UNIVERSITAS INDONESIA IMPLIKASI PERAN MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI POSITIVE LEGISLATOR PADA UJI MATERIIL UNDANGUNDANG TERHADAP PROSES LEGISLASI DI INDONESIA (Studi Kasus: Putusan MK No. 10/PUU-VI/2008 tentang Pemuatan Syarat Domisili Calon Anggota DPD dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum) SKRIPSI AGUNG SUDRAJAT 0806461096 FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM DEPOK JULI 2012 Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 ! ! KATA PENGANTAR Rasa bersyukur pada Tuhan Yang Maha Esa menggambarkan sebuah kebahagiaan mendalam bagi Penulis setelah menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini tidak hanya sebuah pembuktian sebagai sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tetapi sebagai sebuah ungkapan rasa cinta Penulis terhadap bidang Hukum Tata Negara. Tidak banyak hal yang dapat menggambarkan rasa syukur Penulis atas terselesaikannya skripsi ini selain ucapan terima kasih atas berkah yang begitu banyak sehingga setiap torehan kata yang tertulis dapat memaknai ide-ide Penulis. Skripsi ini selesai dengan melalui banyak hal, baik yang manis ataupun pahit. Satu hal yang tidak dapat dipungkiri Penulis bukanlah robot yang tidak luput dari keluh kesah, kejenuhan, dan kepenatan. Akan tetapi, dengan dukungan dan dorongan banyak pihak, membuat Penulis yakin untuk menyelesaikan skripsi ini dengan dorongan semangat. Oleh karena itu, izinkanlah Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kasih sayang dalam penulisan skripsi ini, yang selalu mengingatkan akan kesalahan yang dilakukan oleh Penulis melaui banyak cara, dan selalu memberikan ruang bagi Penulis untuk selalu berkarya dan belajar. 2. Mudakir Chamid dan Kirowati, kedua orang tua Penulis yang telah mendidik Penulis semenjak kecil, yang tidak bosan mengajari telinga bebal Penulis untuk terus berpacu belajar, dan hal terpenting adalah bagaimana mereka berdua selalu memberi dukungan moril berupa doa dan harapan yang tidak dapat Penulis utarakan. Terima kasih Bapak, terima kasih Ibu. 3. Para pembimbing Penulis, yaitu Bapak Sophian Martabaya, S.H., M.H., dan Bapak Mustafa Fakhri, S.H., M.H., LL.M., atas semua waktu, nasehat, dan bimbingan yang berharga bagi Penulis sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. 4. Mbak Bombong Utami dan Mbak Utami Dewi, kedua kakak Penulis yang selalu memberikan dukungan dan dorongan atas berbagai hal, selalu menyediakan waktu atas harapan dan doa untuk Penulis. "#! Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 ! ! 5. Mas Nendar Herdianto, Bapak Yuswita dan Ibu Murwati, suami dan Ayah mertua dari kakak Penulis yang juga memberikan dukungan dan doa yang begitu besar bagi penulis, memberi dukungan semangat dan tentunya selalu memberi rasa nyaman sebagai sebuah keluarga besar. 6. Anindita Widyatami dan Ardianta Widyatna, keponakan penulis yang selalu memberikan tawa dan kegembiraan dalam mengerjakan skripsi ini. 7. Segenap civitas akademica Fakultas Hukum Universitas Indonesia, terutama Program Kekhususan Tata Negara; alm. Prof. Ramly Hutabarat dengan segenap jajaran Bapak Ibu Dosen Hukum Tata Negara yang telah memberi bekal pengetahuan dan begitu menginspirasi Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 8. Teman-teman yang selalu memberikan ruang dan rupa yang begitu luas bagi Penulis; dukungan semangat dan dukungan galau, sampai akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. 9. Kepada setiap orang yang telah datang dalam kehidupan Penulis dan menjadikan hari-hari Penulis menjadi lebih bermakna dan berwarna. Terimakasih untuk semuanya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini sangat jauh dari sempurna. Tentunya terselip banyak kekurangan di dalam skripsi ini. Kendati demikian, besar harapan Penulis, semoga karya ini sedikit banyak dapat memberikan warna dalam khazanah ilmu pengetahuan, terutama di bidang Hukum Tata Negara. Segala kekurangan adalah milik Penulis, dan segala kesempurnaan adalah milik Sang Pencipta. Selamat membaca! Depok, Juli 2012 Agung Sudrajat "! Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 ! ! ABSTRAK Nama : Agung Sudrajat Program Studi : Ilmu Hukum Judul : “Implikasi Peran Mahkamah Konstitusi sebagai Positive Legislator pada Uji Materiil Undang-Undang terhadap Proses Legislasi di Indonesia. (Studi Kasus: Putusan MK No. 10/PUUVI/2008 tentang Pemuatan Syarat Domisili Calon Anggota DPD dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum)” Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis tentang peran Mahkamah Konstitusi sebagai Positive Legislator dan implikasinya terhadap proses legislasi di Indonesia. Penulis mempergunakan metode penelitian yuridis normatif dengan studi kepustakaan yang menggabungkan teori pemisahan kekuasaan, fiilosofi pembentukan peradilan konstitusi, konsep negara hukum dengan proses legislasi di Indonesia. Putusan No. 10/PUU-VI/2008 menunjukkan Mahkamah Konstitusi di Indonesia telah berperan sebagai positive legislator (pemuat norma) yang menimbulkan banyak perdebatan secara akademis. Hal ini sejalan dengan perkembangan di beberapa negara yang memungkinkan adanya peran peradilan konstitusinya sebagai positive legislator dalam menjamin hak-hak warga negara. Selain itu, dapat dilihat bagaimana implikasi dari tindakan Mahkamah Konstitusi yang mencantumkan syarat domisili calon anggota DPD terhadap proses legislasi yang dipegang oleh DPR dan Presiden (termasuk DPD). Kata kunci: Positive Legislator, Proses Legislasi, Teori Pemisahan Kekuasaan, Filosofi Peradilan Konstitusi, Negara Hukum. "##! Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 ! ! ABSTRACT Name : Agung Sudrajat Study Program : Law Title :”Implications of Constitutional Court’s Role as Positive Legislator on Judicial Review regarding Legislation Process in Indonesia. (Case Study: Constitutional Court Judgement No. 10/PUU-VI/2008 regarding Domicile Requirement for Candidates of DPD on Law No. 10 Tahun 2008 regarding Election).” The purpose of this thesis is to explain and analyse the role of Constitutional Court as Positive Legislator and its implications toward the legislation process in Indonesia. The writer uses the juridical-normative research method alongside bibliographic study which mixes separation of power theory, the forming of constitutional tribunal philosophy, the state of law concept with the legislation process in Indonesia. From the Judgment No.10/PUU-VI/2008, it can be concluded that the Indonesian Constitutional Court has its role as a positive legislator. This is consistent with the developments among some States which permit the existence of a role of a positive legislator from a constitutional tribunal in guaranteeing the rights of citizens. Besides, this thesis will bring into focus the implications from the acts of Constitutional Court which has the domicile requirements written down for the candidates of DPD to the legislation process which is held by DPR and the President (including the DPD). Key words: Positive Legislator, Legislation Process, Separation of Power, Constitutional Court’s Philosophy, Rule of Law. "###! Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 ! ! DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS............................................... ii HALAMAN PENGESAHAN............................................................................ iii KATA PENGANTAR ....................................................................................... iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .......................... vi ABSTRAK ......................................................................................................... vii ABSTRACT....................................................................................................... viii DAFTAR ISI...................................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... xi BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1 1.2 Pokok Permasalahan .................................................................................... 9 1.3 Tujuan Penulisan.......................................................................................... 9 1.4 Kerangka Konsepsional ............................................................................... 10 1.4.1 Positive Legislator............................................................................. 10 1.4.2 Teori Pemisahan Kekuasaan (Separation of Power)......................... 10 1.4.3 Uji Materiil Undang-Undang (Toetsingrecht)................................... 11 1.4.4 Proses Legislasi ................................................................................. 11 1.4.5 Kekuasaan Kehakiman ...................................................................... 12 1.4.6 Mahkamah Konstitusi........................................................................ 12 1.4.7 Dewan Perwakilan Rakyat................................................................. 13 1.5 Metode Penulisan ......................................................................................... 13 1.6 Kegunaan Teori dan Praktis ......................................................................... 17 1.7 Sistematika Penulisan................................................................................... 17 BAB 2 PEMBAGIAN KEKUASAAN LEMBAGA NEGARA DAN PERKEMBANGANPERADILAN KONSTITUSI SEBAGAI POSITIVE LEGISLATOR .................................................................................................... 20 2.1 Peradilan Konstitusi dalam Perspektif Doktrin Pemisahan Kekuasaan (Separation of Power) .................................................................................. 20 2.1.1 Doktrin Pemisahan Kekuasaan menurut John Locke dan Montesquieu ....................................................................................... 20 2.1.2 Pembagian Kekuasaan Lembaga Negara............................................ 24 2.2 Konsepsi Pemisahan Kekuasaan pada Sistem Ketatanegaraan Modern (Separation of Power Based on Constitution).............................................. 31 2.3 Peradilan Konstitusi dalam Negara Hukum................................................. 38 2.4 Pengujian Undang-Undang oleh Peradilan Konstitusi dan Lingkup Penafsiran Konstitusi.................................................................................... 42 2.4.1 Bentuk Pengujian Undang-Undang .................................................... 42 2.4.1 Penafsiran dalam Pengujian Undang-Undang .................................... 45 2.5 Perkembangan Peran Konstitusi sebagai Positive Legislator ...................... 51 2.5.1 Perkembangan Peradilan Konstitusi sebagai Positive Legislator dalam Sistem Ketatanegaraan Modern ............................................... 51 2.5.2 Pengujian Undang-Undang dengan Penafsiran Konstitusi ................. 53 "#! Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 ! ! 2.5.3 Lingkup Peranan Peradilan Konstitusi dalam Pengujian UndangUndang dan Penegakan Konstitusi ..................................................... 63 2.5.4 Pengaruh Peradilan Konstitusi terhadap Legislatif atas UndangUndang yang Berlaku ......................................................................... 66 BAB 3 KEDUDUKAN LEMBAGA NEGARA DALAM PROSES LEGISLASI DAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG.................................. 69 3.1 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai Pengawal Konstitusi (The Guardian of the Constitution)............................................. 69 3.1.1 Mahkamah Konstitusi RI dalam Perspektif Indonesia sebagai Negara Hukum ................................................................................... 69 3.1.2 Mahkamah Konstitusi sebagai Penafsir Undang-Undang Dasar dalam Uji Materiil Undang-Undang................................................... 74 3.1.3 Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Menurut Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia..................................................... 79 3.2 Kewenangan Pembentukan Undang-Undang dan Proses Legislasi di Indonesia....................................................................................................... 69 3.2.1 Kewenangan Pembentukan Undang-Undang di Indonesia................. 82 3.2.2 Proses Legislasi di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan............................................................................................ 87 BAB 4 IMPLIKASI PERAN MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI POSITIVE LEGISLATOR PROSES LEGISLASI DALAM KASUS SYARAT DOMISILI CALON ANGGOTA DPD PADA PUTUSAN NO. 10/PUU-VI/2008 ................................................................................................ 102 4.1 Analisis Pencantuman Syarat Domisili oleh Mahkamah Konstitusi pada Putusan No. 10/PUU-VI/2008 ............................................................. 102 4.1.1 Mahkamah Konstitusi sebagai Supremasi Konstitusi dalam Pemisahan Kekuasaan di Indonesia ................................................... 102 4.1.2 Perspektif Filosofis, Yuridis dan Sosiologis Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia .................................................... 105 4.1.3 Peran Mahkamah Konstitusi sebagai Positive Legislator dari Segi Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia ............................. 109 4.2 Implikasi Pencantuman Syarat Domisili terhadap Proses Legislasi di Indonesia....................................................................................................... 124 4.2.1 Peran Mahkamah Konstitusi sebagai Positive Legislator ditinjau Lingkup Penafsiran Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari Proses legislasi Khusus....................................................................... 126 4.2.2 Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 10/PUU-VI/2008 terhadap Proses Pembentukan Undang-Undang ................................ 129 BAB 5 PENUTUP.............................................................................................. 135 5.1 Simpulan ...................................................................................................... 135 5.2 Saran............................................................................................................. 137 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 138 LAMPIRAN "! Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 ! ! DAFTAR LAMPIRAN Ringkasan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 10/PUU-VI/2010 Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah! "#! Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai sebuah negara hukum, mengatur hubungan dengan warga negaranya (penduduk negara) dalam konstitusi yang kemudian dianggap sebagai landasan hukum dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara.1 Salah satu bentuk hubungan antara negara dan warga negara dapat dilihat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan guna mencapai tujuan bernegara yang tertuang di dalam konstitusi.2 Tujuan bernegara Bangsa Indonesia tertuang di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi landasan pembagian kedudukan dan kewenangan lembaga negara.3 Tujuan berdirinya Negara Republik Indonesia adalah melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Selain keempat tujuan utama tersebut, Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 menjabarkan lebih lanjut dan lebih terperinci mengenai hal-hal fundamental mengenai penyelenggaraan kehidupan bernegara.4 Sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan pasca reformasi 1998 dengan adanya Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu materi """""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 1 Hans Kelsen menjelaskan dalam bukunya The Pure Theory of Law tentang keidentikan negara dan hukum. Dalam perspektif hukum murni, negara dan hukum identik dengan menempatkan negara bukan sebagai satu-satunya pembentuk hukum. Sebelum terbentuknya negara, masyarakat yang berkumpul dalam satu tempat terikat oleh tatanan untuk menjalankan kehidupan bersama yang dapat berupa ideologi dan metafisika. Sehingga, dalam memandang hukum tidaklah mutlak sebagai satu-satunya produk yang dapat dibuat oleh negara. Atau dengan kata lain hukum adalah sebuah uraian dari ideologi dan metafisika yang hampir keseluruhannya merupakan sebuah rekaan atas suatu kondisi masyarakat. Hans Kelsen, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif [The Pure Theory of Law], diterjemahkan oleh Raisul Muttaqin, (Bandung: Nusamedia, 2008), hlm. 317. 2 Brian Thompson yang mengatakan bahwa: “…a constitution is a document which contains the rules for the operation of an organization.” Terjemahan bebasnya kurang lebih adalah Konstitusi merupakan aturan dasar tentang penyelenggaraan suatu organisasi yang dalam hal ini adalah negara. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 19. 3 Ibid., hlm. 63. 4 Ibid., hlm. 156. !" Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 perubahan mendasar dalam Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 adalah diakomodasinya pengujian undang-undang (review).5 Salah satu pembahasan dalam Amandemen tersebut terjadi karena tidak diwadahinya upaya hukum jika terjadi pelanggaran konstitusi oleh negara melalui produk hukum berupa undangundang.6 Oleh karena itu, urgensi dari diakomodasinya pengujian undang-undang untuk menjamin pemenuhan hak konstitusional warga negara merupakan sebuah kebutuhan yang fundamental.7 Pembahasan mengenai kewenangan pengujian undang-undang ini kemudian melahirkan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution). Mahkamah Konstitusi lahir melalui pembahasan yang panjang dalam Amandemen III tanggal 9 November 2001. Dalam pembahasan, Mahkamah Konstitusi pada mulanya hanya akan dibentuk sebagai quasi judicial.8 Akan tetapi, bentuk Mahkamah Konstitusi yang hanya berbentuk """""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 5 “Penggunaan kata Judicial Review merupakan terminologi hukum yang digunakan di Amerika Serikat. Terminologi tersebut erat kaitannya dengan penggunaan istilah toetsingsrecht di Belanda, tapi keduanya memiliki perbedaan jika ditelaah lebih lanjut dari teori dan pelaksanaannya. Toetsingsrecht merupakan penggunaan dalam terminologi hukum Belanda yang dipahami secara terbatas sebagai penilaian hakim terhadap suatu produk hukum tanpa memiliki kewenangan untuk membatalkan (justfikasi) atas penilaian yang dilakukan. Sehingga, pembatalan atas suatu produk hukum yang dinyatakan sebagai hal yang bertentangan dikembalikan kepada lembaga pembentuk undang-undang. Sedangkan dalam terminologi judicial review, hakim tidak hanya melakukan penilaian atas suatu produk hukum tetapi juga dilanjutkan dengan melakukan tindakan pembatalan apabila produk hukum tersebut dipandang tidak sesuai dengan batu uji. Hal ini harus dibedakan dengan penggunaan terminologi di beberapa negara yang menggunakan istilah seperti legislative review, constitutional review, dan legal review. Perihal penggunaan istilah judicial review yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi dipersempit sebagai sebuah tindakan constitutional review karena menggunakan Undang-Undang Dasar (Konstitusi) sebagai batu uji.” Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingrecht) yang Dimiliki Hakim dalam Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2005), hlm. 3. 6 Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi: Memahami Keberadaannya dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), hlm. 19. 7 Asnawi Latief (Fraksi Partai Daulat Ummat) mengusulkan bahwa pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga yang tersendiri dan terpisah dari kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melihat tujuan pembentukannya yang tidak memungkinkan masuk dalam kesatuan lembaga yang dibentuk oleh MPR. Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VI Kekuasaan Kehakiman, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hlm. 451. 8 Ibid., hlm. 445. !" Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 quasi judicial dikhawatirkan akan diboncengi kepentingan non hukum dan politik padahal kewenangannya begitu besar. Kemudian, muncul wacana kewenangan pengujian undang-undang dilekatkan pada Mahkamah Agung atau lembaga kekuasaan kehakiman yang setara dengan lembaga tinggi negara lainnya. Pada pembahasannya Paulus Efendi Lotulung,9 yang mengemukakan pandangan beliau, yakni:10 “Pembentukan MK tergantung dari sistem hukum dan politik hukum yang ingin digariskan. Apabila ingin memberikan review pada badan peradilan tetapi bukan MA, harus dibentuk MK.” Dapat disimpulkan bahwa pembentukan Mahkamah Konstitusi ini merupakan sebuah opsi yang erat kaitannya dengan nuansa kebatinan dan politik hukum para perumus. Sehingga, bentuk kekhawatiran-kekhawatiran yang ada harus dilihat secara objektif dan meluas sekalipun harus membentuk lembaga tinggi yang baru. Penekanan beliau bahwa politik hukum pembentukan lembaga penguji undang-undang tidak lagi pada bentuk quasi judicial tetapi sebagai lembaga tinggi negara.11 Bentuk lembaga tinggi negara yang dimaksudkan apakah melekat pada badan legislatif atau dibentuk lembaga yudikatif baru yang terpisah dari Mahkamah Agung. Pertimbangan jika pengujian undang-undang melekat pada DPR dapat memunculkan over power pada pemegang kuasa legislatif.12 Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi akhirnya berdiri sebagai lembaga tinggi negara yang sejajar dengan Mahkamah Agung sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman.13 Lahirnya Mahkamah Konstitusi memberikan susunan baru dalam Kekuasaan Kehakiman yang merupakan satu dari tiga pilar dalam Teori """""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 9 Paulus Efendi Lotulung adalah wakil dari Mahkamah Agung yang diundang di dalam rapat Panitia Ad Hoc ketika membahas mengenai susunan Kekuasaan Kehakiman pada Amandemen III tanggal 9 November 2001. Ibid., hlm. 444. 10 Ibid., hlm. 444. 11 Ibid., hlm. 451. 12 Henry Conserva, Understanding The Constitution, (Bloomington: AuthorHouse, 2011), hlm. 13. 13 Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VI Kekuasaan Kehakiman…op.cit., hlm. 447. !" Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Pemisahan Kekuasaan (Separation of Power).14 Peletakan Mahkamah Konstitusi dalam susunan Kekuasaan Kehakiman juga didasarkan pada bentuk dan proses uji materiil undang-undang yang berupa proses ajudikasi.15 Pengujian di dalam Mahkamah Konstitusi terbatas pada proses mengadili apakah undang-undang yang diujikan bertentangan atau tidak terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (negative legislation). Selain itu merujuk pada perspektif hukum ketatanegaraan secara umum, awal mulai tindakan pengujian konstitusionalitas terhadap konstitusi yang pertama kali terjadi di Amerika Serikat oleh lembaga yudikatif (Supreme Court) hanya sebatas menjalankan proses ajudikasi.16 Oleh karena itu, kewenangan pengujian undang-undang terhadap konstitusi di sebagian besar negara dilekatkan pada lembaga yudikatif berupa proses ajudikasi atau negative legislator.17 Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang sangat erat kaitannya dengan pembentuk undang-undang (DPR, Presiden dan termasuk DPD) karena bentuk pengujiannya merupakan pengujian norma. Akan tetapi, dalam peletakan kewenangan pengujian undang-undang, tidak dibahas lebih lanjut mengenai hubungan Mahkamah Konstitusi terhadap proses legislasi itu sendiri. Hal ini menjadi sangat penting untuk diperhatikan karena Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara ikut serta sistem checks and balances.18 Sehingga, tidak jelas mengenai tindak lanjut hasil pengujian di Mahkamah """""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 14 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm. 517. 15 Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VI Kekuasaan Kehakiman…op.cit., hlm. 444. 16 Gagasan Judicial Review muncul pertama kali pada tahun 1803 di Mahkamah Agung (Supreme Court) Amerika Serikat yang diketuai oleh John Marshal yang membatalkan ketentuan dalam Judiciary Act 1789 karena dianggap bertentangan dengan Konstitusi Amerika Serikat. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm. 98. 17 Henry Conserva, Understanding The Constitution…op.cit., hlm. 14. 18 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006). hlm. 24. !" Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Konstitusi terhadap proses legislasi yang dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden.19 Pada prakteknya, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang memuat pembentukan hukum (positive legislation) dengan pertimbanganpertimbangan berdasarkan pemenuhan hak konstitusional yang dimiliki oleh warga negara. Salah satu putusan Mahkamah Konstitusi yang membetuk hukum adalah Putusan No. 10/PUU-VI/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.20 Para Pemohon dalam pengujian tersebut adalah Anggota DPD yang menganggap adanya penghilangan hukum di dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 karena pada undang-undang sebelumnya dimuat tentang syarat """""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 19 Pembahasan mengenai struktur kelembagaan di Indonesia berkaitan dengan kekuasaan legislatif masih diperdebatkan khususnya mengenai kedudukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dalam pengaturannya di dalam Undang-Undang Dasar 1945, fungsi legislatif berupa pembentukan undang-undang memang menjadi kuasa DPR dan untuk persetujuannya dilaksanakan secara bersama-sama dengan Presiden. Struktur fungsi dan kewenangan DPD terbatas sebagaimana diatur di dalam pasal 22D Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi sebagai berikut: (1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. (2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undangundang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. (3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. (4) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang. Kewenangan DPD tersebut diatas dalam beberapa pendapat termasuk dalam kuasa legislatif walau tidak memiliki kewenangan dalam pembentukan Undang-Undang karena hanya mengusulkan rancangan undang-undang. Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia…op.cit., hlm. 189-190. 20 Mahkamah Konstitusi, Pengujian Undang-Undang No. 10 Tahun Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Putusan Mahkamah Konstitusi, 1 Juli 2008, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_PUTUSAN%20DPD%20ba ca%201%20Juli%202008e.pdf, diunduh pada tanggal 10 Februari 2012, hlm. !" Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 domisili bagi calon anggota DPD untuk mengikuti Pemilu Legislatif. Muatan materi syarat domisili menurut pemohon adalah sebuah kebutuhan dalam pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah karena fungsi dan filosofi pembentukan DPD sebagai representasi perwakilan daerah. Kemudian, dalam putusannya Mahkamah Konstitusi mengabulkan untuk dimuatkannya ketentuan syarat domisili dalam Pemilihan Legislatif (conditionaly constitutional) dengan menafsirkan tidak diaturnya sebuah norma adalah norma itu sendiri. Pengujian Undang-Undang ini merupakan tindakan luar biasa karena Mahkamah Konstitusi tidak hanya memberikan penafsiran dan ajudikasi terhadap undang-undang tetapi memberi materi muatan dalam undang-undang.21 Sehingga dapat dilihat bahwa Mahkamah Konstitusi turut berperan sebagai positive legislator. Dalam perspektif hukum modern peranan Peradilan Konstitusi sebagai organ pembentuk hukum (positive legislator) telah diterapkan di beberapa negara.22 Secara umum, peran peradilan konstitusi sebagai positive legislator dianggap sebagai sebuah konsekuensi logis atas implementasi dari Teori Pemisahan Kekuasaan yang tidak dapat diterapkan secara rigid tanpa ada irisan di dalamnya.23 Oleh karena itu, perlu dikaji secara mendalam peran Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator dalam Putusan No. 10/PUU-VI/2008 apakah suatu pelampauan kewenangan atau sebuah kekosongan hukum hanya memerlukan integrasi lebih lanjut antar pemegang kekuasaan. Mahkamah Konstitusi menafsirkan bahwa Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 22 C Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan: “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.” dalam frasa “dipilih dari setiap provinsi” harus """""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 22 Pembahasan mengenai peran lembaga Yudikatif sebagai positive legistator memasuki tahap baru dalam sistem ketatanegaraan modern. Salah satu yang paling progresif adalah Norwegia yang mengesahkan (menyatakan secara konstitusional) bahwa constitutional court dapat berperan sebagai positive legislator dalam memenuhi hak konstitusional warga negaranya namun secara terbatas pada aspek-aspek tertentu saja. Eivind Smith, “Constitutional Courts as Positive Legislator,” (makalah disampaikan pada International Academy of Comparative Law: XVIII International Congress of Comparative Law, Washington DC, 25-31 Juli 2010), hlm. 1-3. 23 Teguh Satya Bhakti, “Perbandingan Konsep Trias Politica Menurut John Locke, Montesquieu, dan Undang-Undang Dasar.” Dalam Jurnal Tata Negara FHUI: Beberapa Teori dalam Hukum Tata Negara. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2003. hlm. 325. !" Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 dibuktikan dengan adanya syarat domisili. Dasar Permohonan Pemohon dalam pengujian undang-undang tersebut, Pemohon mendalilkan bahwa:24 - Maksud asli perumus pembuat Perubahan Ketiga UUD 1945, khususnya ketika merumuskan Pasal 22C ayat (2) dan Pasal 22E ayat (4) menegaskan adanya Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan bagi keanggotaan DPD. - Perumusan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 menegaskan bahwa syarat domisili adalah syarat dalam pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah. - Para perumus Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 sengaja menghilangkan ketentuan syarat domisili. - Penghilangan Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan adalah Bentuk Improper Purposes. - Ketiadaan Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan bagi Keanggotaan DPD Harus Dinyatakan Tidak Sesuai (unconformity) dengan UUD 1945. - Putusan Mahkamah Konstitusi Berwenang untuk Menyatakan Ketiadaan Norma dalam suatu Undang-Udang Tidak Sesuai (unconformity) dengan UUD 1945 Persidangan yang terjadi pada akhirnya diputus dengan mengabulkan permohonan pemohon terkait dengan syarat domisili anggota DPD yang secara keseluruhan putusan tersebut berbunyi:25 - Menyatakan Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836) tetap konstitusional berdasarkan """""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 24 Mahkamah Konstitusi, Pengujian Undang-Undang No. 10 Tahun Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah…loc.cit., hlm. 80. 25 Ibid., hlm. 216. !" Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang dimaknai memuat syarat domisili di provinsi yang akan diwakili; - Menyatakan Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836) tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang dimaknai memuat syarat domisili di provinsi yang akan diwakili; Pemuatan syarat domisili ini secara jelas memberikan dasar hukum bahwa Mahkamah Konstitusi dapat berperan sebagai positive legislator. Peristiwa hukum ini menunjukkan bahwa adanya kebutuhan untuk diperjelas hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan pembentuk undang-undang. Pelaksanaan tata hubungan antar lembaga negara ini merupakan bagian dari pemisahan kewenangan yang jika tidak diakomodir secara jelas dapat menimbulkan sengketa antar lembaga negara khususnya konteks pengujian undang-undang terhadap proses legislasi. Permasalahan serupa juga menjadi topik perdebatan pada awal tindakan judicial review di Amerika Serikat. Pada saat judicial review dilakukan Mahkamah Agung (Supreme Court) Amerika Serikat, Kongres menganggapi dengan keras bahwa tindakan merupakan pelampauan kewenangan.26 Kongres menganggap kedudukan pengadilan (Mahkamah Agung) tidak dapat mengganggu kewenangan legislatif dalam membentuk undang-undang dengan pengujian (negative legislation).27 Pendapat tersebut didasarkan pada pemahaman bahwa Kongres merupakan manifestasi kedaulatan yang dapat membentuk undangundang dan pengujian oleh lembaga lain termasuk Mahkamah Agung sangat bertentangan dengan hal tersebut. Peran Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator secara nyata menempatkan sebuah lembaga peradilan tidak lagi sebagai negative legislator """""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 26 Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VI Kekuasaan Kehakiman…op.cit., hlm. 147. 27 Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Garis Besar Sistem Hukum Amerika Serikat [Judicial Process in America] diterjemahkan oleh Masri Maris, (Washington: Congressional Quarterly Inc, c.t.), hlm. 25. !" Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 yang memberi ajudikasi hukum. Hal ini menimbulkan banyak perdebatan termasuk bagaimana implikasinya terhadap proses legislasi itu sendiri karena hasil dari putusan tersebut juga mempengaruhi peraturan pelaksananya lintas lembaga negara. Oleh karena itu, perlu adanya peninjauan secara ketatanegaraan berkaitan dengan peran Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator dalam putusan MK Nomor 10/PUU-VI/2008 tentang pencantuman syarat domisili calon anggota DPD. 1.2 Pokok Permasalahan Berdasarkan penjabaran dalam latar belakang yang telah dipaparkan tersebut, terdapat beberapa rumusan permasalahan yang menjadi pembahasan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana Peran Mahkamah Konstitusi sebagai Positive Legislator pada Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008 dalam Perspektif Hukum Tata Negara? 2. Bagaimana Implikasi Peran Mahkamah Konstitusi sebagai Positive Legislator terhadap Proses Legislasi atas Uji Materiil Undang-Undang Nomor 10/PUU-VI/2008? 1.3 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan skripsi ini terbagi menjadi dua yakni tujuan umum dan tujuan khusus. Yang menjadi tujuan umum penulisan skripsi ini adalah mengetahui secara komprehensif tentang batasan kewenangan legislasi dan implikasi peran lembaga peradilan (yudikatif) antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Mahkamah Konstitusi dalam hal pengujian undang-undang. Adapun secara lebih khusus dijabarkan sebagai berikut: 1. Mengetahui Peran Mahkamah Konstitusi sebagai Positive Legislator pada Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008 dalam Perspektif Hukum Tata Negara. 2. Mengetahui Implikasi Peran Mahkamah Konstitusi sebagai Positive Legislator terhadap Proses Legislasi atas Uji Materiil Undang-Undang Nomor 10/PUU-VI/2008. !" Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 1.4 Kerangka Konsepsional Beberapa istilah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini diartikan sebagai berikut: 1.4.1 Positive Legislator Positive Legislator adalah bentuk organ atau badan atau lembaga (merujuk pada lembaga negara) yang dapat bertindak untuk membentuk hukum. Pengertian pembentukan hukum oleh positive legislator adalah tindakan membentuk hukum dalam proses ajudikasi (peradilan) tanpa melalui pencabutan, penarikan atau pembatalan tetapi penambahan atas hukum yang diujikan.28 Pemahaman ini muncul sebagai kebalikan dari definisi negative legislation yang berarti membentuk hukum dengan mekanisme penilaian oleh lembaga yudikatif (ajudikasi) berupa berlaku atau tidaknya suatu norma yang dilanjutkan dengan pembatalan atau pernyataaan tidak memiliki kekuatan hukum.29 Lingkup positive legislation mencakup tindakan lembaga dalam menjabarkan norma dan menambahkan norma baru dalam pengujian undang-undang. Hasil pengujian undang-undang yang berisi pemuatan norma sering dikenal sebagai putusan yang conditionaly constitusional atau konstitusional bersyarat. 1.4.2 Teori Pemisahan Kekuasaan (Separation of Power) Teori Pemisahan Kekuasaan adalah teori yang pada awal mulanya dikemukakan oleh John Locke tentang pembagian pos-pos kekuasaan (legislatif, eksekutif dan federatif) dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Pemisahan kekuasaan ini kemudian dikembangkan oleh Montesquieu mencakup ke tiga kekuasaan yakni Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif yang lebih dikenal sebagai ######################################################## 28 Konteks membentuk hukum dalam pengujian undang-undang tidak terbatas pada pencatuman pasal ataupun pemuatan pasal tetapi termasuk dampak hukum dari putusan tersebut. Dalam hal ini, tindakan pencabutan oleh lembaga yudikatif (negative legislastion) tetap menciptakan kondisi hukum yang baru dengan adanya norma yang berubah. Oleh karena itu, untuk memahami konteks peran Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator dipersempit sebagai sebuah lembaga yang melakukan/menciptakan hukum haru dengan penambahan norma dalam proses ajudikasi pengujian undang-undang. Pendekatan pada: Arti Legislate (membentuk hukum) pada Wiliam Statsky, West’s Legal Thesaurus/Dictionary: A resource for the writer and the Computer Researcher. (c.l.: West Publishing, 1985), hlm. 586. 29 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II…op.cit., hlm. 33. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Trias Politica.30 Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan untuk pembentukan undang-undang, kekuasaan eksekutif adalah pelaksana dari undang-undang, dan Kekuasaan Yudikatif adalah menjalankan fungsi peradilan dalam rangka penegakan hukum (undang-undang).31 1.4.3 Uji Materiil Undang-Undang (Toetsingrecht) Uji Materiil Undang-Undang adalah upaya pengujian produk hukum yang ditetapkan oleh pemegang kuasa legislatif, eksekutif maupun yudikatif oleh lembaga yudisial dalam rangka penerapan prinsip checks and balances berdasarkan sistem pemisahakan kekuasaan (separation of power).32 Tindakan pengujian ini merupakan uji konstitusionalitas sebuah undang-undang terhadap konstitusi di sebuah negara. Pelaksanaan pengujian undang-undang ini memiliki banyak varian yang setidaknya hampir di semua negara konsep pengujiannya melandaskan batu ujinya pada konstitusi tertulis. Tujuan adanya pengujian ini adalah untuk menjamin hak konstitusional warga negara yang tertuang dalam konstitusi.33 1.4.4 Proses Legislasi Proses Legislasi adalah proses pembentukan peraturan berupa undangundang yang melekat pada lembaga legislatif sebagai pemegang fungsi legislasi. Fungsi legislasi merupakan fungsi pengaturan (regelende functie) yakni fungsi membentuk peraturan-peraturan berupa norma hukum yang mengikat dan membatasi warga negara.34 """""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 30 Teguh Satya Bakti, “Perbandingan Konsep Trias Politica Menurut John Locke, Montesquieu, dan Undang-Undang Dasar…op.cit., hlm. 316. 31 Montesquieu menjelaskan dalam bukunya L’Esprit des Lois (1748) dengan mengikuti pemikiran John Locke, pembagian kekuasaan negara dalam tiga cabang the legislative function, the excecutive or administrative function, the judicial function. 32 Fatmawati, op.cit., hlm. 8. 33 Jimly Asshiddiqie, “The Role of Constitutional Court in Guaranteeing Access to Justice in a New Transtitional State,” (makalah disampaikan pada Keynote Address at the Conference of “Comparing Access to Justice in Asian and European Transitional Countries,” Bogor; 27-28 June 2005), hlm. 1. 34 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II…op.cit., hlm. 33. !!" Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 1.4.5 Kekuasaan Kehakiman Kekuasaaan Kehakiman atau Kekuasaan Yudikatif merupakan pilar ketiga dalam sistem kekuasaan negara modern. Kekuasaan yang ketiga ini bertindak memberikan ajudikasi atas tindakan hukum dengan mendasarkan pada peraturan bentukan legislatif. Cabang kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan sekarang ini hampir diseluruh negara menerapkan konsep senada yakni sebagai cabang kekuasaan yang bebas dan merdeka. Kekuasaan Yudikatif adalah cabang kekuasaan yang satu kesatuan dengan legislatif dan eksekutif dalam menjalankan roda kehidupan bernegara. Oleh karena itu, dikatakan oleh John Alder, “The Principle of separation of power is particularly important for the judiciary.”35 1.4.6 Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.36 Mahkamah Konstitusi merupakan sebuah lembaga negara di Indonesia yang masuk dalam susunan kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi diawali dengan diadopsinya ide Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.37 ######################################################## 35 John Alder dan Peter English, Constitusional and Administrative Law, (London: Macmilan, 1989), hlm. 53-54. 36 Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No 24 tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 8 tahun 2011, LN No.70 Tahun 2011, TLN No. 5266, Ps. 1 ayat 1. 37 Profil Sejarah Beridinya Lembaga Mahkamah Konstitusi, c.n, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.Profil.SejarahMK diunduh pada tanggal 22 Februari 2011, pukul 17.57. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 1.4.7 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara.38 Pengaturan di dalam Undang-Undang Dasar 1945, mengatakan bahwa kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang. Proses pemilihan anggota DPR, dipilih melalui pemilihan umum secara langsung kepada rakyat.39 DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat merupakan manisfestasi kedaulatan rakyat sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. 1.5 Metode Penulisan 1.5.1 Bentuk Penulisan Skripsi ini menggunakan pendekatan Yuridis Normatif yakni pendekatan yang bertujuan untuk menemukan dan mendeskripsikan kerangka konsep pada hukum positif (hukum tertulis). Perangkat hukum tertulis yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain Undang-Undang Dasar Tahun 1945, UndangUndang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 1.5.2 Tipologi Penulisan Tipologi penulisan ini masuk ke dalam penulisan deskriptif dengan sifat skripsi berupa studi kepustakaan. Penulisan deskripitif dalam penyusunan skripsi ini merupakan pendekatan untuk mengetahui implikasi peran Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator pada uji materiil undang-undang perkara No. 10/PUU-VI/2008 terhadap proses. Penulisan skripsi ini dilakukan secara deskriptif guna melihat lebih lanjut tindakan Mahkamah Konstitusi sebagai ######################################################## 38 Indonesia, Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, UU No. 27 tahun 2009, LN No.123 Tahun 2011, TLN No. 5043, Ps. 68. 39 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 20 ayat (1) juncto Pasal 19 ayat (1). !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 pengawal konstitusi dan kaitannya dengan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat dan Presidan sebagai pemegang kuasa pembetukan undang-undang. Penulisan kepustakaan adalah suatu penulisan yang dilakukan dengan cara mendapatkan data dan bahan berupa buku-buku, artikel, jurnal, tesis, skripsi, putusan Mahkamah Konstitusi, yang penulis dapatkan dari Perpustakaan Universitas Indonesia, Perpustakaan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Perpustakaan Dewan Perwakilan Rakyat dan Perpustakaan Nasional. 1.5.3 Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Adapun yang dimaksudkan sebagai data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan bacaan, yang dalam skripsi ini adalah buku-buku, artikel, tesis, skripsi, putusan Mahkamah Konstitusi, yang didapatkan dari Perpustakaan Universitas Indonesia, Perpustakaan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Perpustakaan Dewan Perwakilan Rakyat dan Perpustakaan Nasional. Serta, jurnal ilmiah hukum yang diperoleh dari Jstor, Pusat Dokumentasi Hukum, serta pusat jurnal ilmiah online lainnya. 1.5.4 Jenis Bahan Hukum Jenis bahan hukum yang digunakan dalam skripsi ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan. Bahan hukum primer yang digunakan adalah Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, UndangUndang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari bahan bacaan hukum seperti makalah, tesis, buku-buku, jurnal, yang penulis peroleh dari Perpustakaan Universitas Indonesia, Perpustakaan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Perpustakaan Dewan Perwakilan Rakyat dan Perpustakaan !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Nasional, Jstor, Pusat Dokumentasi Hukum, serta pusat jurnal ilmiah online lainnya. 1.5.5 Alat Pengumpul Data Pengumpulan data yang digunakan dalam skripsi ini dengan menggunakan studi kepustakaan sehingga dilakukan melalui penelusuran literatur, analisis terhadap konsep ketatanegaraan, analisis terhadap peranan lembaga negara, dan ditambah dengan melakukan studi perbandingan dengan negara lain. Pengumpulan data tersebut diharapkan dapat menjadi data yang digunakan untuk penulisan skripsi ini. Skripsi ini menggunakan penelusuran literatur guna mendapatkan konsep ketatanegaraan di Indonesia terkait dengan lembaga kekuasaan di negara. Konsep ketatanegaraan ini nantinya dilakukan penelaahan terhadap doktrin dan prakteknya di negara lain. Perlunya melakukan perbandingan dengan negara lain adalah sebagai bahan acuan penerapan doktrin lembaga yudikatif, legislatif dikaitkan dengan fungsi kelembagaannya. Dalam skripsi ini, dikerucutkan permasalahannya pada peran Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator dan implikasinya terhadap proses legislasi. Hal ini menjadi jelas diperlukan karena di beberapa negara mungkin telah menerapkan beberapa konsep tambahan berkait kewenangan kedua lembaga. Selain itu, Indonesia juga merupakan negara yang baru menerapkan pengujian konstitusional. Sehingga, masih perlu untuk melakukan pendekatan-pendekatan, perbandingan, serta pengkajian terutama mengenai struktur kelembagaan Mahkamah Konstitusi terhadap proses legislasi. 1.5.6 Metode Anailisis Data Dalam skripsi ini, data akan dianalisis menggunakan metode kualitatif dan akan disajikan dalam bentuk deskriptif analitis yang dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: (i) Pengumpulan Data Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data-data temuan yang telah ditelusuri dan kemudian dipilah untuk menjadi data sekunder. Data sekunder inilah yang kemudian menjadi bahan untuk mengkaji isu dan permasalahan dalam skripsi dikaitkan dengan penelusuran literaturliteratur dalam buku maupun bahan sekunder lainnya. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 (ii) Pengolahan Data Tahap selanjutnya merupakan pengolahan data yang berupa pengolahan data-data dengan tahapan sebagai berikut: a. Pemeriksaan/validasai data dan editing Data yang diperoleh dari studi kepustakaan yang dilakukan oleh penulis kemudian diperiksa, dikaji dan dijaga konsistensinya antara data satu dengan data lainnya. Kegiatan memeriksa dan menjaga konsistensi bagian awal sampai dengan akhir ini juga disebut sebagai editing yang akan menjadi penentuan kelayakan data yang diperiksa apakah akan dilanjutkan atau tidak untuk dimasukkan dalam skripsi ini. Validasi merupakan tahap lanjutan berupa menetapkan data yang akan digunakan setelah dilakukan editing dan dilakukan dengan mempertahankan alur penulisan dengan seksama dan secara ajeg. b. Pengolahan Tahap pengolahan merupakan tahap lanjutan dari pemeriksaan/validasi data. Data yang telah divalidasi akan dilakukan pendekatan-pendekatan lebih lanjut . Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif sehingga dilakukan dengan mengkaji teori dalam doktrin untuk nantinya diterapkan di Indonesia. Pendekatan kualitatif ini kemudian akan menghasilkan data yang akan disusun berupa data deskriptif analitis. Pengolahan data kualitatif ini bertujuan untuk mengerti dan memahami permasalahan dan mencari titik kesimpulan berupa penyelesaian atas permasalahan yang diangkat. (iii) Analisis Data Pada tahap ini, data yang sudah diolah kemudian dianalisis. Analisis data merupakan kegiatan yang menelaah dan mengkaji hubungan masing-masing komponen dengan keseluruhan konteks dari berbagai sudut pandang. Data tersebut kemudian dituliskan dalam bentuk skripsi sebagai tugas akhir. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 1.5.7 Bentuk Hasil Penulisan Tahapan selanjutnya adalah tahapan penulisan dengan membentuk laporan atas penulisan skripsi yang dilakukan. Data-data yang dioloah ini kemudian ditulis secara terstruktur dan dipaparkan dalam ejaan yang disempurnakan. 1.6 Kegunaan Teoritis dan Praktis Kegunaan teoritis dari skripsi ini adalah memperkaya kajian ilmu pengetahuan terutama mengenai susunan dan kedudukan lembaga negara. Hal ini sangat penting karena kedudukan dan kewenangan ini berhubungan dengan kewenangan lembaga Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Rakyat dan Presidan terkait dengan proses legislasi. Kajian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat Indonesia dan khususnya bagi civitas academica Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Kegunaan praktis dari skripsi ini adalah dapat digunakan sebagai bahan kajian dalam melihat hubungan lembaga legislatif dan lembaga yudikatif. Hubungan ini nantinya dapat digunakan dalam menyusun sistem atas keberlanjutan putusan Mahkamah Konstitusi dan proses legislasi yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini sangat penting karena dapat menghindarkan perbenturan kewenangan yang dapat diboncengi kepentingankepentingan politik. 1.7 Sistematika Penulisan BAB 1 Pendahuluan Pada bab ini berisikan pemaparan latar belakang dan urgensi dikabulkannya pengujian Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 terkait syarat domisili pada Putusan No. 10/PUU-VI/2008. Latar belakang tersebut nantinya digunakan untuk menggagas rumusan permasalahan dan tujuan dari penulisan ini. Kemudian, terdapat penjelasan mengenai kerangka konsepsisional mengenai peristilahan yang digunakan yang kemudian dipaparkan mengenai metode penulisan yang digunakan oleh penulis dalam menyusun skripsi. Serta, dipaparkan mengenai tinjauan pustaka berupa buku-buku referensi utama dalam penulisan !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 tugas ini ditambahkan pemaparan tentang kegunaan teoritis praktis dan sistematika penulisan. BAB 2 Landasan Teori Bab ini memaparkan mengenai tentang filosofi pembagian kekuasaan dan peran peradilan konstitusi sebagai positive legislator. Filosofi pembagian kekuasaan merupakan doktrin yang dicetuskan oleh John Locke dan Montesquieu (Trias politica). Teori Pemisahan Kekuasaan merupakan doktrin yang membagi pos-pos kekuasaan menjadi tiga pos kekuasaan yakni Legislatif, Yudikatif dan Eksekutif. Selain perspektif doktrin Montesqueiu, juga disertakan tentang konsep ketatanegaraan modern dalam membagi pos-pos kekuasaan. Keduanya akan digunakan untuk menganalisis batasan tindakan lembaga negara. Kemudian, peran peradilan konstitusi sebagai positive legislator merupakan sebuah perkembangan baru dalam sistem ketatanegaraan modern. Peranan lembaga peradilan sebagai positive legislator digunakan untuk melihat bentuk dan batasan tindakannya. BAB 3 Penerapan dan Prakteknya di Indonesia Bab ini akan menjelaskan mengenai proses legislasi di Indonesia dan proses pengujian undang-undang di Indonesia. Proses legislasi yang dipaparkan mencakup pembentukan undang-undang usulan Dewan Perwakilan Rakyat dan pembentukan undang-undang usulan Presiden. Lebih lanjut juga dipaparkan mengenai bagaimana proses pembahasan sampai dengan persetujuan bersama dan disahkan sebagai undang-undang. Proses pengujian undang-undang di Indonesia yang di paparkan mencakup filosofi pembentukan Mahkamah Konstitusi, penafsiran oleh Mahkamah Konstitusi dan kedudukan putusan Mahkamah Konstitusi dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Keduanya nantinya juga akan digunakan untuk membedah pokok permasalahan pada putusan No. 10/PUU-VI/2008 di dalam Bab IV. BAB 4 Analisis dan Kajian Bab ini akan memaparkan mengenai bagaimana implikasi peran Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator yang dianalisis dari perspektif doktrin pembagian kekuasaan, kewenangan lembaga peradilan konstitusi sebagai pembentuk hukum, serta filosofi pembentukan Mahkamah Konstitusi. Kemudian, dikaitkan dengan pengaturannya di dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Analisis utama dalam penulisan skripsi ini nantinya untuk mengetahui peran Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator pada Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008 dipandang dari perspektif Hukum Tata Negara. Serta, mengetahui implikasi peran Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator terhadap proses legislasi atas uji materiil Undang-Undang Nomor 10/PUU-VI/2008. BAB 5 Penutup Bab ini nantinya merupakan bagian kesimpulan dari penulis atas perumusan masalah yang telah dianalisis. Kesimpulan tersebut didasarkan pada temuan-temuan data yang secara kualitatif dikaitkan dengan teori, doktrin dan data tambahan yang ditemukan oleh penulis. Kemudian, dipaparkan lebih lanjut mengenai saran atas kesimpulan-kesimpulan tersebut sehingga dapat digunakan sebagai materi pengayaan dalam melihat peran Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator terhadap proses legislasi pada umumnya. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 BAB 2 PEMBAGIAN KEKUASAAN LEMBAGA NEGARA DAN PERKEMBANGAN PERADILAN KONSTITUSI SEBAGAI POSITIVE LEGISLATOR 2.1 Peradilan Konstitusi dalam Perspektif Doktrin Pemisahan Kekuasaan (Separation of Power) 2.1.1 Doktrin Pemisahan Kekuasaan Menurut John Locke dan Montesquieu Doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power) memiliki banyak perspektif karena penerapan dari doktrin pemisahan kekuasaan telah banyak mengalami pergeseran.40 Vile, dalam tulisannya yang berjudul “Constitutionalism and the Separation of Power” menjelaskan definisi tentang doktrin murni pemisahan kekuasaan sebagai berikut:41 “Doktrin murni pemisahan kekuasaan mungkin dirumuskan dengan cara ini; untuk menentukan dan menjaga kebebasan politik adalah penting bahwa pemerintah dibagi ke dalam tiga cabang atau departemen; legislatif, eksekutif dan yudikatif. Masing-masing cabang dari ketiga cabang ini terdapat fungsi pemerintah yang dapat diidentifikasi secara sejajar legislatif, eksekutif dan yudikatif. Masing-masing cabang pemerintahan harus dibatasi pada pelaksanaan fungsinya sendiri dan tidak diperbolehkan melanggar fungsi dari cabang-cabang yang lain. Selain itu, orang yang mengisi ketiga agen pemerintahan ini harus dapat dipastikan terpisah dan berdiri sendiri, tidak ada individu yang diperbolehkan pada saat bersamaan menjadi anggota dari lebih satu ######################################################## 40 Prof. Ivor Jennings menambahkan bahwa teori pemisahan kekuasaan dibagi menjadi dua yakni kekuasaan dalam arti materiil dan pemisahan dalam arti formil. Pemisahan dalam arti materiil ialah kekuasaan dalam arti kelembagaan yang kewenangan dan fungsi (tugas-tugas) kenegaraan secara karakteristik menunjukkan adanya pemisahan kekuasaan. Hal tersebut melekat pada tiga pilar utama dalam Teori Pemisahan Kekuasaan yakni kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sedangkan yang dimaksudkan sebagai pemisahan kekuasaan secara formil adalah pembagian kekuasaan tidak dilakukan dan dipetahankan secara tegas. Ismail Sunny, Pembagian Kekuasaan Negara, cet.1, (Jakarta: Departemen Penerangan RI, 1962), hlm.10. 41 Teguh Satya Bhakti, “Perbandingan Konsep Trias Politica Menurut John Locke, Montesquieu, dan Undang-Undang Dasar…op.cit., hlm. 1. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 cabang. Dengan cara ini masing-masing cabang mengawasi (check) cabang yang lain dan tidak ada satu kelompok orang yang mampu mengontrol mesin negara.” Doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power) merupakan doktrin pada konsep negara hukum (rule of law) yang mengharuskan adanya pembagian kekuasaan (divison of power).42 Pembagian kekuasaan merupakan kunci pada konsep negara hukum karena filosofi lahirnya konsep negara hukum yang dicetuskan oleh Aristoteles merupakan antitesis dari konsep rule of man.43 Sehingga, pembagian kekuasaan dapat dipandang sebagai jaminan negara hukum untuk menjalankan kekuasaannya berdasarkan hukum karena konsep pemisahan kekuasaan merupakan hukum yang membagi kekuasaan negara. Oleh karena itu, sebuah negara yang menyatakan diri sebagai negara hukum, penyelenggaraan kehidupan bernegaranya dijalankan dengan mempertemukan pos-pos kekuasaan sebagai sebuah sistem ketatanegaraan.44 Konsep pemisahan kekuasaan sebagai sebuah antitesis kekuasaan absolut pada intinya menginginkan kekuasaan negara (law-giver, the executor of law, and the judge) tidak terpusat pada satu orang atau pihak.45 Tidak terkonsentrasinya kekuasaan di satu pihak tertentu ini diharapkan dapat menghindari adanya pemusatan kekuasaan yang berakibat tercederainya kesewenang-wenangan. Sehingga secara logis, pembagian kekuasaan menempatkan para pemegang ######################################################## 42 Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa konsep negara hukum juga disebut sebagai sebuah negara konstitusional atau constitutional state, yakni negara yang dibatasi oleh konstitusi yang dalam konteks negara demokrasi disebut sebagai constitutional democracy yang penyelenggaraan demokrasinya didasarkan atas hukum. Jimly Assidiqqie, Pengantar Hukum Tata Negara Jilid II…op.cit., hlm. 11. 43 Brian Z. Tamanaha, On The Rule of Law: History, Politics, Theory, (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), hlm. 9. Sebagaimana dikutip; Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 73. 44 Eoin Carolan, The New Separation of Powers: A Theory for the Modern State, (Oxford: Oxford University Press, 286), hlm. 19. 45 Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Bandung: Rineka Cipta, 2001), hlm. 72. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 kekuasaan tidak mungkin menjadi penguasa absolut karena fungsi-fungsi kekuasaanya memiliki keterbatasan.46 Fungsi-fungsi atau pos-pos kekuasaan dalam menjalankan kehidupan bernegara Eropa klasik terbagi menjadi dua yakni kekuasaan negara yang dipegang oleh raja dan kekuasaan keagamaan yang dipegang oleh gereja.47 Kemudian, seiring berjalannya waktu dan perkembangan dari pemisahan kekuasaan duniawi dan keagamaan tetap disimpangi dengan munculnya paham kedaulatan Tuhan sehingga raja menjadi semakin absolut.48 Kondisi ini kemudian mendapat reaksi dengan munculnya paham sekularisme yang memisahkan kekuasaan negara dan kekuasaan gereja. Pada kenyataannya, pemisahan kekuasaan negara dengan kekuasaan gereja tidak lantas menghilangkan kekuasaan seorang raja yang absolut untuk bertindak semaunya.49 Hal ini dikarenakan hampir semua fungsi kekuasaan tetap dipegang oleh raja.50 Sehingga, muncul pemikiran dari John Locke tentang pemisahan kekuasaan negara.51 John Locke mengemukakan bahwa kekuasaan negara dapat dipisahkan menjadi tiga fungsi yakni:52 """""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 46 Eoin Carolan, The New Separation of Powers: A Theory for the Modern State…op.cit., hlm. 22. 47 Jimly Assiddiqqie, op.cit., 48 Jimly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 12. 49 Hal ini sesuai dengan pendapat dari Lord Acton yang mengatakan: “Power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutely.” Stephen Garrett, Conscience and Power: An Examination of Dirty Hand and Leadership, (New York: St. Martin’s Press, 1996) hlm. 9. 50 John Locke menuliskan teorinya dalam buku “Second Treaties of Civil Government” yakni berupa catatan John Locke yang menemukan adanya dorongan korupsi (atas kekuasaan) terjadi ketika kekuasaan membuat hukum (legislatif) dan kekuasaan menjalankan hukuman (eksekutif) dijalankan oleh satu otoritas yang sama. Sehingga menurut Locke: “Mereka mungkin membuat kekecualian diri mereka sendiri dari kepatuhan kepada hukum yang mereka buat, dan menyesuaikan hukum, baik dalam pembuatan dan pelaksanaannya, pada keuntungan pribadi mereka sendiri, dan karena itu akhirnya (mereka) memiliki kepentingan yang berbeda dari masyarakat lain, yang bertentangan dari tujuan masyarakat dan pemerintah.” John Locke, Second Treatise of Government: The Original. (Cambridge: Hayes Barton Press, 1956), hlm 5-7. 51 Ibid., 52 Ibid., hlm. 9. !!" Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 (1) Fungsi Legislatif; (2) Fungsi Eksekutif; (3) Fungsi Federatif; Sejalan dengan John Locke, Montesquieu dalam bukunya L’Esprit des Lois memisahkan kekuasaan negara dalam tiga cabang, yakni; (i) kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang (ii) Kekuasaan eksekutif sebagai pelaksana undang-undang dan (iii) kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif. Ketiga pemisahan ini dikenal sebagai trias politica yang dalam perspektif pembagian kekuasaan negara modern dikenal sebagai; legislatif (the legislative function), eksekutif (the executive function) dan yudikatif (the judicial function).53 Pendapat Montesquie hampir sama dengan pendapat yang disampaikan oleh John Locke pada fungsi legislatif dan eksekutif. Akan tetapi, Montesquieu memilah satu fungsi yakni yudikatif yang membedakan dengan pemisahan kekuasaan John Locke. Montesquieu memasukkan fungsi kekuasaan yudikatif didasarkan pada perspektif Montesquieu yang lebih merakyat atau menempatkan hak-hak asasi rakyat itu salah satu hal penting untuk dipenuhi dalam kehidupan bernegara.54 Sedangkan John Locke, lebih melihat kepada dari keberadaan negara dalam pergaulan internasional yang melakukan hubungan ke luar negeri. Keberadaan fungsi yudikatif sebagaimana diklasifikasikan oleh Montesquieu, dalam perspektif John Locke melekat pada fungsi legislatif.55 Hal inilah yang ditentang oleh Montesquieu, karena apabila fungsi pembentukan undang-undang dan penegakkan undang-undang dilekatkan pada satu fungsi atau lembaga yang sama, maka tidak akan mengubah apapun seperti apa yang dikhawatirkan yakni kekuasaan yang absolut.56 ######################################################## 53 O. Hood Phillips, John Paul dan Patricia Leopold, Constitutional and Administrative Law, (London: Sweet & Maxwell, 2001), hlm. 10-11. Sebagaimana dikutip dalam: Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme…op.cit., hlm. 17. 54 Alex Tuckness, Locke and The Legislative Point of View: Toleration, Contested Principles and The Law, (New Jersey: Princeton University Press, 2002), hlm. 156. 55 Tim Pengajar Ilmu Negara, Ilmu Negara (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), hlm. 29. 56 John P. McKay, Bennett D. Hill, dan John Buckler, A History of Western Society: From Absolutism to the Present, (Bedford: St. Martin’s, 2005), hlm. 692. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Kemudian, fungsi federatif yang dikemukakan oleh Locke dipandang Montesquieu sebagai satu kesatuan dengan fungsi eksekutif. Pendapat Montesquieu menganggap bahwa eksekutif yang bisa memegang hubungan luar negeri dan menjadi tidak tepat ketika fungsi federatif merupakan fungsi yang berdiri sendiri.57 Perihal pemisahan kekuasaan nyatanya tidak hanya muncul di Inggris oleh John Locke dan di Perancis oleh Montesquieu, van Vollenhoven juga memaparkan teori yang hampir serupa. Van Vollenhoven membagi kekuasaan ke dalam empat fungsi yang biasa disebut sebagai “catur praja”, yakni:58 (1) Regeling atau pengaturan yang tidak lain identik dengan fungsi legislatif; (2) Bestuur yang identik dengan fungsi pemerintahan eksekutif; (3) Rechtspraak (peradilan); dan (4) Politie yang menjadi perbedaan dengan Montesquieu ataupun John Locke, van Volenhoven menganggap bahwa dalam menegakkan hukum dan menjaga ketertiban dalam masyarakat (social order) dan peri kehidupan bernegara, diperlukan aparatur penegak hukum.59 Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dilihat bahwa kekuasaan negara tidak boleh berada dalam satu pihak. Sehingga, pada pelaksanaannya, hampir disetiap negara melakukan pemisahan kekuasaan yang kemudian di bagi pada lembaga-lembaga bentukan. Pemisahan dan pembagian kekuasaan dilakukan melalui konstitusi dan kewenangannya diatur dengan jelas. 2.1.2 Pembagian Kekuasaan Lembaga Negara Pembagian kekuasaan yang di terapkan pada sebagian besar negara-negara di dunia membagi kekuasaan setidaknya kepada kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Ketiganya secara terperinci adalah sebagai berikut: ######################################################################################################################################################## 57 S. J. Savonius Wroth, Jonathan Walmsley dan Paul Schuurman, The Continuum Companion to Locke, (London: Continuum International Publishing Group, 2010), hlm. 251. 58 Tim Pengajar Ilmu Negara, Ilmu Negara …op.cit., hlm. 110. 59 Rem Korteweg, The Superpower, The Bridge Builder and The Hesitant Ally: How Defense Divided NATO 1991-2008, (Utrecht: Leiden University Press, 2011), hlm. 242. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 (i) Kekuasaan Legislatif (Pembentukan Undang-Undang) Kekuasaan legislatif merupakan kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara demokrasi untuk mengatur dan membentuk undang-undang. Cabang kekuasaan ini merupakan manifestasi atas kedaulatan rakyat.60 Supremasi lembaga legislatif lahir atas gagasan kedaulatan rakyat yang dapat disalurkan secara tidak langsung atau melalui perwakilan.61 Penyaluran kedaulatan secara tidak langsung ini merupakan gagasan dalam tatanan masyarakat modern yang tidak memungkinkan adanya penyaluran secara langsung karena kompleksitas penduduk, wilayah yang luas serta jumlah penduduk yang begitu besar.62 Adapun jika sebuah negara dapat melakukan menyalurkan kedaulatannya secara langsung, tetap dibutuhkan sebuah mekanisme tidak langsung yang terlembaga. Sehingga, keberadaan legislatif sebagai bentuk lembaga perwakilan rakyat atau legislatif mutlak diperlukan karena tidak memungkinkan pengambilan kebijakan dilakukan secara langsung oleh rakyat setiap waktu. Kekuasaan legislatif memiliki fungsi untuk membentuk undangundang atau lebih dikenal sebagai fungsi legislasi. Fungsi ini memiliki peranan yang paling penting dalam pengaturan masyarakat. Hal ini disebabkan karena undang-undang merupakan bentuk yang paling efektif untuk dipatuhi dan dijalankan oleh masyarakat.63 Pengaturan yang dapat dilakukan oleh lembaga legislatif setidaknya mengatur tiga hal penting yakni terkait dengan adanya pengaturan yang dapat mengurangi hak dan kebebasan masyarakat, pengaturan yang membebani kekayaan warga negara, dan pengeluaran yang dikeluarkan oleh negara. Ketiganya merupakan hal yang sangat vital adapun terkait dengan pembentukan ######################################################## 60 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara Jilid II…op.cit., hlm. 32. 61 Tim Pengajar Ilmu Negara, Ilmu Negara …op.cit., hlm. 87. 62 Jimly Asshiddiqie, “Dinamika Partai Politik dan Demokrasi,” http://www.jimly.com/pemikiran, diunduh pada tanggal 10 Oktober 2010, hlm. 5. 63 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara Jilid II…op.cit.,hlm. 34. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 undang-undang, lembaga legislatif melaksanakan kegiatan sebagai berikut:64 - Prakarsa pembuatan undang-undang atau legislative initiation; - Pembahasan rancangan undang-undang atau law making process); - Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang atau law enactment approval; - Serta kegiatan lain yang dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban rakyat dalam menentukan tindakan yang merepresentasikan jati diri bangsa seperti pemberian persetujuan atau ratifikasi perjanjian/persetujuan internasional. Hal ini dikarenakan keberadaan international agreement tersebut akan mengikat langsung kepada rakyat sebagai sebuah undang-undang. Sehingga, lembaga legislatif memiliki peranana untuk hal tersebut; Selain memegang fungsi legislasi atau pembentukan undangundang, lembaga legislatif juga memiliki fungsi kontrol atau pengawasan.65 Fungsi ini melekat pada lembaga legislatif berkaitan dengan implementasi dari undang-undang yang dijalankan oleh eksekutif. Sehingga, untuk mengefektifkan dan memantau pelaksanaan dari sebuah undang-undang, lembaga legislatif perlu melakukan pengawasan. Kemudian, berkaitan dengan aspek keadaulatan rakyat, pemegang kekuasaan legislatif memiliki fungsi perwakilan. Hal ini merupakan manifestasi atas kedaulatan rakyat yang menempatkan legislatif tidak hanya untuk membentuk peraturan tetapi sebagai cerminan rakyat itu sendiri atau fungsi perwakilan (representation).66 ######################################################## 64 Ibid., hlm. 39-44. 65 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003) hlm. 184. 66 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia: Pergeseran Keseimbangan antara Individualisme dan Kolektivisme dalam Kebijakan Demokrasi Politik dan Ekonomi Selama Tiga Masa Demokrasi, 1945-1980-an, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), hlm. 42. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Teori perwakilan pada dasarnya bersifat timbal balik jadi tidak hanya memberi kewenangan bagi legislatif untuk melaksanakan pengaturan tetapi juga memberikan legitimasi bagi rakyat untuk menuntut apabila yang dilakukan oleh legislatif tidak sesuai dari apa yang didaulatkan67. Oleh karena itu, secara garis besar lembaga legislatif memiliki lingkup yang begitu luas menyangkut peranannya sebagai representasi rakyat. (ii) Kekuasaan Yudikatif Kekuasaan Yudikatif adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.68 Keberadaan kekuasaan yudikatif merupakan cabang kekuasaan yang sangat esensial utama dari pemisahan kekuasaan karena yudikatif merupakan lembaga penghubung atas timbal balik dari legislatif dan eksekutif atas rakyat. Penghubung yang dimaksud adalah dalam pembentukan undang legislatif selaku pembentuk dan eksekutif selaku pelaksana tidak dapat meminta pertanggungjawaban rakyat yang diaturnya tanpa lembaga yudikatif. Oleh karena itu, lembaga ini merupakan lembaga yang harus ada dalam sebuah negara hukum untuk menjamin adanya penegakkan hukum.69 Kewenangan yang begitu strategis, mengharuskan pembentukan lembaga yudikatif sebagai lembaga yang berdiri sendiri. John Alder mengatakan bahwa: “The principle of separation of power is particularly important for the judiciary” atau prinsip pemisahan kekuasaan sangatlah penting untuk lembaga peradilan.70 Prinsip pemisahan kekuasaan menghendaki para hakim dapat bekerja secara independen atau bebas dari ######################################################## 67 Ibid, hlm. 173. 68 Robert W. Tobin, Creating The Judicial Branch: The Unfinished Reform, (Lincoln: iUniverse Inc., 2002), hlm. 231. 69 Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, op.cit., hlm. 9. 70 John Alder dan Peter English, Constitutional and Comparative Law, (London: Macmillan, 1989), hlm. 247. Sebagaimana dikutip dalam: Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara…op.cit., hlm. 45. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 pengaruh lembaga kekuasaan yang lain. Pengaruh dan intervensi lembaga negara lain terhadap lembaga yudikatif tertuju pada perananan hakim di dalam lembaga yudikatif yang diharuskan bebas dari pengaruh manapun. Independensi hakim ini mencakup hakim dalam memutus penuntutan hukum dan menafsirkan undang-undang.71 Hakim diharapkan tidak terpengaruhi oleh kehidupan politik lembaga negara lain saat menafsirkan undang-undang bahkan kehendak politik saat undang-undang dibentuk.72 Objektivitas lembaga peradilan dibentuk juga muncul atas pemahaman bahwa hukum (pada undang-undang) merupakan buatan manusia, sehingga memungkinkan adanya perumusan yang kabur atau tidak tepat.73 Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga peradilan juga dibentuk oleh manusia yang memungkinkan adanya kesalahan. Sehingga, dalam melekatkan asas kemandirian dan independensinya, dilakukan pembatasan dan pengaturan yang tegas. Bentuk pengaturan yang dibentuk nantinya dapat menjadi pegangan hakim dalam menjalankan fungsi yudikatif, karena seorang hakim baik secara sadar maupun tidak sadar dihadapkan pada pengaruh sosial politik tetapi diharapkan untuk bersikap secara parsial.74 Sebagai inti dari lembaga yudikatif, seorang hakim harus bebas dari sikap “bias” yang dapat dipengaruhi dari cara hakim memandang kedudukan dan fungsinya.75 Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa netralitas dan independensi hakim unutuk memutus perkara secara adil adalah keberhasilan lembaga yudikatif. ######################################################## 71 Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, op.cit., hlm. 31. 72 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara…op.cit., 73 Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), hlm. 274. 74 Griffith, Politics of Judiciary, (London: Fontana Press, 1985). Sebagaimana dikutip dalam: Jimly Asshidiqqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara…op.cit., hlm. 46. 75 Lord Hailsham, The Dilemma of Democracy, (Collins: c.n., 1978), hlm.Sebagaimana dikutip dalam: Jimly Asshiddiqie, ibid. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 (iii) Kekuasaan Eksekutif (Pemerintahan) Kekuasaan Eksekutif adalah cabang kekuasaan yang menjalankan undang-undang bentukan legislatif dan cabang kekuasaan yang memegang kewenangan administrasi pemerintahan negara. Konteks menjalankan kekuasaan mencakup menjalankan pemerintahan setelah yang legitimasinya diperoleh dari rakyat. Bentuk dari pelembagaan kekuasaan eksekutif terletak pada sistem pemerintahan yang dianut. Sistem ini kemudian mempengaruhi menjalankan pemegang pemerintahan. kekuasaan Berdasarkan eksekutif dalam karakteristiknya, sistem pemerintahan negara-negara di dunia setidaknya diklasifikasikan menjadi tiga yakni; sistem presidensial, sistem parlementer dan campuran. Ketiganya menempatkan kedudukan eksekutif yang berbeda satu sama lain.76 Bentuk perbedaan sistem pemerintahan yang dianut di sebuah negara berimplikasi pada pola irisan lembaga eksekutif dengan lembaga lain khususnya legislatif.77 Sistem pemerintahan presidensial, menempatkan pemegang kuasa eksekutif yang terpisah dari legislatif. Pemisahan tersebut berakibat pada pembatasan kewenangan bahwa eksekutif tidak dapat membubarkan legislatif, dan begitu sebaliknya. Namun, dalam masalah pertanggungjawaban, eksekutif bertanggung jawab kepada rakyat melalui lembaga legislatif. Kedua, pada sistem pemerintahan parlementer, keberadaan eksekutif adalah bagian dari kekuasaan legislatif. Keberadaan eskekutif di negara yang menganut sistem parlementer seringkali memisahkan fungsi eksekutif sebagai kepala negara (ceremonial) dan eksekutif sebagai kepala pemerintahan (governance).78 Kemudian, untuk sistem pemerintahan yang ######################################################## 76 Jimly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 59. 77 Jimly Assiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara…, op.cit., hlm. 315. 78 C. F. Storng membedakan antara kedudukan kepala pemerintahan dan kepala negara dengan istilah nominal executive dan real executive. Keduanya memiliki makna yang sama dalam penerapannya di beberapa negara. Penggunaan istilah nominal, adalah pemegang kekuasaan yang digambarkan oleh Strong hanya sebatas kebutuhan kenegaraan saja tetapi fungsi pemerintahan tetap pada real executive. C. F. Strong, Modern Political !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 campuran merupakan sistem yang memiliki ciri sebagai sistem presidensiil dan sistem parlementer sekaligus. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat dilihat bahwa keberadaan eksekutif memiliki banyak irisan dengan lembaga legislatif. Pemaparan mengenai pemisahan kekuasaan menyisakan bentuk negara yang terdiri dari lembaga-lembaga negara. Bentuk pemisahan ini merupakan klasifikasi pemisahan yang secara horizontal dan dibedakan dari pemisahan vertikal (hierarkis).79 Keberadaan lembaga-lembaga yang telah dipisahkan kedudukannya ini kemudian bergerak dalam satu sistem negara yang saling melengkapi dan tak terpisahkan. Konteks terpisahkan pada prakteknya tetap dalam satu kesatuan untuk mencapai satu tujuan yang sama yakni tujuan bernegara itu sendiri. Sehingga, muncul beberapa paham dan konsep mengenai bagaimana lembaga-lembaga negara setelah pemisahan kekuasaan saling berhubungan satu sama lain. Pola hubungan antara lembaga negara yang memegang fungsi kekuasaan, G. Marshall dalam bukunya yang berjudul Constitutional Theory, mengklasifikasikannya ke dalam lima aspek, yakni:80 (i) Differentiation; (ii) Legal incompability of office holding; (iii) Isolation, immunity, independence; (iv) Checks and balances;81 (v) Co-ordinate status and lack of accountability. Berdasarkan doktrin pemisahan kekuasaan (seperation of powers), legislator memiliki kewenangan untuk membuat aturan, kemudian eksekutor melaksanakannya dan dalam melaksanakan hal tersebut yudikatif memegang peran untuk melakukan penuntutan. Perihal pengaturan ini, memungkinkan ######################################################################################################################################################## Constitutions: An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Forms, (London: c.n., 1972), hlm. 210. 79 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik…op.cit., hlm. 139. 80 G. Marshall, Constitutional Theory, (Clarendon: Oxford University Press, 1971), hlm. 5. 81 Jimly Asshiddiqie menegaskan yang dimaksudkan dengan cheks and balances adalah “Setiap cabang mengendalikan dan mengimbangi kekuaran cabang-cabang kekuatan yang lain.” Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II…op.cit., hlm. 22. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 adanya perselisihan lembaga negara dalam menegakkan hukum. Kedua, doktrin pemisahan kekuasaan mengharuskan pemegang kekuasaan di dalam lembaga tersebut tidak boleh dirangkap jabatannya. Terdapat pengecualian di dalam sistem parlementer walaupun rangkat jabatannya tidak dilaksanakan secara konsisten. Kemudian doktrin pemisahan kekuasaan mengharuskan tidak boleh turut campur sama lain atau melakukan intervensi. Independensi masing-masing lembaga harus terjamin. Selain itu, dalam doktrin pemisahan kekuasaan penting adanya checks and balances dimana masing-masing lembaga bergerak secara berimbang.82 Bentuk perimbangan ini dimaksudkan agar masing-masing lembaga tidak melampaui kewenangan lembaga lain dan menyalahgunakan kekuasaan. Terakhir, keberadaan pemisahan kekuasaan ini menempatkan lembaga negara sederajat satu sama lain sehingga pelaksanaannya tidak hanya dalam lingkup kekuasaan yang dibagikan saja.83 Oleh karena itu, pemisahan kekuasaan negara menghasilkan konsep kekuasaan yang terstruktur dan berimbang. 2.2 Konsepsi Pemisahan Kekuasaan dalam Perspektif Ketatanegaraan Modern (Separation of Power Based on Constitution) Doktrin pemisahan kekuasaan merupakan doktrin yang tidak terpisahkan dengan teori kedaulatan.84 Dalam kehidupan bernegara, pemisahan kekuasaan adalah sebagai konsekuensi atas adanya penyerahan kedaulatan dari rakyat kepada negara. Penyerahan kedaulatan ini tidak semata memberi negara punya kewenangan untuk mengatur rakyatnya tetapi secara berimbang bahwa rakyat dapat memastikan kedaulatan yang diberikan diamanatkan dengan baik oleh negara. Jika ditinjau lebih lanjut, pemisahan kekuasaan dapat dilaksanakan ketika ######################################################## 82 Jimly Asshiddiqie, Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Pembangunan Hukum Nasional, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005), hlm. 7. 83 Jeremy Waldron, “Separation of Powers or Division of Power?” New York University School of Law Public Law & Legal Theory Research Paper Series No. 12-20 (Mei 2012), hlm. 26. 84 Kamir, “Refleksi Konsep Negara dan Kedaulatan Rakyat dalam Perspektif Hubungan Negara dan Rakyat di Indonesia.” dalam Jurnal Tata Negara FHUI: Beberapa Teori dalam Hukum Tata Negara, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2003), hlm. 287. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 pengaturannya tertuang di dalam konstitusi sebagai sebuah kontrak sosial antara warga negara dengan negara. Oleh karena itu, pelaksanaan pemisahan kekuasaan yang dilaksanakan di setiap negara merupakan bentuk kontrak sosial sebagai sebuah negara yang berkedaulatan rakyat. Jean Jacques Rousseau mengatakan bahwa konstitusi adalah kontrak sosial tertinggi antara rakyat dengan negara.85 Sehingga, dengan adanya penyerahan kedaulatan dalam perspektif kontrak sosial tidak menghilangkan daulat rakyat atas negara yang mengaturnya. Berbeda dengan apa yang disampaikan oleh John Locke bahwa penyerahan kedaulatan nantinya negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang mengatur dan mengambil kepemilikan individu-individu (rakyat).86 Pembahasan mengenai benturan antara teori penyerahan kedaulatan rakyat sesungguhnya merupakan sebuah kompleksitas yang harus dilihat sebagai satu kesatuan. Karena, dalam sebuah negara yang berkedaulatan rakyat, pemisahan kekuasaan merupakan jaminan kedaulatan rakyat dapat dilindungi oleh fungsi kekuasaan yang terpisah dan tidak absolut.87 Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa konstitusi setiap negara merupakan titik tolak penyelenggaraan kehidupan bernegara di suatu wilayah termasuk peletakan pembagian kekuasaan guna menjamin kesejahteraan rakyat. Pembagian kekuasaan dalam praktek ketatanegaraan saat ini secara umum ditujukan untuk melaksanakan dasar-dasar yang telah ada di dalam konstitusi.88 Masing-masing lembaga negara memiliki fungsi dan tugas dalam mencapai tujuan negara yang garis kewenangannya termuat dalam konstitusi. Akan tatepi, peletakan fungsi dan tugas lembaga negara disesuaikan dengan filosofis historis ketatanegaraan pada sebuah negara. Contohnya dalam pembentukan lembaga ######################################################## 85 Jean Jacques Rousseau, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip Hukum-Politik [Du Contract Social ou Principes du Politique], diterjemahkan oleh Rahayu Surtiati Hidayat dan Ida Sundari Husen, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), hlm. 17. 86 Frans Magnis Suseno, Etika Politik. (Jakarta: Gramedia, 1994), hlm.231. 87 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm.194. 88 Teguh Satya Bakti, “Perbandingan Konsep Trias Politica Menurut John Locke, Montesquieu, dan Undang-Undang Dasar…op.cit., hlm. 313. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 negara dapat dijumpai di Indonesia yang pernah memiliki 89 Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi. Majelis Terdapat banyak latar belakang mengapa bentuk kedaulatan rakyat yang dimaksudkan founding fathers bangsa Indonesia dituangkan sebagai MPR. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa pembentukan lembaga dibentuk didasarkan pada amanat dan kehendak rakyat untuk mencapai tujuan bernegara.90 Pembagian kekuasaan dalam perspektif modern tidak sesederhana dengan pembagian menjadi tiga pilar kekuasaan sebagaimana doktrin Montesquieu. Kenyatannya, banyak negara yang mengkonstruksikan konstituisnya untuk mewadahi pembagian kekuasaan negara yang tidak hanya pada kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif saja.91 Hal ini dimaksudkan agar dapat terlaksananya sebuah pemerintahan yang sesuai dengan kehendak rakyat. Dalam mencapai tujuan bernegara, segala sesuai yang utama seperti masalah pembagian kekuasaan diletakkan di dalam konstitusi. Sehingga, bagaimana penerapan konsep pembagian kekuasaan di era modern adalah dengan melihat pengaturan di dalam konstitusi masing-masing negara tersebut. Konsep pengaturan di dalam konstitusi yang menjadi letak pengaturan kelembagaan dapat dilihat dari teori constutionalism. Walton H. Hamilton memulai artikel yang ditulisnya dengan judul ‘Constitutionalism’ yang menjadi """""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 89 Pendapat Sopemo dalam Rapat BPUPKI, dikatakan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dibentuk merupakan sebuah ciri khas negara Indonesia. Keberadaan lembaga MPR (yang pada saat itu disebut sebagai Badan Permusyawaratan Rakyat) merupakan jalan tengah antar dua sistem hukum parlementer dan presidensial. Dikutip dari Mahkamah Konstitusi, Risalah Sidang BPUPKI, (Jakarta: Sekretariat Jenderal RI, 1998), hlm. 319. 90 Walton H. Hamilton mengatakan bahwa “Constitusionalism is the name given to trust which men repose in the power of words engrossed on prachment to keep government in order.” Yang dapat diartikan secara umum bahwa terdapat aspek-aspek pribadi (individual) yang melekat pada diri masyarakat untuk menjaga proses pemerintahan (sejalan dengan konstitusi). Walton H. Hamilton, Constitutionalism, Encyclopedia of Social Sciences, Edwin R.A., Seligman dan Alvin Jognson, (New York: c.n., 1931), hlm. 255. 91 Contoh konkret dapat dilihat di Indonesia dengan keberadaan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai lembaga tinggi negara. Dalam konteks pemisahan kekuasaan, BPK di Indonesia tidak masuk ke dalam legislatif, eksekutif ataupun yudikatif. Hal ini dilakukan seriing dengan kebutuhan pada saat dibentuknya sebuah konstitusi oleh para founding fathers. Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VII Keuangan, Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI , 2010), hlm. 451. !!" Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 salah satu data masukan dalam Encyclopedia of Social Sciences tahun 1930 dengan kalimat: “Constitutionalism is the name given to the trust which men repose in the power of words engrossed on parchment to keep a government in order.”92 Untuk tujuan ‘to keep a government in order’ itu diperlukan pengaturan yang sedemikian rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan sebagaimana mestinya. Kemudian Brian Thompson, secara sederhana menjawab pertanyaan‘what is a constitution’ sebagai “... a constitution is a document which contains the rules for the the operation of an organization.”93 Oleh karena itu, gagasan mengatur dan membatasi kekuasaan ini secara alamiah muncul karena adanya kebutuhan untuk menanggapi perkembangan peran relatif kekuasaan umum dalam kehidupan umat manusia.94 Konsep-konsep terdahulu mengenai pemisahan kekuasaan tidak seluruhnya tertulis dan tertata sebagaimana konsep yang ada sekarang.95 Peletakkan kekuasaan didasarkan pada konvensi ketatanegaraan di tengah pergeseran kekuasaan monarki yang absolut. Adapun telah diilhami adanya pembagian kekuasaan sebagaimana dikemukakan oleh Montesquieu, tetap saja corong kekuasaan di negara kerajaan tetap condong pada eksekutif atau raja. Sedangkan di sebuah negara yang baru merdeka, seringkali diwarnai kekuasaan otoritarian dari pihak eksekutif yang memperjuangkan kemerdekannya. Hal tersebut jelas memperlihatkan tendensi umum pelaksanaan kehidupan bernegara tertuju pada absolutisme walau esensi kelembagaan dalam separation of power telah terbentuk. Oleh sebab itu, konstitusionalisme saat ini adalah pegangan hidup bernegara dan menjadi konsep yang niscaya bagi setiap negara modern.96 ######################################################## 92 Walton H. Hamilton, Constitutionalism Encyclopedia of Social Sciences: Edwin R.A., Seligman & Alvin Johnson…op.cit., hlm. 255. 93 Brian Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative Law ed.3, (London: Blackstone Press ltd., 1997), hlm. 3. Sebagaimana dikutip: Jimly Asshidiqqie, Konstitusi dan Konstitualisme…op.cit., hlm. 15. 94 Ibid., hlm. 15. 95 Ibid., hlm. 16. 96 E. Barent, Separation of Powers and Constitutional Government, (c.n.: c.l., 1995), hlm. 599. Sebagaimana dikutip dalam: Eoin Carolan, The New Separation of Powers: A Theory for the Modern State…op.cit., hlm. 17. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 C. J. Friedrich berpendapat bahwa “Constitutionalism is an institutionalized system of effective, regularized restraints upon governmental action.”97 Berdasarkan pendapat tersebut, konstitusi merupakan sebuah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara. Bentuk bangunan negara itu terletak bagaimana negara membagi kekuasaan di lembaga-lembaga negara bentukannya. Kata kuncinya adalah konsensus atau ‘general agreement’.98 Oleh karena itu, dapat disaring bahwa konstruksi negara saat ini merupakan konsensus antara warga negara dengan negara.99 Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman modern pada umumnya dipahami bersandar pada tiga elemen kesepakatan (consensus), yaitu:100 1. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government). 2. Kesepakatan tentang ‘the rule of law’ sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government). 3. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures). Kesepakatan (consensus) pertama, yaitu berkenaan dengan cita-cita bersama sangat menentukan tegaknya konstitusi dan konstitusionalisme di suatu ######################################################## 97 Carl J. Friedrich, Constitutional Reason of State, the Survival of the Constitutional Order, (Providence: Brown University Press, 1957) hlm. 176. Sebagaimana dikutip: Jimly Assiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme…op.cit., hlm. 20. 98 Carl J. Friedrich, Ibid., hlm. 175. 99 Jean Jacques Rousseau, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip Hukum-Politik …op.cit., hlm., 23. 100 William G. Andrews, Constitutions and Constitutionalism, ed.3, (New Jersey: Van Nostrand Company, 1968), hlm. 9. Sebagaimana dikutip dalam: Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme…op.cit., hlm. 21. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 negara.101 Kesepakatan pertama adalah hal yang ditentukan terlebih dahulu sebelum menata lebih lanjut tentang kenegaraan yang akan dibentuk. Kesepakatan kedua adalah kesepakatan bahwa basis pemerintahan didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi. Kesepakatan atau konsensus kedua ini juga sangat prinsipil, karena dalam setiap negara harus ada keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam konteks penyelenggaraan negara haruslah didasarkan atas ‘rule of the game’ yang ditentukan bersama.102 Prinsip kedua ini mengilhami adanya pemahaman bahwa hukum dapat dipandang sebagai suatu kesatuan sistem yang di puncaknya terdapat hukum dasar atas segala hukum yakni konstitusi, baik dalam arti naskah tertulis ataupun dalam arti tidak tertulis.103 Hukum sebagai sebuah sistem menempatkan negara harus bertindak sesuai dengan hukum yang tertuang dalam konstitusi atau constitutional state. Pada prakteknya, konteks constitutuinal state ini tidak dapat terimplementasikan dengan baik apabila hubungan antar lembaga negaranya tidak diatur dengan jelas.104 Pembentukan dan pengaturan kelembagaan di dalam konstitusi sangatlah penting dan ikhwal untuk mengawal konstitusi dan hak rakyat. Sehingga, dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara, konstitusi dapat dijadikan pegangan tertinggi dalam memutuskan segala sesuatu termasuk benturan di dalam kelembagaan itu sendiri. Kesepakatan ketiga berkenaan dengan bangunan organ negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya, hubungan-hubungan antar organ negara itu satu sama lain, serta hubungan antara organ-organ negara itu dengan warga negara.105 Dengan adanya kesepakatan itu, maka isi konstitusi dapat dengan mudah dirumuskan karena benar-benar mencerminkan keinginan bersama. Bentuk nyata dari keinginan bersama tersebut antara lain berkenaan dengan institusi kenegaraan dan mekanisme ketatanegaraan yang hendak dijalankan. Bentuk ######################################################## 101 Jean Jacques Rousseau, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip HukumPolitik…op.cit., hlm. 43. 102 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme…op.cit., hlm. 22. 103 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan Jilid 1 (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 48. 104 Jeremy Waldron, “Separation of Powers or Division of Power…op.cit., hlm. 6. 105 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme…op.cit., hlm. 23. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 mekanisme ketatanegaraan yang diterapkan di negara berbeda satu sama lain walau khasanah doktrin pembagian kekuasaan Montesquieu tetap menjadi rumusan dasar pembagian kekuasan sekarang. Keseluruhan kesepakatan tersebut di atas dilihat sebagai penyatuan konsep berpikir antara negara hukum dan pembatasan kekuasaan. Hal tersebut juga dipengaruhi bahwa kondisi di era modern konstitusi adalah wadah yang paling memungkinkan untuk melaksanakan pemisahan kekuasaan sebagai sebuah negara hukum. Pada dasarnya, pembatasan kekuasaan di dalam konstitualisme modern atau dilaksanakan secara ‘limited government’.106 Sehingga dalam memandang hal tersebut, William G. Andrews mengemukakan bahwa:107 “Under constitutionalism, two types of limitations impinge on government. ‘Power proscribe and procedures prescribed.’” And, The constitution imposes restraints on government as a function of constitutionalism; but it also legitimizes the power of the government. It is the documentary instrument for the transfer of authority from the residual holders–the people under democracy, the king under monarchy, to the organs of State power.” Pada intinya, menurut William G. Andrews kontitusi memberikan daya pembatas sekaligus koridor prosedural tentang bagaimana pelaksanaan kehidupan bernegara. Konstitusionalisme mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama lain, yakni: Pertama, hubungan antara pemerintahan dengan warga negara; dan Kedua, hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain.108 Karena itu, biasanya, isi konstitusi dimaksudkan untuk mengatur mengenai tiga hal penting, yaitu; menentukan pembatasan kekuasaan organ-organ negara, mengatur hubungan antara lembaga-lembaga negara yang ######################################################## 106 Alice Ristroph, “Proportionality as a Principle of Limited Government.” Duke Law Journal No. 05-19 (November 2005), hlm. 5. 107 William G. Andrews, Constitutions and Constitutionalism, 3rd ed., (New Jersey: Van Nostrand Co., 1968), hlm.- Sebagaimana dikutip: Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme…op.cit., hlm. 23. 108 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme…op.cit., hlm. 17. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 satu dengan yang lain, dan mengatur hubungan kekuasaan antara lembagalembaga negara dengan warga negara.109 Oleh karena itu, secara umum bentuk dan pelaksanaan dari pembagian kekuasaan dalam perspektif modern terletak pada pengaturannya di dalam konstitusi yang didasarkan pada filosofi pembentukan dan perkembangan negara tersebut. 2.3 Peradilan Konstitusi dalam Negara Hukum Keberadaan hukum di sebuah negara dapat dipahami sebagai bentuk kebutuhan dalam menata kehidupan antar warga negaranya.110 Filosofi Negara Hukum jika dilihat dari perspektif negara, mengandung pengertian bahwa rakyat (warga negara) dalam kesehariannya harus tunduk pada hukum yang berupa norma bersama dalam mencapai keteraturan dan kesedapan hidup bersama.111 Akan tetapi jika dilihat dari perspektif rakyat, negara dalam menjalankan kuasanya harus sesuai koridor hukum yang menghormati hak dan kewajiban warga negara.112 Artinya, negara dalam menjalankan kuasanya dapat terkendali dengan ketentuan hukum tertulis maupun ketentuan hukum tidak tertulis. Bentuk pengendalian yang dimaksudkan merupakan konsep bahwa secara hukum negara tidak memiliki hak untuk bertindak sewenang-wenang karena pada dasarnya kewenangan itu datang dari rakyat dan tertuang dalam konstitusi.113 Paradigma negara hukum, harus terdapat komitmen dasar yang mengatur hubungan fundamental yang mengikat rakyat dan negara. Ikatan itu mudah ditemui berupa konstitusi yang menurut Juan Linz disebut sebagai self-binding ######################################################## 109 Jimly Asshiddiqie, ibid., hlm. 27. 110 Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif…op.cit., hlm. 55. 111 Hukum dalam perspektif pengaturan masyarakat. Mengutip pendapat dari Satjipto Rahardjo bahwa: “Masyarakat dan ketertibannya merupakan dua hal yang berhubungan sangat erat, bahkan bisa juga dikatakan sebagai dua sisi dari satu mata uang.” Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm . 13. 112 William G. Andrews, Constitutions and Constitutionalism Ed. 3…op.cit., hlm. 13. Sebagaimana dikutip: Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme…op.cit., hlm23. 113 Jean Jacques Rousseau, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip Hukum Politik…op.cit., hlm. 37. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 procedure.114 Pada umumnya konstitusi sebagai dasar negara hukum, setidaknya mengatur tiga hal penting berupa kesepakatan dalam:115 1. Menentukan pembatasan kekuasaan organ-organ negara; 2. Mengatur hubungan antara lembaga-lembaga negara yang satu dengan yang lain; dan 3. Mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan warga negara. Dengan adanya kesepakatan tersebut, pemerintah sangat terikat dan tunduk pada ketentuan pada hukum.116 Selain itu, sebagai sebuah negara hukum, haruslah diwadahi dengan jelas tindakan dan upaya yang bisa dilakukan rakyat untuk menuntut apa yang ada dalam konstitusi. Upaya tersebut dapat terlaksana salah satunya dengan adanya Peradilan Konstitusi.117 Pada perjalanannya, Bangsa Indonesia telah menyatakan diri sebagai sebuah negara hukum dengan perubahan pada Pasal 1 Undang-Undang Dasar 1945 diubah sehingga ditambah ayat ketiga yang berbunyi sebagai berikut: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.”118 Menurut Jimly Assiddiqie, pemahaman negara hukum itu dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan menata supra struktur dan infrastruktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial yang tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam ######################################################## 114 Juan J. Linz dan Alfred Stepan, Problems of Democratic Transition & Consolidation: Southern Europe, South America, & Post-Communist Europe. (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1996), hlm. 10. 115 Jimly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 23-24. 116 Ibid., hlm. 122. 117 Konrad Adenauer Foundation, “Separation of Powers and Independence of Constitutional Courts and Equivalent Bodies” (makalah disampaikan pada 2nd Congress of the World Conference on Constitutional Justice Rio de Janeiro, Brazil, 16 -18 January 2011), hlm. 2. 118 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Psl. 1 ayat (3) !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.119 Dengan demikian, pada dasarnya tidak cukup dengan bentuk pengakuan saja melainkan perlu dibangun sistem hukum (law making) dan ditegakkan (law enforcing).120 Bentuk pembangunan sistem hukum dan penegakan hukum ini haruslah dimulai dengan menegakkan konstitusi karena konstitusi tidak lain merupakan hukum yang paling tinggi kedudukannya. Oleh karena itu, sebagai hukum dasar yang berkedudukan tertinggi (the supreme law of the land), dibentuk pula sebuah organ atau lembaga berfungsi sebagai the guardian dan sekaligus ‘the ultimate interpreter of the constitution’.121 Dalam perspektif yang lebih umum, bentuk pengakuan sebagai sebuah negara hukum memberi konsekuensi logis untuk menerapkan asas-asas negara hukum. Jimly Assidiqqie menyebutkan bahwa setidaknya terdapat tiga belas asas yang menjadi ciri sebuah negara hukum. Ketiga belas ciri tersebut adalah sebagai berikut:122 1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law) 2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law): 3. Asas Legalitas (Due Process of Law) 4. Pembatasan Kekuasaan: 5. Organ-Organ Campuran Yang Bersifat Independen: 6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak: 7. Peradilan Tata Usaha Negara: 8. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court): 9. Perlindungan Hak Asasi Manusia: 10. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat): ######################################################## 119 Jimly Asshiddiqie, “Negara Hukum Indonesia,” (makalah disampaikan pada Ceramah Umum dalam rangka Pelantikan Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Alumni Universitas Jayabaya, di Jakarta, Sabtu, 23 Januari 2010), hlm. 7. 120 Ibid. 121 Ibid. 122 Jimly Asshiddiqie dalam Konstitusional dan Konstitusionalisme menjelaskan terdapat beberapa ciri lain mengenai negara hukum menurut Julius Stahl, A. V. Dicey, dan menurut The International Commission of Jurists yang kemudian beliau rangkum dalam ketiga belas ciri negara hukum. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme…op.cit., hlm. 121. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 11. Berfungsi Mewujudkan Tujuan Kesejahteraan (Welfare Rechtsstaat): 12. Transparansi dan Kontrol Sosial: 13. Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa Perspektif negara hukum sebagaimana disebutkan oleh Jimly Assiddiqie, hal yang dilihat lebih lanjut adalah tentang keberadaan Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court).123 Bahwa dalam rangka menjamin tegaknya keadilan bagi tiap-tiap warga negara, tidaklah cukup dengan Peradilan Tata Usaha Negara.124 Peranan dan keberadaan Mahkamah Konstitusi sangatlah dibutuhkan karena akar dari negara hukum itu sendiri adalah ditegakkannya hukum dan hukum diantara hukum adalah konstitusi.125 Sehingga, sebuah Negara Hukum modern juga lazim mengadopsikan gagasan peradilan konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya. Pentingnya peradilan konstitusi (constitutional court) dalam sebuah negara adalah dalam upaya memperkuat sistem checks and balances antara cabangcabang kekuasaan yang sengaja dipisah-pisahkan untuk menjamin demokrasi.126 Misalnya, Peradilan Konstitusi diberi fungsi pengujian konstitusionalitas undangundang yang merupakan produk lembaga legislatif, dan memutus berkenaan dengan berbagai bentuk sengketa antar lembaga negara yang mencerminkan cabang-cabang kekuasaan negara yang dipisah-pisahkan. Keberadaan Mahkamah Konstitusi ini di berbagai negara demokrasi dewasa ini makin dianggap penting dan karena itu dapat ditambahkan menjadi satu pilar baru bagi tegaknya negara hukum modern. ######################################################## 123 Jimly Asshiddiqie, “Negara Hukum Indonesia,” loc.cit., hlm. 17 124 Dijelaskan bahwa pemenuhan hak konstitusional di Indonesia ternaungi dengan adanya Peradilan Tata Usaha Negara (Administrative Court). Adriaan Bedner, Administrative Courts in Indonesia: A Socio-Legal Study, (Dordrecht: Kluwer Law International, 2001), hlm. 64. 125 “Penempatan Konstitusi sebagai hukum tertinggi memberikan efek hukum. Artinya jika terdapat produk hukum yang bertentangan dengan Konstitusi, maka produk hukum subordinasi hukum dasar harus tunduk pada status superlegalitas Konstitusi.” Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif…op.cit.. 261-262. 126 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme…op.cit., hlm. 127 !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 2.4 Pengujian Undang-Undang oleh Peradilan Konstitusi dan Lingkup Penafsiran Konstitusi 2.4.1 Bentuk Pengujian Undang-Undang Pengujian Undang-Undang Dalam perspektif akademis, lebih dikenal bentuk dan lingkup pengujian sebuah peradilan konstitusi sebagai judicial review. Akan tetapi pada filosofi hukumnya terdapat perbedaan konteks pengujian sebagai sebuah judicial review yang diterapkan di negara-begara common law dengan negara-negara civil law. Negara civil law tidak menggunakan istilah judicial review tetapi toetsigrecht yang secara filosofi dan penerapannya berbeda. Penggunaan istilah toetsingrect dan judicial review secara umum memang dalam konteks pengujian, tetapi secara akademis hukum harus dibedakan. Definisi toetsingrecht secara etimologis berarti hak menguji sedangkan judicial review berarti peninjauan kembali oleh lembaga pengadilan, walaupun tidak secara keseluruhan berbeda tetapi tidak dapat disamakan.127 Pada prakteknya, toetsingrecht dikenal terbagi menjadi dua macam yakni hak menguji formil (formele toetsingrecht) dan hak menguji materiil (materiele toetsingrecht).128 Formele toetsingrecht merupakan sebuah wewenang untuk menilai suatu produk legislatif seperti undang-undang, misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undanagan yang berlaku atau tidak. Pengujian formal ini biasanya terkait dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya.129 Kemudian, kewenangan menguji materiil (materiele toetsingrecht) adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan menilai isi apakah suatu peraturan perundang-undangan telah sesuai atau bahkan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, serta berkaitan dengan suatu kekuasaan tertentu berhak ######################################################## 127 Sri Soemantri, Hak Uji Materiil di Indonesia, Ed. 2. Cet. 1 (Bandung: Alumni, 1997), hlm. 1. Sebagaimana dikutip: Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingrecht) yang Dimiliki Hakim dalam Sistem Hukum Indonesia...op.cit., hlm. 5. Dan dapat dilihat perbandingan lingkup judicial review dalam: Saikrishna B. Prakash dan John C. Yoo, “The Origins of Judicial Review” University of San Diego, School of Law Public Law & Legal Theory Paper Series Research Paper No. 54 (Agustus 2003), hlm. 6. 128 Ibid. 129 Ibid. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 mengeluarkan suatu peraturan tertentu.130 Hal ini terlihat bahwa konteks yang ada di dalam pengujian materiil ini dihadapkan dengan hukum yang lebih tinggi. Sehingga, dalam pengujian secara materiil dilakukan dalam dua perspektif yakni apakah bertentangan dengan peraturan di atasnya dan apakah lembaga atau organ pembentuk telah sesuai dengan batas kewenangannya. Kemudian, dalam kondisikondisi tertentu seperti adanya asas-asas dalam hierarki peraturan perundangundangan seperti lex specialis derogate lex generalis (peraturan yang bersifat khusus atas peraturan yang bersifat umum) dan asas lex superiorie derogate lex inferiore (peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah).131 Kemudian, Prof. Harun Alrasid membedakan pengujian formil merupakan pengujian terhadap prosedur pembentukan dan hak uji materiil berkaitan dengan kewenangan pembuat UU dan apakah isinya bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi.132 Berdasarkan penjabaran tentang pengertian dan definisi mengenai hak menguji formal dan materiil, dapat disimpulkan bahwa; Pertama, hak menguji (toetsingrecht) merupakan kewenangan untuk menilai peraturan perundangundangan terhadap Undang-Undang Dasar. Kedua, hak menguji (toetsingrecht) terhadap peraturan perundang-undangan tidak hanya dimiliki oleh hakim, tetapi juga lembaga negara lain yang diberi kewenangan tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sehingga, dalam konsepsi tersebut tidak mutlak hanya hakim yang dapat melakukan pengujian (toetsingrecht) tetapi juga dapat dilekatkan kepada lembaga eksekutif ataupun legislatif. Pemahaman mengenai hak menguji mengapa dibedakan dengan judicial review, dikarenakan toetsingrecht merupakan bentuk pengujian yang dilakukan di negara yang menganut civil law atau Eropa Kontinental. Hal ini berakibat pada pengaruh perkembangan hukum di civil law yang memisahkan pengujian administrasi ######################################################## 130 Jimly Asshiddiqie, “Menelaah Putusan Mahkamah Agung tentang Judicial Review atas PP No. 19 Tahun 2000 yang bertentangan dengan UU No. 31 Tahun 1999,” (c.l.: c.n., c.t.), hlm. 1. Sebagaimana dikutip Fatmawati, ibid. 131 Ibid. 132 Harun Alrasid, “Masalah Judicial Review,” (makalah disampaikan pada Rapat Dengar Pendapat tentang Judicial Review di Departemen Kehakiman dan HAM, Jakarta, 2003), hlm. 2. Sebagaimana dikutip Fatmawati, ibid., hlm. 7. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 secara terpisah dalam peradilan administrasi.133 Oleh karena itu, keberadaan toetsingrecht yang dimiliki hakim hanya dilakukan terhadap undang-undang.134 Konsep tersebut diatas, masih belum menggambarkan dengan jelas mengenai batasan hakim yang telah diberi kewenangan toetsingrect dapat melakukan pengujian. Konsep yang ada di Indonesia tentang pembentukan Mahakamah Konstitusi dibentuk dengan mengacu pada penerapannya di dalam negara dengan sistem hukum Eropa Kontinental.135 Sehingga, konsep yang diadopsi merupakan sistem sentralisasi sehingga hanya satu penafsir yang dapat melakukan tindakan tersebut dan berlaku secara nasional. Dasar digunakannya sistem sentralisasi di sebagian besar negara Eropa Kontinental adalah:136 1. Sistem sentralisasi didasarkan pada teori pemisahan kekuasaan yang tegas dan penghormatan terhadap supremasi hukum. 2. Negara civil law tidak terikat pada doktrin preseden ataupun stare decicis, tetapi berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh legislatif.137 3. Sistem sentralisasi tidak tepat jika dilekatkan kepada pengadilanpengadilan biasa di sebuah negara civil law. Hal ini dikarenakan hakim di pengadilan biasa yang ada negara civil law adalah hakimhakim karier yang belum tentu dapat bertindak sebagai law maker. Sehingga, lebih baik dijalankan oleh pengadilan khusus dengan rekruitmen hakim yang khusus. """""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 133 James Mac Gregory Burns, J. W. Petlason, dan Thomas E. Cronin, Government by The People, (New Jersey: Prentice Hall, 1989), hlm. 366. Sebagaimana dikutip Fatmawati, ibid. 134 Ibid. 135 Mahkamah Konstitusi,askah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VI Kekuasaan Kehakiman…op.cit., hlm. 536. 136 Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingrecht) yang Dimiliki Hakim dalam Sistem Hukum Indonesia…op.cit., hlm. 14-15. 137 Di negara Common Law seperti Amerika Serikat, doktrin stare decicis merupakan pembatasan bagi Supreme Court dalam melakukan Judicial Review. Dalam Onecle, “Limitations on The Exercise of Judicial Review,” diunduh http://law.onecle.com/constitution/article-3/22-judicial-review-limitations.html, pada 14 May 2012. !!" Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 4. Sistem sentralisasi pada civil law tidak memiliki struktur yang memadai jika dilekatkan kewenangan menguji. Seperti halnya struktur di Indonesia yang memiliki Hakim Agung dan yang menjadi pertanyaan adalah siapa saja nantinya yang dapat menguji, apakah seluruhnya atau dapat sebagian saja. Selain itu, juga struktur Mahkamah Agung di Indonesia terdiri dari Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara. 2.4.2 Penafsiran dalam Pengujian Undang-Undang Pola penafsiran Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara terbagi menjadi tiga perspektif yakni dengan perspektif originalis, perspektif nonoriginalis dan perspektif naturalis.138 Perspektif originalis menitikberatkan penafsiran teks konstitusi berdasarkan pemahaman dan tujuan konstitusi dari pendapat para penyusun konstitusi.139 Para originalis memandang bahwa inti dari menafsirkan konstitusi adalah dengan melihat tujuan para penyusun konstitusi itu sendiri yang dikenal sebagai original intent atau maksud sesungguhnya. Perspektif originalis beralasan bahwa tidak ada yang lebih tepat menjelaskan mengenai maksud dari konstitusi dibandingkan para penulis konstitusi itu sendiri.140 Pada prakteknya pemahaman kalangan originalis tersebut paling banyak berpengaruh dalam persidangan.141 Jika terdapat permasalahan yang ######################################################## 138 Klasifikasi ini merupakan pandangan perspektif yang terjadi di Indonesia. Adapun secara umum dengan melihat gagasan John A. Garvey dan T. Alexander Aleinkoff metode penafsiran konstitusi di berbagai negara meliputi: Interpretivism/Non-Intrepretivism, Textualism, Original Intent, Stare Decicis, Neutral Principle dan Balancing. John A. Garvey dan T. Alexander Aleinkoff , Modern Conctitutional Theory, (Eagan: West Publishing, 1994), hlm. 94-96. 139 Hal ini sejalan dengan pendapat Justice Antonin Scalia, Hakim Agung Supreme Court Amerika yang menganut pandangan originalis berpendapat bahwa penafsiran konstitusi hanya dapat dilakukan melalui pendekatan pemahaman dari penyusun konstitusi itu sendiri atau pemahaman umum dari masyarakat terhadap konstitusi itu sendiri. Dalam Christoper E. Smith, Justice Antonin Scalia and the Supreme Court’s Conservative Moment (Westport: Greenwood Publishing Group, 1993). Dikutip dalam James Brian Staab, The Political Thought of Justice Antonin Scalia, (Lanham: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2006), hlm. 97. 140 Adam M. Samaha, “Dead Hand Arguments and Constitutional Intrepretation,” Chicago Public Law and Legal Theory Working Paper No. 194 (Januari 2008), hlm. 4. 141 Ibid., hlm. 7. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 berkaitan dengan konstitusi, maka pernyataan para penyusun konstitusi akan sangat memengaruhi hakim dalam putusannya dibandingkan dengan alasan-alasan yang lain. Hal itu menurut Refly Harun adalah cara pandang dalam penafsiran konstitusional di Amerika atau civil law.142 Di beberapa negara termasuk Indonesia pola pendekatan tafsir konstitusional lebih terpengaruh kepada sistem Austria atau pun Jerman yang tidak menjadikan teks ataupun pandangan para framers of constitution sebagai hal utama.143 Adapun secara umum perspektif originalis membagi penafsiran konstitusi ke dalam tiga hal: 1. Tekstual/Strict Constructionism.144 Penafsiran ini merupakan sebuah penafsiran dengan mengacu pada teks yang tertuang di dalam konstitusi. Hasil keputusan yang diambil dalam penafsirannya merupakan pendekatan pada pernyataan pada text dalam undang-undang tertulis, dengan syarat, makna dari kata-kata dalam konstitusi tersebut memang multi tafsir atau ambigu. Dalam hal ini setiap kata perkata yang tertuang di dalam konstitusi memiliki bobot yang kuat bagi hakim untuk menafsirkan konstitusi. Para hakim dalam menafsirkan kata-kata (kalimat) yang digunakan dalam sebuah undang-undang, disesuaikan dengan apa yang dimaksudkan oleh pembuat undang-undang terhadap arti dari kata-kata (kalimat) tersebut.145 ######################################################## 142 Mahkamah Konstitusi RI dan Pusat Studi Konstitusi FH Andalas, Perkembangan Pengujian Perundang-Undangan di Mahkamah Konstitusi: Dari Berpikir Hukum Tekstual ke Hukum Progresif, (Padang: Pusat Studi Konstitusi, 2010), hlm. 59. 143 Keith E. Whittington, R. Daniel Kelemen, Gregory A. Caldeira, The Oxford Handbook of Law and Politics, (Oxford: Oxford University Press, 2008), hlm. 85. 144 Mahkamah Konstitusi RI dan Pusat Studi Konstitusi FH Andalas, op.cit. 145 Christopher R. Green, “This Constitution: Constitutional Indexical as a Basis for Textualist Semi-Originalism,” Notre Dame Law Review Oxford University Volume 84:4 (14 Agustus 2008), hlm. 1607. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 2. Historis/Original Intents (Maksud Sesungguhnya)146 Penafsiran ini adalah penafsiran yang menganggap bahwa setiap keputusan hakim harus didasari pada makna kata-kata atau kalimat yang dipahami melalui analisa sejarah dalam penyusunan dan peratifikasian dari hukum atau konstitusi. Hal yang paling sering digunakan untuk mengetahui apa maksud dari kalimat sebuah undang-undang hakim harus merujuk kepada perdebatan dalam sidang-sidang lembaga legislatif (risalah sidang) dan naskah akademik yang ada. Dalam perspektif ini, hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan memutus perkara harus berpijak dan mengembalikan putusan kepada original intent (maksud utama atau maksud yang sebenarnya) isi konstitusi, sebab konstitusi dibuat dengan maksud-maksud tertentu yang telah disepakati oleh lembaga yang membuatnya.147 Harus diingat bahwa, seperti dikemukakan oleh KC Wheare, konstitusi adalah produk resultante berdasar situasi sosial, politik, dan ekonomi pada waktu dibuat.148 Artinya ada kesepakatan-kesepakatan tertentu dari setiap isi konstitusi yang harus dijadikan pegangan oleh hakim konstitusi jika ada undang-undang yang dipersoalkan konstitusionalitasnya sehingga Mahkamah Konstitusi harus melakukan pengujian. 3. Fungsional/Struktural. Penafsiran ini adalah penafsiran yang mengacu pada sebuah analisis terhadap struktur hukum dan kaitannya terhadap sejarah dari terbentuknya hukum tersebut.149 Hal tersebut berfungsi untuk melihat hubunganya sebagai sebuah harmonisasi sistem. Sehingga, dalam melakukan penafsiran hakim tidak melihat secara terpisah keberadaan ######################################################## 146 R. M. A. B. Kusuma, “Bagaimana Menginterpretasikan Konstitusi Kita,” dalam Jurnal Konstitusi Vol. 1 No. 3, Mei 2005 (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2005), hlm. 157-158., Sebagaimana dikutip: Mahkamah Konstitusi RI dan Pusat Studi Konstitusi FH Andalas, Perkembangan Pengujian Perundang-Undangan di Mahkamah Konstitusi: Dari Berpikir Hukum Tekstual ke Hukum Progresif…op.cit., hlm. 62. 147 Ibid, hlm. 9. 148 Ibid. 149 Ibid., hlm. 63. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 suatu undang-undang yang diujikan melainkan secara menyeluruh terkait dengan undang-undang tersebut. Kemudian, perspektif non-originalis yang memandang secara berbeda bagaimana hakim dalam memberikan penafsiran atas pengujian undangundang.150 Inti dari perspektif non-originalis adalah bagaimana penafsiran itu didasarkan pada hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat.151 Perspektif ini meninginkan bahwa konstitusi pada dasarnya adalah norma yang hidup dan konteks penafsiran adalah salah satu upaya menghidupkan konstitusi itu sendiri. Secara umum, perspektif ini terbagi ke dalam empat cara dalam memberikan penafsiran yakni: 1. Doctrinal/Stare Decicis152 Paham ini meletakkan idenya bahwa sebuah keputusan hakim harusnya didasari pada praktek-praktek yang telah terjadi atau melalui pandangan-pandangan para profesional hukum, makna yang dipahami legislatif, eksekutif atau putusan hakim yang telah ada (yurisprudensi), berdasarkan kepada the meta-doctrine dari pandangan sebuah putusan, yang diterapkan berdasarkan prinsip-prinsip yang digunakan oleh peradilan dalam memutuskan sebuah perkara tidak hanya sebagai sebuah tinjauan tetapi juga sebagai sebuah hukum (normative).153 Argumentum a simili valet in lege. Sebuah argumentasi dari sebuah kasus bermanfaat bagi hukum. 2. Prudential Para prudentialist berkeyakinan bahwa suatu keputusan hakim pastilah didasari dari faktor-faktor eksternal dari hukum atau kepentingan######################################################## 150 Peter J. Smith, “How Different Are Originalism and Non-Originalism,” Hastings Law Journal Volume 62: 707 (Washington DC: George Washington University Press, 2011), hlm. 709. 151 Perspektif norma yang hidup di masyarakat sama halnya dengan konstitusi yang hidup (living constitution). Peter J. Smith, Ibid., hlm. 711. 152 Cynthia L. Cates, Wayne V. McIntosh, Law and the Web of Society, (Washington D.C.: George Washington University, 2007), hlm. 23. 153 Mahkamah Konstitusi RI dan Pusat Studi Konstitusi FH Andalas, Perkembangan Pengujian Perundang-Undangan di Mahkamah Konstitusi: Dari Berpikir Hukum Tekstual ke Hukum Progresif…op.cit., hlm. 66. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 kepentingan tertentu dalam setiap kasus, seperti tekanan dari kekuatan politik.154 Pandangan ini menggunakan pertimbangan yang menolak halhal yang dapat memengaruhi pertimbangan hakim dari kondisi eksternal peradilan. Konsep itu juga merupakan alasan utama pada metode doctrinal. Biasanya juga digunakan pada kasus-kasus pemerkosaan. Boni judicis est lites dirimere. The duty of a good judge is to prevent litigation; hakim yang baik adalah yang melindungi jalannya peradilan. 3. Equitable/Ethical.155 Menurut kalangan equitable, semestinya sebuah keputusan haruslah didasari kepada perasaan keadilan, keseimbangan dari pelbagai kepentingan, dan apa yang baik dan benar, tanpa menghiraukan apa yang tertulis dalam aturan hukum. Seringkali fakta-fakta kasus yang terjadi tidak terdapat antisipasi dari para pembuat hukum. Para pakar merumuskan pelbagai macam ukuran nilai-nilai dan kepentingan yang berkesinambungan kedalam metode pendekatan tafsir prudential, namun akan lebih baik lagi jika membedakan antara prudential sebagai keseimbangan antara kepentingan dan nilai-nilai dari sebuah sistim hukum disatu sisi dan meletakan equitable sebagai keseimbangan antara kepentingan dan nilai-nilai dari pihak-pihak yang berperkara. Dalam penafsiran konstitusi, berdasarkan pendekatan dengan perspektif originalis maupun non originalis, terdapat sedikitnya terdapat 5 (lima) metode yang digunakan untuk menafsirkan konstitusi:156 1. The text and structure of the Constitution, yang diperhatikan disini adalah ‘bunyi’ dari ketentuan di dalam konstitusi atau juga disebut sebagai the literal approach;157 ######################################################## 154 Ibid., hlm. 66. Dapat merujuk pada Craig R. Ducat, Constitutional Interpretation, ed. 10., (Boston: Wadsworth, 2009), hlm. 55. 155 Ibid., hlm. 68. 156 Ibid., hlm. 62. 157 Ibid. Dapat dilakukan perbandingan dengan Keith E. Whittington, R. Daniel Kelemen, Gregory A. Caldeira, The Oxford Handbook of Law and Politics,…op.cit., hlm. 55. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 2. Intentions of those who drafted, voted to propose, or voted to ratify the provision in question, dalam hal ini yang dilihat dalam menafsirkan konstitusi adalah maksud dibentuknya konstitusi dan pandangan penyusun konstitusi. Sehingga perlu dipahami sejarah pembentukan sebuah konstitusi, dalam situasi seperti apa konstitusi dibentuk dan pandangan atau ideologi apa yang dianut oleh para penyusun konstitusi. 3. Prior precedents, di sini yang diperhatikan adalah kasus-kasus terdahulu yang merupakan yurisprudensi dalam menafsirkan konstitusi terhadap kasus-kasus tertentu atau disebut juga dengan the doctrine of “harmonious interpretation”;158 4. The social, political, and economic consequences of alternative interpretations, hakim dalam menafsirkan konstitusi juga memertimbangkan faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi kondisi bernegara, seperti kondisi politik dan ekonomi; 5. Selain perspektif originalis dan non-originalis pada dasarnya terdapat pendekatan terakhir yakni pendekatan pada hukum alam atau natural law. Penafsiran yang bersumber pada natural law diarahkan kepada ketentuan-ketentuan agama, nilai-nilai moral yang dianut. Selain itu, dari segi konstitusi terbentuk pada dasarnya tidak untuk jangka waktu yang pendek dengan dalih masih dapat dilakukan perubahan.159 Konstitusi haruslah mampu mengayomi masyarakat dalam hal fundamental bernegara dan dapat dilakukan penafsiran sebagai sebuah norma yang hidup di masyarakat.160 Konstitusi merupakan sebuh refleksi nilai, tantangan dan persoalan yang dihadapi pada saat pembentukan, sehingga masih dimungkinkannya terdapat hal-hal yang belum di atur pada saat konstitusi tersebut dibentuk. Akan tetapi, konteks menegakkan hukum dan menghidupkan hukum tidak hanya dengan melihat ######################################################## 158 Ibid. Dapat dilakukan perbandingan dengan Cynthia L. Cates, Wayne V. McIntosh, op.cit., hlm. 23. 159 Muarar Siahaan, Undang-Undang Dasar 1945: Konstitusi yang Hidup, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2008), hlm. 79. 160 Ibid. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 ketentuan tertulis dalam konstitusi itu sendiri. Para hakim dan penegak hukum sampai lapisan masyarakat dapat menempatkan konstitusi yang sejalan dengan perkembangan zaman adapun pembentukannya telah lalu.161 Keberadaan Mahkamah Konstitusi selain dalam mengawal konstitusi agar hak-hak konstitusional warga negara tercederai, juga sebagai penafsir yang berfungsi mengadaptasikan norma konstitusi.162 Perkembangan masyarakat yang begitu pesat merupakan tantangan besar bagi Mahkamah Konstitusi dalam mengawal norma yang tertuang dalam konstitusi. Penafsiran konstitusi tidak harus merujuk pada maksud sesungguhnya tetapi makna pembentukan konstitusi secara utuh. Oleh karena itu, dalam memenuhi hak-hak konstitusional warga negara tidak harus selalu merujuk pada maksud sesungguhnya para pembentuk undang-undang agar dapat menselaraskan dengan kebutuhan masyarakat atas hukum.163 2.5 Perkembangan Peran Peradilan Konstitusi sebagai Positive Legislator dalam Sistem Ketatanegaraan 2.5.1 Perkembangan Peradilan Konstitusi sebagai Positive Legislator dalam Sistem Ketatanegaraan Modern Hak konstitsional warga negara mulai di kenal semenjak kasus Madison v. Madbury di lingkungan peradilan Amerika Serikat. Kasus tersebut membuka wacana baru bahwa harus diakomodasinya fungsi perlindungan terhadap konstitusional warga negara.164 Berdasarkan adanya kebutuhan untuk mengakomodasi perlindungan hak konstitusional, Hans Kelsen pada tahun 1928 mencetuskan ide perlu dibentuknya sebuah peradilan konstitusi dalam artikelnya yang berjudul Revue du droit public et de la science politique en France et a ######################################################## 161 Ibid., hlm. 81. 162 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2008), hlm. 163. 163 Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif: Terapi Paradigmatik Bagi Lemahnya Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Antonylib, 2009), hlm. 12. 164 Mark A. Graber dan Michael Perhac, Marbury versus Madison: Documents and Commentary, (Washington DC: CQ Press, 2002), hlm. 138 !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 l’etranger sebatas memberikan ajudikasi atas norma atau negative legislator.165 Artikel yang dimuat dalam La garantie juridictionnelle de la constitution (La Justice Constitutionnelle) menjadi dasar teori (doktrin) dibentuknya peradilan konstitusi yang menguji norma terhadap konstitusi.166 Pada perkembangan doktrin tersebut, peradilan konstitusi mulai berperan sebagai positive legislators.167 Artikel tentang peradilan konstitusi milik Kelsen, sebagaimana digunakan dalam perancangan Mahkamah Konstitusi Austria, mengatakan bahwa keberadaan peradilan konstitusi sangat penting bagi sebuah negara untuk menjamin hak warga negaranya yang tertuang dalam konstitusi.168 Pada prakteknya, pelaksanaan peradilan konstitusi di Austria hanya sebatas membatalkan ketentuan yang inkonstitusional. Bentuk pengujian atas undang-undang di Austria ini kemudian diterapkan Amerika Serikat dan beberapa negara dengan konsep pengembangan yang lebih maju dalam melindungi warga negaranya.169 Peranan lembaga peradilan konstitusi yang dibentuk memiliki peranan yang lebih aktif di dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang. ######################################################## 165 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russel & Russel, 1961), hlm. 157. 166 Hans Kelsen, La garantue jurisdictionalle de la constitution (La Justice constitutionalle) Revue du droit public de la science politique en France et a l’etranger, (Paris: Librarie General de Droit et the Jurisprudence, 1928) hlm. 197-257. Sebagaimana dikutip: Allan R. Brewer-Carias, “General Report: Constitutional Courts as Positive Legislators in Comparative Law” (makalah disampaikan dalam XVIII International Congress of Comparative Law, International Academy of Comparative Law, Washington DC, pada 26-30 Juli 2010), hlm. 3. 167 Ibid. 168 Jörg Kammerhofer, “Kelsen as Epitome of Legal Modernism,” Wissenschaftlicher Mitarbeiter at the Hans Kelsen Research Group of the Faculty of Law, Friedrich Alexander University Erlangen-Nuremberg, Germany (Maret 2010), hlm. 1. 169 Lochner v. New York meupakan kasus pengujian konstitusional yang membahas mengenai asas kebebasan berkontrak (liberti of contract) pada batas waktu kinerja seorang baker dihadapkan pada Amandemen Ke-14 Konstitusi Amerika Serikat (Bill’s Rights). Keberadaan judicial review Lochner ini menjadi sebuah diskursus tersendiri dalam memandang hak hidup seorang manusia yang diatur dalam konstitusi terhadap kehendak pribadi manusia itu sendiri. Kasus yang terjadi adalah mengenai batasan waktu bekerja pegawai Lochner’s Home Bakery yang bertentangan dengan Bakeshop Act. Kemudian, Lochner mengajukan keberatan tentang batas waktu kerja tersebut dengan menghadapkan hak yang diatur dalam konstitusi dengan kebebasan berkontrak yang dimiliki warga negara. Hal ini menunjukkan progresifitas judicial review. David E. Bernstein, “Lochner Era Revisionism, Revised: Lochner and the Origins of Fundamental Rights Constitutionalism,” Law and Economics Working Paper Series George Mason University (April 2003), hlm. 13. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Keberadaan Peradilan Konstitusi yang didirikan di Austria, memiliki pola yang berbeda dengan penerapan di Amerika Serikat. Letak perbedaannya ada pada bagaimana kedua lembaga tersebut mengakomodasi sebuah pengujian norma walau sama-sama dilekatkan pada lembaga yudisial. Selain itu, lembaga yang dibentuk tidak memiliki kesamaan fungsi dan wewenang yang merata satu sama lain karena setiap negara memiliki ciri khas masing-masing.170 Sehingga, bentukbentuk perkembangannya tetap menyelaraskan sifat dan ciri khas masing-masing di sebuah negara. Pendekatan ini dilihat dari sistem hukum yang ada; antara Amerika Serikat dan Austria, dan terdapat banyak perkembangan dari teori awal yang dicetuskan oleh Kelsen. Pembahasan mengenai perkembangan peran peradilan konstitusi sebagai positive legislator dilakukan dalam lima pendekatan.171 Pertama, aspek umum pengujian undang-undang yang dilaksanakan oleh peradilan konstitusi terhadap legislatif. Kedua, penafsiran konstitusi dalam pengujian undang-undang. Ketiga, peran peradilan konstitusi sebagai pelengkap fungsi legislasi dalam hal pengawalan sebuah norma undang-undang. Keempat, peran peradilan konstitusi sebagai pembentuk norma sementara dalam pengujian undang-undang. Kelima, peran peradilan konstitusi sebagai positive legislator dalam membentuk norma pada pengujian undang-undang. Kelima hal ini, dijabarkan dalam melihat struktur dan peran peradilan konstitusi secara umum untuk kemudian diterapkan di sebuah negara apakah dapat melakukan pembentukan hukum atau tidak. 2.5.2 Pengujian Undang-Undang dengan Penafsiran Konstitusi Dalam melakukan pengujian undang-undang, sebuah peradilan konstitusi akan lebih dahulu menafsirkan konstitusi untuk menilai apakah konstitusional atau tidaknya sebuah norma. Dalam melakukan penafsiran konstitusi, juga dipengaruhi oleh bagaimana kewenangan peradilan konstitusi dalam melakukan pengujian. Pada praktek ketatanegaraan di dunia, pelaksanaan pengujian undangundang dilaksanakan oleh sebuah peradilan, yang memiliki keterbatasan pada saat pengujian undang-undang hanya sebagai negative legislator. Adapun secara ######################################################## 170 Allan R. Brewer-Carrias, “General Report: Constitutional Courts as Positive Legislators in Comparative Law”…loc.cit., hlm. 5. 171 Ibid., hlm. 10. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 terperinci penafsiran konstitusi yang dilakukan oleh peradilan konstitusi pada saat pengujian undang-undang adalah sebagai berikut; 1. Sistem Pengujian Undang-Undang dan Peran Peradilan Konstitusi Pelaksanaan pengujian undang-undang dilakukan dengan beberapa cara dan berbeda antar satu sistem ketatanegaraan di sebuah negara dengan negara lain. Hal yang paling utama untuk dilihat adalah lembaga negara yang melakukan pengujian apakah lembaga yudikatif atau lembaga selain yudikatif seperti legislatif. Sejarah memperlihatkan bahwa pada ketatanegaraan klasik, pembahasan mengenai sistem pengujian undangundang terpaku pada apakah harus secara terpusat atau terbagi dalam struktur pengadilan atau terletak pada lembaga legislatif.172 Faktanya, hampir semua negara demokratis tidak lagi memperdebatkan hal tersebut tetapi lebih memperdebatkan tentang keberadaan peradilan konstitusi secara progresif.173 Keberadaan peradilan konstitusi lebih diarahkan pada bagaimana peranan peradilan konstitusi dalam pengujian dan penafsiran undang-undang. Pelaksanannya di beberapa negara yang mengatur secara terpusat, batasan norma yang dapat diujikan sudah jelas yakni melekat pada undang-undang. Sedangkan di negara yang meletakkan fungsi pengujian undang-undang pada lembaga peradilan yang berjenjang telah diberikan klasifikasi tentang batasan pengujian norma yang dapat dilakukan.174 Keberadaan peradilan konstitusi dalam sistem ketatanegaraan pada dasarnya telah menimbulkan pertanyaan besar terhadap lembaga ######################################################## 172 Saikrishna B. Prakash and John C. Yoo, “The Origins of Judicial Review”…loc.cit., hlm. 13-15. 173 Ibid., hlm. 9. 174 Batasan pengujian norma yang diterapkan pada sistem peradilan yang berjenjang seperti Amerika Serikat salah satunya adalah dengan adanya doktrin stare decisis. Susunan pegujian norma di Amerika Serikat yang melekat pada Mahkamah Agung (Supreme Court) berimplikasi pada kemungkinan adanya pengujian di dalam struktur peradilan Mahkamah Agung . Pengujian dapat dilakukan oleh Pengadilan Negara Bagian tetapi proses pengujiannya terikat pada doktrin stare decisis yang mengharuskan sebuah pengujian merujuk pada pengujian di tingkat yang lebih tinggi. Larry A. Alexander, “Constitutional Rules, Constitutional Standards, and Constitutional Settlement: Marbury v. Madison and the Case for Judicial Supremacy,” Public Law and Legal Theory Research Paper Series University of San Diego School of Law Research Paper No. 56, (September 2003, ), hlm. 11. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 legislatif.175 Kekuasaan untuk melaksanakan pengujian atas undangundang menjadi eksklusifitas peradilan konstitusi.176 Hal ini mengakibatkan dampak yang signifikan atas penataan sistem hukum menyangkut hasil pengujian undang-undang pada pembentuk undangundang.177 Dalam negara yang menganut sistem common law, keberadaan doktrin stare decisis berdampak pada pembentukan hukum pada lembaga legislatif itu sendiri.178 Akan tetapi, di beberapa negara yang menganut common law melakukan perkembangan seperti doktrin de facto stare decisis. Doktrin ini digunakan untuk meninjau penafsiran Konstitusi yang bertujuan untuk memperjelas bagaimana hukum harus diterapkan. Sehingga, sekalipun terikat oleh doktrin stare decisis dalam melakukan penafsiran tetap dengan memandang penerapan hukum yang ada.179 Pengujian undang-undang di berbagai negara telah dipusatkan serta berbaur dengan sistem ketatanegaraan di masing-masing negara.180 Secara umum keberadaan peradilan konstitusi berdiri sebagai lembaga yang berfungsi menguji konstitusionalitas suatu norma tanpa kewenangan untuk mengubah dan memodifikasi norma tersebut. Fungsi yang sangat esensial ini dilekatkan dalam menjamin supremasi dan integritas konstitusi, menguji konstitusionalitas sebuah undang-undang, dan memiliki """""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 175 Allan R. Brewer-Carias, “General Report: Constitutional Courts as Positive Legislators in Comparative Law”…loc.cit., hlm. 13. 176 Edward S. Corwin, The Doctrine of Judicial Review: Its Legal and Historical Basis and Other Essays, (Clark: The Law Book Exchange, 2007), hlm. 42. 177 Carol M. Bast, Foundations of Law: Cases, Commentary and Ethics, (Clinfton Park: Delmar, 2011), hlm. 82. 178 Carol M. Bast, ibid., hlm. 86. 179 Konsep stare decisis di Amerika Serikat merupakan salah satu pembatasan dalam judicial review. Kasus yang pertama kali menggunakan doktrin stare decisis adalah Kasus Burnet v. Coronado Oil & Gas Co. - 285 U.S. 393 (1932) [putusan dapat diunduh dalam http://supreme.justia.com/cases/federal/us/285/393/] yang mengacu pada Kasus Planned Parenthood of Southeastern Pa. v. Casey - 505 U.S. 833 (1992) [putusan dapat diunduh dalam http://supreme.justia.com/cases/federal/us/505/833/case.html]. Onecle, loc.cit., diunduh pada 14 May 2012. 180 Allan R. Brewer-Carias, “General Report: Constitutional Courts as Positive Legislators in Comparative Law”…loc.cit. !!" Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 kewajiban untuk menjalankan kewenangan sesuai pada yang diberikan. Pada poin ketiga terkait dengan menjalankan kewenangan di hampir semua negara yang memiliki peradilan konstitusi telah tegas dan tidak mengalami perdebatan panjang.181 Akan tetapi, batasan tindakan peradilan konstitusi dalam menjaga supremasi dan integritas konstitusi, dan melakukan penafsiran undang-undang, belum diatur dengan tegas.182 Pembatasan penafsiran oleh lembaga peradilan konstitusi menjadi dilema tersendiri untuk dibahas.183 Bagi negara yang telah jelas membatasi penafsiran konstitusi, seringkali telah menemukan sistem yang menghubungkan keberadaan peradilan konstitusi dengan lembaga legislatif. Sedangkan, untuk negara yang belum melakukan pembatasan pada umumnya disebabkan oleh kehkawatiran bahwa pembatasan itu sendiri termasuk tindakan yang inkonstitusional.184 Alasan yang menjadi dasar tidak dilakukan pembatasan selain inkonstitusionalitas antara lain adalah lingkup konstitusionalitas yang begitu luas pada konstitusi. Karena tidak dapat dipungkiri, konstitusi sebuah negara tidak diharapkan sebagai sebuah norma yang mengatur dalam satu waktu saja. Keberadaan konstitusi diharapkan dapat mengayomi perkembangan masyarakat ######################################################## 181 Ibid., hlm. 15. 182 Salah satu negara yang telah mengenal adanya limitasi terhadap proses pengujian undang-undang adalah Amerika Serikat. Selain Doktrin Stare Decisis, terdapat beberapa doktrin–doktrin yang membatasi pengujian undang-undang seperti: Pedoman Umum Constitutional Intepretation, Asas Prudential Considerations, Doktrin Strict Necessity, Doktrin Clear Mistake, Asas Exclusion of Extra-Constitutional Tests, asas Presumption of Constitutionality, asas Disallowance by Statutory Intrepretation. Onecle, Ibid., diunduh pada 15 May 2012. 183 Hal ini dapat dilihat secara langsung di Indonesia setelah disahkannya undangundang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pembahasan mengenai batasan (limitations) pengujian undangundang oleh Mahkamah Konstitusi pada akhirnya berujung pada pengujian undang-undang perubahan itu sendiri. Mahkamah Konstitusi, “Putusan No. 45/PUU-IX/2011,” http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.Download.PutusanDownloa d&id=1015 diunduh pada 15 Mei 2012. 184 Allan R. Brewer-Carias, “General Report: Constitutional Courts as Positive Legislators in Comparative Law”…loc.cit., hlm. 13. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 sekalipun diaturnya mekanisme amandemen.185 Oleh karena itu, perkembangan lembaga peradilan konstitusi dalam menafsirkan undangundang dilakukan atas dasar doktrin dan perkembangan hukum yang ada terkait pemenuhan hak konstitusional warga negara. 2. Penafsiran oleh Peradilan Konstitusi sebagai Kendali Konstitutional dan Penyelarasan Konvensi Internasional terhadap Hukum Nasional Peranan peradilan kosntitusi dalam menafsirkan konstitusi juga dikaitkan dengan bagaimana cara sebuah negara untuk menempatkan konstitusinya di dalam kehidupan bernegara sebagai sebuah konstitusi yang hidup.186 Peradilan konstitusi di beberapa negara di dunia dalam menegakkan konstitusinya terbagi dalam control of constitutionality dan control of conventionality. Konsep yang pertama berkaitan dengan kewenangan dalam melakukan pengujian terhadap undang-undang atas konstitusi sebagai batu uji dan terdapat pengaruh legislator.187 Akan tetapi, konsep kedua merupakan konsep yang unik yang dapat dilihat salah satunya di Peradilan Konstitusi Argentina.188 Berdasarkan amandemen tahun 1994, berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM),189 Peradilan Konstitusi Argentina merujuk pada perkembangan HAM internasional dalam pengujiannya. Sehingga, rujukan mengenai HAM di Argentina salah satunya adalah konvensi ataupun perjanjian internasional mengenai HAM. Konsep pengujian sebagai control of constitutionality dan control of conventionality dipengaruhi oleh doktrin monisme dan dualisme hukum ######################################################## 185 Jack M. Balkin, “Framework Originalism and The Living Constitution” Public Law & Legal Theory Research Paper Series Research Paper No. 182. Yale University (Februari 2008), hlm. 3. 186 Ibid., hlm. 73. 187 Allan R. Brewer-Carias, “General Report: Constitutional Courts as Positive Legislators in Comparative Law”…loc.cit., hlm. 17. 188 Alejandra Rodriguez Galan dan Alfredo Maurico Vitolo, Argentinean National Report I (c.l.: c.n., 2010), hlm. 14. Serta Nestor Pedro Sagues, Argentinean National Repport II (c.l.: c.n., 2010), hlm 19. Dikutip dalam Allan R. Brewer-Carias, ibid., hlm. 15. 189 Argentina, Constitución de 1994 (Konstitusi Argentina Amandemen 1994 terjemahan Bahasa Inggris), Bab IV Butir 75 No. 22. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 nasional atas hukum internasional.190 Sehingga, dapat dipahami seperti negara Belanda yang menganut monisme perjanjian internasional, kewenangan pengujian Mahkamah Konstitusinya tidak hanya mendasarkan kepada konstitusi tetatpi juga pada perjanjian internasional. Berbeda halnya dengan Inggris (Britania) yang dualisme perjanjian internasional, keberadaan pengujiannya didasarkan pada bentuk konstitusi yang ada.191 Penerapannya dilakukan secara berbeda dengan konteks yang memiliki peradilan konstitusi yang terpisah. Oleh karena itu, bentuk dari penafsiran oleh lembaga peradilan juga dipengaruhi monisme dan dualisme hukum internasional yang dianut oleh negara tersebut. Selain Argentina, Belanda, ataupun Inggris, beberapa negara lain juga memperdebatkan konstitusionalitas yang lahir dari hukum internasional seperti terjadi di Portugal, Brazil, dan Swedia. Perdebatan ######################################################## 190 Untuk negara yang menganut asas monisme hukum internasional, keberadaan hukum internasional langsung mengikat hukum nasional. Sedangkan untuk negara dengan asas dualisme hukum internasional, keberadaan sebuah perjanjian internasional tidak langsung mengikat. Hal ini menjadi perdebatan dalam hal keberadaan sebuah perjanjian internasional sebagai sebuah hukum yang mendasari hukum yang lain. Melissa A. Waters, Creeping Monism: The Judicial Trend Toward Interpretive Incorporation of Human Rights Treaties, (c.n.: c.l., 2007), hlm. 628. Sebagaimana dikutip dalam: Eyal Benvenisti, “Reclaiming Democracy: The Strategic Uses of Foreign and International Law By National Courts,” The American Journal of International Law of Tel Aviv University Volume 102:24 (Agustus 2007), hlm. 241. 191 Pada dasarnya terjadi perdebatan panjang terkait dengan pengujian konstitusionalitas di Inggris. Hal ini di dasarkan pada kenyataan bahwa Inggris tidak memiliki konstitusi tertulis. Akan tetapi, dalam prakteknya di Inggris dikenal adanya konsep “conventions of the Constitution” yang menjadi hukum umum (general laws). Jadi sekalipun tidak memiliki kerangka konstitusional yang tertulis, Inggris menganggap konstitusi tak tertulis tersebut sebagai sebuah konstitusi dan menjadi kewenangan hakim untuk melakukan penafsiran. Selain itu, praktek di Inggris tidak mengenal adanya bentuk lembaga peradilan konstitusi ataupun istilah pengujian konstitusional. Hampir tidak mungkin dapat ditemukan pengujian konstitusional secara istilah di sistem peradilan Inggris. Keberadaan pengujian konstitusional walaupun secara harfiah tidak dikenal, John Bell mengatakan: “Britain has neither ‘spesific constitutional or statutory provisions that empower constitutional judges, by means of interpreting the Constituton, to adopt obligatory decision on constitutional matters’ nor specific deciion on konstitutional matters. But this would be too simplistic an pproach. The nature of common law constitution is that basic ‘rules of recognition’ (H. L. A. Hart) are nit contained in sattute, but are in common law. The principles are rather like the ‘fundamental principles recognized by laws of the Republic’ in French Law, which are nit laid down by statutes, but chich are judicially identified, even if formally not created by judges. There do arise a number of issues on which ordinary judges have to take decisions which are binding and which could be charaeterized as constituonal.” John Bell, “British National Report: Constitutional Court as Positive Legislators in Comparative Law,” (makalah disampaikan pada International Congress of Comparative Law, International Academy of Comparative Law, Washington, 26-30 July 2010), hlm. 1. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 yang terjadi seringkali membahas mengenai filosofis dari norma yang senyata-nyatanya tidak lahir dalam hukum nasional Sehingga, apabila secara internasional tempat norma tersebut terbentuk terjadi perubahan nilai, maka hukum mana yang akan dipakai sebagai dasar. 3. Pengaruh Penafsiran Peradilan Konstitusi terhadap Pembaharuan Hukum Keberadaan Peradilan Konstitusi sebagai pemegang fungsi penafsir konstitusi harus berpegang pada permohonan yang diajukan, keberlakuan dan supremasi yang diberikan untuk melakukan perubahan.192 Pembentukan hukum (law making) pada dasarnya dipegang oleh fungsi legislatif dan dalam pelaksanaannya perubahan hukum tidak selalu dimaknai sebagai pembentukan hukum. Perubahan hukum dianggap sebagai pembentukan hukum adalah perspektif pihak yang membatasi tindakan peradilan konstitusi sebagai negative legislator. Sehingga, peradilan konstitusi sebagai positive legislator sebagai tindakan pelampauan kewenangan disebabkan oleh pemaknaan law making dengan law reform sebagai satu kesatuan.193 Keberadaan peradilan konstitusi sebagai sebuah negative legislator berakibat pada terhambatnya pembentukan hukum itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh kesediaan legislatif dalam melakukan pembentukan hukum. Sebuah peraturan yang inkonstitusional dapat langsung diputuskan oleh peradilan konstitusi, tetapi keberlangsungan atas norma yang diuji itu sendiri menjadi permasalahan.194 Pihak yang dirugikan konstitusionalnya ######################################################## 192 Andrei Marmor, “Constitutional Intrepetation,” Public Policy Research Paper Series University of Southern California No. 04-4 (Maret 2004), hlm. 2. 193 Blacks Law Dictionary memberi definisi Law Making sebagai proses legislasi (legislation) yang berarti: “The Process of making or enacting a positive law in written form, according to some type of formal procedure, by a branch or government constituted to perform this process!also termed lawmaking: statute-making.” Sedangkan Law Reform diartikan sebagai: “The process of, or a movement dedicated to, streamlining, modernizing, or otherwise improving a body of law generally or the code governing a particular branch of the law!also termed science of legislation; censorial jurisprudence.” Bryan A. Garner, ed. 18, Black’s Law Dictionary (St. Paul: West Publishing Co., 1990), hlm. 903 dan 905. 194 Permasalahan yang dimaksudkan adalah keberadaan norma tersebut apakah dapat diimplementasikan sebagai norma atau dibedakan dengan norma hasil bentukan legislatif. Andrei Marmor, “Constitutional Intrepetation,”…loc.cit., hlm. 30. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 harus menunggu terlebih dahulu kehendak dari legislatif untuk membentuk norma baru sesuai dengan fungsinya sebagai legislatif. Pembentukan norma oleh legislatif tidak dapat langsung segera dibentuk karena proses pembentukan norma dalam legislatif.195 Oleh karena itu, pembatalan hukum oleh peradilan konstitusi (negative legislator) tidak dibarengi dengan kesediaan legislatif untuk membentuk hukum dapat berakibat inkonstitusionalitas pencabutan hukum karena akibat kekosongan 196 hukum. 4. Perdebatan tentang Peran Peradilan Konstitusi sebagai Positive Legislator Pembentukan hukum oleh peradilan konstitusi harus dimaknai sebagai bentuk perubahan hukum (law reform). Sehingga perubahan hukum seperti apa yang dapat dilakukan oleh peradilan konstitusi sebagai sebuah tindakan untuk memenuhi kebutuhan hukum. Hukum sebagai sesuatu yang hidup dan terus berkembang merupakan sebuah dogma yang diterapkan saat ini.197 Adagium manusia tidak diciptakan oleh hukum melainkan manusia yang membentuk hukum adalah pembenaran atas peranan peradilan konstitusi sebagai positive legislator. Perubahan hukum yang menjadi kewenangan peradilan konstitusi dapat diterapkan karena hukum pada saat undang-undang dibentuk seringkali tidak sejalan dengan perkembangan zaman. Keberadaan peradilan konstitusi yang hanya sebagai negative legislators adalah dogma yang tidak sejalan dengan perkembangan zaman.198 Hukum pada kenyataannya terus berkembang ######################################################################################################################################################## 195 Allan R. Brewer-Carias, “General Report: Constitutional Courts as Positive Legislators in Comparative Law”…loc.cit., hlm. 25. 196 Fransisco Zuniga Urbina, Control de Constitucionalidad y Sentencia, (Santiago: Cuardernos del tribunal Constitucional, 2006), hlm. 107-019. Sebagaimana dikutip dalam: Allan R. Brewer-Carias, Ibid., hlm. 15. 197 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 186. 198 Luis Roberto et al, Brazilian National Report: Rule of Constitutional Court as Positive Legislator, (c.n: c.l: 2010), hlm. 22. Sebagaimana dikutip dalam: Allan R. BrewerCarias, “General Report: Constitutional Courts as Positive Legislators in Comparative Law”…loc.cit., hlm. 28. Dikutip dalam Tulisan serupa disampaikan oleh: Thomas !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 dan dimungkinkan adanya keharusan untuk membentuk hukum yang apabila tidak dilaksanakan dapat bertentangan dengan konstitusi itu sendiri. Peran peradilan konstitusi dalam mengimbangi perkembangan zaman juga dipandang sebagai jaminan pada masyarakat yang semakin sadar hukum. Keberadaan legislatif sebagai pembentuk undang-undang semakin harus melihat unsur masyarakat yang kehidupannya diatur oleh undang-undang bentukan legislatif. Reaksi masyarakat atas undangundang yang dibentuk seringkali disebabkan oleh legislatif yang kurang maksimal dalam menyusun norma dalam undang-undang.199 Kemudian untuk inkonstitusionalitas yang terjadi akibat tidak adanya peraturan hukum, tidak mungkin dapat terlaksana dengan hanya pernyataan bahwa negara bertanggung jawab atas kekosongan hukum (state liability for the absence of legislative act) tanpa adanya kelanjutan atas pernyataan tersebut.200 Konsep ini memang konsep yang mudah diterima oleh kalangan sarjana terutama anggapan bahwa adanya kekosongan hukum karena legislatif tidak menjalankan kewenangannya sebagaimana mestinya. Sehingga, dalam perspektif ini seolah peradilan konstitusi harus membuktikan terlebih dahulu bahwa terjadi kesalahan dalam proses legislasi itu sendiri.201 Padahal, konteks inilah yang sesungguhnya menjadi batasan atas pengujian undang-undang. Sebuah lembaga tidak diperkenankan memberikan ajudikasi atas tindakan yang dilakukan oleh lembaga lain dalam menjalankan fungsinya. Oleh karena itu, batasan tindakan pengujian konstitusionalitas tidak boleh berkaitan dengan ######################################################################################################################################################## Bustamante, “Constitutional Courts as “Negative Legislators”: The Brazilian Case.” Law Journal Faculty of Law University of Aberdeen, (November 2010). 199 Francisco Javier Dias Revorio, Las Sentencias Intrepretativas del Tribunal Constitucional, (Valladolid: Lex Nova, 2001), hlm. 278. Sebagaimana dikutip dalam Allan R. Brewer-Carias, Ibid., hlm. 28. 200 Julia Iliopoulos-Strangas and Stylianos-Ioannis G. Koutna, Greek National Report, (c.l: c.n, 2010), hlm. 5. Sebagaimana dikutip dalam: Allan R. Brewer-Carias, Ibid. 201 Ibid., hlm. 29. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 penilaian sebuah kinerja lembaga legislatif melainkan semata-mata karena materi muatan dari sebuah norma yang diujikan. Pengujian oleh peradilan konstitusi selain dari segi proses bagaimana hukum yang berkembang dan kemungkinan kesalahan pembentukan hukum oleh legislatif, terdapat hal subtansi dalam konstitusi yang berkembang penafsirannya.202 Hampir semua negara menghendaki perubahan hukum yang dilaksanakan oleh peradilan konstitusi dengan adanya batasan. Konstitusionalitas tersebut tidak membuat manusia bertindak leluasa atas nama konstitusional. Pengujian konstitusionalitas yang tidak dibatasi dapat berimplikasi saling tumpang tindihnya organ negara terutama legislatif dan eksekutif secara langsung.203 Sehingga, perngujian norma dilakukan dengan pembatasan yang biasanya dilakukan melalui pembatasan prosedural.204 Oleh karena itu, peran peradilan konstitusi sebagai positive legislator merupakan pengaturan yang berpacu pada prosedur pembentukan hukum dan tidak dilihat sebagai sebuah pelampauan kewenangan.205 Pemahaman peradilan konstitusi sebagai positive legislator dalam negara demokrasi terlihat bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan. Tindakan perubahan hukum yang mencakup pemuatan pasal atau perubahan, membuat batasan antar lembaga negara menjadi kabur. Sehingga penafsiran yang dimiliki oleh peradilan konstitusi dan yurisdiksi pengujian konstitusional juga diwarnai oleh bentuk paham pemisahan kekuasaan yang ada. Oleh karena itu, kemungkinan adanya reaksi dari ######################################################## 202 Ibid., hlm. 29-30. 203 Daniel B. Rodriguez dan Barry R. Weingast, “The Positive Political Theory of Legislative History: New Perspectives on the 1964 Civil Rights Act and its Interpretation, “ Legal Studies Research Paper Series Northwestern University Research Paper No. 05-22, (November 2004), hlm. 90. 204 Bentuk pembatasan prosedural dapat dilihat di Indonesia, yakni dalam pengujian undang-undang pihak yang mengajukan harus dapat menunjukkan dua hal formil (prosedural) yakni kewenangan Mahkamah Konstitusi dan Kedudukan (Legal Standing) Pemohon selain materi yang diujikan. Indonesia, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 tahun 2003, LN No. 98 Tahun 2003, TLN No. 5035, Ps.10 dan Ps. 51. 205 Allan R. Brewer-Carias, “General Report: Constitutional Courts as Positive Legislators in Comparative Law”…loc.cit., hlm. 32. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 pemegang fungsi legislatif tidak mempermasalahkan peran sebagai positive legislator hanya terjadi dalam negara yang tidak melakukan pemisahan secara rigid. 2.5.3 Lingkup Peranan Peradilan Konstitusi dalam Pengujian UndangUndang dan Penegakan Konstitusi Peranan peradilan konstitusi sebagai positive legislator harus dilihat lingkup kewenangan dan pembatasannya di sebuah negara. Keberadaan peradilan konstitusi dalam mengawal konstitusi tidak dapat disamakan dengan legislatif sebagai parlemen.206 Akan tetapi, dalam mengawal tegaknya konstitusi, peradilan konstitusi merupakan constitutional legislator.207 Peradilan konstitusi dapat melakukan perubahan hukum dengan mempertimbangkan keberadaan subyek hukum yang dirugikan hak konstitsionalnya. Pola hubungan peradilan konstitusi unsur kekuasaan antara lain dalam menyelesaikan permasalahan konstitusional sebagai berikut: 1. Peradilan Konstitusi sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa Konstitusional dan Penegakan Konstitusi Prinsip supremasi konstitusi terutama konstitusi yang ditafsirkan secara rigid berakibat bahwa konstitusi dan peran konstitusional hanya dapat dilaksanakan oleh lembaga yang dibentuk oleh konstusi secara bersama-sama.208 Sehingga, dalam penegakkan konstitusi pada dasarnya tidak menjadi kewenangan sepihak sebuah lembaga seperti peradilan konstitusi. Keberadaan lembaga-lembaga bentukan konstitusi ini diharuskan berfungsi saling melengkapi satu sama lain untuk menegakkan konstitusi. Hubungan dengan kelembagaan lain yang berupa sengketa konstitusional dapat diklasifikasikan sebagai sebuah kasus yang harus dipersengketakan oleh peradilan konstitusi.209 Bentuk pengujiannya ######################################################## 206 Ibid., hlm. 36. 207 Ibid. 208 Jimly Asshiddiqie, Konstotusi dan Konstitualisme…op.cit,. hlm. 133. 209 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Konsolidasi Lembaga Negara, (Jakarta: Sekretarian Jenderal Mahkamah Konstitusi Indonesia, 2006), hlm. 153 sebagaimana juga beliau tulis dalam: Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, (Jakarta: Konpress, 2005) !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 merupakan pengujian konstitusionalitas apakah tindakan yang dilakukan oleh lembaga tersebut telah sesuai dengan konstitusi atau belum.210 Oleh karena itu, konteks penafsiran tindakan juga mencakup penafsiran atas tindakan lembaga negara. Oleh karena itu, apabila terjadi sengketa antar lembaga negara, hal yang dilakukan adalah dengan melihat konstitusi dalam perspektif yang rigid. 2. Pertimbangan Peradilan Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang Proses pelaksanaan pengujian konstitusi memang menjadi supremasi peradilan konstitusi yang dapat mengundangkan ketentuan konstitusi dalam pengujian undang-undang..211 Sehingga keberadaan lembaga selain peradilan konstitusi tidak dapat mengganggu gugat kewenangan sebuah lembaga konstitusi untuk menjabarkan penafsiran sebuah norma. Bentuk pengujiannya dapat di dasarkan pada keketapan konstitusional yang ada ataupun perkembangan konstitusionalitas yang dengan hidup mempertimbangkan di masyarakat dan amandemen konstitusi. Keberadaan lembaga lain harus melihat tindakan pengujian undang-undang sebagai tanggung jawab peradilan konstitusi dalam satu sistem kenegaraan.212 Pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan oleh Peradilan Konstitusi dalam menguji sebuah undang-undang tidak hanya pada ketentuan di dalam konstitusi itu saja. Akan tetapi, peradilan konstitusi terikat atas penafsiran konstitusi yang mereka lakukan pada pengujianpengujian sebelumnya. Serta, melakukan pertimbangan terhadap kewenangan legislatif dalam pembentukan undang-undang. Dalam hal ini, sebuah undang-undang dapat diubah sejalan dengan perkembangan hukum di dalam sebuah negara. Sehingga, pertimbangan pengujian undang######################################################## 210 Saikrishna B. Prakash dan John C. Yoo, “The Origins of Judicial Review,” loc.cit, hlm. 7. 211 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Konsolidasi Lembaga Negara…op.cit. Hal yang sama sebagaimana ditulis oleh Allan R. Brewer-Carias, “General Report: Constitutional Courts as Positive Legislators in Comparative Law”…loc.cit., hlm. 41. 212 Allan R. Brewer-Carias, Ibid., hlm. 43. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 undang juga harus masuk dalam sisi perkembangan hukum bentukan legislatif. 3. Peran Peradilan Konstitusi sebagai Penyelaras Norma UndangUndang terhadap Konstitusi Pengertian mengenai konstitusi termasuk norma hidup diantara masyarakat menimbulkan konsekuensi bahwa konstitusi yang dipahami sebagai dasar hidup bermasyarakat tidak mutlak segala konstitusi yang tertulis.213 Konstitusi yang dihadapkan dengan pengujian undang-undang, merupakan bukti konstitusi di sebuah negara tidak dijalankan secara rigid.214 Letak fleksibilitas sebuah konstitusi adalah memandang konstitusi tidak hanya sebagai hukum tertulis tetapi mempertimbangkan unsur hukum yang ada di dalam masyarakat. Sehingga, peran peradilan konstitusi dalam menyelaraskan undang-undang terhadap konstitusi dapat dilakukan penafsiran (perubahan konstitusi) dengan berdasarkan pada kebutuhan masyarakat. Bentuk perubahan yang dapat dlakukan oleh peradilan konstitusi antara lain mencakup hal:215 - Penyesuaian terhadap muatan Konstitusi dalam menjamin hak konstitusional (fundamental right).216 - Penyesuaian muatan konstitusi atas materi kelembagaan; Perihal penyesuaian yang dilakukan oleh peradilan konstitusi seringkali tidak dipahami sebagai sebuah tindakan yang konstitusional.217 Hal yang mendasari pendapat ini adalah keberadaan penafsiran konstitusi ######################################################## 213 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum…op.cit., hlm 71. 214 Untuk mewujudkan hal tersebut dapat merujuk pada pendapat C. F. Strong, bahwa perubahan konstitusi dapat dilakukan melalui tiga hal yakni perubahan oleh legislatif dengan limitasi tertentu, referendum oleh mayoritas negara bagian dan negara federal, serta konvensi ketatanegaraan. Hardjono, Legitimasi Perubahan Konstitusi: Kajian terhadap Perubahan UUD 1945, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, c.t), hlm. 47. 215 Allan R. Brewer-Carias, “General Report: Constitutional Courts as Positive Legislators in Comparative Law”…loc.cit., hlm. 45. 216 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi…op.cit.. 217 Allan R. Brewer-Carias, “General Report: Constitutional Courts as Positive Legislators in Comparative Law”…loc.cit., hlm. 47. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 dapat langsung diseseuaikan dengan perubahan.218 hanya Serta, kewenangan untuk melakukan perubahan biasanya dimiliki oleh lembaga khusus yang dapat berupa fusi antar beberapa lembaga atau memang lembaga yang kedudukannya khusus menangani amandemen atau perubahan. Oleh karena itu, di suatu sisi hasil penafsiran oleh lembaga peradilan seringkali tidak dianggap dan tidak memiliki kekuatan hukum. 2.5.4 Pengaruh Peradilan Konstitusi Terhadap Legislatif atas UndangUndang Hubungan antara Peradilan konstitusional terhadap pemegang fungsi legislatif (legislator) adalah sebuah hal yang khusus dan tidak dapat dipandang secara terpisah. Kekhususan ini dikarenakan dalam hal pembentukan aturan hukum, peradilan konstitusi secara jelas berhimpitan dengan proses legislasi itu sendiri. Keberadaan peradilan konstitusi terhadap legislatif tersebut dirumuskan antara lain sebagai berikut: 1. Peradilan Konstitusi Melengkapi Fungsi Legislatif dalam Menjaga Harmoni Ketentuan Norma terhadap Konstitusi. Perkembangan keberadaan peradilan konstitusi di sebuah negara tidak lagi sebatas pengawal konstitusi yang bertindak menjamin supremasi konstitusi.219 Sebagai lembaga yang berwenang sebagai penafisr undangundang, putusan peradilan konstitusi mengikat peradilan itu sendiri, dan secara umum kepada masyarakat atas konstitusionalitas dan inkonstitusionalitas sebuah norma. Tata cara penafsiran yang dilakukan menjadi kewenangan hakim yang duduk di dalam peradilan konstitusi. Kebebasan hakim dalam melakukan penafsiran membuka kemungkinan bahwa hakim konstitusi dapat mengintepretasikan tidak langsung pada konstitusi yang rigid.220 Hakim memiliki kebebasan dalam melihat apakah """""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 218 Hardjono, Legitimasi Perubahan Konstitusi: Kajian terhadap Perubahan UUD 1945….op.cit., hlm. 55. 219 Supremasi Konstitusi yang melekat pada sebuah Peradilan Konstitusi menjadikan keberadaan Peradilan Konstitusi itu sendiri sebagai Pengawal Konstitusi (The Guardian of Constitution). Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Rerfomasi…op.cit. 220 Herman Philipse, “Antonin Scalia’s Textualism in Philosophy, Theology, and Judicial Interpretation of the Constitution,” Utrecht Law Review Volume 3, Issue 2 (December 2007), hlm. 176. !!" Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 norma yang diujikan dengan pertimbangan atas harmonitas dan kenyamanan jika dilakukan pencabutan atau dinyatakan inkonstitusional. Terdapat perbedaan yang besar antara negara yang secara rigid memaknai konstitusi dan negara yang memaknai konstitusi secara progresif. Perbedaan mengimplementasikan tersebut keberadaan terletak pada perubahan bagaimana dan negara penafsiran dari konstitusi.221 Pemahaman mengenai harmoni dengan konstitusi ditinjau sampai dengan menganalisis dampak apabila terdapat norma yang dicabut atau dinyatakan inkonstitusional. Pertimbangan harmonisasi hukum juga dilihat secara menyeluruh atas peraturan yang dilaksanakan. Pernyataan inkonstitusionalitas sebuah norma dalam undang-undang dapat berakibat pada inkonstitusionalitas seluruh undang-undang atau hilangnya fungsi undang-undang itu sendiri. Oleh karena itu, peran peradilan konstitusi tidak hanya untuk memberikan ajudikasi atas norma tetapi sebagai penyelaras yang melengkapi hukum akibat putusan yang diambil. 2. Peradilan Konstitusi Melengkapi Legislatif Melalui Penafsiran Norma dalam Konstitusi Keberadaan peradilan konstitusi juga dianggap sebagai penyelaras konstitusi apabila tidak diaturnya sebuah norma. Sebuah peraturan dapat dikatakan inkonstitusional apabila tidak diaturnya hal-hal yang menurut penafsiran pengadilan konstitusi tidak dicantumkan.222 Kesalahan hukum dengan tidak diaturnya sebuah norma dapat diakomodasi dengan keberadaan peradilan konstitusi. Sehingga, bentuk pengujiannya tidak hanya mencabut sebuah norma tetapi harus memformulasikan norma apa yang tepat untuk dilekatkan.223 Oleh karena itu, pembentukan norma oleh ######################################################################################################################################################## 221 Allan R. Brewer-Carias, “General Report: Constitutional Courts as Positive Legislators in Comparative Law”…loc.cit., 69. 222 Salah satu pengaturannya terdapat pada Konstitusi 1996 Afrika Selatan yang telah menjabarkan keberadaan penafsiran Konstitusi oleh Peradilan Konstitusi termasuk kelanjutan dari norma yang diujikan terhadap peraturan pelaksanaan. Allan R. BrewerCarias, ibid., hlm. 88. 223 Ibid., hlm. 74. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 peradilan konstitusi melekat dengan adanya permohonan pengujian yang terbukti inkonstitusional. 3. Peradilan Konstitusi sebagai Pembentuk Norma Sementara Peradilan konstitusi dalam perspektif selanjutnya juga memiliki andil dalam mengisi kekosongan atas pengujian norma.224 Bentuk pencabutan yang dilakukan oleh peradilan kostitusi akan berdampak hukum pada norma secara keseluruhan. Pada dasarnya hal ini menjadi kewenangan dari legislatif untuk menindaklanjuti kekosongan hukum yang terjadi. Akan tetapi, dalam mengisi kekosongan hukum, peradilan konstitusi dapat mengisi sementara norma yang diujikan. Konteks sementara yang dimaksudkan adalah sampai legislatif membentuk norma yang baru itu sendiri. 4. Pengujian Undang-Undang tanpa Penafsiran Konstitusi Bentuk intepretasi yang sering bersinggungan dengan lembaga legislatif antara lain peranan peradilan yang hanya melakukan penafsiran atas norma yang diujikan tanpa memberikan penafsiran secara resmi konstitusi.225 Tindakan ini hanya melihat dari segi norma secara utuh tanpa mengharuskan memberikan penafsiran pada norma. Sehingga, apabila hasil dari penafsiran tersebut tidak sesuai, maka pengadilan akan menyatakan inkonstitusional atas dasar kesesuaian norma itu sendiri. ######################################################## 224 Ibid., hlm. 88. 225 Ibid., hlm. 108. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 BAB 3 KEDUDUKAN LEMBAGA NEGARA DALAM PROSES LEGISLASI DAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG 3.1 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai Pengawal Konstitusi (The Guardian of The Constitution) 3.1.1 Mahkamah Konstitusi RI dalam Perspektif Indonesia sebagai Negara Hukum Amandemen Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945, secara fundamental memberi ruang atas pembentukan Mahkamah Konstitusi.226 Kemudian, konsepsi ini juga secara sosial merupakan sebuah kebutuhan yang dapat dilihat secara filosofis historis. Secara filosofis historis, Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berdaulat dan menghargai harkat hidup warna negaranya dalam mencapai kesejahteraan.227 Akan tetapi, selama hampir lebih dari lima puluh tahun Indonesia merdeka, Indonesia masih belum memiliki sistem Kekuasaan Kehakiman yang dapat digunakan untuk menguji norma undangundang terhadap Konstitusi.228 Padahal, Undang-Undang Dasar 1945 diproyeksikan sebagai satu-satunya bukti adanya penyelenggaraan bernegara yang berdasarkan hukum. Hal ini menimbulkan permasalahan karena apa yang atur di dalam undang-undang haruslah merepresentasikan pencapaian hukum itu sendiri. Dalam perspektif tersebut, untuk mengetahui apakah norma yang diatur merepresentasikan kepentingan rakyat atau bukan dilakukan dengan mengujinya terhadap konstitusi sebagai kontrak sosial.229 ######################################################## 226 Allan R. Brewer Carias, “General Report: Constitutional Courts as Positive Legislators in Comparative Law”…loc.cit., hlm. 70. 227 Intrepetasi Peradilan Konstitusi adalah suatu medium yang dapat digunakan sebagai jembatan guna mencapai kaidah Undang-Undang Dasar 1945 yang memiliki kekuatan implementatif. Ibid., hlm. 38 228 Adapun dapat dilakukan pendekatan bahwa bentuk pengujian konstitusionalitas dapat diupayakan pada Peradilan Tata Usaha Negara, tetapi hanya sebatas pemenuhan individu. Sedangkan bentuk pengujian di Mahkamah Konstitusi merupakan pengujian norma yang berimplikasi secara umum. 229 Dapat dipahami lebih lanjut dalam Jean Jacques Rousseau, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip Hukum Politik…op.cit., hlm. 37. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Hal fundamental mengenai pengujian undang-undang terhadap UndangUndang Dasar yang tidak terwadahi oleh Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, telah ada gagasan oleh Yamin dalam rapat BPUPKI tentang toetsingrecht hak menguji undang-undang. Yamin mengatakan bahwa Mahkamah Agung harus memiliki kewenangan yang luas termasuk pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pendapat tersebut ditentang oleh Soepomo yang mengatakan bahwa peletakan kewenangan pengujian pada Mahkamah Agung itu hanya dapat ditemui di Amerika Serikat dan untuk beberapa negara Eropa dilakukan oleh organ khusus. Sehingga, berdasarkan kontradiski tersebut kewenangan pengujian undang-undang tidak dapat ditemui dalam UndangUndang Dasar 1945 sebelum Amandemen. Namun, pada dasarnya keberadaan hak pengujian ini telah diilhami sebagai sebuah kebutuhan fundamental berdirinya negara Indonesia.230 Pembahasan mengenai pengujian undang-undang terhadap UndangUndang Dasar 1945 tidak langsung dilekatkan pada sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia salah satunya terbentur oleh siapa lembaga yang berwenang melakukan pengujian.231 Dalam mempertimbangkan hal tersebut dapat ditelaah dengan melihat penerapannya di beberapa negara. Khusus untuk Amerika Serikat memang dilaksanakan oleh Supreme Court atau yang secara langsung ketika melihat Indonesia ada pada Mahkamah Agung. Penerapannya di Amerika Serikat memang dilaksanakan sebagaimana konsep peradilan umum dengan hakim-hakim yang khusus mengenai konstitusi, sehingga dikhawatirkan memunculkan pluralitas penafsiran.232 Akan tetapi, secara konseptual hal ini telah disiasati untuk tidak terjadi dengan adanya daya ikat doktrin preseden antar putusan.233 Artinya, ######################################################## 230 Satjipto Rahardjo, Sisi Lain Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kompas, 2003), hlm. 144. Sebagaimana dikutip: Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif…op.cit., hlm. 70. 231 Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VI Kekuasaan Kehakiman…op.cit., hlm. 553. 232 Ibid., 293. 233 Doktrin Preseden juga dikenal sebagai Stare Decisis yang menurut Blacks Law diartikan sebagai: “The doctrine of presedent, under which it is necessary for a court to !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 sekalipun dalam struktur Kekuasaan Kehakiman Amerika Serikat, peradilan umumnya dapat melakukan pengujian tetapi konsistensinya tetap dipertahankan karena harus merujuk pada putusan peradilan yang lebih tinggi. Sehingga kemungkinan pluralitas penafsiran Undang-Undang Dasar dalam pengujian undang-undang dapat dihindari. Pertimbangan kedua mengenai peletakan kewenangan dapat ditinjau dari negara Eropa Kontinental yang memiliki kewenangan pengujian terhadap konstitusi. Sistem Eropa Kontinental yang tidak menganut doktrin preseden sebagaimana Anglo Sakson, peletakkan kewenangannya dilakukan oleh organ tersendiri dan khusus mengenai pengujian konstitusionalitas.234 Keberadaan pluralitas yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum tersebut dapat dihindari karena memang hanya satu organ khusus saja yang dapat melakukan pengujian. Kemudian, dalam pertimbangan tersebut dapat dilihat bahwa kalau diterapkan di Indonesia pada awal kemerdekaan juga harus juga mempertimbangkan ada tidaknya ahli hukum yang mewadahi.235 Sehingga, dapat dilihat mengapa belum dilaksanakannya kewenangan pengujian undang-undang sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar karena alasan-alasan tersebut di atas. Perkembangan percaturan peranan lembaga negara di Indonesia termasuk dilaluinya masa Orde Lama dan Orde Baru, keberadaan kewenangan pengujian undang-undang ini semakin meningkat.236 Terutama pada masa Orde Baru yang seluruh sistem kekuasaan negara termasuk Kekuasaan Kehakimannya ######################################################################################################################################################## follow earlier judicial decision when the same points arise again in litigation.” Bryan A. Garner, ed. 18, Black’s Law…op.cit., hlm. 1443. 234 Pendapat I Dewa Gede Palguna dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dalam menanggapi pernyataan Hendi Tjaswadi. Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VI Kekuasaan Kehakiman…op.cit., hlm. 336. Juga dapat dibandingkan teori Mahkamah Kelsenian dalam: Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif…op.cit. hlm. 130 235 Hal ini merujuk pada pendapat Soepomo dalam Rapat BPUPKI pada saat penyusunan Undang-Undang Dasar 1945. Ahmad Syahrizal, ibid., hlm. 260. 236 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. viii. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 dikendalikan oleh Presiden.237 Sehingga, keberadaan undang-undang pada masa itu memungkinkan terjadi pertentangan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 tetapi tidak terakomodir karena tidak adanya kewenangan pengujian. Perkembangan mengenai kebutuhan akan mekanisme pengujian ini kemudian mendapatkan angin segar pasca reformasi 1999. Pengalaman atas kekuasaan absolut dan penggunaan undang-undangan sebagai kendaraan dalam melanggengkan kekuasaan ini kemudian mendorong para perumus perubahan Undang-Undang Dasar untuk mengadakan upaya hukum yang dapat dilakukan untuk menghindari hal tersebut.238 Setelah melalui pembahasan yang panjang dalam perumusan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, pada akhirnya kewenangan pengujian undangundang tertuang dalam sebuah lembaga baru dalam susunan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia yang diatur sebagai berikut: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut Undang-undang; dan ayat duanya berbunyi sebagai berikut; Susunan dan kekuasaan Badan-badan Kehakiman itu diatur dengan Undang-Undang. Dengan dibentuknya organ Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang mengawal Undang-Undang Dasar 1945, keberadaan Pasal 24 diubah sehingga secara keseluruhan btentang Kekuasaan Kehakiman. Di Indonesia, Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kemudian, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undangundang. Secara bersamaan dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945, disusun satu pasal terpisah yang ######################################################## 237 Sri Bintang Pamungkas, Dari Orde Baru Ke Indonesia Bari lewat Reformasi Total (Jakarta: Erlangga, 2001), hlm. 3. 238 Ibid., hlm. 6. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 secara keseluruhan bahwa; Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar; Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi, 239 yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden; Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi; Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara; Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang. Keberadaan Pasal 24 dan Pasal 24 C Undang-Undang Dasar 1945 ini kemudian secara menyeluruh memberi ruang baru dalam penegakan hukum di Indonesia. Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, jelas bahwa UndangUndang Dasar 1945 telah mengalami perubahan secara substansial, sehingga pokok-pokok pemikiran yang terkandung di dalamnya mengalami pergeseran dan perubahan mendasar terutama sebagai sebuah Negara Hukum.240 Dengan hal-hal substansial yang terkandung di dalamnya, ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat lagi disimpangi ataupun diabaikan begitu saja. Masyarakat dari segala elemen sampai dengan Presiden, dapat turut serta menjaga konstitusi yang mekanismenya telah terwadahi dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi. ######################################################## 239 Komposisi 9 (sembilan) orang Hakim Konstitusi dengan dipilih dari tiga lembaga negara yang berbeda merupakan adopsi dari sistem peradilan konstitusi di Korea Selatan dan Eropa. Ibid., hlm. 573 dan 328. 240 Jimly Asshidiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2008), hlm. 453. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Sehingga dalam penyelenggaraan negara, supremasi hukum dapat ditegakkan sesuai dengan asas-asas negara hukum. 3.1.2 Mahkamah Konstitusi sebagai Penafsir Undang-Undang Dasar dalam Uji Materiil Undang-Undang Penafsiran yang didasarkan pada norma yang hidup di masyarakat oleh Mahkamah Konstitusi juga merujuk pada Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.241 Diatur bahwa Hakim Konstitusi dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Pemahaman ini juga lahir dari pandangan bahwa hukum tidak hanya sebagai teks dan aturan yang berlaku. Hukum adalah masyarakat itu sendiri sehingga dalam melakukan penafsiran seorang hakim konstitusi harus mampu melihat keberadaan masyarakat sebagai sebuah hukum. Paham ini dikenal sebagai paham hukum progresif yang selaras dengan living constitution. Mahfud M.D. mengemukakan bahwa terdapat beberapa rambu-rambu konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi dalam menafsirkan konstitusi adalah harus berpegang pada original intent atau maksud sesungguhnya dari undangundang terhadap isi Undang-Undang Dasar.242 Perjalanan panjang pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi tidak hanya berwenang menguji dan menafsirkan undang-undang. Berkaitan dengan diubahnya kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara yang berwenang memakzulkan Presiden, Mahkamah Konstitusi bersama dengan DPR dan MPR bertindak sebagai organ negara yang dapat memakzulkan Presiden.243 Sehingga, ######################################################## 241 Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2008, LN. 157 Tahun 2009, TLN. 5076, Psl. 5 ayat (1). 242 Moh. Mahfud MD, “Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen UUD 1945,” makalah disampaikan pada Diskusi Publik tentang Wacana Amandemen Konstitusi yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) di Jakarta, tanggal 12 Juni 2008., hlm. 5. 243 Pembahasan mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam proses pemakzulan (impeachment) dapat dilihat dalam Naskah Komprehensif. Prof. Suwoto Mulyosudarmo berpendapat bahwa tidak seharusnya Mahkamah Konstitusi dapat memberi pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat terkait pemakzulan sehubungan dengan independensi lembaga negara. Akan tetapi sebagai lembaga negara yang menjalankan sengketa ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi pada akhirnya diberikan kewenangan turut serta dalam proses pemakzulan. Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VI Kekuasaan Kehakiman…op.cit., hlm. 518-521. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Mahkamah Konstitusi memiliki empat wewenang dengan satu wewenang khusus untuk memakzulkan Presiden. Kemudian, empat wewenang lainnya tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Setelah Amandemen, sebagai berikut:244 - Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; - Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; - Memutus pembubaran partai politik, dan; - Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Pratinjau mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi meliputi ke-empat tersebut diatas juga mengalami perdebatan panjang dalam rapat panitia Ad Hoc.245 Adapun diantara keempat wewenang Mahkamah Konstitusi, pembahasan mengenai kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 memiliki pembahasan lebih. Hal ini karena, pengujian undang-undang merupakan kewenangan fundamental yang perlu untuk dilihat secara mendalam terkait batasan dan lingkup kewenangan menguji undang-undang yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi. Pada perenapannya di Indonesia, seringkali digunakan istilah judicial review untuk menyebut kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang.246 Hal tersebut sangatlah keliru karena penggunaan judicial review tidak serta merta sama dengan pengujian undang-undang sebagaimana dilekatkan pada Mahkamah Konstitusi.247 Kekeliruan ini terjadi karena adanya anggapan di kalangan akademisi bahwa judicial review seringkali disamakan dengan hak menguji (toetsingrecht) yang hanya sebatas uji materiil. Kekeliruan ######################################################################################################################################################## 244 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 Setelah Amandemen, Psl. 24 C ayat (1). 245 Rapat pertama (atau rapat ke-51 dari keseluruhan) yang membahas mengenai Mahkamah Konstitusi diadakan pada tanggal 29 Juli 2000 atas usulan pada rapat tanggal 13 Juli 2000 saat membahas Mahkamah Agung. Pembahasan mengenai Mahkamah Konstitusi kemudian disimpulkan pada tanggal 10 Oktober 2001 dengan bentuk dan kewenangan sebagaimana tertuang di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasca Amandemen. 246 Penggunaan istilah judicial review dalam pergaulan hukum di Indonesia selain belum dipisahkan dengan hak menguji (toetsingrecht) juga dikarenakan penggunaan istilah tersebut di dalam perumusan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Lihat Naskah Komprehensif dan bandingkan dengan Hak Menguji (Toetsingrecht) di Indonesia. Fatmawati, op.cit., hlm. 5-9. 247 Ibid. hlm. 10. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 ini seringkali dianggap tidak bermasalah secara umum, tetapi jika ditelaah lebih lanjut dari maksud sesungguhnya (original intent) perumus Amandemen UndangUndang Dasar 1945 adalah hak menguji materiil (materiele toetsingrecht) bukan judicial review.248 Walaupun secara kasat mata tidak bermasalah, dalam dunia hukum tepatnya hal ini menjadi sebuah permasalahan karena menyangkut bagaimana kewenangan itu akan dijalankan. Sehingga, perlu untuk diperjelas terlebih dahulu tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang. Kemudian, dalam penerapannya di Indonesia, telah dibentuk susunan peraturan yang menegaskan tentang kewenangan hakim dalam menafsirkan undang-undang. Pasal 24 C Undang-Undang Dasar 1945 mengatur bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD 1945. Akan tetapi, jika menelusuri dalam Naskah Komprehensif Amandemen UndangUndang Dasar 1945, dapat ditemukan bahwa yang perumusan pasal 24C ayat 2 memuat aturan bahwa Mahkamah Konstistusi memiliki kewenangan untuk; Menguji undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawah undangundang (fungsi judicial review). Berdasarkan pemaparan tersebut, bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang turut menyinggung mengenai konsep judicial review. Adapun dalam perumusan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa kewenangan yang dilekatkan pada Mahkamah Konstitusi secara harfiah merupakan judicial review, akan tetapi yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah kewenangan toetsingrecht. Sehingga, secara fikosofis Mahkamah Konstitusi terikat pada doktrin-doktrin umum toetsingrecht dan bagaimana pengaturan di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.249 Pengaturan mengenai Mahkamah Konstitusi selain diatur dalam UndangUndang Dasar 1945, telah tertuang dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 ######################################################## 248 Ibid. hlm. 95. 249 Saikrishna B. Prakash and John C. Yoo, loc.cit.,hlm. 7. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam bagian Menimbang huruf c UndangUndang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, secara filosofis Mahkamah Konstitusi:250 Dibentuk sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dasar menimbang huruf b ini secara garis besar Mahkamah Konstitusi dibentuk dalam usaha menegakkan konstitusi.251 Sehingga, Mahkamah Konstitusi berkewajiban untuk menegakkan konstitusi terutama jika terdapat hak konstitusional warga negara yang terlanggar. Selain itu, dalam menegakkan konstitusi, Mahkamah Konstitusi terikat peraturan perundang-undang yang secara eksplisit mengatur dan doktrin peradilan pada negara hukum. Sebagai sebuah lembaga peradilan, Mahkamah Konstitusi bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi:252 Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Penegakan hukum dalam konsep filsafat memiliki banyak intrepretasi, adapun pendekatan-pendekatan terkait asas penegakan hukum secara garis besar adalah:253 """""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 250 Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun 2003, LN. 98 Tahun 2003, TLN. No. 4316. Dasar Menimbang. 251 Pemahaman lain penegakkan konstitusi juga dapat dikatakan sebagai The Guardian of The Constitution. Jimly Asshiddiqie, “Gagasan Negara Hukum Indonesia,“ http://jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf. diunduh pada 1 Juni 1012. hlm. 1. 252 Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi…,op.cit., Psl. 2. 253 Tim Pengajar Ilmu Negara, Ilmu Negara…op.cit., hlm. 29. !!" Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 1. Asas Kepastian Hukum Bahwa setiap orang dapat diterapkannya sebuah hukum terhadap peristiwa konkret yang terjadi. Bagaimana ketentuan hukum yang mengatur, maka hal tersebutlah yang harus dilaksanakan. Sehingga, tidak diharapkan terjadinya penyimpangan atas hukum yang dibentuk dan disepakati. 2. Asas Kemanfaatan Bahwa pelaksanaan dan penegakkan hukum harus memberikan kemanfaatan atau kegunaan kepada masyarakat karena hukum dibentuk untuk kepentingan masyarakat. Sehingga, tidak diharapkan terjadinya keresahan di dalam masyarakat karena hukum yang dibentuk tidak memberikan kemanfaatan. 3. Asas Keadilan Bahwa penegakkan hukum harus mampu menciptakan rasa keadilan bagi masyarakat. Peraturan atau hukum yang dibentuk pada dasarnya bersifat umum dan mengikat setiap orang akan tetapi penerapannya harus mempertimbangkan berbagai fakta dan keadaan saat terjadinya peristiwa hukum Ketiga hal tersebut diatas merupakan sebuah hal yang ihwal yang wajib dilaksanakan oleh para Hakim Konstitusi dalam melakukan penafsiran atas konstitusi.254 Sehingga, tidak terjadi tumpang tindih dalam melihat konstitusionalitas sebuah Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, Mahkamah Konstitusi harus bertindak secara konstitusional dalam menafsirkan konstitusi itu sendiri. Relevan dengan ini, Thomas Paine juga mengatakan bahwa lahirnya konstitusi itu bukanlah tindakan pemerintah melainkan tindakan rakyat untuk mengatur pemerintahan negaranya dan pemerintahan tanpa konstitusi adalah kekuasaan yang tanpa hak, sehingga pengujian undang- undang oleh Mahkamah Konstitusi juga harus berdasar pada ######################################################## 254 Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif…op.cit., hlm. 76. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 kesepakatan yang menjadi aturan tentang tindakan rakyat itu.255 Dapat juga merujuk pada pendapat Carl J. Friedrich yang mengatakan bahwa konstitusi di dalam pemikiran politik modern sangatlah khas karena konstitusi merupakan proses pengendalian aktivitas pemerintahan secara efisien.256 Sehingga pengujian undang-undang itu harus juga berpedoman pada original intent UUD yang merupakan dasar untuk mengendalikan tindakan-tindakan pemerintah, termasuk dalam membuat undang-undang tersebut. 3.1.3 Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Menurut Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Pengaturan mengenai struktur peraturan perundang-undangan di Indonesia terus mengalami perkembangan. Mulai dari hierarki perundang-undang tentang tata cara pembentukan dan tingkat lanjut dari peraturan perundang-undangan itu sendiri. Pertama, terkait dengan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia pada dasarnya mulai dikenal dengan adanya Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 tentang Peraturan tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Perumusan di dalam Undang-Undang tersebut mencakup tiga hal yakni Undang-Undang dan Perpu sebagai hierarki teratas, kemudian Peraturan Pemerintah dan terakhir Peraturan Menteri. Kemudian, susunan tata perundang-undangan ini terus mengalami perubahan sampai dengan dikeluarkannya Undang-Undang 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Tata urut peraturan perundang-undangan di UndangUndang No. 10 Tahun 2004, pada dasarnya disusun setelah dibentuknya Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, pengaturan di dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tidak memasukkan pengenai kedudukan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam tata urut peraturan perundang-undangan. Tata urut peraturan perundang-undangan sebagaimana di atur di dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tertuang di dalam pasal 7 yang bunyinya ######################################################## 255 Charles Howard McIlwain, Constitutionalism: Ancient and Modern, Cornell University Press, Ithaca, New York, 966, hal. 20., sebagaimana dikutip Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme…op.cit., hlm.4. 256 William G. Andrews, Constitutions and Constitutionalism…op.cit., hal. 9., sebagaimana dikutip Jimly Asshiddiqie, ibid., hlm.20. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 bahwa:257 Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; UndangUndang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah. Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi: 1. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubemur; 2. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota; 3. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. Pasal tersebut di atas sama sekali tidak menyinggung keberadaan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam tata urut peraturan perundang-undangan. Hal ini secara langsung dapat berakibat pada kedudukan peraturan pelaksana yang merujuk pada undang-undang setelah diujikan pada Mahkamah Konstitusi. Hal yang dapat dijadikan rujukan pada Undang-Undang ini adalah Pasal 7 Ayat (4).258 Bahwa, jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi dengan adanya undang-undang ini hanya diakui keberadaannya dan mempunyai daya hukum yang mengikat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa undangundang ini tidak memberikan daya ikat Putusan Mahkamah Konstitusi atas peraturan perundang-undangan lainnya. ######################################################## 257 Indonesia, Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 10 Tahun 2004, LN. 53., TLN. 4389., Psl. 7. 258 “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentak oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.” Ibid., Penjelasan pasal 7 ayat (4). !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Kemudian pada perkembangannya, Undang-Undang ini diubah dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan. Pengaturan di dalam hierarki peraturan perundang-undangan memang diubah sebagaimana tertuang di dalam pasal 7 ayat (1), yang mencantumkan tentang Ketetapan MPR tapi tidak memberi kejelasan tentang Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai bahan galian norma. 259 Bahwa, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; UndangUndang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Perubahan di dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tidak mengubah secara substansi keberadaan Putusan Mahkamah Konstitusi di dalam struktur hierarki peraturan perundang-undangan. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak dijelaskan apakah sebagai sebuah dasar rujukan untuk peraturan pelaksana dibawah Undang-Undang atau tidak. Selain itu, dengan tidak dimasukannya putusan Mahkamah Konstitusi berakibat pada materi peraturan pelaksanaan pada undang-undang apakah dapat diujikan ke Mahkamah Agung atau tidak setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi. Adapun demikian, Undang-Undang ini mengatur tentang tindak lanjut terhadap putusan Mahkamah Konstitusi dengan diatur di dalam Pasal 10 Ayat (1) huruf d dan Ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 (1) Materi muatan yang harus diatur dengan Undang- Undang berisi: d tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau (2) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden. Pasal 10 Ayat (1) huruf d ini memiliki penjelasan bahwa yang dimaksud dengan ”tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi” terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian Undang- Undang terhadap Undang######################################################## 259 Indonesia, Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, LN. No. 82 Tahun 2011, TLN. No. 5234., Psl. 7. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Materi muatan yang dibuat, terkait dengan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang yang secara tegas dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dan, pada Ayat (2) dijelaskan sebagai berikut: “Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum.” Selain itu, diatur di dalam Pasal 23 Ayat (1) huruf b yang berbunyi: “Dalam Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas: b. Akibat putusan Mahkamah Konstitusi.” 3.2 Kewenangan Pembentukan Undang-Undang dan Proses Legislasi di Indonesia 3.2.1 Kewenangan Pembentukan Undang-Undang di Indonesia Fungsi Legislasi dalam Undang-Undang Dasar 1945 Sebelum Amandemen menempatkan peranan yang lebih besar pada eksekutif dibandingkan pada lembaga legislatif.260 Hal ini dikarenakan pada pengaturan di dalam UndangUndang Dasar 1945 Sebelum Amandemen dapat ditafsirkan secara luas melalui undang-undang dan digunakan untuk mengendalikan kekuasaan.261 Selain itu, kekuasaan eksekutif menjadi begitu besar secara teknis dikarenakan adanya masa transisi antara Orde Lama dan Orde Baru.262 Oleh karena itu, pemahaman mengenai bagaimana fungsi legislasi di dalam Sebelum Amandemen selain berpijak pada ketentuan pasal di dalamnya tetapi juga dengan melihat tendensi untuk melanggengkan kekuasaan eksekutif masa Orde Baru karena belum tertatanya sistem presidensial di Indonesia. ######################################################## 260 Fase Pembentukan Undang-Undang pada periode sebelum Amandemen khususnya dalam masa Orde Baru dikenal sebagai executive heavy. Dengan adanya kewenangan yang begitu besar melekat pada Presiden, menjadi jalan melanggengkan kekuasaan politik oleh Presiden terpilih sampai tahap pengisian kursi DPR. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik…op.cit., hlm. 289. 261 Sri Bintang Pamungkas, Dari Orde Baru Ke Indonesia Bari lewat Reformasi Total…op.cit., hlm. 135. 262 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 134. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Undang-Undang Dasar 1945 Sebelum Amandemen mengatur tentang fungsi legislasi atau pembentukan undang-undang di dalam Pasal 5 Ayat (1) yang bahwa:263 Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) tersebut di atas, pemegang kekuasaan untuk membentuk undang-undang adalah Presiden. Kedudukan Presiden tidak lagi sebagai eksekutif tetapi merangkap sebagai pembentuk undang-undang.264 Kemudian, pengaturan mengenai kewenangan DPR dalam pembentukan undang-undang diatur di dalam Pasal 20 Ayat (1) bahwa;265 Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan pemaparan ayat tersebut di atas, dapat dilihat bahwa keberadaan DPR hanya sebagai manifestasi rakyat untuk memberikan persetujuan. A. Hamid S. Attamimi memberikan penafsiran bahwa keberadaan Pasal 5 Ayat (1) harus diartikan sebagai pemegang kewenangan pembentukan. Pendapat beliau didasarkan penafsiran secara semantik bahwa frasa “Presiden sebagai pemegang kekuasaan membentuk undang-undang” dan “dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat” diartikan bahwa Presiden yang memiliki kekuasaan dalam membentuk undang-undang dan DPR hanya melaksanakan pemberian persetujuan.266 Sehingga, menurut pandangan beliau pemegang kewenangan pembentukan undang-undang ada pada Presiden. Penafsiran dari Hamid Attamimi berbeda dengan penafsiran dari Wirjono Prodjodikoro yang menjelaskan bahwa pembentukan undang-undang harus menggabungkan norma yang terdapat pada Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 20 Ayat ######################################################## 263 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 Sebelum Amandemen, Pasal 5 ayat (1) 264 Keberadaan kekuasaan yang begitu besar pada presiden sejalan dengan pemikiran Soepomo yang menginginkan penyelenggaraan negara sejalan dengan sistem pemerintahan negara. Indonesia yang menganut sistem presidensial, maka kekuasaan harus lebih besar terletak pada pemerintah (concetration of responsibilitu and power in government) dan pemerintah harus tidak bergantung pada vetrouwwensvotum atau DPR. RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm. 365. Sebagaimana dikutip dalam: Saldi Isra, op.cit., hlm. 103. 265 Indonesia, op.cit., Pasal 20 ayat (1). 266 Attamimi, Peranan “Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan,” (Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 1992), hlm. 146. Sebagaimana dikutip dalam: Saldi Isra, op.cit., hlm 139. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 (1). Sehingga, menurut beliau yang dimaksudkan sebagai undang-undang adalah sebuah peraturan yang dibentuk atas kerja sama pemerintah dan DPR.267 Hal senada turut disampaikan oleh JCT. Simorangkir bahwa Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 20 Ayat (1) menegaskan kewenangan utama pembentukan undang-undang ada pada DPR. Kemudian, keberadaan Presiden dalam membentuk undangundang merupakan sebuah syarat konstitusional bagi penyusun suatu undangundang.268 Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim yang mengatakan bahwa kekuasaan Presiden dalam membentuk peraturan perundang-undangan merupakan patner bagi DPR.269 Artinya, Presiden bekerja sama dengan DPR dalam tugas legislatifnya yang diantaranya membuat undang-undang dan menetapkan APBN. Hal tersebut menimbulkan perdebatan diantara para akademisi Hukum Tata Negara adapun dalam prakteknya kekuasaan pembentukan undang-undang ada pada presiden270. Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 20 Ayat (1) di dalam UndangUndang Dasar 1945 Sebelum Amandemen secara jelas mendudukan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pembentukan undang-undang dan DPR hanya sebagai patner dalam melaksanaan kehidupan bernegara. Sekalipun pendekatan historis pada pendapat Muhamad Yamin di dalam perumusan Undang-Undang Dasar 1945 letak kekuasaan pembentukan undang-undang dipegang pada DPR,271 pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen tetap dilaksanakan sebagaimana bunyi pasal tersebut.272 Sehingga, pendapat yang senyata-nyatanya dilaksanakan atau terimplikasikan adalah pendapat Hamid Attamimi sekalipun empat akademisi yang berbeda pendapat dengannya memiliki argumen yang menguatkan. ######################################################## 267 Wirjono Prodjodikoro, Asaz-Asaz Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1971) hal 73. Sebagaimana dikutip dalam: Ibid., hlm. 140. 268 JCT. Simorangkir, Tentang dan Sekitar Dewan Perwakilan Rakyat, (Jakarta: Erlangga, 1972). Hal 13. Sebagaimana dikutip dalam: Ibid. 269 Ibid. 270 Sri Bintang Pamungkas, Dari Orde Baru Ke Indonesia Bari lewat Reformasi Total…op.cit. hlm. 135. 271 RM. A.B. Kusuma, op.cit., hlm. 365. 272 Sri Bintang Pamyngkas, op.cit., hlm. 5. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Berangkat dari perdebatan mengenai kedudukan DPR maupun Presiden dalam pembentukan undang-undang, pada saat reformasi upaya menciptakan proporsionalitas antara Presiden dan DPR begitu kuat.273 Sehingga, wacana kedudukan dan kewenangan DPR dan Presiden memiliki dibahas pada Amandemen I tanggal 19 Oktober 1999.274 Hasil rapat Panitia Perumus Perubahan Undang-Undang Dasar menghasilkan ketentuan sebagaimana kedudukan DPR dan Presiden seolah dikembalikan ke ranah pembagian kekuasaan sebagaimana mestinya. Pasal 5 Ayat (1) mengalami perubahan sehingga menjadi:275 Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Perubahan tersebut secara fundamental memperjelas posisi Presiden dalam pembentukan undang-undang sebagai patner dalam pengesahan undang-undang. Presiden hanya memiliki hak untuk mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR walaupun dalam persetujuan rancangan undang-undang tetap dibutuhkan persetujuan antar keduanya.276 Sehingga, pemegang kekuasaan pembentukan undang-undang tidak abu-abu antara Presiden dan DPR. Oleh karena itu, jika melihat isi pasal tersebut senada dengan pendapat Wirjono Prodjodikoro yang mengatakan bahwa Presiden hanya sebagai patner dalam kerja sama untuk membentuk undang-undang.277 Kemudian, dari sisi kewenangan DPR dalam membentuk Undang-Undang dilakukan perubahan yang fundamental. Pasal ######################################################## 273 Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Buku I: Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999-2001, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2010), hlm. 247. 274 Ibid., hlm. 45. 275 Indonesia, op.cit., Pasal 5 ayat 1. 276 “Maria Farida mengatakan bahwa meskipun perubahan UUD 1945 dikatakan memberi kewenangan legislasi kepada DPR, akan tetapi jika dibaca secara menyeluruh perubahan yang dilakukan secara normatif lebih menguatkan posisi Presiden dalam pembentukan undang-undang. Dalam studi yang dilakukan Blair Andrew King tentang kekuasaan Presiden Indonesia setelah 4 kali perubahan UUD 1945, dengan menggunakan skala Shugart-Carey ternyata kekuasaan legislatif Presiden justru tambah kuat dibanding sebelum perubahan.” Maria Farida Indrati, “Empowering The Presidency: Interest and Perceptions in Indonesia’s Constitutional Reform”, Disertasi doktor The Ohio State University. Colombus, 2004. hlm. 64. Sebagaimana dikutip dalam: Muarar Siahaan, “Uji Konstitusionalitas Peraturan Perundang-Undangan Negara Kita: Masalah dan Tantangan,” dalam Jurnal Mahkamah Konstitusi Volume 7 Nomor 4, Agustus 2010, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2010), hlm. 16. 277 Wirjono Prodjodikoro, op.cit. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 20 tidak hanya Ayat (1) yang diubah, melainkan secara keseluruhan yang juga memuat kelanjutan tentang pembahasan undang-undang sampai tahap pengundangan. Selain itu, ketentuan di dalam Pasal 21 juga mengalami perubahan atas pergeseran, sehingga menjadi: Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-undang; Setiap rancangan Undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama; Jika rancangan Undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan Undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu; Persidangan mengesahkan rancangan Undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi Undang-undang; Dalam rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undangundang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi Undang-undang dan wajib diundangkan. Yang sebelumnya berbunyi; Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan Undang-undang.278 Perubahan terkait dengan fungsi legislasi dalam lembaga tinggi negara menjadi bukti adanya peletakan yang jelas terkait pemisahan kekuasaan dan dimuat wacana baru tentang penguatan checks and balances system.279 Menanggapi perubahan Undang-Undang Dasar 1945, A. Mukhtie Fajar mengemukakan dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar bahwa terdapat setidaknya lima alasan mengapa harus dilakukan amandemen.280 Salah satu poin utama yang disampaikan adalah terkait dengan penguatan fungsi legislasi oleh ######################################################## 278 Sebelumnya berbunyi: (1) Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak memajukanrancangan Undangundang. (2) Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. 279 Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Buku I: Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999-2001..., op.cit., hlm. 337. 280 Abdul Mukhtie Fajar, “Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi Paradigmatik,” (makalah disampaikan pada Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 13 Juli 2002), hlm. 8-9. Sebagaimana dikutip dalam: Saldi Isra, op.cit., hlm. 165. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 DPR. Secara filosofis-yuridis, pernah dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No. X yang menempatkan lembaga legislatif sejajar dengan presiden.281 Hal tersebut senafas dengan keinginan untuk memperjelas sistem presidensial di Indonesia. Adapun terdapat perubahan di dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1), keberadaan Pasal 4 ayat (1) tetap dipertahankan dalam menegaskan bahwa Indonesia menganut sistem presidensial.282 Dalam rangka penguatan sistem presidensial dan penegasan pemegang kekuasaan legislasi, dijalankan dengan adanya pengawalan konstitusi oleh lembaga yudikatif (kekuasaan kehakiman). Hal ini meruapakan bentuk cheks and balances yang paling ideal dalam pembangunan hukum yang sinergis antara rakyat, penyelenggara pemerintahan dan diawasi secara materiil dengan diwadahinya undang-undang.283 pengujian Sehingga pasca amandemen, kewenangan pembentukan undang-undang dipegang oleh DPR dengan persetujuan Presiden terkait penguatan sistem presidensial di Indonesia. 3.2.2 Proses Legislasi di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Proses legislasi di Indonesia secara materiil mengalami perubahan setelah Amandemen UUD 1945 dengan menempatkan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara.284 Secara praktek ketatanegaraan, dengan berubahnya kedudukan MPR mengakibatkan tidak dikeluarkannya lagi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai acuan pembentukan undang-undang285. Selepas tidak dikeluarkannya GBHN, DPR dan Presiden membentuk Propenas dalam UndangUndang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional yang salah ######################################################## 281 Indonesia, Maklumat Wakil Presiden Komite Nasional Pusat: Pemberian Kewenangan Legislatif kepada Komisi Nasional Pusat, Maklumat Wakil Presiden No. X tahun 1965, Berita Republik Indonesia Tahun I No. 2. 282 Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi, (Jakarta: Gramedia, 2010), 272. 283 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm. 318. 284 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2…op.cit., hlm.24. 285 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang…op.cit.., hlm. 52. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 satunya memuat tentang Program Legislasi Nasional sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999.286 Ketentuan lebih lanjut mengenai Prolegnas pada Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 dapat dilihat dalam Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Prolegnas.287 Sehingga, pembentukan undangundang di Indonesia secara umum mengacu pada prolegnas yang telah ditetapkan tetapi tetap memungkinkan adanya pembentukan undang-undang di luar Prolegnas.288 Rancangan undang-undang yang tertuang dalam Prolegnas disusun berdasarkan skala prioritas.289 Pembagian skala prioritas di dalam Prolegnas terbagi dalam jangka menengah dan jangka panjang.290 Pemerintah dan DPR menyusun Prolegnas tidak secara bersamaan sebagai satu kesatuan melainkan terpisah dalam lingkungan masing-masing.291 Prolegnas yang diajukan oleh Presiden berada di bawah koordinasi Menteri Hukum dan HAM, sedangkan dari pihak DPR dikoordinasi oleh Badan Legislasi Nasional (Balegnas).292 Selanjutya, bahan penyusunan Prolegnas dikumpulkan oleh DPD, DPR dan Pemerintah untuk dibahas sehingga menjadi Prolegnas. Sejalan dengan proses pembahasan DPD melalui Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) menginventarisir masukan """""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 286 Indonesia, Undang-Undang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004, No. 25 Tahun 2000, LN No. 206 Tahun 2000, TLN No. -, Dasar Pertimbangan Huruf a. 287 Indonesia, Peraturan Presiden Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Pengelolaan Program Legislasi Nasional, Perpres No. 61 Tahun 2005. Sebagaimana dikutip pada Konrad Adenuer Stiftung dan PSHK, Memantau Parlemen Mendorong Lahirnya Legislasi: Panduan Praktis Pemantauan Legislasi, (Jakarta: PSHK, 2007), hlm. 12. 288 Indonesia, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, No. 11 Tahun 2012, LN No. 82 Tahun 2012, TLN No. 5234, Pasal 23 Ayat (1). 289 Ibid.,Pasal 20 Ayat (2). 290 Indonesia, Peraturan Presiden tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional, Perpres No. 61 Tahun 2005, Psl. 5. 291 Ibid., Pasal 6. 292 Badan legislasi merupakan salah satu alat kelengkapan DPR yang dibentuk pada tahun 2000. Berdasarkan Pasal 42 Keputusan DPR, No. 15/DPR-RI/I/2004-2005 tentang Peraturan Tata Tertib DPR. Dikutip pada Konrad Adenuer Stiftung dan PSHK,...op.cit., hlm. 21. !!" Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 dari anggota DPD, Panitia Ad Hoc, masyrakat dan daerah yang kemudian disampaikan kepada DPR untuk dibahas dan ditetapkan sebagai Prolegnas.293 Prolegnas yang sudah ditetapkan oleh DPR dan Pemerintah kemudian dilakukan pemantapan dan harmonisasi dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya dalam sebuah forum konsultasi yang dimoderasi oleh Menteri Hukum dan HAM. Pembahasan ini dihadiri oleh menteri-menteri lain, pimpinan LPND, pimpinan instransi pemerintah terkait lainnya, para ahli dari perguruan tinggi, organisasi di bidang sosial, politik, profesi atau kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan.294 Konsep Prolegnas ini nantinya harus memperoleh persetujuan Presiden sebelum diajukan pada DPR untuk dibahas dan disetujui.295 Kemudian, setelah konsep prolegnas disetujui oleh DPR dan Presiden kemudian masuk sebagai rancangan undangundang.296 Tahap selanjutnya setelah pengesahan Prolegnas sebagai Undang-undang, perancangan undang-undang dilakukan secara bertahap. Tahap perancangan RUU meliputi tiga tahap yakni tahap persiapan, terknik penyusunan dan perumusan, ketiga tahapan ini sering disebut sebagai perancangan.297 Proses perancangan RUU secara umum mengacu pada RUU yang telah disebutkan di dalam Prolegnas. Akan tetapi, dalam keadaan tertentu, DPR dan Presiden dapat ######################################################## 293 Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22 D ayat (1) yang berbunyi: ”Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.” Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 22D ayat (1). 294 Indonesia, Indonesia, Peraturan Presiden tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan…op.cit., Psl. 16. 295 Indonesia, Peraturan Presiden tentang Tata Cara…,op.cit., Psl. 17. 296 Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, DPR dan Presiden memegang peranan penting dalam menentukan arah kebijakan jangka pendek, menengah dan jangka panjang yang tertuang dalam Prolegnas. Selain itu ini juga mempertegas cheks and balances terutama dalam pembentukan undang-undang. Jimly Asshiddiqie, Perihal UndangUndang,…op.cit., hlm. 298. 297 Konrad Adenuer Stiftung dan PSHK,...op.cit., hlm. 13. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 mengajukan RUU di luar dari Prolegnas.298 Keadaan tertentu yang dimaksudkan meliputi: menetapkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (PERPU) menjadi Undang-Undang; meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional; untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi; untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana alam; serta keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh Baleg (DPR) dan Menteri Hukum dan HAM (Pemerintah).299 Pada prosesnya, terdapat tiga lembaga yang dapat melakukan proses perancangan yakni Presiden, DPR, dan DPD, adapun yang hanya memberikan persetujuan hanya Presiden dan DPR. Secara terperinci dapat dilihat sebagai berikut:300 1. Perancangan RUU oleh Presiden Berdasarkan ketentuan di dalam pasal 47 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang yang disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementrian, sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya.301 Kemudian, setelah disiapkan oleh menteri terkait, draft yang disiapkan oleh kementrian atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementrian menyerahkan kepada Menkum HAM. Draf rancangan undang-undang ini kemudian masuk dalam tahap pengharmonisasian,302 pembulatan,303 pemantapan, ######################################################## 298 Indonesia, Undang-Undang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan…op.cit., juncto., Dewan Perwakilan Rakyat, Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat 2009-2014, Psl. 101 ayat (2). 299 Ibid., Psl. 23. 300 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Psl. 5 ayat (1) juncto., Psl. 21 juncto., Psl. 22D ayat (1) juncto., Indonesia, Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, UU no. 27 Tahun 2009, LN123 Tahun 2009, TLN. No. 5043. Psl. 142. 301 Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, di Indonesia terlebih dahulu di atur oleh Undang-Undang 10 Tahun 2004 dan sebelumnya diatur dalam Keputusan Presiden No. 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang yang merupakan penyempurnaan dari Instruksi Presiden No. 15 Tahun 1970. Konrad Adenuer Stiftung dan PSHK,...op.cit., hlm. 14. 302 Proses Pengharmonisasian meliputi pemeriksaan secara vertikal dan horizontal untuk menghindari tumpang tindih pengaturan. Indonesia, Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan…op.cit., Lampiran, Bab III. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 pengkajian dan penyelarasan.304 Selain oleh segi rancangan yang disiapkan, pihak kementrian ataupun pimpinan lembaga pemerintah nonkementrian dapat menjadi pemrakarsa penyusunan RUU atas nama pemerintah. Draf hasil prakarsa tersebut tidak sepenuhnya harus mengikuti Prolegnas tapi harus mendapatkan izin dari Presiden. Pemrakarsa yang mengajukan izin kepada Presiden setidaknya memuat beberapa penjelasan terkait konsepsi pengaturan RUU yang meliputi:305 - urgensi tujuan dan penyusunan; - sasaran yang ingin diwujudkan; - pokok pikiran, lingkup atau obyek yang akan diatur; dan - jangkauan serta arah pengaturan. Kemudian, dalam proses penyusunan RUU harus sertai naskah akademis yang ketentuannya terlampir dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Kewajiban mengenai penyertaan naskah akademik adalah muatan baru dalam Undang-Undang No. 12 tahun 2011 dan berbeda dengan pengaturan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 yang tidak mewajibkan adanya naskah akademik.306 Pembuatan naskah akademik ini dapat diserahkan kepada pihak perguruan tinggi, pihak ketiga seperti Lembaga Swadaya ######################################################################################################################################################## 303 Pembulatan yang dimaksudkan adalah melihat satu pasal secara utuh dalam hal menghindari pengulangan. Ibid., Teknik Pengacuan No. 272. 304 Pengkajian dan Penyelarasan yang dimaksudkan adalah proses untuk mengetahui keterkaitan materi yang akan diatur dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya yang vertikal atau horizontal sehingga dapat mencegah tumpang tindih pengaturan atau kewenangan. Ibid., Penjelasan Psl. 19 ayat (3). 305 Konrad Adenuer Stiftung dan PSHK,...op.cit., hlm. 15. 306 Lihat Penjelasan tentang Naskah Akademis dalam Jimly Asshiddiqie, Perihal…op.cit., hlm. 319-323., dan Hal ini juga didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 142 Undang-Undang No. 27 Tahun 2009. Indonesia, Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat…op.cit., . Psl. 142. Bandingkan dengan Psl. 1 angka 11, Psl. 19 ayat (3), Psl. 33 ayat (3), Psl. 43 ayat (3), Psl. 44 ayat (1), (2), Psl. 48 ayat (1), beserta Penjelasan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011. Indonesia, Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan…op.cit. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Masyarakat ataupun organisasi profesi lainnya.307 Naskah akademik setidaknya memuat latar belakang, kajian teoritis berupa dasar filosofis, sosiologis, yuridis dan memuat kajian implementatif yang sudah disertakan dengan pokok materi yang akan diatur.308 Perancangan Undang-Undang meliputi perancangan yang didasarkan pada Prolegnas dan tidak dengan mengacu pada Prolegnas. Setelah pengesahan undang-undang Prolegnas, kemudian Pemrakarsa membentuk Panitia Antardepartemen yang terdiri dari perwakilan departemen dan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) terkait dengan substansi RUU.309 Panitia Antardepartemen ini nantinya akan membahas permasalahan yang bersifat prinsip megenai obyek yang akan diatur, jangkauan dan arah pengaturan. Pemrakarsa mengajukan surat permintaan keanggtaan Panitia Antardepartemen kepada MenkumHAM dan menteri atau pimpinan LPND terkait dengan melampirkan konsepsi, pokok-pokok materi dan bahan lainnya yang berkaitan dengan RUU yang hendak diajukan.310 MenkumHAM dan menteri/pimpinan lembaga terkait diberi waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah surat permohonan diajukan untuk menugaskan pejabat yang berwenang mengambil keputusan, ahli hukum serta perancang peraturan perundang-undangan yang secara teknis menguasai permasalahan terkait RUU.311 Pihak yang ditunjuk ini memiliki kewajiban untuk menyampaikan laporan atau menerima langsung dari menteri atau pimpinan LPND terkait mengenai perkembangan penyusunan ######################################################## 307 Indonesia, Peraturan Presiden tentang Tata Cara Mempersiapkan Randangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden, Perpres 68 Tahun 2005, Psl. 5 308 Indonesia, Undang-Undang Undangan…op.cit.Lampiran I. Pembentukan 309 Konrad Adenuer Stiftung dan PSHK,...op.cit., hlm. 16. 310 Ibid. Peraturan Perundang- 311 Indonesia, Peraturan Presiden tentang Tata Cara Mempersiapkan Randangan Undang-Undang, op.cit., Psl. 7. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 RUU beserta permasalahan yang dihadapi. Kemudian pemrakarsa diberi waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pengajuan surat permintaan untuk menetapkan surat keputusan pembentukan Panitia Antardepartemen.312 Pemrakarsa menunjuk seorang ketua yang akan melanjutkan perumusan draf RUU dengan kepala biro hukum atau satuan kerja yang menyelenggarakan fungsi di bidang peraturan perundang-undangan. Satuan kerja tersebut adalah satuan kerja yang bertugas melakukan kegiatan perancangan yang meliputi penyiapan, pengolahan dan perumusan. Hasil rancangan ini kemudian disampaikan kepada Panitia Antardepartemen untuk diteliti.313 Pembahasan RUU di tingkat Panitia Antardepartemen, pemrakarsa dapat mengundang para ahli dari lingkungan perguruan tinggi atau organisasi terkait untuk mengetahui aspek kebutuhan masyarakat. Setelah disepakati, ketua Panitia Antardepartemen akan menyetujui RUU yang kemudian akan diajukan MenkumHAM untuk dibahas bersama dengan DPR. Tahap selanjutnya MenkumHAM dan menteri atau lembaga terkait akan diberi waktu 14 (empat belas) hari kerja semenjak menerima RUU untuk memberikan pertimbangan dan paraf persetujuan.314 Jika terjadi perdebatan tentang materi muatan dalam RUU, maka MenkumHAM akan mengadakan pertemuan yang membahas keberlanjutan RUU tersebut. Untuk RUU yang tidak memiliki permasalahan dari segi substansi dan teknik perancangan perundang-undangan, akan disampaikan ke Presiden untuk nantinya dibahas dengan DPR. Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara perancangan RUU berdasarkan Prolegnas dan tidak berdasarkan Prolegnas. Untuk RUU yang disusun tidak berdasarkan pada Prolegnas, prosesnya hanya dimulai dengan adanya koordinasi pemrakarsa dengan pihak-pihak terkait dan harus dilengkapi dengan dasar-dasar urgensi dan ######################################################## 312 Ibid., Psl. 20 ayat (2) 313 Ibid, Psl. 10. 314 Ibid., Psl. 14. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 poin-poin yang mendukung megapa perlu dibuatnya undang-undang tersebut.315 2. Perancangan RUU oleh DPR Perancangan RUU oleh DPR mencakup beberapa elemen seperti Fraksi, Badan Legislasi (Baleg), dan Komisi.316 RUU yang berasal dari Fraksi dipersiapkan oleh partainya dengan mempersiapkan tim pakar. Kinerja tim pakar ini meliputi mengumpulkan masukan-masukan dari konstituennya (masyarakat) melalui dewan pengurus pusat dan dewan pengurus daerah partai. Sedangkan untuk Badan Legislasi maupun tim ahli dari fraksi memiliki mekanisme sendiri-sendiri. Adapun di dalam penyusunan RUU, pihak perumus wajib menyertakan naskah akademis sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011.317 RUU yang disusun oleh Badan Legislasi biasanya meminta tiga universitas untuk melakukan penelitian dan sosialisasi atas hasil penelitian tersebut. Tata Tertib DPR mengatur dengan jelas partisipasi masyarakat dalam pembuatan undang-undang sehingga dalam tahap perancangan RUU fungsi kepartaian (fraksi) sangatlah penting.318 Selain itu, masyarakat dapat langsung memberikan masukan secara tertulis maupun lisan kepada DPR. Untuk masukan yang berbentuk tertulis, dapat langsung disampaikan kepada pimpinan DPR untuk dipertimbangkan apakah akan diagendakan untuk dibahas atau tidak. Akan tetapi, pada prakteknya partisipasi masyarakat jarang dilakukan secara terbuka.319 Pengusulan rancangan RUU tidaklah mudah karena pembuatannya tidaklah mudah ######################################################## 315 Indonesia, Undang-Undang Undangan…op.cit. Psl. 23 ayat (2) huruf b. Pembentukan Peraturan Perundang- 316 Dewan Perwakilan Rakyat, Tata Tertib…op.cit., Psl. 99 ayat (2). juncto., Indonesia, Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat…,op.cit., Psl. 143. 317 Pada dasarnya pengaturan mengenai penyertaan Naskah Akademik telah termuat di dalam Pasal 142 ayat (2) Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Indonesia, Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat…,op.cit., Psl. 142 ayat (2). 318 Dewan Perwakilan Rakyat, op.cit., Pasal 208 juncto., Pasal 203. 319 Konrad Adenuer Stiftung dan PSHK,...op.cit., hlm. 22. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 sehingga seringkali keran partisipasi masyarakat diperbantukan dan diakomodasi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat ataupun instansi nonpemerintah lainnya.320 3. Perancangan RUU oleh Dewan Perwakilan Daerah Perancangan RUU selanjutnya dapat dijalankan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terutama dalam menjalankan fungsinya sebagai fungsi representasi. Perancangan RUU diserahkan pada individu atau panitia akan mengusulkannya dan nantinya akan dibahas dalam Rapat Paripurna DPD. Penyusunan dan pembahasan RUU dari DPD dilakukan melalui dua tingkat pembicaraan. Tingkat I dalam Rapat PAG, Rapat Gabungan PAH, Rapat PPUU serta Rapat Panitia Khusus (Pansus) yang melaksanakan:321 - Inventarisir materi berupa penyerapan aspirasi masyarakat dan daerah; - Menyusun dan membahas Daftar Inventaris Masalah (DIM); - Menyusun dan membahas naskah akademis dan RUU berdasarkan inventarisasi materi dan DIM; - Uji sahih yang dilakukan dalam bentuk Rapat Kerja, RDPU, telaah sejawat (peer review); - Melakukan harmonisasi, pembulatan dan pemantaoan konsepsi antara RUU dengan Pancasila, tujuan nasional, UUD, dan memuat unsur yuridis, sosiologis dan politis. Pada tingkat selanjutnya dalam Sidang Paripurna yang merupakan pengambilan keputusan dengan didahului oleh laporan alat kelengkapan DPD mengenai hasil pembicaraan tingkat pertama. Dalam proses di tingkat pertama terutama mengenai inventarisasi dan penyusunan DIM, DPD dapat mengundang para ahli dan masyarakat sesuai dengan bidangnya.322 ######################################################## 320 Ibid, hlm. 20. 321 Dewan Perwakilan Daerah, Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah 2010, Psl. 322 Ibid., Psl. 124. 125. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Tahap selanjutnya dari perancangan RUU di masing-masing pihak adalah tahap pengusulan RUU. Pengusulan RUU dapat dilaksanakan oleh Presiden, DPR dan DPD baik yang berpedoman pada Prolegnas dan di luar Prolegnas untuk keadaan tertentu. Adapun secara terperinci dapat dilihat sebagai berikut: 1. Pengusulan RUU oleh Presiden Usulan RUU yang datang dari Presiden disampaikan kepada Ketua DPR dengan mengirimkan Surat Presiden yang disertai dengan Keterangan Pemerintah dan tembusan kepada Wakil Presiden, para menteri koordinator, menteri yang ditugasi untuk mewakili Presiden, pemrakarsa RUU dan Menkum HAM.323 Surat Presiden setidaknya memuat penunjukkan menteri yang ditugasi untuk mewakili Presiden dalam pembahasan RUU dengan DPR.324 Sementara Keterangan Pemerintah disiapkan oleh pemrakarsa dengan berisi urgensi, dan pokok tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan, pokok pikiran, lingkup atau obyek yang akan diatur dan jangkauan serta arah pengaturan yang menggambarkan keseluruhan substansi RUU.325 Menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam pembahasan yang memiliki kewajiban untuk melaporkan perkembangan dan permasalahan yang dihadapi pada Presiden terutama hal yang berpotensi mengubah isi serta arah RUU.326 Menteri yang ditunjuk ini memiliki tugas untuk membahas sampai dengan menyampaikan pendapat akhir pemerintah dalam pembahasan RUU di DPR dan melaporkan kepada Presiden. RUU yang tidak disetujui bersama untuk dibahas oleh Presiden dan DPR tidak dapat diajukan kembali dalam masa sidang yang sama. ######################################################################################################################################################## 323 Indonesia, Peraturan Presiden tentang Tata Cara Mempersiapkan Randangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan…op.cit., Psl. 26. 324 Indonesia, Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, op.cit., Psl. 144. 325 Indonesia, Undang-Undang Undangan…op.cit. Psl. 19 ayat (2). 326 Pembentukan Peraturan Perundang- Konrad Adenuer Stiftung dan PSHK,...op.cit., hlm. 26. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Surat Presiden yang ditujukan kepada pimpinan DPR nantinya akan diberitahukan kepada anggota DPR pada Rapat Paripurna. Pada rapat Paripurna berikutnya akan dimasukkan agenda pembahasan mengenai RUU yang disampaikan oleh Presiden. Khusus untuk RUU yang berkaitan dengan kewenangan DPD, maka RUU juga disampaikan kepada DPD. Kemudian DPR akan membahas RUU dari Presiden paling lambat 60 (enam puluh) hari semenjak Surat Presiden.327 Pengajuan RUU ini masih dapat ditarik kembali selama belum masuk Tahap I pembahasan. Jika telah masuk Tahap I, maka penarikan harus disertai dengan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.328 2. Pengusulan RUU oleh DPR Pengusulan oleh DPR dapat dilakukan oleh Badan Legislasi, Komisi dan Gabungan Komisi serta minimal lima belas orang anggota DPR secara kolektif. Pengajuan usul inisiatif dari DPR disampaikan secara tertulis pada pimpinan DPD oleh beberapa anggota DPR atau pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, atau pimpinan Baleg dengan menyertakan keterangan atau naskah akademik yang mendasari pemikiran RUU yang diajukan.329 Keterangan dan naskah akademik yang diajukan sudah ditanda tangani oleh pengusul fraksi setelah dilakukan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi. Selanjutnya, Pimpinan DPR meminta Badan Musyawarah DPR (Bamus) untuk menjadwalkan RUU usul inisiatif untuk dibahas dalam rapat paripurna guna mendapatkan persetujuan dari seluruh anggota DPR sebagai RUU usul DPR.330 RUU inisiatif yang telah diterima, Pimpinan DPR akan memberitahukan kepada anggota DPR dengan membagikan naskah akademik. Kemudian akan diadakan Rapat Paripurna untuk memberikan ######################################################## 327 Indonesia, Undang-Undang Undangan…op.cit. Psl. 19 ayat (2). Pembentukan Peraturan Perundang- 328 Ibid., Psl. 70 ayat (2). 329 Konrad Adenuer Stiftung dan PSHK,...op.cit., hlm. 29. 330 Indonesia, Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat…,op.cit., Psl. 90. !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 kesempatan untuk seluruh anggota fraksi untuk memberikan pendapatnya dan kemudian memutuskan apakah RUU tersebut secara prinsip telah diterima. Pengusul berhak mengusulkan dan mengajukan perubahan atas RUU tersebut selama belum dibahas di Bamus. Perihal penarikan dapat dilakukan apabila belum ditetapkan dalam Rapat Paripurna sebagai usulan resmi DPR untuk dirapatkan bersama dengan presiden. Terakhir, Rapat Paripurna akan memutuskan apakah usulan tersebut diterima atau tidak. Keputusan Rapat Paripurna ini dapat berupa persetujuan tanpa perubahan, dengan perubahan atau penolakan.331 Untuk RUU yang disetujui maka akan disampaikan kepada Presiden melalui Menteri Sekretariat Negara (Mensekneg) dan disertai dengan permintaan untuk menunjuk menteri yang akan mewakilinya dalam membahas RUU tersebut. Tahap selanjutnya, DPR akan mendapatkan Surat Presiden dan akan mengkoordinasikan pembahasannya dengan MenkumHAM dan menteri/LPND. Pihak pemerintah nantinya akan menyiapkan pandangan dan pendapat pemerintah serta saran penyempurnaan dalam bentuk Daftar Inventaris Masalah yang disampaikan kepada Presiden. Pembahasan tersebut bertujuan untuk melihat arahan dan petunjuk terkait pembentukan RUU selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari Presiden harus menunjukkan perwakilan serta pendapat Presiden.332 Selain itu, DPR juga mengirimkan tembusan kepada DPD untuk dimintakan pendapat dan pandangan terkait RUU tetapi tidak memiliki kewenangan persetujuan atas kelanjutan RUU tersebut. 3. Pengusulan RUU oleh DPD Undang-Undang Dasar 1945 Pasca Amandemen, mengatur bahwa DPD dapat memberikan usulan tetapi terbatas pada RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam ######################################################## 331 Ibid., 143 ayat (3). 332 Indonesia, Undang-Undang Undangan…op.cit. Psl. 60. Pembentukan Peraturan Perundang- !"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 dan sumber daya ekonomi lainnya; serta hal-hal yang berkaitan dengan perimbangan pusat dan daerah.333 DPD dapat menyampaikan secara tertulis melalui Pimpinan DPD yang disertai dengan penjelasan, keterangan dan naskah akademik. Pemberitahuan dan penyampaian usulan ini dilakukan oleh Pimpinan DPD dengan diberikan kepada anggota DPR untuk diproses melalui Bamus. Kemudian, Bamus akan menunjuk Komisi atau Badan Legislasi untuk membahas RUU usul DPD. Pihak yang ditunjuk oleh Bamus akan membahas dengan alat kelengakapan DPD, maksimal sepertiga dari jumlah DPR untuk membahas RUU usulan tersebut. Alat kelengkapan DPD ini wajib hadir dalam waktu 30 (tiga puluh) haris ejak undangan dari Komisi atau Baleg. Hasil pembahasan ini akan disampaikan pada paripurna dan diproses sebagaimana RUU usulan DPR.334 Tahap selanjutnya setelah pengusulan RUU adalah pembahasan dan tahap pengesahan. Pembahasan RUU antara DPR dan Presiden terdiri dari dua tingkat pembicaraan.335 Rapat tingkat pertama adalah rapat dalam Komisi, rapat Baleg ataupun Pansus. Sedangkan pembahasan tingkat II adalah Rapat Paripurna DPR. Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan urutan sebagai berikut:336 1. Agenda awal pembahasan di tingkat I biasanya menyepakati jadwal pembahasan antara DPR dengan Pemerintah. Rapat ini nantinya akan menyepakati bahan-bahan yang akan digunakan dalam proses pembahasan. 2. Setelah disepakati tentang jadwal dan bahan-bahan yang akan digunakan selama proses pembahasan, setiap fraksi diberikan kesempatan memberikan pandangan terhadap draft RUU serta proses yang akan digunakan dalam pembahasan RUU. """""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 333 Indonesia, Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat…,op.cit., Psl. 71 huruf c. 334 Indonesia, Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat…op.cit., Psl. 154 ayat (4). 335 Ibid., Psl. 148. 336 Ibid., Psl. 149. !!" Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 3. Untuk RUU yang berasal dari Presiden, pembicaraan tingkat I didahului dengan pandangan pfraksi-fraksi atau pandangan fraksifraksi dan juga DPD terkait dengan kewenangan DPD. Apabila RUU yang diajukan merupakan inisiatif dari DPR, didahului dengan pandangan dan pendapat Presiden dan juga DPD apabila RUU berkaitan dengan kewenangan DPD. 4. Tanggapan Presiden atas pandangan fraksi atau tanggapan pimpinan alat kelenggkapan DPR atas pandangan Presiden. Biasanya, perdebatan tidak langsung selesai atau final karena banyak hal yang masih belum memiliki kesepakatan akan dibahas di tingkat selanjutnya oleh Panitia Kerja. 5. Pembahasan RUU oleh DPR dan Presiden berdasarkan Daftar Inventaris Masalah yang telah di susun dan dapat dilakukan beberapa beberapa hal, sebagai berikut: a. Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU); b. Mengundang pimpinan lembaga negara dan lembaga lain apabila materi RUU berhubungan dengan lembaga negara lain; c. Diadakan rapat intern; Tahap selanjutnya, Komisi menyelenggarakan lagi sidang lagi sidang komisi. Agenda utama adalah laporan hasil kerja Panitia Kerja dan pandangan fraksi-frasi terhadap hasil kerja Panitia Kerja. Apabila masih ada yang belum disepakati dan disetujui, maka biasanya diserahkan kembali ke Panja untuk penyelesaian. Jika tetap ada yang belum disepakati, maka masalah tersebut akan dibawa dan diputuskan pada tingkat II dalam sidang paripurna.337 Tahap terakhir adalah pembicaraan tingkat II yang merupakan tahap pengembalian keputusan dalam rapat paripurna. Secara umum, pembicaraan tingkat II dilakukan dengan pembacaan laporan akhir dari pimpinan Komisi Baled, Panitia Anggaran, atau Pansus yang membahas RUU tersebut pada tingkat I. Setelah itu, dilanjutkan dengan pembacaan pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya. Hasil rapat tersebut nantinya akan ditutup dengan pengambilan ######################################################## 337 Ibid., Psl. 151. !""# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 keputusan Rapat Paripurna atas RUU yang dibahas. Pengambilan keputusan biasanya diambil dengan suara bulat dari fraksi-fraksi yang ada di DPR. RUU yang telah disahkan menjadi Undang-Undang nantinya akan dikirimkan ke Sekretariat Negara guna ditandatangani oleh Presiden, diberi nomor dan diundangkan.338 ######################################################## 338 Indonesia, Undang-Undang Undangan…op.cit. Psl. 72. Pembentukan Peraturan Perundang- !"!# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 BAB 4 IMPLIKASI PERAN MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI POSITIVE LEGISLATOR TERHADAP PROSES LEGISLASI DALAM KASUS SYARAT DOMISILI ANGGOTA DPD PADA PUTUSAN NO. 10/PUU-VI/2008 4.1 Analisis Pencatuman Syarat Domisili oleh Mahkamah Konstitusi pada Putusan 10/PUU-VII/2008 4.1.1 Mahkamah Konstitusi sebagai Supremasi Konstitusi dalam Pemisahan Kekuasaan di Indonesia Indonesia dengan melandaskan kehidupan bernegaranya pada UndangUndang Dasar 1945 memberikan legitimasi penuh bagi lembaga-lembaga negara bentukannya untuk menyelenggarakan kehidupan bernegara.339 Penerapan doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power) melahirkan lembaga-lembaga negara di Indonesia yang terbekali oleh kekuasaan-kekuasaan terpisah untuk menjalankan kehidupan bernegara. Keberadaan Presiden, DPR, Mahkamah Konstitusi dan lembaga negara lainnya menjalankan fungsi yang terpisah dengan sistem check sebagaimana dijelaskan oleh Vile dan merupakan sebuah konsep pemisahan kekuasaan tidak murni.340 Indonesia merupakan sebuah negara yang menerapkan separation of power dengan checks and balances, dan masing-masing lembaganya tidak seperti apa yang dicetuskan doktrin seutuhnya. Salah satu contohnya adalah peran masing-masing lembaga yang saling mengimbangi satu sama lain, seperti Presiden yang mengimbangi fungsi DPR dalam pembuatan undang-undang. Lembaga-lembaga negara di Indonesia dalam pembentukannya, memiliki keterbatasan untuk menghindari kekuasaan yang absolut sebagaimana teori John Locke dan Montesquieu yang teorinya berlandaskan hal tersebut.341 Setelah era $$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$ 339 Lihat superlegalitas konstitusi. Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif…op.cit., hlm. 261. 340 Teguh Satya Bhakti, “Perbandingan Konsep Trias Politica Menurut John Locke, Montesquieu, dan Undang-Undang Dasar…op.cit. 341 John Locke, ed., op.cit., !"#$ Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Orde Baru, banyak pembelajaran penting terkait dengan lembaga negara yang salah satunya adalah tidak satu tangannya kekuasaan membuat undang-undang dan melaksanakan undang-undang.342 Akan tetapi, pada perjalanannya dalam ketatanegaraan Indonesia di dalam Amandemen Undang-Undang Dasarnya, memasukkan Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman yang menjawab kebutuhan masyarakat sejalan dengan meningkatnya kesadaran hukum.343 Keberadaan Mahkamah Konstitusi, semakin memperkokoh sistem ketatanegaraan Indonesia yang menghindari adanya genangan kekuasaan pada satu pihak saja. Oleh karena itu, tidak lagi memandang bahwa jumlah hakim konstitusi dibandingkan jumlah anggota DPR, melainkan sebagai satu kesatuan sistem yang sejajar karena masing-masing lembaga menjalankan fungsi yang vital tapi berbeda satu sama lain.344 Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan pengaturan yang jelas dan dengan merujuk pada teori Jimly Asshiddiqie tentang muatan konstitusi, maka dapat diklasifikasikan sebagai berikut:345 - Undang-Undang Dasar 1945 dalam menentukan pembatasan kekuasaan organ negara; Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan pembagian antar lembaga negara dengan tegas. Letak kekuasaan eksekutif yang dipegang oleh Presiden dan dibantu oleh menteri. Kekuasaan legislatif yang dimiliki oleh DPR dan DPD sebagai lembaga perwakilan bersama dengan MPR. Kekuasaan Kehakiman yang terbagi pada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Serta dengan adanya Badan Pemeriksa Keuangan sebagai lembaga negara yang berfungsi memeriksa keuangan negara. - Undang-Undang Dasar 1945 dalam mengatur hubungan antara lembagalembaga negara; $$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$ . 342 Eoin Carolan, The New Separation of Powers: A Theory for the Modern State…op.cit., hlm. 9. 343 Rem Kowerteg, op.cit. 344 William G. Andrews, op.cit., sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitutionalisme…op.cit., hlm. 23. 345 Jimly Asshidiqqie, ibid., hlm. 27. !"#$ Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Undang-Undang Dasar 1945 tidak memberikan substansi secara menyeluruh mengenai pengaturan hubungan antar lembaga negara. Akan tetapi dalam satu kesatuan checks and balances, masing-masing lembaga negara saling mengawasi satu sama lain. - Undang-Undang Dasar 1945 mengatur hubungan antara lembaga-lembaga negara dengan warga negara; Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 melahirkan lembaga baru dan menata kembali struktur kedaulatan warga negara. Keberadaan warga negara tidak hanya ditempatkan sebagai pihak yang menyerahkan kedaulatannya tetapi dapat meminta pertanggungjawaban pada representasinya. Selain itu, dengan diwadahinya pengujian undangundang oleh Mahkamah Konstitusi, menjadi semakin besar keikutsertaan warga negara dalam pengawasan pemenuhan haknya dalam undangundang bentukan Pemerintah dan DPR. Mahkamah Konstitusi sebagai wujud supremasi konstitusi memiliki peranan yang begitu besar dalam menegakkan superlegalitas konstitusi.346 Kedua hal tersebut tidak dapat terpisahkan sebagai sebuah negara hukum yang menjunjung tinggi mendasarkan kehidupan bernegaranya berdasarkan hukum.347 Kesepahaman antara supremasi konstitusi dengan superlegalitas konstitusi menghadirkan Mahkamah Konstitusi yang hidup dalam menjamin kontrak sosial antara warga negara dengan negara dapat berjalan dengan baik.348 Selain itu dari segi kelembagaan, Mahkamah Konstitusi juga berdiri sebagai lembaga yang menyelesaikan sengketa ketatanegaraan merupakan implementasi supremasi $$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$ 346 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Konsolidasi…op.cit., hlm. 153 sebagaimana dibahas lebih lanjut dalam: Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif…op.cit., hlm. 68. 347 Perspektif Kelsen dalam Hans Kelsen, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif [Pure Teori of Law], diterjemahkan oleh Raisul Muttaqin, (Bandung: Nusamedia, 2008), hlm. 317., dan dipertegas oleh William G. Andrews, Constitutions and Constitutionalism Ed. 3 (New Jersey, Van Nostrand Company, 1968), hlm. 13. Sebagaimana dikutip dalam: Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme...op.cit., hlm. 23. 348 Jean Jacques Rousseau, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip Hukum Politik…op.cit., hlm. 37. !"#$ Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 konstitusi.349 Oleh karena itu, peletakan dasar kewenangan dan pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi tidak terlepas dari filosofi sebagai pengawal konstitusi. 4.1.2 Perspektif Filosofis, Yuridis dan Sosiologis Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia Kehadiran Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi memberi dampak yang luas baik secara filosofis, yuridis ataupun sosiologis. Dari segi filosofis kehadiran Mahkamah Konstitusi adalah bentuk pemenuhan kebutuhan dalam menjalani kehidupan bernegara. Indonesia sebagai negara hukum terikat secara konstitusional untuk memberikan jaminan bahwa pelaksanaan kontrak sosial dapat terlaksana dengan baik.350 Undang-Undang Dasar 1945 selain memberikan koridor tujuan kehidupan bernegara dengan struktur kelembagaannya termasuk terwadahinya mekanisme untuk menuntut pemenuhan hak konstitusional. Secara filosofis, hal tersebut merupakan tindakan negara untuk menjamin hak konstitusional warga negaranya.351 Kebaradaan Mahkamah Konstitusi kini menjadi sangat vital dalam sebuah negara hukum yang secara filosofis membawa bangsa Indonesia ke tahap kedaulatan rakyat dengan demokrasi konstitusional.352 Keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaran di Indonesia, dalam prakteknya Mahkamah Konstitusi adalah bagian dari kekuasaan yudikatif sehingga tunduk pada doktrin-doktrin negara hukum lembaga yudikatif. Sebagaimana pendapat John Alder bahwa rupa pemisahan kekuasaan adalah hal paling menentukan keberadaan lembaga yudikatif.353 Hal ini berakibat pada keharusan bahwa kekuasaan yudikatif haruslah terpisah dan independen. $$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$ 349 Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif…op.cit. 350 Ibid., sebagaimana tercantum dalam Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme…op.cit, hlm. 19. 351 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sebuah konsensus antara negara dan warga negara. William G. Andrews, Constitutions and Constitutionalism, ed.3, (New Jersey: Van Nostrand Company, 1968), hlm. 9. 352 Carl J. Friedrich, op.cit., hlm. 176. 353 John Alder dan Peter English, op.cit. !"#$ Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Keharusan Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga yang merdeka dan independen ini diharapkan mampu mengambil perspektif yang obyektif dalam melakukan pengujian undang-undang. Sehingga, filosofi keberadaan Mahkamah Konstitusi tetap terjaga dan fokus pada pemenuhan hak konstitusionalitas warga negara. Oleh karena itu, harus dipahami terlebih dahulu keberadaan Mahkamah Konstitusi adalah bagian kekuasaan yudikatif yang merdeka tanpa intervensi lembaga negara lain adapun dalam prakteknya saling terkait satu sama lain. Perspektif demokrasi konstitusional menjawab bagaimana konsep pemisahan kekuasaan di Indonesia diterapkan dan dijalankan oleh lembagalembaga negara bentukan konstitusi.354 Sebagaimana dikatakan oleh Walton H. Hamilton, bahwa“Constitusionalism is the name given to trust which men repose in the power of words engrossed on prachment to keep government in order.” Intinya keberadaan Undang-Undang adalah untuk menjaga lembaga negara sesuai dengan koridornya. Demokrasi konstitusional dalam perspektif Ginsburg merupakan perspektif kontraktual antara rakyat sebagai prinsipil dan negara sebagai prinsipil. Bahwa secara filosofis demokrasi konstitusional menempatkan para agen untuk memenuhi keinginan kolektif rakyat sebagai pemilik kedaulatan sesungguhnya.355 Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi mengimbangi pola pengaturan kolektif dalam pembentukan undang-undang. Keberadaan Mahkamah Konstitusi yang berwenang untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, tidak lain untuk menghindari tindakan-tindakan sewenang-wenang dari pemerintah.356 Dengan demikian keberadaan kontrak sosial tidak hanya sebagai wacana tunggal yang menghalusinasi hak rakyat dalam mempertahankan kekuasaan. Pemerintah tidak lagi leluasa dalam membentuk undang-undang, tetapi harus mampu $$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$ 354 Walton H. Hamilton, op.cit.,, hal. 255. 355 Menurut KC Wheare, konstitusi adalah produk resultante berdasar situasi sosial, politik, dan ekonomi pada waktu dibuat. Moh. Mahfud MD, “Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen UUD 1945…loc.cit., hlm. 5. 356 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan…op.cit., hlm.194. !"#$ Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 mempertanggungjawabkan jika terjadi sebuah inkonstitusionalitas.357 Dengan demikian dapat tercipta konsistensi pemerintah dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar1945. Lebih lanjut, terbukanya ruang pengujian konstitusionalitas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dapat mengurangi kesenjangan rakyat dengan representasinya di pemerintahan dan legislatif.358 Perspektif filosofis dari pembentukan Mahkamah Konstitusi rakyat diberi ruang untuk berapresiasi secara individu di tengah penyelenggaraan negara yang bersifat kolektif.359 Setiap pribadi rakyat tidak lagi sebatas subyek yang menjalankan kewajiban tetapi dapat meminta dipenuhi hak asasinya sebagai warga negara. Keberadaan negara yang menjalankan kepentingan kolektif sebagai hasil dari kesepakatan bersama dapat terimbangi dengan adanya Mahkamah Konstitusi. Konstruksi timbal balik antara rakyat dan negara dapat membangun komunitas madani yang menempatkan negara tidak hanya sebagai organ politik tetapi sebagai wadah pencapaian kebutuhan individu secara bersama-sama. Oleh karena itu, penataan lembaga-lembaga ketatanegaraan dengan menghadirkan Mahkamah Konstitusi memberi dampak yang luas secara filosofis terutama berkaitan dengan hubungan rakyat dengan negara dalam perspektif kedaulatan rakyat. Kemudian dari segi yuridis, kehadiran Mahkamah Konstitusi mempertegas korelasi antara norma Undang-Undang Dasar dengan norma-norma undangundang.360 Mahkamah Konstitusi secara yuridis menjadi ruang bagi hukum untuk $$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$ 357 Hal yang perlu dipahami adalah undang-undang merupakan bentuk peraturan yang paling strategis dalam memberikan pengaturan. Selain itu, undang-undang dapat diubah dan diganti sesuai dengan kebutuhan dalam menjalankan pemerintahan. Julia IliopoulosStrangas and Stylianos-Ioannis G. Koutna, Ibid., hlm. 5. 358 Jika K. C. Wheare menjelaskan mengenai Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sebuah resultante keinginan rakyat, dikaitkan dengan konsep kedaulatan rakyat maka dapat dipahami bahwa dalam suatu waktu yang duduk dalam pemerintahan belum tentu orang yang dipilih oleh seluruh rakyat. Sehingga memungkinkan adanya kesenjangan atau bahkan pencederaan hak konstitusionalitas karena tidak terwakilinya elemen warga negara tersebut. Dapat dipahami lebih lanjut dalam Jean Jacques Rousseau, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip Hukum Politik…op.cit., hlm. 37. 359 Walton H. Hamilton, op.cit., hal. 255. 360 Penempatan Undang-Undang Dasar sebagai hukum tertinggi tidak hanya berimplikasi pada simbolisasi saja, melainkan memberikan efek hukum. Setiap produk !"#$ Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 ditelaah dan ditafsirkan terhadap pengaturan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Inti dari implikasi secara yuridis ini mengharuskan hubungan hukum terbentuk secara teratur dan tidak saling tumpang tindih yang dapat mencederai hak rakyat.361 Oleh karena itu, norma-norma yang tertuang di dalam undang-undang harus mampu menyelaraskan ketentuan di dalam konstitusi itu sendiri. Penyelarasan norma dalam undang-undang dengan Undang-Undang Dasar 1945 oleh Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang berjalan senafas dengan pendapat Kelsen.362 Bahwa norma hukum tidak hanya sebagai pertimbangan tindakan organ ataupun subyek melainkan memuat kualifikasi tindakan-tindakan tersebut sesuai tidaknya dengan hukum yang disepakati. Kualifikasi yang dimaksudkan oleh Kelsen tidak hanya sebatas norma tertulis tetapi juga dituangkan menjadi kewenangan sebuah organ yang bertindak menguji kualifikasi tersebut. Organ yang dimaksudkan dalam melakukan penilaian dalam hal ini adalah sebuah peradilan konstitusi. Sehingga secara yuridis formil, sebuah norma dapat dilakukan pengujian dengan rakyat sebagai pihak yang berhak mengajukan permohonan pengujian. Terakhir, secara sosiologis keberadaan Mahkamah Konstitusi mengokohkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sebuah norma yang hidup.363 Penafsiran yang dilakukan Mahkamah Konstitusi menghilangkan daya pikir bahwa Undang-Undang Dasar 1945 merupakan norma yang luas dengan penjabaran sepihak oleh pemerintah bersama dengan legislatif. Fungsi masyarakat tidak lagi sebagai subyek yang dikenakan hukum tetapi dapat berperan aktif dalam menata kehidupan bernegara. Pelaksanaan pembangunan hukum juga didasarkan pada konstruksi-konstruksi norma yang hidup dalam masyarakat karena keberadaan masyarakat itu sendiri akan memberikan dasar penafsiran atas konstitusi. Mahkamah Konstitusi dalam perspektif ini tidak lantas mendapatkan $$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$ perundang-undangan harus tunduk pada Undang-Undang Dasar 1945 dan dengan adanya Mahkamah Konstitusi, upaya untuk menselaraskan hukum tersebut dapat terealisasi. Ahmad Syahrizal, op.cit., hlm. 261. 361 Indonesia, Undang-Undang Undangan...op.cit., Lampiran, Bab III 362 Hans Kelsen, op.cit., hlm. 157. 363 Satjipto Rahardjo, op.cit hlm. 186. Pembentukan Peraturan Perundang- !"#$ Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 supra teritorial dalam menghidupkan konstitusi. Akan tetapi, masyarakatlah yang pada akhirnya mendapatkan kelelusaan dalam membentuk hukum sehingga pemerintah dan legislatif kembali hanya sebagai agen masyarakat. Hegemoni keberadaan Mahkamah Konstitusi yang mutlak dalam melakukan penafsiran konstitusi tidaklah tepat. Selain itu, Mahkamah Konstitusi diberikan kewajiban dalam menjangkau hukum yang hidup di dalam masyarakat dalam wadah penafsiran Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga, keberadaan Mahkamah Konstitusi secara sosiologis adalah kewajiban konstitusional yang harus dilaksanakan untuk menghindari inkonstitusionalitas Mahkamah Konstitusi itu sendiri sebagai supremasi konstitusi. Berdasarkan analisis umum ketiga perspektif tersebut, dapat menjabarkan lebih lanjut mengenai keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator dalam putusan No. 10/PUU-VII/2008 dari perspektif ketatanegaraan. Sehingga secara terperinci, sebagai berikut: 4.1.3 Peran Mahkamah Konstitusi sebagai Positive Legislator dari Segi Pembentukan Mahkamah Konstitusi Pengujian Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum sebagaimana disebutkan di awal, menimbulkan polemik tersendiri dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi tidak lagi bertindak sebagai penguji norma ataupun sebagai penjabar norma (negative legislator) dalam menafsirkan konstitusi, tetapi sebagai pembentuk norma atau positive legislature.364 Dalam hal ini, setidaknya terdapat dua segi yang harus diperhatikan untuk menanggapi tindakan tersebut. Pertama, dari segi pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Kedua, dilihat dari segi perkembangan hukum di Indonesia dan bagaimana penerapannya di berbagai negara sebagai sebuah rujukan. Pertama, pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia memang memiliki ciri dan sifat kelembagaan tersendiri, keberadaannya masih sebagai sebuah lembaga yudikatif. Bahwa sebagai sebuah lembaga yudikatif, Mahkamah Konstitusi erat kaitannya dengan independensi dan penyelenggaraan peradilan $$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$ 364 Allan R. Brewer-Carias,“General Report: Constitutional Courts as Positive Legislators in Comparative Law”…loc.it., hlm. 10-36. !"#$ Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 yang merdeka.365 Dalam hal ini, dapat dilakukan pendekatan terhadap kapasitas Mahkamah Konstitusi itu sendiri dalam menjelaskan konteks pengawalan konstitusi. Bentuk pengawalan yang dilakukan tidak hanya memberikan ajudikasi saja, tetapi melihat lebih jauh dampak hukum dari sebuah norma yang telah diajudikasi. Sehingga, penentuan kapasitas tersebut nantinya dapat digunakan untuk mengatakan konstitusional tidaknya hal tersebut. Peran Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator harus merujuk pada konsepsi doktrin pemisahan kekuasaan dan doktrin peradilan konstitusi serta Undang-Undang Dasar 1945. Dalam perspektif doktrin pemisahan kekuasaan murni sebagaimana diklasifikasikan oleh Vile, tindakan tersebut adalah inkonstitusional.366 Akan tetapi, sejarah pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah mengawal konstitusi yang menjabarkan lebih lanjut kedudukan warga negara dalam sebuah kontrak sosial, dapat dibenarkan.367 Selain Indonesia tidak melakukan pemisahan kekuasaan yang murni, tetapi kapasitas Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi memiliki implikasi untuk membenarkan hal tersebut. Sehingga jelas kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam penambahan syarat domisili terhadap filosofi pembentukan Mahkamah Konstitusi. Doktrin pemisahan kekuasaan pada dasarnya tidak mengekang seluruh lembaga untuk saling berpacu mengawasi satu sama lain. Akan tetapi, pemisahan kekuasaan yang melahirkan pembagian cabang kekuasaan tersebut tidak menghilangkan esensi kesatuan sebagai penyelenggara negara.368 Sehingga kebaradaan Mahkamah Konstitusi harus dipahami sebagai satu kesatuan sistem dengan DPR, Presiden ataupun lembaga lain. Keberadaan Mahkamah Konstitusi ini intinya masih dalam satu kesatuan dalam proses legislasi, sehingga putusannya ######################################################## 365 Independensi dan kemerdekaan yudikati mencakup kebebasan hakim dalam memutus penuntutan hukum dan menafsirkan undang-undang Dikutip dalam John Alder and Peter English, Constitutional and Comparative Law, (London: Macmillan, 1989), hlm. 247., sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia:…op.cit., hlm. 45. 366 Ismail Sunny, op.cit., hlm.10. 367 Jean Jacques Rousseau, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip Hukum Politik…op.cit., hlm. 17. 368 John Alder dan Peter English, op.cit., hal. 53-54. !!"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 tidak dapat dianggap sebagai bentuk lain dari undang-undang yang diujikan. Pada intinya, sebuah undang-undang apabila sudah dinyatakan status hukumnya maka norma yang terkandung di dalamnya adalah satu kesatuan.369 Hal ini merupakan kinerja bersama antara Mahkamah Konstitusi dengan pembentuk undang-undang. Pelaksanaan pemisahan kekuasaan tidak lagi menjadi bentuk yang membatasi antar satu lembaga dan lembaga lain sebagai teamwork atau patner. Pemisahaan kekuasaan yang dilakukan merupakan pemisahan kekuasaan yang berkesinambungan antar pemegang kekuasaan negara.370 Hal utama yang perlu diperhatikan adalah tidak hanya Mahkamah Konstitusi yang bertindak sebagai pengawas, tetapi Mahkamah Konstitusi juga sebagai lembaga yang diawasi. Pemisahan kekuasaan tidak lantas menghilangkan tendensi untuk melanggengkan kekuasaan di satu pihak.371 Karena, pelaksanaan pembagian kekuasaan dalam pospos kekuasaan yang tepisah sebagai legislatif, eksekutif, dan yudikatif pun masih dapat membentuk sebuah kekuasaan yang anarkis. Bentuk kekuasaan yang anarki tersebut antara lain dengan pembentukan undang-undang yang melanggar konstitusi dan juga masih ada kemungkinan adanya kealpaan dari pembentuk undang-undang yang tidak terakomodasi mekanisme pertanggungjawabannya. Sehingga, dalam praktek ketatanegaraan sekarang ini keberadaan pemisahan kekuasaan tidak mungkin diterapkan secara mutlak dan berimplikasi pada kemungkinan diadopsinya peran Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator.372 Kemudian pemisahan kekuasaan jika dibenturkan dengan perskpektif warga negara. Keberadaan pemisahan kekuasaan negara ini jika diterapkan secara rigid maka akan memutuskan hak warga negara dalam mengawasi pemerintahan. Konsekuensinya pengawasan oleh warga negara yang dibenarkan secara ketatanegaraan hanya saat pemilihan. Keberadaan Mahkamah Konstitusi """""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""" 369 Jeremy Waldron, op.cit., hlm. 26. 370 Ibid. 371 E. Barent, Separation of Powers and Constitutional Government, (c.n., c.l., 1995), hlm. 599. Sebagaimana dikutip Eoin Carolan, The New Separation of Powers: A Theory for the Modern State…op.cit., hlm. 17. 372 Teguh Satya Bhakti, Perbandingan Konsep Trias Politica Menurut John Locke, Montesquieu, dan Undang-Undang Dasar…op.cit., hlm.325. !!!" Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 memberikan ruang pengayoman yang baik antar lembaga negara, tetapi juga memberikan ruang bagi rakyat dalam menjaga hak konstitusionalnya sehingga tindakan pemerintah tetap dalam koridor yang dituangkan dalam konsensus sebelumnya.373 Dengan adanya perspektif lembaga peradilan yang seperti ini, warga negara menjadi poin yang sangat ihwal dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Sehingga, pembenaran peran Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator bergantung pada bagaimana warga negara memandang tindakan tersebut.374 Pengujian undang-undang merupakan sebuah pengujian atas norma yang nantinya akan mengikat warga negara. Keberadaan Mahkamah Konstitusi tidak hanya sebagai sebuah lembaga yang hanya pemberi ajudikasi dan meninggalkan keputusan tersebut untuk Pemerintah jalankan dan untuk pembentuk undangundang pahami. Terkait putusan yang menyatakan inkonstitusional sebuah norma, harus dilihat bahwa dengan adanya putusan tersebut norma terkait menjadi sebuah norma yang mati dan tidak berlaku. Lebih lanjut, matinya sebuah norma dalam undang-undang tidak hanya dapat berakibat pada satu pasal atau bab pasal terkait tetapi dapat secara keseluruhan dari undang-undang tersebut.375 Kemudian di sisi lain, dimungkinkan adanya inkonstitusionalitas dengan tidak diaturnya sebuah norma dalam undang-undang. Putusan ajudikasi norma tersebut merupakan poin bersyarat yang harus ditaati sebagai sebuah norma yang berlaku. Seperti halnya pengujian Undang-Undang No. 10 tahun 2008 terkait dengan syarat domisili, yang perlu dilihat adalah porsi norma tersebut oleh para pembentuk undang-undang. Undang-undang 10 Tahun 2008 ini memang tidak memuat norma berupa syarat domisili untuk calon Dewan Perwakilan Daerah atau DPD. Sehingga, pada dasarnya Mahkamah Konstitusi tidak dapat mengujikan ketiadaan norma tersebut.376 Akan tetapi, jika memisahkan proses tersebut tidak ######################################################## 373 Jimly Assiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara..., op.cit., hlm. 315. 374 Satjipto Rahardjo, Sisi Lain Hukum…op.cit., hlm. 144. 375 Francisco Javier Dias Revorio, op.cit., hlm. 278. 376 Pasal 51 ayat (3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa: a. pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau !!"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 termasuk sebagai proses legislasi maka akan sangat merepotkan dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.377 Pertama, bahwa hasil ajudikasi norma tersebut nantinya apakah akan digunakan atau tidak sebagai sebuah dasar pengaturan. Kedua, hasil pengujian norma ini berdampak pada pengaturan di bawahnya yang merujuk pada norma tersebut. Sehingga keberadaan pemuatan pasal tersebut harus dimaknai lebih mendalam dan yang paling krusial adalah keberadaan warga negara. Hal tersebut diperkuat dari perumusan Pasal 24 C dalam Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi lahir sebagai lembaga yang menjawab aspek kebutuhan filosofis dalam menjamin hak konstitusional yang dimiliki oleh warga negara. Selain itu, konteks yang ada di dalam penyusunan kelembagaan negara di Indonesia yang tertuang di dalam Undang-Undang Dasar 1945 bukanlah konsep pemisahan kekuasaan secara rigid. Akan tetapi, konsep kekuasaan yang diterapkan merupakan konsep yang soft karena masing-masing lembaga negara memiliki irisan dalam menyelenggarakan kekuasaannya. Menurut penafsiran dari Jimly Asshiddiqie, konsep pemisahan di Indonesia merupakan pemisahan kekuasaan dengan checks and balances.378 Sehingga, pemuatan syarat domisili oleh dapat dilihat sebagai sebuah checks and balances dengan mengedepankan kepentingan rakyat sehubungan dengan representasi keterwakilan daerah oleh anggota DPD. Berangkat dari perspektif umum tersebut, dapat dilihat dengan jelas bahwa pemisahan kekuasaan dengan checks and balances dapat dijadikan dasar untuk memasukkan tindakan pemuatan pasal tersebut sebagai hal yang dibenarkan. Konsep yang ada di dalam pelaksanaan checks and balances dalam putusan tersebut tidak hanya dalam menghindari kesewenangan di dalam lembaga ######################################################################################################################################################## b. materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Indonesia, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, UU No. 23 Tahun 2004, LN. 98 Tahun 2003, TLN. 4316., Pasal 1 ayat (3) huruf b. 377 Hal tersebut dibenarkan oleh Mahkamah Konstitusi yang menafsirka bahwa ketiadaan norma adalah sebuah norma itu sendiri. Baca permohonan pemohon dan kesimpulan oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan No. 10/PUU-VI/2008, op.cit.., hlm. 40. 378 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme...op.cit., hlm. 127 !!"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 pembentuk udang-undang.379 Keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam pemuatan syarat domisili adalah sebuah tindakan bagian menjaga satu sama lain. Dapat dilihat dengan menrujuk pada penafsiran dari Mahkamah Konstitusi yang menyatakan:380 Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah dan golongan- golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan undangundang” menjadi rumusan baru yang berbunyi “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang- undang” diputus melalui pemungutan suara dengan 475 suara mendukung, 122 suara memilih alternatif lain (memasukkan utusan golongan), dan 3 suara abstain. Dengan perubahan ketentuan tersebut, MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD, bukan lembaga DPR dan lembaga DPD, yang semuanya dipilih oleh rakyat dalam Pemilu sesuai dengan prinsip demokrasi perwakilan atas dasar pemilihan atau “representation by election” (vide Sekretariat Jenderal MPR RI, 2006); Perubahan UUD 1945 melahirkan sebuah lembaga baru dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, yakni DPD yang dengan kehadirannya, sistem perwakilan di Indonesia DPR didukung dan diperkuat oleh DPD. DPR merupakan lembaga perwakilan berdasarkan aspirasi dan paham politik rakyat sebagai pemegang kedaulatan, sedangkan DPD merupakan lembaga perwakilan penyalur keanekaragaman aspirasi daerah. Keberadaan lembaga DPD merupakan upaya menampung ######################################################## 379 Eoin Carolan, The New Separation of Powers: A Theory for the Modern State…op.cit., hlm. 22. 380 Putusan No. 10/PUU-VI/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah perihal syarat domisili anggota DPD dapat diunduh dari situs resmi Mahkamah Konstitusi: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_PUTUSAN%20DPD%20ba ca%201%20Juli%202008e.pdf., hlm. 203. !!"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 prinsip perwakilan daerah (vide Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003: 180 dan Sekretariat Jenderal MPR RI, 2006: 93); Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan bahwa nilai esensial dari lembaga Dewan Perwakilan Rakyat adalah upaya menampung prinsip keterwakilan daerah. Berarti dengan tidak diaturnya syarat domisili anggota DPD menghilangkan esensi utama sebagai lembaga perwakilan daerah. Hal esensi tersebut dapat mencederai kepentingan rakyat terutama berkaitan dengan fungsi dan wenenang DPD yang strategis untuk mengaspirasikan kepentingan daerah dalam kerangka kepentingan nasional. Sehingga peran Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator adalah upaya untuk menjaga kelembagaan DPD agar senafas dengan Undang-Undang Dasar 1945.381 Pembenaran tersebut dapat dilihat dari dampak berkelanjuran dengan tidak diaturnya syarat domisili anggota DPD. Sebagai sebuah keterwakilan daerah anggota DPD memiliki fungsi yang esensial, sebagai berikut:382 - memperkuat ikatan daerah-daerah dalam satuan NKRI dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah; - meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerahdaerah dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan negara dan daerah; - mendorong percepatan demokrasi, pembangunan, dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang. Sehingga, jika tidak dimasukkannya syarat domisili anggota DPD maka dapat merusak kelembagaan DPD itu sendiri yang berakibat pada dirugikannya kepentingan rakyat karena keterwakilannya tidaklah konstitusional. 4.1.4 Peran Mahkamah Konstitusi sebagai Positive Legislator dari Konsesi Perumusan Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Dasar 1945 tetap sebagai sebuah konsesnus yang mengatur hubungan dasar antara negara dan warga negara. Konsensus yang ######################################################## 381 Putusan No. 10/PUU-VI/2008, loc.cit., hlm. 210. 382 Ibid., hlm. 204. !!"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman modern pada umumnya dipahami bersandar pada tiga elemen kesepakatan (consensus), yaitu:383 1. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government).384 Bahwa, penataan lembaga negara termasuk di dalamnya DPD merupakan sebuah kendaraan menuju cita-cita yang disepakati bersama. Hilangnya aspek esensial dari lembaga negara yakni DPD, dapat berakibat pada timpangnya roda kendaraan dalam menuju cita-cita tersebut. Sehingga elemen kesepakatan atau konsensus yang ada dalam UndangUndang Dasar 1945 tidak terlaksana. Oleh karena itu butuh sebuah akselerasi tindakan untuk menghindari hal tersebut, yang berupa pemuatan syarat domisili karena tidak diatur sebelumnya. 2. Kesepakatan tentang ‘the rule of law’ sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government).385 Bahwa kita dapat menyadari kedudukan Mahkamah Konstitusi adalah supremasi konstitusi yang mengawal tegaknya Undang-Undang Dasar 1945. Dengan dipahaminya keberadaan syarat domisili sebagai hal esensial, maka dengan tidak dicantumkannya norma tersebut merupakan sebuah tindakan yang inkonstitusional. Perihal inkonstitusional ini harus diwadahi dan diselesaikan dengan sistem ketatanegaraan yang ada yakni melalui Mahkamah Konstitusi. 3. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures).386 Bahwa, letak Undang-Undang Dasar 1945 sebagai kesepakatan institusi dan prosedur ketatanegaraan maka jelas perlu dilakukan ######################################################## 383 William G. Andrews, Constitutions and Constitutionalism, ed.3, (New Jersey: Van Nostrand Company, 1968), hlm. 9. Sebagaimana dikutip pada Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme,…op.cit., hlm. 21. 384 Ibid. 385 Ibid. 386 Ibid. !!"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 penanganan khusus terkait representasi DPD sebagai perwakilan rakyat. Undang-Undang Dasar 1945 secara kesatuan dengan naskah komprehensif menunjukkan bahwa pembentukan DPD merupakan wujud utusan golongan yang dipertahankan untuk mengakomodasi kepentingan daerah. Sehingga orang-orang yang duduk merepresentasikan daerah tersebut harus memiliki hubungan yang kuat dengan konstituennya yang tidak hanya rakyat daerah tersebut tetapi kepentingan daerah tersebut dalam framework kepentingan nasional. Sejalan dengan pendapat William G. Andrews, yang mengatakan konstitusi merupakan koridor prosedural yang mengatur hubungan kekuasaan antar lembaga negara. Sehingga ketika pembentuk undangundang tidak memuat syarat domisili calon anggota DPD maka dapat harus ada aturan yang mengatasi permasalahan tersebut. Aturan yang dimaksudkan tidak sebatas hukum positif yang tertuang dalam UndangUndang Dasar 1945, tetapi juga konsep dasar Dengan demikian fungsi perwakilan di calon anggota DPD selain merupakan hal esensial menyangkut kelembagaan tetapi juga menyangkut hal prinsip yakni kepentingan rakyat. Sehingga tindakan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 merupakan konsep checks and balances yang ditafsirkan sebagai patner lembaga negara yang saling melengkapi satu sama lain. Bahwa dengan tidak dimasukkannya ketentuan mengenai syarat domisili, akan berpengaruh besar dan hal ini dikarenakan proses legislasi yang tidak mencantumkan ketentuan tersebut.387 4.1.5 Peran Mahkamah Konstitusi sebagai Positive Legislator dilihat dari Perkembangan Peradilan Konstitusi sebagai Positive Legislator Pembentukan Mahkamah Konstitusi tidak luput dari ide dasar yang dikemukakan oleh Hans Kelsen pada awal tahun 1920.388 Selain menjalankan ######################################################## 387 Jimly Asshiddiqie, the Role of Constitutional Court in Guaranteeing Access to Justice in a New Transtitional State, Keynote Address at the Conference of “Comparing Access to Justice in Asian and European Transitional Countries,” Bogor, Indonesia, 27-28 June 2005. 388 Allan R. Brewer-Carias, “General Report: Constitutional Courts as Positive Legislators in Comparative Law”…loc.cit., hlm. 197-257. !!"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 fungsi yang vital dalam kehidupan bernegara dalam hal pemenuhan hak konstitusional, Mahkamah Konstitusi juga terus berbenah dan mengalami perkembangan sejalan dengan kebutuhan zaman. Alasan pertama mengapa kedudukan Mahkamah Konstitusi tidak sebatas peradilan konstitusi yang dicetuskan oleh Hans Kelsen dulu adalah Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sebuah konstitusi yang hidup.389 Konsep ini tidak hanya memberi konsekuensi melahirkan Mahkamah Konstitusi yang berjalan sinergis dengan kebutuhan rakyat tetapi membuka wacana lebih jauh tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam mengawal konstitusi. Lingkup pengujian dimulai dari kasus Madison v. Madbury sampai dengan pendapat Kelsen dalam La garantie juridictionnelle de la constitution (La Justice Constitutionnelle) menunjukkan peranan peradilan konstitusi tidak semata sebagai ajudikasi norma.390 Kelsen melakukan pendalaman bahwa lingkup penjaminan konstitusional warga negara sangatlah luas. Sehingga UndangUndang Dasar 1945 merupakan bangunan dasar yang masih dapat dilakukan penafsiran dalam hal pemenuhan kebutuhan. Hal umum yang terjadi di berbagai negara terkait peradilan konstitusi setidaknya sebagai berikut: 1. Perkembangan 391 toetsingrecht) sistem pengujian (judicial review ataupun dan peran lembaga peradilan konstitusi sangat erat terhadap pemegang fungsi legislasi; 2. Lembaga peradilan konstitusi atas keberadaan hukum internasional;392 3. Keberadaan lembaga peradilan konstitusi sebagai penafsir konstitusi yang memiliki peranan dalam pengujian konstitusional atas perubahan hukum (law reform); dan, 4. Peranan lembaga peradilan konstitusi senagai positive legislator. ######################################################## 389 Muarar Siahaan, op.cit., hlm. 79. 390 Mark A. Graber dan Michael Perhac, Marbury versus Madison: Documents and Commentary, (Washington DC: CQ Press, 2002), hlm. 138 dengan dibandingkan Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russel & Russel, 1961), hlm. 157. 391 Fatmawati, op.cit., hlm. 10-16. 392 Allan R. Brewer-Carias, “General Report: Constitutional Courts as Positive Legislators in Comparative Law”…loc.cit., hlm. 10-36. !!"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Poin pertama dan poin kedua telah senyata-nyatanya terjadi di Indonesia, yang sekarang menjadi perdebatan khususnya tentang norma hukum yang lahir dari hukum internasional. Kemudian, poin ketiga dalam prakteknya merupakan sebuah konsekuensi Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga yang berwenang menafsirkan undang-undanga. Terakhir terkait dengan peran positive legislator melingkupi beberapa hal permasalahan yang juga terlihat di Indonesia. Pertama, dari segi sistem pengujian undang-undang dan peranan Mahkamah Konstitusi menimbulkan ruang terbuka sebagai sebuah positive legislator yang memang masih belum dibatasi. Mahkamah Konstitusi bertindak secara progresif dalam menguji konstitusionalitas undang-undang. Hal yang perlu untuk diperhatikan lebih lanjut mengenai keberadaan Mahkamah Konstitusi yang secara progesif adalah kekhawatiran atas super body dari Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Pada dasarnya, elemen masyarakat tetaplah membatasi keraguan atas tendensi Mahkamah Konstitusi sebagai super body. Warga negara tidak hanya sebagai dasar pertimbangan hukum untuk menafsirkan konstitusi tetapi harus dibuktikan kedudukannya sebagai pemohon (legal standing). Sehingga, dari sistem pengujian dan peranan Mahkamah Konstitusi sebagau positive legislator tidak memiliki tendensi membentuk super body karena yang senyata-nyatanya dilindungi adalah warga negara. Pemuatan syarat domisili oleh Mahkamah Konstitusi harus dimaknai sebagai bentuk perubahan hukum (law reform) secara kolektif merupakan tindakan untuk memenuhi kebutuhan hukum.393 Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan hukum yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi dapat diterapkan karena hukum pada saat undang-undang dibentuk seringkali tidak sejalan dengan perkembangan zaman. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislators adalah dogma yang harus dilihat kembali materi dan norma pengujiannya untuk memenuhi kebutuhan rakyat sejalan dengan perkembangan hukum dan kesadaran masyarakat.394 Hukum pada kenyataannya terus ######################################################## 393 Robert W. Tobin, op.cit., hlm. 231. 394 Luis Roberto et al, Brazilian National Report: Notas sobre a questao do Legislador Positivo…op.cit., hlm. – sebagaimana dikutip dalam Allan R. Brewer-Carias, “General Report: Constitutional Courts as Positive Legislators in Comparative Law”…loc.cit., hlm. 28. !!"# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 berkembang dan dimungkinkan adanya keharusan untuk membentuk hukum yang apabila tidak dilaksanakan dapat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Peran Mahkamah Konstitusi dalam mengimbangi perkembangan zaman juga dipandang sebagai jaminan pada masyarakat yang semakin sadar hukum.395 Keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden sebagai pembentuk undangundang selain harus melihat subtansi pengaturan DPD juga harus melihat unsur masyarakat yang kehidupannya diatur oleh undang-undang bentukan legislatif. Reaksi masyarakat atas undang-undang yang dibentuk seringkali disebabkan oleh legislatif yang kurang maksimal dalam menyusun norma dalam undangundang.396 Hal ini terlihat bagaimana anggota DPD yang bersama-sama mengajukan permohonan pengujian norma kepada Mahkamah Konstitusi. Kemudian harus dipahami bahwa Mahkamah Konstitusi tidak cukup hanya menyatakan inkosntitusionalitas dengan tidak diaturnya syarat domisili. Mahkamah Konstitusi sebagai satuan penyelenggara negara harus bertanggung jawab atas kekosongan hukum (state liability for the absence of legislative act).397 Konsep ini merupakan konsep dapat dipahami bersama bahwa kekosongan hukum karena legislatif tidak menjalankan kewenangannya harus dapat dibenahi. Perspektif ini tidak lantas menempatkan Mahkamah Konstitusi untuk membuktikan terlebih dahulu bahwa terjadi kesalahan dalam proses legislasi itu sendiri.398 Hal inilah yang menjadi batasan atas pengujian undang-undang yang harus dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi. Tindakan Mahkamah Konstitusi tidak hanya mendasarkan pada kemungkinan kesalahan pembentuk hukum tetapi juga melihat Undang-Undang Dasar 1945 yang berkembang penafsirannya.399 $$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$ 395 Jimly Asshiddiqie, “Negara Hukum Indonesia”…op.cit., hlm. 7. 396 Francisco Javier Dias Revorio, Las Sentencias Intrepretativas del Tribunal Constitucional, (Valladolid: Lex Nova, 2001), hlm. 278. Sebagaimana dikutip dalam: Allan R. Brewer-Carias, “General Report: Constitutional Courts as Positive Legislators in Comparative Law”…loc.cit., hlm. 28. 397 Julia Iliopoulos-Strangas and Stylianos-Ioannis G. Koutna, Greek National Report, (c.l: c.n, 2010), hlm. 5. Allan R. Brewer-Carias. Ibid. 398 Ibid., hlm. 29. 399 Ibid., hlm. 29-30. !"#$ Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Akan tetapi, tindakan-tindakan tersebut harus diperjelas koridornya sehingga tidak dimaknai sebagai pembatasan yang menyembabkan inkonstitusional itu sendiri. Peran Mahkamah Konstitusi yang tidak dibatasi dapat berimplikasi saling tumpang tindihnya organ negara terutama legislatif dan eksekutif secara langsung.400 Sehingga, perngujian norma dilakukan dengan pembatasan yang biasanya dilakukan melalui pembatasan prosedural tetapi tidak mengesampingkan kepentingan pemohon. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai pembentuk hukum berupa pemuatan syarat domisili tidak dapat dimaknai sebagai legislatif sepenuhnya. Akan tetapi tetap sebagai bagian dari yudikatif yang hanya memberikan putusan atas pengujian undang-undang dalam kesatuan proses. Konteks penambahan syarat domisili anggota DPD hanya sebagai kerangka kaustis yang harus melihat beban materi dari diatur tidaknya syarat domisili. Dalam perspektif ini, tidak dimuatnya syarat domisili dapat dilihat sebagai sengketa ketatanegaraan.401 DPR dan Presiden tidak mencantumkan ketentuan pasal merupakan kelalaian yang berdampak pada tidak sinergisnya keberadaan DPD terhadap lembaga lainnya terkait fungsinya sebagai lembaga perwakilan. Inti dari pengujian UndangUndang No. 10 Tahun 2008 tidak sebatas inkonstitusionalitas sebuah undangundang saja. Oleh karena itu, penambahan syarat domisili. Pemuatan syarat domisili juga sekaligus menguatkan peranan Mahkamah Konstitusi untuk berama-sama dengan pembentuk undang-undang untuk melihat Undang-Undang Dasar 1945 secara mendalam. Bahwa pada dasarnya yang mengamalkan konstitusi tidak hanya Mahkamah Konstitusi saja. Tetapi, Presiden, DPR dan seluruh lembaga negara lain juga berkewajiban untuk mengamalkan konstusi. Pengaruh Mahkamah Konstitusi yang menambahkan syarat domisili memang dapat dipandang dari berbagai perspekstif. Akan tetapi kembali pada konsep pemisahan kekuasaan modern, Mahkamah Konstitusi adalah sebuah rekan ######################################################################################################################################################## 400 Daniel B. Rodriguez Barry R. Weingast, “The Positive Political Theory of Legislative History: New Perspectives on the 1964 Civil Rights Act and its Interpretation, “…loc.cit., hlm. 90. 401 Indonesia, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, UU No. 23 Tahun 2004, LN. 98 Tahun 2003, TLN. 4316., Pasal 1 ayat (3) huruf b. !"!# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 yang saling melengkapi satu sama lain dengan DPR dan Presiden terkait norma undang-undang. Lingkup tindakan Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator mencakup dua hal, yakni:402 - Penyesuaian terhadap muatan Konstitusi dalam menjamin hak konstitusional (fundamental right).403 - Penyesuaian muatan konstitusi atas materi kelembagaan; Pemuatan syarat domisili secara khusus merupakan bentuk penyesuaian undang-undang atas materi kelembagaan. Sehingga dapat ditarik garis beberapa kesimpulan umum terkait peran Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator adalah sebagai berikut: 1. Mahkamah Konstitusi Melengkapi Fungsi Legislatif dalam Menjaga Harmoni Ketentuan Norma terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Perkembangan keberadaan Mahkamah Konstitusi di sebuah negara tidak lagi sebatas pengawal konstitusi yang bertindak menjamin superlegalitas konstitusi.404 Sebagai lembaga yang berwenang sebagai penafisr undang-undang, putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya mengikat Mahkamah itu sendiri, tetapi secara umum kepada masyarakat dan lembaga negara lain. Poin utama yang harus diperhatikan adalah mengenai kewenangan hakim dalam melakukan penafsiran. Hakim Mahkamah Konstitusi harus mampu melihat keberadaan hukum yang tidak hanya tertulis perubahan untuk menimbulkan harmoni.405 Hakim Mahkamah Konstitusi dalam menciptakan harmoni dapat meninjau sampai dengan menganalisis dampak dari pencabutan norma. Jika Mahkamah Konstitusi hanya menyatakan tidak dimuatnya syarat domisili inkonstitusionalitas tidak ######################################################## 402 Allan R. Brewer-Carias, “General Report: Constitutional Courts as Positive Legislators in Comparative Law”…loc.cit., hlm. 45. 403 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi…op.cit. 404 Supremasi Konstitusi yang melekat pada sebuah Peradilan Konstitusi menjadikan keberadaan Peradilan Konstitusi itu sendiri sebagai Pengawal Konstitusi (The Guardian of Constitution). Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi…op.cit., hlm. 133. 405 Allan R. Brewer-Carias, op.cit., 69. !""# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 akan berakibat apapun.. Oleh karena itu, peran peradilan konstitusi tidak hanya untuk memberikan ajudikasi atas norma tetapi sebagai penyelaras yang melengkapi hukum akibat putusan yang diambil. 2. Mahkamah Konstitusi Melengkapi Legislatif dengan Penambahan atas Hukum yang Berubah Setelah Dilakukan Penafsiran. Mahkamah Konstitusi dalam putusan ini juga merupakan sebagai penyelaras antara Undang-Undang Pemilu dengan Undang-Undang Dasar 1945 karena tidak diaturnya sebuah norma. Sejalan dengan perspektif daoktrin bahwa tidak dicantumkannya sebuah norma adalah norma itu sendiri.406 Sehingga, bentuk pengujiannya tidak hanya menyatakan inkonstitusional tetapi harus memformulasikan norma apa yang tepat untuk dilekatkan.407 Oleh karena itu, pencantuman syarat domisili oleh Mahkamah Konstitusi dapat dilakukan dengan melihat aspek kebutuhan masyarakat dan substansi dari materi yang diujikan. 3. Mahkamah Konstitusi Melengkapi Fungsi Legislatif Sementara Apabila Terjadi Kekosongan Hukum setelah Putusan Bahwa tindakan Mahkamah Konstitusi dalam memuat ketentuan domisili bagi calon DPD, dapat dikatakan sementara. Karena konsep kelembagaan dan pemisahan kekuasaan tetap menempatkan Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden sebagai pembentuk undang-undang. Tidak ada dasar mengikat untuk pemebntuk undang-undang sekalipun telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Sifat kesementaraan ini berlaku sampai Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden merumus dan mengesahkan undang-undang baru. Adapun keberadaanya dapat bertentangan dengan putusan atas norma sebelumnya. Perkembangan Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah positive legislator selain terikat pada kepentingan pemohon (bentuk permohonan) juga terikat pada adanya kepentingan yang mendesak. Dalam hal kesementaraan dari putusan Mahkamah Konstitusi yang melengkapi fungsi legislatif, maka beban materi yang $$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$ 406 Ibid., hlm. 88. 407 Ibid., hlm. 74. !"#$ Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 harus dibuktikan juga menyangkut alasan logis dari pemuatan sebuah norma. Pemuatan norma syarat domisili dalam Undang-Undang Pemilihan Umum memiliki sebuah kebutuhan yang mendesak terkait penyelenggaraan pemilu. Sehingga, peran Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator masih pada kerangka yang pasif dengan harus berdasarkan pada kepentingan pemohon dan adanya sebuah kebutuhan yang mendesak. 4.2 Implikasi Pencantuman Syarat Domisili terhadap Proses Legislasi di Indonesia Amandemen Undang-Undang Dasar pada akhirnya telah memunculkan lembaga baru dalam proses legislasi. Mahkamah Konstitusi dapat dipahami sebagai sebuah lembaga yang turut serta dalam lingkup legislasi.408 Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam proses legislasi tidak dimaksudkan sebagai penyusun ataupun lembaga yang dapat mengesahkan sebuah undang-undang tetapi melakukan pengujian undang-undang. Selain itu, dalam kondisi tertentu Mahkamah Konstitusi dapat menghasilkan putusan yang diantaranya memuat ketentuan pasal dengan pertimbangan tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Dalam konteks formil, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan mengadili sebuah norma yang dibentuk oleh DPR bersama dengan Presiden. Sehingga, saat pelaksanaan pengujian seolah Mahkamah Konstitusi berkedudukan lebih tinggi karena posisi DPR dan Presiden (Pemerintah) duduk sebagai pihak terkait yang dimintai keterangan. Akan tetapi, yang paling mendasar bukanlah kepentingan Mahkamah Konstitusi secara sepihak, melainkan kepentingan rakyat. Pada perkembangannya, kehadiran Mahkamah Konstitusi memiliki beban yang tidak sederhana. Dalam pengujian undang-undang, Mahkamah Konstitusi memiliki porsi yang lebih kuat dibandingkan DPR ataupun Presiden.409 Akan tetapi bukan berarti bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Hal ini tidak lain didasarkan pada lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi yang masuk sebagai bagian kekuasaan kehakiman. Lingkup kekuasaan $$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$ 408 Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Pengujian Undang-Undang dan Proses Legislasi, (Jakarta: PSHK, 2007), hlm. 43. 409 Ibid., hlm. 29. !"#$ Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 kehakiman yang beracara mengadili sebuah norma, Mahkamah Konstitusi harus bertindak independen dalam memenuhi kepentingan rakyat. Permasalahan kedudukan dalam proses pengujian undang-undang tidak menjadi masalah, selain demi kepentingan rakyat itu sendiri.410 Undang-Undang Dasar 1945 beserta doktrin tentang konsep negara hukum mengharuskan sebuah lembaga peradilan merupakan lembaga yang merdeka demi kepentingan rakyat. Kewenangan Mahkamah Konstitusi yang begitu erat singgungannya dengan proses legislasi mendapatkan tanggapan serius dari ketua DPR periode 2004-2009, Agung Laksono.411 Dalam pidato penutupan persidangan beliau memberikan tanggapan bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi bukanlah sebagai sebuah ancaman dalam proses legislasi. Hal ini harus dipahami bahwa proses legislasi tidak hanya berhenti saat setelah undang-undang disahkan dan diundangkan. Proses legislasi merupakan proses yang berkelanjutan sampai pelaksanaan dan adanya kemungkinan diujikan kepada Mahkamah Konstitusi. Sehingga, sejatinya Mahkamah Konstitusi merupakan patner dalam proses legislasi secara khusus.412 Model komunikasi yang perlu untuk ditekankan antara pembentuk undang-undang terutama DPR adalah dapat bekerja dengan lebih sinergis. Keberadaan pengujian norma dapat dibilang sebagai kekurangan DPR dalam membentuk norma. Karena dengan semakin memperhatikan aspirasi masyarakat dan konstitusionalitas yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka akan mengurangi kemungkinan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, tidak serta merta pengujian undang-undang adalah sebuah $$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$ 410 Sesuai dengan tujuan pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga tinggi negara adalah untuk menghindari pemboncengan kepentingan sehingga putusan yang dihasilkan adalah keputusan politik. Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VI Kekuasaan Kehakiman…op.cit., hlm. 445. 411 Pidato Ketua DPR RI pada Penutupan Masa Persidangan III Tahun Sidang 20042005 tanggal 24 Maret 2005., sebagaimana dikutip dalam: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, op.cit., hlm. 43. 412 Legislasi secara khusus yang dimaksudkan adalah sebatas dalam pengujian undang-undang dan tidak termasuk proses perancangan sampai dengan pengesahan. !"#$ Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 hambatan melainkan tantangan yang bertolak pada kewajiban dasar pembentuk undang-undang itu sendiri. Implikasi mendasar selanjutnya antara Mahkamah Konstitusi dengan pembentuk undang-undang adalah adanya keinginan untuk menuangkan hubungan antar lembaga negara yang terkait proses legislasi dalam hubungan tata kerja. Pengaturan mengenai Hubungan Tata Kerja Antar Lembaga Negara sejauh ini masih diatur dalam Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 yang kiranya tidak lagi sejalan dengan perubahan Undang-Undang Dasar 1945.413 Dengan tidak diaturnya mengenai kesepahaman antara pembentuk undang-undang dengan Mahkamah Konstitusi berakibat pada bekunya hubungan antar lembaga tersebut. Sampai pada akhirnya, muncul perspektif yang sumir bahwa kinerja jumlah anggota DPR yang hampir enam puluh kali jumlah hakim konstitusi dan ditambah pihak presiden, dapat langsung dibatalkan oleh sembilan hakim konstitusi. Hal tersebut pada dasarnya dapat diselesaikan dengan memahami pembentukan Mahkamah Konstitusi dan keterlibatan rakyat atas sebuah undangundang. Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban yang dibebankan oleh Undang-Undang Dasar 1945 untuk menguji dan menafsirkan konstitusi. Akan tetapi, dalam prakteknya Mahkamah Konstitusi tidak sendiri melainkan bersama dengan elemen masyarakat yang merasa hak konstitusionalnya tercederai. Sehingga tidak ada tendensi apapun atau maksud apapun dari Mahkamah Konstitusi selain menjalankan fungsinya sebagai supremasi konstitusi dan menjaga superlegalitas Undang-Undang Dasar 1945. Konsep ini tidak lantas mengkebiri para pembentuk undang-undang yakni DPR dan Presiden, karena dalam pembentukan undang-undang masih dalam tahap kebijakan dengan berdasarkan kepentingan mayoritas. Oleh karena itu, fungis Mahkamah Konstitusi adalah mengakselerasi kepentingan rakyat yang tidak terepresentasi dalam undang-undang. Berdasarkan perspektif umum tentang kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam proses legislasi, dapat dijabarkan lebih terperinci sebagai berikut terutama berkaitan dengan Putusan No. 10/PUU-VI/08 tentang pencantuman syarat domisili: $$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$ 413 Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Ibid., hlm. 44. !"#$ Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 4.2.1 Peran Mahkamah Konstitusi sebagai Positive Legislator ditinjau dari Lingkup Penafsiran Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari Proses Legislasi Khusus Pencantuman syarat domisili dalam pengujian Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tidak lepas dari pemaknaan sebuah norma itu sendiri. Meskipun norma yang menyatakan syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan bagi keanggotaan DPD tidak dituliskan secara eksplisit dalam UU Nomor 10 Tahun 2008, namun ketiadaan norma demikian harus dianggap sebagai norma itu sendiri. Terlebih nyata-nyata bahwa dalam UU Nomor 12 Tahun 2003, Pasal 63 mengatur tentang syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan, yang secara sengaja dihapuskan dalam perumusan UU Nomor 10 Tahun 2008. Penghapusan Pasal 63 UU Nomor 12 Tahun 2003 tersebut harus dipahami sebagai penormaan dalam proses legislasi Undang-Undang Pemilu yang memberi makna kesesuaiannya atas Pasal 22C ayat (2) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Oleh karenanya, Mahkamah Konstitusi yang terhormat jelas-jelas mempunyai kewenangan untuk menentukan pemaknaan yang tepat atas konstitusionalitas syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan, yang secara berbeda dirumuskan dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 maupun UU Nomor 10 Tahun 2008.414 Perihal penjabaran norma, Mahkamah Konstitusi menafsirkan dengan melakukan pendekatan pada jenis dan bentuk norma itu sendiri yang tertuang di dalam sebuah undang-undang. Unsur-unsur norma yang ada dalam peraturan perundang-undangan mengandung sifat-sifat:415 1. Norma Perintah (gebod), adalah kewajiban untuk melakukan sesuatu yang biasanya mengharuskan subjek hukum untuk melakukan. 2. Norma Larangan (verbod), adalah kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu ,atau dilarang melakukan sesuatu. 3. Norma Pembebasan (dispensasi), adalah pengecualian dari perintah. Hal ini adalah pembolehan khusus untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan. $$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$ 414 Putusan No. 10/PUU-VI/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, op.cit., hlm. 87. 415 Putusan No. 10/PUU-VI/2008, op.cit., hlm. 175. !"#$ Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 4. Norma Izin (toestemming), adalah pembolehan khusus untuk sesuatu yang sebenarnya dilarang. Jadi izin adalah legalisasi dari perbuatan yang seharusnya dilarang. 5. Norma kebolehan adalah pilihan yang bersifat fakultatif, boleh dilaksanakan oleh subjek hukum, boleh juga tidak. Sehingga, dalam putusan ini, Mahkamah Konstitusi berpola doktrinal yang keluar dari perspektif biasanya yang berpola originalis. Sebelum memberikan penafsiran terkait dengan domisili, Mahkamah Konstitusi membenarkan bahwa ketiadaan sebuah norma merupakan norma itu sendiri.416 Sejalan dengan paham doktrinal, bahwa penafsiran sebuah undang-undang tidak hanya sebatas pada norma yang serta merta tertuang di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Akan tetapi, dapat melihat pada hukum yang hidup di dalam masyarakat dan yang tertuang di dalam doktrin. Dalam pertimbangannya disebutkan ketiadaan norma konstitusi yang bersifat implisit melekat dalam suatu pasal konstitusi, in casu syarat domisili di provinsi yang diwakilinya bagi calon anggota DPD, implisit melekat pada Pasal 22C ayat (1) dan (2) UUD 1945, Mahkamah berpendapat bahwa apabila mengacu kepada Pasal 51 ayat (3) huruf b UU MK, memang tidak mungkin untuk diajukan permohonan pengujian. Karena, permohonan yang demikian akan dianggap kabur (obscuur libel), tidak jelas, yang berakibat permohonan tidak dapat diterima sebagaimana ditentukan dalam Pasal 56 ayat (1) UU MK. Namun demikian, Mahkamah dapat juga menyatakan bahwa suatu pasal, ayat, dan/atau bagian undang-undang yang tidak memuat suatu norma konstitusi yang implisit melekat pada suatu pasal konstitusi yang seharusnya diderivasi secara eksplisit dalam rumusan pasal, ayat, dan/atau bagian undang-undang, oleh Mahkamah dapat dinyatakan sebagai konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) atau inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional).417 Adapun sebuah norma yang ditafsirkan berdasarkan doktrin, Mahkamah Konstitusi masih dapat bertindak dengan mempertimbangan aspek kebaruan demi $$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$ 416 Putusan No. 10/PUU-VI/2008, op.cit., hlm. 40. 417 Ibid., hlm. 215. !"#$ Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 kepentingan rakyat. Dibenarkan sebelumnya bahwa tidak dicantumkannya ketentuan mengenai syarat domisili mengakibatkan hilangnya esensi keterwakilan pada lembaga DPD, maka akan dibenarkan untuk memberikan putusan pencantuman syarat domisili. Paradigma yang menolak perananan Mahkamah Konstitusi untuk mencantumkan norma merupakan perbenturan antara perspektif positivis klasik yang berdasarkan doktrin terhadap perspektif progresif yang berdasarkan hukum yang hidup pada masyarakat. Sehingga, dari lingkup penafsiran Mahkamah Konstitusi, pencantuman syarat domisili merupakan hal yang inkonstitusional senafas dengan filosofi dan aspek perkembangan hukum di masyarakat.418 4.2.2 Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 10/PUU-VI/08 terhadap Proses Pembentukan Undang-Undang Pemuatan syarat domisili yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi memiliki pengaruh besar dalam prosesl legislasi. Peranan Mahkamah Konstitusi sebagai Positive Legislator menambah urgensi baru untuk mengatur lebih lanjut mengenai proses legislasi terkait dengan tindak lanjut putusan mahkamah. Secara keorganisasian, keberadaan putusan Mahkamah Konstitusi yang berisi muatan materi pengaturan ini memberikan tantangan besar bagi kembaga pembentuk undang-undang untuk mampu mensinergiskan kembali dengan aturan-aturan yang terkait Dengan demikian, pada proses pengaharmonisasian, pembulatan, pemantapan, pengajuan rancangan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan harus dilaksanakan dengan maksimal selain untuk meningkatkan kualitas undangundang yang dibentuk juga menindaklanjuti putusan tersebut. Sehingga, tidak terjadi jarak antara Mahkamah Konstitusi dengan pembentuk undang-undang tidaklah terjadi.419 Dari segi organisasi, Presiden dan DPR ataupun secara tidak langsung DPD, diharapkan mampu meningkatkan kualitas produk legislasinya. Hal ini merupakan sebuah tuntutan yang bersifat kewajiban bagi anggota DPR, kelembagaan Presiden dan Dewan Perwakilan daerah untuk menyusun sebuah $$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$ 418 Cynthia L. Cates, Wayne V. McIntosh, op.cit., hlm. 23. 419 Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, op.cit., hlm. 43. !"#$ Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 peraturan perundang-undangan yang semakin melihat aspirasi rakyat dan materi dalam pengaturannya dihadapan Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga, jika dilihat dari segi keorganisasian para pembentuk undang-undang harus dapat menata diri dalam menempatkan hasil putusan pengujian undang-undang. Dalam perspektif Mahkamah Konstitusi, secara keorganisasian mengharuskan Mahkamah Konstitusi untuk mampu menjaga independensi dan kualitas dari putusan-putusannya. Mahkamah Konstitusi memang hanya terdiri dari sembilan orang Hakim Konstitusi, akan tetapi peranan dan kewenangannya dapat melakukan pembatalan norma yang ditetapkan oleh pembentuk undangundang. Hal ini juga mengharuskan pemilihan yang begitu selektif yang nantinya akan menempatkan orang-orang pilihan untuk duduk sebagai hakim konstitusi. Dengan didudukinya hakim konstitusi oleh orang-orang pilihan, maka diharapkan pengambilan-pengambilan putusan tidak hanya berdasarkan aspek original intent dari konstitusi itu sendiri tetapi termasuk norma yang hidup di dalam masyarakat. Oleh karena itu, keberadaan putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana halnya memuat syarat anggota domisili bagi calon DPD, dapat diterima secara kelembagaan di DPR dan Presiden sebagai sebuah konsekuensi logis amanat konstitusi sekaligus sebagai mitra dalam pengawalan konstitusi. Kemudian dari tahap prosedural, keberadaan putusan Mahkamah Konstitusi terkait pencantuman syarat domisili anggota DPD, berimplikasi logis pada proses pembentukan undang-undang. Putusan Mahkamah Konstitusi menjadi bobot penting dengan pengaturan di dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 yang menjadikan putusan Mahkamah Konstitusi sebagai bagian yang harus dimasukkan dalam pembahasan Prolegnas.420 Sehingga, saat Presiden dan DPR ditambah usulan dari DPD terkait kewenangannya, materi putusan Mahkamah Konstitusi harus di dahulukan terkait perundang-undangan yang telah diujikan. Prolegnas jangka panjang harus mencantumkan materi yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam kurun lima tahun, pemerintah dan $$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$ 420 Indonesia, Peraturan Presiden Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Pengelolaan Program Legislasi Nasional, Perpres No. 61 Tahun 2005. Sebagaimana dikutip pada Konrad Adenuer Stiftung dan PSHK, Memantau Parlemen Mendorong Lahirnya Legislasi: Panduan Praktis Pemantauan Legislasi, (Jakarta: PSHK, 2007), hlm. 12. !"#$ Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 DPR menjabarkan prioritas-prioritas undang-undang yang akan dibentuk. Sehingga pembentukan undang-undang yang berhubungan erat dengan materi pemilihan anggota DPD, harus merujuk pada putusan tersebut. Penentuan program legislasi nasional itu juga dilakukan evaluasi yang meliputi: memastikan status rancangan undang-undang berupa tindakan DPR dan Presiden dalam menyisir rancangan undang-undang mana yang telah selesai dibahas, dan mana yang belum memasuki pembahasan; menentukan rancangan undang-undang yang menjadi prioritas tahunan; menentukan apakah rancangan undang-undang diluar prolegnas dapat dimasukkan dalam prioritas tahunan yang artinya menempatkan sebuah rancangan dalam dua prioritas tahunan dan lima tahunan. Dalam hal pengajuan rancangan di luar prolegnas, urgensi untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi adalah hal yang juga di atur di dalam Undang-Undang No. 12 tahun 2011. Dari sini terlihat, bahwa pemuatan materi pasal oleh Mahkamah Konstitusi terkait dengan syarat domisili menjadi hal yang urgent untuk dibahas jika perspektif DPR dan Presiden tidak menghendaki demikian. Akan tetapi, selain memang biasanya undang-undang tentang pemilihan umum merupakan prioritas lima tahunan, tidak senayatanya pemuatan pasal ini menjadi permasalahan dalam tahapan perancangan. Sehingga dari segi perencanaan, putusan Mahkamah Konstitusi memberikan implikasi yang berarti bagi proses legislasi adapun pada dasarnya sampai dikeluarkannya Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, terkait dengan tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi belum diatur dengan jelas. Pada proses pembahasan, setelah perencanaan oleh DPR, Presiden dan DPD, keberadaan putusan Mahkamah Konstitusi diakomodasi sebagai sebuah dokumen penting saat rancangan undang-undang dibahas bersama oleh Presiden dan Pemerintah. Seiring dengan meningkatnya pengujian undang-undang, hal-hal yang merupakan dokumentasi pembahasan peraturan perundang-undangan menjadi sebuah perhatian yang begitu penting. Hal tersebut didasarkan pada pelaksanaan pengujian undang-undang yang sebagaian besar melakukan !"!# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 pendalaman secara historis berupa original intent dari pembentuk undang-undang yang merujuk pada dokumen pembahasan tersebut.421 Dasar penafsiran pencantuman syarat domisili ini selain didasarkan pada materi yang diajukan tentang fungsi perwakilan, juga merujuk pada dokumentasi pada saat pembahasan. Permohonan yang diajukan oleh pemohon mengatakan bahwa tidak dicantumkannya ketentuan domisili merupakan sebuah tendensi negatif dari DPR. Sehingga, sebelum diwajibkan oleh Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 pun DPR dan Pemerintah pada saat pembahasan mulai melakukan pembenahan. Pembenahan pertama yang dilakukan adalah melalui penyusunan Tata Tertib DPR yang mengatur konsep risalah dan laporan singkat. Poin tersebut mewajibkan bagi DPR sendiri secara administratif untuk mengadakan pembukan setiap pembahasan yang dilakukan. Sehingga, secara tidak langsung hal ini merupakan sebuah perbaikan sistem pada proses legislasi. Selanjutnya dalam hal harmonisasi dan sinkrinisasi rancangan undangundang yang dilakukan. Bahwa dengan adanya penataan kembali sistem legislasi di internal pembentuk undang-undang, juga ditekankan pada tindakan prefentif DPR dan Presiden untuk mengurangi produk undang-undang yang inkonstitusional. Proses ini membutuhkan kinerja yang tidak mudah, karena DPR ataupun Presiden wajib untuk memeriksa kembali materi dalam rancangan undang-undang terutama jika dibenturkan dengan pasal terkait di dalam UndangUndang Dasar 1945. Sebagaimana dalam kasus pencantuman syarat domisili anggota DPD, pihak Presiden dan DPR harus melakukan harmonisasi yang tidak sedikit.422 Setidaknya dalam pemilu itu sendiri, undang-undang terkait seperti undang-undang penyelenggara pemilu dan undang-undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (Sususnan Kedudukan) adalah pekerjaan rumah bagi Pemerintah dan DPR. Walaupun demikian, dalam prakteknya masih belum diwadahi secara khusus antara DPR dan Presiden dalam melakukan harmonisasi dan sinkronisasi rancangan undang-undang. $$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$ 421 Sri Soemantri, Hak Uji Materiil di Indonesia, Ed. 2. Cet. 1 (Bandung: Alumni, 1997), hlm. 1. Dan dapat dilihat perbandingan lingkup judicial review dalam Saikrishna B. Prakash and John C. Yoo, op.cit.,hlm. 6. 422 Dapat dilihat pada polemik di KPU terkait dengan putusan tersebut, apakah akan dibentuk Perpu atau tidak. !"#$ Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Hal yang paling substansial berikutnya terkait implikasi pencantuman syarat domisili adalah monitoring pelaksaaan undang-undang. Harus dipahami bahwa undang-undang merupakan dasar aturan pelaksana di bawahnya. Dengan demikian, perubahan di dalam undang-undang itu sendiri dapat mengubah substansi dalam aturan pelaksanannya. Perubahan tersebut menjadi hal baru yang harus dipertimbangkan terutama bagi Pemerintah yang bertindak sebagai pelaksana undang-undang. Sehingga, pelaksanaan pengawasan undang-undang menempatkan ketiga lembaga negara sekaligus bahwa DPR sebagai bagian dari kedaulatan rakyat yang dapat meminta pertanggungjawaban presiden, presiden sebagai pelaksana undang-undang dan Mahkamah Konstitusi yang kapasitasnya dapat melihat pelaksanaan dari putusan yang dikeluarkan walau tidak memiliki kewenangan lebih lanjut atas pelaksanaan putusan tersebut.423 Keberadaan pencatuman ketentuan syarat domisili menimbulkan reaksi yang begitu kuat pada lembaga negara, tetapi secara pencantuman syarat domisili diterima oleh pembentuk undang-undang. Hal ini dapat terlihat dari bagaimana pelaksanaan Pemilu 2009 yang menggunakan syarat domisili sebagai hal yang harus dipenuhi oleh seorang calon anggota DPD. Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pemilihan umum merevisi ketentuan Peraturan KPU No. 13 Tahun 2008 yang kemudian menyesuaikan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 10/PUU-VI/2008 dan disusul kemudian dengan surat edaran yang mengharuskan adanya syarat domisili anggota DPD. Pada perkembangan selanjutnya, terkait dengan pencantuman syarat domisili anggota DPD muncul dalam pembahasan Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum. Undang-undang tersebut tidak memasukkan ketentuan mengenai syarat domisili anggota DPD. Hal ini menunjukkan bahwa DPR mengambil sikap tidak menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi adapun telah diatur di dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hal inilah yang dapat dilihat bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai pembentuk norma masih belum berjalan sinergis dengan proses legislasi yang ada di Indonesia. ######################################################## 423 Indonesia, Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pasal 10 ayat (1) huruf d. !""# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Tidak sinergisnya proses legislasi di Indonesia, salah satunya dapat dilihat pada Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 yang disahkan pada Mei 2012, menunjukkan bahwa muatan norma syarat domisili anggota DPD tidak lagi dicantumkan. Hal ini menegaskan bahwa pembentuk undang-undang tidak mengindahkan putusan Mahkamah Konstitusi. Sehingga bentuk hubungan dalam penggalian norma yang ada antara pembentuk undang-undang dengan Mahkamah Konstitusi bergerak secara terpisah dan masing-masing. Selain itu, pelaksanaan dari norma tambahan ini pada Pemilu 2009 tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya. Pembuktian mengenai hal tersebut antara lain, karena: 1. Muatan norma di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tidak berwujud regeling melainkan sebuah putusan atau beschiking yang mengikat pada norma tersebut. Bentuk norma yang bersifat beschiking ini tidak mengikat secara umum, tetapi butuh lembaga pelaksana yakni melalui Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara Pemilu. 2. Dalam penerapannya oleh KPU, tidak dikeluarkannya sebuah aturan pelaksana terkait putusan tersebut. 3. Tidak adanya sebuah norma pengaturan, selain karena tidak dibuatnya oleh KPU juga dikarenakan bentuk putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak melakukan penjabaran lebih lanjut mengenai syarat domisili yang dimaksudkan. Ketiga hal tersebut di atas menunjukkan bahwa di Indonesia, peran Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator pada putusan No. 10/PUUVI/2008 belum terakomodasi dengan baik. Beberapa rujukan bahwa peran Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator dapat dibandingkan dengan pelaksanaan Putusan MK terkait penggunaan Kartu Tanda Penduduk sebagai pengganti Kartu Pemilih. Hal ini terjadi karena KPU mengeluarkan sebuah peraturan KPU dan ditambah Surat Edaran tentang penggunaan KTP dalam penyelenggaraan Pemilu. Selain itu, beban materi norma yang termuat dalam kasus penggunaan KTP sebagai pengganti Kartu Pemilih lebih mudah untuk dieksekusi karena tidak butuh dijabarkan lebih lanjut mengenai materi muatan. Sehingga, dapat langsung dilaksanakan. !"#$ Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan Berdasarkan penjabaran tersebut tentang perspektif doktrin pemisahan kekuasaan, filosofi pembentukan Mahkamah Konstitusi, pola penafsiran UndangUndang Dasar 1945 oleh Mahkamah Konstistusi dan Proses Legislasi di Indonesia, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Mahkamah Konstitusi Memiliki Peran sebagai Positive Legislator dalam Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008 yang Dibenarkan Secara Doktrin dalam Mengawal Konstitusi. Mahkamah Konstitusi secara doktrin pemisahan kekuasaan merupakan lembaga tinggi negara yang melaksanakan fungsi ajudikasi konstitusi. Hal ini memberikan peran bagi Mahkamah Konstititusi untuk mengawal superlegalitas konstitusi. Peranan pengawalan konstitusi memiliki pengertian yang begitu luas tetapi terikat pada keberadaan warga negara sebagai aspek kunci pengujian undnag-undang. Secara doktrin, hal tersebut memberikan pembenaran sepenuhnya bagi Mahkamah Konstitusi untuk dapat melakukan sebuah pemuatan pasal dengan telah membuktikan terlebih dahulu konstitusionalitas dan inkonstitusionalitas khususnya dalam Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008. Pemuatan syarat domisili adalah sebuah konsekuensi logis atas penafsiran Mahkamah Konstitusi yang melihat keterwakilan dan unsur representasi daerah adalah esensi dari DPD. Bentuk pemuatan pasal ini dibenarkan oleh konsep hukum yang hidup atau living constitution. Hal ini mengharuskan hakim untuk melihat secara mendalam permasalahan yang ada dan dalam menafsirkan UndangUndang Dasar 1945 harus berpandangan visioner. Sehingga dengan membuktikan inkonstitusionalitas tidak tercantumnya syarat domisili, Mahkamah Konstitusi bertanggungjawab atas pengujian tersebut. Bentuk putusan yang diambil harus memberikan kejelasan sebuah norma karena nantinya akan dilaksanakan oleh Pemerintah. Oleh karena itu, pemuatan !"#$ Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 syarat domisili tersebut merupakan bentuk tanggung jawab Mahkamah Konstitusi sebagai penguji undang-undang. Peran Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator masih tidak dapat dilakukan sewaktu-waktu dalam setiap pengujian undang-undang. Setidaknya, Mahkamah Konstitusi dalam perannya sebagai positive legislator harus mendasarkan pertimbangannya pada permohonan pemohon dan mampu menunjukkan adanya kepentingan yang mendesak. Sehingga, penerapannya tidak dapat dilakukan setiap pengujian undangundang karena porsi yang paling utama dari Mahkamah Konstitusi mencantumkan norma dalam sebuah pasal adalah mengabulkan permohonan pemohon yang didasarkan pada adanya kebutuhan yang mendesak. 2. Mahkamah Konstitusi Memiliki Dampak Terhadap Proses Legislasi tetapi secara Prosedural belum Diatur dengan Jelas dalam Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008 terkait Peranannya sebagai Positive Legislator. Putusan Mahkamah Konstitusi yang berperan sebagai positive legislator memiliki porsi yang berbeda dengan putusan pengujian biasa. Putusan yang tidak memberikan muatan pasal tambahan, secara umum telah diakomodasi dengan peraturan di dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai sebuah dokumen pembahasan dalam proses legislasi. Akan tetapi, untuk pembentukan norma di dalam Mahkamah Konstitusi telah dibenarkan secara doktrin, hal ini tetap dikembalikan pada esensi pemisahan kekuasaan. Doktrin pemisahan kekuasaan tetap memberikan kewenangan pembentukan undang-undang pada legislatif yakni DPR dengan kekhususan di Indonesia berupa persetujaun bersama Presiden. Hal ini merupakan sebuah tindakan khusus yang bertolak pada waktu pengujian karena bergantung pada konteks norma yang hidup dalam masyarakat. Penindaklajuntan Putusan Mahkamah Konstitusi ini dalam pembahasan Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum ternyata tidak diberikan sebuah ruang oleh DPR dan Presiden sehingga ketentuan ini tidak dicantumkan. Ketentuan norma berupa syarat domisili !"#$ Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 bagi anggota DPD tidak lagi termuat dalam undang-undang tersebut adalah hal yang dibenarkan. Pemegang kekuasaan pembentukan undangundang tetap ada pada DPR dan Presiden. Hal ini dapat dibenarkan dengan pertimbangan bahwa keberadaan waktu pengujian saat Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008 dikeluarkan memandang bahwa pada saat diujikan, norma yang hidup adalah demikan. Namun, akan berbeda dengan pengaturan saat ini yang mengikat adapun memuat kembali aturan yang dibatalkan. Oleh karena itu, implikasi peran Mahkamah Konstitusi sebagai positive legislator adalah sebagai bahan pertimbangan DPR dan Presiden membuat sebuah undang-undang yang tidak mengikat secara formil dan materiil untuk dijalankan. 5.2 Saran Berdasarkan penjabaran dalam kesimpulan tersebut di atas, maka penulis ajukan saran sebagai berikut: 1. Penegasan kembali mengenai konsep checks and balances antara Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden dengan menyusun Hubungan Tata Kerja Antar Lembaga Negara secara bersamasama untuk dijalankan bersama terkait dengan peran masing-masing dalam proses legislasi. 2. Penegasan kembali pengaturan mengenai proses legislasi di Indonesia melalui peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pada bagian prosedur administrasi dalam menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi yang memuat sebuah pasal dan hukum. 3. Penegasan kembali pengaturan mengenai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi terhadap lembaga pemerintahan yang menjalankan undangundang terkait sehingga tercapainya kesepahaman dan kesatuan hukum bagi masyarakat terutama penegasan tentang keberadaan Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai bahan galian hukum. !"#$ Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 DAFTAR PUSTAKA BUKU: Alder, John dan Peter English. Constitutional and Administrative Law. London: Macmilan, 1989. Andrews, William G. Constitutions and Constitutionalism, 3rd ed., New Jersey: Van Nostrand Co., 1968. AR, Hanta Yuda AR. Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi. Jakarta: Gramedia, 2010. Asshiddiqie, Jimly. Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Pembangunan Hukum Nasional. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005. ______. Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006. ______. Jimly. Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2008. ______. Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006. ______. Jimly. Perihal Undang-Undang. Jakarta: Rajawali Press, 2010. ______. Jimly. Perkembangan Konsolidasi Lembaga Negara. Jakarta: Sekretarian Jenderal Mahkamah Konstitusi Indonesia, 2006. ______. Jimly. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007. ______. Jimly. Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara. Jakarta: Konpress, 2005. Barent, E. Separation of Powers and Constitutional Government. c.n.: c.l., 1995. Bast. Carol M. Foundations of Law: Cases, Commentary and Ethics. Clinfton Park: Delmar, 2011. Bedner, Adriaan. Administrative Courts in Indonesia: A Socio-Legal Study. Dordrecht: Kluwer Law International, 2001. Bhakti, Teguh Satya, “Perbandingan Konsep Trias Politica Menurut John Locke, Montesquieu, dan Undang-Undang Dasar.” Dalam Jurnal Tata Negara !"#$ Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 FHUI: Beberapa Teori dalam Hukum Tata Negara. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2003. Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003. Burns, James Mac Gregory, J. W. Petlason, dan Thomas E. Cronin. Government by The People. New Jersey: Prentice Hall, 1989. Carolan, Eoin. The New Separation of Powers: A Theory for the Modern State. Oxford: Oxford University Press, 286. Cates, Cynthia L., Wayne V. McIntosh. Law and the Web of Society. Washington D.C.: George Washington University, 2007. Conserva, Henry. Understanding The Constitution. Bloomington: AuthorHouse, 2011. Corwin, Edward S. The Doctrine of Judicial Review: Its Legal and Historical Basis and Other Essays. Clark: The Law Book Exchange, 2007. Daulay, Ikhsan Rosyada Parluhutan. Mahkamah Konstitusi: Memahami Keberadaannya dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2006. Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Garis Besar Sistem Hukum Amerika Serikat [Judicial Process in America]. Diterjemahkan oleh Masri Maris. Washington: Congressional Quarterly Inc, c.t. Ducat, Craig R. Constitutional Interpretation, ed. 10., Boston: Wadsworth, 2009. Garrett, Stephen. Conscience and Power: An Examination of Dirty Hand and Leadership. New York: St. Martin’s Press, 1996. Garvey, John A., dan T. Alexander Aleinkoff. Modern Constitutional Theory. Eagan: West Publishing, 1994. Graber, Mark A. dan Michael Perhac. Marbury versus Madison: Documents and Commentary. Washington DC: CQ Press, 2002. Griffith. Politics of Judiciary. London: Fontana Press, 1985. Fatmawati. Hak Menguji (Toetsingrecht) yang Dimiliki Hakim dalam Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo, 2005. Friedrich, Carl J. Constitutional Reason of State, the Survival of the Constitutional Order. Providence: Brown University Press, 1957. !"#$ Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Hailsham, Lord. The Dilemma of Democracy. Collins: c.n., 1978. Hamilton, Walton H. Constitutionalism, Encyclopedia of Social Sciences, Edwin R.A., Seligman dan Alvin Jognson, New York: c.n., 1931. Hardjono. Legitimasi Perubahan Konstitusi: Kajian terhadap Perubahan UUD 1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, c.t. Indrati, Maria Farida. Ilmu Perundang-Undangan Jilid 1. Yogyakarta: Kanisius, 2007. Isra, Saldi. Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010. Kamir, “Refleksi Konsep Negara dan Kedaulatan Rakyat dalam Perspektif Hubungan Negara dan Rakyat di Indonesia.” dalam Jurnal Tata Negara FHUI: Beberapa Teori dalam Hukum Tata Negara, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2003), hlm. 287. Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. New York: Russel & Russel, 1961. ________. Hans. La garantue jurisdictionalle de la constitution (La Justice constitutionalle) Revue du droit public de la science politique en France et a l’etranger. Paris: Librarie General de Droit et the Jurisprudence, 1928. ________. Hans. Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif [The Pure Theory of Law]. Diterjemahkan oleh Raisul Muttaqin. Bandung: Nusamedia, 2008. Korteweg, Rem. The Superpower, The Bridge Builder and The Hesitant Ally: How Defense Divided NATO 1991-2008. Utrecht: Leiden University Press, 2011. Konrad Adenuer Stiftung dan PSHK, Memantau Parlemen Mendorong Lahirnya Legislasi: Panduan Praktis Pemantauan Legislasi. Jakarta: PSHK, 2007. Kusuma, Mahmud, Menyelami Semangat Hukum Progresif: Terapi Paradigmatik Bagi Lemahnya Hukum Indonesia. Yogyakarta: Antonylib, 2009. Kusuma, R. M. A. B. “Bagaimana Menginterpretasikan Konstitusi Kita.” Dalam Jurnal Konstitusi Vol. 1 No. 3, Mei 2005. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2005. ________. R. M. A. B. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004. !"#$ Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Linz, Juan J. dan Alfred Stepan. Problems of Democratic Transition & Consolidation: Southern Europe, South America, & Post-Communist Europe. Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1996. Locke, John. Second Treatise of Government: The Original. Cambridge: Hayes Barton Press, 1956. Mahkamah Konstitusi. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VII Keuangan, Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI , 2010. ________. Naskah Komprehensif Buku I: Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999-2001. Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2010. ________. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VI Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010. ________. Risalah Sidang BPUPKI. Jakarta: Sekretariat Jenderal RI, 1998. ________. dan Pusat Studi Konstitusi FH Andalas. Perkembangan Pengujian Perundang-Undangan di Mahkamah Konstitusi: Dari Berpikir Hukum Tekstual ke Hukum Progresif. Padang: Pusat Studi Konstitusi, 2010. Marshall, G. Constitutional Theory. Clarendon: Oxford University Press, 1971. McKay, John P., Bennett D. Hill, dan John Buckler. A History of Western Society: From Absolutism to the Present. Bedford: St. Martin’s, 2005. MD, Mahfud. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Bandung: Rineka Cipta, 2001. ________. Mahfud. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Jakarta: Rajawali Press, 2010. Pamungkas, Sri Bintang. Dari Orde Baru Ke Indonesia Bari Lewat Reformasi Total. Jakarta: Erlangga, 2001. Phillips, O. Hood John Paul dan Patricia Leopold, Constitutional and Administrative Law. London: Sweet & Maxwell, 2001. Prodjodikoro, Wirjono. Asaz-Asaz Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat, 1971. !"!# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Pengujian Undang-Undang dan Proses Legislasi. Jakarta: PSHK, 2007. Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000. ________, Satjipto. Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: Kompas, 2008. Rousseau, Jean Jacques. Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip Hukum-Politik [Du Contract Social ou Principes du Politique]. Diterjemahkan oleh Rahayu Surtiati Hidayat dan Ida Sundari Husen. Jakarta: Dian Rakyat, 2010. Siahaan, Muarar. “Uji Konstitusionalitas Peraturan Perundang-Undangan Negara Kita: Masalah dan Tantangan.” Dalam Jurnal Mahkamah Konstitusi Volume 7 Nomor 4, Agustus 2011. Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2010. Siahaan, Muarar. Undang-Undang Dasar 1945: Konstitusi yang Hidup. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2008. Simorangkir, JTC. Tentang dan Sekitar Dewan Perwakilan Rakyat. Jakarta: Erlangga, 1972. Stab, James Brian, The Political Thought of Justice Antonin Scalia. Lanham: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2006. Statsky, Wiliam. West’s Legal Thesaurus/Dictionary: A Resource for the Writer and the Computer Researcher. c.l.: West Publishing, 1985. Strong, C. F. Modern Political Constitutions: An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Forms. London: c.n., 1972. Soebagio, Dewi Triwoelan Wresniningsih, et.al. Ilmu Negara. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009. Soemantri, Soemantri. Hak Uji Materiil di Indonesia, Ed. 2. Cet. 1. Bandung: Alumni, 1997. Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003. Suseno, Frans Magnis. Etika Politik. Jakarta: Gramedia, 1994. Sunny, Ismail. Pembagian Kekuasaan Negara, cet. 1. Jakarta: Departemen Penerangan RI, 1962. !"#$ Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Syahrizal, Ahmad. Peradilan Konstitusi: Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif. Jakarta: Pradnya Paramita, 2006. Tamanaha, Brian Z., On The Rule of Law: History, Politics, Theory. Cambridge: Cambridge University Press. 2004. Thompson, Brian Thompson. Textbook on Constitutional and Administrative Law ed.3. London: Blackstone Press ltd., 1997. Tobin, Robert W. Creating The Judicial Branch: The Unfinished Reform. Lincoln: iUniverse Inc., 2002. Tuckness, Alex. Locke and The Legislative Point of View: Toleration, Contested Principles and The Law. New Jersey: Princeton University Press, 2002. Wroth, S. J. Savonius, Jonathan Walmsley dan Paul Schuurman. The Continuum Companion to Locke. London: Continuum International Publishing Group, 2010. JURNAL DAN ARTIKEL ILMIAH Alexander, Larry A. “Constitutional Rules, Constitutional Standards, and Constitutional Settlement: Marbury v. Madison and the Case for Judicial Supremacy,” Public Law and Legal Theory Research Paper Series University of San Diego School of Law Research Paper No. 56, (September 2003), hlm. 1-12. Balkin, Jack M. “Framework Originalism and The Living Constitution” Public Law & Legal Theory Research Paper Series Research Paper No. 182. Yale University (Februari 2008), hlm. 1-90. Bell, John. “British National Report: Constitutional Court as Positive Legislators in Comparative Law.” Makalah disampaikan pada International Congress of Comparative Law, International Academy of Comparative Law, Washington, 26-30 July 2010. Benvenisti, Eyal. “Reclaiming Democracy: The Strategic Uses of Foreign and International Law By National Courts,” The American Journal of International Law of Tel Aviv University Volume 102:24 (Agustus 2007), hlm. 241-274. Bernstain, David E. “Lochner Era Revisionism, Revised: Lochner and the Origins of Fundamental Rights Constitutionalism,” Law and Economics Working Paper Series George Mason University (April 2003), hlm. 1-58. !"#$ Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Bustamante, Bustamante. “Constitutional Courts as “Negative Legislators”: The Brazilian Case.” Law Journal Faculty of Law University of Aberdeen, (November 2010), hlm.Garner, Bryan. A. Black’s Law Dictionary ed. 18,. St. Paul: West Publishing Co., 1990. Green, Christopher R. “This Constitution: Constitutional Indexical as a Basis for Textualist Semi-Originalis,” Notre Dame Law Review Oxford University Volume 84:4 (14 Agustus 2008), hlm. 1607-1674. Iliopoulos-Strangas, Julia and Stylianos-Ioannis G. Koutna, Greek National Report, c.l: c.n, 2010. Kammerhofer, Jörg. “Kelsen as Epitome of Legal Modernism,” Wissenschaftlicher Mitarbeiter at the Hans Kelsen Research Group of the Faculty of Law, Friedrich Alexander University Erlangen-Nuremberg, Germany (Maret 2010), hlm. 1-6. Marmor, Andrei. “Constitutional Intrepetation,” Public Policy Research Paper Series University of Southern California No. 04-4 (Maret 2004), hlm. 131. Smith, Eivind. “Constitutional Courts as Positive Legislator.” Makalah disampaikan pada International Academy of Comparative Law: XVIII International Congress of Comparative Law, Washington DC, 25-31 Juli 2010. Smith, Peter J. “How Different Are Originalism and Non-Originalism,” Hastings Law Journal Volume 62: 707. (Februari 2011), hlm. 707-706. Phillipse, Herman, “Antonin Scalia’s Textualism in Philosophy, Theology, and Judicial Interpretation of the Constitution,” Utrecht Law Review Volume 3, Issue 2 (December 2007), hlm. 169-192. Prakash, Saikrishna B. dan John C. Yoo, “The Origins of Judicial Review” University of San Diego, School of Law Public Law & Legal Theory Paper Series Research Paper No. 54 (Agustus 2003), hlm. 1-90. Revorio, Francisco Javier Dias. Las Sentencias Intrepretativas del Tribunal Constitucional. Valladolid: Lex Nova, 2001. Ristroph, Alice. “Proportionality as a Principle of Limited Government.” Duke Law Journal No. 05-19 (November 2005), hlm. 1-57. Roberto, Luis et.al, Brazilian National Report: Rule of Constitutional Court as Positive Legislator. c.n: c.l: 2010. !""# Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Rodriguez , Daniel B. dan Barry R. Weingast, “The Positive Political Theory of Legislative History: New Perspectives on the 1964 Civil Rights Act and its Interpretation, “ Legal Studies Research Paper Series Northwestern University Research Paper No. 05-22, (November 2004), hlm. 1-101. Samaha, Adam M. “Dead Hand Arguments and Constitutional Intrepretation,” Chicago Public Law and Legal Theory Working Paper No. 194 (Januari 2008), hlm. 1-67. Urbina, Fransisco Zuniga. Control de Constitucionalidad y Sentencia. Santiago: Cuardernos del tribunal Constitucional, 2006. Waldron, Jeremy. “Separation of Powers or Division of Power?” New York University School of Law Public Law & Legal Theory Research Paper Series No. 12-20 (Mei 2012), hlm. 1-34. Whittington, Keith E., R. Daniel Kelemen, Gregory A. Caldeira. The Oxford Handbook of Law and Politics. Oxford: Oxford University Press, 2008. SKRIPSI/TESIS/DISERTASI Attamimi, Hamid. Peranan “Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan.” Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 1992. Indrati, Maria Farida, “Empowering The Presidency: Interest and Perceptions in Indonesia’s Constitutional Reform”, Disertasi Doktor The Ohio State University. Columbus, 2004. MAKALAH Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia: Pergeseran Keseimbangan antara Individualisme dan Kolektivisme dalam Kebijakan Demokrasi Politik dan Ekonomi Selama Tiga Masa Demokrasi, 1945-1980-an. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1994. ______. Jimly. “Menelaah Putusan Mahkamah Agung tentang Judicial Review atas PP No. 19 Tahun 2000 yang bertentangan dengan UU No. 31 Tahun 1999.” c.l.: c.n., c.t.. !"#$ Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 ______. Jimly. “Negara Hukum Indonesia,” Makalah disampaikan pada Ceramah Umum dalam rangka Pelantikan Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Alumni Universitas Jayabaya, di Jakarta, Sabtu, 23 Januari 2010. ______. Jimly. “The Role of Constitutional Court in Guaranteeing Access to Justice in a New Transtitional State.” Makalah disampaikan pada Keynote Address at the Conference of “Comparing Access to Justice in Asian and European Transitional Countries,” Bogor; 27-28 June 2005. Fajar, Abdul Mukhtie, “Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi Paradigmatik.” Makalah disampaikan pada Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 13 Juli 2002. Konrad Adenauer Foundation, “Separation of Powers and Independence of Constitutional Courts and Equivalent Bodies.” Makalah disampaikan pada 2nd Congress of the World Conference on Constitutional Justice Rio de Janeiro, Brazil, 16 -18 January 2011. MD., Mahfud. “Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen UUD 1945.” Makalah disampaikan pada Diskusi Publik tentang Wacana Amandemen Konstitusi yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) di Jakarta, tanggal 12 Juni 2008. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Argentina. Constitución de 1994 (Konstitusi Argentina Amandemen 1994 terjemahan Bahasa Inggris), Bab IV Butir 75 No. 22. Dewan Perwakilan Rakyat. Keputusan DPR, No. 15/DPR-RI/I/2004-2005 tentang Peraturan Tata Tertib DPR. Pasal 42. ______. Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat 2009-2014, Psl. 101 ayat (2). Indonesia. Maklumat Wakil Presiden Komite Nasional Pusat: Pemberian Kewenangan Legislatif kepada Komisi Nasional Pusat, Maklumat Wakil Presiden No. X tahun 1965, Berita Republik Indonesia Tahun I No. 2. ______. Peraturan Presiden Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Pengelolaan Program Legislasi Nasional, Perpres No. 61 Tahun 2005. Pasal 5. ______. Undang-Undang Dasar 1945. ______. Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2008, LN. 157 Tahun 2009, TLN. 5076. !"#$ Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 ______. Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. UU No. 27 Tahun 2009, LN No.123 Tahun 2011, TLN No. 5043. ______. Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun 2003, LN. 98 Tahun 2003, TLN. No. 4316. ______. Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 10 Tahun 2004, LN. 53., TLN. 4389. ______. Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, No. 11 Tahun 2012, LN No. 82 Tahun 2012, TLN No. 5234. ______. Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No 24 tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 8 tahun 2011, LN No.70 Tahun 2011, TLN No. 5266. ______. Undang-Undang tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 20002004, No. 25 Tahun 2000, LN No. 206 Tahun 2000, TLN No. -, Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian Undang-Undang No. 10 Tahun Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Putusan MK No. 10/PUU-VI/2008. ______. Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang- Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011. INTERNET Asshiddiqie, Jimly. “Dinamika Partai Politik dan Demokrasi,” http://www.jimly.com/pemikiran. Diunduh pada tanggal 10 Oktober 2010. ______. Jimly. “Gagasan Negara Hukum Indonesia,“ http://jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia .pdf. diunduh pada 1 Juni 1012. Mahkamah Konstitusi. “Profil Sejarah Beridirinya Lembaga Mahkamah Konstitusi.” !"#$ Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.Profil.Sej arahMK. Diunduh pada tanggal 22 Februari 2011. Onecle, “Limitations on The Exercise of Judicial http://law.onecle.com/constitution/article-3/22-judicial-reviewlimitations.html. Diunduh pada 14 May 2012. Review,” !"#$ Universitas Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 PUTUSAN Nomor 10/PUU-VI/2008 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh: [1.2] A. Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6, Senayan, Jakarta Pusat 10270, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 3 April 2008, yang selanjutnya disebut sebagai PEMOHON I (DPD); B. Perorangan Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia yang untuk selanjutnya secara bersama-sama disebut sebagai PEMOHON II (Para Anggota DPD), yang terdiri dari: 1. Dra. Hj. Mediati Hafni Hanum, S.H., anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor Anggota B-04, Daerah Pemilihan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008; 2. Lundu Panjaitan, S.H., anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor Anggota BA-7, Daerah Pemilihan Provinsi Sumatera Utara, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008; 3. Dr. Mochtar Naim, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor Anggota B-12, Daerah Pemilihan Provinsi Sumatera Barat, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008; Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 2 4. Drs. H. Soemardhi Thaher, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor Anggota B-13, Daerah Pemilihan Provinsi Riau, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008; 5. Muhammad Nasir, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor Anggota B-19, Daerah Pemilihan Provinsi Jambi, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008; 6. Ir. Ruslan, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor Anggota B-24, Daerah Pemilihan Provinsi Sumatera Selatan, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008; 7. Muspani, S.H., anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor Anggota B-27, Daerah Pemilihan Provinsi Bengkulu, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008; 8. Hariyanti Syafrin, S.H., anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor Anggota B-30, Daerah Pemilihan Provinsi Lampung, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008; 9. Fajar Fairy S.H., anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor Anggota B-35, Daerah Pemilihan Provinsi Bangka Belitung, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008; 10. Benny Horas Panjaitan, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor Anggota B-39, Daerah Pemilihan Provinsi Kepulauan Riau, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008; 11. Biem Triani Benjamin, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor Anggota B-43, Daerah Pemilihan Provinsi DKI Jakarta, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008; 12. KH. Sofyan Yahya M.A., anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor Anggota B-48, Daerah Pemilihan Provinsi Jawa Barat, Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 3 yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008; 13. Drs. Sudharto, M.A., anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor Anggota B-51, Daerah Pemilihan Provinsi Jawa Tengah, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 3 April 2008; 14. Drs. Ali Warsito, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor Anggota B-54, Daerah Pemilihan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008; 15. KH. A. Mujib Imron S.H., anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor Anggota B-58, Daerah Pemilihan Provinsi Jawa Timur, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008; 16. R. Renny Pudjiati, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor Anggota BA-64, Daerah Pemilihan Provinsi Banten, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008; 17. I Wayan Sudirta, S.H., anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor Anggota B-65, Daerah Pemilihan Provinsi Bali, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008; 18. H. Lalu Abd. Muhyi Abidin, S.Ag., anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor Anggota B-72, Daerah Pemilihan Provinsi Nusa Tenggara Barat, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008; 19. Joseph Bona Manggo, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor Anggota B-75, Daerah Pemilihan Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008; 20. Sri Kadarwati, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor Anggota B-79, Daerah Pemilihan Provinsi Kalimantan Barat, yang Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 4 beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 April 2008; 21. Prof. KMA. M. Usop, M.A., anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor Anggota B-82, Daerah Pemilihan Provinsi Kalimantan Tengah, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008; 22. Drs. H. Muhamad Ramli, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor Anggota B-88, Daerah Pemilihan Provinsi Kalimantan Selatan, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008; 23. Drs. Nursyamsa Hadis, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor Anggota B-89, Daerah Pemilihan Provinsi Kalimantan Timur, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 April 2008; 24. Marhany Victor Poly Pua, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor Anggota B-93, Daerah Pemilihan Provinsi Sulawesi Utara, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008; 25. Drs. Roger Tobigo, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor Anggota B-98, Daerah Pemilihan Provinsi Sulawesi Tengah, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008; 26. Ir. Abdul Aziz Qahar M., anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor Anggota B-102, Daerah Pemilihan Provinsi Sulawesi Selatan, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008; 27. Drs. Pariama Mbyo, S.H., anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor Anggota BA-108, Daerah Pemilihan Provinsi Sulawesi Tenggara, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008; 28. Prof. Dr. H. Nani Tuloli, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor Anggota B-110, Daerah Pemilihan Provinsi Gorontalo, Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 5 yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008; 29. Midin B. L., S.H., anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor Anggota B-115, Daerah Pemilihan Provinsi Maluku, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008; 30. Ishak Pamumbu Lambe, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor Anggota B-103, Daerah Pemilihan Provinsi Sulawesi Selatan, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008; 31. Anthony Charles Sunarjo, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor Anggota B-117, Daerah Pemilihan Provinsi Maluku Utara, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008; 32. Tonny Tesar, anggota Dewan Perwakilan Daerah a, Nomor Anggota B-126, Daerah Pemilihan Provinsi Papua, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008; 33. Drs. Wahidin Ismail, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Nomor Anggota B-124, Daerah Pemilihan Provinsi Papua Barat, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 April 2008; C. Perorangan warga negara Indonesia yang memiliki perhatian besar terhadap Pemilihan Umum, parlemen Indonesia, dan penyaluran aspirasi daerah, yang untuk selanjutnya secara bersama-sama disebut sebagai PEMOHON III, yang terdiri dari: 1. Hadar Nafis Gumay, Direktur Eksekutif Yayasan Pusat Reformasi Pemilu [Centre for Electoral Reform (”CETRO”)], yang beralamat di Jalan Hang Jebat VIII Nomor 1 Jakarta 12120, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 21 April 2008; 2. Dr. Saafroedin Bahar, Ketua Dewan Pakar Sekretariat Nasional Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat, yang beralamat di Jalan Diponegoro Nomor 39 Pekanbaru, Riau, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 21 April 2008; Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 6 3. Sulastio, Ketua Umum Indonesian Parliamentary Center (”IPC”), yang beralamat di Jalan Teuku Cik Di Tiro Nomor 37 A Pav, Jakarta 10310, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 21 April 2008; 4. Sebastianus KM Salang, Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (”FORMAPPI”), yang beralamat di Jalan Matraman Raya Nomor 32-B, Jakarta Timur, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 21 April 2008; D. Perorangan yang tinggal di provinsi tertentu yang untuk selanjutnya secara bersama-sama disebut sebagai PEMOHON IV (Warga Daerah), yang terdiri dari: 1. Hariyono S.P., yang beralamat di Jalan Radial Nomor 1321, RT 020/006 Desa/Kelurahan 24 Ilir Kecamatan Bukit Kecil Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 April 2008; 2. Drs. Welky Karauwan M.Si., yang beralamat di Kelurahan Walian Lingkungan X, Desa Walian, Kecamatan Tomohon Selatan, Kota Tomohon, Provinsi Sulawesi Utara, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 April 2008; 3. Hartono, yang beralamat di Jalan Kamboja RT/RW 03/IV, Kampung Mariyai, Distrik Aimas, Kabupaten Sorong Provinsi Papua Barat berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 April 2008; 4. Ahmad Wali S.H., yang beralamat di Jalan Uram Nomor 34 Perumnas Kelurahan/Desa TL. Rimbo Lama Kecamatan Curup Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 April 2008; 5. TB. A. Oman Jahid Sulman, SC., yang beralamat di Jalan KH. TB. A. Khatib Nomor 45 RT/RW 04/05 Kelurahan/Desa Cipare Kecamatan Serang, Provinsi Banten, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 April 2008; 6. Abdul Salim Ali Siregar, yang beralamat di Jalan WR. Supratman Nomor 046 RT/RW 008/001 Kelurahan Kandang Limun Kecamatan Muara Bangkahulu Kota Bengkulu Provinsi Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 7 Bengkulu, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 April 2008; 7. Musriadi, yang beralamat di Jalan Merdeka Nomor 19 Desa/Kelurahan Lancang Garam Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 April 2008; 8. Zulfikar, yang beralamat di Lingkungan Rukun Desa/Kelurangan Blang Asan Kecamatan Kota Sigli Kabupaten Pidie Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 April 2008; 9. Karno Miko Sergye Rumondor, yang beralamat di Kelurahan Kairagi Dua Lingkungan VIII RW 008 Kecamatan Mapanget Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 April 2008; 10. Marhendi WH., yang beralamat di Desa Kota Lekat, Kecamatan Kerkap, Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 April 2008; 11. Fauzan Azima SH., yang beralamat di Jalan Batin Tikal Nomor 23 RT/RW 003/III Desa/Kelurahan Karya Makmur Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 April 2008; 12. H.A. Syafei, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 3 RT/RW 04/05 Kelurahan Karang Mekar Kecamatan Cimahi Tengah, Kota Cimahi Provinsi Jawa Barat berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 April 2008; 13. Natanael Mok, yang beralamat di Desa Yayasan Kecamatan Morotai Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 April 2008; Pemohon I sampai dengan Pemohon IV berdasarkan surat kuasa khusus bertanggal 2 April 2008, 3 April 2008, 4 April 2008, dan 21 April 2008 selanjutnya memberi kuasa kepada 1) Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M., 2) Trimoelja D. Soerjadi, S.H., 3) Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., 4) Bambang Widjojanto, S.H., M.H., 5) Alexander Lay, S.H., LL.M., 6) B. Cyndy Panjaitan, S.H. yang bertindak untuk dan atas nama Pemohon I sampai dengan Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 8 Pemohon IV, berdomisili di Lubis, Santosa & Maulana Law Offices, beralamat di Mayapada Tower, Lantai 5, Jalan Jenderal Sudirman Kav. 28, Jakarta 12920; Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------- para Pemohon; [1.3] Telah membaca permohonan dari para Pemohon; Telah mendengar keterangan dari para Pemohon; Telah mendengar dan membaca keterangan tertulis dari Pemerintah; Telah mendengar dan membaca keterangan tertulis dari Dewan Perwakilan Rakyat; Telah memeriksa bukti-bukti; Telah mendengar dan membaca keterangan tertulis para ahli dari para Pemohon dan Pemerintah; Telah membaca kesimpulan tertulis dari para Pemohon dan Pemerintah; 2. DUDUK PERKARA [2.1] Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan dengan surat permohonannya bertanggal 10 April 2008 yang diterima dan terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 10 April 2008, dengan registrasi Perkara Nomor 10/PUU-VI/2008, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 25 April 2008, mengemukakan hal-hal sebagai berikut: A. KONTEKS KEPENTINGAN DAERAH DALAM PERMOHONAN PENGUJIAN UU PEMILU Jong java, jong ambon, jong celebes, jong sumatra telah berikrar ”satu nusa, satu bangsa, satu bahasa” pada tanggal 28 Oktober 1928 untuk mewujudkan Indonesia. Konstitusi pertama Indonesia sebagai kontrak sosial berbangsa dan bernegara yang dibuat oleh BPUPKI/PPKI yang dirumuskan oleh para tokoh-tokoh daerah telah menjustifikasi lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rakyat yang hidup di berbagai daerahlah yang sejatinya membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan sekaligus menegaskan muara dari tujuan negara seperti tersebut di dalam pembukaan UUD 1945. Alinea keempat pembukaan UUD 1945 antara lain berbunyi: “... untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 9 seluruh tumpah darah Indonesia ...” dan “... maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat ...”. Muara itu ditujukan untuk kepentingan dan kehidupan seluruh rakyat, bukan sekadar klusterisasi kekuatan politik tertentu yang memanfaatkan pranata politik untuk kepentingan kekuasaan belaka. Namun tidaklah dapat dipungkiri fakta yang terjadi hingga saat ini bukanlah perilaku baru dalam sistem budaya politik kita sepanjang tiga dekade lebih rezim Orde Baru berkuasa bahwa negara telah dikelola secara terpusat dan mengingkari spirit pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan inilah salah satu faktor yang secara jelas telah mendorong lahirnya Reformasi. Muhammad Yamin dalam penyusunan Undang Undang Dasar 1945 telah secara tegas menyatakan: “...permusyawaratan rakyat adalah wujud kedaulatan rakyat yang sempurna atau sambungan yang paling tinggi dari kedaulatan rakyat yang syaratnya terdiri dari wakil langsung daripada rakyat dan wakil daerah. Wakil daerah ini menjadi sangat perlu oleh karena tanah Indonesia tentu akan terdiri atas beberapa daerah dan wakil-wakilnya tidak menurut banyaknya penduduk dalam daerah saja, melainkan dengan melihat keadaan daerah, maka diadakanlah wakil untuk mewakili daerah dalam permusyawaratan itu...”; “Jadi, dengan segala kesederhanaan saya berkeyakinan bahwa constitutie Indonesia hanya dapat disusun kalau didasarkan atas negara kesatuan, dengan mewujudkan syarat-syarat untuk mementingkan daerah, pembagian kekuasaan dipusat antar badan-badan pusat sendiri dan pembagian kekuasaan rakyat antar badan pusat dan badan daerah, barulah diatur dengan keadilan dan kebijaksanaan....” (Muhammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan UUD 1945 Jilid I, J Prapantja hal 233) Reformasi merespons kesemuanya dengan melahirkan UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu dan undang-undang bidang politik lainnya serta UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian berujung pada perubahan konstitusi. Substansi otonomi daerah diletakkan dalam derajat dan level tertinggi dalam sistem bernegara hukum Indonesia. Perubahan Kedua UUD 1945 telah menegaskan tentang eksistensi pengelolaan daerah secara otonom sehingga seyogianya tidak lagi dapat dikembalikan lagi secara sentralistik oleh pemerintah pusat. Semangat reformasi dengan mempertegas sikap afirmatif terhadap daerah ini masih terus terpelihara sebagai dasar lahirnya UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 10 Konstitusi memastikan hubungan pusat dan daerah dalam prinsip dan perspektif otonomi. Daerah diberi keleluasaan gerak, mengatur dan mengurus urusannya sendiri berdasarkan prinsip otonomi dalam sistem negara kesatuan. Secara normatif, Konstitusi menjustifikasinya melalui BAB VI PEMERINTAHAN DAERAH, Perubahan Kedua UUD 1945, dalam Pasal 18, 18A, dan 18B. Salah satu konsekuensi Perubahan Kedua UUD 1945 ialah penegasan bahwa kekuasaan politik pusat yang bersifat sentralistik berdasarkan kesepakatan politik Presiden dan DPR belaka telah ”gagal” memajukan martabat daerah. Itu sebabnya, konstitusi menegaskan otonomi menjadi sebuah keniscayaan. Desentralisasi tidak dapat lagi diubah menjadi sentralisasi semata-mata dengan kesepakatan politik Presiden dan DPR melalui instrumen hukum bernama undangundang karena konstitusi meniscayakan daerah mengatur dan mengurus urusan pemerintahannnya sendiri berdasarkan prinsip otonomi dan tugas pembantuan. Institusi pemerintahan daerah yang dahulu tidak jelas dan tidak disebutkan secara eksplisit di dalam konstitusi, seperti Gubernur, Bupati/Walikota, DPRD provinsi/ kabupaten/kota kini menjadi kuat dan berindikasi sama dengan institusi lembaga negara. Daerah dapat mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri melalui instrumen hukum yang bernama Peraturan Daerah yang kemudian dapat dijabarkan sebagai Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota. Pendeknya, konstitusi telah memberikan dan menjustifikasi kewenangan pada daerah untuk melakukan penguatan otonomi agar daerah dapat mengakselerasi seluruh daya daerah guna meningkatkan martabat daerah dan mengejar ketertinggalan. Di sisi lain, persoalan kekuasaan pembentukan undang-undang nyaris secara normatif-praktis tidak melibatkan representasi dan kepentingan daerah secara signifikan dan determinatif. Desain politik legislasi masih dimonopoli oleh representasi partai politik yang ‘teologi’ kehadirannya tidak ditujukan untuk mewakili kepentingan daerah. Kekuasaan pembentukan undang-undang ada pada DPR dan disetujui bersama dengan Presiden (Pasal 20 Perubahan Pertama UUD 1945). Undang-undang yang demikian tidak serta merta mewakili kepentingan daerah dan bahkan acapkali tidak secara genuine berpihak pada kepentingan daerah. Perlu diperhatikan bahwa undang-undang yang dibentuk oleh Presiden dan DPR tersebut, di masa lampau bukan saja telah menimbulkan rangkaian protes dari Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 11 daerah, tetapi juga telah menimbulkan rangkaian pemberontakan dan gerakan separatis. Pemberontakan telah terjadi di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan, Maluku, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Papua. Pemberontakan daerah ini berlanjut menjadi gerakan separatis di Aceh, Maluku, dan Papua. Pemberontakan dan gerakan separatis di Aceh dan Papua berhasil mencapai sebagian besar tuntutannya dalam format otonomi khusus. Oleh karena itu, adalah merupakan suatu conditio sine qua non bagi keutuhan bangsa dan Negara, agar Dewan Perwakilan Daerah terdiri dari anggota-anggota yang sepenuhnya merupakan representasi daerah secara lahir dan bathin, bukan saja untuk benar-benar terwakilinya aspirasi dan kepentingan daerah di tingkat nasional, tetapi juga untuk mencegah secara mendasar kemungkinan timbulnya protes daerah dan atau bibit-bibit pemberontakan di masa datang sebagai akibat kesalahan dalam proses pembentukan undang-undang. Jika hal ini diabaikan, protes dan pemberontakan di tingkat daerah ini masih mungkin terjadi dalam kurun pasca Reformasi, seperti tercantum dalam sikap utusan masyarakat hukum adat dalam kongresnya di Jakarta pada tahun 1999— dan masih dianut sampai sekarang—yang berbunyi, “Jika Negara tidak mengakui kami, kami tidak akan mengakui Negara”. Seperti kita ketahui, sampai sekarang ini masih belum ada Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, walau sudah direncanakan beberapa tahun yang lalu oleh Badan Legislasi DPR. Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah demikian kecilnya perhatian DPR terhadap masalah ini, salah satu sebabnya karena seluruh anggota DPR adalah anggota partai politik yang tidak berakar di daerah tetapi di dalam partai. Pasal 22E Perubahan Ketiga UUD 1945 menegaskan bahwa peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. Artinya, otomatis dominasi kepentingan partai politik akan mewarnai proses legislasi di bidang otonomi daerah. Hal ini akan berpotensi besar menjadi bias, karena ketiadaan representasi daerah guna menentukan atau secara bersama-sama memegang kekuasaan pembentukan undang-undang tersebut. Hal ini dapat dilihat pada pembentukan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 2007: ada banyak norma yang dapat mencabut substansi yang esensial bagi Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 12 otonomi daerah yang diatur dalam UUD 1945. Pada konteks tersebut, faktor utamanya dapat berupa tidak adanya peran daerah yang signifikan dan determinatif dalam pembentukan undang-undang tersebut. Selain itu, juga dapat terjadi bias ketika dominasi pembentukan kebijakan pusat melalui undang-undang hanya berada dalam tangan kekuatan Parpol saja yang secara prinsipil, menurut teori-teori ilmu politik, basis ideologi kepentingannya sangatlah berbeda. Perubahan Ketiga UUD 1945 telah melahirkan organ negara yang mewakili kepentingan daerah, yakni dengan adanya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada BAB VIIA Perubahan Ketiga UUD 1945. Di Perubahan Ketiga UUD 1945 jelas disebutkan bahwa anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum [Pasal 22C ayat (1) UUD 1945] dan peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan [Pasal 22E ayat (4) UUD 1945]. DPD adalah institusi negara yang menjadi organ utama penyambung lidah otonomi daerah dalam pembentukan undang-undang yang ditujukan untuk mengimbangi kepentingan politik hukum partai politik dalam mendesain berbagai hal mengenai otonomi daerah. Itu sebabnya, anggota DPD tidak ditentukan harus masuk melalui pintu parpol seperti DPR dan Presiden, tetapi berasal dari perseorangan daerah guna mewakili ‘ideologi’ serta kepentingan daerah. Inilah mungkin yang disadari oleh para anggota DPR dahulu, sehingga tangan DPD yang diharapkan memainkan penyeimbangan kekuasaan pembentukan undang-undang, secara sengaja tidak didesain sempurna sehingga lahirlah DPD dengan kewenangan legislasi yang sangan terbatas; dan dalam praktik, melalui berbagai UU, peran legislasi DPD kian dan kian diperlemah. DPD dibuat tidak sebagai organ negara konstitusional yang selayaknya memiliki kekuasaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Fakta seperti ini secara perlahan akan menghilangkan esensi otonomi seperti yang ditegaskan oleh konstitusi Indonesia hasil Perubahan Kedua. Kerugian konstitusional itu sebenarnya ada pada organ negara di daerah dalam menjalankan otonomi daerah, karena Perubahan Kedua UUD 1945 yang lahir lebih awal itu telah memberikan ruang seluas-luasnya bagi otonomi daerah, namun tidak ditindaklanjuti dengan menghadirkan organ negara yang bisa mendukung perwujudan dan optimalisasi amanat Perubahan Kedua UUD 1945 tersebut, yaitu Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 13 otonomi seluas-seluasnya dan kepentingan daerah lainya, dalam produk legislasi. Hal ini jelas mengganggu kewenangan konstitusional daerah. Dengan konstruksi kewenangan DPD yang sedemikian maka pihak yang menderita kerugian riil adalah otonomi daerah itu sendiri cq keseluruhan rakyat di daerah, karena rakyat telah menjalankan hak konstitusionalnya dengan memilih wakil daerahnya, namun wakil daerahnya tersebut tidak memiliki kekuasaan untuk memperjuangkan kepentingan secara maksimal. Kerugian konstitusional daerah akan kian menguat dengan diundangkannya UU Pemilu baru yang disetujui oleh DPR dan Presiden guna merevisi UU Pemilu 2003. Politik hukum UU Nomor 12 Tahun 2003 yang menginginkan bahwa tidak boleh pengurus partai politik yang kepengurusannya di bawah 4 tahun dapat mengisi jabatan DPD diingkari di UU Pemilu baru ini. Syarat domisili jadi calon pun ditiadakan sehingga siapa pun dan dari mana pun seseorang, ia dapat menjadi calon anggota DPD. Dengan konfigurasi demikian, semakin lemahlah jaminan adanya sikap afirmatif terhadap daerah dan kekhawatiran akan rentannya pengambilan keputusan ataupun rentannya legislasi terhadap intervensi kepentingan politik tertentu semakin nyata terbukti. Konstitusi yang telah membedakan secara tegas kamar DPR dan DPD telah diingkari ketika terjadi penetrasi Parpol yang dapat dengan leluasa masuk ke dalam sistem perwakilan daerah sehingga menjadi semakin sulit untuk membedakan secara materiil antara wakil daerah dan wakil parpol. Di masa mendatang dapat terjadi, seseorang yang tidak mengenal kebutuhan dan kepentingan daerah provinsi tertentu karena tidak pernah berdomisili di wilayah tersebut menjadi wakil dari provinsi tersebut hanya karena kekuatan mesin politik parpol. Pada titik inilah, daerah dan otonomi akan kehilangan makna substantifnya karena ia telah diinfiltrasi dan dikooptasi secara sistematis dan paripurna oleh rezim Parpol dengan sistem sentralistiknya. B. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN LEGAL STANDING PARA PEMOHON I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1. Para Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi (”MK”) melakukan pengujian terhadap Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 14 Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (”UU Pemilu”) (vide Bukti P–1). 2. Sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU MK”), salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian (judicial review) undang-undang terhadap UndangUndang Dasar 1945 (“UUD 1945”). Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 antara lain menyatakan: ”Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, ......” Pasal 10 ayat (1) huruf (a) UU MK antara lain menyatakan: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a) menguji undang-undang terhadap Republik Indonesia Tahun 1945, .... 3. Undang-Undang Dasar Negara Selain itu, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur bahwa secara hierarkis kedudukan UUD 1945 lebih tinggi dari undang-undang, oleh karenanya setiap ketentuan undang-undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Jika terdapat ketentuan dalam undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945, maka ketentuan tersebut dapat dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme pengujian undang-undang. 4. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan memutus permohonan pengujian undang-undang ini. II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON 5. Pasal 51 ayat (1) UU MK mengatur bahwa: Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 15 6. Selanjutnya Penjelasan Pasal 51 ayat (1) menyatakan: Yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK tidak mengatur mengenai kewenangan konstitusional, namun dengan menganalogikannya dengan definisi hak konstitusional maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kewenangan konstitusional adalah kewenangan yang diatur dalam UUD 1945. 7. Berdasarkan ketentuan di atas, maka terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk menguji apakah para Pemohon memiliki legal standing dalam perkara Pengujian Undang-Undang. Syarat pertama adalah kualifikasi untuk bertindak sebagai pemohon sebagaimana diuraikan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, dan syarat kedua adalah hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon tersebut dirugikan dengan berlakunya suatu undang-undang. 8. Untuk selanjutnya pembahasan secara terperinci mengenai legal standing masing-masing Pemohon akan diuraikan pada bagian di bawah ini. (a) Legal Standing Pemohon I 9. Pemohon I adalah Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (“DPD”) yang merupakan “lembaga negara” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. Oleh karena itu, Pemohon I (DPD) memiliki kualifikasi sebagai Pemohon pengujian undang-undang. 10. Pemohon I (DPD) memiliki kewenangan konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E ayat (2), dan Pasal 23F ayat (1) UUD 1945. Dengan diberlakukannya Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu, kewenangan konstitusional Pemohon I yang diatur dalam pasal-pasal tersebut dirugikan atau setidak-tidaknya mengalami kerugian yang bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUUIII/2005), karena dengan diberlakukannya Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu pelaksanaan kewenangan konstitusional lembaga negara DPD yang diberikan oleh pasal-pasal ini dapat terhambat atau bahkan tidak dapat terlaksana. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 16 11. Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 menyatakan: (1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. (2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undangundang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. (3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. 12. Sebagaimana diatur dalam Pasal 22D UUD 1945, kewenangan konstitusional DPD di bidang legislasi, anggaran, pertimbangan dan pengawasan selalu dikaitkan dengan kepentingan dan aspirasi daerah. Secara singkat dapat dikatakan bahwa UUD 1945 memberikan kewenangan konstitusional kepada DPD untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam pengambilan keputusan politik di tingkat pusat. 13. Kewenangan konstitusional inilah yang berpotensi untuk dirugikan dengan diberlakukannya UU Pemilu, terutama Pasal 12 dan Pasal 67, karena dalam pasal-pasal tersebut tidak terdapat persyaratan bahwa calon anggota DPD harus berdomisili di provinsi yang bersangkutan (“Ketiadaan Syarat Domisili”) serta tidak terdapat persyaratan bahwa calon anggota DPD bukan anggota partai politik (“Ketiadaan Syarat Non-Parpol”) sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. 14. Ketiadaan syarat domisili, sebagaimana diamanatkan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945, menyebabkan pemilihan anggota DPD dari suatu provinsi dapat Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 17 diikuti dan dimenangkan oleh calon dari provinsi lain yang tidak mengenal daerah tersebut. Anggota DPD yang demikian diragukan kapabilitasnya dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah. Hal ini jelas merugikan kewenangan konstitusional Pemohon I (DPD) karena anggotaanggota DPD yang tidak benar-benar memahami daerahnya masing-masing tidak akan berfungsi optimal dalam menunjang DPD sebagai lembaga dalam menjalankan fungsinya untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam pengambilan keputusan politik di tingkat pusat. Anggota DPD yang demikian tidak dapat dijamin keberpihakannya kepada daerah yang diwakilinya dalam pengambilan keputusan atau proses legislasi. Tidak pula dapat dijamin kecepatan dan kemudahan pengambilan keputusan terkait suatu daerah karena kurangnya pemahaman atau pengenalan atas daerah tersebut. 15. Ketiadaan Syarat Non-Parpol yang bertentangan dengan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 memungkinkan pemilihan anggota DPD diikuti dan dimenangkan oleh anggota atau pengurus partai politik (”Parpol”). Menurut penalaran yang wajar, anggota DPD yang berasal dari Parpol tentu akan lebih mengutamakan kepentingan atau platform Parpol daripada kepentingan daerah secara keseluruhan. Apalagi sebagian besar Parpol di Indonesia masih bersifat sentralistik di mana pengambilan keputusan masih tergantung pada pimpinan di tingkat pusat, bahkan dalam hal tertentu di tangan satu orang saja. Anggota DPD yang berasal dari Parpol diragukan efektivitasnya dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah. Anggota DPD yang lebih mementingkan Parpol daripada aspirasi dan kepentingan daerah jelas akan sangat merugikan kewenangan konstitusional DPD yang diberikan oleh UUD 1945 (Pasal 22D). 16. Uraian di atas menunjukkan bahwa Pemohon I (DPD) memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang ini. (b) Legal Standing PEMOHON II 17. Pemohon II adalah para anggota DPD yang merupakan “perorangan (kelompok orang) warga negara Indonesia” sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK dan penjelasannya. Oleh karena itu Pemohon II (para Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 18 anggota DPD) memiliki kualifikasi sebagai Pemohon pengujian undangundang. 18. Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 menyatakan: Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum. Secara implisit, Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 memberikan hak konstitusional kepada warga negara Indonesia yang berdomisili di provinsi tertentu untuk dipilih menjadi anggota DPD dari provinsi yang bersangkutan. Jadi hak konstitusional yang dijamin oleh Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 adalah hak warga negara untuk dipilih sebagai anggota DPD dari provinsi tempat ia berdomisili. 19. Oleh UU Pemilu hak konstitusional tersebut diabaikan. Pasal 12 UU Pemilu yang mengatur tentang persyaratan untuk menjadi bakal calon anggota DPD tidak mensyaratkan bahwa bakal calon anggota DPD harus berdomisili di provinsi tempat bakal calon tersebut mencalonkan diri. Syarat domisili tersebut juga tidak diatur dalam Pasal 67 UU Pemilu yang mengatur tentang kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPD. 20. Ketiadaan syarat domisili dalam UU Pemilu (Pasal 12 dan Pasal 67) telah menyebabkan pemilihan anggota DPD suatu provinsi dapat diikuti oleh orangorang yang tidak berasal dari provinsi yang bersangkutan. Hal ini jelas merugikan hak konstitusional Pemohon II yang berdomisili di daerah yang bersangkutan untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD. 21. Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 menyatakan: Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan. Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 memberikan hak konstitusional kepada warga negara Indonesia yang bukan anggota atau pengurus partai politik untuk dipilih menjadi anggota DPD. 22. Dengan diberlakukannya UU Pemilu, hak konstitusional sebagaimana dimaksud di atas diingkari. Pasal 12 UU Pemilu yang mengatur tentang persyaratan untuk menjadi bakal calon anggota DPD tidak memberikan batasan terhadap anggota atau pengurus partai politik untuk menjadi calon Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 19 anggota DPD. Pasal 67 UU Pemilu yang mengatur tentang kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPD juga tidak mengaturnya lebih lanjut. 23. Ketiadaan syarat non parpol dalam UU Pemilu (Pasal 12 dan Pasal 67) jelas berpotensi menimbulkan kerugian terhadap hak konstitusional Pemohon II sebagai warga negara yang dilindungi oleh Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Ketiadaan syarat non Parpol membuka kemungkinan calon dari Parpol untuk berkompetisi dengan calon perseorangan dalam pemilihan anggota DPD. Persaingan ini akan berlangsung secara tidak adil karena calon yang berasal dari Parpol ditopang oleh organisasi Parpol yang sudah terbentuk hingga tingkat kecamatan, bahkan di desa-desa. Sementara calon perseorangan hanya mengandalkan jaringan personal. Persaingan yang tidak adil tersebut jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sebagaimana diuraikan di bawah ini. 24. Selain hak-hak konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, Pemohon II memiliki hak-hak konstitusional yang dilindungi oleh Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) sebagai berikut: Pasal 22E ayat (1): Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. 25. Ketiadaan syarat domisili dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu menyebabkan hak-hak konstitusional PEMOHON II atas kepastian hukum yang adil dan Pemilihan Umum (”Pemilu”) yang adil dirugikan. Pasal 22C ayat (2) UUD 1945 telah mengatur secara adil bahwa: Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Bagaimana mungkin Pemilu dapat dikatakan adil apabila calon anggota DPD yang akan mewakili suatu provinsi dapat berasal dari provinsi lain? Jadi, terdapat kemungkinan bahwa secara substansial suatu provinsi tidak terwakili dalam lembaga DPD karena anggota DPD yang terpilih berasal dari provinsi lain. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 20 26. Seluruh uraian di atas menunjukkan bahwa Pemohon II (para anggota DPD) memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang ini. (c) Legal Standing PEMOHON III 27. PEMOHON III adalah “perorangan warga negara Indonesia”, sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK dan penjelasannya. Oleh karena itu, PEMOHON III memiliki kualifikasi sebagai Pemohon pengujian undangundang. 28. PEMOHON III adalah orang-orang yang selama ini dikenal luas sangat aktif dalam dan concerned dengan isu-isu yang terkait dengan Pemilu, kinerja parlemen, kualitas representasi publik dalam parlemen, dan penyaluran aspirasi daerah. 29. PEMOHON III Nomor 1 adalah Direktur Eksekutif CETRO, sebuah lembaga swadaya masyarakat nirlaba yang maksud dan tujuannya antara lain menumbuhkan kesadaran politik masyarakat dalam rangka mewujudkan citacita masyarakat madani yang berkeadilan sosial, menyebarkan nilai-nilai demokrasi di Indonesia melalui Pemilu yang berkedaulatan rakyat agar dapat mendorong terciptanya perubahan di berbagai bidang, dan mengupayakan pemberdayaan masyarakat agar mempunyai pengetahuan dan wawasan mengenai pentingnya Pemilu. Oleh karena itu, Pemohon III Nomor 1 adalah perorangan warga negara Indonesia yang memiliki aktivitas yang tinggi dalam hal-hal yang berkaitan dengan Pemilu sehingga Pemohon III Nomor 1 adalah perorangan warga negara Indonesia yang berkepentingan terhadap upaya pembaharuan Pemilu (electoral reform) demi terselenggaranya Pemilu yang demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, agar Pemilu menghasilkan parlemen yang berkedaulatan rakyat. 30. PEMOHON III Nomor 2 adalah Ketua Dewan Pakar Sekretariat Nasional Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat, sebuah organisasi yang melakukan advokasi untuk penyaluran aspirasi dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat—sebagai bagian dari masyarakat daerah—yang dilindungi oleh Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 21 ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, Pemohon III Nomor 2 adalah perorangan warga negara Indonesia yang memiliki aktivitas yang tinggi dalam hal-hal yang berkaitan dengan penyaluran aspirasi masyarakat hukum adat—sebagai bagian dari aspirasi masyarakat daerah—sehingga Pemohon III Nomor 2 adalah perorangan warga negara Indonesia yang berkepentingan terhadap penyaluran aspirasi masyarakat hukum adat sebagai bagian dari aspirasi masyarakat daerah melalui terpilihnya wakil-wakil daerah yang tepat di DPD RI agar aspirasi dan hak-hak masyarakat hukum adat yang dijamin oleh Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 terlindungi. 31. PEMOHON III Nomor 3 adalah Ketua Umum IPC, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang maksud dan tujuannya adalah memfokuskan diri pada kajian mengenai parlemen dan membantu parlemen dalam rangka memperkuat posisi dan peran kelembagaan; dan mewujudkan parlemen yang mampu merepresentasikan kepentingan publik, sehingga dapat meningkatkan kualitas produk legislasi serta dapat mengembangkan kemampuan pengawasan terhadap pemerintah dalam implementasi kebijakan dan penggunaan anggaran. Oleh karena itu, Pemohon III Nomor 3 adalah perorangan warga negara Indonesia yang memiliki aktivitas yang tinggi dalam hal-hal yang berkaitan dengan Pemilu sehingga Pemohon III Nomor 3 adalah perorangan warga negara Indonesia yang berkepentingan terhadap terselenggaranya Pemilu yang demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, agar Pemilu menghasilkan parlemen yang mampu merepresentasikan kepentingan publik dengan baik. 32. Pemohon III Nomor 4 adalah Koordinator FORMAPPI, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bertujuan mendorong terbangunnya parlemen yang fungsional, efektif serta transparan untuk penyelenggaraan demokrasi di Indonesia; mengembangkan kepedulian masyarakat atas perlu dan pentingnya memiliki parlemen yang fungsional bagi penyelenggaraan demokrasi; serta mendorong parlemen senantiasa mau dan mampu memperbaharui diri sehingga fungsional bagi penyelenggaraan demokrasi. Oleh karena itu, Pemohon III Nomor 4 adalah perorangan warga negara Indonesia yang memiliki aktivitas yang tinggi dalam hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan kualitas parlemen Indonesia, sedangkan parlemen Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 22 Indonesia dihasilkan oleh Pemilu, sehingga Pemohon III Nomor 4 adalah perorangan warga negara Indonesia yang berkepentingan terhadap terselenggaranya Pemilu yang demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, agar Pemilu menghasilkan parlemen yang fungsional dan efektif. 33. Seluruh uraian di atas menunjukkan bahwa Pemohon III memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang ini. (d) Legal Standing PEMOHON IV 34. Pemohon IV (Warga Daerah) adalah “perorangan warga negara Indonesia”, sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK dan penjelasannya. Oleh karena itu, Pemohon IV (Warga Daerah) memiliki kualifikasi sebagai Pemohon pengujian undang-undang. 35. Sebagaimana halnya dengan Pemohon II (para anggota DPD), Pemohon IV (Warga Daerah) adalah warga negara Indonesia bukan anggota Parpol yang tinggal di daerah provinsinya masing-masing dan pemberlakuan Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu berpotensi merugikan hak-hak konstitusional Pemohon IV yang diatur dalam Pasal 22C ayat (1), Pasal 22E ayat (1), Pasal 22E ayat (4) dan Pasal 28D ayat (1). Karena legal standing Pemohon IV dan Pemohon II bersumber dari hak konstitusional yang sama maka, sebagaimana Pemohon II (para anggota DPD), Pemohon IV (Warga Daerah) juga memiliki legal standing untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang ini. 36. Kerugian konstitusional Pemohon IV juga terjadi pada jaminan perolehan keberpihakan anggota DPD dari daerahnya sebagai akibat berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu, karena tidak adanya pemahaman dan pengenalan daerahnya secara memadai sebab anggota DPD tersebut tidak berdomisili di daerahnya, dan juga karena anggota DPD yang merupakan anggota atau pengurus Parpol bisa lebih mengutamakan kepentingan Parpolnya daripada aspirasi/kepentingan daerah yang diwakilinya. 37. Dengan demikian, dari uraian di atas, para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 23 pengujian undang-undang ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK yang berbunyi: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undangundang”. C. ALASAN-ALASAN PENGAJUAN PERMOHONAN PENGUJIAN UU PEMILU I. PENGHILANGAN NORMA KONSTITUSI DALAM UU PEMILU 38. Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa: Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum. Pasal 22C ayat (1) mengandung norma konstitusi bahwa anggota DPD dipilih dari warga negara yang berdomisili di provinsinya masing-masing (syarat domisili). 39. Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 menyatakan: Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 menyatakan: Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan. Pasal 22E ayat (4) mengandung norma konstitusi bahwa anggota DPD dipilih dari perseorangan non-Parpol (syarat non-Parpol). 40. Raison d’etre di balik pembatasan berupa syarat non-Parpol adalah demi netralitas sang wakil daerah di DPD, sebagaimana raison d’etre pembatasan terhadap anggota TNI/Polri dan Pegawai Negeri Sipil (Pasal 12 huruf m UU Pemilu), misalnya, juga adalah demi netralitas. 41. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (”UU Pemilu 2003”), kedua norma konstitusi tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 63 yang menyatakan (Bukti P – 2): Calon anggota DPD selain harus memenuhi syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, juga harus memenuhi syarat: Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 24 a. berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak berusia 17 (tujuh belas) tahun di provinsi yang bersangkutan; b. tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon. Pasal 66 UU Pemilu 2003 lebih lanjut mengatur (vide Bukti P–2): Pengajuan calon anggota DPD dilakukan dengan ketentuan: a. calon mendaftarkan diri kepada KPU melalui KPU Provinsi dengan menyebutkan provinsi yang diwakilinya; b. calon menyerahkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 63, dan Pasal 64 kepada KPU yang batas waktunya ditetapkan oleh KPU. 42. Bahkan dalam Naskah Akademik dan Draft Awal RUU Pemilu 2008 yang dipersiapkan oleh Pemerintah (”Draft RUU Pemilu Versi Pemerintah”), syarat domisili dan syarat non-Parpol (dalam arti pengurus Parpol) tersebut juga tetap dipertahankan (Pasal 13, huruf n dan huruf o). Bunyi Pasal 13 Draft Awal tersebut adalah (Bukti P–3): Persyaratan kualifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) meliputi: a. Warga negara Indonesia yang berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia; e. berpendidikan serendah-rendahnya SLTA, atau sederajat; f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; g. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; h. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; i. sehat jasmani dan jiwa; j. terdaftar sebagai pemilih; k. bersedia bekerja sepenuh waktu; l. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-negara lainnya, hakim pada badan peradilan, pegawai pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN dan/atau APBD; m. bersedia untuk tidak menduduki jabatan struktural pada lembaga pendidikan swasta, tidak berpraktek sebagai akuntan publik, konsultan, advokat/pengacara, notaris, dokter, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas, wewenang dan hak sebagai anggota DPD; Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 25 n. berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun secara berturut-turut terhitung sampai dengan tanggal pengajuan calon atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak berusia 17 (tujuh belas) tahun di provinsi yang bersangkutan; o. tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun yang dihitung sampai dengan pengajuan calon; p. bersedia mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN dan/atau APBD apabila ditetapkan sebagai calon terpilih anggota DPD; q. dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; dan r. dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan; 43. Namun setelah RUU Pemilu tersebut dibahas di DPR dan akhirnya diundangkan oleh Presiden menjadi UU Pemilu (UU Nomor 10 Tahun 2008) pada tanggal 31 Maret 2008, syarat domisili dan syarat non-Parpol dihilangkan keberadaannya. Pasal 12 UU Pemilu (vide Bukti P–1) berbunyi: Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2): a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia; e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat; f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; g. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; h. sehat jasmani dan rohani; i. terdaftar sebagai pemilih; j. bersedia bekerja penuh waktu; k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri dan yang tidak dapat ditarik kembali; l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/ pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundang-undangan; Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 26 m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-negara lainnya, pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara; n. dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; o. dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan; dan p. mendapat dukungan minimal dari pemilih dari daerah pemilihan yang bersangkutan. 44. Norma konstitusi yang mengatur tentang syarat domisili dan syarat nonParpol juga tidak terlihat dalam Pasal 67 UU Pemilu yang mengatur mengenai Tata Cara Pendaftaran Bakal Calon Anggota DPD (vide Bukti P–1): (1) Perseorangan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13 dapat mendaftarkan diri sebagai bakal calon anggota DPD kepada KPU melalui KPU Provinsi. (2) Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan: a. kartu tanda penduduk Warga Negara Indonesia; b. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB, syahadah, sertifikat, atau surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program pendidikan menengah; c. surat keterangan tidak tersangkut perkara pidana dari Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat; d. surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani; e. surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih; f. surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja penuh waktu yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup; g. surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, dan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup; h. surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, pengurus pada badan lain yang anggarannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan i. surat penyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan untuk 1 (satu) lembaga perwakilan yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup. 45. Penghilangan norma konstitusi tersebut diduga dilakukan secara sengaja dan dilandasi oleh motif kekuasaan dari oknum-oknum tertentu. Indikasi ini dapat dilihat pada Artikel Kompas (14 Maret 2008) berjudul “RUU Pemilu: Upaya Uji Materi Harus Dihargai” (Bukti P-4): “Saya menghargai niat DPD dan parpol untuk ajukan judicial review. Sebab, memang ada sejumlah hal yang mengganggu dalam RUU Pemilu, “ kata Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 27 anggota Panitia Khusus RUU Pemilu dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB) Saifullah Ma’shum di Jakarta, Kamis (13/3). Hal yang mengganggu itu terutama tentang ketentuan semua parpol yang memiliki kursi di DPR bisa ikut Pemilu 2009 tanpa perlu verifikasi dan dihilangkannya ketentuan domisili bagi calon anggota DPD. “Saya berusaha menghalangi munculnya peraturan itu, tetapi gagal,” katanya. Dihilangkannya aturan domisili bagi calon anggota DPD, kata Sjaifullah, terkait dengan adanya parpol yang hanya mengizinkan kadernya maksimal dua periode duduk di DPR. “Saat ini ada sejumlah anggota DPR yang sudah dua periode di lembaga itu sehingga pada Pemilu 2009 mereka tak dapat lagi ikut pemilu legislatif. Untuk itu, mereka berniat menjadi anggota DPD, “ katanya. 46. Penghapusan syarat domisili dan syarat non-Parpol dalam UU Pemilu (Pasal 12 dan Pasal 67) merupakan upaya penghilangan norma konstitusi dalam undang-undang. Ketiadaan syarat domisili dan ketiadaan syarat non-Parpol tersebut menyebabkan UU Pemilu menjadi cacat, karena ia telah menegasikan keberadaan norma konstitusi bahwa calon anggota DPD dipilih dari provinsi terkait [Pasal 22C ayat (1) UUD 1945] serta calon anggota DPD berasal dari perseorangan [Pasal 22E ayat (4) UUD 1945]. II. KETIADAAN SYARAT DOMISILI DALAM UU PEMILU (PASAL 12 DAN PASAL 67) BERTENTANGAN DENGAN PASAL 22C AYAT (1) UUD 1945 47. Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa: Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum. Secara semantis frasa ”dipilih dari setiap provinsi” mengandung arti bahwa calon anggota DPD yang akan mewakili suatu provinsi dipilih dari orangorang yang berdomisili di provinsi yang bersangkutan. 48. Frasa ”dipilih dari setiap provinsi” sebelumnya telah ”ditafsirkan” oleh DPR dan Presiden melalui Pasal 63 UU Pemilu 2003 (vide Bukti P–2): Calon anggota DPD selain harus memenuhi syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, juga harus memenuhi syarat: a. berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak berusia 17 (tujuh belas) tahun di provinsi yang bersangkutan; Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 28 b. tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon. Pasal 66 UU Pemilu 2003 lebih lanjut mengatur: Pengajuan calon anggota DPD dilakukan dengan ketentuan: a. calon mendaftarkan diri kepada KPU melalui KPU Provinsi dengan menyebutkan provinsi yang diwakilinya; b. calon menyerahkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 63, dan Pasal 64 kepada KPU yang batas waktunya ditetapkan oleh KPU. 49. Bahkan sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya, dalam Draft RUU Pemilu Versi Pemerintah, syarat domisili tersebut juga tetap dipertahankan (Pasal 13, huruf n) (vide Bukti P–3). Namun setelah RUU Pemilu tersebut dibahas di DPR dan akhirnya diundangkan oleh Presiden pada tanggal 31 Maret 2008, persyaratan domisili sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 dan telah diatur lebih lanjut oleh Pasal 63 dan Pasal 66 UU Pemilu 2003 dihilangkan keberadaannya. 50. Ketiadaan Syarat Domisili dalam UU Pemilu (Pasal 12 dan Pasal 67) merupakan upaya penghilangan norma konstitusi dalam undang-undang. Ketiadaan syarat domisili tersebut menyebabkan UU Pemilu menjadi cacat, karena ia telah menegasikan keberadaan norma konstitusi bahwa calon anggota DPD suatu provinsi dipilih dari provinsi terkait [Pasal 22C ayat (1) UUD 1945]. Berikut adalah bunyi Pasal 12 UU Pemilu (vide Bukti P–1): Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2): a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia; e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat; f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; g. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 29 h. sehat jasmani dan rohani; i. terdaftar sebagai pemilih; j. bersedia bekerja penuh waktu; k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri dan yang tidak dapat ditarik kembali; l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundang-undangan; m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-negara lainnya, pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara; n. dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; o. dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan; dan p. mendapat dukungan minimal dari pemilih dari daerah pemilihan yang bersangkutan. 51. Dengan mengacu pada persyaratan di atas (terutama huruf c), maka siapapun warga negara Indonesia yang bertempat tinggal (berdomisili) di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dapat memilih untuk mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD di provinsi mana pun di Indonesia. Itulah sebabnya hal ini memicu rangkaian reaksi keras rakyat Indonesia dari seantero Tanah Air sebagaimana tercermin dari “Petisi Tolak Parpol Masuk Kamar DPD!” yang hingga saat ini telah ditandatangani lebih dari 22.000 orang dari Sabang sampai Merauke (Bukti P–5). 52. Tidak hanya bertentangan dengan aspirasi masyarakat sebagaimana dijelaskan di atas, hal ini juga jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 yang mensyaratkan bahwa anggota DPD dipilih dari setiap provinsi. 53. Norma konstitusi bahwa calon anggota DPD suatu provinsi dipilih dari provinsi terkait [Pasal 22C ayat (1) UUD 1945] juga tidak tampak dalam Pasal 67 UU Pemilu yang mengatur mengenai Tata Cara Pendaftaran Bakal Calon Anggota DPD (vide Bukti P–1): Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 30 (1) Perseorangan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13 dapat mendaftarkan diri sebagai bakal calon anggota DPD kepada KPU melalui KPU Provinsi. (2) Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan: a. kartu tanda penduduk Warga Negara Indonesia; b. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB, syahadah, sertifikat, atau surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program pendidikan menengah; c. surat keterangan tidak tersangkut perkara pidana dari Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat; d. surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani; e. surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih; f. surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja penuh waktu yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup; g. surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, dan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup; h. surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, pengurus pada badan lain yang anggarannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan i. surat pernyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan untuk 1 (satu) lembaga perwakilan yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup. 54. Ketiadaan syarat domisili dalam Pasal 12 maupun Pasal 67 UU Pemilu merupakan suatu pelanggaran atas UUD 1945, khususnya Pasal 22C ayat (1). Ketiadaan syarat domisili merupakan kesalahan yang fatal dan hal ini menyebabkan Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu yang mengatur mengenai persyaratan bakal calon anggota DPD kehilangan rohnya. Oleh karena itu, pasal-pasal yang cacat tersebut harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. 55. Pentingnya syarat domisili tersebut juga dinyatakan secara tegas oleh berbagai ahli tata negara Indonesia. Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., M.C.L. dalam bukunya yang berjudul DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Penerbit FH UII Press, 2003 (hal. 56-57), (Bukti P–6) menyatakan: Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 31 Sesuai dengan namanya sebagai Badan [seharusnya Dewan] Perwakilan Daerah, sebutan provinsi dalam pasal ini [Pasal 22C ayat (1) UUD 1945] menunjukkan anggota DPD mewakili (rakyat) daerah provinsi, seperti halnya anggota Senat (Senator) di Amerika Serikat yang mewakili negara bagian. Anggota DPD dipilih langsung oleh rakyat provinsi yang bersangkutan. Hal ini membawa konsekuensi hanya penduduk yang berdomisili (bukan resident apalagi pendatang sementara) yang dapat menjadi calon dan dipilih menjadi anggota DPD. 56. Prof. Dr. Sri Soemantri Martosoewignjo, S.H. dalam makalah yang berjudul ”Susunan dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah”, hal. 3, menyatakan (Bukti P–7): Sesuai dengan namanya, yaitu Dewan Perwakilan Daerah, yang menjadi anggota ialah rakyat dan penduduk yang berdomisili di daerah Provinsi yang diwakili. Karena itu harus dicegah dan dilarang mereka yang sehari-hari berdomisili di Jakarta menjadi anggota DPD mewakili provinsi tertentu. 57. Lebih lanjut, dalam makalah tersebut, hal 4, Prof. Dr. Sri Soemantri Martosoewignjo, S.H. juga menjelaskan dampak positif yang ditimbulkan sebagai konsekuensi dipilihnya anggota DPD dari calon yang berdomisili di daerah (vide Bukti P–7): Dengan demikian, karena domisilinya, anggota DPD tersebut akan dapat membawa dan memperjuangkan kepentingan daerahnya. Dari aspek pendidikan, melalui keanggotaannya dalam DPD akan terjadi proses pendidikan politik terhadap para ”tokoh lokal” menjadi memahami masalahmasalah nasional dan global. 58. Prof. Syamsuddin Haris, Profesor Riset Ilmu Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam artikelnya yang berjudul ”UU Pemilu: Dari Partai untuk Partai?” (Harian Kompas, Senin, 3 Maret 2008), menyatakan (Bukti P–8): Sebagai wakil daerah, setiap calon anggota DPD semestinya berdomisili di daerah pemilihannya, tetapi kini persyaratan domisili ditiadakan. ... Persyaratan domisili jelas sangat penting bagi para wakil daerah agar DPD tidak dikuasai oleh para elite politik Jakarta yang tiba-tiba memiliki komitmen untuk memberdayakan daerah. Selain itu, persyaratan domisili tetap diperlukan agar DPD kembali ke fitrahnya sebagai representasi daerahdaerah yang lebih banyak bekerja di daerah ketimbang di Jakarta. 59. Pandangan para ahli tata negara tersebut di atas tentang syarat bahwa anggota DPD haruslah dipilih dari warga negara yang berdomisili di daerah yang akan diwakilinya sangat sesuai dengan gagasan dasar pembentukan DPD sebagaimana digambarkan oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 32 Palguna, S.H., M.H., yang juga merupakan anggota MPR yang ikut membahas amandemen UUD 1945, dalam makalah yang berjudul ”Susunan dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah”, hal 1 (Bukti P–9): Mengenai DPD, yang menjadi gagasan dasar pembentukan adalah keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik untuk soal-soal yang terutama berkaitan langsung dengan daerah. Keinginan tersebut berangkat dari pemikiran bahwa pengambilan keputusan yang bersifat sentralistik pada masa yang lalu ternyata telah mengakibatkan meningkatnya ketidakpuasan daerah-daerah yang telah sampai pada tingkat yang membahayakan keutuhan wilayah negara dan persatuan nasional. 60. Uraian di atas menunjukkan bahwa baik dari segi penafsiran secara semantis maupun penafsiran secara kontekstual dengan mengacu pada gagasan dasar pembentukan DPD, syarat domisili merupakan elemen yang sangat penting dalam memilih anggota DPD. Ketiadaan syarat domisili menyebabkan Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu kehilangan rohnya dan oleh karenanya inkonstitusional. Dan konsekuensi logisnya adalah bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945. III. KETIADAAN SYARAT NON-PARPOL DALAM UU PEMILU (PASAL 22 DAN PASAL 67) BERTENTANGAN DENGAN PASAL 22E AYAT (4) UUD 1945 61. Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 mengatur: Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 menyatakan: Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan. Dengan melakukan penafsiran secara sistematis, dengan membaca Pasal 22E ayat (4) secara bersama-sama dengan Pasal 22E ayat (3), maka tidak bisa tidak kata ”perseorangan” dalam Pasal 22E ayat (4) mengandung makna tunggal yakni non-Parpol. 62. Ketentuan Pasal 22E ayat (4) tidak dimaksudkan untuk mendiskriminasikan warga negara Indonesia lainnya yang merupakan anggota Parpol karena Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 telah memberikan kesempatan hanya kepada anggota Parpol untuk menjadi anggota DPR atau anggota DPRD. Dengan Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 33 demikian, adalah logis untuk menafsirkan Pasal 22E ayat (4) sebagai ketentuan yang memberikan kesempatan hanya kepada perseorangan warga negara yang tidak memiliki keterkaitan institusional dengan Parpol (bukan anggota atau pengurus Parpol) untuk menjadi calon anggota DPD. 63. Uraian di atas menunjukkan bahwa Pasal 22E UUD 1945 telah secara adil mengatur bahwa anggota DPD dipilih dari perseorangan sedangkan anggota DPR dan DPRD dipilih dari anggota Parpol. Pengaturan hak untuk dipilih yang telah dilakukan secara adil oleh UUD 1945 ini telah dinegasikan di dalam pembahasan Revisi UU Pemilu. Ketiadaan syarat non-Parpol dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu merupakan suatu pengingkaran terhadap UUD 1945, terutama Pasal 22E ayat (4). Pengingkaran ini dilakukan secara sistematis dan akan diuraikan di bagian berikut. 64. Ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang mengatur bahwa pemilihan anggota DPR dilakukan melalui Parpol kemudian diatur lebih lanjut dalam Pasal 50 UU Pemilu (vide Bukti P-1): (1) Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota harus memenuhi persyaratan: ........ n. menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu; ..... (2) Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan: ..... i. kartu tanda anggota Partai Politik Peserta Pemilu; ..... 65. Logikanya UU Pemilu juga mengatur lebih lanjut norma konstitusi yang terdapat dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 dan norma tersebut mensyaratkan bahwa calon anggota DPD adalah perseorangan (non-Parpol). Pada kenyataannya, secara sistematis norma konstitusi tersebut dihilangkan dari batang tubuh UU Pemilu. Pembedaan penyaluran aspirasi politik sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (3) dan (4) UUD 1945 juga telah dinyatakan di dalam alinea keempat Penjelasan Umum UU Pemilu. Namun dalam batang tubuh UU Pemilu, hal tersebut tidak secara eksplisit dan implisit dikemukakan. Berikut ini adalah kutipan alinea keempat Penjelasan Umum UU Pemilu, alinea keempat (vide Bukti P–1): Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 34 Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang majemuk dan berwawasan kebangsaan, partai politik merupakan saluran untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat, sekaligus sebagai sarana kaderisasi dan rekrutmen baik untuk tingkat nasional maupun daerah, serta untuk rekrutmen pimpinan baik tingkat nasional maupun daerah. Oleh karena itu, peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik. Selain itu, untuk mengakomodasi aspirasi keanekaragaman daerah, sesuai dengan ketentuan Pasal 22C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dibentuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang anggota-anggotanya dipilih dari perseorangan yang memenuhi persyaratan dalam pemilihan umum bersamaan dengan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD. 66. Berbeda dengan alinea keempat Penjelasan Umum UU Pemilu (alinea keempat), Pasal 12 UU Pemilu yang mengatur tentang persyaratan untuk menjadi bakal calon anggota DPD tidak memberikan batasan terhadap anggota atau pengurus partai politik untuk menjadi calon anggota DPD. Hal tersebut juga tidak diatur lebih lanjut dalam Pasal 67 UU Pemilu yang mengatur tentang kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPD. Ketiadaan syarat non-Parpol jelas merupakan pengingkaran terhadap UUD 1945, terutama Pasal 22E ayat (4). Ketiadaan syarat non-Parpol ini, sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya, juga telah memicu rangkaian reaksi keras rakyat Indonesia dari seantero Tanah Air sebagaimana tercermin dari “Petisi Tolak Parpol Masuk Kamar DPD!” yang hingga saat ini telah ditandatangani lebih dari 22.000 orang dari Sabang sampai Merauke (vide Bukti P- 5). 67. Lebih lanjut, sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya, Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 telah ”ditafsirkan” sebelumnya oleh Presiden dan DPR dengan diundangkannya UU Pemilu 2003. Pasal 63 UU Pemilu 2003 menyatakan: Calon anggota DPD selain harus memenuhi syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, juga harus memenuhi syarat: a. berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak berusia 17 (tujuh belas) tahun di provinsi yang bersangkutan; b. tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon. Pasal 66 UU Pemilu 2003 lebih lanjut mengatur: Pengajuan calon anggota DPD dilakukan dengan ketentuan: Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 35 a. calon mendaftarkan diri kepada KPU melalui KPU Provinsi dengan menyebutkan provinsi yang diwakilinya; b. calon menyerahkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 63, dan Pasal 64 kepada KPU yang batas waktunya ditetapkan oleh KPU. 68. Bahkan, sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya, dalam Draft RUU Pemilu Versi Pemerintah, syarat non-Parpol tersebut juga tetap dipertahankan (Pasal 13 huruf o) (vide Bukti P–3). Namun setelah Draft RUU Pemilu Versi Pemerintah tersebut dibahas di DPR dan akhirnya diundangkan oleh Presiden pada tanggal 31 Maret 2008, syarat non-Parpol dihilangkan keberadaannya. Tidak ada satu persyaratan pun di dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu yang dapat dilihat sebagai penjabaran dari ketentuan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 yang terkait dengan persyaratan non-Parpol. 69. Ketiadaan syarat non-Parpol dalam UU Pemilu (Pasal 12 dan Pasal 67) merupakan suatu pengingkaran dan/atau pelanggaran atas UUD 1945 khususnya Pasal 22E ayat (4). Ketiadaan syarat non-Parpol merupakan kesalahan yang fatal dan hal ini menyebabkan Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu inkonstitusional. Oleh karena itu sudah seyogianya pasal-pasal yang cacat tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. 70. Keanggotaan DPD yang non-Parpol ini merupakan keniscayaan prinsip demokrasi perwakilan yang ada pada pembentukan dua kamar parlemen Indonesia yakni DPR dan DPD. Prinsip perwakilan di Indonesia telah menegaskan DPR yang berasal dari Parpol membawa kepentingan nasional yang terangkum dari cita-cita oleh masing-masing partai politik, sedangkan calon perseorangan di DPD diidealkan membawa kepentingan nasional yang merupakan rangkuman dari kepentingan setiap daerah yang diwakilinya. 71. Kesimpulan tersebut di atas didukung oleh pendapat dari kalangan ahli tata negara yang secara tegas menyatakan bahwa calon anggota DPD yang mewakili kepentingan daerah sebagai bagian dari sistem perwakilan fungsional (functional representation) adalah perorangan yang non-Parpol. 72. Prof Dr. Jimly Asshiddiqie, SH dalam bukunya yang berjudul, “Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat” (catatan kaki nomor 98), halaman 44-45, (Bukti P–10) mengemukakan penjelasannya mengenai Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 36 syarat non-parpol dengan menyampaikan pandangannya tentang Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 sebagai berikut: Pemilihan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah ini dibedakan dari pemilihan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Jika peserta pemilihan umum untuk calon anggota Dewan Perwakilan Rakat adalah partai politik, maka peserta pemilihan umum untuk calon anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan. Perbedaan ini dapat dikaitkan dengan (i) penerapan sistem pemilihan yang berbeda, yaitu sistem proporsional untuk calon anggota DPR dan sistem distrik untuk calon anggota DPD. Meskipun pemilihan umum yang diikuti oleh peserta partai poitik tidak mutlak harus dilakukan berdasarkan sistem proporsional, tetapi pemilihan yang diikuti oleh peserta perseorangan dapat dipastikan adalah pemilihan berdasarkan sistem distrik dimana rakyat secara langsung memilih orang, bukan memilih tanda gambar partai politik peserta pemilu; (ii) pencalonan dilakukan melalui mekanisme kepartaian untuk anggota DPR dan mekanisme non-partai politik untuk anggota DPD. Hal ini dapat pula dikaitkan dengan pengertian sistem perwakilan politik (political representation) untuk anggota DPR dan sistem perwakilan fungsional (functional representation) untuk anggota DPD. Dengan demikian, dalam ketentuan pelaksanaannya, misalnya dapat diatur dengan tegas bahwa calon perseorangan itu diharuskan berasal dari tokoh-tokoh yang bukan pengurus ataupun anggota partai politik manapun juga. 73. Prof. Dr. Sri Soemantri Martosoewignjo, S.H. dalam paper yang berjudul ”Susunan dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah”, hal. 4, (vide Bukti P–7) menyatakan: Seseorang yang dicalonkan menjadi anggota DPD harus menyatakan bahwa dirinya bukan anggota partai politik tertentu dalam sebuah surat pernyataan yang telah disediakan oleh KPU, dengan ancaman pidana apabila terbukti surat pernyataan itu tidak benar. 74. Lebih lanjut, Prof. Dr. Sri Soemantri Martosoewignjo, S.H. dan Dr. Mochamad Isnaeni Ramdhan, S.H. dalam dalam makalah yang berjudul ”Perihal Dewan Perwakilan Daerah dalam Perspektif Ketatanegaraan”, hal 4 menyatakan (Bukti P–11): Pencalonan anggota DPD yang merupakan bukan anggota atau pengurus partai politik perlu dipertahankan, guna mengimbangi kepentingan partai politik yang sudah diakomodasi dalam DPR; 75. Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. yang juga merupakan anggota MPR yang ikut membahas amandemen UUD 1945, dalam makalah yang berjudul ”Susunan dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah”, hal 3-4, menyatakan (vide Bukti P–9): Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 37 Sifat perseorangan yang disyaratkan dalam pengisian jabatan keanggotaan DPD, secara implisit, juga bermakna bahwa anggota DPD harus terbebas dari kepentingan partai politik mana pun secara institusional. Hal ini dikarenakan keberadaan DPD, pada sisi lain, juga dimaksudkan untuk mengimbangi ”warna” kepentingan partai dalam proses pengambilan keputusan politik di tingkat nasional. 76. Profesor Dr. Satya Arinanto, Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dalam artikelnya yang berjudul ”Anggota DPR dan Anggota DPD” (Harian Kompas, Senin, 4 Februari 2008), menyatakan (Bukti P–12): Perubahan UUD 1945, sebagai implementasi salah satu tuntutan reformasi politik pasca turunnya Presiden Soeharto pada 1998, mendesain DPD sebagai lembaga representasi daerah, bukan representasi parpol. ... Jika batas ini tetap diterobos dalam pembahasan RUU itu, ini dapat diartikan sebagai upaya untuk mengingkari semangat reformasi. Penggerogotan reformasi ini tentu mengkhawatirkan. 77. Prof. Syamsuddin Haris, Profesor Riset Ilmu Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam artikelnya yang berjudul ”UU Pemilu: Dari Partai untuk Partai?” (Harian Kompas, Senin, 3 Maret 2008), menyatakan (vide Bukti P–8): Begitu pula hakikat peserta pemilihan DPD yang semestinya bersifat perseorangan, kini melalui RUU Pemilu para pengurus partai politik dibolehkan turut serta dalam pencalonan DPD. Padahal, Pasal 22E ayat 4 UUD 1945 hasil perubahan ketiga secara eksplisit mengamanatkan, ”Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan”. ... Di sisi lain, pemberian kesempatan bagi pengurus partai politik untuk turut serta dalam pemilihan DPD bukan hanya bertentangan dengan amanat konstitusi, tetapi juga semakin mengaburkan esensi DPD sebagai wakil daerah secara perseorangan. 78. Uraian di atas menunjukkan bahwa dengan melakukan penafsiran secara semantis dan sistematis maupun penafsiran secara kontekstual dengan mengacu pada gagasan dasar pembentukan DPD, kata perseorangan dalam Pasal 22E ayat (4) bermakna non-Parpol (bukan anggota atau pengurus Parpol). Oleh karena itu, Ketiadaan syarat non-Parpol menyebabkan Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu kehilangan rohnya dan oleh karenanya inkonstitusional. Dengan demikian Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. 79. Para Pemohon sepenuhnya menyadari, ada pendapat yang menyatakan bahwa anggota DPD yang berasal dari Parpol belum tentu dengan sendirinya Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 38 pasti tidak akan dapat menjadi wakil kepentingan/aspirasi daerah yang baik dan akan lebih banyak mengutamakan kepentingan/aspirasi partainya, dengan mengemukakan contoh bahwa terdapat negara-negara demokrasi di dunia yang anggota Senatnya berasal dari Parpol atau boleh berasal dari Parpol tetapi dapat melaksanakan amanatnya sebagai representasi daerah dengan baik, misalnya Amerika Serikat. 80. Namun perlu dicatat di sini bahwa, sebaliknya, juga terdapat sejumlah negara demokrasi di dunia yang mengatur dengan tegas bahwa anggota Senat negara tersebut tidak boleh berasal dari Parpol, misalnya Thailand (sebagaimana akan diuraikan lebih lanjut di bawah). 81. Perbedaan ini disebabkan berbeda-bedanya raison d’etre dan konteks latar belakang setiap negara merasakan perlunya melahirkan lembaga semacam Senat (dalam konteks Indonesia, DPD RI). Konsekuensinya, dengan sendirinya lingkungan politik dan budaya politik yang memungkinkan sebuah Senat berfungsi dengan baik dan memadai atau menghambat pelaksanaan fungsi sebuah Senat juga berbeda-beda antara negara yang satu dengan negara yang lain. Sehingga, setiap negara harus memiliki caranya sendirisendiri untuk mendorong terciptanya sistem yang memungkinkan sebuah Senat berfungsi dengan baik dan memadai dalam lingkungan politik dan budaya politik tersebut serta mengeliminasi sistem yang menghambat pelaksanaan fungsi sebuah Senat dalam lingkungan politik dan budaya politik tersebut. 82. Dalam lingkungan dan budaya politik Amerika Serikat, misalnya, “It is hard to overstate the extent to which American parties are characterized by decentralized power structures. Historically speaking, within the party-in-thegovernment, presidents cannot assume that their party's members in Congress will be loyal supporters of presidential programs, nor can party leaders in Congress expect straight party-line voting from members of their party. Within the party organization, the Republican and Democratic congressional and senatorial campaign committees (composed of incumbent legislators) operate autonomously from the presidential oriented national party committees — the Republican and the Democratic National Committees.” (John F. Bibby, “Political Parties in the United States”, International Information www.usinfo.state.gov). (Bukti P-12A). Implikasi peran...,Program, Agung Sudrajat, FH UI, 2012 39 83. Sedangkan dalam konteks lingkungan dan budaya politik Indonesia dewasa ini, hal yang sebaliknyalah yang justru terjadi: ”Oligarki partai menjadi penyebab para anggota DPR tidak bisa berbuat banyak untuk memperjuangkan aspirasi rakyat yang telah memilihnya. Para wakil rakyat itu terjebak pada pola untuk memperjuangkan kepentingan pribadi dan partainya.” (Dhaniel Dhakidae dalam Harian ”Sinar Harapan”, Rabu, 21 Januari 2004, ”Oligarki Partai Sebabkan DPR Abaikan Aspirasi Rakyat”) (Bukti P-12B). “Pengurus di tingkat DPD, DPC, DPK, sampai DPR (ranting di desa) diwajibkan taat terhadap keputusan partai yang bersifat final.” (Abdul Gafur Sangadji, “Utopia Reformasi Parpol”, Harian “Merdeka”, 15 September 2004) (Bukti P-12C). 84. Konteks Indonesia yang dikemukakan di atas ini senada dengan tesis Robert Michels bahwa “…kebijakan partai bertumpu dan bertumpuk pada ketua dan elit partai sehingga sulit diterapkan desentralisasi kepartaian…” (Robert Michels, “Political Parties: A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy”, 1984). Oleh karena itulah, Herbert Schambeck menyatakan, “In a democracy with a pluralistic society, be it a monarchy or a republic, political parties … must also recognize their limits as well as their opportunities within a democratic and constitutional system. This applies even more so to federal countries, where the people are organized, institutionalized and represented at different levels, at the local, regional and federal levels.” (Dr. Herbert Schambeck (Profesor di University of Linz dan mantan Presiden Bundesrat Austria), “Reflections on the significance of the bicameral parliamentary system; Bicameralism, Democracy and the Role of the Civic Society”, Meeting of the Association of European Senates, Ljubljana, 28 Juni 2002) (Bukti P-12D). 85. Negara seperti Thailand, misalnya, pun memiliki konteks dan budaya politik tersendiri lagi, yang berbeda dengan konteks dan budaya politik Amerika Serikat, yang membuat negara tersebut harus mengatur dengan tegas dan ketat bahwa anggota Senat tidak boleh berasal dari Parpol untuk menjamin berfungsinya para anggota Senat (sebagai representasi daerah) dengan baik dalam lingkungan dan budaya politik negara tersebut. Anggota Senat, menurut Section 114 angka (5) dan (6) Konstitusi Thailand, haruslah (Bukti P-12E): Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 40 (5) not being an ascendant, a spouse or a son or daughter of a member of the House of Representatives or a person holding a political position; (6) not being a member or a holder of any position of a political party, or having been a member or a holder of any position of a political party, with membership or office having terminated for a period of not more than five years up to the date of applying for candidacy or the date of nomination. (Sumber: Website Asian Legal Information Institute (ALII): http://www.asianlii.org/th/legis/const/2007/1.html, diakses pada tanggal 19 April 2008) 86. Dengan demikian, jelaslah bahwa kenyataan bahwa di Amerika Serikat atau negara-negara tertentu lain anggota Senat berasal atau boleh berasal dari Parpol tidak serta merta dapat menjadi justifikasi bagi berlakunya hal yang sama di Indonesia. Kecuali Indonesia memiliki raison d’etre, konteks latar belakang atau lingkungan dan budaya politik yang sama dengan negaranegara tersebut, kenyataan tersebut tidak dapat dengan sendirinya menjadi justifikasi bagi diterapkannya hal yang sama di Indonesia. D. MASALAH KETIADAAN NORMA DAN PENGUJIAN UU PEMILU 87. Para Pemohon menyadari bahwa permohonan pengujian undang-undang ini adalah mengenai ketiadaan norma dalam UU Pemilu yang menyebabkan undang-undang tersebut inkonstitusional, sedangkan dalam praktik pada umumnya pengujian undang-undang dilakukan karena adanya norma (ketentuan) undang-undang yang dianggap inkonstitusional. 88. Sesungguhnya kewenangan yang diamanatkan UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi tidaklah sesempit itu, karena Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK dengan tegas memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk ”menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar” tanpa pembatasan ”sepanjang mengenai adanya norma undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar”; yang berarti bahwa Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan oleh UUD 1945 untuk menguji undang-undang tidak hanya dalam arti adanya norma tertentu undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945, tetapi juga dapat dalam arti tiadanya norma tertentu dalam undang-undang yang menyebabkan undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 41 89. Selengkapnya, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 antara lain berbunyi: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, ...... dan Pasal 10 ayat (1) huruf (a) UU MK antara lain berbunyi: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ..... 90. Dari uraian di atas, jelaslah bahwa UUD 1945 dan UU MK tidak pernah membatasi kewenangan pengujian materiil MK hanya dalam arti adanya norma undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 saja. Hal ini dikarenakan dalam kenyataannya inkonstitusionalitas suatu undang-undang dapat disebabkan baik oleh adanya norma undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 maupun oleh tiadanya norma tertentu dalam undang-undang padahal norma tersebut diamanatkan oleh UndangUndang Dasar. 91. Sebagaimana disampaikan di atas, dalam perkara ini inkonstitusionalitas yang terjadi adalah ketiadaan norma, yang jelas-jelas telah dinyatakan dalam UUD 1945, dalam pasal-pasal tertentu UU Pemilu (Pasal 12 dan Pasal 67) sebagaimana dijelaskan di bagian-bagian lain Permohonan ini. Karena Pasal 12 dan Pasal 67 tidak mengandung materi muatan yang secara konstitusional seharusnya dikandungnya, maka pasal-pasal ini menjadi inkonstitusional secara keseluruhan dan dengan demikian harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 92. Dalam ilmu hukum, terdapat teori “ketiadaan suatu norma mengadakan/ menciptakan suatu norma baru”. Kenyataan empiris pun membuktikan teori ini. In casu, misalnya, ketiadaan norma syarat domisili dan syarat non-Parpol mengadakan/menciptakan norma baru bahwa “Peserta Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Daerah dapat tidak berasal dari provinsi yang hendak diwakilinya dan/atau dapat merupakan anggota atau pengurus Parpol”, sehingga norma baru (yang tercipta dari ketiadaan norma yang seharusnya ada) inilah yang bertentangan dengan norma Pasal 22C ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi: Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 42 Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum. dan norma dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, yang berbunyi: Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan. 93. Jadi dapat disimpulkan, in casu bukanlah apa yang telah ada (tertulis) dalam UU Pemilu yang bertentangan dengan UUD 1945—norma-norma yang telah ada (tertulis) dalam UU Pemilu telah sesuai dan tidak bertentangan dengan UUD 1945—namun apa yang tiada-lah yang bertentangan dengan UUD 1945 karena ketiadaan ini mengadakan/menciptakan norma baru sebagaimana diuraikan di atas, dan norma baru inilah yang bertentangan dengan UUD 1945. 94. Pasal 63 UU Pemilu 2003 menyebutkan bahwa syarat untuk menjadi calon anggota DPD antara lain: a. berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak berusia 17 (tujuh belas) tahun di provinsi yang bersangkutan. b. tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon. 95. Jika Pasal 63 UU Pemilu 2003 tersebut maupun Draft RUU Pemilu Versi Pemerintah dibandingkan dengan UU Pemilu Nomor10 Tahun 2008, khususnya Pasal 12 dan Pasal 67, maka terlihat jelas bahwa ketiadaan syarat domisili dan ketiadaan syarat non-Parpol dalam UU Pemilu merupakan suatu upaya pelanggaran konstitusi yang disengaja dari para pembuat UU Pemilu. Tidak terdapat penjelasan yang memadai mengenai apa perbedaan latar belakang situasi dan kondisi Pemilihan Umum 2004 dengan Pemilihan Umum 2009 sehingga kedua syarat ini harus ikut berubah. Oleh karena itu, sangat beralasan bila para Pemohon menengarai bahwa penghilangan syarat domisili dan syarat non-Parpol dalam UU Pemilu merupakan upaya merusak tatanan kehidupan demokrasi nasional untuk vested interest politis tertentu, sebagaimana diungkapkan seorang anggota Panitia Khusus RUU Pemilu dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, Saifullah Ma’shum, di atas (vide Bukti P–4) dan sebagaimana dikatakan Prof. Syamsuddin Haris, Profesor Riset Ilmu Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam artikelnya yang berjudul Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 43 ”UU Pemilu: Dari Partai untuk Partai?” (Harian Kompas, Senin, 3 Maret 2008) (vide Bukti P-8): Langkah mundur RUU Pemilu ini patut menjadi keprihatinan kita jika benar sinyalemen bahwa perubahan itu dilatarbelakangi kehendak para politisi partai untuk merebut kursi DPD jika gagal menjadi calon dengan posisi signifikan dalam pemilihan DPR. Lalu, apa jadinya bangsa ini kalau revisi undang-undang pemilu dilakukan sekadar untuk memenuhi syahwat kekuasaan para politisi partai? Semoga saja situasi yang dialami bangsa kita dewasa ini tidak mengarah pada kekhawatiran Bung Hatta tatkala mengkritisi partai-partai, yakni situasi ketika ”partai dijadikan tujuan dan negara menjadi alatnya”. 96. Dalam konteks demikianlah, Mahkamah Konstitusi harus menjalankan tugas yang diembannya, yang diamanatkan kepadanya oleh UUD 1945. Sesuai dengan semangat amanat UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi adalah the guardian of the Constitution dan the final interpreter of the Constitution. Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas Mahkamah Konstitusi diharapkan untuk menyatakan keseluruhan Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, dan oleh karena itu inkonstitusional, serta dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. 97. Atau, andai pun Mahkamah Konstitusi tidak berpendapat demikian, karena Mahkamah Konstitusi adalah the final interpreter of the Constitution maka Mahkamah Konstitusi diharapkan untuk setidaknya menyatakan bahwa kedua pasal tersebut conditionally constitutional jika norma terbuka itu ternyata ditafsirkan sesuai dengan konstitusi (sebagaimana akan diuraikan di bawah) dan conditionally unconstitutional jika ditafsirkan berlawanan dengan ketentuan konstitusi, yakni Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. 98. Para Pemohon juga menyadari, apabila Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu dinyatakan bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi maka akan terjadi kekosongan hukum mengenai syarat-syarat calon anggota DPD dan syarat-syarat kelengkapan administratif calon anggota DPD, sementara proses Pemilihan Umum 2009 sudah dimulai sejak tanggal 5 April 2008 (Peraturan KPU Nomor 09 Tahun 2008, tanggal 3 April 2008) (Bukti P–13). Untuk mengatasi masalah ini, para Pemohon memohon Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 44 pada Mahkamah Konstitusi untuk sudilah kiranya mempertimbangkan beberapa alternatif berikut ini sebagai solusi atas problem konstitusi yang dihadapi dalam UU Pemilu ini yang dimaksudkan untuk menghindari kekosongan hukum (rechtsvacuum), sebelum pembentuk undang-undang mengatur syarat domisili dan syarat non-Parpol bagi calon anggota DPD, serta guna kelancaran pelaksanaan Pemilu 2009, yaitu meminta: a. Presiden segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang, sejauh menyangkut materi yang diatur kedua pasal tersebut, yang sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi pada perkara ini, yakni harus mengandung materi muatan syarat domisili dan syarat non-Parpol selain syarat-syarat lain yang telah terdapat dalam kedua pasal tersebut; atau b. Komisi Pemilihan Umum segera menerbitkan Peraturan KPU sejauh menyangkut materi yang diatur kedua pasal tersebut yang sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi pada perkara ini, yakni harus mengandung materi muatan syarat domisili dan syarat non-Parpol selain syarat-syarat lain yang telah terdapat dalam kedua pasal tersebut; Hal serupa pernah dinyatakan Mahkamah Konstitusi dalam Pertimbangan Hukum Putusan Perkara Nomor 5/PUU-V/2007; ATAU Agar Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu berlaku conditionally constitutional: a. Menyatakan ketentuan Pasal 12 huruf c harus dibaca bertempat tinggal di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 tahun berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon atau pernah bertempat tinggal selama 10 tahun sejak berusia 17 tahun di provinsi yang bersangkutan; dan ketentuan Pasal 67 UU Pemilu dibaca kartu tanda penduduk warga negara Indonesia dari provinsi yang bersangkutan; atau, bila tidak ditafsirkan demikian, dinyatakan bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 (conditionally unconstitutional).; dan b. Menyatakan Pasal 12 huruf c harus ditafsirkan bahwa ketentuan tersebut adalah dimaksudkan sebagai warga negara Indonesia perseorangan Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 45 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni tidak menjadi anggota atau pengurus partai politik; atau, bila tidak ditafsirkan demikian, dinyatakan bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 (conditionally unconstitutional). E. PETITUM Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir, dengan ini para Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Konstitusi Yang Terhormat agar berkenan memberikan putusan sebagai berikut: 1. Menerima dan mengabulkan permohonan pengujian materiil para Pemohon. 2. Menyatakan bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4); dan 3. Menyatakan bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya; ATAU 1. Menerima dan mengabulkan permohonan pengujian materiil para Pemohon. 2. Setidak-tidaknya menyatakan bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) sepanjang tidak mengandung syarat harus berdomisili di provinsi yang bersangkutan dan bukan anggota dan/atau pengurus partai politik; dan 3. Setidak-tidaknya menyatakan bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 46 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya sepanjang tidak mengandung syarat harus berdomisili di provinsi yang bersangkutan dan bukan anggota dan/atau pengurus partai politik. ATAU 1. Menerima dan mengabulkan permohonan pengujian materiil para Pemohon. 2. Menyatakan bahwa Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4); dan 3. Menyatakan bahwa Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya; ATAU 1. Menerima dan mengabulkan permohonan pengujian materiil para Pemohon. 2. Setidak-tidaknya menyatakan bahwa Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) sepanjang tidak mengandung syarat harus berdomisili di provinsi yang bersangkutan dan bukan anggota dan/atau pengurus partai politik. 3. Setidak-tidaknya Menyatakan bahwa Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya sepanjang tidak mengandung syarat harus berdomisili di provinsi yang bersangkutan dan bukan anggota dan/atau pengurus partai politik. Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 47 [2.2] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 29 April 2008, telah didengar keterangan (opening statement) dari Pemohon I Ketua Dewan Perwakilan Daerah Prof. Dr. Ir. Ginanjar Kartasasmita, sebagai berikut: Sejarah politik dan kekuasaan di negara ini pada dasarnya berbasis pada kepentingan daerah (lokal). Hal ini ditandai dengan keberadaan dan sejarah kerajaan-kerajaan di banyak daerah di Indonesia, yang masing-masing memiliki otonomi bahkan kedaulatan sendiri-sendiri. Di masa sebelum kemerdekaan, eksistensi kekuasaan lokal yang independen satu sama lain itu sebagiannya telah menjadi kaki tangan kolonialisme, termasuk di dalamnya diperhadapkan satu sama lain dengan strategi devide et impera (politik pecah belah). Dalam kondisi seperti itulah, kalangan penjajah dengan begitu leluasa melakukan eksploitasi sumber daya manusia, sumber daya alam dan sumber daya lainnya dari bumi nusantara, di mana hasilnya diekstrasi ke luar untuk membangun negeri mereka, yang membuat mereka sekarang menjadi negara maju; Namun tokoh-tokoh perjuangan bangsa tampaknya sangat menyadari posisi politik lokal yang rentan dan tercerai berai itu yang hanya membawa keuntungan politik dan ekonomi bagi kalangan penjajah. Maka, seperti sangat jelas tertoreh dalam sejarah pada tahun 1928, para tokoh muda nusantara dengan penuh kesadaran dan sikap kritis telah membangun semangat kebangsaan dengan mengikrarkan Sumpah Pemuda (satu nusa, bangsa, dan satu bahasa). Mereka merupakan elemen-elemen putra bangsa berbasis lokal (daerah), yang dikenal sebagai Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Sumatra, dan sebagainya. Momentum sejarah 1928 itu secara pasti dan sistematis telah membangun kesadaran kebangsaan yang satu dalam keragaman sosio-kultural. Semangat itu pulalah yang mewarnai kemerdekaan bangsa ini yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Singkatnya, konstruksi keindonesiaan pada dasarnya terbangun dari ruh dan elemen-elemen daerah yang heterogen baik secara etnik, budaya, maupun alamnya; Para pendiri negara (founding fathers) sangat menyadari bahwa olah kuasa dan politik (power and political exercise) dalam bernegara harus selalu didasarkan pada prinsip dan eksistensi kebhinekaan berbasis daerah. Arah kebijakan negara haruslah ditetapkan berdasarkan prinsip-prinsip kedaulatan dan permusyawaratan dari elemen-elemen bangsa itu, yang dalam terminologi generiknya dikenal dengan kata-kata demokrasi dan musyawarah. Karena disepakati sebagai Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 48 negara yang berbentuk republik, maka yang berperan dalam proses-proses penentuan arah kehidupan berbangsa itu adalah para wakil dari elemen-elemen bangsa yang juga mewakili unsur-unsur daerah. Para anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam menyusun konstitusi, mempersiapkan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 secara jelas menyadari kebhinekaan itu. Prof. Muhammad Yamin, dalam sidang BPUPKI menyatakan bahwa, ”permusyawaratan rakyat adalah wujud tertinggi kedaulatan rakyat dan kedaulatan rakyat syaratnya adalah adanya wakil langsung rakyat dan daerah”; Pemikiran Prof. Muhammad Yamin yang menggambarkan ruh konstitusi kita sangat sesuai dengan kondisi kebangsaan Indonesia dan kaidah-kaidah kehidupan masyarakat negara modern. Bangunan lembaga pemegang kedaulatan rakyat merupakan perpaduan antara wakil rakyat dan wakil daerah yang dipilih langsung oleh rakyat. Dalam sejarah politik Indonesia era kemerdekaan, perwujudan pemikiran itu telah berkembang secara dinamis dari periode ke periode dan pada tahun 1998 dengan gerakan reformasi secara prinsip menemukan bentuknya yang mendasar dalam perubahan makna dan paradigma. Amandemen konstitusi yang sudah dilakukan sebanyak empat kali—di mana tampaknya akan terus berproses dalam rangka penyempurnaan—telah melahirkan sistem perwakilan dalam dua lembaga, yakni lembaga yang mewakili rakyat dan lembaga yang mewakili daerah. Dalam konstitusi kita hasil amandemen bangunan kelembagaan yang berdaulat itu sangat jelas, yakni yang mewakili rakyat melalui partai-partai politik adalah lewat lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan yang mewakili rakyat melalui entitas daerah atau wilayah adalah lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yang anggota-anggotanya dipilih melalui jalur perseorangan; Penataan kelembagaan negara melalui amandemen konstitusi ketiga yang kemudian melahirkan DPD tidak serta merta muncul jatuh dari langit. Karena kecuali ia merupakan pengejawantahan dari ruh yang menjiwai lahirnya UndangUndang Dasar 1945 seperti yang sedikit digambarkan di atas, juga merupakan produk sosiologi-politik setelah melalui proses pergumulan panjang dalam sejarah hubungan pusat dan daerah di negeri ini, sebagai bagian dari tuntutan reformasi 1998. Sejumlah kondisi itu antara lain: Pertama, Penyelenggaraan negara yang sentralistik yang berlangsung sejak era Orde Lama hingga Orde Baru telah secara signifikan menimbulkan akumulasi Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 49 kekecewaan daerah terhadap pemerintah pusat, yang sekaligus merupakan indikasi kuat kegagalan pemerintahan pusat dalam mengelola daerah sebagai basis berdirinya bangsa ini. Maka, di awal reformasi semangat itu kemudian diwujudkan dalam sistem desentralisasi dan otonomi daerah, yaitu suatu pilihan politik dalam pengelolaan NKRI di mana daerah harus menjadi aktor sentral dalam pengelolaan republik ini. Keluarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan realisasi dari kebijakan desentralisasi itu, yang kemudian diperkuat dalam Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945 seperti tertuang pada Bab VI Pemerintahan Daerah Pasal 18, 18A, dan 18B; Kedua, persepsi publik terhadap eksistensi dan perilaku partai politik (parpol) kurang sejalan dengan harapan publik, karena sistem kepartaian kita masih sangat sentralistik. Sistem seperti itu sudahlah pasti selalu menyulitkan perjuangan kepentingan daerah dalam proses-proses pengambilan kebijakan di tatar nasional, akibat dari kebijakan yang sentralistik yang secara alamiah berseberangan dengan aspirasi desentralistik; Ketiga, kehadiran DPD merupakan produk dari refleksi kritis terhadap eksistensi utusan daerah dan utusan golongan yang mengisi formasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam sistem keterwakilan kita di era sebelum reformasi. Mekanisme pengangkatan dari utusan daerah dan utusan golongan bukan saja merefleksikan sebuah sistem yang tidak demokratis; melainkan juga mengaburkan sistem perwakilan yang seharusnya dibangun dalam tatanan kehidupan negara modern yang demokratis. Maka DPD lahir sebagai bagian dari upaya untuk memastikan bahwa wilayah atau daerah harus memiliki wakil untuk memperjuangkan kepentingannya secara utuh di tatar-nasional, yang sekaligus berfungsi menjaga keutuhan NKRI; Keempat, kehadiran DPD mengandung makna bahwa sekarang ada lembaga yang mewakili kepentingan lintas golongan atau komunitas yang sarat dengan pemahaman akan budaya dan karakteristik daerah. Para wakil daerah bukanlah wakil dari suatu komunitas atau sekat komunitas di daerah (antara lain yang berbasis ideologi atau Parpol), melainkan figur-figur yang bisa mewakili seluruh elemen yang ada di daerah. Dengan sendirinya, para wakil daerah baru bisa dikatakan “sungguh-sungguh berada di atas kepentingan golongan” apabila yang bersangkutan benar-benar memahami apa yang menjadi muatan daerah yang diwakilinya (komunitas berikut budaya dan ruhnya, geografisnya, kandungan Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 50 buminya, dan sebagainya), dan sekaligus harus terbebas dari semua sekat ideologis. Kita semua tahu dan menyadari, apalagi di era kebebasan berorganisasi dan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi kita, bahwa Parpol yang eksis di daerah umumnya merepresentasikan kepentingan Parpol pusatnya yang berwatak sentralistik itu. Tepatnya, kalau seorang wakil daerah merupakan bagian dari komunitas yang primary group-nya berbasis Parpol, maka sangat berpotensi mengabaikan kepentingan daerah yang diwakilinya apabila itu tidak sejalan dengan kepentingan partainya; Proses transisi Indonesia menuju demokrasi adalah reformasi di bidang ketatanegaraan yang dijalankan melalui perubahan konstitusi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu perubahan penting adalah dibentuknya Mahkamah Konstitusi. Perubahan mendasar lainnya adalah dibentuknya Dewan Perwakilan Daerah (DPD); Pembentukan lembaga perwakilan kedua yang dilahirkan oleh gerakan reformasi tersebut tidak terjadi seketika, tetapi melalui tahap pembahasan yang cukup panjang baik di masyarakat maupun di MPR, khususnya di Panitia Ad Hoc I. Proses perubahan di MPR selain memperhatikan tuntutan politik dan pandanganpandangan yang berkembang bersama reformasi, juga melibatkan pembahasan yang bersifat akademis, dengan mempelajari sistem pemerintahan yang berlaku di negara-negara lain khususnya di negara yang menganut paham demokrasi. Keberadaan DPD diharapkan akan memperkuat sistem parlemen dan dengan demikian memperkuat demokrasi di Indonesia; Namun karena pembuatan Undang-Undang Dasar merupakan proses politik, pada akhirnya kompromi-kompromi politiklah yang membuahkan hasil akhir. Antara lain seperti yang berkenaan dengan peran DPD yang sama sekali jauh dari pikiran-pikiran awal yang datang dari gagasan-gagasan reformasi. Oleh karena itu DPD dengan dukungan dari daerah-daerah, antara lain 31 gubernur dari 32 provinsi yang sekarang ada, bupati dan walikota, DPRD-DPRD, organisasiorganisasi kemasyarakatan dan civil society serta pakar-pakar dari perguruanperguruan tinggi di seluruh tanah air, berupaya untuk menyempurnakan lagi Undang-Undang Dasar agar supaya semua lembaga negara dalam konstitusi berfungsi dalam sebuah bangunan sistem demokrasi yang kukuh. Namun kami menyadari Majelis ini bukan lembaga yang tepat untuk kami membicarakan perubahan Undang-Undang Dasar. Karena justru Mahkamah Konstitusi diserahi Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 51 tugas oleh konstitusi untuk menjaga agar konstitusi yang berlaku dijalankan dengan benar; Kelahiran DPD telah membangkitkan harapan masyarakat di daerah bahwa kepentingan daerah dan masalah-masalah yang dihadapi daerah dapat diangkat dan diperjuangkan di tingkat nasional. Bahwa kebijakan-kebijakan publik baik di tingkat nasional maupun daerah tidak merugikan dan senantiasa sejalan dengan kepentingan daerah dan kepentingan rakyat di seluruh tanah air. Bahwa DPD akan menjamin kepentingan daerah sebagai bagian yang serasi dari kepentingan nasional dan kepentingan nasional secara serasi merangkum kepentingan daerah. Bahwa kepentingan daerah dan kepentingan nasional tidak bertentangan dan tidak perlu dipertentangkan. Di dalam serba keterbatasan kewenangan dan fungsi konstitusional DPD, kami berusaha untuk memenuhi harapan rakyat tersebut dengan sekuat tenaga dengan kemampuan yang ada pada kami; Namun, kendala yang Pemohon hadapi bukan hanya pada tingkat konstitusi, tetapi juga pada tingkat undang-undang. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD menafsirkan ketentuan Pasal 22D Undang-Undang Dasar 1945 bahwa DPD ikut membahas rancangan undang-undang di berbagai bidang hanya pada pembicaraan tingkat I tahapan pembahasan di DPR. Kata-kata “ikut membahas” menunjukkan sifat imperatif dari amanat tersebut, namun dalam praktiknya hanya berwujud performa saja; Bukan pula maksud Pemohon untuk menggugat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tersebut pada kesempatan ini, karena sudah berlaku terlalu jauh dan sekarang sedang ada pembahasan mengenai undang-undang yang baru tentang susunan dan kedudukan lembaga-lembaga negara tersebut hasil pemilu yang akan datang. Pemohon akan terus mengikuti bagaimana hasil pembahasannya dan apabila kezaliman dan pengingkaran terhadap makna dan amanat UndangUndang Dasar tersebut dilakukan lagi, Insya Allah, akan kembali berada di muka Majelis Hakim yang mulia untuk memohon keadilan; Keberadaan Pemohon di hadapan Mahkamah yang mulia sekarang ini adalah untuk memintakan petunjuk hukum atas beberapa bagian dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang menurut hemat Pemohon bertentangan dengan atau tidak mencerminkan Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 52 kehendak Undang-Undang Dasar 1945. Secara rinci materi gugatan Pemohon akan disampaikan oleh para kuasa hukum Pemohon; Pemohon hanya akan menyampaikan sedikit pengantar saja mengenai masalah yang ada di hadapan kita dewasa ini; Pada prinsipnya ada dua hal yang Pemohon persoalkan, dalam rangka prinsip keanggotaan DPD sebagai wakil-wakil daerah. Pertama, pada Pasal 22C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan bahwa, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum”. Pasal ini memberikan petunjuk yang tegas bahwa ada kaitan erat antara anggota DPD dengan provinsi yang diwakilinya; Ketentuan itu tidak ditetapkan bagi anggota-anggota DPR meskipun anggota DPR pemilihannya juga dilakukan di daerah-daerah dan melalui daerah-daerah pemilihan (dapil); Kedua, ada beberapa pasal yang menunjukkan peserta pemilu, yaitu: (1) Untuk DPR dan DPRD Pasal 22E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan: “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”. Selain itu, pada Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 mengatur bahwa, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemililhan umum”; (2) Sedangkan untuk keanggotaan DPD Pasal 22E ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan”; Dari berbagai ketentuan tersebut, jelas sekali tampak bahwa Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan adanya dua jenis peserta pemilu untuk lembaga negara yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu yaitu partai politik dan perseorangan. Untuk DPD, tegas sekali Undang-Undang Dasar 1945 menghendaki peserta pemilu bersifat perseorangan, sedangkan untuk yang lainnya, yaitu anggota DPR/DPRD dan Presiden dan Wakil Presiden dicalonkan melalui partai politik; Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, yang dilahirkan segera setelah perubahan Undang-Undang Dasar terjadi—dengan demikian masih “merasakan kehangatan” yang terpancar dari jiwa dan semangat perubahan Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 53 Undang-Undang Dasar 1945—menetapkan dalam Pasal 63 bahwa calon anggota DPD harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak berusia 17 (tujuh belas) tahun di provinsi yang bersangkutan; b. tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon”; Ketentuan huruf b ditunda pemberlakuannya dengan Pasal 146 Ketentuan Peralihan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, yaitu “Calon anggota DPD dalam Pemilu tahun 2004 tidak menjadi pengurus partai politik paling lama 3 (tiga) bulan sejak diundangkan undang-undang ini”. Berarti pada Pemilu berikutnya yaitu pemilu tahun 2009 ketentuan ini seharusnya berlaku; Pemilu untuk anggota-anggota DPD tahun 2004, yang menghasilkan DPD yang sekarang, dilahirkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 itu. Dalam pelaksanaannya beberapa calon anggota gugur karena tidak dapat memenuhi ketentuan dalam undang-undang tersebut, khususnya yang berkenaan dengan domisili. Sebagai contoh, ada dua calon anggota yang merupakan tokoh masyarakat yang terpandang di daerahnya maupun secara nasional pencalonannya gagal, yaitu almarhum Bapak Baramuli dan Bapak Tanri Abeng karena masalah domisili. Tetapi memang demikianlah kehendak Undang-Undang Dasar yang secara konsisten dan konsekuen dilaksanakan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003; Namun kedua ketentuan tersebut tidak tercantum dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, sehingga menghilangkan arahan, jiwa, dan semangat yang dikandung dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar yang kami sebutkan di atas; Ketentuan mengenai peserta Pemilu untuk DPD dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 jelas bertentangan satu sama lain padahal keduanya mengacu pada Undang-Undang Dasar yang sama. Oleh karena itu, Pemohon datang menghadap untuk memperoleh penegasan hukum dari Mahkamah yang mulia, sebagai lembaga peradilan yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang Dasar untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Selain bertentangan dengan amanat, jiwa, dan semangat Undang-Undang Dasar, perubahan peraturan yang Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 54 begitu cepat bahkan belum dilaksanakan sepenuhnya tanpa kebutuhan untuk kepentingan umum yang mendesak serta tidak didukung oleh kehendak masyarakat yang luas, mengakibatkan merosotnya martabat undang-undang dan kurangnya kepastian hukum yang tentunya sangat merugikan rakyat dalam upaya kita membangun masyarakat yang bukan saja menghormati tetapi juga dapat menyandarkan nasib dan kepentingannya kepada hukum. Mengenai argumentasi hukum serta masalah siapa yang dirugikan atau legal standing dari para Pemohon akan disampaikan pertimbangan-pertimbangannya secara lebih rinci dan lebih kompeten oleh para kuasa hukum; Dalam kesempatan ini Pemohon hanya akan menyampaikan beberapa hal pokok saja sebagai pengantar permohonan. Di samping hal-hal yang telah dikemukakan di atas, ketiadaan ketentuan maupun syarat domisili telah menghilangkan keterkaitan hak anggota DPD dengan provinsi yang diwakilinya seperti dikehendaki oleh Pasal 22C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Apabila memang domisili itu tidak merupakan syarat yang dikehendaki oleh konstitusi, apa sebabnya ditetapkan demikian untuk DPD dan tidak untuk DPR, padahal anggotaanggotanya juga dipilih di daerah-daerah melalui daerah-daerah pemilihan? Di sini terlihat pembedaan oleh Undang-Undang Dasar terhadap hakikat anggota DPD yang mewakili daerah dan DPR yang mewakili partai politik (meskipun anggota DPR dipilihnya berdasar perwakilan wilayah); Argumentasi yang pernah kita dengar bahwa seseorang dapat menyalurkan aspirasi daerah dan dapat memperjuangkan kepentingan daerah tanpa harus berasal di daerah tersebut hanyalah merupakan upaya pembenaran yang tidak didasarkan oleh kejujuran untuk mengakui fakta, bahwa seseorang akan lebih dapat memahami aspirasi daerah dan memperjuangkan kepentingan daerah jika ia berasal dari daerah tersebut. Kami garis bawahi kata “dari”, karena kata itu pula yang digunakan oleh konstitusi sebagai syarat untuk menjadi anggota DPD; Pemohon juga mendengar bahwa penghapusan ketentuan tentang keterkaitan partai politik dengan DPD, adalah untuk menjamin hak politik setiap warga negara. Yang disembunyikan dalam argumentasi tersebut adalah ketentuan bahwa untuk menjadi anggota DPR hanya dapat melalui partai politik, artinya seseorang tidak dapat jadi anggota DPR kecuali dari partai politik. Mengapa tidak digunakan argumentasi yang sama untuk membuka juga kemungkinan menjadi anggota DPR dari perseorangan? Bukankah ketentuan itu bahwa pemilihan Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 55 anggota DPR hanya dapat melalui partai politik juga membatasi hak politik warga negara? Bagaimana pula bahwa untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden hanya bisa dari partai politik dan tidak boleh calon perseorangan? Apakah itu juga bukan pembatasan terhadap hak politik warga negara? Jawabannya sederhana, memang betul ada pembatasan! Tetapi pembatasan itu ditetapkan oleh UndangUndang Dasar dan karena itu harus kita terima dan kita patuhi. Tetapi kepatuhan itu jangan hanya berlaku sepihak saja; kalau menguntungkan dipatuhi, kalau tidak menguntungkan boleh dilanggar. Pelanggaran terhadap undang-undang bisa menjadi tindak kejahatan apalagi terhadap Undang-Undang Dasar; Sesungguhnya tidak ada niat Pemohon untuk membatasi anggota partai politik menjadi anggota DPD. Demikian pula tidak ada niat untuk “mengurangi persaingan”, karena persaingan adalah hal yang baik asal dilakukan dengan sehat. Yang harus ditegakkan oleh undang-undang adalah aturan atau prosedur untuk menjamin bahwa kehendak Undang-Undang Dasar itu dipenuhi. Hal tersebut telah diupayakan di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 yakni melalui Pasal 63, tetapi tidak muncul lagi dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, sehingga tidak ada pegangan hukum untuk memastikan bahwa kehendak UndangUndang Dasar itu dipenuhi; Pemohon juga mengetahui di berbagai negara di dunia keanggotaan kedua majelis perwakilan mencerminkan perwakilan partai politik misalnya di Senat Amerika Serikat, tetapi tidak juga harus selalu demikian. Misalnya di Thailand Ketentuan mengenai domisili Anggota Senat diatur dalam Section 114 angka 4 huruf a sampai dengan d Konstitusi Thailand yang menyatakan bahwa, nama dari orang yang akan ikut serta di dalam pemilihan harus tercatat di provinsi yang bersangkutan sebagai penduduk di provinsi yang bersangkutan selama sekurangkurangnya lima tahun berturut-turut sebelum mengajukan pencalonan atau dilahirkan di provinsi itu dimana dia akan ikut pencalonan atau pernah belajar di sebuah lembaga pendidikan di provinsi tersebut dimana yang bersangkutan akan ikut dalam pemilihan selama sekurang-kurangnya lima tahun akademik atau pernah bekerja di provinsi tersebut dan itu tercantum di dalam catatan provinsi tersebut yang bersangkutan itu telah bekerja sekurang-kurangnya lima tahun berturut-turut. Sedangkan mengenai ketentuan Anggota Senat yang berkaitan dengan partai politik Undang-Undang Thailand menyatakan bahwa calon anggota senat tidak boleh merupakan keturunan, suami atau istri atau anak perempuan Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 56 atau laki-laki dari seorang anggota DPR atau seorang yang menduduki posisi politik. Di dalam menjadi anggota atau memiliki kedudukan kepengurusan di dalam partai politik selama sekurang-kurangnya lima tahun berturut-turut. Jadi dengan demikian peraturan yang kita terapkan di Indonesia tidak bersifat anomali. Setiap negara mempunyai sistemnya sendiri, yang tentunya dipengaruhi oleh latar belakang sejarah, budaya, dan tradisinya serta kepentingan dan kebutuhannya. Sejarah politik, sistem kepartaian, dan kondisi sosial budaya di satu masyarakat tentu saja berbeda dengan masyarakat lainnya, termasuk di dalamnya sejarah pembentukan dan perubahan konstitusi. Untuk bangsa Indonesia, khittah bangunan lembaga perwakilan kita dalam konstitusi maupun faktor kondisional meniscayakan pemisahan secara tegas antara karakter wakil rakyat melalui partai politik dengan karakter wakil rakyat dalam entitas daerah. Hal ini juga sekaligus mengisyaratkan penolakan monopoli atau hegemoni partai politik dalam prosesproses pengambilan kebijakan di level nasional, sekaligus merupakan bagian dari perwujudan checks and balances yang merupakan hal yang sangat fundamental dalam sebuah sistem demokrasi; Kalau kita membuka bagian konsideran ‘mengingat’ dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, secara eksplisit dinyatakan ayat (1) Pasal 22C dan Pasal 22E. Artinya, terdapat konsistensi antara syarat-syarat khusus bagi calon anggota DPR dan calon anggota DPD dengan ayat-ayat terkait dalam konstitusi di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Tetapi dalam Undan-Undang Nomor 10 Tahun 2008, syarat khusus calon anggota DPD itu sudah dihilangkan atau tidak lagi dimunculkan, meskipun konsideran ‘mengingat’-nya masih tetap sama dengan undang-undang sebelumnya. Padahal dalam draft RUU Pemilu yang diajukan oleh pemerintah dicantumkan secara eksplisit syarat-syarat khusus calon anggota DPD itu seperti pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Namun dalam prosesnya RUU yang diajukan oleh Pemerintah tersebut telah berubah sedemikian rupa sehingga timbul pertanyaan, apa yang sebetulnya terjadi? Apa sebabnya para pembuat undang-undang mengabaikan semangat konstitusi dan kepentingan apa yang ada di balik itu? Pertanyaan tersebut di atas sangat diperlukan jawabannya yang pasti melalui kearifan Majelis Hakim Konstitusi yang mulia dalam merespon usulan uji materi yang kami ajukan sekarang ini. Karena Pemohon menganggap bahwa penghilangan dua syarat khusus itu merupakan pelanggaran terhadap Pasal 22C Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 57 dan 22D Undang-Undang Dasar 1945 dan implikasinya berpotensi untuk terjadinya pengingkaran terhadap perjuangan kepentingan daerah di tingkat nasional. Sebab kalau dua syarat khusus itu tidak dicantumkan secara eksplisit, maka membuka ruang untuk anggota lembaga perwakilan daerah yang dangkal pemahamannya terhadap daerah yang diwakilinya dan berpotensi biasnya kepentingan wakil daerah akibat terkalahkan oleh kepentingan parpol yang menjadi primary groupnya. Konsekuensi lebih lanjut dari itu adalah akan munculnya benih-benih kekecewaan daerah terhadap manajemen pemerintahan dan pengambilan keputusan di tatar nasional–sesuatu yang juga bertentangan dengan tujuan reformasi. Pada titik simpulnya sidang Mahkamah yang mulia daerah-daerah di Indonesia membutuhkan keadilan dan komitmen yang konsekuen terhadap pelaksanaan Undang-Undang Dasar. Masa depan bangsa ini, ketaatannya pada konstitusi dan konsistensinya pada desentralisasi dan otonomi daerah yang terwujud dalam semboyan bhinneka tunggal ika Pemohon serahkan pada daulat Mahkamah Konstitusi untuk menentukannya. Patut disyukuri pada akhirnya sekarang palu penjaga konstitusi berada dalam genggam sembilan jubah merah konstitusi. Karena kami percaya tutur jujur Hakim Konstitusi yang kami baca dalam buku Menjaga Denyut Konstitusi tahun 2004 bahwa—Pemohon kutip, “sembilan jubah merah adalah dewa-dewa pembawa cerah, para pengawal konstitusi yang gagah, sembilan jubah merah bukan drakula-drakula haus darah bukan penjagal konstitusi yang membuat rakyat marah”. Apapun yang dihasilkan dalam upaya Pemohon “Merenda Keadilan dalam Mengangkat Harkat Daerah” melalui Majelis Hakim yang mulia Pemohon percaya dasarnya adalah kebenaran dan keadilan dan akan Pemohon terima dan teruskan seutuhnya kepada masyarakat di daerah di seluruh penjuru tanah air, Indonesia tercinta; [2.3] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti tulis yang diberi tanda P-1 sampai dengan P-18, dan telah pula mengajukan 1 orang saksi serta 8 orang ahli yang telah memberi keterangan di bawah sumpah pada persidangan tanggal 13 Mei 2008 dan 10 Juni 2008, yang dilengkapi dengan keterangan tertulis, sebagai berikut: Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 58 Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4836); Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4277); Bukti P-3 : Fotokopi naskah akademik dan draft awal rancangan undangundang tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari Pemerintah tahun 2007; Bukti P-4 : Fotokopi berita yang berjudul “RUU Pemilu: Upaya Uji Materi Harus Dihargai” disampaikan oleh Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB) Harian Kompas, Jumat, 14 Maret 2008, halaman 3; Bukti P-5 : Fotokopi kompilasi dukungan masyarakat atas “Petisi Tolak Parpol Masuk Kamar DPD”; Bukti P-6 : Fotokopi buku yang berjudul “DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru”, disusun oleh Prof. Dr. Bagir Manan, SH., M.CL., penerbit FH-UII Press, Maret 2003, halaman 56-57; Bukti P-7 : Fotokopi paper yang berjudul “Susunan dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah”, disusun oleh Prof. Dr. Sri Soemantri Martosoewignjo, SH; Bukti P-8 : Fotokopi artikel yang berjudul “UU Pemilu: Dari Partai untuk Partai?”, ditulis oleh Syamsuddin Haris, Profesor Riset Ilmu Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Harian Kompas, Senin, 3 Maret 2008, halaman 6; Bukti P-9 : Fotokopi paper yang berjudul “Susunan dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah”, ditulis oleh I Dewa Gede Palguna; Bukti P-10 : Fotokopi buku yang berjudul “Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat”, disusun oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., Catatan Kaki No. 98, halaman 44-45; Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 59 Bukti P-11 : Fotokopi paper yang berjudul “Perihal Dewan Perwakilan Daerah dalam Perspektif Katatanegaraan”, ditulis oleh Prof. Dr. Sri Soemantri Martosoewignjo, SH., dan Dr. Mochamad Isnaeni Ramdhan, SH., halaman 8; Bukti P-12 : Fotokopi artikel yang berjudul “Anggota DPR dan Anggota DPD”, ditulis oleh Prof. Dr. Satya Arinanto, Guru Besar Hukum Tata Negara, Harian Kompas, Senin, 4 Februari 2008, halaman 6; Bukti P-12A : Fotokopi makalah yang berjudul “Political Parties in the United States”, ditulis oleh John F. Bibby; Bukti P-12B : Fotokopi berita yang berjudul “Oligarki Partai Sebabkan DPR Abaikan Aspirasi Rakyat, disampaikan oleh Dhaniel Dhakidae, dalam harian Sinar Harapan, Rabu, 21 Januari 2004; Bukti P-12C : Fotokopi artikel yang berjudul “Utopia Reformasi Parpol”, oleh Abdul Gafur Sangadji, Harian Merdeka, tanggal 15 September 2004; Bukti P-12D : Fotokopi makalah yang berjudul “Reflections on the Significance of the Bicameral Parliamentary System”, oleh Dr. Herbert Schambeck; Bukti P-12E : Fotokopi Chapter VI Part 3 Konstitusi Thailand; Bukti P-13 : Fotokopi Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 09 Tahun 2008 tanggal 3 April 2008; Bukti P-14 : Fotokopi Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 8/DPD/2008 tentang Teknis Pelaksanaan dan Mekanisme Kerja Tim Judicial Review Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Bukti P-15 : Fotokopi Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 27/DPD/2008 tentang Judicial Review Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 60 Bukti P-16 : Fotokopi Daftar Hadir Sidang Paripurna Ke-11 (Tertutup) Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Masa Sidang III Tahun Sidang 2007-2008 tanggal 17 Maret 2008; Bukti P-17 : Fotokopi artikel Rakyat Merdeka, Jumat, 30 Mei 2008, “Kuasai DPD, PKS Susun Daftar Calon Senator”; Bukti P-18 : Fotokopi artikel Rakyat Merdeka, Selasa, 10 Juni 2008, “Partai Megawati Seleksi Calon Senator Kuasai DPD”. Keterangan Saksi Drs. Progo Nurdjaman Kesaksian saksi adalah berdasarkan keterlibatan saksi dalam proses penyusunan dan penetapan undang-undang tentang Pemilu. Dalam proses penyusunan dan penetapan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, saksi terlibat sebagai Ketua Tim Penyusun RUU Pemilu dan wakil Pemerintah cq. Menteri Dalam Negeri dalam pembahasan RUU tersebut bersama DPR. Dalam proses penyusunan UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008, saksi terlibat sebagai Ketua Tim penyusun Undang-Undang Bidang Politik (dalam paket undang-undang bidang politik: Pemilu, Parpol, Susduk, Pilpres). Dalam penyusunan Undang-Undang Pemilu, terdapat pokok pikiran: 1. Menata kehidupan demokrasi yang lebih baik dan sehat, sejalan dengan reformasi yang dilakukan bangsa Indonesia. 2. Penataan kehidupan politik diatur dengan Undang-Undang sesuai amanat Undang-Undang Dasar. 3. Pengaturan keterwakilan ditata ulang sesuai dengan perkembangan politik dan demokrasi, seperti keterwakilan pada lembaga DPR. Pengaturan Keterwakilan DPR: UU yang lalu (UU Pemilu 1999) : 1 kabupaten/kota minimal 1 wakil UU yang sekarang (UU Pemilu 2003 dan 2008) : Daerah Pemilihan 4. Dalam Amandemen UUD ditetapkan adanya Lembaga Perwakilan: a. Perwakilan Rakyat b. Perwakilan Daerah PROSES PENYUSUNAN Dalam penyusunan draft RUU Pemilu 2003, di samping memperhatikan naskah akademik dilandasi oleh pokok-pokok ketetapan dalam UUD 1945, khususnya pada beberapa pasal sebagai berikut : Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 61 UUD 1945 Pasal 2 : MPR terdiri atas DPR dan DPD. Pasal 22C : (1) Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi (2) Setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruhnya tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR. (4) Susduk DPD diatur dengan Undang-Undang. Pasal 22 E : (2) Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan DPRD. (3) Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD adalah partai politik. (4) Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan. (6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang. PROSES PENETAPAN Dari naskah yang disampaikan Pemerintah dan setelah melalui pembahasan DPR bersama Pemerintah, ditetapkan undang-undang Pemilu dengan UU Nomor 12 Tahun 2003 Beberapa pokok pengaturan dalam UU Nomor 12 Tahun 2003, ditetapkan antara lain syarat pencalonan anggota DPR, DPD dan DPRD: Pasal 60 : Persyaratan umum calon anggota DPR, DPD, dan DPRD Pasal 61 : Seorang calon hanya dapat dicalonkan dalan satu lembaga perwakilan pada satu daerah pemilihan Pasal 62 : Calon anggota DPR dan DPRD , juga harus terdaftar sebagai anggota parpol peserta pemilu yang dibuktikan dengan KTA. Pasal 63 : Calon anggota DPD, harus memenuhi syarat: a. domisili di provinsi bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon, atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 62 tahun sejak berusia 17 (tujuh belas) tahun di provinsi yang bersangkutan. b. tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun yang dihitung sampai pengajuan calon. UU PEMILU NOMOR 10 TAHUN 2008 1. Dalam draft RUU yang diajukan Pemerintah kepada DPR, substansi persyaratan calon mengadopsi persyaratan calon dari ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, karena dipandang tetap relevan dari ketentuan UUD 1945. 2. Dituangkan dalam draft RUU Pasal 7 antara lain Huruf n dan o (draft pasal tersebut adalah penggabungan dari beberapa pasal dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 yang menetapkan persyaratan calon yaitu Pasal 60, 61, 62, 63, dan 64) Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 mengenai persyaratan calon ditetapkan dalam Pasal 12. 3. Ketentuan syarat calon anggota DPD yang ditetapkan dalam Pasal 63 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, dan dalam pengajuan RUU, tetap dicantumkan ketentuan tersebut. Dalam perkembangan pembahasan dan pengesahan RUU menjadi undang-undang tidak dicantumkan lagi. Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, yang mengatur persyaratan calon DPD. 4. Sedangkan persyaratan dukungan minimal yang ditetapkan baik dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 (Pasal 11), maupun dratf RUU (Pasal 8) maupun Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 (Pasal 13) ,tidak berubah. Ketentuan tersebut meliputi, provinsi yang berpenduduk: a. Sampai dengan satu juta harus dapat dukungan 1.000 pemilih. b. Lebih dari satu juta sampai dengan lima juta haruss dapat dukungan 2.000 pemilih. c. Lebih dari 5 juta sampai dengan 10 juta harus dapat dukungan 3.000 pemilih. d. Lebih dari 10 juta sampai dengan 15 juta harus dapat dukungan 4.000 pemilih. e. Lebih dari 15 juta harus dapat dukungan 5.000 pemilih. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 63 Keterangan Ahli Drs. Arbi Sanit Meskipun jejak sejarah Partai Politik Indonesia bisa ditelusuri sampai ke era kolonial, namun diskontinuiti dan inkonsistensi pengembangannya, menjadikan institutusi utama demokrasi itu tidak berkemampuan memadai untuk berperan secara optimal, apalagi maksimal. Argumen peranan partai yang menguat dalam proses demokrasi, belumlah diimbangi dengan tekad dan tanggung jawabnya untuk merealisasikan demokrasi secara bermanfaat. Kesenjangan yang cenderung menguat di antara hak dan kewajiban partai dalam demokrasi seperti itu, merupakan konsekuensi dari lemahnya pendewasaan politisi dan pencanggihan teknologi politik serta pematangan institusionalisasi politik yang dialami partai di sepanjang perubahannya yang terputus putus. Selama hampir seratus tahun sejak awal abad ke 20, tetap dan semakin diyakini bahwa representasi institusional dan fungsional partai atas rakyat ialah Sistem Multi Partai. Padahal sudah terbukti secara periodik bahwa representasi seperti itu bermuara kepada lemahnya pemimpin dan tidak efektifnya pemerintahan. Malah pengalaman berbagai negara yang sukses dengan representasi rakyat oleh sistem partai sederhana, tidak dipertimbangkan manfaatnya bagi Indonesia dengan alasan percobaannya yang dilakukan oleh Penguasa Orde Baru. Sekalipun di sepanjang kemerdekaan Indonesia partai tidak berperan secara kontinu, namun dengan alasan demokrasi, politisi partai begitu percaya diri bahwa merekalah yang paling berhak menjadi penguasa dan atau penyelenggara negara. Interpretasi demokrasi seperti itu, bukan saja menafikan sejarah Pemilu tahun 1955 yang memberikan kesempatan kepada Calon Ormas dan Calon Perseorangan untuk menjadi Calon Pemilu dan Pemimpin Politik—Pemerintahan, melainkan juga mengenyampingkan peran dan sumbangan berbagai kekuatan sosial—politik non partai dalam penyelenggaraan dan perubahan negara sewaktu partai tidak berdaya dan atau tidak melakukan peran sebagaimana seharusnya. Di era reformasi menuju demokrasi liberal jilid dua ini, interpretasi dan operasi demokrasi seperti itu telah menjuruskan politisi dan partainya kepada keyakinan dan usaha sistemik, untuk menunaikan peran politiknya secara monopolistik. Berkuasa dan/atau berpengaruh atas keseluruhan proses politik dan pemerintahan, dengan melemahkan atau mengenyampingkan peran kekuatan sosial—politik non Partai, semakin menguat secara kuantitatif dan kualitatif. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 64 Artinya, hampir tidak ada batasan institusional bagi intervensi kekuasaan politisi dan partainya, dan keterlibatan itu berlangsung secara informal sampai formal dengan menggunakan hukum, sekalipun mengesankan ingin benar sendiri dan memaksakan kehendak. Tragisnya, peran luas dan mendalam politisi dan partainya itu, tidaklah ditunaikan secara adil dalam artian menyeimbangkan hak dengan tanggung jawab (kewajiban). Berdasar analisis Ian Shapiro (YOI:2006), operasionalisasi hak Politisi Partai bergaya Cartesian dengan menekankan hak individu sebagai subjeknya, sementara substansi hak sesuai dengan pandangan libertarian negatif diabaikan. Dalam pada itu pembenaran politik dan pengabaian etik yang melemahkan dasar hak, mengaburkan kebaikan pluralis sebagai tujuan hak. Kontradiksi-kontradiksi kepartaian itu, menghadapkan kita kepada keharusan untuk menjawab pertanyaan tentang sebab musabab kehadiran monopoli paran partai, dan dampaknya kepada kehidupan masyarakat dan bangsa serta negara, beserta solusinya yang dibutuhkan. Peran Partai Monopolistik Diskontinuiti perkembangan partai politik merupakan konsekuensi logis dari keterpatahan perjalanan sejarah Demokrasi Indonesia. Demokrasi Konstitusional I (1945—1959) tidak sepenuhnya membuka peluang partai untuk memonopoli peran kenegaraan dan politik. Memang Sistem Partai Massa menghadirkan mekanisme politik onderbouw, di mana setiap partai 'memelihara' anak organisasi massa untuk mendapatkan anggota dan pendukung yang luas secara permanen. Dengan begitu peran berbagai Ormas di bawah partai, mewakili dan atas nama partai bersangkutan. Maka hadirlah kecenderungan monopoli berbagai peran dalam kehidupan masyarakat dan bangsa serta negara dengan mengatasnamakan partai. Akan tetapi di dalam Pemilu 1955, Partai bersaing dengan Ormas dan Perseorangan untuk memperebutkan kekuasaan (kursi) Lembaga Legislatif, yang karena penggunaan Sistem Politik dan Pemerintahan Parlementariannisme, memungkinkan Politisi Non Partai berkuasa atau berpengaruh atas Lembaga Eksekutif. Sirnanya mekansime politik kompetitif di era Demokrasi Konstitusional II (1999-...), bukan saja karena minimnya pengalaman berdemokrasi, melainkan juga disebabkan oleh reaksi berlebihan kepada Sistem Politik dan Pemerintahan Otoritarianisme Implikasi yang diberlakukan Penguasa Orde Lama dan Orde Baru peran..., Agung oleh Sudrajat, FH UI, 2012 65 selama hampir empat dekade. Jangankan berdemokrasi, berpolitik non demokratikpun harus menghadang risiko berlebihan, di bawah rezim otoriter tersebut. Isolasi kehidupan secara menyeluruh, penjara tanpa Pengadilan, dan bahkan kekerasan serta pembunuhan politik, adalah risiko menakutkan yang harus dihadapi Politisi waktu itu. Semuanya itu menjerakan kalangan luas masyarakat untuk terlibat di dalam proses politik. Apalagi untuk memerankan politik secara demokratik. Selama hampir 40 tahun demokrasi terkerdilkan atau terpendamkan menjadi impian dan wacana di kalangan terbatas golongan intelektual dan aktivis gerakan demokratisasi. Itulah masa di mana politisi dan partai dijadikan kamuflase demokratik bagi rezim dan Sistem Kekuasaan Otoriter. Politisi dan partai hadir, akan tetapi perannya sepenuhnya ditentukan oleh penguasa secara sepihak. Untuk mempertahankan hidup, apalagi untuk ikut berkuasa, siapapun harus menyesuaikan diri dengan Sistem Kekuasaan Otoriter. Maka tidaklah mengherankan tatkala di era reformasi tampil politisi dadakan, yang bukan saja minim pemahaman tetapi juga minim pengalaman berpolitik secara demokratik, atau mendadak sontak menganut cara pikir demoktatik walaupun tanpa penghayatan, di panggung politik Indonesia. Rekonsiliasi tidak resmi di antara dua kekuatan politisi yaitu reformator dan eks Orba melalui Pemilu tahun 1999 itulah yang membangun landasan masyarakat politik dan sistem partai di era Demokrasi Konstitusional II dewasa ini. Politisi dan partai adalah subjek hak untuk berkuasa atas negara. Tetapi substansi hak itu tidak jelas karena berakar kepada pertemuan kepentingan eks Orba dan aktivis reformasi. Maka landasan hak itupun tidak jelas, sebab asal usul politisi yang cenderung terurai berdasar kayakinan primordial. Tujuan hak itupun tidak tertentu karena tak terselesaikan konflik multiinterpretasi demokrasi yang bermuara kepada jebakan demokrasi sebagai tujuan atau alat. Tatkala politisi partai tanpa niat (rencana) dan minim pengalaman politik demokratik yang menjadikannya tidak visior itu, berwenang menentukan operasi demokrasi, mereka bereaksi secara spontan dan berlebihan. Tanpa persiapan matang untuk mengoperasikan demokrasi, mereka terjebak oleh kecenderungan revolusioner dengan meniadakan sifat Orba dan/atau tindakan kompromistis dengan mencampurkan sifat Orba dengan watak demokrasi. Mudah diketahui bahwa pragmatisme sikap para politisi partai seperti itu, berakar secara kukuh Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 66 kepada keharusan menyesuaikan diri kepada cara berpikir dan bertindak penguasa-penguasa otoriter dari masa lalu. Maka mereka dewasa ini dengan enteng menggeser monopoli kekuasaan rezim Orba menjadi monopoli peran politik politisi dan partainya dewasa ini. Selain dari pragmatisme, politisi dan partai dewasa ini juga berpikir dan bertindak secara sentralisme. Bila rezim Orba menerapkan sentralisme kekuasaan di dalam negara secara menyeluruh, maka politisi partai dewasa ini menerapkan sentralisme peran politik kenegaraan dan sentralisme kekuasaan di dalam partai. Sentralisme peran politik kenegaraan politisi partai pertama kalinya terdeteksi tatkala mengoperasikan Sistem Pemerintahan Parlementer berdasarkan UU Politik yang asal usulnya dari era Orba. Saat itu UUD 1945 asli yang mengkombinasikan Sistem Pemerintahan Parlementer dengan Presidensiil, digunakan sebagai landasan penyusunan UU Politik yang bersubstansikan Sistem Parlementer, untuk menutupi Presiden yang mensentralkan kekuasaan dan tidak boleh diganti. Tafsir Parlementarianisme Rezim Orba atas UUD 1945 itu, dilanjutkan secara sadar oleh Penguasa era reformasi dengan maksud mengalihkan pusat kekuasaan negara dari Presiden ke Parlemen. Hal itu masuk akal bila diingat kesimpulan Arend Lijphart (Rajawali 1995) bahwa: DPR menjadi pusat kekuasaan Negara di bawah Sistem Pemerintahan Parlementer. Akan tetapi mendistorsi Sistem Presidensiil yang sudah diberlakukan sejak amandemen UUD 1945 di tahun 2004. Kedua, sentralisme peran politisi dan partai diketahui saat mereka menetapkan struktur DPR bikameralisme lunak di dalam amandemen UUD 1945, dan menata operasionalisasinya di dalam UU Pemilu dan Susduk 2004 dan 2008. Wujud ialah peran DPD sebagai penasihat atau pembantu DPR. Di dalam UU Pemilu 2008, malah dibuka peluang bagi politisi partai untuk menjadi anggota DPD. Sudah barang tentu langkah politisi partai itu berlawanan dengan perintah amandemen UUD 1945, karena mengenyampingkan pelaksanaan DPD dalam kerangka mekanisme checks and balances sebagai operasi demokrasi presidensialisme yang diamanatkannya. Secara universalpun, tindakan itu melawan arus, sebab dari 10 negara pengguna sistem pemerintahan presidensiil dan bikameralisme yang diteliti IDEA, ternyata sebanyak 8 negara di antaranya (Amerika Serikat dan Piliphina) menerapkan bikameralisme penuh, sekalipun dari 40 negara pengguna sistem pemerintahan parlementer Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 hanya 8 yang 67 menggunakan bikameralisme kuat (http://www.idea.org). Searah dengan kecenderungan bentuk sistem pemerintahan tersebut, ternyata 8 dari 11 negara federal menerapkan bikameralisme kuat, berbanding dengan 7 negara kesatuan seperti Belanda, Cile, Philipina, Italia, Jepang, dan Inggris, menggunakan bikameralisme kuat, semetara 13 negara kesatuan lainnya menerapkan bikameralisme lemah. Di lihat dari penyelenggaraan demokrasi dari 54 negara sebanyak 32 menerapkan bikameralisme dengan perimbangan 16:16 antara bikameralisme kuat dengan lemah. Pengkerdilan DPD itupun melemahkan sistem perwakilan politik yang seyogianya terdiri dari perwakilan kelas sosial di samping perwakilan penduduk dan perwakilan daerah dalam artian teritori atau wilayah (George Tsebelis dan Jeannette Money, 1997). Setidaknya dikenali 3 bentuk pelemahan sistem perwakilan yang berakar kepada ketidakseimbangan peran DPR dengan DPD tersebut. Pertama, Parlemen tidak teliti mewakili nilai dan kepentingan unsur entitas Indonesia, sehingga dirasa kurang pas mewujudkan Republik Indonesia. Kedua, perdebatan dan keputusan DPR tidak kompettitif sepenuhnya, karena berlangsung dalam kalangan terbatas dari satu golongan yaitu politisi partai, dan ketiga, perwakilan politik dalam DPR menafikan hak politik rakyat yang tidak berpartai, dan sebaliknya hanya warga partailah yang mendominasi parlemen. Dalam pada itu sentralisme kekuasaan internal partai memang sudah merupakan tradisi Kepartaian Indonesia sejak awal kemerdekaan. Bentuknya ialah kekuasaan DPP Partai untuk menetapkan kebijaksanaan partai. Para pengurus daerah partai wajib memperoleh persetujuan DPP, sebelum bertindak di daerahnya masing-masing. Alasan penerapannya oleh partai ialah untuk menegakkan disiplin organisasi partai dan supaya terjamin integrasi partai secara nasional. Tetapi sentralisme itu sudah mendatangkan berbagai konflik vertikal di dalam partai, di samping gagalnya partai menyiapkan pemimpin yang berkapasitas kuat untuk melaksanakan Otonomi Pemda secara berhasil. Kombinasi aneh pragmatisme dengan sentralisme politik untuk mengoperasikan demokrasi, dengan sendirinya bermuara kepada egoisme politik sebagai tampilan terburuk dari individualisme. Sebab, sentralisme yang beroperasi melalui pragmatisme di bawah kebebasan, memberi peluang kepada politisi untuk menghindarkan tanggung jawab publik (kolektif) untuk memaksimalkan pemenuhan kepentingan individu. Kepentingan individu politisi dan kepentingan Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 68 partai yang dijadikan motif untuk bersikap dan bertindak, melahirkan egoisme politisi dan egoisme partai politik (institusional). Berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan oleh politisi partai, mulai dari korupsi dan nepotisem sampai kepada skandal dan kekerasan, hanya bisa terjadi karena egoisme, dan berbagai kebijaksanaan partai (DPP dan atau Fraksi) yang tidak tepat atau minim manfaat, sehingga menghadirkan ketidakadilan, berakar kepada pengutamaan kepentingan partai politik. Peran Dilematis Partai Politik Sekalipun kehidupan politisi dan partai di era Demokrasi Konstitusional I jauh lebih ideal dari penerusnya di era Demokrasi Konstitusional II, namun adalah jelas bahwa hasil karyanya untuk menanggulangi masalah sambil membuat kemajuan masyarakat dan bangsa serta negara semakin jauh dari memadai. Kenyataan itu terasa sebagai ironi, karena terlalu jauh jarak di antara hak dan kekuasaan politisi partai di dalam demokrasi dengan realisasi kewajibannya terhadap pemegang kedaulatan. Karenanya rakyat dan daerah Indonesia dihadapkan kepada pilihan demokrasi yang rumit: dukung peran politisi partai untuk mewujudkan demokrasi, atau batasi peran partai dengan mengkompetisikannya terhadap kekuatan non partai untuk mendayagunakan demokrasi. Setelah dekade pertama reformasi, urgensi untuk memilih alternatif kedua peran politisi dan partai menjadi amat kuat, karena berbagai sebab, yaitu praktik demokrasi baru sebatas minimaliis, fundasi kehidupan politik kenegaraan tak kunjung menguat, dan kondisi negara sudah berada ditubir Negara Gagal. Lipset dan Lakin dalam analisisnya tentang pemaknaan demokrasi, sampai kepada kesimpulan tentang operasinya secara minimalis dan perluasan serta maksimalis (The Democratic Century, 2004). Demokrasi minimalis terjadi bila wujud utamanya hanyalah penggunaan kedaulatan rakyat untuk menentukan penguasa negara melalui Pemilu. Ekstensinya terjadi apabila Pemilu disertai dan diikuti dengan jaminan HAM, dan maksimalitasnya ditampilkan oleh Pemerintah hasil Pemilu yang mampu menyelesaikan masalah sembari memajukan kehidupan masyarakat dan bangsa serta negara, melalui kebijaksanaan publik yang relevan dan tersedianya public goods serta berlangsungnya proses politik secara damai. Karena Pemilu-pemilu demokratik Indonesia, tidak menjamin HAM dan penyelesaian masalah serta membuat kemajuan, maka dengan sendirinya Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 69 menurut analisa tersebut, demokrasi Indonesia tergolong kepada kadarnya yang minimalis. Makna itu mengandung arti bahwa demokrasi barulah sekedar alias prosesi prosedural. Manfaatnya bagi masyarakat dan bangsa serta negara masih amat terbatas pada kaum elit khususnya penguasa. Itupun kualitasnya masih belum memadai, karena cenderung bersifat formal dan normatif, sebagaimana dituangkan di dalam peraturan perundangan. Maka baik Demokrasi Konstitusional I maupun Demokrasi Konstitusional II sama-sama rentan ketidak stabilan dan karenanya berpeluang untuk dihancurkan dan digantikan dengan otoriter. Begitulah misalnya dengan Demokrasi Konstitusional I yang dieliminasi oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk membubarkan DPR dan Konstituante hasil Pemilu 1955 serta kembali menggunakan UUD 1945. Kegagalan demokrasi Indonesia memberikan manfaat luas dan intensif itu, bertolak dari ketidakberhasilan politisi partai memperkuat fundasi kehidupan politik dan kenegaraan Indonesia, yang mencakup kepemimpinan politik dan pemerintahan yang kapabel, sistem partai yang kuat, dan sistem pemerintahan yang efektif dan stabil (Dahl, Perihal Demokrasi, Obor:2001). Pemilu hanyalah menghasilkan penguasa yang tanpa kapabilitas kepemimpinan secara mamadai. Pemilu selalu berkaitan dengan sistem multi partai yang tidak dapat diandalkan oleh penguasa untuk menguatkan kepemimpinannya, dan Pemilu akhirnya menghasilkan atau melanggengkan sistem pemerintahan yang tidak koheren dan tidak sinergis, sehingga mengalami kesulitan untuk menghasilkan kebijaksanaan publik yang relevan di samping memajukan. Kegagalan Pemilu menguatkan fundasi kehidupan politik kenegaraan itu, berawal dari kelemahan UU Politik. UU Pemilu tidak mempersyaratkan Calon Pemimpin, tetapi hanya mempersyaratkan peserta Pemilu. Tidak ada kriteria syarat calon pemimpin dalam UU Pemilu, yaitu indikator kapabilitas pemimpin politik dan pemerintahan yang terdiri dari integritas (kejujuran), visi 10-30 tahun kedepan, kompetensi politisi profesional, kompetensi negarawan, kompetensi manajer politik dan pemerintahan, dan kepemimpinan pembaharu. Akibatnya ialah kesewenangan politisi partai menentukan calon Pemilu dan tidak adanya kewajiban partai untuk mendidik kader dan menyiapkan pemimpin yang berkapabilitas memadai. UU Partai dan Pemilu tidak mengkondisikan politisi partai untuk memperkuat sistem partai, sebagaimana terbukti dari UU Partai yang tidak Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 70 mengkondisikan koalisi atau fusi. Dalam pada itu UU Pemilu tidak memungkinkan pelaksanaannya menghasilkan sistem partai kuat yang dibuktikan dengan kemayoritasan suara pemilih dan atau kursi Legislatif yang dimiliki. UU Susduk, bukan saja tidak mengoperasikan bikameralisme di lembaga legislatif sesuai dengan UUD, melainkan juga mengkondisikan beroperasinya sistem pemerintahan parlementer di lembaga itu. Maka jelaslah bahwa UU Politik yang tidak memperkuat sistem pemerintahan presidensial sesuai UUD itu, bukan saja melemahkan eksekutif dan sekaligus melemahkan perwakilan politik rakyat, tetapi juga memandulkan mekanisme kompetisi di level lembaga negara, sehingga rakyat tidak memperoleh pelayanan terbaik dari negara. Jalan Keluar Akhirnya keseluruhan pengamatan dan analisis di atas, membangun keyakinan bahwa akar dari berbagai kelemahan negara adalah ketidakberhasilan politisi dan partainya dalam menunaikan tanggung jawabnya kepada masyarakat dan bangsa serta negara. Lumpuhnya partai sebagai lembaga, oligarkhi elit partai, dan penolakan politisi partai akan tawaran fasilitasi kaum intelektual dan pemerintah lewat naskah akademik dan RUU untuk membangun partai dan kepemimpinannya atas nama intervensi, bercokol di balik kegagalan tugas atau peran partai tersebut. Sejauh ini upaya persuasif dari golongan menengah dan tekanan opini publik bersama aksi massa, semakin kehilangan pengaruh atas kehidupan politisi dan partainya, terutama untuk pembaharuan kekuatan politik tersebut. Sebagaimana terbukti dari penolakan politisi partai atas usul perubahan UU Politik, institusi negarapun tidak efektif untuk mendukung pembaharuan politisi dan partai. Sekalipun begitu, masih ada tiga institusi negara yang secara strategis berpotensi untuk mendorong pembaharuan politisi danpartai, yaitu Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemberantasan Korupsi serta Badan Pemeriksa Keuangan. Namun di antara ketiga lembaga itu, Mahkamah Konstitusi berpeluang terbesar untuk mendorong pembaharuan Politisi dan Partainya. Pertama, karena Mahkamah Konstitusi bertugas menjaga Konstitusi sebagai design menyeluruh penataan dan pengelolaan negara (state craft). Kedua, dengan menggunakan kewenangannya itu, Mahkamah Konstitusi berhak membuat interpretasi UUD yang tidak lagi dilengkapi dengan penjelasan, sehingga kematangan para Hakim Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 71 Mahkamah Konstitusi berfaedah untuk meluruskan dan mendorong pembangunan politisi dan partai politik, dan ketiga, Mahkamah Konstitusi sudah membuktikan kinerja dan karyanya dalam meluruskan substansi UU sesuai dengan prinsipprinsip Demokrasi Universal, berdasarkan UUD hasil amandemen. Keterangan Ahli Dr. John Pieris, SH., MS. 1. Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 secara tegas dan jelas menyatakan: ”Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum”. Secara etimologis, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua, frase (kata) “dari setiap provinsi” menunjukkan tempat (ruang) dan asal, yaitu tempat berdiam, berteduh, tempat tinggal atau tempat domisili. Jika dapat dipertegas, artinya bertempat tinggal dan pencalonan anggota DPD berasal dari provinsi asal, bukan dari provinsi lain apalagi dari partai politik. Contoh seperti di Amerika Serikat, setiap senator (anggota senat) disyaratkan berdomisili atau bertempat tinggal permanen secara administratif (kependudukan) di negara bagian atau, di mana dia terdaftar secara sah menjadi warga negara. Frase dipilih dari setiap provinsi berbeda maksud dengan frase dipilih di setiap provinsi. Dipilih dari setiap provinsi artinya calon anggota DPD itu tinggal menetap di provinsi dan dipilih serta dicalonkan dari provinsi di mana ia berdomisili. Sedangkan dipilih di setiap provinsi mengandung maksud, hanya dipilih di provinsi, tetapi calonnya tidak harus berdomisili di provinsi tersebut. Frase dipilih dari setiap provinsi ingin menjelaskan, bahwa calon tersebut, berdasarkan teori representasi, mewakili wilayah (provinsi). Secara substansial hermeneutikal, perwakilan wilayah itu harus diisi (diwakili) orang yang berdomisili di wilayah tersebut, juga yang mengenal serta mengetahui betul secara luas dan mendalam, kondisi, situasi, karakter masyarakat dan problematika daerahnya. Jadi sifat perwakilan anggota DPD itu syaratnya adalah “regional representation”, bukan “political representation” (perwakilan politik yang orang-orangnya berasal dari partai politik). “Regional representation” adalah orang-orang yang berasal dari provinsi (wilayah) di mana yang bersangkutan berdomisili. Itu berarti, si wakil (anggota DPD) bertindak sebagai “delegate” (utusan) dan selalu berkonsultasi dengan pimpinan provinsi dan rakyat yang diwakilinya, bukan sebagai “politico” atau “partisan”, atau politasi yang mewakili partai. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 72 2. Pasal 22E ayat (4) menyatakan: “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan”. Rumusan norma (kaidah) hukum tersebut sangat tegas dan jelas. Frase perseorangan tidak boleh diperluas, sebab jika tafsir perseorangan ini dikembangkan dan diperluas tanpa batas, siapa pun boleh, yaitu anggota dan pengurus partai politik, anggota TNI/Polri dan PNS. Apa jadinya nanti jika calon-calon anggota DPD bisa berasal dari beragam habit yang serba meliputi? Secara teoritis bisa bias dan dari perspektif pendewasaan demokrasi yang lebih bermartabat, bisa terjebak dalam budaya “kerakusan politik”. Frase perseorangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pribadi seseorang atau yang bersifat pribadi, bukan berasal dari atau milik suatu badan. Frase perseorangan dimaksud sebagai seorang yang independen, non partisan dan bukan berasal atau diskenariokan bersumber dari partai politik. Domein perseorangan ada pada locusnya (lokus), yaitu Dewan Perwakilan Daerah, sedangkan locus DPR diisi oleh calon dari partai politik. Ricker dalam teori sosiologi politik misalnya menyatakan, dalam lembaga perwakilan bukan merupakan bangunan politik, tetapi merupakan bangunan masyarakat (sosial). Si pemilih akan memilih wakil-wakilnya yang berbasis pada masyarakat dan berasal, serta berdomisili serta tinggal bersama-sama dengan masyarakat, dan wakil-wakilnya harus memperjuangkan kepentingan daerah dan rakyat yang ada di daerah tersebut. Sedangkan Leon Diguit dengan teori hukum objektif menyatakan, bahwa hubungan antara rakyat dan lembaga perwakilan adalah hubungan solidaritas. Karena itu, Diguit mengatakan lebih lanjut, bahwa teori hukum objektif menempatkan lembaga perwakilan menjadi bangunan hukum (bukan bangunan politik). Atas dasar itu, dapatlah dikatakan, bahwa peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPD adalah perorangan. Norma ini mempertegas, bahwa perorangan yang dimaksud adalah pribadi (orang) atau calon yang bukan berasal dari lembaga atau partai politik. Jatah untuk anggota dan pengurus partai politik ada pada lembaga DPR [vide Pasal 22E ayat (3)]. 3. Di dalam UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD dijelaskan, bahwa DPR adalah wakil rakyat dan DPD adalah wakil daerah [Pasal 2 dan Pasal 13 ayat (3)]. Karena itu, DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan yang dipilih berdasarkan hasil pemilu. Itu berarti Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 73 haruslah dipakai, bahwa anggota DPR berasal dari partai politik peserta pemilu (PPPP). Ini diatur di dalam Pasal 16 UU Nomor 23 Tahun 2003. Logika hukumnya, anggota partai politik maupun pengurus parpol lainnya hanya bisa dicalonkan menjadi anggota DPR dari partai politik peserta pemilu. Norma hukum Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 dan norma hukum Pasal 16 UU Nomor 23 Tahun 2003 tidak boleh diperluas maknanya atau pengertiannya masuk ke dalam wilayah (domein) DPD sebagai lembaga perwakilan daerah, sebab lembaga perwakilan daerah adalah miliknya orang daerah. Sedangkan lembaga perwakilan rakyat adalah miliknya orang partai politik. Dengan kata lain, kedaulatan politik hanya terbatas pada hubungan partai politik dengan lembaga perwakilan rakyat (DPR), artinya parpol berdaulat atas dan berhak mengatur kader-kadernya untuk dicalonkan menjadi anggota DPR, tetapi nyata sekarang, bahwa kedaulatan partai (partycracy) diperluas memasuki wilayah DPD berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2008. Parpol telah menggerogoti kedaulatan (hak) warga negara yang bukan anggota parpol atau warga negara biasa (non partisan). Fenomena politik ini menarik untuk dikritisi. Budaya politik Indonesia secara sengaja memang telah diparadigmakan oleh elite Parpol yang ada di DPR sebagai pembentuk undang-undang menjadi budaya politik partycracy dan bukan democracy. 4. Pasal 32 UU Nomor 23 Tahun 2003 juga telah mempertegas, bahwa DPD terdiri atas wakil-wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilu. Pasal ini tidak boleh dipahami secara keliru dengan melahirkan Pasal 12 dan Pasal 67 UU Nomor 10 Tahun 2008 yang membolehkan DPD terdiri atas wakil-wakil daerah yang disusupi oleh wakil-wakil parpol (orang parpol). Sebab, wakil daerah adalah orang-orang yang berasal dari daerah, bukan berasal dari partai politik, sekali pun orang tersebut (kader parpol itu) berdomosili di daerah [vide Pasal 1 dan Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2008]. Sebab, haruslah dipahami, bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar [Pasal 1 ayat (2) UUD 1945]. Menurut UUD, kedaulatan rakyat yang berada pada partai politik, tempatnya ada di DPR, dan kedaulatan rakyat yang berada di luar partai politik ada di DPD. 5. Demokrasi substansial yang beradab dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana yang terpatri dalam sila kelima Pancasila, menghendaki tidak saja diciptakan pembatasan kekuasaan, tetapi juga Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 74 pembatasan hak. Jika hak politik tidak bisa dibatasi, maka akan tercipta oligarkhi politik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa UU Nomor 10 Tahun 2008 diposisikan sebagai instrument penindas hak asasi politik dari orangorang yang tidak berpartai. Jika asumsi ini benar, maka ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 UU Nomor 10 Tahun 2008 merupakan legal framework yang anti demokrasi, atau yang melestarikan status quo. 6. Pembentuk UU, yaitu DPR dan pemerintah (vide Pasal 20 UUD 1945) yang membentuk UU Nomor 10 Tahun 2008 tampaknya kurang memahami arti, jiwa, roh dan semangat demokrasi rezim reformasi yang telah meruntuhkan sistem otoritarian Orde Baru dengan rezim hukum yang represif serta watak kekuasaan yang koruptif, monopolistik, integralistik, personalitik dan sentralistik. 7. Seharusnya DPR dan Pemerintah dapat memaknai secara baik dan benar rumusan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan: “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangundangan” dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Prinsip negara hukum demokratis harus tercermin di dalam UU Nomor 10 Tahun 2008, dan prinsip masyarakat demokratis yang harus dibatasi dengan undang-undang sesungguhnya harus diperhatikan oleh pembentuk UU Nomor 10 Tahun 2008. Pencederaian demokrasi secara kasat mata telah dilakukan oleh DPR sebagai pemegang kekuasaan membentuk UU. Ini adalah sikap yang tidak demokratis, sebab DPR membiarkan partai politik memasuki wilayah yang dikuasai DPD. Terkesan, telah terjadi konspirasi elite para pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan Pemerintah untuk secara sistematis memandulkan peran dan fungsi DPD dengan cara menyusupkan orang-orang parpol menjadi anggota DPD. Dengan cara seperti itu dapat dipastikan, bahwa proses penguatan DPR dapat dikatakan dengan memperlemah daya juang, Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 75 fungsi dan peran DPD di masa yang datang. Sayangnya pihak Pemerintah sebagai pihak yang ikut membentuk Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tidak menyadari hal tersebut. Dengan kondisi seperti yang dibayangkan terjadi, maka di masa yang akan datang akan sulit tercipta sebuah sistem pengawasan yang efektif antara DPD dengan Pemerintah dan antara DPD dengan DPR. Dengan kata lain akan terjadi distorsi dalam sistem checks and balance antara lembaga-lembaga negara. 8. Indonesia, secara teoritik memang telah menjadi negara hukum modern yang demokratis tetapi kenyataannya masih dipraktikkan model negara kekuasaan. DPR sebagai pembentuk UU Nomor 10 Tahun 2008 sebagai sarana kekuasaan. Kesan ini setidaknya mengingatkan kita pada Machiavelli sebagai sosok pemikir berpengaruh pada jaman Renaisans melihat kekuasaan sebagai tujuan. Ia menyangkal asumsi, bahwa kekuasaan adalah alat atau instrumen belaka untuk mempertahankan nilai-nilai moralitas, etika, atau agama. Bagi Machiavelli, segala kebajikan agama dan moralitas, justru dijadikan sebagai alat untuk memperoleh dan memperbesar kekuasaan, bukan sebaliknya. Jadi kekuasaan, tulisnya kemudian, haruslah diperoleh, digunakan, dipertahankan semata-mata demi kekuasaan itu sendiri. "Bagi dan Machiavelli, kekuasaan adalah raison d'etre negara. Negara juga merupakan simbolisasi tertinggi kekuasaan politik yang sifatnya mencakup semua (all embracing) dan mutlak. Machiavelli memiliki obsesi terhadap negara kekuasaan (Machtsstaat), di mana kedaulatan tertinggi terletak pada kekuasaan penguasa dan bukan rakyat dan prinsip-prinsip hukum". Negara disimbolkan melalui lembagalembaga negara atau yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang acap menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan politik atau memperluas kekuasaannya. Dalam hal ini, prinsip-prinsip hukum dan demokrasi acap diabaikan. 9. Robert P. Clark juga menyatakan secara tepat mengungkapkan, bahwa kekuasaan adalah nilai utama dalam proses politik, karena kekuasaan adalah kemampuan untuk mengubah atau mempengaruhi pilihan kebijakan. Kekuasaan dalam arti yang digunakan di sini ialah kemampuan untuk mengubah atau mempengaruhi pilihan kebijakan, atau kemampuan untuk mempengaruhi, membentuk, atau mengubah sikap orang lain. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 76 Dari sudut pandang sosiologis, Maurice Duverger telah menjelaskan, bahwa kekuasaan terdiri dari seluruh kerangka institusi sosial yang berhubungan dengan otoritas, yang berarti, ada dominasi beberapa orang terhadap orang lain. Pemikiran Duverger ini memang mengarah pada kekuasaan institusional yang berhubungan dengan kekuasaan negara atau pemerintah terhadap anggota masyarakat. Selanjutnya, dengan agak spektakuler, dalam menganalisis politik modern, Robert A. Dahl menafsirkan kekuasaan sebagai suatu gumpalan tunggal, padat, dan tak terpecahkan. Dikatakan lebih jauh, bahwa gumpalan dapat dialihkan dari seorang kepada orang lain, tetapi tidak bisa dibagi-bagi. Dari sudut pandang moral, kekuasaan yang dikendalikan oleh penguasa negara, dapat saja secara absolut atau otoriter, cenderung mengabaikan hati nurani dan nilai-nilai moral, karena kekuasaan seperti itu hanya mengabdi kepada kepentingan penguasa. Apa yang dikatakan oleh John Emerick Edward Dalberg Acton (Lord Acton), bahwa power tends to corrupt but absolut power corrupts absolutely, artinya kekuasaan cenderung disalahgunakan dan kekuasaan yang mutlak pasti disalahgunakan. 10. Teori elit kekuasaan memang menjelaskan, bahwa meskipun masyarakat terdiri atas bermacam kelompok yang pluralis, tetapi dalam kenyataannya, kelompok elit penguasa datang hanya dari satu kelompok elit masyarakat tertentu. Secara halus, semua orang memang bisa menempati jabatan negara, jabatan militer atau posisi bisnis kelas atas. Tetapi dalam kenyataannya, jabatanjabatan itu diduduki oleh orang-orang dari kelompok tertentu. Dalam membahas pembenaran otoritas politik Richard T. de George, menyatakan, bahwa otoritas (authority) sering didefinisikan sebagai kekuasaan (power) yang legitim. “Otoritas politik” dapat disebut juga dengan istilah “kekuasaan politik”, namun, ada bahaya pereduksian segala bentuk otoritas. Reduksi itu, dominannya ke dalam bentuk otoritas politik. Karena itu, dalam hubungannya dengan kekuasaan pembentukan undang-undang dapat dikatakan, bahwa pembentuk undang-undang memiliki otoritas politik yang sangat besar dalam membentuk undang-undang di bidang politik, khususnya UU Pemilu Nomor 10 Tahun 2008. 11. R.J. Mokken pernah menyatakan, bahwa kekuasaan adalah kemampuan penguasa, yang secara mutlak dapat mengubah alternatif tindakan penguasa Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 77 terhadap yang dikuasainya, dan menurut Woodrow Wilson, karena politik merupakan usaha perumusan kehendak/kemauan dari negara (the formulation of the will of the state), maka negara dan pemerintahan identik dengan kekuatan dan kekuasaan. Itulah sebabnya, maka ada kekhawatiran dari F. Oppenheimer, bahwa pada semua negara, sering terjadi dominasi satu kelas atas kelas lainnya. 12. Saat ini, fakta politik menunjukkan, bahwa dominasi DPR terhadap DPD sangatlah besar. Dominasi tersebut secara kasat mata dapat dirasakan, sebab UUD 1945 tidak memberikan kewenangan konstitusional yang memadai kepada DPD dalam bidang legislasi. Jadi, ada kelemahan konstitusional yang dialami DPD, dan ada dominasi konstitusional yang dimiliki DPR. Berdasarkan beberapa catatan penting yang disampaikan, maka pada kesempatan ini menyampaikan beberapa pemikiran sekaligus sikap ahli sebagai berikut: 1. Bahwa UU Nomor 10 Tahun 2008 kurang menghiraukan jiwa, semangat, dan roh reformasi untuk menegakkan keadilan substansial di atas prinsip negara hukum demokratis sebagaimana dikehendaki di dalam Pasal 1 ayat (3) serta Pasal 28I ayat (5) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945; 2. Bahwa UU Nomor 10 Tahun 2008 tidak mencantumkan serta menjelaskan norma hukum tentang persyaratan perorangan untuk menjadi calon anggota DPD. Pasal 11 ayat (1) dan (2), Pasal 12 dan Pasal 67 UU Nomor 10 Tahun 2008 beserta Penjelasannya tidak merumuskan secara lebih bermakna norma hukum calon (peserta) perorangan. Secara teoritik UU Nomor 10 Tahun 2008 sengaja menghilangkan konsistensi norma hukum sebagaimana dikatakan oleh H. L. A. Hart, yaitu bahwa Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 sebagai primary rules tidak dipahami sebagai legal framework utama yang seyogianya harus menurunkan norma ikutan sebagai secondary rules yang mengatur ketentuan peserta (calon perorangan) sebagai calon anggota DPD. Bagi Hart, haruslah dipahami, bahwa penyatuan tentang apa yang disebutnya sebagai primary rules dan secondary rules merupakan pusat dari sistem hukum, dan keduanya harus ada dalam sistem hukum. 3. Sama halnya dengan Hart, John Rawls tentang A theory of justice (keadilan) yang secara doktrinal mengikuti ajaran empirisme, menyatakan, bahwa semua sistem hukum akan gagal, bila tidak disemangati suatu sikap moral pribadi Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 78 yang sejati (justice as fairness). Rawls mengatakan, bahwa beberapa prinsip konkrit harus membimbing penguasa untuk mewujudkan keadilan sosial yang memadai. Karena itu, keadilan sosial politik berdasarkan pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945 haruslah ditaati dan hendaknya dirumuskan secara memadai di dalam UU pemilu. Sebab itu haruslah mengaitkan primary rules dan secondary rules yang berintikan keadilan di dalam UU Nomor 10 Tahun 2008; 4. Untuk menegakkan keadilan substansial dan hukum yang mengandung prinsipprinsip moral serta kehidupan politik yang demokratis, maka calon-calon anggota DPD harus dipilih dari setiap provinsi dan berasal dari calon perseorangan. UU Nomor 10 Tahun 2008 tidak boleh mengenyampingkan atau mereduksi primary rules [Pasal 22C ayat (1) dan 22E ayat (4) UUD 1945] mengenai sistem pemilihan dan persyaratan anggota DPD. Karena itu Pasal 12 dan Pasal 67 UU Nomor 10 Tahun 2008 harus dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi batal demi hukum, keadilan dan demokrasi sesuai dengan isi, jiwa, dan semangat negara hukum demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Honeste Vivere, sebaiknya dijadikan prinsip hukum dan demokrasi di negeri ini dan harus ditegakkan secara bermartabat. Keterangan Ahli Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka Pasal 22C ayat (1) UUD 1945: “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum”. Kata dari merupakan preposisi atau kata depan yang menyatakan makna ‘asal’, sedangkan kata setiap pada frasa “setiap provinsi” menyatakan makna ‘masingmasing’. Dengan demikian, frasa dari setiap provinsi pada kalimat anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum bermakna bahwa anggota DPD haruslah berasal dari provinsi masing-masing. Secara semantis, ayat ini secara gamblang memaparkan bahwa anggota DPD dipilih dari setiap provinsi (provinsi masing-masing) dan, oleh karena itu, ia harus mewakili provinsi tersebut. Jika anggota DPD bukan berasal dari provinsi itu, ia bukan merupakan perwakilan daerah tarsebut, perwakilan daerah lain.peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Implikasi melainkan merupakan 79 Jika DPD benar-benar dimaknai sebagai Dewan Perwakilan Daerah, bukan dewan perwakilan daerah lain, anggota DPD itu haruslah merupakan penduduk yang diwakilinya sehingga permasalahan yang ada di daerahnya dapat diketahui secara baik, mendalam, dan mendasar. Keberadaan calon anggota DPD yang harus merupakan penduduk yang diwakilinya itu ditunjukkan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan/atau akta kelahiran. Apabila anggota DPD tidak mewakili daerahnya, ia tentu tidak mengetahui aspirasi masyarakat yang diwakilinya dan anggota DPD yang tidak mewakili daerahnya, tentu tidak memahami permasalahan yang ada di daerah itu. Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 “Peserta pernilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”. Pasal 22E ayat (3) ini secara lugas menjelaskan bahwa rakyat memilih partai politik dan partai politiklah yang memilih atau menunjuk siapa saja yang akan diangkat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Rakyat hanya diberi hak memilih partai bukan memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan”. Pasal 22E ayat (4) ini menjelaskan bahwa rakyat memilih perseorangan untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah. Rakyat diberi hak penuh dan secara langsung memilih perseorangan menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah. Jadi, rakyat tidak melalui partai politik tertentu untuk memilih anggota DPD. Selain itu, calon anggota DPD adalah perseorangan (masyarakat biasa) bukan dari suatu partai sebab jika berasal dari suatu partai, ia tidak dapat menjadi anggota DPD, ia harus menjadi anggota DPR. Jika orang partai akan menjadi calon anggota DPD, ia harus keluar dari partainya dan menjadi masyarakat biasa. Di samping itu, ia juga harus mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22C ayat (1) UUD 1945. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 80 Keterangan Ahli Denny Indrayana, SH., LL.M., Ph.D Pendapat hukum ini terutama akan bersandar kepada enam argumen berikut: 1. Maksud asli (original intent) dari perumus Perubahan Ketiga UUD 1945 adalah adanya: (i) Syarat Domisili Provinsi [Pasal 22C ayat (2) UUD 1945]; dan (ii) Syarat Perseorangan [Pasal 22E ayat (4) UUD 1945], bagi keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). 2. Maksud asli (original intent) dari perumus Perubahan Ketiga tersebut di atas terkait Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan bagi keanggotaan DPD masih cukup konsisten dilakukan dalam UU Nomor 12 Tahun 2003. 3. Pembuatan UU Nomor 10 Tahun 2008 dengan sengaja menghilangkan Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan tersebut dari penormaan persyaratan keanggotaan DPD. 4. Penghilangan norma Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan tersebut adalah salah satu bentuk pelaksanaan kekuasaan legislasi yang tidak pada tempatnya (improper purposes), dan karenanya dapat dijadikan dasar pengujian konstitusionalitas UU Nomor 10 Tahun 2008. 5. Ketiadaan Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan bagi keanggotaan DPD di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 harus dinyatakan tidak berkesesuaian (unconformity) dengan UUD 1945. Menurut Webster New World College Dictionary (1996) hal. 1452, unconformity juga bermakna a lack of conformity, inconsistency dan incongruity. Lihat juga AW Bradley dan K.D. Ewing sebagaimana dikutip Jimly Asshiddiqie dalam Perihal Undang-Undang, hal. 150. 6. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya dapat menyatakan adanya suatu norma di dalam undang-undang bertentangan dengan konstitusi, namun harus pula mempunyai kewenangan untuk menyatakan ketiadaan norma dalam suatu undang-undang tidak berkesesuaian dengan UUD 1945. Penjelasan satu persatu dari keenam argumen hukum di atas. I. Maksud Asli Perumus Pasal 22C ayat (2) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 Para pembuat Perubahan Ketiga UUD 1945, khususnya ketika merumuskan Pasal 22C ayat (2) dan Pasal 22E ayat (4) menegaskan adanya Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan bagi keanggotaan DPD. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 81 • Risalah Rapat Pleno Ke-17 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 22 Mei 2001 Maswadi Rauf (Tim Ahli) menyatakan, “ ... kita mengusulkan bahwa calon perseorangan itu hanya ada di DPD ... tidak di DPR pusat dan DPR Daerah, kita beranggapan bahwa DPR pusat dan DPR daerah adalah memang ajang untuk partai-partai politik ... sedangkan untuk DPD ... memang keterwakilan daerah yang ditekankan di sini, ada kemungkinan tokoh-tokoh daerah yang tidak bergabung dengan partai manapun yang ingin ikut dalam pemilihan DPD”. • Risalah Rapat Pleno Ke-19 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 29 Mei 2001 Ramlan Surbakti (Tim Ahli) menyatakan, “Bagaimana caranya supaya keterwakilan daerah itu memang diperjuangkan anggota DPD. Salah satu di antaranya persyaratan untuk menjadi anggota DPD itu ... misalnya sekurangkurangnya sekian tahun terakhir harus berdomisili di satu daerah untuk bisa menjadi calon anggota DPD (daerah) itu ... (ini) adalah syarat domisili, bahkan ada yang mengatakan tidak hanya dibuktikan KTP, tetapi juga dibuktikan dengan membayar PBB, pajak dan lainnya di daerah itu, sehingga memang dia memahami betul aspirasi masyarakat daerah ... pengaturannya lebih jauh dalam Undang-Undang pemilu ... prinsipnya itu adalah kepentingan daerah”. • Risalah Rapat Pleno Ke-32 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 19 September 2001 a. Erman Soeparno (F-PKB) menyatakan keberadaan DPD adalah untuk, “... memperbaharui pola rekrutmen selama ini (yang) cenderung selalu partisan dan sangat mencerminkan representasi kepentingan sentralistik kekuasaan ... membuka kemungkinan peran ... anggota DPD yang otonom ... memulihkan independensi anggota perwakilan terhadap preferensi kekuasaan politik” (halaman 84 – 85) b. Sutjipno (F-PDIP) menyatakan, “Saya belum yakin apakah betul-betul di DPD nanti bisa menampilkan orang yang representasinya orang teritorial utuh, utuh dari segala dimensi karakteristik daerah, itu saya belum yakin, jangan-jangan materiilnya dari partai juga, jadi pada akhirnya kesitu” (halaman 94). c. Patrialis Akbar (F-Reformasi) menyatakan untuk kenggotaan DPD, “ ... kita fokuskan saja pemilihannya adalah berdasarkan ketokohan sehingga tidak lagi mewakili kepentingan-kepentingan partai politik, karena dia adalah tokoh-tokoh daerah. Wakil-wakil dari daerah, jadi berjuang mereka di sini adalah betul-betul adalah perjuangan khusus ke daerah mereka” (halaman 107). • Risalah Rapat Pleno Ke-33 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 20 September 2001 Rosnaniar (F-PG) menyatakan, “Selanjutnya partai politik dan calon perseorangan. Calon perseorangan ini tentu orang yang tidak tertampung di partai politik” (halaman 142). Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 82 • Risalah Rapat Komisi A Ke-5, Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 tanggal 8 November 2001 Jacob Tobing (F-PDI) menyatakan, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan ... jadi partai bisa mengajukan, kolompok masyarakat bisa mengajukan satuan-satuan terteritu bisa mengajukan tetapi begitu dia maju, dia perorangan karena perorangan ini adalah untuk menyuarakan kekhasan daerah bukan lagi menyuarakan ... suara-suara politik, jadi ini nanti menggambarkan keanekaragaman wilayah negara kita yang begitu kaya dan juga keanekaragaman golongan di dalam masyarakat, idenya begitu. Dari pernyataan Jacob Tobing tersebut dapat disimpulkan bahwa pendapat bahwa calon DPD memang dapat dimajukan oleh berbagai kalangan – termasuk partai politik – tetapi dengan syarat ketika mencalonkan diri menjadi anggota DPD, yang bersangkutan haruslah sebagai perseorangan, tidak lagi membawa kepentingan partainya, tetapi lebih pada kepentingan daerah; karenanya seharusnya yang bersangkutan pada saat maju sudah bukan lagi anggota atau pengurus partai politik. Oleh karenanya, untuk menegaskan calon anggota DPD haruslah independen dari kepentingan partai politik, maka rumusan Pasal 22E ayat (4) yang diusulkan PAH I dan Tim Ahli, yang awalnya sama berbunyi, Pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah diikuti oleh calon dari partai politik dan calon perseorangan”; diubah salah satunya dengan menghilangkan frasa “calon dari partai politik” sehingga hanya berbunyi “Peserta pemilihan umum untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan”. Penghilangan “calon dari partai politik” itu bermakna meskipun yang bersangkutan dapat dicalonkan partai politik, tetapi calon tersebut ketika mencalonkan diri tidak boleh lagi masih menjabat sebagai anggota atau pengurus partai politik. KESIMPULAN dari beberapa kutipan pendapat para pakar (Tim Ahli) dan anggota PAH I BP MPR di atas menegaskan adanya maksud syarat keanggotaan DPD seharusnya mempunyai syarat domisili dari daerah yang diwakilinya. Karena DPD adalah perwakilan daerah provinsi, maka syarat domisili tersebut harus dimaknai sebagai syarat domisili provinsi. Pendapat di atas juga menegaskan perbedaan kriteria representasi antara DPR yang mewakili partai politik dan DPD yang perseorangan, untuk menguatkan perwakilan daerah (provinsi) yang babas dari kepentingan partai politik. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 83 Untuk menegaskan original intent tersebut berikut adalah pendapat pakar yang menguatkan adanya Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan: Sri Soemantri: “DPD ... yang menjadi anggota ialah rakyat dan penduduk yang berdomisili di daerah provinsi yang diwakili. Karena itu harus dicegah dan dilarang mereka yang sehari-hari berdomisili di Jakarta menjadi anggota DPD mewakili provinsi tertentu ... Jangan seperti Orde Baru yang memungkinkan penduduk Jakarta menjadi utusan dari provinsi lain ...” [Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Juli 2003), hal. 22] "... anggota DPD tidak diajukan oleh partai politik, melainkan mencalonkan diri, dengan syarat mendapat dukungan sejumlah penduduk ...” [Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Juli 2003), hal. 22]. "Seseorang yang dicalonkan menjadi anggota DPD harus menyatakan bahwa dirinya bukan anggota partai politik tertentu ...” [Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Juli 2003), hal. 24]. Sri Soemantri dan Mochamad Isnaeni Ramdhan: “Pencalonan anggota DPD yang merupakan bukan anggota atau pengurus partai politik perlu dipertahankan, guna mengimbangi kepentingan partai politik yang sudah diakomodasi dalam DPR”. [Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Juli 2003), hal. 33]. I Dewa Gede Palguna: “Sifat perseorangan yang disyaratkan dalam pengisian jabatan keanggotaan DPD, secara implisit, juga bermakna bahwa anggota DPD harus terbebas dari kepentingan partai politik mana pun secara institusional. Hal ini dikarenakan keberadaan DPD, pada sisi lain, juga dimaksudkan untuk mengimbangi “warna” kepentingan partai dalam proses pengambilan keputusan politik di tingkat nasional”. [Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Juli 2003), hal. 66]. A. Mukhtie Fadjar: “ ... anggota DPD adalah perorangan (individu-individu) yang mewakili daerahnya (provinsi) bukan mewakili partai politik ... (yang) harus dipilih secara langsung oleh rakyat di masing-masing provinsi ...“ [Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Juli 2003), hal. 75] Jimly Asshiddiqie: “Sekarang MPR hanya bertumpu pada dua pilar perwakilan, yaitu perwakilan politik melalui DPR dan perwakilan daerah melalui DPD. Karena itu, (1) hakikat perwakilan daerah pada DPD dan hakikat perwakilan rakyat pada DPR hendaknya dibedakan satu sama lain. Yang satu mewakili kepentingan daerah dan yang lain mewakili kepentingan rakyat; (2) hakikat perwakilan daerah dan perwakilan rakyat yang berbeda itu ditandai pula oleh perbedaan prosedur rekruitmennya. Calon anggota DPD dipilih sebagai perseorangan, sedangkan calon anggota DPR dipilih sebagai warga partai politik dan karena itu dicalonkan oleh partai politik...” [Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Juli 2003), hal. 116]. Jimly Asshiddiqie: “Pemilihan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah ini dibedakan dari pemilihan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Jika peserta pemilihan umum untuk calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat adalah partai politik, maka peserta pemilihan umum untuk calon anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan. Perbedaan ini dapat dikaitkan dengan (i) penerapan sistem pemilihan yang berbeda, yaitu sistem proporsional untuk calon anggota DPR dan sistem distrik untuk calon anggota DPD. Meskipun pemilihan umum yang Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 84 diikuti oleh peserta partai poitik tidak mutlak harus dilakukan berdasarkan sistem proporsional, tetapi pemilihan yang diikuti oleh peserta perseorangan dapat dipastikan adalah pemilihan berdasarkan sistem distrik di mana rakyat secara langsung memilih orang, bukan memilih tanda gambar partai politik peserta pemilu; (ii) pencalonan dilakukan melalui mekanisme kepartaian untuk anggota DPR dan mekanisme non-partai politik untuk anggota DPD. Hal ini dapat pula dikaitkan dengan pengertian sistem perwakilan politik (political representation) untuk anggota DPR dan sistem perwakilan fungsional (functional representation) untuk anggota DPD. Dengan demikian, dalam ketentuan pelaksanaannya, misalnya dapat diatur dengan tegas bahwa calon perseorangan itu diharuskan berasal dari tokoh-tokoh yang bukan pengurus ataupun anggota partai politik manapun juga”. (Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, hal. 44-45). II. Maksud Asli Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 Tentang syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan, dalam permbuatan UU Nomor 12 Tahun 2003 salah satunya terlihat dalam penyampaian pemerintah (Menteri Dalam Negeri) yang menyatakan: “Calon anggota DPD selain harus memenuhi syarat sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang, juga harus memenuhi syarat berdomisili di wilayah Provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun secara berturutturut yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon, dan calon anggota DPD diharuskan tidak menjadi pengurus dan anggota partai politik sekurangkurangnya 5 (lima) tahun yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon". (Penjelasan Pemerintah atas RUU tentang Pemilihan Umum pada Rapat Panitia Khusus Tentang RUU Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta, 26 Agustus 2002, hal. 9). Pada akhirnya syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan tersebut tidak mendapatkan kontra argumen dari fraksi-fraksi di DPR. Semuanya relatif setuju dan akhirnya merumuskan syarat calon anggota DPD di dalam Pasal 63, yang mengatur: “Calon anggota DPD selain harus memenuhi syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, juga harus memenuhi syarat: a. berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak berusia 17 (tujuh belas) tahun di provinsi yang bersangkutan; b. tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon”. Dari rumusan Pasal 63 tersebut, nyatalah bahwa substansi syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan dari usulan Pemerintah/Mendagri disetujui oleh fraksifraksi di DPR. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 85 III. Pembuatan UU Nomor 10 Tahun 2008 Sengaja Menghilangkan Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan Dalam pembahasan UU Nomor 10 Tahun 2008, konsep yang ada dalam Pasal 63 UU 12 Tahun 2003, secara jelas dihapuskan. Beberapa argumen yang muncul dalam pembahasan menunjukkan berubahnya posisi para pembuat Perubahan Ketiga UUD 1945 dan pembuat UU Nomor 12 Tahun 2003, terkait syarat keanggotaan DPD. Perubahan itu misalnya diperlihatkan dalam risalah berikut: • Risalah Pansus RUU Pemilu tanggal 26 September 2007: Patrialis Akbar menyatakan, “jadi dalam penjelasannya adalah bahwa yang dimaksudkan dengan perseorangan itu tidak membedakan apakah ... perseorangan yang berasal dari partai politik ... Jadi penekanannya yang paling penting adalah proses pencalonannya itu yang perseorangan, kalaupun itu berasal dari partai politik, maka dibolehkan, asal dia secara pribadi mencalonkan diri dan memenuhi perundang-undangan”. • Risalah Panja RUU Pemilu tanggal 20 Februari 2008: Patrialis Akbar menyatakan, “ ... prinsip dasar di dalam calon perorangan DPD itu sebetulnya di dalam UUD kita tidak melarang sama sekali perseorangan itu apakah dia pribadi muncul di tengah-tengah masyarakat apakah dia juga adalah orang-orang partai politik, yang paling penting adalah dia mencalonkannya itu harus pribadi tidak boleh partai politik haram untuk mencalonkan, tapi kalau orang partai politik ya boleh ... tidak ada larangan di dalam UUD kita sama sekali ... ya sudahlah kalau namanya perseorangan kita buka saja ... apakah dia dipilih atau tidak itu adalah urusannya rakyat ...”. Pendapat Patrialis Akbar tersebut adalah salah satu contoh bergesernya pendapat yang bersangkutan jika dibandingkan dengan ketika mengemukakan pendapat dalam perumusan perubahan UUD 1945 yang menekankan pentingnya keanggotaan DPD yang terbebas dari kepentingan-kepentingan partai politik dan lebih menekankan keterwakilan daerah. Pendapat mana yang tidak dibantahnya pula ketika rumusan Pasal 63 UU Nomor 12 Tahun 2003 memasukkan syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan. IV. Penghilangan Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan adalah Bentuk Improper Purposes Perubahan radikal interpretasi – yang berbalik 180 derajat – terkait keberadaan syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan ke dalam UU Pemilu Nomor 12 Tahun 2003 dan UU Pemilu Nomor 10 Tahun 2008 tentu harus dicari akar masalahnya. Ahli khawatir, adanya potensi improper purposes dalam penghapusan Pasal 63 peran..., UU Nomor TahunFH 2003 terkait syarat domisili provinsi Implikasi Agung12 Sudrajat, UI, 2012 86 dan syarat perseorangan. Kekhawatiran mana dikuatkan dengan beberapa indikasi berikut: • perubahan radikal patut diduga terkait dengan kepentingan agenda politis personal beberapa orang anggota DPR yang tidak dapat lagi maju sebagai calon anggota legislatif di Pemilu 2009 karena kebijakan internal partainya. Partai Amanat Nasional, misalnya, membatasi kadernya hanya dapat menjadi anggota DPR maksimal selama 2 periode. Dalam kondisi demikian, karena peluang untuk maju ke DPR tertutup, maka pintu DPD perlu dibuka bagi kader partai politik; • selain penghapusan Pasal 63 UU Nomor 12 Tahun 2003, ketentuan dalam Pasal Pasal 146 UU Nomor 12 Tahun 2003 yang memberi masa transisi hanya 3 (tiga) bulan sejak UU Nomor 12 Tahun 2003 bagi pengurus partai politik yang akan mencalonkan menjadi anggota DPD, menjadi tidak konsisten, karena saat ini siapapun dari partai politik dapat mencalonkan diri tanpa adanya batasan waktu, baik yang diatur dalam Pasal 63 maupun Pasal 146 UU Nomor 12 Tahun 2003. Potensi adanya improper purposes demikian sebaiknya dicermati dan dipertimbangkan secara hati-hati oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Jika ternyata terbukti dalam pembuktian di persidangan, maka amat cukup alasan untuk menyatakan ketiadaan/penghapusan secara sengaja syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan bagi keanggotaan DPD tersebut tidak sesuai dengan UUD 1945. V. Ketiadaan Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan bagi Keanggotaan DPD Harus Dinyatakan Tidak Sesuai (unconformity) dengan UUD 1945 Sehubungan dengan argumen bahwa syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan yang terkandung dalam Pasal 22C ayat (2) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 sengaja dihilangkan penormaannya dalam UU Nomor 10 Tahun 2008, setelah sebelumnya masih terdapat dalam UU Nomor 12 Tahun 2003, maka ketiadaan kedua syarat tersebut harus diputuskan menyebabkan UU Nomor 10 Tahun 2008 menjadi tidak sesuai (unconformity) dengan UUD 1945. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 87 Pilihan menyatakan tidak sesuai (unconformity) dan bukan menyatakan bertentangan (in contradiction) dengan konstitusi karena ketiadaan rumusan norma dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 yang menegaskan tidak perlunya syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan tersebut. Dengan demikian, UU Nomor 10 Tahun 2008 hanya akan sesuai dengan UUD 1945 jika dipahami tetap mengandung syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan. VI. Putusan Mahkamah Konstitusi Berwenang untuk Menyatakan Ketiadaan Norma dalam suatu Undang-Udang Tidak Sesuai (Unconformity) dengan UUD 1945 Meskipun norma yang menyatakan syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan bagi keanggotaan DPD tidak dituliskan secara eksplisit dalam UU Nomor 10 Tahun 2008, namun ketiadaan norma demikian harus dianggap sebagai norma itu sendiri. Terlebih nyata-nyata bahwa dalam UU Nomor 12 Tahun 2003, Pasal 63 mengatur tentang syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan, yang secara sengaja dihapuskan dalam perumusan UU Nomor 10 Tahun 2008. Penghapusan Pasal 63 UU Nomor 12 Tahun 2003 tersebut harus dipahami sebagai penormaan dalam proses legislasi Undang-Undang Pemilu yang memberi makna kesesuaiannya atas Pasal 22C ayat (2) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Oleh karenanya, Mahkamah Konstitusi yang terhormat jelas-jelas mempunyai kewenangan untuk menentukan pemaknaan yang tepat atas konstitusionalitas syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan, yang secara berbeda dirumuskan dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 maupun UU Nomor 10 Tahun 2008. Penghilangan norma yang ada dalam Pasal 63 UU 12 Tahun 2003 sebaiknya dianggap sebagai “modus baru” dalam proses legislasi yang berpotensi besar melanggar konstitusi, karena secara cerdas memanfaatkan doktrin Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator dan bukan positive legislator. Namun demikian, modus baru dari proses legislasi demikian harus tetap tidak menghalangi peran penting Mahkamah Konstitusi untuk menjaga UUD 1945 dari kemungkinan disalahgunakan dalam proses legislasi pembuatan UU, apalagi yang sangat terkait dengan kepentingan politik, sebagai UU Pemilu legislatif sejenis UU Nomor 10 Tahun 2008, yang telah menggantikan UU Nomor 12 Tahun 2003. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 88 Agar tidak pula melanggar konsep sebagai negative legislator di satu sisi, namun tetap pula menjaga perannya sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi amat bijak jika menyatakan UU Nomor 10 Tahun 2008 harus dinyatakan tidak sesuai dengan UUD 1945, dan hanya secara bersyarat (conditionally constitutional) menjadi sesuai dengan UUD 1945 jika dimaknai mengandung syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan. Jika UU Nomor 10 Tahun 2008 dinyatakan sesuai dengan UUD 1945 hanya jika mengandung makna syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan, maka ada beberapa altematif yang dapat diusulkan untuk menjelaskan persyaratan anggota DPD. Pertama, adalah melakukan perubahan terbatas atas UU Nomor 10 Tahun 2008. Perubahan demikian tentu harus segera dilakukan sebelum habisnya masa pendaftaran calon anggota DPD. Kedua, untuk mengantisipasi proses perubahan undang-undang yang mungkin memakan waktu, Presiden dapat mengambil insiatif untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) terbatas yang mencantumkan syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan. Ketiga, Komisi Pemilihan Umum (KPU) berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi membuat Peraturan KPU yang mengatur syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan bagi pendaftaran calon anggota DPD. Jalan keluar lain dikemukakan oleh Moh. Fajrul Fallaakh yang berpendapat: Pasal 22C ayat (2) dan Pasal 22E ayat (4) mengandung Syarat Domisili Provinsi dan Syarat Perseorangan. Kedua syarat itu diturunkan dalam Pasal 63 UU Nomor 12 Tahun 2003. Penghapusan Pasal 63 menyebabkan UU Nomor 12 Tahun 2003 tidak sesuai (Unconformity) dengan UUD 1945. Untuk kembali menjadi sesuai dengan UUD 1945 maka Pasal 63 UU Nomor 12 Tahun 2003 harus “dihidupkan” kembali. CARANYA: Pasal 319 UU Nomor 10 Tahun 2008 yang mencabut UU Nomor 12 Tahun 2003 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang yang mencabut ketentuan Pasal 63. Keterangan Ahli Dr. Indra Jaya Piliang. DPD RI sebagai Perwakilan Wilayah Æ‘ Wilayah adalah sebutan untuk teritorial pemerintahan. Æ‘ Wilayah juga bisa diartikan sebagai teritorial politik. Sebagai teritorial politik, maka di setiap wilayah memiliki komunitas-komunitas sosial-politik yang berbeda. Sehingga, membedakan antara wilayah wilayah berdasarkan kondisi pula. juga yang menunjukkan satu identitas berbeda Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 dengan politik yang yang lain, 89 Æ‘ Kasus pemekaran wilayah menunjukkan bahwa masing-masing komunitas politik ini berkehendak untuk berbeda dengan komunitas politik lain. Æ‘ Perbedaan wilayah politik inilah inti dari keindonesiaan yang dikenal sebagai bhineka tunggal ika. Partai politik jelas tidak memenuhi syarat bhineka tunggal ika ini. Æ‘ Untuk perbedaan persoalan menyangkut wilayah politik ini, Indonesia pernah mengalami peristiwa buruk berupa pemberontakan-pemberontahan daerah. Dokumen-dokumen PRRI misalnya, dengan jelas mencantumkan kehendak untuk mendirikan senat di tingkat pusat. Æ‘ Wilayah terdiri dari provinsi, kabupaten dan kota. Æ‘ Wilayah politik DPD adalah provinsi, tetapi bisa saja di kemudian hari berubah menjadi kabupaten dan kota (Pasal 22C menyebut “dipilih dari setiap” provinsi). Æ‘ Kalau keterwakilan wilayah ini dihilangkan oleh keterwakilan penduduk, maka jumlah anggota DPD RI per provinsi bisa berubah, tidak lagi bersifat tetap. Æ‘ Pentingnya wilayah ini menunjukkan bahwa DPD RI tidak dengan sendirinya mewakili perubahan-perubahan yang bersifat fluktuatif, misalnya besar-kecilnya perolehan kursi Parpol. Prinsip Kontra Hegemoni Æ‘ UUD diubah dengan konsep kontra-hegemoni, yakni ketakutan atas absolutisme kekuasaan yang sebelumnya berada di bawah kendali presiden dan MPR RI. Æ‘ UUD lalu menggeser sejumlah kekuasaan kepada legislatif, tetapi sebaliknya legislatif juga diberikan ruang untuk tidak absolut, sehingga khusus menyangkut persoalan-persoalan daerah, maka diberikan hak kepada DPD. Æ‘ Perbedaan kekuasaan antara DPR dan DPD ini menunjukkan bukan hanya dari sisi fungsi, melainkan justru yang terpenting dari sisi substansi. Æ‘ Apabila DPD RI diisi oleh anggota partai politik, sekalipun mengundurkan diri, maka besar kemungkinannya absolutisme politik akan terjadi, yakni dengan sifat sentralisasi politik di kalangan partai politik. Æ‘ Partai politik tidak memberikan ruang otonomi kepada anggota-anggotanya, sehingga apabila ada kebijakan nasional Parpol yang bertentangan dengan kepentingan daerah, maka Parpol lebih mendukung kebijakan nasional itu. Sehingga, kepentingan daerah bisa diabaikan. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 90 Syarat Domisili Æ‘ Domisili adalah hakikat terpenting dari sistem politik. Domisili bisa diartikan juga sebagai asas kelahiran (ius solli). Dalam UU tentang Kewarganegaraan, sangat diatur secara hati-hati tentang mana yang menjadi warga negara, mana yang belum. Æ‘ Tidak bisa semua orang bisa mewakili daerah lain, sebagaimana sistem politik Orde Baru, karena akan menegasikan asas kelahiran. Kalau anggota DPR hanya berdasarkan representasi penduduk, maka domisili sekaligus legalitas untuk representasi wilayah. Æ‘ Dalam perkembangan terbaru, semakin banyak daerah yang meminta status otonomi khusus. Otonomi khusus itu bermuara kepada ikatan-ikatan primordialistik seperti ras (Melanesia di Papua), agama (Islam di Aceh), kerajaan (keistimewaan Yogyakarta). Dalam perjalanannya, masyarakat Kalimantan juga meminta status otonomi khusus, begitu pula dengan Bali. Æ‘ Dari sini, domisili berkaitan dengan titik asal politik. Politik etnis, misalnya, menyangkut domisili berdasarkan etnis. Adalah melanggar prinsip-prinsip keterwakilan wilayah dan politik, apabila hak keterwakilan itu diberikan kepada penduduk atau etnis dari provinsi lain. Æ‘ Sebaliknya, dengan prinsip kontra-hegemoni, tidak ada masalah untuk duduk di legislatif (DPR/DPRD) tanpa harus memiliki status domisili mengingat kepentingan penduduk juga berarti penduduk seluruh Indonesia. Æ‘ Kalau dilihat secara objektif, sebagian besar anggota DPD RI masuk kategori orang daerah, bahkan masuk juga kedalam bentuk perwakilan dari unsur-unsur pemerintahan tradisional yang ada, seperti kerajaan, pesantren, masyarakat adat, kelompok keagamaan, dan lain-lainnya. Æ‘ Dengan menghilangkan syarat domisili maka dengan sendirinya menghilangkan prinsip keterwakilan berdasarkan kategori wilayah atau daerah ini. Æ‘ Keberadaan partai politik lokal di Aceh menunjukkan bahwa partai politik juga mengenal “domisili”, sebaliknya partai politik nasional “berdomisili” di ibukota negara. Dengan begitu, apabila tidak ada syarat domisili, maka identitas politik menjadi hilang. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 91 Keterangan Ahli Hestu Cipto Handoyo, SH., M.Hum Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD (UU Pemilu) ternyata masih menyisakan persoalan substansiil. Ini terbukti karena begitu muncul undang-undang tersebut langsung dimintakan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Persoalan substansiil yang disengketakan tersebut menyangkut belum tegasnya norma domisili dan non Parpol dicantumkan dalam Pasal 12 dan Pasal 67 sebagai persyaratan dan tata cara pendaftaran bakal calon anggota DPD. Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum. Ketentuan normatif seperti ini jelas masih menimbulkan dua penafsiran. Pertama, setiap provinsi seperti yang dimaksud pasal ini dapat ditafsirkan sebagai sebuah struktur organisasi pemerintah daerah, dan kedua, setiap propinsi dapat juga ditafsirkan sebagai daerah pemilihan sebagaimana diatur dalam UU Pemilu. Munculnya dua penafsiran ini disebabkan, karena UUD 1945 hasil amandemen sudah tidak menyertakan lagi Penjelasan sebagaimana UUD 1945 sebelum amandemen. Pada hakikatnya, sifat UUD 1945 setelah amandemen adalah konstitusi tertulis. Artinya norma-norma hukum yang menjadi substansi konstitusi telah secara tersurat (tidak tersirat) dicantumkan dalam ketentuan pasal-pasal konstitusi. Hal ini berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen yang mengakui adanya convention of constitutions (kebiasaan ketatanegaraan) sebagaimana tertuang di dalam Penjelasan Umum. Dalam kondisi yang seperti inilah keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi sangat penting dalam kerangka penafsiran konstitusi tertulis. Norma yang tercantum dalam Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 tersebut pada hakikatnya tidaklah berdiri sendiri. Norma ini terkait dengan norma yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-Undang. Dengan demikian, jelas kiranya bahwa yang dimaksud dengan “anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum” seharusnya ditafsirkan oleh MK yakni provinsi sebagai struktur pemerintahan daerah sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan normatif Pasal 18 ayat (1) UUD 1945. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 92 Oleh sebab itu norma domisili yang belum dicantumkan dalam persyaratan Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu jelas melanggar norma konstitusi dan MK harus berani memberikan putusan judicial review yakni persyaratan calon anggota DPD diubah karena melanggar norma konstitusi. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Ketentuan normatif ini dalam pelaksanaannya jelas menyisakan sebuah pertanyaan, yakni dalam bentuk apakah kedaulatan rakyat tersebut akan diimplementasikan. Sejak Pemilu tahun 2004 implementasi kedaulatan rakyat telah diterjemahkan dalam 3 (tiga) model Pemilu, yakni: 1. Implementasi kedaulatan rakyat di bidang politik dilakukan melalui Pemilu anggota DPR yang berasal dari Partai Politik. 2. Implementasi kedaulatan rakyat di bidang kepentingan yang berdimensi kedaerahan dilakukan melalui Pemilu anggota DPD yang berasal dari perseorangan dan mewakili masing-masing daerah (provinsi). 3. Implementasi kedaulatan rakyat di bidang pemerintahan dilakukan melalui Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Jika diperhatikan lebih seksama, maka nampak jelas bahwa 2 (dua) model Pemilu, yakni Pemilu anggota DPR dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden telah mengakomodasi kepentingan politik rakyat yang diartikulasikan oleh Partai Politik dengan mengajukan calon-calonnya. Sementara 1 (satu) model Pemilu, yakni Pemilu anggota DPD mengakomodasi kepentingan yang berdimensi kedaerahan dalam konteks kebijakan nasional. Oleh sebab itulah, dalam Pemilu anggota DPD norma domisili (bukan norma partai politik) menjadi penting untuk dimasukkan sebagai salah satu ketentuan persyaratan pencalonan anggota DPD dalam UU Pemilu. Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan. Kata “perseorangan” sebagaimana dimaksud pada ketentuan ini secara terminologis harus dimaknai sebagai individu yang mandiri dan tidak terikat oleh kepentingan golongan maupun afiliasi politik tertentu. Hal ini berarti secara konstitusional, persyaratan Pemilu anggota DPD seharusnya juga memuat norma perseorangan yang non partai politik. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 93 Salah satu persyaratan bagi peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD yang sifatnya perseorangan adalah bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundang-undangan. Kalimat kunci dalam persyaratan tersebut adalah “serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundang-undangan”. Persoalannya yang terkandung dalam kalimat kunci tersebut adalah apa yang dimaksud dengan konflik kepentingan itu? Penjelasan ketentuan ini menyatakan “Cukup Jelas”. Pasal 1 angka 1 UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyatakan bahwa Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa, dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mencermati pengertian tersebut menunjukkan bahwa organisasi Parpol dibentuk memperjuangkan dan membela terlebih dahulu kepentingan politik anggota, disusul memperjuangkan kepentingan politik masyarakat, baru kemudian memperjuangkan kepentingan politik bangsa dan negara. rumusan seperti ini memberikan penguatan secara yuridis bahwa partai politik memang hanya mementingkan kelompok dan anggota-anggotanya. Ditinjau dari aspek legal drafting, tidak dicantumkannya norma domisili dan non partai politik dalam persyaratan peserta Pemilu serta tata cara pendaftaran bakal calon anggota DPD merupakan tindakan yang melanggar konstitusi dan asas-asas peraturan perundang-undangan yang baik. Dikatakan melanggar konstitusi karena tidak sinkron dengan Pasal 22C UUD 1945 yang menegaskan bahwa anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum, Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 22E UUD 1945 yang menyatakan bahwa peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 94 Sedangkan dikatakan melanggar asas-asas perundang-undangan yang baik, karena dengan tidak dicantumkannya secara tegas persyaratan tersebut menunjukkan bahwa asas kenusantaraan, bhineka tunggal ika, keadilan dan kepastian hukum belum terpenuhi. Keterangan Ahli M. Fadjrul Falaakh, SH., M.Sc. I. Keterwakilan Daerah dan Perekrutannya Keterwakilan daerah, dengan jumlah wakil majemuk, bukanlah konsep baru dalam sejarah UUD 1945. Pasal 2 ayat (1) praamandemen menentukan: “MPR terdiri atas anggota DPR, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, ...”, yang kemudian dijelaskan: “Maksudnya ialah supaya seluruh rakyat, seluruh golongan, seluruh daerah akan mempunyai wakil dalam Majelis sehingga Majelis itu akan betul-betul dapat dianggap sebagai penjelmaan rakyat”. Bangsa Indonesia pernah mengalami sistem perekrutan wakil daerah, ketika Gubernur provinsi otomatis menjadi utusan daerah. Saat ini, setelah amandemen UUD 1945 melembagakan utusan daerah ke dalam DPD dan memasukkan ketentuan tentang pemilihan umum (Pemilu), sebetulnya UUD 1945 tidak mengatur sistem Pemilu bagi DPR dan DPD [Pasal 2 ayat (1), 19 ayat (1), 22C ayat (1) UUD 1945] maupun syarat kualitatif calon anggota DPR maupun DPD. Meskipun demikian, terdapat beberapa ketentuan konstitusional terkait sistem Pemilu DPD, terutama tentang asal dan jumlah anggota DPD, peserta Pemilu DPD, dan sifat Pemilu. x MPR terdiri atas anggota-anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang [Pasal 2 ayat (1) UUD 1945]. x Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui Pemilu [Pasal 22C ayat (1) UUD 1945]. Terdapat beberapa norma di sini: anggota DPD dipilih, pemilihan umum, asal calon anggota DPD yaitu provinsi. Asal calon anggota DPD bukanlah dikhususkan dari desa, kabupaten atau kota, ibukota provinsi (apa lagi Iuar negeri). x Anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya sama dan seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR [Pasal 22C ayat (2) UUD 1945]. Ketentuan ini mengenai: daerah yang diwakili anggota DPD yaitu provinsi, kesetaraan keterwakilan provinsi (equality of regional representation) Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 95 dengan mengabaikan jumlah penduduk dan luas provinsi, serta keseluruhan jumlah anggota DPD tidak lebih dari sepertiga anggota DPR. x Pasal 22C ayat (1) dan ayat (2) menunjukkan, provinsi berhak atas keterwakilan di DPD dan anggota DPD berangkat dari dan/atau berasal dari provinsi. Berarti, rakyat di provinsi tersebut memilih kepala daerah, anggota DPRD dari partai politik, wakil di DPD dan anggota DPR dari partai politik. x Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan [Pasal 22E ayat (4) UUD 1945], sedangkan peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD adalah partai politik [Pasal 22E ayat (3) UUD 1945]. Ketentuan ini membedakan subjek hukum (Iangsung) peserta Pemilu yaitu orang untuk Pemilu DPD dan badan/lembaga. Perbedaan subjek ini berimplikasi pada desain sistem Pemilu. x Pemilu DPD harus pula bersifat langsung, umum, babas, rahasia, jujur dan adil [Pasal 22E ayat (1) UUD 1945]. Sejumlah ketentuan konstitusional penting tentang pemilihan anggota DPD serta DPR dan DPRD di atas belum cukup menggambarkan sistem Pemilu yang digunakan. Desain kelembagaan (institutional design) untuk pemilu-pemilu lembaga perwakilan (parliamentary elections) ditentukan di luar konstitusi, yang harus tetap sesuai (congruent) dengan ketentuan-ketentuan konstitusi. Ketentuan dasar dalam konstitusi tersebut memerlukan pengaturan lebih lanjut [Pasal 22E ayat (6) UUD 1945]. Banyak hal yang dapat diatur lebih lanjut, misalnya: x Anggota DPD dipilih melalui pemilu (bukan ditunjuk): dipilih langsung oleh rakyat atau tak langsung (oleh kelompok pemilih, oleh DPRD provinsi, atau oleh DPRD kabupaten/kota); x Anggota DPD dari setiap provinsi: apa dan bagaimana relasi calon dengan provinsi yang diwakilinya, misalnya lahir dan pernah mengabdi/bekerja di provinsi yang diwakili atau cukup bertempat tinggal selama masa tertentu; x Anggota DPD dari setiap provinsi berjumlah sama: satu, dua atau berapa pun dari tiap provinsi, tetapi jumlah anggota DPD tidak lebih dari 1/3 (satu pertiga) jumlah anggota DPR. x Daerah pemilihan (electoral boundary/district): batas administratif pemilihan untuk suatu pencalonan, yang dapat seluas provinsi (provinsi sebagai satu Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 96 daerah pemilihan) atau hanya bagian-bagian provinsi (suatu provinsi dibagi ke dalam beberapa daerah pemilihan), dapat pula seluas kabupaten/kota atau bagian-bagiannya. Pilihan mengenai daerah pemilihan yang dipadukan dengan cara memilih akan menghasilkan sistem Pemilu yang berbeda. x Perseorangan sebagai peserta Pemilu anggota DPD: seberapa berbedakah “perseorangan Pemilu DPD” (perseorangan, tidak berkelompok dalam Parpol) dari “partai politik peserta Pemilu DPR” atau dari “perseorangan dalam daftar Parpol peserta Pemilu DPR” (perseorangan yang berkelompok dalam Parpol, memiliki kartu anggota, bahkan pengurus). x Konsekuensi sistem Pemilu: penggantian antarwaktu anggota DPD dapat dilakukan melalui Pemilu di provinsi yang mengalami kekosongan wakil (bukan hanya diganti oleh peringkat berikut dalam daftar Pemilu DPD untuk provinsi yang bersangkutan); sedangkan PAW anggota DPR dan anggota DPRD dapat diambilkan dari daftar caleg dari partai yang mengalami kekosongan (dalam hal Pemilu menggunakan List PR System) atau melalui pemilu sela (dalam hal Pemilu menggunakan “sistem distrik” atau Plurality-majority principle). II. UU Pemilu 2008 UUD 1945 menentukan bahwa peserta Pemilu DPD adalah perseorangan dari provinsi. Pola hubungan (negatif maupun positif) antara calon anggota DPD dengan “parpol peserta Pemilu DPR” maupun dengan provinsi masih memerlukan pengaturan. Saat ini “system” Pemilu DPR dan DPD ditentukan dan dirumuskan secara padat di Pasal 5 UU Nomor 10 Tahun 2008 sebagai berikut: (1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. (2) Pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak. “Sistem” pemilihan yang berlaku pada perekrutan anggota DPD berbeda dari perekrutan anggota DPR dan DPRD. UU Pemilu 2008 menentukan, misalnya, perseorangan bakal calon anggota DPR dan DPRD harus “menjadi anggota Parpol peserta Pemilu” [Pasal 50 ayat (1) huruf n] yang dibuktikan dengan ‘kartu tanda anggota’ Parpol peserta Pemilu” [Pasal 50 ayat (2) huruf i], karena peserta Pemilu DPR dan DPRD adalah partai politik. Perseorangan bakal calon anggota DPR Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 97 pun akan diseleksi oleh Parpol menurut mekanisme demokrasi internal Parpol (Pasal 52). Selengkapnya syarat bakan calon anggota DPR dan DPD ditentukan dalam Pasal 50 ayat (1) sebagai berikut: a. warga negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; Penjelasan: Yang dimaksud dengan "bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia" dalam ketentuan ini termasuk WNI yang karena alasan tertentu pada saat pendaftnran calon, bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan melengkapi persyaratan surat keterangan dari Perwakilan Negara RI setempat. d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia; e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat; f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tabun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; g. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; h. sehat jasmani dan rohani; i. terdaftar sebagai pemilih; j. bersedia bekerja penuh waktu; k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha mink negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri dan yang tidak dapat ditarik kembali; l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 98 wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundangundangan; m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-negara Iainnya, pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara; n. menjadi anggota parpol peserta Pemilu; o. dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; p. dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan; dan Syarat peserta Pemilu anggota DPD diatur sama pada Pasal 12 (Bab III Bagian Ketiga), dengan perbedaan bahwa perseorangan peserta Pemilu DPD mendapat dukungan minimal dari pemilih dari daerah pemilihan yang bersangkutan (huruf p). Tata cara pendaftaran bakal calon anggota DPD dalam UU Pemilu 2008 diatur pada Pasal 67 (Bab VIII Bagian Ketujuh), yang serupa dengan Pasal 68 ayat (2) UU Pemilu 2003, sebagai berikut: (1) Perseorangan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13 dapat mendaftarkan diri sebagai bakal calon anggota DPD kepada KPU melalui KPU provinsi. (2) Kelengkapan administrasi bakan calon anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan: dst. sama dengan DPR, DPRD. x Syarat domisili calon anggota DPD sengaja tidak dikaitkan dengan provinsi [misalnya seperti Pasaf 63 ayat (1) UU Pemilu 2003] melainkan dirumuskan secara umum pada Pasal 12 huruf c tersebut di atas. Dalam penjelasan Pasal 12 huruf c justru diperluas sebagai berikut: Yang dimaksud dengan “bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia” dalam ketentuan ini termasuk WNI yang karena alasan tertentu pada saat pendaftaran calon, bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan melengkapi persyaratan surat keterangan dari Perwakilan Negara RI setempat. Padahal Pasal 22C ayat (1) menyatakan, “Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi ...” dan ayat (2) menyatakan, “Anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya sama ...” Syarat domisili calon anggota DPR dan DPD pun dirumuskan sama pada Pasal 50 huruf c dan dalam penjelasannya justru diperluas sebagai berikut: Yang Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 99 dimaksud dengan “bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia” dalam ketentuan ini termasuk WNI yang karena alasan tertentu pada saat pendaftaran calon, bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan melengkapi persyaratan surat keterangan dari Perwakilan Negara RI setempat. x Konstruksi mengenai domisili calon anggota DPD ini semakin mengaburkan dan mencederai sistem Pemilu anggota DPD maupun watak representasi politik yang diemban DPD. Penjelasannya membolehkan domisili di luar Indonesia (dan berimplikasi hanya memberi keistimewaan kepada mereka yang berdomisili di gedung perwakilan RI). Untuk apa daerah-daerah di luar negeri “milik” negara yang bersangkutan, tetapi didiami hanya oleh ratusan atau ribuan WNI itu, diwakili di DPD? Bagaimana mengukur dukungan yang harus diperoleh dari WNI penduduk di negara setempat serta akan “dimasukkan” pada provinsi mana dan di berapa provinsi? x Syarat “bukan Parpol” tidak dicantumkan dalam redaksi UU Pemilu 2008 sehingga membuka peluang pengurus parpol mengikuti Pemilu DPD, sedangkan perseorangan non Parpol tidak dapat menjadi anggota DPR karena terhalang Pasal 50 di muka. Ketiadaan syarat “bukan parpol” ini mengakibatkan unfairness untuk perseorangan nonpartai yang hendak mencalonkan diri sebagai anggota DPD, maupun anggota DPD yang telah diharuskan untuk non partisan sejak akhir tahun 2004 dan ingin mencalonkan kembali dalam Pemilu DPD 2009. Perseorangan non partai akan sulit, mungkin sama sekali tertutup peluangnya, untuk diikutkan dalam party-list bagi pencalonan anggota DPR dan DPRD dengan persyaratan menurut Pasal 50 UU Pemilu tersebut di muka. Parpol pendukung calon pun akan menerima risiko politik internal karena pengurus dan/atau kadernya ingin menjadi anggota DPD. Kesimpulan terhadap konstruksi Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu 2008. Pertama, tindakan lembaga pengambil keputusan UU Pemilu 2008 tidak mengatur “syarat domisili” di provinsi dan syarat “nonparpol” bagi calon anggota DPD telah menghasilkan konstruksi yang tidak sesuai (incongruent) dengan sistem Pemilu anggota DPD, viz-a-viz sistem pemilu anggota DPR dan DPRD, yang dikehendaki dalam UUD 1945 dan telah dibahas di depan. Penghapusan bukan sekedar karena kedua hal itu tidak dicantumkan (tidak dituliskan) dalam UU Pemilu 2008, melainkan juga karena Pasal 319 UU Pemilu 2008 mencabut UU Pemilu 2003 Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 100 yang notabene mengatur kedua hal dimaksud (Pasal 63 UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu). Kedua, konstruksi Pasal 12 huruf c dan penjelasannya lebih mengacaukan pengertian domisili bagi calon anggota DPD, karena menjauhkan calon dari daerah yang diwakili dan memperluas keterwakilan daerah (dhi. provinsi) hingga ke luar negeri. Pengertian domisili bakal calon anggota DPR dan DPRD, pada Pasal 50 ayat (1) huruf c, juga patut dipertanyakan ketepatannya; meskipun tepat untuk pemegang hak pilih. Ketiga, konstruksi Pasal 12 dan Pasal 67 menimbulkan kerugian konstitusional bagi rakyat di daerah untuk memiliki dua macam sistem keterwakilan di tingkat nasional, dari sumber keanggotaan yang berbeda, dan direkrut melalui cara yang berbeda yaitu “sistem Pemilu anggota DPD” dan “sistem Pemilu anggota DPR”. Keempat, konstruksi kedua pasal juga berpotensi menimbulkan kerugian konstitusional bagi perseorangan non partai yang hanya berpeluang langsung untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD dari suatu provinsi, dan tidak berpeluang langsung untuk dicalonkan sebagai anggota DPR melalui Parpol tanpa memiliki KTA parpol –yang disyaratkan oleh Pasal 50 ayat (2) huruf j UU Pemilu 2008. Kelima, konstruksi Pasal 12 juncto Pasal 67 UU Pemilu 2008 belum sesuai (incongruent) dengan “sistem Pemilu anggota DPD” yang beberapa ketentuan pokoknya sudah dimuat dalam UUD 1945, viz-a-viz sistem Pemilu anggota DPR dan DPRD. Keenam, karena itu diperlukan aturan seperti Pasal 63 UU Pemilu 2003 bahwa calon anggota DPD: (1) Berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun secara berturut-turut yang dihitung sampai tanggal pengajuan calon atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak berusia 17 (tujuh belas) tahun di provinsi yang bersangkutan. (2) Tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon. Syarat bagi calon anggota DPD tersebut Pasal 63 UU Pemilu 2003 bersesuaian (congruent) pula dengan keharusan anggota DPD, sebagai berikut: Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 101 x Anggota DPD berdomisili di daerah pemilihannya dan selama bersidang bertempat tinggal di ibukota negara RI [Pasal 33 ayat (4) UU Susduk MPR, DPR, DPD, DPRD 2003]. Penjelasannya mengatakan: Yang dimaksud dengan bertempat tinggal di ibukota negara adalah bertempat tinggal di DKI Jakarta dan sekitarnya, yaitu Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten/Kota Tangerang, Kabupaten/Kota Bekasi, dan Kota Depok. x Pekerjaan sebagai pengurus Parpol (apa lagi partai yang memiliki kursi di DPR dan/atau DPRD) tentu saja berbenturan dengan kepentingan anggota DPD yang bersumpah “... memperjuangkan aspirasi daerah untuk mewujudkan tujuan nasional ... dst.” (Pasal 36 UU Susduk MPR, DPR, DPD, DPRD), sedangkan pengurus Parpol akan mengutamakan Parpol sebagai “ ... organisasi ... untuk membela kepentingan politik anggota ... dst.” (Pasal 1 angka 1 UU Nomor 31 Tahun 2003 tentang Partai Politik). Ketentuan-ketentuan di atas menunjukkan bahwa syarat “dari provinsi” (berapa lama pun), dan syarat “perseorangan bukan parpol” maupun “perseorangan yang berbeda dari orang Parpol” (dari segi kualitas maupun waktu) menjadi unsur penting dalam sisam pemilihan anggota DPD, seperti dikehendaki oleh Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Ketujuh, oleh karena itu pencabutan ketentuan Pasal 63 UU Pemilu 2003 melalui Pasal 319 UU Pemilu 2008 tidak tepat, karena telah mengakibatkan konstruksi hukum (legal construct) pada Pasal 12 juncto 67 UU Pemilu 2008 tidak congruent (incongruent) dengan ketentuan Pasal 22C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 22E ayat (4) dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Keterangan Ahli Drs. Thomas Aquino Legowo, MA Disahkannya UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, don DPRD merupakan suatu kemajuan. Selain memperbaiki kelemahan yang ada pada UU terdahulu, yaitu UU Nomor 12 Tahun 2003, UU Nomor 10 Tahun 2008 juga merumuskan beberapa ketentuan baru yang belum pernah diberlakukan pada pemilu-pemilu sebelumnya, dan menghilangkan beberapa ketentuan lama yang ada dalam UU Nomor 12 Tahun 2003. Tentu keputusan untuk menambah ketentuan baru dan/atau menghilangkan ketentuan lama merupakan upaya biasa untuk Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 memperbarui dan 102 menyempurnakan suatu peraturan perundang-undangan. Meski begitu, tidak tertutup kemungkinan bahwa penambahan dan atau penghilangan beberapa ketentuan dapat menyimpang ataupun mengubah secara maknawi semangat, prinsip, dan pemikiran dasar yang ada dan berkembang pada saat perumusan ketentuan-ketentuan mendasar dalam Konstitusi (dalam hal ini UUD 1945) yang menjadi landasan bagi perumusan peraturan peraturan perundang-perundangan. Salah satu dari persoalan semacam itu yang tercermin dari UU Nomor 10 Tahun 2008 terkait dengan tidak lagi disertakannya persyaratan tentang domisili dan persyaratan tentang tidak menjadi pengurus partai politik. Kedua persyaratan ini tertuang dalam UU Nomor 12 Tahun 2003, yang selengkapnya terurai pada Pasal 63, seperti berikut: Calon anggota DPD selain harus memenuhi syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, juga harus memenuhi syarat: Berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan colon atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak berusia 17 (tujuh belas) tahun di provinsi yang bersangkutan. Tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan colon. Tentu menjadi pertanyaan, mengapa UU Nomor 10 Tahun 2008 tidak lagi memberlakukan ketentuan tentang peryaratan bagi colon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) seperti itu? Sampai dengan saat ini belum ada penjelasan resmi dari para pembuat UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang pertanyaan ini. Namun, terlepas dari ada dan tidaknya penjelasan dimaksud, penghilangan dua ketentuan itu telah memungkinkan keanggotaan DPD terbuka untuk diisi oleh colon-colon terpilih yang tidak berdomisili di daerah (provinsi) yang diwakilinya, dan yang menjadi pengurus partai politik. Persoalannya, apakah kemungkinan seperti ini sesuai dengan semangat, prinsip, dan pemikiran dasar yang melatari pembentukan DPD dalam proses amandemen terhadap UUD 1945 dalam sidang-sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002? Jika ditengok kembali proses perdebatan yang mengantar pada pembentukan DPD dalam sidang-sidang MPR itu, dapat ditarik beberapa catatan penting terkait Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 103 secara langsung maupun tidak langsung dengan dua persyaratan tentang domisili dan tidak menjadi mengurus partai politik tersebut. Pertama, DPD merupakan badan perwakilan yang menggantikan “Utusan Daerah” untuk menyalurkan aspirasi daerah demi mencegah disintegrasi bangsa. Dalam semangat itu, maka DPD merupakan perwakilan teritori (wilayah), dalam hal ini provinsi, untuk menampung aspirasi daerah dalam proses politik nasional. Maka anggota DPD diharuskan untuk dapat memberikan konsentrasinya secara penuh dalam menjalankan tugas dan peran sebagai perwakilan daerah. Kedua, DPD sebagai badan perwakilan daerah harus dibedakan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang merupakan badan perwakilan yang mewakili aspirasi penduduk (rakyat). Dalam prinsip dasar ini, DPD tidak boleh mengungguli DPR baik dalam ukurannya (jumlah anggota) maupun dalam wewenangnya. Argumentasinya jelas, jumlah wilayah senantiasa lebih sedikit dari jumlah penduduk. Maka jumlah anggota DPD ditentukan 1/3 (satu pertiga) dari jumlah anggota DPR, dan ruang lingkup wewenangnya terbatas pada masalah-masalah yang terkait dengan daerah. Ketiga, DPD sebagai perwakilan daerah harus beranggotakan orang-orang yang dipilih melalui pemilihan umum di masing-musing daerah (provinsi). Dalam prinsip utama ini, anggota-anggota DPD adalah orang-orang yang secara absah dipilih oleh masyarakat daerah setempat untuk mewakili daerah bersangkutan. Maka, anggota DPD tidak mewakili entitas lain apa pun juga selain daerah. Karena itu, anggota DPD tidak wewakili organisasi masyarakat, komunitas agama, dan bahkan partai politik. Semangat, prinsip, dan pemikiran dasar tersebut jelas menegaskan bahwa anggota DPD adalah orang yang mengetahui, mengenal, dan memahami masalah-masalah daerah yang diwakilinya. Orang seperti ini tentu saja adalah orang yang pernah dan memang bertempat tinggal (domisili) di daerah yang bersangkutan. Tentu orang ini bukan orang sembarangan karena yang bersangkutan harus mampu meyakinkan masyarakat setempat untuk memperoleh dukungan suaranya sehingga terpilih menjadi anggota DPD. Semangat, prinsip, dan pemikiran dasar tersebut juga jelas menegaskan bahwa DPD tidak mewakili partai politik atau entitas apapun juga, melainkan mewakili daerah. Karena itu sifat keanggotaan DPD adalah perorangan. Ini juga secara Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 104 langsung maupun tidak langsung membedakan DPD dengan DPR. Keanggotaan DPR didasarkan pada kolektivitas, yaitu partai politik. Dalam batas ini, semangat UUD 1945 mengarahkan para anggota DPD untuk mau dan mempunyai komitmen mewakili aspirasi daerah saja. Semangat, prinsip, dan pemikiran dasar tersebut dituangkan secara lugas dalam UUD 1945, Pasal 22C dan Pasal 22D. Pasal 22C mengatur tentang dari mana, bagaimana, dan berapa jumlah anggota DPD ditentukan. Pasal 22D mengatur tentang ruang lingkup tugas utama dan wewenang DPD. Di antara ketentuan dalam UUD 1945 tersebut, ketentuan yang tertuang dalam Pasal 22C ayat (1) perlu dipahami secara cermat. Ayat ini dirumuskan sebagai berikut: “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dad setiap provinsi melalui pemilihan umum”. Ayat ini pada dasarnya merefleksikan tiga hal utama dalam proses rekruitmen anggota DPD. Hal pertama jelas bahwa anggota DPD harus dipilih melalui pemilihan umum. Baik UU Nomor 12 Tahun 2003 dan UU Nomor 10 Tahun 2008 mengatur pelaksanaan pemilihan umum anggota DPD secara jelas pula. Hal kedua dan ketiga terkait dengan penggunaan rangkain kata “dari setiap provinsi” dalam rumusan ayat (1) tersebut. Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia oleh Indrawan WS yang diterbitkan oleh Penerbit Linatas Media Jombang, menjelaskan kata “dari” sebagai “kata perangkai mengatakan asal”. Dengan penjelasan ini, penggunaan rangkaian kata “dari setiap provinsi” tentu bukan tanpa makna sama sekali. dan, makna itu adalah bahwa anggota DPD berasal dari setiap provinsi, yang menrefleksikan asas tempat tinggal atau domisili; dan, anggota DPD bukan berasal dari tempat asal yang bukan provinsi seperti kabupaten atau kota, partai politik, organisasi kemasyarakatan ataupun organisasi keagamaan. Untuk menegaskan makna kedua hal dari penggunaan rangkaian kata “dari setiap provinsi” itu, dapat diperbadingkan dengan jika penggunaan kata “dari” diubah dengan kata “di” sehingga rumusan ayat (1) menjadi “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih di setiap provinsi melalui pemilihan umum”. Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia tersebut di atas, kata “di” merupakan “kata perangkai yang menyatakan ada pada suatu tempat”. Dengan penjelasan ini, maka arti dari ayat (1) dalam rumusan ini hanya semata-mata menjelaskan di tempat mana anggota Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 3 105 DPD itu dipilih melalui pemilihan umum. Rumusan ayat seperti ini tidak menjelaskan dari mana asal anggota DPD yang dipilih itu. UU Nomor 12 Tahun 2003 dengan cermat mengatur pelaksanaan hal kedua dan ketiga tersebut yang dituangkan dalam Pasal 63 huruf a dan b. UU Nomor 10 Tahun 2008 tidak mengatur sama sekali dua hal mendasar ini. UUD 1945 yang merupakan hasil dari proses amandemen terhadap UUD 1945 secara bertahap pada dasarnya dilatari oleh semangat, prinsip, dan pemikiran dasar tentang bagaimana pembaruan-pembaruan politik harus diterjemahkan dalam ketentuan-ketentuan dasar tentang sistem ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sangat disadari bahwa rumusan-rumusan dalam ketentuan-ketentuan dasar UUD 1945 tidak dapat menenjermahkan keseluruhan makna dari semangat, prinsip, dan pemikiran dasar tentang pembaruan-pembaruan politik. Namun, rumusan-rumusan yang terbatas ini jelas tidak mengurangi makna dari semangat, prinsip, dan pemikiran dasar pembaruanpembaruan yang harus dan perlu ditegakkan itu. Dalam nuansa seperti itu, UUD 1945 memang tidak menyatakan secara eksplisit dalam rumusan ketentuan yang mengatur tentang rekruitmen keanggotaan DPD. Tetapi pilihan atas penggunaan kata-kata dalam rumusan ketentuannya, khususnya Pasal 22C ayat (1), jelas mencerminkan semangat, prinsip, dan pemikiran dasar tentang pembentukan DPD. Pencermatan atas semangat UUD 1945 atas rekruitmen anggota DPD tersebut jelas mengingatkan kembali bahwa merumuskan ketentuan-ketentuan operasional untuk membentuk DPD melalui pemilihan umum harus didasarkan kepada pemahaman yang tepat dan bijaksana terhadap semangat, prinsip, dan pemikiran dasar yang melatari pembentukan DPD tersebut. UU Nomor 10 Tahun 2008 merupakan suatu peraturan perundang-undangan yang harus menjabarkan secara operasional ketentuan-ketentuan dasar yang ada dalam UUD 1945. Dalam menerjemahkan ketentuan-ketentuan dasar ini, suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh mengurangi atau melebih-lebihkan dan sama sekali tidak boleh menghilangkan semangat, prinsip, dan pemikiran dasar yang bukan hanya melatari tetapi menjiwai ketentuan-ketentuan dasar dalam UUD 1945 tersebut. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 106 Atas dasar pemahaman ini, tidak salah sama sekali untuk menegaskan bahwa ketentuan tentang persyaratan domisili dan tidak menjadi pengurus partai politik merupakan amanat dari UUD 1945 yang harus dirumuskan secara nyata dalam ketentuan operasionalnya di dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, perlu dilakukan revisi terhadap UU Nomor 10 Tahun 2008 untuk secara khusus memasukan ketentuan tentang kedua persyaratan tersebut. [2.4] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 13 Mei 2008, dan 10 Juni 2008, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah memberi keterangan, sebagai berikut: A. Ketentuan Pasal-pasal Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dimohonkan Pengujian terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Para Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian atas Undang-Undang tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengenai ketiadaan syarat domisili dan syarat non partai politik yang tidak tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. Ketentuan Pasal 12 menyebutkan: Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2): a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih; b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. Cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia; e. Berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat; f. Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 107 g. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; h. Sehat jasmani dan rohani; i. Terdaftar sebagai pemilih; j. Bersedia bekerja penuh waktu; k. Mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali; l. Bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundang-undangan; m. Bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara; n. Mencalonkan hanya 1 (satu) lembaga perwakilan; o. Mencalonkan hanya 1 (satu) daerah pemilihan; dan p. Mendapat dukungan minimal dari pemilih dari daerah pemilihan yang bersangkutan. Ketentuan Pasal 67 menyebutkan: (1) Perseorangan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13 dapat mendaftarkan diri sebagai bakal calon anggota DPD kepada KPU melalui KPU provinsi. (2) Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan : a. kartu tanda penduduk Warga Negara Indonesia; b. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB, syahadah, sertifikat, atau surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program pendidikan menengah; Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 108 c. surat keterangan catatan kepolisian tentang tidak tersangkut perkara pidana dari Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat; d. surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani; e. surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih; f. surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja penuh waktu yang ditandatangani di atas kertas bermaterai cukup; g. surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, dan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD yang ditandatangani di atas kertas bermaterai cukup; h. surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, pengurus pada badan lain yang anggarannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan i. surat pernyataan tentang kesediaan hanya mencalonkan untuk 1 (satu) lembaga perwakilan yang ditandatangani di atas kertas bermaterai cukup. B. Hak dan/atau kewenangan Konstitusional yang dianggap Pemohon dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Para Pemohon dalam permohonan a quo, mengemukakan bahwa hak/kewenangan konstitusionalnya dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu sebagai berikut : 1. Pemohon I, Pemohon II dan Pemohon IV beranggapan ketiadaan syarat domisili memberikan peluang kepada siapa saja yang tidak berasal dari suatu provinsi yang bersangkutan dapat mencalonkan diri menjadi anggota DPD, danImplikasi juga ketiadaan syarat non-partai politik membuka kemungkinan peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 109 calon dari partai politik untuk berkompetisi dengan calon perseorangan dalam pemilihan anggota DPD. Sehingga menurut Pemohon I, Pemohon II, Pemohon IV hak/kewenangan konstitusionalnya yang dijamin Pasal 22D ayat (1), (2), (3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E ayat (2), Pasal 22E ayat (1) dirugikan oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. 2. Pemohon III tidak menguraikan secara konkrit mengenai hak konstitusionalnya yang dirugikan, oleh karena memang dalam permohonan a quo telah dikemukakan bahwa kepentingan Pemohon III tidak ada relevansinya dengan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum yang dipertentangkan dengan Pasal 22E ayat (4) UUD Tahun 1945. a. Pasal 22C ayat (1) UUD Tahun 1945 : ”Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum”. b. Pasal 22E ayat (4) UUD Tahun 1945: ”Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan”. Berdasarkan hal-hal tersebut, dengan ini DPR menyampaikan keterangan dan pandangan-pandangan sebagai berikut: C. Keterangan DPR RI Atas Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD terhadap UUD Tahun 1945 C.1. Mengenai Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh para Pemohon sebagai pihak telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 110 c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara.” Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam Penjelasannya, bahwa “yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menjelaskan, bahwa hanya hakhak yang secara eksplisit diatur dalam UUD Tahun 1945 saja yang termasuk “hak konstitusional”. Sehingga menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan: a. Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; b. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam UUD 1945; c. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam “Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji. Batasan-batasan mengenai kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya satu undangundang menurut Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 010/PUU-III/2005) yaitu sebagai berikut: a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD Tahun 1945; b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang Implikasi menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 111 d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam mengajukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pihak. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON Dalam permohonan a quo dikemukakan sebagai berikut: Pemohon I adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang merupakan Lembaga Negara, beranggapan bahwa kewenangan konstitusionalnya yang dijamin dalam Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E ayat (2) dan Pasal 23F ayat (1) UUD 1945, dirugikan dengan diberlakukannya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (selanjutnya disebut Undang-Undang tentang Pemilihan Umum), karena dalam pasalpasal tersebut tidak mencantumkan persyaratan bahwa calon anggota DPD harus berdomisili di provinsi yang bersangkutan, serta tidak terdapat persyaratan bahwa calon anggota DPD bukan anggota partai politik. Pemohon II adalah para anggota DPD yang dalam permohonan a quo berkedudukan sebagai “perorangan (kelompok orang) WNI”, sebagaimana dijamin dalam Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 beranggapan bahwa hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, oleh karena ketiadaan syarat domisili menyebabkan pemilihan anggota DPD suatu provinsi dapat diikuti oleh orang-orang yang tidak berasal dari provinsi yang bersangkutan, dan ketiadaan syarat non-partai politik membuka kemungkinan calon dari partai politik untuk berkompetisi dengan calon perseorangan dalam pemilihan anggota DPD. Pemohon III (Direktur Eksekutif CETRO, Ketua Dewan Pakar Sekretariat Nasional Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat, Ketua Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 112 Umum IPC, Koordinator FORMAPPI) yang dalam permohonan a quo berkedudukan sebagai perorangan WNI, tidak menjelaskan secara konkrit dan spesifik mengenai hak konstitusional yang mana yang telah dirugikan atau yang berpotensi menimbulkan kerugian oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. Pemohon IV (warga daerah) dalam permohonan a quo berkedudukan sebagai “perorangan (kelompok orang) WNI” beranggapan memiliki kedudukan hukum (legal standing) yang sama dengan Pemohon II, sehingga juga hak konstitusionalnya yang dijamin dalam Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 telah dirugikan sebagaimana yang dialami oleh Pemohon II. Bahwa terhadap dalil-dalil para Pemohon a quo mengenai kedudukan hukum (legal standing), DPR berpandangan, dalam hal ini terhadap permohonan para Pemohon a quo perlu dipertanyakan dahulu mengenai kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon yaitu: ¾ Apakah para Pemohon sudah memenuhi kualifikasi sebagai pihak [kualifikasi Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasannya Undang-Undang Mahkamah Konstitusi] ? ¾ Adakah hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diatur dalam UUD 1945 ? ¾ Apakah hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon dirugikan oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Pemilihan Umum ? Apabila para Pemohon menganggap sudah memenuhi kualifikasi yang ditentukan sebagai pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, maka pertanyaan berikutnya adalah, apakah terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam UUD 1945?. Dalam hal terdapat hak dan/atau kewenangan kosntitusional yang diatur dalam UUD 1945, maka selanjutnya perlu dipertanyakan apakah hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dirugikan dengan berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum ? Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 113 1. Mengenai Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon I (DPD) Dalam permohonan a quo, Pemohon I berkedudukan sebagai Lembaga Negara beranggapan kewenangan konstitusionalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E ayat (2) dan Pasal 23F ayat (1) UUD 1945, berpotensi menimbulkan kerugian oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, oleh karena dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang a quo tidak mencantumkan syarat domisili dan syarat larangan bagi pengurus/anggota partai politik untuk mencalonkan sebagai anggota DPD, sehingga hal ini dianggapnya bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Adapun ketentuan UUD 1945 yang mengatur kewenangan DPD yaitu: Pasal 22D ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945: (1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi pembentukan dan daerah, hubungan pemekaran serta pusat dan daerah, penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. (2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undangundang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja Negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. (3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 114 pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja Negara, pajak, pendidikan dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Pasal 23 ayat (2) UUD 1945: (2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. Pasal 23E ayat (2) UUD 1945: (2) Hasil pemeriksaan keuangan Negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya. Pasal 23F ayat (1) UUD 1945: (1) Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden. Dalil yang menjadi dasar yuridis legal standing bagi permohonan Pemohon I tersebut tidak berdasar, apabila mencermati makna Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 mengenai kewenangan konstitusional DPD, dikaitkan dengan persyaratan administrasi yang diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. Dalam hal ini Pemohon I a quo beranggapan ketiadaan syarat domisili dan ketiadaan syarat non partai politik dalam norma Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang a quo, bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Berdasarkan argumen Pemohon I tersebut justru menunjukkan bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum tidak terdapat pertentangan dan tidak ada relevansinya dengan kewenangan Pemohon I sebagai Lembaga Negara yang diatur dalam Pasal 22D ayat (1), (2), (3) UUD 1945. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 115 Perlu dipahami bahwa kewenangan konstitusional Pemohon I sebagai Lembaga Negara yang diatur dalam Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E ayat (2) dan Pasal 23F ayat (1) UUD 1945, adalah kewenangan konstitusional yang diberikan setelah terbentuknya DPD melalui pemilihan umum, sedangkan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum mengatur syarat-syarat pencalonan anggota DPD, artinya secara kelembagaan DPD belum hubungannya dengan terbentuk. prosedur Sehingga pencalonan tidak anggota ada DPD sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UndangUndang a quo. Terhadap dalil Pemohon I tersebut, DPR berpendapat bahwa benar Pemohon I yang berkedudukan sebagai Lembaga Negara memiliki kualifikasi sebagai pihak, dan memiliki kewenangan konstitusional yang diatur dalam UUD 1945. Namun hal ini perlu dipertanyakan dahulu apakah kewenangan konstitusional Pemohon I benar-benar dirugikan atau berpotensi menimbulkan kerugian dengan berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang a quo ? Menjawab pertanyaan tersebut, sudah jelas dan tegas bahwa norma konstitusi yang terkandung dalam Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E ayat (2) dan Pasal 23F ayat (1) UUD 1945, tidak ada relevansinya antara kewenangan konstitusional yang dijamin Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3) Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E ayat (2) dan Pasal 23F ayat (1) UUD 1945, dengan persyaratan administrasi yang diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang a quo. Apalagi jika dipertanyakan adakah hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian konstitusional yang akan ditimbulkan dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji? Menjawab pertanyaan tersebut, DPR berpendapat bahwa secara konstitusional, sudah jelas bahwa kewenangan konstitusional Pemohon I sebagai Lembaga Negara yang dijamin dalam UUD 1945 tidak dirugikan atau berpotensi menimbulkan kerugian konstitusional oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang a quo, oleh karena memang antara kewenangan konstitusional Pemohon I yang diatur dalam Pasal Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 116 22D ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E ayat (2), Pasal 23F ayat (1) UUD 1945 tidak ada relevansinya dan tidak terdapat causal verband dengan persyaratan administrasi yang diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang a quo. Dalam Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan: “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum”, dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 mengamanatkan: “Peserta pemilihan umum untuk memilih Anggota DPD adalah perseorangan”. Jelas dan tegas bahwa Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 mengatur tentang syarat konstitusional bagi calon anggota DPD yang harus dipilih dari perseorangan setiap provinsi melalui pemilihan umum, artinya bahwa pengaturan syarat konstitusional ini mengandung arti bahwa setiap warga negara Indonesia disetiap provinsi dan yang berasal dari provinsi manapun mempunyai hak yang sama untuk menjadi calon anggota DPD tanpa adanya pembatasan harus berasal dan berdomisili dari provinsi yang bersangkutan. Ketentuan ini sejalan dengan Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Adapun bunyi Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yaitu: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, dan bunyi Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 ialah: “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Dengan demikian Pemohon I tersebut keliru dalam memaknai Konstitusi yang mensyaratkan anggota DPD harus berasal dan berdomisili di provinsi yang bersangkutan. Sekali lagi ditegaskan bahwa Konstitusi UUD 1945 Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) tidak mengharuskan calon anggota DPD harus berasal dan berdomisili dari provinsi yang bersangkutan. Makna perseorangan dari Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 dapat ditafsirkan siapa saja setiap warga negara [in casu Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945] diberikan hak konstitusional yang sama untuk menjadi calon anggota DPD sepanjang yang bersangkutan mencalonkan diri sendiri tidak dicalonkan oleh institusi baik oleh suatu Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 117 organisasi masyarakat maupun oleh partai politik. Termasuk anggota/pengurus partai politik, pensiunan TNI/POLRI, PNS, siapa saja sepanjang memenuhi syarat Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum dapat mencalonkan diri secara perseorangan atas nama diri sendiri bukan atas nama partai politik untuk menjadi anggota DPD. Dengan demikian, secara konstitusional pula konstitusi UUD 1945 tidak mengatur secara eksplisit dan limitatif yang mensyaratkan bahwa anggota DPD harus berasal dan berdomisili dalam kurun waktu tertentu di provinsi tertentu, serta tidak juga mengatur larangan bagi pengurus/ anggota partai politik untuk mencalonkan diri menjadi anggota DPD. Oleh karena itu, DPR berpandangan bahwa karena tidak ada relevansinya antara kewenangan konstitusional Pemohon I a quo (DPD) sebagai lembaga negara yang diatur dalam Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23 ayat (2), Psal 23 ayat (2), dan Pasal 23F ayat (1) UUD 1945 dengan persyaratan administrasi yang diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang a quo, maka logika hukum nya jelas tidak ada potensi kerugian konstitusional bagi Pemohon I. Dengan demikian berdasarkan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 10/PUU-III/2005), DPD sebagai lembaga negara yang mempertentangkan Pasal 12 dan 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, Pemohon I a quo tidak memenuhi persyaratan kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. 2. Mengenai Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon II (Anggota DPD) Pemohon II adalah para anggota DPD yang dalam permohonan a quo berkedudukan sebagai “perorangan (kelompok orang) WNI”, beranggapan bahwa ketiadaan syarat domisili dan ketiadaan syarat nonpartai politik telah merugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 118 Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. Oleh karena menurut Pemohon II ketiadaan syarat domisili memberikan peluang kepada siapa saja yang tidak berasal dari suatu provinsi yang bersangkutan dapat mencalonkan diri menjadi anggota DPD, dan juga ketiadaan syarat non-partai politik membuka kemungkinan calon dari partai politik untuk berkompetisi dengan calon perseorangan dalam pemilihan anggota DPD. Dalam permohonan a quo, dikemukakan bahwa kepentingan hukum Pemohon II sama dengan Pemohon I yang mempertentangkan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum yang tidak mencantumkan persyaratan domisili dan larangan bagi anggota partai politik, dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Terhadap dalil-dalil Pemohon II tersebut, DPR berpandangan, bahwa Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan: “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum”, dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 mengamanatkan: “Peserta pemilihan umum untuk memilih Anggota DPD adalah perseorangan”. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa ketentuan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 mengatur persyaratan konstitusional yang menegaskan; pertama, bahwa pemilihan anggota DPD termasuk dalam rezim pemilihan umum (vide Pasal 22E UUD 1945), karena secara konstitusional harus dipilih melalui pemilihan umum, bukan lagi diangkat sebagai utusan daerah sebagaimana yang pernah terjadi sebelum Perubahan UUD 1945. Kedua, persyaratan konstitusional berikutnya anggota DPD harus dipilih dari setiap provinsi, berarti setiap provinsi di NKRI dapat diwakili oleh setiap Warga Negara Indonesia yang akan mencalonkan diri secara perseorangan menjadi anggota DPD [vide Pasal 22E ayat (4) UUD 1945]. Ketentuan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 tidak memberikan pembatasan yang eksplisit bahwa anggota DPD harus dipilih dari provinsi tertentu yang merepresentasikan langsung anggota DPD yang bersangkutan, oleh karena berasal dan berdomisili dari provinsi yang bersangkutan. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 119 DPR berpandangan, bahwa ketentuan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 mengandung makna bahwa anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum harus calon dari perseorangan (perseorangan berarti setiap warga negara baik anggota partai politik maupun bukan anggota partai politik), bukan calon yang diajukan oleh partai politik, yang dapat juga menimbulkan tafsir konstitusional bahwa meskipun calon anggota DPD berasal dari partai politik, sepanjang yang bersangkutan mencalonkan diri atas nama pribadi secara perseorangan, tidak diajukan atau dicalonkan oleh partai politik yang bersangkutan, maka atas nama perseorangan dapat mencalokan diri menjadi anggota DPD. Kaitannya dengan hak konstitusional anggota DPD, perlu dicermati bahwa dalam UUD 1945 tidak ada ketentuan konstitusional yang khusus mengatur hak konstitusional anggota DPD, yang ada hak setiap orang untuk menjadi anggota DPD. Secara khusus hak dan kewenangan anggota DPD diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Tetapi secara kelembagaan DPD sebagai lembaga negara diberikan hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam Pasal 22D ayat (1), (2), (3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E ayat (2), Pasal 23F ayat (1) UUD 1945. Meskipun anggota DPD dalam pemohonan a quo berkedudukan sebagai perorangan WNI, secara konstitusional tidak ada kerugian oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UndangUndang tentang Pemilihan Umum, karena secara perseorangan setiap WNI diberikan hak untuk mencalonkan diri menjadi anggota DPD. Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 010/PUU-III/2005), DPR berpandangan bahwa anggota DPD yang berkedudukan sebagai perorangan WNI tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak dalam pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD terhadap UUD 1945. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 120 3. Mengenai Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon III (LSM) Pemohon III (CETRO, SETNAS PERLINDUNGAN HAK KONSTITUSIONAL MASYARAKAT HUKUM ADAT, IPC, FORMAPPI) yang dalam permohonan a quo adalah bahwa CETRO merupakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berbentuk badan hukum privat (yayasan), dan IPC merupakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berbentuk badan hukum privat (perkumpulan), sedangkan FORMAPPI merupakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang terdiri dari “perorangan (kelompok orang) WNI”. Bahwa dalam permohonan a quo, Pemohon III tidak menjelaskan secara konkrit dan spesifik mengenai hak konstitusional yang mana yang telah dirugikan atau yang berpotensi menimbulkan kerugian oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. SETNAS PERLINDUNGAN HAK KONSTITUSIONAL MASYARAKAT HUKUM ADAT selaku Pemohon III beranggapan ketiadaan syarat domisili dan ketiadaan syarat non-partai politik dalam Undang-Undang Pemilu a quo menyebabkan aspirasi dan kepentingan masyarakat hukum adat terancam tidak terwakili. Terhadap dipertanyakan dalil kepada tersebut DPR Sekretariat berpendapat Nasional perlu juga Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat mengenai masyarakat hukum adat yang mana yang dirugikan hak konstitusionalnya? hal ini penting dalam legal standing karena terkait dengan kepentingan langsung dari masyarakat hukum adat itu sendiri. Perlu juga dicermati bahwa tidak terdapat relevansinya antara kepentingan masyarakat hukum adat dengan hak konstitusional perseorangan sebagai persyaratan untuk menjadi anggota DPD melalui pemilihan umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Selain itu juga tidak ada relevansinya antara kepentingan hukum masyarakat hukum adat dengan persyaratan administrasi untuk menjadi anggota DPD sebagaimana diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang- Undang tentang Pemilihan Umum. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 121 Dalam permohonan a quo dikemukakan mengenai kepentingan hukum dari masing-masing principal dalam kelompok Pemohon III yaitu sebagai berikut: 1. Pemohon III (Direktur Eksekutif CETRO) berkepentingan terhadap upaya upaya pembaharuan pemilu demi terselenggaranya pemilu yang demokratis. 2. Pemohon III (Ketua Dewan Pakar SETNAS PERLINDUNGAN HAK KONSTITUSIONAL MASYARAKAT HUKUM ADAT) berkepentingan terhadap penyaluran aspirasi masyarakat hukum adat sebagai bagian dari aspirasi masyarakat daerah melalui terpilihnya wakilwakil daerah yang tepat di DPD agar aspirasi dan hak-hak masyarakat hukum adat yang dijamin oleh Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 18I ayat (3) UUD 1945 terlindungi. 3. Pemohon III (Ketua Umum IPC) berkepentingan terhadap terselenggaranya Pemilu yang demokratis. 4. Pemohon III (Koordinator FORMAPPI) berkepentingan terhadap terselenggaranya Pemilu yang demokratis. Bahwa jelas Pemohon III walaupun berkedudukan sebagai perorangan WNI dalam permohonan a quo memiliki kepentingan hukum yang berbeda dengan kepentingan hukum Pemohon I, Pemohon II dan Pemohon IV. Sebagaimana telah diuraikan bahwa Pemohon I, Pemohon II dan Pemohon IV beranggapan memiliki kepentingan terhadap hak/ kewenangan konstitusional yang diatur dalam UUD 1945 yang dirugikan oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. Sedangkan Pemohon III tidak ada kepentingan terhadap hak konstitusionalnya yang dilanggar atau dirugikan oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang a quo. Dalam konteks dan content pengujian undang-undang a quo tidak ada relevansinya antara kepentingan Pemohon III dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 juncto Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. Dengan demikian sudah dapat dipastikan tidak ada kerugian atau berpotensi menimbulkan kerugian terhadap Pemohon III. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 122 Adapun Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan: “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum”, dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 mengamanatkan: “Peserta pemilihan umum untuk memilih Anggota DPD adalah perseorangan”. Berdasarkan ketentuan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, jelas tidak ada relevansinya antara syarat untuk menjadi anggota DPD dengan kepentingan hukum Pemohon III, dan juga Pemohon III selaku organisasi baik LSM yang sudah berbadan hukum maupun dalam bentuk perkumpulan tidak memiliki kepentingan yang sama dengan Pemohon I, II, dan IV terhadap Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Pemilu a quo. Dikaitkan dengan hak konstitusional masyarakat hukum adat yang dijamin dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, di mana hak-hak tradisionalnya diakui dan dihormati oleh negara, harus dibedakan dengan hak konstitusional setiap warga negara untuk menjadi anggota DPD yang dijamin Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Hak-hak tradisional masyarakat hukum adat tersebut adalah termasuk hak asasi dalam kelompok hak ekonomi, sosial, dan budaya, sedangkan hak yang dimaksud dalam Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 termasuk dalam hak sipil dan politik. Dengan perbedaan ini jelas tidak ada relevansinya antara kepentingan masyarakat hukum adat yang diatur dalam Pasal 18B ayat (2) juncto Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 dengan syarat konstitusional untuk menjadi anggota DPD yang diatur dalam Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Pemohon III juga tidak menjelaskan secara konkrit dan spesifik mengenai hak konstitusional yang mana, yang dirugikan atau yang berpotensi menimbulkan kerugian oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. Hal ini sangat penting untuk menentukan legal standing sesuai Pasal 51 ayat (2) UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan, “bahwa pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 dan/atau kewenangan 123 konstitusionalnya yang dirugikan dengan berlakunya undangundang”. Oleh karena itu, DPR berpandangan bahwa Pemohon III tidak memenuhi persyaratan memenuhi persyaratan kedudukan hukum (legal standing) dalam pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. 4. Mengenai Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon IV (Warga Daerah). Dalam permohonan a quo Pemohon IV (warga daerah) berkedudukan sebagai “perorangan (kelompok yang orang) WNI” beranggapan memiliki kedudukan hukum (legal standing) yang sama dengan Pemohon II, sehingga juga hak konstitusionalnya telah dirugikan sebagaimana yang dialami oleh Pemohon II. Terhadap dalil Pemohon IV tersebut, DPR berpandangan bahwa benar warga daerah selaku perorangan WNI dapat sebagai pihak dalam pengujian Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, terhadap UUD 1945, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a dan Penjelasannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Tetapi perlu dipertanyakan apakah hak konstitusional Pemohon IV selaku perorangan WNI sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 dirugikan oleh berlakukan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum? Sebagaimana telah diuraikan mengenai persyaratan kedudukan hukum (legal standing) yang harus dipenuhi Pemohon II yang juga berkedudukan sebagai perorangan WNI, DPR berpandangan bahwa Pemohon IV selaku konstitusionalnya, perorangan oleh perseorangan sebagai konstitusional untuk karena warga WNI kepada negara mencalonkan diri tidak dirugikan Pemohon Indonesia menjadi IV secara diberikan anggota hak hak DPD sebagaimana diatur dalam Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Dengan demikian, karena tidak ada hak konstitusional Pemohon IV yang dirugikan atau dilanggar oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 124 Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, maka Pemohon IV tidak memenuhi kedudukan hukum (legal standing). Secara umum, dapat dikemukakan bahwa terhadap legal standing sebagaimana dijelaskan oleh para Pemohon, perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut: a. Bahwa cakupan dari Undang-Undang Pemilihan Umum meliputi teknis pelaksanaan Pemilu. Dengan demikian Undang-Undang tentang Pemilihan Umum lebih terkait dengan hak individu atau perseorangan khususnya hak sipil dan politik, lebih khusus lagi hak untuk memilih dan dipilih atau right to be candidate. b. Dengan demikian legal standing Pemohon yang berupa lembaga negara dan badan hukum tidak tepat sebagai Pemohon dalam pengajuan uji materiil undang-undang ini. Undang-Undang tentang Pemilihan Umum tidak mengatur kewenangan konstitusional DPD, apalagi merugikan kewenangan kontitusional DPD yang terdapat di dalam Pasal 22D UUD 1945, karena bukan ruang lingkup pengaturan Undang-Undang Pemilihan Umum. Penjabaran kewenenangan DPD diatur di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Sementara untuk kesatuan masyarakat hukum adat lebih terkait dengan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dibandingkan dengan Hak Sipil dan Politik. c. Sebagai perorangan Warga Negara Indonesia, undang-undang memang mengatur hak memilih dan hak dipilih. Legal standing yang diajukan Pemohon tidak tepat. Undang-Undang tentang Pemilihan Umum telah memberikan jaminan hak politik warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang menjamin setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Demikian pula dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Pasal 25 yang menyebutkan: Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 125 “Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apapun sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak layak, untuk: a) Ikut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara langsung ataupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas; b) Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang murni, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari para pemilih; c) Memperoleh akses pada pelayanan umum di negaranya atas dasar persamaan dalam arti umum”. Apabila dikaitkan pula dengan kovenan internasional tersebut, UU Pemilu tidak melanggar hak-hak sipil dan politik. Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka permohonan para Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 010/PUU-III/2005), karenanya permohonan para Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvantkelijk verklaard). C.2. Mengenai Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang. Dalam permohonan a quo para Pemohon pada pokoknya mendalilkan bahwa ketiadaan syarat domisili dan ketiadaan syarat non partai politik dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum dianggapnya bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Jadi sesungguhnya yang dipertentangkan oleh para Pemohon a quo bukan materi muatan berupa norma-norma yang tertuang dalam undang-undang, melainkan suatu rumusan frasa yang menurut para Pemohon harus dituangkan dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang a quo. Jika demikian halnya berarti secara normatif Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum sesungguhnya tidak melanggar dan tidak bertentangan Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 126 dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Keharusan menguraikan materi muatan undang-undang secara jelas berupa pasal/ayat/bagian-bagian dalam pengujian materiil undang-undang terhadap UUD 1945 diperintahkan oleh Pasal 51 ayat (3) huruf b UndangUndang tentang Mahkamah Konstitusi. “Para Pemohon dalam permohonan a quo halaman 52 angka 86, Para Pemohon menyadari bahwa Permohonan Pengujian UndangUndang ini adalah mengenai ketiadaan norma dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, sedangkan dalam praktek pada umumnya pengujian undang-undang dilakukan karena adanya norma (ketentuan) undang-undang yang dianggap inkonstitusional”. Kalau memang benar-benar menyadari, seharusnya kuasa hukum para Pemohon tidak mengabaikan tetapi justru sebagai bagian dari penegak hukum mengindahkan ketentuan Pasal 51 ayat (3) huruf b Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi yang merupakan hukum positif dan sudah berlangsung dalam praktik ketatanegaraan dalam hal melakukan pengujian materil undang-undang terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi yang merupakan lembaga negara pengawal konstitusi (the guardian of the constitution). Mengingat yang diajukan para Pemohon sesungguhnya adalah mengenai ketiadaan syarat domisili dan syarat non partai politik sebagaimana disadari betul oleh para Pemohon sendiri, maka untuk kepentingan penyampaian keterangan/pandangan DPR ini, mohon diizinkan untuk menguraikan norma-norma hukum yang dapat diuji kebenarannya dalam hubungannya dengan pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang. Dalam praktik dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji atau yang biasa disebut sebagai “norm control mechanism”. Norma hukum yang dapat diuji tentunya adalah norma hukum yang berlaku karena memiliki validitas daya ikat (mengikat) setelah ditetapkan oleh lembaga-lembaga yang mempunyai otoritas dan kewenangan yang diberikan undang-undang. Masih terkait dengan norma hukum yang dapat diuji tersebut, ketiga norma hukum tersebut sama-sama merupakan bentuk norma Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 127 hukum sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan yaitu; (i) Keputusan normatif yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling); (ii) Keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan administratif (beschikking); (iii) Keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) yang biasa disebut vonis, (Belanda:Vonnis).” Dalam konsep pengujian undang-undang, maka undang-undang yang bersifat general and abstract, merupakan keputusan normatif yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling) dan mengikat umum yang disetujui DPR bersama Presiden. Oleh karena sifatnya yang general and abstract, undang-undang sebagai objek yang hendak diuji haruslah norma-norma hukum dalam undang-undang yang sudah disahkan. Artinya yang dapat diuji adalah norma hukum yang tertulis dalam materi muatan undang-undang yang tertuang dalam pasal-pasal. Dalam ilmu hukum tata negara undang-undang merupakan salah satu sumber hukum tata negara, sehingga undang-undang yang menjadi objek pengujian tersebut dapat diuji konstitusionalitasnya terhadap UUD 1945 di peradilan tata negara seperti Mahkamah Konstitusi. Secara teoritis, pengujian (toetsing) dibedakan antara materiile toetsing dan formeele toetsing. Perbedaan tersebut biasanya dikaitkan dengan perbedaan pengertian antara wet in materiile zin (undang-undang dalam arti materiil) dan wet in formeelezin (undang-undang dalam arti formal). Kedua bentuk pengujian tersebut oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dibedakan dengan istilah pembentukan undang-undang dan materi muatan undang-undang. Pengujian atas materi muatan undang-undang adalah pengujian materiil, sedangkan pengujian atas pembentukan undang-undang adalah pengujian formil. Jika pengujian undang-undang tersebut dilakukan atas materinya, maka pengujian demikian disebut pengujian materiil yang berakibatkan dibatalkannya sebagian materi undang-undang yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan materi muatan undang-undang itu ialah isi ayat, pasal atau bagian-bagian tertentu dari undang-undang. Lazim dipahami bahwa yang dimaksud dengan isi atau materi undang-undang adalah pasal-pasal dan termasuk undang-undang itu sendiri sebagai bagian yang tidak Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 128 terpisahkan dari pasal-pasal undang-undang tersebut, karenanya bersifat mengikat pula secara hukum. Jika dilihat dari segi materiil, berarti hal-hal yang dipersoalkan itu dilihat sebagai materi muatan undang-undang yang seharusnya tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Menurut teori Hak Uji Materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki kemudian menilai apakah suatu perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya. Berarti hak uji materiil ini berkenaan dengan materi/isi dari undang-undang yang diuji terhadap UUD 1945. Selanjutnya dikatakan, “apabila suatu undang-undang dilihat dari isinya bertentangan dengan UUD, maka undang-undang tersebut harus dinyatakan tidak memiliki daya mengikat”. Frasa “isinya” ini artinya norma-norma hukum yang tertulis dalam materi muatan undang-undang, karena jika norma hukum tertulis ini bertentangan dengan UUD 1945 harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dalam Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan, “Pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa”; (a) Pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945; dan/atau (b) Materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan UUD 1945”. Dengan demikian harus dimaknai bahwa pengujian materiil atas undang-undang terhadap UUD 1945 ialah menguji suatu undang-undang yang materi muatannya berupa pasal, ayat, dan/atau bagian-bagian dari undang-undang yang dianggapnya bertentangan dengan UUD 1945. Berarti objek pengujian atas undang-undang adalah isi pasal, ayat/ bagian-bagian yang memiliki kekuatan hukum mengikat dalam undangundang. Oleh karena apabila isi pasal, ayat/bagian-bagian dari undangundang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, maka Mahkamah Konstitusi akan memutuskan, menyatakan bahwa ketentuan isi pasal, ayat/bagian-bagian dari undang-undang tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. (vide Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi). Isi amar putusan ini harus dimaknai pertama, Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 129 bahwa hanya materi muatan pasal, ayat/bagian-bagian dari undangundang saja yang dapat diuji terhadap UUD 1945, dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Kedua, bahwa hanya materi muatan pasal, ayat/bagian-bagian dari undang-undang yang berlaku (memiliki kekuatan hukum mengikat) saja yang dapat dianggap bertentangan dengan UUD 1945, dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Bagaimana mungkin dalam permohonan perkara a quo yang tidak menguraikan pasal, ayat dari Undang-Undang tentang Pemilihan Umum yang dianggapnya bertentangan dengan UUD 1945, mengajukan petitum agar ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD 1945 dan harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat? Oleh karena yang diajukan pengujian oleh para Pemohon adalah mengenai ketiadaan syarat domisili dan syarat non partai politik dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, bukan materi muatan pasal-pasalnya. Perlu dipahami oleh para Pemohon, bahwa dalam praktik persidangan pengujian undangundang di Mahkamah Konstitusi ialah hanya materi muatan pasal, ayat/ bagian-bagian dari undang-undang yang memiliki kekuatan hukum mengikat saja yang dapat diuji terhadap UUD 1945. Sedangkan mengenai ketiadaan syarat domisli dan syarat non partai politik yang didalilkan oleh para Pemohon a quo bukan suatu norma yang memiliki kekuatan hukum mengikat. C.3. Mengenai Pokok Permohonan Dalam permohonan a quo dikemukakan bahwa pokok materi permohonan yang diajukan oleh para Pemohon adalah ketiadaan syarat domisili dan syarat non partai politik yang tidak tercantum dalam ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, yang dianggapnya bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Terhadap pokok materi permohonan tersebut, DPR akan menyampaikan keterangan, argumentasi, dan tanggapan terhadap dalil yang diajukan oleh para Pemohon, sebagai berikut: Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 130 1) Mengenai ketiadaan norma dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 Dalam permohonan a quo para Pemohon tidak menguraikan secara konkrit mengenai pasal/ayat/bagian-bagian dari undang-undang yang hendak diuji terhadap UUD 1945. Bahwa yang dipersoalkan oleh para Pemohon a quo ialah mengenai ketiadaan norma mengenai syarat domisili dan syarat non partai politik yang tidak diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. Dalil yang dikemukakan para Pemohon dalam permohonan a quo nomor 86 halaman 52, para Pemohon telah menyadari bahwa permohonan pengujian undang-undang ini adalah mengenai ketiadaan norma dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, sedangkan praktek umumnya pengujian undang-undang dilakukan karena adanya norma (ketentuan) di dalam undangundang yang dianggap inkonstitusional. Selanjutnya para Pemohon menginterpretasikan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, bahwa inkonstitusionalitas suatu undangundang dapat disebabkan oleh adanya norma undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 maupun mengenai tiadanya norma tertentu dalam undang-undang. Bahwa terhadap dalil tersebut, para Pemohon kiranya perlu mencermati ketentuan Pasal 51 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 24 menyebutkan Tahun 2003 bahwa, tentang ”dalam Mahkamah permohonan, Konstitusi pemohon yang wajib menguraikan dengan jelas materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Ketentuan ini tentunya dimaksudkan bahwa materi muatan tersebut berupa rumusan norma yang terdapat dalam pasal, ayat, bagian dari undang-undang a quo yang bertentangan dengan UUD 1945. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pada Pasal 1 angka 2 menyebutkan Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 131 bahwa, “Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat negara yang berwenang dan mengikat secara umum. Undang-Undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden”. Dengan demikian undang-undang adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden dan mengikat secara umum. Peraturan yang tidak tertulis bukan merupakan undang-undang. Sehingga uji materiil terhadap undang-undang juga harus diartikan menguji apa yang tertulis di dalam undang-undang tersebut. Oleh karena itu, DPR berpandangan bahwa ketiadaan syarat domisili dan ketiadaan syarat non-partai politik dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum tidak dapat menjadikan Pasal 12 UndangUndang tentang Pemilihan Umum kemudian dianggap bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD Tahun 1945, karena rumusan yang terdapat di dalam Pasal 12 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum dari huruf a sampai dengan huruf p, tidak bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD Tahun 1945. Pasal 12 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum menyebutkan: Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2): a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia; e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat; f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 132 melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; h. sehat jasmani dan rohani; i. terdaftar sebagai pemilih; j. bersedia bekerja penuh waktu; k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali; l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundangundangan; m.bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara; n. mencalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; o. mencalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan; dan p. mendapat dukungan minimal dari pemilih dari daerah pemilihan yang bersangkutan. Para Pemohon tidak menyebutkan pada kalimat, frasa, kata, huruf, maupun tanda baca mana dalam Pasal 12 tersebut yang bertentangan dengan UUD 1945, dan memang para Pemohon telah mengakui dan menyatakan dalam angka nomor 92 halaman 53-54 bahwa, “norma-norma yang telah ada (tertulis) dalam UU Pemilu telah sesuai dan tidak bertentangan dengan UUD 1945, namun apa yang tiada-lah yang bertentangan dengan UUD 1945”. Dengan demikian, sangat tidak berdasar apabila norma-norma yang tidak Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 133 bertentangan dengan UUD 1945 tersebut dimohonkan untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 Demikian pula akan menjadi janggal apabila rumusan yang tertulis pada Pasal 12 huruf a sampai dengan huruf p Undang-Undang tentang Pemilihan Umum yang tidak bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 dinyatakan bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Pada Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum juga mengatur mengenai kelengkapan administratif bagi calon anggota DPD. Pasal ini merupakan implikasi dari Pasal 12 Undang-Undang a quo. Tentu saja pada pasal ini tidak mencantumkan kelengkapan administrasi yang terkait dengan syarat domisili dan syarat non-partai politik, mengingat pada Pasal 12 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, kedua norma tersebut tidak dipersyaratkan. Selanjutnya sama dengan argumentasi sebelumnya, akan menjadi janggal apabila keseluruhan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum dimohonkan untuk dinyatakan bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, sementara keseluruhan rumusan norma yang tertulis di dalam pasal tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Oleh karena yang dianggap bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 oleh para Pemohon a quo ialah soal ketiadaan norma/penghilangan norma syarat domisili dan syarat non partai politik dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, sedangkan norma-norma yang tertuang dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum tidak dianggap suatu norma yang bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, maka sudah seharusnya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan mengajukan permohonan uji materiil mengenai ketiadaan norma dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum terhadap UUD 1945, maka permohonan ini menjadi kabur (obscuur Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 134 libels). Mahkamah Konstitusi merupakan negatif legislator, sementara DPR dan Presiden merupakan positif legislator, yang bermakna DPR dan Pemerintah membuat norma undang-undang, kemudian Mahkamah Konstitusi meniadakan norma dalam undang-undang, apabila dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Petitum yang diajukan oleh para Pemohon akan menempatkan Mahkamah Konstitusi sebagai positif legislator karena memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk memasukkan norma tertentu berupa conditionaly constitutional. Permohonan tersebut lebih tepat masuk dalam ranah legislatif review bukan dengan judicial review. Pendapat yang terhormat salah satu Hakim konstitusi pada saat seleksi calon Hakim Konstitusi di DPR (Moh. Mahfud MD, Mahkamah Konstitusi dan Independence of Judiciary dalam Negara Hukum yang Demokratis, makalah untuk kelengkapan seleksi calon Hakim MK, 10 Maret 2008, hal. 3.) sangat menarik untuk disimak, yaitu mengenai 10 rambu yang harus dijadikan landasan Mahkamah Konstitusi dan para hakimnya dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya diantaranya adalah: ¾ ”Tak boleh membuat putusan yang bersifat mengatur, pembatalan UU tidak boleh disertai pengaturan, karena pengaturan adalah ranah legislatif. Mahkamah Kontitusi hanya boleh mengatakan suatu UU atau isinya konstitusional atau tidak konstitusional; ¾ Tak boleh membuat ultra petita, sebab ultra petita berarti mengintervensi ranah legislatif. Meski begitu ada juga yang berpendapat bahwa ultra petita dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi jika sebuah pasal yang dinyatakan judicial review berkaitan langsung dengan pasal-pasal lain yang tak dapat dipisahkan. Pemikiran itu wajar tetapi bagi penulis sendiri kalau sebuah permintaan uji materi ada kaitannya dengan pasal-pasal lain yang tidak diminta untuk dibatalkan maka pembatalan tak bisa dilakukan karena hal itu berarti merambah ke ranah legislatif. Biarkan yang membuat pembatalan adalah lembaga legislatif sendiri melalui legislative review. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 135 ¾ Tak boleh mendalilkan UU sebagai dasar pembatalan UU lainnya, sebab tugas MK itu menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD, bukan UU terhadap UU lainnya. Tumpang tindih antar berbagai UU menjadi bagian legislative review”. 2) Mengenai Penghilangan Norma Konstitusi dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Dalil yang dijadikan alasan yuridis oleh para Pemohon a quo pada angka romawi I halaman 31-35 adalah Penghilangan Norma Konstitusi dalam UU Pemilu. Menurut para Pemohon syarat domisili dan syarat non-partai politik merupakan isi dari Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, ”Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum” dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, ”Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan daerah adalah perseorangan”. Dengan tidak mencantumkan syarat domisili dan syarat non partai politik pada Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, maka menurut para Pemohon UndangUndang tentang Pemilihan Umum telah menghilangkan norma konstitusi yang terdapat di dalam Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 tersebut. Menurut para Pemohon a quo kedua syarat tersebut merupakan suatu norma yang diharuskan oleh Konstitusi untuk diatur dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. Terhadap dalil para Pemohon a quo DPR berpandangan bahwa penghilangan norma konstitusi harus dipahami bahwa norma yang telah dirumuskan di dalam konstitusi secara eksplisit dihilangkan atau dirumuskan secara berbeda, sehingga mempunyai makna yang bertentangan. Sebagai contoh dapat digambarkan dalam konstitusi Negara Thailand dan Negara Argentina, dimana konstitusi Thailand tersebut juga telah dikutip oleh para Pemohon. Section 126 Konstitusi Thailand 1997 A person under any of the following qualifications shall have no right to be a candidate in an election of senators: Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 136 1) being a member of or holder of other position of a political party; 2) being a member of the House of Representatives or having been a member of the House of Representatives and his or her membership has terminated for not yet more than one year up to the date of applying for the candidacy; 3) being or having been a senator in accordance with the provisions of this Constitution during the term of the Senate preceding the application for the candidacy; 4) being disfranchised under section 109 (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7), (8), (9), (11), (12), (13) or (14). (http://www.servat.unibe.ch/icl/th00000_.html) Section 115. (Konstitusi Thailand 2007) “A person having the qualifications and having no any of the prohibitions as mentioned below has the right to be a candidate in an election or selection of senators: (1) being of Thai nationality by birth; (2) being of not less than forty years of age on the election day or the date of nomination; (3) having graduated with not lower than a Bachelor’s degree or its equivalent; (4) a candidate in an election of senators shall also possess any of the following qualifications: (a) having his name appear on the house register in Changwat where he stands for election for a consecutive period of not less than five years up to the date of applying for candidacy; (b) being born in Changwat where he stands for election; (c) having studied in an education institution situated in Changwat where he stands for election for a consecutive period of not less than five academic years; (d) having served in the official service or having had his name appear in the house register in Changwat where he stands for election for a consecutive period of not less than five years; Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 137 (5) not being ascendants, spouse or child of a member of the House of Representatives or a person holding a political position; (6) not being a member or a person holding any position in a political party, or having been a member or having been holding a position in a political party and his membership has terminated or he vacates office in a political party for a period of not more than five years on the date of applying for candidacy or the date of nomination;” (http://www.asianlii.org/th/legis/const/2007/1.html#C06P03) Section 55 Konstitusi Argentina “In order to be elected senator the following conditions are required: to have attained to the age of 30 years, to have been six years a citizen of the Nation, to have an annual income of two thousand strong pesos or similar revenues, and to be a native of the province electing him or to have two years of immediate residence therein”. (http://www.servat.unibe.ch/icl/ar00000_.html) Tanpa bermaksud menyamakan posisi DPD dengan Senat di Thailand atau Senat di Argentina, namun yang ingin disampaikan di sini adalah pemaknaan dari “Penghilangan Norma Konstitusi dalam Undang-Undang” sebagai berikut: a. Konstitusi Thailand secara tegas menyebutkan bahwa ada beberapa kualifikasi yang menjadikan seseorang tidak berhak menjadi calon senator di antaranya adalah menjadi anggota atau memegang kepengurusan/posisi tertentu di partai politik; b. Konstitusi Argentina menyebutkan bahwa syarat untuk menjadi anggota Senat salah satunya adalah penduduk asli dari provinsi tersebut atau telah dua tahun berdomisili di daerah tersebut. c. Apabila kemudian Undang-Undang tentang Pemilihan Umum menghapuskan syarat tersebut, hal ini dapat dikatakan bahwa Undang-Undang tentang Pemilihan Umum telah menghilangkan norma konstitusi dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. Dengan demikian apa yang dimaksud oleh para Pemohon a quo mengenai normaFHkonstitusi dalam Undang-Undang Implikasi “penghilangan peran..., Agung Sudrajat, UI, 2012 138 tentang Pemilihan Umum” tidak benar, karena tidak ada norma di dalam UUD 1945 yang secara eksplisit menyebutkan syarat untuk menjadi calon anggota DPD adalah bukan berasal dari partai politik dan berdomisili di wilayah yang bersangkutan sebagaimana pada konstitusi Thailand dan Konstitusi Argentina tersebut di atas. Sehingga tidak ada norma dalam UUD 1945 yang dihilangkan di dalam UndangUndang tentang Pemilihan Umum. 3) Mengenai Syarat Domisili dan Syarat Non-Partai Politik Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Konstitusi kita Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Indonesia sebagai negara hukum sepatutnya dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan harus berdasarkan pada hukum yang sesuai dengan amanat konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Negara hukum yang menjadi kesepakatan nasional adalah negara hukum yang demokratis, artinya hukum yang dibentuk berdasarkan kedaulatan rakyat. Oleh karena kedaulatan rakyat yang dianut dalam Amandemen UUD 1945 adalah kedaulatan yang berada di tangan rakyat bukan berada di MPR sebagaimana dalam UUD 1945 sebelum perubahan. Sebagai wujud implementasi dari negara hukum yang demokratis tersebut, dibangunnya suatu sistem pemilihan umum yang langsung dipilih rakyat melalui suatu instrumen undang-undang yang dibentuk oleh DPR bersama Presiden. Bahwa esensi pemilihan umum adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat. Kedaulatan adalah di tangan rakyat. Rakyat memiliki hak untuk memilih wakilnya secara langsung. Inilah prinsip dasar pemilihan umum yang tidak boleh direduksi dengan cara apapun. Meskipun tidak ada syarat non-partai politik dan domisili, namun masih terdapat beberapa tahapan-tahapan untuk menjadi anggota DPD, yaitu mengumpulkan dukungan dan yang paling penting adalah dipilih oleh rakyat di provinsi tersebut. Hak untuk memberikan dukungan dan hak untuk memilih tetap di tangan rakyat. Dengan demikian ada suatu lompatan cara berpikir dari para Pemohon dengan menafikan keberadaan rakyat. Dalam sistem pemilihan umum yang Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 139 demokratis maka Rakyat pemilih-lah yang akan menentukan wakil mereka, bukan undang-undang. Tentang syarat domisili bagi calon anggota DPD yang menurut para Pemohon harus berdomisili di provinsi yang bersangkutan, secara tegas tidak tercantum dalam Pasal 22C ayat (1) UUD Tahun 1945. Pemaknaan yang menurut para Pemohon bahwa secara semantis frasa ”dipilih dari setiap provinsi” mengandung arti bahwa calon anggota DPD yang akan mewakili suatu provinsi dipilih dari orangorang yang berdomisili di provinsi yang bersangkutan adalah tafsir dari para Pemohon sendiri. Padahal sesungguhnya frasa tersebut juga dapat bermakna bahwa setiap provinsi harus terwakili dalam DPD, sehingga isi dari kelembagaan DPD adalah wakil dari setiap provinsi. Tidak boleh ada satu atau lebih provinsi yang tidak terwakili dalam DPD. Hal ini dengan mengingat bahwa salah satu tujuan dibentuknya DPD adalah untuk meningkatkan derajat keterwakilan Utusan Daerah pada masa lalu berdasarkan risalah Rapat Panitia Ad Hoc I MPR RI ketika membahas pasal ini. Harus dipahami bahwa kata ”perseorangan” dalam Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 bermakna bahwa pencalonannya adalah tidak melalui partai politik, sehingga berimplikasi kepada sistem pemilihan umum yang menggunakan sistem distrik. Jika dikomparasikan dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung, makna ”perseorangan” itu lebih bermakna tidak dicalonkan oleh partai politik meskipun yang bersangkutan adalah anggota partai politik. Pada argumentasi nomor 86 halaman 52, para Pemohon mendalilkan bahwa rumusan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dengan tegas memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk ”menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar” tanpa pembatasan ”sepanjang mengenai adanya norma undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar” sehingga kemudian disimpulkan tiadanya norma tertentu dalam undang-undang boleh diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Alur pikir atau argumentasi para Pemohon ini menjadi bertentangan atau tidak konsisten ketika para Pemohon memaknai Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, ”Peserta Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 140 Pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan”. Apabila para Pemohon konsisten, maka para Pemohon juga harus memaknai bahwa Pasal 22E ayat (4) dengan tegas menyebutkan peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPD adalah ”perseorangan” tanpa pembatasan ”yang bukan berasal dari partai politik”. Terhadap dalil para Pemohon yang membandingkan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 dan draft RUU dari Pemerintah, DPR berpandangan bahwa sesuai kelaziman konstitusional, pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, yang menjadi objek pengujian adalah undang-undang sedangkan alat ukur untuk menguji adalah UUD 1945 bukan undang-undang, karena itu dinamakan pengujian konstitusionalitas. Rapat Pansus RUU tentang Pemilihan Umum Dalam perdebatan di Panitia Khusus, salah satu argumen yang dibangun adalah agar setiap warga negara diberi kesempatan untuk dapat mengabdikan dirinya demi kemajuan daerah provinsi. Tidak boleh dihalanghalangi hak setiap warga negara terutama bagi yang memiliki ikatan lahir batin (emosional) dengan provinsi tertentu untuk dapat mencalonkan diri menjadi anggota DPD terutama karena kelahirannya atau asal usul orang tuanya. Pada kenyataannya, keanggotaan DPD saat ini pun terdapat orang yang sesungguhnya berdomisili di Jakarta tetapi dapat menjadi calon yang kemudian menjadi anggota DPD. Praktik semacam itu sebaiknya dihilangkan dan diganti secara lebih fair dengan dibukanya kesempatan bagi setiap warga negara yang terutama ditujukan bagi yang memiliki ikatan lahir batin dengan provinsi tersebut untuk dapat mencalonkan diri menjadi anggota DPD. Apalagi jika penerapan single identity number sudah terlaksana sesuai Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan, maka warga negara tidak dengan mudah membuat KTP baru untuk kepentingan sesaat padahal KTP lama tidak hilang. Jadi, tujuan dari ketentuan tersebut adalah membuka para putra/putri daerah (provinsi) yang tinggal di luar provinsi tersebut tetapi masih memiliki kepedulian serta perhatian terhadap provinsinya untuk dapat mencalonkan diri menjadi anggota DPD mewakili provinsi tersebut. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 141 Panitia Khusus RUU tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD secara sadar membahas tentang hal ini dengan tetap berdasarkan UUD 1945, sehingga tidak ada hak warga negara yang dilanggar dengan ketentuan dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum tersebut. Mengenai Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD yang tidak mencantumkan syarat domisili, dalam Risalah Rapat Panitia Kerja RUU tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD pada tanggal 5 Desember 2007, yaitu: Persyaratan Domisili dihapus, atas dasar: a. bahwa persyaratan domisili membatasi hak asasi seseorang dan pada Tahun 2004 kasus soal domisili tinggi sekali bahkan menjadi objek bahkan pemerasan terhadap orang-orang yang berkeinginan menjadi dan atau berkompetisi menjadi anggota DPD. Banyak sekali yang berguguran karena adanya persyaratan domisili tetapi banyak pula yang mengambil keuntungan dari persyaratan ini. b. bahwa harus dibedakan antara persyaratan dengan kewajiban. Persyaratan itu kesetaraan, kesempatan yang luas, diskriminasi, pembatasan itu dalam persyaratan dan itu tidak perlu sampai menyentuh terbatasinya hak-hak setiap warga negara. Pemilu LUBER JURDIL merupakan implementasi dari Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil yang implementasinya di persyaratan. Kewajiban adalah setelah proses persyaratan terpenuhi berlangsung dan terpilih. Persyaratan domisili tidak perlu ada, karena rakyat yang harus memilih wakilnya sebagai calon anggota DPD yang mereka kenal di daerahnya. c. bahwa persoalan domisili akan diatur lebih lanjut dalam UU Susduk, karena itu merupakan kompetensi Susduk d. bahwa konstruksi DPD adalah sebuah institusi yang mewakili daerah dan penduduk di daerah tersebut, istilah “domisili” diubah menjadi “pernah bertempat tinggal secara de facto di daerah yang akan diwakilinya” atau mempunyai hubungan emosional, kebatinan dengan daerah yang akan diwakili sebagai anggota DPD; e. bahwa orang yang concern dengan daerah, paham tentang daerah, mengenal tentang daerahnya dan banyak berkarya di daerahnya tetapi Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 142 berdomisili di luar daerah tersebut, harus diberikan kesempatan yang sama sehingga tidak ada hak-hak warga negara yang terlanggar. Mengenai Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD yang tidak mencantumkan syarat Non Partai Politik, dalam Risalah Rapat Panitia Kerja RUU tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD pada tanggal 26 September 2007, yaitu: a. bahwa peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan dan ini merupakan rumusan konstitusi yang tidak bisa diubah. b. bahwa yang dimaksud dengan perseorangan adalah tidak membedakan apakah berasal dari perseorangan itu sendiri maupun perseorangan dari partai politik, artinya penekanannya pada proses pencalonan, walaupun berasal dari partai politik tetapi orang tersebut mempunyai basis kemampuan yang besar dan tidak dicalonkan oleh partainya maka dia dapat mencalonkan diri secara pribadi sebagai anggota DPD. c. bahwa pencalonan diri secara pribadi merupakan equality before the law (kesamaan kesempatan di muka yang hukum), sama seluruh (tidak warga membatasi), negara diberikan siapapun dapat mencalonkan diri sebagai anggota DPD, dengan tidak mengenal jenis kelamin atau latar belakang pekerjaan sepanjang memenuhi kualifikasi persyaratan yang ada. Dengan demikian, sebagaimana sudah diuraikan argumen-argumen filosofis, yuridis, dan teoritis, serta berdasarkan Risalah Rapat Panitia Khusus mengenai Pembahasan RUU tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, maka DPR berpandangan bahwa yang dapat diajukan pengujian materiil atas Undang-Undang terhadap UUD 1945 sesuai kelaziman konstitusional (meminjam istilah Jimly Asshiddiqie) harus menguraikan normanorma hukum yang tertulis yang berlaku dan mengikat, sedangkan ketiadaan norma (yang belum berlaku dan tidak mengikat) yang dijadikan alasan pengujian adalah tidak berdasar. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 143 Oleh karena itu, ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum tidak melanggar dan bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. D. PETITUM Berdasarkan dalil-dalil sebagaimana diuraikan di atas, DPR memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi yang terhormat untuk memutuskan hal-hal sebagai berikut: 1. Mengabulkan keterangan DPR seluruhnya; 2. Menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), sehingga harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvantkelijke verklaard); 3. Menyatakan permohonan para Pemohon tidak beralasan sehingga harus dinyatakan ditolak, atau setidak-tidaknya permohonan para Pemohon tidak diterima; 4. Menyatakan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD tidak bertentangan dengan UUD 1945; 5. Menyatakan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD tetap memiliki kekuatan hukum mengikat; Apabila Majelis Hakim Konstitusi yang terhormat berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). [2.5] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 10 Juni 2008, Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Menteri Dalam Negeri memberi keterangan, sebagai berikut: I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa "kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar". Makna dari “kedaulatan berada di tangan rakyat” adalah bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 144 serta memilih wakil-wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Perwujudan kedaulatan rakyat dimaksud dilaksanakan melalui pemilihan umum secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakilwakilnya yang akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan, menyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masing-masing, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut. Sesuai ketentuan Pasal 22E ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pemilihan umum dimaksud diselenggarakan dengan menjamin prinsip keterwakilan, yang artinya setiap orang Warga Negara Indonesia terjamin memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan yang akan menyuarakan aspirasi rakyat di setiap tingkatan pemerintahan, dari pusat hingga ke daerah. Dengan asas langsung, rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial. Setiap pemilih dan peserta Pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun. Selain itu, untuk mengakomodasi aspirasi keanekaragaman daerah, sesuai dengan ketentuan Pasal 22C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dibentuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang anggota-anggotanya dipilih dari perseorangan yang memenuhi persyaratan dalam pemilihan umum bersamaan dengan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD. Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) melalui pemilihan umum dilaksanakan berdasarkan prinsip kesamaan hak dan kedudukan setiap Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 145 warga negara dalam menggunakan haknya untuk dipilih, sehingga calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tidak dipersyaratkan untuk berdomisili di provinsi yang menjadi daerah pemilihannya dan tidak dibatasi menurut latar belakang atau status politiknya (Parpol atau non-Parpol). Hal ini sesuai dengan prinsip kesatuan wilayah dan kesamaan kedudukan hukum warga negara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara. Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan: a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji; c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 146 Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan berikutnya), harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu: a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Karena itu terhadap kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang a quo, dapat dijelaskan sebagai berikut: Terhadap kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dengan register perkara Nomor 10/PUU-VI/2008, Pemerintah dapat menjelaskan sebagai berikut: Menurut para Pemohon, dalam permohonannya bahwa dengan berlakunya ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, maka hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan, karena ketentuan a quo dianggap telah menghilangkan persyaratan berdomisili di provinsi yang bersangkutan (ketiadaan syarat domisili) dan tidak terdapatnya persyaratan bukan anggota dan/atau pengurus partai politik dalam waktu tertentu (ketiadaan syarat non-parpol) untuk menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), karena dengan ketiadaan syarat-syarat tersebut dapat menyebabkan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) diragukan Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 147 kapabilitas dan objektivitas dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah yang diwakilinya. Karenanya ketentuan a quo oleh para Pemohon dianggap bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1), dan Pasal 22E ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Karena itu, perlu dipertanyakan kepentingan para Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh keberlakuan Pasal 12 dan Pasal 67 UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Juga apakah terdapat kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. Pemerintah mempertanyakan siapa yang sebenarnya dirugikan atas keberlakuan undang-undang a quo, dengan penjelasan sebagai berikut: 1) Terhadap Pemohon I (Dewan Perwakilan Daerah sebagai institusi lembaga negara), apakah benar dengan berlakunya ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat secara umum, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, maka hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan?, pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang sebenarnya dirugikan atas keberlakuan undang-undang a quo?, apakah Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai institusi lembaga negara atau para anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) secara keseluruhan?, pertanyaan ini perlu Pemerintah kemukakan karena Pemohon I yang terdiri dari para anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) selain menyatakan diri dan/atau mengatasnamakan mewakili lembaga negara Dewan Perwakilan Daerah (DPD), juga terdapat Pemohon lain (Pemohon II) yang terdiri dari sebagian anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Menurut Pemerintah, Pemohon I telah keliru dan tidak tepat dalam mengkonstruksikan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional atas keberlakuan undang-undang a quo, karena pada kenyataannya Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 148 Pemohon I sampai saat ini masih tetap dapat menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya sebagaimana diatur dalam Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maupun Pasal 32 sampai dengan Pasal 51 Undang-Undang 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dengan perkataan lain hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon I tidak terkurangi, terhalangi maupun terganggu sedikit pun atas keberlakuan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. Lebih lanjut menurut Pemerintah, jika Pemohon I merasa perlu melakukan pengujian undang-undang yang terkait dengan hak dan kewenangan konstitusional Dewan Perwakilan Daerah (DPD), maka tidaklah tepat permohonan pengujian undang-undang tersebut dilakukan terhadap undang-undang a quo. Karena ketentuan Pasal 12 dan 67 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2008 hanya berkaitan dengan persyaratan untuk menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). 2) Terhadap Pemohon II yang merupakan anggota DPD dan menyatakan diri sebagai perorangan (kelompok orang) warga negara Indonesia, yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan, karena ketentuan a quo dianggap tidak memberi batasan terhadap anggota/pengurus Parpol maupun tidak mencantumkan persyaratan domisili untuk menjadi calon anggota DPD. Menurut Pemerintah, pendapat Pemohon II tersebut di atas sangatlah tidak beralasan dan tidaklah tepat, utamanya dalam mengkonstruksikan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional atas keberlakuan undang-undang a quo, karena Pemohon II pada saat ini telah duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan tidak dalam situasi/posisi yang terhalang atau setidak-tidaknya terkurangi hak-haknya untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Bahkan hak dan kewenangan Pemohon II untuk mencalonkan diri kembali sebagai anggota DPD pada Pemilu tahun 2009 tidak terkurangi dan terhalangi sedikitpun dengan adanya ketentuan a quo. Menurut Pemerintah ketentuan a quo justru telah memberikan hak dan perlakuan yang sama bagi semua pihak yang berkeinginan untuk menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 149 Dengan perkataan lain, ketentuan Pasal 12 dan 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, tidak terkait sama sekali dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon II, karena ketentuan a quo hanya berkaitan dengan persyaratan untuk menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). 3) Terhadap Pemohon III, yang menyatakan diri sebagai perorangan warga negara Indonesia, yang dikenal aktif dan konsen dengan isu-isu yang terkait dengan Pemilu, kinerja parlemen, kualitas representasi publik dalam parlemen, dan penyaluran aspirasi daerah, antara lain yang mewakili CETRO, Serikat Nasional Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat, IPC, dan FORMAPPI, yang menurut Pemohon III ketentuan a quo dapat menyebabkan aspirasi dan kepentingan masyarakat daerah terancam tidak terwakili. Menurut Pemerintah, ketentuan a quo sama sekali tidak terkait dengan kepentingan para Pemohon III seperti tersebut di atas, apalagi merugikannya. Jika dalam penerapan (implementasi) ketentuan a quo “seolah-olah” mengesampingkan atau mengalahkan calon anggota DPD yang berasal dari kelompok masyarakat yang diwakili oleh Pemohon III, hal tersebut tidak terkait dengan konstitusionalitas keberlakuan ketentuan a quo, karena pada dasarnya rakyat pemilihlah (voter) yang menentukan siapa yang dianggap layak untuk mewakili daerahnya menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sementara itu terhadap Pemohon III yang mewakili lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berbentuk “badan hukum privat”, dan aktivitasnya berkaitan dengan pemilihan umum (Pemilu), utamanya terhadap pembaharuan pemilihan umum (electoral reform) demi terselenggaranya pemilu yang demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, yang berpendapat bahwa ketentuan a quo dapat mencederai dan mengganggu bagi terlaksananya jaminan keterwakilan setiap daerah provinsi dalam pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Pemerintah tidak sependapat. Menurut Pemerintah, pendapat Pemohon III tersebut di atas, tidak jelas dan tidak konkrit mengkonstruksikan mengenai hak dan/kewenangan mana yang dirugikan atas berlakunya ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10Sudrajat, Tahun 2008 Implikasi peran..., Agung FH UI, 2012tentang Pemilihan Umum 150 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, karena ketentuan a quo tidak terkait dengan apakah penyelenggaraan pemilihan umum tersebut dilaksanakan dengan demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil atau tidak, dan hanya mengatur tentang syarat-syarat untuk dapat mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dengan perkataan lain Pemohon III tidak memenuhi kualifikasi sebagaimana ditentukan oleh Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang adanya hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang. 4) Terhadap Pemohon IV, yang menyatakan diri sebagai perseorangan yang tinggal di provinsi tertentu, pertanyaannya adalah apakah Pemohon sebagai pihak yang berkeinginan untuk mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari daerah asalnya masing-masing?, pertanyaan selanjutnya adalah apakah Pemohon IV secara faktual maupun potensial terkurangi atau setidak-tidaknya terhalang-halangi haknya sebagai warga negara Indonesia untuk mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)?, menurut Pemerintah Pemohon IV bukanlah pihak yang telah ditolak, dikurangi maupun dihalang-halangi untuk mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), justru ketentuan a quo menurut Pemerintah telah memberikan kesempatan/keleluasaan kepada setiap orang tanpa kecuali untuk mencalonkan diri menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), hal ini sejalan dengan amanat/kehendak ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan uraian di atas, Pemerintah berpendapat bahwa adanya syarat-syarat bagi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) seperti tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, adalah menjadi kewenangan pembuat undang-undang (Dewan Perwakilan Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 151 Rakyat dan Presiden), dan karenanya tidak terkait sama sekali terhadap kedudukan dan kepentingan para Pemohon sebagai salah satu syarat untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang (constitutional review) a quo terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga menurut Pemerintah dalil-dalil yang dikemukakan oleh para Pemohon bahwa telah timbul kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional telah nyata-nyata tidak terjadi baik secara faktual maupun potensial. Juga menurut Pemerintah ketentuan a quo tidak terkait dan/atau berhubungan dengan konstitusionalitas keberlakuan materi muatan suatu undang-undang, karena apa yang didalilkan oleh para Pemohon normanya tidak tercantum (tidak tertulis) dalam ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dengan perkataan lain dalil keberatan Para Pemohon hanya dalam “dunia angan-angan belaka”. Selain itu ketentuan a quo berkaitan erat dengan politik hukum maupun pilihan hukum/kebijakan (legal policy) pembuat undang-undang. Atas hal-hal tersebut, Pemerintah meminta kepada para Pemohon melalui Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menjelaskan dan membuktikan secara sah terlebih dahulu apakah benar para Pemohon sebagai pihak yang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan. Pemerintah berpendapat bahwa tidak terdapat dan/atau telah timbul kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon atas keberlakuan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, karena itu kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dalam permohonan pengujian ini tidak memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah terdahulu. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 Konstitusi yang 152 Berdasarkan uraian tersebut di atas, Pemerintah memohon agar Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, berikut ini disampaikan penjelasan Pemerintah tentang materi pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. III. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN PASAL 12 DAN PASAL 67 UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH. Sebelum Pemerintah menyampaikan penjelasan atas permohonan pengujian ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, berikut disampaikan: Matrik perbandingan syarat-syarat untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPD) menurut Undang-Undang 12 Tahun 2003 dan UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sebagai berikut: Persyaratan menjadi anggota DPD menurut UU No. 12 Tahun 2003 Persyaratan menjadi angota DPD menurut UU No. 10 Tahun 2008 Pasal 60 Pasal 12 Calon anggota DPR, DPD, DPRD Persyaratan sebagaimana dimaksud provinsi, dan DPRD kabupaten/ dalam Pasal 11 ayat (2): kota harus memenuhi syarat: a. Warga Negara Indonesia yang a. warga negara Republik telah berumur 21 (dua puluh satu) Indonesia yang berumur 21 tahun atau lebih; (dua puluh satu) tahun atau b. bertakwa kepada Tuhan Yang lebih; Maha Esa; b. bertakwa kepada Tuhan Yang c. bertempat tinggal di wilayah Maha Esa; Negara Kesatuan Republik c. berdomisili di wilayah Negara Indonesia; Kesatuan Republik Indonesia; Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 153 d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia; e. berpendidikan serendahrendahnya SLTA atau sederajat; f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; g. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya; h. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; i. tidak sedang menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; j. sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dari dokter yang berkompeten; dan k. terdaftar sebagai pemilih. Pasal 63 Calon anggota DPD selain harus memenuhi syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, juga harus memenuhi syarat: a. berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurangkurangnya 3 (tiga) tahun secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasaIndonesia; e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lainyang sederajat; f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih h. sehat jasmani dan rohani; i. terdaftar sebagai pemilih; j. bersedia bekerja penuh waktu; k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggotaTentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara,yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali; l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundang-undangan; m. bersedia untuk tidak merangkap Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 154 tanggal pengajuan calon atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak berusia 17 (tujuh belas) tahun di provinsi yang bersangkutan; b. tidak menjadi pengurus partai politik sekurangkurangnya 4 (empat) tahun yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon. jabatan sebagai pejabat negara lainnya, pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara; n. mencalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; o. mencalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan; dan p. mendapat dukungan minimal dari pemilih dari daerah pemilihan yang bersangkutan. Pasal 66 Pasal 67 Pengajuan calon anggota DPD (1) Perseorangan yang memenuhi dilakukan dengan ketentuan: persyaratan sebagaimana a. calon mendaftarkan diri dimaksud dalam Pasal 12 dan kepada KPU melalui KPU Pasal 13 dapat mendaftarkan diri Provinsi dengan menyebutkan sebagai bakal calon anggota DPD provinsi yang diwakilinya; kepada KPU melalui KPU provinsi. b. calon menyerahkan (2) Kelengkapan administrasi bakal persyaratan sebagaimana calon anggota DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dimaksud pada ayat (1) dibuktikan Pasal 63, dan Pasal 64 dengan: kepada KPU yang batas a. kartu tanda penduduk Warga waktunya ditetapkan oleh Negara Indonesia; KPU. b. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB, syahadah, sertifikat, atau surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program pendidikan menengah; c. surat keterangan catatan kepolisian tentang tidak tersangkut perkara pidana dari Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat; d. surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani; e. surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih; f. surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja penuh waktu yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup; g. surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/ pengacara, notaris, dan pekerjaan penyedia barang dan Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 155 jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup; h. surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, pengurus pada badan lain yang anggarannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan i. surat pernyataan tentang kesediaan hanya mencalonkan untuk 1 (satu) lembaga perwakilan yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup. Menurut para Pemohon ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dianggap bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan sebagai berikut: Pasal 22C ayat (1) berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum”. Pasal 22E ayat (4) berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan”. Karena menurut para Pemohon ketentuan a quo telah menimbulkan hal-hal sebagai berikut: 1) Penghapusan syarat domisili dan syarat non-Parpol dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 156 Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, merupakan upaya penghilangan norma konstitusi dalam undang-undang a quo, dan karenanya dapat mengakibatkan undangundang a quo menjadi cacat. 2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah menegasikan keberadaan konstitusi bahwa calon anggota DPD suatu provinsi dipilih dari provinsi terkait [Pasal 22C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945] dan bersifat non-Parpol [asal 22E ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945]. 3) Dengan ketiadaan syarat domisili dan syarat non-Parpol telah menimbulkan penolakan dan reaksi keras dari seantero rakyat Indonesia, seperti tercermin dalam “petisi tolak Parpol Masuk Kamar DPD”. Terhadap anggapan/alasan para Pemohon tersebut di atas, Pemerintah dapat menyampaikan hal-hal sebagai berikut: A. TENTANG PENGHILANGAN NORMA KONSTITUSI DALAM UNDANGUNDANG NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILU ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD 1. Pemerintah berpendapat memang benar bahwa dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, tidak tercantum syarat mengenai domisili dalam pencalonan anggota DPD. Tetapi Pemerintah tidak sependapat dengan anggapan para Pemohon yang berpandangan bahwa ketiadaan syarat mengenai domisili merupakan penghilangan norma konstitusi. Pasal 22C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum” sesungguhnya dapat ditafsirkan ke dalam beberapa dimensi. Pertama, bahwa dalam pemilihan umum yang diatur dalam suatu undang-undang ditetapkan “daerah pemilihan” untuk pemilihan umum anggota DPD adalah provinsi. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 157 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, seperti halnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, menetapkan provinsi sebagai daerah pemilihan untuk pemilihan anggota DPD. Kedua, Pasal 22C ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut tidak menegaskan secara pasti bahwa anggota DPD yang dipilih dari suatu daerah pemilihan provinsi tertentu harus terikat syarat domisili pada daerah pemilihan provinsi yang bersangkutan. Pengaturan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 maupun pada RUU dari Pemerintah yang mencantumkan syarat domisili hanyalah merupakan salah satu alternatif penafsiran terhadap amanat Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Masih ada altermatif penafsiran lain, yaitu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang tidak mencantumkan syarat domisili untuk calon anggota DPD. Kedua penafsiran tersebut, yang merupakan politik hukum hasil pesetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah, dan karenanya tidak bertentangan dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Pemerintah berpendapat memang benar bahwa dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tidak terdapat ketentuan tentang syarat non-Parpol dalam pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Tetapi Pemerintah tidak sependapat dengan para Pemohon yang berpandangan bahwa ketiadaan syarat non-parpol merupakan penghilangan norma konstitusi. Hal tersebut didasarkan pemikiran bahwa Pasal 22E ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan” tidak serta merta harus diartikan atau ditafsirkan bahwa warga negara yang berasal dari partai politik (Parpol) tidak boleh menjadi calon anggota DPD. Selain itu, pengaturan tersebut sama sekali tidak mengurangi hak calon perseorangan yang nonParpol untuk menjadi calon anggota DPD dan juga tidak mengurangi ruang dan kesempatan mereka untuk mendapatkan dukungan dari penduduk/pemilih. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 158 B. TENTANG KETIADAAN SYARAT DOMISILI 1. Pemerintah berpendapat memang benar bahwa dengan UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008, pemilihan anggota DPD dari suatu provinsi dapat diikuti dan dimenangkan oleh calon dari provinsi lain. Tetapi Pemerintah tidak sependapat dengan para Pemohon yang berpandangan bahwa pengaturan seperti ini apabila dihubungkan dengan Pasal 22C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebabkan kerugian atau setidak-setidaknya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengalami kerugian yang potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi, sebab Pasal 22C ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum” dapat ditafsirkan ke dalam beberapa dimensi. Pertama, bahwa dalam pemilihan umum yang diatur dalam suatu undang-undang ditetapkan “daerah pemilihan” untuk pemilihan umum anggota DPD adalah provinsi. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, seperti halnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, menetapkan provinsi sebagai daerah pemilihan untuk pemilihan anggota DPD. Kedua, Pasal 22C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut tidak menegaskan secara pasti bahwa anggota DPD yang dipilih dari suatu daerah pemilihan provinsi tertentu harus terikat syarat domisili pada daerah pemilihan provinsi yang bersangkutan. Pengaturan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 maupun pada RUU dari Pemerintah yang mencantumkan syarat domisili hanyalah merupakan salah satu alternatif penafsiran terhadap amanat Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Masih ada altermatif penafsiran lain, yaitu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang tidak mencantumkan syarat domisili untuk calon anggota DPD. Kedua penafsiran tersebut, yang merupakan politik hukum hasil pesetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah, dan karenanya tidak bertentangan dengan pasal-pasal dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 159 2. Pemerintah berpendapat memang benar bahwa dengan UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008, pemilihan anggota DPD dari suatu provinsi dapat diikuti dan dimenangkan oleh calon dari provinsi lain. Tetapi Pemerintah tidak sependapat dengan para Pemohon yang berpandangan bahwa pengaturan seperti ini apabila dihubungkan dengan Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebabkan kerugian atau setidak-setidaknya DPD mengalami kerugian yang potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi, sebab Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat ditafsirkan ke dalam beberapa dimensi. Pertama, elaborasi dan implementasi kewenangan konstitusional DPD sebagaimana diamanatkan Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan wilayah Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU Susduk), bukan wilayahnya suatu Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. Kedua, sepanjang suatu UU Susduk cukup mengatur elaborasi dan implementasi Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, meskipun dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tidak terdapat syarat domisili, maka kewenangan konstitusional DPD sebagai suatu lembaga negara tidak dirugikan atau setidak-tidaknya tidak mengalami kerugian yang potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi dengan berlakunya UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008. 3. Pemerintah tidak sependapat dengan para Pemohon yang berpandangan bahwa pemilihan anggota DPD yang dapat diikuti dan dimenangkan oleh calon dari provinsi lain (vide dalil ke-13, permohonan para Pemohon halaman 21), dapat dipastikan calon tersebut tidak mengenal daerah pemilihan tersebut. Karena menurut Pemerintah, Pertama, pandangan para Pemohon seperti ini bersifat spekulatif dan hipotetik. Kedua, pandangan para Pemohon seperti ini telah mengabaikan dan bahkan dapat dikatakan mencederai hak konstitusional pemangku utama suatu pemilihan umum, yaitu para pemilih. Anggota DPD dari suatu daerah pemilihan provinsi tertentu Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 160 dapat terpilih dan bersama anggota DPD lainnya bersama-sama menjalankan fungsi lembaga DPD adalah karena pilihan para pemilih. Semangat kedaulatan rakyat pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang juga ditandai oleh lahirnya DPD memberikan tempat utama dan kebebasan seluasluasnya bagi pemilih untuk menentukan pilihannya kepada seseorang warga negara republik Indonesia yang diberi mandat untuk menjalankan hak dan kewenangan konstitusional DPD sesuai UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penilaian terhadap seorang anggota DPD apakah mengenal atau tidak mengenal daerah tersebut selain ditentukan oleh berbagai persyaratan dalam undang-undang juga harus diserahkan kepada pilihan para pemilih. Ketiga, pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang tidak mencantumkan syarat domisili justru sejalan dengan semangat kedaulatan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 4. Pemerintah tidak sependapat dengan para Pemohon yang berpandangan bahwa pemilihan anggota DPD yang dapat diikuti dan dimenangkan oleh calon dari provinsi lain (vide dalil ke-13, permohonan para Pemohon halaman 21) dapat dipastikan anggota DPD yang dipilih diragukan kapabilitasnya dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah. Karena menurut Pemerintah, Pertama, pandangan para Pemohon seperti ini bersifat spekulatif dan hipotetik. Kedua, pandangan para Pemohon seperti ini telah mengabaikan dan bahkan dapat dikatakan mencederai hak konstitusional pemangku utama suatu pemilihan umum, yaitu para pemilih. Anggota DPD dari suatu daerah pemilihan provinsi tertentu dapat terpilih dan bersama anggota DPD lainnya bersama-sama menjalankan fungsi lembaga DPD adalah karena pilihan para pemilih. Semangat kadaulatan rakyat pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang juga ditandai oleh lahirnya DPD memberikan tempat utama dan kebebasan seluasluasnya bagi pemilih untuk menjatuhkan pilihannya kepada seseorang warga negara republik Indonesia yang diberi mandat untuk Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 161 menjalankan hak dan kewenangan konstitusional DPD sesuai UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penilaian atas seorang anggota DPD apakah kapabilitasnya dalam memperjuangkan aspirasi daerah dan kepentingan daerah diragukan atau tidak diragukan selain ditentukan oleh berbagai persyaratan dalam undangundang juga harus diserahkan kepada pilihan para pemilih. Kedua, pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang tidak mencantumkan syarat domisili justru sejalan dengan semangat kedaulatan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 5. Pemerintah berpendapat bahwa harus dibedakan antara (1) fenomena anggota DPD yang tidak memahami daerahnya masing-masing atau diragukan kapabilitasnya dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dengan (2) fenomena DPD sebagai lembaga negara yang tidak berfungsi optimal dalam menjalankan fungsinya untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam pengambilan keputusan politik di tingkat pusat. Karena dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, fungsi DPD untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam pengambilan keputusan politik di tingkat pusat harus lebih banyak ditentukan oleh kapabilitas DPD secara kumulatif sebagai lembaga negara dalam merumuskan seluruh agenda prioritas aspirasi daerah secara keseluruhan yang akan diperjuangkan dalam pengambilan politik di tingkat pusat. Frasa “memahami daerahnya masing-masing” dan “kapabilitasnya dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah” terkait dengan hak dan kewenangan konstitusional DPD adalah “memahami daerah” dan “kapabilitas memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah” secara keseluruhan dan kumulatif oleh DPD sebagai lembaga negara, bukan pemahaman atau kapabilitas orang per orang anggota DPD. Kendatipun “pemahaman dan kapabilitas orang per orang anggota DPD” juga ada kaitannya dengan “pemahaman dan kapabilitas DPD sebagai suatu lembaga negara”, tetapi sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 162 Tahun 1945 penilaian “pemahaman dan kapabilitas orang per orang anggota DPD” tersebut diserahkan kepada kehendak dan merupakan daulat pemilih. C. TENTANG KETIADAAN SYARAT NON-PARPOL 1. Pemerintah tidak sependapat dengan para Pemohon yang berpandangan bahwa anggota DPD yang berasal dari Parpol tentu akan lebih mengutamakan kepentingan atau platform Parpol daripada kepentingan daerah secara keseluruhan. Karena menurut Pemerintah, Pertama, pandangan para Pemohon seperti ini bersifat spekulatif dan hipotetik. Kedua, pada saat mendaftarkan diri, calon anggota DPD, baik yang mempunyai latar belakang partai politik maupun yang sama sekali tidak mempunyai latar belakang partai politik, bertindak sebagai perseorangan. Hal ini tidak bertentangan dengan Pasal 22E ayat (4) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menegaskan bahwa “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan”. Benar bahwa dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 dan RUU Pemerintah mengatur tentang syarat non-Parpol, tetapi hal ini merupakan salah satu alternatif penafsiran. Masih ada altenatif penafsiran yang lain, yaitu sebagaimana telah ditetapkan bersama antara Pemerintah dan DPR sebagai politik hukum dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. Ketiga, Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menegaskan tujuan umum partai politik, adalah (a) mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (b) menjaga dan memelihara keutuhan NKRI, (c) mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam NKRI, dan (d) mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Apabila seseorang yang memiliki latar belakang partai politik mengajukan diri secara perseorangan menjadi calon anggota DPD dan terpilih, maka anggota DPD tersebut harus menjalankan tugasnya dan bersama dengan anggota DPD lainnya melaksanakan fungsi DPD sebagai lembaga negara secara taat asas Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH dengan UI, 2012 tujuan umum partai politik 163 tersebut. Tentunya yang dimaksud dengan kepentingan daerah secara keseluruhan oleh para Pemohon dalam dalilnya huruf 14 halaman 23 adalah juga sejalan dan bahkan sama dengan tujuan umum partai politik yang sangat mulia sebagaimana diamanatkan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Keempat, pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang tidak mencantumkan syarat non-Parpol, tidak bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Pemerintah berpendapat memang benar bahwa dengan UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008, pemilihan anggota DPD dari suatu provinsi membuka kemungkinan calon dari Parpol untuk berkompetisi dengan calon perseorangan. Tetapi Pemerintah tidak sependapat dengan para Pemohon yang berpandangan bahwa pengaturan seperti ini apabila diukur dari Pasal 22E ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebabkan kerugian bagi calon perseorangan atau setidak-setidaknya calon perseorangan akan mengalami kerugian yang potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi, dengan penjelasan, pertama, bahwa Pasal 22E ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak serta merta harus diartikan atau ditafsirkan bahwa warga Negara dari Parpol tidak boleh menjadi calon anggota DPD. Kedua, pengaturan tersebut sama sekali tidak mengurangi hak calon perseorangan yang non-Parpol untuk menjadi calon anggota DPD dan tidak juga mengurangi ruang dan kesempatan mereka untuk mendapatkan dukungan dari penduduk/pemilih. Ketiga, bahwa persaingan yang tidak adil sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon tidaklah tepat, karena sejak pencalonan anggota DPD berlangsung, maka baik calon anggota yang berasal dari Parpol maupun calon yang non-Parpol, sama-sama berstatus sebagai calon perseorangan. Kekhawatiran tentang calon dari Parpol yang ditopang oleh Parpol dibandingkan dengan calon non-Parpol yang hanya mengandalkan jaringan personal adalah kekhawatiran yang berlebihan dan sangat spekulatif. Pendapat para Pemohon bahwa persaingan dalam Pemilu akan berlangsung tidak adil dan akan merugikan para Pemohon Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 164 merupakan pendapat yang hipotetik dan spekulatif, karena justru para Pemohon secara teoritis seharusnya lebih dikenal oleh rakyat pemilih di provinsi yang diwakilinya, mengingat selama 4 (empat) tahun yang bersangkutan memiliki peluang yang lebih besar untuk berinteraksi dengan rakyat pemilih di provinsi tersebut. 3. Pemerintah berpendapat memang benar bahwa dengan UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008, pemilihan anggota DPD dari suatu provinsi membuka kemungkinan calon dari Parpol untuk berkompetisi dengan calon perseorangan. Tetapi Pemerintah tidak sependapat dengan para Pemohon yang berpandangan bahwa pengaturan seperti ini apabila diukur dari Pasal 22E ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebabkan kerugian bagi calon perseorangan atau setidak-setidaknya calon perseorangan akan mengalami kerugian yang potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi, dengan penjelasan, pertama, bahwa Pasal 22E ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak serta merta harus diartikan atau ditafsirkan bahwa warga Negara dari parpol tidak boleh menjadi calon anggota DPD. Kedua, pengaturan tersebut sama sekali tidak mengurangi hak calon perseorangan yang non-Parpol untuk menjadi calon anggota DPD dan tidak juga mengurangi ruang dan kesempatan mereka untuk mendapatkan dukungan dari penduduk/pemilih. Ketiga, bahwa persaingan yang tidak adil sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon tidaklah tepat, karena sejak pencalonan anggota DPD berlangsung, maka baik calon anggota yang berasal dari Parpol maupun calon yang non-Parpol, sama-sama berstatus sebagai calon perseorangan. Kekhawatiran tentang calon dari Parpol yang ditopang oleh Parpol dibandingkan dengan calon non-Parpol yang hanya mengandalkan jaringan personal adalah kekhawatiran yang berlebihan dan sangat spekulatif. 4. Pemerintah tidak sependapat dengan para Pemohon yang berpandangan bahwa “ketiadaan syarat domisili” dan “ketiadaan syarat non-parpol” dalam pemilihan anggota DPD akan menyebabkan hak-hak konstitusional para Pemohon dirugikan dalam Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 165 ukuran Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi bahwa, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Pemerintah berpendapat bahwa justru dengan merujuk pada Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 inilah, maka setiap orang warga negara Indonesia, tanpa membeda-bedakan domisili dan latar belakang politiknya, berhak untuk menjadi calon anggota DPD. Perlakuan khusus bagi warga daerah dalam arti warga Negara yang berdomisili di provinsi untuk mempunyai hak istimewa sebagai calon anggota DPD dari provinsi tersebut malah akan secara sengaja mendiskriminasi warga negara Indonesia lainnya. 5. Pemerintah tidak sependapat dengan para Pemohon yang berpandangan bahwa anggota DPD yang berasal dari Parpol tentu akan lebih mengutamakan kepentingan Parpol daripada aspirasi dan kepentingan masyarakat hukum adat. Pertama, pandangan para Pemohon seperti ini bersifat spekulatif dan hipotetik. Kedua, pada saat mendaftarkan diri, calon anggota DPD, baik yang mempunyai latar belakang partai politik maupun yang sama sekali tidak mempunyai latar belakang partai politik, bertindak sebagai perseorangan. Hal ini tidak bertentangan dengan Pasal 22E ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menegaskan bahwa “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan”. Benar bahwa dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 dan RUU Pemerintah mengatur tentang syarat non-Parpol, tetapi hal ini merupakan salah satu alternatif penafsiran. Masih ada altenatif penafsiran yang lain, yaitu sebagaimana telah ditetapkan bersama antara Pemerintah dan DPR sebagai politik hukum dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. Ketiga, Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menegaskan tujuan umum partai politik, adalah (a) mewujudkan citacita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (b) menjaga dan memelihara Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 keutuhan NKRI, (c) 166 mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam NKRI, dan (d) mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Apabila seseorang yang memiliki latar belakang partai politik mengajukan diri secara perseorangan menjadi calon anggota DPD dan terpilih, maka anggota DPD tersebut harus menjalankan tugasnya dan bersama dengan anggota DPD lainnya melaksanakan fungsi DPD sebagai lembaga negara secara taat asas dengan tujuan umum partai politik tersebut. Tentunya yang dimaksud dengan kepentingan daerah secara keseluruhan oleh para Pemohon dalam dalilnya nomor 30 halaman 28 adalah juga sejalan dan bahkan sama dengan tujuan umum partai politik yang sangat mulia sebagaimana diamanatkan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Keempat, pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang tidak mencantumkan syarat non-Parpol, tidak bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 6. Pemerintah berpendapat bahwa apa yang menjadi maksud, tujuan, dan kepentingan para Pemohon adalah juga maksud, tujuan, dan kepentingan yang sama dengan maksud, tujuan, dan kepentingan pembentukan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, dan dengan demikian adalah sama dengan maksud, tujuan, dan kepentingan Pemerintah. Melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, Pemerintah selaku unsur pembentuk undang-undang secara bersamasama dengan unsur pembentuk undang-undang yang lain (DPR) berkehendak untuk tumbuh dan berkembangnya kesadaran politik masyarakat, berlangsungnya pemilihan umum sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta terlaksananya program pembaharuan Pemilu sebagai salah satu program strategis pembangunan nasional sebagaimana diamanatkan dalam UndangUndang Nomor 17 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional. Sejalan dengan kehendak tersebut, melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 juga diharapkan terwujudnya sistem ketatanegaraan dengan ciri antara lain terciptanya lembaga Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 167 Negara melalui proses Pemilu yang bersifat nasional dan tidak diskriminatif dalam segala bentuknya terhadap warga negara Indonesia. 7. Pemerintah berpendapat bahwa perwujudan DPD sebagai lembaga yang mampu merepresentasikan kepentingan publik, khususnya aspirasi daerah, sehingga dapat meningkatkan kualitas produk legislasi, lebih tepat menjadi substansi pengaturan dalam suatu UU Susduk, dan bukan muatan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, karena hal ini terkait dengan pengaturan tentang fungsi, tugas, dan wewenang DPD, serta hak dan kewajiban anggota DPD. 8. Pemerintah berpendapat bahwa apa yang menjadi maksud, tujuan, dan kepentingan para Pemohon adalah juga maksud, tujuan, dan kepentingan yang sama dengan maksud, tujuan, dan kepentingan pembentukan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, dan dengan demikian adalah sama dengan maksud, tujuan, dan kepentingan Pemerintah. Melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, Pemerintah selaku unsur pembentuk undang-undang secara bersamasama dengan unsur pembentuk undang-undang yang lain (DPR) berkehendak untuk mendorong terbangunnya parlemen yang fungsional, efektif serta transparan untuk penyelenggaraan demokrasi di Indonesia. Pemerintah juga berkepentingan untuk mengembangkan kepedulian masyarakat atas perlu dan pentingnya memiliki parlemen yang fungsional bagi penyelenggaraan demokrasi, mendorong parlemen senantiasa mau dan mampu memperbaharui diri sehingga fungsional bagi penyelenggaraan demokrasi, serta untuk memperoleh jaminan saluran penyampaian aspirasi daerah dan jaminan pilihan kebijakan bagi kepentingan daerah yang tidak terganggu dan keterwakilan setiap daerah provinsi. 9. Pemerintah tidak sependapat dengan para Pemohon yang mengatakan bahwa kepentingan daerah dan keterwakilan setiap daerah provinsi telah tercederai dengan berlakunya UU Pemilu, khususnya yang berkaitan dengan ketentuan mengenai tempat tinggal Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 168 calon anggota DPD dan tidak adanya ketentuan pembatasan bagi pengurus Parpol untuk dicalonkan menjadi anggota DPD. Selain hal-hal tersebut di atas, Pemerintah juga berpendapat bahwa jikalau pun anggapan para Pemohon tersebut benar adanya, dan permohonan pengujian undang-undang a quo dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka dapat menimbulkan kekacauan hukum dan ketidakpastian hukum (onrechtzekerheid), karena hal-hal sebagai berikut: 1. Terjadi kekosongan hukum (rechtvacuum) dalam hal pengaturan persyaratan untuk menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD); 2. Dengan dibatalkannya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD maka dapat dipastikan proses penyelenggaraan Pemilihan Umum akan kehilangan salah satu objectumlitis-nya; 3. Dapat mengganggu pelaksanaan proses penyelenggaraan Pemilihan Umum secara keseluruhan, khususnya untuk pemilihan anggota DPD; 4. Dapat dijadikan pintu masuk (entry point) pihak-pihak tertentu untuk mengajukan keberatan-keberatan atau gugatan-gugatan terhadap hasil penyelenggaraan pemilihan umum. Atas hal-hal tersebut di atas, Pemerintah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 12 dan 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan juga tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon. IV. KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa dan memutus permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 169 Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut: 1. Menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing); 2. Menolak permohonan pengujian para Pemohon (void) seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). 3. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan; 4. Menyatakan Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 5. Menyatakan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tetap mempunyai kekuatan hukum dan tetap berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono). [2.6] Menimbang bahwa untuk menguatkan keteranganya, Pemerintah telah mengajukan 1 orang ahli yang didengar keterangannya di bawah sumpah, sebagai berikut: Keterangan Ahli Prof. Dr. Zudan Arif Fakhrulloh, SH. I. Analisis Terhadap Ketiadaan Syarat Domisili Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dibentuk dalam rangka menata struktur parlemen Indonesia menjadi dua kamar (bikameral) yang terdiri dari DPR dan DPD. Secara filosofis, model bikameral diharapkan dapat merepresentasikan kepentingan rakyat secara lebih utuh dan menyeluruh. DPR diharapkan dapat menjadi representasi politik dan DPD diharapkan dapat mencerminkan representasi Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 170 wilayah/regional. Arti representasi politik adalah bahwa anggota DPR dipilih melalui pintu partai politik, sedangkan arti representasi wilayah adalah bahwa anggota DPD dipilih melalui calon perseorangan tanpa melalui partai politik dan merupakan wakil dari setiap provinsi. Berdasarkan filosofi tersebut maka DPD sebagai perwakilan daerah maka anggota DPD bertugas untuk menyuarakan kepentingan daerah dan arti dipilih dari setiap provinsi adalah bahwa setiap provinsi akan mempunyai wakil di DPD. Dalam konteks ini provinsi adalah merupakan daerah pemilihan (dapil). Seorang anggota DPD bertugas menyuarakan kepentingan daerah secara nasional, bukan hanya menyuarakan kepentingan daerahnya sendiri. Medan perjuangan anggota DPD adalah memperjuangkan kepentingan daerah melalui kebijakan nasional. Kepentingan daerah yang diperjuangkan haruslah merupakan pendapat lembaga DPD yang diputuskan melalui mekanisme sesuai dengan Tata Tertib DPD. Oleh karena itu, dalam konteks ini keberadaan syarat domisili menjadi tidak relevan karena tugas DPD tidak memperjuangkan daerahnya tetapi memperjuangkan daerah-daerah di Indonesia secara kumulatif di dalam kebijakan nasional. Terkait dengan hal tersebut menarik untuk dicermati pergeseran cara berpikir anggota-anggota DPD yang tercermin dalam Kode Etik DPD. Dalam Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 1/DPD/2008 tentang Perubahan Atas keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 1/DPD/2005 tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia khususnya dalam Pasal 3 dan Pasal 6. Dalam Pasal 3 angka 2 Kode Etik DPD RI ditegaskan bahwa setiap anggota mematuhi dan berperilaku mengabdi kepada bangsa dan negara sesuai dengan Pancasila. Hal ini dapat dimaknai bahwa cara berpikir, cara pandang dan etos kerja anggota DPD adalah bersemangatkan pada nasionalisme dan kebangsaan. Syarat domisili menjadi tidak sejalan dengan bunyi isi Pasal 6 Kode Etik DPD, yang berbunyi: Pasal 6 Anggota bertanggung jawab memperjuangkan aspirasi masyarakat dan daerahnya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 6 ini diubah menjadi empat ayat yaitu: (1) Anggota bertanggung jawab memperjuangkan aspirasi masyarakat dan daerah, dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; (2) Memberikan pertanggungjawaban moral dan politis kepada pemilih dan daerah pemilihannya;Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 171 (3) Menaati Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik DPD RI; (4) Menjaga Etika dan Norma adat daerah yang diwakilinya. Perubahan mendasar dengan dihilangkan kata “nya” dalam Pasal 6 ayat (1) menunjukkan bahwa DPD telah berwawasan nasional dalam memperjuangkan daerah dan tidak bersifat local centris yang mengedepankan syarat domisili. Dengan perubahan cara berpikir, cara pandang, dan etos kerja sebagaimana tertuang dalam kode etik DPD tersebut, maka DPD telah bersungguh-sungguh menjaga UUD 1945 khususnya Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Semangat dalam Kode Etik DPD adalah semangat untuk menghilangkan sekat-sekat kedaerahan dan akan memupuk NKRI. Dengan tiadanya syarat domisili ini justru akan memperkukuh Pasal 1 ayat (1) UUD 1945. Terhadap syarat domisili ini, ahli akan membandingkan dengan persyaratan menjadi Kepala Daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 58 yang berbunyi: Pasal 58 Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat: a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah; c. berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau sederajat; d. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puiuh) tahun bagi calon gubernur/wakil gubernur dan berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun bagi calon bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota; e. sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter; f. tidak pemah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; g. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh Implikasi kekuatan hukum tetap; peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 172 h. mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya; i. menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan; j. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara; k. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; I. dihapus; m. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak; n. menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri; o. belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama; p. tidak dalam status sebagai penjabat kepala daerah; dan q. mengundurkan diri sejak pendaftaran bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang masih menduduki jabatannya. Dalam persyaratan menjadi kepala daerah/wakil kepala daerah tidak ada persyaratan domisili. Pasal 58 huruf h menyaratkan mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya. Ahli ingin mengkomparasikan hal ini karena terdapat korelasi yang erat antara tugas anggota DPD dan tugas kepala daerah/ wakil kepala daerah yaitu sama-sama memperjuangkan kepentingan daerah, walaupun melalui sarana yang berbeda. Perbedaannya adalah: a. kepala daerah/wakil kepala daerah memperjuangkan daerah melalui kebijakan daerah yang berupa peraturan daerah dan peraturan kepala daerah; sedangkan b. anggota DPD memperjuangkan kepentingan daerah melalui kebijakan nasional yang berupa UU, PP, Perpres. Komparasi ini menunjukkan secara jelas bahwa kepala daerah/wakil kepala daerah yang memperjuangkan kepentingan daerahnya melalui kebijakan daerah dalam lingkup pemerintahan daerah (lingkup lokal) tidak dikenakan syarat domisili. Oleh karena itu, menjadi sangat tidak relevan bahwa anggota DPD yang memperjuangkan kepentingan daerah melalui kebijakan nasional (lingkup nasional) harus dikenakan syarat domisili dalam persyaratan pencalonannya. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 173 II. Analisis Terhadap Ketiadaan Syarat Non-Parpol Partai politik dibentuk berawal dari adanya asumsi bahwa dengan adanya wadah organisasi mereka bisa menghimpun orang-orang yang mempunyai pikiran dan kepentingan yang sama sehingga pikiran dan kepentingan tersebut bisa dikonsolidasikan dengan tujuan untuk memperbesar pengaruh dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan. Profesor Dr. Miriam Budiardjo berpendapat, bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik untuk melaksanakan programnya. Senada dengan Miriam, Carl Frederich menyatakan, bahwa partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggotanya kemanfaatan yang bersifat idiil dan materiil. Di dalam UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa Partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara serta memelihara keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dari tiga pengertian di atas, terdapat hal-hal yang universal dalam partai politik yaitu: 1. adanya sekelompok orang; 2. menghimpun dirinya dalam organisasi; 3. mempunyai kepentingan yang sama/serupa. Partai politik agar dapat menjadi peserta pemilu harus berbadan hukum (Pasal 8 UU Pemilu, Pasal 3 UU Parpol). Pasal 22E ayat (3) dan (4) UUD 1945 yang berbunyi: (3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. ***) (4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan. *** ) Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 174 dapat diberikan makna bahwa partai politik peserta pemilu DPR dan DPRD serta perseorangan sebagai peserta Pemilu DPD adalah dalam kedudukan sebagai subjek hukum yaitu pembawa hak dan kewajiban. Kata “perseorangan” dalam Pasal 22E ayat (4) adalah subjek hukum yang berupa manusia pribadi/perorangan (natuurlijke persoon). Sedangkan subjek hukum dalam Pasal 22E ayat (3) adalah kumpulan manusia/perorangan (Badan Hukum/rechtspersoon). Setiap subjek hukum mempunyai hak, kewajiban, serta dipandang setara oleh hukum berdasarkan asas Equality Before The Law. Dengan demikian, setiap orang yang memenuhi kualifikasi sebagai subjek hukum, maka berdasarkan prinsip persamaan dan keadilan diberikan hak dan kesempatan yang sama untuk mengikuti pemilihan umum anggota DPD. Oleh karena itu, ketiadaan syarat non parpol menjadi tidak relevan untuk dimasukan ke dalam persyaratan mengikuti Pemilu DPD. Penormaan syarat non Parpol justru mengurangi esensi dari semangat kata “perorangan” yang pada prinsipnya boleh berasal dari kalangan manapun. Dengan tiadanya syarat non Parpol ini justru memberikan ruang-ruang yang Iebih luas kepada masyarakat untuk memperoleh variasi calon anggota DPD yang Iebih banyak. Masyarakat akan mendapatkan pilihan calon-calon anggota DPD yang Iebih banyak. Sudah saatnya kita memberikan pilihan yang bervariasi kepada masyarakat dan biarkan masyarakat yang menentukan pilihannya. Hal ini juga membuka ruang-ruang kontestasi bagi para calon untuk berkampanye dan menjual program-programnya untuk meyakinkan masyarakat agar memilih dirinya. Biarkan masyarakat/rakyat berdaulat dalam memilih wakilnya di DPD, dan sistem dalam UU Pemilu ini telah memberikan akses bagi masyarakat untuk memilih wakilnya di DPD dengan varian yang Iebih banyak. III. Analisis Terhadap Permohonan Pengujian Ketiadaan Norma Dalam Ilmu Hukum (rechtswetenschap) dibedakan antara undang-undang dalam arti formil dan undang-undang dalam arti materiil. Undang-undang dalam arti materiil adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat mengikat umum. Hal inilah yang biasa disebut dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan undangundang dalam arti formil adalah keputusan tertulis sebagai hasil kerja sama antara pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif yang berisi aturan tingkah laku yang berlaku dan bersifat umum. Inilah yang biasa disebut dengan undang-undang. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 175 Unsur-unsur norma yang ada dalam peraturan perundang-undangan mengandung sifat-sifat: 1. norma perintah (gebod), adalah kewajiban untuk melakukan sesuatu yang biasanya mengharuskan subjek hukum untuk melakukan. 2. norma larangan (verbod), adalah kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu, atau dilarang melakukan sesuatu. 3. norma pembebasan (dispensasi), adalah pengecualian dari perintah. Hal ini adalah pembolehan khusus untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan. 4. norma izin (toestemming), adalah pembolehan khusus untuk sesuatu yang sebenarnya dilarang. Jadi izin adalah legalisasi dari perbuatan yang seharusnya dilarang. 5. norma kebolehan adalah pilihan yang bersifat fakultatif, boleh dilaksanakan oleh subjek hukum, boleh juga tidak. Di dalam pengujian peraturan perundang-undangan, di dalam sistem hukum Indonesia dikenal adanya concrete norm review yang menguji beschikking/ penetapan melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan abstract norm review/abstract judicial review atau yang dikenal dengan pengujian undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kewenangan menguji undang-undang ini berarti mengoreksi konstitusionalitas undang-undang, yaitu apakah materi yang terkandung dalam undang-undang tersebut yang berupa perintah, larangan, dispensasi, ijin, maupun kebolehan tidak bertentangan dengan UUD. Dengan kewenangan mengoreksi dan membatalkan ketentuan undangundang ini maka sifat peradilan konstitusi menurut Hans Kelsen lebih berkaitan dengan pembuatan hukum. Argumentasi yang diajukan oleh Kelsen adalah bahwa dengan pembatalan norma dalam undang-undang tersebut maka Mahkamah Konstitusi telah membentuk norma baru dengan dihapuskannya norma yang baru tersebut. Fungsi pembentukan norma yang demikian ini disebut dengan pembentukan norma yang negatif (negative legislation). Dalam sistem Hukum Indonesia, kewenangan pembentukan undang-undang diserahkan kepada DPR dan Pemerintah (positive legislation). Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 176 Berkenaan dengan ketiadaan norma dalam UU Pemilu yaitu tentang ketiadaan syarat non Parpol dan syarat domisili, maka apabila belum berada dalam norma undang-undang maka tidak dapat dimintakan pengujian karena objeknya belum terbentuk. Berdasarkan uraian di atas, maka menurut ahli, pengujian terhadap materi muatan peraturan perundang-undangan hanya dapat dilakukan apabila sudah menjadi norma hukum yang bersifat perintah, larangan, izin, dispensasi, maupun kebolehan. [2.7] Menimbang bahwa Pemerintah dan para Pemohon telah menyerahkan kesimpulan tertulis yang masing-masing diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 19 Juni 2008 dan tanggal 20 Juni 2008, pada pokoknya tetap pada dalildalilnya masing-masing, yang selengkapnya terlampir dalam berkas perkara; [2.8] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian Putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan Putusan ini; 3. PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan adalah mengenai pengujian materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836, selanjutnya disebut UU 10/2008) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945); [3.2] Menimbang bahwa sebelum memasuki pokok permohonan, terlebih dahulu akan dipertimbangkan mengenai: a. Kewenangan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo; b. Kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo; Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 177 Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, salah satu kewenangan Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar; [3.4] Menimbang bahwa permohonan a quo adalah mengenai pengujian UU 10/2008 terhadap UUD 1945, sehingga Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan dimaksud; Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon [3.5] Menimbang bahwa berdasar Pasal 51 ayat (1) beserta Penjelasannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK), yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu: a. perorangan (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama) warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu: a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK; b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 sebagai akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 178 [3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU- III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, serta putusan-putusan selanjutnya, berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat: a. ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang berdasarkan penalaran yang wajar dipastikan akan terjadi; d. ada hubungan kausal (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian; e. apabila permohonan dikabulkan dipastikan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7] Menimbang bahwa dalam permohonan a quo para Pemohon adalah: a. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam kedudukan sebagai lembaga negara, selanjutnya disebut sebagai Pemohon I; b. Perorangan Anggota DPD sebanyak 33 orang yang mendalilkan sebagai perorangan warga negara Indonesia, selanjutnya disebut Pemohon II; c. Perorangan warga negara Indonesia yang memiliki perhatian besar terhadap pemilihan umum, parlemen Indonesia, dan penyaluran aspirasi daerah, yaitu Hadar Navis Gumay (Direktur Eksekutif “Cetro”), Dr. Saafroedin Bahar (Ketua Dewan Pakar Sekretariat Nasional Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat), Sulastio (Ketua Indonesian Parliamentary Center, disingkat IPC), dan Sebastianus KM Salang (Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, disingkat FORMAPPI), selanjutnya disebut Pemohon III; d. Perorangan warga negara Indonesia sebanyak 13 orang yang tinggal di provinsi tertentu (warga daerah), selanjutnya disebut Pemohon IV; Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 179 [3.8] Menimbang bahwa Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV mendalilkan kedudukan hukum (legal standing) mereka dengan menjelaskan kualifikasinya sebagai Pemohon beserta hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 sebagai berikut: [3.8.1] Dalil-dalil Legal Standing Pemohon I a. Pemohon I menyatakan diri sebagai Pemohon lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf d UU MK; b. Pemohon I memiliki kewenangan konstitusional yang diberikan oleh Pasal 22D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 sebagai berikut: (1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. (2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. (3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Dari ketentuan Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 tersebut menurut Pemohon I dapat disimpulkan bahwa kewenangan konstitusional DPD di Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 180 bidang legislasi, anggaran, pertimbangan dan pengawasan selalu dikaitkan dengan kepentingan dan aspirasi daerah atau dengan kata lain untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam pengambilan keputusan politik di tingkat pusat; c. Menurut Pemohon I, kewenangan konstitusionalnya tersebut secara potensial dirugikan oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, karena kedua pasal tersebut tidak memuat persyaratan domisili dan syarat non-partai politik bagi calon anggota DPD sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum” dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan”, dengan argumentasi bahwa: x Ketiadaan syarat domisili bagi calon anggota DPD sebagaimana dimaksud Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 menyebabkan pemilihan anggota DPD dari suatu provinsi dapat diikuti dan dimenangkan oleh calon dari provinsi lain yang tidak mengenal daerah tersebut dan diragukan kapabilitasnya dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah. Menurut Pemohon I, hal itu jelas merugikan kewenangan konstitusional Pemohon I, karena: (i) anggota-anggota DPD yang tidak benar-benar memahami daerahnya masing-masing tidak akan berfungsi optimal dalam menunjang DPD sebagai lembaga negara dalam menjalankan fungsinya untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah; (ii) anggota DPD yang demikian tidak dapat dijamin keberpihakannya kepada daerah yang diwakilinya dalam pengambilan keputusan atau proses legislasi; dan (iii) tidak dapat dijamin kecepatan dan kemudahan dalam pengambilan keputusan terkait suatu daerah dikarenakan kurangnya pemahaman atau pengenalan atas daerah; x Ketiadaan syarat non-partai politik bertentangan dengan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, sebab memungkinkan pemilihan anggota DPD diikuti dan dimenangkan oleh anggota atau pengurus partai politik. Menurut Pemohon I, berdasarkan penalaran yang wajar, anggota DPD yang berasal dari partai politik tentu akan lebih mengutamakan kepentingan atau platform partai politik (selanjutnya disingkat Parpol) dari pada kepentingan daerah. Apalagi sebagian besar Parpol di Indonesia masih bersifat sentralistik, yakni Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 181 pengambilan keputusan masih tergantung pimpinan pusat Parpol. Hal yang demikian jelas akan merugikan kewenangan konstitusional DPD sebagai lembaga negara; [3.8.2] Dalil-dalil Legal Standing Pemohon II a. Pemohon II mendalilkan bahwa para anggota DPD yang mengajukan permohonan bertindak sebagai Pemohon perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama; b. Pemohon II mendalilkan mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Anggota Dewan perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum”. Menurut Pemohon II, secara implisit Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 memberikan hak konstitusional kepada warga negara Indonesia yang berdomisili di provinsi tertentu untuk dipilih menjadi anggota DPD dari provinsi yang bersangkutan; c. Menurut Pemohon II, hak konstitusionalnya tersebut di atas dirugikan oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, karena: (i) Pasal a quo tidak mensyaratkan bahwa bakal calon anggota DPD harus berdomisili di provinsi tempat bakal calon tersebut mencalonkan diri. Sehingga, dengan ketiadaan syarat domisili akan menyebabkan bahwa pemilihan calon anggota DPD suatu provinsi dapat diikuti oleh orang-orang yang tidak berasal dari provinsi yang bersangkutan. Hal demikian, menurut Pemohon II, jelas merugikan hak konstitusionalnya untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD dari provinsi yang bersangkutan; (ii) Pasal a quo tidak mensyaratkan non-Parpol bagi bakal calon anggota DPD, padahal menurut Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, peserta Pemilu anggota DPD adalah perseorangan, yang berarti bahwa Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 tersebut memberikan hak konstitusional kepada warga negara Indonesia yang bukan anggota atau pengurus Parpol untuk dipilih menjadi anggota DPD. Menurut Pemohon II, ketiadaan syarat non-Parpol tersebut membuka kemungkinan calon dari Parpol untuk berkompetisi dengan calon perseorangan dalam pemilihan anggota DPD, sehingga berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon II, sebab persaingan menjadi tidak adil, mengingat bahwa calon dari Parpol ditopang oleh organisasi Parpol yang sudah terbentuk hingga kecamatan dan desa-desa, sementara calon perseorangan hanya mengandalkan jaringan personal; Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 182 d. Pemohon II juga mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya berupa jaminan Pemilu yang adil yang diberikan oleh Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali” dirugikan oleh ketiadaan syarat non-Parpol. Demikian juga hak atas jaminan kepastian hukum yang adil yang diberikan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” potensial dirugikan oleh ketiadaan syarat non-Parpol bagi calon anggota DPD; e. Menurut Pemohon II, ketiadaan syarat domisili juga merugikan hak konstitusionalnya yang diberikan oleh Pasal 22C ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat”. Karena, menurut Pemohon II, bagaimana Pemilu dapat dikatakan adil apabila calon anggota DPD yang akan mewakili suatu provinsi dapat berasal dari provinsi lain, sehingga terdapat kemungkinan bahwa secara substansial suatu provinsi tidak terwakili dalam lembaga DPD jika anggota DPD berasal dari provinsi lain; [3.8.3] Dalil-dalil Legal Standing Pemohon III 1. Pemohon III mendalilkan diri bertindak selaku Pemohon perorangan warga negara Indonesia, termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK beserta penjelasannya; 2. Menurut Pemohon III, mereka adalah orang-orang yang selama ini dikenal luas sangat aktif dan concerned dengan isu-isu yang terkait dengan Pemilu, kinerja parlemen, kualitas representasi publik dalam parlemen, dan penyaluran aspirasi daerah, yaitu masing-masing sebagai berikut: i. Hadar Navis Gumay (nomor 1) adalah Direktur Eksekutif Cetro, mempunyai kepentingan terhadap upaya pembaharuan Pemilu (electoral reform) demi terselenggaranya Pemilu yang demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, agar Pemilu menghasilkan parlemen yang berkedaulatan rakyat; ii. Dr. Saafroedin Bahar (nomor 2) Ketua Dewan Pakar Sekretariat Nasional Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat, berkepentingan Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 183 terhadap penyaluran aspirasi masyarakat hukum adat sebagai bagian dari aspirasi masyarakat daerah melalui terpilihnya wakil-wakil daerah yang tepat di DPD agar aspirasi dan hak-hak masyarakat hukum adat yang dijamin oleh Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 terlindungi; iii. Sulastio (nomor 3) adalah Ketua IPC yang berkeepntingan terhadap terselenggaranya Pemilu yang demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, agar Pemilu menghasilkan parlemen yang mampu merepresentasikan kepentingan publik dengan baik; iv. Sebastianus KM Salang (nomor 4) adalah koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI) yang berkepentingan terhadap terselenggaranya Pemilu yang demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, agar Pemilu menghasilkan parlemen yang fungsional dan efektif; [3.8.4] Dalil-dalil Legal Standing Pemohon IV 1. Pemohon IV adalah warga daerah yang mendalilkan sebagai Pemohon perorangan warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK beserta Penjelasannya; 2. Menurut Pemohon IV, sebagai warga daerah yang tinggal di provinsi masingmasing dan bukan anggota Parpol, menganggap pemberlakuan Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 berpotensi merugikan hak-hak konstitusional Pemohon IV yang diatur dalam Pasal 22C ayat (1), Pasal 22E ayat (1) dan ayat (4), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan argumentasi sama dengan yang dikemukakan oleh Pemohon II; [3.9] Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV mengenai kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari dalil-dalil para Pemohon mengenai konstitusionalitas Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 yang tidak memuat persyaratan domisili dan non-Parpol bagi perorangan yang bermaksud mencalonkan diri sebagai anggota DPD dalam Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 184 Pemilu. Oleh karena itu, masalah kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon akan dipertimbangkan bersama pokok permohonan. Pokok Permohonan [3.10] Menimbang dalam pokok permohonannya, para Pemohon meminta Mahkamah untuk menguji konstitusionalitas Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 yang tidak memuat syarat domisili dan syarat non-Parpol bagi calon anggota DPD dalam Pemilu, karena menurut para Pemohon, ketiadaan syarat domisili dan nonParpol dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 tersebut bertentangan dengan UUD 1945, dengan argumentasi sebagai berikut: a. Bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum” mengandung norma konstitusi bahwa anggota DPD dipilih dari warga negara yang berdomisili di provinsinya masing-masing (syarat domisili). Sedangkan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan daerah adalah perseorangan” mengandung norma konstitusi bahwa anggota DPD dipilih dari perseorangan non-Parpol (syarat non-Parpol). Bahwa selain itu, menurut para Pemohon, raison d’etre pembatasan berupa syarat non-Parpol adalah demi netralitas wakil daerah melalui DPD, sebagaimana raison d’etre pembatasan terhadap anggota TNI/Polri, pegawai negeri sipil (PNS), dan lain-lain untuk tidak menjadi calon anggota DPD adalah juga untuk menjaga netralitas (vide Pasal 12 huruf k dan m UU 10/2008); b. Bahwa para Pemohon juga membandingkan dengan ketentuan Pasal 63 UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (selanjutnya disebut UU 12/2003, Bukti P-2) dan Naskah Akademik serta Draft Awal RUU Pemilu 2008 yang dipersiapkan oleh Pemerintah (Bukti P-3) yang mencantumkan syarat domisili dan syarat non-Parpol (dalam arti pengurus Parpol) untuk menjadi calon anggota DPD. Namun dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 justru syarat domisili dan non-Parpol tersebut ditiadakan (Bukti P-1); c. Bahwa menurut para Pemohon, penghilangan syarat domisili dan non-Parpol yang pada hakikatnya secara implisit merupakan norma konstitusi dilakukan Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 185 secara sengaja dan dilandasi oleh motif kekuasaan dari kalangan tertentu (Bukti P-4). Hal demikian berarti telah menegasi keberadaan norma konstitusi dan menyebabkan UU 10/2008 cacat hukum; d. Bahwa menurut para Pemohon, ketiadaan syarat domisili dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945, karena dari frasa “dipilih dari setiap provinsi” mengandung makna atau tafsir bahwa calon anggota DPD harus berdomisili di provinsi yang bersangkutan. Penafsiran demikian dilakukan oleh pembentuk undang-undang UU 12/2003 dan juga dalam Draft RUU Pemilu versi Pemerintah. Ketiadaan syarat domisili dan non-Parpol tersebut juga bertentangan dengan aspirasi masyarakat (Bukti P-5); e. Bahwa menurut para Pemohon, pentingnya syarat domisili bagi calon anggota DPD juga menjadi pendapat berbagai ahli tata negara Indonesia (Bukti P-6, P-7, P-8, dan P-9), yang berarti bahwa baik dari segi penafsiran secara semantik maupun secara kontekstual dengan mengacu gagasan dasar pembentukan DPD, syarat domisili merupakan elemen yang sangat penting bagi calon anggota DPD. Oleh karena itu, menurut para Pemohon, ketiadaan syarat domisili dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945; f. Bahwa menurut para Pemohon, syarat non-Parpol bagi calon anggota DPD dapat ditafsirkan secara sistematis dari ketentuan yang tercantum dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik” dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 bahwa “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.” Hal yang demikian menurut para Pemohon tidak mendiskriminasi warga negara Indonesia yang berasal dari Parpol, karena Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 telah memberikan kesempatan hanya kepada anggota Parpol untuk menjadi anggota DPR dan DPRD. Sehingga adalah logis untuk menafsirkan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 sebagai ketentuan yang memberikan kesempatan hanya kepada perseorangan warga negara Indonesia yang bukan berasal dari Parpol (baik anggota maupun pengurus) untuk menjadi anggota DPD; Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 186 g. Menurut para Pemohon, Pasal 22E UUD 1945 telah cukup adil mengatur bahwa anggota DPD dipilih dari perseorangan (non-Parpol), sedangkan anggota DPR dan DPRD dipilih dari Parpol. Norma konstitusi yang demikian seharusnya juga mendapatkan pengaturan lebih lanjut dalam UU 10/2008, bukan malahan dihilangkan. Padahal, dalam alinea keempat UU 10/2008 telah ditegaskan bahwa “... untuk mengakomodasi aspirasi keanekaragaman daerah, sesuai dengan ketentuan Pasal 22C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dibentuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang anggota-anggotanya dipilih dari perseorangan yang memenuhi persyaratan dalam pemilihan umum ...”; h. Menurut para Pemohon, ketiadaan syarat non-Parpol dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 merupakan pengingkaran dan/atau pelanggaran terhadap Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, karena prinsip demokrasi perwakilan di Indonesia menurut UUD 1945 direpresentasikan oleh DPR yang membawa kepentingan nasional yang terangkum dari cita-cita masing Parpol dan oleh DPD yang merupakan representasi perseorangan yang membawa aspirasi setiap daerah yang diwakilinya dalam kerangka kepentingan nasional; i. Pandangan demikian, menurut para Pemohon, didukung oleh pendapat para ahli tata negara Indonesia (Bukti P-8, P-9, P-10, P-11, dan P-12). Bahwa para Pemohon sepenuhnya menyadari ada pendapat yang menyatakan anggota DPD yang berasal dari Parpol belum tentu dengan sendirinya tidak dapat mewakili kepentingan/aspirasi daerah dan bahwa banyak negara demokrasi yang keanggotaan Senatnya berasal dari Parpol, namun hal itu lebih karena budaya politik dan konteks sosio kulturalnya berbeda (Bukti P-12C, P-12D, P12E); j. Bahwa para Pemohon menyadari, permohonan pengujian UU 10/2008 ini adalah mengenai ketiadaan norma dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 yang menyebabkan pasal a quo inkonstitusional, sedangkan dalam praktik pada umumnya pengujian ditujukan terhadap norma yang dianggap inkonstitusional. Akan tetapi, menurut para Pemohon, sesungguhnya amanat UUD 1945 yang berupa kewenangan Mahkamah untuk menguji undangundang terhadap Undang-Undang Dasar tidaklah sempit sekedar menguji adanya norma yang inkonstitusional, melainkan juga menguji ketiadaan norma Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 187 yang seharusnya ada menurut amanat Undang-Undang Dasar, in casu ketiadaan norma syarat domisili dan non-Parpol dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 yang seharusnya ada menurut amanat Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945; k. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, para Pemohon mengajukan beberapa alternatif Petitum sebagai berikut: (i) Mengabulkan permohonan para Pemohon dengan menyatakan Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 bertentangan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kemudian untuk menghindari kekosongan hukum bagi kelancaran Pemilu 2009, Mahkamah meminta agar Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Komisi Pemilihan Umum (KPU) menerbitkan Peraturan KPU yang mencantumkan syarat domisili dan non-Parpol bagi calon anggota DPD; atau (ii) Menyatakan Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 berlaku conditionally constitutional, yakni bahwa Pasal 12 huruf (c) UU 10/2008 harus dibaca bertempat tinggal di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon atau pernah bertempat tinggal selama 10 tahun sejak berusia 17 tahun di provinsi yang bersangkutan, dan Pasal 67 UU 10/2008 harus dibaca kartu tanda penduduk warga negara Indonesia dari provinsi yang bersangkutan. Selain itu, Pasal 12 huruf c UU 10/2008 juga harus ditafsirkan warga negara Republik Indonesia perseorangan yang bukan anggota atau pengurus Parpol; (iii) atau bila tidak ditafsirkan demikian, Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 (conditionally unconstitutional); [3.11] Menimbang bahwa untuk memperkuat dalil-dalilnya, para Pemohon telah mengajukan alat-alat bukti tulis (Bukti P-1 sampai dengan P-18) yang telah disahkan pada sidang tanggal 15 April 2008. Selain itu, para Pemohon juga telah mengajukan saksi dan ahli yang memberikan keterangan di bawah sumpah, keterangan mana selengkapnya dimuat dalam uraian mengenai Duduk Perkara dari Putusan ini, pada pokoknya adalah sebagai berikut: Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 188 [3.11.1] Keterangan Saksi Para Pemohon, Drs. Progo Nurdjaman Saksi dalam Sidang Pleno tanggal 13 Mei 2008 menerangkan bahwa ketika menjadi salah seorang wakil Pemerintah dalam pembahasan RUU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang kemudian menjadi UU 10/2008, mengetahui dan membenarkan bahwa Draft RUU dari Pemerintah memuat ketentuan tentang syarat domisili dan bukan pengurus Parpol bagi calon anggota DPD. Saksi menyatakan syarat domisili dan non-Parpol tidak muncul dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, namun saksi tidak mengetahui sebabnya, karena saksi terlanjur berhenti pensiun dan tidak lagi menjadi wakil Pemerintah dalam pembahasan RUU Pemilu; [3.11.2] Keterangan Ahli Para Pemohon, Drs. Arbi Sanit Ahli sebagai pakar ilmu politik dalam Sidang Pleno tanggal 13 Mei 2008 menerangkan pada pokoknya sebagai berikut: x Ahli meninjau persoalan dasar tuntutan DPD dalam perkara ini dari perspektif partai politik yang menguasai dan mempengaruhi pembentuk undang-undang, sehingga menghasilkan pasal-pasal undang-undang yang terkait DPD dipersoalkan. Menurut ahli, hal itu disebabkan adanya kecenderungan partaipartai politik saat ini yang bernafsu mendominasi dan memonopoli negara atau urusan kenegaraan, baik secara vertikal lembaga-lembaga negara yang bersifat nasional dan daerah, maupun horizontal, lembaga-lembaga negara yang setara. Monopoli dan dominasi Parpol tersebut menurut ahli bahkan telah mereduksi sistem pemerintahan presidensil menjadi berkecenderungan ke arah sistem parlementer; x Dalam kaitannya dengan parlemen, menurut ahli, sejak Amandemen UUD 1945 sesungguhnya ada dua badan, yaitu DPR dan DPD, tetapi DPD hanya diberi kekuasaan yang minim, kekuasaan yang tidak sesungguhnya sebagai dewan perwakilan, melainkan hanya sebagai lembaga yang membantu DPR. Bahkan, sekarang, melalui UU Pemilu (UU 10/2008), DPD hendak dimasuki dan dikuasai lagi oleh Parpol melalui pasal-pasal yang kini diuji, sehingga DPR, dalam hal ini partai-partai politik hendak melakukan sentralisasi kekuasaan, bukan mau berbagi kekuasaan atas dasar prinsip checks and balances; x Menurut ahli, akar masalah kesulitan yang dihadapi oleh negara kita saat ini adalah akibat monopoli Parpol yang menyebabkan sistem presidensil yang Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 189 digariskan UUD 1945 berubah dalam praktik menjadi sistem perlementer dikarenakan munculnya sistem multipartai dengan kondisi kepartaian yang berantakan. Oleh karena itu, demi kecintaan kita kepada partai, sebab demokrasi tanpa partai itu bukan demokrasi, maka Parpol harus dibenahi, bukan dari dalam oleh internal partai yang sudah bobrok, melainkan dari luar, yaitu oleh golongan menengah dan kaum intelektual melalui tekanan-tekanan politik. Dalam pandangan ahli, saat ini ada tiga institusi yang efektif dapat memperbaiki Parpol dari luar, yaitu KPK dan BPK untuk mendorong partai semakin jujur, dan Mahkamah Konstitusi melalui interpretasi dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945; x Ahli melalui kesimpulan tertulisnya juga menyatakan bahwa UU 10/2008 yang tidak mencantumkan syarat domisili dan non-Parpol bagi calon anggota DPD yang pada dasarnya merupakan norma UUD adalah melawan UUD 1945, sebab tidak saja merugikan tokoh-tokoh independen dari masyarakat lokal di provinsi dan para anggota DPD hasil Pemilu 2004 dengan mengurangi peluangnya untuk dapat terpilih sebagai calon anggota DPD melalui Pemilu 2009, namun juga telah mendegradasikan institusi DPD. Oleh karena itu, ahli mengharapkan objektivitas dan netralitas interpretasi yudisiil oleh Mahkamah Konstitusi dapat menyelamatkan reformasi dari kekeliruan interpretasi legislasi atas Konstitusi oleh DPR; [3.11.3] Keterangan Ahli Para Pemohon, Dr. John Pieris, S.H., M.S. Dalam Sidang Pleno tanggal 13 Mei 2008, ahli memberikan keterangan yang pada pokoknya adalah sebagai berikut: x Menurut ahli, secara etimologis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua, frasa “dari setiap provinsi” dalam rumusan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum” menunjukkan tempat atau ruang dan asal, yaitu tempat berdiam, berteduh, tempat tinggal, dan tempat berdomisili. Atau dapat dipertegas artinya bertempat tinggal dalam pencalonan anggota DPD dari provinsi asal, bukan dari provinsi lain. Syarat berdomisili permanen secara administratif dari daerah yang diwakili ini juga dianut di Amerika Serikat dan Thailand. Pengertian dipilih dari setiap provinsi mengandung makna dicalonkan dan dipilih dari provinsi di mana calon berdomisili, suatu hal yang berbeda Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 190 dengan dipilih di setiap provinsi yang bermakna hanya dipilih di setiap provinsi namun calonnya tidak harus berdomisili di provinsi tersebut; x Menurut ahli, frasa dipilih dari setiap provinsi berdasarkan teori representasi berarti mewakili wilayah, yang secara substansial hermeneutikal perwakilan wilayah itu harus diisi atau diwakili oleh orang yang berdomisili di wilayah tersebut, yang mengenal dan mengetahui secara luas dan mendalam kondisi, situasi, dan karakter masyarakat dan problema daerahnya. x Menurut ahli, sifat perwakilan dari anggota DPD adalah rational representation, yang berarti secara rasional mewakili provinsi di mana yang bersangkutan berdomisili, dan juga bukan merupakan representasi politik Parpol (political representation) yang merupakan ranahnya perwakilan di DPR dan DPRD; x Mengenai frasa “perseorangan” dalam rumusan Pasal 22E ayat (4) dimaksud sebagai pribadi seseorang atau pribadi yang independen, non-partisan dari suatu badan termasuk Parpol, PNS, dan anggota TNI/Polri; [3.11.4] Keterangan Ahli Para Pemohon Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka Sebagai ahli bahasa, ahli mengemukakan pemahamannya dari segi bahasa atas rumusan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum” dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan”, sebagai berikut: x Kata “dari” merupakan preposisi atau kata depan yang menyatakan makna asal, sedangkan kata “setiap” pada frasa “setiap provinsi” menyatakan makna provinsi masing-masing. Dengan demikian, pemahaman atas Pasal 22C ayat (1) dari segi bahasa adalah bahwa anggota DPD haruslah dipilih dari calon yang berasal dan berdomisili dari provinsi yang diwakilinya, agar merupakan perwakilan dari daerah tersebut; x Mengenai pemahaman atas rumusan Pasal 22E ayat (4), ahli berpendapat, bahwa rakyat memilih perseorangan, bukan calon partai, untuk anggota DPD, karena calon partai tempatnya di DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945; [3.11.5] Keterangan Ahli Para Pemohon Denny Indrayana, S.H, LL.M, Ph.D. Dalam persidangan tanggal 10 Juni 2008, ahli memberikan keterangan yang pada pokoknya menyatakan enam hal sebagai berikut: Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 191 1. Menurut yang ahli pahami dan sesuai dengan maksud asli (original intent) Pasal 22C ayat (1) dan (2) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, makna Dewan Perwakilan Daerah dalam UUD 1945 adalah representasi daerah (regional representative), maka menjadi aneh kalau representasi daerah tidak tinggal di daerah yang bersangkutan, hal yang berbeda dengan representasi politik yang dimiliki oleh DPR dan representasi fungsional yang dimiliki oleh Utusan Golongan di MPR dulu sebelum Perubahan UUD 1945. Sehingga, bagi calon anggota DPD memang harus dipersyaratkan berdomisili di provinsi yang diwakili dan perseorangan yang bukan dari Parpol; 2. Menurut ahli, syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan non-Parpol bagi calon anggota DPD merupakan maksud asli (original intent) UU 12/2003 yang sesuai dengan maksud asli Pasal 22C ayat (1) dan (2) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945; 3. Bahwa pembuatan UU 10/2008 sengaja menghilangkan syarat domisili di provinsi dan syarat perseorangan non-Parpol bagi keanggotaan DPD; 4. Bahwa perubahan radikal interpretasi UUD 1945 berupa penghilangan syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan non-Parpol bagi calon anggota DPD dalam UU 10/2008 adalah bentuk “improper purposes”; 5. Bahwa ketiadaan syarat domisili provinsi dan syarat non-Parpol bagi keanggotaan DPD harus dinyatakan tidak sesuai (uncomformity) bukan bertentangan (in contradiction) dengan UUD 1945, karena UU 10/2008 baru dapat dikatakan sesuai dengan UUD 1945 apabila memuat norma yang hilang tersebut; 6. Menurut ahli, ketiadaan norma syarat domisili provinsi dan syarat perseorangan non-Parpol (tidak dituliskan secara eksplisit) dalam UU 10/2008 harus dianggap sebagai norma itu sendiri, sehingga Mahkamah berwenang untuk menyatakan bahwa ketiadaan norma dimaksud tidak sesuai (uncomformity) dengan UUD 1945; [3.11.6] Keterangan Ahli Para Pemohon Drs. Thomas Aquino Legowo, M.A. Ahli menerangkan yang pada pokoknya adalah sebagai berikut: x Menurut ahli, disahkannya UU 10/2008 merupakan suatu kemajuan, selain memperbaiki kelemahan yang ada pada undang-undang terdahulu, yaitu UU 12/2003, juga merumuskan beberapa Implikasi peran..., Agung Sudrajat, ketentuan FH UI, 2012 baru yang belum pernah 192 diberlakukan pada Pemilu-pemilu sebelumnya, tetapi juga menghilangkan beberapa ketentuan lama yang ada dalam UU 12/2003. Keputusan menambah atau menghilangkan merupakan upaya yang dapat untuk memperbarui dan menyempurnakan suatu peraturan perundang-undangan. Meskipun begitu, menurut ahli, tidak tertutup kemungkinan bahwa penambahan atau penghilangan beberapa ketentuan dapat menyimpang atau mengubah secara maknawi prinsip dan pemikiran dasar yang ada dan berkembang pada UUD 1945 yang menjadi landasan bagi perumusan peraturan perundang-undangan. Pertanyaannya adalah mengapa UU 10/2008 tidak lagi memberlakukan ketentuan tentang persyaratan domisili dan bukan berasal dari Parpol bagi calon anggota DPD? Masalah yang selama ini belum pernah dijelaskan secara resmi; x Namun, menurut ahli, terlepas dari ada atau tidaknya penjelasan dimaksud, penghilangan dua ketentuan itu telah memungkinkan keanggotaan DPD terbuka untuk diisi oleh calon-calon terpilih yang tidak berdomisili di daerah yang diwakilinya dan menjadi pengurus Parpol. Persoalannya adalah apakah kemungkinan seperti ini sesuai dengan semangat prinsip dan pemikiran dasar yang melatari pembentukan DPD dalam proses amandemen UUD 1945 tahun 1999 – 2001 dan 2002. Jika ditengok kembali proses perdebatan yang mengantar pembentukan DPD dalam sidang-sidang MPR, dapat ditarik beberapa catatan yang secara langsung atau tidak langsung terkait dengan dua persyaratan bagi calon anggota DPD tersebut, yaitu: i. DPD merupakan badan perwakilan yang menggantikan utusan daerah untuk menyalurkan aspirasi daerah demi mencegah disintegrasi bangsa. Jadi, DPD merupakan perwakilan territory, dalam hal ini provinsi, untuk menampung aspirasi daerah dalam proses politik nasional, maka anggota DPD diharuskan untuk memberikan konsentrasinya secara penuh sebagai perwakilan daerah; ii. DPD sebagai badan perwakilan daerah harus dibedakan dari DPR yang merupakan badan perwakilan yang mewakili aspirasi rakyat, sehingga dalam prinsip dasar ini, DPD tidak boleh mengungguli DPR, baik dalam ukuran jumlah anggotanya maupun wewenangnya. Argumentasinya adalah bahwa jumlah wilayah senantiasa lebih sedikit dari pada jumlah penduduk, maka jumlah anggota DPD ditentukan tidak lebih dari sepertiga jumlah Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 193 anggota DPR, ruang lingkupnya terbatas pada masalah-masalah yang terkait dengan daerah; iii. DPD sebagai perwakilan daerah harus beranggotakan orang-orang yang dipilih melalui pemilihan umum di masing-masing daerah. Prinsip ini bermakna bahwa anggota-anggota DPD adalah orang-orang yang secara sah dipilih oleh masyarakat daerah setempat untuk mewakili daerah bersangkutan, maka anggota DPD tidak mewakili entitas lain apapun juga selain daerah, seperti organisasi masyarakat, komunitas agama, dan Parpol; x Menurut ahli, dari semangat prinsip dan pemikiran dasar tersebut jelas menegaskan bahwa anggota DPD adalah orang-orang yang mengetahui, mengenal, dan memahami masalah-masalah daerah yang diwakilinya. Memang Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 tidak secara eksplisit menyatakan bahwa anggota DPD harus berasal dan berdomisili dari provinsi yang diwakilinya, namun dari frasa “Anggota Dewan Perwakilan daerah dipilih dari setiap provinsi ...” tidak bisa diartikan lain selain bahwa anggota DPD bukan berasal dari provinsi lain, jadi merefleksikan asas tempat tinggal atau domisili; [3.11.7] Keterangan Ahli Para Pemohon Dr. Indra Jaya Piliang Dalam keterangan di persidangan tanggal 10 Juni 2008, dengan judul “Dari Demokrasi ke Partikrasi, Dari Kedaulatan Rakyat ke Kedaulatan Partai”, ahli menyatakan hal-hal yang pada pokoknya adalah sebagai berikut: x DPD adalah perwakilan wilayah yang begitu beragam di Indonesia dengan sifat dan karakteristiknya masing-masing, baik secara etnografis, agama, dan lainnya yang mencerminkan kebhinekaan, suatu hal yang tak mungkin terwakili oleh Parpol. Maka, DPR dan DPD dalam sistem perwakilan di Indonesia adalah dua identitas yang berbeda, DPR merupakan perwakilan penduduk, sedangkan DPD merupakan perwakilan daerah; x Menurut ahli, amandemen UUD 1945 menganut prinsip kontra hegemoni yakni meluruskan konstitusi sebelum amandemen yang melahirkan otoritarianisme, seperti misalnya Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, kekuasaan bergeser ke badan legislatif yang bercabang dua, satu DPR yang merupakan perwakilan penduduk, satunya DPD yang merupakan perwakilan daerah. Menurut ahli, perbedaan antara DPR dan DPD bukan sekadar perbedaan fungsi, tetapi pada Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 194 hakikatnya adalah perbedaan substansi, yaitu bahwa urusan daerah secara eksplisit adalah urusannya DPD, bukan DPR. Sehingga, apabila keanggotaan DPD itu diisi oleh orang-orang partai politik, maka sentralisasi atau hegemoni kekuasaan negara oleh partai politik akan memperoleh ruang, kalau sebelum amandemen konstitusi hanya bersifat individual pada diri Soekarno dan Soeharto, akan berpindah ke Parpol; x Tentang masalah domisili, menurut ahli, pada hakikatnya merupakan identitas dari suatu wilayah, misalnya identitas ras Melanesia di Otonomi Khusus Papua yang bukan datang dari Asia, melainkan dari Lautan Pasifik, juga bagi Aceh yang menganut syariat Islam. Tak terbayangkan apa akibatnya jika tidak ada syarat domisili bagi calon anggota DPD, orang Papua mungkin tidak terwakili oleh etnis Papua, orang Aceh mungkin tak terwakili oleh orang etnis Aceh, maka akan hancurlah hakikat Keindonesiaan yang bhineka itu. Hal seperti ini, mungkin domisili dipandang primordialistik, namun primordialistik yang dilindungi konstitusi (primordialisme konstitusional). Maka syarat domisili itu adalah prinsip yang sangat penting yang harus dipenuhi oleh DPD, dan karena di Indonesia domisili itu diartikan dengan KTP, bukan akta kelahiran dan tempat sekolah, maka KTP-lah yang menjadi bukti syarat domisili; x Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut di atas, maka menghilangkan syarat domisili dan non-Parpol bagi calon anggota DPD, yang terjadi bukan lagi prinsip demokrasi, melainkan prinsip-prinsip partikrasi, kedaulatan di tangan partai yang berakibat Indonesia akan terjebak ke dalam proses transisi permanen; [3.11.8] Keterangan Ahli Para Pemohon Hestu Cipto Handoyo, S.H., M.Hum. Ahli memberi judul keterangannya dengan judul “Ketiadaan Sinkronisasi Norma Domisili dan Non Partai Politik Bakal Calon Anggota DPD Dalam Perspektif Konstitusi”, menerangkan pada pokoknya sebagai berikut: x Menurut ahli, Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum” masih menimbulkan dua penafsiran, pertama, ‘setiap provinsi’ dapat ditafsirkan sebagai sebuah struktur organisasi pemerintahan daerah dalam konteks desentralisasi teritorial, dan yang kedua, setiap provinsi dapat ditafsirkan sebagai daerah pemilihan sebagaimana diatur dalam UU 10/2008. Dalam hal Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 195 ini ahli berpendapat, bahwa norma yang tercantum dalam Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 terkait erat dengan norma yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.” Dengan demikian, harus ditafsirkan bahwa frasa dari setiap provinsi dalam Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 sebagai provinsi dalam makna desentralisasi teritorial sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat (1) UUD 1945, sehingga norma domisili di provinsi bagi calon anggota DPD adalah norma konstitusi yang jika dihilangkan dari UU 10/2008 berarti melanggar konstitusi; x Ahli juga berpendapat, bahwa norma yang terkandung dalam Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan”, tafsirannya adalah bahwa kata “perseorangan” itu bermakna individu mandiri yang tidak terikat oleh kepentingan golongan atau afiliasi politik tertentu. Hal itu berarti bahwa secara konstitusional, syarat untuk calon anggota DPD adalah perseorangan non Parpol, sebagaimana persyaratan lainnya seperti menjabat akuntan publik, advokat, pengacara, notaris, dan lain-lainnya; [3.11.9] Keterangan Ahli Para Pemohon M. Fajrul Falaakh, S.H., M.Sc. Ahli dalam Sidang Pleno tanggal 10 Juni 2008 menerangkan pada pokoknya hal-hal sebagai berikut: x Bahwa keterwakilan daerah dengan jumlah majemuk bukanlah konsep baru dalam Konstitusi Indonesia, sebab sebelum Amandemen UUD 1945, kita pernah mempunyai ketentuan bahwa MPR terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan daerah-daerah dan golongan-golongan. Penjelasan UUD 1945 tentang hal itu menyatakan bahwa rumusan seperti itu dimaksudkan supaya seluruh daerah mempunyai wakil di dalam Majelis, sehingga majelis itu akan betul-betul dianggap sebagai penjelmaan rakyat. Bahkan kita pernah mengalami bahwa untuk rekrutmen utusan daerah, gubernur otomatis menjadi wakil daerah; x Menurut ahli, setelah Amandemen UUD 1945, pelembagaan utusan daerah adalah dalam lembaga yang namanya DPD yang dalam UUD 1945 telah Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 196 dimuat beberapa ketentuan konstitusionalnya, yaitu anggota DPD dipilih dari setiap provinsi, jumlah anggota DPD tidak lebih dari sepertiga anggota DPR, dan anggota DPD dipilih dari calon perseorangan. Jadi, ada norma konstitusi untuk Pemilu anggota DPD, yaitu asal calon anggota adalah provinsi, bukan luar negeri, bukan desa, kabupaten atau kota dan juga bukan ibukota provinsi. Dalam Pasal 22C ayat (2) UUD 1945 ditentukan jumlah anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya sama, yang berarti dianut prinsip equality of regional representation. Pasal 22C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 juga mengandung norma konstitusi yang bersifat implisit, yaitu bahwa setiap provinsi berhak atas keterwakilan di DPD dan anggota DPD berangkat dari dan berasal dari provinsi; x Ahli selanjutnya berpendapat, bahwa ketentuan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan”, dapat dikatakan dilawankan dengan ketentuan Pasal 22E ayat (3) bahwa “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.” Ketentuan tersebut menegaskan bahwa subjek hukum untuk DPR dan DPRD adalah Parpol (dalam ilmu hukum disebut subjek hukum badan) dan subjek hukum untuk DPD adalah perseorangan (dalam ilmu hukum disebut subjek hukum orang). Dengan demikian, menurut ahli jelas bahwa perseorangan bagi calon anggota DPD itu adalah bukan berasal dari Parpol, sama jelasnya dengan ketentuan bahwa calon anggota DPR dan DPRD berasal dari Parpol; [3.12] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah memberikan keterangan lisan dan tertulis yang selengkapnya dimuat dalam uraian mengenai Duduk Perkara Putusan ini, pada pokoknya menerangkan hal-hal sebagai berikut: [3.12.1] Keterangan DPR pada Sidang Pleno tanggal 13 Mei 2008 DPR dalam persidangan Mahkamah tanggal 13 Mei 2008 yang diwakili oleh Pataniari Siahaan dan Lukman Hakim Saefuddin menerangkan pada pokoknya sebagai berikut: x Menurut DPR, Pemohon I DPD sebagai lembaga negara memang memenuhi kualifikasi sebagai Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK dan DPD memang Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 197 memiliki kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945. Akan tetapi, kewenangan konstitusional DPD tak ada kaitannya dengan ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, karena ketentuan Pasal 22D tersebut berlaku setelah DPD terbentuk, sedangkan Pasal 12 dan Pasal 67 adalah persyaratan untuk menjadi anggota DPD, sehingga ketentuan dimaksud tak akan merugikan kewenangan konstitusional DPD, sehingga Pemohon I tidak memiliki legal standing. DPR juga berpendapat bahwa anggota DPD sebagai perseorangan juga tidak memiliki legal standing, karena sebagai perseorangan warga negara Indonesia para anggota DPD tidak dirugikan oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, mereka masih tetap berhak dan bebas mencalonkan diri sebagai anggota DPD dalam Pemilu. Demikian juga menurut DPR, Pemohon III tidak memiliki legal standing karena tidak ada kepentingan langsung Pemohon III dengan persyaratan calon anggota DPD yang tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008. Begitu pula Pemohon IV, yaitu perseorangan warga daerah, meskipun mereka berhak mengajukan pengujian UU 10/2008 dan mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, namun menurut DPR, Pemohon IV juga tak memiliki legal standing, karena ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 tidak merugikan hak konstitusional Pemohon IV, Pemohon IV tidak terhalangi haknya untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD dalam Pemilu; x Menurut DPR, yang dimohonkan oleh para Pemohon dalam pokok permohonannya adalah ketiadaan syarat domisili dan syarat non-Parpol dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 yang dinilainya bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Jadi, sesungguhnya, yang dipersoalkan para Pemohon bukan materi muatan berupa norma-norma yang tertuang dalam undang-undang, melainkan suatu rumusan frasa yang menurut para Pemohon harus dituangkan dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008. Jika demikian halnya, maka berarti secara normatif Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 sesungguhnya tidak melanggar dan bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Padahal, Pasal 51 ayat (3) UU MK mengharuskan Pemohon untuk menguraikan secara jelas pasal, ayat, dan/atau bagian dari undang-undang yang dimohonkan pengujian materiil yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Dalam permohonannya, sebenarnya para Pemohon menyadari hal itu, maka seharusnya Kuasa Hukum Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 198 para Pemohon sebagai bagian dari penegak hukum mengindahkan ketentuan Pasal 51 ayat (3) UU MK dan yang sudah dipraktikkan oleh Mahkamah Konstitusi selama ini; x Menurut DPR, bagaimana mungkin dalam permohonan perkara a quo yang tak menguraikan pasal, ayat, dan/atau bagian undang-undang dari UU 10/2008 yang dianggapnya bertentangan dengan UUD 1945, melainkan hanya mengenai ketiadaan norma syarat domisili dan syarat non-Parpol dalam UU 10/2008, tiba-tiba dalam petitum meminta agar Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Padahal, ketiadaan suatu norma bukan suatu norma yang mempunyai kekuatan hukum mengikat; [3.12.2] Keterangan Tambahan DPR pada Sidang tanggal 10 Juni 2008 Pada Sidang Mahkamah tanggal 10 Juni 2008, DPR yang diwakili oleh Ferry Mursyidan Baldan, Agun Gunanjar Sudarsa, dan Prof. Dr. Wila Chandrawila menyampaikan keterangan tambahan yang pada pokoknya adalah sebagai berikut: x Menurut DPR, dalam pemilihan umum yang demokratis, rakyat pemilihlah yang akan menentukan wakil mereka di DPD, bukan undang-undang. Sehingga, meskipun tidak ada syarat domisili dan non-Parpol, namun masih terdapat beberapa tahapan untuk menjadi anggota DPD, yaitu mengumpulkan dukungan dan yang paling penting adalah dipilih oleh rakyat di provinsi tersebut, karena hak untuk memberikan dukungan dan hak untuk memilih adalah tetap di tangan rakyat; x Tentang syarat domisili bagi calon anggota DPD, menurut DPR, secara tegas tidak tercantum dalam Pasal 22C ayat (1) UUD 1945, pemaknaan bahwa frasa “dari setiap provinsi” mengandung arti bahwa calon anggota DPD harus berasal dari dan berdomisili di provinsi yang diwakilinya adalah penafsiran para Pemohon sendiri. Padahal, ketentuan tersebut juga dapat ditafsirkan bahwa setiap provinsi harus terwakili, tidak boleh ada satu atau lebih provinsi yang tidak terwakili dalam DPD; x Tentang kata “perseorangan” dalam Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, menurut DPR bermakna bahwa pencalonannya adalah tidak melalui Parpol, meskipun yang bersangkutan adalah anggota Parpol; Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 199 x Dalil para Pemohon yang membandingkan dengan UU 12/2003 dan draft RUU dari Pemerintah, DPR berpandangan bahwa pengujian konstitusionalitas undang-undang tolok ukur pengujiannya adalah UUD 1945, bukan undangundang, apalagi draft rancangan undang-undang; [3.13] Menimbang bahwa Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Dalam Negeri Mardiyanto dan Menteri Hukum dan HAM, Andi Matalatta telah memberikan keterangan lisan dan tertulis pada Sidang Pleno tanggal 10 Juni 2008 yang selengkapnya dimuat dalam uraian mengenai Duduk Perkara Putusan ini, pada pokoknya menerangkan hal-hal sebagai berikut: x Secara umum Pemerintah menyatakan bahwa pembentukan DPD melalui Pemilu dilaksanakan berdasarkan prinsip kesamaan hak dan kedudukan setiap warga negara dalam menggunakan haknya untuk dipilih, sehingga calon anggota DPD tidak dipersyaratkan untuk berdomisili di provinsi yang menjadi daerah pemilihannya dan tidak dibatasi menurut latar belakang atau status politiknya (Parpol atau non-Parpol). Hal ini sesuai dengan prinsip kesatuan wilayah dan kesamaan kedudukan hukum warga negara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; x Tentang legal standing para Pemohon, Pemerintah mempertanyakan siapa yang sebenarnya dirugikan atas keberlakuan Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008. Menurut Pemerintah, Pemohon I telah keliru dan tidak tepat dalam mengonstruksikan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional atas keberlakuan UU 10/2008, karena pada kenyataannya, sampai saat ini, Pemohon I masih tetap dapat menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya sebagaimana diatur dalam Pasal 22D UUD 1945, maupun Pasal 32 sampai dengan Pasal 51 UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dengan perkataan lain, hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon I tidak terkurangi, terhalangi, dan terganggu sedikit pun oleh keberlakuan UU 10/2008. Demikian pula Pemohon II, ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 tidak terkait sama sekali dengan hak konstitusional Pemohon II, karena ketentuan tersebut hanya berkaitan dengan persyaratan untuk menjadi calon anggota DPD dan tidak mengurangi sedikitpun hak-hak konstitusional anggota DPD. Pemerintah juga berpendapat bahwa ketentuan Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 sama sekali Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 200 tidak terkait dengan kepentingan Pemohon III yang menyatakan diri sebagai perorangan warga negara Indonesia yang dikenal aktif dan konsen dengan isuisu yang terkait Pemilu, kinerja parlemen, kualitas representasi publik dalam parlemen, dan penyaluran aspirasi daerah. Terhadap legal standing Pemohon IV, Pemerintah berpendapat, bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 tidak mengurangi hak konstitusional Pemohon IV untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD. Dengan demikian, Pemerintah berpendapat bahwa baik Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, maupun Pemohon IV tidak memenuhi syarat legal standing untuk mengajukan pengujian Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008; x Tentang penghilangan norma konstitusi dalam UU 10/2008, memang benar bahwa dalam UU 10/2008 tidak tercantum syarat domisili bagi calon anggota DPD, namun menurut Pemerintah hal itu bukan merupakan penghilangan norma konstitusi. Karena, ketentuan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 dapat ditafsirkan ke dalam beberapa dimensi, pertama, frasa “dari setiap provinsi” ditafsirkan sebagai daerah pemilihan bagi pemilu anggota DPD, sebagaimana dianut oleh UU 10/2008 dan juga UU 12/2003; kedua, tidak ada penegasan dalam Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 bahwa calon anggota DPD dari suatu daerah pemilihan provinsi tertentu harus terikat syarat domisili pada daerah pemilihan provinsi yang bersangkutan. Pengaturan pada UU 12/2003 dan draft RUU Pemilu dari Pemerintah hanyalah salah satu alternatif penafsiran dari amanat Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E UUD 1945, masih ada alternatif lain sebagaimana yang dilakukan oleh UU 10/2008. Hal demikian, merupakan politik hukum hasil persetujuan antara DPR dan Pemerintah, sehingga tidak bertentangan dengan UUD 1945; x Pemerintah juga berpendapat memang benar UU 10/2008 tidak memuat syarat non-Parpol bagi anggota DPD, namun Pemerintah tak sependapat dengan para Pemohon bahwa hal itu merupakan penghilangan norma konstitusi. Karena, menurut Pemerintah, ketentuan dalam Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 bahwa peserta Pemilu anggota DPD adalah perseorangan, tidak serta merta dapat ditafsirkan bahwa warga negara anggota Parpol tidak boleh menjadi calon anggota DPD. Selain itu, pengaturan tersebut juga tidak mengurangi hakhak perseorangan warga negara yang non-Parpol; Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 201 x Pemerintah berpendapat bahwa pandangan para Pemohon mengenai keharusan syarat domisili dan syarat non-Parpol yang akan lebih menempatkan DPD benar-benar sebagai perwakilan daerah pembawa aspirasi daerah dan terlepas dari platform partai-partai politik hanyalah merupakan pendapat para Pemohon yang bersifat spekulatif yang belum tentu benar dalam kenyataannya; [3.14] Menimbang bahwa Pemerintah telah mengajukan seorang ahli, yakni Prof. Dr. Zudan Arif Fakrulloh, S.H. yang memberikan keterangan secara lisan dan tertulis pada Sidang Pleno tanggal 10 Juni 2008, keterangan mana secara lengkap dimuat dalam uraian mengenai Duduk Perkara Putusan ini, pada pokoknya adalah sebagai berikut: x Ahli melakukan analisis hukum mengenai keterkaitan UU 10/2008 dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 dengan metoda penafsiran dan pendekatan Ilmu Lembaga dan Pranata Hukum. Menurut ahli, dengan metoda dan pendekatan tersebut, DPD dibentuk dalam rangka menata struktur parlemen Indonesia menjadi dua kamar (bikameral) yang terdiri dari DPR dan DPD. Secara filosofis, model bikameral diharapkan dapat merepresentasikan kepentingan rakyat secara lebih utuh dan menyeluruh, yaitu DPR diharapkan dapat mencerminkan representasi politik dan DPD representasi wilayah. Artinya, DPR sebagai representasi politik anggotanya dipilih melalui pintu Parpol, sedangkan DPD sebagai representasi wilayah, anggotanya dipilih melalui calon perseorangan tanpa melalui Parpol dan merupakan wakil dari setiap provinsi; x Berdasarkan filosofi tersebut, maka DPD sebagai perwakilan daerah, anggotanya bertugas untuk menyuarakan kepentingan daerah. Sedangkan arti dipilih dari setiap provinsi adalah bahwa setiap provinsi akan mempunyai wakil di DPD, dalam konteks ini provinsi merupakan daerah pemilihan (dapil). Anggota DPD bertugas menyuarakan kepentingan daerah secara nasional melalui kebijakan nasional, bukan kepentingan daerahnya sendiri. Maka, ahli berpendapat bahwa dalam konteks ini syarat domisili bagi anggota DPD tidak relevan, karena tugas DPD tidak memperjuangkan daerahnya, tetapi daerahdaerah di Indonesia secara kumulatif melalui kebijakan nasional; Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 202 x Menurut ahli, mengenai tiadanya syarat non-Parpol dalam kaitannya dengan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, justru mencerminkan prinsip “equality before the law” dalam kualifikasi subjek hukum perseorangan sebagai calon anggota DPD. Penormaan syarat non-Parpol justru mengurangi esensi dari semangat kata “perseorangan” yang pada prinsipnya boleh berasal dari manapun; x Mengenai permohonan pengujian ketiadaan norma dalam UU 10/2008, in casu ketiadaan syarat non-Parpol dan syarat domisili bagi calon anggota DPD, maka menurut ahli, apabila belum berada dalam norma undang-undang, hal itu tidak dapat dimintakan pengujian, karena objeknya belum terbentuk; [3.15] Menimbang bahwa para Pemohon telah menyampaikan kesimpulan tertulis bertanggal 20 Juni 2008 yang pada pokoknya, selain tidak sependapat dengan keterangan DPR dan Pemerintah, baik mengenai legal standing para Pemohon, maupun mengenai Pokok Permohonan, juga para Pemohon menyatakan tetap pada pendiriannya; [3.16] Menimbang bahwa DPR dalam sidang tanggal 10 Juni 2008 telah menyampaikan kesimpulan lisan yang pada pokoknya tetap berpendapat sama dengan keterangan yang telah disampaikan sebelumnya; [3.17] Menimbang bahwa Pemerintah telah menyampaikan kesimpulan tertulis bertanggal 19 Juni 2008 yang pada pokoknya, selain menanggapi keterangan para Pemohon, ahli, dan saksi, juga meminta agar Mahkamah menyatakan para Pemohon tidak memiliki legal standing dan menolak pokok permohonannya; Pendapat Mahkamah [3.18] Menimbang bahwa Mahkamah telah mempertimbangkan dengan saksama isi permohonan, keterangan, dan kesimpulan tertulis para Pemohon, alatalat bukti tulis dan keterangan saksi dan para ahli dari para Pemohon, keterangan DPR, serta keterangan dan kesimpulan Pemerintah beserta keterangan ahli dari Pemerintah. Akan tetapi, sebelum Mahkamah berpendapat mengenai kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dan mengenai pokok permohonan para Pemohon, perlu terlebih dahulu menyampaikan pendapat mengenai desain Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 203 konstitusional DPD untuk memberikan perspektif atau gambaran yang tepat mengenai DPD sebagai organ konstitusi sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945. [3.18.1] Desain Konstitusional DPD dalam UUD 1945 Menimbang bahwa desain konstitusional DPD dalam UUD 1945 dapat dipahami dari original intent dan original meaning perumusan Pasal 22C UUD 1945, sebagaimana tercermin dalam risalah-risalah persidangan MPR yang kemudian dikristalisasikan dalam bahan-bahan yang menjadi buku Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terbitan Sekretariat Jenderal MPR RI tahun 2003. Apa yang dimuat dalam buku dimaksud kemudian juga dimuat kembali dalam buku Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat terbitan Sekretariat Jenderal MPR RI tahun 2006. Mahkamah menjadikan kedua buku tersebut sebagai acuan, selain karena diterbitkan oleh lembaga resmi MPR, juga karena materi muatannya yang telah disebarluaskan untuk dipahami oleh masyarakat luas (sosialisasi). Selain itu, tentunya apa yang menjadi materi muatan dalam kedua buku tersebut juga telah merupakan kristalisasi pendapat fraksi-fraksi MPR. Adapun pokok-pokok desain konstitusional DPD tersebut adalah sebagai berikut: a. Perubahan rumusan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 dari naskah asli yang berbunyi “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah dan golongangolongan menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang” menjadi rumusan baru yang berbunyi “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undangundang” diputus melalui pemungutan suara dengan 475 suara mendukung, 122 suara memilih alternatif lain (memasukkan utusan golongan), dan 3 suara abstain. Dengan perubahan ketentuan tersebut, MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD, bukan lembaga DPR dan lembaga DPD, yang semuanya dipilih oleh rakyat dalam Pemilu sesuai dengan prinsip demokrasi perwakilan atas dasar pemilihan atau “representation by election” Jenderal MPR RI, 2006); Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 (vide Sekretariat 204 b. Perubahan UUD 1945 melahirkan sebuah lembaga baru dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, yakni DPD yang dengan kehadirannya, sistem perwakilan di Indonesia DPR didukung dan diperkuat oleh DPD. DPR merupakan lembaga perwakilan berdasarkan aspirasi dan paham politik rakyat sebagai pemegang kedaulatan, sedangkan DPD merupakan lembaga perwakilan penyalur keanekaragaman aspirasi daerah. Keberadaan lembaga DPD merupakan upaya menampung prinsip perwakilan daerah (vide Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003: 180 dan Sekretariat Jenderal MPR RI, 2006: 93); c. Sistem perwakilan yang dianut Indonesia merupakan sistem yang khas Indonesia karena dibentuk sebagai perwujudan kebutuhan, kepentingan, serta tantangan bangsa dan negara Indonesia. Keberadaan DPD dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia dimaksudkan untuk: 1) memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah; 2) meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerahdaerah dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan negara dan daerah; 3) mendorong percepatan demokrasi, pembangunan, dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang. Dengan demikian, keberadaan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan otonomi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) berjalan sesuai dengan keragaman daerah dalam rangka kemajuan bangsa dan negara (vide Sekretariat Jenderal MPRI, 2003: 80 dan 2006: 93); d. DPD memiliki fungsi yang terbatas di bidang legislasi, anggaran, pengawasan, dan pertimbangan. Fungsi DPD berkaitan erat dengan sistem saling mengawasi dan saling mengimbangi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, (vide Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003:181 dan 2006: 94), yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945: 1) dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 205 2) ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada DPR, RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; 3) dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama, serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti; e. Bahwa cara rekrutmen calon anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui Pemilu [Pasal 22C ayat (1) UUD 1945], anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya sama [Pasal 22C ayat (2) UUD 1945], dan peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan [Pasal 22E ayat (4) UUD 1945]; f. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa desain konstitusional DPD sebagai organ konstitusi adalah: 1) DPD merupakan representasi daerah (territorial representation) yang membawa dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam kerangka kepentingan nasional, sebagai imbangan atas dasar prinsip “checks and balances” terhadap DPR yang merupakan representasi politik (political representation) dari aspirasi dan kepentingan politik partai-partai politik dalam kerangka kepentingan nasional; 2) Keberadaan DPR dan DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang seluruh anggotanya menjadi anggota MPR bukanlah berarti bahwa sistem perwakilan Indonesia menganut sistem perwakilan bikameral, melainkan sebagai gambaran tentang sistem perwakilan yang khas Indonesia; 3) Meskipun kewenangan konstitusional DPD terbatas, namun dari seluruh kewenangannya pertimbangan di bidang sebagaimana legislasi, diatur anggaran, dalam Pasal pengawasan, 22D UUD dan 1945, kesemuanya terkait dan berorientasi kepada kepentingan daerah yang Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 206 harus diperjuangkan secara nasional berdasarkan postulat keseimbangan antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah; 4) Bahwa sebagai representasi daerah dari setiap provinsi, anggota DPD dipilih melalui Pemilu dari setiap provinsi dengan jumlah yang sama, berdasarkan pencalonan secara perseorangan, bukan melalui Partai, sebagai peserta Pemilu; Pendapat Mahkamah Tentang Legal Standing Para Pemohon [3.18.2] Menimbang mengenai kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dalam permohonan a quo, dalam paragraf [3.8] telah dikemukakan bahwa para Pemohon telah mendalilkan mempunyai legal standing, sedangkan DPR dan Pemerintah berpendapat sebagaimana telah diuraikan dalam paragraf [3.12] dan paragraf [3.13] bahwa para Pemohon tidak memiliki legal standing. Mengenai persoalan legal standing para Pemohon ini, terdapat perbedaan pendapat di antara para Hakim Konstitusi dengan argumentasinya masing-masing sebagai berikut: [3.18.2.1] Tentang Legal Standing Pemohon I a. Sebanyak 5 (lima) orang Hakim Konstitusi, dengan bertumpu pada desain konstitusional DPD sebagai lembaga negara organ konstitusi sebagaimana telah dikemukakan dalam paragraf [3.18.1] berpendapat bahwa Pemohon I memiliki legal standing, dengan alasan sebagai berikut: i. Bahwa DPD memenuhi syarat kualifikasi sebagai pemohon lembaga negara sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) huruf d UU MK; ii. Bahwa DPD mempunyai kewenangan konstitusional yang diberikan oleh Pasal 22D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 sebagaimana yang didalilkan. Dalam kewenangan konstitusional DPD dimaksud, sesuai dengan desain konstitusional DPD sebagaimana diuraikan dalam paragraf [3.18.1] di atas, secara implisit DPD mempunyai hak konstitusional untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah. Sehingga, DPD sebagai organ konstitusi, agar dapat berfungsi secara maksimal dalam melaksanakan kewenangan konstitusionalnya berhak pula dan seharusnya memperoleh penguatan (empowering) antara lain melalui persyaratan rekrutmenImplikasi calon peran..., anggotanya, seperti misalnya melalui persyaratan domisili Agung Sudrajat, FH UI, 2012 207 di provinsi yang diwakilinya dan syarat non-Parpol bagi calon anggota DPD sebagai peserta Pemilu perseorangan; iii. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional DPD secara potensial dirugikan oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 yang tidak memuat syarat domisili dan non-Parpol bagi calon anggota DPD; iv. Bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional DPD sebagai lembaga negara ada hubungan kausal dengan UU 10/2008 yang dimohonkan pengujian, dan apabila permohonan dikabulkan maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan oleh DPD dipastikan tidak akan atau tidak lagi terjadi; v. Bahwa dengan demikian, DPD sebagai lembaga negara dan terlebih lagi sebagai organ konstitusi, sudah sepantasnya merupakan pihak yang paling layak (proper party) untuk bertindak sebagai Pemohon pengujian undangundang yang terkait dengan dan akan berpengaruh terhadap raison d’etre keberadaannya beserta kewenangan konstitusionalnya sebagai pembawa aspirasi dan kepentingan daerah. Oleh karena itu, dapat dimengerti apabila di berbagai negara yang mempunyai Mahkamah Konstitusi, lazimnya yang diberi hak dan/atau kewenangan konstitusional untuk mengajukan pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang terutama diberikan kepada lembaga negara atau organ konstitusi. Tambahan pula, dalam praktik di Mahkamah selama lima tahun ini, lembaga negara selalu diberi posisi sebagai pihak terkait langsung dengan hak-hak yang sama seperti Pemohon, apabila suatu undang-undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya terkait dengan dan berpengaruh terhadap keberadaan lembaga negara tersebut. Kenyataan praktik tersebut secara implisit menyiratkan bahwa suatu lembaga negara organ konstitusi merupakan pihak yang paling layak (the most proper party) dilibatkan apabila undangundang yang menyangkut “dirinya” dipersoalkan konstitusionalitasnya oleh pihak lain, apakah itu oleh perseorangan warga negara biasa atau oleh lembaga negara lain. Terlebih lagi dalam hal lembaga negara organ konstitusi tersebut bertindak sebagai Pemohon pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang yang justru sangat mempengaruhi hakikat eksistensial dirinya yang diberikan oleh konstitusi. Oleh karena itu, mutatis mutandis sangatlah layak lembaga negara tersebut, in casu DPD, Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 208 mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk memohon pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang yang mempengaruhi lembaganya, in casu konstitusionalitas UU 10/2008; b. bahwa ada 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang berpendapat Pemohon I tidak memiliki legal standing didasarkan atas pandangan bahwa kewenangan konstitusional DPD yang diberikan oleh Pasal 22D UUD 1945 tidak dirugikan oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, karena ketentuan yang tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 merupakan syarat dan prosedur untuk menjadi calon anggota DPD, jadi terkait dengan masalah “rights to be candidate” dan bukan masalah kewenangan DPD. Lebih lanjut pandangan yang menolak legal standing Pemohon I dapat disimak dalam Pendapat Berbeda (dissenting opinion) hakim yang bersangkutan; [3.18.2.2] Tentang Legal Standing Pemohon II Bahwa mengenai legal standing Pemohon II, ada 5 (lima) orang Hakim Konstitusi yang berpendapat Pemohon II memiliki legal standing, dengan alasan yang didasarkan atas pandangan bahwa sebagai anggota DPD keberadaan dan kedudukannya tidak dapat dilepaskan dari desain konstitusional DPD. Selain itu, pemberian legal standing tersebut didasarkan juga atas argumentasi yang sejalan dengan argumentasi para Pemohon II. Namun, ada 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang berpendapat bahwa Pemohon II tidak dirugikan hak konstitusionalnya untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD lewat Pemilu yang disebabkan oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008. Lebih lanjut tentang penolakan legal standing Pemohon II tersebut dikemukakan dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) hakim yang merupakan bagian dari Putusan ini; [3.18.2.3] Tentang Legal Standing Pemohon III Mengenai legal standing Pemohon III ini, 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi berpendapat bahwa Pemohon III memiliki legal standing, dengan alasan bahwa selama ini Mahkamah telah memberikan legal standing kepada para Pemohon pengujian konstitusionalitas undang-undang kepada kelompok-kelompok masyarakat, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), asosiasi, yayasan, organisasi kemasyarakatan, dan lain-lain yang peduli terhadap masalah-masalah Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 209 yang terkait dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian, asal hal itu tercermin dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang bersangkutan. Akan tetapi, sebanyak 6 (enam) orang Hakim Konstitusi berpendapat bahwa Pemohon III tidak mempunyai legal standing, karena hak konstitusionalnya sebagai pemerhati, pemberi advokasi, penggerak pembaruan Pemilu dan parlemen tidak terhalangi oleh berlakunya pasal-pasal UU 10/2008 yang dimohonkan pengujian; [3.18.2.4] Tentang Legal Standing Pemohon IV Mengenai legal standing Pemohon IV, 4 (empat) orang Hakim Konstitusi menyatakan Pemohon IV memiliki legal standing, dengan alasan bahwa sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang tinggal di daerah provinsinya masingmasing, Pemohon IV berkepentingan apabila calon anggota DPD dipersyaratkan harus berdomisili di provinsinya masing-masing dan non-Parpol, agar komitmennya kepada daerah yang akan diwakilinya cukup besar dan Pemohon IV tidak bersaing dengan perseorangan yang berasal dari lain provinsi dan dari perseorangan anggota Parpol. Sedangkan 5 (lima) orang Hakim Konstitusi menyatakan bahwa Pemohon IV tidak memiliki legal standing, karena hak konstitusionalnya untuk menjadi calon anggota DPD tidak dirugikan atau terkurangi dengan berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, sedangkan masalah persaingan justru wajar dan lebih sehat dalam demokrasi; [3.18.3] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut dalam paragraf [3.18.2] di atas, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon I (DPD) dan Pemohon II (Anggota DPD) memenuhi syarat legal standing untuk mengajukan permohonan a quo. Karena, sebagian dari para Pemohon memiliki legal standing, maka lebih lanjut Mahkamah harus mempertimbangkan Pokok Permohonan; Pendapat Mahkamah Tentang Pokok Permohonan [3.19] Menimbang bahwa pokok permohonan para Pemohon adalah mengenai konstitusionalitas Pasal 12 UU 10/2008 yang tidak mencantumkan syarat domisili dan non-Parpol bagi calon anggota DPD, serta Pasal 67 UU 10/2008 yang tidak memuat ketentuan perlunya Kartu Tanda Penduduk (KTP) di provinsi yang akan diwakilinya dan bukti keterangan non-Parpol bagi kelengkapan syarat calon Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 210 anggota DPD. Dengan demikian, yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon adalah ketiadaan norma syarat domisili dan non-Parpol dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, bukan norma yang dirumuskan secara eksplisit dalam pasal, ayat, atau bagian dari suatu undang-undang; [3.20] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (3) huruf b UU MK, pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menguraikan dengan jelas “a. ...; b. Materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Sehingga, terkait dengan permohonan a quo, masalahnya adalah apakah ketiadaan suatu norma yang menurut Pemohon seharusnya ada dalam suatu undang-undang, in casu ketiadaan norma syarat domisili dan non-Parpol yang seharusnya dimuat dalam UU 10/2008 dapat dimaknai sebagai materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang bersangkutan, sehingga dapat dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya; [3.21] Menimbang bahwa para Pemohon dalam permohonannya menyadari mengenai masalah sebagaimana tersebut pada paragraf [3.10] sebagai suatu hal yang dilematis, sehingga petitum yang diajukan oleh para Pemohon pun bersifat alternatif. Meskipun dalil-dalil yang diajukan oleh para Pemohon didukung oleh para ahli yang diajukan, namun telah disanggah oleh DPR dan oleh Pemerintah beserta ahli yang diajukan oleh Pemerintah; [3.22] Menimbang bahwa menurut Mahkamah ada tiga hal yang harus dipertimbangkan mengenai pokok permohonan para Pemohon, yaitu: x Pertama, apakah syarat domisili bagi calon anggota DPD merupakan norma konstitusi yang implisit melekat pada Pasal 22C ayat (1) dan (2) UUD 1945, sehingga menjadi syarat mutlak bagi calon anggota DPD dan seharusnya tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, hanya karena norma yang demikian pernah tercantum dalam UU 12/2003 dan juga dimuat dalam RUU Pemilu 2008 versi Pemerintah; x Kedua, apakah syarat non-Parpol bagi calon anggota DPD merupakan norma konstitusi yang implisit melekat pada Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, sehingga Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 211 menjadi syarat mutlak bagi calon anggota DPD dan seharusnya tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, hanya karena norma yang demikian pernah tercantum dalam UU 12/2003 dan juga dimuat dalam RUU Pemilu 2008 versi Pemerintah; x Ketiga, seandainya jawaban atas masalah Pertama dan Kedua ya dan benar, apakah ketiadaan suatu norma konstitusi yang seharusnya dimuat dalam UU 10/2008 dapat dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya; [3.23] Menimbang bahwa terhadap masalah yang Pertama, berdasarkan perspektif desain konstitusional DPD dalam UUD 1945 sebagaimana telah diuraikan dalam paragraf [3.18.1], Mahkamah berpendapat bahwa syarat berdomisili di provinsi yang diwakilinya bagi calon anggota DPD merupakan norma konstitusi yang implisit melekat pada ketentuan Pasal 22C ayat (1) yang berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum” dan Pasal 22C ayat (2) yang berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.” Sehingga, seharusnya norma konstitusi yang bersifat implisit tersebut dicantumkan sebagai norma yang secara eksplisit dirumuskan dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 sebagai syarat bagi calon anggota DPD. Sebagai akibatnya, Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 yang tidak memuat secara eksplisit ketentuan yang demikian, harus dipandang inkonstitusional; [3.24] Menimbang bahwa terhadap masalah yang Kedua, Mahkamah berdasarkan perspektif desain konstitusional DPD dalam UUD 1945 sebagaimana telah diuraikan dalam paragraf [3.18.1], berpendapat bahwa syarat non-Parpol bagi calon anggota DPD bukan merupakan norma konstitusi yang implisit melekat pada Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.” Kandungan norma yang tercantum dalam Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 adalah bahwa untuk mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD, perseorangan harus ‘mencalonkan’ dirinya sendiri sebagai peserta Pemilu, bukan dicalonkan oleh Parpol. Hal itu berbeda dengan calon anggota DPR, perseorangan yang ingin menjadi anggota DPR harus dicalonkan oleh Parpol yang merupakan peserta Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 212 Pemilu [vide Pasal 22E ayat (3) UUD 1945]. Dalam UU 12/2003 dan draf RUU Pemilu versi Pemerintah yang dijadikan rujukan oleh para Pemohon, juga tidak ada istilah non-Parpol, melainkan hanya bukan pengurus Parpol. Demikian pula, baik dalam pengalaman sejarah praktik di Indonesia pada era Konstitusi RIS 1949 dan era berlakunya kembali UUD 1945 tidak pernah ada syarat non-Parpol bagi keanggotaan Senat RIS dan Utusan Daerah. Sedangkan di berbagai negara lain, sebagai perbandingan, penerapan syarat non-Parpol tersebut juga berbeda-beda dan tidak mutlak harus ada. Terlebih lagi, dalam perkembangannya, Parpol-parpol di Indonesia juga telah membuka diri dengan merekrut perseorangan- perseorangan yang bukan anggota atau kader Parpol untuk dicalonkan menjadi anggota DPR dan DPRD. Dengan demikian, syarat non-Parpol bagi calon anggota DPD bukanlah norma konstitusi yang bersifat implisit melekat pada istilah “perseorangan” dalam Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, sehingga juga tidaklah mutlak harus tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, sebagaimana pernah dicantumkan dalam UU 12/2003, atau berarti bersifat fakultatif; [3.25] Menimbang bahwa terhadap masalah yang Ketiga, yaitu ketiadaan norma konstitusi yang bersifat implisit melekat dalam suatu pasal konstitusi, in casu syarat domisili di provinsi yang diwakilinya bagi calon anggota DPD, implisit melekat pada Pasal 22C ayat (1) dan (2) UUD 1945, Mahkamah berpendapat bahwa apabila mengacu kepada Pasal 51 ayat (3) huruf b UU MK, memang tidak mungkin untuk diajukan permohonan pengujian. Karena, permohonan yang demikian akan dianggap kabur (obscuur libel), tidak jelas, yang berakibat permohonan tidak dapat diterima sebagaimana ditentukan dalam Pasal 56 ayat (1) UU MK. Namun demikian, Mahkamah dapat juga menyatakan bahwa suatu pasal, ayat, dan/atau bagian undang-undang yang tidak memuat suatu norma konstitusi yang implisit melekat pada suatu pasal konstitusi yang seharusnya diderivasi secara eksplisit dalam rumusan pasal, ayat, dan/atau bagian undang-undang, oleh Mahkamah dapat dinyatakan sebagai “konstitusional bersyarat” (conditionally constitutional) atau “inkonstitusional bersyarat” (conditionally unconstitutional); [3.26] Menimbang bahwa terhadap pokok permohonan a quo, ada tiga alternatif kemungkinan putusan Mahkamah, yaitu: Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 213 a. apabila permohonan konstitusionalitas Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 dipandang sebagai kabur atau tidak jelas dengan akibat permohonan tidak dapat diterima, maka masih terbuka bagi pihak-pihak yang ingin memohon pengujian norma-norma yang secara eksplisit tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008; b. apabila Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 dinyatakan sebagai “konstitusional bersyarat” (conditionally constitutional) akan berimplikasi amar putusan menyatakan “permohonan ditolak”, sementara pernyataan tidak sesuai dengan spirit (implisit melekat pada) UUD 1945 hanya tercantum dalam pertimbangan hukum, sehingga tidak berpengaruh terhadap keberlakuan Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, kecuali jika pembentuk undang-undang atau KPU menindaklanjuti pertimbangan hukum Mahkamah dengan membuat regulasi yang mengakomodasi pertimbangan hukum Mahkamah; c. apabila Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 dinyatakan sebagai “inkonstitusional bersyarat” (conditionally unconstitutional), akan berimplikasi bahwa amar putusan menyatakan “permohonan dikabulkan”, yang berarti seluruh ketentuan yang tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (termasuk misalnya syarat-syarat warga negara Indonesia, takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehat jasmani dan rohani, dan lain-lain). [3.27] Menimbang bahwa dari uraian permohonan yang telah diutarakan di atas, maka dalam pokok permohonan a quo, para Pemohon telah mengajukan alternatif petitum bagi kemungkinan putusan Mahkamah yang dimohon, yaitu: 1. Menyatakan bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4); dan menyatakan bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya; Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 214 2. Setidak-tidaknya menyatakan bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) sepanjang tidak mengandung syarat harus berdomisili di provinsi yang bersangkutan dan bukan anggota dan/atau pengurus partai politik. Setidak-tidaknya menyatakan bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya sepanjang tidak mengandung syarat harus berdomisili di provinsi yang bersangkutan dan bukan anggota dan/atau pengurus partai politik. 3. Menyatakan bahwa Pasal 12 huruf (c) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4), dan menyatakan bahwa Pasal 12 huruf (c) UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya; atau 4. Setidak-tidaknya menyatakan bahwa Pasal 12 huruf (c) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) sepanjang tidak mengandung syarat harus berdomisili di provinsi yang bersangkutan dan bukan anggota dan/atau pengurus partai politik. Setidak-tidaknya menyatakan bahwa Pasal 12 huruf (c) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya sepanjang tidak mengandung syarat harus berdomisili di provinsi yang bersangkutan dan bukan anggota dan/atau pengurus partai politik. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 215 [3.28] Menimbang bahwa berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam paragraf [3.26] dan [3.27] di atas, maka Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 12 huruf c dan Pasal 67 UU 10/2008 adalah “konstitusional bersyarat” (conditionally constitutional), yang berarti bahwa Pasal 12 huruf c dan Pasal 67 tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang dimaknai memuat syarat domisili di provinsi. 4. KONKLUSI Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan bahwa: [4.1] Pemohon I dan Pemohon II memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo, sedangkan Pemohon III dan Pemohon IV tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing); [4.2] Syarat “domisili di provinsi” untuk calon anggota DPD merupakan norma konstitusi yang implisit melekat pada Pasal 22C ayat (1) UUD 1945, sehingga seharusnya dimuat sebagai rumusan norma yang eksplisit dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008; [4.3] Syarat “bukan pengurus dan/atau anggota partai politik” untuk calon anggota DPD bukan merupakan norma konstitusi yang implisit melekat pada Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, sehingga tidak merupakan syarat untuk menjadi calon anggota DPD yang harus dicantumkan dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008; [4.4] Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 “konstitusional bersyarat” (conditionally constitutional), maka pasal-pasal a quo harus dibaca/ditafsirkan sepanjang memasukkan syarat domisili di provinsi yang diwakilinya bagi calon anggota DPD; 5. AMAR PUTUSAN Dengan mengingat Pasal 56 dan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316). Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 216 Mengadili: Mengabulkan permohonan Pemohon I (DPD) dan Pemohon II (Anggota DPD) untuk sebagian; Menyatakan Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836) tetap konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang dimaknai memuat syarat domisili di provinsi yang akan diwakili; Menyatakan Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836) tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang dimaknai memuat syarat domisili di provinsi yang akan diwakili; Menolak permohonan Pemohon I dan Pemohon II untuk selebihnya. Menyatakan permohonan Pemohon III dan Pemohon IV tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Jimly Asshiddiqie selaku Ketua merangkap Anggota, H. Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, H.M. Arsyad Sanusi, Soedarsono, H. Harjono, H.A.S. Natabaya, I Dewa Gede Palguna, dan Moh. Mahfud MD, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, 25 Juni 2008, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari ini, Selasa, 1 Juli 2008, oleh kami, Jimly Asshiddiqie selaku Ketua merangkap Anggota, H. Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, H.M. Arsyad Sanusi, H. Muhamad Alim, H. Harjono, H.A.S. Natabaya, I Dewa Gede Palguna, Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 217 dan Moh. Mahfud MD, masing-masing sebagai Anggota dengan didampingi oleh Cholidin Nasir sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri oleh para Pemohon dan Kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili; KETUA, ttd. Jimly Asshiddiqie ANGGOTA-ANGGOTA ttd. ttd. H. Abdul Mukthie Fadjar Maruarar Siahaan ttd. ttd. H.M. Arsyad Sanusi H. Muhamad Alim ttd. ttd. H. Harjono H.A.S. Natabaya ttd. ttd. I Dewa Gede Palguna Moh. Mahfud MD 6. PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINIONS) Terhadap putusan Mahkamah tersebut di atas, empat orang Hakim Konstitusi yaitu Hakim Konstitusi H.A.S. Natabaya, I Dewa Gede Palguna, Moh. Mahfud MD., dan H. Harjono mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinions) yang selengkapnya sebagai berikut: Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 218 [6.1] Pendapat Berbeda (Dissenting Opinions) Hakim Konstitusi H.A.S. Natabaya, I Dewa Gede Palguna, dan Moh. Mahfud MD. Dalam setiap permohonan yang diajukan sebagai permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, dua hal pertama yang harus dipastikan oleh Mahkamah sebelum memeriksa pokok permohonan adalah: 1. apakah Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan tersebut; 2. apakah pihak yang mengajukan permohonan mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon. Permohonan a quo adalah permohonan pengujian undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 (UU Pemilu) terhadap UUD 1945. Maka, terhadap persoalan pertama, sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutusnya. Namun, terhadap persoalan yang kedua, yaitu apakah pihak-pihak dalam permohonan a quo mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon, kami berbeda pendapat dengan mayoritas Hakim Konstitusi. Ketentuan undang-undang yang oleh Para Pemohon didalilkan telah merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya adalah Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu. Kedua ketentuan tersebut masing-masing berbunyi sebagai berikut: x Pasal 12: Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2): a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia; e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat; f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; g. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih; Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 219 h. i. j. k. l. m. n. o. p. x sehat jasmani dan rohani; terdaftar sebagai pemilih; bersedia bekerja penuh waktu; mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Republik Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali; bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundang-undangan; bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara; mencalonkan diri hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; mencalonkan diri hanya di 1 (satu) daerah pemilihan; dan mendapat dukungan minimal dari pemilih dari daerah pemilihan yang bersangkutan. Pasal 67: (1) Perseorangan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13 dapat mendaftarkan diri sebagai bakal calon anggota DPD kepada KPU melalui KPU Provinsi. (2) Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan: a. kartu tanda penduduk Warga Negara Indonesia; b. bukti kelulusan berupa ijazah, STTB, syahadah, sertifikat, atau surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program pendidikan menengah; c. surat keterangan catatan kepolisian tentang tidak tersangkut perkara pidana dari Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat; d. surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani; e. surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih; f. surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja penuh waktu yang ditandatangani di atas kertas bermetrai cukup; g. surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, dan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD yang ditandatangani di atas kertas bermetrai cukup; h. surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, pengurus pada badan lain yang Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 220 anggarannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan i. surat pernyataan tentang kesediaan hanya mencalonkan diri untuk 1 (satu) lembaga perwakian yang ditandatangani di atas kertas bermetrai cukup. Substansi yang diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu adalah persyaratan bagi perseorangan untuk dapat mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai anggota DPD. Dengan demikian berarti berkenaan dengan hak konstitusional untuk menjadi calon (right to be candidate). Sehingga pertanyaan kemudian adalah: apakah Para Pemohon dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai akibat berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu di atas? Dalam kaitan ini, dengan berpegang pada konstruksi Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang merupakan bagian dari hukum acara dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, kami berpendapat sebagai berikut: a) Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan bahwa yang dapat menjadi Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah pihak-pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang. Pihak-pihak dimaksud adalah (a) perorangan Warga Negara Indonesia, di dalamnya termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama; (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undangundang; (c) badan hukum publik atau privat; dan (d) lembaga negara. b) Pemohon (1) mengkualifikasikan dirinya sebagai lembaga negara, c.q. DPD; Pemohon (2) mengkualifikasikan diri sebagai perorangan anggota DPD; Pemohon (3) mengkualifikaskan diri sebagai perorangan warga negara Indonesia (yang parlemen memiliki perhatian yang besar terhadap pemilihan umum, Indonesia, dan penyaluran aspirasi daerah); Pemohon (4) mengkualifikasikan diri sebagai perorangan yang tinggal di provinsi tertentu. Pertanyaannya kemudian adalah apakah dalam kualifikasi demikian masingmasing dari Para Pemohon tersebut dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu yang rumusannya telah diuraikan sebelumnya? c) Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu tersebut adalah ketentuan yang mengatur persyaratan bagi setiap orang untuk dapat menjadi peserta Pemilu anggota Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 221 DPD. Dengan kata lain, kedua ketentuan tersebut adalah berkenaan dengan hak untuk dapat dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai anggota DPD (the right to be candidate). Dengan demikian, jika berlakunya kedua ketentuan UU Pemilu dimaksud dianggap merugikan hak konstitusional suatu pihak maka pihak-pihak yang mungkin dirugikan untuk dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai anggota DPD adalah orang-perorangan. Artinya, jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, pihak yang mungkin dirugikan oleh berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu tersebut adalah perorangan, tidak mungkin merugikan hak konstitusional kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum, atau lembaga negara. Sebab ketiga pihak yang disebut terakhir ini tidak mungkin mencalonkan diri sebagai anggota DPD. d) Berdasarkan penalaran pada huruf c) di atas, maka yang perlu dipertimbangkan oleh Mahkamah akan adanya kemungkinan kerugian hak konstitusional dari empat Pemohon dalam permohonan a quo adalah mereka yang mengkualifikasikan diri sebagai perorangan warga negara Indonesia, dalam hal ini Pemohon (2), Pemohon (3), dan Pemohon (4). e) Dengan memperhatikan secara saksama rumusan Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu yang dimohonkan pengujian, tidak terdapat satu bagian pun yang dapat dikatakan menghalangi, menghambat, atau menghilangkan hak perorangan warga negara Indonesia, baik perorangan warga negara Indonesia yang berstatus anggota DPD [Pemohon (2)], perorangan warga negara Indonesia yang mempunyai perhatian besar terhadap pemilihan umum, parlemen Indonesia, dan penyaluran aspirasi daerah [Pemohon (3)], maupun perorangan warga negara Indonesia yang tinggal di beberapa provinsi tertentu [Pemohon (4)]. Tidak terdapatnya syarat “domisili di provinsi yang bersangkutan” dan syarat “bukan anggota dan/atau pengurus partai politik” dalam pengaturan syarat menjadi anggota DPD pada Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu tidaklah menghambat, menghalangi, atau menghilangkan right to be candidate Pemohon (2), Pemohon (3), dan Pemohon (4). f) Berdasarkan seluruh uraian di atas, kami berpendapat bahwa tidak terdapat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon sebagai akibat berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu, sehingga permohonan a quo seharusnya oleh Mahkamah dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 222 Di samping karena alasan-alasan yang disebutkan di atas, menurut kami, Permohonan a quo juga seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima berdasarkan pertimbangan sebagai berikut: 1) Pasal 51 ayat (3) huruf b UU MK mewajibkan Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 untuk menguraikan dengan jelas materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang dianggapnya bertentangan dengan UUD 1945. Pemenuhan terhadap ketentuan Pasal 51 ayat (3) huruf b tersebut menjadi wajib sebab, menurut Pasal 56 ayat (3) UU MK, jika Mahkamah mengabulkan permohonan maka Mahkamah harus menyatakan dengan tegas materi muatan pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945. Sebagai akibat selanjutnya, menurut Pasal 57 ayat (1) UU MK, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 itu harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya, ketentuan yang (hendak) dinyatakan “bertentangan dengan UUD 1945” dan “tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat” itu harus ada secara konkret. Sementara dalam permohonan a quo, substansi permohonan Para Pemohon adalah menghendaki Mahkamah menambahkan ketentuan ke dalam pasal-pasal undang-undang, in casu Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu, suatu hal yang tidak mungkin dilakukan oleh Mahkamah sebagai negative legislator karena hal demikian merupakan kewenangan pembentuk undangundang selaku positive legislature. Sehingga, isu konstitusional permohonan a quo sesungguhnya merupakan isu legislative review, bukan judicial review. Jika permohonan Para Pemohon demikian dikabulkan, hal itu bukan hanya akan menjerumuskan Mahkamah untuk bertindak ultra vires tetapi juga sekaligus akan membuat preseden buruk dalam praktik ketatanegaraan pada masa-masa yang akan datang. Sebab, sebagaimana diketahui, putusan Mahkamah bersifat final dan mengikat (final and binding). Sehingga, sekali Mahkamah membenarkan dirinya menambahkan materi muatan tertentu ke dalam suatu ketentuan undang-undang, yang berarti Mahkamah telah mengingkari hakikat dirinya sebagai negative legislator, maka di masa yang akan datang Mahkamah tidak mempunyai alasan untuk menolak permohonan serupa, sehingga dengan demikian Mahkamah telah bermetamorfosis menjadi Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 223 postive legislator. Hal itu juga akan menghilangkan hakikat Mahkamah sebagai a true court dan berubah menjadi lembaga politik. 2) Penegasan ini bukanlah serta-merta berarti bahwa kami tidak sependapat substansi gagasan sebagaimana diinginkan Pemohon. Sebab, terlepas dari persoalan konstitusional atau tidak, ketiadaan kedua substansi yang diinginkan sebagai materi muatan persyaratan menjadi calon anggota DPD tersebut bisa jadi memang menguntungkan pelaku-pelaku politik tertentu yang mengambil manfaat dari ketidaan kedua syarat tersebut, namun Mahkamah sebagai true court terikat oleh hukum acara. Sementara usul menambahkan suatu substansi tertentu ke dalam suatu norma undang-undang mestinya diajukan kepada pembentuk undang-undang dan Mahkamah bukanlah pembentuk undangundang. Sebagaimana diketahui, Pasal 51 UU MK adalah bagian dari hukum acara yang tidak demikian saja dapat dikesampingkan oleh hakim, in casu Hakim Konstitusi. Sebab, fungsi hukum acara adalah untuk mempertahankan hukum materiil, dalam hal ini UUD 1945. Itulah sebabnya, sebagai analog, dalam hukum acara pidana misalnya dikatakan oleh Jerome H. Scholmick, “criminal procedure, by contrast, is intended to control authorities, not the criminals”. Itu pula alasan lahirnya ungkapan yang menyatakan bahwa jika Mahkamah begitu saja mengesampingkan ketentuan hukum acara yang harus ditaatinya, dengan tindakannya itu berarti Mahkamah telah “menyayat-nyayat dagingnya sendiri” (het snijdt aan het eigen vlees); 3) Seandainya pun anggapan Para Pemohon benar bahwa syarat “domisili di provinsi yang bersangkutan” dan syarat “bukan anggota dan/atau pengurus partai politik” seharusnya menjadi bagian dari Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu, Mahkamah tetap tidak dapat menyatakan bahwa karena tidak dimasukkannya kedua syarat tersebut ke dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu mengakibatkan Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu menjadi bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, jika demikian halnya sama saja artinya Mahkamah menyatakan bahwa syarat sebagaimana disebutkan pada huruf a sampai dengan huruf p dari Pasal 12 (yaitu syarat “warga negara Indonesia yang telah berumur 21 tahun atau lebih”, “bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa” dan seterusnya) dan syarat sebagaimana disebutkan pada huruf a sampai dengan huruf i dari Pasal 67 (yaitu syarat “kartu tanda penduduk Warga Negara Indonesia”, “surat keterangan berbadan sehat Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 224 jasmani dan rohani”, dan seterusnya) adalah inkonstitusional. Ini jelas suatu penalaran yang menyesatkan. 4) Seandainya pun anggapan Para Pemohon benar bahwa syarat “domisili di provinsi yang bersangkutan” dan syarat “bukan anggota dan/atau pengurus partai politik” seharusnya menjadi bagian dari Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu, maka hal maksimum yang dapat dilakukan oleh Mahkamah, tanpa melanggar hukum acara, adalah menyatakan ketentuan dalam kedua pasal UU Pemilu tersebut “konstitusional bersyarat” (conditionally constitutional). Namun, hal demikian pun tidak mungkin dilakukan oleh Mahkamah disebabkan oleh dua hal: o pertama, untuk dapat menyatakan konstitusional bersyarat maka ketentuan yang hendak dinyatakan konstitusional bersyarat tersebut harus merupakan bagian dari ketentuan yang diuji, sementara dalam kasus a quo ketentuan tersebut tidak ada, sehingga permohonan menjadi kabur (obscuur). Dikatakan demikian sebab Pasal 56 ayat (3) UU MK menyatakan, “Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Sehingga tentu menjadi pertanyaan kemudian, bagian mana yang bertentangan dengan UUD 1945 itu (karena tidak termuat dalam ketentuan undang-undang yang diuji). o Berkait dengan ketentuan Pasal 56 ayat (3) UU MK di atas, Pasal 57 ayat (1) UU MK menyatakan, “Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”. Maka, tentu timbul pertanyaan, materi muatan mana yang oleh Mahkamah akan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat itu sebab materi muatan demikian tidak ada atau tidak tercantum dalam ketentuan undang-undang dimohonkan pengujian. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 225 [6.2] Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) Hakim Konstitusi H. Harjono Pemohon I, II, III, dan IV mendalilkan hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dirugikan oleh Pasal 12 juncto Pasal 67 UU 10/2008 adalah hak dan/atau kewenangan yang diberikan UUD 1945: 1. Pemohon I; Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23E ayat (2), Pasal 23F ayat (1) UUD 1945. Dengan alasan: (a) anggota DPD dapat dimenangkan oleh calon dari provinsi lain yang tidak mengenal daerah tersebut, (b) anggota demikian diragukan kapabilitasnya dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah, (c) anggota dari Parpol akan mengutamakan kepentingan atau platform Parpol daripada kepentingan daerah, (d) anggota DPD Parpol diragukan efektivitasnya dalam memperjuangkan aspirasi daerah. Hal demikian merugikan kewenangan konstitusional Pemohon I. 2. Pemohon II; Pasal 22C ayat (1) UUD 1945, Dengan alasan, pasal ini memberikan hak konstitusional kepada Pemohon II yang berdomisili di provinsi tertentu untuk dipilih menjadi anggota DPD dari provinsi yang bersangkutan. Dengan adanya Pasal 12 juncto Pasal 67 UU 10/2008, jelas merugikan Pemohon II yang berdomisili di daerah yang bersangkutan untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD. Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, Dengan alasan hak Pemohon II diingkari, menimbulkan persaingan yang tidak adil antara Pemohon II yang hanya mendasarkan pada jaringan personal dengan anggota Parpol yang ditopang oleh organisasi. Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 karena hak Pemohon atas kepastian hukum yang adil dan Pemilu yang adil dirugikan. Pasal 22C ayat (2) UUD 1945 karena bagaimana Pemilu dapat dikatakan adil apabila calon anggota DPD yang mewakili provinsi dapat berasal dari provinsi lain. 3. Pemohon III; Pasal 22E ayat (1), Pasal 18B ayat (2), Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 karena Pemohon berkepentingan terhadap Pemilu yang demokratis serta peningkatan kualitas parlemen Indonesia. 4. Pemohon IV; Pasal 22C ayat (1), Pasal 22E ayat (1),Pasal 22E ayat (4), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Adanya alasan karena, Pasal 12 juncto Pasal 67 UU 10/2008 akan tidak menjamin keberpihakan anggota DPD karena tidak adanya pemahaman dan pengenalan daerahnya secara memadai. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 226 Pendapat Hukum Para Pemohon memenuhi syarat sebagai subjek hukum yang mempunyai hak dan/atau kewenangan konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang sebagaimana ditetapkan oleh Pasal 51 UU MK. Namun demikian apakah dengan adanya Pasal 12 dan 67 UU 10/2008 hak dan/atau kewenangan para Pemohon yang diberikan atau dijamin oleh UUD tersebut dirugikan. Hubungan antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan pasal-pasal UU 10/2008 haruslah merupakan hubungan “causal verband” dan pasal-pasal undang-undang yang dimohonkan adalah penyebab tunggal terhadap kerugian tersebut. Apabila penyebab tunggal ini ditiadakan maka kerugian tersebut tidak akan terjadi. Kerugian yang dialami para Pemohon haruslah kerugian yang disebabkan oleh pasal-pasal undang-undang yang dimohonkan, dan bukannya pasal-pasal tersebut sekadar dapat mempunyai pengaruh terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut. Sesuatu hal dikatakan dapat mempunyai pengaruh apabila hubungan antara sesuatu tersebut dengan yang dipengaruhi adalah yang hubungannya bersifat alternatif yang dapat: (a) mempunyai pengaruh positif saja; (b) mempunyai pengaruh negatif saja; (c) mempunyai pengaruh positif dan pengaruh negatif sekaligus. Di samping itu, keadaan timbulnya hal-hal yang positif, negatif, atau keduaduanya pada objek yang dipengaruhi itu dapat saja terjadi tidak terbatas hanya karena sesuatu hal tertentu itu saja, hal tertentu yang lain pun dapat menimbulkan akibat yang sama. Saya berpendapat bahwa kekhawatiran Pemohon I akan adanya hal-hal yang dikhawatirkan timbul pada DPD dalam hubungannya dengan pasal-pasal yang dimohonkan bukanlah hubungan causal verband karena adanya hal-hal yang dikhawatirkan tersebut dapat juga timbul tanpa adanya pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji. Di samping itu, keadaan yang lebih baik malahan dapat saja terjadi dengan adanya pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji. Hubungan yang ada antara pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji dengan keadaankeadaan yang didalilkan Pemohon I hanyalah dalam derajat “mungkin dapat mempengaruhi“ saja. Apa yang dikhawatirkan Pemohon I berhubungan dengan kapabilitas, performance dari DPD yang dikhawatirkan akan dipengaruhi oleh Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 227 pasal-pasal yang dimohonkan. Menurunnya kapabilitas dan performance DPD tidak mempunyai hubungan langsung dengan pasal-pasal yang dimohonkan, tetapi menyangkut kualitas dari calon anggota DPD yang kualitas tersebut pada dasarnya dimiliki oleh perorangan calon, dan tidak dapat disebabkan hanya semata-mata asal calon saja. Sehingga kekhawatiran Pemohon I yang mungkin juga menjadi kekhawatiran Pemohon yang lain bahwa pasal-pasal yang dimohonkan akan menurunkan kualitas atau performance DPD dengan adanya pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji hubungannya sebatas “mungkin dapat mempengaruhi” yang kesempatan statistiknya (chance) sama dengan “tidak mempunyai pengaruh “ dan bukan hubungan causal verband. Dalam dalil-dalilnya Pemohon juga menyatakan bahwa pasal-pasal yang dimohon untuk diuji akan merugikan kepentingan daerah, namun Pemohon tidak secara jelas menguraikan apa yang dimaksud dengan kepentingan daerah tersebut dan bagaimana hubungan Pemohon dengan kepentingan daerah yang dimaksudkan. Dengan dapat dipastikannya kepentingan daerah mana yang dimaksud Pemohon serta hubungan antara kepentingan daerah tersebut dengan Pemohon maka akan dapat dilihat kerugian yang ditimbulkan oleh pasal-pasal yang dimohonkan terhadap kepentingan daerah tersebut. Pada dasarnya, apabila disebut adanya kepentingan daerah maka terhadap kepentingan daerah yang dimaksud haruslah dapat dibedakan dengan kepentingan nasional. Apakah kepentingan daerah yang dimaksudkan oleh Pemohon sebagai kepentingan dari pemerintahan daerah. Kepentingan daerah pada pengertian pertama tentunya akan berbeda dengan kepentingan daerah pada pengertian yang kedua. Di samping itu, berkaitan dengan kepentingan daerah yang akan diperjuangkan oleh Pemohon apakah memang di dalam sistem perwakilan yang dianut dalam UUD 1945 membagi secara tegas mana-mana kepentingan daerah yang diserahkan sepenuhnya kepada terutama Pemohon I dan Pemohon II sehingga kalau terdapat gangguan terhadap kepentingan daerah tersebut Pemohon I dan II lah yang harus memperjuangkan. UUD 1945 menampung aspirasi rakyat dalam sistem perwakilan dengan melembagakannya ke dalam DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten dan kota. DPRD provinsi dan kota merupakan lembaga perwakilan pemerintahan daerah yang berkaitan dengan urusan otonomi yang diberikan kepada daerah yang bersangkutan. Sementara itu, dengan dilakukannya pemilihan kepada daerah secara langsung, maka kedudukan kepada daerah dengan pemilihnya adalah Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 228 hubungan antara pemberi kepercayaan dengan orang yang dipercaya. Dalam hubungan ini sebenarnya dalam diri kepala daerah juga ada nilai wakil dari yang mereka yang memilihnya. Wakil dalam artian antara mereka yang mempercayakan dan yang dipercaya tidak hanya terepresentasikan dalam wadah yang nama lembaganya menggunakan kata wakil sebagaimana Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tetapi kepala daerah pun sebenarnya juga wakil dari yang memilihnya. Aspirasi daerah yang direpresentasikan dalam kepentingan daerah dalam sistem perwakilan kita disalurkan melalui DPRD provinsi, DPRD kabupaten dan kota, serta kepala daerah. Dengan demikian, DPD dan anggotanya bukanlah satusatunya wadah untuk merepresentasikan kepentingan daerah. Parpol yang wakilnya akan mengisi keanggotaan DPR juga menjadi representasi wakil daerah. Sistem UUD 1945 tidak membagi kanalisasi penyaluran aspirasi tertentu dilakukan oleh lembaga perwakilan tertentu, hal demikian berbeda dengan Amerika Serikat yang jelas membagi kewenangan antara Senat dan House of Representative. Kewenangan Senat sebagai wakil negara bagian yang berdaulat tercerminkan dengan adanya kewenangan tertentu yang dimilikinya, yaitu pada saat pembuatan perjanjian internasional yang mana supaya perjanjian tersebut sah berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat harus mendapatkan persetujuan dari Senat dan bukan Konggres atau House of Reprentative. Hal demikian disyaratkan karena Senat-lah wakil negara bagian, dan pembuatan perjanjian internasional berkaitan dengan kedaulatan negara sehingga Senat yang mempunyai hak, bukan Konggres atau House of Representative. Dewan Perwakilan Rakyat yang anggotanya terdiri atas wakil Parpol tidak diposisikan sebagai mewakili pemerintah pusat tetapi mewakli pemerintahan nasional. Posisi DPR mewakili pemerintahan nasional ini tidak dihadapkan vis a vis dengan pemerintahan daerah. Partai politik tetap perlu basis di daerah bahkan eksistensi Parpol ditentukan di daerah, partai politik tidak terpisah dengan daerah. Parpol untuk dapat mengikuti pemilihan umum disyaratkan mempunyai pengurus di daerah dan anggota-anggota di daerah sehingga Parpol tidak terlepas dari daerah. Anggota DPR berasal dari daerah pemilihan yang basisnya adalah provinsi, sehingga kalau sebuah Parpol berkeinginan mendapatkan wakil dari daerah pemilihan tertentu mereka harus mendapatkan pemilih yang cukup dan untuk mendapatkan pemilih yang cukup tersebut harus bicara dengan orang daerah dan memperjuangkan aspirasinya. Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 229 Keberadaan DPD di mana wewenangnya berkaitan dengan daerah tidaklah dimaksudkan untuk mendikotomikan urusan daerah menjadi urusan DPD, sedangkan DPR dijauhkan dari urusan daerah, apalagi keduanya dihadapkan secara vis a vis dalam soal kepentingan daerah. Kewenangan DPD dalam urusan yang berhubungan dengan daerah pada intinya untuk memperluas partisipasi, transparansi yang merupakan basis sistem demokrasi perwakilan dengan menambahkan peran DPD secara konstitusional dan tidak untuk mendikotomikan apalagi menghadap-hadapkan dengan DPR. Dari uraian tersebut di atas maka terhadap dalil para Pemohon yang berhubungan dengan pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji dalam perkara a quo dapat disimpulkan; (a) Pasal-pasal a quo tidak mempunyai hubungan yang bersifat causal verband terhadap hal-hal yang dikhawatirkan terjadi tetapi hanya mempunyai hubungan dalam derajat kemungkinan dapat menimbulkan pengaruh yang negatif sebagaimana dikhawatirkan para Pemohon, yang mungkin juga pengaruh tersebut dapat positif; (b) para Pemohon tidak dapat membatasi secara pasti apa yang dimaksudkan dengan kepentingan daerah yang menjadi hak/atau kewenangan para Pemohon sehingga karenanya tidak dapat juga ditetapkan kerugian kepentingan daerah apa yang akan diderita oleh para Pemohon. Di samping dalil tentang kepentingan daerah yang telah di bahas di atas, para Pemohon juga mendalilkan bahwa pasal-pasal yang dimohonkan akan merugikan hak konstitusional perorangan yaitu hak untuk bersaing dalam pemilihan umum yang adil dan akan terjadi ketidakadilan jika ada calon dipilih dari luar provinsi, serta bertentangan dengan Pasal 28I ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan. Hal yang penting dari rumusan tersebut adalah bahwa perseorangan dan bukan Parpol yang akan mengajukan calon anggota DPD. Oleh karena itu, sepanjang yang mendaftarkan tersebut adalah perseorangan maka tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar. Dengan terbukanya anggota Parpol untuk ikut serta dalam Pemilu anggota DPD karena adanya pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji maka secara asumtif akan lebih banyak calon yang akan bersaing dalam Pemilu tersebut. Di antara para Pemohon dengan semakin bertambahnya calon yang ikut dalam Pemilu, yang terkena dampak langsung adalah Pemohon II apabila yang bersangkutan masih Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012 230 berkeinginan untuk melanjutkan status keanggotaannya. Sedangkan Pemohon I sebagai lembaga tidak terpengaruhi hak dan/atau kewenangannya. Pemohon III dan IV tidak menjelaskan posisinya apakah berkeinginan untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD. Sepanjang Pemohon III dan IV mendasarkan dalil permohonannya kepada kepentingan daerah, haruslah dijelaskan apa yang dimaksud dengan kepentingan daerah. Dampak yang akan dialami oleh Pemohon II tersebut tidak menyangkut konstitusionalitas dari pasal-pasal yang dimohonkan karena bertambahnya calon tidak menghilangkan hak konstitusionalitas Pemohon II untuk mencalonkan diri, tetapi justru menambah kualitas demokrasi dengan bertambahnya calon yang dapat menjadi alternatif bagi pemilih. Keterikatan calon dengan domisili di provinsi yang bersangkutan tidaklah dapat digunakan ukuran untuk menentukan komitmen seseorang dengan provinsi yang diwakilinya. Dapat saja terjadi orang-orang yang bertempat tinggal di luar daerah justru mempunyai kepedulian yang besar kepada daerahnya. Organisasiorganisasi kedaerahan yang berada di ibukota biasanya justru dimotori oleh orangorang daerah yang sangat peduli daerahnya tetapi mereka bertempat tinggal di ibukota. Apabila kemudian pemilih mempercayai untuk mewakilinya yang dibuktikan dengan terpilihnya mereka dalam suatu Pemilu hal demikian tentunya dikembalikan kepada pemilih itu sendiri sebagai pemilik suara. Demokrasi tidak hanya beraspek administratif tetapi juga menghargai hak pemilih dan mempertimbangkan aspek akseptabilitas dari calon. Dengan mempertimbangkan hal-hal yang diuraikan di atas, seharusnya Mahkamah menolak permohonan para Pemohon. PANITERA PENGGANTI, ttd. Cholidin Nasir Implikasi peran..., Agung Sudrajat, FH UI, 2012