4 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang

advertisement
4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah
dalam penelitian adalah: bagaimanakah pengelolaan rujukan kasus maternal di
Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura?.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengelolaan
rujukan kasus maternal di RSUD Jayapura.
Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui penanganan rujukan kasus maternal di IGD RSUD
Jayapura.
2. Untuk mengetahui bagaimana cara pengiriman rujukan kasus maternal dari
IGD ke ruang Kebidanan di RSUD Jayapura.
3. Untuk mengetahui penanganan rujukan kasus maternal di bagian Kebidanan
RSUD Jayapura.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat sebagai bahan informasi dan pertimbangan
bagi pengambil kebijakan di Pemerintahan Propinsi Papua, sebagai bahan
informasi dan pertimbangan bagi pihak manajemen RSUD Jayapura, khususnya
pengeloalan rujukan kasus maternal. sebagai pengalaman bagi peneliti untuk
melakukan penelitian bidang kesehatan, khususnya pengelolaan rujukan kasus
maternal di rumah sakit.
E. Keaslian Penelitian
Tiga penelitian yang diacu sebagai penelitian terdahulu adalah sebagai
berikut. Ritonga (2005) meneliti tentang manjemen unit gawat darurat pada
penanganan kasus gawat obstetri di RSUD dr Tengku Mansyur Tanjung Balai
tahun 2005-2006, mengatakan pelayanan dan pengelolaan unit gawat darurat
secara teknis dan administratif belum berjalan secara optimal. Suhartini N (2005)
meneliti tentang pemanfaatan rujukan kasus kebidanan oleh bidan praktek swasta
5
di RSUD Pare Kabupaten Kediri Jawa Timur, dengan subjek penelitian adalah
bidan-bidan praktek swasta dan pasien yang dirujuk ke RSUD Pare maupun ke
rumah sakit dan klinik swasta di wilayah Kabupaten Kediri. Gufria (2007)
meneliti tentang pencegahan keterlambatan rujukan maternal di Kabupaten
Majene. Mengatakan keterlambatan rujukan kasus maternal disebabkan beberapa
faktor yaitu: keterbatasan sarana transportasi untuk daerah terpencil, terlambat
pengambilan keputusan oleh pihak keluarga, keterbatasan kemampuan petugas
kesehatan untuk menangani kasus kegawatdaruratan obstetri dan terlambat
mendapatkan penanganan yang adekuat oleh petugas kesehatan, faktor geografi,
jarak dan infrastruktur jalan sangat mempengaruhi akses masyarakat untuk
melakukan rujukan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka
A. Manajemen Rumah Sakit
Pelayanan kesehatan khususnya bidang kesehatan Rumah Sakit adalah
salah satu sarana kesehatan untuk melaksanakan upaya kesehatan secara
berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan,
pemulihan yang dilaksanakan secara terpadu, tercapainya pola dan tindakan
rumah sakit dalam upaya meningkatkan pelayanan kesehatan rumah sakit.
Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) berdasarkan Kepres No. 40 Tahun 2001
tentang Pedoman Kelembagaan dan Pengelolaan Rumah Sakit Daerah serta
Keputusan Mendagri No. 1 Tahun 2002 tentang Pedoman Susunan Organisasi
dan Tata Kerja Rumah Sakit Daerah disebutkan bahwa Rumah Sakit Umum
Daerah berkedudukan sebagai lembaga teknis daerah atau unsur penunjang
pemerintah daerah. Rumah Sakit Umum Daerah dipimpin oleh seorang kepala
dengan sebutan Direktur yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada
kepala daerah melalui sekretaris daerah. Rumah Sakit Daerah dapat berbentuk
lembaga teknis daerah atau Badan Usaha Milik Daerah. Kelembagaan Rumah
Sakit Daerah ditetapkan dengan peraturan daerah.
Rumah Sakit mempunyai tugas melaksanakan upaya kesehatan secara
berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan,
pemulihan yang dilaksanakan secara serasi terpadu dengan upaya peningkatan
serta pencegahan dan melaksanakan upaya rujukan. Fungsi Rumah Sakit
Umum Daerah adalah menyelenggarakan pelayanan medis yang mencakup
pelayanan penunjang medis dan non medis, pelayanan dan asuhan
keperawatan, pelayanan rujukan fungsi, pendidikan dan pelatihan, penelitian
dan pengembangan, serta pengelolaan administrasi dan keuangan.
Rumah sakit menurut American Hospital Association 1974, adalah suatu
organisasi yang melalui tenaga medis professional yang terorganisasi serta
sarana kedokteran yang permanen menyelanggarakan pelayanan kedokteran,
19
20
asuhan keperawatan yang berkesinambungan, diagnosis serta pengobatan
penyakit tertentu kematian yang diderita oleh pasien. Selain itu rumah sakit
juga merupakan tempat dimana orang mencari dan menerima pelayanan
kedokteran serta tempat dimana pendidikan klinik untuk mahasiswa
kedokteran, perawat dan berbagai tenaga profesi kesehatan lainnya
diselenggarakan (Azwar, 1996).
Dalam memberikan pelayanan khususnya bidang Kesehatan Rumah
Sakit adalah salah satu sarana kesehatan untuk melaksanakan upaya kesehatan
secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya
penyembuhan, pemulihan yang dilaksanakan secara terpadu, tercapainya pola
dan tindakan Rumah sakit dalam upaya pengelolaannya Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) mempunyai keunikan, karena secara teknis medis berada
dibawah koordinasi Depkes, sedangkan secara kepemilikan sebenarnya berada
di bawah pemerintah provinsi kabupaten/kota dengan pembinaan urusan
kerumah-tanggaan dari Departemen Dalam Negeri (Trisnantoro, 2005).
Sesungguhnya pelayanan rumah sakit bukan hanya individu pasien
semata-mata, namun
dikembangkan
mencakup keluarga pasien serta
masyarakat dengan memperlakukan pasien sebagai manusia seutuhnya, selain
itu pelayanan kesehatan rumah sakit adalah merupakan bagian integral dari
pelayanan kesehatan secara keseluruhan dalam rujukan medik, pengayoman
medik dalam wilayah rumah sakit (Saifuddin, et al., 2002).
B. Pelayanan Gawat Darurat
Pengertian umum standar di bidang pelayanan kesehatan didefinisikan
sebagai pernyataan ekspetasi atau harapan mengenai struktur (input), proses
dan outcome dari sistem kesehatan di berbagai tingkat pelayanan baik di
tingkat pelayanan kesehatan dasar (primary care), pelayanan kesehatan
sekunder (secondary care) maupun pelayanan kesehatan tersier (tertiary care),
termasuk di sini adalah standar struktur, proses dan outcome dari Sistem
Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) baik di tingkat pra rumah
21
sakit (primary care), di rumah sakit (secondary care) atau rujukan antar rumah
sakit (secondary dan tertiary care).
Komponen-komponen penting dalam SPGDT sehari-hari dan bencana:
(1) Komponen pra rumah sakit, komponen rumah sakit dan komponen antar
rumah sakit. (2) Komponen penunjang adalah komunikasi, seperti telepon,
mobile phone, radio medik dll. Transportasi, seperti ambulans, Pusling, (3)
Komponen
sumber
daya
manusia:
petugas
kesehatan
(dokter,
perawat/paramedis) dan non kesehatan (awam umum, awam khusus, polisi,
PMK, PMI), dan(4) Komponen sektor-sektor terkait (sektor kesehatan dan
sektor non kesehatan) (Depkes, 2006).
Azwar (1996) menyebutkan yang dimaksud dengan pelayanan gawat
darurat (emergency care) adalah bagian dari pelayanan kedokteran yang
dibutuhkan oleh penderita dalam waktu segera (immediately) untuk
menyelamatkan
kehidupannya
(life
saving).
Unit
kesehatan
yang
menyelenggarakan pelayanan gawat darurat disebut dengan nama Unit Gawat
Darurat (Emergency Unit). Tergantung dari kemampuan yang dimiliki,
Keberadaan IGD tersebut yang dapat beraneka macam. Namun yang lazim
ditemukan adalah yang tergabung dalam rumah sakit (hospital based
emergency unit). Hanya saja betapapun telah majunya sistem rumah sakit yang
dianut oleh suatu Negara, bukan berarti tiap rumah sakit memiliki kemampuan
mengelola IGD sendiri. Untuk mengelola kegiatan IGD memang tidak mudah.
Penyebab utamanya adalah karena IGD salah satu unit kesehatan yang paling
padat modal, padat karya, serta padat teknologi. Kegiatan utama yang menjadi
tanggung jawab IGD adalah menyelenggarakan pelayanan gawat darurat. jenis
pelayanan kedokteran yang bersifat khas ini sering disalahgunakan. Pelayanan
gawat darurat yang sebenarnya bertujuan untuk menyelamatkan kehidupan
penderita (live saving), sering dimanfaatkan hanya untuk memperoleh
pelayanan pertolongan pertama (first aid) dan bahkan pelayanan rawat jalan
(ambulatory care). Pengertian gawat darurat yang dianut oleh anggota
masyarakat memang berbeda dengan petugas kesehatan. Oleh anggota
masyarakat, setiap gangguan kesehatan yang dialaminya, dapat saja diartikan
22
sebagai keadaan darurat (emergency) dan karena itu mendatangi IGD untuk
meminta pertolongan. IGD menyelenggarakan pelayanan penyaringan untuk
kasus-kasus yang membutuhkan pelayanan rawat inap intensif. Kegiatan kedua
yang menjadi tanggung jawab IGD adalah menyelenggarakan pelayanan
penyaringan untuk kasus-kasus yang membutuhkan pelayanan intensif. Pada
dasarnya kegiatan ini merupakan lanjutan dari pelayanan gawat darurat, yakni
dengan merujuk kasus-kasus gawat darurat yang dinilai berat untuk
memperoleh pelayanan rawat inap intensif. Pada saat ini di Rumah Sakit
memang telah tersedia beberapa unit kesehatan yang secara khusus
menyelanggarakan pelayanan rawat inap intensif tersebut. Seperti misalnya
Unit Perawatan Insentif (Intensive Care Unit) untuk kasus-kasus penyakit
tertentu, serta Unit Perawatan Jantung Intensif (Intensive Cardiac Care Unit)
untuk kasus-kasus penyakit tertentu kematian jantung. IGD menyelenggarakan
pelayanan informasi medis darurat. Kegiatan ketiga yang menjadi tanggung
jawab IGD adalah menyelenggarakan informasi medis darurat dalam bentuk
menampung serta menjawab semua pertanyaan anggota masyarakat yang ada
hubungannya dengan keadaan medis darurat (emergency medical questions).
dibandingkan dengan kegiatan pertama dan kedua, kegiatan ketiga ini belum
banyak diselenggarakan.
Berbagai masalah pelayanan gawat darurat sebagaimana dikemukakan di
atas, ada tiga upaya penyelesaian yang dapat dilaksanakan adalah: (1)
meningkatkan kegiatan pendidikan kesehatan masyarakat, sehingga disatu
pihak pemahaman masyarakat terhadap pelayanan gawat darurat dapat
ditingkatkan, dan di pihak lain ketrampilan masyarakat menanggulangi sendiri
(self medication) masalah-masalah kesehatan sederhana (first aid) dapat
ditingkatkan, (2) menambah jumlah sarana kesehatan yang bertanggung jawab
menyelanggarakan pelayanan rawat jalan, termasuk pelayanan pertolongan
pertama. Banyak Negara maju, pelayanan pertolongan pertama ini telah
dilaksanakan oleh bukan sarana kesehatan, seperti Dinas Pemadam Kebakaran
misalnya, dan (3) menggalakkan program asuransi kesehatan, terutama yang
menganut sistem pembayaran pra-upaya (pre-payment system) (Azwar, 1996).
23
C. Penanggulangan Gawat Obstetri
Menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI), intervensi prapersalinan
merupakan strategi umum yang diterapkan di Indonesia, seperti halnya di
Negara lain, sebagai alat pemeriksaan persalinan resiko tinggi, strategi ini
belum mampu menurunkan AKI terutama oleh karena faktor sistem rujukan,
serta ketersedian, dan efektifitas intervensi. Oleh karena itu salah satu prioritas
utama kebijakan “Safe Motherhood” adalah meningkatkan atau menjamin
akses pelayanan kesehatan bagi kegawat daruratan obstetri. (Azwar, 1996)
Sistem rujukan di Indonesia menjadikan RS tingkat kabupaten sebagai
pusat rujukan sekunder, yang memiliki berbagai fungsi pelayanan maupun
pendidikan. Untuk meningkatkan fungsinya sebagai tempat rujukan sekunder
peningkatan fasilitas Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan prasyarat bagi
tersedianya pelayanan kesehatan yang memadai. Namun
demikian
tidak
menjamin digunakannya fasilitas pelayanan kesehatan pada saat dibutuhkan
dapat menurunkan AKI. Masih ada wanita yang meninggal meskipun telah
tersedia pelayanan kesehatan tersebut. Sistem rujukan ini dikembangkan
karena sarana pelayanan kesehatan masih terbatas jumlah, kemampuan, dan
penyebarannya. Disamping itu tenaga yang terlibat dalam perawatan obstetri
sangat beragam, seperti: dukun, perawat, bidan, dokter umum, dokter ahli yang
jumlah dan penyebaraannya masih terbatas. (Wijono, 1999).
Latar belakang pendidikan yang berbeda menyebabkan kemampuan dan
ketrampilan juga berbeda. Untuk mencapai tujuan pelayananan obstetri yaitu
keamanan proses persalinan dengan hasil akhir bayi yang sehat, dan ibu dengan
resiko yang minimal, maka unit pelayanan dan tenaga obstetri harus saling
bekerjasama dan terpadu.
Komplikasi obstetri: komplikasi yang disebabkan oleh/terkait dengan
kehamilan, persalinan, dan masa pasca persalinan. Berikut ini adalah
komplikasi obstetri yang mengancam keselamatan jiwa yang mungkin terjadi:
pendarahan (pra melahirkan, saat melahirkan, dan pasca melahirkan),
persalinan yang lama/terhambat, sepsis pada masa pasca persalinan, komplikasi
aborsi, pre-eklampsia/eklampsia, kehamilan di luar kandungan, dan rahim
24
robek. Sarana PONED adalah sarana kesehatan yang mampu melakukan
pelayanan berikut ini dalam menangani emergensi obstetri: memberikan
suntikan antibiotik, memberikan obat oxytocin, memberikan obat anti kejang
untuk pre-eklampsia dan eklampsia, melepaskan plasenta secara manual,
mengeluarkan sisa plasenta yang tertinggal (misalnya aspirasi vakum manual),
melakukan pertolongan persalinan pervaginam dan menggunakan vacuum
extractor; dan melakukan resusitasi pada bayi baru lahir. PONEK adalah
tindakan yang disebut diatas, ditambah dengan seksio sesarea dan transfusi
darah.
Mutu Pelayanan dan Rujukan Obstetri dan tingginya AKI, penelitian
dari beberapa RS pendidikan menunjukan mutu pelayanan obstetri masih
rendah. Hal ini dikarenakan sebagian besar kasus rujukan persalinan datang
ke RS dalam keadaan umum yang kurang baik, bahkan datang dalam keadaan
kritis dan tidak sempat diberi pertolongan, tidak sedikit kasus rujukan
persalinan dikirim tanpa diberi pengobatan awal atau penanganan yang
kurang memadai, pasien tiba dalam keadaan shock, dan tidak diinfus.
Rujukan pengetahuan dan ketrampilan kepada tenaga obstetri masih
banyak kendala yang dihadapi, misalnya: SpOG terlalu sibuk dengan tugas
pelayanan pasien, keterbatasan dana untuk pembinaan, keterbatasan ruang
lingkup dan wewenang. Hal ini merupakan kendala yang perlu dihadapi.
Penyebab utama tingginya AKI adalah adanya tiga terlambat (3T) yaitu: (1)
Terlambat untuk mencari pertolongan bagi kasus kegawatdaruratan obstetri
yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan, tradisi, budaya ataupun faktor
ekonomi, (2) Terlambat mencapai tempat rujukan yang disebabkan oleh
keadaan geografi atau masalah tranportasi, (3) Terlambat memperoleh
penanganan yang adekuat setelah tiba di tempat rujukan oleh karena
kurangnya tenaga sumber daya yang terampil, sarana dan fasilitas kesehatan
untuk pelayanan kesehatan dasar maupun kasus kegawatdaruratan. Tiga
terlambat ini juga sangat dipengaruhi oleh dana dari keluarga ibu bersalin,
walaupun cepat dirujuk, tetapi oleh karena tidak tersedianya uang maka, niat
merujuk dibatalkan sendiri oleh keluarganya. Dana yang diperlukan tidak saja
25
untuk tranportasi dan biaya perawatan di puskesmas atau rumah sakit, tetapi
diperlukan juga untuk keluarga yang mengantar, sehingga jumlah dana yang
dibutuhkan cukup besar. Salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap
tingginya AKI adalah proses rujukan yang terlambat dan ketidaksiapan
fasilitas kesehatan terutama ditingkat rujukan primer (Puskesmas) dan tingkat
rujukan sekunder (RS Kabupaten) untuk melakukan pelayanan kedaruratan
obstetri emergensi komprehensif (PONEK). (Prawirohardjo, 1994)
Keberhasilan pengelolaan kasus obstetri antara lain tergantung pada
dukungan kemampuan teknis medis ditingkat pelayanan dasar dan rujukannya
ke tingkat yang lebih mampu. Pada umumnya pasien akan mencari
pertolongan kesehatan ke fasilitas kesehatan yang terdekat dengan tempat
tinggal mereka, karena hal tertentu mereka mendatangi tempat pelayanan
yang jauh, maka petugas kesehatan tersebut harus mampu untuk
menginformasikan fasilitas kesehatan yang terdekat dan dapat memberikan
pelayanan kesehatan lanjutan. mengingat ± 90% kematian ibu terjadi disaat
sekitar persalinan dan ± 95% penyebab kematian ibu adalah komplikasi
obstetri yang sering tidak dapat diperkirakan sebelumnya, maka Departemen
Kesehatan (DepKes) mempercepat penurunan AKI dengan mengupayakan
setiap persalinan ditolong atau minimal didampingi oleh bidan, pelayanan
obstetri sedekat mungkin kepada ibu hamil.
Pelaksanaan operasional, sejak tahun 1994 ditetapkan strategi sebagai
berikut: (1) Penanganan tim daerah Kabupaten/Kota (Dinas Kesehatan dan
seluruh jajarannya, rumah sakit kabupaten dan pihak terkait) dalam upaya
mempercepat penurunan AKI sesuai dengan peran dan fungsinya masingmasing. (2) Pembinaan SDM yang intensif di setiap daerah Kabupaten/Kota,
sehingga pada akhir PELITA VII cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan
lebih
dari
80%,
bidan
mampu
memberikan
pertolongan
pertama
kegawatdaruratan obstetri neonatal dan puskesmas sanggup memberikan
Pelayanan Obstetri Neonatal Dan Essential Dasar (PONED), yang didukung
oleh rumah sakitdaerah kabupaten/kota sebagai fasilitas rujukan utama yang
mampu menyediakan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif
Download