implikasi peran mahkamah konstitusi sebagai positive legislator

advertisement
UNIVERSITAS INDONESIA
IMPLIKASI PERAN MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI
POSITIVE LEGISLATOR PADA UJI MATERIIL UNDANGUNDANG TERHADAP PROSES LEGISLASI DI INDONESIA
(Studi Kasus: Putusan MK No. 10/PUU-VI/2008 tentang Pemuatan Syarat
Domisili Calon Anggota DPD dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum)
SKRIPSI
AGUNG SUDRAJAT
0806461096
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
DEPOK
JULI 2012
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
!
!
KATA PENGANTAR
Rasa bersyukur pada Tuhan Yang Maha Esa menggambarkan sebuah
kebahagiaan mendalam bagi Penulis setelah menyelesaikan skripsi ini. Penulisan
skripsi ini tidak hanya sebuah pembuktian sebagai sarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, tetapi sebagai sebuah ungkapan rasa cinta Penulis terhadap
bidang Hukum Tata Negara. Tidak banyak hal yang dapat menggambarkan rasa
syukur Penulis atas terselesaikannya skripsi ini selain ucapan terima kasih atas
berkah yang begitu banyak sehingga setiap torehan kata yang tertulis dapat
memaknai ide-ide Penulis.
Skripsi ini selesai dengan melalui banyak hal, baik yang manis ataupun
pahit. Satu hal yang tidak dapat dipungkiri Penulis bukanlah robot yang tidak
luput dari keluh kesah, kejenuhan, dan kepenatan. Akan tetapi, dengan dukungan
dan dorongan banyak pihak, membuat Penulis yakin untuk menyelesaikan skripsi
ini dengan dorongan semangat. Oleh karena itu, izinkanlah Penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kasih sayang dalam penulisan
skripsi ini, yang selalu mengingatkan akan kesalahan yang dilakukan oleh
Penulis melaui banyak cara, dan selalu memberikan ruang bagi Penulis untuk
selalu berkarya dan belajar.
2. Mudakir Chamid dan Kirowati, kedua orang tua Penulis yang telah mendidik
Penulis semenjak kecil, yang tidak bosan mengajari telinga bebal Penulis
untuk terus berpacu belajar, dan hal terpenting adalah bagaimana mereka
berdua selalu memberi dukungan moril berupa doa dan harapan yang tidak
dapat Penulis utarakan. Terima kasih Bapak, terima kasih Ibu.
3. Para pembimbing Penulis, yaitu Bapak Sophian Martabaya, S.H., M.H., dan
Bapak Mustafa Fakhri, S.H., M.H., LL.M., atas semua waktu, nasehat, dan
bimbingan yang berharga bagi Penulis sehingga Penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini tepat pada waktunya.
4. Mbak Bombong Utami dan Mbak Utami Dewi, kedua kakak Penulis yang
selalu memberikan dukungan dan dorongan atas berbagai hal, selalu
menyediakan waktu atas harapan dan doa untuk Penulis.
"#!
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
!
!
5. Mas Nendar Herdianto, Bapak Yuswita dan Ibu Murwati, suami dan Ayah
mertua dari kakak Penulis yang juga memberikan dukungan dan doa yang
begitu besar bagi penulis, memberi dukungan semangat dan tentunya selalu
memberi rasa nyaman sebagai sebuah keluarga besar.
6. Anindita Widyatami dan Ardianta Widyatna, keponakan penulis yang selalu
memberikan tawa dan kegembiraan dalam mengerjakan skripsi ini.
7. Segenap civitas akademica Fakultas Hukum Universitas Indonesia, terutama
Program Kekhususan Tata Negara; alm. Prof. Ramly Hutabarat dengan
segenap jajaran Bapak Ibu Dosen Hukum Tata Negara yang telah memberi
bekal pengetahuan dan begitu menginspirasi Penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
8. Teman-teman yang selalu memberikan ruang dan rupa yang begitu luas bagi
Penulis; dukungan semangat dan dukungan galau, sampai akhirnya dapat
menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.
9. Kepada setiap orang yang telah datang dalam kehidupan Penulis dan
menjadikan hari-hari Penulis menjadi lebih bermakna dan berwarna.
Terimakasih untuk semuanya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini sangat jauh dari sempurna. Tentunya
terselip banyak kekurangan di dalam skripsi ini. Kendati demikian, besar harapan
Penulis, semoga karya ini sedikit banyak dapat memberikan warna dalam
khazanah ilmu pengetahuan, terutama di bidang Hukum Tata Negara. Segala
kekurangan adalah milik Penulis, dan segala kesempurnaan adalah milik Sang
Pencipta. Selamat membaca!
Depok, Juli 2012
Agung Sudrajat
"!
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
!
!
ABSTRAK
Nama
: Agung Sudrajat
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul
: “Implikasi Peran Mahkamah Konstitusi sebagai Positive
Legislator pada Uji Materiil Undang-Undang terhadap Proses
Legislasi di Indonesia. (Studi Kasus: Putusan MK No. 10/PUUVI/2008 tentang Pemuatan Syarat Domisili Calon Anggota
DPD dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum)”
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis tentang peran
Mahkamah Konstitusi sebagai Positive Legislator dan implikasinya terhadap
proses legislasi di Indonesia. Penulis mempergunakan metode penelitian yuridis
normatif dengan studi kepustakaan yang menggabungkan teori pemisahan
kekuasaan, fiilosofi pembentukan peradilan konstitusi, konsep negara hukum
dengan proses legislasi di Indonesia. Putusan No. 10/PUU-VI/2008 menunjukkan
Mahkamah Konstitusi di Indonesia telah berperan sebagai positive legislator
(pemuat norma) yang menimbulkan banyak perdebatan secara akademis. Hal ini
sejalan dengan perkembangan di beberapa negara yang memungkinkan adanya
peran peradilan konstitusinya sebagai positive legislator dalam menjamin hak-hak
warga negara. Selain itu, dapat dilihat bagaimana implikasi dari tindakan
Mahkamah Konstitusi yang mencantumkan syarat domisili calon anggota DPD
terhadap proses legislasi yang dipegang oleh DPR dan Presiden (termasuk DPD).
Kata kunci:
Positive Legislator, Proses Legislasi, Teori Pemisahan Kekuasaan, Filosofi
Peradilan Konstitusi, Negara Hukum.
"##!
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
!
!
ABSTRACT
Name
: Agung Sudrajat
Study Program : Law
Title
:”Implications of Constitutional Court’s Role as Positive
Legislator on Judicial Review regarding Legislation Process
in Indonesia. (Case Study: Constitutional Court Judgement
No. 10/PUU-VI/2008 regarding Domicile Requirement for
Candidates of DPD on Law No. 10 Tahun 2008 regarding
Election).”
The purpose of this thesis is to explain and analyse the role of Constitutional
Court as Positive Legislator and its implications toward the legislation process in
Indonesia. The writer uses the juridical-normative research method alongside
bibliographic study which mixes separation of power theory, the forming of
constitutional tribunal philosophy, the state of law concept with the legislation
process in Indonesia. From the Judgment No.10/PUU-VI/2008, it can be
concluded that the Indonesian Constitutional Court has its role as a positive
legislator. This is consistent with the developments among some States which
permit the existence of a role of a positive legislator from a constitutional tribunal
in guaranteeing the rights of citizens. Besides, this thesis will bring into focus the
implications from the acts of Constitutional Court which has the domicile
requirements written down for the candidates of DPD to the legislation process
which is held by DPR and the President (including the DPD).
Key words: Positive Legislator, Legislation Process, Separation of Power,
Constitutional Court’s Philosophy, Rule of Law.
"###!
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
!
!
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS............................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................ iii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .......................... vi
ABSTRAK ......................................................................................................... vii
ABSTRACT....................................................................................................... viii
DAFTAR ISI...................................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... xi
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Pokok Permasalahan .................................................................................... 9
1.3 Tujuan Penulisan.......................................................................................... 9
1.4 Kerangka Konsepsional ............................................................................... 10
1.4.1 Positive Legislator............................................................................. 10
1.4.2 Teori Pemisahan Kekuasaan (Separation of Power)......................... 10
1.4.3 Uji Materiil Undang-Undang (Toetsingrecht)................................... 11
1.4.4 Proses Legislasi ................................................................................. 11
1.4.5 Kekuasaan Kehakiman ...................................................................... 12
1.4.6 Mahkamah Konstitusi........................................................................ 12
1.4.7 Dewan Perwakilan Rakyat................................................................. 13
1.5 Metode Penulisan ......................................................................................... 13
1.6 Kegunaan Teori dan Praktis ......................................................................... 17
1.7 Sistematika Penulisan................................................................................... 17
BAB 2 PEMBAGIAN KEKUASAAN LEMBAGA NEGARA DAN
PERKEMBANGANPERADILAN KONSTITUSI SEBAGAI POSITIVE
LEGISLATOR .................................................................................................... 20
2.1 Peradilan Konstitusi dalam Perspektif Doktrin Pemisahan Kekuasaan
(Separation of Power) .................................................................................. 20
2.1.1 Doktrin Pemisahan Kekuasaan menurut John Locke dan
Montesquieu ....................................................................................... 20
2.1.2 Pembagian Kekuasaan Lembaga Negara............................................ 24
2.2 Konsepsi Pemisahan Kekuasaan pada Sistem Ketatanegaraan Modern
(Separation of Power Based on Constitution).............................................. 31
2.3 Peradilan Konstitusi dalam Negara Hukum................................................. 38
2.4 Pengujian Undang-Undang oleh Peradilan Konstitusi dan Lingkup
Penafsiran Konstitusi.................................................................................... 42
2.4.1 Bentuk Pengujian Undang-Undang .................................................... 42
2.4.1 Penafsiran dalam Pengujian Undang-Undang .................................... 45
2.5 Perkembangan Peran Konstitusi sebagai Positive Legislator ...................... 51
2.5.1 Perkembangan Peradilan Konstitusi sebagai Positive Legislator
dalam Sistem Ketatanegaraan Modern ............................................... 51
2.5.2 Pengujian Undang-Undang dengan Penafsiran Konstitusi ................. 53
"#!
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
!
!
2.5.3 Lingkup Peranan Peradilan Konstitusi dalam Pengujian UndangUndang dan Penegakan Konstitusi ..................................................... 63
2.5.4 Pengaruh Peradilan Konstitusi terhadap Legislatif atas UndangUndang yang Berlaku ......................................................................... 66
BAB 3 KEDUDUKAN LEMBAGA NEGARA DALAM PROSES
LEGISLASI DAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG.................................. 69
3.1 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai Pengawal
Konstitusi (The Guardian of the Constitution)............................................. 69
3.1.1 Mahkamah Konstitusi RI dalam Perspektif Indonesia sebagai
Negara Hukum ................................................................................... 69
3.1.2 Mahkamah Konstitusi sebagai Penafsir Undang-Undang Dasar
dalam Uji Materiil Undang-Undang................................................... 74
3.1.3 Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Menurut Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia..................................................... 79
3.2 Kewenangan Pembentukan Undang-Undang dan Proses Legislasi di
Indonesia....................................................................................................... 69
3.2.1 Kewenangan Pembentukan Undang-Undang di Indonesia................. 82
3.2.2 Proses Legislasi di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No.
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan............................................................................................ 87
BAB 4 IMPLIKASI PERAN MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI
POSITIVE LEGISLATOR PROSES LEGISLASI DALAM KASUS
SYARAT DOMISILI CALON ANGGOTA DPD PADA PUTUSAN NO.
10/PUU-VI/2008 ................................................................................................ 102
4.1 Analisis Pencantuman Syarat Domisili oleh Mahkamah Konstitusi
pada Putusan No. 10/PUU-VI/2008 ............................................................. 102
4.1.1 Mahkamah Konstitusi sebagai Supremasi Konstitusi dalam
Pemisahan Kekuasaan di Indonesia ................................................... 102
4.1.2 Perspektif Filosofis, Yuridis dan Sosiologis Keberadaan
Mahkamah Konstitusi di Indonesia .................................................... 105
4.1.3 Peran Mahkamah Konstitusi sebagai Positive Legislator dari Segi
Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia ............................. 109
4.2 Implikasi Pencantuman Syarat Domisili terhadap Proses Legislasi di
Indonesia....................................................................................................... 124
4.2.1 Peran Mahkamah Konstitusi sebagai Positive Legislator ditinjau
Lingkup Penafsiran Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari
Proses legislasi Khusus....................................................................... 126
4.2.2 Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 10/PUU-VI/2008
terhadap Proses Pembentukan Undang-Undang ................................ 129
BAB 5 PENUTUP.............................................................................................. 135
5.1 Simpulan ...................................................................................................... 135
5.2 Saran............................................................................................................. 137
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 138
LAMPIRAN
"!
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
!
!
DAFTAR LAMPIRAN
Ringkasan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 10/PUU-VI/2010 Pengujian
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah!
"#!
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia sebagai sebuah negara hukum, mengatur hubungan dengan
warga negaranya (penduduk negara) dalam konstitusi yang kemudian dianggap
sebagai landasan hukum dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara.1 Salah satu
bentuk hubungan antara negara dan warga negara dapat dilihat dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan guna mencapai tujuan bernegara
yang tertuang di dalam konstitusi.2 Tujuan bernegara Bangsa Indonesia tertuang
di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi landasan
pembagian kedudukan dan kewenangan lembaga negara.3 Tujuan berdirinya
Negara Republik Indonesia adalah melindungi seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan
kesejahteraan
umum,
mencerdaskan
kehidupan
bangsa
dan
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial. Selain keempat tujuan utama tersebut, Batang Tubuh
Undang-Undang Dasar 1945 menjabarkan lebih lanjut dan lebih terperinci
mengenai hal-hal fundamental mengenai penyelenggaraan kehidupan bernegara.4
Sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan pasca reformasi
1998 dengan adanya Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu materi
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
1
Hans Kelsen menjelaskan dalam bukunya The Pure Theory of Law tentang
keidentikan negara dan hukum. Dalam perspektif hukum murni, negara dan hukum identik
dengan menempatkan negara bukan sebagai satu-satunya pembentuk hukum. Sebelum
terbentuknya negara, masyarakat yang berkumpul dalam satu tempat terikat oleh tatanan
untuk menjalankan kehidupan bersama yang dapat berupa ideologi dan metafisika. Sehingga,
dalam memandang hukum tidaklah mutlak sebagai satu-satunya produk yang dapat dibuat
oleh negara. Atau dengan kata lain hukum adalah sebuah uraian dari ideologi dan metafisika
yang hampir keseluruhannya merupakan sebuah rekaan atas suatu kondisi masyarakat. Hans
Kelsen, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif [The Pure Theory of Law],
diterjemahkan oleh Raisul Muttaqin, (Bandung: Nusamedia, 2008), hlm. 317.
2
Brian Thompson yang mengatakan bahwa: “…a constitution is a document which
contains the rules for the operation of an organization.” Terjemahan bebasnya kurang lebih
adalah Konstitusi merupakan aturan dasar tentang penyelenggaraan suatu organisasi yang
dalam hal ini adalah negara. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 19.
3
Ibid., hlm. 63.
4
Ibid., hlm. 156.
!"
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
perubahan mendasar dalam Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 adalah
diakomodasinya pengujian undang-undang (review).5 Salah satu pembahasan
dalam Amandemen tersebut terjadi karena tidak diwadahinya upaya hukum jika
terjadi pelanggaran konstitusi oleh negara melalui produk hukum berupa undangundang.6 Oleh karena itu, urgensi dari diakomodasinya pengujian undang-undang
untuk menjamin pemenuhan hak konstitusional warga negara merupakan sebuah
kebutuhan yang fundamental.7
Pembahasan mengenai kewenangan pengujian undang-undang ini
kemudian melahirkan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi (the
guardian of the constitution). Mahkamah Konstitusi lahir melalui pembahasan
yang panjang dalam Amandemen III tanggal 9 November 2001. Dalam
pembahasan, Mahkamah Konstitusi pada mulanya hanya akan dibentuk sebagai
quasi judicial.8 Akan tetapi, bentuk Mahkamah Konstitusi yang hanya berbentuk
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
5
“Penggunaan kata Judicial Review merupakan terminologi hukum yang digunakan
di Amerika Serikat. Terminologi tersebut erat kaitannya dengan penggunaan istilah
toetsingsrecht di Belanda, tapi keduanya memiliki perbedaan jika ditelaah lebih lanjut dari
teori dan pelaksanaannya. Toetsingsrecht merupakan penggunaan dalam terminologi hukum
Belanda yang dipahami secara terbatas sebagai penilaian hakim terhadap suatu produk
hukum tanpa memiliki kewenangan untuk membatalkan (justfikasi) atas penilaian yang
dilakukan. Sehingga, pembatalan atas suatu produk hukum yang dinyatakan sebagai hal yang
bertentangan dikembalikan kepada lembaga pembentuk undang-undang. Sedangkan dalam
terminologi judicial review, hakim tidak hanya melakukan penilaian atas suatu produk
hukum tetapi juga dilanjutkan dengan melakukan tindakan pembatalan apabila produk
hukum tersebut dipandang tidak sesuai dengan batu uji. Hal ini harus dibedakan dengan
penggunaan terminologi di beberapa negara yang menggunakan istilah seperti legislative
review, constitutional review, dan legal review. Perihal penggunaan istilah judicial review
yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi dipersempit sebagai sebuah tindakan
constitutional review karena menggunakan Undang-Undang Dasar (Konstitusi) sebagai batu
uji.” Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingrecht) yang Dimiliki Hakim dalam Sistem Hukum
Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2005), hlm. 3.
6
Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi: Memahami
Keberadaannya dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006),
hlm. 19.
7
Asnawi Latief (Fraksi Partai Daulat Ummat) mengusulkan bahwa pembentukan
Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga yang tersendiri dan terpisah dari kedudukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melihat tujuan pembentukannya yang tidak
memungkinkan masuk dalam kesatuan lembaga yang dibentuk oleh MPR. Mahkamah
Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945: Buku VI Kekuasaan Kehakiman, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hlm. 451.
8
Ibid., hlm. 445.
!"
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
quasi judicial dikhawatirkan akan diboncengi kepentingan non hukum dan politik
padahal kewenangannya begitu besar.
Kemudian, muncul wacana kewenangan pengujian undang-undang
dilekatkan pada Mahkamah Agung atau lembaga kekuasaan kehakiman yang
setara dengan lembaga tinggi negara lainnya. Pada pembahasannya Paulus Efendi
Lotulung,9 yang mengemukakan pandangan beliau, yakni:10
“Pembentukan MK tergantung dari sistem hukum dan politik hukum yang
ingin digariskan. Apabila ingin memberikan review pada badan peradilan
tetapi bukan MA, harus dibentuk MK.”
Dapat disimpulkan bahwa pembentukan Mahkamah Konstitusi ini merupakan
sebuah opsi yang erat kaitannya dengan nuansa kebatinan dan politik hukum para
perumus. Sehingga, bentuk kekhawatiran-kekhawatiran yang ada harus dilihat
secara objektif dan meluas sekalipun harus membentuk lembaga tinggi yang baru.
Penekanan beliau bahwa politik hukum pembentukan lembaga penguji
undang-undang tidak lagi pada bentuk quasi judicial tetapi sebagai lembaga tinggi
negara.11 Bentuk lembaga tinggi negara yang dimaksudkan apakah melekat pada
badan legislatif atau dibentuk lembaga yudikatif baru yang terpisah dari
Mahkamah Agung. Pertimbangan jika pengujian undang-undang melekat pada
DPR dapat memunculkan over power pada pemegang kuasa legislatif.12 Oleh
karena itu, Mahkamah Konstitusi akhirnya berdiri sebagai lembaga tinggi negara
yang sejajar dengan Mahkamah Agung sebagai bagian dari kekuasaan
kehakiman.13
Lahirnya Mahkamah Konstitusi memberikan susunan baru dalam
Kekuasaan Kehakiman yang merupakan satu dari tiga pilar dalam Teori
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
9
Paulus Efendi Lotulung adalah wakil dari Mahkamah Agung yang diundang di
dalam rapat Panitia Ad Hoc ketika membahas mengenai susunan Kekuasaan Kehakiman
pada Amandemen III tanggal 9 November 2001. Ibid., hlm. 444.
10
Ibid., hlm. 444.
11
Ibid., hlm. 451.
12
Henry Conserva, Understanding The Constitution, (Bloomington: AuthorHouse,
2011), hlm. 13.
13
Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VI Kekuasaan Kehakiman…op.cit., hlm. 447.
!"
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Pemisahan Kekuasaan (Separation of Power).14 Peletakan Mahkamah Konstitusi
dalam susunan Kekuasaan Kehakiman juga didasarkan pada bentuk dan proses uji
materiil undang-undang yang berupa proses ajudikasi.15 Pengujian di dalam
Mahkamah Konstitusi terbatas pada proses mengadili apakah undang-undang
yang diujikan bertentangan atau tidak terhadap Undang-Undang Dasar 1945
(negative legislation). Selain itu merujuk pada perspektif hukum ketatanegaraan
secara umum, awal mulai tindakan pengujian konstitusionalitas terhadap
konstitusi yang pertama kali terjadi di Amerika Serikat oleh lembaga yudikatif
(Supreme Court) hanya sebatas menjalankan proses ajudikasi.16 Oleh karena itu,
kewenangan pengujian undang-undang terhadap konstitusi di sebagian besar
negara dilekatkan pada lembaga yudikatif berupa proses ajudikasi atau negative
legislator.17
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang
sangat erat kaitannya dengan pembentuk undang-undang (DPR, Presiden dan
termasuk DPD) karena bentuk pengujiannya merupakan pengujian norma. Akan
tetapi, dalam peletakan kewenangan pengujian undang-undang, tidak dibahas
lebih lanjut mengenai hubungan Mahkamah Konstitusi terhadap proses legislasi
itu sendiri. Hal ini menjadi sangat penting untuk diperhatikan karena Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga negara ikut serta sistem checks and balances.18
Sehingga, tidak jelas mengenai tindak lanjut hasil pengujian di Mahkamah
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
14
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta:
Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm. 517.
15
Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VI Kekuasaan Kehakiman…op.cit., hlm. 444.
16
Gagasan Judicial Review muncul pertama kali pada tahun 1803 di Mahkamah
Agung (Supreme Court) Amerika Serikat yang diketuai oleh John Marshal yang
membatalkan ketentuan dalam Judiciary Act 1789 karena dianggap bertentangan dengan
Konstitusi Amerika Serikat. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca
Amandemen Konstitusi. (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm. 98.
17
Henry Conserva, Understanding The Constitution…op.cit., hlm. 14.
18
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006). hlm. 24.
!"
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Konstitusi terhadap proses legislasi yang dijalankan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan Presiden.19
Pada prakteknya, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang
memuat pembentukan hukum (positive legislation) dengan pertimbanganpertimbangan berdasarkan pemenuhan hak konstitusional yang dimiliki oleh
warga negara. Salah satu putusan Mahkamah Konstitusi yang membetuk hukum
adalah Putusan No. 10/PUU-VI/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.20 Para Pemohon dalam pengujian tersebut adalah Anggota DPD yang
menganggap adanya penghilangan hukum di dalam Pasal 12 Undang-Undang No.
10 Tahun 2008 karena pada undang-undang sebelumnya dimuat tentang syarat
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
19
Pembahasan mengenai struktur kelembagaan di Indonesia berkaitan dengan
kekuasaan legislatif masih diperdebatkan khususnya mengenai kedudukan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). Dalam pengaturannya di dalam Undang-Undang Dasar 1945,
fungsi legislatif berupa pembentukan undang-undang memang menjadi kuasa DPR dan
untuk persetujuannya dilaksanakan secara bersama-sama dengan Presiden. Struktur fungsi
dan kewenangan DPD terbatas sebagaimana diatur di dalam pasal 22D Undang-Undang
Dasar 1945, yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;
serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan
undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undangundang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
(3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan
undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan
belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil
pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan
pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
(4) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang
syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.
Kewenangan DPD tersebut diatas dalam beberapa pendapat termasuk dalam kuasa
legislatif walau tidak memiliki kewenangan dalam pembentukan Undang-Undang karena
hanya mengusulkan rancangan undang-undang. Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum
Tata Negara Indonesia…op.cit., hlm. 189-190.
20
Mahkamah Konstitusi, Pengujian Undang-Undang No. 10 Tahun Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, Putusan Mahkamah Konstitusi, 1 Juli 2008,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_PUTUSAN%20DPD%20ba
ca%201%20Juli%202008e.pdf, diunduh pada tanggal 10 Februari 2012, hlm. !"
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
domisili bagi calon anggota DPD untuk mengikuti Pemilu Legislatif. Muatan
materi syarat domisili menurut pemohon adalah sebuah kebutuhan dalam
pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah karena fungsi dan filosofi
pembentukan DPD sebagai representasi perwakilan daerah. Kemudian, dalam
putusannya Mahkamah Konstitusi mengabulkan untuk dimuatkannya ketentuan
syarat domisili dalam Pemilihan Legislatif (conditionaly constitutional) dengan
menafsirkan tidak diaturnya sebuah norma adalah norma itu sendiri. Pengujian
Undang-Undang ini merupakan tindakan luar biasa karena Mahkamah Konstitusi
tidak hanya memberikan penafsiran dan ajudikasi terhadap undang-undang tetapi
memberi materi muatan dalam undang-undang.21 Sehingga dapat dilihat bahwa
Mahkamah Konstitusi turut berperan sebagai positive legislator.
Dalam perspektif hukum modern peranan Peradilan Konstitusi sebagai
organ pembentuk hukum (positive legislator) telah diterapkan di beberapa
negara.22 Secara umum, peran peradilan konstitusi sebagai positive legislator
dianggap sebagai sebuah konsekuensi logis atas implementasi dari Teori
Pemisahan Kekuasaan yang tidak dapat diterapkan secara rigid tanpa ada irisan di
dalamnya.23 Oleh karena itu, perlu dikaji secara mendalam peran Mahkamah
Konstitusi sebagai positive legislator dalam Putusan No. 10/PUU-VI/2008 apakah
suatu pelampauan kewenangan atau sebuah kekosongan hukum hanya
memerlukan integrasi lebih lanjut antar pemegang kekuasaan.
Mahkamah Konstitusi menafsirkan bahwa Dewan Perwakilan Daerah
sebagaimana diatur dalam Pasal 22 C Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyatakan: “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi
melalui pemilihan umum.” dalam frasa “dipilih dari setiap provinsi” harus
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
22
Pembahasan mengenai peran lembaga Yudikatif sebagai positive legistator
memasuki tahap baru dalam sistem ketatanegaraan modern. Salah satu yang paling progresif
adalah Norwegia yang mengesahkan (menyatakan secara konstitusional) bahwa
constitutional court dapat berperan sebagai positive legislator dalam memenuhi hak
konstitusional warga negaranya namun secara terbatas pada aspek-aspek tertentu saja. Eivind
Smith, “Constitutional Courts as Positive Legislator,” (makalah disampaikan pada
International Academy of Comparative Law: XVIII International Congress of Comparative
Law, Washington DC, 25-31 Juli 2010), hlm. 1-3.
23
Teguh Satya Bhakti, “Perbandingan Konsep Trias Politica Menurut John Locke,
Montesquieu, dan Undang-Undang Dasar.” Dalam Jurnal Tata Negara FHUI: Beberapa
Teori dalam Hukum Tata Negara. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2003.
hlm. 325.
!"
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
dibuktikan dengan adanya syarat domisili. Dasar Permohonan Pemohon dalam
pengujian undang-undang tersebut, Pemohon mendalilkan bahwa:24
-
Maksud asli perumus pembuat Perubahan Ketiga UUD 1945, khususnya
ketika merumuskan Pasal 22C ayat (2) dan Pasal 22E ayat (4) menegaskan
adanya Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan bagi
keanggotaan DPD.
-
Perumusan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 menegaskan
bahwa syarat domisili adalah syarat dalam pencalonan anggota Dewan
Perwakilan Daerah.
-
Para
perumus
Undang-Undang
No.
10
Tahun
2008
sengaja
menghilangkan ketentuan syarat domisili.
-
Penghilangan Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan adalah
Bentuk Improper Purposes.
-
Ketiadaan Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan bagi
Keanggotaan DPD Harus Dinyatakan Tidak Sesuai (unconformity) dengan
UUD 1945.
-
Putusan Mahkamah Konstitusi Berwenang untuk Menyatakan Ketiadaan
Norma dalam suatu Undang-Udang Tidak Sesuai (unconformity) dengan
UUD 1945
Persidangan yang terjadi pada akhirnya diputus dengan mengabulkan
permohonan pemohon terkait dengan syarat domisili anggota DPD yang secara
keseluruhan putusan tersebut berbunyi:25
-
Menyatakan Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4836) tetap konstitusional berdasarkan
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
24
Mahkamah Konstitusi, Pengujian Undang-Undang No. 10 Tahun Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah…loc.cit., hlm. 80.
25
Ibid., hlm. 216.
!"
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang
dimaknai memuat syarat domisili di provinsi yang akan diwakili;
-
Menyatakan Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4836) tetap mempunyai kekuatan
hukum mengikat, sepanjang dimaknai memuat syarat domisili di provinsi
yang akan diwakili;
Pemuatan syarat domisili ini secara jelas memberikan dasar hukum bahwa
Mahkamah Konstitusi dapat berperan sebagai positive legislator. Peristiwa hukum
ini menunjukkan bahwa adanya kebutuhan untuk diperjelas hubungan antara
Mahkamah Konstitusi dengan pembentuk undang-undang. Pelaksanaan tata
hubungan antar lembaga negara ini merupakan bagian dari pemisahan
kewenangan yang jika tidak diakomodir secara jelas dapat menimbulkan sengketa
antar lembaga negara khususnya konteks pengujian undang-undang terhadap
proses legislasi. Permasalahan serupa juga menjadi topik perdebatan pada awal
tindakan judicial review di Amerika Serikat. Pada saat judicial review dilakukan
Mahkamah Agung (Supreme Court) Amerika Serikat, Kongres menganggapi
dengan keras bahwa tindakan merupakan pelampauan kewenangan.26 Kongres
menganggap kedudukan pengadilan (Mahkamah Agung) tidak dapat mengganggu
kewenangan legislatif dalam membentuk undang-undang dengan pengujian
(negative legislation).27 Pendapat tersebut didasarkan pada pemahaman bahwa
Kongres merupakan manifestasi kedaulatan yang dapat membentuk undangundang dan pengujian oleh lembaga lain termasuk Mahkamah Agung sangat
bertentangan dengan hal tersebut.
Peran Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator secara nyata
menempatkan sebuah lembaga peradilan tidak lagi sebagai negative legislator
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
26
Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VI Kekuasaan Kehakiman…op.cit., hlm. 147.
27
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Garis Besar Sistem Hukum Amerika
Serikat [Judicial Process in America] diterjemahkan oleh Masri Maris, (Washington:
Congressional Quarterly Inc, c.t.), hlm. 25.
!"
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
yang memberi ajudikasi hukum. Hal ini menimbulkan banyak perdebatan
termasuk bagaimana implikasinya terhadap proses legislasi itu sendiri karena hasil
dari putusan tersebut juga mempengaruhi peraturan pelaksananya lintas lembaga
negara. Oleh karena itu, perlu adanya peninjauan secara ketatanegaraan berkaitan
dengan peran Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator dalam putusan
MK Nomor 10/PUU-VI/2008 tentang pencantuman syarat domisili calon anggota
DPD.
1.2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan penjabaran dalam latar belakang yang telah dipaparkan
tersebut, terdapat beberapa rumusan permasalahan yang menjadi pembahasan
dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Peran Mahkamah Konstitusi sebagai Positive Legislator pada
Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008 dalam Perspektif Hukum Tata Negara?
2. Bagaimana Implikasi Peran Mahkamah Konstitusi sebagai Positive
Legislator terhadap Proses Legislasi atas Uji Materiil Undang-Undang
Nomor 10/PUU-VI/2008?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan skripsi ini terbagi menjadi dua yakni tujuan umum dan
tujuan khusus. Yang menjadi tujuan umum penulisan skripsi ini adalah
mengetahui secara komprehensif tentang batasan kewenangan legislasi dan
implikasi peran lembaga peradilan (yudikatif) antara Dewan Perwakilan Rakyat
dengan Mahkamah Konstitusi dalam hal pengujian undang-undang. Adapun
secara lebih khusus dijabarkan sebagai berikut:
1. Mengetahui Peran Mahkamah Konstitusi sebagai Positive Legislator pada
Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008 dalam Perspektif Hukum Tata Negara.
2. Mengetahui Implikasi Peran Mahkamah Konstitusi sebagai Positive
Legislator terhadap Proses Legislasi atas Uji Materiil Undang-Undang
Nomor 10/PUU-VI/2008.
!"
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
1.4 Kerangka Konsepsional
Beberapa istilah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini diartikan
sebagai berikut:
1.4.1
Positive Legislator
Positive Legislator adalah bentuk organ atau badan atau lembaga (merujuk
pada lembaga negara) yang dapat bertindak untuk membentuk hukum. Pengertian
pembentukan hukum oleh positive legislator adalah tindakan membentuk hukum
dalam proses ajudikasi (peradilan) tanpa melalui pencabutan, penarikan atau
pembatalan tetapi penambahan atas hukum yang diujikan.28 Pemahaman ini
muncul sebagai kebalikan dari definisi negative legislation yang berarti
membentuk hukum dengan mekanisme penilaian oleh lembaga yudikatif
(ajudikasi) berupa berlaku atau tidaknya suatu norma yang dilanjutkan dengan
pembatalan atau pernyataaan tidak memiliki kekuatan hukum.29 Lingkup positive
legislation mencakup tindakan lembaga dalam menjabarkan norma dan
menambahkan norma baru dalam pengujian undang-undang. Hasil pengujian
undang-undang yang berisi pemuatan norma sering dikenal sebagai putusan yang
conditionaly constitusional atau konstitusional bersyarat.
1.4.2
Teori Pemisahan Kekuasaan (Separation of Power)
Teori Pemisahan Kekuasaan adalah teori yang pada awal mulanya
dikemukakan oleh John Locke tentang pembagian pos-pos kekuasaan (legislatif,
eksekutif dan federatif) dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Pemisahan
kekuasaan ini kemudian dikembangkan oleh Montesquieu mencakup ke tiga
kekuasaan yakni Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif yang lebih dikenal sebagai
########################################################
28
Konteks membentuk hukum dalam pengujian undang-undang tidak terbatas pada
pencatuman pasal ataupun pemuatan pasal tetapi termasuk dampak hukum dari putusan
tersebut. Dalam hal ini, tindakan pencabutan oleh lembaga yudikatif (negative legislastion)
tetap menciptakan kondisi hukum yang baru dengan adanya norma yang berubah. Oleh
karena itu, untuk memahami konteks peran Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator
dipersempit sebagai sebuah lembaga yang melakukan/menciptakan hukum haru dengan
penambahan norma dalam proses ajudikasi pengujian undang-undang. Pendekatan pada: Arti
Legislate (membentuk hukum) pada Wiliam Statsky, West’s Legal Thesaurus/Dictionary: A
resource for the writer and the Computer Researcher. (c.l.: West Publishing, 1985), hlm.
586.
29
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II…op.cit., hlm. 33.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Trias Politica.30 Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan untuk pembentukan
undang-undang, kekuasaan eksekutif adalah pelaksana dari undang-undang, dan
Kekuasaan Yudikatif adalah menjalankan fungsi peradilan dalam rangka
penegakan hukum (undang-undang).31
1.4.3
Uji Materiil Undang-Undang (Toetsingrecht)
Uji Materiil Undang-Undang adalah upaya pengujian produk hukum yang
ditetapkan oleh pemegang kuasa legislatif, eksekutif maupun yudikatif oleh
lembaga yudisial dalam rangka penerapan prinsip checks and balances
berdasarkan sistem pemisahakan kekuasaan (separation of power).32 Tindakan
pengujian ini merupakan uji konstitusionalitas sebuah undang-undang terhadap
konstitusi di sebuah negara. Pelaksanaan pengujian undang-undang ini memiliki
banyak varian yang setidaknya hampir di semua negara konsep pengujiannya
melandaskan batu ujinya pada konstitusi tertulis. Tujuan adanya pengujian ini
adalah untuk menjamin hak konstitusional warga negara yang tertuang dalam
konstitusi.33
1.4.4
Proses Legislasi
Proses Legislasi adalah proses pembentukan peraturan berupa undangundang yang melekat pada lembaga legislatif sebagai pemegang fungsi legislasi.
Fungsi legislasi merupakan fungsi pengaturan (regelende functie) yakni fungsi
membentuk peraturan-peraturan berupa norma hukum yang mengikat dan
membatasi warga negara.34
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
30
Teguh Satya Bakti, “Perbandingan Konsep Trias Politica Menurut John Locke,
Montesquieu, dan Undang-Undang Dasar…op.cit., hlm. 316.
31
Montesquieu menjelaskan dalam bukunya L’Esprit des Lois (1748) dengan
mengikuti pemikiran John Locke, pembagian kekuasaan negara dalam tiga cabang the
legislative function, the excecutive or administrative function, the judicial function.
32
Fatmawati, op.cit., hlm. 8.
33
Jimly Asshiddiqie, “The Role of Constitutional Court in Guaranteeing Access to
Justice in a New Transtitional State,” (makalah disampaikan pada Keynote Address at the
Conference of “Comparing Access to Justice in Asian and European Transitional
Countries,” Bogor; 27-28 June 2005), hlm. 1.
34
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II…op.cit., hlm. 33.
!!"
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
1.4.5
Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaaan Kehakiman atau Kekuasaan Yudikatif merupakan pilar ketiga
dalam sistem kekuasaan negara modern. Kekuasaan yang ketiga ini bertindak
memberikan ajudikasi atas tindakan hukum dengan mendasarkan pada peraturan
bentukan legislatif. Cabang kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan
sekarang ini hampir diseluruh negara menerapkan konsep senada yakni sebagai
cabang kekuasaan yang bebas dan merdeka. Kekuasaan Yudikatif adalah cabang
kekuasaan yang satu kesatuan dengan legislatif dan eksekutif dalam menjalankan
roda kehidupan bernegara. Oleh karena itu, dikatakan oleh John Alder, “The
Principle of separation of power is particularly important for the judiciary.”35
1.4.6
Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.36 Mahkamah Konstitusi merupakan sebuah lembaga negara di
Indonesia yang masuk dalam susunan kekuasaan kehakiman yang menjalankan
fungsi Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi diawali dengan
diadopsinya ide Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) dalam amandemen
konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun
2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan
Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada
9 Nopember 2001. Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu
perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad
ke-20.37
########################################################
35
John Alder dan Peter English, Constitusional and Administrative Law, (London:
Macmilan, 1989), hlm. 53-54.
36
Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No 24
tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 8 tahun 2011, LN No.70 Tahun 2011, TLN No.
5266, Ps. 1 ayat 1.
37
Profil Sejarah Beridinya Lembaga Mahkamah Konstitusi, c.n,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.Profil.SejarahMK diunduh
pada tanggal 22 Februari 2011, pukul 17.57.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
1.4.7
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai
lembaga negara.38 Pengaturan di dalam Undang-Undang Dasar 1945, mengatakan
bahwa kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemegang kekuasaan
pembentuk undang-undang. Proses pemilihan anggota DPR, dipilih melalui
pemilihan umum secara langsung kepada rakyat.39
DPR sebagai lembaga
perwakilan rakyat merupakan manisfestasi kedaulatan rakyat sebagaimana
dituangkan dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
1.5 Metode Penulisan
1.5.1
Bentuk Penulisan
Skripsi ini menggunakan pendekatan Yuridis Normatif yakni pendekatan
yang bertujuan untuk menemukan dan mendeskripsikan kerangka konsep pada
hukum positif (hukum tertulis). Perangkat hukum tertulis yang digunakan dalam
penulisan skripsi ini antara lain Undang-Undang Dasar Tahun 1945, UndangUndang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang No.
27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
1.5.2
Tipologi Penulisan
Tipologi penulisan ini masuk ke dalam penulisan deskriptif dengan sifat
skripsi berupa studi kepustakaan. Penulisan deskripitif dalam penyusunan skripsi
ini merupakan pendekatan untuk mengetahui implikasi peran Mahkamah
Konstitusi sebagai positive legislator pada uji materiil undang-undang perkara
No. 10/PUU-VI/2008 terhadap proses. Penulisan skripsi ini dilakukan secara
deskriptif guna melihat lebih lanjut tindakan Mahkamah Konstitusi sebagai
########################################################
38
Indonesia, Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, UU
No. 27 tahun 2009, LN No.123 Tahun 2011, TLN No. 5043, Ps. 68.
39
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 20 ayat (1) juncto Pasal 19 ayat
(1).
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
pengawal konstitusi dan kaitannya dengan kewenangan Dewan Perwakilan
Rakyat dan Presidan sebagai pemegang kuasa pembetukan undang-undang.
Penulisan kepustakaan adalah suatu penulisan yang dilakukan dengan cara
mendapatkan data dan bahan berupa buku-buku, artikel, jurnal, tesis, skripsi,
putusan Mahkamah Konstitusi, yang penulis dapatkan dari Perpustakaan
Universitas Indonesia, Perpustakaan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
Perpustakaan Dewan Perwakilan Rakyat dan Perpustakaan Nasional.
1.5.3
Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Adapun
yang dimaksudkan sebagai data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan
bacaan, yang dalam skripsi ini adalah buku-buku, artikel, tesis, skripsi, putusan
Mahkamah Konstitusi, yang didapatkan dari Perpustakaan Universitas Indonesia,
Perpustakaan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Perpustakaan Dewan
Perwakilan Rakyat dan Perpustakaan Nasional. Serta, jurnal ilmiah hukum yang
diperoleh dari Jstor, Pusat Dokumentasi Hukum, serta pusat jurnal ilmiah online
lainnya.
1.5.4
Jenis Bahan Hukum
Jenis bahan hukum yang digunakan dalam skripsi ini adalah bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan
hukum yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan. Bahan hukum primer
yang digunakan adalah Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Undang-Undang No.
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang No. 27 Tahun
2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, UndangUndang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang No. 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari bahan
bacaan hukum seperti makalah, tesis, buku-buku, jurnal, yang penulis peroleh dari
Perpustakaan
Universitas
Indonesia,
Perpustakaan
Mahkamah
Konstitusi
Republik Indonesia, Perpustakaan Dewan Perwakilan Rakyat dan Perpustakaan
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Nasional, Jstor, Pusat Dokumentasi Hukum, serta pusat jurnal ilmiah online
lainnya.
1.5.5
Alat Pengumpul Data
Pengumpulan data yang digunakan dalam skripsi ini dengan menggunakan
studi kepustakaan sehingga dilakukan melalui penelusuran literatur, analisis
terhadap konsep ketatanegaraan, analisis terhadap peranan lembaga negara, dan
ditambah
dengan
melakukan
studi
perbandingan
dengan
negara
lain.
Pengumpulan data tersebut diharapkan dapat menjadi data yang digunakan untuk
penulisan skripsi ini. Skripsi ini menggunakan penelusuran literatur guna
mendapatkan konsep ketatanegaraan di Indonesia terkait dengan lembaga
kekuasaan di negara. Konsep ketatanegaraan ini nantinya dilakukan penelaahan
terhadap doktrin dan prakteknya di negara lain. Perlunya melakukan perbandingan
dengan negara lain adalah sebagai bahan acuan penerapan doktrin lembaga
yudikatif, legislatif dikaitkan dengan fungsi kelembagaannya.
Dalam skripsi ini, dikerucutkan permasalahannya pada peran Mahkamah
Konstitusi sebagai positive legislator dan implikasinya terhadap proses legislasi.
Hal ini menjadi jelas diperlukan karena di beberapa negara mungkin telah
menerapkan beberapa konsep tambahan berkait kewenangan kedua lembaga.
Selain itu, Indonesia juga merupakan negara yang baru menerapkan pengujian
konstitusional. Sehingga, masih perlu untuk melakukan pendekatan-pendekatan,
perbandingan, serta pengkajian terutama mengenai struktur kelembagaan
Mahkamah Konstitusi terhadap proses legislasi.
1.5.6
Metode Anailisis Data
Dalam skripsi ini, data akan dianalisis menggunakan metode kualitatif dan
akan disajikan dalam bentuk deskriptif analitis yang dilakukan melalui tahapan
sebagai berikut:
(i) Pengumpulan Data
Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data-data temuan yang telah
ditelusuri dan kemudian dipilah untuk menjadi data sekunder. Data
sekunder inilah yang kemudian menjadi bahan untuk mengkaji isu dan
permasalahan dalam skripsi dikaitkan dengan penelusuran literaturliteratur dalam buku maupun bahan sekunder lainnya.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
(ii) Pengolahan Data
Tahap selanjutnya merupakan pengolahan data yang berupa
pengolahan data-data dengan tahapan sebagai berikut:
a. Pemeriksaan/validasai data dan editing
Data yang diperoleh dari studi kepustakaan yang dilakukan
oleh penulis kemudian diperiksa, dikaji dan dijaga konsistensinya
antara data satu dengan data lainnya. Kegiatan memeriksa dan
menjaga konsistensi bagian awal sampai dengan akhir ini juga
disebut sebagai editing yang akan menjadi penentuan kelayakan data
yang diperiksa apakah akan dilanjutkan atau tidak untuk dimasukkan
dalam skripsi ini. Validasi merupakan tahap lanjutan berupa
menetapkan data yang akan digunakan setelah dilakukan editing dan
dilakukan dengan mempertahankan alur penulisan dengan seksama
dan secara ajeg.
b. Pengolahan
Tahap
pengolahan
merupakan
tahap
lanjutan
dari
pemeriksaan/validasi data. Data yang telah divalidasi akan dilakukan
pendekatan-pendekatan lebih lanjut . Pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan kualitatif sehingga dilakukan dengan mengkaji
teori dalam doktrin untuk nantinya diterapkan di Indonesia.
Pendekatan kualitatif ini kemudian akan menghasilkan data yang
akan disusun berupa data deskriptif analitis. Pengolahan data
kualitatif ini bertujuan untuk mengerti dan memahami permasalahan
dan mencari titik kesimpulan berupa penyelesaian atas permasalahan
yang diangkat.
(iii) Analisis Data
Pada tahap ini, data yang sudah diolah kemudian dianalisis.
Analisis data merupakan kegiatan yang menelaah dan mengkaji hubungan
masing-masing komponen dengan keseluruhan konteks dari berbagai sudut
pandang. Data tersebut kemudian dituliskan dalam bentuk skripsi sebagai
tugas akhir.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
1.5.7
Bentuk Hasil Penulisan
Tahapan selanjutnya adalah tahapan penulisan dengan membentuk
laporan atas penulisan skripsi yang dilakukan. Data-data yang dioloah ini
kemudian ditulis secara terstruktur dan dipaparkan dalam ejaan yang
disempurnakan.
1.6 Kegunaan Teoritis dan Praktis
Kegunaan teoritis dari skripsi ini adalah memperkaya kajian ilmu
pengetahuan terutama mengenai susunan dan kedudukan lembaga negara. Hal ini
sangat penting karena kedudukan dan kewenangan ini berhubungan dengan
kewenangan lembaga Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presidan terkait dengan proses legislasi. Kajian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat bagi masyarakat Indonesia dan khususnya bagi civitas academica
Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Kegunaan praktis dari skripsi ini adalah dapat digunakan sebagai bahan
kajian dalam melihat hubungan lembaga legislatif dan lembaga yudikatif.
Hubungan ini nantinya dapat digunakan dalam menyusun sistem atas
keberlanjutan putusan Mahkamah Konstitusi dan proses legislasi yang dilakukan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini sangat penting karena dapat
menghindarkan perbenturan kewenangan yang dapat diboncengi kepentingankepentingan politik.
1.7 Sistematika Penulisan
BAB 1 Pendahuluan
Pada bab ini berisikan pemaparan latar belakang dan urgensi
dikabulkannya pengujian Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 terkait syarat
domisili pada Putusan No. 10/PUU-VI/2008. Latar belakang tersebut nantinya
digunakan untuk menggagas rumusan permasalahan dan tujuan dari penulisan ini.
Kemudian, terdapat penjelasan mengenai kerangka konsepsisional mengenai
peristilahan yang digunakan yang kemudian dipaparkan mengenai metode
penulisan yang digunakan oleh penulis dalam menyusun skripsi. Serta, dipaparkan
mengenai tinjauan pustaka berupa buku-buku referensi utama dalam penulisan
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
tugas ini ditambahkan pemaparan tentang kegunaan teoritis praktis dan
sistematika penulisan.
BAB 2 Landasan Teori
Bab ini memaparkan mengenai tentang filosofi pembagian kekuasaan dan
peran peradilan konstitusi sebagai positive legislator. Filosofi pembagian
kekuasaan merupakan doktrin yang dicetuskan oleh John Locke dan Montesquieu
(Trias politica). Teori Pemisahan Kekuasaan merupakan doktrin yang membagi
pos-pos kekuasaan menjadi tiga pos kekuasaan yakni Legislatif, Yudikatif dan
Eksekutif. Selain perspektif doktrin Montesqueiu, juga disertakan tentang konsep
ketatanegaraan modern dalam membagi pos-pos kekuasaan. Keduanya akan
digunakan untuk menganalisis batasan tindakan lembaga negara. Kemudian, peran
peradilan konstitusi sebagai positive legislator merupakan sebuah perkembangan
baru dalam sistem ketatanegaraan modern. Peranan lembaga peradilan sebagai
positive legislator digunakan untuk melihat bentuk dan batasan tindakannya.
BAB 3 Penerapan dan Prakteknya di Indonesia
Bab ini akan menjelaskan mengenai proses legislasi di Indonesia dan
proses pengujian undang-undang di Indonesia. Proses legislasi yang dipaparkan
mencakup pembentukan undang-undang usulan Dewan Perwakilan Rakyat dan
pembentukan undang-undang usulan Presiden. Lebih lanjut juga dipaparkan
mengenai bagaimana proses pembahasan sampai dengan persetujuan bersama dan
disahkan sebagai undang-undang. Proses pengujian undang-undang di Indonesia
yang di paparkan mencakup filosofi pembentukan Mahkamah Konstitusi,
penafsiran oleh Mahkamah Konstitusi dan kedudukan putusan Mahkamah
Konstitusi dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Keduanya nantinya
juga akan digunakan untuk membedah pokok permasalahan pada putusan No.
10/PUU-VI/2008 di dalam Bab IV.
BAB 4 Analisis dan Kajian
Bab ini akan memaparkan mengenai bagaimana implikasi peran
Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator yang dianalisis dari perspektif
doktrin pembagian kekuasaan, kewenangan lembaga peradilan konstitusi sebagai
pembentuk hukum, serta filosofi pembentukan Mahkamah Konstitusi. Kemudian,
dikaitkan dengan pengaturannya di dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Analisis utama dalam
penulisan skripsi ini nantinya untuk mengetahui peran Mahkamah Konstitusi
sebagai positive legislator pada Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008 dipandang dari
perspektif Hukum Tata Negara. Serta, mengetahui implikasi peran Mahkamah
Konstitusi sebagai positive legislator terhadap proses legislasi atas uji materiil
Undang-Undang Nomor 10/PUU-VI/2008.
BAB 5 Penutup
Bab ini nantinya merupakan bagian kesimpulan dari penulis atas
perumusan masalah yang telah dianalisis. Kesimpulan tersebut didasarkan pada
temuan-temuan data yang secara kualitatif dikaitkan dengan teori, doktrin dan
data tambahan yang ditemukan oleh penulis. Kemudian, dipaparkan lebih lanjut
mengenai saran atas kesimpulan-kesimpulan tersebut sehingga dapat digunakan
sebagai materi pengayaan dalam melihat peran Mahkamah Konstitusi sebagai
positive legislator terhadap proses legislasi pada umumnya.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
BAB 2
PEMBAGIAN KEKUASAAN LEMBAGA NEGARA DAN
PERKEMBANGAN PERADILAN KONSTITUSI SEBAGAI POSITIVE
LEGISLATOR
2.1 Peradilan Konstitusi dalam Perspektif Doktrin Pemisahan Kekuasaan
(Separation of Power)
2.1.1
Doktrin Pemisahan Kekuasaan Menurut John Locke dan Montesquieu
Doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power) memiliki banyak
perspektif karena penerapan dari doktrin pemisahan kekuasaan telah banyak
mengalami pergeseran.40 Vile, dalam tulisannya yang berjudul “Constitutionalism
and the Separation of Power” menjelaskan definisi tentang doktrin murni
pemisahan kekuasaan sebagai berikut:41
“Doktrin murni pemisahan kekuasaan mungkin dirumuskan dengan cara
ini; untuk menentukan dan menjaga kebebasan politik adalah penting
bahwa pemerintah dibagi ke dalam tiga cabang atau departemen;
legislatif, eksekutif dan yudikatif. Masing-masing cabang dari ketiga
cabang ini terdapat fungsi pemerintah yang dapat diidentifikasi secara
sejajar legislatif, eksekutif dan yudikatif. Masing-masing cabang
pemerintahan harus dibatasi pada pelaksanaan fungsinya sendiri dan
tidak diperbolehkan melanggar fungsi dari cabang-cabang yang lain.
Selain itu, orang yang mengisi ketiga agen pemerintahan ini harus dapat
dipastikan terpisah dan berdiri sendiri, tidak ada individu yang
diperbolehkan pada saat bersamaan menjadi anggota dari lebih satu
########################################################
40
Prof. Ivor Jennings menambahkan bahwa teori pemisahan kekuasaan dibagi
menjadi dua yakni kekuasaan dalam arti materiil dan pemisahan dalam arti formil.
Pemisahan dalam arti materiil ialah kekuasaan dalam arti kelembagaan yang kewenangan
dan fungsi (tugas-tugas) kenegaraan secara karakteristik menunjukkan adanya pemisahan
kekuasaan. Hal tersebut melekat pada tiga pilar utama dalam Teori Pemisahan Kekuasaan
yakni kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sedangkan yang dimaksudkan sebagai
pemisahan kekuasaan secara formil adalah pembagian kekuasaan tidak dilakukan dan
dipetahankan secara tegas. Ismail Sunny, Pembagian Kekuasaan Negara, cet.1, (Jakarta:
Departemen Penerangan RI, 1962), hlm.10.
41
Teguh Satya Bhakti, “Perbandingan Konsep Trias Politica Menurut John Locke,
Montesquieu, dan Undang-Undang Dasar…op.cit., hlm. 1.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
cabang. Dengan cara ini masing-masing cabang mengawasi (check)
cabang yang lain dan tidak ada satu kelompok orang yang mampu
mengontrol mesin negara.”
Doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power) merupakan doktrin pada
konsep negara hukum (rule of law) yang mengharuskan adanya pembagian
kekuasaan (divison of power).42 Pembagian kekuasaan merupakan kunci pada
konsep negara hukum karena filosofi lahirnya konsep negara hukum yang
dicetuskan oleh Aristoteles merupakan antitesis dari konsep rule of man.43
Sehingga, pembagian kekuasaan dapat dipandang sebagai jaminan negara hukum
untuk menjalankan kekuasaannya berdasarkan hukum karena konsep pemisahan
kekuasaan merupakan hukum yang membagi kekuasaan negara. Oleh karena itu,
sebuah negara yang menyatakan diri sebagai negara hukum, penyelenggaraan
kehidupan bernegaranya dijalankan dengan mempertemukan pos-pos kekuasaan
sebagai sebuah sistem ketatanegaraan.44
Konsep pemisahan kekuasaan sebagai sebuah antitesis kekuasaan absolut
pada intinya menginginkan kekuasaan negara (law-giver, the executor of law, and
the judge) tidak terpusat pada satu orang atau pihak.45 Tidak terkonsentrasinya
kekuasaan di satu pihak tertentu ini diharapkan dapat menghindari adanya
pemusatan kekuasaan yang berakibat tercederainya kesewenang-wenangan.
Sehingga secara logis, pembagian kekuasaan menempatkan para pemegang
########################################################
42
Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa konsep negara hukum juga disebut
sebagai sebuah negara konstitusional atau constitutional state, yakni negara yang dibatasi
oleh konstitusi yang dalam konteks negara demokrasi disebut sebagai constitutional
democracy yang penyelenggaraan demokrasinya didasarkan atas hukum. Jimly Assidiqqie,
Pengantar Hukum Tata Negara Jilid II…op.cit., hlm. 11.
43
Brian Z. Tamanaha, On The Rule of Law: History, Politics, Theory, (Cambridge:
Cambridge University Press, 2004), hlm. 9. Sebagaimana dikutip; Saldi Isra, Pergeseran
Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial
Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 73.
44
Eoin Carolan, The New Separation of Powers: A Theory for the Modern State,
(Oxford: Oxford University Press, 286), hlm. 19.
45
Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Bandung:
Rineka Cipta, 2001), hlm. 72.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
kekuasaan tidak mungkin menjadi penguasa absolut karena fungsi-fungsi
kekuasaanya memiliki keterbatasan.46
Fungsi-fungsi atau pos-pos kekuasaan dalam menjalankan kehidupan
bernegara Eropa klasik terbagi menjadi dua yakni kekuasaan negara yang
dipegang oleh raja dan kekuasaan keagamaan yang dipegang oleh gereja.47
Kemudian, seiring berjalannya waktu dan perkembangan dari pemisahan
kekuasaan duniawi dan keagamaan tetap disimpangi dengan munculnya paham
kedaulatan Tuhan sehingga raja menjadi semakin absolut.48 Kondisi ini kemudian
mendapat reaksi dengan munculnya paham sekularisme yang memisahkan
kekuasaan negara dan kekuasaan gereja. Pada kenyataannya, pemisahan
kekuasaan negara dengan kekuasaan gereja tidak lantas menghilangkan kekuasaan
seorang raja yang absolut untuk bertindak semaunya.49 Hal ini dikarenakan
hampir semua fungsi kekuasaan tetap dipegang oleh raja.50 Sehingga, muncul
pemikiran dari John Locke tentang pemisahan kekuasaan negara.51
John Locke mengemukakan bahwa kekuasaan negara dapat dipisahkan
menjadi tiga fungsi yakni:52
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
46
Eoin Carolan, The New Separation of Powers: A Theory for the Modern
State…op.cit., hlm. 22.
47
Jimly Assiddiqqie, op.cit.,
48
Jimly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 12.
49
Hal ini sesuai dengan pendapat dari Lord Acton yang mengatakan: “Power tend
to corrupt, absolute power corrupt absolutely.” Stephen Garrett, Conscience and Power: An
Examination of Dirty Hand and Leadership, (New York: St. Martin’s Press, 1996) hlm. 9.
50
John Locke menuliskan teorinya dalam buku “Second Treaties of Civil
Government” yakni berupa catatan John Locke yang menemukan adanya dorongan korupsi
(atas kekuasaan) terjadi ketika kekuasaan membuat hukum (legislatif) dan kekuasaan
menjalankan hukuman (eksekutif) dijalankan oleh satu otoritas yang sama. Sehingga
menurut Locke: “Mereka mungkin membuat kekecualian diri mereka sendiri dari kepatuhan
kepada hukum yang mereka buat, dan menyesuaikan hukum, baik dalam pembuatan dan
pelaksanaannya, pada keuntungan pribadi mereka sendiri, dan karena itu akhirnya (mereka)
memiliki kepentingan yang berbeda dari masyarakat lain, yang bertentangan dari tujuan
masyarakat dan pemerintah.” John Locke, Second Treatise of Government: The Original.
(Cambridge: Hayes Barton Press, 1956), hlm 5-7.
51
Ibid.,
52
Ibid., hlm. 9.
!!"
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
(1) Fungsi Legislatif;
(2) Fungsi Eksekutif;
(3) Fungsi Federatif;
Sejalan dengan John Locke, Montesquieu dalam bukunya L’Esprit des Lois
memisahkan kekuasaan negara dalam tiga cabang, yakni; (i) kekuasaan legislatif
sebagai pembuat undang-undang (ii) Kekuasaan eksekutif sebagai pelaksana
undang-undang dan (iii) kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif. Ketiga
pemisahan ini dikenal sebagai trias politica yang dalam perspektif pembagian
kekuasaan negara modern dikenal sebagai; legislatif (the legislative function),
eksekutif (the executive function) dan yudikatif (the judicial function).53 Pendapat
Montesquie hampir sama dengan pendapat yang disampaikan oleh John Locke
pada fungsi legislatif dan eksekutif. Akan tetapi, Montesquieu memilah satu
fungsi yakni yudikatif yang membedakan dengan pemisahan kekuasaan John
Locke.
Montesquieu memasukkan fungsi kekuasaan yudikatif didasarkan pada
perspektif Montesquieu yang lebih merakyat atau menempatkan hak-hak asasi
rakyat itu salah satu hal penting untuk dipenuhi dalam kehidupan bernegara.54
Sedangkan John Locke, lebih melihat kepada dari keberadaan negara dalam
pergaulan internasional yang melakukan hubungan ke luar negeri. Keberadaan
fungsi yudikatif sebagaimana diklasifikasikan oleh Montesquieu, dalam perspektif
John Locke melekat pada fungsi legislatif.55 Hal inilah yang ditentang oleh
Montesquieu,
karena
apabila
fungsi
pembentukan
undang-undang
dan
penegakkan undang-undang dilekatkan pada satu fungsi atau lembaga yang sama,
maka tidak akan mengubah apapun seperti apa yang dikhawatirkan yakni
kekuasaan yang absolut.56
########################################################
53
O. Hood Phillips, John Paul dan Patricia Leopold, Constitutional and
Administrative Law, (London: Sweet & Maxwell, 2001), hlm. 10-11. Sebagaimana dikutip
dalam: Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme…op.cit., hlm. 17.
54
Alex Tuckness, Locke and The Legislative Point of View: Toleration, Contested
Principles and The Law, (New Jersey: Princeton University Press, 2002), hlm. 156.
55
Tim Pengajar Ilmu Negara, Ilmu Negara (Depok: Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2009), hlm. 29.
56
John P. McKay, Bennett D. Hill, dan John Buckler, A History of Western Society:
From Absolutism to the Present, (Bedford: St. Martin’s, 2005), hlm. 692.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Kemudian, fungsi federatif yang dikemukakan oleh Locke dipandang
Montesquieu sebagai satu kesatuan dengan fungsi eksekutif. Pendapat
Montesquieu menganggap bahwa eksekutif yang bisa memegang hubungan luar
negeri dan menjadi tidak tepat ketika fungsi federatif merupakan fungsi yang
berdiri sendiri.57 Perihal pemisahan kekuasaan nyatanya tidak hanya muncul di
Inggris oleh John Locke dan di Perancis oleh Montesquieu, van Vollenhoven juga
memaparkan teori yang hampir serupa. Van Vollenhoven membagi kekuasaan ke
dalam empat fungsi yang biasa disebut sebagai “catur praja”, yakni:58
(1) Regeling atau pengaturan yang tidak lain identik dengan fungsi
legislatif;
(2) Bestuur yang identik dengan fungsi pemerintahan eksekutif;
(3) Rechtspraak (peradilan); dan
(4) Politie yang menjadi perbedaan dengan Montesquieu ataupun John
Locke, van Volenhoven menganggap bahwa dalam menegakkan
hukum dan menjaga ketertiban dalam masyarakat (social order) dan
peri kehidupan bernegara, diperlukan aparatur penegak hukum.59
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dilihat bahwa kekuasaan negara
tidak boleh berada dalam satu pihak. Sehingga, pada pelaksanaannya, hampir
disetiap negara melakukan pemisahan kekuasaan yang kemudian di bagi pada
lembaga-lembaga bentukan. Pemisahan dan pembagian kekuasaan dilakukan
melalui konstitusi dan kewenangannya diatur dengan jelas.
2.1.2
Pembagian Kekuasaan Lembaga Negara
Pembagian kekuasaan yang di terapkan pada sebagian besar negara-negara
di dunia membagi kekuasaan setidaknya kepada kekuasaan legislatif, kekuasaan
eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Ketiganya secara terperinci adalah sebagai
berikut:
########################################################################################################################################################
57
S. J. Savonius Wroth, Jonathan Walmsley dan Paul Schuurman, The Continuum
Companion to Locke, (London: Continuum International Publishing Group, 2010), hlm. 251.
58
Tim Pengajar Ilmu Negara, Ilmu Negara …op.cit., hlm. 110.
59
Rem Korteweg, The Superpower, The Bridge Builder and The Hesitant Ally: How
Defense Divided NATO 1991-2008, (Utrecht: Leiden University Press, 2011), hlm. 242.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
(i) Kekuasaan Legislatif (Pembentukan Undang-Undang)
Kekuasaan legislatif merupakan kekuasaan tertinggi dalam sebuah
negara demokrasi untuk mengatur dan membentuk undang-undang.
Cabang kekuasaan ini merupakan manifestasi atas kedaulatan rakyat.60
Supremasi lembaga legislatif lahir atas gagasan kedaulatan rakyat yang
dapat disalurkan secara tidak langsung atau melalui perwakilan.61
Penyaluran kedaulatan secara tidak langsung ini merupakan gagasan
dalam tatanan masyarakat modern yang tidak memungkinkan adanya
penyaluran secara langsung karena kompleksitas penduduk, wilayah yang
luas serta jumlah penduduk yang begitu besar.62 Adapun jika sebuah
negara dapat melakukan menyalurkan kedaulatannya secara langsung,
tetap dibutuhkan sebuah mekanisme tidak langsung yang terlembaga.
Sehingga, keberadaan legislatif sebagai bentuk lembaga perwakilan rakyat
atau legislatif mutlak diperlukan karena tidak memungkinkan pengambilan
kebijakan dilakukan secara langsung oleh rakyat setiap waktu.
Kekuasaan legislatif memiliki fungsi untuk membentuk undangundang atau lebih dikenal sebagai fungsi legislasi. Fungsi ini memiliki
peranan yang paling penting dalam pengaturan masyarakat. Hal ini
disebabkan karena undang-undang merupakan bentuk yang paling efektif
untuk dipatuhi dan dijalankan oleh masyarakat.63 Pengaturan yang dapat
dilakukan oleh lembaga legislatif setidaknya mengatur tiga hal penting
yakni terkait dengan adanya pengaturan yang dapat mengurangi hak dan
kebebasan masyarakat, pengaturan yang membebani kekayaan warga
negara, dan pengeluaran yang dikeluarkan oleh negara. Ketiganya
merupakan hal yang sangat vital adapun terkait dengan pembentukan
########################################################
60
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara Jilid II…op.cit., hlm. 32.
61
Tim Pengajar Ilmu Negara, Ilmu Negara …op.cit., hlm. 87.
62
Jimly Asshiddiqie, “Dinamika Partai Politik dan Demokrasi,”
http://www.jimly.com/pemikiran, diunduh pada tanggal 10 Oktober 2010, hlm. 5.
63
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara Jilid II…op.cit.,hlm. 34.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
undang-undang, lembaga legislatif melaksanakan kegiatan sebagai
berikut:64
-
Prakarsa pembuatan undang-undang atau legislative initiation;
-
Pembahasan rancangan undang-undang atau law making
process);
-
Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang atau
law enactment approval;
-
Serta
kegiatan
lain
yang
dilakukan
sebagai
bentuk
pertanggungjawaban rakyat dalam menentukan tindakan yang
merepresentasikan
jati
diri
bangsa
seperti
pemberian
persetujuan atau ratifikasi perjanjian/persetujuan internasional.
Hal ini dikarenakan keberadaan international agreement
tersebut akan mengikat langsung kepada rakyat sebagai sebuah
undang-undang.
Sehingga,
lembaga
legislatif
memiliki
peranana untuk hal tersebut;
Selain memegang fungsi legislasi atau pembentukan undangundang,
lembaga
legislatif
juga
memiliki
fungsi
kontrol
atau
pengawasan.65 Fungsi ini melekat pada lembaga legislatif berkaitan
dengan implementasi dari undang-undang yang dijalankan oleh eksekutif.
Sehingga, untuk mengefektifkan dan memantau pelaksanaan dari sebuah
undang-undang,
lembaga
legislatif
perlu
melakukan
pengawasan.
Kemudian, berkaitan dengan aspek keadaulatan rakyat, pemegang
kekuasaan legislatif memiliki fungsi perwakilan. Hal ini merupakan
manifestasi atas kedaulatan rakyat yang menempatkan legislatif tidak
hanya untuk membentuk peraturan tetapi sebagai cerminan rakyat itu
sendiri atau fungsi perwakilan (representation).66
########################################################
64
Ibid., hlm. 39-44.
65
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2003) hlm. 184.
66
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia: Pergeseran Keseimbangan antara Individualisme dan
Kolektivisme dalam Kebijakan Demokrasi Politik dan Ekonomi Selama Tiga Masa
Demokrasi, 1945-1980-an, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), hlm. 42.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Teori perwakilan pada dasarnya bersifat timbal balik jadi tidak
hanya memberi kewenangan bagi legislatif untuk melaksanakan
pengaturan tetapi juga memberikan legitimasi bagi rakyat untuk menuntut
apabila yang dilakukan oleh legislatif tidak sesuai dari apa yang
didaulatkan67. Oleh karena itu, secara garis besar lembaga legislatif
memiliki lingkup yang begitu luas menyangkut peranannya sebagai
representasi rakyat.
(ii) Kekuasaan Yudikatif
Kekuasaan Yudikatif adalah kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan.68 Keberadaan kekuasaan yudikatif merupakan cabang kekuasaan
yang sangat esensial utama dari pemisahan kekuasaan karena yudikatif
merupakan lembaga penghubung atas timbal balik dari legislatif dan
eksekutif atas rakyat. Penghubung yang dimaksud adalah dalam
pembentukan undang legislatif selaku pembentuk dan eksekutif selaku
pelaksana tidak dapat meminta pertanggungjawaban rakyat yang diaturnya
tanpa lembaga yudikatif. Oleh karena itu, lembaga ini merupakan lembaga
yang harus ada dalam sebuah negara hukum untuk menjamin adanya
penegakkan hukum.69
Kewenangan yang begitu strategis, mengharuskan pembentukan
lembaga yudikatif sebagai lembaga yang berdiri sendiri. John Alder
mengatakan bahwa: “The principle of separation of power is particularly
important for the judiciary” atau prinsip pemisahan kekuasaan sangatlah
penting untuk lembaga peradilan.70 Prinsip pemisahan kekuasaan
menghendaki para hakim dapat bekerja secara independen atau bebas dari
########################################################
67
Ibid, hlm. 173.
68
Robert W. Tobin, Creating The Judicial Branch: The Unfinished Reform,
(Lincoln: iUniverse Inc., 2002), hlm. 231.
69
Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, op.cit., hlm. 9.
70
John Alder dan Peter English, Constitutional and Comparative Law, (London:
Macmillan, 1989), hlm. 247. Sebagaimana dikutip dalam: Jimly Asshiddiqie, Pengantar
Ilmu Hukum Tata Negara…op.cit., hlm. 45.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
pengaruh lembaga kekuasaan yang lain. Pengaruh dan intervensi lembaga
negara lain terhadap lembaga yudikatif tertuju pada perananan hakim di
dalam lembaga yudikatif yang diharuskan bebas dari pengaruh manapun.
Independensi hakim ini mencakup hakim dalam memutus penuntutan
hukum dan menafsirkan undang-undang.71 Hakim diharapkan tidak
terpengaruhi oleh kehidupan politik lembaga negara lain saat menafsirkan
undang-undang bahkan kehendak politik saat undang-undang dibentuk.72
Objektivitas lembaga peradilan dibentuk juga muncul atas
pemahaman bahwa hukum (pada undang-undang) merupakan buatan
manusia, sehingga memungkinkan adanya perumusan yang kabur atau
tidak tepat.73 Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga peradilan
juga dibentuk oleh manusia yang memungkinkan adanya kesalahan.
Sehingga, dalam melekatkan asas kemandirian dan independensinya,
dilakukan pembatasan dan pengaturan yang tegas. Bentuk pengaturan
yang
dibentuk
nantinya
dapat
menjadi
pegangan
hakim
dalam
menjalankan fungsi yudikatif, karena seorang hakim baik secara sadar
maupun tidak sadar dihadapkan pada pengaruh sosial politik tetapi
diharapkan untuk bersikap secara parsial.74 Sebagai inti dari lembaga
yudikatif, seorang hakim harus bebas dari sikap “bias” yang dapat
dipengaruhi dari cara hakim memandang kedudukan dan fungsinya.75 Oleh
karena itu, dapat dilihat bahwa netralitas dan independensi hakim unutuk
memutus perkara secara adil adalah keberhasilan lembaga yudikatif.
########################################################
71
Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, op.cit., hlm. 31.
72
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara…op.cit.,
73
Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi tentang Adjudikasi
Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 2006), hlm. 274.
74
Griffith, Politics of Judiciary, (London: Fontana Press, 1985). Sebagaimana
dikutip dalam: Jimly Asshidiqqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara…op.cit., hlm. 46.
75
Lord Hailsham, The Dilemma of Democracy, (Collins: c.n., 1978), hlm.Sebagaimana dikutip dalam: Jimly Asshiddiqie, ibid.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
(iii) Kekuasaan Eksekutif (Pemerintahan)
Kekuasaan Eksekutif adalah cabang kekuasaan yang menjalankan
undang-undang bentukan legislatif dan cabang kekuasaan yang memegang
kewenangan administrasi pemerintahan negara. Konteks menjalankan
kekuasaan
mencakup
menjalankan
pemerintahan
setelah
yang
legitimasinya diperoleh dari rakyat. Bentuk dari pelembagaan kekuasaan
eksekutif terletak pada sistem pemerintahan yang dianut. Sistem ini
kemudian
mempengaruhi
menjalankan
pemegang
pemerintahan.
kekuasaan
Berdasarkan
eksekutif
dalam
karakteristiknya,
sistem
pemerintahan negara-negara di dunia setidaknya diklasifikasikan menjadi
tiga yakni; sistem presidensial, sistem parlementer dan campuran.
Ketiganya menempatkan kedudukan eksekutif yang berbeda satu sama
lain.76
Bentuk perbedaan sistem pemerintahan yang dianut di sebuah
negara berimplikasi pada pola irisan lembaga eksekutif dengan lembaga
lain
khususnya
legislatif.77
Sistem
pemerintahan
presidensial,
menempatkan pemegang kuasa eksekutif yang terpisah dari legislatif.
Pemisahan tersebut berakibat pada pembatasan kewenangan bahwa
eksekutif tidak dapat membubarkan legislatif, dan begitu sebaliknya.
Namun, dalam masalah pertanggungjawaban, eksekutif bertanggung
jawab kepada rakyat melalui lembaga legislatif.
Kedua, pada sistem pemerintahan parlementer, keberadaan
eksekutif adalah bagian dari kekuasaan legislatif. Keberadaan eskekutif di
negara yang menganut sistem parlementer seringkali memisahkan fungsi
eksekutif sebagai kepala negara (ceremonial) dan eksekutif sebagai kepala
pemerintahan (governance).78 Kemudian, untuk sistem pemerintahan yang
########################################################
76
Jimly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 59.
77
Jimly Assiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara…, op.cit., hlm. 315.
78
C. F. Storng membedakan antara kedudukan kepala pemerintahan dan kepala
negara dengan istilah nominal executive dan real executive. Keduanya memiliki makna yang
sama dalam penerapannya di beberapa negara. Penggunaan istilah nominal, adalah
pemegang kekuasaan yang digambarkan oleh Strong hanya sebatas kebutuhan kenegaraan
saja tetapi fungsi pemerintahan tetap pada real executive. C. F. Strong, Modern Political
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
campuran merupakan sistem yang memiliki ciri sebagai sistem presidensiil
dan sistem parlementer sekaligus. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat
dilihat bahwa keberadaan eksekutif memiliki banyak irisan dengan
lembaga legislatif.
Pemaparan mengenai pemisahan kekuasaan menyisakan bentuk negara
yang terdiri dari lembaga-lembaga negara. Bentuk pemisahan ini merupakan
klasifikasi pemisahan yang secara horizontal dan dibedakan dari pemisahan
vertikal (hierarkis).79 Keberadaan lembaga-lembaga yang telah dipisahkan
kedudukannya ini kemudian bergerak dalam satu sistem negara yang saling
melengkapi dan tak terpisahkan. Konteks terpisahkan pada prakteknya tetap
dalam satu kesatuan untuk mencapai satu tujuan yang sama yakni tujuan
bernegara itu sendiri. Sehingga, muncul beberapa paham dan konsep mengenai
bagaimana lembaga-lembaga negara setelah pemisahan kekuasaan saling
berhubungan satu sama lain.
Pola hubungan antara lembaga negara yang memegang fungsi kekuasaan,
G.
Marshall
dalam
bukunya
yang
berjudul
Constitutional
Theory,
mengklasifikasikannya ke dalam lima aspek, yakni:80
(i) Differentiation;
(ii) Legal incompability of office holding;
(iii) Isolation, immunity, independence;
(iv) Checks and balances;81
(v) Co-ordinate status and lack of accountability.
Berdasarkan doktrin pemisahan kekuasaan (seperation of powers), legislator
memiliki
kewenangan
untuk
membuat
aturan,
kemudian
eksekutor
melaksanakannya dan dalam melaksanakan hal tersebut yudikatif memegang
peran untuk melakukan penuntutan. Perihal pengaturan ini, memungkinkan
########################################################################################################################################################
Constitutions: An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing
Forms, (London: c.n., 1972), hlm. 210.
79
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik…op.cit., hlm. 139.
80
G. Marshall, Constitutional Theory, (Clarendon: Oxford University Press, 1971),
hlm. 5.
81
Jimly Asshiddiqie menegaskan yang dimaksudkan dengan cheks and balances
adalah “Setiap cabang mengendalikan dan mengimbangi kekuaran cabang-cabang kekuatan
yang lain.” Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II…op.cit., hlm. 22.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
adanya perselisihan lembaga negara dalam menegakkan hukum. Kedua, doktrin
pemisahan kekuasaan mengharuskan pemegang kekuasaan di dalam lembaga
tersebut tidak boleh dirangkap jabatannya. Terdapat pengecualian di dalam sistem
parlementer walaupun rangkat jabatannya tidak dilaksanakan secara konsisten.
Kemudian doktrin pemisahan kekuasaan mengharuskan tidak boleh turut
campur sama lain atau melakukan intervensi. Independensi masing-masing
lembaga harus terjamin. Selain itu, dalam doktrin pemisahan kekuasaan penting
adanya checks and balances dimana masing-masing lembaga bergerak secara
berimbang.82 Bentuk perimbangan ini dimaksudkan agar masing-masing lembaga
tidak melampaui kewenangan lembaga lain dan menyalahgunakan kekuasaan.
Terakhir, keberadaan pemisahan kekuasaan ini menempatkan lembaga negara
sederajat satu sama lain sehingga pelaksanaannya tidak hanya dalam lingkup
kekuasaan yang dibagikan saja.83 Oleh karena itu, pemisahan kekuasaan negara
menghasilkan konsep kekuasaan yang terstruktur dan berimbang.
2.2 Konsepsi Pemisahan Kekuasaan dalam Perspektif Ketatanegaraan
Modern (Separation of Power Based on Constitution)
Doktrin pemisahan kekuasaan merupakan doktrin yang tidak terpisahkan
dengan teori kedaulatan.84 Dalam kehidupan bernegara, pemisahan kekuasaan
adalah sebagai konsekuensi atas adanya penyerahan kedaulatan dari rakyat kepada
negara. Penyerahan kedaulatan ini tidak semata memberi negara punya
kewenangan untuk mengatur rakyatnya tetapi secara berimbang bahwa rakyat
dapat memastikan kedaulatan yang diberikan diamanatkan dengan baik oleh
negara. Jika ditinjau lebih lanjut, pemisahan kekuasaan dapat dilaksanakan ketika
########################################################
82
Jimly Asshiddiqie, Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Pembangunan
Hukum Nasional, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,
2005), hlm. 7.
83
Jeremy Waldron, “Separation of Powers or Division of Power?” New York
University School of Law Public Law & Legal Theory Research Paper Series No. 12-20
(Mei 2012), hlm. 26.
84
Kamir, “Refleksi Konsep Negara dan Kedaulatan Rakyat dalam Perspektif
Hubungan Negara dan Rakyat di Indonesia.” dalam Jurnal Tata Negara FHUI: Beberapa
Teori dalam Hukum Tata Negara, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2003),
hlm. 287.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
pengaturannya tertuang di dalam konstitusi sebagai sebuah kontrak sosial antara
warga negara dengan negara. Oleh karena itu, pelaksanaan pemisahan kekuasaan
yang dilaksanakan di setiap negara merupakan bentuk kontrak sosial sebagai
sebuah negara yang berkedaulatan rakyat.
Jean Jacques Rousseau mengatakan bahwa konstitusi adalah kontrak sosial
tertinggi antara rakyat dengan negara.85 Sehingga, dengan adanya penyerahan
kedaulatan dalam perspektif kontrak sosial tidak menghilangkan daulat rakyat atas
negara yang mengaturnya. Berbeda dengan apa yang disampaikan oleh John
Locke bahwa penyerahan kedaulatan nantinya negara sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi yang mengatur dan mengambil kepemilikan individu-individu
(rakyat).86 Pembahasan mengenai benturan antara teori penyerahan kedaulatan
rakyat sesungguhnya merupakan sebuah kompleksitas yang harus dilihat sebagai
satu kesatuan. Karena, dalam sebuah negara yang berkedaulatan rakyat,
pemisahan kekuasaan merupakan jaminan kedaulatan rakyat dapat dilindungi oleh
fungsi kekuasaan yang terpisah dan tidak absolut.87 Sehingga dapat ditarik
kesimpulan bahwa konstitusi setiap negara merupakan titik tolak penyelenggaraan
kehidupan bernegara di suatu wilayah termasuk peletakan pembagian kekuasaan
guna menjamin kesejahteraan rakyat.
Pembagian kekuasaan dalam praktek ketatanegaraan saat ini secara umum
ditujukan untuk melaksanakan dasar-dasar yang telah ada di dalam konstitusi.88
Masing-masing lembaga negara memiliki fungsi dan tugas dalam mencapai tujuan
negara yang garis kewenangannya termuat dalam konstitusi. Akan tatepi,
peletakan fungsi dan tugas lembaga negara disesuaikan dengan filosofis historis
ketatanegaraan pada sebuah negara. Contohnya dalam pembentukan lembaga
########################################################
85
Jean Jacques Rousseau, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip Hukum-Politik [Du
Contract Social ou Principes du Politique], diterjemahkan oleh Rahayu Surtiati Hidayat dan
Ida Sundari Husen, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), hlm. 17.
86
Frans Magnis Suseno, Etika Politik. (Jakarta: Gramedia, 1994), hlm.231.
87
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan
Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003),
hlm.194.
88
Teguh Satya Bakti, “Perbandingan Konsep Trias Politica Menurut John Locke,
Montesquieu, dan Undang-Undang Dasar…op.cit., hlm. 313.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
negara
dapat
dijumpai
di
Indonesia
yang
pernah
memiliki
89
Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi.
Majelis
Terdapat banyak
latar belakang mengapa bentuk kedaulatan rakyat yang dimaksudkan founding
fathers bangsa Indonesia dituangkan sebagai MPR. Oleh karena itu, dapat
dipahami bahwa pembentukan lembaga dibentuk didasarkan pada amanat dan
kehendak rakyat untuk mencapai tujuan bernegara.90
Pembagian kekuasaan dalam perspektif modern tidak sesederhana dengan
pembagian menjadi tiga pilar kekuasaan sebagaimana doktrin Montesquieu.
Kenyatannya, banyak negara yang mengkonstruksikan konstituisnya untuk
mewadahi pembagian kekuasaan negara yang tidak hanya pada kekuasaan
legislatif, eksekutif dan yudikatif saja.91 Hal ini dimaksudkan agar dapat
terlaksananya sebuah pemerintahan yang sesuai dengan kehendak rakyat. Dalam
mencapai tujuan bernegara, segala sesuai yang utama seperti masalah pembagian
kekuasaan diletakkan di dalam konstitusi. Sehingga, bagaimana penerapan konsep
pembagian kekuasaan di era modern adalah dengan melihat pengaturan di dalam
konstitusi masing-masing negara tersebut.
Konsep pengaturan di dalam konstitusi yang menjadi letak pengaturan
kelembagaan dapat dilihat dari teori constutionalism. Walton H. Hamilton
memulai artikel yang ditulisnya dengan judul ‘Constitutionalism’ yang menjadi
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
89
Pendapat Sopemo dalam Rapat BPUPKI, dikatakan bahwa Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang dibentuk merupakan sebuah ciri khas negara Indonesia.
Keberadaan lembaga MPR (yang pada saat itu disebut sebagai Badan Permusyawaratan
Rakyat) merupakan jalan tengah antar dua sistem hukum parlementer dan presidensial.
Dikutip dari Mahkamah Konstitusi, Risalah Sidang BPUPKI, (Jakarta: Sekretariat Jenderal
RI, 1998), hlm. 319.
90
Walton H. Hamilton mengatakan bahwa “Constitusionalism is the name given to
trust which men repose in the power of words engrossed on prachment to keep government
in order.” Yang dapat diartikan secara umum bahwa terdapat aspek-aspek pribadi
(individual) yang melekat pada diri masyarakat untuk menjaga proses pemerintahan (sejalan
dengan konstitusi). Walton H. Hamilton, Constitutionalism, Encyclopedia of Social Sciences,
Edwin R.A., Seligman dan Alvin Jognson, (New York: c.n., 1931), hlm. 255.
91
Contoh konkret dapat dilihat di Indonesia dengan keberadaan Badan Pemeriksa
Keuangan sebagai lembaga tinggi negara. Dalam konteks pemisahan kekuasaan, BPK di
Indonesia tidak masuk ke dalam legislatif, eksekutif ataupun yudikatif. Hal ini dilakukan
seriing dengan kebutuhan pada saat dibentuknya sebuah konstitusi oleh para founding
fathers. Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VII Keuangan, Perekonomian Nasional dan
Kesejahteraan Sosial (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
RI , 2010), hlm. 451.
!!"
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
salah satu data masukan dalam Encyclopedia of Social Sciences tahun 1930
dengan kalimat: “Constitutionalism is the name given to the trust which men
repose in the power of words engrossed on parchment to keep a government in
order.”92 Untuk tujuan ‘to keep a government in order’ itu diperlukan pengaturan
yang sedemikian rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan
dapat dibatasi dan dikendalikan sebagaimana mestinya. Kemudian Brian
Thompson, secara sederhana menjawab pertanyaan‘what is a constitution’ sebagai
“... a constitution is a document which contains the rules for the the operation of
an organization.”93 Oleh karena itu, gagasan mengatur dan membatasi kekuasaan
ini secara alamiah muncul karena adanya kebutuhan untuk menanggapi
perkembangan peran relatif kekuasaan umum dalam kehidupan umat manusia.94
Konsep-konsep
terdahulu
mengenai
pemisahan
kekuasaan
tidak
seluruhnya tertulis dan tertata sebagaimana konsep yang ada sekarang.95
Peletakkan kekuasaan didasarkan pada konvensi ketatanegaraan di tengah
pergeseran kekuasaan monarki yang absolut. Adapun telah diilhami adanya
pembagian kekuasaan sebagaimana dikemukakan oleh Montesquieu, tetap saja
corong kekuasaan di negara kerajaan tetap condong pada eksekutif atau raja.
Sedangkan di sebuah negara yang baru merdeka, seringkali diwarnai kekuasaan
otoritarian dari pihak eksekutif yang memperjuangkan kemerdekannya. Hal
tersebut jelas memperlihatkan tendensi umum pelaksanaan kehidupan bernegara
tertuju pada absolutisme walau esensi kelembagaan dalam separation of power
telah terbentuk. Oleh sebab itu, konstitusionalisme saat ini adalah pegangan hidup
bernegara dan menjadi konsep yang niscaya bagi setiap negara modern.96
########################################################
92
Walton H. Hamilton, Constitutionalism Encyclopedia of Social Sciences: Edwin
R.A., Seligman & Alvin Johnson…op.cit., hlm. 255.
93
Brian Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative Law ed.3,
(London: Blackstone Press ltd., 1997), hlm. 3. Sebagaimana dikutip: Jimly Asshidiqqie,
Konstitusi dan Konstitualisme…op.cit., hlm. 15.
94
Ibid., hlm. 15.
95
Ibid., hlm. 16.
96
E. Barent, Separation of Powers and Constitutional Government, (c.n.: c.l.,
1995), hlm. 599. Sebagaimana dikutip dalam: Eoin Carolan, The New Separation of Powers:
A Theory for the Modern State…op.cit., hlm. 17.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
C.
J.
Friedrich
berpendapat
bahwa
“Constitutionalism
is
an
institutionalized system of effective, regularized restraints upon governmental
action.”97 Berdasarkan pendapat tersebut, konstitusi merupakan sebuah
kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat
mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara
itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama
dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan
mekanisme yang disebut negara. Bentuk bangunan negara itu terletak bagaimana
negara membagi kekuasaan di lembaga-lembaga negara bentukannya. Kata
kuncinya adalah konsensus atau ‘general agreement’.98 Oleh karena itu, dapat
disaring bahwa konstruksi negara saat ini merupakan konsensus antara warga
negara dengan negara.99
Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman modern
pada umumnya dipahami bersandar pada tiga elemen kesepakatan (consensus),
yaitu:100
1. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals
of society or general acceptance of the same philosophy of
government).
2. Kesepakatan tentang ‘the rule of law’ sebagai landasan pemerintahan
atau penyelenggaraan negara (the basis of government).
3. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur
ketatanegaraan (the form of institutions and procedures).
Kesepakatan (consensus) pertama, yaitu berkenaan dengan cita-cita
bersama sangat menentukan tegaknya konstitusi dan konstitusionalisme di suatu
########################################################
97
Carl J. Friedrich, Constitutional Reason of State, the Survival of the
Constitutional Order, (Providence: Brown University Press, 1957) hlm. 176. Sebagaimana
dikutip: Jimly Assiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme…op.cit., hlm. 20.
98
Carl J. Friedrich, Ibid., hlm. 175.
99
Jean Jacques Rousseau, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip Hukum-Politik
…op.cit., hlm., 23.
100
William G. Andrews, Constitutions and Constitutionalism, ed.3, (New Jersey:
Van Nostrand Company, 1968), hlm. 9. Sebagaimana dikutip dalam: Jimly Asshiddiqie,
Konstitusi dan Konstitusionalisme…op.cit., hlm. 21.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
negara.101 Kesepakatan pertama adalah hal yang ditentukan terlebih dahulu
sebelum menata lebih lanjut tentang kenegaraan yang akan dibentuk. Kesepakatan
kedua adalah kesepakatan bahwa basis pemerintahan didasarkan atas aturan
hukum dan konstitusi. Kesepakatan atau konsensus kedua ini juga sangat
prinsipil, karena dalam setiap negara harus ada keyakinan bersama bahwa apapun
yang hendak dilakukan dalam konteks penyelenggaraan negara haruslah
didasarkan atas ‘rule of the game’ yang ditentukan bersama.102
Prinsip kedua ini mengilhami adanya pemahaman bahwa hukum dapat
dipandang sebagai suatu kesatuan sistem yang di puncaknya terdapat hukum dasar
atas segala hukum yakni konstitusi, baik dalam arti naskah tertulis ataupun dalam
arti tidak tertulis.103 Hukum sebagai sebuah sistem menempatkan negara harus
bertindak sesuai dengan hukum yang tertuang dalam konstitusi atau constitutional
state.
Pada
prakteknya,
konteks
constitutuinal
state
ini
tidak
dapat
terimplementasikan dengan baik apabila hubungan antar lembaga negaranya tidak
diatur dengan jelas.104 Pembentukan dan pengaturan kelembagaan di dalam
konstitusi sangatlah penting dan ikhwal untuk mengawal konstitusi dan hak
rakyat. Sehingga, dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara, konstitusi dapat
dijadikan pegangan tertinggi dalam memutuskan segala sesuatu termasuk
benturan di dalam kelembagaan itu sendiri.
Kesepakatan ketiga berkenaan dengan bangunan organ negara dan
prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya, hubungan-hubungan antar organ
negara itu satu sama lain, serta hubungan antara organ-organ negara itu dengan
warga negara.105 Dengan adanya kesepakatan itu, maka isi konstitusi dapat dengan
mudah dirumuskan karena benar-benar mencerminkan keinginan bersama. Bentuk
nyata dari keinginan bersama tersebut antara lain berkenaan dengan institusi
kenegaraan dan mekanisme ketatanegaraan yang hendak dijalankan. Bentuk
########################################################
101
Jean Jacques Rousseau, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip HukumPolitik…op.cit., hlm. 43.
102
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme…op.cit., hlm. 22.
103
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan Jilid 1 (Yogyakarta: Kanisius,
2007), hlm. 48.
104
Jeremy Waldron, “Separation of Powers or Division of Power…op.cit., hlm. 6.
105
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme…op.cit., hlm. 23.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
mekanisme ketatanegaraan yang diterapkan di negara berbeda satu sama lain
walau khasanah doktrin pembagian kekuasaan Montesquieu tetap menjadi
rumusan dasar pembagian kekuasan sekarang.
Keseluruhan kesepakatan tersebut di atas dilihat sebagai penyatuan konsep
berpikir antara negara hukum dan pembatasan kekuasaan. Hal tersebut juga
dipengaruhi bahwa kondisi di era modern konstitusi adalah wadah yang paling
memungkinkan untuk melaksanakan pemisahan kekuasaan sebagai sebuah negara
hukum. Pada dasarnya, pembatasan kekuasaan di dalam konstitualisme modern
atau dilaksanakan secara ‘limited government’.106 Sehingga dalam memandang
hal tersebut, William G. Andrews mengemukakan bahwa:107
“Under constitutionalism, two types of limitations impinge on
government. ‘Power proscribe and procedures prescribed.’” And, The
constitution imposes restraints on government as a function of
constitutionalism; but it also legitimizes the power of the government.
It is the documentary instrument for the transfer of authority from the
residual holders–the people under democracy, the king under
monarchy, to the organs of State power.”
Pada intinya, menurut William G. Andrews kontitusi memberikan daya
pembatas sekaligus koridor prosedural tentang bagaimana pelaksanaan kehidupan
bernegara. Konstitusionalisme mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu
sama lain, yakni: Pertama, hubungan antara pemerintahan dengan warga negara;
dan Kedua, hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu dengan lembaga
pemerintahan yang lain.108 Karena itu, biasanya, isi konstitusi dimaksudkan untuk
mengatur mengenai tiga hal penting, yaitu; menentukan pembatasan kekuasaan
organ-organ negara, mengatur hubungan antara lembaga-lembaga negara yang
########################################################
106
Alice Ristroph, “Proportionality as a Principle of Limited Government.” Duke
Law Journal No. 05-19 (November 2005), hlm. 5.
107
William G. Andrews, Constitutions and Constitutionalism, 3rd ed., (New Jersey:
Van Nostrand Co., 1968), hlm.- Sebagaimana dikutip: Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan
Konstitusionalisme…op.cit., hlm. 23.
108
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme…op.cit., hlm. 17.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
satu dengan yang lain, dan mengatur hubungan kekuasaan antara lembagalembaga negara dengan warga negara.109 Oleh karena itu, secara umum bentuk
dan pelaksanaan dari pembagian kekuasaan dalam perspektif modern terletak
pada pengaturannya di dalam konstitusi yang didasarkan pada filosofi
pembentukan dan perkembangan negara tersebut.
2.3 Peradilan Konstitusi dalam Negara Hukum
Keberadaan hukum di sebuah negara dapat dipahami sebagai bentuk
kebutuhan dalam menata kehidupan antar warga negaranya.110 Filosofi Negara
Hukum jika dilihat dari perspektif negara, mengandung pengertian bahwa rakyat
(warga negara) dalam kesehariannya harus tunduk pada hukum yang berupa
norma bersama dalam mencapai keteraturan dan kesedapan hidup bersama.111
Akan tetapi jika dilihat dari perspektif rakyat, negara dalam menjalankan
kuasanya harus sesuai koridor hukum yang menghormati hak dan kewajiban
warga negara.112 Artinya, negara dalam menjalankan kuasanya dapat terkendali
dengan ketentuan hukum tertulis maupun ketentuan hukum tidak tertulis. Bentuk
pengendalian yang dimaksudkan merupakan konsep bahwa secara hukum negara
tidak memiliki hak untuk bertindak sewenang-wenang karena pada dasarnya
kewenangan itu datang dari rakyat dan tertuang dalam konstitusi.113
Paradigma negara hukum, harus terdapat komitmen dasar yang mengatur
hubungan fundamental yang mengikat rakyat dan negara. Ikatan itu mudah
ditemui berupa konstitusi yang menurut Juan Linz disebut sebagai self-binding
########################################################
109
Jimly Asshiddiqie, ibid., hlm. 27.
110
Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi tentang Adjudikasi
Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif…op.cit., hlm. 55.
111
Hukum dalam perspektif pengaturan masyarakat. Mengutip pendapat dari
Satjipto Rahardjo bahwa: “Masyarakat dan ketertibannya merupakan dua hal yang
berhubungan sangat erat, bahkan bisa juga dikatakan sebagai dua sisi dari satu mata uang.”
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm . 13.
112
William G. Andrews, Constitutions and Constitutionalism Ed. 3…op.cit., hlm.
13. Sebagaimana dikutip: Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme…op.cit.,
hlm23.
113
Jean Jacques Rousseau, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip Hukum
Politik…op.cit., hlm. 37.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
procedure.114 Pada umumnya konstitusi sebagai dasar negara hukum, setidaknya
mengatur tiga hal penting berupa kesepakatan dalam:115
1. Menentukan pembatasan kekuasaan organ-organ negara;
2. Mengatur hubungan antara lembaga-lembaga negara yang satu dengan
yang lain; dan
3. Mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara
dengan warga negara.
Dengan adanya kesepakatan tersebut, pemerintah sangat terikat dan tunduk pada
ketentuan pada hukum.116 Selain itu, sebagai sebuah negara hukum, haruslah
diwadahi dengan jelas tindakan dan upaya yang bisa dilakukan rakyat untuk
menuntut apa yang ada dalam konstitusi. Upaya tersebut dapat terlaksana salah
satunya dengan adanya Peradilan Konstitusi.117
Pada perjalanannya, Bangsa Indonesia telah menyatakan diri sebagai
sebuah negara hukum dengan perubahan pada Pasal 1 Undang-Undang Dasar
1945 diubah sehingga ditambah ayat ketiga yang berbunyi sebagai berikut:
“Negara Indonesia adalah Negara Hukum.”118 Menurut Jimly Assiddiqie,
pemahaman negara hukum itu dibangun dengan mengembangkan perangkat
hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan,
dikembangkan dengan menata supra struktur dan infrastruktur kelembagaan
politik, ekonomi dan sosial yang tertib dan teratur, serta dibina dengan
membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam
########################################################
114
Juan J. Linz dan Alfred Stepan, Problems of Democratic Transition &
Consolidation: Southern Europe, South America, & Post-Communist Europe. (Baltimore:
Johns Hopkins University Press, 1996), hlm. 10.
115
Jimly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 23-24.
116
Ibid., hlm. 122.
117
Konrad Adenauer Foundation, “Separation of Powers and Independence of
Constitutional Courts and Equivalent Bodies” (makalah disampaikan pada 2nd Congress of
the World Conference on Constitutional Justice Rio de Janeiro, Brazil, 16 -18 January 2011),
hlm. 2.
118
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Psl. 1 ayat (3)
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.119 Dengan demikian, pada
dasarnya tidak cukup dengan bentuk pengakuan saja melainkan perlu dibangun
sistem hukum (law making) dan ditegakkan (law enforcing).120 Bentuk
pembangunan sistem hukum dan penegakan hukum ini haruslah dimulai dengan
menegakkan konstitusi karena konstitusi tidak lain merupakan hukum yang paling
tinggi kedudukannya. Oleh karena itu, sebagai hukum dasar yang berkedudukan
tertinggi (the supreme law of the land), dibentuk pula sebuah organ atau lembaga
berfungsi sebagai the guardian dan sekaligus ‘the ultimate interpreter of the
constitution’.121
Dalam perspektif yang lebih umum, bentuk pengakuan sebagai sebuah
negara hukum memberi konsekuensi logis untuk menerapkan asas-asas negara
hukum. Jimly Assidiqqie menyebutkan bahwa setidaknya terdapat tiga belas asas
yang menjadi ciri sebuah negara hukum. Ketiga belas ciri tersebut adalah sebagai
berikut:122
1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law)
2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law):
3. Asas Legalitas (Due Process of Law)
4. Pembatasan Kekuasaan:
5. Organ-Organ Campuran Yang Bersifat Independen:
6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak:
7. Peradilan Tata Usaha Negara:
8. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court):
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia:
10. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat):
########################################################
119
Jimly Asshiddiqie, “Negara Hukum Indonesia,” (makalah disampaikan pada
Ceramah Umum dalam rangka Pelantikan Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Alumni Universitas
Jayabaya, di Jakarta, Sabtu, 23 Januari 2010), hlm. 7.
120
Ibid.
121
Ibid.
122
Jimly Asshiddiqie dalam Konstitusional dan Konstitusionalisme menjelaskan
terdapat beberapa ciri lain mengenai negara hukum menurut Julius Stahl, A. V. Dicey, dan
menurut The International Commission of Jurists yang kemudian beliau rangkum dalam
ketiga
belas
ciri
negara
hukum.
Jimly
Asshiddiqie,
Konstitusi
dan
Konstitusionalisme…op.cit., hlm. 121.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
11. Berfungsi Mewujudkan Tujuan Kesejahteraan (Welfare Rechtsstaat):
12. Transparansi dan Kontrol Sosial:
13. Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa
Perspektif negara hukum sebagaimana disebutkan oleh Jimly Assiddiqie,
hal yang dilihat lebih lanjut adalah tentang keberadaan Mahkamah Konstitusi
(Constitutional Court).123 Bahwa dalam rangka menjamin tegaknya keadilan bagi
tiap-tiap warga negara, tidaklah cukup dengan Peradilan Tata Usaha Negara.124
Peranan dan keberadaan Mahkamah Konstitusi sangatlah dibutuhkan karena akar
dari negara hukum itu sendiri adalah ditegakkannya hukum dan hukum diantara
hukum adalah konstitusi.125 Sehingga, sebuah Negara Hukum modern juga lazim
mengadopsikan gagasan peradilan konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya.
Pentingnya peradilan konstitusi (constitutional court) dalam sebuah negara
adalah dalam upaya memperkuat sistem checks and balances antara cabangcabang kekuasaan yang sengaja dipisah-pisahkan untuk menjamin demokrasi.126
Misalnya, Peradilan Konstitusi diberi fungsi pengujian konstitusionalitas undangundang yang merupakan produk lembaga legislatif, dan memutus berkenaan
dengan berbagai bentuk sengketa antar lembaga negara yang mencerminkan
cabang-cabang kekuasaan negara yang dipisah-pisahkan. Keberadaan Mahkamah
Konstitusi ini di berbagai negara demokrasi dewasa ini makin dianggap penting
dan karena itu dapat ditambahkan menjadi satu pilar baru bagi tegaknya negara
hukum modern.
########################################################
123
Jimly Asshiddiqie, “Negara Hukum Indonesia,” loc.cit., hlm. 17
124
Dijelaskan bahwa pemenuhan hak konstitusional di Indonesia ternaungi dengan
adanya Peradilan Tata Usaha Negara (Administrative Court). Adriaan Bedner,
Administrative Courts in Indonesia: A Socio-Legal Study, (Dordrecht: Kluwer Law
International, 2001), hlm. 64.
125
“Penempatan Konstitusi sebagai hukum tertinggi memberikan efek hukum.
Artinya jika terdapat produk hukum yang bertentangan dengan Konstitusi, maka produk
hukum subordinasi hukum dasar harus tunduk pada status superlegalitas Konstitusi.” Ahmad
Syahrizal, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional sebagai
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif…op.cit.. 261-262.
126
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme…op.cit., hlm. 127
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
2.4 Pengujian Undang-Undang oleh Peradilan Konstitusi dan Lingkup
Penafsiran Konstitusi
2.4.1 Bentuk Pengujian Undang-Undang Pengujian Undang-Undang
Dalam perspektif akademis, lebih dikenal bentuk dan lingkup pengujian
sebuah peradilan konstitusi sebagai judicial review. Akan tetapi pada filosofi
hukumnya terdapat perbedaan konteks pengujian sebagai sebuah judicial review
yang diterapkan di negara-begara common law dengan negara-negara civil law.
Negara civil law tidak menggunakan istilah judicial review tetapi toetsigrecht
yang secara filosofi dan penerapannya berbeda. Penggunaan istilah toetsingrect
dan judicial review secara umum memang dalam konteks pengujian, tetapi secara
akademis hukum harus dibedakan. Definisi toetsingrecht secara etimologis berarti
hak menguji sedangkan judicial review berarti peninjauan kembali oleh lembaga
pengadilan, walaupun tidak secara keseluruhan berbeda tetapi tidak dapat
disamakan.127 Pada prakteknya, toetsingrecht dikenal terbagi menjadi dua macam
yakni hak menguji formil (formele toetsingrecht) dan hak menguji materiil
(materiele toetsingrecht).128 Formele toetsingrecht merupakan sebuah wewenang
untuk menilai suatu produk legislatif seperti undang-undang, misalnya terjelma
melalui cara-cara (procedure) sebagaimana ditentukan atau diatur dalam peraturan
perundang-undanagan yang berlaku atau tidak. Pengujian formal ini biasanya
terkait dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi
institusi yang membuatnya.129
Kemudian, kewenangan menguji materiil (materiele toetsingrecht) adalah
suatu wewenang untuk menyelidiki dan menilai isi apakah suatu peraturan
perundang-undangan telah sesuai atau bahkan bertentangan dengan peraturan
yang lebih tinggi, serta berkaitan dengan suatu kekuasaan tertentu berhak
########################################################
127
Sri Soemantri, Hak Uji Materiil di Indonesia, Ed. 2. Cet. 1 (Bandung: Alumni,
1997), hlm. 1. Sebagaimana dikutip: Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingrecht) yang Dimiliki
Hakim dalam Sistem Hukum Indonesia...op.cit., hlm. 5. Dan dapat dilihat perbandingan
lingkup judicial review dalam: Saikrishna B. Prakash dan John C. Yoo, “The Origins of
Judicial Review” University of San Diego, School of Law Public Law & Legal Theory Paper
Series Research Paper No. 54 (Agustus 2003), hlm. 6.
128
Ibid.
129
Ibid.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
mengeluarkan suatu peraturan tertentu.130 Hal ini terlihat bahwa konteks yang ada
di dalam pengujian materiil ini dihadapkan dengan hukum yang lebih tinggi.
Sehingga, dalam pengujian secara materiil dilakukan dalam dua perspektif yakni
apakah bertentangan dengan peraturan di atasnya dan apakah lembaga atau organ
pembentuk telah sesuai dengan batas kewenangannya. Kemudian, dalam kondisikondisi tertentu seperti adanya asas-asas dalam hierarki peraturan perundangundangan seperti lex specialis derogate lex generalis (peraturan yang bersifat
khusus atas peraturan yang bersifat umum) dan asas lex superiorie derogate lex
inferiore (peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih
rendah).131 Kemudian, Prof. Harun Alrasid membedakan pengujian formil
merupakan pengujian terhadap prosedur pembentukan dan hak uji materiil
berkaitan dengan kewenangan pembuat UU dan apakah isinya bertentangan atau
tidak dengan peraturan yang lebih tinggi.132
Berdasarkan penjabaran tentang pengertian dan definisi mengenai hak
menguji formal dan materiil, dapat disimpulkan bahwa; Pertama, hak menguji
(toetsingrecht) merupakan kewenangan untuk menilai peraturan perundangundangan terhadap Undang-Undang Dasar. Kedua, hak menguji (toetsingrecht)
terhadap peraturan perundang-undangan tidak hanya dimiliki oleh hakim, tetapi
juga lembaga negara lain yang diberi kewenangan tersebut berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Sehingga, dalam konsepsi tersebut tidak mutlak hanya
hakim yang dapat melakukan pengujian (toetsingrecht) tetapi juga dapat
dilekatkan kepada lembaga eksekutif ataupun legislatif. Pemahaman mengenai
hak menguji mengapa dibedakan dengan judicial review, dikarenakan
toetsingrecht merupakan bentuk pengujian yang dilakukan di negara yang
menganut civil law atau Eropa Kontinental. Hal ini berakibat pada pengaruh
perkembangan hukum di civil law yang memisahkan pengujian administrasi
########################################################
130
Jimly Asshiddiqie, “Menelaah Putusan Mahkamah Agung tentang Judicial
Review atas PP No. 19 Tahun 2000 yang bertentangan dengan UU No. 31 Tahun 1999,” (c.l.:
c.n., c.t.), hlm. 1. Sebagaimana dikutip Fatmawati, ibid.
131
Ibid.
132
Harun Alrasid, “Masalah Judicial Review,” (makalah disampaikan pada Rapat
Dengar Pendapat tentang Judicial Review di Departemen Kehakiman dan HAM, Jakarta,
2003), hlm. 2. Sebagaimana dikutip Fatmawati, ibid., hlm. 7.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
secara terpisah dalam peradilan administrasi.133 Oleh karena itu, keberadaan
toetsingrecht yang dimiliki hakim hanya dilakukan terhadap undang-undang.134
Konsep tersebut diatas, masih belum menggambarkan dengan jelas
mengenai batasan hakim yang telah diberi kewenangan toetsingrect dapat
melakukan pengujian. Konsep yang ada di Indonesia tentang pembentukan
Mahakamah Konstitusi dibentuk dengan mengacu pada penerapannya di dalam
negara dengan sistem hukum Eropa Kontinental.135 Sehingga, konsep yang
diadopsi merupakan sistem sentralisasi sehingga hanya satu penafsir yang dapat
melakukan tindakan tersebut dan berlaku secara nasional. Dasar digunakannya
sistem sentralisasi di sebagian besar negara Eropa Kontinental adalah:136
1. Sistem sentralisasi didasarkan pada teori pemisahan kekuasaan yang
tegas dan penghormatan terhadap supremasi hukum.
2. Negara civil law tidak terikat pada doktrin preseden ataupun stare
decicis, tetapi berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang
dikeluarkan oleh legislatif.137
3. Sistem sentralisasi tidak tepat jika dilekatkan kepada pengadilanpengadilan biasa di sebuah negara civil law. Hal ini dikarenakan
hakim di pengadilan biasa yang ada negara civil law adalah hakimhakim karier yang belum tentu dapat bertindak sebagai law maker.
Sehingga, lebih baik dijalankan oleh pengadilan khusus dengan
rekruitmen hakim yang khusus.
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
133
James Mac Gregory Burns, J. W. Petlason, dan Thomas E. Cronin, Government
by The People, (New Jersey: Prentice Hall, 1989), hlm. 366. Sebagaimana dikutip
Fatmawati, ibid.
134
Ibid.
135
Mahkamah Konstitusi,askah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VI Kekuasaan Kehakiman…op.cit., hlm. 536.
136
Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingrecht) yang Dimiliki Hakim dalam Sistem
Hukum Indonesia…op.cit., hlm. 14-15.
137
Di negara Common Law seperti Amerika Serikat, doktrin stare decicis
merupakan pembatasan bagi Supreme Court dalam melakukan Judicial Review. Dalam
Onecle,
“Limitations
on
The
Exercise
of
Judicial
Review,”
diunduh
http://law.onecle.com/constitution/article-3/22-judicial-review-limitations.html,
pada 14 May 2012.
!!"
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
4. Sistem sentralisasi pada civil law tidak memiliki struktur yang
memadai jika dilekatkan kewenangan menguji. Seperti halnya struktur
di Indonesia yang memiliki Hakim Agung dan yang menjadi
pertanyaan adalah siapa saja nantinya yang dapat menguji, apakah
seluruhnya atau dapat sebagian saja. Selain itu, juga struktur
Mahkamah Agung di Indonesia terdiri dari Peradilan Umum,
Peradilan Militer, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha
Negara.
2.4.2
Penafsiran dalam Pengujian Undang-Undang
Pola penafsiran Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara terbagi
menjadi tiga perspektif yakni dengan perspektif originalis, perspektif nonoriginalis dan perspektif naturalis.138 Perspektif originalis menitikberatkan
penafsiran teks konstitusi berdasarkan pemahaman dan tujuan konstitusi dari
pendapat para penyusun konstitusi.139 Para originalis memandang bahwa inti dari
menafsirkan konstitusi adalah dengan melihat tujuan para penyusun konstitusi itu
sendiri yang dikenal sebagai original intent atau maksud sesungguhnya.
Perspektif originalis beralasan bahwa tidak ada yang lebih tepat menjelaskan
mengenai maksud dari konstitusi dibandingkan para penulis konstitusi itu
sendiri.140 Pada prakteknya pemahaman kalangan originalis tersebut paling
banyak berpengaruh dalam persidangan.141 Jika terdapat permasalahan yang
########################################################
138
Klasifikasi ini merupakan pandangan perspektif yang terjadi di Indonesia.
Adapun secara umum dengan melihat gagasan John A. Garvey dan T. Alexander Aleinkoff
metode penafsiran konstitusi di berbagai negara meliputi: Interpretivism/Non-Intrepretivism,
Textualism, Original Intent, Stare Decicis, Neutral Principle dan Balancing. John A. Garvey
dan T. Alexander Aleinkoff , Modern Conctitutional Theory, (Eagan: West Publishing,
1994), hlm. 94-96.
139
Hal ini sejalan dengan pendapat Justice Antonin Scalia, Hakim Agung Supreme
Court Amerika yang menganut pandangan originalis berpendapat bahwa penafsiran
konstitusi hanya dapat dilakukan melalui pendekatan pemahaman dari penyusun konstitusi
itu sendiri atau pemahaman umum dari masyarakat terhadap konstitusi itu sendiri. Dalam
Christoper E. Smith, Justice Antonin Scalia and the Supreme Court’s Conservative Moment
(Westport: Greenwood Publishing Group, 1993). Dikutip dalam James Brian Staab, The
Political Thought of Justice Antonin Scalia, (Lanham: Rowman & Littlefield Publishers,
Inc., 2006), hlm. 97.
140
Adam M. Samaha, “Dead Hand Arguments and Constitutional Intrepretation,”
Chicago Public Law and Legal Theory Working Paper No. 194 (Januari 2008), hlm. 4.
141
Ibid., hlm. 7.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
berkaitan dengan konstitusi, maka pernyataan para penyusun konstitusi akan
sangat memengaruhi hakim dalam putusannya dibandingkan dengan alasan-alasan
yang lain. Hal itu menurut Refly Harun adalah cara pandang dalam penafsiran
konstitusional di Amerika atau civil law.142 Di beberapa negara termasuk
Indonesia pola pendekatan tafsir konstitusional lebih terpengaruh kepada sistem
Austria atau pun Jerman yang tidak menjadikan teks ataupun pandangan para
framers of constitution sebagai hal utama.143 Adapun secara umum perspektif
originalis membagi penafsiran konstitusi ke dalam tiga hal:
1. Tekstual/Strict Constructionism.144
Penafsiran ini merupakan sebuah penafsiran dengan mengacu pada
teks yang tertuang di dalam konstitusi. Hasil keputusan yang diambil
dalam penafsirannya merupakan pendekatan pada pernyataan pada text
dalam undang-undang tertulis, dengan syarat, makna dari kata-kata dalam
konstitusi tersebut memang multi tafsir atau ambigu. Dalam hal ini setiap
kata perkata yang tertuang di dalam konstitusi memiliki bobot yang kuat
bagi hakim untuk menafsirkan konstitusi. Para hakim dalam menafsirkan
kata-kata (kalimat) yang digunakan dalam sebuah undang-undang,
disesuaikan dengan apa yang dimaksudkan oleh pembuat undang-undang
terhadap arti dari kata-kata (kalimat) tersebut.145
########################################################
142
Mahkamah Konstitusi RI dan Pusat Studi Konstitusi FH Andalas, Perkembangan
Pengujian Perundang-Undangan di Mahkamah Konstitusi: Dari Berpikir Hukum Tekstual
ke Hukum Progresif, (Padang: Pusat Studi Konstitusi, 2010), hlm. 59.
143
Keith E. Whittington, R. Daniel Kelemen, Gregory A. Caldeira, The Oxford
Handbook of Law and Politics, (Oxford: Oxford University Press, 2008), hlm. 85.
144
Mahkamah Konstitusi RI dan Pusat Studi Konstitusi FH Andalas, op.cit.
145
Christopher R. Green, “This Constitution: Constitutional Indexical as a Basis for
Textualist Semi-Originalism,” Notre Dame Law Review Oxford University Volume 84:4 (14
Agustus 2008), hlm. 1607.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
2. Historis/Original Intents (Maksud Sesungguhnya)146
Penafsiran ini adalah penafsiran yang menganggap bahwa setiap
keputusan hakim harus didasari pada makna kata-kata atau kalimat yang
dipahami melalui analisa sejarah dalam penyusunan dan peratifikasian dari
hukum atau konstitusi. Hal yang paling sering digunakan untuk
mengetahui apa maksud dari kalimat sebuah undang-undang hakim harus
merujuk kepada perdebatan dalam sidang-sidang lembaga legislatif
(risalah sidang) dan naskah akademik yang ada.
Dalam
perspektif
ini,
hakim
Mahkamah
Konstitusi
yang
memeriksa dan memutus perkara harus berpijak dan mengembalikan
putusan kepada original intent (maksud utama atau maksud yang
sebenarnya) isi konstitusi, sebab konstitusi dibuat dengan maksud-maksud
tertentu yang telah disepakati oleh lembaga yang membuatnya.147 Harus
diingat bahwa, seperti dikemukakan oleh KC Wheare, konstitusi adalah
produk resultante berdasar situasi sosial, politik, dan ekonomi pada waktu
dibuat.148 Artinya ada kesepakatan-kesepakatan tertentu dari setiap isi
konstitusi yang harus dijadikan pegangan oleh hakim konstitusi jika ada
undang-undang
yang
dipersoalkan
konstitusionalitasnya
sehingga
Mahkamah Konstitusi harus melakukan pengujian.
3. Fungsional/Struktural.
Penafsiran ini adalah penafsiran yang mengacu pada sebuah
analisis terhadap struktur hukum dan kaitannya terhadap sejarah dari
terbentuknya hukum tersebut.149 Hal tersebut berfungsi untuk melihat
hubunganya sebagai sebuah harmonisasi sistem. Sehingga, dalam
melakukan penafsiran hakim tidak melihat secara terpisah keberadaan
########################################################
146
R. M. A. B. Kusuma, “Bagaimana Menginterpretasikan Konstitusi Kita,” dalam
Jurnal Konstitusi Vol. 1 No. 3, Mei 2005 (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, 2005), hlm. 157-158., Sebagaimana dikutip: Mahkamah Konstitusi RI
dan Pusat Studi Konstitusi FH Andalas, Perkembangan Pengujian Perundang-Undangan di
Mahkamah Konstitusi: Dari Berpikir Hukum Tekstual ke Hukum Progresif…op.cit., hlm. 62.
147
Ibid, hlm. 9.
148
Ibid.
149
Ibid., hlm. 63.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
suatu undang-undang yang diujikan melainkan secara menyeluruh terkait
dengan undang-undang tersebut.
Kemudian, perspektif non-originalis yang memandang secara berbeda
bagaimana hakim dalam memberikan penafsiran atas pengujian undangundang.150 Inti dari perspektif non-originalis adalah bagaimana penafsiran itu
didasarkan pada hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat.151 Perspektif
ini meninginkan bahwa konstitusi pada dasarnya adalah norma yang hidup dan
konteks penafsiran adalah salah satu upaya menghidupkan konstitusi itu sendiri.
Secara umum, perspektif ini terbagi ke dalam empat cara dalam memberikan
penafsiran yakni:
1. Doctrinal/Stare Decicis152
Paham ini meletakkan idenya bahwa sebuah keputusan hakim
harusnya didasari pada praktek-praktek yang telah terjadi atau melalui
pandangan-pandangan para profesional hukum, makna yang dipahami
legislatif, eksekutif atau putusan hakim yang telah ada (yurisprudensi),
berdasarkan kepada the meta-doctrine dari pandangan sebuah putusan,
yang diterapkan berdasarkan prinsip-prinsip yang digunakan oleh
peradilan dalam memutuskan sebuah perkara tidak hanya sebagai sebuah
tinjauan tetapi juga sebagai sebuah hukum (normative).153 Argumentum a
simili valet in lege. Sebuah argumentasi dari sebuah kasus bermanfaat bagi
hukum.
2. Prudential
Para prudentialist berkeyakinan bahwa suatu keputusan hakim
pastilah didasari dari faktor-faktor eksternal dari hukum atau kepentingan########################################################
150
Peter J. Smith, “How Different Are Originalism and Non-Originalism,” Hastings
Law Journal Volume 62: 707 (Washington DC: George Washington University Press, 2011),
hlm. 709.
151
Perspektif norma yang hidup di masyarakat sama halnya dengan konstitusi yang
hidup (living constitution). Peter J. Smith, Ibid., hlm. 711.
152
Cynthia L. Cates, Wayne V. McIntosh, Law and the Web of Society, (Washington
D.C.: George Washington University, 2007), hlm. 23.
153
Mahkamah Konstitusi RI dan Pusat Studi Konstitusi FH Andalas, Perkembangan
Pengujian Perundang-Undangan di Mahkamah Konstitusi: Dari Berpikir Hukum Tekstual
ke Hukum Progresif…op.cit., hlm. 66.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
kepentingan tertentu dalam setiap kasus, seperti tekanan dari kekuatan
politik.154 Pandangan ini menggunakan pertimbangan yang menolak halhal yang dapat memengaruhi pertimbangan hakim dari kondisi eksternal
peradilan. Konsep itu juga merupakan alasan utama pada metode doctrinal.
Biasanya juga digunakan pada kasus-kasus pemerkosaan. Boni judicis est
lites dirimere. The duty of a good judge is to prevent litigation; hakim
yang baik adalah yang melindungi jalannya peradilan.
3. Equitable/Ethical.155
Menurut kalangan equitable, semestinya sebuah keputusan
haruslah didasari kepada perasaan keadilan, keseimbangan dari pelbagai
kepentingan, dan apa yang baik dan benar, tanpa menghiraukan apa yang
tertulis dalam aturan hukum. Seringkali fakta-fakta kasus yang terjadi
tidak terdapat antisipasi dari para pembuat hukum. Para pakar
merumuskan pelbagai macam ukuran nilai-nilai dan kepentingan yang
berkesinambungan kedalam metode pendekatan tafsir prudential, namun
akan lebih baik lagi jika membedakan antara prudential sebagai
keseimbangan antara kepentingan dan nilai-nilai dari sebuah sistim hukum
disatu sisi dan meletakan equitable sebagai keseimbangan antara
kepentingan dan nilai-nilai dari pihak-pihak yang berperkara.
Dalam penafsiran konstitusi, berdasarkan pendekatan dengan perspektif
originalis maupun non originalis, terdapat sedikitnya terdapat 5 (lima) metode
yang digunakan untuk menafsirkan konstitusi:156
1. The text and structure of the Constitution, yang diperhatikan disini
adalah ‘bunyi’ dari ketentuan di dalam konstitusi atau juga disebut
sebagai the literal approach;157
########################################################
154
Ibid., hlm. 66. Dapat merujuk pada Craig R. Ducat, Constitutional
Interpretation, ed. 10., (Boston: Wadsworth, 2009), hlm. 55.
155
Ibid., hlm. 68.
156
Ibid., hlm. 62.
157
Ibid. Dapat dilakukan perbandingan dengan Keith E. Whittington, R. Daniel
Kelemen, Gregory A. Caldeira, The Oxford Handbook of Law and Politics,…op.cit., hlm.
55.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
2. Intentions of those who drafted, voted to propose, or voted to ratify
the provision in question, dalam hal ini yang dilihat dalam
menafsirkan konstitusi adalah maksud dibentuknya konstitusi dan
pandangan penyusun konstitusi. Sehingga perlu dipahami sejarah
pembentukan sebuah konstitusi, dalam situasi seperti apa konstitusi
dibentuk dan pandangan atau ideologi apa yang dianut oleh para
penyusun konstitusi.
3. Prior precedents, di sini yang diperhatikan adalah kasus-kasus
terdahulu
yang
merupakan
yurisprudensi
dalam
menafsirkan
konstitusi terhadap kasus-kasus tertentu atau disebut juga dengan the
doctrine of “harmonious interpretation”;158
4. The social, political, and economic consequences of alternative
interpretations,
hakim
dalam
menafsirkan
konstitusi
juga
memertimbangkan faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi kondisi
bernegara, seperti kondisi politik dan ekonomi;
5. Selain perspektif originalis dan non-originalis pada dasarnya terdapat
pendekatan terakhir yakni pendekatan pada hukum alam atau natural
law. Penafsiran yang bersumber pada natural law diarahkan kepada
ketentuan-ketentuan agama, nilai-nilai moral yang dianut.
Selain itu, dari segi konstitusi terbentuk pada dasarnya tidak untuk jangka
waktu yang pendek dengan dalih masih dapat dilakukan perubahan.159 Konstitusi
haruslah mampu mengayomi masyarakat dalam hal fundamental bernegara dan
dapat dilakukan penafsiran sebagai sebuah norma yang hidup di masyarakat.160
Konstitusi merupakan sebuh refleksi nilai, tantangan dan persoalan yang dihadapi
pada saat pembentukan, sehingga masih dimungkinkannya terdapat hal-hal yang
belum di atur pada saat konstitusi tersebut dibentuk. Akan tetapi, konteks
menegakkan hukum dan menghidupkan hukum tidak hanya dengan melihat
########################################################
158
Ibid. Dapat dilakukan perbandingan dengan Cynthia L. Cates, Wayne V.
McIntosh, op.cit., hlm. 23.
159
Muarar Siahaan, Undang-Undang Dasar 1945: Konstitusi yang Hidup, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2008), hlm. 79.
160
Ibid.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
ketentuan tertulis dalam konstitusi itu sendiri. Para hakim dan penegak hukum
sampai lapisan masyarakat dapat menempatkan konstitusi yang sejalan dengan
perkembangan zaman adapun pembentukannya telah lalu.161
Keberadaan Mahkamah Konstitusi selain dalam mengawal konstitusi agar
hak-hak konstitusional warga negara tercederai, juga sebagai penafsir yang
berfungsi mengadaptasikan norma konstitusi.162 Perkembangan masyarakat yang
begitu pesat merupakan tantangan besar bagi Mahkamah Konstitusi dalam
mengawal norma yang tertuang dalam konstitusi. Penafsiran konstitusi tidak harus
merujuk pada maksud sesungguhnya tetapi makna pembentukan konstitusi secara
utuh. Oleh karena itu, dalam memenuhi hak-hak konstitusional warga negara tidak
harus selalu merujuk pada maksud sesungguhnya para pembentuk undang-undang
agar dapat menselaraskan dengan kebutuhan masyarakat atas hukum.163
2.5 Perkembangan Peran Peradilan Konstitusi sebagai Positive Legislator
dalam Sistem Ketatanegaraan
2.5.1
Perkembangan Peradilan Konstitusi sebagai Positive Legislator dalam
Sistem Ketatanegaraan Modern
Hak konstitsional warga negara mulai di kenal semenjak kasus Madison v.
Madbury di lingkungan peradilan Amerika Serikat. Kasus tersebut membuka
wacana baru bahwa harus diakomodasinya fungsi perlindungan terhadap
konstitusional
warga
negara.164
Berdasarkan
adanya
kebutuhan
untuk
mengakomodasi perlindungan hak konstitusional, Hans Kelsen pada tahun 1928
mencetuskan ide perlu dibentuknya sebuah peradilan konstitusi dalam artikelnya
yang berjudul Revue du droit public et de la science politique en France et a
########################################################
161
Ibid., hlm. 81.
162
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2008), hlm.
163.
163
Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif: Terapi Paradigmatik
Bagi Lemahnya Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Antonylib, 2009), hlm. 12.
164
Mark A. Graber dan Michael Perhac, Marbury versus Madison: Documents and
Commentary, (Washington DC: CQ Press, 2002), hlm. 138
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
l’etranger sebatas memberikan ajudikasi atas norma atau negative legislator.165
Artikel yang dimuat dalam La garantie juridictionnelle de la constitution (La
Justice Constitutionnelle) menjadi dasar teori (doktrin) dibentuknya peradilan
konstitusi yang menguji norma terhadap konstitusi.166 Pada perkembangan doktrin
tersebut, peradilan konstitusi mulai berperan sebagai positive legislators.167
Artikel tentang peradilan konstitusi milik Kelsen, sebagaimana digunakan
dalam perancangan Mahkamah Konstitusi Austria, mengatakan bahwa keberadaan
peradilan konstitusi sangat penting bagi sebuah negara untuk menjamin hak warga
negaranya yang tertuang dalam konstitusi.168 Pada prakteknya, pelaksanaan
peradilan konstitusi di Austria hanya sebatas membatalkan ketentuan yang
inkonstitusional. Bentuk pengujian atas undang-undang di Austria ini kemudian
diterapkan Amerika Serikat dan beberapa negara dengan konsep pengembangan
yang lebih maju dalam melindungi warga negaranya.169 Peranan lembaga
peradilan konstitusi yang dibentuk memiliki peranan yang lebih aktif di dalam
pengujian konstitusionalitas undang-undang.
########################################################
165
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russel & Russel,
1961), hlm. 157.
166
Hans Kelsen, La garantue jurisdictionalle de la constitution (La Justice
constitutionalle) Revue du droit public de la science politique en France et a l’etranger,
(Paris: Librarie General de Droit et the Jurisprudence, 1928) hlm. 197-257. Sebagaimana
dikutip: Allan R. Brewer-Carias, “General Report: Constitutional Courts as Positive
Legislators in Comparative Law” (makalah disampaikan dalam XVIII International Congress
of Comparative Law, International Academy of Comparative Law, Washington DC, pada
26-30 Juli 2010), hlm. 3.
167
Ibid.
168
Jörg Kammerhofer, “Kelsen as Epitome of Legal Modernism,”
Wissenschaftlicher Mitarbeiter at the Hans Kelsen Research Group of the Faculty of Law,
Friedrich Alexander University Erlangen-Nuremberg, Germany (Maret 2010), hlm. 1.
169
Lochner v. New York meupakan kasus pengujian konstitusional yang membahas
mengenai asas kebebasan berkontrak (liberti of contract) pada batas waktu kinerja seorang
baker dihadapkan pada Amandemen Ke-14 Konstitusi Amerika Serikat (Bill’s Rights).
Keberadaan judicial review Lochner ini menjadi sebuah diskursus tersendiri dalam
memandang hak hidup seorang manusia yang diatur dalam konstitusi terhadap kehendak
pribadi manusia itu sendiri. Kasus yang terjadi adalah mengenai batasan waktu bekerja
pegawai Lochner’s Home Bakery yang bertentangan dengan Bakeshop Act. Kemudian,
Lochner mengajukan keberatan tentang batas waktu kerja tersebut dengan menghadapkan
hak yang diatur dalam konstitusi dengan kebebasan berkontrak yang dimiliki warga negara.
Hal ini menunjukkan progresifitas judicial review. David E. Bernstein, “Lochner Era
Revisionism, Revised: Lochner and the Origins of Fundamental Rights Constitutionalism,”
Law and Economics Working Paper Series George Mason University (April 2003), hlm. 13.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Keberadaan Peradilan Konstitusi yang didirikan di Austria, memiliki pola
yang berbeda dengan penerapan di Amerika Serikat. Letak perbedaannya ada
pada bagaimana kedua lembaga tersebut mengakomodasi sebuah pengujian norma
walau sama-sama dilekatkan pada lembaga yudisial. Selain itu, lembaga yang
dibentuk tidak memiliki kesamaan fungsi dan wewenang yang merata satu sama
lain karena setiap negara memiliki ciri khas masing-masing.170 Sehingga, bentukbentuk perkembangannya tetap menyelaraskan sifat dan ciri khas masing-masing
di sebuah negara. Pendekatan ini dilihat dari sistem hukum yang ada; antara
Amerika Serikat dan Austria, dan terdapat banyak perkembangan dari teori awal
yang dicetuskan oleh Kelsen.
Pembahasan mengenai perkembangan peran peradilan konstitusi sebagai
positive legislator dilakukan dalam lima pendekatan.171 Pertama, aspek umum
pengujian undang-undang yang dilaksanakan oleh peradilan konstitusi terhadap
legislatif. Kedua, penafsiran konstitusi dalam pengujian undang-undang. Ketiga,
peran peradilan konstitusi sebagai pelengkap fungsi legislasi dalam hal
pengawalan sebuah norma undang-undang. Keempat, peran peradilan konstitusi
sebagai pembentuk norma sementara dalam pengujian undang-undang. Kelima,
peran peradilan konstitusi sebagai positive legislator dalam membentuk norma
pada pengujian undang-undang. Kelima hal ini, dijabarkan dalam melihat struktur
dan peran peradilan konstitusi secara umum untuk kemudian diterapkan di sebuah
negara apakah dapat melakukan pembentukan hukum atau tidak.
2.5.2
Pengujian Undang-Undang dengan Penafsiran Konstitusi
Dalam melakukan pengujian undang-undang, sebuah peradilan konstitusi
akan lebih dahulu menafsirkan konstitusi untuk menilai apakah konstitusional
atau tidaknya sebuah norma. Dalam melakukan penafsiran konstitusi, juga
dipengaruhi oleh bagaimana kewenangan peradilan konstitusi dalam melakukan
pengujian. Pada praktek ketatanegaraan di dunia, pelaksanaan pengujian undangundang dilaksanakan oleh sebuah peradilan, yang memiliki keterbatasan pada saat
pengujian undang-undang hanya sebagai negative legislator. Adapun secara
########################################################
170
Allan R. Brewer-Carrias, “General Report: Constitutional Courts as Positive
Legislators in Comparative Law”…loc.cit., hlm. 5.
171
Ibid., hlm. 10.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
terperinci penafsiran konstitusi yang dilakukan oleh peradilan konstitusi pada saat
pengujian undang-undang adalah sebagai berikut;
1. Sistem Pengujian Undang-Undang dan Peran Peradilan Konstitusi
Pelaksanaan pengujian undang-undang dilakukan dengan beberapa
cara dan berbeda antar satu sistem ketatanegaraan di sebuah negara dengan
negara lain. Hal yang paling utama untuk dilihat adalah lembaga negara
yang melakukan pengujian apakah lembaga yudikatif atau lembaga selain
yudikatif
seperti
legislatif.
Sejarah
memperlihatkan
bahwa
pada
ketatanegaraan klasik, pembahasan mengenai sistem pengujian undangundang terpaku pada apakah harus secara terpusat atau terbagi dalam
struktur pengadilan atau terletak pada lembaga legislatif.172 Faktanya,
hampir semua negara demokratis tidak lagi memperdebatkan hal tersebut
tetapi lebih memperdebatkan tentang keberadaan peradilan konstitusi
secara progresif.173 Keberadaan peradilan konstitusi lebih diarahkan pada
bagaimana peranan peradilan konstitusi dalam pengujian dan penafsiran
undang-undang. Pelaksanannya di beberapa negara yang mengatur secara
terpusat, batasan norma yang dapat diujikan sudah jelas yakni melekat
pada undang-undang. Sedangkan di negara yang meletakkan fungsi
pengujian undang-undang pada lembaga peradilan yang berjenjang telah
diberikan klasifikasi tentang batasan pengujian norma yang dapat
dilakukan.174
Keberadaan peradilan konstitusi dalam sistem ketatanegaraan pada
dasarnya telah menimbulkan pertanyaan besar terhadap lembaga
########################################################
172
Saikrishna B. Prakash and John C. Yoo, “The Origins of Judicial
Review”…loc.cit., hlm. 13-15.
173
Ibid., hlm. 9.
174
Batasan pengujian norma yang diterapkan pada sistem peradilan yang berjenjang
seperti Amerika Serikat salah satunya adalah dengan adanya doktrin stare decisis. Susunan
pegujian norma di Amerika Serikat yang melekat pada Mahkamah Agung (Supreme Court)
berimplikasi pada kemungkinan adanya pengujian di dalam struktur peradilan Mahkamah
Agung . Pengujian dapat dilakukan oleh Pengadilan Negara Bagian tetapi proses
pengujiannya terikat pada doktrin stare decisis yang mengharuskan sebuah pengujian
merujuk pada pengujian di tingkat yang lebih tinggi. Larry A. Alexander, “Constitutional
Rules, Constitutional Standards, and Constitutional Settlement: Marbury v. Madison and the
Case for Judicial Supremacy,” Public Law and Legal Theory Research Paper Series
University of San Diego School of Law Research Paper No. 56, (September 2003, ), hlm. 11.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
legislatif.175 Kekuasaan untuk melaksanakan pengujian atas undangundang
menjadi
eksklusifitas
peradilan
konstitusi.176
Hal
ini
mengakibatkan dampak yang signifikan atas penataan sistem hukum
menyangkut hasil pengujian undang-undang pada pembentuk undangundang.177 Dalam negara yang menganut sistem common law, keberadaan
doktrin stare decisis berdampak pada pembentukan hukum pada lembaga
legislatif itu sendiri.178 Akan tetapi, di beberapa negara yang menganut
common law melakukan perkembangan seperti doktrin de facto stare
decisis. Doktrin ini digunakan untuk meninjau penafsiran Konstitusi yang
bertujuan untuk memperjelas bagaimana hukum harus diterapkan.
Sehingga, sekalipun terikat oleh doktrin stare decisis dalam melakukan
penafsiran tetap dengan memandang penerapan hukum yang ada.179
Pengujian undang-undang di berbagai negara telah dipusatkan serta
berbaur dengan sistem ketatanegaraan di masing-masing negara.180 Secara
umum keberadaan peradilan konstitusi berdiri sebagai lembaga yang
berfungsi menguji konstitusionalitas suatu norma tanpa kewenangan untuk
mengubah dan memodifikasi norma tersebut. Fungsi yang sangat esensial
ini dilekatkan dalam menjamin supremasi dan integritas konstitusi,
menguji
konstitusionalitas
sebuah
undang-undang,
dan
memiliki
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
175
Allan R. Brewer-Carias, “General Report: Constitutional Courts as Positive
Legislators in Comparative Law”…loc.cit., hlm. 13.
176
Edward S. Corwin, The Doctrine of Judicial Review: Its Legal and Historical
Basis and Other Essays, (Clark: The Law Book Exchange, 2007), hlm. 42.
177
Carol M. Bast, Foundations of Law: Cases, Commentary and Ethics, (Clinfton
Park: Delmar, 2011), hlm. 82.
178
Carol M. Bast, ibid., hlm. 86.
179
Konsep stare decisis di Amerika Serikat merupakan salah satu pembatasan
dalam judicial review. Kasus yang pertama kali menggunakan doktrin stare decisis adalah
Kasus Burnet v. Coronado Oil & Gas Co. - 285 U.S. 393 (1932) [putusan dapat diunduh
dalam http://supreme.justia.com/cases/federal/us/285/393/] yang mengacu pada Kasus
Planned Parenthood of Southeastern Pa. v. Casey - 505 U.S. 833 (1992) [putusan dapat
diunduh dalam http://supreme.justia.com/cases/federal/us/505/833/case.html]. Onecle,
loc.cit., diunduh pada 14 May 2012.
180
Allan R. Brewer-Carias, “General Report: Constitutional Courts as Positive
Legislators in Comparative Law”…loc.cit.
!!"
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
kewajiban untuk menjalankan kewenangan sesuai pada yang diberikan.
Pada poin ketiga terkait dengan menjalankan kewenangan di hampir
semua negara yang memiliki peradilan konstitusi telah tegas dan tidak
mengalami perdebatan panjang.181 Akan tetapi, batasan tindakan peradilan
konstitusi dalam menjaga supremasi dan integritas konstitusi, dan
melakukan penafsiran undang-undang, belum diatur dengan tegas.182
Pembatasan penafsiran oleh lembaga peradilan konstitusi menjadi
dilema tersendiri untuk dibahas.183 Bagi negara yang telah jelas membatasi
penafsiran
konstitusi,
seringkali
telah
menemukan
sistem
yang
menghubungkan keberadaan peradilan konstitusi dengan lembaga
legislatif. Sedangkan, untuk negara yang belum melakukan pembatasan
pada umumnya disebabkan oleh kehkawatiran bahwa pembatasan itu
sendiri termasuk tindakan yang inkonstitusional.184 Alasan yang menjadi
dasar tidak dilakukan pembatasan selain inkonstitusionalitas antara lain
adalah lingkup konstitusionalitas yang begitu luas pada konstitusi. Karena
tidak dapat dipungkiri, konstitusi sebuah negara tidak diharapkan sebagai
sebuah norma yang mengatur dalam satu waktu saja. Keberadaan
konstitusi diharapkan dapat mengayomi perkembangan masyarakat
########################################################
181
Ibid., hlm. 15.
182
Salah satu negara yang telah mengenal adanya limitasi terhadap proses pengujian
undang-undang adalah Amerika Serikat. Selain Doktrin Stare Decisis, terdapat beberapa
doktrin–doktrin yang membatasi pengujian undang-undang seperti: Pedoman Umum
Constitutional Intepretation, Asas Prudential Considerations, Doktrin Strict Necessity,
Doktrin Clear Mistake, Asas Exclusion of Extra-Constitutional Tests, asas Presumption of
Constitutionality, asas Disallowance by Statutory Intrepretation. Onecle, Ibid., diunduh pada
15 May 2012.
183
Hal ini dapat dilihat secara langsung di Indonesia setelah disahkannya undangundang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Pembahasan mengenai batasan (limitations) pengujian undangundang oleh Mahkamah Konstitusi pada akhirnya berujung pada pengujian undang-undang
perubahan itu sendiri. Mahkamah Konstitusi, “Putusan No. 45/PUU-IX/2011,”
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.Download.PutusanDownloa
d&id=1015 diunduh pada 15 Mei 2012.
184
Allan R. Brewer-Carias, “General Report: Constitutional Courts as Positive
Legislators in Comparative Law”…loc.cit., hlm. 13.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
sekalipun diaturnya mekanisme amandemen.185 Oleh karena itu,
perkembangan lembaga peradilan konstitusi dalam menafsirkan undangundang dilakukan atas dasar doktrin dan perkembangan hukum yang ada
terkait pemenuhan hak konstitusional warga negara.
2. Penafsiran oleh Peradilan Konstitusi sebagai Kendali Konstitutional
dan Penyelarasan Konvensi Internasional terhadap Hukum Nasional
Peranan peradilan kosntitusi dalam menafsirkan konstitusi juga
dikaitkan dengan bagaimana cara sebuah negara untuk menempatkan
konstitusinya di dalam kehidupan bernegara sebagai sebuah konstitusi
yang hidup.186 Peradilan konstitusi di beberapa negara di dunia dalam
menegakkan konstitusinya terbagi dalam control of constitutionality dan
control of conventionality. Konsep yang pertama berkaitan dengan
kewenangan dalam melakukan pengujian terhadap undang-undang atas
konstitusi sebagai batu uji dan terdapat pengaruh legislator.187 Akan tetapi,
konsep kedua merupakan konsep yang unik yang dapat dilihat salah
satunya di Peradilan Konstitusi Argentina.188 Berdasarkan amandemen
tahun 1994, berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM),189 Peradilan
Konstitusi Argentina merujuk pada perkembangan HAM internasional
dalam pengujiannya. Sehingga, rujukan mengenai HAM di Argentina
salah satunya adalah konvensi ataupun perjanjian internasional mengenai
HAM.
Konsep pengujian sebagai control of constitutionality dan control
of conventionality dipengaruhi oleh doktrin monisme dan dualisme hukum
########################################################
185
Jack M. Balkin, “Framework Originalism and The Living Constitution” Public
Law & Legal Theory Research Paper Series Research Paper No. 182. Yale University
(Februari 2008), hlm. 3.
186
Ibid., hlm. 73.
187
Allan R. Brewer-Carias, “General Report: Constitutional Courts as Positive
Legislators in Comparative Law”…loc.cit., hlm. 17.
188
Alejandra Rodriguez Galan dan Alfredo Maurico Vitolo, Argentinean National
Report I (c.l.: c.n., 2010), hlm. 14. Serta Nestor Pedro Sagues, Argentinean National Repport
II (c.l.: c.n., 2010), hlm 19. Dikutip dalam Allan R. Brewer-Carias, ibid., hlm. 15.
189
Argentina, Constitución de 1994 (Konstitusi Argentina Amandemen 1994
terjemahan Bahasa Inggris), Bab IV Butir 75 No. 22.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
nasional atas hukum internasional.190 Sehingga, dapat dipahami seperti
negara Belanda yang menganut monisme perjanjian internasional,
kewenangan
pengujian
Mahkamah
Konstitusinya
tidak
hanya
mendasarkan kepada konstitusi tetatpi juga pada perjanjian internasional.
Berbeda halnya dengan Inggris (Britania) yang dualisme perjanjian
internasional, keberadaan pengujiannya didasarkan pada bentuk konstitusi
yang ada.191 Penerapannya dilakukan secara berbeda dengan konteks yang
memiliki peradilan konstitusi yang terpisah. Oleh karena itu, bentuk dari
penafsiran oleh lembaga peradilan juga dipengaruhi monisme dan
dualisme hukum internasional yang dianut oleh negara tersebut.
Selain Argentina, Belanda, ataupun Inggris, beberapa negara lain
juga
memperdebatkan
konstitusionalitas
yang
lahir
dari
hukum
internasional seperti terjadi di Portugal, Brazil, dan Swedia. Perdebatan
########################################################
190
Untuk negara yang menganut asas monisme hukum internasional, keberadaan
hukum internasional langsung mengikat hukum nasional. Sedangkan untuk negara dengan
asas dualisme hukum internasional, keberadaan sebuah perjanjian internasional tidak
langsung mengikat. Hal ini menjadi perdebatan dalam hal keberadaan sebuah perjanjian
internasional sebagai sebuah hukum yang mendasari hukum yang lain. Melissa A. Waters,
Creeping Monism: The Judicial Trend Toward Interpretive Incorporation of Human Rights
Treaties, (c.n.: c.l., 2007), hlm. 628. Sebagaimana dikutip dalam: Eyal Benvenisti,
“Reclaiming Democracy: The Strategic Uses of Foreign and International Law By National
Courts,” The American Journal of International Law of Tel Aviv University Volume 102:24
(Agustus 2007), hlm. 241.
191
Pada dasarnya terjadi perdebatan panjang terkait dengan pengujian
konstitusionalitas di Inggris. Hal ini di dasarkan pada kenyataan bahwa Inggris tidak
memiliki konstitusi tertulis. Akan tetapi, dalam prakteknya di Inggris dikenal adanya konsep
“conventions of the Constitution” yang menjadi hukum umum (general laws). Jadi sekalipun
tidak memiliki kerangka konstitusional yang tertulis, Inggris menganggap konstitusi tak
tertulis tersebut sebagai sebuah konstitusi dan menjadi kewenangan hakim untuk melakukan
penafsiran. Selain itu, praktek di Inggris tidak mengenal adanya bentuk lembaga peradilan
konstitusi ataupun istilah pengujian konstitusional. Hampir tidak mungkin dapat ditemukan
pengujian konstitusional secara istilah di sistem peradilan Inggris. Keberadaan pengujian
konstitusional walaupun secara harfiah tidak dikenal, John Bell mengatakan: “Britain has
neither ‘spesific constitutional or statutory provisions that empower constitutional judges, by
means of interpreting the Constituton, to adopt obligatory decision on constitutional
matters’ nor specific deciion on konstitutional matters. But this would be too simplistic an
pproach. The nature of common law constitution is that basic ‘rules of recognition’ (H. L. A.
Hart) are nit contained in sattute, but are in common law. The principles are rather like the
‘fundamental principles recognized by laws of the Republic’ in French Law, which are nit
laid down by statutes, but chich are judicially identified, even if formally not created by
judges. There do arise a number of issues on which ordinary judges have to take decisions
which are binding and which could be charaeterized as constituonal.” John Bell, “British
National Report: Constitutional Court as Positive Legislators in Comparative Law,”
(makalah disampaikan pada International Congress of Comparative Law, International
Academy of Comparative Law, Washington, 26-30 July 2010), hlm. 1.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
yang terjadi seringkali membahas mengenai filosofis dari norma yang
senyata-nyatanya tidak lahir dalam hukum nasional Sehingga, apabila
secara internasional tempat norma tersebut terbentuk terjadi perubahan
nilai, maka hukum mana yang akan dipakai sebagai dasar.
3. Pengaruh Penafsiran Peradilan Konstitusi terhadap Pembaharuan
Hukum
Keberadaan Peradilan Konstitusi sebagai pemegang fungsi penafsir
konstitusi harus berpegang pada permohonan yang diajukan, keberlakuan
dan
supremasi
yang
diberikan
untuk
melakukan
perubahan.192
Pembentukan hukum (law making) pada dasarnya dipegang oleh fungsi
legislatif dan dalam pelaksanaannya perubahan hukum tidak selalu
dimaknai sebagai pembentukan hukum. Perubahan hukum dianggap
sebagai pembentukan hukum adalah perspektif pihak yang membatasi
tindakan peradilan konstitusi sebagai negative legislator. Sehingga,
peradilan
konstitusi
sebagai
positive
legislator
sebagai
tindakan
pelampauan kewenangan disebabkan oleh pemaknaan law making dengan
law reform sebagai satu kesatuan.193
Keberadaan peradilan konstitusi sebagai sebuah negative legislator
berakibat pada terhambatnya pembentukan hukum itu sendiri. Hal ini
disebabkan oleh kesediaan legislatif dalam melakukan pembentukan
hukum. Sebuah peraturan yang inkonstitusional dapat langsung diputuskan
oleh peradilan konstitusi, tetapi keberlangsungan atas norma yang diuji itu
sendiri menjadi permasalahan.194 Pihak yang dirugikan konstitusionalnya
########################################################
192
Andrei Marmor, “Constitutional Intrepetation,” Public Policy Research Paper
Series University of Southern California No. 04-4 (Maret 2004), hlm. 2.
193
Blacks Law Dictionary memberi definisi Law Making sebagai proses legislasi
(legislation) yang berarti: “The Process of making or enacting a positive law in written form,
according to some type of formal procedure, by a branch or government constituted to
perform this process!also termed lawmaking: statute-making.” Sedangkan Law Reform
diartikan sebagai: “The process of, or a movement dedicated to, streamlining, modernizing,
or otherwise improving a body of law generally or the code governing a particular branch of
the law!also termed science of legislation; censorial jurisprudence.” Bryan A. Garner, ed.
18, Black’s Law Dictionary (St. Paul: West Publishing Co., 1990), hlm. 903 dan 905.
194
Permasalahan yang dimaksudkan adalah keberadaan norma tersebut apakah
dapat diimplementasikan sebagai norma atau dibedakan dengan norma hasil bentukan
legislatif. Andrei Marmor, “Constitutional Intrepetation,”…loc.cit., hlm. 30.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
harus menunggu terlebih dahulu kehendak dari legislatif untuk membentuk
norma baru sesuai dengan fungsinya sebagai legislatif. Pembentukan
norma oleh legislatif tidak dapat langsung segera dibentuk karena proses
pembentukan norma dalam legislatif.195 Oleh karena itu, pembatalan
hukum oleh peradilan konstitusi (negative legislator) tidak dibarengi
dengan kesediaan legislatif untuk membentuk hukum dapat berakibat
inkonstitusionalitas
pencabutan
hukum
karena
akibat
kekosongan
196
hukum.
4. Perdebatan tentang Peran Peradilan Konstitusi sebagai Positive
Legislator
Pembentukan hukum oleh peradilan konstitusi harus dimaknai
sebagai bentuk perubahan hukum (law reform). Sehingga perubahan
hukum seperti apa yang dapat dilakukan oleh peradilan konstitusi sebagai
sebuah tindakan untuk memenuhi kebutuhan hukum. Hukum sebagai
sesuatu yang hidup dan terus berkembang merupakan sebuah dogma yang
diterapkan saat ini.197 Adagium manusia tidak diciptakan oleh hukum
melainkan manusia yang membentuk hukum adalah pembenaran atas
peranan peradilan konstitusi sebagai positive legislator. Perubahan hukum
yang menjadi kewenangan peradilan konstitusi dapat diterapkan karena
hukum pada saat undang-undang dibentuk seringkali tidak sejalan dengan
perkembangan zaman. Keberadaan peradilan konstitusi yang hanya
sebagai negative legislators adalah dogma yang tidak sejalan dengan
perkembangan zaman.198 Hukum pada kenyataannya terus berkembang
########################################################################################################################################################
195
Allan R. Brewer-Carias, “General Report: Constitutional Courts as Positive
Legislators in Comparative Law”…loc.cit., hlm. 25.
196
Fransisco Zuniga Urbina, Control de Constitucionalidad y Sentencia, (Santiago:
Cuardernos del tribunal Constitucional, 2006), hlm. 107-019. Sebagaimana dikutip dalam:
Allan R. Brewer-Carias, Ibid., hlm. 15.
197
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 186.
198
Luis Roberto et al, Brazilian National Report: Rule of Constitutional Court as
Positive Legislator, (c.n: c.l: 2010), hlm. 22. Sebagaimana dikutip dalam: Allan R. BrewerCarias, “General Report: Constitutional Courts as Positive Legislators in Comparative
Law”…loc.cit., hlm. 28. Dikutip dalam Tulisan serupa disampaikan oleh: Thomas
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
dan dimungkinkan adanya keharusan untuk membentuk hukum yang
apabila tidak dilaksanakan dapat bertentangan dengan konstitusi itu
sendiri.
Peran peradilan konstitusi dalam mengimbangi perkembangan
zaman juga dipandang sebagai jaminan pada masyarakat yang semakin
sadar hukum. Keberadaan legislatif sebagai pembentuk undang-undang
semakin harus melihat unsur masyarakat yang kehidupannya diatur oleh
undang-undang bentukan legislatif. Reaksi masyarakat atas undangundang yang dibentuk seringkali disebabkan oleh legislatif yang kurang
maksimal dalam menyusun norma dalam undang-undang.199 Kemudian
untuk inkonstitusionalitas yang terjadi akibat tidak adanya peraturan
hukum, tidak mungkin dapat terlaksana dengan hanya pernyataan bahwa
negara bertanggung jawab atas kekosongan hukum (state liability for the
absence of legislative act) tanpa adanya kelanjutan atas pernyataan
tersebut.200
Konsep ini memang konsep yang mudah diterima oleh kalangan
sarjana terutama anggapan bahwa adanya kekosongan hukum karena
legislatif tidak menjalankan kewenangannya sebagaimana mestinya.
Sehingga, dalam perspektif ini seolah peradilan konstitusi harus
membuktikan terlebih dahulu bahwa terjadi kesalahan dalam proses
legislasi itu sendiri.201 Padahal, konteks inilah yang sesungguhnya menjadi
batasan
atas
pengujian
undang-undang.
Sebuah
lembaga
tidak
diperkenankan memberikan ajudikasi atas tindakan yang dilakukan oleh
lembaga lain dalam menjalankan fungsinya. Oleh karena itu, batasan
tindakan pengujian konstitusionalitas tidak boleh berkaitan dengan
########################################################################################################################################################
Bustamante, “Constitutional Courts as “Negative Legislators”: The Brazilian Case.” Law
Journal Faculty of Law University of Aberdeen, (November 2010).
199
Francisco Javier Dias Revorio, Las Sentencias Intrepretativas del Tribunal
Constitucional, (Valladolid: Lex Nova, 2001), hlm. 278. Sebagaimana dikutip dalam Allan
R. Brewer-Carias, Ibid., hlm. 28.
200
Julia Iliopoulos-Strangas and Stylianos-Ioannis G. Koutna, Greek National
Report, (c.l: c.n, 2010), hlm. 5. Sebagaimana dikutip dalam: Allan R. Brewer-Carias, Ibid.
201
Ibid., hlm. 29.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
penilaian sebuah kinerja lembaga legislatif melainkan semata-mata karena
materi muatan dari sebuah norma yang diujikan.
Pengujian oleh peradilan konstitusi selain dari segi proses
bagaimana hukum yang berkembang dan kemungkinan kesalahan
pembentukan hukum oleh legislatif, terdapat hal subtansi dalam konstitusi
yang berkembang penafsirannya.202 Hampir semua negara menghendaki
perubahan hukum yang dilaksanakan oleh peradilan konstitusi dengan
adanya batasan. Konstitusionalitas tersebut tidak membuat manusia
bertindak leluasa atas nama konstitusional. Pengujian konstitusionalitas
yang tidak dibatasi dapat berimplikasi saling tumpang tindihnya organ
negara terutama legislatif dan eksekutif secara langsung.203 Sehingga,
perngujian norma dilakukan dengan pembatasan yang biasanya dilakukan
melalui pembatasan prosedural.204 Oleh karena itu, peran peradilan
konstitusi sebagai positive legislator merupakan pengaturan yang berpacu
pada prosedur pembentukan hukum dan tidak dilihat sebagai sebuah
pelampauan kewenangan.205
Pemahaman peradilan konstitusi sebagai positive legislator dalam
negara demokrasi terlihat bertentangan dengan prinsip pemisahan
kekuasaan. Tindakan perubahan hukum yang mencakup pemuatan pasal
atau perubahan, membuat batasan antar lembaga negara menjadi kabur.
Sehingga penafsiran yang dimiliki oleh peradilan konstitusi dan yurisdiksi
pengujian konstitusional juga diwarnai oleh bentuk paham pemisahan
kekuasaan yang ada. Oleh karena itu, kemungkinan adanya reaksi dari
########################################################
202
Ibid., hlm. 29-30.
203
Daniel B. Rodriguez dan Barry R. Weingast, “The Positive Political Theory of
Legislative History: New Perspectives on the 1964 Civil Rights Act and its Interpretation, “
Legal Studies Research Paper Series Northwestern University Research Paper No. 05-22,
(November 2004), hlm. 90.
204
Bentuk pembatasan prosedural dapat dilihat di Indonesia, yakni dalam pengujian
undang-undang pihak yang mengajukan harus dapat menunjukkan dua hal formil
(prosedural) yakni kewenangan Mahkamah Konstitusi dan Kedudukan (Legal Standing)
Pemohon selain materi yang diujikan. Indonesia, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi,
UU No. 24 tahun 2003, LN No. 98 Tahun 2003, TLN No. 5035, Ps.10 dan Ps. 51.
205
Allan R. Brewer-Carias, “General Report: Constitutional Courts as Positive
Legislators in Comparative Law”…loc.cit., hlm. 32.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
pemegang fungsi legislatif tidak mempermasalahkan peran sebagai
positive legislator hanya terjadi dalam negara yang tidak melakukan
pemisahan secara rigid.
2.5.3
Lingkup Peranan Peradilan Konstitusi dalam Pengujian UndangUndang dan Penegakan Konstitusi
Peranan peradilan konstitusi sebagai positive legislator harus dilihat
lingkup kewenangan dan pembatasannya di sebuah negara. Keberadaan peradilan
konstitusi dalam mengawal konstitusi tidak dapat disamakan dengan legislatif
sebagai parlemen.206 Akan tetapi, dalam mengawal tegaknya konstitusi, peradilan
konstitusi merupakan constitutional legislator.207 Peradilan konstitusi dapat
melakukan perubahan hukum dengan mempertimbangkan keberadaan subyek
hukum yang dirugikan hak konstitsionalnya. Pola hubungan peradilan konstitusi
unsur kekuasaan antara lain dalam menyelesaikan permasalahan konstitusional
sebagai berikut:
1. Peradilan Konstitusi sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa
Konstitusional dan Penegakan Konstitusi
Prinsip supremasi konstitusi terutama konstitusi yang ditafsirkan
secara rigid berakibat bahwa konstitusi dan peran konstitusional hanya
dapat dilaksanakan oleh lembaga yang dibentuk oleh konstusi secara
bersama-sama.208 Sehingga, dalam penegakkan konstitusi pada dasarnya
tidak menjadi kewenangan sepihak sebuah lembaga seperti peradilan
konstitusi.
Keberadaan
lembaga-lembaga
bentukan
konstitusi
ini
diharuskan berfungsi saling melengkapi satu sama lain untuk menegakkan
konstitusi. Hubungan dengan kelembagaan lain yang berupa sengketa
konstitusional dapat diklasifikasikan sebagai sebuah kasus yang harus
dipersengketakan oleh peradilan konstitusi.209 Bentuk pengujiannya
########################################################
206
Ibid., hlm. 36.
207
Ibid.
208
Jimly Asshiddiqie, Konstotusi dan Konstitualisme…op.cit,. hlm. 133.
209
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Konsolidasi Lembaga Negara, (Jakarta:
Sekretarian Jenderal Mahkamah Konstitusi Indonesia, 2006), hlm. 153 sebagaimana juga
beliau tulis dalam: Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara,
(Jakarta: Konpress, 2005)
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
merupakan pengujian konstitusionalitas apakah tindakan yang dilakukan
oleh lembaga tersebut telah sesuai dengan konstitusi atau belum.210 Oleh
karena itu, konteks penafsiran tindakan juga mencakup penafsiran atas
tindakan lembaga negara. Oleh karena itu, apabila terjadi sengketa antar
lembaga negara, hal yang dilakukan adalah dengan melihat konstitusi
dalam perspektif yang rigid.
2. Pertimbangan Peradilan Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang
Proses
pelaksanaan
pengujian
konstitusi
memang
menjadi
supremasi peradilan konstitusi yang dapat mengundangkan ketentuan
konstitusi dalam pengujian undang-undang..211 Sehingga keberadaan
lembaga selain peradilan konstitusi tidak dapat mengganggu gugat
kewenangan sebuah lembaga konstitusi untuk menjabarkan penafsiran
sebuah norma. Bentuk pengujiannya dapat di dasarkan pada keketapan
konstitusional
yang
ada
ataupun
perkembangan
konstitusionalitas
yang
dengan
hidup
mempertimbangkan
di
masyarakat
dan
amandemen konstitusi. Keberadaan lembaga lain harus melihat tindakan
pengujian undang-undang sebagai tanggung jawab peradilan konstitusi
dalam satu sistem kenegaraan.212
Pertimbangan-pertimbangan
yang
dilakukan
oleh
Peradilan
Konstitusi dalam menguji sebuah undang-undang tidak hanya pada
ketentuan di dalam konstitusi itu saja. Akan tetapi, peradilan konstitusi
terikat atas penafsiran konstitusi yang mereka lakukan pada pengujianpengujian
sebelumnya.
Serta,
melakukan
pertimbangan
terhadap
kewenangan legislatif dalam pembentukan undang-undang. Dalam hal ini,
sebuah undang-undang dapat diubah sejalan dengan perkembangan hukum
di dalam sebuah negara. Sehingga, pertimbangan pengujian undang########################################################
210
Saikrishna B. Prakash dan John C. Yoo, “The Origins of Judicial Review,”
loc.cit, hlm. 7.
211
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Konsolidasi Lembaga Negara…op.cit. Hal
yang sama sebagaimana ditulis oleh Allan R. Brewer-Carias, “General Report: Constitutional
Courts as Positive Legislators in Comparative Law”…loc.cit., hlm. 41.
212
Allan R. Brewer-Carias, Ibid., hlm. 43.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
undang juga harus masuk dalam sisi perkembangan hukum bentukan
legislatif.
3. Peran Peradilan Konstitusi sebagai Penyelaras Norma UndangUndang terhadap Konstitusi
Pengertian mengenai konstitusi termasuk norma hidup diantara
masyarakat menimbulkan konsekuensi bahwa konstitusi yang dipahami
sebagai dasar hidup bermasyarakat tidak mutlak segala konstitusi yang
tertulis.213 Konstitusi yang dihadapkan dengan pengujian undang-undang,
merupakan bukti konstitusi di sebuah negara tidak dijalankan secara
rigid.214 Letak fleksibilitas sebuah konstitusi adalah memandang konstitusi
tidak hanya sebagai hukum tertulis tetapi mempertimbangkan unsur
hukum yang ada di dalam masyarakat. Sehingga, peran peradilan
konstitusi dalam menyelaraskan undang-undang terhadap konstitusi dapat
dilakukan penafsiran (perubahan konstitusi) dengan berdasarkan pada
kebutuhan masyarakat. Bentuk perubahan yang dapat dlakukan oleh
peradilan konstitusi antara lain mencakup hal:215
-
Penyesuaian terhadap muatan Konstitusi dalam menjamin hak
konstitusional (fundamental right).216
-
Penyesuaian muatan konstitusi atas materi kelembagaan;
Perihal penyesuaian yang dilakukan oleh peradilan konstitusi
seringkali tidak dipahami sebagai sebuah tindakan yang konstitusional.217
Hal yang mendasari pendapat ini adalah keberadaan penafsiran konstitusi
########################################################
213
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum…op.cit., hlm 71.
214
Untuk mewujudkan hal tersebut dapat merujuk pada pendapat C. F. Strong,
bahwa perubahan konstitusi dapat dilakukan melalui tiga hal yakni perubahan oleh legislatif
dengan limitasi tertentu, referendum oleh mayoritas negara bagian dan negara federal, serta
konvensi ketatanegaraan. Hardjono, Legitimasi Perubahan Konstitusi: Kajian terhadap
Perubahan UUD 1945, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, c.t), hlm. 47.
215
Allan R. Brewer-Carias, “General Report: Constitutional Courts as Positive
Legislators in Comparative Law”…loc.cit., hlm. 45.
216
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi…op.cit..
217
Allan R. Brewer-Carias, “General Report: Constitutional Courts as Positive
Legislators in Comparative Law”…loc.cit., hlm. 47.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
dapat
langsung
diseseuaikan
dengan
perubahan.218
hanya
Serta,
kewenangan untuk melakukan perubahan biasanya dimiliki oleh lembaga
khusus yang dapat berupa fusi antar beberapa lembaga atau memang
lembaga yang kedudukannya khusus menangani amandemen atau
perubahan. Oleh karena itu, di suatu sisi hasil penafsiran oleh lembaga
peradilan seringkali tidak dianggap dan tidak memiliki kekuatan hukum.
2.5.4
Pengaruh Peradilan Konstitusi Terhadap Legislatif atas UndangUndang
Hubungan antara Peradilan konstitusional terhadap pemegang fungsi
legislatif (legislator) adalah sebuah hal yang khusus dan tidak dapat dipandang
secara terpisah. Kekhususan ini dikarenakan dalam hal pembentukan aturan
hukum, peradilan konstitusi secara jelas berhimpitan dengan proses legislasi itu
sendiri. Keberadaan peradilan konstitusi terhadap legislatif tersebut dirumuskan
antara lain sebagai berikut:
1. Peradilan Konstitusi Melengkapi Fungsi Legislatif dalam Menjaga
Harmoni Ketentuan Norma terhadap Konstitusi.
Perkembangan keberadaan peradilan konstitusi di sebuah negara
tidak lagi sebatas pengawal konstitusi yang bertindak menjamin supremasi
konstitusi.219 Sebagai lembaga yang berwenang sebagai penafisr undangundang, putusan peradilan konstitusi mengikat peradilan itu sendiri, dan
secara
umum
kepada
masyarakat
atas
konstitusionalitas
dan
inkonstitusionalitas sebuah norma. Tata cara penafsiran yang dilakukan
menjadi kewenangan hakim yang duduk di dalam peradilan konstitusi.
Kebebasan hakim dalam melakukan penafsiran membuka kemungkinan
bahwa hakim konstitusi dapat mengintepretasikan tidak langsung pada
konstitusi yang rigid.220 Hakim memiliki kebebasan dalam melihat apakah
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
218
Hardjono, Legitimasi Perubahan Konstitusi: Kajian terhadap Perubahan UUD
1945….op.cit., hlm. 55.
219
Supremasi Konstitusi yang melekat pada sebuah Peradilan Konstitusi
menjadikan keberadaan Peradilan Konstitusi itu sendiri sebagai Pengawal Konstitusi (The
Guardian of Constitution). Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Konsolidasi Lembaga Negara
Pasca Rerfomasi…op.cit.
220
Herman Philipse, “Antonin Scalia’s Textualism in Philosophy, Theology, and
Judicial Interpretation of the Constitution,” Utrecht Law Review Volume 3, Issue 2
(December 2007), hlm. 176.
!!"
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
norma yang diujikan dengan pertimbangan atas harmonitas dan
kenyamanan jika dilakukan pencabutan atau dinyatakan inkonstitusional.
Terdapat perbedaan yang besar antara negara yang secara rigid
memaknai konstitusi dan negara yang memaknai konstitusi secara
progresif.
Perbedaan
mengimplementasikan
tersebut
keberadaan
terletak
pada
perubahan
bagaimana
dan
negara
penafsiran
dari
konstitusi.221 Pemahaman mengenai harmoni dengan konstitusi ditinjau
sampai dengan menganalisis dampak apabila terdapat norma yang dicabut
atau dinyatakan inkonstitusional. Pertimbangan harmonisasi hukum juga
dilihat secara menyeluruh atas peraturan yang dilaksanakan. Pernyataan
inkonstitusionalitas sebuah norma dalam undang-undang dapat berakibat
pada inkonstitusionalitas seluruh undang-undang atau hilangnya fungsi
undang-undang itu sendiri. Oleh karena itu, peran peradilan konstitusi
tidak hanya untuk memberikan ajudikasi atas norma tetapi sebagai
penyelaras yang melengkapi hukum akibat putusan yang diambil.
2. Peradilan Konstitusi Melengkapi Legislatif Melalui Penafsiran Norma
dalam Konstitusi
Keberadaan peradilan konstitusi juga dianggap sebagai penyelaras
konstitusi apabila tidak diaturnya sebuah norma. Sebuah peraturan dapat
dikatakan inkonstitusional apabila tidak diaturnya hal-hal yang menurut
penafsiran pengadilan konstitusi tidak dicantumkan.222 Kesalahan hukum
dengan tidak diaturnya sebuah norma dapat diakomodasi dengan
keberadaan peradilan konstitusi. Sehingga, bentuk pengujiannya tidak
hanya mencabut sebuah norma tetapi harus memformulasikan norma apa
yang tepat untuk dilekatkan.223 Oleh karena itu, pembentukan norma oleh
########################################################################################################################################################
221
Allan R. Brewer-Carias, “General Report: Constitutional Courts as Positive
Legislators in Comparative Law”…loc.cit., 69.
222
Salah satu pengaturannya terdapat pada Konstitusi 1996 Afrika Selatan yang
telah menjabarkan keberadaan penafsiran Konstitusi oleh Peradilan Konstitusi termasuk
kelanjutan dari norma yang diujikan terhadap peraturan pelaksanaan. Allan R. BrewerCarias, ibid., hlm. 88.
223
Ibid., hlm. 74.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
peradilan konstitusi melekat dengan adanya permohonan pengujian yang
terbukti inkonstitusional.
3. Peradilan Konstitusi sebagai Pembentuk Norma Sementara
Peradilan konstitusi dalam perspektif selanjutnya juga memiliki
andil dalam mengisi kekosongan atas pengujian norma.224 Bentuk
pencabutan yang dilakukan oleh peradilan kostitusi akan berdampak
hukum pada norma secara keseluruhan. Pada dasarnya hal ini menjadi
kewenangan dari legislatif untuk menindaklanjuti kekosongan hukum yang
terjadi. Akan tetapi, dalam mengisi kekosongan hukum, peradilan
konstitusi dapat mengisi sementara norma yang diujikan. Konteks
sementara yang dimaksudkan adalah sampai legislatif membentuk norma
yang baru itu sendiri.
4. Pengujian Undang-Undang tanpa Penafsiran Konstitusi
Bentuk intepretasi yang sering bersinggungan dengan lembaga
legislatif antara lain peranan peradilan yang hanya melakukan penafsiran
atas norma yang diujikan tanpa memberikan penafsiran secara resmi
konstitusi.225 Tindakan ini hanya melihat dari segi norma secara utuh tanpa
mengharuskan memberikan penafsiran pada norma. Sehingga, apabila
hasil dari penafsiran tersebut tidak sesuai, maka pengadilan akan
menyatakan inkonstitusional atas dasar kesesuaian norma itu sendiri.
########################################################
224
Ibid., hlm. 88.
225
Ibid., hlm. 108.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
BAB 3
KEDUDUKAN LEMBAGA NEGARA DALAM PROSES LEGISLASI DAN
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
3.1 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai Pengawal Konstitusi
(The Guardian of The Constitution)
3.1.1
Mahkamah Konstitusi RI dalam Perspektif Indonesia sebagai Negara
Hukum
Amandemen Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945, secara
fundamental memberi ruang atas pembentukan Mahkamah Konstitusi.226
Kemudian, konsepsi ini juga secara sosial merupakan sebuah kebutuhan yang
dapat dilihat secara filosofis historis. Secara filosofis historis, Bangsa Indonesia
adalah bangsa yang berdaulat dan menghargai harkat hidup warna negaranya
dalam mencapai kesejahteraan.227 Akan tetapi, selama hampir lebih dari lima
puluh tahun Indonesia merdeka, Indonesia masih belum memiliki sistem
Kekuasaan Kehakiman yang dapat digunakan untuk menguji norma undangundang
terhadap
Konstitusi.228
Padahal,
Undang-Undang
Dasar
1945
diproyeksikan sebagai satu-satunya bukti adanya penyelenggaraan bernegara yang
berdasarkan hukum. Hal ini menimbulkan permasalahan karena apa yang atur di
dalam undang-undang haruslah merepresentasikan pencapaian hukum itu sendiri.
Dalam perspektif tersebut, untuk mengetahui apakah norma yang diatur
merepresentasikan kepentingan rakyat atau bukan dilakukan dengan mengujinya
terhadap konstitusi sebagai kontrak sosial.229
########################################################
226
Allan R. Brewer Carias, “General Report: Constitutional Courts as Positive
Legislators in Comparative Law”…loc.cit., hlm. 70.
227
Intrepetasi Peradilan Konstitusi adalah suatu medium yang dapat digunakan
sebagai jembatan guna mencapai kaidah Undang-Undang Dasar 1945 yang memiliki
kekuatan implementatif. Ibid., hlm. 38
228
Adapun dapat dilakukan pendekatan bahwa bentuk pengujian konstitusionalitas
dapat diupayakan pada Peradilan Tata Usaha Negara, tetapi hanya sebatas pemenuhan
individu. Sedangkan bentuk pengujian di Mahkamah Konstitusi merupakan pengujian norma
yang berimplikasi secara umum.
229
Dapat dipahami lebih lanjut dalam Jean Jacques Rousseau, Perihal Kontrak
Sosial atau Prinsip Hukum Politik…op.cit., hlm. 37.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Hal fundamental mengenai pengujian undang-undang terhadap UndangUndang Dasar yang tidak terwadahi oleh Undang-Undang No. 14 Tahun 1970,
telah ada gagasan oleh Yamin dalam rapat BPUPKI tentang toetsingrecht hak
menguji undang-undang. Yamin mengatakan bahwa Mahkamah Agung harus
memiliki kewenangan yang luas termasuk pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar. Pendapat tersebut ditentang oleh Soepomo yang
mengatakan bahwa peletakan kewenangan pengujian pada Mahkamah Agung itu
hanya dapat ditemui di Amerika Serikat dan untuk beberapa negara Eropa
dilakukan oleh organ khusus. Sehingga, berdasarkan kontradiski tersebut
kewenangan pengujian undang-undang tidak dapat ditemui dalam UndangUndang Dasar 1945 sebelum Amandemen. Namun, pada dasarnya keberadaan
hak pengujian ini telah diilhami sebagai sebuah kebutuhan fundamental berdirinya
negara Indonesia.230
Pembahasan mengenai pengujian undang-undang terhadap UndangUndang Dasar 1945 tidak langsung dilekatkan pada sistem kekuasaan kehakiman
di Indonesia salah satunya terbentur oleh siapa lembaga yang berwenang
melakukan pengujian.231 Dalam mempertimbangkan hal tersebut dapat ditelaah
dengan melihat penerapannya di beberapa negara. Khusus untuk Amerika Serikat
memang dilaksanakan oleh Supreme Court atau yang secara langsung ketika
melihat Indonesia ada pada Mahkamah Agung. Penerapannya di Amerika Serikat
memang dilaksanakan sebagaimana konsep peradilan umum dengan hakim-hakim
yang khusus mengenai konstitusi, sehingga dikhawatirkan memunculkan
pluralitas penafsiran.232 Akan tetapi, secara konseptual hal ini telah disiasati untuk
tidak terjadi dengan adanya daya ikat doktrin preseden antar putusan.233 Artinya,
########################################################
230
Satjipto Rahardjo, Sisi Lain Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kompas, 2003), hlm.
144. Sebagaimana dikutip: Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi tentang
Adjudikasi Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif…op.cit.,
hlm. 70.
231
Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VI Kekuasaan Kehakiman…op.cit.,
hlm. 553.
232
Ibid., 293.
233
Doktrin Preseden juga dikenal sebagai Stare Decisis yang menurut Blacks Law
diartikan sebagai: “The doctrine of presedent, under which it is necessary for a court to
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
sekalipun dalam struktur Kekuasaan Kehakiman Amerika Serikat, peradilan
umumnya dapat melakukan pengujian tetapi konsistensinya tetap dipertahankan
karena harus merujuk pada putusan peradilan yang lebih tinggi. Sehingga
kemungkinan pluralitas penafsiran Undang-Undang Dasar dalam pengujian
undang-undang dapat dihindari.
Pertimbangan kedua mengenai peletakan kewenangan dapat ditinjau dari
negara Eropa Kontinental yang memiliki kewenangan pengujian terhadap
konstitusi. Sistem Eropa Kontinental yang tidak menganut doktrin preseden
sebagaimana Anglo Sakson, peletakkan kewenangannya dilakukan oleh organ
tersendiri dan khusus mengenai pengujian konstitusionalitas.234 Keberadaan
pluralitas yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum tersebut dapat dihindari
karena memang hanya satu organ khusus saja yang dapat melakukan pengujian.
Kemudian, dalam pertimbangan tersebut dapat dilihat bahwa kalau
diterapkan
di
Indonesia
pada
awal
kemerdekaan
juga
harus
juga
mempertimbangkan ada tidaknya ahli hukum yang mewadahi.235 Sehingga, dapat
dilihat mengapa belum dilaksanakannya kewenangan pengujian undang-undang
sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar karena alasan-alasan tersebut di
atas. Perkembangan percaturan peranan lembaga negara di Indonesia termasuk
dilaluinya masa Orde Lama dan Orde Baru, keberadaan kewenangan pengujian
undang-undang ini semakin meningkat.236 Terutama pada masa Orde Baru yang
seluruh
sistem
kekuasaan
negara
termasuk
Kekuasaan
Kehakimannya
########################################################################################################################################################
follow earlier judicial decision when the same points arise again in litigation.” Bryan A.
Garner, ed. 18, Black’s Law…op.cit., hlm. 1443.
234
Pendapat I Dewa Gede Palguna dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan dalam menanggapi pernyataan Hendi Tjaswadi. Mahkamah Konstitusi, Naskah
Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:
Buku VI Kekuasaan Kehakiman…op.cit., hlm. 336. Juga dapat dibandingkan teori
Mahkamah Kelsenian dalam: Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi tentang
Adjudikasi Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif…op.cit. hlm.
130
235
Hal ini merujuk pada pendapat Soepomo dalam Rapat BPUPKI pada saat
penyusunan Undang-Undang Dasar 1945. Ahmad Syahrizal, ibid., hlm. 260.
236
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. viii.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
dikendalikan oleh Presiden.237 Sehingga, keberadaan undang-undang pada masa
itu memungkinkan terjadi pertentangan terhadap Undang-Undang Dasar 1945
tetapi
tidak
terakomodir
karena
tidak
adanya
kewenangan
pengujian.
Perkembangan mengenai kebutuhan akan mekanisme pengujian ini kemudian
mendapatkan angin segar pasca reformasi 1999. Pengalaman atas kekuasaan
absolut
dan
penggunaan
undang-undangan
sebagai
kendaraan
dalam
melanggengkan kekuasaan ini kemudian mendorong para perumus perubahan
Undang-Undang Dasar untuk mengadakan upaya hukum yang dapat dilakukan
untuk menghindari hal tersebut.238
Setelah melalui pembahasan yang panjang dalam perumusan Amandemen
Undang-Undang Dasar 1945, pada akhirnya kewenangan pengujian undangundang tertuang dalam sebuah lembaga baru dalam susunan Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia yang diatur sebagai berikut: Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut
Undang-undang; dan ayat duanya berbunyi sebagai berikut; Susunan dan
kekuasaan Badan-badan Kehakiman itu diatur dengan Undang-Undang.
Dengan dibentuknya organ Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara
yang mengawal Undang-Undang Dasar 1945, keberadaan Pasal 24 diubah
sehingga secara keseluruhan btentang Kekuasaan Kehakiman. Di Indonesia,
Kekuasaan
kehakiman
merupakan
kekuasaan
yang
merdeka
untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kemudian,
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi dan badan-badan lain
yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undangundang.
Secara bersamaan dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi yang diatur
dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945, disusun satu pasal terpisah yang
########################################################
237
Sri Bintang Pamungkas, Dari Orde Baru Ke Indonesia Bari lewat Reformasi
Total (Jakarta: Erlangga, 2001), hlm. 3.
238
Ibid., hlm. 6.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
secara keseluruhan bahwa; Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum; Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar; Mahkamah Konstitusi
mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi,
239
yang ditetapkan oleh
Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga
orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden; Ketua dan
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi; Hakim
Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap
sebagai pejabat negara; Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi,
hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan
undang-undang.
Keberadaan Pasal 24 dan Pasal 24 C Undang-Undang Dasar 1945 ini
kemudian secara menyeluruh memberi ruang baru dalam penegakan hukum di
Indonesia. Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, jelas bahwa UndangUndang Dasar 1945 telah mengalami perubahan secara substansial, sehingga
pokok-pokok pemikiran yang terkandung di dalamnya mengalami pergeseran dan
perubahan mendasar terutama sebagai sebuah Negara Hukum.240 Dengan hal-hal
substansial yang terkandung di dalamnya, ketentuan dalam Undang-Undang
Dasar 1945 tidak dapat lagi disimpangi ataupun diabaikan begitu saja. Masyarakat
dari segala elemen sampai dengan Presiden, dapat turut serta menjaga konstitusi
yang mekanismenya telah terwadahi dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi.
########################################################
239
Komposisi 9 (sembilan) orang Hakim Konstitusi dengan dipilih dari tiga
lembaga negara yang berbeda merupakan adopsi dari sistem peradilan konstitusi di Korea
Selatan dan Eropa. Ibid., hlm. 573 dan 328.
240
Jimly Asshidiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2008), hlm. 453.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Sehingga dalam penyelenggaraan negara, supremasi hukum dapat ditegakkan
sesuai dengan asas-asas negara hukum.
3.1.2 Mahkamah Konstitusi sebagai Penafsir Undang-Undang Dasar dalam
Uji Materiil Undang-Undang
Penafsiran yang didasarkan pada norma yang hidup di masyarakat oleh
Mahkamah Konstitusi juga merujuk pada Undang-Undang No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman.241 Diatur bahwa Hakim Konstitusi dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Pemahaman ini juga lahir dari pandangan bahwa hukum tidak hanya sebagai teks
dan aturan yang berlaku. Hukum adalah masyarakat itu sendiri sehingga dalam
melakukan penafsiran seorang hakim konstitusi harus mampu melihat keberadaan
masyarakat sebagai sebuah hukum. Paham ini dikenal sebagai paham hukum
progresif yang selaras dengan living constitution.
Mahfud M.D. mengemukakan bahwa terdapat beberapa rambu-rambu
konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi dalam menafsirkan konstitusi adalah
harus berpegang pada original intent atau maksud sesungguhnya dari undangundang terhadap isi Undang-Undang Dasar.242 Perjalanan panjang pembentukan
Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi tidak hanya berwenang
menguji dan menafsirkan undang-undang. Berkaitan dengan diubahnya
kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara yang berwenang
memakzulkan Presiden, Mahkamah Konstitusi bersama dengan DPR dan MPR
bertindak sebagai organ negara yang dapat memakzulkan Presiden.243 Sehingga,
########################################################
241
Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun
2008, LN. 157 Tahun 2009, TLN. 5076, Psl. 5 ayat (1).
242
Moh. Mahfud MD, “Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen UUD 1945,”
makalah disampaikan pada Diskusi Publik tentang Wacana Amandemen Konstitusi yang
diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) di Jakarta, tanggal 12 Juni 2008., hlm.
5.
243
Pembahasan mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam proses
pemakzulan (impeachment) dapat dilihat dalam Naskah Komprehensif. Prof. Suwoto
Mulyosudarmo berpendapat bahwa tidak seharusnya Mahkamah Konstitusi dapat memberi
pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat terkait pemakzulan sehubungan dengan
independensi lembaga negara. Akan tetapi sebagai lembaga negara yang menjalankan
sengketa ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi pada akhirnya diberikan kewenangan turut
serta dalam proses pemakzulan. Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VI Kekuasaan
Kehakiman…op.cit., hlm. 518-521.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Mahkamah Konstitusi memiliki empat wewenang dengan satu wewenang khusus
untuk memakzulkan Presiden. Kemudian, empat wewenang lainnya tercantum
dalam Undang-Undang Dasar 1945 Setelah Amandemen, sebagai berikut:244
-
Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
-
Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
-
Memutus pembubaran partai politik, dan;
-
Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Pratinjau mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi meliputi ke-empat
tersebut diatas juga mengalami perdebatan panjang dalam rapat panitia Ad Hoc.245
Adapun diantara keempat wewenang Mahkamah Konstitusi, pembahasan
mengenai kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar 1945 memiliki pembahasan lebih. Hal ini karena, pengujian undang-undang
merupakan kewenangan fundamental yang perlu untuk dilihat secara mendalam
terkait batasan dan lingkup kewenangan menguji undang-undang yang dimiliki
oleh Mahkamah Konstitusi.
Pada perenapannya di Indonesia, seringkali digunakan istilah judicial
review untuk menyebut kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji
undang-undang.246 Hal tersebut sangatlah keliru karena penggunaan judicial
review tidak serta merta sama dengan pengujian undang-undang sebagaimana
dilekatkan pada Mahkamah Konstitusi.247 Kekeliruan ini terjadi karena adanya
anggapan di kalangan akademisi bahwa judicial review seringkali disamakan
dengan hak menguji (toetsingrecht) yang hanya sebatas uji materiil. Kekeliruan
########################################################################################################################################################
244
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 Setelah Amandemen, Psl. 24 C ayat (1).
245
Rapat pertama (atau rapat ke-51 dari keseluruhan) yang membahas mengenai
Mahkamah Konstitusi diadakan pada tanggal 29 Juli 2000 atas usulan pada rapat tanggal 13
Juli 2000 saat membahas Mahkamah Agung. Pembahasan mengenai Mahkamah Konstitusi
kemudian disimpulkan pada tanggal 10 Oktober 2001 dengan bentuk dan kewenangan
sebagaimana tertuang di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasca Amandemen.
246
Penggunaan istilah judicial review dalam pergaulan hukum di Indonesia selain
belum dipisahkan dengan hak menguji (toetsingrecht) juga dikarenakan penggunaan istilah
tersebut di dalam perumusan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Lihat Naskah
Komprehensif dan bandingkan dengan Hak Menguji (Toetsingrecht) di Indonesia.
Fatmawati, op.cit., hlm. 5-9.
247
Ibid. hlm. 10.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
ini seringkali dianggap tidak bermasalah secara umum, tetapi jika ditelaah lebih
lanjut dari maksud sesungguhnya (original intent) perumus Amandemen UndangUndang Dasar 1945 adalah hak menguji materiil (materiele toetsingrecht) bukan
judicial review.248 Walaupun secara kasat mata tidak bermasalah, dalam dunia
hukum tepatnya hal ini menjadi sebuah permasalahan karena menyangkut
bagaimana kewenangan itu akan dijalankan. Sehingga, perlu untuk diperjelas
terlebih dahulu tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian
undang-undang.
Kemudian, dalam penerapannya di Indonesia, telah dibentuk susunan
peraturan yang menegaskan tentang kewenangan hakim dalam menafsirkan
undang-undang. Pasal 24 C Undang-Undang Dasar 1945 mengatur bahwa
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD 1945. Akan
tetapi, jika menelusuri dalam Naskah Komprehensif Amandemen UndangUndang Dasar 1945, dapat ditemukan bahwa yang perumusan pasal 24C ayat 2
memuat aturan bahwa Mahkamah Konstistusi memiliki kewenangan untuk;
Menguji undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawah undangundang (fungsi judicial review).
Berdasarkan
pemaparan
tersebut,
bahwa
kewenangan
Mahkamah
Konstitusi dalam menguji undang-undang turut menyinggung mengenai konsep
judicial review. Adapun dalam perumusan Amandemen Undang-Undang Dasar
1945 disebutkan bahwa kewenangan yang dilekatkan pada Mahkamah Konstitusi
secara harfiah merupakan judicial review, akan tetapi yang menjadi kewenangan
Mahkamah Konstitusi adalah kewenangan toetsingrecht. Sehingga, secara
fikosofis Mahkamah Konstitusi terikat pada doktrin-doktrin umum toetsingrecht
dan bagaimana pengaturan di dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia.249
Pengaturan mengenai Mahkamah Konstitusi selain diatur dalam UndangUndang Dasar 1945, telah tertuang dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2003
########################################################
248
Ibid. hlm. 95.
249
Saikrishna B. Prakash and John C. Yoo, loc.cit.,hlm. 7.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam bagian Menimbang huruf c UndangUndang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, secara filosofis
Mahkamah Konstitusi:250
Dibentuk sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai
peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip
negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana
ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Dasar menimbang huruf b ini secara garis besar Mahkamah Konstitusi
dibentuk dalam usaha menegakkan konstitusi.251 Sehingga, Mahkamah Konstitusi
berkewajiban untuk menegakkan konstitusi terutama jika terdapat hak
konstitusional warga negara yang terlanggar. Selain itu, dalam menegakkan
konstitusi, Mahkamah Konstitusi terikat peraturan perundang-undang yang secara
eksplisit mengatur dan doktrin peradilan pada negara hukum. Sebagai sebuah
lembaga peradilan, Mahkamah Konstitusi bertujuan untuk menegakkan hukum
dan keadilan dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi:252 Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang
melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Penegakan hukum dalam
konsep filsafat memiliki banyak intrepretasi, adapun pendekatan-pendekatan
terkait asas penegakan hukum secara garis besar adalah:253
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
250
Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun
2003, LN. 98 Tahun 2003, TLN. No. 4316. Dasar Menimbang.
251
Pemahaman lain penegakkan konstitusi juga dapat dikatakan sebagai The
Guardian of The Constitution. Jimly Asshiddiqie, “Gagasan Negara Hukum Indonesia,“
http://jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf. diunduh pada
1 Juni 1012. hlm. 1.
252
Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi…,op.cit., Psl. 2.
253
Tim Pengajar Ilmu Negara, Ilmu Negara…op.cit., hlm. 29.
!!"
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
1. Asas Kepastian Hukum
Bahwa setiap orang dapat diterapkannya sebuah hukum terhadap
peristiwa konkret yang terjadi. Bagaimana ketentuan hukum yang
mengatur, maka hal tersebutlah yang harus dilaksanakan. Sehingga, tidak
diharapkan terjadinya penyimpangan atas hukum yang dibentuk dan
disepakati.
2. Asas Kemanfaatan
Bahwa pelaksanaan dan penegakkan hukum harus memberikan
kemanfaatan atau kegunaan kepada masyarakat karena hukum dibentuk
untuk kepentingan masyarakat. Sehingga, tidak diharapkan terjadinya
keresahan di dalam masyarakat karena hukum yang dibentuk tidak
memberikan kemanfaatan.
3. Asas Keadilan
Bahwa penegakkan hukum harus mampu menciptakan rasa
keadilan bagi masyarakat. Peraturan atau hukum yang dibentuk pada
dasarnya bersifat umum dan mengikat setiap orang akan tetapi
penerapannya harus mempertimbangkan berbagai fakta dan keadaan saat
terjadinya peristiwa hukum
Ketiga hal tersebut diatas merupakan sebuah hal yang ihwal yang wajib
dilaksanakan oleh para Hakim Konstitusi dalam melakukan penafsiran atas
konstitusi.254
Sehingga,
tidak
terjadi
tumpang
tindih
dalam
melihat
konstitusionalitas sebuah Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi harus bertindak secara konstitusional dalam
menafsirkan konstitusi itu sendiri. Relevan dengan ini, Thomas Paine juga
mengatakan bahwa lahirnya konstitusi itu bukanlah tindakan pemerintah
melainkan tindakan rakyat untuk mengatur pemerintahan negaranya dan
pemerintahan tanpa konstitusi adalah kekuasaan yang tanpa hak, sehingga
pengujian undang- undang oleh Mahkamah Konstitusi juga harus berdasar pada
########################################################
254
Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi tentang Adjudikasi
Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif…op.cit., hlm. 76.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
kesepakatan yang menjadi aturan tentang tindakan rakyat itu.255 Dapat juga
merujuk pada pendapat Carl J. Friedrich yang mengatakan bahwa konstitusi di
dalam pemikiran politik modern sangatlah khas karena konstitusi merupakan
proses pengendalian aktivitas pemerintahan secara efisien.256 Sehingga pengujian
undang-undang itu harus juga berpedoman pada original intent UUD yang
merupakan dasar untuk mengendalikan tindakan-tindakan pemerintah, termasuk
dalam membuat undang-undang tersebut.
3.1.3
Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Menurut Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia
Pengaturan mengenai struktur peraturan perundang-undangan di Indonesia
terus mengalami perkembangan. Mulai dari hierarki perundang-undang tentang
tata cara pembentukan dan tingkat lanjut dari peraturan perundang-undangan itu
sendiri. Pertama, terkait dengan hierarki peraturan perundang-undangan di
Indonesia pada dasarnya mulai dikenal dengan adanya Undang-Undang No. 1
Tahun 1950 tentang Peraturan tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Perumusan di dalam Undang-Undang tersebut
mencakup tiga hal yakni Undang-Undang dan Perpu sebagai hierarki teratas,
kemudian Peraturan Pemerintah dan terakhir Peraturan Menteri. Kemudian,
susunan tata perundang-undangan ini terus mengalami perubahan sampai dengan
dikeluarkannya Undang-Undang 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Tata urut peraturan perundang-undangan di UndangUndang No. 10 Tahun 2004, pada dasarnya disusun setelah dibentuknya
Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, pengaturan di dalam Undang-Undang No. 10
Tahun 2004 tidak memasukkan pengenai kedudukan Putusan Mahkamah
Konstitusi dalam tata urut peraturan perundang-undangan.
Tata urut peraturan perundang-undangan sebagaimana di atur di dalam
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tertuang di dalam pasal 7 yang bunyinya
########################################################
255
Charles Howard McIlwain, Constitutionalism: Ancient and Modern, Cornell
University Press, Ithaca, New York, 966, hal. 20., sebagaimana dikutip Jimly Asshiddiqie,
Konstitusi dan Konstitusionalisme…op.cit., hlm.4.
256
William G. Andrews, Constitutions and Constitutionalism…op.cit., hal. 9.,
sebagaimana dikutip Jimly Asshiddiqie, ibid., hlm.20.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
bahwa:257 Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai
berikut: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; UndangUndang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden; Peraturan Daerah. Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf e meliputi:
1. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat
daerah provinsi bersama dengan gubemur;
2. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan
rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
3. Peraturan
Desa/peraturan
yang
setingkat,
dibuat
oleh
badan
perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau
nama lainnya.
Pasal tersebut di atas sama sekali tidak menyinggung keberadaan Putusan
Mahkamah Konstitusi dalam tata urut peraturan perundang-undangan. Hal ini
secara langsung dapat berakibat pada kedudukan peraturan pelaksana yang
merujuk pada undang-undang setelah diujikan pada Mahkamah Konstitusi. Hal
yang dapat dijadikan rujukan pada Undang-Undang ini adalah Pasal 7 Ayat (4).258
Bahwa, jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi
dengan adanya undang-undang ini hanya diakui keberadaannya dan mempunyai
daya hukum yang mengikat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa undangundang ini tidak memberikan daya ikat Putusan Mahkamah Konstitusi atas
peraturan perundang-undangan lainnya.
########################################################
257
Indonesia, Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU
No. 10 Tahun 2004, LN. 53., TLN. 4389., Psl. 7.
258
“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain,
peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang
setingkat yang dibentak oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.” Ibid., Penjelasan pasal
7 ayat (4).
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Kemudian pada perkembangannya, Undang-Undang ini diubah dengan
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan. Pengaturan di dalam hierarki peraturan perundang-undangan memang
diubah sebagaimana tertuang di dalam pasal 7 ayat (1), yang mencantumkan
tentang Ketetapan MPR tapi tidak memberi kejelasan tentang Putusan Mahkamah
Konstitusi sebagai bahan galian norma.
259
Bahwa, jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan terdiri atas: Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; UndangUndang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah;
Peraturan
Presiden; Peraturan
Daerah
Provinsi;
dan Peraturan
Daerah
Kabupaten/Kota. Perubahan di dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tidak
mengubah secara substansi keberadaan Putusan Mahkamah Konstitusi di dalam
struktur hierarki peraturan perundang-undangan. Putusan Mahkamah Konstitusi
tidak dijelaskan apakah sebagai sebuah dasar rujukan untuk peraturan pelaksana
dibawah Undang-Undang atau tidak. Selain itu, dengan tidak dimasukannya
putusan Mahkamah Konstitusi berakibat pada materi peraturan pelaksanaan pada
undang-undang apakah dapat diujikan ke Mahkamah Agung atau tidak setelah
adanya putusan Mahkamah Konstitusi.
Adapun demikian, Undang-Undang ini mengatur tentang tindak lanjut
terhadap putusan Mahkamah Konstitusi dengan diatur di dalam Pasal 10 Ayat (1)
huruf d dan Ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10
(1) Materi muatan yang harus diatur dengan Undang- Undang berisi:
d tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
(2) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden.
Pasal 10 Ayat (1) huruf d ini memiliki penjelasan bahwa yang dimaksud dengan
”tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi” terkait dengan putusan
Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian Undang- Undang terhadap Undang########################################################
259
Indonesia, Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, LN.
No. 82 Tahun 2011, TLN. No. 5234., Psl. 7.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Materi muatan yang
dibuat, terkait dengan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang yang secara
tegas dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dan, pada Ayat
(2) dijelaskan sebagai berikut: “Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum.” Selain itu, diatur
di dalam Pasal 23 Ayat (1) huruf b yang berbunyi: “Dalam Prolegnas dimuat
daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas: b. Akibat putusan Mahkamah
Konstitusi.”
3.2 Kewenangan Pembentukan Undang-Undang dan Proses Legislasi di
Indonesia
3.2.1 Kewenangan Pembentukan Undang-Undang di Indonesia
Fungsi
Legislasi
dalam
Undang-Undang
Dasar
1945
Sebelum
Amandemen menempatkan peranan yang lebih besar pada eksekutif dibandingkan
pada lembaga legislatif.260 Hal ini dikarenakan pada pengaturan di dalam UndangUndang Dasar 1945 Sebelum Amandemen dapat ditafsirkan secara luas melalui
undang-undang dan digunakan untuk mengendalikan kekuasaan.261 Selain itu,
kekuasaan eksekutif menjadi begitu besar secara teknis dikarenakan adanya masa
transisi antara Orde Lama dan Orde Baru.262 Oleh karena itu, pemahaman
mengenai bagaimana fungsi legislasi di dalam Sebelum Amandemen selain
berpijak pada ketentuan pasal di dalamnya tetapi juga dengan melihat tendensi
untuk melanggengkan kekuasaan eksekutif masa Orde Baru karena belum
tertatanya sistem presidensial di Indonesia.
########################################################
260
Fase Pembentukan Undang-Undang pada periode sebelum Amandemen
khususnya dalam masa Orde Baru dikenal sebagai executive heavy. Dengan adanya
kewenangan yang begitu besar melekat pada Presiden, menjadi jalan melanggengkan
kekuasaan politik oleh Presiden terpilih sampai tahap pengisian kursi DPR. Miriam
Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik…op.cit., hlm. 289.
261
Sri Bintang Pamungkas, Dari Orde Baru Ke Indonesia Bari lewat Reformasi
Total…op.cit., hlm. 135.
262
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi
Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010),
hlm. 134.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Undang-Undang Dasar 1945 Sebelum Amandemen mengatur tentang
fungsi legislasi atau pembentukan undang-undang di dalam Pasal 5 Ayat (1) yang
bahwa:263 Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-undang dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) tersebut di
atas, pemegang kekuasaan untuk membentuk undang-undang adalah Presiden.
Kedudukan Presiden tidak lagi sebagai eksekutif tetapi merangkap sebagai
pembentuk undang-undang.264 Kemudian, pengaturan mengenai kewenangan
DPR dalam pembentukan undang-undang diatur di dalam Pasal 20 Ayat (1)
bahwa;265 Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-undang dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Berdasarkan pemaparan ayat tersebut di atas, dapat dilihat bahwa
keberadaan DPR hanya sebagai manifestasi rakyat untuk memberikan
persetujuan. A. Hamid S. Attamimi memberikan penafsiran bahwa keberadaan
Pasal 5 Ayat (1) harus diartikan sebagai pemegang kewenangan pembentukan.
Pendapat beliau didasarkan penafsiran secara semantik bahwa frasa “Presiden
sebagai pemegang kekuasaan membentuk undang-undang” dan “dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat” diartikan bahwa Presiden yang memiliki
kekuasaan dalam membentuk undang-undang dan DPR hanya melaksanakan
pemberian persetujuan.266 Sehingga, menurut pandangan beliau pemegang
kewenangan pembentukan undang-undang ada pada Presiden.
Penafsiran dari Hamid Attamimi berbeda dengan penafsiran dari Wirjono
Prodjodikoro yang menjelaskan bahwa pembentukan undang-undang harus
menggabungkan norma yang terdapat pada Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 20 Ayat
########################################################
263
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 Sebelum Amandemen, Pasal 5 ayat (1)
264
Keberadaan kekuasaan yang begitu besar pada presiden sejalan dengan
pemikiran Soepomo yang menginginkan penyelenggaraan negara sejalan dengan sistem
pemerintahan negara. Indonesia yang menganut sistem presidensial, maka kekuasaan harus
lebih besar terletak pada pemerintah (concetration of responsibilitu and power in
government) dan pemerintah harus tidak bergantung pada vetrouwwensvotum atau DPR. RM.
A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Depok: Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2004), hlm. 365. Sebagaimana dikutip dalam: Saldi Isra, op.cit., hlm. 103.
265
Indonesia, op.cit., Pasal 20 ayat (1).
266
Attamimi, Peranan “Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan,” (Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 1992),
hlm. 146. Sebagaimana dikutip dalam: Saldi Isra, op.cit., hlm 139.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
(1). Sehingga, menurut beliau yang dimaksudkan sebagai undang-undang adalah
sebuah peraturan yang dibentuk atas kerja sama pemerintah dan DPR.267 Hal
senada turut disampaikan oleh JCT. Simorangkir bahwa Pasal 5 Ayat (1) dan
Pasal 20 Ayat (1) menegaskan kewenangan utama pembentukan undang-undang
ada pada DPR. Kemudian, keberadaan Presiden dalam membentuk undangundang merupakan sebuah syarat konstitusional bagi penyusun suatu undangundang.268 Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Moh. Kusnardi dan
Harmaily Ibrahim yang mengatakan bahwa kekuasaan Presiden dalam
membentuk peraturan perundang-undangan merupakan patner bagi DPR.269
Artinya, Presiden bekerja sama dengan DPR dalam tugas legislatifnya yang
diantaranya membuat undang-undang dan menetapkan APBN.
Hal tersebut menimbulkan perdebatan diantara para akademisi Hukum
Tata Negara adapun dalam prakteknya kekuasaan pembentukan undang-undang
ada pada presiden270. Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 20 Ayat (1) di dalam UndangUndang Dasar 1945 Sebelum Amandemen secara jelas mendudukan Presiden
sebagai pemegang kekuasaan pembentukan undang-undang dan DPR hanya
sebagai patner dalam melaksanaan kehidupan bernegara. Sekalipun pendekatan
historis pada pendapat Muhamad Yamin di dalam perumusan Undang-Undang
Dasar 1945 letak kekuasaan pembentukan undang-undang dipegang pada DPR,271
pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen tetap dilaksanakan sebagaimana
bunyi pasal tersebut.272 Sehingga, pendapat yang senyata-nyatanya dilaksanakan
atau terimplikasikan adalah pendapat Hamid Attamimi sekalipun empat akademisi
yang berbeda pendapat dengannya memiliki argumen yang menguatkan.
########################################################
267
Wirjono Prodjodikoro, Asaz-Asaz Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Dian
Rakyat, 1971) hal 73. Sebagaimana dikutip dalam: Ibid., hlm. 140.
268
JCT. Simorangkir, Tentang dan Sekitar Dewan Perwakilan Rakyat, (Jakarta:
Erlangga, 1972). Hal 13. Sebagaimana dikutip dalam: Ibid.
269
Ibid.
270
Sri Bintang Pamungkas, Dari Orde Baru Ke Indonesia Bari lewat Reformasi
Total…op.cit. hlm. 135.
271
RM. A.B. Kusuma, op.cit., hlm. 365.
272
Sri Bintang Pamyngkas, op.cit., hlm. 5.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Berangkat dari perdebatan mengenai kedudukan DPR maupun Presiden
dalam pembentukan undang-undang, pada saat reformasi upaya menciptakan
proporsionalitas antara Presiden dan DPR begitu kuat.273 Sehingga, wacana
kedudukan dan kewenangan DPR dan Presiden memiliki dibahas pada
Amandemen I tanggal 19 Oktober 1999.274 Hasil rapat Panitia Perumus Perubahan
Undang-Undang Dasar menghasilkan ketentuan sebagaimana kedudukan DPR
dan Presiden seolah dikembalikan ke ranah pembagian kekuasaan sebagaimana
mestinya. Pasal 5 Ayat (1) mengalami perubahan sehingga menjadi:275 Presiden
berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Perubahan tersebut secara fundamental memperjelas posisi Presiden dalam
pembentukan undang-undang sebagai patner dalam pengesahan undang-undang.
Presiden hanya memiliki hak untuk mengajukan rancangan undang-undang
kepada DPR walaupun dalam persetujuan rancangan undang-undang tetap
dibutuhkan persetujuan antar keduanya.276 Sehingga, pemegang kekuasaan
pembentukan undang-undang tidak abu-abu antara Presiden dan DPR. Oleh
karena itu, jika melihat isi pasal tersebut senada dengan pendapat Wirjono
Prodjodikoro yang mengatakan bahwa Presiden hanya sebagai patner dalam kerja
sama untuk membentuk undang-undang.277 Kemudian, dari sisi kewenangan DPR
dalam membentuk Undang-Undang dilakukan perubahan yang fundamental. Pasal
########################################################
273
Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Buku I: Latar Belakang, Proses
dan Hasil Pembahasan 1999-2001, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI,
2010), hlm. 247.
274
Ibid., hlm. 45.
275
Indonesia, op.cit., Pasal 5 ayat 1.
276
“Maria Farida mengatakan bahwa meskipun perubahan UUD 1945 dikatakan
memberi kewenangan legislasi kepada DPR, akan tetapi jika dibaca secara menyeluruh
perubahan yang dilakukan secara normatif lebih menguatkan posisi Presiden dalam
pembentukan undang-undang. Dalam studi yang dilakukan Blair Andrew King tentang
kekuasaan Presiden Indonesia setelah 4 kali perubahan UUD 1945, dengan menggunakan
skala Shugart-Carey ternyata kekuasaan legislatif Presiden justru tambah kuat dibanding
sebelum perubahan.” Maria Farida Indrati, “Empowering The Presidency: Interest and
Perceptions in Indonesia’s Constitutional Reform”, Disertasi doktor The Ohio State
University. Colombus, 2004. hlm. 64. Sebagaimana dikutip dalam: Muarar Siahaan, “Uji
Konstitusionalitas Peraturan Perundang-Undangan Negara Kita: Masalah dan Tantangan,”
dalam Jurnal Mahkamah Konstitusi Volume 7 Nomor 4, Agustus 2010, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2010), hlm. 16.
277
Wirjono Prodjodikoro, op.cit.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
20 tidak hanya Ayat (1) yang diubah, melainkan secara keseluruhan yang juga
memuat
kelanjutan
tentang
pembahasan
undang-undang
sampai
tahap
pengundangan. Selain itu, ketentuan di dalam Pasal 21 juga mengalami perubahan
atas pergeseran, sehingga menjadi: Dewan Perwakilan Rakyat memegang
kekuasaan membentuk Undang-undang; Setiap rancangan Undang-undang
dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan
bersama; Jika rancangan Undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama,
rancangan Undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan
Dewan Perwakilan Rakyat masa itu; Persidangan mengesahkan rancangan
Undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi Undang-undang;
Dalam rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak
disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undangundang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi
Undang-undang dan wajib diundangkan. Yang sebelumnya berbunyi; Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan Undang-undang.278
Perubahan terkait dengan fungsi legislasi dalam lembaga tinggi negara
menjadi bukti adanya peletakan yang jelas terkait pemisahan kekuasaan dan
dimuat wacana baru tentang penguatan checks and balances system.279
Menanggapi perubahan Undang-Undang Dasar 1945, A. Mukhtie Fajar
mengemukakan dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar bahwa terdapat
setidaknya lima alasan mengapa harus dilakukan amandemen.280 Salah satu poin
utama yang disampaikan adalah terkait dengan penguatan fungsi legislasi oleh
########################################################
278
Sebelumnya berbunyi:
(1) Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak memajukanrancangan Undangundang.
(2) Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak disahkan
oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan
Perwakilan Rakyat masa itu.
279
Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Buku I: Latar Belakang, Proses
dan Hasil Pembahasan 1999-2001..., op.cit., hlm. 337.
280
Abdul Mukhtie Fajar, “Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi
Paradigmatik,” (makalah disampaikan pada Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya, Malang, 13 Juli 2002), hlm. 8-9. Sebagaimana dikutip dalam: Saldi
Isra, op.cit., hlm. 165.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
DPR. Secara filosofis-yuridis, pernah dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden
No. X yang menempatkan lembaga legislatif sejajar dengan presiden.281
Hal tersebut senafas dengan keinginan untuk memperjelas sistem
presidensial di Indonesia. Adapun terdapat perubahan di dalam Pasal 5 ayat (1)
dan Pasal 20 ayat (1), keberadaan Pasal 4 ayat (1) tetap dipertahankan dalam
menegaskan bahwa Indonesia menganut sistem presidensial.282 Dalam rangka
penguatan sistem presidensial dan penegasan pemegang kekuasaan legislasi,
dijalankan dengan adanya pengawalan konstitusi oleh lembaga yudikatif
(kekuasaan kehakiman). Hal ini meruapakan bentuk cheks and balances yang
paling ideal dalam pembangunan hukum yang sinergis antara rakyat,
penyelenggara pemerintahan dan diawasi secara materiil dengan diwadahinya
undang-undang.283
pengujian
Sehingga
pasca
amandemen,
kewenangan
pembentukan undang-undang dipegang oleh DPR dengan persetujuan Presiden
terkait penguatan sistem presidensial di Indonesia.
3.2.2
Proses Legislasi di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Proses legislasi di Indonesia secara materiil mengalami perubahan setelah
Amandemen UUD 1945 dengan menempatkan MPR tidak lagi sebagai lembaga
tertinggi negara.284 Secara praktek ketatanegaraan, dengan berubahnya kedudukan
MPR mengakibatkan tidak dikeluarkannya lagi Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN)
sebagai
acuan
pembentukan
undang-undang285.
Selepas
tidak
dikeluarkannya GBHN, DPR dan Presiden membentuk Propenas dalam UndangUndang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional yang salah
########################################################
281
Indonesia, Maklumat Wakil Presiden Komite Nasional Pusat: Pemberian
Kewenangan Legislatif kepada Komisi Nasional Pusat, Maklumat Wakil Presiden No. X
tahun 1965, Berita Republik Indonesia Tahun I No. 2.
282
Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi,
(Jakarta: Gramedia, 2010), 272.
283
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Rajawali Press, 2010),
hlm. 318.
284
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2…op.cit., hlm.24.
285
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang…op.cit.., hlm. 52.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
satunya memuat tentang Program Legislasi Nasional sesuai dengan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999.286
Ketentuan lebih lanjut mengenai Prolegnas pada Undang-Undang No. 25 Tahun
2000 dapat dilihat dalam Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2005 tentang Tata
Cara Penyusunan dan Pengelolaan Prolegnas.287 Sehingga, pembentukan undangundang di Indonesia secara umum mengacu pada prolegnas yang telah ditetapkan
tetapi tetap memungkinkan adanya pembentukan undang-undang di luar
Prolegnas.288
Rancangan undang-undang yang tertuang dalam Prolegnas disusun
berdasarkan skala prioritas.289 Pembagian skala prioritas di dalam Prolegnas
terbagi dalam jangka menengah dan jangka panjang.290 Pemerintah dan DPR
menyusun Prolegnas tidak secara bersamaan sebagai satu kesatuan melainkan
terpisah dalam lingkungan masing-masing.291 Prolegnas yang diajukan oleh
Presiden berada di bawah koordinasi Menteri Hukum dan HAM, sedangkan dari
pihak DPR dikoordinasi oleh Badan Legislasi Nasional (Balegnas).292 Selanjutya,
bahan penyusunan Prolegnas dikumpulkan oleh DPD, DPR dan Pemerintah untuk
dibahas sehingga menjadi Prolegnas. Sejalan dengan proses pembahasan DPD
melalui Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) menginventarisir masukan
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
286
Indonesia, Undang-Undang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004,
No. 25 Tahun 2000, LN No. 206 Tahun 2000, TLN No. -, Dasar Pertimbangan Huruf a.
287
Indonesia, Peraturan Presiden Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan
Pengelolaan Program Legislasi Nasional, Perpres No. 61 Tahun 2005. Sebagaimana dikutip
pada Konrad Adenuer Stiftung dan PSHK, Memantau Parlemen Mendorong Lahirnya
Legislasi: Panduan Praktis Pemantauan Legislasi, (Jakarta: PSHK, 2007), hlm. 12.
288
Indonesia, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, No. 11 Tahun 2012,
LN No. 82 Tahun 2012, TLN No. 5234, Pasal 23 Ayat (1).
289
Ibid.,Pasal 20 Ayat (2).
290
Indonesia, Peraturan Presiden tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan
Program Legislasi Nasional, Perpres No. 61 Tahun 2005, Psl. 5.
291
Ibid., Pasal 6.
292
Badan legislasi merupakan salah satu alat kelengkapan DPR yang dibentuk pada
tahun 2000. Berdasarkan Pasal 42 Keputusan DPR, No. 15/DPR-RI/I/2004-2005 tentang
Peraturan Tata Tertib DPR. Dikutip pada Konrad Adenuer Stiftung dan PSHK,...op.cit., hlm.
21.
!!"
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
dari anggota DPD, Panitia Ad Hoc, masyrakat dan daerah yang kemudian
disampaikan kepada DPR untuk dibahas dan ditetapkan sebagai Prolegnas.293
Prolegnas yang sudah ditetapkan oleh DPR dan Pemerintah kemudian
dilakukan pemantapan dan harmonisasi dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan
peraturan perundang-undangan lainnya dalam sebuah forum konsultasi yang
dimoderasi oleh Menteri Hukum dan HAM. Pembahasan ini dihadiri oleh
menteri-menteri lain, pimpinan LPND, pimpinan instransi pemerintah terkait
lainnya, para ahli dari perguruan tinggi, organisasi di bidang sosial, politik,
profesi atau kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan.294 Konsep
Prolegnas ini nantinya harus memperoleh persetujuan Presiden sebelum diajukan
pada DPR untuk dibahas dan disetujui.295 Kemudian, setelah konsep prolegnas
disetujui oleh DPR dan Presiden kemudian masuk sebagai rancangan undangundang.296
Tahap selanjutnya setelah pengesahan Prolegnas sebagai Undang-undang,
perancangan undang-undang dilakukan secara bertahap. Tahap perancangan RUU
meliputi tiga tahap yakni tahap persiapan, terknik penyusunan dan perumusan,
ketiga tahapan ini sering disebut sebagai perancangan.297 Proses perancangan
RUU secara umum mengacu pada RUU yang telah disebutkan di dalam
Prolegnas. Akan tetapi, dalam keadaan tertentu, DPR dan Presiden dapat
########################################################
293
Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22 D ayat (1) yang
berbunyi: ”Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan
pusat dan daerah.” Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 22D ayat (1).
294
Indonesia, Indonesia, Peraturan Presiden tentang Tata Cara Penyusunan dan
Pengelolaan…op.cit., Psl. 16.
295
Indonesia, Peraturan Presiden tentang Tata Cara…,op.cit., Psl. 17.
296
Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, DPR dan Presiden memegang
peranan penting dalam menentukan arah kebijakan jangka pendek, menengah dan jangka
panjang yang tertuang dalam Prolegnas. Selain itu ini juga mempertegas cheks and balances
terutama dalam pembentukan undang-undang. Jimly Asshiddiqie, Perihal UndangUndang,…op.cit., hlm. 298.
297
Konrad Adenuer Stiftung dan PSHK,...op.cit., hlm. 13.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
mengajukan RUU di luar dari Prolegnas.298 Keadaan tertentu yang dimaksudkan
meliputi: menetapkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (PERPU) menjadi
Undang-Undang; meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional; untuk
melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi; untuk mengatasi keadaan luar
biasa, keadaan konflik atau bencana alam; serta keadaan tertentu lainnya yang
memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui
bersama oleh Baleg (DPR) dan Menteri Hukum dan HAM (Pemerintah).299
Pada prosesnya, terdapat tiga lembaga yang dapat melakukan proses
perancangan yakni Presiden, DPR, dan DPD, adapun yang hanya memberikan
persetujuan hanya Presiden dan DPR. Secara terperinci dapat dilihat sebagai
berikut:300
1. Perancangan RUU oleh Presiden
Berdasarkan ketentuan di dalam pasal 47 Undang-Undang No. 12
Tahun 2011, Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang yang
disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementrian,
sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya.301 Kemudian, setelah
disiapkan oleh menteri terkait, draft yang disiapkan oleh kementrian atau
pimpinan lembaga pemerintah nonkementrian menyerahkan kepada
Menkum HAM. Draf rancangan undang-undang ini kemudian masuk
dalam
tahap
pengharmonisasian,302
pembulatan,303
pemantapan,
########################################################
298
Indonesia,
Undang-Undang
Pembentukan
Peraturan
PerundangUndangan…op.cit., juncto., Dewan Perwakilan Rakyat, Tata Tertib Dewan Perwakilan
Rakyat 2009-2014, Psl. 101 ayat (2).
299
Ibid., Psl. 23.
300
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Psl. 5 ayat (1) juncto., Psl. 21 juncto.,
Psl. 22D ayat (1) juncto., Indonesia, Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, UU no. 27 Tahun 2009, LN123 Tahun 2009, TLN. No. 5043. Psl. 142.
301
Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, di Indonesia terlebih dahulu di atur oleh Undang-Undang
10 Tahun 2004 dan sebelumnya diatur dalam Keputusan Presiden No. 188 Tahun 1998
tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang yang merupakan
penyempurnaan dari Instruksi Presiden No. 15 Tahun 1970. Konrad Adenuer Stiftung dan
PSHK,...op.cit., hlm. 14.
302
Proses Pengharmonisasian meliputi pemeriksaan secara vertikal dan horizontal
untuk menghindari tumpang tindih pengaturan. Indonesia, Undang-Undang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan…op.cit., Lampiran, Bab III.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
pengkajian dan penyelarasan.304 Selain oleh segi rancangan yang
disiapkan, pihak kementrian ataupun pimpinan lembaga pemerintah
nonkementrian dapat menjadi pemrakarsa penyusunan RUU atas nama
pemerintah. Draf hasil prakarsa tersebut tidak sepenuhnya harus mengikuti
Prolegnas tapi harus mendapatkan izin dari Presiden.
Pemrakarsa yang mengajukan izin kepada Presiden setidaknya
memuat beberapa penjelasan terkait konsepsi pengaturan RUU yang
meliputi:305
-
urgensi tujuan dan penyusunan;
-
sasaran yang ingin diwujudkan;
-
pokok pikiran, lingkup atau obyek yang akan diatur; dan
-
jangkauan serta arah pengaturan.
Kemudian, dalam proses penyusunan RUU harus sertai naskah akademis
yang ketentuannya terlampir dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2012
tentang
Pembentukan
Peraturan
Perundang-Undangan.
Kewajiban
mengenai penyertaan naskah akademik adalah muatan baru dalam
Undang-Undang No. 12 tahun 2011 dan berbeda dengan pengaturan dalam
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 yang tidak mewajibkan adanya
naskah akademik.306 Pembuatan naskah akademik ini dapat diserahkan
kepada pihak perguruan tinggi, pihak ketiga seperti Lembaga Swadaya
########################################################################################################################################################
303
Pembulatan yang dimaksudkan adalah melihat satu pasal secara utuh dalam hal
menghindari pengulangan. Ibid., Teknik Pengacuan No. 272.
304
Pengkajian dan Penyelarasan yang dimaksudkan adalah proses untuk mengetahui
keterkaitan materi yang akan diatur dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya yang
vertikal atau horizontal sehingga dapat mencegah tumpang tindih pengaturan atau
kewenangan. Ibid., Penjelasan Psl. 19 ayat (3).
305
Konrad Adenuer Stiftung dan PSHK,...op.cit., hlm. 15.
306
Lihat Penjelasan tentang Naskah Akademis dalam Jimly Asshiddiqie,
Perihal…op.cit., hlm. 319-323., dan Hal ini juga didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 142
Undang-Undang No. 27 Tahun 2009. Indonesia, Undang-Undang tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat…op.cit., . Psl. 142. Bandingkan
dengan Psl. 1 angka 11, Psl. 19 ayat (3), Psl. 33 ayat (3), Psl. 43 ayat (3), Psl. 44 ayat (1), (2),
Psl. 48 ayat (1), beserta Penjelasan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011. Indonesia,
Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan…op.cit.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Masyarakat ataupun organisasi profesi lainnya.307 Naskah akademik
setidaknya memuat latar belakang, kajian teoritis berupa dasar filosofis,
sosiologis, yuridis dan memuat kajian implementatif yang sudah
disertakan dengan pokok materi yang akan diatur.308
Perancangan
Undang-Undang
meliputi
perancangan
yang
didasarkan pada Prolegnas dan tidak dengan mengacu pada Prolegnas.
Setelah pengesahan undang-undang Prolegnas, kemudian Pemrakarsa
membentuk Panitia Antardepartemen yang terdiri dari perwakilan
departemen dan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) terkait
dengan substansi RUU.309 Panitia Antardepartemen ini nantinya akan
membahas permasalahan yang bersifat prinsip megenai obyek yang akan
diatur, jangkauan dan arah pengaturan. Pemrakarsa mengajukan surat
permintaan keanggtaan Panitia Antardepartemen kepada MenkumHAM
dan menteri atau pimpinan LPND terkait dengan melampirkan konsepsi,
pokok-pokok materi dan bahan lainnya yang berkaitan dengan RUU yang
hendak diajukan.310
MenkumHAM dan menteri/pimpinan lembaga terkait diberi waktu
paling lama 7 (tujuh) hari setelah surat permohonan diajukan untuk
menugaskan pejabat yang berwenang mengambil keputusan, ahli hukum
serta perancang peraturan perundang-undangan yang secara teknis
menguasai permasalahan terkait RUU.311 Pihak yang ditunjuk ini memiliki
kewajiban untuk menyampaikan laporan atau menerima langsung dari
menteri atau pimpinan LPND terkait mengenai perkembangan penyusunan
########################################################
307
Indonesia, Peraturan Presiden tentang Tata Cara Mempersiapkan Randangan
Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden, Perpres 68 Tahun
2005, Psl. 5
308
Indonesia,
Undang-Undang
Undangan…op.cit.Lampiran I.
Pembentukan
309
Konrad Adenuer Stiftung dan PSHK,...op.cit., hlm. 16.
310
Ibid.
Peraturan
Perundang-
311
Indonesia, Peraturan Presiden tentang Tata Cara Mempersiapkan Randangan
Undang-Undang, op.cit., Psl. 7.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
RUU beserta permasalahan yang dihadapi. Kemudian pemrakarsa diberi
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pengajuan surat permintaan
untuk
menetapkan
surat
keputusan
pembentukan
Panitia
Antardepartemen.312
Pemrakarsa menunjuk seorang ketua yang akan melanjutkan
perumusan draf RUU dengan kepala biro hukum atau satuan kerja yang
menyelenggarakan fungsi di bidang peraturan perundang-undangan.
Satuan kerja tersebut adalah satuan kerja yang bertugas melakukan
kegiatan perancangan yang meliputi penyiapan, pengolahan dan
perumusan. Hasil rancangan ini kemudian disampaikan kepada Panitia
Antardepartemen untuk diteliti.313 Pembahasan RUU di tingkat Panitia
Antardepartemen,
pemrakarsa
dapat
mengundang
para
ahli
dari
lingkungan perguruan tinggi atau organisasi terkait untuk mengetahui
aspek
kebutuhan
masyarakat.
Setelah
disepakati,
ketua
Panitia
Antardepartemen akan menyetujui RUU yang kemudian akan diajukan
MenkumHAM untuk dibahas bersama dengan DPR.
Tahap selanjutnya MenkumHAM dan menteri atau lembaga terkait
akan diberi waktu 14 (empat belas) hari kerja semenjak menerima RUU
untuk memberikan pertimbangan dan paraf persetujuan.314 Jika terjadi
perdebatan tentang materi muatan dalam RUU, maka MenkumHAM akan
mengadakan pertemuan yang membahas keberlanjutan RUU tersebut.
Untuk RUU yang tidak memiliki permasalahan dari segi substansi dan
teknik perancangan perundang-undangan, akan disampaikan ke Presiden
untuk nantinya dibahas dengan DPR. Pada dasarnya tidak ada perbedaan
antara perancangan RUU berdasarkan Prolegnas dan tidak berdasarkan
Prolegnas. Untuk RUU yang disusun tidak berdasarkan pada Prolegnas,
prosesnya hanya dimulai dengan adanya koordinasi pemrakarsa dengan
pihak-pihak terkait dan harus dilengkapi dengan dasar-dasar urgensi dan
########################################################
312
Ibid., Psl. 20 ayat (2)
313
Ibid, Psl. 10.
314
Ibid., Psl. 14.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
poin-poin yang mendukung megapa perlu dibuatnya undang-undang
tersebut.315
2. Perancangan RUU oleh DPR
Perancangan RUU oleh DPR mencakup beberapa elemen seperti
Fraksi, Badan Legislasi (Baleg), dan Komisi.316 RUU yang berasal dari
Fraksi dipersiapkan oleh partainya dengan mempersiapkan tim pakar.
Kinerja tim pakar ini meliputi mengumpulkan masukan-masukan dari
konstituennya (masyarakat) melalui dewan pengurus pusat dan dewan
pengurus daerah partai. Sedangkan untuk Badan Legislasi maupun tim ahli
dari fraksi memiliki mekanisme sendiri-sendiri. Adapun di dalam
penyusunan RUU, pihak perumus wajib menyertakan naskah akademis
sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011.317
RUU yang disusun oleh Badan Legislasi biasanya meminta tiga universitas
untuk melakukan penelitian dan sosialisasi atas hasil penelitian tersebut.
Tata Tertib DPR mengatur dengan jelas partisipasi masyarakat
dalam pembuatan undang-undang sehingga dalam tahap perancangan
RUU fungsi kepartaian (fraksi) sangatlah penting.318 Selain itu,
masyarakat dapat langsung memberikan masukan secara tertulis maupun
lisan kepada DPR. Untuk masukan yang berbentuk tertulis, dapat langsung
disampaikan kepada pimpinan DPR untuk dipertimbangkan apakah akan
diagendakan untuk dibahas atau tidak. Akan tetapi, pada prakteknya
partisipasi masyarakat jarang dilakukan secara terbuka.319 Pengusulan
rancangan RUU tidaklah mudah karena pembuatannya tidaklah mudah
########################################################
315
Indonesia,
Undang-Undang
Undangan…op.cit. Psl. 23 ayat (2) huruf b.
Pembentukan
Peraturan
Perundang-
316
Dewan Perwakilan Rakyat, Tata Tertib…op.cit., Psl. 99 ayat (2). juncto.,
Indonesia, Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat…,op.cit., Psl. 143.
317
Pada dasarnya pengaturan mengenai penyertaan Naskah Akademik telah termuat
di dalam Pasal 142 ayat (2) Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Indonesia, Undang-Undang Majelis Permusyawaratan
Rakyat…,op.cit., Psl. 142 ayat (2).
318
Dewan Perwakilan Rakyat, op.cit., Pasal 208 juncto., Pasal 203.
319
Konrad Adenuer Stiftung dan PSHK,...op.cit., hlm. 22.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
sehingga seringkali keran partisipasi masyarakat diperbantukan dan
diakomodasi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat ataupun instansi
nonpemerintah lainnya.320
3. Perancangan RUU oleh Dewan Perwakilan Daerah
Perancangan RUU selanjutnya dapat dijalankan oleh Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) terutama dalam menjalankan fungsinya sebagai
fungsi representasi. Perancangan RUU diserahkan pada individu atau
panitia akan mengusulkannya dan nantinya akan dibahas dalam Rapat
Paripurna DPD. Penyusunan dan pembahasan RUU dari DPD dilakukan
melalui dua tingkat pembicaraan. Tingkat I dalam Rapat PAG, Rapat
Gabungan PAH, Rapat PPUU serta Rapat Panitia Khusus (Pansus) yang
melaksanakan:321
-
Inventarisir materi berupa penyerapan aspirasi masyarakat dan
daerah;
-
Menyusun dan membahas Daftar Inventaris Masalah (DIM);
-
Menyusun dan membahas naskah akademis dan RUU berdasarkan
inventarisasi materi dan DIM;
-
Uji sahih yang dilakukan dalam bentuk Rapat Kerja, RDPU, telaah
sejawat (peer review);
-
Melakukan harmonisasi, pembulatan dan pemantaoan konsepsi
antara RUU dengan Pancasila, tujuan nasional, UUD, dan memuat
unsur yuridis, sosiologis dan politis.
Pada tingkat selanjutnya dalam Sidang Paripurna yang merupakan
pengambilan keputusan dengan didahului oleh laporan alat kelengkapan
DPD mengenai hasil pembicaraan tingkat pertama. Dalam proses di
tingkat pertama terutama mengenai inventarisasi dan penyusunan DIM,
DPD dapat mengundang para ahli dan masyarakat sesuai dengan
bidangnya.322
########################################################
320
Ibid, hlm. 20.
321
Dewan Perwakilan Daerah, Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah 2010, Psl.
322
Ibid., Psl. 124.
125.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Tahap selanjutnya dari perancangan RUU di masing-masing pihak adalah
tahap pengusulan RUU. Pengusulan RUU dapat dilaksanakan oleh Presiden, DPR
dan DPD baik yang berpedoman pada Prolegnas dan di luar Prolegnas untuk
keadaan tertentu. Adapun secara terperinci dapat dilihat sebagai berikut:
1. Pengusulan RUU oleh Presiden
Usulan RUU yang datang dari Presiden disampaikan kepada Ketua
DPR dengan mengirimkan Surat Presiden yang disertai dengan
Keterangan Pemerintah dan tembusan kepada Wakil Presiden, para
menteri koordinator, menteri yang ditugasi untuk mewakili Presiden,
pemrakarsa RUU dan Menkum HAM.323
Surat Presiden setidaknya
memuat penunjukkan menteri yang ditugasi untuk mewakili Presiden
dalam pembahasan RUU dengan DPR.324 Sementara Keterangan
Pemerintah disiapkan oleh pemrakarsa dengan berisi urgensi, dan pokok
tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan, pokok pikiran, lingkup
atau obyek yang akan diatur dan jangkauan serta arah pengaturan yang
menggambarkan keseluruhan substansi RUU.325
Menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam pembahasan yang
memiliki kewajiban untuk melaporkan perkembangan dan permasalahan
yang dihadapi pada Presiden terutama hal yang berpotensi mengubah isi
serta arah RUU.326 Menteri yang ditunjuk ini memiliki tugas untuk
membahas sampai dengan menyampaikan pendapat akhir pemerintah
dalam pembahasan RUU di DPR dan melaporkan kepada Presiden. RUU
yang tidak disetujui bersama untuk dibahas oleh Presiden dan DPR tidak
dapat diajukan kembali dalam masa sidang yang sama.
########################################################################################################################################################
323
Indonesia, Peraturan Presiden tentang Tata Cara Mempersiapkan Randangan
Undang-Undang, Rancangan Peraturan…op.cit., Psl. 26.
324
Indonesia, Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, op.cit., Psl. 144.
325
Indonesia,
Undang-Undang
Undangan…op.cit. Psl. 19 ayat (2).
326
Pembentukan
Peraturan
Perundang-
Konrad Adenuer Stiftung dan PSHK,...op.cit., hlm. 26.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Surat Presiden yang ditujukan kepada pimpinan DPR nantinya
akan diberitahukan kepada anggota DPR pada Rapat Paripurna. Pada rapat
Paripurna berikutnya akan dimasukkan agenda pembahasan mengenai
RUU yang disampaikan oleh Presiden. Khusus untuk RUU yang berkaitan
dengan kewenangan DPD, maka RUU juga disampaikan kepada DPD.
Kemudian DPR akan membahas RUU dari Presiden paling lambat 60
(enam puluh) hari semenjak Surat Presiden.327 Pengajuan RUU ini masih
dapat ditarik kembali selama belum masuk Tahap I pembahasan. Jika telah
masuk Tahap I, maka penarikan harus disertai dengan persetujuan bersama
antara DPR dan Presiden.328
2. Pengusulan RUU oleh DPR
Pengusulan oleh DPR dapat dilakukan oleh Badan Legislasi,
Komisi dan Gabungan Komisi serta minimal lima belas orang anggota
DPR secara kolektif. Pengajuan usul inisiatif dari DPR disampaikan secara
tertulis pada pimpinan DPD oleh beberapa anggota DPR atau pimpinan
komisi, pimpinan gabungan komisi, atau pimpinan Baleg dengan
menyertakan keterangan atau naskah akademik yang mendasari pemikiran
RUU yang diajukan.329 Keterangan dan naskah akademik yang diajukan
sudah
ditanda
tangani
oleh
pengusul
fraksi
setelah
dilakukan
pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi. Selanjutnya,
Pimpinan DPR meminta Badan Musyawarah DPR (Bamus) untuk
menjadwalkan RUU usul inisiatif untuk dibahas dalam rapat paripurna
guna mendapatkan persetujuan dari seluruh anggota DPR sebagai RUU
usul DPR.330
RUU inisiatif yang telah diterima, Pimpinan DPR akan
memberitahukan kepada anggota DPR dengan membagikan naskah
akademik. Kemudian akan diadakan Rapat Paripurna untuk memberikan
########################################################
327
Indonesia,
Undang-Undang
Undangan…op.cit. Psl. 19 ayat (2).
Pembentukan
Peraturan
Perundang-
328
Ibid., Psl. 70 ayat (2).
329
Konrad Adenuer Stiftung dan PSHK,...op.cit., hlm. 29.
330
Indonesia, Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat…,op.cit., Psl. 90.
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
kesempatan untuk seluruh anggota fraksi untuk memberikan pendapatnya
dan kemudian memutuskan apakah RUU tersebut secara prinsip telah
diterima. Pengusul berhak mengusulkan dan mengajukan perubahan atas
RUU tersebut selama belum dibahas di Bamus. Perihal penarikan dapat
dilakukan apabila belum ditetapkan dalam Rapat Paripurna sebagai usulan
resmi DPR untuk dirapatkan bersama dengan presiden. Terakhir, Rapat
Paripurna akan memutuskan apakah usulan tersebut diterima atau tidak.
Keputusan Rapat Paripurna ini dapat berupa persetujuan tanpa perubahan,
dengan perubahan atau penolakan.331 Untuk RUU yang disetujui maka
akan disampaikan kepada Presiden melalui Menteri Sekretariat Negara
(Mensekneg) dan disertai dengan permintaan untuk menunjuk menteri
yang akan mewakilinya dalam membahas RUU tersebut.
Tahap selanjutnya, DPR akan mendapatkan Surat Presiden dan
akan mengkoordinasikan pembahasannya dengan MenkumHAM dan
menteri/LPND. Pihak pemerintah nantinya akan menyiapkan pandangan
dan pendapat pemerintah serta saran penyempurnaan dalam bentuk Daftar
Inventaris Masalah yang disampaikan kepada Presiden. Pembahasan
tersebut bertujuan untuk melihat arahan dan petunjuk terkait pembentukan
RUU selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari Presiden harus
menunjukkan perwakilan serta pendapat Presiden.332 Selain itu, DPR juga
mengirimkan tembusan kepada DPD untuk dimintakan pendapat dan
pandangan terkait RUU tetapi tidak memiliki kewenangan persetujuan atas
kelanjutan RUU tersebut.
3. Pengusulan RUU oleh DPD
Undang-Undang Dasar 1945 Pasca Amandemen, mengatur bahwa
DPD dapat memberikan usulan tetapi terbatas pada RUU yang berkaitan
dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam
########################################################
331
Ibid., 143 ayat (3).
332
Indonesia,
Undang-Undang
Undangan…op.cit. Psl. 60.
Pembentukan
Peraturan
Perundang-
!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
dan sumber daya ekonomi lainnya; serta hal-hal yang berkaitan dengan
perimbangan pusat dan daerah.333 DPD dapat menyampaikan secara
tertulis melalui Pimpinan DPD yang disertai dengan penjelasan,
keterangan dan naskah akademik. Pemberitahuan dan penyampaian usulan
ini dilakukan oleh Pimpinan DPD dengan diberikan kepada anggota DPR
untuk diproses melalui Bamus.
Kemudian, Bamus akan menunjuk Komisi atau Badan Legislasi
untuk membahas RUU usul DPD. Pihak yang ditunjuk oleh Bamus akan
membahas dengan alat kelengakapan DPD, maksimal sepertiga dari
jumlah DPR untuk membahas RUU usulan tersebut. Alat kelengkapan
DPD ini wajib hadir dalam waktu 30 (tiga puluh) haris ejak undangan dari
Komisi atau Baleg. Hasil pembahasan ini akan disampaikan pada
paripurna dan diproses sebagaimana RUU usulan DPR.334
Tahap selanjutnya setelah pengusulan RUU adalah pembahasan dan tahap
pengesahan. Pembahasan RUU antara DPR dan Presiden terdiri dari dua tingkat
pembicaraan.335 Rapat tingkat pertama adalah rapat dalam Komisi, rapat Baleg
ataupun Pansus. Sedangkan pembahasan tingkat II adalah Rapat Paripurna DPR.
Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan urutan sebagai berikut:336
1. Agenda awal pembahasan di tingkat I biasanya menyepakati jadwal
pembahasan antara DPR dengan Pemerintah. Rapat ini nantinya akan
menyepakati bahan-bahan yang akan digunakan dalam proses
pembahasan.
2. Setelah disepakati tentang jadwal dan bahan-bahan yang akan
digunakan selama proses pembahasan, setiap fraksi diberikan
kesempatan memberikan pandangan terhadap draft RUU serta proses
yang akan digunakan dalam pembahasan RUU.
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
333
Indonesia, Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat…,op.cit., Psl. 71
huruf c.
334
Indonesia, Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat…op.cit.,
Psl. 154 ayat (4).
335
Ibid., Psl. 148.
336
Ibid., Psl. 149.
!!"
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
3. Untuk RUU yang berasal dari Presiden, pembicaraan tingkat I
didahului dengan pandangan pfraksi-fraksi atau pandangan fraksifraksi dan juga DPD terkait dengan kewenangan DPD. Apabila RUU
yang diajukan merupakan inisiatif dari DPR, didahului dengan
pandangan dan pendapat Presiden dan juga DPD apabila RUU
berkaitan dengan kewenangan DPD.
4. Tanggapan Presiden atas pandangan fraksi atau tanggapan pimpinan
alat kelenggkapan DPR atas pandangan Presiden. Biasanya,
perdebatan tidak langsung selesai atau final karena banyak hal yang
masih belum memiliki kesepakatan akan dibahas di tingkat
selanjutnya oleh Panitia Kerja.
5. Pembahasan RUU oleh DPR dan Presiden berdasarkan Daftar
Inventaris Masalah yang telah di susun dan dapat dilakukan beberapa
beberapa hal, sebagai berikut:
a. Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU);
b. Mengundang pimpinan lembaga negara dan lembaga lain
apabila materi RUU berhubungan dengan lembaga negara
lain;
c. Diadakan rapat intern;
Tahap selanjutnya, Komisi menyelenggarakan lagi sidang lagi sidang
komisi. Agenda utama adalah laporan hasil kerja Panitia Kerja dan pandangan
fraksi-frasi terhadap hasil kerja Panitia Kerja. Apabila masih ada yang belum
disepakati dan disetujui, maka biasanya diserahkan kembali ke Panja untuk
penyelesaian. Jika tetap ada yang belum disepakati, maka masalah tersebut akan
dibawa dan diputuskan pada tingkat II dalam sidang paripurna.337 Tahap terakhir
adalah pembicaraan tingkat II yang merupakan tahap pengembalian keputusan
dalam rapat paripurna. Secara umum, pembicaraan tingkat II dilakukan dengan
pembacaan laporan akhir dari pimpinan Komisi Baled, Panitia Anggaran, atau
Pansus yang membahas RUU tersebut pada tingkat I. Setelah itu, dilanjutkan
dengan pembacaan pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang
mewakilinya. Hasil rapat tersebut nantinya akan ditutup dengan pengambilan
########################################################
337
Ibid., Psl. 151.
!""#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
keputusan Rapat Paripurna atas RUU yang dibahas. Pengambilan keputusan
biasanya diambil dengan suara bulat dari fraksi-fraksi yang ada di DPR. RUU
yang telah disahkan menjadi Undang-Undang nantinya akan dikirimkan ke
Sekretariat Negara guna ditandatangani oleh Presiden, diberi nomor dan
diundangkan.338
########################################################
338
Indonesia,
Undang-Undang
Undangan…op.cit. Psl. 72.
Pembentukan
Peraturan
Perundang-
!"!#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
BAB 4
IMPLIKASI PERAN MAHKAMAH KONSTITUSI
SEBAGAI POSITIVE LEGISLATOR TERHADAP PROSES LEGISLASI
DALAM KASUS SYARAT DOMISILI ANGGOTA DPD PADA PUTUSAN
NO. 10/PUU-VI/2008
4.1 Analisis Pencatuman Syarat Domisili oleh Mahkamah Konstitusi pada
Putusan 10/PUU-VII/2008
4.1.1
Mahkamah Konstitusi sebagai Supremasi Konstitusi dalam Pemisahan
Kekuasaan di Indonesia
Indonesia dengan melandaskan kehidupan bernegaranya pada UndangUndang Dasar 1945 memberikan legitimasi penuh bagi lembaga-lembaga negara
bentukannya untuk menyelenggarakan kehidupan bernegara.339 Penerapan doktrin
pemisahan kekuasaan (separation of power) melahirkan lembaga-lembaga negara
di Indonesia yang terbekali oleh kekuasaan-kekuasaan terpisah untuk menjalankan
kehidupan bernegara. Keberadaan Presiden, DPR, Mahkamah Konstitusi dan
lembaga negara lainnya menjalankan fungsi yang terpisah dengan sistem check
sebagaimana dijelaskan oleh Vile dan merupakan sebuah konsep pemisahan
kekuasaan tidak murni.340 Indonesia merupakan sebuah negara yang menerapkan
separation of power dengan checks and balances, dan masing-masing
lembaganya tidak seperti apa yang dicetuskan doktrin seutuhnya. Salah satu
contohnya adalah peran masing-masing lembaga yang saling mengimbangi satu
sama lain, seperti Presiden yang mengimbangi fungsi DPR dalam pembuatan
undang-undang.
Lembaga-lembaga negara di Indonesia dalam pembentukannya, memiliki
keterbatasan untuk menghindari kekuasaan yang absolut sebagaimana teori John
Locke dan Montesquieu yang teorinya berlandaskan hal tersebut.341 Setelah era
$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$
339
Lihat superlegalitas konstitusi. Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi: Suatu
Studi tentang Adjudikasi Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa
Normatif…op.cit., hlm. 261.
340
Teguh Satya Bhakti, “Perbandingan Konsep Trias Politica Menurut John Locke,
Montesquieu, dan Undang-Undang Dasar…op.cit.
341
John Locke, ed., op.cit.,
!"#$
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Orde Baru, banyak pembelajaran penting terkait dengan lembaga negara yang
salah satunya adalah tidak satu tangannya kekuasaan membuat undang-undang
dan melaksanakan undang-undang.342 Akan tetapi, pada perjalanannya dalam
ketatanegaraan Indonesia di dalam Amandemen Undang-Undang Dasarnya,
memasukkan Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman
yang menjawab kebutuhan masyarakat sejalan dengan meningkatnya kesadaran
hukum.343 Keberadaan Mahkamah Konstitusi, semakin memperkokoh sistem
ketatanegaraan Indonesia yang menghindari adanya genangan kekuasaan pada
satu pihak saja. Oleh karena itu, tidak lagi memandang bahwa jumlah hakim
konstitusi dibandingkan jumlah anggota DPR, melainkan sebagai satu kesatuan
sistem yang sejajar karena masing-masing lembaga menjalankan fungsi yang vital
tapi berbeda satu sama lain.344
Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan pengaturan yang jelas dan
dengan merujuk pada teori Jimly Asshiddiqie tentang muatan konstitusi, maka
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:345
- Undang-Undang Dasar 1945 dalam menentukan pembatasan kekuasaan
organ negara;
Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan pembagian antar lembaga
negara dengan tegas. Letak kekuasaan eksekutif yang dipegang oleh
Presiden dan dibantu oleh menteri. Kekuasaan legislatif yang dimiliki
oleh DPR dan DPD sebagai lembaga perwakilan bersama dengan MPR.
Kekuasaan Kehakiman yang terbagi pada Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi. Serta dengan adanya Badan Pemeriksa Keuangan
sebagai lembaga negara yang berfungsi memeriksa keuangan negara.
- Undang-Undang Dasar 1945 dalam mengatur hubungan antara lembagalembaga negara;
$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$
.
342
Eoin Carolan, The New Separation of Powers: A Theory for the Modern
State…op.cit., hlm. 9.
343
Rem Kowerteg, op.cit.
344
William G. Andrews, op.cit., sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie,
Konstitusi dan Konstitutionalisme…op.cit., hlm. 23.
345
Jimly Asshidiqqie, ibid., hlm. 27.
!"#$
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Undang-Undang Dasar 1945 tidak memberikan substansi secara
menyeluruh mengenai pengaturan hubungan antar lembaga negara. Akan
tetapi dalam satu kesatuan checks and balances, masing-masing lembaga
negara saling mengawasi satu sama lain.
- Undang-Undang Dasar 1945 mengatur hubungan antara lembaga-lembaga
negara dengan warga negara;
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 melahirkan lembaga baru dan
menata kembali struktur kedaulatan warga negara. Keberadaan warga
negara tidak hanya ditempatkan sebagai pihak yang menyerahkan
kedaulatannya
tetapi
dapat
meminta
pertanggungjawaban
pada
representasinya. Selain itu, dengan diwadahinya pengujian undangundang oleh Mahkamah Konstitusi, menjadi semakin besar keikutsertaan
warga negara dalam pengawasan pemenuhan haknya dalam undangundang bentukan Pemerintah dan DPR.
Mahkamah Konstitusi sebagai wujud supremasi konstitusi memiliki
peranan yang begitu besar dalam menegakkan superlegalitas konstitusi.346 Kedua
hal tersebut tidak dapat terpisahkan sebagai sebuah negara hukum yang
menjunjung tinggi mendasarkan kehidupan bernegaranya berdasarkan hukum.347
Kesepahaman antara supremasi konstitusi dengan superlegalitas konstitusi
menghadirkan Mahkamah Konstitusi yang hidup dalam menjamin kontrak sosial
antara warga negara dengan negara dapat berjalan dengan baik.348 Selain itu dari
segi kelembagaan, Mahkamah Konstitusi juga berdiri sebagai lembaga yang
menyelesaikan sengketa ketatanegaraan merupakan implementasi supremasi
$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$
346
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Konsolidasi…op.cit., hlm. 153 sebagaimana
dibahas lebih lanjut dalam: Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi tentang
Adjudikasi Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif…op.cit.,
hlm. 68.
347
Perspektif Kelsen dalam Hans Kelsen, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu
Hukum Normatif [Pure Teori of Law], diterjemahkan oleh Raisul Muttaqin, (Bandung:
Nusamedia, 2008), hlm. 317., dan dipertegas oleh William G. Andrews, Constitutions and
Constitutionalism Ed. 3 (New Jersey, Van Nostrand Company, 1968), hlm. 13. Sebagaimana
dikutip dalam: Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme...op.cit., hlm. 23.
348
Jean Jacques Rousseau, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip Hukum
Politik…op.cit., hlm. 37.
!"#$
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
konstitusi.349 Oleh karena itu, peletakan dasar kewenangan dan pelaksanaan
kewenangan Mahkamah Konstitusi tidak terlepas dari filosofi sebagai pengawal
konstitusi.
4.1.2
Perspektif Filosofis, Yuridis dan Sosiologis Keberadaan Mahkamah
Konstitusi di Indonesia
Kehadiran Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi memberi
dampak yang luas baik secara filosofis, yuridis ataupun sosiologis. Dari segi
filosofis kehadiran Mahkamah Konstitusi adalah bentuk pemenuhan kebutuhan
dalam menjalani kehidupan bernegara. Indonesia sebagai negara hukum terikat
secara konstitusional untuk memberikan jaminan bahwa pelaksanaan kontrak
sosial dapat terlaksana dengan baik.350 Undang-Undang Dasar 1945 selain
memberikan koridor tujuan kehidupan bernegara dengan struktur kelembagaannya
termasuk
terwadahinya
mekanisme
untuk
menuntut
pemenuhan
hak
konstitusional. Secara filosofis, hal tersebut merupakan tindakan negara untuk
menjamin hak konstitusional warga negaranya.351 Kebaradaan Mahkamah
Konstitusi kini menjadi sangat vital dalam sebuah negara hukum yang secara
filosofis membawa bangsa Indonesia ke tahap kedaulatan rakyat dengan
demokrasi konstitusional.352
Keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaran di
Indonesia, dalam prakteknya Mahkamah Konstitusi adalah bagian dari kekuasaan
yudikatif sehingga tunduk pada doktrin-doktrin negara hukum lembaga yudikatif.
Sebagaimana pendapat John Alder bahwa rupa pemisahan kekuasaan adalah hal
paling menentukan keberadaan lembaga yudikatif.353 Hal ini berakibat pada
keharusan bahwa kekuasaan yudikatif haruslah terpisah dan independen.
$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$
349
Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi tentang Adjudikasi
Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif…op.cit.
350
Ibid., sebagaimana tercantum dalam Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan
Konstitusionalisme…op.cit, hlm. 19.
351
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sebuah konsensus antara negara dan warga
negara. William G. Andrews, Constitutions and Constitutionalism, ed.3, (New Jersey: Van
Nostrand Company, 1968), hlm. 9.
352
Carl J. Friedrich, op.cit., hlm. 176.
353
John Alder dan Peter English, op.cit.
!"#$
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Keharusan Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga yang merdeka dan
independen ini diharapkan mampu mengambil perspektif yang obyektif dalam
melakukan pengujian undang-undang. Sehingga, filosofi keberadaan Mahkamah
Konstitusi tetap terjaga dan fokus pada pemenuhan hak konstitusionalitas warga
negara. Oleh karena itu, harus dipahami terlebih dahulu keberadaan Mahkamah
Konstitusi adalah bagian kekuasaan yudikatif yang merdeka tanpa intervensi
lembaga negara lain adapun dalam prakteknya saling terkait satu sama lain.
Perspektif demokrasi konstitusional menjawab bagaimana konsep
pemisahan kekuasaan di Indonesia diterapkan dan dijalankan oleh lembagalembaga negara bentukan konstitusi.354 Sebagaimana dikatakan oleh Walton H.
Hamilton, bahwa“Constitusionalism is the name given to trust which men repose
in the power of words engrossed on prachment to keep government in order.”
Intinya keberadaan Undang-Undang adalah untuk menjaga lembaga negara sesuai
dengan koridornya. Demokrasi konstitusional dalam perspektif Ginsburg
merupakan perspektif kontraktual antara rakyat sebagai prinsipil dan negara
sebagai prinsipil. Bahwa secara filosofis demokrasi konstitusional menempatkan
para agen untuk memenuhi keinginan kolektif rakyat sebagai pemilik kedaulatan
sesungguhnya.355 Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi mengimbangi pola
pengaturan kolektif dalam pembentukan undang-undang.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi yang berwenang untuk melakukan
pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, tidak lain untuk
menghindari tindakan-tindakan sewenang-wenang dari pemerintah.356 Dengan
demikian keberadaan kontrak sosial tidak hanya sebagai wacana tunggal yang
menghalusinasi hak rakyat dalam mempertahankan kekuasaan. Pemerintah tidak
lagi
leluasa
dalam
membentuk
undang-undang,
tetapi
harus
mampu
$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$
354
Walton H. Hamilton, op.cit.,, hal. 255.
355
Menurut KC Wheare, konstitusi adalah produk resultante berdasar situasi sosial,
politik, dan ekonomi pada waktu dibuat. Moh. Mahfud MD, “Kekuasaan Kehakiman Pasca
Amandemen UUD 1945…loc.cit., hlm. 5.
356
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan
Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan…op.cit., hlm.194.
!"#$
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
mempertanggungjawabkan jika terjadi sebuah inkonstitusionalitas.357 Dengan
demikian dapat tercipta konsistensi pemerintah dalam menyelenggarakan
kehidupan bernegara sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar1945.
Lebih lanjut, terbukanya ruang pengujian konstitusionalitas undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dapat mengurangi kesenjangan rakyat
dengan representasinya di pemerintahan dan legislatif.358
Perspektif filosofis dari pembentukan Mahkamah Konstitusi rakyat diberi
ruang untuk berapresiasi secara individu di tengah penyelenggaraan negara yang
bersifat kolektif.359 Setiap pribadi rakyat tidak lagi sebatas subyek yang
menjalankan kewajiban tetapi dapat meminta dipenuhi hak asasinya sebagai
warga negara. Keberadaan negara yang menjalankan kepentingan kolektif sebagai
hasil dari kesepakatan bersama dapat terimbangi dengan adanya Mahkamah
Konstitusi. Konstruksi timbal balik antara rakyat dan negara dapat membangun
komunitas madani yang menempatkan negara tidak hanya sebagai organ politik
tetapi sebagai wadah pencapaian kebutuhan individu secara bersama-sama. Oleh
karena itu, penataan lembaga-lembaga ketatanegaraan dengan menghadirkan
Mahkamah Konstitusi memberi dampak yang luas secara filosofis terutama
berkaitan dengan hubungan rakyat dengan negara dalam perspektif kedaulatan
rakyat.
Kemudian dari segi yuridis, kehadiran Mahkamah Konstitusi mempertegas
korelasi antara norma Undang-Undang Dasar dengan norma-norma undangundang.360 Mahkamah Konstitusi secara yuridis menjadi ruang bagi hukum untuk
$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$
357
Hal yang perlu dipahami adalah undang-undang merupakan bentuk peraturan
yang paling strategis dalam memberikan pengaturan. Selain itu, undang-undang dapat diubah
dan diganti sesuai dengan kebutuhan dalam menjalankan pemerintahan. Julia IliopoulosStrangas and Stylianos-Ioannis G. Koutna, Ibid., hlm. 5.
358
Jika K. C. Wheare menjelaskan mengenai Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
sebuah resultante keinginan rakyat, dikaitkan dengan konsep kedaulatan rakyat maka dapat
dipahami bahwa dalam suatu waktu yang duduk dalam pemerintahan belum tentu orang yang
dipilih oleh seluruh rakyat. Sehingga memungkinkan adanya kesenjangan atau bahkan
pencederaan hak konstitusionalitas karena tidak terwakilinya elemen warga negara tersebut.
Dapat dipahami lebih lanjut dalam Jean Jacques Rousseau, Perihal Kontrak Sosial atau
Prinsip Hukum Politik…op.cit., hlm. 37.
359
Walton H. Hamilton, op.cit., hal. 255.
360
Penempatan Undang-Undang Dasar sebagai hukum tertinggi tidak hanya
berimplikasi pada simbolisasi saja, melainkan memberikan efek hukum. Setiap produk
!"#$
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
ditelaah dan ditafsirkan terhadap pengaturan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Inti dari implikasi secara yuridis ini mengharuskan hubungan hukum terbentuk
secara teratur dan tidak saling tumpang tindih yang dapat mencederai hak
rakyat.361 Oleh karena itu, norma-norma yang tertuang di dalam undang-undang
harus mampu menyelaraskan ketentuan di dalam konstitusi itu sendiri.
Penyelarasan norma dalam undang-undang dengan Undang-Undang Dasar
1945 oleh Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang berjalan
senafas dengan pendapat Kelsen.362 Bahwa norma hukum tidak hanya sebagai
pertimbangan tindakan organ ataupun subyek melainkan memuat kualifikasi
tindakan-tindakan tersebut sesuai tidaknya dengan hukum yang disepakati.
Kualifikasi yang dimaksudkan oleh Kelsen tidak hanya sebatas norma tertulis
tetapi juga dituangkan menjadi kewenangan sebuah organ yang bertindak menguji
kualifikasi tersebut. Organ yang dimaksudkan dalam melakukan penilaian dalam
hal ini adalah sebuah peradilan konstitusi. Sehingga secara yuridis formil, sebuah
norma dapat dilakukan pengujian dengan rakyat sebagai pihak yang berhak
mengajukan permohonan pengujian.
Terakhir,
secara
sosiologis
keberadaan
Mahkamah
Konstitusi
mengokohkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sebuah norma yang hidup.363
Penafsiran yang dilakukan Mahkamah Konstitusi menghilangkan daya pikir
bahwa Undang-Undang Dasar 1945 merupakan norma yang luas dengan
penjabaran sepihak oleh pemerintah bersama dengan legislatif. Fungsi masyarakat
tidak lagi sebagai subyek yang dikenakan hukum tetapi dapat berperan aktif
dalam menata kehidupan bernegara. Pelaksanaan pembangunan hukum juga
didasarkan pada konstruksi-konstruksi norma yang hidup dalam masyarakat
karena keberadaan masyarakat itu sendiri akan memberikan dasar penafsiran atas
konstitusi. Mahkamah Konstitusi dalam perspektif ini tidak lantas mendapatkan
$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$
perundang-undangan harus tunduk pada Undang-Undang Dasar 1945 dan dengan adanya
Mahkamah Konstitusi, upaya untuk menselaraskan hukum tersebut dapat terealisasi. Ahmad
Syahrizal, op.cit., hlm. 261.
361
Indonesia,
Undang-Undang
Undangan...op.cit., Lampiran, Bab III
362
Hans Kelsen, op.cit., hlm. 157.
363
Satjipto Rahardjo, op.cit hlm. 186.
Pembentukan
Peraturan
Perundang-
!"#$
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
supra teritorial dalam menghidupkan konstitusi. Akan tetapi, masyarakatlah yang
pada akhirnya mendapatkan kelelusaan dalam membentuk hukum sehingga
pemerintah dan legislatif kembali hanya sebagai agen masyarakat. Hegemoni
keberadaan Mahkamah Konstitusi yang mutlak dalam melakukan penafsiran
konstitusi tidaklah tepat. Selain itu, Mahkamah Konstitusi diberikan kewajiban
dalam menjangkau hukum yang hidup di dalam masyarakat dalam wadah
penafsiran Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga, keberadaan Mahkamah
Konstitusi secara sosiologis adalah kewajiban konstitusional yang harus
dilaksanakan untuk menghindari inkonstitusionalitas Mahkamah Konstitusi itu
sendiri sebagai supremasi konstitusi.
Berdasarkan analisis umum ketiga perspektif tersebut, dapat menjabarkan
lebih lanjut mengenai keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai positive
legislator dalam putusan No. 10/PUU-VII/2008 dari perspektif ketatanegaraan.
Sehingga secara terperinci, sebagai berikut:
4.1.3 Peran Mahkamah Konstitusi sebagai Positive Legislator dari Segi
Pembentukan Mahkamah Konstitusi
Pengujian Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
sebagaimana disebutkan di awal, menimbulkan polemik tersendiri dalam sistem
ketatanegaraan di Indonesia. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi tidak
lagi bertindak sebagai penguji norma ataupun sebagai penjabar norma (negative
legislator) dalam menafsirkan konstitusi, tetapi sebagai pembentuk norma atau
positive legislature.364 Dalam hal ini, setidaknya terdapat dua segi yang harus
diperhatikan
untuk
menanggapi
tindakan
tersebut.
Pertama,
dari
segi
pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Kedua, dilihat dari segi
perkembangan hukum di Indonesia dan bagaimana penerapannya di berbagai
negara sebagai sebuah rujukan.
Pertama, pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia memang
memiliki ciri dan sifat kelembagaan tersendiri, keberadaannya masih sebagai
sebuah lembaga yudikatif. Bahwa sebagai sebuah lembaga yudikatif, Mahkamah
Konstitusi erat kaitannya dengan independensi dan penyelenggaraan peradilan
$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$
364
Allan R. Brewer-Carias,“General Report: Constitutional Courts as Positive
Legislators in Comparative Law”…loc.it., hlm. 10-36.
!"#$
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
yang merdeka.365 Dalam hal ini, dapat dilakukan pendekatan terhadap kapasitas
Mahkamah Konstitusi itu sendiri dalam menjelaskan konteks pengawalan
konstitusi. Bentuk pengawalan yang dilakukan tidak hanya memberikan ajudikasi
saja, tetapi melihat lebih jauh dampak hukum dari sebuah norma yang telah
diajudikasi. Sehingga, penentuan kapasitas tersebut nantinya dapat digunakan
untuk mengatakan konstitusional tidaknya hal tersebut.
Peran Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator harus merujuk
pada konsepsi doktrin pemisahan kekuasaan dan doktrin peradilan konstitusi serta
Undang-Undang Dasar 1945. Dalam perspektif doktrin pemisahan kekuasaan
murni sebagaimana diklasifikasikan oleh Vile, tindakan tersebut adalah
inkonstitusional.366 Akan tetapi, sejarah pembentukan Mahkamah Konstitusi
adalah mengawal konstitusi yang menjabarkan lebih lanjut kedudukan warga
negara dalam sebuah kontrak sosial, dapat dibenarkan.367 Selain Indonesia tidak
melakukan pemisahan kekuasaan yang murni, tetapi kapasitas Mahkamah
Konstitusi sebagai pengawal konstitusi memiliki implikasi untuk membenarkan
hal tersebut. Sehingga jelas kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam penambahan
syarat domisili terhadap filosofi pembentukan Mahkamah Konstitusi.
Doktrin pemisahan kekuasaan pada dasarnya tidak mengekang seluruh
lembaga untuk saling berpacu mengawasi satu sama lain. Akan tetapi, pemisahan
kekuasaan yang melahirkan pembagian cabang kekuasaan tersebut tidak
menghilangkan esensi kesatuan sebagai penyelenggara negara.368 Sehingga
kebaradaan Mahkamah Konstitusi harus dipahami sebagai satu kesatuan sistem
dengan DPR, Presiden ataupun lembaga lain. Keberadaan Mahkamah Konstitusi
ini intinya masih dalam satu kesatuan dalam proses legislasi, sehingga putusannya
########################################################
365
Independensi dan kemerdekaan yudikati mencakup kebebasan hakim dalam
memutus penuntutan hukum dan menafsirkan undang-undang Dikutip dalam John Alder and
Peter English, Constitutional and Comparative Law, (London: Macmillan, 1989), hlm. 247.,
sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi
dan Pelaksanaannya di Indonesia:…op.cit., hlm. 45.
366
Ismail Sunny, op.cit., hlm.10.
367
Jean Jacques Rousseau, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip Hukum
Politik…op.cit., hlm. 17.
368
John Alder dan Peter English, op.cit., hal. 53-54.
!!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
tidak dapat dianggap sebagai bentuk lain dari undang-undang yang diujikan. Pada
intinya, sebuah undang-undang apabila sudah dinyatakan status hukumnya maka
norma yang terkandung di dalamnya adalah satu kesatuan.369 Hal ini merupakan
kinerja bersama antara Mahkamah Konstitusi dengan pembentuk undang-undang.
Pelaksanaan pemisahan kekuasaan tidak lagi menjadi bentuk yang
membatasi antar satu lembaga dan lembaga lain sebagai teamwork atau patner.
Pemisahaan kekuasaan yang dilakukan merupakan pemisahan kekuasaan yang
berkesinambungan antar pemegang kekuasaan negara.370 Hal utama yang perlu
diperhatikan adalah tidak hanya Mahkamah Konstitusi yang bertindak sebagai
pengawas, tetapi Mahkamah Konstitusi juga sebagai lembaga yang diawasi.
Pemisahan kekuasaan tidak lantas menghilangkan tendensi untuk melanggengkan
kekuasaan di satu pihak.371 Karena, pelaksanaan pembagian kekuasaan dalam pospos kekuasaan yang tepisah sebagai legislatif, eksekutif, dan yudikatif pun masih
dapat membentuk sebuah kekuasaan yang anarkis. Bentuk kekuasaan yang anarki
tersebut antara lain dengan pembentukan undang-undang yang melanggar
konstitusi dan juga masih ada kemungkinan adanya kealpaan dari pembentuk
undang-undang yang tidak terakomodasi mekanisme pertanggungjawabannya.
Sehingga, dalam praktek ketatanegaraan sekarang ini keberadaan pemisahan
kekuasaan tidak mungkin diterapkan secara mutlak dan berimplikasi pada
kemungkinan diadopsinya peran Mahkamah Konstitusi sebagai positive
legislator.372
Kemudian pemisahan kekuasaan jika dibenturkan dengan perskpektif
warga negara. Keberadaan pemisahan kekuasaan negara ini jika diterapkan secara
rigid maka akan memutuskan hak warga negara dalam mengawasi pemerintahan.
Konsekuensinya pengawasan oleh warga negara yang dibenarkan secara
ketatanegaraan hanya saat pemilihan. Keberadaan Mahkamah Konstitusi
""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
369
Jeremy Waldron, op.cit., hlm. 26.
370
Ibid.
371
E. Barent, Separation of Powers and Constitutional Government, (c.n., c.l.,
1995), hlm. 599. Sebagaimana dikutip Eoin Carolan, The New Separation of Powers: A
Theory for the Modern State…op.cit., hlm. 17.
372
Teguh Satya Bhakti, Perbandingan Konsep Trias Politica Menurut John Locke,
Montesquieu, dan Undang-Undang Dasar…op.cit., hlm.325.
!!!"
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
memberikan ruang pengayoman yang baik antar lembaga negara, tetapi juga
memberikan ruang bagi rakyat dalam menjaga hak konstitusionalnya sehingga
tindakan pemerintah tetap dalam koridor yang dituangkan dalam konsensus
sebelumnya.373 Dengan adanya perspektif lembaga peradilan yang seperti ini,
warga negara menjadi poin yang sangat ihwal dalam penyelenggaraan kehidupan
bernegara. Sehingga, pembenaran peran Mahkamah Konstitusi sebagai positive
legislator bergantung pada bagaimana warga negara memandang tindakan
tersebut.374
Pengujian undang-undang merupakan sebuah pengujian atas norma yang
nantinya akan mengikat warga negara. Keberadaan Mahkamah Konstitusi tidak
hanya sebagai sebuah lembaga yang hanya pemberi ajudikasi dan meninggalkan
keputusan tersebut untuk Pemerintah jalankan dan untuk pembentuk undangundang pahami. Terkait putusan yang menyatakan inkonstitusional sebuah norma,
harus dilihat bahwa dengan adanya putusan tersebut norma terkait menjadi sebuah
norma yang mati dan tidak berlaku. Lebih lanjut, matinya sebuah norma dalam
undang-undang tidak hanya dapat berakibat pada satu pasal atau bab pasal terkait
tetapi dapat secara keseluruhan dari undang-undang tersebut.375
Kemudian di sisi lain, dimungkinkan adanya inkonstitusionalitas dengan
tidak diaturnya sebuah norma dalam undang-undang. Putusan ajudikasi norma
tersebut merupakan poin bersyarat yang harus ditaati sebagai sebuah norma yang
berlaku. Seperti halnya pengujian Undang-Undang No. 10 tahun 2008 terkait
dengan syarat domisili, yang perlu dilihat adalah porsi norma tersebut oleh para
pembentuk undang-undang. Undang-undang 10 Tahun 2008 ini memang tidak
memuat norma berupa syarat domisili untuk calon Dewan Perwakilan Daerah atau
DPD. Sehingga, pada dasarnya Mahkamah Konstitusi tidak dapat mengujikan
ketiadaan norma tersebut.376 Akan tetapi, jika memisahkan proses tersebut tidak
########################################################
373
Jimly Assiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara..., op.cit., hlm. 315.
374
Satjipto Rahardjo, Sisi Lain Hukum…op.cit., hlm. 144.
375
Francisco Javier Dias Revorio, op.cit., hlm. 278.
376
Pasal 51 ayat (3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa:
a. pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau
!!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
termasuk sebagai proses legislasi maka akan sangat merepotkan dan dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum.377 Pertama, bahwa hasil ajudikasi norma
tersebut nantinya apakah akan digunakan atau tidak sebagai sebuah dasar
pengaturan. Kedua, hasil pengujian norma ini berdampak pada pengaturan di
bawahnya yang merujuk pada norma tersebut. Sehingga keberadaan pemuatan
pasal tersebut harus dimaknai lebih mendalam dan yang paling krusial adalah
keberadaan warga negara.
Hal tersebut diperkuat dari perumusan Pasal 24 C dalam Undang-Undang
Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi lahir sebagai lembaga yang menjawab aspek
kebutuhan filosofis dalam menjamin hak konstitusional yang dimiliki oleh warga
negara. Selain itu, konteks yang ada di dalam penyusunan kelembagaan negara di
Indonesia yang tertuang di dalam Undang-Undang Dasar 1945 bukanlah konsep
pemisahan kekuasaan secara rigid. Akan tetapi, konsep kekuasaan yang
diterapkan merupakan konsep yang soft karena masing-masing lembaga negara
memiliki irisan dalam menyelenggarakan kekuasaannya. Menurut penafsiran dari
Jimly Asshiddiqie, konsep pemisahan di Indonesia merupakan pemisahan
kekuasaan dengan checks and balances.378 Sehingga, pemuatan syarat domisili
oleh dapat dilihat sebagai sebuah checks and balances dengan mengedepankan
kepentingan rakyat sehubungan dengan representasi keterwakilan daerah oleh
anggota DPD.
Berangkat dari perspektif umum tersebut, dapat dilihat dengan jelas bahwa
pemisahan kekuasaan dengan checks and balances dapat dijadikan dasar untuk
memasukkan tindakan pemuatan pasal tersebut sebagai hal yang dibenarkan.
Konsep yang ada di dalam pelaksanaan checks and balances dalam putusan
tersebut tidak hanya dalam menghindari kesewenangan di dalam lembaga
########################################################################################################################################################
b. materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, UU No. 23 Tahun 2004, LN. 98 Tahun
2003, TLN. 4316., Pasal 1 ayat (3) huruf b.
377
Hal tersebut dibenarkan oleh Mahkamah Konstitusi yang menafsirka bahwa
ketiadaan norma adalah sebuah norma itu sendiri. Baca permohonan pemohon dan
kesimpulan oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan No. 10/PUU-VI/2008, op.cit.., hlm. 40.
378
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme...op.cit., hlm. 127
!!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
pembentuk udang-undang.379 Keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam pemuatan
syarat domisili adalah sebuah tindakan bagian menjaga satu sama lain. Dapat
dilihat dengan menrujuk pada penafsiran dari Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan:380
Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah dan
golongan- golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan undangundang”
menjadi
rumusan
baru
yang
berbunyi
“Majelis
Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui
pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang- undang”
diputus melalui pemungutan suara dengan 475 suara mendukung, 122
suara memilih alternatif lain (memasukkan utusan golongan), dan 3
suara abstain. Dengan perubahan ketentuan tersebut, MPR terdiri atas
anggota DPR dan anggota DPD, bukan lembaga DPR dan lembaga
DPD, yang semuanya dipilih oleh rakyat dalam Pemilu sesuai dengan
prinsip demokrasi perwakilan atas dasar pemilihan atau “representation
by election” (vide Sekretariat Jenderal MPR RI, 2006);
Perubahan UUD 1945 melahirkan sebuah lembaga baru dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia, yakni DPD yang dengan kehadirannya,
sistem perwakilan di Indonesia DPR didukung dan diperkuat oleh DPD.
DPR merupakan lembaga perwakilan berdasarkan aspirasi dan paham
politik
rakyat
sebagai
pemegang
kedaulatan,
sedangkan
DPD
merupakan lembaga perwakilan penyalur keanekaragaman aspirasi
daerah. Keberadaan lembaga DPD merupakan upaya menampung
########################################################
379
Eoin Carolan, The New Separation of Powers: A Theory for the Modern
State…op.cit., hlm. 22.
380
Putusan No. 10/PUU-VI/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
perihal syarat domisili anggota DPD dapat diunduh dari situs resmi Mahkamah Konstitusi:
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_PUTUSAN%20DPD%20ba
ca%201%20Juli%202008e.pdf., hlm. 203.
!!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
prinsip perwakilan daerah (vide Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003: 180
dan Sekretariat Jenderal MPR RI, 2006: 93);
Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan bahwa nilai esensial dari
lembaga Dewan Perwakilan Rakyat adalah upaya menampung prinsip
keterwakilan daerah. Berarti dengan tidak diaturnya syarat domisili anggota DPD
menghilangkan esensi utama sebagai lembaga perwakilan daerah. Hal esensi
tersebut dapat mencederai kepentingan rakyat terutama berkaitan dengan fungsi
dan wenenang DPD yang strategis untuk mengaspirasikan kepentingan daerah
dalam kerangka kepentingan nasional. Sehingga peran Mahkamah Konstitusi
sebagai positive legislator adalah upaya untuk menjaga kelembagaan DPD agar
senafas dengan Undang-Undang Dasar 1945.381
Pembenaran tersebut dapat dilihat dari dampak berkelanjuran dengan tidak
diaturnya syarat domisili anggota DPD. Sebagai sebuah keterwakilan daerah
anggota DPD memiliki fungsi yang esensial, sebagai berikut:382
-
memperkuat ikatan daerah-daerah dalam satuan NKRI dan memperteguh
persatuan kebangsaan seluruh daerah;
-
meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerahdaerah dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan negara dan
daerah;
-
mendorong percepatan demokrasi, pembangunan, dan kemajuan daerah
secara serasi dan seimbang.
Sehingga, jika tidak dimasukkannya syarat domisili anggota DPD maka dapat
merusak kelembagaan DPD itu sendiri yang berakibat pada dirugikannya
kepentingan rakyat karena keterwakilannya tidaklah konstitusional.
4.1.4
Peran Mahkamah Konstitusi sebagai Positive Legislator dari Konsesi
Perumusan Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Dasar 1945 tetap sebagai sebuah konsesnus yang
mengatur hubungan dasar antara negara dan warga negara. Konsensus yang
########################################################
381
Putusan No. 10/PUU-VI/2008, loc.cit., hlm. 210.
382
Ibid., hlm. 204.
!!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman modern pada umumnya
dipahami bersandar pada tiga elemen kesepakatan (consensus), yaitu:383
1. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals
of society or general acceptance of the same philosophy of
government).384
Bahwa, penataan lembaga negara termasuk di dalamnya DPD
merupakan sebuah kendaraan menuju cita-cita yang disepakati bersama.
Hilangnya aspek esensial dari lembaga negara yakni DPD, dapat berakibat
pada timpangnya roda kendaraan dalam menuju cita-cita tersebut.
Sehingga elemen kesepakatan atau konsensus yang ada dalam UndangUndang Dasar 1945 tidak terlaksana. Oleh karena itu butuh sebuah
akselerasi tindakan untuk menghindari hal tersebut, yang berupa pemuatan
syarat domisili karena tidak diatur sebelumnya.
2. Kesepakatan tentang ‘the rule of law’ sebagai landasan pemerintahan
atau penyelenggaraan negara (the basis of government).385
Bahwa kita dapat menyadari kedudukan Mahkamah Konstitusi
adalah supremasi konstitusi yang mengawal tegaknya Undang-Undang
Dasar 1945. Dengan dipahaminya keberadaan syarat domisili sebagai hal
esensial, maka dengan tidak dicantumkannya norma tersebut merupakan
sebuah tindakan yang inkonstitusional. Perihal inkonstitusional ini harus
diwadahi dan diselesaikan dengan sistem ketatanegaraan yang ada yakni
melalui Mahkamah Konstitusi.
3. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur
ketatanegaraan (the form of institutions and procedures).386
Bahwa, letak Undang-Undang Dasar 1945 sebagai kesepakatan
institusi dan prosedur ketatanegaraan maka jelas perlu dilakukan
########################################################
383
William G. Andrews, Constitutions and Constitutionalism, ed.3, (New Jersey:
Van Nostrand Company, 1968), hlm. 9. Sebagaimana dikutip pada Jimly Asshiddiqie,
Konstitusi dan Konstitualisme,…op.cit., hlm. 21.
384
Ibid.
385
Ibid.
386
Ibid.
!!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
penanganan khusus terkait representasi DPD sebagai perwakilan rakyat.
Undang-Undang Dasar 1945 secara kesatuan dengan naskah komprehensif
menunjukkan bahwa pembentukan DPD merupakan wujud utusan
golongan yang dipertahankan untuk mengakomodasi kepentingan daerah.
Sehingga orang-orang yang duduk merepresentasikan daerah tersebut
harus memiliki hubungan yang kuat dengan konstituennya yang tidak
hanya rakyat daerah tersebut tetapi kepentingan daerah tersebut dalam
framework kepentingan nasional.
Sejalan dengan pendapat William G. Andrews, yang mengatakan
konstitusi merupakan koridor prosedural yang mengatur hubungan
kekuasaan antar lembaga negara. Sehingga ketika pembentuk undangundang tidak memuat syarat domisili calon anggota DPD maka dapat
harus ada aturan yang mengatasi permasalahan tersebut. Aturan yang
dimaksudkan tidak sebatas hukum positif yang tertuang dalam UndangUndang Dasar 1945, tetapi juga konsep dasar
Dengan demikian fungsi perwakilan di calon anggota DPD selain
merupakan hal esensial menyangkut kelembagaan tetapi juga menyangkut hal
prinsip yakni kepentingan rakyat. Sehingga tindakan Mahkamah Konstitusi dalam
pengujian Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 merupakan konsep checks and
balances yang ditafsirkan sebagai patner lembaga negara yang saling melengkapi
satu sama lain. Bahwa dengan tidak dimasukkannya ketentuan mengenai syarat
domisili, akan berpengaruh besar dan hal ini dikarenakan proses legislasi yang
tidak mencantumkan ketentuan tersebut.387
4.1.5
Peran Mahkamah Konstitusi sebagai Positive Legislator dilihat dari
Perkembangan Peradilan Konstitusi sebagai Positive Legislator
Pembentukan Mahkamah Konstitusi tidak luput dari ide dasar yang
dikemukakan oleh Hans Kelsen pada awal tahun 1920.388 Selain menjalankan
########################################################
387
Jimly Asshiddiqie, the Role of Constitutional Court in Guaranteeing Access to
Justice in a New Transtitional State, Keynote Address at the Conference of “Comparing
Access to Justice in Asian and European Transitional Countries,” Bogor, Indonesia, 27-28
June 2005.
388
Allan R. Brewer-Carias, “General Report: Constitutional Courts as Positive
Legislators in Comparative Law”…loc.cit., hlm. 197-257.
!!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
fungsi yang vital dalam kehidupan bernegara dalam hal pemenuhan hak
konstitusional, Mahkamah Konstitusi juga terus berbenah dan mengalami
perkembangan sejalan dengan kebutuhan zaman. Alasan pertama mengapa
kedudukan Mahkamah Konstitusi tidak sebatas peradilan konstitusi yang
dicetuskan oleh Hans Kelsen dulu adalah Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
sebuah konstitusi yang hidup.389 Konsep ini tidak hanya memberi konsekuensi
melahirkan Mahkamah Konstitusi yang berjalan sinergis dengan kebutuhan rakyat
tetapi membuka wacana lebih jauh tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi
dalam mengawal konstitusi.
Lingkup pengujian dimulai dari kasus Madison v. Madbury sampai
dengan pendapat Kelsen dalam La garantie juridictionnelle de la constitution (La
Justice Constitutionnelle) menunjukkan peranan peradilan konstitusi tidak semata
sebagai ajudikasi norma.390 Kelsen melakukan pendalaman bahwa lingkup
penjaminan konstitusional warga negara sangatlah luas. Sehingga UndangUndang Dasar 1945 merupakan bangunan dasar yang masih dapat dilakukan
penafsiran dalam hal pemenuhan kebutuhan. Hal umum yang terjadi di berbagai
negara terkait peradilan konstitusi setidaknya sebagai berikut:
1. Perkembangan
391
toetsingrecht)
sistem
pengujian
(judicial
review
ataupun
dan peran lembaga peradilan konstitusi sangat erat
terhadap pemegang fungsi legislasi;
2. Lembaga peradilan konstitusi atas keberadaan hukum internasional;392
3. Keberadaan lembaga peradilan konstitusi sebagai penafsir konstitusi
yang memiliki peranan dalam pengujian konstitusional atas perubahan
hukum (law reform); dan,
4. Peranan lembaga peradilan konstitusi senagai positive legislator.
########################################################
389
Muarar Siahaan, op.cit., hlm. 79.
390
Mark A. Graber dan Michael Perhac, Marbury versus Madison: Documents and
Commentary, (Washington DC: CQ Press, 2002), hlm. 138 dengan dibandingkan Hans
Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russel & Russel, 1961), hlm. 157.
391
Fatmawati, op.cit., hlm. 10-16.
392
Allan R. Brewer-Carias, “General Report: Constitutional Courts as Positive
Legislators in Comparative Law”…loc.cit., hlm. 10-36.
!!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Poin pertama dan poin kedua telah senyata-nyatanya terjadi di Indonesia,
yang sekarang menjadi perdebatan khususnya tentang norma hukum yang lahir
dari hukum internasional. Kemudian, poin ketiga dalam prakteknya merupakan
sebuah konsekuensi Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga yang
berwenang menafsirkan undang-undanga. Terakhir terkait dengan peran positive
legislator melingkupi beberapa hal permasalahan yang juga terlihat di Indonesia.
Pertama, dari segi sistem pengujian undang-undang dan peranan Mahkamah
Konstitusi menimbulkan ruang terbuka sebagai sebuah positive legislator yang
memang masih belum dibatasi. Mahkamah Konstitusi bertindak secara progresif
dalam menguji konstitusionalitas undang-undang.
Hal yang perlu untuk diperhatikan lebih lanjut mengenai keberadaan
Mahkamah Konstitusi yang secara progesif adalah kekhawatiran atas super body
dari Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Pada dasarnya, elemen masyarakat tetaplah
membatasi keraguan atas tendensi Mahkamah Konstitusi sebagai super body.
Warga negara tidak hanya sebagai dasar pertimbangan hukum untuk menafsirkan
konstitusi tetapi harus dibuktikan kedudukannya sebagai pemohon (legal
standing). Sehingga, dari sistem pengujian dan peranan Mahkamah Konstitusi
sebagau positive legislator tidak memiliki tendensi membentuk super body karena
yang senyata-nyatanya dilindungi adalah warga negara.
Pemuatan syarat domisili oleh Mahkamah Konstitusi harus dimaknai
sebagai bentuk perubahan hukum (law reform) secara kolektif merupakan
tindakan untuk memenuhi kebutuhan hukum.393 Undang-Undang Dasar 1945
Perubahan hukum yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi dapat
diterapkan karena hukum pada saat undang-undang dibentuk seringkali tidak
sejalan dengan perkembangan zaman. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai
negative legislators adalah dogma yang harus dilihat kembali materi dan norma
pengujiannya untuk memenuhi kebutuhan rakyat sejalan dengan perkembangan
hukum dan kesadaran masyarakat.394 Hukum pada kenyataannya terus
########################################################
393
Robert W. Tobin, op.cit., hlm. 231.
394
Luis Roberto et al, Brazilian National Report: Notas sobre a questao do
Legislador Positivo…op.cit., hlm. – sebagaimana dikutip dalam Allan R. Brewer-Carias,
“General Report: Constitutional Courts as Positive Legislators in Comparative
Law”…loc.cit., hlm. 28.
!!"#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
berkembang dan dimungkinkan adanya keharusan untuk membentuk hukum yang
apabila tidak dilaksanakan dapat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945.
Peran Mahkamah Konstitusi dalam mengimbangi perkembangan zaman
juga dipandang sebagai jaminan pada masyarakat yang semakin sadar hukum.395
Keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden sebagai pembentuk undangundang selain harus melihat subtansi pengaturan DPD juga harus melihat unsur
masyarakat yang kehidupannya diatur oleh undang-undang bentukan legislatif.
Reaksi masyarakat atas undang-undang yang dibentuk seringkali disebabkan oleh
legislatif yang kurang maksimal dalam menyusun norma dalam undangundang.396 Hal ini terlihat bagaimana anggota DPD yang bersama-sama
mengajukan permohonan pengujian norma kepada Mahkamah Konstitusi.
Kemudian harus dipahami bahwa Mahkamah Konstitusi tidak cukup hanya
menyatakan inkosntitusionalitas dengan tidak diaturnya syarat domisili.
Mahkamah Konstitusi sebagai satuan penyelenggara negara harus bertanggung
jawab atas kekosongan hukum (state liability for the absence of legislative act).397
Konsep ini merupakan konsep dapat dipahami bersama bahwa kekosongan
hukum karena legislatif tidak menjalankan kewenangannya harus dapat dibenahi.
Perspektif
ini
tidak
lantas
menempatkan
Mahkamah
Konstitusi
untuk
membuktikan terlebih dahulu bahwa terjadi kesalahan dalam proses legislasi itu
sendiri.398 Hal inilah yang menjadi batasan atas pengujian undang-undang yang
harus dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi. Tindakan Mahkamah Konstitusi
tidak hanya mendasarkan pada kemungkinan kesalahan pembentuk hukum tetapi
juga melihat Undang-Undang Dasar 1945 yang berkembang penafsirannya.399
$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$
395
Jimly Asshiddiqie, “Negara Hukum Indonesia”…op.cit., hlm. 7.
396
Francisco Javier Dias Revorio, Las Sentencias Intrepretativas del Tribunal
Constitucional, (Valladolid: Lex Nova, 2001), hlm. 278. Sebagaimana dikutip dalam: Allan
R. Brewer-Carias, “General Report: Constitutional Courts as Positive Legislators in
Comparative Law”…loc.cit., hlm. 28.
397
Julia Iliopoulos-Strangas and Stylianos-Ioannis G. Koutna, Greek National
Report, (c.l: c.n, 2010), hlm. 5. Allan R. Brewer-Carias. Ibid.
398
Ibid., hlm. 29.
399
Ibid., hlm. 29-30.
!"#$
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Akan tetapi, tindakan-tindakan tersebut harus diperjelas koridornya sehingga tidak
dimaknai sebagai pembatasan yang menyembabkan inkonstitusional itu sendiri.
Peran Mahkamah Konstitusi yang tidak dibatasi dapat berimplikasi saling
tumpang tindihnya organ negara terutama legislatif dan eksekutif secara
langsung.400 Sehingga, perngujian norma dilakukan dengan pembatasan yang
biasanya dilakukan melalui pembatasan prosedural tetapi tidak mengesampingkan
kepentingan pemohon.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai pembentuk hukum berupa
pemuatan syarat domisili tidak dapat dimaknai sebagai legislatif sepenuhnya.
Akan tetapi tetap sebagai bagian dari yudikatif yang hanya memberikan putusan
atas pengujian undang-undang dalam kesatuan proses. Konteks penambahan
syarat domisili anggota DPD hanya sebagai kerangka kaustis yang harus melihat
beban materi dari diatur tidaknya syarat domisili. Dalam perspektif ini, tidak
dimuatnya syarat domisili dapat dilihat sebagai sengketa ketatanegaraan.401 DPR
dan Presiden tidak mencantumkan ketentuan pasal merupakan kelalaian yang
berdampak pada tidak sinergisnya keberadaan DPD terhadap lembaga lainnya
terkait fungsinya sebagai lembaga perwakilan. Inti dari pengujian UndangUndang No. 10 Tahun 2008 tidak sebatas inkonstitusionalitas sebuah undangundang saja. Oleh karena itu, penambahan syarat domisili.
Pemuatan syarat domisili juga sekaligus menguatkan peranan Mahkamah
Konstitusi untuk berama-sama dengan pembentuk undang-undang untuk melihat
Undang-Undang Dasar 1945 secara mendalam. Bahwa pada dasarnya yang
mengamalkan konstitusi tidak hanya Mahkamah Konstitusi saja. Tetapi, Presiden,
DPR dan seluruh lembaga negara lain juga berkewajiban untuk mengamalkan
konstusi. Pengaruh Mahkamah Konstitusi yang menambahkan syarat domisili
memang dapat dipandang dari berbagai perspekstif. Akan tetapi kembali pada
konsep pemisahan kekuasaan modern, Mahkamah Konstitusi adalah sebuah rekan
########################################################################################################################################################
400
Daniel B. Rodriguez Barry R. Weingast, “The Positive Political Theory of
Legislative History: New Perspectives on the 1964 Civil Rights Act and its Interpretation,
“…loc.cit., hlm. 90.
401
Indonesia, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, UU No. 23 Tahun 2004, LN.
98 Tahun 2003, TLN. 4316., Pasal 1 ayat (3) huruf b.
!"!#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
yang saling melengkapi satu sama lain dengan DPR dan Presiden terkait norma
undang-undang. Lingkup tindakan Mahkamah Konstitusi sebagai positive
legislator mencakup dua hal, yakni:402
-
Penyesuaian terhadap muatan Konstitusi dalam menjamin hak
konstitusional (fundamental right).403
-
Penyesuaian muatan konstitusi atas materi kelembagaan;
Pemuatan syarat domisili secara khusus merupakan bentuk penyesuaian
undang-undang atas materi kelembagaan. Sehingga dapat ditarik garis beberapa
kesimpulan umum terkait peran Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator
adalah sebagai berikut:
1. Mahkamah Konstitusi Melengkapi Fungsi Legislatif dalam Menjaga
Harmoni Ketentuan Norma terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Perkembangan keberadaan Mahkamah Konstitusi di sebuah negara
tidak lagi sebatas pengawal konstitusi yang bertindak menjamin
superlegalitas konstitusi.404 Sebagai lembaga yang berwenang sebagai
penafisr undang-undang, putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya
mengikat Mahkamah itu sendiri, tetapi secara umum kepada masyarakat dan
lembaga negara lain. Poin utama yang harus diperhatikan adalah mengenai
kewenangan hakim dalam melakukan penafsiran. Hakim Mahkamah
Konstitusi harus mampu melihat keberadaan hukum yang tidak hanya
tertulis perubahan untuk menimbulkan harmoni.405 Hakim Mahkamah
Konstitusi dalam menciptakan harmoni dapat meninjau sampai dengan
menganalisis dampak dari pencabutan norma. Jika Mahkamah Konstitusi
hanya menyatakan tidak dimuatnya syarat domisili inkonstitusionalitas tidak
########################################################
402
Allan R. Brewer-Carias, “General Report: Constitutional Courts as Positive
Legislators in Comparative Law”…loc.cit., hlm. 45.
403
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi…op.cit.
404
Supremasi Konstitusi yang melekat pada sebuah Peradilan Konstitusi
menjadikan keberadaan Peradilan Konstitusi itu sendiri sebagai Pengawal Konstitusi (The
Guardian of Constitution). Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Konsolidasi Lembaga Negara
Pasca Reformasi…op.cit., hlm. 133.
405
Allan R. Brewer-Carias, op.cit., 69.
!""#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
akan berakibat apapun.. Oleh karena itu, peran peradilan konstitusi tidak
hanya untuk memberikan ajudikasi atas norma tetapi sebagai penyelaras
yang melengkapi hukum akibat putusan yang diambil.
2. Mahkamah Konstitusi Melengkapi Legislatif dengan Penambahan atas
Hukum yang Berubah Setelah Dilakukan Penafsiran.
Mahkamah Konstitusi dalam putusan ini juga merupakan sebagai
penyelaras antara Undang-Undang Pemilu dengan Undang-Undang Dasar
1945 karena tidak diaturnya sebuah norma. Sejalan dengan perspektif
daoktrin bahwa tidak dicantumkannya sebuah norma adalah norma itu
sendiri.406 Sehingga, bentuk pengujiannya tidak hanya menyatakan
inkonstitusional tetapi harus memformulasikan norma apa yang tepat untuk
dilekatkan.407 Oleh karena itu, pencantuman syarat domisili oleh Mahkamah
Konstitusi dapat dilakukan dengan melihat aspek kebutuhan masyarakat dan
substansi dari materi yang diujikan.
3. Mahkamah Konstitusi Melengkapi Fungsi Legislatif Sementara
Apabila Terjadi Kekosongan Hukum setelah Putusan
Bahwa tindakan Mahkamah Konstitusi dalam memuat ketentuan
domisili bagi calon DPD, dapat dikatakan sementara. Karena konsep
kelembagaan dan pemisahan kekuasaan tetap menempatkan Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden sebagai pembentuk undang-undang. Tidak
ada dasar mengikat untuk pemebntuk undang-undang sekalipun telah diputus
oleh Mahkamah Konstitusi. Sifat kesementaraan ini berlaku sampai Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden merumus dan mengesahkan undang-undang
baru. Adapun keberadaanya dapat bertentangan dengan putusan atas norma
sebelumnya.
Perkembangan Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah positive legislator
selain terikat pada kepentingan pemohon (bentuk permohonan) juga terikat pada
adanya kepentingan yang mendesak. Dalam hal kesementaraan dari putusan
Mahkamah Konstitusi yang melengkapi fungsi legislatif, maka beban materi yang
$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$
406
Ibid., hlm. 88.
407
Ibid., hlm. 74.
!"#$
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
harus dibuktikan juga menyangkut alasan logis dari pemuatan sebuah norma.
Pemuatan norma syarat domisili dalam Undang-Undang Pemilihan Umum
memiliki sebuah kebutuhan yang mendesak terkait penyelenggaraan pemilu.
Sehingga, peran Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator masih pada
kerangka yang pasif dengan harus berdasarkan pada kepentingan pemohon dan
adanya sebuah kebutuhan yang mendesak.
4.2 Implikasi Pencantuman Syarat Domisili terhadap Proses Legislasi di
Indonesia
Amandemen Undang-Undang Dasar pada akhirnya telah memunculkan
lembaga baru dalam proses legislasi. Mahkamah Konstitusi dapat dipahami
sebagai sebuah lembaga yang turut serta dalam lingkup legislasi.408 Kewenangan
Mahkamah Konstitusi dalam proses legislasi tidak dimaksudkan sebagai
penyusun ataupun lembaga yang dapat mengesahkan sebuah undang-undang
tetapi melakukan pengujian undang-undang. Selain itu, dalam kondisi tertentu
Mahkamah Konstitusi dapat menghasilkan putusan yang diantaranya memuat
ketentuan pasal dengan pertimbangan tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi
itu sendiri. Dalam konteks formil, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan
mengadili sebuah norma yang dibentuk oleh DPR bersama dengan Presiden.
Sehingga, saat pelaksanaan pengujian seolah Mahkamah Konstitusi berkedudukan
lebih tinggi karena posisi DPR dan Presiden (Pemerintah) duduk sebagai pihak
terkait yang dimintai keterangan. Akan tetapi, yang paling mendasar bukanlah
kepentingan Mahkamah Konstitusi secara sepihak, melainkan kepentingan rakyat.
Pada perkembangannya, kehadiran Mahkamah Konstitusi memiliki beban
yang tidak sederhana. Dalam pengujian undang-undang, Mahkamah Konstitusi
memiliki porsi yang lebih kuat dibandingkan DPR ataupun Presiden.409 Akan
tetapi bukan berarti bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan yang lebih
tinggi. Hal ini tidak lain didasarkan pada lingkup kewenangan Mahkamah
Konstitusi yang masuk sebagai bagian kekuasaan kehakiman. Lingkup kekuasaan
$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$
408
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Pengujian Undang-Undang dan Proses
Legislasi, (Jakarta: PSHK, 2007), hlm. 43.
409
Ibid., hlm. 29.
!"#$
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
kehakiman yang beracara mengadili sebuah norma, Mahkamah Konstitusi harus
bertindak independen dalam memenuhi kepentingan rakyat. Permasalahan
kedudukan dalam proses pengujian undang-undang tidak menjadi masalah, selain
demi kepentingan rakyat itu sendiri.410 Undang-Undang Dasar 1945 beserta
doktrin tentang konsep negara hukum mengharuskan sebuah lembaga peradilan
merupakan lembaga yang merdeka demi kepentingan rakyat.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi yang begitu erat singgungannya
dengan proses legislasi mendapatkan tanggapan serius dari ketua DPR periode
2004-2009, Agung Laksono.411 Dalam pidato penutupan persidangan beliau
memberikan tanggapan bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi bukanlah
sebagai sebuah ancaman dalam proses legislasi. Hal ini harus dipahami bahwa
proses legislasi tidak hanya berhenti saat setelah undang-undang disahkan dan
diundangkan. Proses legislasi merupakan proses yang berkelanjutan sampai
pelaksanaan dan adanya kemungkinan diujikan kepada Mahkamah Konstitusi.
Sehingga, sejatinya Mahkamah Konstitusi merupakan patner dalam proses
legislasi secara khusus.412
Model komunikasi yang perlu untuk ditekankan antara pembentuk
undang-undang terutama DPR adalah dapat bekerja dengan lebih sinergis.
Keberadaan pengujian norma dapat dibilang sebagai kekurangan DPR dalam
membentuk norma. Karena dengan semakin memperhatikan aspirasi masyarakat
dan konstitusionalitas yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka akan
mengurangi kemungkinan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi.
Oleh karena itu, tidak serta merta pengujian undang-undang adalah sebuah
$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$
410
Sesuai dengan tujuan pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga
tinggi negara adalah untuk menghindari pemboncengan kepentingan sehingga putusan yang
dihasilkan adalah keputusan politik. Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VI
Kekuasaan Kehakiman…op.cit., hlm. 445.
411
Pidato Ketua DPR RI pada Penutupan Masa Persidangan III Tahun Sidang 20042005 tanggal 24 Maret 2005., sebagaimana dikutip dalam: Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan, op.cit., hlm. 43.
412
Legislasi secara khusus yang dimaksudkan adalah sebatas dalam pengujian
undang-undang dan tidak termasuk proses perancangan sampai dengan pengesahan.
!"#$
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
hambatan melainkan tantangan yang bertolak pada kewajiban dasar pembentuk
undang-undang itu sendiri.
Implikasi mendasar selanjutnya antara Mahkamah Konstitusi dengan
pembentuk undang-undang adalah adanya keinginan untuk menuangkan
hubungan antar lembaga negara yang terkait proses legislasi dalam hubungan tata
kerja. Pengaturan mengenai Hubungan Tata Kerja Antar Lembaga Negara sejauh
ini masih diatur dalam Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 yang kiranya tidak lagi
sejalan dengan perubahan Undang-Undang Dasar 1945.413 Dengan tidak diaturnya
mengenai kesepahaman antara pembentuk undang-undang dengan Mahkamah
Konstitusi berakibat pada bekunya hubungan antar lembaga tersebut. Sampai pada
akhirnya, muncul perspektif yang sumir bahwa kinerja jumlah anggota DPR yang
hampir enam puluh kali jumlah hakim konstitusi dan ditambah pihak presiden,
dapat langsung dibatalkan oleh sembilan hakim konstitusi.
Hal tersebut pada dasarnya dapat diselesaikan dengan memahami
pembentukan Mahkamah Konstitusi dan keterlibatan rakyat atas sebuah undangundang. Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban yang dibebankan oleh
Undang-Undang Dasar 1945 untuk menguji dan menafsirkan konstitusi. Akan
tetapi, dalam prakteknya Mahkamah Konstitusi tidak sendiri melainkan bersama
dengan elemen masyarakat yang merasa hak konstitusionalnya tercederai.
Sehingga tidak ada tendensi apapun atau maksud apapun dari Mahkamah
Konstitusi selain menjalankan fungsinya sebagai supremasi konstitusi dan
menjaga superlegalitas Undang-Undang Dasar 1945. Konsep ini tidak lantas
mengkebiri para pembentuk undang-undang yakni DPR dan Presiden, karena
dalam pembentukan undang-undang masih dalam tahap kebijakan dengan
berdasarkan kepentingan mayoritas. Oleh karena itu, fungis Mahkamah Konstitusi
adalah mengakselerasi kepentingan rakyat yang tidak terepresentasi dalam
undang-undang.
Berdasarkan perspektif umum tentang kedudukan Mahkamah Konstitusi
dalam proses legislasi, dapat dijabarkan lebih terperinci sebagai berikut terutama
berkaitan dengan Putusan No. 10/PUU-VI/08 tentang pencantuman syarat
domisili:
$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$
413
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Ibid., hlm. 44.
!"#$
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
4.2.1
Peran Mahkamah Konstitusi sebagai Positive Legislator ditinjau dari
Lingkup Penafsiran Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari Proses
Legislasi Khusus
Pencantuman syarat domisili dalam pengujian Undang-Undang No. 10
Tahun 2008 tidak lepas dari pemaknaan sebuah norma itu sendiri. Meskipun
norma yang menyatakan syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan bagi
keanggotaan DPD tidak dituliskan secara eksplisit dalam UU Nomor 10 Tahun
2008, namun ketiadaan norma demikian harus dianggap sebagai norma itu sendiri.
Terlebih nyata-nyata bahwa dalam UU Nomor 12 Tahun 2003, Pasal 63 mengatur
tentang syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan, yang secara sengaja
dihapuskan dalam perumusan UU Nomor 10 Tahun 2008. Penghapusan Pasal 63
UU Nomor 12 Tahun 2003 tersebut harus dipahami sebagai penormaan dalam
proses legislasi Undang-Undang Pemilu yang memberi makna kesesuaiannya atas
Pasal 22C ayat (2) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Oleh karenanya,
Mahkamah Konstitusi yang terhormat jelas-jelas mempunyai kewenangan untuk
menentukan pemaknaan yang tepat atas konstitusionalitas syarat domisili provinsi
dan syarat perseorangan, yang secara berbeda dirumuskan dalam UU Nomor 12
Tahun 2003 maupun UU Nomor 10 Tahun 2008.414
Perihal penjabaran norma, Mahkamah Konstitusi menafsirkan dengan
melakukan pendekatan pada jenis dan bentuk norma itu sendiri yang tertuang di
dalam sebuah undang-undang. Unsur-unsur norma yang ada dalam peraturan
perundang-undangan mengandung sifat-sifat:415
1. Norma Perintah (gebod), adalah kewajiban untuk melakukan sesuatu
yang biasanya mengharuskan subjek hukum untuk melakukan.
2. Norma Larangan (verbod), adalah kewajiban untuk tidak melakukan
sesuatu ,atau dilarang melakukan sesuatu.
3. Norma Pembebasan (dispensasi), adalah pengecualian dari perintah.
Hal ini adalah pembolehan khusus untuk tidak melakukan sesuatu
yang secara umum diharuskan.
$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$
414
Putusan No. 10/PUU-VI/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, op.cit., hlm. 87.
415
Putusan No. 10/PUU-VI/2008, op.cit., hlm. 175.
!"#$
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
4. Norma Izin (toestemming), adalah pembolehan khusus untuk sesuatu
yang sebenarnya dilarang. Jadi izin adalah legalisasi dari perbuatan
yang seharusnya dilarang.
5. Norma kebolehan adalah pilihan yang bersifat fakultatif, boleh
dilaksanakan oleh subjek hukum, boleh juga tidak.
Sehingga, dalam putusan ini, Mahkamah Konstitusi berpola doktrinal yang keluar
dari perspektif biasanya yang berpola originalis. Sebelum memberikan penafsiran
terkait dengan domisili, Mahkamah Konstitusi membenarkan bahwa ketiadaan
sebuah norma merupakan norma itu sendiri.416 Sejalan dengan paham doktrinal,
bahwa penafsiran sebuah undang-undang tidak hanya sebatas pada norma yang
serta merta tertuang di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Akan tetapi, dapat
melihat pada hukum yang hidup di dalam masyarakat dan yang tertuang di dalam
doktrin.
Dalam pertimbangannya disebutkan ketiadaan norma konstitusi yang
bersifat implisit melekat dalam suatu pasal konstitusi, in casu syarat domisili di
provinsi yang diwakilinya bagi calon anggota DPD, implisit melekat pada Pasal
22C ayat (1) dan (2) UUD 1945, Mahkamah berpendapat bahwa apabila mengacu
kepada Pasal 51 ayat (3) huruf b UU MK, memang tidak mungkin untuk diajukan
permohonan pengujian. Karena, permohonan yang demikian akan dianggap kabur
(obscuur libel), tidak jelas, yang berakibat permohonan tidak dapat diterima
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 56 ayat (1) UU MK. Namun demikian,
Mahkamah dapat juga menyatakan bahwa suatu pasal, ayat, dan/atau bagian
undang-undang yang tidak memuat suatu norma konstitusi yang implisit melekat
pada suatu pasal konstitusi yang seharusnya diderivasi secara eksplisit dalam
rumusan pasal, ayat, dan/atau bagian undang-undang, oleh Mahkamah dapat
dinyatakan sebagai konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) atau
inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional).417
Adapun sebuah norma yang ditafsirkan berdasarkan doktrin, Mahkamah
Konstitusi masih dapat bertindak dengan mempertimbangan aspek kebaruan demi
$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$
416
Putusan No. 10/PUU-VI/2008, op.cit., hlm. 40.
417
Ibid., hlm. 215.
!"#$
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
kepentingan rakyat. Dibenarkan sebelumnya bahwa tidak dicantumkannya
ketentuan mengenai syarat domisili mengakibatkan hilangnya esensi keterwakilan
pada lembaga DPD, maka akan dibenarkan untuk memberikan putusan
pencantuman syarat domisili. Paradigma yang menolak perananan Mahkamah
Konstitusi untuk mencantumkan norma merupakan perbenturan antara perspektif
positivis klasik yang berdasarkan doktrin terhadap perspektif progresif yang
berdasarkan hukum yang hidup pada masyarakat. Sehingga, dari lingkup
penafsiran Mahkamah Konstitusi, pencantuman syarat domisili merupakan hal
yang inkonstitusional senafas dengan filosofi dan aspek perkembangan hukum di
masyarakat.418
4.2.2
Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 10/PUU-VI/08 terhadap
Proses Pembentukan Undang-Undang
Pemuatan syarat domisili yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi
memiliki pengaruh besar dalam prosesl legislasi. Peranan Mahkamah Konstitusi
sebagai Positive Legislator menambah urgensi baru untuk mengatur lebih lanjut
mengenai proses legislasi terkait dengan tindak lanjut putusan mahkamah. Secara
keorganisasian, keberadaan putusan Mahkamah Konstitusi yang berisi muatan
materi pengaturan ini memberikan tantangan besar bagi kembaga pembentuk
undang-undang untuk mampu mensinergiskan kembali dengan aturan-aturan yang
terkait Dengan demikian, pada proses pengaharmonisasian, pembulatan,
pemantapan, pengajuan rancangan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan
harus dilaksanakan dengan maksimal selain untuk meningkatkan kualitas undangundang yang dibentuk juga menindaklanjuti putusan tersebut. Sehingga, tidak
terjadi jarak antara Mahkamah Konstitusi dengan pembentuk undang-undang
tidaklah terjadi.419
Dari segi organisasi, Presiden dan DPR ataupun secara tidak langsung
DPD, diharapkan mampu meningkatkan kualitas produk legislasinya. Hal ini
merupakan sebuah tuntutan yang bersifat kewajiban bagi anggota DPR,
kelembagaan Presiden dan Dewan Perwakilan daerah untuk menyusun sebuah
$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$
418
Cynthia L. Cates, Wayne V. McIntosh, op.cit., hlm. 23.
419
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, op.cit., hlm. 43.
!"#$
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
peraturan perundang-undangan yang semakin melihat aspirasi rakyat dan materi
dalam pengaturannya dihadapan Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga, jika
dilihat dari segi keorganisasian para pembentuk undang-undang harus dapat
menata diri dalam menempatkan hasil putusan pengujian undang-undang.
Dalam
perspektif
Mahkamah
Konstitusi,
secara
keorganisasian
mengharuskan Mahkamah Konstitusi untuk mampu menjaga independensi dan
kualitas dari putusan-putusannya. Mahkamah Konstitusi memang hanya terdiri
dari sembilan orang Hakim Konstitusi, akan tetapi peranan dan kewenangannya
dapat melakukan pembatalan norma yang ditetapkan oleh pembentuk undangundang. Hal ini juga mengharuskan pemilihan yang begitu selektif yang nantinya
akan menempatkan orang-orang pilihan untuk duduk sebagai hakim konstitusi.
Dengan didudukinya hakim konstitusi oleh orang-orang pilihan, maka diharapkan
pengambilan-pengambilan putusan tidak hanya berdasarkan aspek original intent
dari konstitusi itu sendiri tetapi termasuk norma yang hidup di dalam masyarakat.
Oleh karena itu, keberadaan putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana halnya
memuat syarat anggota domisili bagi calon DPD, dapat diterima secara
kelembagaan di DPR dan Presiden sebagai sebuah konsekuensi logis amanat
konstitusi sekaligus sebagai mitra dalam pengawalan konstitusi.
Kemudian dari tahap prosedural, keberadaan putusan Mahkamah
Konstitusi terkait pencantuman syarat domisili anggota DPD, berimplikasi logis
pada proses pembentukan undang-undang. Putusan Mahkamah Konstitusi
menjadi bobot penting dengan pengaturan di dalam Undang-Undang No. 12
Tahun 2011 yang menjadikan putusan Mahkamah Konstitusi sebagai bagian yang
harus dimasukkan dalam pembahasan Prolegnas.420 Sehingga, saat Presiden dan
DPR ditambah usulan dari DPD terkait kewenangannya, materi putusan
Mahkamah Konstitusi harus di dahulukan terkait perundang-undangan yang telah
diujikan.
Prolegnas jangka panjang harus mencantumkan materi yang telah
diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam kurun lima tahun, pemerintah dan
$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$
420
Indonesia, Peraturan Presiden Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan
Pengelolaan Program Legislasi Nasional, Perpres No. 61 Tahun 2005. Sebagaimana dikutip
pada Konrad Adenuer Stiftung dan PSHK, Memantau Parlemen Mendorong Lahirnya
Legislasi: Panduan Praktis Pemantauan Legislasi, (Jakarta: PSHK, 2007), hlm. 12.
!"#$
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
DPR menjabarkan prioritas-prioritas undang-undang yang akan dibentuk.
Sehingga pembentukan undang-undang yang berhubungan erat dengan materi
pemilihan anggota DPD, harus merujuk pada putusan tersebut. Penentuan
program legislasi nasional itu juga dilakukan evaluasi yang meliputi: memastikan
status rancangan undang-undang berupa tindakan DPR dan Presiden dalam
menyisir rancangan undang-undang mana yang telah selesai dibahas, dan mana
yang belum memasuki pembahasan; menentukan rancangan undang-undang yang
menjadi prioritas tahunan; menentukan apakah rancangan undang-undang diluar
prolegnas dapat dimasukkan dalam prioritas tahunan yang artinya menempatkan
sebuah rancangan dalam dua prioritas tahunan dan lima tahunan. Dalam hal
pengajuan rancangan di luar prolegnas, urgensi untuk melaksanakan putusan
Mahkamah Konstitusi adalah hal yang juga di atur di dalam Undang-Undang No.
12 tahun 2011.
Dari sini terlihat, bahwa pemuatan materi pasal oleh Mahkamah Konstitusi
terkait dengan syarat domisili menjadi hal yang urgent untuk dibahas jika
perspektif DPR dan Presiden tidak menghendaki demikian. Akan tetapi, selain
memang biasanya undang-undang tentang pemilihan umum merupakan prioritas
lima tahunan, tidak senayatanya pemuatan pasal ini menjadi permasalahan dalam
tahapan perancangan. Sehingga dari segi perencanaan, putusan Mahkamah
Konstitusi memberikan implikasi yang berarti bagi proses legislasi adapun pada
dasarnya sampai dikeluarkannya Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, terkait
dengan tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi belum diatur dengan jelas.
Pada proses pembahasan, setelah perencanaan oleh DPR, Presiden dan
DPD, keberadaan putusan Mahkamah Konstitusi diakomodasi sebagai sebuah
dokumen penting saat rancangan undang-undang dibahas bersama oleh Presiden
dan Pemerintah. Seiring dengan meningkatnya pengujian undang-undang, hal-hal
yang merupakan dokumentasi pembahasan peraturan perundang-undangan
menjadi sebuah perhatian yang begitu penting. Hal tersebut didasarkan pada
pelaksanaan pengujian undang-undang yang sebagaian besar melakukan
!"!#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
pendalaman secara historis berupa original intent dari pembentuk undang-undang
yang merujuk pada dokumen pembahasan tersebut.421
Dasar penafsiran pencantuman syarat domisili ini selain didasarkan pada
materi yang diajukan tentang fungsi perwakilan, juga merujuk pada dokumentasi
pada saat pembahasan. Permohonan yang diajukan oleh pemohon mengatakan
bahwa tidak dicantumkannya ketentuan domisili merupakan sebuah tendensi
negatif dari DPR. Sehingga, sebelum diwajibkan oleh Undang-Undang No. 12
Tahun 2011 pun DPR dan Pemerintah pada saat pembahasan mulai melakukan
pembenahan. Pembenahan pertama yang dilakukan adalah melalui penyusunan
Tata Tertib DPR yang mengatur konsep risalah dan laporan singkat. Poin tersebut
mewajibkan bagi DPR sendiri secara administratif untuk mengadakan pembukan
setiap pembahasan yang dilakukan. Sehingga, secara tidak langsung hal ini
merupakan sebuah perbaikan sistem pada proses legislasi.
Selanjutnya dalam hal harmonisasi dan sinkrinisasi rancangan undangundang yang dilakukan. Bahwa dengan adanya penataan kembali sistem legislasi
di internal pembentuk undang-undang, juga ditekankan pada tindakan prefentif
DPR
dan
Presiden
untuk
mengurangi
produk
undang-undang
yang
inkonstitusional. Proses ini membutuhkan kinerja yang tidak mudah, karena DPR
ataupun Presiden wajib untuk memeriksa kembali materi dalam rancangan
undang-undang terutama jika dibenturkan dengan pasal terkait di dalam UndangUndang Dasar 1945. Sebagaimana dalam kasus pencantuman syarat domisili
anggota DPD, pihak Presiden dan DPR harus melakukan harmonisasi yang tidak
sedikit.422 Setidaknya dalam pemilu itu sendiri, undang-undang terkait seperti
undang-undang penyelenggara pemilu dan undang-undang tentang MPR, DPR,
DPD dan DPRD (Sususnan Kedudukan) adalah pekerjaan rumah bagi Pemerintah
dan DPR. Walaupun demikian, dalam prakteknya masih belum diwadahi secara
khusus antara DPR dan Presiden dalam melakukan harmonisasi dan sinkronisasi
rancangan undang-undang.
$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$
421
Sri Soemantri, Hak Uji Materiil di Indonesia, Ed. 2. Cet. 1 (Bandung: Alumni,
1997), hlm. 1. Dan dapat dilihat perbandingan lingkup judicial review dalam Saikrishna B.
Prakash and John C. Yoo, op.cit.,hlm. 6.
422
Dapat dilihat pada polemik di KPU terkait dengan putusan tersebut, apakah akan
dibentuk Perpu atau tidak.
!"#$
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Hal yang paling substansial berikutnya terkait implikasi pencantuman
syarat domisili adalah monitoring pelaksaaan undang-undang. Harus dipahami
bahwa undang-undang merupakan dasar aturan pelaksana di bawahnya. Dengan
demikian, perubahan di dalam undang-undang itu sendiri dapat mengubah
substansi dalam aturan pelaksanannya. Perubahan tersebut menjadi hal baru yang
harus dipertimbangkan terutama bagi Pemerintah yang bertindak sebagai
pelaksana undang-undang. Sehingga, pelaksanaan pengawasan undang-undang
menempatkan ketiga lembaga negara sekaligus bahwa DPR sebagai bagian dari
kedaulatan rakyat yang dapat meminta pertanggungjawaban presiden, presiden
sebagai pelaksana undang-undang dan Mahkamah Konstitusi yang kapasitasnya
dapat melihat pelaksanaan dari putusan yang dikeluarkan walau tidak memiliki
kewenangan lebih lanjut atas pelaksanaan putusan tersebut.423
Keberadaan pencatuman ketentuan syarat domisili menimbulkan reaksi
yang begitu kuat pada lembaga negara, tetapi secara pencantuman syarat domisili
diterima oleh pembentuk undang-undang. Hal ini dapat terlihat dari bagaimana
pelaksanaan Pemilu 2009 yang menggunakan syarat domisili sebagai hal yang
harus dipenuhi oleh seorang calon anggota DPD. Komisi Pemilihan Umum
sebagai penyelenggara pemilihan umum merevisi ketentuan Peraturan KPU No.
13 Tahun 2008 yang kemudian menyesuaikan dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 10/PUU-VI/2008 dan disusul kemudian dengan surat edaran yang
mengharuskan adanya syarat domisili anggota DPD.
Pada perkembangan selanjutnya, terkait dengan pencantuman syarat
domisili anggota DPD muncul dalam pembahasan Undang-Undang No. 8 Tahun
2012 tentang Pemilihan Umum. Undang-undang tersebut tidak memasukkan
ketentuan mengenai syarat domisili anggota DPD. Hal ini menunjukkan bahwa
DPR mengambil sikap tidak menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi
adapun telah diatur di dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hal inilah yang dapat dilihat
bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai pembentuk norma masih belum
berjalan sinergis dengan proses legislasi yang ada di Indonesia.
########################################################
423
Indonesia, Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
Pasal 10 ayat (1) huruf d.
!""#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Tidak sinergisnya proses legislasi di Indonesia, salah satunya dapat dilihat
pada Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 yang disahkan pada Mei 2012,
menunjukkan bahwa muatan norma syarat domisili anggota DPD tidak lagi
dicantumkan. Hal ini menegaskan bahwa pembentuk undang-undang tidak
mengindahkan putusan Mahkamah Konstitusi. Sehingga bentuk hubungan dalam
penggalian norma yang ada antara pembentuk undang-undang dengan Mahkamah
Konstitusi bergerak secara terpisah dan masing-masing. Selain itu, pelaksanaan
dari norma tambahan ini pada Pemilu 2009 tidak berjalan dengan sebagaimana
mestinya. Pembuktian mengenai hal tersebut antara lain, karena:
1. Muatan norma di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tidak
berwujud regeling melainkan sebuah putusan atau beschiking yang
mengikat pada norma tersebut. Bentuk norma yang bersifat beschiking
ini tidak mengikat secara umum, tetapi butuh lembaga pelaksana
yakni melalui Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara
Pemilu.
2. Dalam penerapannya oleh KPU, tidak dikeluarkannya sebuah aturan
pelaksana terkait putusan tersebut.
3. Tidak adanya sebuah norma pengaturan, selain karena tidak dibuatnya
oleh KPU juga dikarenakan bentuk putusan Mahkamah Konstitusi
yang tidak melakukan penjabaran lebih lanjut mengenai syarat
domisili yang dimaksudkan.
Ketiga hal tersebut di atas menunjukkan bahwa di Indonesia, peran
Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator pada putusan No. 10/PUUVI/2008 belum terakomodasi dengan baik. Beberapa rujukan bahwa peran
Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator dapat dibandingkan dengan
pelaksanaan Putusan MK terkait penggunaan Kartu Tanda Penduduk sebagai
pengganti Kartu Pemilih. Hal ini terjadi karena KPU mengeluarkan sebuah
peraturan KPU dan ditambah Surat Edaran tentang penggunaan KTP dalam
penyelenggaraan Pemilu. Selain itu, beban materi norma yang termuat dalam
kasus penggunaan KTP sebagai pengganti Kartu Pemilih lebih mudah untuk
dieksekusi karena tidak butuh dijabarkan lebih lanjut mengenai materi muatan.
Sehingga, dapat langsung dilaksanakan.
!"#$
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan penjabaran tersebut tentang perspektif doktrin pemisahan
kekuasaan, filosofi pembentukan Mahkamah Konstitusi, pola penafsiran UndangUndang Dasar 1945 oleh Mahkamah Konstistusi dan Proses Legislasi di
Indonesia, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Mahkamah Konstitusi Memiliki Peran sebagai Positive Legislator dalam
Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008 yang Dibenarkan Secara Doktrin dalam
Mengawal Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi secara doktrin pemisahan kekuasaan
merupakan lembaga tinggi negara yang melaksanakan fungsi ajudikasi
konstitusi. Hal ini memberikan peran bagi Mahkamah Konstititusi untuk
mengawal superlegalitas konstitusi. Peranan pengawalan konstitusi
memiliki pengertian yang begitu luas tetapi terikat pada keberadaan warga
negara sebagai aspek kunci pengujian undnag-undang. Secara doktrin, hal
tersebut memberikan pembenaran sepenuhnya bagi Mahkamah Konstitusi
untuk dapat melakukan sebuah pemuatan pasal dengan telah membuktikan
terlebih dahulu konstitusionalitas dan inkonstitusionalitas khususnya
dalam Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008. Pemuatan syarat domisili adalah
sebuah konsekuensi logis atas penafsiran Mahkamah Konstitusi yang
melihat keterwakilan dan unsur representasi daerah adalah esensi dari
DPD.
Bentuk pemuatan pasal ini dibenarkan oleh konsep hukum yang
hidup atau living constitution. Hal ini mengharuskan hakim untuk melihat
secara mendalam permasalahan yang ada dan dalam menafsirkan UndangUndang Dasar 1945 harus berpandangan visioner. Sehingga dengan
membuktikan inkonstitusionalitas tidak tercantumnya syarat domisili,
Mahkamah Konstitusi bertanggungjawab atas pengujian tersebut. Bentuk
putusan yang diambil harus memberikan kejelasan sebuah norma karena
nantinya akan dilaksanakan oleh Pemerintah. Oleh karena itu, pemuatan
!"#$
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
syarat domisili tersebut merupakan bentuk tanggung jawab Mahkamah
Konstitusi sebagai penguji undang-undang.
Peran Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator masih tidak
dapat dilakukan sewaktu-waktu dalam setiap pengujian undang-undang.
Setidaknya, Mahkamah Konstitusi dalam perannya sebagai positive
legislator harus mendasarkan pertimbangannya pada permohonan
pemohon dan mampu menunjukkan adanya kepentingan yang mendesak.
Sehingga, penerapannya tidak dapat dilakukan setiap pengujian undangundang karena porsi yang paling utama dari Mahkamah Konstitusi
mencantumkan
norma
dalam
sebuah
pasal
adalah
mengabulkan
permohonan pemohon yang didasarkan pada adanya kebutuhan yang
mendesak.
2. Mahkamah Konstitusi Memiliki Dampak Terhadap Proses Legislasi tetapi
secara Prosedural belum Diatur dengan Jelas dalam Putusan Nomor
10/PUU-VI/2008 terkait Peranannya sebagai Positive Legislator.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang berperan sebagai positive
legislator memiliki porsi yang berbeda dengan putusan pengujian biasa.
Putusan yang tidak memberikan muatan pasal tambahan, secara umum
telah diakomodasi dengan peraturan di dalam Undang-Undang No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai
sebuah dokumen pembahasan dalam proses legislasi. Akan tetapi, untuk
pembentukan norma di dalam Mahkamah Konstitusi telah dibenarkan
secara doktrin, hal ini tetap dikembalikan pada esensi pemisahan
kekuasaan. Doktrin pemisahan kekuasaan tetap memberikan kewenangan
pembentukan undang-undang pada legislatif yakni DPR dengan
kekhususan di Indonesia berupa persetujaun bersama Presiden. Hal ini
merupakan sebuah tindakan khusus yang bertolak pada waktu pengujian
karena bergantung pada konteks norma yang hidup dalam masyarakat.
Penindaklajuntan Putusan Mahkamah Konstitusi ini dalam
pembahasan Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
ternyata tidak diberikan sebuah ruang oleh DPR dan Presiden sehingga
ketentuan ini tidak dicantumkan. Ketentuan norma berupa syarat domisili
!"#$
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
bagi anggota DPD tidak lagi termuat dalam undang-undang tersebut
adalah hal yang dibenarkan. Pemegang kekuasaan pembentukan undangundang tetap ada pada DPR dan Presiden. Hal ini dapat dibenarkan dengan
pertimbangan bahwa keberadaan waktu pengujian saat Putusan Nomor
10/PUU-VI/2008 dikeluarkan memandang bahwa pada saat diujikan,
norma yang hidup adalah demikan. Namun, akan berbeda dengan
pengaturan saat ini yang mengikat adapun memuat kembali aturan yang
dibatalkan. Oleh karena itu, implikasi peran Mahkamah Konstitusi sebagai
positive legislator adalah sebagai bahan pertimbangan DPR dan Presiden
membuat sebuah undang-undang yang tidak mengikat secara formil dan
materiil untuk dijalankan.
5.2 Saran
Berdasarkan penjabaran dalam kesimpulan tersebut di atas, maka penulis
ajukan saran sebagai berikut:
1. Penegasan kembali mengenai konsep checks and balances antara
Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden dengan
menyusun Hubungan Tata Kerja Antar Lembaga Negara secara bersamasama untuk dijalankan bersama terkait dengan peran masing-masing dalam
proses legislasi.
2. Penegasan kembali pengaturan mengenai proses legislasi di Indonesia
melalui peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pada bagian
prosedur administrasi dalam menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi
yang memuat sebuah pasal dan hukum.
3. Penegasan kembali pengaturan mengenai tindak lanjut putusan Mahkamah
Konstitusi terhadap lembaga pemerintahan yang menjalankan undangundang terkait sehingga tercapainya kesepahaman dan kesatuan hukum
bagi masyarakat terutama penegasan tentang keberadaan Putusan
Mahkamah Konstitusi sebagai bahan galian hukum.
!"#$
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Alder, John dan Peter English. Constitutional and Administrative Law. London:
Macmilan, 1989.
Andrews, William G. Constitutions and Constitutionalism, 3rd ed., New Jersey:
Van Nostrand Co., 1968.
AR, Hanta Yuda AR. Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke
Kompromi. Jakarta: Gramedia, 2010.
Asshiddiqie, Jimly. Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Pembangunan
Hukum Nasional. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, 2005.
______. Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta: Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
______. Jimly. Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Jakarta: Sekretariat
Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2008.
______. Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
______. Jimly. Perihal Undang-Undang. Jakarta: Rajawali Press, 2010.
______. Jimly. Perkembangan Konsolidasi Lembaga Negara. Jakarta: Sekretarian
Jenderal Mahkamah Konstitusi Indonesia, 2006.
______. Jimly. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Bhuana
Ilmu Populer, 2007.
______. Jimly. Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara. Jakarta: Konpress,
2005.
Barent, E. Separation of Powers and Constitutional Government. c.n.: c.l., 1995.
Bast. Carol M. Foundations of Law: Cases, Commentary and Ethics. Clinfton
Park: Delmar, 2011.
Bedner, Adriaan. Administrative Courts in Indonesia: A Socio-Legal Study.
Dordrecht: Kluwer Law International, 2001.
Bhakti, Teguh Satya, “Perbandingan Konsep Trias Politica Menurut John Locke,
Montesquieu, dan Undang-Undang Dasar.” Dalam Jurnal Tata Negara
!"#$
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
FHUI: Beberapa Teori dalam Hukum Tata Negara. Jakarta: Pusat Studi
Hukum Tata Negara FHUI, 2003.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2003.
Burns, James Mac Gregory, J. W. Petlason, dan Thomas E. Cronin. Government
by The People. New Jersey: Prentice Hall, 1989.
Carolan, Eoin. The New Separation of Powers: A Theory for the Modern State.
Oxford: Oxford University Press, 286.
Cates, Cynthia L., Wayne V. McIntosh. Law and the Web of Society. Washington
D.C.: George Washington University, 2007.
Conserva, Henry. Understanding The Constitution. Bloomington: AuthorHouse,
2011.
Corwin, Edward S. The Doctrine of Judicial Review: Its Legal and Historical
Basis and Other Essays. Clark: The Law Book Exchange, 2007.
Daulay, Ikhsan Rosyada Parluhutan. Mahkamah Konstitusi: Memahami
Keberadaannya dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta, 2006.
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Garis Besar Sistem Hukum Amerika
Serikat [Judicial Process in America]. Diterjemahkan oleh Masri Maris.
Washington: Congressional Quarterly Inc, c.t.
Ducat, Craig R. Constitutional Interpretation, ed. 10., Boston: Wadsworth, 2009.
Garrett, Stephen. Conscience and Power: An Examination of Dirty Hand and
Leadership. New York: St. Martin’s Press, 1996.
Garvey, John A., dan T. Alexander Aleinkoff. Modern Constitutional Theory.
Eagan: West Publishing, 1994.
Graber, Mark A. dan Michael Perhac. Marbury versus Madison: Documents and
Commentary. Washington DC: CQ Press, 2002.
Griffith. Politics of Judiciary. London: Fontana Press, 1985.
Fatmawati. Hak Menguji (Toetsingrecht) yang Dimiliki Hakim dalam Sistem
Hukum Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo, 2005.
Friedrich, Carl J. Constitutional Reason of State, the Survival of the Constitutional
Order. Providence: Brown University Press, 1957.
!"#$
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Hailsham, Lord. The Dilemma of Democracy. Collins: c.n., 1978.
Hamilton, Walton H. Constitutionalism, Encyclopedia of Social Sciences, Edwin
R.A., Seligman dan Alvin Jognson, New York: c.n., 1931.
Hardjono. Legitimasi Perubahan Konstitusi: Kajian terhadap Perubahan UUD
1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, c.t.
Indrati, Maria Farida. Ilmu Perundang-Undangan Jilid 1. Yogyakarta: Kanisius,
2007.
Isra, Saldi. Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi
Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2010.
Kamir, “Refleksi Konsep Negara dan Kedaulatan Rakyat dalam Perspektif
Hubungan Negara dan Rakyat di Indonesia.” dalam Jurnal Tata Negara
FHUI: Beberapa Teori dalam Hukum Tata Negara, (Jakarta: Pusat Studi
Hukum Tata Negara FHUI, 2003), hlm. 287.
Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. New York: Russel & Russel,
1961.
________. Hans. La garantue jurisdictionalle de la constitution (La Justice
constitutionalle) Revue du droit public de la science politique en France et
a l’etranger. Paris: Librarie General de Droit et the Jurisprudence, 1928.
________. Hans. Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif [The
Pure Theory of Law]. Diterjemahkan oleh Raisul Muttaqin. Bandung:
Nusamedia, 2008.
Korteweg, Rem. The Superpower, The Bridge Builder and The Hesitant Ally:
How Defense Divided NATO 1991-2008. Utrecht: Leiden University
Press, 2011.
Konrad Adenuer Stiftung dan PSHK, Memantau Parlemen Mendorong Lahirnya
Legislasi: Panduan Praktis Pemantauan Legislasi. Jakarta: PSHK, 2007.
Kusuma, Mahmud, Menyelami Semangat Hukum Progresif: Terapi Paradigmatik
Bagi Lemahnya Hukum Indonesia. Yogyakarta: Antonylib, 2009.
Kusuma, R. M. A. B. “Bagaimana Menginterpretasikan Konstitusi Kita.” Dalam
Jurnal Konstitusi Vol. 1 No. 3, Mei 2005. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2005.
________. R. M. A. B. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Depok: Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2004.
!"#$
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Linz, Juan J. dan Alfred Stepan. Problems of Democratic Transition &
Consolidation: Southern Europe, South America, & Post-Communist
Europe. Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1996.
Locke, John. Second Treatise of Government: The Original. Cambridge: Hayes
Barton Press, 1956.
Mahkamah Konstitusi. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VII Keuangan,
Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI , 2010.
________. Naskah Komprehensif Buku I: Latar Belakang, Proses dan Hasil
Pembahasan 1999-2001. Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah
Konstitusi RI, 2010.
________. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VI Kekuasaan Kehakiman. Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010.
________. Risalah Sidang BPUPKI. Jakarta: Sekretariat Jenderal RI, 1998.
________. dan Pusat Studi Konstitusi FH Andalas. Perkembangan Pengujian
Perundang-Undangan di Mahkamah Konstitusi: Dari Berpikir Hukum
Tekstual ke Hukum Progresif. Padang: Pusat Studi Konstitusi, 2010.
Marshall, G. Constitutional Theory. Clarendon: Oxford University Press, 1971.
McKay, John P., Bennett D. Hill, dan John Buckler. A History of Western Society:
From Absolutism to the Present. Bedford: St. Martin’s, 2005.
MD, Mahfud. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Bandung: Rineka
Cipta, 2001.
________. Mahfud. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi. Jakarta: Rajawali Press, 2010.
Pamungkas, Sri Bintang. Dari Orde Baru Ke Indonesia Bari Lewat Reformasi
Total. Jakarta: Erlangga, 2001.
Phillips, O. Hood
John Paul dan Patricia Leopold, Constitutional and
Administrative Law. London: Sweet & Maxwell, 2001.
Prodjodikoro, Wirjono. Asaz-Asaz Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Dian
Rakyat, 1971.
!"!#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Pengujian Undang-Undang dan Proses
Legislasi. Jakarta: PSHK, 2007.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.
________, Satjipto. Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: Kompas, 2008.
Rousseau, Jean Jacques. Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip Hukum-Politik [Du
Contract Social ou Principes du Politique]. Diterjemahkan oleh Rahayu
Surtiati Hidayat dan Ida Sundari Husen. Jakarta: Dian Rakyat, 2010.
Siahaan, Muarar. “Uji Konstitusionalitas Peraturan Perundang-Undangan Negara
Kita: Masalah dan Tantangan.” Dalam Jurnal Mahkamah Konstitusi
Volume 7 Nomor 4, Agustus 2011. Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah
Konstitusi RI, 2010.
Siahaan, Muarar. Undang-Undang Dasar 1945: Konstitusi yang Hidup. Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2008.
Simorangkir, JTC. Tentang dan Sekitar Dewan Perwakilan Rakyat. Jakarta:
Erlangga, 1972.
Stab, James Brian, The Political Thought of Justice Antonin Scalia. Lanham:
Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2006.
Statsky, Wiliam. West’s Legal Thesaurus/Dictionary: A Resource for the Writer
and the Computer Researcher. c.l.: West Publishing, 1985.
Strong, C. F. Modern Political Constitutions: An Introduction to the Comparative
Study of Their History and Existing Forms. London: c.n., 1972.
Soebagio, Dewi Triwoelan Wresniningsih, et.al. Ilmu Negara. Depok: Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2009.
Soemantri, Soemantri. Hak Uji Materiil di Indonesia, Ed. 2. Cet. 1. Bandung:
Alumni, 1997.
Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan
Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2003.
Suseno, Frans Magnis. Etika Politik. Jakarta: Gramedia, 1994.
Sunny, Ismail. Pembagian Kekuasaan Negara, cet. 1. Jakarta: Departemen
Penerangan RI, 1962.
!"#$
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Syahrizal, Ahmad. Peradilan Konstitusi: Suatu Studi tentang Adjudikasi
Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif.
Jakarta: Pradnya Paramita, 2006.
Tamanaha, Brian Z., On The Rule of Law: History, Politics, Theory. Cambridge:
Cambridge University Press. 2004.
Thompson, Brian Thompson. Textbook on Constitutional and Administrative Law
ed.3. London: Blackstone Press ltd., 1997.
Tobin, Robert W. Creating The Judicial Branch: The Unfinished Reform.
Lincoln: iUniverse Inc., 2002.
Tuckness, Alex. Locke and The Legislative Point of View: Toleration, Contested
Principles and The Law. New Jersey: Princeton University Press, 2002.
Wroth, S. J. Savonius, Jonathan Walmsley dan Paul Schuurman. The Continuum
Companion to Locke. London: Continuum International Publishing Group,
2010.
JURNAL DAN ARTIKEL ILMIAH
Alexander, Larry A. “Constitutional Rules, Constitutional Standards, and
Constitutional Settlement: Marbury v. Madison and the Case for Judicial
Supremacy,” Public Law and Legal Theory Research Paper Series
University of San Diego School of Law Research Paper No. 56,
(September 2003), hlm. 1-12.
Balkin, Jack M. “Framework Originalism and The Living Constitution” Public
Law & Legal Theory Research Paper Series Research Paper No. 182.
Yale University (Februari 2008), hlm. 1-90.
Bell, John. “British National Report: Constitutional Court as Positive Legislators
in Comparative Law.” Makalah disampaikan pada International Congress
of Comparative Law, International Academy of Comparative Law,
Washington, 26-30 July 2010.
Benvenisti, Eyal. “Reclaiming Democracy: The Strategic Uses of Foreign and
International Law By National Courts,” The American Journal of
International Law of Tel Aviv University Volume 102:24 (Agustus 2007),
hlm. 241-274.
Bernstain, David E. “Lochner Era Revisionism, Revised: Lochner and the Origins
of Fundamental Rights Constitutionalism,” Law and Economics Working
Paper Series George Mason University (April 2003), hlm. 1-58.
!"#$
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Bustamante, Bustamante. “Constitutional Courts as “Negative Legislators”: The
Brazilian Case.” Law Journal Faculty of Law University of Aberdeen,
(November 2010), hlm.Garner, Bryan. A. Black’s Law Dictionary ed. 18,. St. Paul: West Publishing Co.,
1990.
Green, Christopher R. “This Constitution: Constitutional Indexical as a Basis for
Textualist Semi-Originalis,” Notre Dame Law Review Oxford University
Volume 84:4 (14 Agustus 2008), hlm. 1607-1674.
Iliopoulos-Strangas, Julia and Stylianos-Ioannis G. Koutna, Greek National
Report, c.l: c.n, 2010.
Kammerhofer, Jörg. “Kelsen as Epitome of Legal Modernism,”
Wissenschaftlicher Mitarbeiter at the Hans Kelsen Research Group of the
Faculty of Law, Friedrich Alexander University Erlangen-Nuremberg,
Germany (Maret 2010), hlm. 1-6.
Marmor, Andrei. “Constitutional Intrepetation,” Public Policy Research Paper
Series University of Southern California No. 04-4 (Maret 2004), hlm. 131.
Smith, Eivind. “Constitutional Courts as Positive Legislator.” Makalah
disampaikan pada International Academy of Comparative Law: XVIII
International Congress of Comparative Law, Washington DC, 25-31 Juli
2010.
Smith, Peter J. “How Different Are Originalism and Non-Originalism,” Hastings
Law Journal Volume 62: 707. (Februari 2011), hlm. 707-706.
Phillipse, Herman, “Antonin Scalia’s Textualism in Philosophy, Theology, and
Judicial Interpretation of the Constitution,” Utrecht Law Review Volume 3,
Issue 2 (December 2007), hlm. 169-192.
Prakash, Saikrishna B. dan John C. Yoo, “The Origins of Judicial Review”
University of San Diego, School of Law Public Law & Legal Theory Paper
Series Research Paper No. 54 (Agustus 2003), hlm. 1-90.
Revorio, Francisco Javier Dias. Las Sentencias Intrepretativas del Tribunal
Constitucional. Valladolid: Lex Nova, 2001.
Ristroph, Alice. “Proportionality as a Principle of Limited Government.” Duke
Law Journal No. 05-19 (November 2005), hlm. 1-57.
Roberto, Luis et.al, Brazilian National Report: Rule of Constitutional Court as
Positive Legislator. c.n: c.l: 2010.
!""#
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Rodriguez , Daniel B. dan Barry R. Weingast, “The Positive Political Theory of
Legislative History: New Perspectives on the 1964 Civil Rights Act and its
Interpretation, “ Legal Studies Research Paper Series Northwestern
University Research Paper No. 05-22, (November 2004), hlm. 1-101.
Samaha, Adam M. “Dead Hand Arguments and Constitutional Intrepretation,”
Chicago Public Law and Legal Theory Working Paper No. 194 (Januari
2008), hlm. 1-67.
Urbina, Fransisco Zuniga. Control de Constitucionalidad y Sentencia. Santiago:
Cuardernos del tribunal Constitucional, 2006.
Waldron, Jeremy. “Separation of Powers or Division of Power?” New York
University School of Law Public Law & Legal Theory Research Paper
Series No. 12-20 (Mei 2012), hlm. 1-34.
Whittington, Keith E., R. Daniel Kelemen, Gregory A. Caldeira. The Oxford
Handbook of Law and Politics. Oxford: Oxford University Press, 2008.
SKRIPSI/TESIS/DISERTASI
Attamimi, Hamid. Peranan “Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan.” Disertasi Doktor Universitas Indonesia,
Jakarta, 1992.
Indrati, Maria Farida, “Empowering The Presidency: Interest and Perceptions in
Indonesia’s Constitutional Reform”, Disertasi Doktor The Ohio State
University. Columbus, 2004.
MAKALAH
Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia: Pergeseran Keseimbangan antara
Individualisme dan Kolektivisme dalam Kebijakan Demokrasi Politik dan
Ekonomi Selama Tiga Masa Demokrasi, 1945-1980-an. Jakarta: PT Ichtiar
Baru van Hoeve, 1994.
______. Jimly. “Menelaah Putusan Mahkamah Agung tentang Judicial Review
atas PP No. 19 Tahun 2000 yang bertentangan dengan UU No. 31 Tahun
1999.” c.l.: c.n., c.t..
!"#$
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
______. Jimly. “Negara Hukum Indonesia,” Makalah disampaikan pada Ceramah
Umum dalam rangka Pelantikan Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Alumni
Universitas Jayabaya, di Jakarta, Sabtu, 23 Januari 2010.
______. Jimly. “The Role of Constitutional Court in Guaranteeing Access to
Justice in a New Transtitional State.” Makalah disampaikan pada Keynote
Address at the Conference of “Comparing Access to Justice in Asian and
European Transitional Countries,” Bogor; 27-28 June 2005.
Fajar, Abdul Mukhtie, “Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi Paradigmatik.”
Makalah disampaikan pada Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 13 Juli 2002.
Konrad Adenauer Foundation, “Separation of Powers and Independence of
Constitutional Courts and Equivalent Bodies.” Makalah disampaikan pada
2nd Congress of the World Conference on Constitutional Justice Rio de
Janeiro, Brazil, 16 -18 January 2011.
MD., Mahfud. “Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen UUD 1945.” Makalah
disampaikan pada Diskusi Publik tentang Wacana Amandemen Konstitusi
yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) di Jakarta,
tanggal 12 Juni 2008.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Argentina. Constitución de 1994 (Konstitusi Argentina Amandemen 1994
terjemahan Bahasa Inggris), Bab IV Butir 75 No. 22.
Dewan Perwakilan Rakyat. Keputusan DPR, No. 15/DPR-RI/I/2004-2005 tentang
Peraturan Tata Tertib DPR. Pasal 42.
______. Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat 2009-2014, Psl. 101 ayat (2).
Indonesia. Maklumat Wakil Presiden Komite Nasional Pusat: Pemberian
Kewenangan Legislatif kepada Komisi Nasional Pusat, Maklumat Wakil
Presiden No. X tahun 1965, Berita Republik Indonesia Tahun I No. 2.
______. Peraturan Presiden Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan
Pengelolaan Program Legislasi Nasional, Perpres No. 61 Tahun 2005.
Pasal 5.
______. Undang-Undang Dasar 1945.
______. Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun
2008, LN. 157 Tahun 2009, TLN. 5076.
!"#$
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
______. Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah. UU No. 27 Tahun 2009, LN No.123 Tahun 2011, TLN
No. 5043.
______. Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun 2003,
LN. 98 Tahun 2003, TLN. No. 4316.
______. Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU
No. 10 Tahun 2004, LN. 53., TLN. 4389.
______. Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, No. 11
Tahun 2012, LN No. 82 Tahun 2012, TLN No. 5234.
______. Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No 24
tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 8 tahun 2011, LN No.70 Tahun
2011, TLN No. 5266.
______. Undang-Undang tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 20002004, No. 25 Tahun 2000, LN No. 206 Tahun 2000, TLN No. -,
Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian
Undang-Undang No. 10 Tahun Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, Putusan MK No. 10/PUU-VI/2008.
______. Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang- Undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011.
INTERNET
Asshiddiqie,
Jimly.
“Dinamika
Partai
Politik
dan
Demokrasi,”
http://www.jimly.com/pemikiran. Diunduh pada tanggal 10 Oktober 2010.
______.
Jimly.
“Gagasan
Negara
Hukum
Indonesia,“
http://jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia
.pdf. diunduh pada 1 Juni 1012.
Mahkamah Konstitusi. “Profil Sejarah Beridirinya Lembaga Mahkamah
Konstitusi.”
!"#$
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.Profil.Sej
arahMK. Diunduh pada tanggal 22 Februari 2011.
Onecle,
“Limitations
on
The
Exercise
of
Judicial
http://law.onecle.com/constitution/article-3/22-judicial-reviewlimitations.html. Diunduh pada 14 May 2012.
Review,”
!"#$
Universitas Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
PUTUSAN
Nomor 10/PUU-VI/2008
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1]
Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada
tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan
Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
[1.2]
A. Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, beralamat di Jalan
Gatot Subroto Nomor 6, Senayan, Jakarta Pusat 10270, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 3 April 2008, yang selanjutnya
disebut sebagai PEMOHON I (DPD);
B. Perorangan Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia yang untuk selanjutnya secara bersama-sama disebut
sebagai PEMOHON II (Para Anggota DPD), yang terdiri dari:
1. Dra. Hj. Mediati Hafni Hanum, S.H., anggota Dewan Perwakilan
Daerah, Nomor Anggota B-04, Daerah Pemilihan Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, yang beralamat di Jalan Gatot
Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus
tertanggal 4 April 2008;
2. Lundu Panjaitan, S.H., anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota BA-7, Daerah Pemilihan Provinsi Sumatera
Utara, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
3. Dr. Mochtar Naim, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor
Anggota B-12, Daerah Pemilihan Provinsi Sumatera Barat, yang
beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
2
4. Drs. H. Soemardhi Thaher, anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota B-13, Daerah Pemilihan Provinsi Riau, yang
beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
5. Muhammad Nasir, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor
Anggota B-19, Daerah Pemilihan Provinsi Jambi, yang beralamat
di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat
Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
6. Ir. Ruslan, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor Anggota
B-24, Daerah Pemilihan Provinsi Sumatera Selatan, yang
beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
7. Muspani, S.H., anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor
Anggota B-27, Daerah Pemilihan Provinsi Bengkulu, yang
beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
8. Hariyanti Syafrin, S.H., anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota B-30, Daerah Pemilihan Provinsi Lampung, yang
beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
9. Fajar Fairy S.H., anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor
Anggota B-35, Daerah Pemilihan Provinsi Bangka Belitung, yang
beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
10. Benny Horas Panjaitan, anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota B-39, Daerah Pemilihan Provinsi Kepulauan
Riau, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
11. Biem Triani Benjamin, anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota B-43, Daerah Pemilihan Provinsi DKI Jakarta,
yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
12. KH. Sofyan Yahya M.A., anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota B-48, Daerah Pemilihan Provinsi Jawa Barat,
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
3
yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
13. Drs. Sudharto, M.A., anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor
Anggota B-51, Daerah Pemilihan Provinsi Jawa Tengah, yang
beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 3 April 2008;
14. Drs. Ali Warsito, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor
Anggota B-54, Daerah Pemilihan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6
Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April
2008;
15. KH. A. Mujib Imron S.H., anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota B-58, Daerah Pemilihan Provinsi Jawa Timur,
yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
16. R. Renny Pudjiati, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor
Anggota BA-64, Daerah Pemilihan Provinsi Banten, yang
beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
17. I Wayan Sudirta, S.H., anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota B-65, Daerah Pemilihan Provinsi Bali, yang
beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
18. H. Lalu Abd. Muhyi Abidin, S.Ag., anggota Dewan Perwakilan
Daerah, Nomor Anggota B-72, Daerah Pemilihan Provinsi Nusa
Tenggara Barat, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6
Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April
2008;
19. Joseph Bona Manggo, anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota B-75, Daerah Pemilihan Provinsi Nusa Tenggara
Timur, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
20. Sri Kadarwati, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor
Anggota B-79, Daerah Pemilihan Provinsi Kalimantan Barat, yang
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
4
beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 April 2008;
21. Prof. KMA. M. Usop, M.A., anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota B-82, Daerah Pemilihan Provinsi Kalimantan
Tengah, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
22. Drs. H. Muhamad Ramli, anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota B-88, Daerah Pemilihan Provinsi Kalimantan
Selatan, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
23. Drs. Nursyamsa Hadis, anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota B-89, Daerah Pemilihan Provinsi Kalimantan
Timur, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 April 2008;
24. Marhany Victor Poly Pua, anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota B-93, Daerah Pemilihan Provinsi Sulawesi Utara,
yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
25. Drs. Roger Tobigo, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor
Anggota B-98, Daerah Pemilihan Provinsi Sulawesi Tengah, yang
beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
26. Ir. Abdul Aziz Qahar M., anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota B-102, Daerah Pemilihan Provinsi Sulawesi
Selatan, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
27. Drs. Pariama Mbyo, S.H., anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota BA-108, Daerah Pemilihan Provinsi Sulawesi
Tenggara, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6
Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April
2008;
28. Prof. Dr. H. Nani Tuloli, anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota B-110, Daerah Pemilihan Provinsi Gorontalo,
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
5
yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
29. Midin B. L., S.H., anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor
Anggota B-115, Daerah Pemilihan Provinsi Maluku, yang
beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
30. Ishak Pamumbu Lambe, anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota B-103, Daerah Pemilihan Provinsi Sulawesi
Selatan, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
31. Anthony Charles Sunarjo, anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Nomor Anggota B-117, Daerah Pemilihan Provinsi Maluku Utara,
yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
32. Tonny Tesar, anggota Dewan Perwakilan Daerah a, Nomor
Anggota
B-126,
Daerah
Pemilihan
Provinsi
Papua,
yang
beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
33. Drs. Wahidin Ismail, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor
Anggota B-124, Daerah Pemilihan Provinsi Papua Barat, yang
beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008;
C. Perorangan warga negara Indonesia yang memiliki perhatian
besar terhadap Pemilihan Umum, parlemen Indonesia, dan
penyaluran aspirasi daerah, yang untuk selanjutnya secara
bersama-sama disebut sebagai PEMOHON III, yang terdiri dari:
1. Hadar
Nafis
Gumay,
Direktur
Eksekutif
Yayasan
Pusat
Reformasi Pemilu [Centre for Electoral Reform (”CETRO”)],
yang beralamat di Jalan Hang Jebat VIII Nomor 1 Jakarta 12120,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 21 April 2008;
2. Dr. Saafroedin Bahar, Ketua Dewan Pakar Sekretariat Nasional
Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat,
yang beralamat di Jalan Diponegoro Nomor 39 Pekanbaru, Riau,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 21 April 2008;
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
6
3. Sulastio, Ketua Umum Indonesian Parliamentary Center
(”IPC”), yang beralamat di Jalan Teuku Cik Di Tiro Nomor
37 A Pav, Jakarta 10310, berdasarkan Surat Kuasa Khusus
tertanggal 21 April 2008;
4. Sebastianus KM Salang, Koordinator Forum Masyarakat
Peduli Parlemen Indonesia (”FORMAPPI”), yang beralamat di
Jalan Matraman Raya Nomor 32-B, Jakarta Timur, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 21 April 2008;
D. Perorangan yang tinggal di provinsi tertentu yang untuk
selanjutnya secara bersama-sama disebut sebagai PEMOHON IV
(Warga Daerah), yang terdiri dari:
1. Hariyono S.P., yang beralamat di Jalan Radial Nomor 1321, RT
020/006 Desa/Kelurahan 24 Ilir Kecamatan Bukit Kecil Kota
Palembang Provinsi Sumatera Selatan, berdasarkan Surat Kuasa
Khusus tertanggal 2 April 2008;
2. Drs. Welky Karauwan M.Si., yang beralamat di Kelurahan
Walian Lingkungan X, Desa Walian, Kecamatan Tomohon
Selatan, Kota Tomohon, Provinsi Sulawesi Utara, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 April 2008;
3. Hartono, yang beralamat di Jalan Kamboja RT/RW 03/IV,
Kampung Mariyai, Distrik Aimas, Kabupaten Sorong Provinsi
Papua Barat berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 April
2008;
4. Ahmad Wali S.H., yang beralamat di Jalan Uram Nomor 34
Perumnas Kelurahan/Desa TL. Rimbo Lama Kecamatan Curup
Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu berdasarkan Surat
Kuasa Khusus tertanggal 2 April 2008;
5. TB. A. Oman Jahid Sulman, SC., yang beralamat di Jalan KH.
TB. A. Khatib Nomor 45 RT/RW 04/05 Kelurahan/Desa Cipare
Kecamatan Serang, Provinsi Banten, berdasarkan Surat Kuasa
Khusus tertanggal 2 April 2008;
6. Abdul Salim Ali Siregar, yang beralamat di Jalan WR.
Supratman Nomor 046 RT/RW 008/001 Kelurahan Kandang
Limun Kecamatan Muara Bangkahulu Kota Bengkulu Provinsi
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
7
Bengkulu, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 April
2008;
7. Musriadi,
yang
beralamat
di
Jalan
Merdeka
Nomor
19
Desa/Kelurahan Lancang Garam Kecamatan Banda Sakti Kota
Lhokseumawe Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 April 2008;
8. Zulfikar, yang beralamat di Lingkungan Rukun Desa/Kelurangan
Blang Asan Kecamatan Kota Sigli Kabupaten Pidie Provinsi
Nangroe Aceh Darussalam, berdasarkan Surat Kuasa Khusus
tertanggal 2 April 2008;
9. Karno Miko Sergye Rumondor, yang beralamat di Kelurahan
Kairagi Dua Lingkungan VIII RW 008 Kecamatan Mapanget Kota
Manado Provinsi Sulawesi Utara, berdasarkan Surat Kuasa
Khusus tertanggal 2 April 2008;
10. Marhendi WH., yang beralamat di Desa Kota Lekat, Kecamatan
Kerkap,
Kabupaten
Bengkulu
Utara
Provinsi
Bengkulu,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 April 2008;
11. Fauzan Azima SH., yang beralamat di Jalan Batin Tikal Nomor
23 RT/RW 003/III Desa/Kelurahan Karya Makmur Kecamatan
Pemali Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 April 2008;
12. H.A. Syafei, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 3
RT/RW 04/05 Kelurahan Karang Mekar Kecamatan Cimahi
Tengah, Kota Cimahi Provinsi Jawa Barat berdasarkan Surat
Kuasa Khusus tertanggal 2 April 2008;
13. Natanael Mok, yang beralamat di Desa Yayasan Kecamatan
Morotai Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 2
April 2008;
Pemohon I sampai dengan Pemohon IV berdasarkan surat kuasa khusus
bertanggal 2
April 2008,
3 April 2008,
4 April 2008, dan
21
April
2008
selanjutnya memberi kuasa kepada 1) Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M.,
2) Trimoelja D. Soerjadi, S.H., 3) Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., 4) Bambang
Widjojanto, S.H., M.H., 5) Alexander Lay, S.H., LL.M., 6) B. Cyndy Panjaitan, S.H.
yang
bertindak
untuk
dan
atas
nama Pemohon I sampai dengan
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
8
Pemohon IV, berdomisili di Lubis, Santosa & Maulana Law Offices, beralamat
di Mayapada Tower, Lantai 5, Jalan Jenderal Sudirman Kav. 28, Jakarta 12920;
Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------- para Pemohon;
[1.3]
Telah membaca permohonan dari para Pemohon;
Telah mendengar keterangan dari para Pemohon;
Telah mendengar dan membaca keterangan tertulis dari Pemerintah;
Telah mendengar dan membaca keterangan tertulis dari Dewan
Perwakilan Rakyat;
Telah memeriksa bukti-bukti;
Telah mendengar dan membaca keterangan tertulis para ahli dari para
Pemohon dan Pemerintah;
Telah membaca kesimpulan tertulis dari para Pemohon dan Pemerintah;
2. DUDUK PERKARA
[2.1]
Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan
dengan surat permohonannya bertanggal 10 April 2008 yang diterima dan terdaftar
di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (selanjutnya disebut
Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 10 April 2008, dengan registrasi Perkara
Nomor 10/PUU-VI/2008, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan
Mahkamah pada tanggal 25 April 2008, mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
A. KONTEKS KEPENTINGAN DAERAH DALAM PERMOHONAN PENGUJIAN
UU PEMILU
Jong java, jong ambon, jong celebes, jong sumatra telah berikrar ”satu nusa, satu
bangsa, satu bahasa” pada tanggal 28 Oktober 1928 untuk mewujudkan
Indonesia. Konstitusi pertama Indonesia sebagai kontrak sosial berbangsa dan
bernegara yang dibuat oleh BPUPKI/PPKI yang dirumuskan oleh para tokoh-tokoh
daerah telah menjustifikasi lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Rakyat yang hidup di berbagai daerahlah yang sejatinya membentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dan sekaligus menegaskan muara dari tujuan
negara seperti tersebut di dalam pembukaan UUD 1945. Alinea keempat
pembukaan UUD 1945 antara lain berbunyi: “... untuk membentuk suatu
pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
9
seluruh tumpah darah Indonesia ...” dan “... maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia,
yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat ...”. Muara itu ditujukan untuk kepentingan dan kehidupan
seluruh rakyat, bukan sekadar klusterisasi kekuatan politik tertentu yang
memanfaatkan pranata politik untuk kepentingan kekuasaan belaka.
Namun tidaklah dapat dipungkiri fakta yang terjadi hingga saat ini bukanlah
perilaku baru dalam sistem budaya politik kita sepanjang tiga dekade lebih rezim
Orde Baru berkuasa bahwa negara telah dikelola secara terpusat dan mengingkari
spirit pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan inilah salah satu faktor
yang secara jelas telah mendorong lahirnya Reformasi.
Muhammad Yamin dalam penyusunan Undang Undang Dasar 1945 telah secara
tegas menyatakan:
“...permusyawaratan rakyat adalah wujud kedaulatan rakyat yang sempurna atau
sambungan yang paling tinggi dari kedaulatan rakyat yang syaratnya terdiri dari
wakil langsung daripada rakyat dan wakil daerah. Wakil daerah ini menjadi sangat
perlu oleh karena tanah Indonesia tentu akan terdiri atas beberapa daerah dan
wakil-wakilnya tidak menurut banyaknya penduduk dalam daerah saja, melainkan
dengan melihat keadaan daerah, maka diadakanlah wakil untuk mewakili daerah
dalam permusyawaratan itu...”; “Jadi, dengan segala kesederhanaan saya
berkeyakinan bahwa constitutie Indonesia hanya dapat disusun kalau didasarkan
atas negara kesatuan, dengan mewujudkan syarat-syarat untuk mementingkan
daerah, pembagian kekuasaan dipusat antar badan-badan pusat sendiri dan
pembagian kekuasaan rakyat antar badan pusat dan badan daerah, barulah diatur
dengan keadilan dan kebijaksanaan....”
(Muhammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan UUD 1945 Jilid I, J Prapantja hal
233)
Reformasi merespons kesemuanya dengan melahirkan UU Nomor 3 Tahun 1999
tentang Pemilu dan undang-undang bidang politik lainnya serta UU Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian berujung pada
perubahan konstitusi. Substansi otonomi daerah diletakkan dalam derajat dan level
tertinggi dalam sistem bernegara hukum Indonesia. Perubahan Kedua UUD 1945
telah menegaskan tentang eksistensi pengelolaan daerah secara otonom sehingga
seyogianya tidak lagi dapat dikembalikan lagi secara sentralistik oleh pemerintah
pusat. Semangat reformasi dengan mempertegas sikap afirmatif terhadap daerah
ini masih terus terpelihara sebagai dasar lahirnya UU Nomor 12 Tahun 2003
tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
10
Konstitusi memastikan hubungan pusat dan daerah dalam prinsip dan perspektif
otonomi. Daerah diberi keleluasaan gerak, mengatur dan mengurus urusannya
sendiri berdasarkan prinsip otonomi dalam sistem negara kesatuan. Secara
normatif, Konstitusi menjustifikasinya melalui BAB VI PEMERINTAHAN DAERAH,
Perubahan Kedua UUD 1945, dalam Pasal 18, 18A, dan 18B.
Salah satu konsekuensi Perubahan Kedua UUD 1945 ialah penegasan bahwa
kekuasaan politik pusat yang bersifat sentralistik berdasarkan kesepakatan politik
Presiden dan DPR belaka telah ”gagal” memajukan martabat daerah. Itu
sebabnya,
konstitusi
menegaskan
otonomi
menjadi
sebuah
keniscayaan.
Desentralisasi tidak dapat lagi diubah menjadi sentralisasi semata-mata dengan
kesepakatan politik Presiden dan DPR melalui instrumen hukum bernama undangundang karena konstitusi meniscayakan daerah mengatur dan mengurus urusan
pemerintahannnya sendiri berdasarkan prinsip otonomi dan tugas pembantuan.
Institusi pemerintahan daerah yang dahulu tidak jelas dan tidak disebutkan secara
eksplisit di dalam konstitusi, seperti Gubernur, Bupati/Walikota, DPRD provinsi/
kabupaten/kota kini menjadi kuat dan berindikasi sama dengan institusi lembaga
negara. Daerah dapat mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri
melalui instrumen hukum yang bernama Peraturan Daerah yang kemudian dapat
dijabarkan sebagai Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota. Pendeknya, konstitusi
telah memberikan dan menjustifikasi kewenangan pada daerah untuk melakukan
penguatan otonomi agar daerah dapat mengakselerasi seluruh daya daerah guna
meningkatkan martabat daerah dan mengejar ketertinggalan.
Di sisi lain, persoalan kekuasaan pembentukan undang-undang nyaris secara
normatif-praktis tidak melibatkan representasi dan kepentingan daerah secara
signifikan dan determinatif. Desain politik legislasi masih dimonopoli oleh
representasi partai politik yang ‘teologi’ kehadirannya tidak ditujukan untuk
mewakili kepentingan daerah. Kekuasaan pembentukan undang-undang ada pada
DPR dan disetujui bersama dengan Presiden (Pasal 20 Perubahan Pertama UUD
1945). Undang-undang yang demikian tidak serta merta mewakili kepentingan
daerah dan bahkan acapkali tidak secara genuine berpihak pada kepentingan
daerah.
Perlu diperhatikan bahwa undang-undang yang dibentuk oleh Presiden dan DPR
tersebut, di masa lampau bukan saja telah menimbulkan rangkaian protes dari
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
11
daerah, tetapi juga telah menimbulkan rangkaian pemberontakan dan gerakan
separatis. Pemberontakan telah terjadi di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Sumatera Selatan, Kalimantan, Maluku, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan
Papua. Pemberontakan daerah ini berlanjut menjadi gerakan separatis di Aceh,
Maluku, dan Papua. Pemberontakan dan gerakan separatis di Aceh dan Papua
berhasil mencapai sebagian besar tuntutannya dalam format otonomi khusus.
Oleh karena itu, adalah merupakan suatu conditio sine qua non bagi keutuhan
bangsa dan Negara, agar Dewan Perwakilan Daerah terdiri dari anggota-anggota
yang sepenuhnya merupakan representasi daerah secara lahir dan bathin, bukan
saja untuk benar-benar terwakilinya aspirasi dan kepentingan daerah di tingkat
nasional, tetapi juga untuk mencegah secara mendasar kemungkinan timbulnya
protes daerah dan atau bibit-bibit pemberontakan di masa datang sebagai akibat
kesalahan dalam proses pembentukan undang-undang.
Jika hal ini diabaikan,
protes dan pemberontakan di tingkat daerah ini masih
mungkin terjadi dalam kurun pasca Reformasi, seperti tercantum dalam sikap
utusan masyarakat hukum adat dalam kongresnya di Jakarta pada tahun 1999—
dan masih dianut sampai sekarang—yang berbunyi, “Jika Negara tidak mengakui
kami, kami tidak akan mengakui Negara”. Seperti kita ketahui, sampai sekarang
ini masih belum ada Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Hak
Masyarakat Hukum Adat, walau sudah direncanakan beberapa tahun yang lalu
oleh Badan Legislasi DPR. Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah
demikian kecilnya perhatian DPR terhadap masalah ini, salah satu sebabnya
karena seluruh anggota DPR adalah anggota partai politik yang tidak berakar di
daerah tetapi di dalam partai.
Pasal 22E Perubahan Ketiga UUD 1945 menegaskan bahwa peserta pemilihan
umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah adalah partai politik. Artinya, otomatis dominasi kepentingan partai
politik akan mewarnai proses legislasi di bidang otonomi daerah.
Hal ini akan berpotensi besar menjadi bias, karena ketiadaan representasi daerah
guna
menentukan
atau
secara
bersama-sama
memegang
kekuasaan
pembentukan undang-undang tersebut. Hal ini dapat dilihat pada pembentukan UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun
2007: ada banyak norma yang dapat mencabut substansi yang esensial bagi
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
12
otonomi daerah yang diatur dalam UUD 1945. Pada konteks tersebut, faktor
utamanya dapat berupa tidak adanya peran daerah yang signifikan dan
determinatif dalam pembentukan undang-undang tersebut.
Selain itu, juga dapat terjadi bias ketika dominasi pembentukan kebijakan pusat
melalui undang-undang hanya berada dalam tangan kekuatan Parpol saja yang
secara prinsipil, menurut teori-teori ilmu politik, basis ideologi kepentingannya
sangatlah berbeda. Perubahan Ketiga UUD 1945 telah melahirkan organ negara
yang mewakili kepentingan daerah, yakni dengan adanya Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) pada BAB VIIA Perubahan Ketiga UUD 1945. Di Perubahan Ketiga
UUD 1945 jelas disebutkan bahwa anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari
setiap provinsi melalui pemilihan umum [Pasal 22C ayat (1) UUD 1945] dan
peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah
perseorangan [Pasal 22E ayat (4) UUD 1945].
DPD adalah institusi negara yang menjadi organ utama penyambung lidah otonomi
daerah dalam pembentukan undang-undang yang ditujukan untuk mengimbangi
kepentingan politik hukum partai politik dalam mendesain berbagai hal mengenai
otonomi daerah. Itu sebabnya, anggota DPD tidak ditentukan harus masuk melalui
pintu parpol seperti DPR dan Presiden, tetapi berasal dari perseorangan daerah
guna mewakili ‘ideologi’ serta kepentingan daerah.
Inilah mungkin yang disadari oleh para anggota DPR dahulu, sehingga tangan
DPD yang diharapkan memainkan penyeimbangan kekuasaan pembentukan
undang-undang, secara sengaja tidak didesain sempurna sehingga lahirlah DPD
dengan kewenangan legislasi yang sangan terbatas; dan dalam praktik, melalui
berbagai UU, peran legislasi DPD kian dan kian diperlemah. DPD dibuat tidak
sebagai organ negara konstitusional yang selayaknya memiliki kekuasaan dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia.
Fakta seperti ini secara perlahan akan menghilangkan esensi otonomi seperti yang
ditegaskan
oleh
konstitusi
Indonesia
hasil
Perubahan
Kedua.
Kerugian
konstitusional itu sebenarnya ada pada organ negara di daerah dalam
menjalankan otonomi daerah, karena Perubahan Kedua UUD 1945 yang lahir lebih
awal itu telah memberikan ruang seluas-luasnya bagi otonomi daerah, namun tidak
ditindaklanjuti dengan menghadirkan organ negara yang bisa mendukung
perwujudan dan optimalisasi amanat Perubahan Kedua UUD 1945 tersebut, yaitu
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
13
otonomi seluas-seluasnya dan kepentingan daerah lainya, dalam produk
legislasi. Hal ini jelas mengganggu kewenangan konstitusional daerah. Dengan
konstruksi kewenangan DPD yang sedemikian maka pihak yang menderita
kerugian riil adalah otonomi daerah itu sendiri cq keseluruhan rakyat di daerah,
karena rakyat telah menjalankan hak konstitusionalnya dengan memilih wakil
daerahnya, namun wakil daerahnya tersebut tidak memiliki kekuasaan untuk
memperjuangkan kepentingan secara maksimal.
Kerugian konstitusional daerah akan kian menguat dengan diundangkannya UU
Pemilu baru yang disetujui oleh DPR dan Presiden guna merevisi UU Pemilu 2003.
Politik hukum UU Nomor 12 Tahun 2003 yang menginginkan bahwa tidak boleh
pengurus partai politik yang kepengurusannya di bawah 4 tahun dapat mengisi
jabatan DPD diingkari di UU Pemilu baru ini. Syarat domisili jadi calon pun
ditiadakan sehingga siapa pun dan dari mana pun seseorang, ia dapat menjadi
calon anggota DPD. Dengan konfigurasi demikian, semakin lemahlah jaminan
adanya sikap afirmatif terhadap daerah dan kekhawatiran akan rentannya
pengambilan
keputusan
ataupun
rentannya
legislasi
terhadap
intervensi
kepentingan politik tertentu semakin nyata terbukti.
Konstitusi yang telah membedakan secara tegas kamar DPR dan DPD telah
diingkari ketika terjadi penetrasi Parpol yang dapat dengan leluasa masuk ke
dalam sistem perwakilan daerah sehingga menjadi semakin sulit untuk
membedakan secara materiil antara wakil daerah dan wakil parpol. Di masa
mendatang dapat terjadi, seseorang yang tidak mengenal kebutuhan dan
kepentingan daerah provinsi tertentu karena tidak pernah berdomisili di wilayah
tersebut menjadi wakil dari provinsi tersebut hanya karena kekuatan mesin politik
parpol. Pada titik inilah, daerah dan otonomi akan kehilangan makna substantifnya
karena ia telah diinfiltrasi dan dikooptasi secara sistematis dan paripurna oleh
rezim Parpol dengan sistem sentralistiknya.
B. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN LEGAL STANDING PARA
PEMOHON
I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
1.
Para Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi (”MK”) melakukan
pengujian terhadap Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
14
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (”UU Pemilu”)
(vide Bukti P–1).
2.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10
ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (“UU MK”), salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah
melakukan pengujian (judicial review) undang-undang terhadap UndangUndang Dasar 1945 (“UUD 1945”).
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 antara lain menyatakan:
”Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, ......”
Pasal 10 ayat (1) huruf (a) UU MK antara lain menyatakan:
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk:
a) menguji undang-undang terhadap
Republik Indonesia Tahun 1945, ....
3.
Undang-Undang
Dasar
Negara
Selain itu, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur bahwa secara
hierarkis kedudukan UUD 1945 lebih tinggi dari undang-undang, oleh
karenanya setiap ketentuan undang-undang tidak boleh bertentangan dengan
UUD 1945. Jika terdapat ketentuan dalam undang-undang yang bertentangan
dengan UUD 1945, maka ketentuan tersebut dapat dimohonkan untuk diuji
melalui mekanisme pengujian undang-undang.
4.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
memeriksa dan memutus permohonan pengujian undang-undang ini.
II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON
5.
Pasal 51 ayat (1) UU MK mengatur bahwa:
Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
15
6.
Selanjutnya Penjelasan Pasal 51 ayat (1) menyatakan:
Yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK tidak mengatur mengenai kewenangan
konstitusional, namun dengan menganalogikannya dengan definisi hak
konstitusional maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
kewenangan konstitusional adalah kewenangan yang diatur dalam UUD
1945.
7.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka terdapat dua syarat yang harus
dipenuhi untuk menguji apakah para Pemohon memiliki legal standing dalam
perkara Pengujian Undang-Undang. Syarat pertama adalah kualifikasi untuk
bertindak sebagai pemohon sebagaimana diuraikan dalam Pasal 51 ayat (1)
UU MK, dan syarat kedua adalah hak dan/atau kewenangan konstitusional
pemohon tersebut dirugikan dengan berlakunya suatu undang-undang.
8.
Untuk selanjutnya pembahasan secara terperinci mengenai legal standing
masing-masing Pemohon akan diuraikan pada bagian di bawah ini.
(a) Legal Standing Pemohon I
9.
Pemohon I adalah Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (“DPD”)
yang merupakan “lembaga negara” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
ayat (1) UU MK. Oleh karena itu, Pemohon I (DPD) memiliki kualifikasi
sebagai Pemohon pengujian undang-undang.
10. Pemohon I (DPD) memiliki kewenangan konstitusional sebagaimana diatur
dalam Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E ayat (2),
dan Pasal 23F ayat (1) UUD 1945. Dengan diberlakukannya Pasal 12 dan
Pasal 67 UU Pemilu, kewenangan konstitusional Pemohon I yang diatur
dalam pasal-pasal tersebut dirugikan atau setidak-tidaknya mengalami
kerugian yang bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUUIII/2005), karena dengan diberlakukannya Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu
pelaksanaan kewenangan konstitusional
lembaga negara DPD yang
diberikan oleh pasal-pasal ini dapat terhambat atau bahkan tidak dapat
terlaksana.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
16
11. Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 menyatakan:
(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan
dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undangundang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan
daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah;
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan
pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan
agama.
(3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan
undang-undang
mengenai:
otonomi
daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan
pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja
negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil
pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan
pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
12. Sebagaimana diatur dalam Pasal 22D UUD 1945, kewenangan konstitusional
DPD di bidang legislasi, anggaran, pertimbangan dan pengawasan selalu
dikaitkan dengan kepentingan dan aspirasi daerah. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa UUD 1945 memberikan kewenangan konstitusional kepada
DPD untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam
pengambilan keputusan politik di tingkat pusat.
13. Kewenangan konstitusional inilah yang berpotensi untuk dirugikan dengan
diberlakukannya UU Pemilu, terutama Pasal 12 dan Pasal 67, karena dalam
pasal-pasal tersebut tidak terdapat persyaratan bahwa calon anggota DPD
harus berdomisili di provinsi yang bersangkutan (“Ketiadaan Syarat
Domisili”) serta tidak terdapat persyaratan bahwa calon anggota DPD bukan
anggota partai politik (“Ketiadaan Syarat Non-Parpol”) sebagaimana
diamanatkan oleh Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945.
14. Ketiadaan syarat domisili, sebagaimana diamanatkan Pasal 22C ayat (1)
UUD 1945, menyebabkan pemilihan anggota DPD dari suatu provinsi dapat
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
17
diikuti dan dimenangkan oleh calon dari provinsi lain yang tidak mengenal
daerah tersebut. Anggota DPD yang demikian diragukan kapabilitasnya
dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah. Hal ini jelas
merugikan kewenangan konstitusional Pemohon I (DPD) karena anggotaanggota DPD yang tidak benar-benar memahami daerahnya masing-masing
tidak akan berfungsi optimal dalam menunjang DPD sebagai lembaga dalam
menjalankan fungsinya untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan
daerah dalam pengambilan keputusan politik di tingkat pusat. Anggota DPD
yang demikian tidak dapat dijamin keberpihakannya kepada daerah yang
diwakilinya dalam pengambilan keputusan atau proses legislasi. Tidak pula
dapat dijamin kecepatan dan kemudahan pengambilan keputusan terkait
suatu daerah karena kurangnya pemahaman atau pengenalan atas daerah
tersebut.
15. Ketiadaan Syarat Non-Parpol yang bertentangan dengan Pasal 22E ayat (4)
UUD 1945 memungkinkan pemilihan anggota DPD diikuti dan dimenangkan
oleh anggota atau pengurus partai politik (”Parpol”). Menurut penalaran yang
wajar, anggota DPD yang berasal dari Parpol tentu akan lebih mengutamakan
kepentingan atau platform Parpol daripada kepentingan daerah secara
keseluruhan. Apalagi sebagian besar Parpol di Indonesia masih bersifat
sentralistik di mana pengambilan keputusan masih tergantung pada pimpinan
di tingkat pusat, bahkan dalam hal tertentu di tangan satu orang saja.
Anggota DPD yang berasal dari Parpol diragukan efektivitasnya dalam
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah. Anggota DPD yang lebih
mementingkan Parpol daripada aspirasi dan kepentingan daerah jelas akan
sangat merugikan kewenangan konstitusional DPD yang diberikan oleh UUD
1945 (Pasal 22D).
16. Uraian di atas menunjukkan bahwa Pemohon I (DPD) memiliki kedudukan
hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan
pengujian undang-undang ini.
(b) Legal Standing PEMOHON II
17. Pemohon II adalah para anggota DPD yang merupakan “perorangan
(kelompok orang) warga negara Indonesia” sebagaimana dimaksud Pasal 51
ayat (1) UU MK dan penjelasannya. Oleh karena itu Pemohon II (para
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
18
anggota DPD) memiliki kualifikasi sebagai Pemohon pengujian undangundang.
18. Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 menyatakan:
Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui
pemilihan umum.
Secara implisit, Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 memberikan hak konstitusional
kepada warga negara Indonesia yang berdomisili di provinsi tertentu untuk
dipilih menjadi anggota DPD dari provinsi yang bersangkutan. Jadi hak
konstitusional yang dijamin oleh Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 adalah hak
warga negara untuk dipilih sebagai anggota DPD dari provinsi tempat ia
berdomisili.
19. Oleh UU Pemilu hak konstitusional tersebut diabaikan. Pasal 12 UU Pemilu
yang mengatur tentang persyaratan untuk menjadi bakal calon anggota DPD
tidak mensyaratkan bahwa bakal calon anggota DPD harus berdomisili di
provinsi tempat bakal calon tersebut mencalonkan diri. Syarat domisili
tersebut juga tidak diatur dalam Pasal 67 UU Pemilu yang mengatur tentang
kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPD.
20. Ketiadaan syarat domisili dalam UU Pemilu (Pasal 12 dan Pasal 67) telah
menyebabkan pemilihan anggota DPD suatu provinsi dapat diikuti oleh orangorang yang tidak berasal dari provinsi yang bersangkutan. Hal ini jelas
merugikan hak konstitusional Pemohon II yang berdomisili di daerah yang
bersangkutan untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD.
21. Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 menyatakan:
Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah
adalah perseorangan.
Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 memberikan hak konstitusional kepada warga
negara Indonesia yang bukan anggota atau pengurus partai politik untuk
dipilih menjadi anggota DPD.
22. Dengan diberlakukannya UU Pemilu, hak konstitusional sebagaimana
dimaksud
di atas diingkari. Pasal 12 UU Pemilu yang mengatur tentang
persyaratan untuk menjadi bakal calon anggota DPD tidak memberikan
batasan terhadap anggota atau pengurus partai politik untuk menjadi calon
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
19
anggota DPD. Pasal 67 UU Pemilu yang mengatur tentang kelengkapan
administrasi bakal calon anggota DPD juga tidak mengaturnya lebih lanjut.
23. Ketiadaan syarat non parpol dalam UU Pemilu (Pasal 12 dan Pasal 67) jelas
berpotensi menimbulkan kerugian terhadap hak konstitusional Pemohon II
sebagai warga negara yang dilindungi oleh Pasal 22E ayat (4) UUD 1945.
Ketiadaan syarat non Parpol membuka kemungkinan calon dari Parpol untuk
berkompetisi dengan calon perseorangan dalam pemilihan anggota DPD.
Persaingan ini akan berlangsung secara tidak adil karena calon yang berasal
dari Parpol ditopang oleh organisasi Parpol yang sudah terbentuk hingga
tingkat kecamatan, bahkan di desa-desa. Sementara calon perseorangan
hanya mengandalkan jaringan personal. Persaingan yang tidak adil tersebut
jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945, sebagaimana diuraikan di bawah ini.
24. Selain hak-hak konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, Pemohon II
memiliki hak-hak konstitusional yang dilindungi oleh Pasal 22E ayat (1) dan
Pasal 28D ayat (1) sebagai berikut:
Pasal 22E ayat (1):
Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil setiap lima tahun sekali.
Pasal 28D ayat (1):
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
25. Ketiadaan syarat domisili dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu
menyebabkan hak-hak konstitusional PEMOHON II atas kepastian hukum
yang adil dan Pemilihan Umum (”Pemilu”) yang adil dirugikan. Pasal 22C
ayat (2) UUD 1945 telah mengatur secara adil bahwa:
Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan
jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari
sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Bagaimana mungkin Pemilu dapat dikatakan adil apabila calon anggota DPD
yang akan mewakili suatu provinsi dapat berasal dari provinsi lain? Jadi,
terdapat kemungkinan bahwa secara substansial suatu provinsi tidak terwakili
dalam lembaga DPD karena anggota DPD yang terpilih berasal dari provinsi
lain.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
20
26. Seluruh uraian di atas menunjukkan bahwa Pemohon II (para anggota DPD)
memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai
Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang ini.
(c) Legal Standing PEMOHON III
27. PEMOHON III adalah “perorangan warga negara Indonesia”, sebagaimana
dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK dan penjelasannya. Oleh karena itu,
PEMOHON III memiliki kualifikasi sebagai Pemohon pengujian undangundang.
28. PEMOHON III adalah orang-orang yang selama ini dikenal luas sangat aktif
dalam dan concerned dengan isu-isu yang terkait dengan Pemilu, kinerja
parlemen, kualitas representasi publik dalam parlemen, dan penyaluran
aspirasi daerah.
29. PEMOHON III Nomor 1 adalah Direktur Eksekutif CETRO, sebuah lembaga
swadaya masyarakat nirlaba yang maksud dan tujuannya antara lain
menumbuhkan kesadaran politik masyarakat dalam rangka mewujudkan citacita masyarakat madani yang berkeadilan sosial, menyebarkan nilai-nilai
demokrasi di Indonesia melalui Pemilu yang berkedaulatan rakyat agar dapat
mendorong terciptanya perubahan di berbagai bidang, dan mengupayakan
pemberdayaan masyarakat agar mempunyai pengetahuan dan wawasan
mengenai pentingnya Pemilu. Oleh karena itu, Pemohon III Nomor 1 adalah
perorangan warga negara Indonesia yang memiliki aktivitas yang tinggi dalam
hal-hal yang berkaitan dengan Pemilu sehingga Pemohon III Nomor 1 adalah
perorangan warga negara Indonesia yang berkepentingan terhadap upaya
pembaharuan Pemilu (electoral reform) demi terselenggaranya Pemilu yang
demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sebagaimana
diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, agar Pemilu menghasilkan
parlemen yang berkedaulatan rakyat.
30. PEMOHON III Nomor 2 adalah Ketua Dewan Pakar Sekretariat Nasional
Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat, sebuah
organisasi yang melakukan advokasi untuk penyaluran aspirasi dan
perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat—sebagai bagian dari
masyarakat daerah—yang dilindungi oleh Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
21
ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, Pemohon III Nomor 2 adalah perorangan
warga negara Indonesia yang memiliki aktivitas yang tinggi dalam hal-hal
yang berkaitan dengan penyaluran aspirasi masyarakat hukum adat—sebagai
bagian dari aspirasi masyarakat daerah—sehingga Pemohon III Nomor 2
adalah perorangan warga negara Indonesia yang berkepentingan terhadap
penyaluran aspirasi masyarakat hukum adat sebagai bagian dari aspirasi
masyarakat daerah melalui terpilihnya wakil-wakil daerah yang tepat di DPD
RI agar aspirasi dan hak-hak masyarakat hukum adat yang dijamin oleh Pasal
18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 terlindungi.
31. PEMOHON III Nomor 3 adalah Ketua Umum IPC, sebuah lembaga swadaya
masyarakat yang maksud dan tujuannya adalah memfokuskan diri pada
kajian
mengenai
parlemen
dan
membantu
parlemen
dalam
rangka
memperkuat posisi dan peran kelembagaan; dan mewujudkan parlemen yang
mampu
merepresentasikan
kepentingan
publik,
sehingga
dapat
meningkatkan kualitas produk legislasi serta dapat mengembangkan
kemampuan
pengawasan
terhadap
pemerintah
dalam
implementasi
kebijakan dan penggunaan anggaran. Oleh karena itu, Pemohon III Nomor 3
adalah perorangan warga negara Indonesia yang memiliki aktivitas yang
tinggi dalam hal-hal yang berkaitan dengan Pemilu sehingga Pemohon III
Nomor 3 adalah perorangan warga negara Indonesia yang berkepentingan
terhadap terselenggaranya Pemilu yang demokratis, langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (1)
UUD
1945,
agar
Pemilu
menghasilkan
parlemen
yang
mampu
merepresentasikan kepentingan publik dengan baik.
32. Pemohon III Nomor 4 adalah Koordinator FORMAPPI, sebuah lembaga
swadaya masyarakat yang bertujuan mendorong terbangunnya parlemen
yang fungsional, efektif serta transparan untuk penyelenggaraan demokrasi di
Indonesia;
mengembangkan
kepedulian
masyarakat
atas
perlu
dan
pentingnya memiliki parlemen yang fungsional bagi penyelenggaraan
demokrasi; serta mendorong parlemen senantiasa mau dan mampu
memperbaharui diri sehingga fungsional bagi penyelenggaraan demokrasi.
Oleh karena itu, Pemohon III Nomor 4 adalah perorangan warga negara
Indonesia yang memiliki aktivitas yang tinggi dalam hal-hal yang berkaitan
dengan peningkatan kualitas parlemen Indonesia, sedangkan parlemen
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
22
Indonesia dihasilkan oleh Pemilu, sehingga Pemohon III Nomor 4 adalah
perorangan
warga
negara
Indonesia
yang
berkepentingan
terhadap
terselenggaranya Pemilu yang demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (1) UUD 1945,
agar Pemilu menghasilkan parlemen yang fungsional dan efektif.
33. Seluruh uraian di atas menunjukkan bahwa Pemohon III memiliki kedudukan
hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan
pengujian undang-undang ini.
(d) Legal Standing PEMOHON IV
34. Pemohon IV (Warga Daerah) adalah “perorangan warga negara Indonesia”,
sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK dan penjelasannya. Oleh
karena itu, Pemohon IV (Warga Daerah) memiliki kualifikasi sebagai
Pemohon pengujian undang-undang.
35. Sebagaimana halnya dengan Pemohon II (para anggota DPD), Pemohon IV
(Warga Daerah) adalah warga negara Indonesia bukan anggota Parpol yang
tinggal di daerah provinsinya masing-masing dan pemberlakuan Pasal 12
dan Pasal 67 UU Pemilu berpotensi merugikan hak-hak konstitusional
Pemohon IV yang diatur dalam Pasal 22C ayat (1), Pasal 22E ayat (1), Pasal
22E ayat (4) dan Pasal 28D ayat (1). Karena legal standing Pemohon IV dan
Pemohon
II
bersumber
dari
hak
konstitusional
yang
sama
maka,
sebagaimana Pemohon II (para anggota DPD), Pemohon IV (Warga Daerah)
juga memiliki legal standing untuk bertindak sebagai Pemohon dalam
permohonan pengujian undang-undang ini.
36. Kerugian konstitusional Pemohon IV juga terjadi pada jaminan perolehan
keberpihakan anggota DPD dari daerahnya sebagai akibat berlakunya Pasal
12 dan Pasal 67 UU Pemilu, karena tidak adanya pemahaman dan
pengenalan daerahnya secara memadai sebab anggota DPD tersebut tidak
berdomisili di daerahnya, dan juga karena anggota DPD yang merupakan
anggota atau pengurus Parpol bisa lebih mengutamakan kepentingan Parpolnya daripada aspirasi/kepentingan daerah yang diwakilinya.
37. Dengan demikian, dari uraian di atas, para Pemohon memiliki kedudukan
hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
23
pengujian undang-undang ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1)
UU MK yang berbunyi: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undangundang”.
C. ALASAN-ALASAN PENGAJUAN PERMOHONAN PENGUJIAN UU PEMILU
I. PENGHILANGAN NORMA KONSTITUSI DALAM UU PEMILU
38. Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa:
Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui
pemilihan umum.
Pasal 22C ayat (1) mengandung norma konstitusi bahwa anggota DPD dipilih
dari warga negara yang berdomisili di provinsinya masing-masing (syarat
domisili).
39. Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 menyatakan:
Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 menyatakan:
Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah
adalah perseorangan.
Pasal 22E ayat (4) mengandung norma konstitusi bahwa anggota DPD dipilih
dari perseorangan non-Parpol (syarat non-Parpol).
40. Raison d’etre di balik pembatasan berupa syarat non-Parpol adalah demi
netralitas sang wakil daerah di DPD, sebagaimana raison d’etre pembatasan
terhadap anggota TNI/Polri dan Pegawai Negeri Sipil (Pasal 12 huruf m UU
Pemilu), misalnya, juga adalah demi netralitas.
41. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (”UU Pemilu 2003”), kedua norma konstitusi
tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 63 yang menyatakan (Bukti P – 2):
Calon anggota DPD selain harus memenuhi syarat calon sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60, juga harus memenuhi syarat:
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
24
a. berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga)
tahun secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal
pengajuan calon atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak
berusia 17 (tujuh belas) tahun di provinsi yang bersangkutan;
b. tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun
yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon.
Pasal 66 UU Pemilu 2003 lebih lanjut mengatur (vide Bukti P–2):
Pengajuan calon anggota DPD dilakukan dengan ketentuan:
a. calon mendaftarkan diri kepada KPU melalui KPU Provinsi dengan
menyebutkan provinsi yang diwakilinya;
b. calon menyerahkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60,
Pasal 63, dan Pasal 64 kepada KPU yang batas waktunya ditetapkan oleh
KPU.
42. Bahkan dalam Naskah Akademik dan Draft Awal RUU Pemilu 2008 yang
dipersiapkan oleh Pemerintah (”Draft RUU Pemilu Versi Pemerintah”),
syarat domisili dan syarat non-Parpol (dalam arti pengurus Parpol) tersebut
juga tetap dipertahankan (Pasal 13, huruf n dan huruf o). Bunyi Pasal 13 Draft
Awal tersebut adalah (Bukti P–3):
Persyaratan kualifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2)
meliputi:
a. Warga negara Indonesia yang berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau
lebih;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;
e. berpendidikan serendah-rendahnya SLTA, atau sederajat;
f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17
Agustus 1945;
g. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
h. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
i. sehat jasmani dan jiwa;
j. terdaftar sebagai pemilih;
k. bersedia bekerja sepenuh waktu;
l. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-negara lainnya,
hakim pada badan peradilan, pegawai pada badan usaha milik negara
dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya
bersumber dari APBN dan/atau APBD;
m. bersedia untuk tidak menduduki jabatan struktural pada lembaga
pendidikan swasta, tidak berpraktek sebagai akuntan publik, konsultan,
advokat/pengacara, notaris, dokter, dan pekerjaan lain yang ada
hubungannya dengan tugas, wewenang dan hak sebagai anggota DPD;
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
25
n. berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga)
tahun secara berturut-turut terhitung sampai dengan tanggal pengajuan
calon atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak berusia 17
(tujuh belas) tahun di provinsi yang bersangkutan;
o. tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun
yang dihitung sampai dengan pengajuan calon;
p. bersedia mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota
Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha
milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN
dan/atau APBD apabila ditetapkan sebagai calon terpilih anggota DPD;
q. dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; dan
r. dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan;
43. Namun setelah RUU Pemilu tersebut dibahas di DPR dan akhirnya
diundangkan oleh Presiden menjadi UU Pemilu (UU Nomor 10 Tahun 2008)
pada tanggal 31 Maret 2008, syarat domisili dan syarat non-Parpol
dihilangkan keberadaannya. Pasal 12 UU Pemilu (vide Bukti P–1) berbunyi:
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2):
a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun
atau lebih;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;
e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA),
Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah
Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;
f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17
Agustus 1945;
g. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih;
h. sehat jasmani dan rohani;
i. terdaftar sebagai pemilih;
j. bersedia bekerja penuh waktu;
k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara
Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,
pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik
daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan
negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri dan yang tidak
dapat ditarik kembali;
l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/
pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak
melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan
dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan
konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota
DPD sesuai peraturan perundang-undangan;
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
26
m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-negara lainnya,
pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah,
serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
n. dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan;
o. dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan; dan
p. mendapat dukungan minimal dari pemilih dari daerah pemilihan yang
bersangkutan.
44. Norma konstitusi yang mengatur tentang syarat domisili dan syarat nonParpol juga tidak terlihat dalam Pasal 67 UU Pemilu yang mengatur mengenai
Tata Cara Pendaftaran Bakal Calon Anggota DPD (vide Bukti P–1):
(1) Perseorangan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 dan Pasal 13 dapat mendaftarkan diri sebagai bakal calon
anggota DPD kepada KPU melalui KPU Provinsi.
(2) Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:
a. kartu tanda penduduk Warga Negara Indonesia;
b. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB, syahadah, sertifikat, atau
surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau
program pendidikan menengah;
c. surat keterangan tidak tersangkut perkara pidana dari Kepolisian
Negara Republik Indonesia setempat;
d. surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani;
e. surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih;
f. surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja penuh waktu yang
ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;
g. surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan
publik, advokat/pengacara, notaris, dan pekerjaan penyedia barang
dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan
lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas,
wewenang, dan hak sebagai anggota DPD yang ditandatangani di atas
kertas bermeterai cukup;
h. surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagai
pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan
usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, pengurus pada
badan lain yang anggarannya bersumber dari anggaran pendapatan
dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja
daerah; dan
i. surat penyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan untuk 1 (satu)
lembaga perwakilan yang ditandatangani di atas kertas bermeterai
cukup.
45. Penghilangan norma konstitusi tersebut diduga dilakukan secara sengaja dan
dilandasi oleh motif kekuasaan dari oknum-oknum tertentu. Indikasi ini dapat
dilihat pada Artikel Kompas (14 Maret 2008) berjudul “RUU Pemilu: Upaya Uji
Materi Harus Dihargai” (Bukti P-4):
“Saya menghargai niat DPD dan parpol untuk ajukan judicial review. Sebab,
memang ada
sejumlah hal yang mengganggu dalam RUU Pemilu, “ kata
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
27
anggota Panitia Khusus RUU Pemilu dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB)
Saifullah Ma’shum di Jakarta, Kamis (13/3).
Hal yang mengganggu itu terutama tentang ketentuan semua parpol yang
memiliki kursi di DPR bisa ikut Pemilu 2009 tanpa perlu verifikasi dan
dihilangkannya ketentuan domisili bagi calon anggota DPD. “Saya berusaha
menghalangi munculnya peraturan itu, tetapi gagal,” katanya.
Dihilangkannya aturan domisili bagi calon anggota DPD, kata Sjaifullah,
terkait dengan adanya parpol yang hanya mengizinkan kadernya
maksimal dua periode duduk di DPR. “Saat ini ada sejumlah anggota
DPR yang sudah dua periode di lembaga itu sehingga pada Pemilu 2009
mereka tak dapat lagi ikut pemilu legislatif. Untuk itu, mereka berniat
menjadi anggota DPD, “ katanya.
46. Penghapusan syarat domisili dan syarat non-Parpol dalam UU Pemilu (Pasal
12 dan Pasal 67) merupakan upaya penghilangan norma konstitusi dalam
undang-undang. Ketiadaan syarat domisili dan ketiadaan syarat non-Parpol
tersebut
menyebabkan
UU
Pemilu
menjadi
cacat,
karena
ia
telah
menegasikan keberadaan norma konstitusi bahwa calon anggota DPD dipilih
dari provinsi terkait [Pasal 22C ayat (1) UUD 1945] serta calon anggota DPD
berasal dari perseorangan [Pasal 22E ayat (4) UUD 1945].
II. KETIADAAN SYARAT DOMISILI DALAM UU PEMILU (PASAL 12 DAN
PASAL 67) BERTENTANGAN DENGAN PASAL 22C AYAT (1) UUD 1945
47. Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa:
Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui
pemilihan umum.
Secara semantis frasa ”dipilih dari setiap provinsi” mengandung arti bahwa
calon anggota DPD yang akan mewakili suatu provinsi dipilih dari orangorang yang berdomisili di provinsi yang bersangkutan.
48. Frasa ”dipilih dari setiap provinsi” sebelumnya telah ”ditafsirkan” oleh DPR
dan Presiden melalui Pasal 63 UU Pemilu 2003 (vide Bukti P–2):
Calon anggota DPD selain harus memenuhi syarat calon sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60, juga harus memenuhi syarat:
a. berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga)
tahun secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal
pengajuan calon atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak
berusia 17 (tujuh belas) tahun di provinsi yang bersangkutan;
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
28
b. tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun
yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon.
Pasal 66 UU Pemilu 2003 lebih lanjut mengatur:
Pengajuan calon anggota DPD dilakukan dengan ketentuan:
a. calon mendaftarkan diri kepada KPU melalui KPU Provinsi dengan
menyebutkan provinsi yang diwakilinya;
b. calon menyerahkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60,
Pasal 63, dan Pasal 64 kepada KPU yang batas waktunya ditetapkan oleh
KPU.
49. Bahkan sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya, dalam Draft RUU
Pemilu Versi Pemerintah, syarat domisili tersebut juga tetap dipertahankan
(Pasal 13, huruf n) (vide Bukti P–3). Namun setelah RUU Pemilu tersebut
dibahas di DPR dan akhirnya diundangkan oleh Presiden pada tanggal 31
Maret 2008, persyaratan domisili sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 22C
ayat (1) UUD 1945 dan telah diatur lebih lanjut oleh Pasal 63 dan Pasal 66
UU Pemilu 2003 dihilangkan keberadaannya.
50. Ketiadaan Syarat Domisili dalam UU Pemilu (Pasal 12 dan Pasal 67)
merupakan upaya penghilangan norma konstitusi dalam undang-undang.
Ketiadaan syarat domisili tersebut menyebabkan UU Pemilu menjadi cacat,
karena ia telah menegasikan keberadaan norma konstitusi bahwa calon
anggota DPD suatu provinsi dipilih dari provinsi terkait [Pasal 22C ayat (1)
UUD 1945]. Berikut adalah bunyi Pasal 12 UU Pemilu (vide Bukti P–1):
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2):
a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun
atau lebih;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;
e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA),
Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah
Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;
f.
setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17
Agustus 1945;
g. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih;
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
29
h. sehat jasmani dan rohani;
i.
terdaftar sebagai pemilih;
j.
bersedia bekerja penuh waktu;
k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara
Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,
pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik
daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan
negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri dan yang tidak
dapat ditarik kembali;
l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara,
notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan
pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan
negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan
dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai
peraturan perundang-undangan;
m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-negara lainnya,
pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah,
serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
n. dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan;
o. dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan; dan
p. mendapat dukungan minimal dari pemilih dari daerah pemilihan yang
bersangkutan.
51. Dengan mengacu pada persyaratan di atas (terutama huruf c), maka
siapapun warga negara Indonesia yang bertempat tinggal (berdomisili) di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dapat memilih untuk
mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD di provinsi mana pun di
Indonesia. Itulah sebabnya hal ini memicu rangkaian reaksi keras rakyat
Indonesia dari seantero Tanah Air sebagaimana tercermin dari “Petisi Tolak
Parpol Masuk Kamar DPD!” yang hingga saat ini telah ditandatangani lebih
dari 22.000 orang dari Sabang sampai Merauke (Bukti P–5).
52. Tidak hanya bertentangan dengan aspirasi masyarakat sebagaimana
dijelaskan di atas, hal ini juga jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 22C ayat
(1) UUD 1945 yang mensyaratkan bahwa anggota DPD dipilih dari setiap
provinsi.
53. Norma konstitusi bahwa calon anggota DPD suatu provinsi dipilih dari provinsi
terkait [Pasal 22C ayat (1) UUD 1945] juga tidak tampak dalam Pasal 67 UU
Pemilu yang mengatur mengenai Tata Cara Pendaftaran Bakal Calon
Anggota DPD (vide Bukti P–1):
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
30
(1) Perseorangan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 dan Pasal 13 dapat mendaftarkan diri sebagai bakal calon
anggota DPD kepada KPU melalui KPU Provinsi.
(2) Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:
a. kartu tanda penduduk Warga Negara Indonesia;
b. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB, syahadah, sertifikat, atau
surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau
program pendidikan menengah;
c. surat keterangan tidak tersangkut perkara pidana dari Kepolisian
Negara Republik Indonesia setempat;
d. surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani;
e. surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih;
f. surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja penuh waktu yang
ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;
g. surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan
publik, advokat/pengacara, notaris, dan pekerjaan penyedia barang
dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan
lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas,
wewenang, dan hak sebagai anggota DPD yang ditandatangani di atas
kertas bermeterai cukup;
h. surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagai
pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan
usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, pengurus pada
badan lain yang anggarannya bersumber dari anggaran pendapatan
dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja
daerah; dan
i. surat pernyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan untuk 1 (satu)
lembaga perwakilan yang ditandatangani di atas kertas bermeterai
cukup.
54. Ketiadaan syarat domisili dalam Pasal 12 maupun Pasal 67 UU Pemilu
merupakan suatu pelanggaran atas UUD 1945, khususnya Pasal 22C ayat
(1). Ketiadaan syarat domisili merupakan kesalahan yang fatal dan hal ini
menyebabkan Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu yang mengatur mengenai
persyaratan bakal calon anggota DPD kehilangan rohnya. Oleh karena itu,
pasal-pasal yang cacat tersebut harus dinyatakan bertentangan dengan UUD
1945.
55. Pentingnya syarat domisili tersebut juga dinyatakan secara tegas oleh
berbagai ahli tata negara Indonesia. Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., M.C.L.
dalam bukunya yang berjudul DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru,
Penerbit FH UII Press, 2003 (hal. 56-57), (Bukti P–6) menyatakan:
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
31
Sesuai dengan namanya sebagai Badan [seharusnya Dewan] Perwakilan
Daerah, sebutan provinsi dalam pasal ini [Pasal 22C ayat (1) UUD 1945]
menunjukkan anggota DPD mewakili (rakyat) daerah provinsi, seperti halnya
anggota Senat (Senator) di Amerika Serikat yang mewakili negara bagian.
Anggota DPD dipilih langsung oleh rakyat provinsi yang bersangkutan. Hal ini
membawa konsekuensi hanya penduduk yang berdomisili (bukan resident
apalagi pendatang sementara) yang dapat menjadi calon dan dipilih menjadi
anggota DPD.
56. Prof. Dr. Sri Soemantri Martosoewignjo, S.H. dalam makalah yang berjudul
”Susunan dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah”, hal. 3, menyatakan
(Bukti P–7):
Sesuai dengan namanya, yaitu Dewan Perwakilan Daerah, yang menjadi
anggota ialah rakyat dan penduduk yang berdomisili di daerah Provinsi yang
diwakili. Karena itu harus dicegah dan dilarang mereka yang sehari-hari
berdomisili di Jakarta menjadi anggota DPD mewakili provinsi tertentu.
57. Lebih lanjut, dalam makalah tersebut, hal 4, Prof. Dr. Sri Soemantri
Martosoewignjo, S.H. juga menjelaskan dampak positif yang ditimbulkan
sebagai konsekuensi dipilihnya anggota DPD dari calon yang berdomisili di
daerah (vide Bukti P–7):
Dengan demikian, karena domisilinya, anggota DPD tersebut akan dapat
membawa dan memperjuangkan kepentingan daerahnya. Dari aspek
pendidikan, melalui keanggotaannya dalam DPD akan terjadi proses
pendidikan politik terhadap para ”tokoh lokal” menjadi memahami masalahmasalah nasional dan global.
58. Prof. Syamsuddin Haris, Profesor Riset Ilmu Politik Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam artikelnya yang berjudul ”UU Pemilu:
Dari Partai untuk Partai?” (Harian Kompas, Senin, 3 Maret 2008),
menyatakan (Bukti P–8):
Sebagai wakil daerah, setiap calon anggota DPD semestinya berdomisili di
daerah pemilihannya, tetapi kini persyaratan domisili ditiadakan. ...
Persyaratan domisili jelas sangat penting bagi para wakil daerah agar DPD
tidak dikuasai oleh para elite politik Jakarta yang tiba-tiba memiliki komitmen
untuk memberdayakan daerah. Selain itu, persyaratan domisili tetap
diperlukan agar DPD kembali ke fitrahnya sebagai representasi daerahdaerah yang lebih banyak bekerja di daerah ketimbang di Jakarta.
59. Pandangan para ahli tata negara tersebut di atas tentang syarat bahwa
anggota DPD haruslah dipilih dari warga negara yang berdomisili di daerah
yang akan diwakilinya sangat sesuai dengan gagasan dasar pembentukan
DPD sebagaimana digambarkan oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
32
Palguna, S.H., M.H., yang juga merupakan anggota MPR yang ikut
membahas amandemen UUD 1945, dalam makalah yang berjudul ”Susunan
dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah”, hal 1 (Bukti P–9):
Mengenai DPD, yang menjadi gagasan dasar pembentukan adalah keinginan
untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran
yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik
untuk soal-soal yang terutama berkaitan langsung dengan daerah. Keinginan
tersebut berangkat dari pemikiran bahwa pengambilan keputusan yang
bersifat sentralistik pada masa yang lalu ternyata telah mengakibatkan
meningkatnya ketidakpuasan daerah-daerah yang telah sampai pada tingkat
yang membahayakan keutuhan wilayah negara dan persatuan nasional.
60. Uraian di atas menunjukkan bahwa baik dari segi penafsiran secara semantis
maupun penafsiran secara kontekstual dengan mengacu pada gagasan dasar
pembentukan DPD, syarat domisili merupakan elemen yang sangat penting
dalam memilih anggota DPD. Ketiadaan syarat domisili menyebabkan Pasal
12 dan Pasal 67 UU Pemilu kehilangan rohnya dan oleh karenanya
inkonstitusional. Dan konsekuensi logisnya adalah bahwa Pasal 12 dan Pasal
67 UU Pemilu harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1)
UUD 1945.
III. KETIADAAN SYARAT NON-PARPOL DALAM UU PEMILU (PASAL 22 DAN
PASAL 67) BERTENTANGAN DENGAN PASAL 22E AYAT (4) UUD 1945
61. Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 mengatur:
Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 menyatakan:
Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah
adalah perseorangan.
Dengan melakukan penafsiran secara sistematis, dengan membaca Pasal
22E ayat (4) secara bersama-sama dengan Pasal 22E ayat (3), maka tidak
bisa tidak kata ”perseorangan” dalam Pasal 22E ayat (4) mengandung makna
tunggal yakni non-Parpol.
62. Ketentuan Pasal 22E ayat (4) tidak dimaksudkan untuk mendiskriminasikan
warga negara Indonesia lainnya yang merupakan anggota Parpol karena
Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 telah memberikan kesempatan hanya kepada
anggota Parpol untuk menjadi anggota DPR atau anggota DPRD. Dengan
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
33
demikian, adalah logis untuk menafsirkan Pasal 22E ayat (4) sebagai
ketentuan yang memberikan kesempatan hanya kepada perseorangan warga
negara yang tidak memiliki keterkaitan institusional dengan Parpol (bukan
anggota atau pengurus Parpol) untuk menjadi calon anggota DPD.
63. Uraian di atas menunjukkan bahwa Pasal 22E UUD 1945 telah secara adil
mengatur bahwa anggota DPD dipilih dari perseorangan sedangkan anggota
DPR dan DPRD dipilih dari anggota Parpol. Pengaturan hak untuk dipilih
yang telah dilakukan secara adil oleh UUD 1945 ini telah dinegasikan di
dalam pembahasan Revisi UU Pemilu. Ketiadaan syarat non-Parpol dalam
Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu merupakan suatu pengingkaran terhadap
UUD 1945, terutama Pasal 22E ayat (4). Pengingkaran ini dilakukan secara
sistematis dan akan diuraikan di bagian berikut.
64. Ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang mengatur bahwa pemilihan
anggota DPR dilakukan melalui Parpol kemudian diatur lebih lanjut dalam
Pasal 50 UU Pemilu (vide Bukti P-1):
(1) Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
harus memenuhi persyaratan:
........
n. menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu;
.....
(2) Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan
dengan:
.....
i. kartu tanda anggota Partai Politik Peserta Pemilu;
.....
65. Logikanya UU Pemilu juga mengatur lebih lanjut norma konstitusi yang
terdapat dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 dan norma tersebut
mensyaratkan bahwa calon anggota DPD adalah perseorangan (non-Parpol).
Pada kenyataannya, secara sistematis norma konstitusi tersebut dihilangkan
dari batang tubuh UU Pemilu. Pembedaan penyaluran aspirasi politik
sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (3) dan (4) UUD 1945 juga telah
dinyatakan di dalam alinea keempat Penjelasan Umum UU Pemilu. Namun
dalam batang tubuh UU Pemilu, hal tersebut tidak secara eksplisit dan implisit
dikemukakan. Berikut ini adalah kutipan alinea keempat Penjelasan Umum
UU Pemilu, alinea keempat (vide Bukti P–1):
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
34
Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang majemuk dan berwawasan
kebangsaan, partai politik merupakan saluran untuk memperjuangkan
aspirasi masyarakat, sekaligus sebagai sarana kaderisasi dan rekrutmen baik
untuk tingkat nasional maupun daerah, serta untuk rekrutmen pimpinan baik
tingkat nasional maupun daerah. Oleh karena itu, peserta pemilihan umum
untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik. Selain itu, untuk
mengakomodasi aspirasi keanekaragaman daerah, sesuai dengan ketentuan
Pasal 22C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dibentuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang anggota-anggotanya dipilih
dari perseorangan yang memenuhi persyaratan dalam pemilihan umum
bersamaan dengan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD.
66. Berbeda dengan alinea keempat Penjelasan Umum UU Pemilu (alinea
keempat), Pasal 12 UU Pemilu yang mengatur tentang persyaratan untuk
menjadi bakal calon anggota DPD tidak memberikan batasan terhadap
anggota atau pengurus partai politik untuk menjadi calon anggota DPD. Hal
tersebut juga tidak diatur lebih lanjut dalam Pasal 67 UU Pemilu yang
mengatur tentang kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPD.
Ketiadaan syarat non-Parpol jelas merupakan pengingkaran terhadap UUD
1945, terutama Pasal 22E ayat (4). Ketiadaan syarat non-Parpol ini,
sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya, juga telah memicu
rangkaian
reaksi
keras
rakyat
Indonesia
dari
seantero
Tanah
Air
sebagaimana tercermin dari “Petisi Tolak Parpol Masuk Kamar DPD!” yang
hingga saat ini telah ditandatangani lebih dari 22.000 orang dari Sabang
sampai Merauke (vide Bukti P- 5).
67. Lebih lanjut, sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya, Pasal
22E ayat (4) UUD 1945 telah ”ditafsirkan” sebelumnya oleh Presiden dan
DPR dengan diundangkannya UU Pemilu 2003. Pasal 63 UU Pemilu 2003
menyatakan:
Calon anggota DPD selain harus memenuhi syarat calon sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60, juga harus memenuhi syarat:
a. berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga)
tahun secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal
pengajuan calon atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak
berusia 17 (tujuh belas) tahun di provinsi yang bersangkutan;
b. tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun
yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon.
Pasal 66 UU Pemilu 2003 lebih lanjut mengatur:
Pengajuan calon anggota DPD dilakukan dengan ketentuan:
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
35
a. calon mendaftarkan diri kepada KPU melalui KPU Provinsi dengan
menyebutkan provinsi yang diwakilinya;
b. calon menyerahkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60,
Pasal 63, dan Pasal 64 kepada KPU yang batas waktunya ditetapkan oleh
KPU.
68. Bahkan, sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya, dalam Draft
RUU Pemilu Versi Pemerintah, syarat non-Parpol tersebut juga tetap
dipertahankan (Pasal 13 huruf o) (vide Bukti P–3). Namun setelah Draft RUU
Pemilu Versi Pemerintah tersebut dibahas di DPR dan akhirnya diundangkan
oleh Presiden pada tanggal 31 Maret 2008, syarat non-Parpol dihilangkan
keberadaannya. Tidak ada satu persyaratan pun di dalam Pasal 12 dan Pasal
67 UU Pemilu yang dapat dilihat sebagai penjabaran dari ketentuan Pasal
22E ayat (4) UUD 1945 yang terkait dengan persyaratan non-Parpol.
69. Ketiadaan syarat non-Parpol dalam UU Pemilu (Pasal 12 dan Pasal 67)
merupakan suatu pengingkaran dan/atau pelanggaran atas UUD 1945
khususnya Pasal 22E ayat (4). Ketiadaan syarat non-Parpol merupakan
kesalahan yang fatal dan hal ini menyebabkan Pasal 12 dan Pasal 67 UU
Pemilu inkonstitusional. Oleh karena itu sudah seyogianya pasal-pasal yang
cacat tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
70. Keanggotaan DPD yang non-Parpol ini merupakan keniscayaan prinsip
demokrasi perwakilan yang ada pada pembentukan dua kamar parlemen
Indonesia yakni DPR dan DPD. Prinsip perwakilan di Indonesia telah
menegaskan DPR yang berasal dari Parpol membawa kepentingan nasional
yang terangkum dari cita-cita oleh masing-masing partai politik, sedangkan
calon perseorangan di DPD diidealkan membawa kepentingan nasional yang
merupakan rangkuman dari kepentingan setiap daerah yang diwakilinya.
71. Kesimpulan tersebut di atas didukung oleh pendapat dari kalangan ahli tata
negara yang secara tegas menyatakan bahwa calon anggota DPD yang
mewakili kepentingan daerah sebagai bagian dari sistem perwakilan
fungsional (functional representation) adalah perorangan yang non-Parpol.
72. Prof Dr. Jimly Asshiddiqie, SH dalam bukunya yang berjudul, “Konsolidasi
Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat” (catatan kaki nomor 98),
halaman 44-45, (Bukti P–10) mengemukakan penjelasannya mengenai
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
36
syarat non-parpol dengan menyampaikan pandangannya tentang Pasal 22E
ayat (4) UUD 1945 sebagai berikut:
Pemilihan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah ini dibedakan dari
pemilihan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Jika peserta pemilihan
umum untuk calon anggota Dewan Perwakilan Rakat adalah partai politik,
maka peserta pemilihan umum untuk calon anggota Dewan Perwakilan
Daerah adalah perseorangan. Perbedaan ini dapat dikaitkan dengan (i)
penerapan sistem pemilihan yang berbeda, yaitu sistem proporsional untuk
calon anggota DPR dan sistem distrik untuk calon anggota DPD. Meskipun
pemilihan umum yang diikuti oleh peserta partai poitik tidak mutlak harus
dilakukan berdasarkan sistem proporsional, tetapi pemilihan yang diikuti oleh
peserta perseorangan dapat dipastikan adalah pemilihan berdasarkan sistem
distrik dimana rakyat secara langsung memilih orang, bukan memilih tanda
gambar partai politik peserta pemilu; (ii) pencalonan dilakukan melalui
mekanisme kepartaian untuk anggota DPR dan mekanisme non-partai politik
untuk anggota DPD. Hal ini dapat pula dikaitkan dengan pengertian sistem
perwakilan politik (political representation) untuk anggota DPR dan sistem
perwakilan fungsional (functional representation) untuk anggota DPD.
Dengan demikian, dalam ketentuan pelaksanaannya, misalnya dapat
diatur dengan tegas bahwa calon perseorangan itu diharuskan berasal
dari tokoh-tokoh yang bukan pengurus ataupun anggota partai politik
manapun juga.
73. Prof. Dr. Sri Soemantri Martosoewignjo, S.H. dalam paper yang berjudul
”Susunan dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah”, hal. 4, (vide Bukti
P–7) menyatakan:
Seseorang yang dicalonkan menjadi anggota DPD harus menyatakan bahwa
dirinya bukan anggota partai politik tertentu dalam sebuah surat pernyataan
yang telah disediakan oleh KPU, dengan ancaman pidana apabila terbukti
surat pernyataan itu tidak benar.
74. Lebih lanjut, Prof. Dr. Sri Soemantri Martosoewignjo, S.H. dan Dr. Mochamad
Isnaeni Ramdhan, S.H. dalam dalam makalah yang berjudul ”Perihal Dewan
Perwakilan Daerah dalam Perspektif Ketatanegaraan”, hal 4 menyatakan
(Bukti P–11):
Pencalonan anggota DPD yang merupakan bukan anggota atau pengurus
partai politik perlu dipertahankan, guna mengimbangi kepentingan partai
politik yang sudah diakomodasi dalam DPR;
75. Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. yang juga merupakan
anggota MPR yang ikut membahas amandemen UUD 1945, dalam makalah
yang berjudul ”Susunan dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah”, hal 3-4,
menyatakan (vide Bukti P–9):
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
37
Sifat perseorangan yang disyaratkan dalam pengisian jabatan keanggotaan
DPD, secara implisit, juga bermakna bahwa anggota DPD harus terbebas dari
kepentingan partai politik mana pun secara institusional. Hal ini dikarenakan
keberadaan DPD, pada sisi lain, juga dimaksudkan untuk mengimbangi
”warna” kepentingan partai dalam proses pengambilan keputusan politik di
tingkat nasional.
76. Profesor Dr. Satya Arinanto, Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, dalam artikelnya yang berjudul ”Anggota DPR
dan Anggota DPD” (Harian Kompas, Senin, 4 Februari 2008), menyatakan
(Bukti P–12):
Perubahan UUD 1945, sebagai implementasi salah satu tuntutan reformasi
politik pasca turunnya Presiden Soeharto pada 1998, mendesain DPD
sebagai lembaga representasi daerah, bukan representasi parpol. ... Jika
batas ini tetap diterobos dalam pembahasan RUU itu, ini dapat diartikan
sebagai upaya untuk mengingkari semangat reformasi. Penggerogotan
reformasi ini tentu mengkhawatirkan.
77. Prof. Syamsuddin Haris, Profesor Riset Ilmu Politik Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam artikelnya yang berjudul ”UU Pemilu:
Dari Partai untuk Partai?” (Harian Kompas, Senin, 3 Maret 2008),
menyatakan (vide Bukti P–8):
Begitu pula hakikat peserta pemilihan DPD yang semestinya bersifat
perseorangan, kini melalui RUU Pemilu para pengurus partai politik
dibolehkan turut serta dalam pencalonan DPD. Padahal, Pasal 22E ayat 4
UUD 1945 hasil perubahan ketiga secara eksplisit mengamanatkan, ”Peserta
pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah
perseorangan”. ... Di sisi lain, pemberian kesempatan bagi pengurus partai
politik untuk turut serta dalam pemilihan DPD bukan hanya bertentangan
dengan amanat konstitusi, tetapi juga semakin mengaburkan esensi DPD
sebagai wakil daerah secara perseorangan.
78. Uraian di atas menunjukkan bahwa dengan melakukan penafsiran secara
semantis dan sistematis maupun penafsiran secara kontekstual dengan
mengacu pada gagasan dasar pembentukan DPD, kata perseorangan dalam
Pasal 22E ayat (4) bermakna non-Parpol (bukan anggota atau pengurus
Parpol). Oleh karena itu, Ketiadaan syarat non-Parpol menyebabkan Pasal 12
dan Pasal 67 UU Pemilu kehilangan rohnya dan oleh karenanya
inkonstitusional. Dengan demikian Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu harus
dinyatakan bertentangan dengan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945.
79. Para Pemohon sepenuhnya menyadari, ada pendapat yang menyatakan
bahwa anggota DPD yang berasal dari Parpol belum tentu dengan sendirinya
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
38
pasti tidak akan dapat menjadi wakil kepentingan/aspirasi daerah yang baik
dan akan lebih banyak mengutamakan kepentingan/aspirasi partainya,
dengan mengemukakan contoh bahwa terdapat negara-negara demokrasi di
dunia yang anggota Senatnya berasal dari Parpol atau boleh berasal dari
Parpol tetapi dapat melaksanakan amanatnya sebagai representasi daerah
dengan baik, misalnya Amerika Serikat.
80. Namun perlu dicatat di sini bahwa, sebaliknya, juga terdapat sejumlah negara
demokrasi di dunia yang mengatur dengan tegas bahwa anggota Senat
negara tersebut tidak boleh berasal dari Parpol, misalnya Thailand
(sebagaimana akan diuraikan lebih lanjut di bawah).
81. Perbedaan ini disebabkan berbeda-bedanya raison d’etre dan konteks latar
belakang setiap negara merasakan perlunya melahirkan lembaga semacam
Senat (dalam konteks Indonesia, DPD RI). Konsekuensinya, dengan
sendirinya lingkungan politik dan budaya politik yang memungkinkan sebuah
Senat berfungsi dengan baik dan memadai atau menghambat pelaksanaan
fungsi sebuah Senat juga berbeda-beda antara negara yang satu dengan
negara yang lain. Sehingga, setiap negara harus memiliki caranya sendirisendiri untuk mendorong terciptanya sistem yang memungkinkan sebuah
Senat berfungsi dengan baik dan memadai dalam lingkungan politik dan
budaya politik tersebut serta mengeliminasi sistem yang menghambat
pelaksanaan fungsi sebuah Senat dalam lingkungan politik dan budaya politik
tersebut.
82. Dalam lingkungan dan budaya politik Amerika Serikat, misalnya, “It is hard to
overstate the extent to which American parties are characterized by
decentralized power structures. Historically speaking, within the party-in-thegovernment, presidents cannot assume that their party's members in
Congress will be loyal supporters of presidential programs, nor can
party leaders in Congress expect straight party-line voting from
members of their party. Within the party organization, the Republican and
Democratic congressional and senatorial campaign committees (composed of
incumbent legislators) operate autonomously from the presidential oriented
national party committees — the Republican and the Democratic National
Committees.” (John F. Bibby, “Political Parties in the United States”,
International
Information
www.usinfo.state.gov).
(Bukti P-12A).
Implikasi
peran...,Program,
Agung Sudrajat,
FH UI, 2012
39
83. Sedangkan dalam konteks lingkungan dan budaya politik Indonesia dewasa
ini, hal yang sebaliknyalah yang justru terjadi: ”Oligarki partai menjadi
penyebab
para
anggota
DPR
tidak
bisa
berbuat
banyak
untuk
memperjuangkan aspirasi rakyat yang telah memilihnya. Para wakil rakyat itu
terjebak pada pola untuk memperjuangkan kepentingan pribadi dan
partainya.” (Dhaniel Dhakidae dalam Harian ”Sinar Harapan”, Rabu, 21
Januari 2004, ”Oligarki Partai Sebabkan DPR Abaikan Aspirasi Rakyat”)
(Bukti P-12B). “Pengurus di tingkat DPD, DPC, DPK, sampai DPR (ranting di
desa) diwajibkan taat terhadap keputusan partai yang bersifat final.” (Abdul
Gafur Sangadji, “Utopia Reformasi Parpol”, Harian “Merdeka”, 15 September
2004) (Bukti P-12C).
84. Konteks Indonesia yang dikemukakan di atas ini senada dengan tesis Robert
Michels bahwa “…kebijakan partai bertumpu dan bertumpuk pada ketua dan
elit partai sehingga sulit diterapkan desentralisasi kepartaian…” (Robert
Michels, “Political Parties: A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies
of Modern Democracy”, 1984). Oleh karena itulah, Herbert Schambeck
menyatakan, “In a democracy with a pluralistic society, be it a monarchy or a
republic, political parties … must also recognize their limits as well as their
opportunities within a democratic and constitutional system. This applies
even more so to federal countries, where the people are organized,
institutionalized and represented at different levels, at the local, regional
and federal levels.” (Dr. Herbert Schambeck (Profesor di University of Linz
dan mantan Presiden Bundesrat Austria), “Reflections on the significance of
the bicameral parliamentary system; Bicameralism, Democracy and the Role
of the Civic Society”, Meeting of the Association of European Senates,
Ljubljana, 28 Juni 2002) (Bukti P-12D).
85. Negara seperti Thailand, misalnya, pun memiliki konteks dan budaya politik
tersendiri lagi, yang berbeda dengan konteks dan budaya politik Amerika
Serikat, yang membuat negara tersebut harus mengatur dengan tegas dan
ketat bahwa anggota Senat tidak boleh berasal dari Parpol untuk menjamin
berfungsinya para anggota Senat (sebagai representasi daerah) dengan baik
dalam lingkungan dan budaya politik negara tersebut. Anggota Senat,
menurut Section 114 angka (5) dan (6) Konstitusi Thailand, haruslah (Bukti
P-12E):
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
40
(5) not being an ascendant, a spouse or a son or daughter of a member
of the House of Representatives or a person holding a political
position;
(6) not being a member or a holder of any position of a political party, or
having been a member or a holder of any position of a political party,
with membership or office having terminated for a period of not more
than five years up to the date of applying for candidacy or the date of
nomination.
(Sumber:
Website
Asian
Legal
Information
Institute
(ALII):
http://www.asianlii.org/th/legis/const/2007/1.html, diakses pada tanggal 19
April 2008)
86. Dengan demikian, jelaslah bahwa kenyataan bahwa di Amerika Serikat atau
negara-negara tertentu lain anggota Senat berasal atau boleh berasal dari
Parpol tidak serta merta dapat menjadi justifikasi bagi berlakunya hal yang
sama di Indonesia. Kecuali Indonesia memiliki raison d’etre, konteks latar
belakang atau lingkungan dan budaya politik yang sama dengan negaranegara tersebut, kenyataan tersebut tidak dapat dengan sendirinya menjadi
justifikasi bagi diterapkannya hal yang sama di Indonesia.
D.
MASALAH KETIADAAN NORMA DAN PENGUJIAN UU PEMILU
87. Para Pemohon menyadari bahwa permohonan pengujian undang-undang ini
adalah mengenai ketiadaan norma dalam UU Pemilu yang menyebabkan
undang-undang tersebut inkonstitusional, sedangkan dalam praktik pada
umumnya pengujian undang-undang dilakukan karena adanya norma
(ketentuan) undang-undang yang dianggap inkonstitusional.
88. Sesungguhnya
kewenangan
yang
diamanatkan
UUD
1945
kepada
Mahkamah Konstitusi tidaklah sesempit itu, karena Pasal 24C ayat (1) UUD
1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK dengan tegas memberikan
kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk ”menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar” tanpa pembatasan ”sepanjang mengenai
adanya norma undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar”; yang berarti bahwa Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan oleh
UUD 1945 untuk menguji undang-undang tidak hanya dalam arti adanya
norma tertentu undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945, tetapi
juga dapat dalam arti tiadanya norma tertentu dalam undang-undang yang
menyebabkan undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
41
89. Selengkapnya, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 antara lain berbunyi:
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, ......
dan Pasal 10 ayat (1) huruf (a) UU MK antara lain berbunyi:
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk: menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, .....
90. Dari uraian di atas, jelaslah bahwa UUD 1945 dan UU MK tidak pernah
membatasi kewenangan pengujian materiil MK hanya dalam arti adanya
norma undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 saja. Hal ini
dikarenakan dalam kenyataannya inkonstitusionalitas suatu undang-undang
dapat
disebabkan
baik
oleh
adanya
norma
undang-undang
yang
bertentangan dengan UUD 1945 maupun oleh tiadanya norma tertentu
dalam undang-undang padahal norma tersebut diamanatkan oleh UndangUndang Dasar.
91. Sebagaimana disampaikan di atas, dalam perkara ini inkonstitusionalitas
yang terjadi adalah ketiadaan norma, yang jelas-jelas telah dinyatakan dalam
UUD 1945, dalam pasal-pasal tertentu UU Pemilu (Pasal 12 dan Pasal 67)
sebagaimana dijelaskan di bagian-bagian lain Permohonan ini. Karena Pasal
12 dan Pasal 67 tidak mengandung materi muatan yang secara konstitusional
seharusnya dikandungnya, maka pasal-pasal ini menjadi inkonstitusional
secara keseluruhan dan dengan demikian harus dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
92. Dalam ilmu hukum, terdapat teori “ketiadaan suatu norma mengadakan/
menciptakan suatu norma baru”. Kenyataan empiris pun membuktikan teori
ini. In casu, misalnya, ketiadaan norma syarat domisili dan syarat non-Parpol
mengadakan/menciptakan norma baru bahwa “Peserta Pemilihan Umum
Dewan Perwakilan Daerah dapat tidak berasal dari provinsi yang hendak
diwakilinya dan/atau dapat merupakan anggota atau pengurus Parpol”,
sehingga norma baru (yang tercipta dari ketiadaan norma yang seharusnya
ada) inilah yang bertentangan dengan norma Pasal 22C ayat (1) UUD 1945,
yang berbunyi:
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
42
Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui
pemilihan umum.
dan norma dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, yang berbunyi:
Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah
adalah perseorangan.
93. Jadi dapat disimpulkan, in casu bukanlah apa yang telah ada (tertulis) dalam
UU Pemilu yang bertentangan dengan UUD 1945—norma-norma yang telah
ada (tertulis) dalam UU Pemilu telah sesuai dan tidak bertentangan dengan
UUD 1945—namun apa yang tiada-lah yang bertentangan dengan UUD 1945
karena ketiadaan ini mengadakan/menciptakan norma baru sebagaimana
diuraikan di atas, dan norma baru inilah yang bertentangan dengan UUD
1945.
94. Pasal 63 UU Pemilu 2003 menyebutkan bahwa syarat untuk menjadi calon
anggota DPD antara lain:
a. berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga)
tahun secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal
pengajuan calon atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak
berusia 17 (tujuh belas) tahun di provinsi yang bersangkutan.
b. tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun
yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon.
95. Jika Pasal 63 UU Pemilu 2003 tersebut maupun Draft RUU Pemilu Versi
Pemerintah dibandingkan dengan UU Pemilu Nomor10 Tahun 2008,
khususnya Pasal 12 dan Pasal 67, maka terlihat jelas bahwa ketiadaan syarat
domisili dan ketiadaan syarat non-Parpol dalam UU Pemilu merupakan suatu
upaya pelanggaran konstitusi yang disengaja dari para pembuat UU Pemilu.
Tidak terdapat penjelasan yang memadai mengenai apa perbedaan latar
belakang situasi dan kondisi Pemilihan Umum 2004 dengan Pemilihan Umum
2009 sehingga kedua syarat ini harus ikut berubah. Oleh karena itu, sangat
beralasan bila para Pemohon menengarai bahwa penghilangan syarat
domisili dan syarat non-Parpol dalam UU Pemilu merupakan upaya merusak
tatanan kehidupan demokrasi nasional untuk vested interest politis tertentu,
sebagaimana diungkapkan seorang anggota Panitia Khusus RUU Pemilu dari
Fraksi Kebangkitan Bangsa, Saifullah Ma’shum, di atas (vide Bukti P–4) dan
sebagaimana dikatakan Prof. Syamsuddin Haris, Profesor Riset Ilmu Politik
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam artikelnya yang berjudul
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
43
”UU Pemilu: Dari Partai untuk Partai?” (Harian Kompas, Senin, 3 Maret 2008)
(vide Bukti P-8):
Langkah mundur RUU Pemilu ini patut menjadi keprihatinan kita jika benar
sinyalemen bahwa perubahan itu dilatarbelakangi kehendak para politisi
partai untuk merebut kursi DPD jika gagal menjadi calon dengan posisi
signifikan dalam pemilihan DPR. Lalu, apa jadinya bangsa ini kalau revisi
undang-undang pemilu dilakukan sekadar untuk memenuhi syahwat
kekuasaan para politisi partai? Semoga saja situasi yang dialami bangsa kita
dewasa ini tidak mengarah pada kekhawatiran Bung Hatta tatkala mengkritisi
partai-partai, yakni situasi ketika ”partai dijadikan tujuan dan negara menjadi
alatnya”.
96. Dalam konteks demikianlah, Mahkamah Konstitusi harus menjalankan tugas
yang diembannya, yang diamanatkan kepadanya oleh UUD 1945. Sesuai
dengan semangat amanat UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi,
Mahkamah Konstitusi adalah the guardian of the Constitution dan the final
interpreter of the Constitution. Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas
Mahkamah Konstitusi diharapkan untuk menyatakan keseluruhan Pasal 12
dan Pasal 67 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal
22E ayat (4) UUD 1945, dan oleh karena itu inkonstitusional, serta dinyatakan
tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
97. Atau, andai pun Mahkamah Konstitusi tidak berpendapat demikian, karena
Mahkamah Konstitusi adalah the final interpreter of the Constitution maka
Mahkamah Konstitusi diharapkan untuk setidaknya menyatakan bahwa kedua
pasal tersebut conditionally constitutional jika norma terbuka itu ternyata
ditafsirkan sesuai dengan konstitusi (sebagaimana akan diuraikan di bawah)
dan conditionally unconstitutional jika ditafsirkan berlawanan dengan
ketentuan konstitusi, yakni Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD
1945.
98. Para Pemohon juga menyadari, apabila Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu
dinyatakan bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4)
UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah
Konstitusi maka akan terjadi kekosongan hukum mengenai syarat-syarat
calon anggota DPD dan syarat-syarat kelengkapan administratif calon
anggota DPD, sementara proses Pemilihan Umum 2009 sudah dimulai sejak
tanggal 5 April 2008 (Peraturan KPU Nomor 09 Tahun 2008, tanggal 3 April
2008) (Bukti P–13). Untuk mengatasi masalah ini, para Pemohon memohon
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
44
pada Mahkamah Konstitusi untuk sudilah kiranya mempertimbangkan
beberapa alternatif berikut ini sebagai solusi atas problem konstitusi yang
dihadapi dalam UU Pemilu ini yang dimaksudkan untuk menghindari
kekosongan hukum (rechtsvacuum), sebelum pembentuk undang-undang
mengatur syarat domisili dan syarat non-Parpol bagi calon anggota DPD,
serta guna kelancaran pelaksanaan Pemilu 2009, yaitu meminta:
a. Presiden segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang, sejauh menyangkut materi yang diatur kedua pasal tersebut,
yang sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi pada perkara ini, yakni
harus mengandung materi muatan syarat domisili dan syarat non-Parpol
selain syarat-syarat lain yang telah terdapat dalam kedua pasal tersebut;
atau
b. Komisi Pemilihan Umum segera menerbitkan Peraturan KPU sejauh
menyangkut materi yang diatur kedua pasal tersebut yang sesuai dengan
putusan Mahkamah Konstitusi pada perkara ini, yakni harus mengandung
materi muatan syarat domisili dan syarat non-Parpol selain syarat-syarat
lain yang telah terdapat dalam kedua pasal tersebut;
Hal serupa pernah dinyatakan Mahkamah Konstitusi dalam Pertimbangan
Hukum Putusan Perkara Nomor 5/PUU-V/2007;
ATAU
Agar Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu berlaku conditionally constitutional:
a. Menyatakan ketentuan Pasal 12 huruf c harus dibaca bertempat tinggal di
provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 tahun berturut-turut
yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon atau pernah
bertempat tinggal selama 10 tahun sejak berusia 17 tahun di provinsi yang
bersangkutan; dan ketentuan Pasal 67 UU Pemilu dibaca kartu tanda
penduduk warga negara Indonesia dari provinsi yang bersangkutan; atau,
bila tidak ditafsirkan demikian, dinyatakan bertentangan dengan Pasal
22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 (conditionally
unconstitutional).; dan
b. Menyatakan Pasal 12 huruf c harus ditafsirkan bahwa ketentuan tersebut
adalah dimaksudkan sebagai warga negara Indonesia perseorangan
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
45
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E ayat (4) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni tidak menjadi anggota atau
pengurus partai politik; atau, bila tidak ditafsirkan demikian, dinyatakan
bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD
1945 (conditionally unconstitutional).
E. PETITUM
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir, dengan
ini para Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Konstitusi Yang Terhormat agar
berkenan memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menerima dan mengabulkan permohonan pengujian materiil para Pemohon.
2. Menyatakan bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 22C ayat (1) dan
Pasal 22E ayat (4); dan
3. Menyatakan bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya;
ATAU
1. Menerima dan mengabulkan permohonan pengujian materiil para Pemohon.
2. Setidak-tidaknya menyatakan bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 22C
ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) sepanjang tidak mengandung syarat harus
berdomisili di provinsi yang bersangkutan dan bukan anggota dan/atau
pengurus partai politik; dan
3. Setidak-tidaknya menyatakan bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
46
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat
hukumnya sepanjang tidak mengandung syarat harus berdomisili di provinsi
yang bersangkutan dan bukan anggota dan/atau pengurus partai politik.
ATAU
1. Menerima dan mengabulkan permohonan pengujian materiil para Pemohon.
2. Menyatakan bahwa Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 22C ayat (1) dan
Pasal 22E ayat (4); dan
3. Menyatakan bahwa Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya;
ATAU
1. Menerima dan mengabulkan permohonan pengujian materiil para Pemohon.
2. Setidak-tidaknya menyatakan bahwa Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan
Perwakilan
Daerah,
dan
Dewan
Perwakilan
Rakyat
Daerah
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 22C
ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) sepanjang tidak mengandung syarat harus
berdomisili di provinsi yang bersangkutan dan bukan anggota dan/atau
pengurus partai politik.
3. Setidak-tidaknya Menyatakan bahwa Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya
sepanjang tidak mengandung syarat harus berdomisili di provinsi yang
bersangkutan dan bukan anggota dan/atau pengurus partai politik.
Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang
seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
47
[2.2]
Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 29 April 2008, telah
didengar keterangan (opening statement) dari Pemohon I Ketua Dewan
Perwakilan Daerah Prof. Dr. Ir. Ginanjar Kartasasmita, sebagai berikut:
Sejarah politik dan kekuasaan di negara ini pada dasarnya berbasis pada
kepentingan daerah (lokal). Hal ini ditandai dengan keberadaan dan sejarah
kerajaan-kerajaan di banyak daerah di Indonesia, yang masing-masing memiliki
otonomi bahkan kedaulatan sendiri-sendiri. Di masa sebelum kemerdekaan,
eksistensi kekuasaan lokal yang independen satu sama lain itu sebagiannya telah
menjadi kaki tangan kolonialisme, termasuk di dalamnya diperhadapkan satu sama
lain dengan strategi devide et impera (politik pecah belah). Dalam kondisi seperti
itulah, kalangan penjajah dengan begitu leluasa melakukan eksploitasi sumber
daya manusia, sumber daya alam dan sumber daya lainnya dari bumi nusantara,
di mana hasilnya diekstrasi ke luar untuk membangun negeri mereka, yang
membuat mereka sekarang menjadi negara maju;
Namun tokoh-tokoh perjuangan bangsa tampaknya sangat menyadari posisi
politik lokal yang rentan dan tercerai berai itu yang hanya membawa keuntungan
politik dan ekonomi bagi kalangan penjajah. Maka, seperti sangat jelas tertoreh
dalam sejarah pada tahun 1928, para tokoh muda nusantara dengan penuh
kesadaran dan sikap kritis telah membangun semangat kebangsaan dengan
mengikrarkan Sumpah Pemuda (satu nusa, bangsa, dan satu bahasa). Mereka
merupakan elemen-elemen putra bangsa berbasis lokal (daerah), yang dikenal
sebagai Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Sumatra, dan sebagainya.
Momentum sejarah 1928 itu secara pasti dan sistematis telah membangun
kesadaran kebangsaan yang satu dalam keragaman sosio-kultural. Semangat itu
pulalah yang mewarnai kemerdekaan bangsa ini yang diproklamasikan pada 17
Agustus 1945. Singkatnya, konstruksi keindonesiaan pada dasarnya terbangun
dari ruh dan elemen-elemen daerah yang heterogen baik secara etnik, budaya,
maupun alamnya;
Para pendiri negara (founding fathers) sangat menyadari bahwa olah kuasa
dan politik (power and political exercise) dalam bernegara harus selalu didasarkan
pada prinsip dan eksistensi kebhinekaan berbasis daerah. Arah kebijakan negara
haruslah ditetapkan berdasarkan prinsip-prinsip kedaulatan dan permusyawaratan
dari elemen-elemen bangsa itu, yang dalam terminologi generiknya dikenal
dengan kata-kata demokrasi dan musyawarah. Karena disepakati sebagai
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
48
negara yang berbentuk republik, maka yang berperan dalam proses-proses
penentuan arah kehidupan berbangsa itu adalah para wakil dari elemen-elemen
bangsa yang juga mewakili unsur-unsur daerah. Para anggota Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam menyusun konstitusi,
mempersiapkan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 secara jelas menyadari
kebhinekaan itu. Prof. Muhammad Yamin, dalam sidang BPUPKI menyatakan
bahwa, ”permusyawaratan rakyat adalah wujud tertinggi kedaulatan rakyat dan
kedaulatan rakyat syaratnya adalah adanya wakil langsung rakyat dan daerah”;
Pemikiran Prof. Muhammad Yamin yang menggambarkan ruh konstitusi kita
sangat sesuai dengan kondisi kebangsaan Indonesia dan kaidah-kaidah
kehidupan masyarakat negara modern. Bangunan lembaga pemegang kedaulatan
rakyat merupakan perpaduan antara wakil rakyat dan wakil daerah yang dipilih
langsung oleh rakyat. Dalam sejarah politik Indonesia era kemerdekaan,
perwujudan pemikiran itu telah berkembang secara dinamis dari periode ke
periode dan pada tahun 1998 dengan gerakan reformasi secara prinsip
menemukan bentuknya yang mendasar dalam perubahan makna dan paradigma.
Amandemen konstitusi yang sudah dilakukan sebanyak empat kali—di mana
tampaknya akan terus berproses dalam rangka penyempurnaan—telah melahirkan
sistem perwakilan dalam dua lembaga, yakni lembaga yang mewakili rakyat dan
lembaga yang mewakili daerah. Dalam konstitusi kita hasil amandemen bangunan
kelembagaan yang berdaulat itu sangat jelas, yakni yang mewakili rakyat melalui
partai-partai politik adalah lewat lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan yang mewakili rakyat melalui
entitas daerah atau wilayah adalah lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
yang anggota-anggotanya dipilih melalui jalur perseorangan;
Penataan kelembagaan negara melalui amandemen konstitusi ketiga yang
kemudian melahirkan DPD tidak serta merta muncul jatuh dari langit. Karena
kecuali ia merupakan pengejawantahan dari ruh yang menjiwai lahirnya UndangUndang Dasar 1945 seperti yang sedikit digambarkan di atas, juga merupakan
produk sosiologi-politik setelah melalui proses pergumulan panjang dalam sejarah
hubungan pusat dan daerah di negeri ini, sebagai bagian dari tuntutan reformasi
1998. Sejumlah kondisi itu antara lain:
Pertama, Penyelenggaraan negara yang sentralistik yang berlangsung sejak
era Orde Lama hingga Orde Baru telah secara signifikan menimbulkan akumulasi
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
49
kekecewaan daerah terhadap pemerintah pusat, yang sekaligus merupakan
indikasi kuat kegagalan pemerintahan pusat dalam mengelola daerah sebagai
basis berdirinya bangsa ini. Maka, di awal reformasi semangat itu kemudian
diwujudkan dalam sistem desentralisasi dan otonomi daerah, yaitu suatu pilihan
politik dalam pengelolaan NKRI di mana daerah harus menjadi aktor sentral dalam
pengelolaan republik ini. Keluarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah merupakan realisasi dari kebijakan desentralisasi
itu, yang kemudian diperkuat dalam Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar
1945 seperti tertuang pada Bab VI Pemerintahan Daerah Pasal 18, 18A, dan 18B;
Kedua, persepsi publik terhadap eksistensi dan perilaku partai politik (parpol)
kurang sejalan dengan harapan publik, karena sistem kepartaian kita masih sangat
sentralistik. Sistem seperti itu sudahlah pasti selalu menyulitkan perjuangan
kepentingan daerah dalam proses-proses pengambilan kebijakan di tatar nasional,
akibat dari kebijakan yang sentralistik yang secara alamiah berseberangan dengan
aspirasi desentralistik;
Ketiga, kehadiran DPD merupakan produk dari refleksi kritis terhadap
eksistensi utusan daerah dan utusan golongan yang mengisi formasi Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam sistem keterwakilan kita di era sebelum
reformasi. Mekanisme pengangkatan dari utusan daerah dan utusan golongan
bukan saja merefleksikan sebuah sistem yang tidak demokratis; melainkan juga
mengaburkan sistem perwakilan yang seharusnya dibangun dalam tatanan
kehidupan negara modern yang demokratis. Maka DPD lahir sebagai bagian dari
upaya untuk memastikan bahwa wilayah atau daerah harus memiliki wakil untuk
memperjuangkan kepentingannya secara utuh di tatar-nasional, yang sekaligus
berfungsi menjaga keutuhan NKRI;
Keempat, kehadiran DPD mengandung makna bahwa sekarang ada
lembaga yang mewakili kepentingan lintas golongan atau komunitas yang sarat
dengan pemahaman akan budaya dan karakteristik daerah. Para wakil daerah
bukanlah wakil dari suatu komunitas atau sekat komunitas di daerah (antara lain
yang berbasis ideologi atau Parpol), melainkan figur-figur yang bisa mewakili
seluruh elemen yang ada di daerah. Dengan sendirinya, para wakil daerah baru
bisa dikatakan “sungguh-sungguh berada di atas kepentingan golongan” apabila
yang bersangkutan benar-benar memahami apa yang menjadi muatan daerah
yang diwakilinya (komunitas berikut budaya dan ruhnya, geografisnya, kandungan
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
50
buminya, dan sebagainya), dan sekaligus harus terbebas dari semua sekat
ideologis. Kita semua tahu dan menyadari, apalagi di era kebebasan berorganisasi
dan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi kita, bahwa Parpol yang eksis di
daerah umumnya merepresentasikan kepentingan Parpol pusatnya yang berwatak
sentralistik itu. Tepatnya, kalau seorang wakil daerah merupakan bagian dari
komunitas yang primary group-nya berbasis Parpol, maka sangat berpotensi
mengabaikan kepentingan daerah yang diwakilinya apabila itu tidak sejalan
dengan kepentingan partainya;
Proses transisi Indonesia menuju demokrasi adalah reformasi di bidang
ketatanegaraan yang dijalankan melalui perubahan konstitusi Indonesia, yaitu
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu
perubahan penting adalah dibentuknya Mahkamah Konstitusi. Perubahan
mendasar lainnya adalah dibentuknya Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
Pembentukan lembaga perwakilan kedua yang dilahirkan oleh gerakan
reformasi tersebut tidak terjadi seketika, tetapi melalui tahap pembahasan yang
cukup panjang baik di masyarakat maupun di MPR, khususnya di Panitia Ad Hoc I.
Proses perubahan di MPR selain memperhatikan tuntutan politik dan pandanganpandangan yang berkembang bersama reformasi, juga melibatkan pembahasan
yang bersifat akademis, dengan mempelajari sistem pemerintahan yang berlaku di
negara-negara lain khususnya di negara yang menganut paham demokrasi.
Keberadaan DPD diharapkan akan memperkuat sistem parlemen dan dengan
demikian memperkuat demokrasi di Indonesia;
Namun karena pembuatan Undang-Undang Dasar merupakan proses politik,
pada akhirnya kompromi-kompromi politiklah yang membuahkan hasil akhir.
Antara lain seperti yang berkenaan dengan peran DPD yang sama sekali jauh dari
pikiran-pikiran awal yang datang dari gagasan-gagasan reformasi. Oleh karena itu
DPD dengan dukungan dari daerah-daerah, antara lain 31 gubernur dari 32
provinsi yang sekarang ada, bupati dan walikota, DPRD-DPRD, organisasiorganisasi kemasyarakatan dan civil society serta pakar-pakar dari perguruanperguruan tinggi di seluruh tanah air, berupaya untuk menyempurnakan lagi
Undang-Undang Dasar agar supaya semua lembaga negara dalam konstitusi
berfungsi dalam sebuah bangunan sistem demokrasi yang kukuh. Namun kami
menyadari Majelis ini bukan lembaga yang tepat untuk kami membicarakan
perubahan Undang-Undang Dasar. Karena justru Mahkamah Konstitusi diserahi
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
51
tugas oleh konstitusi untuk menjaga agar konstitusi yang berlaku dijalankan
dengan benar;
Kelahiran DPD telah membangkitkan harapan masyarakat di daerah bahwa
kepentingan daerah dan masalah-masalah yang dihadapi daerah dapat diangkat
dan diperjuangkan di tingkat nasional. Bahwa kebijakan-kebijakan publik baik di
tingkat nasional maupun daerah tidak merugikan dan senantiasa sejalan dengan
kepentingan daerah dan kepentingan rakyat di seluruh tanah air. Bahwa DPD akan
menjamin kepentingan daerah sebagai bagian yang serasi dari kepentingan
nasional dan kepentingan nasional secara serasi merangkum kepentingan daerah.
Bahwa kepentingan daerah dan kepentingan nasional tidak bertentangan dan tidak
perlu dipertentangkan. Di dalam serba keterbatasan kewenangan dan fungsi
konstitusional DPD, kami berusaha untuk memenuhi harapan rakyat tersebut
dengan sekuat tenaga dengan kemampuan yang ada pada kami;
Namun, kendala yang Pemohon hadapi bukan hanya pada tingkat konstitusi,
tetapi juga pada tingkat undang-undang. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003
tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD menafsirkan
ketentuan Pasal 22D Undang-Undang Dasar 1945 bahwa DPD ikut membahas
rancangan undang-undang di berbagai bidang hanya pada pembicaraan tingkat I
tahapan pembahasan di DPR. Kata-kata “ikut membahas” menunjukkan sifat
imperatif dari amanat tersebut, namun dalam praktiknya hanya berwujud
performa saja;
Bukan pula maksud Pemohon untuk menggugat Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2003 tersebut pada kesempatan ini, karena sudah berlaku terlalu jauh dan
sekarang sedang ada pembahasan mengenai undang-undang yang baru tentang
susunan dan kedudukan lembaga-lembaga negara tersebut hasil pemilu yang
akan datang. Pemohon akan terus mengikuti bagaimana hasil pembahasannya
dan apabila kezaliman dan pengingkaran terhadap makna dan amanat UndangUndang Dasar tersebut dilakukan lagi, Insya Allah, akan kembali berada di muka
Majelis Hakim yang mulia untuk memohon keadilan;
Keberadaan Pemohon di hadapan Mahkamah yang mulia sekarang ini adalah
untuk memintakan petunjuk hukum atas beberapa bagian dari Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang
menurut hemat Pemohon bertentangan dengan atau tidak mencerminkan
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
52
kehendak Undang-Undang Dasar 1945. Secara rinci materi gugatan Pemohon
akan disampaikan oleh para kuasa hukum Pemohon;
Pemohon hanya akan menyampaikan sedikit pengantar saja mengenai
masalah yang ada di hadapan kita dewasa ini;
Pada prinsipnya ada dua hal yang Pemohon persoalkan, dalam rangka
prinsip keanggotaan DPD sebagai wakil-wakil daerah. Pertama, pada Pasal 22C
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan bahwa, “Anggota Dewan
Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum”. Pasal ini
memberikan petunjuk yang tegas bahwa ada kaitan erat antara anggota DPD
dengan provinsi yang diwakilinya;
Ketentuan itu tidak ditetapkan bagi anggota-anggota DPR meskipun anggota DPR
pemilihannya juga dilakukan di daerah-daerah dan melalui daerah-daerah
pemilihan (dapil);
Kedua, ada beberapa pasal yang menunjukkan peserta pemilu, yaitu:
(1)
Untuk DPR dan DPRD Pasal 22E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
menetapkan: “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah
partai politik”. Selain itu, pada Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
mengatur bahwa, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum
sebelum pelaksanaan pemililhan umum”;
(2)
Sedangkan untuk keanggotaan DPD Pasal 22E ayat (4) Undang-Undang
Dasar 1945 mengamanatkan bahwa, “Peserta pemilihan umum untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan”;
Dari berbagai ketentuan tersebut, jelas sekali tampak bahwa Undang-Undang
Dasar 1945 menetapkan adanya dua jenis peserta pemilu untuk lembaga negara
yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu yaitu partai politik dan perseorangan. Untuk
DPD, tegas sekali Undang-Undang Dasar 1945 menghendaki peserta pemilu
bersifat perseorangan, sedangkan untuk yang lainnya, yaitu anggota DPR/DPRD
dan Presiden dan Wakil Presiden dicalonkan melalui partai politik;
Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, yang dilahirkan
segera setelah perubahan Undang-Undang Dasar terjadi—dengan demikian masih
“merasakan kehangatan” yang terpancar dari jiwa dan semangat perubahan
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
53
Undang-Undang Dasar 1945—menetapkan dalam Pasal 63 bahwa calon anggota
DPD harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun
secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon
atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak berusia 17 (tujuh
belas) tahun di provinsi yang bersangkutan;
b. tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun yang
dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon”;
Ketentuan huruf b ditunda pemberlakuannya dengan Pasal 146 Ketentuan
Peralihan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, yaitu “Calon anggota DPD
dalam Pemilu tahun 2004 tidak menjadi pengurus partai politik paling lama 3 (tiga)
bulan sejak diundangkan undang-undang ini”. Berarti pada Pemilu berikutnya yaitu
pemilu tahun 2009 ketentuan ini seharusnya berlaku;
Pemilu untuk anggota-anggota DPD tahun 2004, yang menghasilkan DPD
yang sekarang, dilahirkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 itu.
Dalam pelaksanaannya beberapa calon anggota gugur karena tidak dapat
memenuhi ketentuan dalam undang-undang tersebut, khususnya yang berkenaan
dengan domisili. Sebagai contoh, ada dua calon anggota yang merupakan tokoh
masyarakat
yang
terpandang
di
daerahnya
maupun
secara
nasional
pencalonannya gagal, yaitu almarhum Bapak Baramuli dan Bapak Tanri Abeng
karena masalah domisili. Tetapi memang demikianlah kehendak Undang-Undang
Dasar yang secara konsisten dan konsekuen dilaksanakan oleh Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003;
Namun kedua ketentuan tersebut tidak tercantum dalam Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008, sehingga menghilangkan arahan, jiwa, dan semangat yang
dikandung dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar yang kami sebutkan di atas;
Ketentuan mengenai peserta Pemilu untuk DPD dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 jelas
bertentangan satu sama lain padahal keduanya mengacu pada Undang-Undang
Dasar yang sama. Oleh karena itu, Pemohon datang menghadap untuk
memperoleh penegasan hukum dari Mahkamah yang mulia, sebagai lembaga
peradilan yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang Dasar untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Selain bertentangan dengan
amanat, jiwa, dan semangat Undang-Undang Dasar, perubahan peraturan yang
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
54
begitu cepat bahkan belum dilaksanakan sepenuhnya tanpa kebutuhan untuk
kepentingan umum yang mendesak serta tidak didukung oleh kehendak
masyarakat yang luas, mengakibatkan merosotnya martabat undang-undang dan
kurangnya kepastian hukum yang tentunya sangat merugikan rakyat dalam upaya
kita membangun masyarakat yang bukan saja menghormati tetapi juga dapat
menyandarkan nasib dan kepentingannya kepada hukum. Mengenai argumentasi
hukum serta masalah siapa yang dirugikan atau legal standing dari para Pemohon
akan disampaikan pertimbangan-pertimbangannya secara lebih rinci dan lebih
kompeten oleh para kuasa hukum;
Dalam kesempatan ini Pemohon hanya akan menyampaikan beberapa hal
pokok saja sebagai pengantar permohonan. Di samping hal-hal yang telah
dikemukakan di atas, ketiadaan ketentuan maupun syarat domisili telah
menghilangkan keterkaitan hak anggota DPD dengan provinsi yang diwakilinya
seperti dikehendaki oleh Pasal 22C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Apabila
memang domisili itu tidak merupakan syarat yang dikehendaki oleh konstitusi, apa
sebabnya ditetapkan demikian untuk DPD dan tidak untuk DPR, padahal anggotaanggotanya juga dipilih di daerah-daerah melalui daerah-daerah pemilihan? Di sini
terlihat pembedaan oleh Undang-Undang Dasar terhadap hakikat anggota DPD
yang mewakili daerah dan DPR yang mewakili partai politik (meskipun anggota
DPR dipilihnya berdasar perwakilan wilayah);
Argumentasi yang pernah kita dengar bahwa seseorang dapat menyalurkan
aspirasi daerah dan dapat memperjuangkan kepentingan daerah tanpa harus
berasal di daerah tersebut hanyalah merupakan upaya pembenaran yang tidak
didasarkan oleh kejujuran untuk mengakui fakta, bahwa seseorang akan lebih
dapat memahami aspirasi daerah dan memperjuangkan kepentingan daerah jika ia
berasal dari daerah tersebut. Kami garis bawahi kata “dari”, karena kata itu pula
yang digunakan oleh konstitusi sebagai syarat untuk menjadi anggota DPD;
Pemohon
juga
mendengar
bahwa
penghapusan
ketentuan
tentang
keterkaitan partai politik dengan DPD, adalah untuk menjamin hak politik setiap
warga negara. Yang disembunyikan dalam argumentasi tersebut adalah ketentuan
bahwa untuk menjadi anggota DPR hanya dapat melalui partai politik, artinya
seseorang tidak dapat jadi anggota DPR kecuali dari partai politik. Mengapa tidak
digunakan argumentasi yang sama untuk membuka juga kemungkinan menjadi
anggota DPR dari perseorangan? Bukankah ketentuan itu bahwa pemilihan
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
55
anggota DPR hanya dapat melalui partai politik juga membatasi hak politik warga
negara? Bagaimana pula bahwa untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden
hanya bisa dari partai politik dan tidak boleh calon perseorangan? Apakah itu juga
bukan pembatasan terhadap hak politik warga negara? Jawabannya sederhana,
memang betul ada pembatasan! Tetapi pembatasan itu ditetapkan oleh UndangUndang Dasar dan karena itu harus kita terima dan kita patuhi. Tetapi kepatuhan
itu jangan hanya berlaku sepihak saja; kalau menguntungkan dipatuhi, kalau tidak
menguntungkan boleh dilanggar. Pelanggaran terhadap undang-undang bisa
menjadi tindak kejahatan apalagi terhadap Undang-Undang Dasar;
Sesungguhnya tidak ada niat Pemohon untuk membatasi anggota partai
politik menjadi anggota DPD. Demikian pula tidak ada niat untuk “mengurangi
persaingan”, karena persaingan adalah hal yang baik asal dilakukan dengan sehat.
Yang harus ditegakkan oleh undang-undang adalah aturan atau prosedur untuk
menjamin bahwa kehendak Undang-Undang Dasar itu dipenuhi. Hal tersebut telah
diupayakan di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 yakni melalui Pasal
63, tetapi tidak muncul lagi dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008,
sehingga tidak ada pegangan hukum untuk memastikan bahwa kehendak UndangUndang Dasar itu dipenuhi;
Pemohon juga mengetahui di berbagai negara di dunia keanggotaan kedua
majelis perwakilan mencerminkan perwakilan partai politik misalnya di Senat
Amerika Serikat, tetapi tidak juga harus selalu demikian. Misalnya di Thailand
Ketentuan mengenai domisili Anggota Senat diatur dalam Section 114 angka 4
huruf a sampai dengan d Konstitusi Thailand yang menyatakan bahwa, nama dari
orang yang akan ikut serta di dalam pemilihan harus tercatat di provinsi yang
bersangkutan sebagai penduduk di provinsi yang bersangkutan selama sekurangkurangnya lima tahun berturut-turut sebelum mengajukan pencalonan atau
dilahirkan di provinsi itu dimana dia akan ikut pencalonan atau pernah belajar di
sebuah lembaga pendidikan di provinsi tersebut dimana yang bersangkutan akan
ikut dalam pemilihan selama sekurang-kurangnya lima tahun akademik atau
pernah bekerja di provinsi tersebut dan itu tercantum di dalam catatan provinsi
tersebut yang bersangkutan itu telah bekerja sekurang-kurangnya lima tahun
berturut-turut. Sedangkan mengenai ketentuan Anggota Senat yang berkaitan
dengan partai politik Undang-Undang Thailand menyatakan bahwa calon anggota
senat tidak boleh merupakan keturunan, suami atau istri atau anak perempuan
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
56
atau laki-laki dari seorang anggota DPR atau seorang yang menduduki posisi
politik. Di dalam menjadi anggota atau memiliki kedudukan kepengurusan di dalam
partai politik selama sekurang-kurangnya lima tahun berturut-turut. Jadi dengan
demikian peraturan yang kita terapkan di Indonesia tidak bersifat anomali. Setiap
negara mempunyai sistemnya sendiri, yang tentunya dipengaruhi oleh latar
belakang sejarah, budaya, dan tradisinya serta kepentingan dan kebutuhannya.
Sejarah politik, sistem kepartaian, dan kondisi sosial budaya di satu masyarakat
tentu saja berbeda dengan masyarakat lainnya, termasuk di dalamnya sejarah
pembentukan dan perubahan konstitusi. Untuk bangsa Indonesia, khittah
bangunan lembaga perwakilan kita dalam konstitusi maupun faktor kondisional
meniscayakan pemisahan secara tegas antara karakter wakil rakyat melalui partai
politik dengan karakter wakil rakyat dalam entitas daerah. Hal ini juga sekaligus
mengisyaratkan penolakan monopoli atau hegemoni partai politik dalam prosesproses pengambilan kebijakan di level nasional, sekaligus merupakan bagian dari
perwujudan checks and balances yang merupakan hal yang sangat fundamental
dalam sebuah sistem demokrasi;
Kalau kita membuka bagian konsideran ‘mengingat’ dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003, secara eksplisit dinyatakan ayat (1) Pasal 22C dan Pasal
22E. Artinya, terdapat konsistensi antara syarat-syarat khusus bagi calon anggota
DPR dan calon anggota DPD dengan ayat-ayat terkait dalam konstitusi di dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Tetapi dalam Undan-Undang Nomor 10
Tahun 2008, syarat khusus calon anggota DPD itu sudah dihilangkan atau tidak
lagi dimunculkan, meskipun konsideran ‘mengingat’-nya masih tetap sama dengan
undang-undang sebelumnya. Padahal dalam draft RUU Pemilu yang diajukan oleh
pemerintah dicantumkan secara eksplisit syarat-syarat khusus calon anggota DPD
itu seperti pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Namun dalam prosesnya
RUU yang diajukan oleh Pemerintah tersebut telah berubah sedemikian rupa
sehingga timbul pertanyaan, apa yang sebetulnya terjadi? Apa sebabnya para
pembuat undang-undang mengabaikan semangat konstitusi dan kepentingan apa
yang ada di balik itu?
Pertanyaan tersebut di atas sangat diperlukan jawabannya yang pasti melalui
kearifan Majelis Hakim Konstitusi yang mulia dalam merespon usulan uji materi
yang kami ajukan sekarang ini. Karena Pemohon menganggap bahwa
penghilangan dua syarat khusus itu merupakan pelanggaran terhadap Pasal 22C
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
57
dan 22D Undang-Undang Dasar 1945 dan implikasinya berpotensi untuk terjadinya
pengingkaran terhadap perjuangan kepentingan daerah di tingkat nasional. Sebab
kalau dua syarat khusus itu tidak dicantumkan secara eksplisit, maka membuka
ruang untuk anggota lembaga perwakilan daerah yang dangkal pemahamannya
terhadap daerah yang diwakilinya dan berpotensi biasnya kepentingan wakil
daerah akibat terkalahkan oleh kepentingan parpol yang menjadi primary groupnya. Konsekuensi lebih lanjut dari itu adalah akan munculnya benih-benih
kekecewaan daerah terhadap manajemen pemerintahan dan pengambilan
keputusan di tatar nasional–sesuatu yang juga bertentangan dengan tujuan
reformasi. Pada titik simpulnya sidang Mahkamah yang mulia daerah-daerah di
Indonesia membutuhkan keadilan dan komitmen yang konsekuen terhadap
pelaksanaan Undang-Undang Dasar. Masa depan bangsa ini, ketaatannya pada
konstitusi dan konsistensinya pada desentralisasi dan otonomi daerah yang
terwujud dalam semboyan bhinneka tunggal ika Pemohon serahkan pada daulat
Mahkamah Konstitusi untuk menentukannya. Patut disyukuri pada akhirnya
sekarang palu penjaga konstitusi berada dalam genggam sembilan jubah merah
konstitusi. Karena kami percaya tutur jujur Hakim Konstitusi yang kami baca dalam
buku Menjaga Denyut Konstitusi tahun 2004 bahwa—Pemohon kutip, “sembilan
jubah merah adalah dewa-dewa pembawa cerah, para pengawal konstitusi yang
gagah, sembilan jubah merah bukan drakula-drakula haus darah bukan penjagal
konstitusi yang membuat rakyat marah”. Apapun yang dihasilkan dalam upaya
Pemohon “Merenda Keadilan dalam Mengangkat Harkat Daerah” melalui Majelis
Hakim yang mulia Pemohon percaya dasarnya adalah kebenaran dan keadilan
dan akan Pemohon terima dan teruskan seutuhnya kepada masyarakat di daerah
di seluruh penjuru tanah air, Indonesia tercinta;
[2.3]
Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya, para Pemohon telah
mengajukan alat bukti tulis yang diberi tanda P-1 sampai dengan P-18, dan telah
pula mengajukan 1 orang saksi serta 8 orang ahli yang telah memberi keterangan
di bawah sumpah pada persidangan tanggal 13 Mei 2008 dan 10 Juni 2008, yang
dilengkapi dengan keterangan tertulis, sebagai berikut:
Bukti P-1
: Fotokopi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
58
Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4836);
Bukti P-2
: Fotokopi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara
Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4277);
Bukti P-3
: Fotokopi naskah akademik dan draft awal rancangan undangundang tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dari Pemerintah tahun 2007;
Bukti P-4
: Fotokopi berita yang berjudul “RUU Pemilu: Upaya Uji Materi Harus
Dihargai” disampaikan oleh Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa
(F-KB) Harian Kompas, Jumat, 14 Maret 2008, halaman 3;
Bukti P-5
: Fotokopi kompilasi dukungan masyarakat atas “Petisi Tolak Parpol
Masuk Kamar DPD”;
Bukti P-6
: Fotokopi buku yang berjudul “DPR, DPD, dan MPR dalam UUD
1945 Baru”, disusun oleh Prof. Dr. Bagir Manan, SH., M.CL.,
penerbit FH-UII Press, Maret 2003, halaman 56-57;
Bukti P-7
: Fotokopi paper yang berjudul “Susunan dan Kedudukan Dewan
Perwakilan Daerah”, disusun oleh Prof. Dr. Sri Soemantri
Martosoewignjo, SH;
Bukti P-8
: Fotokopi artikel yang berjudul “UU Pemilu: Dari Partai untuk
Partai?”, ditulis oleh Syamsuddin Haris, Profesor Riset Ilmu Politik
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Harian Kompas,
Senin, 3 Maret 2008, halaman 6;
Bukti P-9
: Fotokopi paper yang berjudul “Susunan dan Kedudukan Dewan
Perwakilan Daerah”, ditulis oleh I Dewa Gede Palguna;
Bukti P-10
: Fotokopi buku yang berjudul “Konsolidasi Naskah UUD 1945
Setelah Perubahan Keempat”, disusun oleh Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie, SH., Catatan Kaki No. 98, halaman 44-45;
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
59
Bukti P-11
: Fotokopi paper yang berjudul “Perihal Dewan Perwakilan Daerah
dalam Perspektif Katatanegaraan”, ditulis oleh Prof. Dr. Sri
Soemantri Martosoewignjo, SH., dan Dr. Mochamad Isnaeni
Ramdhan, SH., halaman 8;
Bukti P-12
: Fotokopi artikel yang berjudul “Anggota DPR dan Anggota DPD”,
ditulis oleh Prof. Dr. Satya Arinanto, Guru Besar Hukum Tata
Negara, Harian Kompas, Senin, 4 Februari 2008, halaman 6;
Bukti P-12A : Fotokopi makalah yang berjudul “Political Parties in the United
States”, ditulis oleh John F. Bibby;
Bukti P-12B : Fotokopi berita yang berjudul “Oligarki Partai Sebabkan DPR
Abaikan Aspirasi Rakyat, disampaikan oleh Dhaniel Dhakidae,
dalam harian Sinar Harapan, Rabu, 21 Januari 2004;
Bukti P-12C : Fotokopi artikel yang berjudul “Utopia Reformasi Parpol”, oleh
Abdul Gafur Sangadji, Harian Merdeka, tanggal 15 September
2004;
Bukti P-12D : Fotokopi makalah yang berjudul “Reflections on the Significance of
the Bicameral Parliamentary System”, oleh Dr. Herbert Schambeck;
Bukti P-12E : Fotokopi Chapter VI Part 3 Konstitusi Thailand;
Bukti P-13
: Fotokopi Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 09 Tahun 2008
tanggal 3 April 2008;
Bukti P-14
: Fotokopi Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia Nomor 8/DPD/2008 tentang Teknis Pelaksanaan dan
Mekanisme Kerja Tim Judicial Review Undang-Undang tentang
Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-15
: Fotokopi Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
Nomor 27/DPD/2008 tentang Judicial Review Undang-Undang
tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
60
Bukti P-16
: Fotokopi Daftar Hadir Sidang Paripurna Ke-11 (Tertutup) Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia Masa Sidang III Tahun
Sidang 2007-2008 tanggal 17 Maret 2008;
Bukti P-17
: Fotokopi artikel Rakyat Merdeka, Jumat, 30 Mei 2008, “Kuasai
DPD, PKS Susun Daftar Calon Senator”;
Bukti P-18
: Fotokopi artikel Rakyat Merdeka, Selasa, 10 Juni 2008, “Partai
Megawati Seleksi Calon Senator Kuasai DPD”.
Keterangan Saksi Drs. Progo Nurdjaman
Kesaksian saksi adalah berdasarkan keterlibatan saksi dalam proses penyusunan
dan penetapan undang-undang tentang Pemilu. Dalam proses penyusunan dan
penetapan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, saksi terlibat sebagai Ketua
Tim Penyusun RUU Pemilu dan wakil Pemerintah cq. Menteri Dalam Negeri dalam
pembahasan RUU tersebut bersama DPR. Dalam proses penyusunan UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008, saksi terlibat sebagai Ketua Tim penyusun
Undang-Undang Bidang Politik (dalam paket undang-undang bidang politik:
Pemilu, Parpol, Susduk, Pilpres).
Dalam penyusunan Undang-Undang Pemilu, terdapat pokok pikiran:
1. Menata kehidupan demokrasi yang lebih baik dan sehat, sejalan dengan
reformasi yang dilakukan bangsa Indonesia.
2. Penataan kehidupan politik diatur dengan Undang-Undang sesuai amanat
Undang-Undang Dasar.
3. Pengaturan keterwakilan ditata ulang sesuai dengan perkembangan politik dan
demokrasi, seperti keterwakilan pada lembaga DPR.
Pengaturan Keterwakilan DPR:
UU yang lalu (UU Pemilu 1999)
: 1 kabupaten/kota minimal 1
wakil
UU yang sekarang (UU Pemilu 2003 dan 2008) : Daerah Pemilihan
4. Dalam Amandemen UUD ditetapkan adanya Lembaga Perwakilan:
a. Perwakilan Rakyat
b. Perwakilan Daerah
PROSES PENYUSUNAN
Dalam penyusunan draft RUU Pemilu 2003, di samping memperhatikan naskah
akademik dilandasi oleh pokok-pokok ketetapan dalam UUD 1945, khususnya
pada beberapa pasal sebagai berikut :
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
61
UUD 1945
Pasal 2
: MPR terdiri atas DPR dan DPD.
Pasal 22C
: (1) Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi
(2) Setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruhnya tidak
lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR.
(4) Susduk DPD diatur dengan Undang-Undang.
Pasal 22 E
: (2) Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD,
Presiden dan Wakil Presiden dan DPRD.
(3) Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD
adalah partai politik.
(4) Peserta
Pemilu
untuk
memilih
anggota
DPD
adalah
perseorangan.
(6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan
undang-undang.
PROSES PENETAPAN
Dari naskah yang disampaikan Pemerintah dan setelah melalui pembahasan DPR
bersama Pemerintah, ditetapkan undang-undang Pemilu dengan UU Nomor 12
Tahun 2003
Beberapa pokok pengaturan dalam UU Nomor 12 Tahun 2003, ditetapkan antara
lain syarat pencalonan anggota DPR, DPD dan DPRD:
Pasal 60 : Persyaratan umum calon anggota DPR, DPD, dan DPRD
Pasal 61 : Seorang calon hanya dapat dicalonkan dalan satu lembaga perwakilan
pada satu daerah pemilihan
Pasal 62 : Calon anggota DPR dan DPRD , juga harus terdaftar sebagai anggota
parpol peserta pemilu yang dibuktikan dengan KTA.
Pasal 63 : Calon anggota DPD, harus memenuhi syarat:
a. domisili di provinsi bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun
secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal
pengajuan calon, atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh)
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
62
tahun sejak berusia 17 (tujuh belas) tahun di provinsi yang
bersangkutan.
b. tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat)
tahun yang dihitung sampai pengajuan calon.
UU PEMILU NOMOR 10 TAHUN 2008
1. Dalam draft RUU yang diajukan Pemerintah kepada DPR, substansi
persyaratan calon mengadopsi persyaratan calon dari ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, karena dipandang tetap relevan dari
ketentuan UUD 1945.
2. Dituangkan dalam draft RUU Pasal 7 antara lain Huruf n dan o (draft pasal
tersebut adalah penggabungan dari beberapa pasal dalam UU Nomor 12
Tahun 2003 yang menetapkan persyaratan calon yaitu Pasal 60, 61, 62, 63,
dan 64) Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 mengenai persyaratan
calon ditetapkan dalam Pasal 12.
3. Ketentuan syarat calon anggota DPD yang ditetapkan dalam Pasal 63 huruf a
dan b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, dan dalam pengajuan RUU,
tetap dicantumkan ketentuan tersebut. Dalam perkembangan pembahasan dan
pengesahan RUU menjadi undang-undang tidak dicantumkan lagi.
Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008, yang mengatur persyaratan calon DPD.
4. Sedangkan persyaratan dukungan minimal yang ditetapkan baik dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 (Pasal 11), maupun dratf RUU (Pasal
8) maupun Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 (Pasal 13) ,tidak berubah.
Ketentuan tersebut meliputi, provinsi yang berpenduduk:
a. Sampai dengan satu juta harus dapat dukungan 1.000 pemilih.
b. Lebih dari satu juta sampai dengan lima juta haruss dapat dukungan 2.000
pemilih.
c. Lebih dari 5 juta sampai dengan 10 juta harus dapat dukungan 3.000
pemilih.
d. Lebih dari 10 juta sampai dengan 15 juta harus dapat dukungan 4.000
pemilih.
e. Lebih dari 15 juta harus dapat dukungan 5.000 pemilih.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
63
Keterangan Ahli Drs. Arbi Sanit
Meskipun jejak sejarah Partai Politik Indonesia bisa ditelusuri sampai ke era
kolonial, namun diskontinuiti dan inkonsistensi pengembangannya, menjadikan
institutusi utama demokrasi itu tidak berkemampuan memadai untuk berperan
secara optimal, apalagi maksimal. Argumen peranan partai yang menguat dalam
proses demokrasi, belumlah diimbangi dengan tekad dan tanggung jawabnya
untuk merealisasikan demokrasi secara bermanfaat. Kesenjangan yang cenderung
menguat di antara hak dan kewajiban partai dalam demokrasi seperti itu,
merupakan konsekuensi dari lemahnya pendewasaan politisi dan pencanggihan
teknologi politik serta pematangan institusionalisasi politik yang dialami partai di
sepanjang perubahannya yang terputus putus.
Selama hampir seratus tahun sejak awal abad ke 20, tetap dan semakin
diyakini bahwa representasi institusional dan fungsional partai atas rakyat ialah
Sistem Multi Partai. Padahal sudah terbukti secara periodik bahwa representasi
seperti
itu
bermuara
kepada
lemahnya
pemimpin
dan
tidak
efektifnya
pemerintahan. Malah pengalaman berbagai negara yang sukses dengan
representasi rakyat oleh sistem partai sederhana, tidak dipertimbangkan
manfaatnya bagi Indonesia dengan alasan percobaannya yang dilakukan oleh
Penguasa Orde Baru.
Sekalipun di sepanjang kemerdekaan Indonesia partai tidak berperan
secara kontinu, namun dengan alasan demokrasi, politisi partai begitu percaya diri
bahwa merekalah yang paling berhak menjadi penguasa dan atau penyelenggara
negara. Interpretasi demokrasi seperti itu, bukan saja menafikan sejarah Pemilu
tahun 1955 yang memberikan kesempatan kepada Calon Ormas dan Calon
Perseorangan untuk menjadi Calon Pemilu dan Pemimpin Politik—Pemerintahan,
melainkan juga mengenyampingkan peran dan sumbangan berbagai kekuatan
sosial—politik non partai dalam penyelenggaraan dan perubahan negara sewaktu
partai tidak berdaya dan atau tidak melakukan peran sebagaimana seharusnya.
Di era reformasi menuju demokrasi liberal jilid dua ini, interpretasi dan
operasi demokrasi seperti itu telah menjuruskan politisi dan partainya kepada
keyakinan dan usaha sistemik, untuk menunaikan peran politiknya secara
monopolistik. Berkuasa dan/atau berpengaruh atas keseluruhan proses politik dan
pemerintahan, dengan melemahkan atau mengenyampingkan peran kekuatan
sosial—politik non Partai, semakin menguat secara kuantitatif dan kualitatif.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
64
Artinya, hampir tidak ada batasan institusional bagi intervensi kekuasaan politisi
dan partainya, dan keterlibatan itu berlangsung secara informal sampai formal
dengan menggunakan hukum, sekalipun mengesankan ingin benar sendiri dan
memaksakan kehendak.
Tragisnya, peran luas dan mendalam politisi dan partainya itu, tidaklah
ditunaikan secara adil dalam artian menyeimbangkan hak dengan tanggung jawab
(kewajiban). Berdasar analisis Ian Shapiro (YOI:2006), operasionalisasi hak Politisi
Partai bergaya Cartesian dengan menekankan hak individu sebagai subjeknya,
sementara substansi hak sesuai dengan pandangan libertarian negatif diabaikan.
Dalam pada itu pembenaran politik dan pengabaian etik yang melemahkan dasar
hak, mengaburkan kebaikan pluralis sebagai tujuan hak.
Kontradiksi-kontradiksi
kepartaian
itu,
menghadapkan
kita
kepada
keharusan untuk menjawab pertanyaan tentang sebab musabab kehadiran
monopoli paran partai, dan dampaknya kepada kehidupan masyarakat dan bangsa
serta negara, beserta solusinya yang dibutuhkan.
Peran Partai Monopolistik
Diskontinuiti perkembangan partai politik merupakan konsekuensi logis dari
keterpatahan perjalanan sejarah Demokrasi Indonesia. Demokrasi Konstitusional I
(1945—1959) tidak sepenuhnya membuka peluang partai untuk memonopoli peran
kenegaraan dan politik. Memang Sistem Partai Massa menghadirkan mekanisme
politik onderbouw, di mana setiap partai 'memelihara' anak organisasi massa untuk
mendapatkan anggota dan pendukung yang luas secara permanen. Dengan begitu
peran berbagai Ormas di bawah partai, mewakili dan atas nama partai
bersangkutan. Maka hadirlah kecenderungan monopoli berbagai peran dalam
kehidupan masyarakat dan bangsa serta negara dengan mengatasnamakan
partai. Akan tetapi di dalam Pemilu 1955, Partai bersaing dengan Ormas dan
Perseorangan untuk memperebutkan kekuasaan (kursi) Lembaga Legislatif, yang
karena penggunaan Sistem Politik dan Pemerintahan Parlementariannisme,
memungkinkan Politisi Non Partai berkuasa atau berpengaruh atas Lembaga
Eksekutif.
Sirnanya mekansime politik kompetitif di era Demokrasi Konstitusional II
(1999-...), bukan saja karena minimnya pengalaman berdemokrasi, melainkan juga
disebabkan oleh reaksi berlebihan kepada Sistem Politik dan Pemerintahan
Otoritarianisme Implikasi
yang diberlakukan
Penguasa
Orde Lama dan Orde Baru
peran..., Agung oleh
Sudrajat,
FH UI, 2012
65
selama
hampir
empat
dekade.
Jangankan
berdemokrasi,
berpolitik
non
demokratikpun harus menghadang risiko berlebihan, di bawah rezim otoriter
tersebut. Isolasi kehidupan secara menyeluruh, penjara tanpa Pengadilan, dan
bahkan kekerasan serta pembunuhan politik, adalah risiko menakutkan yang harus
dihadapi Politisi waktu itu. Semuanya itu menjerakan kalangan luas masyarakat
untuk terlibat di dalam proses politik. Apalagi untuk memerankan politik secara
demokratik.
Selama hampir 40 tahun demokrasi terkerdilkan atau terpendamkan
menjadi impian dan wacana di kalangan terbatas golongan intelektual dan aktivis
gerakan demokratisasi. Itulah masa di mana politisi dan partai dijadikan kamuflase
demokratik bagi rezim dan Sistem Kekuasaan Otoriter. Politisi dan partai hadir,
akan tetapi perannya sepenuhnya ditentukan oleh penguasa secara sepihak.
Untuk mempertahankan hidup, apalagi untuk ikut berkuasa, siapapun harus
menyesuaikan diri dengan Sistem Kekuasaan Otoriter.
Maka tidaklah mengherankan tatkala di era reformasi tampil politisi
dadakan, yang bukan saja minim pemahaman tetapi juga minim pengalaman
berpolitik secara demokratik, atau mendadak sontak menganut cara pikir
demoktatik walaupun tanpa penghayatan, di panggung politik Indonesia.
Rekonsiliasi tidak resmi di antara dua kekuatan politisi yaitu reformator dan eks
Orba melalui Pemilu tahun 1999 itulah yang membangun landasan masyarakat
politik dan sistem partai di era Demokrasi Konstitusional II dewasa ini. Politisi dan
partai adalah subjek hak untuk berkuasa atas negara. Tetapi substansi hak itu
tidak jelas karena berakar kepada pertemuan kepentingan eks Orba dan aktivis
reformasi. Maka landasan hak itupun tidak jelas, sebab asal usul politisi yang
cenderung terurai berdasar kayakinan primordial. Tujuan hak itupun tidak tertentu
karena tak terselesaikan konflik multiinterpretasi demokrasi yang bermuara kepada
jebakan demokrasi sebagai tujuan atau alat.
Tatkala politisi partai tanpa niat (rencana) dan minim pengalaman politik
demokratik yang menjadikannya tidak visior itu, berwenang menentukan operasi
demokrasi, mereka bereaksi secara spontan dan berlebihan. Tanpa persiapan
matang untuk mengoperasikan demokrasi, mereka terjebak oleh kecenderungan
revolusioner dengan meniadakan sifat Orba dan/atau tindakan kompromistis
dengan mencampurkan sifat Orba dengan watak demokrasi. Mudah diketahui
bahwa pragmatisme sikap para politisi partai seperti itu, berakar secara kukuh
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
66
kepada keharusan menyesuaikan diri kepada cara berpikir dan bertindak
penguasa-penguasa otoriter dari masa lalu. Maka mereka dewasa ini dengan
enteng menggeser monopoli kekuasaan rezim Orba menjadi monopoli peran politik
politisi dan partainya dewasa ini.
Selain dari pragmatisme, politisi dan partai dewasa ini juga berpikir dan
bertindak secara sentralisme. Bila rezim Orba menerapkan sentralisme kekuasaan
di dalam negara secara menyeluruh, maka politisi partai dewasa ini menerapkan
sentralisme peran politik kenegaraan dan sentralisme kekuasaan di dalam partai.
Sentralisme peran politik kenegaraan politisi partai pertama kalinya terdeteksi
tatkala mengoperasikan Sistem Pemerintahan Parlementer berdasarkan UU Politik
yang asal usulnya dari era Orba. Saat itu UUD 1945 asli yang mengkombinasikan
Sistem Pemerintahan Parlementer dengan Presidensiil, digunakan sebagai
landasan penyusunan UU Politik yang bersubstansikan Sistem Parlementer, untuk
menutupi Presiden yang mensentralkan kekuasaan dan tidak boleh diganti. Tafsir
Parlementarianisme Rezim Orba atas UUD 1945 itu, dilanjutkan secara sadar oleh
Penguasa era reformasi dengan maksud mengalihkan pusat kekuasaan negara
dari Presiden ke Parlemen. Hal itu masuk akal bila diingat kesimpulan Arend
Lijphart (Rajawali 1995) bahwa:
DPR menjadi pusat kekuasaan Negara di bawah Sistem Pemerintahan
Parlementer. Akan tetapi mendistorsi Sistem Presidensiil yang sudah diberlakukan
sejak amandemen UUD 1945 di tahun 2004.
Kedua, sentralisme peran politisi dan partai diketahui saat mereka
menetapkan struktur DPR bikameralisme lunak di dalam amandemen UUD 1945,
dan menata operasionalisasinya di dalam UU Pemilu dan Susduk 2004 dan 2008.
Wujud ialah peran DPD sebagai penasihat atau pembantu DPR. Di dalam UU
Pemilu 2008, malah dibuka peluang bagi politisi partai untuk menjadi anggota
DPD.
Sudah barang tentu langkah politisi partai itu berlawanan dengan perintah
amandemen UUD 1945, karena mengenyampingkan pelaksanaan DPD dalam
kerangka
mekanisme
checks
and
balances
sebagai
operasi
demokrasi
presidensialisme yang diamanatkannya. Secara universalpun, tindakan itu
melawan arus, sebab dari 10 negara pengguna sistem pemerintahan presidensiil
dan bikameralisme yang diteliti IDEA, ternyata sebanyak 8 negara di antaranya
(Amerika Serikat dan Piliphina) menerapkan bikameralisme penuh, sekalipun dari
40
negara
pengguna
sistem
pemerintahan
parlementer
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
hanya
8
yang
67
menggunakan
bikameralisme
kuat
(http://www.idea.org).
Searah
dengan
kecenderungan bentuk sistem pemerintahan tersebut, ternyata 8 dari 11 negara
federal menerapkan bikameralisme kuat, berbanding dengan 7 negara kesatuan
seperti Belanda, Cile, Philipina, Italia, Jepang, dan Inggris, menggunakan
bikameralisme
kuat,
semetara
13
negara
kesatuan
lainnya
menerapkan
bikameralisme lemah. Di lihat dari penyelenggaraan demokrasi dari 54 negara
sebanyak 32 menerapkan bikameralisme dengan perimbangan 16:16 antara
bikameralisme kuat dengan lemah.
Pengkerdilan DPD itupun melemahkan sistem perwakilan politik yang
seyogianya terdiri dari perwakilan kelas sosial di samping perwakilan penduduk
dan perwakilan daerah dalam artian teritori atau wilayah (George Tsebelis dan
Jeannette Money, 1997). Setidaknya dikenali 3 bentuk pelemahan sistem
perwakilan yang berakar kepada ketidakseimbangan peran DPR dengan DPD
tersebut. Pertama, Parlemen tidak teliti mewakili nilai dan kepentingan unsur
entitas Indonesia, sehingga dirasa kurang pas mewujudkan Republik Indonesia.
Kedua, perdebatan dan keputusan DPR tidak kompettitif sepenuhnya, karena
berlangsung dalam kalangan terbatas dari satu golongan yaitu politisi partai, dan
ketiga, perwakilan politik dalam DPR menafikan hak politik rakyat yang tidak
berpartai, dan sebaliknya hanya warga partailah yang mendominasi parlemen.
Dalam pada itu sentralisme kekuasaan internal partai memang sudah
merupakan tradisi Kepartaian Indonesia sejak awal kemerdekaan. Bentuknya ialah
kekuasaan DPP Partai untuk menetapkan kebijaksanaan partai. Para pengurus
daerah partai wajib memperoleh persetujuan DPP, sebelum bertindak di
daerahnya masing-masing. Alasan penerapannya oleh partai ialah untuk
menegakkan disiplin organisasi partai dan supaya terjamin integrasi partai secara
nasional. Tetapi sentralisme itu sudah mendatangkan berbagai konflik vertikal di
dalam partai, di samping gagalnya partai menyiapkan pemimpin yang berkapasitas
kuat untuk melaksanakan Otonomi Pemda secara berhasil.
Kombinasi
aneh
pragmatisme
dengan
sentralisme
politik
untuk
mengoperasikan demokrasi, dengan sendirinya bermuara kepada egoisme politik
sebagai tampilan terburuk dari individualisme. Sebab, sentralisme yang beroperasi
melalui pragmatisme di bawah kebebasan, memberi peluang kepada politisi untuk
menghindarkan
tanggung
jawab
publik
(kolektif)
untuk
memaksimalkan
pemenuhan kepentingan individu. Kepentingan individu politisi dan kepentingan
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
68
partai yang dijadikan motif untuk bersikap dan bertindak, melahirkan egoisme
politisi dan egoisme partai politik (institusional). Berbagai bentuk penyalahgunaan
kekuasaan oleh politisi partai, mulai dari korupsi dan nepotisem sampai kepada
skandal dan kekerasan, hanya bisa terjadi karena egoisme, dan berbagai
kebijaksanaan partai (DPP dan atau Fraksi) yang tidak tepat atau minim manfaat,
sehingga menghadirkan ketidakadilan, berakar kepada pengutamaan kepentingan
partai politik.
Peran Dilematis Partai Politik
Sekalipun kehidupan politisi dan partai di era Demokrasi Konstitusional I
jauh lebih ideal dari penerusnya di era Demokrasi Konstitusional II, namun adalah
jelas bahwa hasil karyanya untuk menanggulangi masalah sambil membuat
kemajuan masyarakat dan bangsa serta negara semakin jauh dari memadai.
Kenyataan itu terasa sebagai ironi, karena terlalu jauh jarak di antara hak dan
kekuasaan politisi partai di dalam demokrasi dengan realisasi kewajibannya
terhadap pemegang kedaulatan. Karenanya rakyat dan daerah Indonesia
dihadapkan kepada pilihan demokrasi yang rumit: dukung peran politisi partai
untuk
mewujudkan
demokrasi,
atau
batasi
peran
partai
dengan
mengkompetisikannya terhadap kekuatan non partai untuk mendayagunakan
demokrasi.
Setelah dekade pertama reformasi, urgensi untuk memilih alternatif kedua
peran politisi dan partai menjadi amat kuat, karena berbagai sebab, yaitu praktik
demokrasi baru sebatas minimaliis, fundasi kehidupan politik kenegaraan tak
kunjung menguat, dan kondisi negara sudah berada ditubir Negara Gagal.
Lipset dan Lakin dalam analisisnya tentang pemaknaan demokrasi, sampai
kepada kesimpulan tentang operasinya secara minimalis dan perluasan serta
maksimalis (The Democratic Century, 2004). Demokrasi minimalis terjadi bila
wujud utamanya hanyalah penggunaan kedaulatan rakyat untuk menentukan
penguasa negara melalui Pemilu. Ekstensinya terjadi apabila Pemilu disertai dan
diikuti dengan jaminan HAM, dan maksimalitasnya ditampilkan oleh Pemerintah
hasil Pemilu yang mampu menyelesaikan masalah sembari memajukan kehidupan
masyarakat dan bangsa serta negara, melalui kebijaksanaan publik yang relevan
dan tersedianya public goods serta berlangsungnya proses politik secara damai.
Karena Pemilu-pemilu demokratik Indonesia, tidak menjamin HAM dan
penyelesaian masalah serta membuat kemajuan, maka dengan sendirinya
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
69
menurut analisa tersebut, demokrasi Indonesia tergolong kepada kadarnya yang
minimalis. Makna itu mengandung arti bahwa demokrasi barulah sekedar alias
prosesi prosedural. Manfaatnya bagi masyarakat dan bangsa serta negara masih
amat terbatas pada kaum elit khususnya penguasa. Itupun kualitasnya masih
belum memadai, karena cenderung bersifat formal dan normatif, sebagaimana
dituangkan di dalam peraturan perundangan. Maka
baik
Demokrasi
Konstitusional I maupun Demokrasi Konstitusional II sama-sama rentan ketidak
stabilan dan karenanya berpeluang untuk dihancurkan dan digantikan dengan
otoriter. Begitulah misalnya dengan Demokrasi Konstitusional I yang dieliminasi
oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk membubarkan
DPR dan Konstituante hasil Pemilu 1955 serta kembali menggunakan UUD 1945.
Kegagalan demokrasi Indonesia memberikan manfaat luas dan intensif itu,
bertolak dari ketidakberhasilan politisi partai memperkuat fundasi kehidupan politik
dan
kenegaraan
Indonesia,
yang
mencakup
kepemimpinan
politik
dan
pemerintahan yang kapabel, sistem partai yang kuat, dan sistem pemerintahan
yang efektif dan stabil (Dahl, Perihal Demokrasi, Obor:2001). Pemilu hanyalah
menghasilkan penguasa yang tanpa kapabilitas kepemimpinan secara mamadai.
Pemilu selalu berkaitan dengan sistem multi partai yang tidak dapat diandalkan
oleh penguasa untuk menguatkan kepemimpinannya, dan Pemilu akhirnya
menghasilkan atau melanggengkan sistem pemerintahan yang tidak koheren dan
tidak sinergis, sehingga mengalami kesulitan untuk menghasilkan kebijaksanaan
publik yang relevan di samping memajukan.
Kegagalan Pemilu menguatkan fundasi kehidupan politik kenegaraan itu,
berawal dari kelemahan UU Politik. UU Pemilu tidak mempersyaratkan Calon
Pemimpin, tetapi hanya mempersyaratkan peserta Pemilu. Tidak ada kriteria
syarat calon pemimpin dalam UU Pemilu, yaitu indikator kapabilitas pemimpin
politik dan pemerintahan yang terdiri dari integritas (kejujuran), visi 10-30 tahun
kedepan, kompetensi politisi profesional, kompetensi negarawan, kompetensi
manajer politik dan pemerintahan, dan kepemimpinan pembaharu. Akibatnya ialah
kesewenangan politisi partai menentukan calon Pemilu dan tidak adanya
kewajiban partai untuk mendidik kader dan menyiapkan pemimpin yang
berkapabilitas memadai.
UU Partai dan Pemilu tidak
mengkondisikan politisi
partai
untuk
memperkuat sistem partai, sebagaimana terbukti dari UU Partai yang tidak
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
70
mengkondisikan koalisi atau fusi. Dalam pada itu UU Pemilu tidak memungkinkan
pelaksanaannya menghasilkan sistem partai kuat yang dibuktikan dengan
kemayoritasan suara pemilih dan atau kursi Legislatif yang dimiliki.
UU Susduk, bukan saja tidak mengoperasikan bikameralisme di lembaga
legislatif sesuai dengan UUD, melainkan juga mengkondisikan beroperasinya
sistem pemerintahan parlementer di lembaga itu.
Maka
jelaslah
bahwa
UU
Politik
yang
tidak
memperkuat
sistem
pemerintahan presidensial sesuai UUD itu, bukan saja melemahkan eksekutif dan
sekaligus melemahkan perwakilan politik rakyat, tetapi juga memandulkan
mekanisme kompetisi di level lembaga negara, sehingga rakyat tidak memperoleh
pelayanan terbaik dari negara.
Jalan Keluar
Akhirnya keseluruhan pengamatan dan analisis di atas, membangun
keyakinan bahwa akar dari berbagai kelemahan negara adalah ketidakberhasilan
politisi dan partainya dalam menunaikan tanggung jawabnya kepada masyarakat
dan bangsa serta negara. Lumpuhnya partai sebagai lembaga, oligarkhi elit partai,
dan penolakan politisi partai akan tawaran fasilitasi kaum intelektual dan
pemerintah lewat naskah akademik dan RUU untuk membangun partai dan
kepemimpinannya atas nama intervensi, bercokol di balik kegagalan tugas atau
peran partai tersebut.
Sejauh ini upaya persuasif dari golongan menengah dan tekanan opini
publik bersama aksi massa, semakin kehilangan pengaruh atas kehidupan politisi
dan
partainya,
terutama
untuk
pembaharuan
kekuatan
politik
tersebut.
Sebagaimana terbukti dari penolakan politisi partai atas usul perubahan UU Politik,
institusi negarapun tidak efektif untuk mendukung pembaharuan politisi dan partai.
Sekalipun begitu, masih ada tiga institusi negara yang secara strategis berpotensi
untuk mendorong pembaharuan politisi danpartai, yaitu Mahkamah Konstitusi dan
Komisi Pemberantasan Korupsi serta Badan Pemeriksa Keuangan.
Namun di antara ketiga lembaga itu, Mahkamah Konstitusi berpeluang
terbesar untuk mendorong pembaharuan Politisi dan Partainya. Pertama, karena
Mahkamah Konstitusi bertugas menjaga Konstitusi sebagai design menyeluruh
penataan dan pengelolaan negara (state craft). Kedua, dengan menggunakan
kewenangannya itu, Mahkamah Konstitusi berhak membuat interpretasi UUD yang
tidak lagi dilengkapi dengan penjelasan, sehingga kematangan para Hakim
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
71
Mahkamah Konstitusi berfaedah untuk meluruskan dan mendorong pembangunan
politisi dan partai politik, dan ketiga, Mahkamah Konstitusi sudah membuktikan
kinerja dan karyanya dalam meluruskan substansi UU sesuai dengan prinsipprinsip Demokrasi Universal, berdasarkan UUD hasil amandemen.
Keterangan Ahli Dr. John Pieris, SH., MS.
1. Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 secara tegas dan jelas menyatakan: ”Anggota
Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum”.
Secara etimologis, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua, frase
(kata) “dari setiap provinsi” menunjukkan tempat (ruang) dan asal, yaitu tempat
berdiam, berteduh, tempat tinggal atau tempat domisili. Jika dapat dipertegas,
artinya bertempat tinggal dan pencalonan anggota DPD berasal dari provinsi
asal, bukan dari provinsi lain apalagi dari partai politik. Contoh seperti di
Amerika Serikat, setiap senator (anggota senat) disyaratkan berdomisili atau
bertempat tinggal permanen secara administratif (kependudukan) di negara
bagian atau, di mana dia terdaftar secara sah menjadi warga negara.
Frase dipilih dari setiap provinsi berbeda maksud dengan frase dipilih di setiap
provinsi. Dipilih dari setiap provinsi artinya calon anggota DPD itu tinggal
menetap di provinsi dan dipilih serta dicalonkan dari provinsi di mana ia
berdomisili. Sedangkan dipilih di setiap provinsi mengandung maksud, hanya
dipilih di provinsi, tetapi calonnya tidak harus berdomisili di provinsi tersebut.
Frase dipilih dari setiap provinsi ingin menjelaskan, bahwa calon tersebut,
berdasarkan teori representasi, mewakili wilayah (provinsi). Secara substansial
hermeneutikal, perwakilan wilayah itu harus diisi (diwakili) orang yang
berdomisili di wilayah tersebut, juga yang mengenal serta mengetahui betul
secara luas dan mendalam, kondisi, situasi, karakter masyarakat dan
problematika daerahnya. Jadi sifat perwakilan anggota DPD itu syaratnya
adalah “regional representation”, bukan “political representation” (perwakilan
politik
yang
orang-orangnya
berasal
dari
partai
politik).
“Regional
representation” adalah orang-orang yang berasal dari provinsi (wilayah) di
mana yang bersangkutan berdomisili. Itu berarti, si wakil (anggota DPD)
bertindak sebagai “delegate” (utusan) dan selalu berkonsultasi dengan
pimpinan provinsi dan rakyat yang diwakilinya, bukan sebagai “politico” atau
“partisan”, atau politasi yang mewakili partai.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
72
2. Pasal 22E ayat (4) menyatakan: “Peserta pemilihan umum untuk memilih
anggota DPD adalah perseorangan”. Rumusan norma (kaidah) hukum tersebut
sangat tegas dan jelas.
Frase perseorangan tidak boleh diperluas, sebab jika tafsir perseorangan ini
dikembangkan dan diperluas tanpa batas, siapa pun boleh, yaitu anggota dan
pengurus partai politik, anggota TNI/Polri dan PNS. Apa jadinya nanti jika
calon-calon anggota DPD bisa berasal dari beragam habit yang serba meliputi?
Secara teoritis bisa bias dan dari perspektif pendewasaan demokrasi yang
lebih bermartabat, bisa terjebak dalam budaya “kerakusan politik”.
Frase perseorangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pribadi
seseorang atau yang bersifat pribadi, bukan berasal dari atau milik suatu
badan. Frase perseorangan dimaksud sebagai seorang yang independen, non
partisan dan bukan berasal atau diskenariokan bersumber dari partai politik.
Domein perseorangan ada pada locusnya (lokus), yaitu Dewan Perwakilan
Daerah, sedangkan locus DPR diisi oleh calon dari partai politik.
Ricker dalam teori sosiologi politik misalnya menyatakan, dalam lembaga
perwakilan bukan merupakan bangunan politik, tetapi merupakan bangunan
masyarakat (sosial). Si pemilih akan memilih wakil-wakilnya yang berbasis
pada masyarakat dan berasal, serta berdomisili serta tinggal bersama-sama
dengan masyarakat, dan wakil-wakilnya harus memperjuangkan kepentingan
daerah dan rakyat yang ada di daerah tersebut. Sedangkan Leon Diguit
dengan teori hukum objektif menyatakan, bahwa hubungan antara rakyat dan
lembaga
perwakilan
adalah
hubungan
solidaritas.
Karena
itu,
Diguit
mengatakan lebih lanjut, bahwa teori hukum objektif menempatkan lembaga
perwakilan menjadi bangunan hukum (bukan bangunan politik).
Atas dasar itu, dapatlah dikatakan, bahwa peserta pemilihan umum untuk
memilih anggota DPD adalah perorangan. Norma ini mempertegas, bahwa
perorangan yang dimaksud adalah pribadi (orang) atau calon yang bukan
berasal dari lembaga atau partai politik. Jatah untuk anggota dan pengurus
partai politik ada pada lembaga DPR [vide Pasal 22E ayat (3)].
3. Di dalam UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD dan
DPRD dijelaskan, bahwa DPR adalah wakil rakyat dan DPD adalah wakil
daerah [Pasal 2 dan Pasal 13 ayat (3)]. Karena itu, DPR terdiri atas anggota
partai politik peserta pemilihan yang dipilih berdasarkan hasil pemilu. Itu berarti
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
73
haruslah dipakai, bahwa anggota DPR berasal dari partai politik peserta pemilu
(PPPP). Ini diatur di dalam Pasal 16 UU Nomor 23 Tahun 2003. Logika
hukumnya, anggota partai politik maupun pengurus parpol lainnya hanya bisa
dicalonkan menjadi anggota DPR dari partai politik peserta pemilu. Norma
hukum Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 dan norma hukum Pasal 16 UU Nomor
23 Tahun 2003 tidak boleh diperluas maknanya atau pengertiannya masuk ke
dalam wilayah (domein) DPD sebagai lembaga perwakilan daerah, sebab
lembaga perwakilan daerah adalah miliknya orang daerah. Sedangkan
lembaga perwakilan rakyat adalah miliknya orang partai politik. Dengan kata
lain, kedaulatan politik hanya terbatas pada hubungan partai politik dengan
lembaga perwakilan rakyat (DPR), artinya parpol berdaulat atas dan berhak
mengatur kader-kadernya untuk dicalonkan menjadi anggota DPR, tetapi nyata
sekarang, bahwa kedaulatan partai (partycracy) diperluas memasuki wilayah
DPD berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2008. Parpol telah menggerogoti
kedaulatan (hak) warga negara yang bukan anggota parpol atau warga negara
biasa (non partisan). Fenomena politik ini menarik untuk dikritisi. Budaya politik
Indonesia secara sengaja memang telah diparadigmakan oleh elite Parpol yang
ada di DPR sebagai pembentuk undang-undang menjadi budaya politik
partycracy dan bukan democracy.
4. Pasal 32 UU Nomor 23 Tahun 2003 juga telah mempertegas, bahwa DPD
terdiri atas wakil-wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilu. Pasal ini
tidak boleh dipahami secara keliru dengan melahirkan Pasal 12 dan Pasal 67
UU Nomor 10 Tahun 2008 yang membolehkan DPD terdiri atas wakil-wakil
daerah yang disusupi oleh wakil-wakil parpol (orang parpol). Sebab, wakil
daerah adalah orang-orang yang berasal dari daerah, bukan berasal dari partai
politik, sekali pun orang tersebut (kader parpol itu) berdomosili di daerah [vide
Pasal 1 dan Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2008]. Sebab, haruslah
dipahami, bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar [Pasal 1 ayat (2) UUD 1945]. Menurut UUD,
kedaulatan rakyat yang berada pada partai politik, tempatnya ada di DPR, dan
kedaulatan rakyat yang berada di luar partai politik ada di DPD.
5. Demokrasi substansial yang beradab dan berkeadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia sebagaimana yang terpatri dalam sila kelima Pancasila,
menghendaki tidak saja diciptakan pembatasan kekuasaan, tetapi juga
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
74
pembatasan hak. Jika hak politik tidak bisa dibatasi, maka akan tercipta
oligarkhi politik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa UU Nomor 10 Tahun
2008 diposisikan sebagai instrument penindas hak asasi politik dari orangorang yang tidak berpartai. Jika asumsi ini benar, maka ketentuan Pasal 12 dan
Pasal 67 UU Nomor 10 Tahun 2008 merupakan legal framework yang anti
demokrasi, atau yang melestarikan status quo.
6. Pembentuk UU, yaitu DPR dan pemerintah (vide Pasal 20 UUD 1945) yang
membentuk UU Nomor 10 Tahun 2008 tampaknya kurang memahami arti, jiwa,
roh dan semangat demokrasi rezim reformasi yang telah meruntuhkan sistem
otoritarian Orde Baru dengan rezim hukum yang represif serta watak
kekuasaan
yang
koruptif,
monopolistik,
integralistik,
personalitik
dan
sentralistik.
7. Seharusnya DPR dan Pemerintah dapat memaknai secara baik dan benar
rumusan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan:
“Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan
prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi
manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangundangan”
dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan:
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Prinsip negara hukum demokratis harus tercermin di dalam UU Nomor 10
Tahun 2008, dan prinsip masyarakat demokratis yang harus dibatasi dengan
undang-undang sesungguhnya harus diperhatikan oleh pembentuk UU Nomor
10 Tahun 2008. Pencederaian demokrasi secara kasat mata telah dilakukan
oleh DPR sebagai pemegang kekuasaan membentuk UU. Ini adalah sikap
yang tidak demokratis, sebab DPR membiarkan partai politik memasuki wilayah
yang dikuasai DPD. Terkesan, telah terjadi konspirasi elite para pembentuk
undang-undang,
yaitu
DPR
dan
Pemerintah
untuk
secara
sistematis
memandulkan peran dan fungsi DPD dengan cara menyusupkan orang-orang
parpol menjadi anggota DPD. Dengan cara seperti itu dapat dipastikan, bahwa
proses penguatan DPR dapat dikatakan dengan memperlemah daya juang,
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
75
fungsi dan peran DPD di masa yang datang. Sayangnya pihak Pemerintah
sebagai pihak yang ikut membentuk Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tidak menyadari hal tersebut. Dengan kondisi seperti yang dibayangkan terjadi,
maka di masa yang akan datang akan sulit tercipta sebuah sistem pengawasan
yang efektif antara DPD dengan Pemerintah dan antara DPD dengan DPR.
Dengan kata lain akan terjadi distorsi dalam sistem checks and balance antara
lembaga-lembaga negara.
8. Indonesia, secara teoritik memang telah menjadi negara hukum modern yang
demokratis tetapi kenyataannya masih dipraktikkan model negara kekuasaan.
DPR sebagai pembentuk UU Nomor 10 Tahun 2008 sebagai sarana
kekuasaan. Kesan ini setidaknya mengingatkan kita pada Machiavelli sebagai
sosok pemikir berpengaruh pada jaman Renaisans melihat kekuasaan sebagai
tujuan. Ia menyangkal asumsi, bahwa kekuasaan adalah alat atau instrumen
belaka untuk mempertahankan nilai-nilai moralitas, etika, atau agama. Bagi
Machiavelli, segala kebajikan agama dan moralitas, justru dijadikan sebagai
alat untuk memperoleh dan memperbesar kekuasaan, bukan sebaliknya. Jadi
kekuasaan,
tulisnya
kemudian,
haruslah
diperoleh,
digunakan,
dipertahankan semata-mata demi kekuasaan itu sendiri. "Bagi
dan
Machiavelli,
kekuasaan adalah raison d'etre negara. Negara juga merupakan simbolisasi
tertinggi kekuasaan politik yang sifatnya mencakup semua (all embracing) dan
mutlak. Machiavelli memiliki obsesi terhadap negara kekuasaan (Machtsstaat),
di mana kedaulatan tertinggi terletak pada kekuasaan penguasa dan bukan
rakyat dan prinsip-prinsip hukum". Negara disimbolkan melalui lembagalembaga negara atau yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang
acap menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan politik atau memperluas
kekuasaannya. Dalam hal ini, prinsip-prinsip hukum dan demokrasi acap
diabaikan.
9. Robert P. Clark juga menyatakan secara tepat mengungkapkan, bahwa
kekuasaan adalah nilai utama dalam proses politik, karena kekuasaan adalah
kemampuan
untuk
mengubah
atau
mempengaruhi
pilihan
kebijakan.
Kekuasaan dalam arti yang digunakan di sini ialah kemampuan untuk
mengubah atau mempengaruhi pilihan kebijakan, atau kemampuan untuk
mempengaruhi, membentuk, atau mengubah sikap orang lain.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
76
Dari sudut pandang sosiologis, Maurice Duverger telah menjelaskan, bahwa
kekuasaan terdiri dari seluruh kerangka institusi sosial yang berhubungan
dengan otoritas, yang berarti, ada dominasi beberapa orang terhadap orang
lain. Pemikiran Duverger ini memang mengarah pada kekuasaan institusional
yang berhubungan dengan kekuasaan negara atau pemerintah terhadap
anggota
masyarakat.
Selanjutnya,
dengan
agak
spektakuler,
dalam
menganalisis politik modern, Robert A. Dahl menafsirkan kekuasaan sebagai
suatu gumpalan tunggal, padat, dan tak terpecahkan. Dikatakan lebih jauh,
bahwa gumpalan dapat dialihkan dari seorang kepada orang lain, tetapi tidak
bisa dibagi-bagi.
Dari sudut pandang moral, kekuasaan yang dikendalikan oleh penguasa
negara, dapat saja secara absolut atau otoriter, cenderung mengabaikan hati
nurani dan nilai-nilai moral, karena kekuasaan seperti itu hanya mengabdi
kepada kepentingan penguasa. Apa yang dikatakan oleh John Emerick Edward
Dalberg Acton (Lord Acton), bahwa power tends to corrupt but absolut power
corrupts absolutely, artinya kekuasaan cenderung disalahgunakan dan
kekuasaan yang mutlak pasti disalahgunakan.
10. Teori elit kekuasaan memang menjelaskan, bahwa meskipun masyarakat terdiri
atas bermacam kelompok yang pluralis, tetapi dalam kenyataannya, kelompok
elit penguasa datang hanya dari satu kelompok elit masyarakat tertentu.
Secara halus, semua orang memang bisa menempati jabatan negara, jabatan
militer atau posisi bisnis kelas atas. Tetapi dalam kenyataannya, jabatanjabatan itu diduduki oleh orang-orang dari kelompok tertentu.
Dalam membahas pembenaran otoritas politik Richard T. de George,
menyatakan, bahwa otoritas (authority) sering didefinisikan sebagai kekuasaan
(power) yang legitim. “Otoritas politik” dapat disebut juga dengan istilah
“kekuasaan politik”, namun, ada bahaya pereduksian segala bentuk otoritas.
Reduksi itu, dominannya ke dalam bentuk otoritas politik. Karena itu, dalam
hubungannya
dengan
kekuasaan
pembentukan
undang-undang
dapat
dikatakan, bahwa pembentuk undang-undang memiliki otoritas politik yang
sangat besar dalam membentuk undang-undang di bidang politik, khususnya
UU Pemilu Nomor 10 Tahun 2008.
11. R.J. Mokken pernah menyatakan, bahwa kekuasaan adalah kemampuan
penguasa, yang secara mutlak dapat mengubah alternatif tindakan penguasa
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
77
terhadap yang dikuasainya, dan menurut Woodrow Wilson, karena politik
merupakan usaha perumusan kehendak/kemauan dari negara (the formulation
of the will of the state), maka negara dan pemerintahan identik dengan
kekuatan dan kekuasaan. Itulah sebabnya, maka ada kekhawatiran dari
F. Oppenheimer, bahwa pada semua negara, sering terjadi dominasi satu kelas
atas kelas lainnya.
12. Saat ini, fakta politik menunjukkan, bahwa dominasi DPR terhadap DPD
sangatlah besar. Dominasi tersebut secara kasat mata dapat dirasakan, sebab
UUD 1945 tidak memberikan kewenangan konstitusional yang memadai
kepada DPD dalam bidang legislasi. Jadi, ada kelemahan konstitusional yang
dialami DPD, dan ada dominasi konstitusional yang dimiliki DPR.
Berdasarkan beberapa catatan penting yang disampaikan, maka pada
kesempatan ini menyampaikan beberapa pemikiran sekaligus sikap ahli sebagai
berikut:
1. Bahwa UU Nomor 10 Tahun 2008 kurang menghiraukan jiwa, semangat, dan
roh reformasi untuk menegakkan keadilan substansial di atas prinsip negara
hukum demokratis sebagaimana dikehendaki di dalam Pasal 1 ayat (3) serta
Pasal 28I ayat (5) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945;
2. Bahwa UU Nomor 10 Tahun 2008 tidak mencantumkan serta menjelaskan
norma hukum tentang persyaratan perorangan untuk menjadi calon anggota
DPD. Pasal 11 ayat (1) dan (2), Pasal 12 dan Pasal 67 UU Nomor 10 Tahun
2008 beserta Penjelasannya tidak merumuskan secara lebih bermakna norma
hukum calon (peserta) perorangan. Secara teoritik UU Nomor 10 Tahun 2008
sengaja menghilangkan konsistensi norma hukum sebagaimana dikatakan oleh
H. L. A. Hart, yaitu bahwa Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD
1945 sebagai primary rules tidak dipahami sebagai legal framework utama
yang seyogianya harus menurunkan norma ikutan sebagai secondary rules
yang mengatur ketentuan peserta (calon perorangan) sebagai calon anggota
DPD. Bagi Hart, haruslah dipahami, bahwa penyatuan tentang apa yang
disebutnya sebagai primary rules dan secondary rules merupakan pusat dari
sistem hukum, dan keduanya harus ada dalam sistem hukum.
3. Sama halnya dengan Hart, John Rawls tentang A theory of justice (keadilan)
yang secara doktrinal mengikuti ajaran empirisme, menyatakan, bahwa semua
sistem hukum akan gagal, bila tidak disemangati suatu sikap moral pribadi
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
78
yang sejati (justice as fairness). Rawls mengatakan, bahwa beberapa prinsip
konkrit harus membimbing penguasa untuk mewujudkan keadilan sosial yang
memadai. Karena itu, keadilan sosial politik berdasarkan pembukaan dan
pasal-pasal UUD 1945 haruslah ditaati dan hendaknya dirumuskan secara
memadai di dalam UU pemilu. Sebab itu haruslah mengaitkan primary rules
dan secondary rules yang berintikan keadilan di dalam UU Nomor 10 Tahun
2008;
4. Untuk menegakkan keadilan substansial dan hukum yang mengandung prinsipprinsip moral serta kehidupan politik yang demokratis, maka calon-calon
anggota DPD harus dipilih dari setiap provinsi dan berasal dari calon
perseorangan. UU Nomor 10 Tahun 2008 tidak boleh mengenyampingkan atau
mereduksi primary rules [Pasal 22C ayat (1) dan 22E ayat (4) UUD 1945]
mengenai sistem pemilihan dan persyaratan anggota DPD. Karena itu Pasal 12
dan Pasal 67 UU Nomor 10 Tahun 2008 harus dinyatakan oleh Mahkamah
Konstitusi batal demi hukum, keadilan dan demokrasi sesuai dengan isi, jiwa,
dan semangat negara hukum demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD
1945.
Honeste Vivere, sebaiknya dijadikan prinsip hukum dan demokrasi di negeri ini dan
harus ditegakkan secara bermartabat.
Keterangan Ahli Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka
Pasal 22C ayat (1) UUD 1945:
“Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui
pemilihan umum”.
Kata dari merupakan preposisi atau kata depan yang menyatakan makna ‘asal’,
sedangkan kata setiap pada frasa “setiap provinsi” menyatakan makna ‘masingmasing’. Dengan demikian, frasa dari setiap provinsi pada kalimat anggota
Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum
bermakna bahwa anggota DPD haruslah berasal dari provinsi masing-masing.
Secara semantis, ayat ini secara gamblang memaparkan bahwa anggota DPD
dipilih dari setiap provinsi (provinsi masing-masing) dan, oleh karena itu, ia harus
mewakili provinsi tersebut. Jika anggota DPD bukan berasal dari provinsi itu, ia
bukan
merupakan
perwakilan
daerah
tarsebut,
perwakilan daerah
lain.peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Implikasi
melainkan
merupakan
79
Jika DPD benar-benar dimaknai sebagai Dewan Perwakilan Daerah, bukan
dewan perwakilan daerah lain, anggota DPD itu haruslah merupakan penduduk
yang diwakilinya sehingga permasalahan yang ada di daerahnya dapat
diketahui secara baik, mendalam, dan mendasar.
Keberadaan calon anggota DPD yang harus merupakan penduduk yang
diwakilinya itu ditunjukkan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan/atau akta
kelahiran. Apabila anggota DPD tidak mewakili daerahnya, ia tentu tidak
mengetahui aspirasi masyarakat yang diwakilinya dan anggota DPD yang tidak
mewakili daerahnya, tentu tidak memahami permasalahan yang ada di daerah
itu.
Pasal 22E ayat (3) UUD 1945
“Peserta pernilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”.
Pasal 22E ayat (3) ini secara lugas menjelaskan bahwa rakyat memilih partai
politik dan partai politiklah yang memilih atau menunjuk siapa saja yang akan
diangkat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Rakyat hanya diberi hak memilih partai bukan
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 22E ayat (4) UUD 1945
“Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah
adalah perseorangan”.
Pasal 22E ayat (4) ini menjelaskan bahwa rakyat memilih perseorangan untuk
menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah. Rakyat diberi hak penuh dan
secara langsung memilih perseorangan menjadi anggota Dewan Perwakilan
Daerah. Jadi, rakyat tidak melalui partai politik tertentu untuk memilih anggota
DPD. Selain itu, calon anggota DPD adalah perseorangan (masyarakat biasa)
bukan dari suatu partai sebab jika berasal dari suatu partai, ia tidak dapat
menjadi anggota DPD, ia harus menjadi anggota DPR.
Jika orang partai akan menjadi calon anggota DPD, ia harus keluar dari
partainya dan menjadi masyarakat biasa. Di samping itu, ia juga harus
mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22C ayat (1) UUD
1945.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
80
Keterangan Ahli Denny Indrayana, SH., LL.M., Ph.D
Pendapat hukum ini terutama akan bersandar kepada enam argumen berikut:
1. Maksud asli (original intent) dari perumus Perubahan Ketiga UUD 1945 adalah
adanya: (i) Syarat Domisili Provinsi [Pasal 22C ayat (2) UUD 1945]; dan (ii)
Syarat Perseorangan [Pasal 22E ayat (4) UUD 1945], bagi keanggotaan
Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
2. Maksud asli (original intent) dari perumus Perubahan Ketiga tersebut di atas
terkait Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan bagi keanggotaan
DPD masih cukup konsisten dilakukan dalam UU Nomor 12 Tahun 2003.
3. Pembuatan UU Nomor 10 Tahun 2008 dengan sengaja menghilangkan Syarat
Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan tersebut dari penormaan
persyaratan keanggotaan DPD.
4. Penghilangan norma Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan
tersebut adalah salah satu bentuk pelaksanaan kekuasaan legislasi yang tidak
pada tempatnya (improper purposes), dan karenanya dapat dijadikan dasar
pengujian konstitusionalitas UU Nomor 10 Tahun 2008.
5. Ketiadaan
Syarat
Domisili
Provinsi
dan
Syarat
Perseorangan
bagi
keanggotaan DPD di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 harus
dinyatakan tidak berkesesuaian (unconformity) dengan UUD 1945. Menurut
Webster New World College Dictionary (1996) hal. 1452, unconformity juga
bermakna a lack of conformity, inconsistency dan incongruity. Lihat juga AW
Bradley dan K.D. Ewing sebagaimana dikutip Jimly Asshiddiqie dalam
Perihal Undang-Undang, hal. 150.
6. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya dapat menyatakan adanya suatu
norma di dalam undang-undang bertentangan dengan konstitusi, namun harus
pula mempunyai kewenangan untuk menyatakan ketiadaan norma dalam
suatu undang-undang tidak berkesesuaian dengan UUD 1945.
Penjelasan satu persatu dari keenam argumen hukum di atas.
I. Maksud Asli Perumus Pasal 22C ayat (2) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945
Para pembuat Perubahan Ketiga UUD 1945, khususnya ketika merumuskan
Pasal 22C ayat (2) dan Pasal 22E ayat (4) menegaskan adanya Syarat Domisili
Provinsi dan Syarat Perseorangan bagi keanggotaan DPD.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
81
• Risalah Rapat Pleno Ke-17 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 22 Mei
2001
Maswadi Rauf (Tim Ahli) menyatakan, “ ... kita mengusulkan bahwa calon
perseorangan itu hanya ada di DPD ... tidak di DPR pusat dan DPR Daerah,
kita beranggapan bahwa DPR pusat dan DPR daerah adalah memang ajang
untuk partai-partai politik ... sedangkan untuk DPD ... memang keterwakilan
daerah yang ditekankan di sini, ada kemungkinan tokoh-tokoh daerah yang
tidak bergabung dengan partai manapun yang ingin ikut dalam pemilihan DPD”.
• Risalah Rapat Pleno Ke-19 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 29 Mei
2001
Ramlan Surbakti (Tim Ahli) menyatakan, “Bagaimana caranya supaya
keterwakilan daerah itu memang diperjuangkan anggota DPD. Salah satu di
antaranya persyaratan untuk menjadi anggota DPD itu ... misalnya sekurangkurangnya sekian tahun terakhir harus berdomisili di satu daerah untuk
bisa menjadi calon anggota DPD (daerah) itu ... (ini) adalah syarat domisili,
bahkan ada yang mengatakan tidak hanya dibuktikan KTP, tetapi juga
dibuktikan dengan membayar PBB, pajak dan lainnya di daerah itu, sehingga
memang dia memahami betul aspirasi masyarakat daerah ...
pengaturannya lebih jauh dalam Undang-Undang pemilu ... prinsipnya itu
adalah kepentingan daerah”.
• Risalah Rapat Pleno Ke-32 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 19
September 2001
a. Erman Soeparno (F-PKB) menyatakan keberadaan DPD adalah untuk,
“... memperbaharui pola rekrutmen selama ini (yang) cenderung selalu
partisan dan sangat mencerminkan representasi kepentingan
sentralistik kekuasaan ... membuka kemungkinan peran ... anggota DPD
yang otonom ... memulihkan independensi anggota perwakilan terhadap
preferensi kekuasaan politik” (halaman 84 – 85)
b. Sutjipno (F-PDIP) menyatakan, “Saya belum yakin apakah betul-betul di
DPD nanti bisa menampilkan orang yang representasinya orang
teritorial utuh, utuh dari segala dimensi karakteristik daerah, itu saya belum
yakin, jangan-jangan materiilnya dari partai juga, jadi pada akhirnya
kesitu” (halaman 94).
c. Patrialis Akbar (F-Reformasi) menyatakan untuk kenggotaan DPD, “ ... kita
fokuskan saja pemilihannya adalah berdasarkan ketokohan sehingga tidak
lagi mewakili kepentingan-kepentingan partai politik, karena dia adalah
tokoh-tokoh daerah. Wakil-wakil dari daerah, jadi berjuang mereka di sini
adalah betul-betul adalah perjuangan khusus ke daerah mereka”
(halaman 107).
• Risalah Rapat Pleno Ke-33 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 20
September 2001
Rosnaniar (F-PG) menyatakan, “Selanjutnya partai politik dan calon
perseorangan. Calon perseorangan ini tentu orang yang tidak tertampung di
partai politik” (halaman 142).
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
82
• Risalah Rapat Komisi A Ke-5, Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 tanggal 8
November 2001
Jacob Tobing (F-PDI) menyatakan, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah
perseorangan ... jadi partai bisa mengajukan, kolompok masyarakat bisa
mengajukan satuan-satuan terteritu bisa mengajukan tetapi begitu dia maju,
dia perorangan karena perorangan ini adalah untuk menyuarakan kekhasan
daerah bukan lagi menyuarakan ... suara-suara politik, jadi ini nanti
menggambarkan keanekaragaman wilayah negara kita yang begitu kaya dan
juga keanekaragaman golongan di dalam masyarakat, idenya begitu.
Dari pernyataan Jacob Tobing tersebut dapat disimpulkan bahwa pendapat bahwa
calon DPD memang dapat dimajukan oleh berbagai kalangan – termasuk partai
politik – tetapi dengan syarat ketika mencalonkan diri menjadi anggota DPD,
yang bersangkutan haruslah sebagai perseorangan, tidak lagi membawa
kepentingan partainya, tetapi lebih pada kepentingan daerah; karenanya
seharusnya yang bersangkutan pada saat maju sudah bukan lagi anggota atau
pengurus partai politik.
Oleh karenanya, untuk menegaskan calon anggota DPD haruslah independen
dari kepentingan partai politik, maka rumusan Pasal 22E ayat (4) yang diusulkan
PAH I dan Tim Ahli, yang awalnya sama berbunyi, Pemilihan umum untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah diikuti oleh calon dari partai politik
dan calon perseorangan”; diubah salah satunya dengan menghilangkan frasa
“calon dari partai politik” sehingga hanya berbunyi “Peserta pemilihan umum
untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan”.
Penghilangan
“calon
dari
partai
politik”
itu
bermakna
meskipun
yang
bersangkutan dapat dicalonkan partai politik, tetapi calon tersebut ketika
mencalonkan diri tidak boleh lagi masih menjabat sebagai anggota atau pengurus
partai politik.
KESIMPULAN dari beberapa kutipan pendapat para pakar (Tim Ahli) dan anggota
PAH I BP MPR di atas menegaskan adanya maksud syarat keanggotaan DPD
seharusnya mempunyai syarat domisili dari daerah yang diwakilinya. Karena DPD
adalah perwakilan daerah provinsi, maka syarat domisili tersebut harus dimaknai
sebagai syarat domisili provinsi. Pendapat di atas juga menegaskan perbedaan
kriteria representasi antara DPR yang mewakili partai politik dan DPD yang
perseorangan, untuk menguatkan perwakilan daerah (provinsi) yang babas dari
kepentingan partai politik.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
83
Untuk menegaskan original intent tersebut berikut adalah pendapat pakar yang
menguatkan adanya Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan:
Sri Soemantri: “DPD ... yang menjadi anggota ialah rakyat dan penduduk yang
berdomisili di daerah provinsi yang diwakili. Karena itu harus dicegah dan dilarang
mereka yang sehari-hari berdomisili di Jakarta menjadi anggota DPD mewakili
provinsi tertentu ... Jangan seperti Orde Baru yang memungkinkan penduduk
Jakarta menjadi utusan dari provinsi lain ...” [Dewan Perwakilan Daerah dalam
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Juli 2003), hal. 22]
"... anggota DPD tidak diajukan oleh partai politik, melainkan mencalonkan diri,
dengan syarat mendapat dukungan sejumlah penduduk ...” [Dewan Perwakilan
Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Juli 2003), hal. 22].
"Seseorang yang dicalonkan menjadi anggota DPD harus menyatakan bahwa
dirinya bukan anggota partai politik tertentu ...” [Dewan Perwakilan Daerah dalam
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Juli 2003), hal. 24].
Sri Soemantri dan Mochamad Isnaeni Ramdhan: “Pencalonan anggota DPD
yang merupakan bukan anggota atau pengurus partai politik perlu dipertahankan,
guna mengimbangi kepentingan partai politik yang sudah diakomodasi dalam
DPR”. [Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia (Juli 2003), hal. 33].
I Dewa Gede Palguna: “Sifat perseorangan yang disyaratkan dalam pengisian
jabatan keanggotaan DPD, secara implisit, juga bermakna bahwa anggota DPD
harus terbebas dari kepentingan partai politik mana pun secara institusional. Hal ini
dikarenakan keberadaan DPD, pada sisi lain, juga dimaksudkan untuk
mengimbangi “warna” kepentingan partai dalam proses pengambilan keputusan
politik di tingkat nasional”. [Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia (Juli 2003), hal. 66].
A. Mukhtie Fadjar: “ ... anggota DPD adalah perorangan (individu-individu) yang
mewakili daerahnya (provinsi) bukan mewakili partai politik ... (yang) harus dipilih
secara langsung oleh rakyat di masing-masing provinsi ...“ [Dewan Perwakilan
Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Juli 2003), hal. 75]
Jimly Asshiddiqie: “Sekarang MPR hanya bertumpu pada dua pilar perwakilan,
yaitu perwakilan politik melalui DPR dan perwakilan daerah melalui DPD. Karena
itu, (1) hakikat perwakilan daerah pada DPD dan hakikat perwakilan rakyat pada
DPR hendaknya dibedakan satu sama lain. Yang satu mewakili kepentingan
daerah dan yang lain mewakili kepentingan rakyat; (2) hakikat perwakilan daerah
dan perwakilan rakyat yang berbeda itu ditandai pula oleh perbedaan prosedur
rekruitmennya. Calon anggota DPD dipilih sebagai perseorangan, sedangkan
calon anggota DPR dipilih sebagai warga partai politik dan karena itu dicalonkan
oleh partai politik...” [Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan
Republik Indonesia (Juli 2003), hal. 116].
Jimly Asshiddiqie: “Pemilihan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah ini
dibedakan dari pemilihan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Jika peserta
pemilihan umum untuk calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat adalah partai
politik, maka peserta pemilihan umum untuk calon anggota Dewan Perwakilan
Daerah adalah perseorangan. Perbedaan ini dapat dikaitkan dengan (i) penerapan
sistem pemilihan yang berbeda, yaitu sistem proporsional untuk calon anggota
DPR dan sistem distrik untuk calon anggota DPD. Meskipun pemilihan umum yang
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
84
diikuti oleh peserta partai poitik tidak mutlak harus dilakukan berdasarkan sistem
proporsional, tetapi pemilihan yang diikuti oleh peserta perseorangan dapat
dipastikan adalah pemilihan berdasarkan sistem distrik di mana rakyat secara
langsung memilih orang, bukan memilih tanda gambar partai politik peserta pemilu;
(ii) pencalonan dilakukan melalui mekanisme kepartaian untuk anggota DPR dan
mekanisme non-partai politik untuk anggota DPD. Hal ini dapat pula dikaitkan
dengan pengertian sistem perwakilan politik (political representation) untuk
anggota DPR dan sistem perwakilan fungsional (functional representation) untuk
anggota DPD. Dengan demikian, dalam ketentuan pelaksanaannya, misalnya
dapat diatur dengan tegas bahwa calon perseorangan itu diharuskan berasal
dari tokoh-tokoh yang bukan pengurus ataupun anggota partai politik
manapun juga”. (Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat,
hal. 44-45).
II. Maksud Asli Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan dalam UU
Nomor 12 Tahun 2003
Tentang syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan, dalam permbuatan UU
Nomor 12 Tahun 2003 salah satunya terlihat dalam penyampaian pemerintah
(Menteri Dalam Negeri) yang menyatakan:
“Calon anggota DPD selain harus memenuhi syarat sebagaimana ditetapkan
dalam Undang-Undang, juga harus memenuhi syarat berdomisili di wilayah
Provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun secara berturutturut yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon, dan calon anggota
DPD diharuskan tidak menjadi pengurus dan anggota partai politik sekurangkurangnya 5 (lima) tahun yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon".
(Penjelasan Pemerintah atas RUU tentang Pemilihan Umum pada Rapat Panitia
Khusus Tentang RUU Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta, 26 Agustus
2002, hal. 9).
Pada akhirnya syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan tersebut tidak
mendapatkan kontra argumen dari fraksi-fraksi di DPR. Semuanya relatif setuju
dan akhirnya merumuskan syarat calon anggota DPD di dalam Pasal 63, yang
mengatur:
“Calon anggota DPD selain harus memenuhi syarat calon sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60, juga harus memenuhi syarat:
a. berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun
secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon
atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak berusia 17 (tujuh
belas) tahun di provinsi yang bersangkutan;
b. tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun
yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon”.
Dari rumusan Pasal 63 tersebut, nyatalah bahwa substansi syarat domisili provinsi
dan syarat perseorangan dari usulan Pemerintah/Mendagri disetujui oleh fraksifraksi di DPR.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
85
III. Pembuatan UU Nomor 10 Tahun 2008 Sengaja Menghilangkan Syarat
Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan
Dalam pembahasan UU Nomor 10 Tahun 2008, konsep yang ada dalam Pasal 63
UU 12 Tahun 2003, secara jelas dihapuskan. Beberapa argumen yang muncul
dalam pembahasan menunjukkan berubahnya posisi para pembuat Perubahan
Ketiga UUD 1945 dan pembuat UU Nomor 12 Tahun 2003, terkait syarat
keanggotaan DPD. Perubahan itu misalnya diperlihatkan dalam risalah berikut:
• Risalah Pansus RUU Pemilu tanggal 26 September 2007:
Patrialis Akbar menyatakan, “jadi dalam penjelasannya adalah bahwa yang
dimaksudkan dengan perseorangan itu tidak membedakan apakah ...
perseorangan yang berasal dari partai politik ... Jadi penekanannya yang
paling penting adalah proses pencalonannya itu yang perseorangan,
kalaupun itu berasal dari partai politik, maka dibolehkan, asal dia secara
pribadi mencalonkan diri dan memenuhi perundang-undangan”.
• Risalah Panja RUU Pemilu tanggal 20 Februari 2008:
Patrialis Akbar menyatakan, “ ... prinsip dasar di dalam calon perorangan DPD
itu sebetulnya di dalam UUD kita tidak melarang sama sekali perseorangan
itu apakah dia pribadi muncul di tengah-tengah masyarakat apakah dia
juga adalah orang-orang partai politik, yang paling penting adalah dia
mencalonkannya itu harus pribadi tidak boleh partai politik haram untuk
mencalonkan, tapi kalau orang partai politik ya boleh ... tidak ada larangan di
dalam UUD kita sama sekali ... ya sudahlah kalau namanya perseorangan kita
buka saja ... apakah dia dipilih atau tidak itu adalah urusannya rakyat ...”.
Pendapat Patrialis Akbar tersebut adalah salah satu contoh bergesernya
pendapat yang bersangkutan jika dibandingkan dengan ketika mengemukakan
pendapat dalam perumusan perubahan UUD 1945 yang menekankan pentingnya
keanggotaan DPD yang terbebas dari kepentingan-kepentingan partai politik dan
lebih menekankan keterwakilan daerah. Pendapat mana yang tidak dibantahnya
pula ketika rumusan Pasal 63 UU Nomor 12 Tahun 2003 memasukkan syarat
domisili provinsi dan syarat perseorangan.
IV. Penghilangan Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan adalah
Bentuk Improper Purposes
Perubahan radikal interpretasi – yang berbalik 180 derajat – terkait keberadaan
syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan ke dalam UU Pemilu Nomor 12
Tahun 2003 dan UU Pemilu Nomor 10 Tahun 2008 tentu harus dicari akar
masalahnya.
Ahli
khawatir,
adanya
potensi
improper
purposes
dalam
penghapusan Pasal
63 peran...,
UU Nomor
TahunFH
2003
terkait syarat domisili provinsi
Implikasi
Agung12
Sudrajat,
UI, 2012
86
dan syarat perseorangan. Kekhawatiran mana dikuatkan dengan beberapa
indikasi berikut:
•
perubahan radikal patut diduga terkait dengan kepentingan agenda politis
personal beberapa orang anggota DPR yang tidak dapat lagi maju sebagai
calon anggota legislatif di Pemilu 2009 karena kebijakan internal partainya.
Partai Amanat Nasional, misalnya, membatasi kadernya hanya dapat menjadi
anggota DPR maksimal selama 2 periode. Dalam kondisi demikian, karena
peluang untuk maju ke DPR tertutup, maka pintu DPD perlu dibuka bagi kader
partai politik;
•
selain penghapusan Pasal 63 UU Nomor 12 Tahun 2003, ketentuan dalam
Pasal Pasal 146 UU Nomor 12 Tahun 2003 yang memberi masa transisi hanya
3 (tiga) bulan sejak UU Nomor 12 Tahun 2003 bagi pengurus partai politik
yang akan mencalonkan menjadi anggota DPD, menjadi tidak konsisten,
karena saat ini siapapun dari partai politik dapat mencalonkan diri tanpa
adanya batasan waktu, baik yang diatur dalam Pasal 63 maupun Pasal 146
UU Nomor 12 Tahun 2003.
Potensi
adanya
improper
purposes
demikian
sebaiknya
dicermati
dan
dipertimbangkan secara hati-hati oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Jika
ternyata terbukti dalam pembuktian di persidangan, maka amat cukup alasan
untuk menyatakan ketiadaan/penghapusan secara sengaja syarat domisili provinsi
dan syarat perseorangan bagi keanggotaan DPD tersebut tidak sesuai dengan
UUD 1945.
V. Ketiadaan Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan bagi
Keanggotaan DPD Harus Dinyatakan Tidak Sesuai (unconformity)
dengan UUD 1945
Sehubungan dengan argumen bahwa syarat domisili provinsi dan syarat
perseorangan yang terkandung dalam Pasal 22C ayat (2) dan Pasal 22E ayat (4)
UUD 1945 sengaja dihilangkan penormaannya dalam UU Nomor 10 Tahun 2008,
setelah sebelumnya masih terdapat dalam UU Nomor 12 Tahun 2003, maka
ketiadaan kedua syarat tersebut harus diputuskan menyebabkan UU Nomor 10
Tahun 2008 menjadi tidak sesuai (unconformity) dengan UUD 1945.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
87
Pilihan menyatakan tidak sesuai (unconformity) dan bukan menyatakan
bertentangan (in contradiction) dengan konstitusi karena ketiadaan rumusan
norma dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 yang menegaskan tidak perlunya syarat
domisili provinsi dan syarat perseorangan tersebut. Dengan demikian, UU Nomor
10 Tahun 2008 hanya akan sesuai dengan UUD 1945 jika dipahami tetap
mengandung syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan.
VI. Putusan Mahkamah Konstitusi Berwenang untuk Menyatakan Ketiadaan
Norma dalam suatu Undang-Udang Tidak Sesuai (Unconformity) dengan
UUD 1945
Meskipun norma yang menyatakan syarat domisili provinsi dan syarat
perseorangan bagi keanggotaan DPD tidak dituliskan secara eksplisit dalam UU
Nomor 10 Tahun 2008, namun ketiadaan norma demikian harus dianggap
sebagai norma itu sendiri. Terlebih nyata-nyata bahwa dalam UU Nomor 12
Tahun 2003, Pasal 63 mengatur tentang syarat domisili provinsi dan syarat
perseorangan, yang secara sengaja dihapuskan dalam perumusan UU Nomor 10
Tahun 2008. Penghapusan Pasal 63 UU Nomor 12 Tahun 2003 tersebut harus
dipahami sebagai penormaan dalam proses legislasi Undang-Undang Pemilu
yang memberi makna kesesuaiannya atas Pasal 22C ayat (2) dan Pasal 22E ayat
(4) UUD 1945. Oleh karenanya, Mahkamah Konstitusi yang terhormat jelas-jelas
mempunyai kewenangan untuk menentukan pemaknaan yang tepat atas
konstitusionalitas syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan, yang secara
berbeda dirumuskan dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 maupun UU Nomor 10
Tahun 2008.
Penghilangan norma yang ada dalam Pasal 63 UU 12 Tahun 2003 sebaiknya
dianggap sebagai “modus baru” dalam proses legislasi yang berpotensi besar
melanggar konstitusi, karena secara cerdas memanfaatkan doktrin Mahkamah
Konstitusi sebagai negative legislator dan bukan positive legislator. Namun
demikian, modus baru dari proses legislasi demikian harus tetap tidak
menghalangi peran penting Mahkamah Konstitusi untuk menjaga UUD 1945 dari
kemungkinan disalahgunakan dalam proses legislasi pembuatan UU, apalagi
yang sangat terkait dengan kepentingan politik, sebagai UU Pemilu legislatif
sejenis UU Nomor 10 Tahun 2008, yang telah menggantikan UU Nomor 12 Tahun
2003.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
88
Agar tidak pula melanggar konsep sebagai negative legislator di satu sisi, namun
tetap pula menjaga perannya sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi
amat bijak jika menyatakan UU Nomor 10 Tahun 2008 harus dinyatakan tidak
sesuai
dengan
UUD
1945,
dan
hanya
secara
bersyarat
(conditionally
constitutional) menjadi sesuai dengan UUD 1945 jika dimaknai mengandung
syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan.
Jika UU Nomor 10 Tahun 2008 dinyatakan sesuai dengan UUD 1945 hanya jika
mengandung makna syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan, maka ada
beberapa altematif yang dapat diusulkan untuk menjelaskan persyaratan anggota
DPD. Pertama, adalah melakukan perubahan terbatas atas UU Nomor 10 Tahun
2008. Perubahan demikian tentu harus segera dilakukan sebelum habisnya masa
pendaftaran calon anggota DPD. Kedua, untuk mengantisipasi proses perubahan
undang-undang yang mungkin memakan waktu, Presiden dapat mengambil
insiatif untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu) terbatas yang mencantumkan syarat domisili provinsi dan syarat
perseorangan. Ketiga, Komisi Pemilihan Umum (KPU) berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi membuat Peraturan KPU yang mengatur syarat domisili
provinsi dan syarat perseorangan bagi pendaftaran calon anggota DPD.
Jalan keluar lain dikemukakan oleh Moh. Fajrul Fallaakh yang berpendapat:
Pasal 22C ayat (2) dan Pasal 22E ayat (4) mengandung Syarat Domisili
Provinsi dan Syarat Perseorangan. Kedua syarat itu diturunkan dalam Pasal
63 UU Nomor 12 Tahun 2003. Penghapusan Pasal 63 menyebabkan UU
Nomor 12 Tahun 2003 tidak sesuai (Unconformity) dengan UUD 1945. Untuk
kembali menjadi sesuai dengan UUD 1945 maka Pasal 63 UU Nomor 12
Tahun 2003 harus “dihidupkan” kembali. CARANYA: Pasal 319 UU Nomor 10
Tahun 2008 yang mencabut UU Nomor 12 Tahun 2003 dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang yang mencabut ketentuan
Pasal 63.
Keterangan Ahli Dr. Indra Jaya Piliang.
DPD RI sebagai Perwakilan Wilayah
Æ‘ Wilayah adalah sebutan untuk teritorial pemerintahan.
Æ‘ Wilayah juga bisa diartikan sebagai teritorial politik. Sebagai teritorial politik,
maka di setiap wilayah memiliki komunitas-komunitas sosial-politik yang
berbeda.
Sehingga,
membedakan
antara
wilayah
wilayah
berdasarkan kondisi pula.
juga
yang
menunjukkan
satu
identitas
berbeda
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
dengan
politik
yang
yang
lain,
89
Æ‘ Kasus pemekaran wilayah menunjukkan bahwa masing-masing komunitas
politik ini berkehendak untuk berbeda dengan komunitas politik lain.
Æ‘ Perbedaan wilayah politik inilah inti dari keindonesiaan yang dikenal sebagai
bhineka tunggal ika. Partai politik jelas tidak memenuhi syarat bhineka tunggal
ika ini.
Æ‘ Untuk perbedaan persoalan menyangkut wilayah politik ini, Indonesia pernah
mengalami peristiwa buruk berupa pemberontakan-pemberontahan daerah.
Dokumen-dokumen PRRI misalnya, dengan jelas mencantumkan kehendak
untuk mendirikan senat di tingkat pusat.
Æ‘ Wilayah terdiri dari provinsi, kabupaten dan kota.
Æ‘ Wilayah politik DPD adalah provinsi, tetapi bisa saja di kemudian hari berubah
menjadi kabupaten dan kota (Pasal 22C menyebut “dipilih dari setiap” provinsi).
Æ‘ Kalau keterwakilan wilayah ini dihilangkan oleh keterwakilan penduduk, maka
jumlah anggota DPD RI per provinsi bisa berubah, tidak lagi bersifat tetap.
Æ‘ Pentingnya wilayah ini menunjukkan bahwa DPD RI tidak dengan sendirinya
mewakili perubahan-perubahan yang bersifat fluktuatif, misalnya besar-kecilnya
perolehan kursi Parpol.
Prinsip Kontra Hegemoni
Æ‘ UUD
diubah
dengan
konsep
kontra-hegemoni,
yakni
ketakutan
atas
absolutisme kekuasaan yang sebelumnya berada di bawah kendali presiden
dan MPR RI.
Æ‘ UUD lalu menggeser sejumlah kekuasaan kepada legislatif, tetapi sebaliknya
legislatif juga diberikan ruang untuk tidak absolut, sehingga khusus
menyangkut persoalan-persoalan daerah, maka diberikan hak kepada DPD.
Æ‘ Perbedaan kekuasaan antara DPR dan DPD ini menunjukkan bukan hanya dari
sisi fungsi, melainkan justru yang terpenting dari sisi substansi.
Æ‘ Apabila DPD RI diisi oleh anggota partai politik, sekalipun mengundurkan diri,
maka besar kemungkinannya absolutisme politik akan terjadi, yakni dengan
sifat sentralisasi politik di kalangan partai politik.
Æ‘ Partai politik tidak memberikan ruang otonomi kepada anggota-anggotanya,
sehingga apabila ada kebijakan nasional Parpol yang bertentangan dengan
kepentingan daerah, maka Parpol lebih mendukung kebijakan nasional itu.
Sehingga, kepentingan daerah bisa diabaikan.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
90
Syarat Domisili
Æ‘ Domisili adalah hakikat terpenting dari sistem politik. Domisili bisa diartikan juga
sebagai asas kelahiran (ius solli). Dalam UU tentang Kewarganegaraan, sangat
diatur secara hati-hati tentang mana yang menjadi warga negara, mana yang
belum.
Æ‘ Tidak bisa semua orang bisa mewakili daerah lain, sebagaimana sistem politik
Orde Baru, karena akan menegasikan asas kelahiran. Kalau anggota DPR
hanya berdasarkan representasi penduduk, maka domisili sekaligus legalitas
untuk representasi wilayah.
Æ‘ Dalam perkembangan terbaru, semakin banyak daerah yang meminta status
otonomi
khusus.
Otonomi
khusus
itu
bermuara
kepada
ikatan-ikatan
primordialistik seperti ras (Melanesia di Papua), agama (Islam di Aceh),
kerajaan (keistimewaan Yogyakarta). Dalam perjalanannya, masyarakat
Kalimantan juga meminta status otonomi khusus, begitu pula dengan Bali.
Æ‘ Dari sini, domisili berkaitan dengan titik asal politik. Politik etnis, misalnya,
menyangkut domisili berdasarkan etnis. Adalah melanggar prinsip-prinsip
keterwakilan wilayah dan politik, apabila hak keterwakilan itu diberikan kepada
penduduk atau etnis dari provinsi lain.
Æ‘ Sebaliknya, dengan prinsip kontra-hegemoni, tidak ada masalah untuk duduk di
legislatif (DPR/DPRD) tanpa harus memiliki status domisili mengingat
kepentingan penduduk juga berarti penduduk seluruh Indonesia.
Æ‘ Kalau dilihat secara objektif, sebagian besar anggota DPD RI masuk kategori
orang daerah, bahkan masuk juga kedalam bentuk perwakilan dari unsur-unsur
pemerintahan tradisional yang ada, seperti kerajaan, pesantren, masyarakat
adat, kelompok keagamaan, dan lain-lainnya.
Æ‘ Dengan
menghilangkan
syarat
domisili
maka
dengan
sendirinya
menghilangkan prinsip keterwakilan berdasarkan kategori wilayah atau daerah
ini.
Æ‘ Keberadaan partai politik lokal di Aceh menunjukkan bahwa partai politik juga
mengenal “domisili”, sebaliknya partai politik nasional “berdomisili” di ibukota
negara. Dengan begitu, apabila tidak ada syarat domisili, maka identitas politik
menjadi hilang.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
91
Keterangan Ahli Hestu Cipto Handoyo, SH., M.Hum
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD
dan DPRD (UU Pemilu) ternyata masih menyisakan persoalan substansiil. Ini
terbukti karena begitu muncul undang-undang tersebut langsung dimintakan
judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Persoalan substansiil yang disengketakan
tersebut menyangkut belum tegasnya norma domisili dan non Parpol dicantumkan
dalam Pasal 12 dan Pasal 67 sebagai persyaratan dan tata cara pendaftaran
bakal calon anggota DPD.
Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa anggota DPD dipilih dari
setiap provinsi melalui pemilihan umum. Ketentuan normatif seperti ini jelas masih
menimbulkan dua penafsiran. Pertama, setiap provinsi seperti yang dimaksud
pasal ini dapat ditafsirkan sebagai sebuah struktur organisasi pemerintah daerah,
dan kedua, setiap propinsi dapat juga ditafsirkan sebagai daerah pemilihan
sebagaimana diatur dalam UU Pemilu. Munculnya dua penafsiran ini disebabkan,
karena UUD 1945 hasil amandemen sudah tidak menyertakan lagi Penjelasan
sebagaimana UUD 1945 sebelum amandemen.
Pada hakikatnya, sifat UUD 1945 setelah amandemen adalah konstitusi
tertulis. Artinya norma-norma hukum yang menjadi substansi konstitusi telah
secara tersurat (tidak tersirat) dicantumkan dalam ketentuan pasal-pasal
konstitusi. Hal ini berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen yang
mengakui adanya convention of constitutions (kebiasaan ketatanegaraan)
sebagaimana tertuang di dalam Penjelasan Umum. Dalam kondisi yang seperti
inilah keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi sangat penting dalam
kerangka penafsiran konstitusi tertulis.
Norma yang tercantum dalam Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 tersebut pada
hakikatnya tidaklah berdiri sendiri. Norma ini terkait dengan norma yang tercantum
dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu
dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu
mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-Undang. Dengan
demikian, jelas kiranya bahwa yang dimaksud dengan “anggota DPD dipilih dari
setiap provinsi melalui pemilihan umum” seharusnya ditafsirkan oleh MK yakni
provinsi sebagai struktur pemerintahan daerah sebagaimana ditegaskan dalam
ketentuan normatif Pasal 18 ayat (1) UUD 1945.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
92
Oleh sebab itu norma domisili yang belum dicantumkan dalam persyaratan
Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu jelas melanggar norma konstitusi dan MK harus
berani memberikan putusan judicial review yakni persyaratan calon anggota DPD
diubah karena melanggar norma konstitusi.
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar”. Ketentuan normatif ini dalam pelaksanaannya
jelas menyisakan sebuah pertanyaan, yakni dalam bentuk apakah kedaulatan
rakyat tersebut akan diimplementasikan.
Sejak
Pemilu
tahun
2004
implementasi
kedaulatan
rakyat
telah
diterjemahkan dalam 3 (tiga) model Pemilu, yakni:
1. Implementasi kedaulatan rakyat di bidang politik dilakukan melalui Pemilu
anggota DPR yang berasal dari Partai Politik.
2. Implementasi kedaulatan rakyat di bidang kepentingan yang berdimensi
kedaerahan dilakukan melalui Pemilu anggota DPD yang berasal dari
perseorangan dan mewakili masing-masing daerah (provinsi).
3. Implementasi kedaulatan rakyat di bidang pemerintahan dilakukan melalui
Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang dicalonkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik.
Jika diperhatikan lebih seksama, maka nampak jelas bahwa 2 (dua) model
Pemilu, yakni Pemilu anggota DPR dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
telah mengakomodasi kepentingan politik rakyat yang diartikulasikan oleh Partai
Politik dengan mengajukan calon-calonnya. Sementara 1 (satu) model Pemilu,
yakni Pemilu anggota DPD mengakomodasi kepentingan yang berdimensi
kedaerahan dalam konteks kebijakan nasional. Oleh sebab itulah, dalam Pemilu
anggota DPD norma domisili (bukan norma partai politik) menjadi penting untuk
dimasukkan sebagai salah satu ketentuan persyaratan pencalonan anggota DPD
dalam UU Pemilu.
Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa Peserta Pemilu untuk
memilih anggota DPD adalah perseorangan. Kata “perseorangan” sebagaimana
dimaksud pada ketentuan ini secara terminologis harus dimaknai sebagai individu
yang mandiri dan tidak terikat oleh kepentingan golongan maupun afiliasi politik
tertentu. Hal ini berarti secara konstitusional, persyaratan Pemilu anggota DPD
seharusnya juga memuat norma perseorangan yang non partai politik.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
93
Salah satu persyaratan bagi peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD
yang sifatnya perseorangan adalah bersedia untuk tidak berpraktik sebagai
akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT),
dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan
dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik
kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai
peraturan perundang-undangan.
Kalimat kunci dalam persyaratan tersebut adalah “serta pekerjaan lain
yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan
hak
sebagai
anggota
DPD
sesuai
peraturan
perundang-undangan”.
Persoalannya yang terkandung dalam kalimat kunci tersebut adalah apa yang
dimaksud dengan konflik kepentingan itu? Penjelasan ketentuan ini menyatakan
“Cukup Jelas”.
Pasal 1 angka 1 UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyatakan
bahwa Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh
sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan
kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan politik anggota,
masyarakat, bangsa, dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Mencermati pengertian tersebut menunjukkan bahwa organisasi Parpol
dibentuk memperjuangkan dan membela terlebih dahulu kepentingan politik
anggota, disusul memperjuangkan kepentingan politik masyarakat, baru kemudian
memperjuangkan kepentingan politik bangsa dan negara. rumusan seperti ini
memberikan penguatan secara yuridis bahwa partai politik memang hanya
mementingkan kelompok dan anggota-anggotanya.
Ditinjau dari aspek legal drafting, tidak dicantumkannya norma domisili dan
non partai politik dalam persyaratan peserta Pemilu serta tata cara pendaftaran
bakal calon anggota DPD merupakan tindakan yang melanggar konstitusi dan
asas-asas peraturan perundang-undangan yang baik. Dikatakan melanggar
konstitusi karena tidak sinkron dengan Pasal 22C UUD 1945 yang menegaskan
bahwa anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum, Pasal 18
ayat (1) dan Pasal 22E UUD 1945 yang menyatakan bahwa peserta Pemilu untuk
memilih anggota DPD adalah perseorangan.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
94
Sedangkan dikatakan melanggar asas-asas perundang-undangan yang
baik, karena dengan tidak dicantumkannya secara tegas persyaratan tersebut
menunjukkan bahwa asas kenusantaraan, bhineka tunggal ika, keadilan dan
kepastian hukum belum terpenuhi.
Keterangan Ahli M. Fadjrul Falaakh, SH., M.Sc.
I. Keterwakilan Daerah dan Perekrutannya
Keterwakilan daerah, dengan jumlah wakil majemuk, bukanlah konsep baru
dalam sejarah UUD 1945. Pasal 2 ayat (1) praamandemen menentukan: “MPR
terdiri atas anggota DPR, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan
golongan-golongan, ...”, yang kemudian dijelaskan: “Maksudnya ialah supaya
seluruh rakyat, seluruh golongan, seluruh daerah akan mempunyai wakil dalam
Majelis sehingga Majelis itu akan betul-betul dapat dianggap sebagai penjelmaan
rakyat”. Bangsa Indonesia pernah mengalami sistem perekrutan wakil daerah,
ketika Gubernur provinsi otomatis menjadi utusan daerah.
Saat ini, setelah amandemen UUD 1945 melembagakan utusan daerah ke
dalam DPD dan memasukkan ketentuan tentang pemilihan umum (Pemilu),
sebetulnya UUD 1945 tidak mengatur sistem Pemilu bagi DPR dan DPD [Pasal 2
ayat (1), 19 ayat (1), 22C ayat (1) UUD 1945] maupun syarat kualitatif calon
anggota DPR maupun DPD. Meskipun demikian, terdapat beberapa ketentuan
konstitusional terkait sistem Pemilu DPD, terutama tentang asal dan jumlah
anggota DPD, peserta Pemilu DPD, dan sifat Pemilu.
x
MPR terdiri atas anggota-anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilihan
umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang [Pasal 2 ayat (1) UUD
1945].
x
Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui Pemilu [Pasal 22C ayat (1)
UUD 1945]. Terdapat beberapa norma di sini: anggota DPD dipilih, pemilihan
umum, asal calon anggota DPD yaitu provinsi. Asal calon anggota DPD
bukanlah dikhususkan dari desa, kabupaten atau kota, ibukota provinsi (apa
lagi Iuar negeri).
x
Anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya sama dan seluruh anggota DPD
itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR [Pasal 22C ayat (2) UUD
1945]. Ketentuan ini mengenai: daerah yang diwakili anggota DPD yaitu
provinsi, kesetaraan keterwakilan provinsi (equality of regional representation)
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
95
dengan mengabaikan jumlah penduduk dan luas provinsi, serta keseluruhan
jumlah anggota DPD tidak lebih dari sepertiga anggota DPR.
x
Pasal 22C ayat (1) dan ayat (2) menunjukkan, provinsi berhak atas
keterwakilan di DPD dan anggota DPD berangkat dari dan/atau berasal dari
provinsi. Berarti, rakyat di provinsi tersebut memilih kepala daerah, anggota
DPRD dari partai politik, wakil di DPD dan anggota DPR dari partai politik.
x
Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan [Pasal 22E
ayat (4) UUD 1945], sedangkan peserta pemilu untuk memilih anggota DPR
dan anggota DPRD adalah partai politik [Pasal 22E ayat (3) UUD 1945].
Ketentuan ini membedakan subjek hukum (Iangsung) peserta Pemilu yaitu
orang untuk Pemilu DPD dan badan/lembaga. Perbedaan subjek ini
berimplikasi pada desain sistem Pemilu.
x
Pemilu DPD harus pula bersifat langsung, umum, babas, rahasia, jujur dan adil
[Pasal 22E ayat (1) UUD 1945].
Sejumlah ketentuan konstitusional penting tentang pemilihan anggota DPD
serta DPR dan DPRD di atas belum cukup menggambarkan sistem Pemilu yang
digunakan. Desain kelembagaan (institutional design) untuk pemilu-pemilu
lembaga perwakilan (parliamentary elections) ditentukan di luar konstitusi, yang
harus tetap sesuai (congruent) dengan ketentuan-ketentuan konstitusi.
Ketentuan dasar dalam konstitusi tersebut memerlukan pengaturan lebih
lanjut [Pasal 22E ayat (6) UUD 1945]. Banyak hal yang dapat diatur lebih lanjut,
misalnya:
x
Anggota DPD dipilih melalui pemilu (bukan ditunjuk): dipilih langsung oleh
rakyat atau tak langsung (oleh kelompok pemilih, oleh DPRD provinsi, atau
oleh DPRD kabupaten/kota);
x
Anggota DPD dari setiap provinsi: apa dan bagaimana relasi calon dengan
provinsi yang diwakilinya, misalnya lahir dan pernah mengabdi/bekerja di
provinsi yang diwakili atau cukup bertempat tinggal selama masa tertentu;
x
Anggota DPD dari setiap provinsi berjumlah sama: satu, dua atau berapa pun
dari tiap provinsi, tetapi jumlah anggota DPD tidak lebih dari 1/3 (satu pertiga)
jumlah anggota DPR.
x
Daerah pemilihan (electoral boundary/district): batas administratif pemilihan
untuk suatu pencalonan, yang dapat seluas provinsi (provinsi sebagai satu
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
96
daerah pemilihan) atau hanya bagian-bagian provinsi (suatu provinsi dibagi ke
dalam beberapa daerah pemilihan), dapat pula seluas kabupaten/kota atau
bagian-bagiannya. Pilihan mengenai daerah pemilihan yang dipadukan dengan
cara memilih akan menghasilkan sistem Pemilu yang berbeda.
x
Perseorangan sebagai peserta Pemilu anggota DPD: seberapa berbedakah
“perseorangan Pemilu DPD” (perseorangan, tidak berkelompok dalam Parpol)
dari “partai politik peserta Pemilu DPR” atau dari “perseorangan dalam daftar
Parpol peserta Pemilu DPR” (perseorangan yang berkelompok dalam Parpol,
memiliki kartu anggota, bahkan pengurus).
x
Konsekuensi sistem Pemilu: penggantian antarwaktu anggota DPD dapat
dilakukan melalui Pemilu di provinsi yang mengalami kekosongan wakil (bukan
hanya diganti oleh peringkat berikut dalam daftar Pemilu DPD untuk provinsi
yang bersangkutan); sedangkan PAW anggota DPR dan anggota DPRD dapat
diambilkan dari daftar caleg dari partai yang mengalami kekosongan (dalam hal
Pemilu menggunakan List PR System) atau melalui pemilu sela (dalam hal
Pemilu menggunakan “sistem distrik” atau Plurality-majority principle).
II. UU Pemilu 2008
UUD 1945 menentukan bahwa peserta Pemilu DPD adalah perseorangan
dari provinsi. Pola hubungan (negatif maupun positif) antara calon anggota DPD
dengan “parpol peserta Pemilu DPR” maupun dengan provinsi masih memerlukan
pengaturan.
Saat ini “system” Pemilu DPR dan DPD ditentukan dan dirumuskan secara
padat di Pasal 5 UU Nomor 10 Tahun 2008 sebagai berikut:
(1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/
kota dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka.
(2) Pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik
berwakil banyak.
“Sistem” pemilihan yang berlaku pada perekrutan anggota DPD berbeda
dari perekrutan anggota DPR dan DPRD. UU Pemilu 2008 menentukan, misalnya,
perseorangan bakal calon anggota DPR dan DPRD harus “menjadi anggota Parpol
peserta Pemilu” [Pasal 50 ayat (1) huruf n] yang dibuktikan dengan ‘kartu tanda
anggota’ Parpol peserta Pemilu” [Pasal 50 ayat (2) huruf i], karena peserta Pemilu
DPR dan DPRD adalah partai politik. Perseorangan bakal calon anggota DPR
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
97
pun akan diseleksi oleh Parpol menurut mekanisme demokrasi internal Parpol
(Pasal 52).
Selengkapnya syarat bakan calon anggota DPR dan DPD ditentukan dalam
Pasal 50 ayat (1) sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau
lebih;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; Penjelasan:
Yang dimaksud dengan "bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia" dalam ketentuan ini termasuk WNI yang karena alasan
tertentu pada saat pendaftnran calon, bertempat tinggal di luar negeri, dan
dengan melengkapi persyaratan surat keterangan dari Perwakilan Negara RI
setempat.
d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;
e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah
Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan
(MAK), atau bentuk lain yang sederajat;
f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tabun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;
g. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
h. sehat jasmani dan rohani;
i. terdaftar sebagai pemilih;
j.
bersedia bekerja penuh waktu;
k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional
Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada
badan usaha mink negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain
yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan
surat pengunduran diri dan yang tidak dapat ditarik kembali;
l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara,
notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan
penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta
pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas,
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
98
wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundangundangan;
m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-negara Iainnya,
pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah, serta
badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
n. menjadi anggota parpol peserta Pemilu;
o. dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan;
p. dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan; dan
Syarat peserta Pemilu anggota DPD diatur sama pada Pasal 12 (Bab III
Bagian Ketiga), dengan perbedaan bahwa perseorangan peserta Pemilu DPD
mendapat
dukungan
minimal
dari
pemilih
dari
daerah
pemilihan
yang
bersangkutan (huruf p).
Tata cara pendaftaran bakal calon anggota DPD dalam UU Pemilu 2008
diatur pada Pasal 67 (Bab VIII Bagian Ketujuh), yang serupa dengan Pasal 68 ayat
(2) UU Pemilu 2003, sebagai berikut:
(1) Perseorangan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 dan Pasal 13 dapat mendaftarkan diri sebagai bakal calon anggota
DPD kepada KPU melalui KPU provinsi.
(2) Kelengkapan administrasi bakan calon anggota sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibuktikan dengan: dst. sama dengan DPR, DPRD.
x
Syarat domisili calon anggota DPD sengaja tidak dikaitkan dengan provinsi
[misalnya seperti Pasaf 63 ayat (1) UU Pemilu 2003] melainkan dirumuskan
secara umum pada Pasal 12 huruf c tersebut di atas.
Dalam penjelasan Pasal 12 huruf c justru diperluas sebagai berikut: Yang
dimaksud dengan “bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia” dalam ketentuan ini termasuk WNI yang karena alasan tertentu
pada saat pendaftaran calon, bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan
melengkapi persyaratan surat keterangan dari Perwakilan Negara RI setempat.
Padahal Pasal 22C ayat (1) menyatakan, “Anggota DPD dipilih dari setiap
provinsi ...” dan ayat (2) menyatakan, “Anggota DPD dari setiap provinsi
jumlahnya sama ...”
Syarat domisili calon anggota DPR dan DPD pun dirumuskan sama pada Pasal
50 huruf c dan dalam penjelasannya justru diperluas sebagai berikut: Yang
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
99
dimaksud dengan “bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia” dalam ketentuan ini termasuk WNI yang karena alasan tertentu
pada saat pendaftaran calon, bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan
melengkapi persyaratan surat keterangan dari Perwakilan Negara RI setempat.
x
Konstruksi mengenai domisili calon anggota DPD ini semakin mengaburkan
dan mencederai sistem Pemilu anggota DPD maupun watak representasi
politik yang diemban DPD. Penjelasannya membolehkan domisili di luar
Indonesia (dan berimplikasi hanya memberi keistimewaan kepada mereka yang
berdomisili di gedung perwakilan RI). Untuk apa daerah-daerah di luar negeri
“milik” negara yang bersangkutan, tetapi didiami hanya oleh ratusan atau
ribuan WNI itu, diwakili di DPD? Bagaimana mengukur dukungan yang harus
diperoleh dari WNI penduduk di negara setempat serta akan “dimasukkan”
pada provinsi mana dan di berapa provinsi?
x
Syarat “bukan Parpol” tidak dicantumkan dalam redaksi UU Pemilu 2008
sehingga membuka peluang pengurus parpol mengikuti Pemilu DPD,
sedangkan perseorangan non Parpol tidak dapat menjadi anggota DPR karena
terhalang Pasal 50 di muka. Ketiadaan syarat “bukan parpol” ini mengakibatkan
unfairness untuk perseorangan nonpartai yang hendak mencalonkan diri
sebagai anggota DPD, maupun anggota DPD yang telah diharuskan untuk non
partisan sejak akhir tahun 2004 dan ingin mencalonkan kembali dalam Pemilu
DPD 2009. Perseorangan non partai akan sulit, mungkin sama sekali tertutup
peluangnya, untuk diikutkan dalam party-list bagi pencalonan anggota DPR dan
DPRD dengan persyaratan menurut Pasal 50 UU Pemilu tersebut di muka.
Parpol pendukung calon pun akan menerima risiko politik internal karena
pengurus dan/atau kadernya ingin menjadi anggota DPD.
Kesimpulan terhadap konstruksi Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu 2008.
Pertama, tindakan lembaga pengambil keputusan UU Pemilu 2008 tidak mengatur
“syarat domisili” di provinsi dan syarat “nonparpol” bagi calon anggota DPD telah
menghasilkan konstruksi yang tidak sesuai (incongruent) dengan sistem Pemilu
anggota DPD, viz-a-viz sistem pemilu anggota DPR dan DPRD, yang dikehendaki
dalam UUD 1945 dan telah dibahas di depan. Penghapusan bukan sekedar
karena kedua hal itu tidak dicantumkan (tidak dituliskan) dalam UU Pemilu 2008,
melainkan juga karena Pasal 319 UU Pemilu 2008 mencabut UU Pemilu 2003
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
100
yang notabene mengatur kedua hal dimaksud (Pasal 63 UU Nomor 12 Tahun 2003
tentang Pemilu).
Kedua, konstruksi Pasal 12 huruf c dan penjelasannya lebih mengacaukan
pengertian domisili bagi calon anggota DPD, karena menjauhkan calon dari daerah
yang diwakili dan memperluas keterwakilan daerah (dhi. provinsi) hingga ke luar
negeri. Pengertian domisili bakal calon anggota DPR dan DPRD, pada Pasal 50
ayat (1) huruf c, juga patut dipertanyakan ketepatannya; meskipun tepat untuk
pemegang hak pilih.
Ketiga, konstruksi Pasal 12 dan Pasal 67 menimbulkan kerugian
konstitusional bagi rakyat di daerah untuk memiliki dua macam sistem keterwakilan
di tingkat nasional, dari sumber keanggotaan yang berbeda, dan direkrut melalui
cara yang berbeda yaitu “sistem Pemilu anggota DPD” dan “sistem Pemilu
anggota DPR”.
Keempat, konstruksi kedua pasal juga berpotensi menimbulkan kerugian
konstitusional bagi perseorangan non partai yang hanya berpeluang langsung
untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD dari suatu provinsi, dan tidak
berpeluang langsung untuk dicalonkan sebagai anggota DPR melalui Parpol tanpa
memiliki KTA parpol –yang disyaratkan oleh Pasal 50 ayat (2) huruf j UU Pemilu
2008.
Kelima, konstruksi Pasal 12 juncto Pasal 67 UU Pemilu 2008 belum sesuai
(incongruent) dengan “sistem Pemilu anggota DPD” yang beberapa ketentuan
pokoknya sudah dimuat dalam UUD 1945, viz-a-viz sistem Pemilu anggota DPR
dan DPRD.
Keenam, karena itu diperlukan aturan seperti Pasal 63 UU Pemilu 2003
bahwa calon anggota DPD:
(1) Berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun
secara berturut-turut yang dihitung sampai tanggal pengajuan calon atau
pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak berusia 17 (tujuh belas)
tahun di provinsi yang bersangkutan.
(2) Tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun
yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon.
Syarat bagi calon anggota DPD tersebut Pasal 63 UU Pemilu 2003
bersesuaian (congruent) pula dengan keharusan anggota DPD, sebagai berikut:
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
101
x
Anggota DPD berdomisili di daerah pemilihannya dan selama bersidang
bertempat tinggal di ibukota negara RI [Pasal 33 ayat (4) UU Susduk MPR,
DPR, DPD, DPRD 2003]. Penjelasannya mengatakan: Yang dimaksud dengan
bertempat tinggal di ibukota negara adalah bertempat tinggal di DKI Jakarta
dan sekitarnya, yaitu Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten/Kota Tangerang,
Kabupaten/Kota Bekasi, dan Kota Depok.
x
Pekerjaan sebagai pengurus Parpol (apa lagi partai yang memiliki kursi di DPR
dan/atau DPRD) tentu saja berbenturan dengan kepentingan anggota DPD
yang bersumpah “... memperjuangkan aspirasi daerah untuk mewujudkan
tujuan nasional ... dst.” (Pasal 36 UU Susduk MPR, DPR, DPD, DPRD),
sedangkan
pengurus
Parpol
akan
mengutamakan
Parpol
sebagai
“ ... organisasi ... untuk membela kepentingan politik anggota ... dst.” (Pasal 1
angka 1 UU Nomor 31 Tahun 2003 tentang Partai Politik).
Ketentuan-ketentuan di atas menunjukkan bahwa syarat “dari provinsi”
(berapa
lama
pun),
dan
syarat
“perseorangan
bukan
parpol”
maupun
“perseorangan yang berbeda dari orang Parpol” (dari segi kualitas maupun waktu)
menjadi unsur penting dalam sisam pemilihan anggota DPD, seperti dikehendaki
oleh Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945.
Ketujuh, oleh karena itu pencabutan ketentuan Pasal 63 UU Pemilu 2003
melalui Pasal 319 UU Pemilu 2008 tidak tepat, karena telah mengakibatkan
konstruksi hukum (legal construct) pada Pasal 12 juncto 67 UU Pemilu 2008 tidak
congruent (incongruent) dengan ketentuan Pasal 22C ayat (1) dan ayat (2), Pasal
22E ayat (4) dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Keterangan Ahli Drs. Thomas Aquino Legowo, MA
Disahkannya UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPD, don DPRD merupakan suatu kemajuan. Selain memperbaiki kelemahan
yang ada pada UU terdahulu, yaitu UU Nomor 12 Tahun 2003, UU Nomor 10
Tahun 2008 juga merumuskan beberapa ketentuan baru yang belum pernah
diberlakukan pada pemilu-pemilu sebelumnya, dan menghilangkan beberapa
ketentuan lama yang ada dalam UU Nomor 12 Tahun 2003.
Tentu keputusan untuk menambah ketentuan baru dan/atau menghilangkan
ketentuan
lama
merupakan
upaya
biasa
untuk
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
memperbarui
dan
102
menyempurnakan suatu peraturan perundang-undangan. Meski begitu, tidak
tertutup kemungkinan bahwa penambahan dan atau penghilangan beberapa
ketentuan dapat menyimpang ataupun mengubah secara maknawi semangat,
prinsip, dan pemikiran dasar yang ada dan berkembang pada saat perumusan
ketentuan-ketentuan mendasar dalam Konstitusi (dalam hal ini UUD 1945) yang
menjadi landasan bagi perumusan peraturan peraturan perundang-perundangan.
Salah satu dari persoalan semacam itu yang tercermin dari UU Nomor 10 Tahun
2008 terkait dengan tidak lagi disertakannya persyaratan tentang domisili dan
persyaratan tentang tidak menjadi pengurus partai politik. Kedua persyaratan ini
tertuang dalam UU Nomor 12 Tahun 2003, yang selengkapnya terurai pada Pasal
63, seperti berikut:
Calon anggota DPD selain harus memenuhi syarat calon sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60, juga harus memenuhi syarat:
Berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun
secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan colon atau
pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak berusia 17 (tujuh belas) tahun
di provinsi yang bersangkutan.
Tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun yang
dihitung sampai dengan tanggal pengajuan colon.
Tentu menjadi pertanyaan, mengapa UU Nomor 10 Tahun 2008 tidak lagi
memberlakukan ketentuan tentang peryaratan bagi colon anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) seperti itu? Sampai dengan saat ini belum ada
penjelasan resmi dari para pembuat UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang
pertanyaan ini. Namun, terlepas dari ada dan tidaknya penjelasan dimaksud,
penghilangan dua ketentuan itu telah memungkinkan keanggotaan DPD terbuka
untuk diisi oleh colon-colon terpilih yang tidak berdomisili di daerah (provinsi) yang
diwakilinya, dan yang menjadi pengurus partai politik. Persoalannya, apakah
kemungkinan seperti ini sesuai dengan semangat, prinsip, dan pemikiran dasar
yang melatari pembentukan DPD dalam proses amandemen terhadap UUD 1945
dalam sidang-sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun 1999, 2000,
2001, dan 2002?
Jika ditengok kembali proses perdebatan yang mengantar pada pembentukan
DPD dalam sidang-sidang MPR itu, dapat ditarik beberapa catatan penting terkait
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
103
secara langsung maupun tidak langsung dengan dua persyaratan tentang domisili
dan tidak menjadi mengurus partai politik tersebut.
Pertama, DPD merupakan badan perwakilan yang menggantikan “Utusan Daerah”
untuk menyalurkan aspirasi daerah demi mencegah disintegrasi bangsa. Dalam
semangat itu, maka DPD merupakan perwakilan teritori (wilayah), dalam hal ini
provinsi, untuk menampung aspirasi daerah dalam proses politik nasional. Maka
anggota DPD diharuskan untuk dapat memberikan konsentrasinya secara penuh
dalam menjalankan tugas dan peran sebagai perwakilan daerah.
Kedua, DPD sebagai badan perwakilan daerah harus dibedakan dari Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) yang merupakan badan perwakilan yang mewakili
aspirasi penduduk (rakyat). Dalam prinsip dasar ini, DPD tidak boleh mengungguli
DPR baik dalam ukurannya (jumlah anggota) maupun dalam wewenangnya.
Argumentasinya jelas, jumlah wilayah senantiasa lebih sedikit dari jumlah
penduduk. Maka jumlah anggota DPD ditentukan 1/3 (satu pertiga) dari jumlah
anggota DPR, dan ruang lingkup wewenangnya terbatas pada masalah-masalah
yang terkait dengan daerah.
Ketiga, DPD sebagai perwakilan daerah harus beranggotakan orang-orang yang
dipilih melalui pemilihan umum di masing-musing daerah (provinsi). Dalam prinsip
utama ini, anggota-anggota DPD adalah orang-orang yang secara absah dipilih
oleh masyarakat daerah setempat untuk mewakili daerah bersangkutan. Maka,
anggota DPD tidak mewakili entitas lain apa pun juga selain daerah. Karena itu,
anggota DPD tidak wewakili organisasi masyarakat, komunitas agama, dan
bahkan partai politik.
Semangat, prinsip, dan pemikiran dasar tersebut jelas menegaskan bahwa
anggota DPD adalah orang yang mengetahui, mengenal, dan memahami
masalah-masalah daerah yang diwakilinya. Orang seperti ini tentu saja adalah
orang yang pernah dan memang bertempat tinggal (domisili) di daerah yang
bersangkutan. Tentu orang ini bukan orang sembarangan karena yang
bersangkutan harus mampu meyakinkan masyarakat setempat untuk memperoleh
dukungan suaranya sehingga terpilih menjadi anggota DPD.
Semangat, prinsip, dan pemikiran dasar tersebut juga jelas menegaskan bahwa
DPD tidak mewakili partai politik atau entitas apapun juga, melainkan mewakili
daerah. Karena itu sifat keanggotaan DPD adalah perorangan. Ini juga secara
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
104
langsung maupun tidak langsung membedakan DPD dengan DPR. Keanggotaan
DPR didasarkan pada kolektivitas, yaitu partai politik. Dalam batas ini, semangat
UUD 1945 mengarahkan para anggota DPD untuk mau dan mempunyai komitmen
mewakili aspirasi daerah saja.
Semangat, prinsip, dan pemikiran dasar tersebut dituangkan secara lugas dalam
UUD 1945, Pasal 22C dan Pasal 22D. Pasal 22C mengatur tentang dari mana,
bagaimana, dan berapa jumlah anggota DPD ditentukan. Pasal 22D mengatur
tentang ruang lingkup tugas utama dan wewenang DPD.
Di antara ketentuan dalam UUD 1945 tersebut, ketentuan yang tertuang dalam
Pasal 22C ayat (1) perlu dipahami secara cermat. Ayat ini dirumuskan sebagai
berikut: “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dad setiap provinsi melalui
pemilihan umum”. Ayat ini pada dasarnya merefleksikan tiga hal utama dalam
proses rekruitmen anggota DPD.
Hal pertama jelas bahwa anggota DPD harus dipilih melalui pemilihan umum. Baik
UU Nomor 12 Tahun 2003 dan UU Nomor 10 Tahun 2008 mengatur pelaksanaan
pemilihan umum anggota DPD secara jelas pula.
Hal kedua dan ketiga terkait dengan penggunaan rangkain kata “dari setiap
provinsi” dalam rumusan ayat (1) tersebut. Dalam Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia oleh Indrawan WS yang diterbitkan oleh Penerbit Linatas Media
Jombang, menjelaskan kata “dari” sebagai “kata perangkai mengatakan asal”.
Dengan penjelasan ini, penggunaan rangkaian kata “dari setiap provinsi” tentu
bukan tanpa makna sama sekali. dan, makna itu adalah bahwa anggota DPD
berasal dari setiap provinsi, yang menrefleksikan asas tempat tinggal atau domisili;
dan, anggota DPD bukan berasal dari tempat asal yang bukan provinsi seperti
kabupaten atau kota, partai politik, organisasi kemasyarakatan ataupun organisasi
keagamaan.
Untuk menegaskan makna kedua hal dari penggunaan rangkaian kata “dari setiap
provinsi” itu, dapat diperbadingkan dengan jika penggunaan kata “dari” diubah
dengan kata “di” sehingga rumusan ayat (1) menjadi “Anggota Dewan Perwakilan
Daerah dipilih di setiap provinsi melalui pemilihan umum”. Dalam Kamus Lengkap
Bahasa Indonesia tersebut di atas, kata “di” merupakan “kata perangkai yang
menyatakan ada pada suatu tempat”. Dengan penjelasan ini, maka arti dari ayat
(1) dalam rumusan ini hanya semata-mata menjelaskan di tempat mana anggota
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
3
105
DPD itu dipilih melalui pemilihan umum. Rumusan ayat seperti ini tidak
menjelaskan dari mana asal anggota DPD yang dipilih itu.
UU Nomor 12 Tahun 2003 dengan cermat mengatur pelaksanaan hal kedua dan
ketiga tersebut yang dituangkan dalam Pasal 63 huruf a dan b. UU Nomor 10
Tahun 2008 tidak mengatur sama sekali dua hal mendasar ini.
UUD 1945 yang merupakan hasil dari proses amandemen terhadap UUD 1945
secara bertahap pada dasarnya dilatari oleh semangat, prinsip, dan pemikiran
dasar tentang bagaimana pembaruan-pembaruan politik harus diterjemahkan
dalam
ketentuan-ketentuan
dasar
tentang
sistem
ketatanegaraan
Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sangat disadari bahwa rumusan-rumusan
dalam ketentuan-ketentuan dasar UUD 1945 tidak dapat menenjermahkan
keseluruhan makna dari semangat, prinsip, dan pemikiran dasar tentang
pembaruan-pembaruan politik. Namun, rumusan-rumusan yang terbatas ini jelas
tidak mengurangi makna dari semangat, prinsip, dan pemikiran dasar pembaruanpembaruan yang harus dan perlu ditegakkan itu.
Dalam nuansa seperti itu, UUD 1945 memang tidak menyatakan secara eksplisit
dalam rumusan ketentuan yang mengatur tentang rekruitmen keanggotaan DPD.
Tetapi pilihan atas penggunaan kata-kata dalam rumusan ketentuannya,
khususnya Pasal 22C ayat (1), jelas mencerminkan semangat, prinsip, dan
pemikiran dasar tentang pembentukan DPD.
Pencermatan atas semangat UUD 1945 atas rekruitmen anggota DPD tersebut
jelas mengingatkan kembali bahwa merumuskan ketentuan-ketentuan operasional
untuk membentuk DPD melalui pemilihan umum harus didasarkan kepada
pemahaman yang tepat dan bijaksana terhadap semangat, prinsip, dan pemikiran
dasar yang melatari pembentukan DPD tersebut.
UU Nomor 10 Tahun 2008 merupakan suatu peraturan perundang-undangan yang
harus menjabarkan secara operasional ketentuan-ketentuan dasar yang ada
dalam UUD 1945. Dalam menerjemahkan ketentuan-ketentuan dasar ini, suatu
peraturan perundang-undangan tidak boleh mengurangi atau melebih-lebihkan dan
sama sekali tidak boleh menghilangkan semangat, prinsip, dan pemikiran dasar
yang bukan hanya melatari tetapi menjiwai ketentuan-ketentuan dasar dalam UUD
1945 tersebut.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
106
Atas dasar pemahaman ini, tidak salah sama sekali untuk menegaskan bahwa
ketentuan tentang persyaratan domisili dan tidak menjadi pengurus partai politik
merupakan amanat dari UUD 1945 yang harus dirumuskan secara nyata dalam
ketentuan operasionalnya di dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini,
perlu dilakukan revisi terhadap UU Nomor 10 Tahun 2008 untuk secara khusus
memasukan ketentuan tentang kedua persyaratan tersebut.
[2.4]
Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 13 Mei 2008, dan 10 Juni
2008, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah memberi keterangan, sebagai
berikut:
A. Ketentuan Pasal-pasal Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dimohonkan
Pengujian terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Para Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian atas
Undang-Undang tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengenai ketiadaan syarat domisili
dan syarat non partai politik yang tidak tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 67
Undang-Undang tentang Pemilihan Umum.
Ketentuan Pasal 12 menyebutkan:
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2):
a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun
atau lebih;
b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. Cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;
e. Berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA),
Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah
Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;
f. Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17
Agustus 1945;
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
107
g. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
h. Sehat jasmani dan rohani;
i.
Terdaftar sebagai pemilih;
j.
Bersedia bekerja penuh waktu;
k. Mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional
Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada
badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan
lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan
dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali;
l.
Bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara,
notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan
pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan
negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan
dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan
perundang-undangan;
m. Bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya,
pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah,
serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
n. Mencalonkan hanya 1 (satu) lembaga perwakilan;
o. Mencalonkan hanya 1 (satu) daerah pemilihan; dan
p. Mendapat dukungan minimal dari pemilih dari daerah pemilihan yang
bersangkutan.
Ketentuan Pasal 67 menyebutkan:
(1) Perseorangan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 dan Pasal 13 dapat mendaftarkan diri sebagai bakal calon anggota
DPD kepada KPU melalui KPU provinsi.
(2) Kelengkapan
administrasi
bakal
calon
anggota
DPD
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan :
a. kartu tanda penduduk Warga Negara Indonesia;
b. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB, syahadah, sertifikat, atau
surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau
program pendidikan menengah;
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
108
c. surat keterangan catatan kepolisian tentang tidak tersangkut perkara
pidana dari Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat;
d. surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani;
e. surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih;
f. surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja penuh waktu yang
ditandatangani di atas kertas bermaterai cukup;
g. surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan
publik, advokat/pengacara, notaris, dan pekerjaan penyedia barang dan
jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain
yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang,
dan hak sebagai anggota DPD yang ditandatangani di atas kertas
bermaterai cukup;
h. surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagai pegawai
negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha
milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, pengurus pada badan
lain yang anggarannya bersumber dari anggaran pendapatan dan
belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan
i.
surat pernyataan tentang kesediaan hanya mencalonkan untuk 1 (satu)
lembaga perwakilan yang ditandatangani di atas kertas bermaterai
cukup.
B. Hak dan/atau kewenangan Konstitusional yang dianggap Pemohon
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Para Pemohon dalam permohonan a quo, mengemukakan bahwa
hak/kewenangan konstitusionalnya dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya
Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu sebagai
berikut :
1. Pemohon I, Pemohon II dan Pemohon IV beranggapan ketiadaan syarat
domisili memberikan peluang kepada siapa saja yang tidak berasal dari
suatu provinsi yang bersangkutan dapat mencalonkan diri menjadi anggota
DPD, danImplikasi
juga ketiadaan
syarat
non-partai
politik membuka kemungkinan
peran..., Agung
Sudrajat,
FH UI, 2012
109
calon dari partai politik untuk berkompetisi dengan calon perseorangan
dalam pemilihan anggota DPD. Sehingga menurut Pemohon I, Pemohon II,
Pemohon IV hak/kewenangan konstitusionalnya yang dijamin Pasal 22D
ayat (1), (2), (3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E ayat (2), Pasal 22E ayat (1)
dirugikan oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang
Pemilihan Umum.
2. Pemohon
III
tidak
menguraikan
secara
konkrit
mengenai
hak
konstitusionalnya yang dirugikan, oleh karena memang dalam permohonan
a quo telah dikemukakan bahwa kepentingan Pemohon III tidak ada
relevansinya dengan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang
Pemilihan Umum yang dipertentangkan dengan Pasal 22E ayat (4) UUD
Tahun 1945.
a. Pasal 22C ayat (1) UUD Tahun 1945 :
”Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui
pemilihan umum”.
b. Pasal 22E ayat (4) UUD Tahun 1945:
”Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Daerah adalah perseorangan”.
Berdasarkan
hal-hal
tersebut,
dengan
ini
DPR
menyampaikan
keterangan dan pandangan-pandangan sebagai berikut:
C. Keterangan DPR RI Atas Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD
terhadap UUD Tahun 1945
C.1. Mengenai Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon
Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh para Pemohon sebagai pihak
telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa
“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
110
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.”
Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan
Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam Penjelasannya, bahwa “yang
dimaksud dengan “hak konstitusional”
adalah hak-hak yang diatur
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menjelaskan, bahwa hanya hakhak yang secara eksplisit diatur dalam UUD Tahun 1945 saja yang
termasuk “hak konstitusional”.
Sehingga menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima
sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam
permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka terlebih
dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
a. Kualifikasinya
sebagai
Pemohon
dalam
permohonan
a
quo
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
b. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam
UUD 1945;
c. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud
dalam “Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh
berlakunya undang-undang yang diuji.
Batasan-batasan mengenai kerugian konstitusional, Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia telah memberikan pengertian dan batasan
tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya satu undangundang menurut Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara
Nomor 010/PUU-III/2005) yaitu sebagai berikut:
a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD
Tahun 1945;
b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh
Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat
spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial
yang Implikasi
menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
111
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian
dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan
maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak
lagi terjadi.
Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam
mengajukan pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945, maka
Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal standing)
sebagai Pihak.
KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON
Dalam permohonan a quo dikemukakan sebagai berikut:
Pemohon I adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang merupakan
Lembaga Negara, beranggapan bahwa kewenangan konstitusionalnya yang
dijamin dalam Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E
ayat (2) dan Pasal 23F ayat (1) UUD 1945, dirugikan dengan
diberlakukannya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (selanjutnya
disebut Undang-Undang tentang Pemilihan Umum), karena dalam pasalpasal tersebut tidak mencantumkan persyaratan bahwa calon anggota DPD
harus berdomisili di provinsi yang bersangkutan, serta tidak terdapat
persyaratan bahwa calon anggota DPD bukan anggota partai politik.
Pemohon II adalah para anggota DPD yang dalam permohonan a quo
berkedudukan sebagai “perorangan (kelompok orang) WNI”, sebagaimana
dijamin dalam Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945
beranggapan bahwa hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Pasal
12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, oleh karena
ketiadaan syarat domisili menyebabkan pemilihan anggota DPD suatu
provinsi dapat diikuti oleh orang-orang yang tidak berasal dari provinsi yang
bersangkutan,
dan
ketiadaan
syarat
non-partai
politik
membuka
kemungkinan calon dari partai politik untuk berkompetisi dengan calon
perseorangan dalam pemilihan anggota DPD.
Pemohon III (Direktur Eksekutif CETRO, Ketua Dewan Pakar Sekretariat
Nasional Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat, Ketua
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
112
Umum IPC, Koordinator FORMAPPI) yang dalam permohonan a quo
berkedudukan sebagai perorangan WNI, tidak menjelaskan secara konkrit
dan spesifik mengenai hak konstitusional yang mana yang telah dirugikan
atau yang berpotensi menimbulkan kerugian oleh berlakunya Pasal 12 dan
Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum.
Pemohon IV (warga daerah)
dalam permohonan a quo berkedudukan
sebagai “perorangan (kelompok orang) WNI” beranggapan memiliki
kedudukan hukum (legal standing) yang sama dengan Pemohon II,
sehingga juga hak konstitusionalnya yang dijamin dalam Pasal 22C ayat (1)
dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 telah dirugikan sebagaimana yang
dialami oleh Pemohon II.
Bahwa
terhadap
dalil-dalil
para
Pemohon
a
quo
mengenai
kedudukan hukum (legal standing), DPR berpandangan, dalam hal ini
terhadap permohonan para Pemohon a quo perlu dipertanyakan dahulu
mengenai kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon yaitu:
¾ Apakah para Pemohon sudah memenuhi kualifikasi sebagai pihak
[kualifikasi Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) dan
Penjelasannya Undang-Undang Mahkamah Konstitusi] ?
¾ Adakah hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon
yang diatur dalam UUD 1945 ?
¾ Apakah hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon
dirugikan oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang
Pemilihan Umum ?
Apabila para Pemohon menganggap sudah memenuhi kualifikasi
yang ditentukan sebagai pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat
(1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, maka pertanyaan berikutnya
adalah, apakah terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional yang
diatur dalam UUD 1945?. Dalam hal terdapat hak dan/atau kewenangan
kosntitusional yang diatur dalam UUD 1945, maka selanjutnya perlu
dipertanyakan apakah hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut
dirugikan dengan berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang
tentang Pemilihan Umum ?
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
113
1. Mengenai Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon I (DPD)
Dalam permohonan a quo, Pemohon I berkedudukan sebagai
Lembaga
Negara
beranggapan
kewenangan
konstitusionalnya
sebagaimana diatur dalam Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23
ayat (2), Pasal 23E ayat (2) dan Pasal 23F ayat (1)
UUD 1945,
berpotensi menimbulkan kerugian oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal
67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, oleh karena dalam Pasal
12 dan Pasal 67 Undang-Undang a quo tidak mencantumkan syarat
domisili dan syarat larangan bagi pengurus/anggota partai politik untuk
mencalonkan sebagai anggota DPD, sehingga hal ini dianggapnya
bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD
1945.
Adapun ketentuan UUD 1945 yang mengatur kewenangan DPD
yaitu:
Pasal 22D ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945:
(1)
Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan
otonomi
pembentukan
dan
daerah,
hubungan
pemekaran
serta
pusat
dan
daerah,
penggabungan
daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah.
(2)
Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undangundang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat
dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah;
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan
pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan
undang-undang anggaran pendapatan dan belanja Negara dan
rancangan
undang-undang
yang
berkaitan
dengan
pajak,
pendidikan, dan agama.
(3)
Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan
undang-undang
mengenai:
otonomi
daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
114
pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan
belanja Negara, pajak, pendidikan dan agama serta menyampaikan
hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat
sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
Pasal 23 ayat (2) UUD 1945:
(2)
Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja
Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan
Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Daerah.
Pasal 23E ayat (2) UUD 1945:
(2)
Hasil pemeriksaan keuangan Negara diserahkan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 23F ayat (1) UUD 1945:
(1)
Anggota
Badan
Pemeriksa
Keuangan
dipilih
oleh
Dewan
Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden.
Dalil yang menjadi dasar yuridis legal standing bagi permohonan
Pemohon I tersebut tidak berdasar, apabila mencermati makna Pasal
22D ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 mengenai kewenangan
konstitusional DPD, dikaitkan dengan persyaratan administrasi yang
diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan
Umum. Dalam hal ini Pemohon I a quo beranggapan ketiadaan syarat
domisili dan ketiadaan syarat non partai politik dalam norma Pasal 12
dan Pasal 67 Undang-Undang a quo, bertentangan dengan Pasal 22C
ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945.
Berdasarkan argumen Pemohon I tersebut justru menunjukkan
bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan
Umum tidak terdapat pertentangan dan tidak ada relevansinya dengan
kewenangan Pemohon I sebagai Lembaga Negara yang diatur dalam
Pasal 22D ayat (1), (2), (3) UUD 1945.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
115
Perlu dipahami bahwa kewenangan konstitusional Pemohon I
sebagai Lembaga Negara yang diatur dalam Pasal 22D ayat (1), (2),
dan (3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E ayat (2) dan Pasal 23F ayat (1)
UUD 1945, adalah kewenangan konstitusional yang diberikan
setelah terbentuknya DPD melalui pemilihan umum, sedangkan
Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum
mengatur syarat-syarat pencalonan anggota DPD, artinya secara
kelembagaan
DPD
belum
hubungannya
dengan
terbentuk.
prosedur
Sehingga
pencalonan
tidak
anggota
ada
DPD
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UndangUndang a quo.
Terhadap dalil Pemohon I tersebut, DPR berpendapat bahwa
benar Pemohon I yang berkedudukan sebagai Lembaga Negara
memiliki
kualifikasi
sebagai
pihak,
dan
memiliki
kewenangan
konstitusional yang diatur dalam UUD 1945. Namun hal ini perlu
dipertanyakan dahulu apakah kewenangan konstitusional Pemohon I
benar-benar dirugikan atau berpotensi menimbulkan kerugian dengan
berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang a quo ?
Menjawab pertanyaan tersebut, sudah jelas dan tegas bahwa
norma konstitusi yang terkandung dalam Pasal 22D ayat (1), (2), dan
(3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E ayat (2) dan Pasal 23F ayat (1) UUD
1945, tidak ada relevansinya antara kewenangan konstitusional yang
dijamin Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3) Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E
ayat (2) dan Pasal 23F ayat (1) UUD 1945, dengan persyaratan
administrasi yang diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang
a quo. Apalagi jika dipertanyakan adakah hubungan sebab akibat
(causal verband) antara kerugian konstitusional yang akan ditimbulkan
dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji?
Menjawab pertanyaan tersebut, DPR berpendapat bahwa secara
konstitusional, sudah jelas bahwa kewenangan konstitusional Pemohon I
sebagai Lembaga Negara yang dijamin dalam UUD 1945 tidak dirugikan
atau berpotensi menimbulkan kerugian konstitusional oleh berlakunya
Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang a quo, oleh karena memang
antara kewenangan konstitusional Pemohon I yang diatur dalam Pasal
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
116
22D ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E ayat (2), Pasal
23F ayat (1) UUD 1945 tidak ada relevansinya dan tidak terdapat causal
verband dengan persyaratan administrasi yang diatur dalam Pasal 12
dan Pasal 67 Undang-Undang a quo.
Dalam Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan: “Anggota
Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui
pemilihan umum”, dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 mengamanatkan:
“Peserta pemilihan umum untuk memilih Anggota DPD adalah
perseorangan”.
Jelas dan tegas bahwa Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat
(4) UUD 1945 mengatur tentang syarat konstitusional bagi calon
anggota DPD yang harus dipilih dari perseorangan setiap provinsi
melalui pemilihan umum, artinya bahwa pengaturan syarat konstitusional
ini mengandung arti bahwa setiap warga negara Indonesia disetiap
provinsi dan yang berasal dari provinsi manapun mempunyai hak yang
sama untuk menjadi calon anggota DPD tanpa adanya pembatasan
harus berasal dan berdomisili dari provinsi yang bersangkutan.
Ketentuan ini sejalan dengan Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 28D ayat
(3) UUD 1945. Adapun bunyi Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yaitu: “Segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya”, dan bunyi Pasal 28D ayat (3) UUD
1945 ialah: “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan
yang sama dalam pemerintahan”. Dengan demikian Pemohon I
tersebut keliru dalam memaknai Konstitusi yang mensyaratkan anggota
DPD harus berasal dan berdomisili di provinsi yang bersangkutan. Sekali
lagi ditegaskan bahwa Konstitusi UUD 1945 Pasal 22C ayat (1) dan
Pasal 22E ayat (4) tidak mengharuskan calon anggota DPD harus
berasal dan berdomisili dari provinsi yang bersangkutan.
Makna perseorangan dari Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 dapat
ditafsirkan siapa saja setiap warga negara [in casu Pasal 27 ayat (1) dan
Pasal 28D ayat (3) UUD 1945] diberikan hak konstitusional yang sama
untuk menjadi calon anggota DPD sepanjang yang bersangkutan
mencalonkan diri sendiri tidak dicalonkan oleh institusi baik oleh suatu
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
117
organisasi
masyarakat
maupun
oleh
partai
politik.
Termasuk
anggota/pengurus partai politik, pensiunan TNI/POLRI, PNS, siapa saja
sepanjang memenuhi syarat Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang
tentang Pemilihan Umum dapat mencalonkan diri secara perseorangan
atas nama diri sendiri bukan atas nama partai politik untuk menjadi
anggota DPD.
Dengan demikian, secara konstitusional pula konstitusi UUD 1945
tidak mengatur secara eksplisit dan limitatif yang mensyaratkan bahwa
anggota DPD harus berasal dan berdomisili dalam kurun waktu tertentu
di provinsi tertentu, serta tidak juga mengatur larangan bagi pengurus/
anggota partai politik untuk mencalonkan diri menjadi anggota DPD.
Oleh karena itu, DPR berpandangan bahwa karena tidak ada
relevansinya antara kewenangan konstitusional Pemohon I a quo (DPD)
sebagai lembaga negara yang diatur dalam Pasal 22D ayat (1), (2), dan
(3), Pasal 23 ayat (2), Psal 23 ayat (2), dan Pasal 23F ayat (1) UUD
1945 dengan persyaratan administrasi yang diatur dalam Pasal 12 dan
Pasal 67 Undang-Undang a quo, maka logika hukum nya jelas tidak ada
potensi kerugian konstitusional bagi Pemohon I. Dengan demikian
berdasarkan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasannya Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara
Nomor
10/PUU-III/2005),
DPD
sebagai
lembaga
negara
yang
mempertentangkan Pasal 12 dan 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan
Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, Pemohon I a quo
tidak memenuhi persyaratan kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
2. Mengenai
Kedudukan
Hukum
(Legal
Standing)
Pemohon
II
(Anggota DPD)
Pemohon II adalah para anggota DPD yang dalam permohonan
a quo berkedudukan sebagai “perorangan (kelompok orang) WNI”,
beranggapan bahwa ketiadaan syarat domisili dan ketiadaan syarat nonpartai politik telah merugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
118
Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. Oleh
karena menurut Pemohon II ketiadaan syarat domisili memberikan
peluang kepada siapa saja yang tidak berasal dari suatu provinsi yang
bersangkutan dapat mencalonkan diri menjadi anggota DPD, dan juga
ketiadaan syarat non-partai politik membuka kemungkinan calon dari
partai politik untuk berkompetisi dengan calon perseorangan dalam
pemilihan anggota DPD.
Dalam permohonan a quo, dikemukakan bahwa kepentingan
hukum Pemohon II sama dengan Pemohon I yang mempertentangkan
Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum yang
tidak mencantumkan persyaratan domisili dan larangan bagi anggota
partai politik, dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD
1945.
Terhadap dalil-dalil Pemohon II tersebut, DPR berpandangan,
bahwa Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan: “Anggota
Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui
pemilihan umum”, dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 mengamanatkan:
“Peserta pemilihan umum untuk memilih Anggota DPD adalah
perseorangan”. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa
ketentuan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 mengatur persyaratan
konstitusional yang menegaskan; pertama, bahwa pemilihan anggota
DPD termasuk dalam rezim pemilihan umum (vide Pasal 22E UUD
1945), karena secara konstitusional harus dipilih melalui pemilihan
umum, bukan lagi diangkat sebagai utusan daerah sebagaimana yang
pernah terjadi sebelum Perubahan UUD 1945. Kedua, persyaratan
konstitusional berikutnya anggota DPD harus dipilih dari setiap provinsi,
berarti setiap provinsi di NKRI dapat diwakili oleh setiap Warga Negara
Indonesia yang akan mencalonkan diri secara perseorangan menjadi
anggota DPD [vide Pasal 22E ayat (4) UUD 1945]. Ketentuan Pasal 22C
ayat (1) UUD 1945 tidak memberikan pembatasan yang eksplisit bahwa
anggota DPD harus dipilih dari provinsi tertentu yang merepresentasikan
langsung anggota DPD yang bersangkutan, oleh karena berasal dan
berdomisili dari provinsi yang bersangkutan.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
119
DPR berpandangan, bahwa ketentuan Pasal 22E ayat (4) UUD
1945 mengandung makna bahwa anggota DPD yang dipilih melalui
pemilihan umum harus calon dari perseorangan (perseorangan berarti
setiap warga negara baik anggota partai politik maupun bukan anggota
partai politik), bukan calon yang diajukan oleh partai politik, yang dapat
juga menimbulkan tafsir konstitusional bahwa meskipun calon anggota
DPD
berasal
dari
partai
politik,
sepanjang
yang
bersangkutan
mencalonkan diri atas nama pribadi secara perseorangan, tidak diajukan
atau dicalonkan oleh partai politik yang bersangkutan, maka atas nama
perseorangan dapat mencalokan diri menjadi anggota DPD.
Kaitannya dengan hak konstitusional anggota DPD, perlu
dicermati bahwa dalam UUD 1945 tidak ada ketentuan konstitusional
yang khusus mengatur hak konstitusional anggota DPD, yang ada hak
setiap orang untuk menjadi anggota DPD. Secara khusus hak dan
kewenangan anggota DPD diatur dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan
DPRD. Tetapi secara kelembagaan DPD sebagai lembaga negara
diberikan hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam
Pasal 22D ayat (1), (2), (3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E ayat (2), Pasal
23F ayat (1) UUD 1945. Meskipun anggota DPD dalam pemohonan
a quo berkedudukan sebagai perorangan WNI, secara konstitusional
tidak ada kerugian oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UndangUndang tentang Pemilihan Umum, karena secara perseorangan setiap
WNI diberikan hak untuk mencalonkan diri menjadi anggota DPD.
Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasannya
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor 006/PUU-III/2005
dan Perkara Nomor 010/PUU-III/2005), DPR berpandangan bahwa
anggota DPD yang berkedudukan sebagai perorangan WNI tidak
memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak dalam
pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD terhadap UUD 1945.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
120
3. Mengenai Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon III (LSM)
Pemohon
III
(CETRO,
SETNAS
PERLINDUNGAN
HAK
KONSTITUSIONAL MASYARAKAT HUKUM ADAT, IPC, FORMAPPI)
yang dalam permohonan a quo adalah bahwa CETRO
merupakan
lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berbentuk badan hukum
privat (yayasan), dan IPC merupakan lembaga swadaya masyarakat
(LSM) yang berbentuk badan hukum privat (perkumpulan), sedangkan
FORMAPPI merupakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang
terdiri dari “perorangan (kelompok orang) WNI”.
Bahwa dalam permohonan a quo, Pemohon III tidak menjelaskan
secara konkrit dan spesifik mengenai hak konstitusional yang mana
yang telah dirugikan atau yang berpotensi menimbulkan kerugian oleh
berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan
Umum.
SETNAS
PERLINDUNGAN
HAK
KONSTITUSIONAL
MASYARAKAT HUKUM ADAT selaku Pemohon III beranggapan
ketiadaan syarat domisili dan ketiadaan syarat non-partai politik dalam
Undang-Undang Pemilu a quo menyebabkan aspirasi dan kepentingan
masyarakat hukum adat terancam tidak terwakili.
Terhadap
dipertanyakan
dalil
kepada
tersebut
DPR
Sekretariat
berpendapat
Nasional
perlu
juga
Perlindungan
Hak
Konstitusional Masyarakat Hukum Adat mengenai masyarakat hukum
adat yang mana yang dirugikan hak konstitusionalnya? hal ini penting
dalam legal standing karena terkait dengan kepentingan langsung dari
masyarakat hukum adat itu sendiri. Perlu juga dicermati bahwa tidak
terdapat relevansinya antara kepentingan masyarakat hukum adat
dengan hak konstitusional perseorangan sebagai persyaratan untuk
menjadi anggota DPD melalui pemilihan umum, sebagaimana diatur
dalam Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Selain itu
juga tidak ada relevansinya antara kepentingan hukum masyarakat
hukum adat dengan persyaratan administrasi untuk menjadi anggota
DPD sebagaimana diatur dalam
Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-
Undang tentang Pemilihan Umum.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
121
Dalam permohonan a quo dikemukakan mengenai kepentingan hukum
dari masing-masing principal dalam kelompok Pemohon III yaitu sebagai
berikut:
1. Pemohon III (Direktur Eksekutif CETRO) berkepentingan terhadap
upaya upaya pembaharuan pemilu demi terselenggaranya pemilu
yang demokratis.
2. Pemohon III (Ketua Dewan Pakar SETNAS PERLINDUNGAN HAK
KONSTITUSIONAL MASYARAKAT HUKUM ADAT) berkepentingan
terhadap penyaluran aspirasi masyarakat hukum adat sebagai
bagian dari aspirasi masyarakat daerah melalui terpilihnya wakilwakil daerah yang tepat di DPD agar aspirasi dan hak-hak
masyarakat hukum adat yang dijamin oleh Pasal 18B ayat (2) dan
Pasal 18I ayat (3) UUD 1945 terlindungi.
3. Pemohon
III
(Ketua
Umum
IPC)
berkepentingan
terhadap
terselenggaranya Pemilu yang demokratis.
4. Pemohon III (Koordinator FORMAPPI) berkepentingan terhadap
terselenggaranya Pemilu yang demokratis.
Bahwa jelas Pemohon III walaupun berkedudukan sebagai
perorangan WNI dalam permohonan a quo memiliki kepentingan hukum
yang berbeda dengan kepentingan hukum Pemohon I, Pemohon II dan
Pemohon IV. Sebagaimana telah diuraikan bahwa Pemohon I, Pemohon
II dan Pemohon IV beranggapan memiliki kepentingan terhadap hak/
kewenangan konstitusional yang diatur dalam UUD 1945 yang dirugikan
oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang
Pemilihan Umum. Sedangkan Pemohon III tidak ada kepentingan
terhadap hak konstitusionalnya yang dilanggar atau dirugikan oleh
berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang a quo.
Dalam konteks dan content pengujian undang-undang a quo tidak
ada relevansinya antara kepentingan Pemohon III dengan Pasal 22C
ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 juncto Pasal 12 dan Pasal 67
Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. Dengan demikian sudah
dapat dipastikan tidak ada kerugian atau berpotensi menimbulkan
kerugian terhadap Pemohon III.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
122
Adapun Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan:
“Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi
melalui pemilihan umum”, dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945
mengamanatkan: “Peserta pemilihan umum untuk memilih Anggota
DPD adalah perseorangan”. Berdasarkan ketentuan Pasal 22C ayat
(1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, jelas tidak ada relevansinya
antara syarat untuk menjadi anggota DPD dengan kepentingan hukum
Pemohon III, dan juga Pemohon III selaku organisasi baik LSM yang
sudah berbadan hukum maupun dalam bentuk perkumpulan tidak
memiliki kepentingan yang sama dengan Pemohon I, II, dan IV terhadap
Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Pemilu a quo.
Dikaitkan dengan hak konstitusional masyarakat hukum adat
yang dijamin dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, di mana hak-hak
tradisionalnya diakui dan dihormati oleh negara, harus dibedakan
dengan hak konstitusional setiap warga negara untuk menjadi anggota
DPD yang dijamin Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945.
Hak-hak tradisional masyarakat hukum adat tersebut adalah
termasuk hak asasi dalam kelompok hak ekonomi, sosial, dan
budaya, sedangkan hak yang dimaksud dalam Pasal 22C ayat (1)
dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 termasuk dalam hak sipil dan
politik. Dengan perbedaan ini jelas tidak ada relevansinya antara
kepentingan masyarakat hukum adat yang diatur dalam Pasal 18B ayat
(2) juncto Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 dengan syarat konstitusional
untuk menjadi anggota DPD yang diatur dalam Pasal 22C ayat (1) dan
Pasal 22E ayat (4) UUD 1945.
Pemohon III juga tidak menjelaskan secara konkrit dan spesifik
mengenai hak konstitusional yang mana, yang dirugikan atau yang
berpotensi menimbulkan kerugian oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal
67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. Hal ini sangat penting
untuk menentukan legal standing sesuai Pasal 51 ayat (2) UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang
menyebutkan, “bahwa pemohon wajib menguraikan dengan jelas
dalam
permohonannya
tentang
hak
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
dan/atau
kewenangan
123
konstitusionalnya yang dirugikan dengan berlakunya undangundang”.
Oleh karena itu, DPR berpandangan bahwa Pemohon III tidak
memenuhi persyaratan memenuhi persyaratan kedudukan hukum (legal
standing) dalam pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.
4. Mengenai Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon IV (Warga
Daerah).
Dalam permohonan a quo Pemohon IV (warga daerah)
berkedudukan
sebagai
“perorangan
(kelompok
yang
orang)
WNI”
beranggapan memiliki kedudukan hukum (legal standing) yang sama
dengan Pemohon II, sehingga juga hak konstitusionalnya telah
dirugikan sebagaimana yang dialami oleh Pemohon II.
Terhadap dalil Pemohon IV tersebut, DPR berpandangan bahwa
benar warga daerah selaku perorangan WNI dapat sebagai pihak dalam
pengujian Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, terhadap UUD
1945, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a dan
Penjelasannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah
Konstitusi.
Tetapi
perlu
dipertanyakan
apakah
hak
konstitusional Pemohon IV selaku perorangan WNI sebagaimana diatur
dalam Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 dirugikan oleh berlakukan Pasal 12
dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum?
Sebagaimana telah diuraikan mengenai persyaratan kedudukan
hukum (legal standing) yang harus dipenuhi Pemohon II yang juga
berkedudukan sebagai perorangan WNI, DPR berpandangan bahwa
Pemohon
IV
selaku
konstitusionalnya,
perorangan
oleh
perseorangan
sebagai
konstitusional
untuk
karena
warga
WNI
kepada
negara
mencalonkan
diri
tidak
dirugikan
Pemohon
Indonesia
menjadi
IV
secara
diberikan
anggota
hak
hak
DPD
sebagaimana diatur dalam Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4)
UUD 1945. Dengan demikian, karena tidak ada hak konstitusional
Pemohon IV yang dirugikan atau dilanggar oleh berlakunya Pasal 12
dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
124
Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, maka Pemohon IV tidak
memenuhi kedudukan hukum (legal standing).
Secara umum, dapat dikemukakan bahwa terhadap legal
standing
sebagaimana
dijelaskan
oleh
para
Pemohon,
perlu
dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. Bahwa cakupan dari Undang-Undang Pemilihan Umum meliputi
teknis pelaksanaan Pemilu. Dengan demikian Undang-Undang
tentang Pemilihan Umum lebih terkait dengan hak individu atau
perseorangan khususnya hak sipil dan politik, lebih khusus lagi hak
untuk memilih dan dipilih atau right to be candidate.
b. Dengan demikian legal standing Pemohon yang berupa lembaga
negara dan badan hukum tidak tepat sebagai Pemohon dalam
pengajuan uji materiil undang-undang ini. Undang-Undang tentang
Pemilihan Umum tidak mengatur kewenangan konstitusional DPD,
apalagi merugikan kewenangan kontitusional DPD yang terdapat di
dalam Pasal 22D UUD 1945, karena bukan ruang lingkup pengaturan
Undang-Undang Pemilihan Umum. Penjabaran kewenenangan DPD
diatur di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Sementara
untuk kesatuan masyarakat hukum adat lebih terkait dengan Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya dibandingkan dengan Hak Sipil dan
Politik.
c. Sebagai perorangan Warga Negara Indonesia, undang-undang
memang mengatur hak memilih dan hak dipilih. Legal standing yang
diajukan Pemohon tidak tepat. Undang-Undang tentang Pemilihan
Umum telah memberikan jaminan hak politik warga negara
sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 28D ayat
(3) UUD 1945 yang menjamin setiap warga negara berhak
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Demikian pula dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005
tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights
(Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Pasal 25
yang menyebutkan:
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
125
“Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa
pembedaan apapun sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan
tanpa pembatasan yang tidak layak, untuk:
a) Ikut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara
langsung ataupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas;
b) Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang murni, dan
dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui
pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan
menyatakan keinginan dari para pemilih;
c) Memperoleh akses pada pelayanan umum di negaranya atas dasar
persamaan dalam arti umum”.
Apabila dikaitkan pula dengan kovenan internasional tersebut, UU
Pemilu tidak melanggar hak-hak sipil dan politik.
Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka permohonan para
Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasannya
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor 006/PUU-III/2005
dan Perkara Nomor 010/PUU-III/2005), karenanya permohonan para
Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvantkelijk
verklaard).
C.2. Mengenai Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang.
Dalam permohonan a quo para Pemohon pada pokoknya
mendalilkan bahwa ketiadaan syarat domisili dan ketiadaan syarat non
partai politik dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang
Pemilihan Umum dianggapnya bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1)
dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Jadi sesungguhnya yang
dipertentangkan oleh para Pemohon a quo bukan materi muatan berupa
norma-norma yang tertuang dalam undang-undang, melainkan suatu
rumusan frasa yang menurut para Pemohon harus dituangkan dalam
Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang a quo. Jika demikian halnya
berarti secara normatif Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang
Pemilihan Umum sesungguhnya tidak melanggar dan tidak bertentangan
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
126
dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Keharusan
menguraikan materi muatan undang-undang secara jelas berupa
pasal/ayat/bagian-bagian
dalam
pengujian
materiil
undang-undang
terhadap UUD 1945 diperintahkan oleh Pasal 51 ayat (3) huruf b UndangUndang tentang Mahkamah Konstitusi.
“Para Pemohon dalam permohonan a quo halaman 52 angka 86,
Para Pemohon menyadari bahwa Permohonan Pengujian UndangUndang ini adalah mengenai ketiadaan norma dalam Undang-Undang
tentang Pemilihan Umum, sedangkan dalam praktek pada umumnya
pengujian undang-undang dilakukan karena adanya norma (ketentuan)
undang-undang yang dianggap inkonstitusional”.
Kalau memang benar-benar menyadari, seharusnya kuasa hukum
para Pemohon tidak mengabaikan tetapi justru sebagai bagian dari
penegak hukum mengindahkan ketentuan Pasal 51 ayat (3) huruf b
Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi yang merupakan hukum
positif dan sudah berlangsung dalam praktik ketatanegaraan dalam hal
melakukan pengujian materil undang-undang terhadap UUD 1945 oleh
Mahkamah Konstitusi yang merupakan lembaga negara pengawal
konstitusi (the guardian of the constitution).
Mengingat yang diajukan para Pemohon sesungguhnya adalah
mengenai ketiadaan syarat domisili dan syarat non partai politik
sebagaimana disadari betul oleh para Pemohon sendiri, maka untuk
kepentingan penyampaian keterangan/pandangan DPR ini, mohon
diizinkan untuk menguraikan
norma-norma hukum yang dapat diuji
kebenarannya dalam hubungannya dengan pengujian konstitusionalitas
suatu undang-undang.
Dalam praktik dikenal adanya tiga macam norma hukum yang
dapat diuji atau yang biasa disebut sebagai “norm control mechanism”.
Norma hukum yang dapat diuji tentunya adalah norma hukum yang
berlaku karena memiliki validitas daya ikat (mengikat) setelah ditetapkan
oleh lembaga-lembaga yang mempunyai otoritas dan kewenangan yang
diberikan undang-undang.
Masih terkait dengan norma hukum yang dapat diuji tersebut,
ketiga norma hukum tersebut sama-sama merupakan bentuk norma
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
127
hukum sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan yaitu; (i)
Keputusan normatif yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling); (ii)
Keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan administratif
(beschikking);
(iii)
Keputusan
normatif
yang
berisi
dan
bersifat
penghakiman (judgement) yang biasa disebut vonis, (Belanda:Vonnis).”
Dalam konsep pengujian undang-undang, maka undang-undang
yang bersifat general and abstract, merupakan keputusan normatif yang
berisi dan bersifat pengaturan (regeling) dan mengikat umum yang
disetujui DPR bersama Presiden. Oleh karena sifatnya yang general and
abstract, undang-undang sebagai objek yang hendak diuji haruslah
norma-norma hukum dalam undang-undang yang sudah disahkan. Artinya
yang dapat diuji adalah norma hukum yang tertulis dalam materi muatan
undang-undang yang tertuang dalam pasal-pasal. Dalam ilmu hukum tata
negara undang-undang merupakan salah satu sumber hukum tata negara,
sehingga undang-undang yang menjadi objek pengujian tersebut dapat
diuji konstitusionalitasnya terhadap UUD 1945 di peradilan tata negara
seperti Mahkamah Konstitusi.
Secara teoritis, pengujian (toetsing) dibedakan antara materiile
toetsing dan formeele toetsing. Perbedaan tersebut biasanya dikaitkan
dengan perbedaan pengertian antara wet in materiile zin (undang-undang
dalam arti materiil) dan wet in formeelezin (undang-undang dalam arti
formal). Kedua bentuk pengujian tersebut oleh Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi dibedakan dengan istilah
pembentukan undang-undang dan materi muatan undang-undang.
Pengujian atas materi muatan undang-undang adalah pengujian materiil,
sedangkan
pengujian
atas
pembentukan
undang-undang
adalah
pengujian formil.
Jika pengujian undang-undang tersebut dilakukan atas materinya,
maka pengujian demikian disebut pengujian materiil yang berakibatkan
dibatalkannya sebagian materi undang-undang yang bersangkutan. Yang
dimaksud dengan materi muatan undang-undang itu ialah isi ayat, pasal
atau bagian-bagian tertentu dari undang-undang. Lazim dipahami bahwa
yang dimaksud dengan isi atau materi undang-undang adalah pasal-pasal
dan termasuk undang-undang itu sendiri sebagai bagian yang tidak
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
128
terpisahkan dari pasal-pasal undang-undang tersebut, karenanya bersifat
mengikat pula secara hukum. Jika dilihat dari segi materiil, berarti hal-hal
yang dipersoalkan itu dilihat sebagai materi muatan undang-undang yang
seharusnya tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.
Menurut teori Hak Uji Materiil adalah suatu wewenang untuk
menyelidiki kemudian menilai apakah suatu perundang-undangan isinya
sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.
Berarti hak uji materiil ini berkenaan dengan materi/isi dari undang-undang
yang diuji terhadap UUD 1945. Selanjutnya dikatakan, “apabila suatu
undang-undang dilihat dari isinya bertentangan dengan UUD, maka
undang-undang tersebut harus dinyatakan tidak memiliki daya mengikat”.
Frasa “isinya” ini artinya norma-norma hukum yang tertulis dalam materi
muatan undang-undang, karena jika norma hukum tertulis ini bertentangan
dengan UUD 1945 harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat.
Dalam Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang tentang Mahkamah
Konstitusi disebutkan, “Pemohon wajib menguraikan dengan jelas
bahwa”;
(a) Pembentukan
undang-undang
tidak
memenuhi
ketentuan
berdasarkan UUD 1945; dan/atau
(b) Materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang
dianggap bertentangan dengan UUD 1945”.
Dengan demikian harus dimaknai bahwa pengujian materiil atas
undang-undang terhadap UUD 1945 ialah menguji suatu undang-undang
yang materi muatannya berupa pasal, ayat, dan/atau bagian-bagian dari
undang-undang yang dianggapnya bertentangan dengan UUD 1945.
Berarti objek pengujian atas undang-undang adalah isi pasal, ayat/
bagian-bagian yang memiliki kekuatan hukum mengikat dalam undangundang. Oleh karena apabila isi pasal, ayat/bagian-bagian dari undangundang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, maka Mahkamah
Konstitusi akan memutuskan, menyatakan bahwa ketentuan isi pasal,
ayat/bagian-bagian dari undang-undang tersebut tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat. (vide Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang tentang
Mahkamah Konstitusi). Isi amar putusan ini harus dimaknai pertama,
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
129
bahwa hanya materi muatan pasal, ayat/bagian-bagian dari undangundang saja yang dapat diuji terhadap UUD 1945, dan dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945. Kedua, bahwa hanya materi muatan
pasal, ayat/bagian-bagian dari undang-undang yang berlaku (memiliki
kekuatan hukum mengikat) saja yang dapat dianggap bertentangan
dengan UUD 1945, dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat.
Bagaimana mungkin dalam permohonan perkara a quo yang tidak
menguraikan pasal, ayat dari Undang-Undang tentang Pemilihan Umum
yang dianggapnya bertentangan dengan UUD 1945, mengajukan petitum
agar ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan
Umum bertentangan dengan UUD 1945 dan harus dinyatakan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat? Oleh karena yang diajukan pengujian
oleh para Pemohon adalah mengenai ketiadaan syarat domisili dan syarat
non partai politik dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang
Pemilihan Umum, bukan materi muatan pasal-pasalnya. Perlu dipahami
oleh para Pemohon, bahwa dalam praktik persidangan pengujian undangundang di Mahkamah Konstitusi ialah hanya materi muatan pasal, ayat/
bagian-bagian dari undang-undang yang memiliki kekuatan hukum
mengikat saja yang dapat diuji terhadap UUD 1945. Sedangkan mengenai
ketiadaan syarat domisli dan syarat non partai politik yang didalilkan oleh
para Pemohon a quo bukan suatu norma yang memiliki kekuatan hukum
mengikat.
C.3. Mengenai Pokok Permohonan
Dalam permohonan a quo dikemukakan bahwa pokok materi
permohonan yang diajukan oleh para Pemohon adalah ketiadaan syarat
domisili dan syarat non partai politik yang tidak tercantum dalam
ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan
Umum, yang dianggapnya bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan
Pasal 22E ayat (4) UUD 1945.
Terhadap
pokok
materi
permohonan
tersebut,
DPR
akan
menyampaikan keterangan, argumentasi, dan tanggapan terhadap dalil
yang diajukan oleh para Pemohon, sebagai berikut:
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
130
1) Mengenai ketiadaan norma dalam pengujian Undang-Undang
terhadap UUD 1945
Dalam permohonan a quo para Pemohon tidak menguraikan
secara konkrit mengenai pasal/ayat/bagian-bagian dari undang-undang
yang hendak diuji terhadap UUD 1945. Bahwa yang dipersoalkan
oleh para Pemohon a quo ialah mengenai ketiadaan norma
mengenai syarat domisili dan syarat non partai politik yang tidak
diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang
Pemilihan Umum.
Dalil yang dikemukakan para Pemohon dalam permohonan
a quo nomor 86 halaman 52, para Pemohon telah menyadari bahwa
permohonan pengujian undang-undang ini adalah mengenai
ketiadaan norma dalam Undang-Undang tentang Pemilihan
Umum, sedangkan praktek umumnya pengujian undang-undang
dilakukan karena adanya norma (ketentuan) di dalam undangundang yang dianggap inkonstitusional.
Selanjutnya para Pemohon menginterpretasikan Pasal 24C ayat
(1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi, bahwa inkonstitusionalitas suatu undangundang dapat disebabkan oleh adanya norma undang-undang yang
bertentangan dengan UUD 1945 maupun mengenai tiadanya norma
tertentu dalam undang-undang.
Bahwa terhadap dalil tersebut, para Pemohon kiranya perlu
mencermati ketentuan Pasal 51 ayat (3) huruf b Undang-Undang
Nomor
24
menyebutkan
Tahun
2003
bahwa,
tentang
”dalam
Mahkamah
permohonan,
Konstitusi
pemohon
yang
wajib
menguraikan dengan jelas materi muatan dalam ayat, pasal,
dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Ketentuan ini tentunya dimaksudkan bahwa materi muatan tersebut
berupa rumusan norma yang terdapat dalam pasal, ayat, bagian dari
undang-undang a quo yang bertentangan dengan UUD 1945.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, pada Pasal 1 angka 2 menyebutkan
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
131
bahwa, “Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis
yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat negara yang
berwenang dan mengikat secara umum. Undang-Undang adalah
peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan
persetujuan bersama Presiden”. Dengan demikian undang-undang
adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan
bersama Presiden dan mengikat secara umum. Peraturan yang tidak
tertulis bukan merupakan undang-undang. Sehingga uji materiil
terhadap undang-undang juga harus diartikan menguji apa yang
tertulis di dalam undang-undang tersebut.
Oleh karena itu, DPR berpandangan bahwa ketiadaan syarat
domisili dan ketiadaan syarat non-partai politik dalam Undang-Undang
tentang Pemilihan Umum tidak dapat menjadikan Pasal 12 UndangUndang tentang Pemilihan Umum kemudian dianggap bertentangan
dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD Tahun 1945,
karena rumusan yang terdapat di dalam Pasal 12 Undang-Undang
tentang Pemilihan Umum dari huruf a sampai dengan huruf p, tidak
bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD
Tahun 1945.
Pasal 12 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum menyebutkan:
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2):
a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu)
tahun atau lebih;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;
e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA),
Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),
Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;
f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita
Proklamasi 17 Agustus 1945;
g. tidak
pernah
dijatuhi
pidana
penjara
berdasarkan
putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
132
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih;
h. sehat jasmani dan rohani;
i. terdaftar sebagai pemilih;
j. bersedia bekerja penuh waktu;
k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara
Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,
pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha
milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari
keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri
yang tidak dapat ditarik kembali;
l. bersedia
untuk
tidak
berpraktik
sebagai
akuntan
publik,
advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT),
dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang
berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang
dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang,
dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundangundangan;
m.bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara
lainnya, pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha
milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari
keuangan negara;
n. mencalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan;
o. mencalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan; dan
p. mendapat dukungan minimal dari pemilih dari daerah pemilihan
yang bersangkutan.
Para Pemohon tidak menyebutkan pada kalimat, frasa, kata,
huruf, maupun tanda baca mana dalam Pasal 12 tersebut yang
bertentangan dengan UUD 1945, dan memang para Pemohon telah
mengakui dan menyatakan dalam angka nomor 92 halaman 53-54
bahwa, “norma-norma yang telah ada (tertulis) dalam UU Pemilu
telah sesuai dan tidak bertentangan dengan UUD 1945, namun
apa yang tiada-lah yang bertentangan dengan UUD 1945”. Dengan
demikian, sangat tidak berdasar apabila norma-norma yang tidak
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
133
bertentangan
dengan
UUD
1945
tersebut
dimohonkan
untuk
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945
Demikian pula akan menjadi janggal apabila rumusan yang
tertulis pada Pasal 12 huruf a sampai dengan huruf p Undang-Undang
tentang Pemilihan Umum yang tidak bertentangan dengan Pasal 22C
ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 dinyatakan bertentangan
dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945.
Pada Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum juga
mengatur mengenai kelengkapan administratif bagi calon anggota
DPD. Pasal ini merupakan implikasi dari Pasal 12 Undang-Undang
a quo. Tentu saja pada pasal ini tidak mencantumkan kelengkapan
administrasi yang terkait dengan syarat domisili dan syarat non-partai
politik, mengingat pada Pasal 12 Undang-Undang tentang Pemilihan
Umum, kedua norma tersebut tidak dipersyaratkan. Selanjutnya sama
dengan argumentasi sebelumnya, akan menjadi janggal apabila
keseluruhan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum
dimohonkan untuk dinyatakan bertentangan dengan Pasal 22C ayat
(1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, sementara keseluruhan
rumusan
norma
yang
tertulis
di
dalam
pasal
tersebut
tidak
bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD
1945.
Oleh karena yang dianggap bertentangan dengan Pasal 22C
ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 oleh para Pemohon a quo
ialah soal ketiadaan norma/penghilangan norma syarat domisili dan
syarat non partai politik dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang
tentang Pemilihan Umum, sedangkan norma-norma yang tertuang
dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan
Umum tidak dianggap suatu norma yang bertentangan dengan Pasal
22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, maka sudah
seharusnya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan
Umum dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Dengan
mengajukan
permohonan
uji
materiil
mengenai
ketiadaan norma dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum
terhadap UUD 1945, maka permohonan ini menjadi kabur (obscuur
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
134
libels). Mahkamah Konstitusi merupakan negatif legislator, sementara
DPR dan Presiden merupakan positif legislator, yang bermakna DPR
dan
Pemerintah
membuat
norma
undang-undang,
kemudian
Mahkamah Konstitusi meniadakan norma dalam undang-undang,
apabila dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Petitum yang diajukan
oleh para Pemohon akan menempatkan Mahkamah Konstitusi sebagai
positif legislator karena memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk
memasukkan norma tertentu berupa conditionaly constitutional.
Permohonan tersebut lebih tepat masuk dalam ranah legislatif review
bukan dengan judicial review.
Pendapat yang terhormat salah satu Hakim konstitusi pada saat
seleksi calon Hakim Konstitusi di DPR (Moh. Mahfud MD, Mahkamah
Konstitusi dan Independence of Judiciary dalam Negara Hukum yang
Demokratis, makalah untuk kelengkapan seleksi calon Hakim MK, 10
Maret 2008, hal. 3.) sangat menarik untuk disimak, yaitu mengenai 10
rambu yang harus dijadikan landasan Mahkamah Konstitusi dan para
hakimnya dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya diantaranya
adalah:
¾ ”Tak boleh membuat putusan yang bersifat mengatur, pembatalan
UU tidak boleh disertai pengaturan, karena pengaturan adalah
ranah legislatif. Mahkamah Kontitusi hanya boleh mengatakan
suatu UU atau isinya konstitusional atau tidak konstitusional;
¾ Tak boleh membuat ultra petita, sebab ultra petita berarti
mengintervensi ranah legislatif. Meski begitu ada juga yang
berpendapat bahwa ultra petita dapat dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi jika sebuah pasal yang dinyatakan judicial review
berkaitan langsung dengan pasal-pasal lain yang tak dapat
dipisahkan. Pemikiran itu wajar tetapi bagi penulis sendiri kalau
sebuah permintaan uji materi ada kaitannya dengan pasal-pasal
lain yang tidak diminta untuk dibatalkan maka pembatalan tak bisa
dilakukan karena hal itu berarti merambah ke ranah legislatif.
Biarkan yang membuat pembatalan adalah lembaga legislatif
sendiri melalui legislative review.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
135
¾ Tak boleh mendalilkan UU sebagai dasar pembatalan UU lainnya,
sebab tugas MK itu menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD,
bukan UU terhadap UU lainnya. Tumpang tindih antar berbagai UU
menjadi bagian legislative review”.
2) Mengenai Penghilangan Norma Konstitusi dalam Undang-Undang
tentang Pemilihan Umum
Dalil yang dijadikan alasan yuridis oleh para Pemohon a quo
pada angka romawi I halaman 31-35 adalah Penghilangan Norma
Konstitusi dalam UU Pemilu. Menurut para Pemohon syarat domisili
dan syarat non-partai politik merupakan isi dari Pasal 22C ayat (1)
UUD 1945 yang berbunyi, ”Anggota Dewan Perwakilan Daerah
dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum” dan Pasal 22E
ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, ”Peserta pemilihan umum untuk
memilih
anggota
Dewan
Perwakilan
daerah
adalah
perseorangan”. Dengan tidak mencantumkan syarat domisili dan
syarat non partai politik pada Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang
tentang Pemilihan Umum, maka menurut para Pemohon UndangUndang tentang Pemilihan Umum telah menghilangkan norma
konstitusi yang terdapat di dalam Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E
ayat (4) UUD 1945 tersebut. Menurut para Pemohon a quo kedua
syarat tersebut merupakan suatu norma yang diharuskan oleh
Konstitusi untuk diatur dalam Undang-Undang tentang Pemilihan
Umum.
Terhadap dalil para Pemohon a quo DPR berpandangan bahwa
penghilangan norma konstitusi harus dipahami bahwa norma yang
telah dirumuskan di dalam konstitusi secara eksplisit dihilangkan atau
dirumuskan secara berbeda, sehingga mempunyai makna yang
bertentangan. Sebagai contoh dapat digambarkan dalam konstitusi
Negara Thailand dan Negara Argentina, dimana konstitusi Thailand
tersebut juga telah dikutip oleh para Pemohon.
Section 126 Konstitusi Thailand 1997
A person under any of the following qualifications shall have no right to
be a candidate in an election of senators:
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
136
1) being a member of or holder of other position of a political party;
2) being a member of the House of Representatives or having been a
member of the House of Representatives and his or her
membership has terminated for not yet more than one year up to
the date of applying for the candidacy;
3) being or having been a senator in accordance with the provisions of
this Constitution during the term of the Senate preceding the
application for the candidacy;
4) being disfranchised under section 109 (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7),
(8), (9), (11), (12), (13) or (14).
(http://www.servat.unibe.ch/icl/th00000_.html)
Section 115. (Konstitusi Thailand 2007)
“A person having the qualifications and having no any of the
prohibitions as mentioned below has the right to be a candidate in an
election or selection of senators:
(1) being of Thai nationality by birth;
(2) being of not less than forty years of age on the election day or the
date of nomination;
(3) having graduated with not lower than a Bachelor’s degree or its
equivalent;
(4) a candidate in an election of senators shall also possess any of the
following qualifications:
(a) having his name appear on the house register in Changwat
where he stands for election for a consecutive period of not less
than five years up to the date of applying for candidacy;
(b) being born in Changwat where he stands for election;
(c) having studied in an education institution situated in Changwat
where he stands for election for a consecutive period of not less
than five academic years;
(d) having served in the official service or having had his name
appear in the house register in Changwat where he stands for
election for a consecutive period of not less than five years;
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
137
(5) not being ascendants, spouse or child of a member of the
House of Representatives or a person holding a political
position;
(6) not being a member or a person holding any position in
a political party, or having been a member or having been
holding a position in a political party and his membership has
terminated or he vacates office in a political party for a period of
not more than five years on the date of applying for candidacy or
the date of nomination;”
(http://www.asianlii.org/th/legis/const/2007/1.html#C06P03)
Section 55 Konstitusi Argentina
“In order to be elected senator the following conditions are required: to
have attained to the age of 30 years, to have been six years a citizen of
the Nation, to have an annual income of two thousand strong pesos or
similar revenues, and to be a native of the province electing him or to
have two years of immediate residence therein”.
(http://www.servat.unibe.ch/icl/ar00000_.html)
Tanpa bermaksud menyamakan posisi DPD dengan Senat di
Thailand atau Senat di Argentina, namun yang ingin disampaikan di
sini adalah pemaknaan dari “Penghilangan Norma Konstitusi dalam
Undang-Undang” sebagai berikut:
a. Konstitusi Thailand secara tegas menyebutkan bahwa ada beberapa
kualifikasi yang menjadikan seseorang tidak berhak menjadi calon
senator di antaranya adalah menjadi anggota atau memegang
kepengurusan/posisi tertentu di partai politik;
b. Konstitusi Argentina menyebutkan bahwa syarat untuk menjadi
anggota Senat salah satunya adalah penduduk asli dari provinsi
tersebut atau telah dua tahun berdomisili di daerah tersebut.
c. Apabila kemudian Undang-Undang tentang Pemilihan Umum
menghapuskan syarat tersebut, hal ini dapat dikatakan bahwa
Undang-Undang tentang Pemilihan Umum telah menghilangkan
norma konstitusi dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum.
Dengan demikian apa yang dimaksud oleh para Pemohon a quo
mengenai
normaFHkonstitusi
dalam Undang-Undang
Implikasi “penghilangan
peran..., Agung Sudrajat,
UI, 2012
138
tentang Pemilihan Umum” tidak benar, karena tidak ada norma di
dalam UUD 1945 yang secara eksplisit menyebutkan syarat untuk
menjadi calon anggota DPD adalah bukan berasal dari partai politik
dan berdomisili di wilayah yang bersangkutan sebagaimana pada
konstitusi Thailand dan Konstitusi Argentina tersebut di atas. Sehingga
tidak ada norma dalam UUD 1945 yang dihilangkan di dalam UndangUndang tentang Pemilihan Umum.
3) Mengenai Syarat Domisili dan Syarat Non-Partai Politik
Negara
Indonesia
adalah
negara
hukum
sebagaimana
ditegaskan dalam Konstitusi kita Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Indonesia
sebagai negara hukum sepatutnya dalam penyelenggaraan negara
dan pemerintahan harus berdasarkan pada hukum yang sesuai
dengan amanat konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Negara hukum yang menjadi kesepakatan nasional adalah
negara hukum yang demokratis, artinya hukum yang dibentuk
berdasarkan kedaulatan rakyat. Oleh karena kedaulatan rakyat yang
dianut dalam Amandemen UUD 1945 adalah kedaulatan yang berada
di tangan rakyat bukan berada di MPR sebagaimana dalam UUD 1945
sebelum perubahan.
Sebagai
wujud
implementasi
dari
negara
hukum
yang
demokratis tersebut, dibangunnya suatu sistem pemilihan umum yang
langsung dipilih rakyat melalui suatu instrumen undang-undang yang
dibentuk oleh DPR bersama Presiden. Bahwa esensi pemilihan umum
adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat. Kedaulatan adalah di tangan
rakyat. Rakyat memiliki hak untuk memilih wakilnya secara langsung.
Inilah prinsip dasar pemilihan umum yang tidak boleh direduksi dengan
cara apapun. Meskipun tidak ada syarat non-partai politik dan domisili,
namun masih terdapat beberapa tahapan-tahapan untuk menjadi
anggota DPD, yaitu mengumpulkan dukungan dan yang paling penting
adalah dipilih oleh rakyat di provinsi tersebut. Hak untuk memberikan
dukungan dan hak untuk memilih tetap di tangan rakyat. Dengan
demikian ada suatu lompatan cara berpikir dari para Pemohon dengan
menafikan keberadaan rakyat. Dalam sistem pemilihan umum yang
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
139
demokratis maka
Rakyat pemilih-lah yang akan menentukan wakil
mereka, bukan undang-undang.
Tentang syarat domisili bagi calon anggota DPD yang menurut
para Pemohon harus berdomisili di provinsi yang bersangkutan, secara
tegas tidak tercantum dalam Pasal 22C ayat (1) UUD Tahun 1945.
Pemaknaan yang menurut para Pemohon bahwa secara semantis
frasa ”dipilih dari setiap provinsi” mengandung arti bahwa calon
anggota DPD yang akan mewakili suatu provinsi dipilih dari orangorang yang berdomisili di provinsi yang bersangkutan adalah tafsir dari
para Pemohon sendiri. Padahal sesungguhnya frasa tersebut juga
dapat bermakna bahwa setiap provinsi harus terwakili dalam DPD,
sehingga isi dari kelembagaan DPD adalah wakil dari setiap provinsi.
Tidak boleh ada satu atau lebih provinsi yang tidak terwakili dalam
DPD. Hal ini dengan mengingat bahwa salah satu tujuan dibentuknya
DPD adalah untuk meningkatkan derajat keterwakilan Utusan Daerah
pada masa lalu berdasarkan risalah Rapat Panitia Ad Hoc I MPR RI
ketika membahas pasal ini.
Harus dipahami bahwa kata ”perseorangan” dalam Pasal 22E
ayat (4) UUD 1945 bermakna bahwa pencalonannya adalah tidak
melalui partai politik, sehingga berimplikasi kepada sistem pemilihan
umum yang menggunakan sistem distrik. Jika dikomparasikan dalam
pelaksanaan
pemilihan
kepala
daerah
langsung,
makna
”perseorangan” itu lebih bermakna tidak dicalonkan oleh partai politik
meskipun yang bersangkutan adalah anggota partai politik.
Pada argumentasi nomor 86 halaman 52, para Pemohon
mendalilkan bahwa rumusan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dengan
tegas memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk
”menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar” tanpa
pembatasan ”sepanjang mengenai adanya norma undang-undang
yang
bertentangan
dengan
Undang-Undang
Dasar”
sehingga
kemudian disimpulkan tiadanya norma tertentu dalam undang-undang
boleh diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Alur pikir atau argumentasi para
Pemohon ini menjadi bertentangan atau tidak konsisten ketika para
Pemohon memaknai Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, ”Peserta
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
140
Pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Daerah adalah perseorangan”. Apabila para Pemohon konsisten,
maka para Pemohon juga harus memaknai bahwa Pasal 22E ayat (4)
dengan tegas menyebutkan peserta pemilihan umum untuk memilih
anggota DPD adalah ”perseorangan” tanpa pembatasan ”yang bukan
berasal dari partai politik”.
Terhadap dalil para Pemohon yang membandingkan dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 dan draft RUU dari
Pemerintah,
DPR
berpandangan
bahwa
sesuai
kelaziman
konstitusional, pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, yang
menjadi objek pengujian adalah undang-undang sedangkan alat ukur
untuk menguji adalah UUD 1945 bukan undang-undang, karena itu
dinamakan pengujian konstitusionalitas.
Rapat Pansus RUU tentang Pemilihan Umum
Dalam perdebatan di Panitia Khusus, salah satu argumen yang
dibangun adalah agar setiap warga negara diberi kesempatan untuk dapat
mengabdikan dirinya demi kemajuan daerah provinsi. Tidak boleh dihalanghalangi hak setiap warga negara terutama bagi yang memiliki ikatan lahir
batin (emosional) dengan provinsi tertentu untuk dapat mencalonkan diri
menjadi anggota DPD terutama karena kelahirannya atau asal usul orang
tuanya. Pada kenyataannya, keanggotaan DPD saat ini pun terdapat orang
yang sesungguhnya berdomisili di Jakarta tetapi dapat menjadi calon yang
kemudian
menjadi
anggota
DPD.
Praktik
semacam
itu
sebaiknya
dihilangkan dan diganti secara lebih fair dengan dibukanya kesempatan
bagi setiap warga negara yang terutama ditujukan bagi yang memiliki ikatan
lahir batin dengan provinsi tersebut untuk dapat mencalonkan diri menjadi
anggota DPD. Apalagi jika penerapan single identity number sudah
terlaksana sesuai Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan,
maka warga negara tidak dengan mudah membuat KTP baru untuk
kepentingan sesaat padahal KTP lama tidak hilang. Jadi, tujuan dari
ketentuan tersebut adalah membuka para putra/putri daerah (provinsi) yang
tinggal di luar provinsi tersebut tetapi masih memiliki kepedulian serta
perhatian terhadap provinsinya untuk dapat mencalonkan diri menjadi
anggota DPD
mewakili provinsi tersebut.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
141
Panitia Khusus RUU tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD
secara sadar membahas tentang hal ini dengan tetap berdasarkan UUD
1945, sehingga tidak ada hak warga negara yang dilanggar dengan
ketentuan dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum tersebut.
Mengenai Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD yang tidak mencantumkan
syarat domisili, dalam Risalah Rapat Panitia Kerja RUU tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD pada tanggal 5 Desember 2007,
yaitu:
Persyaratan Domisili dihapus, atas dasar:
a. bahwa persyaratan domisili membatasi hak asasi seseorang dan pada
Tahun 2004 kasus soal domisili tinggi sekali bahkan menjadi objek
bahkan pemerasan terhadap orang-orang yang berkeinginan menjadi
dan atau berkompetisi menjadi anggota DPD. Banyak sekali yang
berguguran karena adanya persyaratan domisili tetapi banyak pula yang
mengambil keuntungan dari persyaratan ini.
b. bahwa
harus
dibedakan
antara
persyaratan
dengan
kewajiban.
Persyaratan itu kesetaraan, kesempatan yang luas, diskriminasi,
pembatasan itu dalam persyaratan dan itu tidak perlu sampai menyentuh
terbatasinya hak-hak setiap warga negara. Pemilu LUBER JURDIL
merupakan implementasi dari Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur
dan Adil yang implementasinya di persyaratan. Kewajiban adalah
setelah
proses
persyaratan
terpenuhi
berlangsung
dan
terpilih.
Persyaratan domisili tidak perlu ada, karena rakyat yang harus memilih
wakilnya sebagai calon anggota DPD yang mereka kenal di daerahnya.
c. bahwa persoalan domisili akan diatur lebih lanjut dalam UU Susduk,
karena itu merupakan kompetensi Susduk
d. bahwa konstruksi DPD adalah sebuah institusi yang mewakili daerah
dan penduduk di daerah tersebut, istilah “domisili” diubah menjadi
“pernah bertempat tinggal secara de facto di daerah yang akan
diwakilinya” atau mempunyai hubungan emosional, kebatinan dengan
daerah yang akan diwakili sebagai anggota DPD;
e. bahwa orang yang concern dengan daerah, paham tentang daerah,
mengenal tentang daerahnya dan banyak berkarya di daerahnya tetapi
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
142
berdomisili di luar daerah tersebut, harus diberikan kesempatan yang
sama sehingga tidak ada hak-hak warga negara yang terlanggar.
Mengenai Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD yang tidak mencantumkan
syarat Non Partai Politik, dalam Risalah Rapat Panitia Kerja RUU tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD pada tanggal 26
September 2007, yaitu:
a. bahwa
peserta
Pemilu
untuk
memilih
anggota
DPD
adalah
perseorangan dan ini merupakan rumusan konstitusi yang tidak bisa
diubah.
b. bahwa yang dimaksud dengan perseorangan adalah tidak membedakan
apakah berasal dari perseorangan itu sendiri maupun perseorangan dari
partai politik, artinya penekanannya pada proses pencalonan,
walaupun berasal dari partai politik tetapi orang tersebut mempunyai
basis kemampuan yang besar dan tidak dicalonkan oleh partainya maka
dia dapat mencalonkan diri secara pribadi sebagai anggota DPD.
c. bahwa pencalonan diri secara pribadi merupakan equality before the law
(kesamaan
kesempatan
di
muka
yang
hukum),
sama
seluruh
(tidak
warga
membatasi),
negara
diberikan
siapapun
dapat
mencalonkan diri sebagai anggota DPD, dengan tidak mengenal jenis
kelamin atau latar belakang pekerjaan sepanjang memenuhi kualifikasi
persyaratan yang ada.
Dengan demikian, sebagaimana sudah diuraikan argumen-argumen
filosofis, yuridis, dan teoritis, serta berdasarkan Risalah Rapat Panitia Khusus
mengenai Pembahasan RUU tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD,
dan DPRD, maka DPR berpandangan bahwa yang dapat diajukan pengujian
materiil
atas
Undang-Undang
terhadap
UUD
1945
sesuai
kelaziman
konstitusional (meminjam istilah Jimly Asshiddiqie) harus menguraikan normanorma hukum yang tertulis yang berlaku dan mengikat, sedangkan ketiadaan
norma (yang belum berlaku dan tidak mengikat) yang dijadikan alasan
pengujian adalah tidak berdasar.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
143
Oleh karena itu, ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang
tentang Pemilihan Umum tidak melanggar dan bertentangan dengan Pasal
22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945.
D. PETITUM
Berdasarkan
dalil-dalil
sebagaimana
diuraikan
di
atas,
DPR
memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi yang terhormat untuk
memutuskan hal-hal sebagai berikut:
1. Mengabulkan keterangan DPR seluruhnya;
2. Menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing), sehingga harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet
ontvantkelijke verklaard);
3. Menyatakan permohonan para Pemohon tidak beralasan sehingga
harus dinyatakan ditolak, atau setidak-tidaknya permohonan para
Pemohon tidak diterima;
4. Menyatakan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD tidak
bertentangan dengan UUD 1945;
5. Menyatakan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD tetap
memiliki kekuatan hukum mengikat;
Apabila Majelis Hakim Konstitusi yang terhormat berpendapat lain, mohon putusan
yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
[2.5]
Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 10 Juni 2008, Pemerintah
yang diwakili oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Menteri Dalam
Negeri memberi keterangan, sebagai berikut:
I.
UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 2 ayat
(1) menyatakan bahwa "kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar". Makna dari “kedaulatan berada di tangan
rakyat” adalah bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan
kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk
pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat,
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
144
serta memilih wakil-wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan.
Perwujudan kedaulatan rakyat dimaksud dilaksanakan melalui pemilihan
umum secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakilwakilnya
yang
akan
menjalankan
fungsi
melakukan
pengawasan,
menyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai
landasan bagi semua pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam
menjalankan fungsi masing-masing, serta merumuskan anggaran pendapatan
dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut.
Sesuai ketentuan Pasal 22E ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pemilihan umum dimaksud
diselenggarakan dengan menjamin prinsip keterwakilan, yang artinya setiap
orang Warga Negara Indonesia terjamin memiliki wakil yang duduk di
lembaga perwakilan yang akan menyuarakan aspirasi rakyat di setiap
tingkatan pemerintahan, dari pusat hingga ke daerah.
Dengan asas langsung, rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk
memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati
nuraninya, tanpa perantara. Pemilihan yang bersifat umum mengandung
makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga
negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis
kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial. Setiap pemilih dan
peserta Pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan
pihak manapun.
Selain itu, untuk mengakomodasi aspirasi keanekaragaman daerah, sesuai
dengan ketentuan Pasal 22C Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dibentuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang
anggota-anggotanya dipilih dari perseorangan yang memenuhi persyaratan
dalam pemilihan umum bersamaan dengan pemilihan umum untuk memilih
anggota DPR dan DPRD.
Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) melalui pemilihan umum
dilaksanakan berdasarkan prinsip kesamaan hak dan kedudukan setiap
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
145
warga negara dalam menggunakan haknya untuk dipilih, sehingga calon
anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
tidak dipersyaratkan untuk
berdomisili di provinsi yang menjadi daerah pemilihannya dan tidak dibatasi
menurut latar belakang atau status politiknya (Parpol atau non-Parpol). Hal ini
sesuai dengan prinsip kesatuan wilayah dan kesamaan kedudukan hukum
warga negara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
II.
TENTANG KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON
Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa Pemohon adalah
pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud
dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sehingga agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon
yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan
pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan
membuktikan:
a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam
Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud
yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji;
c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai
akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
146
Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan
kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang
timbul karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (vide
Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan berikutnya), harus
memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:
a.
adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon
telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
c.
bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d.
adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
e.
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Karena itu terhadap kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dalam
permohonan pengujian undang-undang a quo, dapat dijelaskan sebagai
berikut:
Terhadap kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dengan register
perkara Nomor 10/PUU-VI/2008, Pemerintah dapat menjelaskan sebagai
berikut:
Menurut para Pemohon, dalam permohonannya bahwa dengan berlakunya
ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, maka hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan, karena ketentuan a quo
dianggap telah menghilangkan persyaratan berdomisili di provinsi yang
bersangkutan (ketiadaan syarat domisili) dan tidak terdapatnya persyaratan
bukan anggota dan/atau pengurus partai politik dalam waktu tertentu
(ketiadaan syarat non-parpol) untuk menjadi calon anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), karena dengan ketiadaan syarat-syarat tersebut
dapat menyebabkan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) diragukan
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
147
kapabilitas dan objektivitas dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan
daerah yang diwakilinya. Karenanya ketentuan a quo oleh para Pemohon
dianggap bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1), dan Pasal 22E ayat (4)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Karena itu, perlu dipertanyakan kepentingan para Pemohon apakah sudah
tepat
sebagai
pihak
yang
menganggap
hak
dan/atau
kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh keberlakuan Pasal 12 dan Pasal 67 UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah. Juga apakah terdapat kerugian konstitusional para Pemohon
yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat
potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi,
dan apakah ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian
dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji.
Pemerintah
mempertanyakan
siapa
yang sebenarnya dirugikan atas
keberlakuan undang-undang a quo, dengan penjelasan sebagai berikut:
1) Terhadap Pemohon I (Dewan Perwakilan Daerah sebagai institusi
lembaga negara), apakah benar dengan berlakunya ketentuan Pasal 12
dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat secara umum, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, maka hak
dan/atau
kewenangan
konstitusionalnya
dirugikan?,
pertanyaan
selanjutnya adalah siapa yang sebenarnya dirugikan atas keberlakuan
undang-undang a quo?, apakah Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
sebagai institusi lembaga negara atau para anggota Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) secara keseluruhan?, pertanyaan ini perlu Pemerintah
kemukakan karena Pemohon I yang terdiri dari para anggota Dewan
Perwakilan
Daerah
(DPD)
selain
menyatakan
diri
dan/atau
mengatasnamakan mewakili lembaga negara Dewan Perwakilan Daerah
(DPD), juga terdapat Pemohon lain (Pemohon II) yang terdiri dari
sebagian anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Menurut Pemerintah, Pemohon I telah keliru dan tidak tepat dalam
mengkonstruksikan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
atas keberlakuan
undang-undang
a quo,
karena pada kenyataannya
Implikasi peran...,
Agung Sudrajat, FH
UI, 2012
148
Pemohon I sampai saat ini masih tetap dapat menjalankan tugas, fungsi
dan wewenangnya sebagaimana diatur dalam Pasal 22D Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maupun Pasal 32 sampai
dengan Pasal 51 Undang-Undang 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dengan perkataan lain hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon
I tidak terkurangi, terhalangi maupun terganggu sedikit pun atas
keberlakuan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji.
Lebih lanjut menurut Pemerintah, jika Pemohon I merasa perlu melakukan
pengujian undang-undang yang terkait dengan hak dan kewenangan
konstitusional Dewan Perwakilan Daerah (DPD), maka tidaklah tepat
permohonan pengujian undang-undang tersebut dilakukan terhadap
undang-undang a quo.
Karena ketentuan Pasal 12 dan 67 Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008 hanya berkaitan dengan persyaratan
untuk menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
2) Terhadap Pemohon II yang merupakan anggota DPD dan menyatakan diri
sebagai perorangan (kelompok orang) warga negara Indonesia, yang
merasa hak konstitusionalnya dirugikan, karena ketentuan a quo dianggap
tidak memberi batasan terhadap anggota/pengurus Parpol maupun tidak
mencantumkan persyaratan domisili untuk menjadi calon anggota DPD.
Menurut Pemerintah, pendapat Pemohon II tersebut di atas sangatlah
tidak beralasan dan tidaklah tepat, utamanya dalam mengkonstruksikan
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional atas keberlakuan
undang-undang a quo, karena Pemohon II pada saat ini telah duduk
sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan tidak dalam
situasi/posisi yang terhalang atau setidak-tidaknya terkurangi hak-haknya
untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Bahkan hak
dan kewenangan Pemohon II untuk mencalonkan diri kembali sebagai
anggota DPD pada Pemilu tahun 2009 tidak terkurangi dan terhalangi
sedikitpun dengan adanya ketentuan a quo. Menurut Pemerintah
ketentuan a quo justru telah memberikan hak dan perlakuan yang sama
bagi semua pihak yang berkeinginan untuk menjadi calon anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD).
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
149
Dengan perkataan lain, ketentuan Pasal 12 dan 67 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008, tidak terkait sama sekali dengan hak dan/atau
kewenangan konstitusional Pemohon II, karena ketentuan a quo hanya
berkaitan dengan persyaratan untuk menjadi calon anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD).
3) Terhadap Pemohon III, yang menyatakan diri sebagai perorangan warga
negara Indonesia, yang dikenal aktif dan konsen dengan isu-isu yang
terkait dengan Pemilu, kinerja parlemen, kualitas representasi publik
dalam parlemen, dan penyaluran aspirasi daerah, antara lain yang
mewakili CETRO, Serikat Nasional Perlindungan Hak Konstitusional
Masyarakat Hukum Adat, IPC, dan FORMAPPI, yang menurut Pemohon
III ketentuan a quo dapat menyebabkan aspirasi dan kepentingan
masyarakat daerah terancam tidak terwakili.
Menurut Pemerintah, ketentuan a quo sama sekali tidak terkait dengan
kepentingan para Pemohon III seperti tersebut di atas, apalagi
merugikannya. Jika dalam penerapan (implementasi) ketentuan a quo
“seolah-olah” mengesampingkan atau mengalahkan calon anggota DPD
yang berasal dari kelompok masyarakat yang diwakili oleh Pemohon III,
hal tersebut tidak terkait dengan konstitusionalitas keberlakuan ketentuan
a quo, karena pada dasarnya rakyat pemilihlah (voter) yang menentukan
siapa yang dianggap layak untuk mewakili daerahnya menjadi anggota
Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sementara itu terhadap Pemohon III
yang mewakili lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berbentuk
“badan hukum privat”, dan aktivitasnya berkaitan dengan pemilihan umum
(Pemilu), utamanya terhadap pembaharuan pemilihan umum (electoral
reform) demi terselenggaranya pemilu yang demokratis, langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil, yang berpendapat bahwa ketentuan a quo
dapat
mencederai
dan
mengganggu
bagi
terlaksananya
jaminan
keterwakilan setiap daerah provinsi dalam pemilihan anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), Pemerintah tidak sependapat.
Menurut Pemerintah, pendapat Pemohon III tersebut di atas, tidak jelas
dan tidak konkrit mengkonstruksikan mengenai hak dan/kewenangan
mana yang dirugikan atas berlakunya ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67
Undang-Undang
Nomor
10Sudrajat,
Tahun
2008
Implikasi peran...,
Agung
FH UI,
2012tentang Pemilihan Umum
150
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, karena ketentuan a quo tidak terkait
dengan apakah penyelenggaraan pemilihan umum tersebut dilaksanakan
dengan demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil atau
tidak,
dan
hanya
mengatur
tentang
syarat-syarat
untuk
dapat
mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Dengan
perkataan
lain
Pemohon
III
tidak
memenuhi
kualifikasi
sebagaimana ditentukan oleh Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa
Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan oleh
berlakunya suatu undang-undang.
4) Terhadap Pemohon IV, yang menyatakan diri sebagai perseorangan yang
tinggal di provinsi tertentu, pertanyaannya adalah apakah Pemohon
sebagai pihak yang berkeinginan untuk mencalonkan diri sebagai anggota
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari daerah asalnya masing-masing?,
pertanyaan selanjutnya adalah apakah Pemohon IV secara faktual
maupun potensial terkurangi atau setidak-tidaknya terhalang-halangi
haknya sebagai warga negara Indonesia untuk mencalonkan diri sebagai
anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)?, menurut Pemerintah
Pemohon IV bukanlah pihak yang telah ditolak, dikurangi maupun
dihalang-halangi untuk mencalonkan diri sebagai anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), justru ketentuan a quo menurut Pemerintah
telah memberikan kesempatan/keleluasaan kepada setiap orang tanpa
kecuali untuk mencalonkan diri menjadi anggota Dewan Perwakilan
Daerah (DPD), hal ini sejalan dengan amanat/kehendak ketentuan Pasal
27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Berdasarkan uraian di atas, Pemerintah berpendapat bahwa adanya
syarat-syarat bagi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) seperti
tercantum
dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
adalah menjadi
kewenangan pembuat undang-undang (Dewan Perwakilan
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
151
Rakyat dan Presiden), dan karenanya tidak terkait sama sekali terhadap
kedudukan dan kepentingan para Pemohon sebagai salah satu syarat
untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang (constitutional
review) a quo terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Sehingga menurut Pemerintah dalil-dalil yang dikemukakan oleh para
Pemohon bahwa telah timbul kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional telah nyata-nyata tidak terjadi baik secara faktual maupun
potensial. Juga menurut Pemerintah ketentuan a quo
tidak terkait
dan/atau berhubungan dengan konstitusionalitas keberlakuan materi
muatan suatu undang-undang, karena apa yang didalilkan oleh para
Pemohon normanya tidak tercantum (tidak tertulis) dalam ketentuan Pasal
12 dan Pasal 67 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dengan perkataan lain
dalil keberatan Para Pemohon hanya dalam “dunia angan-angan belaka”.
Selain itu ketentuan a quo berkaitan erat dengan politik hukum maupun
pilihan hukum/kebijakan (legal policy) pembuat undang-undang.
Atas hal-hal tersebut, Pemerintah meminta kepada para Pemohon melalui
Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menjelaskan dan
membuktikan secara sah terlebih dahulu apakah benar para Pemohon
sebagai
pihak
yang
hak
dan/atau
kewenangan
konstitusionalnya
dirugikan. Pemerintah berpendapat bahwa tidak terdapat dan/atau telah
timbul kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional
Pemohon atas keberlakuan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, karena itu kedudukan
hukum (legal standing) para Pemohon dalam permohonan pengujian ini
tidak memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 51 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
maupun
berdasarkan putusan-putusan
Mahkamah
terdahulu.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Konstitusi
yang
152
Berdasarkan
uraian
tersebut
di
atas,
Pemerintah
memohon
agar
Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan
permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard). Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi berpendapat lain, berikut ini disampaikan penjelasan Pemerintah
tentang materi pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
III.
PENJELASAN PEMERINTAH ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN PASAL
12 DAN PASAL 67 UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2008
TENTANG
PEMILIHAN
UMUM
ANGGOTA
DEWAN
PERWAKILAN
RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT DAERAH.
Sebelum Pemerintah menyampaikan penjelasan atas permohonan pengujian
ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, berikut
disampaikan:
Matrik perbandingan syarat-syarat untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPD) menurut Undang-Undang 12 Tahun 2003 dan UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, sebagai berikut:
Persyaratan menjadi anggota
DPD menurut UU No. 12 Tahun
2003
Persyaratan menjadi angota DPD
menurut UU No. 10 Tahun 2008
Pasal 60
Pasal 12
Calon anggota DPR, DPD, DPRD
Persyaratan sebagaimana dimaksud
provinsi, dan DPRD kabupaten/
dalam Pasal 11 ayat (2):
kota harus memenuhi syarat:
a. Warga Negara Indonesia yang
a. warga negara Republik
telah berumur 21 (dua puluh satu)
Indonesia yang berumur 21
tahun atau lebih;
(dua puluh satu) tahun atau
b. bertakwa kepada Tuhan Yang
lebih;
Maha Esa;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang
c. bertempat tinggal di wilayah
Maha Esa;
Negara Kesatuan Republik
c. berdomisili di wilayah Negara
Indonesia;
Kesatuan
Republik
Indonesia;
Implikasi
peran...,
Agung Sudrajat, FH UI, 2012
153
d. cakap berbicara, membaca,
dan menulis dalam bahasa
Indonesia;
e. berpendidikan serendahrendahnya SLTA atau
sederajat;
f. setia kepada Pancasila
sebagai dasar negara,
Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dan cita-cita
Proklamasi 17 Agustus 1945;
g. bukan bekas anggota
organisasi terlarang Partai
Komunis Indonesia, termasuk
organisasi massanya, atau
bukan orang yang terlibat
langsung ataupun tak
langsung dalam G30S/PKI,
atau organisasi terlarang
lainnya;
h. tidak sedang dicabut hak
pilihnya berdasarkan putusan
pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum
tetap;
i. tidak sedang menjalani pidana
penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum
tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan
pidana penjara 5 (lima) tahun
atau lebih;
j. sehat jasmani dan rohani
berdasarkan hasil
pemeriksaan kesehatan dari
dokter yang berkompeten; dan
k. terdaftar sebagai pemilih.
Pasal 63
Calon anggota DPD selain harus
memenuhi syarat calon
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 60, juga harus memenuhi
syarat:
a. berdomisili di provinsi yang
bersangkutan sekurangkurangnya 3 (tiga) tahun
secara berturut-turut yang
dihitung sampai dengan
d. cakap berbicara, membaca, dan
menulis dalam bahasaIndonesia;
e. berpendidikan paling rendah
tamat Sekolah Menengah Atas
(SMA), Madrasah Aliyah (MA),
Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan
(MAK), atau bentuk lainyang
sederajat;
f. setia kepada Pancasila sebagai
dasar negara, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dan cita-cita
Proklamasi 17 Agustus 1945;
g. tidak pernah dijatuhi pidana
penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih
h. sehat jasmani dan rohani;
i. terdaftar sebagai pemilih;
j. bersedia bekerja penuh waktu;
k. mengundurkan diri sebagai
pegawai negeri sipil,
anggotaTentara Nasional
Indonesia, anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia,
pengurus pada badan usaha milik
negara dan/atau badan usaha
milik daerah, serta badan lain
yang anggarannya bersumber dari
keuangan negara,yang
dinyatakan dengan surat
pengunduran diri yang tidak dapat
ditarik kembali;
l. bersedia untuk tidak berpraktik
sebagai akuntan publik,
advokat/pengacara, notaris,
pejabat pembuat akta tanah
(PPAT), dan tidak melakukan
pekerjaan penyedia barang dan
jasa yang berhubungan dengan
keuangan negara serta pekerjaan
lain yang dapat menimbulkan
konflik kepentingan dengan tugas,
wewenang, dan hak sebagai
anggota DPD sesuai peraturan
perundang-undangan;
m. bersedia untuk tidak merangkap
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
154
tanggal pengajuan calon
atau pernah berdomisili
selama 10 (sepuluh) tahun
sejak berusia 17 (tujuh
belas) tahun di provinsi
yang bersangkutan;
b. tidak menjadi pengurus
partai politik sekurangkurangnya 4 (empat) tahun
yang dihitung sampai
dengan tanggal pengajuan
calon.
jabatan sebagai pejabat negara
lainnya, pengurus pada badan
usaha milik negara, dan badan
usaha milik daerah, serta badan
lain yang anggarannya bersumber
dari keuangan negara;
n. mencalonkan hanya di 1 (satu)
lembaga perwakilan;
o. mencalonkan hanya di 1 (satu)
daerah pemilihan; dan
p. mendapat dukungan minimal dari
pemilih dari daerah pemilihan
yang bersangkutan.
Pasal 66
Pasal 67
Pengajuan calon anggota DPD
(1) Perseorangan yang memenuhi
dilakukan dengan ketentuan:
persyaratan sebagaimana
a. calon mendaftarkan diri
dimaksud dalam Pasal 12 dan
kepada KPU melalui KPU
Pasal 13 dapat mendaftarkan diri
Provinsi dengan menyebutkan
sebagai bakal calon anggota DPD
provinsi yang diwakilinya;
kepada KPU melalui KPU provinsi.
b. calon menyerahkan
(2) Kelengkapan administrasi bakal
persyaratan sebagaimana
calon anggota DPD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60,
dimaksud pada ayat (1) dibuktikan
Pasal 63, dan Pasal 64
dengan:
kepada KPU yang batas
a. kartu tanda penduduk Warga
waktunya ditetapkan oleh
Negara Indonesia;
KPU.
b. bukti kelulusan berupa fotokopi
ijazah, STTB, syahadah,
sertifikat, atau surat keterangan
lain yang dilegalisasi oleh
satuan pendidikan atau program
pendidikan menengah;
c. surat keterangan catatan
kepolisian tentang tidak
tersangkut perkara pidana dari
Kepolisian Negara Republik
Indonesia setempat;
d. surat keterangan berbadan
sehat jasmani dan rohani;
e. surat tanda bukti telah terdaftar
sebagai pemilih;
f. surat pernyataan tentang
kesediaan untuk bekerja penuh
waktu yang ditandatangani di
atas kertas bermeterai cukup;
g. surat pernyataan kesediaan
untuk tidak berpraktik sebagai
akuntan publik, advokat/
pengacara, notaris, dan
pekerjaan penyedia barang dan
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
155
jasa yang berhubungan dengan
keuangan negara serta
pekerjaan lain yang dapat
menimbulkan konflik
kepentingan dengan tugas,
wewenang, dan hak sebagai
anggota DPD yang
ditandatangani di atas kertas
bermeterai cukup;
h. surat pengunduran diri yang
tidak dapat ditarik kembali
sebagai pegawai negeri sipil,
anggota Tentara Nasional
Indonesia, atau anggota
Kepolisian Negara Republik
Indonesia, pengurus pada
badan usaha milik negara
dan/atau badan usaha milik
daerah, pengurus pada badan
lain yang anggarannya
bersumber dari anggaran
pendapatan dan belanja negara
dan/atau anggaran pendapatan
dan belanja daerah; dan
i. surat pernyataan tentang
kesediaan hanya mencalonkan
untuk 1 (satu) lembaga
perwakilan yang ditandatangani
di atas kertas bermeterai cukup.
Menurut para Pemohon ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
dianggap bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
yang
menyatakan sebagai berikut:
Pasal 22C ayat (1) berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari
setiap provinsi melalui pemilihan umum”.
Pasal 22E ayat (4) berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan”.
Karena menurut para Pemohon ketentuan a quo telah menimbulkan hal-hal
sebagai berikut:
1) Penghapusan syarat domisili dan syarat non-Parpol dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
156
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, merupakan upaya penghilangan norma konstitusi dalam
undang-undang a quo, dan karenanya dapat mengakibatkan undangundang a quo menjadi cacat.
2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah menegasikan keberadaan
konstitusi bahwa calon anggota DPD suatu provinsi dipilih dari provinsi
terkait [Pasal 22C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945] dan bersifat non-Parpol [asal 22E ayat (4)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945].
3) Dengan
ketiadaan
syarat
domisili
dan
syarat
non-Parpol
telah
menimbulkan penolakan dan reaksi keras dari seantero rakyat Indonesia,
seperti tercermin dalam “petisi tolak Parpol Masuk Kamar DPD”.
Terhadap anggapan/alasan para Pemohon tersebut di atas, Pemerintah
dapat menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
A. TENTANG PENGHILANGAN NORMA KONSTITUSI DALAM UNDANGUNDANG NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILU ANGGOTA
DPR, DPD DAN DPRD
1. Pemerintah berpendapat memang benar bahwa dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD
dan
DPRD,
tidak
tercantum
syarat
mengenai
domisili
dalam
pencalonan anggota DPD. Tetapi Pemerintah tidak sependapat
dengan anggapan para Pemohon yang berpandangan bahwa
ketiadaan syarat mengenai domisili merupakan penghilangan
norma konstitusi. Pasal 22C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “Anggota Dewan
Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan
umum” sesungguhnya dapat ditafsirkan ke dalam beberapa dimensi.
Pertama, bahwa dalam pemilihan umum yang diatur dalam suatu
undang-undang ditetapkan “daerah pemilihan” untuk pemilihan umum
anggota DPD adalah provinsi. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
157
tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, seperti halnya Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003, menetapkan provinsi sebagai daerah pemilihan
untuk pemilihan anggota DPD. Kedua, Pasal 22C ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut tidak
menegaskan secara pasti bahwa anggota DPD yang dipilih dari suatu
daerah pemilihan provinsi tertentu harus terikat syarat domisili pada
daerah pemilihan provinsi yang bersangkutan. Pengaturan pada
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 maupun pada RUU dari
Pemerintah yang mencantumkan syarat domisili hanyalah merupakan
salah satu alternatif penafsiran terhadap amanat Pasal 22C ayat (1)
dan Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Masih ada altermatif penafsiran lain, yaitu sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang tidak
mencantumkan syarat domisili untuk calon anggota DPD. Kedua
penafsiran tersebut, yang merupakan politik hukum hasil pesetujuan
bersama
antara
DPR
dan
Pemerintah,
dan
karenanya
tidak
bertentangan dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Pemerintah berpendapat memang benar bahwa dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tidak terdapat ketentuan tentang syarat
non-Parpol dalam pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah
(DPD). Tetapi Pemerintah tidak sependapat dengan para Pemohon
yang berpandangan bahwa ketiadaan syarat non-parpol merupakan
penghilangan norma konstitusi. Hal tersebut didasarkan pemikiran
bahwa Pasal 22E ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “Peserta pemilihan umum
untuk
memilih
anggota
Dewan
Perwakilan
Daerah
adalah
perseorangan” tidak serta merta harus diartikan atau ditafsirkan
bahwa warga negara yang berasal dari partai politik (Parpol) tidak
boleh menjadi calon anggota DPD. Selain itu, pengaturan tersebut
sama sekali tidak mengurangi hak calon perseorangan yang nonParpol untuk menjadi calon anggota DPD dan juga tidak mengurangi
ruang dan kesempatan mereka untuk mendapatkan dukungan dari
penduduk/pemilih.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
158
B. TENTANG KETIADAAN SYARAT DOMISILI
1. Pemerintah berpendapat memang benar bahwa dengan UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008, pemilihan anggota DPD dari suatu
provinsi dapat diikuti dan dimenangkan oleh calon dari provinsi lain.
Tetapi Pemerintah tidak sependapat dengan para Pemohon yang
berpandangan bahwa pengaturan seperti ini apabila dihubungkan
dengan Pasal 22C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyebabkan kerugian atau setidak-setidaknya
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengalami kerugian yang potensial
yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi, sebab
Pasal 22C ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang berbunyi “Anggota Dewan Perwakilan Daerah
dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum” dapat
ditafsirkan ke dalam beberapa dimensi. Pertama, bahwa dalam
pemilihan umum yang diatur dalam suatu undang-undang ditetapkan
“daerah pemilihan” untuk pemilihan umum anggota DPD adalah
provinsi. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, seperti halnya
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, menetapkan provinsi sebagai
daerah pemilihan untuk pemilihan anggota DPD. Kedua, Pasal 22C
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 tersebut tidak menegaskan secara pasti bahwa anggota DPD
yang dipilih dari suatu daerah pemilihan provinsi tertentu harus terikat
syarat domisili pada daerah pemilihan provinsi yang bersangkutan.
Pengaturan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 maupun
pada RUU dari Pemerintah yang mencantumkan syarat domisili
hanyalah merupakan salah satu alternatif penafsiran terhadap amanat
Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Masih ada altermatif penafsiran lain,
yaitu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 yang tidak mencantumkan syarat domisili untuk calon anggota
DPD. Kedua penafsiran tersebut, yang merupakan politik hukum hasil
pesetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah, dan karenanya
tidak bertentangan dengan pasal-pasal dalam Undang- Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
159
2. Pemerintah berpendapat memang benar bahwa dengan UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008, pemilihan anggota DPD dari suatu
provinsi dapat diikuti dan dimenangkan oleh calon dari provinsi lain.
Tetapi Pemerintah tidak sependapat dengan para Pemohon yang
berpandangan bahwa pengaturan seperti ini apabila dihubungkan
dengan Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menyebabkan kerugian atau setidak-setidaknya DPD
mengalami kerugian yang potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan terjadi, sebab Pasal 22D Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat ditafsirkan ke
dalam beberapa dimensi. Pertama, elaborasi dan implementasi
kewenangan konstitusional DPD sebagaimana diamanatkan Pasal 22D
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
merupakan wilayah Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU Susduk), bukan wilayahnya suatu
Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. Kedua, sepanjang suatu
UU Susduk cukup mengatur elaborasi dan implementasi Pasal 22D
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
meskipun dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tidak terdapat
syarat domisili, maka kewenangan konstitusional DPD sebagai suatu
lembaga
negara
tidak
dirugikan
atau
setidak-tidaknya
tidak
mengalami kerugian yang potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi dengan berlakunya UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008.
3. Pemerintah
tidak
sependapat
dengan
para
Pemohon
yang
berpandangan bahwa pemilihan anggota DPD yang dapat diikuti dan
dimenangkan oleh calon dari provinsi lain (vide dalil ke-13,
permohonan para Pemohon halaman 21), dapat dipastikan calon
tersebut tidak mengenal daerah pemilihan tersebut. Karena
menurut Pemerintah, Pertama, pandangan para Pemohon seperti ini
bersifat spekulatif dan hipotetik. Kedua, pandangan para Pemohon
seperti ini telah mengabaikan dan bahkan dapat dikatakan mencederai
hak konstitusional pemangku utama suatu pemilihan umum, yaitu para
pemilih. Anggota DPD dari suatu daerah pemilihan provinsi tertentu
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
160
dapat terpilih dan bersama anggota DPD lainnya bersama-sama
menjalankan fungsi lembaga DPD adalah karena pilihan para pemilih.
Semangat kedaulatan rakyat pasca amandemen Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang juga ditandai oleh
lahirnya DPD memberikan tempat utama dan kebebasan seluasluasnya bagi pemilih untuk menentukan pilihannya kepada seseorang
warga negara republik Indonesia
yang diberi mandat untuk
menjalankan hak dan kewenangan konstitusional DPD sesuai UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penilaian
terhadap seorang anggota DPD apakah mengenal atau tidak
mengenal daerah tersebut selain ditentukan oleh berbagai persyaratan
dalam undang-undang juga harus diserahkan kepada pilihan para
pemilih. Ketiga, pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 yang tidak mencantumkan syarat domisili justru sejalan dengan
semangat kedaulatan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Pemerintah
tidak
sependapat
dengan
para
Pemohon
yang
berpandangan bahwa pemilihan anggota DPD yang dapat diikuti dan
dimenangkan oleh calon dari provinsi lain (vide dalil ke-13,
permohonan para Pemohon halaman 21) dapat dipastikan anggota
DPD yang dipilih diragukan kapabilitasnya dalam memperjuangkan
aspirasi dan kepentingan daerah. Karena menurut Pemerintah,
Pertama, pandangan para Pemohon seperti ini bersifat spekulatif dan
hipotetik. Kedua, pandangan para Pemohon seperti ini telah
mengabaikan
dan
bahkan
dapat
dikatakan
mencederai
hak
konstitusional pemangku utama suatu pemilihan umum, yaitu para
pemilih. Anggota DPD dari suatu daerah pemilihan provinsi tertentu
dapat terpilih dan bersama anggota DPD lainnya bersama-sama
menjalankan fungsi lembaga DPD adalah karena pilihan para pemilih.
Semangat kadaulatan rakyat pasca amandemen Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang juga ditandai oleh
lahirnya DPD memberikan tempat utama dan kebebasan seluasluasnya bagi pemilih untuk menjatuhkan pilihannya kepada seseorang
warga negara republik Indonesia
yang diberi mandat untuk
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
161
menjalankan hak dan kewenangan konstitusional DPD sesuai UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penilaian atas
seorang anggota DPD apakah kapabilitasnya dalam memperjuangkan
aspirasi daerah dan kepentingan daerah diragukan atau tidak
diragukan selain ditentukan oleh berbagai persyaratan dalam undangundang juga harus diserahkan kepada pilihan para pemilih. Kedua,
pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang tidak
mencantumkan syarat domisili justru sejalan dengan semangat
kedaulatan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Pemerintah berpendapat bahwa harus dibedakan antara (1) fenomena
anggota DPD yang tidak memahami daerahnya masing-masing
atau diragukan kapabilitasnya dalam memperjuangkan aspirasi
dan kepentingan daerah dengan (2) fenomena DPD sebagai
lembaga negara yang tidak berfungsi optimal dalam menjalankan
fungsinya untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan
daerah dalam pengambilan keputusan politik di tingkat pusat.
Karena dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, fungsi
DPD untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam
pengambilan keputusan politik di tingkat pusat harus lebih banyak
ditentukan oleh kapabilitas DPD secara kumulatif sebagai lembaga
negara dalam merumuskan seluruh agenda prioritas aspirasi daerah
secara keseluruhan yang akan diperjuangkan dalam pengambilan
politik di tingkat pusat. Frasa “memahami daerahnya masing-masing”
dan “kapabilitasnya dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan
daerah” terkait dengan hak dan kewenangan konstitusional DPD
adalah “memahami daerah” dan “kapabilitas memperjuangkan aspirasi
dan kepentingan daerah” secara keseluruhan dan kumulatif oleh
DPD sebagai lembaga negara, bukan pemahaman atau kapabilitas
orang per orang anggota DPD. Kendatipun “pemahaman dan
kapabilitas orang per orang anggota DPD” juga ada kaitannya dengan
“pemahaman dan kapabilitas DPD sebagai suatu lembaga negara”,
tetapi
sesuai
dengan
prinsip
kedaulatan
rakyat
sebagaimana
diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
162
Tahun 1945 penilaian “pemahaman dan kapabilitas orang per orang
anggota DPD” tersebut diserahkan kepada kehendak dan merupakan
daulat pemilih.
C. TENTANG KETIADAAN SYARAT NON-PARPOL
1. Pemerintah
tidak
sependapat
dengan
para
Pemohon
yang
berpandangan bahwa anggota DPD yang berasal dari Parpol tentu
akan lebih mengutamakan kepentingan atau platform Parpol daripada
kepentingan daerah secara keseluruhan. Karena menurut Pemerintah,
Pertama, pandangan para Pemohon seperti ini bersifat spekulatif dan
hipotetik. Kedua, pada saat mendaftarkan diri, calon anggota DPD,
baik yang mempunyai latar belakang partai politik maupun yang sama
sekali tidak mempunyai latar belakang partai politik, bertindak sebagai
perseorangan. Hal ini tidak bertentangan dengan Pasal 22E ayat (4)
Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
menegaskan bahwa “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan”. Benar bahwa dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 dan RUU Pemerintah
mengatur tentang syarat non-Parpol, tetapi hal ini merupakan salah
satu alternatif penafsiran. Masih ada altenatif penafsiran yang lain,
yaitu sebagaimana telah ditetapkan bersama antara Pemerintah dan
DPR sebagai politik hukum dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008. Ketiga, Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik menegaskan tujuan umum partai politik, adalah
(a) mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, (b) menjaga dan memelihara keutuhan NKRI,
(c) mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila
dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam NKRI, dan (d)
mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Apabila
seseorang yang memiliki latar belakang partai politik mengajukan diri
secara perseorangan menjadi calon anggota DPD dan terpilih, maka
anggota DPD tersebut harus menjalankan tugasnya dan bersama
dengan anggota DPD lainnya melaksanakan fungsi DPD sebagai
lembaga
negara
secara
taat asas
Implikasi
peran...,
Agung Sudrajat,
FH dengan
UI, 2012 tujuan umum partai politik
163
tersebut. Tentunya yang dimaksud dengan kepentingan daerah secara
keseluruhan oleh para Pemohon dalam dalilnya huruf 14 halaman 23
adalah juga sejalan dan bahkan sama dengan tujuan umum partai
politik yang sangat mulia sebagaimana diamanatkan Pasal 10 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Keempat,
pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang tidak
mencantumkan syarat non-Parpol, tidak bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Pemerintah berpendapat memang benar bahwa dengan UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008, pemilihan anggota DPD dari suatu
provinsi membuka kemungkinan calon dari Parpol untuk berkompetisi
dengan calon perseorangan. Tetapi Pemerintah tidak sependapat
dengan para Pemohon yang berpandangan bahwa pengaturan seperti
ini apabila diukur dari Pasal 22E ayat (4) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebabkan kerugian bagi
calon perseorangan atau setidak-setidaknya calon perseorangan akan
mengalami kerugian yang potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan terjadi, dengan penjelasan, pertama, bahwa
Pasal 22E ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 tidak serta merta harus diartikan atau ditafsirkan bahwa
warga Negara dari Parpol tidak boleh menjadi calon anggota DPD.
Kedua, pengaturan tersebut sama sekali tidak mengurangi hak calon
perseorangan yang non-Parpol untuk menjadi calon anggota DPD dan
tidak juga mengurangi ruang dan kesempatan mereka untuk
mendapatkan
dukungan
dari
penduduk/pemilih.
Ketiga,
bahwa
persaingan yang tidak adil sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon
tidaklah tepat, karena sejak pencalonan anggota DPD berlangsung,
maka baik calon anggota yang berasal dari Parpol maupun calon yang
non-Parpol, sama-sama berstatus sebagai calon perseorangan.
Kekhawatiran tentang calon dari Parpol yang ditopang oleh Parpol
dibandingkan dengan calon non-Parpol yang hanya mengandalkan
jaringan personal adalah kekhawatiran yang berlebihan dan sangat
spekulatif. Pendapat para Pemohon bahwa persaingan dalam Pemilu
akan berlangsung tidak adil dan akan merugikan para Pemohon
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
164
merupakan pendapat yang hipotetik dan spekulatif, karena justru para
Pemohon secara teoritis seharusnya lebih dikenal oleh rakyat pemilih
di provinsi yang diwakilinya, mengingat selama 4 (empat) tahun yang
bersangkutan memiliki peluang yang lebih besar untuk berinteraksi
dengan rakyat pemilih di provinsi tersebut.
3. Pemerintah berpendapat memang benar bahwa dengan UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008, pemilihan anggota DPD dari suatu
provinsi membuka kemungkinan calon dari Parpol untuk berkompetisi
dengan calon perseorangan. Tetapi Pemerintah tidak sependapat
dengan para Pemohon yang berpandangan bahwa pengaturan seperti
ini apabila diukur dari Pasal 22E ayat (4) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebabkan kerugian bagi
calon perseorangan atau setidak-setidaknya calon perseorangan akan
mengalami kerugian yang potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan terjadi, dengan penjelasan, pertama, bahwa
Pasal 22E ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 tidak serta merta harus diartikan atau ditafsirkan bahwa
warga Negara dari parpol tidak boleh menjadi calon anggota DPD.
Kedua, pengaturan tersebut sama sekali tidak mengurangi hak calon
perseorangan yang non-Parpol untuk menjadi calon anggota DPD dan
tidak juga mengurangi ruang dan kesempatan mereka untuk
mendapatkan
dukungan
dari
penduduk/pemilih.
Ketiga,
bahwa
persaingan yang tidak adil sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon
tidaklah tepat, karena sejak pencalonan anggota DPD berlangsung,
maka baik calon anggota yang berasal dari Parpol maupun calon yang
non-Parpol, sama-sama berstatus sebagai calon perseorangan.
Kekhawatiran tentang calon dari Parpol yang ditopang oleh Parpol
dibandingkan dengan calon non-Parpol yang hanya mengandalkan
jaringan personal adalah kekhawatiran yang berlebihan dan sangat
spekulatif.
4. Pemerintah
tidak
sependapat
dengan
para
Pemohon
yang
berpandangan bahwa “ketiadaan syarat domisili” dan “ketiadaan
syarat
non-parpol”
dalam
pemilihan
anggota
DPD
akan
menyebabkan hak-hak konstitusional para Pemohon dirugikan dalam
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
165
ukuran Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi bahwa, “Setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Pemerintah berpendapat bahwa justru dengan merujuk pada Pasal
28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 inilah, maka setiap orang warga negara Indonesia, tanpa
membeda-bedakan domisili dan latar belakang politiknya, berhak untuk
menjadi calon anggota DPD. Perlakuan khusus bagi warga daerah
dalam arti warga Negara yang berdomisili di provinsi untuk mempunyai
hak istimewa sebagai calon anggota DPD dari provinsi tersebut malah
akan secara sengaja mendiskriminasi warga negara Indonesia lainnya.
5. Pemerintah
tidak
sependapat
dengan
para
Pemohon
yang
berpandangan bahwa anggota DPD yang berasal dari Parpol tentu
akan lebih mengutamakan kepentingan Parpol daripada aspirasi dan
kepentingan masyarakat hukum adat. Pertama, pandangan para
Pemohon seperti ini bersifat spekulatif dan hipotetik. Kedua, pada saat
mendaftarkan diri, calon anggota DPD, baik yang mempunyai latar
belakang partai politik maupun yang sama sekali tidak mempunyai
latar belakang partai politik, bertindak sebagai perseorangan. Hal ini
tidak bertentangan dengan Pasal 22E ayat (4) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menegaskan bahwa
“Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Daerah adalah perseorangan”. Benar bahwa dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003 dan RUU Pemerintah mengatur tentang syarat
non-Parpol, tetapi hal ini merupakan salah satu alternatif penafsiran.
Masih ada altenatif penafsiran yang lain, yaitu sebagaimana telah
ditetapkan bersama antara Pemerintah dan DPR sebagai politik hukum
dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. Ketiga, Pasal 10 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
menegaskan tujuan umum partai politik, adalah (a) mewujudkan citacita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945,
(b)
menjaga
dan
memelihara
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
keutuhan
NKRI,
(c)
166
mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan
menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam NKRI, dan (d) mewujudkan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Apabila seseorang yang
memiliki
latar
belakang
partai
politik
mengajukan
diri
secara
perseorangan menjadi calon anggota DPD dan terpilih, maka anggota
DPD tersebut harus menjalankan tugasnya dan bersama dengan
anggota DPD lainnya melaksanakan fungsi DPD sebagai lembaga
negara secara taat asas dengan tujuan umum partai politik tersebut.
Tentunya
yang
dimaksud
dengan
kepentingan
daerah
secara
keseluruhan oleh para Pemohon dalam dalilnya nomor 30 halaman 28
adalah juga sejalan dan bahkan sama dengan tujuan umum partai
politik yang sangat mulia sebagaimana diamanatkan Pasal 10 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Keempat,
pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang tidak
mencantumkan syarat non-Parpol, tidak bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6. Pemerintah berpendapat bahwa apa yang menjadi maksud, tujuan,
dan kepentingan para Pemohon adalah juga maksud, tujuan, dan
kepentingan yang sama dengan maksud, tujuan, dan kepentingan
pembentukan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, dan dengan
demikian adalah sama dengan maksud, tujuan, dan kepentingan
Pemerintah.
Melalui
Undang-Undang
Nomor
10
Tahun
2008,
Pemerintah selaku unsur pembentuk undang-undang secara bersamasama dengan unsur pembentuk undang-undang yang lain (DPR)
berkehendak untuk tumbuh dan berkembangnya kesadaran politik
masyarakat,
berlangsungnya
pemilihan
umum
sebagai
sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat berdasarkan Undang- Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta terlaksananya program
pembaharuan
Pemilu
sebagai
salah
satu
program
strategis
pembangunan nasional sebagaimana diamanatkan dalam UndangUndang Nomor 17 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional. Sejalan dengan kehendak tersebut, melalui
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 juga diharapkan terwujudnya
sistem ketatanegaraan dengan ciri antara lain terciptanya lembaga
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
167
Negara melalui proses Pemilu yang bersifat nasional dan tidak
diskriminatif
dalam
segala
bentuknya
terhadap
warga
negara
Indonesia.
7. Pemerintah berpendapat bahwa perwujudan DPD sebagai lembaga
yang mampu merepresentasikan kepentingan publik, khususnya
aspirasi daerah, sehingga dapat meningkatkan kualitas produk
legislasi, lebih tepat menjadi substansi pengaturan dalam suatu UU
Susduk, dan bukan muatan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, karena hal ini terkait
dengan pengaturan tentang fungsi, tugas, dan wewenang DPD, serta
hak dan kewajiban anggota DPD.
8. Pemerintah berpendapat bahwa apa yang menjadi maksud, tujuan,
dan kepentingan para Pemohon adalah juga maksud, tujuan, dan
kepentingan yang sama dengan maksud, tujuan, dan kepentingan
pembentukan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, dan dengan
demikian adalah sama dengan maksud, tujuan, dan kepentingan
Pemerintah.
Melalui
Undang-Undang
Nomor
10
Tahun
2008,
Pemerintah selaku unsur pembentuk undang-undang secara bersamasama dengan unsur pembentuk undang-undang yang lain (DPR)
berkehendak
untuk
mendorong
terbangunnya
parlemen
yang
fungsional, efektif serta transparan untuk penyelenggaraan demokrasi
di Indonesia. Pemerintah juga berkepentingan untuk mengembangkan
kepedulian masyarakat atas perlu dan pentingnya memiliki parlemen
yang
fungsional
bagi
penyelenggaraan
demokrasi,
mendorong
parlemen senantiasa mau dan mampu memperbaharui diri sehingga
fungsional bagi penyelenggaraan demokrasi, serta untuk memperoleh
jaminan saluran penyampaian aspirasi daerah dan jaminan pilihan
kebijakan bagi kepentingan daerah yang tidak terganggu dan
keterwakilan setiap daerah provinsi.
9. Pemerintah
tidak
sependapat
dengan
para
Pemohon
yang
mengatakan bahwa kepentingan daerah dan keterwakilan setiap
daerah provinsi telah tercederai dengan berlakunya UU Pemilu,
khususnya yang berkaitan dengan ketentuan mengenai tempat tinggal
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
168
calon anggota DPD dan tidak adanya ketentuan pembatasan bagi
pengurus Parpol untuk dicalonkan menjadi anggota DPD.
Selain hal-hal tersebut di atas, Pemerintah juga berpendapat bahwa jikalau
pun anggapan para Pemohon tersebut benar adanya, dan permohonan
pengujian undang-undang a quo dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka
dapat
menimbulkan
kekacauan
hukum
dan
ketidakpastian
hukum
(onrechtzekerheid), karena hal-hal sebagai berikut:
1. Terjadi
kekosongan
hukum
(rechtvacuum)
dalam
hal
pengaturan
persyaratan untuk menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah
(DPD);
2. Dengan dibatalkannya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD
maka dapat dipastikan proses penyelenggaraan Pemilihan Umum akan
kehilangan salah satu objectumlitis-nya;
3. Dapat mengganggu pelaksanaan proses penyelenggaraan Pemilihan
Umum secara keseluruhan, khususnya untuk pemilihan anggota DPD;
4. Dapat dijadikan pintu masuk (entry point) pihak-pihak tertentu untuk
mengajukan keberatan-keberatan atau gugatan-gugatan terhadap hasil
penyelenggaraan pemilihan umum.
Atas hal-hal tersebut di atas, Pemerintah berpendapat bahwa ketentuan
Pasal 12 dan 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak bertentangan dengan Pasal 22C
ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan juga tidak merugikan hak dan/atau kewenangan
konstitusional para Pemohon.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah
memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia yang memeriksa dan memutus permohonan pengujian
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
169
Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum
(legal standing);
2. Menolak permohonan pengujian para Pemohon (void) seluruhnya atau
setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak
dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
3. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
4. Menyatakan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak
bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Menyatakan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tetap mempunyai kekuatan hukum
dan tetap berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex
aequo et bono).
[2.6]
Menimbang bahwa untuk menguatkan keteranganya, Pemerintah telah
mengajukan 1 orang ahli yang didengar keterangannya di bawah sumpah, sebagai
berikut:
Keterangan Ahli Prof. Dr. Zudan Arif Fakhrulloh, SH.
I. Analisis Terhadap Ketiadaan Syarat Domisili
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dibentuk dalam rangka menata struktur
parlemen Indonesia menjadi dua kamar (bikameral) yang terdiri dari DPR dan DPD.
Secara filosofis, model bikameral diharapkan dapat merepresentasikan kepentingan
rakyat secara lebih utuh dan menyeluruh. DPR diharapkan dapat menjadi
representasi politik dan DPD diharapkan dapat mencerminkan representasi
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
170
wilayah/regional. Arti representasi politik adalah bahwa anggota DPR dipilih melalui
pintu partai politik, sedangkan arti representasi wilayah adalah bahwa anggota DPD
dipilih melalui calon perseorangan tanpa melalui partai politik dan merupakan wakil
dari setiap provinsi. Berdasarkan filosofi tersebut maka DPD sebagai perwakilan
daerah maka anggota DPD bertugas untuk menyuarakan kepentingan daerah dan
arti dipilih dari setiap provinsi adalah bahwa setiap provinsi akan mempunyai wakil
di DPD. Dalam konteks ini provinsi adalah merupakan daerah pemilihan (dapil).
Seorang anggota DPD bertugas menyuarakan kepentingan daerah secara
nasional, bukan hanya menyuarakan kepentingan daerahnya sendiri. Medan
perjuangan anggota DPD adalah memperjuangkan kepentingan daerah melalui
kebijakan nasional. Kepentingan daerah yang diperjuangkan haruslah merupakan
pendapat lembaga DPD yang diputuskan melalui mekanisme sesuai dengan Tata
Tertib DPD. Oleh karena itu, dalam konteks ini keberadaan syarat domisili menjadi
tidak relevan karena tugas DPD tidak memperjuangkan daerahnya tetapi
memperjuangkan daerah-daerah di Indonesia secara kumulatif di dalam kebijakan
nasional. Terkait dengan hal tersebut menarik untuk dicermati pergeseran cara
berpikir anggota-anggota DPD yang tercermin dalam Kode Etik DPD. Dalam
Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 1/DPD/2008
tentang Perubahan Atas keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
Nomor 1/DPD/2005 tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia khususnya dalam Pasal 3 dan Pasal 6.
Dalam Pasal 3 angka 2 Kode Etik DPD RI ditegaskan bahwa setiap anggota
mematuhi dan berperilaku mengabdi kepada bangsa dan negara sesuai dengan
Pancasila. Hal ini dapat dimaknai bahwa cara berpikir, cara pandang dan etos
kerja anggota DPD adalah bersemangatkan pada nasionalisme dan kebangsaan.
Syarat domisili menjadi tidak sejalan dengan bunyi isi Pasal 6 Kode Etik DPD,
yang berbunyi:
Pasal 6
Anggota bertanggung jawab memperjuangkan aspirasi masyarakat dan daerahnya
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 6 ini diubah menjadi empat ayat yaitu:
(1) Anggota bertanggung jawab memperjuangkan aspirasi masyarakat dan daerah,
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
(2) Memberikan pertanggungjawaban moral dan politis kepada pemilih dan daerah
pemilihannya;Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
171
(3) Menaati Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik DPD RI;
(4) Menjaga Etika dan Norma adat daerah yang diwakilinya.
Perubahan mendasar dengan dihilangkan kata “nya” dalam Pasal 6 ayat (1)
menunjukkan bahwa DPD telah berwawasan nasional dalam memperjuangkan
daerah dan tidak bersifat local centris yang mengedepankan syarat domisili.
Dengan perubahan cara berpikir, cara pandang, dan etos kerja sebagaimana
tertuang dalam kode etik DPD tersebut, maka DPD telah bersungguh-sungguh
menjaga UUD 1945 khususnya Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi Negara Indonesia
adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Semangat dalam Kode Etik DPD
adalah semangat untuk menghilangkan sekat-sekat kedaerahan dan akan
memupuk NKRI. Dengan tiadanya syarat domisili ini justru akan memperkukuh
Pasal 1 ayat (1) UUD 1945.
Terhadap syarat domisili ini, ahli akan membandingkan dengan persyaratan
menjadi Kepala Daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 58 yang berbunyi:
Pasal 58
Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah warga negara Republik
Indonesia yang memenuhi syarat:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah;
c. berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau
sederajat;
d. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puiuh) tahun bagi calon gubernur/wakil
gubernur dan berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun bagi calon
bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota;
e. sehat
jasmani
dan
rohani
berdasarkan
hasil
pemeriksaan
kesehatan
menyeluruh dari tim dokter;
f. tidak pemah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
g. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh Implikasi
kekuatan
hukum
tetap;
peran...,
Agung
Sudrajat, FH UI, 2012
172
h. mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;
i.
menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;
j.
tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara
badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan
negara;
k. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
I. dihapus;
m. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai
NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak;
n. menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat
pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri;
o. belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama
2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;
p. tidak dalam status sebagai penjabat kepala daerah; dan
q. mengundurkan diri sejak pendaftaran bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah yang masih menduduki jabatannya.
Dalam persyaratan menjadi kepala daerah/wakil kepala daerah tidak ada
persyaratan domisili. Pasal 58 huruf h menyaratkan mengenal daerahnya dan
dikenal oleh masyarakat di daerahnya. Ahli ingin mengkomparasikan hal ini karena
terdapat korelasi yang erat antara tugas anggota DPD dan tugas kepala daerah/
wakil kepala daerah yaitu sama-sama memperjuangkan kepentingan daerah,
walaupun melalui sarana yang berbeda. Perbedaannya adalah:
a. kepala daerah/wakil kepala daerah memperjuangkan daerah melalui kebijakan
daerah yang berupa peraturan daerah dan peraturan kepala daerah;
sedangkan
b. anggota DPD memperjuangkan kepentingan daerah melalui kebijakan nasional
yang berupa UU, PP, Perpres.
Komparasi ini menunjukkan secara jelas bahwa kepala daerah/wakil kepala
daerah yang memperjuangkan kepentingan daerahnya melalui kebijakan daerah
dalam lingkup pemerintahan daerah (lingkup lokal) tidak dikenakan syarat domisili.
Oleh karena itu, menjadi sangat tidak relevan bahwa anggota DPD yang
memperjuangkan kepentingan daerah melalui kebijakan nasional (lingkup nasional)
harus dikenakan syarat domisili dalam persyaratan pencalonannya.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
173
II. Analisis Terhadap Ketiadaan Syarat Non-Parpol
Partai politik dibentuk berawal dari adanya asumsi bahwa dengan adanya
wadah organisasi mereka bisa menghimpun orang-orang yang mempunyai pikiran
dan kepentingan yang sama sehingga pikiran dan kepentingan tersebut bisa
dikonsolidasikan dengan tujuan untuk memperbesar pengaruh dalam pembuatan
dan pelaksanaan keputusan. Profesor Dr. Miriam Budiardjo berpendapat, bahwa
partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah
untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik untuk
melaksanakan programnya. Senada dengan Miriam, Carl Frederich menyatakan,
bahwa partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil
dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan
bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada
anggotanya kemanfaatan yang bersifat idiil dan materiil.
Di dalam UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dalam Pasal 1
ayat (1) disebutkan bahwa Partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional
dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar
kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela
kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara serta memelihara
keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Dari tiga pengertian di atas, terdapat hal-hal yang universal dalam partai
politik yaitu:
1. adanya sekelompok orang;
2. menghimpun dirinya dalam organisasi;
3. mempunyai kepentingan yang sama/serupa.
Partai politik agar dapat menjadi peserta pemilu harus berbadan hukum (Pasal 8
UU Pemilu, Pasal 3 UU Parpol).
Pasal 22E ayat (3) dan (4) UUD 1945 yang berbunyi:
(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. ***)
(4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah
adalah perseorangan. *** )
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
174
dapat diberikan makna bahwa partai politik peserta pemilu DPR dan DPRD serta
perseorangan sebagai peserta Pemilu DPD adalah dalam kedudukan sebagai
subjek hukum yaitu pembawa hak dan kewajiban. Kata “perseorangan” dalam
Pasal 22E ayat (4) adalah subjek hukum yang berupa manusia pribadi/perorangan
(natuurlijke persoon). Sedangkan subjek hukum dalam Pasal 22E ayat (3) adalah
kumpulan manusia/perorangan (Badan Hukum/rechtspersoon).
Setiap subjek hukum mempunyai hak, kewajiban, serta dipandang setara
oleh hukum berdasarkan asas Equality Before The Law. Dengan demikian, setiap
orang yang memenuhi kualifikasi sebagai subjek hukum, maka berdasarkan prinsip
persamaan dan keadilan diberikan hak dan kesempatan yang sama untuk
mengikuti pemilihan umum anggota DPD. Oleh karena itu, ketiadaan syarat non
parpol menjadi tidak relevan untuk dimasukan ke dalam persyaratan mengikuti
Pemilu DPD. Penormaan syarat non Parpol justru mengurangi esensi dari
semangat kata “perorangan” yang pada prinsipnya boleh berasal dari kalangan
manapun. Dengan tiadanya syarat non Parpol ini justru memberikan ruang-ruang
yang Iebih luas kepada masyarakat untuk memperoleh variasi calon anggota DPD
yang Iebih banyak. Masyarakat akan mendapatkan pilihan calon-calon anggota
DPD yang Iebih banyak. Sudah saatnya kita memberikan pilihan yang bervariasi
kepada masyarakat dan biarkan masyarakat yang menentukan pilihannya. Hal ini
juga membuka ruang-ruang kontestasi bagi para calon untuk berkampanye dan
menjual program-programnya untuk meyakinkan masyarakat agar memilih dirinya.
Biarkan masyarakat/rakyat berdaulat dalam memilih wakilnya di DPD, dan sistem
dalam UU Pemilu ini telah memberikan akses bagi masyarakat untuk memilih
wakilnya di DPD dengan varian yang Iebih banyak.
III. Analisis Terhadap Permohonan Pengujian Ketiadaan Norma
Dalam Ilmu Hukum (rechtswetenschap) dibedakan antara undang-undang
dalam arti formil dan undang-undang dalam arti materiil. Undang-undang dalam arti
materiil adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat mengikat umum. Hal inilah
yang biasa disebut dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan undangundang dalam arti formil adalah keputusan tertulis sebagai hasil kerja sama antara
pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif yang berisi aturan tingkah laku yang
berlaku dan bersifat umum. Inilah yang biasa disebut dengan undang-undang.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
175
Unsur-unsur norma yang ada dalam peraturan perundang-undangan
mengandung sifat-sifat:
1. norma perintah (gebod), adalah kewajiban untuk melakukan sesuatu yang
biasanya mengharuskan subjek hukum untuk melakukan.
2. norma larangan (verbod), adalah kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu, atau
dilarang melakukan sesuatu.
3. norma pembebasan (dispensasi), adalah pengecualian dari perintah. Hal ini
adalah pembolehan khusus untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum
diharuskan.
4. norma izin (toestemming), adalah pembolehan khusus untuk sesuatu yang
sebenarnya dilarang. Jadi izin adalah legalisasi dari perbuatan yang seharusnya
dilarang.
5. norma kebolehan adalah pilihan yang bersifat fakultatif, boleh dilaksanakan oleh
subjek hukum, boleh juga tidak.
Di dalam pengujian peraturan perundang-undangan, di dalam sistem hukum
Indonesia dikenal adanya concrete norm review yang menguji beschikking/
penetapan melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan abstract norm
review/abstract judicial review atau yang dikenal dengan pengujian undang-undang
dan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Mahkamah Konstitusi berwenang
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kewenangan menguji
undang-undang ini berarti mengoreksi konstitusionalitas undang-undang, yaitu
apakah materi yang terkandung dalam undang-undang tersebut yang berupa
perintah, larangan, dispensasi, ijin, maupun kebolehan tidak bertentangan dengan
UUD. Dengan kewenangan mengoreksi dan membatalkan ketentuan undangundang ini maka sifat peradilan konstitusi menurut Hans Kelsen lebih berkaitan
dengan pembuatan hukum. Argumentasi yang diajukan oleh Kelsen adalah bahwa
dengan pembatalan norma dalam undang-undang tersebut maka Mahkamah
Konstitusi telah membentuk norma baru dengan dihapuskannya norma yang baru
tersebut. Fungsi pembentukan norma yang demikian ini disebut dengan
pembentukan norma yang negatif (negative legislation). Dalam sistem Hukum
Indonesia, kewenangan pembentukan undang-undang diserahkan kepada DPR dan
Pemerintah (positive legislation).
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
176
Berkenaan dengan ketiadaan norma dalam UU Pemilu yaitu tentang
ketiadaan syarat non Parpol dan syarat domisili, maka apabila belum berada dalam
norma undang-undang maka tidak dapat dimintakan pengujian karena objeknya
belum terbentuk. Berdasarkan uraian di atas, maka menurut ahli, pengujian
terhadap materi muatan peraturan perundang-undangan hanya dapat dilakukan
apabila sudah menjadi norma hukum yang bersifat perintah, larangan, izin,
dispensasi, maupun kebolehan.
[2.7]
Menimbang bahwa Pemerintah dan para Pemohon telah menyerahkan
kesimpulan tertulis yang masing-masing diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada
tanggal 19 Juni 2008 dan tanggal 20 Juni 2008, pada pokoknya tetap pada dalildalilnya masing-masing, yang selengkapnya terlampir dalam berkas perkara;
[2.8]
Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian Putusan ini, segala
sesuatu yang terjadi di persidangan ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, dan
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan Putusan ini;
3. PERTIMBANGAN HUKUM
[3.1]
Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan adalah mengenai
pengujian materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836,
selanjutnya disebut UU 10/2008) terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);
[3.2]
Menimbang bahwa sebelum memasuki pokok permohonan, terlebih
dahulu akan dipertimbangkan mengenai:
a. Kewenangan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo;
b. Kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon untuk mengajukan
permohonan a quo;
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
177
Kewenangan Mahkamah
[3.3]
Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, salah
satu kewenangan Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar;
[3.4]
Menimbang bahwa permohonan a quo adalah mengenai pengujian UU
10/2008 terhadap UUD 1945, sehingga Mahkamah berwenang untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus permohonan dimaksud;
Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon
[3.5]
Menimbang bahwa berdasar Pasal 51 ayat (1) beserta Penjelasannya
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK), yang dapat
mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah
mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang
diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
a. perorangan (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama)
warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;
Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945
harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1)
UU MK;
b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan
oleh UUD 1945 sebagai akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian;
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
178
[3.6]
Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-
III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, serta putusan-putusan selanjutnya,
berpendirian
bahwa
kerugian
hak
dan/atau
kewenangan
konstitusional
sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat:
a. ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dirugikan oleh berlakunya
undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat spesifik dan
aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang berdasarkan penalaran
yang wajar dipastikan akan terjadi;
d. ada hubungan kausal (causal verband) antara kerugian hak dan/atau
kewenangan
konstitusional
dengan
undang-undang
yang
dimohonkan
pengujian;
e. apabila permohonan dikabulkan dipastikan kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
[3.7]
Menimbang bahwa dalam permohonan a quo para Pemohon adalah:
a. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam kedudukan sebagai lembaga negara,
selanjutnya disebut sebagai Pemohon I;
b. Perorangan Anggota DPD sebanyak 33 orang yang mendalilkan sebagai
perorangan warga negara Indonesia, selanjutnya disebut Pemohon II;
c. Perorangan warga negara Indonesia yang memiliki perhatian besar terhadap
pemilihan umum, parlemen Indonesia, dan penyaluran aspirasi daerah, yaitu
Hadar Navis Gumay (Direktur Eksekutif “Cetro”), Dr. Saafroedin Bahar (Ketua
Dewan
Pakar
Sekretariat
Nasional
Perlindungan
Hak
Konstitusional
Masyarakat Hukum Adat), Sulastio (Ketua Indonesian Parliamentary Center,
disingkat IPC), dan Sebastianus KM Salang (Koordinator Forum Masyarakat
Peduli Parlemen Indonesia, disingkat FORMAPPI), selanjutnya disebut
Pemohon III;
d. Perorangan warga negara Indonesia sebanyak 13 orang yang tinggal di
provinsi tertentu (warga daerah), selanjutnya disebut Pemohon IV;
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
179
[3.8]
Menimbang bahwa Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon
IV mendalilkan kedudukan hukum (legal standing) mereka dengan menjelaskan
kualifikasinya
sebagai
Pemohon
beserta
hak
dan/atau
kewenangan
konstitusionalnya yang dirugikan oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67
UU 10/2008 sebagai berikut:
[3.8.1]
Dalil-dalil Legal Standing Pemohon I
a. Pemohon I menyatakan diri sebagai Pemohon lembaga negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf d UU MK;
b. Pemohon I memiliki kewenangan konstitusional yang diberikan oleh Pasal 22D
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 sebagai berikut:
(1)
Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(2)
Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah;
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran
pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
(3)
Dewan
Perwakilan
Daerah
dapat
melakukan
pengawasan
atas
pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan,
pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
pelaksanaan
anggaran
pendapatan
dan
belanja
negara,
pajak,
pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu
kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk
ditindaklanjuti.
Dari ketentuan Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 tersebut menurut
Pemohon I dapat disimpulkan bahwa kewenangan konstitusional DPD di
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
180
bidang legislasi, anggaran, pertimbangan dan pengawasan selalu dikaitkan
dengan kepentingan dan aspirasi daerah atau dengan kata lain untuk
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam pengambilan
keputusan politik di tingkat pusat;
c. Menurut Pemohon I, kewenangan konstitusionalnya tersebut secara potensial
dirugikan oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, karena kedua
pasal tersebut tidak memuat persyaratan domisili dan syarat non-partai politik
bagi calon anggota DPD sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22C ayat (1)
UUD 1945 yang berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari
setiap provinsi melalui pemilihan umum” dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945
yang berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Daerah adalah perseorangan”, dengan argumentasi bahwa:
x
Ketiadaan syarat domisili bagi calon anggota DPD sebagaimana dimaksud
Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 menyebabkan pemilihan anggota DPD dari
suatu provinsi dapat diikuti dan dimenangkan oleh calon dari provinsi lain
yang tidak mengenal daerah tersebut dan diragukan kapabilitasnya dalam
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah. Menurut Pemohon I, hal
itu jelas merugikan kewenangan konstitusional Pemohon I, karena:
(i) anggota-anggota DPD yang tidak benar-benar memahami daerahnya
masing-masing tidak akan berfungsi optimal dalam menunjang DPD
sebagai
lembaga
negara
dalam
menjalankan
fungsinya
untuk
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah; (ii) anggota DPD yang
demikian tidak dapat dijamin keberpihakannya kepada daerah yang
diwakilinya dalam pengambilan keputusan atau proses legislasi; dan
(iii) tidak dapat dijamin kecepatan dan kemudahan dalam pengambilan
keputusan terkait suatu daerah dikarenakan kurangnya pemahaman atau
pengenalan atas daerah;
x
Ketiadaan syarat non-partai politik bertentangan dengan Pasal 22E ayat (4)
UUD 1945, sebab memungkinkan pemilihan anggota DPD diikuti dan
dimenangkan
oleh
anggota
atau
pengurus
partai
politik.
Menurut
Pemohon I, berdasarkan penalaran yang wajar, anggota DPD yang berasal
dari partai politik tentu akan lebih mengutamakan kepentingan atau platform
partai politik (selanjutnya disingkat Parpol) dari pada kepentingan daerah.
Apalagi sebagian besar Parpol di Indonesia masih bersifat sentralistik, yakni
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
181
pengambilan keputusan masih tergantung pimpinan pusat Parpol. Hal yang
demikian jelas akan merugikan kewenangan konstitusional DPD sebagai
lembaga negara;
[3.8.2]
Dalil-dalil Legal Standing Pemohon II
a. Pemohon II mendalilkan bahwa para anggota DPD yang mengajukan
permohonan bertindak sebagai Pemohon perorangan warga negara Indonesia
atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama;
b. Pemohon II mendalilkan mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh
Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Anggota Dewan perwakilan
Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum”. Menurut
Pemohon II, secara implisit Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 memberikan hak
konstitusional kepada warga negara Indonesia yang berdomisili di provinsi
tertentu untuk dipilih menjadi anggota DPD dari provinsi yang bersangkutan;
c. Menurut Pemohon II, hak konstitusionalnya tersebut di atas dirugikan oleh
berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, karena:
(i) Pasal a quo tidak mensyaratkan bahwa bakal calon anggota DPD harus
berdomisili di provinsi tempat bakal calon tersebut mencalonkan diri.
Sehingga, dengan ketiadaan syarat domisili akan menyebabkan bahwa
pemilihan calon anggota DPD suatu provinsi dapat diikuti oleh orang-orang
yang tidak berasal dari provinsi yang bersangkutan. Hal demikian, menurut
Pemohon II, jelas merugikan hak konstitusionalnya untuk mencalonkan diri
sebagai anggota DPD dari provinsi yang bersangkutan;
(ii) Pasal a quo tidak mensyaratkan non-Parpol bagi bakal calon anggota DPD,
padahal menurut Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, peserta Pemilu anggota
DPD adalah perseorangan, yang berarti bahwa Pasal 22E ayat (4) UUD
1945 tersebut memberikan hak konstitusional kepada warga negara
Indonesia yang bukan anggota atau pengurus Parpol untuk dipilih menjadi
anggota DPD. Menurut Pemohon II, ketiadaan syarat non-Parpol tersebut
membuka kemungkinan calon dari Parpol untuk berkompetisi dengan calon
perseorangan dalam pemilihan anggota DPD, sehingga berpotensi
merugikan hak konstitusional Pemohon II, sebab persaingan menjadi tidak
adil, mengingat bahwa calon dari Parpol ditopang oleh organisasi Parpol
yang sudah terbentuk hingga kecamatan dan desa-desa, sementara calon
perseorangan hanya mengandalkan jaringan personal;
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
182
d. Pemohon II juga mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya berupa jaminan
Pemilu yang adil yang diberikan oleh Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang
berbunyi, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia,
jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”
dirugikan oleh ketiadaan
syarat non-Parpol. Demikian juga hak atas jaminan kepastian hukum yang adil
yang diberikan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” potensial dirugikan oleh
ketiadaan syarat non-Parpol bagi calon anggota DPD;
e. Menurut Pemohon II, ketiadaan syarat
domisili
juga
merugikan
hak
konstitusionalnya yang diberikan oleh Pasal 22C ayat (2) UUD 1945 yang
berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya
sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari
sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat”. Karena, menurut
Pemohon II, bagaimana Pemilu dapat dikatakan adil apabila calon anggota
DPD yang akan mewakili suatu provinsi dapat berasal dari provinsi lain,
sehingga terdapat kemungkinan bahwa secara substansial suatu provinsi tidak
terwakili dalam lembaga DPD jika anggota DPD berasal dari provinsi lain;
[3.8.3]
Dalil-dalil Legal Standing Pemohon III
1. Pemohon III mendalilkan diri bertindak selaku Pemohon perorangan warga
negara Indonesia, termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan
sama, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK beserta
penjelasannya;
2. Menurut Pemohon III, mereka adalah orang-orang yang selama ini dikenal luas
sangat aktif dan concerned dengan isu-isu yang terkait dengan Pemilu, kinerja
parlemen, kualitas representasi publik dalam parlemen, dan penyaluran
aspirasi daerah, yaitu masing-masing sebagai berikut:
i.
Hadar Navis Gumay (nomor 1) adalah Direktur Eksekutif Cetro, mempunyai
kepentingan terhadap upaya pembaharuan Pemilu (electoral reform) demi
terselenggaranya Pemilu yang demokratis, langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (1)
UUD 1945, agar Pemilu menghasilkan parlemen yang berkedaulatan rakyat;
ii. Dr. Saafroedin Bahar (nomor 2) Ketua Dewan Pakar Sekretariat Nasional
Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat, berkepentingan
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
183
terhadap penyaluran aspirasi masyarakat hukum adat sebagai bagian dari
aspirasi masyarakat daerah melalui terpilihnya wakil-wakil daerah yang
tepat di DPD agar aspirasi dan hak-hak masyarakat hukum adat yang
dijamin oleh Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945
terlindungi;
iii. Sulastio (nomor 3) adalah Ketua IPC yang berkeepntingan terhadap
terselenggaranya Pemilu yang demokratis, langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (1)
UUD
1945,
agar
Pemilu
menghasilkan
parlemen
yang
mampu
merepresentasikan kepentingan publik dengan baik;
iv. Sebastianus KM Salang (nomor 4) adalah koordinator Forum Masyarakat
Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI) yang berkepentingan terhadap
terselenggaranya Pemilu yang demokratis, langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (1)
UUD 1945, agar Pemilu menghasilkan parlemen yang fungsional dan
efektif;
[3.8.4]
Dalil-dalil Legal Standing Pemohon IV
1. Pemohon IV adalah warga daerah yang mendalilkan sebagai Pemohon
perorangan warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1)
huruf a UU MK beserta Penjelasannya;
2. Menurut Pemohon IV, sebagai warga daerah yang tinggal di provinsi masingmasing dan bukan anggota Parpol, menganggap pemberlakuan Pasal 12 dan
Pasal 67 UU 10/2008 berpotensi merugikan hak-hak konstitusional Pemohon
IV yang diatur dalam Pasal 22C ayat (1), Pasal 22E ayat (1) dan ayat (4), dan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan argumentasi sama dengan yang
dikemukakan oleh Pemohon II;
[3.9]
Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil Pemohon I, Pemohon II,
Pemohon III, dan Pemohon IV mengenai kedudukan hukum (legal standing)
sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah hal tersebut tidak dapat
dipisahkan dari dalil-dalil para Pemohon mengenai konstitusionalitas Pasal 12 dan
Pasal 67 UU 10/2008 yang tidak memuat persyaratan domisili dan non-Parpol
bagi perorangan yang bermaksud mencalonkan diri sebagai anggota DPD dalam
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
184
Pemilu. Oleh karena itu, masalah kedudukan hukum (legal standing) para
Pemohon akan dipertimbangkan bersama pokok permohonan.
Pokok Permohonan
[3.10]
Menimbang dalam pokok permohonannya, para Pemohon meminta
Mahkamah untuk menguji konstitusionalitas Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008
yang tidak memuat syarat domisili dan syarat non-Parpol bagi calon anggota DPD
dalam Pemilu, karena menurut para Pemohon, ketiadaan syarat domisili dan nonParpol dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 tersebut bertentangan dengan
UUD 1945, dengan argumentasi sebagai berikut:
a. Bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 yang
berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi
melalui pemilihan umum” mengandung norma konstitusi bahwa anggota DPD
dipilih dari warga negara yang berdomisili di provinsinya masing-masing (syarat
domisili). Sedangkan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Peserta
pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan daerah adalah
perseorangan” mengandung norma konstitusi bahwa anggota DPD dipilih dari
perseorangan non-Parpol (syarat non-Parpol). Bahwa selain itu, menurut para
Pemohon, raison d’etre pembatasan berupa syarat non-Parpol adalah demi
netralitas wakil daerah melalui DPD, sebagaimana raison d’etre pembatasan
terhadap anggota TNI/Polri, pegawai negeri sipil (PNS), dan lain-lain untuk
tidak menjadi calon anggota DPD adalah juga untuk menjaga netralitas (vide
Pasal 12 huruf k dan m UU 10/2008);
b. Bahwa para Pemohon juga membandingkan dengan ketentuan Pasal 63 UU
Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan
DPRD (selanjutnya disebut UU 12/2003, Bukti P-2) dan Naskah Akademik
serta Draft Awal RUU Pemilu 2008 yang dipersiapkan oleh Pemerintah (Bukti
P-3) yang mencantumkan syarat domisili dan syarat non-Parpol (dalam arti
pengurus Parpol) untuk menjadi calon anggota DPD. Namun dalam Pasal 12
dan Pasal 67 UU 10/2008 justru syarat domisili dan non-Parpol tersebut
ditiadakan (Bukti P-1);
c. Bahwa menurut para Pemohon, penghilangan syarat domisili dan non-Parpol
yang pada hakikatnya secara implisit merupakan norma konstitusi dilakukan
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
185
secara sengaja dan dilandasi oleh motif kekuasaan dari kalangan tertentu
(Bukti P-4). Hal demikian berarti telah menegasi keberadaan norma konstitusi
dan menyebabkan UU 10/2008 cacat hukum;
d. Bahwa menurut para Pemohon, ketiadaan syarat domisili dalam Pasal 12 dan
Pasal 67 UU 10/2008 bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945,
karena dari frasa “dipilih dari setiap provinsi” mengandung makna atau tafsir
bahwa calon anggota DPD harus berdomisili di provinsi yang bersangkutan.
Penafsiran demikian dilakukan oleh pembentuk undang-undang UU 12/2003
dan juga dalam Draft RUU Pemilu versi Pemerintah. Ketiadaan syarat domisili
dan non-Parpol tersebut juga bertentangan dengan aspirasi masyarakat
(Bukti P-5);
e. Bahwa menurut para Pemohon, pentingnya syarat domisili bagi calon anggota
DPD juga menjadi pendapat berbagai ahli tata negara Indonesia (Bukti P-6,
P-7, P-8, dan P-9), yang berarti bahwa baik dari segi penafsiran secara
semantik maupun secara kontekstual dengan mengacu gagasan dasar
pembentukan DPD, syarat domisili merupakan elemen yang sangat penting
bagi calon anggota DPD. Oleh karena itu, menurut para Pemohon, ketiadaan
syarat domisili dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 harus dinyatakan
bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945;
f. Bahwa menurut para Pemohon, syarat non-Parpol bagi calon anggota DPD
dapat ditafsirkan secara sistematis dari ketentuan yang tercantum dalam
Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 “Peserta pemilihan umum untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah adalah partai politik” dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 bahwa
“Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah
adalah perseorangan.” Hal yang demikian menurut para Pemohon tidak
mendiskriminasi warga negara Indonesia yang berasal dari Parpol, karena
Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 telah memberikan kesempatan hanya kepada
anggota Parpol untuk menjadi anggota DPR dan DPRD. Sehingga adalah
logis untuk menafsirkan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 sebagai ketentuan
yang memberikan kesempatan hanya kepada perseorangan warga negara
Indonesia yang bukan berasal dari Parpol (baik anggota maupun pengurus)
untuk menjadi anggota DPD;
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
186
g. Menurut para Pemohon, Pasal 22E UUD 1945 telah cukup adil mengatur
bahwa anggota DPD dipilih dari perseorangan (non-Parpol), sedangkan
anggota DPR dan DPRD dipilih dari Parpol. Norma konstitusi yang demikian
seharusnya juga mendapatkan pengaturan lebih lanjut dalam UU 10/2008,
bukan malahan dihilangkan. Padahal, dalam alinea keempat UU 10/2008 telah
ditegaskan bahwa “... untuk mengakomodasi aspirasi keanekaragaman daerah,
sesuai dengan ketentuan Pasal 22C Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dibentuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang
anggota-anggotanya dipilih dari perseorangan yang memenuhi persyaratan
dalam pemilihan umum ...”;
h. Menurut para Pemohon, ketiadaan syarat non-Parpol dalam Pasal 12 dan
Pasal 67 UU 10/2008 merupakan pengingkaran dan/atau pelanggaran
terhadap Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, sehingga harus dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945, karena prinsip demokrasi perwakilan di
Indonesia menurut UUD 1945 direpresentasikan oleh DPR yang membawa
kepentingan nasional yang terangkum dari cita-cita masing Parpol dan oleh
DPD yang merupakan representasi perseorangan yang membawa aspirasi
setiap daerah yang diwakilinya dalam kerangka kepentingan nasional;
i.
Pandangan demikian, menurut para Pemohon, didukung oleh pendapat para
ahli tata negara Indonesia (Bukti P-8, P-9, P-10, P-11, dan P-12). Bahwa para
Pemohon sepenuhnya menyadari ada pendapat yang menyatakan anggota
DPD yang berasal dari Parpol belum tentu dengan sendirinya tidak dapat
mewakili kepentingan/aspirasi daerah dan bahwa banyak negara demokrasi
yang keanggotaan Senatnya berasal dari Parpol, namun hal itu lebih karena
budaya politik dan konteks sosio kulturalnya berbeda (Bukti P-12C, P-12D, P12E);
j. Bahwa para Pemohon menyadari, permohonan pengujian UU 10/2008 ini
adalah mengenai ketiadaan norma dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008
yang menyebabkan pasal a quo inkonstitusional, sedangkan dalam praktik
pada
umumnya
pengujian
ditujukan
terhadap
norma
yang
dianggap
inkonstitusional. Akan tetapi, menurut para Pemohon, sesungguhnya amanat
UUD 1945 yang berupa kewenangan Mahkamah untuk menguji undangundang terhadap Undang-Undang Dasar tidaklah sempit sekedar menguji
adanya norma yang inkonstitusional, melainkan juga menguji ketiadaan norma
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
187
yang seharusnya ada menurut amanat Undang-Undang Dasar, in casu
ketiadaan norma syarat domisili dan non-Parpol dalam Pasal 12 dan Pasal 67
UU 10/2008 yang seharusnya ada menurut amanat Pasal 22C ayat (1) dan
Pasal 22E ayat (4) UUD 1945;
k. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, para Pemohon mengajukan beberapa
alternatif Petitum sebagai berikut:
(i)
Mengabulkan permohonan para Pemohon dengan menyatakan Pasal 12
dan Pasal 67 UU 10/2008 bertentangan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E
ayat (4) UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kemudian untuk menghindari kekosongan hukum bagi kelancaran Pemilu
2009, Mahkamah meminta agar Presiden menerbitkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Komisi Pemilihan Umum
(KPU) menerbitkan Peraturan KPU yang mencantumkan syarat domisili
dan non-Parpol bagi calon anggota DPD; atau
(ii)
Menyatakan Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 berlaku conditionally
constitutional, yakni bahwa Pasal 12 huruf (c) UU 10/2008 harus dibaca
bertempat tinggal di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3
(tiga) tahun berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan
calon atau pernah bertempat tinggal selama 10 tahun sejak berusia 17
tahun di provinsi yang bersangkutan, dan Pasal 67 UU 10/2008 harus
dibaca kartu tanda penduduk warga negara Indonesia dari provinsi yang
bersangkutan. Selain itu, Pasal 12 huruf c UU 10/2008 juga harus
ditafsirkan warga negara Republik Indonesia perseorangan yang bukan
anggota atau pengurus Parpol;
(iii) atau bila tidak ditafsirkan demikian, Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008
harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E
ayat (4) UUD 1945 (conditionally unconstitutional);
[3.11]
Menimbang bahwa untuk memperkuat dalil-dalilnya, para Pemohon
telah mengajukan alat-alat bukti tulis (Bukti P-1 sampai dengan P-18) yang telah
disahkan pada sidang tanggal 15 April 2008. Selain itu, para Pemohon juga telah
mengajukan saksi dan ahli yang memberikan keterangan di bawah sumpah,
keterangan mana selengkapnya dimuat dalam uraian mengenai Duduk Perkara
dari Putusan ini, pada pokoknya adalah sebagai berikut:
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
188
[3.11.1]
Keterangan Saksi Para Pemohon, Drs. Progo Nurdjaman
Saksi dalam Sidang Pleno tanggal 13 Mei 2008 menerangkan bahwa ketika
menjadi salah seorang wakil Pemerintah dalam pembahasan RUU Pemilu Anggota
DPR, DPD, dan DPRD yang kemudian menjadi UU 10/2008, mengetahui dan
membenarkan bahwa Draft RUU dari Pemerintah memuat ketentuan tentang
syarat domisili dan bukan pengurus Parpol bagi calon anggota DPD. Saksi
menyatakan syarat domisili dan non-Parpol tidak muncul dalam Pasal 12 dan
Pasal 67 UU 10/2008, namun saksi tidak mengetahui sebabnya, karena saksi
terlanjur berhenti pensiun dan tidak lagi menjadi wakil Pemerintah dalam
pembahasan RUU Pemilu;
[3.11.2]
Keterangan Ahli Para Pemohon, Drs. Arbi Sanit
Ahli sebagai pakar ilmu politik dalam Sidang Pleno tanggal 13 Mei 2008
menerangkan pada pokoknya sebagai berikut:
x
Ahli meninjau persoalan dasar tuntutan DPD dalam perkara ini dari perspektif
partai politik yang menguasai dan mempengaruhi pembentuk undang-undang,
sehingga
menghasilkan pasal-pasal
undang-undang yang terkait
DPD
dipersoalkan. Menurut ahli, hal itu disebabkan adanya kecenderungan partaipartai politik saat ini yang bernafsu mendominasi dan memonopoli negara atau
urusan kenegaraan, baik secara vertikal lembaga-lembaga negara yang
bersifat nasional dan daerah, maupun horizontal, lembaga-lembaga negara
yang setara. Monopoli dan dominasi Parpol tersebut menurut ahli bahkan telah
mereduksi sistem pemerintahan presidensil menjadi berkecenderungan ke arah
sistem parlementer;
x
Dalam kaitannya dengan parlemen, menurut ahli, sejak Amandemen UUD
1945 sesungguhnya ada dua badan, yaitu DPR dan DPD, tetapi DPD hanya
diberi kekuasaan yang minim, kekuasaan yang tidak sesungguhnya sebagai
dewan perwakilan, melainkan hanya sebagai lembaga yang membantu DPR.
Bahkan, sekarang, melalui UU Pemilu (UU 10/2008), DPD hendak dimasuki
dan dikuasai lagi oleh Parpol melalui pasal-pasal yang kini diuji, sehingga DPR,
dalam hal ini partai-partai politik hendak melakukan sentralisasi kekuasaan,
bukan mau berbagi kekuasaan atas dasar prinsip checks and balances;
x
Menurut ahli, akar masalah kesulitan yang dihadapi oleh negara kita saat ini
adalah akibat monopoli Parpol yang menyebabkan sistem presidensil yang
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
189
digariskan UUD 1945 berubah dalam praktik menjadi sistem perlementer
dikarenakan munculnya sistem multipartai dengan kondisi kepartaian yang
berantakan. Oleh karena itu, demi kecintaan kita kepada partai, sebab
demokrasi tanpa partai itu bukan demokrasi, maka Parpol harus dibenahi,
bukan dari dalam oleh internal partai yang sudah bobrok, melainkan dari luar,
yaitu oleh golongan menengah dan kaum intelektual melalui tekanan-tekanan
politik. Dalam pandangan ahli, saat ini ada tiga institusi yang efektif dapat
memperbaiki Parpol dari luar, yaitu KPK dan BPK untuk mendorong partai
semakin jujur, dan Mahkamah Konstitusi melalui interpretasi dalam pengujian
undang-undang terhadap UUD 1945;
x
Ahli melalui kesimpulan tertulisnya juga menyatakan bahwa UU 10/2008 yang
tidak mencantumkan syarat domisili dan non-Parpol bagi calon anggota DPD
yang pada dasarnya merupakan norma UUD adalah melawan UUD 1945,
sebab tidak saja merugikan tokoh-tokoh independen dari masyarakat lokal di
provinsi dan para anggota DPD hasil Pemilu 2004 dengan mengurangi
peluangnya untuk dapat terpilih sebagai calon anggota DPD melalui Pemilu
2009, namun juga telah mendegradasikan institusi DPD. Oleh karena itu, ahli
mengharapkan objektivitas dan netralitas interpretasi yudisiil oleh Mahkamah
Konstitusi dapat menyelamatkan reformasi dari kekeliruan interpretasi legislasi
atas Konstitusi oleh DPR;
[3.11.3]
Keterangan Ahli Para Pemohon, Dr. John Pieris, S.H., M.S.
Dalam Sidang Pleno tanggal 13 Mei 2008, ahli memberikan keterangan
yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:
x
Menurut ahli, secara etimologis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi
kedua, frasa “dari setiap provinsi” dalam rumusan Pasal 22C ayat (1) UUD
1945 yang berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap
provinsi melalui pemilihan umum” menunjukkan tempat atau ruang dan asal,
yaitu tempat berdiam, berteduh, tempat tinggal, dan tempat berdomisili. Atau
dapat dipertegas artinya bertempat tinggal dalam pencalonan anggota DPD
dari provinsi asal, bukan dari provinsi lain. Syarat berdomisili permanen secara
administratif dari daerah yang diwakili ini juga dianut di Amerika Serikat dan
Thailand. Pengertian dipilih dari setiap provinsi mengandung makna dicalonkan
dan dipilih dari provinsi di mana calon berdomisili, suatu hal yang berbeda
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
190
dengan dipilih di setiap provinsi yang bermakna hanya dipilih di setiap provinsi
namun calonnya tidak harus berdomisili di provinsi tersebut;
x
Menurut ahli, frasa dipilih dari setiap provinsi berdasarkan teori representasi
berarti mewakili wilayah, yang secara substansial hermeneutikal perwakilan
wilayah itu harus diisi atau diwakili oleh orang yang berdomisili di wilayah
tersebut, yang mengenal dan mengetahui secara luas dan mendalam kondisi,
situasi, dan karakter masyarakat dan problema daerahnya.
x
Menurut ahli, sifat perwakilan dari anggota DPD adalah rational representation,
yang berarti secara rasional mewakili provinsi di mana yang bersangkutan
berdomisili, dan juga bukan merupakan representasi politik Parpol (political
representation) yang merupakan ranahnya perwakilan di DPR dan DPRD;
x
Mengenai frasa “perseorangan” dalam rumusan Pasal 22E ayat (4) dimaksud
sebagai pribadi seseorang atau pribadi yang independen, non-partisan dari
suatu badan termasuk Parpol, PNS, dan anggota TNI/Polri;
[3.11.4]
Keterangan Ahli Para Pemohon Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka
Sebagai ahli bahasa, ahli mengemukakan pemahamannya dari segi bahasa
atas rumusan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah
dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum” dan Pasal 22E ayat (4) UUD
1945, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah
adalah perseorangan”, sebagai berikut:
x
Kata “dari” merupakan preposisi atau kata depan yang menyatakan makna
asal, sedangkan kata “setiap” pada frasa “setiap provinsi” menyatakan makna
provinsi masing-masing. Dengan demikian, pemahaman atas Pasal 22C ayat
(1) dari segi bahasa adalah bahwa anggota DPD haruslah dipilih dari calon
yang berasal dan berdomisili dari provinsi yang diwakilinya, agar merupakan
perwakilan dari daerah tersebut;
x
Mengenai pemahaman atas rumusan Pasal 22E ayat (4), ahli berpendapat,
bahwa rakyat memilih perseorangan, bukan calon partai, untuk anggota DPD,
karena calon partai tempatnya di DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 22E
ayat (3) UUD 1945;
[3.11.5]
Keterangan Ahli Para Pemohon Denny Indrayana, S.H, LL.M, Ph.D.
Dalam persidangan tanggal 10 Juni 2008, ahli memberikan keterangan
yang pada pokoknya menyatakan enam hal sebagai berikut:
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
191
1. Menurut yang ahli pahami dan sesuai dengan maksud asli (original intent)
Pasal 22C ayat (1) dan (2) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, makna Dewan
Perwakilan Daerah dalam UUD 1945 adalah representasi daerah (regional
representative), maka menjadi aneh kalau representasi daerah tidak tinggal di
daerah yang bersangkutan, hal yang berbeda dengan representasi politik yang
dimiliki oleh DPR dan representasi fungsional yang dimiliki oleh Utusan
Golongan di MPR dulu sebelum Perubahan UUD 1945. Sehingga, bagi calon
anggota DPD memang harus dipersyaratkan berdomisili di provinsi yang
diwakili dan perseorangan yang bukan dari Parpol;
2. Menurut ahli, syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan non-Parpol bagi
calon anggota DPD merupakan maksud asli (original intent) UU 12/2003 yang
sesuai dengan maksud asli Pasal 22C ayat (1) dan (2) dan Pasal 22E ayat (4)
UUD 1945;
3. Bahwa pembuatan UU 10/2008 sengaja menghilangkan syarat domisili di
provinsi dan syarat perseorangan non-Parpol bagi keanggotaan DPD;
4. Bahwa perubahan radikal interpretasi UUD 1945 berupa penghilangan syarat
domisili provinsi dan syarat perseorangan non-Parpol bagi calon anggota DPD
dalam UU 10/2008 adalah bentuk “improper purposes”;
5. Bahwa ketiadaan syarat domisili provinsi dan syarat non-Parpol bagi
keanggotaan DPD harus dinyatakan tidak sesuai (uncomformity) bukan
bertentangan (in contradiction) dengan UUD 1945, karena UU 10/2008 baru
dapat dikatakan sesuai dengan UUD 1945 apabila memuat norma yang hilang
tersebut;
6. Menurut ahli, ketiadaan norma syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan
non-Parpol (tidak dituliskan secara eksplisit) dalam UU 10/2008 harus dianggap
sebagai norma itu sendiri, sehingga Mahkamah berwenang untuk menyatakan
bahwa ketiadaan norma dimaksud tidak sesuai (uncomformity) dengan UUD
1945;
[3.11.6]
Keterangan Ahli Para Pemohon Drs. Thomas Aquino Legowo, M.A.
Ahli menerangkan yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:
x
Menurut ahli, disahkannya UU 10/2008 merupakan suatu kemajuan, selain
memperbaiki kelemahan yang ada pada undang-undang terdahulu, yaitu UU
12/2003, juga
merumuskan
beberapa
Implikasi
peran..., Agung
Sudrajat, ketentuan
FH UI, 2012 baru yang belum pernah
192
diberlakukan pada Pemilu-pemilu sebelumnya, tetapi juga menghilangkan
beberapa ketentuan lama yang ada dalam UU 12/2003. Keputusan menambah
atau menghilangkan merupakan upaya yang dapat untuk memperbarui dan
menyempurnakan suatu peraturan perundang-undangan. Meskipun begitu,
menurut
ahli,
tidak
tertutup
kemungkinan
bahwa
penambahan
atau
penghilangan beberapa ketentuan dapat menyimpang atau mengubah secara
maknawi prinsip dan pemikiran dasar yang ada dan berkembang pada UUD
1945 yang menjadi landasan bagi perumusan peraturan perundang-undangan.
Pertanyaannya adalah mengapa UU 10/2008 tidak lagi memberlakukan
ketentuan tentang persyaratan domisili dan bukan berasal dari Parpol bagi
calon anggota DPD? Masalah yang selama ini belum pernah dijelaskan secara
resmi;
x
Namun, menurut ahli, terlepas dari ada atau tidaknya penjelasan dimaksud,
penghilangan dua ketentuan itu telah memungkinkan keanggotaan DPD
terbuka untuk diisi oleh calon-calon terpilih yang tidak berdomisili di daerah
yang diwakilinya dan menjadi pengurus Parpol. Persoalannya adalah apakah
kemungkinan seperti ini sesuai dengan semangat prinsip dan pemikiran dasar
yang melatari pembentukan DPD dalam proses amandemen UUD 1945 tahun
1999 – 2001 dan 2002. Jika ditengok kembali proses perdebatan yang
mengantar pembentukan DPD dalam sidang-sidang MPR, dapat ditarik
beberapa catatan yang secara langsung atau tidak langsung terkait dengan
dua persyaratan bagi calon anggota DPD tersebut, yaitu:
i. DPD merupakan badan perwakilan yang menggantikan utusan daerah
untuk menyalurkan aspirasi daerah demi mencegah disintegrasi bangsa.
Jadi, DPD merupakan perwakilan territory, dalam hal ini provinsi, untuk
menampung aspirasi daerah dalam proses politik nasional, maka anggota
DPD diharuskan untuk memberikan konsentrasinya secara penuh sebagai
perwakilan daerah;
ii. DPD sebagai badan perwakilan daerah harus dibedakan dari DPR yang
merupakan badan perwakilan yang mewakili aspirasi rakyat, sehingga
dalam prinsip dasar ini, DPD tidak boleh mengungguli DPR, baik dalam
ukuran jumlah anggotanya maupun wewenangnya. Argumentasinya adalah
bahwa jumlah wilayah senantiasa lebih sedikit dari pada jumlah penduduk,
maka jumlah anggota DPD ditentukan tidak lebih dari sepertiga jumlah
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
193
anggota DPR, ruang lingkupnya terbatas pada masalah-masalah yang
terkait dengan daerah;
iii. DPD sebagai perwakilan daerah harus beranggotakan orang-orang yang
dipilih melalui pemilihan umum di masing-masing daerah. Prinsip ini
bermakna bahwa anggota-anggota DPD adalah orang-orang yang secara
sah dipilih oleh masyarakat daerah setempat untuk mewakili daerah
bersangkutan, maka anggota DPD tidak mewakili entitas lain apapun juga
selain daerah, seperti organisasi masyarakat, komunitas agama, dan
Parpol;
x
Menurut ahli, dari semangat prinsip dan pemikiran dasar tersebut jelas
menegaskan bahwa anggota DPD adalah orang-orang yang mengetahui,
mengenal, dan memahami masalah-masalah daerah yang diwakilinya.
Memang Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 tidak secara eksplisit menyatakan
bahwa anggota DPD harus berasal dan berdomisili dari provinsi yang
diwakilinya, namun dari frasa “Anggota Dewan Perwakilan daerah dipilih dari
setiap provinsi ...” tidak bisa diartikan lain selain bahwa anggota DPD bukan
berasal dari provinsi lain, jadi merefleksikan asas tempat tinggal atau domisili;
[3.11.7]
Keterangan Ahli Para Pemohon Dr. Indra Jaya Piliang
Dalam keterangan di persidangan tanggal 10 Juni 2008, dengan judul “Dari
Demokrasi ke Partikrasi, Dari Kedaulatan Rakyat ke Kedaulatan Partai”, ahli
menyatakan hal-hal yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:
x
DPD adalah perwakilan wilayah yang begitu beragam di Indonesia dengan sifat
dan karakteristiknya masing-masing, baik secara etnografis, agama, dan
lainnya yang mencerminkan kebhinekaan, suatu hal yang tak mungkin terwakili
oleh Parpol. Maka, DPR dan DPD dalam sistem perwakilan di Indonesia adalah
dua identitas yang berbeda, DPR merupakan perwakilan penduduk, sedangkan
DPD merupakan perwakilan daerah;
x
Menurut ahli, amandemen UUD 1945 menganut prinsip kontra hegemoni yakni
meluruskan konstitusi sebelum amandemen yang melahirkan otoritarianisme,
seperti misalnya Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, kekuasaan bergeser ke
badan legislatif yang bercabang dua, satu DPR yang merupakan perwakilan
penduduk, satunya DPD yang merupakan perwakilan daerah. Menurut ahli,
perbedaan antara DPR dan DPD bukan sekadar perbedaan fungsi, tetapi pada
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
194
hakikatnya adalah perbedaan substansi, yaitu bahwa urusan daerah secara
eksplisit adalah urusannya DPD, bukan DPR. Sehingga, apabila keanggotaan
DPD itu diisi oleh orang-orang partai politik, maka sentralisasi atau hegemoni
kekuasaan negara oleh partai politik akan memperoleh ruang, kalau sebelum
amandemen konstitusi hanya bersifat individual pada diri Soekarno dan
Soeharto, akan berpindah ke Parpol;
x
Tentang masalah domisili, menurut ahli, pada hakikatnya merupakan identitas
dari suatu wilayah, misalnya identitas ras Melanesia di Otonomi Khusus Papua
yang bukan datang dari Asia, melainkan dari Lautan Pasifik, juga bagi Aceh
yang menganut syariat Islam. Tak terbayangkan apa akibatnya jika tidak ada
syarat domisili bagi calon anggota DPD, orang Papua mungkin tidak terwakili
oleh etnis Papua, orang Aceh mungkin tak terwakili oleh orang etnis Aceh,
maka akan hancurlah hakikat Keindonesiaan yang bhineka itu. Hal seperti ini,
mungkin domisili dipandang primordialistik, namun primordialistik yang
dilindungi konstitusi (primordialisme konstitusional). Maka syarat domisili itu
adalah prinsip yang sangat penting yang harus dipenuhi oleh DPD, dan karena
di Indonesia domisili itu diartikan dengan KTP, bukan akta kelahiran dan tempat
sekolah, maka KTP-lah yang menjadi bukti syarat domisili;
x
Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut di atas, maka menghilangkan syarat
domisili dan non-Parpol bagi calon anggota DPD, yang terjadi bukan lagi
prinsip demokrasi, melainkan prinsip-prinsip partikrasi, kedaulatan di tangan
partai yang berakibat Indonesia akan terjebak ke dalam proses transisi
permanen;
[3.11.8]
Keterangan Ahli Para Pemohon Hestu Cipto Handoyo, S.H., M.Hum.
Ahli memberi judul keterangannya dengan judul “Ketiadaan Sinkronisasi
Norma Domisili dan Non Partai Politik Bakal Calon Anggota DPD Dalam Perspektif
Konstitusi”, menerangkan pada pokoknya sebagai berikut:
x
Menurut ahli, Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Anggota Dewan
Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum” masih
menimbulkan dua penafsiran, pertama, ‘setiap provinsi’ dapat ditafsirkan
sebagai sebuah struktur organisasi pemerintahan daerah dalam konteks
desentralisasi teritorial, dan yang kedua, setiap provinsi dapat ditafsirkan
sebagai daerah pemilihan sebagaimana diatur dalam UU 10/2008. Dalam hal
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
195
ini ahli berpendapat, bahwa norma yang tercantum dalam Pasal 22C ayat (1)
UUD 1945 terkait erat dengan norma yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (1)
UUD 1945 yang menegaskan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.” Dengan demikian,
harus ditafsirkan bahwa frasa dari setiap provinsi dalam Pasal 22C ayat (1)
UUD 1945 sebagai provinsi dalam makna desentralisasi teritorial sebagaimana
dimaksud Pasal 18 ayat (1) UUD 1945, sehingga norma domisili di provinsi
bagi calon anggota DPD adalah norma konstitusi yang jika dihilangkan dari UU
10/2008 berarti melanggar konstitusi;
x
Ahli juga berpendapat, bahwa norma yang terkandung dalam Pasal 22E ayat
(4) UUD 1945 yang berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan”, tafsirannya adalah bahwa
kata “perseorangan” itu bermakna individu mandiri yang tidak terikat oleh
kepentingan golongan atau afiliasi politik tertentu. Hal itu berarti bahwa secara
konstitusional, syarat untuk calon anggota DPD adalah perseorangan non
Parpol, sebagaimana persyaratan lainnya seperti menjabat akuntan publik,
advokat, pengacara, notaris, dan lain-lainnya;
[3.11.9]
Keterangan Ahli Para Pemohon M. Fajrul Falaakh, S.H., M.Sc.
Ahli dalam Sidang Pleno tanggal 10 Juni 2008 menerangkan pada
pokoknya hal-hal sebagai berikut:
x
Bahwa keterwakilan daerah dengan jumlah majemuk bukanlah konsep baru
dalam Konstitusi Indonesia, sebab sebelum Amandemen UUD 1945, kita
pernah mempunyai ketentuan bahwa MPR terdiri atas anggota DPR ditambah
dengan utusan daerah-daerah dan golongan-golongan. Penjelasan UUD 1945
tentang hal itu menyatakan bahwa rumusan seperti itu dimaksudkan supaya
seluruh daerah mempunyai wakil di dalam Majelis, sehingga majelis itu akan
betul-betul dianggap sebagai penjelmaan rakyat. Bahkan kita pernah
mengalami bahwa untuk rekrutmen utusan daerah, gubernur otomatis menjadi
wakil daerah;
x
Menurut ahli, setelah Amandemen UUD 1945, pelembagaan utusan daerah
adalah dalam lembaga yang namanya DPD yang dalam UUD 1945 telah
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
196
dimuat beberapa ketentuan konstitusionalnya, yaitu anggota DPD dipilih dari
setiap provinsi, jumlah anggota DPD tidak lebih dari sepertiga anggota DPR,
dan anggota DPD dipilih dari calon perseorangan. Jadi, ada norma konstitusi
untuk Pemilu anggota DPD, yaitu asal calon anggota adalah provinsi, bukan
luar negeri, bukan desa, kabupaten atau kota dan juga bukan ibukota provinsi.
Dalam Pasal 22C ayat (2) UUD 1945 ditentukan jumlah anggota DPD dari
setiap provinsi jumlahnya sama, yang berarti dianut prinsip equality of regional
representation. Pasal 22C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 juga mengandung
norma konstitusi yang bersifat implisit, yaitu bahwa setiap provinsi berhak atas
keterwakilan di DPD dan anggota DPD berangkat dari dan berasal dari
provinsi;
x
Ahli selanjutnya berpendapat, bahwa ketentuan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945,
“Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah
adalah perseorangan”, dapat dikatakan dilawankan dengan ketentuan Pasal
22E ayat (3) bahwa “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.”
Ketentuan tersebut menegaskan bahwa subjek hukum untuk DPR dan DPRD
adalah Parpol (dalam ilmu hukum disebut subjek hukum badan) dan subjek
hukum untuk DPD adalah perseorangan (dalam ilmu hukum disebut subjek
hukum orang). Dengan demikian, menurut ahli jelas bahwa perseorangan bagi
calon anggota DPD itu adalah bukan berasal dari Parpol, sama jelasnya
dengan ketentuan bahwa calon anggota DPR dan DPRD berasal dari Parpol;
[3.12]
Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR
RI) telah memberikan keterangan lisan dan tertulis yang selengkapnya dimuat
dalam uraian mengenai Duduk Perkara Putusan ini, pada pokoknya menerangkan
hal-hal sebagai berikut:
[3.12.1]
Keterangan DPR pada Sidang Pleno tanggal 13 Mei 2008
DPR dalam persidangan Mahkamah tanggal 13 Mei 2008 yang diwakili oleh
Pataniari Siahaan dan Lukman Hakim Saefuddin menerangkan pada pokoknya
sebagai berikut:
x
Menurut DPR, Pemohon I DPD sebagai lembaga negara memang memenuhi
kualifikasi sebagai Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD
1945 sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK dan DPD memang
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
197
memiliki kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 22D ayat
(1), (2), dan (3) UUD 1945. Akan tetapi, kewenangan konstitusional DPD tak
ada kaitannya dengan ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, karena
ketentuan Pasal 22D tersebut berlaku setelah DPD terbentuk, sedangkan Pasal
12 dan Pasal 67 adalah persyaratan untuk menjadi anggota DPD, sehingga
ketentuan dimaksud tak akan merugikan kewenangan konstitusional DPD,
sehingga Pemohon I tidak memiliki legal standing. DPR juga berpendapat
bahwa anggota DPD sebagai perseorangan juga tidak memiliki legal standing,
karena sebagai perseorangan warga negara Indonesia para anggota DPD tidak
dirugikan oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, mereka masih
tetap berhak dan bebas mencalonkan diri sebagai anggota DPD dalam Pemilu.
Demikian juga menurut DPR, Pemohon III tidak memiliki legal standing karena
tidak ada kepentingan langsung Pemohon III dengan persyaratan calon
anggota DPD yang tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008.
Begitu pula Pemohon IV, yaitu perseorangan warga daerah, meskipun mereka
berhak mengajukan pengujian UU 10/2008 dan mempunyai hak konstitusional
yang diberikan oleh UUD 1945, namun menurut DPR, Pemohon IV juga tak
memiliki legal standing, karena ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008
tidak merugikan hak konstitusional Pemohon IV, Pemohon IV tidak terhalangi
haknya untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD dalam Pemilu;
x
Menurut
DPR,
yang
dimohonkan
oleh
para
Pemohon
dalam
pokok
permohonannya adalah ketiadaan syarat domisili dan syarat non-Parpol dalam
Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 yang dinilainya bertentangan dengan Pasal
22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Jadi, sesungguhnya, yang
dipersoalkan para Pemohon bukan materi muatan berupa norma-norma yang
tertuang dalam undang-undang, melainkan suatu rumusan frasa yang menurut
para Pemohon harus dituangkan dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008.
Jika demikian halnya, maka berarti secara normatif Pasal 12 dan Pasal 67 UU
10/2008 sesungguhnya tidak melanggar dan bertentangan dengan Pasal 22C
ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Padahal, Pasal 51 ayat (3) UU MK
mengharuskan Pemohon untuk menguraikan secara jelas pasal, ayat, dan/atau
bagian dari undang-undang yang dimohonkan pengujian materiil yang
dianggap
bertentangan
dengan
UUD
1945.
Dalam
permohonannya,
sebenarnya para Pemohon menyadari hal itu, maka seharusnya Kuasa Hukum
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
198
para Pemohon sebagai bagian dari penegak hukum mengindahkan ketentuan
Pasal 51 ayat (3) UU MK dan yang sudah dipraktikkan oleh Mahkamah
Konstitusi selama ini;
x
Menurut DPR, bagaimana mungkin dalam permohonan perkara a quo yang tak
menguraikan pasal, ayat, dan/atau bagian undang-undang dari UU 10/2008
yang dianggapnya bertentangan dengan UUD 1945, melainkan hanya
mengenai ketiadaan norma syarat domisili dan syarat non-Parpol dalam UU
10/2008, tiba-tiba dalam petitum meminta agar Pasal 12 dan Pasal 67 UU
10/2008 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Padahal, ketiadaan suatu norma bukan suatu
norma yang mempunyai kekuatan hukum mengikat;
[3.12.2]
Keterangan Tambahan DPR pada Sidang tanggal 10 Juni 2008
Pada Sidang Mahkamah tanggal 10 Juni 2008, DPR yang diwakili oleh
Ferry Mursyidan Baldan, Agun Gunanjar Sudarsa, dan Prof. Dr. Wila Chandrawila
menyampaikan keterangan tambahan yang pada pokoknya adalah sebagai
berikut:
x
Menurut DPR, dalam pemilihan umum yang demokratis, rakyat pemilihlah yang
akan menentukan wakil mereka di DPD, bukan undang-undang. Sehingga,
meskipun tidak ada syarat domisili dan non-Parpol, namun masih terdapat
beberapa tahapan untuk menjadi anggota DPD, yaitu mengumpulkan
dukungan dan yang paling penting adalah dipilih oleh rakyat di provinsi
tersebut, karena hak untuk memberikan dukungan dan hak untuk memilih
adalah tetap di tangan rakyat;
x
Tentang syarat domisili bagi calon anggota DPD, menurut DPR, secara tegas
tidak tercantum dalam Pasal 22C ayat (1) UUD 1945, pemaknaan bahwa frasa
“dari setiap provinsi” mengandung arti bahwa calon anggota DPD harus berasal
dari dan berdomisili di provinsi yang diwakilinya adalah penafsiran para
Pemohon sendiri. Padahal, ketentuan tersebut juga dapat ditafsirkan bahwa
setiap provinsi harus terwakili, tidak boleh ada satu atau lebih provinsi yang
tidak terwakili dalam DPD;
x
Tentang kata “perseorangan” dalam Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, menurut
DPR bermakna bahwa pencalonannya adalah tidak melalui Parpol, meskipun
yang bersangkutan adalah anggota Parpol;
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
199
x
Dalil para Pemohon yang membandingkan dengan UU 12/2003 dan draft RUU
dari Pemerintah, DPR berpandangan bahwa pengujian konstitusionalitas
undang-undang tolok ukur pengujiannya adalah UUD 1945, bukan undangundang, apalagi draft rancangan undang-undang;
[3.13]
Menimbang bahwa Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Dalam Negeri
Mardiyanto dan Menteri Hukum dan HAM, Andi Matalatta telah memberikan
keterangan lisan dan tertulis pada Sidang Pleno tanggal 10 Juni 2008 yang
selengkapnya dimuat dalam uraian mengenai Duduk Perkara Putusan ini, pada
pokoknya menerangkan hal-hal sebagai berikut:
x
Secara umum Pemerintah menyatakan bahwa pembentukan DPD melalui
Pemilu dilaksanakan berdasarkan prinsip kesamaan hak dan kedudukan setiap
warga negara dalam menggunakan haknya untuk dipilih, sehingga calon
anggota DPD tidak dipersyaratkan untuk berdomisili di provinsi yang menjadi
daerah pemilihannya dan tidak dibatasi menurut latar belakang atau status
politiknya (Parpol atau non-Parpol). Hal ini sesuai dengan prinsip kesatuan
wilayah dan kesamaan kedudukan hukum warga negara dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
x
Tentang legal standing para Pemohon, Pemerintah mempertanyakan siapa
yang sebenarnya dirugikan atas keberlakuan Pasal 12 dan Pasal 67 UU
10/2008. Menurut Pemerintah, Pemohon I telah keliru dan tidak tepat dalam
mengonstruksikan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional atas
keberlakuan UU 10/2008, karena pada kenyataannya, sampai saat ini,
Pemohon I masih tetap dapat menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya
sebagaimana diatur dalam Pasal 22D UUD 1945, maupun Pasal 32 sampai
dengan Pasal 51 UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan
Anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dengan perkataan lain, hak dan/atau
kewenangan konstitusional Pemohon I tidak terkurangi, terhalangi, dan
terganggu sedikit pun oleh keberlakuan UU 10/2008. Demikian pula
Pemohon II, ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 tidak terkait sama
sekali dengan hak konstitusional Pemohon II, karena ketentuan tersebut hanya
berkaitan dengan persyaratan untuk menjadi calon anggota DPD dan tidak
mengurangi sedikitpun hak-hak konstitusional anggota DPD. Pemerintah juga
berpendapat bahwa ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 sama sekali
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
200
tidak terkait dengan kepentingan Pemohon III yang menyatakan diri sebagai
perorangan warga negara Indonesia yang dikenal aktif dan konsen dengan isuisu yang terkait Pemilu, kinerja parlemen, kualitas representasi publik dalam
parlemen,
dan
penyaluran
aspirasi
daerah.
Terhadap
legal
standing
Pemohon IV, Pemerintah berpendapat, bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 UU
10/2008 tidak mengurangi hak konstitusional Pemohon IV untuk mencalonkan
diri sebagai anggota DPD. Dengan demikian, Pemerintah berpendapat bahwa
baik Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, maupun Pemohon IV tidak
memenuhi syarat legal standing untuk mengajukan pengujian Pasal 12 dan
Pasal 67 UU 10/2008;
x
Tentang penghilangan norma konstitusi dalam UU 10/2008, memang benar
bahwa dalam UU 10/2008 tidak tercantum syarat domisili bagi calon anggota
DPD, namun menurut Pemerintah hal itu bukan merupakan penghilangan
norma konstitusi. Karena, ketentuan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 dapat
ditafsirkan ke dalam beberapa dimensi, pertama, frasa “dari setiap provinsi”
ditafsirkan sebagai daerah pemilihan bagi pemilu anggota DPD, sebagaimana
dianut oleh UU 10/2008 dan juga UU 12/2003; kedua, tidak ada penegasan
dalam Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 bahwa calon anggota DPD dari suatu
daerah pemilihan provinsi tertentu harus terikat syarat domisili pada daerah
pemilihan provinsi yang bersangkutan. Pengaturan pada UU 12/2003 dan draft
RUU Pemilu dari Pemerintah hanyalah salah satu alternatif penafsiran dari
amanat Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E UUD 1945, masih ada alternatif lain
sebagaimana yang dilakukan oleh UU 10/2008. Hal demikian, merupakan
politik hukum hasil persetujuan antara DPR dan Pemerintah, sehingga tidak
bertentangan dengan UUD 1945;
x
Pemerintah juga berpendapat memang benar UU 10/2008 tidak memuat syarat
non-Parpol bagi anggota DPD, namun Pemerintah tak sependapat dengan
para Pemohon bahwa hal itu merupakan penghilangan norma konstitusi.
Karena, menurut Pemerintah, ketentuan dalam Pasal 22E ayat (4) UUD 1945
bahwa peserta Pemilu anggota DPD adalah perseorangan, tidak serta merta
dapat ditafsirkan bahwa warga negara anggota Parpol tidak boleh menjadi
calon anggota DPD. Selain itu, pengaturan tersebut juga tidak mengurangi hakhak perseorangan warga negara yang non-Parpol;
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
201
x
Pemerintah berpendapat bahwa pandangan para Pemohon mengenai
keharusan syarat domisili dan syarat non-Parpol yang akan lebih menempatkan
DPD benar-benar sebagai perwakilan daerah pembawa aspirasi daerah dan
terlepas dari platform partai-partai politik hanyalah merupakan pendapat para
Pemohon
yang
bersifat
spekulatif
yang
belum
tentu
benar
dalam
kenyataannya;
[3.14]
Menimbang bahwa Pemerintah telah mengajukan seorang ahli, yakni
Prof. Dr. Zudan Arif Fakrulloh, S.H. yang memberikan keterangan secara lisan dan
tertulis pada Sidang Pleno tanggal 10 Juni 2008, keterangan mana secara lengkap
dimuat dalam uraian mengenai Duduk Perkara Putusan ini, pada pokoknya adalah
sebagai berikut:
x
Ahli melakukan analisis hukum mengenai keterkaitan UU 10/2008 dengan
Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 dengan metoda
penafsiran dan pendekatan Ilmu Lembaga dan Pranata Hukum. Menurut ahli,
dengan metoda dan pendekatan tersebut, DPD dibentuk dalam rangka menata
struktur parlemen Indonesia menjadi dua kamar (bikameral) yang terdiri dari
DPR dan DPD. Secara filosofis, model bikameral diharapkan dapat
merepresentasikan kepentingan rakyat secara lebih utuh dan menyeluruh, yaitu
DPR
diharapkan
dapat
mencerminkan
representasi
politik
dan
DPD
representasi wilayah. Artinya, DPR sebagai representasi politik anggotanya
dipilih melalui pintu Parpol, sedangkan DPD sebagai representasi wilayah,
anggotanya dipilih melalui calon perseorangan tanpa melalui Parpol dan
merupakan wakil dari setiap provinsi;
x
Berdasarkan filosofi tersebut, maka DPD sebagai perwakilan daerah,
anggotanya bertugas untuk menyuarakan kepentingan daerah. Sedangkan arti
dipilih dari setiap provinsi adalah bahwa setiap provinsi akan mempunyai wakil
di DPD, dalam konteks ini provinsi merupakan daerah pemilihan (dapil).
Anggota DPD bertugas menyuarakan kepentingan daerah secara nasional
melalui kebijakan nasional, bukan kepentingan daerahnya sendiri. Maka, ahli
berpendapat bahwa dalam konteks ini syarat domisili bagi anggota DPD tidak
relevan, karena tugas DPD tidak memperjuangkan daerahnya, tetapi daerahdaerah di Indonesia secara kumulatif melalui kebijakan nasional;
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
202
x
Menurut ahli, mengenai tiadanya syarat non-Parpol dalam kaitannya dengan
Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, justru mencerminkan prinsip “equality before the
law”
dalam kualifikasi subjek hukum perseorangan sebagai calon anggota
DPD. Penormaan syarat non-Parpol justru mengurangi esensi dari semangat
kata “perseorangan” yang pada prinsipnya boleh berasal dari manapun;
x
Mengenai permohonan pengujian ketiadaan norma dalam UU 10/2008, in casu
ketiadaan syarat non-Parpol dan syarat domisili bagi calon anggota DPD, maka
menurut ahli, apabila belum berada dalam norma undang-undang, hal itu tidak
dapat dimintakan pengujian, karena objeknya belum terbentuk;
[3.15]
Menimbang bahwa para Pemohon telah menyampaikan kesimpulan
tertulis bertanggal 20 Juni 2008 yang pada pokoknya, selain tidak sependapat
dengan keterangan DPR dan Pemerintah, baik mengenai legal standing para
Pemohon,
maupun
mengenai
Pokok
Permohonan,
juga
para
Pemohon
menyatakan tetap pada pendiriannya;
[3.16]
Menimbang bahwa DPR dalam sidang tanggal 10 Juni 2008 telah
menyampaikan kesimpulan lisan yang pada pokoknya tetap berpendapat sama
dengan keterangan yang telah disampaikan sebelumnya;
[3.17]
Menimbang bahwa Pemerintah telah menyampaikan kesimpulan tertulis
bertanggal 19 Juni 2008 yang pada pokoknya, selain menanggapi keterangan para
Pemohon, ahli, dan saksi, juga meminta agar Mahkamah menyatakan para
Pemohon tidak memiliki legal standing dan menolak pokok permohonannya;
Pendapat Mahkamah
[3.18]
Menimbang bahwa Mahkamah telah mempertimbangkan dengan
saksama isi permohonan, keterangan, dan kesimpulan tertulis para Pemohon, alatalat bukti tulis dan keterangan saksi dan para ahli dari para Pemohon, keterangan
DPR, serta keterangan dan kesimpulan Pemerintah beserta keterangan ahli dari
Pemerintah. Akan tetapi, sebelum Mahkamah berpendapat mengenai kedudukan
hukum (legal standing) para Pemohon dan mengenai pokok permohonan para
Pemohon, perlu terlebih dahulu menyampaikan pendapat mengenai desain
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
203
konstitusional DPD untuk memberikan perspektif atau gambaran yang tepat
mengenai DPD sebagai organ konstitusi sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945.
[3.18.1]
Desain Konstitusional DPD dalam UUD 1945
Menimbang bahwa desain konstitusional DPD dalam UUD 1945 dapat
dipahami dari original intent dan original meaning perumusan Pasal 22C UUD
1945, sebagaimana tercermin dalam risalah-risalah persidangan MPR yang
kemudian dikristalisasikan dalam bahan-bahan yang menjadi buku Panduan
Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:
Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 terbitan Sekretariat Jenderal MPR RI tahun 2003.
Apa yang dimuat dalam buku dimaksud kemudian juga dimuat kembali dalam buku
Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945: sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat terbitan Sekretariat
Jenderal MPR RI tahun 2006.
Mahkamah menjadikan kedua buku tersebut sebagai acuan, selain karena
diterbitkan oleh lembaga resmi MPR, juga karena materi muatannya yang telah
disebarluaskan untuk dipahami oleh masyarakat luas (sosialisasi). Selain itu,
tentunya apa yang menjadi materi muatan dalam kedua buku tersebut juga telah
merupakan kristalisasi pendapat fraksi-fraksi MPR. Adapun pokok-pokok desain
konstitusional DPD tersebut adalah sebagai berikut:
a. Perubahan rumusan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 dari naskah asli yang berbunyi
“Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah dan golongangolongan menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang” menjadi
rumusan baru yang berbunyi “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah
yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undangundang” diputus melalui pemungutan suara dengan 475 suara mendukung, 122
suara memilih alternatif lain (memasukkan utusan golongan), dan 3 suara
abstain. Dengan perubahan ketentuan tersebut, MPR terdiri atas anggota DPR
dan anggota DPD, bukan lembaga DPR dan lembaga DPD, yang semuanya
dipilih oleh rakyat dalam Pemilu sesuai dengan prinsip demokrasi perwakilan
atas dasar pemilihan atau “representation by election”
Jenderal MPR
RI, 2006);
Implikasi
peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
(vide Sekretariat
204
b. Perubahan UUD 1945 melahirkan sebuah lembaga baru dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia, yakni DPD yang dengan kehadirannya, sistem
perwakilan di Indonesia DPR didukung dan diperkuat oleh DPD. DPR
merupakan lembaga perwakilan berdasarkan aspirasi dan paham politik
rakyat sebagai pemegang kedaulatan, sedangkan DPD merupakan
lembaga
perwakilan
penyalur
keanekaragaman
aspirasi
daerah.
Keberadaan lembaga DPD merupakan upaya menampung prinsip
perwakilan daerah (vide Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003: 180 dan
Sekretariat Jenderal MPR RI, 2006: 93);
c. Sistem perwakilan yang dianut Indonesia merupakan sistem yang khas
Indonesia karena dibentuk sebagai perwujudan kebutuhan, kepentingan, serta
tantangan bangsa dan negara Indonesia. Keberadaan DPD dalam struktur
ketatanegaraan di Indonesia dimaksudkan untuk:
1) memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah;
2) meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerahdaerah dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan negara dan
daerah;
3) mendorong percepatan demokrasi, pembangunan, dan kemajuan daerah
secara serasi dan seimbang.
Dengan demikian, keberadaan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (1) dan otonomi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5)
berjalan sesuai dengan keragaman daerah dalam rangka kemajuan bangsa
dan negara (vide Sekretariat Jenderal MPRI, 2003: 80 dan 2006: 93);
d. DPD memiliki fungsi yang terbatas di bidang legislasi, anggaran, pengawasan,
dan pertimbangan. Fungsi DPD berkaitan erat dengan sistem saling
mengawasi dan saling mengimbangi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia,
(vide Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003:181 dan 2006: 94), yaitu sebagaimana
diatur dalam Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945:
1) dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan
dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
205
2) ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan
pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta
memberikan pertimbangan kepada DPR, RUU APBN dan RUU yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
3) dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
mengenai
otonomi
daerah,
pembentukan,
pemekaran
dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan
agama, serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR
sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti;
e. Bahwa cara rekrutmen calon anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui
Pemilu [Pasal 22C ayat (1) UUD 1945], anggota DPD dari setiap provinsi
jumlahnya sama [Pasal 22C ayat (2) UUD 1945], dan peserta Pemilu untuk
memilih anggota DPD adalah perseorangan [Pasal 22E ayat (4) UUD 1945];
f. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa desain konstitusional DPD
sebagai organ konstitusi adalah:
1) DPD merupakan representasi daerah (territorial representation) yang
membawa dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam
kerangka kepentingan nasional, sebagai imbangan atas dasar prinsip
“checks and balances” terhadap DPR yang merupakan representasi politik
(political representation) dari aspirasi dan kepentingan politik partai-partai
politik dalam kerangka kepentingan nasional;
2) Keberadaan DPR dan DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang
seluruh anggotanya menjadi anggota MPR bukanlah berarti bahwa sistem
perwakilan Indonesia menganut sistem perwakilan bikameral, melainkan
sebagai gambaran tentang sistem perwakilan yang khas Indonesia;
3) Meskipun kewenangan konstitusional DPD terbatas, namun dari seluruh
kewenangannya
pertimbangan
di
bidang
sebagaimana
legislasi,
diatur
anggaran,
dalam
Pasal
pengawasan,
22D
UUD
dan
1945,
kesemuanya terkait dan berorientasi kepada kepentingan daerah yang
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
206
harus diperjuangkan secara nasional berdasarkan postulat keseimbangan
antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah;
4) Bahwa sebagai representasi daerah dari setiap provinsi, anggota DPD
dipilih melalui Pemilu dari setiap provinsi dengan jumlah yang sama,
berdasarkan pencalonan secara perseorangan, bukan melalui Partai,
sebagai peserta Pemilu;
Pendapat Mahkamah Tentang Legal Standing Para Pemohon
[3.18.2]
Menimbang mengenai kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon
dalam permohonan a quo, dalam paragraf [3.8] telah dikemukakan bahwa para
Pemohon telah mendalilkan mempunyai legal standing, sedangkan DPR dan
Pemerintah berpendapat sebagaimana telah diuraikan dalam paragraf [3.12] dan
paragraf [3.13] bahwa para Pemohon tidak memiliki legal standing. Mengenai
persoalan legal standing para Pemohon ini, terdapat perbedaan pendapat di
antara para Hakim Konstitusi dengan argumentasinya masing-masing sebagai
berikut:
[3.18.2.1] Tentang Legal Standing Pemohon I
a. Sebanyak 5 (lima) orang Hakim Konstitusi, dengan bertumpu pada desain
konstitusional DPD sebagai lembaga negara organ konstitusi sebagaimana
telah dikemukakan dalam paragraf [3.18.1] berpendapat bahwa Pemohon I
memiliki legal standing, dengan alasan sebagai berikut:
i. Bahwa DPD memenuhi syarat kualifikasi sebagai pemohon lembaga negara
sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) huruf d UU MK;
ii. Bahwa DPD mempunyai kewenangan konstitusional yang diberikan oleh
Pasal 22D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 sebagaimana yang
didalilkan. Dalam kewenangan konstitusional DPD dimaksud, sesuai
dengan desain konstitusional DPD sebagaimana diuraikan dalam paragraf
[3.18.1] di atas, secara implisit DPD mempunyai hak konstitusional untuk
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah. Sehingga, DPD sebagai
organ
konstitusi,
agar
dapat
berfungsi
secara
maksimal
dalam
melaksanakan kewenangan konstitusionalnya berhak pula dan seharusnya
memperoleh penguatan (empowering) antara lain melalui persyaratan
rekrutmenImplikasi
calon peran...,
anggotanya,
seperti misalnya melalui persyaratan domisili
Agung Sudrajat, FH UI, 2012
207
di provinsi yang diwakilinya dan syarat non-Parpol bagi calon anggota DPD
sebagai peserta Pemilu perseorangan;
iii. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional DPD secara potensial
dirugikan oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 yang tidak
memuat syarat domisili dan non-Parpol bagi calon anggota DPD;
iv. Bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional DPD sebagai
lembaga negara ada hubungan kausal dengan UU 10/2008 yang
dimohonkan pengujian, dan apabila permohonan dikabulkan maka kerugian
hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan oleh DPD
dipastikan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
v. Bahwa dengan demikian, DPD sebagai lembaga negara dan terlebih lagi
sebagai organ konstitusi, sudah sepantasnya merupakan pihak yang paling
layak (proper party) untuk bertindak sebagai Pemohon pengujian undangundang yang terkait dengan dan akan berpengaruh terhadap raison d’etre
keberadaannya beserta kewenangan konstitusionalnya sebagai pembawa
aspirasi dan kepentingan daerah. Oleh karena itu, dapat dimengerti apabila
di berbagai negara yang mempunyai Mahkamah Konstitusi, lazimnya yang
diberi
hak
dan/atau
kewenangan
konstitusional
untuk
mengajukan
pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang terutama diberikan
kepada lembaga negara atau organ konstitusi. Tambahan pula, dalam
praktik di Mahkamah selama lima tahun ini, lembaga negara selalu diberi
posisi sebagai pihak terkait langsung dengan hak-hak yang sama seperti
Pemohon, apabila suatu undang-undang yang dimohonkan pengujian
konstitusionalitasnya terkait dengan dan berpengaruh terhadap keberadaan
lembaga negara tersebut. Kenyataan praktik tersebut secara implisit
menyiratkan bahwa suatu lembaga negara organ konstitusi merupakan
pihak yang paling layak (the most proper party) dilibatkan apabila undangundang yang menyangkut “dirinya” dipersoalkan konstitusionalitasnya oleh
pihak lain, apakah itu oleh perseorangan warga negara biasa atau oleh
lembaga negara lain. Terlebih lagi dalam hal lembaga negara organ
konstitusi tersebut bertindak sebagai Pemohon pengujian konstitusionalitas
suatu
undang-undang
yang
justru
sangat
mempengaruhi
hakikat
eksistensial dirinya yang diberikan oleh konstitusi. Oleh karena itu, mutatis
mutandis sangatlah layak lembaga negara tersebut, in casu DPD,
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
208
mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk memohon pengujian
konstitusionalitas suatu undang-undang yang mempengaruhi lembaganya,
in casu konstitusionalitas UU 10/2008;
b. bahwa ada 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang berpendapat Pemohon I
tidak memiliki legal standing didasarkan atas pandangan bahwa kewenangan
konstitusional DPD yang diberikan oleh Pasal 22D UUD 1945 tidak dirugikan
oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, karena ketentuan yang
tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 merupakan syarat dan
prosedur untuk menjadi calon anggota DPD, jadi terkait dengan masalah “rights
to be candidate” dan bukan masalah kewenangan DPD. Lebih lanjut
pandangan yang menolak legal standing Pemohon I dapat disimak dalam
Pendapat Berbeda (dissenting opinion) hakim yang bersangkutan;
[3.18.2.2] Tentang Legal Standing Pemohon II
Bahwa mengenai legal standing Pemohon II, ada 5 (lima) orang Hakim
Konstitusi yang berpendapat Pemohon II memiliki legal standing, dengan alasan
yang didasarkan atas pandangan bahwa sebagai anggota DPD keberadaan dan
kedudukannya tidak dapat dilepaskan dari desain konstitusional DPD. Selain itu,
pemberian legal standing tersebut didasarkan juga atas argumentasi yang sejalan
dengan argumentasi para Pemohon II. Namun, ada 4 (empat) orang Hakim
Konstitusi
yang
berpendapat
bahwa
Pemohon
II
tidak
dirugikan
hak
konstitusionalnya untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD lewat Pemilu yang
disebabkan oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008. Lebih lanjut
tentang penolakan legal standing Pemohon II tersebut dikemukakan dalam
pendapat berbeda (dissenting opinion) hakim yang merupakan bagian dari
Putusan ini;
[3.18.2.3] Tentang Legal Standing Pemohon III
Mengenai legal standing Pemohon III ini, 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi
berpendapat bahwa Pemohon III memiliki legal standing, dengan alasan bahwa
selama ini Mahkamah telah memberikan legal standing kepada para Pemohon
pengujian
konstitusionalitas
undang-undang
kepada
kelompok-kelompok
masyarakat, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), asosiasi, yayasan,
organisasi kemasyarakatan, dan lain-lain yang peduli terhadap masalah-masalah
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
209
yang terkait dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian, asal hal itu
tercermin dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang bersangkutan.
Akan tetapi, sebanyak 6 (enam) orang Hakim Konstitusi berpendapat bahwa
Pemohon III tidak mempunyai legal standing, karena hak konstitusionalnya
sebagai pemerhati, pemberi advokasi, penggerak pembaruan Pemilu dan
parlemen tidak terhalangi oleh berlakunya pasal-pasal UU 10/2008 yang
dimohonkan pengujian;
[3.18.2.4] Tentang Legal Standing Pemohon IV
Mengenai legal standing Pemohon IV, 4 (empat) orang Hakim Konstitusi
menyatakan Pemohon IV memiliki legal standing, dengan alasan bahwa sebagai
perseorangan warga negara Indonesia yang tinggal di daerah provinsinya masingmasing, Pemohon IV berkepentingan apabila calon anggota DPD dipersyaratkan
harus
berdomisili
di
provinsinya
masing-masing
dan
non-Parpol,
agar
komitmennya kepada daerah yang akan diwakilinya cukup besar dan Pemohon IV
tidak bersaing dengan perseorangan yang berasal dari lain provinsi dan dari
perseorangan anggota Parpol. Sedangkan 5 (lima) orang Hakim Konstitusi
menyatakan bahwa Pemohon IV tidak memiliki legal standing, karena hak
konstitusionalnya untuk menjadi calon anggota DPD tidak dirugikan atau terkurangi
dengan berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, sedangkan masalah
persaingan justru wajar dan lebih sehat dalam demokrasi;
[3.18.3]
Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut dalam
paragraf [3.18.2] di atas, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon I (DPD) dan
Pemohon II (Anggota DPD) memenuhi syarat legal standing untuk mengajukan
permohonan a quo. Karena, sebagian dari para Pemohon memiliki legal standing,
maka lebih lanjut Mahkamah harus mempertimbangkan Pokok Permohonan;
Pendapat Mahkamah Tentang Pokok Permohonan
[3.19]
Menimbang bahwa pokok permohonan para Pemohon adalah mengenai
konstitusionalitas Pasal 12 UU 10/2008 yang tidak mencantumkan syarat domisili
dan non-Parpol bagi calon anggota DPD, serta Pasal 67 UU 10/2008 yang tidak
memuat ketentuan perlunya Kartu Tanda Penduduk (KTP) di provinsi yang akan
diwakilinya dan bukti keterangan non-Parpol bagi kelengkapan syarat calon
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
210
anggota DPD. Dengan demikian, yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon
adalah ketiadaan norma syarat domisili dan non-Parpol dalam Pasal 12 dan Pasal
67 UU 10/2008, bukan norma yang dirumuskan secara eksplisit dalam pasal, ayat,
atau bagian dari suatu undang-undang;
[3.20]
Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (3) huruf b UU MK,
pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945
harus menguraikan dengan jelas “a. ...; b. Materi muatan dalam ayat, pasal,
dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Sehingga, terkait dengan
permohonan a quo, masalahnya adalah apakah ketiadaan suatu norma yang
menurut Pemohon seharusnya ada dalam suatu undang-undang, in casu
ketiadaan norma syarat domisili dan non-Parpol yang seharusnya dimuat
dalam UU 10/2008 dapat dimaknai sebagai materi muatan dalam ayat, pasal,
dan/atau
bagian
undang-undang
yang
bersangkutan,
sehingga
dapat
dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya;
[3.21]
Menimbang bahwa para Pemohon dalam permohonannya menyadari
mengenai masalah sebagaimana tersebut pada paragraf [3.10] sebagai suatu hal
yang dilematis, sehingga petitum yang diajukan oleh para Pemohon pun bersifat
alternatif. Meskipun dalil-dalil yang diajukan oleh para Pemohon didukung oleh
para ahli yang diajukan, namun telah disanggah oleh DPR dan oleh Pemerintah
beserta ahli yang diajukan oleh Pemerintah;
[3.22]
Menimbang bahwa menurut Mahkamah ada tiga hal yang harus
dipertimbangkan mengenai pokok permohonan para Pemohon, yaitu:
x
Pertama, apakah syarat domisili bagi calon anggota DPD merupakan norma
konstitusi yang implisit melekat pada Pasal 22C ayat (1) dan (2) UUD 1945,
sehingga menjadi syarat mutlak bagi calon anggota DPD dan seharusnya
tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, hanya karena norma
yang demikian pernah tercantum dalam UU 12/2003 dan juga dimuat dalam
RUU Pemilu 2008 versi Pemerintah;
x
Kedua, apakah syarat non-Parpol bagi calon anggota DPD merupakan norma
konstitusi yang implisit melekat pada Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, sehingga
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
211
menjadi syarat mutlak bagi calon anggota DPD dan seharusnya tercantum
dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, hanya karena norma yang demikian
pernah tercantum dalam UU 12/2003 dan juga dimuat dalam RUU Pemilu 2008
versi Pemerintah;
x
Ketiga, seandainya jawaban atas masalah Pertama dan Kedua ya dan benar,
apakah ketiadaan suatu norma konstitusi yang seharusnya dimuat dalam UU
10/2008 dapat dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya;
[3.23]
Menimbang bahwa terhadap masalah yang Pertama, berdasarkan
perspektif desain konstitusional DPD dalam UUD 1945 sebagaimana telah
diuraikan dalam paragraf [3.18.1], Mahkamah berpendapat bahwa syarat
berdomisili di provinsi yang diwakilinya bagi calon anggota DPD merupakan norma
konstitusi yang implisit melekat pada ketentuan Pasal 22C ayat (1) yang berbunyi,
“Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan
umum” dan Pasal 22C ayat (2) yang berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan
Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan
Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan
Rakyat.” Sehingga, seharusnya norma konstitusi yang bersifat implisit tersebut
dicantumkan sebagai norma yang secara eksplisit dirumuskan dalam Pasal 12 dan
Pasal 67 UU 10/2008 sebagai syarat bagi calon anggota DPD. Sebagai akibatnya,
Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 yang tidak memuat secara eksplisit ketentuan
yang demikian, harus dipandang inkonstitusional;
[3.24]
Menimbang
bahwa
terhadap
masalah
yang
Kedua,
Mahkamah
berdasarkan perspektif desain konstitusional DPD dalam UUD 1945 sebagaimana
telah diuraikan dalam paragraf [3.18.1], berpendapat bahwa syarat non-Parpol
bagi calon anggota DPD bukan merupakan norma konstitusi yang implisit melekat
pada Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Peserta pemilihan umum
untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.”
Kandungan norma yang tercantum dalam Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 adalah
bahwa untuk mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD, perseorangan harus
‘mencalonkan’ dirinya sendiri sebagai peserta Pemilu, bukan dicalonkan oleh
Parpol. Hal itu berbeda dengan calon anggota DPR, perseorangan yang ingin
menjadi anggota DPR harus dicalonkan oleh Parpol yang merupakan peserta
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
212
Pemilu [vide Pasal 22E ayat (3) UUD 1945]. Dalam UU 12/2003 dan draf RUU
Pemilu versi Pemerintah yang dijadikan rujukan oleh para Pemohon, juga tidak
ada istilah non-Parpol, melainkan hanya bukan pengurus Parpol. Demikian pula,
baik dalam pengalaman sejarah praktik di Indonesia pada era Konstitusi RIS 1949
dan era berlakunya kembali UUD 1945 tidak pernah ada syarat non-Parpol bagi
keanggotaan Senat RIS dan Utusan Daerah. Sedangkan di berbagai negara lain,
sebagai perbandingan, penerapan syarat non-Parpol tersebut juga berbeda-beda
dan tidak mutlak harus ada. Terlebih lagi, dalam perkembangannya, Parpol-parpol
di
Indonesia
juga
telah
membuka
diri
dengan
merekrut
perseorangan-
perseorangan yang bukan anggota atau kader Parpol untuk dicalonkan menjadi
anggota DPR dan DPRD. Dengan demikian, syarat non-Parpol bagi calon anggota
DPD bukanlah norma konstitusi yang bersifat implisit melekat pada istilah
“perseorangan” dalam Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, sehingga juga tidaklah
mutlak harus tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, sebagaimana
pernah dicantumkan dalam UU 12/2003, atau berarti bersifat fakultatif;
[3.25]
Menimbang bahwa terhadap masalah yang Ketiga, yaitu ketiadaan
norma konstitusi yang bersifat implisit melekat dalam suatu pasal konstitusi,
in casu syarat domisili di provinsi yang diwakilinya bagi calon anggota DPD,
implisit melekat pada Pasal 22C ayat (1) dan (2) UUD 1945, Mahkamah
berpendapat bahwa apabila mengacu kepada Pasal 51 ayat (3) huruf b UU MK,
memang
tidak
mungkin
untuk
diajukan
permohonan
pengujian.
Karena,
permohonan yang demikian akan dianggap kabur (obscuur libel), tidak jelas, yang
berakibat permohonan tidak dapat diterima sebagaimana ditentukan dalam Pasal
56 ayat (1) UU MK. Namun demikian, Mahkamah dapat juga menyatakan bahwa
suatu pasal, ayat, dan/atau bagian undang-undang yang tidak memuat suatu
norma konstitusi yang implisit melekat pada suatu pasal konstitusi yang
seharusnya diderivasi secara eksplisit dalam rumusan pasal, ayat, dan/atau bagian
undang-undang, oleh Mahkamah dapat dinyatakan sebagai “konstitusional
bersyarat”
(conditionally
constitutional)
atau
“inkonstitusional
bersyarat”
(conditionally unconstitutional);
[3.26]
Menimbang bahwa terhadap pokok permohonan a quo, ada tiga
alternatif kemungkinan putusan Mahkamah, yaitu:
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
213
a. apabila permohonan konstitusionalitas Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008
dipandang sebagai kabur atau tidak jelas dengan akibat permohonan tidak
dapat diterima, maka masih terbuka bagi pihak-pihak yang ingin memohon
pengujian norma-norma yang secara eksplisit tercantum dalam Pasal 12 dan
Pasal 67 UU 10/2008;
b. apabila Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 dinyatakan sebagai “konstitusional
bersyarat” (conditionally constitutional) akan berimplikasi amar putusan
menyatakan “permohonan ditolak”, sementara pernyataan tidak sesuai dengan
spirit (implisit melekat pada) UUD 1945 hanya tercantum dalam pertimbangan
hukum, sehingga tidak berpengaruh terhadap keberlakuan Pasal 12 dan Pasal
67
UU
10/2008,
kecuali
jika
pembentuk
undang-undang
atau
KPU
menindaklanjuti pertimbangan hukum Mahkamah dengan membuat regulasi
yang mengakomodasi pertimbangan hukum Mahkamah;
c. apabila
Pasal
12
dan
Pasal
67
UU
10/2008
dinyatakan
sebagai
“inkonstitusional bersyarat” (conditionally unconstitutional), akan berimplikasi
bahwa amar putusan menyatakan “permohonan dikabulkan”, yang berarti
seluruh ketentuan yang tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat (termasuk misalnya syarat-syarat warga negara Indonesia,
takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehat jasmani dan rohani, dan lain-lain).
[3.27]
Menimbang bahwa dari uraian permohonan yang telah diutarakan di
atas, maka dalam pokok permohonan a quo, para Pemohon telah mengajukan
alternatif petitum bagi kemungkinan putusan Mahkamah yang dimohon, yaitu:
1. Menyatakan bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 22C ayat (1) dan
Pasal 22E ayat (4); dan menyatakan bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat
hukumnya;
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
214
2. Setidak-tidaknya menyatakan bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 22C
ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) sepanjang tidak mengandung syarat harus
berdomisili di provinsi yang bersangkutan dan bukan anggota dan/atau
pengurus partai politik. Setidak-tidaknya menyatakan bahwa Pasal 12 dan
Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
dengan segala akibat hukumnya sepanjang tidak mengandung syarat
harus berdomisili di provinsi yang bersangkutan dan bukan anggota dan/atau
pengurus partai politik.
3. Menyatakan bahwa Pasal 12 huruf (c) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 22C ayat (1) dan
Pasal 22E ayat (4), dan menyatakan bahwa Pasal 12 huruf (c) UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat
hukumnya; atau
4. Setidak-tidaknya menyatakan bahwa Pasal 12 huruf (c) Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 22C
ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) sepanjang tidak mengandung syarat harus
berdomisili di provinsi yang bersangkutan dan bukan anggota dan/atau
pengurus partai politik. Setidak-tidaknya menyatakan bahwa Pasal 12 huruf (c)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala
akibat hukumnya sepanjang tidak mengandung syarat harus berdomisili di
provinsi yang bersangkutan dan bukan anggota dan/atau pengurus partai
politik.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
215
[3.28]
Menimbang bahwa berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam
paragraf [3.26] dan [3.27] di atas, maka Mahkamah berpendapat bahwa Pasal
12 huruf c dan Pasal 67 UU 10/2008 adalah “konstitusional bersyarat”
(conditionally constitutional), yang berarti bahwa Pasal 12 huruf c dan Pasal 67
tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang
dimaknai memuat syarat domisili di provinsi.
4. KONKLUSI
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan
bahwa:
[4.1]
Pemohon I dan Pemohon II memiliki kedudukan hukum (legal standing)
untuk mengajukan permohonan a quo, sedangkan Pemohon III dan Pemohon IV
tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing);
[4.2]
Syarat “domisili di provinsi” untuk calon anggota DPD merupakan norma
konstitusi yang implisit melekat pada Pasal 22C ayat (1) UUD 1945, sehingga
seharusnya dimuat sebagai rumusan norma yang eksplisit dalam Pasal 12 dan
Pasal 67 UU 10/2008;
[4.3]
Syarat “bukan pengurus dan/atau anggota partai politik” untuk calon
anggota DPD bukan merupakan norma konstitusi yang implisit melekat pada Pasal
22E ayat (4) UUD 1945, sehingga tidak merupakan syarat untuk menjadi calon
anggota DPD yang harus dicantumkan dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008;
[4.4]
Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 “konstitusional bersyarat”
(conditionally constitutional), maka pasal-pasal a quo harus dibaca/ditafsirkan
sepanjang memasukkan syarat domisili di provinsi yang diwakilinya bagi calon
anggota DPD;
5. AMAR PUTUSAN
Dengan mengingat Pasal 56 dan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4316).
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
216
Mengadili:
Mengabulkan permohonan Pemohon I (DPD) dan Pemohon II (Anggota
DPD) untuk sebagian;
Menyatakan Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4836) tetap konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang dimaknai memuat syarat
domisili di provinsi yang akan diwakili;
Menyatakan Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4836) tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang
dimaknai memuat syarat domisili di provinsi yang akan diwakili;
Menolak permohonan Pemohon I dan Pemohon II untuk selebihnya.
Menyatakan permohonan Pemohon III dan Pemohon IV tidak dapat
diterima (niet ontvankelijk verklaard)
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya;
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri
oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Jimly Asshiddiqie selaku Ketua merangkap
Anggota, H. Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, H.M. Arsyad Sanusi,
Soedarsono, H. Harjono, H.A.S. Natabaya, I Dewa Gede Palguna, dan
Moh. Mahfud MD, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, 25 Juni
2008, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk
umum pada hari ini, Selasa, 1 Juli 2008, oleh kami, Jimly Asshiddiqie selaku Ketua
merangkap Anggota, H. Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, H.M. Arsyad
Sanusi, H. Muhamad
Alim, H. Harjono, H.A.S. Natabaya, I Dewa Gede Palguna,
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
217
dan Moh. Mahfud MD, masing-masing sebagai Anggota dengan didampingi
oleh Cholidin Nasir sebagai Panitera Pengganti serta
dihadiri oleh para
Pemohon dan Kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan
Rakyat atau yang mewakili;
KETUA,
ttd.
Jimly Asshiddiqie
ANGGOTA-ANGGOTA
ttd.
ttd.
H. Abdul Mukthie Fadjar
Maruarar Siahaan
ttd.
ttd.
H.M. Arsyad Sanusi
H. Muhamad Alim
ttd.
ttd.
H. Harjono
H.A.S. Natabaya
ttd.
ttd.
I Dewa Gede Palguna
Moh. Mahfud MD
6. PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINIONS)
Terhadap putusan Mahkamah tersebut di atas, empat orang Hakim
Konstitusi yaitu Hakim Konstitusi H.A.S. Natabaya, I Dewa Gede Palguna,
Moh. Mahfud MD., dan H. Harjono mempunyai pendapat berbeda (dissenting
opinions) yang selengkapnya sebagai berikut:
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
218
[6.1] Pendapat Berbeda (Dissenting Opinions) Hakim Konstitusi H.A.S.
Natabaya, I Dewa Gede Palguna, dan Moh. Mahfud MD.
Dalam setiap permohonan yang diajukan sebagai permohonan pengujian
undang-undang terhadap UUD 1945, dua hal pertama yang harus dipastikan oleh
Mahkamah sebelum memeriksa pokok permohonan adalah:
1. apakah
Mahkamah
berwenang
memeriksa,
mengadili,
dan
memutus
permohonan tersebut;
2. apakah pihak yang mengajukan permohonan mempunyai kedudukan hukum
(legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon.
Permohonan a quo adalah permohonan pengujian undang-undang, in casu
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 (UU Pemilu) terhadap UUD 1945. Maka,
terhadap persoalan pertama, sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD
1945 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), Mahkamah berwenang untuk memeriksa,
mengadili, dan memutusnya. Namun, terhadap persoalan yang kedua, yaitu
apakah pihak-pihak dalam permohonan a quo mempunyai kedudukan hukum
(legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon, kami berbeda pendapat dengan
mayoritas Hakim Konstitusi.
Ketentuan undang-undang yang oleh Para Pemohon didalilkan telah
merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya adalah Pasal 12 dan Pasal
67 UU Pemilu. Kedua ketentuan tersebut masing-masing berbunyi sebagai berikut:
x
Pasal 12:
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2):
a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun
atau lebih;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;
e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA),
Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah
Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;
f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17
Agustus 1945;
g. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih;
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
219
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
x
sehat jasmani dan rohani;
terdaftar sebagai pemilih;
bersedia bekerja penuh waktu;
mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional
Republik Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,
pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik
daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan
negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat
ditarik kembali;
bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara,
notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan
pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan
negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan
dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan
perundang-undangan;
bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya,
pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah,
serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
mencalonkan diri hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan;
mencalonkan diri hanya di 1 (satu) daerah pemilihan; dan
mendapat dukungan minimal dari pemilih dari daerah pemilihan yang
bersangkutan.
Pasal 67:
(1) Perseorangan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 dan Pasal 13 dapat mendaftarkan diri sebagai bakal calon anggota
DPD kepada KPU melalui KPU Provinsi.
(2) Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:
a. kartu tanda penduduk Warga Negara Indonesia;
b. bukti kelulusan berupa ijazah, STTB, syahadah, sertifikat, atau surat
keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program
pendidikan menengah;
c. surat keterangan catatan kepolisian tentang tidak tersangkut perkara
pidana dari Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat;
d. surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani;
e. surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih;
f. surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja penuh waktu yang
ditandatangani di atas kertas bermetrai cukup;
g. surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan
publik, advokat/pengacara, notaris, dan pekerjaan penyedia barang dan
jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain
yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang,
dan hak sebagai anggota DPD yang ditandatangani di atas kertas
bermetrai cukup;
h. surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagai pegawai
negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau Kepolisian
Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara
dan/atau badan usaha milik daerah, pengurus pada badan lain yang
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
220
anggarannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara
dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan
i. surat pernyataan tentang kesediaan hanya mencalonkan diri untuk 1
(satu) lembaga perwakian yang ditandatangani di atas kertas bermetrai
cukup.
Substansi yang diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu adalah
persyaratan bagi perseorangan untuk dapat mencalonkan diri atau dicalonkan
sebagai anggota DPD.
Dengan demikian berarti berkenaan dengan hak
konstitusional untuk menjadi calon (right to be candidate). Sehingga pertanyaan
kemudian adalah: apakah Para Pemohon dirugikan hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya sebagai akibat berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu di
atas? Dalam kaitan ini, dengan berpegang pada konstruksi Pasal 51 ayat (1) UU
MK, yang merupakan bagian dari hukum acara dalam permohonan pengujian
undang-undang terhadap UUD 1945, kami berpendapat sebagai berikut:
a) Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan bahwa yang dapat menjadi Pemohon
dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah pihak-pihak
yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan
oleh
berlakunya
suatu
undang-undang.
Pihak-pihak
dimaksud
adalah
(a) perorangan Warga Negara Indonesia, di dalamnya termasuk kelompok
orang yang mempunyai kepentingan sama; (b) kesatuan masyarakat hukum
adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undangundang; (c) badan hukum publik atau privat; dan (d) lembaga negara.
b) Pemohon (1) mengkualifikasikan dirinya sebagai lembaga negara, c.q. DPD;
Pemohon (2) mengkualifikasikan diri sebagai perorangan anggota DPD;
Pemohon (3) mengkualifikaskan diri sebagai perorangan warga negara
Indonesia (yang
parlemen
memiliki perhatian yang besar terhadap pemilihan umum,
Indonesia,
dan
penyaluran
aspirasi
daerah);
Pemohon
(4)
mengkualifikasikan diri sebagai perorangan yang tinggal di provinsi tertentu.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah dalam kualifikasi demikian masingmasing dari Para Pemohon tersebut dirugikan hak konstitusionalnya oleh
berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu yang rumusannya telah diuraikan
sebelumnya?
c) Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa ketentuan yang terdapat dalam
Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu tersebut adalah ketentuan yang mengatur
persyaratan bagi setiap orang untuk dapat menjadi peserta Pemilu anggota
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
221
DPD. Dengan kata lain, kedua ketentuan tersebut adalah berkenaan dengan
hak untuk dapat dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai anggota DPD (the
right to be candidate). Dengan demikian, jika berlakunya kedua ketentuan UU
Pemilu dimaksud dianggap merugikan hak konstitusional suatu pihak maka
pihak-pihak yang mungkin dirugikan untuk dicalonkan atau mencalonkan diri
sebagai anggota DPD adalah orang-perorangan. Artinya, jika dihubungkan
dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, pihak yang mungkin dirugikan oleh
berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu tersebut adalah perorangan,
tidak mungkin merugikan hak konstitusional kesatuan masyarakat hukum adat,
badan hukum, atau lembaga negara. Sebab ketiga pihak yang disebut terakhir
ini tidak mungkin mencalonkan diri sebagai anggota DPD.
d) Berdasarkan
penalaran
pada
huruf
c)
di
atas,
maka
yang
perlu
dipertimbangkan oleh Mahkamah akan adanya kemungkinan kerugian hak
konstitusional dari empat Pemohon dalam permohonan a quo adalah mereka
yang mengkualifikasikan diri sebagai perorangan warga negara Indonesia,
dalam hal ini Pemohon (2), Pemohon (3), dan Pemohon (4).
e) Dengan memperhatikan secara saksama rumusan Pasal 12 dan Pasal 67 UU
Pemilu yang dimohonkan pengujian, tidak terdapat satu bagian pun yang dapat
dikatakan menghalangi, menghambat, atau menghilangkan hak perorangan
warga negara Indonesia, baik perorangan warga negara Indonesia yang
berstatus anggota DPD [Pemohon (2)], perorangan warga negara Indonesia
yang mempunyai perhatian besar terhadap pemilihan umum, parlemen
Indonesia, dan penyaluran aspirasi daerah [Pemohon (3)], maupun perorangan
warga negara Indonesia yang tinggal di beberapa provinsi tertentu [Pemohon
(4)]. Tidak terdapatnya syarat “domisili di provinsi yang bersangkutan” dan
syarat “bukan anggota dan/atau pengurus partai politik” dalam pengaturan
syarat menjadi anggota DPD pada Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu tidaklah
menghambat, menghalangi, atau menghilangkan right to be candidate
Pemohon (2), Pemohon (3), dan Pemohon (4).
f) Berdasarkan seluruh uraian di atas, kami berpendapat bahwa tidak terdapat
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon sebagai
akibat berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu, sehingga permohonan
a quo seharusnya oleh Mahkamah dinyatakan tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
222
Di samping karena alasan-alasan yang disebutkan di atas, menurut kami,
Permohonan a quo juga seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima berdasarkan
pertimbangan sebagai berikut:
1) Pasal 51 ayat (3) huruf b UU MK mewajibkan Pemohon dalam permohonan
pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 untuk menguraikan dengan
jelas materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang
yang dianggapnya bertentangan dengan UUD 1945.
Pemenuhan terhadap
ketentuan Pasal 51 ayat (3) huruf b tersebut menjadi wajib sebab, menurut
Pasal 56 ayat (3) UU MK, jika Mahkamah mengabulkan permohonan maka
Mahkamah harus menyatakan dengan tegas materi muatan pasal, ayat,
dan/atau bagian dari suatu undang-undang yang bertentangan dengan UUD
1945. Sebagai akibat selanjutnya, menurut Pasal 57 ayat (1) UU MK, materi
muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan
dengan UUD 1945 itu harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Artinya, ketentuan yang (hendak) dinyatakan “bertentangan dengan
UUD 1945” dan “tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat” itu harus ada
secara konkret. Sementara dalam permohonan a quo, substansi permohonan
Para Pemohon adalah menghendaki Mahkamah menambahkan ketentuan ke
dalam pasal-pasal undang-undang, in casu Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu,
suatu hal yang tidak mungkin dilakukan oleh Mahkamah sebagai negative
legislator karena hal demikian merupakan kewenangan pembentuk undangundang selaku positive legislature. Sehingga, isu konstitusional permohonan
a quo sesungguhnya merupakan isu legislative review, bukan judicial review.
Jika permohonan Para Pemohon demikian dikabulkan, hal itu bukan hanya
akan menjerumuskan Mahkamah untuk bertindak ultra vires tetapi juga
sekaligus akan membuat preseden buruk dalam praktik ketatanegaraan pada
masa-masa yang akan datang.
Sebab, sebagaimana diketahui, putusan
Mahkamah bersifat final dan mengikat (final and binding). Sehingga, sekali
Mahkamah membenarkan dirinya menambahkan materi muatan tertentu ke
dalam suatu ketentuan undang-undang, yang berarti Mahkamah telah
mengingkari hakikat dirinya sebagai negative legislator, maka di masa yang
akan datang Mahkamah tidak mempunyai alasan untuk menolak permohonan
serupa, sehingga dengan demikian Mahkamah telah bermetamorfosis menjadi
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
223
postive legislator. Hal itu juga akan menghilangkan hakikat Mahkamah sebagai
a true court dan berubah menjadi lembaga politik.
2) Penegasan ini bukanlah serta-merta berarti bahwa kami tidak sependapat
substansi gagasan sebagaimana diinginkan Pemohon. Sebab, terlepas dari
persoalan konstitusional atau tidak, ketiadaan kedua substansi yang diinginkan
sebagai materi muatan persyaratan menjadi calon anggota DPD tersebut bisa
jadi memang menguntungkan pelaku-pelaku politik tertentu yang mengambil
manfaat dari ketidaan kedua syarat tersebut, namun Mahkamah sebagai true
court terikat oleh hukum acara. Sementara usul menambahkan suatu substansi
tertentu ke dalam suatu norma undang-undang mestinya diajukan kepada
pembentuk undang-undang dan Mahkamah bukanlah pembentuk undangundang. Sebagaimana diketahui, Pasal 51 UU MK adalah bagian dari hukum
acara yang tidak demikian saja dapat dikesampingkan oleh hakim, in casu
Hakim Konstitusi. Sebab, fungsi hukum acara adalah untuk mempertahankan
hukum materiil, dalam hal ini UUD 1945. Itulah sebabnya, sebagai analog,
dalam hukum acara pidana misalnya dikatakan oleh Jerome H. Scholmick,
“criminal procedure, by contrast, is intended to control authorities, not the
criminals”. Itu pula alasan lahirnya ungkapan yang menyatakan bahwa jika
Mahkamah begitu saja mengesampingkan ketentuan hukum acara yang harus
ditaatinya, dengan tindakannya itu berarti Mahkamah telah “menyayat-nyayat
dagingnya sendiri” (het snijdt aan het eigen vlees);
3) Seandainya pun anggapan Para Pemohon benar bahwa syarat “domisili di
provinsi yang bersangkutan” dan syarat “bukan anggota dan/atau pengurus
partai politik” seharusnya menjadi bagian dari Pasal 12 dan Pasal 67 UU
Pemilu, Mahkamah tetap tidak dapat menyatakan bahwa karena tidak
dimasukkannya kedua syarat tersebut ke dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU
Pemilu mengakibatkan Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu menjadi
bertentangan dengan UUD 1945.
Sebab, jika demikian halnya sama saja
artinya Mahkamah menyatakan bahwa syarat sebagaimana disebutkan pada
huruf a sampai dengan huruf p dari Pasal 12 (yaitu syarat “warga negara
Indonesia yang telah berumur 21 tahun atau lebih”, “bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa” dan seterusnya) dan syarat sebagaimana disebutkan pada
huruf a sampai dengan huruf i dari Pasal 67 (yaitu syarat “kartu tanda
penduduk Warga Negara Indonesia”, “surat keterangan berbadan sehat
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
224
jasmani dan rohani”, dan seterusnya) adalah inkonstitusional. Ini jelas suatu
penalaran yang menyesatkan.
4) Seandainya pun anggapan Para Pemohon benar bahwa syarat “domisili di
provinsi yang bersangkutan” dan syarat “bukan anggota dan/atau pengurus
partai politik” seharusnya menjadi bagian dari Pasal 12 dan Pasal 67 UU
Pemilu, maka hal maksimum yang dapat dilakukan oleh Mahkamah, tanpa
melanggar hukum acara, adalah menyatakan ketentuan dalam kedua pasal UU
Pemilu tersebut “konstitusional bersyarat” (conditionally constitutional). Namun,
hal demikian pun tidak mungkin dilakukan oleh Mahkamah disebabkan oleh
dua hal:
o pertama, untuk dapat menyatakan konstitusional bersyarat maka ketentuan
yang hendak dinyatakan konstitusional bersyarat tersebut harus merupakan
bagian dari ketentuan yang diuji, sementara dalam kasus a quo ketentuan
tersebut tidak ada, sehingga permohonan menjadi kabur (obscuur).
Dikatakan demikian sebab Pasal 56 ayat (3) UU MK menyatakan, “Dalam
hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Sehingga tentu
menjadi pertanyaan kemudian, bagian mana yang bertentangan dengan
UUD 1945 itu (karena tidak termuat dalam ketentuan undang-undang yang
diuji).
o Berkait dengan ketentuan Pasal 56 ayat (3) UU MK di atas, Pasal 57 ayat
(1) UU MK menyatakan, “Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar
putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian
dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian dari undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat”.
Maka, tentu timbul pertanyaan, materi muatan mana
yang oleh Mahkamah akan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat itu sebab materi muatan demikian tidak ada atau tidak tercantum
dalam ketentuan undang-undang dimohonkan pengujian.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
225
[6.2] Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) Hakim Konstitusi H. Harjono
Pemohon I, II, III, dan IV mendalilkan hak dan/atau kewenangan konstitusional
yang dirugikan oleh Pasal 12 juncto Pasal 67 UU 10/2008 adalah hak dan/atau
kewenangan yang diberikan UUD 1945:
1. Pemohon I; Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E ayat
(2), Pasal 23F ayat (1) UUD 1945. Dengan alasan: (a) anggota DPD dapat
dimenangkan oleh calon dari provinsi lain yang tidak mengenal daerah
tersebut,
(b)
anggota
demikian
diragukan
kapabilitasnya
dalam
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah, (c) anggota dari Parpol
akan mengutamakan kepentingan atau platform Parpol daripada kepentingan
daerah,
(d)
anggota
DPD
Parpol
diragukan
efektivitasnya
dalam
memperjuangkan aspirasi daerah. Hal demikian merugikan kewenangan
konstitusional Pemohon I.
2. Pemohon II; Pasal 22C ayat (1) UUD 1945, Dengan alasan, pasal ini
memberikan hak konstitusional kepada Pemohon II yang berdomisili di provinsi
tertentu untuk dipilih menjadi anggota DPD dari provinsi yang bersangkutan.
Dengan adanya Pasal 12 juncto Pasal 67 UU 10/2008, jelas merugikan
Pemohon II yang berdomisili di daerah yang bersangkutan untuk mencalonkan
diri sebagai anggota DPD. Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, Dengan alasan hak
Pemohon II diingkari, menimbulkan persaingan yang tidak adil antara
Pemohon II yang hanya mendasarkan pada jaringan personal dengan anggota
Parpol yang ditopang oleh organisasi. Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 karena
hak Pemohon atas kepastian hukum yang adil dan Pemilu yang adil dirugikan.
Pasal 22C ayat (2) UUD 1945 karena bagaimana Pemilu dapat dikatakan adil
apabila calon anggota DPD yang mewakili provinsi dapat berasal dari provinsi
lain.
3. Pemohon III; Pasal 22E ayat (1), Pasal 18B ayat (2), Pasal 28I ayat (3) UUD
1945 karena Pemohon berkepentingan terhadap Pemilu yang demokratis serta
peningkatan kualitas parlemen Indonesia.
4. Pemohon IV; Pasal 22C ayat (1), Pasal 22E ayat (1),Pasal 22E ayat (4), Pasal
28D ayat (1) UUD 1945. Adanya alasan karena, Pasal 12 juncto Pasal 67 UU
10/2008 akan tidak menjamin keberpihakan anggota DPD karena tidak adanya
pemahaman dan pengenalan daerahnya secara memadai.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
226
Pendapat Hukum
Para Pemohon memenuhi syarat sebagai subjek hukum yang mempunyai
hak
dan/atau
kewenangan
konstitusional
untuk
mengajukan
permohonan
pengujian undang-undang sebagaimana ditetapkan oleh Pasal 51 UU MK.
Namun demikian apakah dengan adanya Pasal 12 dan 67 UU 10/2008 hak
dan/atau kewenangan para Pemohon yang diberikan atau dijamin oleh UUD
tersebut dirugikan. Hubungan antara kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional dengan pasal-pasal UU 10/2008 haruslah merupakan hubungan
“causal verband” dan pasal-pasal undang-undang yang dimohonkan adalah
penyebab tunggal terhadap kerugian tersebut. Apabila penyebab tunggal ini
ditiadakan maka kerugian tersebut tidak akan terjadi. Kerugian yang dialami para
Pemohon haruslah kerugian yang disebabkan oleh pasal-pasal undang-undang
yang dimohonkan, dan bukannya pasal-pasal tersebut sekadar dapat mempunyai
pengaruh terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut. Sesuatu hal
dikatakan dapat mempunyai pengaruh apabila hubungan antara sesuatu tersebut
dengan yang dipengaruhi adalah yang hubungannya bersifat alternatif yang dapat:
(a) mempunyai pengaruh positif saja;
(b) mempunyai pengaruh negatif saja;
(c) mempunyai pengaruh positif dan pengaruh negatif sekaligus.
Di samping itu, keadaan timbulnya hal-hal yang positif, negatif, atau keduaduanya pada objek yang dipengaruhi itu dapat saja terjadi tidak terbatas hanya
karena sesuatu hal tertentu itu saja, hal tertentu yang lain pun dapat menimbulkan
akibat yang sama.
Saya berpendapat bahwa kekhawatiran Pemohon I akan adanya hal-hal
yang dikhawatirkan timbul pada DPD dalam hubungannya dengan pasal-pasal
yang dimohonkan bukanlah hubungan causal verband karena adanya hal-hal yang
dikhawatirkan tersebut dapat juga timbul tanpa adanya pasal-pasal yang
dimohonkan untuk diuji. Di samping itu, keadaan yang lebih baik malahan dapat
saja terjadi dengan adanya pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji. Hubungan
yang ada antara pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji dengan keadaankeadaan yang didalilkan Pemohon I hanyalah dalam derajat “mungkin dapat
mempengaruhi“ saja. Apa yang dikhawatirkan Pemohon I berhubungan dengan
kapabilitas, performance dari DPD yang dikhawatirkan akan dipengaruhi oleh
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
227
pasal-pasal yang dimohonkan. Menurunnya kapabilitas dan performance DPD
tidak mempunyai hubungan langsung dengan pasal-pasal yang dimohonkan, tetapi
menyangkut kualitas dari calon anggota DPD yang kualitas tersebut pada
dasarnya dimiliki oleh perorangan calon, dan tidak dapat disebabkan hanya
semata-mata asal calon saja. Sehingga kekhawatiran Pemohon I yang mungkin
juga menjadi kekhawatiran Pemohon yang lain bahwa pasal-pasal yang
dimohonkan akan menurunkan kualitas atau performance DPD dengan adanya
pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji hubungannya sebatas “mungkin dapat
mempengaruhi” yang kesempatan statistiknya (chance) sama dengan “tidak
mempunyai pengaruh “ dan bukan hubungan causal verband.
Dalam dalil-dalilnya Pemohon juga menyatakan bahwa pasal-pasal yang
dimohon untuk diuji akan merugikan kepentingan daerah, namun Pemohon tidak
secara jelas menguraikan apa yang dimaksud dengan kepentingan daerah
tersebut dan bagaimana hubungan Pemohon dengan kepentingan daerah yang
dimaksudkan. Dengan dapat dipastikannya kepentingan daerah mana yang
dimaksud Pemohon serta hubungan antara kepentingan daerah tersebut dengan
Pemohon maka akan dapat dilihat kerugian yang ditimbulkan oleh pasal-pasal
yang dimohonkan terhadap kepentingan daerah tersebut. Pada dasarnya, apabila
disebut adanya kepentingan daerah maka terhadap kepentingan daerah yang
dimaksud haruslah dapat dibedakan dengan kepentingan nasional. Apakah
kepentingan daerah yang dimaksudkan oleh Pemohon sebagai kepentingan dari
pemerintahan daerah. Kepentingan daerah pada pengertian pertama tentunya
akan berbeda dengan kepentingan daerah pada pengertian yang kedua. Di
samping itu, berkaitan dengan kepentingan daerah yang akan diperjuangkan oleh
Pemohon apakah memang di dalam sistem perwakilan yang dianut dalam UUD
1945 membagi secara tegas mana-mana kepentingan daerah yang diserahkan
sepenuhnya kepada terutama Pemohon I dan Pemohon II sehingga kalau terdapat
gangguan terhadap kepentingan daerah tersebut Pemohon I dan II lah yang harus
memperjuangkan. UUD 1945 menampung aspirasi rakyat dalam sistem perwakilan
dengan melembagakannya ke dalam DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten
dan kota. DPRD provinsi dan kota merupakan lembaga perwakilan pemerintahan
daerah yang berkaitan dengan urusan otonomi yang diberikan kepada daerah
yang bersangkutan. Sementara itu, dengan dilakukannya pemilihan kepada daerah
secara langsung, maka kedudukan kepada daerah dengan pemilihnya adalah
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
228
hubungan antara pemberi kepercayaan dengan orang yang dipercaya. Dalam
hubungan ini sebenarnya dalam diri kepala daerah juga ada nilai wakil dari yang
mereka yang memilihnya. Wakil dalam artian antara mereka yang mempercayakan
dan yang dipercaya tidak hanya terepresentasikan dalam wadah yang nama
lembaganya menggunakan kata wakil sebagaimana Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah tetapi kepala daerah pun sebenarnya juga wakil dari yang memilihnya.
Aspirasi daerah yang direpresentasikan dalam kepentingan daerah dalam
sistem perwakilan kita disalurkan melalui DPRD provinsi, DPRD kabupaten dan
kota, serta kepala daerah. Dengan demikian, DPD dan anggotanya bukanlah satusatunya wadah untuk merepresentasikan kepentingan daerah. Parpol yang
wakilnya akan mengisi keanggotaan DPR juga menjadi representasi wakil daerah.
Sistem UUD 1945 tidak membagi kanalisasi penyaluran aspirasi tertentu dilakukan
oleh lembaga perwakilan tertentu, hal demikian berbeda dengan Amerika Serikat
yang jelas membagi kewenangan antara Senat dan House of Representative.
Kewenangan Senat sebagai wakil negara bagian yang berdaulat tercerminkan
dengan adanya kewenangan tertentu yang dimilikinya, yaitu pada saat pembuatan
perjanjian internasional yang mana supaya perjanjian tersebut sah berlaku dan
mempunyai kekuatan mengikat harus mendapatkan persetujuan dari Senat dan
bukan Konggres atau House of Reprentative. Hal demikian disyaratkan karena
Senat-lah wakil negara bagian, dan pembuatan perjanjian internasional berkaitan
dengan kedaulatan negara sehingga Senat yang mempunyai hak, bukan Konggres
atau House of Representative.
Dewan Perwakilan Rakyat yang anggotanya terdiri atas wakil Parpol tidak
diposisikan sebagai mewakili pemerintah pusat tetapi mewakli pemerintahan
nasional. Posisi DPR mewakili pemerintahan nasional ini tidak dihadapkan vis a vis
dengan pemerintahan daerah. Partai politik tetap perlu basis di daerah bahkan
eksistensi Parpol ditentukan di daerah, partai politik tidak terpisah dengan daerah.
Parpol untuk dapat mengikuti pemilihan umum disyaratkan mempunyai pengurus
di daerah dan anggota-anggota di daerah sehingga Parpol tidak terlepas dari
daerah. Anggota DPR berasal dari daerah pemilihan yang basisnya adalah
provinsi, sehingga kalau sebuah Parpol berkeinginan mendapatkan wakil dari
daerah pemilihan tertentu mereka harus mendapatkan pemilih yang cukup dan
untuk mendapatkan pemilih yang cukup tersebut harus bicara dengan orang
daerah dan memperjuangkan aspirasinya.
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
229
Keberadaan DPD di mana wewenangnya berkaitan dengan daerah tidaklah
dimaksudkan untuk mendikotomikan urusan daerah menjadi urusan DPD,
sedangkan DPR dijauhkan dari urusan daerah, apalagi keduanya dihadapkan
secara vis a vis dalam soal kepentingan daerah. Kewenangan DPD dalam urusan
yang berhubungan dengan daerah pada intinya untuk memperluas partisipasi,
transparansi yang merupakan basis sistem demokrasi perwakilan dengan
menambahkan peran DPD secara konstitusional dan tidak untuk mendikotomikan
apalagi menghadap-hadapkan dengan DPR.
Dari uraian tersebut di atas maka terhadap dalil para Pemohon yang
berhubungan dengan pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji dalam perkara
a quo dapat disimpulkan; (a) Pasal-pasal a quo tidak mempunyai hubungan yang
bersifat causal verband terhadap hal-hal yang dikhawatirkan terjadi tetapi hanya
mempunyai hubungan dalam derajat kemungkinan dapat menimbulkan pengaruh
yang negatif sebagaimana dikhawatirkan para Pemohon, yang mungkin juga
pengaruh tersebut dapat positif; (b) para Pemohon tidak dapat membatasi secara
pasti apa yang dimaksudkan dengan kepentingan daerah yang menjadi hak/atau
kewenangan para Pemohon sehingga karenanya tidak dapat juga ditetapkan
kerugian kepentingan daerah apa yang akan diderita oleh para Pemohon.
Di samping dalil tentang kepentingan daerah yang telah di bahas di atas,
para Pemohon juga mendalilkan bahwa pasal-pasal yang dimohonkan akan
merugikan hak konstitusional perorangan yaitu hak untuk bersaing dalam
pemilihan umum yang adil dan akan terjadi ketidakadilan jika ada calon dipilih dari
luar provinsi, serta bertentangan dengan Pasal 28I ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945.
Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa peserta Pemilu untuk memilih
anggota DPD adalah perseorangan. Hal yang penting dari rumusan tersebut
adalah bahwa perseorangan dan bukan Parpol yang akan mengajukan calon
anggota DPD. Oleh karena itu, sepanjang yang mendaftarkan tersebut adalah
perseorangan maka tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar. Dengan
terbukanya anggota Parpol untuk ikut serta dalam Pemilu anggota DPD karena
adanya pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji maka secara asumtif akan lebih
banyak calon yang akan bersaing dalam Pemilu tersebut. Di antara para Pemohon
dengan semakin bertambahnya calon yang ikut dalam Pemilu, yang terkena
dampak langsung adalah Pemohon II apabila yang bersangkutan masih
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
230
berkeinginan untuk melanjutkan status keanggotaannya. Sedangkan Pemohon I
sebagai lembaga tidak terpengaruhi hak dan/atau kewenangannya. Pemohon III
dan IV tidak menjelaskan posisinya apakah berkeinginan untuk mencalonkan diri
sebagai anggota DPD. Sepanjang Pemohon III dan IV mendasarkan dalil
permohonannya kepada kepentingan daerah, haruslah dijelaskan apa yang
dimaksud dengan kepentingan daerah.
Dampak yang akan dialami oleh Pemohon II tersebut tidak menyangkut
konstitusionalitas dari pasal-pasal yang dimohonkan karena bertambahnya calon
tidak menghilangkan hak konstitusionalitas Pemohon II untuk mencalonkan diri,
tetapi justru menambah kualitas demokrasi dengan bertambahnya calon yang
dapat menjadi alternatif bagi pemilih.
Keterikatan calon dengan domisili di provinsi yang bersangkutan tidaklah
dapat digunakan ukuran untuk menentukan komitmen seseorang dengan provinsi
yang diwakilinya. Dapat saja terjadi orang-orang yang bertempat tinggal di luar
daerah justru mempunyai kepedulian yang besar kepada daerahnya. Organisasiorganisasi kedaerahan yang berada di ibukota biasanya justru dimotori oleh orangorang daerah yang sangat peduli daerahnya tetapi mereka bertempat tinggal di
ibukota. Apabila kemudian pemilih mempercayai untuk mewakilinya yang
dibuktikan dengan terpilihnya mereka dalam suatu Pemilu hal demikian tentunya
dikembalikan kepada pemilih itu sendiri sebagai pemilik suara. Demokrasi tidak
hanya
beraspek
administratif
tetapi
juga
menghargai
hak
pemilih
dan
mempertimbangkan aspek akseptabilitas dari calon.
Dengan mempertimbangkan hal-hal yang diuraikan di atas, seharusnya
Mahkamah menolak permohonan para Pemohon.
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Cholidin Nasir
Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012
Download