KONFLIK POLITIK DALAM PEMERINTAHAN LOKAL: Studi Kasus

advertisement
KONFLIK POLITIK DALAM PEMERINTAHAN LOKAL:
Studi Kasus Pengunduran Diri Wakil Bupati Jalur Perseorangan di
Kabupaten Garut tahun 2011
Muhammad Rizqan Adhima dan Syaiful Bahri
Departemen Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
Abstrak
Penelitian ini membahas tentang konflik politik dalam pemerintahan lokal dengan studi kasus
pada pengunduran diri Wakil Bupati dari jalur perseorangan di Kabupaten Garut tahun 2011.
Dengan metode kualitatif dan penelitian deskriptif, peneliti berupaya menggambarkan
dinamika konflik di Kabupaten Garut yang dihadapi pasangan kepala daerah jalur
perseorangan dengan partai politik di DPRD dan birokrasi lokal. Hasil analisis menunjukan
bahwa jalur perseorangan memperburuk konflik politik yang terjadi. Kepala daerah dari jalur
perseorangan ternyata tidak menjamin berjalannya pemerintahan lokal secara stabil dan
efektif.
Kata kunci: konfik, jalur perseorangan, pemerintahan daerah
POLITICAL CONFLICT IN LOCAL GOVERNMENT: Case Study of Vice Regent’s
Resignation from Independent Scheme in Garut District Year 2011
Abstract
This journal write about political conflict in local government used case study of Vice
Regent’s resignation from independence scheme in Garut district year 2011. Used qualitative
methodology and descriptive research, reseacher try to describe political conflict dynamic in
Garut district whom faced by Regent and Vice Regent from independence scheme head to
head with political party in local parliament and local bureaucracy. Analisys resulted that
independence scheme tends to make political conflict situation worsen. Regent and Vice
Regent from independence scheme was not guaranted to create stable and efective local
government.
Key words: conflict, independent scheme, local government
1 Konflik politik..., Muhammad Rizqan Adhima, FISIP UI, 2013
2 1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Undang-Undang (UU) Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah mengubah
sistem pemerintahan terpusat menjadi sistem ter-desentralisasi. Salah satu ciri desentralisasi
adalah adanya penyerahan wewenang dari pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah.
Keleluasaan kewenangan pemerintah daerah menjadikan pemerintahan daerah sebagai arena
pertarungan baru untuk berebut kekuasaan bagi aktor-aktor politik lokal.
Secara prosedural, mekanisme perebutan kekuasaan ini diatur dalam pelaksanaan
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) untuk memilih pimpinan eksekutif lokal.
Dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) pasal 24 ayat 5
disebutkan bahwa “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan”. UU Pemda Pasal 56 menyebutkan bahwa
pasangan calon yang dapat mengikuti Pemilukada hanya calon-calon yang diajukan oleh
partai politik atau gabungan partai politik. Barulah pada tahun 2008, hasil dari judicial review
atas UU Pemda tahun 2004, muncul kesempatan bagi calon kepala daerah dan wakil kepala
daerah dari jalur perseorangan untuk mencalonkan diri dalam Pemilukada.
Revisi UU Pemda memberikan peluang bagi pasangan calon perseorangan untuk maju
dalam Pemilukada. Kesempatan ini dapat dimanfaatkan oleh calon perseorangan untuk
melakukan perubahan-perubahan dalam pemerintahan tanpa mendapatkan intervensi langsung
dari kepentingan partai politik. Meskipun jika terpilih, calon perseorangan akan menghadapi
situasi berbeda dalam bernegoisasi dengan wakil-wakil partai politik di DPRD karena kepala
daerah secara struktural tidak memiliki wakil di DPRD. Hal ini menunjukan bahwa semangat
dari kemunculan calon perseorangan –yang cenderung bebas dari kepentingan partai politikjuga memiliki potensi konflik yang rentan.
Setelah revisi UU nomor 12 tahun 2008 dilakukan, hanya tujuh pasangan calon kepala
daerah dari jalur perseorangan yang berhasil memenangkan Pemilukada di tujuh
pemerintahan daerah di Indonesia sejak tahun 2008 hingga 2013.1 Kemenangan pertama
pasangan calon perseorangan terjadi di Pemilukada Garut tahun 2008. Dalam Pemilukada
Garut, tiga pasangan dari tujuh pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati merupakan calon
perseorangan -yang dimenangkan oleh pasangan Aceng Fikri-Diky Chandra dari jalur
perseorangan. Kemenangan pasangan perseorangan menjadi tantangan untuk membuktikan
bahwa apakah kepala daerah akan lebih mementingkan kepentingan rakyat.
Memasuki masa pemerintahan, pasangan Aceng-Diky menghadapi konflik politik
dengan dua kekuatan politik di Garut. Pertama pada beberapa kali pembahasan RAPBD
(Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) dan Perda (Peraturan Daerah)
kabupaten Garut, kebijakan kepala daerah jalur perseorangan tidak disetujui oleh partai politik
1
Kemenangan pasangan kepala daerah jalur perseorangan terjadi dalam Pemilukada Kabupaten Garut 2008,
Pemilukada Kabupaten Rote Ndou 2008, Pemilukada Kabupaten Batubara 2008 dan 2013, Pemilukada
Kabupaten Kubu Raya 2009, Pemilukada Kabupaten Sidoarjo 2010, Pemilukada Kupang 2012, dan Pemilukada
Seruyan 2013. Tidak ada pasangan kepala daerah jalur perseorangan yang memenangkan Pemilukada di tahun
2011. Universitas Indonesia
Konflik politik..., Muhammad Rizqan Adhima, FISIP UI, 2013
3 di DPRD. Kedua, pejabat birokrasi lebih mendominasi inisiatif pengambilan kebijakan publik
daripada kepala daerah itu sendiri. Konflik politik disikapi berbeda oleh Aceng dan Diky.
Aceng selaku Bupati lebih mengakomodasi kepentingan partai dan bergabung dengan Partai
Golkar sejak Januari 2011. Adapun Diky Chandra memilih untuk mengundurkan diri pada
November 2011. Pengunduran diri wakil kepala daerah adalah kejadian baru yang lebih
ekstrim daripada kejadian pecah kongsi kepala daerah dan wakil kepala daerah yang biasanya
terjadi menjelang Pemilukada berikutnya.
1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mencari penyebab konflik dan aktor-aktor politik lokal
yang dihadapi oleh kepala daerah jalur perseorangan yang berujung pada pengunduran diri
Diky Chandra sebagai Wakil Bupati Garut di tahun 2011. Faktor latar belakang jalur
perseorangan dalam konflik politik lokal menjadi titik fokus dalam penelitian ini. Terdapat
dua signifikansi dalam penelitian ini yaitu sebagai sumber awal mengenai konflik politik
dalam pemerintahan kepala daerah dan wakil kepala daerah dari jalur perseorangan dan
sebagai penjelasan yang lebih dalam bagi masyarakat lokal di Kabupaten Garut untuk
memperkuat fungsi pengawasan publik terhadap pemerintahan lokal.
2. Metode Penelitian
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Konflik Politik
Definisi konflik menurut Austin Ranney adalah “bentuk pertarungan antar anggota
masyarakat untuk meraih tujuan yang berbeda dan memuaskan kepentingan yang
berlawanan”.2 Menurut Maswadi Rauf adalah konflik yang berkaitan dengan pembuatan
kebijakan Negara dan pembagian kekuasaan.3 Konflik politik tidak akan terjadi apabila tidak
terdapat konsensus sebelumnya yang mengintegrasikan kepentingan aktor-aktor politik di
dalamnya. Sumber dari konsensus dan konflik politik adalah kekuasaan. Setiap aktor politik
memiliki kepentingan untuk saling berebut kekuasaan. Aktor politik yang memenangkan
pertarungan akan memiliki otoritas superordinat terhadap aktor-aktor politik lainnya.
Menurut Maswadi Rauf, konflik politik bukanlah konflik personal, melainkan konflik
kelompok karena setiap individu yang bertikai merepresentasikan kepentingan dari
kelompoknya masing-masing. Untuk mempertegas hal tersebut, Duverger menjelaskan dua
penyebab konflik yaitu sebab individu dan sebab kolektif4. Pertama, seseorang yang memiliki
bakat berkonflik memiliki kecenderungan untuk berkompetisi secara ketat dan tidak pernah
puas dengan pekerjaan orang lain. Kedua, sebab kolektif muncul dari interaksi sosial antara
satu kelompok dengan kelompok lainnya. Ancaman akan memperkuat solidaritas kelompok
untuk mempertahankan dan membela kelompok masing-masing.
2
Austin Ranney, Governing: An Introducing to Political Science, Engelewood Cliffs: Prentince Hall, 1990, hlm.
27.
3
Maswadi Rauf, Konsensus dan Konflik Politik, Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas, 2001, hlm. 14
4
Ibid., hlm. 48-53.
Universitas Indonesia
Konflik politik..., Muhammad Rizqan Adhima, FISIP UI, 2013
4 2.1.2 Politik Distributif
Teori politik distributif melekatkan tiga kepentingan dari tiga aktor politik dalam
pemerintahan lokal yaitu, kepala daerah, partai politik di DPRD, dan birokrasi lokal5.
Pertama, kepala daerah memiliki fungsi perencanaan kebijakan publik. Kedua, rencana
kebijakan tersebut diproses dengan persetujuan partai politik di DPRD. Ketiga setelah
kebijakan disetujui bersama, birokrasi memiliki fungsi untuk mendistribusikan sumber daya
untuk menjalankan kebijakan tersebut. Konflik politik terjadi ketika fungsi dari kepala daerah,
partai politik di DPRD, dan birokrasi lokal menjadi saling tumpang tindih oleh kepentingan
politik satu sama lain.
Di Negara-negara berkembang, birokrasi cenderung memiliki kekuatan politik lebih
besar dibandingkan dengan kekuatan partai politik. Siegelman melakukan penelitan di 57
Negara yang memperlihatkan bahwa birokrasi menjadi dominan dalam proses politik.
Kecenderungan ini disebut Fred W. Riggs sebagai fenomena “the heavy weight of
bureaucratic power”.6 Dominasi birokrasi dapat memperlemah peranan kepala daerah jalur
perseorangan karena keputusan politik tidak diambil sebagaimana mestinya.
Sedangkan bagi partai politik, kemunculan calon perseorangan non-partai dalam
Pemilukada di Indonesia mengancam fungsi partai politik dalam mengisi jabatan tertinggi
dalam pemerintahan. Philippe Schmitter menekankan fungsi membentuk dan
mempertahankan pemerintahan sebagai fungsi krusial dari partai politik karena, “if they
(political parties) are incapable of playing a leading role in filling top political offices, they
are in deep trouble”.7
2.2 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini membahas tentang konflik politik di pemerintahan lokal dengan studi
kasus pada pengunduran diri Wakil Bupati Garut dari jalur perseorangan di tahun 2011.
Kepala daerah dari jalur perseorangan menghadapi menghadapi dominasi birokrasi lokal dan
penolakan kebijakan oleh DPRD. Lokasi penelitian kualitatif dilakukan di Kabupaten Garut
dengan rentang waktu yang diteliti adalah tahun 2008 (sejak Pemilukada Garut) hingga tahun
2011 (pengunduran diri Wakill Bupati).
2.3 Metode dan Teknik Penelitian
Pendekatan kualitatif dipilih dalam penelitian ini. Jenis penelitian deskriptif dilakukan
untuk mendapat gambaran konflik politik yang terjadi berdasarkan pada tinjauan eksploratif
atas penyebab konflik dan kelompok elit yang terlibat didalamnya.
5
Susan C. Stokes et.al., Brokers, Voters, and Clientelism (Connecticut: Yale University, 2012) hlm. 40
Lawrence E. Mayer, Redefining Comparative Politics: Promise Versus Performance (California: Sage
Publication, 1989) hlm. 118-120.
7
Ibid., hlm. 78
6
Universitas Indonesia
Konflik politik..., Muhammad Rizqan Adhima, FISIP UI, 2013
5 2.4 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dimulai dengan mengumpulkan data pustaka mengenai
konflik politik di pemerintahan lokal dan calon perseorangan, kemudian bergerak pada
pengumpulan data primer melalui wawancara.
3. Analisis/Interpretasi Data
3.1 Peta Kekuatan Politik di Kabupaten Garut
Peta kekuatan politik di Kabupaten Garut akan dibagi kedalam tiga kelompok.
Kelompok pertama adalah partai politik. Pemenang Pemilu Legislatif untuk DPRD Garut
pada tahun 2004 adalah Partai Golkar (14 dari 45 kursi). Pada masa pemerintahan pasangan
kepala daerah Agus-Memo, pemerintahan daerah mendapat dukungan politik dari partai
politik di DPRD karena Bupati dan Wakil Bupati berasal dari Partai Golkar dan PDIP
(menguasai 20 dari 45 kursi DPRD). Sedangkan pada Pemilu 2009, Partai Demokrat keluar
sebagai pemenang Pemilu (10 dari 50 kursi). Kenaikan perolehan suara Partai Demokrat yang
signifikan ditambah dengan masuknya dua partai baru, yaitu Partai Hanura dan Partai
Gerindra, menyebabkan perolehan suara turun hampir separuhnya bagi ketujuh partai lain.
Hanya 12 dari 45 anggota DPRD periode sebelumnya yang terpilih kembali dalam
Pemilu 2009. Kecilnya angka keterpilihan kembali merupakan cermin atas kekecewaan
pemilih terhadap kinerja anggota DPRD. Pertama, partai politik di DPRD dinilai gagal
merepresentasikan kepentingan konstituen dari masing-masing daerah pemilihan. Kedua,
Bupati Garut dan anggota DPRD yang menjadi terdakwa kasus korupsi bantuan sosial tahun
20078 turut mempengaruhi pilihan konstituen, khususnya bagi pemilih Partai Golkar.
Kelompok kedua adalah birokrasi lokal. Sejak tahun 2004 hingga 2013 terjadi empat
kali pergantian Bupati di Kabupaten Garut yaitu, Agus Supriadi (2004-2007), Memo
Hermawan (2007-2009), Aceng Fikri (2009-2013), dan Agus Hamdani (2013-2014). Dalam
rentang waktu yang sama, terjadi enam kali penggantian Sekda (Sekretaris Daerah) di Pemda
Garut yaitu, Rahmat Sudjana (2003-2004), Achmad Muttaqien (2004-2007), plt. Budiman
(2007-2008), Wowo Wibowo (2008-2009), plt. Iman Ali Rahman (2009-2010), Hilman
Faridz (2010-2011), dan Iman Ali Rahman (2011-sekarang).
Kelangkaan posisi jabatan dalam birokrasi Pemda Garut menjadi relevan sebagai
sumber konflik di pemerintahan daerah. Bupati memiliki kewenangan penuh untuk
menempatkan orang-orang dalam pemerintahan berdasarkan masukan dari Badan
Kepegawaian Daerah (BKD) dan Tim Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan
(Baperjakat). Seyogyanya pemilihan pejabat dalam birokrasi menggunakan sistem merit tapi
8
Anggota DPRD Garut periode 2004-2009 yang menjadi tersangka kasus korupsi bantuan sosial adalah Wakil
Ketua DPRD Dikdik Darmika dari PDIP, Barman Syachyana dan Offie Firmansyah dari Partai Golkar dan Ali
Rohman dari PKB. Belasan anggota DPRD lainnya turut diperiksa menjelang persiapan Pemilu Legislatif tahun
2009. Salah satu anggota DPRD dari PDIP mengaku lebih sibuk mengurusi masalah hukum yang kemungkinan
juga akan menjerat dirinya dibandingkan mempersiapkan diri untuk Pemilu tahun 2009.
Universitas Indonesia
Konflik politik..., Muhammad Rizqan Adhima, FISIP UI, 2013
6 seperti dikatakan oleh Dedeh Sadiyah bahwa “jika pebajat akan memasuki jabatan eselon II,
maka mau tidak mau merupakan keputusan politis”9.
Catatan khusus diberikan kepala setiap kali pergantian jabatan Sekda. Sekda
merupakan jabatan tertinggi dalam birokrasi yang dapat mengatur distribusi sumber daya
manusia dan anggaran. Posisi Sekda menjadi dominan terhadap kewenangan Bupati dan
Wakil Bupati ketika Sekda berhasil menguasai empat badan stategis lainnya dalam Pemda
yaitu, Bappeda, DPPKA, BKD, dan Inspektorat. Besarnya kewenangan dan sumber daya yang
dikuasai Sekda menjadi posisi ini paling diperebutkan oleh elit dalam Pemda Garut.
Kelompok ketiga adalah pasangan kepala daerah jalur perseorangan dengan tim
ANDA Center. Aceng Fikri merupakan putra daerah yang lahir di Garut pada tanggal 6
September 1972. Pendidikan terakhir adalah Sarjana Agama Islam dari IAIM AlMusadadiyyah, Garut. Sejak masa kuliah, Aceng aktif di organisasi Forum Perjuangan
Pemuda Indonesia (FPPI), Pemuda Anshor cabang Garut, dan Sekretaris DPC PKB Garut
sejak tahun 2002 hingga 2006. Ketika PKB pecah di tahun 2006, Aceng Fikri ikut tersingkir
dari jabatan struktural dalam partai lalu memutuskan untuk beraktifitas dalam organisasi
masyarakat sipil yaitu, Himpunan Petani Garut (HPG) dan Masyarakat Pecinta Garut
(Mapega).
Aceng diusung oleh FPPI Garut untuk menjadi calon Bupati karena merupakan senior
dan memiliki modal kampanye 100 juta rupiah dari menjual tanah. Para anggota FPPI ini
kemudian membentuk tim pemenangan Aceng Fikri (ANDA Center) dengan tugas pertama
untuk mencari pasangan calon Wakil Bupati. Tim ANDA Center mencari pasangan wakil dari
kalangan selebritis karena mereka menyadari bahwa Aceng Fikri tidak dikenal luas oleh
masyarakat Garut10. Adapun Diky Chandra menerima ajakan Aceng Fikri karena percaya
pada sosok Aceng sebagai ustadz muda melalui kendaraan jalur perseorangan.
Diky Chandra lahir di Tasikmalaya (kota perbatasan Garut disebelah timur) pada
tanggal 12 Mei 1974. Pendidikan terakhir adalah SMA 2 Tasikmalaya11. Setelah menjadi
cover boy majalah Mode tahun 1993, Diky Chandra mulai dikenal oleh masyarakat sebagai
aktor, presenter dan komedian. Ia tidak memiliki latar belakang aktifitas politik. Melihat latar
belakang tersebut, Aceng Fikri dan Diky Chandra memiliki kapasitas kepemimpinan yang
cenderung lemah sebagai Bupati dan Wakil Bupati Garut.
9
Wawancara dengan Dedeh Sadiyah pada 14 September 2012.
Wawancara dengan Fery Ferdiansyah pada 10 September 2012
11
Sebagai perbandingan, 21 dari 50 anggota DPRD Garut periode 2009-2014 juga berpendidikan terakhir setara
dengan Sekolah Menengah Atas. Sebanyak 23 anggota DPRD berpendidikan Sarjana dan 6 orang berpendidikan
Paska Sarjana. Adapun dari 40 pejabat eselon II dalam birokrasi Pemda Garut yang dipimpin oleh Aceng dan
Diky, 5 orang berpendidikan Sarjana dan 35 orang berpendidikan Pasca Sarjana dengan pengalaman kerja lebih
dari 20 tahun.
10
Universitas Indonesia
Konflik politik..., Muhammad Rizqan Adhima, FISIP UI, 2013
7 3.2 Dinamika Politik dalam Pemilukada Garut 2008
Pada Pemilukada Garut tahun 2008, empat dari tujuh calon Bupati dan Wakil Bupati
pada putaran pertama merupakan wakil dari partai politik. Pada putaran pertama, jumlah
perolehan suara bagi empat calon wakil partai putaran pertama adalah 591.271 suara (58,74%
dari total suara). Sedangkan jumlah perolehan tiga pasangan calon perseorangan mencapai
415.393 suara (41,26% dari total suara). Hal ini menunjukkan bahwa dukungan rakyat bagi
calon-calon perseorangan dalam Pemilukada Garut cukup besar.
Tiga dari empat calon wakil partai gagal dalam putaran pertama, hanya pasangan
Rudi-Oim dari Partai Golkar dan PDIP yang melaju ke putaran kedua. Untuk tetap dapat
merepresentasikan kepentingannya dalam pemerintahan, partai politik harus bergabung
dengan dua pasangan yang melaju pada putaran kedua. Pilihannya adalah bergabung dengan
Partai Golkar dan PDIP mendukungan pasangan Rudi-Oim, atau mendukung pasangan
Aceng-Diky dari jalur perseorangan. Seyogyanya, tiga pasangan dari partai politik yang gugur
diputaran pertama akan mendukung Rudi-Oim, partai biasa melakukan komitmen untuk
menggabungkan suara (berkoalisi) untuk memenangkan Pemilukada. Sedangkan bagi calon
perseorangan, dukungan dari partai politik akan bertolak belakang dengan ide jalur
perseorangan sebagai calon kepala daerah yang cenderung bebas dari kepentingan partai.
Namun sejak Pemilukada Garut 2008, pencalonan kepala daerah jalur perseorangan
telah menemukan anomalinya. Pertama, Aceng Fikri menggunakan jalur perseorangan semata
karena tidak ada partai politik yang dapat dijadikan kendaraan dalam Pemilukada. Kedua,
calon perseorangan turut terjebak politik uang sejak Aceng turut mengakomodasi dukungan
finansial dari partai politik dan birokrasi kepada konstituen untuk memenangkan Pemilukada.
3.3 Konflik Kepala Daerah Jalur Perseorangan di Kabupaten Garut
3.3.1 Konflik Personal Aceng Fikri dan Diky Chandra
Aceng dan Diky menghadapi konflik personal yang diakui Diky cukup berpengaruh
terhadap keputusannya mengundurkan diri. Pada tanggal 3 September 2010, Aceng dan Diky
menandatangani surat kesepakatan pembagian wilayah binaan untuk membagi dua
kewenangan antara Bupati dan Wakil Bupati atas SKPD dan kecamatan secara terpisah.
Aceng berwenang atas 25 intitusi dalam SKPD, 3 staf ahli dan 23 kecamatan, sedangkan Diky
berwenang atas 16 institusi dalam SKPD, 2 staf ahli dan 19 kecamatan. Kesepakatan ini
dilakukan karena Aceng dan Diky tidak sepaham dalam menentukan kebijakan sehingga
memutuskan untuk membagi kewenangan dan berjalan sendiri-sendiri. Legitimasi ketokohan
yang muncul dari popularitas Diky memunculkan kesan bahwa Aceng tidak akan terpilih jika
tidak didampingi Diky. Hal ini mendukung daya tawar bagi Diky Chandra untuk menuntut
kewenangan yang lebih besar.
Salinan kesepakatan pembagian kewenangan antara Aceng dan Diky ditemukan oleh
organisasi kemasyarakatan Garut Government Watch (GGW). Salinan kesepakatan kemudian
dilaporkan kepada DPRD dan dipublikasikan ke masyarakat sehingga kesepakatan di atas
Universitas Indonesia
Konflik politik..., Muhammad Rizqan Adhima, FISIP UI, 2013
8 batal dilaksanakan. Pembatalan kesepakatan turut membatalkan konsensus yang hendak
dibangun untuk menyelesaikan konflik personal antara Aceng dan Diky.
3.3.2 Konflik Politik Menghadapi Wakil Partai
Tantangan bagi kepala daerah jalur perseorangan adalah menemukan cara untuk
bekerjasama dengan wakil partai di DPRD. Sebagai kepala daerah dari jalur perseorangan,
secara struktural Aceng dan Diky bukan merupakan kader dari partai manapun. Meskipun
Aceng turut mengakomodasi dukungan finansial dari partai politik ketika Pemilukada. Di sisi
lain, Aceng dan Diky diharapkan oleh konstituen agar mengutamakan kepentingan rakyat
dibandingkan dengan kepentingan partai politik jika terjadi konflik.
Sejak pelantikan Aceng-Diky sebagai Bupati dan Wakil Bupati Garut, tercatat lima
kejadian tarik ulur kepentingan antara kepala daerah jalur perseorangan dengan partai politik.
Pertama, pada tanggal 19 Maret 2009, Aceng dan Diky melakukan musyawarah rencana
pembangunan (musrenbang) untuk menyusun RPJMD Kabupaten Garut tahun 2009-2014.
RPJMD Garut yang diajukan Aceng Fikri disetujui DPRD. Pada kejadian ini, konsentrasi
wakil partai politik tengah disibukkan pemenangan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden
sehingga proses perumusan RPJMD tidak menjadi prioritas mereka. Selain itu, RPJMD yang
mereka setujui belum tentu menguntungkan anggota partai politik secara personal jika mereka
tidak terpilih lagi pada periode selanjutnya.
Kedua, 50 anggota DPRD periode 2009-2014 dari lima daerah pemilihan dan 10 partai
politik dilantik pada tanggal 1 Oktober 2009. Anggota DPRD periode 2009-2014 dilantik
delapan bulan setelah pelantikan Aceng-Diky. Secara kekuatan politik, partai politik di DPRD
Kabupaten Garut bukanlah entitas tunggal yang solid dalam menghadapi Bupati dan Wakil
Bupati. Secara umum kapasitas anggota DPRD yang baru terbentuk, dinilai lemah untuk
memenuhi fungsi kebijakan publik, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan jika dilihat dari
latar belakang pendidikan, pengalaman berpolitik, dan kapasitas kepemimpinan mereka. Ketiga. Pada tanggal 3 November, Aceng Fikri sebagai Bupati dari jalur perseorangan
mengajukan lima Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) kepada anggota DPRD. Dua dari
lima Raperda yang diajukan Aceng diterima oleh DPRD, sedangkan ketiga Raperda ditolak.
Aceng dan Diky belum memahami bahwa “partai politik di DPRD akan menyetujui kebijakan
publik dan anggaran yang pembagian keuntungannya sudah jelas dibicarakan”12. Keuntungan
ini mencakup relasi anggota DPRD yang memenangkan tender proyek pemerintah, persentase
anggaran yang secara langsung didapatkan partai politik, serta kewenangan lebih besar untuk
mengatur dan menguasai proyek-proyek pemerintah yang lahir dari kebijakan tersebut. Dalam
Raperda pembangunan RSUD Pameungpeuk misalnya, Aceng dan Diky gagal memberikan
tawaran transaksional yang secara langsung menguntungkan partai politik, meskipun
keberadaan rumah sakit sangat diperlukan bagi masyarakat.
12
Wawancara dengan Agus Sugandi pada 11 September 2012. Universitas Indonesia
Konflik politik..., Muhammad Rizqan Adhima, FISIP UI, 2013
9 Keempat pada tanggal 2 September 2010, Aceng Fikri mengajukan lima poin
perubahan APBD 2010. Inisiatif perubahan anggaran ini muncul dari Aceng Fikri, tanpa
mendengarkan masukan dari Diky Chandra. Tidak adanya dukungan institusi dari partai
politik di DPRD bagi kepala daerah jalur perseorangan mempersulit daya tawar Aceng Fikri.
Untuk dapat bekerjasama dengan anggota DPRD, Aceng memahami bahwa setiap kebijakan
publik yang diusulkan harus menguntungkan partai politik secara langsung, meskipun korup
dan tidak efisien. Aceng dan Diky sebagai pasangan kepala daerah jalur perseorangan
mengambil sikap berbeda dalam menghadapi partai politik. Aceng cenderung abai terhadap
ketidaksetujuan Diky yang tidak pula membantu mempermudah relasi kepala daerah dengan
DPRD.
Kelima, untuk memastikan dukungan dari partai politik terhadap kepemimpinan
Aceng Fikri secara konsisten, Aceng Fikri memutuskan untuk bergabung sebagai kader Partai
Golkar pada tanggal 17 Januari 2011. Kepemimpinan dalam pemerintahan daerah di
Kabupaten Garut menjadi unik karena Bupati merupakan kader partai politik sedangkan
Wakil Bupati adalah non-partisan, meski keduanya merupakan satu pasangan dari jalur
perseorangan ketika dipilih oleh rakyat. Kepindahan status Aceng Fikri dari kepala daerah
jalur perseorangan menjadi partisan di tengah masa pemerintahan belum diatur oleh undangundang sehingga tidak bisa digugat, meski secara etika merusak idealisme calon perseorangan
dalam pemerintahan daerah. Diky Chandra mengaku kecewa dengan keputusan Aceng.
3.3.3 Konflik Menghadapi Birokrasi Lokal
Selain menghadapi partai politik, pasangan kepala daerah pun mengalami konflik
politik dengan birokrasi lokal. Pada tanggal 24 Desember 2008, satu bulan sebelum Aceng
dan Diky dilantik, Memo Hermawan selaku Bupati pertahana melakukan rotasi jabatan
dengan mengganti posisi 34 pejabat eselon II sebelum masa pemerintahannya berakhir. Rotasi
jabatan pada bulan Desember 2008 merupakan kesepakatan pertama akibat dukungan Memo
Hermawan (Bupati pertahana dari PDIP) kepada Aceng Fikri pada masa kampanye. “(Dalam
kesepakatan ini), Kang Aceng tidak boleh melakukan rotasi jabatan di tahun pertama, itu
kesepakatannya”13.
Penggantian jabatan struktural, terlebih untuk posisi eselon II, lebih banyak
merupakan keputusan politis transaksional. Untuk mendapatkan jabatan, seorang pegawai
harus benar-benar bersih dan berprestasi; atau dapat dengan cepat melakukan transaksi jual
beli jabatan. “Harga untuk mendapatkan jabatan eselon II berkisar antara tiga puluh juta
hingga dua ratus juta rupiah yang nantinya akan dibagikan untuk tim Baperjakat dan
Bupati”14. Cara ketiga yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pendekatan emosional
(nepotisme) kepada tim Baperjakat, Bupati, atau Wakil Bupati. Diky Chandra sebagai Wakil
Bupati diakui narasumber pernah mengusulkan pejabat karena kedekatan personal tapi diakui
tidak pernah melakukan transaksi dengan menjual jabatan dengan uang.
13
Wawancara dengan narasumber anomin pada 14 September 2012
Wawancara dengan narasumber anomin pada 14 September 2012 14
Universitas Indonesia
Konflik politik..., Muhammad Rizqan Adhima, FISIP UI, 2013
10 Kebijakan Aceng secara mutlak dalam menentukan posisi jabatan tanpa
memperhatikan sistem merit terus berlanjut. Pada rotasi jabatan tanggal 18 Maret 2011,
“Untuk menguasai pemerintahan, Sekda menempatkan orang-orangnya di Bappeda, DPPKA,
BKD, dan Inspektorat. Nantinya akan mempermudah kerja (dominasi kewenangan birokrasi)
Beperjakat dan TAPD”15. Baperjakat bertugas untuk memberikan masukan kepada Bupati
untuk menentukan posisi jabatan dalam birokrasi, sedangkan TAPD bertugas memberikan
masukan kepada Bupati untuk menentukan rencana pembangunan dan anggaran setiap
tahunnya.
Dominasi Sekda muncul karena dua hal yaitu, Aceng dan Diky kurang memiliki
kapasitas kepemimpinan sehingga kurang paham bagaimana pemerintahan daerah harus
dijalankan; dan Aceng dan Diky cenderung menyerahkan kewenangan pada Sekda karena
dukungan politik mereka tergantung dari birokrasi. Dalam konteks kekuasaan, posisi Sekda
menjadi sangat strategis dengan kewenangan besar yang dimilikinya sekaligus menjadi
jabatan yang paling diperebutkan oleh para birokrasi-politisi.
3.4 Dilema Kharisma Ketokohan dan Popularitas Calon Perseorangan
Pasangan calon perseorangan dalam Pemilukada sangat mengandalkan kharisma
ketokohan untuk dapat dipilih oleh konstituen. Dalam kasus keterpilihan Aceng dan Diky,
paket pemimpin kaum muda yang dinilai bersih (karena melaju dari jalur perseorangan) yang
populer mendukung ketokohan pasangan ini. Namun kharisma ketokohan dan popularitas saja
tidak cukup untuk memenangkan Pemilukada. Calon perseorangan harus memiliki dana
kampanye yang cukup serta basis dukungan yang luas. Faktor dana kampanye dan tim
pemenangan ini yang luput dari pengawasan publik ketika proses Pemilukada Garut
berlangsung.
Terdapat dua hal yang mendorong partai politik dan birokrasi-politisi untuk
memenangkan Aceng dan Diky. Pertama, Diky Chandra adalah sosok paling populer, mereka
melihat bahwa popularitas menentukan tingkat ketepilihan terlebih bagi masyarakat kelas
bawah pedesaan. Kedua, Rudi Gunawan adalah pengacara dari mantan Bupati Agus Supriadi
yang dikhawatirkan akan melakukan reformasi birokrasi yang akan mengganggu sistem lama.
Faktor dukungan jaringan memiliki dua sisi dalam pemenangan Aceng-Diky. Pertama,
masyarakat yang kecewa terhadap pemerintahan Agus Supriadi, menaruh harapan besar
kepada pasangan Aceng – Diky. Harapan ini mendorong masyarakat, khususnya jaringan
petani dan pemuda (HPG dan FPPI yang merupakan basis pendukung Aceng Fikri), untuk
mendukung Aceng – Diky secara sukarela. Kedua, partai politik yang mendukung pasangan
Aceng-Diky, meski tidak terlihat oleh publik, turut menggerakkan mesin partai dan jaringan
mereka untuk memenangkan pasangan calon perseorangan ini. Transparansi dana kampanye
dan tim pendukung calon perseorangan menjadi sangat penting untuk diketahui publik
sebagai pencerdasan politik bahwa calon perseorangan memungkinkan meminta dan
menerima dukungan dari partai politik dalam Pemilukada.
15
Wawancara dengan narasumber anomin pada 14 September 2012
Universitas Indonesia
Konflik politik..., Muhammad Rizqan Adhima, FISIP UI, 2013
11 Konflik personal antara Aceng dan Diky muncul ketika keduanya tidak sepaham
dalam merencanakan kebijakan publik. Diky Chandra, yang berperan besar sebagai vote
getter selama Pemilukada, merasa bahwa kewenangannya sebagai Wakil Bupati tidak cukup
mengakomodasi inisiatif-inisiatif perencanaan pembangunan yang muncul dari dirinya.
Anomali kepala daerah jalur perseorangan muncul ketika Aceng memilih untuk masuk
sebagai kader partai, sedangkan Diky Chandra memilih menghindari konflik dengan cara
mengundurkan diri. Konflik personal antara pasangan kepala daerah jalur perseorangan akan
timbul jika salah satunya memutuskan untuk pindah menjadi kader partai politik di tengah
masa pemerintahan. Untuk menghindari hal tersebut, perlu dibuat kebijakan yang melarang
kepala daerah jalur perseorangan untuk berpindah menjadi kader partai ditengah masa
pemerintahan karena legitimasi mereka muncul dari ide jalur perseorangan yang mereka
tawarkan bagi konstituen.
3.5 Dilema Relasi Kepala Daerah Jalur Perseorangan Menghadapi Partai Politik
Kepala daerah dituntut untuk dapat bekerjasama dengan DPRD dalam mewujudkan
pemerintahan yang efektif karena perencanaan yang diusulkan kepala daerah harus
mendapatkan persetujuan dari DPRD. Dalam kasus di Kabupaten Garut, meski partai politik
turut memberikan dukungan finansial bagi Aceng – Diky pada masa kampanye tapi hal
tersebut tidak lantas memperkuat relasi antara kepala daerah jalur perseorangan dengan wakil
partai politik di DRPD. Pertama, banyak anggota DPRD periode sebelumnya yang
berspekulasi untuk memenangkan Aceng-Diky, tidak terpilih kembali dalam Pemilu 2009.
Kedua, relasi yang muncul dari tarik ulur kepentingan antara kepala daerah jalur perseorangan
dengan DPRD dapat diukur dengan seberapa besar partai politik akan mendapatkan
keuntungan dari kebijakan yang diusulkan kepala daerah. Relasi yang dibangun berdasarkan
cara-cara politik transaksional menjadi sangat rentan bagi kepala daerah jalur perseorangan,
karena ketika kebijakan yang diperjuangkan tidak menguntungkan kepentingan partai maka
partai akan dengan mudah menolak kebijakan tersebut.
Kepala daerah jalur perseorangan harus berusaha lebih keras untuk mempersuasi
partai politik di DPRD agar mendukung kebijakan yang Ia usung. Ketika kepala daerah jalur
perseorangan hendak memperjuangkan kepentingan publik, dukungan politik dari publik
dapat dimanfaatkan untuk mempermudah kerjasama karena partai politik pada akhirnya
membutuhkan simpati dan dukungan publik. Kebijakan untuk meningkatkan partisipasi
publik adalah cara yang dapat dilakukan kepala daerah jalur perseorangan untuk memastikan
bahwa dukungan politik selalu hadir secara konsisten. Sayangnya pada kasus di Kabupaten
Garut, Aceng dan Diky gagal memanfaatkan partisipasi publik untuk memperkuat kekuatan
politik mereka16.
16
Lihat skripsi Even Appilyadi, Hubungan Kepala Daerah Jalur Perseorangan dan Basis Konstituennya Pasca
Pemilukada: Studi Kasus Hubungan Bupati Garut dengan Lembaga Pedagang Kaki Lima Garut dan Himpunan
Petani Garut Pada 2009-2011(Depok: FISIP UI, 2012) yang menyimpulkan bahwa Aceng Fikri gagal
melakukan representasi politik terhadap basis konstituennya paska Pemilukada. Universitas Indonesia
Konflik politik..., Muhammad Rizqan Adhima, FISIP UI, 2013
12 3.6 Kepala Daerah Jalur Perseorangan Memperkuat Dominasi Birokrasi
Sehubungan dengan membangun kekuatan politik dalam pemerintahan, kepala daerah
jalur perseorangan cenderung mengandalkan dukungan politik dari birokrasi untuk
menjalankan pemerintahannya. Dalam kasus di Kabupaten Garut, Aceng dan Diky sebagai
calon kepala daerah jalur perseorangan menerima dukungan finansial dari birokrasi-politisi
pada masa kampanye –sumber konflik yang jamak terjadi di pemerintahan daerah. Ketika
terpilih, selain harus membayar jasa pada birokrasi-politisi, Aceng dan Diky bergantung pada
dukungan politik yang hanya tersedia dari birokrasi karena kelompok ini yang dapat
diandalkan menjadi pendukung politik kepala daerah.
Ketergantungan Aceng – Diky terhadap birokrasi disebabkan oleh dua hal. Pertama,
Aceng dan Diky gagal membangun dukungan politik dari publik dan kesulitan dalam
bekerjasama dengan partai politik di DPRD. Sebab kedua adalah kecakapan Aceng dan Diky
sebagai pemimpin ada dibawah kecakapan pejabat-pejabat birokrasi.
Dalam politik distribusi, birokrasi memegang peranan penting dalam mendistribusikan
sumber daya untuk menjalankan kebijakan yang terlah direncanakan dan disetujui oleh kepala
daerah dan DPRD. Namun ketika Aceng dan Diky sepenuhnya mengandalkan birokrasi untuk
menentukan kebijakan publik (karena sebab kurangnya kecakapan kepemimpinan dan
kurangnya dukungan politik), maka dominasi birokrasi dalam pemerintahan akan mempersulit
kepala daerah jalur perseorangan untuk mewujudkan perubahan-perubahan dalam
pemerintahan lokal yang ditentang oleh elit birokrasi. Akibatnya, kepala daerah memiliki
kekuatan politik dibawah elit birokrasi. Pada akhirnya, dominasi birokrasi akan
melanggengkan sistem lama yang cenderung korup dan tidak efisien. Ketika kepala daerah
jalur perseorangan dititipi harapan untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang lebih efektif
oleh konstituen, dominasi birokrasi mempersulit perwujudan harapan tersebut.
Kesimpulan
Tahun 2008 Mahkamah Konstitusi mewujudkan kebijakan yang mengijinkan calon
perseorangan untuk dipilih dalam Pemilukada. Kekhawatiran dari munculnya pasangan
kepala daerah jalur perseorangan adalah potensi konflik politik yang akan dihadapi oleh
mereka. Tanpa dukungan partai politik, kepala daerah akan kesulitan ketika bekerjasama
dengan DPRD. Terpilihnya Aceng dan Diky sebagai Bupati dan Wakil Bupati dari jalur
perseorangan dalam Pemilukada tahun 2008 meningkatkan harapan masyarakat akan
pemimpin yang dapat merepresentasikan kepentingan rakyat dan mewujudkan pemerintahan
daerah yang efektif. Pada perkembangannya, visi ideal ini berbenturan dengan kondisi
lemahnya dukungan partai politik dan dominasi birokrasi di pemerintahan daerah.
Pada kasus konflik politik di Kabupaten Garut, Aceng dan Diky menghadapi konflik
dengan kelompok partai politik dan elit birokrasi lokal. Kepala daerah jalur perseorangan
dianggap dapat mengancam kepentingan partai polilik dan sistem birokrasi lama sehingga
beberapa kebijakan pasangan kepala daerah tidak disetujui oleh DPRD jika tidak
menguntungkan partai politik secara transaksional. Dalam politik distributif, kasus di
Universitas Indonesia
Konflik politik..., Muhammad Rizqan Adhima, FISIP UI, 2013
13 Kabupaten Garut juga membuktikan teori bahwa terjadi dominasi elit birokrasi terhadap
kewenangan kepala daerah. Sekda yang memiliki kewenangan untuk mengatur sumber daya
dan anggaran, mendominasi kebijakan kepala daerah sehingga inisiatif perubahan dari kepala
daerah jalur perseorangan tidak dapat dilaksanakan. Status jalur perseorangan pun
memperburuk konflik yang terjadi sejak pasangan Aceng dan Diky memiliki dukungan politik
yang lemah dalam pemerintahan.
Aceng dan Diky meski merupakan kepala daerah jalur perseorangan yang dipilih
langsung oleh rakyat terbukti gagal dalam mewujudkan pemerintahan yang efektif. Latar
belakang jalur perseorangan hanya dijadikan kendaraan untuk memenangkan Pemilukada.
Setelah menjabat, tanpa pengawasan publik, kepala daerah jalur perseorangan dapat
merepresentasikan kepentingan siapapun dan apapun yang mereka inginkan. Jalur
perseorangan tidak pula menjamin bahwa kepala daerah tersebut bebas dari kepentingan
partai politik dan birokrat-politisi karena calon perseorangan juga dapat menerima dukungan
mereka pada Pemilukada. Tantangan bagi kepala daerah jalur perseorangan adalah
memastikan dukungan politik yang cukup kuat untuk dapat mengimbangi kekuatan partai
politik di DPRD dan mengurangi kecenderungan dominasi birokrasi dalam pemerintahan
daerah. Hanya jika kepala daerah jalur perseorangan dapat bekerjasama dengan partai politik
dan birokrasi dengan baik tanpa mengabaikan kepentingan rakyat, maka harapan untuk
memperbaiki pemerintahan daerah masih dapat terwujud.
Pada akhirnya, usaha untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan bagi
masyarakat lokal tidak dapat digantungkan sepenuhnya kepada kepala daerah jalur
perseorangan. Jalur perseorangan dan partai politik hanya merupakan kendaraan untuk
memenangkan Pemilukada secara prosedural. Adapun untuk mencapai tujuan substantif
demokrasi di tingkat lokal diperlukan pendidikan politik, inisiatif tranparansi pemerintahan
daerah, dan partisipasi masyarakat dalam setiap proses pengambilan kebijakan publik secara
nyata.
Daftar Acuan
Buku:
Adrian, Charles F. 1988. Political Change in The Third World. Boston: Unwin Hyman.
Binder, Leonard. 1971. Crises and Sequence in Political Development. Princeton: Princeton
University Press.
Creswell, John. 2003. Research Design: Qualitiative, Quantitative, and Mixed Method
Approaches. California: Sage Publication.
Collins, Randall. 1975. Conflict Sociology Toward an Explanatory Science. New York:
Academic Press.
Dalton, Russell dan Wattenberg, Martin. 2000. Parties Without Partisans: Political Change
in Advance Industrial Democracies. Oxford: Oxford University Press.
Diamond, Larry dan Gunther, Richard (ed.). 2001. Political Parties and Democracy.
Maryland: The Johns Hopkins University Press.
Faulks, Keith. 1999. Political Sociology: a Critical Introduction. Edinburgh: Edinburgh
University Press.
Hadiz, Vedi R. 2010. Localising Power in Post Authoritarian Indonesia: Southeast Asia
Perspective. California: Stanford University Press.
Universitas Indonesia
Konflik politik..., Muhammad Rizqan Adhima, FISIP UI, 2013
14 Kamrava, Mehran. 2000. Politics A Society in Developing World. London: Routledge.
Mashad, Dhuroruddin et.al. 2002. Konflik Antarelit Politik Lokal dalam Pemilihan Kepala
Daerah: Kasus Maluku Utara, Jawa Timur dan Kalimantan Tengah. Jakarta: P2P
LIPI
Mayer, Lawrence E. 1989. Redefining Comparative Politics: Promise Versus Performance.
California: Sage Publication.
Nurhasim, Moch. (ed.). 2009. Konflik Dalam Pilkada Langsung (2005-2008) (Studi Tentang
Penyebab dan Dampak Konflik). Jakarta: LIPI Press.
Ranney, Austin. 1990. Governing: An Introducing to Political Science. Engelewood Cliffs:
Prentince Hall.
Rauf, Maswadi. 2001. Konsensus dan Konflik Politik. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas.
Rozi, Safuan et.al. 2006. Netralitas Birokrasi dalam Pilkada Langsung di Indonesia 2005
(Studi kasus Malang, Gowa dan Kutai Kartanegara). Jakarta: LIPI Press.
Stokes, Susan C. et.al. 2012. Brokers, Voters, and Clientelism. Connecticut: Yale University.
Subakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo.
Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Surat Kabar:
Arsip Guntingan Berita “Mundurnya Wakil Bupati Garut Rd. Diky Chandra”. Dokumen
bersumber dari Bagian Informatika SETDA Kabupaten Garut, Maret 2012.
Che. Wakil Bupati Garut Diky Chandra Ajukan Pengunduran Diri. Berita dimuat dalam Surat
Kabar Kompas edisi Rabu, 7 September 2011.
Habibi, Fikri. Cermin Lemahnya Jalur Independen. Berita dimuat dalam Surat Kabar Radar
Tasikmalaya edisi Rabu, 14 September 2011
Herty. Bupati dan Wakil Bupati Garut Diminta Mundur. Berita dimuat dalam Surat Kabar
Progresif edisi Jumat, 9 September 2011.
Kurniawan, Atep Abdillah. Diky Resmi Lepas Jabatan Wakil Bupati. Berita dimuat dalam
Surat Kabar Seputar Indonesia edisi Selasa, 6 Desember 2011.
Subakat. Dibalik Mundurnya Dicky. Berita dimuat dalam Surat Kabar Sarana Rakyat edisi
Senin, 10 Oktober 2011.
Zam. Kecewa Terhadap Aceng. Berita dimuat dalam surat kabar Tribun edisi Rabu, 7
September 2011.
Jurnal:
Abbas, Rusdi J. “Konflik Elit Lokal dalam Pemilihan Kepala Daerah Maluku Utara”. Jurnal
Studi Pemerintahan Volume 2 Nomor 2 (Agustus, 2011).
Siegelman, Lee “Do Modern Bureaucracies Dominate Underdeveloped Polities? A Test of
Imbalance Thesis”. The American Politics Science Review Vol.66 No.2 (Juni, 1972)
Karya Ilmiah:
Azriansyah. Calon Perseorangan dan Kecenderungan Penguatan Kedudukan Politik
Birokrasi: Sebuah Kajian Teoritik. SKRIPSI tidak diterbitkan. 2008. Program Studi
Ilmu Politik FISIP UI. Depok.
Even Appilyadi. Hubungan Kepala Daerah Jalur Perseorangan dan Basis Konstituennya
Pasca Pemilukada: Studi Kasus Hubungan Bupati Garut dengan Lembaga Pedagang
Kaki Lima Garut dan Himpunan Petani Garut Pada 2009-2011. SKRIPSI tidak
diterbitkan. 2012. Program Studi Ilmu Politik FISIP UI. Depok.
Universitas Indonesia
Konflik politik..., Muhammad Rizqan Adhima, FISIP UI, 2013
15 Wawancara:
Agus Sugandi, S.H., ketua Garut Government Watch tahun 2002-2011. Wawancara Tatap
Muka, Selasa 11 September 2012.
Asep Maher, S.Ag., anggota Tim Sukses ANDA Center (Aceng Fikri – Diky Chandra).
Wawancara Tatap Muka, Kamis 13 September 2012.
Diky Chandra, mantan Wakil Bupati Garut. Wawancara Tatap Muka. Minggu 27 Januari
2013.
Dedeh Sadiyah, S.Sos., pensiunan PNS Garut dan mantan Sekretaris DPRD Kabupaten Garut
tahun 2007. Wawancara Tatap Muka. Jum’at 14 September 2012.
Fery Ferdiansyah, S.Ip., anggota Tim Sukses ANDA Center (Aceng Fikri – Diky Chandra).
Wawancara Tatap Muka, Senin 3 September 2012; dan Senin 10 September 2012.
Suryana, S.Ag., ketua Tim Sukses ANDA Center (Aceng Fikri – Diky Chandra). Wawancara
Tatap Muka, Selasa 11 September 2012.
Ir. Sutarman., Koordinator Forum Studi PNS Garut dan Kepala Dinas Kehutanan Pemda
Garut. Wawancara Tatap Muka, Kamis 13 September 2012.
Universitas Indonesia
Konflik politik..., Muhammad Rizqan Adhima, FISIP UI, 2013
Download