Gambaran Histomorfologi Hati, Usus Halus, dan

advertisement
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu bentuk penyakit yang
menimpa kira-kira 2% populasi, dan kurang lebih 1 diantara 10.000 anak. DM
dapat didefinisikan sebagai defisiensi insulin absolut atau relatif yang
menimbulkan cacat pemakaian karbohidrat dengan meningkatnya kadar gula
darah seluruhnya. Kadar gula darah dapat dideteksi dengan status berpuasa pada
kadar lebih dari 6,7 mmol/l (120 mg/dl) atau 2 jam sesudah dosis 75 g glukosa
oral dengan kadar lebih 10 mmol/l (180 mg/dl) (Spector 1993). Pendekatan
terminologi menurut Misnadiarly (2006), DM merupakan penyakit metabolik
yang ditandai dengan hiperglikemia yaitu kondisi tubuh dengan kadar glukosa
darah melebihi nilai normal. Kadar glukosa darah lebih dari 200 mg/dl, dan kadar
glukosa darah puasa di atas atau sama dengan 126 mg/dl pada manusia dianggap
sebagai batas DM. Saat ambang glukosa dalam ginjal berlebih, glukosa akan
keluar melalui urin (glukosuria) dan menyebabkan diuresis osmotik (poliuria),
dehidrasi serta peningkatan pemasukan cairan (polidipsia) (Dalimartha 1997).
DM menduduki peringkat keempat pada daftar ranking pembunuh
manusia.
Kongres Federasi Diabetes Internasional di Paris tahun 2003
mengungkapkan bahwa sekitar 194 juta orang di dunia mengidap penyakit ini.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan pada tahun 2025 jumlah
penderitanya akan melonjak sampai 333 juta orang.
Di Indonesia predikat
diabetesi mengenai lebih dari 2,5 juta orang dan diperkirakan terus bertambah
(Mistra 2004).
Pengaruh yang menonjol dari ketiadaan insulin diduga diakibatkan
terutama oleh ketidakmampuan glukosa untuk memasuki sel-sel tubuh vital
seperti otot dan hati tanpa insulin. Sebagai akibatnya glukosa darah meningkat,
glukosa muncul dalam urin dan terdapat metabolisme lemak yang berlebihan
untuk mengganti karbohidrat yang tidak lagi tersedia. Pemecahan lipid ini dapat
berlanjut pada akumulasi asam keton yang dapat berpengaruh jelek terhadap otak
dan menimbulkan koma (Spector 1993).
4
Glukosa yang dimakan, pada keadaan normal akan mengalami
metabolisme sempurna menjadi karbondioksida dan air kira-kira 50%, 5% diubah
menjadi glikogen dan kira-kira 30-40 % diubah menjadi lemak. Lain keadaanya
pada penderita DM, semua proses tersebut terganggu karena glukosa tidak dapat
masuk ke dalam sel sehingga tidak dapat dimetabolisme, akibatnya energi
terutama diperoleh dari metabolisme protein dan lemak (Ganong 2002).
2.1.1 Sejarah Diabetes Mellitus
Menurut Dallimutthe (2004), penyakit DM telah diketahui sejak ribuan
tahun sebelum masehi. Ebers Papyrus menulis bahwa di Mesir sekitar tahun 1550
Sebelum Masehi (SM) terdapat suatu penyakit yang ditandai dengan banyak
kencing. Di India, dalam buku Aryuveda (600 SM) dijumpai penyakit yang sama
dimana urin penderita terasa manis dan disebut urin madu. Aretaceus menulis
bahwa terdapat suatu penyakit yang ditandai dengan urin yang banyak. Willis
adalah orang pertama pada tahun 1674 yang menuliskan penderita dengan urin
banyak dan seperti madu disebut Diabetes Mellitus. Pada tahun 1921, Frederich
Grant Banting, seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran di Toronto Kanada,
mengangkat pankreas anjing kemudian mengekstrak pankreas tersebut. Anjing
yang telah diangkat pankreasnya tersebut mengalami peningkatan kadar glukosa
darah, kemudian setelah disuntik dengan ekstrak pankreas kadar glukosa darahnya
turun, oleh karena ekstrak pankreas itu mengandung hormon yang disebut insulin.
Ternyata hormon insulin inilah yang mengatur kadar glukosa dalam darah.
2.1.2 Etiologi Diabetes Melitus
Kelainan yang disebabkan oleh defisiensi insulin disebut Diabetes Mellitus
(DM) (Ganong 2002). Sebagian besar kasus DM disebabkan oleh rusaknya sel
beta pankreas sehingga produksi insulin menjadi terhambat atau tidak ada sama
sekali.
Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan meningkatnya umur, maka
toleransi terhadap glukosa juga meningkat.
Intoleransi gula pada usia lanjut
berkaitan dengan obesitas, aktivitas fisik yang kurang, berkurangnya massa otot,
penyakit penyerta dan penggunaan obat-obatan sehingga terjadi penurunan sekresi
insulin dan resistensi insulin (Misnadiarly 2006). DM merupakan penyakit yang
5
diturunkan atau diwariskan, bukan ditularkan.
Para ahli kesehatan juga
menyebutkan DM merupakan penyakit yang terpaut kromosom seks atau kelamin.
Faktor herediter sering kali juga menyebabkan timbulnya DM melalui
peningkatan kerentanan sel-sel beta terhadap penghancuran oleh virus atau
mempermudah perkembangan antibodi autoimun melawan sel-sel beta. Obesitas
juga merupakan salah satu penyebab terjadinya DM karena obesitas menurunkan
jumlah reseptor insulin di dalam sel target insulin di seluruh tubuh, sehingga
membuat jumlah insulin yang tersedia kurang efektif dalam meningkatkan efek
metabolik insulin yang biasa (Guyton 1997).
Menurut Mistra (2004), penyebab DM antara lain:

Perubahan gaya hidup yang tidak sehat, lingkungan, dan usia

Pola makan yang berubah kearah makanan cepat saji yang memiliki gengsi
dan lemak tinggi

Kebiasaan merokok

Terdapat riwayat keluarga yang terkena DM (turunan)

Stres menghadapi hidup atau persoalan lain

Kegemukan

Kerusakan kelenjar panreas (tidak lagi memproduksi hormon insulin atau
sedikit memproduksi hormon tersebut)
DM dapat disebabkan oleh gangguan endokrin lain, terutama hipofisa dan
kelenjar adrenal serta dapat disebabkan karena kerusakan pankreas, misalnya oleh
pankreatitis kronis atau oleh obat atau sindrom keturunan yang langka.
Disamping itu terdapat DM kelompok lain, misalnya ibu yang mengandung atau
subjek yang mengalami obesitas yang mengembangkan hiperglikemia namun
kembali normal bila kehamilan telah usai atau berat badannya telah berkurang,
meskipun dapat mempertahankan kerentanan yang meningkat terhadap DM
kemudian.
Namun bagian terbesar dari diabetes, yakni diabetes primer,
disebabkan oleh penyakit lain yang tak dapat dikenal.
2.1.3 Klasifikasi Diabetes Melitus
Menurut Misnadiarly (2006), Diabetes Mellitus diklasifikasikan ke dalam
dua tipe yaitu Diabetes Tipe I yaitu Diabetes Mellitus Tergantung Insulin atau
6
Diabetes Melitus Dependen-Insulin (IDDM) dan Tipe II yaitu Diabetes Tidak
Tergantung Insulin atau Diabetes Mellitus Non-Dependen Insulin (NIDDM).
Istilah tergantung insulin dalam konteks ini berarti bahwa diabetes dapat
diperlihatkan berkaitan dengan penurunan absolut jumlah insulin dalam sirkulasi
atau pankreas dan disembuhkan dengan pemberian insulin. Tidak tergantung
insulin berarti bahwa biasanya tidak diperlihatkan adanya defisiensi absolut dalam
sirkulasi, meskipun diabetes paling tidak dapat tanggap terhadap pemberian terapi
insulin berlebihan (Spector 1993);
a. Tipe I Diabetes Mellitus Tergantung Insulin atau Diabetes Melitus DependenInsulin (IDDM) adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai oleh rusaknya
sel-sel beta penghasil insulin (Ganong 2002). Biasanya produksi insulin ada
atau tidak sama sekali seperti pada juvenile diabetic. Hal ini terjadi karena
ada reaksi autoimun berupa reaksi peradangan pada sel beta (Dallimutthe
2004). Peradangan menyebabkan kerusakan sel beta pankreas, sehingga sel
beta pankreas tidak mampu membuat dan mengeluarkan insulin dalam
kuantitas dan/atau kualitas yang cukup, bahkan kadang-kadang tidak terdapat
sekresi insulin sama sekali. Dalam hal ini reseptor untuk insulin pada IDDM
jumlah dan kualitasnya dalam keadaan normal.
Berbagai faktor penentu
etiopatologis IDDM telah dapat diidentifikasi, misalnya konstitusi genetik,
immunologis,
faktor
lingkungan
dan
gangguan
metabolisme
serta
endokrinologi. Menurut PERKENI (2002), Diabetes Mellitus tipe I memiliki
karakteristik mudah terjadi ketoasidosis, pengobatannya harus dengan insulin,
onset akut, penderita biasanya kurus, terjadi pada usia muda, didapatkan
antibodi sel islet, 10% ada riwayat diabetes pada keluarga, 30-50% terjadi
pada kembar identik (Misnadiarly 2006).
b. Tipe II Diabetes Tidak Tergantung Insulin atau Diabetes Mellitus NonDependen Insulin (NIDDM) diduga terjadi akibat insufisiensi insulin dan
retensi jaringan terhadap insulin.
Pada penderita NIDDM dapat dijumpai
kadar insulin lebih tinggi akan tetapi karena ada gangguan pada reseptor
insulin, maka transport glukosa ke dalam sel terganggu. Akibatnya kadar
glukosa darah akan terus meningkat. Pada keadaan ini penderita NIDDM
sama dengan diabetes tipe I. Perbedaannya adalah Diabetes Mellitus tipe II
7
disamping kadar glukosanya meninggi, kadar insulinnya normal. Keadaan ini
disebut resisten terhadap insulin (Dallimutthe 2004).
Menurut PERKENI
(2002), karakteristik dari Diabetes Mellitus tipe II yaitu sukar terjadi
ketoasidosis, pengobatannya tidak harus menggunakan insulin, onsetnya
lambat, penderitanya gemuk atau tidak gemuk, biasanya terjadi pada umur tua,
tidak ada antibodi sel islet, 30% ada riwayat diabetes pada keluarga, 100%
terjadi pada kembar identik.
Menurut Soehadi (1989), terdapat beberapa faktor yang dapat
menyebabkan NIDDM, yaitu:
1. Faktor pankreas:
- Adanya mutasi gen insulin, akan terbentuk molekul-molekul insulin
yang abnormal dan secara biologis kurang aktif.
- Terlalu banyak proinsulin yang tidak dapat dirubah menjadi insulin.
- Terjadi keterlambatan sekresi insulin, meskipun mungkin produksi
insulin cukup, sehingga glukosa sudah diabsorbsi masuk darah tapi
insulin belum memadai jumlahnya.
2. Faktor darah:
- Adanya insulin angiotensin antagonisme, misalnya antibodi terhadap
insulin.
- Meningkatnya pengikatan insulin oleh protein plasma.
- Meningkatnya enzim yang merusak insulin atau mekanisme lain yang
merusak insulin.
- Meningkatnya hormon-hormon kontra insulin seperti kortisol, hormon
pertumbuhan, katekolamin dan lain-lain.
- Meningkatnya lemak darah.
3. Faktor perifer:
- Jumlah reseptor insulin di sel berkurang (antara 20.000-30.000 buah):
pada obesitas bahkan berkurang hingga 20.000 buah, pada orang
normal jumlah reseptor 35.000 buah/sel.
- Jumlah reseptor cukup tetapi kualitas reseptor jelek sehingga insulin
tidak dapat bekerja secara efektif.
8
- Terdapat kelainan post-reseptor, sehingga proses glikolisis intraseluler
terganggu.
4. Adanya kelainan campuran diantara faktor-faktor yang terdapat pada 1, 2
dan 3.
Peningkatan kadar glukosa darah Diabetes Mellitus tipe I dan tipe II akan
terus berlanjut, apabila kadar glukosa darah ini terus meninggi hingga melewati
ambang batas ginjal, maka glukosa tersebut akan dikeluarkan melalui urin.
Kejadian ini yang sering dilihat pada penderita Diabetes Mellitus, yaitu poliuri
dan glukosuria.
2.1.4 Gejala Klinis dan Komplikasi Diabetes Mellitus
Gejala klinis DM meliputi gejala-gejala pada stadium kompensasi dan
dekompensasi pankreas, serta gejala-gejala kronik lainnya. Gejala-gejala pada
stadium kompensasi misalnya polifagi, polidipsi, poliuri dan penurunan berat
badan. Adanya gejala klinis hiperglikemia dan glukosuria akan menyebabkan
tekanan osmotik di dalam tubuli ginjal naik dan menghambat reabsorbsi air.
Karena terhambatnya reabsorbsi air ini menyebabkan penderita DM mengalami
poliuria dan akibat adanya poliuria terus-menerus akan menyebabkan dehidrasi
tingkat jaringan.
Penderita DM tidak dapat memecah glukosa dalam darah
sehingga akan menggunakan lemak tubuhnya untuk pengganti energi atau
makanan bagi sel sehingga terbentuklah badan-badan keton yang menyebabkan
terjadinya ketonemia dan ketonuria serta tubuh terlihat kurus. Adanya bendabenda keton di dalam darah akan menimbulkan terjadinya asidosis sehingga
frekuensi nafas meningkat dan penderita mengalami koma (Ressang 1984). Pada
keadaan koma kulit mukosa dan lidah tampak kekeringan, bulbus mata menjadi
lunak, pernafasan menjadi lebih dalam serta nafas bau aseton (Mutschler 1991).
Gejala-gejala kronik yang sering terjadi misalnya lemah badan, anoreksia,
kesemutan, mata kabur, mialgia, artalgia, dan kemampuan seksual berkurang
(Soehadi 1989).
Mistra (2004) menyebutkan bahwa gula darah mungkin telah melewati
ambang normal bila telah terlihat gejala-gejala sebagai berikut:
 Berat badan menurun walaupun makan dalam porsi yang tetap
9
 Kadang, berat badan cenderung bertambah
 Gatal-gatal pada kelamin luar
 Sering buang air kecil terutama pada malam hari
 Sering kesemutan pada salah satu sisi bagian tubuh, terutama terasa pada
kaki dan tangan
 Cepat merasa lapar atau haus
 Penglihatan kabur dan akibatnya sering berganti kaca mata
 Melahirkan bayi dengan berat lebih dari 4 kg
 Mudah timbul bisul atau abses dengan kesembuhan yang lama
 Gairah seksual menurun dan cenderung impotensi
 Jika ada luka terutama di kaki biasanya akan sulit sembuh dan cenderung
terus melebar sehingga dapat diamputasi atau berakhir pada kematian
DM mempunyai sejumlah komplikasi karena vaskulopati dan neuropati
atau campuran keduanya (Soehadi 1989).
Jika berjalan dalam jangka lama,
jumlah komponen lipid yang berlebihan dalam sirkulasi dapat menjadi faktor
utama dalam meningkatkan kecepatan penderita diabetes untuk mengembangkan
ateroma dibandingkan dengan yang tidak menderita diabetes pada usia yang sama.
Penderita diabetes juga mengalami degenerasi non-ateromatosa pada arteriola dan
kapilernya, terutama di ginjal dan retina, menjurus kepada kegagalan ginjal dan
kebutaan. Penderita diabetes juga memiliki peningkatan resiko infeksi, terutama
dari tuberkulosis atau saluran kencing. Triat maut ateroma, mikroangiopati dan
infeksi menerangkan peningkatan laju mortalitas penderita diabetes bila
dibandingkan dengan populasi secara keseluruhan. Pengobatan yang cukup tentu
saja telah sangat mengurangi laju kematian dari komplikasi akut seperti koma
ketosis namun memiliki dampak yang kurang dramatik terhadap kematian oleh
komplikasi yang panjang (Spector 1993).
Komplikasi yang terjadi misalnya penyakit jantung, serangan otak yang
biasanya diikuti kelumpuhan dan stroke, kerusakan pembuluh-pembuluh darah
periferal biasanya mempengaruhi bagian tubuh bawah dan kaki, kerusakan ginjal
(nephropati), kerusakan saraf (neuropati) yang dapat menyebabkan kelumpuhan
(paralisis), impoten, dan penyakit mata (retinopati) karena retina mata penderita
retinopati diabetik terganggu sehingga terjadi kehilangan sebagian atau
10
keseluruhan penglihatannya.
Menurut laporan Komisi Diabetes Mellitus,
penderita DM dapat mengalami 2 kali lebih mudah terkena trombosis serebri, 24
kali mudah terkena penyakit jantung koroner, 17 kali rentan terhadap kegagalan
ginjal dan 5 kali lebih mudah terkena gangren, bilamana dibandingkan dengan
orang non-Diabetes Mellitus.
Meskipun gejala-gejala DM dapat diregulasi,
namun komplikasi DM kronis jangka panjang dapat mengurangi lama perkiraan
hidup sampai sepertiganya (Soehadi 1989).
Menurut Mistra (2004), seringnya terjadi penyeburan gula di dalam
pembuluh darah, lambat-laun tetapi pasti akan menyebabkan penyempitan
pembuluh darah secara global.
Selanjutnya, berujung pada kerusakan organ-
organ tubuh bagian dalam (komplikasi). Berikut ini komplikasi yang mungkin
terjadi saat terkena DM:

Gangguan atau kerusakan jantung

Gangguan saraf otak yang menyebabkan stroke

Gangguan kelamin, impotensi, atau disfungsi ereksi

Gangguan atau kerusakan paru-paru (TBC)

Gangguan atau kerusakan saraf tepi pada bagian tubuh sehingga sering
kesemutan atau pegal sebelah tubuh

Gangguan atau kerusakan ginjal dan bisa berakhir dengan gagal ginjal

Gangguan atau kerusakan mata, seperti bertambahnya lapisan katarak pada
lensa mata atau kebutaan total

Gangren atau jika luka lama sembuhnya dan cenderung terus membusuk.
Kadang berujung pada vonis amputasi

Pada wanita hamil dapat berakibat keguguran, bayi lahir mati, keracunan
kelahiran, bayi lahir dengan berat sampai 5 kg, dan terlalu banyak air
ketuban.
2.1.5 Diagnosa Diabetes Melitus
Kriteria diagnotik Diabetes Mellitus pada manusia dan gangguan toleransi
glukosa menurut WHO 1985 dalam tulisan Misnadiarly (2006);
1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥ 200 mg/dl atau
2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥ 126 mg/dl atau
11
3. Kadar glukosa darah plasma ≥ 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa
75 gram pada TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral).
Cara umum yang digunakan untuk mendiagnosa penyakit diabetes
didasarkan pada berbagai tes kimiawi terhadap urin dan darah (Guyton 1997).
Pemeriksaan glukosa urin melalui tes sederhana atau tes kuantitatif laboratorium
yang lebih rumit, yang mungkin dapat digunakan untuk menentukan jumlah
glukosa yang hilang dalam urin. Jumlah glukosa yang dikeluarkan dalam urin
orang normal pada umumnya sukar dihitung, sedangkan pada kasus diabetes
glukosa yang dilepaskan jumlahnya dapat sedikit sampai banyak sekali sesuai
dengan berat penyakit dan asupan karbohidratnya. Kadar glukosa darah puasa
sewaktu pagi hari normalnya adalah 80 sampai 90 mg/dl, dan 110 mg/dl
dipertimbangkan sebagai batas atas kadar normal.
Penderita diabetes hampir
selalu memiliki konsentrasi glukosa darah puasa diatas 110 mg/dl, bahkan diatas
140 mg/dl, dan uji toleransi glukosa hampir selalu abnormal. Diagnosa juga dapat
dilakukan dengan mencium bau pernafasan penderita DM yang cenderung bau
aseton akibat jumlah asam asetat yang meningkat pada penderita DM berat yang
diubah menjadi aseton, aseton ini mudah menguap dan dikeluarkan dalam udara
ekspirasi sehingga bau aseton dapat tercium pada nafas penderita diabetes. Asam
keton juga dapat ditemukan dalam urin melalui cara kimia dan jumlah asam keton
ini dipakai untuk menentukan tingkat penyakit DM.
2.1.6 Patologi Diabetes Melitus
Menurut Ressang (1984), gambaran patologi anatomis penderita Diabetes
Mellitus yang paling mencolok adalah terjadinya infiltrasi lemak pada hati dan
ginjal sehingga hati dan ginjal terlihat membengkak dan berwarna kekuningan
juga pada miokard sering kali berwarna kekuningan karena infiltrasi lemak dan
degenerasi albuminoid. Pankreas mengecil dan tidak memperlihatkan perubahanperubahan makroskopik.
Secara mikroskopik gambaran organ pankreas
menunjukkan adanya perubahan secara kualitatif pada pulau-pulau Langerhans.
Jumlah
pulaunya
berkurang
sedangkan
memperlihatkan degenerasi hidrofobik.
sel-sel
lainnya
menunjukkan
Disamping itu terlihat sklerosis pada
pulau-pulau pankreas yang disebabkan oleh peradangan atau didahului dengan
12
degenerasi. Hewan percobaan pemberian zat-zat yang mempunyai efek toksik
seperti alloksan dan ditizon atau derivatnya pada sel-sel pulau Langerhans dapat
menimbulkan perubahan pada sel-sel pada diabetes yaitu : pengecilan pulau-pulau
pankreas, pengurangan jumlah sel-sel B, degranulasi, dan vakuolisasi pada sel-sel
tersebut.
2.1.7 Pengobatan Diabetes Melitus
Diabetes Mellitus dapat ditanggulangi dengan pemberian obat, pengaturan
diet secara maksimal untuk mengembalikan kadar glukosa darah, dan pemberian
preparat hormonal.
Pemberian obat hanya merupakan pelengkap diet, obat
diberikan bila pengaturan diet secara maksimal tidak berhasil mengembalikan
glukosa darah. Obat yang sering digunakan digolongkan sebagai berikut:

Antidiabetik oral (hipoglikemik oral)
Obat ini digunakan untuk membantu mengurangi kebutuhan insulin yang
diberikan dari luar.
Dalam keadaan gawat insulin tetap harus diberikan.
Menurut Ganiswara (1995), antidiabetik oral tidak diindikasikan bagi
penderita yang cenderung mendapat ketoasidosis. Bila hiperglikemia sudah
terkontrol dengan antidiabetik oral dosis rendah maka dapat dilakukan
pengaturan diet saja dan kerja fisik.
Penderita yang membutuhkan dosis
antidiabetik oral yang makin meningkat untuk mengontrol peninggian gula
darahnya mungkin menunjukkan adanya kegagalan sekunder.
Obat
hipoglikemik oral digolongkan atas:

Golongan sulfonil urea
Obat ini dapat menurunkan kadar gula darah dengan cara merangsang
sekresi insulin di pankreas dan meningkatkan efektivitasnya. Oleh karena
itu obat ini cocok untuk penderita diabetes tipe II. Contoh obat golongan
ini adalah glibenklamida, glikasida, glikuidon dan klorpromida (Sustrani et
al. 2006) serta tolazomida dan tolbutamida (Laurence & Bennet 1992).

Golongan biguanida
Efek utama obat golongan ini adalah mengurangi produksi glukosa pada
hati serta memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Obat yang termasuk
13
golongan ini adalah fenformin, buformin dan metformin (Ganiswara
1995).

Insulin
Insulin merupakan hormon yang penting untuk kehidupan.
Hormon ini
mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan lemak.
Insulin
menaikkan pengambilan glukosa ke dalam sel-sel sebagian besar jaringan,
menaikkan penguraian glukosa secara oksidatif, menaikkan pembentukan
glikogen dalam hati dan otot dan mencegah penguraian glikogen,
menstimulasi pembentukan lemak dan protein dari glukosa. Semua proses ini
menyebabkan kadar glukosa darah menurun. Kerja insulin lainnya adalah
menaikkan pengambilan ion kalium ke dalam sel dan menurunkan kerja
katabolik glukokortikoid dan hormon kelenjar tiroid (Mutschler 1991).
Insulin dihasilkan oleh sel β pulau Langerhans yang berada di dalam kelenjar
pankreas. Hormon ini merupakan suatu polipeptida yang terdiri dari 51 asam
amino (Ganiswara 1995). Insulin sering digunakan oleh penderita diabetes
tipe I, sedangkan pada penderita diabetes tipe II digunakan apabila pemberian
obat sudah tidak efektif.

Glukagon
Glukagon adalah suatu polipeptida yang terdiri dari 29 asam amino. Hormon
ini dihasilkan oleh sel alfa pulau Langerhans.
glukoneogenesis.
Glukagon meningkatkan
Efek ini mungkin sekali disebabkan oleh menyusutnya
simpanan glikogen dalam hepar, karena dengan berkurangnya glikogen dalam
hati proses deaminasi dan transaminasi menjadi lebih aktif.
Adanya
peningkatan kedua proses tersebut menyebabkan pembentukan kalori yang
semakin besar juga.
Glukagon terutama digunakan pada pengobatan
hipoglikemia yang ditimbulkan oleh insulin. Hormon tersebut dapat diberikan
secara intravena, intramuscular, atau subcutan 1 mg. Bila dalam 20 menit
setelah pemberian glukagon subcutan penderita koma hipoglikemik tetap tidak
sadar, maka glukosa intravena harus segera diberikan karena mungkin
glikogen dalam hepar telah habis atau telah terjadi kerusakan otak yang
menetap (Ganiswara 1995).
14
2.2 Hati
Hati adalah organ terbesar dalam tubuh (Ressang 1984). Hati mendapat
darah dari vena porta dan arteri hepatika yang akan menyuplai 40-50% oksigen
dan kurang lebih setengah dari darah yang bersirkulasi akan menuju hati.
Sebagian kecil darah dari arteri hepatika mengalir langsung masuk ke peripheral
sinusoid (Jones et al. 2006). Vena porta, arteri hepatika dan saluran empedu akan
bergabung dalam satu daerah vena portis (segitiga Kiernaan).
Empedu akan
disalurkan dari hati ke duodenum melalui saluran empedu intrahepatik dan
ekstrahepatik (Guyton 1997).
Gambar 1. Lobus hati, dilihat dari anterior (Shier et al. 2002).
2.2.1 Anatomi Hati
Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh. Hati terletak di rongga
perut di sebelah kanan, tepat di bawah difragma, berwarna merah kecoklatan.
Hati terdiri dari beberapa lobus, tergantung pada spesiesnya (Harada et al. 1999).
Hati memiliki dua lobus utama, kanan dan kiri.
Lobus kanan dibagi
menjadi segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan yang tidak
terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh
ligamentum falsiforme yang dapat dilihat dari luar.
Ligamentum falsiforme
berjalan dari hati ke diafragma dan dinding depan abdomen. Permukaan hati
diliputi oleh peritoneum visceralis, kecuali daerah kecil pada permukaan posterior
yang melekat langsung pada diafragma. Beberapa ligamentum yang merupakan
lipatan peritoneum membantu menyokong hati. Di bawah peritoneum terdapat
jaringan penyambung padat yang dinamakan kapsula Glisson, yang meliputi
15
seluruh permukaan organ; kapsula ini pada hilus atau porta hepatik di permukaan
inferior melanjutkan diri ke dalam massa hati, membentuk cabang-cabang vena
porta, arteri hepatika, dan saluran empedu (Wilson & Lester 1992). Hati bersama
dengan jaringan ekstra hepatik dan beberapa hormon berperan dalam menjaga
homeostatik pengaturan kadar glukosa yang stabil dalam darah (Suharmiati 2003).
2.2.2 Histologi Hati
Unit fungsional dasar hati adalah lobus hati, yang berbentuk silindris. Hati
terbagi menjadi beberapa lobus. Secara histologis lobus atau gelambir hati dibalut
oleh kapsula.
Ada dua macam kapsula yaitu kapsula fibrosa (Glisson) dan
kapsula serosa. Lobus hati terdiri dari sel hati. Sel hati berbentuk polyhedral,
berdiameter 20-25 mikron pada hewan dewasa, sedangkan pada hewan muda
sekitar 2-7 mikron.
Inti bulat terdapat di tengah-tengah dan kadang-kadang
tampak lebih dari satu inti (Hartono 1992). Masing-masing lempeng hati tebalnya
satu sampai dua sel, dan diantara sel yang berdekatan terdapat kanalikuli basilaris
kecil yang mengalir ke duktus biliaris di dalam septum fibrosa yang memisahkan
lobus hati yang berdekatan. Di dalam septum juga terdapat vena porta kecil yang
menerima darah terutama dari vena saluran pencernaan melalui vena porta. Darah
dari venula ini akan mengalir ke sinusoid hati dan bercabang yang terletak
diantara lempeng-lempeng hati dan kemudian ke vena sentralis.
Sirkulasi
demikian menyebabkan sel hati terus-menerus terpapar oleh darah vena porta.
Selain vena porta juga terdapat arteriol hati di dalam septum interlobularis.
Sinusoid vena dan sel-sel hati dilapisi oleh dua tipe sel yaitu sel endotel khusus
dan sel Kupffer yang merupakan makrofag jaringan yang mampu memfagositosis
bakteri dan benda asing lain dalam darah sinus hepatikus (Guyton 1997). Sel
Kupffer merupakan makrofag spesifik dalam organ hati yang berasal dari monosit
(Dellman & Brown 1992).
Hati merupakan organ yang terlibat dalam
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein.
Hepatosit (sel parenkim hati)
merupakan bagian terbesar dari organ hati. Hepatosit bertanggung jawab terhadap
peran sentral hati dalam metabolisme. Sel-sel ini terletak diantara sinusoid yang
terisi darah dan saluran empedu.
Sel Kupffer melapisi sinusoid hati dan
merupakan bagian penting dari sistem retikuloendotelial tubuh.
16
Gambar 2. Lobus hati, dilihat dari inferior (Shier et al. 2002).
Menurut struktur dan fungsinya, lobulus hati dibagi menjadi tiga zona atau
daerah yaitu daerah sentrolobuler, daerah tengah (midzonal) dan daerah periportal.
Daerah sentrolobuler merupakan akhir dari mikrosirkulasi yang menerima darah
dari pertukaran gas dan metabolit dengan sel-sel dari daerah tengah dan periportal.
Hal ini menyebabkan daerah sentrolobuler lebih sensitif terhadap gangguan
sirkulasi (iskemia, anoksia, kongesti) dan defisiensi nutrisi. Sebaliknya, daerah
periportal dekat dengan pembuluh darah, menerima darah yang kaya O2 dan
nutrisi. Akan tetapi, apabila ada senyawa yang bersifat toksik dalam darah, maka
daerah ini akan terpapar terlebih dahulu.
Hepatosit di daerah periportal
mempunyai lebih banyak mitokondria sedangkan di daerah sentrolobuler
mempunyai jumlah sitokrom p450 yang lebih banyak (Harada et al. 1999).
2.2.3 Fungsi Hati
Hati adalah suatu organ yang besar, dapat meluas, dan organ venosa yang
mampu bekerja sebagai suatu tempat penampungan darah yang bermakna disaat
volume darah berlebihan dan mampu mensuplai darah ekstra di saat kekurangan
volume darah (Guyton 1997).
Beberapa fungsi hati menurut Ressang (1984) adalah :
-
sekresi empedu
-
metabolisme lemak
-
metabolisme zat telur
-
metabolisme hidrat arang
-
metabolisme besi
17
-
fungsi detoksikasi
-
pembentukan sel darah merah
-
metabolisme dan penyimpanan penyakit
Hati memiliki tiga fungsi yaitu fungsi vaskuler, fungsi metabolik serta
fungsi sekresi dan ekskresi (Dellman & Brown 1992).
Fungsi vaskuler
berhubungan dengan proses penyimpanan dan penyaringan darah. Pada fungsi
metabolik, sel hati merupakan suatu tempat reaksi kimia dengan laju metabolisme
yang tinggi. Kemudian juga tempat mengolah dan mensintesa berbagai zat yang
diangkut ke daerah tubuh lain (Herdt 2002).
Sedangkan fungsi sekresi dan
ekskresi berperan untuk produksi empedu yang mengalir melalui saluran empedu
ke saluran pencernaan (Guyton 1997).
Menurut Ganiswara (1995), hati berperan dalam pengaturan kadar glukosa
dalam darah.
Setelah makanan diabsorbsi di usus, glukosa dialirkan ke hati
melalui vena porta.
Sebagian lagi glukosa disimpan dalam bentuk glikogen.
Setelah absorbsi selesai, glikogen dalam hati dipecah lagi menjadi glukosa. Pada
keadaan normal persediaan glikogen dalam hati cukup untuk mempertahankan
kadar glukosa darah selama beberapa jam, namun jika hati terganggu fungsinya
akan mudah terjadi hiperglikemia atau hipoglikemia.
Hati berfungsi sebagai penawar racun, dengan cara memusnahkan racun
tersebut atau dengan menggandeng racun tersebut dengan senyawa lain sehingga
sifat racunnya hilang atau melemah (Girindra 1988). Sebagian besar bahan toksik
memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal.
Setelah terjadi proses
penyerapan, bahan toksik tersebut dibawa oleh vena porta hati ke hati. Darah
dipasok melalui vena porta dan arteri hepatika serta disalurkan melalui vena
sentralis kemudian vena hepatika, hingga akhirnya ke dalam vena kava (Lu 1995).
Aliran darah yang membawa obat atau senyawa organik asing melewati sel-sel
hati secara perlahan-lahan (Siswandono & Bambang 1995).
2.2.4 Patologi Hati
Hati merupakan organ yang paling sering mengalami kerusakan. Ada dua
alasan yang menyebabkan hati mudah terkena racun. Pertama, hati menerima
80% suplai darah dari vena porta yang mengalirkan darah dari sistem
18
gastrointestinal. Substansi zat-zat toksik termasuk tumbuhan, fungi, dan produk
bakteri, juga logam, mineral dan zat-zat kimia lain yang diserap ke darah portal
ditransportasikan ke hati.
Kedua, hati menghasilkan enzim-enzim yang
mempunyai biotransformasi pada berbagai macam zat eksogen dan endogen untuk
dieliminasi oleh tubuh.
Proses ini mungkin juga mengaktifkan beberapa zat
menjadi bentuk yang lebih toksik dan dapat menyebabkan terjadinya perlukaan
hati (Carlton & McGavin 1995).
Bahan toksik dapat menyebabkan berbagai jenis kerusakan hati sebagai
berikut:

Degenerasi
Degenerasi sel sering diartikan sebagai kehilangan stuktur normal sel sebelum
kematian sel.
Gambaran patologi dapat didefinisikan secara luas sebagai
kehilangan struktur dan fungsi normal, biasanya progresif yang tidak
ditimbulkan oleh induksi radang dan neoplasia. Degenerasi sel terkadang
merupakan indikasi gangguan metabolisme yang meluas.
Jenis umum
degenerasi sel disebut perubahan melemak. Di sini globuli lemak (terutama
trigliserida) dideposisikan pada sitoplasma dalam jumlah besar. Hal ini terjadi
pada kondisi Diabetes Mellitus, malagizi, iskhemik dan anemia hebat (Spector
1993).
Degenerasi suram (cloudy swelling), berbutir, albuminoid atau
parenkim sering terlihat pada kejadian keracunan. Hati membesar, tepinya
membulat, konsistensinya rapuh, sedangkan bidang sayatan belang atau
beraspek seperti telah dimasak (Ressang 1984).

Nekrosis
Nekrosis hati adalah kematian sel hati. Kematian sel terjadi bersama dengan
pecahnya membran plasma. Tidak ada perubahan ultrastruktural membran
yang dapat dideteksi sebelum pecah, namun ada beberapa perubahan yang
mendahului kematian sel.
Perubahan morfologik awal antara lain berupa
edema sitoplasma, dilatasi retikulum endoplasma dan disagregasi polisom.
Terjadi akumulasi trigliserida sebagai butiran lemak dalam sel. Perubahan
yang terjadi merupakan pembengkakan mitokondria progresif dengan
kerusakan kista, pembengkakan sitoplasma, penghancuran organel dan inti
dan pecahnya membran plasma.
Nekrosis dapat bersifat fokal (sentral,
19
pertengahan, perifer) atau masif (Lu 1995).
Nekrosis hati merupakan
manifestasi toksik yang berbahaya tetapi tidak selalu kritis karena hati
mempunyai kapasitas pertumbuhan kembali yang luar biasa. Pada umumnya
nekrosa toksopatik hanya memerlukan waktu singkat untuk menimbulkan
gejala klinis.

Steatosis (perlemakan hati)
Secara patologis hal yang dapat menyebabkan perlemakan adalah hipoksemi
oleh karena hati tidak dapat membakar lemak atau karena adanya toksin yang
menyebabkan penurunan fungsi lipolitik hati.
Toksin yang dapat
menyebabkan perlemakan toksik adalah antimon, arsen, alkohol, dan racun
lain yang memerlukan banyak oksigen sehingga lemak tinggal tidak terbakar.

Sirosis Hati
Sirosis hati adalah pengerasan pada hati.
Sirosis hati dicirikan dengan
permukaan nodular, granular dan irregular, konsistensinya keras dan terjadi
fibrosis difus. Sirosis dapat disebabkan oleh berbagai hal, akan tetapi dapat
juga kausanya tidak diketahui. Pada umumnya bahan-bahan toksik dan parasit
dapat menyebabkan sirosis hati (Ressang 1984). Menurut Spector (1993),
sirosis berasal dari nekrosis sel tunggal karena kurangnya mekanisme
perbaikan. Kemudian keadaan ini menyebabkan aktivitas fibroplastik dan
pembentukan jaringan parut. Tidak cukupnya aliran darah dalam hati menjadi
salah satu faktor pendukung.
Pasca mati hati menunjukkan tanda-tanda pembusukan. Perubahan warna
coklat menjadi hitam-hijau atau biru-hitam pada bidang caudalnya terjadi karena
H2S di dalam usus bersenyawa dengan besi di dalam darah menjadi FeS. Pada
sisi bidang cranial hati sering terlihat garis-garis pucat disebabkan oleh tekanan
iga. Otolisis postmortal terlihat sebagai sarang-sarang suram, putih kelabu, yang
mirip dengan sarang-sarang nekrosa. Akan tetapi secara mikroskopik sarangsarang ini dapat dibedakan dari nekrosa karena pembusukan tidak menimbulkan
reaksi jaringan sama sekali, di sekitar sarang-sarang pasca mati tidak ditemukan
infiltrasi sel-sel radang.
20
2.3 Usus Halus
Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu duodenum, jejunum, dan ileum
(Sturkie 1976).
Usus halus merupakan tempat terjadinya pencernaan dan
penyerapan makanan. Selaput lendir usus halus memiliki jonjot yang lembut dan
menonjol seperi jari. Fungsi usus halus selain penggerak aliran pakan dalam usus
juga untuk meningkatkan penyerapan sari makanan (Akoso 1993).
Gambar 3. Tiga bagian dari usus halus, yaitu duodenum,jejunum dan ileum (Shier et al. 2002).
2.3.1 Anatomi Usus Halus
Usus halus merupakan bagian dari sistem pencernaan yang terletak antara
lambung dan usus besar yang merupakan tempat utama terjadinya pencernaan
secara kimiawi dan penyerapan nutrisi. Usus halus dalam kerjanya dibantu oleh
pankreas yang menghasilkan enzim yang digunakan dalam proses pencernaan.
Secara normal usus halus terdiri dari duodenum, jejunum dan ileum. Duodenum
merupakan bagian proximal dari usus halus yang melewati bagian kaudal dari
permukaan kanan ventrikulus dan membentuk suatu lengkungan seperti huruf
“U”. Diantara lengkungan “U” tersebut terdapat pankreas (Sisson & Grossman
1953) yang menghasilkan enzim amylase, lipase dan tripsin (North 1984).
Jejunum dan ileum tidak memiliki batas yang jelas, untuk menentukan batas
antara usus halus tersebut berdasarkan letak dari Meckel’s divertikulum (Sisson &
Grossman 1953).
Menurut Swenson (1953), panjang usus setiap spesies hewan bervariasi
tergantung dari kebiasaan makan. Herbivora mempunyai usus yang lebih panjang
21
dibandingkan usus halus karnivora, hal ini disebabkan karena daging lebih mudah
dicerna.
2.3.2 Histologi Usus Halus
Usus halus terbagi menjadi tiga bagian yaitu duodenum, jejunum dan
ileum. Daerah duodenum memiliki lipatan mukosa yang melingkar dan memiliki
banyak vili.
Daerah jejunum mirip dengan daerah duodenum.
Ukuran vili
jejunum lebih langsing, lebih kecil dan jumlahnya lebih sedikit daripada
duodenum. Daerah ileum mirip dengan jejunum. Vili pada ileum membentuk
kelompok.
Daerah ileum tidak memiliki lipatan-lipatan mukosa (Banks &
William 1993). Secara umum, struktur utama dari usus halus adalah membran
mukosa, lamina propia, submukosa, jaringan limfatik, serosa dan lapisan
muskuler. Sel epitel menutupi seluruh permukaan bebas dari membran mukosa
dan berbentuk epitel silindris sebaris (Xu & Cranwell 2003).
Pada lapis mukosa usus halus terdapat suatu bentuk khusus berupa vilivili.
Vili memperluas permukaan area lumen serta mengefisienkan proses
absorbsi. Selain itu pada mukosa usus juga ditemukan kripta-kripta usus.
Kelenjar-kelenjar yang terdapat pada mukosa memiliki bentuk tubular sederhana.
Pada daerah di bawah epithelium merupakan lamina propia.
Lamina propia
mengandung leukosit dan jaringan limfatik berupa nodul-nodul.
Ditemukan
nodul-nodul limfatik yang beragregasi membentuk Payer’s patches.
Lapis
submukosa usus halus terdiri dari jaringan ikat, pembuluh darah dan pembuluh
limfatik (Xu & Cranwell 2003).
Pada daerah submukosa duodenum terdapat sekelompok kelenjar
berbentuk tubular seperti gulungan yang disebut dengan kelenjar Brunner.
Kelenjar Brunner mensekresikan cairan mucus ke dalam kripta usus.
Cairan
mucus ini melubrikasi permukaan epithelium dan melindungi dari asam lambung
(Frappier 1998). Pada daerah mukosa bagian dasar vili usus halus terdapat kripta
Lieberkuhn. Kripta Lieberkuhn berbentuk lurus maupun tubular seperti struktur
kelenjar yang dilapisi oleh sel epitel silindris sebaris.
22
Sel epitel usus halus terdiri dari empat macam sel yaitu (Bloom & Fawcett
1968; Telford & Bridgman 1995):
-
Sel penyerap berbentuk silindris dengan mikrovili berfungsi untuk
menyerap sari makanan
-
Sel Goblet / sel mangkok, tersebar tidak teratur dan tidak merata pada
epitel permukaan. Sel ini menghasilkan mucus yang berfungsi untuk
melindungi mukosa
-
Sel Argentaffin / sel enterokhromafin, menghasilkan serotonin yang
menstimulasi kontraksi otot polos, serta menyalurkan hormon seperti
sekretin, gastrin dan kholesitokinin
-
Sel Paneth, berbentuk silindris atau pyramidal dengan inti bulat terletak di
basal. Sel Paneth terletak di ujung kelenjar Liberkuhn, fundus dan sekum
(pada unggas, karnivora dan babi sel ini tidak ada).
Sel epitel yang terdapat dalam kelenjar kripta termasuk stem sel
undifferentiated, sel Goblet, sel Paneth dan sel endokrin.
Sel Goblet
mensekresikan mucus dan memiliki fungsi yang sama dengan sel Goblet pada vili
usus. Sel endokrin memproduksi berbagai macam hormon maupun peptide (Xu &
Cranwell 2003).
Sel Paneth merupakan sel eksokrin dengan granul-granul sekretori pada
apikal sitoplasma.
Granul-granul sekretori ini menghasilkan lisosim yang
memiliki aktivitas antibakterial dan mengontrol mikrobiota. Stem sel yang belum
terdiferensiasi memiliki kemampuan mitotik yang tinggi. Sel epitel baru yang
tumbuh oleh proses mitosis dari stem sel berpindah ke atas sepanjang vili dan
sering menembus ujung vili (Xu & Cranwell 2003). Peradangan pada usus halus
(enteritis) yang subakut disertai dengan infiltrasi sel limfosit dan yang kronis
bersifat proliferatif bisa terjadi (Nabib 1987).
Dinding usus halus terdiri dari empat lapis yaitu mukosa, sub-mukosa,
tunika muskularis, dan tunika serosa (Swenson dalam Handaruwati 2000).
Mukosa ini diselaputi oleh vili yang berkembang baik dan menyebabkan
gambaran mukosa yang menyerupai beludru. Duodenum memiliki vili yang luas,
berbentuk seperti daun, dan diameternya luas. Vili pada jejunum memiliki bentuk
23
seperti lidah pada bagian jejunum proksimal, dan seperti jari panjang pada bagian
jejunum distal. Sedangkan ileum memiliki vili yang berbentuk menyerupai jari.
Permukaan vili mempunyai tiga macam jenis sel, yaitu sel absorbtif, sel
Goblet, dan sel Argentafin. Kripta Lieberkuhn atau kelenjar usus terdapat pada
permukaan diantara vili yang meluas ke daerah muskularis mukosa.
Lamina
propia berbentuk jaringan ikat longgar yang merupakan pusat vili dan
mengelilingi kelenjar usus. Bagian ini terdiri dari serabut kolagen dan elastik
dalam jalinan serabut retikuler dimana dalam jalinan ini terdapat pembuluh darah,
pembuluh limfe, leukosit, fibroblast, otot polos, sel plasma, dan sel mast (Dellman
& Brown 1992). Muskularis mukosa terdiri dari lapis otot tipis yang halus.
Lapisan sub-mukosa berupa jaringan ikat longgar yang didalamnya
terdapat saraf, arteri, pembuluh limfe besar, vena, ganglion dari sistem saraf
parasimpatikus, dan kumpulan badan sel saraf terlokalisasi yang merupakan
elemen dari pleksus sub-mukosa. Pada duodenum terdapat kelenjar sub-mukosa
atau yang disebut kelenjar Brunner (Swenson dalam Handaruwati 2000).
Lapisan tunika muskularis terdiri dari dua lapis, yaitu lapis dalam yang
tersusun melingkar dan lapis luar yang tersusun memanjang. Diantara kedua lapis
tersebut terdapat jaringan ikat longgar yang mengandung Plexus Mientricus atau
Plexus Aurbach. Pleksus ini bersama dengan Plexus Meissner yang terdapat pada
sub-mukosa akan menginervasi kontraksi usus yang mencampur makanan dengan
enzim, kemudian menggerakan makanan yang sudah dicerna agar kontak dengan
permukaan sel-sel absorbsi lalu mendorongnya ke kaudal.
Peristiwa pencernaan serta penyerapan dalam usus halus ditunjang oleh
bentuk-bentuk khusus. Efisiensi penyerapan dapat ditingkatkan oleh tiga bentuk
khusus yang memperluas areal penyerapan terhadap isi usus, yang pertama adalah
dua pertiga bagian depan usus halus memiliki plika sirkularis yang menjulur ke
arah lumen setinggi dua pertiganya.
Pada ruminansia lipatan ini bersifat
permanen, tetapi pada hampir semua hewan piara lain tampak pada usus yang
sedang istirahat atau kososng, dan hilang bila usus mengembang.
Kedua,
permukaan selaput lendir menunjukkan penjuluran berbentuk jari yang disebut
vili. Tinggi vili ini bervariasi (1,0-1,5 μm), tergantung pada daerah serta jenis
hewan. Ketiga, adalah permukaan penyebaran ditingkatkan oleh mikrovili.
24
Mikrovili merupakan penjuluran sitoplasma pada permukaan bebas epitel vili
(Dellman & Brown 1992).
Permukaan bagian dalam dari usus halus adalah membran mukosa yang
terdiri dari sel epitel kolumnar, beberapa diantaranya akan mengalami modifikasi
dan membentuk sl Goblet guna produksi mukus. Di sebelah luar permukaan
membran mukosa yang menyelimuti usus halus banyak terdapat vili yang berguna
untuk absorbsi zat makanan (Frandson 1992). Dalam keadaan normal selaput
lendir usus terlapisi oleh isi usus yang bercampur dengan getah usus, getah
pankreas, empedu, lendir usus dan kuman-kuman.
2.3.3 Fungsi Usus Halus
Pada usus halus terjadi gerakan peristaltik yang berperan mencampur
digesta dengan cairan pankreas dan empedu. Usus halus menghasilkan enzim
amilase, protease, dan lipase yang berfungsi memecah zat makanan menjadi
bentuk yang lebih sederhana sehingga dapat diserap tubuh, selain itu usus halus
juga melaksanakan pencernaan kimiawi serta memegang peranan penting dalam
transfer material nutrisi dari lumen ke dalam pembuluh darah dan limfe (Moran
1985).
Usus halus memiliki fungsi sebagai tempat penyaluran makanan dan
penyerapan nutrisi ke dalam pembuluh darah dan pembuluh limfe. Dalam usus,
asam lemah terutama akan berada dalam bentuk ion sehingga tidak mudah
diserap, sedangkan basa lemah akan berada dalam bentuk ion-ion sehingga mudah
diserap. Absorbsi usus akan lebih tinggi lagi dengan lamanya waktu kontak dan
luasnya daerah permukaan vili dan mikrovili usus (Lu 1995). Usus halus meliputi
duodenum, jejunum dan ileum. Fungsi duodenum dan jejunum ialah pencernaan
dan penyerapan (absorbsi) sedangkan ileum untuk absorbsi makanan dan cairan.
Duodenum merupakan tempat absorbsi besi dan folat. Duodenum juga menjadi
tempat penting terjadinya pencampuran antara makanan dengan garam empedu
dan enzim pankreas. Jejunum menjadi bagian dari usus halus yang paling banyak
mengabsorbsi mikronutrien. Selain nutrien, obat juga diabsorbsi disini. Motilitas
makanan yang melewati ileum lebih lambat daripada jejunum. Neurohormonal
seperti glucagon-like peptide 1 dan 2, peptide YY dan neurotensin yang dilepas
25
oleh ileum terminal berperan memberikan efek trofik pada mukosa (Andra 2007).
Pencernaan ingesta menjadi bentuk yang siap diserap, dimulai dengan bekerjanya
enzim pankreas, empedu dari hati dan sekreta kelenjar usus.
Peristiwa ini
berlangsung di sepanjang usus halus. Efisiensi penyerapan dapat ditingkatkan
oleh tiga bentuk yaitu plika sirkularis pada dua pertiga bagian depan, vili yang
berbentuk jari dengan permukaan selaput lendir dan mikrovili yang merupakan
penjuluran sitoplasma pada permukaan bebas epitel vili (Dellman & Brown
1992).
Aktivitas pencernaan memerlukan sejumlah enzim dan banyak lendir
untuk melindungi epitel terhadap kerusakan mekanik maupun iritasi enzim.
Lendir dihasilkan oleh kelenjar submukosa dan sel Goblet di antara sel epitel
(Himawan 1998).
2.3.4 Patologi Usus Halus
Gangguan yang sering terjadi pada usus adalah obstruksi, perpindahan
(hernia/eventration) dan peradangan usus (enteritis).
Obstruksi akut pada usus lebih sering terjadi pada usus halus, sedangkan
usus besar lebih sering tertimpa obstruksi kronis.
Obstruksi akut dapat
dikelompokkan ke dalam 3 kelompok, menurut cara perkembangannya:

Oklusi sederhana, berasal dari substansi mekanik dan sumbernya tidak
tentu, namun secara umum dapat dibagi menjadi obstruksi intraluminal,
obstruksi yang terjadi pada dinding usus atau obstruksi yang terjadi dari
tekanan di perbatasan.

Strangulasi, terjadi ketika selain terjadi oklusi pada usus juga terjadi oklusi
pada pembuluh darah, biasanya pada vena namun dapat terjadi pada arteri
dan vena.

Ileum paralitik adalah obstruksi fungsional yang biasanya timbul karena
reflek penghambatan, tetapi mungkin juga terjadi karena metabolik dan
komplikasi dari hipokalemia.
Eventration meliputi perpindahan bagian dari usus -biasanya usus halus-
keluar dari ruang abdominal.
peritoneum parietal.
Bagian yang berpindah tidak dapat ditutup
26

Internal hernia, merupakan perpindahan usus melalui foramen normal atau
patologik di dalam ruang abdominal tanpa terbentuk kantung hernia.

Eksternal hernia, secara khas terdiri dari kantung hernia yang dibentuk
sebagai kantung peritoneum parietal, menutupi kulit dan jaringan lunak
tergantung pada lokasi hernia, cincin hernia dan isi hernia. Cincin hernia
adalah pembuka dinding abdominal yang dapat terjadi secara dapatan atau
alami seperti cincin inguinal.
Isi hernia biasanya terdiri dari bagian
omentum, bagian usus yang lebih bebas bergerak –biasanya usus halus- dan
kadang-kadang organ viscera lainnya.
Enteritis secara umum terjadi pada bagian manapun dari usus, namun
karena peradangan lebih umum dan parah ketika menimpa usus halus, maka
peradangan pada sekum, kolon dan rektum lebih dikenal dengan sebutan typhlitis,
colitis dan proctitis. Pada banyak kasus, spesifik atau non-spesifik, perubahan
menimpa keseluruhan bagian usus dan terkadang juga menimpa lambung
sehingga dapat disebut gastroenteritis. Penyebabnya antara lain infeksi bakteri,
virus, mikosis, protozoa, riket dan cacing, gangguan vaskular dan metabolik,
toksin bakteri, keracunan zat kimia dan defisiensi nutrisi seperti vitamin B (Jubb
et al. 1993).
2.4 Limpa
Gambar 4. Limpa (Shier et al. 2002).
Tubuh makhluk hidup memiliki kemampuan melawan berbagai jenis
organisme atau toksin yang dapat merusak jaringan dan organ tubuh.
Kemampuan ini disebut kekebalan yang merupakan hasil produksi dari jaringan
27
limfoid di dalam tubuh (Guyton 1997).
Sistem jaringan limfoid dapat
diklasifikasikan ke dalam dua kelompok yaitu organ limfoid primer dan sekunder
(Tizard 1988). Organ limfoid primer merupakan organ yang berfungsi mengatur
produksi dan diferensiasi limfosit dan tempat pengaturan perkembangan limfosit.
Sedangkan organ limfoid sekunder merupakan organ limfoid yang responsif
terhadap stimulasi antigenik atau tempat interaksi limfosit-antigen dan
pengontrolannya.
Tizard (1988) dan Guyton (1997) mengelompokkan limpa
sebagai salah satu organ limfoid sekunder. Limpa adalah jaringan limfoid yang
membentuk organ paling besar dalam tubuh hewan. Limpa memiliki kapsula dan
trabekula yang mengandung otot polos yang berperan memobilisasikan darah bila
aktivitas fisiologik meningkat (Hartono 1989).
2.4.1 Anatomi Limpa
Limpa adalah organ limfatik lunak yang terletak di sebelah kiri atas
abdomen, di bawah tulang iga ke-9, 10 dan 11. Sumbu panjangnya paralel dengan
iga ke-10. Limpa memiliki permukaan diafragmatik dan visceral, ujung superior
dan inferior, serta batas anterior, posterior dan inferior.
permukaan diafragmatik berhubungan dengan
Bagian convex
bagian costal
diafragma.
Permukaan visceral membentuk segitiga yang terbagi pada permukaan gastric,
renal dan colic.
Bagian punggung limpa memisahkan permukaan gastric
(anterior) dengan permukaan renal (inferior).
Pada bagian bawah, terdapat
lengkungan, sebuah hilus, sebagai tempat pembuluh darah dan saraf.
inferior rata dan berakhir pada flexura kiri colic.
Ujung
Ujung superior (apex)
berhubungan langsung dengan tulang Thoracal 11. Batas anterior memisahkan
diafragma dari permukaan gastric, batas posterior yang bulat memisahkan
diafragma dengan permukaan renal dan batas inferior memisahkan diafragma dari
permukaan colic. Ujung pankreas dapat menyentuh limpa diantara permukaan
colic dan hilus (Leeson CR & Leeson TJ 1989).
28
2.4.2 Histologi Limpa
Secara histologis limpa terdiri dari stoma (kapsula dan trabekula) dan
parenkim (pulpa limpa).
Selain itu sediaan histologi limpa juga terdiri dari
banyak sel-sel darah merah dan sel-sel darah putih dan sangat menyerupai
kelenjar-kelenjar limfe. Leeson et al. (1993) menerangkan bahwa kapsul dari
limpa dilapisi oleh serosa yang terdiri dari serat kolagen, serat elastin dan
beberapa otot polos, sedangkan trabekula tebal yang mengandung cabang-cabang
besar arteri dan vena splenikus (lienalis) berjalan dari kapsula ke bagian dalam
organ.
Diantara trabekula terdapat anyaman serat retikulin yang menunjang
parenkim limpa. Parenkim limpa terdiri dari dua bagian yaitu pulpa merah dan
pulpa putih.
Pulpa merah.
Sebagian besar dari pulpa limpa berwarna merah dan
mengandung banyak darah yang disimpan dalam jalinan retikuler. Pulpa merah
terdiri dari arteriol pulpa, kapiler selubung serta kapiler terminal, sinus venous
atau venula, dan bingkai limpa. Pulpa merah pada limpa ruminansia dan babi
banyak mengandung sel-sel otot polos, sedangkan kuda dan anjing memiliki
miofibroblas, sel yang mirip fibroblas tetapi memiliki sifat mirip otot polos
(Dellman & Brown 1992).
Pulpa putih.
Pulpa putih adalah jaringan limfatik yang menyebar di
seluruh limpa sebagai nodulus limpa dan seperti selubung limfatik periarterial.
Nodulus dapat atau tidak dapat memiliki pusat kecambah yang aktif tergantung
pada status fungsinya. Sel-sel utama dalam nodulus adalah limfosit B, sedangkan
limfosit T berbatasan dengn tunika media, dan limfosit B membentuk daerah
perifer pada selubung limfatik (Dellman & Brown 1992).
Daerah marginal. Pada permukaan pulpa putih, retikulum membentuk
beberapa lapis konsentris, yang langsung berbatasan dengan lapis terakhir adalah
daerah marginal. Di daerah ini banyak terdapat makrofag dan populasi limfosit
khusus. Semua unsur dari sel darah, demikian juga antigen, mengadakan kontak
dengan makrofag dan limfosit setempat.
Partikel yang mengambang dalam
plasma darah difagositosis secara efisien oleh makrofag, dan merupakan kondisi
ideal untuk penampilan antigen (Dellman & Brown 1992).
29
Ada beberapa teori mengenai hubungan antara arteriol dan venula pada
limpa.
Pertama adalah teori terbuka, yaitu darah akan mengalir keluar dari
terminal arterial dalam pulpa merah sampai menemukan permulaan dari aliran
venous. Kedua adalah teori tertutup, yaitu darah dari arteriol terminal masuk
sinusoid atau sinus venous, valvulae aferen dan eferen dari sinus venous secara
periodik membuka dan menutup.
Hal ini memungkinkan terjadinya proses
pengaliran, pengisian, penyimpanan dan pengosongan dari sinus venous. Pada
proses penyimpanan sinus membesar dan makrofag mempergunakan kesempatan
ini untuk mengangkut pecahan eritrosit. Teori terakhir adalah teori kombinasi
yang merupakan gabungan antara teori terbuka dan tertutup yaitu bila limpa
dalam kontraksi, sel retikulum epitel merapat sehingga membentuk sinus venous
yang menghubungkan arteriola dan venula.
Tapi bila limpa mengembang,
susunan sel retikulum epitel agak merenggang sehingga darah dapat keluar dalam
jaringan (Hartono 1989).
2.4.3 Fungsi Limpa
Fungsi utama limpa ialah menyimpan darah yang tidak ikut dalam
peredaran darah. Pengeluaran darah dari limpa disebabkan oleh kontraksi alat
tubuh yang dapat ditimbulkan oleh emosi, kekurangan zat asam (kenaikan kadar
CO2 darah, gerak badan ataupun kehilangan darah) dan pada perangsanganperangsangan nervus simpatikus pada umumnya (Ressang 1984). Menurut Tizard
(2004) dan Boyd (1962), limpa berfungsi menyaring darah dan sebagai tempat
penyimpanan eritrosit dan trombosit dan melaksanakan eritropoiesis pada fetus.
Karena itu, limpa terbagi atas dua bagian : satu bagian untuk menyimpan eritrosit,
untuk penjeratan antigen dan untuk eritropoiesis, yang disebut pulpa merah; dan
bagian yang lain yang di dalamnya terjadi tanggap kebal yang disebut pulpa putih.
Fungsi lain limpa menurut Ressang (1984) adalah :

Membentuk sel-sel darah putih yaitu limfosit, yang ada hubungannya
dengan pembentukan globulin (antibodi).

Pada hewan muda limpa ikut membentuk eritrosit bersama sumsum tulang.
30

Pembinasaan eritrosit tua bersama dengan sumsum tulang dan sel RES
hati. Oleh sebab itu limpa mengandung banyak lipid (kolesterol dan
lesitin) dan besi. Hematin diubah limpa menjadi hemobilirubin.

Menjaring kuman-kuman dari darah. Hal ini karena limpa terdiri dari
banyak sel-sel RES.

Ikut serta dalam metabolisme nitrogen terutama dalam pembentukan asam
kemih.
2.4.4 Patologi Limpa
Perubahan ukuran, warna dan konsistensi limpa biasanya disebabkan oleh
respon limpa terhadap benda asing yang dapat menimbulkan proses-proses reaktif,
sehingga ketika diamati sacara mikroskopis limpa terlihat membengkak. Infeksi
pada tubuh akan merangsang sel-sel limfosit dalam organ limfoid untuk
membentuk antibodi (Volk & Wheleer 1993). Jones et al. (2006) menyatakan
bahwa pembesaran limpa bisa diakibatkan oleh beberapa mekanisme yang
berbeda, yaitu gangguan sirkulasi, penyakit inflamasi, penyakit metabolik dan
neoplasia. Menurut Thomas (1979), perubahan patolgi yang terjadi pada limpa
dianggap berkenaan dengan bangunan trabekula, sinus pada pulpa merah dan
pulpa putih, terutama pada kandungan darah, gambaran fibrosa, jumlah sel dan
deposit lain.
Perubahan ukuran dan warna limpa dapat terlihat dengan pemeriksaan
mikroskopis (histologis) pada sejumlah sel-sel darah yang banyak mengisis ruang
limpa di sinus-sinus dan pulpa, serta pembuluh darah limpa yang membendung
(hiperemi). Konsistensi limpa dapat menjadi keras dan ukurannya membesar oleh
karena pertumbuhan jaringan retikulum dan hiperplasia sel serta pertumbuhan
jaringan Reticulo Endothelial system (RES) sehingga menghasilkan sel-sel besar
dan pucat yang mengisi sinusoid-sinusoid limpa maupun pada folikel limpa
(Thomas 1979).
Pada kondisi septisemia, terjadi pembesaran limpa dengan
kongesti akut dan degenerasi dari folikel limfoid serta hiperseluler dari area sinus
(Jubb et al. 1993).
31
2.5 Sambiloto
Gambar 5. Sambiloto (Syukur & Hernani 2002).
Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) merupakan tanaman yang
dapat tumbuh di ketinggian 1-1.600 m dpl atau dari dataran rendah sampai daerah
pegunungan. Tanaman ini memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan setempat.
Faktor iklim yang mempengaruhi pertumbuhan sambiloto adalah curah hujan dan
suhu.
Sambiloto dapat tumbuh dengan baik pada curah hujan 2000-3000
mm/tahun dan suhu udara 25-320C.
Kelembapan yang dibutuhkan termasuk
sedang, yaitu antara 70-90% dengan penyinaran agak tinggi (Mahendra 2005).
Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) lebih dikenal sebagai tanaman
obat yang dipakai oleh manusia (Soedibyo 1998). Tumbuhan ini tergolong ke
dalam famili Acanthaceae dan termasuk tanaman terna (herba) dengan tinggi
±50cm (Syamsuhidayat & Hutapea 1991).
Beberapa jenis tanah yang cocok
untuk pertumbuhan sambiloto yaitu latosol, andosol dan regosol (Syukur &
Hernani 2002).
Ditinjau dari aspek toksikologi, berdasarkan kriteria Gleason, sambiloto
termasuk ke dalam golongan yang Practically Non Toxic, mengingat dosis toksik
akut (LD50) sebesar 1,2 mg/10 g BB. Efek toksisitas yang terlihat adalah depresi
susunan pusat dan anggota gerak (Nuratmi et al. 1996).
32
2.5.1 Klasifikasi Sambiloto
Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) dalam klasifikasi menurut
Syamsuhidayat dan Hutapea (1991), dikelompokkan sebagai berikut:
Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledon
Bangsa
: Solanales
Suku
: Acanthaceae
Genus
: Andrographis
Spesies
: Andrographis paniculata Nees
2.5.2 Morfologi Sambiloto
Gambar 6. Sambiloto (Mahendra 2005).
Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) mempunyai tinggi sekitar 40
hingga 90 cm; dengan batang bersegi empat, nodus yang membesar dan banyak
bercabang.
Daun tunggal dengan letak berhadapan silang, bentuknya lanset
dengan pangkal runcing dan ujung meruncing. Tepi daun rata, permukaan atas
berwarna hijau tua dan permukaan bawah hijau muda. Panjang daun 2-8 cm,
lebar 1-3 cm, bertangkai pendek. Bunga berwarna putih-ungu, keluar di ujung
batang atau ketiak daun, tersusun dalam rangkaian berupa tandan.
Buah
bentuknya memanjang sampai jorong dengan panjang sekitar 1,5 cm dan lebar 0,5
cm, pangkal dan ujung tajam, bila masak akan pecah membujur menjadi 4 keping.
Bijinya gepeng kecil, berwarna coklat muda, mudah diperbanyak dengan biji
(Wijayakusumah et al. 1994).
33
Menurut Muhlisah (1998), Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)
memiliki daun berbentuk lanset, tepi daun rata, penampang melintang, dengan
letak saling berhadapan. Cabangnya berbentuk segi empat dan tidak berbulu.
Daun bagian atas cabang berbentuk seperti daun pelindung. Memiliki bunga yang
tegak dan bercabang-cabang. Bunga berbentuk tabung dan berbibir (bibir bunga
atas berwarna putih dengan warna kuning di bagian kepala, sementara bibir bunga
bawah berbentuk baji, berwarna ungu). Buah sambiloto berbentuk jorong dengan
ujung yang tajam. Buah yang matang akan pecah menjadi empat keping. Semua
bagian tanaman ini yang terdapat pada permukaan tanah (herba) bisa
dimanfaatkan. Masyarakat umumnya mengolah sambiloto dengan cara dipotongpotong dan dikeringkan. Budidaya sambiloto dapat dilakukan dengan cara stek.
Tanaman ini ditemukan di dataran rendah dan tinggi, dan di tempat
naungan. Tanaman ini sering ditemukan tumbuh liar di tempat terbuka. Daerah
penyebarannya dari dataran rendah sampai ketinggian 700 m di atas permukaan
laut, tetapi sering ditemukan pula tumbuh di bawah ketinggian 100 m di atas
permukaan laut (Muhlisah 1998).
2.5.3 Kandungan Sambiloto
Daun dan batang tumbuhan ini rasanya sangat pahit karena mengandung
senyawa yang disebut andrographolid yang merupakan senyawa keton terpena.
Kadarnya dalam daun antara 2,5 sampai 4,8 % dari berat kering. Senyawa ini
diduga merupakan salah satu zat aktif dari daun sambiloto yang juga banyak
mengandung unsur-unsur mineral seperti kalium, natrium, dan asam kersik.
Andrographolide ditemukan di limpa, jantung dan otak (Wijayakusumah et al.
1994).
Tanaman ini juga mengandung lakton dan flavonoid.
Lakton yang
diisolasi dari daun dan percabangannya yaitu andrographolid (zat pahit), 14deoxy-andrographolid, neo-andrographolid, 11,12-didehydroandrographolid dan
homoandrographolid. Juga terdapat flavonoid: alkan, keton, dan aldehida selain
mineral seperti kalsium, kalium, natrium, dan asam kersik. Flavonoid diisolasi
terbanyak dari akar yaitu polymethoxyflavone, andrographin, panicolin, mono-omethylwhigtin dan apigenin 7,4 dimethyl eter (Wijayakusumah et al. 1994).
Flavonoid merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh
34
suatu tanaman, yang biasanya ditemui pada bagian daun, akar, kayu, kulit, tepung
sari, bunga dan biji. Kandungan sambiloto yang lain adalah saponin dan tanin
(Syamsuhidayat & Hutapea 1991).
2.5.4 Khasiat Sambiloto
Andrographolid yang terkandung dalam lakton yang diisolasi dari daun
(Wijayakusumah et al. 1991) bekerja sebagai zat anti inflamasi dengan cara
menstimulir
kerja
kelenjar
adrenal
dalam
menghasilkan
hormon
glukokortikosteroid (Wenlong & Nie 1973). Hormon ini mempunyai peranan
penting dalam menghambat proses peradangan (inflamasi), migrasi leukosit,
deposit fibrin dan pembentukan jaringan ikat.
Hormon glukokortikosteroid
menghambat peradangan dengan cara menghambat pembentukan media
peradangan
seperti
prostaglandin
tromboxanes
dan
leukotrienes
yang
mempengaruhi metabolisme asam arachidonat parasit (Cunningham 1994).
Selain
sebagai
anti
inflamasi,
andrographolid
juga
immunostimulan khususnya dalam proses fagositosis.
bertindak
sebagai
Hal tersebut telah
dilakukan percobaan menggunakan sambiloto secara invitro dan invivo yang
dilakukan dengan menggunakan zat aktif andrografolid dan ekstrak sambiloto
dalam media larutan (cair) dengan menggunalkan mencit (mice). Hasil penelitian
itu
menyatakan bahwa andrographolid dan sambiloto, keduanya dapat
menstimulasi kekebalan terhadap antigen, baik yang spesifik maupun nonspesifik
(Mills & Bone 2000). Kekebalan spesifik ditandai dengan adanya peningkatan
jumlah sel-sel limfosit dalam peredaran darah, sedangkan kekebalan nonspesifik
ditandai dengan adanya peningkatan jumlah sel heterofil, eosinofil, basofil dan
makrofag yang akan memfagosit benda asing yang masuk ke tubuh. Menurut
Deng (1978), dehidroandrographolid juga berkhasiat sebagai anti radang dengan
meningkatkan sintesa dan pituitary otak yang mengirimkan sinyal ke kelenjar
adrenal untuk memproduksi kortisol yang merupakan anti radang alami.
Flavonoid merupakan pigmen yang tersebar luas dalam bentuk senyawa
glikogen dan aglikon yang larut dalam air. Salah satu fungsi flavonoid dalam
tanaman adalah sebagai hormon pertumbuhan dan inhibitor enzim dengan
mengkompleks protein.
Flavonoid dapat menghambat perkembangan parasit
35
dengan bertindak sebagai inhibitor enzim.
Mekanisme penghambatan yaitu
dengan cara menghambat produksi enzim dan sintesis asam-asam nukleat atau
protein (Rohimah 1997), melalui mekanisme tersebut pertumbuhan dan
perkembangan parasit kemungkinan dapat ditekan.
Saponin mempunyai dua jenis yaitu: glikosida triterpenoida alkohol dan
glikosida struktur steroid.
Saponin dapat mengurangi rasa sakit, mampu
membunuh kuman dan merangsang pertumbuhan sel-sel baru pada kulit.
Demikian pula dengan tanin, memiliki dua jenis, yaitu: tannin terhidrolisis dan
tannin terkondensasi. Tannin memiliki sifat astringent yang berfungsi sebagai
antidiare (Syamsuhidayat & Hutapea 1991).
Sastrapaja et al. (1978) menyatakan bahwa tanaman sambiloto memiliki
sifat
antipiretik (meredam
demam),
analgesik (penghilang rasa
sakit),
menghilangkan panas dalam, detoksikan (penawar racun), anti radang dan
detumescent ( mengecilkan pembengkakan). Tanaman ini dapat berperan dalam
piknosis (penyusutan inti sel dalam bentuk padat dan terjadi ketika sel mati).
Sambiloto mempunyai sifat bakteriostatik dan meningkatkan daya fagositosis sel
darah putih. Menurut Nuratmi et al. (1996), sambiloto digunakan sebagai anti
piretika, anti inflamasi, anti diuretika, analgesik, obat rematik, menurunkan
kontraksi usus, anti diabetes, menambah nafsu makan dan memperbaiki saluran
pencernaan.
2.5.5 Mekanisme Kerja Zat Aktif Sambiloto
Mekanisme kerja andrographolid dalam tubuh yaitu dapat menimbulkan
efek anti inflamasi dengan menstimulasi Adenocorticotrophic Hormone (ACTH)
pada kelenjar hipofise anterior, selanjutnya ACTH akan merangsang korteks
adrenal untuk membentuk kortisol yang memiliki efek anti inflamasi (Wenlong &
Nie 1973).
Zat andrographolid dari tanaman sambiloto diketahui dapat
meningkatkan sistem kekebalan dengan menghasilkan sel darah putih untuk
menghancurkan bakteri dan benda asing lainnya, serta mengaktifkan sistem limpa
(Wibudi 2006).
36
2.6 Streptozotosin
Streptozotosin mempunyai rumus kimia C8 H15N3O7. Biasanya digunakan
sebagai anti kanker atau anti neoplastik karena sifatnya sebagai alkilating agent,
terutama untuk mengobati kanker pankreas atau islet-cell carcinoma, namun juga
dapat
menyebabkan
rusaknya
sel
penghasil
insulin
(Johnson
2002).
Streptozotosin (STZ, Zanosar) merupakan senyawa hasil sintesis Streptomycetes
achromogenes dan dapat digunakan untuk menginduksi diabetes pada hewan
coba, baik Diabetes Mellitus tergantung insulin (IDDM) atau tidak tergantung
insulin (NIDDM). Selain itu STZ juga berfungsi sebagai antibakteri spectrum
luas, antitumor maupun sebagai bahan karsinogenik (Cooperstein & Watkins
1981). STZ terdiri dari 1-methyl-1-nitrosurea. Menurut Gordon dan Dan (1991),
tikus yang diberi STZ akan mengalami kerusakan pada sel β pankreas yang
menyebabkan perubahan yang nyata dalam metabolisme hepatik fase I dan fase II.
Menurut Szkudelski (2001), efek diabetogenik STZ didapatkan dengan
meningkatkan konsentrasi radikal bebas intraseluler atau dengan menurunkan
kemampuan sel β untuk mempertahankan antioksidan. Dosis yang digunakan
pada tikus untuk menginduksi IDDM secara intravena diantara 40-60 mg/kg BB,
dapat juga diberikan secara intraperitoneal dengan dosis yang sama atau lebih
tinggi, dan kurang efektif jika diberikan di bawah dosis 40 mg/dL. Pemberian
STZ sebanyak 50 mg/kg BB secara intraperitoneal pada tikus dapat meningkatkan
kadar glukosa darah sampai sekitar 15 mM (270 mg/dL) setelah 2 minggu. STZ
adalah donor nitrit oksida (NO) yang ditemukan sebagai penyebab kerusakan sel
pankreas, dengan cara meningkatkan aktivitas guanilil siklase.
STZ dapat
menghambat siklus Krebs, dan akibatnya konsumsi oksigen berkurang. Hal ini
menyebabkan pembatasan produksi ATP dalam mitokondria yang menyebabkan
deplesi nukleotida dalam sel β.
Penggunaan STZ dapat menimbulkan efek samping, diantaranya anorexia,
nausea, vomit, pembengkakan pada kaki dan alopesia (Johnson 2002).
Download