i PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA OBAT PELANGSING BERDASARKAN PASAL 4 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Disusun oleh : OKY WASRIKANINGRUM E1A011065 KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015 ii PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA OBAT PELANGSING BERDASARKAN PASAL 4 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SKRIPSI Disusun oleh : OKY WASRIKANINGRUM E1A011065 KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015 iii LEMBAR PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA OBAT PELANGSING BERDASARKAN PASAL 4 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Disusun Oleh : OKY WASRIKANINGRUM E1A011065 Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Diterima dan Disahkan Pada Tanggal : Februari 2015 Pembimbing I/ Penguji I Pembimbing II/ Penguji II Penguji III Hj. Rochani U.S., S.H.,M.S. NIP. 19520603 198003 2 001 H. Suyadi, S.H.,M.Hum. NIP. 19611010 198703 1 001 Agus Mardianto, S.H.,M.H. NIP. 19650831 200312 1 001 Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum. NIP. 19640923 198901 1 001 iv PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul : “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA OBAT PELANGSING BERDASARKAN PASAL 4 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN” Yang diajukan untuk memenuhi persyaratan meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto merupakan hasil karya saya sendiri dan semua data yang terdapat di dalam skripsi ini dapat saya pertanggungjawabkan secara hukum. Demikian pernyataan ini saya buat jika kemudian hari terbukti bahwa skripsi saya ini tidak sesuai dengan pernyataan saya tersebut di atas, saya bersedia menerima semua sanksi yang akan dijatuhkan termasuk penca butan gelar sarjana yang telah saya peroleh. Purwokerto, Februari 2015 Oky Wasrikaningrum E1A011065 v ABSTRAK Penelitian ini berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Pengguna Obat Pelangsing Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen”. Latar belakang masalah penelitian ini adalah hak-hak konsumen sebagai pengguna obat pelangsing yang masih belum terpenuhi secara maksimal dikarenakan saat ini masih ada pelaku usaha yang memproduksi obat pelangsing berbahaya dengan campuran bahan berbahaya seperti sibutramine yang dapat merugikan keamanan dan keselamatan konsumen. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi legistis posivistis. Metode analisis yang digunakan adalah normatif kualitatif. Penelitian ini dilakukan di Dinas Kesehatan dan Dinas Perdagangan Kabupaten Banyumas, serta Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum dan UPT Perpustakaan Universitas Jenderal Soedirman. Berdasarkan hasil penelitian bahwa Dinas Kesehatan bekerjasama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan telah berupaya memberikan perlindungan hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun mengenai hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa belum terpenuhi secara maksimal karena masih ada pelaku usaha yang memproduksi obat pelangsing berbahaya dengan tidak mematuhi peraturan yang ada dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan. Mengenai ha k atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa yang digunakan juga belum terpenuhi secara maksimal, karena masih ada pelaku usaha yang memproduksi obat pelangsing berbahaya dengan tidak mencantumkan komposisi atau komponen obat dalam penandaan obat pelangsing sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 28 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan mengenai syarat-syarat pencantuman penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan secara obyektif, lengkap serta tidak menyesatkan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut hendaknya pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya harus menaati syarat-syarat serta ketentuanketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, supaya tidak ada lagi konsumen yang merasa dirugikan karena hak-haknya telah dilanggar. Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Konsumen, Obat Pelangsing. vi ABSTRACT This research entitles “The Law Protection to the Consumer of the Slim Medicine User Based on the Article 4 Ordinance Number 8 in 1999 about the Consumer Protection”. The background of the problem in this research is the consumers rights as the slim medicine user that still has not been fulfilled maximally it is caused recently there still the businessman who produces the dangerous slim medicine with the dangerous ingredient mixture such as sibutramine that can damage the security and consumer safety. Method of approach in this research uses the method of normative juridical, it is the approach that uses the conception of legistis positivis. Method of analysis uses the qualitative normative. This research was conducted in the Department of Health and Department of Trade in the Regency of Banyumas, and the Scientific Central Information in the Faculty of Law and UPT Library in the Jenderal Soedirman University. Based on the result of research that the Department of Health cooperates with the Board of Medicine and Food Controlling has tried to give the law protection as explained in the Article 4 Ordinance Number 8 in 1999 about the Consumer Protection, but about the right and comfort, and safety in using the goods and/service before being fulfilled maximally because ther e is still businessman that produces the dangerous slim medicine without obeying the regulation in the Government Regulation in Republic of Indonesia Number 72 in 1998 about the Safety Pharmacy Supply and Health tool. About the information right which is trusted, clear and honest about the condition and guarantee the good and/or service that is used it also has not be fulfilled maximally, because there is the business actor that produces the dangerous slim medicine without explaining the composition or component of medicines in the slim medicine where it is regulated in the regulation in Article 28 Government Regulation in Republic of Indonesia Number 72 in 1998 about the Pharmacy Supply Safety and Health Tool about the explanation requirement and information of the pharmacy and health tool objectively, detail and not cheating. Based on the result of research it is supposed to the businessman in running their business activities must obey the conditions and regulation in the regulation of Ordinance and there is no any consumers that feel being cheated because their rights have been broken. Keywords : Law Protection, Consumer, Slim Medicine. vii DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL ...................................................................................... i HALAMAN JUDUL ......................................................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ iii SURAT PERNYATAAN .................................................................................. iv ABSTRAK ......................................................................................................... v ABCTRACT ...................................................................................................... vi PRAKATA ......................................................................................................... vii DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ................................................................................ 9 C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 9 D. Kegunaan Penelitian ............................................................................ 10 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perlindungan Hukum ........................................................................... 11 B. Hukum Perlindungan Konsumen 1. Perlindungan Konsumen ............................................................... 13 2. Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen ............ 14 3. Tujuan Perlindungan Konsumen .................................................. 15 4. Para Pihak dalam Perlindungan Konsumen .................................. 17 5. Konsumen ..................................................................................... 20 6. Pelaku Usaha ................................................................................ 24 7. Hak dan Kewajiban ....................................................................... 25 viii 8. Hubungan Hukum antara Konsumen dengan Pelaku Usaha ........ 28 9. Perbuatan yang dilarang Bagi Pelaku Usaha ................................ 31 10. Tanggung Jawab Pelaku Usaha .................................................... 33 11. Sumber Hukum Perlindungan Konsumen .................................... 36 C. Obat 1. Definisi ......................................................................................... 41 2. Obat Pelangsing ............................................................................ 49 BAB III. METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan .............................................................................. 56 B. Spesifikasi Penelitian ........................................................................... 56 C. Lokasi Penelitian ................................................................................. 56 D. Sumber Data ........................................................................................ 57 E. Metode Pengumpulan Data .................................................................. 58 F. Metode Penyajian Data ........................................................................ 58 G. Metode Analisis Data ........................................................................... 58 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian .................................................................................... 59 B. Pembahasan ......................................................................................... 82 BAB V. PENUTUP A. Simpulan ............................................................................................... 112 B. Saran .................................................................................................... 113 DAFTAR PUSTAKA 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konsumen merupakan pihak yang sangat berperan dalam perkembangan dunia perdagangan. Hampir setiap orang menjadi konsumen bahkan pelaku usaha sekali pun dapat menjadi konsumen dalam memenuhi kebutuhan untuk kehidupannya sehari-hari. Kedudukan konsumen di Indonesia saat ini masih lemah jika dibandingkan dengan pelaku usaha, meskipun sudah ada peraturan yang mengatur mengenai perlindungan konsumen, tetapi masih ada pelaku usaha yang menyimpang dari peraturan dalam melakukan kegiatan usahanya yang dapat merugikan konsumen. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa: “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Akhir -akhir ini sering terdengar masalah yang berkaitan dengan konsumen, dimulai dari hak-hak konsumen yang tidak terpenuhi dan sering terabaikan oleh pelaku usaha atau pun dari sikap pelaku usaha yang berbuat curang dalam menjalankan kegiatan usahanya. Konsumen yang haknya tidak terpenuhi akan merasa dirugikan dan hal inilah yang membuat permasalahan dalam perlindungan konsumen tidak kunjung selesai. 2 Kerugian-kerugian yang dialami konsumen dapat ditimbulkan sebagai akibat dari adanya hubungan hukum perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen, maupun akibat dari adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha. Tidak hanya itu, kerugian yang dialami konsumen juga dapat disebabkan karena kurang kritisnya konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang ditawarkan. Hal tersebut bisa terjadi karena adanya tingkat pendidikan konsumen yang rendah, sedangkan teknologi komunikasi semakin maju, kondisi seperti ini pula yang dapat dimanfaatka n oleh pelaku usaha untuk memberikan informasi yang tidak benar atau bahkan menyesatkan tentang produk yang dipasarkan dan menggunakan segala cara agar produknya dapat terjual di pasaran. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa : “Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”. Semakin hari jumlah pelaku usaha semakin meningkat, hal ini juga dapat menyebabkan adanya persaingan yang semakin ketat antar pelaku usaha, dimana mereka melakukan berbagai cara supaya produknya dapat terjual di pasaran tanpa memperhatikan apakah ada hak konsumen yang dilanggarnya atau tidak. Pelaku usaha dalam melakukan kegiatan usahanya sebagai pihak yang kuat diharapkan mampu untuk beritikad baik dalam memberikan pelayanan kepada konsumen dan jangan hanya untuk mengejar keuntungan semata. 3 Tidak hanya dilihat dari sisi konsumen dan pelaku usaha saja, perkembangan zaman juga mempengaruhi adanya sengketa dalam perlindungan konsumen, yakni di era globalisasi saat ini dengan adanya perdagangan bebas membuat banyak produk barang atau pelayanan jasa bermunculan. Produk barang yang dihasilkan oleh para pelaku usaha menjadi beraneka ragam dan dikemas sedemikian rupa untuk menarik perhatian konsumen. “Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang atau jasa dengan cara seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Semua cara pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak termasuk keadaan yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak terpuji yang berawal dari itikad buruk. Dampak buruk yang lazim terjadi antara lain, menyangkut kualitas, atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan, pemalsuan, dan sebagainya.” 1 Konsumen diharapkan untuk lebih berhati- hati dan pintar dalam memilih barang dan/atau jasa yang akan dibeli atau dikonsumsi, jika tidak berhati-hati dalam memilih produk barang dan/atau jasa maka konsumen hanya akan menjadi objek yang akan dimanfaatkan oleh pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab, dimana konsumen hanya akan menerima begitu saja barang dan/atau jasa yang akan dikonsumsinya meskipun informasinya tidak jelas bahkan menyesatkan mengenai barang dan/atau jasa tersebut. Permasalahan yang dihadapi konsumen sebenarnya tidak hanya sekedar bagaimana memilih barang dan/atau jasa yang diinginkan, tetapi jauh lebih dari itu yakni menyangkut pada kesadaran semua pihak antara lain baik pengusaha, 1 Sri Redjeki Hartono, Makalah Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam buku Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung : Mandar Maju, hlm. 34 4 pemerintah maupun konsumen itu sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen. Menurut Adrian Sutedi bahwa: “Perlindungan konsumen yang dijamin oleh Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen, yang bermula dari “benih hidup dalam rahim ibu sampai dengan tempat pemakaman dan segala kebutuhan di antara keduanya.” 2 Perlindungan konsumen merupakan bagian yang tidak terpisahka n dari kegiatan perekonomian yang sehat, dimana dalam kegiatan perekonomian yang sehat terdapat adanya keseimbangan perlindungan hukum antara konsumen dengan pelaku usaha. Artinya, apabila tidak ada perlindungan yang seimbang antara konsumen dengan pelaku usaha maka akan menyebabkan konsumen berada pada posisi atau kedudukan yang lemah. Pelaku usaha hendaknya menyadari bahwa mereka harus menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman untuk digunakan atau dikonsumsi, mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang sesuai. Menurut hukum positif di Indonesia, perlindungan hukum terhadap konsumen sudah diatur dalam undang-undang tersendiri yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun pada kenyata annya konsumen di Indonesia saat ini belum merasa cukup terlindungi, karena masih ada pelaku usaha yang melakukan berbagai macam penyimpangan dalam melakukan kegiatan usahanya. 2 Adrian Sutedi, 2008, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, hlm. 9. 5 Masih ada pelaku usaha yang dalam menjalankan kegiatan usahanya menghasilkan produk-produk yang justru membahayakan konsumen, contohnya adalah seperti memproduksi produk obat pelangsing berbahaya. Obat pelangsing dikatakan berbahaya karena terdapat campuran dengan bahan berbahaya seperti sibutramine yang efeknya dapat mengga nggu keamanan dan keselamatan konsumen, karena penggunaan dosis yang belum tentu tepat. Berbagai cara dilakukan seperti melakukan penawaran dengan kata-kata yang menarik perhatian konsumen, melalui iklan dengan kata -kata yang begitu meyakinkan, menggunakan model sebagai contoh dalam iklannya yang sebenarnya itu tidak benar karena model yang digunakan hanyalah untuk mempengaruhi konsumen supaya berkeinginan untuk membeli produk obat pelangsing tersebut. Sekarang ini kehidupan masyarakat memang banyak mengalami perubahan, salah satunya adalah bahwa seseorang akan lebih percaya diri apabila memiliki postur tubuh yang langsing. Kodrat wanita untuk selalu mempercantik dan memperindah tubuh itulah yang menjadi sasaran pelaku usaha yang memproduksi alat-alat kecantikan untuk memasarkan produknya , termasuk produk-produk obat pelangsing ilegal. Seorang wanita yang memiliki tubuh terlalu gemuk maka akan terganggu kegesitannya dan memang terkesan kurang menarik saat dipandang. Tren “langsing” seperti menjadi suatu keharusan terutama bagi seorang wanita, sehingga bagi sebagian orang diantaranya wanita tidak dapat dipungkiri usaha untuk memiliki tubuh dengan berat badan ideal adalah dambaan. Adanya persepsi yang seperti ini juga dapat menjebak konsumen, yakni untuk mendapatkan postur tubuh langsing sesuai dengan keinginan maka berbagai cara dilakukan seperti diet 6 ketat, olahraga secara rutin, bahkan dengan cara instan sekali pun yakni dengan mengkonsumsi obat pelangsing yang tanpa disadari bahwa obat pelangsing tersebut mengandung bahan berbahaya yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan konsumen. Sisi lain dari tren “langsing” juga dijadikan sebagai salah satu celah bagi pelaku usaha untuk meyakinkan kepada konsumen bahwa obat pelangsing yang dihasilkannya tidak berbahaya, namun pada kenyataannya di dalam obat pelangsing tersebut dicampur dengan bahan-bahan yang membahayakan diri konsumen, seperti yang sudah sering ditemukan adalah bahan berbahaya seperti sibutramine. Berdasarkan keterangan pers Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor PN : PN.01.04.1.31.10.10.9829 yang menyatakan bahwa sibutramine merupakan obat yang dihasilkan sebagai pengobatan adjuvant dalam membantu penurunan kelebihan berat badan (overweight dan obesity) disamping olah raga dan pengaturan diet, adanya inf ormasi mengenai aspek keamanan penggunaan sibutramine jangka panjang dari hasil studi Sibutramine on Cardiovascular Outcomes Trial (SCOUT) yang menunjukkan adanya peningkatan risiko kejadian kardiovaskular pada pasien dengan riwayat penyakit kardiovaskular, oleh karena itu penjualan segala bentuk obat jadi seperti obat pelangsing yang mengandung sibutramine telah dilarang. Sibutramine merupakan salah satu bahan obat keras yang digunakan untuk campuran obat pelangsing, dimana obat ini dapat diperoleh dan digunakan berdasarkan resep dokter untuk menentukan dosis yang tepat, tetapi pada kenyataannya obat ini banyak ditemukan dan dijual bebas di pasaran. 7 Obat merupakan salah satu hasil sediaan farmasi, sehingga dalam pembuatan sediaan farmasi dalam hal ini adalah obat pelangsing pelaku usaha atau badan usaha harus memiliki izin usaha industri dalam melaksanakan kegiatan produksinya. Sediaan farmasi dalam hal ini adalah obat pelangs ing yang diedarkan di pasaran juga harus memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan. Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi menyebutkan bahwa: “Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia”. Tidak semua obat pelangsing aman untuk dikonsumsi, bisa saja obat pelangsing dari luar kemasannya terlihat menarik iklannya pun meyakinkan, namun tanpa disadari di dalamnya mengandung bahan berbahaya yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan konsumen. Beberapa efek samping dari penggunaan obat pelangsing berbahaya dengan campuran bahan berbahaya seperti sibutramine adalah sakit kepala, insomnia, konstipasi, migrain, depresi, hipertensi, takikardia, mulut kering. “Resiko lain mengkonsumsi obat-obat diet tanpa pengawasan dokter ialah : membuat tubuh lemas dan sistem kekebalan tubuh menurun karena jarang makan (tetapi tidak merasa lapar), jantung berdebar-debar, dehidrasi, sulit tidur, diare, penurunan tekanan darah, nyeri kepala, dan gula darah menurun drastis. Namun, resiko yang timbul pada setiap orang tidak sama, karena itu konsumsi obat-obat diet harus di bawah pengawasan dokter.” 3 3 https://yosefw.wordpress.com/2009/03/20/usir-gemuk -dengan-obat-2/, diakses tanggal 20 November 2014. 8 “Menurut pengakuan salah seorang konsumen yang diwawancarai oleh tim Sigi dari SCTV menyatakan bahwa dalam waktu tiga bulan setelah mengkonsumsi kapsul Arma Sin Gang San, satu di antara banyak obat pelangsing tubuh, berat badannya turun namun disertai dengan rasa gelisah, sulit untuk tidur dan tidak mempunyai nafsu makan. Produk PT. Warisan Jaya, Semarang, Jawa Tengah itu memang topcer. Harganya pun relatif murah, sekitar Rp 10 ribu per kapsul. Tapi, Badan Pengawas Obat dan Makanan telah melarang peredaran jamu ini. Pasalnya, berdasarkan hasil uji laboratorium, Arma Sin Gang San mengandung sibutramine, bahan kimia obat berbahaya.” 4 Hal tersebut di atas dapat dijadikan sebagai contoh bahwa tidak semua obat pelangsing yang beredar di pasaran itu aman, karena bisa mengandung campuran dengan bahan berbahaya yang tidak diketahui oleh konsumen, selain itu mengkonsumsi obat pelangsing tanpa menggunakan resep dokter juga berbahaya. Informasi mengenai komposisi dan penggunaan obat, serta efek samping obat juga merupakan hal yang sangat penting untuk diberitahukan kepada konsumen sebagai pengguna obat pelangsing supaya tidak ada lagi konsumen yang merasa haknya dirugikan yakni hak yang berkaitan untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan dari barang yang dikonsumsinya. Pelaku usaha sering memberikan informasi ya ng tidak benar atau bahkan menyesatkan yang dapat merugikan konsumen sebagai pihak pembeli, hal seperti ini lah yang dapat menimbulkan adanya sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha. Konsumen akan merasa dirugikan karena hak-haknya tidak terpenuhi, dikarenakan pelaku usaha yang tidak memperhatikan kepentingan dan hak-hak konsumen karena didesak dengan adanya persaingan antar pelaku usaha untuk mencari keuntungan. 4 Ibid. 9 Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis merasa tertarik untuk membahas permasalahan mengenai obat pelangsing berbahaya yang menimbulkan beberapa efek negatif terhadap penggunanya yang mana di dalamnya mengandung bahan berbahaya seperti sibutramine. Dalam hal ini konsumen sebagai pihak yang dirugikan karena hak-haknya sebagai konsumen tidak terpenuhi, terutama hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, konsumen mempunyai hak yang secara tertulis dituangkan dalam Pasal 4 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Oleh karena itu, penulis menyusun skripsi dengan judul : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Pengguna Obat Pelangsing berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. B . Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap konsumen sebagai pengguna obat pelangsing berbahaya berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelit ian ini adalah untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap konsumen sebagai pengguna obat pelangsing berbahaya berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen. 10 D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoretis Untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya terutama hukum perlindungan konsumen. 2. Kegunaan Praktis Untuk dapat memberikan gambaran kepada masyarakat mengenai hak-haknya sebagai konsumen dalam Hukum Perlindungan Konsumen terhadap pengguna dan pemakai obat pelangsing. 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perlindungan Hukum Pengertian perlindungan dalam ilmu hukum adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada tahap penyelidikan, penuntutan, dan atas pemeriksaan di sidang pengadilan. Secara umum yang dimaksud dengan hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama, yakni keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. “Hukum itu bukanlah merupakan tujuan, tetapi sasaran atau alat untuk mencapai tujuan yang sifatnya non-yuridis dan berkembang karena rangsangan dari luar hukum. Faktor-faktor di luar hukum itulah yang membuat hukum itu dinamis.”5 Menurut Surojo Wignojodipuro: “Hukum mempunyai peranan dalam mengatur dan menjaga ketertiban masyarakat, yang diantaranya adalah mengatur hubungan antara sesama warga masyarakat yang satu dengan yang lain. Adanya kaidah hukum itu 5 Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar (Edisi Ke-5), Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, hlm. 40. 12 bertujuan untuk mengusahakan kepentingan-kepentingan yang terdapat dalam masyarakat.” 6 Beberapa sarjana hukum di Indonesia yang mendefinisikan hukum sebagai berikut: 7 a. S. M. Amin Hukum adalah kumpulan-kumpulan peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi dan tujuan hukum itu adalah mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia. b. J.C.T Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukum tertentu. c. M. H. Tirtaatmadja Hukum adalah semua aturan (norma) yang harus diturut dalam semua tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian, jika melanggar aturanaturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan hilang kemerdekaannya, didenda dan sebagainya. 6 Surojo Wignojodipuro, 1974, Pengantar Ilmu Hukum , Alumni, Bandung, hlm. 1. CST. Kansil, 1997, Pengantar Hukum Indonesia (Cetakan Ke-6), Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 38. 7 13 Pengertian hukum dari beberapa sarjana tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum terdiri dari berbagai unsur yaitu: a) Peraturan mengenai tingkah laku manusia dan pergaulan masyarakat; b) Peraturan itu diadakan oleh badan-badan yang berwajib; c) Peraturan itu bersifat memaksa; d) Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas. Sudikno Mertokusumo memberikan gambaran terhadap pengertian perlindungan hukum sebagai berikut: “Segala upaya yang dilakukan untuk menjamin adanya kepastian hukum berdasarkan pada keseluruhan peraturan atau kaidah-kaidah yang ada dalam suatu kehidupan bersama. Keseluruhan peraturan ini dapat dilihat baik di Undang-Undang maupun Diratifikasi dari Konvensi Internasional.” 8 B. Hukum Perlindungan Konsumen 1. Perlindungan Konsumen Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud dengan perlindungan adalah cara, proses, perbuatan melindungi. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa: “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.” Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum” yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang 8 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hlm. 20. 14 tentang Perlindungan Konsumen tersebut diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen. Shidarta berpendapat bahwa : “Perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum, sehingga perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Materi yang mendapatkan perlindungan bukan sekedar fisik, melainkan juga hak-haknya yang bersifat abstrak, dengan kata lain perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen”.9 2. Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen Konsumen memiliki kedudukan lemah jika dibandingkan dengan pelaku usaha, oleh karena itu kosumen harus dilindungi oleh hukum. Perlindungan yang diberikan oleh hukum ini dituangkan dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sekaligus sebagai pelaksanaan dari tujuan hukum yakni memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. “Istilah “hukum konsumen” dan “hukum perlindungan konsumen” sudah sangat sering terdengar. Namun, belum jelas benar apa saja yang masuk ke dalam materi keduanya. Juga, apakah kedua “cabang” hukum itu identik.” 10 Az. Nasution berpendapat bahwa : “Hukum konsumen yang memuat asas -asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur 9 Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : Grasindo, hlm. 19. Ibid., hlm. 9. 10 15 hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa kosumen, di dalam pergaulan hidup.” 11 Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian khusus dari hukum konsumen yang memuat asas -asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. “Hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan peraturanperaturan yang mengatur segala tingkah laku manusia yang berhubungan dengan konsumen dan pelaku usaha yang disertai sanksi bagi pelanggarnya.” 12 Dapat disimpulkan bahwa hukum konsumen lebih luas dari pada hukum perlindungan konsumen, karena hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang mengatur lebih rinci asasasas perlindungan bagi konsumen sebagai pihak yang lebih lemah jika dibandingkan dengan pelaku usaha. 3. Tujuan Perlindungan Konsumen Tujuan perlindungan konsumen merupakan sebagai sasaran akhir yang memang harus dicapai dalam bidang hukum perlindungan konsumen. Masing-masing undang-undang yang dibentuk pasti memiliki tujuan khusus dalam pelaksanannya. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini megatur mengenai tujuan dari perlindungan konsumen itu sendiri. 11 Ibid., hlm. 9-10. Suyadi, 2007, Buku Ajar Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Konsumen, Fakultas Hukum Unsoed, Purwokerto, hlm. 6. 12 16 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Ta hun 1999 tentang Perlindungan Konsumen berbunyi: Perlindungan konsumen bertujuan : a. b. c. d. e. f. meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; meningkatkan permberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan di atas bila dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka: 1. 2. 3. tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c, dan huruf e. tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan huruf a dan b, termasuk juga huruf c dan d, serta huruf f. tujuan khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf d. 13 Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, karena seperti yang dapat kita lihat dalam rumusan pada huruf a sampai dengan huruf f terdapat tujuan yang dapat dikualifikasikan sebagai tujuan ganda. 13 Ahmadi Miru dan Sutarma Yodo, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : Rajawali Pers, hlm. 34. 17 4. Para Pihak dalam Perlindungan Konsumen Pihak yang ikut berperan dalam perlindungan konsumen sebenarnya tidak hanya konsumen dan pelaku usaha saja, tetapi ada juga peran pemerintah. Pemerintah, konsumen dan pelaku usaha harus dapat memahami perannya masing-masing dan melaksanakan asas perlindungan hukum supaya tercipta perekonomian yang baik serta bersih dan stabil dan tidak ada yang dirugikan dalam proses kegiatan perekonomian. Secara umum pihak-pihak yang berkaitan dalam praktik perlindungan konsumen dapat dibedakan antara lain: a. Konsumen Hakikatnya setiap or ang adalah konsumen, bahkan pelaku usaha juga menjadi konsumen untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya sehari-hari. Konsumen memiliki kedudukan yang lemah jika dibandingkan dengan pelaku usaha, oleh karena itu perlu adanya jaminan untuk memperoleh perlindungan secara hukum. Disebutkan dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna dan pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Konsumen akhir berbeda dengan pembeli akhir, karena pengertian konsumen akhir lebih luas daripada pembeli akhir. 18 Artinya, bahwa konsumen akhir tidaklah harus berperan sebagai pembeli barang atau produk, ka rena bisa saja menerima barang karena pemberian dari orang lain. Konsumen yang cerdas harus sadar akan hak-hak yang dimilikinya sebagai seorang konsumen, sehingga dapat melakukan kontrol sosial terhadap perilaku pelaku usaha yang berbuat curang dalam kegia tan usahanya. b. Pelaku Usaha Pelaku usaha juga mempunyai peranan yang cukup besar dalam perlindungan konsumen, karena hak-hak konsumen akan terpenuhi apabila pelaku usaha menjalankan kewajiban kegiatan usahanya dengan penuh rasa tanggung jawab. Pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya diharapkan dapat menghormati hakhak konsumen dengan memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman dikonsumsi atau digunakan, serta mengikuti standar peraturan yang berlaku dengan harga yang sesuai. c. Pemerintah Pemerintah adalah pihak yang mempunyai wewenang untuk membuat suatu peraturan kebijakan, peraturan itu dibuat agar ditaati oleh para pihak yang ada dalam wilayah kekuasannya, dalam hal ini adalah masyarakat Indonesia. Pemerintah dalam perlindungan konsumen ini berperan untuk mengawasi jalannya peraturan undangundang tersebut dengan baik, supaya tidak ada lagi pihak yang merasa dirugikan. 19 Disamping pihak-pihak yang telah disebutkan di atas, ada juga beberapa pihak yang terkait satu dengan yang lainnya, antara lain sebagai berikut: a. Departemen atau Instansi Pemerintah yang terkait dengan produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha. Departemen atau instansi yang dimaksud di sini adalah departemen atau instansi yang terkait dengan produk yang menangani produk yang bersangkutan, antara lain mengenai masalah peirizinan, pemenuhan standar mutu dan sebagainya. b. Organisasi Pelaku Usaha Merupakan organisasi yang secara khusus memberikan perlindungan maupun secara khusus mengatur tentang kegiatan pelaku usaha yang bersangkutan. Pelaku usaha sebagai anggota dari suatu organisasi wajib mentaati ketentuan yang dikeluarkan oleh organisasi tersebut, organisasi itu juga wajib menegur anggotanya jika melakukan suatu kesalahan, jika perlu menerapkan sanksi yang tegas. c. Organisasi Konsumen Merupakan organisasi yang dibentuk khusus dengan tujuan untuk melindungi hak-hak konsumen. Mewakili konsumen jika ada permasalahan dengan pelaku usaha. Hal ini diwujudkan dengan dibentuknya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sejak tahun 1973. 20 5. Konsumen Konsumen merupakan salah satu pelaku kegiatan perekonomian dalam suatu negara. Konsumen merupakan individu atau sekelompok orang yang mengkonsumsi suatu barang dan/atau jasa yang disediakan oleh produsen atau pelaku usaha. “Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukkan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris -Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.” 14 Ada beberapa ahli yang memberikan pengertian tentang konsumen, antara lain adalah : a. Munir Fuady Konsumen adalah pengguna terakhir (end user) dari suatu produk, yaitu setiap pemakai barang dan jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. b. Homby Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri 14 Az. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit Media, hlm. 3. 21 sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. c. Az. Nasution Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan secara sah dan menggunakan barang atau jasa untuk suatu kegunaan tertentu. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa : “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.” Berdasarkan pengertian konsumen yang ada dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, maka dapat diberikan rumusan definisi terhadap konsumen, yaitu: 15 a. Setiap Orang Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Pengertian konsumen tidak hanya pada orang perorangan namun juga mencakup badan hukum. 15 Shidarta, Op. Cit., hlm. 4-9. 22 b. Pemakai Sesuai dengan bunyi Penjelasan Pasal 1 angka 2 UndangUndang tentang Perlindungan Konsumen, kata “pemakai” menekankan konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta -merta hasil dari transaksi jual beli. c. Barang dan/atau jasa Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini produk sudah berkonotasi barang dan/atau jasa. d. Yang tersedia dalam masyarakat Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran. Perdagangan yang ma kin kompleks dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. e. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. 23 f. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan Pengertian konsumen dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai negara. Az. Nasution menegaskan beberapa batasan tentang konsumen, yakni: a. b. c. konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu; konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/ jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain untuk diperdagangkan (tujuan komersial); konsumen akhir, adalah setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (nonkomersial). 16 Konsumen yang dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini adalah konsumen akhir, dimana konsumen akhir adalah pengguna dan pemanfaat akhir dari suatu produk. Kalimat tidak untuk diperdagangkan dari rumusan pasal tersebut di atas merupakan konsumen akhir yang tujuan penggunaan barang atau jasa bukan untuk dijual kembali. Artinya, konsumen yang sebagai pemakai atau pengguna suatu barang dan/atau jasa yang tersedia di masyarakat digunakan baik untuk diri sendiri, keluarga, orang lain maupun untuk makhluk hidup lain karena tidak untuk dijual kembali, sehingga tidak mempunyai tujuan yang komersia l. 16 Az. Nasution, Op. Cit. hlm. 13. 24 Menurut Az. Nasution, berbagai studi yang dilakukan berkaitan dengan perlindungan konsumen telah berhasil membuat batasan mengenai konsumen akhir, antara lain: a. b. c. Pemakai akhir dari barang, digunakan untuk keperluan sendiri atau orang lain dan tidak untuk diperjualbelikan. Pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi keperluan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain tidak untuk diperdagangkan kembali. Setiap orang atau keluarga yang mendapat barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan. 17 6. Pelaku Usaha Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa : “Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha berbagai bidang ekonomi.” “Dalam penjelasan undang-undang yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain.”18 Menurut Az. Nasution pelaku usaha berdasarkan pasal tersebut terdiri dari : a. b. c. 17 Ibid., Ibid., hlm. 17. 19 Ibid., hlm. 10. 18 Pelaku usaha sebagai pencipta/pembuat barang yang menjadi sumber terwujudnya barang yang aman dan tidak merugikan konsumen. Pedagang sebagai pihak yang menyampaikan barang kepada konsumen. Pengusaha jasa. 19 25 Pelaku usaha yang dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen merupakan pelaku usaha yang dapat berupa perorangan atau badan hukum. Pengertian pelaku usaha tersebut tidaklah mencakup eksportir atau pelaku usaha di luar negeri, karena UndangUndang tentang Perlindungan Konsumen membatasi orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia. 7. Hak dan Kewajiban a. Hak dan Kewajiban Konsumen Kondisi konsumen yang masih banyak merasa dirugikan memerlukan adanya peningkatan upaya untuk melindunginya, sehingga hak-hak konsumen dapat ditegakkan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjamin adanya hak-hak konsumen. Kepastian menjamin hak-hak konsumen yang diperkuat dengan undang-undang khusus ini memberikan harapan agar pelaku usaha tidak lagi sewenang-wenang melakukan perbuatan yang dapat merugikan konsumen. Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu: 1. 2. 3. 4. 20 Hak untuk mendapat keamanan (the right to safety ); Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed); Hak untuk memilih (the right to choose); Hak untuk didengar (the right to be heard).20 Shidarta, Op. Cit., hlm. 16-27. 26 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa : Hak konsumen adalah : a. b. c. d. e. f. g. h. i. hak atas kenyamanan, keamana n, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan. Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen tidak hanya mengatur mengenai hak-hak konsumen saja, tetapi juga mengatur mengenai kewajiban sebagai penyeimbang hak konsumen. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa : Kewajiban konsumen adalah : a. b. c. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; 27 d. mengikuti upaya penyelesaian perlindungan konsumen secara patut. hukum sengketa b. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Tidak hanya hak dan kewajiban konsumen saja yang diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha juga diatur didalamnya. Pengaturan mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha ini untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan sebagai keseimbangan atas hak dan kewajiban yang diberikan kepada konsumen, karena Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini bukan semata -mata untuk membalikan kedudukan konsumen dari kedudukan yang lemah menjadi kuat dan sebaliknya pelaku usaha yang menjadi lemah, oleh karena itu hak dan kewajiban pelaku usaha juga diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa : Hak pelaku usaha adalah : a. b. c. d. e. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian sengketa konsumen; hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya. 28 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa : Kewajiban pelaku usaha adalah : a. b. c. d. e. f. g. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; menjamin mutubarang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji barang dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan. Memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya sebagai upaya perlindungan konsumen merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Pasal 1338 ayat (3) berbunyi: “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” 8. Hubungan Hukum antara Konsumen dengan Pelaku Usaha Hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen merupakan hubungan yang terus-menerus dan berkesinambungan. Hubungan tersebut terjadi karena antara pelaku usaha dan konsumen memang saling 29 menghendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan yang cukup tinggi antara pelaku usaha dengan konsumen. “Pelaku usaha sangat membutuhkan dan sangat bergantung pada dukungan konsumen sebagai pelanggan. Tanpa dukungan konsumen tidak mungkin pelaku usaha dapat mempertahankan kelangsungan usahanya. Sebaliknya kebutuhan konsumen sangat tergantung dari hasil produksi pelaku usaha.” 21 Hubungan hukum antara konsumen dengan pelaku usaha dapat dibedakan menjadi dua, yakni: 1. Hubungan Langsung “Hubungan langsung yang dimaksudkan pada bagian ini adalah hubungan antara produsen dengan konsumen yang terikat secara langsung dengan perjanjian.”22 Hubungan antara pelaku usaha yang memproduksi barang dan/atau jasa dengan konsumen adalah hubungan perjanjian jual beli. Pengertian jual beli sesuai dengan Pasal 1457 KUHPerdata adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Berdasarkan pengertian tersebut, maka terdapat unsur-unsur jual beli yakni perjanjian, penjual dan pembeli, harga dan barang. Suatu perjanjian sesuai dengan Pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan 21 Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, ed., 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 36. 22 Ahmadi Miru, 2013, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia (Edisi I, Cetakan Ke-2), Jakarta : Rajawali Pers, hlm. 34. 30 dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Mengenai sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yakni sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu : 1. 2. 3. 4. sepakat mereka yang mengikatkan diri; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu hal tertentu; suatu sebab yang halal. Hubungan langsung yang terjadi antara konsumen dengan pelaku usaha yang memproduksi barang dan/atau jasa merupakan hubungan kontraktual (perjanjian). Artinya, apabila produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha menimbulkan kerugian pada konsumen, maka konsumen dapat meminta ganti rugi kepada pelaku usaha atas dasar tanggung jawab kontraktual (contractual liability). Tanggung jawab kontraktual ini didasarkan pada tanggung jawab atas dasar wanprestasi atau ingkar janji, karena salah satu pihak tidak memenuhi perikatan yang timbul dari perjanjian tersebut. 2. Hubungan Tidak Langsung Hubungan tidak langsung di sini merupakan transaksi usaha yang berkembang ke arah hubungan yang tidak langsung yakni melalui suatu kegiatan distribusi, dimana dari pelaku usaha disalurkan atau didistribusikan kepada agen, lalu ke pengecer baru sampai ke konsumen. Hubungan tidak langsung ini di dalamnya tidak terdapat hubungan kontraktual (perjanjian) antara pelaku usaha dengan konsumen. 31 Konsumen di sini tidak bisa untuk meminta ganti rugi dari pelaku usaha atas dasar tanggung jawab kontraktual, karena konsumen hanya memiliki hubungan kontraktual dengan pengecer, padaha l produk yang menimbulkan kerugian dihasilkan oleh pelaku usaha bukan pengecer. Artinya, apabila ternyata bahwa pelaku usaha adalah pihak yang merugikan konsumen, maka pelaku usaha wajib bertanggung jawab Pertanggungjawaban atas pelaku kerugian usaha yang atas timbul tersebut. produknya yang menimbulkan kerugian kepada konsumen dinamakan tanggung jawab produk (product liability ). Pertanggungjawaban produk tidak didasarkan pada contractual liability, tetapi didasarkan pada tanggung jawab atas dasar perbuatan melawan hukum. 9. Perbuatan yang dilarang Bagi Pelaku Usaha Salah satu tujuan dalam perlindungan konsumen adalah untuk mengangkat harkat kehidupan konsumen, maka untuk maksud tersebut berbagai hal yang membawa akibat negatif sebagai akibat dari pemakaian barang dan/atau jasa harus dihindarkan dari segala aktivitas perdagangan pelaku usaha. Upaya yang dilakukan untuk menghindarkan akibat negatif dari pemakaian barang dan/atau jasa tersebut dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen diatur juga mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Bab IV Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 32 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa : (1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang : a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; d. tidak sesuai denga n kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label; i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yangmemuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan,akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat; j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (2) Pelaku Usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atau barang dimaksud. (3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar. (4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang mempegunakan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.” 33 Menurut Gunawan Widjaja, secara garis besar larangan yang dikenakan dalam Pasal 8 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen dapat dibagi dalam dua larangan pokok, yaitu: 1) 2) Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak dipenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen; Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, dan tidak akurat yang menyesatkan konsumen.23 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen merumuskan tentang beberapa larangan bagi pelaku usaha sebagai bagian dari kaidah hukum Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Adanya larangan tersebut dimaksudkan untuk memastikan bahwa produk yang dipasarkan atau diperjualbelikan di masyarakat tidak dilakukan dengan cara melanggar hukum. 10. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Tanggung jawab pelaku usaha dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen adalah tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban pelaku usaha. Tanggung jawab tersebut adalah “minimal” dalam arti tanggung jawab pelaku usaha tidak sekedar yang ada dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen saja, dapat meliputi kewajiban-kewajiban yang seharusnya dilakukan sebagaimana mestinya seba gai pelaku usaha, dapat berdasarkan undang-undang selain Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen tersebut, seperti dalam ketentuan-ketentuan lain yakni kebiasaan, doktrin dan lain-lain. 23 Johanes Gunawan, 1994, “Produk Liability” dalam Hukum Bisnis Indonesia, Jakarta: Projustisia, Tahun XII, hlm. 39. 34 Tanggung jawab pelaku usaha diatur dalam Bab VI Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Shidarta mengatakan bahwa : “Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus -kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.”24 Pelaku seba gaimana usaha yang yang meliputi dimaksud berbagai dalam bentuk/jenis Undang-Undang usaha tentang Perlindungan Konsumen, sebaiknya ditentukan urutan-urutan yang seharusnya digugat oleh konsumen manakala dirugikan oleh pelaku usaha. Urutan-urutan tersebut sebaiknya disusun sebagai berikut: a. b. c. yang pertama digugat adalah pelaku usaha yang membuat produk tersebut jika berdomisili di dalam negeri dan domisilinya diketahui oleh konsumen yang dirugikan. apabila produk yang merugikan konsumen tersebut diproduksi di luar negeri, maka yang digugat adalah importirnya, karena UUPK tidak mencakup pelaku usaha di luar negeri. apabila produsen maupun importir dari suatu produk tidak diketahui, maka yang digugat adalah penjual dari siapa konsumen membeli barang tersebut. 25 Urutan-urutan di atas tentu saja hanya diberlakukan jika suatu produk mengalami cacat pada saat diproduksi, karena kemungkinan barang mengalami kecacatan pada saat sudah berada di luar kontrol atau di luar kesalahan pelaku usaha yang memproduksi produk tersebut. 24 25 Shidarta, Op. Cit., hlm. 59. Ahmadi Miru, Op. Cit., hlm. 31-32. 35 Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:26 a. Kesalahan (liability based on fault) Seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUHPerdata, yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu: 1. 2. 3. 4. adanya perbuatan; adanya unsur kesalahan; adanya kerugian yang diderita; adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. Kesalahan di sini adalah unsur yang bertentangan dengan hukum, dimana hukum itu artinya tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan di dalam masyarakat. b. Praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability) Tergugat yang dalam hal ini adalah pelaku usaha selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai pelaku usaha dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Beban pembuktian dalam prinsip praduga selalu bertanggung jawab ini ada pada pelaku usaha sebagai tergugat. 26 Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2009, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 92. 36 c. Praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of nonliability) “Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption nonliability principle ) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.”27 d. Tanggung jawab mutlak (strict liability) Tanggung jawab mutlak merupakan prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan, namun terhadap prinsip tanggung jawab mutlak ini ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeur. e. Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability) Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa pelaku usaha seharusnya tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. 27 Shidarta, Op. Cit., hlm. 62-63. 37 11. Sumber Hukum Perlindungan Konsumen Happy Susanto menyatakan bahwa: “Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hakhak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme. Ada beberapa pakar yang menyebutkan bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan cabang dari hukum ekonomi. Alasannya, permasalahan yang diatur dalam hukum konsumen berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan barang dan/atau jasa.”28 Selain Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hukum konsumen dapat ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pasal 64 (Ketentuan Peralihan) Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa: “Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat Undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen. “Penjelasan resmi Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen itu pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai terbentuknya Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini telah ada beberapa undang-undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen.” 29 28 29 Happy Susanto, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Jakarta: Visi Media, hlm. 2. Suyadi, Op. Cit., hlm. 6. 38 Beberapa peraturan yang dijadikan sumber hukum perlindungan konsumen diantaranya sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar 1945 1) Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Penjelasan dari pasal ini bahwa ketentuan ini mengenai hak warga negara yang dinyatakan dalam penjelasan Pasal 27 ini adalah warga negara yang menjamin agar mereka dapat hidup sebagai manusia seutuhnya, yakni hak untuk mendapatkan pengetahuan yang benar tentang segala barang dan/atau jasa yang ditawarkan. 2) Pasal 28 UUD 1945, yang berbunyi: “Kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa pasal ini mengenai kedudukan penduduk. Pasal ini juga memuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangun negara yang bersifat demokratis dan hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan perikemanusiaan. Berbagai hak yang dimiliki konsumen telah masuk dalam kedua pasal tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa UUD 1945 39 merupakan suatu sumber hukum bagi perlindungan konsumen karena hak konsumen terdapat di dalamnya. b. Ketetapan MPR Menurut Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sejak tahun 1993 (Ketetapan MPR No. II/MPR/1993) secara eksplisit dicantumkan kata “Perlindungan Konsumen”, sekalipun tidak diuraikan lebih jauh mengenai pengertian dan substansinya. Secara implisit dapat ditemukan berbagai hal yang berhubungan dengan kepentingan konsumen seperti keharusan menghasilkan atau meningkatkan: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) c. Barang yang bermutu; Kualitas dan pemerataan pendidikan; Kualitas pelayanan kesehatan; Kualitas hunian dan lingkungan hidup; Sistem transportasi yang tertib, lancar, aman, dan nyaman; Kompetisi yang sehat; Kesadaran hukum. 30 Berbagai peraturan perundang-undangan lain, diantaranya: 1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal. 2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan. 3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. 4) Undang-Undang Ketenagakerjaan. 30 Shidarta, Op. Cit., hlm 92-93. Nomor 13 Tahun 2003 tentang 40 5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 6) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. 7) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Penglolaan Lingkungan Hidup. 8) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 9) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. 10) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen merupakan undang-undang yang dapat menambah kepastian hukum bagi konsumen, walaupun demikian masih perlu adanya peraturan pemerintah untuk menunjang pelaksanaan perlindungan konsumen, sebab Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen sifatnya masih umum dan pelaksanaan beberapa pasal harus dengan peraturan pemerintah seperti Pasal 29, Pasal 30, Pasal 44 dan Pasal 46. Adapun peraturan pemerintah yang menunjang berlakunya Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen antara lain: a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional. b. Peraturan Pemerintah Repbulik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen. 41 c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. C. Obat 1. Definisi Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi bahwa : “Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia.” Peraturan Menter i Kesehatan Republik Indonesia Nomor 949/Menkes/Per/VI/2000 tentang Registrasi Obat Jadi, obat digolongkan dalam lima golongan, yaitu:31 1. Obat Bebas Obat bebas adalah obat yang boleh digunakan tanpa resep dokter. Penandaan obat bebas diatur berdasarkan SK Menkes RI Nomor 2380/A/SKA/I/1983 tentang tanda khusus untuk obat bebas dan obat bebas terbatas. Di Indonesia, obat golongan ini ditandai dengan lingkaran berwarna hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Obat bebas disertai dengan brosur yang berisi nama obat, nama dan isi zat berkhasiat, indikasi, dosis dan aturan pakai, nomor batch, 31 http://dentalhealthridhafajarnugroho.blogspot.com/2013/03/penggolongan-obat-menurut-uufarmasi.html, diakses tanggal 26 November 2014. 42 nomor registrasi, nama dan alamat pabrik serta cara penyimpanannya. 2. Obat Bebas Terbatas Obat bebas terbatas adalah obat yang dijual atau dipasarkan tanpa resep dokter, tetapi dengan menggunakan izin dari Dinas Kesehatan dan disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam. 3. Obat Wajib Apotek Obat wajib apotek merupakan obat keras yang dapat diberikan oleh Apoteker Pengelola Apotek (APA) kepada pasien. Obat-obat yang digolongkan dalam obat wajib apoteker ini adalah obat yang diperlukan bagi kebanyakan penyakit yang diderita oleh pasien. 4. Obat Keras Obat keras yaitu obat yang berkhasiat keras yang untuk memperolehnya harus menggunakan resep dokter, berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 02396/A/SKA/III/1986 penandaan obat keras dengan lingkaran bulat berwarna merah dan garis tepi berwar na hitam serta huruf “K” yang menyentuh garis tepi. 5. Obat Psikotropika dan Narkotika Psikotropika adalah zat atau obat yang dapat menurunkan aktivitas otak menimbulkan atau merangsang kelainan perilaku, susunan syaraf disertai dengan pusat dan timbulnya 43 halusinasi (mengkhayal), ilusi, perubahan alam perasaan dan dapat menyebabkan ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi (merangsang) bagi para pemakainya. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan. Berbagai bentuk dan tujuan penggunaan obat yaitu: 1. Serbuk (pulvis) Serbuk (pulvis) merupakan campuran kering bahan obat atau zat kimia yang dihaluskan, ditujukan untuk pemakaian luar. 2. Pulveres Merupakan serbuk yang dibagi bobot kurang lebih sama, dibungkus menggunakan bahan pengemas yang cocok untuk sekali minum. 3. Tablet (compressi) Merupakan sediaan padat kompak dibuat secara kempa cetak dalam bentuk tabung pipih atau sirkuler, kedua permukaan rata atau cembung, mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa bahan tambahan. 44 a. Tablet kempa : paling banyak digunakan, ukuran dapat bervariasi, bentuk serta penandaannya tergantung desain cetakan. b. Tablet cetak : dibuat dengan memberikan tekanan rendah pada massa lembab dalam lubung cetakan. c. Tablet trikurat : tablet kempa atau cetak bentuk kecil umumnya silindris dan ini sudah jarang ditemukan. d. Tablet hipodermik : dibuat dari bahan yang mudah larut atau melarut sempurna dalam air, dulu untuk membuat sediaan injeksi hipodermik tetapi sekarang diberikan secara oral. e. Tablet sublingual : dikehendaki efek cepat (tidak lewat hati), digunakan dengan meletakan tablet di bawah lidah. f. Tablet bukal : digunakan dengan meletakkan diantara pipi dan gusi. g. Tablet effervescent : tablet yang larut dalam air, harus dikemas dalam wadah tertutup rapat atau kemasan tahan lembab. Pada etiket tertulis “tidak untuk langsung ditelan”. h. 4. Tablet kunyah : cara penggunaannya dikunyah. Pil (pilulae) Merupakan bentuk sediaan padat bundar dan kencil, mengandung bahan obat dan dimaksudkan untuk pemakaian oral. Saat ini sudah jarang ditemukan karena tergusur tablet dan kapsul, namun pil (pilulae) masih banyak ditemukan pada seduhan jamu. 45 5. Kapsul (capsule) Merupakan sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat dilarut. 6. Kaplet (kapsul tablet) Merupakaan sediaan padat kompak dibuat secara kempa cetak, bentuknya oval seperti kapsul. 7. Larutan (solutiones) Merupakan sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia yang dapat larut, biasanya dilarutkan dalam air. Dapat juga dikatakan sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia yang larut, misalnya terdispersi secara molekuler dalam pelarut yang sesuai dengan campuran pelarut yang saling bercampur. 8. Suspensi (suspensiones) Merupakan sediaan cair, mengandung partikel padat tidak larut terdispersi dalam fase cair. 9. Emulsi (emulsiones) Merupakaan sediaan berupa campuran dari dua fase dalam sistem dispersi, fase cairan yang satu terdispersi sangat halus dan merata dalam fase cairan lainnya, umunya distabilkan oleh zat pengemulsi. 10. Generik Merupakan sediaan farmasi yang dibuat dari bahan baku yang berasal dari hewan atau tumbuhan yang disari. 11. Ekstrak (extractum) 46 Merupakaan sediaan yang pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat dari simplisia nabati atau simplisia hewani, menggunakan zat pelarut yang sesuai. 12. Infus Merupakaan sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi simplisia nabati dengan air pada suhu 90o C selama 15 menit. 13. Imunoserum ( immunosera) Merupakan sediaan yang mengandung imunoglobulin khas yang diperoleh dari serum hewan dengan pemurnian. Berkhasiat menetralkan toksin kuman (bisa ular) dan mengikat kuman, virus dan antigen. 14. Salep Merupakan sediaan setengah padat ditujukan untuk pemakaian topikal pada kulit atau selaput lendir. Salep dapat juga dikatakan sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat luar. 15. Suppositoria Merupakan sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk yang diberikan melalui rektal, vagina atau uretra, umumnya meleleh, melunak atau melarut pada suhu tubuh. 16. Obat tetes (guttae) Merupakan sediaan cair berupa larutan, emulsi atau suspensi, dimaksudkan untuk obat dalam atau obat luar. Digunakan dengan 47 cara meneteskan menggunakan penetes yang menghasilkan tetesan setara dengan tetesan yang dihasilkan penetes baku yang disebutkan farmakope Indonesia. Sediaan obat tetes dapat berupa antara lain: a. Tetes mata (guttae opthalmicae) b. Tetes telinga (guttae auriculares) c. Tetes hidung (guttae nasales) d. Obat dalam (guttae) e. Tetes mulut (guttae oris) 17. Injeksi Merupakan sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau sebuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir. Injeksi ini dapat diberikan kepada pasien yang tidak dapat mene rima pengobatan melalui mulut. 18. Larutan (solution) Larutan adalah sediaan cair yang dibuat dengan melarutkan satu jenis obat atau lebih dalam pelarut, dimaksudkan untuk digunakan sebagai obat dalam, obat luar atau untuk dimasukan ke dalam rongga tubuh. 19. Obat kumur (gargle) 48 Obat kumur adalah obat yang digunakan dengan cara berkumur dengan tujuan untuk mengobati ataupun membersihkan rongga mulut dan biasanya obat kumur mengandung bahan antiseptik. Berdasarkan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika. Keamanan dan kenyamanan penggunaan sediaan farmasi termuat dalam: Pasal 98 (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, berm utu, dan terjangkau. (2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat. (3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. (4) Pemerintah berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi, dan pengedaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 104 (1) Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau khasiat/manfaat. (2) Penggunaan obat dan obat tradisional harus dilakukan secara rasional. Obat dapat dibuat dari sumber alam atau sintetis oleh pabrik farmasi. Sebelum suatu obat dijual atau diedarkan di pasaran, tentunya obat telah melalui beberapa proses atau tahapan supaya obat dapat dipasarkan di kalangan masyarakat. Proses tersebut adalah proses penyediaan bahan, 49 pengolahan, pengujian dan perizinan, perdagangan, pengorderan, pembelian dan pemakaian. Berbagai hal yang menyangkut pengawasan obat, makanan dan minuman, kosmetika dan alat kesehatan, obat tradisional, narkotika dan bahan berbahaya diatur berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Pengorganisasian tugas-tugas yang menyangkut pengawasan obat dan makanan ini diberikan kepada Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) adalah sebuah lembaga di Indonesia yang bertugas mengawasi peredaran obat-obatan dan makanan di Indonesia. Badan Pengawan Obat dan Makanan ini dalam pelaksanaannya dibantu oleh Dinas Kesehatan yang ada di setiap kabupaten untuk lebih mempermudah pengawasan terhadap peredaran obat dan makanan yang ada di kalangan masyarakat. Obat dan makanan yang beredar di kalangan masyarakat ini harus memenuhi standar yang telah ditentukan dan memperoleh izin edar. 2. Obat Pelangsing Obat pelangsing adalah sebuah ramuan zat sintetis yakni suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang dapat meringankan atau mengurangi berat badan. Telah banyak beredar berbagai jenis obat pelangsing di pasaran. Obat pelangsing atau obat anti-obesitas sebenarnya adalah obat keras, sehingga memerlukan resep dokter dan diperlukan konsultasi untuk menentukan dosis yang tepat. Obat pelangsing yang berbahaya dikatakan 50 sebagai obat keras, karena di dalamnya terdapat campuran dengan bahan berbahaya sibutramine yang mempunyai efek samping terhadap kesehatan dan juga menimbulkan resiko yang berbeda pada setiap orang, sehingga konsumsi obat pelangsing harus di bawah pengawasan dokter. Obat pelangsing merupakan produk sediaan obat jadi yang dapat langsung dikonsumsi. Menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor Republik Indonesia Nomor 949/Menkes/Per/VI/2000 tentang Registrasi Obat Jadi menyebutkan bahwa : “Obat jadi adalah sediaan atau paduan bahan-bahan termasuk produk biologi dan kontrasepsi, yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan peningkatan kesehatan.” Konsumen harus mengetahui apakah produk obat pelangsing yang dikonsumsinya itu benar-benar aman untuk digunakan atau tidak. Seperti halnya untuk mengkonsumsi obat pelangsing, konsumen harus jeli apakah obat pelangsing yang dibeli itu merupakan obat yang benar-benar aman untuk dikonsumsi atau justru obat pelangsing tersebut mengandung bahan berbahaya yang menimbulkan efek samping terhadap keamanan dan keselamatan konsumen. Obat pelangsing yang mengandung bahan berbahaya biasanya tidak mencantumkan secara detail dan jelas komposisi kandungan bahan-bahannya, karena obat pelangsing yang berada di pasaran legal akan selalu menuliskan dan mencantumkan kandungan bahan-bahan, kadaluwarsanya. waktu produksi, dan juga masa 51 Masih banyaknya produk obat pelangsing yang berbahaya beredar di pasaran membuat konsumen harus lebih berhati-hati untuk memilih mana obat pelangsing yang benar-benar aman untuk dikonsumsi dan tidak merugikan bagi keamanan dan keselamatan konsumen. Adapun ciri-ciri dari obat pelangsing yang berbahaya antara lain: 32 1. Adanya kandungan bahan kimia sibutramine atau phenolphthalein Sibutramine dapat menyebabkan berbagai efek samping, yakni yang berkaitan dengan masalah pencernaan (sakit perut, mual, hyperacidity, sembelit), gejala pernafasan (nasal dan pe radangan sinus, eksaserbasi batuk, sakit tenggorokan, mulut kering), gejala kulit (rash), selain itu juga gejala-gejala neurologis (pusing, sakit kepala, depresi, gugup, gelisah, insomnia) dan dismenore. Phenolphtalein merupakan penekan nafsu makan, phenolpthalein merupakan karsinogen yang dapat meningkatkan risiko pertumbuhan tumor. 2. Tidak mencantumkan kandungan obat Komposisi kandungan obat pelangsing sangat perlu untuk diketahui, baik dalam obat pelangsing herbal mau pun obat pelangsing sintetis. Obat pelangsing yang tidak mencantumkan secara jelas komposisi kandungan bahan-bahan dan tidak ada rekomendasi dari dokter atau ahlinya maka obat tersebut temasuk golongan obat pelangsing berbahaya yang bisa menimbulkan efek 32 http://senyumbunda.com/page-blog/waspada -obat -pelangsing-berbahaya-beredar-di-sekitaranda/, diakses yanggal 26 November 2014. 52 samping bagi kesehatan. Obat pelangsing yang dijual di pasar secara legal pasti akan selalu menuliskan dan mencantumkan kandungan bahan-bahan, waktu produksi, dan juga masa kadaluwarsa. 3. Tidak jelas asal produksi dan alamat kantornya Setiap obat, baik itu obat herbal mau pun obat sintetis pasti memiliki tempat dan subjek yang memproduksi obat tersebut, karena tidak mungkin obat pelangsing akan muncul dengan sendirinya tanpa ada yang memproduksinya. 4. Tidak mempunyai izin Setiap makanan dan obat yang beredar atau diperjualbelikan wajib dan harus mempunyai izin dari institusi terkait yang berwenang yaitu Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Obat pelangsing yang dijual di pasaran haruslah memuat petunjuk yang memberitahukan dan juga menyatakan bahwa obat tersebut mempunyai izin dan berada di bawah pengawasan ahli. 5. Menimbulkan reaksi-reaksi yang aneh. Obat pelangsing berbahaya yang dikonsumsi akan menimbulkan reaksi-reaksi aneh seperti sering merasakan lemas, malas beraktifitas, sering buang air besar dan urin menjadi sangat bau. Tidak hanya ciri-ciri dari obat pelangsing berbahaya saja yang harus diketahui, tetapi beberapa zat kimia atau bahan berbahaya yang sering disalahgunakan untuk campuran obat pelangsing juga harus diketahui. 53 Berikut ada beberapa bahan berbahaya yang biasanya disalahgunakan untuk campuran pada obat- obat pelangsing:33 1. Sibutramine Sibutramine dapat menyebabkan berbagai efek samping, yakni yang berkaitan dengan masalah pencernaan (sakit perut, mual, hyperacidity, sembelit), gejala pernafasan (nasal dan peradangan sinus, eksaserbasi batuk, sakit tenggorokan, mulut kering), gejala kulit (rash), selain itu juga gejala-gejala neurologis (pusing, sakit kepala, depresi, gugup, gelisah, insomnia), dan dismenore. Sibutramine juga menyebabkan tekanan darah tinggi, jantung berdebar dan takikardia, meningkatkan risiko serangan jantung atau stroke. 2. Phenolphthalein Phenolphtalein dikenal sebagai penekan nafsu makan, tapi phenolphthalein ini juga dapat meningkatkan risiko pertumbuhan tumor. 3. Metampiron Metampiron dapat menyebabkan gangguan salura n pencernaan seperti mual, pendarahan lambung, rasa terbakar, serta gangguan sistem saraf seperti tinitus (telinga berdenging) dan neuropati, gangguan darah, pembentukan sel darah terhambat (anemia aplastik), agranulositosis, gangguan ginjal, shock , kematian. 33 http://m.tabloidnova.com/Nova/Kesehatan/Diet/Zat -Kimia-Pada-Obat -Pelangsing-IniBerbahaya, diakses tanggal 26 November 2014. 54 4. Fenilbutason Fenilbutason dapat menyebabkan mual, muntah, ruam kulit, retensi cairan dan elektrolit (ederma), pendarahan lambung, nyeri lambung, dengan pendarahan atau perforasi, reaksi hipersensitivitas, hepatitis, nefritis, gagal ginjal, leukopenia, anemia aplastik, agranulositosis. 5. Deksametason Deksametason dapat menimbulkan anemia plastis, trombositopenia, dan gangguan fungsi ginjal. 6. Allupurinol Allupurinol adalah obat penyakit priai (gout) yang dapat menurunkan kadar asam urat dalam darah. Efek samping dari penggunaan allupurinol adalah reaksi hipersensitifitas yang ditandai dengan ruam mokulopapular didahului pruritus, urtikaria, eksfoliatif dan lesi pupura, dermatitis, nefritis, faskulitis dan sindrome poliartrtis. Demam, eosinofilia, kegagalan hati dan ginjal, mual, muntah, diare, rasa mengantuk, sakit kepala, dan rasa logam. 7. Sildenafit sitrat Sildenafit sitrat dapat menyebabkan sakit kepala, pusing, dispepsia, mual, nyeri perut, gangguan penglihatan, rinitis (radang hidung), infark miokard, nyeri dada, palpitasi (denyut jantung cepat), dan kematian. 8. Fenfluramin dan dexfenfluramine 55 Fenfluramine dan dexfenfluramine adalah salah satu jenis bahan kimia obat yang bisa membuat kelainan pada katup jantung. Beberapa bahan berbahaya yang telah disebutkan di atas, bahwa bahan berbahaya yang paling sering dijumpai untuk campuran obat pelangsing adalah bahan berbahaya sibutramine, dimana sibutramine dapat memicu sistem saraf simpatik yang kemudian menekan rasa lapar, tetapi juga dapat meningkatkan denyut jantung normal seseorang. 56 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif. “Metode pendekatan yuridis normatif yaitu metode pendekatan yang menggunakan konsepsi legistis posivistis, yang mengemukakan bahwa hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh pejabat yang berwenang. Konsep ini juga melihat hukum sebagai suatu sistem normatif yang mandiri, bersifat tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat dengan mengabaikan norma selain norma hukum.”34 B. Spesifikasi Penelitian Penelitian ini menggunakan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Deskriptif dalam arti melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh suatu gambaran secara menyuluruh dan sistematis tentang pokok permasalahan yang diteliti. Analitis akan dilakukan suatu analisa terhadap berbagai aspek yang diteliti, yang kemudian dihubungkan dengan asas-asas hukum, kaidah hukum dan berbagai pengertian hukum yang berkaitan dengan penelitian ini. C. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah (PII) Fakultas Hukum, UPT Perpustakaan Universitas Jenderal Soedirman, Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas, dan Dinas Perdagangan Kabupaten Banyumas. 34 Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, hlm. 13. 57 D. Sumber Data 1. Data Sekunder Sumber data dari penelitian ini adalah data sekunder yang berupa peraturan perundang-undangan, dokumen resmi, dan buku-buku literatur yang berhubungan dengan objek penelitian. Menurut Soerjono dan Sri Mamudji: “Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.” 35 Data sekunder meliputi: a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan yang mengikat berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer be rupa peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Bahan hukum sekunder yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, meliputi hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, buku-buku literatur, karya ilmiah dari para sarjana, dan dokumen resmi yang terkait dengan pokok permasalahan yang diteliti. c. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, meliputi kamus hukum dan kamus Bahasa Indonesia yang diperlukan. 2. Data Primer Data primer adalah data pendukung data sekunder yaitu keterangketerangan dari pejabat atau pihak-pihak atau staf yang bidang kerjanya 35 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali, hlm. 14-15. 58 berkaitan dengan masalah yang diteliti di lingkungan Kantor Dinas Kesehatan dan Kantor Dinas Perdagangan Kabupaten Banyumas. E. Metode Pengumpulan Data 1. Data Sekunder Data sekunder diperoleh dengan cara inventarisasi terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku literatur, artikel-artikel dan dokumendokumen yang berkaitan dengan pokok-pokok permasalahan untuk selanjutnya dipelajari sebagai pedoman penyusunan data. 2. Data Primer Data primer diperoleh dengan mengadakan penelitian lapangan langsung pada objek yang dijadikan masalah, dengan cara mengadakan wawancara dengan pihak atau staf di Kantor Dinas Kesehatan dan Kantor Dinas Perdagangan Kabupaten Banyumas. F. Metode Penyajian Data Metode penyajian data dalam penyusunan penelitian ini disajikan dalam bentuk teks naratif yang disusun secara sistematis logis dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh. G. Metode Analisis Data Data yang diperoleh dianalisa secara normatif kualitatif yaitu dengan menjabarkan data yang diperoleh berdasarkan norma-norma hukum atau kaidah yang relevan dengan pokok permasalaha n. 59 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Dinas Kesehatan dan Dinas Perdagangan Kabupaten Banyumas diperoleh data sebagai berikut: 1. Data Sekunder 1.1 Pengertian 1.1.1 Pasal 1 Undang-Undang Obat Keras (St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949) Yang dimaksud dengan: 1. Obat-obat keras yaitu obat-obatan yang tidak digunakan untuk keperluan tekhnik, yang mempunyai khasiat mengobati, menguatkan, membaguskan, mendesinfeksikan dan lain -lain tubuh manusia, baik dalam bungkusan atau tidak, yang ditetapkan oleh Secretaris Van Staat, Hoofd van set Departement van Gesondheid, menurut ketentuan pada Pasal 2. 2. Apoteker adalah mereka yang sesuai dengan peraturan yang berlaku mempunyai wewenang untuk menjalankan praktek peracikan obat di Indonesia sebagai seorang Apoteker sambil memimpin sebuah Apotek. 3. Pedagang-pedagang kecil yang diakui adalah mereka yang bukan Apoteker atau Dokter, atau Dokter Hewan yang 60 sesuai dengan Pasal 6 memperoleh izin dan berwenang untuk menyerahkan obat-obat keras tertentu. 4. Pedagang-pedagang besar yang diakui adalah mereka yang bukan Apoteker yang sesuai dengan Pasal 7 berwenang untuk menyerahkan obat-obat keras tertentu. 5. Menyerahkan adalah termasuk penjualan, menawarkan untuk penjualan dan penjualan keliling. 6. Secretaris van St adalah Secretarist van staat, Kepala D.V.D Jakarta. 7. Obat-obat G adalah obat-obat keras yang oleh Sec. V. St. didaftar pada daftar obat-obat berbahaya (gevaarlijk; daftar G). 8. Obat-obatan W adalah obat-obat keras yang oleh Sec. V. St. didaftar pada daftar peringatan (werschuwing; daftar W). 1.1.2 Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan Yang dimaksud dengan: 1. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika. 2. Alat kesehatan adalah bahan, instrumen, aparatus, mesin, implan yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosa, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit serta memulihkan kesehatan 61 pada manusia dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh. 3. Produksi adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengemas, dan/atau mengubah bentuk sediaan farmasi dan alat kesehatan. 4. Peredaran adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan sediaan farmasi dan alat kesehatan baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan atau pemindahtanganan. 5. Kemasan sediaan farmasi dan alat kesehatan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus sediaan farmasi dan alat kesehatan baik yang bersentuhan langsung maupun tidak. 1.1.3 Pasal 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 949/Menkes/Per/VI/2000 tentang Registrasi Obat Jadi Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Izin edar adalah bentuk persetujuan registrasi obat jadi untuk dapat diedarkan di wilayah Indonesia. 2. Obat jadi adalah sediaan atau paduan bahan-bahan termasuk produk biologi dan kontrasepsi, yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa, 62 pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan peningkatan kesehatan. 3. Penandaan adalah keterangan yang lengkap mengenai obat jadi, khasiat, keamanan, cara penggunaannya serta informasi lain yang dianggap perlu dicantumkan pada etiket, brosur dan kotak yang disertakan pada obat jadi. 4. Obat palsu adalah obat yang diproduksi oleh yang tidak berhak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau produksi obat dengan penandaan yang meniru identitas obat lain yang memiliki izin edar. 1.1.4 Pasal 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi 1. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemilihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia. 2. Industri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat. 3. Pembuatan obat adalah seluruh tahapan kegiatan dalam menghasilkan obat, yang meliputi pengadaan bahan awal 63 dan bahan pengemas, produksi, pengemasan, pengawasan mutu, dan pemastian mutu sampai diperoleh obat untuk didistribusikan. 4. Cara Pembuatan Obat yang Baik, yang selanjutnya disingkat CPOB adalah cara pembuatan obat yang bertujuan untuk memastikan agar mutu obat yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan dan tujuan penggunaannya. 1.2 Pengamanan dan Penggunaan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan 1.2.1 Pasal 98 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau. (2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat. (3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 1.2.2 Pasal 104 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan 64 (1) Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau khasiat/manfaat. 1.2.3 Pasal 106 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar. (2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan. (3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 1.3 Persyaratan Mutu, Keamanan dan Kemanfaatan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan 1.3.1 Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan 65 (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diproduksi dan/atau diedarkan harus memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan. (2) P ersyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk: a. Sediaan farmasi yang berupa bahan obat dan obat sesuai dengan persyaratan dalam buku Farmakope atau buku standar lainnya yang ditetapkan oleh Menteri; b. Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional sesuai dengan persyaratan dalam buku Materia Medika Indonesia yang ditetapkan okeh Menteri; c. Sediaan farmasi yang berupa kosmetika sesuai dengan persyaratan dalam buku Kodeks Kosmetika Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri; d. Alat kesehatan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri. 1.4 Produksi Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan 1.4.1 Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan Sediaan Farmasi dan alat kesehatan hanya da pat diproduksi oleh badan usaha yang telah memiliki izin usaha industri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 66 1.4.2 Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan a. Ketentuan seba gaimana dimaksud dalam Pasal 3 tidak berlaku bagi sediaan farmasi yang berupa obat tradisional yang diproduksi oleh perorangan. b. Ketentuan lebih lanjut mengenai produksi sediaan farmasi yang berupa obat tradisional oleh perorangan diatur oleh Menteri. 1.5 Krite ria Obat Jadi 1.5.1 Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 949/Menkes//Per/VI/2000 tentang Registrasi Obat Jadi Obat jadi yang dapat memiliki izin edar harus memenuhi kriteria berikut: (1) Khasiat yang meyakinkan dan keamanan yang memadai dibuktikan melalui percobaan hewan dan uji klinis atau bukti-bukti lain sesuai dengan status perkembangan ilmu pengetahuan yang bersangkutan. (2) Mutu yang memenuhi syarat yang dinilai dari proses produksi sesuai CPOB, spesifikasi dan metoda pengujian terhadap semua bahan yang digunakan serta produk jadi dengan bukti yang sahih. 67 (3) Penandaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang dapat menjamin penggunaan obat secara tepat, rasional dan aman. (4) Sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat. 1.6 Izin Industri Farmasi 1.6.1 Pasal 2 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi (1) Proses pembuatan obat dan/atau bahan obat yang hanya dapat dilakukan oleh Industri Farmasi. (2) Selain Industri Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Instalasi Farmasi Rumah Sakit dapat melakukan proses pembuatan obat untuk keperluan pelaksanaan pelayanan kesehatan di rumah sakit yang bersangkutan. (3) Instalasi Farmasi Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan CPOB yang dibuktikan dengan sertifikat CPOB. 1.6.2 Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi (1) Setiap pendirian Industri Farmasi wajib memperoleh izin industri farmasi dari Direktur Jenderal. (2) Industri Farmasi yang membuat obat dan/atau bahan obat yang termasuk dalam golongan narkotika wajib 68 memperoleh izin khusus untuk memproduksi narkotika sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. 1.6.3 Pasal 5 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi (1) Syarat untuk memperoleh izin industri farmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) terdiri atas : a. berbadan usaha berupa perseroan terbatas; b. memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat; c. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak; d. memiliki secara tetap paling sedikit 3 (tiga) orang apoteker Warga Negara Indonesia masing-masing sebagai penganggung jawab pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu; dan e. komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak langsung dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang kefarmasian. 1.6.4 Pasal 8 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi (1) Industri Farmasi wajib memenuhi persyaratan CPOB. (2) Pemenuhan persyaratan CPOB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat CPOB. 69 (3) Sertifikat CPOB berlaku selama 5 (lima) tahun sepanjang memenuhi persyaratan. 1.7 Penyelenggaraan Industri Farmasi 1.7.1 Pasal 20 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi (1) Industri Farmasi yang menghasilkan obat dapat mendistribusikan atau menyalurkan hasil produksinya langsung kepada pedagang besar farmasi, apotek, instalasi farmasi rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, klinik, dan toko obat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Industri Farmasi yang menghasilkan bahan obat dapat mendistribusikan atau menyalurkan hasil produksinya langsung kepada pedagang besar bahan baku farmasi, dan instalasi farmasi rumah sakit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 1.8 Izin Edar 1.8.1 Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah memperoleh izin edar dari Menteri. 70 (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi sediaan farmasi yang berupa obat tradisional yang diproduksi oleh perorangan. 1.8.2 Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dimohonkan untuk memperoleh izin edar diuji dari segi mutu, keamanan, dan kemanfaatan. 1.9 Penandaan dan Informasi Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan 1.9.1 Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (1) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan untuk melindungi masyarakat dari informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak obyektif, tidak lengkap serta menyesatkan. (2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan dapat berbentuk gambar, warna, tulisan atau kombinasi antara atau ketiganya atau bentuk lainnya yang disertakan pada kemasan atau dimasukkan dalam kemasan, atau merupakan bagian dari wadah dan/atau kemasannya. 1.9.2 Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan 71 Badan usaha yang mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan harus mencantumkan penanda an dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan. 1.9.3 Pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (1) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan yang harus dicantumkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 harus memenuhi persyaratan berbentuk tulisan yang berisi keterangan mengenai sediaan farmasi dan alat kesehatan secara obyektif, lengkap serta tidak menyesatkan. (2) Keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya berisi: a. nama produk dan/atau merek dagang; b. nama badan usaha yang memproduksi atau memasukkan sediaan farmasi dan alat kesehatan ke dalam wilayah Indonesia; c. komponen pokok sediaan farmasi dan alat kesehatan; d. tata cara penggunaan; e. tanda peringatan atau efek samping; f. batas waktu kadaluwarsa untuk sediaan farmasi tertentu. 72 1.10 Iklan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan 1.10.1 Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan Iklan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diedarkan harus memuat keterangan mengenai sediaan farmasi dan alat kesehatan secara obyektif, lengkap, dan tidak menyesatkan. 1.10.2 Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan Sediaan farmasi yang berupa obat untuk pelayanan kesehatan yang penyerahannya dilakukan berdasarkan resep dokter hanya dapat dilakukan pada media cetak ilmiah kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi. 1.10.3 Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan Iklan mengenai sediaan farmasi dan alat kesehatan pada media apapun yang dipergunakan untuk menyebarkan iklan dilaksanakan dengan memperhatikan etika periklanan. 1.11 Penyerahan Obat Keras 1.11.1 Pasal 3 Undang-Undang Obat Keras (St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949) (1) Penyerahan persediaan untuk penyerahan dan penawaran untuk penjualan dari bahan-bahan G, demikian pula memiliki bahan-bahan ini dalam jumlah sedemikian rupa 73 sehingga secara normal tidak dapat diterima bahwa bahanbahan ini hanya diperuntukkan pemakaian pribadi, adalah dilarang. Larangan ini tidak berlaku untuk pedagangpedagang besar yang diakui, Apoteker-apoteker, yang memimpin Apotek dan Dokter Hewan. (2) Penyerahan dari bahan-bahan G, yang menyimpang dari resep Dokter, Dokter Gigi, Dokter Hewan dilarang, larangan ini tidak berlaku bagi penyerahan-penyerahan kepada Pedagang-pedagang besar yang diakui, Apotekerapoteker, Dokter-dokter Gigi dan Dokter-dokter Hewan demikian juga tidak terhadap penyerahan-penyerahan menurut ketentuan pada Pasal 7 ayat (5). 1.12 Pengujian Kembali Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan 1.12.1 Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan Untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan, dilakukan pengujian kembali sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diedarkan. 1.12.2 Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan 74 Pengujian kembali sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diedarkan dilaksanakan: a. secara berkala; atau b. karena adanya data atau informasi baru berkenaan dengan efek samping sediaan farmasi dan alat kesehatan bagi masyarakat. 1.13 Tanggung Jawab Pelaku Usaha 1.13.1 Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (1) Penarikan kembali sediaan farmasi dan alat kesehatan dari peredaran karena dicabut izin edarnya dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab badan usaha yang memproduksi dan/atau mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan. 1.14 Peran Serta Masyarakat 1.14.1 Pasal 49 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan Masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan serta yang seluas-luasnya dalam mewujudkan perlindungan masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak tepat dan/atu tidak memenuhi persyaratan mutu, keama nan, dan kemanfaatan. 75 1.14.2 Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan Peran serta masyarakat dilaksanakan melalui: a. penyelenggaraan produksi dan peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan; b. penyelenggaraan, pemberian bantuan, dan/atau kerja sama dalam kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang sediaan farmasi dan alat kesehatan; c. sumbangan pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan penentuan kebijaksanaan dan/atau pelaksanaan program pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan; d. melaporkan kepada instansi Pemerintah yang berwenang dan/atau melakukan tindakan yang diperlukan atas terjadinya penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak rasional dan/atau memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan; e. keikutsertaan dalam penyebarluasan informasi kepada masyarakat berkenaan dengan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tepat serta memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan. 76 1.15 Pembinaan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan 1.15.1 Pasal 54 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan Menteri melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan. 1.16 Pengawasan 1.16.1 Pasal 64 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan Pengawasan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan oleh Menteri. 1.16.2 Pasal 65 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan Menteri dalam melaksanakan pengawasan, mengangkat tenaga pengawas yang bertugas melakukan pemeriksaan di bidang pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan. 1.17 Ganti Rugi 1.17.1 Pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (1) Setiap orang mempunyai hak untuk mendapatkan ganti rugi apabila sediaan farmasi dan alat kesehatan yang digunakan mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat atau 77 kematian yang terjadi karena sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu, kemanan, dan kemanfaatan. (2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. 1.18 Sanksi 1.18.1 Pasal 26 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi (1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan ini dapat dikenanakan sanksi administratrif berupa: a. peringatan secara tertulis; b. larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk penarikan kembali obat atau bahan bahan obat dari peredaran bagi obat atau bahan obat yang tidak memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu; c. perintah pemusnahan obat atau bahan obat, jika terbukti tidak memenuhi persyaratan khasiat/kemanfaatan, atau mutu; d. penghentian sementara kegiatan; e. pembekuan izin industru farmasi; atau f. pencabutan izin industri farmasi. keamanan, 78 (2) Penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat dikenakan untuk seluruh kegiatan atau sebagian kegiatan. (3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d diberikan oleh Kepala Badan. (4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf f diberikan oleh Direktur Jenderal atar rekomendasi Kepala Badan. 2. Data Primer 2.1 Berdasarkan wawancara dengan ibu Andina Padmaningrum dari seksi farmasi, makanan, minuman dan perbekalan kesehatan dari pihak Dinas Kesehatan di Kabupaten Banyumas, diperoleh data -data sebagai berikut: 2.1.1 Dinas Kesehatan dalam menjalankan tugasnya bekerjasama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yakni berkaitan dengan penilaian khasiat/kemanfaatan, kemanan, mutu, dan penandaan serta analisis laboratorium dalam rangka pemberian izin edar obat termasuk narkotika, bahan obat, obat tradisional, kosmetika, dan makanan. 2.1.2 Dinas Kesehatan melakukan pengawasan dibidang obat dan makanan dengan tujuan untuk melindungi masyarakat dari obat dan makanan yang berisiko terhadap kesehatan masyarakat serta 79 menjamin agar obat dan makanan aman, bermanfaat dan bermutu. 2.1.3 Pengawasan produk obat yang dilakukan Dinas Kesehatan yaitu: a. Petugas Dinas Kesehatan memberikan pembinaan terhadap pelaku usaha melalui penyuluhan keamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang terkait dengan persoalan sediaan farmasi dan alat kesehatan dan sanksi bagi pelanggaran ketentuan sediaan farmasi dan alat kesehatan. b. Pembinaan terhadap pelaku usaha disertai dengan peringatan lisan agar pelaku usaha menetapkan standar minimal prosedur, tempat, dan peralatan pembuatan sediaan obat dalam hal ini obat pelangsing sebagai produk obat jadi, sehingga kebersihan dan ketepatan penggunaannya dapat memenuhi standar. 2.1.4 Kegiatan pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan terhadap obat-obatan yang beredar di masyarakat adalah : a. Penjadwalan secara rutin yang dibuat sesuai dengan waktu yang telah ditentukan yakni tiga bulan sekali. b. Pengawasan di luar jadwal dilakukan apabila ada laporan atau pengaduan dari masyarakat terkait dengan adanya obat yang membahayakan kesehatan. 80 2.1.5 Dalam hal terjadi kerugian atau korban akibat penggunaan obat pelangsing yang mengandung bahan berbahaya seperti sibutramine, maka dapat mengadukan hal tersebut kepada Unit Layanan Pengaduan Konsumen Obat dan Makanan (ULPK) BPOM. 2.1.6 Pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas akan meminta bantuan pengujian terhadap obat pelangsing yang mengandung bahan berbahaya kepada BPOM Semarang. BPOM Semarang akan melakukan pengujian terhadap obat pelangsing yang diduga mengandung bahan berbahaya yang telah merugikan konsumen. Apabila terbukti bahwa obat pelangsing tersebut mengandung bahan yang berbahaya maka obat pelangsing tersebut akan ditarik dan dilarang untuk diedarkan. 2.1.7 Penyelesaian sengketa antara konsumen dan pelaku usaha dapat diselesaikan melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum maupun penyelesaian sengketa secara damai karena di Kabupaten Banyumas belum terdapat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). 2.1.8 Konsumen yang dirugikan akibat mengkonsumsi produk barang dan/atau jasa dari pelaku usaha, maka pelaku usaha wajib untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen yang mengalami kerugian. 81 2.1.9 Peraturan khusus yang mengatur mengenai obat pelangsing memang belum ada, oleh karena itu masih mengacu pada beberapa peraturan yang berkaitan dengan sediaan farmasi dan alat kesehatan seperti peraturan mengenai produk sediaan obat jadi dan obat keras. 2.2 Berdasarkan wawancara dengan Bapak Dian Eri Rahmadi sebagai Kepala Seksi Pembinaan dan Pengendalian Usaha Perdagangan dari pihak Dinas Perdagangan Kabupaten Banyumas, diperoleh data -data sebagai berikut: 2.2.1 Setiap produk termasuk obat pelangsing sebagai produk obat jadi yang dihasilkan oleh pelaku usaha harus diberi label berupa informasi dan penandaan yang berisi mengenai tanggal kadaluwarsa, merek, nama produsen dan tidak boleh menggunakan kata-kata yang menyesatkan serta dibuat dalam bahasa Indonesia. 2.2.2 Konsumen yang cerdas tidak mudah terpengaruh dengan iklan dari suatu produk atau pun merek yang ditawarkan oleh pelaku usaha, namun pada kenyataannya kesadaran konsumen saat ini memang masih rendah, sehingga masih banyak konsumen yang terjebak untuk menggunakan produk yang sebena rnya berbahaya, oleh karena itu dinas melakukan pembinaan dan pendidikan salah satunya dengan melakukan penyuluhan kepada masyarakat. 82 2.2.3 Dinas Perdagangan memberikan fasilitas mediasi antara pelaku usaha dengan konsumen apabila kasusnya tidak mau untuk dibawa ke jalur hukum, jadi Dinas Perdagangan mempunyai fasilitas penyelesaian sengketa di luar pengadilan. 2.2.4 Konsumen yang merasa dirugikan karena penggunaan obat pelangsing berbahaya yang dibelinya secara on-line dapat melaporkannya ke dinas perdagangan dengan membawa bukti transaksi dengan produk obat pelangsing yang telah dibeli dan digunakannya. B. Pembahasan Perlindungan hukum terhadap konsumen sebagai pengguna obat pelangsing berbahaya berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini adalah sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen pengguna obat pelangsing berbahaya serta bentuk perlindungan hukum kepada konsumen yang dirugikan akibat mengkonsumsi obat pelangsing berbahaya tersebut. Konsumen merupakan pihak yang sangat berperan dalam perkembangan dunia perdagangan, namun kedudukan konsumen saat ini masih lemah jika dibandingkan dengan pelaku usaha dikarenakan masih banyak konsumen ya ng belum mengetahui dan sadar akan hak-hak yang dimilikinya, selain itu perilaku pelaku usaha yang sering menyimpang dari peraturan dalam memproduksi suatu barang juga menjadi salah satu faktor tidak terpenuhinya hak-hak konsumen dengan baik. 83 Pengertian konsumen menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah : “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.” Az. Nasution memberikan rumusan pengertian konsumen sebagai berikut : “Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan secara sah dan menggunakan barang atau jasa untuk suatu kegunaan tertentu.”36 Uraian mengenai pengertian konsumen di atas bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia di dalam masyarakat serta diperoleh secara sah, jadi yang dimaksud konsumen adalah sebagai konsumen akhir, karena barang dan/atau jasa yang diperolehnya untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan kembali. Berdasarkan data sekunder nomor 1.1.2 angka 1 tentang pengertian sediaan farmasi bahwa sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika, data sekunder nomor 1.1.4 angka 1 tentang pengertian obat bahwa obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia, apa bila dikaitkan dengan pengertian konsumen dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen serta pendapat Az. Nasution maka dapat dideskripsikan 36 Az. Nasution, 1995, Konsumen dan Hukum, Jakarta : CV. Muliasari, hlm. 69. 84 bahwa yang dimaksud dengan konsumen dalam penelitian ini adalah manusia sebagai konsumen pengguna obat yang dalam hal ini adalah obat pelangsing berbahaya yang tersedia di dalam masyarakat. Pengertian pelaku usaha menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa: “Pelaku usaha adalah setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai kegiatan ekonomi”. Menurut penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen pelaku usaha termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. Menurut Az. Nasution pelaku usaha berdasarkan pasal tersebut terdiri dari : a. b. c. Pelaku usaha sebagai pencipta/pembuat barang yang menjadi sumber terwujudnya barang yang aman dan tidak merugikan konsumen. Pedagang sebagai pihak yang menyampaikan barang kepada konsumen. Pengusaha jasa. 37 Berdasarkan data sekunder nomor 1.1.4 angka 2 tentang pengertian industri farmasi bahwa industri farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat, data sekunder nomor 1.4.1 tentang produksi sediaan farmasi dan alat kesehatan, serta data sekunder nomor 1.7.1 tentang penyelenggaraan industri farmasi, apabila dikaitkan dengan pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen serta didukung oleh pendapat Az. Nasution maka dapat dideskripsikan bahwa pelaku usaha yang dimaksud dalam penelitian ini 37 Az. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Op. Cit., hlm. 10. 85 adalah badan usaha yang telah memiliki izin, serta pedagang sebagai pihak yang menyampaikan barang kepada konsumen juga dapat dikatakan sebagai pelaku usaha, sehingga mereka bertanggungjawab apabila obat pelangsing yang mereka produksi atau mereka jual ternyata merugikan konsumen, karena mengandung bahan berbahaya seperti sibutramine. Pelaku usaha sebagai pihak yang bertanggungjawab atas diproduksinya atau pun beredarnya suatu barang dalam hal ini obat pelangsing wajib menjaga keamanan dan keselamatan dari penggunaan obat pelangsing tersebut. Hubungan hukum antara konsumen dengan pelaku usaha telah memunculkan adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak. Konsumen yang merasa haknya dilanggar dapat mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pelaku usaha yang telah menerbitkan kerugian tersebut, sehingga konsumen yang merasa dirugikan akibat penggunaan obat pelangsing berbahaya dapat mengajukan tuntutan ganti rugi sebagai bentuk tanggung jawab dari pelaku usaha. Tanggung jawab ini disebut dengan tanggung jawab produk yakni bentuk pertanggungjawaban atas dasar perbuatan melawan hukum. Agnes M. Toar: “Tanggung jawab produk adalah tanggung jawab para produsen untuk produk yang telah dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan/menyebabkan kerugian karena cacad yang melekat pada produk tersebut.”38 38 Agnes M. Toar, Penyalahgunaan Keadaan dan Tanggung Jawab atas Produk di Indonesia, Makalah, Disajikan Dalam Seminar Dua Hari tentang Pertanggungan Jawab Produk dan Kontrak Bangunan yang Diselenggarakan oleh Yayasan Pusat Pengkajian Indonesia Bekerjasama dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 25-26 Agustus, 1988., hlm. 6 dalam buku Ahmadi Miru, 2013, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia (Edisi I, Cetakan Ke-2, Jakarta : Rajawali Pers, hlm. 31. 86 Berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata bahwa : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Perbuatan melawan hukum tidak lagi hanya sebagai perbuatan (aktif), tetapi juga sebagai kealpaan atau tidak berbuat (pasif), dan tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tetapi juga bertentangan atau tidak sesuai dengan kesusilaan dan kepantasan yang hidup di dalam masyarakat. Artinya bahwa konsumen pengguna obat pelangsing berbahaya yang mengalami kerugian karena mengkonsumsi obat pelangsing tersebut dapat meminta ganti rugi kepada pelaku usaha yakni badan usaha yang telah memproduksi obat pelangsing berbahaya yang disebut dengan tanggung jawab produk. Hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen ini adalah hubungan tidak langsung, sehingga pertanggungjawaban pelaku usaha atas produknya yang menimbulkan kerugian kepada konsumen dinamakan dengan tanggung jawab produk (product liability). Pertanggungjawaban produk tidak didasarkan pada contractual liability, tetapi didasarkan pada tanggung jawab atas dasar perbuatan melawan hukum. Pedagang dapat dikatakan sebagai pelaku usaha karena pedagang adalah sebagai pihak yang menyampaikan barang kepada konsumen, sehingga konsumen juga dapat meminta ganti rugi kepada pedagang yang telah menjual obat pelangsing berbahaya, karena kesalahannya obat pelangsing berbahaya tersebut bisa sampai ke tangan konsumen tanpa pedagang terlebih dulu memastikan 87 apakah obat pelangsing yang dijualnya itu benar -benar aman. Hubungan antara pedagang sebagai pelaku usaha dengan konsumen ini adalah hubungan langsung, atas dasar adanya hubungan langsung inilah konsumen yang merasa dirugikan dapat meminta ganti rugi kepada peda gang karena telah menjual produk yang membahayakan keamanan dan keselamatan konsumen, karena produk obat pelangsing yang diterima tidak sebagaimana mestinya seperti yang telah diharapkan oleh konsumen. Sikap kurang hati-hati yang dimiliki oleh pedagang inilah menyebabkan obat pelangsing berbahaya yang dijualnya dapat sampai ke tangan konsumen. Pelaku usaha yang meliputi berbagai bentuk/jenis usaha sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, sebaiknya ditentukan urutan-urutan yang seharusnya digugat oleh konsumen manakala dirugikan oleh pelaku usaha, yakni : a. b. c. yang pertama digugat adalah pelaku usaha yang membuat produk tersebut jika berdomisili di dalam negeri dan domisilinya diketahui oleh konsumen yang dirugikan. apabila produk yang merugikan konsumen tersebut diproduksi di luar negeri, maka yang digugat adalah importirnya, karena UUPK tidak mencakup pelaku usaha di luar negeri. apabila produsen maupun importir dari suatu produk tidak diketahui, maka yang digugat adalah penjual dari siapa konsumen membeli barang tersebut. 39 Artinya, konsumen yang merasa dirugikan akibat me nggunakan produk obat pelangsing berbahaya dapat meminta tanggung jawab atau ganti rugi kepada pelaku usaha, karena perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku usaha baik 39 Ahmadi Miru, 2000, Prinsip-Prinsip Per lindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Op. Cit., hlm. 31-32 88 sebagai pe rbuatan aktif maupun karena kealpaannya telah merugikan orang lain yakni konsumen yang mengkonsumsi obat pelangsing berbahaya tersebut. Penelitian ini menggunakan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai dasar karena berdasarkan hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen yang telah dijabarkan di atas bahwa konsumen yang merasa dirugikan karena penggunaan obat pelangsing berbahaya dengan campuran bahan berbahaya seperti sibutramine telah dilanggar hakhaknya sebagai konsumen, oleh karena itu konsumen yang merasa haknya dilanggar dan merasa dirugikan dapat meminta ganti rugi kepada pelaku usaha. Pelaku usaha dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum, karena telah menimbulkan kerugian kepada konsumen sebagai pengguna obat pelangsing berbahaya, selain itu pelaku usaha juga telah melakukan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) UndangUndang tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa : “Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.” Atas dasar kerugian ya ng diderita oleh konsumen karena hak-haknya tidak terpenuhi yang disebabkan adanya pelanggaran yang telah dilakukan oleh pelaku usaha , maka konsumen dapat menggunakan Undang-Undang tentang 89 Perlindungan Konsumen sebagai dasar bahwa pelaku usaha telah merugikan dan melanggar hak-hak konsumen sebagai pengguna obat pelangsing. Jual beli produk obat jadi seperti obat pelangsing tidaklah dilarang sepanjang obat pelangsing tersebut telah melalui proses dan prosedur sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.33.12.12.8195 Tahun 2012 tentang Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat Yang Baik. Obat pelangsing sebagai produk sediaan obat jadi yang siap diedarkan kepada masyarakat harus memiliki sertifikat CPOB yakni dokumen sah yang merupakan bukti bahwa badan usaha yang memproduksi obat pelangsing telah memenuhi persyaratan CPOB dalam membuat satu jenis bentuk sediaan obat yang diterbitkan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Tidak semua produk obat pelangsing yang beredar di masyarakat aman untuk dikonsumsi, karena pada kenyataannya masih ada obat pelangsing berbahaya yakni obat pelangsing dengan campuran bahan berbahaya seperti sibutramine dengan dosis yang belum tentu tepat sehingga dapat membahayakan keamanan dan keselamatan konsumen. Sibutramine adalah obat dengan senyawa kimia yang bekerja dengan cara menghambat ambilan (reuptake) norepinefrin, serotonin, dan dopamin. Sibutramine ini merupakan obat yang membantu melangsingkan yang mempunyai efek negatif lebih banyak dari pada efek positifnya. Efek samping yang sering muncul terhadap penggunaan sibutramine dalam obat pelangsing adalah sakit kepala, insomnia, konstipasi, migrain, depresi, hipertensi, takikardia, mulut kering. Sibutramin e merupakan golongan obat keras yang digunakan dalam pengobatan obesitas, dimana ini hanya dapat diperoleh dan dapat digunakan 90 berdasarkan resep dokter untuk menentukan dosis yang tepat, namun kenyataannya obat ini banyak ditemukan dan dijual secara bebas di pasaran. Obat pelangsing yang mengandung bahan berbahaya seperti sibutramine inilah merupakan obat pelangsing berbahaya yang tidak diperbolehkan untuk dijadikan objek dalam perjanjian jual beli, namun dikarenakan kesadaran konsumen yang dirasa masih rendah sehingga masih banyak konsumen yang percaya terhadap produk-produk obat pelangsing yang dijual secara ilegal dan sebenarnya membahayaka n keamanan dan keselamatan konsumen. Obat pelangsing yang diperbolehkan untuk menjadi objek jual beli adalah obat pelangsing yang legal dan mempunyai izin BPOM, serta harus memuat nama produk dan/atau merek dagang, nama badan usaha yang memproduksi, komponen pokok, tata cara penggunaan, tanda peringatan atau efek samping, batas waktu kadaluwarsa. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sendiri melalui keterangan persnya nomor : PN.01.04.1.31.10.10.9829 telah melakukan pembatalan izin edar dan penarikan produk obat yang mengandung sibutramine, dalam hal ini termasuk produk sediaan obat pelangsing yang mengandung sibutramine. Sibutramine merupakan obat yang dihasilkan sebagai pengobatan adjuvant dalam membantu penurunan kelebihan berat badan (overweight dan obesity) disamping olah raga dan pengaturan diet. Artinya, bahwa pembatalan izin edar dan penarikan sediaan obat jadi juga dilakukan terhadap bentuk sediaan obat pelangsing yang mengandung bahan berbahaya sibutramine, sehingga peredaran obat pelangsing dengan campuran bahan berbahaya sibutramine sudah jelas tidak diperbolehkan. 91 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa: “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan konsumen.” Shidarta berpendapat bahwa : “Perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum, sehingga perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Materi yang mendapatkan perlindungan bukan sekedar fisik, melainkan juga hak-haknya yang bersifat abstrak, dengan kata lain perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen”.40 Perlindungan konsumen dimaksudkan untuk melindungi hak-hak konsumen dari perilaku curang yang dilakukan oleh pelaku usaha sebagai pihak yang mempunyai kedudukan yang lebih kuat dari konsumen. Pelaku usaha diwajibkan untuk melaksanakan kewajibannya dalam memproduksi suatu barang dan/atau jasa sebagai suatu upaya untuk terwujudnya perlindungan terhadap hak-hak konsumen. Pengaturan mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha ini untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi pelaku usaha dan sebagai keseimbangan atas hak dan kewajiban yang diberikan kepada konsumen, karena Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen bukan semata-mata untuk membalikan kedudukan konsumen dari kedudukan yang lemah menjadi kuat dan sebaliknya pelaku usaha yang menjadi lemah. Perlindungan konsumen dapat terwujud dengan pemenuhan hak-hak konsumen yang dilakukan oleh pelaku usaha, selain itu konsumen sendiri juga harus mempunyai kesadaran akan hak-haknya sebagai konsumen. 40 Shidarta, Op. Cit., hlm. 19. 92 Hak-hak konsumen yang terdapat dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut : a. b. c. d. e. f. g. h. i. hak atas kenyamanan, keamanan, dan kesela matan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; hak untuk memilih barang dan/jasa serta mendapatkan barang dan/jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/jsa yang digunakan; hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang ditermia tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Masing-masing hak yang telah disebutkan di atas dapat diuraikan sebagai berikut : a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang dan jasa yang ditawarkan kepadanya. Produk barang dan/atau jasa itu tidak boleh membahayakan, sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani dan rohani. Konsumsi obat sangat erat kaitannya dengan keamanan dan keselamatan penggunanya. Mengkonsumsi obat yang aman dan bermutu dapat menjaga kesehatan dan dapat dirasakan kemanfaatannya secara nyata, selain itu keselamatannya pun akan terlindungi dari bahaya -bahaya yang 93 ditimbulkan dari obat yang mengandung bahan berbahaya dan tidak memenuhi persyaratan. Produk yang bermutu adalah produk yang memenuhi spesifikasi, identitas dan karakteristik yang ditetapkan, dan produk yang aman adalah produk yang tidak mengandung bahan-bahan yang dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan manusia seperti menimbulkan penyakit atau keracunan. Faktor kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi obat sangatlah penting. Obat pelangsing sebagai salah satu sediaan obat yang dapat dikonsumsi oleh konsumen haruslah nyaman, aman dan tidak membahayakan diri konsumen. Pelaku usaha yang memproduksi obat pelangsing berbahaya dengan campuran bahan berbahaya seperti sibutramine bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen akibat menggunakan obat pelangsing berbahaya tersebut. Pasal 4 huruf a Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa salah satu hak konsumen yakni: “Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo berpendapat bahwa : “Hak atas keamanan dan keselamatan dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang atau 94 jasa yang diperolehnya sehingga terhindar dari kerugian fisik maupun psikis apabila mengkonsumsi suatu produk”. 41 Berdasarkan data sekunder nomor 1.2.1 tentang pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan, data sekunder nomor 1.3.1 tentang persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan sediaan farmasi dan alat kesehatan, data sekunder nomor 1.8.2 tentang izin edar, apabila dikaitkan dengan Pasal 4 huruf a Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, serta data primer nomor 2.1.1 tentang kerjasama antara Dinas Kesehatan dengan BPOM dalam melakukan penilaian khasiat/manfaat, keamanan, mutu dan penandaan terhadap izin edar obat supaya obat pelangsing yang beredar di masyarakat memang benar-benar obat yang telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan, sesuai dengan tujuan penggunaannya, dan tidak menimbulkan risiko yang membahayakan dikarenakan adanya kandungan bahan berbahaya ataupun karena mutunya rendah, maka dapat dideskripsikan bahwa secara normatif hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang berupa obat pelangsing sudah mendapatkan perlindungan hukum, namun pada kenyataan yang ada di lapanga n, bahwa ternyata masih ada penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pelaku usaha, yakni masih ada pelaku usaha yang memproduksi obat pelangsing dengan campuran bahan berbahaya, sehingga sebagai konsumen pengguna obat pelangsing di Kabupaten Banyumas belum memperoleh perlindungan secara maksimal atas 41 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit., hlm. 41. 95 haknya untuk mendapatkan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi obat pelangsing dikarenakan masih terdapat adanya campuran dengan bahan berbahaya seperti sibutramine yang dapat membahayakan keamanan serta keselamatan konsumen, sehingga konsumen akan merasa dirugikan. b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; Hak untuk memilih ini dapat terwujud apabila konsumen dihadapkan pada beberapa merek produk obat pelangsing, kemudian pada saat itulah konsumen dapat memilih sesuai dengan keinginan dan kemampuannya produk obat pelangsing mana yang akan dibelinya. Pasal 4 huruf b Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa salah satu hak konsumen yakni : “Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan”. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menyatakan bahwa : “Hak memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai dengan kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari pihak luar. Berdasarkan hak untuk memilih ini konsumen berhak memutuskan untuk membeli tidak terhadap suatu produk, demikian pula keputusan untuk memilih baik kualitas maupun kuantitas jenis produk yang dipilihnya. Hak untuk memilih yang dimiliki oleh konsumen hanya ada jika ada alternatif pilihan dari jenis produk tertentu, karena jika suatu produk dikuasai secara monopoli oleh suatu produsen atau dengan kata lain tidak ada 96 pilihan lain (baik bara ng maupun jasa), maka dengan sendirinya hak untuk memilih ini tidak akan berfungsi”. 42 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen dalam memilih barang dan/atau jasa yakni dalam Pasal 4 huruf b sebagai hak untuk memilih dan Pasal 5 huruf c sebagai kewajiban untuk membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati terhadap barang dan/jasa yang telah dipilih oleh konsumen tersebut. Peredaran produk obat pelangsing di Kabupaten Banyumas tidaklah dilarang, dengan syarat obat pelangsing tersebut telah mempunyai izin edar, memuat informasi dalam penandaan yang benar, dan dibuat sesuai dengan CPOB. Obat pelangsing yang dilarang adalah obat pelangsing berbahaya yang mengandung bahan berbahaya seperti sibutramine yang efek sampingnya konsumen. mengganggu keamanan dan keselamatan Pencantuman informasi dalam penandaan mengenai komposisi obat pelangsing sangat diperlukan, dengan adanya informasi dalam penandaan tersebut maka dapat memberikan kebebasan kepada konsumen untuk memilih, serta supaya konsumen lebih mengenal dan mengetahui produk obat pelangsing yang akan dikonsumsinya, sehingga setelah membaca informasi yang terdapat dalam penandaan obat pelangsing tersebut konsumen dapat memilih obat pelangsing mana yang akan dikonsumsinya dengan berdasarkan pada kualitas dan kemampuannya untuk membayar. Berdasarkan data sekunder nomor 1.5.1 tentang kriteria obat jadi dan data sekunder nomor 1.9.2 tentang kewajiban penandaan dan informasi 42 Ibid., hlm. 42. 97 sediaan farmasi dan alat kesehatan, apabila dikaitkan dengan Pasal 4 huruf b Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen serta pendapat dari Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, didukung dengan data primer nomor 2.1.2 tentang pengawasan dibidang obat dan makanan untuk menjamin agar obat dan makanan aman, bermanfaat dan bermutu yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan, maka dapat dideskripsikan bahwa secara normatif hak konsumen untuk memilih barang dan/atau jasa sudah terpenuhi, karena konsumen dalam hal ini sudah diberikan kebebasan untuk memilih obat pelangsing mana yang akan dikonsumsinya dengan berdasarkan pada kualitas dan kemampuan nilai tukarnya untuk membayar. Konsumen sebagai pengguna obat pelangsing di sini selain mendapat jaminan dari pelaku usaha bahwa produknya aman untuk dikonsumsi, juga mendapat jaminan dari Dinas Kesehatan karena telah melakukan pengawasan terhadap peredaran obat serta menjamin bahwa obat pelangsing yang beredar di masyarakat adalah obat pelangsing yang aman, bermanfaat dan bermutu, sehingga konsumen dapat menggunakan haknya untuk memilih obat pelangsing mana yang akan dikonsumsinya, lain halnya yakni obat pelangsing berbahaya yang dapat beredar di masyarakat dikarenakan produk obat pelangsing tersebut tidak melalui pengujian dari BPOM dan beredar di masyarakat secara ilegal serta biasanya tidak mempunyai izin. Artinya, bahwa hak konsumen untuk memilih obat pelangsing yang akan digunakan atau dikonsumsinya sudah terpenuhi, dengan pencantuman informasi da n penandaan pada obat pelangsing maka 98 konsumen dapat berpikir dan memilih produk obat pelangsing yang akan dikonsumsinya. c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan ju jur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; Hak konsumen ini merupakan suatu kewajiban bagi pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan mengenai penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, karena pemberian informasi disamping merupakan hak konsumen, juga karena ketiadaan atau ketidakjelasan informasi dari pelaku usaha merupakan salah satu cacat produk yang merugikan konsumen. Informasi dan penandaan tentang produk obat pelangsing sangat memegang peranan penting, karena informasi yang benar dan jujur merupakan kebutuhan pokok bagi konsumen sebelum konsumen itu mengambil suatu keputusan untuk membeli atau tidak obat pelangsing tersebut. Informasi yang setengah benar, menyesatkan apalagi menipu, dengan sendirinya menghasilkan keputusan yang dapat menimbulkan kerugian materiil atau bahkan membahayakan kesehatan tubuh atau jiwa konsumen yang salah membeli produk obat pelangsing berbahaya itu. Informasi yang tercantum dalam penandaan produk obat pelangsing merupakan salah satu cara bagi pelaku usaha untuk melakuka n keterbukaan informasi dan merupakan hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur. 99 Pasal 4 huruf c Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa salah satu hak konsumen yakni : “Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”. Pasal 7 huruf b Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa salah satu kewajiban pelaku usaha yakni : “Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan”. Tujuan dengan adanya informasi dalam suatu produk adalah untuk memberikan tentang kejelasan agar konsumen dapat mengenal suatu barang dan/atau jasa yang diedarkan di masyarakat. Kejelasan mengenai informasi suatu barang dan/atau jasa dapat menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum. Pasal 3 huruf d Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa salah satu tujuan perlindungan konsumen antara lain adalah : “Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi”. Shidarta berpendapat bahwa: “Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan/atau jasa. Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti 100 secara lisan kepada konsumen melalui iklan, berbagai media, atau mencantumkan dalam kemasan produk (barang)”.43 Berdasarkan data sekunder nomor 1.1.3 angka 3 tentang pengert ian mengenai penandaan, data sekunder nomor 1.9.1; 1.9.2; 1.9.3 tentang penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan, apabila dikaitkan dengan Pasal 3 huruf d, Pasal 4 huruc c, dan Pasal 7 huruf b Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen serta pendapat Shidarta, maka dapat dideskripsikan bahwa secara normatif hak konsumen atas informasi yang benar, jelas, dan jujur sudah mendapatkan perlindungan hukum, namun pada kenyataannya masih ada pelaku usaha yang memproduksi obat pelangsing denga n campuran bahan berbahaya seperti sibutramine yang sebenarnya hal tersebut tidak boleh untuk dilakukan, dan juga mengenai komposisi obat pelangsing sering tidak dicantumkan dalam informasi dan penandaan, sehingga konsumen sebagai pengguna produk obat pelangsing berbahaya belum mendapatkan perlindungan hukum secara maksimal karena tidak adanya kejelasan informasi mengenai kandungan obat pelangsing yang di dalamnya mengandung bahan berbahaya seperti sibutramine dimana sebenarnya tidak boleh digunakan sebagai campuran karena dosisnya belum tentu tepat. Pelaku usaha yang pada penandaan produk obatnya tidak mencantumkan mengenai tanggal produksi dan kadaluwarsa obat, efek samping bahkan tidak memberikan kejelasan informasi mengenai komposisi obat pelangsing, dimana ternyata dalam obat pelangsing tersebut terdapat campuran dengan bahan berbahaya bagi keamanan dan keselamatan 43 Shidarta, Op. Cit., hlm. 23. 101 konsumen, hal tersebut dapat merugikan konsumen karena informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai obat pelangsing tidak didapatkan. Artinya, hak konsumen sebagai pengguna obat pelangsing berbahaya untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa belum terpenuhi secara maksimal. d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; Hak ini erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi, karena konsumen dapat menyampaikan keluhannya mengenai suatu produk barang dan/atau jasa kepada pemerintah atau pelaku usaha yang dapat disebabkan karena kurangnya informasi mengenai produk yang menyebabkan konsumen dapat mengalami kerugian. Hak untuk didengar pendapatnya dapat disampaikan secara perseorangan maupun secara kolektif, baik yang disampaikan secara langsung maupun diwakili oleh suatu lembaga tertentu. Pasal 4 huruf d Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa salah satu hak konsumen yakni : “Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan”. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo berpendapat bahwa : “Hak untuk didengar dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hak yang berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila informasi yang diperoleh tentang produk tersebut kurang memadai, ataukah berupa pengaduan adanya kerugian yang dialami akibat penggunaan suatu 102 produk atau berupa pernyataan atau pendapat tentang suatu kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan konsumen”.44 Berdasarkan data sekunder nomor 1.14.1; 1.14.2 tentang peran serta masyarakat bila dikaitkan dengan Pasal 4 huruf d Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, serta pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dan didukung dengan data primer nomor 2.1.5 tentang adanya Unit Layanan Pengaduan Konsumen Obat dan Makanan (ULPK) BPOM yang menampung segala bentuk pengaduan konsumen akibat terjadinya kerugian dari penggunaan obat pelangsing yang membahayakan kesehatan konsumen, serta data primer nomor 2.2.6 tentang pengaduan konsumen yang dirugikan akibat penggunaan barang yang dibelinya secara on-line dapat mengadukannya kepada Dinas Perdagangan dengan membawa produk barang yang dalam hal ini adalah obat pelangsing berbahaya dan membawa bukti transaksi, maka dapat dideskripsikan bahwa hak konsumen untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang berupa produk obat pelangsing berbahaya di Kabupaten Banyumas telah terpenuhi. e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa ini berkaitan dengan pemberian ganti rugi kepada konsumen yang mengalami kerugian akibat mengkonsumsi dan/atau menggunakan barang yang dalam hal ini adalah produk obat pelangsing. 44 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit., hlm. 43. 103 Pasal 4 huruf e Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa salah satu hak konsumen yakni : “Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut”. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo berpendapat bahwa : “Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum secara patut dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen yang telah dirugikan akibat penggunaan produk, dengan melalui jalur hukum”.45 Berdasarkan data sekunder nomor 1.18.1 tentang sanksi administratif, bila dikaitkan dengan Pasal 4 huruf e Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen serta pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dan didukung dengan data primer nomor 2.1.7 tentang penyelesaian sengketa konsumen di Kabupaten Banyumas diselesaikan melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum maupun penyelesaian secara damai karena di Kabupaten Banyumas belum terdapat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), dan data primer nomor 2.2.3 dimana Dinas Perdagangan memberikan fasilitas mediasi antara pelaku usaha yang memproduksi obat pelangsing berbahaya dengan konsumen pengguna obat pelangsing apabila kasusnya tidak mau untuk dibawa ke jalur hukum, jadi Dinas Perdagangan mempunyai fasilitas penyelesaian sengketa di luar pengadilan, maka dapat dideskripsikan bahwa di Kabupaten Banyumas hak konsumen sebagai 45 Ibid., hlm. 46. 104 pengguna obat pelangsing ber bahaya untuk memperoleh advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa konsumen telah terpenuhi. f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; Setiap orang sudah menjadi konsumen sejak ia dilahirkan, namun masih banyak konsumen yang belum mengetahui dan mengerti arti penting dari perlindungan konsumen itu sendiri. Adanya pemenuhan terhadap hak-hak konsumen inilah maka perlindungan konsumen dapat terwujud. Pasal 4 huruf f Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa salah satu hak konsumen yakni : “Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen”. Shidarta mengatakan bahwa : “Masalah perlindungan konsumen di Indonesia termasuk masalah yang baru. Oleh karena itu, wajar bila masih banyak konsumen yang belum menyadari hak-haknya. Kesadaran akan hak tidak dapat dipungkiri sejalan dengan kesadaran hukum. Makin tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat, makin tinggi penghormatannya pada hak-hak dirinya dan orang lain. Upaya pendidikan konsumen tidak selalu harus melewati jenja ng pendidikan formal tetapi dapat melalui media massa dan kegiatan lembaga swadaya masyarakat”. 46 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menyatakan bahwa : “Hak tersebut dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang diperlukan agar dapat terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk, karena dengan pendidikan konsumen tersebut, konsumen akan dapat menjadi lebih kritis dan teliti dalam memilih produk yang dibutuhkan”.47 Berdasarkan data sekunder nomor 1.15.1 tentang pembinaan sediaan farmasi dan alat kesehatan, apabila dikaitkan dengan Pasal 4 huruf f Undang- 46 47 Shidarta, Op. Cit., hlm. 33. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm. 44. 105 Undang tentang Perlindungan Konsumen dan pendapat Shidarta serta pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo didukung dengan data primer nomor 2.2.2 tentang pembinaan dan pendidikan yang dilakukan dengan melakukan penyuluhan kepada masyarakat, maka dapat dideskripsikan bahwa di Kabupaten Banyumas hak konsumen untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen telah terpenuhi. Adanya penyuluhan yang dilakukan oleh dinas merupakan salah satu bentuk pembinaan dan pendidikan kepada konsumen, karena pendidikan konsumen yang dimaksud bukanlah jenjang pendidikan secara formal, sehingga dengan adanya penyuluhan yang dilakukan oleh dinas maka kesadaran konsumen terhadap hak-haknya akan semakin meningka t. g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; Pasal 4 huruf g Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa salah satu hak konsumen yakni : “Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif”. Pasal 7 huruf c Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen menentukan bahwa : “Pelaku usaha harus memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif”. Penjelasan Pasal 7 huruf c Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa : 106 “Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan. Pelaku usaha dilarang membeda -bedakan mutu pelayanan kepada konsumen”. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menentukan bahwa : “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama”. Berdasarkan data sekunder nomor 1.9.2 tentang kewajiban untuk mencantumkan penandaan dan informasi pada kemasan sediaan farmasi dan alat kesehatan, apabila dikaitkan dengan Pasal 4 huruf g, Pasal 7 huruf c Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, dan Pasal 6 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, maka dapat dideskripsikan bahwa di Kabupaten Banyumas hak konsumen pengguna obat pelangsing untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif sudah terpenuhi. Adanya pelarangan untuk membuat perjanjian antara pembeli obat pelangsing dengan pelaku usaha yang mengakibatkan pembeli obat pelangsing yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang seharusnya dibayar oleh pembeli obat pelangsing lain untuk barang yang sama yakni obat pelangsing, artinya bahwa pelaku usaha dilarang untuk melakukan praktik diskriminatif terhadap konsumen dalam melakukan kegiatan usahanya. Hak konsumen pengguna obat pelangsing 107 untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif sudah terpenuhi, karena pelaku usaha dilarang untuk melakukan perjanjian dengan konsumen obat pelanging yang menyebabkan konsumen obat pelangs ing lain membayar harga yang berbeda untuk produk obat pelangsing yang sama. h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian merupakan hak konsumen yang menderita kerugian sebagai akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha. Kerugian yang dialami oleh konsumen dalam hal ini bukan hanya kerugian materi saja, tetapi kerugian fisik juga seperti sakit, cacat atau bahkan kematian. Konsumen yang mengalami kerugian baik materi maupun kerugian fisik sebagai akibat mengkonsumsi obat pelangsing yang mengandung bahan berbahaya yakni seperti sibutramine dapat meminta ganti rugi kepada pelaku usaha. Pasal 4 huruf h Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa salah satu hak konsumen yakni : “Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya”. 108 Pasal 7 huruf f Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan salah satu kewajiban konsumen adalah : “Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atau kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan”. Ganti rugi juga diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi : (1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan; (2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 1365 KUHPerdata menjelaskan bahwa : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Shidarta menyatakan bahwa : 109 “Jika konsumen merasakan kuantitas dan kualitas barang dan/jasa yang dikonsumsi tidak sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, ia berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas”.48 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menyatakan bahwa : “Hak atas ganti kerugian dimaksud untuk memulihkan kesehatan yang telah menjadi rusak (tidak seimbang) akibat adanya penggunaan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini sangat terkait dengan penggunaan produk yang telah merugikan konsumen, baik yang berupa kerugia n materi, maupun kerugian yang menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan kematian) konsumen. Untuk merealisasikan hak ini tentu saja harus melalui prosedur tertentu, baik yang diselesaikan secara damai (di luar pengadilan) maupun yang diselesaikan melalui pengadilan”.49 Berdasarkan data sekunder nomor 1.13.1 tentang tanggung jawab pelaku usaha untuk menarik kembali sediaan farmasi dan alat kesehatan dari peredaran karena dicabut izin edarnya, data sekunder nomor 1.17.1 tentang ganti rugi apabila sediaan farmasi dan alat kesehatan yang digunakan mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat atau kematian, apabila dikaitkan dengan Pasal 4 huruf h dan Pasal 7 huruf f Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, dan Pasal 1365 KUHPerdata, serta pendapat Shidarta, pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo didukung dengan data primer nomor 2.1.8 tentang penggantian kerugian yang dialami konsumen ditanggung oleh pelaku usaha, maka dapat dideskripsikan bahwa di Kabupaten Banyumas hak konsumen sebagai pengguna obat pelangsing berbahaya untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian telah terpenuhi, yang dikarenakan obat pelangsing yang diterima tidak 48 49 Shidarta, Op. Cit., hlm. 28. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm. 44. 110 sebagaimana mestinya seperti yang diharapkan konsumen, sehingga menimbulkan kerugian kepada konsumen. Hubungan hukum yang terjadi antara pelaku usaha dengan konsumen menimbulkan adanya hak dan kewajiban baik bagi konsumen maupun pelaku usaha, sehingga konsumen pengguna obat pelangsing berbahaya yang merasa haknya dilanggar dan dirugikan dapat mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pelaku usaha yang telah menerbitkan kerugian tersebut. Konsumen yang mengalami kerugian akibat penggunaan obat pelangsing yang mengandung bahan berbahaya seperti sibutramine akan mendapatkan penggantian kerugian apabila terbukti kerugian konsumen berupa terganggunya keamanan dan keselamatan konsumen tersebut merupakan akibat dari kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha , maka dalam hal seperti ini pelaku usaha wajib untuk memberikan penggantian kerugian kepada konsumen pengguna obat pelangsing berbahaya yang dirugikan. Hak konsumen untuk mendapat kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila produk obat pelangsing yang dikonsumsi menimbulkan kerugian di Kabupaten Banyumas telah terpenuhi. Artinya, apabila obat pelangsing yang dikonsumsi oleh konsumen terbukti mengandung bahan berbahaya seperti sibutramine dan merugikan keamanan serta keselamatan konsumen ma ka konsumen yang dirugikan berhak mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas obat pelangsing yang merugikan keamanan dan keselamatan konsumen. Berdasarkan pada masing-masing hak konsumen yang sudah dijelaskan ada dua hak konsumen sebagai pengguna obat pelangsing yang masih belum terpenuhi 111 secara maksimal, yakni Pasal 4 huruf a tentang hak atas kenyamanan, kemanan, dan keselamata n dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa serta Pasal 4 huruf c tentang hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, karena pada kenyataannya masih ada pelaku usaha yang memproduksi obat pelangsing berbahaya dengan campuran bahan berbahaya seperti sibutramine yang efeknya dapat mengganggu keamanan dan kesehatan konsumen, sehingga konsumen pengguna obat pelangsing berbahaya ini akan merasa dirugikan. Bentuk perlindungan hukum untuk konsumen yang mengalami kerugian sebagai akibat dari mengkonsumsi atau menggunakan obat pelangsing berbahaya dengan campuran bahan berbahaya sibutramine dapat meminta ganti rugi kepada pelaku usaha yang telah menerbitkan kerugian tersebut. Ganti rugi yang diberikan merupakan pertanggungjawaban pelaku usaha kepada konsumen sebagai bentuk adanya hubungan hukum yang terjadi antara konsumen dengan pelaku usaha, baik hubungan langsung atau pun hubungan tidak langsung, dimana pelaku usaha telah melanggar hak konsumen dengan melakukan perbuatan melawan hukum karena telah memproduksi atau menjual produk obat pelangsing berbahaya dengan campuran bahan berbahaya seperti sibutramine yang efeknya dapat mengganggu keamanan dan keselamatan konsumen, sehingga konsumen merasa dirugikan. 112 BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan data, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna obat pelangsing berbahaya di Kabupaten Banyumas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen khususnya Pasal 4 mengenai hak-hak konsumen belum sepenuhnya terpenuhi, karena masih ada hak konsumen yang belum sepenuhnya terpenuhi secara maksimal. Hak-hak konsumen yang masih belum terpenuhi secara maksimal adalah Pasal 4 huruf a tentang hak konsumen atas kenyamanan, kemanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa serta Pasal 4 huruf c tentang hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, walaupun secara normatif sudah diatur mengenai perlindungan konsumen namun masih ada pelaku usaha yang menyimpangi dan belum melaksana kan peraturan tersebut. Hak konsumen yang belum terpenuhi secara maksimal yang menyebabkan konsumen merasa dirugikan dapat meminta ganti rugi kepada pelaku usaha yang menerbitkan kerugian tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 113 B. Saran Konsumen hendaknya untuk lebih berhati-hati dalam memilih barang dan/atau jasa yang akan dikonsumsinya, serta lebih mengerti dan memahami terhadap hak-haknya sebagai konsumen supaya dapat terhindar dari kerugian. Pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya juga harus menaati syarat-syarat serta ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundangundangan, supaya tidak ada lagi konsumen yang merasa dirugika n karena hakhaknya telah dilanggar. 114 DAFTAR PUSTAKA Literatur : Gunawan, Johanes. 1994. “Produk Liability” dalam Hukum Bisnis Indonesia . Jakarta : Projustisia, Tahun XII. Kansil, CST. 1997. Pengantar Hukum Indonesia (Cetakan Ke-6). Jakarta : Balai Pustaka. Kristiyanti, Celina Tri Siwi. 2009. Hukum Perlindungan Konsumen . Jakarta: Sinar Grafika. Mertokusumo, Sudikno. 2003. Mengenal Hukum Suatu Pengantar (Edisi Ke-5). Yogyakarta : Liberty Yogyakarta. Miru, Ahmadi dan Sutarma Yodo. 2011. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Rajawali Pers. Miru, Ahmadi. 2013. Prinsip -Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia (Edisi I, Cetakan Ke-2). Jakarta : Rajawali Pers. Nasution, Az. 1995. Konsumen dan Hukum. Jakarta : CV. Muliasari. -----------------. 2001. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit Media. Shidarta. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen . Jakarta : Grasindo. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 1985. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali. Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia. Susanto, Happy. 2008. Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan. Jakarta: Visi Media. Sutedi, Adrian. 2008. Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta : PT. Ghalia Indonesia. Suyadi. 2007. Buku Ajar Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Konsumen . Fakultas Hukum Unsoed. Purwokerto. Syawali, Husni dan Neni Sri Imaniyati, ed. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. 115 Wignojodipuro, Surojo. 1974. Pengantar Ilmu Hukum. Alumni, Bandung. Peraturan Perundang-undangan : Undang-Undang Obat Keras (St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 949/Menkes/Per/VI/2000 tentang Registrasi Obat Jadi Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi Literatur lain : https://yosefw.wordpress.com/2009/03/20/usir-gemuk-dengan-obat-2/,diakses tanggal 20 November 2014. http://dentalhealthridhafajarnugroho.blogspot.com/2013/03/penggolongan-obatmenurut -uu-farmasi.html, diakses tanggal 26 November 2014. http://senyumbunda.com/page -blog/waspada-obat-pelangsing-berbahaya -beredardi-sekitar-anda/, diakses yanggal 26 November 2014. http://m.tabloidnova.com/Nova/Kesehatan/Diet/Zat-Kimia -Pada-Obat-PelangsingIni-Berbahaya , diakses tanggal 26 November 2014.