Prosiding Rakernas dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Apoteker Indonesia 2016 e-ISSN : 2541-0474 KAJIAN POLA PERESEPAN DAN HARGA OBAT GENERIK DI APOTEK DALAM WILAYAH KOTA PARIAMAN Syofyan*, Fadli Syafris, dan Deni Noviza Bagian Farmasetika, Fakultas Farmasi, Universitas Andalas, Padang, Indonesia *Corresponding author email: [email protected] Abstrak Latar belakang: Penggunaan Obat Generik Berlogo (OGB) dalam perkembangannya, masih relatif rendah. Data hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pemakaian OGB di Indonesia pada tahun 2001 sekitar 12% namun pada tahun 2007 menurun menjadi 7,8% meskipun pasar obat nasional naik, bisa dikatakan program OGB ini tidak sukses karena rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap mutu OGB. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk melihat dampak dari program JKN yang dikelola oleh badan penyelenggara jaminan kesehatan (BPJS) terhadap OGB, baik dari sisi peningkatan penggunaannya maupun aspek kepercayaan masyarakat terhadap mutu OGB. Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif, metoda pengambilan sampel untuk apotek adalah non probability. Cara pengambilan sampel dengan kolaborasi dua metoda, yakni purposive sampling dan quota sampling, untuk pengambilan sampel lembar resep menggunakan metoda Slovin. Data yang didapat dianalisis dengan analisis univariat. Hasil penelitian: Hasil penelitian menunjukkan rata-rata untuk setiap lembar resep mengandung jumlah tanda resipe (R/) sebanyak dua dengan perbandingan antara OGB dan Obat Generik Bermerek (OGM) adalah 1 : 1 persentase OGB 50,25% dan OGM 49,70%. Jenis OGB yang paling banyak diresepkan adalah Paracetamol. Perbandingan harga rata-rata OGB dengan OGM untuk Paracetamol adalah 1 : 3, amoxicilin 1 : 7 dan Antacid 1 : 4. Kesimpulan: Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa penggunaan OGB relatif seimbang dengan OGM. Disarankan juga kepada masyarakat untuk dapat bijak dalam menentukan pilihan obat yang digunakan dengan mempertimbangkan aspek ekonomi karena mutu OGB dan OGM pada dasarnya adalah sama. Kata kunci: obat generik (berlogo), pola peresepan, harga obat. 1. PENDAHULUAN Obat merupakan unsur yang sangat penting dalam upaya penyelenggaraan kesehatan. Sebagian besar intervensi medik menggunakan obat. Oleh karena itu obat harus tersedia pada saat diperlukan dalam jenis dan jumlah yang cukup, berkhasiat nyata dan berkualitas baik (Fatokun, 2012 ; Hassali, 2012). Biaya obat merupakan biaya terbesar dari total biaya pengobatan yaitu sekitar 60-70 %. Dalam rangka memberikan alternatif obat untuk masyarakat dengan kualitas terjamin dan harga terjangkau serta ketersediaan obat yang cukup, maka pemerintah sejak tahun 1989 mengeluarkan program obat murah yang disebut dengan Obat Generik Berlogo (OGB). Melihat perkembangannya, ternyata penggunaan OGB masih relatif rendah. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa pemakaian OGB di Indonesia pada tahun 2001 penggunaanya hanya sekitar 12%, dan pada tahun 2007 menurun menjadi 7,8% meskipun pasar obat nasional naik. Rendahnya penggunaan OGB ini berhubungan erat dengan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap OGB itu sendiri. Hal tersebut diakibatkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah masih rendahnya pengetahuan masyarakat termasuk tenaga kesehatan tentang OGB terutama menyangkut mutu OGB. Disamping itu, faktor gencarnya promosi Obat Generik Bermerek (OGM) baik secara langsung ke dokter maupun melalui media cetak dan elektronik. Studi yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa secara umum pengetahuan masyarakat Sumatera Barat tentang OBG masih dikategorikan rendah, yakni 56,72 % Melihat begitu pentingnya kebutuhan akan kesehatan dan obat-obatan, pemerintah membentuk program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kesehatan dalam bentuk manfaat pemeliharaan kesehatan dalam 133 Prosiding Rakernas dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Apoteker Indonesia 2016 e-ISSN : 2541-0474 rangka memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang yang terdaftar sebagai peserta (Kementrian Kesehatan, 2014). Sistem JKN memiliki badan hukum yang disebut dengan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) (Kementrian Kesehatan, 2013). BPJS mulai beroperasi sejak 1 Januari 2014. Adanya BPJS diharapkan produksi dan konsumsi OGB akan lebih meningkat, terutama kebutuhan obat di tempat pelayanan kefarmasian seperti apotek dan rumah sakit. Selain itu diharapkan BPJS juga bisa mendorong peningkatan pemahaman dan kepercayaan masyarakat tentang penggunaan OGB. Apotek termasuk juga rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainya yang menjalin kerjasama dengan BPJS berkewajiban melayani dan menerima pasien yang terdaftar di BPJS dan melakukan upaya kesehatan secara komprehensif (Kementrian Kesehatan, 2013). Apotek wajib menyediakan OGB yang dibutuhkan sesuai dengan resep yang diberikan oleh dokter ataupun dokter gigi. Apoteker dalam menjalankan fungsi praktek pelayanannya dapat mengganti resep yang berisi OGM menjadi OGB atas persetujuan dokter atau pasien dengan catatan obat yang diganti harus sama komponen aktifnya (Peraturan Pemerintah No 51, 2009). Dengan demikian terlihat bahwa adanya sistem BPJS secara tidak langsung dapat memberi dampak kepada OGB, baik dari sisi peningkatan penggunaannya maupun aspek kepercayaan terhadap mutu OGB. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pola peresepan OGB di apotek dalam wilayah Kota Pariaman serta kesesuaian harga OGB dibandingkan dengan OGM pada era BPJS saat ini 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian deksriptif, dimana terdapat dua aspek yang dilakukan. Pertama terkait pola resep dan yang kedua adalah harga obat, untuk itu dilakukan beberapa tahapan dalam pelaksanaan penelitian ini, yaitu: 2.1. Tahap pengumpulan data 2.2. Tahap identifikasi dan pelaksanaan penelitian 2.3. Tahap analisis dan penarikan kesimpulan Teknik sampling untuk apotek yang digunakan adalah non probability, dimana cara pengambilan sampel dengan kolaborasi 2 metoda, yakni purposive sampling dan quota sampling. Pemilihan apotek ini juga berdasarkan sebaran apotek dalam wilayah kota serta mempertimbangkan aspek keterlibatan kerja sama apotek dengan BPJS. Data retrospektif didapat dengan melihat data dokumen resep yang ada di apotek dari bulan Januari hingga Juni 2015 (data sekunder). Data prospektif didapat dari hasil wawancara dengan petugas apotek (data primer) serta dari hasil simulasi penentuan harga obat berdasarkan resep (data primer dan sekunder). 3. HASIL Data yang didapat juga menunjukkan bahwa rata-rata jumlah (R/) untuk setiap lembar resep adalah 2,2 Pada hasil pola resep juga diperoleh persentase penulisan OGB dengan OGM dalam resep untuk masing-masing apotek. Persentase tertinggi penulisan OGB adalah pada apotek B dan J yakni sebanyak 100% dan terendah ada di apotek G yakni 17,10%. Untuk OGM persentase paling tinggi adalah apotek G dengan 82,90% dan paling rendah adalah apotek B dan J dengan 0%. Sepuluh item OGB yang paling banyak diresepkan, antara lain paracetamol, dexametason, CTM, Amoxicilin, Ambroxol, Ranitidin, Asam Mafenamat, Tramadol, Ibuprofen dan Antacid. Harga rata-rata tablet Paracetamol obat generik berlogo (OGB) adalah Rp. 240/tab, Amoxicilin tablet Rp. 590/tab, dan Antacid adalah Rp. 7.000/60 ml. Hasil pada obat generik bermerek (OGM) harga rata-rata untuk OGM parcetamol adalah Rp. 680/tab, OGM amoxicilin adalah Rp. 4000/tab dan OGM antacid adalah Rp. 31000/60 ml. Harga tertinggi untuk OGB Paracetamol adalah Rp. 500/tab terendah adalah Rp. 200/tab, harga tertinggi untuk OGB Amocixilin adalah Rp. 700/tab dan terendah sebesar Rp.500/tab, harga OGB Antacid yang tertinggi adalah Rp 7.500/60 ml dan terendah adalah Rp 6.000/60 ml. Harga tertinggi OGM Paracetamol adalah Rp. 900/tab dan yang terendah adalah Rp. 500/tab. OGM Amoxiclin yang tertinggi adalah Rp. 4.600/tab dan yang terendah Rp. 3.500/tab. Harga OGM Antacid tertinggi adalah Rp. 38.000/60 ml dan terendah Rp. 25.000/60 ml. Perbandingan harga rata-rata antara OGB dengan OGM Paracetamol ialah 1:3, untuk amoxicilin perbandingannya ialah 1 : 7. Sedangkan untuk antacid perbandingannya adalah 1 : 4 134 Prosiding Rakernas dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Apoteker Indonesia 2016 e-ISSN : 2541-0474 4. PEMBAHASAN Resep obat yang rasional akan meningkatkan akses masyarakat terhadap obat (Siahaan, 2013). Didapatkan 1059 lembar resep, dengan jumlah (R/) dari total lembar resep adalah 2384 dengan rincian 1198 diantaranya adalah resep OGB dan 1186 adalah resep OGB. Rata-rata jumlah (R/) perlembar resep adalah 2, hal ini berarti persentase OGB dengan OGM adalah satu berbanding satu. Meski belum bisa dikatakan besar namun setidaknya peresepan OGB oleh dokter yang ditebus ke apotek dalam wilayah Kota Pariaman termasuk hal yang menggembirakan. Hal tersebut juga menunjukan bahwa tenaga kesehatan dalam hal ini dokter semakin sadar dengan akses kesehatan oleh masyarakat dan aspek ekonomi pasien. Terutama apoteker, juga memiliki peran sangat penting dalam peningkatan penggunaan OGB (Mott, et al.,2002). Penggunaan OGB oleh masyarakat juga besar kaitannya dengan penyediaan obat serta kepercayaan masyarakat terhadap OGB, pembekalan kepada masayarakat akan mempengaruhi dalam penggunaan OGB (William, et al., 2009). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendistribusian resep masih tidak merata antar apotek. Ada apotek yang jumlah resep yang masuk mencapai ribuan, puluhan ribu, namun ada pula apotek yang jumlahnya bahkan tidak sampai belasan. Hal ini bisa disebabkan karna banyak faktor, hasil teknis yang didapatkan di lapangan terlihat pengaruh keberadaan atau kedekatan dengan tempat pelayanan kesehatan seperti rumah sakit dan praktek dokter menjadi alasannya. Di apotek yang dekat dengan rumah sakit dan praktek dokter jumlah resep yang masuk relatif lebih besar dibandingkan dengan apotek yang keberadaannya berjauhan. Hal yang sama juga ditemukan dalam persentase OGB dan OGM. Persentase tinggi OGB cenderung didapatkan pada apotek yang letaknya berdekatan dengan Puskesmas, sementara persentase OGM tinggi didapatkan pada apotek dengan yang berdekatan dengan rumah sakit. Data penggunaan obat generik terbanyak juga menjelaskan bahwa kebanyakan penyakit yang ada di Kota Pariaman adalah infeksi saluran pernafasan atas yang diikuti dengan gejala-gejala seperti demam, inflamasi serta flu. Data ini juga berbanding lurus dengan hasil diskusi dan wawancara yang kami lakukan dengan pihak Dinas Kesehatan Kota Pariaman. Hasil pengamatan terhadap ketersediaan dan harga OGB dengan metoda mystery shopping menunjukkan bagaimana OGB ini masih belum dikatakan obat pilihan dalam pengobatan kepada masyarakat. Hal tersebut terlihat masih adanya apotek-apotek yang tidak menyediakan OGB. Dalam prakteknya banyak apotek yang relatif mengedepankan aspek profit dan keuntungan (Suryani, et al., 2013). Peraturan Pemerintah (PP) no. 51 tahun 2009 ayat 24 pasal (b) menjelaskan bahwa apoteker dapat mengganti obat pasien dari merek dagang kepada generik yang sama komponen aktifnya melalui persetujuan dokter dan atau pasien. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa sejumlah apotek tidak ingin menukarkan obat bermerek menjadi generik meski hal tersebut adalah permintaan pasien sendiri. Aspek harga obat sangat berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat (Akhmal, 2008). Karena harga juga menentukan bagaimana terbentuknya profil kesehatan pasien (Tang, et al.,2014). Penentuan harga oleh pemerintah bertujuan untuk mengendalikan harga obat di pasaran serta mengendalikan nafsu konsumsi obat pada masyarakat (Morgan, 2004), namun pada hasil dan tabel terkait range besaran harga untuk OGB jika dibandingkan dengan Harga Eceran Tertinggi (HET)+PPN (Kementrian Kesehatan, 2013) menunjukkan ketidaksesuaian. Data ini menunjukkan bahwa tidak ada satupun dari tiga belas sampel apotek yang mengatur standar harga OGB sesuai dengan HET. Perbandingan harga OGB dengan OGM didapatkan bahwa harga OGM jauh diatas OGB. Tingginya harga OGM ini didasarkan kepada faktor-faktor yang menentukan harga obat yakni jumlah produksi, pemilihan bahan baku, promosi dan kemasan, biaya penelitian dan pengembangan serta harga yang ditetapkan pemerintah (Kementrian Kesehatan, 2013). 5. KESIMPULAN Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut: 5.1. Peresepan obat yang diterima apotek Kota Pariaman dalam periode Januari-Juni 2015 rata-rata untuk setiap lembar resep didapatkan mengandung jumlah resipe (R/) adalah dua, dengan perbandingan antara OGB dan OGM satu banding satu, persentase OGB 50,25% dan OGM 49,70%. 5.2. Jenis OGB yang paling banyak diresepkan adalah Paracetamol. 5.3. Perbandingan harga rata-rata OGB dengan OGM untuk Paracetamol adalah 1 : 3, amoxicilin 1 : 7 dan Antacid 1 : 4. Hasil 135 Prosiding Rakernas dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Apoteker Indonesia 2016 e-ISSN : 2541-0474 yang ditemukan menunjukkan hampir seluruh OGB yang pada semua sampel apotek dijual melewati harga diatas HET DAFTAR PUSTAKA 1. Agnes, N. C. 2013. Obat Generik dan Obat Esensial di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian di 10 Kabupaten/Kota Di Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 13(1),. Seni Hidup Sehat Tanpa Dokter. Yogyakarta: Chivita Books. 2. Akhmal, A. 2008. Price Comparison Between Innovator and Generic Medicines Sold by Community Pharmacies in The State of Penang, Malaysia. Journal of Generic Medicine. Malaysia 3. Ali, A., Jason, Tiong Kion Kai, Choo Chun Keat, and Dhanaraj ,SA. 2012. SelfMedication Practices Among Health Care Professionals In A Private University, Malaysia. International Current Pharmaceutical Journal 2012, 1(10): 302310 4. Banthin, Jesica S; Miller, G. edwar. 2006. Trends in Prescription Drug Expenditures by Medical Enrolles. Journal of Medicine. APHA, 2(12): 28-35 5. Grabowski, H ; C, Daniel. 1997. Pharmacy Benefit Management, cost- Effectivesness Analysis and Drug Formulary Decisions. International Perspektive Jornal. 05 (07), 135-137 6. Sarimanah, J, Theresia Neot, Tessa Chrisma. 2013. Pola Peresepan Obat di Apotek Asri, Klaten Tahun 2008. USB. Jawa Tengah 7. William, S; Cadarate; Michael, A; et al. 2009. Is There a Relationship Between Patient Beliefs or Communication About Generic Drug and Medicattion Utilization. Journal of Medical Care. APHA. 136