akurasi kekuatan lensa intraokuler pada pasien

advertisement
AKURASI KEKUATAN LENSA INTRAOKULER
PADA PASIEN MIOPIA AKSIAL MENGGUNAKAN
ALAT OPTICAL BIOMETRY
ACCURACY OF INTRAOCULAR LENS POWER CALCULATION IN
PATIENTS WITH AXIAL MYOPIA USING
OPTICAL BIOMETRY
Rahma Amelia, Ahmad Afifuddin, Hamzah
Bagian Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar
Alamat Korespondensi :
dr. Rahma Amelia
Bagian Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
Makassar
HP. 081339601072
Email : [email protected]
1
Abstrak
Akurasi kekuatan lensa intraokuler merupakan faktor yang sangat penting dalam mencapai target
refraksi pasca operasi yang diharapkan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara akurasi
kekuatan lensa intraokuler dengan panjang aksis bola mata pasien miopia aksial. Desain penelitian ini
adalah cross sectional dengan jumlah sampel 45 orang pasien miopia aksial yang akan menjalani
operasi katarak. Data dikumpulkan oleh satu orang petugas yang terlatih dan meliputi panjang aksis
bola mata, kekuatan refraksi kornea, kekuatan lensa intraokuler, gangguan refraksi sisa, serta status
refraksi pasca operasi. Analisis bivariat digunakan untuk menilai hubungan antara akurasi kekuatan
lensa intraokuler yang ditentukan berdasarkan status refraksi pasca operasi dengan panjang aksis bola
mata pasien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perhitungan kekuatan lensa intraokuler paling
akurat pada kelompok 1 dengan panjang aksis bola mata 25- <28 mm. Sementara perhitungan
kekuatan lensa intraokuler paling tidak akurat pada kelompok 3 dengan panjang aksis bola mata > 31
mm. Namun, hubungan ini tidak bermakna secara statistik dengan nilai p=0.18. Disimpulkan bahwa
semakin panjang aksis bola mata, maka semakin berkurang akurasi kekuatan lensa intraokuler.
Kata kunci : Perhitungan kekuatan lensa intraokuler, panjang aksis bola mata, miopia aksial
Abstract
Accuracy of intraocular lens power calculation is an important factor to achieve the desired post
operative target refraction. This study was performed to evaluate the relationship of the accuracy of
intraocular lens power calculation with the axial lenght of patients with axial myopia. This was a
cross sectional study of 45 myopic patients who underwent a cataract surgery. The data was collected
by a trained worker including axial lenght, corneal refractive power, intraocular lens power, post
operative prediction error, and post operative refractive state. Bivariat analysis was performed to
evaluate the relationship of the accuracy of intraocular lens power calculation based on patients’ post
operative refractive state with the axial lenght. The study showed that intraocular lens power
calculation was mostly accurate on group 1 with axial lenght 25 - <28 mm. While intraocular lens
power calculation was less accurate on group 3 with axial lenght >32 mm. But the relationship was
not statistically significant. We conclude that the longer the axial lenght, the less accurate the
intaocular lens power calculation.
Keywords : Intraocular lens power calculation, axial lenght, axial myopia
2
PENDAHULUAN
Akurasi kekuatan lensa intraokuler pada operasi katarak sangat penting dalam mencapai
target refraksi pasca operasi yang diharapkan dan memberi kepuasan pada pasien. Pada
pemeriksaan biometri yang menggunakan alat ultrasound, kesalahan dalam perhitungan
kekuatan lensa intraokuler paling banyak disebabkan oleh kesalahan dalam pengukuran
panjang aksis bola mata, yaitu sekitar 54% dari sejumlah kasus (Olsen, 1992). Penekanan oleh
probe terhadap bola mata saat pengukuran menyebabkan pemendekan aksis bola mata
sehingga akan terjadi kesalahan dalam perhitungan kekuatan lensa intraokuler (Findl, 2005).
Hal ini sangat penting oleh karena kesalahan pengukuran sebesar
0,1 mm akan
mengakibatkan gangguan refraksi pasca operasi hingga 0,28 D (Olsen, 1992).
Namun dengan ditemukannya alat optical biometry, ketepatan pengukuran panjang
aksis bola mata telah meningkat secara signifikan. Dengan menggunakan optical biometry,
target refraksi pasca operasi dapat dicapai hingga ± 0.50 D pada 62.5% kasus dan ± 1.00 D
pada 92.4% kasus. Pencapaian tersebut sangat besar bila dibandingkan dengan pengukuran
yang menggunakan alat ultrasound yang mencapai target refraksi sebesar ± 0.50 D hanya
pada 45.5% kasus dan ± 1.00 D pada 77.3% kasus (Olsen, 2007).
Pengukuran panjang aksis bola mata tidak lagi menjadi sumber utama kesalahan dalam
perhitungan kekuatan lensa intraokuler bila menggunakan alat optical biometry (Preußner,
2007). Namun, perhitungan kekuatan lensa intraokular masih merupakan tantangan besar
pada pasien miopia tinggi dengan aksis bola mata yang panjang, yang memerlukan lensa
intraokuler dengan kekuatan yang rendah. Suatu penelitian melaporkan bahwa pengukuran
menggunakan optical biometry (IOLMaster, Carl Zeiss Meditec AG) pada pasien dengan
aksis bola mata yang panjang cenderung untuk memberikan hasil hipermetropia pasca operasi
katarak. (Wang, 2008)
Secara teori, kesalahan pengukuran panjang aksis bola mata akan lebih nyata pada
penderita miopia tinggi, yang memiliki aksis bola mata panjang dan sklera yang kurang kaku.
Selain penekanan kornea saat pemeriksaan biometri, adanya stafiloma posterior pada
penderita miopia yang sangat tinggi juga dapat menjadi sumber kesalahan dalam pengukuran
panjang aksis bola mata (Zaldivar, 2000).
Penderita miopia tinggi dengan koreksi hingga -6.00 D, pada umumnya merupakan
miopia aksial dengan panjang aksis bola mata yang lebih dari ukuran normal. Menurut Curtin
& Karlin, semakin panjang aksis bola mata, semakin besar resiko adanya kelainan patologis
pada polus posterior bola mata. Mereka melaporkan bahwa kejadian stafiloma posterior
meningkat dari 5% pada bola mata dengan panjang 28 mm menjadi hampir 50% pada bola
3
mata dengan panjang 32 mm (Curtin, 1971). Hal ini semakin menambah kesulitan dalam
memperoleh hasil pengukuran panjang aksis bola mata yang akurat.
Selain pengukuran panjang aksis bola mata, pemilihan formula perhitungan yang tepat
juga merupakan faktor yang sangat penting dalam memperoleh kekuatan lensa intraokuler.
Penggunaan formula generasi pertama dan kedua tidak dianjurkan pada pasien dengan aksis
bola mata yang panjang oleh karena dinilai tidak akurat dalam menentukan effective lens
position. Suatu penelitian yang membandingkan formula generasi ketiga yaitu SRK/T, Hoffer
Q, dan Holladay I pada pasien dengan aksis bola mata yang panjang menemukan bahwa
SRK/T merupakan formula yang paling tepat dengan pencapaian target refraksi ± 1 D hingga
80.5%. (Wang, 2008)
Penelitian lain membandingkan formula Haigis yang merupakan formula generasi
keempat dengan formula generasi ketiga yaitu SRK/T, Hoffer Q, dan Holladay I. Hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa formula Haigis dan SRK/T merupakan formula yang paling
akurat dalam menghitung kekuatan lensa intraokuler pada pasien dengan aksis bola mata yang
panjang (Petermeier, 2009). Namun, adanya tiga macam konstanta pada formula Haigis
menyebabkan kesulitan dalam menggunakan formula ini. Hal ini menyebabkan formula
SRK/T menjadi formula yang paling banyak digunakan pada pasien dengan aksis bola mata
yang panjang.
Oleh karena sulitnya menentukan kekuatan lensa intraokuler yang akurat pada pasien
dengan aksis bola mata yang panjang, bahkan dengan menggunakan alat optical biometry,
maka dipandang perlu untuk melakukan suatu penelitian untuk menilai hubungan antara
akurasi kekuatan lensa intraokuler dengan panjang aksis bola mata pasien miopia aksial yang
ditentukan mengunakan alat optical biometry.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Klinik Mata Orbita Makassar, BKMM Makassar, dan
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian observasional dengan pendekatan studi cross-sectional.
Populasi Dan Sampel Penelitian
Populasi adalah pasien yang akan menjalani operasi katarak. Sampel penelitian
sebanyak 45 orang dipilih secara consecutive sampling dan telah memenuhi kriteria inklusi,
yaitu menderita miopia aksial, tidak menderita kekeruhan media refrakta yang berat dan
4
katarak yang matur, tidak memiliki riwayat operasi ablasi retina, dan bersedia untuk ikut serta
dalam penelitian
Metode Pengumpulan Data
Pengukuran panjang aksis bola mata dilakukan oleh satu orang petugas terlatih dengan
menggunakan Optical Biometry. Pasien lalu dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan
panjang aksis bola matanya. Selain itu dilakukan pula pengukuran kekuatan refraksi kornea
diikuti oleh perhitungan kekuatan lensa intraokuler. Visus terbaik beserta koreksinya
diperiksa satu hari dan satu minggu setelah pasien menjalani operasi katarak. Status refraksi
ditentukan berdasarkan besar lensa koreksi yang memberikan visus terbaik.
Data yang diperoleh akan dikelompokkan sesuai dengan tujuan dan jenis data,
kemudian akan dilakukan analisis melalui komputer dengan menggunakan program Statistical
Package for Social Science (SPSS). Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Pearson Chi-Square Tests (uji x2) untuk menentukan kemaknaan hubungan antara akurasi
kekuatan lensa intraokuler berupa status refraksi setelah operasi dengan panjang aksis bola
mata, One way Anova untuk menilai ada tidaknya perbedaan yang bermakna dari besar
kekuatan refraksi kornea, besar kekuatan lensa intraokuler, dan besar gangguan refraksi sisa
dari ketiga kelompok panjang aksis bola mata, dan Independent Samples T-Test untuk menilai
ada tidaknya perbedaan yang bermakna antara hasil pengukuran panjang aksis bola mata dan
besar kekuatan lensa intraokuler yang diukur menggunakan Optical Biometry dan Ultrasound
Biometry.
HASIL
Karakteristik Sampel
Tabel 1 memperlihatkan karakteristik umum sampel yang digunakan pada penelitian ini.
Jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah 45 pasien, yang terdiri atas 15
pasien dengan panjang aksis bola mata 25 hingga < 28 mm (kelompok 1), 15 pasien dengan
panjang aksis bola mata 28 hingga < 31 mm (kelompok 2), dan 15 pasien dengan panjang
aksis bola mata  31 mm (kelompok 3).
Kekuatan Refraksi Kornea
Tabel 2 memperlihatkan hasil pemeriksaan kekuatan refraksi kornea sebelum operasi
dari tiap-tiap kelompok. Hasil pemeriksaan memperlihatkan kekuatan refraksi kornea dengan
distribusi yang normal. Berdasarkan uji statistik menggunakan One-Way ANOVA yang
membandingkan kekuatan refraksi kornea antara ketiga kelompok, diperoleh nilai p=0.45. Hal
5
ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara kekuatan refraksi kornea
dari ketiga kelompok.
Kekuatan Lensa Intraokuler
Besar kekuatan lensa intraokuler dari masing-masing kelompok dapat dilihat pada tabel
3. Uji statistik menggunakan One-Way ANOVA terhadap besar kekuatan lensa intraokuler
memberikan nilai p=0.000. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna
antara besar kekuatan lensa intraokuler dari ketiga kelompok. Analisis lanjutan menggunakan
Tukey Post-hoc test menunjukkan bahwa kekuatan lensa intraokuler lebih rendah secara
bermakna pada kelompok 3 (-1.06 ± 3.59 D) dibandingkan kekuatan lensa intraokuler pada
kelompok 1 (11.40 ± 2.64 D, p=0.000) dan kelompok 2 (2.56 ± 4.12 D, p=0.019). Sementara
besar kekuatan lensa intraokuler pada kelompok 2 juga lebih rendah secara bermakna
dibandingkan kelompok 1 (p=0.00).
Gangguan Refraksi Sisa
Tabel 4 memperlihatkan gangguan refraksi sisa pasien pasca operasi katarak. Dari tabel
tersebut dapat dilihat bahwa gangguan refraksi sisa yang paling besar ditemukan pada
kelompok 3, dengan rata-rata lensa koreksi sebesar 0.75 ± 0.50 D, sementara gangguan
refraksi sisa yang paling kecil ditemukan pada kelompok 1, dengan rata-rata lensa koreksi
sebesar 0.43 ± 0.29 D. Dari hasil uji statistik menggunakan One-Way ANOVA, diperoleh
nilai p=0.25. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara besar
gangguan refraksi sisa dari ketiga kelompok.
Akurasi Kekuatan Lensa Intraokuler
Tabel 5 memperlihatkan akurasi kekuatan lensa intraokuler berdasarkan status refraksi
pasien pasca operasi. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa akurasi kekuatan lensa
intraokuler paling tinggi pada kelompok 1, yang ditandai dengan kejadian emetropia yang
paling banyak, yaitu sebesar 73.3%. Sebaliknya, akurasi kekuatan lensa intraokuler paling
rendah ditemukan pada kelompok 3, yang ditandai dengan kejadian emetropia yang paling
sedikit, yaitu sebesar 40.0%.
Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan Pearson Chi-Square Tests untuk
menentukan kemaknaan hubungan antara akurasi kekuatan lensa intraokuler berupa status
refraksi setelah operasi dengan panjang aksis bola mata.. Dari analisis tersebut kemudian
diperoleh nilai p=0.18. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara panjang aksis bola mata dengan akurasi kekuatan lensa intraokuler.
6
PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini terlihat bahwa semakin besar panjang aksis bola mata, maka
semakin besar gangguan refraksi sisa yang dimiliki oleh pasien. Hasil ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Petermeier yang melihat hubungan antara gangguan refraksi
sisa pasca operasi dengan panjang aksis bola mata menggunakan optical biometry dan
formula SRK/T. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa semakin panjang aksis bola mata
maka semakin besar pula gangguan refraksi sisa yang dialami oleh pasien pasca operasi.
Penelitian ini menunjukkan hubungan antara panjang aksis bola mata dengan gangguan
refraksi sisa pasca operasi. Namun secara statistik hubungan tersebut tidak bermakna dengan
nilai p=0.17 (Petermeier, 2009).
Hasil serupa ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Wang yang membagi
pasien berdasarkan panjang aksis bola mata menjadi dua kelompok. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa kelompok pasien dengan panjang aksis bola mata >28 mm memiliki
gangguan refraksi sisa yang lebih besar (0.91 ± 0.82 D) bila dibandingkan dengan kelompok
pasien yang memiliki panjang aksis bola mata <28 mm (0.52 ± 0.29 D) (Wang, 2008)
Penelitian lain yang dilakukan oleh Nafees membagi pasien berdasarkan panjang aksis
bola mata menjadi tiga kelompok. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa gangguan
refraksi sisa yang paling besar ditemukan pada kelompok pasien dengan panjang aksis bola
mata >29-31.4 mm (0.33 D), sementara gangguan refraksi sisa yang paling kecil ditemukan
pada kelompok pasien dengan panjang aksis bola mata 25-27 mm (Nafees, 2010).
Status refraksi pasien setelah operasi katarak ditentukan berdasarkan gangguan refraksi
sisa yang dimiliki pasien. Berdasarkan status refraksi tersebut, kemudian ditentukan akurasi
dari kekuatan lensa intraokuler yang ditanamkan. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini
menunjukkan bahwa semakin panjang aksis bola mata, maka semakin berkurang pula akurasi
kekuatan lensa intraokulernya.
Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh MacLaren yang memperlihatkan
akurasi biometri pada pasien dengan aksis bola mata yang sangat panjang. Hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa semakin panjang aksis bola mata, maka semakin berkurang
pula akurasi pemeriksaan biometri (MacLaren, 2005).
Hasil serupa juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Tsang yang menilai
akurasi kekuatan lensa intraokuler pada pasien miop tinggi di Cina. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa kelompok pasien dengan aksis bola mata yang paling panjang (>28.00
mm) memiliki akurasi kekuatan lensa intraokuler yang paling rendah (Tsang, 2003).
7
Walaupun hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa semakin
panjang aksis bola mata, maka semakin berkurang pula akurasi kekuatan lensa intraokuler,
namun secara statistik hubungan ini tidak bermakna. Analisis statistik dengan menggunakan
Pearson Chi-SquareTests memberikan nilai p=0.18.
Kesalahan pengukuran panjang aksis bola mata merupakan sumber utama kesalahan
dalam perhitungan kekuatan lensa intraokuler dengan menggunakan alat ultrasound.
Seharusnya hal ini sudah tidak menjadi masalah saat pengukuran dilakukan dengan
menggunakan alat
optical biometry. Penekanan bola mata seperti yang terjadi pada
penggunaan alat ultrasound
tidak lagi menjadi masalah saat pemeriksaan dilakukan
menggunakan optical biometry. Ketidaksesuaian aksis pada saat pengukuran juga dapat
diminimalisir oleh karena fiksasi mata yang lebih baik. Sudah banyak penelitian yang
dilakukan untuk mencari tahu penyebab dari kurangnya akurasi kekuatan lensa intraokuler
menggunakan alat optical biometry pada pasien miopia aksial. Namun hingga saat ini, belum
ada literatur yang menjelaskan secara rinci alasan terjadinya gangguan refraksi tersebut,
kecuali yang dijelaskan oleh Haigis.
Dengan menggunakan perhitungan matematis dari prinsip-prinsip teori optik pada mata,
Haigis menjelaskan hal ini. Pasien dengan aksis bola mata yang panjang akan menggunakan
lensa intraokuler berkekuatan rendah bahkan lensa berkekuatan negatif, Principal plane dari
lensa dengan kekuatan rendah akan bergeser menjauh dari lensa, sementara principal plane
dari lensa dengan kekuatan negatif malah akan berpindah dari sisi belakang lensa ke sisi
depan lensa. Hal ini akan berpengaruh pada posisi lensa setelah operasi (effective lens
position) yang selanjutkan akan mengakibatkan perubahan dari konstanta lensa intraokuler.
Apabila lensa dengan kekuatan yang rendah dihitung dengan menggunakan konstanta lensa
yang biasa, akan terjadi gangguan refraksi sisa pasca operasi. Apalagi bila lensa negatif
dihitung menggunakan konstanta yang sama dengan lensa positif, maka akan terjadi gangguan
refraksi sisa yang cukup signifikan (Haigis, 2009).
Pada penelitian ini, pasien menggunakan lensa intraokuler dengan kekuatan kurang dari
15.00 D. Beberapa pasien dengan aksis bola mata yang sangat panjang bahkan harus
menggunakan lensa intraokuler dengan kekuatan negatif, sementara konstanta yang
digunakan tidak berubah. Hal inilah yang menyebabkan kurangnya akurasi dalam perhitungan
kekuatan lensa intraokuler.
Terzi melakukan penelitian pada 44 pasien miopia aksial yang menjalani operasi
refractive lens exchange. Dengan menggunakan konstanta lensa standar yang dikeluarkan
oleh pabrik, ternyata 95% pasien mengalami gangguan refraksi sisa pasca operasi dengan
8
lensa koreksi rata-rata sebesar -0.98 ± 0.28 D. Setelah dilakukan perhitungan ulang dengan
menggunakan konstanta yang telah dioptimalkan, gangguan refraksi sisa pasca operasi
berkurang dengan penurunan nilai lensa koreksi, yaitu sebesar 0.18 ± 0.09 D (Terzi, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Petermeier terhadap 32 pasien
miopia tinggi
menunjukkan bahwa perhitungan kekuatan lensa intraokuler dengan menggunakan konstanta
yang telah dioptimalkan dapat memperbaiki akurasi kekuatan lensa intraokuler. Gangguan
refraksi sisa sebesar 1.0 ± 0.94 D dapat diturunkan menjadi 0.0 ± 0.92 D dengan
menggunakan konstanta yang dioptimalkan (Petermeier, 2009).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kami menyimpulkan bahwa semakin panjang aksis bola mata, maka semakin berkurang
akurasi kekuatan lensa intraokuler. Namun, sampel pada penelitian ini sangat terbatas,
sehingga dipandang perlu untuk dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang
lebih besar dengan sebaran yang merata pada semua variabel. Selain itu perlu dilakukan
penelitian lanjutan yang membandingkan akurasi kekuatan lensa intraokuler yang dihitung
dengan menggunakan konstanta standar dan konstanta yang telah dioptimalisasi.
9
DAFTAR PUSTAKA
Curtin B. & Karlin D. (1971). Axial length measurements and fundus changes of the myopic
eye. American Journal Ophthalmology,71: 42-53.
Findl O. (2005). Biometry and intraocular lens power calculation. Current Opinion of
Ophthalmology, 16: 61-64.
Haigis W. (2009). Intraocular lens calculation in extreme myopia. Journal Cataract
Refractive Surgery, 35:906-911.
MacLaren RE. (2005). Biometry accuracy using zero and negative powered intraocular
lenses. Journal Cataract Refractive Surgery, 31:280-290.
Nafees RE. (2010). Intraocular lens power calculation in patients with high axial myopia
before cataract surgery. Saudi Journal of Ophthalmology, 24:77-80.
Olsen T. (2007). Improved accuracy of intraocular lens power calculation with the Zeiss
IOLMaster. Acta Ophthalmol Scand, 85: 84-87.
Olsen T. (1992). Sources of error in IOL power calculation. Journal Cataract Refractive
Surgery, 18:125-129.
Petermeier K. (2009). Intraocular lens power calculation and optimized constants for highly
myopic eyes. Journal Cataract Refractive Surgery, 35:1575-1581.
Terzi E. (2009), Accuracy of modern intraocular lens power calculation formulas in refractive
lens exchange for high myopia and high hyperopia. Journal Cataract Refractive
Surgery; 35: 1181-1189.
Tsang CS. (2003). Intraocular lens power calculation formulas in Chinese eyes with high
axial myopia. Journal Cataract Refractive Surgery 29(7):1358-1364.
Wang JK, Hu CY, Chang SW. (2008). Intraocular lens power calculation using the IOL
master and various formulas in eyes with long axial length. Journal Cataract Refractive
Surgery, 34:262-267.
Zaldivar R, Shultz MC, Davidorf JM, Holladay JT. (2000). Intraocular lens power calculation
in patients with extreme myopia. Journal Cataract Refractive Surgery, 26: 668-674.
10
Tabel 1 Karakteristik umum sampel penelitian
KARAKTERISTIK UMUM
Pasien
Mata
Kanan
Kiri
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Panjang aksis bola mata
Kelompok 1 (25 - <28 mm)
Kelompok 2 (28 - <31 mm)
Kelompok 3 (>31 mm)
N (%)
45 (100.0%)
26 (57.8%)
19 (42.2%)
20 (44.4%)
25 (55.6%)
15 (33.3%)
15 (33.3%)
15 (33.3%)
Tabel 2 Kekuatan refraksi kornea pada berbagai kelompok panjang
aksis bola mata pasien miopia aksial
PANJANG AKSIS BOLA MATA
KEKUATAN REFRAKSI KORNEA
N
Mean
Median
Standar Deviation
Range
KELOMPOK 1
(25 - <28 mm)
KELOMPOK 2
(28 - <31 mm)
KELOMPOK 3
(>31 mm)
15
44.15
43.62
1.39
42.25-47.48
15
44.17
44.07
1.34
42.19-47.94
15
43.65
43.31
1.07
43.00-46.05
One-Way ANOVA, p=0.45
Tabel 3 Kekuatan lensa intraokuler pada berbagai kelompok panjang
aksis bola mata pasien miopia aksial
KEKUATAN LENSA
INTRAOKULER
N
Mean
Median
Standar Deviation
Range
PANJANG AKSIS BOLA MATA
KELOMPOK 1
(25 - <28 mm)
KELOMPOK 2
(28 - <31 mm)
KELOMPOK 3
(>31 mm)
15
11.40
11.00
2.64
7.50-15.50
15
2.56
3.00
4.12
-6.00-7.50
15
-1.06
-3.00
3.59
-5.00-5.00
One-Way ANOVA, p=0.00
Post-hoc test
Kelompok 3 (>31 mm)
Kelompok 1 (25 - <28 mm)
Kelompok 2 (28 - <31 mm)
p=0.00
p=0.02
Kelompok 2 (28 - <31 mm)
Kelompok 1 (25 - < 28 mm)
p=0.00
11
Tabel 4 Gangguan refraksi sisa pada berbagai kelompok panjang aksis
bola mata pasien miopia aksial
PANJANG AKSIS BOLA MATA
GANGGUAN REFRAKSI SISA
N
Mean
Median
Standar Deviation
Range
KELOMPOK 1
(25 - <28 mm)
KELOMPOK 2
(28 - <31 mm)
KELOMPOK 3
(>31 mm)
15
0.43
0.48
0.29
0.04-1.00
15
0.61
0.25
0.66
0.00-1.63
15
0.75
0.93
0.50
0.08-1.57
One-Way ANOVA, p=0.25
Tabel 5 Hubungan antara akurasi kekuatan lensa intraokuler berdasarkan status refraksi pasca operasi dengan panjang aksis bola
mata pasien miopia aksial
PANJANG AKSIS BOLA MATA
Kelompok 1 (25 - <28 mm)
Kelompok 2 (28 - < 31 mm)
Kelompok 3 (> 31 mm)
TOTAL
STATUS REFRAKSI
EMETROPIA
AMETROPIA
11
4
73.3%
26.7%
8
7
53.3%
46.7%
6
9
40.0%
60.0%
25
20
55.6%
44.4%
TOTAL
15
100%
15
100%
15
100%
45
100%
Pearson Chi-Square Test, p= 0.18
Tabel 6
Perbandingan panjang aksis bola mata pasien miopia aksial yang
dikukur menggunakan Optical Biometry dan Ultrasound Biometry
JENIS ALAT UKUR BIOMETRY
PANJANG AKSIS BOLA MATA
N
Mean
Median
Standar Deviation
Range
OPTICAL
ULTRASOUND
45
29.05
29.44
2.12
25.02-31.85
45
28.74
28.78
2.06
24.48-32.91
Independent-Samples T Test, p=0.48
12
Tabel 7
Perbandingan kekuatan lensa intraokuler pasien miopia aksial yang
diukur menggunakan Optical Biometry dan Ultrasound Biometry
JENIS ALAT UKUR BIOMETRY
PANJANG AKSIS BOLA MATA
N
Mean
Median
Standar Deviation
Range
OPTICAL
ULTRASOUND
45
4.30
4.50
6.30
-6.00 – 15.50
45
4.16
3.00
6.55
-6.00 – 16.50
Independent-Samples T Test, p=0.92
13
Download