1 UJI RESISTENSI Staphylococcus aureus DARI PASIEN INFEKSI

advertisement
UJI RESISTENSI Staphylococcus aureus DARI PASIEN INFEKSI KULIT DI RUMAH
SAKIT SILOAM KARAWACI TANGERANG BANTEN TERHADAP OKSASILIN,
VANKOMISIN, KLINDAMISIN, DAN LEVOFLOKSASIN
SUSCEPTIBILITY TEST OF Staphylococcus aureus OF SKIN INFECTION PATIENTS AT
SILOAM HOSPITAL KARAWACI TANGERANG BANTEN AGAINST OXACILLIN,
VANCOMYCIN, CLINDAMYCIN, AND LEVOFLOXACIN
Welly Wiliarni, Priyo Wahyudi, Priyanto
Fakultas Farmasi dan Sains Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Jakarta
ABSTRAK
Staphylococcus aureus merupakan bakteri penyebab penyakit infeksi. Infeksi yang disebabkan oleh
bakteri diterapi menggunakan antibiotika. Penggunaan antibiotika yang irrasional dan intensif dapat
menyebabkan terjadinya resistensi. Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk tidak terbunuh atau
tidak terhambat pertumbuhannya oleh antibiotika. Uji resistensi perlu dilakukan untuk mengetahui
kepekaan bakteri terhadap antibiotika, sehingga pengobatan efektif dan tepat guna. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui resistensi S. aureus patogen infeksi kulit dari pasien infeksi kulit
terhadap beberapa antibiotika pilihan terapi. Isolat S. aureus berasal dari pasien infeksi kulit di
Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang Banten periode Desember 2013-Januari 2014. Uji
penentuan resistensi bakteri dilakukan dengan metode difusi cakram. Antibiotika yang digunakan
yaitu oksasilin, vankomisin, klindamisin dan levofloksasin. Analisis data dengan membandingkan
diameter zona bening di sekitar cakram antibiotika uji dengan diameter zona hambat standar CLSI
2007. Hasil penelitian menunjukkan telah terjadi resistensi S. aureus terhadap oksasilin 40%,
vankomisin 40%, klindamisin 50%, dan levofloksasin 50%.
Kata Kunci: Staphylococcus aureus, infeksi kulit, resistensi, antibiotika
ABSTRACT
Staphylococcus aureus is a bacteria that cause infectious diseases. Infections caused by bacteria
treated with antibiotics. Irrational use of antibiotics and intensive application might cause
resistance. Resistance is the ability of bacteria to not killed or inhibited by antibiotics. This study
aim at determining the resistance pattern of S. aureus to oxacillin, vancomycin, clindamycin, and
levofloxacin. The bacteria that isolated from skin infection patients at Siloam Hospital Karawaci
Tangerang Banten on period of Desember 2013-January 2014. Disc diffusion method was used in
this study. Diameter of inhibition zone measure and compared to CLSI 2007. The result showed that
S. aureus already resisted to oxacillin 40%, to vancomycin 40 %, to clindamycin 50%, and to
levofloxacin 50%.
Key words: Staphylococcus aureus, skin infection, resistance, antibiotic
1
pertumbuhannya oleh suatu antibiotika
(Priyanto 2010).
Masalah resistensi ini menjadi serius
karena selain berdampak pada morbiditas dan
mortalitas, juga memberi dampak negatif
terhadap ekonomi dan sosial yang sangat
tinggi. Pada awalnya resistensi terjadi di
tingkat rumah sakit, tetapi lambat laun juga
berkembang di lingkungan masyarakat
(Kemenkes 2011). Uji resistensi perlu
dilakukan untuk mengetahui kepekaan bakteri
terhadap antibiotika, sehingga pengobatan
yang dilakukan akan efektif dan tepat guna.
Berdasarkan uraian tersebut maka
perlu dilakukan penelitian uji resistensi S.
aureus dari isolat pasien infeksi kulit di
Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang
Banten, untuk mengetahui persentase
resistensi S. aureus terhadap beberapa
antibiotika pilihan terapi
PENDAHULUAN
Penyakit infeksi merupakan salah satu
masalah kesehatan terbesar tidak saja di
Indonesia, tapi juga di seluruh dunia
(Mardiastuti dkk. 2007). Profil Kesehatan
Indonesia 2010 menunjukkan, prevalensi dan
jumlah kasus penyakit infeksi di Indonesia
lebih tinggi dibandingkan negara ASEAN lain
(Anonim 2011). Di Indonesia, penyakit
infeksi merupakan penyakit utama dan
penyebab kematian pertama (Priyanto 2010).
Selain virus sebagai penyebabnya, bakteri
juga tidak kalah pentingnya dalam
menyebabkan penyakit infeksi (Mardiastuti
dkk.
2007).
Staphylococcus
aureus
merupakan bakteri Gram positif yang dapat
menyebabkan berbagai macam penyakit,
mulai dari infeksi yang ringan sampai infeksi
yang mengancam jiwa dan fatal. Berbagai
infeksi yang dapat ditimbulkan oleh S. aureus
seperti
infeksi
kulit,
perikarditis,
osteomielitis, artritis septik, endokarditis, dan
sindrom syok toksik (Garna 2012).
Menurut profil kesehatan Kabupaten
Tangerang, gangguan lain kulit dan jaringan
lunak termasuk 20 besar penyakit di
Kabupaten Tangerang tahun 2010 (Anonim
2010). Rumah Sakit Siloam Karawaci
Tangerang Banten merupakan salah satu
rumah sakit yang berada di Kabupaten
Tangerang. Penyakit infeksi kulit menjadi
perhatian di Rumah Sakit Siloam Karawaci
Tangerang, karena banyaknya jumlah pasien
infeksi kulit yang disebabkan S. aureus.
Antibiotika sampai saat ini masih
menjadi obat andalan dalam penanganan kasuskasus penyakit infeksi (Utami 2012). Obat
pilihan pertama terapi antibiotika untuk
penyakit infeksi oleh S. aureus adalah
penisilin, sedangkan obat alternatif adalah
sefalosporin generasi pertama, vankomisin
(Katzung 2010), imipenem, meropenem,
fluorokuinolon dan klindamisin (Brooks et al.
2007). Intensitas penggunaan antibiotika yang
relatif
tinggi
menimbulkan
berbagai
permasalahan dan merupakan ancaman global
bagi kesehatan terutama resistensi bakteri
terhadap antibiotika (Kemenkes 2011).
Resistensi adalah kemampuan suatu bakteri
untuk tidak terbunuh atau tidak terhambat
BAHAN DAN METODE
Sebanyak sepuluh isolat bakteri S.
aureus yang digunakan berasal dari pasien
infeksi kulit di Rumah Sakit Siloam Karawaci
Tangerang Banten. Medium uji adalah
Nutrient Agar (Merck) dan Mueller Hinton
Agar (Acumedia). Cakram antibiotika yang
digunakan adalah oksasilin 1 µg (Oxoid),
vankomisin 30 µg (Becton), klindamisin 2 µg
(Oxoid), levofloksasin 5 µg (Oxoid). Bahan
lain yang digunakan yaitu pewarna Gram,
etanol 70%, NaCl fisiologis 0,9%, akuadest.
Pengambilan Isolat Bakteri
Isolat bakteri S. aureus diambil secara
acak dari pus dan darah 10 pasien infeksi kulit
di Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang
Banten periode Desember 2013-Januari 2014.
Pembiakan Isolat Bakteri
Satu ose biakan bakteri S. aureus stok
isolat dari Rumah Sakit Siloam Karawaci
Tangerang Banten diinokulasi dengan
menggunakan
jarum
ose,
kemudian
dipindahkan ke dalam medium NA pada
cawan Petri dengan cara digores. Diinkubasi
pada suhu 37°C selama 24 jam dalam
inkubator.
Dilakukan
pengamatan
makroskopis terhadap S. aureus pada cawan
Petri tersebut. Sebanyak satu ose biakan
bakteri S. aureus dari cawan Petri
diinokulasikan dengan menggunakan jarum
2
ose ke medium NA miring dengan cara
digores. Diinkubasi pada suhu 37°C selama
24 jam dalam inkubator.
Pembuatan Suspensi Bakteri
Pembuatan suspensi bakteri sesuai
dengan Mc Farland 0,5. Satu ose isolat bakteri
S. aureus diambil, dimasukkan ke dalam
tabung yang berisi larutan fisiologis NaCl,
dihomogenkan dan dibiarkan selama beberapa
menit. Kekeruhan suspensi disesuaikan secara
visual dengan larutan Mc Farland 0,5
(merupakan standar untuk bakteri).
Penetapan Resistensi Isolat S. aureus
Terhadap Antibiotika
Pengujian resistensi S. aureus patogen
infeksi kulit terhadap beberapa antibiotika
dilakukan dengan menggunakan metode
difusi. Diambil sebanyak 20 ml Mueller
Hinton Agar dimasukkan ke dalam cawan
Petri, dibiarkan menjadi padat. Secara aseptis,
sebanyak 0,1 ml suspensi bakteri dipindahkan
ke medium agar dengan menggunakan mikro
pipet.
Suspensi
bakteri
diratakan
menggunakan spatel Drugalsky, dibiarkan
beberapa menit. Masing-masing cakram
antibiotika
oksasilin,
vankomisin,
klindamisin, dan levofloksasin diletakkan di
atas medium agar dan diinkubasi pada suhu
37oC selama 24 jam. Dilakukan tiga kali
pengulangan pada cawan Petri yang berbeda.
Pengamatan zona hambat antibiotika uji
terhadap pertumbuhan S. aureus dilakukan
setelah 24 jam inkubasi. Pengamatan
dilakukan dengan mengukur diameter zona
bening di luar cakram tersebut dengan jangka
sorong. Koloni bakteri yang sensitif terhadap
antibiotika dilihat dengan adanya zona
hambatan berupa daerah bening di sekitar
cakram antibiotika. Diameter daerah bening
diukur dengan jangka sorong. Sensitivitas
kuman terhadap antibiotika ditentukan oleh
diameter zona hambat yang terbentuk dalam
millimeter (mm). Semakin besar diameter
maka semakin terhambat pertumbuhan
kuman. Hasil uji ini dirujuk dengan tabel
CLSI 2007 (tabel 1) untuk menentukan
susceptible (S), intermediate (I) atau resistant
(R).
Tabel 1. Diameter Zona Hambat Standar Menurut CLSI Untuk
Bakteri Staphylococcus aureus
Diameter zona hambat (mm)
Disk
No Antibiotika
content Resistant Intermediate Susceptible
1
Oksasilin
1 µg
≤ 10
11–12
≥ 13
2
Vankomisin
30 µg
≥ 15
3
Klindamisin
2 µg
≤ 14
15-20
≥ 21
4 Levofloksasin
5 µg
≤ 15
16-18
≥ 19
Karakteristik mikroskopis isolat S.
aureus dilakukan dengan pewarnaan Gram.
Menurut Waluyo (2010), pewarnaan Gram
merupakan tahap penting untuk membedakan
bakteri yang satu dengan bakteri yang lain,
memudahkan
melihat
mikroba
pada
mikroskop, dan untuk mengetahui struktur
bakteri uji yang digunakan, sehingga
pewarnaan Gram dapat dilakukan sebagai
salah satu tahap identifiksi bakteri dan
memastikan tidak terjadi kontaminasi pada
isolat bakteri. Berikut adalah hasil
karakteristik makroskopis dan mikroskopis
isolat S. aureus pada media pertumbuhan NA
(tabel 2).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Makroskopis dan Mikroskopis Isolat
S. aureus
Isolat S. aureus yang digunakan
diperoleh dari pus dan darah pasien infeksi
kulit yang telah diisolasi di Rumah Sakit
Siloam Karawaci Tangerang Banten periode
Desember 2013-Januari 2014. Isolat S. aureus
dipindahkan ke medium NA miring, untuk
mengurangi
kontaminasi
dan
untuk
memudahkan proses pengerjaan. Medium NA
digunakan karena merupakan medium yang
paling umum dalam mikrobiologi yang
menunjang pertumbuhan sebagian besar
mikroba (Waluyo 2010).
3
Pada pengatamatan makroskopis, 10
isolat S. aureus yang tumbuh pada medium
NA berbentuk bulat kecil dan berwarna
kuning. Hasil ini sesuai dengan Brooks et al.
(2007), koloni S. aureus pada medium padat
berbentuk bulat dan membentuk koloni
kuning emas. Bakteri S. aureus merupakan
bakteri Gram positif. Pada pengamatan
mikroskopis di mikroskop perbesaran 640
kali, terlihat bahwa 10 isolat bakteri S. aureus
yang telah diwarnai berwarna ungu yang
menandakan S. aureus termasuk bakteri Gram
positif, berbentuk kokus atau bulat dan dan
berkoloni
cenderung
berkelompok
menyerupai buah anggur. Hasil ini sesuai
dengan Radji (2010), S. aureus berbentuk
bulat, dan koloni mikroskopik cenderung
berbentuk menyerupai buah anggur.
Tabel 2. Karakteristik Makroskopis dan Mikroskopis Isolat S. aureus dari Pasien Infeksi
Kulit di Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang Banten
Ciri Makroskopis
Ciri Mikroskopis
No
Isolat
Bentuk
Bentuk
Warna (Gram)
Warna
Bulat kecil
Kokus
Ungu (Positif)
1
SA1
Kuning
Bulat kecil
Kokus
Ungu (Positif)
2
SA2
Kuning
3
SA3
Bulat kecil
Kuning
Kokus
Ungu (Positif)
4
SA4
Bulat kecil
Kuning
Kokus
Ungu (Positif)
Bulat kecil
Kokus
Ungu (Positif)
5
SA5
Kuning
Bulat kecil
Kokus
Ungu (Positif)
6
SA6
Kuning
7
SA7
Bulat kecil
Kuning
Kokus
Ungu (Positif)
8
SA8
Bulat kecil
Kuning
Kokus
Ungu (Positif)
Bulat kecil
Kokus
Ungu (Positif)
9
SA9
Kuning
Bulat
kecil
Kokus
Ungu (Positif)
10
SA10
Kuning
Tabel 3. Rerata Zona Hambat dan Kategori Kepekaan Isolat S. aureus dari Pasien Infeksi
Kulit di Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang Banten terhadap Antibiotika
Oksasilin, Vankomisin, Klindamisin, dan Levofloksasin
Rerata Zona Hambat (mm) dan Kategori Sensitivitas
No
Isolat
Oksasilin Vankomisin Klindamisin Levofloksasin
1
1
14,65 ( S ) 23,43 ( S )
13,40 ( R )
28,91 ( S )
2
2
4,97 ( R ) 3,47 ( R )
4,58 ( R )
3,32 ( R )
3
3
15,33 ( S ) 5,40 ( R )
3,63 ( R )
5,72 ( R )
4
4
10,43 ( R ) 13,41 ( R )
21,70 ( S )
13,29 ( R )
5
5
3,42 ( R ) 14,13 ( R )
8,27 ( R )
8,18 ( R )
6
6
14,55 ( S ) 16,35 ( S )
1,37 ( R )
28,29 ( S )
7
7
20,75 ( S ) 17,24 ( S )
25,40 ( S )
29,12 ( S )
8
8
21,64 ( S ) 15,92 ( S )
26,40 ( S )
26,85 ( S )
9
9
18,84 ( S ) 15,47 ( S )
26,00 ( S )
27,06 ( S )
10
10
5,71 ( R ) 20,37 ( S )
30,40 ( S )
7,34 ( R )
R:
40%
40%
50%
50%
Persentase
I:
0%
0%
0%
0%
(%)
S:
60%
60%
50%
50%
Ket: R (resisten), I (intermediet), S (sensitif)
medium yang sensitif karena kaya nutrisi,
sehingga cocok untuk menguji sensitivitas
mikroorganisme (Safitri dan Novel 2010).
Antibiotika uji yang digunakan adalah
Hasil Penetapan Resistensi Isolat S. aureus
Terhadap Antibiotika
Uji resistensi dilakukan pada medium
Mueller Hinton Agar yang merupakan
4
oksasilin, vankomisin, klindamisin, dan
levofloksasin karena merupakan antibiotika
pilihan yang digunakan pada terapi infeksi
kulit oleh S. aureus. Uji resistensi dilakukan
dengan menggunakan metode difusi (tes
Kirby & Bauer) karena merupakan metode
untuk menentukan aktivitas antibiotika.
Antibiotika pada disk cakram akan berdifusi
ke
medium
agar
dan
menghambat
pertumbuhan S. aureus. Terhambatnya
pertumbuhan S. aureus dilihat dengan adanya
zona bening yang terbentuk di sekitar cakram
antibiotika (Brooks et al. 2007). Zona bening
yang terbentuk di ukur diameternya dan di
bandingkan dengan standar pengukuran bagi
masing-masing antibiotika yang di tetapkan
CLSI untuk mengetahui kategori sensitivitas
isolat S. aureus. Data pengukuran diameter
zona hambat antibiotika dapat dilihat pada
lampiran 5. Berikut adalah hasil kategori
sensitivitas S. aureus terhadap antibiotika uji
(tabel 3).
Dari pengujian resistensi isolat S.
aureus terhadap antibiotika, didapatkan hasil:
sebanyak 6 isolat (SA1, SA3, SA6, SA7, SA8
dan SA9) sensitif terhadap oksasilin,
sedangkan 4 isolat lainnya resisten (SA2, SA4
SA5 dan SA10). Isolat S.aureus yang sensitif
terhadap vankomisin sebanyak 6 isolat (SA1,
SA6, SA7, SA8, SA9, SA10) dan 4 isolat
lainnya (SA2, SA3, SA4, SA5) resisten.
Terhadap klindamisin, sebanyak 5 isolat
sensitif (SA4, SA7, SA8, SA9, SA10) dan 5
isolat lainnya resisten (SA1, SA2, SA3, SA5,
SA6). Sebanyak 5 isolat sensitif terhadap
levofloksasin (SA1, SA6, SA7, SA8, SA9),
dan 5 isolat lainnya resisten (SA2, SA3, SA4,
SA5, SA10).
Dari tabel 3 di atas terlihat bahwa
isolat SA1 sensitif terhadap oksasilin,
vankomisin dan levofloksasin, namun resisten
terhadap klindamisin. Resistensi isolat S.
aureus terhadap antibiotika uji tertinggi
terlihat pada isolat SA2 dan isolat SA5, isolat
telah resisten terhadap semua antibiotika uji
(oksasilin, vankomisin, klindamisin, dan
levofloksasin). Pada isolat SA3, isolat resisten
terhadap 3 antibiotika uji (vankomisin,
klindamisin dan levofloksasin) dan sensitif
terhadap oksasilin. Pada isolat SA4, isolat
sensitif terhadap klindamisin, namun telah
resisten terhadap oksasilin, vankomisin dan
levofloksasin. Pada isolat SA6, isolat sensitif
terhadap
oksasilin,
vankomisin
dan
levofloksasin
dan
resisten
terhadap
klindamisin. Sensitivitas isolat S. aureus
terhadap antibiotika uji tertinggi terlihat pada
isolat SA7, SA8, SA9, yang sensitif terhadap
semua antibiotika uji (oksasilin, vankomisin,
klindamisin, dan levofloksasin). Isolat SA10
resisten terhadap oksasilin dan levofloksasin,
sensitif terhadap vankomisin dan klindamisin.
Antibiotika uji yang digunakan
merupakan obat pilihan pertama yaitu
oksasilin, dan obat alternatif: vankomisin
(Katzung
2010),
klindamisin,
dan
levofloksasin (Brooks et al. 2007), untuk
pengobatan infeksi kulit yang disebabkan oleh
bakteri S. aureus. Berdasarkan uji resistensi,
didapatkan hasil persentase resistensi
antibiotika oksasilin dan vankomisin sebesar
40%. Namun hasil persentase resistensi isolat
S. aureus lebih tinggi terhadap klindamisin
dan levofloksasin, yaitu sebesar 50%.
Adanya peningkatan tingkat resistensi
isolat S. aureus terhadap obat pilihan
alternatif (vankomisin, klindamisin, dan
levofloksasin), serta terjadinya perbedaan
sensitivitas dari masing-masing isolat S.
aureus terhadap antibiotika uji disebabkan
karena penggunaan antibiotika yang meluas,
kurang tepat (irrasional) serta intensitas
penggunaan yang tinggi, seperti penggunaan
obat yang terlalu singkat, dosis yang
digunakan terlalu rendah, diagnosa awal yang
salah, pemilihan antibiotika yang keliru pada
pengobatan infeksi terhadap bakteri yang
telah resisten, tingkat kepatuhan pasien dalam
menggunakan
obat,
dan
penggunaan
antibiotika pada keadaan yang seharusnya
tidak membutuhkan antibiotika (Utami 2012).
Oksasilin
merupakan
antibiotika
golongan β-laktam dan merupakan obat
pilihan pertama pada pengobatan infeksi kulit
yang disebabkan oleh bakteri S. aureus.
Mekanisme kerja penisilin menghambat
pertumbuhan bakteri dengan mengganggu
reaksi transpeptidasi dalam sintesis dinding
sel. Ada 4 mekanisme resistensi terhadap βlaktam yaitu: (1) inaktivasi antibiotika oleh βlaktamase, (2) modifikasi Penicillin-BindingProtein (PBP) target, (3) gangguan penetrasi
5
obat untuk mencapai PBP sasaran, dan (4)
efluks (Katzung 2010).
Vankomisin termasuk antibiotika yang
bekerja dengan menghambat sintesis dinding
sel bakteri. Mekanisme kerja vankomisin
dengan berikatan secara kuat pada ujung DAla-D-Ala pada pentapeptida peptidoglikan
yang baru terbentuk, sehingga menghambat
reaksi transglikosilasi, yang mencegah
elongasi peptidoglikan lebih lanjut serta
ikatan silang. Resistensi S. aureus terhadap
vankomisin karena adanya perubahan PBP,
yaitu modifikasi tempat ikatan D-Ala-D-Ala
pada peptidoglikan. Pada keadaan ini ujung
D-Ala digantikan oleh D-laktat atau D-Ser.
Perubahan ikatan ini menyebabkan hilangnya
ikatan hidrogen yang memfasilitasi tingginya
afinitas ikatan vankomisin dengan target,
sehingga aktivitas vankomisin hilang
(Katzung 2010).
Pada klindamisin, mekanisme kerja
dengan menghambat sintesis protein pada
bakteri (Brunton et al. 2010). Resistensi
terhadap
klindamisin
terjadi
melalui
mekanisme: (1) mutasi lokasi reseptor
ribosomal, (2) modifikasi reseptor oleh
metilase
yang
diekspresikan
secara
konstitutif, dan (3) inaktivasi klindamisin oleh
enzimatik (Katzung 2010).
Tabel 4. Mekanisme Aktivitas dan Mekanisme Resistensi Antibiotika
Antibiotika
Golongan
Mekanisme Kerja
Oksasilin
Β-laktam
(Penisilin)
Menghambat sintesis
dinding sel dengan
mengganggu reaksi
peptidasi
Vankomisin
Menghambat sintesis
dinding sel dengan
menghambat
transglikosilase
Vankomisin
Klindamisin
Levofloksasin
Klindamisin
Fluorokuinolon
Menghambat sintesis
protein pada bakteri
dengan menghambat
perpindahan rantai
asam amino yang
baru dengan tRNAnya bergeser dari
lokasi akseptor ke
lokasi peptidil
Menghambat sintesis
DNA mikroba
dengan menghambat
DNA gyrase dan
Topoisomerase IV
Levofloksasin merupakan antibiotika
golongan fluorokuinolon. Mekanisme kerja
fluorokuinolon yaitu menghambat sintesis
DNA mikroba (Brooks et al. 2007), melalui
penghambatan
DNA
girase
dan
topoisomerase IV. Menurut Sudoyo dkk.
Mekanisme Resistensi
(1) Inaktivasi antibiotika oleh
β-laktamase
(2) Modifikasi PenicillinBinding-Protein (PBP)
target
(3) Gangguan penetrasi obat
untuk mencapai PBP sasaran
(4) Efluks
Perubahan pada target bakteri
(perubahan PBP), yaitu perubahan
target D-Ala-D-Ala menjadi
D-Ala-D-Laktat atau
D-Ala-D-Ser
(1) Mutasi lokasi reseptor
ribosomal
(2) Modifikasi reseptor oleh
metilase yang diekspresikan
secara konstitutif
(3) Inaktivasi klindamisin oleh
enzimatik
(1) Membuat target menjadi
tidak sensitif (mutation
ofgyrase genes)
(2) Pengeluaran antibiotika
secara aktif (active efflux)
(2006), resistensi terhadap fluorokuinolon
terjadi dengan membuat target menjadi tidak
sensitif melalui mutasi gen kromosom bakteri
yang mengode DNA girase (mutation
ofgyrase genes) dan pengeluaran antibiotika
6
dari bakteri melalui transpor aktif (active
efflux).
Satu bakteri yang telah resisten
terhadap suatu antibiotika bisa menyebar dari
satu orang ke orang lain, sehingga
memperbesar potensinya dalam proporsi
epidemik. Penyebaran ini dipermudah oleh
lemahnya kontrol infeksi dan penggunaan
antibiotika yang luas. Penggunaan antibiotika
di rumah sakit harus dilakukan dengan tepat
(rasional) dan hati-hati dengan melibatkan
diagnosis klinik dan bakteriologik untuk
menegaskan diagnosa serta melakukan
pemantauan pola kepekaan bakteri secara
berkala dan berkesinambungan sebagai
pedoman
pemberian
antibiotika
pada
pengobatan infeksi. Pencegahan terhadap
resistensi dapat dilakukan dengan cara:
menggunakan antibiotika kombinasi untuk
mengurangi timbulnya resistensi bakteri
terhadap antibiotika, menjaga kebersihan
terutama pada tenaga kesehatan yang
berhubungan langsung dengan pasien untuk
mencegah penularan galur baru yang telah
resisten, dan edukasi terhadap pasien (Utami
2012).
/20/03304966/.Infeksi.Sulit.Dielimina
si. Diakses 8 oktober 2014.
Brooks GF, Butel JS, Morse SA. 2007.
Mikrobiologi Kedokteran Jawetz,
Melnick dan Adelberg. Edisi 23,
Terjemahan: Elferia RN, Ramadhani
D, Karolina S, Indriyani F, Rianti
SSP, Yulia P. EGC, Jakarta. Hlm.
166-167, 266-267.
Brunton LL, Parker KL, Blumenthal D,
Buxton I. 2010. Goodman and Gilman
Manual Farmakologi dan Terapi,
Terjemahan: Manurung J, Aini N,
Hadinata AH, Fazriyah Y, Vidhayanti
H. EGC, Jakarta. Hlm. 675, 693, 698,
706-707, 709.
Clinical Laboratory Standards Institute
(CLSI). 2007. Performance Standards
for Antimicrobial Disk Susceptibility
Testing. Seventeenth Informational
Suplement. Wayne, Pa. hlm 18-22,
44-51.
Garna H. 2012. Buku Ajar Divisi Infeksi dan
Penyakit Tropis Departemen Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Padjajaran. Sagung Seto,
Jakarta. Hlm. 687-690.
Katzung BG. 2010. Farmakologi Dasar dan
Klinik Edisi 10, Terjemahan: Nirmala
WK, Yesdelita N, Susanto D, Dany F.
EGC, Jakarta. Hlm. 748-749, 756,
759-762, 857.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
2011. Pedoman Umum Penggunaan
Antibiotik. Jakarta: Direktorat Jenderal
Bina
Kefarmasian
dan
Alat
Kesehatan; Hlm. 8-9.
Mardiastuti HW, Anis K, Ariyani K,
Ikaningsih, Retno K. 2007. Emerging
Resistance Pathogen: Situasi Terkini
di Asia, Eropa, Amerika Serikat,
Timur Tengah dan Indonesia. Majalah
Kedokteran Indonesia, 57(3) : 75-79.
Priyanto. 2010. Farmakologi Dasar untuk
Mahasiswa Farmasi dan
Keperawatan. Edisi 2. Leskonfi,
Depok. Hlm 84.
Radji M. 2010. Buku Ajar Mikrobiologi:
Panduan Mahasiswa Farmasi dan
Kedokteran. EGC, Jakarta. Hlm. 179181,184, 186,189-190.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil uji resistensi bakteri
S. aureus dari pasien infeksi kulit di Rumah
Sakit Siloam Karawaci Tangerang Banten
terhadap
antibiotika
pilihan
terapi,
menunjukkan telah terjadi resistensi terhadap
oksasilin sebesar 40%, terhadap vankomisin
sebesar 40%, terhadap klindamisin sebesar
50% dan terhadap levofloksasin sebesar 50%.
UCAPAN TERIMA KASIH:
Terimakasih kepada Rumah Sakit
Siloam Karawaci Tangerang Banten yang
telah menyediakan isolat untuk diuji pada
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Profil Kesehatan Kabupaten
Tangerang 2010. Tangerang: Dinas
Kesehatan Kabupaten Tangerang;
Hlm. 12.
Anonim. 2011. Infeksi Sulit Dieliminasi.
http://nasional.kompas.com/read/2011
/12
7
Safitri R, Novel SS. 2010. Medium Analisis
Mikroorganisme (Isolasi dan Kultur).
Trans Info Media, Jakarta. Hlm 46.
Sudoyo AW, Setiyohadi B. Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III
Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Indonesia, Jakarta. Hlm.
1700-1701, 1703.
Utami ER. 2012. Antibiotika, Resistensi, dan
Rasionalitas Terapi. Malang. Sainstis,
1 (1): 124-125, 127, 131.
Waluyo L. 2010. Teknik dan Metode Dasar
Mikrobiologi.
UPT
Penerbitan
Universitas Muhammadiyah Malang,
Malang. Hlm 89-92, 133.
8
Download