1 BAB I PENDAHULUAN Insect bite reaction (reaksi gigitan serangga) adalah reaksi yang disebabkan oleh gigitan yang biasanya berasal dari bagian mulut serangga dan terjadi saat serangga berusaha untuk mempertahankan diri atau saat serangga tersebut mencari makanannya. Gigitan serangga juga mengakibatkan kemerahan dan bengkak di lokasi yang tersengat. Kebanyakan gigitan dan sengatan dilakukan untuk pertahanan. Sebuah gigitan atau sengatan dapat menyuntikkan bisa (racun) yang tersusun dari protein dan substansi lain yang mungkin memicu reaksi alergi kepada penderita. Insect bite reaction disebabkan oleh artropoda kelas insekta. Insekta memiliki tahap dewasa dengan karakter eksoskeleton yang keras, 3 pasang kaki, dan tubuh bersegmen dimana kepala, toraks, dan abdomennya menyatu. Reaksi paling sering dilaporkan terjadi setelah digigit nyamuk dan sejenisnya. Gigitan dan sengatan serangga mempunyai prevalensi yang sama diseluruh dunia. Dapat terjadi pada iklim tertentu dan hal ini juga merupakan fenomena musiman, meskipun tidak menutup kemungkinan kejadian ini dapat terjadi di sekitar kita. Prevalensi antara pria dan wanita sama. 1,2 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Insect bite reaction (reaksi gigitan serangga) adalah reaksi yang disebabkan oleh gigitan yang biasanya berasal dari bagian mulut serangga dan terjadi saat serangga berusaha untuk mempertahankan diri atau saat serangga tersebut mencari makanannya. Gigitan serangga dapat menyebabkan reaksi alergi, namun pengetahuan ilmiah mengenai alergi terhadap gigitan serangga masih terbatas. Reaksi paling sering dilaporkan terjadi setelah digigit nyamuk dan sejenisnya, serta dari golongan serangga Triatoma. Sayangnya, strategi manajemen untuk mengurangi risiko insect bite reaction ke depannya masih kurang dikembangkan dan kurang efektif bila dibandingkan dengan alergi terhadap sengatan serangga.1,2 2.2 Epimediologi Gigitan dan sengatan serangga mempunyai prevalensi yang sama diseluruh dunia. Dapat terjadi pada iklim tertentu dan hal ini juga merupakan fenomena musiman, meskipun tidak menutup kemungkinan kejadian ini dapat terjadi di sekitar kita. Prevalensi antara pria dan wanita sama. Bayi dan anak-anak lebih rentan terkena gigitan serangga dibandingkan orang dewasa. Salah satu faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit ini adalah lingkungan sekitar seperti tempat mencari mata pencaharian yaitu perkebunan, persawahan dan lain-lain. 3 2.3 Etiologi Insect bite reaction disebabkan oleh artropoda kelas insekta. Insekta memiliki tahap dewasa dengan karakter eksoskeleton yang keras, 3 pasang kaki, dan tubuh bersegmen dimana kepala, toraks, dan abdomennya menyatu. Insekta merupakan golongan hewan yang memiliki jenis paling banyak dan paling beragam. Oleh karena itu, kontak antara manusia dan serangga sulit dihindari. Paparan terhadap gigitan atau sengatan serangga dan sejenisnya dapat berakibat ringan atau hampir tidak disadari ataupun dapat mengancam nyawa.2 Secara sederhana gigitan dan sengatan serangga dibagi menjadi 2 grup yaitu Venomous (beracun) dan non-venomous (tidak beracun). Serangga yang beracun biasanya menyerang dengan cara menyengat, misalnya tawon atau lebah. Ini merupakan salah satu mekanisme pertahanan diri yakni dengan cara menyuntikkan racun atau bisa melalui alat penyengatnya. Sedangkan serangga yang tidak beracun menggigit atau menembus kulit dan masuk menghisap darah, ini biasanya yang menimbulkan rasa gatal. Ada 30 lebih jenis serangga tetapi hanya beberapa saja yang bisa menimbulkan kelainan kulit yang signifikan. Kelasa arthopoda yang melakukan gigitan dan sengatan pada manusia terbagi atas : 1. Kelas Arachnida a. Acarina b. Araniae (Laba-laba) c. Scorpionidae (Kalajengking) 4 2. Kelas Chilopoda (Lipan) dan Diplopoda (Luing) 3. Kelas Insekta a. Anoplura (Pthyreus pubis, Pediculus humanus, Capitis et corporis) b. Coleoptera (Kumbang) c. Dipthera (Nyamuk dan Lalat) d. Hemiptera (Kutu busuk) e. Hymenoptera (Semut, Lebah dan Tawon) f. Lepidoptera (Kupu-kupu) 2.4 Patogenesis Saliva pada serangga dapat membantu dalam pencernaannya, menghambat koagulasi, meningkatkan aliran darah pada tempat gigitan, atau menganestesi daerah gigitan. Banyak lesi yang terjadi biasanya merupakan akibat dari respon imun terhadap sekret insekta ini. Kebanyakan gigitan serangga bentuknya kecil dan hanya menghasilkan luka tusuk superfisial.2,3 Gigitan atau serangan serangga akan menyebabkan kerusakan kecil pada kulit, lewat gigian atau sengatan antigen yang akan masuk langsung direspon oleh sistem imun tubuh. Racun dari serangga mengandung zat-zat yang kompleks. Reaksi terhadap antigen tersebut biasanya akan melepaskan histamin, serotonin, asam formic atau kinin. Lesi yang timbul disebabkan oleh respon imun tubuh terhadap antigen yang dihasilkan melalui gigitan atau sengatan serangga. Reaksi yang timbul melibatkan mekanisme imun. Reaksi 5 yang timbul dapat dibagi dalam dua kelompok : reaksi imediate dan reaksi delayed.7,8 Reaksi imediate merupakan reaksi yang sering terjadi dan ditandai dengan reaksi lokal atau reaksi sistemik. Lesi juga timbul karena adanya toksin yang dihasilkan oleh gigitan atau sengatan serangga. Nekrosis jaringan yang lebih luas dapat disebabkan karena trauma endotel yang dimediasi oleh pelepasan neutofil. Spingomyelinase D adalah toksin yang berperan dalam timbulnya reaksi neutrofilk. Enzim hyluronidase yang juga ada pada racun serangga akan merusak lapisan dermis sehingga dapat mempercepat penyebaran racun tersebut.8 2.5 Diagnosis a. Anamnesis Kebanyakan pasien sadar dengan adanya gigitan serangga ketika terjadi reaksi atau tepat setelah gigitan, namun paparannya sering tidak diketahui kecuali terjadi reaksi yang berat atau berakibat sistemik. Pasien yang memiliki sejarah tidak memiliki rumah atau pernah tinggal di tempat penampungan mungkin mengalami paparan terhadap organisme, seperti serangga kasur. Pasien dengan penyakit mental juga memungkinkan adanya riwayat paparan dengan parasit serangga. Paparan dengan binatang liar maupun binatang peliharaan juga dapat menyebabkan paparan terhadap gigitan serangga.2 b. Gejala Klinis 6 Pada reaksi lokal, pasien mungkin akan mengeluh tidak nyaman, gatal, nyeri sedang maupun berat, eritema, panas, dan edema pada jaringan sekitar gigitan. Pada reaksi lokal berat, keluhan terdiri dari eritema yang luas, irtikaria, dan edema pruritis. Reaksi lokal yang berat dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya reaksi sistemik serius pada paparan berikutnya.2 Gambar 1. Papular urtikaria: Bekas gigitan kutu, sangat gatal, urtikaria seperti papula di lokasi gigitan kutu pada lutut dan kaki seorang anak, papula biasanya berdiameter <1 cm serta memiliki vesikel di atasnya, Bila tergoresakan mengakibatkan erosi maupun krusta3 Pada reaksi sistemik atau anafilaktik, pasien bisa mengeluhkan adanya gejala lokal sebagaimana gejala yang tidak terkait dengan lokasi gigitan. Gejala dapat bervariasi dari ringan sampai fatal. Keluhan awal biasanya termasuk ruam yang luas, urtikaria, pruritus, dan angioedema. Gejala ini dapat berkembang dan pasien dapat mengalami ansietas, disorientasi, 7 kelemahan, gangguan gastrointestinal, kram perut pada wanita, inkontinensia urin atau alvi, pusing, pingsan, hipotensi, stridor, sesak, atau batuk. Seiring berkembangnya reaksi, pasien dapat mengalami kegagalan napas dan kolaps kardiovaskuler.2 c. Laboratorium Pemeriksaan laboratorium jarang dibutuhkan. Pemeriksaan laboratorium yang sesuai harus dilakukan apabila pasien mengalami reaksi yang berat dan membutuhkan penanganan di rumah sakit atau dicurigai mengalami kegagalan organ akhir atau membutuhkan evaluasi akibat infeksi sekunder, seperti sellulitis.2 Pemeriksaan mikroskopis dari apusan kulit dapat bermanfaat pada diagnosis scabies atau kutu, namun tidak berguna pada kebanyakan gigitan serangga.2 Pemeriksaan serologis mungkin berguna dalam menentukan infeksi yang diakibatkan oleh vektor serangga, namun jarang tersedia dan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya.2 2.6 Diagnosis Banding Diagnosis banding insect bite reaction didasarkan oleh reaksi pada tempat gigitan (papula eritema, vesikel), organisme yang menggigit serta nekrosis kutaneus yang menyebabkan timbulnya lesi yang berbeda: a. Prurigo Merupakan reaksi kulit yang bersifat residif dengan efloresensi beranekaragam. Diduga ada pengaruh dari luar seperti gigitan serangga, sinar matahari, udara dingin, dan pengaruh dari dalam tubuh seperti 8 infeksi kronik. Wanita lebih banyak dari pria. Biasanya dicetuskan oleh infeksi kronik dan keganasan, kekurangan makan protein dan kalori. Dari anamnesis didahului oleh gigitan serangga (nyamuk,semut), selanjutnya timbul urtikaria papular. Kemudian timbul rasa gatal, dan karena digaruk timbul bintik-bintik. Gatal bersifat kronik, akibatnya kulit menjadi hitam dan menebal. Penderita mengeluh selalu gelisah, gatal dan mudah dirangsang. b. Urtikaria Merupakan suatu bentuk prurigo yang sering pada bayi dan anak. Kelainan khas berupa urtikaria papular yaitu urtikaria yang berbentuk papula-papula berwarna kemerahan. Biasanya disebabkan oleh hipersensitifitas terhadap gigitan serangga, nyamuk, kutu, anjing/kucing. Gejala dari urtikaria ini antara lain penderita sering mengeluh gatal dengan riwayat gigitan serangga sebelum nya. Kelainan klinis khas berupa urtikaria papular yaitu urtikaria yang berbentuk papula-papula kemerahan tersebar secara diskrik dan tidak teratur, terutama pada bagian ekstensor lengan dan tungkai. c. Dermatitis Kontak Alergi3 Dermatitis kontak alergi merupakan tipe delayed dari perangsangan alergi yang berasal dari kontak antara kulit dengan alergen spesifik dimana pasien memiliki sensitivitas tertentu. Reaksi 9 alergi ini menyebabkan radang kulit yang bermanifestasi dalam berbagai bentuk eritema, edema, dan vasikulasi.4 Diagnosis didasarkan pada riwayat dan ditambah dengan pengetahuan tentang penyebab alergi umum dan iritan di lingkungan5 Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas tegas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula.6 2.7 Penatalaksanaan a. Perawatan Pra Rumah Sakit Kebanyakan gigitan serangga dapat dirawat pada saat akut dengan memberikan kompres setelah perawatan luka rutin dengan sabun dan air untuk meminimalisasi kemungkinan infeksi. Untuk reaksi lokal yang luas, kompres es dapat meminimalisasi pembengkakan. Pemberian kompres es tidak boleh dilakukan lebih dari 15 menit dan harus diberikan dengan pembatas baju antara es dan kulit untuk mencegah luka langsung akibat suhu dingin pada kulit.2 Epinefrin merupakan kunci utama untuk penanganan pra rumah sakit pada reaksi sistemik. Antihistamin sistemik dan kortikosteroid, bila tersedia, dapat membantu mengatasi reaksi sistemik.2 b. Medikamentosa - Topikal : Jika reaksi lokal ringan, dikompres dengan larutan asam borat 3%, atau kortikosteroid topikal seperti krim hidrokortison 12%. Jika reaksi berat dengan gejala sistemik, lakukan 10 pemasangan torniket proksimal dari tempat gigitan dan diberi obat sistemik. - Sistemik : Injeksi antihistamin seperti klorfeniramin 10 mg atau difenhidramin 50mg. Adrenalin 1% 0,3-0,5 ml subkutan. Kortikosteroid sistemik diberikan pada penderita yang tak tertolong dengan antihistamin atau adrenalin. c. Perawatan Unit Gawat Darurat (keadaan berat) Intubasi endotrakeal dan ventilator mungkin diperlukan untuk menangani anafilaksis berat atau angioedema yang melibatkan jalan napas. Penanganan anafilaksis emergensi pada individu yang atopik dapat diberikan dengan injeksi awal intramuskular 0,3-0,5 ml epinefrin dengan perbandingan 1:1000. Dapat diulang setiap 10 menit apabila dibutuhkan. Bolus intravena epinefrin (1:10.000) juga dapat dipertimbangkan pada kasus berat. Begitu didapatkan respon positif, bolus tadi dapat dilanjutkan dengan infus dicampur epinefrin yang kontinu dan termonitor.2 Eritema yang tidak diketahui penyebabnya dan pembengkakan mungkin sulit dibedakan dengan sellulitis. Sebagai aturan umum, infeksi jarang terjadi dan antibiotik profilaksis tidak direkomendasikan untuk digunakan.2 2.8 Prognosis Prognosis dari insect bite reaction bergantung pada jenis insekta yang terlibat dan seberapa besar reaksi yang terjadi. Pemberian topikal berbagai 11 jenis analgetik, antibiotik, dan pemberian oral antihistamin cukup membantu, begitupun dengan kortikosteroid oral maupun topikal. Pemberian insektisida, mencegah pajanan ulang, dan menjaga higienitas lingkungan juga perlu diperhatikan. Sedangkan untuk reaksi sistemik berat, penanganan medis darurat yang tepat memberikan prognosis baik.11 12 DAFTAR PUSTAKA 1. Moffitt, John E. MD. Allergic Reactions to Insect Bites and Stings on Southern Medical Journal, November 2003, Volume 96, Issue 11, pp 1073-1079. 2. Burns, Bo. DO, FACEP, FAAEM. Insect Bites. [Posted : 14 Februari 2011] Taken from : http://emedicine.medscape.com/article/769067-overview#showall [Downloaded : 4 September 2014] 3. Insect Bites and Infestations. In : Freedberg IM at al, eds, Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 5th. 2007. USA: McGrawHill. 4. Hogan, Daniel J. MD. Allergic Contact Dermatitis. [Posted : 14 September 2011] Taken from : http://emedicine.medscape.com/article/1049216overview#showall [Downloaded : 4 September 2014] 5. Beck, M.H., Wilkinson, S.M.. Contact Dermatitis: Allergic. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology. Vol.2. Eight Edition. USA: Blackwell publishing; 2010. P. 26.13-14. 6. Sularsito SA, Djuanda S. Dermatitis. Dalam : Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, dkk, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed.5. Jakarta: FKUI; 2005. P. 135 7. McCroskey, Amy L. MD. Scabies. [Posted : 6 October 2010] Taken from : http://emedicine.medscape.com/article/785873-overview#showall [Downloaded : 4 September 2014] 8. Amiruddin MD. Skabies. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed.1. Makassar: Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin ; 2003. P. 5-10. 9. Chosidow O. Scabies. New England J Med. 2006. P. 1718-27 10. Adverse Cutaneous Drug Reactions. In : Freedberg IM at al, eds, Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 5th. 2007. USA: McGrawHill 13 11. Elston D. Parasitic Infestations, Stings, and Bites in : Andrews' Diseases Of The Skin Clinical Dermatology 11th Edition : Jame W, Berger T, Elston D. Philadelphia : Esevier; 2006. p.434-47