komunikasi partisipatif kelompok sadar wisata

advertisement
KOMUNIKASI PARTISIPATIF KELOMPOK SADAR
WISATA DALAM PENGELOLAAN WISATA GUNUNG
API PURBA NGLANGGERAN, KABUPATEN GUNUNG
KIDUL, PROVINSI DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA
R. RESTAMA GUSTAR HASTOSAPTYADHAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Komunikasi
Partisipatif Kelompok Sadar Wisata dalam Pengelolaan Wisata Gunung Api
Purba Nglanggeran, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2016
R. Restama Gustar Hastosaptyadhan
I 352114011
RINGKASAN
R. RESTAMA GUSTAR HASTOSAPTYADHAN. 2016. Komunikasi
Partisipatif Kelompok Sadar Wisata dalam Pengelolaan Wisata Gunung Api
Purba Nglanggeran, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dibimbing oleh
SUMARDJO dan DWI SADONO
Salah satu keunikan objek wisata gunung api purba di Gunung Kidul
terletak di Desa Nglanggeran yang terdiri dari material vulkanik tua,
geologis sangat unik dan bernilai ilmiah tinggi. Komunikasi partisipatif
memiliki prinsip komunikasi horizontal untuk mendorong partisipasi
masyarakat melalui dialog. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dimulai
dengan proses dialog oleh orang-orang muda yang memiliki visi yang sama
dalam mengembangkan potensi alami gunung api purba Nglanggeran.
Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. menjelaskan komunikasi partisipatif
dari Pokdarwis; 2. menganalisis hubungan antara karakteristik individu,
kredibilitas fasilitator, dukungan kelembagaan dan komunikasi partisipatif;
dan 3. menganalisis hubungan antara komunikasi partisipatif dari Pokdarwis
dan pengelolaan gunung api purba Nglanggeran.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.
Studi ini menyimpulkan bahwa: 1) Pokdarwis dapat menerima informasi
baru, pengetahuan yang lebih tinggi, dan sangat termotivasi. Kejujuran,
keahlian, daya tarik dan keakraban fasilitator dapat mendukung pengelolaan
pariwisata yang lebih baik. Modal, sarana dan prasarana cukup untuk
mendukung kegiatan pengelolaan wisata; 2) Ada hubungan yang signifikan
dan positif antara karakteristik individu, kredibilitas fasilitator, dukungan
kelembagaan dan komunikasi partisipatif dan 3) Ada hubungan yang
signifikan dan positif antara manajemen pariwisata dan komunikasi
partisipatif.
Kata kunci: komunikasi, partisipatif, fasilitator, pokdarwis , gunung api
purba, gunung kidul
SUMMARY
R. RESTAMA GUSTAR HASTOSAPTYADHAN. 2016. Participatory
Communication of Pokdarwis in the Management of Nglanggeran Ancient
Volcano Tourism, Gunung Kidul District, Yogyakarta Special Region
Province. Supervised by SUMARDJO and DWI SADONO.
One of the uniqueness ancient volcano attractions in Gunung Kidul is
located in the village of Nglanggeran which composed of old volcanic
material, geologically very unique and high scientific value. Participatory
communication has the principle of horizontal communication to encourage
community participation through dialogue. Tourism Awareness Formation
Group (Pokdarwis) begins with the dialogue process by young people who
have a common vision in developing the natural potential Nglanggeran
ancient volcano. The purposes of this study are: 1. Describe the
participatory communication of Pokdarwis; 2. Analyze the relationship
between individual characteristics, the credibility of the facilitator, the
institutional support and participatory communication; and 3. Analyze the
relationship between participatory communication of Pokdarwis and the
management of Nglanggeran ancient volcano.
This study used quantitative and qualitative approaches. The study
conclude that :1) Pokdarwis able to receive new information properly,
higher knowledge, and highly motivated. Honesty, expertise, attractiveness
and familiarity of facilitators able to support better tourism management.
Capital, facilities and infrastructures have sufficiently enough to support
tourist management activities; 2) There is significant and positive
relationship between individual characteristics, facilitator's credibility,
institutional support and the participatory communication and 3) There is
significant and positive relationship between tourism management and
participatory communication.
Key Words : participatory communication, pokdarwis, facilitator, ancient
volcano, Gunung Kidul
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KOMUNIKASI PARTISIPATIF KELOMPOK SADAR WISATA
DALAM PENGELOLAAN WISATA GUNUNG API PURBA
NGLANGGERAN, KABUPATEN GUNUNG KIDUL,
PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
R. RESTAMA GUSTAR HASTOSAPTYADHAN
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
Pada
Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr.Ir. Sarwititi Sarworasodjo, MS
Judul
Nama
NIM
: Komunikasi Partisipatif Kelompok Sadar Wisata Dalam
Pengelolaan Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.
: R. Restama Gustar Hastosaptyadhan
: I 352114011
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS
Ketua
Dr. Ir. Dwi Sadono, MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua
Program
Studi
Komunikasi
Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian: 1 Februari 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis penelitan ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipiih dalam proposal penelitian ini yaitu Komunikasi Partisipatif Kelompok
Sadar Wisata Dalam Pengelolaan Wisata Gunung Api Purba, Nglanggeran,
Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS dan Dr.
Ir. Dwi Sadono, MSi selaku pembimbing atas dukungan, arahan, masukan berupa
teori serta waktu dengan penuh kesabaran membimbing penulis hingga dapat
menghasilkan sebuah tulisan yang lebih baik selama pembuatan tesis penelitian
ini. Kepada rekan-rekan sejawat atas dukungan yang diberikan (KMP angkatan
genap 2011) dan angkatan 2012.
Akhir kata penulis ucapkan mohon maaf jika ada kesalahan dan
kekurangan, sesungguhnya kesalahan dan kekurangan ada pada penulis,
kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2016
R. Restama Gustar Hastosaptyadhan
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
PENDAHULUAN
Latar Belakang
PerumusanMasalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Komunikasi Partisipatif
Kelompok Sosial
Komunikasi Partisipatif dalam Kelompok Sadar Wisata
Kredibilitas Fasilitator
Desa Wisata dengan Kawasan Ekowisata Berwawasan Lingkungan
Berbasis Masyarakat
Hasil Penelitian Terdahulu
Kerangka Penelitian
Hipotesis Penelitian
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Populasi dan Sampel Penelitian
Data dan Instrumen Penelitian
Teknik Pengumpulan Data
Definisi Operasional
Validitas Instrumentasi
Reliabilitas Instrumentasi
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kelompok Sadar Wisata
Karakteristik Individu Pokdarwis
Kredibilitas Fasilitator
Dukungan Kelembagaan
Komunikasi Partisipatif
Pengelolaan Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran
Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Komunikasi
Partisipatif Pokdarwis
Hubungan antara Kredibilitas Fasilitator dengan Komunikasi
Partisipatif Pokdarwis
Hubungan antara Dukungan Kelembagaan dengan Komunikasi
Partisipatif Pokdarwis
Hubungan antara Pengelolaan Wisata dengan Komunikasi
Partisipatif Pokdarwis
KESIMPULAN
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
xii
xii
1
1
3
4
4
5
5
9
9
12
13
13
17
19
20
20
20
20
20
21
22
22
24
25
26
26
27
29
32
35
37
39
42
44
46
47
49
49
50
53
57
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Karakteristik individu
Kredibilitas fasilitator
Dukungan kelembagaan
Komunikasi partisipatif Kelompok Sadar Wisata
Pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran
Jumlah dan persentase karakteristik individu Pokdarwis
Jumlah dan persentase kredibilitas fasilitator Pokdarwis
Jumlah dan persentase dukungan kelembagaan Pokdarwis
Jumlah dan persentase komunikasi partisipatif Pokdarwis
10
Hubungan antara karakteristik individu dengan komunikasi
partisipatif Pokdarwis
11
Hubungan antara kredibilitas fasilitator dengan komunikasi
partisipatif
Hubungan antara dukungan kelembagaan dengan komunikasi
partisipatif Pokdarwis
Hubungan antara pengelolaan wisata dengan komunikasi
partisipatif Pokdarwis
12
13
21
21
22
22
22
30
33
35
37
38
39
40
41
DAFTAR GAMBAR
1
Kerangka berpikir penelitian komunikasi partisipatif
kelompok sadar wisata dalam pengelolaan wisata Gunung
Api Purba Nglanggeran, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta
16
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan sumber
daya alam dan bentang alam yang melimpah dan tinggi nilainya. Kekayaan
tersebut menjadi modal penting bagi pembangunan bangsa Indonesia dan akan
punah apabila tidak dikelola secara optimal baik oleh Pemerintah maupun
masyarakat. Di samping itu, Indonesia juga dikenal sebagai negara majemuk yang
kaya akan keberagaman suku, budaya, agama dan sejarah. Kedua potensi tersebut
apabila dikelola secara baik dan benar disertai upaya-upaya pelestariannya, dapat
mendukung pencapaian kesejahteraan rakyat.
Selaras dengan visi, misi dan program aksi untuk mewujudkan Indonesia
yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian, maka pemerintah telah menetapkan
Jalan Perubahan yang disebut Nawa Cita. Sesuai Nawa Cita ke-7 yaitu
Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis
ekonomi domestik, maka upaya pengembangan usaha lokal merupakan bagian
kekuatan pendorong pembangunan ekonomi bangsa. Pengembangan ekonomi
lokal dapat berperan dalam mempercepat pemerataan pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan pendapatan masyarakat, serta mampu menyediakan peluang lapangan
kerja. Masyarakat perlu difasilitasi oleh Pemerintah agar mempunyai jiwa
wirausaha, tidak tergantung pada bantuan pemerintah. Fasilitas ini dapat berupa
peningkatan kapasitas usaha, pendampingan dan bantuan permodalan sehingga
masyarakat yang sebelumnya hanya menerima bantuan sosial dapat berkembang
menjadi pelaku usaha mikro yang pada waktunya bisa mandiri bahkan dapat
membantu masyarakat di sekitarnya dalam pengembangan ekonomi lokal yang
dapat berdampak pada meningkatnya perekonomian regional dan nasional untuk
mewujudkan kemandirian ekonomi sebagai perwujudan dari Tri Sakti.
Kekayaan alam dan keberagaman bangsa Indonesia menyimpan banyak
potensi sekaligus peluang berharga untuk membangun kepariwisataan Indonesia
agar lebih bergairah di mata dunia serta memiliki karakteristik berdasarkan
kearifan lokal, oleh karena itu pemerintah memiliki peranan penting dalam
menggali potensi dan membuat kebijakan terhadap pengembangan
kepariwisataan, sehingga masyarakat lokal meningkat kesadarannya untuk
menggali potensi dan bergerak membangun desa dan kawasan perdesaan serta
kota.
Menurut BPS (2015) Kabupaten Gunungkidul yang memiliki luas wilayah
1.485,36 Km2 dengan 18 kecamatan dan 144 desa dan kelurahan merupakan
kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang sedang giat
mengembangkan potensi pariwisata. Pada umumnya masyarakat menganggap
bahwa Kabupaten Gunungkidul adalah kabupaten miskin, rawan kekeringan dan
tidak banyak memiliki tempat wisata yang khas. Namun seiring dengan
perkembangan pembangunan dan kemajuan masyarakat, kabupaten tersebut
mempunyai potensi besar bagi pengembangan kegiatan pariwisata yang
merupakan perpaduan yang harmonis antara kekayaan alam, kebudayaan
tradisional, dan cara hidup masyarakatnya.
Salah satu obyek wisata di Kabupaten Gunung Kidul yang banyak
dikunjungi wisatawan karena keunikannya adalah Gunung Api Purba yang
terletak di Desa Nglanggeran Kecamatan Patuk pada ketinggian 200-700 m dpl
dengan jarak tempuh 22 km dari kota Wonosari melalui perjalanan darat. Adapun
Litologi lokasi ini tersusun oleh material vulkanik tua dan bentang alamnya
memiliki keindahan yang secara geologi sangat unik dan bernilai ilmiah tinggi.
Dari hasil penelitian dan referensi yang ada, dinyatakan gunung Nglanggeran
adalah gunung berapi purba.
Pada tahun 2007 berkembang ide kreatif para pemuda Desa Nglanggeran
yang mulai membenahi dan menata lokasi ekowisata Gunung Api Purba
Nglanggeran secara swadaya dengan membangun jalur pendakian, fasilitas MCK
(Mandi, Cuci, Kakus), serta gubuk-gubuk peristirahatan pendakian. Pada saat
mengembangkan lokasi tersebut para pemuda ini membuat wadah organisasi yang
bernama Pokdarwis (kelompok sadar wisata) yang terdiri dari unsur Karang
Taruna Bukit Putra Mandiri, Pemerintah Desa, kelompok tani, ibu-ibu PKK, dan
pemilik rumah singgah (homestay). Pada Tahun 2009, Pokdarwis telah
mengantarkan desanya menjadi juara Desa Wisata se-Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan pemberdayaan masyarakat
melalui pengembangan desa wisata telah dilakukan oleh masyarakat lokal yaitu
Pokdarwis Nglanggeran yang telah mampu mengangkat potensi lokal menjadi
potensi regional bahkan selanjutnya dapat diangkat menjadi potensi nasional.
Komunikasi partisipatif merupakan paradigma komunikasi pembangunan
yang memiliki prinsip komunikasi horisontal untuk mendorong partisipasi
masyarakat melalui dialog. Masyarakat lokal diajak berpartisipasi dalam
mengidentifikasi kebutuhan dan tindakan alternatif untuk memenuhi kebutuhan
pembangunannya melalui dialog dengan stakeholder lainnya yang terlibat dalam
proses pembangunan (Bessette 2007). Proses dialog dalam komunikasi partisipatif
bersifat dinamis, interaksional dan transformatif. Dialog terjadi antar individu,
kelompok dan institusi dengan pihak lainnya baik individu maupun kolektif,
untuk mewujudkan potensi mereka dan meraih kesejahteraan hidupnya (Singhal
2001).
Dialog merupakan hal yang paling penting dalam komunikasi partisipatif
pada sebuah komunitas/kelompok sosial. Dagron (2008) menambahkan bahwa
dialog merupakan kunci dari komunikasi partisipatif dalam pembangunan, jika
ingin melibatkan masyarakat sipil dalam pembangunan maka adanya dialog tidak
bisa dihindarkan, begitu juga jika sebuah organisasi pembangunan ingin
membangun hubungan dengan pemerintah dan masyarakat sosial, maka dialog
merupakan hal yang paling penting dilakukan dalam tingkat komunitas/kelompok.
Dalam dialog terjadi sharing knowledge dan pengalaman dengan para stakeholder
untuk mengidentifikasi masalah, menganalisis dan menetapkan solusi atas
permasalahan yang terjadi serta mengevaluasi (Tufte&Mefalopulos 2009). Tidak
akan ada kelompok tanpa adanya dialog di dalamnya, begitu pula sebaliknya tidak
ada dialog bila tidak terbentuk kelompok. Proses dialog sendiri dimaknai dengan
pembentukan makna dan menyampaikan nilai sosial antara individu yang saling
bertukar informasi. Hal tersebut menandakan bahwa dialog selalu diawali dengan
proses komunikasi dalam diri individu (intrapersonal) sebelum menyampaikan
ide/aspirasinya ke anggota kelompok yang lain maupun komunikator
pembangunan dengan memperhatikan norma dan nilai-nilai yang berlaku (Rahim
2004).
Pembentukan Pokdarwis diawali dengan proses dialog oleh kalangan muda
yang mempunyai kesamaan visi dalam mengembangkan potensi alam gunung api
purba Nglanggeran yang pada akhirnya berhasil membawa kelompok lain secara
partisipatif berperan dalam mengelola kawasan wisata tersebut. Keberhasilan ini
perlu dikaji sehingga diketahui bahwa komunikasi partisipatif berperan membawa
keberhasilan Pokdarwis dalam mengelola kawasan Wisata Gunung Api Purba
Nglanggeran. Demikian pula dengan komunikasi partispatif yang dikembangkan
sehingga anggota Pokdarwis mempunyai peran yang sama dalam wujud
kepedulian dan keinginan untuk maju dan berkembang dengan memanfaatkan
potensi lokal yang ada sehingga dapat menjadi faktor kemajuan daerah wisata ini.
Perumusan Masalah
Pengelolaan kawasan wisata Gunung api purba diinisiasi dengan
pembentukan desa wisata dalam PNPM Mandiri Pariwisata oleh Kementerian
Pariwisata tahun 2011. Prinsip-prinsip PNPM Mandiri seperti yang disebutkan
pada pasal 4 UU No 6/2014 tentang Desa bahwa pengaturan Desa salah satunya
bertujuan untuk mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa
untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama. Hal ini
dibuktikan bahwa melalui komunikasi partisipatif telah dibentuk kelompok sadar
wisata (Pokdarwis) yang sangat berperan dalam pengelolaan kawasan wisata ini,
namun demikian perlu dikaji lebih jauh permasalahan yang dihadapi Pokdarwis
ini sehingga diharapkan dapat tetap berkelanjutan perannya pada waktu yang akan
datang. Beberapa penelitian terdahulu seperti Saputra (2011), Mulyasari (2009),
Muchlis (2009), dan Satriani (2011) memiliki sumber referensi yang berbeda, dan
fokus obyek penelitiannya juga berbeda sesuai dengan sudut pandang masingmasing peneliti. Penelitian terdahulu tersebut tidak membahas hingga pengelolaan
wisata. Penelitian ini menganalisis tentang fasilitator yang juga merupakan
kelompok sosial masyarakat dengan nama kelompok sadar wisata (Pokdarwis),
dan peran komunikasi partisipatif juga dianalisis hubungannya dengan
pengelolaan wisata. Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut, maka penelitian
mengenai komunikasi partisipatif Kelompok Sadar Wisata dalam pengelolaan
wisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi penting untuk diteliti.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka permasalahan yang akan dikaji
dalam pengelolaan lokasi wisata Gunung Api Purba ini adalah :
(1) Bagaimanakah komunikasi partisipatif yang terjadi pada kelompok sadar
wisata dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran ?
(2) Bagaimana hubungan antara karakteristik individu, kredibilitas
fasilitator, dan dukungan kelembagaan dengan komunikasi partisipatif
dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran ?
(3) Bagaimana hubungan komunikasi partisipatif oleh kelompok sadar
wisata yang dapat berperan dalam pengelolaan wisata Gunung Api
Purba Nglanggeran ?
Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah melakukan kajian tentang peran
komunikasi partisipatif dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba
Nglanggeran. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
(1) Mendeskripsikan komunikasi partisipatif yang terjadi pada kelompok
sadar wisata dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran.
(2) Menganalisis hubungan antara karakteristik individu, kredibilitas
fasilitator, dan dukungan kelembagaan dengan komunikasi partisipatif
dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran.
(3) Menganalisis hubungan komunikasi partisipatif oleh kelompok sadar
yang wisata dapat berperan dalam pengelolaan wisata Gunung Api
Purba Nglanggeran.
Manfaat Penelitian
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian sejenis
atau penelitian lanjutan dalam pengkajian komunikasi partisipatif untuk
mendukung pengelolaan potensi wisata dan menjadi bahan pertimbangan dalam
penyusunan rekomendasi kebijakan bagi instansi terkait baik di daerah maupun di
pusat.
TINJAUAN PUSTAKA
Komunikasi Partisipatif
Selama ini pogram pembangunan kerap ditentukan sendiri oleh pemerintah
pusat (top-down), sehingga tidak mencerminkan kebutuhan masyarakat hingga
tingkat bawah (grassroot). Aliran komunikasi yang searah dan cenderung topdown ini memaksa masyarakat hanya menjadi pihak penerima pasif, dan
mengesampingkan hak mereka untuk berpartisipasi, bersuara maupun
berpendapat. Freire (1972) mengistilahkan ketidakmampuan masyarakat untuk
menyuarakan aspirasi dan permasalahan yang dihadapi dengan istilah voiceless
people.
Keterlibatan partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam setiap kegiatan
pembangunan memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan
pembangunan (McPhail 2009). Srampickal (2006) menambahkan dibutuhkan
partisipasi aktif dari grassroot untuk melancarkan jalannya pembangunan.
Semua partisipasi merupakan hasil dari adanya komunikasi, namun tidak
semua komunikasi berbentuk partisipatif (Singhal 2001). Partisipasi masyarakat
bisa diraih dengan menggunakan komunikasi horisontal yang berlangsung dua
arah. Proses komunikasi partisipatif juga menekankan pada kemampuan anggota
komunitas agar mampu menyampaikan aspirasinya serta berbagi informasi yang
lebih dikenal dengan istilah voice. Komunikasi partisipatif menjunjung tinggi
adanya voice sebagai hak asasi dari seluruh masyarakat yang terlibat dalam proses
pembangunan (Warnock et al. 2007).
Aspirasi atau voice dalam komunikasi partisipasi menekankan pada hak
seluruh individu untuk didengar, berbicara, dan kemungkinan bagi tiap individu
berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan dalam menentukan
kehidupannya (Warnock et al. 2007; McPhail 2009). Bentuk partisipasi
masyarakat dalam menyuarakan aspirasinya adalah dengan berkontribusi pada
setiap proses komunikasi, diantaranya adalah menyampaikan pandangan,
berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, bertindak dalam pencarian informasi.
Konsep action-reflection-action sebagai bahan yang penting dalam
komunikasi partisipatif bukan hanya merefleksikan masalah, tetapi juga
mengumpulkan tindakan dengan mencoba mengumpulkan gerakan dari masalah
yang diidentifikasi dalam sebuah komunitas/kelompok. Kata kunci dalam konsep
ini adalah meningkatkan kesadaran dan komitmen untuk bertindak dalam sebuah
kelompok. Hal tersebut bisa dicapai dengan melibatkan tindakan kolektif dalam
kelompok yang mempunyai komitmen dan rasa memiliki pada masalah yang
dihadapi. McKee et al. (2008) menjelaskan bahwa untuk memunculkan rasa
memiliki, kompetensi dan komitmen pada sebuah kelompok adalah dengan
adanya collective action dan kontrol berdasarkan partisipasi antara anggota
komunitas dengan organisasi dalam konteks sosial. Intervensi komunikasi
pembangunan dalam collective action pada level kelompok tergantung pada
kegiatan komunikasi di dalamnya, termasuk adanya dialog, identifikasi masalah
dan solusinya, berbagi informasi, negosiasi, persetujuan, bergabung dalam proses
pengelolaan, dan proses pertanggungjawaban yang sama dalam komunitas
(Warnock et al. 2007). Berdasarkan hal tersebut, komunikasi partisipatif dalam
penelitian ini dimaknai sebagai bentuk partisipasi anggota kelompok dalam
menjalankan proses komunikasi (voice, dialog dan refleksi aksi) pada kegiatan
pembangunan yang bertujuan untuk memperbaiki taraf hidupnya.
Salah satu perbedaan yang paling mendasar dari kelompok adalah
karakteristiknya. Karakteristik merupakan sifat-sifat atau ciri-ciri yang melekat pada
sesuatu baik itu benda, orang maupun makhluk hidup lainnya, yang berhubungan
dengan berbagai aspek kehidupannya (Mardikanto 1993). Bisa diasumsikan bahwa
karaktersitik kelompok merupakan ciri-ciri yang melekat dalam kelompok tersebut.
Ciri-ciri tersebut menjadi pembeda antara kelompok satu dengan yang lainnya
(Suharno 2009). Syam et al (2000) menyebutkan bahwa karakteristik pada kelompok
tani yang mendasar adalah umur kelompok, aktifitas keanggotaan kelompok dan luas
areal usaha tani. Tidak jarang program pembangunan harus mengelola beberapa
kelompok sekaligus, yang tentu saja karakteristik kelompok satu dan lainnya berbeda.
Perbedaan itulah yang kemudian difasilitasi oleh komunikator pembangunan melalui
dialog untuk membangun konsensus sesuai dengan masalah dan kebutuhan masingmasing kelompok.
Paradigma komunikasi partisipatif ditandai dengan terakomodasinya aspirasi
semua pihak dalam program pembangunan. Oleh karena itu, pendekatan partisipatif
lebih tepat digunakan dalam era globalisasi, karena menurut Sumardjo (1999),
pendekatan tersebut lebih memungkinkan terjadi integrasi antara kepentingan
nasional dengan kepentingan masyarakat dan potensi dan permasalahan lingkungan
setempat. Pendekatan partisipatif lebih menempatkan martabat manusia secara layak,
keberadaan masyarakat dengan aspek kepentingan dan kemampuannya lebih dikenali
dan dihargai, sehingga lebih mendorong terjadi partisipasi yang lebih luas.
Partisipasi masyarakat pada kenyataannya berawal atau dilandasi dengan
adanya kebersamaan (togetherness, commonality). Kebersamaan dalam mengartikan
atau mempersepsikan sesuatu (misalnya masalah atau kesulitan) yang penting bagi
masyarakat bersangkutan. Kebersamaan dalam cara-cara memecahkan masalah.
Kebersamaan dalam melaksanakan keputusan-keputusan untuk masalah yang
dirasakan. Model partisipasi masyarakat telah bergeser dari yang sebelumnya terfokus
pada penerima manfaat atau kelompok terabaikan (sebagaimana yang diterapkan
dalam banyak proses pembangunan), ke bentuk pelibatan warga yang lebih luas di
bidang-bidang yang mempengaruhi kehidupan mereka secara langsung (Sumarto
2003). Komunikasi partisipatif mengasumsikan adanya proses humanis yang
menempatkan individu sebagai aktor aktif dalam merespon setiap stimulus yang
muncul dalam lingkungan yang menjadi medan kehidupannya. Individu bukanlah
wujud yang pasif yang hanya bergerak jika ada yang menggerakan.Individu adalah
wujud dinamis yang menjadi subjek dalam setiap perilaku yang diperankan termasuk
perilaku komunikasi (Hamijoyo 2005).
Pemikiran inti dari model komunikasi partisipatif adalah bahwa dalam proses
pembicaraan dapat dimungkinkan dan diperhitungkan timbulnya ide-ide baru pada
waktu komunikasi sedang berlangsung. Jika dalam model linier titik berat pada
pesan-pesan yang telah dipersiapkan dulu, dalam model partisipasi ini ada satu
cerminan situasi komunikasi yang sebenarnya, sehingga dengan jelas dapat dilihat
apakah pihak-pihak yang berkomunikasi telah berhasil saling mempengaruhi atau
tidak, dapat dilihat akibat dari pesan yang telah dikirim. Model ini juga
memperlihatkan situasi interaktif antara pihak-pihak yang berkomunikasi dan dapat
berlangsung dalam bentuk komunikasi antar pribadi dan kelompok (Sulistyowati et
al. 2005).
Menurut Servaes (2002) adapun prinsip-prinsip komunikasi partisipatif yang
terdiri dari: (1) masyarakat biasa (bukan agen perubahan atau struktur kekuasaan
formal) sebagai “agen utama” perubahan. Komunikasi diarahkan untuk mendorong
kemandirian masyarakat; (2) tujuan pembangunan adalah pendidikan dan aktivitas
orang terhadap perbaikan diri dan masyarakat, keterlibatan orang lokal dalam
pengelolaan dan evaluasi program pembangunan, pendidikan penting untuk
pemberdayaan bukan instruksi “know-how”, belajar bukan proses pasif; (3)
pergeseran kembali fokus dari negara kepada masyarakat lokal; (4) partisipasi
melibatkan pendistribusian kembali kekuasaan dari elit kepada masyarakat lokal dan
(5) komunikasi partisipatif memerlukan pelaksanaan penelitian dalam tradisi baru
yang disebut “penelitian partisipatif”. Maksudnya penelitian yang memungkinkan
masyarakat melakukan sendiri bukan temuan akademisi atau “ahli”, karena
masyarakat dipercaya dapat merefleksikan situasi yang menindas mereka dan
mengubahnya, mereka lebih mengetahui kebutuhan dan realitasnya daripada “para
ahli”.
White (2004) mendefinisikan komunikasi partisipatif sebagai dialog terbuka,
sumber dan penerima berinteraksi secara kontinyu, memikirkan secara konstruktif
situasi, mengidentifikasi kebutuhan dan permasalahan pembangunan, memutuskan
apa yang yang dibutuhkan untuk meningkatkan situasi dan bertindak atas situasi
tersebut. Singhal (2001) mengartikan komunikasi partisipatif adalah sebuah proses
dinamis, interaktif dan transformasional, di mana orang terlibat dalam dialog, dengan
individu dan kelompok masyarakat dalam rangka merealisasikan potensi secara
penuh agar dapat meningkatkan kehidupan mereka.
Menurut Bordenave dalam White (2004) komunikasi partisipatif dapat diartikan
sebagai proses komunikasi yang memberikan kebebasan, hak dan akses yang sama
dalam memberikan pandangan, perasaan, keinginan, pengalaman dan menyampaikan
informasi ke masyarakat untuk menyelesaikan sebuah masalah melalui dialog. Dialog
adalah komunikasi transaksional dimana pengirim (sender) dan penerima (receiver)
pesan saling berinteraksi dalam suatu periode waktu tertentu hingga sampai pada
makna-makna yang saling berbagi. Esensi dari dialog adalah mengenal dan
menghormati pembicara lain atau suara lain, sebagai subjek yang otonom, tidak lagi
hanya sebagai objek komunikasi. Dalam dialog setiap orang 12 memiliki hak yang
sama untuk bicara atau untuk didengar dan mengharap bahwa suaranya tidak akan
ditekan oleh orang lain atau disatukan dengan suara orang lain.
Rahim dalam White (2004) mendefinisikan komunikasi partisipatif adalah
suatu proses komunikasi dimana terjadi komunikasi dua arah atau dialogis, sehingga
menghasilkan suatu pemahaman yang sama terhadap pesan yang disampaikan. Dalam
konsep public sphere, dialog merupakan suatu aktivitas komunikasi yang terbuka dan
dapat diakses oleh para peserta. Dalam konsep ini yang dicari bukan saja berorientasi
pada keberhasilannya masing-masing, namun yang lebih penting adalah bagaimana
situasi pemahaman bersama terhadap realitas menjadi dasar bagi pencapaian
kepentingan mereka, tanpa mengabaikan kesesuaian antara rencana dan aksi
(Habermas 1990).
Paradigma komunikasi partisipatif ditandai dengan terakomodasinya aspirasi
pihak atas (pemerintah) dan pihak bawah (masyarakat) dalam program pembangunan
wilayah setempat. Oleh karena itu, pendekatan partisipatif lebih tepat digunakan
dalam era globalisasi, karena menurut Sumardjo (1999), pendekatan tersebut lebih
memungkinkan terjalin integrasi antara kepentingan nasional dengan kepentingan
masyarakat dan potensi (dan permasalahan) lingkungan setempat. Pendekatan
tersebut lebih menempatkan martabat manusia secara lebih layak, keberadaan
masyarakat dengan aspek kepentingan dan kemampuannya menjadi lebih dikenali
dan dihargai, sehingga lebih mendorong terjadinya partisipasi masyarakat yang lebih
luas.
Menurut Freire (1972) semua orang baik secara individual dan kolektif
memiliki hak untuk berbicara. Berbicara bukan hak istimewa dari beberapa orang,
namun hak setiap manusia. Freire menyadari bahwa kebodohan dan kelalaian mereka
membuat mereka menjadi tidak memiliki keberanian dan kemampuan uantuk
menjawab realitas-realitas kongkret dari dunia mereka. Mereka tetap saja tenggelam
dalam suatu keadaan di mana kesadaran kritis dan jawaban semacam itu praktis tidak
mungkin. Mereka merupakan masyarakat yang tersisihkan, tak berdaya, yang
kemudian menjadi tidak berani berbicara sehingga kemudian memunculkan satu
kebudayaan yang dikenal dengan nama “kebudayaan bisu” atau “cultures of silence”.
Budaya bisu akan bisa diubah menjadi budaya kritis, di mana orang berani bicara
untuk memperjuangkan hak hidupnya menjadi manusia yang sesungguhnya. Walau
upayanya tersebut tampaknya “hanya” dalam aspek pendidikan, namun dampaknya
secara cukup kuat dan signifikan mempengaruhi ikhtiar pembangunan nasional.
Komunikasi partisipatif memiliki kegiatan dialog yang menyaratkan bahwa orangorang yang terlibat di dalamnya berada dalam level yang sama, berbicara dalam
frekuensi yang sama tentang sesuatu hal yang dihadapi. Tatkala seseorang merasa
lebih pintar dari orang lain dari anak-anak itu dan memaksakan pendapatnya maka
yang terjadi adalah proses transfer sebagaimana yang kerap terjadi dalam pendidikan
formal. Model komunikasi partisipatif, di sisi lain mengubah pandangan dalam
kerangka keragaman. Ini menekankan pentingnya identitas budaya masyarakat lokal
dan demokratisasi dan partisipasi di semua tingkat-internasional, nasional, lokal dan
individu. Proses pemberdayaan (empowerment) sejatinya harus ditujukan untuk
“membantu partisipan memperoleh daya (kuasa) untuk mengambil keputusan dan
menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk
mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini
dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan
daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.“ (Payne
1979 diacu dalam Nasdian 2003). Harus diakui bahwa selama ini, peran serta
masyarakat hanya dilihat dalam konteks yang sempit, artinya manusia cukup di
pandang sebagai tenaga kasar untuk mengurangi biaya pembangunan. Dengan kondisi
ini, partisipasi masyarakat “terbatas” pada implementasi atau penerapan program;
masyarakat tidak dikembangkan dayanya menjadi kreatif dari dalam dirinya dan
harus menerima keputusan yang sudah diambil “pihak luar”. Akhirnya, partisipasi
menjadi bentuk yang pasif dan tidak memiliki “kesadaran kritis” (Nasdian 2003).
Kelompok Sosial
Kelompok sosial atau social group adalah himpunan atau kesatuan manusia
yang hidup bersama, karena adanya hubungan di antara mereka. Hubungan
tersebut antara lain menyangkut hubungan timbal balik yang saling
mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling menolong (Soekanto
2006:104).
Kelompok sosial walaupun jumlahnya sedikit tetapi ada, dan umumya
dibentuk untuk urusan-urusan ritual seperti kematian, pelestarian adat dan untuk
urusan yang berhubungan dengan ritual peribadatan suatu agama. Di luar ritual,
kelompok sosial
untuk kepentingan ekonomi sifatnya marginal tetapi sarat
dengan nilai-nilai yang bettentangan dengan nilai-nilai universal yang senantiasa
memberikan bobot pada peningkatan produktivitas, nilai tambah, kompetisi,
efisiensi, kebebasan dan persamaan. Kelompok teresebut berkembang atas dasar
beraktivitas bersama bukan beraktivitas sama-sama untuk mengubah nasib dan
kekayaan material untuk hari esok yang lebih baik.
Teori sosiologi senantiasa membedakan dua jenis kelompok sosial. Pertama,
apa yang disebut kelompok primer yaitu suatu wadah tempat berhimpunnya satu
atau lebih individu yang memiliki hubungan personal antar mereka yang sangat
dekat dan pola interaksi sesamanya biasanya sangat informal. Pada kelompok
primer ini hampir semua persoalan didiskusikan walau tanpa arah dan
penyelesaian tertentu yang jelas, serta tidak ada rahasia antar anggota kelompok.
Keanggotaan kelompok ini biasanya homogeny dari suatu garis keturunan,
kepercayaan, pertemanan, informal dan sejenisnya. Wujud pembentukan
kelompok ini biasanya mulai dari keluarga, perkumpulan sesame teman-teman
dekat, kelompok garis keturunan dan sejenisnya. Kedua, yaitu kelompok sekunder
yang didalamnya berimpun sekelompok orang dengan spesialisasi tertent atau
memiliki tujuan-tujuan khusus organisasi dan dengan pembagian tugas, untuk
para pengurus dan anggotanya, secara jelas yang merefleksikan peran mereka
untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Hubungan interpersonal
dalam kelompok ini relative terbatas dan frekuensi pertemuan antar anggota
kelompok biasaya tidak berlangsung secara terus menerus. Pada kelompok yang
disebut terakhir, dalam wujud kekiniannya merupakan bentuk organisasi modern
yang bersifat lebih formal.
Komunikasi Partisipatif dalam Kelompok Sadar Wisata
Pembangunan kepariwisataan memerlukan dukungan dan keterlibatan
seluruh pemangku kepentingan di bidang pariwisata. Masyarakat adalah salah satu
unsur penting pemangku kepentingan untuk bersama-sama dengan Pemerintah
dan kalangan usaha/swasta bersinergi melaksanakan dan mendukung
pembangunan kepariwisataan, oleh karena itu pembangunan kepariwisataan harus
memperhatikan posisi, potensi dan peran masyarakat baik sebagai subjek atau
pelaku maupun penerima manfaat pengembangan, karena dukungan masyarakat
turut menentukan keberhasilan jangka panjang pengembangan kepariwisataan.
Dukungan masyarakat dapat diperoleh melalui penanaman kesadaran masyarakat
akan arti penting pengembangan kepariwisataan, untuk itu dibutuhkan proses dan
pengkondisian untuk mewujudkan masyarakat yang sadar wisata. Kelompok
Sadar Wisata (Pokdarwis) merupakan salah satu komponen dalam masyarakat
yang memiliki peran dan kontribusi penting dalam pengembangan kepariwisataan
di daerahnya. Keberadaan Pokdarwis tersebut perlu terus didukung dan dibina
sehingga dapat berperan lebih efektif dalam turut menggerakkan partisipasi
masyarakat untuk mewujudkan lingkungan dan suasana yang kondusif bagi
tumbuh dan berkembangnya kegiatan kepariwisataan di sekitar destinasi
pariwisata.
Pedoman Kelompok Sadar Wisata (2012) menyatakan bahwa Peningkatan
peran masyarakat dalam pembangunan kepariwisataan memerlukan berbagai
upaya pemberdayaan (empowerment), agar masyarakat dapat berperan lebih aktif
dan optimal serta sekaligus menerima manfaat positif dari kegiatan pembangunan
yang dilaksanakan untuk peningkatan kesejahteraannya. Pemberdayaan
Masyarakat dalam konteks pembangunan kepariwisataan dapat didefinisikan
sebagai:“Upaya penguatan dan peningkatan kapasitas, peran dan inisiatif
masyarakat sebagai salah satu pemangku kepentingan, untuk dapat berpartisipasi
dan berperan aktif sebagai subjek atau pelaku maupun sebagai penerima manfaat
dalam pengembangan kepariwisataan secara berkelanjutan”. Renstra Dit.
Pemberdayaan Masyarakat (2010). Definisi tersebut menegaskan posisi penting
masyarakat dalam kegiatan pembangunan, yaitu masyarakat sebagai subjek atau
pelaku pembangunan, dan masyarakat sebagai penerima manfaat pembangunan.
Masyarakat sebagai subyek atau pelaku pembangunan, mengandung arti, bahwa
masyarakat menjadi pelaku penting yang harus terlibat secara aktif dalam proses
perencanaan dan pengembangan kepariwisataan, bersama-sama dengan pemangku
kepentingan terkait lainnya baik dari pemerintah maupun swasta. Dalam
fungsinya sebagai subjek atau pelaku masyarakat memiliki peran dan tanggung
jawab untuk bersama-sama mendorong keberhasilan pengembangan
kepariwisataan di wilayahnya. Masyarakat sebagai penerima manfaat,
mengandung arti, bahwa masyarakat diharapkan dapat memperoleh nilai manfaat
ekonomi yang berarti dari pengembangan kegiatan kepariwisataan untuk
meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan sosial masyarakat yang
bersangkutan. Dalam kerangka pembangunan kepariwisataan tersebut, salah satu
aspek mendasar bagi keberhasilan pembangunan kepariwisataan adalah dapat
diciptakannya lingkungan dan suasana kondusif yang mendorong tumbuh dan
berkembangnya kegiatan kepariwisataan di suatu tempat. Iklim atau lingkungan
kondusif tersebut terutama dikaitkan dengan perwujudan Sadar Wisata dan Sapta
Pesona yang dikembangkan secara konsisten di kalangan masyarakat yang tinggal
di sekitar destinasi pariwisata.
Sadar wisata dalam hal ini digambarkan sebagai bentuk kesadaran
masyarakat untuk berperan aktif dalam 2 (dua) hal berikut, yaitu:
a) Masyarakat menyadari peran dan tanggung jawabnya sebagai tuan
rumah (host) yang baik bagi tamu atau wisatawan yang berkunjung untuk
mewujudkan lingkungan dan suasana yang kondusif sebagaimana tertuang dalam
slogan Sapta Pesona.
b) Masyarakat menyadari hak dan kebutuhannya untuk menjadi pelaku
wisata atau wisatawan untuk melakukan perjalanan ke suatu daerah tujuan wisata,
sebagai wujud kebutuhan dasar untuk berekreasi maupun khususnya dalam
mengenal dan mencintai tanah air.
Sapta pesona, sebagaimana disinggung di atas adalah : “7 (tujuh) unsur
pesona yang harus diwujudkan bagi terciptanya lingkungan yang kondusif dan
ideal bagi berkembangnya kegiatan kepariwisataan di suatu tempat yang
mendorong tumbuhnya minat wisatawan untuk berkunjung”. Ketujuh unsur Sapta
Pesona yang dimaksud di atas adalah : 1. Aman, 2. Tertib, 3. Bersih, 4. Sejuk, 5.
Indah, 6. Ramah,7. Kenangan.
Terwujudnya ketujuh unsur Sapta Pesona dalam pengembangan
kepariwisataan di daerah akan bermuara pada:
(1) Meningkatnya minat kunjungan wisatawan ke destinasi.
(2) Tumbuhnya iklim usaha kepariwisataan yang prospektif.
(3) Meningkatnya lapangan pekerjaan dan peluang pendapatan, serta dampak
ekonomi multi ganda pariwisata bagi masyarakat.
Sadar Wisata dan Sapta Pesona sebagai unsur penting dalam mendukung
pengembangan destinasi pariwisata tentu tidak dapat terwujud secara otomatis
tanpa adanya langkah dan upaya-upaya untuk merintis, menumbuhkan,
mengembangkan dan melaksanakan secara konsisten di destinasi pariwisata. Oleh
karena itu, perlu ditumbuhkan peran serta masyarakat secara aktif dalam
mengembangkan Sadar Wisata dan Sapta Pesona bersama-sama dengan
pemangku kepentingan terkait lainnya. Dalam hal ini Kelompok Sadar Wisata
(Pokdarwis) atau kelompok penggerak pariwisata sebagai bentuk kelembagaan
informal yang dibentuk anggota masyarakat (khususnya yang memiliki
kepedulian dalam mengembangkan kepariwisataan di daerahnya), merupakan
salah satu unsur pemangku kepentingan dalam masyarakat yang memilki
keterkaitan dan peran penting dalam mengembangkan dan mewujudkan Sadar
Wisata dan Sapta Pesona di daerahnya.
Kelompok sadar wisata, selanjutnya disebut dengan Pokdarwis, adalah
kelembagaan di tingkat masyarakat yang anggotanya terdiri dari para pelaku
kepariwisataan yang memiliki kepedulian dan tanggung jawab serta berperan
sebagai penggerak dalam mendukung terciptanya iklim kondusif bagi tumbuh dan
berkembangnya kepariwisataan serta terwujudnya Sapta Pesona dalam
meningkatkan pembangunan daerah melalui kepariwisataan dan manfaatkannya
bagi kesejahteraan masyarakat sekitar. Pokdarwis ini merupakan kelompok
swadaya dan swakarsa masyarakat yang dalam aktivitas sosialnya berupaya untuk:
(1) Meningkatkan pemahaman kepariwisataan.
(2) Meningkatkan peran dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan
kepariwisataan.
(3) Meningkatkan nilai manfaat kepariwisataan bagi masyarakat/anggota
Pokdarwis.
(4) Mensukseskan pembangunan kepariwisataan.
Kredibilitas Fasilitator
Komunikasi akan efektif bila komunikan mengalami proses internalisasi,
jika komunikan menerima pesan yang sesuai dengan sistem nilai yang di anut.
Komunikan merasa memperoleh sesuatu yang bermanfaat jika pesan yang
disampaikan memiliki rasionalitas yang dapat diterima. DeVito (1997) memahami
kredibilitas komunikator sebagai hal penting untuk menjadikan orang lain
(komunikan) percaya atau tidak percaya terhadap apa yang disampaikan
komunikator. Kredibilitas penting dalam dunia pendidikan, karena ini
mempengaruhi citra pendidik di depan kelas. Kredibilitas penting bagi fasilitator
karena akan mempengaruhi anggota komunitas untuk menjalankan programprogram pemberdayaan. Tidak ada situasi komunikasi dimana kredibilitas tidak
mempunyai pengaruh atau efek bagi komunikan. Lebih lanjut DeVito (1997)
mengidentifikasi tiga aspek kualitas utama dari kredibilitas : (1) Kompetensi,
mengacu pada pengetahuan dan kepakaran yang menurut khalayak dimiliki oleh
komunikator; (2) Karakter, mengacu pada itikad dan perhatian komunikator
kepada khalayak dan (3) Kharisma, mengacu pada kepribadian dan kedinamisan
komunikator.
Belch (2001) mengatakan bahwa seorang komunikator atau sumber yang
kredibel sangat penting bila audiens memiliki sikap yang negatif terhadap produk,
jasa, perusahaan atau isu yang tengah diangkat. Hal ini dikarenakan komunikator
atau sumber yang kredibel dapat menghambat konter argumen dari audien.
(1). Keahlian
Seseorang yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan pengalaman
disebut sebagai orang yang memiliki keahlian. Menurut Belch dan
Belch (2001), keahlian adalah tingkatan dimana seorang komunikator
dipresepsikan sebagai orang yang dapat memberikan penilaian yang
benar dan tegas.
(2). Kejujuran
Kejujuran adalah tingkat kepercayaan terhadap niat komunikator dalam
mengkomunikasikan penilaian yang dianggapnya paling benar.Jujur
atau tidaknya sumber bergantung pada persepsi audiens tentang
motivasinya dalam menyampaikan sebuah informasi. Menurut Belch
dan Belch (2001) jika audiens merasa sumber bias atau memiliki
kepentingan pribadi atau uang ketika menyampaikan suatu produk atau
institusi, maka ia menjadi kurang persuasi dibanding orang yang
dianggap tidak memiliki motif pribadi apapun.
(3). Daya tarik
Daya tarik bukan dilihat dari kecantikan fisik saja melainkan juga
berbagai sifat dan karakter yang dimiliki oleh fasilitator, misalnya
kemampuan intelektual, kepribadian, gaya hidup dan sebagainya.
Seorang fasilitator memiliki nilai tambah berupa kekaguman dari
banyak orang. Penampilan seseorang dalam berkomunikasi akan
mempengaruhi proses komunikasi yang dilakukannya. Dalam kaitan
dengan kredibilitas sumber pesan, pengaruh penampilan terutama pada
kontak pertama antara sumber dan penerima pesan.
(4). Keakraban
Aspek ini merujuk pada pengetahuan tentang sumber yang dimiliki
audien melalui terpaan media massa. Keakraban sering diabaikan oleh
institusi karena mereka lebih memperhatikan aspek kesamaan dan daya
tarik sumber (Belch dan Belch 2001).
Ada beberapa peranan yang dilakukan oleh fasilitator dalam pemberdayaan
masyarakat. Dalam suatu dimensi waktu tertentu, seorang fasilitator dapat
berperan sebagai “enabler” atau “organizar” atau “educator”. Peranan ini
bergerak dari satu ke lainya, sehingga ia memiliki peranan ganda.Oleh karena itu,
tampak jelas, peranan yang disandang oleh fasilitator lebih sebagai seorang yang
“generalist” (Nasdian 2003).
Desa Wisata dengan Kawasan Ekowisata Berwawasan Lingkungan Berbasis
Masyarakat
Kelompok sadar wisata di Nglanggeran memiliki arah pengembangan
pengelolaan wisata yang akan dilakukan sesuai dengan konsep rintisan awal
bersama masyarakat yaitu:
(1) Prinsip ramah lingkungan (alam dan budaya): memperdulikan daya
dukung lingkungan, pelestarian SDA dan budaya masyarakat,
menerapkan zonasi kawasan untuk meminimalkan kerusakan dan
meningkatkan kenyamanan pengunjung, menyusun dan implementasi
mekanisme monitoring untuk mengurangi ancaman kerusakan dari
kegiatan pariwisata, menyusun tata kelola pengunjung
(2) Prinsip Ramah Masyarakat: menggunakan konsep partisipatif dan
perencanaan dari bawah, melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan
implementasi, masyarakat desa sebagai pelaku dan penerima manfaat
terbesar dalam pengembangan pariwisata desa, menyusun mekanisme
distribusi keuntungan dari kegiatan pariwisata, menyusun mekanisme
investasi pariwisata yang memprioritaskan peluang untuk warga desa
(3) Prinsip Ramah Wisatawan: pelibatan masyarakat sebagai pelaku wisata,
program pelatihan untuk meningkatkan SDM insan wisata, menciptakan
kenyamanan pengunjung dengan menerapkan SOP pengelola soal
kebersihan kesehatan keamanan, monitoring kepuasan pengunjung dan
juga kepuasan masyarakat
Hasil Penelitian Terdahulu
Komunikasi partisipasi adalah salah satu model komunikasi program
pembangunan yang melekat pada pemberdayaan masyarakat. Hasil penelitian
terdahulu menjelaskan bahwa komunikasi partisipasi memiliki pengaruh terhadap
kelangsungan dalam sebuah program.
Saputra (2011) meneliti mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan
perilaku komunikasi partisipatif fasilitator (kasus PNPM Mandiri di kota Bandar
Lampung). tujuan penelitian ini adalah, (1) mendeskripsikan karakteristik, peran
dan perilaku komunikasi partisipatif fasilitator (2) menganalisis hubungan
karakteristik fasilitator dengan perilaku komunikasi partisipatif fasilitator, (3)
menganalisis hubungan peran fasilitator dengan perilaku komunikasi partisipatif
fasilitator di PNPM Mandiri di Kota Bandar Lampung. Kesimpulan penelitian ini
adalah, jumlah terbesar peran fasilitator, yaitu untuk peran fasilitatif berada pada
tingkatan sedang. Jumlah terbesar karakteristik fasilitator yaitu untuk pengetahuan
non teknis berada pada tingkatan sedang, pendidikan nonformal dan pengetahuan
teknis berada pada tingkatan tinggi, namun pengalaman berada pada tingkatan
rendah. Pada perilaku komunikasi partisipatif, seluruh jumlah terbesar fasilitator
untuk pemberian akses, dialog penyelesaian tugas kelompok, dialog pemeliharaan
kelompok, dan refleksi aksi berada pada tingkatan yang tinggi. Karakteristik
fasilitator yang meliputi pengalaman, pengetahuan nonteknis, pengetahuan teknis,
dan pendidikan nonformal memiliki hubungan terhadap perilaku komunikasi
partisipatif fasilitator. Peran fasilitatif fasilitator juga memiliki hubungan terhadap
perilaku komunikasi partisipatif fasilitator.
Mulyasari (2009) meneliti tentang Komunikasi Partisipatif Warga Pada
Bengkulu Regional Development Project (BRDP). Penelitian ini bertujuan untuk:
a) Menganalisis komunikasi partisipatif yang terjadi dalam proses kegiatan
BRDP, b) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi partisipatif
antara warga dan agen pendamping (fasilitator) dalam kegiatan BRDP, dan c)
Menganalisis tingkat kepuasan yang dirasakan warga sebagai dampak dari
komunikasi partisipatif dalam kegiatan BRDP. Komunikasi partisipatif warga
pada tahap perencanaan berhubungan nyata dengan peubah kemampuan.
Kemampuan yang rendah menyebabkan komunikasi partisipatif yang diharapkan
dapat berjalan antara pengurus UPKD dan warga tidak dapat dilaksanakan dengan
baik. Kemampuan yang rendah mengakibatkan rendahnya kemauan warga untuk
dapat berpartisipasi pada kegiatan BRDP. Mereka tidak memiliki kepercayaan diri
dan keberanian untukmemberikan pertanyaan, masukan atau pendapat kepada
pengurus UPKD, sedangkan pengurus UPKD telah memberikan kesempatan dan
memotivasi warga agar dapat berpartisipasi. Komunikasi partisipatif warga pada
tahap pelaksanaan juga berhubungan nyata dengan peubah kemampuan. Pengurus
UPKD telah memberikan kesempatan kepada warga untuk dapat memberikan
pertanyaan, pendapat dan saran terkait dengan kegiatan BRDP di Desa Pondok
Kubang. Tetapi dengan rendahnya pendidikan, pengalaman, dan modal yang
dimiliki oleh warga maka warga merasa tidak memiliki kemampuan untuk
berpartisipasi pada kegiatan BRDP. Kemampuan yang rendah menyebabkan
kemauan mereka untuk berpartisipasi juga semakin tidak ada. Mereka hanya bisa
menjadi pendengar pasif dan komunikasi partisipatif yang diharapkan dapat
berjalan antara pengurus UPKD dan warga tidak dapat berjalan dengan baik
Muchlis (2009) meneliti tentang Analisis Komunikasi Partisipatif dalam
Program Pemberdayaan Masyarakat: Studi kasus pada Implementasi Musyawarah
dalam PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Teluk, Kecamatan Pemayung, Kabupaten
Batang Hari. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan peran fasilitator
dalam aktivitas PNPM MPd, mengungkapkan makna kredibilitas fasilitator
menurut perspektif partisipan dan pelaku PNPM MPd serta menganalisis proses
komunikasi yang berlangsung antara fasilitator dan partisipan pada aktivitas
PNPM MPd dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Berbagai musyawarah
dalam PNPM MPd yang peneliti ikuti dan fakta empirik di lapangan memberikan
penjelasan bahwa, RTM juga tidak memiliki peluang dalam berpartisipasi. Hal ini
ditandai dengan RTM selalu tidak menerima undangan untuk kegiatan PNPM
MPd. Dengan demikian peluang RTM dalam pengambilan keputusan juga tidak
ada karena musyawarah selalu didominasi oleh elit desa dan fasilitator.
Komunikasi partisipatif yang mengakomodir keberagaman (heteroglasia) baik dari
perspektif ekonomi maupun gender belum terimplementasi secara baik. RTM dan
kelompok perempuan tidak dilibatkan dalam proses komunikasi pada aktivitas
PNPM MPd. Sebagai sebuah program yang mengusung isu pemberdayaan, PNPM
MPd mestinya menjadikan setiap aktivitasnya sebagai proses untuk “membantu
partisipan” terutama RTM dan kelompok perempuan memperoleh “kuasa” untuk
mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan terkait
dengan diri mereka. Konsep heteroglasia selalu mengajak kita untuk membawa
agar sistem pembangunan mestinya selalu dilandasi dan menghargai keberagaman
oleh berbagai kelompok dan komunitas yang berbeda baik dari variasi ekonomi,
sosial, agama dan faktor budaya yang saling mengisi satu sama lain. Dialog
sebagai ciri komunikasi partisipatif juga belum terjadi pada berbagai musyawarah
dalam PNPM MPd. Hal ini dapat dilihat dimana program belum menjamin dan
memberikan setiap orang memiliki hak yang sama untuk berbicara atau untuk
didengar. Kesan yang ditangkap dalam musyawarah tersebut, forum adalah
“pengumuman” dari pelaku PNPM MPd sebagai perpanjangan tangan pemerintah
bukan musyawarah yang selalu mengedepankan dialog. Partisipan terkondisikan
oleh situasi dimana mereka harus menyepakati misi yang dibawa oleh pelaku
PNPM MPd dari pemerintah. Partisipan tidak diberi kesempatan
mempertanyakannya sehingga kesadaran kritis yang diharapkan muncul dari
proses musyawarah tidak terjadi. Esensi dari dialog adalah mengenal dan
menghormati pembicara lain atau suara lain sebagai subjek yang otonom, tidak
hanya sebagai objek komunikasi.
Satriani (2011) meneliti tentang Komunikasi Partisipatif pada Program Pos
Pemberdayaan Keluarga: Studi kasus di RW 05 Kelurahan Situgede, Kecamatan
Bogor Barat. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis peran pendamping,
perangkat kelurahan dan tokoh masyarakat dalam kegiatan Posdaya, menganalisis
komunikasi partisipatif yang terjadi dalam kegiatan Posdaya, menganalisis
dampak komunikasi partisipatif dalam kegiatan Posdaya bagi masyarakat serta
menganalisis respons masyarakat terhadap kehadiran Posdaya. Komunikasi
partisipatif yang terjadi dalam kegiatan Posdaya Kenanga meliputi meliputi akses,
heteroglasia, poliponi, dialog dan karnaval. Kader di Posdaya Kenanga memiliki
akses yang sama untuk berpartisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi
serta pengambilan keputusan. Akses yang terlihat di Posdaya Kenanga adalah
semua kader diundang untuk menghadiri rapat rencana kerja Posdaya Kenanga
dan rapat evaluasi. Konsep heteroglasia terlihat dari latar belakang pendidikan,
pekerjaan, usia yang berbeda serta kesetaraan gender. Memiliki keberagaman
kader, meningkatkan saling menghargai sesama kader. Poliponi terjadi karena
keterbukaan dalam penyampaian suara memberikan hak yang sama kepada kader
tanpa ada penekanan atas pandangan kader yang satu dengan pandangan yang
lain. Interupsi dalam rapat merupakan bentuk tidak adanya intervensi atau
penekanan dan pemaksaan dalam menyampaikan pendapat maupun saran.
Mengutarakan jawaban, pendapat, masukan, kritik serta ide antara kader dan
pendamping tidak ada pembatas, antara kader dan pendamping sejajar sehingga
tidak ada yang merasa “digurui” ataupun “menggurui.” Dialog dalam
menyelesaikan atau mengatasi hambatan atau kendala dilakukan untuk mencari
kesepakatan antara sesama kader. Melalui dialog terjadi saling menghargai dan
saling memiliki kegiatan dalam Posdaya Kenanga sehingga menimbulkan rasa
tanggung jawab sesama kader untuk menyelesaikan permasalahan. Konsep
karnaval pada Posdaya Kenanga dilakukan oleh bidang kesehatan, ekonomi, dan
lingkungan.
Berdasarkan beberapa referensi dari penelitian terdahulu, maka diperoleh
sintesa bahwa perbedaan konsep penelitian dari berbagai penelitian terdahulu
disebabkan oleh sumber referensi yang digunakan peneliti, fokus obyek
penelitiannya serta sudut pandang dari masing-masing peneliti. Keadaan tersebut
melahirkan banyak variasi hasil penelitian tentang komunikasi partisipatif pada
program pembangunan. Peneliti menyimpulkan dari berbagai variasi hasil
penelitian terdahulu bahwa komunikasi partisipatif merupakan komunikasi dua
arah yang dilakukan dengan menggunakan dialog untuk menampung aspirasi dan
merefleksikannya dalam tindakan nyata. Kegiatan tersebut difasilitasi oleh
komunikator pembangunan dalam wadah kelompok, tetapi dalam penelitian
terdahulu belum ada yang menjadikan kelompok sebagai responden. Peneliti
melihat bahwa komunikasi partisipatif yang terjadi yaitu dialog, aspirasi dan
refleksi-aksi merupakan proses komunikasi yang terjadi dalam kelompok dan sulit
untuk melihat proses komunikasi tersebut bila hanya melihat dari persepsi
masing-masing anggota kelompok. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini
menggunakan kelompok sebagai responden untuk melihat proses komunikasi
partisipatif (dialog, voice dan refleksi-aksi) secara utuh. Kelompok sadar wisata
yang ada di Nglanggeran dan kelompok dalan penelitian terdahulu bersumber dari
program yang berbeda-beda, sehingga karakteristik masing-masing kelompokpun
berbeda. Berdasarkan hal tersebut maka karakteristik kelompok perlu dianalisis
dalam hubungannya dengan komunikasi partisipatif yang berjalan.
Kerangka Penelitian
Komunikasi partisipatif adalah bentuk komunikasi pada suatu kegiatan
yang berdasar kepada keterlibatan masyarakat dalam setiap tahapan
pelaksanaanya. Tahapan komunikasi partisipatif diawali dengan penggalian ide,
perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi dan pengawasan. Komunikasi
partisipatif oleh kelompok sadar wisata dipengaruhi oleh karakteristik individu,
kredibilitas fasilitator, dan dukungan kelembagaan. Karakteristik individu
merupakan ciri-ciri yang melekat pada seseorang terdiri dari umur, pendidikan,
pekerjaan, dan motivasi. Kredibilitas fasilitator merupakan suatu tingkat
kepercayaan sampai sejauh mana fasilitator dapat dipercaya oleh responden.
Tingkat kepercayaan ini penting karena pada umumnya orang lebih dulu melihat
siapa yang membawa pesan sebelum akhirnya dapat menerima pesan yang akan
disampaikan. Kredibilitas fasilitator terdiri dari kejujuran, keahlian, daya tarik,
dan keakraban.
Dukungan kelembagaan merupakan suatu upaya memenuhi kebutuhan
yang diberikan oleh pihak yang berhubungan langsung terhadap kegiatan
komunikasi partisipatif kelompok sadar wisata. Dukungan kelembagaan ini
meliputi modal, sarana, dan prasarana.
Komunikasi partisipatif dilaksanakan oleh kelompok sadar wisata
(Pokdarwis). Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) terdiri dari Karang Taruna
Bukit Putra Mandiri, Pemerintah Desa, kelompok tani, ibu-ibu PKK, dan pemilik
rumah singgah, memiliki tujuan yang sama dalam pengelolaan wisata Gunung
Api Purba Nglanggeran. Komunikasi partisipatif memiliki prinsip yaitu adanya
sebuah dialog, aspirasi, serta aksi dan refleksi dari suatu kegiatan. Dialog
merupakan bentuk proses komunikasi yang terjadi antara partisipan sebagai
pelaku kegiatan dalam sebuah program dengan ciri memberikan hak yang sama
dalam memberikan suara dalam pertemuan tersebut, saling menghormati dan
menghargai pendapat dalam sebuah forum kegiatan. Aspirasi adalah ide-ide
masyarakat yang tergali serta kehendak masyarakat yang diangkat dalam ruang
pertemuan. Aksi dan refleksi adalah bentuk kegiatan yang dilakukan yang
merupakan aksi komunikatif yang dilakukan pada program sehingga memiliki
komitmen yang sama dalam pelaksanaannya.
Proses komunikasi partisipatif oleh kelompok sadar wisata diduga
menentukan keberhasilan dalam upaya pengelolaan wisata Gunung Api Purba
Nglanggeran. Upaya pengelolaanya adalah prinsip ramah lingkungan (alam dan
budaya), ramah masyarakat, dan ramah wisatawan. Pendekatan komunikasi
partisipatif dengan menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan,
diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat untuk
mewujudkan masyarakat yang maju, mandiri dan sejahtera. Kerangka berpikir
penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
(X1) Karakteristik
Individu
X1.1. Umur
X1.2.Tingkat
Pendidikan
X1.3. Motivasi
(X2) Kredibilitas
Fasilitator
X2.1. Tingkat Kejujuran
X2.2. Tingkat Keahlian
X2.3. Daya Tarik
X2.4. Keakraban
(X3) Dukungan
Kelembagaan
X3.1. Modal
X3.2. Sarana
X3.3. Prasarana
(Y1) Komunikasi Partisipatif
Kelompok Sadar Wisata
Y1.1. Dialog
Y1.2. Aspirasi
Y1.3. Aksi dan refleksi
(Y2) Pengelolaan wisata Gunung Api Purba
Nglanggeran
Y2.1. Prinsip ramah lingkungan (alam dan budaya )
Y2.2. Tingkat keramahan masyarakat
Y2.3. Tingkat keramahan wisatawan
Gambar 1. Kerangka pemikiran komunikasi partisipatif kelompok sadar wisata
dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran,
Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dirumuskan, maka disusun
hipotesis penelitian ini sebagai berikut:
(1) : Terdapat hubungan nyata antara karakteristik individu, kredibilitas
fasilitator, dan dukungan kelembagaan dengan komunikasi partisipatif
kelompok sadar wisata.
(2) : Terdapat hubungan nyata antara komunikasi partisipatif kelompok sadar
wisata dengan pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.
Pendekatan kuantitatif didesain menggunakan deskriptif yang bertujuan untuk
merangkum berbagai kondisi situasi ataupun berbagai variabel yang timbul di
tempat penelitian. Jenis penelitian deskriptif bersifat korelasional yaitu
menjelaskan dan mempelajari hubungan dua variabel atau lebih yang dinyatakan
dengan derajat hubungan variabel dalam satu indeks yang dinamakan koefisien
korelasi (Sugiyono 2011). Pendekatan kualitatif digunakan untuk menangkap dan
mendeskripsikan realita di lapangan yang bisa melengkapi data dari pendekatan
kuantitatif.
Penelitian ini mempunyai tujuan menganalisis dan mendeskripsikan
hubungan antara variabel penelitian. Variabel dalam penelitian ini terdiri dari
variabel terikat dan variabel bebas. Variabel terikat adalah komunikasi partisipatif
dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran, sedangkan variabel
bebas terdiri dari karakteristik individu, kredibilitas fasilitator, dan dukungan
kelembagaan.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di lokasi wisata Gunung Api Purba Nglanggeran,
Desa Nglanggeran, Provinsi DI Yogyakarta mulai Desember – Januari 2016.
Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive dengan pertimbangan lokasi
penelitian tersebut merupakan tempat wisata yang berdiri atas aspirasi dan usaha
dari kelompok sadar wisata Desa Nglanggeran. Disamping itu wisata Gunung Api
Nglanggeran merupakan wisata unggulan Daerah Istimewa Yogyakarta dan
banyak dikunjungi wisatawan karena keunikannya. Aspirasi dan partisipasi
masyarakat di Desa Nglanggeran dalam mengelola tempat wisata menjadi hal
yang menarik untuk diteliti khususnya dalam aspek komunikasi partisipatif.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh warga yang aktif tergabung
dalam kelompok sadar wisata Gunung Api Purba Desa Nglanggeran. Pengambilan
data dilakukan dengan cara Purposive sampling. Teknik Purposive sampling
merupakan proses pengambilan sampel dengan menentukan kriteria tertentu
berdasarkan tujuan – tujuan dilakukan penelitian asalkan tidak menyimpang dari
ciri – ciri sampel yang ditetapkan. Kriteria yang ditentukan antara lain: tingkat
keaktifan anggota berdasarkan persentase kehadiran dalam setiap kegiatan.
Jumlah responden yang diambil sebagai sampel ditentukan berdasarkan rumus
Slovin dengan tingkat kesalahan 5% diperoleh perhitungan sebagai berikut:
n : Jumlah sampel
N: Jumlah Populasi
e : Batas Toleransi Kesalahan
76
= 63,8655 = 64 orang
n
1  76(0,05) 2
Dari anggota Pokdarwis sebanyak 76 orang yang berada di Desa
Nglanggeran, didapatkan sampel penelitian minimal sebanyak 64 orang yang
dapat dijadikan responden.
Penelitian ini diperkuat dengan data kualitatif yang diambil dari informan,
informan terdiri dari tokoh desa, dan masyarakat sekitar yang tidak termasuk
kedalam kelompok sadar wisata namun memiliki pengetahuan yang cukup
informatif dalam memberikan data.
Data dan Instrumen Penelitian
Data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari responden. Data
primer dalam penelitian ini meliputi :
(1) Karakteristik individu yang terdiri dari umur, pendidikan, pekerjaan, dan
motivasi.
(2) Kredibilitas fasilitator terdiri dari tingkat kejujuran, tingkat keahlian,
daya tarik, keakraban.
(3) Dukungan kelembagaan terdiri dari modal, sarana dan prasarana.
(4) Komunikasi partisipatif kelompok sadar wisata terdiri dari dialog,
aspirasi, aksi dan refleksi.
(5) Pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran terdiri dari prinsip
ramah lingkungan (alam dan budaya), ramah masyarakat, ramah
wisatawan.
Selain dari data kuisioner, juga data sekunder dalam penelitian ini diperoleh
dari literatur dan dokumen-dokumen yang telah diarsipkan dan berhubungan
dengan penelitian seperti profil Pokdarwis, dan profil Desa.
Teknik Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan
menggunakan metode :
(1) Studi kepustakaan yaitu pengumpulan data dan informasi melalui
berbagai sumber bacaan seperti buku-buku, majalah, surat kabar dan
sumber bacaan lainnya yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.
(2) Studi lapangan yang terdiri dari :
a) Wawancara yaitu mengadakan tanya jawab dengan masyarakat
setempat dan kelompok sadar wisata sebagai pengelola yang
berhubungan dengan penelitian ini
b) Oberservasi, yaitu mengadakan pengamatan secara langsung pada
subyek penelitian untuk menguji kebenaran jawaban responden pada
kuesioner
c) Dokumentasi yaitu mengadakan penelitian terhadap data-data yang
telah didokumentasikan
Definisi Operasional
Definisi operasional dari variabel yang digunakan dalam penelitian ini
seperti ditunjukan pada Tabel 1-5.
Tabel 1. Karakteristik individu (X1)
No.
1.
Indikator
Umur
2.
Tingkat
Pendidikan
3.
Motivasi
Definisi Operasional
Usia responden hidup
pada waktu penelitian
dilaksanakan, yang
diukur dalam satuan
tahun dengan
pembulatan ke ulang
tahun terdekat
Tingkatan responden
dalam menempuh
sekolah dari awal
hingga penelitian
berlangsung
Dorongan yang timbul
dari diri responden
untuk aktif mengikuti
kelompok sadar wisata
Parameter
1. Diukur berdasarkan lama
hidup responden sejak
dilahirkan hingga penelitan
berlangsung
1.
Diukur berdasarkan
tingkatan pendidikan formal
dari jenjang awal sampai
jenjang pendidikan terakhir
Indikator
1. Muda ( 15 – 25 )
2. Dewasa ( 26 – 45 )
3. Tua ( 46 - 60 )
1. Rendah ( Tidak Sekolah )
2. Sedang ( SD – SMP )
3. Tinggi ( SMA – Sarjana)
1. Diukur berdasarkan tingkat
kekuatan keinginan
bergabung dalam kelompok
sadar wisata
1. Rendah
2. Sedang
3. Tinggi
Parameter
1. Diukur berdasarkan
kemampuan fasilitator
dalam berbicara apa adanya,
keterbukaan informasi,
memegang amanah
1. Penilaian responden yang
memiliki kemampuan dan
pengetahuan yang memadai
tentang desa wisata
Indikator
1. Rendah
2. Sedang
3. Tinggi
Tabel 2. Kredibilitas Fasilitator (X2)
No.
1.
Indikator
Kejujuran
Definisi Operasional
Tingkat kepercayaan
yang dimiliki oleh
fasilitator
2.
Keahlian
Kemampuan yang
dimiliki oleh fasilitator
baik dari pengetahuan,
keterampilan, dan
pengalaman dalam
bidang pengelolaan
wisata
Kemampuan sifat dan
karakter fasilitator yang
diminati oleh responden
mencakup kemampuan
intelektual, kepribadian,
gaya hidup dan lainnya
Kemampuan fasilitator
dalam bersosialisasi
dengan responden
3.
4.
Daya Tarik
Keakraban
1. Diukur berdasarkan tingkat
minat responden terhadap
fasilitator
1. Diukur berdasarkan tingkat
kedekatan fasilitator dengan
responden dalam
berinteraksi
1. Rendah
2. Sedang
3. Tinggi
1. Rendah
2. Sedang
3. Tinggi
1. Rendah
2. Sedang
3. Tinggi
Tabel 3. Dukungan Kelembagaan (X3)
No.
1.
Indikator
Modal
2.
Sarana
3.
Prasarana
Definisi Operasional
Dana yang menjadi
awalan dalam
membetuk kelompok
sadar wisata
Segala sesuatu yang
dapat dipakai sebagai
alat dalam mencapai
maksud atau tujuan.
Segala sesuatu yang
merupakan penunjang
utama terselenggaranya
suatu proses.
Parameter
1. Diukur berdasarkan tingkat
kecukupan dana dalam
mendukung berlangsungnya
kegiatan wisata
1. Diukur berdasarkan
ketersediaan alat
1. Diukur berdasarkan akses
pendukung di Desa Wisata
Indikator
1. Tidak Tercukupi
2. Tercukupi
3. Sangat Tercukupi
1. Tidak Tercukupi
2. Tercukupi
3. Sangat Tercukupi
1. Tidak Tercukupi
2. Tercukupi
3. Sangat Tercukupi
Tabel 4. Komunikasi Partisipatif Kelompok Sadar Wisata (Y1)
No.
1.
Indikator
Dialog
2.
Aspirasi
3.
Aksi dan refleksi
Definisi Operasional
Keaktifan responden
dalam bertukar
pendapat untuk
merefleksikan masalah
dan kebutuhan di Desa
wisata
Kemampuan anggota
dalam menyampaikan
ide maupun pendapat
dalam setiap pertemuan
dan kegiatan
Kemampuan responden
dalam bekerjasama dan
melakukan tindakan
kolektif lainnya
Parameter
1. Diukur berdasarkan tingkat
keaktifan responden untuk
berpendapat dalam setiap
pertemuan kelompok
1. Diukur berdasarkan tingkat
keaktifan responden dalam
mengungkapkan ide
pendapat
2.
Diukur berdasarkan tingkat
keaktifan anggota dalam
bentuk tindakan kolektif
(gotong royong, kerja bakti,
pertemuan kelompok)
Indikator
1. Rendah
2. Sedang
3. Tinggi
1. Rendah
2. Sedang
3. Tinggi
1. Rendah
2. Sedang
3. Tinggi
Tabel 5. Pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran (Y2)
No.
1.
Indikator
Prinsip
ramah
lingkungan ( alam
dan budaya )
2.
Tingkat
keramahan
masyarakat
3.
Tingkat
keramahan
wisatawan
Definisi Operasional
Parameter
Kesadaran anggota
1. Diukur berdasarkan tingkat
dalam menerapkan rasa
rasa mencintai lingkungan
cinta kepada lokasi desa
wisata
Penerimaan masyarakat 1. Tingkat penerimaan
dalam bersosialisasi
responden dalam menciptakan
antara sesama
kerukunan antar masyarakat
penduduk
desa
Penerimaan masyarakat 1. Tingkat penerimaan
dalam bersosialisasi
responden dalam menciptakan
dengan pengunjung
kenyamanan pengunjung
wisata
Indikator
1. Rendah
2. Sedang
3. Tinggi
1. Rendah
2. Sedang
3. Tinggi
1. Rendah
2. Sedang
3. Tinggi
Validitas Instrumentasi
Pengujian validitas instrumen diperlukan untuk mendapatkan data sesuai
dengan tujuan penelitian. Upaya yang dilakukan untuk memperoleh validitas
instrumen yang baik dilakukan dengan konsultasi dengan ahli yang menguasai materi
pertanyaan yang ditanyakan, dan pertanyaan diuji coba dengan peserta yang memiliki
karakteristik yang sama pada daerah lain yang akan diambil sampel. Suatu instrumen
dikatakan layak untuk digunakan dalam pengukuran apabila telah memenuhi syarat
dalam validitas (kesahihan) dan reliabilitas (keterandalan). Untuk keperluan uji
validitas dan reliabilitas dilakukan uji coba terhadap Kelompok Karang Taruna di
desa wisata Goa Pindul Gunung Kidul Yogyakarta. Kelompok tersebut dipilih
berdasarkan kemiripan karakteristik dengan desa wisata Gunung Api Purba
Nglanggeran. Responden yang dilakukan uji coba terdiri dari 10 responden. Dalam
penelitian ini, uji validitas yang digunakan adalah korelasi produk momen (product
moment correlation).
Reliabilitas Instrumentasi
Reliabilitas menunjukkan kepercayaan suatu alat pengumpul data karena
instrumen tersebut sudah baik (Arikunto 2005). Reliabilitas (keterandalan) instrumen
dilakukan dengan cara uji kuesioner. Hal tersebut dilakukan untuk memperkuat
keterandalan instrumen kuesioner dengan cara mengoptimalkan keragaman kesalahan
dengan mengungkapkan pertanyaan secara tepat, memberikan pertanyaan pendukung
dengan satu pertanyaan yang sama dan mutunya, serta memberikan petunjuk
pengisisan kuesioner secara tepat dan jelas. Untuk mencapai reliabilitas alat ukur
yang maksimal maka akan dilakukan penyempurnaan instrumen melalui pengujian
dengan menggunakan rumus Cronbach Alpha (Riduan 2004) sebagai berikut :
r11 
(k )(1   Si)
(k  1)(St)
keterangan :
r11 = nilai reliabillitas
k = jumlah item
Æ©si = jumlah varian skors
St = Varian total
Berdasarkan hasil analisis statistik dengan menggunakan SPSS versi 21
terhadap seluruh instrumen terhadap 64 responden mendapatkan angka 0,574 seperti
yang tersaji pada Tabel 1. Artinya alat ukur yang digunakan untuk mengambil data di
lapangan adalah cukup reliabel. Kuesioner yang diberikan kepada 64 responden
berisikan semua pertanyaan yang diharapkan dapat mendapatkan dan menggali
informasi dari responden sesuai dengan tujuan penelitian yang dilakukan. Setelah
mengadakan uji validitas terhadap masing-masing pertanyaan dalam kuesioner,
hasilnya adalah valid. Pengujian reliabilitas dengan menggunakan uji Cronbach
Alpha untuk menentukan apakah setiap instrumen reliabel atau tidak, yakni dengan
skala 0 sampai dengan 1. Interpretasi reliabilitas instrumen adalah sebagai berikut :
(1). Nilai alpha Cronbach 0,00 – 0,20 = kurang reliabel/diabaikan
(2). Nilai alpha Cronbach 0,21 – 0,40 = agak reliabel
(3). Nilai alpha Cronbach 0,41 – 0,60 = cukup reliabel
(4). Nilai alpha Cronbach 0,61 – 0,80 = reliabel
(5). Nilai alpha Cronbach 0,81 – 1,00 = sangat reliabel (Arikunto 2005)
Dari nilai Tabel 1 terlihat bahwa nilai Cronbach Alpha dari semua peubah lebih besar
dari 0,5 Ini berarti bahwa semua peubah yang digunakan pada kuesioner cukup
reliabel.
Analisis Data
Analisis data menggunakan analisis statistik deskriptif dan inferensial.
Analisis statistik deskriptif menggunakan frekuensi dan persentase untuk
menganalisis deskripsi dari variabel karakteristik individu, kredibilitas fasilitator,
dukungan kelembagaan, komunikasi partisipatif, dan pengelolaan wisata Gunung
Api Purba Nglanggeran. Analisis inferensial yang digunakan dalam penelitian ini
adalah analisis korelasi rank Spearman. Korelasi rank Spearman digunakan untuk
menganalisis hubungan antar variabel yang memiliki data ordinal dengan ordinal.
Rumus koefisien rank Spearman adalah sebagai berikut:
6d 2
rho  1 
N ( N 2  1)
Keterangan:
Rs (rho) : Koefisien korelasi rank Spearman
1 : Bilangan konstan
6 : Bilangan konstan
d :Perbedaan antara pasangan jenjang
Σ : Sigma atau jumlah
N : Jumlah individu dalam sampel
Analisis kualitatif dilakukan sejak dari pengumpulan data di lapangan,
berupa observasi dan wawancara mendalam. Analisis data yang dilakukan
meliputi mereduksi data, meyajikan data dan membuat kesimpulan. Proses
mereduksi data dimulai dengan memilih dan menyederhanakan data dengan
merangkum data yang penting sesuai dengan fokus penelitian maupun yang
menguatkan data kuantitatif. Langkah selanjutnya, data yang telah direduksi dan
dipilih berdasarkan kategorinya disajikan dalam bentuk kalimat kutipan maupun
kalimat yang tertera dalam interpretasi data kuantitatif. Data kualitatif di sini
berfungsi untuk menguatkan data dan memberikan penjelasan lebih mendalam
pada data kuantitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Wilayah Kabupaten Gunungkidul terletak antara 7o 46’- 8o 09’ Lintang
Selatan dan 110o 21’ - 110o 50’ Bujur Timur, yang berbatasan dengan Kabupaten
Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah di sebelah utara. Kabupaten
Wonogiri, Jawa Tengah di sebelah timur. Samudra Indonesia di sebelah selatan
dan Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta di sebelah barat. Luas
wilayah Kabupaten Gunungkidul tercatat 1.485,36 Km2 yang meliputi 18
kecamatan dan 144 desa/kelurahan. Kecamatan Semanu merupakan kecamatan
terluas dengan luas sekitar 108,39 Km2 atau sekitar 7,30 persen luas Kabupaten
Gunungkidul.
Kabupaten Gunungkidul terdiri dari 18 kecamatan dan 144 desa, yaitu
Kecamatan Panggang, Purwosari, Paliyan, Saptosari, Tepus, Tanjungsari,
Rongkop, Girisubo, Semanu, Ponjong, Karangmojo, Wonosari, Playen, Patuk,
Gedangsari, Nglipar, Ngawen dan Semin. Dari 144 desa, 16 desa masuk
klasifikasi Swasembada dan 128 desa masih Swadaya. Jumlah penduduk
Kabupaten Gunungkidul tahun 2014 berdasarkan hasil Estimasi Sensus Penduduk
2010, berjumlah 698.825 jiwa yang tersebar di 18 kecamatan dan 144 desa,
dengan jumlah penduduk terbanyak yaitu Kecamatan Wonosari dengan 81.493
jiwa. Secara keseluruhan jumlah penduduk perempuan lebih banyak daripada
penduduk laki-laki, yang tercermin dari angka rasio jenis kelamin 93,63.
Penduduk Usia Kerja didefinisikan sebagai penduduk yang berumur 15 tahun ke
atas. Penduduk Usia Kerja terdiri dari Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan
Kerja. Mereka yang termasuk dalam Angkatan Kerja adalah penduduk yang
bekerja atau yang sedang mencari pekerjaan, sedangkan Bukan Angkatan Kerja
adalah mereka yang bersekolah, mengurus rumahtangga atau melakukan kegiatan
lainnya. Dilihat dari status pekerjaan utama, sebagian besar penduduk Kabupaten
Gunungkidul bekerja sebagai pekerja keluarga sekitar 28,14 persen dari jumlah
penduduk yang bekerja, sedangkan yang berusaha dengan dibantu buruh tetap
masih sangat sedikit yaitu hanya sekitar 2,05 persen. Berdasarkan data Dinas
Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Gunungkidul, jumlah pencari
kerja pendaftar baru di Kabupaten Gunungkidul tahun 2014 sebanyak 2.219 orang
atau mengalami penurunan yang cukup signifikan yakni hampir mencapai 44
persen bila dibandingkan dengan tahun 2013.
Gunung Api Purba Nglanggeran terletak di kawasan Baturagung di bagian
utara Kabupaten Gunungkidul dengan ketinggian antara 200-700 mdpl, tepatnya
di Desa Nglanggeran Kecamatan Patuk dengan luas 72,04 km2 yang memiliki
jarak tempuh 22 km dari kota Wonosari. Wilayah Desa Nglanggeran memiliki
luas 762,0990 ha dengan tata guna lahan sebagian besar digunakan untuk lahan
pertanian, perkebunan, ladang dan pekarangan. Pola pemilikan tanah tersebut
didominasi oleh tanah kas desa. Kawasan ini merupakan kawasan yang litologinya
disusun oleh material vulkanik tua dan bentang alamnya memiliki keindahan dan
secara geologi sangat unik dan bernilai ilmiah tinggi. Memiliki geografis lereng
dan kemiringan lahan curam (BPS 2015). Jarak Desa Nglanggeran dari ibukota
kecamatan adalah 4 km, 20 km dari ibukota kabupaten dan berjarak 25 km dari
ibukota propinsi.
Batas administratif Nglanggeran adalah:
1. Sebelah Utara
: Desa Ngoro – oro
2. Sebelah Timur
: Desa Nglegi
3. Sebelah Selatan
: Desa Putat
4. Sebelah Barat
: Desa Salam
Desa Nglanggeran terdiri dari 5 dusun/pedukuhan yaitu Dusun Karangsari,
Dusun Doga, Dusun Nglanggeran Kulon, Dusun Nglanggeran Wetan dan Dusun
Gunungbutak. Pusat pemerintahan desa terletak di Dusun Doga.
Terdapat potensi pariwisata di Desa Nglanggeran yaitu adanya Gunung
Nglanggeran dan kini lebih dikenal dengan sebutan Gunung Api Purba. Secara
fisiografi Gunung Api Purba Nglanggeran terletak di Zona Pegunungan Selatan
Jawa Tengah-Jawa Timur (Van Bemmelen 1949) atau tepatnya di Sub Zona
Pegunungan Baturagung (Baturagung Range) dengan ketinggian 700 meter dari
permukaan laut dan kemiringan lerengnya curam-terjal (>45%). Gunung
Nglanggeran berdasarkan sejarah geologinya merupakan gunung api purba yang
berumur tersier (Oligo- Miosen) atau 0,6 – 70 juta tahun yang lalu. Material
batuan penyusun Gunung Nglanggeran merupakan endapan vulkanik tua berjenis
andesit (Old Andesite Formation). Jenis batuan yang ditemukan di Gunung
Nglanggeran antara lain breksi andesit, tufa dan lava bantal. Singkapan batuan
vulkanik klastik yang ditemukan di Gunung Nglanggeran kenampakannya sangat
ideal dan oleh karena itulah maka, satuan batuan yang ditemukan di Gunung
tersebut menjadi lokasi tipe (type location) dan diberi nama Formasi Geologi
Nglanggeran.
Beberapa bukti lapangan yang menunjukkan bahwa dahulu pernah ada
aktivitas vulkanis adalah banyaknya batuan sedimen vulkank klastik seperti
batuan breksi andesit, tufa dan adanya aliran lava andesit di Gunung
Nglanggeran. Bentuk kawah Gunung Api Purba Nglanggeran dapat ditemukan di
puncak Gunung Nglanggeran.
Selain potensi gunung api purbanya, di Kawasan Gunung Api Purba
Nglanggeran juga dijumpai fauna dan flora langka, seperti tanaman tremas
(tanaman obat yang hanya hidup dikawasan ekowisata Gunung Api Purba), kera
ekor panjang serta di sekitar Gunung Api Purba berkembang kegiatan seni dan
budaya lokal seperti bersih desa dll. Dengan adanya potensi tersebut di Desa
Nglanggeran juga pengembangan desa wisata.
Kelompok Sadar Wisata
Ada beberapa peranan yang dilakukan oleh fasilitator dalam pemberdayaan
masyarakat. Pada suatu dimensi waktu tertentu, seorang fasilitator dapat berperan
sebagai “enabler” atau “organizar” atau “educator”. Peranan ini bergerak dari
satu ke lainya, sehingga ia memiliki peranan ganda, oleh karena itu tampak jelas
peranan yang disandang oleh fasilitator lebih sebagai seorang yang “generalist”.
(Nasdian 2003). Pokdarwis Nglanggeran merupakan organisasi pengelola dan
juga sebagai fasilitator program Pemerintah. Cikal bakal berdiri berasal dari
Karang Taruna Bukit Putra Mandiri pada tahun 1999 di Desa Nglanggeran, Patuk,
Gunungkidul yang mulai merintis kawasan wisata. Terjadi regenerasi Karang
Taruna pada tahun 2006 setelah gempa dan lebih aktif dalam pengembangan
kegiatan kepariwisataan. Terjadi perkembangan signifikan, sehingga perlu adanya
wadah khusus, dan akhirnya pada tahun 2007 bermunculan ide kreatif para
pemuda Desa Nglanggeran yang mulai membenahi dan menata kawasan
ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran secara swadaya dengan membangun
jalur pendakian, fasilitas MCK (mandi, cuci, kakus), serta gubuk-gubuk
peristirahatan pendakian. Upaya mengembangkan kawasan tersebut mereka
membuat wadah yang bernama Pokdarwis (kelompok sadar wisata) yang terdiri
dari unsur Karang Taruna Bukit Putra Mandiri, Pemerintah Desa, tokoh
masyarakat, kelompok tani, ibu-ibu PKK, maupun pemilik homestay, pedagang,
dan unsur pemuda sebagai motor penggeraknya. Kegiatan yang dilakukan
meliputi kegiatan-kegiatan sosial, pendidikan, ekonomi produktif, pariwisata dan
seni budaya, lingkungan hidup, kepemudaan, humas dan kemitraan yang ada di
Desa Nglanggeran. Pokdarwis memiliki visi menjadi desa wisata unggulan
dengan kawasan ekowisata berwawasan lingkungan dan berbasis masyarakat.
Misi dari Pokdarwis adalah melindungi lingkungan di kawasan ekowisata Gunung
Api Purba, baik kebudayaan, flora, fauna, dan juga keunikan batuannya.
Melibatkan masyarakat sebagai pelaku dan pengelola desa wisata dan kawasan
ekowisata, meningkatkan lama tinggal wisatawan di Kabupaten Gunungkidul, dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pokdarwis merupakan fasilitator program pemerintah dan selalu melibatkan
masyarakat sebagai pelaku kegiatan pariwisata, kelompok tani sebagai
narasumber pelatihan pertanian, kelompok PKK sebagai penyedia kuliner dan
paket belajar olahan kuliner, kelompok homestay sebagai penyedia penginapan,
kelompok kesenian sebagai penyambut tamu dan paket belajar kesenian, pemuda
sebagai pemandu wisata dan pengelola desa wisata bersama Pokdarwis, dan
kegiatan masyarakat ini didukung dengan baik oleh pemerintah desa dan dinasdinas terkait.
Pokdarwis merupakan pengelola wisata Gunung Api Purba Nglanggeran,
mereka membuat konsep pengembangan menjadi dua yaitu Desa Wisata
Nglanggeran dan Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba, dan hingga kini mereka
yang secara langsung ikut mengelola kawasan ini sekitar 99 orang, dengan jumlah
homestay sekitar 79 buah dan sebagai tim inti berkisar 14 orang. Pada kawasan ini
terdapat dua daya tarik unggulan yaitu Gunung Api Purba dan Embung Kebun
Buah Nglanggeran. Ada tiga dusun inti (pendukung utama) yang terdekat dengan
keberadaan Gunung Api Purba, yakni Nglanggeran Wetan, Nglanggeran Kulon,
dan Gunung Butak.
Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran memiliki daya tarik wisata seperti:
(1) Daya Tarik Alam yang terdiri dari Gunung Api Purba dan panorama alam
yang indah serta area pertanian dan persawahan di Desa Nglanggeran.
Adanya Kawasan Embung (waduk mini) diatas bukit seluas 0,34 Ha untuk
pengairan kebun buah seluas 20 Ha dengan pemandangan yang sangat
indah.
(2) Daya Tarik Budaya seperti upacara adat kirab budaya rasulan, atraksi
kesenian jathilan, dan upacara adat masyarakat. Acara tersebut diadakan
rutin sehingga dapat juga menambah keakraban masyarakat. Kehidupan
masyarakat desa dengan aktivitas gotong royong dan ramah, budaya
kenduri, karawitan serta beberapa adat lokal yang masih terjaga.
(3) Daya Tarik Kerajinan seperti kerajinan kayu berupa topeng dan gelang.
Kerajinan tersebut dapat disaksikan langsung proses pembuatannya oleh
wisatawan, dan sekaligus wisatawan dapat belajar untuk membuatnya.
Adanya paket belajar membuat kerajinan yaitu batik topeng. Paket belajar
banyak diminati oleh wisatawan asing, dan wisatawan lokal seperti pelajar.
(4) Daya Tarik Kuliner makanan khas dodol kakao dan Brownis Singkong.
Adanya workshop pengolahan bagi wisatawan yang digunakan sebagai
paket pendidikan pembuatan dodol kakao dan brownis singkong.
(5) Daya Tarik Buatan seperti wahana permainan outbond, flying fox,
Embung (waduk mini), paket pendidikan alam (bertani, budidaya kakao,
paket cinta lingkungan).
Karakteristik Individu Pokdarwis
Individu yang terpilih menjadi sampel penelitian adalah seluruh warga yang
tergabung dalam kelompok sadar wisata Gunung Api Purba Nglanggeran.
Karakteristik individu sampel penelitian yang diamati meliputi umur,tingkat
pendidikan, dan motivasi. Umur merupakan usia responden hidup pada saat
penelitian dilaksanakan, yang diukur dalam satuan tahun dengan pembulatan ke
ulang tahun terdekat. Umur responden pada penelitian ini memiliki kisaran dibagi
menjadi tiga kategori yaitu muda 15-25 tahun, dewasa 26-45 tahun, dan tua 46-60
tahun. Pada Tabel 6 tersebut dapat dilihat bahwa kategori muda memiliki 20,3
persen, kategori dewasa 45,3 persen, dan tua 34,4 persen. Rusli (1995)
menyatakan bahwa usia produktif berkisar antara 15-65 tahun, maka 99 persen
responden tergolong produktif. Hal ini berarti individu yang berada pada umur
produktif akan lebih mudah menerima perubahan, ide-ide dan inovasi, sehingga
diharapkan dapat meningkatkan produksi dan pendapatan. Dari Tabel tersebut
kategori dewasa memiliki jumlah terbanyak sebesar 45,3 persen dan termasuk
dalam umur produktif dalam bekerja, sehingga diharapkan bahwa Pokdarwis
dapat aktif dalam mengelola wisata Gunung Api Purba Nglanggeran.
Peran golongan dewasa seperti ibu-ibu PKK untuk ikut serta terlibat dalam
kenyataan di lapangan sangat penting terutama untuk penyedia kuliner, paket
belajar cara membuat olahan kuliner,dan penyedia penginapan bagi turis. Wanita
di wisata Gunung Api Purba Nglanggeran mampu menjadi bagian penting dari
pengelolaan, tidak seperti dulu yang hanya berdiam di rumah dan tidak memiliki
penghasilan, tapi kini dengan mereka terlibat dalam Pokdarwis dapat menambah
penghasilan bagi keluarga. Hal tersebut diungkapkan oleh responden ibu S 40
tahun sebagai berikut:
” Turis di sini sangat suka keaslian wisatanya mas, mereka justru
menikmati jadi bagian orang desa sini apa adanya. Saya masakin aja
makanan apa adanya seperti apa yang biasa saya masak dan ternyata
mereka suka, tapi saya gak masak yang pedas soalnya takut mereka
gak terbiasa perutnya. Biasanya saya buatkan sayur lodeh, singkong
rebus, tempe goreng, dan kacang rebus “
Tingkat Pendidikan Menurut Undang-Undang No. 20, Tahun 2003 pasal 1
ayat 1 menyatakan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Tingkat
pendidikan adalah tingkatan responden dalam menempuh sekolah dari awal
hingga penelitian berlangsung. Penelitian ini membagi tiga kategori yaitu rendah
(tidak sekolah), sedang (SD-SMP), dan tinggi (SMA-Sarjana). Dari Tabel 6 dapat
dilihat bahwa terdapat 1,6 persen pendidikan rendah, 42,2 persen pendidikan
sedang, dan 56,2 persen kategori tinggi. Adanya 1,6 persen berpendidikan rendah
berasal dari responden yang memiliki umur tua dan memang tidak sekolah sejak
muda. Pengertian pendidikan menurut Hasbullah (2006) menyatakan bahwa
pendidikan sering diartikan sebagai usaha
manusia untuk membina
kepribadiannya sesuai nilai-nilai kebudayaan dan masyarakat. Lebih lanjut
Hasbullah (2006) menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha yang dijalankan
oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai
tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.Tingkat
pendidikan semakin tinggi akan membuat seseorang semakin memiliki banyak
pengetahuan. Slamet (2003) menyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha
untuk menghasilkan perubahan pada perilaku manusia. Pendidikan dapat
membuka pikiran serta menerima hal-hal baru dan cara berpikir ilmiah sehingga
diharapkan petani dapat melakukan proses belajar mengambil keputusan. Tingkat
pendidikan tinggi sebesar 56,2 persen membuat Pokdarwis mampu menerima
informasi baru dengan baik, pengetahuan akan sesuatu semakin tinggi, dan
diharapkan mampu memiliki tingkatan hidup yang lebih sejahtera.
Motivasi merupakan dorongan yang timbul dari diri responden untuk aktif
mengikuti kelompok sadar wisata. Motivasi dikategorikan menjadi 3 yaitu lemah,
sedang, dan kuat. Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa sejumlah 17,2 persen
mempunyai motivasi rendah, 34,4 persen sedang, dan 48,4 persen tinggi.
Sebagian besar Pokdarwis memiliki motivasi yang tinggi yaitu 48,4 persen
disebabkan rasa kebersamaan yang tinggi untuk memajukan pengelolaan
Pokdarwis. Adanya motivasi yang tinggi juga menunjang keaktifan anggota dalam
setiap agenda kegiatan rutin bersama. Pokdarwis memiliki motivasi awal bersama
yang kuat dimulai dari ide kreatif pemuda Karang Taruna Bukit Putra Mandiri.
Menurut narasumber S umur 36 tahun mengungkapkan bahwa:
“ Dulu kita sewaktu awal memulai pengelolaan wisata Gunung Api
Purba Nglanggeran ini banyak sekali yang mencibir bahwa ngapain
mengelola gunung batu, memangnya mau makan dari batu? karena
pada umumnya anak muda di desa ini ingin keren dengan bekerja di
kota yang lebih menjanjikan, dan penduduk yang ingin tinggal di desa
lebih suka untuk menjadi petani saja. Pada awalnya kami sedikitsedikit dengan uang seadanya kami buat semacam jalur pendakian,
mck, gubuk tempat peristirahatan dan mulai ada yang datang untuk
berwisata. Pengunjung yang datang kami ambil tarif parkir sebesar
lima ratus rupiah, dan uangnya kami gunakan untuk terus melengkapi
fasilitas. Berawal dari mulut kemulut dan terus kami upayakan untuk
promosi lama-lama kami bisa mendatangkan wisatawan, dan ketika
kami berhasil bisa mendapatkan penghasilan dari wisata ini maka
cibiran orang-orang yang mengatakan kami makan dari batu memang
kami buktikan bahwa kami memang makan dari hasil mengelola batu
yang tidak bernilai tapi kini sudah dapat menghidupi orang banyak
dari wisata Gunung Api Purba Nglanggeran”
Tabel 6 . Jumlah dan persentase karakteristik individu Pokdarwis
Karakteristik kelompok
Umur
Muda ( 15 – 25 )
Dewasa ( 26 – 45 )
Tua ( 46 - 60 )
Jumlah
Tingkat Pendidikan
Rendah ( Tidak Sekolah )
Sedang ( SD – SMP )
Tinggi ( SMA – Sarjana)
Jumlah
Motivasi
Rendah
Sedang
Tinggi
Jumlah
Jumlah Responden
Persentase (%)
13
29
22
64
20,3
45,3
34,4
100
1
27
36
64
1,6
42,2
56,2
100
11
22
31
64
17,2
34,4
48,4
100
Kredibilitas Fasilitator
Kredibilitas diartikan sebagai suatu tingkat sampai sejauh mana fasilitator dapat
dipercaya oleh Pokdarwis. Kredibilitas penting bagi fasilitator karena akan
mempengaruhi keberhasilan Pokdarwis untuk menjalankan program-program
pengelolaan. Analisis terhadap kredibilitas fasilitator ditunjukan melalui empat
variabel yaitu kejujuran, keahlian, daya tarik dan keakraban. Deskripsi mengenai
kredibilitas fasilitator dapat dilihat pada Tabel 7.
Kejujuran adalah tingkat kepercayaan terhadap niat fasilitator dalam
mengkomunikasikan penilaian yang dianggapnya paling benar. Menurut Belch
dan Belch (2001) jika audiens merasa sumber bias atau memiliki kepentingan
pribadi atau uang ketika menyampaikan suatu produk atau institusi, maka ia
menjadi kurang persuasi dibanding orang yang dianggap tidak memiliki motif
pribadi apapun. Berdasarkan hasil Tabel 7, maka diketahui bahwa kejujuran
sedang sebesar 54.7 persen dan kejujuran tinggi sebesar 45.3 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa peran fasilitator dalam menyampaikan informasi, dan
amanah sesuai dengan program dan pelaksanaannya dilakukan secara terbuka
sehingga anggota Pokdarwis akan lebih banyak mendapatkan informasi dan
semakin kuat rasa percaya dengan fasilitator.
Tabel 7. Jumlah dan persentase kredibilitas fasilitator Pokdarwis
Kredibilitas Fasilitator
Kejujuran
Rendah
Sedang
Tinggi
Jumlah
Keahlian
Rendah
Sedang
Tinggi
Jumlah
Daya Tarik
Rendah
Sedang
Tinggi
Jumlah
Keakraban
Rendah
Sedang
Tinggi
Jumlah
Jumlah Responden
Persentase
0
35
29
64
0
54,7
45,3
100
0
19
45
64
0
29,7
70,3
100
0
17
47
64
0
26,6
73,4
100
0
21
43
64
0
32,8
67,2
100
Seseorang yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan pengalaman
disebut sebagai orang yang memiliki keahlian. Menurut Belch dan Belch (2001),
keahlian adalah tingkatan dimana seorang fasilitator dipersepsikan sebagai orang
yang dapat memberikan penilaian yang benar dan tegas. Dapat dilihat dari Tabel
7, keahlian tinggi sebesar 70.3 persen dan sedang 29.7 persen. Menurut responden
fasilitator sangat mengetahui banyak tentang seluk-beluk wisata Gunung Api
Purba Nglanggeran dengan baik. Fasilitator juga menjadi penghubung yang baik
antara Pokdarwis dengan pemerintah maupun pihak lainnya. Fasilitator juga
mampu dengan baik memberikan solusi masalah dan menjadi pihak yang mampu
menangani apabila terjadi konflik pada wisata Gunung Api Purba Nglanggeran.
Daya tarik bukan dilihat dari kecantikan fisik saja melainkan juga berbagai
sifat dan karakter yang dimiliki oleh fasilitator, misalnya kemampuan intelektual,
kepribadian, gaya hidup dan sebagainya. Seorang fasilitator memiliki nilai tambah
berupa kekaguman dari banyak orang. Penampilan seseorang dalam
berkomunikasi akan mempengaruhi proses komunikasi yang dilakukannya. Dalam
kaitan dengan kredibilitas sumber pesan, pengaruh penampilan terutama pada
kontak pertama antara sumber dan penerima pesan. Daya tarik fasilitator akan
berpengaruh pada keberhasilan penyampaian program kepada anggota Pokdarwis.
Sebagian besar fasilitator mempunyai daya tarik tinggi yaitu sebesar 73.4 persen
dan sedang 26.6persen. Narasumber S umur 36 tahun menyatakan:
“ Daya tarik pengelola Pokdarwis penting, karena dulu anak-anak
muda di sini penampilannya terkesan seperti berandalan dengan kaos
yang lusuh, rambut dicat warna terang, dan terkesan tidak merawat
diri dengan baik. Ketika kami ajak untuk bergabung di Karang
Taruna Bukit Putra Mandiri terus kami beritahu dan terus berupaya
menyadarkan masyarakat, lama kelamaan mereka semakin baik
dalam bernampilan, berubah drastis menjadi sosok yang ramah dan
menyenangkan bagi masyarakat. Kami juga selalu berupaya untuk
selalu menjadi panutan yang baik, terus menjaga kesederhanaan gaya
hidup kami, sehingga masyarakat ikut nyaman dan wisatawan juga
semakin berkesan dengan Pokdarwis”
Keakraban merupakan kemampuan fasilitator dalam bersosialisasi dengan
responden. Keakraban fasilitator dengan responden dengan tingkat yang tinggi
sebesar 67.2 persen dan tingkatan sedang sebesar 32.8 persen. Keakraban yang
tinggi disebabkan karena memang fasilitator berasal dari masyarakat lokal
setempat yang sudah saling mengenal. Fasilitator kerap saling menyapa, mengajak
berbicara untuk saling berbagi cerita ataupun informasi, dan aktif dalam kegiatan
gotong-royong masyarakat desa.
Pokdarwis sebagai fasilitator yang memiliki kredibilitas baik dibuktikan
dengan mendapat berbagai penghargaan seperti:
(1) Piagam Karang Taruna Bukit Putra Mandiri yang didapat dari Gubernur
DIY sebagai juara pertama penyelamat lingkungan dalam rangka seleksi
Kalpataru 2009. Dari Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan
(KAPEDAL) sebagai juara pertama lomba lingkungan hidup tingkat
Kabupaten Gunungkidul tahun 2009 kategori penyelamat lingkungan
pada tanggal 21-23 April 2009.
(2) Piagam Dinas Pariwisata DIY mendapat juara harapan II pada acara
lomba Desa Wisata se-Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2009. Desa
Nglanggeran sebagai desa Wisata dengan keunikan alam pada lomba
Desa Wisata se-DIY pada Tahun 2009
(3) Piagam Penghargaan dari Bupati Gunungkidul yang menyatakan Karang
Taruna Bukit Putra Mandiri Desa Nglanggeran sebagai juara pertama
pada lomba Penghijauan Swadaya Tingkat Kabupaten Gunungkidul
tahun 2001.
(4) Piagam Penghargaan dari Dinas Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta
yang diberikan Kepada Karang Taruna Bukit Putra Mandiri sebagai
juara kedua (II) karang taruna berprestasi tingkat Provinsi DIY Tahun
2009 dan 2012.
(5) Penghargaan dari Blogdetik & Telkom yang diberikan kepada salah satu
pengelola Blog Gunung Api Purba yang menjadi juara II lomba Festival
Blog tahun 2010 tingkat Nasional dengan jumlah peserta 1.026 orang.
(6) Penghargaan dari Kementrian Pemuda dan Olahraga RI yang diberikan
kepada salah satu pemuda pengelola Kawasan Ekowisata Gunung Api
Purba (Sugeng Handoko) menjadi pemuda pelopor bidang senibudaya
dan pariwisata Tahun 2011 tingkat nasional.
(7) Penghargaan dari Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata RI yang
diberikan kepada pengelola Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba
sebagai finalis dalam acara Cipta Award 2011 dalam pengelolaan Daya
Tarik WIsata Alam berwawasan Lingkungan Tingkat Nasional.
(8) Penghargaan dari Java Promo yang diberikan kepada Pengelola
Kawasan EKowisata Gunung Api Purba sebagai juara II lomba Desa
Wisata oleh Java Promo.
(9) Penghargaan dari Kementrian BUMN yang diberikan kepada salah satu
kelompok pemuda pengelola wisata sebagai Social Entrepreneur Lomba
Mandiri Bersama Mandiri yang diselenggarakan oleh Bank Mandiri
Tahun 2012.
(10) Penghargaan dari BKSDA D.I. Yogyakarta yang diberikan kepada salah
satu anggota Pokdarwis (Sugeng Handoko) sebagai juara I Kader
Konservasi Tingkat Provinsi D.I. Yogyakarta Tahun 2013
(11) Penghargaan dari Kementrian Kehutanan RI yang diberikan kepada
salah satu anggota Pokdarwis (Sugeng Handoko) sebagai juara harapan
III Kader Konservasi Tingkat Nasional Tahun 2013
(12) Penghargaan dari Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI yang
diberikan kepada Pokdarwis Desa Wisata Nglanggeran sebagai juara II
Pokdawis Berprestasi Tingkat Nasional Tahun 2013
(13) Penghargaan dari Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI yang
diberikan kepada Pokdarwis Desa Wisata Nglanggeran sebagai juara II
Desa Penerima PNPM Pariwisata Berprestasi Tingkat Nasional Tahun
2013
(14) Penghargaan dari Kemenkokesra RI yang diberikan kepada salah satu
anggota Pokdarwis (Sugeng Handoko) sebagai juara II Lomba Menulis
1001 Jejak PNPM Mandiri Tingkat Nasional Tahun 2014
(15) Penghargaan dari Kemenkokesra RI yang diberikan kepada salah satu
anggota Pokdarwis (Sugeng Handoko) sebagai Penghargaan dari
Kemenkokesra sebagai Pelaku PNPM Mandiri Terbaik Tahun 2014
Dukungan Kelembagaan
Dukungan kelembagaan adalah dukungan dari pihak lain yang berhubungan
langsung dengan pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran. Dukungan
kelembagaan baik dari pemerintah maupun non pemerintah diharapkan dapat
berperan dalam pengembangan wisata ini. Jumlah dan dukungan kelembagaan
Pokdarwis yang terdiri dari modal, sarana dan prasarana dapat disajikan pada
Tabel 8.
Dukungan kelembagaan dari aspek modal dan sarana menunjukkan
kecenderungan hasil yang sama yaitu masyarakat merasakan cukup dengan
kondisi yang ada namun tentunya tetap ingin melakukan perbaikan dan
pengembangan dikemudian hari. Seperti ditunjukkan pada Tabel 8. Sejumlah
59.4 persen responden merasakan bahwa modal awal untuk pembentukan
Pokdarwis cukup, namun sejumlah 40.6 persen responden menyatakan sangat
cukup. Seiring dengan perkembangan waktu, maka modal juga harus berkembang
karena akan banyak hal yang memerlukan biaya. Permodalan dapat diperoleh
dengan kerjasama dengan pihak lain atau memperluas jejaring termasuk dengan
Pemerintah Daerah. Pada tahun 2011 atau setelah 4 tahun berdiri, Pokdarwis
mendapatkan bantuan PNPM Pariwisata dari Kementerian Pariwisata. Kondisi
sarana telah dirasakan cukup oleh responden sebesar 54.7 persen dan sangat
cukup sebesar 31.2 persen. Saat ini kondisi sarana telah dapat mendukung
kegiatan Pokdarwis, namun diperlukan upaya penambahan sarana lagi untuk
mendukung bertambahnya jumlah pengunjung, sehingga memerlukan fasilitas
data dan informasi yang lebih lengkap lagi termasuk lampu penerangan jalur
pendakian, jaringan internet, kamera keamanan (cctv). Lampu penerangan
diperlukan pada jalur-jalur pendakian karena wisatawan ada yang menyukai untuk
melakukan pendakian pada malam hari. Narasumber S umur 36 tahun
menyatakan:
“ Di sini masih kurang penerangan terutama di jalur pendakian yang
posisinya terjal dan sulit dijangkau, tapi bukan berarti gak ada
wisatawan yang tetap ingin naik ke puncak gunung. Wisatawan ada
yang suka naik ke puncak malam karena bisa melihat keindahan
bintang, dan biasanya mereka berkemah rame-rame semalaman untuk
menanti keindahan matahari terbit dan foto-foto “
Jaringan internet diperlukan untuk mengakses informasi, mempermudah
komunikasi bagi masyarakat Desa Nglanggeran dengan masyarakat daerah lain,
dan bisa juga untuk terus mempromosikan wisata Gunung Api Purba. Narasumber
S umur 36 tahun menyatakan:
“ Penting banget mas internet supaya kita bisa terus belajar mendapat
informasi yang semakin banyak. Biasanya kita menggunakan internet
dengan handphone atau modem, tapi kadang sinyalnya susah dan
lambat. Pengennya sih ada internet gratis yang bisa diakses seluruh
warga Nglanggeran biar pada melek teknologi dan jadi pada pinter “.
Kamera keamanan (cctv) diperlukan untuk sebagai alat pengawasan dan
bukti apabila terjadi tindak kriminal seperti vandalism. Narasumber S umur 36
menyatakan:
” Tindak kriminal di sini biasanya coret-coret batunya mas, dan itu
sangat nyebelin. Pernah suatu saat ada sekelompok anak-anak smp,
mereka rame-rame nyoret tembok batunya sini, ketangkep sama
pengelola dan langsung kita sidang sama warga sini, kita laporkan ke
wartawan juga biar dimuat di koran dan akhirnya mereka kita denda
empat juta rupiah yang tujuannya agar mereka kapok dan juga jadi
pelajaran bagi orang lain yang mau berusaha merusak keindahan
alam sini “.
Permodalan dapat diperoleh dengan kerjasama dengan pihak lain atau
memperluas jejaring termasuk dengan Pemerintah Daerah. Pada tahun 2011 dan
2012, Pokdarwis mendapatkan bantuan PNPM Pariwisata dari Kementerian
Pariwisata. Adapun program yang dilaksanakan ditahun pertama (tahun 2011)
antara lain : (1) pelatihan pengelolaan home stay, (2) pelatihan penataan
pedagang, (3) pembuatan warung relokasi pedagang, (4) Pembuatan arena flying
fox. Selanjutnya tahap kedua (tahun 2012) digunakan untuk : (1) pelatihan
pemandu outbond (2) pelatihan kuliner (3) pelatihan manajemen obyek daya tarik
wisata (4) pelatihan kesenian tradisional dan pengadaan seragam kesenian (5)
pembuatan MCK taraf wisatawan asing. Berdasarkan hasil wawancara dengan
responden diketahui pula bahwa kondisi prasarana sudah dinyatakan cukup oleh
sebesar 36.0 persen dan lebih banyak responden sebesar 64.0 persen yang
menyatakan sangat cukup. Hal ini sejalan dengan program Pemerintah Daerah
Gunung Kidul yang sedang giat membangun jaringan infrastruktur baik jalan,
jembatan juga saluran air sehingga gunung kidul yang sebelumnya dikenal dengan
daerah tandus, saat ini sudah lebih mudah memperoleh air yang sangat diperlukan
dalam pengembangan wisata terutama untuk toilet dan rumah ibadah (masjid dan
musholla). Mengingat lokasi wisata Gunung Api Purba Nglanggeran tidak
terlepas dari Pemerintahan Desa Nglanggeran, maka Pokdarwis perlu melakukan
kerjasama dengan Pemerintahan Desa sehingga sesuai dengan amanat Undangundang No 6 Tahun 2014 tentang Desa yang menjelaskan tentang kewenangan
desa yang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hal asal
usul, adat istiadat dan nilai-nilai budaya masyarakat. Ini berdampak pada
keleluasaan desa untuk memandirikan desa menjadi lokasi yang berpotensi
sehingga mampu meningkatkan pendapatan desa, mempercepat pembangunan
ekonomi desa dan pemerataan sumber daya manusia. Oleh karena itu, kapasitas
kelembagaan desa harus mampu menciptakan organisasi yang tepat guna untuk
memecahkan masalah pada tingkat lokal dalam hal kelembagaan pengembangan
desa wisata (Iriansyah, 2011). Dalam pengembangannya, lokasi wisata ini dapat
memanfaatkan Dana Desa (DD) dari APBN atau Alokasi Dana Desa (ADD) dari
Kab. Gunung Kidul.
Tabel 8. Jumlah dan persentase dukungan kelembagaan Pokdarwis
Dukungan Kelembagaan
Modal
Tidak Cukup
Cukup
Sangat Cukup
Jumlah
Sarana
Tidak Cukup
Cukup
Sangat Cukup
Jumlah
Prasarana
Tidak Cukup
Cukup
Sangat Cukup
Jumlah
Jumlah Responden
Persentase (%)
0
38
26
64
0
59,4
40,6
100
9
35
20
64
14,1
54,7
31,2
100
0
23
41
64
0
36,0
64,0
100
Komunikasi Partisipatif
Pembangunan kepariwisataan memerlukan dukungan dan keterlibatan
seluruh pemangku kepentingan di bidang pariwisata. Dukungan masyarakat dapat
diperoleh melalui penanaman kesadaran masyarakat akan arti penting
pengembangan kepariwisataan, untuk itu dibutuhkan proses dan pengkondisian
untuk mewujudkan masyarakat yang sadar wisata. Kelompok Sadar Wisata
(Pokdarwis) merupakan salah satu komponen dalam masyarakat yang memiliki
peran dan kontribusi penting dalam pengembangan kepariwisataan di daerahnya.
Keberadaan Pokdarwis tersebut perlu terus didukung dan dibina sehingga dapat
berperan lebih efektif dalam turut menggerakkan partisipasi masyarakat untuk
mewujudkan lingkungan dan suasana yang kondusif bagi tumbuh dan
berkembangnya kegiatan kepariwisataan di sekitar destinasi pariwisata. Dalam
upaya melakukan analisis terhadap komunikasi partisipatif Pokdarwis hasilnya
seperti disaikan pada Tabel 9. Berdasarkan Tabel 9, maka komunikasi partisipatif
Pokdarwis memiliki kecenderungan hasil yang sama antara dialog, aspirasi dan
aksi refleksi. Dialog dicirikan dengan keaktifan anggota Pokdarwis dalam
bertukar pendapat untuk mereflesikan masalah dan kebutuhan wisata. Sejumlah
64.7 persen responden menyatakan bahwa dialog dengan tingkat sedang, 35
persen dengan tingkat tinggi. White (2004) mendefinisikan komunikasi partisipatif
sebagai dialog terbuka, sumber dan penerima berinteraksi secara kontinyu,
memikirkan secara konstruktif situasi, mengidentifikasi kebutuhan dan permasalahan
pembangunan, memutuskan apa yang yang dibutuhkan untuk meningkatkan situasi
dan bertindak atas situasi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa dialog sudah cukup
dilakukan, responden sudah nyaman dengan komunikasi yang dibangun oleh
ketua dan pengurus Pokdarwis meskipun perlu peningkatan ke depannya, Dari
aspek aspirasi, maka aspirasi anggota sudah diberikan wadah dengan sangat baik,
mengingat 60.8 persen menyatakan aspirasi sedang dan 39.2 persen aspirasi
tinggi, hal ini berarti bahwa sudah tersedia sarana aspirasi anggota untuk
melakukan diskusi seperti rembug warga. Keterlibatan partisipasi seluruh anggota
masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan memegang peranan penting
dalam menentukan keberhasilan pembangunan (McPhail 2009). McKee et al.
(2008) menjelaskan bahwa untuk memunculkan rasa memiliki, kompetensi dan
komitmen pada sebuah kelompok adalah dengan adanya collective action dan
kontrol berdasarkan partisipasi antara anggota komunitas dengan organisasi dalam
konteks sosial. Keterlibatan anggota perlu terus ditingkatkan agar terdapat rasa
memiliki yang tinggi. Penyampaian aspirasi memberikan pemahaman bahwa para
anggota ikut bertanggung jawab dalam pengelolaan Pokdarwis, sehingga tidak
hanya menjadi kewajiban pengurus saja untuk mengembangkan kelembagaan
Pokdarwis.
Keterlibatan anggota perlu terus ditingkatkan agar terdapat rasa memiliki
yang tinggi. Penyampaian aspirasi memberikan pemahaman bahwa para anggota
ikut bertanggung jawab dalam pengelolaan Pokdarwis, sehingga tidak hanya
menjadi kewajiban pengurus saja untuk mengembangkan kelembagaan
Pokdarwis. Dalam menarik wisatawan agar lebih banyak berkunjung ke
Nglanggeran maka perlu dilakukan upaya-upaya pengembanagn lokasi tersebut
melalui peran aktif para pengelola dan anggota Pokdarwis seperti perbaikan dan
pengembangan sarana dan prasarana serta lingkungan wisata. Responden
menyatakan bahwa aksi refleksi sedang 67.2 persen dan tinggi 32.8 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa sebagian besar anggota masih menganggap bahwa aksi
refleksi sebaiknya dilakukan namun belum menjadi prioritas. Kemajuan dari
setiap tindakan sebaiknya mellaui refleksi atats kegiatan yang telah dilakukan
sehingga dapat diketahui kendala dan permasalahan untuk dilakukan perbaikan ke
depan.
Tabel 9. Sebaran responden menurut komunikasi partisipatif Pokdarwis di
Nglanggeran 2015
Komunikasi Partisipatif
Pokdarwis
Dialog
Rendah
Sedang
Tinggi
Jumlah
Aspirasi
Rendah
Sedang
Tinggi
Jumlah
Aksi Refleksi
Rendah
Sedang
Tinggi
Jumlah
Jumlah Responden
Persentase (%)
0
41
23
64
0
64,7
35,3
100
0
39
0
60,8
25
64
39,2
100
0
43
21
64
0
67,2
32,8
100
Pengelolaan Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran
Kelompok sadar wisata di Nglanggeran memiliki arah pengembangan
pengelolaan wisata yang akan dilakukan sesuai dengan konsep rintisan awal
bersama masyarakat. Pengelolaan tersebut terdiri prinsip ramah lingkungan (alam
dan budaya), prinsip ramah masyarakat, dan prinsip ramah wisatawan. Jumlah dan
pengelolaan wisata yang terdiri dari prinsip ramah lingkungan, tingkat keramahan
masyarakat, dan tingkat keramahan wisatawan disajikan pada Tabel 10. WWF
Indonesia (2009) menyatakan sejak 1970an, organisasi konservasi mulai melihat
ekowisata sebagai alternatif ekonomi yang berbasis konservasi karena tidak
merusak alam ataupun tidak “ekstraktif” dengan berdampak negatif terhadap
lingkungan seperti penebangan dan pertambangan. Ekowisata juga dianggap
sejenis usaha yang berkelanjutan secara ekonomi dan lingkungan bagi masyarakat
yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan konservasi. Namun agar ekowisata
tetap berkelanjutan, perlu tercipta kondisi yang memungkinkan di mana
masyarakat diberi wewenang untuk mengambil keputusan dalam pengelolaan
usaha ekowisata, mengatur arus dan jumlah wisatawan, dan mengembangkan
ekowisata sesuai visi dan harapan masyarakat untuk masa depan. Ekowisata
dihargai dan dkembangkan sebagai salah satu program usaha yang sekaligus bisa
menjadi strategi konservasi dan dapat membuka alternatif ekonomi bagi
masyarakat. Dengan pola ekowisata, masyarakat dapat memanfaatkan keindahan
alam yang masih utuh, budaya, dan sejarah setempat tanpa merusak atau menjual
isinya.. Berdasarkan hasil Tabel 10, maka diketahui bahwa 57,8 persen ramah
lingkungan sangat cukup. Hal ini menujukkan bahwa Pokdarwis melakukan
pelestarian SDA dengan cara seperti: menanam pohon, pengolahan sampah.
Pokdarwis juga menyusun dan melakukan implementasi mekanisme pengawasan
untuk mengurangi ancaman kerusakan dari kegiatan pariwisata, menyusun tata
kelola pengunjung, menerapkan zonasi kawasan untuk meminimalkan kerusakan
wisata dari tindakan kriminal seperti vandalism.
Pola ekowisata berbasis masyarakat adalah pola pengembangan ekowisata
yang mendukung dan memungkinkan keterlibatan penuh oleh masyarakat
setempat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan usaha ekowisata dan
segala keuntungan yang diperoleh. Ekowisata berbasis masyarakat merupakan
usaha ekowisata yang menitikberatkan peran aktif komunitas. Hal tersebut
didasarkan kepada kenyataan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan tentang
alam serta budaya yang menjadi potensi dan nilai jual sebagai daya tarik wisata,
sehingga pelibatan masyarakat menjadi mutlak. Pola ekowisata berbasis
masyarakat mengakui hak masyarakat lokal dalam mengelola kegiatan wisata di
kawasan yang mereka miliki secara adat ataupun sebagai pengelola. Ekowisata
berbasis masyarakat dapat menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat
setempat, dan mengurangi kemiskinan, di mana penghasilan ekowisata adalah dari
jasa-jasa wisata untuk turis: fee pemandu; ongkos transportasi; homestay; menjual
kerajinan, dll. Ekowisata membawa dampak positif terhadap pelestarian
lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu
menumbuhkan jati diri dan rasa bangga antar penduduk setempat yang tumbuh
akibat peningkatan kegiatan ekowisata. Adanya pola ekowisata berbasis
masyarakat bukan berarti bahwa masyarakat akan menjalankan usaha ekowisata
sendiri. Tataran implementasi ekowisata perlu dipandang sebagai bagian dari
perencanaan pembangunan terpadu yang dilakukan di suatu daerah. Untuk itu,
pelibatan para pihak terkait mulai dari level komunitas, masyarakat, pemerintah,
dunia usaha dan organisasi non pemerintah diharapkan membangun suatu jaringan
dan menjalankan suatu kemitraan yang baik sesuai peran dan keahlian masingmasing. Beberapa aspek kunci dalam ekowisata berbasis masyarakat menurut
WWF Indonesia (2009) adalah:
(1) Masyarakat membentuk panitia atau lembaga untuk pengelolaan
kegiatan ekowisata di daerahnya, dengan dukungan dari pemerintah dan
organisasi masyarakat (nilai partisipasi masyarakat dan edukasi)
(2) Prinsip local ownership (=pengelolaan dan kepemilikan oleh
masyarakat setempat) diterapkan sedapat mungkin terhadap sarana dan
pra-sarana ekowisata, kawasan ekowisata, dll (nilai partisipasi
masyarakat)
(3) Homestay menjadi pilihan utama untuk sarana akomodasi di lokasi
wisata (nilai ekonomi dan edukasi)
(4) Pemandu adalah orang setempat (nilai partisipasi masyarakat)
(5) Perintisan, pengelolaan dan pemeliharaan obyek wisata menjadi
tanggungjawab masyarakat setempat, termasuk penentuan biaya (=fee)
untuk wisatawan (nilai ekonomi dan wisata).
Berdasarkan hasil Tabel 10, diketahui bahwa sebesar 54,7 persen ramah
masyarakat sangat cukup. Hal ini menunjukkan bahwa Pokdarwis menggunakan
konsep partisipatif dan melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan
implementasi, masyarakat desa sebagai pelaku dan penerima manfaat terbesar
dalam pengembangan pariwisata desa, menyusun mekanisme distribusi
keuntungan dari kegiatan pariwisata, menyusun mekanisme investasi pariwisata
yang memprioritaskan peluang untuk warga desa. Pokdarwis menerapkan upaya
pengelolaan dan kepemilikan oleh masyarakat setempat untuk menjaga Desa
Nglanggeran agar tidak dimiliki oleh orang luar Desa Nglanggeran dan tetap
memberikan manfaat hasil pengelolaan wisata terhadap warga asli. Narasumber S
umur 36 tahun menyatakan:
” Seluruh kegiatan investasi pihak luar Desa Nglanggeran tidak kami
perbolehkan mas, karena kami hanya ingin Nglanggeran ini maju dan
manfaatnya dirasakan sendiri oleh warga sini. Waktu itu ada yang
ingin membuat hotel, tapi kami tolak dan wisatawan yang ingin
menginap kami persilahkan untuk menginap di homestay. Kalo kita
memperbolehkan pihak luar untuk masuk ke Nglanggeran kami takut
nanti malah kami tidak bisa bersaing dan malah tidak
mensejahterakan warga asli di sini.”
Pokdarwis menjadikan homestay pilihan utama untuk penginapan di wisata
Gunung Api Purba Nglanggeran. Pemilihan menggunakan homestay didasari atas
rasa ingin melestarikan budaya kegiatan sehari-hari masyarakat yang bisa
dinikmati oleh wisatawan yang ingin merasakan seperti menjadi warga asli
Nglanggeran. Selain menjadi wisata budaya yang menarik, dapat memberikan
tambahan ekonomi terhadap masyarakat. Narasumber S umur 36 tahun
menyatakan:
“ Warga yang menyediakan homestay diberikan kursus bahasa
Inggris agar bisa berkomunikasi dengan wisatawan asing. Wisatawan
senang bisa merasakan seolah-olah hidup menjadi warga
Nglanggeran. Biaya untuk menginap sekitar seratus dua puluh ribu
rupiah sudah termasuk makan sebanyak tiga kali dalam sehari dan
pilihannya makanan sederhana saja ala masyarakat Desa sini.”
Pemandu wisata Gunung Api Purba Nglanggeran ini merupakan Pokdarwis
yang rata-rata masih muda dan kemampuan untuk interpretasi informasi yang ada
menjadi upaya Pokdarwis untuk terus bisa ditingkatkan lebih baik lagi.
Narasumber S umur 29 tahun menyatakan:
“Pemandu wisata di sini biasanya anak-anak muda dan masih pada
enerjik untuk naik turun gunung setiap memandu. Mereka mendapat
gaji bulanan dari Pokdarwis tapi biasanya ada yang dapat tip, dan
bisa menjadi tambahan buat mereka.”
Ekowisata memberikan banyak peluang untuk memperkenalkan kepada
wisatawan tentang pentingnya perlindungan alam dan penghargaan terhadap
kebudayaan lokal. Upaya pendekatan ekowisata, pusat Informasi menjadi hal yang
penting dan dapat juga dijadikan pusat kegiatan dengan tujuan meningkatkan nilai
dari pengalaman seorang turis yang bisa memperoleh informasi yang lengkap
tentang lokasi atau kawasan dari segi budaya, sejarah, alam, dan menyaksikan
acara seni, kerajinan dan produk budaya lainnya. Berdasarkan hasil Tabel 10,
diketahui bahwa sebesar 65,6 persen ramah wisatawan sangat cukup. Hal ini
menunjukkan bahwa pengunjung tampak menikmati pelayanan yang tersedia, dan
ingin berulang kembali mengunjungi wisata Gunung Api Purba Nglanggeran.
Pokdarwis melakukan program pelatihan untuk meningkatkan SDM pengelola
untuk menciptakan kenyamanan pengunjung, menerapkan SOP pengelola soal
kebersihan kesehatan keamanan, pengawasan kepuasan pengunjung dan juga
kepuasan masyarakat. Narasumer S umur 28 tahun menyatakan :
”Pokdarwis diberikan pelatihan tata cara pengelolaan dan
mengenalkan potensi yang ada di Nglanggeran sehingga nanti kalo
ada wisatawan yang nanya kami bisa memberikan informasi dengan
baik dan semuanya seragam mas”
Tabel 10. Jumlah dan pengelolan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran
oleh Pokdarwis 2015
Pengelolaan Lingkungan
Ramah Lingkungan
Tidak Cukup
Cukup
Sangat Cukup
Jumlah
Ramah Masyarakat
Tidak Cukup
Cukup
Sangat Cukup
Jumlah
Ramah Wisatawan
Tidak Cukup
Cukup
Sangat Cukup
Jumlah
Jumlah Responden
Persentase (%)
0
27
37
64
0
42,2
57,8
100
0
29
35
64
0
45,3
54,7
100
0
22
42
64
0
34,4
65,6
100
Hubungan antara karakteristik individu dengan komunikasi partisipatif
Pokdarwis
Karakteristik individu merupakan ciri khas yang melekat dalam individu dan telah
menjadi pola kebiasaan dalam individu itu sendiri. Karakteristik individu dalam
penelitian ini meliputi umur, tingkat pendidikan dan motivasi. Adapun yang
menjadi indikator komunikasi partisipatif dalam penelitian ini adalah dialog,
aspirasi dan aksi refleksi. Karakteristik merupakan sifat-sifat atau ciri-ciri yang
melekat pada sesuatu baik itu benda, orang maupun makhluk hidup lainnya, yang
berhubungan dengan berbagai aspek kehidupannya (Mardikanto 1993). Bisa
diasumsikan bahwa karaktersitik kelompok merupakan ciri-ciri yang melekat
dalam kelompok tersebut. Ciri-ciri tersebut menjadi pembeda antara kelompok
satu dengan yang lainnya (Suharno 2009).Terdapat hubungan sangat nyata dan
positif antara karakteristik individu dengan dengan komunikasi partisipatif
Pokdarwis. Dari data Tabel 11, terdapat hubungan sangat nyata dan positif antara
tingkat pendidikan dengan komunikasi partisipatif. Hal tersebut bermakna bahwa
komunikasi partisipasi yang tinggi didukung oleh tingkat pendidikan anggota
Pokdarwis. Menurut Freire (1972) semua orang baik secara individual dan
kolektif memiliki hak untuk berbicara. Berbicara bukan hak istimewa dari
beberapa orang, namun hak setiap manusia. Freire menyadari bahwa kebodohan
dan kelalaian mereka membuat mereka menjadi tidak memiliki keberanian dan
kemampuan uantuk menjawab realitas-realitas kongkret dari dunia mereka.
Mereka tetap saja tenggelam dalam suatu keadaan di mana kesadaran kritis dan
jawaban semacam itu praktis tidak mungkin. Mereka merupakan masyarakat yang
tersisihkan, tak berdaya, yang kemudian menjadi tidak berani berbicara sehingga
kemudian memunculkan satu kebudayaan yang dikenal dengan nama kebudayaan
bisu. Budaya bisu akan bisa diubah menjadi budaya kritis, di mana orang berani
bicara untuk memperjuangkan hak hidupnya menjadi manusia yang
sesungguhnya. Walau upayanya tersebut tampaknya “hanya” dalam aspek
pendidikan, namun dampaknya secara cukup kuat dan signifikan mempengaruhi
ikhtiar pembangunan nasional. Tingkat pendidikan tinggi membuat Pokdarwis
mampu menerima informasi baru dengan baik, pengetahuan akan sesuatu semakin
tinggi, dan diharapkan mampu memiliki tingkatan hidup yang lebih sejahtera.
Motor penggerak dari kegiatan pengelolaan wisata ini adalah pemuda yang ratarata memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi (SMA – Sarjana), sedangkan
anggota Pokdarwis yang dewasa dan tua rata-rata hanyalah lulusan SD – SMP.
Tingkat pendidikan yang tinggi yang dimiliki oleh pengelola wisata akan
membuat Pokdarwis dalam membuat kegiatan semakin terencana baik karena
didukung oleh dialog anggota yang terbuka, kebebasan penyampaian aspirasi
berupa ide gagasan dari setiap anggota, dan rutin menginisiasi pertemuan
kelompok untuk membahas kelangsungan pengelolaan wisata Gunung Api Purba
Nglanggeran.
Komunikasi partisipatif mengasumsikan adanya proses humanis yang
menempatkan individu sebagai aktor aktif dalam merespon setiap stimulus yang
muncul dalam lingkungan yang menjadi medan kehidupannya. Individu bukanlah
wujud yang pasif yang hanya bergerak jika ada yang menggerakan. Individu
adalah wujud dinamis yang menjadi subjek dalam setiap perilaku yang diperankan
termasuk perilaku komunikasi (Hamijoyo 2005). Tabel 11 menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang sangat nyata dan positif antara motivasi dengan
komunikasi partisipatif Pokdarwis. Adanya motivasi yang tinggi menunjang
keaktifan anggota dalam setiap agenda kegiatan rutin bersama. Pokdarwis
memiliki motivasi awal bersama yang kuat dimulai dari ide kreatif pemuda
Karang Taruna Bukit Putra Mandiri. Menurut narasumber S umur 36 tahun
sebagai pengelola mengungkapkan bahwa:
“ Dulu kita sewaktu awal memulai pengelolaan wisata Gunung Api
Purba Nglanggeran ini banyak sekali yang mencibir bahwa ngapain
mengelola gunung batu, memangnya mau makan dari batu? karena
pada umumnya anak muda di desa ini ingin keren dengan bekerja di
kota yang lebih menjanjikan, dan penduduk yang ingin tinggal di desa
lebih suka untuk menjadi petani saja. Pada awalnya kami sedikitsedikit dengan uang seadanya kami buat semacam jalur pendakian,
mck, gubuk tempat peristirahatan dan mulai ada yang datang untuk
berwisata. Pengunjung yang datang kami ambil tarif parkir sebesar
lima ratus rupiah, dan uangnya kami gunakan untuk terus melengkapi
fasilitas. Berawal dari mulut kemulut dan terus kami upayakan untuk
promosi lama-lama kami bisa mendatangkan wisatawan, dan ketika
kami berhasil bisa mendapatkan penghasilan dari wisata ini maka
cibiran orang-orang yang mengatakan kami makan dari batu memang
kami buktikan bahwa kami memang makan dari hasil mengelola batu
yang tidak bernilai tapi kini sudah dapat menghidupi orang banyak
dari wisata Gunung Api Purba Nglanggeran”
Tabel 11. Nilai koefisien hubungan antara karakteristik individu dengan
komunikasi partisipatif Pokdarwis di Nglanggeran 2015
Karakteristik
individu
Umur
Tingkat
pendidikan
Motivasi
Ket: ** Berhubungan signifikan pada taraf 0,01
Komunikasi partisipatif
r
Sig.
.216
.087
.381**
.582**
.002
.000
Hubungan antara kredibilitas fasilitator dengan komunikasi partisipatif
Pokdarwis
Kredibilitas diartikan sebagai suatu tingkat sampai sejauh mana fasilitator dapat
dipercaya oleh Pokdarwis. Kredibilitas penting bagi fasilitator karena akan
mempengaruhi anggota komunitas untuk menjalankan program-program
pemberdayaan. Analisis terhadap kredibilitas fasilitator ditunjukan melalui empat
variabel yaitu kejujuran, keahlian, daya tarik dan keakraban. Adapun yang
menjadi indikator komunikasi partisipatif dalam penelitian ini adalah dialog,
aspirasi dan aksi refleksi. Kredibilitas fasilitator berhubungan sangat nyata dan
positif dengan komunikasi partisipatif Pokdarwis yang disajikan pada Tabel 12.
Hal tersebut bermakna bahwa komunikasi partisipasi yang tinggi didukung oleh
kredibilitas fasilitator. Hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saputra
(2011), Mulyasari (2009), Muchlis (2009), dan Satriani (2011) mengindikasikan
fakta bahwa ketidakmampuan penyuluh dalam membangun hubungan
dikarenakan jarangnya mengunjungi kelompok sasaran, melemahkan keinginan
masyarakat untuk berdiskusi, dan mempersempit pemberian kesempatan aspirasi
dari masyarakatnya. Hal tersebut dikarenakan masyarakat kurang percaya dan
cenderung enggan untuk berbagi informasi dan pengetahuan yang mereka miliki
dengan orang lain yang dirasa kurang dikenalnya. Kejujuran yang tinggi oleh
fasilitator akan membuat keterbukaan informasi, transparansi dana bantuan, dan
kejelasan pembagian tugas anggota Pokdarwis sesuai program dan pelaksanaanya
yang dapat menambah kuat rasa percaya anggota Pokdarwis terhadap fasilitator.
Keahlian fasilitator yang tinggi karena mengetahui seluk-beluk wisata Gunung
Api Purba Nglanggeran dengan baik. Fasilitator juga menjadi penghubung yang
baik antara Pokdarwis dengan pemerintah maupun pihak lainnya. Fasilitator juga
mampu dengan baik memberikan solusi masalah dan menjadi pihak yang mampu
menangani apabila terjadi konflik pada wisata Gunung Api Purba Nglanggeran.
Daya tarik dapat dilihat dari kemampuan intelektual, kepribadian, gaya hidup dan
sebagainya. Daya tarik fasilitator akan berpengaruh pada keberhasilan
penyampaian program kepada anggota Pokdarwis, karena fasilitator
mencerminkan sosok yang cerdas, sopan, rapih, dan sederhana sehingga mampu
menjadi panutan dalam Pokdarwis. Narasumber S umur 36 tahun sebagai
pengelola menyatakan:
“ Daya tarik pengelola Pokdarwis penting, karena dulu anak-anak
muda di sini penampilannya terkesan seperti berandalan dengan kaos
yang lusuh, rambut dicat warna terang, dan terkesan tidak merawat
diri dengan baik. Ketika kami aak untuk bergabung di Karang Taruna
Bukit Putra Mandiri terus kami beritahu dan terus berupaya
menyadarkan masyarakat, lama kelamaan mereka semakin baik
dalam bernampilan, berubah drastis menjadi sosok yang ramah dan
menyenangkan bagi masyarakat. Kami juga selalu berupaya untuk
selalu menjadi panutan yang baik, terus menjaga kesederhanaan gaya
hidup kami, sehingga masyarakat ikut nyaman dan wisatawan juga
semakin berkesan dengan Pokdarwis”
Keakraban yang tinggi akan mendukung berjalannya suasana komunikasi
partisipatif yang kekeluargaan dan nyaman. Keakraban yang tinggi disebabkan
fasilitator berasal dari masyarakat setempat yang sudah saling mengenal.
Fasilitator kerap saling menyapa, mengajak berbicara untuk saling berbagi cerita
ataupun informasi, dan aktif dalam kegiatan gotong-royong masyarakat desa.
Kelompok yang tingkat self efficacy rendah, cenderung malu untuk berpartisipasi
dalam setiap kegiatan komunikasi, karena mereka merasa tidak mempunyai
kemampuan untuk bertukar gagasan dalam bermusyawarah (Muchlis 2009). Self
efficacy bisa terbentuk karena adanya diskusi yang melibatkan anggota Pokdarwis
dan menghargai setiap gagasan yang disampaikan oleh anggota Pokdarwis.
Pokdarwis dalam hal ini telah mampu mendorong anggota untuk meningkatkan
self efficacy nya melalui dialog baik ketika di dalam pertemuan maupun di luar
pertemuan.
Tabel 12. Nilai koefisien hubungan antara kredibilitas fasilitator dengan
komunikasi partisipatif di Nglanggeran 2015
Kredibilitas fasilitator
Kejujuran
Keahlian
Daya tarik
Keakraban
Kredibilitas Fasilitator
Ket:
** Berhubungan signifikan pada taraf 0,01
Komunikasi partisipatif
r
.685**
.554**
.625**
.660**
.753**
Sig.
.000
.000
.000
.000
.000
Hubungan antara dukungan kelembagaan dengan komunikasi partisipatif
Pokdarwis
Dukungan kelembagaan adalah dukungan dari pihak lain yang
berhubungan langsung dengan pengelolaan wisata Gunung Api Purba
Nglanggeran. Dukungan kelembagaan baik dari pemerintah maupun non
pemerintah diharapkan dapat berperan dalam pengembangan wisata ini. Adapun
yang menjadi indikator komunikasi partisipatif dalam penelitian ini adalah dialog,
aspirasi dan aksi refleksi. Pedoman Kelompok Sadar Wisata (2012) menyatakan
bahwa masyarakat sebagai subyek atau pelaku pembangunan, mengandung arti,
bahwa masyarakat menjadi pelaku penting yang harus terlibat secara aktif dalam
proses perencanaan dan pengembangan kepariwisataan, bersama-sama dengan
pemangku kepentingan terkait lainnya baik dari pemerintah maupun swasta.
Dalam fungsinya sebagai subjek atau pelaku masyarakat memiliki peran dan
tanggung jawab untuk bersama-sama mendorong keberhasilan pengembangan
kepariwisataan di wilayahnya. Masyarakat sebagai penerima manfaat,
mengandung arti, bahwa masyarakat diharapkan dapat memperoleh nilai manfaat
ekonomi yang berarti dari pengembangan kegiatan kepariwisataan untuk
meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan sosial masyarakat yang
bersangkutan. Dalam kerangka pembangunan kepariwisataan tersebut, salah satu
aspek mendasar bagi keberhasilan pembangunan kepariwisataan adalah dapat
diciptakannya lingkungan dan suasana kondusif yang mendorong tumbuh dan
berkembangnya kegiatan kepariwisataan di suatu tempat. Dukungan kelembagaan
berhubungan sangat nyata dan positif dengan komunikasi partisipatif Pokdarwis
yang disajikan pada Tabel 13. Hal tersebut bermakna bahwa komunikasi
partisipasi yang tinggi membuat dukungan kelembagaan menjadi lebih baik.
Pokdarwis aktif berdialog, menyampaikan aspirasi dengan berbagai pihak
sehingga bisa mendapatkan modal untuk membangun sarana, dan prasarana
wisata yang dibutuhkan, serta secara sukarela bergotong-royong mengelola lokasi
wisata untuk membuat nyaman wisatawan.
Tabel 13. Nilai koefisien hubungan antara dukungan kelembagaan dengan
komunikasi partisipatif Pokdarwis di Nglanggeran 2015
Dukungan kelembagaan
Modal
Sarana
Prasarana
Dukungan
Kelembagaan
Ket: ** Berhubungan signifikan pada taraf 0,01
Komunikasi partisipatif
r
Sig.
.405**
.001
.492**
.000
.544**
.000
.646**
.000
Hubungan antara pengelolaan wisata dengan komunikasi partisipatif
Pokdarwis
Pedoman Kelompok Sadar Wisata (2012) menyatakan bahwa salah satu
aspek mendasar bagi keberhasilan pembangunan kepariwisataan adalah dapat
diciptakannya lingkungan dan suasana kondusif yang mendorong tumbuh dan
berkembangnya kegiatan kepariwisataan di suatu tempat. Iklim atau lingkungan
kondusif tersebut terutama dikaitkan dengan perwujudan Sadar Wisata dan Sapta
Pesona yang dikembangkan secara konsisten di kalangan masyarakat yang tinggal
di sekitar destinasi pariwisata. Sadar wisata dalam hal ini digambarkan sebagai
bentuk kesadaran masyarakat untuk berperan aktif dalam 2 (dua) hal berikut,
yaitu:
(a) Masyarakat menyadari peran dan tanggung jawabnya sebagai tuan
rumah (host) yang baik bagi tamu atau wisatawan yang berkunjung untuk
mewujudkan lingkungan dan suasana yang kondusif sebagaimana tertuang dalam
slogan Sapta Pesona.
(b) Masyarakat menyadari hak dan kebutuhannya untuk menjadi pelaku
wisata atau wisatawan untuk melakukan perjalanan ke suatu daerah tujuan wisata,
sebagai wujud kebutuhan dasar untuk berekreasi maupun khususnya dalam
mengenal dan mencintai tanah air. Meningkatnya lapangan pekerjaan dan peluang
pendapatan, serta dampak ekonomi multi ganda pariwisata bagi masyarakat.
Pengelolaan wisata berhubungan sangat nyata dan positif dengan komunikasi
partisipatif Pokdarwis yang disajikan pada Tabel 14. Hal tersebut bermakna
bahwa komunikasi partisipatif yang tinggi dapat mendukung pengelolaan wisata
dengan baik. Sapta pesona adalah tujuh unsur pesona yang harus diwujudkan bagi
terciptanya lingkungan yang kondusif dan ideal bagi berkembangnya kegiatan
kepariwisataan di suatu tempat yang mendorong tumbuhnya minat wisatawan
untuk berkunjung.. Terwujudnya ketujuh unsur Sapta Pesona dalam
pengembangan kepariwisataan di daerah akan bermuara pada:
(1) Meningkatnya minat kunjungan wisatawan ke destinasi
(2) Tumbuhnya iklim usaha kepariwisataan yang prospektif
Dialog yang aktif, penyampaian aspirasi yang baik dan aksi refleksi sukarela
akan mewujudkan pengelolaan wisata yang ramah lingkungan melalui penanaman
pohon, pengelolaan sampah, penerapan zonasi kawasan, dan pengendalian
perusakan fisik (vandalism). Keterlibatan Pokdarwis dalam pengelolaan wisata
membuat masyarakat dapat merasakan manfaat, keuntungan, serta menerima
perencanaan dan implementasi kegiatan. Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran
memenuhi kriteria Ketujuh unsur Sapta Pesona yang terdiri dari: (1). Aman, (2).
Tertib, (3). Bersih, (4). Sejuk, (5). Indah, (6). Ramah, (7). Kenangan. Pokdarwis
mampu memberikan pelayanan yang baik, meningkatkan pelayanan, dan
membuat pengunjung merasa nyaman sehingga berulang kali mengunjungi lokasi
wisata Gunung Api Purba Nglanggeran.
Tabel 14. Nilai koefisien hubungan antara pengelolaan wisata dengan komunikasi
partisipatif Pokdarwis di Nglanggeran 2015
Komunikasi partisipatif
Dialog
Aspirasi
Aksi
Komunikasi Partisipatif
Ket: ** Berhubungan signifikan pada taraf 0,01
Pengelolaan wisata
r
.411**
.620**
.468**
.648**
Sig.
.001
.000
.000
.000
KESIMPULAN
(1) Pokdarwis memiliki pengetahuan yang baik untuk bisa dapat menjalankan
kegiatan, dan memiliki motivasi yang tinggi untuk aktif terlibat dalam
setiap kegiatan rutin. Kejujuran, keahlian, daya tarik dan keakraban
Pokdarwis yang tinggi mampu mendukung kegiatan dengan baik karena
masyarakat percaya dan ikut bersama-sama bertanggung jawab.
Komunikasi partisipatif dapat memberikan solusi permasalahan modal,
sarana dan prasarana, dengan terus berupaya memaksimalkan potensi SDA
dan keterlibatan SDM Desa Nglanggeran agar dapat kreatif untuk
menciptakan ekonomi masyarakat yang mandiri.
(2) Terdapat hubungan sangat nyata dan positif antara karakteristik individu,
kredibilitas fasilitator dan dukungan kelembagaan dengan komunikasi
partisipatif Pokdarwis. Komunikasi partisipatif melalui Pokdarwis
merupakan elemen penting dalam perumusan rencana pembangunan agar
mampu meningkatkan rasa percaya diri dan menumbuhkan rasa ikut
bertanggung jawab terhadap hasil pembangunan wisata Gunung Api Purba
Nglanggeran yang berbasis masyarakat.
(3) Terdapat hubungan sangat nyata dan positif antara pengelolaan wisata
dengan komunikasi partisipatif Pokdarwis. Komunikasi partisipatif wisata
Gunung Api Purba Nglanggeran berbasis masyarakat mengakui hak
masyarakat lokal dalam mengelola kegiatan wisata di kawasan yang
mereka miliki secara adat ataupun sebagai pengelola. Wisata Gunung Api
Purba Nglanggeran berbasis masyarakat dapat menciptakan kesempatan
kerja bagi masyarakat setempat, dan mengurangi kemiskinan, di mana
penghasilan ekowisata adalah dari jasa-jasa wisata untuk turis: fee
pemandu; ongkos transportasi; homestay; menjual kerajinan. Wisata
Gunung Api Purba Nglanggeran membawa dampak positif terhadap
pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya
diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga antar
penduduk setempat yang tumbuh akibat peningkatan kegiatan ekowisata.
SARAN
Perlu diidentifikasi lebih lanjut lagi fasilitator lokal untuk memajukan
Desa Nglanggeran, sehingga Pokdarwis Nglanggeran akan lebih banyak anggota
yang memiliki dedikasi dan integritas tinggi dalam pengelolaan wisata Gunung
Api Purba Nglanggeran serta menjadi inspirasi untuk pengelolaan wisata di
daerah lain. Masyarakat boleh menjadi lebih berpeluang banyak menikmati
keberadaan potensi sumberdaya wisata alam yang sejalan dengan meningkatnya
partisipasi mereka dalam Pokdarwis. Pemberdayaan Pokdarwis perlu terus
dikembangkan sejalan dengan perkembangan wisata Gunung Api Purba
Nglanggeran.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto S. 2005. Manajemen Penelitian. Jakarta (ID): Rineka Cipta.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul, 2015. Gunungkidul dalam
Angka 2015. Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul,
Wonosari.
Belch 2001. Advertising and Promotion: An Integrated Marketing
Communication Perspective. New York (US): ..3 Hill Companies.
Berlo DK. 1960. The Process of Communication An Introduction To Theory and
Practice. New York (US): Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Bessette G. 2007. Facilitating Dialogue, Learning and Participation in Natural
Resource Management. Di dalam Acunzo M editor. Communication
and Sustainable Development; 2004 Sep; Roma, Italia. Roma (IT):
Electronic Publishing Policy and Support Branch Communication
Division, FAO.
Cahyanto PG. 2007. Efektivitas Komunikasi Partisipatif dalam Pelaksanaan Prima
Tani di Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Pontianak [Tesis].
Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Dagron GA. 2008. Vertical Mind Versus Horizontal Cultures : An Overview of
Participatory Process and Experience. Servaes, editor. New Delhi
(IN) : Sage Publication.
DeVito JA. 1997. Komunikasi Antar Manusia. Edisi kelima, Jakarta (ID):
Profesional Books.
Freire P. 1972. Pedagogy of the Opressed.Jakarta(ID): LP3ES.
Freire P. 1984. Pendidikan, Pembebasan, dan Perubahan Sosial. Penerjemah
Mien Joebhaar dan Dick Hartono. PT Sangkala Pulsar. Jakarta Freire
Habermas J. 1990. Discourse Ethics: notes on a program of philosophical
justification. The Communicative Ethics Controversy. Cambridge
(NY): MIT Pr.
Hamijoyo SS. 2005. Komunikasi Partisipatoris. Pemikiran dan Implementasi
Komunikasi dalam Pengembangan Masyarakat. Bandung (ID):
Humaniora.
Hasbullah J. 2006. Social Capital : Menuju Keunggulan Budaya Manusia
Indonesia. Jakarta : MR-United Press.
Iriansyah AA.2011. Kapasitas Kelembagaan Desa dalam Mengembangkan Desa
Wisata (Studi Di Desa Seloreo Kecamatan Dau Kabupaten Malang.
Jurnal Universitas Brawijaya.
Mardikanto T. 2001. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta (ID):
Sebelas Maret University Press.
Mardikanto T. 2010. Komunikasi Pembangunan; Acuan Bagi Akademisi, Praktisi,
dan Peminat Komunikasi Pembangunan. Surakarta(ID): UNS press.
Mefalopulos P. 2003. Theory and Practice of Participatory Communication: The
case of the FAO Project “Communication for Development in
Southern Africa” [disertation]. Texas at Austin: Presented to the
Faculty of the Graduate School, The University of Texas at Austin.
McKee N, Manoncourt E, Yoon CS, Carnegie R. 2008. Involving People,
Evolving Behaviour The UNICEF Experience. Servaes J, editor. New
Delhi (IN): Sage Publication.
McPhail T. 2009. Development Communication Reframing the Role of the Media.
Mc Phail, editor. West Sussex (UK): Blackwell Publishing.
Muchlis F. 2009. Analisis Komunikasi Partisipatif dalam Program Pemberdayaan
Masyarakat: Studi kasus pada Implementasi Musyawarah dalam
PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Teluk, Kecamatan Pemayung,
Kabupaten Batang Hari [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Mulyasari G. 2009. Komunikasi Partisipatif Warga Pada Bengkulu Regional
Development Project (BRDP) [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
Nasdian 2003. Pengembangan Masyarakat (Community Development). Bogor:
Bagian Ilmu-ilmu Sosial, Komunikasi dan Ekologi Manusia.
Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian-IPB.
Putnam RD. 1995. Bowling alone: America's declining social capital. Journal of
Democracy Vol. 6 (1995) 1, 64-78
Rahim SA. 2004. Participatory Development Communication as a Dialogical
Process dalam White SA 2004. Participatory Communication
Working for Change and Development. New Delhi: Sage Publication
India Pvt Ltd.
Riduan E.M. 2004. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung (ID): Alfabeta.
Rusli S. 1995. Pengantar Kependudukan. Jakarta (ID): Universitas Indonesia
Press.
Saputra Y. 2011. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Perilaku Komunikasi
Partisipatif Fasilitator (Kasus PNPM Mandiri di Kota Bandar
Lampung) [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Satriani I. 2011. Komunikasi Partisipatif pada Program Pos Pemberdayaan
Keluarga: Studi kasus di RW 05 Kelurahan Situgede, Kecamatan
Bogor Barat [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Servaes J. 2002. Communication For Development: Oneworld, Multiplecultures.
Second Printing. New Jersy (NY): Hampton Pr.
Singhal A. 2001. Facilitating Community participation Through Communication.
New York (US): UNICEF.
Slamet M. 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Diedit oleh
Ida Yustina & Ajat Sudradjat. Bogor (ID) : IPB Press.
Soekanto S. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Srampickal JS. 2006. Development and participatory communication. Journal of
Communication Research Trends. 2 (25): 1-32.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif. Bandung (ID):
Alfabeta.
Suharno MI. 2009. Hubungan Karakteristik dan Pengelolaan Kelompok Tani
Berumur Panjang dengan Keragaannya di Kabupaten Indramayu.
[Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sulistyowati F, Setyowati Y, Wuryantoro T. 2005. Komunikasi Pemberdayaan.
Yogyakarta (ID): APMD.
Sumardjo. 1999. Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju
Pengembangan Kemandirian Petani Kasus di Provinsi Jawa Barat.
[Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sumarto. 2003. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance. Jakarta (ID): Yayasan
Obor Indonesia.
Syahyuti. 2008. Peran modal sosial (Social Capital) dalam perdagangan hasil
pertanian. (The Role Social Capital In Agricultural Trade). Jurnal
Forum Penelitian Agro Ekonomi. 26(1): 32-43.
Syam A, Syukur M, Ilham N, Sumedi. 2000. Baseline survei program
pemberdayaan petani untuk mencapai ketahanan pangan dan
kesejahteraan petani. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian. 1-12.
Tufte T, Mefalopulos P. 2009. Participatory Communication A Practical Guide.
Washington DC (US) : The World Bank.
Undang-undang No.6 Tahun 2014 tentang Desa.
Undang-Undang No. 20, Tahun 2003 pasal 1 ayat 1
Warnock K, Schoemaker E, Wilson M. 2007. The Case for Communication in
Sustainable Development. London (UK) : Panos London.
White AS. 2004. Participatory Communcation Working for Change and
Development. India (IN): Sage Publication Pvt.
Wibowo A. 2007. Menumbuhkembangkan modal sosial dalam pengembangan
partisipasi masyarakat. M'POWER NO 5 Vol 5. Maret 2007. hal 1623
LAMPIRAN
Profil Singkat Kelompok Masyarakat
1.
Kelompok Penyedia Kulier (Kelompok PKK) “Purba Rasa”
Ketua
: Bu Surini
Lokasi
: Dusun Nglanggeran Kulon, Nglanggeran Wetan,
Gunungbutak
Jumlah
: 55 orang ( dengan berbagai keahlian pengrajin makanan)
2.
Kelompok Tani “Kumpul Makaryo”
Ketua
: Hadi Purwanto
Lokasi
: tersebar lima dusun di Desa Nglanggeran
Jumlah
: minimal 100 anggota aktif
3.
Kelompok Home Stay “Purba Wisma”
Lokasi
: Dusun Nglanggeran Kulon, Nglanggeran Wetan
Jumah
: 79 rumah
4.
Kelompok Pengrajin
Lokasi
: Dusun Nglanggeran Kulon, Nglanggeran Wetan,
Gunungbutak
Jumlah
: 3 kelompok pengrajin
5.
Kelompok Pedagang
Lokasi
:Kawasan Ekowisata
Nglanggeran
Jumlah
: 16 orang
Gunung
Api
Purba
Gambar 2. Peta lokasi Kabupaten Gunung Kidul
Gambar 3. Peta lokasi wisata Gunung Api Purba Nglanggeran
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Curup, Bengkulu, pada tanggal 16 Mei 1987. Penulis
merupakan putra tunggal dari pasangan Bapak Agus Tridoso dan Ibu Pamuji
Lestari. Pendidikan Sarjana telah ditempuh pada Program Studi Manajemen
Sumberdaya Perairan di Institut Pertanian Bogor, sejak tahun 2005, dan lulus pada
tahun 2011. Pada tahun 2011 penulis melanjutkan studi di Program Studi
Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Selama mengikuti Sekolah Pascasarana, penulis merupakan ketua kelas
angkatan genap 2011. Penulis aktif menjadi wiraswasta.
Download