KONFLIK POLITIK DALAM PEMERINTAHAN LOKAL: Studi Kasus Pengunduran Diri Wakil Bupati Jalur Perseorangan di Kabupaten Garut tahun 2011 Muhammad Rizqan Adhima dan Syaiful Bahri Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Abstrak Penelitian ini membahas tentang konflik politik dalam pemerintahan lokal dengan studi kasus pada pengunduran diri Wakil Bupati dari jalur perseorangan di Kabupaten Garut tahun 2011. Dengan metode kualitatif dan penelitian deskriptif, peneliti berupaya menggambarkan dinamika konflik di Kabupaten Garut yang dihadapi pasangan kepala daerah jalur perseorangan dengan partai politik di DPRD dan birokrasi lokal. Hasil analisis menunjukan bahwa jalur perseorangan memperburuk konflik politik yang terjadi. Kepala daerah dari jalur perseorangan ternyata tidak menjamin berjalannya pemerintahan lokal secara stabil dan efektif. Kata kunci: konfik, jalur perseorangan, pemerintahan daerah POLITICAL CONFLICT IN LOCAL GOVERNMENT: Case Study of Vice Regent’s Resignation from Independent Scheme in Garut District Year 2011 Abstract This journal write about political conflict in local government used case study of Vice Regent’s resignation from independence scheme in Garut district year 2011. Used qualitative methodology and descriptive research, reseacher try to describe political conflict dynamic in Garut district whom faced by Regent and Vice Regent from independence scheme head to head with political party in local parliament and local bureaucracy. Analisys resulted that independence scheme tends to make political conflict situation worsen. Regent and Vice Regent from independence scheme was not guaranted to create stable and efective local government. Key words: conflict, independent scheme, local government 1 Konflik politik..., Muhammad Rizqan Adhima, FISIP UI, 2013 2 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Undang-Undang (UU) Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah mengubah sistem pemerintahan terpusat menjadi sistem ter-desentralisasi. Salah satu ciri desentralisasi adalah adanya penyerahan wewenang dari pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah. Keleluasaan kewenangan pemerintah daerah menjadikan pemerintahan daerah sebagai arena pertarungan baru untuk berebut kekuasaan bagi aktor-aktor politik lokal. Secara prosedural, mekanisme perebutan kekuasaan ini diatur dalam pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) untuk memilih pimpinan eksekutif lokal. Dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) pasal 24 ayat 5 disebutkan bahwa “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan”. UU Pemda Pasal 56 menyebutkan bahwa pasangan calon yang dapat mengikuti Pemilukada hanya calon-calon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Barulah pada tahun 2008, hasil dari judicial review atas UU Pemda tahun 2004, muncul kesempatan bagi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dari jalur perseorangan untuk mencalonkan diri dalam Pemilukada. Revisi UU Pemda memberikan peluang bagi pasangan calon perseorangan untuk maju dalam Pemilukada. Kesempatan ini dapat dimanfaatkan oleh calon perseorangan untuk melakukan perubahan-perubahan dalam pemerintahan tanpa mendapatkan intervensi langsung dari kepentingan partai politik. Meskipun jika terpilih, calon perseorangan akan menghadapi situasi berbeda dalam bernegoisasi dengan wakil-wakil partai politik di DPRD karena kepala daerah secara struktural tidak memiliki wakil di DPRD. Hal ini menunjukan bahwa semangat dari kemunculan calon perseorangan –yang cenderung bebas dari kepentingan partai politikjuga memiliki potensi konflik yang rentan. Setelah revisi UU nomor 12 tahun 2008 dilakukan, hanya tujuh pasangan calon kepala daerah dari jalur perseorangan yang berhasil memenangkan Pemilukada di tujuh pemerintahan daerah di Indonesia sejak tahun 2008 hingga 2013.1 Kemenangan pertama pasangan calon perseorangan terjadi di Pemilukada Garut tahun 2008. Dalam Pemilukada Garut, tiga pasangan dari tujuh pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati merupakan calon perseorangan -yang dimenangkan oleh pasangan Aceng Fikri-Diky Chandra dari jalur perseorangan. Kemenangan pasangan perseorangan menjadi tantangan untuk membuktikan bahwa apakah kepala daerah akan lebih mementingkan kepentingan rakyat. Memasuki masa pemerintahan, pasangan Aceng-Diky menghadapi konflik politik dengan dua kekuatan politik di Garut. Pertama pada beberapa kali pembahasan RAPBD (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) dan Perda (Peraturan Daerah) kabupaten Garut, kebijakan kepala daerah jalur perseorangan tidak disetujui oleh partai politik 1 Kemenangan pasangan kepala daerah jalur perseorangan terjadi dalam Pemilukada Kabupaten Garut 2008, Pemilukada Kabupaten Rote Ndou 2008, Pemilukada Kabupaten Batubara 2008 dan 2013, Pemilukada Kabupaten Kubu Raya 2009, Pemilukada Kabupaten Sidoarjo 2010, Pemilukada Kupang 2012, dan Pemilukada Seruyan 2013. Tidak ada pasangan kepala daerah jalur perseorangan yang memenangkan Pemilukada di tahun 2011. Universitas Indonesia Konflik politik..., Muhammad Rizqan Adhima, FISIP UI, 2013 3 di DPRD. Kedua, pejabat birokrasi lebih mendominasi inisiatif pengambilan kebijakan publik daripada kepala daerah itu sendiri. Konflik politik disikapi berbeda oleh Aceng dan Diky. Aceng selaku Bupati lebih mengakomodasi kepentingan partai dan bergabung dengan Partai Golkar sejak Januari 2011. Adapun Diky Chandra memilih untuk mengundurkan diri pada November 2011. Pengunduran diri wakil kepala daerah adalah kejadian baru yang lebih ekstrim daripada kejadian pecah kongsi kepala daerah dan wakil kepala daerah yang biasanya terjadi menjelang Pemilukada berikutnya. 1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mencari penyebab konflik dan aktor-aktor politik lokal yang dihadapi oleh kepala daerah jalur perseorangan yang berujung pada pengunduran diri Diky Chandra sebagai Wakil Bupati Garut di tahun 2011. Faktor latar belakang jalur perseorangan dalam konflik politik lokal menjadi titik fokus dalam penelitian ini. Terdapat dua signifikansi dalam penelitian ini yaitu sebagai sumber awal mengenai konflik politik dalam pemerintahan kepala daerah dan wakil kepala daerah dari jalur perseorangan dan sebagai penjelasan yang lebih dalam bagi masyarakat lokal di Kabupaten Garut untuk memperkuat fungsi pengawasan publik terhadap pemerintahan lokal. 2. Metode Penelitian 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Konflik Politik Definisi konflik menurut Austin Ranney adalah “bentuk pertarungan antar anggota masyarakat untuk meraih tujuan yang berbeda dan memuaskan kepentingan yang berlawanan”.2 Menurut Maswadi Rauf adalah konflik yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan Negara dan pembagian kekuasaan.3 Konflik politik tidak akan terjadi apabila tidak terdapat konsensus sebelumnya yang mengintegrasikan kepentingan aktor-aktor politik di dalamnya. Sumber dari konsensus dan konflik politik adalah kekuasaan. Setiap aktor politik memiliki kepentingan untuk saling berebut kekuasaan. Aktor politik yang memenangkan pertarungan akan memiliki otoritas superordinat terhadap aktor-aktor politik lainnya. Menurut Maswadi Rauf, konflik politik bukanlah konflik personal, melainkan konflik kelompok karena setiap individu yang bertikai merepresentasikan kepentingan dari kelompoknya masing-masing. Untuk mempertegas hal tersebut, Duverger menjelaskan dua penyebab konflik yaitu sebab individu dan sebab kolektif4. Pertama, seseorang yang memiliki bakat berkonflik memiliki kecenderungan untuk berkompetisi secara ketat dan tidak pernah puas dengan pekerjaan orang lain. Kedua, sebab kolektif muncul dari interaksi sosial antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Ancaman akan memperkuat solidaritas kelompok untuk mempertahankan dan membela kelompok masing-masing. 2 Austin Ranney, Governing: An Introducing to Political Science, Engelewood Cliffs: Prentince Hall, 1990, hlm. 27. 3 Maswadi Rauf, Konsensus dan Konflik Politik, Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas, 2001, hlm. 14 4 Ibid., hlm. 48-53. Universitas Indonesia Konflik politik..., Muhammad Rizqan Adhima, FISIP UI, 2013 4 2.1.2 Politik Distributif Teori politik distributif melekatkan tiga kepentingan dari tiga aktor politik dalam pemerintahan lokal yaitu, kepala daerah, partai politik di DPRD, dan birokrasi lokal5. Pertama, kepala daerah memiliki fungsi perencanaan kebijakan publik. Kedua, rencana kebijakan tersebut diproses dengan persetujuan partai politik di DPRD. Ketiga setelah kebijakan disetujui bersama, birokrasi memiliki fungsi untuk mendistribusikan sumber daya untuk menjalankan kebijakan tersebut. Konflik politik terjadi ketika fungsi dari kepala daerah, partai politik di DPRD, dan birokrasi lokal menjadi saling tumpang tindih oleh kepentingan politik satu sama lain. Di Negara-negara berkembang, birokrasi cenderung memiliki kekuatan politik lebih besar dibandingkan dengan kekuatan partai politik. Siegelman melakukan penelitan di 57 Negara yang memperlihatkan bahwa birokrasi menjadi dominan dalam proses politik. Kecenderungan ini disebut Fred W. Riggs sebagai fenomena “the heavy weight of bureaucratic power”.6 Dominasi birokrasi dapat memperlemah peranan kepala daerah jalur perseorangan karena keputusan politik tidak diambil sebagaimana mestinya. Sedangkan bagi partai politik, kemunculan calon perseorangan non-partai dalam Pemilukada di Indonesia mengancam fungsi partai politik dalam mengisi jabatan tertinggi dalam pemerintahan. Philippe Schmitter menekankan fungsi membentuk dan mempertahankan pemerintahan sebagai fungsi krusial dari partai politik karena, “if they (political parties) are incapable of playing a leading role in filling top political offices, they are in deep trouble”.7 2.2 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini membahas tentang konflik politik di pemerintahan lokal dengan studi kasus pada pengunduran diri Wakil Bupati Garut dari jalur perseorangan di tahun 2011. Kepala daerah dari jalur perseorangan menghadapi menghadapi dominasi birokrasi lokal dan penolakan kebijakan oleh DPRD. Lokasi penelitian kualitatif dilakukan di Kabupaten Garut dengan rentang waktu yang diteliti adalah tahun 2008 (sejak Pemilukada Garut) hingga tahun 2011 (pengunduran diri Wakill Bupati). 2.3 Metode dan Teknik Penelitian Pendekatan kualitatif dipilih dalam penelitian ini. Jenis penelitian deskriptif dilakukan untuk mendapat gambaran konflik politik yang terjadi berdasarkan pada tinjauan eksploratif atas penyebab konflik dan kelompok elit yang terlibat didalamnya. 5 Susan C. Stokes et.al., Brokers, Voters, and Clientelism (Connecticut: Yale University, 2012) hlm. 40 Lawrence E. Mayer, Redefining Comparative Politics: Promise Versus Performance (California: Sage Publication, 1989) hlm. 118-120. 7 Ibid., hlm. 78 6 Universitas Indonesia Konflik politik..., Muhammad Rizqan Adhima, FISIP UI, 2013 5 2.4 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dimulai dengan mengumpulkan data pustaka mengenai konflik politik di pemerintahan lokal dan calon perseorangan, kemudian bergerak pada pengumpulan data primer melalui wawancara. 3. Analisis/Interpretasi Data 3.1 Peta Kekuatan Politik di Kabupaten Garut Peta kekuatan politik di Kabupaten Garut akan dibagi kedalam tiga kelompok. Kelompok pertama adalah partai politik. Pemenang Pemilu Legislatif untuk DPRD Garut pada tahun 2004 adalah Partai Golkar (14 dari 45 kursi). Pada masa pemerintahan pasangan kepala daerah Agus-Memo, pemerintahan daerah mendapat dukungan politik dari partai politik di DPRD karena Bupati dan Wakil Bupati berasal dari Partai Golkar dan PDIP (menguasai 20 dari 45 kursi DPRD). Sedangkan pada Pemilu 2009, Partai Demokrat keluar sebagai pemenang Pemilu (10 dari 50 kursi). Kenaikan perolehan suara Partai Demokrat yang signifikan ditambah dengan masuknya dua partai baru, yaitu Partai Hanura dan Partai Gerindra, menyebabkan perolehan suara turun hampir separuhnya bagi ketujuh partai lain. Hanya 12 dari 45 anggota DPRD periode sebelumnya yang terpilih kembali dalam Pemilu 2009. Kecilnya angka keterpilihan kembali merupakan cermin atas kekecewaan pemilih terhadap kinerja anggota DPRD. Pertama, partai politik di DPRD dinilai gagal merepresentasikan kepentingan konstituen dari masing-masing daerah pemilihan. Kedua, Bupati Garut dan anggota DPRD yang menjadi terdakwa kasus korupsi bantuan sosial tahun 20078 turut mempengaruhi pilihan konstituen, khususnya bagi pemilih Partai Golkar. Kelompok kedua adalah birokrasi lokal. Sejak tahun 2004 hingga 2013 terjadi empat kali pergantian Bupati di Kabupaten Garut yaitu, Agus Supriadi (2004-2007), Memo Hermawan (2007-2009), Aceng Fikri (2009-2013), dan Agus Hamdani (2013-2014). Dalam rentang waktu yang sama, terjadi enam kali penggantian Sekda (Sekretaris Daerah) di Pemda Garut yaitu, Rahmat Sudjana (2003-2004), Achmad Muttaqien (2004-2007), plt. Budiman (2007-2008), Wowo Wibowo (2008-2009), plt. Iman Ali Rahman (2009-2010), Hilman Faridz (2010-2011), dan Iman Ali Rahman (2011-sekarang). Kelangkaan posisi jabatan dalam birokrasi Pemda Garut menjadi relevan sebagai sumber konflik di pemerintahan daerah. Bupati memiliki kewenangan penuh untuk menempatkan orang-orang dalam pemerintahan berdasarkan masukan dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD) dan Tim Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat). Seyogyanya pemilihan pejabat dalam birokrasi menggunakan sistem merit tapi 8 Anggota DPRD Garut periode 2004-2009 yang menjadi tersangka kasus korupsi bantuan sosial adalah Wakil Ketua DPRD Dikdik Darmika dari PDIP, Barman Syachyana dan Offie Firmansyah dari Partai Golkar dan Ali Rohman dari PKB. Belasan anggota DPRD lainnya turut diperiksa menjelang persiapan Pemilu Legislatif tahun 2009. Salah satu anggota DPRD dari PDIP mengaku lebih sibuk mengurusi masalah hukum yang kemungkinan juga akan menjerat dirinya dibandingkan mempersiapkan diri untuk Pemilu tahun 2009. Universitas Indonesia Konflik politik..., Muhammad Rizqan Adhima, FISIP UI, 2013 6 seperti dikatakan oleh Dedeh Sadiyah bahwa “jika pebajat akan memasuki jabatan eselon II, maka mau tidak mau merupakan keputusan politis”9. Catatan khusus diberikan kepala setiap kali pergantian jabatan Sekda. Sekda merupakan jabatan tertinggi dalam birokrasi yang dapat mengatur distribusi sumber daya manusia dan anggaran. Posisi Sekda menjadi dominan terhadap kewenangan Bupati dan Wakil Bupati ketika Sekda berhasil menguasai empat badan stategis lainnya dalam Pemda yaitu, Bappeda, DPPKA, BKD, dan Inspektorat. Besarnya kewenangan dan sumber daya yang dikuasai Sekda menjadi posisi ini paling diperebutkan oleh elit dalam Pemda Garut. Kelompok ketiga adalah pasangan kepala daerah jalur perseorangan dengan tim ANDA Center. Aceng Fikri merupakan putra daerah yang lahir di Garut pada tanggal 6 September 1972. Pendidikan terakhir adalah Sarjana Agama Islam dari IAIM AlMusadadiyyah, Garut. Sejak masa kuliah, Aceng aktif di organisasi Forum Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Pemuda Anshor cabang Garut, dan Sekretaris DPC PKB Garut sejak tahun 2002 hingga 2006. Ketika PKB pecah di tahun 2006, Aceng Fikri ikut tersingkir dari jabatan struktural dalam partai lalu memutuskan untuk beraktifitas dalam organisasi masyarakat sipil yaitu, Himpunan Petani Garut (HPG) dan Masyarakat Pecinta Garut (Mapega). Aceng diusung oleh FPPI Garut untuk menjadi calon Bupati karena merupakan senior dan memiliki modal kampanye 100 juta rupiah dari menjual tanah. Para anggota FPPI ini kemudian membentuk tim pemenangan Aceng Fikri (ANDA Center) dengan tugas pertama untuk mencari pasangan calon Wakil Bupati. Tim ANDA Center mencari pasangan wakil dari kalangan selebritis karena mereka menyadari bahwa Aceng Fikri tidak dikenal luas oleh masyarakat Garut10. Adapun Diky Chandra menerima ajakan Aceng Fikri karena percaya pada sosok Aceng sebagai ustadz muda melalui kendaraan jalur perseorangan. Diky Chandra lahir di Tasikmalaya (kota perbatasan Garut disebelah timur) pada tanggal 12 Mei 1974. Pendidikan terakhir adalah SMA 2 Tasikmalaya11. Setelah menjadi cover boy majalah Mode tahun 1993, Diky Chandra mulai dikenal oleh masyarakat sebagai aktor, presenter dan komedian. Ia tidak memiliki latar belakang aktifitas politik. Melihat latar belakang tersebut, Aceng Fikri dan Diky Chandra memiliki kapasitas kepemimpinan yang cenderung lemah sebagai Bupati dan Wakil Bupati Garut. 9 Wawancara dengan Dedeh Sadiyah pada 14 September 2012. Wawancara dengan Fery Ferdiansyah pada 10 September 2012 11 Sebagai perbandingan, 21 dari 50 anggota DPRD Garut periode 2009-2014 juga berpendidikan terakhir setara dengan Sekolah Menengah Atas. Sebanyak 23 anggota DPRD berpendidikan Sarjana dan 6 orang berpendidikan Paska Sarjana. Adapun dari 40 pejabat eselon II dalam birokrasi Pemda Garut yang dipimpin oleh Aceng dan Diky, 5 orang berpendidikan Sarjana dan 35 orang berpendidikan Pasca Sarjana dengan pengalaman kerja lebih dari 20 tahun. 10 Universitas Indonesia Konflik politik..., Muhammad Rizqan Adhima, FISIP UI, 2013 7 3.2 Dinamika Politik dalam Pemilukada Garut 2008 Pada Pemilukada Garut tahun 2008, empat dari tujuh calon Bupati dan Wakil Bupati pada putaran pertama merupakan wakil dari partai politik. Pada putaran pertama, jumlah perolehan suara bagi empat calon wakil partai putaran pertama adalah 591.271 suara (58,74% dari total suara). Sedangkan jumlah perolehan tiga pasangan calon perseorangan mencapai 415.393 suara (41,26% dari total suara). Hal ini menunjukkan bahwa dukungan rakyat bagi calon-calon perseorangan dalam Pemilukada Garut cukup besar. Tiga dari empat calon wakil partai gagal dalam putaran pertama, hanya pasangan Rudi-Oim dari Partai Golkar dan PDIP yang melaju ke putaran kedua. Untuk tetap dapat merepresentasikan kepentingannya dalam pemerintahan, partai politik harus bergabung dengan dua pasangan yang melaju pada putaran kedua. Pilihannya adalah bergabung dengan Partai Golkar dan PDIP mendukungan pasangan Rudi-Oim, atau mendukung pasangan Aceng-Diky dari jalur perseorangan. Seyogyanya, tiga pasangan dari partai politik yang gugur diputaran pertama akan mendukung Rudi-Oim, partai biasa melakukan komitmen untuk menggabungkan suara (berkoalisi) untuk memenangkan Pemilukada. Sedangkan bagi calon perseorangan, dukungan dari partai politik akan bertolak belakang dengan ide jalur perseorangan sebagai calon kepala daerah yang cenderung bebas dari kepentingan partai. Namun sejak Pemilukada Garut 2008, pencalonan kepala daerah jalur perseorangan telah menemukan anomalinya. Pertama, Aceng Fikri menggunakan jalur perseorangan semata karena tidak ada partai politik yang dapat dijadikan kendaraan dalam Pemilukada. Kedua, calon perseorangan turut terjebak politik uang sejak Aceng turut mengakomodasi dukungan finansial dari partai politik dan birokrasi kepada konstituen untuk memenangkan Pemilukada. 3.3 Konflik Kepala Daerah Jalur Perseorangan di Kabupaten Garut 3.3.1 Konflik Personal Aceng Fikri dan Diky Chandra Aceng dan Diky menghadapi konflik personal yang diakui Diky cukup berpengaruh terhadap keputusannya mengundurkan diri. Pada tanggal 3 September 2010, Aceng dan Diky menandatangani surat kesepakatan pembagian wilayah binaan untuk membagi dua kewenangan antara Bupati dan Wakil Bupati atas SKPD dan kecamatan secara terpisah. Aceng berwenang atas 25 intitusi dalam SKPD, 3 staf ahli dan 23 kecamatan, sedangkan Diky berwenang atas 16 institusi dalam SKPD, 2 staf ahli dan 19 kecamatan. Kesepakatan ini dilakukan karena Aceng dan Diky tidak sepaham dalam menentukan kebijakan sehingga memutuskan untuk membagi kewenangan dan berjalan sendiri-sendiri. Legitimasi ketokohan yang muncul dari popularitas Diky memunculkan kesan bahwa Aceng tidak akan terpilih jika tidak didampingi Diky. Hal ini mendukung daya tawar bagi Diky Chandra untuk menuntut kewenangan yang lebih besar. Salinan kesepakatan pembagian kewenangan antara Aceng dan Diky ditemukan oleh organisasi kemasyarakatan Garut Government Watch (GGW). Salinan kesepakatan kemudian dilaporkan kepada DPRD dan dipublikasikan ke masyarakat sehingga kesepakatan di atas Universitas Indonesia Konflik politik..., Muhammad Rizqan Adhima, FISIP UI, 2013 8 batal dilaksanakan. Pembatalan kesepakatan turut membatalkan konsensus yang hendak dibangun untuk menyelesaikan konflik personal antara Aceng dan Diky. 3.3.2 Konflik Politik Menghadapi Wakil Partai Tantangan bagi kepala daerah jalur perseorangan adalah menemukan cara untuk bekerjasama dengan wakil partai di DPRD. Sebagai kepala daerah dari jalur perseorangan, secara struktural Aceng dan Diky bukan merupakan kader dari partai manapun. Meskipun Aceng turut mengakomodasi dukungan finansial dari partai politik ketika Pemilukada. Di sisi lain, Aceng dan Diky diharapkan oleh konstituen agar mengutamakan kepentingan rakyat dibandingkan dengan kepentingan partai politik jika terjadi konflik. Sejak pelantikan Aceng-Diky sebagai Bupati dan Wakil Bupati Garut, tercatat lima kejadian tarik ulur kepentingan antara kepala daerah jalur perseorangan dengan partai politik. Pertama, pada tanggal 19 Maret 2009, Aceng dan Diky melakukan musyawarah rencana pembangunan (musrenbang) untuk menyusun RPJMD Kabupaten Garut tahun 2009-2014. RPJMD Garut yang diajukan Aceng Fikri disetujui DPRD. Pada kejadian ini, konsentrasi wakil partai politik tengah disibukkan pemenangan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden sehingga proses perumusan RPJMD tidak menjadi prioritas mereka. Selain itu, RPJMD yang mereka setujui belum tentu menguntungkan anggota partai politik secara personal jika mereka tidak terpilih lagi pada periode selanjutnya. Kedua, 50 anggota DPRD periode 2009-2014 dari lima daerah pemilihan dan 10 partai politik dilantik pada tanggal 1 Oktober 2009. Anggota DPRD periode 2009-2014 dilantik delapan bulan setelah pelantikan Aceng-Diky. Secara kekuatan politik, partai politik di DPRD Kabupaten Garut bukanlah entitas tunggal yang solid dalam menghadapi Bupati dan Wakil Bupati. Secara umum kapasitas anggota DPRD yang baru terbentuk, dinilai lemah untuk memenuhi fungsi kebijakan publik, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan jika dilihat dari latar belakang pendidikan, pengalaman berpolitik, dan kapasitas kepemimpinan mereka. Ketiga. Pada tanggal 3 November, Aceng Fikri sebagai Bupati dari jalur perseorangan mengajukan lima Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) kepada anggota DPRD. Dua dari lima Raperda yang diajukan Aceng diterima oleh DPRD, sedangkan ketiga Raperda ditolak. Aceng dan Diky belum memahami bahwa “partai politik di DPRD akan menyetujui kebijakan publik dan anggaran yang pembagian keuntungannya sudah jelas dibicarakan”12. Keuntungan ini mencakup relasi anggota DPRD yang memenangkan tender proyek pemerintah, persentase anggaran yang secara langsung didapatkan partai politik, serta kewenangan lebih besar untuk mengatur dan menguasai proyek-proyek pemerintah yang lahir dari kebijakan tersebut. Dalam Raperda pembangunan RSUD Pameungpeuk misalnya, Aceng dan Diky gagal memberikan tawaran transaksional yang secara langsung menguntungkan partai politik, meskipun keberadaan rumah sakit sangat diperlukan bagi masyarakat. 12 Wawancara dengan Agus Sugandi pada 11 September 2012. Universitas Indonesia Konflik politik..., Muhammad Rizqan Adhima, FISIP UI, 2013 9 Keempat pada tanggal 2 September 2010, Aceng Fikri mengajukan lima poin perubahan APBD 2010. Inisiatif perubahan anggaran ini muncul dari Aceng Fikri, tanpa mendengarkan masukan dari Diky Chandra. Tidak adanya dukungan institusi dari partai politik di DPRD bagi kepala daerah jalur perseorangan mempersulit daya tawar Aceng Fikri. Untuk dapat bekerjasama dengan anggota DPRD, Aceng memahami bahwa setiap kebijakan publik yang diusulkan harus menguntungkan partai politik secara langsung, meskipun korup dan tidak efisien. Aceng dan Diky sebagai pasangan kepala daerah jalur perseorangan mengambil sikap berbeda dalam menghadapi partai politik. Aceng cenderung abai terhadap ketidaksetujuan Diky yang tidak pula membantu mempermudah relasi kepala daerah dengan DPRD. Kelima, untuk memastikan dukungan dari partai politik terhadap kepemimpinan Aceng Fikri secara konsisten, Aceng Fikri memutuskan untuk bergabung sebagai kader Partai Golkar pada tanggal 17 Januari 2011. Kepemimpinan dalam pemerintahan daerah di Kabupaten Garut menjadi unik karena Bupati merupakan kader partai politik sedangkan Wakil Bupati adalah non-partisan, meski keduanya merupakan satu pasangan dari jalur perseorangan ketika dipilih oleh rakyat. Kepindahan status Aceng Fikri dari kepala daerah jalur perseorangan menjadi partisan di tengah masa pemerintahan belum diatur oleh undangundang sehingga tidak bisa digugat, meski secara etika merusak idealisme calon perseorangan dalam pemerintahan daerah. Diky Chandra mengaku kecewa dengan keputusan Aceng. 3.3.3 Konflik Menghadapi Birokrasi Lokal Selain menghadapi partai politik, pasangan kepala daerah pun mengalami konflik politik dengan birokrasi lokal. Pada tanggal 24 Desember 2008, satu bulan sebelum Aceng dan Diky dilantik, Memo Hermawan selaku Bupati pertahana melakukan rotasi jabatan dengan mengganti posisi 34 pejabat eselon II sebelum masa pemerintahannya berakhir. Rotasi jabatan pada bulan Desember 2008 merupakan kesepakatan pertama akibat dukungan Memo Hermawan (Bupati pertahana dari PDIP) kepada Aceng Fikri pada masa kampanye. “(Dalam kesepakatan ini), Kang Aceng tidak boleh melakukan rotasi jabatan di tahun pertama, itu kesepakatannya”13. Penggantian jabatan struktural, terlebih untuk posisi eselon II, lebih banyak merupakan keputusan politis transaksional. Untuk mendapatkan jabatan, seorang pegawai harus benar-benar bersih dan berprestasi; atau dapat dengan cepat melakukan transaksi jual beli jabatan. “Harga untuk mendapatkan jabatan eselon II berkisar antara tiga puluh juta hingga dua ratus juta rupiah yang nantinya akan dibagikan untuk tim Baperjakat dan Bupati”14. Cara ketiga yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pendekatan emosional (nepotisme) kepada tim Baperjakat, Bupati, atau Wakil Bupati. Diky Chandra sebagai Wakil Bupati diakui narasumber pernah mengusulkan pejabat karena kedekatan personal tapi diakui tidak pernah melakukan transaksi dengan menjual jabatan dengan uang. 13 Wawancara dengan narasumber anomin pada 14 September 2012 Wawancara dengan narasumber anomin pada 14 September 2012 14 Universitas Indonesia Konflik politik..., Muhammad Rizqan Adhima, FISIP UI, 2013 10 Kebijakan Aceng secara mutlak dalam menentukan posisi jabatan tanpa memperhatikan sistem merit terus berlanjut. Pada rotasi jabatan tanggal 18 Maret 2011, “Untuk menguasai pemerintahan, Sekda menempatkan orang-orangnya di Bappeda, DPPKA, BKD, dan Inspektorat. Nantinya akan mempermudah kerja (dominasi kewenangan birokrasi) Beperjakat dan TAPD”15. Baperjakat bertugas untuk memberikan masukan kepada Bupati untuk menentukan posisi jabatan dalam birokrasi, sedangkan TAPD bertugas memberikan masukan kepada Bupati untuk menentukan rencana pembangunan dan anggaran setiap tahunnya. Dominasi Sekda muncul karena dua hal yaitu, Aceng dan Diky kurang memiliki kapasitas kepemimpinan sehingga kurang paham bagaimana pemerintahan daerah harus dijalankan; dan Aceng dan Diky cenderung menyerahkan kewenangan pada Sekda karena dukungan politik mereka tergantung dari birokrasi. Dalam konteks kekuasaan, posisi Sekda menjadi sangat strategis dengan kewenangan besar yang dimilikinya sekaligus menjadi jabatan yang paling diperebutkan oleh para birokrasi-politisi. 3.4 Dilema Kharisma Ketokohan dan Popularitas Calon Perseorangan Pasangan calon perseorangan dalam Pemilukada sangat mengandalkan kharisma ketokohan untuk dapat dipilih oleh konstituen. Dalam kasus keterpilihan Aceng dan Diky, paket pemimpin kaum muda yang dinilai bersih (karena melaju dari jalur perseorangan) yang populer mendukung ketokohan pasangan ini. Namun kharisma ketokohan dan popularitas saja tidak cukup untuk memenangkan Pemilukada. Calon perseorangan harus memiliki dana kampanye yang cukup serta basis dukungan yang luas. Faktor dana kampanye dan tim pemenangan ini yang luput dari pengawasan publik ketika proses Pemilukada Garut berlangsung. Terdapat dua hal yang mendorong partai politik dan birokrasi-politisi untuk memenangkan Aceng dan Diky. Pertama, Diky Chandra adalah sosok paling populer, mereka melihat bahwa popularitas menentukan tingkat ketepilihan terlebih bagi masyarakat kelas bawah pedesaan. Kedua, Rudi Gunawan adalah pengacara dari mantan Bupati Agus Supriadi yang dikhawatirkan akan melakukan reformasi birokrasi yang akan mengganggu sistem lama. Faktor dukungan jaringan memiliki dua sisi dalam pemenangan Aceng-Diky. Pertama, masyarakat yang kecewa terhadap pemerintahan Agus Supriadi, menaruh harapan besar kepada pasangan Aceng – Diky. Harapan ini mendorong masyarakat, khususnya jaringan petani dan pemuda (HPG dan FPPI yang merupakan basis pendukung Aceng Fikri), untuk mendukung Aceng – Diky secara sukarela. Kedua, partai politik yang mendukung pasangan Aceng-Diky, meski tidak terlihat oleh publik, turut menggerakkan mesin partai dan jaringan mereka untuk memenangkan pasangan calon perseorangan ini. Transparansi dana kampanye dan tim pendukung calon perseorangan menjadi sangat penting untuk diketahui publik sebagai pencerdasan politik bahwa calon perseorangan memungkinkan meminta dan menerima dukungan dari partai politik dalam Pemilukada. 15 Wawancara dengan narasumber anomin pada 14 September 2012 Universitas Indonesia Konflik politik..., Muhammad Rizqan Adhima, FISIP UI, 2013 11 Konflik personal antara Aceng dan Diky muncul ketika keduanya tidak sepaham dalam merencanakan kebijakan publik. Diky Chandra, yang berperan besar sebagai vote getter selama Pemilukada, merasa bahwa kewenangannya sebagai Wakil Bupati tidak cukup mengakomodasi inisiatif-inisiatif perencanaan pembangunan yang muncul dari dirinya. Anomali kepala daerah jalur perseorangan muncul ketika Aceng memilih untuk masuk sebagai kader partai, sedangkan Diky Chandra memilih menghindari konflik dengan cara mengundurkan diri. Konflik personal antara pasangan kepala daerah jalur perseorangan akan timbul jika salah satunya memutuskan untuk pindah menjadi kader partai politik di tengah masa pemerintahan. Untuk menghindari hal tersebut, perlu dibuat kebijakan yang melarang kepala daerah jalur perseorangan untuk berpindah menjadi kader partai ditengah masa pemerintahan karena legitimasi mereka muncul dari ide jalur perseorangan yang mereka tawarkan bagi konstituen. 3.5 Dilema Relasi Kepala Daerah Jalur Perseorangan Menghadapi Partai Politik Kepala daerah dituntut untuk dapat bekerjasama dengan DPRD dalam mewujudkan pemerintahan yang efektif karena perencanaan yang diusulkan kepala daerah harus mendapatkan persetujuan dari DPRD. Dalam kasus di Kabupaten Garut, meski partai politik turut memberikan dukungan finansial bagi Aceng – Diky pada masa kampanye tapi hal tersebut tidak lantas memperkuat relasi antara kepala daerah jalur perseorangan dengan wakil partai politik di DRPD. Pertama, banyak anggota DPRD periode sebelumnya yang berspekulasi untuk memenangkan Aceng-Diky, tidak terpilih kembali dalam Pemilu 2009. Kedua, relasi yang muncul dari tarik ulur kepentingan antara kepala daerah jalur perseorangan dengan DPRD dapat diukur dengan seberapa besar partai politik akan mendapatkan keuntungan dari kebijakan yang diusulkan kepala daerah. Relasi yang dibangun berdasarkan cara-cara politik transaksional menjadi sangat rentan bagi kepala daerah jalur perseorangan, karena ketika kebijakan yang diperjuangkan tidak menguntungkan kepentingan partai maka partai akan dengan mudah menolak kebijakan tersebut. Kepala daerah jalur perseorangan harus berusaha lebih keras untuk mempersuasi partai politik di DPRD agar mendukung kebijakan yang Ia usung. Ketika kepala daerah jalur perseorangan hendak memperjuangkan kepentingan publik, dukungan politik dari publik dapat dimanfaatkan untuk mempermudah kerjasama karena partai politik pada akhirnya membutuhkan simpati dan dukungan publik. Kebijakan untuk meningkatkan partisipasi publik adalah cara yang dapat dilakukan kepala daerah jalur perseorangan untuk memastikan bahwa dukungan politik selalu hadir secara konsisten. Sayangnya pada kasus di Kabupaten Garut, Aceng dan Diky gagal memanfaatkan partisipasi publik untuk memperkuat kekuatan politik mereka16. 16 Lihat skripsi Even Appilyadi, Hubungan Kepala Daerah Jalur Perseorangan dan Basis Konstituennya Pasca Pemilukada: Studi Kasus Hubungan Bupati Garut dengan Lembaga Pedagang Kaki Lima Garut dan Himpunan Petani Garut Pada 2009-2011(Depok: FISIP UI, 2012) yang menyimpulkan bahwa Aceng Fikri gagal melakukan representasi politik terhadap basis konstituennya paska Pemilukada. Universitas Indonesia Konflik politik..., Muhammad Rizqan Adhima, FISIP UI, 2013 12 3.6 Kepala Daerah Jalur Perseorangan Memperkuat Dominasi Birokrasi Sehubungan dengan membangun kekuatan politik dalam pemerintahan, kepala daerah jalur perseorangan cenderung mengandalkan dukungan politik dari birokrasi untuk menjalankan pemerintahannya. Dalam kasus di Kabupaten Garut, Aceng dan Diky sebagai calon kepala daerah jalur perseorangan menerima dukungan finansial dari birokrasi-politisi pada masa kampanye –sumber konflik yang jamak terjadi di pemerintahan daerah. Ketika terpilih, selain harus membayar jasa pada birokrasi-politisi, Aceng dan Diky bergantung pada dukungan politik yang hanya tersedia dari birokrasi karena kelompok ini yang dapat diandalkan menjadi pendukung politik kepala daerah. Ketergantungan Aceng – Diky terhadap birokrasi disebabkan oleh dua hal. Pertama, Aceng dan Diky gagal membangun dukungan politik dari publik dan kesulitan dalam bekerjasama dengan partai politik di DPRD. Sebab kedua adalah kecakapan Aceng dan Diky sebagai pemimpin ada dibawah kecakapan pejabat-pejabat birokrasi. Dalam politik distribusi, birokrasi memegang peranan penting dalam mendistribusikan sumber daya untuk menjalankan kebijakan yang terlah direncanakan dan disetujui oleh kepala daerah dan DPRD. Namun ketika Aceng dan Diky sepenuhnya mengandalkan birokrasi untuk menentukan kebijakan publik (karena sebab kurangnya kecakapan kepemimpinan dan kurangnya dukungan politik), maka dominasi birokrasi dalam pemerintahan akan mempersulit kepala daerah jalur perseorangan untuk mewujudkan perubahan-perubahan dalam pemerintahan lokal yang ditentang oleh elit birokrasi. Akibatnya, kepala daerah memiliki kekuatan politik dibawah elit birokrasi. Pada akhirnya, dominasi birokrasi akan melanggengkan sistem lama yang cenderung korup dan tidak efisien. Ketika kepala daerah jalur perseorangan dititipi harapan untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang lebih efektif oleh konstituen, dominasi birokrasi mempersulit perwujudan harapan tersebut. Kesimpulan Tahun 2008 Mahkamah Konstitusi mewujudkan kebijakan yang mengijinkan calon perseorangan untuk dipilih dalam Pemilukada. Kekhawatiran dari munculnya pasangan kepala daerah jalur perseorangan adalah potensi konflik politik yang akan dihadapi oleh mereka. Tanpa dukungan partai politik, kepala daerah akan kesulitan ketika bekerjasama dengan DPRD. Terpilihnya Aceng dan Diky sebagai Bupati dan Wakil Bupati dari jalur perseorangan dalam Pemilukada tahun 2008 meningkatkan harapan masyarakat akan pemimpin yang dapat merepresentasikan kepentingan rakyat dan mewujudkan pemerintahan daerah yang efektif. Pada perkembangannya, visi ideal ini berbenturan dengan kondisi lemahnya dukungan partai politik dan dominasi birokrasi di pemerintahan daerah. Pada kasus konflik politik di Kabupaten Garut, Aceng dan Diky menghadapi konflik dengan kelompok partai politik dan elit birokrasi lokal. Kepala daerah jalur perseorangan dianggap dapat mengancam kepentingan partai polilik dan sistem birokrasi lama sehingga beberapa kebijakan pasangan kepala daerah tidak disetujui oleh DPRD jika tidak menguntungkan partai politik secara transaksional. Dalam politik distributif, kasus di Universitas Indonesia Konflik politik..., Muhammad Rizqan Adhima, FISIP UI, 2013 13 Kabupaten Garut juga membuktikan teori bahwa terjadi dominasi elit birokrasi terhadap kewenangan kepala daerah. Sekda yang memiliki kewenangan untuk mengatur sumber daya dan anggaran, mendominasi kebijakan kepala daerah sehingga inisiatif perubahan dari kepala daerah jalur perseorangan tidak dapat dilaksanakan. Status jalur perseorangan pun memperburuk konflik yang terjadi sejak pasangan Aceng dan Diky memiliki dukungan politik yang lemah dalam pemerintahan. Aceng dan Diky meski merupakan kepala daerah jalur perseorangan yang dipilih langsung oleh rakyat terbukti gagal dalam mewujudkan pemerintahan yang efektif. Latar belakang jalur perseorangan hanya dijadikan kendaraan untuk memenangkan Pemilukada. Setelah menjabat, tanpa pengawasan publik, kepala daerah jalur perseorangan dapat merepresentasikan kepentingan siapapun dan apapun yang mereka inginkan. Jalur perseorangan tidak pula menjamin bahwa kepala daerah tersebut bebas dari kepentingan partai politik dan birokrat-politisi karena calon perseorangan juga dapat menerima dukungan mereka pada Pemilukada. Tantangan bagi kepala daerah jalur perseorangan adalah memastikan dukungan politik yang cukup kuat untuk dapat mengimbangi kekuatan partai politik di DPRD dan mengurangi kecenderungan dominasi birokrasi dalam pemerintahan daerah. Hanya jika kepala daerah jalur perseorangan dapat bekerjasama dengan partai politik dan birokrasi dengan baik tanpa mengabaikan kepentingan rakyat, maka harapan untuk memperbaiki pemerintahan daerah masih dapat terwujud. Pada akhirnya, usaha untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan bagi masyarakat lokal tidak dapat digantungkan sepenuhnya kepada kepala daerah jalur perseorangan. Jalur perseorangan dan partai politik hanya merupakan kendaraan untuk memenangkan Pemilukada secara prosedural. Adapun untuk mencapai tujuan substantif demokrasi di tingkat lokal diperlukan pendidikan politik, inisiatif tranparansi pemerintahan daerah, dan partisipasi masyarakat dalam setiap proses pengambilan kebijakan publik secara nyata. Daftar Acuan Buku: Adrian, Charles F. 1988. Political Change in The Third World. Boston: Unwin Hyman. Binder, Leonard. 1971. Crises and Sequence in Political Development. Princeton: Princeton University Press. Creswell, John. 2003. Research Design: Qualitiative, Quantitative, and Mixed Method Approaches. California: Sage Publication. Collins, Randall. 1975. Conflict Sociology Toward an Explanatory Science. New York: Academic Press. Dalton, Russell dan Wattenberg, Martin. 2000. Parties Without Partisans: Political Change in Advance Industrial Democracies. Oxford: Oxford University Press. Diamond, Larry dan Gunther, Richard (ed.). 2001. Political Parties and Democracy. Maryland: The Johns Hopkins University Press. Faulks, Keith. 1999. Political Sociology: a Critical Introduction. Edinburgh: Edinburgh University Press. Hadiz, Vedi R. 2010. Localising Power in Post Authoritarian Indonesia: Southeast Asia Perspective. California: Stanford University Press. Universitas Indonesia Konflik politik..., Muhammad Rizqan Adhima, FISIP UI, 2013 14 Kamrava, Mehran. 2000. Politics A Society in Developing World. London: Routledge. Mashad, Dhuroruddin et.al. 2002. Konflik Antarelit Politik Lokal dalam Pemilihan Kepala Daerah: Kasus Maluku Utara, Jawa Timur dan Kalimantan Tengah. Jakarta: P2P LIPI Mayer, Lawrence E. 1989. Redefining Comparative Politics: Promise Versus Performance. California: Sage Publication. Nurhasim, Moch. (ed.). 2009. Konflik Dalam Pilkada Langsung (2005-2008) (Studi Tentang Penyebab dan Dampak Konflik). Jakarta: LIPI Press. Ranney, Austin. 1990. Governing: An Introducing to Political Science. Engelewood Cliffs: Prentince Hall. Rauf, Maswadi. 2001. Konsensus dan Konflik Politik. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas. Rozi, Safuan et.al. 2006. Netralitas Birokrasi dalam Pilkada Langsung di Indonesia 2005 (Studi kasus Malang, Gowa dan Kutai Kartanegara). Jakarta: LIPI Press. Stokes, Susan C. et.al. 2012. Brokers, Voters, and Clientelism. Connecticut: Yale University. Subakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo. Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Surat Kabar: Arsip Guntingan Berita “Mundurnya Wakil Bupati Garut Rd. Diky Chandra”. Dokumen bersumber dari Bagian Informatika SETDA Kabupaten Garut, Maret 2012. Che. Wakil Bupati Garut Diky Chandra Ajukan Pengunduran Diri. Berita dimuat dalam Surat Kabar Kompas edisi Rabu, 7 September 2011. Habibi, Fikri. Cermin Lemahnya Jalur Independen. Berita dimuat dalam Surat Kabar Radar Tasikmalaya edisi Rabu, 14 September 2011 Herty. Bupati dan Wakil Bupati Garut Diminta Mundur. Berita dimuat dalam Surat Kabar Progresif edisi Jumat, 9 September 2011. Kurniawan, Atep Abdillah. Diky Resmi Lepas Jabatan Wakil Bupati. Berita dimuat dalam Surat Kabar Seputar Indonesia edisi Selasa, 6 Desember 2011. Subakat. Dibalik Mundurnya Dicky. Berita dimuat dalam Surat Kabar Sarana Rakyat edisi Senin, 10 Oktober 2011. Zam. Kecewa Terhadap Aceng. Berita dimuat dalam surat kabar Tribun edisi Rabu, 7 September 2011. Jurnal: Abbas, Rusdi J. “Konflik Elit Lokal dalam Pemilihan Kepala Daerah Maluku Utara”. Jurnal Studi Pemerintahan Volume 2 Nomor 2 (Agustus, 2011). Siegelman, Lee “Do Modern Bureaucracies Dominate Underdeveloped Polities? A Test of Imbalance Thesis”. The American Politics Science Review Vol.66 No.2 (Juni, 1972) Karya Ilmiah: Azriansyah. Calon Perseorangan dan Kecenderungan Penguatan Kedudukan Politik Birokrasi: Sebuah Kajian Teoritik. SKRIPSI tidak diterbitkan. 2008. Program Studi Ilmu Politik FISIP UI. Depok. Even Appilyadi. Hubungan Kepala Daerah Jalur Perseorangan dan Basis Konstituennya Pasca Pemilukada: Studi Kasus Hubungan Bupati Garut dengan Lembaga Pedagang Kaki Lima Garut dan Himpunan Petani Garut Pada 2009-2011. SKRIPSI tidak diterbitkan. 2012. Program Studi Ilmu Politik FISIP UI. Depok. Universitas Indonesia Konflik politik..., Muhammad Rizqan Adhima, FISIP UI, 2013 15 Wawancara: Agus Sugandi, S.H., ketua Garut Government Watch tahun 2002-2011. Wawancara Tatap Muka, Selasa 11 September 2012. Asep Maher, S.Ag., anggota Tim Sukses ANDA Center (Aceng Fikri – Diky Chandra). Wawancara Tatap Muka, Kamis 13 September 2012. Diky Chandra, mantan Wakil Bupati Garut. Wawancara Tatap Muka. Minggu 27 Januari 2013. Dedeh Sadiyah, S.Sos., pensiunan PNS Garut dan mantan Sekretaris DPRD Kabupaten Garut tahun 2007. Wawancara Tatap Muka. Jum’at 14 September 2012. Fery Ferdiansyah, S.Ip., anggota Tim Sukses ANDA Center (Aceng Fikri – Diky Chandra). Wawancara Tatap Muka, Senin 3 September 2012; dan Senin 10 September 2012. Suryana, S.Ag., ketua Tim Sukses ANDA Center (Aceng Fikri – Diky Chandra). Wawancara Tatap Muka, Selasa 11 September 2012. Ir. Sutarman., Koordinator Forum Studi PNS Garut dan Kepala Dinas Kehutanan Pemda Garut. Wawancara Tatap Muka, Kamis 13 September 2012. Universitas Indonesia Konflik politik..., Muhammad Rizqan Adhima, FISIP UI, 2013