SERANGAN AWAL KERA EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) PADA HTI Acacia mangium DI PT. MUSI HUTAN PERSADA SUMATERA SELATAN Preliminary Attack of Long Tail Macaque (Macaca fascicularis) in Acacia mangium Plantation of PT. MUSI HUTAN PERSADA, South Sumatera Agus Kurniawan Balai Penelitian Kehutanan Palembang Jl. Kol. H. Burlian KM. 6.5 Kotak Pos 179 Puntikayu, Palembang Telp./Fax. (0711) 414864 Naskah masuk : 17 Februari 2009 ; Naskah diterima : 1 September 2009 ABSTRACT The existence of long tailed macaque (Macaca fascicularis Raffles) in area of industrial forest plantation has high potency to become a harmful pest. Long tailed macaque can adapt to various habitat such as coastal area, swamp forest, low land rain forest and mountain forest up to 1,800 meters above sea level. Therefore, long tailed macaque can live well in land including in Sumatra island. This animal has high potency to become invasive species. Supported by appropriate environmental condition, long tailed macaque can spread to new area and increases its population fastly. Long tailed macaque is an opportunistic omnivore, this animal can get any available food in its habitat. Not only fruits, the animal also eat meat and vegetable. In South Sumatra, in Forest Plantation Industries PT. Musi Hutan Persada, long tailed macaque has been long known to have caused damage in area of Acacia mangium plantation, although still in low percentage but it has caused serious damage. Long tailed macaque has a potency to cause high damage forest along with its population growth. Keywords : long tailed macaque (Macaca fascicularis), Acacia mangium, PT. Musi Hutan Persada ABSTRAK Keberadaan kera ekor panjang (Macaca fascicularis Raffles) di areal HTI sangat berpotensi menjadi hama yang sangat merugikan. Kera ekor panjang dapat beradaptasi dengan berbagai habitat termasuk habitat pesisir, hutan rawa, hutan hujan dataran rendah, sampai ke hutan pegunungan pada ketinggian 0 - 1.800 meter di atas permukaan laut. Oleh karena itu, kera ekor panjang dapat berkembang dengan baik di seluruh daratan termasuk di Sumatera. Satwa ini mempunyai potensi tinggi menjadi invasif. Kera ekor panjang dapat menyebar ke daerah baru dan meningkatkan populasinya dengan sangat cepat pada kondisi lingkungan yang mendukung. Kera ekor panjang merupakan satwa opportunistic omnivore, yaitu satwa yang dapat memperoleh bahan makanan dari apapun yang tersedia di lingkungan habitatnya. Di samping memperoleh makanan dari buah-buahan satwa ini juga memakan daging dan tumbuh-tumbuhan. Di Sumatera Selatan, tepatnya di PT. Musi Hutan Persada, diketahui keberadaan kera ekor panjang telah menyebabkan kerusakan di wilayah HTI Acacia mangium, meskipun masih dalam persentase yang rendah. Keberadaan kera ekor panjang ini berpotensi menyebabkan kerusakan hutan yang lebih besar seiring dengan perkembangan jumlah populasinya. Kata kunci: kera ekor panjang (Macaca fascicularis), Acacia mangium, PT. Musi Hutan Persada 77 Tekno Hutan Tanaman Vol.2 No.2, Agustus 2009, 77 - 82 I. PENDAHULUAN Kekurangan pasokan bahan baku industri kehutanan dari hutan alam akibat pesatnya industi perkayuan menuntut upaya perolehan bahan baku dari sumber lain, salah satunya adalah dari Hutan Tanaman Industri (HTI). Usaha mendapatkan tegakan yang sehat adalah dalam rangka meningkatkan produktivitas tanaman dan mengamankan investasi adalah sebuah keharusan, sehingga tujuan pembangunan hutan dapat berhasil. Keberadaan monyet ekor panjang atau kera ekor panjang (Macaca fascicularis Raffles) di areal HTI sangat berpotensi menjadi hama yang sangat merugikan. Diketahui, satwa ini telah menimbulkan kerusakan pada tanaman HTI Acacia mangium di PT Musi Hutan Persada mulai pertengahan tahun 2007. Serangan yang terjadi pada awalnya masih dalam persentase kecil. Meskipun demikian, keberadaan kera ekor panjang ini berpotensi menyebabkan kerusakan hutan yang lebih besar seiring dengan perkembangan jumlah populasinya. Pengamatan pada bulan Juni 2008, dilaporkan kerusakan tanaman A. mangium di PT MHP telah mencapai ratusan hektar. Serangan kera ekor panjang dilaporkan terjadi di Wilayah 1 Suban Jeriji dan Wilayah 2 Air Kemang PT. MHP. Tulisan ini bertujuan untuk menggali informasi potensi kerusakan HTI Acacia mangium oleh serangan kera ekor panjang. II. KERA EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) Kera ekor panjang ditemukan di Asia Tenggara, yaitu di Burma, Filipina, Malaysia dan Indonesia. Kera ekor panjang mempunyai rentang habitat yang luas. Kera ekor panjang dapat dijumpai di hutan primer, sekunder bahkan di hutan mangrove. Di Sumatera, kera ekor panjang dapat dijumpai di hutan bakau, bukit dan kadang dijumpai di padang rumput, perkebunan karet maupun di areal HTI. Di Thailand satwa ini dijumpai di hutan bambu sedangkan di Malaysia dapat dijumpai di hutan pinggiran pantai. Klasifikasi kera ekor panjang menurut Bonadio (2000) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Class : Mammalia Order : Primates Suborder : Haplorrhini Family : Cercopithecidae Subfamily : Cercopithecinae Genus : Macaca Species : Macaca fascicularis Gambar (Figure) 1. Kera ekor panjang (long failed macaque) (Foto: Myers, P et. al., at The Animal Diversity Web at www.http://animaldiversity.org.) 78 Serangan Awal Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis) pada HTI Acacia mangium di PT. Musi Hutan Persada Sumatera Selatan Agus Kurniawan Kera ekor panjang merupakan satwa yang mempunyai potensi tinggi menjadi invasif. Kera ekor panjang dapat menyebar ke daerah baru dan meningkatkan populasinya dengan sangat cepat pada kondisi lingkungan yang mendukung. Satwa ini juga dapat beradaptasi dengan berbagai habitat termasuk habitat pesisir, hutan rawa, hutan hujan dataran rendah, sampai ke hutan pegunungan pada ketinggian 0 - 1.800 meter di atas permukaan laut (Wheatley, 2001 dalam Mampioper, 2006). Oleh karena itu, kera ekor panjang dapat berkembang dengan baik di seluruh daratan termasuk di Sumatera. Kera ekor panjang merupakan satwa opportunistic omnivore, yaitu satwa yang dapat memperoleh bahan makanan dari apa saja yang tersedia di lingkungan habitatnya. Disamping memperoleh makanan dari buah-buahan, satwa ini juga memakan daging dan tumbuh-tumbuhan (Poirier and Smith, 1974 dalam Mampioper, 2006). Satwa ini juga memakan binatang bertulang belakang jika mendapat kesempatan dan diduga memangsa telur burung maupun burung dewasa (Carter and Bright, 2002; Richard Gibson, 2002; Anon, 2001a, Novak, 1995, dalam Mampioper, 2006). Tidak seperti satwa mamalia yang lain, jenis kera ekor panjang ini mempunyai tangan yang dapat dipakai untuk mengupas buah-buahan dan biji, sehingga dapat mengeksploitasi lebih banyak jenis makanan. Perilaku seperti ini sangat berguna bagi suatu spesies tertentu ketika mereka hendak memperluas daerah jelajahnya (baik dalam daerah aslinya maupun dalam habitat baru). Perilaku tersebut merupakan suatu bentuk keuntungan ekologis yang memungkinkan jenis tersebut mengisi wilayah yang sebelumnya kosong. Dengan kemampuan itu, kera ekor panjang menjadi satwa invasif (Mampioper, 2006). Menurut Mampioper (2006), kera ekor panjang dilaporkan menimbulkan kerusakan pada tanaman pertanian dan menyebabkan kerugian bagi kehidupan petani di Papua. Sedangkan kerusakan tanaman hutan yang disebabkan oleh kera ekor panjang selama ini belum banyak dilaporkan. Apabila melihat pola perilaku, kemampuan fisik, dan daya jelajahnya, kera ekor panjang sangat berpotensi menyebabkan kerusakan tanaman di daerah habitatnya, termasuk di areal HTI A. mangium. Dari pengamatan awal yang dilakukan oleh PT. MHP, diketahui bahwa keberadaan kera ekor panjang telah menimbulkan kerusakan tanaman. Oleh karena itu perlu diketahui deskripsi fisik, perilaku, kemampuan perkembangbiakan dan daya jelajah kera ekor panjang untuk mendapatkan gambaran potensi kera ekor panjang sebagai hama pada HTI, khususnya jenis A. mangium. A. Deskripsi Fisik Kera ekor panjang memiliki warna bulu cokelat keabu-abuan ke warna cokelat kemerah-merahan. Warna muka abu-abu kecokelatan dengan jambang pipi. Mata mengarah ke depan, hidung pesek/kempes, lubang hidung sempit dan berdekatan. Kera ekor panjang mempunyai gigi seri seperti anjing dan mempunyai rumusan I 2/2 (Insisivus/gigi seri atas berjumlah 2, bawah 2), C 1/1 (Caninus/gigi taring atas 1, bawah 1), PM 2/2 (Plemorale/gigi graham kecil atas 2, bawah 2), dan M 3/3 (Molare/gigi graham besar atas 3, bawah 3). Panjang badan berkisar antara 40 - 47 cm belum termasuk ekor. Panjang ekor berkisar antara 50 - 60 cm. Kera ekor panjang memperlihatkan dimorfisma sexual (perbedaan ukuran tubuh antara jantan dan betina) dalam ukuran badan. Rata-Rata berat untuk jantan adalah 4.8 - 7 kg dan 3 - 4 kg, sedangkan ukuran betina lebih kecil, kurang lebih 69% rata-rata berat kera ekor panjang jantan (Wheatley, 2001 dalam Mampioper, 2006). B. Perkembangbiakan Di Sumatera, kelompok sosial dari kera ekor panjang rata-rata terdiri dari 6 jantan dan 10 betina dewasa. Jumlah betina dalam satu kelompok lebih banyak dibandingkan jantan, menunjukkan bahwa kera ekor panjang adalah bertipe poligami dan dapat mengawini semua betina dalam kelompoknya. Jantan yang paling kuat di kelompoknya berpotensi mendapatkan lebih banyak keturunan dari semua betina di dalam kelompoknya. Kera ekor panjang jantan mencapai kedewasaan seksual kira-kira pada umur 6 tahun, sedangkan kera ekor panjang betina dewasa sekitar umur 4 tahun. Betina yang lebih dewasa dalam kelompoknya secara umum lebih produktif dan keturunannya relatif lebih aman dari bahaya kematian dari 79 Tekno Hutan Tanaman Vol.2 No.2, Agustus 2009, 77 - 82 pada betina yang lebih muda. Hal ini dikarenakan kera ekor panjang yang lebih dewasa lebih besar kesempatannya dalam memperoleh makanan. Rata-rata lama masa kehamilan kera ekor panjang adalah 162 hari dan rata-rata selang kelahiran anak 390 hari. Pada umumnya masa kelahiran puncak terjadi pada bulan Mei sampai dengan Juli. Kera ekor panjang betina merawat anaknya sampai umur 420 hari. Hal ini menunjukkan bahwa kera ekor panjang betina dapat mengasilkan keturunan setiap tahunnya (Wheatley, 2001 dalam Mampioper, 2006). C. Daerah Jangkauan Kera ekor panjang dapat menjangkau wilayah rata-rata 1900 m2 setiap hari. Satu kelompok kera ekor panjang dapat memiliki daerah jelajah 50 hingga 100 ha. Luas daerah jelajah ini sangat erat hubungannya dengan sumber pakan (Anonim, 2001). Sedangkan menurut Mampioper (2006), total jangkauan satwa ini dapat mencapai rata-rata 125 ha. Daerah habitat satwa ini sangat luas. Kera ekor panjang dapat beradaptasi dengan berbagai habitat termasuk habitat pesisir, hutan rawa, hutan hujan dataran rendah, sampai ke hutan pegunungan pada ketinggian 0 - 1.800 meter di atas permukaan laut. Oleh karena itu, kera ekor panjang dapat berkembang dengan baik di seluruh daratan termasuk di Sumatera. III. SERANGAN HAMA KERA EKOR PANJANG DI AREAL HTI Kera ekor panjang telah merusak tanaman Acacia mangium di areal HTI PT. Musi Hutan Persada. Hasil pengamatan awal oleh PT. MHP sampai dengan Mei 2007, kerusakan tanaman akibat serangan hama kera ekor panjang telah mencapai ± 300 ha di Wilayah 1 Suban Jeriji (luas seluruhnya 55.000 ha) (Junarto, 2007 - komunikasi pribadi). Meskipun masih dalam persentase kecil, keberadaan kera ekor panjang ini berpotensi menyebabkan kerusakan hutan yang lebih besar seiring dengan perkembangan jumlah populasinya. Hal ini terbukti pada pengamatan pada bulan Juni 2008, kerusakan tanaman A. mangium di PT MHP telah mencapai ± 300 ha. Serangan kera ekor panjang dilaporkan di Unit 7, Wilayah 2 PT MHP dan Wilayah 1 Suban Jeriji. Dilaporkan serangan di Unit 7 telah mencapai ± 30 ha dan yang telah disulam baru ± 9 ha. Bahkan di Wilayah 1 Suban Jeriji, tanaman A. mangium yang mengalami kerusakan dan kematian oleh serangan satwa ini telah mencapai ± 150 ha (Harnadi, 2008; komunikasi pribadi). Kera ekor panjang merusak bagian pucuk daun dan merusak kulit batang tanaman A. mangium yang masih muda. Akibat aktivitas hama ini adalah tanaman banyak mengalami patah dan pucuk tanaman rusak, sehingga pertumbuhan tanaman tergganggu (Gambar 2). Berdasarkan pengamatan, areal yang menjadi daerah sumber makanan kera ekor panjang mengalami kerusakan luka terbuka. Umumnya kulit batang tanaman yang terserang terkelupas seluruhnya dan terdapat luka guratan pada daerah kambium tanaman dari bagian pangkal sampai ujung tanaman. Diduga kera menyukai cairan kambium tanaman yang terasa manis. Tanaman yang mengalami kerusakan, lama kelamaan akan mengering dan mati. Berdasarkan pengamatan, serangan yang hebat terjadi pada tanaman A. mangium umur 1 - 2 tahun yang terletak di daerah perbatasan dengan hutan milik rakyat atau areal hutan lindung/areal konservasi. Tipe kerusakan yang sama juga terjadi pada tanaman HTI A. mangium, PT. Surya Hutani Jaya (Grup Sinar Mas) di Kalimantan Timur. Tanaman A. mangium di HTI ini terserang pada kisaran umur 8 bulan sampai dengan 1 tahun (Alfian, 2008; komunikasi pribadi). Kecepatan dan intensitas kerusakan tergantung dari jumlah populasi kelompok kera ekor panjang yang terdapat di areal tersebut. Pemantauan terhadap jumlah populasi, intensitas serangan dan daerah jangkauan berguna dalam menentukan strategi pengendalian apabila suatu saat diperlukan. Macaca fascicularis pada awalnya merupakan satwa yang dilindungi karena jumlahnya yang semakin terbatas. Maraknya jual beli satwa ini yang tidak terkendali menyebabkan kera ekor panjang masuk dalam daftar CITES Appendik II. Sedangkan dalam IUCN Red List, satwa ini termasuk dalam kategori resiko rendah, mendekati terancam (low risk, near threatened) (Bonadio, 2006). Untuk keperluan ekspor satwa, pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan melalui Keputusan Menteri Kehutanan 80 Serangan Awal Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis) pada HTI Acacia mangium di PT. Musi Hutan Persada Sumatera Selatan Agus Kurniawan Nomor 26/Kpts-II/94 mengatur tentang pemanfaatan jenis kera ekor panjang (Macaca fascicularis), beruk (Macaca nemestrina) dan ikan arowana (Scleropages formosus) untuk keperluan ekspor (Anonim, 2004). Peraturan ini mencantumkan bahwa pemanfaatan jenis kera ekor panjang (Macaca fascicularis) untuk keperluan ekspor harus berasal dari hasil penangkaran. Akan tetapi mulai tahun 1999, kera ekor panjang tidak termasuk dalam daftar satwa yang dilindungi. Hal ini dicantumkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tanggal 27 Januari 1999 (Anonim, 2007a). Bahkan, dalam lampiran Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 461/Kpts-II/1999 tanggal 23 Juni 1999 tentang penetapan musim berburu jenis-jenis satwa buru di taman buru dan areal buru, kera ekor panjang ditetapkan sebagai satwa yang diperbolehkan untuk diburu (Anonim, 2007b). Gambar (Figure) 2. Kerusakan batang A. mangium oleh hama kera ekor panjang (Stem damage of A. mangium by long tailed macaque) (Foto : Agus, 2008) Pemanfaatan kera ekor panjang selain untuk dipelihara adalah diambil dagingnya untuk dimakan. Daging atau otak kera ekor panjang diyakini memiliki khasiat tertentu bagi kesehatan. Kera ekor panjang juga sering dimanfaatkan sebagai binatang percobaan dalam penelitian medis. Penggunaan kera ekor panjang terutama pada penelitian vaksin polio, riset biomedik dan psikologis. Laporan ekspor tumbuhan dan satwa liar tahun 2007, sampai dengan 30 Juni 2007, ekspor satwa ini mencapai 3.989 ekor (Departemen Kehutanan, 2007). Untuk menghindari kerusakan tanaman, jumlah populasi kera ekor panjang di areal HTI harus selalu dipantau dan dibatasi. Akan tetapi sampai saat ini belum ada hasil penelitian yang dapat dijadikan acuan untuk mengatur jumlah populasi kera ekor panjang untuk menjamin kerusakan tanaman HTI sehingga tetap dibawah ambang ekonomi. Usaha pengendalian terhadap kera ekor panjang yang mungkin dilakukan adalah dengan menangkap dan menangkarkan satwa ini atau dengan cara menembak. IV. PENUTUP Kera ekor panjang (Macaca fascicularis) termasuk satwa yang memiliki daerah adaptasi dengan berbagai habitat termasuk habitat pesisir, hutan rawa, hutan hujan dataran rendah, sampai ke hutan pegunungan. Oleh karena kemampuan tersebut, satwa ini mempunyai potensi tinggi menjadi invasif. Kera ekor panjang dapat menyebar ke daerah baru dan meningkatkan populasinya dengan sangat cepat pada kondisi lingkungan yang mendukung. Satwa ini juga merupakan opportunistic omnivore, yaitu satwa yang dapat memperoleh bahan makanan dari apa saja yang tersedia di lingkungan habitatnya. Di samping memperoleh makanan dari buah-buahan, satwa ini juga memakan daging dan tumbuh-tumbuhan. Kerusakan tanaman 81 Tekno Hutan Tanaman Vol.2 No.2, Agustus 2009, 77 - 82 Acacia mangium di areal HTI cukup sebagai peringatan bahwa satwa ini perlu diwaspadai keberadaannya. Pemantauan jumlah populasi dan intensitas serangan merupakan informasi yang berguna bagi kepentingan perlindungan tanaman HTI. Dengan demikian, diketahui kapan waktu yang tepat untuk melakukan pengendalian dan sebagai dasar penentuan strategi pengendalian yang efektif. Kera ekor panjang (Macaca fascicularis) dapat dimanfaatkan untuk keperluan penelitian medis. Ekspor primata ini dapat berupa binatang hidup maupun darah/serum. Pada tahun 2007 telah diekspor ± 3.000 ekor dan ± 1.000 tabung darah kera ekor panjang (Departemen Kehutanan, 2007). Pemanfaatan satwa ini dapat dipergunakan untuk membatasi perkembangan populasi kera ekor panjang, sehingga kerusakan tanaman A. mangium di areal HTI dapat dihindari atau dikurangi. DAFTAR PUSTAKA Alfian, 2008. Komunikasi pribadi. Setember 2008. Anonim. 2001. Monyet Ekor Panjang. Akses 1 Oktober 2007 di http:/www. Merbabu.com. Anonim. 2004. Pro Fauna Indonesia: Keputusan Menteri Kehutanan nomor : 26/Kpts-II/94 tentang Pemanfaatan Jenis Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis), Beruk (Macaca nemestrina) dan Ikan Arowana (Scleropages formosus) untuk Keperluan Eksport. Akses 1 Oktober 2007 di http://www.profauna.com Anonim, 2007a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Akses 18 Oktober 2008 di http://www.profauna. or.id/Indo/regulasi/pp7th1999.html Anonim, 2007b. Lampiran Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan. Akses 18 Oktober 2008 di http://www.profauna.or.id/suarasatwa/ss2007/VolXI03-2007/konservasi-primata.html Bonadio, C. 2000. Macaca fascicularis (On-line), Animal Diversity Web. Akses 1 Oktober 2007 di http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/ information/Macaca_fascicularis.html. University of Michigan Museom of zoology. Departemen Kehutanan, 2007. Statistik Kehutanan 2007. Akses 1 Oktober 2007 di www.http://dephut.go.id. Harnadi, 2008. Komunikasi Pribadi. Juni 2008. Unit 7 PT. Musi Hutan Persada. Junarto, 2007. Komunikasi Pribadi. Mei 2007. RND PT. Musi Hutan Persada. Mampioper, Dominggus A. 2006. Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Ancam Keanekaragaman Hayati dan Hasil Panen di Papua. Beritabumi.com. Akses 3 Oktober 2007 di http://beritabumi.com Myers, P., R. Espinosa, C. S. Parr, T. Jones, G. S. Hammond, and T. A. Dewey. 2006. The Animal Diversity Web (online). Akses 1 Oktober 2007 di http://animaldiversity.org. 82