PENGEMBANGAN SISTEM MONITORING HOTSPOT (KEBAKARAN HUTAN) MENGGUNAKAN DATA SATELIT NOAA/AVHRR HRPT BERBASIS WEB-GIS Raditya Pratama Nugraha Teknik Komputer, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia [email protected] Abstrak Posisi geografis Indonesia yang terletak di antara 2 benua dan samudra sesungguhnya selain strategis, juga menyimpan risiko besar mengalami berbagai bencana. Perubahan iklim dan kerawanan lokasinya yang dikelilingi lempeng dan patahan-patahan geologis di kerak Bumi mengakibatkan Indonesia menjadi wilayah rawan gempa Bumi dan deformasi tanah/longsor. Selain itu kebakaran hutan, banjir, pembalakan liar, degradasi lahan pertanian, polusi air dan udara, pencurian ikan oleh kapal-kapal asing, gunung meletus, hingga bergesernya garis pantai dan batas negara, menjadi masalah krusial untuk dipecahkan. Untuk mencari solusi yang paling menyeluruh, diperlukan data spasial yang dapat memantau Bumi Indonesia melalui satelit Penginderaan Jauh (PJ). Salah satu hal yang dapat dideteksi dengan penginderaan jauh adalah terjadinya kebakaran hutan. Dengan penginderaan jauh, lokasi terjadinya kebakaran akan terdeteksi sebagai hotspot. Dalam penelitian ini data hotspot didapatkan dengan menerapkan algoritma yang digunakan oleh Z. Li (CCRS). Algoritma ini mendeteksi hotspot dari data satelit NOAA/AVHRR dengan menggunakan nilai suhu kecerahan pada kanal 3, 4 dan 5 dan nilai reflektansi pada kanal 2 untuk mengenali piksel potensial hotspot. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data dari sistem penerimaan data HRPT satelit NOAA dan data yang diambil dari internet. Setelah data hotspot didapatkan, data tersebut akan ditampilkan dalam web-GIS beserta data yang lain seperti garis pantai, garis lintang dan bujur dan data citra satelit NOAA. Dari hasil data hotspot yang didapatkan, pada musim kemarau terdapat banyak hotspot dan pada musim penghujan hanya terdapat sedikit hotspot. Kata Kunci : penginderaan jauh, hotspot, NOAA, HRPT, Web-GIS Web-GIS based Hotspot Monitoring System Development Using NOAA/AVHRR HRPT Satellite Data Abstract Indonesia’s geographic position which is located between two continent and two ocean, although strategic, it also contain big risk of disaster happening. Climate changes and its insecure position which is surrounded by earth’s plates and geological fracture on earth’s crust results in Indonesia becoming an area which is prone to earthquake and land deformation. Furthermore, forest fire, flood, illegal logging, farm land degradation, water and air polution, fish theft by foreign ship,volcanoes, and the shift of coastline and country border, becomes a crucial problem to be solved. To find a comprehensive solution, spatial data is needed to monitor Indonesia by using remote sensing satellite. Pengembangan Sistem Monitoring..., Raditya Pratama Nugraha, FT UI, 2014 One of the things that can be detected by remote sensing is forest fire. With remote sensing, the place where forest fire occurs will be detected as hotspot. In this research, hotspot data is obtained by using the algorithm used by Z. Li (CCRS). This algorithm detects hotspot from NOAA/AVHRR satellite data by using brightness temperature value of channel 3, 4 and 5, and reflectance value of channel 2 to recognize hotspot potential pixel. Data used in this research is obtained from NOAA satellite HRPT data capture system and data obtained from internet. After hotspot data is obtained, the data will be displayed in web-GIS along with other data like coastline, graticules, and NOAA satellite image. From the obtained hotspot data, it is found that on dry season there ara many hotspots and on rainy season there are only a few hotspots. Keywords: remote sensing, hotspot, NOAA, HRPT, web-GIS 1. PENDAHULUAN Kebakaran hutan di Indonesia bukanlah hal yang baru. Penjelajah di pulau kalimantan di abad ke 15 melaporkan kebakaran hutan dan laporan tersebut terus ada hingga abad ke 20. Kebakaran pada tipe vegetasi asia tenggara terhubung erat dengan dengan efek perubahan iklim dan keterlibatan manusia. [1] Kebakaran terjadi di Indonesia setiap tahunnya saat perusahaan besar atau individu membuka lahan untuk ditanam tumbuh-tumbuhan. Terjadinya kebakaran hutan dapat dideteksi dengan penginderaan jauh. Satelit dengan sensor radiometer dapat merekam indikasi terjadinya kebakaran seperti tingginya suhu kecerahan dengan nilai persen reflektansi yang rendah. Salah satu satelit yang mampu mendeteksi adanya kebakaran hutan adalah satelit NOAA. Departemen Teknik Elektro memiliki peralatan untuk menerima citra dari satelit NOAA berupa antena dan perlengkapan penerima citra satelit dan pengontrol antena. Untuk memudahkan masyarakat ataupun pihak yang berkepentingan untuk melihat dan memantau terjadinya kenakaran hutan, data dari satelit yang telah diproses menjadi data hotspot dapat ditampilkan di web dengan menggunakan salah satu platform webgis. Ada beberapa lembaga yang memantau hotspot di Indonesia dan di negara sekitar Indonesia, lalu menampilkannya di web agar mudah diakses. Beberapa lembaga tersebut adalah Centre for Remote Sensing and Processing (CRISP) milik Universitas Nasional Singapura, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional dan pemerintah australia. Situs-situs yang dimiliki oleh lembaga tersebut adalah https://crisp2.nus.edu.sg/cgi-bin/map_bin/webgis.cgi, modiscatalog.lapan.go.id/monitoring/infokatalog dan http://sentinel.ga.gov.au/ Pengembangan Sistem Monitoring..., Raditya Pratama Nugraha, FT UI, 2014 2. DASAR TEORI A. Penginderaan Jauh Menurut remote sensing tutorial, Remote Sensing adalah teknik-teknik berbasis instrumen yang digunakan dalam pengambilan dan pengukuran data/informasi yang terorganisir secara spasial pada beberapa properti (spektral, spasial, fisik) dari suatu deret pixel sasaran dalam area yang akan diukur yang berhubungan dengan fitur, objek dan material, dan hal ini dilakukan dengan mengaplikasikan satu atau lebih divais perekaman tanpa kontak langsung dengan area yang direkam (pada jarak yang cukup jauh dari target yang diobservasi, dimana keteraturan spasial tetap terjaga) ; teknik-teknik tersebut melibatkan pengumpulan informasi yang berhubungan dengan area yang direkam(target) dengan menggunakan radiasi elektromagnetik, medan gaya atau energi akustik dengan menggunakan kamera, radiometer dan scanner, laser, penerima frekuensi radio, sistem radar, sonar, divais thermal, seismograf, magnetometer, gravimeter, scintillometer dan instrumen perekaman lainnya.[2] 1) Resolusi Sensor Suatu sensor memiliki beberapa karakteristik resolusi berdasarkan kemampuan sensor tersebut dan spesifikasi satelit dimana sensor tersebut dipasang. a. Resolusi Spasial Resolusi spasial menunjukkan level dari detail yang ditangkap oleh sensor. Semakin detail informasi yang didapat maka semakin tinggi resolusi spasial dari sensor tersebut. Misalnya sensor AVHRR memiliki resolusi spasial 1.1 km. Maka pada hasil citra yang didapatkan, 1 pixel berukuran 1.1 x 1.1 km. b. Resolusi Radiometrik Resolusi radiometrik adalah elektromagnetik. Semakin sensitivitas suatu sensor terhadap perbedaan energi sensitif suatu sensor terhadap perbedaan energi elektromagnetik, maka semakin besar resolusi radiometrik sensor tersebut. c. Resolusi Spektral Resolusi spektral adalah interval panjang gelombang khusus pada spektrum elektromagetik yang direkam oleh sensor. Semakin sempit interval spektrum elektromagnetik yang direkam oleh sensor, maka resolusi spektralnya semakin tinggi. d. Resolusi Temporal Pengembangan Sistem Monitoring..., Raditya Pratama Nugraha, FT UI, 2014 Resolusi temporal adalah waktu yang dibutuhkan suatu satelit untuk menyelesaikan satu siklus orbit dan kembali merekam area yang sama. B. Satelit NOAA dan Perangkat Penerima Data Satelit Satelit NOAA adalah satelit cuaca yang dioperasikan oleh pemerintah amerika serikat. Saat ini satelit yang masih beroperasi adalah NOAA 15, 18 dan 19. 1) Sensor AVHRR AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer) adalah sensor yang terpasang pada satelit NOAA. Sensor ini berfungsi untuk mengawasi tutupan awan, temperatur permukaan laut, tutupan salju, tutupan es dan vegetasi. AVHRR/3, sensor yang terpasang pada satelit NOAA 15,16,17,18 dan 19 memiliki enam kanal, tiga kanal di deaerah cahaya tampak dan near-infrared dan tiga lainnya yaitu kanal thermal infrared. Sensor AVHRR memiliki resolusi spasial 1.1 km. Karakteristik enam kanal dari AVHRR dapat dilihat pada tabel 2.1. Tabel 2.1 Karakteristik kanal AVHRR [6] Kanal Interval panjang gelombang Kegunaan (µm) 1 0.580 – 0.680 Penggunaan umum untuk pemetaan awan dan permukaan 2 0.725 – 1.000 Batas daratan dan perairan 3a 1.580 – 1.640 Pembedaan es dan salju 3b 3.550 – 3.930 Suhu permukaan laut dan pemetaan awan pada malam hari 4 10.300 – 11.300 Suhu permukaan laut dan pemetaan awan pada siang dan malam hari 5 11.500 – 12.500 Suhu permukaan laut, selain itu mirip dengan kanal 4 Pengembangan Sistem Monitoring..., Raditya Pratama Nugraha, FT UI, 2014 2) High Resolution Picture Transmission (HRPT) High Resolution Picture Transmission (HRPT) merupakan transmisi digital dengan metode encoding data gambar beresolusi 1.1 x 1.1 km tiap piksel dengan 5 kanal dari sensor AVHRR/3 yaitu kanal 1, 2 , 4, 5 dan kanal 3a atau 3b. Dalam suatu transmisi, data yang dapat dikirimkan sekaligus adalah data dari 5 kanal saja. Data kanal yang dikirimkan dengan HRPT adalah data dari kanal 1, 2, 3a, 4 dan 5, atau dari kanal 1, 2, 3b, 4, 5. Frekuensi yang digunakan satelit NOAA 15, 18 dan 19 adalah 1702.5 MHz, 1698 MHz dan 1698 MHz. 3) Algoritma Titik Panas (Hotspot) Titik panas adalah suatu piksel pada citra satelit yang memiliki suhu kecerahan tertentu dan memiliki kemungkinan besar terjadi kebakaran pada piksel tersebut. Untuk menentukan apakah suatu piksel dapat disebut titik panas atau bukan, diperlukan suatu algoritma untuk mengolah data dari kanal-kanal AVHRR. Pada penelitian ini akan digunakan algoritma dari CCRS(Canada Centre for Remote Sensing).[5] Diagram alir dari algoritma tersebut dapat dilihat di Gambar 2.1. Pada algoritma ini dilakukan dua hal yaitu mendeteksi piksel potensial hotspot dan Gambar 2.1 Algoritma penentuan hotspot dari CCRS [5] Pengembangan Sistem Monitoring..., Raditya Pratama Nugraha, FT UI, 2014 menghilangkan piksel hotspot palsu. Algoritma ini menggunakan data dari 4 kanal AVHRR yaitu kanal 2, 3b, 4 dan 5. Untuk mendeteksi piksel potensial hotspot, digunakan nilai suhu kecerahan dari kanal 3b. Piksel yang memiliki suhu kecerahan pada kanal 3b lebih dari 315 derajat Kelvin akan dianggap piksel potensial hotspot. Proses penghilangan api palsu dilakukan dengan 4 tahap. Pertama, dicari piksel yang memiliki perbedaan suhu kecerahan antara kanal 3b dan 4 kurang dari 14 derajat Kelvin. Pikselpiksel yang memiliki perbedaan suhu kecerahan antara kanal 3 dan 4 kurang dari 14 derajat Kelvin dianggap sebagai piksel api palsu yang disebabkan oleh latarbelakang yang panas. Tes selanjutnya menggunakan suhu kecerahan kanal 4 untuk mendeteksi piksel api palsu yang disebabkan oleh awan yang sangat reflektif. Tes ketiga dilakukan untuk menghilangkan objek-objek yang memiliki suhu kecerahan yang tinggi pada piksel awan dan piksel permukaan. Piksel hotspot memiliki reflektansi yang rendah di kanal 2 karena adanya abu dan konsumsi vegetasi. Jadi piksel api potensial dengan reflektansi di kanal 2 lebih dari 0.22 dianggap api palsu. Tes keempat dilakukan untuk menghilangkan piksel api palsu yang diakibatkan oleh awan cirrus tipis. Dalam beberapa kasus, kombinasi latar belakang panas dan awan tipis dapat membuat nilai suhu kecerahan di kanal 3b pada piksel tersebut tinggi sehingga dapat melewati tes kedua. Awan cirrus tipis memiliki suhu kecerahan di kanal 4 yang rendah dan suhu kecerahan di kanal 3b yang tinggi karena pantulan cahaya. Tes ini menggunakan perbedaan suhu kecerahan di kanal 4 dan 5. Perbedaan suhu kecerahan di kanal 4 dan 5 digunakan untuk mendeteksi awan cirrus tipis. Lalu, pada algoritma dari CCRS ini dilakukan dua seleksi tambahan. Di Kanada, tempat penggunaan algoritma ini untuk mendeteksi hotspot, Api dari kebakaran hutan memiliki area yang lebih luas dan lebih tahan lama dibandingkan api lain. Dengan membatasi hanya pada kebakaran hutan, beberapa masalah dapat diatasi yaitu deteksi piksel api palsu akibat kilau matahari dan pantulan tanah. Jadi pada algoritma ini, deteksi api hanya dilakukan di daerah hutan. Seleksi kedua dilakukan untuk menghilangkan piksel api tunggal. Piksel api tunggal dapat terjadi karena masalah kilau matahari pada danau. Seleksi ini dapat dilakukan karena kebakaran di hutan boreal biasanya melebar melebihi resolusi spasial AVHRR yaitu 1.1 x 1.1 km. Pengembangan Sistem Monitoring..., Raditya Pratama Nugraha, FT UI, 2014 C. MapServer MapServer adalah platform open source untuk menampilkan data spasial dan aplikasi pemetaan interaktif di web. Dikembangkan pada pertengahan tahun 1990 di Universitas Minnesota, MapServer diterbitkan dibawah lisensi bergaya MIT. Beberapa fitur utama MapServer adalah : • Duklungan untuk menampilkan ratusan format data raster, vektor dan basis data • Kemampuan berjalan di beberapa sistem operasi (Windows, Linux, Mac OS X) • Konversi proyeksi peta • Keluaran aplikasi yang bisa diubah-ubah Gambar 2.2 Arsitektur MapServer [8] Gambar 2.2 adalah gambar arsitektur mapserver. MapServer menerima data masukan berupa data yang berada dalam server dan data yang diambil dari web. Pengaturan data masukan tersebut berada dalam data mapfile. Lalu melalui aplikasi CGI MapServer, data ditampilkan dengan webserver. Pengembangan Sistem Monitoring..., Raditya Pratama Nugraha, FT UI, 2014 3. METODOLOGI PENELITIAN A. Data Penelitian Sebenarnya pada rencana penelitian, data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data level 1 b hasil keluaran software timestep pada komputer yang terhubung dengan hrpt receiver. Namun karena ada masalah teknis sehingga data yang telah diambil dan disimpan di komputer tidak dapat diolah menjadi data level 1b, jadi untuk penggantinya akan digunakan data satelit NOAA/AVHRR-HRPT, LAC dan GAC dalam bentuk level 1 b. Data-data ini diperoleh dari situs www.class.noaa.gov milik National Oceanic and Atmospheric administration. Di situs www.class.noaa.gov, untuk pengambilan data bulan desember 2014, tersedia banyak data GAC untuk area batasan masalah penelitian, yaitu dari tiga satelit NOAA yang masih beroperasi yaitu NOAA 15, 18 dan 19. Terdapat sedikit data LAC untuk area batasan masalah penelitian yaitu hanya dari satelit NOAA 19. Lalu, hampir tidak ada data HRPT yang tersedia untuk area batasan masalah penelitian melainkan hanya sedikit cakupan di provinsi aceh. Proses pengambilan data memakan waktu yang tidak tentu, dari paling cepat sekitar 2 jam dan paling lama memakan waktu sekitar 5 hari, dan ada kemungkinan proses pengambilan data tidak berhasil. Karena adanya dua masalah tersebut pada pengambilan data dari internet maka jika sistem penerimaan data satelit NOAA telah dapat berjalan dengan baik, citra HRPT yang diinginkan akan dapat didapatkan dengan mudah secara real-time tergantung posisi orbit satelit NOAA. B. Tahapan Penelitian & Software Pendukung Gambar 3.1 adalah diagram alir dari tahapan penelitian yang dilakukan. Pertama, data didapatkan dengan mengunduh dari situs www.class.noaa.gov. Data yang dibutuhkan dicari terlebih dahulu dengan menentukan tipe data yaitu data dari sensor AVHRR. Setelah itu tentukan batas area pencarian, batas tanggal dari data yang diinginkan, tipe data yang diinginkan, arah gerakan satelit, stasiun penerima data, dan data dari satelit apa yang diinginkan. Data yang didapatkan dalam bentuk level 1b. Setelah data didapatkan, dilakukan kalibrasi pada data level 1 b untuk merubah data pada kanal 1 dan 2 menjadi persen reflektansi dan merubah data pada kanal 3b, 4 dan 5 menjadi temperatur kecerahan. Setelah kalibrasi data, dilakukan koreksi geometris agar citra tampak seperti pada peta. Setelah itu, digunakan algoritma CCRS untuk menentukan hotspot . Setelah Pengembangan Sistem Monitoring..., Raditya Pratama Nugraha, FT UI, 2014 data hotspot didapatkan, ditampilkan di web bersama dengan tampilan lapisan lain seperti garis pantai. Gambar 3.1 Diagram alir penelitian 1) Software Pendukung Dalam penelitian ini digunakan beberapa software pendukung yaitu software ENVI dan software QGIS. Software ENVI digunakan untuk memproses data level 1b menjadi data hotspot. Software QGIS digunakan untuk mengubah format data hotspot hasil keluaran software ENVI yang berbentuk data raster menjadi format data hotspot berbentuk data vektor untuk ditampilkan di web-GIS. Pengembangan Sistem Monitoring..., Raditya Pratama Nugraha, FT UI, 2014 2) Proses Pengolahan Data Level 1b Menjadi Data Hotspot Gambar 3.2 adalah contoh citra dari data level 1b dengan kanal 1, 2 dan 4. Kanal 1 sebagai warna merah, kanal 2 sebagai warna biru dan kanal 4 sebagai warna hijau. Dapat dilihat pada gambar 3.2, pada citra tersebut terdapat efek distorsi dimana area tengah citra memiliki ukuran normal dan area pinggir kiri dan kanan citra memiliki ukuran kecil. Citra tersebut juga masih terbalik dan tidak sesuai ukuran standar peta. Hal ini akan diatasi dengan koreksi geometris. Terdapat juga efek kilau matahari pada sisi kanan citra. Pada data level 1b yang belum diproses, nilai dari setiap piksel adalah nilai radiansi. Pada proses kalibrasi, nilai piksel akan diubah menjadi nilai suhu kecerahan dan nilai reflektansi agar algoritma untuk menentukan hotspot dapat diterapkan. Gambar 3.3 adalah citra RGB yang telah dikalibrasi. Dapat dilihat bahwa citra yang ditampilkan tidak dapat dikenali bentuknya. Hal ini karena proses kalibrasi telah mengubah nilai radiansi data level 1b menjadi nilai reflektansi dan suhu kecerahan sehingga hal yang dapat dikenali dari citra hanya awan. Gambar 3.2 Citra RGB data level 1b Pengembangan Sistem Monitoring..., Raditya Pratama Nugraha, FT UI, 2014 Setelah proses kalibrasi, dilakukan koreksi geometris agar data dapat ditampillkan di peta. Koreksi geometris akan merotasi gambar agar sesuai pada peta dan memperbesar piksel di sisi kiri dan kanan pixel agar mempunyai ukuran yang sama dengan piksel di tengah citra. Gambar Gambar 3.4 adalah citra level 1b setelah proses koreksi geometris tanpa kalibrasi. Gambar 3.3 Citra RGB yang telah dikalibrasi Gambar 3.4 Citra level 1b setelah proses koreksi geometris Proses selanjutnya adalah menentukan hotspot dari citra tersebut. Hal ini dilakukan dengan menerapkan algoritma penentuan hotspot dengan menggunakan nilai dari data level 1b yang telah dikalibrasi. Gambar 3.5 adalah diagram alir dari algoritma penentuan hotspot yang digunakan dalam penelitian ini. Algoritma penentuan hotspot ini telah dijelaskan di bab 2. Terdapat beberapa perbedaan pada algoritma untuk menentukan yang digunakan pada penelitian ini dengan algoritma milik CCRS yaitu pada pemakaian masking hutan dan Pengembangan Sistem Monitoring..., Raditya Pratama Nugraha, FT UI, 2014 penghilangan piksel tunggal. Pada penelitian ini tidak digunakan mask hutan untuk mendeteksi kebakaran yang tidak terjadi di hutan. Penghilangan piksel hotspot tunggal juga tidak dilakukan untuk mendeteksi kebakaran kecil. Selain adanya perbedaan tersebut, algoritma penentuan hotspot yang digunakan sama seperti algoritma yang telah dijelaskan di bab 2. Gambar 3.5 Algoritma penentuan hotspot Pengembangan Sistem Monitoring..., Raditya Pratama Nugraha, FT UI, 2014 Gambar 3.6 adalah citra piksel hotspot. Piksel hotspot adalah pixel berwarna merah. Karena hanya terdapat sedikit piksel hotspot, Gambar 3.6 adalah hasil crop dari citra sebenarnya. Setelah data hotspot didapatkan, data hotspot diubah dari format raster menjadi format Gambar 3.6 Citra piksel hotspot vector untuk ditampilkan dalam web-GIS. Data hostpot dengan format vector yang dihasilkan berupa titik-titik yang memiliki lokasi di tengah-tengah setiap piksel hotspot. 3) Menampilkan Data Dalam Web-GIS Selanjutnya citra piksel hotspot akan ditampilkan dalam web-GIS. Citra piksel hotspot tersebut akan ditampilkan bersama data yang lain yaitu garis pantai, garis lintang dan garis bujur, dan citra level 1b yang telah dikoreksi secara geometris tanpa kalibrasi. Komputer yang digunakan untuk menyimpan data hotspot dan data web-GIS menggunakan sistem operasi Windows. Sistem operasi ini dipilih agar pada komputer tersebut juga dapat dijalankan software ENVI untuk pengolahan data hotspot. Pengembangan Sistem Monitoring..., Raditya Pratama Nugraha, FT UI, 2014 4. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil pengambilan data Satelit Data telah dapat diterima oleh perangkat penerima data satelit, namun karena masalah teknis, data tersebut tidak dapat diolah menjadi data level 1b sehingga tidak dapat diproses lebih lanjut. Gambar 4.1 adalah contoh citra yang diterima oleh perangkat penerima data satelit. Dapat dilihat bahwa citra yang diterima sudah cukup baik dan dapat dilihat hasilnya, namun belum dapat diolah menjadi data level 1b. Gambar 4.1 Citra hasil penerimaan data satelit Pengembangan Sistem Monitoring..., Raditya Pratama Nugraha, FT UI, 2014 B. Tampilan web-GIS Gambar 4.2 adalah tampilan awal web-GIS. Fungsi-fungsi standar pada webgis seperti pan, zoom in, zoom out, pemilihan layer, dan peta referensi dapat digunakan. Layer yang dapat ditampilkan pada tampilan web-GIS adalah layer batas provinsi, layer garis lintang dan garis bujur, layer citra satelit NOAA dan layer piksel hotspot. Gambar 4.2 Tampilan awal web-GIS 1) Fasilitas Pan dan Zoom Fasilitas pan, zoom in dan zoom out dapat digunakan untuk melihat lebih jelas daerah yang diinginkan. Zoom in dapat dilakukan dengan memilih zoom in dengan tingkat yang diinginkan pada menu pull-down Map Control, lalu mengklik daerah pada peta gambar yang ingin diperbesar. Gambar 4.3 menunjukkan tampilan web-GIS setelah dilakukan zoom in. Pengembangan Sistem Monitoring..., Raditya Pratama Nugraha, FT UI, 2014 Fasilitas zoom out dapat digunakan dengan memilih zoom out dengan tingkat yang diinginkan pada menu pull-down Map Control, lalu mengklik daerah pada peta gambar untuk Gambar 4.3 Tampilan web-GIS setelah di zoom in bagian tengah peta gambar yang akan diperkecil. Gambar 4.4 menunjukkan tampilan web-GIS setelah dilakukan zoom out. Fasilitas pan dapat digunakan dengan memilih ‘Recenter’ pada menu pull-down Map Control, lalu mengklik daerah pada peta gambar ke arah penggeseran gambar. Gambar 4.5 menunjukkan tampilan web-GIS setelah dilakukan zoom in lalu dilakukan pan. Gambar 4.4 Tampilan web-GIS setelah di zoom out Pengembangan Sistem Monitoring..., Raditya Pratama Nugraha, FT UI, 2014 Gambar 4.5 Tampilan web-GIS setelah di zoom in dan pan 2) Fasilitas Pemilihan Layer dan Peta Referensi Pemilihan layer yang akan ditampilkan dapat dilakukan dengan mengklik check box yang ada di bagian atas web-GIS dan letaknya ditunjukkan pada Gambar 4.6. Gambar 4.6 juga menunjukkan tampilan web-GIS dengan tambahan garis lintang dan garis bujur. Layer yang dapat dipilih untuk ditampilkan ataupun dihilangkan adalah layer garis lintang dan bujur, layer Gambar 4.6 Tampilan web-GIS dengan tambahan layer garis lintang dan bujur dan letak check box layer Pengembangan Sistem Monitoring..., Raditya Pratama Nugraha, FT UI, 2014 tampilan citra satelit NOAA dan layer hotspot yang terdeteksi. Layer batas propinsi dan garis pantai selalu ditampilkan. Peta referensi ditampilkan di sebelah kanan web-GIS. Peta referensi berfungsi untuk menunjukkan letak daerah tampilan web-GIS setelah dilakukan zoom in seperti terlihat pada Gambar 4.3 dan Gambar 4.5. 3) Perbandingan Jumlah Hotspot Pada Musim Penghujan Dan Kemarau Pada musim kemarau, terdapat hotspot yang lebih banyak dibandingkan dengan pada saat musim penghujan. Gambar 4.7 adalah tampilan web-GIS dengan data satelit NOAA tanggal 23 Juni 2013. terdapat 75 hotspot pada data tersebut. Gambar 4.7 Tampilan web-GIS saat kemarau Gambar 4.8 adalah tampilan web-GIS pada saat musim penghujan yaitu dengan data satelit NOAA tanggal 10 Oktober 2014. terdapat 4 hotspot pada data tersebut. Gambar 4.8 Tampilan web-GIS saat musim penghujan Pengembangan Sistem Monitoring..., Raditya Pratama Nugraha, FT UI, 2014 4.4 Perbandingan Data Hotspot dengan Sensor MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) Pada Gambar 4.9 ditampilkan grafik perbandingan data hotspot yang didapatkan dengan data tahun 2013 dengan data hotspot sensor MODIS satelit Aqua. Data hotspot sensor modis diunduh dari situs https://earthdata.nasa.gov/data/near-real-time-data/firms/active-fire-data . 2500 2000 1500 1000 500 06/12/2013 06/11/2013 06/10/2013 06/09/2013 06/08/2013 06/07/2013 06/06/2013 06/05/2013 06/04/2013 06/03/2013 AVHRR 06/02/2013 0 06/01/2013 Jumlah Hotspot Perbandingan data hotspot pada tahun 2013 antara sensor AVHRR dan MODIS MODIS Tanggal Gambar 4.9 Perbandingan data hotspot antara sensor AVHRR dan MODIS Pada gambar 4.9 dapat dilihat bahwa data hotspot sensor AVHRR sesuai dengan data hotspot sensor MODIS, namun untuk jumlah hotspot yang sedikit, sulit dideteksi dengan sensor AVHRR. 5. KESIMPULAN 1. Data NOAA/AVHRR HRPT dapat digunakan sebagai data untuk mengetahui lokasi hotspot pada periode tertentu dengan proses penghitungan dengan menggunakan data kanal 2,3b,4 dan 5 dari sensor AVHRR 2. Jumlah hotspot pada musim kemarau lebih banyak dibandingkan dengan jumlah hotspot pada musim penghujan Pengembangan Sistem Monitoring..., Raditya Pratama Nugraha, FT UI, 2014 6. REFERENSI [1] Rona Dennis (1999), A review of Fire Projects in Indonesia (1982-1998) [2] “Remote sensing tutorial”, http://fas.org/irp/imint/docs/rst/Front/tofc.html [5] Z. Li, S. Nadon, J.Cihlar (2000), “Satellite-based detection of Canadian boreal forest fires: development and application of the algorithm,” Int. J. Remote Sensing, vol 21, no 16, pp 3057-3069 [6] Timestep NOAA AVHRR/CHRPT manual Pengembangan Sistem Monitoring..., Raditya Pratama Nugraha, FT UI, 2014