19 di dekade hasil pemilihan para pekerja keras, meletakkan fonetik fondasi dan fonologi serta kekuasaan mereka; De Saussure berperan penting untuk mencari orientasi baru sebagai sasaran, orientasi ini sendiri telah bekerja keras dan berbuah sesuatu yang berharga. Kita tahu sekarang, lebih jauh tentang bahasa natural daripada dari apa yang kita lakukan 100 tahun yang lalu, prestasi 21 inteletual; yang tidak dapat ditolak secara gamblang dalam beberapa tingkat pelayanan baru. Tidak. Hal itu bisa berarti mayoritas ilmu-ilmu sosial melihat mereka sebagai ilmu-ilmu bahasan dengan tujuan dinyatakan pengusahaan untuk menemukan korespondensi yang berurutan, antara ilmu bahasa dan stuktur sosial serta lagipula, melihat peran mereka sebagai pemanggilan dari beberapa pertanyaan atas asumsi-asumsi ilmu bahasa. Disamping itu, untuk mempercepat waktu pemenuhan dan lebih memuaskan dalam bahasa penggambaran. Seperti, Labov (1966) meletakkan ini untuk menyelelesaikan masalah ilmu-ilmu bahasa, pemenuhan dalam pemikiran yang akhirnya masalah-masalah analisa perilaku. Di samping itu, sosiolinguistik divariasi atas ketertarikanya dapat melihat sendiri sebagai ahli waris ke dialektologi dan di usaha-usahanya saat ekstensi penggambaran sebuah kalimat bahasa ternyata terlalu sulit sebagai penyegar dari sebuah tradisi berpidato yang masih sangat kuno, sungguh sampai akhir ini yaitu masa disiplin ilmu sejarah, bentuk serta tata bahasan dua arus utama beasiswa ilmu bahasa. Maka dari itu, kemudian boleh digunakan untuk menemukan mengapa sosiolinguitik berbeda dari kedua pekerjaan ini yaitu, dialektogi dan orator. 22 BAB II BAHASA DAN PERBEDAAN SOSIAL (STRUKTUR MASYARaKAT) A. Bahasa, Masyarakat, dan Budaya Masyarakat memiliki budayanya sendiri. Menguasai bahasa berarti menguasai sebagian besar konsep-konsep budayanya, karena bahasa adalah bagian dari budaya dan sekaligus wadah serta citra dari budaya tersebut. Para ahli sosiologi menggunakan istilah fungsi, fungsi yang diemban oleh objek tertentu, untuk merujuk pada konsekuensi-konsekuensi dari suatu tindakan (fungsi sosial/fungsi makro), termasuk di dalamnya fungsi bahasa yang digunakan dalam menghasilkan konsekuensi tindakan pada perorangan maupun kelompok. Hewan meraung dan manusia berbicara memberikan fungsi dasar yang didasarkan atas aktivitasnya untuk mencapai tujuan tertentu dalam rangka pemenuhan kebutuhan. Konsekuensi-konsekuensi yang dirasa oleh masyarakat disebut sebagai fungsi sosial atau fungsi makro yaitu sebagai akibat-akibat dari struktur masyarakat yang dihasilkan dari aktivitas sosial tertentu. Fungsi makro menghasilkan pengaruh yang kuat pada para pendengar dan pembicara dari bahasa lisan. Untuk menemukan fungsi-fungsi tersebut dapat dilakukan dengan mengetahui pola etnografi dari komunikasi pemakaian bahasa tersebut. Hymes (1974) memaparkan salah satu cara analisis etnografi komunikasi dengan akronimnya SPEAKING, yang biasa dikenal dengan etnografi komunikasi. Malinowsky (dalam Penalosa, 1981:37) menekankan pada fungsi pragmatik dari bahasa lisan yaitu untuk mengarahkan, mengontrol, dan menghubungkan aktivitas manusia. Fungsi dasar bahasa adalah untuk mengontrol aktivitas manusia, sehingga fungsi utama bahasa sebagai kontrol kerja sama sosial dan mengembangkan kerja sama pada sebuah norma. Bahasa merupakan alat kontrol atau kendali sosial, peta sosial, personal, dan isi dari nilai yang ada pada masyarakat atau individual tertentu. Budaya adalah sebuah alat untuk beradaptasi agar dapat bertahan hidup, atau dengan kata lain budaya adalah sebuah alat yang dipakai manusia untuk penyesuaian diri sehingga manusia mampu bertahan dalam sebuah lingkungan 23 yang beraneka ragam. Bahasa pada umumnya adalah alat untuk menyampaikan informasi, termasuk informasi tentang keadaan atau situasi dari para pembicara, di samping bahasa juga sebagai penanda dan alat adaptasi. Bahasa menentukan sejumlah fungsi yang berbeda-beda dalam masyarakat: sebagai pananda identitas dan status sosial, pencipta dan pemertahan hubungan sosial, dan alat untuk mengungkapkan kebutuhan individual. Sehingga dikatakan bahwa bahasa bukanlah sekadar alat semata, tetapi bahasa itu sendiri merupakan isi atau objek. Seseorang terkadang tidak mengungkapkan isi tuturan, tetapi hanyalah memenuhi tuntutan kerjasama sosial seperti menyapa, memberi salam, dan sebagainya. Bahasa, akhirnya, mampu membentuk sistem integrasi, koordinasi dan hubungan sosial, dan akumulasi dan transmisi budaya. Menurut Wolfram (dalam Penalosa, 1972) ada empat pandangan tentang hubungan bahasa dan sosial: 1. Struktur sosial tergantung pada bahasa. 2. Bahasa tergantung pada struktur sosial. 3. Keduanya saling menentukan atau bergantung. 4. Keduanya tergantung pada faktor ketiga di luar bahasa dan sosial yaitu: world view, organisasi otak manusia atau hakikat dasar kemanusiaan. Hubungan di atas sangat tergantung pada tingkat sejarah, otonomi, vitalitas, dan standariasi dari bahasa dan masyarakat yang bersangkutan, sehingga dimungkinkan bahwa karakter ketergantungan dari komunitas tertentu akan berbeda dengan komunitas yang lainnya, seperti: (1) nilai kesejarahan (bahasa koloni, etnis, lingua franca), (2) kemandirian yang mencakup kekhususan-kekhususan bahasa, (3) vitaliatas yang berhubungan dengan daya dan dorongan kebutuhan untuk memakai bahasa tersebut, dengan kata lain tidak ada bahasa lain yang mampu untuk kepentingan tertentu, dan (4) standarisasi bahasa yang mencakup kemapanan dan konsistensi bentuk dan maknanya. Budaya memberi pola bagaimana pemakai bahasa memakainya dengan benar sesuai dengan nilai-nilai peran sosial pemakainya, termasuk peran sosial yang berdasarkan jenis kelamin. 24 Pemakaian bahasa dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan dan stratifikasi masyarakat bahasa. Perbedaan pemakaian bahasa ini dapat dipengaruhi oleh jenis kelamin, pekerjaan, kelompok etnis atau kelompok masyarakat bahasa, letak geografis, dan usia (Bolinger, 1975:233-342). Stratifikasi sosial mencakup kedudukan seseorang dari kelompok atas berbagai macam strata atau tingkatan status sosial pemakai bahasa (pendidikan, pendapatan, pekerjaan, agama, kasta, dan lain-lain). Christian (dalam Penalosa, 1981:123) menyampaikan bahwa idealisme dari demokrasi bahasa, yang menyatakan bahwa setiap warga negara diperlakukan dengan penghormatan yang sama, dianggap sebagai hal yang paling tidak realistis dari semua idealisme sosial, apalagi dilihat dari pemakaian bahasa. Jadi dalam pemakaian bahasa tidak dapat dilepaskan dari susunan/stratifikasi sosial karena bahasa menjadi salah satu aspek pemertahanan struktur prestise, hubungan sosial, status ekonomi dan lainnya. Keberadaan tuturan adalah alat yang paling efektif dalam menjaga hubungan sosial ekonomi, sebagai penghormatan terhadap suatu hirarki tertentu. Beberapa variasi mungkin secara sosial bermartabat, yaitu mereka telah diadopsi oleh sebuah ketinggian status sosial tertentu. Kita tidak berbicara pada semua orang dengan variasi yang sama. Bagaimana kita berbicara tergantung pada identitas seseorang yang akan diajak berbicara atau apa yang akan dibicarakan (who to whom and when). B. Stratifikasi Sosial Kelas sosial adalah golongan masyarakat yang mempunyai kesamaankesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan, seperti: ekonomi, pekerjaan, kependudukan (ras), kasta dan sebagainya. Terdapat kemungkinan bahwa seseorang mempunyai lebih dari satu kelas sosial. Status kasta memiliki sifat lebih tertutup dibandingkan dengan ciri sosial lainnya. Sedangkan kelas sosial lainnya lebih terbuka, seperti pekerjaan atau tingkat ekonomi. Perbedaanperbedaan diatas menentukan jenis bahasa atau ragam yang harus dipakai. Labov menemukan pengucapan dengan penyempitan fonem /r/dan letak ke-bawahbelakang-an fonem /o/ ini bukan variasi bebas tetapi dibimbing oleh faktor 25 sosial, pemakaian /-s/ dan /-es/ pada orang ketiga tunggal juga diteliti dan menunjukkan pemakaian yang dipengaruhi faktor sosial. Bernstein membagi pemakaian bahasa menjadi dua tampilan: (1) kode terinci (elaborated code) yang memiliki ciri: formal, sebagai ciri seorang individu mandiri, bebas konteks nonlinguistik, sifat khas seseorang (kelas sosial), penggunaan klausa-klausa yang panjang; (2) kode terbatas (restricted code) yang berciri: tidak formal (seperti antaranggota keluarga, antarteman), terikat pada konteks nonlinguistik, bukan ciri individu tetapi menekankan keanggotakan dalam kelompok. Pada kesempatan kemudian, Bernstein mengubah pandangannya bahwa penutur bawah dan menengah hanya mungkin berbeda dalam konteks-konteks tertentu yang mungkin kemudian menghasilkan kode yang berbeda. Kedua kode tidak dilihat sebagai dua ragam yang berdiri sendiri tetapi merupakan petunjuk atau indikasi jenis variasi yang berbeda yang bisa digunakan. Struktur keluarga sebagai faktor pembeda yang sama pentingnya dengan kelas sosial. Keluarga merupakan pembentuk bahasa ibu yang paling menonjol disamping teman bermain. Hipothesis Sapir-Whorf menyatakan bahwa bahasa ibu seseorang membentuk kategori-kategori yang bertindak sebagai sejenis geruji (kisi-kisi). Melalui kisi–kisi itu si penutur melihat dunia luar dan menerima sehingga bahasa ibu mempengarui penguasaan bahasa kedua dan seterusnya. Sanggahan terhadap Hipothesis Sapir-Whorf menitik beratkan pada bahasa untuk menentukan dunia konsep pemakai bahasa. Pandangan ini disanggah dengan adanya berbagai lingkungan pemakai bahasa. Lingkungan ini dapat berupa: 1) Lingkungan fisik dapat mempengari bahasa masyarakat bukan kemampuan otak manusia, seperti leksikon, yang bukan berarti bodoh. 2) Lingkungan sosial dapat juga dicerminkan dalam bahasa dan dapat berpengaruh pada struktur kosa kata, seperti sistem kekeluargaan, sapaan. 3) Adanya lapisan-lapisan masyarakat feodal dan kasta juga mempengaruhi bahasa. 4) Nilai-nilai sosial seperti kata-kata tabu. 26 5) Ketidakmampuan bukan berarti bodoh karena pengaruh hal-hal di atas. Terdapat beberapa perbedaan faktor yang membentuk kelas sosial, yakni: tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan; yang mungkin membentuk kelas sosial ke dalam enam atau sepuluh kelas (Penalosa, 1981:134). Suatu masyarakat memiliki lebih banyak perbedaan bahasa seiring dengan semakin tingginya stratifikasi sosial. Di Inggris, penggunaan /-s/ untuk orang ketiga tunggal pada kata kerja present tense dihubungkan dengan kelas sosial. Labov (dalam Penalosa, 1981:134) menunjukkan bahwa di kota New York secara kasual, bahasa sehari-hari hanya merupakan kelas tinggi-rendah yang menunjukkan pelafalan /r/ di akhir kata dengan jelas, tapi dalam gaya yang lebih formal (seperti membaca dengan keras) jumlah pelafalan untuk kelompok yang lain muncul dengan cepat dan tidak jelas. Labov (dalam Penalosa, 1981:135) telah menciptakan bahwa pola ketidakamanan bahasa untuk mengindikasikan kesepakatan pada ketidak cocokkan antara apa yang diyakini pembicara adalah merupakan bentuk yang benar dan bentuk-bentuk yang diyakininya itu digunakannya sendiri sendiri. Pembicaraan kode-kode yang terbatas dan rumit merupakan hasil dari sistem hubungan sosial. Hipotesis Bernstrein dan Sapir didasarkan pada alasan bahwa bentuk bahasa yang berbeda menghasilkan pengalaman sosial yang berbeda. Sapir dan Bernstein (dalam Penalosa, 1981:136) lebih menekankan pada perbedaan budaya dan lebih pada kelas, yang menyatakan bahwa kode-kode terbatas (restricted code) digunakan pada kelas yang lebih tinggi dibandingkan pada variasi nonrestricted code. Ciri variasi ini adalah lebih kompleks dan susunan bahasanya lebih terstruktur. Menurut Bernstein ada beberapa perbedaan dalam orientasi yang relatif atau tidak tetap dari kelas kelompok sosial antarfungsi bahasa. 27 C. Kelompok Komunitas dan Bahasa Setiap kelompok manusia memiliki bahasa, variasi, atau register mereka sendiri. Kelompok orang tertentu biasanya memiliki terminologi khusus sebagai penanda spesifik dari kelompok tersebut. Cara ini atau penanda ini merupkan pencerminan dari penggunaan ilmu bahasa. Bahasa adalah fokus dari aktivitas, misalnya bagi para interpreter, penerjemah, guru bahasa dan ilmu bahasa itu sendiri. Beberapa kelompok agama menggunakan variasi khusus untuk kebaktian, berdoa/upacara, untuk membaca dan mempelajari teks-teks rahasia dalam bahasa tersebut. Para ahli sosiologi membedakan antara kelompok primer (keluarga, teman dan lain lain) dan kalompok sekunder (kelompok organisasi yang mempengaruhi perkembangan individu). Kelompok primer adalah tempat pertama kali orang belajar bahasa atau beberapa bahasa dan aturan penggunaannya. Sedangkan kelompok sekunder merupakan bentuk bahasa yang diperolih: sekolah, angkatan darat, pasar, spesialisasi keilmuan, profesi, dan lainnya. Para ahli sosiolinguistik tertarik pada hubungan antara struktur dan sifat kelompok pada satu sisi dan sifat penggunaan variasi bahasa oleh beberapa kelompok dengan yang lain pada sisi yang lain. Kelompok perempuan baik anak-anak atau pun dewasa menciptakan struktur sosial mereka sendiri, dengan norma-norma mereka, konsep, batasan, mekanisme dan kadang-kadang bahasa rahasia untuk membedakan dan mempertahankan perbedaan peran sosialnya. Kelompok masyarakat dan variasi bahasa ini pun dipengaruhi oleh tingkat kelebatan mobilitas pemakainya, dalam kaitannya dengan kontak bahasa dan budaya. Seseorang mungkin akan melaksanakan perpindahan secara bertahap atau permanen. Berubah dari bagian negara ke bagian lainnya atau mengubah daerahnya atau afiliasi budaya. Semua ini menunjukkan pada substansi mobilitas sosial. Disamping itu kaum minoritas dan miskin yang tidak memiliki beberapa variasi bahasa standar akan menemukan kesempatan atas mobilitas yang tertutup. Sistem pendidikan menyediakan fungsi mengajar, intelektual, dan kemampuan sosial yang sangat bermanfaat bagi mobilitas sebagai wadah yang 28 menyediakan kesempatan belajar variasi pembicaraan kelas menengah. Ketika seseorang bercita-cita untuk memiliki status yang lebih tinggi, biasanya dia mencoba untuk meniru cara orang yang diidolakanya yaitu referensi kelompoknya. Semua itu dapat membawa pada fenomena pembenaran yang tinggi. Semakin tinggi mobilitas seseorang dan kelompok orang, semakin tinggi variasi dan perubahan bahasa dan juga semakain menerima perubahanperubahan bahasa yang ada; karena munculnya nilai dan konsep-konsep makna yang baru. D. Usia Pemakai Bahasa Ketika usia dapat dipisahkan dan diakui batas-batasnya ke dalam kanak-kanak, remaja, dewasa, maka variasi bahasapun dapat dilihat dari kelompok-kelompok usia ini. Ketiga kelompok ini mempunyai dialek-dialek tersendiri. Dialek itu pindah sejalan dengan usia. Bahasa anak dalam awal perkembangannya mempunyai ciri antara lain penyusutan (reduksi). Biasanya berdasarkan penelitian R. Brown dan Ursula Belhgi bahwasannya kata-kata yang di hilangkan termasuk golongan kata fungtor atau kata tugas, yang mencakup kata depan, kata sambung, dan lain-lain karena tidak memiliki arti ketika berdiri sendiri dan hanya berfungsi gramatikal saja. Bahasa anak hanya lebih menitik beratkan pada content word dan kata-kata yang penuh. Penghilangan fungtor dan pemertahanan kata-kata kontentif menunjukkan bahwa anak-anak itu berbahasa secara sistematis dan ini bukan kesalahan atau ketidakmampuan anak tetapi lebih merupakan stategi anak untuk komunikasi dan menguasai kaidah berikutnya. Hal ini dikatakan sebagai strategi karena dengan cara ini tutur mereka dapat di pahami orang lain. Secara fonologis, kanak-kanak memiliki bunyi-bunyi dengan bunyi yang di hasilkan oleh gerak membuka dan menutup bibir atau bunyi-bunyi bilabial, seperti dalam bahasa Jawa mak, mbak, mbek, meh, meong, pak, bu dan seterusnya. Mereka sulit untuk menggunakan bunyi-bunyi /r/ dan /s/, yang biasanya mereka mengganti bunyi /r/ dengan bunyi /l/ dan /s/ dengan bunyi /c/. 29 Secara morfologis atau leksikal, kosa kata berkisar pada yang disini dan yang sekarang . Bagi ibu mengira bahwa ada semacam sosial presure, untuk mengajarkan kata-kata apa saja kepada anak dengan meluluhkan dan mengambil peran anak, dirinya seperti anak-anak di mana prestise pemakaian bahasa diajarkannya secara tersembunyi dengan mengajarkan kromo ingil pada anak. Ragam tutur anak bersifat sementara. Penyusutan dalam tutur dapat terjadi pada anak-anak terhadap fungtor atau imbuhan (bahasa indonesia), pada dewasa dalam telegram untuk tujuan ekonomi yang terjadi pada penyusutan berupa kata fungtor. Ragam non baku muncul tidak memiliki kaidah yang pasti dan konsisten dan muncul karena inovasi dan kreatifitas. Cara berbicara anak seringkali dicirikan sebagai kekanak-kanakan baik dalam fonology, sintaksis, dan kosa kata; sehingga dalam bahasa anak terdapat bunyi-bunyi bilabial yang dominan, kata-kata yang berbeda dengan bahasa dewasa, seperti emeh (sapi), meong (kucing), embek (kambing), mimik (minum), dan berbagai pemendekan struktur atau kalimat tidak lengkap dan sangat kontekstual. Anak-anak mengunakan kata-kata seperti bunny daripada little rabit atau porty daripada bathroom. Variasi anak remaja sebagai variasi yang bercirikan ‘kurang ajar/melawan’ atau ‘vulgar’, dan bagi yang dewasa sebagai ‘gaya tua’ sebagai pemarkah kemapanan. Anak remaja mencoba untuk menggunakan atau ucapan populer yang segar, yaitu cool daripada oke. Beberapa inovasi dan kreatifitas atau sebaliknya, pelanggaran yang tampak pada bahasa remaja adalah munculnya berbagai hybrid atau campuran bunyi atau sistemnya. Seperti pemakaian bahasa dalam majalah remaja “Aneka Yess” (Ashari, 2007) yang memakai bentuk-bentuk hybrid baik pada tataran kata maupun frase. Pada tataran kata seperti: nge-date, dimake-up, ending-nya, CD-nya, ter-influence, nge-judge, me-request, fashion-nya, nge-jam, ber-budget, nge-dance, performance-nya, nge-down, chemistry-nya, fans-nya, launching-nya, di-casting, nge-fans; sedangkan pada tataran frase dapat dicontohkan: theme song-nya, video clip-nya, atau stage act-nya. Remaja juga sering memakai bahasa rahasia seperti: penyisipan konsonan v + vokal, penggantian suku ahir dengan bunyi 30 /sye/. Bahasa prokem yang sebenarnya diciptakan oleh pencoleng atau anak nakal, copet atau yang lain.dengan penyisipan bunyi /ok/ di tengah kata yang sudah di susutkan. Semua itu adalah ciri-ciri kreativitas karena kemungkinan mereka melihat bahwa kebakuan menimbulkan kekakuan. Variasi yang dipakai para remaja dapat juga sebagai wujud pemberontakannya terhadap kemapanan yang mereka hadapi, yang menunjukkan monotonitas dan homogenitas serta ketidakkreatifan. E. Jenis Kelamin dan Bahasa Bolinger (1975:333) mengatakan bahwa perempuan belajar berbicara lebih awal dan menguasai bahasa kedua lebih cepat dan baik, serta memakai lebih banyak waktunya untuk berbahasa daripada yang dilakukan laki-laki; sehingga dikatakan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki bawaan secara linguistik berbeda. Bahasa yang diucapkan oleh wanita berbeda dengan bahasa yang diucapkan oleh laki-laki.. Walaupun laki-laki lebih banyak berbicara, wanita adalah pembicara ulung. Dalam pendidikan awal atau di awal sekolah, anak perempuan lebih mampu dan trampil dalam bahasa daripada laki-laki. Perbedaan antara tuturan laki-laki dan perempuan adalah pada pelafalan dan tata bahasanya. Tuturan wanita lebih tradisional dan terevaluasi lebih baik daripada laki-laki. Ini berlawanan dengan pola stratifikasi pada umumnya, di mana yang lebih kuat dianggap lebih banyak berbicara dengan benar. Wanita secara linguistik lebih inovatif dan, beberapa lainnya, tradisional. Perbedaan ini dihubungkan antara peran wanita dengan kebutuhan bahasa, dan antara posisi sosial wanita dalam komunitas belajar dengan apa yang diinginkan wanita dalam bertutur dan interaksi. Perbedaan bahasa laki-laki dan perempuan juga terdapat dalam pembicaran yang berhati-hati, wanita suka membuat noda-noda yaitu secara sosial diartikan sebagai bentuk yang salah daripada laki-laki (Labov dalam Penalosa, 1981:126). Wanita juga lebih sensitif pada pola-pola kedudukan. Secara khusus terdapat kelas wanita menengah ke bawah. Labov menyatakan bahwa wanita lebih sensitif daripada laki-laki untuk melahirkan nilai sosiolinguistik. 31 Robin Lakoft menyatakan bahwa bahasa bekerja juga untuk membantu menjaga hubungan sosial, seperti jenis bahasa wanita memiliki ragam yang berbeda atau dikatakan ragam lebih rendah yaitu dengan istilah bahasa wanita dan bahasa tentang wanita. Pada tataran kebahasaan yaitu bahwa bahasa wanita berbeda pada kosa kata, sintaksis, dan pelafalan. Wanita tidak menggunakan kata-kata yang menyerang untuk mengekspresikan dirinya sendiri. Wanita lebih suka mengunakan pertanyaan tag atau pertanyaan ekor yang tidak memerlukan jawaban. Wanita juga lebih sering menjawab dengan nada suara meninggi yang biasanya berhubngan dengan pertanyaan ya dan tidak. Wanita lebih banyak menggunakan kata kerja pembantu (can, must, shall, would, dan lain-lain). Pada bahasa wanita ada sebuah eufimisme, sebuah kata untuk menghindari penggunaan kata-kata wanita yang mempunyai konotasi seksual. Kata perempuan menunjukkan kesopanan dan ketidakpentingan. Makna juga didukung oleh perbedaan hanya dalam jenis kelamin seseorang seperti tuan atau nyonya, jejaka atau perawan, janda atau duda dan lain-lain. Terdapat hubungan antara struktur, kosa kata, dan cara menggunakan bahasa tertentu dengan peran sosial jenis kelamin (Wardhaugh, 1993:313). Secara morfologis dan leksikal juga terdapat perbedaan-perbedaan pembentukan bahasa seperti: ibu rumah tangga, ibu bumi, ibu asuh, ibu pertiwi, ibu jari, dan sebagainya yang merefleksikan peran sosial perempuan. Sedangkan untuk peran sosial laki-laki Indonesia memiliki sederetan pembentukan kata seperti: kepala keluarga (bukan kepala rumah tangga), kepala suku, gagah, perkasa, dan sebagainya. Pada bahasa Inggris, Lackoff (dalam Wardhaugh 1993:315) mengatakan bahwa perempuan menggunakan kata-kata warna, yang tidak dipakai laki-laki, seperti: mauve, beige, aquamarine, dan magenta. Pada katakata sifat perempuan sering memakai kata: adorable, charming, divine, lovely, dan sweet, sedangkan kata-kata untuk memberikan efek penekanan perempuan sering memakai kata: so good, such fun, exquisite, lovely, fantastic. Terdapat banyak lagi contoh-contoh kata yang secara morfologis dibedakan antara lakilaki dan perempuan seperti: lady-gentlement, spinter-bachelor, girl-boy, widowwidower, actor-actress, steward-stewardess, prince-princess, office boy, room boy, bell boy, postman, chairman. 32 Secara fonologis perempuan memiliki kualitas suara yang lebih ditinggikan (accentuated) daripada laki-laki, mengikuti pola sosial pada bagaimana perempuan semestinya berbicara, dan membedakannya dari laki-laki. Dalam bahasa Indonesia perbedaan fonologis kita temukan pada kata /ih/ untuk laki-laki dan /ah/ untuk perempuan, serta bunyi sengau atau nasal kebanyakan bunyi-bunyi yang dihasilkan, sedangkan laki-laki menghindari penyengauan bunyi. Perbedaan fonologis lainnya dapat dilihat pada dialek bahasa Inggris Gros Ventre, sebuah bahasa Amerika Indian atau Amerindian di Amerika sebelah utara. Pada dialek ini perempuan lebih mempalatalkan bunyi-bunyi velar stop dan laki-laki mempalatalkan bunyi-bunyi dental stop, seperti kata perempuan kjatsa ‘roti’ dan laki-laki djatsa. Pada bahasa Chukchi Siberia laki-laki, tetapi perempuan tidak, sering menghilangkan bunyi /l/ dan /t/ ketika bunyi ini terjadi di antara vokal, seperti kata nitvaqenat (perempuan) dan nitvaqaat (untuk lakilaki). Sedangkan pada bahasa Skotlandia gadis-gadis sekolah lebih sering mengucapkan /t/ dental stop dengan jelas daripada laki-laki, yang menggantikan dengan glottal stop, seperti pada kata water. Hass (dalam Wardhaugh, 1993:315) melihat bahwa dalam bahasa Koasati, bahasa Amerindian di Lusiana, laki-laki sering membunyikan /s/ pada akhir kata, sedangkan perempuan tidak demikian, seperti pada lakáws ‘dia sedang mengangkatnya’ dan perempuan lakáw. Bahkan di India, perempuan dan laki-laki Karibian memakai bahasa yang berbeda, sebagai akibat penjajahan yang lama oleh laki-laki berbahasa Karibian yang membunuh semua laki-laki pemakai bahasa Arawak dan mengawini perempuan-perempuan Arawak. Sehingga keturunan pertemuan itu membentuk dan mempengaruhi pemilihan pada bahasa apa anak laki-laki dan perempuannya, baik struktur bahasa anak laki-laki dan perempuannya. Kedua perbedaan ini akhirnya menjadi satu bahasa yang memiliki karakteristik yang berbeda untuk perempuan dan laki-laki (Baron dan Taylor dalam Wardhaugh, 1993:313). Pada aspek struktur bahasa dan cara bahasa dituturkan, oleh Bolinger (1993: 233-342) bahwa perempuan dalam berinteraksi dan berdialog memiliki ciri-ciri kecondongan pada: (1) mengajukan pertanyaan, (2) mempertahankan interaksi daripada pria, (3) kecondongan memakai respon-respon positif minimal 33 seperti: mm, hmm, (4) strategi protes dengan cara ”diam’ setelah mereka diinterupsi, (5) penggunaan pronomina you dan we yang secara eksplisit mengakui keberadaan penutur lain. Secara sintaktik terdapat perbedaan pemakaian bahasa antara perempuan dan laki-laki, sebagaimana kata untuk ‘kita’ pada bahasa Jepang. Untuk menunjukkan bahwa kalimat itu adalah kalimat perempuan apabila kalimatnya diakhiri dengan partikel ne. Untuk menunjukkan dirinya sendiri perempuan di Jepang memakai watasi atau atasi dan laki-laki dengan was I atau ore. Brend (dalam Wardhaugh, 1993:317) mengakui bahwa bahasa Inggris memiliki perbedaan pola intonasi antara perempuan dan laki-laki. Perempuan lebih memiliki pola intonasi yang berbeda dalam hubungannya dengan terkejut dan kesopanan. Sedangkan Lackoff (dalam Wardhaugh, 1993:317) melaporkan bahwa perempuan menjawab pertanyaan dengan pernyataan yang berintonasi meninggi atau bertanya, bukan pola intonasi turun untuk membuat pernyataan yang meyakinkan. Menurut Lackoff perempuan memakai ini karena mereka lebih kurang yakin tentang dirinya sendiri dan pendapatnya apabila dibandingkan dengan laki-laki. Pada hal yang sama perempuan lebih banyak memakai kalimat dengan kalimat ekor tanya tag question pada kalimat pernyataan, seperti ‘They caught the robber last week, didn’t they?’. Secara paralinguistik perempuan dan laki-laki memiliki pola gerture dan gerakan yang berbeda. Hal ini dikatakan bahwa perempuan memiliki kecondongan untuk tampil lebih tunduk dan patuh kepada laki-laki. Perempuan semestinya diam ketika laki-laki sedang berbicara dan dikatakan tidak sopan ketika memotong pembicaraan laki-laki. Wardhaugh (1993:319) menyampaikan bahwa dalam percakapan yang melibatkan kedua jenis kelamin laki-laki berbicara lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Topik penbicaraan antara kedua jenis kelamin juga berbeda, laki-laki berbicara dengan laki-laki biasanya berbicara mengenai hal-hal yang bersifat kompetisi dan keusilan, yakni sekitar topik olah raga, agresi, dan perbuatan terhadap sesuatu. Di lain pihak ketika perempuan berbicara dengan perempuan topik pembicaran lebih terfokus pada rasa, keakuan, kebersamaan dengan yang lain, rumah tangga, dan keluarga. Ketika kedua jenis kelamin itu 34 berinteraksi biasanya laki-laki memiliki kecondongan untuk lebih memulai atau inisiatif, tetapi lebih akomodatif pada topik yang sedang dibicarakan dan lakilaki mengurangi kecondongannya pada kompetisi dan agresinya, sedangkan perempuan mengurangi pembicaraannya tentang hal-hal yang berbau rumah tangga dan keluarga. Pada percakapan lintas jenis kelamin dikatakan, fakta lain, bahwa perempuan lebih banyak bertanya daripada laki-laki, mendorong lainnya untuk berbicara, seperti menggunakan lebih banyak tanda, seperti mhmmm. Di lain pihak laki-laki lebih banyak memotong pembicaraan, menantang, mengabaikan, mengecoh, dan berussaha mengendalikan topik yang sedang dibicarakan. Kata mhmm laki-laki memiliki makna yang berbeda bukan ‘saya sedang mendengarkan’ sebagaimana perempuan tetapi bermakna ‘saya setuju’ (Maltz dan Borker dalam Wardhaugh 1993:320). Oleh karena itu dimungkinkan akan terjadi konflik ketika lintas jenis kelamin ini terlibat dalam percakapan. Perempuan merasa bingung dengan laki-laki yang tidak pernah mau mendengarkan dan laki-laki merasa bahwa perempuan selalu setuju dengannya dan kemudian menyimpulkan bahwa itu tidak mungkin untuk mengatakan apa yang sebenarnya dipikirkan perempuan untuk setuju atau tidak, karena laki-laki menilai tuturan mhmm itu adalah sekaligus bermakna setuju padahal bagi perempuan itu hanya bermakna saya sedang mendengarkan. Inilah salah satu alasan perlunya studi sosiolinguistik yang memfokuskan pada perbedaan jenis kelamin. Maltz dan Borker memberi kesimpulan menarik bahwa perempuan dan laki-laki melihat peran yang berbeda dalam percakapan atau berdialog dan bahwa dalam percakapan lintas jenis kelamin peran itu sering menimbulkan konflik. Kedua jenis kelamin ini memiliki pandangan yang berbeda dalam menyampaikan pertanyaan dan melihat apa sebenarnya pertanyaan itu. Perempuan melihat pertanyaan sebagai bagian dari pemertahanan percakapan atau penghormatan, sedangkan laki-laki melihat pertanyaan, yang utama, sebagai permohonan informasi. Kedua jenis kelamin memiliki cara melihat yang berbeda tentang (1) konvensi hubungan, (2) agresif tidaknya dalam berperilaku bahasa, dimana perempuan memandang agresivitas sebagai tanda mendekte orang, 35 negatif, mengacau/memecah belah, sedangkan laki-laki melihatnya sebagai bagian dari cara mengorganisasi suatu percakapan; (3) perbedaan pandangan dalam alur topik dan perpindahan topik, (4) perbedaan dalam sikap terhadap problem sharing dan advise-giving, di mana perempuan memiliki kecondongan untuk mendiskusikan, berbagi, dan mencari penenteraman hati; sedangkan lakilaki mencari solusi, memberi saran, dan bahkan memberi kuliah kepada pendengarnya (lihat juga Preisler 1986). Fasold (1990) menyampaikan bahwa dalam berinteraksi sesama laki-laki status penutur sangat penting dalam memanipulasi bentuk dan cara interaksinya. Status yang lebih rendah ditempatkan sebagai inferior dan ada pertandingan yang komptitif antara mereka dan bagi yang kalah harus belajar merasakan rendahnya status dia, harus belajar menjadi korban dalam interaksi itu. Fasold juga memberi cirri-ciri tuturan lakilaki dalam percakapan dengan tiga cara utama: (1) untuk memastikan posisi dominasinya terhadap yang lain, (2) untuk menarik dan mempertahankan pendengarnya, (3) untuk menegaskan dan memberi ijin bahwa yang lain memiliki giliran bicara. Bolinger (1993:359) menyampaikan bahwa keformalan dan keakraban pemakaian bahasa dapat dikelompokkan ke dalam tingkatan-tingkatan sebagai berikut: (1) bentuk-bentuk oratorikal/beku, seperti: monolog, pembicara profesional, mantera, upacara-upacara (2) deliberatif/formal: monologue, (3) konsultatif: dialogue yang melibatkan pemilihan kata-kata dengan hati-hati, (4) kasual, seperti antarteman, antartetangga; di mana tidak terdapat jarak dan penghalang sosialnya, (5) intim seperti: teman dekat, suami istri, kakak adik. Hal yang berkembang lebih menarik dalam studi bahasa dalam kaitannya dengan jenis kelamin adalah adanya pergerakan bebas wanita atau dengan gender mainstreaming, yang berusaha terciptanya kesamaan dan keadilan peran sosial dengan laki-laki. Pergerakan yang sedang berjalan ini menuntut perubahan peran sosial wanita dalam masyarakat dalam kaitannya dengan laki-laki. Adanya perubahan peran ini dimungkinkan, sedikit banyak, akan memunculkan perubahan cara berbahasa. F. Penelitian Bahasa Berdasarkan Jenis Kelamin 36 Mary Haas (1944/1964) meneliti bahasa Koasati dan menemukan bahwa terdapat beberapa perbedaan sistematis antara versi perempuan dan lakilaki pada paradigma verbal indikatif dan imperatif. Tuturan perempuan Tuturan laki-laki Glos O:til O:tis I am building a fire O:st Osc You building a fire O:t O:c He is building a fire Lakawawil Lakawis I am lifting it Lakaw Lakaws He is lifting it Ka:hal Ka:has I am saying Francis Ekka (1972) menemukan bahwa dalam bahasa Kurux terdapat berbagai bentuk morfologis yang berbeda yang hanya digunakan perempuan ketika berbicara kepada sesama perempuan, tetapi tidak digunakan oleh laki-laki dan perempuan ketika berbicara kepada laki-laki. Perempuan atau laki- Perempuan kepada Laki-laki laki kepada laki-laki perempuan kepada Glos perempuan Barday Bardin Bardi You come Barckay Barckin Badcki You came Lackoff (1975) menemukan bahwa, pada banyak hal, wanita tidak dibenarkan memakai kata-kata ekspletif yang kasar, seperti damn atau shit, tetapi diharapkan untuk mengganti dengan yang lebih lembut seperti: oh dear atau fudge. Pamela Fishman (dalam Fasold, 1990) menemukan fakta bahwa laki-laki lebih memiliki kendali terhadap tuturannya daripada perempuan dalam percakapan lintas jenis kelamin. Deborah Tannen (dalam Gumperz, 1982) menemukan bahwa wanita menghabiskan banyak waktunya untuk berbicara, merefleksi diri, dan berbagai pikiran. Loyalitas merupakan inti dalam berteman. Lever (dalam Gumperz, 37 1982:206) menyampaikan bahwa perempuan, untuk memperoleh rasa berteman yang tinggi, berbagi rahasia mereka. Mengatakan rahasianya kepada orang luar merupakan awal pecahnya hubungan bertemannya. Goodwin (1980, dalam Fasold, 1990) menyimpulkan bahwa gadis jarang menggunakan kalimat perintah kepada yang lain atau sebayanya. Kalimat perintah ini menunjukkan lagak ‘bos’ yang merusak kesamaan. Perempuan tidak belajar mendikte dalam berinteraksi. Richard Savin-Williams (1976) menemukan bahwa laki-laki dalam percakapan akan melakukan: (1) memberi perintah atau komando, seperti: get up, give it to me, you go over there; (2) memanggil nama dan jenis verbal lain yang aneh, seperti you are a dolt; (3) mengancam secara verbal untuk memperkuat otoritasnya, seperti if you don’t shut up, I’m gonna come over your teeth in; (4) menolak untuk mematuhi perintah, dan (5) mencari alasan-alasan verbal dari suatu konsekuen, seperti I was here first. 38 BAB III. MASYARAKAT KEDWIBAHASAAN A. Hubungan Ranah dengan Sosiolinguistik Mikro dan Makro Sosiolinguistik Mikro adalah studi tentang hubungan strukture bahasa dengan sosial dalam tingkatan intraksi bermuka. Dalam tataran ini bisa di lihat antara perilaku bahasa dan non bahasa tugas, tugasnya menentukan hubunganhubungan. Ervin Tripp mengatakan Sosiolinguistik Mikro adalah studi dengan komponen-komponen intraksi bermuka yang berhubungan atau dipengaruhi oleh struktur formal bahasa dan unsur di luar bahasa. Unsur tersebut menyangkut personel, situasi, fungsi interaksi, topik, pesan, dan chanel. Sosiolinguistik Mikro berkenaan dengan usaha menghubungkan ciri-ciri bahasa atau variasi bahasa pada ciri-ciri komunikasi atau situasi komunikasi. Beberapa berpendapat bahwa fenomena sosial dan bahasa dalam susunannya banyak yang sama sehingga data linguistik dapat di pergunakan untuk menganalisis baik bentuk bahasa maupun kategori-kategori sosial. Mereka menyatakan bahwa bentuk bahasa dipilih, sebetulnya, merupakan suatu realisasi dari makna sosial dan kategori sosial. Dalam analisis percakapan kita memperhatikan bukan hanya apa yang mereka katakan dan mereka yang mengatakan tetapi juga kerjakan pada waktu mereka saling bercakap-cakap. pada apa yang mereka Sosiolinguistik Mikro mengunakan konsep dominan untuk mengkategorikan keteraturan yang didapat antara variabel bahasa, fungsi sosial, dan situasi (Fishman, 1972:65). Suatu hubungan peran menentukan hak dan kewajiban mutual yang saling diharapkan dalam komunikasi. Penanda penting dari sifat hubungan peran dilahirkan pada bagaimana cara orang saling berbicara, membuat humor baik dalam konteks informal maupun formal. Interaksi bahasa dapat di katakan sebagai proses dicision making dimana didalamnya penutur memilih suatu jenjang ekpresi yang memungkinkan pemilihan, bukan sepenuhnya bebas dari penutur tetapi di pengaruhi oleh tekanan-tekanan gramatikal dan sosial agar supaya saling mengerti dan menerima dengan baik keduanya dengan konvensi–konvensi sosial yang ada. Gumperz (1967) menekankan bahwa sifat alami hubungan sosial dan 39 organisasi sosial dari lingkungan adalah faktor sosial yang menentukan (penanda sosial) sifat dan bentuk tuturan. Fishman adalah seorang professor sosiologi di Universitas Yeshiva. Dia telah menekankan dirinya pada kedwibasaan dan peran sosial bahasa selama beberapa tahun dan telah menyelesaikan beberapa studi mengenai loyalitas bahasa di USdan kedwibahasawan Spanyol-Inggris di Puerto Rican New York dan sekarang aktif dalam penelitian loyalitas bahasa dan perkembangannya. Analisis yang dilakukannya berbeda dengan Blom dan Gumperz walaupun sama-sama berkenaan dengan situasi pemilihan bahasa. Blom dan Gumperz memperlakukan norma dan faktor lainnya yang semuanya sebagai dimensi dari satu sistem komunikatif yang merupakan input pada suatu rangkaian kaidah tunggal. Fishman lebih memfokuskan pada norma perilaku sebagaimana dalam kaidah ‘jural rule’ (bahwa kaidah itu diikuti perilaku dan kegagalan mengikuti kaidah membentuk perilaku yang menyimpang dan mengukur sesuatu yang ikut membentuk harus diperlakukan sebagai pengukur yang independen). Norma perilaku didefinisikan secara sosiologis sebagai keteraturan yang berdiri terpisah dari perilaku perseorangan. Dia lebih menekankan pada sistem pemilihan yang ajeg atau ‘penggunaan yang wajar (proper usage)’. Kata kunci yang dipakai Fishman adalah domain atau ranah yang dipakai untuk menghubungkan pemilihan bahasa tertentu pada institusi umum dan area kegiatan. Ranah menurut (Crystal, 1985:101) adalah suatu kelompok situasi sosial yang melembaga yang secara khas ditentukan oleh seperangkat kaidah perilaku umum. Analisis ranah dihubungkan dengan analisis latar budaya. Fishman melihat bahwa serangkaian ranah (jenis dan bentuknya) tidak dapat dipaksakan pada semua kasus atau masyarakat. Analisis ranah merupakan analisis ‘siapa berbicara apa kepada siapa dan kapan (who speaks what to whom an when)’. B. Integrasi makro- dan mikrososilinguistik Analisis situasi bahasa dan perilaku menunjukkan batasan antara mikro dan makrososiolinguistik. Tujuan-tujuan analisis sulit untuk dikenali dan 40 disajikan tanpa pandangan ini dan tanpa norma umum yang menuntut situasi dan topik tertentu untuk bahasa atau variasi tertentu daripada yang lain. Sebagai contoh perbincangan tentang baseball menuntuk pemakaian bahasa tertentu, demikian juga pembicaraan yang berkenaan dengan kuliah teknik elektro yang menuntuk pemakaian bahasa tertentu juga. Dengan semua konstruk/bangunan (yang mencakup situasi, hubungan peran, dan peristiwa tutur), ranah mengembalikan kepada intuisi integratif peneliti, seperti pemakaian variasi tinggi dan rendah, yang mungkin untuk membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan sekolah memakai variasi tinggi dalam mewadahi spesialisasi dan kepentingan teknis pendidikan. Peneliti, dengan melihat ini, dapat mencurigai bahwa situasi kongruen ini termasuk dalam satu ranah(ranah pendidikan). Ranah dan situasi sosial mengungkapkan hubungan atau penyatuan antara mikro- dan makrososiolinguistik. Penutur guyup tutur yang diglosik memiliki pandangan tertentu yang mengenai variasi mereka karena variasi ini berhubungan dengan (dalam perilaku dan sikap) ranah-ranah tertentu. Variasi tinggi mencerminkan nilai-nilai dan hubungan tertentu dalam guyup tutur, demikian juga variasi rendah juga mencerminkan hal yang lain. Konsep yang perlu diperhatikan adalah bahwa kita tidak dapat menganalisis relaitas kelompok yang lebih luas tanpa melalui analisis dari unsurunsur pembentuk yang lebih kecil (mikro). Dalam interaksi tidak ada hubungan sekala lebih luas antara bahasa dan masyarakat yang tidak tergantung pada interaksi individual sebagai relaisasinya. Gambar berikut merupakan hubungan antarkonstruk yang ada dalam analisis 41 sosiolinguistik. Klaster Nilai Rangkaian nilai-nilai guyup yang secara khas dilakukan dalam suatu rangkaian yang sesuai dan ditentukan secara kultural, ranah perilaku Tipe jaringan Klaster hubungan peran yang ditentukan oleh serangkaian nilai-nilai guyup. Ranah Klaster situasi sosial yang ditentukan secara khas oleh suatu rangkaian kaidah perilaku Situasi sosial Pertemuan antara latar, waktu, dan hubungan peran waktu Hubungan peran Serangkaian hak dan kewajiban timbal balik yang ditentukan secara kultural Latar Tipe interaksi Fungsi interaksi yang ditentukan oleh tingkap penekanan hak dan kewajiban timbal balik berdasarkan hubungan peran dalam situasi sosial Tuturan (peristiwa dan tindak) C. Diglosia Ferguson menyatakan bahwa suatu situasi di mana dua ragam dari suatu bahasa hidup berdampingan dengan peran masing-masing dalam masyarakat. Menurutnya kalau misalnya ada kemungkinan memakai bahasa baku atau dialek regional atau orang boleh memilih salah satu dari dua bahasa yang berbeda itu bukan diglosia. 42 Diglosia dapat dilihat dari fungsi, prestise, warisan tradisi tulis menulis, pemerolehan, pembakuan, stabilitas, tatabahasa, leksikon, dan fonologi. Fungsi adalah kriteria yang paling penting bagi diglosia, di mana diglosia berdasarkan pada distribusi fungsi. Fishman mengatakan bahwa diglosia mengacu pada persebaran (distribusi) fungsi bahasa yang satu yang berbeda dari yang lain. Sedangkan kedwibahasaan mengacu pada penguasaan atas bahasa A dan B yang ada dalam masyarakat. Diglosia tidak mungkin ada jika tidak ada ragam tinggi (H) dan ragam rendah, dan di situpun terdapat pilihan bahasa. Pilihan bahasa itu selalu muncul bersama dengan adanya ragam bahasa. Dalam kajian sosiolinguistik ada tiga jenis pilihan bahasa, yakni: (1) alih kode yang dapat terjadi pada tataran bahasa, dialek, sosiolek, ragam bahasa; (2) kode campur yang melibatkan pemakaian bentuk kata atau pinjaman yang masih disadari oleh pemakai bahwa kata itu asing; (3) variasi dalam bahasa yang sama. Bisanya menjadi focus dalam pembahasan tentang sikap bahasa seperti: ‘sar, singgih’ dalam bahasa Bali, ‘ngoko, kromo’ dalam bahasa Jawa. Diglosia merupakan dua ragam bahasa baku dalam fungsi yang berbeda. Ferguson mengatakan bahwa diglosia adalah sejenis pembakuan bahasa yang khusus, di mana ada dua ragam bahasa yang berada berdampingan di dalam keseluruan masyarakat bahasa, di mana masing-masing ragam bahasa di beri fungsi sosial tetap dan tersendiri/diutamakan. Penyusunan fungsi-fungsi ragam bahasa terjadi secara konvensional dan terpelihara sebagai etika interaksi. Pemakaian ragam bukan karena topik, tetapi lebih tergantung kepada ”kepada siapa“ berbicara. Fishman menyampaikan bahwa objek studi sosiolinguistik diglosia mengacu kepada pendistribusian lebih dari satu ragam bahasa atau bahasa yang melayani tugas-tugas komunikasi yang berbeda dalam satu masyarakat: mulai dari gaya suatu bahasa sampai kepada pengunanya. Masyarakat memiliki ragam bahasa dengan fungsi-fungsi yang berbeda atau domain-domain yang berbeda. Masyarakat dikondisikan secara kultural untuk memilih ragam tertentu dalam ranah atau domain tertentu. Hal ini akan mempengarui dan ssangat berperan pada: language choice, language shift, languga decline, language death 43 Fishman (1992) menyampaikan bahwa diglosia adalah two or more languages or varieties for intra – sosial community. Dalam hal itu dapat dikatakan bahwa guyup tutur diglosia merupakan guyup yang memakai dua atau lebih bahasa/variasi untuk berkomunikasi dalam guyup tutur tersebut. Masyarakat yang diglosia merupakan wadah dari serangkaian perilaku, sikap, nilai-nilai yang diungapkan dalam bahasa A tetapi untuk serangkaian perilaku, sikap, nilai yang lain diungapkan dengan B. Kedua rangkaian ini diterima sah baik secara kultural atau komplementary (nonconflictual), yakni konflik akan muncul ketika salah fungsi antara variasi tinggi dengan variasi rendah. Variasi H (high) dalam agama, pendidikan, aspek-aspek budaya lain yang dinilai tinggi. Variasi L (low) dapat berupa pekerja rendah, rumah, kehidupan sendiri-sendiri dan lainnya. Ferguson menyampaikan bahwa variasi H sebagai superposed karena biasanya di pelajari kemudian dan lebih formal dari pada L. Diglosia juga terjadi pada dialek yang berbeda, register atau variasi-variasi lainnya. Diglosia dan Biligualisme terjadi seperti di Paraguai antara pemakaian bahasa Spanyol dan Guarani. Bahasa Spanyol dipakai dalam ranah pendidikan, agama, pemerintah, dan budaya tinggi di pedesaan sedangkan bahasa Guarani dipakai dalam ranahiman, solidaritas. Diglosia dapat dilihat dari beberapa hal berikut: 1. Fungsi, yakni fungsi bahasa A dan B berbeda 2. Prestise, yakni sikap penggunaan bahasa A lebih super dan B inferior 3. Warisan susastra yang ditulis dengan bahasa A yang masih di agungkan. 4. Pemerolehan B di peroleh waktu kecil sedangkan A diperoleh dalam sekolah sehingga di bakukan. 5. Stabilitas selalu ada dalam pemertahanan diglosia dalam bahasa A dan B. 6. Tata bahasa, seperti bahasa Jerman A mempunyai 4 kasus nomina dua kala, sedangkan bahasa Jerman B (Swiss) mempunyai tiga kasus nomina satu kata.an Sehingga bahasa Jerman B memiliki tata bahasa yang lebih sederhana. 7. Kosa kata dan 44 8. Fonologi 9. Pembakuan. Ferguson (1959; 1972:232) sebetulnya menggunakan istilah diglosia untuk menunjukkan hubungan antara dua variasi atau lebih dalam satu bahasa yang mempunyai fungsi sosial berbeda dalam masyarakat tutur. Fishman (1972:102) mengatakan agak lain bahwa diglosia merupakan karakterisasi dari alokasi fungsi sosial suatu variasi atau bahasa. Kedua pendapat di atas menunjukkan bahwa diglosia adalah pemilihan penggunaan suatu variasi atau bahasa berdasarkan nilai-nilai sosiokultural yang ada dan hidup. Fishman (1972:93-106) membedakan masyarakat tutur menjadi empat jenis berdasarkan peran dan fungsi bahasa atau variasinya. Kedwibahasaan dengan diglosia Kedwibahasaan tanpa diglosia Diglosia tanpa kedwibahasaan Tanpa diglosia dan kedwibahasaan 1. Kedwibahasaan dengan diglosia merupakan pemilihan pemakaian bahasa atau variasinya berdasarkan fungsi sosial dari bahasa atau variasi tersebut. Hal ini bisa dilihat dalam konteks kedwibahawaan di Indonesia secara umum. Diglosia dan bilingualisme terjadi: a. mana kala gugup tutur terdiri dari penutur yang terlibat dalam jarak atau perbedaan peran, yakni peran tinggi – rendah. b. mana kala untuk masuk dalam beberapa peran didorong atau dibantu oleh institusi sosial yang kuat dan proses sosial yang ketat. c. mana kala peran dibedakan dengan jelas dalam arti kapan, di mana, dengan siapa yang sesuai. 2. Kedwibahasaan tanpa diglosia terjadi dalam guyup tutur yang mempunyai dua bahasa yang bersaing dalam pemakaiannya dalam ranah yang sama, seperti di Belgia di mana bahasa Belanda dan bahasa Perancis mempunyai kedudukan yang sama dalam fungsinya sebagai bahasa resmi nasional. Jenis guyup tutur ini memiliki dwibahasawan-dwibahasawan yang memakai variasi dan bahasa yang 45 tidak terpola dalam bentuk-bentuk fungsi-fungsi atau peran-peran berdasarkan ranahnya. Karena biligualisme pada prinsipnya, adalah suatu karakteristik kepandaian bahasa seseorang sedangkan diglosia adalah karakterisasi dari alokasi fungsi sosial dari bahasa atau variasi tersebut dalam guyup tutur. Konteks di atas adalah dua bahasa yang berbeda yang punya kedudukan yang sama, Anak pada awalnya bilingual dalam tempat bermain atau rumah tetapi setelah sekolah atau dewasa belajar bahasa baru, bahasa yang dipakai dalam pendidikan di sekolah yang menggantikan bahasa rumah dan pendidikan. 3. Diglosia tanpa kedwibahasaan, Fishman (1972:93) memberi contoh diglosia secara politis dan pemerintah yang mempunyai dua ekabahasa yang berbeda di bawah satu atap sistem politik. Fishman (1992) mengatakan bahwa hal di atas bukan guyup tutur karena kedua penduduk tidak berinteraksi. Tipe ini terjadi jika beberapa gugup tutur (dua atau lebih) disalurkan secara politis, ekonomis, aganamis ke dalam satu kesatuan fungsional. Seperti elit Eropa memakai bahasa Perancis atau beberapa bahasa H untuk tujuan dalam kelompok (Danish, Rusia, Wales, dan lainnya) dan masyarakat umum banyak memakai bahasa lain dalam kelompoknya, bila berkomunikasi memakai penerjemah atau interpreter dan apabila mereka saling memertahankan peran dan statusnya, bilingualisme sangat sulit tercipta antarkelompok tersebut. 4. Tanpa diglosia dan tanpa kedwibahasaan terjadi dalam guyup tutur yang kecil terisolir dan dalam guyup yang serba sama dan tidak membedakan variasi-variasi atau register. Fasold (1984:44-52) mencatat tiga jenis diglosia (poliglosia) dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli seperti Abdulaziz Mkilifi, J. Gumperz dan Platt. 1) Diglosia ganda bertindihan (double overlapping diglosia) oleh Abdulaziz Mkilifi (1978). Jenis diglosia ini terjadi di Tanzania di mana masyarakat tutur pertama memakai bahasa ibu yang berkedudukan rendah (selanjutnya disebut L) sebagai alat komunikasi dalam keluarga dan bertetangga dekat. Namun, untuk berkomunikasi secara luas dengan etnik yang lain atau di sekolah dasar (bagi anak- 46 anak) mereka memakai bahasa Swahili sebagai bahasa ragam tinggi selanjutnya disebut H) atau bahasa lingua franca. Bahasa ini dipakai sebagai bahasa budaya dan komunikasi tingkat nasional. Setelah mereka memasuki sekolah menengah atau universitas atau kalangan elit dan dunia dagang mereka harus memakai bahasa Inggris (H). Apabila tidak memakainya mereka (pelajar) akan diberi hukuman. Bahasa ini sudah ditetapkan sebagai salah satu mata pelajaran dan sebagai bahasa dalam pengajaran. Kondisi ini bisa digambarkan dalam tabel berikut. Diglosia ganda bertindihan di Tanzania (Mkilifi, 1978) STATUS RAGAM BAHASA STATUS Bahasa Inggris H H Bahasa Swahili L L Bahasa ibu (vernacular) Dari tabel di atas terlihat bahwa di masyarakat itu terdapat satu bahasa yang mempunyai kedudukan yang berbeda menurut orang atau kelompok yang berbeda. 2) Diglosia berkelompok ganda (double-nested diglosia) oleh J. Gumperz (1964). Pola diglosia ini terjadi di Khalapur India di mana terdapat dua bahasa utama bahasa Khalapur dan bahasa Hindi yang masing-masing mempunyai dua ragam tinggi dan rendah dengan jenis fungsi sosialnya sendiri. Kedua bahasa itu berbeda jauh secara tipologis. Hal ini terlihat dalam berbagai hal seperti dalam sintaksisnya, fonologisnya, morfologisnya atau sistem maknanya. Di Khalapur masyarakat telah mempunyai bahasa pertama bahasa Khalapur yang dipakai oleh setiap orang di desa dan dalam hubungan secara lokal. Bahasa Khalapur terdiri atas dua ragam yaitu ragam moti boti (L) dan ragam saf boti (H). Moti boti (tutur biasa) digunakan dalam hubungan informal seperti hubungan keluarga, sanak saudara, dan bertetangga 47 dekat. Saf boti (tutur halus) digunakan dalam berhubungan yang mempunyai jarak sosial, untuk menghormati yang tua, elit atau berstatus tinggi baik secara adat maupun sosial ekonomi lainnya. Bahasa Hindi juga mempunyai dua ragam yaitu ragam percakapan dan ragam oratorik. Ragam percakapan digunakan secara luas dan umum dalam kehidupan sehari-hari dan dalam situasi informal. Ragam oratorik digunakan dalam situasi dan kondisi formal seperti perkuliahan. Untuk memperjelas kedudukan dan fungsi bahasa-bahasa ini lihat di bawah ini. Diglosia berkelompok ganda di Khalapur oleh Gumperz (1964) STATUS RAGAM H Ragam oratorik HINDI L Ragam percakapan informal H Saf boti KHALAPUR L STATUS H L Moti boti 3) Poliglosia linier (linier poliglosia) oleh Platt (1977). Distribusi jenis ini terjadi secara linier, terdapat berbagai bahasa yang berbeda satu sama lainnya. Jenis poliglosia kompleks ini terjadi pada orang Cina Malaysia yang terdidik dengan bahasa Inggris di mana terdapat 8 ragam bahasa dari yang paling tinggi (H1) sampai pada ragam subrendah (L-1). Dalam pola ini terdapat ragam bahasa model tinggi (dummy high selanjutnya disebut DM) yang dipakai oleh orang-orang berpengetahuan tertentu dan dalam kesempatan tertentu. Ragam DM tidak dipakai secara ekstensif dalam berbagai ranah. Ditemukan juga ragam sedang atau menengah (selanjutnya disebut M) di antara ragam H dan L. 48 Poliglosia linier pada guyup orang Cina Malaysia Terdidik dengan bahasa Inggris (Platt, 1977) RAGAM STATUS Bahasa Inggris Formal Malaysia H1 Bahasa Malaysia H2 Bahasa Mandarin DM Bahasa Inggris Malaysia Harian M1 Bahasa Cina Mayoritas M2 Bahasa Cina Asli L1 Bahasa Cina lainnya L1 - Ln Bahasa Malaysia Pasar DM Analisis ini lebih menekankan pada dalam-kelompok atau intra multibahasa, yakni suatu kondisi yang melibatkan pemakaian lebih dari satu bahasa atau variasi untuk kepentingan komunikasi internal, daripada antarkelompok atau inter-multibahasa. Analisis ini dengan memfokuskan pada ‘siapa berbicara apa kepada siapa dan kapan’. Jelas dapat dilihat bahwa kebiasaan pemilihan bahasa dalam masyarakat tutur multibahasa atau jaringan tutur adalah tidak terjadi secara acak, tetapi secara, salah satunya probabilitas, terpola. Pola ‘Penggunaan wajar’ menentukan bahwa hanya ada satu bahasa atau variasi yang tersedia dan dipilih oleh kelas pembicara tertentu pada kesempatan tertentu untuk jenis topik tertentu. G. Suatu Contoh Hipotetik Seorang pegawai negeri Brusel sampai di rumah setelah dari bar di klab. Dia biasanya di kantor memakai bahasa Perancis baku, bahasa Belanda baku di klab dan bahasa Flemis di rumah. Perbedaan pemakaian bahasa ini dipakai untuk menunjukkan jaringan tutur yang berbeda. Hal ini dilakukan untuk 49 menunjukkan: (a) jaringan tutur yang mengikatnya, (b) jaringan tutur yang diinginkan, dan (c) untuk keberterimaan dalam jaringan tertentu. Seandainya ada perbedaan pemakaian bahasa yang keluar dari kaidah perilaku pemilihan bahasa dengan orang tadi, mungkin diakibatkan oleh partisipan berbicara dengan intim dan berlatar belakang bahasa ibu yang sama, sehingga memakai Flemis (atau untuk menunjukan kesopanan dan model lama). Pemakaian ini juga dimungkinkan bahwa mereka lebih menekan keintiman daripada pekerjaannya. Perbedaan yang lain juga dapat diakibatkan oleh topik yang berbeda, seperti masalah dunia seni, sastra, dan lainnya yang tidak dapat diungkapkan oleh bahasa ibu sehingga pindah memakai bahasa Perancis, walaupun mereka teman, berlatar belakang bahasa ibu yang sama dan di rumah. Sehingga ada dua masalah yang tidak dapat dipisahkan: (1) untuk mengenal dan mendiskripsikan keteraturan utama (higer-order regularities) dalam pemilihan bahasa yang menentukan repetoar komunitas tutur multibahasa, (2) walaupun demikian, untuk menyajikan tekanan hubungan interpersonal (pola sosial kedua) yang terjadi dan dipertahankan, bahkan, pada konteks pola keteraturan utama. H. Ranah dari perilaku bahasa Dalam pemilihan bahasa berdasarkan ranah Schidt-Rohr (1932) tampaknya telah mengusulkan bahwa konfigurasi dominan (dominance configurations) perlu ditentukan terlebih dahulu untuk mengungkap keseluruhan status dari pemilihan bahasa dalam berbagai ranah perilaku. Ranah yang diajukan olehnya adalah: keluarga, tempat bermain dan jalan, sekolahan, gereja, sastra, pres, militer, pengadilan, dan administrasi negara. Ada beberapa yang menambahkan jenis ranah, seperti tempat kerja, dan ada juga masyarakat yang memiliki ranah lebih sedikit. Ranah didefinisikan sebagai konteks institusional atau klaster sosio-ekologis. Ranah membantu kita dalam memahami bahwa pemilihan bahasa dan topik berhubungan dengan norma dan harapan sosiokultural yang luas. Dengan mengenal keberadaan ranah itu, dimungkinkan untuk membandingkan bahasa untuk individual, atau sub-populasi tertentu, dengan bahasa untuk ranah-ranah yang melibatkan bagian yang lebih luas dari populasi itu karena ranah terbentuk dari jenis partisipan, topik, dan situasi. 50 Perilaku bahasa atau pemilihan bahasa memiliki ranah-ranah yang berbeda dengan yang lain. Analisis ranah perilaku bahasa dapat dibedakan berdasarkan tingkatnya: tingkat analisis psikologis sosial dan tingkat institusi sosial. Tingkat psikologis sosial dapat berupa: keintiman, ketidakformalan, formal dan antarkelompok. Tingkat analisis institusi sosial dapat berbentuk topik, partisipan(statusnya), situasi yang telah di bahas sebelumnya, yang terkadang hal ini juga mencakup tingkat psikologi sosial oleh beberapa ahli. Oleh karena itu ranah merupakan suatu bangunan sosiokultural yang disarikan dari topik komunikasi, hubungan antarpartisipan, tempat terjadinya komunikasi dalam kesesuaiannya dengan institusi sosial dan bidang aktivitas. Penyesuaian ini dilakukan sedemikian rupa sehingga perilaku individual dan pola sosial dapat dibedakan satu sama lainnya dan juga dicarikan hubungannya dari satu sama lainnya. I. Ranah dan Topik Topik juga menjadi penentu pada penggunakaan bahasa dalam latar multibahasa. Implikasi dari pemilihan bahasa berdasarkan topik adalah bahwa topik tertentu, bagaimanapun juga, lebih baik atau lebih cocok dengan bahasa tertentu daripada yang lain. Kecocokan ini mungkin juga dipengarui oleh faktorfaktor lain, namun demikian, faktor-faktor itu secara bersam-sama mempengaruhi. Beberapa penutur dwibahasawan memperoleh kebiasaan membicarakan tentang topik x dalam bahasa X, kemungkinan mereka telah terlatih dengan bahasa tersebut untuk topik tertentu itu atau mereka kekurangan istilah-istilah khusus untuk membicarakan x dengan baik dalam bahasa Y. J. Ranah dan Hubungan-Peran Setiap ranah dapat dibedakan ke dalam hubungan-peran yang khas, penting, atau tipikal pada komunitas dan waktu tertentu. Ranah dapat dibedakan ke subbagian kepada hubungan peran, demikian juga ranah keluarga dapat dibedakan kedalam jenis penuturnya. Dalam ranah keluarga dibedakan hubungan peran antara: ibu, ayah, anak, domestic, pengasuh, dst., atau dapat juga dibedakan secara lebih khusus: nenek ke kakek, kakek ke nenek, kakek ke ayah, nenek ke ayah, dst. Ranah keluarga dalam beberapa studi perilaku multibahasa memegang peran penting karena kebanyakan mereka mulai dari 51 ranah keluarga, untuk pendukung awal jika tidak untuk proteksi. Ranah agama dapat berupa hubungan-peran antara: pendeta ke jemaah, pendeta –pendeta, jemaah- pendeta, dst. K. Ranah dan Tempat Ervin (1964) dan Gumperz (1964) memberikan beberapa contoh bahwa local (tempat kejadian) merupakan komponen yang menentukan dalam analisis situasional. Jika sesorang bertemu dengan pendetanya pada arena lomba, kemungkinan mereka akan berbicara dengan bahasa yang berbeda dengan biasanya, sehingga pengaruh dari lokal terhadap topik dan hubungan peran yang biasanya dilakukan agaknya perlu diperhatikan. Ranah berhubungan dengan lokal dalam arti bahwa hampir semua institusi sosial terhubung dengan sejumlah kecil lokal utama(tempat yang biasanya terjadi konstelasi/kongruensi antara topik, partisipan, dan lokal). Tuntuan lokal dan kecocokan lokal ikut dalam menentukan pemilihan bahasa. L. Validitas Bangunan dari Ranah Sepanjang suatu ranah adalah ranah utama dari situasi kongruen (situasi yang sebangun), itu penting untuk mengetes secara intuitif kongruen-kongruen yang dirasakan untuk di dapatkan. Kongruen adalah situasi yang memungkinkan individual berinteraksi dalam hubungan peran yang sesuai, dalam lokal yang sesuai dengan hubungan peran tersebut, dan mendiskusikan topik yang sesuai dengan hubungan peran tersebut. Greenfield (1968) lebih dari setahun melakukan observasi partisipan dalam menemukan jenis ranah dan menemukan lima ranah dari berbagai situasi yang tidak dapat dihitung lagi. Sebelumnya dia secara tentatif memberi judul ranah keluarga, berteman, agama, pendidikan, dan pekerjaan dan dilanjutkan dengan menentukan apakah suatu situasi tipikal dapat disajikan untuk setiap ranah sebagai suatu cara dalam mengumpulkan data laporan-diri tentang pemilihan bahasa. Sebagaimana table berikut, setiap ranah diwujudkan oleh orang, tempat, dan topik yang sebangun (yang pas). 52 Ranah Partisipan Tempat/lokal Topik Keluarga Orang tua Rumah Bagaimana untuk menjadi anak laki-laki atau perempuan yang baik Berteman Teman Pantai Bagimana bermain permainan tertentu Agama Pendeta Gereja Bagaimana untuk menjadi orang Kristen yang baik Pendidikan Guru Sekolah Pekerjaan Tempat kerja Bagaimana melaksanakan pekerjaan anda Majikan Bagaimana menyelessaikan masalah aljabar secara efisien Agar supaya dapat mengetes hipotesis awal penentuan ranah, pertamatama dia mengajukan dua komponen situasi (mungkin topik dan orang) yang tampak sebangun kemudian dia meminta responden untuk: (1) memilih komponen ketiga (mungkin tempatnya) untuk melengkapi situasi tertentu itu, (2) menunjukkan kecondongannya dalam menggunakan bahasa baik spanyol atau Inggris apabila mereka terlibat dalam situasi seperti ini dan menguasai kedua bahasa dengan baik. M. Analisis Latar Multibahasa Penggunaan bahasa dalam konteks kedwibahasaan tergantung pada ranah-ranah yang melembaga secara konvensional dalam masyarakat tutur. Ranah (konteks sosial yang melembaga) merupakan konstelasi antara topik, situasi, latar, dan partisipan. Topik biasanya dibedakan menjadi dua yakni topik modern dan topik tradisional. Topik modern berkenaan dengan sesuatu yang berorientasi pada saat sekarang dan yang akan datang daripada waktu lampau (Inkeles, 1966:155). Secara etimologis modern berarti masa kini, model baru dan tidak kuno. Sedangkan topik tradisional merupakan sebaliknya, yakni sesuatu yang pada waktu lampau, seperti cara-cara warisan nenek moyang. Situasi juga dibedakan menjadi dua yaitu situasi formal dan nonformal. Situasi formal berkenaan dengan situasi yang menonjolkan dan memerlukan 53 keseriusan, kesopanan dan rasa hormat (Tripp, 1972:235). Labov (1972:113) melihat situasi dari sudut penggunaan bahasa dengan mengatakan bahwa situasi formal adalah situasi yang membuat penutur semakin memperhatikan tuturannya. Situasi informal merupakan situasi yang mengijinkan atau menunjukkan keintiman dan kesembronoan (Fishman, 1972:51), keseriusan, kesopanan dan rasa hormat bukanlah sebagai orientasi yang pertama dan utama untuk ditonjolkan. Latar dapat dibedakan menjadi latar dalam rumah dan latar luar rumah. Latar dalam rumah merupakan latar yang ada di dalam rumah yang terdiri dari anggota keluarga. Sedangkan latar luar rumah merupakan latar yang terjadi di luar rumah seperti di kantor, tetangga, jalan dan sebagainya. Hubungan peran (partisipan) dibedakan menjadi hubungan yang akrab dan hubungan tidak akrab. Hubungan akrab merupakan hubungan yang relatif bebas, solidaritas tinggi, intim, dan biasanya antarpartisipan saling mengenal lebih dalam serta terkondisi secara informal (Bell, 1976:102). Hubungan tidak akrab merupakan hubungan yang terdapat jarak sosial, antarpartisipan tidak begitu mengenal secara dalam, terkondisi secara formal, dan status kekuasaan tinggi. Secara khusus pokok kajian kuantitatif pun dalam kedwibahasaan sering difokuskan pada analisis yang mencakup pemakaian bahasa berdasarkan ranah yang ada di desa dan kota. Ranah yang biasa ditemukan pada kedua tempat ini diantaranya adalah ranah adat, pertanian, keluarga, agama, berteman, jual beli, pemerintahan, dan pendidikan. Kedelapan ranah ini dianalisis ke dalam variabel-variabelnya, yakni topik, partisipan, latar, dan situasi. Selain pokok kajian kuantitatif di atas juga dicari pemakaian bahasa berdasarkan variabel status demografis masyarakat dan korelasinya dengan pemakaian bahasa. N. Kedwibahasaan Berdasarkan variabel-variabel sosiolinguistik kajian kedwibahasaan. ini mengutamakan data-data lisan atau tutur (Brown dan Yule, 1983:19) bukanlah data bahasa tulis yang sifatnya formal dan preskriptif. Dengan kata lain, kajian ini mengutamakan perilaku berbahasa biasa; bukanlah langue 54 tetapi parole-nya (Saussure, 1983:1). Analisis kedwibahasaan ini dekat dengan etnografi komunikasi khususnya tindak tutur (Austin, 1962; Hymes, 1968; Searle, 1969; dan Leech, 1983) dan komunikasi lintas budaya terutama wacana budaya (Wierzbicka, 1996). Wacana budaya dan tindak tutur digunakan untuk menemukan norma sosial budaya yang hidup dalam masyarakat, termasuk di dalam berbahasa. Bahasa dilihat sebagai fenomena sosial (Saussure,1973; Halliday, 1978) bukanlah sebagai fenomena fisik Bloomfield, 1935) dan fenomena mental kognotif (Chomsky, 1965:3). Lingkup kajian kedwibahasaan ini ditekankan pada penggunaan bahasa dalam konteks sosial, bukanlah bagaimana pemerolehan bahasa, keberadaan Kedwibahasaan atau sikap terhadap bahasa dan penggunanya. Penggunaan bahasa dilihat dari setiap ranah yang ada dalam masyarakat. Penggunaan bahasa dalam konteks sosial tidak terlepas dari kaidahkaidah umum tentang bagaimana interaksi dan interpretasi berlangsung, yang tercakup dalam analisis etnografi komunikasi. Kaidah-kaidah interaksi dan interpretasi dalam berkomunikasi dibimbing oleh konvensi sosial yang hidup dalam masyarakat. Berdasarkan jangkauannya kedwibahasaan dibedakan menjadi kedwibahasaan masyarakat dan individual (Fishman, 1966). Kedwibahasaan masyarakat memfokuskan analisisnya pada peran (daya) bahasa dalam guyup dan pada tingkat hubungan antara peran politik, ekonomi, sosial, pendidikan dengan bahasa. yaitu pada Kedwibahasaan individual menekankan pada personalnya kemampuan atau kompetensi (Bloomfield, 1933:56), pemerolehan atau proses verbal/neurologi (Weinrich, 1968:9-11). Untuk membedakan kedua hal di atas Fishman selanjutnya memberi batasan yakni dengan menjawab pertanyaan 'Siapa berbicara dengan bahasa apa kepada siapa dan kapan?’ Berdasarkan penggunaannya, Pohl (dalam Beardsmore, 1982) membedakan kedwibahasaan menjadi: 1) kedwibahasaan horisontal di mana dua bahasa yang berbeda memiliki peran yang sama secara resmi dan kultural dan terjadi dalam interaksi antarpenutur elite; 2) kedwibahasaan vertikal di mana dua bahasa yang berhubungan secara genetis dipakai seseorang; 3) 55 kedwibahasaan diagonal terjadi pada penutur yang menggunakan dialek (bahasa nonstandar) dan bahasa standar yang secara genetis keduanya berbeda. Ricciardielli (1992) membedakan kedwibahasaan berdasarkan tingkat bilingualitasnya ke dalam: 1) kedwibahasaan aditif di mana penutur sangat menguasai dua bahasa atau lebih; 2) kedwibahasaan dominan di mana penutur hanya menguasai salah satu bahasa dengan baik sebagaimana penutur asli; 3) kedwibahasaan semi di mana penguasaan dua bahasa atau lebih sama-sama rendahnya. Konsep inilah yang lebih banyak dipakai linguis daripada konsep yang telah diajukan oleh Beardsmore (1982) ke dalam kedwibahasaan semi dan imbang. Di sisi lain Beardsmore membedakan kedwibahasaan berdasarkan kemampuan dwibahasaan menjadi kedwibahasaan produktif (aktif) dan reseptif (pasif) dikarenakan adanya gejala dwibahasawan yang hanya mampu menerima bahasa suatu guyup tetapi tidak bisa menghasilkan ujaran dengan bahasa yang sama. Lambert (1974), Malmkjaer (1991) juga membedakan kedwibahasaan ke dalam kedwibahasaan aditif dan substratif. Kedwibahasaan aditif merupakan kedwibahasaan di mana dwibahasawan merasakan nilai tambah dari bahasa kedua baik secara sosial maupun kognitif. Sedangkan dalam kedwibahasaan substratif, dwibahasawan merasakan bahwa bahasa kedua merupakan penyebab hilangnya beberapa hal positif dari pemakaian bahasa pertama. Dalam analisis ini lebih difokuskan pada kedwibahasaan masyarakat yang lebih kompleks dan luas dan juga akan dicari jenis kedwibahasaannya berdasarkan penggunaannya, fungsi bahasa dalam masyarakat tutur. Apabila pemilihan bahasa itu disebabkan oleh nilai-nilai (fungsi-fungsi) sosiokultural dari bahasa itu maka kebahasaan masyarakat yang bersangkutan bersifat diglosik. Terdapat alokasi fungsi sosial yang berlainan dalam pemakaian bahasa atau variasinya (Fishman, 1972:91-3;Ferguson, 1959). Sedangkan kedwibahasaan merupakan praktek pemilihan dan pemakaian dua bahasa atau lebih secara bergantian (Weinrich, 1953:5; Mackey, 1957:51). Pola diglosia dan jenis kedwibahasaan ini juga menjadi pokok kajian dalam penelitian kedwibahasaan dan perencanaan bahasa. 56 Dalam konteks kontak aneka bahasa terjadi spesialisasi pemakaian bahasa berdasarkan makna sosiokultural pemakaiannya. Setiap bahasa memiliki peran dan fungsi sosialnya sendiri dalam masyarakat sehingga dalam penelitian kedwibahasaan juga dicari makna pemakaian bahasa-bahasa yang ada. Makna pemakaian bahasa yang dimaksud di sini merupakan makna kontekstual pemakaian bahasa dan unsur-unsur lingual yang dipengaruhi oleh konvensi sosial dan budaya masyarakat tutur setempat. Konteks pemakaian bahasa dapat berupa konteks situasi saat interaksi berlangsung dan konteks social budaya. Dalam konteks kontak aneka bahasa dan kontak pengguna terjadilah persentuhan dan persaingan dalam penggunaan bahasa. Haugen (1981:114-5) member istilah ekologi bahasa yang menunjukkan suatu konsep inti tentang 'pasar bahasa' di mana bahasa berada dalam kontak yang bersaing untuk memperoleh penutur yang sebanyak-banyaknya. Harga dari bahasa itu berupa usaha dan waktu yang diperlukan dalam mempelajarinya. Nilainya berupa manfaat yang dibawa oleh bahasa terhadap penggunanya dalam guyup tutur tertentu. Guyup tutur merupakan guyup yang penuturnya paling tidak memakai satu variasi bahasa secara bersama-sama dan norma penggunaannya secara wajar (Fishman, 1972:22). Labov (1966:651) mengatakan guyup tutur sebagai kelompok penutur yang memakai serangkaian sikap bersama terhadap bahasa, kemudian dia (1972) menekankan lagi bahwa guyup tutur tidak dibatasi secara jelas oleh pelibat-pelibat dengan seperangkat norma bersama. Norma ini dapat diamati pada perilaku evaluatif yang tampak dan dengan keseragaman pola-pola variasi yang abstrak yang beragam pada tingkat penggunaan tertentu. Dari persentuhan dan persaingan bahasa dalam lingkungan kebahasaan biasanya muncul kedwibahasaan dan diglosia. Kedwibahasaan berkenaan dengan bahasa dalam fungsinya sebagai alat interaksi sosial. Dengan kata lain bahwa kedwibahasaan merupakan suatu fenomena penggunaan bahasa. Mackey (1957:51) menekankan bahwa kedwibahasaan merupakan pilihan dalam penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang. Weinrich (1953:5) mengatakan kedwibahasaan adalah praktik penggunaan dua bahasa atau lebih secara bergantian. Sedangkan batasan tentang seorang dwibahasawan 57 di sini adalah seorang penutur suatu bahasa yang mampu menghasilkan ujaran lengkap dan bermakna ke dalam bahasa yang berbeda (Haugen, 1953:7). Malmkjaer (1991:57) juga memberi batasan bahwa dwibahasawan adalah orang yang mempunyai kemampuan dalam dua bahasa atau lebih yang mendekati penutur asli. Konsep kedwibahasaan di atas digunakan dalam penelitian ini dengan lebih menfokuskan pada penggunaannya secara sosial sesuai dengan penegasan Mackey (1968:554) bahwa kedwibahasaan bukanlah fenomena bahasa tetapi merupakan fenomena penggunaan bahasa. Jadi yang dilihat bukanlah keberadaannya seperti yang dilakukan oleh Aucam (1926, dalam Beardsmore, 1982:2) juga bukan kompetensinya oleh Bloomfield (1935) dan Beardsomore (1982:9) karena kompetensi komunikatif kurang begitu mudah diukur dengan jenis alat prosedur formal gramatika yang terpisah dari penggunaannya. Kedwibahasaan di sini juga bukanlah dilihat dari sikapnya seperti yang dilakukan oleh Lambert (1960), Fishman dan Agheyisi (1970). O. Pergeseran Fungsi Bahasa Dalam Guyup Tutur Haugen (1972:334) membuat konsep tentang terjadinya perpindahan atau pergantian bahasa dalam suatu guyup dan seakan-akan mengisyratkan bahwa kedwibahasaan merupakan proses pergantian bahasa (dalam proses interaksi verbal) yang berlangsung sejalan dengan pergantian generasi dengan melihat fungsi bahasa dalam suatu guyub. Urutannya sebagai berikut: monolingual bahasa A kontak dengan bahasa B yang di sini berfungsi sebagai suplemen atau pelengkap (A: dominan, B: subordinat), karena dalam waktu yang panjang dan pergeseran kebutuhan serta perkembangan social budaya, bahasa B selanjutnya berfungsi komplemen yaitu berkedudukan sama dalam penggunaannya (AB: sama), kemudian secara tidak sadar karena dalam pergantian generasi juga, bahasa A hanya dipakai oleh orang-orang tua saja sedangkan anak-anak muda mayoritas telah memakai bahasa B, bahasa B di sini telah berfungsi dominan atau fungsi replasif (A: bahasa minor dan B: bahasa yang mendominasi hampir semua fungsi-fungsi atau ranah yang penting dan dominant dalam guyup) hingga akhirnya menjadi monolingual bahasa B. 58 Romaine (1995:19) mengatakan hampir mirip dengan Haugen bahwa apabila bahasa pertama dan bahasa kedua digunakan seseorang sama baiknya dalam segala konteks, maka orang tersebut akan luntur kedwibahasaannya dan akhirnya menjadi monolingual, karena tidak ada masyarakat yang memerlukan dua bahasa dalam serangkaian fungsi yang sama. P. Kode Campur Alih kode merupakan pergantian penggunaan dari satu bahasa ke bahasa yang lain, dan pola-pola peralihan bahasa tertentu memegang fungsi yang sangat penting dalam repertoar komunikasi dalam guyup tertentu (Romaine,1995:12). Alih kode merupakan fenomena kedwibahasaan yang tidak terjadi secara manasuka melainkan dibimbing oleh suatu kaedah (Bell, 1976:140-1). Kaidah ini adalah kaedah sosiolinguistik dan psikolinguistik. Kaidah sosiolinguistik mencakup komponen tutur suatu peristiwa tutur yang termasuk dalam konsep akronim SPEAKING (Hymes, 1972) yang meliputi situasi latar, partisipan, end/tujuan, act/sekuensi tindak, kunci, instrumen, norma dan genre. Dalam analisis wacana lebih difokuskan pada komponen norma kemudian pada komponen lainnya yang mengikat. Kaidah psikolinguistik yang melibatkan proses rancangan verbal dalam otak dwibahasawan. Kaedah psikolinguistik ini tidak menjadi fokus dalam penelitian ini. Terjadinya alih kode dikarenakan setiap orang dalam guyup mempunyai berbagai peran dalam berbagai situasi di mana setiap peran ini mempunyai norma-norma perilaku tertentu. Salah satu norma perilaku itu adalah perilaku pemakaian bahasa (Bell, 1976:141). Di sisi lain alih kode dikarenakan adanya kesenjangan dalam kode yang dipakai seorang dwibahasawan. Kesenjangan itu dibedakan menjadi tiga: 1) kesenjangan denotasi (Elias-Olivares, 1976; Huerta, 1978; McClure, 1981); 2) kesenjangan konotasi (Huerta, 1978; McClure, 1981); 3) kesenjangan register (Elias-Olivares, 1976; Baker, 1980). Alih kode sering terjadi karena tujuan-tujuan tertentu seperti untuk menandai identitas sosial (Kachru, 1978;Sridhar, 1978), hubungan-peran 59 (Blom dan Gumperz, 1972; McClure, 1981), dan untuk menunjukkan solidaritas (Elias-Olivera, 1976; Gumperz, 1982). Dari uraian di atas terlihat bahwa pembahasan alih kode tidak bisa dipisahkan dari faktor-faktor nonlinguistik sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai karena gejala alih kode sosiokultural masyarakat penutur yang diwahanani oleh bahasa. Fishman (1972:42), Blom dan Gumperz (1972) membedakan alih kode berdasarkan konteks tempat terjadinya alih kode, yakni alih kode situasional dan alih kode metaforis. Alih kode situasional berakar pada pembagian aktivitas sosial dan hubungan-peran yang masing-masing secara konvensional terikat oleh penggunaan suatu variasi atau bahasa tertentu dalam situasi tertentu. Alih kode metaforis terjadi manakala muncul suatu variasi atau bahasa yang tidak diharapkan secara konvensional dalam situasi tertentu. Alih kode ini tidak terjadi secara wajar, umum, dan konvensional. Dilihat dari pengaruh satuan bahasa dalam beralih kode, Bell (1976:142-3) membedakan alih kode ke dalam dua jenis, yakni alih kode antisipasi dan alih kode konsekuensi. Alih kode antisipasi atau anticipatory switching terjadi manakala satuan bahasa tertentu mempengaruhi tuturan sebelumnya. Dalam kalimat bahasa Hindi To: wo: ‘hoard of whiskey’ atau 'tumpukan wiski di rumahmu', kata whiskey merupakan satuan pinjaman dari bahasa Inggris yang mempengaruhi penggunaan kata hoard yang semestinya jamak 'tumpukan' dan of yang semestinya ka 'dari'. Alih kode konsekuensi atau consequential switching terjadi apabila terdapat satuan bahasa tertentu yang memancing tuturan berikutnya ke dalam bahasa tersebut. Kalimat bahasa Jawa dan bahasa Indonesia Aku ora weruh komputer, kata komputer itu sukar untuk dipelajari di mana terdapat unsur pinjaman bahasa Indonesia ‘komputer’ yang memancing untuk beralih kode ke bahasa Indonesia. Malmkjaer (1991:62) membedakan alih kode sebagai suatu perubahan dari satu bahasa ke bahasa lainnya, dalam suatu ujaran atau konversasi. Kode campur sebagai penggunaan unsur suatu bahasa, biasanya nomina, dalam suatu ujaran yang secara mayoritas memakai bahasa yang berbeda. 60 Dalam konteks guyup aneka bahasa terjadi saling pinjam antarunsur bahasa yang satu dengan yang lain. Haugen (1950) selanjutnya membuat jenjang tingkat kemudahan dan kelebatan unsur pinjaman sebagai berikut : - Satuan Tingkat kemudahan dan kelebatan unsur pinjaman - Satuan leksikal Tinggi - Satuan morfologi-Derivasi-Infleksiz Sintaksis Rendah Haugen (1972:85) membedakan peminjaman menjadi tiga jenis sebagai berikut. a. Pinjaman kata (loanwords) merupakan peminjaman secara total tanpa adanya satu substitusi pun. b. Pinjaman campur (loanblends) merupakan peminjaman yang bagiannya merupakan subtitusi. Kadang kadang pinjaman ini disebut hybrid. c. Pinjaman geser (loanshifts) merupakan substitusi secara menyeluruh tanpa unsur pinjaman yang merupakan perluasan makna. Kadang-kadang pinjaman ini disebut pinjaman semantik dan pinjaman terjemahan. Berdasarkan keberterimaannya peminjaman dibedakan menjadi pinjaman yang berupa interferensi dan integrasi yang keduanya merupakan suatu jenjang yang kontinuum (gradual), bukan berdiri sendiri secara terpisah dan diskret (Mackey,1970; Beardsmore,1982:44). Semakin diterima dan semakin sering dipakai pinjaman itu semakin integral. Pinjaman itu sebagai unsur bahasa penerima dan secara integral menjadi bagian budayanya. Integrasi yang dimaksud di sini adalah penggunaan yang reguler terhadap unsur-unsur suatu bahasa ke bahasa yang lain karena bahasa itu tidak mempunyai padanannya, tidak diketahui atau jarang digunakan (Beardsmore, 1982:42), sedangkan interferensi merupakan pinjaman yang masih dirasa asing oleh penutur dan belum begitu ajeg digunakan. Tingkat penggunaan Interferensi Integrasi 61 Weinrich (1953 dalam Dittmar, 1976:117) mengklasifikasikan interferensi menjadi dua, yaitu interferensi secara linguistik yang meliputi interferensi fonologi, gramatikal; dan interferensi secara Interferensi dalam tesis ini lebih ditekankan pada sosiolinguistik. interferensi secara sosiolinguistik untuk mengetahui apakah unsur pinjaman, mempunyai latar sosiokultural tertentu, sehingga unsur itu hadir dan di pakai oleh penutur. 62 BAB IV BAHASA DAN PEMILIHAN BAHASA A. Bahasa dan kelompok Etnik Bahasa sering di pakai sebagai ciri etnik : sebagai alat identitas kelompok etnis, seperti contoh bahasa daerah sebagai identitas suku. Bahkan ada pandangan yang tetap dan pasti antara ciri fisik suatu kelompok dengan suatu bahasa atau variasi tertentu. Walaupun demikian sebetulnya bahasa bukanlah suatu pembawaan genetik tetapi lebih kepada pembawaan sosiokultural dimana pemakain itu pernah ada dan hidup. Suatu etnik katakanlah Cina, Batak, Bali bisa berbahasa Jawa karena hidup atau lahir di dalam lingkungan masyarakat berbahasa Jawa. Hal ini contoh bahwa bahasa tidak selalu menunjukkan “bangsa“ atau ’kelompok etnik“ lingkungan bangsa yang menentukan bukan ras, warna kulit. Dalam banyak hal bahasa mungkin merupakan faktor atau ciri-ciri penting atau bahkan ciri esensial dari kalangan kelompok. Bahasa bertindak sebagai inditifying characteristics. Ciri ini bisa pada tataran fonologi seperti :orang jawa d (berat)- orang Jawa. e (pepet) –e(taling)- orang batak, bima, medan. Masyarakat tertentu menuntut anggota untuk menguasai dua bahasa atau lebih untuk menjadi anggota secara penuh dalam masyarakat . Motivasi penguasaan bahasa dapat berupa motivasi instrumental, yakni alat untuk menciptakan sesuatu dan motivasi integrasi, yakni bahwa bahasa yang di pelajari nantinya akan menentukan hidupnya atau bahasa yang di pelajari bisa sebagai sarana untuk mengintegrasikan dirinya dalam masyarakat baru yang akan dimasuki. Motivasi integrasi lebih berhasil dibanding dengan motivasi instrumental, seperti anak yang mempunyai bahasa ibu. Bahasa minoritas rawan punah, negara yang banyak ragam minor sering susut karena regenerasi dan untuk memertahankan bahasa monoritas dengan pengajaran dwibahasa. Mempertahankan dan menghapuskan bahasa minoritas membawa kusekuensi politik dan biaya besar. 63 Pendekatan yang dilakukan dalam menanggapi bahasa-bahasa minoritas dapat dilakukan dengan cara pengajaran dengan dwibahasa, atau penghargaan perbedaan dialek. Bahasa sering juga dipakai untuk penaklukan politik, seperti Inggris melarang dipakainya bahasa Gael di Skotlandia setelah pemberontakan 1745. Ragam substratum yaitu bahasa atau ragam bahasa yang di pakai oleh kelompok-kelompok itu atau nenek moyang mereka sebelum mereka menjadi penutur bahasa Inggris di kota New York. Ragam substratum orang Yahudi itu adalah bahasa Yiddi,Italia. Itulah kemudian ada penyusupan(interverensi) bahasa terdahulu terhadap yang baru sehinga timbul koreksi yang kadang-kadang menimbulkan hiperkoreksi. Teori inferiotas menyanggap bahwa ada hubungan antara bahasa yang jelek dengan rendahnya dengan derajat pemakai. Perbedaan ini sering dikaitkan sebagai akibat substratum.Hal di atas tidak di terima karena secara linguistik tidak ada ragam yang lebih tinggi dan lebih rendah. B. Pidgin dan Kreol Pidgin sejenis lingua franca kemudian biasanya jadi Kreol, yakni bahasa standar yang sudah mempunyai panutur asli. Pidgin timbul karena bertemunya sejumlah penutur dengan dengan latar belakang bahasa ibu yang berbeda-beda yang pada saat tertentu oleh kebutuhan sesaat mereka memerlukan alat komunikasi. Tetapi Pidgin sebenarnya memiliki suatu dasar bahasa, kemudian mengalami penambahan, pengurangan, pengubahan dari bahasa-bahasa yang terlibat dan akhirnya bentuk komunikasi itu atau bahasa itu harus punya kidah dan sistem. Pidgin tidak memiliki penutur asli dan apabila bentuk alat komunikasi yang telah memiliki kaidah dan sistem itu memiliki penutur asli, maka nama dan statusnya telah menjadi Kreol. Berikut rentangan antara nasionalitas dan kelompok etnis, dan negara multinasional dan nasion (multietnik) 64 NASIONALIS Kelompok orang yang merasa sebagai suatu satuan sosial bebas konteks dan lokal . Nasionalitas/ multinasional yakni bahasa yang terdiri dari berbagai bangsa KELOMPOK ETNIK Organisasi sosio-kultural sederhana, khas, dan lokalistik Nation/ multietnik, yakni satuan politik teritorial di bawah pengawasan nasionalitas tertentu Peranan bahasa dalam nasionisme dan nasionalisme ( yang merupakan ikatan perasaan), Fishman (1972) mengatakan peranan bahasa dalam kaitannya dengan nasionalisme bahwa (1) peranan bahasa bagi nasionalism (peran sentimental), yang mungkin lebih secara emosional dikuasai, dan (2) Bahasa jadi masalah dalam nasionalisme dalam dua bidang, yakni dalam administrasi pemerintahan dan pendidikan. Nasionisme memilih bahasa yang murah bisa melaksanakan tugas dengan baik sedangkan nasionalisme berkaitan dengan agama, sejarah, budaya, sebagai komponen dari nasionalisme itu sendiri. Fishman mengatakan bahwa bahasa bertindak sebagai rantai penghubung dengan kejayaan masa lampau dan keotentikan (ini merupakan konsep-konsep yang abtrak dan emosinal yang merupakan kekuatan yang hebat). Fishman juga mengatakan bahwa bahasa ibu merupakan suatu aspek jiwa atau inti nasionalitas. Peranan lain yang bisa dimainkan oleh bahasa dalam nasionalisme adalah sebagaimana pendapat beberapa ahli berikut: 1) Fishman memberi nama “constrative self-identifying (identifikasi diri kontras) atau yang oleh Garvin dan Marthiot (1956) disebut unifying and separatist function (fungsi menyatakan dan sekaligus memisahkan). Hal ini mengacu pada perasaan para warga masyarakat nasinalitas yang menyatukan 65 dan mengidentifikasikan diri dengan orang lain yang bicara dalam bahasa yang serupa, dan sekaligus mengontraskan dengan dan terpisah dari mereka yang tidak bicara dalam bahasa yang tidak serupa. 2) Pool (1972) mengatakan bahwa tidak selalu negara aneka bahasa itu selalu tidak beruntung dan tidak makmur dan kaya, tetapi Fishman (1968) mempunyai kesan bahwa negara yang secara linguistik homogen biasanya secara ekonomi berkembang. C. Beberapa Penelitian Mengenai Pemilihan Bahasa Greenfield melakukan penelitian dengan rancangan sosiologi yaitu dengan mengunakan analisis ranah yang pernah dikenalkan oleh Fishman (1965 dan 1964). Didefinisikan bahwa ranah adalah konstelasi dari partisipan, lokal, dan topik. Penelitian Greenfield dilakukan pada pemilihan bahasa di kalangan guyup spanyol Puerto Rico yang dwibahasawan antara bahasa Spanyol dan Inggris dengan memperhatikan tiga komponen, yakni orang, tempat, dan topik. Greenfield memakai cara dengan kuesioner. Pertama membuat suatu dialog tentang suatu topik antara A dan B. Kemudian dia bertanya di mana cocok untuk hal di atas. Hal di atas untuk menemukan ranah-ranah. Setelah ketemu ranah kemudian dia mencari bahasa apa yang dipakai dengan memakai skala satu sampai lima, dengan rentangan berikut: 1. Spanyol dengan sepenuhnya 2. lebih banyak spanyol dari pada Inggris. 3. seimbang. 4. Inggris lebih banyak 5. sepenuhnya Inggris Apabila hasil dari rata-rata di bawah tiga maka pemakaian bahasa dalam ranah tersebut adalah bahasa Inggris dan sebaliknya apabila hasilnya lebih dari rata-rata tiga maka ranah itu ditempati oleh bahasa Spanyol. 66 Parasher menggambarkan ranah dalam bentuk seperangat situasi. Seperti contoh berikut, dia membuat angket dalam ranah kekariban, yang meliputi pilihan-pilihan berikut: 1. Bicara dengan teman 2. Dengan orang-orang di klub/umum 3. Memperkenalkan dengan orang lain 4. Tentang masalah pribadi dengan teman 5. Berdebat hangat Sebenarnya situasi ini sudah menyangkut partisipan, tempat, topik. Subjek disuruh mengisi bahasa apa yang sesuai dengan situasi di atas. Untuk setiap bahasa subjek di suruh menentukan salah satu dari titik lima yang masingmasing diberi nilai 40,30,20,10,0. Rentangan nilai itu seperti berikut: 1. Selalu 2. Biasanya 3. Sering 4. Kadang-kadang 5. Tidak pernah Berikut adalah tingkatan kuesionernya terhadap pemakaian bahasa A Contoh: Pengguna bahasa A Nilai 40 30 20 10 0 Ranah Keluarga selalu biasanya sering kadang-kadang Tdk pernah Partisipan dalam ranah ini dapat mencakup interaksi dengan istri, dengan anak, dengan kakak, dan lain lain, yang paling besar adalah bahasa yang dominan. Herman (1968) meneliti pemilihan bahasa dengan proses psikologis seseorang. Dia melihat tiga situasi psikologis ketika berbicara dengan orang lain yaitu: 67 1) kebutuhan pribadi, 2) situasi saat pembicaraan berlangsung (immediate situation), 3) (3) situasi yang melatarbelakangi pembicaraan (background situation) yang menyangkut urusan pribadi dan situasi saat pembicaraan berlangsung (immediate situation) dan situasi yang melatar belakangi pembicaraan menyangkut kelompok. Cara ini dipandang cocok bagi negara yang perbedaannya sosiokultural tinggi seperti di Amerika Serikat. Teori akomodasi oleh Giles melihat pemilihan bahasa yang berdasarkan keberterimaan penutur dalam interaksi. Bentuk akomodasi ini dapat dilihat dari dua hal: a. Bentuk konverengsi (menyatu): penutur memilih suatu bahasa atau ragam bahasa yang sesuai dengan kebutuhan lawan bicara. b. Bentuk diverengsi dimana penutur ingin menekankan loyalitas atau kesetiaannya terhadap kelompok sendiri, seperti kelompok kulit putih Amerika dengan kulit hitam Negro. Ujaran yang paling divergen adalah jika penutur memakai bahasanya sendiri dengan kecepatan yang normal dan membiarkan lawan bicaranya memahami ujarannya sedapat - dapatnya. Berikut merupakan rentangan dari matra linguistik, konvergensi, dan divergensi situasi saat pembicaraan berlangsung (immediate situation), dan situasi yang melatar belakangi pembicaraan. Staregi konvegensi dan divergensi dipakai untuk mengetahui: (1) apabila si penutur seorang anggota kelompok sosiokultural yang dominan atau bawahan, (2) apabila penutur itu berpikir atau tidak mengenai kemungkinan perubahaan sosial (dalam arti memperbaiki posisi atau status kelompok bawahan). Konverengsi menurun memiliki makna bahwa konvergensi dengan simpati terhadap ragam yang lebih rendah. Diverengsi sering diistilahkan tindak kekerasan. 68 Matra lingustik - Bahasa kelompok lain dengan lafal seperti penutur asli - Bahasa kelompok lain dengan unsur-unsur bahasa sendiri. - Bahasa kelompok sendiri dengan lamban - Bahasa kelompok sendiri dengan tempo normal Konvergensi yang makin meningkat Divegensi yang makin meningkat Penelitian Susan Gal (1979) memiliki ancangan antropologi yang menekankan pada bagaimana seorang penutur (sebagai individu) melibatkan diri dengan struktur masyarakatnya tetapi tidak dalam pengertian kebutuhan psikologis dirinya sendiri, melainkan orang itu menggunakan pilihan untuk mengungkapkan nilai-nilai budayanya. Antropologi mempunyai perhatian besar terhadap campur kode dan ragam-ragamnya serta terhadap alih kode dalam skala besar. Bagi pakar antropologi tiap ragam itu mempresentasikan perubahan dalam pengungkapan nilai budaya dan nilai yang harus di pahami. Metode yang di pakai bukanlah seperti sosiologi dan psikologi sosial yang mengandalkan pada data lewat kuesioner dan pengamatan terhadap perilaku orang, yang melalui kondisi percobaan yang terkontrol. Metode antropologi memakai pengamatkan berpartisipasi seperti di pakai oleh Susan Gal meletakkan kuesioner dan wawancara sebagai pelengkap. Data pengamatan di ambil sehari-hari dengan tehnik rekam. Gal melihat bahwa bahasa Hungaria di pakai dalam kelompok taradisional yang merupakan ragam rendah sedangkan bahasa Jerman merupakan bahasa nasional dan bahasa pendidikan, yang merupakan ragam tinggi. Bahasa Hungaria diasosiasikan dengan nilai-nilai petani, pedesaan, tradisional, kerja keras. Pemilikan ternak dan pemilikan tanah sebagai sumber status. Gal melihat bahwa jati diri sosiolinguistik seseorang terlihat kuat pada perilakunya terhadap ekabahasawan. Pilihan bahasa sebagai konsep seseorang terhadap keanggotaan kelompok sangat jelas tampak pada model sajian yang dipakai Gal, yaitu tabel skala implikasional. Tabel ini mengandung unsur penutur dengan umurnya 69 (berurut dari atas ke bawah) dan interlokutornya (horisontal). Titik temu antara garis penutur dan garis interlakutor merupakan sel yang menunjukkan bahasa yang dipakai oleh penutur. Jumlah sel secara teori adalah jumlah penutur dikalikan jumlah interlokutor. Kesahehan skala implikasional itu dapat di hitung angka skalabilitas persentasenya. Skalabilitas yang ideal mencapai 100% tetapi ini langka sehingga masih di anggap sahih jika mencapai paling sedikit 85%. (NS – NZ) – (NP) Rumus Skala = x100% (NS – NZ) Ket: SK:skalabilitas NS: jumlah sel NP: jumlah penyimpangan NZ: jumlah sel kosong. Pengeseran bahasa terjadi apabila jumlah penutur usia tua lebih banyak daripada jumlah penutur usia muda. Hal itu merupakan suatu indikasi adanya pengeseran. Cara terakhir ini memiliki beberapa kelemahan karena keadaan semacam itu dapat di pengaruhi oleh faktor tingkat usia dan migrasi. Paradoks Saussure memperlihatkan bahwa aspek sosial bahasa dipelajari dengan mengamati aspek individual seseorang tetapi aspek sosial itu di pelajari dengan mengamati bahasa dalam konteks sosial. Beberapa variasi bahasa dapat dikarenakan oleh beberapa hal, diantaranya adalah: (1). perbedaan atau kelas sosial (golongan sosial), (2). kelompok etnik yang memicu dan mendorong munculnya jarak sosial (sosial distance), (3) jenis kelamin yang merupakan perbedaan sosial (sosial difference), (4) usia, (5) kondisi atau letak geografis. Dialek sosial di batasi oleh rintangan sosial (social business), dialek geografis dibatasi oleh jarak geografis. Dua dialek sosial terjadi karena ada jarak sosial (sosial distance). 70 Fishman dalam bukunya Advances of Sociolinguistics menyampaikan bahwa penelitian sosiolinguistik dapat memakai data sensus, melihat bahasa dan kehidupan social, antara ras seperti kulit putih dan hitam, dan juga melihat kelas sosialnya. Berkenaan dengan pengambilan data otentik dalam penelitian, peneliti harus hati-hati terhadap perbedaan peran sosial antara laki-laki dan perempuan. Kurath menyampaikan bahwa responden mestinya laki-laki karena perempuan memiliki kecenderungan lebih sadar diri dan sadar kelas. Sedangkan Orton mengatakan bahwa di Inggris pria lebih banyak berbicara dalam bahasa aslinya, lebih taat asas dan lebih rapi dibandingkan dengan perempuan. Wanita cenderung mempunyai sifat hiperkorek sehingga mengaburkan situasi yang sebenarnya yang dikehendaki oleh peneliti. Untuk menutupi semua ini wanita memakai ragam baku yang di anggap berkualitas, terpelajar, berstatus, kompeten, independent, dan kuat. Dalam penggunaan ragam baku (seperti RP) wanita lebih dari sekedar aksen regional atau setempat tetapi juga dirasakan aksen wanita mirip laki-laki dalam hal-hal ciri dalam kepribadian tertentu dan punya lebih feminim sehingga wanita bersifat androgini atau mendua. Pendapat tersebut diambil dari penelitian Elyan. Di Cina laki-laki harus kawin dengan wanita luar desanya sehingga wanita di sini bukan penutur asli bahasa suaminya. Oleh karena itu wanita di sini tidak menyimpan khasanah kebahasaan tempat ia bermukim. Berikut beberapa hasil penelitian yang berkenaan dengan jenis kelamin sebagai penyebab variasi bahasa. a. Wartburg (1925) menemukan bahwa wanita lebih konservatif daripada pria. Mereka lebih fanatik dan menyimpan tutur warisan bahasa kita. b. Coates (1987) menyimpulkan bahwa wanita hampir tidak pernah meninggalkan desanya maka di rumah ngobrol sesama wanita lain dan tidak bergaul dengan orang lain, sehingga variasi bahasanya relatif konsisten dan tidak begitu dinamis. c. Mc Intosh menyampaikan bahwa di Skotlandia tidak ada bukti apakah wanita atau pria yang lebih baik jadi informan. 71 Samarin menyarankan bahwa akan bijaksana kalau peneliti pertamatama bekerja dengan informan yang sejenis kelamin untuk merekam intuisi dasar yang relatif sama, baru kemudian melihat beberapa perbedaan antarjenis. Pop dari Perancis menyarankan jalan tengah berdasarkan pokok bahasan, yakni pakailah wanita jika menyangkut urusan rumah tangga atau halhal yang menyangkut kewanitaan dan sebaliknya di luar urusan wanita pada responden laki-laki. Gestur atau bahasa tubuh yang membarengi tutur juga menjadi penanda nilai atau daya dukung data, seperti anggukan dengan kata’ ya’ dalam bahasa Indonesia, dan acungan jempol dengan orang Jawa. Orang laki-laki Arab lebih banyak gerakan tangan daripada wanita. Sedangkan Wanita Indonesia lebih banyak gestur pada muka, bibir, dan mata. Dilihat dari intonasi dan suara diketahui bahwa wanita memiliki kecondongan suara alto dan sopran, sedangkan pria pada bunyi tenor dan bas. Hal ini dapat disebabkan oleh kondisi fisik alat ucap penghasil suara. Sehingga dilihat dari nilai-nilainya tampak bahwa suara wanita lebih lembut dan berkaitan dengan nilai-nilai tatakrama dan sopan santun. Secara fonetis, wanita memiliki vokal lebih minggir atau menepi, ke depan, ke belakang, tinggi, dan rendah. Yukaghir Asia Timur Laut memiliki dua fonem yang khusus untuk pria dan wanita. Suara wanita mirip dengan kanak-kanak, yakni fonem /tz/, dz/ yang terjadi pada wanita dewasa. Sedangkan fonem /tj/ dan /dj/ terjadi pada laki-laki dewasa. Keduanya, kadang-kadang, dilafalkan sama oleh anak-anak. Wanita lebih menghindari beberapa hal yang tabu. Bunyi fonem /z/ di zulu di hindari wanita karena dinilai tabu sehingga kata ‘amanzi’ (air) berubah menjadi ‘amadabi’. Kata ‘butuh’ di Malaysia dinilai tabu sehingga kata ‘Ali butho’ diucapkan secara berbeda menjadi ‘Ali Bhatho’. Wanita bersifat konvervatif dengan pergunaan ragam-ragam yang lebih tua daripada pria, sedangkan pria bersifat lebih inovatif . Wanita menjadi inovatif apabila suatu ragam dianggap bisa menaikkan prestise. Di Koasati Inggris wanita lebih banyak menggunakan ragam yang baku. Wanita lebih peka terhadap penodaan bahasa baku, lebih setia dengan gramatika yang benar. Secara sosiologis dan berdasarkan penelitian Kurath sosiologi wanita lebih sadar 72 kedudukannya daripada pria. Pria lebih menyukai ragam non-baku atau menyimpang sebagai penanda unsur kejantanan. Pria buruh atau bekerja diidentikan dengan kekerasan yang dihadapinya. Hidup pekerja adalah keras, sehingga kekerasan identik dengan kejantanan. Pria tidak sama dengan wanita karena masyarakat menuntut atau menekankan peranan-peranan tertentu yang berbeda bagi mereka. Wanita lebih konservatif hanya pada lafal-lafal yang berprestise dan inovatif ketika ada ragam atau lafal-lafal yang lebih tinggi dan berprestise. Penutur pria cenderung menjadi inovator kecuali kalau perubahan itu ke arah norma baku. Kalau ke arah norma baku wanita menjadi pelopornya karena sifat wanita yang harus taat, benar, halus, rapi yang merupakan tuntutan masyarakat (social presure). Multamina dan Basuker melakukan penelitian di Indonesia dan menemukan bahwa wanita cenderung konservatif sifatnya dalam urusan-urusan keluarga atau mendidik anak dan lebih konservatif terhadap bahasa ibu. Tetapi dalam hal-hal yang berkaitan dengan dirinya sendiri, mereka cenderung berbahasa Indonesia sehingga wanita di sini kadang-kadang androgini, berbeda dengan Elyan. D. Pergeseran dan pemertahanan bahasa Pengeseran bersifat kolektif dan janka panjang. Pergeseran bahasa hanyalah berarti manakala suatu guyup meninggalkan suatu bahasa sepenuhnya untuk memakai bahasa yang lain. Faktor-faktor pendorong pergeseran bahasa a) Kedwibahasaan b) Pendidikan bahasa dalam keluarga dwibahasa c) Migrasi d) Perkembangan ekonomi, seperti bahasa Inggris dituntut dan dipakai dalam hubungan interaksi ekonomi dunia dan industrialisasi. e) Sekolah Salah satu usaha pemertahanan bahasa Jawa yang salah satunya telah tampak adalah pemakaian huruf Jawa sebagai simbol kebesaran dan wadah pemertahanan seperti dalam pelajaran di sekolah dasar atau menengah dan 73 sebagai nama-nama jalan baik di Bali maupun di Surakarta. Permasalahannya muncul ketika pemakai jalan tidak mampu secara instrumental dan praktis membaca huruf tersebut atau siswa yang telah diajari huruf Jawa tidak mampu dan mau memakai secara aktif maupun pasif. Ada kemungkinan tingkat yang diatasnya, yakni mata pelajaran Bahasa Jawa dipelajari dengan huruf Latin atau huruf Jawa yang barang tentu memerlukan kebijakan akademik dan politik di departemen pendidikan. Ketika bahasa Jawa itu diajarkan di sekolah maka terlebih dahulu dirumuskan dan ditetapkan bahasa atau ragam yang mana yang harus dipakai, mungkin sama-sama bakunya, serta dalam ranah apakah ragam tersebut harus dipakai. Seperti ragam menurut Ferguson ada Singgih (baku) dan Madya (baku). Diyakini bahwa pada usia yang lebih dini tingkat kognisi anak berkembang lebih cepat, sehingga Berstein memiliki istilah compensatory education, yakni dengan memberi konpensasi-konpensasi tertentu, seperti di Indonesia terdapat program pemberian gizi bagi anak-anak usia sekolah dasar dalam hubungannya dengan pengembangan kognisi anak. Bahasa anak-anak tidak sama dengan bahasa orang dewasa atau selalu mengikuti ibunya tetapi ternyata terdapat banyak anak yang lebih setia pada ragam peer-groupnya daripada orang tuanya. Pergeseran ragam antargenerasi dapat digambarkan dengan peta berikut ini, ragam tinggi (+) dan ragam rendah (-): Pergantian generasi I II III Ragam ++ + +- Dari grafik di atas tampak bahwa pergeseran ragam bahasa antargenerasi terjadi dalam proses tertentu yang akhirnya menuju pada satu ragam dari dua ragam yang tinggi baku , seperti dalam guyup tutur bahasa Jawa, terjadi bahwa ragam Kromo hampir punah pada guyup tutur anak-anak, dan akhirnya satu ragam baku tersebut memunculkan ragam rendah tidak baku. Yang di kawatirkan adalah bukan bergesernya bahasa tetapi bergesernya atau punahnya ragam tinggi. Dengan bergesernya ragam tinggi ini sekaligus menghilangkan budaya dan nilai-nilai yang tinggi dan luhur bagi masyarakat 74 Jawa. Nilai-nilai itu telah tidak diwadahi dan dipakai karena wadah dan sarananya, yakni bahasa telah punah. Jadi punahnya ragam nilai/etika yang tinggi akan bersama dengan punahnya ragam bahasa yang tinggi juga, yang dipakai sebagai wadah atau bungkus nilai tersebut. Budaya sangat berkaitan dengan bahasa, budaya specifik itu tampak lebih khusus lagi pada ragam bahasa mana yang dipakai dan dipertahankan. Minoritas selalu memiliki motivasi tinggi dalam mempertahankan berbagai atribut keberadaannya, termasuk agama, bahasa, dan sebagainya. Pemakaian ragam juga terkait dengan gaya hidup pemakai bahasa tersebut karena gaya hidup termasuk budaya, apabila budaya tersebut didefinikan mencakup kebiasaan atau custom atau habit. Penggunaan ragam harus dipetakan menurut ranah-ranahnya (Fishman, 1972:65). Bahasa ranah pendidikan, keluarga, kantor, berteman dsb. Harus juga diperhatikan dalam melihat pemakaian bahasa dalam ranah secara hati-hati. Bahasa dalam ranah pendidikan harus melihat dua hal: bahasa pendidikan dalam kelas dan bahasa di luar kelas karena anak- anak lebih setia dengan ragam peer groupnya daripada apa yang ada di sekolah atau dalam kelas. Karena di sekolah ada dua jenis bahasa yang mempunyai ragam-ragam sendiri, maka murid di sekolah mempunyai beberapa ragam baik bahasa luar kelas maupun bahasa sekolah. Berikut ini dicontohkan pada ragam sosial dan regional yang ada di Bali antara ragam Tabanan, Denpasar, Buleleng. Tabanan S↑ Denpasar Buleleng M S↓ Ket: S↑: singgih (tinggi) S↓: sor (rendah) M : menegah 75 Anak mampu berinteraksi dalam lingkungan di sekolah dan lingkungan di luar sekolah, dan kemudian pada lingkaran masyarakat. Mereka akan beradaptasi dalam pemakaian bahasa tergantung pada jenis domain yang mana menuntut jenis bahasa atau ragam apa, seperti disko, swalayan, tempat bermain, dan generasi muda mungkin memiliki ranah yang berbeda baik jenis maupun jumlahnya dari orang tua, seperti: domain rekreasi, senang-senang, bermain, disko, berbicara rahasia, dsb. Pemerolehan ragam dan bahasa oleh anak berlangsung secara aktif, kreatif, inovatif, dan generatif, serta dapat berubag antargenerasi. Pemertahanan bahasa ini sangat berkaitan dengan sosiolinguitik terapan dan yang paling menonjol dalam sosiolinguistik terapan adalah kebijakan bahasa, perencanaan bahasa (PB) dan dunia pengajaran bahasa. Kebijakan Bahasa Indonesia menyatu dengan PB, sebagaimana dikatakan oleh Anton Mulyono yang perlu dibuatkan kebijaksaan adalah seluruh bahasa di Indonesia: bahasa daerah, Bahasa Indonesia, bahasa asing. Kebijakan ini tercermin dalam kegiatan-kegiatan pusat pengembangan bahasa. Hal yang susah adalah politik bahasa di tingkat daerah. Kebijakan daerah di tingkat daerah tampak, sepertinya, tidak tahu atau terarah, sebetulnya harus seperti Bahasa Indonesia yaitu pada tahap pengembangan, bukan tahap pemertahanan bahasa. Sosiolinguistik terapan yang berkaitan dengan pengajaran, Wiliam. F. Mackey, menyatakan bahwa bilingual education ternyata dalam bahasa yang besar memiliki masalah-masalah yang besar juga, seperti Amerika Serikat, Autralia, Perancis terdapat problem-problem besar juga; yaitu bilingual. Seperti orang di Australia harus bisa bahasa Inggris (Melting Pot Theory) hanya karena bahasa tidak bisa membuat asset. Pada Bilingual Education kita harus membantu anak– anak yang bahasa ibunya bukan bahasa dominant dalam negara itu. Umpama anak dengan bahasa ibu bahasa Arab, kemudian sesuai dengan perkembangannya dia dimasuki bahasa Inggris dan kemudian setelah itu akhirnya semua interaksi memakai bahasa Inggris. Inti dari bilingual education adalah bagaimana menjembatani penggunaan bahasa di rumah dengan penggunaan bahasa di sekolahan. 76 Berikut merupakan pemetaaan pemakaian bahasa dalam pendidikan yang berlangsung pada konteks kewibahasaan atau bilingual education. Siswa telah dipetakan dalam pemakaian atau distribusi pemakaian bahasa antara di sekolah dan di rumah. Bebapa tipe tersebut adalah: 1. Tipe 1 = Unilingual (bahasa tunggal). 2. Tipe II = Unilingual home tetapi tanpa dipakai di sekolah, biasanya tipe ini membuat siswa menjadi kaget secara cultural dan proses adaptasi yang relatif lama, terutama dalam ranah pemakaian jenis bahasa. 3. Tipe III = salah satu dari bahasa di rumah dipakai di sekolah, seperti kebanyakan siswa yang berasal dari pemukiman baru (perumahan) yang memiliki repertoar lebih dari satu bahasa. 4. Tipe IV = bahasa di rumah sama sekali tidak dipakai di sekolah. 5. Tipe V = Dua-duanya di pakai di sekolah. 1: U+S Pelosok: B1, BD di sekolah dg BI di kelas 1 2: U-S siswa kelabakan Rumah 3: B+S seperti anak-anak dikota besar Tipe IV B+SS Tipe V: B - S Indonesia: anak di kota Medium of education (bahasa) dapat single dan dapat juga dua lingualitas. Pembinaan bahasa daerah seakan-akan hanya pada tahap pemertahanan. Bahasa daerah sebagai mata pelajaran sangat berperan untuk 77 pemertahanan apabila diterapkan dalam kurikulum, tetapi pemberian muatan lokal ternyata tidak cukup untuk mempertahankan bahasa Jawa, karena bahasa Jawa tidak dipakai dalam komunikasi riel dalam interaksi di kelas maupun di luar kelas antarsivitas. Kita lihat bahwa anak Jawa belajar bahasa Jawa bukan bahasa pengantar, bahasa Jawa hanya sebagai muatan lokal untuk mendapatkan nilai dan melewati atau memenuhi persyaratan kurikuler, bukan alat interaksi dalam kelas. Sebagaimana pengajaran mata pelajaran lainnya yang mengukur pada kompetensi mental sebagai prioritasnya, bukan pada pelaksanaannya, seperti pelajaran agama diuji tesnya dengan materi ajar, bukan pelaksanaannya atau amalannya, sedemikian juga bahasa daerah yang dinilai bukan pemakaian nyata dalam konteks lingkungan pengguna, tetapi lebih pada pemakaian yang ideal dan benar (usage bukan use). Aspek akulturasi terjadi ketika orang yang bukan pembicara jati menjadi anggota masyarakat tutur bahasa di luar bahasa ibunya, seperti orang bukan bahasa ibunya Jawa tinggal di Jawa yang tidak dapat terlepas dari sikap terhadap fungsi bahasa komunitas tersebut. Di sekolah yang terjadi sekarang akulturasi budaya dalam arti kognisi yang diemban setiap unsur bahasa daerah dengan bahasa Indonesia, yang relatif menghilangkan muatanmuatan etis daerah. Materi –materi yang diberikan hendaknya merupakan tingkat atau fase kelanjutan dari potensi yang telah ada di anak, termasuk potensi berbahasa dan bertata nilai kedaerahan. Sebagaimana dikatakan para ahli psikolongustik pada teori motivasi bahwa pemberian materi dalam pengembangan potensi anak, yakni hendaknya memberi yang di butuhkan anak karena kalau kita memberi hal yang tidak dibutuhkan anak maka pemberian itu akan mudah hilang. E. Kepunahan Bahasa Kepunahan bahasa terjadi manakala guyup bergeser ke bahasa baru secara total sehingga bahasa terdahulu tidak dipakai lagi. Dorian (1978) mengemukakan bahwa kepunahan bahasa hanya dapat dipakai bagi pergeseran total di dalam satu gugup saja dan bahwa pergeseran bahasa itu dari bahasa yang 78 satu ke bahasa yang lain, bukan dari ragam bahasa yang satu ke ragam yang lain dalam satu bahasa. Bahasa ini punah karena saingan dengan bahasa lain, bukan dikarenakan oleh persaingan prestise antara ragam bahasa dalam satu bahasa. Tiga tipe kepunahan bahasa dari Kloss: 1. kepunahan tanpa pergeseran bahasa (gugup tuturnya lenyap) 2. kepunahan karena pergeseran 3. kepunahan bahasa melalui metamorfosis, seperti bahasa turun menjadi suatu dialek dan penutur memakai yang lain Terdapat beberapa unsur pemusnah bahasa yang perlu diperhatikan dalam pemertahanan bahasa yang akan bergeser atau punah. a. Tidak adanya (Heartland) pusat kegiatan berbahasa, seperti Irlandia yang tidak punya gugup tutur di masyarakat perkotaan. Gaeltacht mengatakan bahwa pedesaan merupakan sumber asal migrasi (out migration). Pergeseran bahasa sering mencerminkan kehendak pragmatis bagi mobilitas sosial dan bagi standar hidup yang lebih baik dan semua ini diabaikan oleh para penegak bahasa. b. Tidak adanya pengalihan bahasa dari orang tua kepada anak-anaknya. c. Adanya kontak antara bahasa dan ragam bahasa, seperti terjadi di Irlandia di mana ragam tinggi menggeser ragam yang rendah atau sebaliknya di Jawa Indonesia ragam Ngoko (rendah) menggeser ragam Kromo Inggil (tinggi). d. Sekolahan yang merupakan mesin pembunuh bahasa di mana di sekolahan dilarang atau diabaikan memakai bahasa ibu dan memakai bahasa pengantar bahasa kedua. Gaeltach merupakan sisa konsentrasi orang Irlandia, yang khas pedesaan dan melarat menjadi sumber asal imigrasi (out imigration) e. Revolosi industri dan agama. f. Peran penutur bahasa pertama dan prestise bahasa kedua naik. Upaya artificial merupakan upaya yang terpisah dari kegiatan-kegiatan komunikasi sehari-hari sebagai kekuatan bagi masa penutur, bukan hanya upacara, kegiatan adapt, abstraksi, budaya; tetapi pada interaksi sehari-hari. Migrasi keluar menjadi penyebab melemahkan bahasa yang tinggal, apalagi pada generasi muda dan orang yang berprestise/benpengaruh. Migrasi masuk dari penutur asing juga melemahkan bahasa. Hal ini dikarenakan, kata 79 Birch, bahwa loyalitas etnik akan luntur oleh perubahan sosial dan ekonomi penutur. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa manakala bahasa tidak memiliki lagi monoglot maka proses kesurutan bahasa telah mulai. F. Perkembangan Bahasa Aneka bahasa berkembang karena aktivitas migrasi, federasi, jajahan, tapal batas. Migran biasanya memiliki lebih banyak repertoar bahasa dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki mobilitas tinggi. Migran juga akan mewarnai repertoar bahasa yang dituju. Ferederasi juga dimungkinkan terjadi kontak antara orang-orang yang memiliki latar belakang bahasa yang berbeda, demikian juga negara-negara jajahan, seperti Singapura, Malaysia, Hongkong, dan lainnya. Aneka bahasa juga terjadi pada orang-orang atau area tapal batas antara komunitas yang memiliki latar belakang bahasa yang berbeda. Mereka rentan dengan peralihan kode. Tripp menyimpulkan bahwa alih kode dapat disebabkan oleh: a. Personal 1) personal situasi 2) keakrapan 3) kekerasan komunikasi 4) adanya orang lain b. Situasi 1) mengacu pada kontelasi latar: bapak pakai pengiris 2) mengacu pada hubungan status dan tempat (makan dengan orang tua tidak boleh bercanda.) Situasi ditentukan dengan melihat ketergantungan antara tempat (lokal) dengan status, situasi budaya. Setiap guyup memiliki ciri dan sifat-sifat khusus yang relatif berbeda dengan guyup yang lain. Orang jawa selalu membawa status jabatan dalam situasi informal, seperti ada panggilan bagi para istri RT, Lurah Camat dengan panggilan ibu RT, ibu Lurah, ibu Camat dan seterusnya. Situasi menentukan makna, topik, pesan, tindak tutur, fungsi interaksi (fungsi tutur), bentuk komunikasi. Hal ini juga difokuskan pada teori komunikasi 80 komunikatif interaktif yang mencakup bahasannya pada sistem gramatikal, sistem psikolingustik, sistem sosiokultural, sistem probalitas (strategis) atau What actually happens. G. Perencanaan Bahasa Perencanaan Bahasa pada prinsipnya adalah usaha untuk mempengaruhi perubahan alami bahasa yang disesuaikan dan diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, tujuan-tujuan yang dapat bersifat primordial dan atau instrumental. Dalam Perencanaan Bahasa terdapat dua hal yang menjadi titik pertimbangan dan perencanaan yaitu : 1. Perencanaan yang menyangkut tentang bahasa itu sendiri maupun lainnya. 2. Perencanaan yang menyangkut hal-hal di luar bahasa seperti: keadaan sosial (sikap-sikap) ekonomi, politik, budaya dan lain-lainnya. . 81 BAB V BAHASA DAN RAGAM BAHASA A. Beberapa definisi mengenai bahasa Bahasa, pada jaman Yunani, didefinisikan sebagai alat manusia untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan. Kelemahan yang sulit untuk dijawab adalah bahwa terdapat orang berbicara baru kemudian ada proses berpikir. Bloomfield (1933) mendefinikan bahwa bahasa sebagai sistem lambang berupa bunyi yang arbitrer yang digunakan anggota masyarakat untuk interaksi. Linguistik struktural menganggap bahasa sekedar bunyi yang bersistem. Studi sosiolinguistik memandang bahasa sebagai tingkah laku sosial yang dipakai dalam komunikasi. Fungsi sosial dari bahasa adalah alat komunikasi dan identitas pemakai baik individu atau kelompok bahasa. Dari Definisi bahasa dalam studi sosiolinguistik, dimungkinkan muncul berbagai dialek, yang dipelajari oleh dialeklogi. Dialek yang berdasarkan letak geografis (dialek regional). Ciri dari suatu dialek adalah: (1) kesalingmengertian dan bernaung dalam suatu bahasa, tetapi apabila terdapat orang Jawa yang tidak tahu dialek Jawa lainnya, kemudian mencari sifat-sifat dari ciri sejarah, yakni hubungan sejarah dari dua dialek; (2) homoginetas yang berupa kesamaan unsurunsur bahasa; (3) dialektologi membuat batasan bahwa jika kesamaannya hanya 20% maka dua dialek tersebut berasal dari suatu bahasa, dan apabila perbedaannya mencapai 40% sampai 60% maka dialek-dialek tersebut berasal dari dua bahasa, dan apabila suatu variasi bahasa mencapai 90% maka hal tersebut merupakan satu variasi. Dialek sosial (sosiolek) biasanya berdasarkan kondisi sosial seperti: kasta, kelas sosial atau pekerjaan (demografi ), undo usuk, ras, sek(jenis kelamin) dengan catatan bahwa mereka mempunyai ciri-ciri pembeda atau variasi tersendiri. Fungsiolek atau variasi yang berdasarkan fungsi-fungsi tertentu, seperti: bahasa ilmiah, kimia, bahasa biologi dll. Kronolek adalah ragam bahasa yang berdasarkan urutan waktu misalnya Bahasa Indonesia tahun 1945, tahun 1996 dan seterusnya. 82 B. Dialektologi dan Sosiolinguistik Mungkin kebanyakan dari ilmu sosiolinguistik yang diharapkan sekarang ini menyertakan ilmu dialektologi di dalamnya, pada dasarnya belajar dialek secara tradisional dipusatkan pada kebisaaan bertutur dari kelompok sosial yang dibedakan dari komunitas lainnya dalam menggunakan sebuah sistem yang dapat dibedakan secara jelas dari standarnya, keanekaragaman bisaanya di deskripsikan oleh ahli bahasa murni. Dalam dua hal yang pokok, bagaimanapun juga ilmu dialektologi dapat dilihat untuk membedakan dengan sosiolinguistik modern. Pendekatannya, pada umumnya, diakronis, mencari jawaban untuk pertanyaan seperti "bagaimana secara historikal, dialek tersebut dihubungkan pada?, fitur apakah dari bentuk yang lebih tua dari standar bahasa yang telah dijaga oleh bahasa tersebut. Dan selanjutnya- kecenderungan untuk memfokuskan pada bentuk mereka sendiri dan bahasa-bahasa yang sama asalnya dibandingkan dengan kebisaaan verbal penutur yang menggunakannya (Gumperz, 1964:127). Sosiolinguistik, perbedaannya, telah cenderung untuk mengadopsi sebuah pendekatan yang sinkronis, dengan mengambil contohcontoh bahasa pada beberapa poin tertentu dan mencoba untuk menghubungkan pilihan-pilihan yang dibuat oleh penutur dengan kriteria ekstralinguistik; untuk menciptakan deskripsi bahasa suatu negara, dibanding untuk menekankan dinamismenya sebagai sebuah perubahan sistem. Tentunya, tidak semua ilmu dialektologi telah mempunyai dugaan secara historis. Khususnya, Atlas linguistik USA dan Kanada, di mulai pada tahun 1929, digabungkan dengan kedua pendekatan tersebut (Kurath, 1939). Pada hal yang lain, ilmu dialektologi dan sosiolinguistik adalah hal yang berbeda: pada pilihan dari analisis unit pokok. Hal yang utama dari bahasa dan dialek seolah-olah mereka berada struktur monolitis diantara secara ideal menghilangkan garis yang isogloss, sebuah garis yang membedakan- merupakan pernyataan dari dalam peta yang mendefinisikan sebuah wilayah/area yang dikarakterisasikan oleh adanya karakter linguistik tertentu (Wakelin, 1972:7) sangat jelas tergantung pada semacam asumsi tersebut. Sosiolinguistik, sebaliknya cenderung berpusat pada kelompok sosial dan 83 penggunaan variabel linguistik, untuk menghubungkan variabel-variabel tersebut dengan unit demografi tradisional dalam pengetahuan sosial: usia, jenis kelamin, keanggotaan kelas sosioekonomi, kelompok daerah, status dan lain sebagainya. Dewasa ini, korelasi-korelasi tersebut telah digunakan dalam bentuk-bentuk linguistik dan fungsi sosial dalam hubungan kelompok intra, dalam tingkat mikro dan diantara pilihan-pilihan bahasa dan fungsi sosial dalam skala besar dalam hubungan inter kelompok pada tingkat makro. C. Pendiskripsian Variasi Bahasa Menolak adanya konsep bahasa sebagai objek monolitis yang homogen dan memandang bahasa sebagai sistem dinamis yang heterogen, sosiolingustik dibuat untuk menemukan variasi dan mengembangkan model – model pendiskripsian baru dan model - model baru tersebut digunakan dan dikembangkan untuk memberi penjelasan mengenai hakekat bahasa, pemakaiannya, dan pemakainya. D. Tipe – Tipe Variasi Sebelum menduga kemungkinan model yang digunakan untuk mendiskripsikan variasi bahasa, penting untuk kita ketahui secara detail apa yang dimaksud dengan istilah ‘variation’. Kita akan menggunakan beberapa perbedaan dari Labov (1966 dan 1963) dalam Bell (1993), variables dan variants dan tiga tipe varibel bahasa – indicators, markers dan strereotypes. Pertama, secara formal, variables dapat dibedakan dari variants. Sebuah variable adalah sebuah ketidakkonsekuenan atau ketidakcocokan dari suatu standar yang abstrak dari sebuah bahasa, sementara sebuah variant adalah detail nilai/wujud konkrit dari variable. Untuk contohnya, di New York, Labov memisahkan antara variable (r) yang jelas atau tidak jelas pada akhir kata atau preconsonantal /r/ seperti dalam kata car, card, fire, fired, etc. Dia menemukan 84 dua variasi yang terpenting : sebuah bunyi ‘r-like’ yang glide dan sebuah bunyi ‘r-less’ yang tidak glide( [∂]) atau hanya sebuah bunyi vokal yang dipanjangkan. Sebuah kata seperti car dapat dinyatakan sebagai [kαr], [kα∂] atau [kα:]. Selain itu, untuk memperoleh nilai formal, variabel dapat dibedakan berdasarkann hubungannya dengan nilai sosialnya. Sebuah variabel dapat bertindak sebagai indicator yang memiliki sebuah nilai indeksikal yang berkaitan dengan keanggotaan kelas sosioekonomi atau jenis pengguna yang bercirikan demografik. Indikator yang dikenal masyarakat luas tidak dijadikan sasaran untuk mengenal variasi bahasa, yakni: mereka memiliki ciri yang sama saat berbicara pada kelompok dan individu tertentu, yang mana mereka tidak mengubah situasi satu sama lain, contoh: penggunaan diftong central /ai/ dan /a/ oleh beberapa kelompok di Martha’s Vineyard (Labov, 1963). Sebaliknya, sama halnya dengan indikator, Marker juga memiliki nilai indeksikal tapi tidak seperti ketiga hal di atas yang didasarkan pada variasi stylistik. Di New York (Labov, 1966), variabel (r) adalah contoh yang baik untuk menujukkan tingkatan sosial, yang dapat dilihat dari penggunaan marker atau tidak, atau karena adanya perubahan hubungan kausal dan kehati-hatian. Stereotypes adalah gambaran dari indikator, karena mereka tidak berhubungan dengan faktor – faktor sosial, ini berarti bahwa kita telah menggunakan istilah di atas yang didasarkan pada perubahan sylistik. Sebuah contoh mengenai hal tersebut adalah penggunaan uvular ‘r’ di Inggris bagian Timur Laut. Kebanyakan pembicara dari Inggris ketika mereka menirukan kata ‘gordie’ akan menghasilkan bunyi ‘r’ dan itu dapat ditemukan juga saat mereka bercerita cerita tradisonal atau menyanyikan sebuah lagu lokal, meskipun pada kenyataannya [β] tidak diterima di area pedesaan. Stereotypes banyak diminati, karena itu menggambarkan pandangan tentang norma–norma saat berbicara, tetapi berdasarkan pengumpulan data yang telah dilakukan mengenai kebiasaan orang berbicara, norma – norma saat berbicara itu sangat berbeda dari kenyataan. 85 Gambar di bawah ini mungkin membantu menjelaskan membedakan antara tiga tipe variabel di atas (Bell, 1993). TYPE TINGKATAN SOSIAL PERUBAHAN GAYA Indikator + - Marker + + Stereotype - + Telah diketahui bahwa beberapa sumber variasi telah menjadi topik tradisional yang sangat menarik di dalam linguistik, masalah – masalah telah timbul seperti internal linguistik. Kita menunjuk ‘allophonic’ variasi teori fonemik. Tetapi ada kesamaan motivasai eksternal dalam variasi linguistik yang mana pengguna yang berkarakter dapat menggunakan variasi tersebut sesederhana mungkin. Kembali, istilah informal seperti ‘dialect’, ‘register’, dan‘style’ adalah bisa. Lebih lanjut, orang yang menjelaskan variasi bahasa bertujuan tidak hanya untuk mendata perbedaan bentuk tetapi juga harus membagi model skematik tersebut dalam sistem linguistik. Selebihnya, jika model itu memiliki kelebihan, orang yang menjelaskan varisi bahasa tersebut akan menunjukkan hubungan sebab akibat internal dan eksternal, keberadaan antara variabel satu dengan yang lain serangkai dengan tipe variasi yang telah dipilih. Oleh karena itu, kita akan membicarakan sumber – sumber variasi di bawah ini, antara internal dan eksternal dan menempatkan keduanya ke dalam tingkatan taxonomik dari model variasi bahasa. E. Sumber – Sumber Variasi Internal Seorang nara sumber mengatakan bahwa pembatasan dan pemusatan pada salah satu gaya bahasa tertentu itu dihindari, karena akan menimbulkan variasi dan sebab – sebab eksternal. Seperti Martinent katakan ‘seule la 86 causalite interne intersse le lenguiste’ (1961, p.81). pokok – pokok yang menolak pencantuman di sistemnya dan hal itu diistilahkan ‘irregularities’ atau ‘loans’ dan kode itu harus memuat penjelasan seluruh sistem yang diberi nama sebagai ‘mixed’ dan ‘dialect’. Prosedur ini cukup disayangkan karena dalam kasus dialectal dan pendiskripsian sylistic dimana pendiskripsian tersebut menyembunyikan informasi yang menarik dan mungkin akan membuat pendiskripsian ganda. Walaupun variasi internal kebanyakan terdapat di phonology, para ahli sosiolinguistic patut untuk membuat data-data yang diperlukan dalam sosioliguistic. Untuk contohnya, variasi allophomic telah dimasukkan dalam pendeskripsian bahasa secara fonemik sebagai bahan mata pelajaran, contohnya RP mempunyai dua fonem yang dinyatakan /l/- ‘clear’ [l] dan ‘dark’ [+], terdapat perbedaan fonetik di lingkungannya; [l] dapat di awal dan di tengahtengah sebelum vokal dalam kata tetapi tidak dapat di akhir kata dan [+] terdapat pada posisi yang akhir dan tengah-tengah huruf konsonan tetapi tidak boleh terdapat di awal kata. Phonologi menentukan prinsip-prinsip untuk menguasai jenis variasi ini, dua bentuk yang secara jelas digambarkan dalam lingkungan. Berdasarkan keterangan suatu fonem dapat direalisasikan menjadi dua fonem. Di phonologi bahkan ada jenis-jenis variasi yang lain yang mana sosiolinguistik kesulitan untuk memasukkan jenis variasi tersebut dalam modelnya, untuk hasil tersebut penyebabnya dapat dilihat dalam kode eksternal yang ada. Seperti variasi-variasi di bawah ini. F. Sumber-Sumber Variasi Eksternal Ada tiga tipe variasi yang dipertimbangkan – interpersonal, intrapersonal, dan variasi inherent. Semua itu diambil dari luar bahasa tersebut. 1. Variasi Interpersonal Di antara tipe-tipe variasi yang secara linguistik tradisional disebut ‘free variation’ dideskripsi secara tetap oleh dialektologis, karena variasi itu mewakili 87 kode-kode yang berkaitan dengan pengguna yang memiliki sifat tertentu. Sebab itu memungkinkan bagi para pengguna jenis variasi yang akan dipilih atau yang tidak dipilih. Berdasarkan data itu pengguna dapat membuat pilihan secara terusmenerus, yang mungkin dikondisikan oleh faktor umur, jenis kelamin, geografi atau asal usul pengguna. Telah jelas, banyak model mencoba mengkhususkan. Idealnya, seorang pengguna yang telah diketahui karakternya secara tepat akan berhubungan dengan apa yang telah ia pilih, tapi pada prakteknya, para ahli sosiolinguistik khawatir untuk menyimpulkan pemakaian kata umum dalam suatu kelompok karena kata tersebut menunjukkan norma yang agak sama daripada pengguna kata secara individu. Oleh karena itu para ahli sosiolinguistik membuat pernyataan ‘dialect of social class X’ atau ‘Y country’, karena kesemuanya itu adalah monolitik dan homogen tetapi pengguna akan mengikuti karakteristik selanjutnya, (mungkin ada x% yang tersedia) yang mana dia akan membuat varian a, b dan c tetapi tidak x, y dan z. 2. Intra-personal variation Meskipun ada di dalam dialek yang sama, variasi-variasi yang tidak bisa diprediksi, baik dari struktur internal maupun kode atau sandinya, seperti allophon-allophon dari /I/ dalam RP, atau dari karakteristik individu penggunanya, seperti kode /æ / dari kebanyakan orang amerika dan orang Inggris, berbeda dengan RP / a: / dalam kata bath, dll. Variasi-variasi yang dapat diprediksi ini nampaknya tidak dibiasakan, tidak oleh faktor linguistic, tidak juga oleh kategori-kategori statis dari demografis, tetapi karena aspek-aspek yang dinamis dari kondisi bahasa yang digunakan. Contoh: sejauh kriteria internal dan interpersonal diperhatikan, tidak ada cara memprediksi perkataan atau ungkapan apakah saya akan mengucapkan konsonan /t/ atau /?/: apakah saya akan mengucapakan /‘fortnight’/ seperti /‘fÉ™tnait/ , /‘fÉ™:?tnait/, atau /‘fÉ™:tnait?/. Tetapi ini tidak untuk menjelaskan bahwa pilihan /t/ atau /?/ adalah random. Terlepas dari itu, faktor keadaan tergantung pada tingkatan: ‘keformalan’ atau ‘keinformalan’ dari situasi yang terjadi : /t/ cenderung dalam situasi yang formal dan /?/ dalam situasi yang informal. Contoh variasi-variasi 88 jelas lebih stylistic daripada ‘dialectical’ dan menjadi tugas para sociolinguis untuk mendeskripsikan sistem itu. G. Sifat variasi Bahkan asumsi bahwa semua pilihan bahasa yang digunakan para pengguna bahasa dan semua korelasi internal dan eksternal dapat dipahami dengan pilihan-pilihan yang telah dibuat; sebuah pilihan yang mungkin dalam prakteknya tak bisa dilakukan sendiri. Perlu diingat bahwa masih ada variasivariasi yang tidak dapat diprediksi dan dimunculkan hanya untuk menandai sifat variabel dalam bahasa. Seperti variasi-variasi yang merupakan ‘variasi bebas’, contohnya: pilihan pada /i:/ atau /e/ sebagai inisial huruf konsonan dari ‘economic’ dalam RP, yang terlihat karena tidak dapat diprediksi samasekali, bahkan dalam ucapan dari pengguna bahasa dan dalam situasi yang sama pula. Sifat variasi-variasi itu seharusnya tidak menjadi sebuah hal untuk diperhatikan, lebih-lebih variasi-variasi itu adalah satu dari sekian fitur-fitur yang membuat bahasa sebagai alat yang fleksibel dan kuat. Sifat variabel sangatlah krusial dalam perubahan bahasa. Karena tanpa variasi-variasi itu, kebebasan individu untuk memilih akan hilang, setiap bentuk berhubungan dengan faktor internal atau eksternalnya. H. Tingkatan Variasi Kita telah mendiskusikan tentang variasi-variasi bahasa mengenai penyebab internal dan eksternal. Di sini kita tidak hanya mencoba mengkorelasikan bentuk-bentuk varian bahasa dengan hal-hal yang mendorongnya, tetapi untuk membedakan level (tingkatan) struktur dalam variasi tersebut. Dalam hal ini, kita akan menjelaskan sebuah sistem pengelompokan tingkatan variasi. Selanjutnya, untuk lebih jelas hanya variasi-variasi dalam fonology yang akan menjadi pertimbangan. Pertama, karena dalam fonology perbedaaan variasi-variasi dalam bahasa yang sama akan lebih jelas daripada menggunakan pertimbangan yang lain. Kedua, seperti yang akan kita jelaskan kemudian seperti 89 variasi dalam grammar atau dalam lexis dapat lebih efektif untuk dideskripsikan. Sistem pengelompokan di bawah ini berdasarkan yang dikemukakan Kurath, (1939) dan Wells (1970) untuk deskripsi variasi fonology dalam dialek bahasa inggris dikelompokan menjadi empat tingkat: sistematik, distributional, insindental, realisasional. I. Variasi Sistematik Dalam konteks teori fonem secara tradisional, perbedaan yang paling signifikan antara gaya dialek-dialek atau bahasa-bahasa di dunia menunjukkan perbedaan secara menyeluruh dalam fonemnya masing-masing, dan dalam penyebaran antara huruf vokal dan konsonannya. Contohnya: hawaiian hanya mempunyai 5 huruf vokal dan 6 konsonan, Abkhaz (bahasa bangsa kulit putih) hanya mempunyai 2 huruf vokal tetapi tidak kurang dari 68 huruf konsonan. (Lotz, 1956). Karena itu, sebuah perbandingan variasi bahasa yang sama menerangkan seluruh item di dalamnya, di mana ada perbedaan fonem-fonem, kita menggunakan istilah ‘systematic variation’ (wells, 1970), persamaan pemahaman seperti “phonetic hetrogloss” dari dialek Amerika (Kurath, 1939). Contohnya, sejumlah variasi dalam bahasa Inggris membedakan ada atau tidaknya /hw/ - / w / dalam beberapa kata seperti ‘which’ dan ‘witch’. Sebuah variasi akan dinilai sistematik karena menciptakan sebuah perbedaan makna di antara dua lexim, berbeda dengan variasi yang hanya bersifat ‘homophonous’. J. Distributional Variation Variasi distributional terjadi ketika ada sebuah perbedaan dalam keistimewaan phonetic dari fonem-fonem dalam sistem variasi yang dibandingkan. Contohnya, sebuah perbedaan mempunyai indikator yang jelas tentang asal ‘mother tongue’ (bahasa ibu) terhadap pemakai bahasa inggris, terhadap pre-consonantal dan kata terakhir /t/, sebuah variabel yang berguna yang mensugestikan pembagian bahasa inggris ke dalam dialek ‘r-full’ dan ‘rless’. Pada level ini, pendeskripsi akan berusaha untuk menemukan fonem mana yang termasuk aturan-aturan, apa yang bisa disimpulkan untuk menjelaskan 90 variasi-variasi, dan apakah satu variasi lebih bersifat membatasi kombinasikombinasinya dibanding dengan yang lain. K. Variasi incindental Pilihan sebuah fonem yang berbeda untuk item yang berhubungan dengan bahasa yang sama antara variasi-variasinya bisa dijelaskan dalam beberapa hal, namun tidak secara keseluruhan variasi yang dapat diprediksi secara internal dihubungkan dengan ‘incindental’ (kebetulan). Sebuah contoh dalam bahasa Inggris adalah variabel (a): penggunaan beberapa variasi dari varian /æ/ daripada /a:/ dalam beberapa item yang berhubungan dengan bahasa seperti dalam kata ‘dance’. Banyak variasi dalam bahasa Inggris Amerika, Inggris Bangsa Inggris Selatan, dan Inggris Australia secara konsisten menggunakan /æ/ berbeda dengan /a:/ dari RP, dialek Afrika selatan dan Amerika Timur. Pilihan ini dapat dijelaskan sebagian dalam hal penyebarannya, karena /æ/ muncul sebelum bunyi sengau konsonan yang lain. Namun kejadian pada satu varian tidak berarti 100% dapat diprediksi. RP contohnya pada ‘romance’, ‘random’ dan yang lainnya menggunakan /æ/ bukan /a:/. Belum lagi kalau kita melihat bukti-bukti dari rangkaian kesatuan data-data linguistik yang bersifat tidak mutlak akan cenderung menyembunyikan strukturnya. L. Variasi realizational Variasi realizational disebabkan oleh perbedaan cara memproduksi suara masing-masing individu yang memang tidak dapat dielakkan, pada level ini, bahkan idiolek seseorang akan berbeda dengan yang lain. Pendeskripsi harus berhati-hati tentang banyaknya detail phonetic yang akan muncul dalam jangka panjang, fakta yang mengejutkan bahwa setiap pengguna bahasa Inggris dalam pengucapan kata-kata akan berbeda satu dengan yang lain. Kita seharusnya mengetahui sebuah pemahaman yang proporsional dan menerima bahwa kita harus membatasi deskripsi tentang banyaknya perbedaan variasi-variasi mengenai cara produksi suara. Meskipun perbedaan kecil tentang artikulasi sangat mungkin dalam logat yang lain, itu sedikit menarik perhatian para linguist 91 dalam penelitiannya tentang sistem antara data-data yang heterogeneous pada penyelesaiannya. Kecuali sejauh ini mungkin menunjukan alasan mengadopsi perilaku pada variasi linguistik dalam sebuah komunitas. M. Model dan Variasi Suatu langkah diambil untuk mendeskripsikan bahasa dengan data-data yang diperoleh dari lebih dari satu idiolek, lebih-lebih masalah yang muncul, yang dibutuhkan adalah model yang diidealkan diantara mereka untuk menciptakan model yang bisa meng-handle variasi-variasi antar idiolek-idiolek yang ada. 92 BAB VI BAHASA SEBAGAI SISTEM A. Bahasa Sebagai Sebuah Sistem Kita menghubungkan antara ‘sistem’ dengan ‘model’ dalam bahasa. Dalam hal ini kita akan mensugestikan bagaimana bahasa seharusnya dipandang sebagai sebuah sistem yang khusus dan pendekatan seperti apakah yang akan membawa kita pada gambaran model yang paling berguna bagi kita ( lihat, bell 1975). Kita mulai mendefinisikan ungkapan ‘sistem’ di mana beberapa pemikiran dapat dipertimbangkan tentang sistem, dari beberapa definisi yang ada, hampir semua menyetujui pandangan bahwa sebuah sistem sebagai bingkai kerja ( workframe) yang independent tetapi terkait dengan bagian dan tempat, contoh: penyusunan variabel yang ketika diorganisir secara keseluruhan merupakan sebuah kesatuan secara konseptual. Bahasa sebagai sistem tertutup masih banyak dipegang dan di anut terutama pada linguistic tradisional, yang berarti bahwa sampai saat ini bahasa masih dipelajari sebagai sistem tertutup yang terdiri dari berbagai elemen yang saling berhubungan. Hubungan di antara elemen elemen ini lebih terlihat pada saling-pengaruh antarunsur bahasa itu pada masing masing elemennya daripada pengaruhnya pada sosial. Artinya, dalam perannya sebagai sistem tertutup, bahasa dan pengaruhnya lebih cenderung pada elemen elemen di dalamnya saja, tidak pada hal diluar elemen di dalamnya. Dengan kata lain, sebagai sistem tertutup, bahasa berdiri secara independent atau tidak ada pengaruh dan hubungannya pada lingkungan dimana bahasa itu dipakai. Bahasa dapat juga dipandang sebagai suatu sistem yang terbuka dan dinamis. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, jelas bahwa para ahli sociolinguistik ingin menekankan 'keterbukaan" bahasa sebagai sebuah system yang terbuka yang dipengaruhi oleh factor-faktor di luar bahasa. Sistem kehidupan baik organisme biologi atau organisasi sosial yang bergantung pada lingkungan luar disebut sebagai sistem terbuka.Sama halnya dengan hal itu,berarti bahasa bisa disebut sebagai sistem terbuka karena berkaitan atau berhubungan langsung dengan lingkungan di sekitarnya. Ada dua macam bahasa 93 sebagai sistem terbuka: (1) Sistem pattern (pola bersistem), yaitu system bahasa yang punya kaitan erat dengan fenomena fenomena yang ada dalam system mekanik. Dalam system ini, bahasa bisa dipolakan. Ahli sociolinguistic punya pandangan yang sama tentang hal ini. Mereka berasumsi bahwa bahasa, khususnya penggunaan bahasa, bisa dilihat sebagai sebuah system pola yang terbuka. (2) Sistem evolusioner, yakni Bahasa dianggap sebagai system turunan (genetic explanation). Bahasa masih dianggap sebagai system tertutup selama abad ini. Tapi hal ini berbeda dengan asumsi para ahli sejarah linguistic yang muncul pada abad -19 yang melihat bahasa sebagai system terbuka yang evolusioner. Tapi pendapat ini juga berbeda lagi dengan ahli sosiolinguistik yang melihat bahasa sebagai system pola terbuka (system berpola yang terbuka). Ahli sosiolinguistik ingin memperbaiki system penggunaan bahasa dan kesimpulan bahwa system ini sedang berada dalam perubahan yang konstan. B. Model bahasa Istilah “model“ akhir-akhir ini menjadi sangat populer. Analisis kita dimulai dengan pertanyaan yang sangat umum dan dasar ”apa itu bahasa?” (Bell, 1993). Pertanyaan ini jelas tidak diformulasikan dengan baik, karena hanya ada satu jawaban yang bisa diterima untuk menjawab pertanyaan itu, yaitu,”bahasa adalah ya bahasa”. Pertanyaan lain yang lebih masuk akal adalah “seperti apakah bahasa itu?” Jika pertannyannya seperti itu, kita bisa menjawabnya dengan “bahasa adalah seperti evolusi, bahasa adalah suatu kode, dan sebagainya. Secara umum, kata “model” sedikitnya punya tiga makna yang berbeda. Sebagai kata benda, model berarti gambaran, sebagai kata sifat, model mengimplikasikan idealisme dan kesempurnaan, dan sebagai kata kerja model berarti untuk mendemonstrasikan sesuatu, sesuatu itu tampak seperti apa. 94 C. Model kebahasaan dan realitanya Ada beberapa hal yang perlu diketahui dalam bahasan ini: ï‚· Realisme yang menyatakan bahwa suatu kesatuan abstrak berdiri secara independent dalam otak kita.Walaupun otak kita bisa mendapatkan kesatuan itu, otak tidak bisa menciptakan kesatuan itu. ï‚· Conceptualisme Menolak bahwa kesatuan abstrak berdiri lebih dulu dalam kaitannya dengan penciptaan bahasa di dalam otak. ï‚· Nominalisme termasuk dalam pertentangan terhadap realisme. Hal itu menolak keberadaan abstrak sebelum ada karya-karyanya dengan pikiran dan ciptaannya mereka diterima keberadaannya bahkan dalam pikiran. Kebanyakan para ahli bahasa dalam abad ini mengasumsikan pandangan yang nyata dalam gagasan mereka, dengan membuktikan prosedurprosedur penemuan, melalui sistem abstrak yang mendasar dalam bahasa yang mungkin ditemukan dalam data yang berisi ungkapan-ungkapan bahasa (Lyons, 1968:157). Dalam revolusi menghasilkan bahasa generatif transformasional pada tahun 1960-an hal itu tidak tampak menghilangkan realisme (Chomsky, 1968 dan 1972) dan sebenarnya asumsi yang erat kaitannya antara bahasa dan psikologi dapat menyebabkan ketelitian dalam pengimajinasian dalam model bahasa psikologi itu merupakan proses yang tidak terjadi dalam pikiran pengguna bahasa yaitu proses menghasilkan dan merespon bahasa tersebut. Hubungan erat antara model bahasa dan psikologi dalam hal ini dinyatakan jelas oleh Chomsky (op.cit. hlm.28). Berlawanan dengan nominalis, bahwa pandangan itu merupakan karya terbaik Firth dan rekan-rekannya pada tahun 1930-an. Dengan berat hati menolak kenyataan unit-unit abstrak bahasa, tanggapan mereka tidak lebih baik dari penyusunan skematis, penyusunan referensi, semacam perancah untuk penguasaan event itu tidak ada ataupun utama (Firth, 1957:181). Selain itu dia menuntut bahwa bahasa itu sendiri adalah kelompok teknik yang berhubungan untuk penguasaan dalam event bahasa (ibid.) tidak termasuk dalam bidang psikologi tetapi sebagian pembentukan, dan bagian yang sangat penting, umumnya dalam ilmu sosial dan khususnya 95 antropologi. (Hal itu menarik untuk membandingkan pandangan Firth dalam bahasa dengan pandangan Kjolseth dalam sosiologi bahasa) D. Model Alternatif Tiga tipe model – Struktural, transformasional, implikasional akan dibahas di bawah ini, ada beberapa contoh pembentukan alternatif. 1. Model Struktural Dalam bentuk ini, teori struktural itu merupakan aktivitas bahasa secara menyeluruh fisik dan kejelasannya dalam syarat-syarat sebab dan akibat. Karena itu fakta dalam bahasa diasumsikan menjadi perwujudan fisik dalam bicara dan menulis dan diperlakukan seakan-akan hal itu fakta dalam ilmu asli. Sampai saat proses penggambaran, pembentukan model simbolis dalam sistem mekanisme yang erat (dalam beberapa hal kita menggunakan syaratsyarat di atas : 2.3.1.2) sesuai dalam struktur dari data yang terbukti kebenarannya. Seperti asumsi-asumsi dan prosedur, hal itu akan diketahui, termasuk sebuah kepastian dalam homegen bahasa yang bukan berarti dibuktikan dengan bukti. Bahkan walaupun, dalam variabilitas pengucapan, tingkat kejelasan yang tinggi antara perbedaab jenis bahasa ibu dalam bahasa Inggris, contohnya tentunya tampak pada beberapa sistem dasar pembaginya, yang merupakan realisasi bentuk pertentangan mereka, yang dilihat sebagai perwujudan individu. Bahasa struktural ini, khusus menekankan pada dialektologi, semua menerima pandangan ini tetapi ada beberapa yang mengusulkan bentuk alternaif dalam penjelasannya. Hal ini akan dibahas berikut ini. 2. Pola inti umum dan seluruhnya Pengambilan gagasan dalam kejelasan antara gaya bahasa yang utama, Hockett (1958 pp. 332-7) mengajukan keberadaannya dalam inti umum; penyusunan keseluruhan dalam pembagian ciri-ciri umum gaya bahasa yang 96 jelas (ibid. hlm.332). Gagasan ini mirip dengan gagasan De Saussure (1915) dalam pendefinisian bahasa: ‘… I’ensemble des habitudes linguistiques qui permettent a unsujet de comprendre et de se faire comprendre’ (ibid. hlm.112), dan tentunya tampak, prima facie, untuk mendukung salah satu intuisi bahawa aneka ragam bahasa ibu dalam bahasa Inggris, Contohnya, membagi sintaksis secara luas, leksikal, semantic dan sistem fonologi. Walaupun ada dua masalah penting yang meningkatkan gagasan dan kita akan menanggapi hal itu. Pola keseluruhan, bertentangan dengan pola inti umum, diperkirakan sebagai sistem keseluruhan bahasa – produktif dan reseptif – yang terdapat dalam inti umumnya. Dalam inti umum kita termasuk yang mengikuti dan menggunakan elemen bahasa dan dalam pola keseluruhan kita menggunakan kosa kata yang terdapat dalam kamus dalam proses neologi. Hockett (1958) meletakkan posisi yang jelas ‘pola keseluruhan’ itu semacam gudang penyimpanan senjata, setiap gaya bahasa mewakili dari pemilihan kata itu…’ (hlm.337). Antara pengaruh De Saussure (1915) dan konsep Hockett hampir sejajar dalam pola keseluruhan. Dua masalah utama seperti bentuk variasi dapat di timbulkan oleh beberapa hal. Pertama, Ketergatungan pada gagasan yang jelas itu menyulitkan seseorang dalam penggunaan konsep dan salah satunya membuktikan alasanalasan sulitnya untuk menggunakannya – seperti Hockett (1958) dipaksa mengakui ’kejelasan satu sama lain’ bukan hanya masalah tingkat dari jenisnya, tetapi hal itu bahkan tidak selalu sama (hlm.327). Yang kedua, pemberian daftar dalam pembagian ciri-ciri terdapat dalam inti dasarnya, bentuk apakah yang mewakili dan membentuk model bahasa, bisakah berguna atau tidak khususnya susunan ciri-ciri? Masalah kedua mendapatkan tanggapan, dalam percobaan para ahli bahasa untuk membuat ‘inti umum’ sistem makro dari sistem mikro individu – menjadi logat dan gaya bahasa. 3. Sistem Vokal Bahasa Inggris Trager – Smith 97 Bentuk ini diusulkan oleh Trager dan Smith (1951) dalam penggunaan fonem vokal bahasa Inggris mewakili kemajuan penting sejak dicoba pertama kalinya, membentuk sistem untuk aspek utama struktur dalam struktur fonologi bahasa Inggris, untuk dialek yang standar bahasa Inggris Amerika. Tujuan mereka singkat, yaitu menyatakan adanya sembilan huruf vokal ‘pendek’ seperti sistem dasar yang stabil (lihat figure 2,2 dibawah) dan mengakomodasi huruf vokal ‘panjang’ dan diftong dengan mempresentasikan mereka sebagai ‘semivokal’ contohnya, vokal ‘pendek’ + salah satu dari 4 ‘semivokal’ - /r/, /w/, /y/, /h/. Kemudian beet dan bit akan dibedakan dengan simbol /iy/ yang pertama dan /i/ yang kedua, card dan cad dengan /ar/ atau /ah/ dan /æ/. Pemilihan vokal ‘pendek’ susunan yang rapi 3 x 3, seperti kunci sistem imajinatif, yang mirip menurut fakta bahwa hal itu hanya vokal saja, Berabadabad bahasa Inggris berubah, contohnya vokal pada ship dalam ucapan kebisaaannya sedikit berbeda dari vokal kebisaaan King Alfred (Gimson 1962, direvisi akhir 1970 hlm.102). Dan akhirnya model tersebut terdapat 36 inti vokal. Huruf Vokal Trager – Smith i Ä® u e É™ o æ A Namun, sejumlah kesalahan, juga tampak dalam sistem vokal bahasa Inggris. Walaupun, model itu menunjukkan bahwa ada 36 huruf vokal dan diftong bagi pengguna bahasa Inggris, sebenarnya bukan dialek yang membuat 36 dari itu, mungkin masalah yang lebih serius yang menyerang basis dasar penjelasan, itu tidak mengunakan 9 dari vokal pendek. RP, misalnya, tidak dapat ditunjukkan untuk menggunakan delapan dan bahasa Inggris Australia hanya tujuh (Cochrane, 1959). Selain masalah yang ditimbulkan oleh ‘percampuran’ 98 dialek, dalam beberapa bahasa (contoh. Fries dan Pike, 1949, lihat 2.4.1.4 bawah) akan memperdebatkan 2 sistem atau lebih yang saling berkaitan. 4. Diaphone Selama penelitiannya pada fonem, Jones (1962) mengusulkan sebagai tambahan terhadap terminologi ‘fonem’ dan ‘telepon’ (suara nampak). Diaphone untuk menjelaskan kelompok bunyi yang dapat di ganti ke lainnya tanpa merubah arti dari kata itu (Trubetzkoy, 1969 untuk Fudge, 1973, p. 56). Satu terjemahan dari diaphone sebagai bunyi yang digunakan para pembicara bersama dengan bunyi lain yang menempatkannya kembali secara tetap pada pengucapan pembicara lainnya(Jones 1964, p. 53f.)secara jelas pernyataannya benar tentang masalah variasi phonology, batas terkecil dari kelompok, di bawaah perlindungan dari beberapa macam ‘macrofoneme’, seperti variasi /əỤ/ dari RP /o;/ kebanyakan bahasa Inggris bagian utara dan /əỤ/ kebanyakan dari bahasa Amerika-Inggris. Itu adalah maksud dari Jones, istilah yang mempunyai kesamaan untuk diketahui lebih dulu pada phonology (Chomsky dan Halle, 1968) dan untuk menyediakan sarana percobaan dengan bahasa lain(Weinreich, 1952) untuk membentuk model percakapan pada bentuk diasystem (lihat 2.4.1..4) 5. Sistem Coexistent dan Diasystem Fries dan Pike (1949), mengangkat persoalan dengan asumsi/ anggapan bahwa “setidaknya tidak seperti yang diberikan pembicara (speaker) yang akan menggunakan dua atau lebih style/ gaya yang berbeda-beda dalam pemanggilan (addressing) orang tunggal” (Bloch, 1948) dan mengakui bahwa “hubungan secara sosial dari style/ gaya yang berbeda-beda tidak dapat diacuhkan… (tetapi) harus ditangani dalam beberapa cara dalam fonemis, anggapan-anggapan dan prosedur-prosedur (Fries dan Pike, 1949, hal.29, catatan 1), yang merujuk “bahwa dua atau lebih dari system fonemis bisa berdampingan dalam tutur kata bahasa tunggal (monolingual),….dan mulai mencoba-coba…menggaris bawahi sebuah prosedur untuk menentukan sifat dari system-sistem coexistent ini (ibid). Makna dari system coexistent telah sangat bermanfaat, karena telah bisa 99 membuatnya possible (bisa), dalam prinsip bahasa atau dialek, perubahan dalam bentuk berhubungan dengan inter dan intrapersonal variable dan fenomena dari dwi-bahasa (bilingualism) secara umum dan telah menjadi satu dari tantangan paling awal pada konsep monolithic dari bahasa- satu dari anggapan kunci sekarang telah ditolak oleh sosiolinguistik modern. Weinrich, studi pertama pada dialek (1952) dan kemudian studi pada dwibahasawan (bilingualism) (1953), mengembangkan makna dari sistem coexistent menjadi model bahasa sebagai diasystem. Contoh hipotesis akan diberikan dibawah ini untuk menggambarkan bagaimana ini bisa diterapkan pada penjelasan dari 2 jenis bahasa. Saat fonem cocok dalam satu per satu tata cara, diasystem dapat ditunjukkan dalam cara berikut ini- menganggap system 5 huruf vokal dan 2 varietas yang ditandai 1 dan 2. 1, 2 . // i – e – a – o – u // Saat dimana sebuah penyesuaian yang tepat tidak terjadi, sebagai contoh dimana varietas 1 punya /a/ namun varietas 2 punya sepasang fonem /a/ dan /É‘/, gabungan (compound), satu dari kaitan-kaitan dapat ditunjukkan oleh system pengurungan (bracketing): 1. /a/ 1 , 2 // i - e - _________ - o – u // 2. /a/ - / É‘/ Mungkin, bagaimanapun, bahwa hubungan antara 2 varietas tidaklah merupakan gabungan, sebagaimana pada contoh diatas, namun kompleks/ rumit; lebih kepada hubungan “beberapa ke beberapa” (many-to-many) daripada “satu ke beberapa” (one-to-many). Sebagai contoh, varietas 1 mungkin punya 2 fonem, katakanlah misal /É™/, /É™’/, /Æ·’/ and /i/. Seperti kumpulan dari hubungan/keterkaitan yang bisa ditunjukkan pada cara berikut: 1. / É™ - 3: / 1, 2. // _______________ // 100 2. / É™ - É™’ - 3’ – i / Pada fakta aktualnya, hubungan berlawanan antara “huruf vocal sentral” dari dialek Inggris “r – less” dan “ r “ bisa digambarkan oleh beragam model. Sejauh ini kita telah membangun model diasystem yang melibatkan hanya 2 varietas. Namun bagaimanapun, fokus kita adalah untuk model-model yang membolehkan perwakilan dari struktur dari beberapa system secara simultan, sebagai contoh polisistem, sebagaimana yang telah digambarkan di bawah oleh contoh hipotetis yang lebih jauh melibatkan 5 varietas, nomor 1 sampai 5 dan huruf-huruf a – f sebagai simbol dari fonem (dalam pengertian abstrak secara lengkap, sebagai contoh ‘a’ tidak dimaksudkan di sini untuk mewakili /a/ ). 1. 2. 1, 2, 3, 4, 5. // a – b - /c – d ______________ - f . 3. /c–d–e/ 4. 5. 5 jenis polisistem ini dapat dipahami sebagai berikut: Tiap varietas (1 – 5) mempunyai a, b and f in contrast. Varietas 1 dan 2 punya c yang kontras dengan d, dimana 3, 4 dan 5, sebagai tambahan pada perbedaan c – d, a foneme c. Kita harus memahami makna dari diasystem nantinya, sebagai langkah utama terhadap diskusi dari model yang lebih kuat untuk penjelasan dari variasi bahasa. terdapat, sebelumnya, beberapa masalah yang terlibat pada penggunaan model ini, tidak kurang adalah ketidakpraktisannya. Jelas bahwa polisistem menghadirkan masalah substansial dari gambaran dan lebih jauh, bahwa sebuah penerimaan dari empat tingkat variasi dalam fonologi memaksa kita ke dalam pernyataan ulang terpisah dari polisistem: satu dari tiap tingkat. 6. Contoh Transformasi 101 Contoh Transformasi generatif bahasa diuraikan dari sekumpulan teori mengenai sifat bahasa dan anggapan-anggapan dari metode-metode yang tepat untuk menjelaskan struktur tertentu, intinya, kebalikan dari pendekatanpendekatan strukturalis. Daftar-daftar strukturalis memandang bahasa sebagai sebuah aktivitas fisik secara esensial untuk dijelaskan oleh “induction”, kejadian-kejadian yang telah terobservasi, hipotesis terangkum, hipotesis diuji dengan pembuatan teori yang membuat penggunaan “parole” sebagai data sumber yang diedit secara tepat, yang mana akses dapat dicapai pada “langue”. Para ahli Transformalis lebih menganggap bahwa bahasa adalah aktivitas mental daripada aktivitas fisik, akses ke struktur yang memungkinkan sebuah instropeksi pada bagian dari penjelasan bahasa aslinya; dalam adopsi metode “deduction”, sebagaimana telah kita lihat di awal- ilmu yang alami- sebuah pola dirasakan pada kejadian-kejadian yang terobservasi, contoh dibuat; contoh diuji melalui intuisi si pembicara (describer); pembuatan teori- sebuah penolakan empiris, pendekatan orientasi data dari structuralism. Proses penjelasan untuk transformasionalis adalah bahwa konstruksi dari contoh simbolis, sebagaimana dalam hal strukturalis, namun dengan pengertian system “deduction” dari pengetahuan internal si pengguna (user-describer), ketimbang “induction” dari data eksternal. Contoh dasar Transformasi generatif adalah kurang lebih anggapan yang sama dari kesamaan bahasa yang kita perhatikan di atas pada garis besar contoh-contoh strukturalis. Contoh pendengar-pembicara yang ideal dari struktur bahasa adalah elemen “non surprise” yang kita perhatikan pada sistem mekanikal di atas, tidak ada suatu hal yang mengherankan pada contoh transformasi. Jika anda telah menulis aturan-aturan anda secara benar, susunan kata (grammar) akan menghadirkan realisasi yang diharapkan. Namun, beberapa ahli linguistik yang bekerja dalam kerangka transformasi telah mencoba untuk menyertakan variasi-variasi pada penjelasan mereka. Kita harus mereview beberapa dari hal tersebut, menyarankan bagaimana mereka mungkin berimprovisasi dan mengindikasikan masalah-masalah apa yang tetap ada. 7. Contoh-Contoh Transformasi Tradisional 102 Sebelum memikirkan bagaimana variasi mungkin disertakan dalam sebuah contoh Transformasi, akan lebih bijaknya untuk menggaris bawahi komponen-komponen utama dari contoh “normal”, yang mana melalui beberapa perubahan dalam bentuk dan bidang nya sejak tahun 1957, telah dihindari berhubungan dengan semua variasi. Di masa sekarang, kebanyakan contoh transformasi terdiri dari empat komponen - dasar (base), transformasi (transformational), fonologi (phonological), fonetis (phonetic) – namun ada beberapa persoalan atau bantahan pada status dan menempatkan dalam contoh dari komponen semantik; beberapa semantik tertentu melebur ke dalam base, lainnya memandang hal ini sebagai tingkatan terpisah. Gambar 2.3 dibawah ini menunjukkan, dalam cara skematis, bentuk yang agak konservatif dari contoh esensial dari Aspects and the Sound Pattern of English dan menyimpulkan dari Botha, 1971, diwakilkan dalam Fudge, 1973, hal. 230). 8. Variasi Model Morfem Dari Bailey Pertama, dalam kerangka umum yang dibuat oleh TG untuk orangorang Jamaican (B.L. Bailey, 1966) bahwa tata bahasa polylektal diusahakan mencakup lebih luas daripada tatabahasa monolektal. Model itu didasarkan pada Syntatic Structures (Chomsky, 1957), hal tersebut memuat optional sebagai obligatory transformation – sebuah perbedaan yang diabaikan pada Aspects (Chomsky, 1965), yang mana seharusnya perubahan tersebut wajib diterapkan, tetapi pada tahun 1957 seorang Prancis mengusulkan agar semua perubahan model tersebut dikuasai dalam bentuk satu rangkaian (poin tersebut dapat diketahui lebih banyak pada 5.3.1),tentang pengertian variasi morfeme. Anggapan utama menurut orang Prancis itu bahwa semua variasi itu dapat dijelaskan dengan menyamakannya struktur frasenya (model tersebut dapat disamakan dengan model brikutnya).dan aturan perubahan variasi terdapat dalam stuktur morphofonemik (model itu akan disesuaikan ke dalam bagian berikutnya. Variasi disarankan agar di data ke semua bentuk variasi morfem yang mana pembicara menggunakan morfeme tanpa membedakannya (Bailey, 1966:138). harus diketahui disini bahwa walaupun penulis tahu baik tentang tata bahasa tetapi paa kenyataanya orang-orang Jamaika menyembunyikan ruang 103 lingkuo kode tetap itu secara luas, dijelaskan oleh ‘state of flux yang mana bahasa itu sedang ada sekarang (ibid;note), variasi tersebut dilihat dengan (1) ‘unmarked’ atau ‘free variation’ atau yang lainnya (2) ‘dialectal’ terdiri dari dua tipe: variasi geografi //G dan morfem itu dipinjam oleh bahasa Inggris //E’ (ibid., p.138) dan tidak mencoba untuk menerangkan ‘free variants’ ke dalam macammacam istilah intrapersonal atau ‘stylistic’ variasi tersedia. 9. Ragam Baku dan Tidak Baku Ragam baku memiliki ciri-ciri yang relatif berbeda dengan ragam tidak standar. Berikut merupakan ciri-ciri ragam standar (ragam tidak standar cirinya berkebalikan) berikut ini: a. Mengacu ragam yang bermutu yang oleh pemakainya di angap atau dihargai lebih tinggi, seperti: bahasa keraton yang dia anggap terhormat atau bahasa sastra yang dianggap agung (seperti pada Jaman Belanda). b. Variasi yang dianggap baku memiliki dua ragam:ragam baku tulis seperti contoh kata mengecek dengan mencek dan ragam baku lisan, seperti kata: menolak, menola?, atau menOlak. c. Jumlah lebih sedikit daripada yang non baku, juga ragam baku hanya merupakan salah satu dialek saja. d. Ragam baku adalah ragam yang diajarkan pada non-native speaker. e. Ragam baku lebih menjamin bahwa bahasanya kelak dapat mudah dipahami secara luas daripada dialek regional. f. Ragam baku dipahami oleh kalangan terpelajar atau tinggi. g. Ragam baku relatif lebih ajek dan konsisten. 104 BAB VII ANALISIS TUTURAN Peran tuturan dalam kehidupan manusia menjadi sesuatu yang sangat penting, yang oleh karenanya, dalam kajian antropologipun tuturan manusia merupakan tema yang penting. Boas (1911) sampai pada kesimpulan bahwa bahasa pada umumnya merupakan salah satu fenomena etnologis, namun demikian kehadirannya kurang mendapat pemahaman secara rasional. Beberapa antropologis berpendapat bahwa bahasa demikian juga linguistik merupakan dasar bagi ilmu pengetahuan kemanusiaan karena baik bahasa maupun linguistik menghubungkan tataran sosial budaya dan biologis. Bahkan beberapa di antaranya menganggap bahwa metode linguistik modern merupakan model untuk mengkaji struktur perilaku manusia. Para antropolog telah berperan dalam menjadikan disiplin ilmu linguistik sebagai alat penelitian yang dengannya menjadikan antropologi memiliki teknik dan konsep baru, demikian juga dengan psikologi. Pertautan antara linguistik, antropologi dan psikologi memungkinkan munculnya fenomena keilmuan yang semula belum ada. Fenomena tersebut adalah: 1) ilmu bahasa akan terus berkontribusi terhadap kajian sejarah, struktur dan penggunaan bahasa; 2) aneka konsep dan praktik dalam ilmu linguistiks akan menjadi lebih bermutu, ditafsirkan ulang dan mungkin kadang kala digabungkan dalam bentuk yang berbeda ke dalam linguistics; atau 3) linguistic tetap akan menjadi ilmu yang berfungsi untuk mengkoordinasikan pengetahuan tentang perilaku verbal dari sudut pandang bahasa itu sendiri. Terdapat beberapa bagian keilmuan yang kurang tergali yang melibatkan tuturan yang kepadanya antropologi dapat berperan. Karena keadaannya yang demikian itu maka dibutuhkan pemikiran teoretis, penemuan metodologi, karyakarya empiris yang segar yang berakar di antropologi sebagai suatu kajian perbandingan. Satu di antara bidang tersebut adalah dialektologi, suatu kajian bahasa dalam kaitannya dengan teori evolisi kebudayaan; tipologi semantic bahasa; dan kajian perbandingan seni verbal. Untungnya kesemua yang disebutkan tersebut telah menarik perhatian para pengkajinya. Dalam kajian antropologi perilaku, misalnya, 105 terdapat bidang yang penting, namun agak disepelekan. Bidang tersebut adalah etnografi berbicara. Etnografi berbicara mengkaji tentang peranan bahasa di dalam suatu kebudayaan dan masyarakat. Bahasa tidak dikaji dalam keterpencilannya dengan bidang lain, tetapi ditempatkan di antara latar belakang budaya dan sosial suatu masyarakat. Etnografi berbicara mengkaji, misalnya, bagaimana orang dalam suatu kelompok atau masyarakat tertentu berhubungan dengan kelompok masyarakat lainnya, bagaimana hubungan sosial antara orang- orang tersebut, bagaimana situasi dan penggunaan, pola-pola dan fungsi berbicara sebagai suatu kegiatan sosial mempengaruhi jenis-jenis bahasa yang mereka gunakan. Kenapa kajian seperti itu penting? Karena pada tataran kenyataan/empiris, terdapat gejala bahasa seperti itu, sehingga memerlukan kajian serius dan sistematis untuk memerikan perilaku manusia disamping kajian perbandingan lainnya yang telah lebih dahulu ada, misal, kajian pperbandingan agama, perbandingan hukum, dan lainnya. Diluar analisa naskah kita menemukan sejumlah pendekatan yang diistilahkan dengan analisa percakapan ( oleh Widdowson, op.cit.) yang telah dibahas sebelumnya, paling tidak dari kasus Hymes ( 1972) dan klasifikasi dari pidatonya. Dua macam perbedaan dari penelitian dapat dilihat pada analisis percakapan stylistisian pada percobaan mereka dari struktur narasi (Chatman, 1969, Todorov, 1966, Barthes, 1996) dan walaupun dari sedikit pandangan itu dari LeviStraus (1972). Aturan kesatuan narasi seperti kisah, kejadian dan yang lainnya berorientasi pada sosiolinguistik dan orientasi ilmu sosial secara linguistik. Disini kita membatasi diri kita untuk meringkas skema dari setiap penelitian yang implikasinya tidak hanya untuk gambaran sosiolinguistik tetapi juga untuk aplikasi dari informasi sosiolinguistik di applied linguistics, sebagaimana yang dilakukan pada analisis percakapan di kelas (Sinclair dan Coulthard, 1975). Sinclair dan Coulthard mengembangkan sistem dari analisisnya untuk menggambarkan bahasa yang digunakan oleh guru dan murid yang tergantung pada konsep dari tingkatan atau hirarki komponen percakapan, yakni transaction, turn, exchange, move, act. Penyampaian kesatuan dari yang terluas (pelajaran) ke kesaatuan terkecil yang berurutan (act). Setiap kesatuan dibuat daftar dengan 106 kejadian paling sedikit satu kesatuan dari tingkatan yang terendah dan disarankan interaksi kelas atau peningkatan permintaan dari transaksi. Banyak karya yang dikerjakan dan banyak teori dengan beberapa yang penting dan tersisa untuk dipecahkan, contohnya hal ini mungkin benar bahwa banyak bahasa yang multifungsi, seperti ambigu. A. Etnografi Komunikasi Prinsip-prinsip antropologi lebih menhormati peran tutur dari perilaku manusia, sebagaimana ditekankan oleh (Malisnowski (1935), Sapir (1933), Hymes (1959)). Boas (1911) yang telah mengembangkan antrofologi Amerika, melihat bahwa bahasa merupakan fenomena etnologi, yang agak menomorduakan bahasa sebagai rasionalisasi formal. Bahasa atau ilmunya sebagai dasar pada ilmu tentang manusia yang mampu menghubungkan antara tingkat biologis dan sosiokultural. Ahli di atas, termasuk Bloomfield, mengembangkan dan menyumbang konsepkonsep dan teknik tertentu dan memakai ilmu bahasa sebagai alat dalam meneliti aspek-aspek lain. Beberapa paduan antara konsep-konsep ilmu bahasa dan teknologi computer serta psikologi eksperimental mempercepat pengembangan studi tentang tuturan. Paduan ini dalam linguistic modern menjadi penanda perkembangannya pada pertengahan kedua abad 20. Terdapat tiga hal yang dapat dipertahankankan bahwa: (1) disiplin linguistik akan secara terus menerus membantu pada studi tentang sejarah, struktur, dan pemakaian bahasa; (2) pada disiplin lainnya, konsep dan praktek pemakaian bahasa akan dimutukan, diinterpretasi ulang, dipadu-ulang dalam bentuk perubahan ilmu bahasa; (3) linguistik akan tetap mempertahankan disiplinnya yang bertanggung jawab pada pengkoordinasian pengetahuan tentang perilaku verbal dari sudut pandang bahasa itu sendiri. Ada beberapa area studi tuturan yang masih belum berkembang dengan baik dan memerlukan bantuan antrofolgi: seperti (a) dialektologi dalam kajian sosiolinguitik yang menekankan pada studi bahasa dalam teori evolusi budaya; (b) tipologi semantik bahasa; (c) dan studi komparasi dari seni verbal. Secara anthropologis ada area lainnya yang tampak umum, penting, dan terlupakan, yakni Etnografi of Speaking (etnografi wicara). Pada satu aspek kajian 107 ini merupakan jembatan penyambung antara apa yang ada pada grammar dan pada etnografi. Keduanya memakai tuturan sebagai fakta untuk pola lain. Pada aspek lain ini merupakan pertanyaan mengenai apa yang terinternalisasi oleh anak ketika berbicara, di luar grammar dan kamus, yang juga meruapakan anggota komunitas tersebut atau orang asing yang yang memperlajari perilaku verbal dalam berpartisipasi secara pas dan efektif pada aktivitasnya. Etnografi wicara berkenaan dengan situasi dan penggunaan, pola dan fungsi, dari wicara sebagai suatu aktifitas yang menempati tempatnya tersendiri. Peran tuturan dalam perilaku kognitif merupakan kajian yang lama dari antropologi, yang akhir-akhir ini mengacu pada pandangan Whorf. Pandangan ini melihat bahwa kebiasaan tutur merupakan salah satu penanda dari perilaku nonlinguistik, dan atau sebaliknya. Permasalahan berikutnya adalah sejauhmana mode dan jumlah kesaling-pengaruhannya. Analisis semantik merupakan bagian dari etnografi, yakni kebiasaan semantik yang terjadi pada konteks aslinya, yakni dalam persepsi dan interpretasinya sebagaimana telah dilakukan oleh Malinowski. Bagaimana mengimplementasikan etnografi semantik adalah tergantung pada bagaimana merancang metodologinya. Malinowski melihat perlunya analisis makna dalam konteks penggunaan, tetapi metode ini melibatkan praktek narasi yang kompleks. Analisis ini mestinya tidak sekadar refleksi narasi dari realita, yang semestinya harus menjadi analisis seperti struktural, menggapai faktor ekonomi pola grammar dalam menganalisis teks. Pada generasi yang lalu Jakobson dan koleganya telah banyak mengembangkan semantik structural, tetapi di akhir-akhir ini gelombang kajian di Amerika telah memunculkan tulisan-tulisan ahli bahasa seperti Haugen (1957), dan Joos (1958), dan para ethnografer seperti: Conklin (1955, 1962), Goodenough (1956a, 1957), dan Lounsbury (1956). Dalam hal ini terdapat dua pendekatan: yakni untuk melacak suatu satuan yang mampu ada dalam berbagai konteks dan kemampuannya untuk ada bersama-sama dengan yang lain (co-occurance); dan di lain pihak pada rangkaian tempat dimana suatu satuan hanya mampu ada pada konteks tertentu, memiliki karakter subsititusi (ketergantian) oleh satuan lain dalam rangkaian tersebut. Dengan kata lain daya co-occurance (padigmatik) dan sintakmatik (substitusi). 108 Untuk memahami dan memprediksi perilaku, konteks memiliki peran atau isi kognitif dalam arti bahwa penggunaan bentuk-bentuk linguistic mengidentifikasi rangkaian makna yang didukung oleh konteks. Ketika bentuk tertentu dipakai dalam konteks, konteks itu akan menyingkirkan makna-makna lain yang dimungkinkan oleh bentuk itu. Peran kognitif tuturan adalah hal yang berhubungan dengan ‘apa’, ‘dimana’ dan ‘kapan’. Pada orang atau masyarakat tertentu tuturan secara kognitif lebih penting dalam beberapa aktivitas daripada yang lain. Tuturan dalam konteks perilaku membantu dalam menganalisis pola-pola individual dalam situasi asli tertentu. Deskripsi kebiasaan semantik tergantung pada konteks penggunaan untuk menentukan kerangka yang relevan, rangkaian unsur, dan dimensi kontras. Analisis peran tuturan dalam perilaku kognitif membantu pada analisis konteks etnografis tuturan. Terdapat, barang tentu, bahwa dalam aspek kognitif ada dalam perilaku ekspresif. Demikian juga ada aspek ekspresif dalam tipe kognitif individual atau kelompok. Semua fenomena tuturan dapat diinterpretasi oleh pendengar sebagai ekspresif dari pembicara. Berikut beberapa perbedaan cara memandang organisasi bahasa dan memperlakukan bahasa dan data bahasa. Para linguis grammarian seperti Chomsky melihat bahwa bahasa: a. Memiliki norma tertentu yang homogen untuk semua orang, masyarakat, konteks, topik. b. Norma atau pola tersebut bersifat monolitik c. Norma bahasa dan polanya harus merupakan kaidah-kaidah yang dipakai oleh penutur-pendengar yang ideal dalam masyarakat bahasa yang ideal d. Analisis bahasa hanya melihat factor-faktor intrinsik bahasa, tidak melihat hal-hal ektrinsik bahasa yang mempengaruhi e. Terdapat abstraksi-abstraksi kaidah dan bentuk yang tidak alami f. Organisasi dan relasi bahasa terjadi secara mekanistik g. Oleh karena factor-faktor di atas terdapat model gramatikal formal h. Tuturan adalah sama dalam bentuk dan makna i. Linguis memfokuskan pada “usage” yakni “what the people should say” 109 j. Makna dihasilkan secara konvensional oleh hubungan antarverbal (linguistic formal) Etnografi linguistik menolak pandangan para linguis dengan beberapa alasan: a. Laras dan variasi pemakaian bahasa tidak muncul secara mekanis b. Masyarakat bahasa terdiri dari berbagai rangkaian laras dan tipe, tidak homogen karena laras merupakan tata cara orang bertindak c. Laras tersebut berdasarkan pada partisipan, latar dan situasi, dan kelompok d. Menghindari ke-mekanisme-an grammar dengan dua hubungan: paradikmatik (co-occurance) dan sintakmatik (alternation). e. Kaedah pada (d) terdapat dua konsep: (a) menghindarkan laras dari hubungan mekanis dalam situasi tertentu, (b) cara yang sistematis dalam pemilihan dan pengelompokan ujaran yang sebenarnya terjadi dalam guyup tutur. f. Ervin Tripp menekankan bahwa: (a) guyup tutur lebih terfokus pada laras daipada linguitik formal, (b) konsep laras tutur merupakan spesifikasi dan bantuan dalam etnografi wicara, (c) laras bukan sekedar alternatif bagi grammar tetapi mempunyai aplikasi terhadap grammar dan merupakan suatu konstitusi social. g. Etnografi linguistik melihat data bahasa pada “use” yakni “what the people really say” h. Makna merupakan hasil dari organisasi verbal dalam konteks nonlinguistik. i. Fungsi penggunaan bahasa tergantung pada akronim Hymes SPEAKING, yang dapat dipakai untuk melihat dan menentukan makna dan jenis alternasinya j. Variasi penggunaan laras tutur berhubungan dengan kelompok social secara luas dengan ranah-ranahnya k. Register merupakan penggunaan laras tutur yang berhubungan dengan situasi tertentu dan sering terulang/repetitive Pemberian nama “ways of speaking” dianalogkan dengan “ways of life” dan Whorf memberi nama “fashion of life”. “ways” di sini merupakan budaya yang berpola. “ways of speaking” terdiri dari dua bagian: (a) laras tutur dan konteksnya, (2) tutur dan maknanya. Dengan kata lain tata tutur mencakup: 110 Tutur Makna Laras tutur konteks Artinya bahwa analisis bahasa harus melihat empat hal di atas. Orang tidak akan dapat mempelajari dan menganalisis tuturan dalam totalitas dan abstraksi tetapi harus ada atau dibuatkan satuan ukuran yang memiliki awal dan akhir serta sesuai dengan tata urutan sosial yang terpola dan dikenal. Satuan ukuran ini dikenal dengan “speech event” atau peristiwa tutur. Setiap masyarakat bahasa memiliki jenis peristiwa tutur yang sangat unik dan spesifik. Oleh karena itu peneliti harus menentukan kaidah dari: pemilihan kata, alternasi sintaktis dan fonologis, intonasi, rima tuturan, struktur wacana, tuntutan peran dan latar, seperti pola rutinitas membuka atau menutup peristiwa tutur. Seperti pernyataan bahwa peneliti dalam melihat bahwa semua konversasi dibuka dengan salah satu dari enam cara berikut: (a) meminta informasi, layanan, barang; (b) minta respon social, (c) menawarkan informasi, (d) kekspresi emosi, (e) pernyataan stereotype: greeting, apologi, thank (f) pergantian topik untuk antisipasi pendengar mulai bicara Etnograper menfokuskan bagaimana sebenarnya orang bicara yaitu apa yang terjadi dalam suatu percakapan, ujaran, berita guyon , alam peristiwa tutur lainnya. Etnografi komunikasi menekankan pada komunikatif kompeten pengetahuan penutur tentang kaidah-kaidah sosiolinguistik, yaitu kapan menggunakan fasilitas atau laras tertentu, kenapa harus diam dan kenapa menggunakan bentuk-bentuk bahasa yang cocok dengan situasi. Etnografi komunikasi tidak tertarik pada hal-hal yang abtrak penutur pendengar ideal dalam gugup bahasa yang benar-benar homogen (seperti Chomsky) tetapi lebih dalam penutur-penutur aktual (bukan aktual) dalam gugup bahasa dan sosial yang heterogen. Mereka tidak hanya menyangkut apa yang mereka tahu, tetapi dengan apa yang sebenarnya mereka lakukan. Pendekatan ini melibatkan diskripsi sistematis dari perilaku yang komunikatif sebagaimana yang alami terstandarisasi melihatnya dalam konteks sosiokoltural di mana perilaku itu terjadi. Semua pola-pola perilaku seperti ini dan intrepretasinya di anggap sebagai problem yang menarik dan harus di kerjakan 111 dengan cara-cara simposis mereka meneliti kegiatan-kegiatan komunikatif dalam gugup tertentu alam jaringan sosial. Sehingga Hymes menyebut, peristiwa tutur sebagai peristiwa komunikasi“ walaupun hal ini sebenarnya suatu tindak yang lebih luas menyangkup kegiatan gestur dan juga tranmisi bahasa dengan alat-alat tulis atau mekanis. Paling tidak sebagai awal beranjak dari etno com.adalah deskripsi dari tindak komunikatif tetentu dalam budaya tertentu dalam arti kerangka referensi yang sudah ada sebagai pedoman analisis etnografi dari peristiwa komunikatif sebagai berikut (Hymes): a. Partisipan sebagai jenis partisipan dalam peristiwa komunikatif b. Berbagai saluran (channel) yang memungkinkan,dan cara penggunaannya, bicara, tulus, gambar sensout, nyanyi gerak tubuh dsb. c. berbagai kode yang di pakai oleh berbagai parsipan, linguistik, paralinguistic, kinesik, musik. d. latar di mana komunikasi memungkinkan. e. Bentuk pesan. f. sikap dan isi pesan . g. kejadian uang sendiri karakter-karakternya sebagai keseluruhan. B. Tuturan dalam Perilaku Kognitif dan Ekspresif Peran tuturan di dalam antropologi telah lama menjadi suatu perbincangan serius. Jika perhatian kiata adalah kebiasaan fonologis dalam persepsi dan penafsiran bunyi, telah terdapat banyakteori, teknik dan karya eksperimental tentangnya; namun bila perhatian kita adalah kebiasaan semantic, maka belum banyak karya dalam hal itu. Beberapa karya percobaan telah dibuat, namun kita tidak dapat meneliti peran kebiasaan semantic dalam perilaku sehari-hari tanpa pengetahuan kebiasaan semantic yang ada dalam kenyataan, dan pengetahuan tersebut hanya dapat diperoleh melalui penjabaran dalam hhubungannya dengan konteks penggunaan yang asli. Atau dengan kata lain kita memerlukan analisis semantic yang merupakan bagian dari etnografi. 112 Etnografi semantis yang dibutuhkan bukan yang sekedar refleksi naratif atas sebuah realitas, namun harus yang berupa analisis struktural yang mampu mengantarkan kepada keberhasilgunaan suatu tatabahasa dalam hubungannya dengan serangkaian analisis teks. Jacobson dan teman-temannya telah berkarya untuk mengembangkan semantic structural. Kemudian mereka menyusun dua pendekatan umum untuk mengkajinya, yaitu: 1) melacak sebuah konstituen melalui semua konteks yang di dalamnya konstituen tersebut dapat ditempatkan, sehingga dapat member ciri-ciri dalam hal kemampuannya untuk bersanding bersama dengan konstituen yang lain; 2) menempatkan konstituen tersebut di dalam suatu rangkaian yang hanya dapat terjadi didalam konteks tertentu, yang mencirikan kemampuannya untuk saling menggantikan dengan konstituen lain dalam rangkaian tersebut. Istilah lain untuk dua pendekatan tersebut adalah sintakmatik dan paradigmatik. Yang pertama berkaitan dengan konkordansi, sementara yang kedua berhubungan dengan kontras dalam suatu kerangka yang gayut. Pendekatan ini tentu saja memerlukan suatu analisis structural dari suatu masyarakat dalam hubungannya dengan tuturan yang akan membentuk etnografi berbicara. Untuk dapat memahami dan memperkirakan perilaku, konteks memiliki kemaknawian kognitif. Kemaknawian tersebut adalah: “Penggunaan suatu bentuk linguistis mengidentifikasi serangkaian makna. Sebuah konteks dapat mendukung serangkaian makna tersebut. Pada saat sebuah bentuk linguistis digunakan di dalam suatu konteks, konteks tersebut mengurangi makna yang mungkin terhadap bentuk linguistis tersebut selain dari makna-makna yang dapat dihasilkan oleh bentuk tersebut. Kontek dapat mengurangi makna yang mungkin terhadap bentuk konstituen tersebut selain makna konstituen yang didukung oleh konteks tersebut. Oleh karenanya, kemaknawian sebuah makna sepenuhnya bergantung kepada hubungan dari dua hal tersebut (bentuk dan konteks)” Hal lain yang harus kita ketahui adalah bahwa peran kognitif suatu tuturan adalah berkaitan dengan apa, di mana, dan kapan kita bertutur. Pada akhirnya deskripsi tentang kebiasaan semantik sepenuhnya bergantung kepada konteks penggunaan untuk dapat membatasi makna kerangka, seperangkat konstituen dan 113 dimensi kontras yang gayut. Terlebih lagi, sekelompok orang dapat saja berbeda dalam perilakunya yang diperantarai oleh tuturannya. Oleh karenanya, analisis peran tuturan di dalam perilaku kognitif mengarah pada analisis etnografis tuturan. Hal yang sama juga berlaku dalam peran tuturan perilaku ekspresif yang tentu saja juga terdapat aspek kognitif di dalamnya, demikian pula sebaliknya. Umumnya semua gejala tuturan dapar ditafsirkan oleh pendengar sebagai ungkapan ekspresif penutur. Bedanya adalah kkajian ekspresif lebih menekankan tuturan sebagai aspek kepribadian dan mengesampingkan fitur utama dari tuturan, seperti nada suara, jeda keragu-raguan yang merupakan fenomena yang menjadi kajian paralinguitik. C. Analisis Deskriptif Berbicara Fokus deskripsi berbicara di sini adalah keefektifan tuturan suatu masyarakat. Cakupannya meliputi semua perilaku tutur yang gayut dengan analisis struktural (atau dalam istilah Pike disebut ‘emic’). Yang dimaksud analisis struktural di sini adalah suatu komitmen ilmiah dan moral terhadap penemuan, kriteria, dan pola induktif yang valid dengan sistem itu sendiri. Oleh karenanya maka bersifat heuristik bukan a priori. Jika beberapa dialek atau bahasa digunakan secara bersama-sama oleh suatu masyarakat, maka fenomena itu dianggap sebagai kegiatan tutur dari masyarakat tersebut. Meskipun demikian, toh analisis standar dari masing-masing ragam tersebut tetap perlu, namun kerangka piker yang lebih luar akan jauh nampak lebih alami. Struktur argument ini menyiratkan bahwa focus perhatian analisis ini adalah bukan suatu populasi melainkan keadaan masing-masing individu. Langkah pertama yang perlu diambil adalah menempatkan berbicara dalam hirarki ‘keinklusifan’. Tidak semua perilaku merupakan tindak komunikasi, dari sudut pandang partisipan; tidak semua tindak komunikasi itu linguistis (misal: gesture, gerak tubuh); dan linguistik itu sendiri bermakna lebih dari sekedar tuturan. 114 D. Peristiwa Tutur Salah satu teknik etnografis yang bagus untuk peristiwa tutur adalah melalui kata-kata yang menunjukkan nama peristiwa itu sendiri, misal: pidato sambutan, pidato pernikahan, rapat RT, rapat pagi, dll. Cara yang lain adalah dengan adanya ungkapan harian yang menunjukkan arti peristiwa itu sendiri, misal: pembicaraan dari hati ke hati, pembicaraan perempuan, pembicaraan bisnis, (dari) bisnis ke bisnis (B to B), (dari) pemerintah ke pemerintah (G to G). Oleh karenanya maka bahan peristiwa tutur tersebut penamaannya tidak hanya pada tataran kelas kata, tetapi dapat lebih besar dari itu, misal: frase, klausa, kalimat, dll. Speech event tidak hanya berlaku dalam transaksasional. Analisis harus menfokuskan pada sekmen-sekmen yang tertentu dan terbatas sehingga tercapai totalitas dan ketuntasan, seperti ini analisis peristiwa tutur. Unit ini punya awal dan ahir mengikuti pola sekuen yang sudah di ketahui . Peneliti tentang peristiwa tutur dalam gugup tertentu tidak hanya sematamata membuat mendaftar peristiwa-peristiwa secara detail dan secara mendiskripsi tetapi dia harus menentukan mana yang berarti bagi anggota gugup tutur dan fungsi – fungsi yang mereka isi untuk kategori. Hal utama menyangkut cara yang di ambil orang dalam menginterprestasi yaitu memahami apa yang terjadi dalam percakapan. Ada hubungan tertentu antara apa yang dikatakan dan apa yang di kerjakan dan juga, sudah barang tentu kontak sosial. Percakapan siapa berbicara apa.apa yang telah dikatakan sebelumnya oleh siapa dan apakah orang itu humor, guyon, serius, intim, dan lain-lain. Analis harus tahu atau melihat hal-hal bagaimana percakapan dimulai dan berahir, dan juga faktor-faktor yang menentukan atau menunjukkan hak-hak atau giliran orang untuk bicara pada titik tertentu dalam percakapan. Percakapan berawal dengan tuturan inisiasi oleh salah satu penutur dan kemudian melebar pada pemilihan-pemilihan ekspresi untuk menggunakan ujaran bukan hanya pesan literal tetapi juga untuk hal-hal yang patut dan wajar secara sosial. Ferb (1974:108-109) manyatakan bahwa percakapan dilakukan dalam salah satu dari enam cara berikut: a) Meminta informasi, jasa atau barang b) Meminta respon sosial 115 c) Menawarkan informasi d) Ekspresi emosional pada rasa ketakutan, sakit, senang, yang sering menjadi starategi untuk mendapatkan tangapan dari pendengar. e) Pernyataan–pernyataan streotip seperti sambutan-sambutan, minta maaf, terimakasih. f) Pernyataan untuk mengabari penutur antsipasi untuk memulai pembicaraan. Pernyataan yang mengharapkan pendengar belum boleh memulai pembicaraan. E. Faktor-faktor dalam Peristiwa Tutur Setiap peristiwa tutur perdiri dari beberapa unsur, dan analis dari masingmasing unsure tersebut menjadi bagian yang penting dalam etnografi berbicara. Unsur-unnsur tersebut adalah: 1) Pengirim pesan; 2) Penerima pesan; 3) Bentuk pesan; 4) Saluran; 5) Kode; 6) Topik; 7) Seting: scene dan situasi. Susunan ke tujuh faktor tersebut merupakan kerangka pikir awal ‘etic’. Maknanya adalah bahwa dapat saja dalam suatu peritiwa tutur jumlah faktornya dapat berbeda-beda. Kesemuanya harus menyandarkan pada data empiris. Jadi latar belakang masyarakat berperan untuk menentukan apakah kesemua factor tersebut berlaku atau hanya sebagian. Bentuk pesan di sini lebih merujuk pada sisi estetis dan stilistika dari pesan itu sendiri. Perbedaan lintas budaya di dalam saluran peristiwa tutur tidak hanya berkaitan dengan ada atau tidak adanya bentuk lisan atau tulisan, namun juga berkaitan dengan jabaran lebih lanjut dari saluran itu sendiri. Kode di sini bermakna segala macam sistem tanda yang dengannya pesan dapat disampaikan kepada pihak yang dikehendaki. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa adanya masyarakat yang berbicara beragam dialek dari satu bahasa ke masyarakat yang berbicara beberapa bahasa. Karena fenomena ini memungkinkan masuknya unsur argot, jargon, dan bentuk-bentuk tuturan tersamar lainnya. Topik berkaitan dengan apa yang ditulis atau dibicarakan seseorang. Di dalam komunitas tuturan yang berbeda terdapat aturan yang berbeda pula yang 116 berkaitan dengan topik yang boleh dan tidak boleh dibicarakan. Seting merupakan factor yang mendasar sekaligus rumit. Kita sudah terlalu sering mendengar istilah ‘konteks situasi’, ‘pengertian situasi’, namun kita sangat jarang menanyakan secara etnografis ukuran-ukuran dari sesuatu yang dapat disebut ‘situasi’. F. Fungsi-fungsi Peristiwa Tutur Di dalam antropologi, fungsi tuturan pada umumnya dibahas dalam pengertian fungsi-fungsi umumnya. Namun dalam kajian ini kita akan melihat sebaliknya. Umumnya orang bertanya: ‘apa yang bahasa sumbangkan terhadap keberlangsungan masyarakat, budaya dan kemanusiaan?’, di sini kita menanyakan sebaliknya: ‘apa yang masyarakat, kebudayaan dan kemanusiaan sumbangkan terhadap keberlangsungan hidup bahasa?’ Ketika penutur suatu bahasa yang ada di dalam suatu masyarakat tinggal beberapa saja, maka keberlangsungan hidup bahasa tersebut sepenuhnya bergantung pada kemaujudan dan peran-peran latennya bagi kemanusiaan tersebut. Dalam tradisi linguistik, fungsi tuturan dimaknai sebagai sesuatu yang bermotif dan bertujuan. Kadangkala suatu fitur, suatu kategori linguistis, atau jenis karya sastra tertentu dimaknai sebabagi sesuatu yang memiliki fungsi tertenntu pula. Misal: kata-kata interjeksi umumnya ditafsirkan berfungsi ekspresif, karena lebih berfokus kepada pihak pertama (pengirim pesan) dalam peristiwa tutur tersebut. Berkaitan dengan fungsi peristiwa tutur ini, Hymes mengelompokkannya menjadi tujuh macam; yaitu: 1) ekspresif atau emotif; 2) direktif atau konatif, pragmatic, retorik, persuasif; 3) puitis; 4) kontak; 5) metalinguistis; 6) referensial; dan 7) kontekstual atau situasional. G. Tuturan dalam Sosialisasi Menurut Hymes, merujuk kepada para peneliti Rusia, terdapat hubungan positif antara fungsi-fungsi tuturan dengan usia kronologis seseorang dalam kaitannya dengan kemampuan seseorang untuk memahami makna fungsi tuturan. Seorang anak yang masih berusia di bawah empat tahun belum dapat memahami makna tuturan direktif yang ditujukan kepadanya. Hal ini bermakna bahwa fungsi 117 tuturan direktif berbanding lurus dengan kematangan (biologis) seseorang. Secara umun tingkat pendidikan berperan dalam pembentukan pemahaman fungsi-fungsi tuturan. Pola umum menunjukkan bahwa kematangan pemahaman terhadap fungsi referensial, tatabahasa dan leksikon menjadi prasyarat untuk berkomunikasi. Peran tuturan dalam sosialisasi mungkin beragam dalam setiap aspek pemolaan, peristiwa, factor, dan fungsi tuturan. Demikian pula penggunaan ungkapan kebahasaan tertentu, misal: idiom, juga beragam dari satu individu ke individu lainnya. Seorang ibu yang waktu kecil sering mendengar ungkapan tertentu untuk maksud yang tertentu pula berkecenderungan untuk menggunakan ungkapan serupa kepada anaknya untuk maksud yang lebih kurang sama. Hal ini menunjukkan bahwa sosialisasi tuturan, sampai tahap tertentu, mengindikasikan adanya perulangan. Dalam kaitannya dengan sistem sosial suatu masyarakat, sistem nilai dan kepercayaan masyarakat yang bersangkutan berperan dalam proses sosialisasi tuturan. Terdapat masyarakat yang melarang anaknya untuk berbicara kepada tamu manakala terdapat tamu di rumah. Tuturan tidak dapat dipisahkan dari perilaku manusia atau teori tertentu tentang perilaku kelompok tertentu pula. Apapun fokus yang kita gunakan untuk mengkaji perilaku verbal manusia (apakah kognitif, ekspresif, ataupun direktif), kita akan senantiasa menemukan hubungan antara tuturan tersebut dengan konteksnya. Tuturan suatu kelompok masyarakat menyiratkan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat tersebut; tuturan dan bahasa secara fungsional berbeda manakala budayanya juga tidak sama; tindakan tuturan suatu masyarakat merupakan hal penting; tatabahasa deskriptif, di satu sisi, berkaitan dengan tindakan tutur ini, sementara etnografi berbicara berada di sisi yang lain; hal ini bermaknak bahwa etnografi berbicara secara teoretis memayungi tatabahasa deskriptif; jumlah kode linguistis yang terdapat di dalam etnografi berbicara suatu kelompok masyarakat harus ditentukan secara empiris. Berikut pendapat yang perlu dicamkan dalam menganalisis bahasa: (1) Saussure bahwa bahasa (langue) harus diamati melalui tutur individual tetapi aspekaspek tutur individual hanya dapat diamati melalui bahasanya dalam konteks social, (2) Sedangkan Labov menyampaikan bahwa apabila bahasa sebagai alat interaksi, 118 kenapa mereka melupakan hal-hal yang bersifat sosial dan hanya berbicara masalah bunyi. Social meaning mencakup kaidah tutur yang membimbing pada output yang berpola. Dengan kata lain bahwa kaidah tutur di tuntun oleh social meaning dan output di tuntun oleh kaidah tutur. Output bisa dipahami hanya dengan kaidah tutur. Sosiolinguistik mengarahkan studinya pada model-model performance bukan modelmodel competence, jika meminjam istilah yang dipopulerkan oleh Chomsky. Social meaning adalah suatu kesempatan social. Dalam performatif, penutur memiliki beberapa alternative yang berpola secara social dan merupakan system kognisi penutur dan masyarakat, atau juga disebut kaidah alternasi. Seperti kita lihat pada kata sapaan terhadap Negro dengan ‘boy’ dituntun oleh kaidah dalam menginterpretasikan dan cara berpikir. Alternatif-alternatif atau pilihan-pilihan itu tergantung pada pilihan-pilihan nilai. Kaidah-kaidah ini lebih merupakan deskriptif daripada preskriptif, yang lebih merupakan suatu tindakan kesadaran yang tidak disadari (unconscious awareness) tetapi bukan habit/kebiasaan. Tujuh butir ethnografi komunikasi oleh Hymes yang merupakan hal pokok dalam analisis bahasa yang menjadi tekanan: a. Struktur dan sistem tutur b. Fungsi tutur daripada struktur c. Bahasa sebagai tatanan sosial d. Ketepatan unsur linguistik dengan pesan e. Keanekaragaman fungsi f. Guyup atau konteks sosial g. Fungsi didukung oleh konteks Apabila diringkas ketujuh hal di atas dapat diambil hal paling pokok adalah (1) tutur daripada kode, (2) fungsi struktur, (3) ketepatan kesewenangan. Ervin Tripp menyampaikan bahwa kaidah tutur dapat berupa: kaidah sapaan, kaidah turn taking (alih penutur), kaidah mengundang/memanggil, fungsi komunikasi, kaidah style dan repertoar, tindak tutur dalam kaitannya dengan topik alih kode. Menurut dia kaidah tutur lebih mengarah kepada etnografi komunikasi. Penelitian Grimshow mengenai tutur lebih menekankan pada pendekatan teoritis, kedwibahasaan yakni bahasa dalam kontaknya dengan bahasa lain. Dengan 119 alasan bahwa secara sosial diketahui bahwa bertemunya dua bahasa penutur/masyarakat yang berbeda memerlukan kebutuhan tertentu dan memunculkan akibat tertentu. William Labov menyarankan bahwa studi bahasa seharusnya dalam konteks sosialnya. Labov merupakan tokoh munculnya sosiolinguistik dialektologis, sebagaimana penelitian dia tentang penggunaan /r/ dalam bahasa Inggris yang dihubungkan dengan kelas sosial pemakainya. Sosiolinguistik juga mempelajari sentence that chommunitates nothing, yakni phatic function; masalah dan variasi tutur seperti ketidakgramatikalan tutur dan studinya merupakan pendiskripsian bahasa. Etnografi komunikasi dan alih kode juga bisa dianalisis dengan siapa berbicara apa dengan bahasa apa dengan siapa serta kapan(Fishman, 1972). Tripp menyampaikan bahwa fungsi interaksi sekaligus merupakan fungsifungsi tutur. Suatu fungsi interaksi atau tutur dikatakan berhasil atau berfungsi apabila mendapatkan respon atau tanggapan yang sesuai dengan yang diharapkan. Tripp memaparkan bahwa komponen penting dalam tutur terdiri dari partisipan, topik, dan situasi, bentuk komunikasi, pesan, tindak tutur, dan fungsi interaksi. Selain hal di atas juga terkadang bahasa di pakai sebagai cermin balik bahwa jika si A ingin di hormati maka si A memakai bahasa halus dan hormat pada si B. Kopetensi komunikatif (Hymes) adalah kemampuan untuk mengunakan bahasa secara efektif dalam konteks dan tujuan tertentu. Kemampuan ini adalah hasil interaksi antara: 1. Kompotensi gramaktikal 2. Kompetensi sosiolinguistik 3. Kompetensi diskurs (wacana) 4. Kompetensi strategis 120 DAFTAR PUSTAKA Abdulaziz M.M.H 1978. “Triglosia and Swahili-English Bilingualism in Tanzania”. Dalam Fishman, J.A. (Eds.), Advances in the Study of Societal Multilingualism (129-152), The Hague:Mouton.Adelsward et al., 1987 Adelsward, Viveka, Karin Aronsson, Linda J6nsson and Per Linell, 1987. The unequal distribution of interactional space: Dominance and control in courtroom interaction. Text 7(4): 313-346. Agar, Michael. 1985. Institutional discourse. Text 5(3): 147-168. Austin, J.L. 1962. How to Do Things with words. Cambridge: Harvard University Press. Baker, O.R. 1980. “Categories of Code Switching in Hispanic Communities, Untangling the Terminology”. Working Paper No. 76. Austin, Texas: Southwest Educational Development Laboratory. Baratz, S.S. dan Baratz, J.C. 1970. ‘Early Childhood Intervention: The Social Science Base of Institutionalized racism’. dalam Cashdan, A. dan Grugeon, E. (Eds.). 1972:188-197. Harvard Education Review 40. Barbieri, Federica. 2008. “Patterns of age-based linguistic variables in American English.” Journal of Sociolinguistics 12 (58-88). Baugh dan Sherzer, 1984. Language in Use. NewJersey: Prentice-Hall Inc Bauman, R. and Sherzer, J. ed. 1974. Explorations in the Ethnography of Speaking. Cambridge:Cambridge University Press Beardsmore, P.B. 1982. Bilingualism; Basic Principles. Clevedon, Brussel:Tieto Ltd. Beattie, Geoffrey W. 1981. ‘Interruption in conversational interaction, and its relation to the sex and status of the interactants’. Linguistics 19: 15-35. Bell, R.T. 1976. Sociolinguistics: Goals, Approaches, and Problems. New York: S.T. Martin Bellack, A. A. 1966. The Language of the Classroom. New York:Teachers College Press. Berstein, B. 1970. ‘Social Class, Language, and Socialization’. dalam Giglioli, P.P. (Eds.), Language and Social Context (157-178). England: Penguin Books Black, J.A, dan Champion, D.J. 1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. (Edisi Terjemahan 1992). Bandung: Eresco Bandung. 121 Blom, J.P dan Gumperz, J.J. 1972. ‘Social Meaning in Linguistic Structure; Code Switching’. dalam Gumperz, J.J. and Hymes, D. (Eds.), Bloomfield, L. 1935. Language. London: George allen and Lenvin Bolinger, 1975. Aspects of Language. 2nd edition. Jovanovich New York: Harcourt Brace Bricker, V. 1974. ‘The ethnographic Context of Some Traditional Mayan Speech Genres’. dalam Exploration in the Ethnography of Speaking. Bauman, R dan Sherzer (Eds.). London: Cambridge University Press Bright, W. 1966. Sociolinguistics. The Hague: Mouton Brown, G dan Yule, G. 1983. Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge University Press. Brown, R. dan Gilman, D. 1960. “The Pronouns of Power and Solidarity”. Dalam Giglioli, P.P. (Eds.). 1982. Language and Social Context. England: Penguin Books Budiarsa, Made. 2006. Penggunaan Bahasa dalam Ranah Pariwisata di Beberapa Hotel di Kuta Kabupaten Badung Bali. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. 1995. Sosiolinguistik. Jakarta: Penerbit Arcan. Champion, D.J. dan Black, J.A,1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. (Edisi Terjemahan 1992). Bandung: Eresco Bandung. Chaves, M. 1999. ‘Teacher and student gender and peer group gender composition in German foreign language classroom discourse: An exploratory study’. ELSEVIER Journal of Pragmatics 32 (2000) 1019-1058. Madison: Department of German, The University of Wisconsin-Madison. Chodorow, N. 1978. “Gender Differences in Preoedipal Period” dari The Reproduction of Mothering: Psychoanalysis and the Sociology of Gender. Berkeley: University of California Press. Chomsky, W. 1965. Aspects of the Theory of Syntax. Cambridge: M.I.T. Press Coates, J. 2004. Women, Men, and Language. London:Longman. Cook, G. 1989. Discourse. Oxford: Oxford University Press Crystal, D.(1985). A Dictionary of Linguistics and Phonetics. New York:Basil Blackwell Inc. 122 Dailey, A. 2010. An Analysis of Classroom Discourse: The Usefulness of Sinclair and Coulthard’s Rank Scale in a Language Classroom. Birmingham: University of Birmingham De Saussure, F. 1973. Pengantar Linguistik Umum. Terjemahan, 1993. Yogyakarta: UGM Perss Denzin, N. K, and Lincoln, Y.S, 1994. Handbook of Qualitative Research. California: Sage Publication Inc. Dijk, T. A., 1989. ‘Structures of discourse and structures of power’. dalam Anderson, J. A. (Eds.), Communication yearbook 12, 18-59. London: Sage. Dittmar, N. (1976/81). Sociolinguistics: A Critical Survey of Theory and Application. London: Edward Arnold Dittmar, N. (1976). Sociolinguistics: A Critical Survey of Theory and Application. London: Edward Arnold DITMAR. 1996. ‘Descriptive and Explanatory Power of Rules in Sociolinguistics’. dalam Singh, R. (Eds.). Towards a Critical Sociolinguistics. Amsterdam/Philadelphia:John Benjamins Publishing Company. Dittmar, N. Descriptive and Axplanatory Power of Rules in Sociolinguistics. Dalam Singh, R. (1996) (Eds.). Towards a Critical Sociolinguistics. Amsterdam/Philadelphia:John Benjamins Publishing Company. Djatmika, 1998. Spoken Interaction in The Phantom: A Discourse Analysis of A Comic Book. Sydney: Magister Thesis of Macquarie University. Drew, P dan Curl, T. 2008. ‘Conversational Analysis: Overview and New Direction’. dalam Vijay K. B., Flowerdew, dan Jones. (Eds.). Advances in Discourse Studies. London and New York: Routledge. Eakins, B. W. dan Eakins, R.G. 1978. Sex Differences in Human Communication. Boston: Houghton Milfflin Eckert, P. dan Sally, McConnell-Ginet .1992. ‘Think practically and look locally: Language and gender as community-based practice’. dalam Roman, C., Juhasz, S.,dan Miller, C.,(Eds.).1994. The Women and Language Debate. USA: Rutgers University Press. Eckert, P. dan Sally, McConnell-Ginet. 2003. Language and gender. Cambridge: Cambridge University Press Edvardsson, M. 2007. ‘Topic shift and initiation from a gender perspective: A study of conversational topic shifts among second language learners of English’. Thesis. Karlstad University. Faculty of Arts and Education. 123 (http://www.slis.indiana.edu/csi/WP/WP01-05B.html Diakses Tanggal 11 Juni 2011) Ekka, F. 1972. ‘Men’s and Women’s Speech in Kurux’. Linguistics 81:25-31 Elias-Olivares, 1976. “Way of Speaking in a Chicano Community; Sociolinguistics Approach”. Dalam Baugh, J. dan Shezer, J. (Eds.). Language in Use.(1984). New Jersy:Prentice-Hall Inc. Ervin-Tripp, S. 1972.’On rules: alternation and cooccurrence’. dalam Gumperz dan Hymes, D. (Eds.), Direction in Sociolinguistics. Northway:Rinehart and Winston. Fasold, R. 1984. The Sociolinguistics of Society. Oxford: Basil Blackwell. Fasold, R. 1990. The Sociolinguistics of Language. Oxford:Basil Blackwell Ferguson, C. 1959. ‘Diglosia’. dalam Giglioli, P.P. (Eds.). Language and Social Context (Hlm. 232-251). England: Penguin Books Fishman, J.A. 1971. Advances in The Sociology of Language. Volume I. The Hague: Mouton Fishman, J.A. dan Agheyisi, R. 1970. ‘Language Attitude Studies’. dalam Jurnal Anthropological Linguistics I dan II (1970:215-226) Fishman, J.A. dan Agheyisi, R. 1970. “Language Attitude Studies”. Dalam Fishman, J.A. 1964. “Language Maintenance and Language Shift as fields of Inquiry”. Linguistics IX.(hlm. 32-70) Fishman, J.A. 1966. Language Loyalty in The United States. The Hague: Mouton Fishman, J.A. 1971. ‘The Relationship between Micro- and Macro-Sociolinguistics in the Study of Who Speaks What Language to Whom and When’, dalam Pride, J.B. dan Holmes, J. (Eds.). 1972. Sociolinguistics. England:Penguin Books. Fishman, J.A. 1971. “The Relationship between Micro- and Macro-Sociolinguistics in the Study of Who Speaks What Language to Whom and When”. Dalam Pride, J.B. dan Holmes, J. (Eds.). 1972. Sociolinguistics. England:Penguin Books. Fishman, J.A. 1972. The Sociology of Language. Cambridge: Newbury Fishman, J.A.1968. Reading in the Sociology of Language. The Hague: Mouton 124 Fishman, P. 1983. “Interaction: the work women do”. Dalam Thorne, B., Kramarae, C., dan Hanley, N. (Eds.) Language, Gender, and Society. Rowley, MA:Newbury House Foley. A.W. 1997. Anthropological Linguistics; An Introduction. Oxford: Blackwell. Fontana, A. dan Frey, J.H. 1994. Interviewing: The Art of Science. dalam Denzin, N. K, and Lincoln, Y.S, (Eds.). Handbook of Qualitative Research. California: Sage Publication Inc. Gal, S. 1991. ‘Between Speech and Silence: The Problematics of Research on Langugae and Gender’. dalam Roman, C., Juhasz, S.,dan Miller, C.,(Eds.).1994. The Women and Language Debate. USA: Rutgers University Press. Giles,H., Scherer, K.R., dan Taylor, D.M.1979. “Speech Marker in Social Interaction”. Dalam Scherer, K.R. dan Giles, H. (eds.). Social Markers in Speech. Cambridge: Cambridge University Press. Greenfield, L. 1968. “Situational Measures of Normative Language Views in Relation to Person, Place, And Topic Among Puerto Rican Bilinguals”. Dalam Fishman, J.A. (Eds.). Advances of Sociology of Language. The Hague: Mouton Gumperz, J.J. 1964. “Linguistics and Social Interaction in Two Communities”. Dalam Gumperz, J.J. dan Hymes, D. 1972. Directions in Sociolinguistics. New York: Holt, Rinehart and Winston. Gumperz, J.J. 1971. Language in Societal Groups. Stanford CA: Satnford University Press Gumperz, J.J. 1982. Language and Social Identity. Cambridge: Cambridge University Press. Gunnarsson, B.L. 1997. “Women and men in the academic discourse community”. Dalam Kotthoff, H. dan Wodak, R. (Eds.), Communicating gender in context. Amsterdam: John Benjamins. Haas, M. R. 1944. “Men’s and Women’s Speech in Koasati”. Language, 20: 142-9. Dalam Hymes, 1964. Language in Culture and Society: A Reader in Linguistics and Anthropology. New York: Harper & RowHass. Halliday, J.J. 1970. “Language Structure and Language Function”. Dalam Lyons, J. (Eds.). New Horizons in Linguistics. Harmondsworth: Penguin. Halliday, J.J. 1978. Language as Social Semiotic. London: Edward Arnold 125 Harun Joko Prayitno (2009). Tindak Tutur dalam Peristiwa Rapat Dinas: Kajian Sosiopragmatik Berperspektif Jender di Lingkungan Pemerintah Kota Surakarta. Disertasi. Universitas Sebelas Maret. Haugen, E. 1950. “The Analysis of Linguistics Borrowings”. Dalam Roger, L. (Eds.).1969. Approaches to English Historical Linguistics. New York:Holt, Rinehard and Winston. Haugen, E. 1953. The Norwegian Language in America. Philadelphia: University of Pennsylvania Haugen, E. 1981. “Language Fragmentation in Scandinavian; Revolt of the Minorities”. Dalam Haugen, E. dkk. (Eds.). 1981. Minority Language Today. Edinburgh: Edinburgh University Press. Haugen, E. 1972. The Ecology of Language. California: Stanford Univ. Press. Henly, N and Thorne, B. 1975. Language and Sex: Difference and Dominance. Rowley, MA:Newbury House. Henly, N. dan Kramarae, C. 1991. ‘Gender, Power, and Miscommunication’. dalam Roman, C., Juhasz, S.,dan Miller, C.,(Eds.). 1994. The Women and Language Debate. USA: Rutgers University Press. Herrera, D. M. 2009. Review on Sinclair's and Coulthard's Towards An Analysis of Discourse. dalam E. Journal. Annual Review of Education, Communication and Language Sciences. (http://distrital0930.blogspot.com/2009/09/review-on-sinclairs-andcoulthards.html Diakses Tanggal 7 November 2012) Hudson, R.A. 1980. Sociolinguistics. Cambridge: Cambridge University Press. Huerta, A.G. 1978. “Code Switching among Spanish-English Bilinguals; Sociolinguistic Perspectives”. Dalam Heller, M. (Eds.). (1988). CodeSwitching: Anthropological and Linguistics Perspectives. De Gruter:Mouton. Huffaker, D. A., and Calvert, S. L. (2005). Gender, identity, and language use in teenage blogs. Journal of Computer-Mediated Communication, 10(2), article1. (http://jcmc.indiana.edu/vol10/issue2/huffaker.html DiaksesTanggal 27 Mei 2011) Hymes, D, 1974. Foundation n Sociolinguistics: An Ethnographic Approach. Philadelphia: University of Pennsylvania Press Hymes, D. 1968. ‘The Ethnography of Speaking’. dalam Fishman, J.A. (Eds.). (1968:99-138). Readings in Sociology of Language. The Hague: Mouton 126 Hymes, D. 1972. ”Models of Interaction of Language and Social Life”. Dalam Gumperz, J.J. dan Hymes, D. (1972:268-293). Directions in Sociolinguistics; The Ethnography of Communication. New York: Holt, Rinehard and Winston. Inkeles, A. 1966. Modernization: The Dynamics of Growth Voice of America Forum Lectures. Cambridge: Cambridge University Press. Itakura, H. 2001. “Describing conversational dominance”. Journal of Pragmatics 33. Janesick, V.J. 1994. ‘The Dance of Qualitative Research Design: Metaphor, Methodolatry, and Meaning’. dalam Denzin, N. K, and Lincoln, Y.S, (Eds.). Handbook of Qualitative Research. California: Sage Publication Inc. Jefferson, G. 1984. ‘Transcription notation’. dalam J. Maxwell Atkinson and John Heritage, (eds.), Structuresc of Social action: Studies in conversation analysis, ix-xvi, Cambridge: Cambridge University Press. Jesperson, O.1922. Language: Its Nature, Development and Origin. New York: W.W. Norton Joss, M. 1959. The Isolation of Styles, Monograph Series of Languages and Linguistics. dalam Fishman, J.A. (Eds.). 1968. Reading in the Sociology of Language. The Hague: Mouton. Kachru, B. 1978. “Toward Structuring Code-Switching; An Indian Perspectives”. International Journal of The Sociology of Language 16:27-47. Krech, D. 1962. Individual in Society: a textbook of social Psychology. New York: McGraw-Hill Labov, W. “Field Methods of the Project on Linguistic Change and Variation”. Dalam Baugh, J. dan Sherzer, J, (1984:28- 53). Language in Use; Readings in Sociolinguistics. New Jersey:Prentice-Hall. Labov, W. 1966. The Social Stratification of English in New York City. Washington: C.A.L Labov, W. 1972. Sociolinguistics Pattern. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. Labov, W. 1972a. Language in The Inner City. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. Labov.W. 1972b. Sociolinguistics Pennsylvania Press. Pattern. Philadelphia: University of 127 Labov. W. 1984. ‘Field Methods of the Project on Linguistic Change and Variation’. dalam Baugh, J. dan Sherzer, J (Eds.). Language in Use; Readings in Sociolinguistics. New Jersey:Prentice-Hall. Lakoff, R. 1973.’The Logic of Politeness; or, minding your p’s and q’s’. CLS 10: Chicago Linguistics Society Lakoff, R. 1975. Language and Women’s Place. New York: Harper and Row Lambert, W.E. 1974. “Culture and Language as Factors in Learning and Education”. Dalam Aboud, F. dan Mead, R.D. (Eds.). (1974). Cultural Factors in Learning. Belingham:Washington State College Lambert, W.E. et al. 1960. “Evaluational Reactions to Spoken Languages”. USA. Journal of Abnormal and Social Psychology 60:44-51. Leech, G. 1974. Semantics. Middlesex:Penguin Book Ltd. Leech, G. 1983. Principles of Pragmatics. New York: Longman Group Limited. Linell, P. and Luckmann, T. 1991. ‘Asymmetries in dialogue: Some conceptual preliminaries’. dalam Ivana Markovi and Klaus Foppa, (Eds.). Asymmetries in dialogue, 1-20. Hemel Hempstead: Harvester Wheatsheaf. Mackey, W.S. 1968. The Description of Bilingualism. Dalam Fishman, J.(Eds.).(1988:413-432). Reading in the Sociology of Language. The Hague: Mouton Mackey, W.S. 1957. Bilingualism as a World Problem. Montreal: Harvard House Mackey, W.S. 1970. Interference, integration, and Synchronic Fallacy. Quebec: Laval. 1970:195-223 Malmkjaer, K. (Eds.). 1991. Linguistics Encyclopedia. London: Rontledge. Maltz, D dan Borker, R. 1982.’A Cultural Approach to Male-Female Miscommunication’. dalam Gumperz, J.J. (Eds.). Language and Social Identity. Cambridge: Cambridge University Press. McClure, E. 1981. ‘Formal and Functional Aspects of the Code-Switched Discourse of Bilingual Children’. dalam Heller, M. (Eds.). CodeSwitching: Anthropological Perspectives. De Gruter:Mouton. Mey, Jacob L. 1993. Pragmatics: An Introduction. Cambridge: Blackwell Publisher. Mills, Sara. 2004. ‘Class, gender and politeness’. Journal of Multilungua 23: 171190. 128 Nababan, P.W.J. 1991. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama Nadar, F. X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Penalosa, F, 1981. Introduction to the Sociology of language. Cambridge: Newbury House Publisher Pike, K.L. 1982. Linguistics Concept.London:University of Nebraska Press. Poedjosoedarmo, S. 1985. ‘Language Propriety in Javanese’, Journal Fenomena, Vol. VI No. 2, March – May 2009. Yogyakarta: Lembaga Penelitian, Sanata Dharma University Preisler, B. 1986. Linguistic Sex Roles in Conversation. Berlin: Mouton de Gruyter. Pride, J.B. dan Holmes, J. 1972. Sociolinguistics. England:Penguin Books. Purnomo, Budi. 2011. ‚Politeness in Tourism-Service Register in Central Java: A Sociopragmatic Study‘. Disertasi Program Doktor Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Ricciardielli, L.A. 1992. ‘Bilingualism and Cognitive Development in Relation to Threshold Theory’. Journal of Psycholinguistic Research 21:310-316. Robinson, W.P. 1972. Language and Social Behavior. Harmondsworth: Penguin Books Roger, D. 1989. ‘Experimental studies of dyadic turn-taking behaviour’. dalam Derek, R. dan Bull, P. (Eds.). Conversation: An interdisciplinary perspective. Clevedon: Multilingual Matters. Roger, D. 1989. “Experimental studies of dyadic turn-taking behaviour”. dalam Derek, R. dan Bull, P. (Eds.). Conversation: An interdisciplinary perspective, 75-95. Clevedon: Multilingual Matters. Romaine, S. 1995. Bilingualism. Cambridge: Blackwell Roman, C., Juhasz, S.,dan Miller, C.,(Eds.).1994. The Women and Language Debate. USA: Rutgers University Press. Sacks, Harvey, Emanuel A. Schegloff and Gail Jefferson, 1974. ‘A simplest systems for the organization of turn-taking for conversation’. Language 50(4): 696--735 Samiati, M. Sri. 2011. Model Pembelajaran dan Materi Ajar untuk Pengembangan Kompetensi Lintas Budaya Mahasiswa Asing di Wilayah Surakarta dan Sekitarnya. Surakarta: LPPM Universitas Sebelas Maret 129 Sanches, M. dan Blount, B. 1975. Sociocultural Dimensions of Language Use. New York: Academic Press Sapir, E. 1964.“Conceptual Categories in Primitive Languages“. Dalam Hymes (Eds.). 1964:128. Language in Culture and Society: A Reader in Linguistics and Anthropology. New York:Harper and Row. Saussure, De, F. 1973. Pengantar Linguistik Umum. Terjemahan, 1993. Yogyakarta: UGM Perss Searle, J.R. 1969. Speech Act. Cambridge: Cambridge University Press. Sinclair, J. McH dan Coulthard, R.M. 1975. Towards an Analysis of Discourse: English Used by Teachers and Pupils. Oxford: Oxford University Press. Singh, R. 1996. Towards a Critical Sociolinguistics. Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins Publishing Company. Sridhar, N. 1978. “On the Function of Code-Mixing in Canada”. Dalam Sociology of Language 16:109-119 Stenstorm, A. 1994. An Introduction to Spoken Interaction. London: Longman Sutopo, H.B. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Swacker, M. 1979. “Women’s verbal behaviour at learned and professional conferences”. Dalam Dubois, Betty-Lou and Crouch, Isobel (eds). The Sociology of the Languages of American Women. San Antonio: Trinity University. Tannen, D. 1987. That’s not what I meant! How Conversational Style Makes or Breaks Relationship. New York: Ballantine. Tannen, D. 1994. Gender and discourse. Oxford: Oxford University Press. ten Have, P. 1991. “Talk and institution: A reconsideration of the 'asymmetry' of doctor-patient interaction”. Dalam Deirdre Boden and Don H. Zimmerman, (Eds.), Talk and social structure: Studies in ethnomethodology and conversation analysis, 138-163. Cambridge: Polity Press. Thomberg, J, 2006. ‘Boy and Girl Talk : A sociolinguistic study of international high school students' turn-taking patterns from a gender perspective’: University essay from Högskolan Halmstad/Sektionen för humaniora (HUM) http://www.essays.se/essay/a27a593189/ (diakses 11 juni 2011). Thorne, B. and Henly, N. 1975. Language and Sex: Difference and Dominance. Rowley, MA:Newbury House. Trudgill, P. 1974. Sociolinguistics: an Introduction. Harmondsworth, Middx:Penguin 130 van Dijk, T. A., 1989. “Structures of discourse and structures of power”. Dalam Anderson, J. A. (Eds.),Communication yearbook 12, 18-59. London: Sage. Wardhaugh, R. 1993. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Blackwell Publisher Weinrich, U. 1953. Language in Context. Linguistics Circle. New York: New York Publication No.2. West, C. and Garcia, A. 1988. “Conversational shift work: A study of topical transitions between women and men”. Social Problems 35(5): 551-575. West, C. and Zimmerman, D. H. 1975. ‘Sex Roles, Interruptions and Silences in Conversation’. dalam Singh, R. (Eds.). 1996:211-237. Towards a Critical Sociolinguistics. Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins Publishing Company. West, C. and Zimmerman, D. H. 1983. “Small insults: A study of interruptions in cross-sex conversations between unacquainted persons”. Dalam Barrie Thome, Cheris Kramarae and Nancy Henley, (Eds.), Language, gender and society, 102-117. Cambridge, MA: Newbury House. West, C. dan Zimmerman, D. 1998. “Women’s place in everyday talk: reflections on parent- child interaction”. Dalam Coates, Jennifer (Eds.). Language and Gender: A Reader. Oxford: Blackwell Whorf, B.L. 1956. Language, Thought, and Reality: Selected Writings of Benjamin Lee Whorf. Cambridge, MA:The Massachusetts Institut of Technoogy Press. Willis, J. 1981. Spoken Discourse in the E.L.T. Classroom: A System of Analysis and Description. A Thesis of Master Degree. E-thesis Repository of University of Birmingham Wolfram, W. 1971. Social Dialects: A Linguistics perspectives. dalam Shuy, R.W. (Eds.). Sociolinguistics: Crossdiciplinary Perspective, Linguistics Perspective. Washington DC:Center for Applied Linguistics. Wolfson, N. 1976. ‘Speech Events and Natural Speech: Some Implications for Sociolinguistic Methodology’. Language in Society 5:189-210. 131