MENGGAGAS KERANGKA METODOLOGI HERMENEUTIKA DALAM ILMU TAFSIR H.M. YUSUF & H. SAFAR BEDDU Abstrak Artikel ini mengusulkan sebuah metodologi hermeneutika dalam ilmu tafsir. Menurut penulis, penerapan hermeneutika dalam ilmu tafsir selama ini menimbulkan kontroversi karena terdapat perbedaan mendasar antara keduanya. Hermeneutika berpijak pada segitiga hermeneutika, yakni teks, konteks, dan pengarang. Dalam kasus Alquran, ketiganya berbeda dengan teks lain. Perbedaan-perbedaan itu yang ingin “didamaikan” penulis dengan mengusulkan “segitiga” baru. Kata Kunci: ilmu tafsir, hermeneutika, metodologi tafsir. Pendahuluan Peradaban umat Islam adalah peradaban teks di mana seluruh kegiatan-kegiatannya baik yang berupa kepercayaan, kebijakan publik dan ketetapan-ketetapan publik dan ketetapan-ketetapan hukum semuanya disandarkan pada dua sumber teks primer dan sekunder yaitu Alquran dan Hadis, dengan berpijak pada dua sumber tersebut umat Islam membangun peradabannya hingga mencapai puncak peradaban yang mencengangkan masyarakat dunia saat itu. Alquran sebagai sumber inspirasi utama memiliki posisi yang strategis dalam setiap kajian keilmuan yaitu sebagai central reference di antara disiplin ilmu-ilmu lainnya karena tidak sedikit jumlah hasil sebuah karya ilmiah atau statemen-statemen setiap permasalahan kurang afdhol rasanya kalau tidak dilegitimasi dengan ayat atau dalil dari Alquran. Dari sinilah dapat diketahui bahwa Alquran memiliki wilayah interaksi yang sangat luas cakupannya dan tak terbatas pada 260 | Media Akademika Volume 25, No. 3, Juli 2010 objek apapun sesuai dengan kemampuan orang yang mengkajinya. Tulisan-tulisan keagamaan, menurut Dawam Raharjo, memang kerap merujuk ayat-ayat Alquran dan hadis, Dawam membagi bentuk tulisan tadi menjadi dua mascam. Pertama, tulisan yang membahas permasalahan-permasalahan umum dengan merujuk ayat-ayat Alquran. Dalam kasus ini tulisan memang tidak langsung menafsirkan ayat-ayat Alquran tetapi dengan merujuk Alquran, penulis mau tidak mau harus menafsirkan ayat yang menjadi rujukan itu. Kedua, tulisan yang membahas ayat-ayat Alquran tetapi penjelasannya memakai bahan-bahan empiris atau teori ilmu-ilmu sosial. Dengan pendekatan itu maka penafsiran akan menemukan makna-makna baru dari Alquran. Tulisan model pertama itulah yang justru menimbulkan perubahanperubahan dalam wacana Alquran. Kesulitan dalam menafsirkan Alquran tersebut menimbulkan gagasan dan upaya untuk menemukan metodologi tafsir baru.1 Secara historis, metodologi penafsiran Alquran selalu berkembang, hal ini disebabkan karena masalah-masalah yang dihadapi manusia selalu berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, metodologi lama yang dipakai untuk memahami masalah yang relavan di masanya, tidak ditemukan jawabannya pada masalah-masalah kontemporer. Sejarah perkembangan metodologi penafsiran Alquran bukan berarti berjalan mulus tanpa ada perdebatan diantara cerdik cendekia muslim. Satu sisi ada kelompok yang berusaha mempertahankan metodologi lama karena dianggap sebagai sebuah tatanan yang sudah mapan dan di sisi lainnya terdapat kelompok yang berusaha terus menciptakan metodologi baru dengan alasan metodologi lama dianggap tidak mampu lagi menjawab permasalahan kontemporer dan metodologi tersebut perlu di rekonstruksi demi tuntutan zaman. Tarik ulur antara dua kelompok ini selalu menjadi perdebatan yang sengit di antara para pengkaji Islam khususnya bidang tafsir Alquran. 1 Dawam Raharjo, Paradigma al-Qur’an, ( Jakarta: PSAP, 2005), hlm. 3. H.M. Yusuf & H. Safar Beddu, “Menggagas Kerangka Metodologi...” | 261 Term ilmu tafsir sebenarnya bukan merupakan istilah yang asing bagi kaum Muslim di Indonesia. Istilah ini mulai diperkenalkan kepada mereka sejak Islam mulai datang ke bumi nusantara ini sekitar abad I dan II H (abad VII-VII M). Meskipun fakta ini masih memerlukan fakta lain yang lebih signifikan, namun suatu hal yang tak dapat dibantah bahwa term ilmu tafsir telah sangat populer di Indonesia jauh sebelum munculnya istilah hermeneutika. Istilah yang kedua ini baru agak terasa nuansanya pada dasawarsa terakhir ini, terutama setelah para sarjana Islam Indonesia yang belajar di Barat kembali ke Indonesia membawa berbagai konsep yang dianggap baru, termasuk di antaranya term hermeneutika ini.2 Munculnya istilah hermeneutika tampaknya telah menjadi sebuah wacana metodologi tafsir yang kontroversial dikalangan para pengkaji Alquran, sebagai sebuah tawaran metodologi baru bagi pengkajian kitab suci. Keberadaan hermeneutika pun tidak bisa dielakkan dari dunia kitab suci Alquran. Menjamurnya berbagai literatur ilmu tafsir kontemporer yang menawarkan hermeneutika sebagai variabel metode pemahaman Alquran menunjukkan betapa daya tarik hermeneutika memang luar biasa. Pada dasarnya, hermeneutika adalah metode tafsir Bibel, yang kemudian dikembangkan oleh para filosof dan pemikir Kristen di Barat menjadi metode interpretasi teks secara umum. Oleh sebagian cendekiawan Muslim, kemudian metode ini diadopsi dan dikembangkan untuk dijadikan sebagai alternatif dari metode pemahaman Alquran yang dikenal sebagai ilmu tafsir. Operasional hermeneutika modern dalam penafsiran Alquran bisa dikatakan dirintis oleh para pembaharu Muslim seperti di India dikenal Akhmad Khan, Amir Ali, dan Ghulam Ahmad Parves, yang berusaha melakukan demitologisasi konsep-konsep dalam Alquran yang dianggap bersifat mitologis, seperti mukjizat dan hal-hal gaib. Di Mesir muncul Muhammad Abduh yang secara operasional 2 Nasruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 71. 262 | Media Akademika Volume 25, No. 3, Juli 2010 melakukan operasi hermeneutika dengan bertumpu pada analisis sosial-kemasyarakatan. Meskipun demikian, rumusan metodologis mereka ini tidak sistematis dan tidak terlalu jelas. Pada dekade 1960 sampai 1970-an, muncul tokoh-tokoh yang mulai serius memikirkan persoalan metodologi tafsir ini. Hassan Hanafi, misalnya, melalu tiga karyanya yang bercorak hermeneutika. Yang pertama berkaitan dengan rekonstruksi ilmu ushul fiqh, yang kedua berkaitan dengan hermeneutika fenomenologis dalam menafsirkan fenomena keagamaan dan keberagamaan, dan yang ketiga berhubungan dengan kajian kritis terhadap hermeneutika eksistensial dalam kerangka penafsiran perjanjian baru.3 Muhammad Arkoun dari Aljazair menelorkan idenya mengenai “cara baca” semiotik terhadap Alquran, dan Fazlurrahman merumuskan metode hermeneutika yang sistematik terhadap Alquran dan dikenal sebagai “double mevement”.4 Tak ketinggalan pula Nasr Hamid Abu Zayd yang mencoba menerapkan kritik bahasa dan historis dalam kajian hermeneutika tafsir klasik.5 Apa yang dilakukan oleh Fazlurrahman, Arkoun, Abu Zayd, dan yang lainnya adalah contoh-contoh bagaimana “mengolah” Alquran dengan hermeneutika. Hermeneutika, sebagaimana disebut di atas, pada dasarnya merupakan satu metode penafsiran yang berangkat dari analisa bahasa dan kemudian melangkah kepada analisa konteks, untuk selanjutnya “menarik” makna yang didapat ke dalam ruang dan waktu saat pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan. Jika pendekatan ini dipertemukan dengan kajian teks Alquran, maka persoalan dan tema pokok yang dihadapi adalah bagaimana teks Alquran hadir di tengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan didialogkan dengan dinamika realitas historisnya.6 3 4 5 6 Lihat Hasan Hanafi, Muqaddimah fi Ilm al-Istighrab, (Kairo: Dar al-Faniyah, 1991), hlm. 84. Fazlurrahman, Islam Dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektal Fazlurrahman, diterjemahkan oleh Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 118. Lihat antara lain dalam Nashr Hamid Abu Zaid, Isykaliyat al-Qiraat wa aliyag alTa’wil, (Beirut: al-Markaz al-Saqafi, 1994), hlm. 174. Fahruddin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), hlm. 14. H.M. Yusuf & H. Safar Beddu, “Menggagas Kerangka Metodologi...” | 263 Namun demikian, bukan berarti wacana metodologi hermeneutika dalam penafsiran Alquran bukan disetujui begitu saja oleh para sarjana Muslim pengkaji Alquran. Beberapa di antara sarjana Muslim mengungkapkan ketidaksetujuan mereka untuk menerapkan hermeneutika sebagai metodologi penafsiran Alquran dengan beberapa asumsi. Pertama, secara teologis penerapan metodologi hermeneutika dalam penafsiran Alquran akan sangat bermasalah dengan akidah umat Islam. Menurut Schleirmacher, di antara tugas hermeneutika adalah memahami teks “sebaik atau lebih baik daripada pengarangnya sendiri” atau “to understand the auther better than himself ”. Wajar kemudian bila metodologi ini lebih cocok diterapkan untuk Bibel.7 Adapun Alquran, bagaimana mungkin terpikir oleh kaum Muslimin bahwa mereka dapat memahami Alquran lebih baik dari Allah atau Rasulullah? Oleh sebab itu, dalam upaya memahami Alquran lebih mendalam, kaum Muslimin sebenarnya hanya memerlukan tafsir dan bukan hermeneutika, atau kalau memerlukan pemahaman yang lebih mendalam lagi seperti penafsiran ayat-ayat mutasyabihat yang diperlukan adalah ta’wil. Ta’wil sebagai suatu istilah dapat berarti pendalaman makna (intensification of meaning) dari tafsir, dan dia sangat berbeda dengan hermeneutika. Kedua, secara historis hermeneutika bukan berasal dari tradisi umat Islam, hermeneutika yang mula-mula berasal dari bahasa, hermeneutikos, pernah digunakan oleh Aristoteles dalam sebuah karyanya yang berjudul peri hermenias kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa latin menjadi De Interpretatione lantas diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris On the Interpretation, pada awalnya adalah hanya sekadar membahas peranan ungkapan dalam memahami pemikiran dan juga membahas satuan-satuan bahasa seperti kata benda (noun), kata kerja (verb), kalimat (sentences) dan lain-lain,8 tanpa 7 8 Adnin Armas, Metodologi Bibel Dalam Studi al-Qur’an, ( Jakarta: Gema Insani, 2005), hlm. 69. Ugi Suharto, Apakah al-Qur’an Memerlukan Hermeneutika, ( Jakarta: Khoirul Bayan, 2004), hlm. 47. 264 | Media Akademika Volume 25, No. 3, Juli 2010 mempermasalahkan sebuah teks ataupun membuat kritikan terhadap teks. Kemudian ahli teologi Yahudi dan Kristen mengembangkan istilah itu untuk mengkaji ulang secara kritis teks-teks dalam kitab suci mereka karena memang teks kitab suci mereka bermasalah orsinalitasnya, beda halnya dengan Alquran yang diyakini baik bahasa dan teksnya berasal dari Tuhan (kalamullah) dan bukan karangan hasil ciptaan manusia. Ketiga, dalam proses penafsiran, hermeneutika tidak mementingkan urutan prosedural yang akan diterapkan dalam penafsiran, cara ini tentu bertolak belakang dengan teori ilmu tafsir, di mana langkah-langkah prosedural dalam proses penafsiran Alquran amat dibutuhkan. Para ulama umumnya mengakui bahwa urutan penafsiran itu merupakan sebuah upaya sistematis yang harus diikuti untuk menghasilkan suatu produk tafsir yang obyektif dan representatif serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.9 Itulah beberapa asumsi keberatan para sarjana Muslim untuk menerapkan hermeneutika sebagai salah satu metodologi tafsir. Problematika Hermeneutika Hermeneutika sebagai sebuah disiplin ilmu tidak bisa mengelak dari interaksi dengan disiplin ilmu lainnya tidak terkecuali ilmu tafsir, ditilik dari aspek sejarah munculnya ilmu ini yang lahir dari filsafat maka dapat dikatakan hermeneutika memiliki wilayah interaksi yang luas terhadap disiplin ilmu yang lainnya, ketika interaksi itu terjadi maka problem hermeneutikapun akan muncul. Jika ditinjau dari sifat kedua disiplin ilmu ini akan sangat jelas sekali klaim karakteristik antara keduanya, filsafat dengan karakternya yang kritis dan menekankan sistematika pembahasan selalu mengklaim dirinya sebagai “induk dari segala ilmu pengetahuan”, begitu pula dengan Alquran yang sejak awal munculnya memproklamirkan diri sebagai kitab wahyu yang di dalamnya berisi tentang segala hal yang 9 Baidan, Wawasan Baru, hlm. 81. H.M. Yusuf & H. Safar Beddu, “Menggagas Kerangka Metodologi...” | 265 komplit untuk kebutuhan manusia dan selalu relevan dengan kondisi apa pun baik waktu dan tempat. Dua karakter inilah yang pada gilirannya telah membentuk semacam gesekan argumentasi para pengagum kajian filsafat dan Alquran untuk mempertahankan pendapatnya masing-masing, namun tidak jarang terjadi kompromi antara keduanya karena antara wahyu dan akal akan selalu sejalan dan pada akhirnya bertemu pada satu titik yang sama yaitu “kebenaran”. Dengan asumsi di atas, perlu kiranya bagi penulis membahas problem tersebut sebelum menentukan apakah mungkin hermeneutika diterapkan dalam metodologi tafsir Alquran? Atau hermeneutika hanya akan menjadi varian-varian tambahan saja bagi metodologi ilmu tafsir yang sudah ada? Ilmu tafsir adalah sebuah ilmu yang lahir dari tradisi Islam yang sudah sangat mengakar dari generasi ke generasi hingga saat ini, berbeda halnya dengan hermeneutika yang lahir dari tradisi yang berbeda dan lingkungan yang berbeda yaitu lahir dari filsafat (Yunani) dan kemudian dikembangkan oleh ilmuwan Barat. Dari sinilah kemudian muncul problem hermeneutika, para tokoh muslim ada yang keberatan untuk menerima hermeneutika sebagai salah satu metodologi penafsiran Alquran, sebagian mereka khawatir untuk mengimpor sesuatu yang datangnya dari Barat yang tidak bebas nilai dan mengandung hidden ideology sehingga berujung pada sesuatu yang dapat membahayakan umat muslim, seperti pendangkalan iman dan keyakinan terhadap ajaran Islam. Berkaitan dengan hal tersebut, Fahruddin Faiz membedakan hermeneutika dalam dua hal, hermeneutika sebagai “produk” dan “alat”, jika hermeneutika dipandang sebagai “produk” ala barat dan kristen, maka disini umat Islam harus kritis karena tidak ada satu pun yang bisa menjamin pemikiran tersebut pasti benar dan harus dibenarkan serta memiliki relevansi dalam setiap konteks kehidupan. Namun disisi lain hermeneutika sebagai “alat” berarti sebentuk analisis terhadap proses pemahaman dengan menggali makna teks lalu menimbang makna konteks dan mengupayakan kontekstualisasi, jika 266 | Media Akademika Volume 25, No. 3, Juli 2010 hermeneutika dipahami demikian maka diharapkan hermeneutika dapat memberikan sumbangsih yang berharga terhadap hasil tafsir Alquran.10 Problem selanjutnya, hermeneutika dengan triadic structure-nya juga akan menimbulkan permasalahan pada wilayah teks, dengan mempertanyakan keabsahan teks Alquran secara otomatis akan berakibat pada terganggunya otoritas mushaf utsmany, bahkan menyamakan Alquran dengan lainnya sebagai produk budaya atau hasil ciptaan manusia. Tentu hal ini bertolak belakang dengan keyakinan umat muslim yang sepenuhnya meyakini bahwa Alquran adalah wahyu Allah yang dibawa oleh roh iman (Malaikat Jibril) kedalam hati Muhammad, Alquran berasal dari lawh al-mahfudz dilangit dalam keadaan yang benar-benar utuh, dan sangat terjaga ke-orisinilannya hingga saat ini. Dalam hal ini, penulis lebih sepakat dengan pemikiran aliran hermeneutika baru yang menyatakan “bersikeras mempertanyakan teks dengan cara tertentu atau penafsirannya pada suatu kesimpulan yang telah ditentukan terlebih dahulu justru akan menghalangi maksud teks tersebut.”11 Alquran dengan sangat jelas memperkenalkan dirinya sebagai kitab suci yang benar-benar datangnya dari Allah dan garansi jaminan keasliannya pun langsung dari Allah, dibuktikan dengan ketidakmampuan bahkan tantangan Alquran kepada manusia untuk membuat yang serupa dengannya yang hasilnya tak satupun dari manusia mampu membuat yang serupa dengannya. Muhammad sendiri sebagai seorang Rasul yang mengemban amanat untuk menyampaikannya kepada umat manusia mustahil mengubah isi Alquran hal ini dapat dilihat dari teguran-teguran Allah kepada Muhammad. Masih dengan triadic struture, pada wilayah pengarang teks, sebagaimana dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, Schleirmacher 10 11 Faiz, Hermeneutika al-Qur’an, hlm. 19. Muhammad Ata’ al-Sid, Sejarah Kalam Tuhan, terj. Ilham B. Saenong, ( Jakarta: Teraju, 2004), hlm. 46. H.M. Yusuf & H. Safar Beddu, “Menggagas Kerangka Metodologi...” | 267 dengan hermeneutic psychology menyatakan, untuk mendapatkan sebuah pemahaman yang utuh terhadap sebuah teks, perlu dilakukan sebuah upaya untuk mengetahui tentang segala hal berkaitan dengan pencipta teks, mengadakan dialog imajinatif dengan pencipta teks, atau menyamakan posisi penafsir dengan pencipta teks tersebut.12 Apabila metode hermeneutic psychology diterapkan dalam penafsiran Alquran, problem hermeneutika akan muncul pada aspek teologi, Alquran adalah ciptaan Allah sebab takkan mungkin terbayang bagi seorang muslim untuk menghasilkan dalam dirinya sendiri sikap mental Tuhan ketika Dia menurunkan Alquran. Itulah beberapa problem hermeneutika yang akan muncul ketika metodologi hermeneutika diaplikasikan untuk menafsirkan Alquran, maka berdasarkan atas problem hermeneutika tersebut, Muhammad Ata’ al-Sid mengajukan beberapa persyaratan sebelum hermeneutika dipakai untuk menafsirkan Alquran, antara lain: Jika kepercayaan terhadap Allah, kebenaran Alquran (sebagai wahyu verbatim Allah) dan kenabian Muhammad sudah terbangun dengan baik, kemungkinan hadirnya problem hermeneutis pada tingkat yang paling sederhana sekalipun dapat diatasi.13 Tuntutan iman kepada Allah adalah prasyarat utama yang harus dimiliki sebelum memulai proses penafsiran, sebagaimana Islam menuntut keimanan pada hal-hal tertentu yang tidak terlihat, yang tidak dapat dibuktikan secara empiris dan rasional, yang berada pada wilayah transendental, seperti kekuasaan Tuhan, para malaikat-Nya, eksistensi setan, hari kiamat, dan lain sebagainya. Di sinilah dapat dipahami hikmah pembagian ayat-ayat Alquran muhkam dan mutasyabih. Selanjutnya ia menambahkan penafsir harus menguasai bahasa Arab dengan baik bukan hanya pada penggunaannya saat ini, namun juga dalam bentuknya yang asli ketika wahyu Alquran diturunkan. Ketika hal ini tidak dikuasai, seorang penafsir tidak akan menghasilkan 12 13 Poesporodjo, Hermeneutika, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm. 12. Poesporodjo, Hermeneutika, hlm. 128. 268 | Media Akademika Volume 25, No. 3, Juli 2010 suatu hasil tafsiran yang tidak diinginkan atau bahkan jauh dari maksud Alquran.14 Dalam pemaparan di atas nampak bahwa Muhammad Ata’ al-Sid ingin mengkompromikan atau mencari jalan tengah antara problem hermeneutika ketika diaplikasikan untuk menafsirkan Alquran, persyaratan-persyaratan di atas merupakan sesuatu yang mutlak dipenuhi jika metodologi hermeneutika diaplikasikan dalam penafsiran Alquran. Hal ini perlu diperjelas agar problem atau masalah yang vital dalam tradisi Islam tidak terusik hingga berujung pada hasil tafsir yang justru akan membahayakan umat Islam sendiri, seperti hasil tafsir yang cenderung bersifat relatif, subyektif atau bahkan nihilis yang justru hal inilah yang ingin dijauhi oleh hermeneutika. Dengan demikian jika metodologi hermeneutika ingin diterapkan dalam penafsiran Alquran, maka perlu ada batasan-batasan tertentu yang tidak bisa diambil sepenuhnya dari hermeneutika dengan pertimbangan problematika seperti disebutkan di atas, ini bukan berarti hermeneutika harus ditolak sepenuhnya, namun hemat penulis posisi hermeneutika dalam tafsir Alquran sebagai tambahan varian penafsiran diantara metodologi tafsir Alquran yang sudah ada, atau mengisi kekosongan varian yang belum terdapat dalam ilmu tafsir. Sebab bagaimanapun juga metodologi ilmu tafsir tidak boleh berjalan di tempat (statis), perlu ada perluasan horizon-horizon penafsiran yang luas untuk menjawab semua tantangan zaman dan pemecahan masalah umat yang semakin hari semakin kompleks, ini bukan berarti bahwa teks Alquran harus tunduk pada waktu, tempat, dan relativifitas sejarah, karena Alquran dengan bentuk dan isinya bersifat ilahiyah, Yang Maha Tahu dan Maha Kuasa, manusialah yang harus berusaha keras berpikir memahami rahasia-rahasia Allah yang tergambar dalam ayat-ayat Alquran. 14 Poesporodjo, Hermeneutika, hlm. 85. H.M. Yusuf & H. Safar Beddu, “Menggagas Kerangka Metodologi...” | 269 Kerangka Metodologi Hermeneutika dalam Ilmu Tafsir Posisi metodologi hermeneutika dalam ilmu tafsir dletakkan sebagai varian tambahan untuk melengkapi varian ilmu tafsir yang sudah ada atau dengan istilah lain elaborasi antara hermeneutika dan ilmu tafsir. Namun demikian, penyusunan metodologi hermeneutika dalam ilmu tafsir ini masih bersifat tawaran kerangka metodologi dan lebih bersifat teoretis, belum applicable. Ini disebabkan terbatasnya kajian ini yang memang concern pada tawaran kerangka metodologi saja. Jika dalam hermeneutika, proses penafsiran concern pada tiga wilayah untuk mendapatkan sebuah pemahaman, yaitu teks, pengarang teks, pembaca teks (audience) atau lebih dikenal dengan triadic structure, dikarenakan teori ini menemui problem hermeneutika seperti dijelaskan sebelumnya, penulis mengubah tiga wilayah tersebut dengan wilayah teks, konteks, dan kontekstualisasi dengan tidak mempermasalahkan keabsahan teks Alquran. Pertama, wilayah teks. Pada wilayah ini, prosedural tafsir dalam tafsir konvensional adalah dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa Arab seperti nahwu, sharf, isytiqaq, balaghah, dan lain-lain. Perlu diperhatikan juga masalah qiraat, nasikh mansukh, munasabah, dan lain-lain. Varian tambahan yang dimasukkan untuk memahami ayat pada teks Alquran antara lain istilah bahasa Arab baik istilah klasik dan kontemporer dengan pendekatan filologi, kemudian mencari juga pemahaman ayat lewat sistem tanda yang ada pada teks (semiotika), analisis isi teks, dan yang terakhir mencari atau menganalisis wacana utama yang ada pada teks. Kedua, wilayah konteks. Dalam tafsir Alquran konvensional dikenal dengan istilah asbab al-nuzul, di samping memperkenalkan tentang kronologi ayat dengan pendekatan histori, perlu juga diperhatikan faktor-faktor yang melingkupi dan memengaruhi kondisi pemirsa saat itu seperti kondisi psikologi, sosial, politik, ekonomi, kultur/budaya, geografi, dan antropologi. Ini untuk mengetahui secara utuh “peristiwa sabda”, yaitu peristiwa ketika wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad. 270 | Media Akademika Volume 25, No. 3, Juli 2010 Ketiga, kontekstualisasi. Yang dimaksud dengan kontekstualisasi adalah mencari relevansi ayat dengan kondisi kekinian yang sedang dialami umat, untuk mendapatkan sebuah pemahaman yang utuh dalam hal ini perlu diketahui terlebih dahulu interpretasi Nabi, sahabat, tabi’in, dan para ulama baik yang klasik maupun kontemporer. Hal ini diperlukan sebagai perbandingan sebelum menarik kesimpulan yang sesuai dengan kondisi saat ini. Selanjutnya mengkaji ayat sesuai dengan isu-isu kontemporer yang sedang mengemuka tentunya sesuai dengan tema yang telah dipilih terlebih dahulu, kemudian yang terakhir yaitu memperhatika implikasi dari penafsiran ditinjau dari berbagai aspek seperti: kultur, budaya, sains dan tekhnologi, sosial kemasyarakatan, politik, ekonomi, dan lainlain. Dengan demikian diharapkan hasil tafsir bisa menjadi luas dan sesuai dengan kebutuhan umat. Adapun untuk wilayah pengarang teks, penulis menempatkan posisi ini sebagai sesuatu yang tidak mungkin diganggu gugat dan menempatkannya pada posisi yang harus mewarnai hasil penafsiran, penulis menyebutnya dengan istilah “nilai ilahiyah”. Ada satu hal lagi yang harus ditambahkan berkenaan dengan hasil akhir dari penafsiran. Di samping mempertimbangkan nilai ilahiyah hasil tafsir yang diharapkan dalam metode ini, perlu juga mempertimbangkan aspek alamiah atau nilai-nilai manusiawi, dengan artian hasil penafsiran harus membumi dan dapat dipahami oleh manusia sekaligus dapat menjadikan solusi bagi semua permasalahannya, dengan catatan antara nilai ilahiyah dan nilai manusiawi saling berhubungan erat, tidak terpisah. Alasan lain, hasil penafsiran harus berdasarkan atas “nilai-nilai ilahiyah” dan “aspek manusiawi” adalah untuk menghindari hasil penafsiran yang sifatnya subyektif, sebagaimana terjadi pada hasil tafsir sebelumnya yang kadangkala lebih bercorak lughawi, fiqhi, sufis, dan lain sebagainya. Dengan demikian hasil tafsir yang objektif sangat ditekankan. H.M. Yusuf & H. Safar Beddu, “Menggagas Kerangka Metodologi...” | 271 Kesimpulan Dari pembahasan di atas, penulis menyimpulkan beberapa hal berikut. Pertama, metodologi hermeneutika dalam ilmu tafsir dapat diterapkan dengan beberapa syarat yang mutlak harus dimiliki oleh seorang mufasir. Syarat-syarat tersebut antara lain keimanan kepada Allah, mengakui kenabian Muhammad, meyakini Alquran sebagai wahyu yang benar-benar datang dari Allah, menguasai bahasa Arab dengan baik dan benar, dan lain-lain. Kedua, posisi metodologi hermeneutika dalam ilmu tafsir adalah sebagai varian tambahan di antara varian-varian yang sudah ada dalam ilmu tafsir yang bertujuan untuk memperluas horizon penafsiran. Ketiga, kerangka metodologi hermeneutika dalam ilmu tafsir bergerak pada tiga wilayah penafsiran, yaitu teks, konteks, dan kontekstualisasi, dengan memasukkan varian-varian dari metodologi hermeneutika serta meletakkan nilai-nilai ilahiyah dan aspek alamiah manusiawi sebagai pertimbangan dari hasil tafsir. 272 | Media Akademika Volume 25, No. 3, Juli 2010 DAFTAR PUSTAKA Abu Zaid, Nasr Hamid, Isykaliyat al-Qiraat wa aliyat al-Ta’wil, (Beirut: al-Markaz al-Saqafi, 1994). Armas, Adnin, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an, ( Jakarta: Gema Insani, 2005). Baidan, Nasruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005). Faiz, Fahruddin, Hermeneutika al-Qur’an, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005). Hanafi, Hasan, Muqaddimah fi Ilm al-Istighrab, (Kairo: Dar alFaniyah, 1991). Poesporodjo, Hermeneutika, (Bandung: Pustaka Setia, 2004). Raharjo, Dawam, Paradigma al-Qur’an, ( Jakarta: PSAP, 2005). Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektal, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1985). al-Sid, Muhammad Ata’, Sejarah Kalam Tuhan, terj. Ilham B. Saenong, ( Jakarta: Teraju, 2004). Suharto, Ugi, Apakah al-Qur’an Memerlukan Hermeneutika, ( Jakarta: Khoirul Bayan, 2004).