KOMUNIKASI PARTISIPATIF KELOMPOK SADAR WISATA DALAM PENGELOLAAN WISATA GUNUNG API PURBA NGLANGGERAN, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA R. RESTAMA GUSTAR HASTOSAPTYADHAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Komunikasi Partisipatif Kelompok Sadar Wisata dalam Pengelolaan Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2016 R. Restama Gustar Hastosaptyadhan I 352114011 RINGKASAN R. RESTAMA GUSTAR HASTOSAPTYADHAN. 2016. Komunikasi Partisipatif Kelompok Sadar Wisata dalam Pengelolaan Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dibimbing oleh SUMARDJO dan DWI SADONO Salah satu keunikan objek wisata gunung api purba di Gunung Kidul terletak di Desa Nglanggeran yang terdiri dari material vulkanik tua, geologis sangat unik dan bernilai ilmiah tinggi. Komunikasi partisipatif memiliki prinsip komunikasi horizontal untuk mendorong partisipasi masyarakat melalui dialog. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dimulai dengan proses dialog oleh orang-orang muda yang memiliki visi yang sama dalam mengembangkan potensi alami gunung api purba Nglanggeran. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. menjelaskan komunikasi partisipatif dari Pokdarwis; 2. menganalisis hubungan antara karakteristik individu, kredibilitas fasilitator, dukungan kelembagaan dan komunikasi partisipatif; dan 3. menganalisis hubungan antara komunikasi partisipatif dari Pokdarwis dan pengelolaan gunung api purba Nglanggeran. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Studi ini menyimpulkan bahwa: 1) Pokdarwis dapat menerima informasi baru, pengetahuan yang lebih tinggi, dan sangat termotivasi. Kejujuran, keahlian, daya tarik dan keakraban fasilitator dapat mendukung pengelolaan pariwisata yang lebih baik. Modal, sarana dan prasarana cukup untuk mendukung kegiatan pengelolaan wisata; 2) Ada hubungan yang signifikan dan positif antara karakteristik individu, kredibilitas fasilitator, dukungan kelembagaan dan komunikasi partisipatif dan 3) Ada hubungan yang signifikan dan positif antara manajemen pariwisata dan komunikasi partisipatif. Kata kunci: komunikasi, partisipatif, fasilitator, pokdarwis , gunung api purba, gunung kidul SUMMARY R. RESTAMA GUSTAR HASTOSAPTYADHAN. 2016. Participatory Communication of Pokdarwis in the Management of Nglanggeran Ancient Volcano Tourism, Gunung Kidul District, Yogyakarta Special Region Province. Supervised by SUMARDJO and DWI SADONO. One of the uniqueness ancient volcano attractions in Gunung Kidul is located in the village of Nglanggeran which composed of old volcanic material, geologically very unique and high scientific value. Participatory communication has the principle of horizontal communication to encourage community participation through dialogue. Tourism Awareness Formation Group (Pokdarwis) begins with the dialogue process by young people who have a common vision in developing the natural potential Nglanggeran ancient volcano. The purposes of this study are: 1. Describe the participatory communication of Pokdarwis; 2. Analyze the relationship between individual characteristics, the credibility of the facilitator, the institutional support and participatory communication; and 3. Analyze the relationship between participatory communication of Pokdarwis and the management of Nglanggeran ancient volcano. This study used quantitative and qualitative approaches. The study conclude that :1) Pokdarwis able to receive new information properly, higher knowledge, and highly motivated. Honesty, expertise, attractiveness and familiarity of facilitators able to support better tourism management. Capital, facilities and infrastructures have sufficiently enough to support tourist management activities; 2) There is significant and positive relationship between individual characteristics, facilitator's credibility, institutional support and the participatory communication and 3) There is significant and positive relationship between tourism management and participatory communication. Key Words : participatory communication, pokdarwis, facilitator, ancient volcano, Gunung Kidul © Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB KOMUNIKASI PARTISIPATIF KELOMPOK SADAR WISATA DALAM PENGELOLAAN WISATA GUNUNG API PURBA NGLANGGERAN, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA R. RESTAMA GUSTAR HASTOSAPTYADHAN Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr.Ir. Sarwititi Sarworasodjo, MS Judul Nama NIM : Komunikasi Partisipatif Kelompok Sadar Wisata Dalam Pengelolaan Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. : R. Restama Gustar Hastosaptyadhan : I 352114011 Disetujui oleh Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS Ketua Dr. Ir. Dwi Sadono, MSi Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr Tanggal Ujian: 1 Februari 2016 Tanggal Lulus: PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis penelitan ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipiih dalam proposal penelitian ini yaitu Komunikasi Partisipatif Kelompok Sadar Wisata Dalam Pengelolaan Wisata Gunung Api Purba, Nglanggeran, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS dan Dr. Ir. Dwi Sadono, MSi selaku pembimbing atas dukungan, arahan, masukan berupa teori serta waktu dengan penuh kesabaran membimbing penulis hingga dapat menghasilkan sebuah tulisan yang lebih baik selama pembuatan tesis penelitian ini. Kepada rekan-rekan sejawat atas dukungan yang diberikan (KMP angkatan genap 2011) dan angkatan 2012. Akhir kata penulis ucapkan mohon maaf jika ada kesalahan dan kekurangan, sesungguhnya kesalahan dan kekurangan ada pada penulis, kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Februari 2016 R. Restama Gustar Hastosaptyadhan DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL PENDAHULUAN Latar Belakang PerumusanMasalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Komunikasi Partisipatif Kelompok Sosial Komunikasi Partisipatif dalam Kelompok Sadar Wisata Kredibilitas Fasilitator Desa Wisata dengan Kawasan Ekowisata Berwawasan Lingkungan Berbasis Masyarakat Hasil Penelitian Terdahulu Kerangka Penelitian Hipotesis Penelitian METODE PENELITIAN Desain Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Populasi dan Sampel Penelitian Data dan Instrumen Penelitian Teknik Pengumpulan Data Definisi Operasional Validitas Instrumentasi Reliabilitas Instrumentasi Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kelompok Sadar Wisata Karakteristik Individu Pokdarwis Kredibilitas Fasilitator Dukungan Kelembagaan Komunikasi Partisipatif Pengelolaan Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Komunikasi Partisipatif Pokdarwis Hubungan antara Kredibilitas Fasilitator dengan Komunikasi Partisipatif Pokdarwis Hubungan antara Dukungan Kelembagaan dengan Komunikasi Partisipatif Pokdarwis Hubungan antara Pengelolaan Wisata dengan Komunikasi Partisipatif Pokdarwis KESIMPULAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP xii xii 1 1 3 4 4 5 5 9 9 12 13 13 17 19 20 20 20 20 20 21 22 22 24 25 26 26 27 29 32 35 37 39 42 44 46 47 49 49 50 53 57 DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Karakteristik individu Kredibilitas fasilitator Dukungan kelembagaan Komunikasi partisipatif Kelompok Sadar Wisata Pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran Jumlah dan persentase karakteristik individu Pokdarwis Jumlah dan persentase kredibilitas fasilitator Pokdarwis Jumlah dan persentase dukungan kelembagaan Pokdarwis Jumlah dan persentase komunikasi partisipatif Pokdarwis 10 Hubungan antara karakteristik individu dengan komunikasi partisipatif Pokdarwis 11 Hubungan antara kredibilitas fasilitator dengan komunikasi partisipatif Hubungan antara dukungan kelembagaan dengan komunikasi partisipatif Pokdarwis Hubungan antara pengelolaan wisata dengan komunikasi partisipatif Pokdarwis 12 13 21 21 22 22 22 30 33 35 37 38 39 40 41 DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka berpikir penelitian komunikasi partisipatif kelompok sadar wisata dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 16 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan sumber daya alam dan bentang alam yang melimpah dan tinggi nilainya. Kekayaan tersebut menjadi modal penting bagi pembangunan bangsa Indonesia dan akan punah apabila tidak dikelola secara optimal baik oleh Pemerintah maupun masyarakat. Di samping itu, Indonesia juga dikenal sebagai negara majemuk yang kaya akan keberagaman suku, budaya, agama dan sejarah. Kedua potensi tersebut apabila dikelola secara baik dan benar disertai upaya-upaya pelestariannya, dapat mendukung pencapaian kesejahteraan rakyat. Selaras dengan visi, misi dan program aksi untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian, maka pemerintah telah menetapkan Jalan Perubahan yang disebut Nawa Cita. Sesuai Nawa Cita ke-7 yaitu Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik, maka upaya pengembangan usaha lokal merupakan bagian kekuatan pendorong pembangunan ekonomi bangsa. Pengembangan ekonomi lokal dapat berperan dalam mempercepat pemerataan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan masyarakat, serta mampu menyediakan peluang lapangan kerja. Masyarakat perlu difasilitasi oleh Pemerintah agar mempunyai jiwa wirausaha, tidak tergantung pada bantuan pemerintah. Fasilitas ini dapat berupa peningkatan kapasitas usaha, pendampingan dan bantuan permodalan sehingga masyarakat yang sebelumnya hanya menerima bantuan sosial dapat berkembang menjadi pelaku usaha mikro yang pada waktunya bisa mandiri bahkan dapat membantu masyarakat di sekitarnya dalam pengembangan ekonomi lokal yang dapat berdampak pada meningkatnya perekonomian regional dan nasional untuk mewujudkan kemandirian ekonomi sebagai perwujudan dari Tri Sakti. Kekayaan alam dan keberagaman bangsa Indonesia menyimpan banyak potensi sekaligus peluang berharga untuk membangun kepariwisataan Indonesia agar lebih bergairah di mata dunia serta memiliki karakteristik berdasarkan kearifan lokal, oleh karena itu pemerintah memiliki peranan penting dalam menggali potensi dan membuat kebijakan terhadap pengembangan kepariwisataan, sehingga masyarakat lokal meningkat kesadarannya untuk menggali potensi dan bergerak membangun desa dan kawasan perdesaan serta kota. Menurut BPS (2015) Kabupaten Gunungkidul yang memiliki luas wilayah 1.485,36 Km2 dengan 18 kecamatan dan 144 desa dan kelurahan merupakan kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang sedang giat mengembangkan potensi pariwisata. Pada umumnya masyarakat menganggap bahwa Kabupaten Gunungkidul adalah kabupaten miskin, rawan kekeringan dan tidak banyak memiliki tempat wisata yang khas. Namun seiring dengan perkembangan pembangunan dan kemajuan masyarakat, kabupaten tersebut mempunyai potensi besar bagi pengembangan kegiatan pariwisata yang merupakan perpaduan yang harmonis antara kekayaan alam, kebudayaan tradisional, dan cara hidup masyarakatnya. Salah satu obyek wisata di Kabupaten Gunung Kidul yang banyak dikunjungi wisatawan karena keunikannya adalah Gunung Api Purba yang terletak di Desa Nglanggeran Kecamatan Patuk pada ketinggian 200-700 m dpl dengan jarak tempuh 22 km dari kota Wonosari melalui perjalanan darat. Adapun Litologi lokasi ini tersusun oleh material vulkanik tua dan bentang alamnya memiliki keindahan yang secara geologi sangat unik dan bernilai ilmiah tinggi. Dari hasil penelitian dan referensi yang ada, dinyatakan gunung Nglanggeran adalah gunung berapi purba. Pada tahun 2007 berkembang ide kreatif para pemuda Desa Nglanggeran yang mulai membenahi dan menata lokasi ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran secara swadaya dengan membangun jalur pendakian, fasilitas MCK (Mandi, Cuci, Kakus), serta gubuk-gubuk peristirahatan pendakian. Pada saat mengembangkan lokasi tersebut para pemuda ini membuat wadah organisasi yang bernama Pokdarwis (kelompok sadar wisata) yang terdiri dari unsur Karang Taruna Bukit Putra Mandiri, Pemerintah Desa, kelompok tani, ibu-ibu PKK, dan pemilik rumah singgah (homestay). Pada Tahun 2009, Pokdarwis telah mengantarkan desanya menjadi juara Desa Wisata se-Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan desa wisata telah dilakukan oleh masyarakat lokal yaitu Pokdarwis Nglanggeran yang telah mampu mengangkat potensi lokal menjadi potensi regional bahkan selanjutnya dapat diangkat menjadi potensi nasional. Komunikasi partisipatif merupakan paradigma komunikasi pembangunan yang memiliki prinsip komunikasi horisontal untuk mendorong partisipasi masyarakat melalui dialog. Masyarakat lokal diajak berpartisipasi dalam mengidentifikasi kebutuhan dan tindakan alternatif untuk memenuhi kebutuhan pembangunannya melalui dialog dengan stakeholder lainnya yang terlibat dalam proses pembangunan (Bessette 2007). Proses dialog dalam komunikasi partisipatif bersifat dinamis, interaksional dan transformatif. Dialog terjadi antar individu, kelompok dan institusi dengan pihak lainnya baik individu maupun kolektif, untuk mewujudkan potensi mereka dan meraih kesejahteraan hidupnya (Singhal 2001). Dialog merupakan hal yang paling penting dalam komunikasi partisipatif pada sebuah komunitas/kelompok sosial. Dagron (2008) menambahkan bahwa dialog merupakan kunci dari komunikasi partisipatif dalam pembangunan, jika ingin melibatkan masyarakat sipil dalam pembangunan maka adanya dialog tidak bisa dihindarkan, begitu juga jika sebuah organisasi pembangunan ingin membangun hubungan dengan pemerintah dan masyarakat sosial, maka dialog merupakan hal yang paling penting dilakukan dalam tingkat komunitas/kelompok. Dalam dialog terjadi sharing knowledge dan pengalaman dengan para stakeholder untuk mengidentifikasi masalah, menganalisis dan menetapkan solusi atas permasalahan yang terjadi serta mengevaluasi (Tufte&Mefalopulos 2009). Tidak akan ada kelompok tanpa adanya dialog di dalamnya, begitu pula sebaliknya tidak ada dialog bila tidak terbentuk kelompok. Proses dialog sendiri dimaknai dengan pembentukan makna dan menyampaikan nilai sosial antara individu yang saling bertukar informasi. Hal tersebut menandakan bahwa dialog selalu diawali dengan proses komunikasi dalam diri individu (intrapersonal) sebelum menyampaikan ide/aspirasinya ke anggota kelompok yang lain maupun komunikator pembangunan dengan memperhatikan norma dan nilai-nilai yang berlaku (Rahim 2004). Pembentukan Pokdarwis diawali dengan proses dialog oleh kalangan muda yang mempunyai kesamaan visi dalam mengembangkan potensi alam gunung api purba Nglanggeran yang pada akhirnya berhasil membawa kelompok lain secara partisipatif berperan dalam mengelola kawasan wisata tersebut. Keberhasilan ini perlu dikaji sehingga diketahui bahwa komunikasi partisipatif berperan membawa keberhasilan Pokdarwis dalam mengelola kawasan Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran. Demikian pula dengan komunikasi partispatif yang dikembangkan sehingga anggota Pokdarwis mempunyai peran yang sama dalam wujud kepedulian dan keinginan untuk maju dan berkembang dengan memanfaatkan potensi lokal yang ada sehingga dapat menjadi faktor kemajuan daerah wisata ini. Perumusan Masalah Pengelolaan kawasan wisata Gunung api purba diinisiasi dengan pembentukan desa wisata dalam PNPM Mandiri Pariwisata oleh Kementerian Pariwisata tahun 2011. Prinsip-prinsip PNPM Mandiri seperti yang disebutkan pada pasal 4 UU No 6/2014 tentang Desa bahwa pengaturan Desa salah satunya bertujuan untuk mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama. Hal ini dibuktikan bahwa melalui komunikasi partisipatif telah dibentuk kelompok sadar wisata (Pokdarwis) yang sangat berperan dalam pengelolaan kawasan wisata ini, namun demikian perlu dikaji lebih jauh permasalahan yang dihadapi Pokdarwis ini sehingga diharapkan dapat tetap berkelanjutan perannya pada waktu yang akan datang. Beberapa penelitian terdahulu seperti Saputra (2011), Mulyasari (2009), Muchlis (2009), dan Satriani (2011) memiliki sumber referensi yang berbeda, dan fokus obyek penelitiannya juga berbeda sesuai dengan sudut pandang masingmasing peneliti. Penelitian terdahulu tersebut tidak membahas hingga pengelolaan wisata. Penelitian ini menganalisis tentang fasilitator yang juga merupakan kelompok sosial masyarakat dengan nama kelompok sadar wisata (Pokdarwis), dan peran komunikasi partisipatif juga dianalisis hubungannya dengan pengelolaan wisata. Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut, maka penelitian mengenai komunikasi partisipatif Kelompok Sadar Wisata dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi penting untuk diteliti. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam pengelolaan lokasi wisata Gunung Api Purba ini adalah : (1) Bagaimanakah komunikasi partisipatif yang terjadi pada kelompok sadar wisata dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran ? (2) Bagaimana hubungan antara karakteristik individu, kredibilitas fasilitator, dan dukungan kelembagaan dengan komunikasi partisipatif dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran ? (3) Bagaimana hubungan komunikasi partisipatif oleh kelompok sadar wisata yang dapat berperan dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran ? Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah melakukan kajian tentang peran komunikasi partisipatif dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: (1) Mendeskripsikan komunikasi partisipatif yang terjadi pada kelompok sadar wisata dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran. (2) Menganalisis hubungan antara karakteristik individu, kredibilitas fasilitator, dan dukungan kelembagaan dengan komunikasi partisipatif dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran. (3) Menganalisis hubungan komunikasi partisipatif oleh kelompok sadar yang wisata dapat berperan dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran. Manfaat Penelitian Hasil Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian sejenis atau penelitian lanjutan dalam pengkajian komunikasi partisipatif untuk mendukung pengelolaan potensi wisata dan menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan rekomendasi kebijakan bagi instansi terkait baik di daerah maupun di pusat. TINJAUAN PUSTAKA Komunikasi Partisipatif Selama ini pogram pembangunan kerap ditentukan sendiri oleh pemerintah pusat (top-down), sehingga tidak mencerminkan kebutuhan masyarakat hingga tingkat bawah (grassroot). Aliran komunikasi yang searah dan cenderung topdown ini memaksa masyarakat hanya menjadi pihak penerima pasif, dan mengesampingkan hak mereka untuk berpartisipasi, bersuara maupun berpendapat. Freire (1972) mengistilahkan ketidakmampuan masyarakat untuk menyuarakan aspirasi dan permasalahan yang dihadapi dengan istilah voiceless people. Keterlibatan partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan pembangunan (McPhail 2009). Srampickal (2006) menambahkan dibutuhkan partisipasi aktif dari grassroot untuk melancarkan jalannya pembangunan. Semua partisipasi merupakan hasil dari adanya komunikasi, namun tidak semua komunikasi berbentuk partisipatif (Singhal 2001). Partisipasi masyarakat bisa diraih dengan menggunakan komunikasi horisontal yang berlangsung dua arah. Proses komunikasi partisipatif juga menekankan pada kemampuan anggota komunitas agar mampu menyampaikan aspirasinya serta berbagi informasi yang lebih dikenal dengan istilah voice. Komunikasi partisipatif menjunjung tinggi adanya voice sebagai hak asasi dari seluruh masyarakat yang terlibat dalam proses pembangunan (Warnock et al. 2007). Aspirasi atau voice dalam komunikasi partisipasi menekankan pada hak seluruh individu untuk didengar, berbicara, dan kemungkinan bagi tiap individu berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan dalam menentukan kehidupannya (Warnock et al. 2007; McPhail 2009). Bentuk partisipasi masyarakat dalam menyuarakan aspirasinya adalah dengan berkontribusi pada setiap proses komunikasi, diantaranya adalah menyampaikan pandangan, berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, bertindak dalam pencarian informasi. Konsep action-reflection-action sebagai bahan yang penting dalam komunikasi partisipatif bukan hanya merefleksikan masalah, tetapi juga mengumpulkan tindakan dengan mencoba mengumpulkan gerakan dari masalah yang diidentifikasi dalam sebuah komunitas/kelompok. Kata kunci dalam konsep ini adalah meningkatkan kesadaran dan komitmen untuk bertindak dalam sebuah kelompok. Hal tersebut bisa dicapai dengan melibatkan tindakan kolektif dalam kelompok yang mempunyai komitmen dan rasa memiliki pada masalah yang dihadapi. McKee et al. (2008) menjelaskan bahwa untuk memunculkan rasa memiliki, kompetensi dan komitmen pada sebuah kelompok adalah dengan adanya collective action dan kontrol berdasarkan partisipasi antara anggota komunitas dengan organisasi dalam konteks sosial. Intervensi komunikasi pembangunan dalam collective action pada level kelompok tergantung pada kegiatan komunikasi di dalamnya, termasuk adanya dialog, identifikasi masalah dan solusinya, berbagi informasi, negosiasi, persetujuan, bergabung dalam proses pengelolaan, dan proses pertanggungjawaban yang sama dalam komunitas (Warnock et al. 2007). Berdasarkan hal tersebut, komunikasi partisipatif dalam penelitian ini dimaknai sebagai bentuk partisipasi anggota kelompok dalam menjalankan proses komunikasi (voice, dialog dan refleksi aksi) pada kegiatan pembangunan yang bertujuan untuk memperbaiki taraf hidupnya. Salah satu perbedaan yang paling mendasar dari kelompok adalah karakteristiknya. Karakteristik merupakan sifat-sifat atau ciri-ciri yang melekat pada sesuatu baik itu benda, orang maupun makhluk hidup lainnya, yang berhubungan dengan berbagai aspek kehidupannya (Mardikanto 1993). Bisa diasumsikan bahwa karaktersitik kelompok merupakan ciri-ciri yang melekat dalam kelompok tersebut. Ciri-ciri tersebut menjadi pembeda antara kelompok satu dengan yang lainnya (Suharno 2009). Syam et al (2000) menyebutkan bahwa karakteristik pada kelompok tani yang mendasar adalah umur kelompok, aktifitas keanggotaan kelompok dan luas areal usaha tani. Tidak jarang program pembangunan harus mengelola beberapa kelompok sekaligus, yang tentu saja karakteristik kelompok satu dan lainnya berbeda. Perbedaan itulah yang kemudian difasilitasi oleh komunikator pembangunan melalui dialog untuk membangun konsensus sesuai dengan masalah dan kebutuhan masingmasing kelompok. Paradigma komunikasi partisipatif ditandai dengan terakomodasinya aspirasi semua pihak dalam program pembangunan. Oleh karena itu, pendekatan partisipatif lebih tepat digunakan dalam era globalisasi, karena menurut Sumardjo (1999), pendekatan tersebut lebih memungkinkan terjadi integrasi antara kepentingan nasional dengan kepentingan masyarakat dan potensi dan permasalahan lingkungan setempat. Pendekatan partisipatif lebih menempatkan martabat manusia secara layak, keberadaan masyarakat dengan aspek kepentingan dan kemampuannya lebih dikenali dan dihargai, sehingga lebih mendorong terjadi partisipasi yang lebih luas. Partisipasi masyarakat pada kenyataannya berawal atau dilandasi dengan adanya kebersamaan (togetherness, commonality). Kebersamaan dalam mengartikan atau mempersepsikan sesuatu (misalnya masalah atau kesulitan) yang penting bagi masyarakat bersangkutan. Kebersamaan dalam cara-cara memecahkan masalah. Kebersamaan dalam melaksanakan keputusan-keputusan untuk masalah yang dirasakan. Model partisipasi masyarakat telah bergeser dari yang sebelumnya terfokus pada penerima manfaat atau kelompok terabaikan (sebagaimana yang diterapkan dalam banyak proses pembangunan), ke bentuk pelibatan warga yang lebih luas di bidang-bidang yang mempengaruhi kehidupan mereka secara langsung (Sumarto 2003). Komunikasi partisipatif mengasumsikan adanya proses humanis yang menempatkan individu sebagai aktor aktif dalam merespon setiap stimulus yang muncul dalam lingkungan yang menjadi medan kehidupannya. Individu bukanlah wujud yang pasif yang hanya bergerak jika ada yang menggerakan.Individu adalah wujud dinamis yang menjadi subjek dalam setiap perilaku yang diperankan termasuk perilaku komunikasi (Hamijoyo 2005). Pemikiran inti dari model komunikasi partisipatif adalah bahwa dalam proses pembicaraan dapat dimungkinkan dan diperhitungkan timbulnya ide-ide baru pada waktu komunikasi sedang berlangsung. Jika dalam model linier titik berat pada pesan-pesan yang telah dipersiapkan dulu, dalam model partisipasi ini ada satu cerminan situasi komunikasi yang sebenarnya, sehingga dengan jelas dapat dilihat apakah pihak-pihak yang berkomunikasi telah berhasil saling mempengaruhi atau tidak, dapat dilihat akibat dari pesan yang telah dikirim. Model ini juga memperlihatkan situasi interaktif antara pihak-pihak yang berkomunikasi dan dapat berlangsung dalam bentuk komunikasi antar pribadi dan kelompok (Sulistyowati et al. 2005). Menurut Servaes (2002) adapun prinsip-prinsip komunikasi partisipatif yang terdiri dari: (1) masyarakat biasa (bukan agen perubahan atau struktur kekuasaan formal) sebagai “agen utama” perubahan. Komunikasi diarahkan untuk mendorong kemandirian masyarakat; (2) tujuan pembangunan adalah pendidikan dan aktivitas orang terhadap perbaikan diri dan masyarakat, keterlibatan orang lokal dalam pengelolaan dan evaluasi program pembangunan, pendidikan penting untuk pemberdayaan bukan instruksi “know-how”, belajar bukan proses pasif; (3) pergeseran kembali fokus dari negara kepada masyarakat lokal; (4) partisipasi melibatkan pendistribusian kembali kekuasaan dari elit kepada masyarakat lokal dan (5) komunikasi partisipatif memerlukan pelaksanaan penelitian dalam tradisi baru yang disebut “penelitian partisipatif”. Maksudnya penelitian yang memungkinkan masyarakat melakukan sendiri bukan temuan akademisi atau “ahli”, karena masyarakat dipercaya dapat merefleksikan situasi yang menindas mereka dan mengubahnya, mereka lebih mengetahui kebutuhan dan realitasnya daripada “para ahli”. White (2004) mendefinisikan komunikasi partisipatif sebagai dialog terbuka, sumber dan penerima berinteraksi secara kontinyu, memikirkan secara konstruktif situasi, mengidentifikasi kebutuhan dan permasalahan pembangunan, memutuskan apa yang yang dibutuhkan untuk meningkatkan situasi dan bertindak atas situasi tersebut. Singhal (2001) mengartikan komunikasi partisipatif adalah sebuah proses dinamis, interaktif dan transformasional, di mana orang terlibat dalam dialog, dengan individu dan kelompok masyarakat dalam rangka merealisasikan potensi secara penuh agar dapat meningkatkan kehidupan mereka. Menurut Bordenave dalam White (2004) komunikasi partisipatif dapat diartikan sebagai proses komunikasi yang memberikan kebebasan, hak dan akses yang sama dalam memberikan pandangan, perasaan, keinginan, pengalaman dan menyampaikan informasi ke masyarakat untuk menyelesaikan sebuah masalah melalui dialog. Dialog adalah komunikasi transaksional dimana pengirim (sender) dan penerima (receiver) pesan saling berinteraksi dalam suatu periode waktu tertentu hingga sampai pada makna-makna yang saling berbagi. Esensi dari dialog adalah mengenal dan menghormati pembicara lain atau suara lain, sebagai subjek yang otonom, tidak lagi hanya sebagai objek komunikasi. Dalam dialog setiap orang 12 memiliki hak yang sama untuk bicara atau untuk didengar dan mengharap bahwa suaranya tidak akan ditekan oleh orang lain atau disatukan dengan suara orang lain. Rahim dalam White (2004) mendefinisikan komunikasi partisipatif adalah suatu proses komunikasi dimana terjadi komunikasi dua arah atau dialogis, sehingga menghasilkan suatu pemahaman yang sama terhadap pesan yang disampaikan. Dalam konsep public sphere, dialog merupakan suatu aktivitas komunikasi yang terbuka dan dapat diakses oleh para peserta. Dalam konsep ini yang dicari bukan saja berorientasi pada keberhasilannya masing-masing, namun yang lebih penting adalah bagaimana situasi pemahaman bersama terhadap realitas menjadi dasar bagi pencapaian kepentingan mereka, tanpa mengabaikan kesesuaian antara rencana dan aksi (Habermas 1990). Paradigma komunikasi partisipatif ditandai dengan terakomodasinya aspirasi pihak atas (pemerintah) dan pihak bawah (masyarakat) dalam program pembangunan wilayah setempat. Oleh karena itu, pendekatan partisipatif lebih tepat digunakan dalam era globalisasi, karena menurut Sumardjo (1999), pendekatan tersebut lebih memungkinkan terjalin integrasi antara kepentingan nasional dengan kepentingan masyarakat dan potensi (dan permasalahan) lingkungan setempat. Pendekatan tersebut lebih menempatkan martabat manusia secara lebih layak, keberadaan masyarakat dengan aspek kepentingan dan kemampuannya menjadi lebih dikenali dan dihargai, sehingga lebih mendorong terjadinya partisipasi masyarakat yang lebih luas. Menurut Freire (1972) semua orang baik secara individual dan kolektif memiliki hak untuk berbicara. Berbicara bukan hak istimewa dari beberapa orang, namun hak setiap manusia. Freire menyadari bahwa kebodohan dan kelalaian mereka membuat mereka menjadi tidak memiliki keberanian dan kemampuan uantuk menjawab realitas-realitas kongkret dari dunia mereka. Mereka tetap saja tenggelam dalam suatu keadaan di mana kesadaran kritis dan jawaban semacam itu praktis tidak mungkin. Mereka merupakan masyarakat yang tersisihkan, tak berdaya, yang kemudian menjadi tidak berani berbicara sehingga kemudian memunculkan satu kebudayaan yang dikenal dengan nama “kebudayaan bisu” atau “cultures of silence”. Budaya bisu akan bisa diubah menjadi budaya kritis, di mana orang berani bicara untuk memperjuangkan hak hidupnya menjadi manusia yang sesungguhnya. Walau upayanya tersebut tampaknya “hanya” dalam aspek pendidikan, namun dampaknya secara cukup kuat dan signifikan mempengaruhi ikhtiar pembangunan nasional. Komunikasi partisipatif memiliki kegiatan dialog yang menyaratkan bahwa orangorang yang terlibat di dalamnya berada dalam level yang sama, berbicara dalam frekuensi yang sama tentang sesuatu hal yang dihadapi. Tatkala seseorang merasa lebih pintar dari orang lain dari anak-anak itu dan memaksakan pendapatnya maka yang terjadi adalah proses transfer sebagaimana yang kerap terjadi dalam pendidikan formal. Model komunikasi partisipatif, di sisi lain mengubah pandangan dalam kerangka keragaman. Ini menekankan pentingnya identitas budaya masyarakat lokal dan demokratisasi dan partisipasi di semua tingkat-internasional, nasional, lokal dan individu. Proses pemberdayaan (empowerment) sejatinya harus ditujukan untuk “membantu partisipan memperoleh daya (kuasa) untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.“ (Payne 1979 diacu dalam Nasdian 2003). Harus diakui bahwa selama ini, peran serta masyarakat hanya dilihat dalam konteks yang sempit, artinya manusia cukup di pandang sebagai tenaga kasar untuk mengurangi biaya pembangunan. Dengan kondisi ini, partisipasi masyarakat “terbatas” pada implementasi atau penerapan program; masyarakat tidak dikembangkan dayanya menjadi kreatif dari dalam dirinya dan harus menerima keputusan yang sudah diambil “pihak luar”. Akhirnya, partisipasi menjadi bentuk yang pasif dan tidak memiliki “kesadaran kritis” (Nasdian 2003). Kelompok Sosial Kelompok sosial atau social group adalah himpunan atau kesatuan manusia yang hidup bersama, karena adanya hubungan di antara mereka. Hubungan tersebut antara lain menyangkut hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling menolong (Soekanto 2006:104). Kelompok sosial walaupun jumlahnya sedikit tetapi ada, dan umumya dibentuk untuk urusan-urusan ritual seperti kematian, pelestarian adat dan untuk urusan yang berhubungan dengan ritual peribadatan suatu agama. Di luar ritual, kelompok sosial untuk kepentingan ekonomi sifatnya marginal tetapi sarat dengan nilai-nilai yang bettentangan dengan nilai-nilai universal yang senantiasa memberikan bobot pada peningkatan produktivitas, nilai tambah, kompetisi, efisiensi, kebebasan dan persamaan. Kelompok teresebut berkembang atas dasar beraktivitas bersama bukan beraktivitas sama-sama untuk mengubah nasib dan kekayaan material untuk hari esok yang lebih baik. Teori sosiologi senantiasa membedakan dua jenis kelompok sosial. Pertama, apa yang disebut kelompok primer yaitu suatu wadah tempat berhimpunnya satu atau lebih individu yang memiliki hubungan personal antar mereka yang sangat dekat dan pola interaksi sesamanya biasanya sangat informal. Pada kelompok primer ini hampir semua persoalan didiskusikan walau tanpa arah dan penyelesaian tertentu yang jelas, serta tidak ada rahasia antar anggota kelompok. Keanggotaan kelompok ini biasanya homogeny dari suatu garis keturunan, kepercayaan, pertemanan, informal dan sejenisnya. Wujud pembentukan kelompok ini biasanya mulai dari keluarga, perkumpulan sesame teman-teman dekat, kelompok garis keturunan dan sejenisnya. Kedua, yaitu kelompok sekunder yang didalamnya berimpun sekelompok orang dengan spesialisasi tertent atau memiliki tujuan-tujuan khusus organisasi dan dengan pembagian tugas, untuk para pengurus dan anggotanya, secara jelas yang merefleksikan peran mereka untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Hubungan interpersonal dalam kelompok ini relative terbatas dan frekuensi pertemuan antar anggota kelompok biasaya tidak berlangsung secara terus menerus. Pada kelompok yang disebut terakhir, dalam wujud kekiniannya merupakan bentuk organisasi modern yang bersifat lebih formal. Komunikasi Partisipatif dalam Kelompok Sadar Wisata Pembangunan kepariwisataan memerlukan dukungan dan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan di bidang pariwisata. Masyarakat adalah salah satu unsur penting pemangku kepentingan untuk bersama-sama dengan Pemerintah dan kalangan usaha/swasta bersinergi melaksanakan dan mendukung pembangunan kepariwisataan, oleh karena itu pembangunan kepariwisataan harus memperhatikan posisi, potensi dan peran masyarakat baik sebagai subjek atau pelaku maupun penerima manfaat pengembangan, karena dukungan masyarakat turut menentukan keberhasilan jangka panjang pengembangan kepariwisataan. Dukungan masyarakat dapat diperoleh melalui penanaman kesadaran masyarakat akan arti penting pengembangan kepariwisataan, untuk itu dibutuhkan proses dan pengkondisian untuk mewujudkan masyarakat yang sadar wisata. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) merupakan salah satu komponen dalam masyarakat yang memiliki peran dan kontribusi penting dalam pengembangan kepariwisataan di daerahnya. Keberadaan Pokdarwis tersebut perlu terus didukung dan dibina sehingga dapat berperan lebih efektif dalam turut menggerakkan partisipasi masyarakat untuk mewujudkan lingkungan dan suasana yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya kegiatan kepariwisataan di sekitar destinasi pariwisata. Pedoman Kelompok Sadar Wisata (2012) menyatakan bahwa Peningkatan peran masyarakat dalam pembangunan kepariwisataan memerlukan berbagai upaya pemberdayaan (empowerment), agar masyarakat dapat berperan lebih aktif dan optimal serta sekaligus menerima manfaat positif dari kegiatan pembangunan yang dilaksanakan untuk peningkatan kesejahteraannya. Pemberdayaan Masyarakat dalam konteks pembangunan kepariwisataan dapat didefinisikan sebagai:“Upaya penguatan dan peningkatan kapasitas, peran dan inisiatif masyarakat sebagai salah satu pemangku kepentingan, untuk dapat berpartisipasi dan berperan aktif sebagai subjek atau pelaku maupun sebagai penerima manfaat dalam pengembangan kepariwisataan secara berkelanjutan”. Renstra Dit. Pemberdayaan Masyarakat (2010). Definisi tersebut menegaskan posisi penting masyarakat dalam kegiatan pembangunan, yaitu masyarakat sebagai subjek atau pelaku pembangunan, dan masyarakat sebagai penerima manfaat pembangunan. Masyarakat sebagai subyek atau pelaku pembangunan, mengandung arti, bahwa masyarakat menjadi pelaku penting yang harus terlibat secara aktif dalam proses perencanaan dan pengembangan kepariwisataan, bersama-sama dengan pemangku kepentingan terkait lainnya baik dari pemerintah maupun swasta. Dalam fungsinya sebagai subjek atau pelaku masyarakat memiliki peran dan tanggung jawab untuk bersama-sama mendorong keberhasilan pengembangan kepariwisataan di wilayahnya. Masyarakat sebagai penerima manfaat, mengandung arti, bahwa masyarakat diharapkan dapat memperoleh nilai manfaat ekonomi yang berarti dari pengembangan kegiatan kepariwisataan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan sosial masyarakat yang bersangkutan. Dalam kerangka pembangunan kepariwisataan tersebut, salah satu aspek mendasar bagi keberhasilan pembangunan kepariwisataan adalah dapat diciptakannya lingkungan dan suasana kondusif yang mendorong tumbuh dan berkembangnya kegiatan kepariwisataan di suatu tempat. Iklim atau lingkungan kondusif tersebut terutama dikaitkan dengan perwujudan Sadar Wisata dan Sapta Pesona yang dikembangkan secara konsisten di kalangan masyarakat yang tinggal di sekitar destinasi pariwisata. Sadar wisata dalam hal ini digambarkan sebagai bentuk kesadaran masyarakat untuk berperan aktif dalam 2 (dua) hal berikut, yaitu: a) Masyarakat menyadari peran dan tanggung jawabnya sebagai tuan rumah (host) yang baik bagi tamu atau wisatawan yang berkunjung untuk mewujudkan lingkungan dan suasana yang kondusif sebagaimana tertuang dalam slogan Sapta Pesona. b) Masyarakat menyadari hak dan kebutuhannya untuk menjadi pelaku wisata atau wisatawan untuk melakukan perjalanan ke suatu daerah tujuan wisata, sebagai wujud kebutuhan dasar untuk berekreasi maupun khususnya dalam mengenal dan mencintai tanah air. Sapta pesona, sebagaimana disinggung di atas adalah : “7 (tujuh) unsur pesona yang harus diwujudkan bagi terciptanya lingkungan yang kondusif dan ideal bagi berkembangnya kegiatan kepariwisataan di suatu tempat yang mendorong tumbuhnya minat wisatawan untuk berkunjung”. Ketujuh unsur Sapta Pesona yang dimaksud di atas adalah : 1. Aman, 2. Tertib, 3. Bersih, 4. Sejuk, 5. Indah, 6. Ramah,7. Kenangan. Terwujudnya ketujuh unsur Sapta Pesona dalam pengembangan kepariwisataan di daerah akan bermuara pada: (1) Meningkatnya minat kunjungan wisatawan ke destinasi. (2) Tumbuhnya iklim usaha kepariwisataan yang prospektif. (3) Meningkatnya lapangan pekerjaan dan peluang pendapatan, serta dampak ekonomi multi ganda pariwisata bagi masyarakat. Sadar Wisata dan Sapta Pesona sebagai unsur penting dalam mendukung pengembangan destinasi pariwisata tentu tidak dapat terwujud secara otomatis tanpa adanya langkah dan upaya-upaya untuk merintis, menumbuhkan, mengembangkan dan melaksanakan secara konsisten di destinasi pariwisata. Oleh karena itu, perlu ditumbuhkan peran serta masyarakat secara aktif dalam mengembangkan Sadar Wisata dan Sapta Pesona bersama-sama dengan pemangku kepentingan terkait lainnya. Dalam hal ini Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) atau kelompok penggerak pariwisata sebagai bentuk kelembagaan informal yang dibentuk anggota masyarakat (khususnya yang memiliki kepedulian dalam mengembangkan kepariwisataan di daerahnya), merupakan salah satu unsur pemangku kepentingan dalam masyarakat yang memilki keterkaitan dan peran penting dalam mengembangkan dan mewujudkan Sadar Wisata dan Sapta Pesona di daerahnya. Kelompok sadar wisata, selanjutnya disebut dengan Pokdarwis, adalah kelembagaan di tingkat masyarakat yang anggotanya terdiri dari para pelaku kepariwisataan yang memiliki kepedulian dan tanggung jawab serta berperan sebagai penggerak dalam mendukung terciptanya iklim kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya kepariwisataan serta terwujudnya Sapta Pesona dalam meningkatkan pembangunan daerah melalui kepariwisataan dan manfaatkannya bagi kesejahteraan masyarakat sekitar. Pokdarwis ini merupakan kelompok swadaya dan swakarsa masyarakat yang dalam aktivitas sosialnya berupaya untuk: (1) Meningkatkan pemahaman kepariwisataan. (2) Meningkatkan peran dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan kepariwisataan. (3) Meningkatkan nilai manfaat kepariwisataan bagi masyarakat/anggota Pokdarwis. (4) Mensukseskan pembangunan kepariwisataan. Kredibilitas Fasilitator Komunikasi akan efektif bila komunikan mengalami proses internalisasi, jika komunikan menerima pesan yang sesuai dengan sistem nilai yang di anut. Komunikan merasa memperoleh sesuatu yang bermanfaat jika pesan yang disampaikan memiliki rasionalitas yang dapat diterima. DeVito (1997) memahami kredibilitas komunikator sebagai hal penting untuk menjadikan orang lain (komunikan) percaya atau tidak percaya terhadap apa yang disampaikan komunikator. Kredibilitas penting dalam dunia pendidikan, karena ini mempengaruhi citra pendidik di depan kelas. Kredibilitas penting bagi fasilitator karena akan mempengaruhi anggota komunitas untuk menjalankan programprogram pemberdayaan. Tidak ada situasi komunikasi dimana kredibilitas tidak mempunyai pengaruh atau efek bagi komunikan. Lebih lanjut DeVito (1997) mengidentifikasi tiga aspek kualitas utama dari kredibilitas : (1) Kompetensi, mengacu pada pengetahuan dan kepakaran yang menurut khalayak dimiliki oleh komunikator; (2) Karakter, mengacu pada itikad dan perhatian komunikator kepada khalayak dan (3) Kharisma, mengacu pada kepribadian dan kedinamisan komunikator. Belch (2001) mengatakan bahwa seorang komunikator atau sumber yang kredibel sangat penting bila audiens memiliki sikap yang negatif terhadap produk, jasa, perusahaan atau isu yang tengah diangkat. Hal ini dikarenakan komunikator atau sumber yang kredibel dapat menghambat konter argumen dari audien. (1). Keahlian Seseorang yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan pengalaman disebut sebagai orang yang memiliki keahlian. Menurut Belch dan Belch (2001), keahlian adalah tingkatan dimana seorang komunikator dipresepsikan sebagai orang yang dapat memberikan penilaian yang benar dan tegas. (2). Kejujuran Kejujuran adalah tingkat kepercayaan terhadap niat komunikator dalam mengkomunikasikan penilaian yang dianggapnya paling benar.Jujur atau tidaknya sumber bergantung pada persepsi audiens tentang motivasinya dalam menyampaikan sebuah informasi. Menurut Belch dan Belch (2001) jika audiens merasa sumber bias atau memiliki kepentingan pribadi atau uang ketika menyampaikan suatu produk atau institusi, maka ia menjadi kurang persuasi dibanding orang yang dianggap tidak memiliki motif pribadi apapun. (3). Daya tarik Daya tarik bukan dilihat dari kecantikan fisik saja melainkan juga berbagai sifat dan karakter yang dimiliki oleh fasilitator, misalnya kemampuan intelektual, kepribadian, gaya hidup dan sebagainya. Seorang fasilitator memiliki nilai tambah berupa kekaguman dari banyak orang. Penampilan seseorang dalam berkomunikasi akan mempengaruhi proses komunikasi yang dilakukannya. Dalam kaitan dengan kredibilitas sumber pesan, pengaruh penampilan terutama pada kontak pertama antara sumber dan penerima pesan. (4). Keakraban Aspek ini merujuk pada pengetahuan tentang sumber yang dimiliki audien melalui terpaan media massa. Keakraban sering diabaikan oleh institusi karena mereka lebih memperhatikan aspek kesamaan dan daya tarik sumber (Belch dan Belch 2001). Ada beberapa peranan yang dilakukan oleh fasilitator dalam pemberdayaan masyarakat. Dalam suatu dimensi waktu tertentu, seorang fasilitator dapat berperan sebagai “enabler” atau “organizar” atau “educator”. Peranan ini bergerak dari satu ke lainya, sehingga ia memiliki peranan ganda.Oleh karena itu, tampak jelas, peranan yang disandang oleh fasilitator lebih sebagai seorang yang “generalist” (Nasdian 2003). Desa Wisata dengan Kawasan Ekowisata Berwawasan Lingkungan Berbasis Masyarakat Kelompok sadar wisata di Nglanggeran memiliki arah pengembangan pengelolaan wisata yang akan dilakukan sesuai dengan konsep rintisan awal bersama masyarakat yaitu: (1) Prinsip ramah lingkungan (alam dan budaya): memperdulikan daya dukung lingkungan, pelestarian SDA dan budaya masyarakat, menerapkan zonasi kawasan untuk meminimalkan kerusakan dan meningkatkan kenyamanan pengunjung, menyusun dan implementasi mekanisme monitoring untuk mengurangi ancaman kerusakan dari kegiatan pariwisata, menyusun tata kelola pengunjung (2) Prinsip Ramah Masyarakat: menggunakan konsep partisipatif dan perencanaan dari bawah, melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan implementasi, masyarakat desa sebagai pelaku dan penerima manfaat terbesar dalam pengembangan pariwisata desa, menyusun mekanisme distribusi keuntungan dari kegiatan pariwisata, menyusun mekanisme investasi pariwisata yang memprioritaskan peluang untuk warga desa (3) Prinsip Ramah Wisatawan: pelibatan masyarakat sebagai pelaku wisata, program pelatihan untuk meningkatkan SDM insan wisata, menciptakan kenyamanan pengunjung dengan menerapkan SOP pengelola soal kebersihan kesehatan keamanan, monitoring kepuasan pengunjung dan juga kepuasan masyarakat Hasil Penelitian Terdahulu Komunikasi partisipasi adalah salah satu model komunikasi program pembangunan yang melekat pada pemberdayaan masyarakat. Hasil penelitian terdahulu menjelaskan bahwa komunikasi partisipasi memiliki pengaruh terhadap kelangsungan dalam sebuah program. Saputra (2011) meneliti mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku komunikasi partisipatif fasilitator (kasus PNPM Mandiri di kota Bandar Lampung). tujuan penelitian ini adalah, (1) mendeskripsikan karakteristik, peran dan perilaku komunikasi partisipatif fasilitator (2) menganalisis hubungan karakteristik fasilitator dengan perilaku komunikasi partisipatif fasilitator, (3) menganalisis hubungan peran fasilitator dengan perilaku komunikasi partisipatif fasilitator di PNPM Mandiri di Kota Bandar Lampung. Kesimpulan penelitian ini adalah, jumlah terbesar peran fasilitator, yaitu untuk peran fasilitatif berada pada tingkatan sedang. Jumlah terbesar karakteristik fasilitator yaitu untuk pengetahuan non teknis berada pada tingkatan sedang, pendidikan nonformal dan pengetahuan teknis berada pada tingkatan tinggi, namun pengalaman berada pada tingkatan rendah. Pada perilaku komunikasi partisipatif, seluruh jumlah terbesar fasilitator untuk pemberian akses, dialog penyelesaian tugas kelompok, dialog pemeliharaan kelompok, dan refleksi aksi berada pada tingkatan yang tinggi. Karakteristik fasilitator yang meliputi pengalaman, pengetahuan nonteknis, pengetahuan teknis, dan pendidikan nonformal memiliki hubungan terhadap perilaku komunikasi partisipatif fasilitator. Peran fasilitatif fasilitator juga memiliki hubungan terhadap perilaku komunikasi partisipatif fasilitator. Mulyasari (2009) meneliti tentang Komunikasi Partisipatif Warga Pada Bengkulu Regional Development Project (BRDP). Penelitian ini bertujuan untuk: a) Menganalisis komunikasi partisipatif yang terjadi dalam proses kegiatan BRDP, b) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi partisipatif antara warga dan agen pendamping (fasilitator) dalam kegiatan BRDP, dan c) Menganalisis tingkat kepuasan yang dirasakan warga sebagai dampak dari komunikasi partisipatif dalam kegiatan BRDP. Komunikasi partisipatif warga pada tahap perencanaan berhubungan nyata dengan peubah kemampuan. Kemampuan yang rendah menyebabkan komunikasi partisipatif yang diharapkan dapat berjalan antara pengurus UPKD dan warga tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Kemampuan yang rendah mengakibatkan rendahnya kemauan warga untuk dapat berpartisipasi pada kegiatan BRDP. Mereka tidak memiliki kepercayaan diri dan keberanian untukmemberikan pertanyaan, masukan atau pendapat kepada pengurus UPKD, sedangkan pengurus UPKD telah memberikan kesempatan dan memotivasi warga agar dapat berpartisipasi. Komunikasi partisipatif warga pada tahap pelaksanaan juga berhubungan nyata dengan peubah kemampuan. Pengurus UPKD telah memberikan kesempatan kepada warga untuk dapat memberikan pertanyaan, pendapat dan saran terkait dengan kegiatan BRDP di Desa Pondok Kubang. Tetapi dengan rendahnya pendidikan, pengalaman, dan modal yang dimiliki oleh warga maka warga merasa tidak memiliki kemampuan untuk berpartisipasi pada kegiatan BRDP. Kemampuan yang rendah menyebabkan kemauan mereka untuk berpartisipasi juga semakin tidak ada. Mereka hanya bisa menjadi pendengar pasif dan komunikasi partisipatif yang diharapkan dapat berjalan antara pengurus UPKD dan warga tidak dapat berjalan dengan baik Muchlis (2009) meneliti tentang Analisis Komunikasi Partisipatif dalam Program Pemberdayaan Masyarakat: Studi kasus pada Implementasi Musyawarah dalam PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Teluk, Kecamatan Pemayung, Kabupaten Batang Hari. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan peran fasilitator dalam aktivitas PNPM MPd, mengungkapkan makna kredibilitas fasilitator menurut perspektif partisipan dan pelaku PNPM MPd serta menganalisis proses komunikasi yang berlangsung antara fasilitator dan partisipan pada aktivitas PNPM MPd dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Berbagai musyawarah dalam PNPM MPd yang peneliti ikuti dan fakta empirik di lapangan memberikan penjelasan bahwa, RTM juga tidak memiliki peluang dalam berpartisipasi. Hal ini ditandai dengan RTM selalu tidak menerima undangan untuk kegiatan PNPM MPd. Dengan demikian peluang RTM dalam pengambilan keputusan juga tidak ada karena musyawarah selalu didominasi oleh elit desa dan fasilitator. Komunikasi partisipatif yang mengakomodir keberagaman (heteroglasia) baik dari perspektif ekonomi maupun gender belum terimplementasi secara baik. RTM dan kelompok perempuan tidak dilibatkan dalam proses komunikasi pada aktivitas PNPM MPd. Sebagai sebuah program yang mengusung isu pemberdayaan, PNPM MPd mestinya menjadikan setiap aktivitasnya sebagai proses untuk “membantu partisipan” terutama RTM dan kelompok perempuan memperoleh “kuasa” untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan terkait dengan diri mereka. Konsep heteroglasia selalu mengajak kita untuk membawa agar sistem pembangunan mestinya selalu dilandasi dan menghargai keberagaman oleh berbagai kelompok dan komunitas yang berbeda baik dari variasi ekonomi, sosial, agama dan faktor budaya yang saling mengisi satu sama lain. Dialog sebagai ciri komunikasi partisipatif juga belum terjadi pada berbagai musyawarah dalam PNPM MPd. Hal ini dapat dilihat dimana program belum menjamin dan memberikan setiap orang memiliki hak yang sama untuk berbicara atau untuk didengar. Kesan yang ditangkap dalam musyawarah tersebut, forum adalah “pengumuman” dari pelaku PNPM MPd sebagai perpanjangan tangan pemerintah bukan musyawarah yang selalu mengedepankan dialog. Partisipan terkondisikan oleh situasi dimana mereka harus menyepakati misi yang dibawa oleh pelaku PNPM MPd dari pemerintah. Partisipan tidak diberi kesempatan mempertanyakannya sehingga kesadaran kritis yang diharapkan muncul dari proses musyawarah tidak terjadi. Esensi dari dialog adalah mengenal dan menghormati pembicara lain atau suara lain sebagai subjek yang otonom, tidak hanya sebagai objek komunikasi. Satriani (2011) meneliti tentang Komunikasi Partisipatif pada Program Pos Pemberdayaan Keluarga: Studi kasus di RW 05 Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor Barat. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis peran pendamping, perangkat kelurahan dan tokoh masyarakat dalam kegiatan Posdaya, menganalisis komunikasi partisipatif yang terjadi dalam kegiatan Posdaya, menganalisis dampak komunikasi partisipatif dalam kegiatan Posdaya bagi masyarakat serta menganalisis respons masyarakat terhadap kehadiran Posdaya. Komunikasi partisipatif yang terjadi dalam kegiatan Posdaya Kenanga meliputi meliputi akses, heteroglasia, poliponi, dialog dan karnaval. Kader di Posdaya Kenanga memiliki akses yang sama untuk berpartisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi serta pengambilan keputusan. Akses yang terlihat di Posdaya Kenanga adalah semua kader diundang untuk menghadiri rapat rencana kerja Posdaya Kenanga dan rapat evaluasi. Konsep heteroglasia terlihat dari latar belakang pendidikan, pekerjaan, usia yang berbeda serta kesetaraan gender. Memiliki keberagaman kader, meningkatkan saling menghargai sesama kader. Poliponi terjadi karena keterbukaan dalam penyampaian suara memberikan hak yang sama kepada kader tanpa ada penekanan atas pandangan kader yang satu dengan pandangan yang lain. Interupsi dalam rapat merupakan bentuk tidak adanya intervensi atau penekanan dan pemaksaan dalam menyampaikan pendapat maupun saran. Mengutarakan jawaban, pendapat, masukan, kritik serta ide antara kader dan pendamping tidak ada pembatas, antara kader dan pendamping sejajar sehingga tidak ada yang merasa “digurui” ataupun “menggurui.” Dialog dalam menyelesaikan atau mengatasi hambatan atau kendala dilakukan untuk mencari kesepakatan antara sesama kader. Melalui dialog terjadi saling menghargai dan saling memiliki kegiatan dalam Posdaya Kenanga sehingga menimbulkan rasa tanggung jawab sesama kader untuk menyelesaikan permasalahan. Konsep karnaval pada Posdaya Kenanga dilakukan oleh bidang kesehatan, ekonomi, dan lingkungan. Berdasarkan beberapa referensi dari penelitian terdahulu, maka diperoleh sintesa bahwa perbedaan konsep penelitian dari berbagai penelitian terdahulu disebabkan oleh sumber referensi yang digunakan peneliti, fokus obyek penelitiannya serta sudut pandang dari masing-masing peneliti. Keadaan tersebut melahirkan banyak variasi hasil penelitian tentang komunikasi partisipatif pada program pembangunan. Peneliti menyimpulkan dari berbagai variasi hasil penelitian terdahulu bahwa komunikasi partisipatif merupakan komunikasi dua arah yang dilakukan dengan menggunakan dialog untuk menampung aspirasi dan merefleksikannya dalam tindakan nyata. Kegiatan tersebut difasilitasi oleh komunikator pembangunan dalam wadah kelompok, tetapi dalam penelitian terdahulu belum ada yang menjadikan kelompok sebagai responden. Peneliti melihat bahwa komunikasi partisipatif yang terjadi yaitu dialog, aspirasi dan refleksi-aksi merupakan proses komunikasi yang terjadi dalam kelompok dan sulit untuk melihat proses komunikasi tersebut bila hanya melihat dari persepsi masing-masing anggota kelompok. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini menggunakan kelompok sebagai responden untuk melihat proses komunikasi partisipatif (dialog, voice dan refleksi-aksi) secara utuh. Kelompok sadar wisata yang ada di Nglanggeran dan kelompok dalan penelitian terdahulu bersumber dari program yang berbeda-beda, sehingga karakteristik masing-masing kelompokpun berbeda. Berdasarkan hal tersebut maka karakteristik kelompok perlu dianalisis dalam hubungannya dengan komunikasi partisipatif yang berjalan. Kerangka Penelitian Komunikasi partisipatif adalah bentuk komunikasi pada suatu kegiatan yang berdasar kepada keterlibatan masyarakat dalam setiap tahapan pelaksanaanya. Tahapan komunikasi partisipatif diawali dengan penggalian ide, perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi dan pengawasan. Komunikasi partisipatif oleh kelompok sadar wisata dipengaruhi oleh karakteristik individu, kredibilitas fasilitator, dan dukungan kelembagaan. Karakteristik individu merupakan ciri-ciri yang melekat pada seseorang terdiri dari umur, pendidikan, pekerjaan, dan motivasi. Kredibilitas fasilitator merupakan suatu tingkat kepercayaan sampai sejauh mana fasilitator dapat dipercaya oleh responden. Tingkat kepercayaan ini penting karena pada umumnya orang lebih dulu melihat siapa yang membawa pesan sebelum akhirnya dapat menerima pesan yang akan disampaikan. Kredibilitas fasilitator terdiri dari kejujuran, keahlian, daya tarik, dan keakraban. Dukungan kelembagaan merupakan suatu upaya memenuhi kebutuhan yang diberikan oleh pihak yang berhubungan langsung terhadap kegiatan komunikasi partisipatif kelompok sadar wisata. Dukungan kelembagaan ini meliputi modal, sarana, dan prasarana. Komunikasi partisipatif dilaksanakan oleh kelompok sadar wisata (Pokdarwis). Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) terdiri dari Karang Taruna Bukit Putra Mandiri, Pemerintah Desa, kelompok tani, ibu-ibu PKK, dan pemilik rumah singgah, memiliki tujuan yang sama dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran. Komunikasi partisipatif memiliki prinsip yaitu adanya sebuah dialog, aspirasi, serta aksi dan refleksi dari suatu kegiatan. Dialog merupakan bentuk proses komunikasi yang terjadi antara partisipan sebagai pelaku kegiatan dalam sebuah program dengan ciri memberikan hak yang sama dalam memberikan suara dalam pertemuan tersebut, saling menghormati dan menghargai pendapat dalam sebuah forum kegiatan. Aspirasi adalah ide-ide masyarakat yang tergali serta kehendak masyarakat yang diangkat dalam ruang pertemuan. Aksi dan refleksi adalah bentuk kegiatan yang dilakukan yang merupakan aksi komunikatif yang dilakukan pada program sehingga memiliki komitmen yang sama dalam pelaksanaannya. Proses komunikasi partisipatif oleh kelompok sadar wisata diduga menentukan keberhasilan dalam upaya pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran. Upaya pengelolaanya adalah prinsip ramah lingkungan (alam dan budaya), ramah masyarakat, dan ramah wisatawan. Pendekatan komunikasi partisipatif dengan menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan, diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat untuk mewujudkan masyarakat yang maju, mandiri dan sejahtera. Kerangka berpikir penelitian ini disajikan pada Gambar 1. (X1) Karakteristik Individu X1.1. Umur X1.2.Tingkat Pendidikan X1.3. Motivasi (X2) Kredibilitas Fasilitator X2.1. Tingkat Kejujuran X2.2. Tingkat Keahlian X2.3. Daya Tarik X2.4. Keakraban (X3) Dukungan Kelembagaan X3.1. Modal X3.2. Sarana X3.3. Prasarana (Y1) Komunikasi Partisipatif Kelompok Sadar Wisata Y1.1. Dialog Y1.2. Aspirasi Y1.3. Aksi dan refleksi (Y2) Pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran Y2.1. Prinsip ramah lingkungan (alam dan budaya ) Y2.2. Tingkat keramahan masyarakat Y2.3. Tingkat keramahan wisatawan Gambar 1. Kerangka pemikiran komunikasi partisipatif kelompok sadar wisata dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dirumuskan, maka disusun hipotesis penelitian ini sebagai berikut: (1) : Terdapat hubungan nyata antara karakteristik individu, kredibilitas fasilitator, dan dukungan kelembagaan dengan komunikasi partisipatif kelompok sadar wisata. (2) : Terdapat hubungan nyata antara komunikasi partisipatif kelompok sadar wisata dengan pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran. METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif didesain menggunakan deskriptif yang bertujuan untuk merangkum berbagai kondisi situasi ataupun berbagai variabel yang timbul di tempat penelitian. Jenis penelitian deskriptif bersifat korelasional yaitu menjelaskan dan mempelajari hubungan dua variabel atau lebih yang dinyatakan dengan derajat hubungan variabel dalam satu indeks yang dinamakan koefisien korelasi (Sugiyono 2011). Pendekatan kualitatif digunakan untuk menangkap dan mendeskripsikan realita di lapangan yang bisa melengkapi data dari pendekatan kuantitatif. Penelitian ini mempunyai tujuan menganalisis dan mendeskripsikan hubungan antara variabel penelitian. Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel terikat dan variabel bebas. Variabel terikat adalah komunikasi partisipatif dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran, sedangkan variabel bebas terdiri dari karakteristik individu, kredibilitas fasilitator, dan dukungan kelembagaan. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lokasi wisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Desa Nglanggeran, Provinsi DI Yogyakarta mulai Desember – Januari 2016. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive dengan pertimbangan lokasi penelitian tersebut merupakan tempat wisata yang berdiri atas aspirasi dan usaha dari kelompok sadar wisata Desa Nglanggeran. Disamping itu wisata Gunung Api Nglanggeran merupakan wisata unggulan Daerah Istimewa Yogyakarta dan banyak dikunjungi wisatawan karena keunikannya. Aspirasi dan partisipasi masyarakat di Desa Nglanggeran dalam mengelola tempat wisata menjadi hal yang menarik untuk diteliti khususnya dalam aspek komunikasi partisipatif. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi pada penelitian ini adalah seluruh warga yang aktif tergabung dalam kelompok sadar wisata Gunung Api Purba Desa Nglanggeran. Pengambilan data dilakukan dengan cara Purposive sampling. Teknik Purposive sampling merupakan proses pengambilan sampel dengan menentukan kriteria tertentu berdasarkan tujuan – tujuan dilakukan penelitian asalkan tidak menyimpang dari ciri – ciri sampel yang ditetapkan. Kriteria yang ditentukan antara lain: tingkat keaktifan anggota berdasarkan persentase kehadiran dalam setiap kegiatan. Jumlah responden yang diambil sebagai sampel ditentukan berdasarkan rumus Slovin dengan tingkat kesalahan 5% diperoleh perhitungan sebagai berikut: n : Jumlah sampel N: Jumlah Populasi e : Batas Toleransi Kesalahan 76 = 63,8655 = 64 orang n 1  76(0,05) 2 Dari anggota Pokdarwis sebanyak 76 orang yang berada di Desa Nglanggeran, didapatkan sampel penelitian minimal sebanyak 64 orang yang dapat dijadikan responden. Penelitian ini diperkuat dengan data kualitatif yang diambil dari informan, informan terdiri dari tokoh desa, dan masyarakat sekitar yang tidak termasuk kedalam kelompok sadar wisata namun memiliki pengetahuan yang cukup informatif dalam memberikan data. Data dan Instrumen Penelitian Data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari responden. Data primer dalam penelitian ini meliputi : (1) Karakteristik individu yang terdiri dari umur, pendidikan, pekerjaan, dan motivasi. (2) Kredibilitas fasilitator terdiri dari tingkat kejujuran, tingkat keahlian, daya tarik, keakraban. (3) Dukungan kelembagaan terdiri dari modal, sarana dan prasarana. (4) Komunikasi partisipatif kelompok sadar wisata terdiri dari dialog, aspirasi, aksi dan refleksi. (5) Pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran terdiri dari prinsip ramah lingkungan (alam dan budaya), ramah masyarakat, ramah wisatawan. Selain dari data kuisioner, juga data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari literatur dan dokumen-dokumen yang telah diarsipkan dan berhubungan dengan penelitian seperti profil Pokdarwis, dan profil Desa. Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan metode : (1) Studi kepustakaan yaitu pengumpulan data dan informasi melalui berbagai sumber bacaan seperti buku-buku, majalah, surat kabar dan sumber bacaan lainnya yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. (2) Studi lapangan yang terdiri dari : a) Wawancara yaitu mengadakan tanya jawab dengan masyarakat setempat dan kelompok sadar wisata sebagai pengelola yang berhubungan dengan penelitian ini b) Oberservasi, yaitu mengadakan pengamatan secara langsung pada subyek penelitian untuk menguji kebenaran jawaban responden pada kuesioner c) Dokumentasi yaitu mengadakan penelitian terhadap data-data yang telah didokumentasikan Definisi Operasional Definisi operasional dari variabel yang digunakan dalam penelitian ini seperti ditunjukan pada Tabel 1-5. Tabel 1. Karakteristik individu (X1) No. 1. Indikator Umur 2. Tingkat Pendidikan 3. Motivasi Definisi Operasional Usia responden hidup pada waktu penelitian dilaksanakan, yang diukur dalam satuan tahun dengan pembulatan ke ulang tahun terdekat Tingkatan responden dalam menempuh sekolah dari awal hingga penelitian berlangsung Dorongan yang timbul dari diri responden untuk aktif mengikuti kelompok sadar wisata Parameter 1. Diukur berdasarkan lama hidup responden sejak dilahirkan hingga penelitan berlangsung 1. Diukur berdasarkan tingkatan pendidikan formal dari jenjang awal sampai jenjang pendidikan terakhir Indikator 1. Muda ( 15 – 25 ) 2. Dewasa ( 26 – 45 ) 3. Tua ( 46 - 60 ) 1. Rendah ( Tidak Sekolah ) 2. Sedang ( SD – SMP ) 3. Tinggi ( SMA – Sarjana) 1. Diukur berdasarkan tingkat kekuatan keinginan bergabung dalam kelompok sadar wisata 1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi Parameter 1. Diukur berdasarkan kemampuan fasilitator dalam berbicara apa adanya, keterbukaan informasi, memegang amanah 1. Penilaian responden yang memiliki kemampuan dan pengetahuan yang memadai tentang desa wisata Indikator 1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi Tabel 2. Kredibilitas Fasilitator (X2) No. 1. Indikator Kejujuran Definisi Operasional Tingkat kepercayaan yang dimiliki oleh fasilitator 2. Keahlian Kemampuan yang dimiliki oleh fasilitator baik dari pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman dalam bidang pengelolaan wisata Kemampuan sifat dan karakter fasilitator yang diminati oleh responden mencakup kemampuan intelektual, kepribadian, gaya hidup dan lainnya Kemampuan fasilitator dalam bersosialisasi dengan responden 3. 4. Daya Tarik Keakraban 1. Diukur berdasarkan tingkat minat responden terhadap fasilitator 1. Diukur berdasarkan tingkat kedekatan fasilitator dengan responden dalam berinteraksi 1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi 1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi 1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi Tabel 3. Dukungan Kelembagaan (X3) No. 1. Indikator Modal 2. Sarana 3. Prasarana Definisi Operasional Dana yang menjadi awalan dalam membetuk kelompok sadar wisata Segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat dalam mencapai maksud atau tujuan. Segala sesuatu yang merupakan penunjang utama terselenggaranya suatu proses. Parameter 1. Diukur berdasarkan tingkat kecukupan dana dalam mendukung berlangsungnya kegiatan wisata 1. Diukur berdasarkan ketersediaan alat 1. Diukur berdasarkan akses pendukung di Desa Wisata Indikator 1. Tidak Tercukupi 2. Tercukupi 3. Sangat Tercukupi 1. Tidak Tercukupi 2. Tercukupi 3. Sangat Tercukupi 1. Tidak Tercukupi 2. Tercukupi 3. Sangat Tercukupi Tabel 4. Komunikasi Partisipatif Kelompok Sadar Wisata (Y1) No. 1. Indikator Dialog 2. Aspirasi 3. Aksi dan refleksi Definisi Operasional Keaktifan responden dalam bertukar pendapat untuk merefleksikan masalah dan kebutuhan di Desa wisata Kemampuan anggota dalam menyampaikan ide maupun pendapat dalam setiap pertemuan dan kegiatan Kemampuan responden dalam bekerjasama dan melakukan tindakan kolektif lainnya Parameter 1. Diukur berdasarkan tingkat keaktifan responden untuk berpendapat dalam setiap pertemuan kelompok 1. Diukur berdasarkan tingkat keaktifan responden dalam mengungkapkan ide pendapat 2. Diukur berdasarkan tingkat keaktifan anggota dalam bentuk tindakan kolektif (gotong royong, kerja bakti, pertemuan kelompok) Indikator 1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi 1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi 1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi Tabel 5. Pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran (Y2) No. 1. Indikator Prinsip ramah lingkungan ( alam dan budaya ) 2. Tingkat keramahan masyarakat 3. Tingkat keramahan wisatawan Definisi Operasional Parameter Kesadaran anggota 1. Diukur berdasarkan tingkat dalam menerapkan rasa rasa mencintai lingkungan cinta kepada lokasi desa wisata Penerimaan masyarakat 1. Tingkat penerimaan dalam bersosialisasi responden dalam menciptakan antara sesama kerukunan antar masyarakat penduduk desa Penerimaan masyarakat 1. Tingkat penerimaan dalam bersosialisasi responden dalam menciptakan dengan pengunjung kenyamanan pengunjung wisata Indikator 1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi 1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi 1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi Validitas Instrumentasi Pengujian validitas instrumen diperlukan untuk mendapatkan data sesuai dengan tujuan penelitian. Upaya yang dilakukan untuk memperoleh validitas instrumen yang baik dilakukan dengan konsultasi dengan ahli yang menguasai materi pertanyaan yang ditanyakan, dan pertanyaan diuji coba dengan peserta yang memiliki karakteristik yang sama pada daerah lain yang akan diambil sampel. Suatu instrumen dikatakan layak untuk digunakan dalam pengukuran apabila telah memenuhi syarat dalam validitas (kesahihan) dan reliabilitas (keterandalan). Untuk keperluan uji validitas dan reliabilitas dilakukan uji coba terhadap Kelompok Karang Taruna di desa wisata Goa Pindul Gunung Kidul Yogyakarta. Kelompok tersebut dipilih berdasarkan kemiripan karakteristik dengan desa wisata Gunung Api Purba Nglanggeran. Responden yang dilakukan uji coba terdiri dari 10 responden. Dalam penelitian ini, uji validitas yang digunakan adalah korelasi produk momen (product moment correlation). Reliabilitas Instrumentasi Reliabilitas menunjukkan kepercayaan suatu alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik (Arikunto 2005). Reliabilitas (keterandalan) instrumen dilakukan dengan cara uji kuesioner. Hal tersebut dilakukan untuk memperkuat keterandalan instrumen kuesioner dengan cara mengoptimalkan keragaman kesalahan dengan mengungkapkan pertanyaan secara tepat, memberikan pertanyaan pendukung dengan satu pertanyaan yang sama dan mutunya, serta memberikan petunjuk pengisisan kuesioner secara tepat dan jelas. Untuk mencapai reliabilitas alat ukur yang maksimal maka akan dilakukan penyempurnaan instrumen melalui pengujian dengan menggunakan rumus Cronbach Alpha (Riduan 2004) sebagai berikut : r11  (k )(1 ï€ ïƒ¥ Si) (k ï€ 1)(St) keterangan : r11 = nilai reliabillitas k = jumlah item Æ©si = jumlah varian skors St = Varian total Berdasarkan hasil analisis statistik dengan menggunakan SPSS versi 21 terhadap seluruh instrumen terhadap 64 responden mendapatkan angka 0,574 seperti yang tersaji pada Tabel 1. Artinya alat ukur yang digunakan untuk mengambil data di lapangan adalah cukup reliabel. Kuesioner yang diberikan kepada 64 responden berisikan semua pertanyaan yang diharapkan dapat mendapatkan dan menggali informasi dari responden sesuai dengan tujuan penelitian yang dilakukan. Setelah mengadakan uji validitas terhadap masing-masing pertanyaan dalam kuesioner, hasilnya adalah valid. Pengujian reliabilitas dengan menggunakan uji Cronbach Alpha untuk menentukan apakah setiap instrumen reliabel atau tidak, yakni dengan skala 0 sampai dengan 1. Interpretasi reliabilitas instrumen adalah sebagai berikut : (1). Nilai alpha Cronbach 0,00 – 0,20 = kurang reliabel/diabaikan (2). Nilai alpha Cronbach 0,21 – 0,40 = agak reliabel (3). Nilai alpha Cronbach 0,41 – 0,60 = cukup reliabel (4). Nilai alpha Cronbach 0,61 – 0,80 = reliabel (5). Nilai alpha Cronbach 0,81 – 1,00 = sangat reliabel (Arikunto 2005) Dari nilai Tabel 1 terlihat bahwa nilai Cronbach Alpha dari semua peubah lebih besar dari 0,5 Ini berarti bahwa semua peubah yang digunakan pada kuesioner cukup reliabel. Analisis Data Analisis data menggunakan analisis statistik deskriptif dan inferensial. Analisis statistik deskriptif menggunakan frekuensi dan persentase untuk menganalisis deskripsi dari variabel karakteristik individu, kredibilitas fasilitator, dukungan kelembagaan, komunikasi partisipatif, dan pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran. Analisis inferensial yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis korelasi rank Spearman. Korelasi rank Spearman digunakan untuk menganalisis hubungan antar variabel yang memiliki data ordinal dengan ordinal. Rumus koefisien rank Spearman adalah sebagai berikut: 6d 2 rho  1 ï€ N ( N 2 ï€ 1) Keterangan: Rs (rho) : Koefisien korelasi rank Spearman 1 : Bilangan konstan 6 : Bilangan konstan d :Perbedaan antara pasangan jenjang Σ : Sigma atau jumlah N : Jumlah individu dalam sampel Analisis kualitatif dilakukan sejak dari pengumpulan data di lapangan, berupa observasi dan wawancara mendalam. Analisis data yang dilakukan meliputi mereduksi data, meyajikan data dan membuat kesimpulan. Proses mereduksi data dimulai dengan memilih dan menyederhanakan data dengan merangkum data yang penting sesuai dengan fokus penelitian maupun yang menguatkan data kuantitatif. Langkah selanjutnya, data yang telah direduksi dan dipilih berdasarkan kategorinya disajikan dalam bentuk kalimat kutipan maupun kalimat yang tertera dalam interpretasi data kuantitatif. Data kualitatif di sini berfungsi untuk menguatkan data dan memberikan penjelasan lebih mendalam pada data kuantitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Wilayah Kabupaten Gunungkidul terletak antara 7o 46’- 8o 09’ Lintang Selatan dan 110o 21’ - 110o 50’ Bujur Timur, yang berbatasan dengan Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah di sebelah utara. Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah di sebelah timur. Samudra Indonesia di sebelah selatan dan Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta di sebelah barat. Luas wilayah Kabupaten Gunungkidul tercatat 1.485,36 Km2 yang meliputi 18 kecamatan dan 144 desa/kelurahan. Kecamatan Semanu merupakan kecamatan terluas dengan luas sekitar 108,39 Km2 atau sekitar 7,30 persen luas Kabupaten Gunungkidul. Kabupaten Gunungkidul terdiri dari 18 kecamatan dan 144 desa, yaitu Kecamatan Panggang, Purwosari, Paliyan, Saptosari, Tepus, Tanjungsari, Rongkop, Girisubo, Semanu, Ponjong, Karangmojo, Wonosari, Playen, Patuk, Gedangsari, Nglipar, Ngawen dan Semin. Dari 144 desa, 16 desa masuk klasifikasi Swasembada dan 128 desa masih Swadaya. Jumlah penduduk Kabupaten Gunungkidul tahun 2014 berdasarkan hasil Estimasi Sensus Penduduk 2010, berjumlah 698.825 jiwa yang tersebar di 18 kecamatan dan 144 desa, dengan jumlah penduduk terbanyak yaitu Kecamatan Wonosari dengan 81.493 jiwa. Secara keseluruhan jumlah penduduk perempuan lebih banyak daripada penduduk laki-laki, yang tercermin dari angka rasio jenis kelamin 93,63. Penduduk Usia Kerja didefinisikan sebagai penduduk yang berumur 15 tahun ke atas. Penduduk Usia Kerja terdiri dari Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja. Mereka yang termasuk dalam Angkatan Kerja adalah penduduk yang bekerja atau yang sedang mencari pekerjaan, sedangkan Bukan Angkatan Kerja adalah mereka yang bersekolah, mengurus rumahtangga atau melakukan kegiatan lainnya. Dilihat dari status pekerjaan utama, sebagian besar penduduk Kabupaten Gunungkidul bekerja sebagai pekerja keluarga sekitar 28,14 persen dari jumlah penduduk yang bekerja, sedangkan yang berusaha dengan dibantu buruh tetap masih sangat sedikit yaitu hanya sekitar 2,05 persen. Berdasarkan data Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Gunungkidul, jumlah pencari kerja pendaftar baru di Kabupaten Gunungkidul tahun 2014 sebanyak 2.219 orang atau mengalami penurunan yang cukup signifikan yakni hampir mencapai 44 persen bila dibandingkan dengan tahun 2013. Gunung Api Purba Nglanggeran terletak di kawasan Baturagung di bagian utara Kabupaten Gunungkidul dengan ketinggian antara 200-700 mdpl, tepatnya di Desa Nglanggeran Kecamatan Patuk dengan luas 72,04 km2 yang memiliki jarak tempuh 22 km dari kota Wonosari. Wilayah Desa Nglanggeran memiliki luas 762,0990 ha dengan tata guna lahan sebagian besar digunakan untuk lahan pertanian, perkebunan, ladang dan pekarangan. Pola pemilikan tanah tersebut didominasi oleh tanah kas desa. Kawasan ini merupakan kawasan yang litologinya disusun oleh material vulkanik tua dan bentang alamnya memiliki keindahan dan secara geologi sangat unik dan bernilai ilmiah tinggi. Memiliki geografis lereng dan kemiringan lahan curam (BPS 2015). Jarak Desa Nglanggeran dari ibukota kecamatan adalah 4 km, 20 km dari ibukota kabupaten dan berjarak 25 km dari ibukota propinsi. Batas administratif Nglanggeran adalah: 1. Sebelah Utara : Desa Ngoro – oro 2. Sebelah Timur : Desa Nglegi 3. Sebelah Selatan : Desa Putat 4. Sebelah Barat : Desa Salam Desa Nglanggeran terdiri dari 5 dusun/pedukuhan yaitu Dusun Karangsari, Dusun Doga, Dusun Nglanggeran Kulon, Dusun Nglanggeran Wetan dan Dusun Gunungbutak. Pusat pemerintahan desa terletak di Dusun Doga. Terdapat potensi pariwisata di Desa Nglanggeran yaitu adanya Gunung Nglanggeran dan kini lebih dikenal dengan sebutan Gunung Api Purba. Secara fisiografi Gunung Api Purba Nglanggeran terletak di Zona Pegunungan Selatan Jawa Tengah-Jawa Timur (Van Bemmelen 1949) atau tepatnya di Sub Zona Pegunungan Baturagung (Baturagung Range) dengan ketinggian 700 meter dari permukaan laut dan kemiringan lerengnya curam-terjal (>45%). Gunung Nglanggeran berdasarkan sejarah geologinya merupakan gunung api purba yang berumur tersier (Oligo- Miosen) atau 0,6 – 70 juta tahun yang lalu. Material batuan penyusun Gunung Nglanggeran merupakan endapan vulkanik tua berjenis andesit (Old Andesite Formation). Jenis batuan yang ditemukan di Gunung Nglanggeran antara lain breksi andesit, tufa dan lava bantal. Singkapan batuan vulkanik klastik yang ditemukan di Gunung Nglanggeran kenampakannya sangat ideal dan oleh karena itulah maka, satuan batuan yang ditemukan di Gunung tersebut menjadi lokasi tipe (type location) dan diberi nama Formasi Geologi Nglanggeran. Beberapa bukti lapangan yang menunjukkan bahwa dahulu pernah ada aktivitas vulkanis adalah banyaknya batuan sedimen vulkank klastik seperti batuan breksi andesit, tufa dan adanya aliran lava andesit di Gunung Nglanggeran. Bentuk kawah Gunung Api Purba Nglanggeran dapat ditemukan di puncak Gunung Nglanggeran. Selain potensi gunung api purbanya, di Kawasan Gunung Api Purba Nglanggeran juga dijumpai fauna dan flora langka, seperti tanaman tremas (tanaman obat yang hanya hidup dikawasan ekowisata Gunung Api Purba), kera ekor panjang serta di sekitar Gunung Api Purba berkembang kegiatan seni dan budaya lokal seperti bersih desa dll. Dengan adanya potensi tersebut di Desa Nglanggeran juga pengembangan desa wisata. Kelompok Sadar Wisata Ada beberapa peranan yang dilakukan oleh fasilitator dalam pemberdayaan masyarakat. Pada suatu dimensi waktu tertentu, seorang fasilitator dapat berperan sebagai “enabler” atau “organizar” atau “educator”. Peranan ini bergerak dari satu ke lainya, sehingga ia memiliki peranan ganda, oleh karena itu tampak jelas peranan yang disandang oleh fasilitator lebih sebagai seorang yang “generalist”. (Nasdian 2003). Pokdarwis Nglanggeran merupakan organisasi pengelola dan juga sebagai fasilitator program Pemerintah. Cikal bakal berdiri berasal dari Karang Taruna Bukit Putra Mandiri pada tahun 1999 di Desa Nglanggeran, Patuk, Gunungkidul yang mulai merintis kawasan wisata. Terjadi regenerasi Karang Taruna pada tahun 2006 setelah gempa dan lebih aktif dalam pengembangan kegiatan kepariwisataan. Terjadi perkembangan signifikan, sehingga perlu adanya wadah khusus, dan akhirnya pada tahun 2007 bermunculan ide kreatif para pemuda Desa Nglanggeran yang mulai membenahi dan menata kawasan ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran secara swadaya dengan membangun jalur pendakian, fasilitas MCK (mandi, cuci, kakus), serta gubuk-gubuk peristirahatan pendakian. Upaya mengembangkan kawasan tersebut mereka membuat wadah yang bernama Pokdarwis (kelompok sadar wisata) yang terdiri dari unsur Karang Taruna Bukit Putra Mandiri, Pemerintah Desa, tokoh masyarakat, kelompok tani, ibu-ibu PKK, maupun pemilik homestay, pedagang, dan unsur pemuda sebagai motor penggeraknya. Kegiatan yang dilakukan meliputi kegiatan-kegiatan sosial, pendidikan, ekonomi produktif, pariwisata dan seni budaya, lingkungan hidup, kepemudaan, humas dan kemitraan yang ada di Desa Nglanggeran. Pokdarwis memiliki visi menjadi desa wisata unggulan dengan kawasan ekowisata berwawasan lingkungan dan berbasis masyarakat. Misi dari Pokdarwis adalah melindungi lingkungan di kawasan ekowisata Gunung Api Purba, baik kebudayaan, flora, fauna, dan juga keunikan batuannya. Melibatkan masyarakat sebagai pelaku dan pengelola desa wisata dan kawasan ekowisata, meningkatkan lama tinggal wisatawan di Kabupaten Gunungkidul, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pokdarwis merupakan fasilitator program pemerintah dan selalu melibatkan masyarakat sebagai pelaku kegiatan pariwisata, kelompok tani sebagai narasumber pelatihan pertanian, kelompok PKK sebagai penyedia kuliner dan paket belajar olahan kuliner, kelompok homestay sebagai penyedia penginapan, kelompok kesenian sebagai penyambut tamu dan paket belajar kesenian, pemuda sebagai pemandu wisata dan pengelola desa wisata bersama Pokdarwis, dan kegiatan masyarakat ini didukung dengan baik oleh pemerintah desa dan dinasdinas terkait. Pokdarwis merupakan pengelola wisata Gunung Api Purba Nglanggeran, mereka membuat konsep pengembangan menjadi dua yaitu Desa Wisata Nglanggeran dan Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba, dan hingga kini mereka yang secara langsung ikut mengelola kawasan ini sekitar 99 orang, dengan jumlah homestay sekitar 79 buah dan sebagai tim inti berkisar 14 orang. Pada kawasan ini terdapat dua daya tarik unggulan yaitu Gunung Api Purba dan Embung Kebun Buah Nglanggeran. Ada tiga dusun inti (pendukung utama) yang terdekat dengan keberadaan Gunung Api Purba, yakni Nglanggeran Wetan, Nglanggeran Kulon, dan Gunung Butak. Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran memiliki daya tarik wisata seperti: (1) Daya Tarik Alam yang terdiri dari Gunung Api Purba dan panorama alam yang indah serta area pertanian dan persawahan di Desa Nglanggeran. Adanya Kawasan Embung (waduk mini) diatas bukit seluas 0,34 Ha untuk pengairan kebun buah seluas 20 Ha dengan pemandangan yang sangat indah. (2) Daya Tarik Budaya seperti upacara adat kirab budaya rasulan, atraksi kesenian jathilan, dan upacara adat masyarakat. Acara tersebut diadakan rutin sehingga dapat juga menambah keakraban masyarakat. Kehidupan masyarakat desa dengan aktivitas gotong royong dan ramah, budaya kenduri, karawitan serta beberapa adat lokal yang masih terjaga. (3) Daya Tarik Kerajinan seperti kerajinan kayu berupa topeng dan gelang. Kerajinan tersebut dapat disaksikan langsung proses pembuatannya oleh wisatawan, dan sekaligus wisatawan dapat belajar untuk membuatnya. Adanya paket belajar membuat kerajinan yaitu batik topeng. Paket belajar banyak diminati oleh wisatawan asing, dan wisatawan lokal seperti pelajar. (4) Daya Tarik Kuliner makanan khas dodol kakao dan Brownis Singkong. Adanya workshop pengolahan bagi wisatawan yang digunakan sebagai paket pendidikan pembuatan dodol kakao dan brownis singkong. (5) Daya Tarik Buatan seperti wahana permainan outbond, flying fox, Embung (waduk mini), paket pendidikan alam (bertani, budidaya kakao, paket cinta lingkungan). Karakteristik Individu Pokdarwis Individu yang terpilih menjadi sampel penelitian adalah seluruh warga yang tergabung dalam kelompok sadar wisata Gunung Api Purba Nglanggeran. Karakteristik individu sampel penelitian yang diamati meliputi umur,tingkat pendidikan, dan motivasi. Umur merupakan usia responden hidup pada saat penelitian dilaksanakan, yang diukur dalam satuan tahun dengan pembulatan ke ulang tahun terdekat. Umur responden pada penelitian ini memiliki kisaran dibagi menjadi tiga kategori yaitu muda 15-25 tahun, dewasa 26-45 tahun, dan tua 46-60 tahun. Pada Tabel 6 tersebut dapat dilihat bahwa kategori muda memiliki 20,3 persen, kategori dewasa 45,3 persen, dan tua 34,4 persen. Rusli (1995) menyatakan bahwa usia produktif berkisar antara 15-65 tahun, maka 99 persen responden tergolong produktif. Hal ini berarti individu yang berada pada umur produktif akan lebih mudah menerima perubahan, ide-ide dan inovasi, sehingga diharapkan dapat meningkatkan produksi dan pendapatan. Dari Tabel tersebut kategori dewasa memiliki jumlah terbanyak sebesar 45,3 persen dan termasuk dalam umur produktif dalam bekerja, sehingga diharapkan bahwa Pokdarwis dapat aktif dalam mengelola wisata Gunung Api Purba Nglanggeran. Peran golongan dewasa seperti ibu-ibu PKK untuk ikut serta terlibat dalam kenyataan di lapangan sangat penting terutama untuk penyedia kuliner, paket belajar cara membuat olahan kuliner,dan penyedia penginapan bagi turis. Wanita di wisata Gunung Api Purba Nglanggeran mampu menjadi bagian penting dari pengelolaan, tidak seperti dulu yang hanya berdiam di rumah dan tidak memiliki penghasilan, tapi kini dengan mereka terlibat dalam Pokdarwis dapat menambah penghasilan bagi keluarga. Hal tersebut diungkapkan oleh responden ibu S 40 tahun sebagai berikut: ” Turis di sini sangat suka keaslian wisatanya mas, mereka justru menikmati jadi bagian orang desa sini apa adanya. Saya masakin aja makanan apa adanya seperti apa yang biasa saya masak dan ternyata mereka suka, tapi saya gak masak yang pedas soalnya takut mereka gak terbiasa perutnya. Biasanya saya buatkan sayur lodeh, singkong rebus, tempe goreng, dan kacang rebus “ Tingkat Pendidikan Menurut Undang-Undang No. 20, Tahun 2003 pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Tingkat pendidikan adalah tingkatan responden dalam menempuh sekolah dari awal hingga penelitian berlangsung. Penelitian ini membagi tiga kategori yaitu rendah (tidak sekolah), sedang (SD-SMP), dan tinggi (SMA-Sarjana). Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa terdapat 1,6 persen pendidikan rendah, 42,2 persen pendidikan sedang, dan 56,2 persen kategori tinggi. Adanya 1,6 persen berpendidikan rendah berasal dari responden yang memiliki umur tua dan memang tidak sekolah sejak muda. Pengertian pendidikan menurut Hasbullah (2006) menyatakan bahwa pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai nilai-nilai kebudayaan dan masyarakat. Lebih lanjut Hasbullah (2006) menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.Tingkat pendidikan semakin tinggi akan membuat seseorang semakin memiliki banyak pengetahuan. Slamet (2003) menyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha untuk menghasilkan perubahan pada perilaku manusia. Pendidikan dapat membuka pikiran serta menerima hal-hal baru dan cara berpikir ilmiah sehingga diharapkan petani dapat melakukan proses belajar mengambil keputusan. Tingkat pendidikan tinggi sebesar 56,2 persen membuat Pokdarwis mampu menerima informasi baru dengan baik, pengetahuan akan sesuatu semakin tinggi, dan diharapkan mampu memiliki tingkatan hidup yang lebih sejahtera. Motivasi merupakan dorongan yang timbul dari diri responden untuk aktif mengikuti kelompok sadar wisata. Motivasi dikategorikan menjadi 3 yaitu lemah, sedang, dan kuat. Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa sejumlah 17,2 persen mempunyai motivasi rendah, 34,4 persen sedang, dan 48,4 persen tinggi. Sebagian besar Pokdarwis memiliki motivasi yang tinggi yaitu 48,4 persen disebabkan rasa kebersamaan yang tinggi untuk memajukan pengelolaan Pokdarwis. Adanya motivasi yang tinggi juga menunjang keaktifan anggota dalam setiap agenda kegiatan rutin bersama. Pokdarwis memiliki motivasi awal bersama yang kuat dimulai dari ide kreatif pemuda Karang Taruna Bukit Putra Mandiri. Menurut narasumber S umur 36 tahun mengungkapkan bahwa: “ Dulu kita sewaktu awal memulai pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran ini banyak sekali yang mencibir bahwa ngapain mengelola gunung batu, memangnya mau makan dari batu? karena pada umumnya anak muda di desa ini ingin keren dengan bekerja di kota yang lebih menjanjikan, dan penduduk yang ingin tinggal di desa lebih suka untuk menjadi petani saja. Pada awalnya kami sedikitsedikit dengan uang seadanya kami buat semacam jalur pendakian, mck, gubuk tempat peristirahatan dan mulai ada yang datang untuk berwisata. Pengunjung yang datang kami ambil tarif parkir sebesar lima ratus rupiah, dan uangnya kami gunakan untuk terus melengkapi fasilitas. Berawal dari mulut kemulut dan terus kami upayakan untuk promosi lama-lama kami bisa mendatangkan wisatawan, dan ketika kami berhasil bisa mendapatkan penghasilan dari wisata ini maka cibiran orang-orang yang mengatakan kami makan dari batu memang kami buktikan bahwa kami memang makan dari hasil mengelola batu yang tidak bernilai tapi kini sudah dapat menghidupi orang banyak dari wisata Gunung Api Purba Nglanggeran” Tabel 6 . Jumlah dan persentase karakteristik individu Pokdarwis Karakteristik kelompok Umur Muda ( 15 – 25 ) Dewasa ( 26 – 45 ) Tua ( 46 - 60 ) Jumlah Tingkat Pendidikan Rendah ( Tidak Sekolah ) Sedang ( SD – SMP ) Tinggi ( SMA – Sarjana) Jumlah Motivasi Rendah Sedang Tinggi Jumlah Jumlah Responden Persentase (%) 13 29 22 64 20,3 45,3 34,4 100 1 27 36 64 1,6 42,2 56,2 100 11 22 31 64 17,2 34,4 48,4 100 Kredibilitas Fasilitator Kredibilitas diartikan sebagai suatu tingkat sampai sejauh mana fasilitator dapat dipercaya oleh Pokdarwis. Kredibilitas penting bagi fasilitator karena akan mempengaruhi keberhasilan Pokdarwis untuk menjalankan program-program pengelolaan. Analisis terhadap kredibilitas fasilitator ditunjukan melalui empat variabel yaitu kejujuran, keahlian, daya tarik dan keakraban. Deskripsi mengenai kredibilitas fasilitator dapat dilihat pada Tabel 7. Kejujuran adalah tingkat kepercayaan terhadap niat fasilitator dalam mengkomunikasikan penilaian yang dianggapnya paling benar. Menurut Belch dan Belch (2001) jika audiens merasa sumber bias atau memiliki kepentingan pribadi atau uang ketika menyampaikan suatu produk atau institusi, maka ia menjadi kurang persuasi dibanding orang yang dianggap tidak memiliki motif pribadi apapun. Berdasarkan hasil Tabel 7, maka diketahui bahwa kejujuran sedang sebesar 54.7 persen dan kejujuran tinggi sebesar 45.3 persen. Hal ini menunjukkan bahwa peran fasilitator dalam menyampaikan informasi, dan amanah sesuai dengan program dan pelaksanaannya dilakukan secara terbuka sehingga anggota Pokdarwis akan lebih banyak mendapatkan informasi dan semakin kuat rasa percaya dengan fasilitator. Tabel 7. Jumlah dan persentase kredibilitas fasilitator Pokdarwis Kredibilitas Fasilitator Kejujuran Rendah Sedang Tinggi Jumlah Keahlian Rendah Sedang Tinggi Jumlah Daya Tarik Rendah Sedang Tinggi Jumlah Keakraban Rendah Sedang Tinggi Jumlah Jumlah Responden Persentase 0 35 29 64 0 54,7 45,3 100 0 19 45 64 0 29,7 70,3 100 0 17 47 64 0 26,6 73,4 100 0 21 43 64 0 32,8 67,2 100 Seseorang yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan pengalaman disebut sebagai orang yang memiliki keahlian. Menurut Belch dan Belch (2001), keahlian adalah tingkatan dimana seorang fasilitator dipersepsikan sebagai orang yang dapat memberikan penilaian yang benar dan tegas. Dapat dilihat dari Tabel 7, keahlian tinggi sebesar 70.3 persen dan sedang 29.7 persen. Menurut responden fasilitator sangat mengetahui banyak tentang seluk-beluk wisata Gunung Api Purba Nglanggeran dengan baik. Fasilitator juga menjadi penghubung yang baik antara Pokdarwis dengan pemerintah maupun pihak lainnya. Fasilitator juga mampu dengan baik memberikan solusi masalah dan menjadi pihak yang mampu menangani apabila terjadi konflik pada wisata Gunung Api Purba Nglanggeran. Daya tarik bukan dilihat dari kecantikan fisik saja melainkan juga berbagai sifat dan karakter yang dimiliki oleh fasilitator, misalnya kemampuan intelektual, kepribadian, gaya hidup dan sebagainya. Seorang fasilitator memiliki nilai tambah berupa kekaguman dari banyak orang. Penampilan seseorang dalam berkomunikasi akan mempengaruhi proses komunikasi yang dilakukannya. Dalam kaitan dengan kredibilitas sumber pesan, pengaruh penampilan terutama pada kontak pertama antara sumber dan penerima pesan. Daya tarik fasilitator akan berpengaruh pada keberhasilan penyampaian program kepada anggota Pokdarwis. Sebagian besar fasilitator mempunyai daya tarik tinggi yaitu sebesar 73.4 persen dan sedang 26.6persen. Narasumber S umur 36 tahun menyatakan: “ Daya tarik pengelola Pokdarwis penting, karena dulu anak-anak muda di sini penampilannya terkesan seperti berandalan dengan kaos yang lusuh, rambut dicat warna terang, dan terkesan tidak merawat diri dengan baik. Ketika kami ajak untuk bergabung di Karang Taruna Bukit Putra Mandiri terus kami beritahu dan terus berupaya menyadarkan masyarakat, lama kelamaan mereka semakin baik dalam bernampilan, berubah drastis menjadi sosok yang ramah dan menyenangkan bagi masyarakat. Kami juga selalu berupaya untuk selalu menjadi panutan yang baik, terus menjaga kesederhanaan gaya hidup kami, sehingga masyarakat ikut nyaman dan wisatawan juga semakin berkesan dengan Pokdarwis” Keakraban merupakan kemampuan fasilitator dalam bersosialisasi dengan responden. Keakraban fasilitator dengan responden dengan tingkat yang tinggi sebesar 67.2 persen dan tingkatan sedang sebesar 32.8 persen. Keakraban yang tinggi disebabkan karena memang fasilitator berasal dari masyarakat lokal setempat yang sudah saling mengenal. Fasilitator kerap saling menyapa, mengajak berbicara untuk saling berbagi cerita ataupun informasi, dan aktif dalam kegiatan gotong-royong masyarakat desa. Pokdarwis sebagai fasilitator yang memiliki kredibilitas baik dibuktikan dengan mendapat berbagai penghargaan seperti: (1) Piagam Karang Taruna Bukit Putra Mandiri yang didapat dari Gubernur DIY sebagai juara pertama penyelamat lingkungan dalam rangka seleksi Kalpataru 2009. Dari Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan (KAPEDAL) sebagai juara pertama lomba lingkungan hidup tingkat Kabupaten Gunungkidul tahun 2009 kategori penyelamat lingkungan pada tanggal 21-23 April 2009. (2) Piagam Dinas Pariwisata DIY mendapat juara harapan II pada acara lomba Desa Wisata se-Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2009. Desa Nglanggeran sebagai desa Wisata dengan keunikan alam pada lomba Desa Wisata se-DIY pada Tahun 2009 (3) Piagam Penghargaan dari Bupati Gunungkidul yang menyatakan Karang Taruna Bukit Putra Mandiri Desa Nglanggeran sebagai juara pertama pada lomba Penghijauan Swadaya Tingkat Kabupaten Gunungkidul tahun 2001. (4) Piagam Penghargaan dari Dinas Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta yang diberikan Kepada Karang Taruna Bukit Putra Mandiri sebagai juara kedua (II) karang taruna berprestasi tingkat Provinsi DIY Tahun 2009 dan 2012. (5) Penghargaan dari Blogdetik & Telkom yang diberikan kepada salah satu pengelola Blog Gunung Api Purba yang menjadi juara II lomba Festival Blog tahun 2010 tingkat Nasional dengan jumlah peserta 1.026 orang. (6) Penghargaan dari Kementrian Pemuda dan Olahraga RI yang diberikan kepada salah satu pemuda pengelola Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba (Sugeng Handoko) menjadi pemuda pelopor bidang senibudaya dan pariwisata Tahun 2011 tingkat nasional. (7) Penghargaan dari Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata RI yang diberikan kepada pengelola Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba sebagai finalis dalam acara Cipta Award 2011 dalam pengelolaan Daya Tarik WIsata Alam berwawasan Lingkungan Tingkat Nasional. (8) Penghargaan dari Java Promo yang diberikan kepada Pengelola Kawasan EKowisata Gunung Api Purba sebagai juara II lomba Desa Wisata oleh Java Promo. (9) Penghargaan dari Kementrian BUMN yang diberikan kepada salah satu kelompok pemuda pengelola wisata sebagai Social Entrepreneur Lomba Mandiri Bersama Mandiri yang diselenggarakan oleh Bank Mandiri Tahun 2012. (10) Penghargaan dari BKSDA D.I. Yogyakarta yang diberikan kepada salah satu anggota Pokdarwis (Sugeng Handoko) sebagai juara I Kader Konservasi Tingkat Provinsi D.I. Yogyakarta Tahun 2013 (11) Penghargaan dari Kementrian Kehutanan RI yang diberikan kepada salah satu anggota Pokdarwis (Sugeng Handoko) sebagai juara harapan III Kader Konservasi Tingkat Nasional Tahun 2013 (12) Penghargaan dari Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI yang diberikan kepada Pokdarwis Desa Wisata Nglanggeran sebagai juara II Pokdawis Berprestasi Tingkat Nasional Tahun 2013 (13) Penghargaan dari Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI yang diberikan kepada Pokdarwis Desa Wisata Nglanggeran sebagai juara II Desa Penerima PNPM Pariwisata Berprestasi Tingkat Nasional Tahun 2013 (14) Penghargaan dari Kemenkokesra RI yang diberikan kepada salah satu anggota Pokdarwis (Sugeng Handoko) sebagai juara II Lomba Menulis 1001 Jejak PNPM Mandiri Tingkat Nasional Tahun 2014 (15) Penghargaan dari Kemenkokesra RI yang diberikan kepada salah satu anggota Pokdarwis (Sugeng Handoko) sebagai Penghargaan dari Kemenkokesra sebagai Pelaku PNPM Mandiri Terbaik Tahun 2014 Dukungan Kelembagaan Dukungan kelembagaan adalah dukungan dari pihak lain yang berhubungan langsung dengan pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran. Dukungan kelembagaan baik dari pemerintah maupun non pemerintah diharapkan dapat berperan dalam pengembangan wisata ini. Jumlah dan dukungan kelembagaan Pokdarwis yang terdiri dari modal, sarana dan prasarana dapat disajikan pada Tabel 8. Dukungan kelembagaan dari aspek modal dan sarana menunjukkan kecenderungan hasil yang sama yaitu masyarakat merasakan cukup dengan kondisi yang ada namun tentunya tetap ingin melakukan perbaikan dan pengembangan dikemudian hari. Seperti ditunjukkan pada Tabel 8. Sejumlah 59.4 persen responden merasakan bahwa modal awal untuk pembentukan Pokdarwis cukup, namun sejumlah 40.6 persen responden menyatakan sangat cukup. Seiring dengan perkembangan waktu, maka modal juga harus berkembang karena akan banyak hal yang memerlukan biaya. Permodalan dapat diperoleh dengan kerjasama dengan pihak lain atau memperluas jejaring termasuk dengan Pemerintah Daerah. Pada tahun 2011 atau setelah 4 tahun berdiri, Pokdarwis mendapatkan bantuan PNPM Pariwisata dari Kementerian Pariwisata. Kondisi sarana telah dirasakan cukup oleh responden sebesar 54.7 persen dan sangat cukup sebesar 31.2 persen. Saat ini kondisi sarana telah dapat mendukung kegiatan Pokdarwis, namun diperlukan upaya penambahan sarana lagi untuk mendukung bertambahnya jumlah pengunjung, sehingga memerlukan fasilitas data dan informasi yang lebih lengkap lagi termasuk lampu penerangan jalur pendakian, jaringan internet, kamera keamanan (cctv). Lampu penerangan diperlukan pada jalur-jalur pendakian karena wisatawan ada yang menyukai untuk melakukan pendakian pada malam hari. Narasumber S umur 36 tahun menyatakan: “ Di sini masih kurang penerangan terutama di jalur pendakian yang posisinya terjal dan sulit dijangkau, tapi bukan berarti gak ada wisatawan yang tetap ingin naik ke puncak gunung. Wisatawan ada yang suka naik ke puncak malam karena bisa melihat keindahan bintang, dan biasanya mereka berkemah rame-rame semalaman untuk menanti keindahan matahari terbit dan foto-foto “ Jaringan internet diperlukan untuk mengakses informasi, mempermudah komunikasi bagi masyarakat Desa Nglanggeran dengan masyarakat daerah lain, dan bisa juga untuk terus mempromosikan wisata Gunung Api Purba. Narasumber S umur 36 tahun menyatakan: “ Penting banget mas internet supaya kita bisa terus belajar mendapat informasi yang semakin banyak. Biasanya kita menggunakan internet dengan handphone atau modem, tapi kadang sinyalnya susah dan lambat. Pengennya sih ada internet gratis yang bisa diakses seluruh warga Nglanggeran biar pada melek teknologi dan jadi pada pinter “. Kamera keamanan (cctv) diperlukan untuk sebagai alat pengawasan dan bukti apabila terjadi tindak kriminal seperti vandalism. Narasumber S umur 36 menyatakan: ” Tindak kriminal di sini biasanya coret-coret batunya mas, dan itu sangat nyebelin. Pernah suatu saat ada sekelompok anak-anak smp, mereka rame-rame nyoret tembok batunya sini, ketangkep sama pengelola dan langsung kita sidang sama warga sini, kita laporkan ke wartawan juga biar dimuat di koran dan akhirnya mereka kita denda empat juta rupiah yang tujuannya agar mereka kapok dan juga jadi pelajaran bagi orang lain yang mau berusaha merusak keindahan alam sini “. Permodalan dapat diperoleh dengan kerjasama dengan pihak lain atau memperluas jejaring termasuk dengan Pemerintah Daerah. Pada tahun 2011 dan 2012, Pokdarwis mendapatkan bantuan PNPM Pariwisata dari Kementerian Pariwisata. Adapun program yang dilaksanakan ditahun pertama (tahun 2011) antara lain : (1) pelatihan pengelolaan home stay, (2) pelatihan penataan pedagang, (3) pembuatan warung relokasi pedagang, (4) Pembuatan arena flying fox. Selanjutnya tahap kedua (tahun 2012) digunakan untuk : (1) pelatihan pemandu outbond (2) pelatihan kuliner (3) pelatihan manajemen obyek daya tarik wisata (4) pelatihan kesenian tradisional dan pengadaan seragam kesenian (5) pembuatan MCK taraf wisatawan asing. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden diketahui pula bahwa kondisi prasarana sudah dinyatakan cukup oleh sebesar 36.0 persen dan lebih banyak responden sebesar 64.0 persen yang menyatakan sangat cukup. Hal ini sejalan dengan program Pemerintah Daerah Gunung Kidul yang sedang giat membangun jaringan infrastruktur baik jalan, jembatan juga saluran air sehingga gunung kidul yang sebelumnya dikenal dengan daerah tandus, saat ini sudah lebih mudah memperoleh air yang sangat diperlukan dalam pengembangan wisata terutama untuk toilet dan rumah ibadah (masjid dan musholla). Mengingat lokasi wisata Gunung Api Purba Nglanggeran tidak terlepas dari Pemerintahan Desa Nglanggeran, maka Pokdarwis perlu melakukan kerjasama dengan Pemerintahan Desa sehingga sesuai dengan amanat Undangundang No 6 Tahun 2014 tentang Desa yang menjelaskan tentang kewenangan desa yang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hal asal usul, adat istiadat dan nilai-nilai budaya masyarakat. Ini berdampak pada keleluasaan desa untuk memandirikan desa menjadi lokasi yang berpotensi sehingga mampu meningkatkan pendapatan desa, mempercepat pembangunan ekonomi desa dan pemerataan sumber daya manusia. Oleh karena itu, kapasitas kelembagaan desa harus mampu menciptakan organisasi yang tepat guna untuk memecahkan masalah pada tingkat lokal dalam hal kelembagaan pengembangan desa wisata (Iriansyah, 2011). Dalam pengembangannya, lokasi wisata ini dapat memanfaatkan Dana Desa (DD) dari APBN atau Alokasi Dana Desa (ADD) dari Kab. Gunung Kidul. Tabel 8. Jumlah dan persentase dukungan kelembagaan Pokdarwis Dukungan Kelembagaan Modal Tidak Cukup Cukup Sangat Cukup Jumlah Sarana Tidak Cukup Cukup Sangat Cukup Jumlah Prasarana Tidak Cukup Cukup Sangat Cukup Jumlah Jumlah Responden Persentase (%) 0 38 26 64 0 59,4 40,6 100 9 35 20 64 14,1 54,7 31,2 100 0 23 41 64 0 36,0 64,0 100 Komunikasi Partisipatif Pembangunan kepariwisataan memerlukan dukungan dan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan di bidang pariwisata. Dukungan masyarakat dapat diperoleh melalui penanaman kesadaran masyarakat akan arti penting pengembangan kepariwisataan, untuk itu dibutuhkan proses dan pengkondisian untuk mewujudkan masyarakat yang sadar wisata. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) merupakan salah satu komponen dalam masyarakat yang memiliki peran dan kontribusi penting dalam pengembangan kepariwisataan di daerahnya. Keberadaan Pokdarwis tersebut perlu terus didukung dan dibina sehingga dapat berperan lebih efektif dalam turut menggerakkan partisipasi masyarakat untuk mewujudkan lingkungan dan suasana yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya kegiatan kepariwisataan di sekitar destinasi pariwisata. Dalam upaya melakukan analisis terhadap komunikasi partisipatif Pokdarwis hasilnya seperti disaikan pada Tabel 9. Berdasarkan Tabel 9, maka komunikasi partisipatif Pokdarwis memiliki kecenderungan hasil yang sama antara dialog, aspirasi dan aksi refleksi. Dialog dicirikan dengan keaktifan anggota Pokdarwis dalam bertukar pendapat untuk mereflesikan masalah dan kebutuhan wisata. Sejumlah 64.7 persen responden menyatakan bahwa dialog dengan tingkat sedang, 35 persen dengan tingkat tinggi. White (2004) mendefinisikan komunikasi partisipatif sebagai dialog terbuka, sumber dan penerima berinteraksi secara kontinyu, memikirkan secara konstruktif situasi, mengidentifikasi kebutuhan dan permasalahan pembangunan, memutuskan apa yang yang dibutuhkan untuk meningkatkan situasi dan bertindak atas situasi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa dialog sudah cukup dilakukan, responden sudah nyaman dengan komunikasi yang dibangun oleh ketua dan pengurus Pokdarwis meskipun perlu peningkatan ke depannya, Dari aspek aspirasi, maka aspirasi anggota sudah diberikan wadah dengan sangat baik, mengingat 60.8 persen menyatakan aspirasi sedang dan 39.2 persen aspirasi tinggi, hal ini berarti bahwa sudah tersedia sarana aspirasi anggota untuk melakukan diskusi seperti rembug warga. Keterlibatan partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan pembangunan (McPhail 2009). McKee et al. (2008) menjelaskan bahwa untuk memunculkan rasa memiliki, kompetensi dan komitmen pada sebuah kelompok adalah dengan adanya collective action dan kontrol berdasarkan partisipasi antara anggota komunitas dengan organisasi dalam konteks sosial. Keterlibatan anggota perlu terus ditingkatkan agar terdapat rasa memiliki yang tinggi. Penyampaian aspirasi memberikan pemahaman bahwa para anggota ikut bertanggung jawab dalam pengelolaan Pokdarwis, sehingga tidak hanya menjadi kewajiban pengurus saja untuk mengembangkan kelembagaan Pokdarwis. Keterlibatan anggota perlu terus ditingkatkan agar terdapat rasa memiliki yang tinggi. Penyampaian aspirasi memberikan pemahaman bahwa para anggota ikut bertanggung jawab dalam pengelolaan Pokdarwis, sehingga tidak hanya menjadi kewajiban pengurus saja untuk mengembangkan kelembagaan Pokdarwis. Dalam menarik wisatawan agar lebih banyak berkunjung ke Nglanggeran maka perlu dilakukan upaya-upaya pengembanagn lokasi tersebut melalui peran aktif para pengelola dan anggota Pokdarwis seperti perbaikan dan pengembangan sarana dan prasarana serta lingkungan wisata. Responden menyatakan bahwa aksi refleksi sedang 67.2 persen dan tinggi 32.8 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar anggota masih menganggap bahwa aksi refleksi sebaiknya dilakukan namun belum menjadi prioritas. Kemajuan dari setiap tindakan sebaiknya mellaui refleksi atats kegiatan yang telah dilakukan sehingga dapat diketahui kendala dan permasalahan untuk dilakukan perbaikan ke depan. Tabel 9. Sebaran responden menurut komunikasi partisipatif Pokdarwis di Nglanggeran 2015 Komunikasi Partisipatif Pokdarwis Dialog Rendah Sedang Tinggi Jumlah Aspirasi Rendah Sedang Tinggi Jumlah Aksi Refleksi Rendah Sedang Tinggi Jumlah Jumlah Responden Persentase (%) 0 41 23 64 0 64,7 35,3 100 0 39 0 60,8 25 64 39,2 100 0 43 21 64 0 67,2 32,8 100 Pengelolaan Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran Kelompok sadar wisata di Nglanggeran memiliki arah pengembangan pengelolaan wisata yang akan dilakukan sesuai dengan konsep rintisan awal bersama masyarakat. Pengelolaan tersebut terdiri prinsip ramah lingkungan (alam dan budaya), prinsip ramah masyarakat, dan prinsip ramah wisatawan. Jumlah dan pengelolaan wisata yang terdiri dari prinsip ramah lingkungan, tingkat keramahan masyarakat, dan tingkat keramahan wisatawan disajikan pada Tabel 10. WWF Indonesia (2009) menyatakan sejak 1970an, organisasi konservasi mulai melihat ekowisata sebagai alternatif ekonomi yang berbasis konservasi karena tidak merusak alam ataupun tidak “ekstraktif” dengan berdampak negatif terhadap lingkungan seperti penebangan dan pertambangan. Ekowisata juga dianggap sejenis usaha yang berkelanjutan secara ekonomi dan lingkungan bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan konservasi. Namun agar ekowisata tetap berkelanjutan, perlu tercipta kondisi yang memungkinkan di mana masyarakat diberi wewenang untuk mengambil keputusan dalam pengelolaan usaha ekowisata, mengatur arus dan jumlah wisatawan, dan mengembangkan ekowisata sesuai visi dan harapan masyarakat untuk masa depan. Ekowisata dihargai dan dkembangkan sebagai salah satu program usaha yang sekaligus bisa menjadi strategi konservasi dan dapat membuka alternatif ekonomi bagi masyarakat. Dengan pola ekowisata, masyarakat dapat memanfaatkan keindahan alam yang masih utuh, budaya, dan sejarah setempat tanpa merusak atau menjual isinya.. Berdasarkan hasil Tabel 10, maka diketahui bahwa 57,8 persen ramah lingkungan sangat cukup. Hal ini menujukkan bahwa Pokdarwis melakukan pelestarian SDA dengan cara seperti: menanam pohon, pengolahan sampah. Pokdarwis juga menyusun dan melakukan implementasi mekanisme pengawasan untuk mengurangi ancaman kerusakan dari kegiatan pariwisata, menyusun tata kelola pengunjung, menerapkan zonasi kawasan untuk meminimalkan kerusakan wisata dari tindakan kriminal seperti vandalism. Pola ekowisata berbasis masyarakat adalah pola pengembangan ekowisata yang mendukung dan memungkinkan keterlibatan penuh oleh masyarakat setempat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan usaha ekowisata dan segala keuntungan yang diperoleh. Ekowisata berbasis masyarakat merupakan usaha ekowisata yang menitikberatkan peran aktif komunitas. Hal tersebut didasarkan kepada kenyataan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan tentang alam serta budaya yang menjadi potensi dan nilai jual sebagai daya tarik wisata, sehingga pelibatan masyarakat menjadi mutlak. Pola ekowisata berbasis masyarakat mengakui hak masyarakat lokal dalam mengelola kegiatan wisata di kawasan yang mereka miliki secara adat ataupun sebagai pengelola. Ekowisata berbasis masyarakat dapat menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat, dan mengurangi kemiskinan, di mana penghasilan ekowisata adalah dari jasa-jasa wisata untuk turis: fee pemandu; ongkos transportasi; homestay; menjual kerajinan, dll. Ekowisata membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga antar penduduk setempat yang tumbuh akibat peningkatan kegiatan ekowisata. Adanya pola ekowisata berbasis masyarakat bukan berarti bahwa masyarakat akan menjalankan usaha ekowisata sendiri. Tataran implementasi ekowisata perlu dipandang sebagai bagian dari perencanaan pembangunan terpadu yang dilakukan di suatu daerah. Untuk itu, pelibatan para pihak terkait mulai dari level komunitas, masyarakat, pemerintah, dunia usaha dan organisasi non pemerintah diharapkan membangun suatu jaringan dan menjalankan suatu kemitraan yang baik sesuai peran dan keahlian masingmasing. Beberapa aspek kunci dalam ekowisata berbasis masyarakat menurut WWF Indonesia (2009) adalah: (1) Masyarakat membentuk panitia atau lembaga untuk pengelolaan kegiatan ekowisata di daerahnya, dengan dukungan dari pemerintah dan organisasi masyarakat (nilai partisipasi masyarakat dan edukasi) (2) Prinsip local ownership (=pengelolaan dan kepemilikan oleh masyarakat setempat) diterapkan sedapat mungkin terhadap sarana dan pra-sarana ekowisata, kawasan ekowisata, dll (nilai partisipasi masyarakat) (3) Homestay menjadi pilihan utama untuk sarana akomodasi di lokasi wisata (nilai ekonomi dan edukasi) (4) Pemandu adalah orang setempat (nilai partisipasi masyarakat) (5) Perintisan, pengelolaan dan pemeliharaan obyek wisata menjadi tanggungjawab masyarakat setempat, termasuk penentuan biaya (=fee) untuk wisatawan (nilai ekonomi dan wisata). Berdasarkan hasil Tabel 10, diketahui bahwa sebesar 54,7 persen ramah masyarakat sangat cukup. Hal ini menunjukkan bahwa Pokdarwis menggunakan konsep partisipatif dan melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan implementasi, masyarakat desa sebagai pelaku dan penerima manfaat terbesar dalam pengembangan pariwisata desa, menyusun mekanisme distribusi keuntungan dari kegiatan pariwisata, menyusun mekanisme investasi pariwisata yang memprioritaskan peluang untuk warga desa. Pokdarwis menerapkan upaya pengelolaan dan kepemilikan oleh masyarakat setempat untuk menjaga Desa Nglanggeran agar tidak dimiliki oleh orang luar Desa Nglanggeran dan tetap memberikan manfaat hasil pengelolaan wisata terhadap warga asli. Narasumber S umur 36 tahun menyatakan: ” Seluruh kegiatan investasi pihak luar Desa Nglanggeran tidak kami perbolehkan mas, karena kami hanya ingin Nglanggeran ini maju dan manfaatnya dirasakan sendiri oleh warga sini. Waktu itu ada yang ingin membuat hotel, tapi kami tolak dan wisatawan yang ingin menginap kami persilahkan untuk menginap di homestay. Kalo kita memperbolehkan pihak luar untuk masuk ke Nglanggeran kami takut nanti malah kami tidak bisa bersaing dan malah tidak mensejahterakan warga asli di sini.” Pokdarwis menjadikan homestay pilihan utama untuk penginapan di wisata Gunung Api Purba Nglanggeran. Pemilihan menggunakan homestay didasari atas rasa ingin melestarikan budaya kegiatan sehari-hari masyarakat yang bisa dinikmati oleh wisatawan yang ingin merasakan seperti menjadi warga asli Nglanggeran. Selain menjadi wisata budaya yang menarik, dapat memberikan tambahan ekonomi terhadap masyarakat. Narasumber S umur 36 tahun menyatakan: “ Warga yang menyediakan homestay diberikan kursus bahasa Inggris agar bisa berkomunikasi dengan wisatawan asing. Wisatawan senang bisa merasakan seolah-olah hidup menjadi warga Nglanggeran. Biaya untuk menginap sekitar seratus dua puluh ribu rupiah sudah termasuk makan sebanyak tiga kali dalam sehari dan pilihannya makanan sederhana saja ala masyarakat Desa sini.” Pemandu wisata Gunung Api Purba Nglanggeran ini merupakan Pokdarwis yang rata-rata masih muda dan kemampuan untuk interpretasi informasi yang ada menjadi upaya Pokdarwis untuk terus bisa ditingkatkan lebih baik lagi. Narasumber S umur 29 tahun menyatakan: “Pemandu wisata di sini biasanya anak-anak muda dan masih pada enerjik untuk naik turun gunung setiap memandu. Mereka mendapat gaji bulanan dari Pokdarwis tapi biasanya ada yang dapat tip, dan bisa menjadi tambahan buat mereka.” Ekowisata memberikan banyak peluang untuk memperkenalkan kepada wisatawan tentang pentingnya perlindungan alam dan penghargaan terhadap kebudayaan lokal. Upaya pendekatan ekowisata, pusat Informasi menjadi hal yang penting dan dapat juga dijadikan pusat kegiatan dengan tujuan meningkatkan nilai dari pengalaman seorang turis yang bisa memperoleh informasi yang lengkap tentang lokasi atau kawasan dari segi budaya, sejarah, alam, dan menyaksikan acara seni, kerajinan dan produk budaya lainnya. Berdasarkan hasil Tabel 10, diketahui bahwa sebesar 65,6 persen ramah wisatawan sangat cukup. Hal ini menunjukkan bahwa pengunjung tampak menikmati pelayanan yang tersedia, dan ingin berulang kembali mengunjungi wisata Gunung Api Purba Nglanggeran. Pokdarwis melakukan program pelatihan untuk meningkatkan SDM pengelola untuk menciptakan kenyamanan pengunjung, menerapkan SOP pengelola soal kebersihan kesehatan keamanan, pengawasan kepuasan pengunjung dan juga kepuasan masyarakat. Narasumer S umur 28 tahun menyatakan : ”Pokdarwis diberikan pelatihan tata cara pengelolaan dan mengenalkan potensi yang ada di Nglanggeran sehingga nanti kalo ada wisatawan yang nanya kami bisa memberikan informasi dengan baik dan semuanya seragam mas” Tabel 10. Jumlah dan pengelolan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran oleh Pokdarwis 2015 Pengelolaan Lingkungan Ramah Lingkungan Tidak Cukup Cukup Sangat Cukup Jumlah Ramah Masyarakat Tidak Cukup Cukup Sangat Cukup Jumlah Ramah Wisatawan Tidak Cukup Cukup Sangat Cukup Jumlah Jumlah Responden Persentase (%) 0 27 37 64 0 42,2 57,8 100 0 29 35 64 0 45,3 54,7 100 0 22 42 64 0 34,4 65,6 100 Hubungan antara karakteristik individu dengan komunikasi partisipatif Pokdarwis Karakteristik individu merupakan ciri khas yang melekat dalam individu dan telah menjadi pola kebiasaan dalam individu itu sendiri. Karakteristik individu dalam penelitian ini meliputi umur, tingkat pendidikan dan motivasi. Adapun yang menjadi indikator komunikasi partisipatif dalam penelitian ini adalah dialog, aspirasi dan aksi refleksi. Karakteristik merupakan sifat-sifat atau ciri-ciri yang melekat pada sesuatu baik itu benda, orang maupun makhluk hidup lainnya, yang berhubungan dengan berbagai aspek kehidupannya (Mardikanto 1993). Bisa diasumsikan bahwa karaktersitik kelompok merupakan ciri-ciri yang melekat dalam kelompok tersebut. Ciri-ciri tersebut menjadi pembeda antara kelompok satu dengan yang lainnya (Suharno 2009).Terdapat hubungan sangat nyata dan positif antara karakteristik individu dengan dengan komunikasi partisipatif Pokdarwis. Dari data Tabel 11, terdapat hubungan sangat nyata dan positif antara tingkat pendidikan dengan komunikasi partisipatif. Hal tersebut bermakna bahwa komunikasi partisipasi yang tinggi didukung oleh tingkat pendidikan anggota Pokdarwis. Menurut Freire (1972) semua orang baik secara individual dan kolektif memiliki hak untuk berbicara. Berbicara bukan hak istimewa dari beberapa orang, namun hak setiap manusia. Freire menyadari bahwa kebodohan dan kelalaian mereka membuat mereka menjadi tidak memiliki keberanian dan kemampuan uantuk menjawab realitas-realitas kongkret dari dunia mereka. Mereka tetap saja tenggelam dalam suatu keadaan di mana kesadaran kritis dan jawaban semacam itu praktis tidak mungkin. Mereka merupakan masyarakat yang tersisihkan, tak berdaya, yang kemudian menjadi tidak berani berbicara sehingga kemudian memunculkan satu kebudayaan yang dikenal dengan nama kebudayaan bisu. Budaya bisu akan bisa diubah menjadi budaya kritis, di mana orang berani bicara untuk memperjuangkan hak hidupnya menjadi manusia yang sesungguhnya. Walau upayanya tersebut tampaknya “hanya” dalam aspek pendidikan, namun dampaknya secara cukup kuat dan signifikan mempengaruhi ikhtiar pembangunan nasional. Tingkat pendidikan tinggi membuat Pokdarwis mampu menerima informasi baru dengan baik, pengetahuan akan sesuatu semakin tinggi, dan diharapkan mampu memiliki tingkatan hidup yang lebih sejahtera. Motor penggerak dari kegiatan pengelolaan wisata ini adalah pemuda yang ratarata memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi (SMA – Sarjana), sedangkan anggota Pokdarwis yang dewasa dan tua rata-rata hanyalah lulusan SD – SMP. Tingkat pendidikan yang tinggi yang dimiliki oleh pengelola wisata akan membuat Pokdarwis dalam membuat kegiatan semakin terencana baik karena didukung oleh dialog anggota yang terbuka, kebebasan penyampaian aspirasi berupa ide gagasan dari setiap anggota, dan rutin menginisiasi pertemuan kelompok untuk membahas kelangsungan pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran. Komunikasi partisipatif mengasumsikan adanya proses humanis yang menempatkan individu sebagai aktor aktif dalam merespon setiap stimulus yang muncul dalam lingkungan yang menjadi medan kehidupannya. Individu bukanlah wujud yang pasif yang hanya bergerak jika ada yang menggerakan. Individu adalah wujud dinamis yang menjadi subjek dalam setiap perilaku yang diperankan termasuk perilaku komunikasi (Hamijoyo 2005). Tabel 11 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat nyata dan positif antara motivasi dengan komunikasi partisipatif Pokdarwis. Adanya motivasi yang tinggi menunjang keaktifan anggota dalam setiap agenda kegiatan rutin bersama. Pokdarwis memiliki motivasi awal bersama yang kuat dimulai dari ide kreatif pemuda Karang Taruna Bukit Putra Mandiri. Menurut narasumber S umur 36 tahun sebagai pengelola mengungkapkan bahwa: “ Dulu kita sewaktu awal memulai pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran ini banyak sekali yang mencibir bahwa ngapain mengelola gunung batu, memangnya mau makan dari batu? karena pada umumnya anak muda di desa ini ingin keren dengan bekerja di kota yang lebih menjanjikan, dan penduduk yang ingin tinggal di desa lebih suka untuk menjadi petani saja. Pada awalnya kami sedikitsedikit dengan uang seadanya kami buat semacam jalur pendakian, mck, gubuk tempat peristirahatan dan mulai ada yang datang untuk berwisata. Pengunjung yang datang kami ambil tarif parkir sebesar lima ratus rupiah, dan uangnya kami gunakan untuk terus melengkapi fasilitas. Berawal dari mulut kemulut dan terus kami upayakan untuk promosi lama-lama kami bisa mendatangkan wisatawan, dan ketika kami berhasil bisa mendapatkan penghasilan dari wisata ini maka cibiran orang-orang yang mengatakan kami makan dari batu memang kami buktikan bahwa kami memang makan dari hasil mengelola batu yang tidak bernilai tapi kini sudah dapat menghidupi orang banyak dari wisata Gunung Api Purba Nglanggeran” Tabel 11. Nilai koefisien hubungan antara karakteristik individu dengan komunikasi partisipatif Pokdarwis di Nglanggeran 2015 Karakteristik individu Umur Tingkat pendidikan Motivasi Ket: ** Berhubungan signifikan pada taraf 0,01 Komunikasi partisipatif r Sig. .216 .087 .381** .582** .002 .000 Hubungan antara kredibilitas fasilitator dengan komunikasi partisipatif Pokdarwis Kredibilitas diartikan sebagai suatu tingkat sampai sejauh mana fasilitator dapat dipercaya oleh Pokdarwis. Kredibilitas penting bagi fasilitator karena akan mempengaruhi anggota komunitas untuk menjalankan program-program pemberdayaan. Analisis terhadap kredibilitas fasilitator ditunjukan melalui empat variabel yaitu kejujuran, keahlian, daya tarik dan keakraban. Adapun yang menjadi indikator komunikasi partisipatif dalam penelitian ini adalah dialog, aspirasi dan aksi refleksi. Kredibilitas fasilitator berhubungan sangat nyata dan positif dengan komunikasi partisipatif Pokdarwis yang disajikan pada Tabel 12. Hal tersebut bermakna bahwa komunikasi partisipasi yang tinggi didukung oleh kredibilitas fasilitator. Hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saputra (2011), Mulyasari (2009), Muchlis (2009), dan Satriani (2011) mengindikasikan fakta bahwa ketidakmampuan penyuluh dalam membangun hubungan dikarenakan jarangnya mengunjungi kelompok sasaran, melemahkan keinginan masyarakat untuk berdiskusi, dan mempersempit pemberian kesempatan aspirasi dari masyarakatnya. Hal tersebut dikarenakan masyarakat kurang percaya dan cenderung enggan untuk berbagi informasi dan pengetahuan yang mereka miliki dengan orang lain yang dirasa kurang dikenalnya. Kejujuran yang tinggi oleh fasilitator akan membuat keterbukaan informasi, transparansi dana bantuan, dan kejelasan pembagian tugas anggota Pokdarwis sesuai program dan pelaksanaanya yang dapat menambah kuat rasa percaya anggota Pokdarwis terhadap fasilitator. Keahlian fasilitator yang tinggi karena mengetahui seluk-beluk wisata Gunung Api Purba Nglanggeran dengan baik. Fasilitator juga menjadi penghubung yang baik antara Pokdarwis dengan pemerintah maupun pihak lainnya. Fasilitator juga mampu dengan baik memberikan solusi masalah dan menjadi pihak yang mampu menangani apabila terjadi konflik pada wisata Gunung Api Purba Nglanggeran. Daya tarik dapat dilihat dari kemampuan intelektual, kepribadian, gaya hidup dan sebagainya. Daya tarik fasilitator akan berpengaruh pada keberhasilan penyampaian program kepada anggota Pokdarwis, karena fasilitator mencerminkan sosok yang cerdas, sopan, rapih, dan sederhana sehingga mampu menjadi panutan dalam Pokdarwis. Narasumber S umur 36 tahun sebagai pengelola menyatakan: “ Daya tarik pengelola Pokdarwis penting, karena dulu anak-anak muda di sini penampilannya terkesan seperti berandalan dengan kaos yang lusuh, rambut dicat warna terang, dan terkesan tidak merawat diri dengan baik. Ketika kami aak untuk bergabung di Karang Taruna Bukit Putra Mandiri terus kami beritahu dan terus berupaya menyadarkan masyarakat, lama kelamaan mereka semakin baik dalam bernampilan, berubah drastis menjadi sosok yang ramah dan menyenangkan bagi masyarakat. Kami juga selalu berupaya untuk selalu menjadi panutan yang baik, terus menjaga kesederhanaan gaya hidup kami, sehingga masyarakat ikut nyaman dan wisatawan juga semakin berkesan dengan Pokdarwis” Keakraban yang tinggi akan mendukung berjalannya suasana komunikasi partisipatif yang kekeluargaan dan nyaman. Keakraban yang tinggi disebabkan fasilitator berasal dari masyarakat setempat yang sudah saling mengenal. Fasilitator kerap saling menyapa, mengajak berbicara untuk saling berbagi cerita ataupun informasi, dan aktif dalam kegiatan gotong-royong masyarakat desa. Kelompok yang tingkat self efficacy rendah, cenderung malu untuk berpartisipasi dalam setiap kegiatan komunikasi, karena mereka merasa tidak mempunyai kemampuan untuk bertukar gagasan dalam bermusyawarah (Muchlis 2009). Self efficacy bisa terbentuk karena adanya diskusi yang melibatkan anggota Pokdarwis dan menghargai setiap gagasan yang disampaikan oleh anggota Pokdarwis. Pokdarwis dalam hal ini telah mampu mendorong anggota untuk meningkatkan self efficacy nya melalui dialog baik ketika di dalam pertemuan maupun di luar pertemuan. Tabel 12. Nilai koefisien hubungan antara kredibilitas fasilitator dengan komunikasi partisipatif di Nglanggeran 2015 Kredibilitas fasilitator Kejujuran Keahlian Daya tarik Keakraban Kredibilitas Fasilitator Ket: ** Berhubungan signifikan pada taraf 0,01 Komunikasi partisipatif r .685** .554** .625** .660** .753** Sig. .000 .000 .000 .000 .000 Hubungan antara dukungan kelembagaan dengan komunikasi partisipatif Pokdarwis Dukungan kelembagaan adalah dukungan dari pihak lain yang berhubungan langsung dengan pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran. Dukungan kelembagaan baik dari pemerintah maupun non pemerintah diharapkan dapat berperan dalam pengembangan wisata ini. Adapun yang menjadi indikator komunikasi partisipatif dalam penelitian ini adalah dialog, aspirasi dan aksi refleksi. Pedoman Kelompok Sadar Wisata (2012) menyatakan bahwa masyarakat sebagai subyek atau pelaku pembangunan, mengandung arti, bahwa masyarakat menjadi pelaku penting yang harus terlibat secara aktif dalam proses perencanaan dan pengembangan kepariwisataan, bersama-sama dengan pemangku kepentingan terkait lainnya baik dari pemerintah maupun swasta. Dalam fungsinya sebagai subjek atau pelaku masyarakat memiliki peran dan tanggung jawab untuk bersama-sama mendorong keberhasilan pengembangan kepariwisataan di wilayahnya. Masyarakat sebagai penerima manfaat, mengandung arti, bahwa masyarakat diharapkan dapat memperoleh nilai manfaat ekonomi yang berarti dari pengembangan kegiatan kepariwisataan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan sosial masyarakat yang bersangkutan. Dalam kerangka pembangunan kepariwisataan tersebut, salah satu aspek mendasar bagi keberhasilan pembangunan kepariwisataan adalah dapat diciptakannya lingkungan dan suasana kondusif yang mendorong tumbuh dan berkembangnya kegiatan kepariwisataan di suatu tempat. Dukungan kelembagaan berhubungan sangat nyata dan positif dengan komunikasi partisipatif Pokdarwis yang disajikan pada Tabel 13. Hal tersebut bermakna bahwa komunikasi partisipasi yang tinggi membuat dukungan kelembagaan menjadi lebih baik. Pokdarwis aktif berdialog, menyampaikan aspirasi dengan berbagai pihak sehingga bisa mendapatkan modal untuk membangun sarana, dan prasarana wisata yang dibutuhkan, serta secara sukarela bergotong-royong mengelola lokasi wisata untuk membuat nyaman wisatawan. Tabel 13. Nilai koefisien hubungan antara dukungan kelembagaan dengan komunikasi partisipatif Pokdarwis di Nglanggeran 2015 Dukungan kelembagaan Modal Sarana Prasarana Dukungan Kelembagaan Ket: ** Berhubungan signifikan pada taraf 0,01 Komunikasi partisipatif r Sig. .405** .001 .492** .000 .544** .000 .646** .000 Hubungan antara pengelolaan wisata dengan komunikasi partisipatif Pokdarwis Pedoman Kelompok Sadar Wisata (2012) menyatakan bahwa salah satu aspek mendasar bagi keberhasilan pembangunan kepariwisataan adalah dapat diciptakannya lingkungan dan suasana kondusif yang mendorong tumbuh dan berkembangnya kegiatan kepariwisataan di suatu tempat. Iklim atau lingkungan kondusif tersebut terutama dikaitkan dengan perwujudan Sadar Wisata dan Sapta Pesona yang dikembangkan secara konsisten di kalangan masyarakat yang tinggal di sekitar destinasi pariwisata. Sadar wisata dalam hal ini digambarkan sebagai bentuk kesadaran masyarakat untuk berperan aktif dalam 2 (dua) hal berikut, yaitu: (a) Masyarakat menyadari peran dan tanggung jawabnya sebagai tuan rumah (host) yang baik bagi tamu atau wisatawan yang berkunjung untuk mewujudkan lingkungan dan suasana yang kondusif sebagaimana tertuang dalam slogan Sapta Pesona. (b) Masyarakat menyadari hak dan kebutuhannya untuk menjadi pelaku wisata atau wisatawan untuk melakukan perjalanan ke suatu daerah tujuan wisata, sebagai wujud kebutuhan dasar untuk berekreasi maupun khususnya dalam mengenal dan mencintai tanah air. Meningkatnya lapangan pekerjaan dan peluang pendapatan, serta dampak ekonomi multi ganda pariwisata bagi masyarakat. Pengelolaan wisata berhubungan sangat nyata dan positif dengan komunikasi partisipatif Pokdarwis yang disajikan pada Tabel 14. Hal tersebut bermakna bahwa komunikasi partisipatif yang tinggi dapat mendukung pengelolaan wisata dengan baik. Sapta pesona adalah tujuh unsur pesona yang harus diwujudkan bagi terciptanya lingkungan yang kondusif dan ideal bagi berkembangnya kegiatan kepariwisataan di suatu tempat yang mendorong tumbuhnya minat wisatawan untuk berkunjung.. Terwujudnya ketujuh unsur Sapta Pesona dalam pengembangan kepariwisataan di daerah akan bermuara pada: (1) Meningkatnya minat kunjungan wisatawan ke destinasi (2) Tumbuhnya iklim usaha kepariwisataan yang prospektif Dialog yang aktif, penyampaian aspirasi yang baik dan aksi refleksi sukarela akan mewujudkan pengelolaan wisata yang ramah lingkungan melalui penanaman pohon, pengelolaan sampah, penerapan zonasi kawasan, dan pengendalian perusakan fisik (vandalism). Keterlibatan Pokdarwis dalam pengelolaan wisata membuat masyarakat dapat merasakan manfaat, keuntungan, serta menerima perencanaan dan implementasi kegiatan. Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran memenuhi kriteria Ketujuh unsur Sapta Pesona yang terdiri dari: (1). Aman, (2). Tertib, (3). Bersih, (4). Sejuk, (5). Indah, (6). Ramah, (7). Kenangan. Pokdarwis mampu memberikan pelayanan yang baik, meningkatkan pelayanan, dan membuat pengunjung merasa nyaman sehingga berulang kali mengunjungi lokasi wisata Gunung Api Purba Nglanggeran. Tabel 14. Nilai koefisien hubungan antara pengelolaan wisata dengan komunikasi partisipatif Pokdarwis di Nglanggeran 2015 Komunikasi partisipatif Dialog Aspirasi Aksi Komunikasi Partisipatif Ket: ** Berhubungan signifikan pada taraf 0,01 Pengelolaan wisata r .411** .620** .468** .648** Sig. .001 .000 .000 .000 KESIMPULAN (1) Pokdarwis memiliki pengetahuan yang baik untuk bisa dapat menjalankan kegiatan, dan memiliki motivasi yang tinggi untuk aktif terlibat dalam setiap kegiatan rutin. Kejujuran, keahlian, daya tarik dan keakraban Pokdarwis yang tinggi mampu mendukung kegiatan dengan baik karena masyarakat percaya dan ikut bersama-sama bertanggung jawab. Komunikasi partisipatif dapat memberikan solusi permasalahan modal, sarana dan prasarana, dengan terus berupaya memaksimalkan potensi SDA dan keterlibatan SDM Desa Nglanggeran agar dapat kreatif untuk menciptakan ekonomi masyarakat yang mandiri. (2) Terdapat hubungan sangat nyata dan positif antara karakteristik individu, kredibilitas fasilitator dan dukungan kelembagaan dengan komunikasi partisipatif Pokdarwis. Komunikasi partisipatif melalui Pokdarwis merupakan elemen penting dalam perumusan rencana pembangunan agar mampu meningkatkan rasa percaya diri dan menumbuhkan rasa ikut bertanggung jawab terhadap hasil pembangunan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran yang berbasis masyarakat. (3) Terdapat hubungan sangat nyata dan positif antara pengelolaan wisata dengan komunikasi partisipatif Pokdarwis. Komunikasi partisipatif wisata Gunung Api Purba Nglanggeran berbasis masyarakat mengakui hak masyarakat lokal dalam mengelola kegiatan wisata di kawasan yang mereka miliki secara adat ataupun sebagai pengelola. Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran berbasis masyarakat dapat menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat, dan mengurangi kemiskinan, di mana penghasilan ekowisata adalah dari jasa-jasa wisata untuk turis: fee pemandu; ongkos transportasi; homestay; menjual kerajinan. Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga antar penduduk setempat yang tumbuh akibat peningkatan kegiatan ekowisata. SARAN Perlu diidentifikasi lebih lanjut lagi fasilitator lokal untuk memajukan Desa Nglanggeran, sehingga Pokdarwis Nglanggeran akan lebih banyak anggota yang memiliki dedikasi dan integritas tinggi dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran serta menjadi inspirasi untuk pengelolaan wisata di daerah lain. Masyarakat boleh menjadi lebih berpeluang banyak menikmati keberadaan potensi sumberdaya wisata alam yang sejalan dengan meningkatnya partisipasi mereka dalam Pokdarwis. Pemberdayaan Pokdarwis perlu terus dikembangkan sejalan dengan perkembangan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran. DAFTAR PUSTAKA Arikunto S. 2005. Manajemen Penelitian. Jakarta (ID): Rineka Cipta. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul, 2015. Gunungkidul dalam Angka 2015. Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul, Wonosari. Belch 2001. Advertising and Promotion: An Integrated Marketing Communication Perspective. New York (US): ..3 Hill Companies. Berlo DK. 1960. The Process of Communication An Introduction To Theory and Practice. New York (US): Holt, Rinehart and Winston, Inc. Bessette G. 2007. Facilitating Dialogue, Learning and Participation in Natural Resource Management. Di dalam Acunzo M editor. Communication and Sustainable Development; 2004 Sep; Roma, Italia. Roma (IT): Electronic Publishing Policy and Support Branch Communication Division, FAO. Cahyanto PG. 2007. Efektivitas Komunikasi Partisipatif dalam Pelaksanaan Prima Tani di Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Pontianak [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Dagron GA. 2008. Vertical Mind Versus Horizontal Cultures : An Overview of Participatory Process and Experience. Servaes, editor. New Delhi (IN) : Sage Publication. DeVito JA. 1997. Komunikasi Antar Manusia. Edisi kelima, Jakarta (ID): Profesional Books. Freire P. 1972. Pedagogy of the Opressed.Jakarta(ID): LP3ES. Freire P. 1984. Pendidikan, Pembebasan, dan Perubahan Sosial. Penerjemah Mien Joebhaar dan Dick Hartono. PT Sangkala Pulsar. Jakarta Freire Habermas J. 1990. Discourse Ethics: notes on a program of philosophical justification. The Communicative Ethics Controversy. Cambridge (NY): MIT Pr. Hamijoyo SS. 2005. Komunikasi Partisipatoris. Pemikiran dan Implementasi Komunikasi dalam Pengembangan Masyarakat. Bandung (ID): Humaniora. Hasbullah J. 2006. Social Capital : Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. Jakarta : MR-United Press. Iriansyah AA.2011. Kapasitas Kelembagaan Desa dalam Mengembangkan Desa Wisata (Studi Di Desa Seloreo Kecamatan Dau Kabupaten Malang. Jurnal Universitas Brawijaya. Mardikanto T. 2001. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta (ID): Sebelas Maret University Press. Mardikanto T. 2010. Komunikasi Pembangunan; Acuan Bagi Akademisi, Praktisi, dan Peminat Komunikasi Pembangunan. Surakarta(ID): UNS press. Mefalopulos P. 2003. Theory and Practice of Participatory Communication: The case of the FAO Project “Communication for Development in Southern Africa” [disertation]. Texas at Austin: Presented to the Faculty of the Graduate School, The University of Texas at Austin. McKee N, Manoncourt E, Yoon CS, Carnegie R. 2008. Involving People, Evolving Behaviour The UNICEF Experience. Servaes J, editor. New Delhi (IN): Sage Publication. McPhail T. 2009. Development Communication Reframing the Role of the Media. Mc Phail, editor. West Sussex (UK): Blackwell Publishing. Muchlis F. 2009. Analisis Komunikasi Partisipatif dalam Program Pemberdayaan Masyarakat: Studi kasus pada Implementasi Musyawarah dalam PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Teluk, Kecamatan Pemayung, Kabupaten Batang Hari [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Mulyasari G. 2009. Komunikasi Partisipatif Warga Pada Bengkulu Regional Development Project (BRDP) [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Nasdian 2003. Pengembangan Masyarakat (Community Development). Bogor: Bagian Ilmu-ilmu Sosial, Komunikasi dan Ekologi Manusia. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian-IPB. Putnam RD. 1995. Bowling alone: America's declining social capital. Journal of Democracy Vol. 6 (1995) 1, 64-78 Rahim SA. 2004. Participatory Development Communication as a Dialogical Process dalam White SA 2004. Participatory Communication Working for Change and Development. New Delhi: Sage Publication India Pvt Ltd. Riduan E.M. 2004. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung (ID): Alfabeta. Rusli S. 1995. Pengantar Kependudukan. Jakarta (ID): Universitas Indonesia Press. Saputra Y. 2011. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Perilaku Komunikasi Partisipatif Fasilitator (Kasus PNPM Mandiri di Kota Bandar Lampung) [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Satriani I. 2011. Komunikasi Partisipatif pada Program Pos Pemberdayaan Keluarga: Studi kasus di RW 05 Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor Barat [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Servaes J. 2002. Communication For Development: Oneworld, Multiplecultures. Second Printing. New Jersy (NY): Hampton Pr. Singhal A. 2001. Facilitating Community participation Through Communication. New York (US): UNICEF. Slamet M. 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Diedit oleh Ida Yustina & Ajat Sudradjat. Bogor (ID) : IPB Press. Soekanto S. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Srampickal JS. 2006. Development and participatory communication. Journal of Communication Research Trends. 2 (25): 1-32. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif. Bandung (ID): Alfabeta. Suharno MI. 2009. Hubungan Karakteristik dan Pengelolaan Kelompok Tani Berumur Panjang dengan Keragaannya di Kabupaten Indramayu. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sulistyowati F, Setyowati Y, Wuryantoro T. 2005. Komunikasi Pemberdayaan. Yogyakarta (ID): APMD. Sumardjo. 1999. Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengembangan Kemandirian Petani Kasus di Provinsi Jawa Barat. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sumarto. 2003. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia. Syahyuti. 2008. Peran modal sosial (Social Capital) dalam perdagangan hasil pertanian. (The Role Social Capital In Agricultural Trade). Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi. 26(1): 32-43. Syam A, Syukur M, Ilham N, Sumedi. 2000. Baseline survei program pemberdayaan petani untuk mencapai ketahanan pangan dan kesejahteraan petani. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. 1-12. Tufte T, Mefalopulos P. 2009. Participatory Communication A Practical Guide. Washington DC (US) : The World Bank. Undang-undang No.6 Tahun 2014 tentang Desa. Undang-Undang No. 20, Tahun 2003 pasal 1 ayat 1 Warnock K, Schoemaker E, Wilson M. 2007. The Case for Communication in Sustainable Development. London (UK) : Panos London. White AS. 2004. Participatory Communcation Working for Change and Development. India (IN): Sage Publication Pvt. Wibowo A. 2007. Menumbuhkembangkan modal sosial dalam pengembangan partisipasi masyarakat. M'POWER NO 5 Vol 5. Maret 2007. hal 1623 LAMPIRAN Profil Singkat Kelompok Masyarakat 1. Kelompok Penyedia Kulier (Kelompok PKK) “Purba Rasa” Ketua : Bu Surini Lokasi : Dusun Nglanggeran Kulon, Nglanggeran Wetan, Gunungbutak Jumlah : 55 orang ( dengan berbagai keahlian pengrajin makanan) 2. Kelompok Tani “Kumpul Makaryo” Ketua : Hadi Purwanto Lokasi : tersebar lima dusun di Desa Nglanggeran Jumlah : minimal 100 anggota aktif 3. Kelompok Home Stay “Purba Wisma” Lokasi : Dusun Nglanggeran Kulon, Nglanggeran Wetan Jumah : 79 rumah 4. Kelompok Pengrajin Lokasi : Dusun Nglanggeran Kulon, Nglanggeran Wetan, Gunungbutak Jumlah : 3 kelompok pengrajin 5. Kelompok Pedagang Lokasi :Kawasan Ekowisata Nglanggeran Jumlah : 16 orang Gunung Api Purba Gambar 2. Peta lokasi Kabupaten Gunung Kidul Gambar 3. Peta lokasi wisata Gunung Api Purba Nglanggeran RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Curup, Bengkulu, pada tanggal 16 Mei 1987. Penulis merupakan putra tunggal dari pasangan Bapak Agus Tridoso dan Ibu Pamuji Lestari. Pendidikan Sarjana telah ditempuh pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan di Institut Pertanian Bogor, sejak tahun 2005, dan lulus pada tahun 2011. Pada tahun 2011 penulis melanjutkan studi di Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti Sekolah Pascasarana, penulis merupakan ketua kelas angkatan genap 2011. Penulis aktif menjadi wiraswasta.