mikroalga merupakan mikroorganisme prokariotik dan eukariotik yan

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mikroalga
Menurut Mata et al. (2010), mikroalga merupakan mikroorganisme
prokariotik dan eukariotik yang dapat tetap hidup dalam kondisi yang kurang
mendukung pertumbuhannya, karena memiliki struktur sel yang uniseluler
maupun multiseluler sederhana. Mikroalga dapat ditemui di seluruh wilayah
perairan baik di lautan maupun di daratan dengan air asin maupun tawar.
Diperkirakan terdapat lebih dari 50.000 spesies mikroalga yang hidup di berbagai
kondisi lingkungan, namun hanya sekitar 30.000 yang telah dipelajari. Mikroalga
dapat dibedakan menjadi beberapa divisi berdasarkan pigmen yang terkandung
didalamnya. Klasifikasi mikroalga dapat dilihat pada Tabel 1 (Kumampung,
2012).
Tabel 1.
Klasifikasi mikroalga
Divisi
Pigmen (Zat Warna)
Chlorophyta (Green algae)
Klorofil-a dan klorofil-b
Cyanophyta (Blue-green algae) Klorofil-a, phycocianobilin,
phycoerythrobilin
Chrysophyta / Bacillariophyta
Klorofil-a, klorofil-C1, klorofil-C2,
fucoxanthin
Pyrrophyta / Dinoflagellata
Klorofil-a, klorofil-C2, dan peridinin
Cryptophyta
Klorofil-a, klorofil-C2, phycocianobilin atau
phycoerythrobilin
Euglenophyta
Klorofil-a dan klorofil-b
Rhodophyta (Red algae)
Klorofil-a dan phycoerythrobilin
Sumber: Kumampung (2012)
Mikroalga atau yang sering juga disebut dengan fitoplankton menempati
posisi sebagai produsen primer dalam piramida makanan di perairan karena
memiliki kandungan nutrisi yang tinggi yang terdiri dari protein (30-55%),
5
6
karbohidrat (10%-30%), lemak (10%-25%), mineral (10%-40%), dan asam
nukleat (4%-6%) (Pranayogi, 2003). Sebagai dasar mata rantai makanan di
perairan, mikroalga merupakan makanan alami bagi zooplankton maupun hewan
perairan lain yang mengkonsumsi plankton.
2.2 Morfologi Tetraselmis chuii
Tetraselmis chuii merupakan alga uniseluler berbentuk cordiform (heart
shaped), elips, atau hampir bulat, dan memiliki empat buah flagella berukuran
sama dalam 2 pasang, berwarna hijau, memiliki pigmen fotosintetik yang dapat
bergerak secara lincah dan cepat (Kawaroe et al., 2010). Tetraselmis chuii
memiliki ukuran berkisar 7-12 mikron dengan klorofil sebagai pigmen yang
dominan (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Mikroalga ini memiliki inti sel yang
jelas dan berukuran kecil, dinding sel yang mengandung selulosa dan pektosa
(Pujiono, 2013), serta satu kloroplas yang berbentuk cangkir dengan pusat
pyrenoid (Kawaroe et al., 2010). Pigmen klorofil Tetraselmis chuii terdiri dari dua
macam, yaitu karotin dan xantofil.
Tetraselmis chuii masuk ke dalam kingdom Plantae dan subkingdom
Viridaeplantae. Mikroalga ini merupakan alga hijau sehingga masuk ke dalam
filum Chlorophyta dengan kelas Prasinophyceae. Tetraselmis chuii merupakan
bagian dari ordo Chlorodendrales dan keluarga Chloroendraceae. Karena masuk
ke dalam genus Tetraselmis dan nama chuii untuk membedakan spesies ini
dengan spesies lainnya dalam genus yang sama, maka mikroalga ini memiliki
nama spesies Tetraselmis chuii (Kawaroe et al., 2010).
Tetraselmis sp. dapat tumbuh dalam kondisi salinitas berkisar 15-36 ‰,
dengan kisaran suhu 15-36oC (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995), dan pH 7-8
7
(Balai Budidaya Laut Lampung, 2002). Pertumbuhan optimal Tetraselmis sp.
terjadi pada salinitas 40 ‰ dengan intensitas cahaya 4.500 lux dalam media
Walne (Ghezelbash et al.,2008).
Reproduksi Tetraselmis chuii terjadi secara vegetatif aseksual dan seksual.
Reproduksi aseksual diawali dengan sel vegetatif yang kemudian membentuk 4
buah zoospora. Ketika keempat zoospora telah terbentuk kemudian dilanjutkan
dengan penentuan letak gamet. Setelah letak gamet ditentukan, kemudian unit-unit
gamet mengalami pembelahan dan berkembang menjadi zygospora. Reproduksi
seksual (isogami) Tetraselmis chuii diawali dari terjadinya fusi antara gamet
jantan dan betina, kemudian kloroplas bersatu. Setelah kloroplas bersatu maka
akan terbentuk zygot baru (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).
Mikroalga Tetraselmis chuii memiliki laju pertumbuhan dan adaptasi
lingkungan yang relatif cepat. Puncak pertumbuhan Tetraselmis chuii terjadi pada
hari ke-10 (Putra, 2014). Tetraselmis chuii memiliki sifat yang sensitif terhadap
kepadatan sel yang tinggi. Penurunan jumlah kepadatan sel dapat diakibatkan oleh
Tetraselmis chuii sensitif dengan bioproduknya sendiri, kandungan nutrien dalam
media telah habis terserap, atau kultur Tetraselmis chuii yang telah terkontaminasi
oleh alga lain (Pujiono, 2013). Gambar 1 dan 2 merupakan morfologi mikroalga
Tetraselmis chuii.
Gambar 1. Morfologi Tetraselmis chuii (Sumber: www.google.com)
8
Gambar 2. Tetraselmis chuii perbesaran 1.000x (Sumber: Koleksi pribadi, 2015)
Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) kultur mikroalga Tetraselmis
chuii dimulai dari kegiatan isolasi yang kemudian dikembangkan sedikit demi
sedikit secara bertingkat. Media kultur yang digunakan mula-mula hanya
beberapa mililiter kemudian berangsur-angsur meningkat ke volume yang lebih
besar. Kultur mikroalga hingga volume 3 liter disebut dengan kultur skala
laboratorium, sedangkan volume kultur 60-100 liter merupakan kultur skala semimasal, kultur dengan volume 1 ton hingga lebih merupakan kultur skala masal,
dan kultur dengan volume dari 20 ton disebut skala pembenihan. Karena kultur
mikroalga menggunakan proses yang bertingkat dari volume yang kecil ke yang
lebih besar, maka prinsip kultur mikroalga disebut dengan kultur bertingkat atau
berlanjut.
Pertumbuhan mikroalga memiliki kaitan yang erat dengan faktor internal dan
eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi pertumbuhan mikroalga adalah
faktor genetik yang akan berpengaruh pada sifat-sifat pertumbuhan mikroalga.
Faktor eksternal atau faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan
mikroalga adalah temperatur (suhu), kualitas dan kuantitas nutrien (unsur hara),
intensitas cahaya, derajat keasaman (pH), aerasi (sumber CO2), dan salinitas.
9
Berikut ini merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan
Tetraselmis chuii:
1. Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi
pertumbuhan mikroalga. Mikroalga Tetraselmis sp. dapat hidup pada media
dengan suhu 10o-30oC dengan suhu optimum pertumbuhan pada 23o-25oC (Balai
Budidaya Laut Lampung, 2002).
2. Nutrien
Nutrien yang dibutuhkan mikroalga terdiri dari makronutrien (C, H, N, P, K,
S, Mg, dan Ca) dan mikronutrien (Fe, Cu, Mn, Zn, Co, Mo, Bo, Vn, dan Si) yang
diperoleh dari media kultur yang digunakan (Kawaroe et al., 2010). Konsentrasi
Fe, Mg, dan Na (Pujiono, 2013) dalam media berfungsi dalam pembentukan
klorofil. Vitamin B12 dalam media dapat memacu pertumbuhan mikroalga melalui
rangsangan fotosintetik (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Unsur N, P, dan S
dalam media berfungsi dalam pembentukan protein, sedangkan unsur K berfungsi
dalam metabolisme karbohidrat (Pujiono, 2013). Menurut Isnansetyo dan
Kurniastuty (1995), pembentukan dinding sel mikroalga dipengaruhi oleh unsur Si
dan Ca. Unsur N dan Fe dalam media mempengaruhi pertumbuhan dan biomassa
yang dihasilkan oleh mikroalga (Mata et al., 2013).
Nutrien yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroalga secara alami terdapat
pada air laut yang digunakan. Penambahan pupuk dalam medium dilakukan untuk
meningkatkan pertumbuhan mikroalga hingga 10 kali lebih cepat dibandingkan
dengan kultur mikroalga tanpa pupuk (Pujiono, 2013). Pupuk yang dapat
ditambahkan ke dalam medium skala laboratorium antara lain Walne, Guillard,
10
BG-11, Modified Johnson, Zarrouk, dan ASW (Kawaroe et al., 2010). Pada
penelitian ini digunakan media BG-11 (Blue Green-11) dengan kandungan Fe dan
Mg yang telah dimodifikasi (4 mg/L Mg dan 24 µM Fe) (Primaryadi, 2015).
3. Intensitas Cahaya
Intensitas cahaya merupakan banyak cahaya per luas area per satuan waktu.
Organisme fotosintetik menyerap cahaya dalam bentuk foton. Energi dari foton
tersebut digunakan oleh klorofil untuk memecah ikatan hidrogen pada air yang
nantinya bersama CO2 digunakan untuk mensintesa gula saat fotosintesis.
Demikian halnya dengan Tetraselmis chuii yang menyerap cahaya dalam bentuk
foton dan menggunakan energinya dalam fotosintesis untuk meghasilkan senyawa
organik (Balai Budidaya Laut Lampung, 2002).
Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), intensitas cahaya yang
diperlukan untuk pertumbuhan mikroalga bergantung pada kepadatan sel dan
volume kultur, karena semakin tinggi kepadatan dan volume kultur maka
intensitas cahaya yang diperlukan juga semakin tinggi. Intensitas cahaya yang
diperlukan untuk kultur skala laboratorium menggunakan erlenmeyer adalah
1.000 lux, sedangkan untuk volume kultur yang lebih besar diperlukan intensitas
cahaya sebersar 5.000-10.000 lux. Intensitas cahaya yang diperlukan untuk
pertumbuhan Tetraselmis sp. adalah berkisar antara 3.000-10.000 lux (Balai
Budidaya Laut Lampung, 2002), dan intensitas cahaya terbaik untuk
menghasilkan biomassa tertinggi Tetraselmis chuii dalam media Walne adalah
4.500 lux (Ghezelbash et al., 2008).
11
4. Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman atau pH merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan mikroalga. Menurut Buck et al. (2002), pH didefinisikan sebagai
aktivitas relatif ion hidrogen dalam suatu larutan. pH kultur mikroalga akan
mempengaruhi tingkat fotosintetik mikroalga (Supramaniam et al., 2012), dan
kinerja enzim dalam proses metabolisme sel (Isnadina et al., 2013). Apabila pH
media kultur yang digunakan tidak sesuai dengan kebutuhannya, maka mikroalga
tidak dapat tumbuh dengan baik. Mikroalga Tetraselmis sp. memerlukan pH 7-8
untuk pertumbuhannya (Balai Budidaya Laut Lampung, 2002). Pertumbuhan
optimum mikroalga Tetraselmis suecica terjadi pada pH 7,5 (Moheimani, 2013),
dan 8,5 pada Tetraselmis sp. (Khatoon et al., 2014).
5. Aerasi
Aerasi diperlukan untuk mencegah terjadinya pengendapan atau sedimentasi
mikroalga, memastikan semua sel mikroalga mendapatkan cahaya dan nutrisi
yang sama. Selain itu, aerasi juga dilakukan untuk menghindari stratifikasi suhu
dan tercampurnya air dengan suhu yang berbeda, dan untuk meningkatkan
pertukaran cahaya antara media kultur dan udara (Kawaroe et al., 2010).
6. Salinitas
Salinitas merupakan faktor lingkungan yang memiliki efek yang sangat
signifikan pada pertumbuhan dan komposisi biokimia alga laut seperti pada
tumbuhan lainnya. Pertumbuhan mikroalga pada salinitas yang berbeda akan
menghasilkan tingkat pertumbuhan yang berbeda karena perubahan tingkat
metabolisme mikroalga (Ghezelbash et al., 2008). Perubahan salinitas media
dapat
mempengaruhi
tekanan
osmotik
pada
sel
mikroalga
sehingga
12
mempengaruhi fotosintesis mikroalga tersebut (Kawaroe et al., 2010). Salinitas
yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan mikroalga Tetraselmis sp. adalah
sebesar 25-35‰ (Balai Budidaya Laut Lampung, 2002), sedangkan salinitas
terbaik untuk menghasilkan konsentrasi biomassa tertinggi Tetraselmis chuii
adalah 40‰ pada media Walne (Ghezelbash et al., 2008).
2.3 Pertumbuhan Mikroalga
Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), pertumbuhan mikroalga dalam
kultur dapat ditandai dengan bertambahnya ukuran dan jumlah sel. Selain itu
pertumbuhan mikroalga juga dapat ditandai dengan perubahan air kultur dari
bening menjadi berwarna (hijau muda/coklat muda yang kemudian menjadi
hijau/coklat dan seterusnya), perubahan ini disertai dengan menurunnya
transparansi kultur. Menurut Kawaroe et al. (2010), pola pertumbuhan mikroalga
terbagi menjadi 5 tahap, yaitu:
1. Fase Lag
Fase lag merupakan fase awal dimana kelimpahan mikroalga terjadi dalam
jumlah sedikit. Fase ini mudah untuk diamati pada saat kulturisasi atau pembuatan
kultur mikroalga baru dilakukan. Pada fase ini umumnya terjadi stressing secara
fisiologi karena terjadi perubahan kondisi media kultur dari media awal ke media
yang baru. Stressing ini juga dapat terjadi karena adanya penambahan nutrien
pada media baru yang menyebabkan larutan menjadi lebih pekat dan
mempengaruhi sintesis metabolik mikroalga. Terjadinya perubahan media
menyebabkan mikroalga mengalami proses adaptasi sebelum mengalami
pertumbuhan (Kawaroe et al., 2010).
13
2. Fase Eksponensial/Logaritmik
Fase eksponensial merupakan fase lanjuran dari fase lag. Pada fase ini
mikroalga mengalami pertumbuhan dan penambahan biomassa secara cepat.
Kulturisasi mikroalga sebaiknya dilakukan pada masa akhir fase eksponensial,
karena struktur sel mikroalga masih berada pada kondisi normal dan secara nutrisi
terjadi keseimbangan antara nutrien dalam media dan nutrisi dalam sel mikroalga.
Jumlah biomassa dan kandungan protein pada akhir fase ini mencapai titik
optimum sehingga baik digunakan untuk tujuan yang lebih lanjut seperti
pembuatan bibit maupun dimanfaatkan sebagai bahan baku biofuel (Kawaroe et
al., 2010).
3. Fase Penurunan Pertumbuhan (Declining Growth)
Fase penurunan pertumbuhan (declining growth) terjadi ketika adanya
penurunan kecepatan pertumbuhan sampai sama dengan fase awal pertumbuhan
yaitu kondisi yang stagnan karena tidak terjadi penambahan sel. Pada fase ini
terjadi penurunan nutrien sehingga mempengaruhi kemampuan pembelahan sel
mikroalga. Pemanenan biomassa mikroalga sebaiknya dilakukan pada tahap ini
karena jumlah sel mikroalga dalam media berada dalam jumlah maksimum
(Kawaroe et al., 2010).
4. Fase Stasioner
Fase stasioner diindikasikan dengan adanya pertumbuhan mikroalga yang
terjadi secara konstan akibat dari keseimbangan anabolisme dan katabolisme
dalam sel (Kawaroe et al., 2010). Kepadatan kultur mikroalga pada fase ini adalah
tetap karena laju reproduksi dan kematian sel yang sama (Isnansetyo dan
Kurniastuty, 1995).
14
5. Fase Kematian
Menurut Kawaroe et al. (2010), fase kematian diindikasikan dengan kematian
sel mikroalga yang terjadi karena adanya perubahan kualitas air kearah yang
buruk, penurunan nutrisi dalam media kultur, dan kemampuan metabolisme sel
yang rendah karena umur yang tua. Pada fase ini terjadi perubahan warna kultur
menjadi pudar, terbentuknya buih pada permukaan media, dan terbentuknya
gumpalan mikroalga yang mengendap di dasar wadah kultur. Fase pertumbuhan
mikroalga dapat dilihat pada Gambar 3.
y
Keterangan: 1. Fase Lag
2. Fase Logaritmik
3. Fase Penurunan
Laju Pertumbuhan
4. Fase Stasioner
5. Fase Kematian
x
Gambar 3. Fase pertumbuhan mikroalga (Sumber: Kawaroe et al., 2010)
2.4 Response Surface Methodology (RSM)
Percobaan ini dirancang dengan Response Surface Methodology (RSM).
Response Surface Methodology atau metode permukaan respon adalah suatu
kumpulan dari teknik-teknik statistika dan matematika yang berguna untuk
menganalisis permasalahan tentang beberapa variabel bebas yang mempengaruhi
variabel terikat, serta bertujuan untuk mengoptimumkan respon tersebut
(Gaspersz, 1995). Keuntungan utama dari penggunaan metode RSM adalah
mengurangi jumlah percobaan yang harus dilakukan untuk mengevaluasi kondisi
terbaik.
15
Menurut Gaspersz (1995), metode permukaan respon dapat dipergunakan oleh
peneliti untuk: (1) mencari suatu fungsi pendekatan yang cocok untuk
meramalkan respon yang akan datang, serta (2) menentukan nilai-nilai dari
variabel bebas yang mengoptimumkan respons yang dipelajari. Dalam metode
permukaan respon, variabel-variabel bebas akan didefinisikan sebagai X1, X2, …,
Xk, dimana variabel bebas ini diasumsikan merupakan variabel kontinyu dan
dapat dikendalikan oleh peneliti tanpa kesalahan, sedangkan respon yang
didefinisikan sebagai variabel terikat (Y) diasumsikan merupakan variabel acak
(random variable).
Pada dasarnya analisis permukaan respon serupa dengan analisis regresi, yaitu
menggunakan prosedur pendugaan parameter fungsi respon berdasarkan metode
kuadrat terkecil, hanya saja dalam analisis permukaan respon diperluas dengan
teknik-teknik matematik untuk menentukan titik-titik optimum agar dapat
ditemukan respon yang optimum (maksimum atau minimum) (Gaspersz, 1995).
2.5 Klorofil
Klorofil merupakan pigmen berwarna hijau yang terdapat dalam kloroplas
bersama dengan karoten dan xantofil pada semua makhluk hidup yang mampu
melakukan fotosintesis. Mikroalga seperti tumbuhan lainnya dapat melakukan
fotosintesis yang dibantu dengan cahaya, CO2, H2O, dan klorofil. Sebagian besar
klorofil pada tanaman hijau (selain bakteri fotosintetik dan beberapa alga)
memiliki klorofil yang identik yaitu klorofil a dan klorofil b (Bohinski, 1973).
Klorofil memiliki struktur dasar metallo-tetra-pyrrole yang sedikit berbeda
dengan heme. Pada klorofil, ion Mg2+ yang berikatan dengan cicin dasar tetrapyrrole, sedangkan pada heme mengikat ion Fe2+ atau Fe3+. Karena memiliki
16
struktur dasar pyrrole, maka klorofil memiliki sifat nonpolar. Perbedaan klorofil a
dan klorofil b terletak pada satu cincin pyrrole yang pada klorofil a cincin pyrrole
berikatan dengan metil (CH3), sedangkan pada klorofil b berikatan dengan alkanal
(CHO). Perbedaan struktur ini menyebabkan adanya perbedaan kemampuan
penyerapan cahaya. Klorofil a dapat menyerap cahaya pada 670 nm-683 nm,
sedangkan klorofil b pada 480 nm-650 nm (Bohinski, 1973). Rumus empiris
klorofil a adalah C55H72O5N4Mg, sedangkan rumus empiris untuk klorofil b
adalah C55H70O6N4Mg (Gambar 4).
Gambar 4. Rumus struktur klorofil a dan b (Sumber: Bohinski, 1973)
Menurut Pratama (2011), kedua jenis klorofil ini memiliki fungsi yang saling
terikat satu dengan lainnya dalam proses fotosintesis. Klorofil a yang merupakan
pigmen fotosintesis utama banyak dihasilkan untuk proses fotosistem I. Klorofil a
dapat menangkap cahaya dengan panjang gelombang 430 nm (biru) dan 662 nm
17
(merah). Klorofil b dapat meningkatkan panjang gelombang cahaya yang
ditangkap hingga 453 nm dan 642 nm untuk gelombang biru dan merah. Pada
fotosistem II, jumlah klorofil b lebih tinggi jika dibandingkan dengan klorofil a.
Ketika berada dalam keadaan minim cahaya, klorofil b akan lebih banyak
dibentuk untuk meningkatkan kemampuan fotosintesis.
Menurut Dwidjoseputro (1995), biosintesis klorofil dimulai dari asam amino
(asam glutamat) dikonversi menjadi 5 asam amino levulinat (ALA) yang
terbentuk dari suksinil KoA dan glisin oleh enzim ALA sintetase. Pada reaksi ini
asam glutamat melekat ke molekul RNA transfer. Dua molekul ALA yang
terbentuk kemudian terkondensasi dan membentuk porphobilinogen (PBG) yang
membentuk cincin pirol dalam klorofil.
Tahap berikutnya merupakan perakitan struktur porfirin dari empat molekul
PBG. Fase ini terdiri dari enam langkah enzimatik yang berbeda dan berakhir
dengan produk protoporfirin IX. Seluruh tahapan biosintesis klorofil dan heme
sama hingga terbentuknya porifirin. Porifirin yang terbentuk akan mengikat ion
logam yang menentukan pembentukan molekul akhir. Apabila porifirin berikatan
dengan magnesium yang dimasukkan oleh enzim magnesium chetalase maka
molekul yang terbentuk adalah klorofil, sedangkan apabila berikatan dengan Fe
maka yang terbentuk adalah hemoglobin.
Tahap selanjutnya dari biosintesis klorofil adalah pembentukan cincin kelima
(cincin E) oleh siklisasi salah satu rantai samping asam propionat yang
membentuk protochlorophyllide. Jalur ini melibatkan pengurangan atau
reduksi salah satu ikatan ganda dalam cincin D menggunakan NADPH. Proses ini
digerakkan
oleh
cahaya
pada
angiosperma
yang
dibantu
oleh
18
enzim protochlorophyllide oxidoreductase (POR) dan membentuk chlorophyllide
a. Tahap terakhir dari proses biosintesis klorofil adalah chlorophyllide a akan
mengalami proses esterifikasi dan membentuk klorofil a, pada proses ini
berlangsung atas peran enzim chlorophyll synthase yang berfungsi sebagai
sebagai katalisator (Gambar 5).
Gambar 5. Diagram alir biosintesis klorofil (Sumber: Dwidjoseputro, 1995)
Download
Study collections