daftar isi - Fakultas Hukum UNSOED

advertisement
i
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA OBAT
PELANGSING BERDASARKAN PASAL 4 UNDANG-UNDANG NOMOR 8
TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Disusun oleh :
OKY WASRIKANINGRUM
E1A011065
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2015
ii
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA OBAT
PELANGSING BERDASARKAN PASAL 4 UNDANG-UNDANG NOMOR 8
TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
SKRIPSI
Disusun oleh :
OKY WASRIKANINGRUM
E1A011065
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2015
iii
LEMBAR PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA
OBAT PELANGSING BERDASARKAN PASAL 4 UNDANG-UNDANG
NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Disusun Oleh :
OKY WASRIKANINGRUM
E1A011065
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Diterima dan Disahkan
Pada Tanggal :
Februari 2015
Pembimbing I/
Penguji I
Pembimbing II/
Penguji II
Penguji III
Hj. Rochani U.S., S.H.,M.S.
NIP. 19520603 198003 2 001
H. Suyadi, S.H.,M.Hum.
NIP. 19611010 198703 1 001
Agus Mardianto, S.H.,M.H.
NIP. 19650831 200312 1 001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum.
NIP. 19640923 198901 1 001
iv
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul :
“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA
OBAT PELANGSING BERDASARKAN PASAL 4 UNDANG-UNDANG
NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN”
Yang diajukan untuk memenuhi persyaratan meraih gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto merupakan
hasil karya saya sendiri dan semua data yang terdapat di dalam skripsi ini dapat
saya pertanggungjawabkan secara hukum.
Demikian pernyataan ini saya buat jika kemudian hari terbukti bahwa skripsi
saya ini tidak sesuai dengan pernyataan saya tersebut di atas, saya bersedia
menerima semua sanksi yang akan dijatuhkan termasuk penca butan gelar sarjana
yang telah saya peroleh.
Purwokerto,
Februari 2015
Oky Wasrikaningrum
E1A011065
v
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Pengguna
Obat Pelangsing Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen”. Latar belakang masalah penelitian ini adalah
hak-hak konsumen sebagai pengguna obat pelangsing yang masih belum
terpenuhi secara maksimal dikarenakan saat ini masih ada pelaku usaha yang
memproduksi obat pelangsing berbahaya dengan campuran bahan berbahaya
seperti sibutramine yang dapat merugikan keamanan dan keselamatan konsumen.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi
legistis posivistis. Metode analisis yang digunakan adalah normatif kualitatif.
Penelitian ini dilakukan di Dinas Kesehatan dan Dinas Perdagangan Kabupaten
Banyumas, serta Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum dan UPT Perpustakaan
Universitas Jenderal Soedirman.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa Dinas Kesehatan bekerjasama dengan
Badan Pengawas Obat dan Makanan telah berupaya memberikan perlindungan
hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun mengenai hak atas kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa belum
terpenuhi secara maksimal karena masih ada pelaku usaha yang memproduksi
obat pelangsing berbahaya dengan tidak mematuhi peraturan yang ada dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan. Mengenai ha k atas informasi
yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa
yang digunakan juga belum terpenuhi secara maksimal, karena masih ada pelaku
usaha yang memproduksi obat pelangsing berbahaya dengan tidak mencantumkan
komposisi atau komponen obat dalam penandaan obat pelangsing sebagaimana
yang diatur dalam ketentuan Pasal 28 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
mengenai syarat-syarat pencantuman penandaan dan informasi sediaan farmasi
dan alat kesehatan secara obyektif, lengkap serta tidak menyesatkan.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut hendaknya pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan usahanya harus menaati syarat-syarat serta ketentuanketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, supaya tidak ada
lagi konsumen yang merasa dirugikan karena hak-haknya telah dilanggar.
Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Konsumen, Obat Pelangsing.
vi
ABSTRACT
This research entitles “The Law Protection to the Consumer of the Slim
Medicine User Based on the Article 4 Ordinance Number 8 in 1999 about the
Consumer Protection”. The background of the problem in this research is the
consumers rights as the slim medicine user that still has not been fulfilled
maximally it is caused recently there still the businessman who produces the
dangerous slim medicine with the dangerous ingredient mixture such as
sibutramine that can damage the security and consumer safety.
Method of approach in this research uses the method of normative juridical,
it is the approach that uses the conception of legistis positivis. Method of analysis
uses the qualitative normative. This research was conducted in the Department of
Health and Department of Trade in the Regency of Banyumas, and the Scientific
Central Information in the Faculty of Law and UPT Library in the Jenderal
Soedirman University.
Based on the result of research that the Department of Health cooperates
with the Board of Medicine and Food Controlling has tried to give the law
protection as explained in the Article 4 Ordinance Number 8 in 1999 about the
Consumer Protection, but about the right and comfort, and safety in using the
goods and/service before being fulfilled maximally because ther e is still
businessman that produces the dangerous slim medicine without obeying the
regulation in the Government Regulation in Republic of Indonesia Number 72 in
1998 about the Safety Pharmacy Supply and Health tool. About the information
right which is trusted, clear and honest about the condition and guarantee the
good and/or service that is used it also has not be fulfilled maximally, because
there is the business actor that produces the dangerous slim medicine without
explaining the composition or component of medicines in the slim medicine
where it is regulated in the regulation in Article 28 Government Regulation in
Republic of Indonesia Number 72 in 1998 about the Pharmacy Supply Safety and
Health Tool about the explanation requirement and information of the pharmacy
and health tool objectively, detail and not cheating.
Based on the result of research it is supposed to the businessman in running
their business activities must obey the conditions and regulation in the regulation
of Ordinance and there is no any consumers that feel being cheated because their
rights have been broken.
Keywords : Law Protection, Consumer, Slim Medicine.
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ...................................................................................... i
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ iii
SURAT PERNYATAAN .................................................................................. iv
ABSTRAK ......................................................................................................... v
ABCTRACT ...................................................................................................... vi
PRAKATA ......................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 9
C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 9
D. Kegunaan Penelitian ............................................................................ 10
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Perlindungan Hukum ........................................................................... 11
B. Hukum Perlindungan Konsumen
1.
Perlindungan Konsumen ............................................................... 13
2.
Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen ............ 14
3.
Tujuan Perlindungan Konsumen .................................................. 15
4.
Para Pihak dalam Perlindungan Konsumen .................................. 17
5.
Konsumen ..................................................................................... 20
6.
Pelaku Usaha ................................................................................ 24
7.
Hak dan Kewajiban ....................................................................... 25
viii
8.
Hubungan Hukum antara Konsumen dengan Pelaku Usaha ........ 28
9.
Perbuatan yang dilarang Bagi Pelaku Usaha ................................ 31
10. Tanggung Jawab Pelaku Usaha .................................................... 33
11. Sumber Hukum Perlindungan Konsumen .................................... 36
C. Obat
1.
Definisi ......................................................................................... 41
2.
Obat Pelangsing ............................................................................ 49
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan .............................................................................. 56
B. Spesifikasi Penelitian ........................................................................... 56
C. Lokasi Penelitian ................................................................................. 56
D. Sumber Data ........................................................................................ 57
E. Metode Pengumpulan Data .................................................................. 58
F. Metode Penyajian Data ........................................................................ 58
G. Metode Analisis Data ........................................................................... 58
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian .................................................................................... 59
B. Pembahasan ......................................................................................... 82
BAB V. PENUTUP
A. Simpulan ............................................................................................... 112
B. Saran .................................................................................................... 113
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Konsumen merupakan pihak yang sangat berperan dalam perkembangan
dunia perdagangan. Hampir setiap orang menjadi konsumen bahkan pelaku usaha
sekali pun dapat menjadi konsumen dalam memenuhi kebutuhan untuk
kehidupannya sehari-hari. Kedudukan konsumen di Indonesia saat ini masih
lemah jika dibandingkan dengan pelaku usaha, meskipun sudah ada peraturan
yang mengatur mengenai perlindungan konsumen, tetapi masih ada pelaku usaha
yang menyimpang dari peraturan dalam melakukan kegiatan usahanya yang dapat
merugikan konsumen.
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menyebutkan bahwa:
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
Akhir -akhir ini sering terdengar masalah yang berkaitan dengan konsumen,
dimulai dari hak-hak konsumen yang tidak terpenuhi dan sering terabaikan oleh
pelaku usaha atau pun dari sikap pelaku usaha yang berbuat curang dalam
menjalankan kegiatan usahanya. Konsumen yang haknya tidak terpenuhi akan
merasa dirugikan dan hal inilah yang membuat permasalahan dalam perlindungan
konsumen tidak kunjung selesai.
2
Kerugian-kerugian yang dialami konsumen dapat ditimbulkan sebagai akibat
dari adanya hubungan hukum perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen,
maupun akibat dari adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
pelaku usaha. Tidak hanya itu, kerugian yang dialami konsumen juga dapat
disebabkan karena kurang kritisnya konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang
ditawarkan. Hal tersebut bisa terjadi karena adanya tingkat pendidikan konsumen
yang rendah, sedangkan teknologi komunikasi semakin maju, kondisi seperti ini
pula yang dapat dimanfaatka n oleh pelaku usaha untuk memberikan informasi
yang tidak benar atau bahkan menyesatkan tentang produk yang dipasarkan dan
menggunakan segala cara agar produknya dapat terjual di pasaran.
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen disebutkan bahwa :
“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.
Semakin hari jumlah pelaku usaha semakin meningkat, hal ini juga dapat
menyebabkan adanya persaingan yang semakin ketat antar pelaku usaha, dimana
mereka melakukan berbagai cara supaya produknya dapat terjual di pasaran tanpa
memperhatikan apakah ada hak konsumen yang dilanggarnya atau tidak. Pelaku
usaha dalam melakukan kegiatan usahanya sebagai pihak yang kuat diharapkan
mampu untuk beritikad baik dalam memberikan pelayanan kepada konsumen dan
jangan hanya untuk mengejar keuntungan semata.
3
Tidak hanya dilihat dari sisi konsumen dan pelaku usaha saja, perkembangan
zaman juga mempengaruhi adanya sengketa dalam perlindungan konsumen, yakni
di era globalisasi saat ini dengan adanya perdagangan bebas membuat banyak
produk barang atau pelayanan jasa bermunculan. Produk barang yang dihasilkan
oleh para pelaku usaha menjadi beraneka ragam dan dikemas sedemikian rupa
untuk menarik perhatian konsumen.
“Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas dengan strata yang
sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan
distribusi produk barang atau jasa dengan cara seefektif mungkin agar dapat
mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Semua cara pendekatan
diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak termasuk
keadaan yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak
terpuji yang berawal dari itikad buruk. Dampak buruk yang lazim terjadi
antara lain, menyangkut kualitas, atau mutu barang, informasi yang tidak
jelas bahkan menyesatkan, pemalsuan, dan sebagainya.” 1
Konsumen diharapkan untuk lebih berhati- hati dan pintar dalam memilih
barang dan/atau jasa yang akan dibeli atau dikonsumsi, jika tidak berhati-hati
dalam memilih produk barang dan/atau jasa maka konsumen hanya akan menjadi
objek yang akan dimanfaatkan oleh pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab,
dimana konsumen hanya akan menerima begitu saja barang dan/atau jasa yang
akan dikonsumsinya meskipun informasinya tidak jelas bahkan menyesatkan
mengenai barang dan/atau jasa tersebut.
Permasalahan yang dihadapi konsumen sebenarnya tidak hanya sekedar
bagaimana memilih barang dan/atau jasa yang diinginkan, tetapi jauh lebih dari
itu yakni menyangkut pada kesadaran semua pihak antara lain baik pengusaha,
1
Sri Redjeki Hartono, Makalah Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam buku
Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung : Mandar
Maju, hlm. 34
4
pemerintah maupun konsumen itu sendiri tentang pentingnya perlindungan
konsumen.
Menurut Adrian Sutedi bahwa:
“Perlindungan konsumen yang dijamin oleh Undang-Undang tentang
Perlindungan Konsumen ini adalah adanya kepastian hukum terhadap segala
perolehan kebutuhan konsumen, yang bermula dari “benih hidup dalam rahim
ibu sampai dengan tempat pemakaman dan segala kebutuhan di antara
keduanya.” 2
Perlindungan konsumen merupakan bagian yang tidak terpisahka n dari
kegiatan perekonomian yang sehat, dimana dalam kegiatan perekonomian yang
sehat terdapat adanya keseimbangan perlindungan hukum antara konsumen
dengan pelaku usaha. Artinya, apabila tidak ada perlindungan yang seimbang
antara konsumen dengan pelaku usaha maka akan menyebabkan konsumen berada
pada posisi atau kedudukan yang lemah. Pelaku usaha hendaknya menyadari
bahwa mereka harus menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan
jasa yang berkualitas, aman untuk digunakan atau dikonsumsi, mengikuti standar
yang berlaku, dengan harga yang sesuai.
Menurut hukum positif di Indonesia, perlindungan hukum terhadap
konsumen sudah diatur dalam undang-undang tersendiri yaitu Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun pada
kenyata annya konsumen di Indonesia saat ini belum merasa cukup terlindungi,
karena masih ada pelaku usaha yang melakukan berbagai macam penyimpangan
dalam melakukan kegiatan usahanya.
2
Adrian Sutedi, 2008, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen,
Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, hlm. 9.
5
Masih ada pelaku usaha yang dalam menjalankan kegiatan usahanya
menghasilkan produk-produk yang justru membahayakan konsumen, contohnya
adalah seperti memproduksi produk obat pelangsing berbahaya. Obat pelangsing
dikatakan berbahaya karena terdapat campuran dengan bahan berbahaya seperti
sibutramine yang efeknya dapat mengga nggu keamanan dan keselamatan
konsumen, karena penggunaan dosis yang belum tentu tepat. Berbagai cara
dilakukan seperti melakukan penawaran dengan kata-kata yang menarik perhatian
konsumen,
melalui
iklan
dengan
kata -kata
yang
begitu
meyakinkan,
menggunakan model sebagai contoh dalam iklannya yang sebenarnya itu tidak
benar karena model yang digunakan hanyalah untuk mempengaruhi konsumen
supaya berkeinginan untuk membeli produk obat pelangsing tersebut.
Sekarang ini kehidupan masyarakat memang banyak mengalami perubahan,
salah satunya adalah bahwa seseorang akan lebih percaya diri apabila memiliki
postur tubuh yang langsing. Kodrat wanita untuk selalu mempercantik dan
memperindah tubuh itulah yang menjadi sasaran pelaku usaha yang memproduksi
alat-alat kecantikan untuk memasarkan produknya , termasuk produk-produk obat
pelangsing ilegal. Seorang wanita yang memiliki tubuh terlalu gemuk maka akan
terganggu kegesitannya dan memang terkesan kurang menarik saat dipandang.
Tren “langsing” seperti menjadi suatu keharusan terutama bagi seorang wanita,
sehingga bagi sebagian orang diantaranya wanita tidak dapat dipungkiri usaha
untuk memiliki tubuh dengan berat badan ideal adalah dambaan. Adanya persepsi
yang seperti ini juga dapat menjebak konsumen, yakni untuk mendapatkan postur
tubuh langsing sesuai dengan keinginan maka berbagai cara dilakukan seperti diet
6
ketat, olahraga secara rutin, bahkan dengan cara instan sekali pun yakni dengan
mengkonsumsi obat pelangsing yang tanpa disadari bahwa obat pelangsing
tersebut mengandung bahan berbahaya yang dapat membahayakan keamanan dan
keselamatan konsumen.
Sisi lain dari tren “langsing” juga dijadikan sebagai salah satu celah bagi
pelaku usaha untuk meyakinkan kepada konsumen bahwa obat pelangsing yang
dihasilkannya tidak berbahaya, namun pada kenyataannya di dalam obat
pelangsing tersebut dicampur dengan bahan-bahan yang membahayakan diri
konsumen, seperti yang sudah sering ditemukan adalah bahan berbahaya seperti
sibutramine.
Berdasarkan keterangan pers Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor PN
: PN.01.04.1.31.10.10.9829 yang menyatakan bahwa sibutramine merupakan obat
yang dihasilkan sebagai pengobatan adjuvant dalam membantu penurunan
kelebihan berat badan (overweight dan obesity) disamping olah raga dan
pengaturan diet, adanya inf ormasi mengenai aspek keamanan penggunaan
sibutramine jangka panjang dari hasil studi Sibutramine on Cardiovascular
Outcomes Trial (SCOUT) yang menunjukkan adanya peningkatan risiko kejadian
kardiovaskular pada pasien dengan riwayat penyakit kardiovaskular, oleh karena
itu penjualan segala bentuk obat jadi seperti obat pelangsing yang mengandung
sibutramine telah dilarang. Sibutramine merupakan salah satu bahan obat keras
yang digunakan untuk campuran obat pelangsing, dimana obat ini dapat diperoleh
dan digunakan berdasarkan resep dokter untuk menentukan dosis yang tepat,
tetapi pada kenyataannya obat ini banyak ditemukan dan dijual bebas di pasaran.
7
Obat merupakan salah satu hasil sediaan farmasi, sehingga dalam pembuatan
sediaan farmasi dalam hal ini adalah obat pelangsing pelaku usaha atau badan
usaha harus memiliki izin usaha industri dalam melaksanakan kegiatan
produksinya. Sediaan farmasi dalam hal ini adalah obat pelangs ing yang
diedarkan di pasaran juga harus memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan
kemanfaatan.
Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi menyebutkan bahwa:
“Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau
keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,
penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk
manusia”.
Tidak semua obat pelangsing aman untuk dikonsumsi, bisa saja obat
pelangsing dari luar kemasannya terlihat menarik iklannya pun meyakinkan,
namun tanpa disadari di dalamnya mengandung bahan berbahaya yang dapat
membahayakan keamanan dan keselamatan konsumen.
Beberapa efek samping dari penggunaan obat pelangsing berbahaya dengan
campuran bahan berbahaya seperti sibutramine adalah sakit kepala, insomnia,
konstipasi, migrain, depresi, hipertensi, takikardia, mulut kering.
“Resiko lain mengkonsumsi obat-obat diet tanpa pengawasan dokter ialah :
membuat tubuh lemas dan sistem kekebalan tubuh menurun karena jarang
makan (tetapi tidak merasa lapar), jantung berdebar-debar, dehidrasi, sulit
tidur, diare, penurunan tekanan darah, nyeri kepala, dan gula darah menurun
drastis. Namun, resiko yang timbul pada setiap orang tidak sama, karena itu
konsumsi obat-obat diet harus di bawah pengawasan dokter.” 3
3
https://yosefw.wordpress.com/2009/03/20/usir-gemuk -dengan-obat-2/, diakses tanggal 20
November 2014.
8
“Menurut pengakuan salah seorang konsumen yang diwawancarai oleh tim
Sigi dari SCTV menyatakan bahwa dalam waktu tiga bulan setelah
mengkonsumsi kapsul Arma Sin Gang San, satu di antara banyak obat
pelangsing tubuh, berat badannya turun namun disertai dengan rasa gelisah,
sulit untuk tidur dan tidak mempunyai nafsu makan. Produk PT. Warisan
Jaya, Semarang, Jawa Tengah itu memang topcer. Harganya pun relatif
murah, sekitar Rp 10 ribu per kapsul. Tapi, Badan Pengawas Obat dan
Makanan telah melarang peredaran jamu ini. Pasalnya, berdasarkan hasil uji
laboratorium, Arma Sin Gang San mengandung sibutramine, bahan kimia
obat berbahaya.” 4
Hal tersebut di atas dapat dijadikan sebagai contoh bahwa tidak semua obat
pelangsing yang beredar di pasaran itu aman, karena bisa mengandung campuran
dengan bahan berbahaya yang tidak diketahui oleh konsumen, selain itu
mengkonsumsi obat pelangsing tanpa menggunakan resep dokter juga berbahaya.
Informasi mengenai komposisi dan penggunaan obat, serta efek samping obat
juga merupakan hal yang sangat penting untuk diberitahukan kepada konsumen
sebagai pengguna obat pelangsing supaya tidak ada lagi konsumen yang merasa
haknya dirugikan yakni hak yang berkaitan untuk mendapatkan keamanan dan
keselamatan dari barang yang dikonsumsinya.
Pelaku usaha sering memberikan informasi ya ng tidak benar atau bahkan
menyesatkan yang dapat merugikan konsumen sebagai pihak pembeli, hal seperti
ini lah yang dapat menimbulkan adanya sengketa antara konsumen dengan pelaku
usaha. Konsumen akan merasa dirugikan karena hak-haknya tidak terpenuhi,
dikarenakan pelaku usaha yang tidak memperhatikan kepentingan dan hak-hak
konsumen karena didesak dengan adanya persaingan antar pelaku usaha untuk
mencari keuntungan.
4
Ibid.
9
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis merasa tertarik untuk
membahas permasalahan mengenai obat pelangsing berbahaya yang menimbulkan
beberapa efek negatif terhadap penggunanya yang mana di dalamnya mengandung
bahan berbahaya seperti sibutramine. Dalam hal ini konsumen sebagai pihak yang
dirugikan karena hak-haknya sebagai konsumen tidak terpenuhi, terutama hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, konsumen mempunyai hak yang secara tertulis dituangkan dalam
Pasal 4 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Oleh karena itu,
penulis menyusun skripsi dengan judul : Perlindungan Hukum Terhadap
Konsumen Pengguna Obat Pelangsing berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
B . Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap konsumen sebagai pengguna
obat pelangsing berbahaya berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelit ian ini adalah untuk mengetahui perlindungan hukum
terhadap konsumen sebagai pengguna obat pelangsing berbahaya berdasarkan
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen.
10
D. Kegunaan Penelitian
1.
Kegunaan Teoretis
Untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu
pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya terutama
hukum perlindungan konsumen.
2.
Kegunaan Praktis
Untuk dapat memberikan gambaran kepada masyarakat mengenai hak-haknya
sebagai konsumen dalam Hukum Perlindungan Konsumen terhadap
pengguna dan pemakai obat pelangsing.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perlindungan Hukum
Pengertian perlindungan dalam ilmu hukum adalah suatu bentuk
pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat
keamanan untuk memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental, kepada
korban dan saksi dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak
manapun yang diberikan pada tahap penyelidikan, penuntutan, dan atas
pemeriksaan di sidang pengadilan.
Secara umum yang dimaksud dengan hukum adalah keseluruhan
kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan
bersama, yakni keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku
dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya
dengan suatu sanksi.
“Hukum itu bukanlah merupakan tujuan, tetapi sasaran atau alat untuk
mencapai tujuan yang sifatnya non-yuridis dan berkembang karena
rangsangan dari luar hukum. Faktor-faktor di luar hukum itulah yang
membuat hukum itu dinamis.”5
Menurut Surojo Wignojodipuro:
“Hukum mempunyai peranan dalam mengatur dan menjaga ketertiban
masyarakat, yang diantaranya adalah mengatur hubungan antara sesama
warga masyarakat yang satu dengan yang lain. Adanya kaidah hukum itu
5
Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar (Edisi Ke-5), Yogyakarta:
Liberty Yogyakarta, hlm. 40.
12
bertujuan untuk mengusahakan kepentingan-kepentingan yang terdapat
dalam masyarakat.” 6
Beberapa sarjana hukum di Indonesia yang mendefinisikan hukum
sebagai berikut: 7
a.
S. M. Amin
Hukum adalah kumpulan-kumpulan peraturan yang terdiri dari
norma-norma dan sanksi-sanksi dan tujuan hukum itu adalah
mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia.
b.
J.C.T Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto
Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang
menentukan tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat yang
dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana
terhadap peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan
hukum tertentu.
c.
M. H. Tirtaatmadja
Hukum adalah semua aturan (norma) yang harus diturut dalam
semua tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup
dengan ancaman mesti mengganti kerugian, jika melanggar aturanaturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya
orang akan hilang kemerdekaannya, didenda dan sebagainya.
6
Surojo Wignojodipuro, 1974, Pengantar Ilmu Hukum , Alumni, Bandung, hlm. 1.
CST. Kansil, 1997, Pengantar Hukum Indonesia (Cetakan Ke-6), Jakarta: Balai Pustaka,
hlm. 38.
7
13
Pengertian hukum dari beberapa sarjana tersebut dapat disimpulkan
bahwa hukum terdiri dari berbagai unsur yaitu:
a)
Peraturan mengenai tingkah laku manusia dan pergaulan masyarakat;
b)
Peraturan itu diadakan oleh badan-badan yang berwajib;
c)
Peraturan itu bersifat memaksa;
d)
Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.
Sudikno Mertokusumo memberikan gambaran terhadap pengertian
perlindungan hukum sebagai berikut:
“Segala upaya yang dilakukan untuk menjamin adanya kepastian hukum
berdasarkan pada keseluruhan peraturan atau kaidah-kaidah yang ada
dalam suatu kehidupan bersama. Keseluruhan peraturan ini dapat dilihat
baik di Undang-Undang maupun Diratifikasi dari Konvensi
Internasional.” 8
B. Hukum Perlindungan Konsumen
1. Perlindungan Konsumen
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud
dengan perlindungan adalah cara, proses, perbuatan melindungi. Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen disebutkan bahwa:
“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen.”
Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum” yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
8
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hlm. 20.
14
tentang Perlindungan Konsumen tersebut diharapkan sebagai benteng
untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku
usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.
Shidarta berpendapat bahwa :
“Perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum,
sehingga perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Materi
yang mendapatkan perlindungan bukan sekedar fisik, melainkan juga
hak-haknya yang bersifat abstrak, dengan kata lain perlindungan
konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang
diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen”.9
2. Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen
Konsumen memiliki kedudukan lemah jika dibandingkan dengan
pelaku usaha, oleh karena itu kosumen harus dilindungi oleh hukum.
Perlindungan yang diberikan oleh hukum ini dituangkan dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sekaligus
sebagai pelaksanaan dari tujuan hukum yakni memberikan perlindungan
(pengayoman) kepada masyarakat.
“Istilah “hukum konsumen” dan “hukum perlindungan konsumen”
sudah sangat sering terdengar. Namun, belum jelas benar apa saja
yang masuk ke dalam materi keduanya. Juga, apakah kedua
“cabang” hukum itu identik.” 10
Az. Nasution berpendapat bahwa :
“Hukum konsumen yang memuat asas -asas atau kaidah-kaidah
bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi
kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur
9
Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : Grasindo, hlm. 19.
Ibid., hlm. 9.
10
15
hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain
berkaitan dengan barang dan/atau jasa kosumen, di dalam pergaulan
hidup.” 11
Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian khusus dari
hukum konsumen yang memuat asas -asas atau kaidah-kaidah bersifat
mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan
konsumen.
“Hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan peraturanperaturan yang mengatur segala tingkah laku manusia yang
berhubungan dengan konsumen dan pelaku usaha yang disertai
sanksi bagi pelanggarnya.” 12
Dapat disimpulkan bahwa hukum konsumen lebih luas dari pada
hukum perlindungan konsumen, karena hukum perlindungan konsumen
merupakan bagian dari hukum konsumen yang mengatur lebih rinci asasasas perlindungan bagi konsumen sebagai pihak yang lebih lemah jika
dibandingkan dengan pelaku usaha.
3. Tujuan Perlindungan Konsumen
Tujuan perlindungan konsumen merupakan sebagai sasaran akhir
yang memang harus dicapai dalam bidang hukum perlindungan
konsumen. Masing-masing undang-undang yang dibentuk pasti memiliki
tujuan khusus dalam pelaksanannya. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini megatur mengenai
tujuan dari perlindungan konsumen itu sendiri.
11
Ibid., hlm. 9-10.
Suyadi, 2007, Buku Ajar Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Konsumen, Fakultas Hukum
Unsoed, Purwokerto, hlm. 6.
12
16
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Ta hun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen berbunyi:
Perlindungan konsumen bertujuan :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian
konsumen untuk melindungi diri;
mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang
dan/atau jasa;
meningkatkan permberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses
untuk mendapatkan informasi;
menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan di
atas bila dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum,
maka:
1.
2.
3.
tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam
rumusan huruf c, dan huruf e.
tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam
rumusan huruf a dan b, termasuk juga huruf c dan d, serta huruf
f.
tujuan khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum
terlihat dalam rumusan huruf d. 13
Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, karena seperti yang dapat
kita lihat dalam rumusan pada huruf a sampai dengan huruf f terdapat
tujuan yang dapat dikualifikasikan sebagai tujuan ganda.
13
Ahmadi Miru dan Sutarma Yodo, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : Rajawali
Pers, hlm. 34.
17
4. Para Pihak dalam Perlindungan Konsumen
Pihak yang ikut berperan dalam perlindungan konsumen sebenarnya
tidak hanya konsumen dan pelaku usaha saja, tetapi ada juga peran
pemerintah. Pemerintah, konsumen dan pelaku usaha harus dapat
memahami
perannya
masing-masing
dan
melaksanakan
asas
perlindungan hukum supaya tercipta perekonomian yang baik serta
bersih dan stabil dan tidak ada yang dirugikan dalam proses kegiatan
perekonomian.
Secara
umum
pihak-pihak
yang
berkaitan
dalam
praktik
perlindungan konsumen dapat dibedakan antara lain:
a.
Konsumen
Hakikatnya setiap or ang adalah konsumen, bahkan pelaku usaha
juga menjadi konsumen untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya
sehari-hari. Konsumen memiliki kedudukan yang lemah jika
dibandingkan dengan pelaku usaha, oleh karena itu perlu adanya
jaminan untuk memperoleh perlindungan secara hukum.
Disebutkan
dalam
kepustakaan
ekonomi
dikenal
istilah
konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah
pengguna dan pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan
konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk
sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya.
Konsumen akhir berbeda dengan pembeli akhir, karena
pengertian konsumen akhir lebih luas daripada pembeli akhir.
18
Artinya, bahwa konsumen akhir tidaklah harus berperan sebagai
pembeli barang atau produk, ka rena bisa saja menerima barang
karena pemberian dari orang lain. Konsumen yang cerdas harus
sadar akan hak-hak yang dimilikinya sebagai seorang konsumen,
sehingga dapat melakukan kontrol sosial terhadap perilaku pelaku
usaha yang berbuat curang dalam kegia tan usahanya.
b.
Pelaku Usaha
Pelaku usaha juga mempunyai peranan yang cukup besar dalam
perlindungan konsumen, karena hak-hak konsumen akan terpenuhi
apabila pelaku usaha menjalankan kewajiban kegiatan usahanya
dengan
penuh
rasa
tanggung
jawab.
Pelaku
usaha
dalam
menjalankan kegiatan usahanya diharapkan dapat menghormati hakhak konsumen dengan memproduksi barang dan jasa yang
berkualitas, aman dikonsumsi atau digunakan, serta mengikuti
standar peraturan yang berlaku dengan harga yang sesuai.
c.
Pemerintah
Pemerintah adalah pihak yang mempunyai wewenang untuk
membuat suatu peraturan kebijakan, peraturan itu dibuat agar ditaati
oleh para pihak yang ada dalam wilayah kekuasannya, dalam hal ini
adalah masyarakat Indonesia. Pemerintah dalam perlindungan
konsumen ini berperan untuk mengawasi jalannya peraturan undangundang tersebut dengan baik, supaya tidak ada lagi pihak yang
merasa dirugikan.
19
Disamping pihak-pihak yang telah disebutkan di atas, ada juga
beberapa pihak yang terkait satu dengan yang lainnya, antara lain sebagai
berikut:
a.
Departemen atau Instansi Pemerintah yang terkait dengan produk
yang dihasilkan oleh pelaku usaha.
Departemen atau instansi yang dimaksud di sini adalah departemen
atau instansi yang terkait dengan produk yang menangani produk
yang bersangkutan, antara lain mengenai masalah peirizinan,
pemenuhan standar mutu dan sebagainya.
b.
Organisasi Pelaku Usaha
Merupakan organisasi yang secara khusus memberikan perlindungan
maupun secara khusus mengatur tentang kegiatan pelaku usaha yang
bersangkutan. Pelaku usaha sebagai anggota dari suatu organisasi
wajib mentaati ketentuan yang dikeluarkan oleh organisasi tersebut,
organisasi itu juga wajib menegur anggotanya jika melakukan suatu
kesalahan, jika perlu menerapkan sanksi yang tegas.
c.
Organisasi Konsumen
Merupakan organisasi yang dibentuk khusus dengan tujuan untuk
melindungi hak-hak konsumen. Mewakili konsumen jika ada
permasalahan dengan pelaku usaha. Hal ini diwujudkan dengan
dibentuknya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sejak
tahun 1973.
20
5. Konsumen
Konsumen merupakan salah satu pelaku kegiatan perekonomian
dalam suatu negara. Konsumen merupakan individu atau sekelompok
orang yang mengkonsumsi suatu barang dan/atau jasa yang disediakan
oleh produsen atau pelaku usaha.
“Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer
(Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian
dari consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia
berada. Secara harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari
produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan
penggunaan barang atau jasa nanti menentukkan termasuk konsumen
kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa
Inggris -Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau
konsumen.” 14
Ada beberapa ahli yang memberikan pengertian tentang konsumen,
antara lain adalah :
a.
Munir Fuady
Konsumen adalah pengguna terakhir (end user) dari suatu
produk, yaitu setiap pemakai barang dan jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga,
orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.
b.
Homby
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa
yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
14
Az. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit
Media, hlm. 3.
21
sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan.
c.
Az. Nasution
Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan secara sah
dan menggunakan barang atau jasa untuk suatu kegunaan
tertentu.
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa :
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.”
Berdasarkan pengertian konsumen yang ada dalam Pasal 1 angka 2
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, maka dapat diberikan
rumusan definisi terhadap konsumen, yaitu: 15
a.
Setiap Orang
Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang
berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Pengertian
konsumen tidak hanya pada orang perorangan namun juga
mencakup badan hukum.
15
Shidarta, Op. Cit., hlm. 4-9.
22
b.
Pemakai
Sesuai dengan bunyi Penjelasan Pasal 1 angka 2 UndangUndang tentang Perlindungan Konsumen, kata “pemakai”
menekankan konsumen adalah konsumen akhir (ultimate
consumer). Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan
dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan
barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta -merta hasil dari
transaksi jual beli.
c.
Barang dan/atau jasa
Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti
terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini produk
sudah berkonotasi barang dan/atau jasa.
d.
Yang tersedia dalam masyarakat
Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah
harus tersedia di pasaran. Perdagangan yang ma kin kompleks
dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat
konsumen.
e.
Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk
hidup lain
Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang
diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas
pengertian kepentingan.
23
f.
Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan
Pengertian
konsumen
dalam
Undang-Undang
tentang
Perlindungan Konsumen ini dipertegas, yakni hanya konsumen
akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan
perlindungan konsumen di berbagai negara.
Az. Nasution menegaskan beberapa batasan tentang konsumen,
yakni:
a.
b.
c.
konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau
jasa digunakan untuk tujuan tertentu;
konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang
dan/ jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa
lain untuk diperdagangkan (tujuan komersial);
konsumen akhir, adalah setiap orang alami yang mendapat dan
menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi
kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga
dan tidak untuk diperdagangkan kembali (nonkomersial). 16
Konsumen
yang
dimaksud
dalam
Undang-Undang
tentang
Perlindungan Konsumen ini adalah konsumen akhir, dimana konsumen
akhir adalah pengguna dan pemanfaat akhir dari suatu produk. Kalimat
tidak untuk diperdagangkan dari rumusan pasal tersebut di atas
merupakan konsumen akhir yang tujuan penggunaan barang atau jasa
bukan untuk dijual kembali. Artinya, konsumen yang sebagai pemakai
atau pengguna suatu barang dan/atau jasa yang tersedia di masyarakat
digunakan baik untuk diri sendiri, keluarga, orang lain maupun untuk
makhluk hidup lain karena tidak untuk dijual kembali, sehingga tidak
mempunyai tujuan yang komersia l.
16
Az. Nasution, Op. Cit. hlm. 13.
24
Menurut Az. Nasution, berbagai studi yang dilakukan berkaitan
dengan perlindungan konsumen telah berhasil membuat batasan
mengenai konsumen akhir, antara lain:
a.
b.
c.
Pemakai akhir dari barang, digunakan untuk keperluan sendiri
atau orang lain dan tidak untuk diperjualbelikan.
Pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
bagi keperluan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain
tidak untuk diperdagangkan kembali.
Setiap orang atau keluarga yang mendapat barang untuk dipakai
dan tidak untuk diperdagangkan. 17
6. Pelaku Usaha
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa :
“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha,
baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum
yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha
berbagai bidang ekonomi.”
“Dalam penjelasan undang-undang yang termasuk dalam pelaku
usaha adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir,
pedagang, distributor dan lain-lain.”18
Menurut Az. Nasution pelaku usaha berdasarkan pasal tersebut
terdiri dari :
a.
b.
c.
17
Ibid.,
Ibid., hlm. 17.
19
Ibid., hlm. 10.
18
Pelaku usaha sebagai pencipta/pembuat barang yang menjadi
sumber terwujudnya barang yang aman dan tidak merugikan
konsumen.
Pedagang sebagai pihak yang menyampaikan barang kepada
konsumen.
Pengusaha jasa. 19
25
Pelaku usaha yang dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Perlindungan Konsumen merupakan pelaku usaha yang dapat berupa
perorangan atau badan hukum. Pengertian pelaku usaha tersebut tidaklah
mencakup eksportir atau pelaku usaha di luar negeri, karena UndangUndang tentang Perlindungan Konsumen membatasi orang perseorangan
atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan
dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia.
7. Hak dan Kewajiban
a.
Hak dan Kewajiban Konsumen
Kondisi konsumen yang masih banyak merasa dirugikan
memerlukan adanya peningkatan upaya untuk melindunginya,
sehingga hak-hak konsumen dapat ditegakkan. Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjamin
adanya hak-hak konsumen. Kepastian menjamin hak-hak konsumen
yang diperkuat dengan undang-undang khusus ini memberikan
harapan agar pelaku usaha tidak lagi sewenang-wenang melakukan
perbuatan yang dapat merugikan konsumen.
Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu:
1.
2.
3.
4.
20
Hak untuk mendapat keamanan (the right to safety );
Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be
informed);
Hak untuk memilih (the right to choose);
Hak untuk didengar (the right to be heard).20
Shidarta, Op. Cit., hlm. 16-27.
26
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa :
Hak konsumen adalah :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
hak atas kenyamanan, keamana n, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan
barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan;
hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif;
hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima
tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan.
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen tidak hanya
mengatur mengenai hak-hak konsumen saja, tetapi juga mengatur
mengenai kewajiban sebagai penyeimbang hak konsumen.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa :
Kewajiban konsumen adalah :
a.
b.
c.
membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi
keamanan dan keselamatan;
beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa;
membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
27
d.
mengikuti
upaya
penyelesaian
perlindungan konsumen secara patut.
hukum
sengketa
b. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Tidak hanya hak dan kewajiban konsumen saja yang diatur
dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, mengenai
hak dan kewajiban pelaku usaha juga diatur didalamnya. Pengaturan
mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha ini untuk menciptakan
kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan sebagai
keseimbangan atas hak dan kewajiban yang diberikan kepada
konsumen, karena Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen
ini bukan semata -mata untuk membalikan kedudukan konsumen dari
kedudukan yang lemah menjadi kuat dan sebaliknya pelaku usaha
yang menjadi lemah, oleh karena itu hak dan kewajiban pelaku usaha
juga diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen.
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa :
Hak pelaku usaha adalah :
a.
b.
c.
d.
e.
hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan
kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan;
hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan
konsumen yang beritikad tidak baik;
hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian sengketa konsumen;
hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara
hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
28
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa :
Kewajiban pelaku usaha adalah :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif;
menjamin mutubarang dan/atau jasa yang diproduksi
dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar
mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji
barang dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta
memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan.
Memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian
atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian
apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau
dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dalam melakukan
kegiatan
usahanya
sebagai
upaya
perlindungan
konsumen
merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian
yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata.
Pasal 1338 ayat (3) berbunyi:
“Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
8. Hubungan Hukum antara Konsumen dengan Pelaku Usaha
Hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen merupakan
hubungan yang terus-menerus dan berkesinambungan. Hubungan
tersebut terjadi karena antara pelaku usaha dan konsumen memang saling
29
menghendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan yang cukup tinggi
antara pelaku usaha dengan konsumen.
“Pelaku usaha sangat membutuhkan dan sangat bergantung pada
dukungan konsumen sebagai pelanggan. Tanpa dukungan konsumen
tidak mungkin pelaku usaha dapat mempertahankan kelangsungan
usahanya. Sebaliknya kebutuhan konsumen sangat tergantung dari
hasil produksi pelaku usaha.” 21
Hubungan hukum antara konsumen dengan pelaku usaha dapat
dibedakan menjadi dua, yakni:
1.
Hubungan Langsung
“Hubungan langsung yang dimaksudkan pada bagian ini adalah
hubungan antara produsen dengan konsumen yang terikat secara
langsung dengan perjanjian.”22
Hubungan antara pelaku usaha yang memproduksi barang
dan/atau jasa dengan konsumen adalah hubungan perjanjian jual beli.
Pengertian jual beli sesuai dengan Pasal 1457 KUHPerdata adalah
suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya
untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk
membayar harga yang telah dijanjikan. Berdasarkan pengertian
tersebut, maka terdapat unsur-unsur jual beli yakni perjanjian,
penjual dan pembeli, harga dan barang.
Suatu perjanjian sesuai dengan Pasal 1313 KUHPerdata adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
21
Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, ed., 2000, Hukum Perlindungan Konsumen,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 36.
22
Ahmadi Miru, 2013, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia
(Edisi I, Cetakan Ke-2), Jakarta : Rajawali Pers, hlm. 34.
30
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Mengenai sahnya suatu
perjanjian diperlukan empat syarat, yakni sesuai dengan Pasal 1320
KUHPerdata, yaitu :
1.
2.
3.
4.
sepakat mereka yang mengikatkan diri;
kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
suatu hal tertentu;
suatu sebab yang halal.
Hubungan langsung yang terjadi antara konsumen dengan
pelaku usaha yang memproduksi barang dan/atau jasa merupakan
hubungan kontraktual (perjanjian). Artinya, apabila produk yang
dihasilkan
oleh
pelaku
usaha
menimbulkan
kerugian
pada
konsumen, maka konsumen dapat meminta ganti rugi kepada pelaku
usaha atas dasar tanggung jawab kontraktual (contractual liability).
Tanggung jawab kontraktual ini didasarkan pada tanggung jawab
atas dasar wanprestasi atau ingkar janji, karena salah satu pihak tidak
memenuhi perikatan yang timbul dari perjanjian tersebut.
2.
Hubungan Tidak Langsung
Hubungan tidak langsung di sini merupakan transaksi usaha
yang berkembang ke arah hubungan yang tidak langsung yakni
melalui suatu kegiatan distribusi, dimana dari pelaku usaha
disalurkan atau didistribusikan kepada agen, lalu ke pengecer baru
sampai ke konsumen. Hubungan tidak langsung ini di dalamnya
tidak terdapat hubungan kontraktual (perjanjian) antara pelaku usaha
dengan konsumen.
31
Konsumen di sini tidak bisa untuk meminta ganti rugi dari
pelaku usaha atas dasar tanggung jawab kontraktual, karena
konsumen hanya memiliki hubungan kontraktual dengan pengecer,
padaha l produk yang menimbulkan kerugian dihasilkan oleh pelaku
usaha bukan pengecer. Artinya, apabila ternyata bahwa pelaku usaha
adalah pihak yang merugikan konsumen, maka pelaku usaha wajib
bertanggung
jawab
Pertanggungjawaban
atas
pelaku
kerugian
usaha
yang
atas
timbul
tersebut.
produknya
yang
menimbulkan kerugian kepada konsumen dinamakan tanggung
jawab produk (product liability ). Pertanggungjawaban produk tidak
didasarkan pada contractual liability, tetapi didasarkan pada
tanggung jawab atas dasar perbuatan melawan hukum.
9. Perbuatan yang dilarang Bagi Pelaku Usaha
Salah satu tujuan dalam perlindungan konsumen adalah untuk
mengangkat harkat kehidupan konsumen, maka untuk maksud tersebut
berbagai hal yang membawa akibat negatif sebagai akibat dari pemakaian
barang dan/atau jasa harus dihindarkan dari segala aktivitas perdagangan
pelaku usaha. Upaya yang dilakukan untuk menghindarkan akibat negatif
dari pemakaian barang dan/atau jasa tersebut dalam Undang-Undang
tentang Perlindungan Konsumen diatur juga mengenai perbuatan yang
dilarang bagi pelaku usaha. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha
diatur dalam Bab IV Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
32
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen disebutkan bahwa :
(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan
barang dan/atau jasa yang :
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan
jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam
label atau etiket barang tersebut;
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah
dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d. tidak sesuai denga n kondisi, jaminan, keistimewaan atau
kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses
pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana
dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa
tersebut;
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa
tersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal,
sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang
yangmemuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto,
komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan,akibat sampingan,
nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk
penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;
j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan
barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pelaku Usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat
atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara
lengkap dan benar atau barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan
pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau
tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)
dilarang mempegunakan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib
menariknya dari peredaran.”
33
Menurut Gunawan Widjaja, secara garis besar larangan yang
dikenakan dalam Pasal 8 Undang-Undang tentang Perlindungan
Konsumen dapat dibagi dalam dua larangan pokok, yaitu:
1)
2)
Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak dipenuhi
syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai
atau dimanfaatkan oleh konsumen;
Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar,
dan tidak akurat yang menyesatkan konsumen.23
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen merumuskan
tentang beberapa larangan bagi pelaku usaha sebagai bagian dari kaidah
hukum Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Adanya
larangan tersebut dimaksudkan untuk memastikan bahwa produk yang
dipasarkan atau diperjualbelikan di masyarakat tidak dilakukan dengan
cara melanggar hukum.
10. Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Tanggung jawab pelaku usaha dalam Undang-Undang tentang
Perlindungan Konsumen adalah tanggung jawab untuk melaksanakan
kewajiban-kewajiban pelaku usaha. Tanggung jawab tersebut adalah
“minimal” dalam arti tanggung jawab pelaku usaha tidak sekedar yang
ada dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen saja, dapat
meliputi kewajiban-kewajiban yang seharusnya dilakukan sebagaimana
mestinya seba gai pelaku usaha, dapat berdasarkan undang-undang selain
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen tersebut, seperti dalam
ketentuan-ketentuan lain yakni kebiasaan, doktrin dan lain-lain.
23
Johanes Gunawan, 1994, “Produk Liability” dalam Hukum Bisnis Indonesia, Jakarta:
Projustisia, Tahun XII, hlm. 39.
34
Tanggung jawab pelaku usaha diatur dalam Bab VI Pasal 19 sampai
dengan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
Shidarta mengatakan bahwa :
“Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat
penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus -kasus
pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam
menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh
tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.”24
Pelaku
seba gaimana
usaha
yang
yang
meliputi
dimaksud
berbagai
dalam
bentuk/jenis
Undang-Undang
usaha
tentang
Perlindungan Konsumen, sebaiknya ditentukan urutan-urutan yang
seharusnya digugat oleh konsumen manakala dirugikan oleh pelaku
usaha. Urutan-urutan tersebut sebaiknya disusun sebagai berikut:
a.
b.
c.
yang pertama digugat adalah pelaku usaha yang membuat
produk tersebut jika berdomisili di dalam negeri dan domisilinya
diketahui oleh konsumen yang dirugikan.
apabila produk yang merugikan konsumen tersebut diproduksi
di luar negeri, maka yang digugat adalah importirnya, karena
UUPK tidak mencakup pelaku usaha di luar negeri.
apabila produsen maupun importir dari suatu produk tidak
diketahui, maka yang digugat adalah penjual dari siapa
konsumen membeli barang tersebut. 25
Urutan-urutan di atas tentu saja hanya diberlakukan jika suatu
produk mengalami cacat pada saat diproduksi, karena kemungkinan
barang mengalami kecacatan pada saat sudah berada di luar kontrol atau
di luar kesalahan pelaku usaha yang memproduksi produk tersebut.
24
25
Shidarta, Op. Cit., hlm. 59.
Ahmadi Miru, Op. Cit., hlm. 31-32.
35
Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat
dibedakan sebagai berikut:26
a.
Kesalahan (liability based on fault)
Seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya
secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya.
Pasal 1365 KUHPerdata, yang lazim dikenal sebagai pasal
tentang perbuatan melawan hukum mengharuskan terpenuhinya
empat unsur pokok, yaitu:
1.
2.
3.
4.
adanya perbuatan;
adanya unsur kesalahan;
adanya kerugian yang diderita;
adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan
kerugian.
Kesalahan di sini adalah unsur yang bertentangan dengan
hukum, dimana hukum itu artinya tidak hanya bertentangan
dengan undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan di
dalam masyarakat.
b.
Praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability)
Tergugat yang dalam hal ini adalah pelaku usaha selalu
dianggap bertanggung jawab (presumption of liability principle),
sampai pelaku usaha dapat membuktikan bahwa dirinya tidak
bersalah. Beban pembuktian dalam prinsip praduga selalu
bertanggung jawab ini ada pada pelaku usaha sebagai tergugat.
26
Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2009, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika,
hlm. 92.
36
c.
Praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of
nonliability)
“Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip
praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption
nonliability principle ) hanya dikenal dalam lingkup
transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan
demikian biasanya secara common sense dapat
dibenarkan.”27
d.
Tanggung jawab mutlak (strict liability)
Tanggung jawab mutlak merupakan prinsip tanggung jawab
yang
menetapkan kesalahan
tidak
sebagai
faktor
yang
menentukan, namun terhadap prinsip tanggung jawab mutlak ini
ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk
dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force
majeur.
e.
Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability)
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of
liability
principle)
disenangi
oleh
pelaku
usaha
untuk
dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian
standar yang dibuatnya. Prinsip tanggung jawab ini sangat
merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku
usaha. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen bahwa pelaku usaha seharusnya tidak
boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan
konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya.
27
Shidarta, Op. Cit., hlm. 62-63.
37
11. Sumber Hukum Perlindungan Konsumen
Happy Susanto menyatakan bahwa:
“Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia
memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hakhak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme. Ada
beberapa pakar yang menyebutkan bahwa hukum perlindungan
konsumen merupakan cabang dari hukum ekonomi. Alasannya,
permasalahan yang diatur dalam hukum konsumen berkaitan erat
dengan pemenuhan kebutuhan barang dan/atau jasa.”28
Selain Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hukum konsumen
dapat ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Ketentuan Pasal 64 (Ketentuan Peralihan) Undang-Undang
tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa:
“Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan
melindungi konsumen yang telah ada pada saat Undang-undang ini
diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara
khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
Undang-undang ini.”
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat
penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen.
“Penjelasan resmi Undang-Undang Perlindungan Konsumen
menyatakan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen itu
pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang
mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai
terbentuknya Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini
telah ada beberapa undang-undang yang materinya melindungi
kepentingan konsumen.” 29
28
29
Happy Susanto, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Jakarta: Visi Media, hlm. 2.
Suyadi, Op. Cit., hlm. 6.
38
Beberapa peraturan yang dijadikan sumber hukum perlindungan
konsumen diantaranya sebagai berikut:
a.
Undang-Undang Dasar 1945
1)
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi:
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Penjelasan dari pasal ini bahwa ketentuan ini mengenai hak
warga negara yang dinyatakan dalam penjelasan Pasal 27 ini
adalah warga negara yang menjamin agar mereka dapat hidup
sebagai manusia seutuhnya, yakni hak untuk mendapatkan
pengetahuan yang benar tentang segala barang dan/atau jasa
yang ditawarkan.
2)
Pasal 28 UUD 1945, yang berbunyi:
“Kemerdekaan
berserikat,
berkumpul,
mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan
dengan undang-undang.”
Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa pasal ini mengenai
kedudukan penduduk. Pasal ini juga memuat hasrat bangsa
Indonesia untuk membangun negara yang bersifat demokratis
dan
hendak
menyelenggarakan
keadilan
sosial
dan
perikemanusiaan.
Berbagai hak yang dimiliki konsumen telah masuk dalam kedua
pasal tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa UUD 1945
39
merupakan suatu sumber hukum bagi perlindungan konsumen
karena hak konsumen terdapat di dalamnya.
b.
Ketetapan MPR
Menurut Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sejak tahun
1993
(Ketetapan
MPR
No.
II/MPR/1993)
secara
eksplisit
dicantumkan kata “Perlindungan Konsumen”, sekalipun tidak
diuraikan lebih jauh mengenai pengertian dan substansinya. Secara
implisit dapat ditemukan berbagai hal yang berhubungan dengan
kepentingan konsumen seperti keharusan menghasilkan atau
meningkatkan:
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
c.
Barang yang bermutu;
Kualitas dan pemerataan pendidikan;
Kualitas pelayanan kesehatan;
Kualitas hunian dan lingkungan hidup;
Sistem transportasi yang tertib, lancar, aman, dan nyaman;
Kompetisi yang sehat;
Kesadaran hukum. 30
Berbagai peraturan perundang-undangan lain, diantaranya:
1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal.
2)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar
Perusahaan.
3)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
4)
Undang-Undang
Ketenagakerjaan.
30
Shidarta, Op. Cit., hlm 92-93.
Nomor
13
Tahun
2003
tentang
40
5)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
6)
Undang-Undang
Nomor
30
Tahun
2009
tentang
Ketenagalistrikan.
7)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Penglolaan Lingkungan Hidup.
8)
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
9)
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
10) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.
Undang-Undang
tentang
Perlindungan
Konsumen
merupakan
undang-undang yang dapat menambah kepastian hukum bagi konsumen,
walaupun demikian masih perlu adanya peraturan pemerintah untuk
menunjang pelaksanaan perlindungan konsumen, sebab Undang-Undang
tentang Perlindungan Konsumen sifatnya masih umum dan pelaksanaan
beberapa pasal harus dengan peraturan pemerintah seperti Pasal 29, Pasal
30, Pasal 44 dan Pasal 46. Adapun peraturan pemerintah yang menunjang
berlakunya Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen antara lain:
a.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001
tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
b.
Peraturan Pemerintah Repbulik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001
tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan
Konsumen.
41
c.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001
tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
C. Obat
1. Definisi
Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi
bahwa :
“Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi
yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem
fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis,
pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan
kontrasepsi, untuk manusia.”
Peraturan
Menter i
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
949/Menkes/Per/VI/2000 tentang Registrasi Obat Jadi, obat digolongkan
dalam lima golongan, yaitu:31
1.
Obat Bebas
Obat bebas adalah obat yang boleh digunakan tanpa resep
dokter. Penandaan obat bebas diatur berdasarkan SK Menkes RI
Nomor 2380/A/SKA/I/1983 tentang tanda khusus untuk obat bebas
dan obat bebas terbatas. Di Indonesia, obat golongan ini ditandai
dengan lingkaran berwarna hijau dengan garis tepi berwarna hitam.
Obat bebas disertai dengan brosur yang berisi nama obat, nama dan
isi zat berkhasiat, indikasi, dosis dan aturan pakai, nomor batch,
31
http://dentalhealthridhafajarnugroho.blogspot.com/2013/03/penggolongan-obat-menurut-uufarmasi.html, diakses tanggal 26 November 2014.
42
nomor
registrasi,
nama
dan
alamat
pabrik
serta
cara
penyimpanannya.
2.
Obat Bebas Terbatas
Obat bebas terbatas adalah obat yang dijual atau dipasarkan
tanpa resep dokter, tetapi dengan menggunakan izin dari Dinas
Kesehatan dan disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada
kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan
garis tepi berwarna hitam.
3.
Obat Wajib Apotek
Obat wajib apotek merupakan obat keras yang dapat diberikan
oleh Apoteker Pengelola Apotek (APA) kepada pasien. Obat-obat
yang digolongkan dalam obat wajib apoteker ini adalah obat yang
diperlukan bagi kebanyakan penyakit yang diderita oleh pasien.
4.
Obat Keras
Obat keras yaitu obat yang berkhasiat keras yang untuk
memperolehnya harus menggunakan resep dokter, berdasarkan
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 02396/A/SKA/III/1986
penandaan obat keras dengan lingkaran bulat berwarna merah dan
garis tepi berwar na hitam serta huruf “K” yang menyentuh garis tepi.
5.
Obat Psikotropika dan Narkotika
Psikotropika adalah zat atau obat yang dapat menurunkan
aktivitas
otak
menimbulkan
atau
merangsang
kelainan
perilaku,
susunan
syaraf
disertai
dengan
pusat
dan
timbulnya
43
halusinasi (mengkhayal), ilusi, perubahan alam perasaan dan dapat
menyebabkan ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi
(merangsang) bagi para pemakainya.
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi
sampai
menghilangkan
rasa
nyeri
dan
dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan.
Berbagai bentuk dan tujuan penggunaan obat yaitu:
1.
Serbuk (pulvis)
Serbuk (pulvis) merupakan campuran kering bahan obat atau zat
kimia yang dihaluskan, ditujukan untuk pemakaian luar.
2.
Pulveres
Merupakan serbuk yang dibagi bobot kurang lebih sama, dibungkus
menggunakan bahan pengemas yang cocok untuk sekali minum.
3. Tablet (compressi)
Merupakan sediaan padat kompak dibuat secara kempa cetak dalam
bentuk tabung pipih atau sirkuler, kedua permukaan rata atau
cembung, mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa
bahan tambahan.
44
a.
Tablet kempa : paling banyak digunakan, ukuran dapat
bervariasi, bentuk serta penandaannya tergantung desain
cetakan.
b.
Tablet cetak : dibuat dengan memberikan tekanan rendah pada
massa lembab dalam lubung cetakan.
c.
Tablet trikurat : tablet kempa atau cetak bentuk kecil umumnya
silindris dan ini sudah jarang ditemukan.
d.
Tablet hipodermik : dibuat dari bahan yang mudah larut atau
melarut sempurna dalam air, dulu untuk membuat sediaan
injeksi hipodermik tetapi sekarang diberikan secara oral.
e.
Tablet sublingual : dikehendaki efek cepat (tidak lewat hati),
digunakan dengan meletakan tablet di bawah lidah.
f.
Tablet bukal : digunakan dengan meletakkan diantara pipi dan
gusi.
g.
Tablet effervescent : tablet yang larut dalam air, harus dikemas
dalam wadah tertutup rapat atau kemasan tahan lembab. Pada
etiket tertulis “tidak untuk langsung ditelan”.
h.
4.
Tablet kunyah : cara penggunaannya dikunyah.
Pil (pilulae)
Merupakan bentuk sediaan padat bundar dan kencil, mengandung
bahan obat dan dimaksudkan untuk pemakaian oral. Saat ini sudah
jarang ditemukan karena tergusur tablet dan kapsul, namun pil
(pilulae) masih banyak ditemukan pada seduhan jamu.
45
5.
Kapsul (capsule)
Merupakan sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang
keras atau lunak yang dapat dilarut.
6.
Kaplet (kapsul tablet)
Merupakaan sediaan padat kompak dibuat secara kempa cetak,
bentuknya oval seperti kapsul.
7.
Larutan (solutiones)
Merupakan sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia
yang dapat larut, biasanya dilarutkan dalam air. Dapat juga dikatakan
sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia yang larut,
misalnya terdispersi secara molekuler dalam pelarut yang sesuai
dengan campuran pelarut yang saling bercampur.
8.
Suspensi (suspensiones)
Merupakan sediaan cair, mengandung partikel padat tidak larut
terdispersi dalam fase cair.
9.
Emulsi (emulsiones)
Merupakaan sediaan berupa campuran dari dua fase dalam sistem
dispersi, fase cairan yang satu terdispersi sangat halus dan merata
dalam fase cairan lainnya, umunya distabilkan oleh zat pengemulsi.
10. Generik
Merupakan sediaan farmasi yang dibuat dari bahan baku yang
berasal dari hewan atau tumbuhan yang disari.
11. Ekstrak (extractum)
46
Merupakaan
sediaan
yang
pekat
yang
diperoleh
dengan
mengekstraksi zat dari simplisia nabati atau simplisia hewani,
menggunakan zat pelarut yang sesuai.
12. Infus
Merupakaan sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi
simplisia nabati dengan air pada suhu 90o C selama 15 menit.
13. Imunoserum ( immunosera)
Merupakan sediaan yang mengandung imunoglobulin khas yang
diperoleh dari serum hewan dengan pemurnian. Berkhasiat
menetralkan toksin kuman (bisa ular) dan mengikat kuman, virus
dan antigen.
14. Salep
Merupakan sediaan setengah padat ditujukan untuk pemakaian
topikal pada kulit atau selaput lendir. Salep dapat juga dikatakan
sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan
sebagai obat luar.
15. Suppositoria
Merupakan sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk yang
diberikan melalui rektal, vagina atau uretra, umumnya meleleh,
melunak atau melarut pada suhu tubuh.
16. Obat tetes (guttae)
Merupakan sediaan cair berupa larutan, emulsi atau suspensi,
dimaksudkan untuk obat dalam atau obat luar. Digunakan dengan
47
cara meneteskan menggunakan penetes yang menghasilkan tetesan
setara dengan tetesan yang dihasilkan penetes baku yang disebutkan
farmakope Indonesia. Sediaan obat tetes dapat berupa antara lain:
a.
Tetes mata (guttae opthalmicae)
b.
Tetes telinga (guttae auriculares)
c.
Tetes hidung (guttae nasales)
d.
Obat dalam (guttae)
e.
Tetes mulut (guttae oris)
17. Injeksi
Merupakan sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau
sebuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan terlebih dahulu
sebelum digunakan, yang disuntikan dengan cara merobek jaringan
ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir. Injeksi ini dapat
diberikan kepada pasien yang tidak dapat mene rima pengobatan
melalui mulut.
18. Larutan (solution)
Larutan adalah sediaan cair yang dibuat dengan melarutkan satu
jenis obat atau lebih dalam pelarut, dimaksudkan untuk digunakan
sebagai obat dalam, obat luar atau untuk dimasukan ke dalam rongga
tubuh.
19. Obat kumur (gargle)
48
Obat kumur adalah obat yang digunakan dengan cara berkumur
dengan tujuan untuk mengobati ataupun membersihkan rongga
mulut dan biasanya obat kumur mengandung bahan antiseptik.
Berdasarkan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa sediaan farmasi adalah obat,
bahan obat, obat tradisional dan kosmetika. Keamanan dan kenyamanan
penggunaan sediaan farmasi termuat dalam:
Pasal 98
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman,
berkhasiat/bermanfaat, berm utu, dan terjangkau.
(2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan
dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan,
dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat.
(3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan,
promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus
memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Pemerintah berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan,
dan mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi, dan
pengedaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 104
(1) Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan
untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh
penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak
memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau
khasiat/manfaat.
(2) Penggunaan obat dan obat tradisional harus dilakukan secara
rasional.
Obat dapat dibuat dari sumber alam atau sintetis oleh pabrik farmasi.
Sebelum suatu obat dijual atau diedarkan di pasaran, tentunya obat telah
melalui beberapa proses atau tahapan supaya obat dapat dipasarkan di
kalangan masyarakat. Proses tersebut adalah proses penyediaan bahan,
49
pengolahan, pengujian dan perizinan, perdagangan, pengorderan,
pembelian dan pemakaian.
Berbagai hal yang menyangkut pengawasan obat, makanan dan
minuman, kosmetika dan alat kesehatan, obat tradisional, narkotika dan
bahan berbahaya diatur berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh
Menteri Kesehatan. Pengorganisasian tugas-tugas yang menyangkut
pengawasan obat dan makanan ini diberikan kepada Direktorat Jendral
Pengawasan Obat dan Makanan.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) adalah sebuah
lembaga di Indonesia yang bertugas mengawasi peredaran obat-obatan
dan makanan di Indonesia. Badan Pengawan Obat dan Makanan ini
dalam pelaksanaannya dibantu oleh Dinas Kesehatan yang ada di setiap
kabupaten untuk lebih mempermudah pengawasan terhadap peredaran
obat dan makanan yang ada di kalangan masyarakat. Obat dan makanan
yang beredar di kalangan masyarakat ini harus memenuhi standar yang
telah ditentukan dan memperoleh izin edar.
2. Obat Pelangsing
Obat pelangsing adalah sebuah ramuan zat sintetis yakni suatu bahan
atau paduan bahan-bahan yang dapat meringankan atau mengurangi berat
badan. Telah banyak beredar berbagai jenis obat pelangsing di pasaran.
Obat pelangsing atau obat anti-obesitas sebenarnya adalah obat keras,
sehingga memerlukan resep dokter dan diperlukan konsultasi untuk
menentukan dosis yang tepat. Obat pelangsing yang berbahaya dikatakan
50
sebagai obat keras, karena di dalamnya terdapat campuran dengan bahan
berbahaya sibutramine yang mempunyai efek samping terhadap
kesehatan dan juga menimbulkan resiko yang berbeda pada setiap orang,
sehingga konsumsi obat pelangsing harus di bawah pengawasan dokter.
Obat pelangsing merupakan produk sediaan obat jadi yang dapat
langsung dikonsumsi. Menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor Republik Indonesia Nomor 949/Menkes/Per/VI/2000
tentang Registrasi Obat Jadi menyebutkan bahwa :
“Obat jadi adalah sediaan atau paduan bahan-bahan termasuk produk
biologi dan kontrasepsi, yang siap digunakan untuk mempengaruhi
atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan
peningkatan kesehatan.”
Konsumen harus mengetahui apakah produk obat pelangsing yang
dikonsumsinya itu benar-benar aman untuk digunakan atau tidak. Seperti
halnya untuk mengkonsumsi obat pelangsing, konsumen harus jeli
apakah obat pelangsing yang dibeli itu merupakan obat yang benar-benar
aman untuk dikonsumsi atau justru obat pelangsing tersebut mengandung
bahan berbahaya yang menimbulkan efek samping terhadap keamanan
dan keselamatan konsumen. Obat pelangsing yang mengandung bahan
berbahaya biasanya tidak mencantumkan secara detail dan jelas
komposisi kandungan bahan-bahannya, karena obat pelangsing yang
berada di pasaran legal akan selalu menuliskan dan mencantumkan
kandungan
bahan-bahan,
kadaluwarsanya.
waktu
produksi,
dan
juga
masa
51
Masih banyaknya produk obat pelangsing yang berbahaya beredar di
pasaran membuat konsumen harus lebih berhati-hati untuk memilih mana
obat pelangsing yang benar-benar aman untuk dikonsumsi dan tidak
merugikan bagi keamanan dan keselamatan konsumen.
Adapun ciri-ciri dari obat pelangsing yang berbahaya antara lain: 32
1.
Adanya kandungan bahan kimia sibutramine atau phenolphthalein
Sibutramine dapat menyebabkan berbagai efek samping, yakni
yang berkaitan dengan masalah pencernaan (sakit perut, mual,
hyperacidity, sembelit), gejala pernafasan (nasal dan pe radangan
sinus, eksaserbasi batuk, sakit tenggorokan, mulut kering), gejala
kulit (rash), selain itu juga gejala-gejala neurologis (pusing, sakit
kepala,
depresi,
gugup,
gelisah,
insomnia)
dan dismenore.
Phenolphtalein merupakan penekan nafsu makan, phenolpthalein
merupakan karsinogen yang dapat meningkatkan risiko pertumbuhan
tumor.
2.
Tidak mencantumkan kandungan obat
Komposisi kandungan obat pelangsing sangat perlu untuk
diketahui, baik dalam obat pelangsing herbal mau pun obat
pelangsing sintetis. Obat pelangsing yang tidak mencantumkan
secara jelas komposisi kandungan bahan-bahan dan tidak ada
rekomendasi dari dokter atau ahlinya maka obat tersebut temasuk
golongan obat pelangsing berbahaya yang bisa menimbulkan efek
32
http://senyumbunda.com/page-blog/waspada -obat -pelangsing-berbahaya-beredar-di-sekitaranda/, diakses yanggal 26 November 2014.
52
samping bagi kesehatan. Obat pelangsing yang dijual di pasar secara
legal pasti akan selalu menuliskan dan mencantumkan kandungan
bahan-bahan, waktu produksi, dan juga masa kadaluwarsa.
3.
Tidak jelas asal produksi dan alamat kantornya
Setiap obat, baik itu obat herbal mau pun obat sintetis pasti
memiliki tempat dan subjek yang memproduksi obat tersebut, karena
tidak mungkin obat pelangsing akan muncul dengan sendirinya tanpa
ada yang memproduksinya.
4.
Tidak mempunyai izin
Setiap makanan dan obat yang beredar atau diperjualbelikan
wajib dan harus mempunyai izin dari institusi terkait yang
berwenang yaitu Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Obat
pelangsing yang dijual di pasaran haruslah memuat petunjuk yang
memberitahukan dan juga menyatakan bahwa obat tersebut
mempunyai izin dan berada di bawah pengawasan ahli.
5.
Menimbulkan reaksi-reaksi yang aneh.
Obat pelangsing berbahaya yang dikonsumsi akan menimbulkan
reaksi-reaksi
aneh
seperti
sering
merasakan
lemas,
malas
beraktifitas, sering buang air besar dan urin menjadi sangat bau.
Tidak hanya ciri-ciri dari obat pelangsing berbahaya saja yang harus
diketahui, tetapi beberapa zat kimia atau bahan berbahaya yang sering
disalahgunakan untuk campuran obat pelangsing juga harus diketahui.
53
Berikut
ada
beberapa
bahan
berbahaya
yang
biasanya
disalahgunakan untuk campuran pada obat- obat pelangsing:33
1.
Sibutramine
Sibutramine dapat menyebabkan berbagai efek samping, yakni yang
berkaitan
dengan
masalah
pencernaan
(sakit
perut,
mual,
hyperacidity, sembelit), gejala pernafasan (nasal dan peradangan
sinus, eksaserbasi batuk, sakit tenggorokan, mulut kering), gejala
kulit (rash), selain itu juga gejala-gejala neurologis (pusing, sakit
kepala,
depresi,
gugup,
gelisah,
insomnia),
dan dismenore.
Sibutramine juga menyebabkan tekanan darah tinggi, jantung
berdebar dan takikardia, meningkatkan risiko serangan jantung atau
stroke.
2.
Phenolphthalein
Phenolphtalein dikenal sebagai penekan nafsu makan, tapi
phenolphthalein ini juga dapat meningkatkan risiko pertumbuhan
tumor.
3.
Metampiron
Metampiron dapat menyebabkan gangguan salura n pencernaan
seperti mual, pendarahan lambung, rasa terbakar, serta gangguan
sistem saraf seperti tinitus (telinga berdenging) dan neuropati,
gangguan darah, pembentukan sel darah terhambat (anemia aplastik),
agranulositosis, gangguan ginjal, shock , kematian.
33
http://m.tabloidnova.com/Nova/Kesehatan/Diet/Zat -Kimia-Pada-Obat -Pelangsing-IniBerbahaya, diakses tanggal 26 November 2014.
54
4.
Fenilbutason
Fenilbutason dapat menyebabkan mual, muntah, ruam kulit, retensi
cairan dan elektrolit (ederma), pendarahan lambung, nyeri lambung,
dengan pendarahan atau perforasi, reaksi hipersensitivitas, hepatitis,
nefritis, gagal ginjal, leukopenia, anemia aplastik, agranulositosis.
5.
Deksametason
Deksametason dapat menimbulkan anemia plastis, trombositopenia,
dan gangguan fungsi ginjal.
6.
Allupurinol
Allupurinol adalah
obat
penyakit
priai
(gout)
yang
dapat
menurunkan kadar asam urat dalam darah. Efek samping dari
penggunaan allupurinol adalah reaksi hipersensitifitas yang ditandai
dengan ruam mokulopapular didahului pruritus, urtikaria, eksfoliatif
dan lesi pupura, dermatitis, nefritis, faskulitis dan sindrome
poliartrtis. Demam, eosinofilia, kegagalan hati dan ginjal, mual,
muntah, diare, rasa mengantuk, sakit kepala, dan rasa logam.
7.
Sildenafit sitrat
Sildenafit sitrat dapat menyebabkan sakit kepala, pusing, dispepsia,
mual, nyeri perut, gangguan penglihatan, rinitis (radang hidung),
infark miokard, nyeri dada, palpitasi (denyut jantung cepat), dan
kematian.
8.
Fenfluramin dan dexfenfluramine
55
Fenfluramine dan dexfenfluramine adalah salah satu jenis bahan
kimia obat yang bisa membuat kelainan pada katup jantung.
Beberapa bahan berbahaya yang telah disebutkan di atas, bahwa
bahan berbahaya yang paling sering dijumpai untuk campuran obat
pelangsing adalah bahan berbahaya sibutramine, dimana sibutramine
dapat memicu sistem saraf simpatik yang kemudian menekan rasa lapar,
tetapi juga dapat meningkatkan denyut jantung normal seseorang.
56
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode
pendekatan yuridis normatif.
“Metode pendekatan yuridis normatif yaitu metode pendekatan yang
menggunakan konsepsi legistis posivistis, yang mengemukakan bahwa
hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan
oleh pejabat yang berwenang. Konsep ini juga melihat hukum sebagai suatu
sistem normatif yang mandiri, bersifat tertutup dan terlepas dari kehidupan
masyarakat dengan mengabaikan norma selain norma hukum.”34
B. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini menggunakan spesifikasi penelitian deskriptif analitis.
Deskriptif dalam arti melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh suatu
gambaran secara menyuluruh dan sistematis tentang pokok permasalahan yang
diteliti. Analitis akan dilakukan suatu analisa terhadap berbagai aspek yang
diteliti, yang kemudian dihubungkan dengan asas-asas hukum, kaidah hukum dan
berbagai pengertian hukum yang berkaitan dengan penelitian ini.
C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah (PII) Fakultas Hukum,
UPT Perpustakaan Universitas Jenderal Soedirman, Dinas Kesehatan Kabupaten
Banyumas, dan Dinas Perdagangan Kabupaten Banyumas.
34
Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: PT.
Ghalia Indonesia, hlm. 13.
57
D. Sumber Data
1.
Data Sekunder
Sumber data dari penelitian ini adalah data sekunder yang berupa
peraturan perundang-undangan, dokumen resmi, dan buku-buku literatur
yang berhubungan dengan objek penelitian.
Menurut Soerjono dan Sri Mamudji:
“Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
dan bahan hukum tersier.” 35
Data sekunder meliputi:
a.
Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan yang mengikat berupa peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Penelitian ini menggunakan bahan
hukum primer be rupa peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.
Bahan hukum sekunder yaitu yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, meliputi hasil-hasil penelitian, hasil karya dari
kalangan hukum, buku-buku literatur, karya ilmiah dari para sarjana, dan
dokumen resmi yang terkait dengan pokok permasalahan yang diteliti.
c.
Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, meliputi kamus
hukum dan kamus Bahasa Indonesia yang diperlukan.
2.
Data Primer
Data primer adalah data pendukung data sekunder yaitu keterangketerangan dari pejabat atau pihak-pihak atau staf yang bidang kerjanya
35
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta: Rajawali, hlm. 14-15.
58
berkaitan dengan masalah yang diteliti di lingkungan Kantor Dinas Kesehatan
dan Kantor Dinas Perdagangan Kabupaten Banyumas.
E. Metode Pengumpulan Data
1.
Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dengan cara inventarisasi terhadap peraturan
perundang-undangan, buku-buku literatur, artikel-artikel dan dokumendokumen
yang
berkaitan
dengan
pokok-pokok
permasalahan
untuk
selanjutnya dipelajari sebagai pedoman penyusunan data.
2.
Data Primer
Data primer diperoleh dengan mengadakan penelitian lapangan langsung
pada objek yang dijadikan masalah, dengan cara mengadakan wawancara
dengan pihak atau staf di Kantor Dinas Kesehatan dan Kantor Dinas
Perdagangan Kabupaten Banyumas.
F. Metode Penyajian Data
Metode penyajian data dalam penyusunan penelitian ini disajikan dalam
bentuk teks naratif yang disusun secara sistematis logis dan rasional. Dalam arti
keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya
disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan satu
kesatuan yang utuh.
G. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisa secara normatif kualitatif yaitu dengan
menjabarkan data yang diperoleh berdasarkan norma-norma hukum atau kaidah
yang relevan dengan pokok permasalaha n.
59
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Dinas Kesehatan dan Dinas
Perdagangan Kabupaten Banyumas diperoleh data sebagai berikut:
1. Data Sekunder
1.1
Pengertian
1.1.1 Pasal 1 Undang-Undang Obat Keras (St. No. 419 tgl. 22
Desember 1949)
Yang dimaksud dengan:
1.
Obat-obat keras yaitu obat-obatan yang tidak digunakan
untuk
keperluan
tekhnik,
yang
mempunyai
khasiat
mengobati, menguatkan, membaguskan, mendesinfeksikan
dan lain -lain tubuh manusia, baik dalam bungkusan atau
tidak, yang ditetapkan oleh Secretaris Van Staat, Hoofd van
set Departement van Gesondheid, menurut ketentuan pada
Pasal 2.
2.
Apoteker adalah mereka yang sesuai dengan peraturan yang
berlaku mempunyai wewenang untuk menjalankan praktek
peracikan obat di Indonesia sebagai seorang Apoteker
sambil memimpin sebuah Apotek.
3.
Pedagang-pedagang kecil yang diakui adalah mereka yang
bukan Apoteker atau Dokter, atau Dokter Hewan yang
60
sesuai dengan Pasal 6 memperoleh izin dan berwenang
untuk menyerahkan obat-obat keras tertentu.
4.
Pedagang-pedagang besar yang diakui adalah mereka yang
bukan Apoteker yang sesuai dengan Pasal 7 berwenang
untuk menyerahkan obat-obat keras tertentu.
5.
Menyerahkan adalah termasuk penjualan, menawarkan
untuk penjualan dan penjualan keliling.
6.
Secretaris van St adalah Secretarist van staat, Kepala D.V.D
Jakarta.
7.
Obat-obat G adalah obat-obat keras yang oleh Sec. V. St.
didaftar pada daftar obat-obat berbahaya (gevaarlijk; daftar
G).
8.
Obat-obatan W adalah obat-obat keras yang oleh Sec. V. St.
didaftar pada daftar peringatan (werschuwing; daftar W).
1.1.2 Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
Yang dimaksud dengan:
1.
Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional
dan kosmetika.
2.
Alat kesehatan adalah bahan, instrumen, aparatus, mesin,
implan yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk
mencegah, mendiagnosa, menyembuhkan dan meringankan
penyakit, merawat orang sakit serta memulihkan kesehatan
61
pada
manusia
dan/atau
membentuk
struktur
dan
memperbaiki fungsi tubuh.
3.
Produksi adalah kegiatan atau proses menghasilkan,
menyiapkan, mengolah, membuat, mengemas, dan/atau
mengubah bentuk sediaan farmasi dan alat kesehatan.
4.
Peredaran adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan
penyaluran atau penyerahan sediaan farmasi dan alat
kesehatan
baik
dalam
rangka
perdagangan,
bukan
perdagangan atau pemindahtanganan.
5.
Kemasan sediaan farmasi dan alat kesehatan adalah bahan
yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus
sediaan farmasi dan alat kesehatan baik yang bersentuhan
langsung maupun tidak.
1.1.3
Pasal 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
949/Menkes/Per/VI/2000 tentang Registrasi Obat Jadi
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Izin edar adalah bentuk persetujuan registrasi obat jadi untuk
dapat diedarkan di wilayah Indonesia.
2. Obat jadi adalah sediaan atau paduan bahan-bahan termasuk
produk biologi dan kontrasepsi, yang siap digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau
keadaan
patologi
dalam
rangka
penetapan
diagnosa,
62
pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan peningkatan
kesehatan.
3. Penandaan adalah keterangan yang lengkap mengenai obat
jadi, khasiat, keamanan, cara penggunaannya serta informasi
lain yang dianggap perlu dicantumkan pada etiket, brosur
dan kotak yang disertakan pada obat jadi.
4. Obat palsu adalah obat yang diproduksi oleh yang tidak
berhak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau produksi obat dengan penandaan yang meniru
identitas obat lain yang memiliki izin edar.
1.1.4
Pasal 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi
1.
Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk
biologi
yang
digunakan
untuk
mempengaruhi
atau
menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam
rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,
pemilihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk
manusia.
2.
Industri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin
dari
Menteri
Kesehatan
untuk
melakukan
kegiatan
pembuatan obat atau bahan obat.
3.
Pembuatan obat adalah seluruh tahapan kegiatan dalam
menghasilkan obat, yang meliputi pengadaan bahan awal
63
dan bahan pengemas, produksi, pengemasan, pengawasan
mutu, dan pemastian mutu sampai diperoleh obat untuk
didistribusikan.
4.
Cara Pembuatan Obat yang Baik, yang selanjutnya
disingkat CPOB adalah cara pembuatan obat yang bertujuan
untuk memastikan agar mutu obat yang dihasilkan sesuai
dengan persyaratan dan tujuan penggunaannya.
1.2
Pengamanan dan Penggunaan Sediaan Farmasi
dan
Alat
Kesehatan
1.2.1 Pasal 98 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan
(1) Sediaan
farmasi
dan
alat
kesehatan
harus
aman,
berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau.
(2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan
dilarang
mengadakan,
menyimpan,
mengolah,
mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang
berkhasiat obat.
(3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan,
promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan
harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
1.2.2 Pasal 104 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan
64
(1) Pengamanan
sediaan
farmasi
dan
alat
kesehatan
diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya
yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat
kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau
keamanan dan/atau khasiat/manfaat.
1.2.3
Pasal 106 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan
setelah mendapat izin edar.
(2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan
harus memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan
serta tidak menyesatkan.
(3) Pemerintah
berwenang
mencabut
izin
edar
dan
memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi
dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang
kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu
dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan
dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
1.3
Persyaratan Mutu, Keamanan dan Kemanfaatan Sediaan Farmasi
dan Alat Kesehatan
1.3.1 Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
65
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diproduksi
dan/atau diedarkan harus memenuhi persyaratan mutu,
keamanan, dan kemanfaatan.
(2) P ersyaratan
mutu,
keamanan,
dan
kemanfaatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk:
a.
Sediaan farmasi yang berupa bahan obat dan obat
sesuai dengan persyaratan dalam buku Farmakope atau
buku standar lainnya yang ditetapkan oleh Menteri;
b.
Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional sesuai
dengan persyaratan dalam buku Materia Medika
Indonesia yang ditetapkan okeh Menteri;
c.
Sediaan farmasi yang berupa kosmetika sesuai dengan
persyaratan dalam buku Kodeks Kosmetika Indonesia
yang ditetapkan oleh Menteri;
d.
Alat
kesehatan
sesuai
dengan
persyaratan
yang
ditetapkan oleh Menteri.
1.4
Produksi Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
1.4.1 Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
Sediaan Farmasi dan alat kesehatan hanya da pat diproduksi oleh
badan usaha yang telah memiliki izin usaha industri sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
66
1.4.2 Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
a.
Ketentuan seba gaimana dimaksud dalam Pasal 3 tidak
berlaku bagi sediaan farmasi yang berupa obat tradisional
yang diproduksi oleh perorangan.
b.
Ketentuan lebih lanjut mengenai produksi sediaan farmasi
yang berupa obat tradisional oleh perorangan diatur oleh
Menteri.
1.5
Krite ria Obat Jadi
1.5.1 Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
949/Menkes//Per/VI/2000 tentang Registrasi Obat Jadi
Obat jadi yang dapat memiliki izin edar harus memenuhi kriteria
berikut:
(1) Khasiat yang meyakinkan dan keamanan yang memadai
dibuktikan melalui percobaan hewan dan uji klinis atau
bukti-bukti lain sesuai dengan status perkembangan ilmu
pengetahuan yang bersangkutan.
(2) Mutu yang memenuhi syarat yang dinilai dari proses
produksi sesuai CPOB, spesifikasi dan metoda pengujian
terhadap semua bahan yang digunakan serta produk jadi
dengan bukti yang sahih.
67
(3) Penandaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang
dapat menjamin penggunaan obat secara tepat, rasional dan
aman.
(4) Sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat.
1.6
Izin Industri Farmasi
1.6.1 Pasal 2 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi
(1) Proses pembuatan obat dan/atau bahan obat yang hanya
dapat dilakukan oleh Industri Farmasi.
(2) Selain Industri Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Instalasi Farmasi Rumah Sakit dapat melakukan proses
pembuatan obat untuk keperluan pelaksanaan pelayanan
kesehatan di rumah sakit yang bersangkutan.
(3) Instalasi Farmasi Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan CPOB
yang dibuktikan dengan sertifikat CPOB.
1.6.2
Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi
(1) Setiap pendirian Industri Farmasi wajib memperoleh izin
industri farmasi dari Direktur Jenderal.
(2) Industri Farmasi yang membuat obat dan/atau bahan obat
yang
termasuk
dalam
golongan
narkotika
wajib
68
memperoleh izin khusus untuk memproduksi narkotika
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
1.6.3 Pasal 5 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi
(1) Syarat untuk memperoleh izin industri farmasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) terdiri atas :
a.
berbadan usaha berupa perseroan terbatas;
b.
memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan
obat;
c.
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
d.
memiliki secara tetap paling sedikit 3 (tiga) orang
apoteker Warga Negara Indonesia masing-masing
sebagai penganggung jawab pemastian mutu, produksi,
dan pengawasan mutu; dan
e.
komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik
langsung atau tidak langsung dalam pelanggaran
peraturan perundang-undangan di bidang kefarmasian.
1.6.4 Pasal 8 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi
(1) Industri Farmasi wajib memenuhi persyaratan CPOB.
(2) Pemenuhan persyaratan CPOB sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat CPOB.
69
(3) Sertifikat CPOB berlaku selama 5 (lima) tahun sepanjang
memenuhi persyaratan.
1.7
Penyelenggaraan Industri Farmasi
1.7.1
Pasal 20 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi
(1) Industri
Farmasi
yang
menghasilkan
obat
dapat
mendistribusikan atau menyalurkan hasil produksinya
langsung kepada pedagang besar farmasi, apotek, instalasi
farmasi rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, klinik,
dan
toko
obat
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
(2) Industri Farmasi yang menghasilkan bahan obat dapat
mendistribusikan atau menyalurkan hasil produksinya
langsung kepada pedagang besar bahan baku farmasi, dan
instalasi farmasi rumah sakit sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
1.8
Izin Edar
1.8.1 Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan
setelah memperoleh izin edar dari Menteri.
70
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) bagi sediaan farmasi yang berupa obat tradisional
yang diproduksi oleh perorangan.
1.8.2 Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dimohonkan untuk
memperoleh izin edar diuji dari segi mutu, keamanan, dan
kemanfaatan.
1.9
Penandaan dan Informasi Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
1.9.1 Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
(1) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan
dilaksanakan untuk melindungi masyarakat dari informasi
sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak obyektif,
tidak lengkap serta menyesatkan.
(2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan
dapat berbentuk gambar, warna, tulisan atau kombinasi
antara atau ketiganya atau bentuk lainnya yang disertakan
pada kemasan atau dimasukkan dalam kemasan, atau
merupakan bagian dari wadah dan/atau kemasannya.
1.9.2 Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
71
Badan usaha yang mengedarkan sediaan farmasi dan alat
kesehatan harus mencantumkan penanda an dan informasi
sediaan farmasi dan alat kesehatan.
1.9.3 Pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
(1) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan
yang harus dicantumkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 harus memenuhi persyaratan berbentuk tulisan
yang berisi keterangan mengenai sediaan farmasi dan alat
kesehatan secara obyektif, lengkap serta tidak menyesatkan.
(2) Keterangan
sebagaimana
dimaksud
dalam
ayat
(1)
sekurang-kurangnya berisi:
a.
nama produk dan/atau merek dagang;
b.
nama
badan
usaha
yang
memproduksi
atau
memasukkan sediaan farmasi dan alat kesehatan ke
dalam wilayah Indonesia;
c.
komponen pokok sediaan farmasi dan alat kesehatan;
d.
tata cara penggunaan;
e.
tanda peringatan atau efek samping;
f.
batas waktu kadaluwarsa untuk sediaan farmasi
tertentu.
72
1.10 Iklan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
1.10.1 Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
Iklan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diedarkan harus
memuat keterangan mengenai sediaan farmasi dan alat
kesehatan secara obyektif, lengkap, dan tidak menyesatkan.
1.10.2 Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
Sediaan farmasi yang berupa obat untuk pelayanan kesehatan
yang penyerahannya dilakukan berdasarkan resep dokter hanya
dapat dilakukan pada media cetak ilmiah kedokteran atau media
cetak ilmiah farmasi.
1.10.3 Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
Iklan mengenai sediaan farmasi dan alat kesehatan pada media
apapun
yang
dipergunakan
untuk
menyebarkan
iklan
dilaksanakan dengan memperhatikan etika periklanan.
1.11 Penyerahan Obat Keras
1.11.1 Pasal 3 Undang-Undang Obat Keras (St. No. 419 tgl. 22
Desember 1949)
(1) Penyerahan persediaan untuk penyerahan dan penawaran
untuk penjualan dari bahan-bahan G, demikian pula
memiliki bahan-bahan ini dalam jumlah sedemikian rupa
73
sehingga secara normal tidak dapat diterima bahwa bahanbahan ini hanya diperuntukkan pemakaian pribadi, adalah
dilarang. Larangan ini tidak berlaku untuk pedagangpedagang besar yang diakui, Apoteker-apoteker, yang
memimpin Apotek dan Dokter Hewan.
(2) Penyerahan dari bahan-bahan G, yang menyimpang dari
resep Dokter, Dokter Gigi, Dokter Hewan dilarang,
larangan ini tidak berlaku bagi penyerahan-penyerahan
kepada Pedagang-pedagang besar yang diakui, Apotekerapoteker, Dokter-dokter Gigi dan Dokter-dokter Hewan
demikian juga tidak terhadap penyerahan-penyerahan
menurut ketentuan pada Pasal 7 ayat (5).
1.12 Pengujian Kembali Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
1.12.1 Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
Untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh
penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak
memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan,
dilakukan pengujian kembali sediaan farmasi dan alat kesehatan
yang diedarkan.
1.12.2 Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
74
Pengujian kembali sediaan farmasi dan alat kesehatan yang
diedarkan dilaksanakan:
a.
secara berkala; atau
b.
karena adanya data atau informasi baru berkenaan dengan
efek samping sediaan farmasi dan alat kesehatan bagi
masyarakat.
1.13 Tanggung Jawab Pelaku Usaha
1.13.1 Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
(1) Penarikan kembali sediaan farmasi dan alat kesehatan dari
peredaran karena dicabut izin edarnya dilaksanakan oleh
dan
menjadi
tanggung
jawab
badan
usaha
yang
memproduksi dan/atau mengedarkan sediaan farmasi dan
alat kesehatan.
1.14 Peran Serta Masyarakat
1.14.1 Pasal 49 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
Masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan serta yang
seluas-luasnya dalam mewujudkan perlindungan masyarakat
dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi
dan alat kesehatan yang tidak tepat dan/atu tidak memenuhi
persyaratan mutu, keama nan, dan kemanfaatan.
75
1.14.2 Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
Peran serta masyarakat dilaksanakan melalui:
a.
penyelenggaraan produksi dan peredaran sediaan farmasi
dan alat kesehatan yang memenuhi persyaratan mutu,
keamanan, dan kemanfaatan;
b.
penyelenggaraan, pemberian bantuan, dan/atau kerja sama
dalam kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang
sediaan farmasi dan alat kesehatan;
c.
sumbangan pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan
penentuan kebijaksanaan dan/atau pelaksanaan program
pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan;
d.
melaporkan kepada instansi Pemerintah yang berwenang
dan/atau
melakukan
tindakan
yang
diperlukan
atas
terjadinya penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan
yang tidak rasional dan/atau memenuhi persyaratan mutu,
keamanan, dan kemanfaatan;
e.
keikutsertaan dalam penyebarluasan informasi kepada
masyarakat berkenaan dengan penggunaan sediaan farmasi
dan alat kesehatan yang tepat serta memenuhi persyaratan
mutu, keamanan, dan kemanfaatan.
76
1.15 Pembinaan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
1.15.1 Pasal 54 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
Menteri melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang
berhubungan dengan pengamanan sediaan farmasi dan alat
kesehatan.
1.16
Pengawasan
1.16.1 Pasal 64 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
Pengawasan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan
pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan
oleh Menteri.
1.16.2 Pasal 65 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
Menteri dalam melaksanakan pengawasan, mengangkat tenaga
pengawas yang bertugas melakukan pemeriksaan di bidang
pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan.
1.17 Ganti Rugi
1.17.1 Pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
(1) Setiap orang mempunyai hak untuk mendapatkan ganti rugi
apabila sediaan farmasi dan alat kesehatan yang digunakan
mengakibatkan
terganggunya
kesehatan,
cacat
atau
77
kematian yang terjadi karena sediaan farmasi dan alat
kesehatan
yang
tidak
memenuhi
persyaratan
mutu,
kemanan, dan kemanfaatan.
(2) Ganti
rugi
sebagaimana
dimaksud
dalam
ayat
(1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
1.18 Sanksi
1.18.1 Pasal 26 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan ini dapat
dikenanakan sanksi administratrif berupa:
a.
peringatan secara tertulis;
b.
larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau
perintah untuk penarikan kembali obat atau bahan
bahan obat dari peredaran bagi obat atau bahan obat
yang
tidak
memenuhi
standar
dan
persyaratan
keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu;
c.
perintah pemusnahan obat atau bahan obat, jika terbukti
tidak
memenuhi
persyaratan
khasiat/kemanfaatan, atau mutu;
d.
penghentian sementara kegiatan;
e.
pembekuan izin industru farmasi; atau
f.
pencabutan izin industri farmasi.
keamanan,
78
(2) Penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d dapat dikenakan untuk seluruh
kegiatan atau sebagian kegiatan.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a sampai dengan huruf d diberikan oleh Kepala
Badan.
(4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf e dan huruf f diberikan oleh Direktur Jenderal atar
rekomendasi Kepala Badan.
2. Data Primer
2.1
Berdasarkan wawancara dengan ibu Andina Padmaningrum dari seksi
farmasi, makanan, minuman dan perbekalan kesehatan dari pihak Dinas
Kesehatan di Kabupaten Banyumas, diperoleh data -data sebagai
berikut:
2.1.1
Dinas Kesehatan dalam menjalankan tugasnya bekerjasama
dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yakni
berkaitan dengan penilaian khasiat/kemanfaatan, kemanan,
mutu, dan penandaan serta analisis laboratorium dalam rangka
pemberian izin edar obat termasuk narkotika, bahan obat, obat
tradisional, kosmetika, dan makanan.
2.1.2
Dinas Kesehatan melakukan pengawasan dibidang obat dan
makanan dengan tujuan untuk melindungi masyarakat dari obat
dan makanan yang berisiko terhadap kesehatan masyarakat serta
79
menjamin agar obat dan makanan aman, bermanfaat dan
bermutu.
2.1.3
Pengawasan produk obat yang dilakukan Dinas Kesehatan yaitu:
a. Petugas Dinas Kesehatan memberikan pembinaan terhadap
pelaku usaha melalui penyuluhan keamanan sediaan farmasi
dan alat kesehatan yang terkait dengan persoalan sediaan
farmasi dan alat kesehatan dan sanksi bagi pelanggaran
ketentuan sediaan farmasi dan alat kesehatan.
b. Pembinaan terhadap pelaku usaha disertai dengan peringatan
lisan agar pelaku usaha menetapkan standar minimal
prosedur, tempat, dan peralatan pembuatan sediaan obat
dalam hal ini obat pelangsing sebagai produk obat jadi,
sehingga kebersihan dan ketepatan penggunaannya dapat
memenuhi standar.
2.1.4
Kegiatan pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh
Dinas Kesehatan terhadap obat-obatan yang beredar di
masyarakat adalah :
a.
Penjadwalan secara rutin yang dibuat sesuai dengan waktu
yang telah ditentukan yakni tiga bulan sekali.
b.
Pengawasan di luar jadwal dilakukan apabila ada laporan
atau pengaduan dari masyarakat terkait dengan adanya obat
yang membahayakan kesehatan.
80
2.1.5
Dalam hal terjadi kerugian atau korban akibat penggunaan obat
pelangsing
yang
mengandung
bahan
berbahaya
seperti
sibutramine, maka dapat mengadukan hal tersebut kepada Unit
Layanan Pengaduan Konsumen Obat dan Makanan (ULPK)
BPOM.
2.1.6
Pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas akan meminta
bantuan pengujian terhadap obat pelangsing yang mengandung
bahan berbahaya kepada BPOM Semarang. BPOM Semarang
akan melakukan pengujian terhadap obat pelangsing yang
diduga mengandung bahan berbahaya yang telah merugikan
konsumen. Apabila terbukti bahwa obat pelangsing tersebut
mengandung bahan yang berbahaya maka obat pelangsing
tersebut akan ditarik dan dilarang untuk diedarkan.
2.1.7
Penyelesaian sengketa antara konsumen dan pelaku usaha dapat
diselesaikan melalui peradilan yang berada di lingkungan
peradilan umum maupun penyelesaian sengketa secara damai
karena di Kabupaten Banyumas belum terdapat Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
2.1.8
Konsumen yang dirugikan akibat mengkonsumsi produk barang
dan/atau jasa dari pelaku usaha, maka pelaku usaha wajib untuk
memberikan ganti rugi kepada konsumen yang mengalami
kerugian.
81
2.1.9
Peraturan khusus yang mengatur mengenai obat pelangsing
memang belum ada, oleh karena itu masih mengacu pada
beberapa peraturan yang berkaitan dengan sediaan farmasi dan
alat kesehatan seperti peraturan mengenai produk sediaan obat
jadi dan obat keras.
2.2
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Dian Eri Rahmadi sebagai
Kepala Seksi Pembinaan dan Pengendalian Usaha Perdagangan dari
pihak Dinas Perdagangan Kabupaten Banyumas, diperoleh data -data
sebagai berikut:
2.2.1 Setiap produk termasuk obat pelangsing sebagai produk obat
jadi yang dihasilkan oleh pelaku usaha harus diberi label berupa
informasi dan penandaan yang berisi mengenai tanggal
kadaluwarsa, merek, nama produsen dan tidak
boleh
menggunakan kata-kata yang menyesatkan serta dibuat dalam
bahasa Indonesia.
2.2.2 Konsumen yang cerdas tidak mudah terpengaruh dengan iklan
dari suatu produk atau pun merek yang ditawarkan oleh pelaku
usaha, namun pada kenyataannya kesadaran konsumen saat ini
memang masih rendah, sehingga masih banyak konsumen yang
terjebak
untuk
menggunakan
produk
yang
sebena rnya
berbahaya, oleh karena itu dinas melakukan pembinaan dan
pendidikan salah satunya dengan melakukan penyuluhan kepada
masyarakat.
82
2.2.3 Dinas Perdagangan memberikan fasilitas mediasi antara pelaku
usaha dengan konsumen apabila kasusnya tidak mau untuk
dibawa ke jalur hukum, jadi Dinas Perdagangan mempunyai
fasilitas penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
2.2.4 Konsumen yang merasa dirugikan karena penggunaan obat
pelangsing berbahaya yang dibelinya secara on-line dapat
melaporkannya ke dinas perdagangan dengan membawa bukti
transaksi dengan produk obat pelangsing yang telah dibeli dan
digunakannya.
B. Pembahasan
Perlindungan hukum terhadap konsumen sebagai pengguna obat pelangsing
berbahaya berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen ini adalah sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap
hak-hak
konsumen
pengguna
obat
pelangsing
berbahaya
serta
bentuk
perlindungan hukum kepada konsumen yang dirugikan akibat mengkonsumsi obat
pelangsing berbahaya tersebut.
Konsumen merupakan pihak yang sangat berperan dalam perkembangan
dunia perdagangan, namun kedudukan konsumen saat ini masih lemah jika
dibandingkan dengan pelaku usaha dikarenakan masih banyak konsumen ya ng
belum mengetahui dan sadar akan hak-hak yang dimilikinya, selain itu perilaku
pelaku usaha yang sering menyimpang dari peraturan dalam memproduksi suatu
barang juga menjadi salah satu faktor tidak terpenuhinya hak-hak konsumen
dengan baik.
83
Pengertian konsumen menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah :
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Az. Nasution memberikan rumusan pengertian konsumen sebagai berikut :
“Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan secara sah dan
menggunakan barang atau jasa untuk suatu kegunaan tertentu.”36
Uraian mengenai pengertian konsumen di atas bahwa konsumen adalah setiap
orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia di dalam masyarakat serta
diperoleh secara sah, jadi yang dimaksud konsumen adalah sebagai konsumen
akhir, karena barang dan/atau jasa yang diperolehnya untuk dipakai dan tidak
untuk diperdagangkan kembali.
Berdasarkan data sekunder nomor 1.1.2 angka 1 tentang pengertian sediaan
farmasi bahwa sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan
kosmetika, data sekunder nomor 1.1.4 angka 1 tentang pengertian obat bahwa
obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan
untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi
dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,
peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia, apa bila dikaitkan dengan
pengertian konsumen dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang tentang
Perlindungan Konsumen serta pendapat Az. Nasution maka dapat dideskripsikan
36
Az. Nasution, 1995, Konsumen dan Hukum, Jakarta : CV. Muliasari, hlm. 69.
84
bahwa yang dimaksud dengan konsumen dalam penelitian ini adalah manusia
sebagai konsumen pengguna obat yang dalam hal ini adalah obat pelangsing
berbahaya yang tersedia di dalam masyarakat.
Pengertian pelaku usaha menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa:
“Pelaku usaha adalah setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai kegiatan ekonomi”.
Menurut penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang tentang Perlindungan
Konsumen pelaku usaha termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan,
korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain.
Menurut Az. Nasution pelaku usaha berdasarkan pasal tersebut terdiri dari :
a.
b.
c.
Pelaku usaha sebagai pencipta/pembuat barang yang menjadi sumber
terwujudnya barang yang aman dan tidak merugikan konsumen.
Pedagang sebagai pihak yang menyampaikan barang kepada konsumen.
Pengusaha jasa. 37
Berdasarkan data sekunder nomor 1.1.4 angka 2 tentang pengertian industri
farmasi bahwa industri farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari
Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat,
data sekunder nomor 1.4.1 tentang produksi sediaan farmasi dan alat kesehatan,
serta data sekunder nomor 1.7.1 tentang penyelenggaraan industri farmasi, apabila
dikaitkan dengan pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang
tentang Perlindungan Konsumen serta didukung oleh pendapat Az. Nasution maka
dapat dideskripsikan bahwa pelaku usaha yang dimaksud dalam penelitian ini
37
Az. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Op. Cit., hlm. 10.
85
adalah badan usaha yang telah memiliki izin, serta pedagang sebagai pihak yang
menyampaikan barang kepada konsumen juga dapat dikatakan sebagai pelaku
usaha, sehingga mereka bertanggungjawab apabila obat pelangsing yang mereka
produksi atau mereka jual ternyata merugikan konsumen, karena mengandung
bahan berbahaya seperti sibutramine. Pelaku usaha sebagai pihak yang
bertanggungjawab atas diproduksinya atau pun beredarnya suatu barang dalam hal
ini obat pelangsing wajib menjaga keamanan dan keselamatan dari penggunaan
obat pelangsing tersebut.
Hubungan hukum antara konsumen dengan pelaku usaha telah memunculkan
adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak. Konsumen yang merasa
haknya dilanggar dapat mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pelaku usaha yang
telah menerbitkan kerugian tersebut, sehingga konsumen yang merasa dirugikan
akibat penggunaan obat pelangsing berbahaya dapat mengajukan tuntutan ganti
rugi sebagai bentuk tanggung jawab dari pelaku usaha. Tanggung jawab ini
disebut dengan tanggung jawab produk yakni bentuk pertanggungjawaban atas
dasar perbuatan melawan hukum.
Agnes M. Toar:
“Tanggung jawab produk adalah tanggung jawab para produsen untuk produk
yang telah dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan/menyebabkan
kerugian karena cacad yang melekat pada produk tersebut.”38
38
Agnes M. Toar, Penyalahgunaan Keadaan dan Tanggung Jawab atas Produk di Indonesia,
Makalah, Disajikan Dalam Seminar Dua Hari tentang Pertanggungan Jawab Produk dan Kontrak
Bangunan yang Diselenggarakan oleh Yayasan Pusat Pengkajian Indonesia Bekerjasama dengan
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 25-26 Agustus, 1988., hlm. 6 dalam buku Ahmadi
Miru, 2013, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia (Edisi I, Cetakan
Ke-2, Jakarta : Rajawali Pers, hlm. 31.
86
Berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata bahwa :
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut”.
Perbuatan melawan hukum tidak lagi hanya sebagai perbuatan (aktif), tetapi
juga sebagai kealpaan atau tidak berbuat (pasif), dan tidak hanya bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, tetapi juga bertentangan atau tidak sesuai
dengan kesusilaan dan kepantasan yang hidup di dalam masyarakat. Artinya
bahwa konsumen pengguna obat pelangsing berbahaya yang mengalami kerugian
karena mengkonsumsi obat pelangsing tersebut dapat meminta ganti rugi kepada
pelaku usaha yakni badan usaha yang telah memproduksi obat pelangsing
berbahaya yang disebut dengan tanggung jawab produk. Hubungan hukum antara
pelaku usaha dengan konsumen ini adalah hubungan tidak langsung, sehingga
pertanggungjawaban pelaku usaha atas produknya yang menimbulkan kerugian
kepada konsumen dinamakan dengan tanggung jawab produk (product liability).
Pertanggungjawaban produk tidak didasarkan pada contractual liability, tetapi
didasarkan pada tanggung jawab atas dasar perbuatan melawan hukum.
Pedagang dapat dikatakan sebagai pelaku usaha karena pedagang adalah
sebagai pihak yang menyampaikan barang kepada konsumen, sehingga konsumen
juga dapat meminta ganti rugi kepada pedagang yang telah menjual obat
pelangsing berbahaya, karena kesalahannya obat pelangsing berbahaya tersebut
bisa sampai ke tangan konsumen tanpa pedagang terlebih dulu memastikan
87
apakah obat pelangsing yang dijualnya itu benar -benar aman. Hubungan antara
pedagang sebagai pelaku usaha dengan konsumen ini adalah hubungan langsung,
atas dasar adanya hubungan langsung inilah konsumen yang merasa dirugikan
dapat meminta ganti rugi kepada peda gang karena telah menjual produk yang
membahayakan keamanan dan keselamatan konsumen, karena produk obat
pelangsing yang diterima tidak sebagaimana mestinya seperti yang telah
diharapkan oleh konsumen. Sikap kurang hati-hati yang dimiliki oleh pedagang
inilah menyebabkan obat pelangsing berbahaya yang dijualnya dapat sampai ke
tangan konsumen.
Pelaku usaha yang meliputi berbagai bentuk/jenis usaha sebagaimana yang
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, sebaiknya
ditentukan urutan-urutan yang seharusnya digugat oleh konsumen manakala
dirugikan oleh pelaku usaha, yakni :
a.
b.
c.
yang pertama digugat adalah pelaku usaha yang membuat produk
tersebut jika berdomisili di dalam negeri dan domisilinya diketahui oleh
konsumen yang dirugikan.
apabila produk yang merugikan konsumen tersebut diproduksi di luar
negeri, maka yang digugat adalah importirnya, karena UUPK tidak
mencakup pelaku usaha di luar negeri.
apabila produsen maupun importir dari suatu produk tidak diketahui,
maka yang digugat adalah penjual dari siapa konsumen membeli barang
tersebut. 39
Artinya, konsumen yang merasa dirugikan akibat me nggunakan produk obat
pelangsing berbahaya dapat meminta tanggung jawab atau ganti rugi kepada
pelaku usaha, karena perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku usaha baik
39
Ahmadi Miru, 2000, Prinsip-Prinsip Per lindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia,
Op. Cit., hlm. 31-32
88
sebagai pe rbuatan aktif maupun karena kealpaannya telah merugikan orang lain
yakni konsumen yang mengkonsumsi obat pelangsing berbahaya tersebut.
Penelitian ini menggunakan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen sebagai dasar karena berdasarkan hubungan
hukum antara pelaku usaha dengan konsumen yang telah dijabarkan di atas bahwa
konsumen yang merasa dirugikan karena penggunaan obat pelangsing berbahaya
dengan campuran bahan berbahaya seperti sibutramine telah dilanggar hakhaknya sebagai konsumen, oleh karena itu konsumen yang merasa haknya
dilanggar dan merasa dirugikan dapat meminta ganti rugi kepada pelaku usaha.
Pelaku usaha dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum, karena
telah menimbulkan kerugian kepada konsumen sebagai pengguna obat pelangsing
berbahaya, selain itu pelaku usaha juga telah melakukan perbuatan yang dilarang
bagi pelaku usaha sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) UndangUndang tentang Perlindungan Konsumen.
Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menyebutkan bahwa :
“Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang
rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan
informasi secara lengkap dan benar.”
Atas dasar kerugian ya ng diderita oleh konsumen karena hak-haknya tidak
terpenuhi yang disebabkan adanya pelanggaran yang telah dilakukan oleh pelaku
usaha ,
maka
konsumen
dapat
menggunakan
Undang-Undang
tentang
89
Perlindungan Konsumen sebagai dasar bahwa pelaku usaha telah merugikan dan
melanggar hak-hak konsumen sebagai pengguna obat pelangsing.
Jual beli produk obat jadi seperti obat pelangsing tidaklah dilarang sepanjang
obat pelangsing tersebut telah melalui proses dan prosedur sesuai dengan
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
HK.03.1.33.12.12.8195 Tahun 2012 tentang Penerapan Pedoman Cara Pembuatan
Obat Yang Baik. Obat pelangsing sebagai produk sediaan obat jadi yang siap
diedarkan kepada masyarakat harus memiliki sertifikat CPOB yakni dokumen sah
yang merupakan bukti bahwa badan usaha yang memproduksi obat pelangsing
telah memenuhi persyaratan CPOB dalam membuat satu jenis bentuk sediaan obat
yang diterbitkan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Tidak semua produk obat pelangsing yang beredar di masyarakat aman untuk
dikonsumsi, karena pada kenyataannya masih ada obat pelangsing berbahaya
yakni obat pelangsing dengan campuran bahan berbahaya seperti sibutramine
dengan dosis yang belum tentu tepat sehingga dapat membahayakan keamanan
dan keselamatan konsumen. Sibutramine adalah obat dengan senyawa kimia yang
bekerja dengan cara menghambat ambilan (reuptake) norepinefrin, serotonin, dan
dopamin. Sibutramine ini merupakan obat yang membantu melangsingkan yang
mempunyai efek negatif lebih banyak dari pada efek positifnya. Efek samping
yang sering muncul terhadap penggunaan sibutramine dalam obat pelangsing
adalah sakit kepala, insomnia, konstipasi, migrain, depresi, hipertensi, takikardia,
mulut kering. Sibutramin e merupakan golongan obat keras yang digunakan dalam
pengobatan obesitas, dimana ini hanya dapat diperoleh dan dapat digunakan
90
berdasarkan resep dokter untuk menentukan dosis yang tepat, namun
kenyataannya obat ini banyak ditemukan dan dijual secara bebas di pasaran.
Obat pelangsing yang mengandung bahan berbahaya seperti sibutramine
inilah merupakan obat pelangsing berbahaya yang tidak diperbolehkan untuk
dijadikan objek dalam perjanjian jual beli, namun dikarenakan kesadaran
konsumen yang dirasa masih rendah sehingga masih banyak konsumen yang
percaya terhadap produk-produk obat pelangsing yang dijual secara ilegal dan
sebenarnya membahayaka n keamanan dan keselamatan konsumen. Obat
pelangsing yang diperbolehkan untuk menjadi objek jual beli adalah obat
pelangsing yang legal dan mempunyai izin BPOM, serta harus memuat nama
produk dan/atau merek dagang, nama badan usaha yang memproduksi, komponen
pokok, tata cara penggunaan, tanda peringatan atau efek samping, batas waktu
kadaluwarsa.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sendiri melalui keterangan
persnya nomor : PN.01.04.1.31.10.10.9829 telah melakukan pembatalan izin edar
dan penarikan produk obat yang mengandung sibutramine, dalam hal ini termasuk
produk sediaan obat pelangsing yang mengandung sibutramine. Sibutramine
merupakan obat yang dihasilkan sebagai pengobatan adjuvant dalam membantu
penurunan kelebihan berat badan (overweight dan obesity) disamping olah raga
dan pengaturan diet. Artinya, bahwa pembatalan izin edar dan penarikan sediaan
obat jadi juga dilakukan terhadap bentuk sediaan obat pelangsing yang
mengandung bahan berbahaya sibutramine, sehingga peredaran obat pelangsing
dengan campuran bahan berbahaya sibutramine sudah jelas tidak diperbolehkan.
91
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menyebutkan bahwa:
“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan konsumen.”
Shidarta berpendapat bahwa :
“Perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum, sehingga
perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Materi yang
mendapatkan perlindungan bukan sekedar fisik, melainkan juga hak-haknya
yang bersifat abstrak, dengan kata lain perlindungan konsumen sesungguhnya
identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak
konsumen”.40
Perlindungan konsumen dimaksudkan untuk melindungi hak-hak konsumen
dari perilaku curang yang dilakukan oleh pelaku usaha sebagai pihak yang
mempunyai kedudukan yang lebih kuat dari konsumen. Pelaku usaha diwajibkan
untuk melaksanakan kewajibannya dalam memproduksi suatu barang dan/atau
jasa sebagai suatu upaya untuk terwujudnya perlindungan terhadap hak-hak
konsumen. Pengaturan mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha ini untuk
menciptakan kenyamanan berusaha bagi pelaku usaha dan sebagai keseimbangan
atas hak dan kewajiban yang diberikan kepada konsumen, karena Undang-Undang
tentang Perlindungan Konsumen bukan semata-mata untuk membalikan
kedudukan konsumen dari kedudukan yang lemah menjadi kuat dan sebaliknya
pelaku usaha yang menjadi lemah.
Perlindungan konsumen dapat terwujud dengan pemenuhan hak-hak
konsumen yang dilakukan oleh pelaku usaha, selain itu konsumen sendiri juga
harus mempunyai kesadaran akan hak-haknya sebagai konsumen.
40
Shidarta, Op. Cit., hlm. 19.
92
Hak-hak konsumen yang terdapat dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
hak atas kenyamanan, keamanan, dan kesela matan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
hak untuk memilih barang dan/jasa serta mendapatkan barang dan/jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/jsa yang
digunakan;
hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang ditermia tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya;
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Masing-masing hak yang telah disebutkan di atas dapat diuraikan sebagai
berikut :
a.
hak
atas
kenyamanan,
keamanan,
dan
keselamatan
dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang dan jasa yang
ditawarkan kepadanya. Produk barang dan/atau jasa itu tidak boleh
membahayakan, sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani dan
rohani. Konsumsi obat sangat erat kaitannya dengan keamanan dan
keselamatan penggunanya. Mengkonsumsi obat yang aman dan bermutu
dapat menjaga kesehatan dan dapat dirasakan kemanfaatannya secara nyata,
selain itu keselamatannya pun akan terlindungi dari bahaya -bahaya yang
93
ditimbulkan dari obat yang mengandung bahan berbahaya dan tidak
memenuhi persyaratan.
Produk yang bermutu adalah produk yang memenuhi spesifikasi,
identitas dan karakteristik yang ditetapkan, dan produk yang aman adalah
produk yang tidak mengandung bahan-bahan yang dapat membahayakan
kesehatan dan keselamatan manusia seperti menimbulkan penyakit atau
keracunan.
Faktor kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
obat sangatlah penting. Obat pelangsing sebagai salah satu sediaan obat yang
dapat dikonsumsi oleh konsumen haruslah nyaman, aman dan tidak
membahayakan diri konsumen. Pelaku usaha yang memproduksi obat
pelangsing berbahaya dengan campuran bahan berbahaya seperti sibutramine
bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen akibat
menggunakan obat pelangsing berbahaya tersebut.
Pasal 4 huruf a Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen
menyebutkan bahwa salah satu hak konsumen yakni:
“Hak
atas
kenyamanan,
keamanan,
dan
keselamatan
dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa”.
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo berpendapat bahwa :
“Hak atas keamanan dan keselamatan dimaksudkan untuk menjamin
keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang atau
94
jasa yang diperolehnya sehingga terhindar dari kerugian fisik maupun
psikis apabila mengkonsumsi suatu produk”. 41
Berdasarkan data sekunder nomor 1.2.1 tentang pengamanan dan
penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan, data sekunder nomor 1.3.1
tentang persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan sediaan farmasi dan
alat kesehatan, data sekunder nomor 1.8.2 tentang izin edar, apabila dikaitkan
dengan Pasal 4 huruf a Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen,
pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, serta data primer nomor 2.1.1
tentang kerjasama antara Dinas Kesehatan dengan BPOM dalam melakukan
penilaian khasiat/manfaat, keamanan, mutu dan penandaan terhadap izin edar
obat supaya obat pelangsing yang beredar di masyarakat memang benar-benar
obat yang telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan, sesuai dengan
tujuan penggunaannya, dan tidak menimbulkan risiko yang membahayakan
dikarenakan adanya kandungan bahan berbahaya ataupun karena mutunya
rendah, maka dapat dideskripsikan bahwa secara normatif hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
berupa obat pelangsing sudah mendapatkan perlindungan hukum, namun
pada kenyataan yang ada di lapanga n, bahwa ternyata masih ada
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pelaku usaha, yakni masih
ada pelaku usaha yang memproduksi obat pelangsing dengan campuran bahan
berbahaya, sehingga sebagai konsumen pengguna obat pelangsing di
Kabupaten Banyumas belum memperoleh perlindungan secara maksimal atas
41
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit., hlm. 41.
95
haknya untuk mendapatkan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi obat pelangsing dikarenakan masih terdapat adanya campuran
dengan bahan berbahaya seperti sibutramine yang dapat membahayakan
keamanan serta keselamatan konsumen, sehingga konsumen akan merasa
dirugikan.
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan;
Hak untuk memilih ini dapat terwujud apabila konsumen dihadapkan
pada beberapa merek produk obat pelangsing, kemudian pada saat itulah
konsumen dapat memilih sesuai dengan keinginan dan kemampuannya
produk obat pelangsing mana yang akan dibelinya.
Pasal 4 huruf b Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen
menyebutkan bahwa salah satu hak konsumen yakni :
“Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan”.
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menyatakan bahwa :
“Hak memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada
konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai dengan
kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari pihak luar. Berdasarkan hak untuk
memilih ini konsumen berhak memutuskan untuk membeli tidak
terhadap suatu produk, demikian pula keputusan untuk memilih baik
kualitas maupun kuantitas jenis produk yang dipilihnya. Hak untuk
memilih yang dimiliki oleh konsumen hanya ada jika ada alternatif
pilihan dari jenis produk tertentu, karena jika suatu produk dikuasai
secara monopoli oleh suatu produsen atau dengan kata lain tidak ada
96
pilihan lain (baik bara ng maupun jasa), maka dengan sendirinya hak
untuk memilih ini tidak akan berfungsi”. 42
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai
hak dan kewajiban konsumen dalam memilih barang dan/atau jasa yakni
dalam Pasal 4 huruf b sebagai hak untuk memilih dan Pasal 5 huruf c sebagai
kewajiban untuk membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
terhadap barang dan/jasa yang telah dipilih oleh konsumen tersebut.
Peredaran produk obat pelangsing di Kabupaten Banyumas tidaklah
dilarang, dengan syarat obat pelangsing tersebut telah mempunyai izin edar,
memuat informasi dalam penandaan yang benar, dan dibuat sesuai dengan
CPOB. Obat pelangsing yang dilarang adalah obat pelangsing berbahaya
yang mengandung bahan berbahaya seperti sibutramine
yang efek
sampingnya
konsumen.
mengganggu
keamanan
dan
keselamatan
Pencantuman informasi dalam penandaan mengenai komposisi obat
pelangsing sangat diperlukan, dengan adanya informasi dalam penandaan
tersebut maka dapat memberikan kebebasan kepada konsumen untuk
memilih, serta supaya konsumen lebih mengenal dan mengetahui produk obat
pelangsing yang akan dikonsumsinya, sehingga setelah membaca informasi
yang terdapat dalam penandaan obat pelangsing tersebut konsumen dapat
memilih obat pelangsing mana yang akan dikonsumsinya dengan berdasarkan
pada kualitas dan kemampuannya untuk membayar.
Berdasarkan data sekunder nomor 1.5.1 tentang kriteria obat jadi dan
data sekunder nomor 1.9.2 tentang kewajiban penandaan dan informasi
42
Ibid., hlm. 42.
97
sediaan farmasi dan alat kesehatan, apabila dikaitkan dengan Pasal 4 huruf b
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen serta pendapat dari
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, didukung dengan data primer nomor 2.1.2
tentang pengawasan dibidang obat dan makanan untuk menjamin agar obat
dan makanan aman, bermanfaat dan bermutu yang dilakukan oleh Dinas
Kesehatan, maka dapat dideskripsikan bahwa secara normatif hak konsumen
untuk memilih barang dan/atau jasa sudah terpenuhi, karena konsumen dalam
hal ini sudah diberikan kebebasan untuk memilih obat pelangsing mana yang
akan dikonsumsinya dengan berdasarkan pada kualitas dan kemampuan nilai
tukarnya untuk membayar. Konsumen sebagai pengguna obat pelangsing di
sini selain mendapat jaminan dari pelaku usaha bahwa produknya aman untuk
dikonsumsi, juga mendapat jaminan dari Dinas Kesehatan karena telah
melakukan pengawasan terhadap peredaran obat serta menjamin bahwa obat
pelangsing yang beredar di masyarakat adalah obat pelangsing yang aman,
bermanfaat dan bermutu, sehingga konsumen dapat menggunakan haknya
untuk memilih obat pelangsing mana yang akan dikonsumsinya, lain halnya
yakni obat pelangsing berbahaya yang dapat beredar di masyarakat
dikarenakan produk obat pelangsing tersebut tidak melalui pengujian dari
BPOM dan beredar di masyarakat secara ilegal serta biasanya tidak
mempunyai izin. Artinya, bahwa hak konsumen untuk memilih obat
pelangsing yang akan digunakan atau dikonsumsinya sudah terpenuhi,
dengan pencantuman informasi da n penandaan pada obat pelangsing maka
98
konsumen dapat berpikir dan memilih produk obat pelangsing yang akan
dikonsumsinya.
c.
hak atas informasi yang benar, jelas, dan ju jur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
Hak konsumen ini merupakan suatu kewajiban bagi pelaku usaha untuk
memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan
barang
dan/atau
jasa
serta
memberi
penjelasan
mengenai
penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, karena pemberian informasi
disamping
merupakan
hak
konsumen,
juga
karena
ketiadaan
atau
ketidakjelasan informasi dari pelaku usaha merupakan salah satu cacat produk
yang merugikan konsumen.
Informasi dan penandaan tentang produk obat pelangsing sangat
memegang peranan penting, karena informasi yang benar dan jujur
merupakan kebutuhan pokok bagi konsumen sebelum konsumen itu
mengambil suatu keputusan untuk membeli atau tidak obat pelangsing
tersebut. Informasi yang setengah benar, menyesatkan apalagi menipu,
dengan sendirinya menghasilkan keputusan yang dapat menimbulkan
kerugian materiil atau bahkan membahayakan kesehatan tubuh atau jiwa
konsumen yang salah membeli produk obat pelangsing berbahaya itu.
Informasi yang tercantum dalam penandaan produk obat pelangsing
merupakan salah satu cara bagi pelaku usaha untuk melakuka n keterbukaan
informasi dan merupakan hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang
benar, jelas dan jujur.
99
Pasal 4 huruf c Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen
menyebutkan bahwa salah satu hak konsumen yakni :
“Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa”.
Pasal 7 huruf b Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen
menyebutkan bahwa salah satu kewajiban pelaku usaha yakni :
“Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan”.
Tujuan dengan adanya informasi dalam suatu produk adalah untuk
memberikan tentang kejelasan agar konsumen dapat mengenal suatu barang
dan/atau jasa yang diedarkan di masyarakat. Kejelasan mengenai informasi
suatu barang dan/atau jasa dapat menciptakan sistem perlindungan konsumen
yang mengandung unsur kepastian hukum.
Pasal 3 huruf d Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen
menyebutkan bahwa salah satu tujuan perlindungan konsumen antara lain
adalah :
“Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi”.
Shidarta berpendapat bahwa:
“Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai
informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak
sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan/atau
jasa. Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti
100
secara lisan kepada konsumen melalui iklan, berbagai media, atau
mencantumkan dalam kemasan produk (barang)”.43
Berdasarkan data sekunder nomor 1.1.3 angka 3 tentang pengert ian
mengenai penandaan, data sekunder nomor 1.9.1; 1.9.2; 1.9.3 tentang
penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan, apabila
dikaitkan dengan Pasal 3 huruf d, Pasal 4 huruc c, dan Pasal 7 huruf b
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen serta pendapat Shidarta,
maka dapat dideskripsikan bahwa secara normatif hak konsumen atas
informasi yang benar, jelas, dan jujur sudah mendapatkan perlindungan
hukum, namun pada kenyataannya masih ada pelaku usaha yang
memproduksi obat pelangsing denga n campuran bahan berbahaya seperti
sibutramine yang sebenarnya hal tersebut tidak boleh untuk dilakukan, dan
juga mengenai komposisi obat pelangsing sering tidak dicantumkan dalam
informasi dan penandaan, sehingga konsumen sebagai pengguna produk obat
pelangsing berbahaya belum mendapatkan perlindungan hukum secara
maksimal karena tidak adanya kejelasan informasi mengenai kandungan obat
pelangsing yang di dalamnya mengandung bahan berbahaya seperti
sibutramine dimana sebenarnya tidak boleh digunakan sebagai campuran
karena dosisnya belum tentu tepat. Pelaku usaha yang pada penandaan produk
obatnya tidak mencantumkan mengenai tanggal produksi dan kadaluwarsa
obat, efek samping bahkan tidak memberikan kejelasan informasi mengenai
komposisi obat pelangsing, dimana ternyata dalam obat pelangsing tersebut
terdapat campuran dengan bahan berbahaya bagi keamanan dan keselamatan
43
Shidarta, Op. Cit., hlm. 23.
101
konsumen, hal tersebut dapat merugikan konsumen karena informasi yang
benar, jelas dan jujur mengenai obat pelangsing tidak didapatkan. Artinya,
hak konsumen sebagai pengguna obat pelangsing berbahaya untuk
mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa belum terpenuhi secara maksimal.
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
Hak ini erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi, karena
konsumen dapat menyampaikan keluhannya mengenai suatu produk barang
dan/atau jasa kepada pemerintah atau pelaku usaha yang dapat disebabkan
karena kurangnya informasi mengenai produk yang menyebabkan konsumen
dapat mengalami kerugian.
Hak untuk didengar pendapatnya dapat disampaikan secara perseorangan
maupun secara kolektif, baik yang disampaikan secara langsung maupun
diwakili oleh suatu lembaga tertentu.
Pasal 4 huruf d Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen
menyebutkan bahwa salah satu hak konsumen yakni :
“Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan”.
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo berpendapat bahwa :
“Hak untuk didengar dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hak yang
berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila informasi yang
diperoleh tentang produk tersebut kurang memadai, ataukah berupa
pengaduan adanya kerugian yang dialami akibat penggunaan suatu
102
produk atau berupa pernyataan atau pendapat tentang suatu kebijakan
pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan konsumen”.44
Berdasarkan data sekunder nomor 1.14.1; 1.14.2 tentang peran serta
masyarakat bila dikaitkan dengan Pasal 4 huruf d Undang-Undang tentang
Perlindungan Konsumen, serta pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo
dan didukung dengan data primer nomor 2.1.5 tentang adanya Unit Layanan
Pengaduan Konsumen Obat dan Makanan (ULPK) BPOM yang menampung
segala bentuk pengaduan konsumen akibat terjadinya kerugian dari
penggunaan obat pelangsing yang membahayakan kesehatan konsumen, serta
data primer nomor 2.2.6 tentang pengaduan konsumen yang dirugikan akibat
penggunaan barang yang dibelinya secara on-line dapat mengadukannya
kepada Dinas Perdagangan dengan membawa produk barang yang dalam hal
ini adalah obat pelangsing berbahaya dan membawa bukti transaksi, maka
dapat dideskripsikan bahwa hak konsumen untuk didengar pendapat dan
keluhannya atas barang berupa produk obat pelangsing berbahaya di
Kabupaten Banyumas telah terpenuhi.
e. hak
untuk
mendapatkan
advokasi,
perlindungan,
dan
upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa ini berkaitan dengan pemberian ganti rugi kepada konsumen yang
mengalami kerugian akibat mengkonsumsi dan/atau menggunakan barang
yang dalam hal ini adalah produk obat pelangsing.
44
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit., hlm. 43.
103
Pasal 4 huruf e Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen
menyebutkan bahwa salah satu hak konsumen yakni :
“Hak
untuk
mendapatkan
advokasi,
perlindungan,
dan
upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut”.
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo berpendapat bahwa :
“Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum secara patut
dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen yang telah dirugikan
akibat penggunaan produk, dengan melalui jalur hukum”.45
Berdasarkan data sekunder nomor 1.18.1 tentang sanksi administratif,
bila dikaitkan dengan Pasal 4 huruf e Undang-Undang tentang Perlindungan
Konsumen serta pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dan didukung
dengan data primer nomor 2.1.7 tentang penyelesaian sengketa konsumen di
Kabupaten Banyumas diselesaikan melalui peradilan yang berada di
lingkungan peradilan umum maupun penyelesaian secara damai karena di
Kabupaten Banyumas belum terdapat Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK), dan data primer nomor 2.2.3 dimana Dinas Perdagangan
memberikan fasilitas mediasi antara pelaku usaha yang memproduksi obat
pelangsing berbahaya dengan konsumen pengguna obat pelangsing apabila
kasusnya tidak mau untuk dibawa ke jalur hukum, jadi Dinas Perdagangan
mempunyai fasilitas penyelesaian sengketa di luar pengadilan, maka dapat
dideskripsikan bahwa di Kabupaten Banyumas hak konsumen sebagai
45
Ibid., hlm. 46.
104
pengguna
obat
pelangsing
ber bahaya
untuk
memperoleh
advokasi,
perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa konsumen telah terpenuhi.
f.
hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
Setiap orang sudah menjadi konsumen sejak ia dilahirkan, namun masih
banyak konsumen yang belum mengetahui dan mengerti arti penting dari
perlindungan konsumen itu sendiri. Adanya pemenuhan terhadap hak-hak
konsumen inilah maka perlindungan konsumen dapat terwujud.
Pasal 4 huruf f Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen
menyebutkan bahwa salah satu hak konsumen yakni :
“Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen”.
Shidarta mengatakan bahwa :
“Masalah perlindungan konsumen di Indonesia termasuk masalah yang
baru. Oleh karena itu, wajar bila masih banyak konsumen yang belum
menyadari hak-haknya. Kesadaran akan hak tidak dapat dipungkiri
sejalan dengan kesadaran hukum. Makin tinggi tingkat kesadaran hukum
masyarakat, makin tinggi penghormatannya pada hak-hak dirinya dan
orang lain. Upaya pendidikan konsumen tidak selalu harus melewati
jenja ng pendidikan formal tetapi dapat melalui media massa dan kegiatan
lembaga swadaya masyarakat”. 46
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menyatakan bahwa :
“Hak tersebut dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan
maupun keterampilan yang diperlukan agar dapat terhindar dari kerugian
akibat penggunaan produk, karena dengan pendidikan konsumen
tersebut, konsumen akan dapat menjadi lebih kritis dan teliti dalam
memilih produk yang dibutuhkan”.47
Berdasarkan data sekunder nomor 1.15.1 tentang pembinaan sediaan
farmasi dan alat kesehatan, apabila dikaitkan dengan Pasal 4 huruf f Undang-
46
47
Shidarta, Op. Cit., hlm. 33.
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm. 44.
105
Undang tentang Perlindungan Konsumen dan pendapat Shidarta serta
pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo didukung dengan data primer
nomor 2.2.2 tentang pembinaan dan pendidikan yang dilakukan dengan
melakukan penyuluhan kepada masyarakat, maka dapat dideskripsikan bahwa
di Kabupaten Banyumas hak konsumen untuk mendapat pembinaan dan
pendidikan konsumen telah terpenuhi. Adanya penyuluhan yang dilakukan
oleh dinas merupakan salah satu bentuk pembinaan dan pendidikan kepada
konsumen, karena pendidikan konsumen yang dimaksud bukanlah jenjang
pendidikan secara formal, sehingga dengan adanya penyuluhan yang
dilakukan oleh dinas maka kesadaran konsumen terhadap hak-haknya akan
semakin meningka t.
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
Pasal 4 huruf g Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen
menyebutkan bahwa salah satu hak konsumen yakni :
“Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif”.
Pasal 7 huruf c Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen
menentukan bahwa :
“Pelaku usaha harus memperlakukan atau melayani konsumen secara
benar dan jujur serta tidak diskriminatif”.
Penjelasan Pasal 7 huruf c Undang-Undang tentang Perlindungan
Konsumen menyatakan bahwa :
106
“Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan
pelayanan. Pelaku usaha dilarang membeda -bedakan mutu pelayanan
kepada konsumen”.
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menentukan bahwa :
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli
yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang
harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama”.
Berdasarkan data sekunder nomor 1.9.2 tentang kewajiban untuk
mencantumkan penandaan dan informasi pada kemasan sediaan farmasi dan
alat kesehatan, apabila dikaitkan dengan Pasal 4 huruf g, Pasal 7 huruf c
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, dan Pasal 6 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, maka dapat dideskripsikan bahwa di
Kabupaten Banyumas hak konsumen pengguna obat pelangsing untuk
diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
sudah terpenuhi. Adanya pelarangan untuk membuat perjanjian antara
pembeli obat pelangsing dengan pelaku usaha yang mengakibatkan pembeli
obat pelangsing yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari
harga yang seharusnya dibayar oleh pembeli obat pelangsing lain untuk
barang yang sama yakni obat pelangsing, artinya bahwa pelaku usaha
dilarang untuk melakukan praktik diskriminatif terhadap konsumen dalam
melakukan kegiatan usahanya. Hak konsumen pengguna obat pelangsing
107
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif sudah terpenuhi, karena pelaku usaha dilarang untuk melakukan
perjanjian dengan konsumen obat pelanging yang menyebabkan konsumen
obat pelangs ing lain membayar harga yang berbeda untuk produk obat
pelangsing yang sama.
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian
merupakan hak konsumen yang menderita kerugian sebagai akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha.
Kerugian yang dialami oleh konsumen dalam hal ini bukan hanya kerugian
materi saja, tetapi kerugian fisik juga seperti sakit, cacat atau bahkan
kematian. Konsumen yang mengalami kerugian baik materi maupun kerugian
fisik sebagai akibat mengkonsumsi obat pelangsing yang mengandung bahan
berbahaya yakni seperti sibutramine dapat meminta ganti rugi kepada pelaku
usaha.
Pasal 4 huruf h Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen
menyebutkan bahwa salah satu hak konsumen yakni :
“Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya”.
108
Pasal 7 huruf f Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen
menyebutkan salah satu kewajiban konsumen adalah :
“Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atau kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan”.
Ganti rugi juga diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi :
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan,
pencemaran
dan/atau
kerugian
konsumen
akibat
mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan;
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau
pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 1365 KUHPerdata menjelaskan bahwa :
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada
seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Shidarta menyatakan bahwa :
109
“Jika konsumen merasakan kuantitas dan kualitas barang dan/jasa yang
dikonsumsi tidak sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, ia berhak
mendapatkan ganti kerugian yang pantas”.48
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menyatakan bahwa :
“Hak atas ganti kerugian dimaksud untuk memulihkan kesehatan yang
telah menjadi rusak (tidak seimbang) akibat adanya penggunaan barang
dan/atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini sangat
terkait dengan penggunaan produk yang telah merugikan konsumen, baik
yang berupa kerugia n materi, maupun kerugian yang menyangkut diri
(sakit, cacat, bahkan kematian) konsumen. Untuk merealisasikan hak ini
tentu saja harus melalui prosedur tertentu, baik yang diselesaikan secara
damai (di luar pengadilan) maupun yang diselesaikan melalui
pengadilan”.49
Berdasarkan data sekunder nomor 1.13.1 tentang tanggung jawab pelaku
usaha untuk menarik kembali sediaan farmasi dan alat kesehatan dari
peredaran karena dicabut izin edarnya, data sekunder nomor 1.17.1 tentang
ganti rugi apabila sediaan farmasi dan alat kesehatan yang digunakan
mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat atau kematian, apabila
dikaitkan dengan Pasal 4 huruf h dan Pasal 7 huruf f Undang-Undang tentang
Perlindungan Konsumen, dan Pasal 1365 KUHPerdata, serta pendapat
Shidarta, pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo didukung dengan data
primer nomor 2.1.8 tentang penggantian kerugian yang dialami konsumen
ditanggung oleh pelaku usaha, maka dapat dideskripsikan bahwa di
Kabupaten Banyumas hak konsumen sebagai pengguna obat pelangsing
berbahaya untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian
telah terpenuhi, yang dikarenakan obat pelangsing yang diterima tidak
48
49
Shidarta, Op. Cit., hlm. 28.
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm. 44.
110
sebagaimana mestinya
seperti yang diharapkan konsumen, sehingga
menimbulkan kerugian kepada konsumen.
Hubungan hukum yang terjadi antara pelaku usaha dengan konsumen
menimbulkan adanya hak dan kewajiban baik bagi konsumen maupun pelaku
usaha, sehingga konsumen pengguna obat pelangsing berbahaya yang merasa
haknya dilanggar dan dirugikan dapat mengajukan tuntutan ganti rugi kepada
pelaku usaha yang telah menerbitkan kerugian tersebut. Konsumen yang
mengalami kerugian akibat penggunaan obat pelangsing yang mengandung
bahan berbahaya seperti sibutramine akan mendapatkan penggantian kerugian
apabila terbukti kerugian konsumen berupa terganggunya keamanan dan
keselamatan
konsumen tersebut merupakan akibat dari kesalahan yang
dilakukan oleh pelaku usaha , maka dalam hal seperti ini pelaku usaha wajib
untuk memberikan penggantian kerugian kepada konsumen pengguna obat
pelangsing berbahaya yang dirugikan. Hak konsumen untuk mendapat
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila produk obat pelangsing
yang dikonsumsi menimbulkan kerugian di Kabupaten Banyumas telah
terpenuhi. Artinya, apabila obat pelangsing yang dikonsumsi oleh konsumen
terbukti mengandung bahan berbahaya seperti sibutramine dan merugikan
keamanan serta keselamatan konsumen ma ka konsumen yang dirugikan
berhak mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas obat
pelangsing yang merugikan keamanan dan keselamatan konsumen.
Berdasarkan pada masing-masing hak konsumen yang sudah dijelaskan ada
dua hak konsumen sebagai pengguna obat pelangsing yang masih belum terpenuhi
111
secara maksimal, yakni Pasal 4 huruf a tentang hak atas kenyamanan, kemanan,
dan keselamata n dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa serta Pasal 4 huruf c
tentang hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa, karena pada kenyataannya masih ada pelaku usaha
yang memproduksi obat pelangsing berbahaya dengan campuran bahan berbahaya
seperti sibutramine yang efeknya dapat mengganggu keamanan dan kesehatan
konsumen, sehingga konsumen pengguna obat pelangsing berbahaya ini akan
merasa dirugikan.
Bentuk perlindungan hukum untuk konsumen yang mengalami kerugian
sebagai akibat dari mengkonsumsi atau menggunakan obat pelangsing berbahaya
dengan campuran bahan berbahaya sibutramine dapat meminta ganti rugi kepada
pelaku usaha yang telah menerbitkan kerugian tersebut. Ganti rugi yang diberikan
merupakan pertanggungjawaban pelaku usaha kepada konsumen sebagai bentuk
adanya hubungan hukum yang terjadi antara konsumen dengan pelaku usaha, baik
hubungan langsung atau pun hubungan tidak langsung, dimana pelaku usaha telah
melanggar hak konsumen dengan melakukan perbuatan melawan hukum karena
telah memproduksi atau menjual produk obat pelangsing berbahaya dengan
campuran bahan berbahaya seperti sibutramine yang efeknya dapat mengganggu
keamanan dan keselamatan konsumen, sehingga konsumen merasa dirugikan.
112
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan data, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna obat
pelangsing berbahaya di Kabupaten Banyumas sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
khususnya Pasal 4 mengenai hak-hak konsumen belum sepenuhnya terpenuhi,
karena masih ada hak konsumen yang belum sepenuhnya terpenuhi secara
maksimal. Hak-hak konsumen yang masih belum terpenuhi secara maksimal
adalah Pasal 4 huruf a tentang hak konsumen atas kenyamanan, kemanan, dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa serta Pasal 4 huruf c
tentang hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa, walaupun secara normatif sudah diatur mengenai
perlindungan konsumen namun masih ada pelaku usaha yang menyimpangi dan
belum melaksana kan peraturan tersebut. Hak konsumen yang belum terpenuhi
secara maksimal yang menyebabkan konsumen merasa dirugikan dapat meminta
ganti rugi kepada pelaku usaha yang menerbitkan kerugian tersebut sebagai
bentuk pertanggungjawaban sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
113
B. Saran
Konsumen hendaknya untuk lebih berhati-hati dalam memilih barang
dan/atau jasa yang akan dikonsumsinya, serta lebih mengerti dan memahami
terhadap hak-haknya sebagai konsumen supaya dapat terhindar dari kerugian.
Pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya juga harus menaati
syarat-syarat serta ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundangundangan, supaya tidak ada lagi konsumen yang merasa dirugika n karena hakhaknya telah dilanggar.
114
DAFTAR PUSTAKA
Literatur :
Gunawan, Johanes. 1994. “Produk Liability” dalam Hukum Bisnis Indonesia .
Jakarta : Projustisia, Tahun XII.
Kansil, CST. 1997. Pengantar Hukum Indonesia (Cetakan Ke-6). Jakarta : Balai
Pustaka.
Kristiyanti, Celina Tri Siwi. 2009. Hukum Perlindungan Konsumen . Jakarta: Sinar
Grafika.
Mertokusumo, Sudikno. 2003. Mengenal Hukum Suatu Pengantar (Edisi Ke-5).
Yogyakarta : Liberty Yogyakarta.
Miru, Ahmadi dan Sutarma Yodo. 2011. Hukum Perlindungan Konsumen.
Jakarta: Rajawali Pers.
Miru, Ahmadi. 2013. Prinsip -Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di
Indonesia (Edisi I, Cetakan Ke-2). Jakarta : Rajawali Pers.
Nasution, Az. 1995. Konsumen dan Hukum. Jakarta : CV. Muliasari.
-----------------. 2001. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta:
Diadit Media.
Shidarta. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen . Jakarta : Grasindo.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 1985. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali.
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri.
Jakarta: PT. Ghalia Indonesia.
Susanto, Happy. 2008. Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan. Jakarta: Visi Media.
Sutedi, Adrian. 2008. Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan
Konsumen. Jakarta : PT. Ghalia Indonesia.
Suyadi. 2007. Buku Ajar Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Konsumen . Fakultas
Hukum Unsoed. Purwokerto.
Syawali, Husni dan Neni Sri Imaniyati, ed. 2000. Hukum Perlindungan
Konsumen. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
115
Wignojodipuro, Surojo. 1974. Pengantar Ilmu Hukum. Alumni, Bandung.
Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang Obat Keras (St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 949/Menkes/Per/VI/2000
tentang Registrasi Obat Jadi
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1799/Menkes/Per/XII/2010
tentang Industri Farmasi
Literatur lain :
https://yosefw.wordpress.com/2009/03/20/usir-gemuk-dengan-obat-2/,diakses
tanggal 20 November 2014.
http://dentalhealthridhafajarnugroho.blogspot.com/2013/03/penggolongan-obatmenurut -uu-farmasi.html, diakses tanggal 26 November 2014.
http://senyumbunda.com/page -blog/waspada-obat-pelangsing-berbahaya -beredardi-sekitar-anda/, diakses yanggal 26 November 2014.
http://m.tabloidnova.com/Nova/Kesehatan/Diet/Zat-Kimia -Pada-Obat-PelangsingIni-Berbahaya , diakses tanggal 26 November 2014.
Download