1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wanita yang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Wanita yang pertama kali melahirkan menandai dimulainya
suatu transisi. Wanita mengalami sejumlah perubahan baik fisik,
psikologis dan sosial dalam masa transisi menjadi seorang ibu
(Afiyanti, 2003) Minggu-minggu pertama setelah kelahiran bayi,
mengharuskan pasangan membuat penyesuaian yang drastis.
Proses penyesuaian bagi orang tua baru dengan peran yang
baru tidak selalu berjalan dengan mudah. Banyak pasangan yang
mengalami kesulitan atau hambatan dalam proses penyesuaian dan
pengasuhan
anak.
Lestari
(2012)
mengungkapkan
bahwa
pengasuhan bukanlah hal yang mudah namun sebenarnya sebuah
proses yang penuh tekanan karenanya hal tersebut dapat
mengakibatkan stress. Studi yang dilakukan oleh Epifanio, dkk.,
(2015)
di
Italy
tentang
pengaruh
stress
terhadap
proses
penyesuaian menjadi orang tua menemukan bahwa ayah dan ibu
mengalami kesusahan dalam pengasuhan terlebih di bulan-bulan
pertama kelahiran. Selain itu, Nasekah (2013) dalam penelitiannya
terhadap dua partisipan yang mengalami depresi postpartum
menemukan bahwa keduanya merasa cemburu karena perhatian
semua anggota keluarga lebih kepada sang anak, mengalami
1
penurunan nafsu makan sehingga berat badan menurun dan sulit
tidur, bahkan salah satu partisipan merasa mudah lelah dan malas
beraktivitas sehingga ketika sang anak menangis, partisipan memilih
jalan-jalan dan menitipkan anak pada pembantu. Partisipan lainnya
mengalami kebingungan dalam merawat anaknya apalagi ketika
akan memberikan ASI pertama kali karena merasa kesakitan saat
sedang menyusui.
Menyusui sangat penting bagi bayi terlebih selama beberapa
bulan kehidupan karena nutrisi yang baik pada masa bayi membuat
pertumbuhan dan perkembangan optimal, meningkatkan kesehatan
dan membiasakan bayi agar memiliki kebiasaan makan yang baik
pada masa selanjutnya (Bobak dkk, 2004). Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh McCrory & Murray (2013) menemukan bahwa
bayi yang diberikan ASI memiliki dampak positif bagi kecerdasan
kognitif dan perkembangan motorik kasar dan halus. Hasil penelitian
dari Herba, dkk., (2012) juga mengungkapkan bahwa bayi yang
menyusui secara eksklusif memiliki perkembangan saraf otak yang
baik, struktur subkortikal yang kaya DHA dan ukuran diameter
ganglia thalamus yang lebih besar dibandingkan dengan bayi yang
tidak menyusui eksklusif.
Pemberian ASI secara eksklusif sampai usia enam bulan
pertama kehidupan merupakan salah satu misi primer yang
2
direkomendasikan oleh World Health Organization (WHO). Menurut
WHO (2005) dalam Kementerian Kesehatan RI (2014), ASI eksklusif
berarti pemberian ASI saja tanpa makanan atau minuman lain
(bahkan air mineral) pada bayi berumur nol sampai enam bulan.
Pemerintah
Indonesia
melalui
Kementerian
Kesehatan
juga
merekomendasikan para ibu untuk menyusui eksklusif selama enam
bulan kepada bayinya. Menurut penelitian yang dilakukan di Desa
Jugo, Kediri dan diterbitkan oleh Forum Kesehatan Ilmiah (2011)
kejadian sakit pada bayi yang diberi ASI eksklusif lebih rendah yaitu
16% daripada bayi yang tidak diberi ASI eksklusif 35% dari total
51%.
Pemberian ASI secara tidak eksklusif memberi dampak yang
tidak baik bagi bayi. Menurut Kemenkes (2010) bayi yang tidak
menyusui eksklusif memiliki risiko kematian karena diare 3,94 kali
lebih besar dibandingkan bayi yang tidak menyusui eksklusif.
Penelitian yang dilakukan oleh Fitria (2014) menemukan bahwa
persentase bayi yang diberi ASI eksklusif terhadap kejadian diare
lebih rendah yaitu 13,6% daripada bayi yang tidak diberi ASI
eksklusif yaitu 39,5%. Selain diare, ada juga resiko terkena Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Seperti penelitian yang dilakukan
oleh Soraya (2015) di Puskesmas Padang Bulan terkait hubungan
antara pemberian ASI ekslusif dengan kejadian ISPA. Hasilnya bayi
yang tidak diberi ASI eksklusif lebih banyak mengalami ISPA yaitu
3
56% sedangkan bayi yang diberi ASI eksklusif mengalami ISPA
sebesar 18% dari total 74% bayi.
Mengingat pemberian ASI sangat penting bagi pertumbuhan
dan perkembangan yang optimal baik fisik maupun mental dan
kecerdasan bayi, maka pemerintah ikut mendukung pemberian ASI
eksklusif dan mendorong masyarakat terutama para ibu untuk
memberikan ASI eksklusif. Pemerintah mendukung pemberian ASI
eksklusif di Indonesia selama enam bulan pertama dan dilanjutkan
dengan makanan pendamping sampai usia dua tahun. Dukungan
yang diberikan pemerintah tergambar dan tertuang dalam berbagai
peraturan,
diantaranya
Indonesia nomor
Peraturan
33 tahun 2012,
Pemerintah
(PP)
Republik
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 36 tahun 2009 pasal 128 dan Surat Keputusan
(SK) Menteri Kesehatan No. 450/MENKES/IV/2004.
Terlepas dari berbagai peraturan terkait menyusui eksklusif,
hal ini ternyata belum banyak mendapat perhatian khusus dari para
ibu. Masih banyak ibu yang belum memberikan ASI eksklusif kepada
bayi mereka. Faktanya, angka pemberian ASI eksklusif masih
rendah. Menurut data dari SKDI dalam Kemenkes (2014) cakupan
pemberian ASI eksklusif pada tingkat nasional di tahun 2012
mengalami peningkatan menjadi 42% jika dibandingkan tahun 2007
yang hanya 32%. Target nasional pemberian ASI eksklusif sebesar
4
80% di tahun 2010 ternyata hanya mencapai angka 37,18% dan
hasil ini masih jauh dari target yang diharapkan. Untuk Provinsi Jawa
Tengah, cakupan tertinggi adalah Kota Surakarta 46,1%, dan yang
terendah adalah Kabupaten Brebes 2,8%; untuk Kota Salatiga
22,1%;
Sedangkan untuk
lokasi penelitian yang berada di
Kabupaten Semarang cakupannya sangat masih rendah yaitu
17,7%.
Berbagai
faktor
dapat
mempengaruhi
kegagalan
dan
keberhasilan dalam pemberian ASI eksklusif, seperti pengetahuan
ibu, pendidikan dan pekerjaan, informasi dari media massa,
dukungan petugas kesehatan maupun dukungan dari keluarga.
Menurut Diana (2007), Saputri (2011) dan Arifin (2004), faktor
kegagalan pemberian ASI eksklusif adalah masih rendahnya tingkat
pengetahuan ibu. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Fika dan
Syafiq (2009) mengungkapkan bahwa salah satu faktor pendorong
yang mempengaruhi pemberian ASI eksklusif adalah tenaga
kesehatan sebagai informan yang memberikan informasi tentang
pentingnya ASI eksklusif. Faktor lain yang mempengaruhi pemberian
ASI adalah dukungan sosial terutama dukungan suami.
Dukungan dari saudara kandung atau dukungan dari suami
maupun istri serta dukungan sosial keluarga eksternal merupakan
bentuk dukungan sosial keluarga (Friedman, 1998). Menurut Dirjen
5
Gizi dan KIA, dukungan dari suami, keluarga, petugas kesehatan,
masyarakat serta lingkungan kerja merupakan faktor keberhasilan
ibu untuk terus menyusui bayinya (Budiharja, 2011). Sedangkan
Rahardian (2009) menyatakan bahwa tercapainya pemberian ASI
eksklusif dipengaruhi oleh dukungan keluarga khususnya suami.
Studi yang dilakukan oleh Ramadani (2010) menyatakan bahwa Ibu
yang suaminya mendukung pemberian ASI eksklusif cenderung
memberikan ASI eksklusif 2 (dua) kali lebih besar daripada ibu yang
suaminya kurang mendukung pemberian ASI eksklusif. Penelitian
yang dilakukan oleh Ida (2011) juga menunjukkan bahwa ibu yang
mendapat dukungan baik dari suami berpeluang 3 kali lebih besar
memberikan ASI eksklusif dibandingkan ibu yang kurang mendapat
dukungan suami.
Hasil studi pendahuluan yang telah peneliti lakukan pada
tanggal 27 dan 29 Januari 2016 di Dusun Plalar, Desa Kopeng,
melalui wawancara singkat dengan para ibu, dari lima ibu yang
mempunyai bayi berusia antara 2-9 bulan, dua ibu mengaku
mendapat dukungan dari suaminya. Tiga ibu lainnya mengaku
kurang mendapat dukungan suami karena suami menyerahkan
urusan menyusui sepenuhnya kepada istri dan ada juga suami yang
tinggal berjauhan dari istri sehingga kurang mendapat dukungan.
6
Dari uraian di atas, telah diketahui bahwa ASI eksklusif
sangat besar manfaatnya dalam pertumbuhan dan perkembangan
bayi yang optimal. Namun banyak ibu yang belum menyadari
pentingnya pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama
kehidupan bayi. Belum lagi berbagai dampak yang terjadi jika bayi
tidak mendapatkan ASI eksklusif. Dukungan sosial merupakan salah
satu faktor yang turut mempengaruhi pemberian ASI, sehingga hal
tersebut perlu ditingkatkan dan diberikan secara penuh kepada ibu
agar ibu tetap antusias dalam menyusui eksklusif, terutama
dukungan dari suami sebagai pasangan yang terikat secara
emosional.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat di rumuskan
permasalahan penelitian adalah bagaimana dukungan suami dalam
pemberian ASI eksklusif.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
Menggambarkan dukungan yang diberikan suami dalam
pemberian ASI eksklusif.
1.3.2
Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran bentuk dukungan suami.
2. Mengetahui respon ibu terhadap dukungan suami.
7
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan
dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam
bidang keperawatan tentang sejauh mana dukungan yang
diberikan suami dalam pemberian ASI eksklusif.
2. Manfaat Praktis bagi suami
Dapat menambah wawasan khususnya kepada para suami yang
memiliki istri sedang menyusui agar mengetahui betapa
pentingnya dukungan mereka terhadap keberhasilan menyusui
sang istri.
8
Download