Kajian Pemanfaatan Media Penyaring dan Tumbuhan Air Setempat

advertisement
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tumbuhan Air Sebagai Pengurai Limbah
Ekosistem
rawa
memiliki
kemampuan
alamiah
untuk
menghilangkan
pencemaran bahan organik dan anorganik. Kemampuan ini terutama disebabkan adanya
tumbuhan air yang berperan sebagai pengolah limbah. Tumbuhan air yang muncul di
permukaan air mampu mengasimilasi senyawa organik dan anorganik yang terdapat
dalam limbah. Oksigen ditransformasi melalui tanaman ke jaringan di bawah tanah dan
keluar dari akar, selanjutnya mengoksidasi substrat di sekeliling akar (Finlayson dan
Chik, 1983; Pilon-Smits, 2005). Upaya penanganan limbah dan pencemaran lingkungan
dengan mengunakan vegetasi dikenal sebagai suatu proses fitoremediasi (Subroto 1996).
Konsep fitoremediasi sebenarnya
sudah cukup lama dikenal, terutama untuk
penanganan air limbah dengan menggunakan sistem lahan basah, lahan alang-alang dan
tanaman apung (Cunningham et al., 1995), dan untuk bioindikator adanya pencemaran air
dan udara (Ornes dan Sajwan, 1993; Klump et al., 1994). Akhir-akhir ini konsep
fitoremediasi tersebut telah diaplikasikan untuk tanah yang tercemar. Aplikasi
fitoremediasi untuk penanganan masalah limbah dapat dilakukan baik secara in situ
maupun secara ex situ dengan menggunakan berbagai bentuk reaktor (Subroto 1996).
Keuntungan aplikasi fitoremediasi dibanding sistem remediasi lainnya adalah
lebih mudah dan lebih murah. Disamping itu fitoremediasi mempunyai keterbatasan
dalam hal konsentrasi kontaminan yang dapat ditolerir oleh tanaman (Gray dan
Biddlestone 1995). Proses fitoremediasi dapat dilakukan dengan menggunakan tumbuhan
secara langsung (Gray dan Biddlestone 1995)., menggunakan ekstrak tanaman yang
mengandung berbagai enzim degradator (Dec dan Bollag 1994), ataupun menggunakan
kultur jaringan tanaman (Metzger et al., 1992; Macek et al., 1994). Lebih lanjut
dikemukakan Black (2004), mengambarkan bahwa proses fitoremediasi yang terjadi
adalah seperti yang disajikan pada Gambar 2.
10
Gambar 2. Proses fitoremediasi bahan pencemar
Penanggulangan masalah pencemaran dengan
fitoremediasi dapat dilakukan
melalui lima proses yang berbeda yaitu :1) fitostabilisasi proses remediasi diproduksinya
senyawa kimia tertentu untuk mengimobilisasi kontaminan di daerah rizosfer, 2)
fitodegradasi proses metabolisme kontaminan di dalam jaringan tanaman, misalnya olah
enzim dehalogenase dan oksigenase, 3) fitovolatilisasi proses remediasi terjadi ketika
tanaman menyerap kontaminan dan melepaskannya ke udara lewat daun, dan dapat pula
senyawa kontaminan mengalami degradasi sebelum dilepas lewat daun, 4) rizofiltrasi
proses
remediasi
memanfaatkan
kemampuan
akar
tanaman
untuk
menyerap,
mengendapkan, dan mengakumulasikan logam dari aliran limbah, dan 5) fitoesktraksi
proses yang mencakup penyerapan kontaminan oleh akar tanaman dan translokasi atau
akumulasi senyawa itu ke bagian tanaman seperti akar, daun atau batang (Pilon-Smits,
2003).
2.2. Penguraian Limbah Dalam Rawa
Pelepasan oksigen oleh akar tumbuhan lahan rawa menyebabkan air atau tanah di
sekitar rambut akar memiliki kadar oksigen yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
air atau tanah yang tidak ditumbuhi tumbuhan air dalam suatu lahan rawa, sehingga
memungkinkan
mikroorganisme
pengurai
seperti
bakteri
aerob
dapat
hidup.
Diperkirakan oksigen yang dilepas oleh akar tumbuhan air di lahan rawa dalam satu hari
berkisar antara 5 hingga 45 mg untuk setiap satu meter persegi luas akar (Reed et al.,
1988).
Penyerapan unsur hara oleh tumbuhan air dilakukan melalui beberapa cara,
seperti melalui akar rambut atau daun yang termodifikasi langsung dari lahan atau
11
dengan akar yang menancap pada tanah. Kemampuan tumbuhan air mengurai bahan
pencemar tergantung pada ketersedian sumberdaya, keadaan lingkungan dan adaptasinya
terhadap lingkungan. Kemampuan tumbuhan air pada lahan basah
untuk menyerap
bahan pencemar tidaklah sama. Jika diurut berdasarkan kemampuan menyerap bahan
pencemar didapat bahwa tanaman timbul tanaman mengapung tanaman dalam air
(Priyanto dan Prayitno, 2005).
Berbagai tumbuhan lahan rawa alami telah mampu beradaptasi dan tumbuh
dengan baik di dalam air atau tanah yang jenuh air. Tumbuhan air telah mampu
berkembang dan hidup di lingkungan yang didominasi oleh air melalui adaptasi struktur
dan fisiologinya. Tumbuhan air pada lahan basah berperan aktif memompa oksigen ke
dalam sistem perairan. Hal ini dapat terjadi karena organ tumbuhan air mempunyai ruang
antar sel yang membentuk lubang-lubang saluran udara untuk menyimpan oksigen bebas.
Daun, batang, dan akar pada tumbuhan air dapat mentransfer oksigen dari udara, yang
dibebaskan kembali ke akar atau rizosfer dan rizoma sehingga membentuk suasana
aerob. Mekanisme pergerakan senyawa kimia pada akar atau rizosfer tumbuhan air
disajikan pada Gambar 3 (Guntenspergen et al., 1989; Wetzel, 2001).
Gambar 3. Mekanisme pergerakan senyawa kimia pada akar tumbuhan air
Suriawiria (2003) menyatakan bahwa banyak jenis tumbuhan khususnya yang
hidup di dalam habitat air, yang memiliki kelompok mikroba rizosfer yang dapat
dimanfaatkan untuk pengolahan air limbah. Berdasarkan tempat hidupnya tumbuhan air
dikelompokkan menjadi, 1) kelompok tumbuhan mengambang atau mengapung (floating
12
plants) seperti enceng gondok (Eichornia crassipes), kayambang (Lemna minor), paku
air (Azolla pinnata), ki apu (Spirodella polyrrhira), 2) kelompok tumbuhan di dalam air
(submerged plants) seperti Elodia, Ceratophyllum, Hydrilla, 3) kelompok tumbuhan
ampfibius (amphibious plants) seperti wawalingian (Typha domingensis), mendong
(Fimbristylis globulosa), kangkung (Ipomoea aquatica), genjer (Limnocharis flava),
seladah air (Nosturium officinale). Tindakan pemulihan (remediasi) limbah dan
pencemaran lingkungan dengan menggunakan tumbuhan air dikenal sebagai teknologi
fitoremediasi, yaitu suatu konsep yang didefinisikan sebagai penggunaan tumbuhan untuk
memindahkan, menstabilkan, atau menghancurkan bahan pencemar baik senyawa
organik maupun anorganik.
2.3. Penggunaan Zeolit dan Tanah Aluvial Sebagai Media Penyaring
Banyak cara yang dilakukan untuk melakukan pengolahan terhadap air limbah.
Pengolah limbah yang banyak dikenal ialah teknik penyaringan, pengendapan,
penyerapan dan penjerapan. Media yang sering digunakan adalah pasir, ijuk, arang batok,
kerikil, tawas, bubuk kapur. Saat ini zeolit banyak digunakan sebagai media penyaring.
Zeolit merupakan senyawa alumino-silikat terhidrasi yang terutama tersusun oleh kationkation alkali dan alkali tanah. Senyawa ini berstruktur tiga demensi dan mempunyai poripori atau ruang yang dapat diisi oleh kation lain ataupun molekul air. Penelitian dan
penggunaan zeolit di sektor pertanian, perikanan, peternakan, industri, dan pengontrol
polusi telah banyak dilakukan. Dari hasil penelitian tersebut, pada 10 tahun terakhir telah
merubah kedudukan zeolit dari bahan yang hampir tidak mempunyai nilai ekonomis
menjadi mineral yang ekonomis untuk dikembangkan (Poerwadi, 1997).
Penggunaan zeolit pada umumnya didasarkan kepada sifat-sifat kimia dan fisika
zeolit, seperti zeolit mempunyai kemampuan menukar kation-kation dengan kation lain,
seperti kation yang dibutuhkan oleh tanaman kalium dan kalsium. Zeolit juga mempunyai
daya jerap yang baik terhadap ammonium (Goto, 1990). Zeolit juga berperan sebagai
adsorpsi yang selektif, sebagai penukar kation. Kation-kation dalam zeolit dapat
dipertukarkan dengan kation lain dalam suatu larutan, zeolit juga bisa sebagai penukar
anion.
Zeolit saat ini telah banyak digunakan sebagai bahan yang digunakan untuk
menurunkan bahan pencemar. Hal ini didasarkan oleh kemampuan zeolit untuk
13
mengubah kation suatu limbah dalam jumlah yang besar secara selektif. Zeolit
mempunyai spesifikasi secara umum, komposisi kimia : SiO2 55-56%, Al2O3 28-30%,
Fe 2O2 0.5%, CaO, MgO
2%, TiO 2 0.03%, Na2O 0.05%, K2O 7%. Zeolit sebagai
pengontrol limbah telah digunakan pada limbah radioaktif, limbah rumahtangga, limbah
peternakan, limbah pabrik asam sulfat (Arifin, 1991; Tsitsishvili et al., 1992). Di Jepang
dan Amerika zeolit telah banyak digunakan untuk berbagai keperluan, baik sebagai bahan
industri, untuk meningkatkan hasil pertanian, maupun untuk perbaikan lingkungan
(Suwardi. 1995).
Poerwadi (1997) melaporkan, bahwa zeolit mempunyai kapasitas tukar ion dan
sebagai adsorpsi yang selektif terhadap kation NH4+, Pb2+ , Zn2+ , Cu2+ , Fe2+ , dan Mn2+ ,
sedangkan untuk anion fosfat, sulfat, dan nitrat, ukuran zeolit yang digunakan adalah 40
mesh atau 0.37 cm. Untuk limbah organik mampu dikurangi sampai kurang-lebih 35%.
Tanah aluvial (inceptisol, fluvisol, entisol) merupakan tanah muda, dan belum
berkembang lanjut, tanah ini biasanya cukup subur, kandungan pasirnya kurang dari 60%
(Hardjowigeno, 1987). Tanah aluvial sering dijumpai dari dataran rendah sepanjang
aliran sungai, rawa air tawar, pasang surut, teras sungai, sampai ke dataran dengan
ketinggian 1000 m diatas permukaan laut (dpl), yang merupakan tanah yang sangat
produktif untuk pertanian (Buckman dan Brady, 1982; Foth, 1994; Hakim et al., 1986).
Secara umum limbah cair dapat diolah dengan menggunakan kombinasi teknologi
fisika, kimia, dan biologi. Bioteknologi biasanya diaplikasikan untuk pengolahan limbah
cair dalam bentuk senyawa yang larut dalam air, dan yang tidak dapat diendapkan seperti
koloida, pati serta bahan organik terlarut (Barnes, 1990). Metode yang biasa dipakai
adalah dengan menggunakan mikroorganisme seperti bakteri, khamir dan mikroalga.
Namun penggunaan mikroorganisme ini mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya
adalah kemampuan tanaman yang kurang pada konsentrasi limbah yang tinggi dan resiko
pencemaran lingkungan sekitar oleh mikroorganisme itu sendiri.
Limbah cair biasanya mengandung berbagai bahan pencemar berbahaya, seperti
yang disajikan pada Tabel 1, dengan tingkat percemaran berbeda-beda seperti yang
disajikan pada Tabel 2. Pengembangan dan penerapan metode remediasi berbasis
tumbuhan saat ini telah mendapat perhatian luas di negara-negara maju dan berkembang.
Metode pemanfaatan media penyaring dengan membuat rawa buatan dan tumbuhan air
14
sebagai penyerap bahan pencemar banyak digunakan untuk pengolahan limbah cair
dengan tingkat pencemaran sedang dengan kadar kebutuhan oksigen biologi (BOD 5)
kurang dari 300 mg/l (Gray dan Biddlestone, 1995).
Pemanfaatan tumbuhan air dengan media penyaring rawa buatan secara langsung
pada limbah cair dengan konsentrasi bahan pencemar yang tinggi bisa menyebabkan
tumbuhan tidak mampu beradaptasi dengan baik dan akhirnya tumbuhan akan mati. Hal
ini dapat dipahami mengingat teknologi yang digunakan biasanya sangat sederhana.
Untuk pengolahan limbah cair dengan tingkat pencemaran BOD5 lebih besar dari 300
mg/l dapat digunakan enzim yang diektrak dari tanaman (Gray dan Biddlestone, 1995).
Tabel 1. Berbagai unsur dan zat pencemar yang terdapat dalam limbah cair.
Jenis Unsur
Karbon
Nitrogen
Fosfor
Bentuknya
Senyawa yang mudah terdegradasi (diukur sebagai BOD5)
Senyawa yang lambat terdegradasi dan senyawa yang tidak mudah
terdegradasi (diukur sebagai COD)
Terdapat dalam berbagai bentuk (diukur sebagai N-total, N-organik,
NH4 –N, NO3-N dan NO2 –N).
Terdapat dalam berbagai bentuk (diukur sebagai orthofosfat dan fosfat
total).
Partikel tersuspensi
 logam berat
 patogen
Seperti Fe, Mn, Pb, Zn, dan unsur logam lainnya
Diukur dalam unit pembentukan koloni per gram bobot kering atau
bobot basah.
Sumber : Gray dan Biddlestone, (1995)
Tabel 2. Klasifikasi tingkat pencemaran bahan organik dari limbah cair
Tingkat Pencemaran
Nilai BOD5 (mg/l)
Lemah
45
Sedang
45 – 300
Kuat
300 – 3000
Sangat Kuat
3000
Sumber : Gray dan Biddlestone, (1995)
Sumber limbah
Efluen dari pengolahan limbah sekunder
Efluen dari pen golahan limbah primer
Limbah industri
Limbah industri
Belajar dari proses pembersihan air yang terjadi di lahan rawa alami, maka para
ahli lingkungan mengembangkan teknologi pengolah limbah cair dengan menciptakan
rawa buatan, dengan cara mendesain wadah yang mirip dengan lahan rawa alami dan
menanaminya dengan tumbuhan air yang dapat hidup dalam suasana basah. Dari hasil
percobaan dengan menggunakan substrat limbah cair yang berasal dari lingkungan
pemukiman, telah dicoba pada lahan rawa buatan, dilaporkan bahwa tumbuhan seperti
15
Ipomea aquatica Forsk dan Sagittaria sagittifolia K, mampu menyerap N-total sebesar
92%, dan fosfat-total 99% (Ozaki, 1999).
Tumbuhan air yang timbul dan tumbuhan air mengapung lebih banyak digunakan
dalam melakukan kajian pengolahan limbah cair dengan lahan rawa buatan.
Jenis
vegetasi yang timbul seperti Scirpus californicus, Zizaniopsis miliaceae, Panicum
helitomom, Pontederia cordat, Sagitaria lancifolia, dan Thypa latifolia, adalah jenis
tumbuhan air yang telah dicoba pada pengolahan limbah cair yang berasal dari daerah
peternakan, dengan memanfaatan lahan rawa buatan berbasis tumbuhan air
(Surrency,
1993).
Jenis tumbuhan mengapung seperti Eichornia crassipes, Silvinia natans, Azolla
pinnata di Indonesia telah lama digunakan untuk pengolahan limbah cair secara
tradisioanl, dan bahkan proses pencucian limbah terjadi secara alamiah di hulu sungai.
Tumbuhan air yang mengapung banyak digunakan karena tingkat pertumbuhan
tumbuhan air yang tinggi dan kemampuannya untuk langsung menyerap hara secara
langsung dari lahan basah. Karena akar tanaman berfungsi sebagai filtrasi dan mampu
mengadsorpsi padatan tersuspensi serta tempat hidup mikroorrganisme yang mampu
menghilangkan unsur hara dari lahan rawa (Reddy dan deBusk, 1985).
Sejak tahun 1970-an di AS telah dibangun sekitar 1600 unit rawa buatan, dan di
Eropa beroperasi sekitar 5000 unit rawa buatan untuk membersihkan air limbah. Pada
tahun 2002, jumlah rawa buatan untuk membersihkan air telah melebihi 8000 unit, yang
tersebar di seluruh dunia terutama di negara maju. Sedangkan rawa alami yang terdapat
di sekitar danau atau laut, yang dulunya direklamasi untuk pertanian atau terbengkalai
karena dieksploitasi secara berlebihan, sekarang direstorasi untuk pembersih air dan
pelestarian lingkungan hidup (Khiatudin, 2003).
Dalam suatu kajian awal di Swedia dengan memanfaatkan air limbah yang telah
diolah, sehingga tahap pengolahan kedua, telah dicoba digunakan untuk mengairi
tanaman Salix viminalis yang dibudidayakan untuk bahanbakar. Dari hasil percobaan
tersebut dilaporkan bahwa tanaman tersebut mampu menghilangkan senyawa fosfor
antara 90 - 97% dan BOD5 antara 74 - 82% dari air limbah, dan nitrogen antara 82 - 93%.
Kinerja tersebut sebanding dengan yang dicapai oleh fasilitas pembersih air limbah
konvensional hingga tahap ketiga (Khiatuddin, 2003).
16
2.4. Bentuk Media Penyaring Buatan
Sistem pengolahan limbah dengan media penyaring buatan yang berbasiskan
tumbuhan air, secara umum berdasarkan aliran air yang digunakan dapat digolongkan
dalam dua bentuk yaitu, aliran horisontal dan aliran vertikal. Dalam sistem aliran
horisontal, air memasuki rawa dari satu titik mengalir dalam rawa buatan kemudian
keluar dari titik di ujung rawa, seperti disajikan pada Gambar 4. Sedangkan dalam lahan
rawa buatan secara vertikal, air mengalir secara vertikal dari atas ke arah bawah atau
dapat juga dibuat dari bawah keatas dan keluar di titik ujung rawa, seperti disajikan pada
Gambar 5 (Brix, 1993).
Gambar 4. Desain lahan rawa buatan aliran horisontal (Brix, 1993)
Gambar 5. Desain lahan rawa buatan aliran vertikal (Brix, 1993)
Sistem pengolahan limbah dengan lahan rawa buatan yang berbasiskan tumbuhan
air, dapat juga dikelompokkan berdasarkan bentuk kehidupan tumbuhan air yang
mendominasi lahan tersebut, 1) seperti tumbuhan air yang mengapung di permukaan air,
2) tumbuhan air yang akarnya terdapat di dalam tanah pada dasar kolam, sedangkan
bagian tanaman lainnya muncul kepermukaan, dan 3) tumbuhan air yang berada di dasar
17
perairan. Dalam pengolahan limbah dengan rawa buatan berbasiskan tumbuhan air dapat
dilakukan dengan satu jenis tumbuhan saja atau kombinasi diantara tumbuhan tersebut
(Brix, 1993).
Agar pengolahan limbah cair lebih efektif dengan lahan rawa buatan yang
berbasiskan tumbuhan air, maka lahan basah harus didesain sedemikian rupa menyerupai
lahan rawa alami. Untuk itu perlu diperhatikan hal-hal yang sangat menentukan dalam
pemanfaatan lahan rawa buatan ini yaitu, 1) substrat yang digunakan seperti tanah, pasir,
kerikil, dan bahan lainnya dengan memperhatikan berbagai tingkat konduktivitas
hidrologisnya, 2) tumbuhan air yang dapat hidup dalam kondisi anaerob pada media
yang jenuh air atau tergenang air, 3) genangan air baik yang berada di dalam substrat
maupun di atas substrat, 4) pupulasi organisme aerob dan anaerob (Hammer dan Bastian,
1989).
Substrat yang umum digunakan adalah kerikil bersih dengan ukuran tertentu.
Batuan sungai yang berbentuk bulat lebih banyak digunakan, hal ini untuk menghindari
substrat mengeras. Pasir atau campuran kerikil merupakan alternatif yang baik,
sedangkan batuan kapur tidak baik digunakan karena mudah mengeras. Diameter kerikil
yang digunakan bisa berukuran antara 0.5-1,3 cm, bahkan ada juga yang menggunakan
ukuran 5.0 cm, tetapi kerikil yang kecil lebih mendukung pertumbuhan tumbuhan. Selain
pasir bisa juga digunakan substrat yang mengandung tanah dan lumpur (Martin et al.,
1993).
2.5. Tumbuhan Air yang Digunakan
Tumbuhan yang hidup dalam air atau perairan di dalam ilmu botani dikenal
sebagai tumbuhan hydrophyt. Tumbuhan air memiliki keistimewaan di dalam hal
penyediaan oksigen untuk kebutuhan hidupnya. Di dasar perairan tanaman memiliki akar
dan rimpang, serta batang-batang tanaman akan muncul di permukaan air yang memiliki
rongga-rongga udara di antara sel-selnya. Rongga udara ini banyak sekali jumlahnya dan
terdapat sampai di permukaan daun atau tangkai bunga yang muncul ke permukaan air
seperti yang disajikan pada Gambar 6 (PIP, 1996).
Tumbuhan air lahan rawa atau basah telah diinventarisi oleh para peneliti, dan
menurut data sampai saat ini sebanyak 1.423 spesies tumbuhan lahan basah di Indonesia
telah tercatat dalam Wetland Database. Tumbuhan lahan basah dikelompokkan
18
berdasarkan bentuk hidupnya (life-form) meliputi, 1) tumbuhan riparian, 2) tumbuhan air
terapung bebas di permukaan air, 3) tumbuhan air tenggelam dalam air, 4) tumbuhan air
mencuat ke permukaan, akarnya menancap pada sedimen atau tanah di dasar air, dan 5)
tumbuhan air yang melayang-layang atau menempel, seperti fitoplankton, epifiton, bentos
dan lainnya (Rifani, 1998) .
Gambar 6. Tumbuhan air dan bagian rongga batang sebagai aliran udara
Perkembangan dan dominasi tumbuhan lahan rawa bersifat spesifik yang
dipengaruhi oleh keadaan lingkungan seperti air (tawar, payau, dan asin), fisiologi lahan,
kesuburan tanah dan tingkat kemasaman. Dalam penelitian ini tumbuhan air yang
digunakan, merupakan tumbuhan air yang mudah dibudidayakan serta banyak terdapat di
daerah penelitian. Dari hasil seleksi yang dilakukan pada pra-penelitian ditetapkan empat
jenis tumbuhan air yaitu, dua jenis tumbuhan air yang banyak dijumpai dalam wilayah
penelitian, dan dua jenis lagi merupakan jenis tumbuhan air yang dibudidayakan oleh
masyarakat sebagai tanaman hias. Keempat
jenis tumbuhan air ini dikelompokkan
menjadi dua bagian, yaitu tiga tumbuhan yang hidupnya menancap pada tanah, daun dan
batangnya muncul dipermukaan air, serta satu tumbuhan mengapung di permukaan air.
Jenis tumbuhan air yang digunakan meliputi :
1). Wlingen (Scirpus grossus )
Tumbuhan wlingen (Scirpus grossus), yang termasuk dalam suku Cyparaceae ini
dikenal dengan nama lain seperti, basiang, mansiang, mansiro daun, walingi, wlingian.
Tumbuhan ini mempunyai akar rimpang, tumbuh pada daerah rawa-rawa yang tergenang
air tawar, seperti kolam dan sawah, tumbuh baik pada dataran rendah sampai ketinggian
800 m dpl dengan tinggi tanaman antara 0,80 – 2 meter, bentuk batangnya bersegi tiga.
Tumbuhan ini sering ditemukan dalam jumlah besar secara berkelompok (Heyne, 1987).
19
Tumbuhan
wlingen
ini
sebelum
digunakan
sebagai
bahan
dalam
penelitian
dibudidayakan terlebih dahulu, seperti yang terlihat pada Gambar 7.
Gambar 7.Wlingen (Scirpus grossus )
2). Melati air (Echinodorus paleafolius)
Tumbuhan melati air yang termasuk suku Alimataceae banyak tumbuh di daerah
tropis terutama di Amerika Selatan. Tumbuhan ini bisa mencapai tinggi antara 10-60 cm,
mempunyai bunga berwarna putih mirip bunga melati. Bunganya tersusun berkelompok
sepanjang tangkai tanaman yang bertekstur lunak. Daunnya berwarna hijau, dapat
diperbanyak dengan menggunakan anakan tunas, yang tumbuh pada pangkal batang
tanaman. Tumbuhan melati air ini sebelum digunakan sebagai bahan dalam penelitian
dibudidayakan terlebih dahulu, seperti yang terlihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Melati air (Echinodorus paleafolius)
3). Genjer (Limnocharis flava )
Tumbuhan genjer (Limnocharis flava), yang termasuk suku Butamaceae
merapakan
tumbuhan air yang hidupnya banyak ditemukan di rawa dan sawah,
tumbuhan ini berasal dari daerah tropis Amerika, tetapi terdapat juga tumbuh liar di
daerah panas yang lain. Tumbuhan genjer didominasi oleh warna hijau, daunnya
berbentuk ovel atau bujur telur, pada saat muda daunnnya bergulung dengan ukuran daun
mencapai 6-28 cm atau 4.5-20 cm. Tumbuhan genjer mempunyai bunga seperti payung
20
yang terdapat di antara daun dan bisasanya berwarna kuning pucat tampa buah (Soerjani
et al., 1987; Harada et al., 2002).
Di Indonesia tumbuhan genjer ditemukan di Sumatra dan Jawa. Tumbuh di
tempat-tempat becek atau terendam, di parit-parit, kolam air tawar, dan terutama di
sawah-sawah yang berair, tumbuh dalam bentuk bergerombol dalam jumlah yang besar.
Tumbuhan genjer ini sebelum digunakan sebagai bahan dalam penelitian dibudidayakan
terlebih dahulu, seperti yang terlihat pada Gambar 9.
Gambar 9 .Genjer (Limnocharis flava )
4). Kiapu atau apu-apu (Pistia stratiotes)
Tumbuhan kiapu termasuk dalam suku Araceae, merupakan tumbuhan air yang
mengapung pada permukaan air. Sekarang tumbuhan ini banyak digunakan sebagai
tanaman hias. Kiapu ini banyak ditemui pada daerah rawa atau sungai. Tumbuhan ini
berakar serabut dan akar rimpang yang bergantungan dalam air dengan panjang antara
20 – 40 cm, tumbuhan didominasi oleh warna daun yang hijau cerah dengan tekstur tebal
serta berambut halus menyerupai beludru. Kiapu mempunyai akar menyerupai rambut
yang tumbuh mengantung tepat dibawah roset daunnya. Perbanyakan kiapu dilakukan
dengan memotong batang kecil yang menjalar. Tumbuhan sebelum digunakan sebagai
bahan dalam penelitian dibudidayakan terlebih dahulu, seperti yang terlihat pada
Gambar 10.
Gambar 10. Kiapu atau apu-apu (Pistia stratiotes)
21
2.6. Jenis Limbah Cair dan Sumbernya
Dalam sebuah DAS, terdapat berbagai penggunaan lahan, seperti hutan,
perkebunan, pertanian lahan kering dan persawahan, pemukiman, perikanan, industri, dan
sebagainya. Semua aktivitas dari kegiatan tersebut akan menghasilkan bahan pencemar
atau limbah, yang selalu dibuang ke perairan tanpa dilakukan pengolahan dengan baik.
Hal ini akan memberikan dampak pada lingkungan perairan sungai. Secara ekologis
terjadinya perubahan ekosistem DAS bagian hulu akan mempengaruhi kelangsungan
ekosistem di daerah tengah dan hilir (Manan, 1992; Ramadan et al., 2003).
Bahan-bahan pencemar yang dibuang ke perairan dapat menggangu kehidupan
biota perairan baik di tempat limbah tersebut dibuang maupun di daerah hilir sungai.
Limbah dari daerah pertanian seperti pupuk, pestisida, dan limbah cair dari agroindustri,
yang tidak dilakukan pengelolaan dengan baik masuk
ke perairan sungai akan
memberikan dampak seperti meningkatnya nilai BOD5, COD, nitrogen, fosfat, senyawasenyawa beracun, logam berat, pH, total padatan tersuspensi, minyak dan lemak dan
sedimentasi (Manik, 2003).
Proses pencemaran terjadi pada saat bahan pencemar yang dihasilkan dari
aktivitas manusia dibuang ke lingkungan, sehingga menyebabkan perubahan yang buruk
terhadap lingkungan yang menerima. Hal ini terjadi bila laju produksi suatu zat melebihi
laju pembuangan atau penggunaan zat tersebut.
Beberapa jenis pencemar dan
sumbernya, yang dapat mempengaruhi lingkungan ditampilkan pada Tabel 3
(Soemarwoto, 1990; Davis dan Cornwell, 1991; Connell dan Miller, 1995).
Secara umum sumber pencemar dikelompokkan atas dua bagian yaitu (1)
pencemaran yang dapat diketahui secara pasti sumbernya (point source), seperti limbah
industri, (2) pencemaran yang tidak diketahui secara pasti sumbernya (non-point source)
yaitu masuk ke perairan bersama air hujan, seperti limpasan dari daerah pertanian yang
mengandung pestisida dan pupuk, limpasan dari daerah pemukiman dan limpasan dari
perkotaan.
Bahan pencemar dari kedua sumber tersebut masuk ke badan sungai,
sehingga akan menimbulkan dampak pada badan sungai (Husin dan Syaiful, 1991;
Haslam 1995).
22
Tabel 3. Beberapa jenis bahan pencemar dan sumbernya
No. Jenis Pencemar
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Limbah menurunkan
kadar oksigen
Unsur hara
Patogen
Sedimen
Garam-garam
Logam yang toksik
Bahan organik toksik
Pencemaran Panas
Sumber Tertentu
(Point Source)
Limbah Limbah
Domestik Industri
x
x
x
x
-
Sumber Tak Tentu
(Non Point Source)
Limpasan
Limpasan
Daerah
Daerah
Pertanian
Perkotaan
x
x
x
x
x
x
x
x
Keterangan: x = dihasilkan oleh sumber limbah ;
x
x
x
x
x
x
-
x
x
x
x
x
x
-
- = tidak dihasilkan oleh sumber limbah
Limbah yang di hasilkan oleh perkebunan besar seperti kelapa sawit, dan karet,
cukup potensial mencemari lingkungan, baik yang berasal dari penggunaan pupuk, dan
pestisida, maupun yang berasal dari limbah cair pabrik, seperti proses pengolahan minyak
sawit yang menghasilkan, TSS, BOD5, COD, minyak dan lemak, pH, serta bau yang
tidak sedap. Limbah ini sangat potensial mencemari badan air dan lingkungan sekitarnya.
Kandungan unsur kimia dan fisika dari limbah pabrik kelapa sawit yang dibuang ke
lingkungan ditampilkan pada Tabel 4 (Kurnia et al., 2003).
Tabel 4. Kandungan parameter fisika dan kimia limbah cair pabrik kelapa sawit
Parameter
Suhu
Warna
Padatan terlarut
pH
Oksigen terlarut
BOD
COD
Minyak dan lemak
N-Total
NO3 -N
C-organik
Kalsium
Magnisium
Satuan
o
C
PtCo
mg/l
Skala
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
Nilai
28
41,50
780
6,35
1,20
630
3.535
15,40
2.19
0.20
14,80
29,80
3,70
Sumber : PT. Sawindo Kencana,2002 dalam Kurnia et al , (2003).
Brenner dan Mondok (1995) melaporkan bahwa pencemaran pada beberapa
perairan sungai di Amerika, yang diakibatkan oleh bahan pencemar yang berasal dari
daerah pertanian, dapat meningkatkan bahan pencemar seperti bahan organik, bakteri,
23
dan padatan tersuspensi. Selanjutnya Environmental protection agency (EPA, 1987) juga
melaporkan bahwa 75% danau, 64% sungai, dan 19% estuaria juga telah tercemar oleh
bahan pencemar yang berasal dari lahan pertanian. Dari hasil analisis kualitas air pada 11
sub-DAS Shenango di Pennnsylnania, telah terjadi degradasi kualitas air yang disebabkan
bahan pencemar yang berasal dari daerah pertanian, seperti nitrogen-nitrat, fosfat, bakteri
coli, dan oksigen-terlarut.
2.7. Indikator Parameter Pencemaran
Pengelolaan
menilai
lingkungan
lingkungan perairan diperlukan sebagai suatu
perairan
apakah
masih
layak
digunakan
petunjuk untuk
sesuai
dengan
peruntukannya. Hal ini dilakukan karena kebutuhan akan air tidak hanya menyangkut
kuantitasnya, tetapi juga kualitas. Usaha pengendalian pencemaran air memerlukan
informasi dan masukan mengenai tingkat pencemaran air.
Ada tiga cara untuk
mengevaluasi tingkat pencemaran air yaitu , 1) cara kriteria dan standar kualitas air , 2)
cara uji hayati dan,
3) cara indeks kualitas air atau pencemaran (Mahbud, 1990;
Soemarwoto, 1991).
Secara umum indeks mutu kualitas air merupakan alat yang dapat digunakan
untuk memantau dan menyampaikan status kualitas air secara holistik dan kuantitatif
yang didasarkan pada standar yang berlaku, dengan menggunakan indeks mutu
lingkungan perairan berdasarkan National Sanitation Foundation Water Quality Index,
pengambil kebijakan dapat melihat kondisi kualitas perairan di masa yang akan datang
(Husin dan Syaiful, 1991). Ada beberapa parameter yang dapat digunakan dalam melihat
kualitas lingkungan perairan berdasarkan indeks mutu lingkungan seperti nilai pH, suhu,
oksigen-terlarut, total padatan, fosfat, nitrat, BOD5, kekeruhan (Ott, 1978 ).
Di antara karakteristik fisika, kimia perairan alamiah yang dianggap penting
diperhatikan adalah konsentrasi padatan tersuspensi, suhu air, dan konsentrasi oksigenterlarut dalam suatu sistem perairan. Padatan tersuspensi yang sebagian besar terdiri dari
berbagai bahan, yang seringkali mempengaruhi kualitas air dalam kaitannya dengan
pemanfaatan sumberdaya air untuk kehidupan manusia dan kehidupan organisme akuatik
lainnya. Beberapa karakteristik atau indikator disarankan untuk dikaji dalam analisis
pemanfaatan sumberdaya air untuk berbagai keperluan, terutama untuk kualitas air antara
lain parameter fisika, kimia dan biologi ( Effendi, 2003; Manik, 2003).
24
2.7.1. Parameter Fisika
Parameter fisika yang biasa digunakan untuk melihat kualitas suatu perairan
meliputi, suhu, kecerahan dan kekeruhan, warna, konduktivitas atau daya hantar listrik,
padatan tersuspensi. Parameter-parameter ini biasa saling berhubungan satu sama
lainnya, seperti kecerahan yang mempengaruhi intensitas cahaya sebagai sumber energi
utama dalam suatu ekosistem perairan, cahaya yang dapat mempengaruhi perubahan
suhu, serta sangat berperan pada proses fotosintesis (Jeffries dan Mill, 1996).
Perubahan suhu perairan berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi
badan air. Peningkatan suhu juga dapat mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi
kimia, evaporasi, volatilitas, dan juga dapat menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam
air, seperti gas O 2, CO2, N2, CH4, dan gas lainnya. Kenaikan suhu air dapat menyebabkan
nilai oksigen-terlarut menurun, sehingga dapat menimbulkan bau tidak enak pada badan
air, sebagai akibat terjadinya degradasi bahan organik secara anaerobik (Haslam, 1995;
Jeffries dan Mill, 1996).
Kecerahan dan kekeruhan merupakan ukuran transparansi perairan, dan
mempunyai hubungan yang positif dengan padatan tersuspensi. Semakin tinggi nilai
padatan tersuspensi, nilai kekeruhan akan semakin tinggi. Kekeruhan yang tinggi dapat
mengakibatkan terganggunya kehidupan organisme aquatik. Dari segi estetika,
meningkatnya kekeruhan dalam air, bisa disebabkan oleh adanya bahan pencemar yang
berasal dari limbah cair dari berbagai aktivitas, seperti limbah domestik,
industri,
pertanian, dan kawasan hutan (Fardiaz, 1992; Suriawiria, 2003).
Konduktivitas atau daya hantar listrik, mengambarkan kemampuan air untuk
menghantarkan arus listrik, berhubungan erat dengan padatan terlarut total, dan padatan
tersuspensi. Kadar padatan terlarut total pada suatu perairan sangat dipengaruhi oleh
bahan
yang berasal dari pelapukan batuan, limpasan air permukaan tanah, limbah
pertanian, limbah domestik, dan limbah industri (Effendi, 2003).
25
2.7.2. Parameter Kimia
Pencemaran perairan oleh senyawa dan unsur kimia merupakan masalah bangsa,
baik secara regional maupun lingkungan global. Hal ini sangat berhubungan dengan
penggunaan lahan, serta pencemaran udara. Sumber bahan pencemar ini akan selalu
berbeda-beda tergantung dari aktivitas yang ada dalam wilayah tersebut. Air merupakan
pelarut yang sangat baik, oleh karena itu badan-badan air banyak mengandung bahan
kimia, seperti bahan organik, anorganik, dan mikroorganisme (Darmono, 2001; Achmad,
2004 ).
Pencemaran oleh bahan organik seperti limbah industri, minyak, pestisida, pupuk,
dan sumber bahan organik yang terdapat dalam bentuk karbohidrat, protein, lemak, yang
membentuk organisme hidup, dan senyawa-senyawa lainnya, bila mengalami
perombakan atau terurai, akan mempengaruhi nilai parameter kimia perairan seperti,
oksigen-terlarut, pH, BOD5, COD, padatan terlarut, total padatan terlarut, konduktivitas
atau DHL, salinitas, nitrit, nitrat, amonia, fosfat, CO2. Sedangkan bahan pencemar kimia
dalam bentuk anorganik di perairan umumnya dalam bentuk logam berat yang bersifat
toksik seperti, arsen (As), kadmium (Cd), merkuri (Hg), timbal (Pb), krom (Cr), nikel
(Ni), besi (Fe), dan mangan (Mn), unsur atau senyawa anorganik ini berasal dari limbah
industri, limbah domestik, dan limpasan air perkotaan (Davis dan Cornwell, 1991;
Connel dan Miller, 1995; Kusnoputranto, 1995).
Banyak logam berat yang bersifat toksik maupun yang esensial terlarut dalam air,
dan mencemari air tawar maupun air laut yang bersumber dari pertambangan, peleburan
logam, industri, dan juga berasal dari lahan pertanian (Darmono, 2001; Setyorini et al.,
2002). Di dalam air biasanya logam berikatan dalam bentuk senyawa kimia atau dalam
bentuk ion logam, tergantung pada kompartemen tempat logam itu berada. Logam berat
biasanya ditemukan sangat sedikit dalam air secara alamiah. Konsentrasi logam toksik
seperti, Cd, Pb, Hg dan As dalam lingkungan perairan secara alamiah biasanya sangat
kecil.
2.7.3. Parameter Biologi
Mikroorganisme yang terdapat dalam air berasal dari berbagai sumber seperti,
udara, tanah pertanian, sampah, lumpur, tanaman hidup atau mati, hewan hidup atau mati,
kotoran manusia, kotoran hewan dan bahan organik. Bakteri yang umum digunakan
26
sebagai indikator telah tercemarnya suatu badan air, adalah bakteri yang tergolong
Escherichia coli, yang merupakan salah satu bakteri yang tergolong koliform dan hidup
secara normal di dalam kotoran manusia dan hewan. Oleh karena itu, disebut koliform
fekal (Abel, 1989; Fardiaz, 1992).
Analisis mikroba di dalam air, didasarkan pada kebutuhannya untuk mengetahui
ada tidaknya jenis yang berbahaya sebagai penyebab penyakit, dan pencemaran air.
Jasad-jasad hidup yang mungkin ditemukan dalam sumber-sumber air, seperti bakteri,
ganggang, cacing, dan plankton. Kehadiran bentuk-bentuk kehidupan ini selalu
ditemukan dalam badan air.
Keberadaan berbagai mikroorganisme ini dapat
menimbulkan dampak seperti penyebab penyakit, menimbulkan rasa dan bau yang tidak
menyenangkan, dan dari segi estetika air tersebut tidak disukai, serta perubahan pada
warna air (Suriawiria, 2003).
Download