BAB IX. DASAR-DASAR TEKNOLOGI DNA REKOMBINAN Di dalam

advertisement
BAB IX. DASAR-DASAR TEKNOLOGI DNA REKOMBINAN
Di dalam bab ini akan dibicarakan pengertian teknologi DNA rekombinan beserta
tahapan-tahapan kloning gen, yang secara garis besar meliputi isolasi DNA kromosom
dan DNA vektor, pemotongan DNA menggunakan enzim restriksi, pembentukan molekul
DNA rekombinan, dan transformasi sel inang oleh molekul DNA rekombinan. Setelah
mempelajari pokok bahasan di dalam bab ini mahasiswa diharapkan mampu
menjelaskan:
1. pengertian teknologi DNA rekombinan,
2. dua segi manfaat teknologi DNA rekombinan,
3. tahapan-tahapan kloning gen,
4. pengertian dan cara kerja enzim restriksi, dan
5. garis besar cara seleksi transforman dan seleksi rekombinan.
Pengetahuan awal yang diperlukan oleh mahasiswa agar dapat mempelajari pokok
bahasan ini dengan lebih baik adalah struktur dan sifat-sifat asam nukleat seperti yang
telah dibahas pada Bab II.
Pengertian Teknologi DNA Rekombinan
Secara klasik analisis molekuler protein dan materi lainnya dari kebanyakan
organisme ternyata sangat tidak mudah untuk dilakukan karena adanya kesulitan untuk
memurnikannya dalam jumlah besar. Namun, sejak tahun 1970-an berkembang suatu
teknologi yang dapat diterapkan sebagai pendekatan dalam mengatasi masalah tersebut
melalui isolasi dan manipulasi terhadap gen yang bertanggung jawab atas ekspresi
protein tertentu atau pembentukan suatu produk.
Teknologi yang dikenal sebagai teknologi DNA rekombinan, atau dengan istilah
yang lebih populer rekayasa genetika, ini melibatkan upaya perbanyakan gen tertentu di
dalam suatu sel yang bukan sel alaminya sehingga sering pula dikatakan sebagai kloning
gen. Banyak definisi telah diberikan untuk mendeskripsikan pengertian teknologi DNA
rekombinan. Salah satu di antaranya, yang mungkin paling representatif, menyebutkan
bahwa teknologi DNA rekombinan adalah pembentukan kombinasi materi genetik yang
baru dengan cara penyisipan molekul DNA ke dalam suatu vektor sehingga
90
memungkinkannya untuk terintegrasi dan mengalami perbanyakan di dalam suatu sel
organisme lain yang berperan sebagai sel inang.
Teknologi DNA rekombinan mempunyai dua segi manfaat. Pertama, dengan
mengisolasi dan mempelajari masing-masing gen akan diperoleh pengetahuan tentang
fungsi dan mekanisme kontrolnya. Kedua, teknologi ini memungkinkan diperolehnya
produk gen tertentu dalam waktu lebih cepat dan jumlah lebih besar daripada produksi
secara konvensional.
Pada dasarnya upaya untuk mendapatkan suatu produk yang diinginkan melalui
teknologi DNA rekombinan melibatkan beberapa tahapan tertentu (Gambar 9.1).
Tahapan-tahapan tersebut adalah isolasi DNA genomik/kromosom yang akan diklon,
pemotongan molekul DNA menjadi sejumlah fragmen dengan berbagai ukuran, isolasi
DNA vektor, penyisipan fragmen DNA ke dalam vektor untuk menghasilkan molekul
DNA rekombinan, transformasi sel inang menggunakan molekul DNA rekombinan,
reisolasi molekul DNA rekombinan dari sel inang, dan analisis DNA rekombinan.
Isolasi DNA
Isolasi DNA diawali dengan perusakan dan atau pembuangan dinding sel, yang
dapat dilakukan baik dengan cara mekanis seperti sonikasi, tekanan tinggi, beku-leleh
maupun dengan cara enzimatis seperti pemberian lisozim. Langkah berikutnya adalah
lisis sel. Bahan-bahan sel yang relatif lunak dapat dengan mudah diresuspensi di dalam
medium bufer nonosmotik, sedangkan bahan-bahan yang lebih kasar perlu diperlakukan
dengan deterjen yang kuat seperti triton X-100 atau dengan sodium dodesil sulfat (SDS).
Pada eukariot langkah ini harus disertai dengan perusakan membran nukleus.
Setelah sel mengalami lisis, remukan-remukan sel harus dibuang. Biasanya
pembuangan remukan sel dilakukan dengan sentrifugasi. Protein yang tersisa dipresipitasi
menggunakan fenol atau pelarut organik seperti kloroform untuk kemudian disentrifugasi
dan dihancurkan secara enzimatis dengan proteinase. DNA yang telah dibersihkan dari
protein dan remukan sel masih tercampur dengan RNA sehingga perlu ditambahkan
RNAse untuk membersihkan DNA dari RNA. Molekul DNA yang telah diisolasi tersebut
kemudian dimurnikan dengan penambahan amonium asetat dan alkohol atau dengan
sentrifugasi kerapatan menggunakan CsCl (lihat Bab II).
91
bakteri sumber gen
bakteri pembawa
vektor(plasmid)
isolasi DNA genomik
isolasi DNA plasmid
gen yang akan
diklon (gen X)
ekstrak DNA
genomik
DNA plasmid
pemotongan menggunakan enzim restriksi
fragmenfragmen DNA
dengan
berbagai ukuran
fragmen yang
membawa gen X
DNA plasmid
terpotong
(linier)
ligasi fragmen-fragmen DNA genomik
dengan DNA plasmid
plasmid ligasi DNA rekombinan DNA rekombinan
sendiri (religasi) tanpa gen X
yang membawa gen X
kromosom
sel inang
analisis elektroforesis transformasi sel inang
sel inang utuh
(nontransforman)
sel inang dengan
plasmid religasi
sel inang dengan sel inang dengan
DNA rekombinan DNA rekombinan
tanpa gen X
tanpa gen X dan
dengan gen X
seleksi untuk memilih sel inang
dengan DNA rekombinan yang
membawa gen X
sel inang dengan
DNA rekombinan
yang membawa gen X
reisolasi DNA rekombinan
analisis DNA rekombinan
Gambar 9.1. Skema tahapan kloning gen
92
Teknik isolasi DNA tersebut dapat diaplikasikan, baik untuk DNA genomik
maupun DNA vektor, khususnya plasmid. Untuk memilih di antara kedua macam
molekul DNA ini yang akan diisolasi dapat digunakan dua pendekatan. Pertama, plasmid
pada umumnya berada dalam struktur tersier yang sangat kuat atau dikatakan mempunyai
bentuk covalently closed circular (CCC), sedangkan DNA kromosom jauh lebih longgar
ikatan kedua untainya dan mempunyai nisbah aksial yang sangat tinggi. Perbedaan
tersebut menyebabkan DNA plasmid jauh lebih tahan terhadap denaturasi apabila
dibandingkan dengan DNA kromosom. Oleh karena itu, aplikasi kondisi denaturasi akan
dapat memisahkan DNA plasmid dengan DNA kromosom.
Pendekatan kedua didasarkan atas perbedaan daya serap etidium bromid, zat
pewarna DNA yang menyisip atau melakukan interkalasi di sela-sela basa molekul DNA.
DNA plasmid akan menyerap etidium bromid jauh lebih sedikit daripada jumlah yang
diserap oleh DNA kromosom per satuan panjangnya. Dengan demikian, perlakuan
menggunakan etidium bromid akan menjadikan kerapatan DNA kromosom lebih tinggi
daripada kerapatan DNA plasmid sehingga keduanya dapat dipisahkan melalui
sentrifugasi kerapatan.
Enzim Restriksi
Tahap kedua dalam kloning gen adalah pemotongan molekul DNA, baik genomik
maupun plasmid. Perkembangan teknik pemotongan DNA berawal dari saat
ditemukannya sistem restriksi dan modifikasi DNA pada bakteri E. coli, yang berkaitan
dengan infeksi virus atau bakteriofag lambda (). Virus  digunakan untuk menginfeksi
dua strain E. coli, yakni strain K dan C. Jika  yang telah menginfeksi strain C diisolasi
dari strain tersebut dan kemudian digunakan untuk mereinfeksi strain C, maka akan
diperoleh  progeni (keturunan) yang lebih kurang sama banyaknya dengan jumlah yang
diperoleh dari infeksi pertama. Dalam hal ini, dikatakan bahwa efficiency of plating
(EOP) dari strain C ke strain C adalah 1. Namun, jika  yang diisolasi dari strain C
digunakan untuk menginfeksi strain K, maka nilai EOP-nya hanya 10 -4. Artinya, hanya
ditemukan  progeni sebanyak 1/10.000 kali jumlah yang diinfeksikan. Sementara itu, 
yang diisolasi dari strain K mempunyai nilai EOP sebesar 1, baik ketika direinfeksikan
pada strain K maupun pada strain C. Hal ini terjadi karena adanya sistem
restriksi/modifikasi (r/m) pada strain K.
93
E. coli K
EOP=10-4
isolasi
reinfeksi
(EOP=1)
C
K
reinfeksi (EOP=1)
isolasi
EOP=1
E. coli C
Gambar 9.2. Sistem restriksi/modifikasi pada E. coli
E. coli K mempunyai sistem r/m
E. coli C tidak mempunyai sistem r/m
Pada waktu bakteriofag  yang diisolasi dari strain C diinfeksikan ke strain K,
molekul DNAnya dirusak oleh enzim endonuklease restriksi yang terdapat di dalam
strain K. Di sisi lain, untuk mencegah agar enzim ini tidak merusak DNAnya sendiri,
strain K juga mempunyai sistem modifikasi yang akan menyebabkan metilasi beberapa
basa pada sejumlah urutan tertentu yang merupakan tempat-tempat pengenalan
(recognition sites) bagi enzim restriksi tersebut.
DNA bakteriofag  yang mampu bertahan dari perusakan oleh enzim restriksi
pada siklus infeksi pertama akan mengalami modifikasi dan memperoleh kekebalan
terhadap enzim restrisksi tersebut. Namun, kekebalan ini tidak diwariskan dan harus
dibuat pada setiap akhir putaran replikasi DNA. Dengan demikian, bakteriofag  yang
diinfeksikan dari strain K ke strain C dan dikembalikan lagi ke strain K akan menjadi
rentan terhadap enzim restriksi.
Metilasi hanya terjadi pada salah satu di antara kedua untai molekul DNA.
Berlangsungnya metilasi ini demikian cepatnya pada tiap akhir replikasi hingga molekul
DNA baru hasil replikasi tidak akan sempat terpotong oleh enzim restriksi.
Enzim restriksi dari strain K telah diisolasi dan banyak dipelajari. Selanjutnya,
enzim ini dimasukkan ke dalam suatu kelompok enzim yang dinamakan enzim restriksi
tipe I. Banyak enzim serupa yang ditemukan kemudian pada berbagai spesies bakteri
lainnya.
Pada tahun 1970 T.J. Kelly menemukan enzim pertama yang kemudian
dimasukkan ke dalam kelompok enzim restriksi lainnya, yaitu enzim restriksi tipe II. Ia
mengisolasi enzim tersebut dari bakteri Haemophilus influenzae strain Rd, dan sejak saat
94
itu ditemukan lebih dari 475 enzim restriksi tipe II dari berbagai spesies dan strain
bakteri. Semuanya sekarang telah menjadi salah satu komponen utama dalam tata kerja
rekayasa genetika.
Enzim restriksi tipe II antara lain mempunyai sifat-sifat umum yang penting
sebagai berikut:
1. mengenali urutan tertentu sepanjang empat hingga tujuh pasang basa di dalam
molekul DNA
2. memotong kedua untai molekul DNA di tempat tertentu pada atau di dekat tempat
pengenalannya
3. menghasilkan fragmen-fragmen DNA dengan berbagai ukuran dan urutan basa.
Sebagian besar enzim restriksi tipe II akan mengenali dan memotong urutan
pengenal yang mempunyai sumbu simetri rotasi. Gambar 11.3 memperlihatkan beberapa
enzim restriksi beserta tempat pengenalannya.
Sumber
Nama
Tempat
Pengenalan
Anabaena variabilis
Ava I
Escherichia coli strain R
EcoR I
Haemophilus influenzae strain d
Hind III
Haemophilus aegyptus
Hae III
Moraxella bovis
Mbo I
C
C T C G
A
G G G C
A
G G
C
T C
*
G A A T T C
C T T A AG
*
*
A A G C T T
T T C G AA
*
*
G G C C
C C G G
*
G A T C
C T AG
Gambar 9.3. Beberapa contoh enzim restriksi
* = tempat metilasi
= tempat pemotongan
95
Pemberian nama kepada enzim restriksi mengikuti aturan sebagai berikut. Huruf
pertama adalah huruf pertama nama genus bakteri sumber isolasi enzim, sedangkan huruf
kedua dan ketiga masing-masing adalah huruf pertama dan kedua nama petunjuk spesies
bakteri sumber tersebut. Huruf-huruf tambahan, jika ada, berasal dari nama strain bakteri,
dan angka romawi digunakan untuk membedakan enzim yang berbeda tetapi diisolasi
dari spesies yang sama.
Tempat pemotongan pada kedua untai DNA sering kali terpisah sejauh beberapa
pasang basa. Pemotongan DNA dengan tempat pemotongan semacam ini akan
menghasilkan fragmen-fragmen dengan ujung 5’ yang runcing karena masing-masing
untai tunggalnya menjadi tidak sama panjang. Dua fragmen DNA dengan ujung yang
runcing akan mudah disambungkan satu sama lain sehingga ujung runcing sering pula
disebut sebagai ujung lengket (sticky end) atau ujung kohesif.
Hal itu berbeda dengan enzim restriksi seperti Hae III, yang mempunyai tempat
pemotongan DNA pada posisi yang sama. Kedua fragmen hasil pemotongannya akan
mempunyai ujung 5’ yang tumpul karena masing-masing untai tunggalnya sama
panjangnya. Fragmen-fragmen DNA dengan ujung tumpul (blunt end) akan sulit untuk
disambungkan. Biasanya diperlukan perlakuan tambahan untuk menyatukan dua fragmen
DNA dengan ujung tumpul, misalnya pemberian molekul linker, molekul adaptor, atau
penambahan enzim deoksinukleotidil transferase untuk menyintesis untai tunggal
homopolimerik 3’.
Ligasi Molekul - molekul DNA
Pemotongan DNA genomik dan DNA vektor menggunakan enzim restriksi harus
menghasilkan ujung-ujung potongan yang kompatibel. Artinya, fragmen-fragmen DNA
genomik nantinya harus dapat disambungkan (diligasi) dengan DNA vektor yang sudah
berbentuk linier.
Ada tiga cara yang dapat digunakan untuk meligasi fragmen-fragmen DNA secara
in vitro. Pertama, ligasi menggunakan enzim DNA ligase dari bakteri. Kedua, ligasi
menggunakan DNA ligase dari sel-sel E. coli yang telah diinfeksi dengan bakteriofag T4
atau lazim disebut sebagai enzim T 4 ligase. Jika cara yang pertama hanya dapat
digunakan untuk meligasi ujung-ujung lengket, cara yang kedua dapat digunakan baik
pada ujung lengket maupun pada ujung tumpul. Sementara itu, cara yang ketiga telah
96
disinggung di atas, yaitu pemberian enzim deoksinukleotidil transferase untuk
menyintesis untai tunggal homopolimerik 3’. Dengan untai tunggal semacam ini akan
diperoleh ujung lengket buatan, yang selanjutnya dapat diligasi menggunakan DNA
ligase.
Suhu optimum bagi aktivitas DNA ligase sebenarnya 37ºC. Akan tetapi, pada
suhu ini ikatan hidrogen yang secara alami terbentuk di antara ujung-ujung lengket akan
menjadi tidak stabil dan kerusakan akibat panas akan terjadi pada tempat ikatan tersebut.
Oleh karena itu, ligasi biasanya dilakukan pada suhu antara 4 dan 15ºC dengan waktu
inkubasi (reaksi) yang diperpanjang (sering kali hingga semalam).
Pada reaksi ligasi antara fragmen-fragmen DNA genomik dan DNA vektor,
khususnya plasmid, dapat terjadi peristiwa religasi atau ligasi sendiri sehingga plasmid
yang telah dilinierkan dengan enzim restriksi akan menjadi plasmid sirkuler kembali. Hal
ini jelas akan menurunkan efisiensi ligasi. Untuk meningkatkan efisiensi ligasi dapat
dilakukan beberapa cara, antara lain penggunaan DNA dengan konsentrasi tinggi (lebih
dari 100µg/ml), perlakuan dengan enzim alkalin fosfatase untuk menghilangkan gugus
fosfat dari ujung 5’ pada molekul DNA yang telah terpotong, serta pemberian molekul
linker, molekul adaptor, atau penambahan enzim deoksinukleotidil transferase untuk
menyintesis untai tunggal homopolimerik 3’ seperti telah disebutkan di atas.
Transformasi Sel Inang
Tahap berikutnya setelah ligasi adalah analisis terhadap hasil pemotongan DNA
genomik dan DNA vektor serta analisis hasil ligasi molekul-molekul DNA tersebut.
menggunakan teknik elektroforesis (lihat Bab X). Jika hasil elektroforesis menunjukkan
bahwa fragmen-fragmen DNA genomik telah terligasi dengan baik pada DNA vektor
sehingga terbentuk molekul DNA rekombinan, campuran reaksi ligasi dimasukkan ke
dalam sel inang agar dapat diperbanyak dengan cepat. Dengan sendirinya, di dalam
campuran reaksi tersebut selain terdapat molekul DNA rekombinan, juga ada sejumlah
fragmen DNA genomik dan DNA plasmid yang tidak terligasi satu sama lain. Tahap
memasukkan campuran reaksi ligasi ke dalam sel inang ini dinamakan transformasi
karena sel inang diharapkan akan mengalami perubahan sifat tertentu setelah dimasuki
molekul DNA rekombinan.
97
Teknik transformasi pertama kali dikembangkan pada tahun 1970 oleh M. Mandel
dan A. Higa, yang melakukan transformasi bakteri E. coli. Sebelumnya, transformasi
pada beberapa spesies bakteri lainnya yang mempunyai sistem transformasi alami seperti
Bacillus subtilis telah dapat dilakukan. Kemampuan transformasi B. subtilis pada waktu
itu telah dimanfaatkan untuk mengubah strain-strain auksotrof (tidak dapat tumbuh pada
medium minimal) menjadi prototrof (dapat tumbuh pada medium minimal) dengan
menggunakan preparasi DNA genomik utuh. Baru beberapa waktu kemudian
transformasi dilakukan menggunakan perantara vektor, yang selanjutnya juga
dikembangkan pada transformasi E.coli.
Hal terpenting yang ditemukan oleh Mandel dan Higa adalah perlakuan kalsium
klorid (CaCl2) yang memungkinkan sel-sel E. coli untuk mengambil DNA dari
bakteriofag . Pada tahun 1972 S.N. Cohen dan kawan-kawannya menemukan bahwa
sel-sel yang diperlakukan dengan CaCl2 dapat juga mengambil DNA plasmid. Frekuensi
transformasi tertinggi akan diperoleh jika sel bakteri dan DNA dicampur di dalam larutan
CaCl2 pada suhu 0 hingga 5ºC. Perlakuan kejut panas antara 37 dan 45ºC selama lebih
kurang satu menit yang diberikan setelah pencampuran DNA dengan larutan CaCl2
tersebut dapat meningkatkan frekuensi transformasi tetapi tidak terlalu esensial. Molekul
DNA berukuran besar lebih rendah efisiensi transformasinya daripada molekul DNA
kecil.
Mekanisme transformasi belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Namun, setidaktidaknya transformasi melibatkan tahap-tahap berikut ini. Molekul CaCl2 akan
menyebabkan sel-sel bakteri membengkak dan membentuk sferoplas yang kehilangan
protein periplasmiknya sehingga dinding sel menjadi bocor. DNA yang ditambahkan ke
dalam campuran ini akan membentuk kompleks resisten DNase dengan ion-ion Ca2+
yang terikat pada permukaan sel. Kompleks ini kemudian diambil oleh sel selama
perlakuan kejut panas diberikan.
Seleksi Transforman dan Seleksi Rekombinan
Oleh karena DNA yang dimasukkan ke dalam sel inang bukan hanya DNA
rekombinan, maka kita harus melakukan seleksi untuk memilih sel inang transforman
yang membawa DNA rekombinan. Selanjutnya, di antara sel-sel transforman yang
98
membawa DNA rekombinan masih harus dilakukan seleksi untuk mendapatkan sel yang
DNA rekombinannya membawa fragmen sisipan atau gen yang diinginkan.
Cara seleksi sel transforman akan diuraikan lebih rinci pada penjelasan tentang
plasmid (lihat Bab XI). Pada dasarnya ada tiga kemungkinan yang dapat terjadi setelah
transformasi dilakukan, yaitu (1) sel inang tidak dimasuki DNA apa pun atau berarti
transformasi gagal, (2) sel inang dimasuki vektor religasi atau berarti ligasi gagal, dan (3)
sel inang dimasuki vektor rekombinan dengan/tanpa fragmen sisipan atau gen yang
diinginkan. Untuk membedakan antara kemungkinan pertama dan kedua dilihat
perubahan sifat yang terjadi pada sel inang. Jika sel inang memperlihatkan dua sifat
marker vektor, maka dapat dipastikan bahwa kemungkinan kedualah yang terjadi.
Selanjutnya, untuk membedakan antara kemungkinan kedua dan ketiga dilihat pula
perubahan sifat yang terjadi pada sel inang. Jika sel inang hanya memperlihatkan salah
satu sifat di antara kedua marker vektor, maka dapat dipastikan bahwa kemungkinan
ketigalah yang terjadi.
Seleksi sel rekombinan yang membawa fragmen yang diinginkan dilakukan
dengan mencari fragmen tersebut menggunakan fragmen pelacak (probe), yang
pembuatannya dilakukan secara in vitro menggunakan teknik reaksi polimerisasi
berantai atau polymerase chain reaction (PCR). Penjelasan lebih rinci tentang teknik
PCR dapat dilihat pada Bab XII. Pelacakan fragmen yang diinginkan antara lain dapat
dilakukan melalui cara yang dinamakan hibridisasi koloni (lihat Bab X). Koloni-koloni
sel rekombinan ditransfer ke membran nilon, dilisis agar isi selnya keluar, dibersihkan
protein dan remukan sel lainnya hingga tinggal tersisa DNAnya saja. Selanjutnya,
dilakukan fiksasi DNA dan perendaman di dalam larutan pelacak. Posisi-posisi DNA
yang terhibridisasi oleh fragmen pelacak dicocokkan dengan posisi koloni pada kultur
awal (master plate). Dengan demikian, kita bisa menentukan koloni-koloni sel
rekombinan yang membawa fragmen yang diinginkan.
Download