II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bidang Bimbingan Pribadi

advertisement
12
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Bidang Bimbingan Pribadi-Sosial dan Perilaku Bullying
1. Bidang Bimbingan Pribadi
Dalam bidang bimbingan pribadi, membantu siswa menemukan dan
mengembangkan pribadi yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, mantap dan mandiri serta sehat jasmani dan rohani. Dalam
bidang bimbingan sosial membantu siswa mengenal dan berhubungan
dengan lingkungan social yang dilandasi budi pekerti luhur, tanggung
jawab kemasyarakatan dan kenegaraan. Bimbingan pribadi social berarti
bimbingan dalam menghadapi keadaan batinnya sendiri dan mengatasi
pergumulan-pergumulan dalam hatinya sendiri dalam mengatur dirinya
sendiri dibidang kerohanian, perawatan jasmani, pengisian waktu luang,
penyaluran nafsu seksual dan sebagainya, serta bimbingan dalam membina
hubungan kemanusiaan dengan sesame diberbagai lingkungan (pergaulan
social). (Winkel, 1991:127)
Bidang ini dapat dirinci menjadi pokok-pokok berikut
1. Pemantapan sikap dan kebiasaan serta pengembangan wawasan dalam
beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa
13
2. Pemantapan pemahaman tentang kekuatan diri dan pengembangannya
untuk kegiatan-kegiatanyag kreatif dan produktif baik dalam
kehidupan sehari-hari maupun untuk peranannya dimasa depan
3. Pemantapan
pemahaman
tentang
kelemahan
diri
dan
usaha
penanggulangannya
4. Pemantapan kemampuan mengambil keputusan
5. Pemantapan kemampuan mengarahkan diri sesuai dengan keputusan
yang telah diambil
6. Pemantapan dalam perencanaan dan penyelenggaraan hidup sehat baik
secara rohaniah maupun jasmaniah
7. Pemantapan kemampuan berkomunikasi baik melalui ragam lisan
maupun tulisan secaraefektif
8. Pemantapan kemampuan menerima dan menyampaikan isi pendapat
serta berargumentasi secara dinamis, kreatif dan produktif
9. Pemantapan kemampuan bertingkah laku dan berhubungan social, baik
dirumah, disekolah, maupun masyarakat luas dengan menjungjung
tinggi tata karma, sopan santun, serta nilai-nilai agama adat, hokum,
ilmu, dan kebiasaan yang berlaku
10. Pemantapan hubungan yang dinamis, harmonis, dan produktif dengan
teman sebaya, baik disekolah yang sama, disekolah yang lain, diluar
sekolah, maupun masyarakat pada umumnya
11. Pemantapan pemahaman kondisi dan peraturan sekolah serta upaya
pelaksanaan secara dinamis dan bertanggung jawab
14
Dalam bidang bimbingan pribadi, pelayanan bimbingan dan konseling membantu
siswa menemukan dan mengembangkan pribadi yang beriman dan bertakwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, mantap dan madiri serta sehat jasmani dan
rohani, bidang ini dapat dirinci menjadi pokok-pokok berikut
a.
Pemantapan sikap dan kebiasaan serta pengembangan wawasan
dalam beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa
b.
Pemantapan
pemahaman
tentang
kekuatan
diri
dan
pengembangannya untuk kegiatan-kegiatan yang kreatif dan
produktif baik dalam kehidupan sehari-hari maupun untuk
peranannya dimasa depan
c.
Pemantapan pemahaman tentang bakat dan minat pribadi serta
penyaluran dan pengembangannya melalui kegiatan-kegiatan yang
kreatif dan produktif
d.
Pemantapan pemahaman tentang kelemahan diri dan usaha-usaha
penanggulangannya
e.
Pemantapan kemampuan mengambil keputusan
f.
Pemantapan kemampuan mengarahkan diri sesuai dengan keputusan
yang telah diambilnya
g.
Pemantapan dalam perencanaan dan penyelenggaraan hidup sehat,
baik secara rohaniah maupun jasmaniah
Dalam bidang bimbingan sosial, pelayanan bimbingan dan konseling membantu
siswa mengenal dan berhubungan dengan lingkungan sosialnya yang dilandasi
budi pekerti luhur tanggung jawab kemasyarakatan dan kenegaraan, bidang ini
dapat dirinci menjadi pokok-pokok berikut
15
1.
Pemantapan kemampuan berkomunikasi, baik melalui ragam lisan
maupun tulisan secra efektif
2.
Pemantapan kemampuan menerima dan menyempaikan pendapat
serta berargumentasi secara dinamis, kreatif dan produktif
3.
Penempatan kemampuan bertingkah laku dan berhubungan social,
baik dirumah, di sekolah, maupun dimasyarakat luas dengan
menjunjung tinggi tata karma, sopan santun, serta nilai-nilai agama,
adat hukum,ilmu dan kebiasaan yang berlaku
4.
Penempatan hubungan yang dinamis, harmonis, dan produktif
dengan teman sebaya, baik di sekolah maupun di masayarakat pada
umumnya
5.
Pemantapan pemahaman kondisi dan peraturan sekolah serta upaya
pelaksanaannya secara dinamis dan bertanggung jawab
6.
Orientasi tentang kehidupan keluarga.
2. Pengertian Bidang Bimbingan Pribadi
Pengertian Bimbingan Pribadi-Sosial, Bimbingan merupakan upaya untuk
membantu individu berkembang sesuai dengan kemampuan yang
dimilikinya secara bertahap dalam proses yang matang. Natawidjaja
(Yusuf, 2009: 38) mengartikan bimbingan sebagai proses pemberian
bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan, supaya
individu
tersebut
dapat
memahami
dirinya,
sehingga
sanggup
mengarahkan dirinya dan dapat bertindak wajar, sesuai dengan tuntutan
dan keadaan keluarga serta masyarakat.
16
Winkel (1991: 124) mendefinisikan bimbingan sebagai pemberian
bantuan kepada seseorang atau kepada sekelompok orang dalam membuat
pilihan-pilihan secara bijaksana dan dalam mengadakan penyesuaian diri
terhadap tuntutan hidup.
Surya (1988:36) mengemukakan bimbingan ialah suatu proses pemberian
bantuan yang terus menerus dan sistematis dari pembimbing kepada yang
dibimbing agar tercapai kemandirian dalam pemahaman diri dan
perwujudan diri, dalam mencapai tingkat perkembangan yang optimal dan
penyesuaian diri dengan lingkungannya.
Senada dengan pendapat Surya, (Prayitno 1987:35) mengemukakan:
Bimbingan adalah bantuan yang diberikan kepada seseorang (individu)
atau sekelompok orang agar mereka itu dapat berkembang menjadi
pribadi-pribadi yang mandiri.Kemandirian ini mencakup 5 fungsi pokok
yang hendaknya dijalankan oleh pribadi yang mandiri yaitu
1. Mengenal diri sendiri dan lingkungan,
2. Menerima diri sendiri dan lingkungan secara positif dan dinamis,
3. Mengambil keputusan,
4. Mengarahkan diri,
5. Mewujudkan diri.
Berdasarkan definisi-definisi bimbingan yang telah dipaparkan, dapat
disimpulkan yaitu :
1.
Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada individu secara
kontinyu dan sistematis,
2.
Bertujuan untuk membantu proses pengembangan potensi diri melalui
pola-pola sosial yang dilakukannya sehari-hari di lingkungan sekolah,
17
keluarga dan masyarakat. Pola-pola sosial yang dimaksudkan adalah
pola-pola dimana individu tersebut dapat melakukan penyesuaian diri
dengan lingkungannya.
Bimbingan pribadi merupakan upaya untuk membantu individu dalam
menemukan dan mengembangkan pribadi yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, mantap dam mandiri serta sehat jasmani
dan rohani. Sementara bimbingan sosial merupakan upaya untuk
membantu individu dalam mengenal dan berhubungan dengan lingkungan
sosial yang dilandasi budi pekerti luhur dan tanggung jawab. Bimbingan
pribadi-sosial berarti upaya untuk membantu individu dalam menghadapi
keadaan batinnya sendiri dan mengatasi konflik-konflik dalam diri dalam
upaya mengatur dirinya sendiri di bidang kerohanian, perawatan jasmani,
pengisian waktu luang, penyaluran nafsu seksual dan sebagainya, serta
upaya membantu individu dalam membina hubungan sosial di berbagai
lingkungan (pergaulan sosial) (Yusuf, 2009: 53-55).
Pada dasarnya bimbingan tidak hanya berfungsi untuk mengatasi
permasalahan yang dihadapi individu (kuratif), melainkan memiliki fungsi
lain yaitu sebagai upaya pencegahan (preventif) dan pengembangan
(developmental). Bullard (Yusuf, 1998:78) mengungkapkan untuk
melakukan reformasi (pembaharuan) program bimbingan dan konseling
secara tepat, maka layanan-layanannya harus diintegrasikan ke dalam
program-program yang berorientasi pengembangan, yang membantu para
siswa mengembangkan dan mempraktekkan kompetensi-kompetensinya.
18
3. Tujuan Bimbingan Pribadi-Sosial
Yusuf dan Nurihsan (2005:14), merumuskan beberapa tujuan bimbingan
dan konseling yang terkait dengan aspek pribadi-sosial sebagai berikut
a. memiliki komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan
danketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, baik dalam kehidupan
pribadi,keluarga, pergaulan dengan teman sebaya, sekolah, tempat
kerja, maupun masyarakat pada umumnya.
b. memiliki sikap toleransi terhadap umat beragama lain, dengan saling
menghormati dan memelihara hak dan kewajibannya masing-masing.
c. memiliki pemahaman tentang irama kehidupan yang bersifat fluktuatif
antara yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, serta mampu
meresponnya secara positif sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
d. memiliki pemahaman dan penerimaan diri secara objektif dan
konstruktif, baik yang terkait dengan keunggulan maupun kelemahan,
baik fisik maupun psikis.
e. memiliki sifat positif atau respek terhadap diri sendiri dan orang lain.
f. memiliki kemampuan melakukan pilihan secara sehat.
g. bersikap respek terhadap orang lain, menghormati atau menghargai
orang lain, tidak melecehkan martabat atau harga dirinya.
h. memiliki rasa tanggung jawab yang diwujudkan dalam bentuk
komitmen, terhadap tugas dan kewajibannya.
i. memiliki kemampuan berinteraksi sosial (human relationship), yang
diwujudkan dalam bentuk persahabatan, persaudaraan atau silaturahmi
dengan sesama manusia.
19
j. memiliki kemampuan dalam menyelesaikan konflik (masalah) baik
bersifat internal (dalam diri sendiri) maupun orang lain.
k. memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara efektif.
Nurihsan (2003;9) menyatakan tujuan bimbingan pada akhirnya
membantu individu dalam mencapai:
1.
2.
3.
4.
Kebahagiaan hidup pribadi sebagai makhluk Tuhan,
Kehidupan yang produktif dan efektif dalam masyarakat,
Hidup bersama dengan individu-individu lain, dan
Harmoni antara cita-cita mereka dengan kemampuan yang
dimilikinya.
Dapat disimpulkan tujuan bimbingan pribadi pribadi sosial yang harus
dikembangkan dalam program layanan bimbingan dan konseling adalah
memfasilitasi siswa dalam mengarahkan pemantapan kepribadian serta
mengembangkan kemampuan dalam mengatasi masalah-masalah pribadi
dan sosial siswa.
4. Fungsi Bimbingan Pribadi-Sosial
Fungsi dalam bimbingan pribadi-sosial yang diungkapkan oleh Totok
(Puspita, 2007:47-49), yaitu :
1.
Berubah menuju pertumbuhan. Pada bimbingan pribadi-sosial,
konselor secaraberkesinambungan memfasilitasi individu agar
mampu menjadi agen perubahan (agent of change) bagi dirinya dan
lingkungannya. Konselor juga berusaha membantu individu
sedemikian rupa sehingga individu mampu menggunakan segala
sumber daya yang dimilikinya untuk berubah.
20
2.
Pemahaman diri secara penuh dan utuh. Individu memahami
kelemahan dan kekuatan yang ada dalam dirinya, serta kesempatan
dan tantangan yang ada diluar dirinya. Pada dasarnya melalui
bimbingan pribadi sosial diharapkan individu mampu mencapai
tingkat kedewasaan dan kepribadian yang utuh dan penuh seperti
yang diharapkan, sehingga individu tidak memiliki kepribadian
yang terpecah lagi dan mampu mengintegrasi diri dalam segala
aspek kehidupan secara utuh, selaras, serasi dan seimbang.
3.
Belajar berkomunikasi yang lebih sehat. Bimbingan pribadi sosial
dapat berfungsi sebagai media pelatihan bagi individu untuk
berkomunikasi secara lebih sehat dengan lingkungannya.
4.
Berlatih tingkah laku baru yang lebih sehat. Bimbingan pribadisosial digunakan sebagai media untuk menciptakan dan berlatih
perilaku baru yang lebih sehat.
5.
Belajar untuk mengungkapkan diri secara penuh dan utuh. Melalui
bimbingan pribadi-sosial diharapkan individu dapat dengan
spontan, kreatif, dan efektif dalam mengungkapkan perasaan,
keinginan, dan inspirasinya.
6.
Individu mampu bertahan. Melalui bimbingan pribadi-sosial
diharapkan individu dapat bertahan dengan keadaan masa kini,
dapat menerima keadaan dengan lapang dada, dan mengatur
kembali kehidupannya dengan kondisi yang baru.
21
7.
Menghilangkan
gejala-gejala
yang
disfungsional.
Konselor
membantu individu dalam menghilangkan atau menyembuhkan
gejala yang menggangu sebagai akibat dari krisis.
2. Bullying
a.
Pengertian Bullying
Istilah bullying sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia.
Masyarakat Indonesia sendiri belum begitu akrab dengan istilah
bullying. Namun istilah bullying terkadang digunakan untuk bentukbentuk perilaku senioritas yang dilakukan oleh siswa senior kepada
juniornya seperti menghina, memukul, mengumpat, dan lain-lain.
Randal (dalam Parson, 2009:9) merumuskan perilaku bullying
sebagai “perilaku agresif yang muncul dari suatu maksud yang
disengaja untuk mengakibatkan tekanan kepada orang lain secara
fisik dan psikologis”.
Sedangkan Rigby (dalam Astuti, 2008:3) mengemukakan bahwa:
“Bullying adalah sebuah hasrat untuk menyakiti, hasrat ini
diperlihatkan ke dalam aksi, menyebabkan seseorang menderita.
Aksi ini dilakukan secara langsung oleh seorang atau kelompok
yang lebih kuat, tidak bertangung jawab, biasanya berulang-ulang,
dan dilakukan dengan perasaan senang”.
Selain itu, Nusantara (2008:2) mengungkapkan definisi yang tidak
jauh berbeda mengenai bullying, “yaitu sebuah situasi dimana
terjadinya penyalahgunaan kekuatan/kekuasaan yang dilakukan oleh
seseorang/sekelompok”.
22
Berdasarkan pendapat beberapa definisi di atas maka dapat
disimpulkan bahwa bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan
secara langsung oleh seorang atau kelompok yang merasa lebih kuat
sehingga mengakibatkan tekanan kepada orang lain baik secara fisik
maupun psikologis. Pihak yang kuat di sini tidak hanya berarti kuat
dalam ukuran fisik, tapi bisa juga kuat secara mental. Korban
bullying tidak mampu membela atau mempertahankan dirinya
karena lemah secara fisik atau mental. Selain itu yang sangat
penting diperhatikan adalah bukan sekedar tindakan yang
dilakukan, tetapi dampak tindakan tersebut bagi korban.
b. Bentuk-bentuk Perilaku yang dikategorikan Bullying
Bullying merupakan tindakan agresif yang bertujuan untuk
menyakiti orang lain baik sacara fisik maupun psikis. Pelaku akan
menggunakan berbagai cara agar tujuannya itu tercapai. Oleh karena
itu ada banyak perilaku yang dapat dikategorikan pada bullying,
begitu luasnya hingga para ahli mengelompokkannya dalam
beberapa bagian.
Parson (2009:25) mengelompokkan jenis-jenis perilaku bullying
dalam tiga kelompok, yaitu “verbal/tertulis, fisik, dan sosial”.
Verbal/tertulis meliputi perilaku mengatai, ledekan, menakut-nakuti
lewat email, dan sms yang menyakitkan. Fisik meliputi perilaku
yang termasuk yaitu memukul, menendang, menginjak, menyerang,
mengancam dengan kekerasan dan paksaan. Sosial meliputi perilaku
23
yang termasuk yaitu merangkai rumor dan gosip, mengucilkan,
mempermalukan, atau mencemooh.
Sedangkan Nusantara (2008:62) mengelompokkan dalam tiga
kategori yaitu “bullying fisik, bullying verbal, bullying psikologis”.
Bullying fisik meliputi perilaku menonjok, menampar, mendorong,
menendang, menggigit, mencubit, mencakar, dan lain-lain. Bullying
verbal meliputi perilaku mengejek, menghina, mengolok-olok,
menakuti lewat telepon, mencela, menyebarkan rumor, dan lain-lain.
Bullying psikologis meliputi perilaku mengucilkan, mengisolir,
mendiamkan, memfitnah, memandang dengan hina dan lain-lain.
Selain itu, Astuti (2008:22) mengelompokkan bullying dalam dua
kategori yaitu “Bullying fisik dan bullying non-fisik”. Bullying fisik,
meliputi perilaku menggigit, menarik, memukul, menendang,
menonjok, mendorong, dan lain-lain. Sedangkan bullying non-fisik,
terbagi dalam bentuk verbal dan non-verbal. Verbal contohnya
pemalakan,
pemerasan,
mengancam,
atau
mengintimidasi,
menghasut, menyebarkan kejelekan korban, dan lain-lain. Nonverbal
terbagi menjadi menjadi langsung yang meliputi manipulasi
pertemanan, mengasingkan, tidak mengikutsertakan, mengirim pesan
menghasut, curang dan sembunyi-sembunyi. Dan tidak langsung
yang
meliputi
gerakan
kasar
mengancam,
menatap,
muka
mengancam, menggeram, hentakan mengancam, atau menakuti.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka terdapat beberapa
bentuk perilaku yang dikategorikan sebagai bentuk dari perilaku
24
bullying diantaranya bullying fisik, bullying verbal, dan bullying
psikologis. Bullying fisik meliputi perilaku yang menyerang fisik,
bullying verbal meliputi perilaku yang berupa perkataan yang
merendahkan korban, sedangkan bullying psikologis meliputi semua
perilaku yang menyerang korban secara psikologis yang dapat
berbentuk nonverbal tidak langsung atau intimidasi dalam kelompok
sosial yang berdampak pada psikis korban.
c.
Penyebab Bullying
Mellor dan Djuwita (dalam Astuti, 2008:50) mengemukakan bahwa
“Bullying terjadi akibat faktor lingkungan, keluarga, sekolah, media,
budaya,
dan
peer
group”.
Selain
itu,
Astuti
(2008:51)
mengungkapkan bahwa penyebab terjadinya bullying antara lain:
lingkungan sekolah yang kurang baik, senioritas tidak pernah
diselesaikan, guru memberikan contoh kurang baik pada siswa,
ketidakharmonisan di rumah, dan karakter anak.
a. Lingkungan sekolah yang kurang baik
Lingkungan sekolah bisa menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan
bullying.
Lingkungan
sekolah
yang
dapat
mendukung terjadinya bullying mencakup lingkungan luar
sekolah maupun lingkungan sekolah itu sendiri. Lingkungan luar
sekolah yakni adanya kebiasaan orang-orang disekitar sekolah
seperti sering berkelahi atau bermusuhan, serta berlaku tidak
sesuai dengan norma yang ada. Ehan (2010:5) menyatakan bahwa
hal yang mempengaruhi terjadinya perilaku bullying:
25
“anak hidup pada lingkungan orang yang sering berkelahi atau
bermusuhan,berlaku tidak sesuai dengan norma yang ada, maka
anak akan mudah meniru perilaku lingkungan itu dan merasa
tidak bersalah”.
Hal tersebut mengungkap bahwa salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi siswa untuk melakukan bullying yakni lingkungan
sekitar tempat ia berada. Lingkungan dimana individu di dalamnya
biasa melakukan kekerasan ataupun perbuatan melanggar norma
lainnya dapat mendukung seseorang menjadi pelaku bullying. Hal
tersebut membuat siswa mudah meniru perilaku lingkungan tersebut
dan merasa tidak bersalah saat melakukannya, sehingga timbullah
perilaku bullying. Selain itu, lingkungan di dalam sekolah juga dapat
mempengaruhi timbulnya bullying, seperti kedisiplinan yang sangat
kaku dan peraturan yang tidak konsisten.
b.
Senioritas tidak pernah diselesaikan
Senioritas merupakan salah satu penyebab bullying yang cukup
dominan. Senioritas yang tidak terselesaikan hanya akan
menyuburkan perilaku bullying di sekolah. Hal ini terkait
dengan bagaimana sekolah dan para guru menanggapi dan
menindaklanjuti masalah senioritas di sekolah.
Astuti (2008:6) mengemukakan bahwa “perilaku bullying
diperparah dengan tidak jelasnya tindakan dari para guru dan
pengurus sekolah. Sebagian guru cendrung membiarkan,
sementara sebagian guru lain melarangnya”. Guru seharusnya
lebih peduli dengan bullying yang terjadi di sekolah, akan
26
tetapi tidak semua peduli. Hal tersebut membuat siswa tidak
jera dan terus melakukan bullying.
Guru dan pengurus sekolah seharusnya dapat membedakan
antara
senioritas
pendisiplinan
atau
yang
dimaksudkan
senioritas
kesewenangan-wenangan
sebagai
senior
sebagai
upaya
sebagai
bentuk
terhadap
juniornya
berdasarkan tatacara atau peraturan sekolah. Guru yang
membenarkan atau bahkan ikut melakukan bullying dengan
alasan perbuatan itu untuk mendisiplinkan siswa, atau memacu
murid agar tidak bodoh hanya akan mengakibatkan makin
berkembangnya perilaku bullying.
c.
Guru memberikan contoh kurang baik pada siswa
Guru sebagai pengajar di sekolah dapat menjadi salah satu
faktor yang menyebabkan terjadinya bullying, terutama guru
yang memberikan contoh perilaku yang tidak baik. Ehan
(2010:5)
mengemukakan
bahwa
salah
satu
hal
yang
mempengaruhi perilaku bullying yaitu:
“guru yang berbuat kasar kepada siswa, guru yang kurang
memperhatikan kondisi anak baik dalam sosial ekonomi
maupun dalam prestasi anak atau perilaku sehari hari anak di
kelas atau di luar kelas bagaimana dia bergaul dengan temantemannya”.
Perbuatan guru yang kurang baik dapat mendukung siswa
melakukan bullying yakni guru yang berbuat kasar kepada
siswa, guru yang kurang memperhatikan kondisi siswa baik
dalam prestasi siswa atau perilaku sehari hari siswa di kelas atau
27
di luar kelas serta bagaimana dia bergaul dengan temantemannya.
d.
Ketidakharmonisan di rumah
Keluarga juga berpengaruh terhadap perilaku bullying yang
dilakukan oleh siswa. Astuti (2008:53) menyatakan bahwa
“kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak merupakan
faktor penyebab tindakan bullying”. Selain itu, Schwartz,dkk
(dalam Papalia,dkk, 2008:514) menyatakan bahwa “Anak-anak
yang menjad bullies seringkali berasal dari lingkungan keluarga
kasar dan keras yang selanjutnya membiarkan mereka mendapat
hukuman dan penolakan”.
Keluarga sebagai tempat tumbuh kembang anak sangat
mempengaruhi
perilaku
individu
dalam
kesehariannya.
Kompleksitas masalah dalam keluarga seperti ketidakhadiran
ayah,
kurangnya
komunikasi
antara
orang
tua,
dan
ketidakmampuan sosial ekonomi, merupakan faktor penyebab
tindakan bullying yang dilakukan siswa.
e.
Karakter anak
Karakter anak yang biasa menjadi pelaku bullying pada
umumnya adalah anak yang selalu berperilaku agresif, baik
secara fisikal maupun verbal. Astuti (2008:53) menyatakan
bahwa faktor penyebab bullying yakni “karakter anak sebagai
pelaku umumnya agresif, baik secara fisikal maupun verbal dan
pendendam”. Anak yang ingin populer, anak yang tiba-tiba
28
sering berbuat onar atau selalu mencari kesalahan orang lain
dengan memusuhi umumnya termasuk dalam kategori ini.
Anak
dengan
perilaku
agresif
telah
menggunakan
kemampuannya untuk mengungkapkan ketidaksetujuannya pada
kondisi tertentu korban, misalnya perbedaan etnis/ras, fisik,
golongan/agama, atau jender. Selain itu, karakter siswa yang
pendendam atau iri hati juga dapat menyebabkan seorang siswa
melakukan bullying.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa penyebab
bullying lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan, meski tidak
dipungkiri bahwa faktor dari dalam diri individupun ikut andil sebagai
penyebab bullying. Lingkungan tempat tinggal individu menjadi hal
yang sangat berpengaruh termasuk lingkungan sekolah dan keluarga.
Lingkungan dapat menyebabkan terbentuknya karakter individu yang
rentan terhadap perilaku bullying. Budaya dan kebiasaan tidak baik
yang berlaku pada suatu lingkungan juga dapat menyuburkan perilaku
bullying.
d.
Akibat Bullying
Bullying yang kerap kali terjadi di sekolah seringkali diabaikan,
padahal bullying sangat perlu ditanggulangi. Hal tersebut karena
bullying dapat menimbulkan akibat yang sangat besar bagi siswa
yang terlibat, baik sebagai korban ataupun pelaku. Banyak hal yang
29
diakibatkan dari perilaku bullying yang terjadi, seperti Alexander
(dalam Nusantara, 2008:9) yang menjelaskan bahwa:
“bullying adalah masalah kesehatan publik yang patut menjadi
perhatian. Orang-orang yang menjadi korban bullying semasa
kecil, kemungkinan besar akan menderita depresi dan kurang
percaya diri dalam masa dewasa. Sementara pelaku bullying,
kemungkinan akan terlibat dalam tindakan kriminal di kemudian
hari.”
Selain itu, Nusantara (2008:12) mengemukakan gejala-gejala
akibat bullying yaitu: “mengurung diri, menangis, minta pindah
sekolah, konsentrasi siswa berkurang, prestasi belajar menurun,
tidak mau bermain/bersosialisasi, penakut, gelisah, berbohong,
melakukan perilaku bullying terhadap orang lain, memar/lebamlebam, tidak bersemangat, menjadi pendiam, menjadi rendah diri,
suka menyendiri, menjadi kasar dan pedendam, tidak percaya diri,
mudah cemas, cengeng, dan mudah tersinggung”.
Berdasarkan penjelasan mengenai akibat yang ditimbulkan bullying
di atas, maka diketahui bahwa bullying dapat menimbulkan banyak
akibat negatif baik bagi korban maupun bagi pelaku. Bagi korban
akibat negatif dapat berbentuk fisik maupun psikis. Akibat fisik
seperti memar, lebam, atau luka. Sedangkan dampak psikis seperti
kepercayaan diri siswa menurun, malu, trauma, merasa sendri,
serba salah, mengasingkan diri dari sekolah, mengalami ketakutan
sosial, bahkan cendrung ingin bunuh diri. Akibat fisik cendrung
dapat langsung terlihat, berbeda dengan dampak psikis yang pada
30
awalnya akan terlihat wajar akan tetapi semakin memburuk jika
didiamkan saja, sehingga menimbulkan dampak dalam jangka
waktu yang panjang.
e.
Mengatasi Bullying
Bullying yang terjadi tidak dapat didiamkan begitu saja. Setelah
mengenali dan menyadari bahwa praktik bullying telah terjadi,
maka perlu ada upaya untuk mengatasi
bullying tersebut.
Penanganan tidak hanya ditujukan kepada korban bullying, akan
tetapi pelaku bullying juga perlu penanganan khusus agar tidak
mengulangi tindakannya tersebut.
Nusantara (2008:31) menyatakan bahwa “Pelaku bullying harus
ditangani dengan sabar dan tidak menyudutkannya dengan
pertanyaan
yang interogratif”. Karena
Itu,
jangan pernah
menyalahkan pelaku bullying, tapi sebaliknya beri kepercayaan
agar dapat memperbaiki dirinya. Tumbuhkan empatinya, agar
pelaku dapat merasakan perasaan sang korban saat menerima
perlakuan bullying. Angkatlah kelebihan atau bakat sang pelaku
bullying di bidang yang positif, usahakan untuk mengalihkan
energinya pada bidang yang positif.
Korban bullying juga memerlukan penangan khusus. Nusantara
(2008:32) menyatakan bahwa “korban bullying mungkin lebih
cendrung menutup diri, sehingga perlu ditumbuhkan rasa nyaman
dan percaya diri agar dia mau lebih terbuka untuk menceritakan
31
masalahnya”. Jika korban sudah mau terbuka maka hal selanjutnya
yang harus dilakukan yaitu dengan menghormati pilihan dan
membekalinya dengan cara-cara menghadapi pelaku bullying. Patut
diingat bahwa bullying tidak dapat dihadapi dengan bullying,
karenanya korban bullying harus diajari untuk menghadapi bullying
dengan tegas tapi peduli.
Korban bullying dapat menanggapi
ejekan dengan tegar dan kemungkinan besar tidak memasukkan ke
dalam hati, sehingga pelaku bullying akan melihat dirinya sebagai
pribadi yang kuat dan tidak akan mengganggunya lagi. Selain itu,
Cowie dan Jennifer (2009:15) mengemukakan hal-hal yang dapat
dilakukan untuk mengatasi bullying antara lain “pengawasan guru
terhadap siswa, penerapan peraturan dan kode etik sekolah,
membangun kesadaran dan pemahaman siswa tentang bullying,
danmenciptakan kondisi sekolah yang ramah terhadap siswa”.
Berdasarkan uraian di atas, maka bullying harus ditangani tidak
hanya bagi pelaku tapi juga bagi pihak korban. Hal ini merupakan
tanggung jawab berbagai pihak dalam mengatasinya.Peranan
sekolah sebagai institusi pendidikan sangat dibutuhkan, mengingat
bahwa tindakan bullying sebagian besar terjadi di sekolah. Guru
sebagai komponen utama dalam sekolah dapat berperan dalam
mengatasi bullying
32
B. Pola Asuh Orangtua Otoriter
Diantara pertimbangan-pertimbangan penting dalam mempelajari remaja
dan keluarganya adalah sosialisasi timbal balik, kesesuaian, dan system
keluarga bagaimana remaja membangun hubungan dan bagaimana
hubungan mempengaruhi perkembangan pematangan social; dan sifat
dasar dari daur hidup keluarga
1. Pengertian pola asuh otoriter
Pola asuh otoriter dapat dimaknai sebagai pola asuh yang pemegang
peranannya adalah orang tua, semua kekuasaan ada pada orang tua,
semua keaktifan anak ditentukan olehnya (dalam Aprimaryanti, 2004).
Anak sama sekali tidak mempunyai hak untuk mengemukakan
pendapat, anak dianggap sebagai anak kecil terus-menerus, anak tidak
pernah dapat perhatian yang layak sehingga semua keinginan dan citacitanya tidak mendapatkan perhatian.
Menurut Stewart dan Koch yang dikutip oleh Tarsis orang tua yang
menerapkan pola asuh otoriter mempunyai sikap sebagai berikut: kaku,
tegas, suka menghukum, kurang adanya kasih sayang serta simpatik.
Orang tua memaksa anak-anak untuk patuh pada nilai-nilai mereka,
dan mencoba membentuk tingkah laku sesuai dengan tingkah lakunya
serta cenderung mengekang keinginan anak
Menurut Citroboto (1980,72) mengemukakan bahwa yang dimaksud
dengan sikap otoriter adalah sikap mau menang sendiri, sikap main
kuasa dan sikap paling benar sendiri. Sikap ini tersirat dalam cara
mendidik yang selalu menggunakan teknik yang serba memerintah.
33
Pola asuh otoriter dapat diartikan sebagai pola perilaku orang tua
dalam berinteraksi dengan anak, yang menuntut kepatuhan dan
ketaatan anak terhadap aturan yang ditentukan oleh orang tua. Untuk
mendapat kepatuhan ini orang tua menggunakan hukuman secara fisik
terhadap anak apabila tidak mematuhi peraturan (Sukadji dan
Badingah, 1994;26)
Arahan orangtua dan suasana psikologis dan sosial yang mewarnai
rumah
tangga
sangat
memengaruhi
intensitas
adaptasi
dan
perkembangan remaja.
a. Keluarga yang otoriter
Bouldwin (Al-Mighwar, 2006,198) berpendapat bahwa rumah tangga yang
diktator (otoriter) merupakan rumah tangga yang di dalamnya tidak ada
adaptasi artinya penuh konflik, pergumulan, dan perselisihan antara orang
tua dan anak-anaknya. Padahal, anak sangat membutuhkan hubunganhubungan social yang bagus, baik anggota keluarga atau dengan
lingkungannya. Pada keluarga seperti ini, remaja merasakan bahwa
kepentingandan hobby nya tidak dipedulikan, atau dianggap tidak penting.
Manakala remaja berusaha menarik perhatian kedua orang tuanya, atau
berusaha
menghukum
dirinya,
ternyata
sosok
otoriterlah
yang
dihadapinya, bahkan terkadang sangsilah yang didapatinya. Karena orang
tua nya tidak kunjung memerhatikan dan memahami dirinya, diapun
bersikap acuh tak acuh terhadap keduanya, bahkan terhadap semua
anggota keluarganya.
34
Sedikitnya terdapat dua sikap otoriter orangtua terhadap anaknya yaitu
1. Otoriter yang memang sudah ada sejak awal, dan orang tua tidak
punya rasa cinta kepada anak-anaknya, yang disebut Bouldwin sebagai
otoriter permanen. Akibatnya anak cenderung bersikap radikal dan
memberontak.
2. Otoriter yang tidak mau kompromi dengan segala keinginan anakanaknya artinya orang tua bersikap masa bodo dan tidak mau bekerja
sama dengan anak-anaknya. Akibatnya remaja berkeinginan kuat
untuk bebas merdeka, meskipun tindakannya tidak seradikal yang
pertama seperti menghabiskan waktunya diluar rumah untuk
berkumpul dengan teman-teman nya yang dewasa
b. Ciri-ciri pola asuh otoriter
Menurut Hurlock (dalam Dayaksini, 1998;15) orang tua yang mempunyai
sikap otoriter pada umumnya bercirikan:
a. Orang tua menetukan apa yang perlu diperbuat oleh anaknya tanpa
memberikan penjelasan tentang alasannya
b. Apabila anak melanggar ketentuan yang sudah digariskan oleh
orang tua, anak tidak diberikan kesempatan untuk memberikan
alasan dan penjelasan sebelum hukuman diterima anak
c. Pada umumnya hukuman berwujud hukuman fisik
d. Orang tua jarang atau tidak pernah memberikan hadiah baik yang
berupa kata-kata maupun bentuk lain apabila anak berbuat sesuatu
yang sesuai dengan harapan orang tua
35
Siagan (dalam Manarung, 1995;37) menambahkan bahwa cirri-ciri
pola asuh orang tua otoriter adalah
1. Keluarga sebagai milik orang tua saja
Dalam hal ini, anak tidak diberi hak untuk membuat kebijakan
atau, peraturan yang diterapkan didalam keluarga
2. Tujuan orang tua berarti tujuan keluarga
Dalam hal ini berarti semua keputusan anak harus sesuai dengan
tujuan orang tua
3. Orang tua menganggap anak sebagai alat
Dalam hal ini anak harus siap apabila diberi tugas atau diberi
perintah oleh orang tua
4. Orang tua tidak menerima krtitik atau pendapat anak
Maksudnya anak tidak diperkenankan untuk memberikan kritik
dan saran dan pendapat kepada orang tua
5. Orang tua terlalu tergantung atas kekuatan formalnya
Orang tua merasa memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari anak
sehingga orang tua bebas melakukan segala sesuatu tanpa
kompromi
6. Orang tua menggunakan pendekatan yang mengandung unsur
paksaan dan punitiv
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri pola asuh otoriter
adalah perlakuan orang tua yang mendidik anak dengan selalu
menentukan apa yang diperbuat anak tanpa memberikan penjelasan,
36
membuat peraturan yang harus dilaksanakan, membuat keputusankeputusan sendiri tanpa mempertimbangkan pendapat anak, tidak
menerima kritik dari siapapun, memaksakan anak melakukan sesuatu
sesuai dengan keinginannya, dan apabila anak melanggar atau tidak
memamtuhi peraturan atau tata nilai yang sudah ditetapkan maka anak
akan mendapat hukuman. Orang tua merasa kedudukannya lebih tinggi
dari anaknya sehingga bebas melakukan sesuatu tanpa kompromi.
Bahkan orang tua menggunakan pendekatan yang mengandung unsur
paksaan dan punitif serta hukuman fisik. Anak juga tidak pernah diberi
hadiah atau pujian apabila anak meakukan sesuatu hal yang sesuai
dengan keinginan orang tua.
c. Komponen Pola Asuh Otoriter
Balson (1993;145) mengatakan bahwa pola asuh otoriter mempunyai
lima komponen yaitu:
a. Pendidikan bersifat kaku
Dalam menerapkan pendidikan keluarga yang peraturan atau
penerapan kebiasaan dalam keluarga orang tua seakan memiliki
hak mutlak dan anak harus melaksanakan apa yang menjadi
ketentuan-ketentuan dalam keluarga. Dimana ketentuan-ketentuan
tersebut dibuat oleh orang tua tanpa melibatkan pemikiran dari
anak-anaknya
b. Hukuman lebih banyak diberikan dari pada pujian
Dalam
merespon
tindakan
anak
orang
tua
cenderung
memperhatikan kekurangan-kekurangan atau kesalahan-kesalahan
37
yang terjadi dan kurang memperhatikan kelebihan-kelebihan yang
dimiliki oleh anak
c. Kontrol terhadap anak kaku
Penerapan kontrol terhadap anak sering kurang didasarkan pada
anak pada kepentingan anak. Segala sesuatu yang tidak sesuai
dengan keinginan orang tua tidak boleh dilakukan oleh anak.
Orang tua senantiasa mengendalikan perilaku anaknya
d. Kurangnya saling pengertian
Pola asuh otoriter terdapat dua peran pengatur dan pelaku, orang
tua sebagai pengatur kurang memperdulikan kondisi-kondisi serta
kebiasaaan-kebiasaaan yang berlaku bagi anaknya. Dilain pihak
anak sekedar melaksanakan apa yang dikehendaki oleh orang
tuanya tanpa didasarkan pemahaman yang baik atas apa yang
dimaksudkannya. Dengan demikian sering terjadi perbedaan
maksud dan tujuan dari sebuah proses perilaku
e. Kurangnya kesempatan anak mengeluarkan pendapat
Karena orang tua merasa memiliki otonomi mutlak atas diri
anaknya maka didalam bertindak anak tidak mendapat kesempatan
untuk memberikan pertimbangan. Akibat dari hal ini anak menjadi
kurang bebas menyatakan sesuatu system dengan apa yang
dipikirkan atau dikehendaki.
d. Indikator Pola Asuh Otoriter
Menurut Hurlock (1994;124) pola asuh terbagi menjadi beberapa
indikator:
38
1. Peraturan dan hukuman
Peraturan dan hukuman ini dibuat dengan fungsi sebagai pedoman
dalam melakukan penilaian terhadap tingkah laku anak
2. Hukuman
Diberikan bagi pelanggaran yang dilakukan atas peraturan dan
hukuman
3. Hadiah
Diberikan untuk perilaku yang baik atau usaha untuk berperilaku
social yang baik
2.
Keluarga Dengan Remaja
Keluarga dengan remaja (Family with adolescent). Masa remaja
adalah priode perkembangan dimana individu mendesak untuk
mendapat otonomi dan berusaha untuk mengembangkan jati diri
mereka. Perkembangan otonomi dan jati diri dewasa adalah proses
yang panjang., berlangsung paling cepat 10 sampai 15 tahun. Anakanak yang patuh menjadi remaja yang patuh. Orang tua cenderung
menggunakan satu atau dua strategi untuk menghadapi ketidakpatuhan
menjepit dan menekan remaja untuk mengikuti nilai-nilai orang tua
atau menjadi lebih lunak dan membiarkan remaja memiliki kebebasan
yang luas. Keduanya bukanlah strategi yang bijak, penerapan
pendekatan yang lebih fleksibel adalah yang terbaik.
39
3.
Perubahan Pada Remaja
Diantara
perubahan-perubahan
pada
remaja,
yang
dapat
mempengaruhi hubungan orangtua remaja adalah pubertas,
penalaran logis yang berkembang, pemikiran idealis, yang
meningkat harapan yang tidak tercapai, perubahan di sekolah,
rekan sebaya, persahabatan, pacaran, dan pergerakan menuju
kebebasan.beberapa penelitian telah menunjukan bahwa konflik
antara orangtua dan remaja, terutama antara ibu dan anak laki-laki ,
adalah yang paling membuat tertekan selama masa puncak
pertumbuhan pubertas (Hilk,dkk 1985:Steinberg, 1981, 1988).
4.
Teknik Pengasuhan Dan Konflik Orang Tua
Banyak orang tua melihat anak-anak mereka berubah dari patuh
menjadi seseorang tidak patuh, melawan dan menantang standarstandar orangtua. Orangtua seringkali memaksa dan menekan
remaja untuk mengikuti standar orangtua. Banyak orangtua
seringkali memperlakukan remaja seperti seseorang yang harus
dewasa dalam waktu 10-15 menit. Tapi pergeseran dari masa
kanak-kanak ke masa dewasa adalah suatu perjalanan panjang
melalui banyak rintangan. Remaja tidak akan menyesuaikan
dengan standar orang dewasa dengan segera.
a. Teknik Pengasuhan
Orangtua ingin remaja mereka tumbuh menjadi individu yang
dewasa secara social, dan mereka seringkali merasa putus asa
40
dalam peran mereka sebagai orang tua. Diana Baumrind (Santrock,
2002:185) menekankan tiga jenis cara menjadi orang tua, yang
berhubungan dengan aspek-aspek yang berbeda dalam perilaku
social remaja
1.
Pengasuhan authoritarian (authorian parentin) atau pengasuhan
otoriter adalah gaya yang membatasi dan bersifat menghukum yang
mendesak remaja untuk mengikuti petunjuk orang tua dan untuk
menghormati pekerjaan dan usaha. Orangtua yang bersifat
authoritarian membuat batasan dan kendali yang tegas terhadap
remaja
dan
hanya
melakukan
sedikit
komunikasi
verbal.
Pengasuhan authoritarian berkaitan dengan perilaku social remaja
yang tidak cakap
2.
Pengasuhan autoritatif (authoritative parenting), mendorong
remaja untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan
mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Komunikasi verbal
timbale balik bisa berlangsung dengan bebas, dan orang tua
bersikap
hangatdan
bersikap
membesarkan
hati
remaja.
Pengasuhan autoritatif berkaitan dengan perilaku social remaja
yang kompeten.
3.
Pengasuhan permisif, ada dua macam pengasuhan permisif yaitu
permisif besifat memanjakan, dan bersifat permisif tidak peduli
Maccoby dan Martin (Santrock 2002:186). Gaya pengasuhan
permisif tidak peduli (permissive- indifferent parenting) adalah
suatu pola dimana si orangtua sangat tidak ikut campur dalam
41
kehidupan remaja. Hal ini berkaitan dengan perilaku social remaja
yang tidak cakap, terutama kurangnya pengendalian diri.
Pengasuhan
permisif-
memanjakan
(permissive-
indulgent
parenting) adalah suatu pola dimana orang tua sangat terlibat
dengan remaja tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan
mereka. Pengasuhan permisif- memanjakan berkaitan dengan
ketidakcakapan sosial remaja, terutama kurangnya pengendalian
diri.
Faktor-faktor yang lain, ketanggapan contohnya perhatian dan dukungan,
orang tua berkaitan dengan kecakapan social remaja. Dan orang tua sendiri
memilki masalah perilaku (contohnya masalah alcohol dan konflik
pernikahan), remaja seringkali masalah dan menunjukan penurunan kecakapan
social.
Beberapa hal mengenai pola pengasuhan tersusun berurutan, pertama pola
pengasuhan tidak meliputi tema penting dari sosialisasi timbal balik dan
kesesuaian. Kedua banyak orang tua menggunakan kombinasi beberapa
teknik, dari pada hanya satu teknik tertentu, walaupun salah satu teknik bias
lebih dominan. Walapun pengasuhan yang konsisten biasanya disarankan ,
orang tua yang bijak dapat merasakan pentingnya bersikap lebih permisif
dalam situasi tertentu, dan lebih bersifat otoriter dari situasi yang lain, namun
lebih autoritatif disituasi yang lain.
42
5. Pengasuhan Orang Tua , Keluarga dan Sosialisasi Tradisional
Orangtua kita jelas punya peran yang penting, kalau bukan yang terpenting
dalam perkembangan kita. Ada berbagai gaya pengasuhan orangtua yang bisa
amat berbeda-beda. Baumrind (Matsumoto, 2008:110) mengidentifikasi tiga
pola utama pengasuhan orang tua, orang tua yang otoriter mengharapkan
kepatuhan mutlak dan melihat bahwa anak butuh untuk dikontrol. Sebaliknya
orang tua yang bersifat permisif membolehkan anak untuk mengatur hidup
mereka sendiri dan menyediakan hanya sedikit panduan baku. Orang tua yang
otoritatif bersifat tegas, adil, dan logis. Gaya pengasuhan ini dipandang akan
membentuk anak-anak yang secara psikologis sehat, kompeten, mandiri, yang
bersifat kooperatif dan nyaman menghadapi situasi-situasi social. Penelitian
lain Maccoby dan Martin (dalam Matsumoto, 2008:110) menemukan tipe
gaya pengasuhan keempat yang disebut “tak terlibat” atau “uninvolved”.
Orang tua yang tak terlibat seringkali terlalu larut dalam kehidupan mereka
sendiri untuk bias member respon yang tepat pada anak-anak mereka dan
sering terlihat tak peduli.
Banyak pengaruh terhadap perkembangan kita terjadi dalam hubungan kita
dengan orang selain orang tua kita. Saat anak-anak tumbuh melewati masa
awal anak-anak, pola disebabkan oleh perkembangan kognitif. Berbagai
kemampuan baru untuk berpikir tentang diri mereka dan orang lain dan untuk
memahami dunia mereka memungkinkan anak untuk megembangkan
hubungan sebaya yang lebih dalam dan bermakna.
43
Di sekolah, sebagian besar hidup anak dihabiskan tidak dengan orang tua
mereka. Proses sosialisasi yang didasarkan pada hubungan primer dengan
orang tua berlanjut dengan teman sebaya dalam situasi bermain dan sekolah.
Sosialisasi
adalah
proses
instrumental
dengan
mana
anak
menginternalisasikan nilai-nilai dan sikapa cultural. Sekolah melambangkan
standar-standar ini dan merupakan contributor penting tidak hanya terhadap
perkembangan intelektual tapi juga, yang tak kalah penting, terhadap
perkembangan social emosional.
6. Remaja dan Keluarganya
Psikologi modern berpandangan bahwa remaja adalah fase perkembangan
alami, sepanjang perkembangan itu berjalan secara wajar dan alami, remaja
tidak akan mengalami krisis apapun.
Hubungan remaja dengan orang yang lebih dewasa, khususnya orang tua dan
perjuangannya secara bertahap untuk membebaskan diri dari dominasi mereka
agar sampai pada tingkatan orang dewasa, menjadi masalah yang serius
sepanjang kehidupannya dan membuatnya sulit beradaptasi. Keinginan untuk
bebas pada diri remaja ini tidak dibarengi oleh kemampuannya untuk
beradaptasi yang baik, sehingga orang tua seringkali mengintervensi dunianya.
Para ahli kesehatan mental berpendapat bahwa rumah yang baik adalah rumah
yang memperkenalkan segala kebutuhan remaja berikut tantangannya agar
bias bebas, lalu membantu dan memotivasi secara maksimal, dan memberinya
kesempatan serta nasihat yang mengarah pada kebebasan. Lebih dari itu,
44
remaja juga harus dimotivasi agar berani bertanggung jawab, mengambil
keputusan, dan merencanakan masa depannya. Semua itu harus dilakukan
keluarga melalui berbagai upaya positif dan konstruktif, secara sengaja dan
terencana, sehingga remaja berusaha sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin
untuk memperkuat kematangan dirinya. Menghormati kecenderunganya ubtuk
bebas merdeka tanpa mengabaikan perhatian padanya dianggap sebagai
strategi paling bagus dan tepat, karena selain bias menimbulkan saling percaya
antara orang tua dan anak, juga dapat membukakan jalan kearah adaptasi yang
sehat.
7. Perselisihan Keluarga dan Pengaruhnya Pada Remaja
Arahan orang tua dan suasana psikologis dan social yang mewarnai rumah
tangga sangat memengaruhi intensitas adaptasi dan perkembangan remaja.
e. Keluarga yang otoriter
Bouldwin (dalam Al-Mighwar, 2006:198) berpendapat bahwa rumah
tangga yang diktator (otoriter) merupakan rumah tangga yang di dalamnya
tidak ada adaptasi artinya penuh konflik, pergumulan, dan perselisihan
antara orang tua dan anak-anaknya. Padahal, anak sangat membutuhkan
hubungan-hubungan social yang bagus, baik anggota keluarga atau dengan
lingkungannya. Pada keluarga seperti ini, remaja merasakan bahwa
kepentingan dan hobby nya tidak dipedulikan, atau dianggap tidak
penting. Manakala remaja berusaha menarik perhatian kedua orang tuanya,
atau berusaha menghukum dirinya, ternyata sosok otoriterlah yang
dihadapinya, bahkan terkadang sangsilah yang didapatinya. Karena orang
45
tua nya tidak kunjung memerhatikan dan memahami dirinya, diapun
bersikap acuh tak acuh terhadap keduanya, bahkan terhadap semua
anggota keluarganya.
Sedikitnya terdapat dua sikap otoriter orangtua terhadap anaknya yaitu
3. Otoriter yang memang sudah ada sejak awal, dan orang tua tidak
punya rasa cinta kepada anak-anaknya, yang disebut Bouldwin sebagai
otoriter permanen. Akibatnya anak cenderung bersikap radikal dan
memberontak.
4. Otoriter yang tidak mau kompromi dengan segala keinginan anakanaknya artinya orang tua bersikap masa bodo dan tidak mau bekerja
sama dengan anak-anaknya. Akibatnya remaja berkeinginan kuat
untuk bebas merdeka, meskipun tindakannya tidak seradikal yang
pertama seperti menghabiskan waktunya diluar rumah untuk
berkumpul dengan teman-teman nya yang dewasa
f. Keluarga yang terlalu toleran
Hart Hawk (dalam Al-Mighwar, 2006:199), berpendapat bahwa remaja
yang mendapat perhatian berlebihan dirumah, perilakunya cenderung
menyerupai perilaku anak-anak. Hal ini sejalan dengan pandangan para
pakar bahwa pengembangan perilaku kebebasan remaja akan sulit bila
rumah tangga menerapkan pola-pola toleran yang berlebihan. Artinya
remaja akan mengalami banyak kesulitan dalam beradaptasi dengan dunia
luar, mendorong mereka untuk mencari perhatian dan bantuan kepada
orang lain, mereka menjadi sangat tergantung pada orang tua, hingga
46
setelah menikah mereka tidak mau tinggal jauh dari orangtua, kurang
mampu menyelesaikan berbagai masalah, atau bersikap cengeng serta
pesimis.
g. Keluarga yang demokratis
Adaptasi yang baik mudah dicapai oleh rumah tangga jenis ini. Sebab,
prinsip kebebasan dan demokrasi dijalankan dalam segala aspek kegiatan
rumah tangga. Orangtua benar-benar menghormati remaja sebagai
individu yang utuh lahir batin, dan tidak sedikitpun mengarahkannya
secara otoriter. Remaja diberi segala hal yang mengarahkannya pada
kedewasaan yang mandiri dan mengambil keputusan sendiri. Selain itu,
remaja juga berkesempatan untuk mengupayakan kemerdekaannya sendiri.
Ada beberapa cara untuk merealisasikan rumah tangga yang demokratis
antara lain:
1. Menghormati pribadi remaja dalam rumah tangga
2. Berusaha mengembangkan kepribadiannya, mengganggap sebagai
pribadi
unggulan
yang
memiliki
kemampuan
dan
berbagai
kecenderungan tersendiri, dan harus memberinya kesempatan untuk
berkembang sejauh mungkin.
3. Memberika kebebasan berpikir, berekspresi dan memilih jenis
pekerjaan. Namun demikian, kebebasan itu masih dalam koridor
kebaikan bersama dan tujuan-tujuan yang bersifat umum. Maksudnya
kebebasan itu bukan tanpa batas, tetapi masih dibatasi oleh ketentuanketentuan social.
47
Jadi keluarga yang demokratis itu kental dengan nuansa kebersamaan
menimbulkan hal yang positif dan terus bergerak, kasih sayang serta saling
membatu. Sedangkan keluarga yang otoriter itu kental dengan kekerasan,
ketakutan, dan pelarangan. Pola-pola yang diterapkan dalam rumah tangga
yang demokratis akan mendorong lahirnya sosok-sosok remaja yang
sanggup memikul beban dan tanggung jawab kehidupan, remaja-remaja
ideal yang mampu berfikir secara sehat, mau saling menolong, dan bangkit
secara bersama-sama dengan masyarakat. Tujuan-tujuan mulia tersebut
hanya akan terealisasi oleh rumah tangga yang penuh nuansa demokrasi
yang sehat dan didukung oleh pengertian individu-individu yang
menginginkan keharmonisan kehidupan sosial.
C. Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Perilaku Bullying
Dalam berbagai level kehidupan bermasyarakat, konflik dan kekerasan
masih terus berlangsung. Letupan kerusuhan beruntun yang melanda
masyarakat tersebut semakin mencuat sisi keprihatinan. Pendidikan
banyak dikritik sebagai penghasil manusia yang mudah tersinggung,
toeransi yang tipis, kurang menghargai orang lain dan menganut budaya
kekerasan.
Hampir setiap hari kita disuguhi berbagai macam berita tentang kekerasan,
baik dilingkungan sekitar kita, dilingkungan rumah tangga (kekerasan
dalam rumah tangga), aupun institusi pendidikan yang notabene adalah
institusi pencetak penerus bangsa.
48
Diakui atau tidak diakui, budaya kekerasan dalam arti yang luas pada
hakikatnya telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat kita
pada umumnya telah dialami sejak masa kanak-kanak, baik dilingkungan
keluarga, mayarakat maupun sekolah. Kekerasan pada anak tidak hanya
meliputi tindakan fisik tetepi juga mencakup kekerasan psikologis seperti
dimarahi, diejek, dimaki dan pelecehan seksual. Data dicenter krisis
Jakarta memperlihatkan bahwa 76 % korban kekerasan adalah anak-anak.
Begitu pula hasil peelitian pada 2006 yang dilakukan oleh pusat kajian
pembagunan masyarakat, unuversitas Atmajaya yang bekerja sama dengan
UNICEF tentang kekerasan pada anak, khususnya yang terjadi
dilingkungan keluarga dan sekolah.
Budaya kekerasan sepertinya semakin hari semakin menguat dalam
berbagai aspek dalam berbagai aspek kehidupan kita. Julukan bangsa yang
penuh adap, sopan santun, toleran, dan memiliki ikatan kekeluargaan yang
kuat, lambat laun mulai menghilang dari khazanah kehidupan kita, baik
daam konteks hidup bermasyarakat maupun berbangsa. Udaya kekerasan
telah menjelma dalam berbagai bentuk, seolah-olah telah menjadi bagian
dari kehidupan kita sehari-hari dan kita menerimanya sebagai sesuatu yang
wajar.
Bullying dapat terjadi karena kesalah pahaman (prasangka/ prejudice)
antar pihak yang berinteraksi. Bullying bukanlah mrupakan suatu tindakan
yang kebetulan terjadi, melaikan dipengaruhii oleh berbagai faktor seperti
faktor sosial, budaya dan ekonomi. Biasanya dilakukan oleh pihak-pihak
49
yang erasa lebih kuat, lebih berkuasa, atau bahkan merasa lebih terhormat
untuk menindas pihak lain untuk memperoleh keuntngan tertentu. Bullying
dapat terjadi dimana saja, seperti keluarga masyarakat dan sekolah yang
merupakan tri pusat pendidikan.
Download