3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Mellitus Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu bentuk penyakit yang menimpa kira-kira 2% populasi, dan kurang lebih 1 diantara 10.000 anak. DM dapat didefinisikan sebagai defisiensi insulin absolut atau relatif yang menimbulkan cacat pemakaian karbohidrat dengan meningkatnya kadar gula darah seluruhnya. Kadar gula darah dapat dideteksi dengan status berpuasa pada kadar lebih dari 6,7 mmol/l (120 mg/dl) atau 2 jam sesudah dosis 75 g glukosa oral dengan kadar lebih 10 mmol/l (180 mg/dl) (Spector 1993). Pendekatan terminologi menurut Misnadiarly (2006), DM merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia yaitu kondisi tubuh dengan kadar glukosa darah melebihi nilai normal. Kadar glukosa darah lebih dari 200 mg/dl, dan kadar glukosa darah puasa di atas atau sama dengan 126 mg/dl pada manusia dianggap sebagai batas DM. Saat ambang glukosa dalam ginjal berlebih, glukosa akan keluar melalui urin (glukosuria) dan menyebabkan diuresis osmotik (poliuria), dehidrasi serta peningkatan pemasukan cairan (polidipsia) (Dalimartha 1997). DM menduduki peringkat keempat pada daftar ranking pembunuh manusia. Kongres Federasi Diabetes Internasional di Paris tahun 2003 mengungkapkan bahwa sekitar 194 juta orang di dunia mengidap penyakit ini. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan pada tahun 2025 jumlah penderitanya akan melonjak sampai 333 juta orang. Di Indonesia predikat diabetesi mengenai lebih dari 2,5 juta orang dan diperkirakan terus bertambah (Mistra 2004). Pengaruh yang menonjol dari ketiadaan insulin diduga diakibatkan terutama oleh ketidakmampuan glukosa untuk memasuki sel-sel tubuh vital seperti otot dan hati tanpa insulin. Sebagai akibatnya glukosa darah meningkat, glukosa muncul dalam urin dan terdapat metabolisme lemak yang berlebihan untuk mengganti karbohidrat yang tidak lagi tersedia. Pemecahan lipid ini dapat berlanjut pada akumulasi asam keton yang dapat berpengaruh jelek terhadap otak dan menimbulkan koma (Spector 1993). 4 Glukosa yang dimakan, pada keadaan normal akan mengalami metabolisme sempurna menjadi karbondioksida dan air kira-kira 50%, 5% diubah menjadi glikogen dan kira-kira 30-40 % diubah menjadi lemak. Lain keadaanya pada penderita DM, semua proses tersebut terganggu karena glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga tidak dapat dimetabolisme, akibatnya energi terutama diperoleh dari metabolisme protein dan lemak (Ganong 2002). 2.1.1 Sejarah Diabetes Mellitus Menurut Dallimutthe (2004), penyakit DM telah diketahui sejak ribuan tahun sebelum masehi. Ebers Papyrus menulis bahwa di Mesir sekitar tahun 1550 Sebelum Masehi (SM) terdapat suatu penyakit yang ditandai dengan banyak kencing. Di India, dalam buku Aryuveda (600 SM) dijumpai penyakit yang sama dimana urin penderita terasa manis dan disebut urin madu. Aretaceus menulis bahwa terdapat suatu penyakit yang ditandai dengan urin yang banyak. Willis adalah orang pertama pada tahun 1674 yang menuliskan penderita dengan urin banyak dan seperti madu disebut Diabetes Mellitus. Pada tahun 1921, Frederich Grant Banting, seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran di Toronto Kanada, mengangkat pankreas anjing kemudian mengekstrak pankreas tersebut. Anjing yang telah diangkat pankreasnya tersebut mengalami peningkatan kadar glukosa darah, kemudian setelah disuntik dengan ekstrak pankreas kadar glukosa darahnya turun, oleh karena ekstrak pankreas itu mengandung hormon yang disebut insulin. Ternyata hormon insulin inilah yang mengatur kadar glukosa dalam darah. 2.1.2 Etiologi Diabetes Melitus Kelainan yang disebabkan oleh defisiensi insulin disebut Diabetes Mellitus (DM) (Ganong 2002). Sebagian besar kasus DM disebabkan oleh rusaknya sel beta pankreas sehingga produksi insulin menjadi terhambat atau tidak ada sama sekali. Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan meningkatnya umur, maka toleransi terhadap glukosa juga meningkat. Intoleransi gula pada usia lanjut berkaitan dengan obesitas, aktivitas fisik yang kurang, berkurangnya massa otot, penyakit penyerta dan penggunaan obat-obatan sehingga terjadi penurunan sekresi insulin dan resistensi insulin (Misnadiarly 2006). DM merupakan penyakit yang 5 diturunkan atau diwariskan, bukan ditularkan. Para ahli kesehatan juga menyebutkan DM merupakan penyakit yang terpaut kromosom seks atau kelamin. Faktor herediter sering kali juga menyebabkan timbulnya DM melalui peningkatan kerentanan sel-sel beta terhadap penghancuran oleh virus atau mempermudah perkembangan antibodi autoimun melawan sel-sel beta. Obesitas juga merupakan salah satu penyebab terjadinya DM karena obesitas menurunkan jumlah reseptor insulin di dalam sel target insulin di seluruh tubuh, sehingga membuat jumlah insulin yang tersedia kurang efektif dalam meningkatkan efek metabolik insulin yang biasa (Guyton 1997). Menurut Mistra (2004), penyebab DM antara lain: Perubahan gaya hidup yang tidak sehat, lingkungan, dan usia Pola makan yang berubah kearah makanan cepat saji yang memiliki gengsi dan lemak tinggi Kebiasaan merokok Terdapat riwayat keluarga yang terkena DM (turunan) Stres menghadapi hidup atau persoalan lain Kegemukan Kerusakan kelenjar panreas (tidak lagi memproduksi hormon insulin atau sedikit memproduksi hormon tersebut) DM dapat disebabkan oleh gangguan endokrin lain, terutama hipofisa dan kelenjar adrenal serta dapat disebabkan karena kerusakan pankreas, misalnya oleh pankreatitis kronis atau oleh obat atau sindrom keturunan yang langka. Disamping itu terdapat DM kelompok lain, misalnya ibu yang mengandung atau subjek yang mengalami obesitas yang mengembangkan hiperglikemia namun kembali normal bila kehamilan telah usai atau berat badannya telah berkurang, meskipun dapat mempertahankan kerentanan yang meningkat terhadap DM kemudian. Namun bagian terbesar dari diabetes, yakni diabetes primer, disebabkan oleh penyakit lain yang tak dapat dikenal. 2.1.3 Klasifikasi Diabetes Melitus Menurut Misnadiarly (2006), Diabetes Mellitus diklasifikasikan ke dalam dua tipe yaitu Diabetes Tipe I yaitu Diabetes Mellitus Tergantung Insulin atau 6 Diabetes Melitus Dependen-Insulin (IDDM) dan Tipe II yaitu Diabetes Tidak Tergantung Insulin atau Diabetes Mellitus Non-Dependen Insulin (NIDDM). Istilah tergantung insulin dalam konteks ini berarti bahwa diabetes dapat diperlihatkan berkaitan dengan penurunan absolut jumlah insulin dalam sirkulasi atau pankreas dan disembuhkan dengan pemberian insulin. Tidak tergantung insulin berarti bahwa biasanya tidak diperlihatkan adanya defisiensi absolut dalam sirkulasi, meskipun diabetes paling tidak dapat tanggap terhadap pemberian terapi insulin berlebihan (Spector 1993); a. Tipe I Diabetes Mellitus Tergantung Insulin atau Diabetes Melitus DependenInsulin (IDDM) adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai oleh rusaknya sel-sel beta penghasil insulin (Ganong 2002). Biasanya produksi insulin ada atau tidak sama sekali seperti pada juvenile diabetic. Hal ini terjadi karena ada reaksi autoimun berupa reaksi peradangan pada sel beta (Dallimutthe 2004). Peradangan menyebabkan kerusakan sel beta pankreas, sehingga sel beta pankreas tidak mampu membuat dan mengeluarkan insulin dalam kuantitas dan/atau kualitas yang cukup, bahkan kadang-kadang tidak terdapat sekresi insulin sama sekali. Dalam hal ini reseptor untuk insulin pada IDDM jumlah dan kualitasnya dalam keadaan normal. Berbagai faktor penentu etiopatologis IDDM telah dapat diidentifikasi, misalnya konstitusi genetik, immunologis, faktor lingkungan dan gangguan metabolisme serta endokrinologi. Menurut PERKENI (2002), Diabetes Mellitus tipe I memiliki karakteristik mudah terjadi ketoasidosis, pengobatannya harus dengan insulin, onset akut, penderita biasanya kurus, terjadi pada usia muda, didapatkan antibodi sel islet, 10% ada riwayat diabetes pada keluarga, 30-50% terjadi pada kembar identik (Misnadiarly 2006). b. Tipe II Diabetes Tidak Tergantung Insulin atau Diabetes Mellitus NonDependen Insulin (NIDDM) diduga terjadi akibat insufisiensi insulin dan retensi jaringan terhadap insulin. Pada penderita NIDDM dapat dijumpai kadar insulin lebih tinggi akan tetapi karena ada gangguan pada reseptor insulin, maka transport glukosa ke dalam sel terganggu. Akibatnya kadar glukosa darah akan terus meningkat. Pada keadaan ini penderita NIDDM sama dengan diabetes tipe I. Perbedaannya adalah Diabetes Mellitus tipe II 7 disamping kadar glukosanya meninggi, kadar insulinnya normal. Keadaan ini disebut resisten terhadap insulin (Dallimutthe 2004). Menurut PERKENI (2002), karakteristik dari Diabetes Mellitus tipe II yaitu sukar terjadi ketoasidosis, pengobatannya tidak harus menggunakan insulin, onsetnya lambat, penderitanya gemuk atau tidak gemuk, biasanya terjadi pada umur tua, tidak ada antibodi sel islet, 30% ada riwayat diabetes pada keluarga, 100% terjadi pada kembar identik. Menurut Soehadi (1989), terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan NIDDM, yaitu: 1. Faktor pankreas: - Adanya mutasi gen insulin, akan terbentuk molekul-molekul insulin yang abnormal dan secara biologis kurang aktif. - Terlalu banyak proinsulin yang tidak dapat dirubah menjadi insulin. - Terjadi keterlambatan sekresi insulin, meskipun mungkin produksi insulin cukup, sehingga glukosa sudah diabsorbsi masuk darah tapi insulin belum memadai jumlahnya. 2. Faktor darah: - Adanya insulin angiotensin antagonisme, misalnya antibodi terhadap insulin. - Meningkatnya pengikatan insulin oleh protein plasma. - Meningkatnya enzim yang merusak insulin atau mekanisme lain yang merusak insulin. - Meningkatnya hormon-hormon kontra insulin seperti kortisol, hormon pertumbuhan, katekolamin dan lain-lain. - Meningkatnya lemak darah. 3. Faktor perifer: - Jumlah reseptor insulin di sel berkurang (antara 20.000-30.000 buah): pada obesitas bahkan berkurang hingga 20.000 buah, pada orang normal jumlah reseptor 35.000 buah/sel. - Jumlah reseptor cukup tetapi kualitas reseptor jelek sehingga insulin tidak dapat bekerja secara efektif. 8 - Terdapat kelainan post-reseptor, sehingga proses glikolisis intraseluler terganggu. 4. Adanya kelainan campuran diantara faktor-faktor yang terdapat pada 1, 2 dan 3. Peningkatan kadar glukosa darah Diabetes Mellitus tipe I dan tipe II akan terus berlanjut, apabila kadar glukosa darah ini terus meninggi hingga melewati ambang batas ginjal, maka glukosa tersebut akan dikeluarkan melalui urin. Kejadian ini yang sering dilihat pada penderita Diabetes Mellitus, yaitu poliuri dan glukosuria. 2.1.4 Gejala Klinis dan Komplikasi Diabetes Mellitus Gejala klinis DM meliputi gejala-gejala pada stadium kompensasi dan dekompensasi pankreas, serta gejala-gejala kronik lainnya. Gejala-gejala pada stadium kompensasi misalnya polifagi, polidipsi, poliuri dan penurunan berat badan. Adanya gejala klinis hiperglikemia dan glukosuria akan menyebabkan tekanan osmotik di dalam tubuli ginjal naik dan menghambat reabsorbsi air. Karena terhambatnya reabsorbsi air ini menyebabkan penderita DM mengalami poliuria dan akibat adanya poliuria terus-menerus akan menyebabkan dehidrasi tingkat jaringan. Penderita DM tidak dapat memecah glukosa dalam darah sehingga akan menggunakan lemak tubuhnya untuk pengganti energi atau makanan bagi sel sehingga terbentuklah badan-badan keton yang menyebabkan terjadinya ketonemia dan ketonuria serta tubuh terlihat kurus. Adanya bendabenda keton di dalam darah akan menimbulkan terjadinya asidosis sehingga frekuensi nafas meningkat dan penderita mengalami koma (Ressang 1984). Pada keadaan koma kulit mukosa dan lidah tampak kekeringan, bulbus mata menjadi lunak, pernafasan menjadi lebih dalam serta nafas bau aseton (Mutschler 1991). Gejala-gejala kronik yang sering terjadi misalnya lemah badan, anoreksia, kesemutan, mata kabur, mialgia, artalgia, dan kemampuan seksual berkurang (Soehadi 1989). Mistra (2004) menyebutkan bahwa gula darah mungkin telah melewati ambang normal bila telah terlihat gejala-gejala sebagai berikut: Berat badan menurun walaupun makan dalam porsi yang tetap 9 Kadang, berat badan cenderung bertambah Gatal-gatal pada kelamin luar Sering buang air kecil terutama pada malam hari Sering kesemutan pada salah satu sisi bagian tubuh, terutama terasa pada kaki dan tangan Cepat merasa lapar atau haus Penglihatan kabur dan akibatnya sering berganti kaca mata Melahirkan bayi dengan berat lebih dari 4 kg Mudah timbul bisul atau abses dengan kesembuhan yang lama Gairah seksual menurun dan cenderung impotensi Jika ada luka terutama di kaki biasanya akan sulit sembuh dan cenderung terus melebar sehingga dapat diamputasi atau berakhir pada kematian DM mempunyai sejumlah komplikasi karena vaskulopati dan neuropati atau campuran keduanya (Soehadi 1989). Jika berjalan dalam jangka lama, jumlah komponen lipid yang berlebihan dalam sirkulasi dapat menjadi faktor utama dalam meningkatkan kecepatan penderita diabetes untuk mengembangkan ateroma dibandingkan dengan yang tidak menderita diabetes pada usia yang sama. Penderita diabetes juga mengalami degenerasi non-ateromatosa pada arteriola dan kapilernya, terutama di ginjal dan retina, menjurus kepada kegagalan ginjal dan kebutaan. Penderita diabetes juga memiliki peningkatan resiko infeksi, terutama dari tuberkulosis atau saluran kencing. Triat maut ateroma, mikroangiopati dan infeksi menerangkan peningkatan laju mortalitas penderita diabetes bila dibandingkan dengan populasi secara keseluruhan. Pengobatan yang cukup tentu saja telah sangat mengurangi laju kematian dari komplikasi akut seperti koma ketosis namun memiliki dampak yang kurang dramatik terhadap kematian oleh komplikasi yang panjang (Spector 1993). Komplikasi yang terjadi misalnya penyakit jantung, serangan otak yang biasanya diikuti kelumpuhan dan stroke, kerusakan pembuluh-pembuluh darah periferal biasanya mempengaruhi bagian tubuh bawah dan kaki, kerusakan ginjal (nephropati), kerusakan saraf (neuropati) yang dapat menyebabkan kelumpuhan (paralisis), impoten, dan penyakit mata (retinopati) karena retina mata penderita retinopati diabetik terganggu sehingga terjadi kehilangan sebagian atau 10 keseluruhan penglihatannya. Menurut laporan Komisi Diabetes Mellitus, penderita DM dapat mengalami 2 kali lebih mudah terkena trombosis serebri, 24 kali mudah terkena penyakit jantung koroner, 17 kali rentan terhadap kegagalan ginjal dan 5 kali lebih mudah terkena gangren, bilamana dibandingkan dengan orang non-Diabetes Mellitus. Meskipun gejala-gejala DM dapat diregulasi, namun komplikasi DM kronis jangka panjang dapat mengurangi lama perkiraan hidup sampai sepertiganya (Soehadi 1989). Menurut Mistra (2004), seringnya terjadi penyeburan gula di dalam pembuluh darah, lambat-laun tetapi pasti akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah secara global. Selanjutnya, berujung pada kerusakan organ- organ tubuh bagian dalam (komplikasi). Berikut ini komplikasi yang mungkin terjadi saat terkena DM: Gangguan atau kerusakan jantung Gangguan saraf otak yang menyebabkan stroke Gangguan kelamin, impotensi, atau disfungsi ereksi Gangguan atau kerusakan paru-paru (TBC) Gangguan atau kerusakan saraf tepi pada bagian tubuh sehingga sering kesemutan atau pegal sebelah tubuh Gangguan atau kerusakan ginjal dan bisa berakhir dengan gagal ginjal Gangguan atau kerusakan mata, seperti bertambahnya lapisan katarak pada lensa mata atau kebutaan total Gangren atau jika luka lama sembuhnya dan cenderung terus membusuk. Kadang berujung pada vonis amputasi Pada wanita hamil dapat berakibat keguguran, bayi lahir mati, keracunan kelahiran, bayi lahir dengan berat sampai 5 kg, dan terlalu banyak air ketuban. 2.1.5 Diagnosa Diabetes Melitus Kriteria diagnotik Diabetes Mellitus pada manusia dan gangguan toleransi glukosa menurut WHO 1985 dalam tulisan Misnadiarly (2006); 1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥ 200 mg/dl atau 2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥ 126 mg/dl atau 11 3. Kadar glukosa darah plasma ≥ 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral). Cara umum yang digunakan untuk mendiagnosa penyakit diabetes didasarkan pada berbagai tes kimiawi terhadap urin dan darah (Guyton 1997). Pemeriksaan glukosa urin melalui tes sederhana atau tes kuantitatif laboratorium yang lebih rumit, yang mungkin dapat digunakan untuk menentukan jumlah glukosa yang hilang dalam urin. Jumlah glukosa yang dikeluarkan dalam urin orang normal pada umumnya sukar dihitung, sedangkan pada kasus diabetes glukosa yang dilepaskan jumlahnya dapat sedikit sampai banyak sekali sesuai dengan berat penyakit dan asupan karbohidratnya. Kadar glukosa darah puasa sewaktu pagi hari normalnya adalah 80 sampai 90 mg/dl, dan 110 mg/dl dipertimbangkan sebagai batas atas kadar normal. Penderita diabetes hampir selalu memiliki konsentrasi glukosa darah puasa diatas 110 mg/dl, bahkan diatas 140 mg/dl, dan uji toleransi glukosa hampir selalu abnormal. Diagnosa juga dapat dilakukan dengan mencium bau pernafasan penderita DM yang cenderung bau aseton akibat jumlah asam asetat yang meningkat pada penderita DM berat yang diubah menjadi aseton, aseton ini mudah menguap dan dikeluarkan dalam udara ekspirasi sehingga bau aseton dapat tercium pada nafas penderita diabetes. Asam keton juga dapat ditemukan dalam urin melalui cara kimia dan jumlah asam keton ini dipakai untuk menentukan tingkat penyakit DM. 2.1.6 Patologi Diabetes Melitus Menurut Ressang (1984), gambaran patologi anatomis penderita Diabetes Mellitus yang paling mencolok adalah terjadinya infiltrasi lemak pada hati dan ginjal sehingga hati dan ginjal terlihat membengkak dan berwarna kekuningan juga pada miokard sering kali berwarna kekuningan karena infiltrasi lemak dan degenerasi albuminoid. Pankreas mengecil dan tidak memperlihatkan perubahanperubahan makroskopik. Secara mikroskopik gambaran organ pankreas menunjukkan adanya perubahan secara kualitatif pada pulau-pulau Langerhans. Jumlah pulaunya berkurang sedangkan memperlihatkan degenerasi hidrofobik. sel-sel lainnya menunjukkan Disamping itu terlihat sklerosis pada pulau-pulau pankreas yang disebabkan oleh peradangan atau didahului dengan 12 degenerasi. Hewan percobaan pemberian zat-zat yang mempunyai efek toksik seperti alloksan dan ditizon atau derivatnya pada sel-sel pulau Langerhans dapat menimbulkan perubahan pada sel-sel pada diabetes yaitu : pengecilan pulau-pulau pankreas, pengurangan jumlah sel-sel B, degranulasi, dan vakuolisasi pada sel-sel tersebut. 2.1.7 Pengobatan Diabetes Melitus Diabetes Mellitus dapat ditanggulangi dengan pemberian obat, pengaturan diet secara maksimal untuk mengembalikan kadar glukosa darah, dan pemberian preparat hormonal. Pemberian obat hanya merupakan pelengkap diet, obat diberikan bila pengaturan diet secara maksimal tidak berhasil mengembalikan glukosa darah. Obat yang sering digunakan digolongkan sebagai berikut: Antidiabetik oral (hipoglikemik oral) Obat ini digunakan untuk membantu mengurangi kebutuhan insulin yang diberikan dari luar. Dalam keadaan gawat insulin tetap harus diberikan. Menurut Ganiswara (1995), antidiabetik oral tidak diindikasikan bagi penderita yang cenderung mendapat ketoasidosis. Bila hiperglikemia sudah terkontrol dengan antidiabetik oral dosis rendah maka dapat dilakukan pengaturan diet saja dan kerja fisik. Penderita yang membutuhkan dosis antidiabetik oral yang makin meningkat untuk mengontrol peninggian gula darahnya mungkin menunjukkan adanya kegagalan sekunder. Obat hipoglikemik oral digolongkan atas: Golongan sulfonil urea Obat ini dapat menurunkan kadar gula darah dengan cara merangsang sekresi insulin di pankreas dan meningkatkan efektivitasnya. Oleh karena itu obat ini cocok untuk penderita diabetes tipe II. Contoh obat golongan ini adalah glibenklamida, glikasida, glikuidon dan klorpromida (Sustrani et al. 2006) serta tolazomida dan tolbutamida (Laurence & Bennet 1992). Golongan biguanida Efek utama obat golongan ini adalah mengurangi produksi glukosa pada hati serta memperbaiki ambilan glukosa perifer. Obat yang termasuk 13 golongan ini adalah fenformin, buformin dan metformin (Ganiswara 1995). Insulin Insulin merupakan hormon yang penting untuk kehidupan. Hormon ini mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Insulin menaikkan pengambilan glukosa ke dalam sel-sel sebagian besar jaringan, menaikkan penguraian glukosa secara oksidatif, menaikkan pembentukan glikogen dalam hati dan otot dan mencegah penguraian glikogen, menstimulasi pembentukan lemak dan protein dari glukosa. Semua proses ini menyebabkan kadar glukosa darah menurun. Kerja insulin lainnya adalah menaikkan pengambilan ion kalium ke dalam sel dan menurunkan kerja katabolik glukokortikoid dan hormon kelenjar tiroid (Mutschler 1991). Insulin dihasilkan oleh sel β pulau Langerhans yang berada di dalam kelenjar pankreas. Hormon ini merupakan suatu polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino (Ganiswara 1995). Insulin sering digunakan oleh penderita diabetes tipe I, sedangkan pada penderita diabetes tipe II digunakan apabila pemberian obat sudah tidak efektif. Glukagon Glukagon adalah suatu polipeptida yang terdiri dari 29 asam amino. Hormon ini dihasilkan oleh sel alfa pulau Langerhans. glukoneogenesis. Glukagon meningkatkan Efek ini mungkin sekali disebabkan oleh menyusutnya simpanan glikogen dalam hepar, karena dengan berkurangnya glikogen dalam hati proses deaminasi dan transaminasi menjadi lebih aktif. Adanya peningkatan kedua proses tersebut menyebabkan pembentukan kalori yang semakin besar juga. Glukagon terutama digunakan pada pengobatan hipoglikemia yang ditimbulkan oleh insulin. Hormon tersebut dapat diberikan secara intravena, intramuscular, atau subcutan 1 mg. Bila dalam 20 menit setelah pemberian glukagon subcutan penderita koma hipoglikemik tetap tidak sadar, maka glukosa intravena harus segera diberikan karena mungkin glikogen dalam hepar telah habis atau telah terjadi kerusakan otak yang menetap (Ganiswara 1995). 14 2.2 Hati Hati adalah organ terbesar dalam tubuh (Ressang 1984). Hati mendapat darah dari vena porta dan arteri hepatika yang akan menyuplai 40-50% oksigen dan kurang lebih setengah dari darah yang bersirkulasi akan menuju hati. Sebagian kecil darah dari arteri hepatika mengalir langsung masuk ke peripheral sinusoid (Jones et al. 2006). Vena porta, arteri hepatika dan saluran empedu akan bergabung dalam satu daerah vena portis (segitiga Kiernaan). Empedu akan disalurkan dari hati ke duodenum melalui saluran empedu intrahepatik dan ekstrahepatik (Guyton 1997). Gambar 1. Lobus hati, dilihat dari anterior (Shier et al. 2002). 2.2.1 Anatomi Hati Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh. Hati terletak di rongga perut di sebelah kanan, tepat di bawah difragma, berwarna merah kecoklatan. Hati terdiri dari beberapa lobus, tergantung pada spesiesnya (Harada et al. 1999). Hati memiliki dua lobus utama, kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan yang tidak terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum falsiforme yang dapat dilihat dari luar. Ligamentum falsiforme berjalan dari hati ke diafragma dan dinding depan abdomen. Permukaan hati diliputi oleh peritoneum visceralis, kecuali daerah kecil pada permukaan posterior yang melekat langsung pada diafragma. Beberapa ligamentum yang merupakan lipatan peritoneum membantu menyokong hati. Di bawah peritoneum terdapat jaringan penyambung padat yang dinamakan kapsula Glisson, yang meliputi 15 seluruh permukaan organ; kapsula ini pada hilus atau porta hepatik di permukaan inferior melanjutkan diri ke dalam massa hati, membentuk cabang-cabang vena porta, arteri hepatika, dan saluran empedu (Wilson & Lester 1992). Hati bersama dengan jaringan ekstra hepatik dan beberapa hormon berperan dalam menjaga homeostatik pengaturan kadar glukosa yang stabil dalam darah (Suharmiati 2003). 2.2.2 Histologi Hati Unit fungsional dasar hati adalah lobus hati, yang berbentuk silindris. Hati terbagi menjadi beberapa lobus. Secara histologis lobus atau gelambir hati dibalut oleh kapsula. Ada dua macam kapsula yaitu kapsula fibrosa (Glisson) dan kapsula serosa. Lobus hati terdiri dari sel hati. Sel hati berbentuk polyhedral, berdiameter 20-25 mikron pada hewan dewasa, sedangkan pada hewan muda sekitar 2-7 mikron. Inti bulat terdapat di tengah-tengah dan kadang-kadang tampak lebih dari satu inti (Hartono 1992). Masing-masing lempeng hati tebalnya satu sampai dua sel, dan diantara sel yang berdekatan terdapat kanalikuli basilaris kecil yang mengalir ke duktus biliaris di dalam septum fibrosa yang memisahkan lobus hati yang berdekatan. Di dalam septum juga terdapat vena porta kecil yang menerima darah terutama dari vena saluran pencernaan melalui vena porta. Darah dari venula ini akan mengalir ke sinusoid hati dan bercabang yang terletak diantara lempeng-lempeng hati dan kemudian ke vena sentralis. Sirkulasi demikian menyebabkan sel hati terus-menerus terpapar oleh darah vena porta. Selain vena porta juga terdapat arteriol hati di dalam septum interlobularis. Sinusoid vena dan sel-sel hati dilapisi oleh dua tipe sel yaitu sel endotel khusus dan sel Kupffer yang merupakan makrofag jaringan yang mampu memfagositosis bakteri dan benda asing lain dalam darah sinus hepatikus (Guyton 1997). Sel Kupffer merupakan makrofag spesifik dalam organ hati yang berasal dari monosit (Dellman & Brown 1992). Hati merupakan organ yang terlibat dalam metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Hepatosit (sel parenkim hati) merupakan bagian terbesar dari organ hati. Hepatosit bertanggung jawab terhadap peran sentral hati dalam metabolisme. Sel-sel ini terletak diantara sinusoid yang terisi darah dan saluran empedu. Sel Kupffer melapisi sinusoid hati dan merupakan bagian penting dari sistem retikuloendotelial tubuh. 16 Gambar 2. Lobus hati, dilihat dari inferior (Shier et al. 2002). Menurut struktur dan fungsinya, lobulus hati dibagi menjadi tiga zona atau daerah yaitu daerah sentrolobuler, daerah tengah (midzonal) dan daerah periportal. Daerah sentrolobuler merupakan akhir dari mikrosirkulasi yang menerima darah dari pertukaran gas dan metabolit dengan sel-sel dari daerah tengah dan periportal. Hal ini menyebabkan daerah sentrolobuler lebih sensitif terhadap gangguan sirkulasi (iskemia, anoksia, kongesti) dan defisiensi nutrisi. Sebaliknya, daerah periportal dekat dengan pembuluh darah, menerima darah yang kaya O2 dan nutrisi. Akan tetapi, apabila ada senyawa yang bersifat toksik dalam darah, maka daerah ini akan terpapar terlebih dahulu. Hepatosit di daerah periportal mempunyai lebih banyak mitokondria sedangkan di daerah sentrolobuler mempunyai jumlah sitokrom p450 yang lebih banyak (Harada et al. 1999). 2.2.3 Fungsi Hati Hati adalah suatu organ yang besar, dapat meluas, dan organ venosa yang mampu bekerja sebagai suatu tempat penampungan darah yang bermakna disaat volume darah berlebihan dan mampu mensuplai darah ekstra di saat kekurangan volume darah (Guyton 1997). Beberapa fungsi hati menurut Ressang (1984) adalah : - sekresi empedu - metabolisme lemak - metabolisme zat telur - metabolisme hidrat arang - metabolisme besi 17 - fungsi detoksikasi - pembentukan sel darah merah - metabolisme dan penyimpanan penyakit Hati memiliki tiga fungsi yaitu fungsi vaskuler, fungsi metabolik serta fungsi sekresi dan ekskresi (Dellman & Brown 1992). Fungsi vaskuler berhubungan dengan proses penyimpanan dan penyaringan darah. Pada fungsi metabolik, sel hati merupakan suatu tempat reaksi kimia dengan laju metabolisme yang tinggi. Kemudian juga tempat mengolah dan mensintesa berbagai zat yang diangkut ke daerah tubuh lain (Herdt 2002). Sedangkan fungsi sekresi dan ekskresi berperan untuk produksi empedu yang mengalir melalui saluran empedu ke saluran pencernaan (Guyton 1997). Menurut Ganiswara (1995), hati berperan dalam pengaturan kadar glukosa dalam darah. Setelah makanan diabsorbsi di usus, glukosa dialirkan ke hati melalui vena porta. Sebagian lagi glukosa disimpan dalam bentuk glikogen. Setelah absorbsi selesai, glikogen dalam hati dipecah lagi menjadi glukosa. Pada keadaan normal persediaan glikogen dalam hati cukup untuk mempertahankan kadar glukosa darah selama beberapa jam, namun jika hati terganggu fungsinya akan mudah terjadi hiperglikemia atau hipoglikemia. Hati berfungsi sebagai penawar racun, dengan cara memusnahkan racun tersebut atau dengan menggandeng racun tersebut dengan senyawa lain sehingga sifat racunnya hilang atau melemah (Girindra 1988). Sebagian besar bahan toksik memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal. Setelah terjadi proses penyerapan, bahan toksik tersebut dibawa oleh vena porta hati ke hati. Darah dipasok melalui vena porta dan arteri hepatika serta disalurkan melalui vena sentralis kemudian vena hepatika, hingga akhirnya ke dalam vena kava (Lu 1995). Aliran darah yang membawa obat atau senyawa organik asing melewati sel-sel hati secara perlahan-lahan (Siswandono & Bambang 1995). 2.2.4 Patologi Hati Hati merupakan organ yang paling sering mengalami kerusakan. Ada dua alasan yang menyebabkan hati mudah terkena racun. Pertama, hati menerima 80% suplai darah dari vena porta yang mengalirkan darah dari sistem 18 gastrointestinal. Substansi zat-zat toksik termasuk tumbuhan, fungi, dan produk bakteri, juga logam, mineral dan zat-zat kimia lain yang diserap ke darah portal ditransportasikan ke hati. Kedua, hati menghasilkan enzim-enzim yang mempunyai biotransformasi pada berbagai macam zat eksogen dan endogen untuk dieliminasi oleh tubuh. Proses ini mungkin juga mengaktifkan beberapa zat menjadi bentuk yang lebih toksik dan dapat menyebabkan terjadinya perlukaan hati (Carlton & McGavin 1995). Bahan toksik dapat menyebabkan berbagai jenis kerusakan hati sebagai berikut: Degenerasi Degenerasi sel sering diartikan sebagai kehilangan stuktur normal sel sebelum kematian sel. Gambaran patologi dapat didefinisikan secara luas sebagai kehilangan struktur dan fungsi normal, biasanya progresif yang tidak ditimbulkan oleh induksi radang dan neoplasia. Degenerasi sel terkadang merupakan indikasi gangguan metabolisme yang meluas. Jenis umum degenerasi sel disebut perubahan melemak. Di sini globuli lemak (terutama trigliserida) dideposisikan pada sitoplasma dalam jumlah besar. Hal ini terjadi pada kondisi Diabetes Mellitus, malagizi, iskhemik dan anemia hebat (Spector 1993). Degenerasi suram (cloudy swelling), berbutir, albuminoid atau parenkim sering terlihat pada kejadian keracunan. Hati membesar, tepinya membulat, konsistensinya rapuh, sedangkan bidang sayatan belang atau beraspek seperti telah dimasak (Ressang 1984). Nekrosis Nekrosis hati adalah kematian sel hati. Kematian sel terjadi bersama dengan pecahnya membran plasma. Tidak ada perubahan ultrastruktural membran yang dapat dideteksi sebelum pecah, namun ada beberapa perubahan yang mendahului kematian sel. Perubahan morfologik awal antara lain berupa edema sitoplasma, dilatasi retikulum endoplasma dan disagregasi polisom. Terjadi akumulasi trigliserida sebagai butiran lemak dalam sel. Perubahan yang terjadi merupakan pembengkakan mitokondria progresif dengan kerusakan kista, pembengkakan sitoplasma, penghancuran organel dan inti dan pecahnya membran plasma. Nekrosis dapat bersifat fokal (sentral, 19 pertengahan, perifer) atau masif (Lu 1995). Nekrosis hati merupakan manifestasi toksik yang berbahaya tetapi tidak selalu kritis karena hati mempunyai kapasitas pertumbuhan kembali yang luar biasa. Pada umumnya nekrosa toksopatik hanya memerlukan waktu singkat untuk menimbulkan gejala klinis. Steatosis (perlemakan hati) Secara patologis hal yang dapat menyebabkan perlemakan adalah hipoksemi oleh karena hati tidak dapat membakar lemak atau karena adanya toksin yang menyebabkan penurunan fungsi lipolitik hati. Toksin yang dapat menyebabkan perlemakan toksik adalah antimon, arsen, alkohol, dan racun lain yang memerlukan banyak oksigen sehingga lemak tinggal tidak terbakar. Sirosis Hati Sirosis hati adalah pengerasan pada hati. Sirosis hati dicirikan dengan permukaan nodular, granular dan irregular, konsistensinya keras dan terjadi fibrosis difus. Sirosis dapat disebabkan oleh berbagai hal, akan tetapi dapat juga kausanya tidak diketahui. Pada umumnya bahan-bahan toksik dan parasit dapat menyebabkan sirosis hati (Ressang 1984). Menurut Spector (1993), sirosis berasal dari nekrosis sel tunggal karena kurangnya mekanisme perbaikan. Kemudian keadaan ini menyebabkan aktivitas fibroplastik dan pembentukan jaringan parut. Tidak cukupnya aliran darah dalam hati menjadi salah satu faktor pendukung. Pasca mati hati menunjukkan tanda-tanda pembusukan. Perubahan warna coklat menjadi hitam-hijau atau biru-hitam pada bidang caudalnya terjadi karena H2S di dalam usus bersenyawa dengan besi di dalam darah menjadi FeS. Pada sisi bidang cranial hati sering terlihat garis-garis pucat disebabkan oleh tekanan iga. Otolisis postmortal terlihat sebagai sarang-sarang suram, putih kelabu, yang mirip dengan sarang-sarang nekrosa. Akan tetapi secara mikroskopik sarangsarang ini dapat dibedakan dari nekrosa karena pembusukan tidak menimbulkan reaksi jaringan sama sekali, di sekitar sarang-sarang pasca mati tidak ditemukan infiltrasi sel-sel radang. 20 2.3 Usus Halus Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu duodenum, jejunum, dan ileum (Sturkie 1976). Usus halus merupakan tempat terjadinya pencernaan dan penyerapan makanan. Selaput lendir usus halus memiliki jonjot yang lembut dan menonjol seperi jari. Fungsi usus halus selain penggerak aliran pakan dalam usus juga untuk meningkatkan penyerapan sari makanan (Akoso 1993). Gambar 3. Tiga bagian dari usus halus, yaitu duodenum,jejunum dan ileum (Shier et al. 2002). 2.3.1 Anatomi Usus Halus Usus halus merupakan bagian dari sistem pencernaan yang terletak antara lambung dan usus besar yang merupakan tempat utama terjadinya pencernaan secara kimiawi dan penyerapan nutrisi. Usus halus dalam kerjanya dibantu oleh pankreas yang menghasilkan enzim yang digunakan dalam proses pencernaan. Secara normal usus halus terdiri dari duodenum, jejunum dan ileum. Duodenum merupakan bagian proximal dari usus halus yang melewati bagian kaudal dari permukaan kanan ventrikulus dan membentuk suatu lengkungan seperti huruf “U”. Diantara lengkungan “U” tersebut terdapat pankreas (Sisson & Grossman 1953) yang menghasilkan enzim amylase, lipase dan tripsin (North 1984). Jejunum dan ileum tidak memiliki batas yang jelas, untuk menentukan batas antara usus halus tersebut berdasarkan letak dari Meckel’s divertikulum (Sisson & Grossman 1953). Menurut Swenson (1953), panjang usus setiap spesies hewan bervariasi tergantung dari kebiasaan makan. Herbivora mempunyai usus yang lebih panjang 21 dibandingkan usus halus karnivora, hal ini disebabkan karena daging lebih mudah dicerna. 2.3.2 Histologi Usus Halus Usus halus terbagi menjadi tiga bagian yaitu duodenum, jejunum dan ileum. Daerah duodenum memiliki lipatan mukosa yang melingkar dan memiliki banyak vili. Daerah jejunum mirip dengan daerah duodenum. Ukuran vili jejunum lebih langsing, lebih kecil dan jumlahnya lebih sedikit daripada duodenum. Daerah ileum mirip dengan jejunum. Vili pada ileum membentuk kelompok. Daerah ileum tidak memiliki lipatan-lipatan mukosa (Banks & William 1993). Secara umum, struktur utama dari usus halus adalah membran mukosa, lamina propia, submukosa, jaringan limfatik, serosa dan lapisan muskuler. Sel epitel menutupi seluruh permukaan bebas dari membran mukosa dan berbentuk epitel silindris sebaris (Xu & Cranwell 2003). Pada lapis mukosa usus halus terdapat suatu bentuk khusus berupa vilivili. Vili memperluas permukaan area lumen serta mengefisienkan proses absorbsi. Selain itu pada mukosa usus juga ditemukan kripta-kripta usus. Kelenjar-kelenjar yang terdapat pada mukosa memiliki bentuk tubular sederhana. Pada daerah di bawah epithelium merupakan lamina propia. Lamina propia mengandung leukosit dan jaringan limfatik berupa nodul-nodul. Ditemukan nodul-nodul limfatik yang beragregasi membentuk Payer’s patches. Lapis submukosa usus halus terdiri dari jaringan ikat, pembuluh darah dan pembuluh limfatik (Xu & Cranwell 2003). Pada daerah submukosa duodenum terdapat sekelompok kelenjar berbentuk tubular seperti gulungan yang disebut dengan kelenjar Brunner. Kelenjar Brunner mensekresikan cairan mucus ke dalam kripta usus. Cairan mucus ini melubrikasi permukaan epithelium dan melindungi dari asam lambung (Frappier 1998). Pada daerah mukosa bagian dasar vili usus halus terdapat kripta Lieberkuhn. Kripta Lieberkuhn berbentuk lurus maupun tubular seperti struktur kelenjar yang dilapisi oleh sel epitel silindris sebaris. 22 Sel epitel usus halus terdiri dari empat macam sel yaitu (Bloom & Fawcett 1968; Telford & Bridgman 1995): - Sel penyerap berbentuk silindris dengan mikrovili berfungsi untuk menyerap sari makanan - Sel Goblet / sel mangkok, tersebar tidak teratur dan tidak merata pada epitel permukaan. Sel ini menghasilkan mucus yang berfungsi untuk melindungi mukosa - Sel Argentaffin / sel enterokhromafin, menghasilkan serotonin yang menstimulasi kontraksi otot polos, serta menyalurkan hormon seperti sekretin, gastrin dan kholesitokinin - Sel Paneth, berbentuk silindris atau pyramidal dengan inti bulat terletak di basal. Sel Paneth terletak di ujung kelenjar Liberkuhn, fundus dan sekum (pada unggas, karnivora dan babi sel ini tidak ada). Sel epitel yang terdapat dalam kelenjar kripta termasuk stem sel undifferentiated, sel Goblet, sel Paneth dan sel endokrin. Sel Goblet mensekresikan mucus dan memiliki fungsi yang sama dengan sel Goblet pada vili usus. Sel endokrin memproduksi berbagai macam hormon maupun peptide (Xu & Cranwell 2003). Sel Paneth merupakan sel eksokrin dengan granul-granul sekretori pada apikal sitoplasma. Granul-granul sekretori ini menghasilkan lisosim yang memiliki aktivitas antibakterial dan mengontrol mikrobiota. Stem sel yang belum terdiferensiasi memiliki kemampuan mitotik yang tinggi. Sel epitel baru yang tumbuh oleh proses mitosis dari stem sel berpindah ke atas sepanjang vili dan sering menembus ujung vili (Xu & Cranwell 2003). Peradangan pada usus halus (enteritis) yang subakut disertai dengan infiltrasi sel limfosit dan yang kronis bersifat proliferatif bisa terjadi (Nabib 1987). Dinding usus halus terdiri dari empat lapis yaitu mukosa, sub-mukosa, tunika muskularis, dan tunika serosa (Swenson dalam Handaruwati 2000). Mukosa ini diselaputi oleh vili yang berkembang baik dan menyebabkan gambaran mukosa yang menyerupai beludru. Duodenum memiliki vili yang luas, berbentuk seperti daun, dan diameternya luas. Vili pada jejunum memiliki bentuk 23 seperti lidah pada bagian jejunum proksimal, dan seperti jari panjang pada bagian jejunum distal. Sedangkan ileum memiliki vili yang berbentuk menyerupai jari. Permukaan vili mempunyai tiga macam jenis sel, yaitu sel absorbtif, sel Goblet, dan sel Argentafin. Kripta Lieberkuhn atau kelenjar usus terdapat pada permukaan diantara vili yang meluas ke daerah muskularis mukosa. Lamina propia berbentuk jaringan ikat longgar yang merupakan pusat vili dan mengelilingi kelenjar usus. Bagian ini terdiri dari serabut kolagen dan elastik dalam jalinan serabut retikuler dimana dalam jalinan ini terdapat pembuluh darah, pembuluh limfe, leukosit, fibroblast, otot polos, sel plasma, dan sel mast (Dellman & Brown 1992). Muskularis mukosa terdiri dari lapis otot tipis yang halus. Lapisan sub-mukosa berupa jaringan ikat longgar yang didalamnya terdapat saraf, arteri, pembuluh limfe besar, vena, ganglion dari sistem saraf parasimpatikus, dan kumpulan badan sel saraf terlokalisasi yang merupakan elemen dari pleksus sub-mukosa. Pada duodenum terdapat kelenjar sub-mukosa atau yang disebut kelenjar Brunner (Swenson dalam Handaruwati 2000). Lapisan tunika muskularis terdiri dari dua lapis, yaitu lapis dalam yang tersusun melingkar dan lapis luar yang tersusun memanjang. Diantara kedua lapis tersebut terdapat jaringan ikat longgar yang mengandung Plexus Mientricus atau Plexus Aurbach. Pleksus ini bersama dengan Plexus Meissner yang terdapat pada sub-mukosa akan menginervasi kontraksi usus yang mencampur makanan dengan enzim, kemudian menggerakan makanan yang sudah dicerna agar kontak dengan permukaan sel-sel absorbsi lalu mendorongnya ke kaudal. Peristiwa pencernaan serta penyerapan dalam usus halus ditunjang oleh bentuk-bentuk khusus. Efisiensi penyerapan dapat ditingkatkan oleh tiga bentuk khusus yang memperluas areal penyerapan terhadap isi usus, yang pertama adalah dua pertiga bagian depan usus halus memiliki plika sirkularis yang menjulur ke arah lumen setinggi dua pertiganya. Pada ruminansia lipatan ini bersifat permanen, tetapi pada hampir semua hewan piara lain tampak pada usus yang sedang istirahat atau kososng, dan hilang bila usus mengembang. Kedua, permukaan selaput lendir menunjukkan penjuluran berbentuk jari yang disebut vili. Tinggi vili ini bervariasi (1,0-1,5 μm), tergantung pada daerah serta jenis hewan. Ketiga, adalah permukaan penyebaran ditingkatkan oleh mikrovili. 24 Mikrovili merupakan penjuluran sitoplasma pada permukaan bebas epitel vili (Dellman & Brown 1992). Permukaan bagian dalam dari usus halus adalah membran mukosa yang terdiri dari sel epitel kolumnar, beberapa diantaranya akan mengalami modifikasi dan membentuk sl Goblet guna produksi mukus. Di sebelah luar permukaan membran mukosa yang menyelimuti usus halus banyak terdapat vili yang berguna untuk absorbsi zat makanan (Frandson 1992). Dalam keadaan normal selaput lendir usus terlapisi oleh isi usus yang bercampur dengan getah usus, getah pankreas, empedu, lendir usus dan kuman-kuman. 2.3.3 Fungsi Usus Halus Pada usus halus terjadi gerakan peristaltik yang berperan mencampur digesta dengan cairan pankreas dan empedu. Usus halus menghasilkan enzim amilase, protease, dan lipase yang berfungsi memecah zat makanan menjadi bentuk yang lebih sederhana sehingga dapat diserap tubuh, selain itu usus halus juga melaksanakan pencernaan kimiawi serta memegang peranan penting dalam transfer material nutrisi dari lumen ke dalam pembuluh darah dan limfe (Moran 1985). Usus halus memiliki fungsi sebagai tempat penyaluran makanan dan penyerapan nutrisi ke dalam pembuluh darah dan pembuluh limfe. Dalam usus, asam lemah terutama akan berada dalam bentuk ion sehingga tidak mudah diserap, sedangkan basa lemah akan berada dalam bentuk ion-ion sehingga mudah diserap. Absorbsi usus akan lebih tinggi lagi dengan lamanya waktu kontak dan luasnya daerah permukaan vili dan mikrovili usus (Lu 1995). Usus halus meliputi duodenum, jejunum dan ileum. Fungsi duodenum dan jejunum ialah pencernaan dan penyerapan (absorbsi) sedangkan ileum untuk absorbsi makanan dan cairan. Duodenum merupakan tempat absorbsi besi dan folat. Duodenum juga menjadi tempat penting terjadinya pencampuran antara makanan dengan garam empedu dan enzim pankreas. Jejunum menjadi bagian dari usus halus yang paling banyak mengabsorbsi mikronutrien. Selain nutrien, obat juga diabsorbsi disini. Motilitas makanan yang melewati ileum lebih lambat daripada jejunum. Neurohormonal seperti glucagon-like peptide 1 dan 2, peptide YY dan neurotensin yang dilepas 25 oleh ileum terminal berperan memberikan efek trofik pada mukosa (Andra 2007). Pencernaan ingesta menjadi bentuk yang siap diserap, dimulai dengan bekerjanya enzim pankreas, empedu dari hati dan sekreta kelenjar usus. Peristiwa ini berlangsung di sepanjang usus halus. Efisiensi penyerapan dapat ditingkatkan oleh tiga bentuk yaitu plika sirkularis pada dua pertiga bagian depan, vili yang berbentuk jari dengan permukaan selaput lendir dan mikrovili yang merupakan penjuluran sitoplasma pada permukaan bebas epitel vili (Dellman & Brown 1992). Aktivitas pencernaan memerlukan sejumlah enzim dan banyak lendir untuk melindungi epitel terhadap kerusakan mekanik maupun iritasi enzim. Lendir dihasilkan oleh kelenjar submukosa dan sel Goblet di antara sel epitel (Himawan 1998). 2.3.4 Patologi Usus Halus Gangguan yang sering terjadi pada usus adalah obstruksi, perpindahan (hernia/eventration) dan peradangan usus (enteritis). Obstruksi akut pada usus lebih sering terjadi pada usus halus, sedangkan usus besar lebih sering tertimpa obstruksi kronis. Obstruksi akut dapat dikelompokkan ke dalam 3 kelompok, menurut cara perkembangannya: Oklusi sederhana, berasal dari substansi mekanik dan sumbernya tidak tentu, namun secara umum dapat dibagi menjadi obstruksi intraluminal, obstruksi yang terjadi pada dinding usus atau obstruksi yang terjadi dari tekanan di perbatasan. Strangulasi, terjadi ketika selain terjadi oklusi pada usus juga terjadi oklusi pada pembuluh darah, biasanya pada vena namun dapat terjadi pada arteri dan vena. Ileum paralitik adalah obstruksi fungsional yang biasanya timbul karena reflek penghambatan, tetapi mungkin juga terjadi karena metabolik dan komplikasi dari hipokalemia. Eventration meliputi perpindahan bagian dari usus -biasanya usus halus- keluar dari ruang abdominal. peritoneum parietal. Bagian yang berpindah tidak dapat ditutup 26 Internal hernia, merupakan perpindahan usus melalui foramen normal atau patologik di dalam ruang abdominal tanpa terbentuk kantung hernia. Eksternal hernia, secara khas terdiri dari kantung hernia yang dibentuk sebagai kantung peritoneum parietal, menutupi kulit dan jaringan lunak tergantung pada lokasi hernia, cincin hernia dan isi hernia. Cincin hernia adalah pembuka dinding abdominal yang dapat terjadi secara dapatan atau alami seperti cincin inguinal. Isi hernia biasanya terdiri dari bagian omentum, bagian usus yang lebih bebas bergerak –biasanya usus halus- dan kadang-kadang organ viscera lainnya. Enteritis secara umum terjadi pada bagian manapun dari usus, namun karena peradangan lebih umum dan parah ketika menimpa usus halus, maka peradangan pada sekum, kolon dan rektum lebih dikenal dengan sebutan typhlitis, colitis dan proctitis. Pada banyak kasus, spesifik atau non-spesifik, perubahan menimpa keseluruhan bagian usus dan terkadang juga menimpa lambung sehingga dapat disebut gastroenteritis. Penyebabnya antara lain infeksi bakteri, virus, mikosis, protozoa, riket dan cacing, gangguan vaskular dan metabolik, toksin bakteri, keracunan zat kimia dan defisiensi nutrisi seperti vitamin B (Jubb et al. 1993). 2.4 Limpa Gambar 4. Limpa (Shier et al. 2002). Tubuh makhluk hidup memiliki kemampuan melawan berbagai jenis organisme atau toksin yang dapat merusak jaringan dan organ tubuh. Kemampuan ini disebut kekebalan yang merupakan hasil produksi dari jaringan 27 limfoid di dalam tubuh (Guyton 1997). Sistem jaringan limfoid dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok yaitu organ limfoid primer dan sekunder (Tizard 1988). Organ limfoid primer merupakan organ yang berfungsi mengatur produksi dan diferensiasi limfosit dan tempat pengaturan perkembangan limfosit. Sedangkan organ limfoid sekunder merupakan organ limfoid yang responsif terhadap stimulasi antigenik atau tempat interaksi limfosit-antigen dan pengontrolannya. Tizard (1988) dan Guyton (1997) mengelompokkan limpa sebagai salah satu organ limfoid sekunder. Limpa adalah jaringan limfoid yang membentuk organ paling besar dalam tubuh hewan. Limpa memiliki kapsula dan trabekula yang mengandung otot polos yang berperan memobilisasikan darah bila aktivitas fisiologik meningkat (Hartono 1989). 2.4.1 Anatomi Limpa Limpa adalah organ limfatik lunak yang terletak di sebelah kiri atas abdomen, di bawah tulang iga ke-9, 10 dan 11. Sumbu panjangnya paralel dengan iga ke-10. Limpa memiliki permukaan diafragmatik dan visceral, ujung superior dan inferior, serta batas anterior, posterior dan inferior. permukaan diafragmatik berhubungan dengan Bagian convex bagian costal diafragma. Permukaan visceral membentuk segitiga yang terbagi pada permukaan gastric, renal dan colic. Bagian punggung limpa memisahkan permukaan gastric (anterior) dengan permukaan renal (inferior). Pada bagian bawah, terdapat lengkungan, sebuah hilus, sebagai tempat pembuluh darah dan saraf. inferior rata dan berakhir pada flexura kiri colic. Ujung Ujung superior (apex) berhubungan langsung dengan tulang Thoracal 11. Batas anterior memisahkan diafragma dari permukaan gastric, batas posterior yang bulat memisahkan diafragma dengan permukaan renal dan batas inferior memisahkan diafragma dari permukaan colic. Ujung pankreas dapat menyentuh limpa diantara permukaan colic dan hilus (Leeson CR & Leeson TJ 1989). 28 2.4.2 Histologi Limpa Secara histologis limpa terdiri dari stoma (kapsula dan trabekula) dan parenkim (pulpa limpa). Selain itu sediaan histologi limpa juga terdiri dari banyak sel-sel darah merah dan sel-sel darah putih dan sangat menyerupai kelenjar-kelenjar limfe. Leeson et al. (1993) menerangkan bahwa kapsul dari limpa dilapisi oleh serosa yang terdiri dari serat kolagen, serat elastin dan beberapa otot polos, sedangkan trabekula tebal yang mengandung cabang-cabang besar arteri dan vena splenikus (lienalis) berjalan dari kapsula ke bagian dalam organ. Diantara trabekula terdapat anyaman serat retikulin yang menunjang parenkim limpa. Parenkim limpa terdiri dari dua bagian yaitu pulpa merah dan pulpa putih. Pulpa merah. Sebagian besar dari pulpa limpa berwarna merah dan mengandung banyak darah yang disimpan dalam jalinan retikuler. Pulpa merah terdiri dari arteriol pulpa, kapiler selubung serta kapiler terminal, sinus venous atau venula, dan bingkai limpa. Pulpa merah pada limpa ruminansia dan babi banyak mengandung sel-sel otot polos, sedangkan kuda dan anjing memiliki miofibroblas, sel yang mirip fibroblas tetapi memiliki sifat mirip otot polos (Dellman & Brown 1992). Pulpa putih. Pulpa putih adalah jaringan limfatik yang menyebar di seluruh limpa sebagai nodulus limpa dan seperti selubung limfatik periarterial. Nodulus dapat atau tidak dapat memiliki pusat kecambah yang aktif tergantung pada status fungsinya. Sel-sel utama dalam nodulus adalah limfosit B, sedangkan limfosit T berbatasan dengn tunika media, dan limfosit B membentuk daerah perifer pada selubung limfatik (Dellman & Brown 1992). Daerah marginal. Pada permukaan pulpa putih, retikulum membentuk beberapa lapis konsentris, yang langsung berbatasan dengan lapis terakhir adalah daerah marginal. Di daerah ini banyak terdapat makrofag dan populasi limfosit khusus. Semua unsur dari sel darah, demikian juga antigen, mengadakan kontak dengan makrofag dan limfosit setempat. Partikel yang mengambang dalam plasma darah difagositosis secara efisien oleh makrofag, dan merupakan kondisi ideal untuk penampilan antigen (Dellman & Brown 1992). 29 Ada beberapa teori mengenai hubungan antara arteriol dan venula pada limpa. Pertama adalah teori terbuka, yaitu darah akan mengalir keluar dari terminal arterial dalam pulpa merah sampai menemukan permulaan dari aliran venous. Kedua adalah teori tertutup, yaitu darah dari arteriol terminal masuk sinusoid atau sinus venous, valvulae aferen dan eferen dari sinus venous secara periodik membuka dan menutup. Hal ini memungkinkan terjadinya proses pengaliran, pengisian, penyimpanan dan pengosongan dari sinus venous. Pada proses penyimpanan sinus membesar dan makrofag mempergunakan kesempatan ini untuk mengangkut pecahan eritrosit. Teori terakhir adalah teori kombinasi yang merupakan gabungan antara teori terbuka dan tertutup yaitu bila limpa dalam kontraksi, sel retikulum epitel merapat sehingga membentuk sinus venous yang menghubungkan arteriola dan venula. Tapi bila limpa mengembang, susunan sel retikulum epitel agak merenggang sehingga darah dapat keluar dalam jaringan (Hartono 1989). 2.4.3 Fungsi Limpa Fungsi utama limpa ialah menyimpan darah yang tidak ikut dalam peredaran darah. Pengeluaran darah dari limpa disebabkan oleh kontraksi alat tubuh yang dapat ditimbulkan oleh emosi, kekurangan zat asam (kenaikan kadar CO2 darah, gerak badan ataupun kehilangan darah) dan pada perangsanganperangsangan nervus simpatikus pada umumnya (Ressang 1984). Menurut Tizard (2004) dan Boyd (1962), limpa berfungsi menyaring darah dan sebagai tempat penyimpanan eritrosit dan trombosit dan melaksanakan eritropoiesis pada fetus. Karena itu, limpa terbagi atas dua bagian : satu bagian untuk menyimpan eritrosit, untuk penjeratan antigen dan untuk eritropoiesis, yang disebut pulpa merah; dan bagian yang lain yang di dalamnya terjadi tanggap kebal yang disebut pulpa putih. Fungsi lain limpa menurut Ressang (1984) adalah : Membentuk sel-sel darah putih yaitu limfosit, yang ada hubungannya dengan pembentukan globulin (antibodi). Pada hewan muda limpa ikut membentuk eritrosit bersama sumsum tulang. 30 Pembinasaan eritrosit tua bersama dengan sumsum tulang dan sel RES hati. Oleh sebab itu limpa mengandung banyak lipid (kolesterol dan lesitin) dan besi. Hematin diubah limpa menjadi hemobilirubin. Menjaring kuman-kuman dari darah. Hal ini karena limpa terdiri dari banyak sel-sel RES. Ikut serta dalam metabolisme nitrogen terutama dalam pembentukan asam kemih. 2.4.4 Patologi Limpa Perubahan ukuran, warna dan konsistensi limpa biasanya disebabkan oleh respon limpa terhadap benda asing yang dapat menimbulkan proses-proses reaktif, sehingga ketika diamati sacara mikroskopis limpa terlihat membengkak. Infeksi pada tubuh akan merangsang sel-sel limfosit dalam organ limfoid untuk membentuk antibodi (Volk & Wheleer 1993). Jones et al. (2006) menyatakan bahwa pembesaran limpa bisa diakibatkan oleh beberapa mekanisme yang berbeda, yaitu gangguan sirkulasi, penyakit inflamasi, penyakit metabolik dan neoplasia. Menurut Thomas (1979), perubahan patolgi yang terjadi pada limpa dianggap berkenaan dengan bangunan trabekula, sinus pada pulpa merah dan pulpa putih, terutama pada kandungan darah, gambaran fibrosa, jumlah sel dan deposit lain. Perubahan ukuran dan warna limpa dapat terlihat dengan pemeriksaan mikroskopis (histologis) pada sejumlah sel-sel darah yang banyak mengisis ruang limpa di sinus-sinus dan pulpa, serta pembuluh darah limpa yang membendung (hiperemi). Konsistensi limpa dapat menjadi keras dan ukurannya membesar oleh karena pertumbuhan jaringan retikulum dan hiperplasia sel serta pertumbuhan jaringan Reticulo Endothelial system (RES) sehingga menghasilkan sel-sel besar dan pucat yang mengisi sinusoid-sinusoid limpa maupun pada folikel limpa (Thomas 1979). Pada kondisi septisemia, terjadi pembesaran limpa dengan kongesti akut dan degenerasi dari folikel limfoid serta hiperseluler dari area sinus (Jubb et al. 1993). 31 2.5 Sambiloto Gambar 5. Sambiloto (Syukur & Hernani 2002). Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) merupakan tanaman yang dapat tumbuh di ketinggian 1-1.600 m dpl atau dari dataran rendah sampai daerah pegunungan. Tanaman ini memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan setempat. Faktor iklim yang mempengaruhi pertumbuhan sambiloto adalah curah hujan dan suhu. Sambiloto dapat tumbuh dengan baik pada curah hujan 2000-3000 mm/tahun dan suhu udara 25-320C. Kelembapan yang dibutuhkan termasuk sedang, yaitu antara 70-90% dengan penyinaran agak tinggi (Mahendra 2005). Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) lebih dikenal sebagai tanaman obat yang dipakai oleh manusia (Soedibyo 1998). Tumbuhan ini tergolong ke dalam famili Acanthaceae dan termasuk tanaman terna (herba) dengan tinggi ±50cm (Syamsuhidayat & Hutapea 1991). Beberapa jenis tanah yang cocok untuk pertumbuhan sambiloto yaitu latosol, andosol dan regosol (Syukur & Hernani 2002). Ditinjau dari aspek toksikologi, berdasarkan kriteria Gleason, sambiloto termasuk ke dalam golongan yang Practically Non Toxic, mengingat dosis toksik akut (LD50) sebesar 1,2 mg/10 g BB. Efek toksisitas yang terlihat adalah depresi susunan pusat dan anggota gerak (Nuratmi et al. 1996). 32 2.5.1 Klasifikasi Sambiloto Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) dalam klasifikasi menurut Syamsuhidayat dan Hutapea (1991), dikelompokkan sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledon Bangsa : Solanales Suku : Acanthaceae Genus : Andrographis Spesies : Andrographis paniculata Nees 2.5.2 Morfologi Sambiloto Gambar 6. Sambiloto (Mahendra 2005). Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) mempunyai tinggi sekitar 40 hingga 90 cm; dengan batang bersegi empat, nodus yang membesar dan banyak bercabang. Daun tunggal dengan letak berhadapan silang, bentuknya lanset dengan pangkal runcing dan ujung meruncing. Tepi daun rata, permukaan atas berwarna hijau tua dan permukaan bawah hijau muda. Panjang daun 2-8 cm, lebar 1-3 cm, bertangkai pendek. Bunga berwarna putih-ungu, keluar di ujung batang atau ketiak daun, tersusun dalam rangkaian berupa tandan. Buah bentuknya memanjang sampai jorong dengan panjang sekitar 1,5 cm dan lebar 0,5 cm, pangkal dan ujung tajam, bila masak akan pecah membujur menjadi 4 keping. Bijinya gepeng kecil, berwarna coklat muda, mudah diperbanyak dengan biji (Wijayakusumah et al. 1994). 33 Menurut Muhlisah (1998), Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) memiliki daun berbentuk lanset, tepi daun rata, penampang melintang, dengan letak saling berhadapan. Cabangnya berbentuk segi empat dan tidak berbulu. Daun bagian atas cabang berbentuk seperti daun pelindung. Memiliki bunga yang tegak dan bercabang-cabang. Bunga berbentuk tabung dan berbibir (bibir bunga atas berwarna putih dengan warna kuning di bagian kepala, sementara bibir bunga bawah berbentuk baji, berwarna ungu). Buah sambiloto berbentuk jorong dengan ujung yang tajam. Buah yang matang akan pecah menjadi empat keping. Semua bagian tanaman ini yang terdapat pada permukaan tanah (herba) bisa dimanfaatkan. Masyarakat umumnya mengolah sambiloto dengan cara dipotongpotong dan dikeringkan. Budidaya sambiloto dapat dilakukan dengan cara stek. Tanaman ini ditemukan di dataran rendah dan tinggi, dan di tempat naungan. Tanaman ini sering ditemukan tumbuh liar di tempat terbuka. Daerah penyebarannya dari dataran rendah sampai ketinggian 700 m di atas permukaan laut, tetapi sering ditemukan pula tumbuh di bawah ketinggian 100 m di atas permukaan laut (Muhlisah 1998). 2.5.3 Kandungan Sambiloto Daun dan batang tumbuhan ini rasanya sangat pahit karena mengandung senyawa yang disebut andrographolid yang merupakan senyawa keton terpena. Kadarnya dalam daun antara 2,5 sampai 4,8 % dari berat kering. Senyawa ini diduga merupakan salah satu zat aktif dari daun sambiloto yang juga banyak mengandung unsur-unsur mineral seperti kalium, natrium, dan asam kersik. Andrographolide ditemukan di limpa, jantung dan otak (Wijayakusumah et al. 1994). Tanaman ini juga mengandung lakton dan flavonoid. Lakton yang diisolasi dari daun dan percabangannya yaitu andrographolid (zat pahit), 14deoxy-andrographolid, neo-andrographolid, 11,12-didehydroandrographolid dan homoandrographolid. Juga terdapat flavonoid: alkan, keton, dan aldehida selain mineral seperti kalsium, kalium, natrium, dan asam kersik. Flavonoid diisolasi terbanyak dari akar yaitu polymethoxyflavone, andrographin, panicolin, mono-omethylwhigtin dan apigenin 7,4 dimethyl eter (Wijayakusumah et al. 1994). Flavonoid merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh 34 suatu tanaman, yang biasanya ditemui pada bagian daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, bunga dan biji. Kandungan sambiloto yang lain adalah saponin dan tanin (Syamsuhidayat & Hutapea 1991). 2.5.4 Khasiat Sambiloto Andrographolid yang terkandung dalam lakton yang diisolasi dari daun (Wijayakusumah et al. 1991) bekerja sebagai zat anti inflamasi dengan cara menstimulir kerja kelenjar adrenal dalam menghasilkan hormon glukokortikosteroid (Wenlong & Nie 1973). Hormon ini mempunyai peranan penting dalam menghambat proses peradangan (inflamasi), migrasi leukosit, deposit fibrin dan pembentukan jaringan ikat. Hormon glukokortikosteroid menghambat peradangan dengan cara menghambat pembentukan media peradangan seperti prostaglandin tromboxanes dan leukotrienes yang mempengaruhi metabolisme asam arachidonat parasit (Cunningham 1994). Selain sebagai anti inflamasi, andrographolid juga immunostimulan khususnya dalam proses fagositosis. bertindak sebagai Hal tersebut telah dilakukan percobaan menggunakan sambiloto secara invitro dan invivo yang dilakukan dengan menggunakan zat aktif andrografolid dan ekstrak sambiloto dalam media larutan (cair) dengan menggunalkan mencit (mice). Hasil penelitian itu menyatakan bahwa andrographolid dan sambiloto, keduanya dapat menstimulasi kekebalan terhadap antigen, baik yang spesifik maupun nonspesifik (Mills & Bone 2000). Kekebalan spesifik ditandai dengan adanya peningkatan jumlah sel-sel limfosit dalam peredaran darah, sedangkan kekebalan nonspesifik ditandai dengan adanya peningkatan jumlah sel heterofil, eosinofil, basofil dan makrofag yang akan memfagosit benda asing yang masuk ke tubuh. Menurut Deng (1978), dehidroandrographolid juga berkhasiat sebagai anti radang dengan meningkatkan sintesa dan pituitary otak yang mengirimkan sinyal ke kelenjar adrenal untuk memproduksi kortisol yang merupakan anti radang alami. Flavonoid merupakan pigmen yang tersebar luas dalam bentuk senyawa glikogen dan aglikon yang larut dalam air. Salah satu fungsi flavonoid dalam tanaman adalah sebagai hormon pertumbuhan dan inhibitor enzim dengan mengkompleks protein. Flavonoid dapat menghambat perkembangan parasit 35 dengan bertindak sebagai inhibitor enzim. Mekanisme penghambatan yaitu dengan cara menghambat produksi enzim dan sintesis asam-asam nukleat atau protein (Rohimah 1997), melalui mekanisme tersebut pertumbuhan dan perkembangan parasit kemungkinan dapat ditekan. Saponin mempunyai dua jenis yaitu: glikosida triterpenoida alkohol dan glikosida struktur steroid. Saponin dapat mengurangi rasa sakit, mampu membunuh kuman dan merangsang pertumbuhan sel-sel baru pada kulit. Demikian pula dengan tanin, memiliki dua jenis, yaitu: tannin terhidrolisis dan tannin terkondensasi. Tannin memiliki sifat astringent yang berfungsi sebagai antidiare (Syamsuhidayat & Hutapea 1991). Sastrapaja et al. (1978) menyatakan bahwa tanaman sambiloto memiliki sifat antipiretik (meredam demam), analgesik (penghilang rasa sakit), menghilangkan panas dalam, detoksikan (penawar racun), anti radang dan detumescent ( mengecilkan pembengkakan). Tanaman ini dapat berperan dalam piknosis (penyusutan inti sel dalam bentuk padat dan terjadi ketika sel mati). Sambiloto mempunyai sifat bakteriostatik dan meningkatkan daya fagositosis sel darah putih. Menurut Nuratmi et al. (1996), sambiloto digunakan sebagai anti piretika, anti inflamasi, anti diuretika, analgesik, obat rematik, menurunkan kontraksi usus, anti diabetes, menambah nafsu makan dan memperbaiki saluran pencernaan. 2.5.5 Mekanisme Kerja Zat Aktif Sambiloto Mekanisme kerja andrographolid dalam tubuh yaitu dapat menimbulkan efek anti inflamasi dengan menstimulasi Adenocorticotrophic Hormone (ACTH) pada kelenjar hipofise anterior, selanjutnya ACTH akan merangsang korteks adrenal untuk membentuk kortisol yang memiliki efek anti inflamasi (Wenlong & Nie 1973). Zat andrographolid dari tanaman sambiloto diketahui dapat meningkatkan sistem kekebalan dengan menghasilkan sel darah putih untuk menghancurkan bakteri dan benda asing lainnya, serta mengaktifkan sistem limpa (Wibudi 2006). 36 2.6 Streptozotosin Streptozotosin mempunyai rumus kimia C8 H15N3O7. Biasanya digunakan sebagai anti kanker atau anti neoplastik karena sifatnya sebagai alkilating agent, terutama untuk mengobati kanker pankreas atau islet-cell carcinoma, namun juga dapat menyebabkan rusaknya sel penghasil insulin (Johnson 2002). Streptozotosin (STZ, Zanosar) merupakan senyawa hasil sintesis Streptomycetes achromogenes dan dapat digunakan untuk menginduksi diabetes pada hewan coba, baik Diabetes Mellitus tergantung insulin (IDDM) atau tidak tergantung insulin (NIDDM). Selain itu STZ juga berfungsi sebagai antibakteri spectrum luas, antitumor maupun sebagai bahan karsinogenik (Cooperstein & Watkins 1981). STZ terdiri dari 1-methyl-1-nitrosurea. Menurut Gordon dan Dan (1991), tikus yang diberi STZ akan mengalami kerusakan pada sel β pankreas yang menyebabkan perubahan yang nyata dalam metabolisme hepatik fase I dan fase II. Menurut Szkudelski (2001), efek diabetogenik STZ didapatkan dengan meningkatkan konsentrasi radikal bebas intraseluler atau dengan menurunkan kemampuan sel β untuk mempertahankan antioksidan. Dosis yang digunakan pada tikus untuk menginduksi IDDM secara intravena diantara 40-60 mg/kg BB, dapat juga diberikan secara intraperitoneal dengan dosis yang sama atau lebih tinggi, dan kurang efektif jika diberikan di bawah dosis 40 mg/dL. Pemberian STZ sebanyak 50 mg/kg BB secara intraperitoneal pada tikus dapat meningkatkan kadar glukosa darah sampai sekitar 15 mM (270 mg/dL) setelah 2 minggu. STZ adalah donor nitrit oksida (NO) yang ditemukan sebagai penyebab kerusakan sel pankreas, dengan cara meningkatkan aktivitas guanilil siklase. STZ dapat menghambat siklus Krebs, dan akibatnya konsumsi oksigen berkurang. Hal ini menyebabkan pembatasan produksi ATP dalam mitokondria yang menyebabkan deplesi nukleotida dalam sel β. Penggunaan STZ dapat menimbulkan efek samping, diantaranya anorexia, nausea, vomit, pembengkakan pada kaki dan alopesia (Johnson 2002).