plagiat merupakan tindakan tidak terpuji plagiat

advertisement
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
GAYA BAHASA KIASAN
DALAM KUMPULAN CERITA PENDEK RORO MENDUT & ATMO
KARYA BESAR S.W.
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Sastra
Disusun Oleh:
Lilid Perwira Setya
074114003
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
2013
i
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
ii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
iii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir yang saya tulis
ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah
disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 24 Mei 2013
Lilid Perwira Setya
iv
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah
Untuk Kepentingan Akademis
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Lilid Perwira Setya
NIM
: 074114003
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada
Perpustakaan Universitas Sanata Dharma tugas akhir saya yang berjudul "Gaya
Bahasa Kiasan dalam kumpulan cerita pendek Roro Mendut & Atmo karya Besar
S.W." beserta perangkat yang diperlukan. Dengan demikian, saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak menyimpan, mengalihkan
dalam bentuk ini, mengelolahnya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan
secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media yang lain untuk
kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya ataupun memberikan
royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Yogyakarta, 24 Mei 2013
Yang menyatakan,
Lilid Perwira Setya
v
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Tulisan ini ku persembahkan untuk:
Bapakku,
(Alm) Drs. Besar Subagiyo Wagimin,
Terimakasih atas cinta dan kasih sayang yang kauberi
Mamaku,
Trisminafaati,
Terimakasih atas kesabaran dan kekuatan yang selalu kauberikan
Kakakku tersayang,
Pradana Puspita Paramaningtyas
dan adik kecilku,
Kinaton Ageng Laksono
vi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
ABSTRAK
Setya, Lilid Perwira. 2013. "Gaya Bahasa Kiasan dalam kumpulan cerita pendek
Roro Mendut & Atmo karya Besar S.W." Skripsi Strata 1 (S-l).
Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia,
Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Dalam tugas akhir ini diteliti gaya bahasa kiasan dalam kumpulan cerita pendek
Roro Mendut & Atmo karya Besar S.W. Ada dua masalah yang dibahas: a) gaya
bahasa kiasan apa saja yang terdapat dalam kumpulan cerita pendek Roro Mendut
& Atmo karya Besar S.W, dan b) apa saja fungsi gaya bahasa kiasan dalam
kumpulan cerita pendek Roro Mendut & Atmo karya Besar S.W?
Penelitian dilakukan melalui tiga tahap, yaitu pengumpulan data, analisis
data, dan pemaparan hasil analisis data. Data diperoleh dari kumpulan cerita
pendek Roro Mendut & Atmo. Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak
dan teknik catat. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan
metode padan dan metode agih. Metode padan yang digunakan adalah metode
padan referensial yang alat penentunya adalah kenyataan yang ditunjukkan oleh
bahasa atau referen bahasa. Metode ini dilanjutkan dengan metode agih yang
menggunakan teknik dasar bagi unsur langsung. Setelah itu dilanjutkan dengan
teknik ganti dan teknik baca markah. Pemaparan hasil analisis data dilakukan
dengan metode formal dan informal.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gaya bahasa kiasan yang terdapat
dalam kumpulan cerita pendek Roro Mendut & Atmo karya Besar S.W. terdiri atas
delapan jenis, meliputi gaya bahasa persamaan atau simile, metafora,
personifikasi, alusi, epitet, antonomasia, ironi, dan inuendo. Fungsi gaya bahasa
kiasan dalam kumpulan cerita pendek Roro Mendut & Atmo terdiri dari lima
macam fungsi, meliputi fungsi ironi, fungsi menghaluskan, fungsi melebihkan,
fungsi keindahan, dan fungsi mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung.
Fungsi keindahan dibagi lagi menjadi tiga, yaitu bunyi, pencitraan, dan diksi.
Bunyi dibagi menjadi lima jenis yaitu aliterasi, asonansi, anafora, eufoni, dan
kakafoni. Pencitraan dibagi menjadi tiga jenis, yaitu citra penglihatan, citra
gerakan, dan citraan lain-lain. Diksi dibagi menjadi dua jenis, yaitu kata arkaik
serta kata bahasa daerah dan asing. Fungsi mengungkapkan sesuatu secara tidak
langsung terdiri dari dua jenis, meliputi tindak tutur tidak langsung dan tindak
tutur tidak literal.
vii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
ABSTRACT
Setya, Lilid Perwira. 2013. "Figure of Speech in Roro Mendut & Atmo Short
Stories Antology by Besar S.W." An Undergraduate Thesis. Yogyakarta:
Indonesian Letters Study Programme. Department of Indonesian Letters.
Faculty of Letters. Sanata Dharma University.
This research is intended to analyze figure of speech in Roro Mendut & Atmo
Short Stories Antology by Besar S.W. There were two problem formulations: a)
what kind figure of speech that found in Roro Mendut & Atmo Short Stories
Antology by Besar S.W, b) what is the function figure of speech in Roro Mendut
& Atmo Short Stories Antology by Besar S.W?
This research is conducted in three stages. They are collecting data,
analyzing data, and describing of data analyzing result. The data is collected from
the Roro Mendut & Atmo Short Stories Antology. The data is collected using
listening and writing method. The data in this research is analyzed using padan
(identity) method and agih (distributional) method. Padan (identity) method that
used is referential (identity) method is the decisive factor in the fact that showed
by language or language reference. This method continued by agih method that
used direct divide unsure, basic technique. And next technique that used is change
technique and baca markah technique. The describtion result of data analysis is
carried on by formal and informal method.
The result of this research showed that figure of speech in Roro Mendut &
Atmo Short Stories Antology by Besar S.W. consist of eight types, they are simile,
metaphor, personification, allusion, epithet, antonomasia, irony, and innuendo.
Figure of speech function in Roro Mendut & Atmo Short Stories Antology consist
of five function, they were irony function, refine sense meaning function,
hyperbola function, poetical function, and pronounce something indirectly
function. Poetical function divided in to three types, they are sounds, imagery, and
diction. Sounds divided in to five types, they are alliteration, assonance, anaphora,
euphony, and kakaphony. Imagery divided in to three types, they are seeing
imagery, moving imagery, and various imagery. Diction divide in to two types,
which is archaic word and foreign language and local dialect. Pronounce
something indirectly function consist of two types, which is indirect speech act
and unliterally speech act.
viii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena perkenan-Nyalah
skripsi yang berjudul "Gaya Bahasa Kiasan dalam kumpulan cerita pendek Roro
Mendut & Atmo karya Besar S.W." dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun untuk
memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana S-l pada Program Studi
Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata
Dharma.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan berkat
dukungan, nasihat, bantuan, dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis menyampaikan dan mengucapkan penghargaan sebagai
rasa terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. I. Praptomo. Baryadi, M. Hum., selaku dosen pembimbing I yang
dengan sabar, teliti, setia membimbing dan memberikan motivasi selama
proses penyusunan skripsi ini,
2. Drs. Hery. Antono, M. Hum., selaku dosen pembimbing II atas kesabarannya
memberikan koreksi dan arahan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
3. Dr. P. Ari Subagyo, M.Hum., S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum., Dra. F.
Tjandrasih Adji, M.Hum., Drs. B. Rahmanto, M. Hum., Drs. FX. Santosa,
M.S., dan Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum., atas bimbingan yang diberikan
selama penulis belajar di Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra,
Universitas Sanata Dharma,
ix
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
4. Seluruh staf Sekretariat Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta yang telah membantu kelancaran pembuatan skripsi ini,
5. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, tempat mencari sumber data bagi
keperluan penulisan skripsi ini.
6. Keluarga tercinta, bapakku (alm) Drs. Besar Subagiyo Wagimin, mamaku
Trisminafaati, kakakku Pradana Puspita Paramaningtyas, dan adikku Kinaton
Ageng Laksono.
7. Sahabat-sahabatku, Diana Maria Adriana dan Agustina Tri Tresnaning Tyas
untuk kebersamaan kita selama ini,
8. Keluarga besar (alm) Damiri Djoko Poerwito dan (almh) Lasinah Djoko
Poerwito,
9. Teman terdekatku, Gregorius Joko Briyandewo yang selalu menemani dan
meluangkan waktunya.
Penulis menyadari bahwa segala sesuatu tiada yang sempurna. Demikian juga
skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, segala kritik dan saran yang
membangun penulis terima dengan terbuka. Penulis berharap semoga skripsi ini
berguna dan bermanfaat bagi masyarakat.
Yogyakarta, 24 Mei 2013
Penulis
x
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ...............................................
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .................................................
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI..............................................
HALAMAN PERSEMBAHAN .............................................................
ABSTRAK ............................................................................................
ABSTRACT ............................................................................................
KATA PENGANTAR ...........................................................................
DAFTAR ISI .........................................................................................
DAFTAR TABEL .................................................................................
i
ii
iii
iv
v
vi
vii
vii
ix
xi
xiii
BAB I: PENDAHULUAN .....................................................................
1.1 Latar Belakang ....................................................................
1.2 Rumusan Masalah ................................................................
1.3 Tujuan Penelitian..................................................................
1.4 Manfaat Penelitian................................................................
1.5 Tinjauan Pustaka ..................................................................
1.6 Landasan Teori.....................................................................
1.6.1 Pengertian Gaya Bahasa ..........................................
1.6.2 Jenis-jenis Gaya Bahasa ...........................................
1.6.3 Kajian Stilistika........................................................
1.7 Metode Penelitian.................................................................
1.7.1 Metode dan Teknik Penyediaan Data .......................
1.7.2 Metode dan Teknik Analisis Data.............................
1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data .....................
1.8 Sumber Data.........................................................................
1.9 Sistematika Penyajian ..........................................................
1
1
3
3
4
4
6
6
7
14
18
19
19
21
22
22
BAB II: JENIS-JENIS GAYA BAHASA KIASAN
DALAM KUMPULAN CERPEN RORO MENDUT & ATMO
KARYA BESAR S. W ............................................................
2.1 Pengantar .............................................................................
2.2 Persamaan atau Simile..........................................................
2.3 Metafora...............................................................................
2.4 Personifikasi.........................................................................
2.5 Alusi.....................................................................................
2.6 Epitet....................................................................................
2.7 Antonomasia ........................................................................
2.8 Ironi .....................................................................................
2.9 Inuendo ................................................................................
23
23
23
25
57
64
67
69
70
74
xi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
BAB III: FUNGSI GAYA BAHASA KIASAN
DALAM KUMPULAN CERPEN RORO MENDUT & ATMO
KARYA BESAR S. W ...........................................................
3.1 Pengantar .............................................................................
3.2 Fungsi Ironi ..........................................................................
3.3 Fungsi Menghaluskan...........................................................
3.4 Fungsi Melebihkan ...............................................................
3.5 Fungsi Keindahan.................................................................
3.5.1 Bunyi..........................................................................
3.5.1.1 Aliterasi .........................................................
3.5.1.2 Asonansi ........................................................
3.5.1.3 Anafora ..........................................................
3.5.1.4 Eufoni ............................................................
3.5.1.5 Kakafoni ........................................................
3.5.2 Pencitraan ....................................................................
3.5.2.1 Citra Pengelihatan ..........................................
3.5.2.2 Citra Gerakan .................................................
3.5.2.3 Citraan lain-lain..............................................
3.5.3 Diksi.............................................................................
3.5.3.1 Kata Arkaik....................................................
3.5.3.2 Kata Bahasa Daerah dan Asing.......................
3.6 Fungsi Mengungkapkan Sesuatu Secara Tidak Langsung .....
3.6.1 Tindak Tutur Tidak Langsung.......................................
3.6.2 Tindak Tutur Tidak Literal............................................
76
76
76
79
83
86
86
87
87
89
90
90
91
92
93
94
97
97
100
103
103
105
BAB IV: PENUTUP ..............................................................................
4.1 Kesimpulan ..........................................................................
4.2 Saran ....................................................................................
Daftar Pustaka............................................................................................
Tentang Penulis .....................................................................................
107
107
108
109
111
xii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Gaya Bahasa Metafora Hidup...................................................
40
Tabel 2: Gaya Bahasa Metafora Mati .....................................................
54
Tabel 3: Gaya Bahasa Personifikasi .......................................................
64
Tabel 4: Gaya Bahasa Alusi ...................................................................
66
Tabel 5: Fungsi Menghaluskan ..............................................................
82
xiii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam skripsi ini dilaporkan hasil penelitian tentang gaya bahasa kiasan yang
terdapat dalam kumpulan cerita pendek (cerpen) Roro Mendut & Atmo karya
Besar S.W yang diterbitkan oleh penerbit Mediantara Semesta pada tahun 2006.
Kumpulan cerita pendek ini terdiri atas 6 judul, yaitu “Roro Mendut Triman”,
“Atmo Jogja”, “Menelusuri Jejak Si Korban”, “Akhir Cerita Pendek Ratri”,
“Laisah Dipinang”, dan “Sosok yang Hilang”. Sampai saat ini Besar S.W telah
menghasilkan beberapa buku, yaitu kumpulan puisi “Ning”, kumpulan cerita
rakyat “Tabiat-tabiat”, dan biografi H. M. Qiyamuddin Saman yang berjudul “Si
Gembala Pulang Kandang”.
Salah satu hal yang menonjol dalam kumpulan cerita pendek ini adalah
penggunaan bahasa yang tidak sesuai dengan zamannya. Gaya bahasa yang
digunakan terlalu modern untuk latar abad ke-17 di Tanah Jawa. Hal ini
kebanyakan terdapat dalam cerita pendek “Roro Mendut Triman”. Hal lain yang
menarik adalah penggunaan gaya bahasa kiasan dalam kumpulan cerita pendek
ini.
Berikut ini adalah contoh tuturan dalam kumpulan cerita pendek tersebut,
“Majulah, jangan hanya bersilat lidah!” (Roro Mendut & Atmo, hal 12). Pada
contoh tersebut terdapat gaya bahasa metafora yang ditunjukkan dengan frasa
bersilat lidah. Frasa bersilat lidah mempunyai makna ‘berdebat’. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 669) kata lidah mempunyai arti
1
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
‘bagian tubuh dalam mulut yang dapat bergerak-gerak dengan mudah, gunanya
untuk menjilat, mengecap, dan berkata-kata’. Kata bersilat mempunyai arti
bermain atau berkelahi dengan menggunakan ketangkasan menyerang dan
mempertahankan diri (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 1065).
Penulis lebih memilih menggunakan kata bersilat lidah karena kata tersebut lebih
dapat mengungkapkan ketegangan situasi ketika Tumenggung Wiroguno
berhadapan dengan Pronocitro. Analisis yang dilakukan sifatnya kontekstual
terhadap kumpulan cerita pendek Roro Mendut & Atmo.
Gaya bahasa kiasan yang berjenis personifikasi, yaitu “Dinding kamarnya
menatap Galang penuh kesangsian” (Roro Mendut & Atmo, hal 84). Pada contoh
tersebut unsur yang menunjukkan gaya bahasa personifikasi adalah kata menatap.
Kata menatap merupakan sifat manusia dalam memperhatikan atau melihat suatu
objek. Dalam kalimat tersebut menatap menunjukkan pengandaian bahwa dinding
kamar memiliki mata sehingga dapat melihat dengan menggunakan matanya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 1149) kata menatap
mempunyai arti melihat atau memperhatikan objek, biasanya dalam jarak dekat,
dengan seksama dan durasi yang agak panjang. Dalam hal ini penulis lebih
memilih menggunakan kata menatap karena dalam kalimat ini terlihat bahwa
seluruh perhatian dinding kamar itu tercurah pada Galang karena sumpah yang
diucapkannya. Hal ini dapat dilihat dari kalimat yang mendukungnya, yaitu
“Ucapan lidahnya yang minta disaksikan oleh pihak lain, bahkan alam, adalah
sumpah” (Roro Mendut & Atmo, hal 84).
2
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Dipilihnya topik penelitian tentang penggunaan gaya bahasa kiasan dalam
kumpulan cerita pendek Roro Mendut & Atmo didasarkan atas alasan berikut.
Pertama, perlu diungkap gaya bahasa kiasan apa saja yang digunakan dalam
kumpulan cerita pendek Roro Mendut & Atmo. Kedua, belum adanya penelitian
yang secara khusus mengkaji makna dan fungsi gaya bahasa kiasan dalam
kumpulan cerita pendek Roro Mendut & Atmo ini. Penelitian ini dibatasi pada
kajian jenis gaya bahasa kiasan dan fungsi gaya bahasa tersebut sehingga bisa
menimbulkan keindahan yang dimaksudkan
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah, maka masalah yang
akan diteliti sebagai berikut:
1. Gaya bahasa kiasan apa saja yang digunakan dalam kumpulan cerita
pendek Roro Mendut & Atmo karya Besar S.W?
2. Apa saja fungsi gaya bahasa kiasan dalam kumpulan cerita pendek Roro
Mendut & Atmo karya Besar S.W?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, penelitian ini
bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan jenis-jenis gaya bahasa kiasan yang digunakan dalam
kumpulan cerita pendek Roro Mendut & Atmo karya Besar S.W.
2. Mendeskripsikan fungsi gaya bahasa kiasan dalam kumpulan cerita
pendek Roro Mendut & Atmo karya Besar S.W.
3
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini berupa jenis-jenis gaya bahasa kiasan dan apa saja
fungsi gaya bahasa kiasan tersebut, diharapkan dapat memberikan manfaat
teoretis dan praktis. Secara teoretis, hasil penelitian ini bermanfaat dalam bidang
stilistika dan pragmatik. Dalam bidang stilistika, hasil penelitian ini bermanfaat
untuk memperkaya khazanah kajian gaya bahasa kiasan. Dalam bidang pragmatik,
hasil penelitian ini bertujuan menunjukkan bahwa maksud suatu tuturan dapat
diungkapkan dengan berbagai cara yang terwujud dalam gaya bahasa.
Secara praktis, hasil penelitian tentang gaya bahasa kiasan dan fungsi gaya
bahasa kiasan ini berguna bagi pengarang sebagai sarana agar karya yang
diciptakan dapat menimbulkan efek keindahan. Selain itu, hasil penelitian ini juga
bermanfaat bagi pembaca, yakni agar pembaca mengetahui gaya bahasa kiasan
dan fungsi gaya bahasa kiasan dalam kumpulan cerita pendek Roro Mendut &
Atmo karya Besar S.W.
1.5 Tinjauan Pustaka
Sejauh ini, peneliti belum menemukan adanya penelitian mengenai
kumpulan cerita pendek Roro Mendut & Atmo karya Besar S.W ini ataupun
mengenai gaya bahasa kiasannya. Oleh karena itu, untuk menambah penelitian
tentang gaya bahasa, maka peneliti tertarik untuk meneliti mengenai gaya bahasa
kiasan dalam kumpulan cerita pendek roro Mendut & Atmo karya Besar S.W.
Namun peneliti menemukan bahwa telah ada tulisan tentang gaya bahasa, antara
lain dalam skripsi yang berjudul ”Gaya Bahasa Kiasan dalam Wacana ”Ole
4
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Internasional” di Tabloid Bola Tanggal 3 Maret 2006 sampai dengan 22
September 2006”. Werokila membicarakan jenis gaya bahasa kiasan yang
digunakan dalam suatu kalimat dalam wacana ”Ole Internasional” di tabloid Bola,
dan mendeskripsikan fungsi gaya bahasa kiasan dalam wacana ”Ole
Internasional”. Hasil penelitiannya berupa jenis-jenis gaya bahasa kiasan dalam
wacana ”Ole Internasional” di tabloid Bola, terdiri atas gaya bahasa sinekdoke
totem pro parte, sinekdoke pars pro toto, metafora, simile, hiperbola,
personifikasi, dan oksimoron. Ratna Yani Miarsari (2008) dalam skripsinya yang
berjudul ”Analisis Medan Makna pada Gaya Bahasa Kiasan dalam Naskah Trilogi
Film: Pirates of Carribbean”, membahas mengenai gaya bahasa kiasan apa saja
yang digunakan dalam film tersebut dan menganalisis makna apa yang terkandung
di dalamnya.
Selain itu, Maria Franzisca Oki (2010) juga membahas gaya bahasa kiasan
dalam skripsinya yang berjudul ”Penggunaan Gaya Bahasa Kiasan pada Novel
Sang Pemimpi karya Andrea Hirata”. Dalam skripsi tersebut dideskripsikan
mengenai penggunaan gaya bahasa kiasan dan pengklasifikasiannya dalam novel
Sang Pemimpi karya Andrea Hirata berdasarkan buku Gorys Keraf yang berjudul
Diksi dan Gaya Bahasa. Gaya bahasa yang ditemukan juga mengacu pada
kekhasan yang digunakan pengarangnya dan gaya bahasa yang memiliki
hubungan dengan unsur intrinsik.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan tersebut, peneliti
memutuskan untuk mengadakan penelitian mengenai gaya bahasa kiasan dalam
kumpulan cerita pendek Roro Mendut & Atmo karya Besar S.W. Dalam tugas
5
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
akhir ini peneliti akan menganalisis gaya bahasa kiasan apa saja yang terdapat
dalam kumpulan cerita pendek tersebut dan apa saja fungsi gaya bahasa kiasan
tersebut.
1.6 Landasan Teori
Untuk keperluan penelitian ini, perlu dikemukakan landasan teori tentang
pengertian gaya bahasa dan jenis-jenis gaya bahasa.
1.6.1 Pengertian Gaya Bahasa
Gaya bahasa, majas, kiasan, atau figure of speech adalah bahasa indah
yang dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta
memperbandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang
lebih umum. Pendek kata, penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta
menimbulkan konotasi tertentu (Tarigan, 1985: 5). Selain itu gaya bahasa adalah
cara mempergunakan bahasa secara imajinatif bukan dalam pengertian yang
benar-benar secara alamiah saja. Gaya bahasa merupakan bentuk retorik, yaitu
penggunaan kata-kata dalam berbicara dan menulis untuk meyakinkan atau
mempengaruhi penyimak dan pembaca. Di samping itu, gaya bahasa adalah cara
mengungkapakan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa
dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Sebuah gaya bahasa yang baik harus
mengandung 3 (tiga) unsur berikut: kejujuran, sopan santun, dan menarik (Keraf,
1984: 112). Gaya bahasa merupakan cara mengungkapkan diri sendiri baik
melalui bahasa maupun tingkah laku dan sebagainya.
6
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Adapun cerita pendek adalah kisahan pendek (kurang dari 10.000 kata)
yang memberikan kesan tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu
tokoh di satu situasi (pada suatu ketika) (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008:
65). Edgar Allan Poe, sastrawan kenamaan dari Amerika, mengatakan bahwa
cerita pendek adalah cerita yang habis dibaca dalam sekali duduk, kira-kira
berkisar antara setengah sampai dua jam. Suatu hal yang kiranya tak mungkin
dilakukan untuk sebuah novel. Panjang suatu cerita pendek sangat bermacammacam. Cerita pendek yang hanya terdiri dari 500-an kata atau dikategorikan
sebagai cerita pendek yang pendek (short-short-story). Selain itu ada juga cerita
pendek yang panjang (long short story), yang terdiri dari puluhan (atau bahkan
beberapa puluh) ribu kata (Nurgiyantoro, 2005: 10).
1.6.2 Jenis-Jenis Gaya Bahasa
Teori tentang jenis-jenis gaya bahasa yang sering dipergunakan adalah
pendapat Keraf dalam bukunya yang berjudul Diksi dan Gaya Bahasa (1984: 136145), yaitu gaya bahasa berdasarkan langsung atau tidaknya makna. Gaya bahasa
ini biasanya disebut sebagai trope atau figure of speech. Gaya bahasa ini dibagi
dalam dua kelompok, yaitu gaya bahasa retoris, yang semata-mata merupakan
penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu, dan gaya
bahasa kiasan yang merupakan penyimpangan yang lebih jauh, khususnya dalam
bidang makna. Pada mulanya, bahasa kiasan berkembang dari analogi. Mulamula, analogi dipakai dengan pengertian proporsi; sebab itu, analogi hanya
menyatakan hubungan kuantitatif. Tapi sejak Aristoteles, kata analogi
dipergunakan baik dengan pengertian kuantitatif maupun kualitatif. Dalam
7
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
pengertian kuantitatif, analogi diartikan sebagai kemiripan atau relasi identitas
antara dua pasangan istilah berdasarkan sejumlah besar ciri yang sama. Sedangkan
dalam pengertian kualitatif, analogi menyatakan kemiripan hubungan sifat antara
dua perangkat istilah. Dalam arti yang lebih luas ini, analogi lalu berkembang
menjadi kiasan. Perbandingan dengan analogi ini kemudian muncul dalam
bermacam-macam gaya bahasa kiasan, seperti diuraikan dibawah ini:
a) Persamaan atau Simile
Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang
dimaksud dengan perbandingan yang bersifat eksplisit ialah bahwa ia
langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu
memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu,
yaitu kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan
sebagainya.
b) Metafora
Metafora adalah semacam analogi yang membandingakan dua hal secara
langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat: bunga bangsa yang
bermakna pahlawan, buaya darat yang memiliki arti laki-laki yang suka
berganti pasangan, buah hati yang bermakna anak, cindera mata yang
bermakna kenang-kenangan, dan sebagainya.
c) Alegori, Parabel, dan Fabel
Bila sebuah metafora mengalami perluasan, maka metafora dapat
berwujud alegori, parabel, atau fabel. Alegori adalah suatu cerita singkat
yang mengandung kiasan. Makna kiasan ini harus ditarik dari bawah
8
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
permukaan ceritanya. Dalam alegori, nama-nama pelakunya adalah sifatsifat yang abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat. Parabel (parabola)
adalah suatu kisah singkat dengan tokoh-tokoh biasanya manusia, yang
selalu mengandung tema moral. Istilah parabel dipakai untuk menyebut
cerita-cerita fiktif di dalam Kitab Suci yang bersifat alegoris, untuk
menyampaikan suatu kebenaran moral atau kebenaran spiritual. Fabel
adalah suatu metafora berbentuk cerita mengenai dunia binatang, di mana
binatang-binatang bahkan mahluk-mahluk yang tidak bernyawa bertindak
seolah-olah sebagai manusia. Tujuannya ialah menyampaikan ajaran moral
atau budi pekerti, seperti dalam cerita-cerita dengan tokoh Si Kancil.
d) Personifikasi atau Prosopopeia
Personifikasi atau prosopopeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang
menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak
bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan, seperti dalam kalimat
berikut:
jam setengah dua belas, malam semakin diam.
e) Alusi
Alusi adalam semacam acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan
antara orang, tempat, atau peristiwa. Biasanya, alusi ini adalah suatu
referensi yang eksplisit atau implisit kepada peristiwa-peristiwa, tokohtokoh, atau tempat dalam kehidupan nyata, mitologi, atau dalam karyakarya sastra yang terkenal. Misalnya sering dikatakan bahwa Bandung
adalah Paris van Java.
9
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
f) Eponim
Adalah suatu gaya di mana seseorang yang namanya begitu sering
dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk
menyatakan sifat itu. Misalnya: Hercules dipakai untuk menyatakan
kekuatan; Hellen dari Troya untuk menyatakan kecantikan.
g) Epitet
Epitet (epiteta) adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau
ciri yang khusus dari seseorang atau suatu hal. Keterangan itu adalah
suatu frasa deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama
seseorang atau suatu barang. Misalnya:
Lonceng pagi untuk ayam jantan
Puteri malam untuk bulan
Raja rimba untuk singa, dan sebagainya.
h) Sinekdoke
Sinekdoke adalah suatu istilah yang diturunkan dari kata Yunani
synekdechesthai yang berarti menerima bersama-sama. Sinekdoke adalah
semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal
untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan
keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum pro parte). Misalnya:
Setiap kepala dikenakan sumbangan sebesar Rp 1. 000,Dalam pertandingan sepak bola antara Indonesia melawan Malaysia di
Stadion Utama Senayan, tuan rumah menderita kekalahan 3 – 4.
10
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
i) Metonimia
Metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata
untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat
dekat. Hubungan itu dapat berupa penemu untuk hasil penemuan, pemilik
untuk barang yang dimiliki, akibat untuk sebab, sebab untuk akibat, isi
untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya.
Ia membeli sebuah chevrolet.
Saya minum satu gelas, ia dua gelas.
Ialah yang menyebabkan air mata yang gugur.
Pena lebih berbahaya daripada pedang.
Ia telah memeras keringat habis-habisan.
j) Antonomasia
Antonomasia merupakan suatu bentuk khusus dari sinekdoke yang
berwujud penggunaan sebuah epiteta untuk menggantikan nama diri, atau
gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri. Misalnya:
Yang Mulia tak dapat menghadiri pertemuan ini.
Pangeran yang meresmikan pembukaan seminar itu.
k) Hipalase
Hipalase adalah semacam gaya bahasa di mana sebuah kata tertentu
dipergunakan untuk menerangkan sebuah kata, yang seharusnya
dikenakan pada sebuah kata yang lain. Atau secara singkat dapat
dikatakan bahwa hipalase adalah suatu kebalikan dari suatu relasi alamiah
antara dua komponen gagasan. Misalnya:
11
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Ia berbaring di atas sebuah bantal yang gelisah (yang gelisah adalah
manusianya, bukan bantalnya).
l) Ironi, Sinisme, dan Sarkasme
Sebagai bahasa kiasan, atau sindiran adalah suatu acuan yang ingin
mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang
terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Ironi akan berhasil kalau
pendengar juga sadar akan maksud yang disembunyikan di balik
rangkaian kata-katanya. Misalnya:
Tidak diragukan lagi bahwa Andalah orangnya, sehingga semua
kebijaksanaan terdahulu harus dibatalkan seluruhnya!
Saya tahu Anda adalah seorang gadis yang paling cantik di dunia ini
yang perlu mendapat tempat terhormat!
Terdapat juga istilah lain yaitu sinisme yang diartikan sebagai suatu
sindiran berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap
keikhlasan dan ketulusan hati. Walaupun sinisme dianggap lebih keras
dari ironi, namun kadang-kadang masih sukar diadakan perbedaan antara
keduanya. Bila contoh mengenai ironi di atas diubah, maka akan dijumpai
gaya yang lebih bersifat sinis.
Tidak diragukan lagi bahwa Andalah orangnya, sehingga semua
kebijaksanaan akan lenyap bersamamu!
Memang Anda adalah seorang gadis yang tercantik di seantero jagad ini
yang mampu menghancurkan seluruh isi jagad ini.
12
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih kasar dari ironi dan
sinisme. Ia adalah suatu acuan yang mengandung kepahitan dan celaan
yang getir.
Mulut kau harimau kau.
Lihat sang Raksasa itu (maksudnya si Cebol).
Kelakuanmu memuakkan saya.
m)Satire
Uraian yang harus ditafsirklan lain dari makna permukaannya disebut
satire. Satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu.
Bentuk ini tidak perlu harus bersifat ironis. Satire mengandung kritik
tentang kelemahan manusia. Tujuan utamanya adalah agar diadakan
perbaikan secara etis maupun estetis. Misalnya:
”Tak ada yang berminat membaca tulisan jelekmu!” kata Ratri, ketua
redaktur mading sekolah, pada Bram, anggota pengurus mading yang
baru bergabung selama 3 hari.
n) Inuendo
Inuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang
sebenarnya. Ia menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung, dan
sering tampaknya tidak menyakitnkan hati kalau dilihat sambil lalu.
Misalnya:
Setiap kali ada pesta, pasti ia akan sedikit mabuk karena terlalu
kebanyakan minum.
13
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Ia menjadi kaya-raya karena sedikit mengadakan komersialisasi dengan
jabatannya.
o) Antifrasis
Antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata
dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap sebagai ironi
sendiri, atau kata-kata yang dipakai untuk menangkal kejahatan, roh jahat,
dan sebagainya.
Engkau memang orang yang mulia dan terhormat!
Lihatlah sang Raksasa telah tiba (maksudnya si Cebol).
p) Pun atau paronomasia
Pun atau paronomasia adalah kiasan dengan mempergunakan kemiripan
bunyi. Ia merupakan permainan kata yang didasarkan pada kemiripan
bunyi, tetapi terdapat perbedaan besar dalam maknanya.
Tanggal dua gigi saya tanggal dua.
”Engkau orang kaya!” ”Ya, kaya monyet!”
1.6.3 Kajian Stilistika
Stilistika (stylistic) adalah ilmu tentang gaya, sedangkan stil (style) secara
umum adalah cara-cara yang khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan
cara tertentu, sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal
(Ratna, 2008: 3). Shipley dalam Ratna (2008: 8) mengatakan bahwa stilistika
(stylistic) adalah ilmu tentang gaya (style), sedangkan style itu sendiri berasal dari
arti kata stilus (Latin), semula berarti alat berujung runcing yang digunakan untuk
menulis di atas bidang berlapis lilin. Pada dasarnya di sinilah terletak makna kata
14
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
stilus sehingga kemudian berarti gaya bahasa yang sekaligus berfungsi sebagai
penggunaan bahasa yang khas. Dalam bidang bahasa dan sastra stil dan stylstic
berarti cara-cara penggunaan bahasa yang khas sehingga menimbulkan efek
tertentu (Ratna, 2008: 9).
Tujuan utama gaya bahasa adalah menghadirkan aspek keindahan. Tujuan
ini terjadi baik dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa sebagai sistem model
pertama, dalam ruang lingkup linguistik, maupun sebagai sistem model kedua,
dalam ruang lingkup kreativitas sastra. Meskipun demikian, menurut Wellek dan
Warren dalam Ratna (2008: 67) kualitas estetis menjadi pokok permasalahan pada
tataran bahasa kedua sebab dalam sastralah, melalui metode dan teknik
diungkapkan secara rinci ciri-ciri bahasa yang disebut indah, sebagai stilistika.
Menurut Wellek dan Warren ada dua cara yang dapat dilakukan untuk memahami
timbulnya aspek-aspek keindahan tersebut, pertama, melalui analisis sistematis
sistem linguistik karya sastra, dilanjutkan dengan makna total. Hasilnya adalah
sistem linguistik yang khas karya tertentu, karya sastra seorang pengarang, atau
sekelompok karya, sebagai periode. Kedua, dengan cara meneliti ciri-ciri estetis
karya secara langsung sekaligus membedakannya dengan pemakaian bahasa biasa,
seperti deviasi, distorsi, dan inovasi. Langkah-langkahnya, misalnya, mengamati
terjadinya perulangan bunyi, inversi, hierarki klausa, yang secara keseluruhan
berfungsi untuk menyembunyikan maksud yang sesungguhnya. Baik cara pertama
maupun cara kedua sama-sama bertujuan untuk menemukan makna estetis
(Ratna, 2008: 67- 68).
15
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Persamaan bunyi dalam pantun, seperti: //Berakit-rakit ke hulu, berenangrenang ke tepian// //Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian// bukan
semata-mata konvensi tetapi ada kaitannya dengan struktur sosial yang
melatarbelakanginya, sehingga sebuah karya di samping menampilkan ciri-ciri
genesisnya juga terserap ke dalam kekinian pembacanya. Benar, sesuai dengan
konvensi pantun harus ada persamaan bunyi antara ‘berakit-rakit’ dan bersakitsakit’, ‘berenang-renang’ dan ‘bersenang-senang’, ‘ke hulu’ dan ‘dahulu’, ‘ke
tepian’ dan ‘kemudian’. Tetapi, persamaan bunyi bukan semata-mata hiasan,
tetapi memiliki makna yang sekaligus menopang kualitas persamaan bunyi
tersebut. Pertama, pantun ini menunjuk situasi pedesaaan, pedalaman, di situ
terdapat gunung, sungai, dan prasarana transportasi. Kedua, persamaan
mengimplikasikan makna tekstual yang digali melalui semestaan tertentu di
tempat karya tersebut lahir. Orang berakit-rakit ke hulu pasti menimbulkan
kelelahan, kesakitan, sebaliknya, pada saat ketepian, menuju hilir, kita tinggal
bersenang-senang, bahkan sambil bernyanyi dan bersiul. Ketiga, persamaan bunyi
pada gilirannya mengevokasi kualitas estetis. Dari segi jumlah suku kata pada
setiap baris, demikian juga permainan bunyinya, antara sampiran dan isi, pantun
tersebut juga sangat baik. Pada tahap permukaan persamaan inilah memperoleh
perhatian sehingga pantun tersebut sering digunakan dalam masyarakat. Di
samping
itu,
persamaan
bunyi
juga
berfungsi
mempermudah
untuk
menghafalkannya (Ratna, 2008: 252-253).
Di antara gaya, gaya bahasa, dan majas, dalam karya sastra jelas yang
paling berperanan adalah gaya bahasa, cara-cara penggunaan medium bahasa
16
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
secara khas sehingga tujuan dapat dicapai secara maksimal. Gaya lebih banyak
berkaitan dengan karya seni nonsastra, sedangkan majas lebih banyak berkaitan
dengan aspek kebahasaan. Dengan singkat, gaya bahasa meliputi gaya dan majas.
Dalam hubungan ini tujuan yang dimaksudkan meliputi aspek estetis, etis, dan
pragmatis. Oleh karena itulah, sebagai pendukung gaya bahasa, jenis majas yang
paling dominan adalah penegasan. Untuk mencapai tujuan yang dimaksudkan, di
antara majas penegasan itu sendiri, yang paling luas adalah majas repetisi.
Dominasi berikut ditunjukkan melalui majas perbandingan degan pertimbangan
bahwa karya sastra adalah representasi kemampuan manusia untuk meresepsi
keseluruhan aspek kehidupan dengan cara membandingkan. Pertentangan dan
sindiran menduduki posisi terendah dengan pertimbangan bahwa dalam
kehidupan ini kedua ciri tidak banyak dimanfaatkan oleh manusia (Ratna, 2008:
165-166).
Metafora didefinisikan melalui dua pengertian, secara sempit dan luas.
Pengertian secara sempit, metafora adalah majas seperti metonimia, sinekdoke,
hiperbola, dan sebagainya. Pengertian secara luas meliputi semua bentuk kiasan,
penggunaan bahasa yang dianggap ‘menyimpang’ dari bahasa baku. Dalam
pembicaraan ini metafora lebih banyak ditinjau dalam kaitannya dengan
pengertian kedua. Dikaitkan dengan pengertian gaya bahasa secara sempit,
sebagai majas, yang secara tradisional sudah dikenal luas, yang dibedakan
menjadi majas penegasan, perbandingan, pertentangan, dan majas sindiran,
metafora termasuk salah satu unsur majas kedua, majas perbandingan. Dilihat dari
hakikat karya sastra secara keseluruhan, sebagai kualitas estetis, perbandingan
17
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
dianggap sebagai majas yang paling penting sebab semua majas pada dasarnya
memiliki ciri-ciri perbandingan. Metaforalah yang paling banyak dan paling
intens memanfaatkan perbandingan (Ratna, 2008: 181). Lebih lanjut menurut
Scholes dalam Ratna (2008: 183), dengan mengadopsi pendapat Jakobson, semua
bentuk kiasan pada dasarnya dapat disebutkan sebagai metafora.
Dalam pengertian paling luas, stilistika dan estetika bekerja saling
meliputi, stilistika mengimplikasikan keindahan, demikian juga sebaliknya,
keindahan melibatkan berbagai sarana yang dimiliki gaya bahasa (Ratna, 2008:
251). Stilistika dan estetika jelas merupakan aspek penting dalam karya sastra.
Stilistika berkaitan dengan medium utama, yaitu bahasa, keindahan berkaitan
dengan hasil akhir dari kemampuan medium itu sendiri dalam menampilkan
kekhasannya (Ratna, 2008: 253). Bahkan menurut Wellek dan Warren dalam
Ratna (2008: 255) stilistika itulah, ilmu gaya dengan kualitas estetis yang dapat
menjelaskan ciri-ciri khusus sastra. Stilistika dan estetika merupakan hubungan
sebab akibat. Stilistika adalah bagaimana bahasa disusun, digunakan, bahkan
dengan melakukan pelanggaran puitika, sehingga melahirkan keindahan. Dilihat
dari segi keindahan itu sendiri, jelas pemahamannya tidak tetap, berubah
sepanjang waktu, sesuai dengan proses hubungan antara karya sastra dengan
subjek penikmat (Ratna, 2008: 255).
1.7 Metode Penelitian
Penelitian ini meliputi 3 (tiga) tahap, yakni: (i) penyediaan data, (ii)
analisis data, dan (iii) penyajian hasil analisis. Berikut diuraikan metode dan
teknik untuk masing-masing tahap dalam penelitian ini.
18
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
1.7.1 Metode dan Teknik Penyediaan Data
Objek penelitian ini adalah gaya bahasa dalam kumpulan cerita pendek
Roro Mendut & Atmo karya Besar S.W. Objek penelitian berada dalam data yang
berupa kalimat. Data diperoleh dari sumber tertulis, yaitu kumpulan cerita pendek
Roro Mendut & Atmo karya Besar S.W yang terdiri atas 6 cerpen, yaitu ”Roro
Mendut Triman”, ”Atmo Jogja”, ”Menelusuri Jejak Si Korban”, ”Akhir Cerita
Pendek Ratri”, ”Laisah Dipinang”, dan ”Sosok yang Hilang”. Penyediaan data
dilakukan dengan menggunakan metode simak, yaitu menyimak penggunaan
bahasa (Sudaryanto, 1993: 133). Dalam penerapan lebih lanjut, digunakan teknik
catat yakni kegiatan mencatat data yang diperoleh dalam kartu data (Sudaryanto,
1993: 80). Kartu data berupa lembaran-lembaran kertas berukuran 20 cm x 16 cm.
Tiap-tiap kartu data berisi beberapa kalimat yang mengandung gaya bahasa.
1.7.2 Metode dan Teknik Analisis Data
Langkah kedua adalah menganalisis data. Setelah data diklasifikasikan,
kemudian dianalisis dengan menggunakan metode padan. Metode padan adalah
metode yang alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari
bahasa (langue) yang bersangkutan. Metode padan yang digunakan yaitu metode
padan referensial yang alat penentunya adalah kenyataan yang ditunjukkan oleh
bahasa atau referen bahasa (Sudaryanto, 1993: 13-14). Metode padan referensial
digunakan untuk menentukan pengklasifikasian gaya bahasa. Karena gaya bahasa
itu menyangkut masalah perbedaan makna unsur gaya bahasa dengan makna
dalam kumpulan cerita pendek Roro Mendut & Atmo, maka metode padan
dipandang sebagai metode yang tepat. Data yang sudah terkumpul lalu
19
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
diklasifikasikan berdasarkan jenis gaya bahasa yang digunakan. Contoh gaya
bahasa metafora,
(1) Dasar anak ingusan tak tahu malu, wanita sudah ditriman masih dimau.
Contoh gaya bahasa personifikasi,
(2) Dan, dedaunan yang merimbunkan pepohonan di samping rumah Wijaya,
sesaat menganga.
Dalam penelitian ini juga digunakan metode agih, yaitu metode penelitian
yang menggunakan bahasa itu sendiri sebagai alat penentunya (Sudaryanto, 1993:
31). Teknik yang digunakan dari metode agih ini adalah teknik bagi unsur
langsung (BUL). Teknik BUL adalah teknik dasar metode agih yang membagi
satuan lingual datanya menjadi beberapa bagian atau unsur; unsur-unsur yang
bersangkutan dipandang sebagai bagian yang langsung membentuk satuan lingual
yang dimaksud (Sudaryanto, 1993: 31).
Teknik lanjutan dalam metode agih ini adalah teknik ganti dan teknik baca
markah. Teknik ganti adalah teknik analisis data berupa penggantian unsur satuan
lingual yang bersangkutan dengan unsur tertentu yang lain di luar satuan lingual
yang bersangkutan. Teknik ini digunakan untuk membuktikan jenis gaya bahasa.
Dalam contoh berikut terdapat dalam gaya bahasa metafora. Untuk lebih jelasnya
lihat contoh berikut:
(3) ”Kamu telah mengeksploitasi aku, lalu mengekspose hanya untuk
keperluanmu. Ini tak bisa ditoleransi! Nah, dengar! Aku tidak jadi pergi ke
pesta. Silakan berangkat sendiri! Biarkan aku disini!” aku kembali unjuk
gigi.
20
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Sebagai bukti bahwa frasa unjuk gigi bermakna ’menunjukkan kemarahan’,
kata tersebut dapat digantikan dengan frasa lain sebagaimana terdapat dalam
contoh berikut:
(3a) ”Kamu telah mengeksploitasi aku, lalu mengekspose hanya untuk
keperluanmu. Ini tak bisa ditoleransi! Nah, dengar! Aku tidak jadi pergi
ke pesta. Silakan berangkat sendiri! Biarkan aku disini!” aku kembali
menunjukkan kemarahan.
Teknik baca markah adalah teknik analisis data dengan cara ''membaca
pemarkah" dalam suatu konstruksi. Istilah lain untuk pemarkah adalah penanda.
Pemarkah itu adalah alat seperti imbuhan, kata penghubung, kata depan, dan
artikel yang menyatakan ciri ketatabahasaan atau fungsi kata atau konstruksi
(Kridalaksana dalam Kesuma 2007: 66). Untuk lebih jelasnya lihat contoh berikut:
(4) Tapi, tampaknya pertanyaanku membuatnya terguncang. Bagai diterpa
angin kencang, badan limbung dan bergoyang (Roro Mendut & Atmo, hal
79).
Pada kalimat (4) pemarkah ditunjukkan dengan kata bagai. Di sini
pemarkah tersebut berfungsi untuk membandingkan antara kondisi seseorang
yang ditanyai mengenai sesuatu hal dengan kondisi seseorang yang diterpa angin
kencang, badan limbung dan bergoyang.
1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Setelah tahap analisis data, tahap selanjutnya adalah tahap penyajian hasil
analisis data. Metode yang digunakan adalah metode informal. Metode informal
adalah metode penyajian hasil analisis data dengan menggunakan kata-kata biasa,
dalam teori ini tidak menggunakan rumus atau lambang-lambang (Sudaryanto,
21
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
1993: 145). Juga digunakan metode formal yaitu metode penyajian analisis data
dengan menggunakan tabel-tabel sesuai keperluan.
1.8 Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini beupa Kumpulan Cerita Pedek Roro
Mendut & Atmo karya Besar S.W. Buku yang diterbitkan di Jakarta oleh PT
Mediatara Semesta pada tahun 2006 ini memiliki tebal 91 halaman.
1.9 Sistematika Penyajian
Penelitian ini terdiri dari empat bab. Bab I pendahuluan yang terdiri atas
latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sumber data, dan sistematika
penyajian. Bab II dan III berisi pembahasan. Bab IV berisi penutup yang
mencakup kesimpulan dan saran.
22
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
BAB II
JENIS-JENIS GAYA BAHASA KIASAN
DALAM KUMPULAN CERITA PENDEK RORO MENDUT & ATMO
KARYA BESAR S.W.
2.1 Pengantar
Gaya bahasa kiasan ini pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan
atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain berarti
mencoba menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal
tersebut.
Perbandingan
sebenarnya
mengandung
dua
pengertian,
yaitu
perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa yang polos atau langsung, dan
perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa kiasan. Berikut adalah gaya
bahasa kiasan yang ditemukan dalam kumpulan cerita pendek Roro Mendut &
Atmo karya Besar S.W.
2.2 Gaya Bahasa Persamaan atau Simile
Gaya bahasa persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat
eksplisit. Yang dimaksud dengan perbandingan yang bersifat eksplisit ialah bahwa
ia langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu
memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu katakata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya (Keraf, 1984:
138). Gaya bahasa persamaan atau simile yang ditemukan dalam kumpulan cerita
pendek Roro Mendut & Atmo karya Besar S.W, yaitu kata ibaratnya, memangnya,
layaknya, dan bagai.
23
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
(5) Wanita triman ibaratnya sebagai sebuah kado atau bingkisan (Roro
Mendut & Atmo, hal 2).
Gaya bahasa persamaan pada data (5) ditunjukkan dengan kata
ibaratnya. Objek yang diperbandingkan dan dinyatakan sama adalah wanita
triman dengan sebuah kado atau bingkisan. Berikut contoh lain dari kata
ibaratnya:
(6) Ia tahu siapa Wiroguno dan Pronocitro. Keduanya tidak bisa disamakan.
Ibaratnya seekor macan hutan yang bertarung melawan kijang kurungan
(Roro Mendut & Atmo, hal 13).
Pada data (6) dijumpai gaya bahasa persamaan dengan penggunaan kata
ibaratnya. Dalam kalimat tersebut yang diperbandingkan adalah pertarungan
antara Wiroguno dan Pronocitro dengan seekor macan hutan yang bertarung
melawan kijang kurungan. Berikut contoh lain dari persamaan, yaitu kata
memangnya:
(7) Hebat! Memangnya aku ini seorang dewa yang turun ke bumi untuk
menolong orang dari kemalangan? (Roro Mendut & Atmo, hal 41).
Gaya bahasa persamaan pada data (7) ditunjukkan dengan kata
memangnya. Pada kalimat tersebut penggunaan kata memangnya menggambarkan
bahwa dirinya seolah-olah adalah seorang dewa. Pada kalimat tersebut
digambarkan perbandingan antara tokoh aku dengan seorang dewa. Berikut
contoh lain dari persamaan, yaitu kata layaknya:
(8) Dengan gaun merah muda, aku malah melenggak-lenggok layaknya
peragawati beraksi di atas catwalk (Roro Mendut & Atmo, hal 74).
Kalimat (8) dijumpai gaya bahasa persamaan dengan penggunaan kata
layaknya. Pada kalimat tersebut digambarkan perbandingan antara tokoh aku
24
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
dengan peragawati yang beraksi di atas catwalk. Berikut contoh lain dari
persamaan, yaitu kata bagai:
(9) Tapi, tampaknya pertanyaanku membuatnya terguncang. Bagai diterpa
angin kencang, badan limbung dan bergoyang (Roro Mendut & Atmo, hal
79).
Pada kalimat (9) gaya bahasa perbandingan ditunjukkan dengan kata
bagai. Di sini digambarkan perbandingan antara kondisi seseorang yang ditanyai
mengenai sesuatu hal dengan kondisi seseorang yang diterpa angin kencang,
badan limbung dan bergoyang.
2.3 Gaya Bahasa Metafora
Gaya bahasa metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua
hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat misalnya: bunga bangsa,
buaya darat, buah hati, cindera mata, dan sebagainya (Keraf, 1984: 139). Dari
hasil penelitian ditemukan gaya bahasa metafora dalam kumpulan cerita pendek
Roro Mendut & Atmo. Gaya bahasa ini terdiri dari dua jenis yaitu metafora hidup
dan metafora mati. Metafora hidup adalah metafora yang masih dapat ditentukan
makna dasarnya dari konotasinya sekarang. Metafora mati adalah metafora yang
sudah tidak dapat ditentukan konotasinya lagi. Metafora hidup yang terdapat
dalam kumpulan cerita pendek Roro Mendut & Atmo, yaitu:
(10) “Majulah, jangan hanya bersilat lidah!” (Roro Mendut & Atmo, hal 12).
Pada contoh (10) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora adalah
penggunaan kata bersilat lidah. Frasa bersilat lidah mempunyai makna
‘berdebat’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 669) kata
lidah mempunyai arti bagian tubuh dalam mulut yang dapat bergerak-gerak
25
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
dengan mudah, gunanya untuk menjilat, mengecap, dan berkata-kata. Kata
bersilat mempunyai arti bermain atau berkelahi dengan menggunakan
ketangkasan menyerang dan mempertahankan diri (Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 1065).
Penggunaan frasa bersilat lidah mengungkapkan tegangnya situasi pada
waktu Tumenggung Wiroguno berhadapan dengan Pronocitro. Hal ini dapat
dilihat dari kalimat sebelumnya, yaitu “Lahirmu saja baru kemarin sore, sudah
berlagak sebagai sang pembantai. Kencangkan dulu kolor celanamu, kalau hendak
berlaga dengan tuanmu. Ayo, jangan mundur meski selangkah karena pantang
bagiku menyerah kalah!” tumenggung menerima tantangan (Roro Mendut &
Atmo, hal 12). Berikut contoh penggantian frasa bersilat lidah:
(10a) “Majulah, jangan hanya bertengkar!”
Berikut ini contoh lain dari metafora, yaitu benang asmara:
(11) Mereka pun kemudian menjalin benang asmara secara ilegal (Roro
Mendut & Atmo, hal 8).
Adapun pada contoh (11) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora
adalah penggunaan frasa benang asmara. frasa benang asmara dalam kalimat ini
mempunyai makna ‘menjalin kasih’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Ketiga (2002: 130) kata benang mempunyai arti tali halus yang dipintal dari kapas
(sutra dsb) dipakai sebagai bahan untuk menjahit atau bahan untuk ditenun. Kata
asmara mempunyai arti perasaan senang kepada lain jenis (kelamin); (rasa) cinta
(Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 71).
Penggunaan frasa benang asmara dalam kalimat ini mengungkapkan
hubungan yang dijalin antara sepasang muda-mudi yang saling mencintai. Hal ini
26
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
dapat dilihat dalam kalimat yang mendukungnya, yaitu “Hubungan mereka
dilakukan secara diam-diam tanpa sepengetahuan Wiroguno yang menjadi
penguasa tunggal atas Roro Mendut.” (Roro Mendut & Atmo, hal 8). Berikut
bentuk penggantian frasa benang asmara:
(11a) Mereka pun kemudian menjalin kasih secara ilegal.
Berikut ini contoh lain dari metafora, yaitu seenak udelnya sendiri:
(12) Ia tidak boleh mentang-mentang punya kado penghargaan lalu berbuat
seenak udelnya sendiri (Roro Mendut & Atmo, hal 2).
Pada contoh (11) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora adalah
penggunaan frasa seenak udelnya sendiri. Frasa seenak udelnya sendiri dalam
kalimat ini mempunyai makna ‘berbuat semaunya sendiri’. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 300) kata seenaknya mempunyai makna
semau hati; sesenang hati. Kata udelnya mempunyai makna pusar (lekuk kecil di
pusat perut) (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 1236).
Penggunaan
frasa
seenak
udelnya
sendiri
dalam
kalimat
ini
mengungkapkan perbuatan yang dilakukan semau-maunya sendiri. Hal ini dapat
dilihat dalam kalimat yang sebelumnya, yaitu “Okelah kalau memang dirinya
dikuasai pihak lain, lalu dihadiahkan pada sembarang orang. Dalam keadaan
sangat terpaksa, bolehlah hal itu menimpa dirinya. Asalkan, si penerima hadiah
menghormatinya sebagai seorang perawan.” (Roro Mendut & Atmo, hal 2).
Berikut bentuk penggantian frasa seenak udelnya sendiri:
(12a) Ia tidak boleh mentang-mentang punya kado penghargaan lalu
berbuat semaunya sendiri.
Berikut ini contoh lain dari metafora, yaitu medan laga:
27
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
(13) “Awas, jangan pernah lari dari medan laga!” (Roro Mendut & Atmo, hal
12).
Adapun pada contoh (13) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora
adalah penggunaan frasa medan laga. Frasa medan laga dalam kalimat ini
mempunyai makna ‘tempat pertempuran’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Ketiga (2002: 726) kata medan mempunyai makna tanah lapang; tempat
yang luas (untuk berpacu kuda dsb); alun-alun. Kata laga mempunyai makna
perkelahian (tentang binatang) (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga,
2002: 623).
Penggunaan frasa medan laga dalam kalimat ini bertujuan untuk
menggambarkan betapa seriusnya situasi yang dihadapi antara dua orang petarung
tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat yang mendukungnya, yaitu “Dua
lelaki itu lalu maju setapak dan langsung memasang kuda-kuda. Pertarungan pun
tak bisa terelakkan lagi karena tak lama kemudian mereka saling menyerang.
Mereka menerapkan jurus-jurus yang paling mutakhir.” (Roro Mendut & Atmo,
hal 12). Berikut bentuk penggantian frasa medan laga:
(13a) “Awas, jangan pernah lari dari arena pertarungan!”
Berikut contoh lain dari metafora, yaitu tuan rumah:
(14) Tuan rumah menanyakan, “Koq, sendirian saja, mana Bu Atmonya, Pak?”
(Roro Mendut & Atmo, hal 20).
Adapun pada contoh (14) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora
adalah penggunaan kata tuan rumah. Frasa tuan rumah dalam kalimat ini
mempunyai makna ‘pemilik tempat’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Ketiga (2002: 1213) kata tuan mempunyai makna yang memberi pekerjaan;
28
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
majikan; kepala (perusahaan dsb); pemilik atau yang empunya (toko dsb). Kata
rumah mempunyai arti bangunan untuk tempat tinggal (Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 966).
Penggunaan frasa tuan rumah dalam kalimat ini menunjuk kepada pemilik
tempat diadakannya pesta yang dihadiri oleh Atmo Jogja. Hal ini dapat dilihat
dalam kalimat yang mendukungnya, yaitu “Anehnya, acara pesta sekali pun,
Atmo Jogja datang tidak bersama istrinya. Padahal, surat undangan yang terkirim
suda jelas ditulis ‘bersama nyonya’, atau ‘Bapak dan Ibu Atmo’.” (Roro Mendut
& Atmo, hal 19-20). Berikut bentuk penggantian frasa tuan rumah:
(14a) Pemilik tempat menanyakan, “Koq, sendirian saja, mana Bu
Atmonya, Pak?”
Berikut contoh lain dari metafora, yaitu amit-amit jabang bayi:
(15) Tapi, kalau ia harus dijadikan sebagai seorang triman, duh, amit-amit
jabang bayi (Roro Mendut & Atmo, hal 2).
Adapun pada contoh (15) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora
adalah penggunaan frasa amit-amit jabang bayi. Frasa amit-amit jabang bayi
dalam kalimat ini mempunyai makna ‘ketakutan seseorang apabila sesuatu hal
terjadi pada dirinya’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002:
39) kata amit-amit berarti ungkapan yang menyatakan jangan sampai terjadi
(menimpa) pada kita (tentang bahaya dsb). Kata jabang mempunyai arti cambang
(Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 448). Kata bayi menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 118) memliki arti anak yang
belum lama lahir.
29
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Penggunaan frasa amit-amit jabang bayi dalam kalimat ini menunjuk
kepada ketakutan Roro Mendut apabila dirinya dijadikan triman Tumenggung
Wiroguno. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat yang mendukungnya, yaitu “Roro
Mendut agak kecut, hatinya pun kian menciut. Perasaan Mendut agak takut.
Selama ini tak ada undang-undang yang bisa melindungi triman.” (Roro Mendut
& Atmo, hal 2). Berikut bentuk penggantian frasa amit-amit jabang bayi:
(15a) Tapi, kalau ia harus dijadikan sebagai seorang triman, duh, jangan
sampai itu terjadi padaku.
Berikut contoh lain dari metafora, yaitu di atas amgin:
(16) “Tuh, apa katanya? Ia mau ikut denganku. Menggung pun tidak boleh
melakukan intimidasi. Jangan mentang-mentang punya kekuasaan, ngusir
orang semau-maunya! Nanti malah bisa menyeret Menggung berurusan
dengan komisi hak asasi, lho. Mau coba, gimana?” pemuda itu di atas
angin (Roro Mendut & Atmo, hal 10).
Adapun pada contoh (16) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora
adalah penggunaan frasa di atas angin. Frasa di atas angin dalam kalimat ini
mempunyai makna ‘keadaan lawan yang lebih menguntungkan’. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 74) kata di atas mempunyai makna 1
bagian (tempat) yang lebih tinggi; 2 sehubungan dengan; akan; 3 berdasarkan;
menurut; sesuai dengan; 4 dari; 5 dengan; 6 karena; disebabkan oleh; 7 menjadi; 8
tentang; terhadap. Kata angin mempunyai arti 1 gerakan udara dari daerah yang
bertekanan tinggi ke daerah yang bertekanan rendah; 2 hawa; udara; 3 kentut; 4 ki
kesempatan; kemungkinan; 5 ki hampa; kosong; 6 ki kecenderungan yang agak
menggembirakan (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 49).
Penggunaan frasa di atas angin dalam kalimat ini menunjuk kepada
keadaan Pronocitro yang lebih memiliki peluang karena dibela oleh Roro Mendut.
30
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Hal ini dapat dilihat dalam kalimat yang mendukungnya, yaitu “Jangan usir dia!
Kalau dia pergi, aku akan mengikutinya kemana pun ia berada,” ancam Mendut
(Roro Mendut & Atmo, hal 10). Berikut bentuk penggantian frasa di atas angin:
(16a) “Tuh, apa katanya? Ia mau ikut denganku. Menggung pun tidak
boleh melakukan intimidasi. Jangan mentang-mentang punya
kekuasaan, ngusir orang semau-maunya! Nanti malah bisa menyeret
Menggung berurusan dengan komisi hak asasi, lho. Mau coba,
gimana?” pemuda itu lebih unggul.
Berikut contoh lain dari metafora, yaitu membuka mulut:
(17) Akhirnya, warga lebih membiarkan Atmo Jogja sebagai dirinya daripada
memaksa ‘membuka’ mulutnya (Roro Mendut & Atmo, hal 21).
Adapun pada contoh (17) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora
adalah penggunaan kata membuka mulut. Frasa membuka mulut dalam kalimat ini
mempunyai makna ‘berbicara mengenai sesuatu yang ditutup-tutupi’. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 171) kata membuka
mempunyai makna 1 ark jarak; antara; lebar; 2 cak membuka; terbuka; 3
berjualan atau bekerja.
Kata mulut mempunyai arti 1 rongga di muka, tempat gigi dan lidah, untuk
memasukkan makanan (pada manusia atau binatang); 2 ki lubang, liang, atau apa
saja yang rupanya sebagai mulut; bagian dari barang tempat masuknya sesuatu; 3
ki cakap; perkataan; 4 Fis lubang untuk meluahkan zat alir (Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 762).
Penggunaan frasa membuka mulut dalam kalimat ini menunjuk kepada
ketertutupan pribadi Atmo Jogja yang tidak pernah membicarakan sedikitpun
mengenai keluarganya. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat yang mendukungnya,
yaitu “Ketertutupan Atmo Jogja sungguh tidak dimengerti warga. Untungnya,
para tetangga pun memaklumi perangainya. Selama hal itu tidak menggangu pola
31
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
kehidupan bermasyarakat, mengapa harus dipermasalahkan? (Roro Mendut &
Atmo, hal 21). Berikut bentuk penggantian frasa membuka mulut:
(17a) Akhirnya, warga lebih membiarkan Atmo Jogja sebagai dirinya
daripada memaksanya untuk berbicara.
Berikut contoh lain dari metafora, yaitu badan jalan:
(18) Yang masih jelas kelihatan adalah pecahan kaca berserakan dan luka
goresan di kulit badan jalan (Roro Mendut & Atmo, hal 34).
Adapun pada contoh (18) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora
adalah penggunaan frasa badan jalan. Frasa badan jalan dalam kalimat ini
mempunyai makna ‘emperan jalan; pinggir jalan’.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 84) kata badan
mempunyai makna 1 tubuh (jasad manusia keseluruhan); jasmani; raga; awak; 2
batang tubuh manusia; tidak termasuk anggota dan kepala; 3 bagian utama dari
suatu benda; awak; 4 diri (sendiri); 5 sekumpulan orang yang merupakan kesatuan
untuk mengerjakan sesuatu. Kata jalan mempunyai arti 1 tempat untuk lalu lintas
orang (kendaraan dsb); 2 n perlintasan (dari suatu tempat ke tempat lain); 3 n yang
dilalui atau dipakai untuk keluar masuk; 4 n lintasan; orbit (tentang benda di ruang
angkasa); 5 n gerak maju atau mundur (tentang kendaraan); 6 n putaran jarum; 7 n
perkembangan atau berlangsungnya (tentang perundingan, rapat, cerita, dsb) dari
awal sampai akhir; 8 n cara (akal, syarat, ikhtiar, dsb) untuk melakukan
(mengerjakan, mencapai, mencari) sesuatu; 9 n kesempatan (untuk mengerjakan
sesuatu); 10 n lantaran; perantara (yang menjadi alat atau jalan penghubung); 11 v
cak berjalan; 12 v melangkahkan kaki; 13 n kelangsungan hidup (tentang
organisasi, perkumpulan, dsb); 14 a dapat dipahami; benar (Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 452).
Penggunaan frasa badan jalan dalam kalimat ini menunjuk kepada bagian
jalan tempat Yuri mengalami kecelakaan. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat
yang mendukungnya, yaitu “Hanya itulah yang bisa menjadi pertanda, bahwa tadi
ada kecelakaan lalu lintas.” (Roro Mendut & Atmo, hal 34). Berikut bentuk
penggantian frasa badan jalan:
(18a) Yang masih jelas kelihatan adalah pecahan kaca berserakan dan luka
goresan di emperan jalan.
32
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Berikut contoh lain dari metafora, yaitu pembajak hati:
(19) “Pembajak hati. Minta tebusan sebutir kasih suci,” Galang mendekatiku
(Roro Mendut & Atmo, hal 90).
Adapun pada contoh (19) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora
adalah penggunaan frasa pembajak hati. Frasa pembajak hati dalam kalimat ini
mempunyai makna ‘pencuri hati’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Ketiga (2002: 92) kata pembajak mempunyai makna orang yang melakukan
pembajakan.
Kata hati mempunyai arti 1 Anat organ badan yang berwarna kemerah-merahan di
bagian kanan atas rongga perut, gunanya untuk mengambil sari-sari makanan di
dalam darah dan menghasilkan empedu; 2 daging dari hati sebagai bahan
makanan (terutama hati dari binatang sembelihan); 3 jantung; 4 sesuatu yang ada
di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat segala perasaan batin dan
tempat menyimpan pengertian (perasaan dsb); 5 apa yang terasa dalam batin; 6
sifat (tabiat) batin manusia; 7 bagian yang di dalam sekali (tentang buah, batang,
tumbuhan, dsb) (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 392).
Penggunaan frasa pembajak hati dalam kalimat ini menggambarkan
Galang berusaha merayu Reni yang sedang merajuk. Hal ini dapat dilihat dalam
kalimat yang mendukungnya, yaitu “Kamu membajak namaku. Aku tidak terima,”
“Lantas, mau apa? Menciumku? Ayo, kalau berani!” “Tidak terima! Aku
menuntut balas.” “Balas cinta, kan?” (Roro Mendut & Atmo, hal 90). Berikut
bentuk penggantian frasa pembajak hati:
(19a) “Pencuri hati. Minta tebusan sebutir kasih suci,” Galang
mendekatiku.
Berikut contoh lain dari metafora, yaitu kembang kanji:
(20) Ketika masih belia, hari ulang tahun merupakan saat yang penuh dengan
kembang janji akan harapan masa depan. Tapi, ketika harapan tak lagi
berada di depan pandang, semua menjadi tidak bermakna. Ketika ulang
tahun menginjak yang ketiga puluh satu, semua menjadi tidak memiliki
arti (Roro Mendut & Atmo, hal 65).
33
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Adapun pada contoh (20) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora
adalah penggunaan frasa kembang janji. Frasa kembang janji dalam kalimat ini
mempunyai makna ‘janji-janji indah’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Ketiga (2002: 538) kata kembang mempunyai makna bunga (dipakai juga
untuk menyebut berbagai macam bunga).
Kata janji mempunyai arti 1 ucapan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan
untuk berbuat (seperti hendak memberi, menolong, datang, bertemu); 2
persetujuan antara dua pihak (masing-masing menyatakan kesediaan dan
kesanggupan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu); 3 syarat; ketentuan (yang
harus dipenuhi); 4 penundaan waktu (membayar dsb); penangguhan; 5 batas
waktu (hidup) ajal (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 458).
Penggunaan frasa kembang janji dalam kalimat ini menggambarkan
perasaan Laisah saat ini yang ketakutan menghadapi ulang tahunnya yang ketiga
puluh satu. Ia merasa sudah kehilangan harapan. Hal ini dapat dilihat dalam
kalimat yang mendukungnya, yaitu “Tapi, ketika harapan tak lagi berada di depan
pandang, semua menjadi tidak bermakna. Ketika ulang tahun menginjak yang
ketiga puluh satu, semua menjadi tidak memiliki arti.” (Roro Mendut & Atmo, hal
65). Berikut bentuk penggantian frasa kembang janji:
(20a) Ketika masih belia, hari ulang tahun merupakan saat yang penuh
dengan janji indah akan harapan masa depan. Tapi, ketika harapan
tak lagi berada di depan pandang, semua menjadi tidak bermakna.
Ketika ulang tahun menginjak yang ketiga puluh satu, semua
menjadi tidak memiliki arti.
Berikut contoh lain dari metafora, yaitu kursi kedudukan:
(21) “Dan kamu memang mau dijepit, bukan? Ah, diberi anak perawan,
dijanjikan kursi kedudukan, lelaki mana yang tak mau mengubah halauan
perasaan?” kusemprot ia dengan kata-kata semauku (Roro Mendut &
Atmo, hal 66).
34
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Adapun pada contoh (21) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora
adalah penggunaan frasa kursi kedudukan. Frasa kursi kedudukan dalam kalimat
ini mempunyai makna ‘jabatan dalam suatu organisasi’. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 617) kata kursi mempunyai makna 1
tempat duduk yang berkaki dan bersandaran; 2 ki kedudukan, jabatan (dalam
parlemen, cabinet, pengurus, dsb). Kata kedudukan mempunyai arti 1 meletakkan
tubuh atau terletak tubuhnya dengan bertumpu pada pantat (ada bermacam-macam
cara dan namanya seperti bersila dan bersimpuh); 2 ada di (dalam peringkat
belajar); 3 kawin atau bertunangan; 4 tinggal; diam (Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 277).
Penggunaan frasa kursi kedudukan dalam kalimat ini menunjuk pada
kondisi Harman yang di berikan suatu posisi jabatan tertentu oleh atasannya. Hal
ini dapat dilihat dalam kalimat yang mendukungnya, yaitu:
“Apa kita? Kamu masih bisa mengucapkan kata kita, Man? Sedangkan kamu
menerima tawaran perjodohan itu. Engkau tak pernah memikirkan dampaknya
bagi kamu dan aku, bukan? Sekarang jangan sia-siakan waktumu! Jangan
mengurusi hal-hal yang tak berhubungan dengan persiapan perkawinanmu! Urusi
saja Neni, calon istrimu, yang menjanjikan sebuah kursi jabatan tinggi!” kataku
benci (Roro Mendut & Atmo, hal 67).
Berikut bentuk penggantian frasa kursi kedudukan:
(21a) “Dan kamu memang mau dijepit, bukan? Ah, diberi anak perawan,
dijanjikan jabatan, lelaki mana yang tak mau mengubah halauan
perasaan?” kusemprot ia dengan kata-kata semauku.
Berikut contoh lain dari metafora, yaitu mati kutu:
(22) “Lho, kamu naksir sama bapaknya atau anaknya? Maumu apa, sih?
Kamu bisa mati kutu karena memendam rindu. Kamu bisa ketinggalan
kereta, hanya karena menyembunyikan rasa cinta. Sudah terbukti, Nico
menganggapmu sepi. Apa kamu sudah bereaksi?” Jaya mengurus
temannya dengan berapi-api (Roro Mendut & Atmo, hal 81).
35
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Adapun pada contoh (22) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora,
yaitu mati kutu. Frasa mati kutu dalam kalimat ini mempunyai makna ‘tidak
berdaya; tidak dapat berbuat apa-apa’.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 723) kata mati
mempunyai makna 1 sudah hilang nyawanya; tidak hidup lagi; 2 tidak bernyawa;
tidak pernah hidup; 3 tidak berair (tentang mata air, sumur, dsb); 4 tidak berasa
lagi (tentang kulit dsb); 5 padam (tentang lampu, api, dsb); 6 tidak terus; buntu
(tentang jalan, pikiran, dsb); 7 tidak dapat berubah lagi; tetap (tentang harga,
simpul, dsb); 8 sudah tidak dipergunakan lagi (tentang bahasa dsb); 9 ki tidak ada
gerak atau kegiatan, seperti bubar (tentang perkumpulan dsb); 10 diam atau
berhenti (tentang angin dsb); 11 tidak ramai (tentang pasar, perdagangan, dsb); 12
tidak bergerak (tentang mesin, arloji, dsb).
Kata kutu mempunyai arti serangga parasit tidak bersayap yang mengisap darah
binatang atau manusia (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 619).
Penggunaan frasa mati kutu dalam kalimat ini menggambarkan keadaan
Galang yang tidak segera mengungkapkan perasaannya pada Reni. Hal ini dapat
dilihat dalam kalimat yang mendukungnya, yaitu:
“Perempuan kau salah-salahkan. Sikapmu itu hanya untuk menutup-nutupi
kekuranganmu. Ngaku sajalah! Pantas, Nico yang berhasil membocengkan Reni.
Nico itu orangnya tahu seni, bisa melukis, dan bisa membahasakan cinta lewat
suratnya. Dengar! Kemarin Nico menemui Reni lalu memberinya selembar kertas.
Nah, engkau harus segera bersikap. Terus teranglah pada Reni! Jangan gugup!”
Jaya serius bicara (Roro Mendut & Atmo, hal 81).
Berikut bentuk penggantian frasa mati kutu:
(22a) “Lho, kamu naksir sama bapaknya atau anaknya? Maumu apa, sih?
Kamu tidak berdaya karena memendam rindu. Kamu bisa
ketinggalan kereta, hanya karena menyembunyikan rasa cinta.
Sudah terbukti, Nico menganggapmu sepi. Apa kamu sudah
bereaksi?” Jaya mengurus temannya dengan berapi-api.
Berikut contoh lain dari metafora, yaitu membongkar dadanya:
(23) Untunglah ia masih bisa membongkar dadanya sama Wijaya (Roro
Mendut & Atmo, hal 80).
36
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Adapun pada contoh (23) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora
adalah penggunaan frasa membongkar dada.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 162) kata
membongkar mempunyai arti 1 mengangkat ke atas; 2 menurunkan muatan dari
kapal (kereta api); 3 merusak; merobohkan; 4 menceraikan bagian-bagian mesin;
5 membuka dengan paksa; 6 mencuri dengan merusak pintu (jendela dsb); 7
membuka rahasia.
Kata dada berarti 1 bagian tubuh sebelah depan di antara perut dan leher; 2
rongga tubuh tempat letak jantung dan paru-paru (Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Ketiga, 2002: 227).
Frasa membongkar dada dalam kalimat ini bermakna membuka
rahasianya. Penggunaan frasa membongkar dadanya dalam kalimat ini
menggambarkan Galang yang menceritakan perasaannya pada sahabatnya,
Wijaya. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat yang mendukungnya, yaitu
“Tapi, dasar Galang! Pemuda kuper alias kurang pergaulan. Masih lagi,
mahasiswa kurin alias kurang informasi. Mengutarakan rasa cinta saja tidak bisa,
emangnya aku tahu tentang rasa cintanya? Apa sih beratnya mengungkapkan
peasaan dengan terus terang? Mungkinkah ia tidak punya mulut?” (Roro Mendut
& Atmo, hal 79-80).
Berikut bentuk penggantian frasa membongkar dadanya:
(23a) Untunglah ia masih bisa mengungkapkan rahasianya sama Wijaya.
Berikut contoh lain dari metafora, yaitu kepalang basah:
(24) Tapi, dasar sudah kepalang basah, aku masih saja melanjutkan sikap
kurang manisku (Roro Mendut & Atmo, hal 87- 88).
Adapun pada contoh (24) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora
adalah penggunaan kata kepalang basah. Kata kepalang basah dalam kalimat ini
mempunyai makna ‘sudah terlanjur (dalam keadaan tanggung)’. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 546) kata kepalang mempunyai
37
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
makna 1 tanggung; tidak cukup; kurang; 2 sudah terlanjur (dalam keadaan
tanggung).. baru; 3 cak banyak mendatangkan keuntungan (uang dsb) (Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 2002: 110). Kata basah dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Ketiga (2002: 110) berarti 1 mengandung air atau barang cair; 2
belum dikeringkan; masih baru; 3 cak banyak mendatangkan keuntungan (uang
dsb).
Penggunaan frasa kepalang basah dalam kalimat ini menunjuk kepada
sikap Reni yang sudah terlanjur bersikap kurang manis pada tamunya. Hal ini
dapat dilihat dalam kalimat yang mendukungnya, yaitu “Huh! Kamu mau bicara
dengan orang tuaku? Tak ada kaitannya dengan masalah ini,” (Roro Mendut &
Atmo, hal 88). Berikut bentuk penggantian frasa kepalang basah:
(24a) Tapi, dasar sudah terlanjur, aku masih saja melanjutkan sikap
kurang manisku.
Berikut contoh lain dari metafora, yaitu naik pitam:
(25) “Orang edan, ngapain kamu berlama-lama berduaan dengan trimanku,
ha?” pejabat itu naik pitam (Roro Mendut & Atmo, hal 9).
Adapun pada contoh (25) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora
adalah penggunaan frasa naik pitam. Frasa naik pitam dalam kalimat ini
mempunyai makna ‘menjadi marah sekali (panas hati)’.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 771) kata naik
mempunyai makna 1 bergerak ke atas atau ke tempat yang lebih tinggi; 2 timbul
(tentang matahari); 3 mendaki; menanjak; 4 masuk rumah (melalui tangga);
masuk ke kendaraan (angkutan, tumpangan, dsb); 5 mengendarai; menuggang;
menumpang (kapal, pesawat, dsb); 6 bertambah tinggi (mahal, besar, banyak,
dsb); meningkat; 7 menjadi; 8 pergi ke: -- darat.
Kata pitam mempunyai arti pusing kepala (karna darah naik ke kepala) (Kamus
Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 880).
38
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Penggunaan frasa naik pitam dalam kalimat ini menggambarkan
Tumenggung Wiroguno yang sangat marah karena melihat Roro Mendut berduaan
dengan Pronocitro. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat yang mendukungnya, yaitu
“Lancang kamu, Pron! Tak usah membawa-bawa hak asasi segala macam. Nah,
bersiap-siaplah karena aku akan menghukummu,” darah Wiroguno mendidih
(Roro Mendut & Atmo, hal 10). Berikut bentuk penggantian frasa naik pitam:
(25a) “Orang edan, ngapain kamu berlama-lama berduaan dengan
trimanku, ha?” pejabat itu sangat marah.
Berikut contoh lain dari metafora, yaitu memeras otaknya:
(26) Namun, kini perempuan itu mencoba memeras otaknya (Roro Mendut &
Atmo. hal 15).
Adapun pada contoh (26) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora
adalah penggunaan frasa memeras otak. Frasa memeras otak dalam kalimat ini
mempunyai makna ‘berpikir keras’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Ketiga (2002: 855) kata memeras mempunyai makna 1 memijit (menekan dsb)
supaya keluar airnya; memerah; 2 ki mengambil untung banyak-banyak dari orang
lain; 3 ki meminta uang dsb dengan ancaman. Kata otak mempunyai arti 1 benda
putih yang lunak terdapat di dalam rongga tengkorak yang menjadi pusat saraf;
benak; 2 ki alat berpikir; pikiran; benak; 3 ki biang keladi; tokoh; gembong
(Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 804).
Penggunaan frasa memeras otak dalam kalimat ini mengambarkan situasi
Roro Mendut dan Pronocitro yang telah terjepit dan hampir kalah, maka Roro
Mendut pun harus memikirkan jalan keluar dari situasi ini. Hal ini dapat dilihat
dalam kalimat yang mendukungnya, yaitu
39
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
“Beberapa saat berpikir, ia tidak juga menemukan sesuatu yang dapat
membantunya keluar dari permasalahan. Sementara itu, keris Wiroguno telah
diacungkan tinggi-tinggi. Melihat ujung keris di tangan tumenggung yang
mengancam jiwa kekasihnya, Roro Mendut segera melakukan sesuatu.” (Roro
Mendut & Atmo. hal 15).
Berikut bentuk penggantian frasa memeras otak:
(26a) Namun, kini perempuan itu mencoba berpikir keras.
Tabel 1
Gaya Bahasa Metafora Hidup
No.
Pengungkapan dengan Gaya
No.
data
Bahasa Metafora
data
10
“Majulah, jangan hanya bersilat
lidah!”
Mereka pun kemudian menjalin
benang asmara secara illegal.
Ia tidak boleh mentang-mentang
punya kado penghargaan lalu
berbuat seenak udelnya sendiri.
“Awas, jangan pernah lari dari
medan laga!”
Tuan rumah menanyakan, “Koq,
sendirian saja, mana Bu
Atmonya, Pak?”
Tapi, kalau ia harus dijadikan
sebagai seorang triman, duh,
amit-amit jabang bayi.
10a
11
12
13
14
15
16
11a
12a
13a
14a
15a
“Tuh, apa katanya? Ia mau ikut 16a
denganku. Menggung pun tidak
boleh melakukan intimidasi.
Jangan mentang-mentang punya
kekuasaan, ngusir orang semaumaunya! Nanti malah bisa
menyeret Menggung berurusan
40
Pengungkapan Biasa
“Majulah,
jangan
hanya
bertengkar!”
Mereka pun kemudian menjalin
kasih secara illegal.
Ia tidak boleh mentang-mentang
punya kado penghargaan lalu
berbuat semaunya sendiri.
“Awas, jangan pernah lari dari
arena pertarungan!”
Pemilik tempat menanyakan,
“Koq, sendirian saja, mana Bu
Atmonya, Pak?”
Tapi, kalau ia harus dijadikan
sebagai seorang triman, duh,
jangan sampai itu terjadi
padaku.
“Tuh, apa katanya? Ia mau ikut
denganku. Menggung pun tidak
boleh melakukan intimidasi.
Jangan mentang-mentang punya
kekuasaan, ngusir orang semaumaunya! Nanti malah bisa
menyeret Menggung berurusan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
17
18
19
20
21
22
23
dengan komisi hak asasi, lho.
Mau coba, gimana?” pemuda itu
diatas angin.
Akhirnya,
warga
lebih
membiarkan Atmo Jogja sebagai
dirinya
daripada
memaksa
‘membuka’ mulutnya.
Yang masih jelas kelihatan
adalah pecahan kaca berserakan
dan luka goresan di kulit badan
jalan.
“Pembajak hati. Minta tebusan
sebutir kasih suci,” Galang
mendekatiku.
Ketika masih belia, hari ulang
tahun merupakan saat yang
penuh dengan kembang janji
akan harapan masa depan. Tapi,
ketika harapan tak lagi berada di
depan pandang, semua menjadi
tidak bermakna. Ketika ulang
tahun menginjak yang ketiga
puluh satu, semua menjadi tidak
memiliki arti.
“Dan kamu memang mau
dijepit, bukan? Ah, diberi anak
perawan,
dijanjikan
kursi
kedudukan, lelaki mana yang tak
mau
mengubah
halauan
perasaan?” kusemprot ia dengan
kata-kata semauku.
“Lho, kamu naksir sama
bapaknya atau anaknya? Maumu
apa, sih? Kamu bisa mati kutu
karena memendam rindu. Kamu
bisa ketinggalan kereta, hanya
karena menyembunyikan rasa
cinta. Sudah terbukti, Nico
menganggapmu sepi. Apa kamu
sudah bereaksi?” Jaya mengurus
temannya dengan berapi-api.
17a
18a
19a
20a
21a
22a
Untunglah ia masih bisa 23a
membongkar dadanya sama
Wijaya.
41
dengan komisi hak asasi, lho.
Mau coba, gimana?” pemuda itu
lebih unggul.
Akhirnya,
warga
lebih
membiarkan Atmo Jogja sebagai
dirinya daripada memaksanya
untuk berbicara.
Yang masih jelas kelihatan
adalah pecahan kaca berserakan
dan luka goresan di emperan
jalan.
“Pencuri hati. Minta tebusan
sebutir kasih suci,” Galang
mendekatiku.
Ketika masih belia, hari ulang
tahun merupakan saat yang
penuh dengan janji indah akan
harapan masa depan. Tapi,
ketika harapan tak lagi berada di
depan pandang, semua menjadi
tidak bermakna. Ketika ulang
tahun menginjak yang ketiga
puluh satu, semua menjadi tidak
memiliki arti.
“Dan kamu memang mau dijepit,
bukan? Ah, diberi anak perawan,
dijanjikan jabatan, lelaki mana
yang tak mau mengubah halauan
perasaan?” kusemprot ia dengan
kata-kata semauku.
“Lho, kamu naksir sama
bapaknya atau anaknya? Maumu
apa, sih? Kamu bisa tidak
berdaya karena memendam
rindu. Kamu bisa ketinggalan
kereta,
hanya
karena
menyembunyikan rasa cinta.
Sudah
terbukti,
Nico
menganggapmu sepi. Apa kamu
sudah bereaksi?” Jaya mengurus
temannya dengan berapi-api.
Untunglah ia masih bisa
mengungkapkan
rahasianya
sama Wijaya.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
24
25
26
Tapi, dasar sudah kepalang 24a
basah,
aku
masih
saja
melanjutkan
sikap
kurang
manisku.
“Orang edan, ngapain kamu 25a
berlama-lama berduaan dengan
trimanku, ha?” pejabat itu naik
pitam.
Namun, kini perempuan itu 26a
mencoba memeras otaknya.
Tapi, dasar sudah terlanjur, aku
masih saja melanjutkan sikap
kurang manisku.
“Orang edan, ngapain kamu
berlama-lama berduaan dengan
trimanku, ha?” pejabat itu sangat
marah.
Namun, kini perempuan itu
mencoba berpikir keras.
Sementara itu gaya bahasa metafora mati yang terdapat dalam kumpulan
cerita pendek Roro Mendut & Atmo karya Besar S.W, yaitu:
(27) “Lho, kamu naksir sama bapaknya atau anaknya? Maumu apa, sih?
Kamu bisa mati kutu karena memendam rindu. Kamu bisa ketinggalan
kereta, hanya karena menyembunyikan rasa cinta. Sudah terbukti, Nico
menganggapmu sepi. Apa kamu sudah bereaksi?” Jaya mengurus
temannya dengan berapi-api (Roro Mendut & Atmo, hal 81).
Adapun pada contoh (27) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora,
yaitu ketinggalan kereta. Frasa ketinggalan kereta dalam kalimat ini mempunyai
makna ‘sudah jauh tertinggal oleh lawan’.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 1196) kata
ketinggalan mempunyai makna 1 n sisa; kelebihan; tunggakan; 2 v tertinggi
(karna lupa dsb); 3 v terbelakang; tercecer; 4 v sudah ditinggalkan oleh (kereta api
dsb); 5 v tidak sesuai dengan zaman (waktu dsb); 6 v ada yang kelupaan; ada yang
kurang; ada yang terlangkahi; 7 v tidak -, tidak mau terlambat; tidak lupa; tidak
lalai.
Kata kereta mempunyai arti 1 kendaraan yang beroda (biasanya ditarik oleh
kuda); 2 kereta api (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 552).
Penggunaan frasa ketinggalan kereta dalam kalimat ini menunjuk kepada
Galang yang sudah kalah oleh Nico dalam memperebutkan Reni. Hal ini dapat
dilihat dalam kalimat yang mendukungnya, yaitu:
42
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
“Perempuan kau salah-salahkan. Sikapmu itu hanya untuk menutup-nutupi
kekuranganmu. Ngaku sajalah! Pantas, Nico yang berhasil membocengkan Reni.
Nico itu orangnya tahu seni, bisa melukis, dan bisa membahasakan cinta lewat
suratnya. Dengar! Kemarin Nico menemui Reni lalu memberinya selembar kertas.
Nah, engkau harus segera bersikap. Terus teranglah pada Reni! Jangan gugup!”
Jaya serius bicara (Roro Mendut & Atmo, hal 81).
Berikut contoh lain dari metafora mati, yaitu kata hati:
(28) Orang yang mengingkari kata hatinya hingga pergi begitu saja tak pernah
bicara (Roro Mendut & Atmo, hal 75).
Adapun pada contoh (28) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora
adalah penggunaan frasa kata hatinya. Kata hatinya dalam kalimat ini mempunyai
makna ‘perasaan yang timbul di hati; gerak hati’.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 513) kata mempunyai
makna 1 unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan yang merupakan
perwujudan satuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam berbahasa; 2
ujar; bicara; 3 Ling a morfem atau kombinasi morfem yang oleh bahasawan
dianggap sebagai satuan terkecil yang dapat diujarkan sebagai bentuk yang bebas;
b satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri, terjadi dari morfem tunggal atau
gabungan morfem. Kata hati memiiki makna 1 Anat organ badan yang berwarna
kemerah-merahan di bagian kanan atas rongga perut, gunanya untuk mengambil
sari-sari makanan di dalam darah dan menghasilkan empedu; 2 daging dari hati
sebagai bahan makanan (terutama hati dari binatang sembelihan); 3 jantung; 4
sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat segala
perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian (perasaan dsb); 5 apa yang
terasa dalam batin; 6 sifat (tabiat) batin manusia; 7 bagian yang di dalam sekali
(tentang buah, batang, tumbuhan, dsb) (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Ketiga, 2002: 392).
Penggunaan metafora kata hati dalam kalimat ini menunjuk kepada
perasaan yang timbul dari dalam hati tokoh Galang Wicaksana. Hal ini juga
didukung oleh paragraf selanjutnya, yaitu:
“Padahal, cintanya padaku selangit. Sampai ia mabuk kepayang. Bener nih, suer!
Aku sih, cuma tahu dari gelagatnya saja. Memang aneh, ia tak pernah
mengungkapkan isi hati. Dikiranya hal itu sudah lumrah dan tidak masalah.
Menurutnya, cinta tak perlu diucapkan dalam love statement. Yang penting
baginya adalah cinta dan perhatian, bukan pada kata-kata yang hanya tipu daya
belaka. Kesimpulannya, application of love lebih penting, daripada sekedar
43
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
rayuan romantis yang belum tentu terbukti manis.” (Roro Mendut & Atmo, hal
77).
Berikut contoh lain dari metafora mati, yaitu anak kunci:
(29) Di pintu aku memutar anak kunci perlahan-lahan ke arah kiri (Roro
Mendut & Atmo, hal 76).
Adapun pada contoh (29) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora
adalah penggunaan frasa anak kunci. Frasa anak kunci dalam kalimat ini
mempunyai makna ‘alat untuk membuka kunci’.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 41) kata anak
mempunyai makna 1 keturunan yang kedua; 2 manusia yang masih kecil; 3
binatang yang masih kecil; 4 pohon kecil yang tumbuh pada umbi atau rumpun
tumbuh-tumbuhan yang besar; 5 orang yang berasal dari atau dilahirkan di (suatu
negeri, daerah, dsb); 6 orang yang termasuk dalam suatu golongan pekerjaan
(keluarga dsb); 7 bagian yang kecil (pada suatu benda); 8 yang lebih kecil
daripada yang lain. Kata kunci memiliki arti 1 alat untuk mengancing pintu, peti,
dsb, terdiri atas anak kunci dan induk kunci; 2 alat yang dibuat dari logam untuk
membuka atau mengancing pintu dengan cara memasukkannya ke dalam lubang
yang ada pada induk kunci; anak kunci; 3 pengancing pintu, peti, dsb yang
terpasang pada pintu, peti, dsb; 4 alat yang digunakan untuk membuka dan
memasang sekrup dsb; 5 alat untuk menghidupkan atau menjalankan mesin
(mobil dsb); 6 sendi (pertemuan) tulang; 7 ki jawaban yang disediakan atas
pertanyaan ujian dsb; 8 ki kedudukan (tempat) yang sangat penting untuk
menguasai sesuatu atau untuk mengenakan pengaruh; 9 Mus runtunan nada yang
berhubugan satu dan lainnya, berdasar pada suatu nada utama; 10 Mus lambang
yang digunakan untuk menunjukkan letak not tertentu pada balok not, seperti
kunci G menunjukkan letak not ‘g’ pada garis kedua balok not; 11 ki alat untuk
mencapai suatu maksud (seperti membongkar rahasia, memecahkan masalah,
menentukan kalah menang, atau berhasil tidaknya sesuatu) (Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 613).
Penggunaan frasa anak kunci dalam kalimat ini menunjuk kepada benda
kecil yang digunakan untuk membuka pintu. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat
yang setelahnya, yaitu “Maka, daun pintu pun terkuak. Blak.” (Roro Mendut &
Atmo, hal 76). Berikut contoh lain dari metafora mati, yaitu daun pintu:
(30) Maka daun pintu pun terkuak (Roro Mendut & Atmo, hal 76).
44
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Adapun pada contoh (30) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora
adalah penggunaan frasa daun pintu. Frasa daun pintu dalam kalimat ini
mempunyai makna ‘bagian barang yang tipis lebar’. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Ketiga (2002: 240) kata daun mempunyai makna 1 bagian
tanaman yang tumbuh berhelai-helai pada ranting (biasanya hijau) sebagai alat
bernapas dan mengolah zat makanan; 2 bagian barang yang tipis lebar; 3 barang
yang berhelai-helai seperti daun. Kata pintu mempunyai arti 1 tempat untuk
masuk dan keluar; 2 (papan dsb) penutup (pintu); 3 penggolong benda bagi
rumah; 4 palang (pada) jalan; 5 ki jalan (ke …); yang menjadi lantaran (untuk
mendapat dsb) (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 877).
Penggunaan frasa daun pintu dalam kalimat ini menunjuk pada pintu
yang akan dibuka. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat yang sebelumnya, yaitu “Di
pintu aku memutar anak kunci perlahan-lahan ke arah kiri.” (Roro Mendut &
Atmo, hal 76). Berikut contoh lain dari metafora mati, yaitu merah padam:
(31) Muka Galang merah padam (Roro Mendut & Atmo, hal 79).
Adapun pada contoh (31) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora
adalah penggunaan frasa merah padam. Frasa merah padam dalam kalimat ini
mempunyai makna ‘merah sekali (warna muka ketika marah atau malu sekali)’.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 734) kata merah
mempunyai makna 1 warna dasar yang serupa dengan warna darah; 2 a
mengandung atau memperlihatkan warna yang serupa warna darah. Kata padam
mempunyai arti 1 mati (tentang api); tidak menyala atau tidak berkobar lagi; 2
reda (tentang kemarahan); tenang kembali (tentang hawa nafsu, berahi, dsb); 3
45
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
aman kembali (tentang huru hara, kerusuhan, dsb); 4 menjadi lemah (tentang
semangat) (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 808).
Penggunaan frasa merah padam dalam kalimat ini menggambarkan
perasaan Galang yang begitu malu karena tidak dapat menjawab pertanyaan Reni.
Hal ini dapat dilihat dalam kalimat yang mendukungnya, yaitu “Tapi, tampaknya
pertanyaanku membuatnya terguncang. Bagai diterpa angin kencang, badan
limbung dan bergoyang. Padahal, sebenarnya itu soal mudah.” (Roro Mendut &
Atmo, hal 79). Berikut contoh lain dari metafora mati, yaitu besar mulut:
(32) “Hai, panglima kerajaan yang katanya selalu menang perang!
Mengakumu saja sebagai ksatria, tapi nyatanya berlaku betina. Engkau
hanya besar mulut menghadapi dua orang mengerahkan para pengikut.
Perempuan bisanya hanya menjerit, masih kau takut-takuti dengan
segenap prajurit.” Pronocitro memanas-manasi lawannya (Roro Mendut
& Atmo, hal 11).
Adapun pada contoh (32) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora
adalah penggunaan frasa besar mulut. Frasa besar mulut dalam kalimat ini
mempunyai makna ‘suka membual atau menyombong dengan perkataan’.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 143) kata besar
mempunyai makna 1 lebih dari ukuran sedang; lawan dari kecil; 2 tinggi dan
gemuk; 3 luas; tidak sempit; 4 lebar; 5 ki hebat; mulia; berkuasa; 6 banyak; tidak
sedikit (tentang jumlah); 7 menjadi dewasa; 8 lebih dewasa daripada sebelumnya;
9 penting (berguna) sekali. Kata mulut mempunyai arti 1 rongga di muka, tempat
gigi dan lidah, untuk memasukkan makanan (pada manusia atau binatang); 2 ki
lubang, liang, atau apa saja yang rupanya sebagai mulut; bagian dari barang
tempat masuknya sesuatu; 3 ki cakap; perkataan; 4 Fis lubang untuk meluahkan
zat alir (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 762).
Penggunaan frasa besar mulut dalam kalimat ini menggambarkan
Pronocitro yang berusaha memanas-manasi lawannya. Hal ini dapat dilihat dalam
kalimat yang mendukungnya, yaitu:
46
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
“Maka, dikerahkanlah pasukan artilerinya untuk mengejar triman pujaan. Setelah
menyisir setiap sudut wilayah, pasukan berkuda itupun menemukan dua sejoli.
Keduanya lalu dikepung dari berbagai jurusan hingga tak ada jalan keluar.
Mengetahui musuhnya telah terisolasi, Wiroguno pun tertawa-tawa.” (Roro
Mendut & Atmo, hal 11).
Berikut contoh lain dari metafora mati, yaitu gencatan senjata:
(33) Maka, terjadilah gencatan senjata (Roro Mendut & Atmo, hal 16).
Adapun pada contoh (33) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora
adalah penggunaan frasa gencatan senjata. Frasa gencatan senjata dalam kalimat
ini mempunyai makna ‘penghentian aktivitas tembak-menembak dalam perang’.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 352) kata gencatan
mempunyai makna penghentian. Kata senjata mempunyai arti 1 alat yang dipakai
untuk berkelahi atau berperang (keris, senapan, dsb); 2 ki sesuatu (surat, kop surat,
cap, memo, dsb) yang dipakai untuk memperoleh suatu maksud; 3 tanda bunyi
pada tulisan Arab (fatah, kasrah, damah, dsb) (Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Ketiga, 2002: 1038).
Penggunaan frasa gencatan senjata dalam kalimat ini menggambarkan
Wiroguno dan Pronocitro tidak lagi saling menyerang karena ancaman Roro
Mendut. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat yang mendukungnya, yaitu “Kedua
lelaki itu pun tidak lagi saling menyerang. Tak ada yang melakukan gerakan.
Namun, mereka tetap saling curiga. Keris Wiroguno masih digenggam, sedangkan
Pronocitro masih terpojok dan tidak berdaya.” (Roro Mendut & Atmo, hal 16).
Berikut contoh lain dari metafora mati, yaitu adem-ayem:
(34) Rumah tangganya tergolong sebagai keluarga yang adem-ayem (Roro
Mendut & Atmo, hal 21).
47
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Adapun pada contoh (34) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora
adalah penggunaan kata adem-ayem. Kata adem-ayem dalam kalimat ini
mempunyai makna ‘sejuk dan tenang tentram’. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Ketiga (2002: 7) kata adem mempunyai makna 1 dingin; sejuk; 2
tenteram (pikiran, hati); tenang; 3 hambar (rasa makanan); tawar . Kata ayem
mempunyai arti tenteram dan damai di hati (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Ketiga, 2002: 81).
Penggunaan kata adem-ayem dalam kalimat ini menunjuk kepada kondisi
rumah tangga Atmo Jogja yang tenang dan tenteram. Hal ini dapat dilihat dalam
kalimat yang mendukungnya, yaitu “Ia dengan istrinya tidak pernah terdengar
berantem. Ia termasuk mudah bergaul di luar rumah, meski tampaknya di dalam
sebagai seorang diktator.“ (Roro Mendut & Atmo, hal 21). Berikut contoh lain dari
metafora mati, yaitu celaka dua belas:
(35) “Aduh, celaka dua belas!” seruku (Roro Mendut & Atmo, hal 40).
Adapun pada contoh (35) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora
adalah penggunaan frasa celaka dua belas. Frasa celaka dua belas dalam kalimat
ini mempunyai makna ‘celaka sekali’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Ketiga (2002: 201) kata celaka mempunyai makna 1 (selalu) mendapat
kesulitan, kemalangan, kesusahan, dsb; malang, sial; 2 kas keparat, jahanam,
bangsat; 3 cak kata seru menyatakan perasaan tidak senang, kecewa, dsb.
Kata dua mempunyai arti 1 bilangan yang dilambangkan dengan angka 2 (Arab)
atau II (Romawi); 2 urutan ke-2 sesudah pertama dan sebelum ke-3; 3 jumlah
bilangan 1 ditambah 1 (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002: 276). Kata belas
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 125) berarti satuan
bilangan dari 11-19.
48
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Penggunaan frasa celaka dua belas dalam kalimat ini menggambarkan
kepanikan dan keterkejutan Toben ketika mengetahui si korban dibawa ke rumah
sakit. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat yang mendukungnya, yaitu “Wah,
cepatlah mengejar! Tadi ia bersama Hirun ke rumah sakit!“ kata anak tuan rumah
yang mengetahui maksud kedatanganku (Roro Mendut & Atmo, hal 40). Berikut
contoh lain dari metafora mati, yaitu hampa tangan:
(36) Pantaslah, pertemuan tidak diakhiri happy ending, meski bukan dengan
duka lara, tak ada kesepakatan ataupun penandatanganan MOU. Eh
bukan, maksudku MOL alias memorandum of love. Pulang hampa
tangan. Dan aku pun sebenarnya kurang menginginkan (Roro Mendut &
Atmo, hal 80).
Adapun pada contoh (36) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora
adalah penggunaan frasa hampa tangan. Frasa hampa tangan dalam kalimat ini
mempunyai makna ‘tidak membawa apa-apa (pulang dengan tangan kosong)’.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 385) kata hampa
mempunyai makna 1 tidak berisi; kosong; 2 ki tidak bergairah; sepi; 3 ki sia-sia;
tidak ada hasilnya; 4 ki bodoh; tidak berpengetahuan. Kata tangan mempunyai arti
1 anggota badan dari siku sampai ke ujung jari atau dari pergelangan sampai
ujung jari; 2 ki sesuatu yang digunakan sebagai atau menyerupai tangan; 3
kekuasaan; pengaruh; perintah (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga,
2002: 1136).
Penggunaan frasa hampa tangan dalam kalimat ini menunjuk kepada
Reni yang sebenarnya menginginkan Galang megungkapkan perasaannya. Hal ini
dapat dilihat dalam kalimat yang mendukungnya, yaitu “Pantaslah, pertemuan
tidak diakhiri happy ending, meski bukan dengan duka lara. Tak ada kesepakatan
49
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
ataupun penandatanganan MOU. Eh bukan, MOL alias memorandum of love.”
(Roro Mendut & Atmo, hal 80). Berikut contoh lain dari metafora mati, yaitu
ketinggalan jaman:
(37) “Mataku jadi saksi, Lang. Sayang sekali, punya teman terlalu ketinggalan
jaman. Oh ya, aku barusan dari rumah Pak Anto, si dosen bujang
perlente. Biasalah, diskusi sambil rujakan. Eh, ternyata mereka ada di
sana. Nah, apa kamu tidak berani bersaing dengan teman sendiri?” begitu
kata Wijaya (Roro Mendut & Atmo, hal 82).
Adapun pada contoh (37) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora
adalah penggunaan frasa ketinggalan jaman. Frasa ketinggalan jaman dalam
kalimat ini mempunyai makna ‘sudah tidak sesuai lagi dengan jaman’.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 1196) kata
ketinggalan mempunyai makna 1 masih tetap di tempatnya dsb; masih selalu ada
(sedang yang lain sudah hilang, pergi, dsb); 2 sisanya ialah …; bersisa …; tersisa
…; yang masih ada hanyalah …; 3 ada di belakang; terbelakang; 4 tidak naik
kelas (tentang murid sekolah); 5 sudah lewat (lalu; lampau); 6 diam (di); 7 selalu;
tetap (demikian halnya); 8 melupakan; 9 tidak usah berbuat apa-apa selain dari …;
10 bergantung kepada; terserah kepada; terpulang kepada; 11 (sebagai keterangan
pada kata majemuk berarti) a yang didiami; b yang ditinggalkan (dikosongkan
dsb).
Kata zaman mempunyai arti 1 jangka waktu yang panjang atau pendek yang
menandai sesuatu; 2 kala; waktu (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga,
2002: 1279).
Penggunaan frasa ketinggalan jaman dalam kalimat ini menggambarkan
keadaan Galang yang tidak mengetahui mengenai Nico dan Reni. Hal ini dapat
dilihat pada pertanyaan yang diajukan Galang pada Wijaya, ketika ia memberitahu
Galang mengenai Nico dan Reni, yaitu “Darimana kau tahu?” Galang kurang
semangat (Roro Mendut & Atmo, hal 82). Berikut contoh lain dari metafora mati,
yaitu mabuk kepayang:
50
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
(38) Sampai ia mabuk kepayang (Roro Mendut & Atmo, hal 77).
Adapun pada contoh (38) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora
adalah penggunaan frasa mabuk kepayang. Frasa mabuk kepayang dalam kalimat
ini mempunyai makna ‘tergila-gila karena cinta’. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Ketiga (2002: 693) kata mabuk mempunyai arti berbuat di luar
kesadaran; lupa diri. Kepayang mempunyai arti pohon, tinggi hingga 40 m,
kayunya tidak awet, digunakan untuk membuat batang korek api, kulit kayu
digunakan sebagai tuba ikan, buahnya mengandung biji yang memabukkan
(Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 546).
Penggunaan frasa mabuk kepayang dalam kalimat ini mengungkapkan
perasaan seseorang terhadap lawan jenisnya. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat
yang mendukungnya, yaitu “Padahal cintanya padaku selangit. Bener nih, suer!
Aku sih, Cuma tahu dari gelagatnya saja.” (Roro Mendut & Atmo, hal 77). Berikut
contoh lain dari metafora mati, yaitu pemuda ingusan:
(39) “Hai, kamu pemuda ingusan! Menurut laporan asistenku, kamu orang
yang bernama Pronocitro brengsek itu, bukan?” (Roro Mendut & Atmo, hal
9).
Pada contoh (39) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora adalah
penggunaan frasa pemuda ingusan. Frasa pemuda ingusan dalam kalimat ini
mempunyai makna ‘orang yang tidak berpengalaman’. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 757) kata pemuda mempunyai makna
orang muda (laki-laki). Kata ingusan mempunyai makna muda sekali; belum tahu
apa-apa; belum punya pengalaman (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga,
2002: 434).
51
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Penggunaan frasa pemuda ingusan dalam kalimat ini bertujuan untuk
menghina lawan bicara yang dianggap belum punya pengalaman apa-apa. Hal ini
dapat dilihat dalam kalimat sesudahnya, yaitu “Enak saja, nambah-nambahin
nama orang! Cuman Pronocitro saja. Nggak pakai brengsek, tuh,” jawab yang
ditanya dengan tenang (Roro Mendut & Atmo, hal 9). Berikut contoh lain dari
metafora mati, yaitu setengah hati:
(40) Setengah hati ku ayunkan kaki (Roro Mendut & Atmo, hal 76).
Adapun pada contoh (40) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora
adalah penggunaan frasa setengah hati. Frasa setengah hati dalam kalimat ini
mempunyai makna ‘tidak ikhlas, tidak rela, memiliki rasa keberatan ketika
melakukan sesuatu’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002:
1172) kata setengah mempunyai makna 1 seperdua; separuh; 2 sebagian;
sejumlah; 3 belum sempurna; 4 ki agak gila; kurang waras (pikiran, otak, akal).
Kata hati mempunyai arti 1 Anat organ badan yang berwarna kemerah-merahan di
bagian kanan atas rongga perut, gunanya untuk mengambil sari-sari makanan di
dalam darah dan menghasilkan empedu; 2 daging dari hati sebagai bahan
makanan (terutama hati dari binatang sembelihan); 3 jantung; 4 sesuatu yang ada
di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat segala perasaan batin dan
tempat menyimpan pengertian (perasaan dsb); 5 apa yang terasa dalam batin; 6
sifat (tabiat) batin manusia; 7 bagian yang di dalam sekali (tentang buah, batang,
tumbuhan, dsb) (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 392).
Penggunaan frasa setengah hati dalam kalimat ini menunjuk kepada
perasaan seseorang yang merasa berat hati; tidak ikhlas; tidak sepenuh hati, ketika
mengerjakan sesuatu hal.
Hal ini dapat dilihat dalam
kalimat yang
mendukungnya, yaitu “Terpaksa aku menuju ruang tamu. Dengan malas dan rasa
ogah aku melangkah. Setengah hati kuayunkan kaki. Sepertinya aku mau marah
pada tamu yang datang ke rumah. Rasanya aku mau mengumpat habis-habisan
52
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
pada tamu yang tak tahu adat” (Roro Mendut & Atmo, hal 76). Berikut contoh lain
dari metafora mati, yaitu tanah perantauan:
(41) Beberapa saat menjelang keberangkatannya ke tanah perantauan, ia
datang lagi (Roro Mendut & Atmo, hal 66).
Adapun pada contoh (41) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora
adalah penggunaan frasa tanah perantauan. Frasa tanah perantauan dalam
kalimat ini mempunyai makna ‘daerah lain tempat mencari penghidupan’.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 1132) kata tanah
mempunyai makna 1 permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali; 2
keadaan bumi di suatu tempat; 3 permukaan bumi yang diberi batas; 4 daratan; 5
permukan bumi yang terbatas yang ditempati suatu bangsa yang diperintah suatu
negara atau menjadi daerah negara; negeri; 6 bahan-bahan dari bumi; bumi
sebagai bahan sesuatu (pasir, napal, cadas, dsb); 7 dasar (warna, cat, dsb).
Kata perantauan mempunyai arti 1 negeri lain tempat mencari penghidupan dsb; 2
daerah yang didiami oleh orang yang berasal dari daerah lain (Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 930).
Penggunaan frasa tanah perantauan dalam kalimat ini menunjuk kepada
daerah lain tempat Harman mencari penghidupan. Hal ini dapat dilihat dalam
kalimat yang mendukungnya, yaitu “Itulah hari ulang tahun terakhirku
bersamanya sebelum kemudian ia pergi dariku” (Roro Mendut & Atmo, hal 66).
Berikut contoh lain dari metafora mati, yaitu bersaing sehat:
(42) “Kukirim puisi. Itu berarti, aku telah memiliki rasa seni seperti halnya
Nico. Ya, aku mampu bersaing sehat dengannya.” Galang menatap
mataku lagi (Roro Mendut & Atmo, hal 86).
Adapun pada contoh (42) unsur yang menunjukkan gaya bahasa metafora
adalah penggunaan kata bersaing sehat. Kata bersaing sehat dalam kalimat ini
mempunyai makna ‘atas-mengatasi, dahulu-mendahului dengan cara yang baik
53
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
dan benar’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 978) kata
bersaing mempunyai makna berlomba (atas-mengatasi, dahulu-mendahului).
Kata sehat mempunyai arti 1 baik seluruh badan serta bagian-bagiannya (bebas
dari sakit); 2 (yang) mendatangkan kebaikan pada badan; 3 sembuh dari sakit; 4 ki
baik dan normal (tentang pikiran); 5 boleh dipercaya atau masuk akal (tentang
pendapat, usul, alasan, dsb); 6 berjalan dengan baik atau sebagaimana mestinya
(tentang keadaan keuangan, ekonomi, dsb); 7 dijalankan dengan hati-hati dan dan
baik-baik (tentang politik dsb) (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga,
2002: 1011).
Penggunaan frasa bersaing sehat dalam kalimat ini menggambarkan
kecemburuan Galang pada temannya, Nico, sehingga iapun memutuskan untuk
bersaing secara sportif. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat yang mendukungnya,
yaitu “Oh, aku lupa. Bagaimana kabar Nico? Dulu kita sering bersamanya. Pasti ia
sudah jadi pelukis ngetop. Kamu tahu kan, dimana dia sekarang?” tambahnya
(Roro Mendut & Atmo, hal 86).
Tabel 2
Gaya Bahasa Metafora Mati
No.
Pengungkapan Metafora
Penjelasan Arti
“Lho,
kamu
naksir
sama
bapaknya atau anaknya? Maumu
apa, sih? Kamu bisa mati kutu
karena memendam rindu. Kamu
bisa ketinggalan kereta, hanya
karena menyembunyikan rasa
cinta. Sudah terbukti, Nico
menganggapmu sepi. Apa kamu
sudah bereaksi?” Jaya mengurus
temannya dengan berapi-api.
Orang yang mengingkari kata
hatinya hingga pergi begitu saja
Kata ketinggalan kereta dalam
kalimat ini mempunyai makna sudah
jauh
tertinggal
oleh
lawan.
Penggunaan kata ketinggalan kereta
dalam kalimat ini menunjuk kepada
Galang yang sudah kalah oleh Nico
dalam memperebutkan Reni.
data
27
28
54
Kata hatinya dalam kalimat ini
mempunyai makna perasaan yang
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
tak pernah bicara.
timbul
di
hati;
gerak
hati.
Penggunaan metafora kata hati dalam
kalimat ini menunjuk kepada
perasaan yang timbul dari dalam hati
tokoh Galang Wicaksana.
Kata anak kunci dalam kalimat ini
mempunyai makna alat untuk
membuka kunci. Penggunaan kata
anak kunci dalam kalimat ini
menunjuk kepada benda kecil yang
digunakan untuk membuka pintu.
Kata daun pintu dalam kalimat ini
mempunyai makna bagian barang
yang tipis lebar. Penggunaan kata
daun pintu dalam kalimat ini
menunjuk pada pintu yang akan
dibuka.
Kata merah padam dalam kalimat ini
mempunyai makna merah sekali
(warna muka ketika marah atau malu
sekali). Penggunaan kata merah
padam
dalam
kalimat
ini
menggambarkan perasaan Galang
yang begitu malu karena tidak dapat
menjawab pertanyaan Reni.
Kata besar mulut dalam kalimat ini
mempunyai makna suka membual
atau menyombong dengan perkataan.
Penggunaan kata besar mulut dalam
kalimat
ini
menggambarkan
Pronocitro yang berusaha memanasmanasi lawannya.
29
Di pintu aku memutar anak kunci
perlahan-lahan ke arah kiri.
30
Maka daun pintu pun terkuak.
31
Muka galang merah padam.
32
“Hai, panglima kerajaan yang
katanya selalu menang perang!
Mengakumu saja sebagai ksatria,
tapi nyatanya berlaku betina.
Engkau hanya besar mulut
menghadapi
dua
orang
mengerahkan para pengikut.
Perempuan
bisanya
hanya
menjerit, masih kau takut-takuti
dengan
segenap
prajurit.”
Pronocitro
memanas-manasi
lawannya.
Maka,
terjadilah
gencatan Kata gencatan senjata dalam kalimat
senjata.
ini mempunyai makna penghentian
aktivitas tembak-menembak dalam
perang. Penggunaan kata gencatan
senjata
dalam
kalimat
ini
menggambarkan
Wiroguno
dan
Pronocitro
tidak
lagi
saling
menyerang karena ancaman Roro
Mendut.
33
55
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
34
35
36
37
38
39
Rumah tangganya
tergolong Kata adem ayem dalam kalimat ini
sebagai keluarga yang adem- mempunyai makna sejuk dan tenang
ayem.
tentram. Penggunaan kata adem ayem
dalam kalimat ini menunjuk kepada
kondisi rumah tangga Atmo Jogja
yang tenang dan tentram.
“Aduh, celaka dua belas!” Kata celaka dua belas dalam kalimat
seruku.
ini mempunyai makna celaka sekali.
Penggunaan kata celaka dua belas
dalam kalimat ini menggambarkan
kepanikan dan keterkejutan Toben
ketika mengetahui si korban dibawa
ke rumah sakit.
Pantaslah,
pertemuan
tidak Kata hampa tangan dalam kalimat ini
diakhiri happy ending, meski mempunyai makna tidak membawa
bukan dengan duka lara, tak ada apa-apa (pulang dengan tangan
kesepakatan
ataupun kosong). Penggunaan kata hampa
penandatanganan
MOU.
Eh tangan dalam kalimat ini menunjuk
bukan, maksudku MOL alias kepada Reni yang sebenarnya
memorandum of love. Pulang menginginkan
Galang
hampa tangan. Dan aku pun mengungkapkan perasaannya.
sebenarnya kurang menginginkan.
“Mataku jadi saksi, Lang. Sayang Kata ketinggalan jaman dalam
sekali, punya teman terlalu kalimat ini mempunyai makna sudah
ketinggalan jaman. Oh ya, aku tidak sesuai lagi dengan jaman.
barusan dari rumah Pak Anto, si Penggunaan kata ketinggalan jaman
dosen bujang perlente. Biasalah, dalam kalimat ini menggambarkan
diskusi sambil rujakan. Eh, keadaan
Galang
yang
tidak
ternyata mereka ada di sana. Nah, mengetahui mengenai Nico dan Reni.
apa kamu tidak berani bersaing
dengan teman sendiri?” begitu
kata Wijaya.
Sampai ia mabuk kepayang.
Kata mabuk kepayang dalam kalimat
ini mempunyai makna ‘tergila-gila
karena cinta’. Penggunaan kata
mabuk kepayang dalam kalimat ini
mengungkapkan perasaan seseorang
terhadap lawan jenisnya.
“Hai, kamu pemuda ingusan! Kata pemuda ingusan dalam kalimat
Menurut laporan asistenku, kamu ini mempunyai makna ‘orang yang
orang yang bernama Pronocitro tidak berpengalaman’. Penggunaan
brengsek itu, bukan?”
kata pemuda ingusan dalam kalimat
ini bertujuan untuk menghina lawan
bicara yang dianggap belum punya
pengalaman apa-apa.
56
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
40
Setengah hati ku ayunkan kaki.
41
Beberapa
saat
menjelang
keberangkatannya
ke
tanah
perantauan, ia datang lagi.
42
“Kukirim puisi. Itu berarti, aku
telah memiliki rasa seni seperti
halnya Nico. Ya, aku mampu
bersaing
sehat
dengannya.”
Galang menatap mataku lagi.
Kata setengah hati dalam kalimat ini
mempunyai makna ‘tidak ikhlas,
tidak rela, memiliki rasa keberatan
ketika
melakukan
sesuatu’.
Penggunaan kata setengah hati dalam
kalimat ini menunjuk kepada
perasaan seseorang yang merasa berat
hati; tidak ikhlas; tidak sepenuh hati,
ketika mengerjakan sesuatu hal.
Kata tanah perantauan dalam kalimat
ini mempunyai makna ‘daerah lain
tempat
mencari
penghidupan’.
Penggunaan kata tanah perantauan
dalam kalimat ini menunjuk kepada
daerah lain tempat Harman mencari
penghidupan.
Kata bersaing sehat dalam kalimat
ini
mempunyai
makna
‘atasmengatasi,
dahulu-mendahului
dengan cara yang baik dan benar’.
Penggunaan kata bersaing sehat
dalam kalimat ini menggambarkan
kecemburuan Galang pada temannya,
Nico, sehingga iapun memutuskan
untuk bersaing secara sportif.
2.4 Gaya Bahasa Personifikasi
Gaya bahasa personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang
menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa
seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan (Keraf, 1984: 140). Berikut ini gaya
bahasa personifikasi yang ditemukan dalam kumpulan cerita pendek Roro Mendut
& Atmo:
(43) Wanita itu berasal dari sebuah kadipaten yang mengobarkan bara
pemberontakan (Roro Mendut & Atmo, hal 1).
Kalimat (43) unsur yang menunjukkan gaya bahasa personifikasi adalah
frasa kadipaten yang mengobarkan bara pemberontakan.
57
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 488) kata kadipaten
mempunyai arti daerah yang dikuasai oleh adipati, yang lebih rendah daripada
kesultanan. Kata mengobarkan memiliki arti 1 membakar hingga menyala-nyala;
menjadikan berkobar; 2 membangkitkan semangat hingga berapi-api (Kamus
Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 577). Kata bara memiliki arti barang
sesuatu (arang) yang terbakar dan masih berapi (Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Ketiga, 2002: 106). Kata pemberontakan menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Ketiga (2002: 142) memiliki arti 1 orang yang melawan atau
menentang kekuasaan yang sah; pendurhaka; 2 orang yang sifatnya suka
memberontak (melawan).
Frasa kadipaten yang mengobarkan bara pemberontakan menunjukkan
pengandaian bahwa suatu kadipaten bisa membangkitkan semangat untuk
menentang kekuasaan yang sah layaknya manusia. Hal ini dapat dilihat dari
kalimat yang mendukungnya, yaitu:
“Sebagai pampasan perang, Roro Mendut adalah milik sah penguasa kerajaan.
Wanita itu berasal dari sebuah kadipaten yang mengobarkan bara pemberontakan.
Karena berada di pihak yang kalah, gadis itu diboyong ke kotaraja Mataram. Di
istana ia tak bisa menolak ketika sang raja memanfaatkannya sebagai seorang
triman untuk kepentingan negara” (Roro Mendut & Atmo, hal 1).
Berikut
bentuk
penggantian
frasa
kadipaten
yang
mengobarkan
bara
pemberontakan:
(43a) Wanita itu berasal dari sebuah kadipaten yang mengawali
pemberontakan.
Berikut contoh lain dari personifikasi, yaitu api disintegrasi:
(44) Ia dihadiahkan pada Tumenggung Wiroguno sebagai penghargaan atas
jasa sang pahlawan perang yang mampu memadamkan api disintegrasi
(Roro Mendut & Atmo, hal 1).
Pada kalimat (44) unsur yang menunjukkan gaya bahasa personifikasi
adalah frasa api disintegrasi. Frasa api disintegrasi dalam kalimat tersebut
menunjukkan pengandaian bahwa api diibaratkan dapat menyebabkan situasi
terpecah belah sehingga harus segera dipadamkan. Dalam Kamus Besar Bahasa
58
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Indonesia Edisi Ketiga (2002: 60) kata api mempunyai arti 1 panas dan cahaya
yang berasal dari sesuatu yang terbakar; 2 kebakaran; 3 ki perasaan yang
menggelora (tentang cinta, perjuangan). Kata disintegrasi memiliki arti 1 keadaan
tidak bersatu padu; keadaan terpecah belah; hilangnya keutuhan atau persatuan;
perpecahan; 2 Fis sebarang transformasi, baik spontan maupun terimbas oleh
radiasi, yang dibarengi dengan pemancuran zarah atau foton (Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 268).
Penggunaan frasa api disintegrasi dalam kalimat ini mengungkapkan
bahwa di suatu kadipaten telah terjadi pemberontakan terhadap penguasa
Mataram, yang berhasil dipadamkan oleh Tumenggung Wiroguno. Hal ini dapat
dilihat dari kalimat yang mendukungnya, yaitu “Sebagai pampasan perang, Roro
Mendut adalah milik sah penguasa kerajaan. Wanita itu berasal dari sebuah
kadipaten yang mengobarkan bara pemberontakan. Karena berada di pihak yang
kalah, gadis itu diboyong ke kotaraja Mataram” (Roro Mendut & Atmo, hal 1).
Berikut bentuk penggantian frasa api disintegrasi:
(44a) Ia dihadiahkan pada Tumenggung Wiroguno sebagai penghargaan
atas jasa sang pahlawan perang yang mampu memadamkan
pemberontakan yang telah terjadi.
Berikut contoh lain dari personifikasi, yaitu malam semakin diam:
(45) Jam setengah dua belas, malam semakin diam (Roro Mendut & Atmo, hal
65).
Pada kalimat (45) unsur yang menunjukkan gaya bahasa personifikasi
adalah frasa malam semakin diam. Kata diam menunjukkan sifat manusia yang
tidak bersuara (berbicara), tidak bergerak (tetap di tempat). Dalam kalimat
tersebut kata diam menunjukkan pengandaian bahwa malam dapat bersuara
59
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
(berbicara) dan bergerak selayaknya manusia. Kata diam memiliki makna ‘sunyi’.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 261) kata diam
mempunyai arti 1 tidak bersuara (berbicara); 2 tidak bergerak (tetap di tempat); 3
tidak berbuat (berusaha apa-apa).
Penggunaan frasa malam semakin diam dalam kalimat ini mengungkapkan
bahwa malam semakin sunyi, tidak bersuara (berbicara), dan tidak bergerak
layaknya manusia, seiring dengan datangnya tanggal 19 Desember. Hal ini dapat
dilihat dari kalimat yang mendukungnya, yaitu:
“Biasanya, seperti yang sudah-sudah, seperti tahun-tahun sebelumnya, tiap
tanggal 19 Desember selalu kuterima kiriman selembar kartu dari seseorang. Kali
ini aku takut berada pada tanggal 19 Desember untuk menerima kiriman kartu
ucapan. Tidak! Aku tak ingin melihat sesuatu yang menakutkan itu” (Roro
Mendut & Atmo, hal 64-65).
Berikut bentuk penggantian kata diam:
(45a) Jam setengah dua belas, malam semakin sunyi.
Berikut contoh lain dari personifikasi, yaitu:
(46) Ucapan lidahnya yang minta disaksikan pihak lain, bahkan alam, adalah
sumpah. Tak ada yang berkata-kata, tak ada yang bersuara. Sekujur tubuh
Wijaya merinding dan bergetar. Dinding kamarnya menatap Galang
penuh kesangsian. Angin pun sejenak berhenti berkelana. Dan, dedaunan
yang merimbunkan pepohonan di samping rumah Wijaya, sesaat
menganga (Roro Mendut & Atmo, hal 84).
Kalimat (46) unsur yang menunjukkan gaya bahasa personifikasi adalah
kata disaksikan dalam kalimat “Ucapan lidahnya yang minta disaksikan pihak
lain, bahkan alam, adalah sumpah”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 981) kata saksi
mempunyai arti 1 orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa
(kejadian); 2 orang yang dimintai hadir pada suatu peristiwa yang dianggap
mengetahui kejadian tersebut agar pada suatu ketika, apabila diperlukan, dapat
memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh-
60
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
sungguh terjadi; 3 orang yang memberikan keterangan di muka hakim untuk
kepentingan pendakwa atau terdakwa; 4 keterangan (bukti pernyataan) yang
diberikan oleh orang yang melihat atau mengetahui; 5 bukti kebenaran; 6 orang
yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan penuntutan dan
peradilan tentang suatu perkara pidana yang didengarnya, dilihatnya, atau
dialaminya sendiri.
Kata disaksikan merupakan keadaan dimana seseorang menyaksikan
sendiri suatu peristiwa dan juga bisa memberikan keterangan yang membenarkan
bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi. Dalam kalimat tersebut terdapat
pengandaian bahwa alam diibaratkan seperti manusia sehingga bisa diminta untuk
menjadi saksi atas sumpah yang diucapkan Galang, selayaknya manusia. Hal ini
dapat dilihat dari kalimat yang mendukungnya, yaitu:
“Tak ada lagi canda dan tawa. Galang berdiri menghentak. Kedua bola matanya
menatap langit-langit kamar. Lalu, ia bicara dengan kerasnya. Kata-katanya begitu
menggelegar. Suaranya memenuhi isi ruangan. “Saksikan engkau, hai Wijaya!”
Galang mengangkat kedua tangannya. Lalu ia bicara lagi. “Demi Reni, akan
kutulis berpucuk-pucuk surat cinta dan akan kugubah berjuta sajak cinta. Semua
untuk dirinya. Suatu saat nanti, ketika telah kutulis suratnya, dan telah kugubah
sajak cintanya, akan kutunjukkan padamu, pada dinding, angin, dan dedaunan,
bahwa aku mampu menggandeng tangan Baiq Anggraeni.” (Roro Mendut &
Atmo, hal 83-84)).
Kalimat (46) unsur yang menunjukkan gaya bahasa personifikasi adalah
kalimat Dinding kamarnya menatap Galang penuh kesangsian. Kata menatap
merupakan sifat manusia dalam memperhatikan atau melihat suatu objek. Dalam
kalimat tersebut menatap menunjukkan pengandaian bahwa dinding kamar
tersebut memiliki mata selayaknya manusia sehingga dapat melihat dengan
menggunakan matanya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga
(2002: 1149) kata menatap mempunyai arti memandangi.
61
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Penggunaan kata menatap dalam kalimat ini mengungkapkan bahwa
dinding kamar itu memandangi Galang karena sumpah yang di ucapkannya. Hal
ini dapat dilihat dari kalimat yang mendukungnya, yaitu:
“Tak ada lagi canda dan tawa. Galang berdiri menghentak. Kedua bola matanya
menatap langit-langit kamar. Lalu, ia bicara dengan kerasnya. Kata-katanya begitu
menggelegar. Suaranya memenuhi isi ruangan. “Saksikan engkau, hai Wijaya!”
Galang mengangkat kedua tangannya. Lalu ia bicara lagi. “Demi Reni, akan
kutulis berpucuk-pucuk surat cinta dan akan kugubah berjuta sajak cinta. Semua
untuk dirinya. Suatu saat nanti, ketika telah kutulis suratnya, dan telah kugubah
sajak cintanya, akan kutunjukkan padamu, pada dinding, angin, dan dedaunan,
bahwa aku mampu menggandeng tangan Baiq Anggraeni.” (Roro Mendut &
Atmo, hal 83-84).
Kalimat (46) unsur yang menunjukkan gaya bahasa personifikasi adalah
kata menganga. Kata menganga menunjukkan sifat manusia yang kaget karena
sesuatu hingga membuat mulut terbuka dan mata tercengang. Dalam kalimat
tersebut menganga menunjukkan pengandaian bahwa dedaunan tersebut
digambarkan dapat menganga selayaknya manusia. Kata menganga memiliki
makna ‘tercengang’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002:
781) kata menganga mempunyai arti 1 membuka lebar (tentang mulut); terbuka
lebar; 2 membuka mulut karena tercengang; 3 melihat saja.
Penggunaan kata menganga dalam kalimat ini mengungkapkan bahwa
dedaunan itu tercengang karena sumpah yang diucapkan Galang. Hal ini dapat
dilihat dari kalimat yang mendukungnya, yaitu:
“Tak ada lagi canda dan tawa. Galang berdiri menghentak. Kedua bola matanya
menatap langit-langit kamar. Lalu, ia bicara dengan kerasnya. Kata-katanya begitu
menggelegar. Suaranya memenuhi isi ruangan. “Saksikan engkau, hai Wijaya!”
Galang mengangkat kedua tangannya. Lalu ia bicara lagi. “Demi Reni, akan
kutulis berpucuk-pucuk surat cinta dan akan kugubah berjuta sajak cinta. Semua
untuk dirinya. Suatu saat nanti, ketika telah kutulis suratnya, dan telah kugubah
sajak cintanya, akan kutunjukkan padamu, pada dinding, angin, dan dedaunan,
62
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
bahwa aku mampu menggandeng tangan Baiq Anggraeni.” (Roro Mendut &
Atmo, hal 83-84).
Kalimat (46) unsur yang menunjukkan gaya bahasa personifikasi adalah
kata berkelana. Kata berkelana menunjukkan sifat manusia yang mengadakan
perjalanan ke mana-mana tanpa tujuan tertentu. Dalam kalimat tersebut berkelana
menunjukkan pengandaian bahwa angin dapat melakukan perjalanan kemana pun
tanpa tujuan tertentu selayaknya manusia. Kata berkelana memiliki makna
‘mengembara’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002: 529)
kata berkelana mempunyai arti pergi ke mana-mana; mengembara.
Penggunaan kata berkelana dalam kalimat ini mengungkapkan bahwa
angin tersebut berhenti mengembara karena sumpah yang diucapkan oleh Galang.
Hal ini dapat dilihat dari kalimat yang mendukungnya, yaitu:
“Tak ada lagi canda dan tawa. Galang berdiri menghentak. Kedua bola matanya
menatap langit-langit kamar. Lalu, ia bicara dengan kerasnya. Kata-katanya begitu
menggelegar. Suaranya memenuhi isi ruangan. “Saksikan engkau, hai Wijaya!”
Galang mengangkat kedua tangannya. Lalu ia bicara lagi. “Demi Reni, akan
kutulis berpucuk-pucuk surat cinta dan akan kugubah berjuta sajak cinta. Semua
untuk dirinya. Suatu saat nanti, ketika telah kutulis suratnya, dan telah kugubah
sajak cintanya, akan kutunjukkan padamu, pada dinding, angin, dan dedaunan,
bahwa aku mampu menggandeng tangan Baiq Anggraeni.” (Roro Mendut &
Atmo, hal 83-84).
Berikut bentuk penggantian kalimat (46):
(46a) Ucapan lidahnya yang minta diketahui oleh pihak lain, bahkan alam,
adalah sumpah. Tak ada yang berkata-kata, tak ada yang bersuara.
Sekujur tubuh Wijaya merinding dan bergetar. Dinding kamarnya
memandangi Galang penuh kesangsian. Angin pun sejenak berhenti
mengembara. Dan, dedaunan yang merimbunkan pepohonan di
samping rumah Wijaya, sesaat tercengang.
63
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Tabel 3
Gaya Bahasa Personifikasi
No.
Pengungkapan Personifikasi
No.
data
43
44
45
46
Pengungkapan Biasa
data
Wanita itu berasal dari sebuah
kadipaten yang mengobarkan
bara pemberontakan.
Ia
dihadiahkan
pada
Tumenggung
Wiroguno
sebagai penghargaan atas jasa
sang pahlawan perang yang
mampu memadamkan api
disintegrasi.
Jam setengah dua belas, malam
semakin diam.
Ucapan lidahnya yang minta
disaksikan pihak lain, bahkan
alam, adalah sumpah. Tak ada
yang berkata-kata, tak ada yang
bersuara. Sekujur tubuh Wijaya
merinding
dan
bergetar.
Dinding kamarnya menatap
Galang penuh kesangsian.
Angin pun sejenak berhenti
berkelana. Dan, dedaunan yang
merimbunkan pepohonan di
samping rumah Wijaya, sesaat
menganga.
43a
44a
45a
46a
Wanita itu berasal dari sebuah
kadipaten yang mengawali
pemberontakan.
Ia
dihadiahkan
pada
Tumenggung Wiroguno sebagai
penghargaan atas jasa sang
pahlawan perang yang mampu
memadamkan pemberontakan
yang telah terjadi.
Jam setengah dua belas, malam
semakin sunyi.
Ucapan lidahnya yang minta
diketahui oleh pihak lain,
bahkan alam, adalah sumpah.
Tak ada yang berkata-kata, tak
ada yang bersuara. Sekujur
tubuh Wijaya merinding dan
bergetar. Dinding kamarnya
memandangi Galang penuh
kesangsian. Angin pun sejenak
berhenti mengembara. Dan,
dedaunan yang merimbunkan
pepohonan di samping rumah
Wijaya, sesaat tercengang.
2.5 Gaya Bahasa Alusi
Gaya bahasa alusi adalah semacam acuan yang berusaha untuk
mensugestikan kesamaan antara orang, tempat atau peristiwa (Keraf, 1984: 141).
Berikut ini gaya bahasa alusi yang ditemukan dalam kumpulan cerita pendek Roro
Mendut & Atmo:
64
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
(47) “Maaf, saya tidak bersedia menuruti keinginan Menggung,” tolak gadis
dari Kadipaten Pati (Roro Mendut & Atmo, hal 2).
(48) “Saya sudah tahu status itu, Menggung,” kata perawan dari wilayah
Pegunungan Kapur Utara (Roro Mendut & Atmo, hal 3).
(49) Suatu hal yang wajar karena Prono mencintai gadis Pantai Utara itu
(Roro Mendut & Atmo, hal 8).
Kalimat (47), (48), dan (49) terdapat gaya bahasa alusi yaitu pada frasa
gadis dari Kadipaten Pati, perawan dari wilayah Pegunungan Kapur Utara, dan
gadis Pantai Utara. Penulis mempunyai praanggapan yaitu adanya pengetahuan
bersama pada pembaca bahwa keempat bentuk gaya bahasa alusi tersebut dapat
disugestikan sebagai Roro Mendut. Berikut bentuk penggantian keempat gaya
bahasa alusi tersebut:
(47a) “Maaf, saya tidak bersedia menuruti keinginan Menggung,” tolak
Roro Mendut.
(48a) “Saya sudah tahu status itu, Menggung,” kata Roro Mendut.
(49a) Suatu hal yang wajar karena Prono mencintai Roro Mendut.
Berikut contoh lain dari alusi, yaitu:
(50) “Sekarang segeralah kalian, berlutut di kakiku!” lanjut Senopati perang
(Roro Mendut & Atmo, hal 11).
(51) Pronocitro yang dipihakinya, semakin tak berdaya menandingi arogansi
panglima perang negeri Mataram (Roro Mendut & Atmo, hal 14).
Kalimat (50) dan (51) terdapat gaya bahasa alusi yaitu pada frasa Senopati
perang dan panglima perang negeri Mataram. Penulis mempunyai praanggapan
yaitu adanya pengetahuan bersama pada pembaca bahwa kedua bentuk gaya
bahasa alusi tersebut dapat disugestikan sebagai Tumenggung Wiroguno. Berikut
bentuk penggantian kedua gaya bahasa alusi tersebut:
(50a) “Sekarang segeralah kalian, berlutut di kakiku!” lanjut Tumenggung
Wiroguno.
(51a) Pronocitro yang dipihakinya, semakin tak berdaya menandingi
arogansi Tumenggung Wiroguno.
65
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Berikut contoh lain dari alusi, yaitu:
(52) Mereka lebih suka memanggilnya dengan ‘Atmo Jogja’ (Roro Mendut &
Atmo, hal 25).
Kalimat (52) terdapat gaya bahasa alusi yaitu pada frasa Atmo Jogja.
Penulis mempunyai praanggapan yaitu adanya pengetahuan bersama pada
masyarakat Gang Dahlia, RT 06, bahwa Suratmo Hartono yang berasal dari
Jogjakarta lebih dikenal dengan nama Atmo Jogja. Berikut bentuk penggantian
Atmo Jogja:
(52a) Mereka lebih suka memanggilnya Atmo yang berasal dari Jogja.
Berikut contoh lain dari alusi, yaitu:
(53) Menurut seorang saksi mata yang berjualan rokok di dekat situ, si korban
sudah ditolong penduduk (Roro Mendut & Atmo, hal 35).
Kalimat (53) terdapat gaya bahasa alusi yaitu pada frasa si korban. Penulis
mempunyai praanggapan yaitu adanya pengetahuan bersama pada pembaca dan
masyarakat dimana kecelakaan tersebut terjadi bahwa si korban dapat
disugestikan sebagai Yuri. Berikut bentuk penggantian si korban:
(53a) Menurut seorang saksi mata yang berjualan rokok di dekat situ, Yuri
sudah ditolong penduduk.
Tabel 4
Gaya Bahasa Alusi
No.
Pengungkapan Alusi
No.
data
47
Pengungkapan Biasa
data
“Maaf, saya tidak bersedia
menuruti
keinginan
Menggung,” tolak gadis dari
66
47a
“Maaf, saya tidak bersedia
menuruti keinginan Menggung,”
tolak Roro Mendut.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
48
49
50
51
52
53
Kadipaten Pati.
“Saya sudah tahu status itu,
Menggung,” kata perawan dari
wilayah Pegunungan Kapur
Utara.
Suatu hal yang wajar karena
Prono mencintai gadis Pantai
Utara itu.
“Sekarang segeralah kalian,
berlutut di kakiku!” lanjut
Senopati perang.
Pronocitro yang dipihakinya,
semakin
tak
berdaya
menandingi arogansi panglima
perang negeri Mataram.
Mereka lebih suka
memanggilnya dengan ‘Atmo
Jogja’.
Menurut seorang saksi mata
yang berjualan rokok di dekat
situ, si korban sudah ditolong
penduduk.
48a
“Saya sudah tahu status itu,
Menggung,” kata Roro Mendut.
49a
Suatu hal yang wajar karena
Prono mencintai Roro Mendut.
50a
“Sekarang segeralah kalian,
berlutut di kakiku!” lanjut
Tumenggung Wiroguno.
Pronocitro yang dipihakinya,
semakin tak berdaya menandingi
arogansi
Tumenggung
Wiroguno.
Mereka
lebih
suka
memanggilnya
Atmo
yang
berasal dari Jogja.
Menurut seorang saksi mata
yang berjualan rokok di dekat
situ, Yuri sudah ditolong
penduduk.
51a
52a
53a
2. 6 Gaya Bahasa Epitet
Epitet (epiteta) adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau
ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal. Keterangan itu adalah suatu frasa
deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama seseorang atau suatu barang
(Keraf, 1984: 141). Berikut gaya bahasa epitet yang ditemukan dalam kumpulan
cerita pendek Roro Mendut & Atmo karya Besar S.W:
(54) Ia dihadiahkan pada Tumenggung Wiroguno sebagai penghargaan atas
jasa sang pahlawan perang yang mampu memadamkan api disintegrasi
(Roro Mendut & Atmo, hal 1).
Kalimat (54) gaya bahasa epitet ditunjukkan oleh frasa sang pahlawan
perang. Dalam kalimat tersebut digambarkan bahwa Tumenggung Wiroguno
67
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
berhasil memadamkan api disintegrasi sehingga ia disebut sebagai sang pahlawan
perang. Berikut contoh lain dari epitet, yaitu sang pembantai:
(55) “Lahirmu saja baru kemarin sore, sudah berlagak sebagai sang
pembantai. Kencangkan dulu kolor celanamu, kalau hendak berlaga
dengan tuanmu. Ayo jangan mundur meski selangkah karena pantang
bagiku menyerah kalah!” Tumenggung menerima tantangan (Roro
Mendut & Atmo, hal 12).
Kalimat (55) gaya bahasa epitet ditunjukkan oleh frasa sang pembantai.
Sang pembantai merupakan sebutan yang diberikan Tumenggung Wiroguno
kepada Pronocitro karena dianggap terlalu banyak berlagak. Berikut contoh lain
dari epitet, yaitu mahasiswa krempeng yang nyentrik itu:
(56) Yah, mahasiswa krempeng yang nyentrik itu akhirnya memang jadi buah
simalakama bagi Galang (Roro Mendut & Atmo, hal 82).
Kalimat (56) gaya bahasa epitet ditunjukkan dengan kalimat mahasiswa
kerempeng yang nyentrik itu. Sebutan itu menggambarkan keadaan Nico, saingan
Galang dalam memperebutkan cinta Reni. Reni memberikan julukan itu karena
sifat Nico yang memang nyentrik dan badannya yang kurus. Berikut contoh lain
dari epitet, yaitu si dosen bujang perlente:
(57) “Mataku jadi saksi, Lang. Sayang sekali, punya teman terlalu ketinggalan
jaman. Oh ya, aku barusan dari rumah Pak Anto, si dosen bujang
perlente. Biasalah, diskusi sambil rujakan. Eh, ternyata mereka ada di
sana. Nah, apa kamu tidak berani bersaing dengan teman sendiri?” begitu
kata Wijaya (Roro Mendut & Atmo, hal 82).
Pada kalimat (57) gaya bahasa epitet ditunjukkan oleh si dosen bujang
perlente. Frasa tersebut menggambarkan keadaan Pak Anto yang belum menikah,
gagah, dan suka berpakaian rapi.
(58) Padahal, kepasrahan sang triman adalah suatu keadaan yang diharapharapkan oleh Pak Tumenggung (Roro Mendut & Atmo, hal 5).
68
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Pada kalimat (58) gaya bahasa epitet ditunjukkan oleh sang triman. Frasa
tersebut menggantikan Roro Mendut yang akan ditriman oleh Tumenggung
Wiroguno.
2. 7 Gaya Bahasa Antonomasia
Antonomasia juga merupakan bentuk khusus dari sinekdoke yang
berwujud penggunaan sebuah epiteta untuk menggantikan nama diri, atau gelar
resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri (Keraf, 1984: 142). Berikut ini
adalah gaya bahasa antonomasia yang ditemukan dalam kumpulan cerpen Roro
Mendut & Atmo karya Besar S.W:
(59) Di istana ia tak bisa menolak ketika sang raja memanfaatkannya sebagai
seorang triman untuk kepentingan Negara (Roro Mendut & Atmo, hal 1).
Kalimat (59) gaya bahasa antonomasia ditunjukkan dengan frasa sang
raja. Sang raja di kalimat tersebut menggantikan Raja Mataram. Berikut contoh
lain dari antonomasia, yaitu seorang perawan:
(60) Asalkan, si penerima hadiah menghormatinya sebagai seorang perawan
(Roro Mendut & Atmo, hal 2).
Kalimat (60) gaya bahasa antonomasia ditunjukkan oleh frasa seorang
perawan. Seorang perawan dalam kalimat ini menggantikan Roro Mendut.
Berikut contoh lain dari antonomasia, yaitu pejabat kerajaan:
(61) “Jangan khawatir, Ndut! Aku akan menjamin kehidupan yang sangat
layak untuk masa depanmu. Kamu akan hidup mewah bergelimang harta
di ibukota Negara. Juga bergaul dengan kalangan elite. Tinggal di sebuah
rumah mewah dilayani banyak abdi dan jongos. Punya kendaraan tak
bermotor, lengkap dengan kusirnya. Bagaimana Cah Ayu?” pejabat
kerajaan itu menjanjikan segalanya (Roro Mendut & Atmo, hal 3).
69
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Kalimat (61) gaya bahasa antonomasia ditunjukkan oleh frasa pejabat
kerajaan. Dalam kalimat ini, pejabat kerajaan menggantikan Tumenggung
Wiroguno. Berikut contoh lain dari antonomasia, yaitu dedengkot:
(62) Dedengkot majalah dinding sekolah itu bahkan menilainya sebagai kisah
murahan yang tidak punya konflik (Roro Mendut & Atmo, hal 57-58).
Kalimat (62) gaya bahasa antonomasia ditunjukkan oleh kata dedengkot.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: 244), kata dedengkot berarti orang
yang menjadi tokoh (pemimpin) dalam suatu perkumpulan dsb, baik dalam arti
yang baik maupun yang buruk. Kata dedengkot dalam kalimat ini menggantikan
Ratri, karena Ratri adalah ketua mading sekolah.
2. 8 Gaya Bahasa Ironi
Sebagai bahasa kiasan, atau sindiran adalah suatu acuan yang ingin
mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang
terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Ironi akan berhasil kalau pendengar
juga sadar akan maksud yang disembunyikan di balik rangkaian kata-katanya
(Keraf, 1984: 143).
Terdapat juga istilah lain yaitu sinisme yang diartikan sebagai suatu
sindiran berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan
ketulusan hati. Walaupun sinisme dianggap lebih keras dari ironi, namun kadangkadang masih sukar diadakan perbedaan antara keduanya. Bila contoh mengenai
ironi di atas diubah, maka akan dijumpai gaya yang lebih bersifat sinis (Keraf,
1984: 143).
70
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme.
Ia adalah suatu acuan yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir.
Sarkasme dapat juga bersifat ironis, dapat juga tidak, tetapi yang jelas adalah
bahwa gaya ini akan selalu menyakiti hati dan kurang enak didengar. Kata
sarkasme diturunkan dari kata Yunani sarkasmos, yang lebih jauh diturunkan dari
kata kerja sakasein yang berarti “merobek-robek daging seperti anjing”,
“menggigit bibir karena marah”, atau “berbicara dengan kepahitan” (Keraf, 1984:
143). Berikut ini gaya bahasa ironi, sinisme, dan sarkasme yang ditemukan dalam
kumpulan cerita pendek Roro Mendut dan Atmo karya Besar S.W:
(63) “Wah-wah kamu bilang pelanggan. Tapi dari tadi kamu berbisik-bisik
dan saling tersenyum berdua. Jangan kira, baru sekarang aku mengetahui
hubunganmu ini, Mendut. Kamu memang wanita tidak tahu diuntung.
Kalau tidak kuselamatkan, mungkin engkau telah mati keterjang senjata
nyasar di kancah peperangan.” Wiroguno marah (Roro Mendut & Atmo,
hal 8).
Kalimat (63) terdapat gaya bahasa ironi dan sarkasme. Kalimat Wah-wah
kamu bilang pelanggan. Tapi dari tadi kamu berbisik-bisik dan saling tersenyum
berdua yang diucapkan oleh Wiroguno mengandung ironi. Dalam kalimat tersebut
Wiroguno menyindir kedekatan antara Roro Mendut dan Pronocitro. Wiroguno
menyindir Roro Mendut karena wanita tersebut merupakan trimannya. Karena
itulah ia merasa memiliki hak atas Roro Mendut dan tidak senang apabila wanita
tersebut berdekatan dengan lelaki lain. Sedangkan pada kalimat Kamu memang
wanita tidak tahu diuntung. Kalau tidak kuselamatkan, mungkin engkau telah
mati keterjang senjata nyasar di kancah peperangan merupakan sarkasme.
Kalimat yang diucapkan oleh Wiroguno tersebut bermaksud untuk mencela Roro
71
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Mendut yang kelakuannya membuat Wiroguno marah. Kalimat tersebut sangat
menyakitkan hati dan tidak enak didengar. Berikut contoh lain dari ironi, yaitu:
(64) “Hai, kamu pemuda ingusan! Menurut laporan asistenku, kamu orang
yang bernama Pronocitro brengsek itu, bukan?” (Roro Mendut & Atmo,
hal 9).
(65) “Orang edan, ngapain kamu berlama-lama berduaan dengan trimanku,
ha?” pejabat itu naik pitam (Roro Mendut & Atmo, hal 9).
(66) “Tahukah kamu, Prono gemblung, kalau sebentar lagi ia akan menjadi
selirku?” Wiroguno mengintrogasi (Roro Mendut & Atmo, hal 9).
(67) “Jangan ikut campur urusanku dengan Prono menying ini, Ndut!”
Wiroguno memperingatkan trimannya (Roro Mendut & Atmo, hal 9).
(68) “Pasukan! Tangkap pemuda gembel jelek itu!” komando Panglima
Wiroguno pada anak buahnya (Roro Mendut & Atmo, hal 10).
(69) “Hai para begundal! Mau pada lari kemana lagi kalian, ha? Tempat ini
sudah saya blokade. Ha… ha ha ha …!” Wiroguno merasa menang (Roro
Mendut & Atmo, hal 11).
(70) “Dasar anak ingusan tak tahu malu, wanita sudah ditriman masih di
mau. Sebaiknya engkau pulang menyusu pada ibumu karena yang
kuhadapi belum banyak ilmu. Lalu, belajarlah mencuci paras muka
kalau ingin dihinggapi rasa cinta,” kata-kata Wiroguno tak kalah
menyakitkan hati lawan (Roro Mendut & Atmo, hal 12).
(71) “Lahirmu saja baru kemarin sore, sudah berlagak sebagai sang
pembantai. Kencangkan dulu kolor celanamu, kalau hendak berlaga
dengan tuanmu. Ayo jangan mundur meski selangkah karena pantang
bagiku menyerah kalah!” Tumenggung menerima tantangan (Roro
Mendut & Atmo, hal 12).
Kalimat (64) sampai dengan kalimat (71) seluruhnya mengandung
sarkasme. Hal ini ditunjukkan dengan kata-kata yang diucapkan oleh Wiroguno
yaitu pemuda ingusan, Pronocitro brengsek, orang edan, Pronocitro gemblung,
Pronocitro menying, pemuda gembel jelek, para begundal, Dasar anak ingusan
tak tahu malu, wanita sudah ditriman masih di mau. Sebaiknya engkau pulang
menyusu pada ibumu karena yang kuhadapi belum banyak ilmu. Lalu, belajarlah
mencuci paras muka kalau ingin dihinggapi rasa cinta, Lahirmu saja baru
kemarin sore, sudah berlagak sebagai sang pembantai. Kencangkan dulu kolor
celanamu, kalau hendak berlaga dengan tuanmu. Semua kata-kata yang
72
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
diucapkan oleh Wiroguno tersebut bermaksud untuk mengejek dan memanasmanasi lawannya, Pronocitro. Pronocitro dianggap masih anak kecil yang belum
tahu apa-apa. Kalimat-kalimat tersebut begitu menyakitkan hati dan tidak enak
didengar. Berikut contoh lain dari ironi, yaitu:
(72) “Hai, panglima kerajaan yang katanya selalu menang perang!
Mengakumu saja sebagai ksatria, tapi nyatanya berlaku betina. Engkau
hanya besar mulut menghadapi dua orang mengerahkan para pengikut.
Perempuan bisanya hanya menjerit, masih kau takut-takuti dengan
segenap prajurit.” Pronocitro memanas-manasi lawannya (Roro Mendut
& Atmo, hal 11).
Kalimat (72) mengandung ironi. Hal ini ditunjukkan dengan kalimat Hai,
panglima kerajaan yang katanya selalu menang perang! Mengakumu saja
sebagai ksatria, tapi nyatanya berlaku betina. Engkau hanya besar mulut
menghadapi dua orang mengerahkan para pengikut yang diucapkan oleh
Pronocitro. Kalimat yang diucapkan oleh Pronocitro ini bermaksud untuk
membalas ejekan-ejekan yang diucapkan oleh Wiroguno. Wiroguno dikatakan
berkelakuan seperti wanita. Tetapi dalam kalimat tersebut tidak digunakan kata
wanita melainkan kata betina yang berarti kelakuan Wiroguno disamakan dengan
hewan betina. Berikut contoh lain dari ironi, yaitu:
(73) “Tak ada yang berminat membaca tulisan jelekmu!” kata gadis itu acuh
tak acuh (Roro Mendut & Atmo, hal 49).
(74) “Biar saja! Sudut pandangnya juga kaku, kayak wayang,” Ratri mulai
tidak menghadap kearah lain (Roro Mendut & Atmo, hal 60).
Kalimat (73) dan (74) mengandung sarkasme. Hal ini ditunjukkan dengan
kalimat Tak ada yang berminat membaca tulisan jelekmu dan Sudut pandangnya
juga kaku, kayak wayang yang diucapkan oleh Ratri. Kata-kata yang diucapkan
oleh Ratri tersebut bermaksud untuk memberikan pelajaran pada Bramanto karena
73
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
ia terlalu keras kepala. Sudut pandang dalam cerita yang ditulis oleh Bramanto
disamakan dengan wayang yang begitu kaku. Berikut contoh lain dari ironi, yaitu:
(75) “Jangan asal menilai karya orang, ya! Apresiasi senimu rendah. Cerpen
baik dibilang jelek,” bantahku (Roro Mendut & Atmo, hal 52).
(76) “Kamu yang kaku kayak tulang.” Aku panas (Roro Mendut & Atmo, hal
60).
Kalimat (75) dan (76) mengandung sarkasme. Hal ini ditunjukkan dengan
kalimat Apresiasi senimu rendah dan Kamu yang kaku kayak tulang yang
diucapkan oleh Bramanto. Kata-kata yang diucapkan oleh Bramanto tersebut
bermaksud untuk membalas ejekan Ratri atas tulisannya. Ratri yang merupakan
seorang redaktur mading di sekolah dianggap memiliki apresiasi seni yang rendah
oleh Bramanto.
2. 9 Gaya Bahasa Inuendo
Inuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang
sebenarnya. Ia menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung, dan sering
tampaknya tidak menyakitkan hati kalau dilihat sambil lalu (Keraf, 1984: 144).
Berikut ini adalah gaya bahasa inuendo yang ditemukan dalam kumpulan cerita
pendek Roro Mendut & Atmo karya Besar S.W:
(77) “Wah-wah kamu bilang pelanggan. Tapi dari tadi kamu berbisik-bisik
dan saling tersenyum berdua. Jangan kira, baru sekarang aku mengetahui
hubunganmu ini, Mendut. Kamu memang wanita tidak tahu diuntung.
Kalau tidak kuselamatkan, mungkin engkau telah mati keterjang senjata
nyasar di kancah peperangan.” Wiroguno marah (Roro Mendut & Atmo,
hal 8).
Kalimat (77) Wiroguno mengecilkan kenyataan dengan menyebut bahwa
Pronocitro dan Roro Mendut adalah pelanggan. Dalam kumpulan cerpen Roro
Mendut & Atmo karya Besar S.W (2006: 8), tertulis “Ia dan pemuda Pronocitro
74
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
sama-sama menaruh perhatian. Kedua orang muda itu sering bertemu, lalu saling
jatuh hati. Harkat dan martabatnya dihargai, dihormati, dan diperlakukan sebagai
sesamanya. Mereka pun kemudian menjalin benang asmara secara illegal,”
Penulis cerpen menggambarkan bahwa Pronocitro dan Roro Mendut memiliki
hubungan yang spesial. Berikut contoh lain dari inuendo, yaitu:
(78) “Pasukan! Tangkap pemuda gembel jelek itu!” komando Panglima
Wiroguno pada anak buahnya (Roro Mendut & Atmo, hal 10).
Kalimat (78) Wiroguno mengecilkan kenyataan yang sebenarnya dengan
mengatakan bahwa Pronocitro adalah pemuda gembel jelek. Dalam kumpulan
cerpen Roro Mendut & Atmo karya Besar S.W (2006: 6), tertulis “Ndut,
ngomong-ngomong, hari ini kamu harus setor upeti berapa?” Tanya pelanggan
yang tak lain adalah pemuda ganteng Pronocitro”.
Penulis cerpen
menggambarkan bahwa Pronocitro adalah seorang pemuda ganteng.
75
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
BAB III
FUNGSI GAYA BAHASA KIASAN
DALAM KUMPULAN CERITA PENDEK RORO MENDUT & ATMO
KARYA BESAR S.W.
3.1 Pengantar
Dalam bab ini akan dibahas mengenai fungsi-fungsi gaya bahasa kiasan, di
antaranya fungsi ironi, fungsi menghaluskan, fungsi melebihkan, fungsi
keindahan, dan fungsi mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung.
3.2 Fungsi Ironi
Subagyo (2004: 67), menyatakan bahwa gaya bahasa ironi merupakan cara
yang ramah untuk menyinggung perasaan orang, atau sopan santun yang
mengejek. Berbicara atau bertutur merupakan tindakan yang berorientasi pada
maksud atau tujuan (goal oriented activity). Melalui ironi, maksud atau tujuan
yang sama dapat dikemukakan dengan beberapa tuturan yang berbeda-beda.
Sekadar contoh, seorang ibu sudah berkali-kali menyuruh anak gadisnya menyapu
lantai ruang tamu. Apalagi kuliah libur sehingga anaknya punya banyak waktu
luang untuk memenuhi harapan ibunya. Namun si anak gadis tetap saja tidak
beranjak dari depan televisi. Perintah sang ibu tidak juga dilaksanakan. Situasi itu
membuat sang ibu marah. Lalu dengan nada geram dia berkata kepada anak
gadisnya, Dasar anak malas, sudah disuruh berkali-kali tetap saja tak bergeming.
76
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Di samping itu, sang ibu dapat mengemukakan maksudnya dengan tuturan ini,
Anakku memang rajin, disuruh sekali saja langsung semua beres. Tuturan
semacam itulah yang disebut sebagai tuturan yang memiliki fungsi ironi.
Berikut contoh fungsi ironi dalam gaya bahasa metafora:
(79) “Hai, panglima kerajaan yang katanya selalu menang perang!
Mengakumu saja sebagai ksatria, tapi nyatanya berlaku betina. Engkau
hanya besar mulut menghadapi dua orang mengerahkan para pengikut.
Perempuan bisanya hanya menjerit, masih kau takut-takuti dengan
segenap prajurit.” Pronocitro memanas-manasi lawannya (Roro Mendut
& Atmo, hal 11).
Pronocitro memanas-manasi Wiroguno dengan menyebutnya besar mulut,
mengakumu saja sebagai ksatria, tapi nyatanya berlaku betina pada data (79).
Tuturan Pronocitro tersebut memiliki fungsi ironi karena menyindir Wiroguno
secara tidak langsung dengan cara menyamakan kelakuan Wiroguno dengan
binatang yang bejenis kelamin betina. Berikut fungsi ironi dalam gaya bahasa
epitet:
(80) “Lahirmu saja baru kemarin sore, sudah berlagak sebagai sang
pembantai. Kencangkan dulu kolor celanamu, kalau hendak berlaga
dengan tuanmu. Ayo jangan mundur meski selangkah karena pantang
bagiku menyerah kalah!” Tumenggung menerima tantangan (Roro
Mendut & Atmo, hal 12).
Dari data di atas terlihat bahwa fungsi ironi ditunjukkan dalam tuturan
yang diucapkan oleh Wiroguno. Lahirmu saja baru kemarin sore, sudah berlagak
sebagai sang pembantai. Kencangkan dulu kolor celanamu, kalau hendak berlaga
dengan tuanmu, Wiroguno menyebut lawan bicaranya, Pronocitro, sebagai anak
yang baru lahir kemarin sore dan harus mengencangkan dulu kolor celananya
apabila hendak bertarung dengan dirinya. Tuturan tersebut selain bersifat
77
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
menyindir juga menyakitkan hati lawan bicaranya. Berikut fungsi ironi dalam
gaya bahasa ironi:
(81) “Tahukah kamu, Prono gemblung, kalau sebentar lagi ia akan menjadi
selirku?” Wiroguno mengintrogasi (Roro Mendut & Atmo, hal 9).
Wiroguno menyebut Pronocitro sebagai Prono gemblung (81) dan
menanyakan pertanyaan yang bersifat retorik pada Pronocitro. Frasa tersebut
menunjukkan fungsi ironi karena bersifat kasar dan bertujuan untuk mengejek dan
menghina lawan bicaranya.
(82) “Dasar anak ingusan tak tahu malu, wanita sudah ditriman masih di
mau. Sebaiknya engkau pulang menyusu pada ibumu karena yang
kuhadapi belum banyak ilmu. Lalu, belajarlah mencuci paras muka
kalau ingin dihinggapi rasa cinta,” kata-kata Wiroguno tak kalah
menyakitkan hati lawan (Roro Mendut & Atmo, hal 12).
Tuturan Dasar anak ingusan tak tahu malu, wanita sudah ditriman masih
di mau. Sebaiknya engkau pulang menyusu pada ibumu karena yang kuhadapi
belum banyak ilmu. Lalu, belajarlah mencuci paras muka kalau ingin dihinggapi
rasa cinta, pada data (82) memiliki fungsi ironi karena secara terang-terangan
menyindir dan menghina lawan bicaranya. Berikut fungsi ironi dalam gaya bahasa
inuendo:
(83) “Wah-wah kamu bilang pelanggan. Tapi dari tadi kamu berbisik-bisik
dan saling tersenyum berdua. Jangan kira, baru sekarang aku mengetahui
hubunganmu ini, Mendut. Kamu memang wanita tidak tahu diuntung.
Kalau tidak kuselamatkan, mungkin engkau telah mati keterjang senjata
nyasar di kancah peperangan.” Wiroguno marah (Roro Mendut & Atmo,
hal 8).
Wiroguno menyindir dengan mengatakan bahwa Pronocitro hanyalah
salah satu pelanggan Roro Mendut pada data (83). Pada kenyataannya Wiroguno
sendiri tahu bahwa Pronocitro bukanlah sekedar pelanggan biasa bagi Roro
78
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Mendut. Selain itu Wiroguno juga mengungkapkan tuturan yang kasar dengan
menyebut Roro Mendut sebagai wanita tidak tahu diuntung.
3.3 Fungsi Menghaluskan
Fungsi menghaluskan ini bertujuan untuk melembutkan atau memperhalus
sesuatu yang kasar atau jelek yang disebut juga eufimisme. Tujuannya untuk
menutupi kelemahan, kekurangan, atau hal-hal yang menurut pandangan
masyarakat “jelek”. Dalam hal ini ungkapan yang halus atau lembut digunakan
untuk menutupi hal yang sebenarnya kasar (Baryadi, 2012: 30). Fungsi
menghaluskan ini berkenaan dengan gaya bahasa metafora dan personifikasi.
Berikut ini fungsi menghaluskan yang terdapat dalam gaya bahasa metafora:
(84) “Majulah, jangan hanya bersilat lidah!” (Roro Mendut dan Atmo, hal
12).
Contoh (84) frasa bersilat lidah digunakan karena lebih halus apabila
dibandingkan dengan berdebat dan bertengkar. Berikut bentuk penggantian frasa
bersilat lidah apabila diganti dengan bentuk pengungkapan tanpa penghalusan:
(84a) “Majulah, jangan hanya bertengkar!”
Berikut contoh lain dari fungsi menghaluskan, yaitu:
(85)
“Awas, jangan pernah lari dari medan laga!” (Roro Mendut dan Atmo,
hal 12).
Contoh (85) frasa medan laga dirasakan lebih halus dibanding dengan
arena pertarungan. Berikut bentuk penggantian frasa medan laga apabila diganti
dengan bentuk pengungkapan tanpa penghalusan:
(85a) “Awas, jangan pernah lari dari arena pertarungan!”
Berikut contoh lain dari fungsi menghaluskan, yaitu:
79
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
(86) Yang masih jelas kelihatan adalah pecahan kaca berserakan dan luka
goresan di kulit badan jalan (Roro Mendut dan Atmo, hal 34).
Contoh (86) frasa badan jalan merupakan pengungkapan yang lebih halus
dibandingkan dengan emperan jalan. Berikut bentuk penggantian frasa badan
jalan apabila diganti dengan bentuk pengungkapan tanpa penghalusan:
(86a) Yang masih jelas kelihatan adalah pecahan kaca berserakan dan luka
goresan di emperan jalan.
Berikut contoh lain dari fungsi menghaluskan, yaitu:
(87) “Orang edan, ngapain kamu berlama-lama berduaan dengan trimanku,
ha?” pejabat itu naik pitam (Roro Mendut dan Atmo, hal 9).
Naik pitam pada contoh (87) merupakan pengungkapan yang lebih halus
dari marah sekali. Berikut bentuk penggantian frasa naik pitam apabila diganti
dengan bentuk pengungkapan tanpa penghalusan:
(87a) “Orang edan, ngapain kamu berlama-lama berduaan dengan trimanku,
ha?” pejabat itu sangat marah sekali.
Berikut contoh lain dari fungsi menghaluskan, yaitu:
(88) “Hai, panglima kerajaan yang katanya selalu menang perang!
Mengakumu saja sebagai ksatria, tapi nyatanya berlaku betina. Engkau
hanya besar mulut menghadapi dua orang mengerahkan para pengikut.
Perempuan bisanya hanya menjerit, masih kau takut-takuti dengan
segenap prajurit.” Pronocitro memanas-manasi lawannya (Roro Mendut
dan Atmo, hal 11).
Contoh (88) frasa besar mulut dirasakan lebih halus dari sombong,
membual, dan banyak bicara. Berikut bentuk penggantian frasa besar mulut
apabila diganti dengan bentuk pengungkapan tanpa penghalusan:
(88a) “Hai, panglima kerajaan yang katanya selalu menang perang!
Mengakumu saja sebagai ksatria, tapi nyatanya berlaku betina.
Engkau hanya membual menghadapi dua orang mengerahkan para
pengikut. Perempuan bisanya hanya menjerit, masih kau takut-
80
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
takuti dengan segenap prajurit.” Pronocitro memanas-manasi
lawannya.
Berikut contoh lain dari fungsi menghaluskan, yaitu:
(89) Maka, terjadilah gencatan senjata (Roro Mendut & Atmo, hal 16).
Gencatan senjata pada contoh (89) merupakan bentuk halus dari
‘penghentian aktivitas tembak-menembak dalam perang’. Berikut bentuk
penggantian frasa gencatan senjata apabila diganti dengan bentuk pengungkapan
tanpa penghalusan:
(89a) Maka, terjadilah penghentian aktivitas tembak-menembak dalam
perang.
Berikut contoh lain dari fungsi menghaluskan, yaitu:
(90) Pantaslah, pertemuan tidak diakhiri happy ending, meski bukan dengan
duka lara, tak ada kesepakatan ataupun penandatanganan MOU. Eh
bukan, maksudku MOL alias memorandum of love. Pulang hampa
tangan. Dan aku pun sebenarnya kurang menginginkan (Roro Mendut &
Atmo, hal 80).
Hampa tangan pada contoh (90) merupakan bentuk halus dari ‘tidak
membawa apa-apa (pulang dengan tangan kosong)’. Berikut bentuk penggantian
frasa hampa tangan apabila diganti dengan bentuk pengungkapan tanpa
penghalusan:
(90a) Pantaslah, pertemuan tidak diakhiri happy ending, meski bukan dengan
duka lara, tak ada kesepakatan ataupun penandatanganan MOU. Eh
bukan, maksudku MOL alias memorandum of love. Pulang tanpa
membawa apa-apa. Dan aku pun sebenarnya kurang menginginkan.
Berikut gaya bahasa personifikasi yang berfungsi menghaluskan:
(91) Ia dihadiahkan pada Tumenggung Wiroguno sebagai penghargaan atas
jasa sang pahlawan perang yang mampu memadamkan api disintegrasi
(Roro Mendut dan Atmo, hal 1).
81
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Contoh (91) api disintegrasi merupakan pengungkapan halus dari
pemberontakan yang terjadi. Berikut bentuk penggantian frasa api disintegrasi
apabila diganti dengan bentuk pengungkapan tanpa penghalusan:
(91a) Ia dihadiahkan pada Tumenggung Wiroguno sebagai penghargaan atas
jasa sang pahlawan perang yang mampu memadamkan pemberontakan
yang telah terjadi.
Tabel 5
Fungsi Menghaluskan
No.
Pengungkapan dengan Fungsi
No.
Pengungkapan tanpa
data
Menghaluskan
data
Penghalusan
“Majulah, jangan hanya bersilat
lidah!”
“Awas, jangan pernah lari dari
medan laga!”
Yang masih jelas kelihatan
adalah pecahan kaca berserakan
dan luka goresan di kulit badan
jalan.
“Orang edan, ngapain kamu
berlama-lama berduaan dengan
trimanku, ha?” pejabat itu naik
pitam.
“Hai, panglima kerajaan yang
katanya selalu menang perang!
Mengakumu
saja
sebagai
ksatria, tapi nyatanya berlaku
betina. Engkau hanya besar
mulut menghadapi dua orang
mengerahkan para pengikut.
Perempuan
bisanya
hanya
menjerit, masih kau takut-takuti
dengan
segenap
prajurit.”
Pronocitro
memanas-manasi
lawannya.
Maka,
terjadilah
gencatan
senjata.
84a
“Majulah,
jangan
hanya
bertengkar!”
“Awas, jangan pernah lari dari
arena pertarungan!”
Yang masih jelas kelihatan
adalah pecahan kaca berserakan
dan luka goresan di emperan
jalan.
“Orang edan, ngapain kamu
berlama-lama berduaan dengan
trimanku, ha?” pejabat itu
marah sekali.
“Hai, panglima kerajaan yang
katanya selalu menang perang!
Mengakumu
saja
sebagai
ksatria, tapi nyatanya berlaku
betina. Engkau hanya membual
menghadapi
dua
orang
mengerahkan para pengikut.
Perempuan
bisanya
hanya
menjerit, masih kau takut-takuti
dengan
segenap
prajurit.”
Pronocitro
memanas-manasi
lawannya.
Maka, terjadilah penghentian
aktivitas
tembak-menembak
84
85
86
87
88
89
85a
86a
87a
88a
89a
82
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Pantaslah, pertemuan tidak 90a
diakhiri happy ending, meski
bukan dengan duka lara, tak ada
kesepakatan
ataupun
penandatanganan MOU. Eh
bukan, maksudku MOL alias
memorandum of love. Pulang
hampa tangan. Dan aku pun
sebenarnya
kurang
menginginkan.
Ia
dihadiahkan
pada 91a
Tumenggung Wiroguno sebagai
penghargaan atas jasa sang
pahlawan perang yang mampu
memadamkan api disintegrasi.
90
91
dalam perang.
Pantaslah, pertemuan tidak
diakhiri happy ending, meski
bukan dengan duka lara, tak ada
kesepakatan
ataupun
penandatanganan MOU. Eh
bukan, maksudku MOL alias
memorandum of love. Pulang
tanpa membawa apa-apa. Dan
aku pun sebenarnya kurang
menginginkan.
Ia
dihadiahkan
pada
Tumenggung Wiroguno sebagai
penghargaan atas jasa sang
pahlawan perang yang mampu
memadamkan pemberontakan
yang telah terjadi.
3.4 Fungsi Melebihkan
Gaya ini digunakan untuk membesar-besarkan atau membanggakan diri
pribadi dan di balik itu sebenarnya mengecilkan orang lain. Di balik itu juga gaya
bahasa ini dimanfaatkan untuk menyembunyikan kelemahan-kelemahan atau
kekurangan-kekurangan yang ada pada diri pribadi (Baryadi, 2012: 29). Berikut
adalah fungsi melebihkan yang ditemukan dalam gaya bahasa persamaan atau
simile:
(92) Dengan gaun merah muda, aku malah melenggak-lenggok layaknya
peragawati beraksi di atas catwalk (Roro Mendut & Atmo, hal 74).
Contoh (92) tokoh aku digambarkan melenggak-lenggok layaknya
peragawati di atas catwalk, padahal sebenarnya tokoh aku tersebut bukanlah
seorang peragawati dan tidak sedang berada di atas catwalk. Terlihat bahwa tokoh
tersebut merasa bangga pada dirinya sendiri. Berikut adalah fungsi melebihkan
yang terdapat dalam gaya bahasa ironi:
83
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
(93) “Hai, kamu pemuda ingusan! Menurut laporan asistenku, kamu orang
yang bernama Pronocitro brengsek itu, bukan?” (Roro Mendut & Atmo,
hal 9).
Frasa pemuda ingusan pada contoh (93) memiliki fungsi melebihkan
karena Pronocitro adalah pria dewasa, bukan anak kecil yang masih ingusan.
(94) “Orang edan, ngapain kamu berlama-lama berduaan dengan trimanku,
ha?” pejabat itu naik pitam (Roro Mendut & Atmo, hal 9).
Orang edan pada contoh (95) memiliki fungsi melebihkan karena
Pronocitro adalah pemuda yang waras sifatnya.
(95) “Tahukah kamu, Prono gemblung, kalau sebentar lagi ia akan menjadi
selirku?” Wiroguno mengintrogasi (Roro Mendut & Atmo, hal 9).
(96) “Jangan ikut campur urusanku dengan Prono menying ini, Ndut!”
Wiroguno memperingatkan trimannya (Roro Mendut & Atmo, hal 9).
Prono gemblung pada contoh (95) dan Prono menying pada contoh (96)
merupakan gaya bahasa ironi yang memiliki fungsi melebihkan karena bertujuan
untuk mengecilkan dan mengejek Pronocitro.
(97) “Pasukan! Tangkap pemuda gembel jelek itu!” komando Panglima
Wiroguno pada anak buahnya (Roro Mendut & Atmo, hal 10).
Pemuda gembel jelek pada contoh (97) merupakan gaya bahasa ironi yang
memiliki fungsi melebihkan karena oleh penulis telah dinyatakan bahwa
Pronocitro adalah pemuda yang tampan.
(98) “Hai para begundal! Mau pada lari kemana lagi kalian, ha? Tempat ini
sudah saya blokade. Ha… ha ha ha …!” Wiroguno merasa menang
(Roro Mendut & Atmo, hal 11).
Contoh (98) frasa para begundal memiliki fungsi melebihkan karena
bermaksud untuk mengecilkan Roro Mendut dan Pronocitro selain itu mereka
berdua bukanlah para penjahat seperti yang dituduhkan oleh Tumengung
Wiroguno.
84
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
(99) “Dasar anak ingusan tak tahu malu, wanita sudah ditriman masih di
mau. Sebaiknya engkau pulang menyusu pada ibumu karena yang
kuhadapi belum banyak ilmu. Lalu, belajarlah mencuci paras muka
kalau ingin dihinggapi rasa cinta,” kata-kata Wiroguno tak kalah
menyakitkan hati lawan (Roro Mendut & Atmo, hal 12).
Contoh (99) yaitu pada kalimat Dasar anak ingusan tak tahu malu dan
belajarlah mencuci paras muka, memiliki fungsi melebihkan karena frasa anak
ingusan merupakan ungkapan yang digunakan untuk mencela seseorang yang
masih muda dengan menganggapnya seperti anak kecil yang masih ingusan,
meskipun orang tersebut sudah tidak muda lagi. Frasa belajarlah mencuci paras
muka, memiliki fungsi melebihkan karena itu berarti Tumenggung Wiroguno
menganggap lawan bicaranya memiliki wajah yang jelek padahal penulis telah
menyatakan bahwa Pronocitro adalah pemuda tampan.
(100) “Lahirmu saja baru kemarin sore, sudah berlagak sebagai sang
pembantai. Kencangkan dulu kolor celanamu, kalau hendak berlaga
dengan tuanmu. Ayo jangan mundur meski selangkah karena pantang
bagiku menyerah kalah!” Tumenggung menerima tantangan (Roro
Mendut & Atmo, hal 12).
Contoh (100) Lahirmu saja baru kemarin sore, sudah berlagak sebagai
sang pembantai, Kencangkan dulu kolor celanamu, yang diucapkan oleh
Tumenggung Wiroguno memiliki fungsi melebihkan karena Pronocitro bukanlah
pemuda yang baru lahir kemarin sore.
(101) “Jangan asal menilai karya orang, ya! Apresiasi senimu rendah. Cerpen
baik dibilang jelek,” bantahku (Roro Mendut & Atmo, hal 52).
Contoh (101) yaitu pada kalimat Apresiasi senimu rendah, memiliki fungsi
melebihkan karena Ratri tidak akan terpilih menjadi ketua pengurus mading
sekolah apabila tidak memiliki apresiasi terhadap karya seni dan sastra yang
tinggi.
85
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
(102) “Kamu yang kaku kayak tulang.” Aku panas (Roro Mendut & Atmo,
hal 60).
Contoh (102) pada kalimat Kamu yang kaku kayak tulang yang
diucapkan oleh tokoh Bram kepada Ratri ketika sedang kesal. Ungkapan tersebut
berlebihan karena Ratri bukanlah orang yang kaku, apalagi sekaku tulang.
Ungkapan kekesalan Bram tersebut bertujuan untuk mengecilkan lawan bicaranya
sekaligus untuk menyembunyikan kekurangannya yang tak mau diakuinya.
3.5 Fungsi Keindahan
Fungsi keindahan disebut juga fungsi poetik (Suwarna, 2009: 334). Sama
dengan keindahan, kepuitisan berkaitan dengan pikiran, perasaan, pengetahuan,
dan pengalaman seseorang. Kepuitisan itu bersifat subjektif. Sesuatu yang bersifat
puitis bagi seseorang belum tentu puitis bagi orang lain. Puitis adalah suasana
tertentu yang berada dan dimunculkan oleh karya sastra; puitis adalah efek
tertentu yang ditangkap pembaca atau pendengar di dalam karya sastra (Atmazaki,
1993: 14). Dalam fungsi keindahan ini terdiri dari tiga aspek yaitu, bunyi,
pencitraan, dan diksi.
3.5.1 Bunyi
Bunyi di samping sebagai hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas yang
lebih penting lagi, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan
menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dan
sebagainya (Pradopo, 2005: 22).
86
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
3.5.1.1 Aliterasi
Aliterasi adalah perulangan bunyi konsonan pada suatu tuturan (Suwarna,
2009: 261). Aliterasi ini ditemukan dalam gaya bahasa persamaan atau simile:
(103) Ia tahu siapa Wiroguno dan Pronocitro. Keduanya tidak bisa
disamakan. Ibaratnya seekor macan hutan yang bertarung melawan
kijang kurungan (Roro Mendut & Atmo, hal 13).
Data (103) aliterasi ditunjukkan oleh bunyi konsonan /n/ pada dan,
disamakan, macan, hutan, melawan, dan kurungan, aliterasi /m/ pada disamakan,
macan, dan melawan. Aliterasi dalam gaya bahasa personifkasi:
(104) Jam setengah dua belas, malam semakin diam (Roro Mendut &
Atmo, hal 65).
Data (104) aliterasi /m/ terdapat pada kata jam, malam, semakin, dan diam.
Aliterasi atau perulangan bunyi konsonan tersebut berfungsi untuk membangun
keindahan tutur, intensitas makna, dan ekspresivitas makna. Keindahan tutur yang
dibangun dengan aliterasi membuat tuturan tersebut terasa ritmis dan dinamis.
Aliterasi cenderung terjadi di awal atau di tengah kata
3.5.1.2 Asonansi
Suwarna (2009: 263) dalam bukunya mengatakan bahwa asonansi adalah
perulangan bunyi vokal. Asonansi ini ditemukan dalam gaya bahasa metafora:
(105) “Pembajak hati. Minta tebusan sebutir kasih suci,” Galang mendekatiku
(Roro Mendut & Atmo, hal 90).
Data (105) asonansi /i/ ditunjukkan oleh kata hati, suci, minta, sebutir, dan
kasih. Asonansi dalam gaya bahasa epitet:
(106) “Lahirmu saja baru kemarin sore, sudah berlagak sebagai sang
pembantai. Kencangkan dulu kolor celanamu, kalau hendak berlaga
dengan tuanmu. Ayo jangan mundur meski selangkah karena pantang
87
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
bagiku menyerah kalah!” Tumenggung menerima tantangan (Roro
Mendut & Atmo, hal 12).
Data (106) asonansi /u/ terdapat pada lahirmu, baru, sudah, dulu,
celanamu, kalau, tuanmu, mundur, dan bagiku. Asonansi dalam gaya bahasa ironi:
(107) “Dasar anak ingusan tak tahu malu, wanita sudah ditriman masih di
mau. Sebaiknya engkau pulang menyusu pada ibumu karena yang
kuhadapi belum banyak ilmu. Lalu, belajarlah mencuci paras muka
kalau ingin dihinggapi rasa cinta,” kata-kata Wiroguno tak kalah
menyakitkan hati lawan (Roro Mendut & Atmo, hal 12).
Data (107) asonansi /u/ ditunjukkan oleh kata ingusan, tahu, malu, sudah,
mau, engkau, pulang, menyusu, ibumu, dan ilmu.
(108) “Lahirmu saja baru kemarin sore, sudah berlagak sebagai sang
pembantai. Kencangkan dulu kolor celanamu, kalau hendak berlaga
dengan tuanmu. Ayo jangan mundur meski selangkah karena pantang
bagiku menyerah kalah!” Tumenggung menerima tantangan (Roro
Mendut & Atmo, hal 12).
Data (108) asonansi /u/ terdapat pada lahirmu, baru, dulu, celanamu,
kalau, tuanmu, dan bagiku.
(109) “Hai, panglima kerajaan yang katanya selalu menang perang!
Mengakumu saja sebagai ksatria, tapi nyatanya berlaku betina. Engkau
hanya besar mulut menghadapi dua orang mengerahkan para pengikut.
Perempuan bisanya hanya menjerit, masih kau takut-takuti dengan
segenap prajurit.” Pronocitro memanas-manasi lawannya (Roro Mendut
& Atmo, hal 11).
Data (109) asonansi /a/ terdapat pada panglima, katanya, saja, ksatria,
nyatanya, dan betina. Fungsi asonansi tidak berbeda dengan aliterasi yaitu untuk
keindahan, intensitas makna, dan ekspresif tutur. Ada kecenderungan asonansi
terjadi pada suku kata akhir terbuka. Asonansi suka kata terbuka pada akhir kata
lebih produktif daripada asonansi pada suku kata tertutup.
88
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
3.5.1.3 Anafora
Anafora adalah perulangan bunyi, kata, atau struktur sintaksis pada lariklarik atau kalimat-kalimat yang berurutan untuk memperoleh efek tertentu
(Kridalaksana dalam Atmazaki, 1993: 86). Anafora ini ditemukan dalam gaya
bahasa metafora:
(110) Ketika masih belia, hari ulang tahun merupakan saat yang penuh
dengan kembang janji akan harapan masa depan. Tapi, ketika harapan
tak lagi berada di depan pandang, semua menjadi tidak bermakna.
Ketika ulang tahun menginjak yang ketiga puluh satu, semua menjadi
tidak memiliki arti (Roro Mendut & Atmo, hal 65).
Data (110) anafora terdapat pada kata ketika dan frasa ulang tahun dalam
kalimat Ketika masih belia, hari ulang tahun merupakan saat yang penuh dengan
kembang janji akan harapan masa depan dan kalimat Ketika ulang tahun
menginjak yang ketiga puluh satu, semua menjadi tidak memiliki arti. Anafora
juga ditunjukkan oleh perulangan kata harapan dalam kalimat Ketika masih belia,
hari ulang tahun merupakan saat yang penuh dengan kembang janji akan
harapan masa depan dan kalimat Tapi, ketika harapan tak lagi berada di depan
pandang, semua menjadi tidak bermakna. Selain itu anafora pada data (110) juga
ditunjukkan oleh kalimat semua menjadi tidak bermakna yang memiliki struktur
sintaksis yang sama dengan kalimat semua menjadi tidak memiliki arti. Anafora
yang ditemukan dalam gaya bahasa personifikasi:
(111) Ucapan lidahnya yang minta disaksikan pihak lain, bahkan alam, adalah
sumpah. Tak ada yang berkata-kata, tak ada yang bersuara. Sekujur
tubuh Wijaya merinding dan bergetar. Dinding kamarnya menatap
Galang penuh kesangsian. Angin pun sejenak berhenti berkelana. Dan,
dedaunan yang merimbunkan pepohonan di samping rumah Wijaya,
sesaat menganga (Roro Mendut & Atmo, hal 84).
89
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Data (111) anafora terdapat dalam kalimat Tak ada yang berkata-kata
yang memiliki struktur sintaksis yang sama dengan kalimat Tak ada yang
bersuara. Penggunaan anafora bertujuan untuk mempertegas efek retorik dalam
tuturan, memberikan penekanan bahwa sesuatu yang diulang itu adalah sesuatu
yang penting dalam tuturan tersebut.
3.5.1.4 Eufoni
Eufoni adalah kombinasi suara indah dan merdu, menggambarkan ekspresi
riang gembira, rasa kasih sayang, dan hal-hal yang membahagiakan ‘pleasing
sound’. Eufoni dibentuk dengan kombinasi bunyi vokal /a, i, u, e, o/ dan bunyi
konsonan bersuara /b, d, g, j/ dan konsonan liquida /r, l/ dan sengau /ny, m, ng, n/
(Suwarna, 2009: 265). Bunyi-bunyi eufoni merupakan bunyi-bunyi yang merdu
dan musikal. Eufoni ini ditemukan dalam gaya bahasa persamaan atau simile:
(112) Tapi, tampaknya pertanyaanku membuatnya terguncang. Bagai diterpa
angin kencang, badan limbung dan bergoyang (Roro Mendut & Atmo,
hal 79).
Data (112) eufoni vokal /a/ yang berkombinasi dengan bunyi sengau /ng/
terdapat pada terguncang, angin, kencang, dan bergoyang. Eufoni juga terdapat
pada kata limbung yang merupakan gabungan vokal /u/ dan sengau /ng/. Pada
kalimat Tapi, tampaknya pertanyaanku membuatnya terguncang, terdapat eufoni
vokal /a/ dan sengau /ny/ pada kata tampaknya, pertanyaanku, dan membuatnya.
3.5.1.5 Kakafoni
Kakafoni merupakan kebalikan dari eufoni. Kakafoni dibentuk melalui
kombinasi bunyi-bunyi konsonan /k, p, t, s/, mengesankan bunyi-bunyi parau,
90
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
tidak merdu, tidak menyenangkan, mengharukan (Suwarna, 2009: 266). Kakafoni
ini ditemukan dalam gaya bahasa metafora:
(113) “Dan kamu memang mau dijepit, bukan? Ah, diberi anak perawan,
dijanjikan kursi kedudukan, lelaki mana yang tak mau mengubah
halauan perasaan?” kusemprot ia dengan kata-kata semauku (Roro
Mendut & Atmo, hal 66).
Data (113) kakafoni /k/ terdapat pada kata bukan, anak, djanjikan, kursi,
kedudukan, lelaki, kusemprot, kata-kata. Kakafoni yang ditemukan dalam gaya
bahasa ironi:
(114) “Hai, panglima kerajaan yang katanya selalu menang perang!
Mengakumu saja sebagai ksatria, tapi nyatanya berlaku betina. Engkau
hanya besar mulut menghadapi dua orang mengerahkan para pengikut.
Perempuan bisanya hanya menjerit, masih kau takut-takuti dengan
segenap prajurit.” Pronocitro memanas-manasi lawannya (Roro Mendut
& Atmo, hal 11).
Data (114) kakafoni /t/ terdapat pada kata mulut, pengikut, menjerit, takuttakuti, dan prajurit. Kakafoni bertujuan untuk menimbulkan bunyi-bunyi berat,
kasar, dan tidak musikal. Kombinasi bunyi-bunyi parau dan kasar digunakan
untuk menimbulkan kesan kaku, garang, tidak menyenangkan, kacau-balau, dan
lain-lain. Kakafoni berperan untuk menyampaikan perasaan tidak senang.
3.5.2 Pencitraan
Citraan
ialah
gambar-gambar
dalam
pikiran
dan
bahasa
yang
menggambarkannya (Altenbernd dalam Pradopo, 2005: 12), sedang setiap gambar
pikiran disebut citra atau imaji (image). Altenbernd dalam Pradopo (2005: 89)
mengemukakan bahwa citraan adalah salah satu alat kepuitisan yang terutama
yang dengan itu kesusastraan mencapai sifat-sifat konkret, khusus, mengharukan,
dan menyaran.
91
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
3.5.2.1 Citra Penglihatan
Citra penglihatan adalah citraan yang timbul oleh penglihatan. Citra
penglihatan memberi rangsangan kepada inderaan penglihatan, hingga sering halhal yang tak terlihat jadi seolah-olah terlihat (Pradopo, 2005: 81). Citra
pengelihatan dalam gaya bahasa metafora:
(115) Yang masih jelas kelihatan adalah pecahan kaca berserakan dan luka
goresan di kulit badan jalan (Roro Mendut & Atmo, hal 34).
Melalui tuturan pada data (115) pembaca seakan-akan bisa ikut melihat
bahwa masih terdapat pecahan kaca yang berserakan dan luka goresan di kulit
badan jalan.
(116) “Mataku jadi saksi, Lang. Sayang sekali, punya teman terlalu
ketinggalan jaman. Oh ya, aku barusan dari rumah Pak Anto, si dosen
bujang perlente. Biasalah, diskusi sambil rujakan. Eh, ternyata mereka
ada di sana. Nah, apa kamu tidak berani bersaing dengan teman
sendiri?” begitu kata Wijaya (Roro Mendut & Atmo, hal 82).
Melalui tuturan pada data (116) pembaca seakan bisa ikut melihat apa
yang dilihat oleh Wijaya. Citra pengelihatan dalam gaya bahasa personifikasi:
(117) Ucapan lidahnya yang minta disaksikan pihak lain, bahkan alam, adalah
sumpah. Tak ada yang berkata-kata, tak ada yang bersuara. Sekujur
tubuh Wijaya merinding dan bergetar. Dinding kamarnya menatap
Galang penuh kesangsian. Angin pun sejenak berhenti berkelana. Dan,
dedaunan yang merimbunkan pepohonan di samping rumah Wijaya,
sesaat menganga (Roro Mendut & Atmo, hal 84).
Data (117) citra pengelihatan digambarkan melalui tuturan dinding
kamarnya menatap Galang penuh kesangsian. Melalui tuturan tersebut pembaca
juga bisa merasakan kesangsian yang dirasakan oleh si dinding kamar tersebut.
92
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
3.5.2.2 Citra Gerakan
Citraan gerak ini membuat hidup dan gambaran menjadi dinamis. Imagery
ini menggambarkan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak, tetapi dilukiskan
sebagai dapat bergerak, ataupun gambaran gerak pada umumnya (Pradopo, 2005:
87). Citra gerakan ini ditemukan dalam gaya bahasa persamaan atau simile:
(118) Tapi, tampaknya pertanyaanku membuatnya terguncang. Bagai diterpa
angin kencang, badan limbung dan bergoyang (Roro Mendut & Atmo,
hal 79).
(119) Dengan gaun merah muda, aku malah melenggak-lenggok layaknya
peragawati beraksi di atas catwalk (Roro Mendut & Atmo, hal 74).
Data (118) digambarkan bahwa sebuah pertanyaan bisa membuat
terguncang sampai badan menjadi limbung dan bergoyang seakan-akan habis
diterpa angin kencang. Dari data (119) pembaca bisa mendapat bayangan melalui
citra gerakan. Melalui data tersebut digambarkan bagaimana si tokoh tengah
melenggak-lenggok layaknya seorang peragawati dengan menggunakan gaun
berwarna merah muda. Pembaca bisa mengetahui apa yang tengah dilakukan oleh
si tokoh. Citra gerakan ini juga ditemukan dalam gaya bahasa metafora:
(120) Di pintu aku memutar anak kunci perlahan-lahan ke arah kiri (Roro
Mendut & Atmo, hal 76).
Data (120) citraan gerak digambarkan melalui gerakan tokoh aku yang
secara perlahan memutar anak kunci ke kiri.
(121) Maka daun pintu pun terkuak (Roro Mendut & Atmo, hal 76).
Pada data (121) citraan gerak digambarkan melalui daun pintu yang
begerak membuka. Dalam gaya bahasa personifikasi juga ditemukan citra
gerakan:
93
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
(122) Ucapan lidahnya yang minta disaksikan pihak lain, bahkan alam, adalah
sumpah. Tak ada yang berkata-kata, tak ada yang bersuara. Sekujur
tubuh Wijaya merinding dan bergetar. Dinding kamarnya menatap
Galang penuh kesangsian. Angin pun sejenak berhenti berkelana. Dan,
dedaunan yang merimbunkan pepohonan di samping rumah Wijaya,
sesaat menganga (Roro Mendut & Atmo, hal 84).
Data (122) citraan gerak digambarkan melalui tuturan dedaunan yang
merimbunkan pepohonan disamping rumah Wijaya, sesaat menganga, angin pun
sejenak berhenti berkelana.
3.5.2.3 Citraan Lain-Lain
Selain citraan-citraan di atas terdapat juga citraan-citraan lain, seperti,
citraan sikap atau perbuatan, citraan situasi, citraan fisik dan citraan latar.
Kesemua citraan ini berfungsi untuk membantu pembaca agar bisa ikut
merasakan, mendengar, melihat, dan mengetahui bagaimana hal-hal yang ingin
disampaikan oleh pengarang. Citraan sikap atau perbuatan dalam gaya bahasa
metafora:
(123) Tapi, dasar sudah kepalang basah, aku masih saja melanjutkan sikap
kurang manisku (Roro Mendut & Atmo, hal 87- 88).
Data (123) citraan sikap atau perbuatan digambarkan melalui tuturan sikap
kurang manisku. Melalui tuturan tersebut pembaca bisa mengetahui sikap si tokoh
dalam menghadapi lawan bicaranya.
(124) “Orang edan, ngapain kamu berlama-lama berduaan dengan trimanku,
ha?” pejabat itu naik pitam (Roro Mendut & Atmo, hal 9).
Data (124) citraan sikap atau perbuatan digambarkan melalui tuturan
pejabat itu naik pitam. Melalui tuturan tersebut pembaca bisa membayangkan
bagaimana kemarahan pejabat tersebut.
94
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
(125) “Hai, panglima kerajaan yang katanya selalu menang perang!
Mengakumu saja sebagai ksatria, tapi nyatanya berlaku betina. Engkau
hanya besar mulut menghadapi dua orang mengerahkan para pengikut.
Perempuan bisanya hanya menjerit, masih kau takut-takuti dengan
segenap prajurit.” Pronocitro memanas-manasi lawannya (Roro Mendut
& Atmo, hal 11).
Data (125) citraan sikap atau perbuatan digambarkan melalui tuturan
Pronocitro memanas-manasi lawannya. Citraan sikap atau perbuatan dalam gaya
bahasa personifikasi:
(126) Ia dihadiahkan pada Tumenggung Wiroguno sebagai penghargaan atas
jasa sang pahlawan perang yang mampu memadamkan api disintegrasi
(Roro Mendut & Atmo, hal 1).
Data (126) citraan sikap atau perbuatan digambarkan melalui tuturan sang
pahlawan perang yang mampu memadamkan api disintegrasi. Melalui tuturan
tersebut pembaca bisa membayangkan seperti apa jasa sang pahlawan perang.
Citraan sikap atau perbuatan dalam gaya bahasa antonomasia:
(127) “Jangan khawatir, Ndut! Aku akan menjamin kehidupan yang sangat
layak untuk masa depanmu. Kamu akan hidup mewah bergelimang
harta di ibukota Negara. Juga bergaul dengan kalangan elite. Tinggal di
sebuah rumah mewah dilayani banyak abdi dan jongos. Punya
kendaraan tak bermotor, lengkap dengan kusirnya. Bagaimana Cah
Ayu?” pejabat kerajaan itu menjanjikan segalanya (Roro Mendut &
Atmo, hal 3).
Data (127) citraan sikap atau perbuatan digambarkan melalui tuturan
pejabat kerajaan yang menjanjikan segalanya pada lawan bicaranya. Terdapat juga
citraan situasi dalam gaya bahasa metafora:
(128) Maka, terjadilah gencatan senjata (Roro Mendut & Atmo, hal 16).
Data (128) citraan situasi digambarkan melalui tuturan gencatan senjata.
Melalui tuturan tersebut pembaca bisa mengetahui situasi yang tengah terjadi
yaitu kedua belah pihak yang sedang bertikai menghentikan serangan.
95
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
(129) Rumah tangganya tergolong sebagai keluarga yang adem-ayem (Roro
Mendut & Atmo, hal 21).
Data (129) menggambarkan situasi dan kondisi rumah tangga yang tenang.
(130) Pantaslah, pertemuan tidak diakhiri happy ending, meski bukan dengan
duka lara, tak ada kesepakatan ataupun penandatanganan MOU. Eh
bukan, maksudku MOL alias memorandum of love. Pulang hampa
tangan. Dan aku pun sebenarnya kurang menginginkan (Roro Mendut &
Atmo, hal 80).
Data (130) digambarkan situasi setelah pertemuan antara dua orang yang
sama-sama saling mencintai. Tetapi pertemuan tersebut tidak menghasilkan apaapa. Citraan situasi dalam gaya bahasa personifikasi:
(131) Wanita itu berasal dari sebuah kadipaten yang mengobarkan bara
pemberontakan (Roro Mendut & Atmo, hal 1).
Citraan situasi disuatu daerah digambarkan melalui data (131). Melalui
tuturan tersebut pembaca bisa mengetahui bahwa di suatu kadipaten tengah terjadi
pemberontakan.
(132) Jam setengah dua belas, malam semakin diam (Roro Mendut & Atmo,
hal 65).
Data (132) digambarkan bagaimana tenang, sunyi, dan sepi keadaan di
waktu malam melalui tuturan jam setengah dua belas, malam semakin diam.
Citraan fisik dalam gaya bahasa epitet:
(133) Yah, mahasiswa krempeng yang nyentrik itu akhirnya memang jadi
buah simalakama bagi Galang (Roro Mendut & Atmo, hal 82).
Melalui tuturan mahasiswa krempeng yang nyentrik itu pada data (133)
pembaca bisa mengetahui kondisi fisik dan karakter seseorang, sehingga pembaca
bisa memperoleh gambaran dan dapat membayangkanya. Melalui citraan ini
96
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
digambarkan bagaimana karakter fisik seseorang. Citraan latar dalam gaya bahasa
antonomasia:
(134) Di istana ia tak bisa menolak ketika sang raja memanfaatkannya sebagai
seorang triman untuk kepentingan Negara (Roro Mendut & Atmo, hal
1).
Data (134) terdapat kata sang raja dan di istana. Melalui kedua kata
tersebut pembaca bisa langsung mengetahui bagaimana dan dimana latar cerita
tengah berlangsung.
3.5.3 Diksi
Barfield dalam Pradopo (2005: 54), mengemukakan bahwa bila kata-kata
dipilih dan disusun dengan cara yang sedemikian rupa hingga artinya
menimbulkan atau dimaksudkan untuk menimbulkan imajinasi estetik, maka
hasilnya itu disebut diksi puitis. Jadi, diksi itu untuk mendapatkan kepuitisan,
untuk mendapatkan nilai estetik. Hal-hal yang tercakup dalam diksi ini, yaitu kata
arkaik dan kata bahasa daerah dan asing.
3.5.3.1 Kata Arkaik
Salah satu keunggulan sastrawan adalah kemampuannya menghidupkan
kata-kata yang telah mati, menemukan kata-kata yang telah hilang, atau
menggunakan kata-kata yang tidak digunakan lagi dalam pertuturan sehari-hari.
Kadang-kadang kata itu digunakan dengan artinya yang lama, tetapi kadangkadang juga digunakan dengan memberikan arti baru kepadanya. Penggunaan
kata-kata lama archaic (bahasa Indonesia arkaik) bertujuan untuk menimbulkan
suasana kembali ke masa lalu atau nostalgia, atau sebaliknya membawa masa lalu
97
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
ke masa kini (Atmazaki, 1993: 38). Berikut ini adalah kata-kata arkaik yang
ditemukan dalam gaya bahasa metafora:
(135) “Dan kamu memang mau dijepit, bukan? Ah, diberi anak perawan,
dijanjikan kursi kedudukan, lelaki mana yang tak mau mengubah
halauan perasaan?” kusemprot ia dengan kata-kata semauku (Roro
Mendut & Atmo, hal 66).
(136) “Hai, panglima kerajaan yang katanya selalu menang perang!
Mengakumu saja sebagai ksatria, tapi nyatanya berlaku betina. Engkau
hanya besar mulut menghadapi dua orang mengerahkan para pengikut.
Perempuan bisanya hanya menjerit, masih kau takut-takuti dengan
segenap prajurit.” Pronocitro memanas-manasi lawannya (Roro Mendut
& Atmo, hal 11).
(137) “Mataku jadi saksi, Lang. Sayang sekali, punya teman terlalu
ketinggalan jaman. Oh ya, aku barusan dari rumah Pak Anto, si dosen
bujang perlente. Biasalah, diskusi sambil rujakan. Eh, ternyata mereka
ada di sana. Nah, apa kamu tidak berani bersaing dengan teman
sendiri?” begitu kata Wijaya (Roro Mendut & Atmo, hal 82).
Data (135), (136), dan (137) secara berturut-turut menunjukkan kata-kata
arkaik yaitu, halauan, ksatria, dan bujang perlente. Kata-kata tersebut sudah tidak
biasa lagi digunakan dalam percakapan saat ini. Untuk para pembaca modern
kata-kata tersebut seakan memberikan kesan kembali lagi ke masa silam.
Mungkin kata-kata tersebut masih hidup di masa muda kehidupan pengarang.
Berikut adalah kata-kata arkaik yang ditemukan dalam gaya bahasa personifikasi:
(138) Wanita itu berasal dari sebuah kadipaten yang mengobarkan bara
pemberontakan (Roro Mendut & Atmo, hal 1).
Kata kadipaten adalah kata yang sudah tidak lagi digunakan di masa
sekarang ini. Kadipaten erat kaitannya dengan hal-hal yang berhubungan dengan
kerajaan ataupun pakualaman. Kata tersebut sering digunakan di era pemerintahan
kerajaan Mataram. Saat ini kata tersebut sudah tidak sering digunakan dalam
percakapan sehari-hari. Berikut adalah kata-kata arkaik yang ditemukan dalam
gaya bahasa alusi:
98
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
(139) Padahal, kepasrahan sang triman adalah suatu keadaan yang diharapharapkan oleh Pak Tumenggung (Roro Mendut & Atmo, hal 5).
(140) “Sekarang segeralah kalian, berlutut di kakiku!” lanjut Senopati perang
(Roro Mendut & Atmo, hal 11).
Kata triman, tumenggung dan senopati merupakan kata-kata yang sering
digunakan pada masa kerajaan-kerajaan. Sama halnya dengan kadipaten, kata
triman, tumenggung dan senopati bukanlah kata yang populer di masa sekarang
ini. Kata tersebut lebih sering digunakan pada masa pemerintahan kerajaan
Mataram. Berikut adalah kata-kata arkaik yang ditemukan dalam gaya bahasa
antonomasia:
(141) “Jangan khawatir, Ndut! Aku akan menjamin kehidupan yang sangat
layak untuk masa depanmu. Kamu akan hidup mewah bergelimang
harta di ibukota Negara. Juga bergaul dengan kalangan elite. Tinggal di
sebuah rumah mewah dilayani banyak abdi dan jongos. Punya
kendaraan tak bermotor, lengkap dengan kusirnya. Bagaimana Cah
Ayu?” pejabat kerajaan itu menjanjikan segalanya (Roro Mendut &
Atmo, hal 3).
(142) Dedengkot majalah dinding sekolah itu bahkan menilainya sebagai
kisah murahan yang tidak punya konflik (Roro Mendut & Atmo, hal 5758).
Kata jongos berasal dari bahasa Jawa yang bermakna pembantu laki-laki
dan kata dedengkot yang berarti otak dari suatu organisasi, kedua kata tersebut
tidak terlalu sering digunakan dalam percakapan sehari-hari. Berikut adalah katakata arkaik yang ditemukan dalam gaya bahasa ironi:
(143) “Wah-wah kamu bilang pelanggan. Tapi dari tadi kamu berbisik-bisik
dan saling tersenyum berdua. Jangan kira, baru sekarang aku
mengetahui hubunganmu ini, Mendut. Kamu memang wanita tidak tahu
diuntung. Kalau tidak kuselamatkan, mungkin engkau telah mati
keterjang senjata nyasar di kancah peperangan.” Wiroguno marah
(Roro Mendut & Atmo, hal 8).
(144) “Hai para begundal! Mau pada lari kemana lagi kalian, ha? Tempat ini
sudah saya blokade. Ha… ha ha ha …!” Wiroguno merasa menang
(Roro Mendut & Atmo, hal 11).
99
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
(145) “Dasar anak ingusan tak tahu malu, wanita sudah ditriman masih di
mau. Sebaiknya engkau pulang menyusu pada ibumu karena yang
kuhadapi belum banyak ilmu. Lalu, belajarlah mencuci paras muka
kalau ingin dihinggapi rasa cinta,” kata-kata Wiroguno tak kalah
menyakitkan hati lawan (Roro Mendut & Atmo, hal 12).
(146) “Lahirmu saja baru kemarin sore, sudah berlagak sebagai sang
pembantai. Kencangkan dulu kolor celanamu, kalau hendak berlaga
dengan tuanmu. Ayo jangan mundur meski selangkah karena pantang
bagiku menyerah kalah!” Tumenggung menerima tantangan (Roro
Mendut & Atmo, hal 12).
(147) “Hai, panglima kerajaan yang katanya selalu menang perang!
Mengakumu saja sebagai ksatria, tapi nyatanya berlaku betina. Engkau
hanya besar mulut menghadapi dua orang mengerahkan para pengikut.
Perempuan bisanya hanya menjerit, masih kau takut-takuti dengan
segenap prajurit.” Pronocitro memanas-manasi lawannya (Roro Mendut
& Atmo, hal 11).
Kata kancah, begundal, paras muka, berlaga, dan ksatria merupakan katakata dalam bahasa Indonesia yang sudah jarang digunakan sekali digunakan.
Meskipun demikian, karena karya satra tidak pernah mengenal istilah usang, terus
dibaca dan diberi makna, maka kata-kata arkaik tersebut tetap mampu
memberikan nuansa baik kepada pembaca ataupun kepada karya sastra itu sendiri.
3.5.3.2 Kata Bahasa Daerah dan Asing
Bahasa yang paling akrab dengan seseorang adalah bahasa daerahnya
masing-masing, atau yang sering disebut dengan bahasa ibu. Oleh sebab itu
penggunaan kata bahasa daerah dalam sajak adalah suatu yang wajar. Bahasa
daerah jauh lebih memungkinkan bagi seorang penyair untuk mengungkapkan
perasaan, pemikiran, dan pengalamannya dibanding dengan bahasa resmi
(Atmazaki, 1993: 40). Di samping kata-kata bahasa daerah, penyair juga sering
menggunakan kata-kata bahasa asing atau sesuatu yang tidak bersifat Indonesia.
Demikian juga halnya kata-kata bentukan baru ‘neologism’. Kata-kata seperti itu
100
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
biasanya memberikan efek kehidupan modern dan sesuatu yang realistis
(Atmazaki, 1993: 44). Berikut adalah kata bahasa daerah yang ditemukan dalam
gaya bahasa persamaan atau simile:
(148)
Wanita triman ibaratnya sebagai sebuah kado atau bingkisan (Roro
Mendut & Atmo, hal 2).
Triman pada data (148) merupakan kata dalam bahasa jawa yang berarti
perempuan pemberian (untuk diperistri) (Kamus Lengkap Jawa-Indonesia, 2009:
470). Berikut adalah kata bahasa daerah yang ditemukan dalam gaya bahasa
metafora:
(149) “Orang edan, ngapain kamu berlama-lama berduaan dengan trimanku,
ha?” pejabat itu naik pitam (Roro Mendut & Atmo, hal 9).
Edan pada data (149) berarti gila. Kata edan merupakan kata yang lazim
digunakan pada bahasa Jawa saat ini. Berikut adalah kata bahasa daerah yang
ditemukan dalam gaya bahasa antonomasia:
(150) “Jangan khawatir, Ndut! Aku akan menjamin kehidupan yang sangat
layak untuk masa depanmu. Kamu akan hidup mewah bergelimang
harta di ibukota Negara. Juga bergaul dengan kalangan elite. Tinggal di
sebuah rumah mewah dilayani banyak abdi dan jongos. Punya
kendaraan tak bermotor, lengkap dengan kusirnya. Bagaimana Cah
Ayu?” pejabat kerajaan itu menjanjikan segalanya (Roro Mendut &
Atmo, hal 3).
Cah ayu merupakan kata sapaan dalam bahasa Jawa yang berarti anak
cantik. Dalam bahasa Jawa abdi berarti pegawai keraton (Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Ketiga, 2002: 2). Berikut adalah kata bahasa daerah dan asing
yang ditemukan dalam gaya bahasa ironi:
(151) “Tahukah kamu, Prono gemblung, kalau sebentar lagi ia akan menjadi
selirku?” Wiroguno mengintrogasi (Roro Mendut & Atmo, hal 9).
101
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Gemblung berarti dungu, tolol, linglung, bodoh (Kamus Jawa-Indonesia;
Indonesia- Jawa, 2005: 89).
(152) “Jangan ikut campur urusanku dengan Prono menying ini, Ndut!”
Wiroguno memperingatkan trimannya (Roro Mendut & Atmo, hal 9).
Menying berasal dari kata menyunyang yang berarti nakal, bengal, kurang
ajar, tidak patuh (Kamus Lengkap Jawa- Indonesia, 2009: 244). Gemblung dan
menying merupakan kata dalam bahasa Jawa. Berikut adalah kata bahasa asing
yang ditemukan dalam gaya bahasa persamaan atau simile:
(153) Dengan gaun merah muda, aku malah melenggak-lenggok layaknya
peragawati beraksi di atas catwalk (Roro Mendut & Atmo, hal 74).
Catwalk pada data (153) merupakan kata dalam bahasa Inggris yang
berarti panggung berbentuk titian yang digunakan untuk peragaan busana oleh
peragawan dan pergawati; titian peraga (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Ketiga, 2002: 1293). Kata catwalk menunjukkan kemodernan, fashionable, dan
stylish. Berikut adalah kata bahasa asing yang ditemukan dalam gaya bahasa
metafora:
(154) “Sudah complain,” jawab Galang. “Ia mengakui semuanya. Jadi,
Renilah yang salah. Dialah yang tidak tahu adat,” Galang mengclearkan
masalah seperti pengakuanku (Roro Mendut & Atmo, hal 81).
Complain dan clear pada data (154) merupakan kata dalam bahasa Inggris.
Kata complain dan clear bermaksud untuk menunjukkan bahwa tokoh tersebut
merupakan mahasiswa yang suka bergaul dan intelektual. Berikut adalah kata
bahasa asing yang ditemukan dalam gaya bahasa antonomasia:
(155) “Jangan khawatir, Ndut! Aku akan menjamin kehidupan yang sangat
layak untuk masa depanmu. Kamu akan hidup mewah bergelimang
harta di ibukota Negara. Juga bergaul dengan kalangan elite. Tinggal di
102
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
sebuah rumah mewah dilayani banyak abdi dan jongos. Punya
kendaraan tak bermotor, lengkap dengan kusirnya. Bagaimana Cah
Ayu?” pejabat kerajaan itu menjanjikan segalanya (Roro Mendut &
Atmo, hal 3).
Elite pada data (155) merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa
Inggris yang berarti orang-orang terpandang dan berderajat tinggi.
Penggunaan kata dalam bahasa Jawa lebih banyak ditemukan dalam
cerpern Roro Mendut Triman, hal ini dikarenakan cerpen tersebut berlatar
belakang di kerajaan Mataram. Penggunaan kata dalam bahasa Inggris banyak
terdapat dalam cerpen Sosok yang Hilang, hal ini sesuai dengan latar cerita yang
tokoh-tokohnya merupakan mahasiswa yang aktif di kampus mereka.
3.6 Fungsi Mengungkapkan Sesuatu Secara Tidak Langsung
Dalam usaha utuk mengungkapkan diri mereka, orang-orang tidak hanya
menghasilkan tuturan yang mengandung kata-kata dan struktur-struktur
gramatikal saja, tetapi mereka juga memperlihatkan tindakan-tindakan melalui
tuturan-tuturan itu (Yule, 2006: 81). Tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat
tuturan biasanya disebut tindak tutur. Dalam banyak hal, sifat peristiwa tuturlah
yang menentukan penafsiran terhadap suatu tuturan ketika menampilkan suatu
tindak tutur khusus (Yule, 2006: 82). Tindak tutur dapat berwujud langsung dan
tidak langsung, dan literal maupun tidak literal (Nadar, 2009: 17).
3.6.1 Tindak Tutur Tidak Langsung
Tindak tutur langsung adalah tuturan yang sesuai dengan modus
kalimatnya, sedangkan tindak tutur tidak langsung adalah tuturan yang modusnya
103
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
berbeda dengan fungsinya (Nadar, 2009:18). Berikut adalah tindak tutur tidak
langsung yang ditemukan dalam gaya bahasa metafora, epitet, dan ironi:
(156) “Lho, kamu naksir sama bapaknya atau anaknya? Maumu apa, sih?
Kamu bisa mati kutu karena memendam rindu. Kamu bisa ketinggalan
kereta, hanya karena menyembunyikan rasa cinta. Sudah terbukti, Nico
menganggapmu sepi. Apa kamu sudah bereaksi?” Jaya mengurus
temannya dengan berapi-api (Roro Mendut & Atmo, hal 81).
(157) “Mataku jadi saksi, Lang. Sayang sekali, punya teman terlalu
ketinggalan jaman. Oh ya, aku barusan dari rumah Pak Anto, si dosen
bujang perlente. Biasalah, diskusi sambil rujakan. Eh, ternyata mereka
ada di sana. Nah, apa kamu tidak berani bersaing dengan teman
sendiri?” begitu kata Wijaya (Roro Mendut & Atmo, hal 82).
Data (156) dan (157) menunjukkan bahwa Wijaya sedang berusaha
menyemangati temannya dalam memperebutkan cinta kekasih hatinya. Wijaya
menyemangati dengan cara mengecilkan temannya dan memberitahukan hal-hal
yang telah dilakukan oleh saingannya. Galang, adalah teman Wijaya yang tengah
menyukai gadis bernama Reni. Sayangnya saingan Galang adalah temannya
sendiri, yang juga merupakan anggota dari trio kampusnya, Nico.
(158) “Hai, panglima kerajaan yang katanya selalu menang perang!
Mengakumu saja sebagai ksatria, tapi nyatanya berlaku betina. Engkau
hanya besar mulut menghadapi dua orang mengerahkan para pengikut.
Perempuan bisanya hanya menjerit, masih kau takut-takuti dengan
segenap prajurit.” Pronocitro memanas-manasi lawannya (Roro Mendut
& Atmo, hal 11).
Data (158) menunjukkan bahwa Pronocitro dengan sengaja menyindir
lawannya agar mau melawannya satu lawan satu, tanpa mengerahkan pengikut.
Pronocitro dan Roro Mendut ketika itu tengah berusaha melarikan diri, tetapi
gagal dan terkepung oleh pasukan Tumenggung Wiroguno.
(159) “Orang edan, ngapain kamu berlama-lama berduaan dengan trimanku,
ha?” pejabat itu naik pitam (Roro Mendut & Atmo, hal 9).
104
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Data (159) secara tidak langsung pejabat tersebut menyuruh lawan
bicaranya untuk pergi. Pejabat tersebut adalah Wiroguno yang memergoki Roro
Mendut tengah berduaan dengan Ponocitro.
(160) “Tahukah kamu, Prono gemblung, kalau sebentar lagi ia akan menjadi
selirku?” Wiroguno mengintrogasi (Roro Mendut & Atmo, hal 9).
Data (160) Wiroguno sengaja memberi tahu bahwa Roro Mendut akan
menjadi selirnya, padahal Pronocitro telah mengetahui situasi tersebut. Wiroguno
bermaksud menggertak Pronocitro sehingga apabila Pronocitro akan menjalin
hubungan dengan salah satu selirnya maka ia akan berhadapan dengan pasukan
kerajaan.
(161) “Lahirmu saja baru kemarin sore, sudah berlagak sebagai sang
pembantai. Kencangkan dulu kolor celanamu, kalau hendak berlaga
dengan tuanmu. Ayo jangan mundur meski selangkah karena pantang
bagiku menyerah kalah!” Tumenggung menerima tantangan (Roro
Mendut & Atmo, hal 12).
(162) “Dasar anak ingusan tak tahu malu, wanita sudah ditriman masih di
mau. Sebaiknya engkau pulang menyusu pada ibumu karena yang
kuhadapi belum banyak ilmu. Lalu, belajarlah mencuci paras muka
kalau ingin dihinggapi rasa cinta,” kata-kata Wiroguno tak kalah
menyakitkan hati lawan (Roro Mendut & Atmo, hal 12).
Data (161) dan (162) menunjukkan bahwa Wiroguno sengaja memanasmanasi Pronocitro dengan tujuan apabila ia perang tanding melawan Pronocitro ia
tahu pasti bahwa ia akan menang. Wiroguno tahu betul seperti apa kemampuan
Pronocitro.
3.6.2 Tidak Tutur Tidak Literal
Wijana dalam Nadar (2009: 19) menjelaskan bahwa tindak literal adalah
tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya,
sedangkan tindak tutur tidak literal adalah tindak tutur yang maksudnya tidak
105
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
sama dengan atau berlawanan dengan makna kata-kata yang menyusunnya.
Berikut adalah tindak tutur tidak literal yang ditemukan dalam gaya bahasa
metafora dan personifikasi:
(163) Pembajak hati. Minta tebusan sebutir kasih suci,” Galang mendekatiku
(Roro Mendut & Atmo, hal 90).
Tuturan Galang pada data (163) tidaklah benar karena profesi Galang
bukanlah seorang ‘pembajak’ dan tidak benar-benar meminta ‘sebutir’ kasih suci.
Tuturan tersebut digunakan Galang untuk meluluhkan hati Reni, gadis pujaannya.
(164) Ucapan lidahnya yang minta disaksikan pihak lain, bahkan alam, adalah
sumpah. Tak ada yang berkata-kata, tak ada yang bersuara. Sekujur
tubuh Wijaya merinding dan bergetar. Dinding kamarnya menatap
Galang penuh kesangsian. Angin pun sejenak berhenti berkelana. Dan,
dedaunan yang merimbunkan pepohonan di samping rumah Wijaya,
sesaat menganga (Roro Mendut & Atmo, hal 84).
Dinding kamar pada data (164) tidaklah menatap Galang penuh
kesangsian. Angin tidak sedang berkelana dan tidak berhenti berkelana. Daun
pepohonan tidak menganga. Tuturan tersebut digunakan penulis untuk
mendramatisir suasana.
106
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
kumpulan cerita pendek Roro Mendut & Atmo karya Besar S.W. memiliki banyak
gaya bahasa kiasan terutama metafora. Gaya bahasa kiasan yang terdapat pada
kumpulan cerita pendek tersebut, yaitu gaya bahasa persamaan atau simile, gaya
bahasa metafora yang terdiri dari dua bagian yaitu (1) metafora hidup dan, (2)
metafora mati, gaya bahasa personifikasi, alusi, epitet, antonomasia, ironi dan
innuendo. Dari analisis tersebut, gaya bahasa persamaan atau simile ditemukan
sebanyak lima buah, gaya bahasa metafora sangat dominan, yaitu sebanyak 30
buah, personifikasi sebanyak empat buah, alusi sebanyak delapan buah, epitet
sebanyak empat buah, antonomasia sebanyak empat buah, ironi sebanyak 14 buah,
dan inuendo sebanyak dua buah.
Gaya bahasa kiasan dalam kumpulan cerita pendek Roro Mendut & Atmo
karya Besar S.W. memiliki fungsi ironi, fungsi menghaluskan, fungsi melebihkan,
fungsi keindahan, dan fungsi mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung.
Fungsi keindahan terdiri dari bunyi, pencitraan, dan diksi. Bunyi terdiri dari
aliterasi, asonansi, anafora, eufoni, dan kakafoni. Pencitraan terdiri dari citra
pengelihatan, citra gerakan, dan citraan lain-lain yang berisi mengenai citraan
citra perasaan, citra sikap atau perbuatan, citraan situasi, citraan fisik, dan citraan
latar. Diksi terdiri dari kata arkaik dan kata daerah dan asing. Fungsi
mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung terdiri dari tindak tutur tidak
107
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
langsung dan tindak tutur tidak literal. Secara keseluruhan semua gaya bahasa
tersebut berfungsi untuk memperindah pengungkapan dalam kalimat.
4.2 Saran
Masih banyak aspek yang belum diteliti dalam kumpulan cerita pendek ini,
seperti kajian kuantitatifnya, kohesi dan koherensinya, atau membahas variasi
penggunaan kata. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut masih perlu dilakukan.
Harapan penulis semoga penelitian ini dapat bermanfaat untuk menambah
pengetahuan dan cakrawala pembaca.
108
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan (Pemimpin Redaksi). 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Atmazaki. 1993. Analisis Sajak: Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Bandung:
Angkasa.
Baryadi, I. Praptomo. 2012. Bahasa, Kekuasaan, dan Kekerasan. Yogyakarta:
Penerbit Universitas Sanata Dharma.
Keraf, Gorys. 1984. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Kesuma, Tri Mastoyo Jati. 2007. Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa.
Yogyakarta: Carasvatibooks.
Miarsari, Ratna Yani. 2008. “Analisis Medan Makna pada Gaya Bahasa Kiasan
dalam Naskah Trilogi Film: Pirates of Carribbean”. Semarang: Skripsi
Jurusan Satra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro.
Nadar, F. X. 2009. Pragmatik & Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Oki, Maria Franzisca. 2010. Penggunaan Gaya Bahasa Kiasan pada Novel Sang
Pemimpi Karya Andrea Hirata. Malang: Skripsi Universitas Negeri
Malang.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Purwadi. 2005. Kamus Jawa-Indonesia; Indonesia-Jawa. Yogyakarta: Bina
Media.
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Stilistika: Kajian Puitika, Bahasa, Sastra, dan
Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Subagyo, P. Ari. 2004. ”Ironi dan Prinsip Ironi dalam Komunikasi”. Dalam
Yoseph Yapi Taum, I. Praptomo Baryadi, dan S.E. Peni Adji (Ed.) Bahasa
Merajut Sastra Merunut Budaya. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata
Dharma. Halaman 67-79.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana
University Press.
109
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Sudiati. 2002. “Analisis Stilistika Cerita Pendek ‘Saksi Mata’ Karya Seno Gumira
Ajidarma”. Dalam Sujarwanto, Jabrohim (Ed.) Bahasa dan Sastra
Indonesia: Menuju Peran Transformasi Sosial Budaya Abad XXI.
Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan. Halaman 287-304.
Sugono, Dendy (Pemimpin Redaksi). 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama.
Suwarna. 2009. Bahasa Pewara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tarigan, Henry Guntur. 1985. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa.
Utomo, Sutrisno Sastro. 2009. Kamus Lengkap Jawa-Indonesia. Yogyakarta:
Kanisius.
Werokila, Setiawan. 2007. ”Gaya Bahasa Kiasan dalam Wacana ”Ole
Internasional” di Tabloid Bola Tanggal 3 Maret 2006 sampai dengan 22
September 2006”. Skripsi di Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan
Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma.
Yule, George. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumber data:
S.W, Besar. 2006. Kumpulan Cerpen Roro Mendut & Atmo. Jakarta: Mediantara
Semesta.
110
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
TENTANG PENULIS
Lilid Perwira Setya lahir di Sleman, 19 Agustus 1989. Putri kedua dari
pasangan (alm) Drs. Besar Subagiyo Wagimin dan Trisminafaati. Pendidikan
formalnya yang dimulai sejak taman kanak-kanak sampai dengan SMA
dihabiskan di Desa Aikmel, Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara
Barat. Dimulai dari TK Dharma Wanita, SD Negeri 4 Aikmel, SMP Negeri 1
Aikmel, dan SMA Negeri 1 Aikmel, ia lalu melanjutkan kuliahnya pada tahun
2007 di Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta.
111
Download