12 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bidang Bimbingan Pribadi-Sosial dan Perilaku Bullying 1. Bidang Bimbingan Pribadi Dalam bidang bimbingan pribadi, membantu siswa menemukan dan mengembangkan pribadi yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, mantap dan mandiri serta sehat jasmani dan rohani. Dalam bidang bimbingan sosial membantu siswa mengenal dan berhubungan dengan lingkungan social yang dilandasi budi pekerti luhur, tanggung jawab kemasyarakatan dan kenegaraan. Bimbingan pribadi social berarti bimbingan dalam menghadapi keadaan batinnya sendiri dan mengatasi pergumulan-pergumulan dalam hatinya sendiri dalam mengatur dirinya sendiri dibidang kerohanian, perawatan jasmani, pengisian waktu luang, penyaluran nafsu seksual dan sebagainya, serta bimbingan dalam membina hubungan kemanusiaan dengan sesame diberbagai lingkungan (pergaulan social). (Winkel, 1991:127) Bidang ini dapat dirinci menjadi pokok-pokok berikut 1. Pemantapan sikap dan kebiasaan serta pengembangan wawasan dalam beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa 13 2. Pemantapan pemahaman tentang kekuatan diri dan pengembangannya untuk kegiatan-kegiatanyag kreatif dan produktif baik dalam kehidupan sehari-hari maupun untuk peranannya dimasa depan 3. Pemantapan pemahaman tentang kelemahan diri dan usaha penanggulangannya 4. Pemantapan kemampuan mengambil keputusan 5. Pemantapan kemampuan mengarahkan diri sesuai dengan keputusan yang telah diambil 6. Pemantapan dalam perencanaan dan penyelenggaraan hidup sehat baik secara rohaniah maupun jasmaniah 7. Pemantapan kemampuan berkomunikasi baik melalui ragam lisan maupun tulisan secaraefektif 8. Pemantapan kemampuan menerima dan menyampaikan isi pendapat serta berargumentasi secara dinamis, kreatif dan produktif 9. Pemantapan kemampuan bertingkah laku dan berhubungan social, baik dirumah, disekolah, maupun masyarakat luas dengan menjungjung tinggi tata karma, sopan santun, serta nilai-nilai agama adat, hokum, ilmu, dan kebiasaan yang berlaku 10. Pemantapan hubungan yang dinamis, harmonis, dan produktif dengan teman sebaya, baik disekolah yang sama, disekolah yang lain, diluar sekolah, maupun masyarakat pada umumnya 11. Pemantapan pemahaman kondisi dan peraturan sekolah serta upaya pelaksanaan secara dinamis dan bertanggung jawab 14 Dalam bidang bimbingan pribadi, pelayanan bimbingan dan konseling membantu siswa menemukan dan mengembangkan pribadi yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, mantap dan madiri serta sehat jasmani dan rohani, bidang ini dapat dirinci menjadi pokok-pokok berikut a. Pemantapan sikap dan kebiasaan serta pengembangan wawasan dalam beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa b. Pemantapan pemahaman tentang kekuatan diri dan pengembangannya untuk kegiatan-kegiatan yang kreatif dan produktif baik dalam kehidupan sehari-hari maupun untuk peranannya dimasa depan c. Pemantapan pemahaman tentang bakat dan minat pribadi serta penyaluran dan pengembangannya melalui kegiatan-kegiatan yang kreatif dan produktif d. Pemantapan pemahaman tentang kelemahan diri dan usaha-usaha penanggulangannya e. Pemantapan kemampuan mengambil keputusan f. Pemantapan kemampuan mengarahkan diri sesuai dengan keputusan yang telah diambilnya g. Pemantapan dalam perencanaan dan penyelenggaraan hidup sehat, baik secara rohaniah maupun jasmaniah Dalam bidang bimbingan sosial, pelayanan bimbingan dan konseling membantu siswa mengenal dan berhubungan dengan lingkungan sosialnya yang dilandasi budi pekerti luhur tanggung jawab kemasyarakatan dan kenegaraan, bidang ini dapat dirinci menjadi pokok-pokok berikut 15 1. Pemantapan kemampuan berkomunikasi, baik melalui ragam lisan maupun tulisan secra efektif 2. Pemantapan kemampuan menerima dan menyempaikan pendapat serta berargumentasi secara dinamis, kreatif dan produktif 3. Penempatan kemampuan bertingkah laku dan berhubungan social, baik dirumah, di sekolah, maupun dimasyarakat luas dengan menjunjung tinggi tata karma, sopan santun, serta nilai-nilai agama, adat hukum,ilmu dan kebiasaan yang berlaku 4. Penempatan hubungan yang dinamis, harmonis, dan produktif dengan teman sebaya, baik di sekolah maupun di masayarakat pada umumnya 5. Pemantapan pemahaman kondisi dan peraturan sekolah serta upaya pelaksanaannya secara dinamis dan bertanggung jawab 6. Orientasi tentang kehidupan keluarga. 2. Pengertian Bidang Bimbingan Pribadi Pengertian Bimbingan Pribadi-Sosial, Bimbingan merupakan upaya untuk membantu individu berkembang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya secara bertahap dalam proses yang matang. Natawidjaja (Yusuf, 2009: 38) mengartikan bimbingan sebagai proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan, supaya individu tersebut dapat memahami dirinya, sehingga sanggup mengarahkan dirinya dan dapat bertindak wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan keluarga serta masyarakat. 16 Winkel (1991: 124) mendefinisikan bimbingan sebagai pemberian bantuan kepada seseorang atau kepada sekelompok orang dalam membuat pilihan-pilihan secara bijaksana dan dalam mengadakan penyesuaian diri terhadap tuntutan hidup. Surya (1988:36) mengemukakan bimbingan ialah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis dari pembimbing kepada yang dibimbing agar tercapai kemandirian dalam pemahaman diri dan perwujudan diri, dalam mencapai tingkat perkembangan yang optimal dan penyesuaian diri dengan lingkungannya. Senada dengan pendapat Surya, (Prayitno 1987:35) mengemukakan: Bimbingan adalah bantuan yang diberikan kepada seseorang (individu) atau sekelompok orang agar mereka itu dapat berkembang menjadi pribadi-pribadi yang mandiri.Kemandirian ini mencakup 5 fungsi pokok yang hendaknya dijalankan oleh pribadi yang mandiri yaitu 1. Mengenal diri sendiri dan lingkungan, 2. Menerima diri sendiri dan lingkungan secara positif dan dinamis, 3. Mengambil keputusan, 4. Mengarahkan diri, 5. Mewujudkan diri. Berdasarkan definisi-definisi bimbingan yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan yaitu : 1. Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada individu secara kontinyu dan sistematis, 2. Bertujuan untuk membantu proses pengembangan potensi diri melalui pola-pola sosial yang dilakukannya sehari-hari di lingkungan sekolah, 17 keluarga dan masyarakat. Pola-pola sosial yang dimaksudkan adalah pola-pola dimana individu tersebut dapat melakukan penyesuaian diri dengan lingkungannya. Bimbingan pribadi merupakan upaya untuk membantu individu dalam menemukan dan mengembangkan pribadi yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, mantap dam mandiri serta sehat jasmani dan rohani. Sementara bimbingan sosial merupakan upaya untuk membantu individu dalam mengenal dan berhubungan dengan lingkungan sosial yang dilandasi budi pekerti luhur dan tanggung jawab. Bimbingan pribadi-sosial berarti upaya untuk membantu individu dalam menghadapi keadaan batinnya sendiri dan mengatasi konflik-konflik dalam diri dalam upaya mengatur dirinya sendiri di bidang kerohanian, perawatan jasmani, pengisian waktu luang, penyaluran nafsu seksual dan sebagainya, serta upaya membantu individu dalam membina hubungan sosial di berbagai lingkungan (pergaulan sosial) (Yusuf, 2009: 53-55). Pada dasarnya bimbingan tidak hanya berfungsi untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi individu (kuratif), melainkan memiliki fungsi lain yaitu sebagai upaya pencegahan (preventif) dan pengembangan (developmental). Bullard (Yusuf, 1998:78) mengungkapkan untuk melakukan reformasi (pembaharuan) program bimbingan dan konseling secara tepat, maka layanan-layanannya harus diintegrasikan ke dalam program-program yang berorientasi pengembangan, yang membantu para siswa mengembangkan dan mempraktekkan kompetensi-kompetensinya. 18 3. Tujuan Bimbingan Pribadi-Sosial Yusuf dan Nurihsan (2005:14), merumuskan beberapa tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek pribadi-sosial sebagai berikut a. memiliki komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan danketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, baik dalam kehidupan pribadi,keluarga, pergaulan dengan teman sebaya, sekolah, tempat kerja, maupun masyarakat pada umumnya. b. memiliki sikap toleransi terhadap umat beragama lain, dengan saling menghormati dan memelihara hak dan kewajibannya masing-masing. c. memiliki pemahaman tentang irama kehidupan yang bersifat fluktuatif antara yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, serta mampu meresponnya secara positif sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. d. memiliki pemahaman dan penerimaan diri secara objektif dan konstruktif, baik yang terkait dengan keunggulan maupun kelemahan, baik fisik maupun psikis. e. memiliki sifat positif atau respek terhadap diri sendiri dan orang lain. f. memiliki kemampuan melakukan pilihan secara sehat. g. bersikap respek terhadap orang lain, menghormati atau menghargai orang lain, tidak melecehkan martabat atau harga dirinya. h. memiliki rasa tanggung jawab yang diwujudkan dalam bentuk komitmen, terhadap tugas dan kewajibannya. i. memiliki kemampuan berinteraksi sosial (human relationship), yang diwujudkan dalam bentuk persahabatan, persaudaraan atau silaturahmi dengan sesama manusia. 19 j. memiliki kemampuan dalam menyelesaikan konflik (masalah) baik bersifat internal (dalam diri sendiri) maupun orang lain. k. memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara efektif. Nurihsan (2003;9) menyatakan tujuan bimbingan pada akhirnya membantu individu dalam mencapai: 1. 2. 3. 4. Kebahagiaan hidup pribadi sebagai makhluk Tuhan, Kehidupan yang produktif dan efektif dalam masyarakat, Hidup bersama dengan individu-individu lain, dan Harmoni antara cita-cita mereka dengan kemampuan yang dimilikinya. Dapat disimpulkan tujuan bimbingan pribadi pribadi sosial yang harus dikembangkan dalam program layanan bimbingan dan konseling adalah memfasilitasi siswa dalam mengarahkan pemantapan kepribadian serta mengembangkan kemampuan dalam mengatasi masalah-masalah pribadi dan sosial siswa. 4. Fungsi Bimbingan Pribadi-Sosial Fungsi dalam bimbingan pribadi-sosial yang diungkapkan oleh Totok (Puspita, 2007:47-49), yaitu : 1. Berubah menuju pertumbuhan. Pada bimbingan pribadi-sosial, konselor secaraberkesinambungan memfasilitasi individu agar mampu menjadi agen perubahan (agent of change) bagi dirinya dan lingkungannya. Konselor juga berusaha membantu individu sedemikian rupa sehingga individu mampu menggunakan segala sumber daya yang dimilikinya untuk berubah. 20 2. Pemahaman diri secara penuh dan utuh. Individu memahami kelemahan dan kekuatan yang ada dalam dirinya, serta kesempatan dan tantangan yang ada diluar dirinya. Pada dasarnya melalui bimbingan pribadi sosial diharapkan individu mampu mencapai tingkat kedewasaan dan kepribadian yang utuh dan penuh seperti yang diharapkan, sehingga individu tidak memiliki kepribadian yang terpecah lagi dan mampu mengintegrasi diri dalam segala aspek kehidupan secara utuh, selaras, serasi dan seimbang. 3. Belajar berkomunikasi yang lebih sehat. Bimbingan pribadi sosial dapat berfungsi sebagai media pelatihan bagi individu untuk berkomunikasi secara lebih sehat dengan lingkungannya. 4. Berlatih tingkah laku baru yang lebih sehat. Bimbingan pribadisosial digunakan sebagai media untuk menciptakan dan berlatih perilaku baru yang lebih sehat. 5. Belajar untuk mengungkapkan diri secara penuh dan utuh. Melalui bimbingan pribadi-sosial diharapkan individu dapat dengan spontan, kreatif, dan efektif dalam mengungkapkan perasaan, keinginan, dan inspirasinya. 6. Individu mampu bertahan. Melalui bimbingan pribadi-sosial diharapkan individu dapat bertahan dengan keadaan masa kini, dapat menerima keadaan dengan lapang dada, dan mengatur kembali kehidupannya dengan kondisi yang baru. 21 7. Menghilangkan gejala-gejala yang disfungsional. Konselor membantu individu dalam menghilangkan atau menyembuhkan gejala yang menggangu sebagai akibat dari krisis. 2. Bullying a. Pengertian Bullying Istilah bullying sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia. Masyarakat Indonesia sendiri belum begitu akrab dengan istilah bullying. Namun istilah bullying terkadang digunakan untuk bentukbentuk perilaku senioritas yang dilakukan oleh siswa senior kepada juniornya seperti menghina, memukul, mengumpat, dan lain-lain. Randal (dalam Parson, 2009:9) merumuskan perilaku bullying sebagai “perilaku agresif yang muncul dari suatu maksud yang disengaja untuk mengakibatkan tekanan kepada orang lain secara fisik dan psikologis”. Sedangkan Rigby (dalam Astuti, 2008:3) mengemukakan bahwa: “Bullying adalah sebuah hasrat untuk menyakiti, hasrat ini diperlihatkan ke dalam aksi, menyebabkan seseorang menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh seorang atau kelompok yang lebih kuat, tidak bertangung jawab, biasanya berulang-ulang, dan dilakukan dengan perasaan senang”. Selain itu, Nusantara (2008:2) mengungkapkan definisi yang tidak jauh berbeda mengenai bullying, “yaitu sebuah situasi dimana terjadinya penyalahgunaan kekuatan/kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang/sekelompok”. 22 Berdasarkan pendapat beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan secara langsung oleh seorang atau kelompok yang merasa lebih kuat sehingga mengakibatkan tekanan kepada orang lain baik secara fisik maupun psikologis. Pihak yang kuat di sini tidak hanya berarti kuat dalam ukuran fisik, tapi bisa juga kuat secara mental. Korban bullying tidak mampu membela atau mempertahankan dirinya karena lemah secara fisik atau mental. Selain itu yang sangat penting diperhatikan adalah bukan sekedar tindakan yang dilakukan, tetapi dampak tindakan tersebut bagi korban. b. Bentuk-bentuk Perilaku yang dikategorikan Bullying Bullying merupakan tindakan agresif yang bertujuan untuk menyakiti orang lain baik sacara fisik maupun psikis. Pelaku akan menggunakan berbagai cara agar tujuannya itu tercapai. Oleh karena itu ada banyak perilaku yang dapat dikategorikan pada bullying, begitu luasnya hingga para ahli mengelompokkannya dalam beberapa bagian. Parson (2009:25) mengelompokkan jenis-jenis perilaku bullying dalam tiga kelompok, yaitu “verbal/tertulis, fisik, dan sosial”. Verbal/tertulis meliputi perilaku mengatai, ledekan, menakut-nakuti lewat email, dan sms yang menyakitkan. Fisik meliputi perilaku yang termasuk yaitu memukul, menendang, menginjak, menyerang, mengancam dengan kekerasan dan paksaan. Sosial meliputi perilaku 23 yang termasuk yaitu merangkai rumor dan gosip, mengucilkan, mempermalukan, atau mencemooh. Sedangkan Nusantara (2008:62) mengelompokkan dalam tiga kategori yaitu “bullying fisik, bullying verbal, bullying psikologis”. Bullying fisik meliputi perilaku menonjok, menampar, mendorong, menendang, menggigit, mencubit, mencakar, dan lain-lain. Bullying verbal meliputi perilaku mengejek, menghina, mengolok-olok, menakuti lewat telepon, mencela, menyebarkan rumor, dan lain-lain. Bullying psikologis meliputi perilaku mengucilkan, mengisolir, mendiamkan, memfitnah, memandang dengan hina dan lain-lain. Selain itu, Astuti (2008:22) mengelompokkan bullying dalam dua kategori yaitu “Bullying fisik dan bullying non-fisik”. Bullying fisik, meliputi perilaku menggigit, menarik, memukul, menendang, menonjok, mendorong, dan lain-lain. Sedangkan bullying non-fisik, terbagi dalam bentuk verbal dan non-verbal. Verbal contohnya pemalakan, pemerasan, mengancam, atau mengintimidasi, menghasut, menyebarkan kejelekan korban, dan lain-lain. Nonverbal terbagi menjadi menjadi langsung yang meliputi manipulasi pertemanan, mengasingkan, tidak mengikutsertakan, mengirim pesan menghasut, curang dan sembunyi-sembunyi. Dan tidak langsung yang meliputi gerakan kasar mengancam, menatap, muka mengancam, menggeram, hentakan mengancam, atau menakuti. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka terdapat beberapa bentuk perilaku yang dikategorikan sebagai bentuk dari perilaku 24 bullying diantaranya bullying fisik, bullying verbal, dan bullying psikologis. Bullying fisik meliputi perilaku yang menyerang fisik, bullying verbal meliputi perilaku yang berupa perkataan yang merendahkan korban, sedangkan bullying psikologis meliputi semua perilaku yang menyerang korban secara psikologis yang dapat berbentuk nonverbal tidak langsung atau intimidasi dalam kelompok sosial yang berdampak pada psikis korban. c. Penyebab Bullying Mellor dan Djuwita (dalam Astuti, 2008:50) mengemukakan bahwa “Bullying terjadi akibat faktor lingkungan, keluarga, sekolah, media, budaya, dan peer group”. Selain itu, Astuti (2008:51) mengungkapkan bahwa penyebab terjadinya bullying antara lain: lingkungan sekolah yang kurang baik, senioritas tidak pernah diselesaikan, guru memberikan contoh kurang baik pada siswa, ketidakharmonisan di rumah, dan karakter anak. a. Lingkungan sekolah yang kurang baik Lingkungan sekolah bisa menjadi salah satu faktor yang menyebabkan bullying. Lingkungan sekolah yang dapat mendukung terjadinya bullying mencakup lingkungan luar sekolah maupun lingkungan sekolah itu sendiri. Lingkungan luar sekolah yakni adanya kebiasaan orang-orang disekitar sekolah seperti sering berkelahi atau bermusuhan, serta berlaku tidak sesuai dengan norma yang ada. Ehan (2010:5) menyatakan bahwa hal yang mempengaruhi terjadinya perilaku bullying: 25 “anak hidup pada lingkungan orang yang sering berkelahi atau bermusuhan,berlaku tidak sesuai dengan norma yang ada, maka anak akan mudah meniru perilaku lingkungan itu dan merasa tidak bersalah”. Hal tersebut mengungkap bahwa salah satu faktor yang dapat mempengaruhi siswa untuk melakukan bullying yakni lingkungan sekitar tempat ia berada. Lingkungan dimana individu di dalamnya biasa melakukan kekerasan ataupun perbuatan melanggar norma lainnya dapat mendukung seseorang menjadi pelaku bullying. Hal tersebut membuat siswa mudah meniru perilaku lingkungan tersebut dan merasa tidak bersalah saat melakukannya, sehingga timbullah perilaku bullying. Selain itu, lingkungan di dalam sekolah juga dapat mempengaruhi timbulnya bullying, seperti kedisiplinan yang sangat kaku dan peraturan yang tidak konsisten. b. Senioritas tidak pernah diselesaikan Senioritas merupakan salah satu penyebab bullying yang cukup dominan. Senioritas yang tidak terselesaikan hanya akan menyuburkan perilaku bullying di sekolah. Hal ini terkait dengan bagaimana sekolah dan para guru menanggapi dan menindaklanjuti masalah senioritas di sekolah. Astuti (2008:6) mengemukakan bahwa “perilaku bullying diperparah dengan tidak jelasnya tindakan dari para guru dan pengurus sekolah. Sebagian guru cendrung membiarkan, sementara sebagian guru lain melarangnya”. Guru seharusnya lebih peduli dengan bullying yang terjadi di sekolah, akan 26 tetapi tidak semua peduli. Hal tersebut membuat siswa tidak jera dan terus melakukan bullying. Guru dan pengurus sekolah seharusnya dapat membedakan antara senioritas pendisiplinan atau yang dimaksudkan senioritas kesewenangan-wenangan sebagai senior sebagai upaya sebagai bentuk terhadap juniornya berdasarkan tatacara atau peraturan sekolah. Guru yang membenarkan atau bahkan ikut melakukan bullying dengan alasan perbuatan itu untuk mendisiplinkan siswa, atau memacu murid agar tidak bodoh hanya akan mengakibatkan makin berkembangnya perilaku bullying. c. Guru memberikan contoh kurang baik pada siswa Guru sebagai pengajar di sekolah dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya bullying, terutama guru yang memberikan contoh perilaku yang tidak baik. Ehan (2010:5) mengemukakan bahwa salah satu hal yang mempengaruhi perilaku bullying yaitu: “guru yang berbuat kasar kepada siswa, guru yang kurang memperhatikan kondisi anak baik dalam sosial ekonomi maupun dalam prestasi anak atau perilaku sehari hari anak di kelas atau di luar kelas bagaimana dia bergaul dengan temantemannya”. Perbuatan guru yang kurang baik dapat mendukung siswa melakukan bullying yakni guru yang berbuat kasar kepada siswa, guru yang kurang memperhatikan kondisi siswa baik dalam prestasi siswa atau perilaku sehari hari siswa di kelas atau 27 di luar kelas serta bagaimana dia bergaul dengan temantemannya. d. Ketidakharmonisan di rumah Keluarga juga berpengaruh terhadap perilaku bullying yang dilakukan oleh siswa. Astuti (2008:53) menyatakan bahwa “kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak merupakan faktor penyebab tindakan bullying”. Selain itu, Schwartz,dkk (dalam Papalia,dkk, 2008:514) menyatakan bahwa “Anak-anak yang menjad bullies seringkali berasal dari lingkungan keluarga kasar dan keras yang selanjutnya membiarkan mereka mendapat hukuman dan penolakan”. Keluarga sebagai tempat tumbuh kembang anak sangat mempengaruhi perilaku individu dalam kesehariannya. Kompleksitas masalah dalam keluarga seperti ketidakhadiran ayah, kurangnya komunikasi antara orang tua, dan ketidakmampuan sosial ekonomi, merupakan faktor penyebab tindakan bullying yang dilakukan siswa. e. Karakter anak Karakter anak yang biasa menjadi pelaku bullying pada umumnya adalah anak yang selalu berperilaku agresif, baik secara fisikal maupun verbal. Astuti (2008:53) menyatakan bahwa faktor penyebab bullying yakni “karakter anak sebagai pelaku umumnya agresif, baik secara fisikal maupun verbal dan pendendam”. Anak yang ingin populer, anak yang tiba-tiba 28 sering berbuat onar atau selalu mencari kesalahan orang lain dengan memusuhi umumnya termasuk dalam kategori ini. Anak dengan perilaku agresif telah menggunakan kemampuannya untuk mengungkapkan ketidaksetujuannya pada kondisi tertentu korban, misalnya perbedaan etnis/ras, fisik, golongan/agama, atau jender. Selain itu, karakter siswa yang pendendam atau iri hati juga dapat menyebabkan seorang siswa melakukan bullying. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa penyebab bullying lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan, meski tidak dipungkiri bahwa faktor dari dalam diri individupun ikut andil sebagai penyebab bullying. Lingkungan tempat tinggal individu menjadi hal yang sangat berpengaruh termasuk lingkungan sekolah dan keluarga. Lingkungan dapat menyebabkan terbentuknya karakter individu yang rentan terhadap perilaku bullying. Budaya dan kebiasaan tidak baik yang berlaku pada suatu lingkungan juga dapat menyuburkan perilaku bullying. d. Akibat Bullying Bullying yang kerap kali terjadi di sekolah seringkali diabaikan, padahal bullying sangat perlu ditanggulangi. Hal tersebut karena bullying dapat menimbulkan akibat yang sangat besar bagi siswa yang terlibat, baik sebagai korban ataupun pelaku. Banyak hal yang 29 diakibatkan dari perilaku bullying yang terjadi, seperti Alexander (dalam Nusantara, 2008:9) yang menjelaskan bahwa: “bullying adalah masalah kesehatan publik yang patut menjadi perhatian. Orang-orang yang menjadi korban bullying semasa kecil, kemungkinan besar akan menderita depresi dan kurang percaya diri dalam masa dewasa. Sementara pelaku bullying, kemungkinan akan terlibat dalam tindakan kriminal di kemudian hari.” Selain itu, Nusantara (2008:12) mengemukakan gejala-gejala akibat bullying yaitu: “mengurung diri, menangis, minta pindah sekolah, konsentrasi siswa berkurang, prestasi belajar menurun, tidak mau bermain/bersosialisasi, penakut, gelisah, berbohong, melakukan perilaku bullying terhadap orang lain, memar/lebamlebam, tidak bersemangat, menjadi pendiam, menjadi rendah diri, suka menyendiri, menjadi kasar dan pedendam, tidak percaya diri, mudah cemas, cengeng, dan mudah tersinggung”. Berdasarkan penjelasan mengenai akibat yang ditimbulkan bullying di atas, maka diketahui bahwa bullying dapat menimbulkan banyak akibat negatif baik bagi korban maupun bagi pelaku. Bagi korban akibat negatif dapat berbentuk fisik maupun psikis. Akibat fisik seperti memar, lebam, atau luka. Sedangkan dampak psikis seperti kepercayaan diri siswa menurun, malu, trauma, merasa sendri, serba salah, mengasingkan diri dari sekolah, mengalami ketakutan sosial, bahkan cendrung ingin bunuh diri. Akibat fisik cendrung dapat langsung terlihat, berbeda dengan dampak psikis yang pada 30 awalnya akan terlihat wajar akan tetapi semakin memburuk jika didiamkan saja, sehingga menimbulkan dampak dalam jangka waktu yang panjang. e. Mengatasi Bullying Bullying yang terjadi tidak dapat didiamkan begitu saja. Setelah mengenali dan menyadari bahwa praktik bullying telah terjadi, maka perlu ada upaya untuk mengatasi bullying tersebut. Penanganan tidak hanya ditujukan kepada korban bullying, akan tetapi pelaku bullying juga perlu penanganan khusus agar tidak mengulangi tindakannya tersebut. Nusantara (2008:31) menyatakan bahwa “Pelaku bullying harus ditangani dengan sabar dan tidak menyudutkannya dengan pertanyaan yang interogratif”. Karena Itu, jangan pernah menyalahkan pelaku bullying, tapi sebaliknya beri kepercayaan agar dapat memperbaiki dirinya. Tumbuhkan empatinya, agar pelaku dapat merasakan perasaan sang korban saat menerima perlakuan bullying. Angkatlah kelebihan atau bakat sang pelaku bullying di bidang yang positif, usahakan untuk mengalihkan energinya pada bidang yang positif. Korban bullying juga memerlukan penangan khusus. Nusantara (2008:32) menyatakan bahwa “korban bullying mungkin lebih cendrung menutup diri, sehingga perlu ditumbuhkan rasa nyaman dan percaya diri agar dia mau lebih terbuka untuk menceritakan 31 masalahnya”. Jika korban sudah mau terbuka maka hal selanjutnya yang harus dilakukan yaitu dengan menghormati pilihan dan membekalinya dengan cara-cara menghadapi pelaku bullying. Patut diingat bahwa bullying tidak dapat dihadapi dengan bullying, karenanya korban bullying harus diajari untuk menghadapi bullying dengan tegas tapi peduli. Korban bullying dapat menanggapi ejekan dengan tegar dan kemungkinan besar tidak memasukkan ke dalam hati, sehingga pelaku bullying akan melihat dirinya sebagai pribadi yang kuat dan tidak akan mengganggunya lagi. Selain itu, Cowie dan Jennifer (2009:15) mengemukakan hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi bullying antara lain “pengawasan guru terhadap siswa, penerapan peraturan dan kode etik sekolah, membangun kesadaran dan pemahaman siswa tentang bullying, danmenciptakan kondisi sekolah yang ramah terhadap siswa”. Berdasarkan uraian di atas, maka bullying harus ditangani tidak hanya bagi pelaku tapi juga bagi pihak korban. Hal ini merupakan tanggung jawab berbagai pihak dalam mengatasinya.Peranan sekolah sebagai institusi pendidikan sangat dibutuhkan, mengingat bahwa tindakan bullying sebagian besar terjadi di sekolah. Guru sebagai komponen utama dalam sekolah dapat berperan dalam mengatasi bullying 32 B. Pola Asuh Orangtua Otoriter Diantara pertimbangan-pertimbangan penting dalam mempelajari remaja dan keluarganya adalah sosialisasi timbal balik, kesesuaian, dan system keluarga bagaimana remaja membangun hubungan dan bagaimana hubungan mempengaruhi perkembangan pematangan social; dan sifat dasar dari daur hidup keluarga 1. Pengertian pola asuh otoriter Pola asuh otoriter dapat dimaknai sebagai pola asuh yang pemegang peranannya adalah orang tua, semua kekuasaan ada pada orang tua, semua keaktifan anak ditentukan olehnya (dalam Aprimaryanti, 2004). Anak sama sekali tidak mempunyai hak untuk mengemukakan pendapat, anak dianggap sebagai anak kecil terus-menerus, anak tidak pernah dapat perhatian yang layak sehingga semua keinginan dan citacitanya tidak mendapatkan perhatian. Menurut Stewart dan Koch yang dikutip oleh Tarsis orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai sikap sebagai berikut: kaku, tegas, suka menghukum, kurang adanya kasih sayang serta simpatik. Orang tua memaksa anak-anak untuk patuh pada nilai-nilai mereka, dan mencoba membentuk tingkah laku sesuai dengan tingkah lakunya serta cenderung mengekang keinginan anak Menurut Citroboto (1980,72) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan sikap otoriter adalah sikap mau menang sendiri, sikap main kuasa dan sikap paling benar sendiri. Sikap ini tersirat dalam cara mendidik yang selalu menggunakan teknik yang serba memerintah. 33 Pola asuh otoriter dapat diartikan sebagai pola perilaku orang tua dalam berinteraksi dengan anak, yang menuntut kepatuhan dan ketaatan anak terhadap aturan yang ditentukan oleh orang tua. Untuk mendapat kepatuhan ini orang tua menggunakan hukuman secara fisik terhadap anak apabila tidak mematuhi peraturan (Sukadji dan Badingah, 1994;26) Arahan orangtua dan suasana psikologis dan sosial yang mewarnai rumah tangga sangat memengaruhi intensitas adaptasi dan perkembangan remaja. a. Keluarga yang otoriter Bouldwin (Al-Mighwar, 2006,198) berpendapat bahwa rumah tangga yang diktator (otoriter) merupakan rumah tangga yang di dalamnya tidak ada adaptasi artinya penuh konflik, pergumulan, dan perselisihan antara orang tua dan anak-anaknya. Padahal, anak sangat membutuhkan hubunganhubungan social yang bagus, baik anggota keluarga atau dengan lingkungannya. Pada keluarga seperti ini, remaja merasakan bahwa kepentingandan hobby nya tidak dipedulikan, atau dianggap tidak penting. Manakala remaja berusaha menarik perhatian kedua orang tuanya, atau berusaha menghukum dirinya, ternyata sosok otoriterlah yang dihadapinya, bahkan terkadang sangsilah yang didapatinya. Karena orang tua nya tidak kunjung memerhatikan dan memahami dirinya, diapun bersikap acuh tak acuh terhadap keduanya, bahkan terhadap semua anggota keluarganya. 34 Sedikitnya terdapat dua sikap otoriter orangtua terhadap anaknya yaitu 1. Otoriter yang memang sudah ada sejak awal, dan orang tua tidak punya rasa cinta kepada anak-anaknya, yang disebut Bouldwin sebagai otoriter permanen. Akibatnya anak cenderung bersikap radikal dan memberontak. 2. Otoriter yang tidak mau kompromi dengan segala keinginan anakanaknya artinya orang tua bersikap masa bodo dan tidak mau bekerja sama dengan anak-anaknya. Akibatnya remaja berkeinginan kuat untuk bebas merdeka, meskipun tindakannya tidak seradikal yang pertama seperti menghabiskan waktunya diluar rumah untuk berkumpul dengan teman-teman nya yang dewasa b. Ciri-ciri pola asuh otoriter Menurut Hurlock (dalam Dayaksini, 1998;15) orang tua yang mempunyai sikap otoriter pada umumnya bercirikan: a. Orang tua menetukan apa yang perlu diperbuat oleh anaknya tanpa memberikan penjelasan tentang alasannya b. Apabila anak melanggar ketentuan yang sudah digariskan oleh orang tua, anak tidak diberikan kesempatan untuk memberikan alasan dan penjelasan sebelum hukuman diterima anak c. Pada umumnya hukuman berwujud hukuman fisik d. Orang tua jarang atau tidak pernah memberikan hadiah baik yang berupa kata-kata maupun bentuk lain apabila anak berbuat sesuatu yang sesuai dengan harapan orang tua 35 Siagan (dalam Manarung, 1995;37) menambahkan bahwa cirri-ciri pola asuh orang tua otoriter adalah 1. Keluarga sebagai milik orang tua saja Dalam hal ini, anak tidak diberi hak untuk membuat kebijakan atau, peraturan yang diterapkan didalam keluarga 2. Tujuan orang tua berarti tujuan keluarga Dalam hal ini berarti semua keputusan anak harus sesuai dengan tujuan orang tua 3. Orang tua menganggap anak sebagai alat Dalam hal ini anak harus siap apabila diberi tugas atau diberi perintah oleh orang tua 4. Orang tua tidak menerima krtitik atau pendapat anak Maksudnya anak tidak diperkenankan untuk memberikan kritik dan saran dan pendapat kepada orang tua 5. Orang tua terlalu tergantung atas kekuatan formalnya Orang tua merasa memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari anak sehingga orang tua bebas melakukan segala sesuatu tanpa kompromi 6. Orang tua menggunakan pendekatan yang mengandung unsur paksaan dan punitiv Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri pola asuh otoriter adalah perlakuan orang tua yang mendidik anak dengan selalu menentukan apa yang diperbuat anak tanpa memberikan penjelasan, 36 membuat peraturan yang harus dilaksanakan, membuat keputusankeputusan sendiri tanpa mempertimbangkan pendapat anak, tidak menerima kritik dari siapapun, memaksakan anak melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya, dan apabila anak melanggar atau tidak memamtuhi peraturan atau tata nilai yang sudah ditetapkan maka anak akan mendapat hukuman. Orang tua merasa kedudukannya lebih tinggi dari anaknya sehingga bebas melakukan sesuatu tanpa kompromi. Bahkan orang tua menggunakan pendekatan yang mengandung unsur paksaan dan punitif serta hukuman fisik. Anak juga tidak pernah diberi hadiah atau pujian apabila anak meakukan sesuatu hal yang sesuai dengan keinginan orang tua. c. Komponen Pola Asuh Otoriter Balson (1993;145) mengatakan bahwa pola asuh otoriter mempunyai lima komponen yaitu: a. Pendidikan bersifat kaku Dalam menerapkan pendidikan keluarga yang peraturan atau penerapan kebiasaan dalam keluarga orang tua seakan memiliki hak mutlak dan anak harus melaksanakan apa yang menjadi ketentuan-ketentuan dalam keluarga. Dimana ketentuan-ketentuan tersebut dibuat oleh orang tua tanpa melibatkan pemikiran dari anak-anaknya b. Hukuman lebih banyak diberikan dari pada pujian Dalam merespon tindakan anak orang tua cenderung memperhatikan kekurangan-kekurangan atau kesalahan-kesalahan 37 yang terjadi dan kurang memperhatikan kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh anak c. Kontrol terhadap anak kaku Penerapan kontrol terhadap anak sering kurang didasarkan pada anak pada kepentingan anak. Segala sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan orang tua tidak boleh dilakukan oleh anak. Orang tua senantiasa mengendalikan perilaku anaknya d. Kurangnya saling pengertian Pola asuh otoriter terdapat dua peran pengatur dan pelaku, orang tua sebagai pengatur kurang memperdulikan kondisi-kondisi serta kebiasaaan-kebiasaaan yang berlaku bagi anaknya. Dilain pihak anak sekedar melaksanakan apa yang dikehendaki oleh orang tuanya tanpa didasarkan pemahaman yang baik atas apa yang dimaksudkannya. Dengan demikian sering terjadi perbedaan maksud dan tujuan dari sebuah proses perilaku e. Kurangnya kesempatan anak mengeluarkan pendapat Karena orang tua merasa memiliki otonomi mutlak atas diri anaknya maka didalam bertindak anak tidak mendapat kesempatan untuk memberikan pertimbangan. Akibat dari hal ini anak menjadi kurang bebas menyatakan sesuatu system dengan apa yang dipikirkan atau dikehendaki. d. Indikator Pola Asuh Otoriter Menurut Hurlock (1994;124) pola asuh terbagi menjadi beberapa indikator: 38 1. Peraturan dan hukuman Peraturan dan hukuman ini dibuat dengan fungsi sebagai pedoman dalam melakukan penilaian terhadap tingkah laku anak 2. Hukuman Diberikan bagi pelanggaran yang dilakukan atas peraturan dan hukuman 3. Hadiah Diberikan untuk perilaku yang baik atau usaha untuk berperilaku social yang baik 2. Keluarga Dengan Remaja Keluarga dengan remaja (Family with adolescent). Masa remaja adalah priode perkembangan dimana individu mendesak untuk mendapat otonomi dan berusaha untuk mengembangkan jati diri mereka. Perkembangan otonomi dan jati diri dewasa adalah proses yang panjang., berlangsung paling cepat 10 sampai 15 tahun. Anakanak yang patuh menjadi remaja yang patuh. Orang tua cenderung menggunakan satu atau dua strategi untuk menghadapi ketidakpatuhan menjepit dan menekan remaja untuk mengikuti nilai-nilai orang tua atau menjadi lebih lunak dan membiarkan remaja memiliki kebebasan yang luas. Keduanya bukanlah strategi yang bijak, penerapan pendekatan yang lebih fleksibel adalah yang terbaik. 39 3. Perubahan Pada Remaja Diantara perubahan-perubahan pada remaja, yang dapat mempengaruhi hubungan orangtua remaja adalah pubertas, penalaran logis yang berkembang, pemikiran idealis, yang meningkat harapan yang tidak tercapai, perubahan di sekolah, rekan sebaya, persahabatan, pacaran, dan pergerakan menuju kebebasan.beberapa penelitian telah menunjukan bahwa konflik antara orangtua dan remaja, terutama antara ibu dan anak laki-laki , adalah yang paling membuat tertekan selama masa puncak pertumbuhan pubertas (Hilk,dkk 1985:Steinberg, 1981, 1988). 4. Teknik Pengasuhan Dan Konflik Orang Tua Banyak orang tua melihat anak-anak mereka berubah dari patuh menjadi seseorang tidak patuh, melawan dan menantang standarstandar orangtua. Orangtua seringkali memaksa dan menekan remaja untuk mengikuti standar orangtua. Banyak orangtua seringkali memperlakukan remaja seperti seseorang yang harus dewasa dalam waktu 10-15 menit. Tapi pergeseran dari masa kanak-kanak ke masa dewasa adalah suatu perjalanan panjang melalui banyak rintangan. Remaja tidak akan menyesuaikan dengan standar orang dewasa dengan segera. a. Teknik Pengasuhan Orangtua ingin remaja mereka tumbuh menjadi individu yang dewasa secara social, dan mereka seringkali merasa putus asa 40 dalam peran mereka sebagai orang tua. Diana Baumrind (Santrock, 2002:185) menekankan tiga jenis cara menjadi orang tua, yang berhubungan dengan aspek-aspek yang berbeda dalam perilaku social remaja 1. Pengasuhan authoritarian (authorian parentin) atau pengasuhan otoriter adalah gaya yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak remaja untuk mengikuti petunjuk orang tua dan untuk menghormati pekerjaan dan usaha. Orangtua yang bersifat authoritarian membuat batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja dan hanya melakukan sedikit komunikasi verbal. Pengasuhan authoritarian berkaitan dengan perilaku social remaja yang tidak cakap 2. Pengasuhan autoritatif (authoritative parenting), mendorong remaja untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Komunikasi verbal timbale balik bisa berlangsung dengan bebas, dan orang tua bersikap hangatdan bersikap membesarkan hati remaja. Pengasuhan autoritatif berkaitan dengan perilaku social remaja yang kompeten. 3. Pengasuhan permisif, ada dua macam pengasuhan permisif yaitu permisif besifat memanjakan, dan bersifat permisif tidak peduli Maccoby dan Martin (Santrock 2002:186). Gaya pengasuhan permisif tidak peduli (permissive- indifferent parenting) adalah suatu pola dimana si orangtua sangat tidak ikut campur dalam 41 kehidupan remaja. Hal ini berkaitan dengan perilaku social remaja yang tidak cakap, terutama kurangnya pengendalian diri. Pengasuhan permisif- memanjakan (permissive- indulgent parenting) adalah suatu pola dimana orang tua sangat terlibat dengan remaja tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan mereka. Pengasuhan permisif- memanjakan berkaitan dengan ketidakcakapan sosial remaja, terutama kurangnya pengendalian diri. Faktor-faktor yang lain, ketanggapan contohnya perhatian dan dukungan, orang tua berkaitan dengan kecakapan social remaja. Dan orang tua sendiri memilki masalah perilaku (contohnya masalah alcohol dan konflik pernikahan), remaja seringkali masalah dan menunjukan penurunan kecakapan social. Beberapa hal mengenai pola pengasuhan tersusun berurutan, pertama pola pengasuhan tidak meliputi tema penting dari sosialisasi timbal balik dan kesesuaian. Kedua banyak orang tua menggunakan kombinasi beberapa teknik, dari pada hanya satu teknik tertentu, walaupun salah satu teknik bias lebih dominan. Walapun pengasuhan yang konsisten biasanya disarankan , orang tua yang bijak dapat merasakan pentingnya bersikap lebih permisif dalam situasi tertentu, dan lebih bersifat otoriter dari situasi yang lain, namun lebih autoritatif disituasi yang lain. 42 5. Pengasuhan Orang Tua , Keluarga dan Sosialisasi Tradisional Orangtua kita jelas punya peran yang penting, kalau bukan yang terpenting dalam perkembangan kita. Ada berbagai gaya pengasuhan orangtua yang bisa amat berbeda-beda. Baumrind (Matsumoto, 2008:110) mengidentifikasi tiga pola utama pengasuhan orang tua, orang tua yang otoriter mengharapkan kepatuhan mutlak dan melihat bahwa anak butuh untuk dikontrol. Sebaliknya orang tua yang bersifat permisif membolehkan anak untuk mengatur hidup mereka sendiri dan menyediakan hanya sedikit panduan baku. Orang tua yang otoritatif bersifat tegas, adil, dan logis. Gaya pengasuhan ini dipandang akan membentuk anak-anak yang secara psikologis sehat, kompeten, mandiri, yang bersifat kooperatif dan nyaman menghadapi situasi-situasi social. Penelitian lain Maccoby dan Martin (dalam Matsumoto, 2008:110) menemukan tipe gaya pengasuhan keempat yang disebut “tak terlibat” atau “uninvolved”. Orang tua yang tak terlibat seringkali terlalu larut dalam kehidupan mereka sendiri untuk bias member respon yang tepat pada anak-anak mereka dan sering terlihat tak peduli. Banyak pengaruh terhadap perkembangan kita terjadi dalam hubungan kita dengan orang selain orang tua kita. Saat anak-anak tumbuh melewati masa awal anak-anak, pola disebabkan oleh perkembangan kognitif. Berbagai kemampuan baru untuk berpikir tentang diri mereka dan orang lain dan untuk memahami dunia mereka memungkinkan anak untuk megembangkan hubungan sebaya yang lebih dalam dan bermakna. 43 Di sekolah, sebagian besar hidup anak dihabiskan tidak dengan orang tua mereka. Proses sosialisasi yang didasarkan pada hubungan primer dengan orang tua berlanjut dengan teman sebaya dalam situasi bermain dan sekolah. Sosialisasi adalah proses instrumental dengan mana anak menginternalisasikan nilai-nilai dan sikapa cultural. Sekolah melambangkan standar-standar ini dan merupakan contributor penting tidak hanya terhadap perkembangan intelektual tapi juga, yang tak kalah penting, terhadap perkembangan social emosional. 6. Remaja dan Keluarganya Psikologi modern berpandangan bahwa remaja adalah fase perkembangan alami, sepanjang perkembangan itu berjalan secara wajar dan alami, remaja tidak akan mengalami krisis apapun. Hubungan remaja dengan orang yang lebih dewasa, khususnya orang tua dan perjuangannya secara bertahap untuk membebaskan diri dari dominasi mereka agar sampai pada tingkatan orang dewasa, menjadi masalah yang serius sepanjang kehidupannya dan membuatnya sulit beradaptasi. Keinginan untuk bebas pada diri remaja ini tidak dibarengi oleh kemampuannya untuk beradaptasi yang baik, sehingga orang tua seringkali mengintervensi dunianya. Para ahli kesehatan mental berpendapat bahwa rumah yang baik adalah rumah yang memperkenalkan segala kebutuhan remaja berikut tantangannya agar bias bebas, lalu membantu dan memotivasi secara maksimal, dan memberinya kesempatan serta nasihat yang mengarah pada kebebasan. Lebih dari itu, 44 remaja juga harus dimotivasi agar berani bertanggung jawab, mengambil keputusan, dan merencanakan masa depannya. Semua itu harus dilakukan keluarga melalui berbagai upaya positif dan konstruktif, secara sengaja dan terencana, sehingga remaja berusaha sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin untuk memperkuat kematangan dirinya. Menghormati kecenderunganya ubtuk bebas merdeka tanpa mengabaikan perhatian padanya dianggap sebagai strategi paling bagus dan tepat, karena selain bias menimbulkan saling percaya antara orang tua dan anak, juga dapat membukakan jalan kearah adaptasi yang sehat. 7. Perselisihan Keluarga dan Pengaruhnya Pada Remaja Arahan orang tua dan suasana psikologis dan social yang mewarnai rumah tangga sangat memengaruhi intensitas adaptasi dan perkembangan remaja. e. Keluarga yang otoriter Bouldwin (dalam Al-Mighwar, 2006:198) berpendapat bahwa rumah tangga yang diktator (otoriter) merupakan rumah tangga yang di dalamnya tidak ada adaptasi artinya penuh konflik, pergumulan, dan perselisihan antara orang tua dan anak-anaknya. Padahal, anak sangat membutuhkan hubungan-hubungan social yang bagus, baik anggota keluarga atau dengan lingkungannya. Pada keluarga seperti ini, remaja merasakan bahwa kepentingan dan hobby nya tidak dipedulikan, atau dianggap tidak penting. Manakala remaja berusaha menarik perhatian kedua orang tuanya, atau berusaha menghukum dirinya, ternyata sosok otoriterlah yang dihadapinya, bahkan terkadang sangsilah yang didapatinya. Karena orang 45 tua nya tidak kunjung memerhatikan dan memahami dirinya, diapun bersikap acuh tak acuh terhadap keduanya, bahkan terhadap semua anggota keluarganya. Sedikitnya terdapat dua sikap otoriter orangtua terhadap anaknya yaitu 3. Otoriter yang memang sudah ada sejak awal, dan orang tua tidak punya rasa cinta kepada anak-anaknya, yang disebut Bouldwin sebagai otoriter permanen. Akibatnya anak cenderung bersikap radikal dan memberontak. 4. Otoriter yang tidak mau kompromi dengan segala keinginan anakanaknya artinya orang tua bersikap masa bodo dan tidak mau bekerja sama dengan anak-anaknya. Akibatnya remaja berkeinginan kuat untuk bebas merdeka, meskipun tindakannya tidak seradikal yang pertama seperti menghabiskan waktunya diluar rumah untuk berkumpul dengan teman-teman nya yang dewasa f. Keluarga yang terlalu toleran Hart Hawk (dalam Al-Mighwar, 2006:199), berpendapat bahwa remaja yang mendapat perhatian berlebihan dirumah, perilakunya cenderung menyerupai perilaku anak-anak. Hal ini sejalan dengan pandangan para pakar bahwa pengembangan perilaku kebebasan remaja akan sulit bila rumah tangga menerapkan pola-pola toleran yang berlebihan. Artinya remaja akan mengalami banyak kesulitan dalam beradaptasi dengan dunia luar, mendorong mereka untuk mencari perhatian dan bantuan kepada orang lain, mereka menjadi sangat tergantung pada orang tua, hingga 46 setelah menikah mereka tidak mau tinggal jauh dari orangtua, kurang mampu menyelesaikan berbagai masalah, atau bersikap cengeng serta pesimis. g. Keluarga yang demokratis Adaptasi yang baik mudah dicapai oleh rumah tangga jenis ini. Sebab, prinsip kebebasan dan demokrasi dijalankan dalam segala aspek kegiatan rumah tangga. Orangtua benar-benar menghormati remaja sebagai individu yang utuh lahir batin, dan tidak sedikitpun mengarahkannya secara otoriter. Remaja diberi segala hal yang mengarahkannya pada kedewasaan yang mandiri dan mengambil keputusan sendiri. Selain itu, remaja juga berkesempatan untuk mengupayakan kemerdekaannya sendiri. Ada beberapa cara untuk merealisasikan rumah tangga yang demokratis antara lain: 1. Menghormati pribadi remaja dalam rumah tangga 2. Berusaha mengembangkan kepribadiannya, mengganggap sebagai pribadi unggulan yang memiliki kemampuan dan berbagai kecenderungan tersendiri, dan harus memberinya kesempatan untuk berkembang sejauh mungkin. 3. Memberika kebebasan berpikir, berekspresi dan memilih jenis pekerjaan. Namun demikian, kebebasan itu masih dalam koridor kebaikan bersama dan tujuan-tujuan yang bersifat umum. Maksudnya kebebasan itu bukan tanpa batas, tetapi masih dibatasi oleh ketentuanketentuan social. 47 Jadi keluarga yang demokratis itu kental dengan nuansa kebersamaan menimbulkan hal yang positif dan terus bergerak, kasih sayang serta saling membatu. Sedangkan keluarga yang otoriter itu kental dengan kekerasan, ketakutan, dan pelarangan. Pola-pola yang diterapkan dalam rumah tangga yang demokratis akan mendorong lahirnya sosok-sosok remaja yang sanggup memikul beban dan tanggung jawab kehidupan, remaja-remaja ideal yang mampu berfikir secara sehat, mau saling menolong, dan bangkit secara bersama-sama dengan masyarakat. Tujuan-tujuan mulia tersebut hanya akan terealisasi oleh rumah tangga yang penuh nuansa demokrasi yang sehat dan didukung oleh pengertian individu-individu yang menginginkan keharmonisan kehidupan sosial. C. Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Perilaku Bullying Dalam berbagai level kehidupan bermasyarakat, konflik dan kekerasan masih terus berlangsung. Letupan kerusuhan beruntun yang melanda masyarakat tersebut semakin mencuat sisi keprihatinan. Pendidikan banyak dikritik sebagai penghasil manusia yang mudah tersinggung, toeransi yang tipis, kurang menghargai orang lain dan menganut budaya kekerasan. Hampir setiap hari kita disuguhi berbagai macam berita tentang kekerasan, baik dilingkungan sekitar kita, dilingkungan rumah tangga (kekerasan dalam rumah tangga), aupun institusi pendidikan yang notabene adalah institusi pencetak penerus bangsa. 48 Diakui atau tidak diakui, budaya kekerasan dalam arti yang luas pada hakikatnya telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat kita pada umumnya telah dialami sejak masa kanak-kanak, baik dilingkungan keluarga, mayarakat maupun sekolah. Kekerasan pada anak tidak hanya meliputi tindakan fisik tetepi juga mencakup kekerasan psikologis seperti dimarahi, diejek, dimaki dan pelecehan seksual. Data dicenter krisis Jakarta memperlihatkan bahwa 76 % korban kekerasan adalah anak-anak. Begitu pula hasil peelitian pada 2006 yang dilakukan oleh pusat kajian pembagunan masyarakat, unuversitas Atmajaya yang bekerja sama dengan UNICEF tentang kekerasan pada anak, khususnya yang terjadi dilingkungan keluarga dan sekolah. Budaya kekerasan sepertinya semakin hari semakin menguat dalam berbagai aspek dalam berbagai aspek kehidupan kita. Julukan bangsa yang penuh adap, sopan santun, toleran, dan memiliki ikatan kekeluargaan yang kuat, lambat laun mulai menghilang dari khazanah kehidupan kita, baik daam konteks hidup bermasyarakat maupun berbangsa. Udaya kekerasan telah menjelma dalam berbagai bentuk, seolah-olah telah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari dan kita menerimanya sebagai sesuatu yang wajar. Bullying dapat terjadi karena kesalah pahaman (prasangka/ prejudice) antar pihak yang berinteraksi. Bullying bukanlah mrupakan suatu tindakan yang kebetulan terjadi, melaikan dipengaruhii oleh berbagai faktor seperti faktor sosial, budaya dan ekonomi. Biasanya dilakukan oleh pihak-pihak 49 yang erasa lebih kuat, lebih berkuasa, atau bahkan merasa lebih terhormat untuk menindas pihak lain untuk memperoleh keuntngan tertentu. Bullying dapat terjadi dimana saja, seperti keluarga masyarakat dan sekolah yang merupakan tri pusat pendidikan.