Analisis Kriminologis terhadap Praktik Illegal Fishing oleh Kapal Asing di Laut Aru dan Arafura Periode Tahun 2004 – 2011 Rahmadiani dan Yogo Tri Hendiarto Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Email: [email protected], [email protected] Abstrak Perairan Aru dan Arafura merupakan salah satu perairan terkaya sumber daya perikanannya di Indonesia. Maka dari itu, tidak heran bahwa banyak kapal-kapal asing yang berlomba-lomba masuk ke perairan ini untuk melakukan penangkapan ikan, baik secara legal maupun ilegal. Pada penelitian ini berfokus pada bagaimana praktik illegal fishing dilakukan di kawasan perairan ini selama periode tahun 2004 hingga 2011 dengan berbagai modus dan juga adanya keterlibatan agen negara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yakni dengan wawancara dan observasi serta didukung dengan data sekunder. Pisau analisis yang digunakan adalah kejahatan transnasional, white collar crime, corporate crime, dan organized crime. Hasil menunjukkan bahwa terdapat empat bentuk illegal fishing yang terjadi di daerah ini yakni penangkapan dengan jaring yang tidak sesuai SIPI, penangkapan tanpa dokumen yang sesuai, penangkapan yang tidak sesuai fishing ground, dan penangkapan tanpa pelaporan ke pelabuhan pangkalan. Selain itu juga ditemukan bahwa terdapat praktik penegakkan hukum yang tidak bersih oleh Angkatan Laut karena mereka membebaskan banyak kapal pelaku illegal fishing di perairan ini. Kata Kunci: Illegal Fishing, Kapal Asing, Kejahatan Transnasional, Kejahatan Kerah Putih, Kejahatan Korporasi, Kejahatan Terorganisir A Criminological Analysis of Illegal Fishing Practice by Foreign Vessel in Aru and Arafura Sea throughout 2004 – 2011 Abstract Aru and Arafura seas are one of the richest seas in Indonesia in term of the fishing resources. Thus, many vessels from outside the country come to these sea to catch fish, whether legally or illegally. This research focuses on illegal fishing practice in these seas in 2004 until 2011 with different modus and the involvement of nation agent. The method used in this research is the qualitative approach, which includes interview, observation, and supported by secondary data. These illegal fishing cases are analyzed using several concepts, which are transnational crime, white collar crime, corporate crime, and organized crime. The result shows that there are four types of illegal fishing happened in this area, namely catching fish without proper net according to SIPI regulation, catching fish without the required documents, offending the fishing ground, and catching fish without reporting to the port. Additionally, this research also found that there is a corrupt law enforcement by the navy because they set free the illegal fishing offender in Aru and Arafura seas. Key Word: Illegal Fishing, Foreign Vessel, Transnational Crime, White Collar Crime, Corporate Crime, Organized Crime Analisis kriminologis..., Rahmadiani, FISIP UI, 2014 2 Pendahuluan Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau kurang lebih sebanyak 17.504. Oleh karena itu, Indonesia seringkali disebut dengan negara kepulauan. Sebagian besar wilayahnya merupakan perairan, yakni mencapai 5,8 juta km2.. Lautan Indonesia dengan demikian memiliki banyak sekali potensi. Potensi ini terwujud dalam berbagai macam bentuk seperti transportasi, kekuatan militer, dan sebagai sumber pangan. Potensi laut Indonesia sebagai sumber pangan patut menjadi perhatian karena berperan penting bagi harkat hidup masyarakat Indonesia. Sumber daya perikanan di Indonesia memiliki tingkat keragaman hayati yang paling tinggi karena mencakup setidaknya 37% dari spesies ikan di dunia. Ikan di perairan Indonesia bernilai ekonomis tinggi seperti tuna, cakalang, udang, tongkol, tenggiri, kakap, cumi-cumi, ikan-ikan karang (www.indonesia.go.id, 2010). Salah satu ancaman pada sektor perikanan adalah adanya praktik illegal fishing. Praktik illegal fishing bisa dipahami sebagai pencurian potensi sumber daya laut. Illegal Fishing ini termasuk dalam Illegal, Unreported, Unregulated Fishing (IUU Fishing/ IUUF) yakni penangkapan ikan yang dilakukan secara ilegal, tidak dilaporkan, atau yang belum dan tidak diatur di Wilayah Pengelolaan Ikan Republik Indonesia (Danusaputro, 1980). Dirjen Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) Joze Graziano da Silva mengatakan bahwa illegal fishing merupakan masalah yang sangat sulit untuk ditangani. Terutama bagi negara yang mengandalkan sektor perikanan seperti Indonesia. Hal yang paling sulit adalah untuk mengidentifikasi kapal pelaku illegal fishing dan mencari cara untuk membawa kapal tersebut ke muka pengadilan.(www.kkp.go.id, 2013). Illegal fishing di Indonesia ditengarai terjadi setiap tahun dan mengakibatkan kerugian sekitar 30 triliun rupiah setiap tahunnya. Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, pencurian ikan di Indonesia terjadi akibat nelayan-nelayan asing yang melakukan pencurian tersebut memiliki banyak industri perikanan namun kekurangan bahan baku. Apabila mereka tidak bisa mendapatkan bahan baku melalui kerjasama yang legal, maka illegal fishing adalah jalan yang ditempuh (tempo.co, 2009). Fakta ini menunjukkan bahwa kekayaan alam Indonesia tidak dijaga dengan baik sehingga banyak kapal asing yang bisa masuk perairan Indonesia dan melakukan pencurian. Idealnya, perairan Indonesia dikelola dan dimanfaatkan oleh nelayan-nelayan Indonesia saja. Pihak asing bisa memanfaatkan namun dengan berbagai macam persyaratan dan aturan hukum yang ketat, misalnya hanya boleh mengelola hasil tangkap di Indonesia saja baru diekspor, bukannya membawa hasil tangkap langsung ke negara asal. Analisis kriminologis..., Rahmadiani, FISIP UI, 2014 3 Salah satu wilayah perairan yang rawan terjadi illegal fishing adalah perairan Aru dan Arafura yang berada di sekitar Maluku. Provinsi Maluku terkenal dengan julukannya sebagai “lumbung ikan nasional”. Sebutan ini disandang Provinsi Maluku karena letaknya yang berada di wilayah segitiga daerah penangkapan ikan (golden triangle fishing ground) yaitu Laut Banda, Laut Arafura, dan Laut Seram. Keadaan ini mejadikan potensi perikanan tangkap di Indonesia sebesar 20% berpusat di daerah ini. Potensi perikanan di provinsi Maluku mencapai 1,627 juta ton per tahun yang tersebar di tiga Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yang meliputi Laut Banda; Laut Maluku, Teluk Tomini dan Laut Seram; dan Laut Aru, Laut Arafura dan Laut Timor. Sayangnya, potensi yang besar tersebut tidak diimbangi dengan pemanfaatan yang memadai. Tercatat hingga tahun 2009 saja, potensi yang dimanfaatkan baru sekitar 21 persen atau 341,966 ton (m.antaranews.com, 2012). Daerah yang dipilih untuk menjadi lokasi penelitian praktik illegal fishing ini adalah di sekitar Laut Aru dan Arafura sebagai Wilayah Pengolahan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI) 718. Pemilihan lokasi penelitian ini karena Laut Arafura yang merupakan salah satu titik paling rawan terjadinya illegal fishing oleh kapal asing, termasuk juga pada perairan di sekitar Kepulauan Aru yang kaya akan ikan (thejakartapost.com, 2005). Selain itu, perairan ini merupakan pintu masuk bagi kapal-kapal dari negara tetangga terutama kapal dari Filipina, Thailand, dan China. Pada perairan Aru dan Arafura juga pernah ditemukan kasus dimana dokumen ijin penangkapan tidak sesuai dengan ketentuan negara (www.interpol.go.id, 2008). Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa kasus illegal fishing di perairan ini merupakan kasus yang harus diteliti, bagaimana terjadinya hingga faktor-faktor penyebabnya. Selain itu mengingat bahwa ikan merupakan menu utama makanan sehari-hari masyarakat Maluku karena harganya yang terjangkau, maka kasus illegal fishing ini tentu memiliki dampak khusus bagi masyarakat Maluku. Praktik illegal fishing di perairan Aru dan Arafura ini penting untuk dikaji secara kriminologis tidak hanya karena banyak aspek kejahatan yang termasuk di dalamnya dan dampak-dampak negatif yang merugikan, namun lebih kepada pelaku dan modus operandi yang mereka lakukan. Dari penjabaran diatas dapat dilihat bahwa garis besar kasus illegal fishing ini tidak semata-mata merupakan kejahatan berbentuk pencurian saja, namun dibaliknya terdapat persekongkolan antara perusahaan dan agen negara dalam terjadinya praktik illegal fishing ini. Keterlibatan perusahaan perikanan dalam melanggengkan praktik illegal fishing pada perairan ini adalah hal yang perlu dikaji lebih mendalam. Analisis kriminologis..., Rahmadiani, FISIP UI, 2014 4 Melihat permasalahan dari sisi kejahatan transnasional, maka melihat masalah illegal fishing sebagai suatu kejahatan yang melibatkan setidaknya dua negara, dalam hal ini Indonesia dan kapal negara asing seperti Thailand, Vietnam, Filipina, China, dan lain sebagainya. Praktik illegal fishing ini menjadi suatu masalah serius dengan skala transnasional karena ada unsur eksploitasi dan pencurian yang melibatkan pihak asing, dengan cara-cara yang ilegal pula baik berupa pemalsuan dokumen, suap, hingga penggunaan alat tangkap yang dapat membahayakan lingkungan. Kejahatan ini bersifat transnasional juga karena pelakunya mengabaikan kesepakatan global untuk bersama-sama menjaga sumber daya laut sebagaimana tertera dalam UNCLOS’82. Selain kerugian yang diderita negara, masyarakat lokal yang berprofesi sebagai nelayan, juga lingkungan laut, mengalami kerugian akibat illegal fishing ini. Illegal fishing juga mengancam pertahanan negara karena kapal-kapal asing tersebut dengan mudahnya dapat keluar masuk perairan Indonesia. Hal ini tentunya menunjukkan bahwa pertahanan kemanan negara Indonesia masih sangat lemah. Pertahananan yang lemah bisa berujung pada langgengnya tindak illegal fishing di perairan ini. Permasalahan utama pada penelitian ini adalah bahwa praktik illegal fishing yang terjadi di sekitar perairan Aru dan Arafura ini mengindikasikan adanya kejahatan yang sifatnya saling berkesinambungan. Tidak hanya diantara perusahaan-perusahaan perikanan sebagai suatu lembaga ekonomi, namun juga didukung dengan adanya keterlibatan lembaga negara. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa kejahatan illegal fishing ini merupakan kejahatan yang sifatnya makro, karena luasnya ruang lingkup pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Fokus pada penelitian ini adalah mengenai kejahatan illegal fishing yang terjadi di sekitar Laut Aru dan Arafura yang bersifat makro tersebut selama periode waktu tertentu yakni selama tahun 2004 hingga tahun 2011. Tinjauan Teoritis Kerangka konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah illegal fishing, Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, perusahaan perikanan, transnational crime, organized crime, white collar crime, corporate crime, dan sosiologi hukum. Kedelapan konsep tersebut membentuk apa yang disebut sebagai kerangka pemikiran ketika dihubungkan dengan fenomena illegal fishing yang terjadi di Laut Aru dan Arafura. Illegal Analisis kriminologis..., Rahmadiani, FISIP UI, 2014 5 fishing sendiri dapat didefinisikan sebagai kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh orang atau kapal perikanan berbendera asing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia tanpa ijin atau bertentangan dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia adalah wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan, konservasi, penelitian, dan pengembangan perikanan yang meliputi perairan pedalaman, perairan kepualauan, laut teritorial, zona tambahan, dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Laut Aru dan Arafura termasuk dalam WPP-RI 718 meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur. Fenomena illegal fishing ini tidak terlepas dari masalah kejahatan transnasional, white collar crime, corporate crime, dan organized crime. Kejahatan transnasional merupakan bentuk pelanggaran dimana munculnya, pencegahannya, dan/atau dampak langsung maupun tidak langsungnya melibatkan lebih dari satu negara (Haken, 2011). Konsep kejahatan transnasional tidak bisa terlepas dari masalah globalisasi. Dalam buku Transnasional ThreatsSmuggling and Trafficking in Arms, Drugs, and Human Life dikatakan bahwa Globalisasi adalah fenomena yang multidimensional terkait dengan perkembangan teknologi dan perdagangan global yang memiliki dampak pada tingkat keamanan. Aspek-aspek yang berbeda dari globalisasi kemudian berkombinasi dan meningkatkan bahaya berupa berbagai macam ancaman yang sifatnya transnasional mulai dari serangan cyber, kejahatan global, perdagangan narkoba, hingga perusakan lingkungan. Transnational crime saat ini merupakan ancaman keamanan nasional, bukan lagi ancaman terhadap orang-orang penting baik secara individual maupun kolektif (Letschert & Dijk, 2011). Kejahatan transnasional ini kemudian dapat diturunkan menjadi suatu konsep organized crime, dimana menurut Abdinsky (2005) organized crime merupakan aktivitas ilegal yang terorganisasi, termasuk pencurian professional, pencurian bisnis, kelompok teroris, geng motor, dan “penipu” yang memeras dengan intimidasi dan kekerasan. Atribut atau ciri-ciri dari organized crime adalah sebagai berikut: Pertama, tidak adanya tujuan politis. Tujuan dari organized crime adalah uang dan kekuasaan yang cara mendapatkannya tidak dibatasi oleh masalah legal maupun moral. Ciri-ciri kedua adalah terdapat hirarki. Struktur kekuasaan pada organized crime sifatnya vertikal dengan setidaknya tiga level. Atribut ketiga adalah keanggotaan yang dibatasi atau ekslusif. Kualifikasinya bervariasi misalnya dari latar belakang etnis, kekeluargaan, ras, rekor kejahatan, dan sebagainya. Orang yang memenuhi syarat tersebut kemudian harus memiliki sponsor, dan juga harus dibuktikan berkualitas dilihat dari perilakunya, misalnya kemauan untuk melakukan kejahatan, mematuhi Analisis kriminologis..., Rahmadiani, FISIP UI, 2014 6 peraturan, mengikuti perintah, dan menjaga rahasia. Keempat, terbentuknya subkultur yang unik. Anggota organized crime memiliki subkultur sendiri dalam arti mereka melihat diri mereka berbeda dari masyarakat konvensional. Sublkultur ini berangkat dari kesadaran bahwa anggota menyadari bahwa penerapan sumberdaya seperti kekerasan, bisa mendatangkan keuntungan. Kelima, organized crime melangsungkan keberadaannya. Konspirasi di dalam organized crime didesain untuk bisa bertahan seiring dengan waktu, bahkan melebihi waktu dari keanggotaan saat ini. Kekuatannya dengan demikian tergantung dari orientasi subkultur yang diterapkan oleh kelompok. Ciri keenam adalah kemauan penggunaan kekerasan yang ilegal. Ciri ketujuh, organized crime sifatnya memonopoli. Organized crime biasanya berusaha menghindari persaingan. Biasanya kelompok ini menguasai satu area geografis, atau industri tertentu, atau keduanya. Ciri dari organized crime yang terakhir adalah diatur oleh peraturan yang tegas. Peraturan tersebut diterapkan pada anggota-anggotanya dan diharapkan anggota-anggota tersebut mematuhinya. Kejahatan transnasional dalam fenomena illegal fishing ini juga terkait dengan white collar crime dan corporate crime. White collar crime menurut Sutherland adalah “orang dari kelas sosial ekonomi tinggi yang melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum yang dibuat dalam rangka pekerjaannya”. Secara garis besar, white-collar crime merupakan kejahatan yang dilakukan oleh individu dan kejahatan yang dilakukan oleh organisasi (Mustofa, 2010). Ketika diturunkan, terdapat dua bentuk white collar crime yakni occupational crime dan corporate crime namun yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah corporate crime. Menurut Braithwaite dalam Simpson (2002), corporate crime adalah “tindakan perusahaan, atau pekerja atas nama perusahaan, yang dilarang dan bisa dikenani sanksi hukum”. Intinya, tujuan dari corporate crime bukanlah pada individu, namun pada organisasi. Penghukuman pada kejahatan korporasi berdasarkan pada pandangan bahwa kejahatan korporasi bukanlah kejahatan karena hasrat namun tindakan yang disengaja yang berakibat pada pendapatan ekonomi karena kejahatan korporasi bersifat oportunis dan pelakunya tidak menjalankan hidup dengan melulu melakukan kejahatan. Konsep terakhir yang digunakan dalam penelitian ini adalah sosiologi hukum. Pada dasarnya, ketidaksesuaian hukum yang telah ditetapkan dengan fakta di lapangan merupakan fokus dari bidang sosiologi hukum. Fokus utama adalah pada fungsi dan kinerja pada sistem peradilan. Robert Mnookin, Robert Cooter, dan Stephen Marks dalam jurnal Bargaining in the Shadow of the Law: A Testable Model of Strategic Behavior memperkenalkan suatu konsep yang disebut dengan In The Shadow of the Law yang secara harafiah bisa Analisis kriminologis..., Rahmadiani, FISIP UI, 2014 7 diterjemahkan sebagai “di bawah bayangan hukum”. Intinya In the Shadow of the Law ini merupakan suatu proses tawar menawar atau bargaining yang dilakukan pihak dalam sistem peradilan yang berpekara. Karakteristik dari bargaining in the shadow of the law ini adalah pertama, terdapat sanggahan diantara dua pihak yang berperkara mengenai pembagian hasil. Kedua, tawar-menawar merupakan pertukaran permintaan dan penawaran untuk membagi hasil. Ketiga, kesepakatan terjadi ketika permintaan penuntut tidak melebihi apa yang ditawarkan oleh pelaku. Keempat, persidangan terjadi ketika kesepakatan tidak tercapai sebelum tanggal persidangan. Kedelapan konsep tersebut dirangkai menjadi suatu bentuk kerangka pemikiran sebagai berikut: Kejahatan Transnasional Organized Crime White Collar Crime orang dari Corporate kelas sosial Crime ekonomi tinggi yang melakukan pelanggaranpelanggaran terhadap hukum yang dibuat dalam rangka pekerjaannya Perusahaan Perikanan/ Kapal Asing Agen Negara Illegal Fishing Modus: Penangkapan Ikan Menggunakan Jaring yang Ukurannya Tidak Sesuai dengan Keterangan dalam Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) Penangkapan Ikan dengan Dokumen yang Tidak Lengkap Penangkapan Ikan yang Tidak Sesuai dengan Fishing Ground dalam Surat Ijin Penangkapan Ikan Penangkapan Ikan tanpa Pelaporan ke Pelabuhan Pangkalan (Transshipment) Kerugian Negara Nelayan Tradisonal kekurangan sumber daya perikanan Gambar 1. Kerangka Pemikiran Analisis kriminologis..., Rahmadiani, FISIP UI, 2014 8 Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian mengenai illegal fishing di Laut Aru dan Arafura ini bermuara dari asumsi bahwa illegal fishing tersebut merupakan kejahatan transnasional karena pelakunya adalah kapal-kapal asing. Kejahatan transnasional tersebut dilakukan oleh kalangan atas, dalam hal ini adalah perusahaan kapal-kapal asing tersebut yang berusaha untuk mencari keuntungan melalui aktivitas illegal fishing. Maka dari itu illegal fishing ini dapat digolongkan sebagai suatu kejahatan kerah putih atau white collar crime, dan juga karena dilakukan oleh perusahaan atau atas nama perusahaan, maka illegal fishing ini dapat digolongkan sebagai corporate crime. Tidak hanya dilihat berdasarkan kedua bentuk kejahatan itu saja, namun aktivitas illegal fishing ini juga dapat digolongkan sebagai organized crime mengingat sebagaimana definsi dari Howard Abadinsky (2005) sifat dari perusahaan perikanan atau kapal asing tersebut terstruktur, dan kejahatan atau tindakan ilegal itu sendiri dilakukan secara terstruktur. Pada akhirnya, keseluruhan konsep tersebut digunakan untuk melihat fenomena illegal fishing di Laut Aru dan Arafura ini yang pelakunya tidak hanya dari satu pihak saja yakni kapal-kapal asing atau perusahaan pemiliknya, namun juga perlu dilihat bahwa kejahatan ini seringkali melibatkan agen negara. Illegal fishing yang terjadi di Laut Aru dan Arafura ini dilakukan dalam empat modus, yakni pertama, penangkapan ikan menggunakan jaring yang ukurannya tidak sesuai dengan keterangan dalam SIPI. Kedua, kapal-kapal tersebut melakukan penangkapan dengan dokumen yang tidak lengkap. Ketiga, terdapat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan fishing ground dalam SIPI. Modus terakhir adalah kapal asing tersebut menangkap ikan tanpa dilaporkan ke pelabuhan pangkalan. Aktivitas penangkapan ikan yang ilegal tersebut makan berdampak besar bagi dua pihak utama yakni pertama, negara. Meskipun ada keterlibatan negara, namun ternyata korban utama dari kejahatan ini adalah negara itu sendiri karena sumber daya perikanan Indonesia dieksploitasi oleh negara lain. Akibatnya adalah nelayan tradisional menjadi korban kedua dalam kejahatan ini. Karena sumber daya perikanan telah dieksploitasi oleh pihak asing, nelayan tradisional tidak berkesempatan untuk memanfaatkan sumber daya perikanan dari negerinya sendiri. Padahal tidak sedikit nelayan yang mengandalkan sektor perikanan sebagai mata pencaharian utama. Akibat jangka panjangnya adalah kesejahteraan masyarakat Indonesia yang terganggu. Analisis kriminologis..., Rahmadiani, FISIP UI, 2014 9 Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena dianggap lebih mampu menjelaskan fenomena yang terjadi, dalam hal ini adalah fenomena illegal fishing di perairan Aru dan Arafura. Temuan-temuan penelitiannya diperoleh dari berbagai macam sarana seperti pengamatan dan wawancara, namun bisa juga melalui dokumen (Bungin, 2007). Untuk dapat melihat fenomena illegal fishing yang dilakukan di Perairan Aru dan Arafura, maka peneliti mencari data tentang aktivitas kelautan di daerah tersebut di dua kota yakni Kota Ambon dan Kota Tual, Maluku Tenggara. Di Kota Ambon terdapat Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku yang bisa memberikan peneliti pemahaman yang lebih mendalam mengenai illegal fishing secara umum. Selain itu terdapat juga Direktorat Polisi Air Polda Maluku yang bertindak langsung dalam menangani kasus-kasus illegal fishing di Perairan Maluku. Pada Kota Tual, Maluku Tenggara, peneliti melakukan penelitian di beberapa lembaga yang menangani kasus di Perairan Aru dan Arafura secara lebih spesifik. Kota Tual dikenal sebagai pusat pengawasan kegiatan perikanan. Terdapat beberapa lembaga besar terkait perikanan di kota ini yakni Stasiun Pengawasan, Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Pengadilan Perikanan Tual, dan Pangkalan TNI-AL Tual. Ketiganya memiliki cakupan wewenang yang luas terkait pengawasan perikanan. Peneliti melakukan wawancara dan mencari data berupa data sekunder melalui beberapa lembaga pemerintah yang memiliki informasi atau terkait dengan aktivitas penangkapan ikan di Indonesia. Ada enam lembaga pemerintah yang menjadi sumber data penelitian ini yakni Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Direktorat Polair Polda Maluku, Kejaksaan Negeri Tual, Pengadilan Negeri/Perikanan Tual, Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Tual, dan Pangkalan TNI AL IX Tual, Maluku Tenggara. Selain itu terdapat juga mantan Anak Buah Kapal asal Thailand dan seorang aktivis lingkungan di Kota Tual. Pencarian data pertama dilakukan di Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku yang memiliki ruang lingkup yang luas yakni seluruh Provinsi Maluku, termasuk juga laut Aru dan Arafura ini. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku memiliki wawasan yang luas akan kasus illegal fishing secara keseluruhan dan bagaimana keadaan di Maluku. Tempat selanjutnya adalah Direktorat Polair Polda Maluku yang melakukan aktivitas pengawasan, penangkapan, dan penyidikan. Dengan kata lain, Polair terlibat langsung dalam aktivitas Analisis kriminologis..., Rahmadiani, FISIP UI, 2014 10 pemberantasan illegal fishing sehingga mengetahui keadaan sebenarnya di wilyah perairan Maluku. Di Kejaksaan Negeri Tual, Peneliti melakukan wawancara terkait dengan masalah prosedur peradilan kasus-kasus illegal fishing yang telah diterima dari penyidik. Selain itu Peneliti juga melakukan wawancara dengan pihak Kejaksaan karena pihak Kejaksaan adalah yang melakukan proses lelang kapal atau ikan hasil tangkapan kapal yang terlibat kasus illegal fishing. Peneliti juga mengumpulkan data sekunder melalui Pengadilan Perikanan Tual berupa kasus-kasus illegal fishing yang pernah masuk peradilan di Pengadilan ini. Selain itu, di pengadilan ini terdapat Hakim Ad Hoc Perikanan yang memiliki pengetahuan luas akan masalah kelautan dan perikanan terutama illegal fishing. Peneliti melakukan wawancara terkait dengan pengawasan kepada Stasiun Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Tual serta Lanal (Pangkalan TNI-AL) Tual karena mereka yang terjun langsung ke laut untuk menangkap kapal-kapal asing yang melakukan pelanggaran. Selain itu karena Angkatan Laut memiliki sumber daya pengawasan yang memadai sehingga perlu dilihat juga efektitas dari kegiatan pengawasan tersebut. Selain itu mereka memiliki akses kepada PT XYZ. Peneliti juga melakukan penelitian terhadap beberapa informan terkait seperti Informan I yang merupakan mantan ABK kapal Thailand, juga pihak Pelabuhan Perikanan Nusantara. Pada perkembangannya, banyak informan yang merujuk pada indikasi penyimpangan oleh sebuah perusahaan perikanan di Kota Tual, PT XYZ. Oleh karena itu peneliti juga melakukan wawancara dengan informan yang mengetahui tentang PT XYZ seperti Informan BU, Informan O, dan Informan Y. Hasil Penelitian dan Pembahasan Meskipun telah ada tata cara penangkapan ikan di perairan Indonesia dan dilakukan pengawasan, namun masih banyak ditemui kecurangan demi kecurangan. Kejahatan pencurian ikan oleh kapal asing yang terjadi di perairan Aru dan Arafura ini dilakukan dalam berbagai macam bentuk. Kejahatan tersebut diantara lain berkaitan dengan pelanggaran masalah surat ijin, alat tangkap, pelanggaran daerah tangkapan atau fishing ground, dan masalah pemindahan hasil tangkapan di laut. Sebagaimana definisi dari Illegal, Unreported, Analisis kriminologis..., Rahmadiani, FISIP UI, 2014 11 and Unregulated (IUU) Fishing sendiri, terdapat tiga unsur didalamnya yakni pertama, illegal artinya penangkapan ikan di Indonesia tidak memiliki ijin atau bertentangan dengan undangundang, unreported yakni kegiatan tidak pernah dilaporkan ke instansi berwenang, dan unregulated yakni kegiatan penangkapan ikan belum diterapkan ketentuan pengelolaannya atau dilaksanakan dengan cara yang tidak sesuai tanggungjawab negara sesuai hukum internasional. Dari definisi tersebut maka dapat dikatakan bahwa keseluruhan bentuk pelanggaran yang terjadi di Aru dan Arafura ini termasuk illegal fishing. Bentuk pelanggaran pemindahan hasil tangkapan di tengah laut merupakan bagian dari unreported fishing. Bentuk pelanggaran fishing ground, alat tangkap, dan surat ijin merupakan bagian dari unregulated fishing. Pelanggaran pertama adalah masalah pelanggaran fishing ground. Untuk pelanggaran fishing ground, tindakan yang dilakukan adalah menangkap di luar daerah tangkapan yang diijinkan. Pelanggaran kedua adalah permasalahan alat tangkap yang digunakan seperti jaring. Misalnya jaring trawl dan pukat harimau telah dilarang penggunaannya dalam penangkapan ikan saat ini. Termasuk pula jaring dengan mata yang besar, dengan lebar 5 inci misalnya. Jaring tersebut biasanya di double sehingga ikan yang bukan berukuran 5 inci atau lebih kecil pun bisa terjerat oleh jaring. Dalam satu kali penurunan jaring saja, banyak ikan yang bisa dibawa pulang. Permasalahan selanjutnya adalah permasalahan perijinan penangkapan ikan. Seringkali terjadi masa berlaku ijin yang dimiliki oleh kapal tersebut sudah habis dan tidak ada upaya memperbaharui lagi. Atau bahkan tidak memiliki ijin hingga ijin yang palsu. Surat ijin palsu ini artinya surat yang sudah mati kemudian di scan atau di fotocopy sehingga seolah-olah mereka memiliki surat ijin yang baru. Permasalahan berikutnya adalah hasil tangkapan tidak dibawa ke pelabuhan sehingga pelaku tidak berkewajiban membayar pajak. Kasus ini disebut dengan masalah transshipment. Kapal penangkap ikan memindahkan hasil tangkapan ke kapal induk dan langsung dibawa ke luar negeri. Selain itu mereka tidak perlu repot-repot mengurus ijin ekspor. Temuan data mengenai aktivitas illegal fishing yang pertama akan dibahas disini adalah menangkap ikan menggunakan jaring yang ukurannya tidak sesuai dengan Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) yang dimiliki oleh kapal penangkap ikan. Pada SIPI tersebut biasanya sudah tercantum ukuran mata jaring yang hendak digunakan, sehingga apabila saat diperiksa oleh pengawas ternyata mata jaringnya tidak sesuai dengan apa yang tertulis di SIPI, maka jelas kapal tersebut telah melakukan pelanggaran. Analisis kriminologis..., Rahmadiani, FISIP UI, 2014 12 Kasus pertama yang akan dibahas disini adalah kasus kapal KM. Antasena 829 dengan bobot 829 GT yang berasal dari Thailand dan berbendera Indonesia. Kasus ini terjadi pada tahun 2008. Kapal KM. Antasena 829 GT tersebut melakukan kegiatan penangkapan ikan sejak tanggal 27 Juni 2008 hingga 22 Agustus 2008 di sekitar perairan Laut Arafura tepatnya pada titik koordinat 136 Bujur Timur. Seluruh Anak Buah Kapal berjumlah 29 orang adalah Warga Negara Thailand. Mereka melakukan penangkapan menggunakan pukat ikan. Ikan yang didapatkan adalah ikan campuran sebanyak 300,1 ton. Pada tanggal 26 Agustus 2008, mereka ditangkap oleh Polda Maluku. Namun pihak yang melakukan pemeriksaan adalah pihak Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan. Keseluruhan Anak Buah Kapal yang merupakan Warga Negar Thailand ini saja sudah bisa dikenai unsur pelanggaran karena tidak sesuai dengan peraturan perundangan, dimana seharusnya kapal tersebut memiliki nahkoda orang Indonesia dan jumlah ABK nya harus seimbang, ada orang Indonesia dan ada warga negara asing. Saat diperiksa itu kemudian diketahui bahwa ukuran jaring tidak sesuai dengan yang tertera di SIPI. Panjang ground rope hasil pengukuran sepanjang 51,60 meter sedangkan dalam SIPI tertulis 38 meter. Jaring tersebut juga memiliki kantong dua lapis, bagian dalam berukuran 6 cm dan bagian luar berukuran 10 cm. Kasus kedua dengan permasalahan jaring yang tidak sesuai adalah yang melibatkan KM. Antasena 836. Terdakwa Mr Niranerj Sapthavorn alias Taikong Niran dan Mr. Nikom Kamnung alias Kamnung beserta seluruh ABK 27 orang asal Thailand ini dalam 40 hari telah melakukan penangkapan ikan sebanyak 3 kali menggunakan jaring yang tidak sesuai dengan SIPI. Total panjang Pukat Ikan (fish net) hasil pengukuran 81,15 m sedangkan dalam SIPI 60 m. Ground Rope hasil pengukuran 44,9 m sedangkan dalam SIPI 38 m. Head Rope hasil pengkuruan 34,50 m sedangkan dalam sipi 35 m. Selain itu alat tangkap pukat ikan dengan tipe mid water trawl yang target utamanya menangkap ikan-ikan di bagian lapisan pertengahan perairan Keberadaan kapal-kapal asing di wilayah perairan Indonesia dan melakukan aktivitas penangkapan ikan tersebut merupakan bukti bahwa telah terjalin suatu kerjasama internasional. Kerjasama internasional ini ditandai dengan adanya United Nation Convention of the Law of the Sea (UNCLOS) yang dikeluarkan oleh PBB. Pada dasarnya UNCLOS berbicara mengenai kesepakatan internasional negara-negara yang telah menyetujui perjanjian ini dalam bidang kelautan. Dalam Article 116 UNCLOS dikatakan bahwa “setiap negara memiliki hak untuk terlibat dalam aktivitas perikanan pada laut lepas”. Syaratnya harus Analisis kriminologis..., Rahmadiani, FISIP UI, 2014 13 tunduk pada kewajiban perjanjian, kepentingan negara pantai, dan ketentuan-ketentuan lain seperti kewajiban bersama dalam melestarikan sumber daya kelautan. Adanya kerjasama internasional ini tidak lepas dari globalisasi. Globalisasi adalah fenomena yang multidimensional terkait dengan perkembangan teknologi dan perdagangan global. Dampak dari adanya globalisasi ini adalah meningkatnya bahaya berupa ancaman yang sifatnya transnasional (Thachuk, 1962). Ancaman ini yang disebut dengan kejahatan transnasional. Kejahatan transnasional sendiri didefinisikan sebagai suatu pelanggaran yang munculnya, pencegahannya, dan/atau dampak langsung maupun tidak langsungnya melibatkan lebih dari satu negara (Haken, 2011). Melihat penjabaran mengenai illegal fishing di atas, maka kejahatan ini bisa dikategorikan sebagai kejahatan transnasional, terutama pada unsur “munculnya melibatkan lebih dari satu negara”. Munculnya kejahatan ini adalah akibat adanya kapal asing yang melakukan aktivitas penangkapan di wilayah perairan Indonesia namun dengan cara-cara yang tidak sesuai peraturan. Adanya pengaturan mengenai syarat-syarat kapal asing bisa menangkap ikan di Indonesia merupakan bukti bahwa kejahatan ini melibatkan lebih dari satu negara. Peraturan adalah wujud dari pencegahan. Adanya UNCLOS sebagai perjanjian yang sifatnya internasional dengan demikian juga membuktikan bahwa pencegahan adanya tindakan illegal fishing ini dilakukan melalui kerjasama antar negara. Selain dilihat sebagai kejahatan transnasional, kasus ini juga bisa dianalisis dengan white collar crime. Kasus illegal fishing ini merupakan bagian dari white collar crime atau kejahatan kerah putih karena pelakunya adalah orang-orang yang memiliki jabatan tinggi dan berupaya untuk mencari keuntungan. Suatu kejahatan dikatakan sebagai kejahatan kerah putih apabila, menurut Sutherland, pelakunya adalah orang dari kelas sosial ekonomi yang tinggi dan melakukan pelanggaran terkait dengan pekerjaannya. Kejahatan ini merupakan kejahatan yang dilakukan oleh individu sekaligus kejahatan yang dilakukan oleh organisasi (Mustofa, 2010). Pelaku dari kejahatan ini bukan hanya Nahkoda dan Kepala Kamar Mesin yang dijadikan sebagai terdakwa dalam persidangan, namun cakupannya lebih luas daripada itu. Untuk bisa beroperasi di Indonesia, kapal asing harus memiliki agen berupa perusahaan perikanan di Indonesia, maka dari itu dalam kasus ini terdapat pula perusahaan perikanan yang terlibat. Melihat dari sisi white collar crime tidak cukup. Pelanggaran ini juga memuat unsur yang lebih spesifik dari kejahatan kerah putih yakni corporate crime atau kejahatan korporasi. Analisis kriminologis..., Rahmadiani, FISIP UI, 2014 14 Dikatakan sebagai kejahatan korporasi karena unsur utamanya adalah adanya tindakan perusahaan atau pekerja atas nama perusahaan yang bisa dikenai sanksi hukum (Braithwaite dalam Simpson, 2002). Kejahatan korporasi diasumsikan terjadi karena adanya kesempatan bagi pelaku untuk melakukan kejahatan tersebut, namun bagi mereka tindakan tersebut bukan merupakan karir kriminal (Simpson, 2002). Apabila dianalisis menggunakan konsep corporate crime, maka dapat dikatakan bahwa kasus ini tergolong sebagai corporate crime juga karena adanya kerugian dalam bentuk lingkungan akibat penggunaan jaring yang tidak sesuai. Selain itu, dengan penggunaan jaring dengan mata kecil, maka otomatis sumber daya perikanan akan cepat terkuras sehingga nelayan Indonesia tidak berkesampatan untuk memanfaatkan sumber daya perikanan di lautannya sendiri. Akibat jangka panjangnya tentu adalah pada kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Bentuk pelanggaran yang kedua adalah penangkapan ikan tanpa dokumen yang sesuai. Terdapat beberapa kasus yang bisa memberikan gambaran penangkapan ikan tanpa dilengkapi dokumen yang sesuai. Kasus-kasus ini diambil dari data sekunder berupa Putusan Pengadilan Negeri Tual. Pertama, kasus kapal dari China KM. Kompak – 029 dengan nahkoda Li Ji Kang selain bermasalah dengan jaring, juga memiliki masalah dengan dokumen-dokumennya. SIPI kapal tersebut sudah habis masa berlakunya sehingga dianggap tidak memiliki SIPI. Selain itu Ijin Usaha Perikanan (IUP) juga habis masa berlakunya, tidak ada Izin Kerja Tenaga Asing, Kemudahan Khusus Keiimigrasian (Dahsuskim) sudah habis masa berlakunya, serta sertifikat kelaikan dan pengawakan kapal penangkapan ikan telah habis masa berlakunya. Dengan ditambah adanya pelanggaran jaring, hukuman yang dijatuhkan hakim bagi nahkoda dan KKM kapal tersebut adalah denda masing-masing Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta) dan bila tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan masing-masing selama 10 hari. Selain itu kapal dirampas oleh negara untuk kemudian dilakukan mereka tidak lagi melakukan aktivitas penangkapan ikan yang ilegal. Kasus kedua yang juga berkaitan dengan masalah ketidaklengkapan dokumen adalah kasus kapal KM. Kompak – 030. Kapal melakukan aktivitas penangkapan kurang lebih selama satu tahun hingga bulan Mei tahun 2005, padahal SIPI sudah habis masa berlakunya sejak 16 Juni 2003 hingga 20 November 2004. Selain itu mereka tidak memiliki atau sudah habis masa berlaku Ijin Usaha Perikanannya, tidak memiliki Ijin Kerja Tenaga Asing, Kemudahan Khusus Keiimigrasian habis masa berlaku, begitu pula dengan sertifikat kelaikan dan pengawakan kapal. Analisis kriminologis..., Rahmadiani, FISIP UI, 2014 15 Kedua kasus tersebut memberikan gambaran mengenai pelanggaran dalam bentuk ketiadaan dokumen yang sesuai dengan peraturan. Pada kedua kasus tersebut ditemukan bahwa Surat Ijin Penangkapan Ikan telah habis masa berlakuknya sehingga bisa dikatakan mereka tidak memiliki SIPI. Melakukan aktivitas penangkapan ikan di Indonesia tanpa SIPI sama saja dengan memasuki wilayah negara Indonesia dan mengambil ikan di lautan Indonesia tanpa ijin dari Indonesia sendiri. Dengan kata lain, kapal-kapal tersebut telah melakukan pencurian ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Ketiadaan dokumen ini juga menunjukkan bahwa kasus illegal fishing ini tergolong dalam bentuk corporate crime karena perusahaan itu sendiri telah melakukan kecurangan dengan tidak mengurus Surat Ijin Penangkapan Ikan dan dokumen-dokumen lainnya. Padahal, pembeda utama dari kapal asing dan kapal lokal adalah perlunya mengurus Surat Ijin Penangkapan Ikan tersebut bagi kapal-kapal asing karena mereka menangkap di perairan yang bukan wewenang wilayahnya. Dengan demikian perusahaan perikanan asing tersebut telah melakukan suatu bentuk pelanggaran hukum dengan tujuan memperlancar aktivitas bisnisnya. Lagi-lagi tindakan ini dapat menyebabkan kerugian negara dan juga berdampak pada kesejahteraan masyarakat Indonesia yang terancam akibat pencurian sumber daya perikanannya. Tidak hanya dapat dilihat sebagai suatu bentuk kejahatan perusahaan, namun kasus illegal fishing yang terjadi di Laut Aru dan Arafura ini bisa digolongkan sebagai organized crime. Hal ini berdasarkan definisi dari The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime yang mendefinisikan organized crime sebagai “kelompok terstruktur yang terdiri dari tiga orang atau lebih, ada dalam beberapa waktu dan bertindak dengan tujuan melakukan satu atau lebih kejahatan atau pelanggaran untuk mendapatkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, keuntungan finansial atau material. Selain itu, terdapat pula definisi dari Abadinsky (2005) yang menyatakan bahwa organized crime merupakan aktivitas ilegal yang terorganisasi, termasuk pencurian professional, pencurian bisnis, kelompok teroris, geng motor, dan “penipu” yang memeras dengan intimidasi dan kekerasan. Berdasarkan kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kapal-kapal asing dan perusahaan yang memerintahkan mereka untuk menangkap ikan adalah suatu kelompok terstruktur. Terstruktur ini juga bisa dilihat dari struktur dalam kapal itu sendiri yang terdiri dari nahkoda, Kepala Kamar Mesin, dan ABK yang terbagi lagi menjadi beberapa sub bagian. Analisis kriminologis..., Rahmadiani, FISIP UI, 2014 16 Unsur organized crime yang kedua adalah melakukan suatu pelanggaran. Jelas disini seperti telah dijabarkan sebelumnya ada beberapa pelanggaran, tidak hanya illegal fishing itu sendiri, namun dalam pelaksanannya ada beberapa modus seperti masalah jaring yang tidak sesuai SIPI dan juga tidak memiliki dokumen penangkapan yang sah. Unsur ketiga dari organized crime ini adalah untuk mencari keuntungan finansial. Kapal-kapal asing yang datang ke Indonesia untuk melakukan penangkapan ikan ini tidak memiliki tujuan lain selain mendapatkan keuntungan dari hasil tangkapan ikan tersebut. Hasil tangkapan tersebut nantinya akan dijual kembali di negara asal mereka dengan keuntungan yang lebih besar, baik dalam bentuk mentah atau sudah dalam bentuk olahan hasil ikan. Kesemua pelanggaran yang dilakukan dengan demikian bermuara pada tujuan ekonomi belaka. Bentuk pelanggaran yang ketiga adalah penangkapan ikan yang tidak sesuai fishing ground dalam Surat Ijin Penangkapan Ikan. Setiap aktivitas penangkapan ikan harus diatur jalur penangkapannya. Jalur penangkapan tersebut tertera dalam SIPI yang dikeluarkan oleh Dirjen Tangkap Kementrian Kelautan dan Perikanan. Surat ijin ini dikeluarkan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan karena biasanya kapal asing berbobot diatas 30 GT yang dengan demikian merupakan wewenang dari Kementrian Kelautan dan Perikanan. Kasus yang memiliki unsur tidak sesuainya aktivitas penangkapan ikan dengan fishing ground yang tercantum adalah kasus kapal KM. Gandaria 01 asal China. Kapal tersebut seharusnya melakukan bongkar muat di Pelabuhan Perikanan Ambon dan Pelabuhan Umum Tulehu tetapi malah mendaratkan di Pelabuhan Aneka Sumber Tata Bahari (ATSB) Tulehu Ambon yang tidak tercantum dalam SIPI. Bentuk pelanggaran dalam bidang penangkapan ikan yang terjadi di Laut Aru dan Arafura yang terakhir adalah masalah transshipment. Transshipment apabila diterjemahkan secara bebas adalah pemindahan dari satu alat pengangkut ke alat pengangkut lain. Dalam kasus illegal fishing ini, transshipment terjadi ketika kapal asing menangkap ikan di laut tapi tidak dilaporkan ke pelabuhan pangkalan untuk dilakukan bongkar muat, namun langsung dipindahkan ke kapal angkut dan dibawa ke negara asal kapal tersebut. Dengan kata lain, kapal tersebut telah melakukan pencurian karena dengan tidak melaporkan ke pelabuhan pangkalan, sama saja kapal tersebut mengambil secara sembunyi-sembunyi di tengah laut. Tindakan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal Informan I, mantan ABK kapal Abili Chai dari Thailand merupakan salah satu bentuk pelanggaran yang bisa dikategorikan dalam transshipment. Kapal Informan I yang melakukan penangkapan langsung dipindahkan ke kapal yang lebih besar di tengah laut dan kemudian dibawa pulang ke Thailand. Terdapat Analisis kriminologis..., Rahmadiani, FISIP UI, 2014 17 pemindahan hasil tangkapan dari satu kapal ke kapal yang lain. “Kapal kecil” yang diistilahkan oleh Informan I merupakan kapal penangkap ikan tempat Informan I bekerja, sedangkan “kapal besar” adalah kapal pengangkut dari Thailand yang bertugas untuk membawa hasil tangkapan ikan langsung ke Thailand. Kedua kapal tersebut menurut keterangan dari Informan I adalah kapal milik perusahaan Abili Chai. Kapal pengangkut tersebut berukuran lebih besar dan memang difungsikan untuk mengangkut hasil tangkapan dari beberapa kapal penangkap. Sedangkan kapal penangkap hanya berfungsi mencari ikan saja. Informan I selaku mantan ABK kapal Thailand ini tidak menganggap pentingnya hasil tangkapan dilaporkan ke pelabuhan. Bahkan sewaktu ditangkap oleh Angkatan Laut, pelanggaran berupa tidak melaporkan ke pelabuhan pangkalan ini tidak menjadi masalah. Terbukti dengan hanya menunjukkan kelengkapan surat mereka bisa dibebaskan. Kasus ini bisa dianalisis dari segi sosiologi hukum. Robert Mnookin, Robert Cooter, dan Stephen Marks (1982) dalam jurnal Bargaining in the Shadow of the Law: A Testable Model of Strategic Behavior memperkenalkan suatu konsep yang disebut dengan In The Shadow of the Law yang secara harafiah bisa diterjemahkan sebagai “di bawah bayangan hukum”. Intinya In the Shadow of the Law ini merupakan suatu proses tawar menawar atau bargaining yang dilakukan pihak dalam sistem peradilan yang berpekara. Karakteristik dari bargaining in the shadow of the law ini adalah pertama, terdapat sanggahan diantara dua pihak yang berperkara mengenai pembagian hasil. Kedua, tawar-menawar merupakan pertukaran permintaan dan penawaran untuk membagi hasil. Ketiga, kesepakatan terjadi ketika permintaan penuntut tidak melebihi apa yang ditawarkan oleh pelaku. Keempat, persidangan terjadi ketika kesepakatan tidak tercapai sebelum tanggal persidangan. Dari keempat karakerisitik konsep sosiologi hukum tersebut maka kasus dibebaskannya pelaku illegal fishing ini merupakan suatu bukti bahwa hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kasus ini memenuhi keempat karakteristik bargaining in the shadow of the law. Bos Informan I selaku pelaku illegal fishing tentu berusaha menghindari sanksi, maka dari itu unsur adanya sanggahan terpenuhi. Karena itu, pelaku berusaha melakukan tawar menawar dengan penyidik yakni TNI Angkatan Laut. Tawar-menawar ini berupa sejumlah uang yang dikirimkan oleh Bos dari Thailand dan jaring yang diberikan kepada penyidik sebagai syarat pembebasan (Keterangan Informan I pada 5 Februari 2014). Dengan demikian, unsur adanya tawar-menawar dan kesepakatan telah terpenuhi. Selanjutnya, tentu saja kapal beserta awaknya dibebaskan. Analisis kriminologis..., Rahmadiani, FISIP UI, 2014 18 . Ciri-ciri dari organized crime juga terpenuhi oleh kapal-kapal asing ini.Ciri tersebut berdasarkan pada definisi Howard Abadinsky (2005). Pertama, mereka tidak memiliki tujuan politis. Tujuan mereka datang ke Indonesia adalah menangkap ikan, menjualnya, dan mendapatkan keuntungan. Kedua, adanya hirarki. Terdapat susunan kekuasaan mulai dari Nahkoda, Kepala Kamar Mesin selaku pemberi perintah dan pengambil keputusan dan Anak Buah Kapal yang menjalankannya. Ciri ketiga adalah keanggotaan yang sifatnya ekslusif. Informan I menyatakan bahwa mereka memiliki keanggotaan yang tetap dan selalu menurut perkataan dari atasan mereka. Keanggotaan yang eksklusif juga berarti yang bisa menjadi awak kapal adalah mereka yang memiliki kemampuan di bidang pelayaran atau perikanan. Ciri keempat adalah adanya subkultur yang unik. Mereka memiliki pandangan yang berbeda dari masyarakat. Adanya subkultur ini ditandai dengan anggapan bahwa illegal fishing yang mereka lakukan, apapun bentuknya, merupakan hal yang biasa saja. Ciri selanjutnya adalah kemauan penggunaan pelanggaran ini. Ciri terakhir adalah adanya peraturan yang tegas di dalam kapal dan sifatnya internal sehingga kegiatan penangkapan ikan yang ilegal ini bisa berjalan dengan lancar. .Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa dari definisi umum organized crime, jelas bahwa illegal fishing ini merupakan suatu bentuk kejahatan yang terorganisir, terutama melihat bahwa pelakunya adalah suatu kelompok yang terorganisir. Adanya kerancuan masalah pelaporan ke pelabuhan pangkalan ini juga tercermin pada kasus PT XYZ. Keberadaan XYZ yang sebagai perusahaan satu-satunya di Tual ini disinyalir membuat aktivitas di Pelabuhan Perikanan Nusantara menjadi mati karena tidak ada kapal asing yang masuk dan bersandar untuk melakukan bongkar muat di Pelabuhan Perikanan Nusantara. Hal ini dikarenakan PT XYZ memiliki dermaga tersendiri. Semua kapal asing melakukan bongkar muat di pelabuhan XYZ karena kapal-kapal asing tersebut telah melakukan kerjasama dengan perusahaan XYZ. Kapal yang melakukan kerjasama dengan XYZ berasal dari China. Namun demikian aktivitas pengolahan tidak dilakukan di XYZ namun langsung diekspor ke luar negeri. Padahal idealnya, pengolahan ikan dilakukan dulu di Indonesia baru setelah itu hasilnya dibawa keluar negeri. Kesimpulan Selama kurun waktu tahun 2004 hingga 2011, banyak ditemukan praktik illegal fishing di Laut Aru dan Arafura. Praktik tersebut dijalankan dengan empat modus yakni Analisis kriminologis..., Rahmadiani, FISIP UI, 2014 19 pertama, penangkapan ikan menggunakan jaring yang ukurannya tidak sesuai dengan keterangan dalam SIPI. Modus kedua adalah penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia tidak dilengkapi dokumen yang sesuai persyaratan. Modus ketiga adalah penangkapan ikan di wilayah yang tidak sesuai dengan wewenang yang tertera dalam SIPI, atau sering diistilahkan sebagai penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan fishing ground. Modus terakhir dan yang paling susah ditangkap adalah masalah transshipment, yakni ketika penangkapan ikan tersebut tidak dilaporkan ke pelabuhan namun langsung dipindahkan ke kapal lain dan diekspor. Selain dilihat dari modusnya, penelitian mengenai illegal fishing yang difokuskan pada kawasan perairan sekitar Laut Aru dan Arafura ini menunjukkan bahwa kejahatan ini merupakan kejahatan yang bersifat makro. Makro disini artinya banyak pihak yang terlibat. Pertama, ada pihak dari asing yang melakukan penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Selain itu ternyata ditemukan keterlibatan dari agen negara dalam melanggengkan praktik illegal fishing ini. Keterlibatan agen negara ini khususnya terlihat pada Angkatan Laut ketika mereka membebaskan banyak kapal asing pelaku illegal fishing. Daftar Referensi Buku Abadinsky, Howard. (2013). Organized Crime. Belmont: Cengage Learning. Agnew, Messrs David J & Colin T. Barnes. (2004). Economic Aspects and Drivers of IUU Fishing: Builiding a Framework. London: MRAG Ltd. Bungin, B. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Clinard, M. B. (1983). Corporate Ethics and Crime: The Role of Middle Management. Beverly Hills : SAGE Publications, Inc. Ermann, M. D., & Lundman, R. J. (1978). Corporate and Government Crime; Problems of Organizational Behavior in Contemporary Society. New York: Oxford University Press. Analisis kriminologis..., Rahmadiani, FISIP UI, 2014 20 Environmetal Justice Foundation. (2005). Pirate and Profiteers: How Pirate Fishing Fleets are Robbing People and Oceans. Emerson Press. Environmental Justice Foundation. (2005). Party to the Plunder: Illegal Fishing in Guinea and its Link to the EU. London: Emerson Press. Friederichs, David. (2010). Trusted Criminals: White Collar Crime in Contemporary Society 4th Edition. Belmont: Washword Haken, Jeremy. (2011). Transnational Crime in the Developing World. Global Financial Integrity. Mustofa, M. (2010). Kriminologi: Kajian Sosiologi terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang dan Pelanggaran Hukum. Bekasi : Sari Ilmu Pratama. Simpson, S. S. (2002). Corporate Crime, Law, and Social Control. Cambridge: Cambridge University Press. Simpson, S. S., & Weisburd, D. ( 2009). The Criminology of White Collar Crime. New York: Springer. Thachuk, Kimberley L. (1962). Transnasional Threats- Smuggling and Trafficking in Arms, Drugs, and Human Life. Westport: Praeger Security Internasional. Jurnal Internasional Mnookin, Robert , Stephen Marks, Robert Cooter. (1982). Bargaining in the Shadow of the Law: A Testable Model of Strategic Behavior. Legal Stud 225. URL: http://scholarship.law.berkeley.edu/facpubs/85 Website Jeudi.2008.Mengungkap Illegal Fishing di Maluku Tenggara.www.interpol.go.id. Diakses pada 9 Maret 2013 pukul 20.45 Masnang.2012. m.antaranews.com/berita/267960/lumbung-ikan-maluku-pacu-produksiperikanan-nasional/. Diakses pada 7 Maret 2013 pukul 23.32 m.kompasiana.com/post/bisnis/2013/01/31/maluku-lumbung-ikan-nasional-yang-kurangdukungan-/. Diakses pada 9 Maret 2013 pukul 20.40 Analisis kriminologis..., Rahmadiani, FISIP UI, 2014